Pendekar Rajawali Sakti 10 Pengantin Berdarah Bagian 2
orangku!" sahut Wira Perakin sombong.
"Tidak disangka, otakmu cerdas juga, Kakang," puji Galang Gembul.
"He... he... he...," Wira Perakin terkekeh senang.
"Asal saja kau jangan lupa, Kakang...," kata Galang Gembul lagi.
"Beres, kalau semuanya sudah selesai, kalian berempat pasti bisa ikut menikmati
kemulusan tubuh Wulan."
Lima orang itu lalu tertawa terbahak bahak sambil keluar dari pintu kamar
tahanan. Otak mereka yang hanya diisi oleh kenikmatan duniawi, sudah
membayangkan kemulusan tubuh Wulan saja. Tubuh yang sudah mereka incar berulang
kali! *** Ki Sukirah terus melangkahkan kakinya menyusuri
jalan berdebu menuju ke rumahnya. Bagi yang melihatnya, langkah kaki Ki Sukirah
sepertinya langkah yang sia-sia.
Karena semua orang tahu kalau rumahnya kini tinggal reruntuhan puing berdebu.
Tapi Ki Sukirah tak peduli, sepotong perasaan dan hatinya seperti masih
tertinggal di sana. Dan dia terus melangkahkan kakinya... tak peduli lagi dengan
ancaman Wira Perakin untuk mencari anak dan istnnya.
Pikiran dan otak tua Ki Sukirah tak menyadari kalau dirinya terus diikuti ke
mana saja kakinya melangkah. Ki Sukirah terus saja melangkah. Dia tertegun
melihat rumahnya yang tinggal puing puing hitam habis terbakar. Tak ada lagi
asap yang mengepul, seperti hati dan perasaannya yang mati dan tak punya harapan
lagi untuk melanjutkan perjalanan hidupnya.
Jauh dari tempat Ki Sukirah berdiri, tampak Rangga dan Pandan Wangi sedang
memperhatikan laki-laki tua yang sedang dirundung malang itu.
"Kau yakin, laki-laki itu Ki Sukirah?" tanya Pandan Wangi.
"Ya, aku pemah melihatnya sekali. Bahkan sempat menolongnya waktu itu," sahut
Rangga "Aku tidak mengerti, kenapa Wira Perakin membebas-kannya," gumam Pandan Wangi.
"Manusia licik seperti Wira Perakin punya seribu satu cara untuk memenuhi
nafsunya," sahut Rangga pelan.
Pandan Wangi mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Dia melihat beberapa orang dengan jarak terpisah juga tengah
mengawasi Ki Sukirah. Meskipun mereka tampak seperti penduduk biasa, namun mata
gadis itu cukup jeli untuk mengetahui ada senjata tersembul di balik baju
mereka. "Kau benar, Kakang. Ki Sukirah tidak dilepaskan begitu saja," kata Pandan Wangi.
"Kau melihat mereka juga, Pandan?"
"Ya, mereka semua bersenjata."
"Kalau begitu, kau awasi mereka dari sini."
"Kau mau ke mana?"
"Memancing mereka."
Rangga terus melangkah tenang menuju ke arah Ki Sukirah yang masih berdiri
mematung memandangi puing puing rumahnya. Pandan Wangi mengamati sekitar dua
puluh orang yang menyebar di berbagai tempat Tampak pula olehnya seorang lakilaki tua mengenakan jubah kuning gading turut mengawasi Ki Sukirah. Dari jarak
yang agak jauh terlihat gambar seekor kala hitam di tangan kanannya.
Sementara itu Rangga semakin dekat dengan Ki
Sukirah. Kewaspadaannya pun tak pernah lepas pada orang-orang yang tengah
mengawasinya Rangga berdiri di belakang Ki Sukirah, tangannya menepuk lembut
pundak lelaki tua itu.
"Oh!" Ki Sukirah terkejut
"Ssst ," Rangga memberi isyarat untuk bersikap biasa.
Ki Sukirah mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Begitu matanya melihat laki-laki tua berjubah kuning gading, langsung dia
mengerti isyarat Rangga. Dia kenal laki-laki itu, dialah Galang Gembul. Tidak
jauh dari Galang Gembul, tampak Kebo Rimang dan Demung Pari.
"Kau dijadikan pancingan oleh mereka, Ki. Sebaiknya jalan terus menuju hutan,
biar di sana aku membereskan mereka," bisik Rangga pelahan.
"Bagaimana keadaan istri dan anakku?" tanya Ki Sukirah.
"Mereka baik-baik saja," sahut Rangga.
"Oh, syukurlah," desah Ki Sukirah lega.
"Mari aku antar kau mencari anak dan istrimu," kata Rangga sengaja agak keras,
untuk memancing reaksi orang-orang yang tengah menguntit.
"Apakah jauh dari sini?" tanya Ki Sukirah juga dengan suara sedikit keras.
"Cukup jauh juga, mereka di tempat yang aman."
Ki Sukirah tersenyum lebar, dia melangkah di samping Pendekar Rajawali Sakti
itu. Perasaannya benar-benar tenang sekarang, dia yakin kalau istri dan anaknya
dalam keadaan selamat dan tenang di tempat yang aman. Dia juga tahu kalau Rangga
sekarang bukan mengajak ke tempat istri dan anaknya berada.
Pancingan Rangga memang tepat. Orang-orang
suruhan Wira Perakin mengikuti ke mana Ki Sukirah dan Rangga pergi. Sedangkan
Pandan Wangi juga mulai mengikuti dari jarak yang cukup jauh.
Selama dalam perjalanan, Rangga terus berbicara dengan suara agak keras. Ki
Sukirah menanggapi semua pembicaraan Pendekar Rajawali Sakn ini dengan mimik
serius. Padahal pembicaraan itu untuk memancing mereka yang terus mengikuti.
Rangga tersenyum dalam hati karena akalnya cukup mengena tanpa hambatan sedikit
pua *** Matahari sudah condong ke Barat ketika Rangga dan Ki Sukirah memasuki hutan.
Mereka terus berjalan semakin masuk ke dalam hutan yang lebat. Hingga pada saat
yang tepat, secepat kilat Rangga menyambar tubuh Ki Sukirah.
Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak, sehingga tahu tahu sudah
lenyap dari pandangan mata para penguntitnya.
Melihat buruannya hilang, Galang Gembul langsung melompat cepat. Kebo Rimang dan
Demung Pari juga berbuat sama Mereka benar-benar kaget, karena Rangga dan Ki
Sukirah menghilang tanpa seorang pun di antara mereka melihatnya!
"Kurang ajar! Ke mana mereka pergi?" geram Galang Gembul.
Sementara itu, sekitar dua puluh orang lainnya sudah sampai di tempat Galang
Gembul berada. Mereka semua juga kebingungan, karena orang yang mereka kuntit
mendadak hilang tak berbekas. Galang Gembul memberi perintah untuk mencari di
sekitar tempat mereka berdiri.
"Jangan-jangan ini cuma jebakan saja, Gusti," kata Kebo Rimang menduga-duga
"Hm...," Galang Gembul menggumam tak jelas.
"Aku menduga mereka tidak menuju ke tempat yang sebenarnya," kata Demung Pari
menyambung. Galang Gembul tersentak begitu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Tempat di mana mereka berada dikelilingi batu baru
yang curam. Segera dia menyadari kalau mereka sengaja digiring dan dijebak.
Mendadak terdengar suara gemuruh. Lalu disusul
dengan bergetarnya tanah yang mereka pijak. Dan belum lagi mereka sempat
berpikir, di sekeliling mereka telah berguguran baru batu dari atas tebing.
Begitu cepatnya kejadian itu berlangsung, hingga Galang Gembul tak sempat lagi
memberi peringatan. Batu-batu berguguran menghujani orang-orang yang berada di
bawahnya. Jerit kematian menggema saling bersambut dengan suara gemuruh batu batu yang
meluncur dari atas tebing.
Galang Gembul berlompatan menghindari batu batu itu.
Kebo Rimang dan Demung Pari juga tak kalah sibuknya.
Mereka langsung mengeluarkan senjatanya masing masing menghalau setiap batu yang
meluncur ke arah mereka.
Akibatnya sungguh mengerikan Semua pengikut dan kaki tangan Wira Perakin tewas
mengenaskan. Mayat-mayat mereka menggeletak mengerikan. Mereka tewas dengan
kepala dan tubuh yang tertindih batu batu. Tinggal Galang Gembul, Kebo Rimang
dan Demung Pari yang masih bertahan. Kebga orang itu pun tampak kepayahan.
"Setan...!" Galang Gembul memaki keras.
Muka laki-laki yang benubah kuning gading itu merah padam melihat dua puluh
orang-orangnya tewas tanpa mampu membalas. Sementara Kebo Rimang dan Demung Pari
semakin waspada dengan senjata di tangan. Suasana di tempat itu mendadak sepi.
"Keluar kau, Setaaan...!" teriakan Galang Gembul menggema keras.
'Tidak perlu berteriak-teriak, Kakek Tua! Aku di sini!"
sahut sebuah suara bernada tenang.
Galang Gembul, Kebo Rimang dan Demung Pari tersentak kaget. Tahu tahu Rangga sudah berdiri di atas sebuah batu besar. Di
samping Pendekar Rajawali Sakb itu, berdiri Pandan Wangi dengan kipas baja
putihnya di tangan.
"Dia yang selalu menolong Ki Sukirah, Gusti," ucap Kebo Rimang memberitahu.
"Hm..., jadi kau rupanya yang telah membunuh orang-orangku, heh!" dengus Galang
Gembul. "Benar!" sahut Rangga tenang. Nada suaranya mengandung tantangan yang
menyakitkan. "Kurang ajar! Kau sudah bosan hidup rupanya. Anak Setan!" geram Galang Gembul
sengit "Kita lihat saja siapa yang bosan hidup...?"
"Monyet! Hiyaaa...!"
Galang Gembul tidak bisa lagi menahan amarahnya.
