Ceritasilat Novel Online

Kembang Karang Hawu 2

Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Karang Hawu Bagian 2


tinggi di angkasa.
Kepergian kedua pendekar muda itu diiringi tawa terbahak-bahak dari Panglima
Narakin. Sementara
Rangga dan Pandan Wangi sudah jauh meninggalkan perbatasan kota. Namun demikian
si Kipas Maut itu masih belum puas atas perlakuan panglima tadi. Lari kudanya
seketika dihentikkan setelah melewati tikungan yang menuju Gunung Karang Hawu.
"Berhenti dulu, Kakang..,!" seru Pandan Wangi, Rangga menghentikan lari kudanya,
kemudian menghampiri Pandan Wangi yang sudah turun dari punggung kuda putihnya.
Pendekar Rajawali Sakti pun segera melompat turun dengan satu lompatan indah dan
manis sekali. Kakinya langsung mendarat di depan Pandan Wangi. Mereka membiarkan
kuda-kuda menjauh menghampiri hamparan rumput yang menghijau subur di tepi
sungai kecil yang berair jernih, mengalir pelahan.
"Ada apa, Pandan?" tanya Rangga.
"Aku tidak ingin pergi begitu saja. Panglima itu telah menghina kita, Kakang.
Penghinaan ini harus dibalas!" dengus Pandan Wangi masih geram dengan tingkah
Panglima Narakin yang begitu congkak.
"Aku juga tidak suka terhadap sikapnya, Pandan.
Tapi dia hanya menjalankan tugas saja," sergah Rangga mencoba menenangkan Pandan
Wangi. Padahal dia sendiri sedang berusaha meredam kemarahannya, karena juga merasa
terhina atas sikap panglima itu.
"Tugas.... Huh! Kau juga punya banyak panglima, Kakang. Tapi tidak ada yang
seperti itu," dengus Pandan Wangi masih kesal.
"Sudahlah, Pandan. Sebaiknya kita pergi saja dari sini," Rangga masih mencoba
untuk bersabar.
"Tidak! Aku akan menghajar mulut panglima edan itu!" sentak Pandan Wangi.
Seketika itu juga Pandan Wangi melesat cepat,
dan langsung berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
"Pandan...!" Rangga terkejut.
Tapi Pandan Wangi sudah begitu jauh, lenyap di tikungan jalan. Rangga yang tidak
ingin melihat gadis itu celaka, bergegas ikut berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya,
sehingga Pendekar Rajawali Sakti bagaikan berlari di atas angin. Kaki-kakinya
yang bergerak cepat, seperti tidak menapak pada tanah.
Dalam waktu yang tidak berapa lama, Rangga sudah bisa mengejar Pandan Wangi yang
sudah mendekati perbatasan kota. Tampaknya para prajurit dan Panglima Narakin
masih berada di sana.
"Pandan, tunggu dulu! Jangan gegabah...!" sentak Rangga memperingatkan.
Tapi Pandan Wangi tidak peduli lagi, dan cepat melesat begitu jaraknya dengan
perbatasan itu tinggal beberapa tombak lagi. Gadis itu langsung meluruk ke arah
Panglima Narakin yang terkejut begitu tiba-tiba mendapat serangan dari Pandan
Wangi. Dua kali si Kipas Maut itu melontarkan pukulan beruntun disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat...!"
"Heh..."! Ufs!"
*** 5 Cepat sekali Panglima Narakin mengegoskan tubuhnya, menghindari serangan Pandan
Wangi. Dua pukulan Pandan Wangi yang tidak menemui sasaran itu langsung menghajar dua
orang prajurit yang berada di dekatnya. Seketika dua jeritan panjang meiengking
tinggi terdengar saling sambut.
Tampak dua orang prajurit terpental, ambruk ke tanah. Seketika itu juga mereka
tewas dengan dada remuk. Dari mulutnya mengucurkan darah kental agak kehitaman.
"Perempuan setan...!" geram Panglima Narakin gusar.
Sret! Panglima Narakin langsung mencabut pedangnya.
Dan secepat itu pula, dikibaskan ke arah tubuh Pandan Wangi. Namun cepat sekali,
si Kipas Maut mencabut kipas baja putih yang langsung cepat dikebutkan,
menyampok pedang panglima itu.
Wutl Trang! "Heh..."!"
Panglima Narakin terkejut setengah mati begitu pedangnya membentur kipas baja
putih di tangan Pandan Wangi. Pedangnya terpental balik, dan seluruh persendian
tangannya terasa nyeri bergetar hebat.
Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja Pandan Wangi sudah
menerjang panglima itu. Kipasnya yang terbuka lebar, berkelebat cepat mengancam
tubuh panglima congkak itu. Beberapa
kali ujung kipas baja putih itu hampir merobek tubuh Panglima Narakin, tapi
masih bisa dihindari dengan manis sekali.
Sementara itu Rangga sudah menghadang para prajurit. Dia memang harus mencegah
prajurit-prajurit itu dalam pertarungan antara Pandan Wangi dan Panglima
Narakin. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Pandan Wangi hanya menggempur
Panglima Narakin, dan tidak bermaksud menggempur prajurit-prajurit.
"Jangan ikut campur! Kami bisa dengan mudah membunuh kalian semua...!" Rangga
memperingatkan dengan suara dingin menggetarkan.
Para prajurit itu tidak ada yang berani bertindak.
mereka saling melemparkan pandangan, tapi tak seorang pun berani melakukan
tindakan penye-rangan. Sementara pertarungan antara Pandan Wangi dan Panglima
Narakin masih berlangsung sengit sekali. Jurus demi jurus berlalu cepat.
Panglima itu memang tangguh juga, meskipun dalam adu senjata tadi sudah bisa
diketahui kalau tingkat tenaga dalamnya masih di bawah Pandan Wangi.
Itu bisa diketahui jelas, karena Panglima Narakin beberapa kali menghindari
benturan senjata. Dan ini sangat disadari Pandan Wangi, sehingga semakin gencar
memberikan serangan-serangan lewata jurus-jurusnya yang dahsyat dan cepat luar
biasa. Setiap serangan yang dilakukannya mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Lewat sepuluh jurus, Panglima Narakin mulai kelihatan terdesak. Dia semakin
kewalahan saja menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Pandan Wangi.
Beberapa kali senjata satu sama lain berbenturan tanpa dapat dihindari Panglima
Narakin. Dan setiap kali pedangnya membentur kipas Pandan Wangi, panglima itu selalu
terpekik. Bahkan pedangnya terpental hampir lepas dari pegangan tangan.
"Lepas...! Yeaaah...!" tiba-tiba Pandan Wangi berseru keras sekali.
Dan seketika itu juga kakinya dihentakkan ke arah perut Panglima Narakin. Namun
panglima itu bisa menghindari dengan menarik tubuhnya ke belakang.
Dan pada saat tubuh panglima itu agak membungkuk, cepat sekali Pandan Wangi
mengibaskan tangan kanannya ke arah pergelangan tangan kanan Panglima Narakin
yang memegang senjata.
Bet! Cras! "Akh...!" Panglima Narakin tersentak, dan memekik keras ketika ujung Kipas Maut
itu menyambar pergelangan tangan kanannya.
Panglima itu tak bisa lagi mencegah pergelangan tangan kanannya yang buntung
terbabat ujung Kipas Maut Pandan Wangi. Tangan dan pedangnya terpental jatuh ke
tanah. Seketika darah segar muncrat keluar deras sekali.
Dan sebelum Panglima Narakin bisa menyadari apa yang terjadi, dengan kecepatan
tinggi sekali Pandan Wangi memberi satu tendangan menggeledek bertenaga dalam
tinggi ke dadanya.
"Hiyaaa...!"
Deghk! "Aaakh...!" kembali Panglima Narakin menjerit.
Tendangan Pandan Wangi yang cepat dan keras itu tak bisa dihindari lagi, telak
menghantam dada Panglima Narakin. Akibatnya, laki-laki itu terpental sejauh dua
batang tombak ke belakang. Pandan Wangi cepat, menjentikkan ujung jari kakinya
pada pedang panglima yang tergeletak di tanah. Seketika pedang itu terpental ke atas.
Secepat kilat, Pandan Wangi melesat menyambar pedang itu. Tubuhnya langsung
meluruk deras ke arah Panglima Narakin yang baru saja berusaha bangkit berdirl.
"Hiyaaa...!"
"Hah...!"
Panglima Narakin tersentak melihat Pandan Wangi meluruk deras ke arahnya. Dengan
ujung pedang terentang lurus ke arah dada, gadis itu terus meluruk deras
sehingga panglima itu tak sempat melakukan sesuatu lagi. Memang serangan si
Kipas Maut itu demikian cepat bagaikan kilat. Sehingga....
Bres! "Aaa...!"
Jeritan melengking tinggi terdengar menyayat bersamaan dengan amblasnya pedang
itu ke bahu kanan Panglima Narakin. Selagi panglima itu limbung, datang lagi
satu pukulan ke kepala panglima itu.
"Yeaaah...!"
Prak! "Aaa...!" kembali Panglima Narakin menjerit keras melengking tinggi.
Kali ini adalah jeritannya yang terakhir. Karena, panglima perang itu langsung
ambruk ke tanah tak berkutik lagi. Darah mengucur deras dari bahu yang tertembus
pedangnya sendiri.
"Phuih...!" Pandan Wangi mendenguskan napasnya dengan kencang.
Gadis itu langsung memutar tubuhnya memandang Rangga yang tengah menghalangi para prajurit agar tidak ikut campur
dalam masalah ini.
Pandan Wangi berdiri tegak bertolak pinggang seperti sosok malaikat maut yang
siap mencabut nyawa saja.
Kipas Mautnya sudah kembali tersimpan di balik ikat pinggang.
"Suruh mereka pergi, Kakang. Aku muak melihat tampang-tampang jelek itu!" dengus
Pandan Wangi kasar.
Dan sebelum Rangga membuka mulutnya, semua prajurit langsung berlarian kabur.
Mereka seketika gentar melihat panglimanya kalah di tangan seorang gadis muda
berwajah cantik bagai bidadari itu.
"Seharusnya kau tidak perlu berbuat begitu, Pandan," kata Rangga seraya
melangkah menghampiri gadis itu.
"Hanya menidurkannya sebentar," sahut Pandan Wangi seenaknya.