Dia langsung melompat menerjang Rangga. Pertarungan sengit pun tak bisa
dihindari lagi. Rangga melayani serangan Galang Gembul dengan jurus-jurus
andalannya. Sedangkan Galang Gembul sudah menghunus senjatanya yang berupa golok besar
beruarna hitam pekat
Wut, wut, wut! Galang Gembul semakin bernafsu, setiap serangannya dimentahkan di tengah jalan
oleh Rangga. Sudah hampir seluruh kemampuannya dia kerahkan, tapi belum juga dia
bisa menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Galang Gembul jadi semakin
kalap dan merasa dipermainkan, dia pun segera mengeluarkan ilmu kesaktiannya
yang ter-dahsyat!
"Hih.. !" Rangga terkesiap juga melihat ilmu itu.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Satu ajian andalannya yang digunakan terhadap lawan tangguh. Sekejap saja kedua
tangan Rangga memancarkan cahaya biru menyilaukan mata.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'!" teriak Rangga.
Bersamaan dengan itu, tubuh Galang Gembul melompat cepat meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Tangan Rangga terangkat naik, dan menerima kedua tangan Galang Gembul yang
menjulur ke depan.
Ledakan keras terdengar begitu kedua tangan itu saling beradu Rangga tidak
bermain-main lagi, dia langsung mengerahkan tingkat akhir dan aji 'Cakra Buana
Sukma'. Tubuh Galang Gembul terpental kencang ke belakang begitu kedua tangannya
membentur tangan Rangga.
Sedang Pendekar Rajawali Sakti itu tetap berdiri tegak tak bergeming sedikit
pun. Galang Gembul meluncur deras membentur dinding
batu cadas dengan keras. Begitu kerasnya, hingga dinding batu itu bergetar dan
berguguran! Tak ampun lagi, batu batu yang berguguran itu menimpa tubuh Galang
Gembul, hingga seluruh tubuhnya tak ada yang terlihat lagi. Galang Gembul tewas
seketika "Mau lari ke mana kau! Hiyaaa...!" bentak Pandan Wangi yang sejak tadi mengawasi
Kebo Rimang dan Demung Pari.
Kebo Rimang terkejut setengah mati, buru-buru dia mengibaskan pedangnya ke arah
bayangan biru yang menerjangnya. Namun Kebo Rimang jadi tersentak begjtu
pedangnya beradu dengan benda keras bertenaga dahsyat.
Tangan Kebo Rimang bergetar hebat, dan pedangnya nyaris terlepas dari tangan.
Belum sempat dia menyadari apa yang barusan terjadi, mendadak sebuah tendangan
geledek meng-hantam dadanya. Kebo Rimang mengeluh pendek, dan tubuhnya
sempoyongan terdorong ke belakang. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu langsung
menjatuhkan dirinya begitu datang serangan benkumya yang sangat cepat bagai
kilat. Bret! "Akh...!" Kebo Rimang memekik tertahan.
Tanpa diduga sama sekali, kipas baja putih milik Pandan Wangi merobek bahu kiri
Kebo Rimang. Darah bercucuran dari luka yang panjang dan dalam di bahu kiri.
Kebo Rimang meringis merasakan perih pada bahunya yang terluka. Pandan Wangi
berdiri tegak dengan kipas baja putih terbuka di depan dada.
"Kau lebih baik mati, Setan!" geram Pandan Wangi sengit.
Pandan Wangi lalu berteriak nyaring dan bergerak cepat seraya mengebutkan kipas
saktinya. Kebo Rimang hanya bisa mendelik. Mendadak dia merasakan sesuatu yang
sangat sangat keras menusuk tubuhnya. Tanpa sempat bersuara sedikit pun, Kebo
Rimang langsung tewas saat itu juga.
Pandan Wangi berdiri sejenak memandang tubuh Kebo Rimang yang tergeletak tanpa
nyawa itu. Dia baru menoleh kebka merasakan tepukan lembut di pundaknya.
"Kenapa kau biarkan satunya lolos?" tanya Pandan Wangi.
"Biar dia memberitahu pimpinannya," sahut Rangga tenang.
"Huh! Tanganku rasanya gatal jika melihat kejahatan di depan mata," dengus
Pandan Wangi. "Tapi tidak seharusnya kau berlaku begitu sadis."
"Orang-orang seperti mereka tidak perlu dikasih hati."
Rangga cuma tersenyum. Belakangan ini dia memang lebih arif pada lawannya,
seringkali dia membiarkan lawannya pergi jika dianggapnya sudah tak berdaya
menghadapi dirinya. Kecuali kalau lawannya benar-benar telah berbuat kejahatan
di luar batas "Bagaimana kedaan Ki Sukirah?" tanya Pandan Wangi.
"Mereka sudah berkumpul di gubuk Dimas," sahut Rangga.
"Begitu cepat.."!" Pandan Wangi merasa heran.
"Tidak jauh lagi dari sini, kan?"
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Dia seolah baru tahu siapa Rangga. Jarak
dari tempat mereka berada sekarang sebenamya cukup jauh dan harus melewati
tebing-tebing berbaru untuk mencapai gubuk Dimas. Tapi bagi Rangga hal itu
bukanlah menjadi soal.
"Ayo...." ajak Rangga.
Baru saja mereka hendak melangkah, mendadak muncul Dimas dari balik tebing batu
yang tinggi. Rangga dan Pandan Wangi mengurungkan niatnya untuk
meninggalkan tempat itu. Dimas menghampiri kedua pendekar muda itu Tiba-tiba ia
sangat terkejut melihat gambar kala hitam pada salah satu sosok mayat itu!
Gambar yang mengingatkannya kembali pada peristiwa yang menimpa kakak
perempuannya lima belas tahun yang lalu. Dimas seolah tak percaya pada
penglihatannya, matanya terus menatap mayat Galang Gembul.
"Rupanya mereka ada di sini!" Dimas seperti bergumam. "Huh! Wira Perakin,
rupanya kau dalang dari semua ini!" geram Dimas seraya bangkit berdiri.
"Dimas...," panggil Pandan Wangi pelan.
Dimas menoleh, memandang kedua pendekar yang
berdiri di dekatnya. Sinar matanya begitu tajam dan berapi-api. Api dendam yang
bersemayam bertahun-tahun di hatinya, kini kembali berkobar begitu melihat salah
seorang yang memperkosa dan membunuh kakaknya ternyata ada di sini!
"Ada apa denganmu, Dimas?" tanya Pandan Wangi.
"Sekarang saatnya biar aku yang membunuh mereka!"
dengus Dimas sedikit tersengal.
Pandan Wangi memandang Rangga tak mengerti.
Keduanya lalu hampir berbarengan menoleh ke arah Dimas. Pelahan-lahan keduanya
mendekat. lalu mengajak Dimas untuk menjauhi tempat itu.
Mulanya Dimas merasa enggan, tapi teringat akan jasa Rangga dan Pandan Wangi,
akhirnya dia pun menceritakan semuanya. Menceritakan tentang nasib kakak
perempuannya yang malang. Menceritakan tentang nasib Ki Sukirah dan keluarganya.
Dan mengungkapkan dendam kesumat-nya pada orang-orang yang telah menoreh luka
panjang di hatinya.
"Hm..., kalau memang orang itu salah seorang yang membunuh kakakmu berarb masih
ada empat orang lagi,"
kata Rangga setengah bergumam.
"Ya, dan aku yakin mereka ada hubungannya dengan si tua bangka Wira Perakin,"
sahut Dimas. "Bagaimana kalau kita kembali ke desa?" usul Pandan Wangi.
"Untuk apa?" tanya Rangga.
"Membantu Dimas mencari orang-orang itu." sahut Pandan Wangi.
"Apa benar mereka pasti di sana?"
"Paling tidak, kita bisa menyelesaikan persoalan Wira Perakin!"
"Bagaimana, Dimas?" Rangga meminta pendapat pada yang berkepentingan.
"Aku percaya saja pada kalian berdua," sahut Dimas mulai tenang.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" sergah Pandan Wangi segera.
Pendekar Rajawali Sakti 10 Pengantin Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, kalau mau bergerak memang harus cepat!" timpal Rangga sambil beranjak
pergi. Dan tiga orang pemuda itu pun segera berjalan beriringan menuju sasaran
yang mereka cari!
*** 6 Wira Perakin menggeram hebat mendengar laporan
Demung Pari Galang Gembul, salah seorang kepercaya-annya bersama dua puluh
pengikut lainnya tewas oleh hanya tiga orang anak muda! Begitu juga dengan Arya
Mahesa, Cakala Pati dan Antasuro, sulit menerima kenyataan kalau Galang Gembul
dan kawan-kawannya begitu mudah dijebak.
"Ini tidak bisa didiamkan, Wira Perakin. Bocah setan itu harus mampus sebelum
menjadi dun untuk selamanya,"
kata Cakala Pari sengit
"Benar! Kita harus cepat membereskannya," sambung Arya Mahesa.
"Kau tahu, di mana Anak Setan itu berada?" tanya Wira Perakin pada Demung Pari.
"Di hutan sebelah Utara dari desa ini."
"Kau yaWn?" desak Antasuro.
"Rasanya bukan, Gusti. Tempat itu seperti perangkap.
Dikelilingi oleh bukit bukit batu yang mudah longsor. Kami terjebak di sana, dua
puluh orang tewas tertimbun batu longsor."
"Kurang ajar!" geram Wira Perakin.
"Apa rindakan kita selanjutnya, Wira Perakin"
"Pancingan sudah lolos tanpa mendapatkan hasil," kata Cakala Pari
Wira Perakin tidak menjawab. Pikirannya mendadak jadi buntu. Kekalahan demi
kekalahan telah menimpa pihaknya. Sudah banyak orang orang yang tewas hanya
karena tiga anak muda yang membantu Ki Sukirah. Wira Perakin seperti putus asa,
tidak tahu apa lagi yang mesb diperbuatnya, sedangkan wajah Wulan yang ayu
selalu mengganggunya sebap saat, dan dia merasa ditantang untuk mendapatkan
gadis itu. "Kalian cari setan setan itu! Pakai otak kalian sendiri!"
ucap Wira Perakin keras.
Wira Perakin beranjak pergi dari ruangan besar yang digunakan sebagai tempat
pertemuan ini. Cakala Pati, Arya Mahesa dan Antasuro hanya saling pandang.
Wira Perakin tidak peduli lagi apa yang akan dilakukan orangnya-orangnya. Dia
langsung masuk ke kamar
peraduannya. Di dalam kamar itu telah menunggu seorang perempuan muda dan tampak
genit. Wanita itu hanya melilitkan kain sutra tipis putih di tubuhnya.
Sementara itu jauh di luar rumah besar yang dijadikan tempat bnggal Wira
Perakin, tampak Rangga bersama Pandan Wangi dan Dimas tengah duduk-duduk di
dalam sebuah kamar penginapan. Sengaja Rangga membuka jendela kamar, agar bisa
mengamatj keadaan di luar. Dan bba bba terdengar pintu kamar diketuk dari luar.
Dimas bangkit berdiri dan melangkah menghampiri. Dia membuka pintu pelahan lahan
dan mengintip keluar, kemudian membukanya lebar-lebar. Seorang laki-laki tua
segera masuk ke dalam. Dimas segera menutup kembali pintu itu. Dia masih berdiri
di pintu yang sudah tertutup.
Rangga berdiri bersandar di samping jendela yang terbuka, sedangkan Pandan Wangi
duduk di kursi tidak jauh dari jendela.
"Ada yang ingin kau sampaikan, Ki Parung?" tanya Dimas.
"Benar. Ada tiga orang saudara Wira Perakin datang kemari tadi, mereka
menanyakan kalian bertiga," sahut Ki Parung, pemilik penginapan ini.
"Lalu, Ki Parung bilang apa?" tanya Dimas lagi.
"Aku katakan kalau kalian tidak berada di sini."
"Bagus," kata Pandan Wangi seraya bangkit mendekat.
"Ada sepuluh orang yang berjaga-jaga di penginapan ini Mereka dipimpin oleh
Demung Pari. Juga seluruh desa ini selalu diawasi. Wira Perakin sudah
memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap siapa saja yang dicurigai,"
tutur Ki Parung.
"Bagaimana, Kakang"' Pandan Wangi meminta
pendapat pada Rangga
"Kau pancing mereka keluar desa, aku dan Dimas akan menunggu di sana," Rangga
membuka suara. "Demung Pari sudah mengenaliku," sergah Pandan Wangi.
"Itu lebih bagus lagi. Kalau bisa, kau pancing tiga orang saudara Wira Perakin
itu, syukurlah bila dia sendiri ikut ter-pancing."
"Terlalu berbahaya...," gumam Dimas tidak menyetujul
"Benar!" sambung Ki Parung. "Nona sangat cantik, Wira Perakin tidak akan
nelepaskan wanita cantik begitu saja.
Mereka sangat liar dan buas pada perempuan-perempuan cantik! Bahaya sekali,
Nona!" "Dia bisa mengatasinya, Ki Parung. Kalian berdua tidak perlu khawatir," kata
Rangga sambil melirik Pandan Wangi.
"Justru kelemahan itu yang harus kita manfaatkan,"
sambung Pandan Wangi.
"Tapi...," Dimas merasa sayang kalau Pandan Wangi dijadikan umpan.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebelum mereka menjamah tubuhku kipas
mautku akan bicara lebih dulu,"
sergah Pandan Wangi cepat
"Nah! Sekarang bersiaplah," kata Rangga. "Kau segera ke batas desa sebelah
Timur, Dimas. Aku sendiri akan menjaga Pandan Wangi dari kejauhan. Terima kasih
atas bantuanmu, Ki Parung."
"Seharusnya aku atas nama penduduk desa ini yang mengucapkan terima kasih pada
kalian, karena orang-orang itu terlalu kejam dan menyengsarakan penduduk,"
balas Ki Parung.
Rangga tersenyum. Dimas membuka pintu, membiarkan Ki Parung keluar. Kemudian dia sendiri ikut keluar bersama lelaki tua
pemilik penginapan ini. Rangga memberi isyarat, dan Pandan Wangi langsung
melompat ke luar melalui jendela. Rangga mengikutinya seraya menutup jendela
kamar Itu. Pandan Wangi melenting berlompatan dari atap rumah yang satu ke atap rumah
lainnya, dan baru berhenti di atas tembok benteng rumah besar. Tampak beberapa
orang dengan senjata tersandang berjaga-jaga di sekitar tembok itu. Begitu
sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pandan Wangi, hingga tak
seorang pun yang mengetahui kehadirannya.
"Aku harus memancing Wira Perakin, itu yang paling penting dari pada yang
lainnya." gumam Pandan Wangi dalam hati.
Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu segera
melompat turun dari atas atap Namun begitu kakinya menjejak tanah, sebatang
tombak meluncur ke arahnya.
Pandan Wangi segera memiringkan tubuhnya, sehingga tombak itu lewat di samping
pinggangnya. "He... he... he..., rupanya ada kelinci cantik menyusup ke sarang macan," Wira
Perakin muncul dari balik pohon.
Pandan Wangi terkejut Dia tidak menyangka kalau kehadirannya bisa diketahui
dengan cepat oleh laki-laki tua yang masih tegap ini. Belum hilang rasa
terkejutnya, muncul lagi tiga orang laki laki yang sebaya dengan Wira Perakin.
"Hm...," Pandan Wangi bergumam pelan. Matanya melihat gambar kala hitam besar di
tangan mereka. "Pasti orang-orang ini yang dicari Dimas."
"Suiiit...!" tiba-tiba Wira Perakin bersiul nyaring.
Seketika itu juga bermunculan orang-orang dengan pedang terhunus. Mereka ratarata memegang senjata sejenis golok yang besar berkilatan dibmpa sinar matahan
Tampak Demung Pari dan Jaran Kedung ada di sini.
Pandan Wangi kaget begitu melihat orang-orang yang berjumlah sekitar dua puluhan
itu kini telah mengepung-nya. "He... he... he..., cantik sekali kelinci ini,"
kata Wira Perakin terkekeh. Bola matanya menatap liar penuh nafsu pada Pandan
Wangi "Hati-hati, Wira Perakin," bisik Cakala Pati mengingatkan.
"Aku tahu," sahut Wira Perakin, "tangkap dia!"
Orang-orang yang berjumlah tak kurang dari dua puluh orang itu segera melompat
maju ke depan. Gadis itu segera mencabut kipas mautnya dari ikat pinggang.
"Majulah kalian semua.'" dengus Pandan Wangi.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Orang-orang yang mengenakan seragam kuning
keemasan itu langsung berlompatan menerjang Pandan Wangi Pandan Wangi pun siap
siaga Dengan kipas maut di tangan, dia langsung mengamuk bagalkan singa betina
yang diganggu tidurnya Dan tak tanggung-tanggung lag}, Pandan Wangi langsung
mengeIuarkan jurus-jurus saktinya. Dalam waktu yang tak berapa lama, lima orang
sudah meregang kaku tak bernyawa. Lalu satu per satu orang-orang yang
mengeroyoknya bergelimpangan tersambar ujung kipas baja yang berkelebatan cepat
dan sulit dfikuti mata itu. Mereka memang bukan tandingan Pandan Wangi Dan dalam
waktu yang singkat pengeroyoknya hanya tinggal lima orang.
"Kurang ajar!" geram Wira Perakin melihat orang-orangnya nyaris terbabat habis.
Wira Perakin memerintahkan Demung Pari membekuk Pandan Wangi. Demung Pari segera
melompat sambil berteriak nyaring.
"Mundur...!"
Lima orang yang tersisa segera berlompatan mundur.
Pandan Wangi merintangkan kipas baja saktinya ke depan dada. Kedua bola matanya
tajam menatap Demung Pari yang sudah menghunus senjatanya berupa golok besar
berwarna hitam.
"Sebaiknya kau menyerah saja, Anak Manis. Percuma saja kau melawan," kata Demung
Pari "Jangan banyak omong! Ayo maju, kalau ingin kepalamu kupisahkan dari badan!"
sentak Pandan Wangi sengit Menyesal sekali, aku harus merobek mulutmu yang
indah," dengus Demung Pari menggeram.
Demung Pari melennng sambil mengibaskan goloknya ke arah Pandan Wangi. Gadis itu
memutar tangannya menghadang sabetan golok Demung Pari.
Trang! "Ikh!" Demung Pari kaget bukan main.
Buru-buru dia menarik goloknya. Seluruh persendian tulang lengannya terasa
nyeri. Dia benar-benar tidak menyangka kalau gadis ini memiliki tenaga dalam
yang tinggi juga. Demung Pari menggeram keras. Dia tak mau lagi menganggap
enteng lawannya.
"Kubunuh kau, Setaaan...!"
"Uts!"
*** Sementara itu Dimas yang menunggu di luar batas
desa sudah merasa tak enak hati. Sudah cukup lama dia menunggu, tapi Rangga dan
Pandan Wangi belum muncul juga. Dimas masih mengawasi jalan yang se harusnya
ditempuh Pandan Wangi untuk memancing Wira Perakin dan orang-orangnya keluar
sarang. Tapi jalan itu tetap saja terrrhat sepi, tak seorang pun terlihat
mebntasinya. Jantung Dimas seketika berdetak kencang begitu
melihat Rangga berlari-lari cepat ke arahnya. Pendekar Rajawali Sakti itu
bagaikan terbang, sebentar saja dia sudah berada di depan Dimas.
"Bagaimana...?" tanya Dimas tak sabar.
"Aku kehilangan jejak," sahut Rangga sambil mengatur napasnya.
"Maksudmu?" Dimas tak mengerti.
"Pandan Wangi berbelok arah, dia menyimpang dari rencana semula."
"Celaka!" seru Dimas.
"Kita tunggu saja beberapa saat di sini."
Dimas terbhat gelisah. Dan tiba-tiba terdengar derap langkah kaki kuda dipacu
cepat Tampak debu mengepul dari ujung jalan. Rangga dan Dimas siap siaga,
tapi.... "Ki Parung...," desis Rangga mengenalnya.