Rangga hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Memang tidak mudah merubah watak Pandan Wangi yang hidup dan dibesarkan di
kalangan rimba persilatan. Gadis ini tidak lagi asing melihat darah muncrat dari
tubuh seseorang. Tapi selama si Kipas Maut itu bersama Pendekar Rajawali Sakti,
sedikit-sedikit keliarannya mulai terhapus. Meskipun terkadang masih saja timbul
kenakalannya. "Ayo kita pergi," ajak Rangga.
"Untuk apa, Kakang" Mereka pasti akan kembali lagi. Aku akan menghadapi mereka
yang sudah bosan hidup," sahut Pandan Wangi.
"Jangan edan-edanan, Pandan...!" sentak Rangga.
"Aku sudah membunuh seorang panglima mereka, dan tentu banyak yang tidak senang.
Aku nanti akan menjelaskannya. Dan kalau mereka tidak terima, boleh berhadapan
denganku," tegas sekali suara Pandan Wangi.
"Heeeh...! Kau ini selalu saja cari penyakit, Pandan...," keluh Rangga.
"Tanggung, Kakang. Sudah kadung basah, sekalian saja nyebur," sahut Pandan Wangi
kalem. Kembali Rangga hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja. Dia tidak bisa
mencegah, apalagi meninggalkan gadis ini seorang diri. Mau tidak mau Pendekar
Rajawali Sakti harus ikut juga dalam persoalan ini. Korban sudah jatuh, dan
memang tidak mungkin menghindar begitu saja. Mereka bukan orang-orang pengecut
yang bisanya hanya lari dengan meninggalkan tanggung jawab. Toh mereka tidak
bersalah sama sekali. Memang sudah sepantasnya panglima itu menerima hukumannya.
Tapi yang sangat disesalkan Rangga, tidak semestinya Pandan Wangi membunuh
panglima itu. Seharusnya pertarungan dihentikannya saat Pandan Wangi berhasil membuntungi
tangan panglima itu.
Namun Rangga memang tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Pandan Wangi. Dia melihat
sendiri kalau Panglima Narakin masih tetap berusaha menyerang.
"Tunggu saja di sini, Kakang. Aku ingin tahu, seberapa banyak Prabu Sarajingga
mengerahkan jagonya," tegas Pandan Wangi.
"Terserah kaulah...," desah Rangga.
Pandan Wangi tersenyum kecut. Dia tahu kalau Rangga terpaksa menuruti, karena
memang sudah kepalang basah. Dan tentu saja harus dihadapi bersama.
*** Saat itu, di dalam Istana Randukara, Dipa Pangga tertegun di balik pintu. Pemuda
itu mendengar Prabu Sarajingga marah-marah sampai menggebrak meja.
Keras sekali gebrakannya hingga menimbulkan suara berisik, mengganggu telinga.
Dipa Pangga tahu kalau tadi dua orang punggawa masuk ke dalam ruangan ini.
Memang sukar baginya untuk mendengar lebih jelas lagi, karena hanya terdengar
samar-samar namun keningnya jadi berkerut saat mendengar nama Pendekar Rajawali
Sakti disebut-sebut.
Dipa Pangga tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah Rangga. Pemuda pengembara
yang mengenakan baju rompi putih dan sudah menyelamatkan nyawanya dari kematian
di Lereng Gunung Karang Hawu.
Plak! "Oh...!" Dipa Pangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja punggungnya ada yang
menepuk dari belakang.
Pemuda itu terlonjak langsung berbalik. Hampir dia memaki begitu melihat Rara
Ayu Ningrum yang telah membuatnya terkejut setengah mati. Tapi gadis itu sudah
lebih cepat menarik tangannya meninggalkan tempat itu. Mereka langsung masuk ke
dalam taman belakang istana yang hanya bisa dimasuki anggota keluarga istana
saja. "Ada apa?" tanya Dipa Pangga.
"Panglima Narakin mati," sahut Rara Ayu Ningrum setengah berbisik.
"Apa..."!" Dipa Pangga terperanjat mendengar berita itu.
"Si Kipas Maut yang membunuhnya," Rara Ayu Ningrum kembali memberitahu.
"Siapa itu si Kipas Maut?" tanya Dipa Pangga.
"Gadis teman Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rara Ayu Ningrum lagi.
"Kau jangan main-main, Adik Ningrum," Dipa
Pangga tidak percaya.
'"Tidak percaya, ya sudah...!" Rara Ayu Ningrum memberengut.
"Tapi..., kenapa Pandan Wangi membunuh Panglima Narakin?" Dipa Pangga seperti
bertanya pada diri sendiri.
"Panglima Narakin meminta mereka meninggalkan Kerajaan Randukara ini, tapi
ditolak. Panglima, Narakin terpaksa mengusir mereka. Namun si Kipas Maut
langsung saja menyerang dan membunuhnya,"
jelas Rara Ayu Ningrum.
"Dari mana kau tahu semua itu, Ningrum?" Tanya Dipa Pangga. Nada suaranya
seperti tidak percaya.
"Aku mendengarnya dari bilik serambi ruangan itu.
Dari tempatku kan bisa mendengar jelas, Kakang."
"Tapi, kenapa kau memberitahuku?"
"Huh...! Kau selalu saja mencurigaiku, Kakang.
Percayalah kalau aku tidak suka terhadap tindakan ayahku sendiri. Aku ingin
membantumu. Lagi pula, sebenarnya 'kan ayah tidak berhak menduduki tahta.
Kaulah yang berhak, Kakang."
"Kau mengkhianati ayahmu sendiri, Ningrum."
"Demi kebenaran, Kakang. Aku rela mati asalkan kebenaran ditegakkan di negeri
ini." "Apakah ayahmu tahu kalau kau meng-khianatinya?"
"Tidak. Ah, sudahlah.... Sebaiknya kau cepat temui mereka sebelum ayah
mengerahkan para prajurit. "
Dipa Pangga terdiam beberapa saat. Dipertimbang-kannya semua kata-kata gadis
ini. Sungguh tidak disangka kalau Rara Ayu Ningrum diam-diam selalu mendengarkan
semua yang diucapkan Prabu Sarajingga. Bahkan diam-diam pula gadis ini mengamati
semua yang dilakukan ayahnya. Ternyata
Rara Ayu Ningrum memiliki pengamatan yang baik terhadap sikap dan perbuatan
ayahnya yang tidak ingin menyerahkan tahta yang didudukinya pada Dipa Pangga.
Padahal, pemuda itulah sebenarnya yang berhak menduduki tahta itu daripada
pamannya, Sarajingga.
"Cepat, Kakang. Jangan buang-buang waktu lagi,"
desak Rara Ayu Ningrum.
"Di mana mereka?" tanya Dipa Pangga.
"Di perbatasan dekat Gunung Karang Hawu," sahut Rara Ayu Ningrum memberitahu.
"Lalu, kau sendiri?"
"Aku akan mencoba menghadang prajurit. Tentu jumlah mereka sangat banyak," sahut
Rara Ayu Ningrum.


Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Karang Hawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau akan menghalau mereka, Ningrum?"
"Jangan banyak tanya, Kakang. Ayo cepat pergi, sana...!" sentak Rara Ayu
Ningrum. "Baiklah., Tapi jangan ada prajurit yang terbunuh.
Kalau kau terpaksa bertarung, hadapi saja orang-orang ayahmu. Bukan para
prajuritnya," pesan Dipa Pangga.
"Aku usahakan," janji Rara Ayu Ningrum.
Dipa Pangga bergegas meninggalkan taman istana itu. Sementara Rara Ayu Ningrum
cepat menuju kamarnya. Sambil berjalan cepat, Dipa Pangga masih belum bisa
mengerti akan sikap adik sepupunya itu.
Sama sekali tidak disangka kalau Rara Ayu Ningrum berpihak padanya, dan memusuhi
ayahnya sendiri.
Pemuda itu juga tidak menduga kalau adik sepupunya memiliki kegiatan tersembunyi
yang dipersiapkan untuk menggulingkan ayahnya sendiri dengan menggantikan Dipa
Pangga menjadi raja di Kerajaan Randukara ini.'
Meskipun Rara Ayu Ningrum sudah menunjukkan dukungannya, tapi Dipa Pangga belum
bisa mem-percayai begitu saja. Sikapnya masih tetap berhati-hati terhadap gadis
itu. Kesetiaan Rara Ayu Ningrum, memang perlu dibuktikan dalam waktu yang
panjang. *** Dipa Pangga menggebah cepat kudanya membelah jalan yang berdebu. Dia terus menuju perbatasan dekat Gunung Karang Hawu.
Orang-orang yang berada di jalan itu, terpaksa cepat-cepat menyingkir. Tidak ada
seorang pun yang menggerutu begitu mengetahui yang berkuda ugal-ugalan itu
adalah Dipa Pangga, putra mahkota yang belum juga naik tahta. Padahal usianya
sudah cukup dewasa.
Hanya karena belum menikah saja, Dipa Pangga tidak bisa menduduki tahta yang
kini sementara diduduki pamannya. Itu terjadi karena memang sudah amanat raja
yang terdahulu sebelum mangkat.
Dipa Pangga terus menggebah cepat kudanya meninggalkan keramaian kota. Kini dia
mulai memasuki daerah yang sepi. Sepanjang jalan yang dilalui hanya pepohonan
dan sawah serta dataran yang menanjak naik membentuk hamparan bukit.
Dipa Pangga semakin cepat menggebah kudanya begitu melihat gerbang perbatasan di
depannya. "Hooop...!"
Dipa Pangga menghentikan kudanya begitu sampai di gerbang perbatasan Kotaraja
Randukara. Begitu kudanya berhenti berlari, dia cepat melompat turun dari kudanya.
Gerakannya demikian indah dan ringan sekali. Ketika kakinya menjejak tanah,
sedikit pun tidak menimbulkan suara.
"Rangga...! Pandan Wangi...!" teriak Dipa Pangga memanggil dengan suara yang
keras. Teriakan pemuda itu menggema, terpantul oleh tebing batu dan pepohonan, dan
tersapu angin yang berhembus kencang. Namun suaranya tenggelam begitu saja tanpa
ada sahutan sama sekali.
Pandangan Dipa Pangga beredar ke sekeliling.
Dipa Pangga jadi keheranan juga, karena tidak ada seorang pun di tempat ini.