Rangga langsung melompat cepat diikuti Dimas. Kuda yang ditunggangi Ki Parung
meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi begitu
Rangga tiba-tiba menghadang jalannya. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti itu
cepat menarik tali kekangnya, hingga Ki Parung tidak jatuh.
Ki Parung bergegas turun dari punggung kudanya.
Wajah dan bajunya kotor, penuh debu yang bercampur pehih. Laki-laki tua pemilik
penginapan Itu tersengal-sengal saat menghampiri Rangga dan Dimas yang memegangi
tali kekang kuda.
"Ah, oh...!" Ki Parung masih tersengal napasnya.
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga sedikit cemas.
"Celaka! Gawat..!" sahut Ki Parung masih tersengal-sengal.
"Apa yang terjadi?" desak Dimas.
"Wira Perakin mengetahui rencana kita," suara Ki Parung mulai terdengar tenang.
"Bagaimana bisa begitu?" Rangga tidak percaya.
"Salah seorang pembantuku berkhianat, dia yang melaporkan rencana kita."
"Bajingan!" geram Dimas.
"Lalu, bagaimana dengan Pandan Wangi?" Rangga bertanya cemas.
"Aku tidak tahu, tapi semua orang-orang Wira Perakin ditarik pulang."
"Ini sangat berbahaya! Kemungkman besar Pandan Wangi pergi ke rumah itu," gumam
Dimas. Rangga terdiam. Memang bisa jadi Pandan Wangi ke rumah itu. Masalahnya jadi lain
sekarang, sudah pasti Wira Perakin mengetahui kehadiran Pandan Wangi. Tanpa
banyak bicara lagi, Rangga segera melompat meninggalkan tempat itu.
"Rangga...! Tunggu!" teriak Dimas seraya melompat mengikuti.
Ki Parung jadi melongo. Dia tertegun beberapa saat menyaksikan dua orang muda
yang berilmu tinggi itu berloncatan cepat bagai terbang. Dia segera sadar dari
rasa kagumnya, kemudian cepat-cepat naik ke atas punggung kuda. Kuda putih itu
pun segera digebahnya.
Sementara itu Dimas mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyusul langkah
Rangga. Tapi walaupun dia mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja dia
tertinggal jauh oleh Rangga yang tingkatan ilmunya jauh lebih tinggi.
"Rangga, tunggu...!" teriak Dimas terengah-engah sambil terus mengejanya.
Pendekar Rajawali Sakti itu tetap tidak mempeduli-kannya. Dia terus saja
berlompatan menuju rumah besar tempat tinggal Wira Perakin. Tempat di mana para
pengawal si Tua Bangka itu telah ditarik kembali ke sana!
Jika Pandan Wangi benar-benar pergi ke rumah itu, tentu keadaannya sangat
berbahaya sekali! Sama saja dia menerobos sarang macan yang sudah siap
menerkamnya! *** 7 Demung Pari kewalahan juga menghadapi Pandan Wangi.
Apalagi di tangan gadis itu kini tergenggam pedang pusaka Naga Geni. Pedang itu
memancarkan sinar merah yang berkelebatan mengurung tubuh Demung Pari. Dengan
dua senjata di tangan, lawannya itu kerepotan menghindan serangan serangan yang
cepat dan berbahaya dari Pandan Wangi.
Sudah puhihan jurus berlalu, dan tampaknya Pandan Wangi mulai berada di atas
angin. Gadis itu tak memberi kesempatan sedikit pun pada lawannya untuk balas
menyerang. Demung Pari tidak bisa berbuat banyak. Ruang geraknya semakin sempit,
beberapa kali dia harus jatuh bangun menghindari serangan yang datang begitu
cepat dan beruntun dari dua senjata Pandan Wangi.
"Hiyaaat..!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak keras.
Bersamaan dengan tubuhnya yang melenting tinggi ke udara, tangan kirinya
mengibas seraya merentangkan kipas baja putihnya. Buru-buru Demung Pari
mengangkat goloknya untuk melindungi kepala. Tanpa diduga sama sekali, Pandan
Wangi malah menuju bagian bawah.
"Mampus kau!" bentak Pandan Wangi keras.
Seketika itu juga pedangnya berkelebat cepat membabat perut Demung Pari. Demung
Pari mengeluh sejenak.
lalu tubuhnya menggelosor ke tanah. Orang-orang yang berada di sekitamya
bergumam ngeri melihat perut Demung Pari hampir terbelah dua. Pandan Wangi
berdiri tegak. Dia memasukkan kembali pedang pusakan ke dalam warangkanya di
punggung. Ketegangan menyelimuti suasana di tempat itu. Wira Perakin, Cakala Pati,
Antasuro dan Arya Mahesa terlihat menarik napas panjang. Dalam hati mereka
mengakui kehebatan Pandan Wangi.
Suasana hening. Pandan Wangi memandangi empat
orang yang berdiri berdampingan. Pandangan matanya berurutan menatap keempat
orang itu satu per satu. Gadis ini tahu, keempat orang di hadapannya tentu
memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari yang lainnya.
"Kuakui kau hebat! Tapi jangan senang dulu, kau belum menang," kata Wira Perakin
jujur memuji. Pandan Wangi hanya tersenyum sinis.
"Jaran Kedung!" panggil Wira Perakin.
"Hamba, Gusti," sahut Jaran Kedung membungkuk hormat. Dia melangkah maju dua
tindak. "Keluarkan algojoku!"
Pendekar Rajawali Sakti 10 Pengantin Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Segera, Gusti."
Jaran Kedung segera melangkah meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi tidak
mengertj maksud Wira Perakin, tapi dia tetap waspada, kipas baja saktinya sudah
berpindah ke tangan kanan, melintang terbuka di depan dada.
Pandan Wangi bagaikan seorang dewi cantik pencabut nyawa
Seorang laki-laki bertubuh besar bagaikan raksasa kemudian muncul mengiringi
langkah Jaran Kedung.
Tubuhnya nyaris telanjang, hanya cawat yang menutupi bagian bawah pusarnya.
Dadanya penuh ditumbuhi rambut hitam keriring. Makhluk ini benar-benar bagaikan
raksasa. Tinggi badannya tak bisa disamakan oleh manusia biasa.
"Buto Gendeng, kau lihat kelinci cantik itu?" tanya Wira Perakin. "Nah, dia
kuserahkan untukmuf"
"Grrr...!" manusia raksasa bemama Buto Gendeng itu menggeram keras. Matanya yang
bulat merah menatap ganas pada Pandan Wangi.
"Dia calon istrimu, Buto Gendeng," lanjut Wira Perakin.
"Ha... ha... ha...!" Buto Gendeng tertawa terbahak-bahak.
Pandan Wangi bergidik juga melihat perawakan yang tinggi besar dan kasar itu.
Dia menyumpah pada Wira Perakin yang tak berani secara jantan menghadapi
dirinya. Jantung Pandan Wangi semakin berdegup kencang ketika manusia yang bagai orang
utan itu mendekati. Di tangan kanannya tergenggam gada besar, lebih besar dari
paha orang dewasa.
"Ha... ha.... ha...! Cantik..., cantik sekali...!" Buto Gendeng terbahak-bahak
kegirangan menerima hadiah yang sangat menyenangkan hatinya.
"Phuih! Majulah, kupecahkan kepalamu!" dengus Pandan Wangi. Gadis itu telah
menguatkan hatinya untuk menghadapi calon lawannya.
"Graaakhg...!" Buto Gendeng menggeram dahsyat
"Ha ha ha...! Bawa dia ke kamarmu, Buto Gendeng,"
teriak Wira Perakin sambil tertawa terbahak-bahak.
Pandan Wangi mendelik geram pada laki-laki tua itu.
Tak ada pilihan lain baginya bagaimanapun juga, dia harus membunuh manusia
raksasa itu. Dia segera mencabut pedang pusakanya.
"Selamat bersenang-senang, Buto Gendeng!" seru Wira Perakin.
Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu memberikan isyarat agar semua orang
menyingkir. Dia sendiri kemudian masuk ke dalam rumah diikuti Cakala Pati,
Antasuro dan Arya Mahesa. Tapi Wira Perakin mendadak menghentikan langkahnya,
dan tidak jadi masuk ke dalam.
Lelaki itu membalikkan badannya
"Hm..., aku merasakan ada tamu yang tak diundang,"
gumam Wira Perakin pelahan.
"Siapa?" tanya Cakala Pati.
Sebuah bayangan putih berkeiebat cepat, dan tahu-tahu sudah berdiri tegak di
depan Wira Perakin dan lain-Iainnya. Dan belum lagi mereka sempat mengenalinya,
menyusul lagi sebuah bayangan putih berkelebat mendarat di sampingnya. Kini di
tengah-tengah halaman, sudah berdiri dua pemuda tampan berbaju putih. Mereka
adalah Rangga dan Dimas.
Wira Perakin menjentikkan jarinya, seketika itu juga puluhan orang berseragam
kuning keemasan bergerak mengurung. Dimas menggeretakkan rahangnya saat melihat
empat orang yang berdiri di tangga masuk rumah, semuanya memiliki gambar kala
hitam di tangan kanan.
Merekalah yang selama ini dicarinya! Merekalah yang telah memperkosa dan
membunuh Surti, kakak perempuannya!
"Hm..., akhimya bisa kutemukan juga...," gumam Dimas.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga.
"Merekalah yang selama ini kucari-cari," sahut Dimas.
"Hm... jadi benar, Wira Perakin dan orang-orang-nya yang telah memperkosa dan
membunuh kakakmu?"
"Benar. Aku tidak akan lupa dengan gambar di tangan itu! Gambar kala hitam...."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Empat
orang lelaki itu memang memiliki gambar kala hitam di tangan kanannya. Pendekar
Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Tidak kurang dari tiga
puluh orang kini telah mengepung dirinya dan Dimas dengan senjata terhunus.
Rangga tersenyum sinis. Dia tahu benar, orang-orang yang cuma menjadi kaki
tangan majikan biasanya hanya mengandalkan ilmu kanuragan tanpa memiliki ilmu
kesaktian dan kekuatan tenaga dalam. Tidak terlalu sulit baginya menghadapi
orang-orang seperti ini!
Rangga memusatkan perhatiannya pada empat orang yang telah membangkitkan dendam
kesumat di dada Dimas. Sepintas saja Rangga telah dapat mengukur, bahwa Dimas
tak akan mampu menghadapi mereka
berempat sekaligus. Jika mereka maju satu per satu sekali pun, itu masih sangat
sulit bagi Dimas.
"Wira Perakin, pandang aku baik-baik!" seru Dimas.
"Lima belas tahun kita tidak bertemu. Lima belas tahun aku tersiksa karena
hutangmu, kini aku datang untuk menagih hutang lama itu!"
"He he he..., Bocah! Bicaramu seperti orang tua saja.
Lima belas tahun lalu, kau pasti masih seorang bocah ingusan!" Wira Perakin
terkekeh. "Benar, dulu aku memang masih anak-anak. Tapi aku tidak pemah lupa dengan
perbuatan kalian, memperkosa dan membunuh kakak perempuanku!"
"Bocah! Kau jangan cari-cari perkara di sini, heh,"
bentak Cakala Pati. "Aku tidak kenal denganmu!"
"Dengar, kalian semua! Lima belas tahun lalu di Hutan Baka, lima orang kerasukan
iblis memperkosa seorang perempuan lemah, kemudian membunuhnya tanpa rasa
kasihan, disaksikan oleh seorang bocah berumur sepuluh tahun. Bocah kecil itu
tak akan lupa seumur hidupnya. Dan dia bertekad membalas dendam dan membunuh
lima laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya!" lantang suara Dimas.
Wira Perakin, Cakala Pati, Antasuro dan Arya Mahesa tersentak kaget. Ingatan
mereka segera kembali pada peristiwa sekitar lima belas tahun silam, peristiwa
yang untuk pertama kali mereka lakukan sebagai orang-orang yang merasa punya
kekuatan. Dan tanpa diduga, peristiwa itu kini temyata berbuntut panjang. Kini
mereka sadar kalau anak muda yang berdiri di depan mereka adalah bocah kecil
itu. "Nah, bersiaplah kalian! Aku akan menagih hutang itu!"
dengus Dimas. Sret! Dimas meloloskan pedangnya yang terbuat dari bahan perak mumi. Mata pedang itu
berkilauan tertimpa sinar matahari yang sudah agak condong ke arah Barat.
Matanya tajam menatap lurus empat laki-laki tua di depannya.
Wira Perakin menepuk tangannya tiga kali. Dan segera saja sepuluh orang anak
buahnya bergerak maju beberapa langkah lebih dekat ke arah dua anak muda itu. Di
tangan mereka semua tergenggam golok berwarna hitam pekat.
Dimas segera menyilangkan pedangnya di depan dada.
Sementara Rangga sudah bersiap-siap mengerahkan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Kedua tangannya seketika itu juga berubah menjadi
merah membara bagai terbakar Pendekar Rajawali Sakti itu tampak tak ingin
berlama-lama meladeni lawannya, hingga dia langsung mengeluarkan jurus
andalannya itu.
"Bunuh mereka!" teriak Wira Perakin memerintah.
"Hiya, hiya, hiyaaa ,.!"
Sepuluh orang itu langsung berteriak menyerang
Rangga dan Dimas. Dimas bergerak cepat membabatkan pedangnya yang bergerak liar
bagaikan banteng terluka Dimas tak sungkan sungkan lagi membabat lawan-lawannya.
Dendam kesumat di dadanya bagaikan air bah menemukan anak sungai, mengalir deras
tak terkendali!
Sementara itu Rangga dengan dingin menghadapi
lawan-lawannya. Setiap kali dia mengerahkan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali',
setiap kali itu pula satu nyawa melayang dengan dada hancur
Satu persatu orang-orang berseragam kuning keemasan itu roboh bergelimpangan. Dan dalam waktu singkat saja sepuluh orang
lawan dua anak muda itu tak satu pun yang tersisa hidup. Wira Perakin yang
menyaksikan pengikutnya dibantai tanpa ampun, langsung bertepuk tangan tiga kali
lagi. Sepuluh orang lagi melompat maju. Namun semua itu tidak ada artinya bagi
Rangga dan Dimas. Dengan mudah kedua pemuda itu membuat orang-orang yang
mengeroyoknya jungkir balik bergelimpangan dengan tubuh bersimbah darah.
"Setan!" geram Wira Petakin, "maju kalian semua!
Bunuh bocah-bocah setan itu!"
Wira Perakin semakin gusar melihat orang-orangnya dlbuat tidak berdaya oleh dua
pemuda tangguh yang bertarung bagaikan banteng terluka Jerit kematian kembali
membahana ditingkahi oleh bergelimpangannya tubuh-tubuh yang bersimbah darah
segar. Dan dalam waktu yang tidak berapa lama, Iebih dan separuh sudah menggelimpang jadi mayat
Tiba-tiba Rangga melompat ke luar dari arena
pertarungan Dia berdiri tegak menatap empat orang tua yang tetap berdiri dengan
wajah gelisah dan geram.
Sedangkan Dimas terus bertarung melawan sekitar delapan orang lagi. Kelihatannya
anak muda itu benar-benar di atas angin.
"Pandan...!" tiba-tiba Rangga tersentak.
Telinganya yang setajam mata pisau bisa membedakan suara pertarungan yang tengah
berlangsung dengan suara lain yang datangnya dari arah belakang rumah. Suara
jeritan seorang wanita yang disertai suara menggeram bagai gorilla.
"Dimas, aku tinggal sebentar!" seat Rangga seraya melompat cepat ke atas atap
Wira Perakin dan yang lainnya terhenyak sesaat
melihat begitu cepatnya Rangga bergerak. Cakala Pati langsung melenting tinggi
ke udara mengejar Rangga.
Sedangkan Arya Mahesa juga segera melompat, meluruk ke arah Dimas yang kini
tengah menghadapi tiga orang lagi. "Aku lawanmu Bocah Setan!" bentak Arya
Mahesa. "Bagus!" sambut Dimas yang memang sudah meng-harapkan sejak tadi.
Tiga orang yang masih tersisa hidup, langsung
melompat mundur. Mereka masih bisa bernapas lega, karena terhindar dari
kematian. Bagaimanapun juga mereka merasa ngeri dan kehilangan keberanian
melihat teman-teman mereka sudah habis dibantai.
*** Rangga terperangah melihat Pandan Wangi kewalahan
menghadapi manusia raksasa Beberapa kali pedang pusakanya menghantam tubuh
lawannya, tapi Buto
Gendeng tetap saja tegar. Tidak ada luka sedikitpun pada kulitnya yang kasar dan
kotor, meskipun Pandan Wangi sudah mengerahkan seluruh kekuatannya pada pedang
yang terus menerus menghantam bagian-bagian tubuh manusia raksasa itu.
Pandan Wangi benar-benar putus asa, tidak sedikit dia menerima pukulan dan
tendangan dari Buto Gendeng. Baju dan tubuh gadis itu sudah kotor oleh debu yang
bercampur keringat Pandan Wangi benar-benar bdak mampu lagi berbuat banyak, dan
nyaris kehilangan akal. Aji 'Tapak Wisa' yang dimilikinya juga tidak berpengaruh
sama sekali pada Buto Gendeng. Seluruh kemampuannya sudah ter-kuras, tapi
manusia raksasa itu tetap saja tegar, bahkan semakin ganas dan liar.
"Pandan, minggir...!" teriak Rangga seraya melompat, menerjang Buto Gendeng.
"Oh, Kakang...," Pandan Wangi gembira melihat Rangga datang.
"Aaarghk...!" Buto Gendeng menggeram marah melihat ada orang lain yang langsung
menyerangnya. "Hati-hati, Kakang. Manusia aneh ini sangat kebal,"
kata Pandan Wangi setelah melompat menjauhi Buto Gendeng. Napasnya masih
tersengal sengal
"Hm...," Rangga hanya bergumam. Dia seperti sudah mengerti apa yang harus
diperbuatnya. Rangga menghentikan gerakannya sejenak. Sesaat dia mengerutkan keningnya. Dia
teringat dengan pengalaman-nya ketika menghadapi manusia raksasa yang pernah
bentrok dengannya. Tapi yang ini kelihatannya lebih besar lagi, dan lebih ganas
dari yang dulu! (Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah NAGA MERAH).
"Menyingkirlah, Pandan. Biar aku yang hadapi manusia liar ini," kata Rangga
seraya mendorong tubuh Pandan Wangi.
Pandan Wangi tak membantah, dia melangkah mundur menjauh. Dia percaya kalau
Pendekar Rajawali Sakti itu dapat mengatasi kekebalan tubuh Buto Gendeng. Pandan
Wangi memasukkan pedang pusakanya ke warangkanya.
Sungguh dia tidak mengerb, pedang yang sangat dahsyat itu tidak berarti banyak
buat Buto Gendeng. Mungkinkah manusia raksasa itu memiliki ilmu kekebalan yang
sempurna" Kalau memang benar, tentu sukar bagi Rangga untuk mengalahkannya!
"Majulah! Hadapi aku!" geram Rangga
"Grrrh...!" Buto Gendeng menggeram sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ayo maju, biar kupecahkan kepalamu!" Rangga keras memancing kemarahan manusia
raksasa itu. Buto Gendeng menggerung-gerung marah. Matanya
semakin merah. Gada sebesar paha manusia dewasa itu diayunkan-ayunkannya dengan
cepat, sehingga menimbulkan deru angin dahsyat bagaikan topan. Rangga sedikit
goyah juga mendapat dorongan angin yang sangat dahsyat berhembus. Cepat-cepat
dia mengeluarkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Graaaghk...!" Buto Gendeng menggeram dahsyat Tiba-tiba saja gadanya dilayangkan
ke tubuh Rangga.