Teriakannya yang keras disertai sedikit pengerahah tenaga dalam itu, tidak
mendapat sambutan sama sekali. Kembali Dipa Pangga berteriak memanggil Pendekar
Rajawali Sakti dan si Kipas Maut, tapi tetap saja tidak ada sahutan.
"Hm..., jangan jangan...."
Belum sempat Dipa Pangga melanjutkan pikirannya, mendadak saja sebuah bayangan
hijau berkelebat cepat menyambar pemuda itu. Sejenak Dipa Pangga terperangah
kaget, namun cepat sekali membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa
kali. Kemudian tubuhnya melesat bangkit berdiri.
Dipa Pangga tertegup sejenak begitu melihat seorang wanita berambut panjang
terikat pita hijau, sudah berdiri di depannya. Wanita itu mengenakan baju ketat
berwarna hijau daun yang menutup rapat seluruh tubuhnya. Wajahnya mengenakan
cadar yang juga berwarna hijau dart bahan sutra. Hanya matanya saja yang
terlihat jelas.
"Kembang Karang Hawu...," desis Dipa Pangga, agak bergetar suaranya begitu
mengenali wanita yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.
"Kali ini kau tidak mungkin lolos dari tanganku, Dipa Pangga," dengus wanita
berbaju serba hijau yang dijuluki Kembang Karang Hawu itu.
Dipa Pangga yang pernah bentrok sekali dengan
wanita berkepandaian lebih tinggi darinya itu, langsung berslap. Kakinya digeser
beberapa tindak ke samping. Kemudian pelahan-lahan pedangnya dilolos-kan.
Sedikit pun matanya tidak berkedip memperhatikan wanita berbaju hijau itu.
"Sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu, Dipa Pangga. Tapi kau terlalu bandel,
karena masih saja berkeliaran di Randukara ini," dingin sekali nada suara
Kembang Karang Hawu itu.
"Kau tidak berhak mengusirku dari negeri ini, Perempuan Iblis!" dengus Dipa
Pangga ketus. "Ha ha ha... ! Aku bisa berbuat apa saja padamu, Dipa Pangga," si Kembang Karang
Hawu tertawa terbahak-bahak.
Namun Dipa Pangga bisa membedakan kalau suara tawa dan nada bicara perempuan
yang berjuluk Kembang Karang Hawu itu sangat dibuat-buat.
Wanita berbaju hijau itu terlalu membesarkan suaranya dan nadanya sedikit
ditahan. Sehingga suaranya terdengar datar tanpa tekanan sama sekali.
"Hm.... Kau selalu muncul menggunakan cadar.
Siapa sebenarnya kau ini, Nisanak?" suara Dipa Pangga sedikit terdengar
bergumam. "Aku Kembang Karang Hawu. Jelas..."!" agak keras jawaban wanita berbaju hijau
itu. "Di balik julukanmu, kau tentu menyembunyikan dirimu yang sebenarnya. Kenapa
tidak kau tunjukkan saja dirimu yang sebenarnya, Nisanak" Aku yakin, di balik
cadarmu itu kau menyembunyikan wajah buruk menjijikkan," Dipa Pangga memanasi.
"Kau terlalu polos untuk bisa memancing kemarahan orang, Dipa Pangga," desis si
Kembang Karang Hawu sinis.
"0..."! Kau ingin aku, yang membuka cadarmu
itu..." Baik bersiaplah...! Hiyaaat...!"
Dipa Pangga langsung saja melompat cepat menerjang wanita berbaju hijau itu.
Pedangnya dikibaskan beberapa kali mengarah ke bagian-bagian tubuh wanita itu.
Namun lincah dan manis sekali si Kembang Karang Hawu berkelit, menghindari
se.tiap serangan gencar yang datang.
Beberapa kali Dipa Pangga hampir membabatkan pedangnya ke tubuh wanita itu,
namun beberapa kali pula wanita itu bisa menghindarinya. Dan Dipa Pangga seperti
tidak ingin memberi kesempatan si Kembang Karang Hawu untuk balas menyerang. Dia
terus mencecar lewat jurus-jurusnya yang cepat dan dahsyat. Setiap serangan yang
dilancarkan Dipa Pangga mengandung pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja si Kembang Karang Hawu berteriak keras.
Seketika itu juga tubuhnya melenting ke udara ketika Dipa Pangga membabatkan
pedangnya ke arah kaki. Secepat itu pula, wanita berbaju hijau yang wajahnya
tertutup cadar, meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan menggeledek
bertenaga dalam tinggi ke arah kepala Dipa Pangga.
"Uts... ! "
Cepat-cepat Dipa Pangga menarik dirinya ke belakang beberapa tindak mengegoskan
kepalanya, menghindari serangan balasan itu. Pukulan si Kembang Karang Hawu
tidak mengenai sasaran, dan hanya mengenai tanah tempat Dipa Pangga tadi
berdiri. Seketika ledakan keras terdengar, bersamaan dengan terbongkamya tanah yang
terkena pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi. Dipa Pangga sampai
terlompat mundur. Dan belum juga lenyap keterkejutan pemuda itu, si Kembang
Karang Hawu sudah cepat melancarkan serangan kembali.
"Hiyaaa... !"
Serangan yang dilancarkan wanita berbaju hitam itu sungguh cepat luar biasa, dan
beruntun tanpa henti. Sehingga, Dipa Pangga menjadi kewalahan menghindarinya.
Hingga suatu ketika, di saat Dipa Pangga baru saja menghindari tendangan yang
mengarah ke pinggangnya, mendadak saja....
Bughk! "Akh... !"
*** 6 Dipa Pangga menjerit keras ketika tiba-tiba saja satu pukulan keras bertenaga
dalam tinggi mendarat di dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terpental deras ke
belakang, menghantam sebongkah batu yang cukup besar.
"Hoeeek...!"
Dipa Pangga memuntahkan darah kental ketika mencoba bangkit berdiri. Dia tidak
tahu lagi, ke mana pedangnya tadi terpental ketika mendapat satu pukulan keras
di dadanya. Dan baru saja bisa bangkit berdiri, mendadak terasa ada benda dingin
yang tipis menempel di lehernya. Dipa Pangga tersentak kaget, karena si Kembang
Karang Hawu sudah menempel-kan ujung pedang ke lehemya. Lebih terkejut lagi,
karena pedang yang digunakan wanita bercadar itu ternyata miliknya sendiri.
"Hhh! Hanya sampai di sinikah kemampuan calon raja...?" ejek si Kembang Karang
Hawu sinis. "Kau punya kesempatan untuk membunuhku, Iblis!" desis Dipa Pangga seraya menahan
rasa nyeri di dadanya.
"Terlalu enak kalau mati begitu saja, Dipa Pangga.
Kau harus bisa merasakan pedihnya penderitaan yang pernah kualami," dingin
sekali nada suara wanita bercadar hijau itu.
"Aku tidak pernah menyakiti orang. Terlebih lagi untuk mengenal dirimu! Kenapa
kau ingin membuatku menderita...?" masih terdengar ketus nada suara Dipa Pangga.
"Sayang sekali, ayahmu keburu mati. Jadi kau yang harus menggantikannya, Dipa
Pangga," desis si Kembang Karang Hawu itu lagi, semakin dingin nada suaranya.
"Apa yang telah dilakukan mendiang Ayahanda Prabu padamu?" tanya Dipa Pangga
ingin tahu. "Kau memang perlu tahu, Dipa Pangga. Karena sebentar lagi kau akan merasakan
bagaimana ter-siksanya dalam penderitaan, terhina, dan malu yang tak akan hilang
seumur hidup...," kali ini nada suara wanita itu agak tertekan.
"Aku akan menerima lapang dada, jika memang ayahku bersalah," tegas Dipa Pangga.
"Suka atau tidak suka, kau memang harus menerima, Dipa Pangga."
"Katakan, apa yang telah dilakukan ayahku. Maka, kau bisa melakukan apa saja
padaku," desak Dipa Pangga.
Si Kembang Karang Hawu melangkah mundur dua tindak. Pelahan pedang yang tadi
menempel di leher Dipa Pangga diturunkan. Kemudian pedang itu dilemparkan ke
depan kaki pemuda itu. Namun, Dipa Pangga mendepak jauh pedang yang tergeletak
di depan kakinya.
Perbuatan Dipa Pangga ini, membuat sepasang bola mata yang indah itu menyipit.
Dipandanginya Dipa Pangga yang tengah membuka baju, kemudian melemparkannya
begitu saja. Tampak pada pinggang pemuda itu berbaris pisau kecil yang berjumlah
lebih dari lima puluh buah. Pemuda itu melepaskan wadah pisau yang terbuat dari
kulit, lalu melemparkannya jauh-jauh. Kemudian, diambilnya lagi dari kaki kanan
dan kirinya pisau-pisau yang masing-masing berjumlah sepuluh buah.
Dipa Pangga kemudian melepaskan sabuknya yang terbuat dari kulit bermanik-manik
batu permata. Dari sabuknya dikeluarkannya benda-benda bulat kecil sebesar biji kacang kedelal
yang berwarna merah. Semua benda-benda yang menjadi senjata rahasia yang melekat
di tubuhnya, dibuangnya untuk meyakinkan wanita itu kalau dirinya akan menerima
akibat dari perbuatan mendlang ayahnya.
"Kenapa kau lakukan semua itu, Dipa Pangga?"
tanya si Kembang Karang Hawu tidak bisa menahan keheranannya atas sikap Dipa
Pangga yang nampa~nya siap menerima pembalasan.
"Agar kau lebih mudah untuk menyiksaku," sahut Dipa Pangga kalem.
Wanita bercadar hijau itu jadi terpaku. Sungguh tidak disangka kalau Dipa Pangga
akan berbuat seperti itu. Rela menerima segala akibat yang dilakukan mendiang
ayahnya. Dan sekarang, pemuda itu benar-benar polos, tak memiliki senjata apa
pun juga. "Setan kau, Dipa Pangga...," desis si Kembang Karang Hawu.
"Nah! Sekarang aku sudah tidak bersenjata lagi.
Lakukan apa saja sesukamu, agar dendammu terbalaskan," kata Dipa Pangga kalem.
Wanita bercadar hijau itu tidak menanggapi, tapi malah memandangi Dipa Pangga
dengan sinar mata yang sukar untuk diartikan. Sepertinya sikapnya ragu-ragu
untuk melakukan sesuatu pada pemuda yang rela mengorbankan diri demi baktinya
pada orang tua.