Pendekar Rajawali Sakb itu melentingkan tubuhnya menghindari hantaman dahsyat
dari gada Buto Gendeng Secepat kilat dia menghantamkan pukulan yang disertai
pengerahan tenaga dalam yang sempurna ke arah gada yang sangat besar itu.
Darrr! Suara ledakan keras terdengar begitu tangan Rangga menghantam gada Buto Gendeng.
Manusia raksasa itu menggeram dahsyat melihat gada miliknya pecah dan hancur.
Cakala Pari yang berada tak jauh dari tempat pertempuran itu tersentak kaget
melihat gada Buto Gendeng hancur dengan satu pukulan saja.
"Aaargh...!" Buto Gendeng meraung keras.
Sekuat tenaga dia melemparkan sisa gada tadi ke arah Rangga. Manis sekali
Pendekar Rajawali Sakti itu mengelak. Potongan gada itu meluncur deras melewari
kepala Rangga, langsung menghantam dua orang berseragam kuning keemasan yang
tidak sempat menghindar.
Begitu kerasnya lemparan Buto Gendeng, sehingga dua orang yang tersambar gada
itu langsung ambruk tak bernyawa.
Buto Gendeng menggeram kembali, langsung dia melompat menerjang Rangga. Manusia
raksasa itu mengamuk membabi buta. Pohon-pohon dan tembok
hancur berkeping keping terkena hantaman tangan Buto Gendeng yang dahsyat.
Rangga sedikit kerepotan juga menghadapi amukan manusia raksasa itu, tapi masih
sempat dia mendaratkan beberapa pukulan mautnya ke tubuh Buto Gendeng. 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali' itu tidak juga membuat Buto Gendeng reda dari amukannya
bahkan semakin menjadi-jadi' "Gila! Semua pukulanku mentah " dengus Rangga.
"Awas, Kakang...!" teriak Pandan Wangi tiba-rJba.
Terlambat! Satu hantaman keras dari Buto Gendeng mendarat telak di dada Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu terpental sejauh dua batang tombak. Dia merasakan
rongga dadanya sesak dan sulit untuk bernapas. Rangga buru-buru bangun dan
melompat ketika melihat jejakan kaki Buto Gendeng. Bumi terasa bergetar begitu
kaki manusia raksasa itu menghantam tanah.
Rangga segera mengumpulkan hawa murni untuk
mengusir rasa sesak di dadanya Pelahan-lahan dada Pendekar Rajawali Sakti itu
terangkat, lalu tertahan beberapa saat, tak lama kemudian dadanya mengempis
turun kembali. Buto Gendeng seperti tertegun melihat perbuatan lawannya yang
dirasanya aneh itu.
"Terpaksa, aku harus menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'," gumam Rangga.
Sret! Sinar biru membias terang menyilaukan begitu pedang Rajawali Sakti itu keluar
dari warangkanya. Rangga bagaikan sesosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa
dengan pedang sakti di tangannya. Buto Gendeng melangkah mundur dua tindak,
kedua matanya menyipit memandang pedang yang berpamor sangat luar biasa itu.
Cakala Pati yang sedari tadi menyaksikan jalannya pertarungan itu juga
terperangah takjub melihat cahaya biru berkilauan menyilaukan mata. Rangga
bergerak perlahan menggeser kakinya ke kanan Kedua matanya menatap tajam pada
Buto Gendeng. Pedang pusakanya menyilang di depan dada.
"Majulah, aku akan menyerah kalau kau mampu menandingi pedang pusakaku." kata
Rangga menggeram.
"Grrr...!" Buto Gendeng menggeram pelan.
Buto Gendeng sedikit membungkuk, bergerak perlahan menyusur tanah mengikuti
gerak ki Rangga. Kelihatan sekali kalau manusia raksasa itu mulai bersikap hatihati dan memperhitungkan kekuatan lawannya, terutama pada pedang yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti itu. Mereka saling tatap dengan tajam, seolah sedang
mencari jalan dan cara yang tepat untuk meringkus lawannya.
Pendekar Rajawali Sakti 10 Pengantin Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil meraung keras, Buto Gendeng melompat cepat menerjang Rangga. Bagaikan
seekor gorilla raksasa, Buto Gendeng meluruk seraya melayangkan pukulan keras.
Rangga langsung melenbng bnggi ke udara menghindan terjangan manusia raksasa
itu. Bagaikan kilat kedua kaki Pendekar Rajawali Sakb itu menghantam kepala Buto
Gendeng secara beruntun.
Buto Gendeng menggening keras menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia langsung
berbalik cepat mengibaskan tangannya, namun Rangga sudah lebih cepat lagi
melenting ke atas. Kembali kedua kakinya menghantam kepala manusia raksasa itu
beberapa kali, hingga tubuh Buto Gendeng agak sempoyongan dibuatnya.
"Mampus, kau! Hiyaaa...!" teriak Rangga lantang.
Seketika itu juga pedangnya berkelebat bagaikan kilat ke arah dada Buto Gendeng
yang baru saja memutar tubuhnya. Buto Gendeng meraung keras. Badannya terdorong
mundur beberapa langkah. Ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti itu berhasil
menggores kulit dadanya. Darah segar mengucur dari luka panjang di dada yang
berbulu lebat itu.
"Sekarang giliran leher, hiyaaa...!" teriak Rangga seraya melompat cepat
Pedang yang memancarkan sinar biru itu kembali
berkelebat cepat ke arah leher Buto Gendeng. Manusia raksasa itu meraung keras
sambil membekap lehemya yang terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Kali ini
Rangga bdak mau lagi membenkan kesempatan, satu tendangan geledek dia sarangkan
ke dada, dan satu sabetan pedang lagi menghajar perut
Buto Gendeng semakin keras meraung. Darah bercucuran deras membasahi tubuhnya. Melihat manusia raksasa itu sudah tidak
berdaya lagi, Pandan Wangi yang memang sudah kesal dan mendendam, langsung
melompat memberikan tendangan beruntun ke dada. Buto Dungkul bagaikan boneka
raksasa mainan sekarang menjadi bulan-bulanan Rangga dan Pandan Wangi.
"Mampus, kau! Hiyaaa...!" teriak Pandan Wangi melengking tinggi.
Secepat kilat dia melompat dan menusukkan ujung kipasnya ke arah mata. Lagi-lagi
Buto Gendeng meraung keras begitu dua biji matanya bolong bercucuran darah
tertusuk ujung kipas Pandan Wangi. Belum lagi manusia raksasa itu berhenti
meraung, tiba-tiba secercah cahaya biru berkebebat bagai kilat, dan....
Cras! Buto Gendeng tak mampu lagi bersuara. Sebentar
tubuhnya bergetar kemudian ambruk dengan kepala terpisah dari leher. Darah
semakin deras mengucur dari tubuh yang penuh luka. Tubuh Buto Gendeng
menggelepar-gelepar di tanah kemudian diam tak mampu bergerak lagi.
"Serang...! Bunuh mereka...!" Cakala Pati segera memerintahkan orang-orangnya.
Orang-orang yang sebenarnya sudah gentar itu berlompatan sambil berteriak-teriak
mengacung-acungkan senjatanya. Tidak kurang dari lima belas orang meluruk
menyerbu Rangga dan Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti merasa tak perlu
menggunakan pedangnya, dia segera memasukkan pedang Rajawali Sakti ke dalam
warangkanya di punggung.
Lain halnya dengan Pandan Wangi yang sudah muak dan geram. Dia langsung mencabut
pedang pusakanya, dan mengamuk menghajar orang-orang berseragam
kurang keemasan itu. Rangga jadi tak mempunyai ruang gerak, akhimya dia melompat
minggir dan hanya berdiri mengawasi. Hanya menghadapi Pandan Wangi saja orangorang itu sudah berantakan. Jerit lengking kematian terdengar saling menyusul.
Pandan Wangi mengamuk bagaikan singa betina terluka. Setiap kali pedang dan
kipasnya bergerak, setiap kah itu pula dua nyawa melayang.
Menyadari tidak akan mampu menghadapi dua sejoli pendekar itu, Cakala Pati
langsung mencelat kabur.
Rangga yang sejak tadi mengawasi, tidak membiarkan laki-laki tua licik itu
melankan diri. Dia langsung mengejar dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya. *** 8 Sementara itu pertarungan antara Dimas yang dikerubuti oleh Wira Perakin, Arya
Mahesa dan Antasuro terus berlangsung. Di sekitar mereka mayat-mayat
bergelimpangan bersimbah darah. Bau anyir menyebar terbawa angin menusuk hidung.
Tidak ada lagi pengikut Wira Perakin yang tersisa hidup. Mereka mati percuma
oleh kekuatan yang jelas di atas mereka.
Dalam beberapa jurus, Dimas masih mampu melayani ketiga orang musuh yang selama
ini dicarinya. Sedangkan Pandan Wangi yang sudah membereskan sisa-sisa
pengikut Wira Perakin dihadang oleh Jaran Kedung saat dirinya hendak melompat
menuju bagian depan bangunan itu. Terpaksa Pandan Wangi melayani Jaran Kedung
yang memegang senjata berbentuk trisula di tangan kanan dan Idrinya.
Lain halnya dengan Rangga, dia bertarung di atas atap melawan Cakala Pati. Jelas
terlihat Pendekar Rajawali Sakti itu berada di atas angin. Beberapa kali pukulan
dan tendangannya mendarat telak di tubuh Cakala Pati. Adik Wira Perakin itu sama
sekali tak memiliki kesempatan untuk bertahan. apalagi menyerang. Dia berusaha
mencari celah dan kesempatan untuk melarikan diri.
"Kau tidak bisa kabur, Cakala Pari. Kau harus mampus di sini!" Rangga menggeram
seraya mengerahkan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Huh!" Cakala Pati mendengus sengit Kedua bola matanya jelalatan ke sana kemari
berusaha mencari-cari celah untuk melankan diri.
Cakala Pati melangkah mundur melihat kedua tangan Rangga yang sudah berubah
merah membara. Keringat dingin bercucuran membasahi wajah dan lehernya
Ketakutan akan kematian yang bakal menjemputnya ter-bayang jelas di wajahnya
yang mulai memucat. Dia sudah menyadari benar kalau dirinya tidak akan mampu
menghadapi pendekar muda yang kini ada di hadapannya
"Celaka, mati aku!" gumam Cakala Pati bergetar.
"Mampus kau, Iblis...!" bentak Rangga keras.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat seraya mengerahkan pukulan
mautnya. Cakala Pati segera melompat menghindari sebelum pukulan jarak jauh yang
dilontarkan Rangga itu mengenai tubuhnya. Atap tempatnya berpijak hancur
berantakan terkena sambaran pukulan Rangga yang teramat dahsyat
"Hiyaaat...!" Rangga berteriak nyaring.
Seketika itu juga tubuhnya mencelat tinggi ke udara, menyusul Cakala Pari yang
masih berada di angkasa saat menghindari pukulan maut Pendekar Rajawali Sakti
itu. Kedua tangan Rangga menyentak dengan cepat ke depan.
Seketika itu juga sinar merah meluruk deras ke arah Cakala Pati.
"Aaakh...!" Cakala Pati menjerit melengking.
Pukulan maut yang dilepaskan Rangga begitu telak menghantam dada. Tubuh lakilaki tua itu jatuh terjungkal menghantam atap. Secepat kilat Rangga memburu, dan
menendang tubuh yang sedang bergulingan itu. Tubuh Cakala Pati meluruk deras ke
bawah, dan jatuh berdebum di tanah dengan keras. Seketika itu juga nyawanya
langsung melayang.
Rangga berdiri tegak di atas atap. Matanya menatap lurus pada Dimas yang
kelihatan mulai terdesak. Dugaan-nya tidak meleset, Dimas tidak akan mampu
menandingj tiga orang lawannya yang rata rata memiliki tingkat kepandaian di
atasnya Rangga tidak bisa lagi berdiam diri melihat Dimas yang semakin terdesak
saja keadaannya Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya di udara,
meluncur ke bawah, dan bersalto dua kali sebelum mendarat dengan manis di tanah.
Sejenak dia terpaku melihat tubuh Dimas yang bercucuran darah.
"Ha... ha... ha...! Mampus kau, Bocah Setan!" Wira Perakin tergelak melihat
Dimas sudah tidak berdaya lagi.
"Dimas, mundur...!" seru Rangga. Dimas menarik napas panjang melihat Rangga
tahu-tahu sudah berdiri di depannya. Semangat anak muda itu tumbuh kembali, lupa
dengan rasa sakit dan perih yang menyerang seluruh tubuhnya.
"Bagus! Biar kubuat dendeng kalian semua!" dengus Wira Perakin.
'Tua bangka bdak tahu diri! Kau tidak layak hidup di dunia ini!" sungut Rangga
dingin. "Ha ha ha..!" Wira Perakin tertawa terbahak-bahak.
"Kalian benar-benar tidak bisa mengukur tingginya gunung. Masih bau kencur sudah
berani menantang Kala Hitam!" Antasuro mengejek seraya menyemburkan ludahnya.
Rangga menyentakkan tangannya dengan cepat tiga kali ke arah mereka. Suara
ledakan keras terjadi begitu cahaya merah yang meluncur dari tangan Rangga
menghantam tanah. Tampak tiga lubang menganga begitu debu yang mengepul oleh
hantaman itu mulai menipis.
"Kusiapkan kuburan untuk kalian, setan-setan tengik!"
geram Rangga. "He... he... he .... permainan usang!" ejek Wira Perakin.
"Salah-salah, kau sendiri yang menyiapkan lubang kubur!" sambung Arya Mahesa.
"Kita lihat saja nanti, siapa yang lebih dulu masuk ke liang kubur!" tantang
Rangga. "Ha ha ha...!" bga orang tua itu serempak tertawa terbahak-bahak.
Dimas menggeram menggeretakkan rahangnya. Dia
sudah sangat muak melihat kesombongan tiga orang yang berjuluk Kala Hitam itu.
Sementara Rangga melirik Pandan Wangi yang temyata pertarungannya sudah
berpindah ke halaman depan.
*** Pertarungan antara Pandan Wangi dengan Jaran
Kedung sudah berlangsung puluhan jurus. Dan tampaknya Jaran Kedung mulai
terdesak dengan serangan-serangan Pandan Wangi yang sangat cepat dan berbahaya.
Apalagi setelah gadis itu mengeluarkan pedang Naga Geni, pedang pusaka
andalannya. Udara di sekitar tempat pertarungan itu menjadi panas oleh pedangnya
yang mengeluarkan hawa panas yang semakin lama semakin membakar kulit.
Napas Jaran Kedung tampak mulai tersengal, tak bisa lagi menghirup udara segar
untuk tubuhnya. Gerakan-gerakan jurusnya semakin kacau oleh serangan-serangan
gencar Pandan Wangi yang sudah membaca keadaannya.
"Awas kaki...!" teriak Pandan Wangi tiba-tiba.
Secepat kilat gadis itu mengibaskan pedangnya ke arah kaki Jaran Kedung, buruburu Jaran Kedung melompat menghindari tebasan pedang yang datang bagaikan kilat
itu. Tapi tanpa diduga sama sekali. Pandan Wangi mengibaskan kipas mautnya yang
berada di tangan kin.
Bret! "Akh!" Jaran Kedung melenting sambil mendekap perutnya yang robek terkena
sambaran kipas baja sakti.
Darah mengucur dari perut yang sobek cukup panjang.
Jaran Kedung meringis merasakan sakit yang teramat sangat pada luka di perutnya.
Dan belum lagi dia sempat menyadari posisi lawannya mendadak Pandan Wangi
menusukkan pedangnya ke arah dada.
Tring! Jaran Kedung beruntung, dia masih bisa menangkis tusukan itu dengan trisulanya.
Tapi tak urung tangan Jaran Kedung bergetar hebat, dan senjata yang
diandalkannya Itu terlontar ke udara, dan belum lagi dia sempat mem-perbaiki
posisinya, kipas Pandan Wangi bagaikan kilat menghantam dadanya dengan telak.
"Ugh!" Jaran Kedung mengeluh pendek.
Selagi tubuh laki-laki itu terjajar ke belakang, Pandan Wangi memekik seraya
bersalto di udara. Tepat ketika berada di atas kepala Jaran Kedung, pedang yang
memancarkan cahaya merah itu berkelebat cepat
Jaran Kedung tidak bisa mengelak lagi, pedang pusaka lawannya itu menghantam
kepalanya hingga terbelah jadi dua bagian. Jeritan panjang terdengar jelas
sebelum tubuhnya ambruk ke tanah.
Pandan Wangi menarik napas panjang sambil
memasukkan kembali pedang pusakanya itu ke dalam warangkanya di punggung. Dia
berdiri tegak di samping mayat Jaran Kedung. Sebentar dia menatap lawannya yang
sudah menjadi mayat, kemudian beralih memandang Rangga dan Dimas yang masih
berdiri berhadap-hadapan dengan Wira Perakin, Antasuro dan Arya Mahesa.
Rangga sempat memberikan senyum pada Pandan
Wangi yang dibalas dengan manis oleh gadis itu. Dengan langkah tegap, Pandan
Wangi menghampiri Pendekar Rajawafi Sakti yang berdiri berdampingan dengan
Dimas. Pandan Wangi berdiri tegak di samping Rangga. Kini imbang jadinya, tiga lawan
tiga. *** Wira Perakin mengegoskan kepalanya sedikit, memberi isyarat pada dua orang yang
mendampinginya. Arya Mahesa dan Antasuro mengerti, mereka lalu menggeser-kan
badannya ke samping, menjauhi Wira Perakin. Pandan Wangi dan Dimas juga bergeser
mengikuti arah kedua laki-laki tua itu bergerak.
"Hup!"
Wira Perakin melompati tiga lubang berjajar yang dibuat Rangga. Kedua kakinya
menjejak tanah dengan nngan hanya sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar
Rajawali Sakti itu. Kini dua tokoh sakti itu sudah berhadapan dan saling
bertatap muka dengan tajam, seakan tengah mengukur tingkat kepandaian masing
masing. "Bersiaplah untuk mati, Bocah!" kata Wira Perakin dingin dan datar. Tatapan
matanya juga tampak dingin membeku.
"Silakan, aku pun tidak akan sungkan-sungkan mengirimmu ke neraka," balas Rangga
tenang. "Hm..., nyalimu besar juga," suara Wira Perakin terdengar sinis.
Rangga hanya tersenyum.
"Aku beri kau sepuluh jurus. Ayo, serang aku!" bentak Wira Perakin.
"Aku rasa, yang tua sebaiknya lebih dulu menyerang.
Biar aku yang muda tidak kelihatan kurang ajar," sambut Rangga tetap tenang,
namun nadanya jelas mengejek.
"Bedebah! Kau menghinaku, Bocah!"
"Terserah apa maumu!"
"Kurang ajar! Salahmu sendiri kalau mampus lebih dulu!"
"Aku jamin, tiga jurus saja kau pasti roboh!"
"Monyet buduk! Mampus, kau! Hiyaaa...!"
"Eits!"
Wira Perakin tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya. Telinganya terasa panas
mendengar ejekan dan tantangan Rangga. Baru kali ini dia ditantang anak muda
yang lebih pantas menjadi anaknya. Wira Perakin langsung menyerang dengan jurus
urus mautnya, namun sedikit pun dia tidak berhasil menyentuh tubuh lawannya.
Jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti itu masih ingin memancing emosi
lawannya. Sementara itu Pandan Wangi juga sudah bertarung dengan Antasuro, dan Dimas
menghadapi Arya Mahesa.
Pertarungan seru terjadi pada tempat yang tidak berjauhan Sepertinya mereka
tidak ingin jauh dari lubang yang dibuat Rangga untuk mereka yang kalah. Suatu
pertarungan hidup dan mati!
Tidak ada lagi kata saling mengejek, tidak ada lagi kata saling menantang.
Pertarungan untuk mengenyahkan kesewenang-wenangan, pertarungan untuk
membalaskan dendam, dan pertarungan untuk mempertahankan kehormatan dan ambisi.