"Huh...!" si Kembang Karang Hawu mendengus berat.
Mendadak saja tubuhnya melesat cepat. Dan
dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi. Dipa
Pangga masih berdiri tegak dengan tubuh tanpa baju lagi. Matanya tak berkedip
memandangi arah kepergian wanita bercadar yang pergi begitu saja melihat
kerelaan Dipa Pangga mengorbankan dirinya.
Dipa Pangga memutar tubuhnya ketika telinganya mendengar tepukan tangan satusatu dari arah belakang. Tampak di depannya kini sudah berdiri Pendekar Rajawah
Sakti dan si Kipas Maut. Pemuda berbaju rompi putih itu masih bertepuk tangan
sambil mengulas senyuman lebar.
"Rupanya kau ada di sini sejak tadi, Rangga," desis Dipa Pangga seraya memungut
kembali baju dan senjata-senjatanya, kemudian mengenakan pelahan-lahan.
"Maaf. Kami telah mencuri dengar semua yang terjadi," ucap Rangga seraya
melangkah mendekat.
"Sebenarnya tadi kami ingin keluar, tapi tidak jadi,"
sambung Pandan Wangi ikut mendekati Dipa Pangga.
"Wanita itu yang membuatmu terkapar tempo hari, Raden?" tanya Rangga yang sudah
mengetahui kalau pemuda di depannya ini adalah Raden Dipa Pangga, pewaris
tunggal tahta Kerajaan Randukara ini.
"Benar. Tapi aku agak heran, karena dia tidak membunuhku," sahut Dipa Pangga.
"Rangga, sebaiknya jangan panggil aku dengan sebutan raden."
"Kenapa?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Di istana, kau boleh memanggilku begitu. Tapi di sini, aku orang biasa yang
sama seperti lainnya,"
sahut Dipa Pangga.
Pandan Wangi tertawa seraya melirik Rangga yang berdiri di sampingnya.
"Sama dong seperti...," ucapan Pandan Wangi terputus begitu mata Rangga mendelik padanya.
"Dengan siapa?" tanya Raden Dipa Pangga ingin tahu.
"Yaaah..., dengan raden dari kerajaan lain," sahut Pandan Wangi seraya
mengangkat bahunya sedikit.
Hampir saja Pandan Wangi keterlepasan bicara, membuka penyamaran Pendekar
Rajawali Sakti.
Pendekar muda itu sebenarnya juga seorang raja di Kerajaan Karang Setra. Tapi
Pendekar Rajawali Sakti tidak pemah menggunakan kedudukannya jika sedang
mengembara seperti ini. Bahkan tidak suka jika ada yang memanggilnya dengan
sebutan Gusti Prabu di luar istana. Rangga lebih senang jika dipanggil dengan
namanya saja. Sikap yang dimiliki Raden Dipa Pangga sama persis dengan Pendekar Rajawali
Sakti, yang tidak ingin menonjolkan diri dengan memanfaatkan kedudukan tinggi.
Hal ini membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi bersimpati. Terlebih lagi Pendekar
Rajawali Sakti. Pendekar itu memang menyukai kesederhanaan serta menyadari kalau
semua manusia di bumi ini adalah sama. Hanya panykat dan kedudukan saja yang
membedakannya. *** Malam ini udara terasa begitu dingin. Dan
dinginnya udara, sama sekali tak dihiraukan Rangga dan Pandan Wangi yang tidak
lepas mengamati bagian da lam kamar Prabu Sarajingga dari tempat tersembunyi.
Mereka bisa berada di lingkungan istana ini berkat bantuan Dipa Pangga melalui
jalan rahasia. Raden Dipa Pangga sudah menceritakan tentang
maksud Prabu Sarajingga yang tidak bersedia turun tahta dan menyerahkannya pada
ahli waris yang sah.
Hal ini diketahuinya dari penuturan Rara Ayu Ningrum. Dari penuturan Dipa
Pangga, Rangga akhirnya mengambil satu keputusan untuk mengamati Prabu
Sarajingga. "Sudah waktunya kau mengamati Rara Ayu Ningrum, Pandan," bisik Rangga.
"Aku lupa kamarnya, Kakang," sahut Pandan Wangi juga berbisik.
"Tidak jauh dari kamar Raden Dipa Pangga,"
Rangga mengingatkan.
"Sebelah mana?"
"Pokoknya di depan jendelanya ada pohon kemuning. Itulah kamar Rara Ayu
Ningrum." "0, iya. Aku ingat sekarang. "
"Sudah sana, cepat. "
"lya, sabar ah.... "


Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Karang Hawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga mendengus saja melihat sikap Pandan Wangi yang seenaknya. Dan sebelum
Pendekar Rajawali Sakti menyuruh kedua kali, Pandan Wangi sudah melesat cepat
menuju kamar Rara Ayu Ningrum. Mereka memang sudah diberitahu tentang keadaan
dan letak setiap bagian dari istana ini oleh Raden Dipa Pangga. Sehingga rasanya
tidak sulit bagi Rangga untuk mengamati keadaan istana ini.
Terutama sekali, dia harus mengamati segala tindakan Prabu Sarajingga.
Pendekar Rajawali Sakti menduga kalau antara Prabu Sarajingga dengan si Kembang
Karang Hawu ada hubungan erat. Bahkan diduga, si Kembang Karang Hawu itu
sebenarnya adalah Rara Ayu Ningrum. Hanya saja belum bisa dipastikan, maksud
dari semua ini.
Sementara malam terus merambat semakin larut.
Tampak di dalam kamar yang kelihatan besar dan terang benderang itu, Prabu
Sarajingga tengah berbicara bersama seorang perempuan tua yang mengenakan baju
warna putih. Di lengan kanannya terlilit seekor ular belang benuama hitam dan
kuning bergaris-garis.
"Hm..., siapa perempuan tua itu...?" gumam Rangga bertanya sendiri di dalam
hati. "Akan kugunakan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'."
Pendekar Rajawali Sakti langsung menarik napas dalam-dalam dan menahannya
beberapa saat, kemudian merapalkan ajiannya. Perlahan kemudian napasnya
dihembuskan dalam-dalam. Kemudian pen-dengarannya mulai terasa lebih terang. Dan
kini Pendekar Rajawali Sakti mengarahkan pendengaran-nya pada kamar yang sedang
diamati, sehingga bisa mendengar semua pembicaraan itu dengan jelas sekali.
*** "Hm..., jadi si Malaikat Jari Delapan ada di sini...?"
suara Prabu Sarajingga seperti bergumam, bertanya pada dirinya sendiri.
"Itulah yang tidak kumengerti, Sarajingga."
"Kau melihat ada tindakan yang mencurigakan, Nyai Setan Putih?" tanya Prabu
Sarajingga lagi.
Perempuan tua berbaju putih itu hanya diam saja, tidak menjawab pertanyaan Prabu
Sarajingga. Perlahan-lahan kepalanya menggeleng. Prabu Sarajingga bangkit dari duduknya,
kemudian berjalan ke jendela. Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun
itu berdiri di depan jendela, memandang bulan
yang, menggantung di langit. Sedangkan perempuan tua berbaju putih yang memang
ternyata si Setan Putih, masih tetap duduk di kursinya.
"Sebaiknya lupakan saja si Malaikat Jari Delapan itu. Bagiku dia bukanlah
halangan yang berarti," tegas Prabu Sarajingga seraya memutar tubuhnya
membelakangi jendela yang terbuka lebar.
"Dia sudah tahu tentang...."
"Ya, aku tahu," potong Prabu Sarajingga.
Setan Putih kembali terdiam.
"Ada persoalan yang lebih penting lagi, Nyai Setan Putih," kata Prabu
Sarajingga. "
"Tentang apa?"
"Dua orang pendekar yang tidak bisa dianggap enteng."
"Siapa?"
"Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut."
"Siapa..."!" Setan Putih terperanjat mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti
disebut. "lni yang membuatku jadi tidak tenang, Nyai Setan Putih. Masalahnya, Dipa Pangga
sudah begitu dekat dengan mereka," jelas Prabu Sarajingga lagi.
"Hm..., untuk apa dia ada di sini?" tanya Setan Putih setengah bergumam,
sepertinya pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.
"Sampai saat ini aku belum tahu, Nyai. Aku sudah berusaha mencari tahu, tapi
seorang panglima kepercayaanku malah tewas di tangannya. "
"Dan kau hanya diam saja?"
"Aku sudah berusaha, tapi pendekar itu malah menghilang. "
"Maksudmu?" Setan Putih tidak mengerti.
"Aku sudah menyebar prajurit dan telik sandi.
Bahkan seluruh pelosok kota dijaga ketat. Tapi,
Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut tidak terlihat lagi," Prabu Sarajingga
menjelaskan dengan nada cemas.
"Mungkin mereka sudah pergi, Sarajingga," ujar Setan Putih mencoba menenangkan
Prabu Sarajingga. "Tidak, Nyai. Aku merasa kalau Pendekar Rajawali Sakti masih berada di sini. Aku
yakin, kau juga sering mendengar sepak terjangnya. Dia tidak akan pergi begitu
saja, terlebih lagi setelah menewaskan seorang panglimaku. Dan ini akan
membuatnya jadi penasaran dan ingin tahu. Itu yang menjadikan beban pikiranku
saat ini," lagi-lagi nada suara Prabu Sarajingga terdengar mengeluh.
"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanya Setan Putih.
"Cari dan temukan dia. Kalau perlu, bunuh!
Pendekar Rajawali Sakti bisa menjadi ancaman yang serius," tegas sekali perintah
Prabu Sarajingga.
"Hm..., kenapa tidak kau perintahkan saja para panglima dan jago-jagomu?"
"Jangan berpikir edan, Nyai...! Aku belum akan menarik perhatian. Dia bisa
bertambah gila jika para panglima dan jago-jagoku bertindak."
"Lalu, kenapa harus aku?"
"Jika kau yang melakukannya, dia tidak akan menaruh perhatian pada istana ini.
Terutama padaku," sahut Prabu Sarajingga.
"Seharusnya tugas ini kau serahkan pada si Kembang Karang Hawu, Sarajingga. Di
sana kau sisipkan jago-jagomu. Dengan demikian, perhatiannya akan terpusat pada
mereka. Bukannya pada dirimu,"
Setan Putih mengajukan saran.
"Ita juga akan kulakukan, Nyai. Tapi lebih baik kau
juga berperan, agar perhatiannya semakin terpecah belah. Dengan demikian, aku
bisa leluasa mengatur segalanya di istana ini."
Setan putih terdiam sambil mengangguk-angguk-kan kepala. Dalam had, diakui kalau
rencana Prabu Sarajingga ini memang bisa dikatakan cemerlang.
"Siapa yang akan menghubungl si Kembang Karang Hawu?" tanya Setan Putih setelah
beberapa saat lamanya terdiam.
"Biar aku saja. Aku bisa mudah melakukannya,"
sahut Prabu Sarajingga.
"Baiklah.... Kalau begitu, aku pergi dulu," pamit Setan Putih seraya beranjak
bangkit berdiri.
"Kau lewat jalan biasa saja, Nyai."
Setan Putih tidak menyahuti, tapi tiba-tiba saja melesat cepat bagai kilat
menerobos jendela. Kalau saja Prabu Sarajingga tidak segera memiringkan
tubuhnya, pasti terlanda perempuan tua berbaju putih itu.
"Edan...!" dengus Prabu Sarajingga.
Prabu Sarajingga memandang keluar sejenak. Dia tidak lagi bisa melihat bayangan
si Setan Putih yang sudah lenyap cepat sekali. Kemudian jendela kamar itu
ditutupnya. Tak berapa lama kernudian, kamar itu jadi gelap.
Sementara Rangga yang berada di persembunyiannya masih belum bergerak. Ajiannya
segera ditarik kembali. Suatu ajian yang digunakan untuk mendengarkan percakapan
di dalam kamar itu tadi.
"Setan Putih...," desis Rangga pelahan.
Begitu pelannya, sehingga suara desisan itu hampir tidak terdengar oleh
telinganya sendiri.
Rangga masih berada di tempat persembunyiannya.
Pandangannya berkeliling, mengamati suasana di
sekitarnya. Tak seorang prajurit pun terlihat berkeliaran, kecuali dua orang
prajurit bersenjata lembing yang berditi di samping pintu masuk ke dalam istana
itu. "Aku yakin kalau Raden Dipa Pangga tidak mengetahui hubungan pamannya itu dengan
seorang tokoh rimba persilatan," kembali Rangga, bergumarn perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti kembali berpikir keras.
Rangga mempertimbangkan untuk memberitahu Raden Dipa Pangga tentang si Setan
Putih atau tidak.
Namun, dia segera memutuskan untuk menunda lebih dahulu. Ingin diketahuinya dulu
dengan pasti, tentang hubungan yang terjalin antara Prabu Sarajingga dengan si
Setan Putih. Bahkan juga harus mengetahui lebih dahulu tentang si Kembang Karang
Hawu. "Sudah jelas sekarang kalau si Kembang Karang Hawu bekerjasama dengan Prabu
Sarajingga. Tapi...."
Rangga tidak melanjutkan, karena mendadak saja terlihat sebuah bayangan hijau
berkelebat cepat melompati pagar benteng Istana ini yang disusul oleh sebuah
bayangan lagi. Tak lama kemudian, terlihat sebuah bayangan lagi berkelebat
cepat. Bayangan biru yang berkelebat cepat, mengikuti dua bayangan tadi.
"Pandan Wangi...," desis Rangga.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat keluar
dari tempat persembunyiannya. Pemuda berbaju rompi putih itu melesat cepat
menuju ke arah dua bayangan yang dilihatnya tadi. Gerakannya sangat cepat
sekali. Sehingga dalam sekejap mata saja Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap di balik
tembok benteng istana ini.
7 Slap! "Heh..."!"
Rangga tersentak kaget. Ketika baru saja menjejakkan kakinya di tanah, mendadak
saja sebuah bayangan putih berkelebat menyambar ke arahnya.
Begitu cepatnya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat berbuat sesuatu
untuk menghindar dari terjangan bayangan putih itu.
Des! "Ughk...!" Rangga mengeluh pendek ketika merasakan satu benturan keras di
perutnya. Pendekar Rajawali Sakti terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak. Dan
sebelum sempat mengurangi rasa mual yang mendadak menyerang perutnya, kembali
bayangan putih itu berkelebat cepat ke arahnya.
"Hap...!"
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan
beberapa kali, dan secepat itu pula melompat bangkit. Segera tangannya digerakgerakkan di depan dada sambil menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
kuat-kuat. Rasa mual di perutnya berangsur berkurang.
Pada saat itu, bayangan putih tadi sudah kembali meluruk ke arahnya cepat
sekali. Tapi kini Pendekar Rajawali Sakti itu sudah siap menyambutnya. Dan
begitu bayangan putih itu sudah berada di dalam jangkauannya, mendadak Rangga
menghentakkan kedua tangannya ke depan.
"Yeaaah...!"
Des! Satu benturan keras terjadi. Tampak Rangga kembali terhuyung ke belakang
beberapa langkah.
Sedangkan bayangan putih itu terpental balik, lalu berputaran beberapa kali di
udara. Dan sebelum mendarat di tanah, tubuh Rangga sudah melenting mengejar. Dua
pukulan beruntun, dilepaskan disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi
sekali. "Hiyaaa...!"
Namun mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya sambil menarik
kembali pukulannya yang hampir terlontar. Pemuda berbaju rompi putih itu memutar
tubuhnya dua kali di udara, lalu manis sekali mendarat di tanah tidak jauh dari
benteng Istana Randukara.
"Hik hik hik...!"
Suara tawa mengikik terdengar.
"Setan Putih...," desis Rangga mengenali perempuan tua yang kini berdiri tegak
di hadapannya. Tangan kanan perempuan tua itu menjulur ke depan memegangi ekor seekor ular
belang benwarna kuning dan hitam. Ular itu menegang kaku seperti sebatang
tongkat kayu. Namun lidah yang bercabang menjulur bergetar keluar, menandakan
kalau ular itu masih hidup.
"Huh...! Untung saja aku cepat melihat," desis Rangga dalam hati.
Memang, kalau saja tadi Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menarik serangannya,
pasti ular belang yang pasti beracun itu bakal mematuk tangannya. Rangga
menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak.
"Apa yang kau lakukan di istana ini, Pendekar
Rajawali Sakti..."!" sentak Setan Putih dengan nada suara yang dingin
menggetarkan. "Kau sendiri, apa yang dilakukan di sini?" Rangga malah balik bertanya.
"Aku yang bertanya padamu, Bocah!" sentak Setan Putih gusar.
"Aku juga berhak bertanya," Rangga terus membalikkan.
Setan Putih menggeram gusar.
"Aku sering mendengar sepak terjangmu, Setan Putih. Rasanya tidak mungkin kau
hanya sekadar lewat di sini," kata Rangga, agak sinis nada suaranya.
"Itu bukan urusanmu, Bocah!" bentak Setan Putih semakin berang.
"Tentu saja jadi urusanku, jika kau berhubungan dengan Prabu Sarajingga,"
terdengar tenang nada suara Rangga.
"Keparat! Rupanya kau memata-mataiku, heh"!"
geram Setan Putih semakin berang. Rangga mengangkat pundaknya sedikit.
"Kau harus mampus, Bocah Keparat...!" desis Setan Putih. "Hiyaaat... ! "
Seketika itu juga Setan Putih melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan
kecepatan bagai kilat. Namun terjangan perempuan tua berbaju putih itu memang
sudah diduga. Sehingga manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti mengegoskan
tubuhnya ke samping. Dan memang serangan si Setan Putih tidak sampai mengenai
sasaran. Namun perempuan tua itu kembali menyerang dahsyat. Untung Rangga terus berkelit
manis sekali. Pendekar Rajawali Sakti jelas mempergunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib', sehingga sukar bagi si Setan , Putih untuk
menyarangkan pukulan maupun
tendangannya. Padahal ular belangnya sudah dipergunakan sebagai senjata yang
sangat ganas dan berbahaya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan Rangga sendiri entah sudah menghabiskan
berapa jurus. Namun pertarungannya melawan si Setan Putih masih terus
berlangsung sengit sekali. Kegelapan malam dan dinginnya udara, tidak
menghalangi pertarungan ihi.
Mereka bergerak semakin menjauhi tembok benteng Istana Randukara. Dan ini memang
disengaja oleh Pendekar Rajawali Sakti, agar tidak menarik perhatian orang.
Hingga tanpa disadarl, mereka sudah berada di tepi sebuah hutan yang cukup lebat
dan menghitam pekat. Karena, cahaya bulan yang mengintip dari balik awan, tidak
kuasa menerangi hutan itu.
Pertarungan Itu semakin kelihatan dahsyat. Tempat-tempat yang dijadikan ajang
pertarungan sudah tidak beraturan lagi bentuknya. Pohon-pohon bertumbangan, dan
bebatuan pecah berserakan terkena pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi yang
tidak menemui sasaran.
Wusss! Sambil melompat mundur dua langkah, tiba-tiba saja si Setan Putih melemparkan
ularnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Lemparannya begitu cepat, sehingga
Rangga tidak sempat lagi menghindar karena jaraknya begitu dekat. Dan dengan
cepat sekali, Pendekar Rajawali Sakti menyatukan telapak tangannya, menangkap
ular belang itu.
Tap! "Hesss... !"
Ular belang itu mendesis keras dan ekornya menggeliat-geliat. Sementara
kepalanya berada di
dalam jepitan tangan Pendekar Rajawall Sakti. Hanya sedikit saja kepalanya
menyembul keluar. Rangga menatap ular itu dalam-dalam.
"Kau sudah melanggar peraturan Satria Naga Mas, Belang..." desis Rarigga.
Ular belang itu langsung tidak bergerak. Tampak sinar matanya seketika meredup
mendengar suara Pendekar Rajawali Sakti yang mendesis bagai suara ular. Saat
itu, Rangga memang menggunakan ilmu yang diberikan Satria Naga Emas. Suatu ilmu
yang sangat langka, karena bisa berbicara dengan jenis ular yang hidup di bumi
ini. "Pergi kau! Mohon ampun pada rajamu!" sentak Rangga seraya melemparkan ular itu
ke tanah. Ular belang hitam kuning itu menggeliat sedikit begitu berada di atas tanah,
lalu mendesis seraya mengangkat kepalanya. Sedangkan Rangga menatap-nya dengan
tajam. Perlahan kemudian, ular belang Itu merayap pergi.
"Keparat...!" geram Setan Putih yang menyaksikan ular kebanggaannya tidak mampu
berbuat sesuatu pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Dia ingin kebebasan, Setan Putih," ujar Rangga seraya tersenyum sinis.


Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Karang Hawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belang, kembali...!" bentak Setan Putih.
Tapi ular belang itu hanya menoleh sedikit pada si Setan Putih, kemudian terus
merayap masuk ke dalam semak. Melihat kenyataan ini, si Setan Putih semakin
marah saja. Belum pernah didapatkan lawan seperti Pendekar Rajawali Sakti,
sehingga ular kebanggaannya tidak lagi mau menuruti perintahnya.
Bahkan meninggalkannya begitu saja.
"Keparat kau, Pendekar Rajawali Sakti...," geram Setan PutIh mendesis sambil
menahan kemarahan
yang meluap. Setan Putih langsung menggerakkan tangannya di depan dada. Kaki kanannya ditarik
ke samping, lalu membuat putaran dengan kaki kanannya. Dari bibirnya yang
keriput. Tampak kedua bola matanya memancarkan sinar merah, kemudian pelahanlahan seluruh tubuhnya mengeluarkan cahaya merah menyala bagai terbakar.
"Hm...!" Rangga menggumam kecil.
Pendekar Rajawali Sakti itu tahu kalau si Setan Putih sudah bersiap mengerahkan
aji kesaktiannya.
Melihat seluruh tubuh perempuan tua itu sudah memancarkan sinar merah, Rangga
tidak ingin bermain-main dan menganggapnya enteng. `
"Hep...!"
Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan ilmu kesaktian juga. Dia tidak lagi
tanggung-tanggung saat merasakan adanya udara panas yang menyelimuti seluruh
udara. lni pasti akibat dari aji kesaktian yang dikerahkan si Setan Putih.
Sementara Rangga, tengah mempersiapkan aji 'Cakra Buana Sukma', yang telah
dikuasai Pendekar Rajawali Sakti itu dengan sempurna. Sehingga Pendekar Rajawali
Sakti tidak lagi memerlukan pedang pusakanya untuk mengerahkan ajian itu.
"Sekarang kau pasti mampus, Bocah!" dengus Setan Putih.
Setelah berkata demikian, Setan Putih langsung melesat cepat menerjang Pendekar
Rajawali Sakti.
Pada saat yang sama, pemuda berbaju rompi putih itu menghentakkan kedua tangan
yang berselimut cahaya biru ke depan.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!" teriak Rangga keras menggelegar.
Satu benturan keras terjadi antara dua pasang telapak tangan yang terbuka lebar.
Benturan itu menimbulkan ledakan keras menggelegar dahsyat.
Tampak tubuh si Setan Putih terpental balik ke belakang, sehingga dirinya tidak
bisa dikendalikan.
Tubuhnya meluruk deras, menghantam beberapa pohon hingga bertumbangan.
Sementara Rangga juga sempat terlempar ke belakang, dan jatuh bergulingan
beberapa kali. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat bangkit berdiri. Pada saat yang
sama Setan Putih juga sudah berdiri, meskipun limbung. Dari sudut bibimya
mengucurkan darah kental agak kehitaman.
"Hm.... Ilmu yang dimiliki perempuan tua ini pasti memiliki watak yang' sama
dengan aji 'Cakra Buana Sukma'," gumam Rangga dalam hati.
Aji 'Cakra Buana Sukma' memang tidak akan bisa menyerap kekuatan tenaga lawan,
jika lawannya menggunakan ilmu dengan sifat yang sama. Itulah kelemahan dari aji
'Cakra Buana Sukma' yang belum bisa ditutupi Pendekar Rajawall Sakti. Dengan
ilmu yang berwatak sama, jelas akan merugikan diri sendiri jika terus
dipergunakan. Dan Rangga sangat menyadari betul hal itu. Maka segera
dipersiapkan ajian lainnya, begitu melihat si Setan Putih kembali mempersiapkan
ajian yang serupa. Namun Rangga bisa memastikan kalau tingkatannya tentu lebih
tinggi lagi. "Hm.... Akan kucoba aji 'Batara Naga'," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti segera merapatkan kedua tangannya di depan perut, dan
tangan kirinya berada di bawah telapak tangan kanannya. Sebentar napasnya
ditarik dalam-dalam, kemudian dirapalkannya aji 'Batara Naga'. Satu aji kesaktian yang diperolehnya dari Satria Naga
Emas. Dan belum pernah digunakan dalam pertempuran (Untuk mengetahui asalusulnya, silakan simak serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah "Asmara
Maut"). Pelahan-lahan namun pasti, telapak tangan Rangga yang menyatu rapat di depan
perut, memancarkan sinar kuning keemasan. Sinar itu semakin jelas terlihat, di
antara sela-sela jari tangan dan lipatan telapak tangan yang menyatu rapat.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja si Setan Putih berteriak keras.
Dan seketika itu juga, perempuan tua berbaju putih itu melompat cepat. Sementara
kedua tangannya terbuka, terentang lurus ke depan.
Tepat ketika si Setan Putih berada di udara, Rangga cepat menghentakkan
tangannya, men-dorong ke arah perempuan tua itu.
"Yeaaah...!" seru Rangga keras menggelegar.
Tampak seberkas cahaya kuning keemasan yang berbentuk bulat pipih meluncur deras
dari kedua telapak tangan yang seketika terbuka begitu dihentakkan kuat-kuat.
Sinar kuning keemasan itu meluncur deras menghantam si Setan Putih yang saat itu
tengah meluncur di udara deras sekali.
Glarrr! Satu ledakan keras terdengar dahsyat sekali, begitu sinar kuning keemasan
menghantam tubuh si Setan Putih.
"Aaa...!" terdengar suara jeritan panjang melengking tinggi.
Tampak tubuh si Setan Putih terpental balik, langsung jatuh keras menghantam
tanah. Perempuan tua itu mengerang dan menggelepar di tanah. Seluruh
tubuhnya mengepulkan asap tipis. Tak berapa lama kemudian, tubuh perempuan tua
itu tidak ber-gerak-gerak lagi.
"Oh...," Rangga mengeluh panjang tatkala melihat keadaan tubuh si Setan Putih.
Seluruh tubuh perempuan tua itu membengkak, sehingga membentuk benjolan-benjolan
sebesar telur ayam. Benjolan-benjolan itu kemudian pecah, menyemburkan cairan
merah bercampur kuning kehijauan. Pelahan-lahan kemudian, seluruh tubuh
perempuan tua itu mencair, dan akhirnya tinggal seonggok tulang saja yang
tergeletak di atas genangan daging yang mencair bercampur darah.
Sementara itu, Rangga bergerak mundur beberapa langkah. Sedangkan matanya tidak
berkedip memandangi tubuh si Setan Putih yang kini tinggal tulangbelulang saja.
Sungguh dahsyat aji 'Batara Naga' yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga sendiri tidak menyangka kalau akan seperti itu akibatnya pada manusia.
Sangat dahsyat dan mengerikan hasilnya.
"Maaf, Nyai. Aku terpaksa membunuhmu," ucap Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi onggokan tulang si Setan Putih. Kemudian
tubuhnya berbalik dan melangkah pergi. Namun baru beberapa langkah berjalan,
ayunan kakinya terhenti. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti itu tercenung
dengan kening sedikit berkerut.
"Aku seperti mendengar suara pertarungan...,"
desis Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Kemudian
pandangannya lurus tertuju ke arah kanan. Kembali keningnya berkerut
dan matanya agak menyipit. Di sebelah kanannya terdapat sebuah gunung yang
menjulang angkuh menghitam pekat.
"Pandan Wangi...!" sentak Rangga agak mendesis.
Pendekar Rajawali Sakti langsung teringat pada Pandan Wangi begitu mengetahui
gunung itu adalah Gunung Karang Hawu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga
segera melesat ke arah gunung itu. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh
yang di miliki. Sehingga, dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap
tak berbekas lagi.
*** 8 Sementara itu di Lereng Gunung Karang Hawu sebelah Timur, tengah terjadi
pertarungan sengit antara Pandan Wangi melawan seorang wanita berbaju hijau yang
wajahnya tertutup cadar tipis berwarna hijau pula. Rupanya pertarungan itu sudah
mencapai taraf tinggi. Ini bisa dilihat dari jurus-jurus yang digunakan.
Tak jauh dari arena pertarungan itu, terlihat sesosok tubuh berbaju putih
tergeletak di tanah. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Kelopak matanya
terpejam. Gerakan halus pada dadanya menandakan kalau laki-laki berusia muda itu
masih hidup. "Pandan, awas...!"
Tiba-tiba terdengar seruan keras, tepat ketika ujung selendang kuning wanita
berbaju hijau yang wajahnya tertutup cadar menyambar ke arah dada Pandan Wangi.
Mendengar seruan keras dan tiba-tiba itu, Pandan Wangi cepat-cepat mengebutkan
kipas-nya yang terbuka ke depan dada.
Plas! "Ikh...!" Pandan Wangi tersentak.
Bergegas gadis itu melompat mundur dua tindak.
Dari sudut ekor matanya, sempat terlihat kalau Rangga sudah berada di tempat
ini. Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat, dan tahu-tahu sudah berdiri di
samping Pandan Wangi.
"Kau periksa Raden Dipa Pangga saja, Kakang.
Kelihatannya dia terluka cukup parah," kata Pandan
Wangi dengan napas agak tersengal.
"Bagaimana dia bisa berada di sini?" tanya Rangga.
"Dia bertarung lebih dulu. Aku terlambat datang,"
sahut Pandan Wangi cepat.
Rangga berpaling menatap Dipa Pangga yang tergeletak di tanah, kemudian beralih
pada wanita berbaju hijau yang mengenakan cadar. Selembar selendang berwarna
kuning, tergenggam di tangannya.
"Hati-hatilah," ujar Rangga.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja, kemudian melangkah mendekati wanita berbaju
serba hijau itu.
Si Kipas Maut menyadari kalau tenaga dalam yang dimilikinya berada di bawah satu
tingkat dibandingkan dengan wanita berbaju hijau yang dikenal berjuluk Kembang
Karang Hawu. Tapi hatinya tidak gentar sama sekali, meskipun sudah merasakan
akibat dari benturan senjata yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sementara itu Rangga sudah menghampiri Dipa Pangga yang tergeletak tak berdaya
di tanah. Pendekar Rajawali Sakti memeriksa keadaan Dipa Pangga, kemudian membawanya ke
tempat yang lebih teduh di bawah pohon berdaun rindang. Pada saat itu, Pandan
Wangi sudah kembali terlibat dalam pertarungan sengit melawan si Kembang Karang
Hawu. Kali ini Pandan Wangi mengeluarkan Pedang Naga Geni yang diperolehnya di Bukit
Setan. Karena, pedang pusaka inilah dia bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti
yang sekarang menjadi kekasihnya.
Dengan Pedang Naga Geni, Pandan Wangi
kelihatan semakin dahsyat saja jurus-jurusnya. Dan
pada jurus-jurus permulaan, tampak kalau si Kembang Karang Hawu agak kewalahan
juga membendung serangan-serangan yang dilancarkan si Kipas Maut. Namun setelah
lewat sepuluh jurus, wanita berbaju hijau itu mulai bisa meredam setiap serangan
yang dilancarkan Pandan Wangi.
"Hiyaaat...!" tiba-tiba saja si Kembang Karang Hawu berteriak keras menggelegar.
Pada saat itu tubuhnya melenting : ke udara, lalu cepat sekali selendang
kuningnya dikebutkan ke arah kepala si Kipas Maut. Serangan yang dilancarkan
wanita itu demikian cepat sekali, sehingga Pandan Wangi tidak memiliki
kesempatan lagi untuk menghindar.
"Yeaaah...!"
Tak ada pilihan lain lagi bagi Pandan Wangi. Cepat-cepat pedangnya dikibaskan
menyampok ujung selendang kuning yang meluruk deras mengancam kepalanya.
Rrrt... ! "Heh..."!"
Pandan Wangi terkejut bukan main. Ternyata mendadak saja selendang 'kuning itu
meliuk, dan langsung membelit pedangnya kuat-kuat. Dan sebelum gadis itu bisa
menyadari apa yang terjadi, mendadak merasakan ada satu sentakan kuat.
"Akh...!" Pandan Wangi terpekik.
Buru-buru pegangannya pada pedang itu dilepaskan. Kalau tidak, bukannya tidak
mungkin tangannya juga ikut terbetot buntung. Pedang Naga Geni yang berwarna
merah itu melayang ke udara terbelit ujung selendang kuning Kembang, Karang
Hawu. "Hiyaaa...
Sebelum Pandan Wangi bisa menyadari apa yang
terjadi, mendadak saja si Kembang Karang Hawu sudah meluruk deras ke arah si
Kipas Maut. Dua pukulan dan satu tendangan dilontarkan cepat, mengandung tenaga
dalam tinggi. Des! Bughk! "Akh..." lagi-lagi Pandan Wangi memekik keras.
Satu pukulan dan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi yang dilancarkan si
Kembang Karang Hawu tidak bisa dihindari lagi. Pandan Wangi terpental jauh ke
belakang, lalu keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah. Tubuhnya bergulingan
beberapa kali, dan baru berhenti setelah menghantam sebongkah batu yang cukup
besar. "Pandan...!" pekik Rangga terkejut melihat Pandan Wangi tergeletak dengan darah
mengalir dari bibirnya.
Rangga yang tengah berusaha menolong Raden Dipa Pangga, segera melesat ke arah
Pandan Wangi. Matanya berputar seakan-akan tidak percaya melihat gadis itu tergeletak tak
bergerak sedikit pun. Tampak pada dadanya tergambar telapak tangan hitam yang
menghanguskan bajunya.
"Keparat..!" geram Rangga marah.
Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya.
Wajahnya memerah dan matanya berkilatan tajam menahan kemarahan yang meluap.
Gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan yang meluap-luap. Sebentar matanya
melirik Pandan Wangi yang tergeletak di dekat batu.
"Perempuan iblis...! Kubunuh kau!" geram Rangga.
"Hiyaaat...!"
Seketika itu juga, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat bagaikan kilat
menerjang si Kembang Karang Hawu. Dua kali pukulan yang disertai pengerahan
tenaga dalam sempurna dilontarkan. Serangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu
cepat, membuat wanita berbaju hijau yang wajahnya tertutup cadar hijau itu jadi
terperangah. Namun dia cepat melompat ke samping, sehingga dua pukulan yang
dilepaskan Rangga hanya menghantam sebatang pohon yang tadi berada di belakang
si Kembang Karang Hawu.
Glarrr... ! Ledakan keras terjadi seketika bersamaan dengan hancurnya pohon yang cukup besar
itu. *** "Gila...!" si Kembang Karang Hawu tersentak kaget.
Pukulan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti memang luar biasa sekali.
Memang, tenaga yang dimilikinya sudah mencapai pada tingkatan yang sempurna.
Sehingga, pohon besar itu hancur berkeping-keping terkena pukulannya yang keras
dan dahsyat. Si Kembang Karang Hawu terkesiap juga melihat kedahsyatan pukulan
lawannya itu. Namun dia tidak mungkin lagi menghindari bentrokan ini, karena
Rangga sudah kembali menyerang cepat dan dahsyat.
"Hiya! Hiyaaa...!"
', "Ufs...!"
Beberapa kali Rangga melontarkan pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna. Dan beberapa kali pula, pukulannya hampir mengenai sasaran. Namun si
Kembang Karang Hawu, Hncah sekali masih bisa menghindar, meskipun jadi kewalahan
juga menghadapi serangan gencar yang datang bertubi-tubi itu.
Pertarungan berlangsung dahsyat sekali. Beberapa
kali terdengar ledakan keras menggelegar, setiap kali pukulan Rangga menghantam
batu atau pepohonan.
Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan sudah tidak karuan lagi bentuknya.
Pepohonan dan bebatuan berhamburan, pecah berantakan ke mana-mana. Tanah
terbongkar berhamburan menimbulkan kepulan debu yang bercampur asap dan kabut,
sehingga menambah pengapnya udara malam ini.
Namun pertarungan itu terus berlangsung semakin sengit saja.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Sementara beberapa kali si Kembang Karang Hawu
mampu memberi serangan balasan. Namun setiap kali melancarkan serangan, selalu
dapat dimentahkan dengan mudah oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Meskipun wanita bercadar hijau itu sudah mempergunakan selendang saktinya, tetap
saja tidak mampu membendung serangan Rangga yang tengah diliputi kemarahan itu.
Selendang saktinya seperti tidak memiliki arti sama sekali terhadap Pendekar
Rajawali Sakti.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga berseru keras. Maka seketika itu juga tubuhnya melenting
ke udara, lalu secepat kilat meluruk deras dengan kedua kakinya bergerak lincah
mengarah ke kepala si Kembang Karang Hawu.
"Edan...! Hih...!"


Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Karang Hawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Kembang Karang Hawu jadi kelabakan menghindari serangan kedua kaki Pendekar
Rajawali Sakti yang gencar. Bahkan tubuh Rangga berputaran cepat yang ditingkahi
kibasan tangan yang merentang lebar ke samping. Saat itu, Rangga memadukan dua
jurus sekaligus dalam serangannya. Jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' dan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Yeaaah...I"
Menghadapi dua gabungan jurus maut itu, si Kembang Karang Hawu tak bisa lagi
berbuat banyak.
Maka dengan cepat sekali tubuhnya melompat ke belakang sambil melontarkan
selendang ke arah dada Rangga yang berada di udara.
Wusss! "Yeaaah... !"
Bet! Cepat sekali Rangga mengibaskan tangannya sambil memutar tubuh bagai gasing.
Sementara tangan yang merentang kaku itu langsung menebas selendang kuning yang
meluncur deras ke arahnya.
Tangan yang lebih mirip pedang itu, membabat buntung selendang kuning kebanggaan
Kembang Karang Hawu itu.
"Heh...!" si Kembang Karang Hawu terperanjat melihat selendangnya buntung.
Dan sebelum wanita bercadar itu bisa menguasai keterkejutannya, mendadak saja
Rangga sudah meluruk deras sambil mencabut senjatanya. Seketika itu juga cahaya
biru menyilaukan memancar terang begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari
warangka. "Hiyaaa... !"
Bet! Wut! Si Kembang Karang Hawu jadi kelabakan menghindari serangan Pendekar Rajawali
Sakti. Beberapa kali kebutan pedang bercahaya biru itu hampir membelah tubuhnya,
namun wanita bercadar hijau itu masih bisa menghindar. Kali ini Rangga
mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus andalan
yang sangat dahsyat dan jarang sekali dikeluarkan jika tidak perlu sekali. Tapi
kini Pendekar Rajawali Sakti ingin cepat menyelesaikan pertarungan, disertai
luapan amarah yang menggelegak dalam dada.
"Uh...!" si Kembang Karang Hawu mulai merasakan akibat dari jurus yang
dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.
Jiwanya mulai tercabik, dan perhatiannya terpecah. Gerakan-gerakannya jadi tidak
beraturan lagi.
Semakin berusaha untuk memantapkan diri, semakin sukar jiwa dan perhatiannya
dikendalikan. Pelahan namun pasti, si Kembang Karang Hawu mulai merasakan
kepalanya pening dan matanya mengabur.
Dia seperti melihat Pendekar Rajawali Sakti terpecah menjadi dua..., tiga,
bahkan tents bertambah.
Seakan-akan dirinya sudah dikelilingi pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hiyaaa... !" mendadak saja Rangga berteriak keras menggelegar.
Dan seketika itu juga Pedang Rajawali Sakti dikebutkan ke arah dada si Kembang
Karang Hawu. Dalam keadaan jiwa dan perhatian terpecah, wanita bercadar hijau itu tidak bisa
lagi memastikan, dari mana dan ke mana arah serangan Pendekar Rajawali Sakti.
Sehingga.... Cras! "Aaa...!" si Kembang Karang Hawu menjerit melengking tinggi dan menyayat.
*** Si Kembang Karang Hawu terhuyung-huyung
sambil mendekap dadanya yang tertebas pedang Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat
itu, satu tendangan keras bertenaga dalam sempurna mendarat di perutnya. Tak pelak lagi,
wanita bercadar hijau itu terpental ambruk ke tanah dengan keras sekali. Kembali
dia memekik tinggi begitu tubuhnya menghantam tanah.
"Hiyaaa...!"
Saat itu Rangga sudah melompat dengan ujung pedang tertuju langsung ke dada yang
terbelah mengucurkan darah. Sementara si Kembang Karang Hawu sudah tidak
memiliki daya lagi untuk menghindar. Matanya hanya bisa dipejamkan, menunggu
ajal yang sebentar lagi akan menjemput.
"Rangga, jangan...!"
Tiba-tiba saja terdengar seruan keras, tepat ketika ujung pedang Pendekar
Rajawali Sakti berada di dada si Kembang Karang Hawu. Seketika itu juga Rangga
menghentikan gerakan pedangnya, dan langsung berpaling ke arah datangnya suara
keras tadi. "Dipa Pangga...," desis Rangga.
Tampak Dipa Pangga berjalan tertatih-tatih menghampiri sambil memegangi dadanya.
Pemuda itu langsung berlutut di samping si Kembang Karang Hawu. Dengan tangan
gemetar, pemuda itu melepaskan cadar yang menutupi wajah si Kembang Karang Hawu.
Tampak seraut wajah cantik terpampang di batik cadar berwarna hijau.
"Ningrum...," ujar Dipa Pangga dengan suara yang pelan.
Pelahan Rangga mengangkat pedangnya,
kemudian memasukkan pedang pusaka itu ke dalam warangka di punggung. Pendekar
Rajawali bakti melangkah mundur dua tindak. Sementara Dipa Pangga mengangkat
tubuh wanita yang ternyata Rara Ayu Ningrum, adik sepupunya sendiri.
"Kenapa kau lakukan ini padaku, Ningrum?" tanya Dipa Pangga dengan suara yang
lemah. Rara Ayu Ningrum tidak menyahut, tapi malah tersenyum saja dengan bibir yang
semakin memucat.
Cahaya matanya juga terlihat semakin redup.
Sementara dari dadanya terus mengucurkan darah segar. Keadaan si Kembang Karang
Hawu itu memang parah sekali.
Sementara itu Rangga beranjak mundur, lalu menghampiri Pandan Wangi yang masih
tergeletak tak bergerak sedikit pun juga. Sedangkan Dipa Pangga masih mencoba
bicara pada si Kembang Karang Hawu.
"Aku tidak mengerti maksud tindakanmu, Ningrum.
Kau adikku, aku menyayangimu. Kenapa malah memusuhiku...?" lirih sekali nada
suara Dipa Pangga.
Rara Ayu Ningrum tetap diam. Matanya yang semakin redup, tidak berkedip
memandangi wajah pemuda itu. Bibir yang memucat, bergerak-gerak lemah, seakanakan ingin mengucapkan sesuatu.
"Ningrum.... Apa yang membuatmu merasa dendam. Apa yang telah dilakukan ayahku
padamu?" tanya Dipa Pangga lagi.
"Dia..., dia telah membunuh kakakku," sahut Rara Ayu Ningrum tersendat suaranya.
"Oh...! Bukankah kakakmu sedang menuntut ilmu di..."
"Tidak, Kakang. Sudah setahun kakakku mati dibunuh ayahmu," potong Rara Ayu
Ningrum. "Tapi..., kenapa?" Dipa Pangga ingin tahu.
"Hanya kecelakaan...," tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang Dipa Pangga.
Cepat Dipa Pangga berpaling. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di belakang
pemuda itu sudah
berdiri seorang laki-laki tua mengenakan jubah kumal memegang tongkat yang tidak
beraturan bentuknya.
"Siapa kau?" tanya Dipa Pangga.
"Aku Malaikat Jari Delapan, sahabat ayahmu, Raden. Aku tahu persis kejadiannya
sehingga kakak Rara Ayu Ningrum tewas," sahut laki-laki tua yang ternyata memang
si Malaikat Jari Delapan.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Raden Dipa Pangga ingin tahu. Pemuda ini
memang tidak pernah diberitahu peristiwa yang menyebabkan kakak Ningrum tewas.
Terlebih lagi saat itu dia tengah menuntut ilmu.
"Waktu itu ayahmu mengajak seluruh anggota keluarganya berburu. Dan di hutan,
ayahmu tidak sengaja membidikkan panahnya hingga mengenai dada kakak Rara Ayu
Ningrum. Sejak itu, Sarajingga dan gadis ini menyimpan dendam. Tapi tidak
ditunjukkan sama sekali. Dan kematian ayahmu juga karena racun yang diberikan
Sarajingga dalam minumannya. Racun yang lemah dan tidak terasa cara kerjanya,
sehingga tidak ada yang mencurigai kematian ayahmu, Raden," jelas Malaikat Jari
Delapan. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Raden Dipa Pangga.
"Aku sahabat dekat ayahmu, Raden. Dan sebelum meninggal, beliau menceritakan
semuanya padaku.
Ayahmu tahu kalau dirinya diracuni, tapi tak kuasa untuk menolakkan racun yang
sudah merasuki jantungnya."
Raden Dipa Pangga memandang Rara Ayu
Ningrum kembali. Dan gadis itu juga memandangi pemuda yang masih menyangga
tubuhnya ini. "Kalau kau izinkan, aku akan merawat lukalukanya," kata Malaikat Jari Delapan menawarkan jasa.
"Apakah masih bisa diselamatkan?" tanya Dipa Pangga.
"Mudah-mudahan saja, selama Pendekar Rajawali Sakti masih bermurah hati," sahut
Malaikat Jari Delapan.
Dipa Pangga langsung memandang Rangga yang sudah berhasil menyadarkan Pandan
Wangi. Tampak Pendekar Rajawali Sakti itu memapah Pandan Wangi yang kelihatan
lemah menghampiri mereka. Pemuda berbaju rompi putih berhenti sekitar satu
batang tombak jaraknya di depan Raden Dipa Pangga.
"Jika kalian ingin menyembuhkannya, berikan hawa murni sedikit-sedikit selama
tujuh hari. Jangan biarkan darah mengalir ke lukanya," kata Rangga memberitahu
cara penyembuhan luka yang diderita si Kembang Karang Hawu.
"Kau akan ke mana?" tanya Raden Dipa Pangga.
"Aku akan menyembuhkan Pandan Wangi dulu,"
sahut Rangga. "Di mana?" tanya Raden Dipa Pangga lagi.
Rangga tidak menyahut.
"Rangga, sebaiknya bawa saja ke istana. Aku akan memberikan kamar khusus
untukmu," pinta Raden Dipa Pangga.
"Terima kasih...," ucap Rangga ingin menolak.
"Jangan kecewakan Raden Dipa Pangga, Pendekar Rajawali Sakti," selak Malaikat
Jail Delapan. Rangga tidak bisa menolak lagi, karena Raden Dipa Pangga terus meninggalkan
Lereng Gunung Karang Hawu itu. Rangga memapah Pandan Wangi, sedangkan Malaikat
Jari Delapan memondong tubuh Rara Ayu Ningrum yang selama ini dikenal berjuluk
si Kembang Karang Hawu.
"Kita lewat jalan rahasia saja," usul Raden Dipa Pangga yang berjalan di samping
Pendekar Rajawali Sakti.
"Untuk apa, Raden?" ujar Malaikat Jari Delapan.
"Aku tidak ingin Parnan Sarajingga mengetahui kejadian ini," sahut Raden Dipa
Pangga. "Tidak perlu khawatir, Raden."
"Hm. Apa maksudmu, Ki?" tanya Raden Dipa Pangga tidak mengerti.
"Di istana sudah terjadi penggulingan tahta. Dan Sarajingga tewas," Malaikat
Jail Delapan memberi tahu.
"Tewas...?" Raden Dipa Pangga terkejut.
"Bunuh diri, begitu bala tentaranya dapat dilumpuhkan. "
"Siapa yang memimpin makar itu?" tanya Raden Dipa Pangga.
"Panglima Kalawedi. "
"Oh...," desah Raden Dipa Pangga.
Pemuda itu tahu kalau Panglima Kalawedi memang sudah merencanakan makar untuk
menggulingkan kekuasaan Prabu Sarajingga. Panglima Kalawedi memang tidak pernah
menyukai ke-pemimpinan Prabu Sarajingga, namun selalu men-dukungnya. Terlebih
lagi. setelah niat Prabu Sarajingga untuk menyingkirkan Raden Dipa Pangga
diketahuinya. Walaupun itu dilakukan Prabu Sarajingga dengan halus dan pelahanlahan, seperti yang dilakukan pada ayah pemuda ini.
Sementara itu, Rangga memperlambat jalannya.
Dan tanpa ada yang menyadari, Pendekar Rajawali SaktI itu berjalan di belakang.
Lalu, di sat mereka semua lengah, mendadak saja Pendekar Rajawali
Sakti itu melesat pergi. Namun kepergiannya rupanya diketahui juga oleh Malaikat
Jar! Delapan. Dan orang tua itu hanya tersenyum saja.
"He... ! Ke mana Rangga?" sentak Raden Dipa Pangga begitu menyadari kalau Rangga
tidak berada di sampingnya.
"Sudah pergi," sahut Malaikat Jari Delapan.
"Pergi..." Kenapa?" tanya Raden Dipa Pangga seperti untuk dirinya sendiri.
"Mungkin merasa tidak ada lagi yang perlu dilakukan di sini, Raden."
"Tapi..., Pandan Wangi terluka. "
"Pendekar Rajawali Sakti bukan pendekar sembarangan, Raden. Dia pasti bisa
mengobati luka yang diderita Pandan Wangi. Ah, sudahlah..., memang itu sudah
wataknya. Watak seorang pendekar sejati, Raden. "
"Yaaah.... Sayang sekali, dia tidak bisa menyaksikan penobatanku," desah Raden
Dipa Pangga menyesali.
Sedangkan Malaikat Jari Delapan hanya tersenyum saja. Dia sendiri sebenarnya
merasa sudah terlepas dari kewajibannya. Kini tidak ada lagi yang perlu dijaga
dan dilindunginya. Amanat terakhir sahabatnya sudah dilaksanakan dengan baik,
yakni menjaga dan melindungi Raden Dipa Pangga dari maksud-maksud kotor manusla
berhati iblis. Tapi orang tua itu tidak ingin pergi begitu saja sebelum benarbenar melihat ketenteraman berlangsung di Istana Randukara.
SELESAI Pusaka Para Dewa 3 Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Senopati Pamungkas 29

Cari Blog Ini