Meskipun dalam keadaan terluka. Dimas masih
mampu menandingi Arya Mahesa, yang tingkat kepandai-annya masih di bawah Wira
Perakin dan Antasuro.
Semuanya memang, tanpa disadari oleh yang lainnya, sudah diatur oleh Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu memang sudah bisa memperhitungkan ketiga orang
lawannya, dan memihkan Arya Mahesa menjadi lawan Dimas.
Rangga selalu membagi perhatiannya pada Pandan
Wangi dan Dimas, meskipun dirinya tengah bertarung hebat dengan Wira Perakin.
Dia tidak ingin salah satu di antara mereka masuk lubang yang telah d buatnya
sendiri, terutama Dimas, yang melawan Arya Mahesa dalam
keadaan tubuhnya yang terluka.
Wira Perakin tidak menyadari kalau Rangga tengah mengeluarkan jurus 'Seribu
Rajawali' tingkat pertama Gerakan-gerakannya tampak tidak beraturan seperti
orang mabuk kebanyakan minum arak. Namun tetap saja
gerakan-gerakannya tidak bisa dipatahkan oleh Wira Perakin, bahkan untuk
menjangkaunya pun terasa sulit.
Hingga lelaki tua itu merasa geram dibuatnya. Setiap kali Wira Perakin
melontarkan pukulan dan tendangan, setiap kali itu pula Rangga bisa
mengelakkannya dengan manis, hingga pukulan dan tendangan lawannya hanya menemui
tempat kosong. "Edan!" Wira Perakin mengumpat, pukulan mautnya luput dari sasaran.
"Sudah dua puluh jurus, Setan Tua," kata Rangga mengingatkan, tap jelas nadanya
mengejek Bibimya menyunggingkan senyum mengecilkan lawannya.
"Phuih! Jangan besar kepala dulu, Bocah! Tahan aji
'Pukulan Karang'ku!" geram Wira Perakin.
Seketika itu juga Wira Perakin merubah gerakannya.
Dan setiap pukulan yang dilepaskannya sungguh berakibat dahsyat. Tembok dan
pepohonan di sekitar mereka tumbang dan hancur terkena sambaran dan hantaman
pukulan Wira Perakin. Dan Rangga sendiri kerepotan, angin pukulan lawannya
membuat tubuhnya sempoyongan.
"Aku harus segera mengakhiri pertarungan ini. Dimas sudah kelihatan terdesak."
gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti 10 Pengantin Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Rajawali Sakti itu segera mengerahkan aji
'Cakra Buana Sukma'. Kedua tangannya mulai diliputi cahaya biru berkilauan, lalu
terulur ke depan. Wira Perakin yang sudah menerjang dengan aji 'Pukulan
Karang'nya tidak bisa menarik tangannya kembali.
Glarrr...! Satu ledakan keras terjadi begitu dua pasang tangan bertemu dan beradu kekuatan
Wira Perakin sangat terkejut merasakan tangannya seperti membentur perekat yang
sangat kuat. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan kedua tangannya dari
telapak tangan Rangga.
"Uhk! Hiyaaa...!"
Wira Perakin mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melepaskan tangannya,
namun semakin dia berusaha keras, semakin kuat saja tangannya menempel pada
tangan lawannya, bahkan kini dia merasakan tenaganya mulai tersedot. Dan cahaya
biru itu kini mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Aaakh...!" Wira Perakin menjerit keras begitu tubuhnya terbungkus sinar biru
yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga.
"Hih! Hiyaaa...!" tiba-tiba Rangga berteriak keras.
Seketika itu juga dia menyentakkan tangannya dan tubuh Wira Perakin terjungkal
ke belakang. Tanpa ampun lagi tubuh laki-laki tua itu terjatuh ke dalam lubang
yang disiapkan Pendekar Rajawali Sakti. Darah kental kehitaman merembes keluar
dari mulut dan hidungnya.
"Oh, akh!"
Pelan-pelan Wira Perakin berusaha bangkit, tapi Rangga cepat menekan dada lelaki
itu dengan kaki kanannya. Kembali tubuh laki-laki tua itu telentang dalam
lubang. Wajah Wira Perakin pucat pasi membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya.
Kini dia benar-benar tak berdaya, tenaganya tersedot habis oleh aji 'Cakra Buana
Sukma'. Tepat pada saat itu, Pandan Wangi memekik keras sambil melenting tinggi ke
udara. Pedang Naga Geni dia kibaskan dengan cepat, dan....
"Aaakh...!" Antasuro menjerit sambil mendekap dadanya yang hampir terbelah oleh
pedang yang membabatnya.
Pandan Wangi melayangkan kakinya menghantam
dada Antasuro, tubuh laki-laki itu mental dan ambruk ke tanah. Pandan Wangi
cepat memburunya, dengan kaki kirinya dia menendang, hingga tubuh Antasuro
terguling masuk ke dalam lubang. Sebentar tubuh orang tua itu menggelepar, lalu
terdiam kaku. Pandan Wangi berdiri tegak di samping lubang yang sudah terisi.
Bibirnya menyunggingkan senyum di antara pipi dan lehernya yang bersimbah
keringat. "Kenapa tidak kau bunuh saja dia, Kakang" tanya Pandan Wangi melihat Wira
Perakin masih bernapas satu-satu.
"Biar Dimas yang melakukannya," sahut Rangga tersenyum.
Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya pada Dimas yang masih bertarung menghadapi
Arya Mahesa. Agak cemas juga gadis itu melihat Dimas jatuh bangun terdesak
terus. Tapi.. Entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba saja keadaannya jadi
terbalik. Kibasan-kibasan pedang Dimas kini lebih terarah, dan selalu mengincar bagianbagian tubuh lawannya yang lowong. Pandan Wangi jadi tersenyum geli begitu
melihat bibir Rangga bergerak-gerak, dan gadis itu segera mengerahkan ilmu
pendengaran jarak jauh. Mula-mula hanya samar-samar saja terdengar, tapi
kemudian jadi jelas. Rangga mengirimkan petunjuk untuk melumpuhkan Arya Mahesa
pada Dimas dengan ilmu 'Pemindah Suara'
yang sungguh hebat sehingga orang yang bdak dituju tidak dapat mendengarnya.
Keadaan yang berbalik ini benar-benar membuat Arya Mahesa serba salah dan takut,
apalagi melihat Wira Perakin dan Antasuro sudah terbujur di dalam lubang, juga
melihat Rangga dan Pandan Wangi, yang mungkin akan menggilirnya setelah Dimas,
dengan ilmu kesaktian tingkat tingginya. Arya Mahesa benar-benar goyah,
kepercayaan dan keberaniannya musnah sudah.
"Kini giliranmu Setan! Yeaaah...!" teriak Dimas.
Tubuh Dimas melompat, lalu dengan cepat menukik ke bawah. Sambil menjatuhkan
diri, Arya Mahesa menangkis pedang Dimas, namun tanpa diduga sama sekali, kaki
Dimas menjejak keras dadanya.
"Aaahhh...!" Arya Mahesa merasa dadanya sesak sekali.
Dan Dimas tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia langsung menusukkan pedangnya
ke leher Arya Mahesa, dan mengoyaknya hingga robek lebar. Darah langsung muncrat
menyembur ke luar. Dengan gemas dan dendam yang meluap di dada, Dimas menendang
tubuh Arya Mahesa yang sudah tidak bemyawa itu ke dalam lubang yang tersisa.
Mata anak muda itu mendelik ketika menghampiri
Rangga dan melihat Wira Perakin masih hidup, menggeletak tak berdaya di dalam
lubang. "Kenapa kau masih biarkan dia hidup?" tanya Dimas.
"Kau mencari-cari orang ini, kan" Nah! Sekarang dia kuserahkan padamu dalam
keadaan hidup," sahut Rangga tenang.
Dimas hanya bisa memandang Rangga sesaat lalu
beralih pada Pandan Wangi.
"Terserah, apa yang akan kau lakukan padanya. Aku sudah menepati janjiku untuk
menyerahkannya hidup-hidup padamu," kata Rangga lagi.
Dimas mendekati lubang yang diisi oleh tubuh Wira Perakin itu, lalu
membungkukkan badannya. Dimas kemudian mengangkat dan menarik keluar tubuh orang
itu. Wira Perakin sempoyongan dan jatuh terduduk.
"Hm..., hari ini akhir dari segala penderitaan dan dendam kesumatku, Perakin!
Kematan terlalu mudah bagimu! Kau tidak pernah merasakan bagaimana hidup dengan
penderitaan Aku ingin semua orang di desa ini melihatmu tetap hidup! Dengan
kesengsaraan dan
penderitaan seperti mereka, bahkan lebih nista dan abadi... seumur hidupmu!"
Dimas melampiaskan gejolak di dadanya, "Berdiri kau, Wira Perakin! Berdiri...!"
Wajah Wira Perakin pucat dan tubuhnya gemetar. Dia tidak tahu hukuman apa yang
diterimanya dari Dimas, hanya samar-samar dia mendengar... penderitaan seumur
hidup! Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, dan....
Bug! Cras! "Aaakh...!" Wira Perakin mengerang tertahan, lalu ambruk pingsan. Tangannya
menutupi bagian bawah pusarnya yang bersimbah darah. Satu tendangan keras di
dadanya, dan sabetan pedang pada alat vitalnya mem-buktikan kenyataan seperti
yang diucapkan Dimas... penderitaan seumur hidup yang tak terperikan!
*** Rumah besar yang pemah ditempati Wira Perakin itu
tampak meriah. Sepasang pengantin duduk ditikar..., irama kehidupan yang baru
kini mulai membentang. Wajah Dimas dan Wulan tampak cerah dan berseri-seri.
Secerah hati penduduk yang baru terbebas dari belenggu penderitaan, dan
kesewenang-wenang-an. Meski semua itu ditebus dengan bersimbahnya darah, darah
keangkaramurkaan dan kesatriaan yang berbaur jadi satu.
SELESAI Elang Terbang Di Dataran Luas 3 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pendekar Tanpa Bayangan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama