Ceritasilat Novel Online

Iblis Sungai Telaga 18

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 18


disini ! Kami murid-murid Sang Buddha. Kami tidak biasanya
mendusta." Kang Teng Thian melengak.
"Kalau benar Tio It Hiong tidak ada disini, baiklah."katanya
kemudian. "Aku percaya kalian lohweshio ! Hanya sekarang
aku ingin bertemu dengan In Gwa SIan si pengemis
bangkotan ! Anak pungutnya sudah menghina adik angkatku,
aku mau minta keadilan dari dianya !"
Jilid 39 "Oh, sicu, mengapakah sicu begini berkukuh ?" katanya
kemudian. "Soal asmara pria dan wanita, perubahannya
banyak sekali, setiap waktu bisa didapatkan. Di detik ini
mereka berselisih, di lain detik mereka akur pula malah lebih
akrab dari yang sudah-sudah..... Pinlap lihat baiklah urusan ini
diserahkan kepada sicu yang mengurusnya sendiri...."
"Hm, pendeta tua !" berkata Teng Thian dingin. "Soal jodoh
adikku ini ada soal yang lain sifatnya ! Perlu aku campur tahu
guna membereskannya !"
"Maaf, sicu !" kata si pendeta. "Pinlap adalah kaum
beragama, harap sicu maklum yang dalam urusan asmara itu,
tak dapat pinlap bicara banyak !"
Mendadak darahnya Teng Thian meluap. "Kelihatannya, tak
dapat tidak, aku si tua mesti menerjang masuk !" teriaknya.
Kedua matanya Gouw To dipentang lebar, janggutnya yang
panjang pun bergerak bangun.
"Maaf, sicu" katanya, "pinlap mesti menghormati tugas
kami karena itu tidak dapat pinlap mengijinkan sicu berbuat
semau maunya disini !"
Tepat disaat kedua jago itu hendak bertempur, di jalanan
Ceng Siong To itu tampak sesosok tubuh kecil ramping berlarilari
mendatangi, lekas sekali orang itu sudah tiba. Maka
terlihat nyata dialah Tan Hong dari Hek Keng To. Dia lantas
berdiri diam mengawasi semua orang terutama Gouw To dan
Teng Thian. Siauw Wan Goat mengenali nona itu, dia menghampiri.
"Kakak Tan Hong, kau telah bertempur dengan kakak
Hiong atau tidak ?" tanyanya.
Nona Tan menggeleng kepala.
"Selama dua bulan ini aku terus mencari dia dengan siasia."
sahutnya. "Kakak, apakah kakak sudah lupa ?" Wan Goat tanya.
"Bukankah pada bulan yang baru lalu kau bersama dia telah
pergi ke gubuk ke tempat menyepi dari kakak seperguruanmu
?" Ditanya begitu, Tan Hong dapat menerka duduknya
pertanyaan itu, maka mendadak saja ia tertawa. Orang bicara
diri It Hiong palsu ! "Kakak mau mencari dia itu ?" tanyanya. "Kalau begitu,
buat apa kakak datang mencari ke Siauw Lim Sie ini ?"
Mukanya Wan Goat menjadi merah, tetapi ia toh kata
pelan, "Kemudian setelah itu aku pun telah menemui Kakak
Hiong di rumah penginapan di kecamatan Kwieteng. Selama
satu malam kami telah beromong-omong....."
"Oh, begitu..." kata Tan Hong, perlahan. Di dalam hati, ia
menerka-nerka It Hiong atau Hong Kun yang Wan Goat
ketemui di Kwieteng itu. "Malam itu kakak Hiong telah mengatakan...." kata pula
Wan Goat, kembali mukanya merah saking likatnya, "dia....."
Tan Hong melirik nona itu. Ia menerka orang salah paham.
Tapi ia tertawa dan berkata : "Pastilah malam itu kakak
merasai kenikmatan pula ...."
"Cis..." Wan Goat meludah. "Ah, kakak, kau masih dapat
menggodia aku. Kau tahu aku sekarang lagi sangat penasaran,
aku seperti mau mati saja...."
Nona Siauw lantas menangis sesegukan, air matanya
meleleh keluar. Tan Hong menghampiri, ia menepuk bahu orang.
"Ah, anak tolol, "katanya. "Kakak bergurau saja ! Kenapa
kau begini bersusah hati " " Ia pun menggunakan
saputangannya membantu menepas air mata nona itu, "Aku
cuma main-main..." Siauw Wan Goat mau percaya bahwa ia telah digodia.
"Kau tahu kakak, apakah katanya kakak Hiong malam itu ?"
kata ia. Tan Hong mengawasi. "Kakak Hiong bicara banyak." kata pula Wan Goat yang
terus memberitahukan pembicaraan itu, lebih benar
pembicaraannya It Hiong dengan Teng Thian.
Tan Hong segera berpikir, "Kalau begitu, dia bukanlah Tio
It Hiong palsu !". Maka lantas ia berkata, "Habis itu kakak
Hiong mu itu lantas pergi, bukan ?"
Tapi kakak Hiong gusar sekali karena aku terlalu melit."
Wan Goat berkata. "Dia mencabut pedangnya dan membacok ujung meja !
Kata kakak Hiong bahwa dia tak nanti sembarang menyianyiakan
orang, bahwa dalam urusan jodoh kita harus menikah
dengan sah dan terang ! Kata dia pula, kalau sampai terjadi
demikian, lebih dahulu dia harus bicara dengan kedua kakak
Pek Giok Peng dan Cio Kiauw In. Akhirnya dia kata, urusan
kami itu harus dicari tahu dahulu sampai jelas, sebab dia
menyangkal perhubungan diantara kami berdua....."
Mendengar sampai disitu, Kang Teng Thian campur bicara.
"Kami tengah menyusul dia sampai di jalan umum diluar
kecamatan Kwie teng." katanya. "Disitu si bocah she Tio main
gila, selalunya dia menyangkal, dia pun kurang ajar. Dia
berani melawan aku si orang tua ! Sealgi bertempur, dia
mengangkat kaki dan kabur !"
Mendengar keterangannya Teng Thian itu, Tan Hong
bingung juga. Pemuda itu It Hiong atau Hong Kun "
Wan Goat mengawasi kakak seperguruannya lalu dia
menangis pula. Kata dia, "Justru buat urusanku ini, kami
datang menyusul kakak Hiong ke Siauw Lim Sie ini. Di luar
dugaan, kami telah bertempur dengan para taysu itu....."
Berkata demikian, si nona menunjuk ke arah Gouw To
sekalian, atau mendadak ia melengak.
Disitu tak ada seorang pun pendeta ! Mereka telah pergi
secara diam-diam setelah sebentaran mereka mendengari
pembicaraannya kedua nona itu.
Tan Hong pun melengak tetapi dia lantas berkata : "Kakak
berdua, kalian tunggu ! Nanti aku pergi ke Siawu Lim Sie
untuk meminta keterangan !" lantas dia lari ke arah kuil.
Siauw Wan Goat lompat untuk menahan.
"Kakak !" tanyanya. "Kakak hendak menanyakan
bagaimana "' Tan Hong berdiam sejenak.
"Aku hendak menanyakan kakak Kiauw In dan Giok Peng
berdua sudah kembali atau belum." sahutnya, "Mereka itu
menjanjikan aku datang kemari."
Begitu berkata, Nona Tan lari pula. Wan Goat melongo.
Kang Teng Thian lompat kepada adiknya itu yang ia tarik
bahunya. "Tio It Hiong belum pulang ke Siong San !" katanya. "Mari
kita pergi !" Sekarang Teng Thian percaya keterangannya Gouw To,
maka ia tidak mau menarik panjang urusan pertempurannya
barusan. Wan Goat bersangsi. "Aku hendak menantikan kembalinya kakak Tan Hong."
katanya. "Aku akan mendengar apa katanya...."
Teng Thian berpikir keras hingga wajahnya menjadi
suaram. "Budak Tan Hong dan Hek Keng To datang ke Siong San."
katanya, "bukankah dia pun hendak mencari Tio It Hiong ?"
"Mungkin benar, mungkin bukan...." kata Wan Goat yang
pikirannya kacau. "Kenapa begitu ?" sang kakak tanya heran. Kakak ini
melengak. "Memang kakak Tan Hong lagi mencari kakak Hiong."
menjawab si adik seperguruan. "Tetapi datangnya ke Siong
San ini guna mencari kakak Kiauw In...'
Teng Thian tertawa. "Tidak mungkin budak setan itu merepotkan dirinya sendiri
!" katanya. "Mungkin dia pun mencintai bocah she Tio itu !"
Wan Goat berdiam, hatinya memukul. Kakak itu mungkin
benar. Kalau benar, tambah lagi satu soal baginya. Ia mulai
merasa cemburu. Kedua kakak beradik itu berdiri sekian lama
dengan masing-masing berdiam saja. Wan Goat tunduk.
Sekian lama itu tak nampak Tan Hong kembali.
"Hmm !" bersuara Theng Thian. "Keledia-keledia gundul itu
mencegah kita mencegah kita mendatangi kuilnya, sebaliknya
mereka menerima kedatangannya Tan Hong. Bagaimana itu
".... Bukankah itu disebabkan mereka sengaja hendak
mempersulit kita " Hmm, apakah begitu perbuatannya orangorang
suci?" Wan Goat mengangkat kepalanya, memandang kakaknya
itu. Si kakak masih lagi uring-uringan, maka juga dia merasa
demikian terhadap pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie. Ia
pun lihat wajah muram dari kakaknya itu, yang terang sedang
sakit hati. "Sudah kakak, jangan kakak sesalkan mereka." kata ia
menghibur. "Mereka itu mempunyai aturannya sendiri yang
harus ditaatinya." "Tetapi setiap kuil adalah tempat umum, tempat terbuka !"
kata Teng Thian masih mendongkol. "Mestinya setiap kuil
terbuka pintunya buat orang-orang dari empat penjuru dunia !
Kenapa aneh tingkahnya sekalian keledia gundul dari Siauw
Lim Sie ini " Bukankah terang-terang mereka jahil dan mau
main gila terhadap kita ?"
Wan Goat bingung, ia kuatir kakak ini gusar dan nanti
menyerbu Siauw Lim Sie. Itulah berbahaya dan makin
mempersulit juga usahanya mencari si kakak Hiong.
"Kakak, mari kita tunggu sebentar lagi," katanya kemudian.
"Kita tunggu kembalinya kakak Tan Hong. Nanti kita ketahui
pasti kakak Hiong ada di dalam kuil atau tidak...."
Teng Thian sangat menyayangi adiknya itu. Ia berkasihan
sekali maka dia menungkuli hatinya, menahan sabar. Lewat
pula sekian lama, Tan Hong tetap belum muncul.
Teng Thian mengangkat kepalanya melihat langit. Ia
mendapat kenyataan sang magrib telah tiba. Di pohon-pohon
suara burung sudah mulai terdengar.
"Hm !" katanya, seraya tangannya menjambret lengan
adiknya. "Mari !"
Wan Goat lagi berdiam, ia terkejut, tetapi ia toh turut
ditarik kakaknya itu. Kang Teng Thian mengajak saudaranya itu ke kuil Siauw
Lim Sie karena mereka berlari tidak lama sampailah mereka di
depan pintu dari Hoe In rareja bagian bawah, dari Siauw Lim
Sie. Justru mereka sampai lantas mereka mendengar
berisiknya senjata-senjata beradu bercampur dengan suara
bentakan hinga meeka menjadi heran. Sebaliknya di bagian
luar itu suasana sangat sunyi, satu orang pun tak nampak.
Tanpa membuka mulut, Teng Thiang menuntun adiknya
memasuki pintu gerbang kuil yang tak tertutup dan tak
terkunci. Mereka berlari-lari. Mereka lari dari bagian dalam
sampai di pendopo dalam ke pendopo Wie To Tian. Masih
mereka maju terus hingga melintasi sederet kamar yang pasti
adalah kamarnya para pendeta. Sekarang mereka berada di
lorong yang menjadi halaman muka dari Toa tian pendopo
utama. Adalah disini kedua sisi halaman terlihat banyak sekali
pendeta berbaris. Semua bersenjatakan golok kayoo dan
tongkat panjang sianthung. Mereka itu tengah menyaksikan
dua orang yang tengah bertempur di tengah-tengah halaman.
Kecuali suara berisik senjata, sekarang keadaannya sunyi
sekali. Walaupun demikian kedatangannya Teng Thian berdua ada
juga yang melihatnya. Empat orang pendeta segera muncul
untuk menghadang. Wan Goat sementara itu sedang melihat tegas siapa yang
lagi bertempur itu. Tan Hong dengan seorang pendeta tua.
Tanpa merasa, ia berseru : "Kakak Tan Hong !"
Seorang pendeta yang menghadang menegur : "Sicu
berdua kenapa sicu masih tidak mau turun gunung " Sicu mau
apakah ?" Kang Teng Thian habis sabar, mendadak dia menyerang
dengan pukulan Bu Eng Sin Kun atas mana ke empat pendeta
itu menjerit tertahan, tubuhnya terhuyung-huyung lalu terus
roboh terguling. Semua pendeta di kiri dan kanan menjadi kaget, mereka
menjadi gusar lantas mereka maju mengurung. Beberapa
pendeta lainnya lekas-lekas membantu ke empat kawannya
yang roboh itu yang terus dibawa menyingkir.
Kang Teng Thian tidak takut, dia menghadapi sekalian
pendeta itu. "Para suhu, apakah kalian hendak mencoba merasai Bu Eng
Sin Kun ?" tanyanya.
Belum berhenti suaranya si jago tua, seorang pendeta usia
lima puluh lebih maju menghadapinya untuk segera menanyai
: "Tanpa sebab sicu lancang datang kemari dan melukai
orang, sebenarnya sicuorang tangguh dari mana " Harap sicu
menjelaskan dahulu supaya aku si pendeta kecil dapat
melayanimu !" "Kedudukan apa kau punyai maka kau mau bicara
denganku ?" Teng Thian membalas. "Mana pimpinanmu " Aku
hendak bicara dengannya !"
Ketika itu pendeta yang menempur Tan Hong ialah Gouw
To Taysu, telah menangkis sanhopang dari Nona Tan terus dia
mencelat memisahkan diri, untuk menghampiri Teng Thian,
setelah mengawasi Teng Thian berdua Wan Goat, dia
memberi hormat dan berkata : "Lolap Gouw To adalah ketua
dari kuil Hau Ih dari Siauw Lim Sie ! Kang Sicu ada apakah
pengajaran sicu ?" Kang Teng Thian mengawasi pendeta tua itu, sendirinya ia
menjadi kagum dan menaruh hormat. Si pendeta sangat
tenang, sikapnya sabar dan menghormat. Orang pun berwajah
welas asih. "Toahweshio, buat apa Toahweshio masih menanyakan lagi
?" sahutnya dengan balik bertanya. "Bukankah tadi diluar
telah aku menjelaskannya ?"


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengan sebenar-benarnya Sicu Tio It Hiong belum kembali
ke kuil kami ini." sahut Gouw To dengan sabar, "maka itu aku
mohon Kang Sicu mempercayai perkataanku ini. Lolap harap
sudi apalah sicu lekas turun gunung."
Teng Thian memperdengarkan suara dingin. Kata dia :
"Pintu Buddha terbentang lebar terbuka untuk umum. Karena
itu bagaimana kalau aku si orang she Kang masuk ke dalam
untuk memeriksanya ?"
Alisnya si pendeta terbangun.
"Maaf, sicu." katanya. "maaf yang lolap tidak berani
sembarang melanggar aturan kami sendiri hanya untuk
menerima tamu-tamu agung !"
"Hm ! Hm !" Teng Thian kembali memperdengarkan suara
dinginnya. "Aku si orang she Kang ingin bertemu dengan Tio
It Hiong si bocah tetapi taysu berkokoh mencegahnya, apakah
dengan begitu taysu menghendaki aku terpaksa menggunakan
kekerasan ?" Gouw To Taysu melengak. Orang tak sabaran sekali !
"Kang sicu, kau telah menjadi sangat bergusar !" katanya.
"Kang sicu, sebenarnya buat urusan apakah kau mencari Tio
Sicu " Maka lolap menanya melit padamu."
"Aku yang rendah datang mencari Tio It Hiong buat
mengurus urusan jodoh yang ruwet diantara dia dan adik
seperguruanku ini." sahut Teng Thian. Terpaksa dia harus
memberikan keterangannya. "Aku mesti bertemu sendiri
dengannya guan dia mengasihkan keputusannya !"
Ketika itu Tan Hong yang ditinggalkan Gouw To, datang
menghampiri. Dia telah menyimpan senjatanya dan
tindakannya tenang. Terus dia berkata : "Bapak pendeta
mengatakan adik Hiong belum kembali, itulah mungkin benar,
akan tetapi kedua kakak Kiauw In dan Giok Peng yang telah
menjanjikan datang kemari, benar-benarkah mereka tidak ada
diatas gunung " Inilah sulit buat orang mempercayainya !"
Gouw To memuji Sang Buddha.
"Tio Sicu serta keluarganya itu benar-benar belum kembali
kemari !" kata dia sungguh-sungguh. "Lolap belum pernah
omong dusta !" Siauw Wn Goat lantas campur bicara. Dia mencari It Hiong,
dia memikiri anak muda itu tetapi dia pun tak menghendaki
kakak seperguruannya yang aseran itu bentrok dengan Siauw
Lim Sie. Maka dia berkata : "Baiklah, kalau Toahweshio
melarang kami memasuki kuilmu untuk memeriksa, tetapi
sekaran aku minta dapatkah kami pergi ke kamarnya kakak
Hiong itu, buat melihat sebentar saja ?"
Gouw To bersangsi. "Itulah..." katanya, tetapi segera dia disela Tan Hong, yang
berkata sambil tertawa : "Apakah benar-benar taysu, aturan
kuil kalian ini tak dapat memberi keleluasaan kapada umum ?"
Gouw To mengasi lihat sikap sungguh-sungguh hingga
tampangnya menjadi keren.
"Sicu, kaulah seorang wanita muda sekali tetapi kenapa kau
bicara begini lancang ?" tegurnya. "Ada sebabnya kenapa kami
tidak dapat kami menerima kalian memasuki kuil kami ini...."
Ia terus menoleh pada sekalian murid Siauw Lim Sie yang lagi
mengurung itu, ia mengibaskan tangannya, memberi tanda
supaya mereka itu mundur. Setelah itu ia menambahkan :
"Baiklah dengan bersedia nanti ditegur kakakku yang menjadi
ketua kami, suka aku membiarkan sicu semua ke kamar suci
di belakang puncak gunung kami ini, ke tempat yang
diperuntukkan Tio Sicu supaya sicu puas dan tak lagi
mengatakan lolap mendusta ! Nah, silahkan !"
Menutup kata-katanya itu yang merupakan undangan, si
pendeta merapatkan kedua tangannya selaku tanda hormat.
Setelah itu dia mendahului bertindak maju guna memimpin
ketiga tamu-tamunya itu. Dengan memperdengarkan suara dingin, Kang Teng Thian
mengikuti berjalan bersama Siauw Wan Goat dan Tan Hong
mengintil di belakang mereka. Mereka berjalan di jalan Ceng
Siong To itu dengan tenang dan tanpa bicara. Jarak Hau Ih
kuil Bagian bawah dari Siauw Lim Sie dengan Ceng Thian
pendopo utama, ada tiga atau empat lie jauhnya. Selama itu
mereka merasai shiliran angin diantara dahan-dahan dan
daun-daun cemara (siong), sedangkan suasana magrib makin
nyata. Tepat ketika rombongan ini mendekat Ceng Thian, Siauw
Lim Sie pusat, maka dari arah kuil itu tampak tiga orang
berlari-lari mendatangi hingga lekas juga mereka itu sudah
sampai di depannya Gouw To berempat itu. Di katakan
berempar si pendeta tua pergi seorang diri, semua murid atau
bawahannya di tinggal di Hau Ih.
Dari tiga orang pendeta itu yang berjalan di muka adalah
seorang pendeta tua berjubah kuning, yang tangannya
memegang tongkat sianthung. Selekasnya dia menghentikan
tindakannya, dia melintangi tongkatnya itu sambil dia
memperdengarkan suaranya yang keren : "Sute Gouw To,
sungguh besar nyalimu ! Kenapa kau berani melanggar aturan
kuil " Kenapa kau lancang mengajak orang luar memasuki
daerah terlarang ini ?"
Gouw To menjura, memberi hormat pada orang yang
menegurnya itu, wajahnya menunjuki yang ia jeri sekali.
"Ciangbun suheng maaf," berkata ia. "Beberapa sicu datang
kemari mereka memaksa hendak menemui Sicu Tio It Hiong.
Telah siauwte memberikan keterangan bahwa Tio Sicu belum
kembali, mereka tidak mau mengerti, mereka mendesak dan
memaksa juga. Karena itu buat menghindari pertempuran
yang tak dikehendaki, siauwte terpaksa memimpin mereka
datang kemari guna melihat tempatnya Tio Sicu. Demikianlah
maka siauwte telah terpaksa berani melanggar aturan kuil
kita. Buat itu, siauwte bersedia menerima hukuman....."
Sepasang alisnya pendeta berjubah kuning itu terbangun.
"Telah kami menerima perintah dari Ciang bun suheng
yang melarang siapa pun mendatangi tempat terlarang !"
berkata ia keras. "Sekarang sute, lekas kau kembali ke Hau Ih
! Keadaan disini, akan kakakmu yang urus !"
"Ciangbun suheng" ialah kakak seperguruan yang menjadi
ketua dan "siauwte" berarti "adik kecil" sebagai gantinya
"aku". "Siauwte menurut perintah !" berkata Gouw To yang sambil
memberi hormat, setelah mana ia membalik tubuhnya buat
lari kembali ke Hau Ih. Hatinya Kang Teng Thian panas menyaksikan kejadian di
depan matanya itu. Maka berulang kali ia memperdengarkan
suara dingin "Hm !". Kemudian sambil tertawa, dia kata :
"Kiranya pendeta-pendeta agung dari Siauw Lim Sie pandai
sekali menipu orang ! Baiklah, aku yang rendah, hendak aku
paksa memasuki daerah terlarang dari kalian. Hendak melihat
apakah aturan itu !" Dan lantas ia bertindak maju.
"Tahan !" berseru si pendeta berjubah kuning. "Tuan,
apakah tuan ialah Tocu Kang Teng Thian dari To Liong To "
Kenapa tocu mendesak begini rupa " Kenapakah buat urusan
yang kecil, tocu pasti hendak merusak aturan kuil kami ?"
Teng Thian menghentikan tindakannya. Ia merasa
anginnya tongkat yang dipakai menghadangnya. Pendeta itu
telah lantas melintangi tongkatnya itu. Ia pun tidak senang.
"Biasanya Bu Eng Sin Kun ku tidak mengenali orang !"
katanya keras. "Rupa-rupanya taysu ingin belajar kenal
dengan ilmu silatku itu !"
"Amidha Buddha !" pendeta tua itu memuji junjungannya.
"Kang Tocu tidak suka mendengar kata-kataku si pendeta tua,
kau memaksa hendak melanggar daerah kami. Baiklah, lolap
Ang Sian, ingin lolap mencoba-coba kepandaian Tocu itu....!"
Begitu berhenti kata-katanya si pendeta tua, maka dua
orang yang datang bersamanya, dua pendeta dari angkata
kedua dengan memutar goloknya masing-masing sudah lantas
memajukan diri ke sisi kanan dan kiri pendeta tua itu.
Sampai itu waktu Tan Hong pun bertindak maju. Dia
berkata dingin : "Aku Tan Hong, aku datang kemari karena
aku menyambuti janji ! Jadi kami bukan datang sengaja untuk
kalian kaum Siauw Lim Sie ! Taysu, kalau kau tetap melarang
kami masuk, itulah artinya kau sudah berkeras tak bicara soal
keadilan ! Dengan merintangi kami, kalian pastilah telah
menghina kami sebab kalian mengandalkan pengaruh kalian !"
Ang Sian melirik kepada nona itu.
"Lolap cuma menerima perintah untuk melindungi daerah
terlarang kuil kami !" kata ia. "Nona dapat menggunakan lidah
nona yang tajam tetapi aku tidak menghiraukan itu !"
Kang Teng Thian tidak memperdulikan pembicaraan orang
itu. Ia hanya menoleh kepada Tan Hong.
"Apakah kau tahu tempat mondoknya Tio It Hiong ?"
tanyanya pada si nona. Nona itu menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu." sahutnya.
"Sicu Tio It Hiong tidak berada di kuil kami ini !" berkata
Ang Sian. "Aku minta sicu sekalian jangan salah mengerti,
supaya kita jangan menjadi berselisih karenanya ! Kini sudah
tiba jam pertama, silahkan sicu sekalian pergi turun gunung !"
Mendengar dan menyaksikan semua itu, kembali Siauw
Wan Goat menjadi bingung. Ia ingin mencari Tio It Hiong
tetapi ia juga tak menghendaki kakaknya bertempur melawan
pihak Siauw Lim Sie. Saking bingung, ia berdiam mengawasi
sang rembulan, tetapi otaknya terus bekerja. Mendadak ia
mendapat satu pikiran. "Taysu !" katanya pada Ang Sian. "Sebagai mana taysu
pikir kalau aku sendiri yang masuk untuk menemui kakak
Hiong ?" Ang Sian menjawab cepat : "Maaf, nona. Tak dapat aku
menerima baik permintaanmu ini !"
Sampai disitu, habis sudah kesabarannya Kang Teng Thian.
"Aku si orang she Kang, tak sempat aku melayani kau
bicara lebih jauh !" teriaknya. "Lihat kepalanku !" dan ia
menyerang dengan Bu Eng Sin Kun.
Ang Sian Siangjin bertindak ke samping buat berkelit. Ia
tahu lihainya ilmu silat jago dari To Liong To itu. Tak mau ia
menyampoknya. Habis itu ia putar tongkatnya dengan ilmu
silat Lohan thung, ia hanya menutup diri.
Teng Thian sedang murka, ia tidak memperdulikan segala
apa. Ia menyerang dengan hebat, dengan kedua tangannya
silih berganti, maka itu dapat dimengerti dahsyatnya Bu Eng
Sin Kun. Tetapi Lohan thungnya si pendeta juga mempunyai
latihan puluhan tahun, dapat dia menutup dirinya dengan
baik. Siauw Wan Goat bingung sekali. Tak berdaya buat ia maju
disama tengah. Ia sangat menguatirkan kakaknya nanti salah
tangan hingga onar menjadi hebat dan tak ada jalan untuk
menghindarkannya..... Tan Hong menonton dengan mulut terbuka. Dia kagum
sekali menyaksikan lihainya dua orang yang lagi mengadu ilmu
kepandaian itu. Kedua kawannya Ang Sian pun menonton dengan pikiran
mereka tak tenang, mereka kagum berbareng berkuatir buat
keselamatan pemimpin mereka itu.
Ang Sian melakukan tugasnya. Pula sungguh jelek kalau
Kang Teng Thian, bajingan dari luar lautan diberi kesempatan
memasuki kuil Siauw Lim Sie. Apa kata orang luar kalau
mengetahuinya" Pula, suasana tak mengijinkan.
Harus diketahui ketika itu Siauw Lim Sie tengah mengalami
kedukaan. Itulah sebab ketua mereka, Pek Cut Taysu telah
tiba saatnya untuk berkumpul. Mengenai hal itu belum
diumumkan sampai Gouw To dari Hau Ih, belum mendapat
tahu..... Pertempuran diantara jago tua itu berlangsung terus.
Mereka sama lihainya. Seratus jurus telah dilalui, mereka tetap
sama tangguhnya. Masing-masing sudah menggunakan
kepandaiannya, tiada juga hasilnya Bu Eng Sin Kun, ilmu silat
tanpa bayangan tak mempan terhadap si pendeta tua.
Kemudian tiba saatnya Ang Sian Siangjin menggunakan
tipu tongkat Tiam Hoa Sek Koan, "Membuyarkan Warna
kosong". Dengan begitu ia paksa Kang Teng Thian mundur
tiga tindak. Kesempatan itu ia gunakan untuk berkata : "Kang
Tocu, ilmu silatmu benar luar biasa lihai. Lolap sekarang
menginsafinya ! Tocu harap kau mengenal selatan dan lekaslekas
turun gunung ! Lolap berjanji kalau nanti Tio Sicu datang
kemari, akan lolap menyampaikan kepadanya tentang
minatmu ini !" Tetapi Kang Teng Thian gusar.
"Aku si tua datang kemari, aku suka datang kapan saja !"
katanya bengis. "Dan aku tidak perdulikan tempat itu kadung
naga atau gua harimau ! Pendeta tua, apakah kau sangka
dengan sebatang tongkatmu ini kau dapat menghina aku "
Hm !" Kata-kata itu berarti jago tua dari To Liong To tak sudi di
suruh pergi karena pengaruhnya tongkat, atau dengan lain
arti, Ang Sian dapat bertahan sebab dia mengandal
tongkatnya yang lihai itu.
Ang Sian Siangjin dapat menerka hati orang, ia menjadi
tidak puas. Hingga wajahnya yang tenang menjadi suaram,
alisnya pun terbangun. Ia lantas kata sungguh-sungguh,
"Kang Tocu, apakah ini artinya kau mau bertempur terus
dengan lolap dan kita tak akan berpisah sebelum ada
kepastian siapa hidup, siapa mati ?"
Teng Thian tertawa dingin secara menghina.
"Aku si tua sudah biasa mengembara dan biasa melihat
darah berhamburan !" katanya keras. "Mana aku takuti hanya
sebatang tongkat. Kau benar pendeta tua ! Mari kita jangan
berpisah sebelum kita melihat siapa mati siapa hidup !
Setujukah kau ?" Ang Sian mengawasi senjata ditangannya, mulutnya
berkelamik, otaknya bekerja. Kemudian ia menyerukan Sang
Buddha untuk akhirnya berkata : "Kita berdua bertempur lolap
menggunakan tongkatku ini, tocu dengan bertangan kosong.
Kalau hal itu didengar dunia Kang Ouw, rasanya kurang bagus
atau mungkin orang akan mentertawakannya karena dianggap
jenaka ! Laginya kalau umpama kata lolap menang, terang
itulah bukan menang kegagahan !" Ia lantas menancapkan
tongkatnya di lantai, dalamnya dua kaki, setelahh mana ia
menggulung lengan bajunya. Ia berkata pula : "Kang Tocu,
kau tidak mau mendengar nasehatku si pendeta tua supaya
kau turun gunung, tetapi lolap pun telah menerima perintah
ketuaku untuk melarang orang-orang asing lancang memasuki
kuil kami. Maka itu sekarang baik kita atur begini saja. Tocu


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mari kita putuskan urusan kita ini dengan kepandaian kita !"
"Kau benar pendeta tua." kata Teng Thian. Dan dengan
sengaja dia tambahkan : "Silahkan lohweshio mencabut
tongkatmu ini !" Tapi Ang Sian berkata dengan sungguh-sungguh. "Tidak
tocu ! Akan aku si pendeta tua menggunakan tangan kosong !
Dengan ilmu silat Lohan Kun, akan aku layani Bu Eng Sin Kun
!" "Bagus !" berseru para jago tua dari To Liong To itu. "Nah,
kau lihatlah tanganku !" Dan ia lantas menyerang dengan
jurus silat "Guntur mengguratkan langit", sebelum kepalannya
meluncur anginnya sudah mendahului.
"Tunggu dahulu !" berseru Ang Sian sambil ia berkelit. "Aku
masih ada bicara lagi."
Kang Teng Thian tertawa. "Apakah itu ?" tanyanya. "Apakah itu pesan terakhir "
Silahkan ucapkan !" Ang Sian menatap muka orang.
"Kalau kita tetap bertempur seperti tadi, entah itu kapan
habisnya." katanya. "Aku mempunyai satu jalan dengan apa
urusan mudah disudahi......"
"Apa juga adanya itu, aku si tua bersedia menerimanya !"
kata Teng Thian cepat. "Kau sebutkanlah ! Hendak aku lihat,
apakah jalanmu itu pendeta !"
Ang Sian tertawa. Selagi orang tak sabaran, ia bergembira.
"Jangan kuatir tocu" berkata ia. "Lolap menjadi muridnya
Sang Buddha, tak nanti lolap mengandung maksud jahat ! Aku
nanti melayani tocu selama beberapa jurus guna mencari
beberapa anak tangga untuk memudahkan kita turun ke
bawahnya !" "Sudah, jangan bicara saja !" jago To Liong To memutus.
"Bilanglah apa adanya itu !"
Ang Sian melirik kepada Tan Hong semua lalu ia
menghadapi pula Teng Thian untuk berkata dengan nyaring,
"Kalau kita hanya bertempur, kita akan menemui pula jalan
buntu. Maka itu aku ingin membataskan sampai hanya tiga
puluh jurus ! Di dalam tiga puluh jurus itu, asal tocu dapat
mengalahkan lolap, akan lolap beri kebebasan buat Tocu
memasuki kuil kami ini. Sebaliknya jika Tocu gagal, maka aku
minta Tocu beramai segera pergi berangkat meninggalkan
tempat ini! Nah, bagaimana Tocu pikir caraku ini ?"
"Bagus !" berseru Kang Teng Thian dengan cepat. "Baiklah
bagiku !" Hatinya Siauw Wan Goat lega mendengar perjanjiannya
Ang Sian Siangjin itu, sedangkan mulanya ia berkuatir takut
nanti Teng Thian kena terpedayakan. Celaka kalau saudaranya
itu roboh. Di lain pihak ia bersyukur kepada pendeta itu yang
hatinya mulia. Tan Hong sebaliknya, ia berdiam sampai tunduk saja,
alisnya pun dikernyitkan. Nona ini ragu-ragu dengan
kesudahannya pertempuran itu.
Wan Goat melihat sikapnya Nona Tan, ia menghampiri
nona itu. "Kakak, kau pikirkan apa ?" tanyanya.
Tan Hong menggeleng kepala, kemudian ia menghela
nafas. "Aku melihat bahwa akhirnya pertempuran ini bakal hebat
sekali." katanya. "Aku berkuatir yang dua-duanya bakal celaka
bersama !" Nona Siauw terkejut. "Apa kata kakak ?" tanyanya.
Tan Hong menunjuk kepada Ang Sian dan Teng Thian.
"Dua ekor harimau berkelahi, mana dapat mereka berhenti
dengan bersahaja ?" sahutnya. "Kau lihat saja !"
Wan Goat menoleh ke arah yang ditunjuk. Kiranya Teng
Thian dan Ang Sian sudah mulai bertarung dan pertarungan
sudah lantas menjadi hebat. Sebab Kang Teng Thian tidak
memikir lain daripada cepat menang supaya ia bisa segera
mencari Tio It Hiong. Dengan mendelong Wan Goat menonton terus, pikirannya
kacau. Maka ia mencekal keras tangannya Tan Hong guna
menungkuli tegang hatinya.
Kedua pengikutinya Ang Siang pun menonton dengan
mendelong, sedangkan dengan menyiapkan goloknya, mereka
harus memasang mata dan bersiap sedia.
Hebatnya pertempuran membuat kedua pihak yang
menonton pada mengundurkan diri. Anginnya pelbagai
serangan hebat sekali, salah-salah orang bisa celaka
karenanya. Pertarungan berlangsung dengan cepat, terus dengan
hebat. Karena itu walaupun mereka hanya bertaruh,
kenyataan mereka menjadi mengadu jiwa. Pihak yang satu
bertahan, pihak yang lain hendak merobohkanya. Tak heran
kalau pihak yang ini mesti mengeluarkan kepandaiannya.
Sebagai seorang pendeta, orang beribadat pelajarannya
Ang Sian Siangjin berpokok pada "Liok Bie Cia bhie", Enam
kesempurnaan dan sebagai orang sesat, Kan Teng Thian
berdasarkan "Hek Khie Sia kang", ilmu hawa hitam. Sebagai
pokok dasar silatnya, Ang Sian menggunakan Lohanthung,
tongkat arhat, sebaliknya Teng Thian memperkuat diri dengan
Bu Eng Sin Kun, silat tanpa bayangan. Ang Sian sekarang
melepaskan tongkatnya, karena bertangan kosong ia
mengandalkan Lohan Kun, silat Tangan Arhat. Beda daripada
pertempuran yang umumu, mereka biasa memisahkan diri
sejauh tiga atau empat tombak.
Hebatnya pelbagai pukulan membuat Tan Hong dan Siauw
Wan Goat mundur lebih jauh lagi, sedangkan kedua murid
Siauw Lim Sie, pengiringnya Ang Sian Siangjin entah telah
pergi kemana. Siauw Wan Goat berkuatir bukan main. Kedua lawan itu
sudah bertempur lama, sampai mereka lupa pada janji tiga
puluh jurus. Diantara mereka pun tidak ada juru pemisah.
"Kenapakah kakakku jadi begini sukar !" kata Wan Goat
pada Tan Hong. "Aku berkuatir......"
"Ya, akupun berkuatir." kata Nona Tan.
Boleh dibilang baru saja suaranya Nona Tan berhenti atau
mereka berdua sudah mendengar seruan tertahan yang hebat,
terus mereka melihat kedua orang yang bertempur itu samasama
mencelat mundur. Tubuh mereka terhuyung-huyung,
terus keduanya sama roboh !
Menyaksikan demikian mulanya kaget Tan Hong, lantas
menarik tangannya Wan Goat buat diajak lari memburu.
Wan Goat kaget bukan main.
"Suheng !" teriaknya sambil dia lari tertarik Tan Hong.
Selekasnya sampai pada kakak seperguruannya, ia lompat
untuk menubruk dan memegang bahunya kakak itu niat untuk
digoyang-goyang atau ia menjadi kaget bukan kepalang. Ia
mendapati kepalanya Kang Teng Thian sudah pecah, polonya
hancur, mukanya penuh darah, nyawanya pun sudah terbang
! "Suheng !" teriak si nona yang terus menangis karena dia
habis daya. Justru itu di belakangnya, dia mendengar suara
pendeta yang memuji Sang Buddha sembari terus ia berkata
dengan suara dalam : "Suheng telah menegakkan aturan kita,
ia mentaati perintah Ciangbun suheng, karenanya dia telah
berpulang ke nirwana......Siancay ! Siancay !" Kesudahannya
suara itu menjadi serak dan tangisan tertahan......
Tan Hong menoleh dengan lantas, maka di sisinya
tubuhnya Ang Sian Siangjin ia melihat seorang pendeta tua
berjubah kuning tengah menjura memberi hormat pada
pendeta yang lagi rebah tidak berkutik itu.
Tadi itu Kang Teng Thian kalah sabar dengan Ang Sian
Siangjin. Dia ingin merebut kemenangan supaya dia bisa
mencari It Hiong, maka sesudah bertempur sekian lama tanpa
hasil, dia mencari saat terakhirnya. Selekasnya ia memperoleh
kesempatan yang paling baik, dia lompat menerjang dengan
satu hajaran maut ke dadanya Ang Sian.
Pendeta dari Siauw Lim Sie itu kena terdesak, tak dapat ia
menangkis atau berkelit. Maka itu terpaksa ia pun
menggunakan hajaran mautnya guna membalas menyerang.
Dan ia menyambut musuh pada kepalanya. Maka juga
akibatnya mereka saling terhajar, dua-duanya roboh. Yang
satu kepalanya pecah, yang lain dadanya ringsak. Jiwanya
melayang dengan berbareng......
Tan Hong mengenali pendeta itu ialah Gouw Ceng Taysu,
salah satu dari lima ketua Ngo Lo dari bahagian Kam Ih dari
Siauw Lim Sie. Pendeta mana datang selekasnya dia
menerima laporannya kedua pengikut dari Ang Sian tetapi dia
tiba terlambat hingga dia cuma bisa menyesal dan berduka.
Tengah Nona Tan diam saja karena dia tidak tahu harus
berbuat apa, tiba-tiba ia melihat cahaya terang yang lagi
mendatangi dengan cepat hingga dilain saat ia mendapati tiga
atau empat puluh pendeta menghampiri ke arahnya. Mereka
itu pada membawa lentera hingga terang sekali tampak
mereka berlerot. Tepat itu waktu, satu sinar tampak berkelebat dari bawah
melesat ke atas gunung sampai di tempat mereka berkumpul.
Hanya sedetik segera ternyata sinar itu sinarnya sebuah
pedang yang tajam yang dibawa oleh seorang pemuda.
Setibanya pemuda itu bertindak perlahan menghampiri Gouw
Ceng Taysu. "Orang pandai dari manakah yang telah datang kemari ?"
Gouw Ceng menyapa sebelum ia melihat tegas. "Pinceng
minta suka apalah sicu memberitahukan nama atau gelaran
sicu yang mulia......"
Anak muda itu berjalan terus hingga ia berada di depan si
pendeta terus ia mengangkat kedua tangannya buat memberi
hormat sambil dia berkata : "Aku yang rendah ialah Tio It
Hiong ! LoSiansu, selamat bertemu pula !'
Kata-kata Tio It Hiong menyadarkan Siauw Wan Goat yang
sekian lama itu masih menangis sesegukan perlahan. Dengan
cepat dia berpaling maka diantara terangnya banyak lentera
dari para pendeta Siauw Lim Sie, ia dapat melihat wajah
tampan dan sikap gagah dari kakak Hiongnya.....
Sementara itu It Hiong heran sekali. Ia melihat rebahnya
Ang Sian yang lagi diangkat oleh beberapa pendeta.
"Apakah ada terjadi sesuatu, loSiansu ?" ia tanya Gouw
Ceng. Pendeta itu menoleh air matanya. Dia tak lantas menjawab
si anak muda hanya sambil mengawasi muridnya Ang Sian, ia
berkata : "Kalian bawa Ang Suheng ke Tatmo Ih dan semua
orang lainnya lekas pulang !"
Perintah itu dilakukan dengan cepat.
Setelah semua muridnya pergi, Gouw Ceng menghela nafas
dan berkata, "Tidak disangka-sangka Ang Suheng karena.....
karena urusan ini telah mesti kehilangan jiwanya bersamasama
Kang Teng Thian. Hampir pendeta ini menyebutkan hal Ang Sian menempur
Teng Thian sebab Teng Thian memaksa mencari si anak
muda. It Hiong heran. Ia melihat si pendeta seperti beragu-ragu.
Ia lantas menoleh ke sekitarnya, maka sekarang ia melihat
rombongannya Kang Teng Thian yang terpisahnya dari ia
berdua Gouw Ceng kira-kira tiga tombak. Tan Hong lagi berdiri
diam bersama Siauw Wan Goat, di depan mereka rebah mayat
satu orang, yaitu ketua partai To Liong To, sesosok mayat
yang berlumuran darah. Ia mengerutkan alis, otaknya bekerja.
Lantas ia dapat menerka sebab musababnya peristiwa hebat
ini. "Kakak Tan Hong !" ia segera memanggil nona dari Hek
Keng To itu, "Nona, apakah...."
Ketika itu Tan Hong tengah berdiri melongo. Ia girang
bukan main melihat anak muda itu, yang ia cari semenjak
mereka berpisah di Ay Lao San. Ia heran atas datangnya si
anak muda yang menggunakan ilmu ringan tubuh yang luar
biasa itu. Ia memang tak tahu halnya It Hiong pandai Gie
Kiam Sut. Sekarang ia melihatnya untuk pertama kali. Pula
untuk sesaat, meskipun ia bergirang ia kuatir nanati bertemu
pula dengan Tio It Hiong palsu. Ia bagaikan baru mendusin
dari mimpinya tatkala ia mendengar panggilan anak muda itu.
Tidak ayal lagi, ia menarik tangannya Siauw Wan Goat untuk
diajak menghampiri. Ia berjalan perlahan-lahan sembari
menghampiri itu, ia mengawasi muka orang.....
It Hiong pun mengawasi, malah segera menyapa, "Kakak,
kakak mencurigai aku bukan " Kakak, akulah Tio It Hiong !
Kakak, bagaimana dengan Paman Beng dan saudara Hoay
Giok ?" Kata-katanya ini melenyapkan kesangsian Tan Hong. Itulah
tanda rahasia dari mereka memisahkan diri di gunung Ay Lao
San. Dengan pertanyaan itu, maka teranglah It Hiong ini It
Hiong tulen. Bukan main girangnya Tan Hong. Sekarang dia girang
tanpa kesangsian sedikit juga. Maka dia lompat maju akan
menyambar tangannya si anak muda sembari tertawa
gembira, dia berkata riang : "Oh, kau benar benarlah adik
Hiong " Oh, adik, kau membuat kakakmu bersengsara
mencarimu berputar-putaran !"
Saking girangnya nona ini tak malu-malu lagi mencekal
lengannya si anak muda dan berbicara secara terbuka itu, ia
sampai tak menghiraukan Wan Goat disisinya.
Nona Siauw pun menghampiri, ia menjambret ujung baju si
anak muda. "Kakak Hiong... !" katanya. Suaranya sedih setelah mana ia
terus menangis sedu sedan dan air matanya bercucuran
deras. It Hiong heran hingga ia melongo.
"Eh, eh, kalian lagi berpepasan apakah ini ?" tanyanya.
Sampai disitu, Gouw Ceng Taysu lantas memperdengarkan
suara dinginnya : "Hm !" ia mengawasi bengis pada Tan Hong
dan Wan Goat setelah mana dia berkata : "Tio Sicu, ketika
Sicu tiba disini barusan, apakah sicu tidak bertemu dengan
ketua Hau Ih dari Siauw Sit San, sute Gouw To " Kenapa sicu
masih belum ketahui halnya ketua dari To Liong To sudah
lancang memasuki daerah terlarang kami ?"
Kembali It Hiong melengak, tapi hanya sedetik, ia lantas
merangkap kedua tangannya buat memberi hormat pada
pendeta itu. "Maafkan aku yang muda, loSiansu." katanya. "It Hiong
datang kemari secara sangat tergesa-gesa, maksudku ialah
untuk segera cepat menemui ayah angkatku yang katanya


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah terluka parah ! Begitulah malam-malam juga aku datang
kemari, karena aku tidak mau mengagetkan Hau Ih langsung
datang kemari, bahkan aku menggunakan ilmu ringan tubuh
Gie Kiam Sut. Demikianlah aku jadi tidak ketahui hal yang
dikatakan loSiansu barusan."
Wan Goat sementara itu ketahui kesalahannya, sembari
menangis ia campur bicara, katanya : "Kakak Hiong, semua ini
adalah salahku ! Akulah yang membujuki kakak
seperguruanku datang ke Siauw Lim Sie ini hingga
kesudahannya terjadi ini peristiwa hebat sekali dan sangat
menyedihkan..... Kakak, kau bunuhlah aku supaya dapat aku
menebus dosaku...." Muka cantik dari si nona menjadi pucat sekali, kedua belah
pipinya penuh teralirkan air matanya yang bercucuran deras.
Ia menangis sesegukan. Tapi ia mencoba menguasai dirinya,
maka juga kemudian, walaupun sambil terputus-putus dapat
ia menjelaskan tindak tanduknya bersama Kang Teng Thian
kakaknya seperguruannya itu, bagaimana mereka itu sudah
mendaki Siauw Lim Sie sampai akhirnya terjadi peristiwa
sangat hebat dan menyedihkan itu, sebab Teng Thian dan Ang
Sian Siangjin mesti membuang jiwanya secara kecewa.
Mendengar penuturan itu, It Hiong menarik nafas dalamdalam,
matanya mengawasi Gouw Ceng Taysu, pendeta mana
berdiam sejak tadi. Kemudian barulah dia berkata : "Tio Sicu,
kaulah tuan penolong kami, dengan memandang muka Sang
Buddha yang maha suci, dapatlah buat sementara itu lolap
menyudahi urusan ini sampai disini, buatku tak campur tahu
pula. Sicu, segala sesuatu lolap serahkan kepada sicu untuk
memutuskannya. Sekarang tinggal soalnya In LoSiansu yang
lukanya sangat parah, jiwanya terancam bahaya setiap detik,
maka itu perlu sicu lekas pergi menjenguknya di dalam kuil
kami, supaya sicu dapat kesempatan menemuinya ! Nah,
perkenankanlah lolap pergi dahulu ! Maaf !'
Begitu dia berkata, begitu pendeta itu memberi hormat dan
berlalu dengan cepat. Sejenak It Hiong melengak, lalu lekas-lekas ia membalas
hormatnya si pendeta. Kemudian ia berdiri menjublak pula
karena pikirannya kacau sekali. Ia menengadah langit,
mengawasi si puteri malam. Ia terus berdiam saja.
Selama itu, Tan Hong berdiam saja. Ia melihat dan
mendengar. Mulanya beragu-ragu It Hiong ini It Hiong tulen
atau It Hiong palsu. Ia lalu dapat mengambil ketetapan bahwa
orang adalah It Hiong tulen. Bukan main girangnya. Inilah
pemuda dengan siapa ia bersama-sama mendatangi gunung
Ay Lao San, dimana mereka bekerja sama menempuh bahaya.
Inilah si pemuda yang sekian lama ia cari-cari dan baru
menemukannya pula. Sekarang ia melihat kekasihnya itu,
walaupun baru sepihak sebab ia yang tergila-gila sendiri pada
It Hiong "digembrengi" Siauw Wan Goat. Biar bagaimana ia
adalah seorang wanita, dan sebagai wanita tak dapat ia
membiarkan lain wanita mencoba "merampas" kekasihnya itu.
Maka juga tanpa ia merasa timbul rasa cemburunya. Tapi ia
sabar dan dapat berlaku tenang. Maka ia tidak menyela guna
menegur Wan Goat. Hanya sambil tertawa ia menyapa, "Adik
Hiong ! Adik, kau sedang pikirkan apa " Kenapa kau tidak
lekas-lekas pergi melihat In Locianpwe ?"
It Hiong terkejut. Sapaan si nona membuatnya sadar.
"Kakak, harap tunggu aku di Hau Ih dari Siauw Lim Sie !"
katanya. Lalu tanpa menghiraukan Wan Goat lagi, ia memutar
tubuhnya buat berlari pergi.
Tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat dan seorang
menghadang di depannya si anak muda. Dialah Siauw Wan
Goat, nona dari To Liong To. Nona ini memiliki Kwei Siam
Tong Hian, ilmu ringan tubuh yang mengagumkan.
"Kakak Hiong, benarkah kau begini tega ?" kata nona itu,
tampang dan suaranya sedih. "Kenapa kau pergi tanpa
mengucapkan sepatah kata padaku " Kakak...."
It Hiong melengak. Terpaksa, ia menunda langkahnya.
"Tak dapatkah urusan kita ini kita bicarakan lain kali saja ?"
tanyanya. "Sekarang ayah angkatku yang tengah terluka
parah...." "Kakak, aku tidak berani merintangi kau menjenguk In
Locianpwe." sahut Wan Goat. "Hanya aku ingat pada kakak
Kang Teng Thian. Kakak Kang datang kemari dan
mengantarkan jiwanya cuma disebabkan dia mau cari kau
buat mendengar kabar baik dari kau...."
Tak senang It Hiong dengan kata-kata nona itu. Ia merasa
seperti dibangkit. Maka juga sepasang alisnya bangun berdiri.
Tapi dia menahan hawa amarahnya.
"Nona, aku minta kau jangan bagaikan melihat aku."
katanya. "Soal cinta bukannya soal yang dapat dipaksakan !"
Mendadak Wan Goat menghentikan mengucurnya air
matanya, ia pula menggertak gigi.
"Kau begini tipis perasaan, kau menyangkal cintamu sendiri
!" katanya keras. "Kalau begitu kau kembalikanlah kesucian
tubuhku !" It Hiong melengak, lalu mukanya padam.
"Jangan kau mengaco belo !" bentaknya.
"Jangan kau menyembur orang dengan darah. Kau
memfitnah aku. Kau membuatku penasaran!"
Wan Goat juga gusar, sampai tubuhnya bergemetar.
"Kata-katamu masih mendengung dalam telingaku !"
katanya keras. "Apakah yang kau telah janjikan padaku ?"
Suara si nona keras tetapi tajam dan menggetar. It Hiong
melengak. Ia mengawasi nona itu, tampang siapa
mendatangkan rasa kasihan. Nona itu sangat bergusar dan
bersedih sekali. Dia menyintai dan berpepasan. Dia korban
cintanya, cinta yang ditumpahkan ditempat yang keliru. Dia
telah tersesat. Kesudahannya dia harus dikasihhani. Biar
bagaimana It Hiong berkasihan terhadapnya. Tapi baginya
urusan adalah lain. "Orang dengan siapa kau bercinta-cintaan bukannya aku !"
katanya kemudian dengan keras. Ia berkata dengan
menguatkan hatinya. "Apa yang kalian bicarakan itu tidak ada
hubungannya denganku !"
Tubuhnya Wan Goat bergemetar pula. Kali ini ia seperti
dihajar guntur. Mendadak ia berlompat atau menubruk It
Hiong dengan kedua tangannya ia memegangi kedua bahunya
si anak muda terus mengerung-gerung....
Hampir It Hiong menolakkan kedua belah tangannya, sebab
hatinya pun panas. Syukur di detik itu juga dapat ia
menguasai diri. ia dapat mengerti si nona kalap, sebab orang
telah mengakalinya dan merusak kehormatan tubuhnya yang
paling suci. Sebab nona tertipu karena dia sangat
mencintainya. Ia boleh tak menyukai nona itu tetapi si nona
sebenarnya harus dikasihhani.
Tak dapat berbuat sesuatu, It Hiong menjadi berdiri diam
saja. Wan Goat menangis sampai ia berhenti sendirinya, karena
It Hiong berdiam saja. Ia pun tak dapat berkata apa-apa.
It Hiong berdiam walaupun pikirannya kacau, ia mencoba
berpikir. Ia harus dapat lolos dari urusannya nona ini.
Ketika itu sudah jam empat, rembulan indah juga sunyi. Si
puteri malam yang sudah menggeser ke barat membuat tubuh
orang menciptakan bayangannya.
Selagi muda mudi ini sedang menjublak tiba-tiba mereka
dikejutkan bunyinya genta jam lima yang datangnya dari
dalam kuil. It Hiong menghela nafas, ia melepaskan diri dari Wan Goat.
Ia bertindak perlahan, mulutnya memperdengarkan suara
perlahan hampir tak terdengar, "Kalau gunting tak
memutuskan benang masih tetap kusut dan itulah hebat...."
Wan Goat pun berkata :"Kakak Hiong malam ini aku dapat
berada bersama-sama kau inilah saat paling berbahagi bagiku.
Kakak, biarnya kau menyuruh aku mati, aku tak penasaran
atau menyesal ! Kakak...."
It Hiong mengawasi nona itu yang mukanya penuh bekas
air mata. Sedih hatinya mukanya si nona toh bersenyum
redup. Dia cantik, biar bagaimana dia tetap manis. Sinar
matanya nona itu juga mendatangkan rasa haru.
Wan Goat merapikan rambutnya yang kusut !
"Ya, kakak, aku mengatur sekarang" katanya perlahan,
"tidak selayaknya aku menggembrengi kau...."
Mendengar suara nona itu, sejenak It Hiong berdiam. Ia
heran berbareng berlega hati, tapi cuma sejenak lantas ia
mengasi lihat tampang sungguh-sungguh.
"Nampaknya sekarang kau dapat menenangi dirimu."
katanya. "Ya." sahut nona itu. "Sekarang aku insyaf bahwa sampai
sebegitu jauh tindak tandukku kejam. Memang tak dapat aku
memaksakan kau supaya kau menganggap aku sebagai
istrimu ! Laginya apa gunanya nama belaka. Sekarang aku
cuma ingin kau memikir menyintai aku supaya aku pun
menyerahkan ketika padamu supaya kedua hati menjadi satu,
menjadi saling menyinta buat selama-lamanya sampai laut
kering dan batu bonyok, supaya hati kita kuat bagaikan
kokohnya emas murni. Kakak Hiong ! Dapatkah kau menerima
baik keinginanku semacam itu. Kakak, kau terimalah !'
It Hiong mesti berpikir keras. Lagi satu kesulitan !
Menerima tetapi ia telah mempunyai beberapa istri ! Tidak
menerima, bagaimana si nona harus dikasihhani " Bagaimana
kalau nona itu nekad berpikiran pendek " Bukankah secara
tidak langsung ia juga yang membinasakannya "
Beberapa detik lamanya anak muda ini mengawasi langit.
Sang fajar indah dan nyaman. Di waktu demikian, seharusnya
orang tenang dan berpikiran terbuka.
"Baiklah, aku terima permintaanmu ini." akhirnya ia kata.
"Cuma dengan begini aku menjadi menyia-nyiakan kau buat
seumur hidupmu ! Sebenarnya buat apakah itu ?"
Hatinya Wan Goat lega. "Kakak, aku tahu kesulitanmu." katanya. "Tetapi aku tak
akan mendatangkan kesulitan untukmu. Di dalam segala hal
akan aku dengar dan turut kata-katamu. Buatku sudah cukup,
sudah mempuaskan hatiku, asal kau menyerahkan hatimu...."
Jilid 40 "Kakak Hiong, apakah kau ragu-ragu ?" tanya Wan Goat.
"Kalau begitu baiklah, akan aku terima nasibku...." Lalu ia
menangis pula. It Hiong melengak. "Aku terima kau tanpa ragu-ragu !" katanya kemudian.
"Oh, kakak Hiong, akhir-akhirnya !" seru si nona yang
menjadi tertawa. "Kakak !"
It Hiong mengangguk. Wan Goat menghampiri anak muda itu buat mencekal
kedua tangannya erat-erat.
"Kakak, tak berani aku mengganggu kau lebih lama pula."
katanya. "Kakak, kau pergilah ke kuil! Aku pun mau lantas
pergi !" It Hiong menghela nafas. "Adik, kau pergilah !" katanya. "Sampai kita jumpa pula !"
Dengan perlahan Wan Goat melepaskan cekalannya, ia
mundur satu tindak. Ia menatap wajah si anak muda, sekian
lama ia berdiam saja. Kemudian ia menggigit giginya dan
bertindak kepada mayatnya Kang Teng Thian untuk memberi
hormat pada mayat itu akan akhirnya untuk dipondong.
"Kakak Hiong, aku pergi !" katanya sambil menoleh pada si
anak muda. It Hiong mengawasi, ia mengangguk.
Wan Goat lantas berjalan, baru kira lima tombak mendadak
It Hiong memanggil, "Adik Wan Goat tunggu !" Dan dia lari
menghampiri. Wan Goat menghentikan langkahnya.
"Bagaimana kakak ?" tanyanya heran.
"Apakah kau mau pulang langsung ke To Liong To ?" It
Hiong tanya. Si nona mengangguk. "Ya." sahutnya. "Sekarang hendak aku mengubur jenazah
kakakku ini di kaki gunung, habis itu hendak aku pulang
langsung ke To Liong To. Di sana nanti hendak aku menuruti
kata-katamu kakak, hendak aku merubah cara hidupku dari
sesat menjadi lurus, hendak aku meninggalkan "kalangan
kaum Hek To." "Itu bagus adik ! Sekarang aku mau tanya kau, sudikah kau
melakukan sesuatu untukku ?"
Wan Goat mengawasi tajam.
"Apakah itu kakak " Bilanglah ! Biarnya menyerbu api,
senang aku melakukannya !"
It Hiong berkata perlahan, "Aku minta adik tolong mencari
tahu tentang kepandaiannya mereka yang turut dalam Bu Lim
Cit Cun. Lebih baik lagi kalau mereka itu dapat diadu domba
hingga mereka bentrok diantara kawan sendiri."
Wan Goat berpikir. "Buat mencari tahu tentang kepandaian mereka, mungkin
dapat." sahutnya kemudian. "Hanya membuat mereka bentrok
satu dengan yang lain, ini sulit juga. Tapi baiklah, akan aku
coba sebisaku ! Dapat, bukan ?"
It Hiong mengangguk. "Nah, kau berhatilah !" pesannya. "Nanti kita bertemu pula
di In Bu San !" Wan Goat mengiyakan perlahan, ia berdiri diam saja.
It Hiong sebaliknya. "Nah, aku pergi !" katanya, terus ia memutar tubuh dan
berlari pergi. Sesampainya di kuil Siauw Lim Sie, It Hiong tidak berani
mendatangkan banyak berisik. Di sana orang repot
menyembanyangi Ang Sian Siangjin. Maka ia minta seorang
kacung mengantarkannya kepada Liauw In Taysu, setelah
keduanya bicara sebentar lantas mereka pergi ke kamar
tempat In Gwa Sian berobat.
Pat Pie Sin Kit terluka parah sekali. Kalau ia toh masih
dapat bertahan itu terutama disebabkan kekuatan tubuhnya,
yang dibantu pula obat dari Siauw Lim Sie yaitu pil Bun Biauw
Leng Tan yang Pek Cut Taysu berikan padanya. Di lain pihak
ia dapat menguatkan hati karena ia ingin sekali dapat
menemani It Hiong, anak angkat yang ia sangat sayang dan
cintai. Di sepanjang jalan It Hiong dan Liauw In tidak omong
barang sepatah kata. Keduanya pun mendukai Pek Cut Taysu
dan Ang Sian Siangjin. Tiba di pintu model rembulan, Liauw In
menghentikan langkahnya, dengan perlahan ia kata pada It


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hiong, "Sicu, sudah sampai ! Silahkan kau masuk seorang diri
!" "Terima kasih." sahut si anak muda, yang terus melambai si
pendeta, untuk melangkah maju terus. Ia memasuki taman
menuju ke kamar tempat beradanya In Gwa Sian. Dari luar,
sudah terdengar suara rintihan perlahan. Mendengar mana ia
merasa hatinya sakit. Maka ia mempercepat langkahnya.
Tiba di muka pintu, meski hatinya mendesak, It Hiong tidak
melupai aturan dari Siauw Lim Sie. Ia mengetuh pintu yang
tidak dikunci, hanya dirapatkan.
Seorang kacung membuka pintu, dia menatap si anak
muda, hendak ia bertanya atau Liauw In dari kejauhan
memperdengarkan suaranya, "Anak Ceng, kau sambut dan
pimpinlah Tio Sicu masuk !"
Mendengar itu si kacung memberi hormat. "Silahkan !" ia
mengundang. It Hiong bertindak masuk, terus kedalam kamar. Ia tidak
menanti sampai ditunjuki lagi oleh kacung itu. In Gwa Sian
rebah diatas pembaringan. Rintihannya tak hentinya. It Hiong
melihat muka si ayah sangat pucat, rambutnya kusut,
matanya dirapatkan. Kecuali rintihannya, dadanya pun
bergerak turun naik. Itulah tampang dari "pelita kekurangan
minyak." Dengan lantas air matanya si anak muda bercucuran deras.
Ia lompat ke depan pembaringan untuk berlutut, dengan
suara sedih dan serak ia memanggil-manggil : "Ayah ! Ayah !
anak Hiong pulang !"
In Gwa Sian berdiam saja. Dia tak menyahuti dan tubuhnya
pun tak bergerak. Bukan main kuatirnya It Hiong, hatinya terasa hancur. Ia
lantas memeluki kedua kakinya ayah angkat itu.
"Ayah !" ia memanggil pula. "Ayah, anak Hiong pulang !
Lihatlah !" Dengan air mata tergenang, hingga ia menjadi bagaikan
lamur, anak muda itu mengawasi ayah angkatnya itu. Baru
sekarang In Gwa Sian membuka matanya perlahan-lahan.
Sekian lama ia mengawasi si anak angkat. Rupanya ia telah
mendengar dan mengenali, maka tampaklah senyumnya.
"Hiong... anak Hiong.... kau telah pulang ?" katanya
perlahan dan putus-putus. Setelah itu nafasnya memburu.
Meski begitu ia dapat menggerakkan tangannya menyuruh
anaknya duduk. It Hiong berbangkit untuk memeluki tubuh ayah itu, buat
dikasih duduk menyender. "Ayah, ayah terluka dibagian apa ?" tanyanya. "Kenapa
lukanya begini parah ?"
"Tak... usah aku menjelaskan lagi tentang itu...." kata si
ayah sangat perlahan dan sukar. "Kau juga jangan
menangis.... Kau dengar kata-kataku yang terakhir....."
Airmatanya si anak muda bercucuran pula dengan deras,
hatinya sakit. Ia melihat ayah angkat itu tak dapat bertahan
lebih lama. "Ayah mau memesan apa...." katanya kemudian. "Bicaralah
ayah, anak Hiong mendengari...."
Terpaksa, anak ini menangis menggerung.
"Sicu, sekarang bukan saatnya untuk menangis..." demikian
satu suara di belakangnya si anak muda. Itulah suaranya
Liauw In Taysu yang telah menyusul dan terus mendampingi
si anak muda. "Baiklah sicu coba membantu tenaga pada
ayahmu supaya ia dapat bicara dengan rapi....."
It Hiong bagaikan disadarkan. Sejak tadi, saking berduka,
ia lupa pada daya pertolongan. Maka tak ayal lagi, ia segera
memberi pertolongannya. Ia meletakkan tangannya di jalan
darah hoa kay dari ayah angkat itu, terus ia menyalurkan
hawa dari dalam tubuhnya. Ia menggunakan dua-dua
pelajaran dari Hian-bun Sian THian Khie kang serta Gie Kiam
Sut. Di lain pihak dengan tangan kirinya, ia mengeluarkan
hosin ouw, untuk menyerahkan itu pada Liauw In supaya si
pendeta yang menyuapi pada ayahnya.
Di dalam waktu sehirupan teh, bekerja sudah pengaruh
bantuan tenaga dalam serta obat hosin ouw yang mujarab itu.
Rasa nyeri telah dapat ditekan dan ditindih. Maka dilain detik,
mukanya In Gwa Sian tampak bersemu merah dadu, kedua
matanya yang melek tenang seperti sedia kala. Selekasnya dia
dapat mengeluarkan nafas untuk melegakan hatinya yang
sesak dengan bantuan tenaga sendiri, dengan menggerakkan
kedua tangannya dapat ia bangun untuk berduduk, untuk
terus mencoba meluruskan lebih jauh pernafasannya.
Ilmu tenaga dalam dari In Gwa Sian ialah Tong Cu Kang,
"Tong Cu" ialah anak kecil, anak yang belum melepaskan
nafsu birahinya. Jadi tenaga dalamnya lebih kokoh dari pada
kebanyakan orang lain. Dalam usia yang sudah lanjut itu sembilan puluh tujuh tahun- In Gwa Sian masih kuat dan
gagah, kesehatannya sempurna. Kalau bukan terluka hebat
sekali, ia tak akan sepayah ini. Bantuan tenaga dalamnya itu
serta obat dari kaum Siauw Lim Sie membuatnya kuat
bertahan sampai pulangnya It Hiong ini. Ia berkeras hati
karena ingin ia sekali lagi melihat wajah anak pungutnya yang
ia sangat kasihi itu. Selama itu, kamar itu menjadi sangat sepi.
Dengan tangan kanannya, It Hiong masih menekan ayah
angkat itu. Tangannya itu bergemetaran. Sebab ia telah
menggunakan semua tenaga dalamnya. Kepalanya telah
mengeluarkan hawa seperti asap, dahinya bermandikan peluh
yang menetes berbutir-butir.
Sewaktu In Gwa Sian baru terluka, Liauw In telah melihat
keadaannya yang sangat berbahaya itu, maka bersama-sama
Pek Cut, sang kakak seperguruan merangkap ketua, ia telah
membantu dengan tenaga dalam Tay Poan jiak Sian Kang,
juga obat Ban Hiauw Leng Tan, tetapi pertolongan itu cuma
berupa bantuan sejenak buat menjaga orang tak segera putus
jiwa. Sekarang pendeta itu melihat kesungguhannya It Hiong.
Ia menjadi menguatirkan keselamatan anak muda yang gagah
yang menjadi penolong Siauw Lim Sie. Kalau tenaga dalamnya
habis, pemuda itu bisa mati sendirinya, atau sedikitnya ia
bakal bercacat seumur hidupnya. Maka ia menganggap anak
muda itu perlu ditolong. Sebagai orang yang cerdas ia
mengerti bagaimana ia harus menolongnya. Tiba-tiba ia
berkata dengan suara cukup keras : "In Sicu, lolap memohon
diri ! Silahkan sicu berdua berbicara !"
Dengan suara keras itu, Liauw In hendak menyadarkan
dua-dua In Gwa Sian dan It Hiong, yang seperti tengah kalap
dengan masing-masing keadaan dirinya, terutama supaya In
Gwa Sian melihat anak angkatnya itu dan mencegahinya.
Setelah berkata itu, ia lantas bertindak pergi, tetapi bukannya
berlalu terus hanya bersembunyi di pojok kamar, guna
mengintai. Nyerinya In Gwa Sian sudah berkurang, dia mulai sadar,
selekasnya dia membuka matanya, dia melihat keadaan anak
angkatnya, ia mengerti bahwa anak itu sudah menolongnya
dengan melakukan pengobatan besar. Segera ia mengerahkan
tenaganya dan menutup jalan darah hoa kay di dadanya.
Dengan demikian ia menolak balik tenaga dalamnya si anak,
yang disalurkan masuk kembali kedalam tubuhnya. Dan
dengan demikian It Hiong menjadi mendapat bantuan tenaga,
walaupun itulah tenaganya sendiri yang pulang asal.
Lewat lagi sekian lama, In Gwa Sian mengangkat
tangannya It Hiong yang ditempel dan ditekankan kepada
dadanya, lalu dengan suara dalam ia kata, "Anak Hiong, lekas
kau kerahkan tenaga dalam dan salurkan nafasmu kemudian
kau istirahat. Mesti kau ingat, besar sekali tanggung jawabmu
kelak ! Tak dapat kau merusak dirimu secara berlebihan. Itu
bukannya kebaktian !"
It Hiong sangat terharu. Ayah angkatnya sangat baik hati.
Ia menyahut perlahan, terus ia duduk bersila, untuk
menyalurkan nafasnya guna mengumpuli tenaga dalamnya.
Selekasnya ia melihat si anak muda beristirahat lega, hatinya
Liauw In. Meski begitu terus ia mengintai, tak mau ia segera
munculkan diri. Tak mau ia mengganggu ayah dan anaknya
itu. Sesudah satu jam It Hiong berbangkit, wajahnya tak
bercahaya. Itulah bukti dari halnya dia telah mengobral tenaga
dalamnya. ia mengawasi ayahnya sekian lama baru ia
menanya : "Ayah, ayah hendak bicara apa " Bicaralah ayah !"
In Gwa Sian membuka matanya, ia batuk satu kali.
"Ayahmu telah berpuluh tahun menjelajahi dunia Sungai
Telaga, semua perbuatannya adalah melit." katanya. "Anakku,
kau adalah ahli waris Hang Liong Hok Houw Cian..... kau pula
anakku, maka itu ingatlah, janganlah kau turun namaku !" Ia
berdiam sedetik terus menambahkan, "Tentang gurumu si
imam hidung kerbau, dia sudah tawar hati terhadap harta
dunia, dia sudah mengundurkan diri, sekarang dia tengah
merantau, entah kemana, tapi dia tetap ahli pedang yang
namanya tersohor diempat penjuru lautan, kaulah ahli
warisnya. Dari itu kau harus menggunakan ilmu pedang
gurumu itu untuk menggetarkan dunia Sungai Telaga, agar
kau tak menyiakan ajarannya gurumu itu yang telah
memelihara dan mendidikmu !"
"Akan aku ingat, ayah" berkata si anak muda yang
memberikan janjinya. Dia berdiri tegak dan hormat.
In Gwa Sian menghela nafas, melegakan dadanya. Setelah
itu dia menambahkan, katanya, "Dalam pertemuan besar di
gunung Tay San itu, pertempuran luar biasa hebat. Di sana
jago pihak lawan ada si siluman Thia Cie Lojin, dia benar
sudah mati, kawannya masih banyak, setiap waktu bisa
mengacau dan mengganggu pula dunia rimba persilatan,
maka itu dengan Keng Hong Kiam, kau harus dapat menyapu
ia yang jahat ! Kau harus membuat jasa dengan membela
keadilan dengan jalan membasmi kelaliman !"
Orang tua ini bicara dengan bersungguh-sungguh,
nafasnya sampai memburu, wajahnya menjadi merah, selagi
sinar matanya mencorong, kumis janggutnya pun bergerak
mana lagi sekali ia mengeluarkan nafasnya, lalu ia melanjuti
kata-katanya, "Mungkin sudah takdirnya habis pertemuan di
gunung Tay San itu Pek Cut Taysu bakal pulang ke tanah
barat dan Bu Teng Sin ong, ialah ketua dari Bu Tong PayGauw Han bersama dua adik seperguruannya telah hilang
jiwanya di Sam Goan Kiong. Di sanalah itu Leng In Totiang
ketua dari Ngo Bie Pay, Bo Sim Totiang ketua dari Kun Lun
Pay serta adik seperguruannya yang wanita, Beng Sin Suthay,
mereka mengalami nasib seperti Gauw Han bertiga. Mereka
menutup mata secara mendadak. Merekalah orang-orang
ternama, tak pantasnya mereka kena serang secara
menggelap ! Aneh, tapi mereka tak dilukai dan juga tak
terkena racun ! Tidakkah itu aneh " Maka aku mau percaya,
bukankah itu namanya kutukan " Selama tiga bulan ini anak,
kau selalu berada diluar, kau tentu telah mendengar tentang
semua peristiwa hebat menyedihkan itu, pernahkah kau
memikirkannya " Apakah sebabnya ?"
Berkata begitu, nafasnya si jago tua memburu. Di dalam
keadaan segenting itu, dia masih ingat urusan dunia Sungai
Telaga, tentang bencana rimba persilatan. Hingga ia jadi
bicara banyak. It Hiong berdiam. Justru selama saat-saat yang disebutkan
ayah angkatnya itu ia lagi berada di dalam gua di Bu Lian Sha,
dan ditengah perjalanan pulang, ia menghadapi beberapa
peristiwa yang disebutkan si ayah ia tidak tahu menahu. Maka,
mendengar kata-kata sang ayah, hendak ia meminta
keterangan, atau ayah itu sudah melanjuti perkataannya.
"Hebat cara pembunuhan pihak yang bekerja didalam gelap
itu." kata si ayah. "Mereka bisa membinasakan musuh tanpa
suara apa-apa, tanpa meninggalkan bekas atau tapaknya.
Menurut setahuku, cuma In Tok Sinshe yang dapat berbuat
demikian, hanya dia itu, pada empat puluh tahun yang lalu,
sudah dikeroyok kaum sadar hingga dia terluka dan
tercemplung kedalam jurang Mustahil dia tertolong dan
sekarang masih hidup."
Disebutnya nama In Tok Sinshe membuat It Hiong heran.
"Sebenarnya dia orang macam apakah ?" tanya anak ini.
Nafasnya In Gwa Sian memburu keras, mukanya menjadi
pucat. Rupanya dia telah bicara terlalu banyak. Maka dia
sudah lantas memejamkan mata dan duduk diam saja. Tapi
tak lama dia sudah melanjuti pula : "Tak ada waktu lagi buat
aku menjelaskan asal usulnya In Tok Sinshe serta cabang
persilatannya. Hanya dia telah mempelajari semacam ilmu
racun atau racun yang jahat sekali, andiakata dia sudah
melatih sempurna ilmunya itu di dalam kalangan sepuluh
tombak sekitarnya, dia dapat meniup atau menyemburkan
racunnya untuk membunuh oang tanpa ada tanda luka atau
bekas lainnya. Pada empat puluh tahun lampau itu saja, dia
sudah lihai hingga dia mesti dikeroyok sampai dia terjungkal
ke dalam jurang. Mungkinkah sekarang....."
Makin lama suaranya si jago tua makin perlahan.
"Ah, ayahmu telah bicara terlalu jauh....." kata ia kemudian,
habis ia beristirahat beberapa menit. "Baik, aku tak usah
bicara lebih banyak tentang In Tok Sinshe itu. Hanya anak
Hiong hendak aku pesan kau, kalau kelak kemudian kau
bertemu lawan pandai meniup atau menyemburkan racun tak
peduli ia In Tok atau bukan, jalan yang paling mudah
mengusirnya ialah kau gunakan api. Racun itu asal bertemu
api bakal musnah sendirinya. Kau ingat ini baik-baik !"
"Ya, anak Hiong ingat, ayah..." sahut si anak angkat.
Habis bicara itu dan mendengar janji anaknya, nafasnya In
Gwa Sian tampak lurus dan wajahnya pun bercahaya lalu dia
tertawa kemudian lagi dia berkata dengan suaranya terang
dan jelas, "Aku sudah berusia sembilan puluh tahun, taruh
kata aku menutup mata sudah tidak ada yang kau berati lagi.
Kau anak, kau pun jangan berduka karena aku meninggal
dunia. Kau ingat saja membuat satu perbuatan baik. Kau pun
harus cari tahu kematiannya ketua-ketua Bu Tong, Ngo Bie
dan Kun Lun Pay itu supaya si penjahat dapat dibinasakan !"
"Anak Hiong akan ingat ayah." sahut si anak. Airmatanya
meleleh. In Gwa Sian sebaliknya tertawa terbahak. Kata dia gembira,
"Gurumu si hidung kerbau itu pernah meramalkan aku katanya
aku selewatnya delapan tahun lagi tak akan luput dari
takdirku, karenanya lantas dia menyuruh aku menyendiri dan
menyepi supaya aku lolos dari takdir itu. Ha ha ha ! Sekarang
tepat sudah delapan tahun dan ternyata ramalannya cocok,
tepat sekali ! Sejak jaman dulu, manusia siapakah yang tak


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah mati " Karena itu masih kau hendak menolak orang
perempuan menangis tidak karu-karuan ?"
It Hiong tunduk, tak berani ia mengangkat kepalanya.
Biarnya ia gagah, ia toh tak tega mengawasi ayah angkat itu.
Biar bagaimana ia merasa berat kalau ayah itu sampai mesti
meninggalkannya....... Liauw In melihat wajah si pengemis serta kegembiraannya
itu, diam-diam ia mengerti. Itulah sinar terang terakhir dari
seorang yang telah tiba saatnya harus kembali ke dunia dari
mana dia datang. Ia percaya tinggal lagi sesaat maka si
pengemis jago itu bakal meninggalkan mereka semua.....
Tepat pendeta itu akan menghampiri It Hiong buat
memberi kisikan, maka seorang kacung pendeta datang
padanya dengan laporannya bahwa Nona Cio serta dua orang
sicu lainnya mohon bertemu."
Sejenak si pendeta heran atau segera ia menjadi girang.
"Lekas undang masuk !" perintahnya.
Kacung itu mengundurkan diri untuk di detik yang lain
kembali bersama tiga orang tamunya, Cio Kiauw In, Pek Giok
Peng dan Tan Hong. Matanya Kiauw In segera tergenang air selekasnya ia
melihat keadaan In Gwa Sian, pengemis yang ia paling
hormati itu. Ia jamu untuk memeluk sambil ia kata duka,
"Paman In bagaimana ?"
In Gwa Sian girang melihat nona itu yang rambutnya sudah
lantas ia usap-usap. "Pamanmu tidak kurang suatu apa, anak In." katanya
manis. "Buat apa kau menangis ?"
"Katanya paman terluka, apa sekarang paman banyak
baikan ?" Giok Peng tanya. Nona ini menahan terharu hatinya.
In Gwa Sian mengawasi nona itu.
"Oh, anak Peng, kau juga sudah kembali !" katanya. "Bagus
! Bagus ! Aku sudah baik anak !"
Pengemis itu mengawasi nona yang ketiga, terus ia
menatap. Ia tampak mau membuka mulutnya tetapi batal.
Tan Hong heran sehingga ia melengak. Lantas ia
menghampiri sampai dekat.
"In Locianpwe, terimalah hormatnya Tan Hong !" katanya
sambil ia memberi hormat.
"Tak usah." kata In Gwa Sian yang terus menanya Kiauw
In. "Anak In, apakah nona ini datang bersama-sama kalian ?"
Nona Cio mengangguk. "Ya, Paman."sahutnya. "Inilah adik Tan yang telah
membantu adik Hiong mendaki gunung Ay Lao San dimana ia
membantu menyerbu kaum Losat Bun hingga akhirnya Paman
Beng telah dapat ditolong dibawa pulang."
In Gwa Sian mengangguk dengan perlahan. Ia hendak
membuka mulutnya atau mendadak wajah terangnya si tua
perlahan-lahan mukanya menjadi pucat lalu daging pipinya
berkedotan, alis dan kumisnya pun bergerak-gerak. Yang
paling nyata ialah nafasnya segera memburu. Habis itu
terdengarlah suara seraknya terputus-putus, "Anak
Hiong.....anak..... jagalah dirimu.... menyingkirlah dari
bencana asmara. Ingatlah huruf paras itu dimulai dari.....
huruf.... golok dan cinta itu adalah penyesalan. Ingatlah anak
!" Belum lagi jago tua itu menutup kata-katanya atau tampak
matanya terbalik terus kepalanya teklok lantas tubuhnya
roboh dari duduknya itu, rebah diatas pembaringan sebab
rohnya telah berangkat meninggalkan dunia yang fana ini.
Dengan demikian maka berlalulah seorang jago tua yang
namanya kelak dibuat sebutan. It Hiong menjerit, menubruk
tubuh ayah angkat itu terus ia pingsan. Ketiga nona itu pun
lantas menangis menggerung-gerung, semuanya berlutut di
depan pembaringan. Liauw In si pendeta tua pun terharu
sekali. Walaupun ia telah menjadi seorang suci yang bebas
dari segala apa keduniawian, ia toh merasa sangat terharu
hingga air mata tergenang.....
Lewat sesaat It Hiong lantas bekerja. Dibantu sejumlah
pendeta ia merawat jenasah ayah angkat itu, untuk
menguburnya di gunung Siong San itu selesai mana ia
menjadi sangat pendiam hingga ia seperti tidak melihat dan
tidak mendengar. Ketika itu musim dingin, daun-daun berjatuhan, salju
beterbangan. Malam itu hawa dingin meresap ke tulangtulang.
Seluruh kuil Siauw Lim Sie terbenam dalam kesunyian.
Dimana-mana api telah dipadamkan.
Justru di dalam kesunyian tiu maka tiba-tiba diatas puncak
tampak suatu titik hitam bergerak-gerak dengan gesit,
bagaikan terbang naik ke atas wuwungan kuil tanpa
menerbitkan suara barang sedikit juga. Titik itu bayangan
sesosok tubuh lantas mondar mandir di atas genting, akan
kemudian terlihat dia berlompat naik ke puncak. Ketika itu
terdengar siulan yang panjang, suara seperti suara burung
malam, lalu bayangan itu tampak berlari-lari turun gunung......
Besoknya pagi-pagi, tengah para pendeta berdoa
menjalankan agamanya tiba-tiba lonceng besar berbunyi.
Maka berhentilah mereka semua secara mendadak. Semua
lantas lari ke pendopo besar Tay Hiong Poo tian, tampang
mereka menandakan mereka bergelisah atau ketakutan
seperti juga bencana besar tengah mengancam mereka
semua. Itulah sebab Siauw Lim Sie telah mengalami kejadian yang
hebat sekali. Tadi malam itu, empat diantara lima pendeta tua dan
beribadat Ngo Lo dari Siauw Lim Sie ialah Gouw Ceng, Gouw
Hoat, Gouw Leng dan Gouw Gie telah kedapatan mati tanpa
sebab musabab, mati tak karuan seperti Bu Tong Sam Kiam,
tiga jago pedang dari Bu Tong Pay. Tubuh mereka tak terluka
atau lainnya. Setelah itu tiba berita yang Gouw To Taysu yang
kelima dari Ngo Lo yang berdiam di Siauw Lim Hen In, ruang
bawah, malam itu pun mati secara tiba-tiba dan tanpa terluka!
Liauw In menjadi kaget dan bingung dan repot selekasnya
dia menerima laporan. Tetapi dia masih ingat akan paling
dahulu mengirim beberapa rombongan muridnya pergi
menjelajahi dan menggeledah seluruh gunung buat mencari si
penjahat. It Hiong juga dikejutkan dan diherankan suara genta itu.
Segera ia lari mencari Liauw In, tanpa perkenan lagi ia
lancang memasuki pendopo besar.
"Kebetulan sicu datang !" menyambut Liauw In sambil
memberi hormat. "Justru ada urusan besar dalam hal mana
lolap ingin memohon pendapat sicu....."
Pendeta itu lantas menyuruh semua muridnya
mengundurkan diri buat melakukan tugasnya masing-masing,
setelah itu ia mengawasi It Hiong seraya berkata, "Sicu mari
kita bicara di dalam ! Bersediakah sicu ?"
It Hiong mengangguk dan mengikuti pendeta itu, sampai di
Ceng-sit kamar peristirahatan dimana ia paling dahulu
diundang duduk dan dipersilakan duduk. Kemudian dengan
tampang sungguh-sungguh sang pendeta berkata padanya,
"Sicu pasti telah mengetahui perihal keapesan Siauw Lim Sie
kami, semua itu disebabkan keganasan musuh, keganasan
yang sebelumnya belum pernah terdengar. Mala petaka yang
menimpa kami sama sepert yang diterima ketika partai Bu
Tong, Kun Lun dan Ngo Bie Pay. Kalau pembunuhan gelap itu
dilanjuti, entah bagaimana nasibnya kaum rimba persilatan
golongan lurus dan sadar."
"Harap jangan berduka, taysu." It Hiong menghibur. "Yang
sudah tinggal sudah, yang penting ialah daya pencegahan
untuk yang akan datang. Baiklah taysu berlaku tenang supaya
dapat kita berpikir dan berunding....."
"Amida Buddha." Liauw In memuji sambil merapatkan
tangannya. "Semoga sang Buddha kami berkasihan dan dapat
membantu menyingkirkan ancaman bagi kaum rimba
persilatan itu ! Hanya sicu, lolap sudah tua dan
pengetahuanku cetek. Pula sekarang pikiranku sedang kacau,
tak dapat lolap memikirkan sesuatu. Maka itu kebetulan sicu
datang kepada kami ini, lolap ingin minta pikiran dan
pengajaran dari sicu."
It Hiong membalas hormat.
"Jangan terlalu sungkan, taysu." katanya. "It Hiong muda
dan kurang pengetahuan. Akan tetapi demi keadilan dan
kebaikan kaum rimba persilatan, pasti dia akan berbuat
semampunya dan dengan sungguh-sungguh !"
Liauw In tunduk. Nampak ia sedang berpikir keras.
Melihat demikian, si anak muda pun turut berdiam dan
berpikir. Ia belum tahu, bahkan belum pernah mendengar
tentang bajingan dari empat puluh tahun yang lampau itu.
Karena mengasah otak, tiba-tiba ia ingat kata-kata terakhir
dari ayah angkatnya hal In Tok Sinshe, jago ahli racun empat
puluh tahun yang lalu. "Taysu," lantas ia tanya Liauw In. "Taysu telah berusia
lanjut dan banyak merantau, apakah taysu ingat halnya
seorang ahli racun tukang membunuh sesama manusia dari
beberapa puluh tahun yang silam yang disebut In Tok Sinshe
?" Ditanya begitu, mendadak Liauw In mengangkat kepalanya,
mengawasi tetamunya. Ia nampak heran.
"Sicu, apakah sicu pernah bertemu dia ?" ia balas bertanya
sebelum menjawab. It Hiong melihat orang terkejut dan heran
itu. "Belum pernah aku yang rendah bertemu dengan orang itu.
Tentangnya aku cuma pernah mendengar dari ayah
angkatku." sahutnya.
Liauw In mencoba menenangkan dirinya.
"Semoga janganlah orang itu muncul pula !" katanya habis
memuji sang Buddha. "In To Sinshe pada empat puluh tahu dahulu telah
dikeroyok oleh banya orang kaum lurus dan telah terjatuh ke
dalam jurang lembah."
"Kecuali In Tok Sinshe apakah ada orang kedua yang
kejam seperti dia ?" It Hiong tanya.
Sang pendeta menggelengkan kepala.
"Tidak." sahutnya. "Mengenai In Tok Sinshe itu lolap juga
belum pernah menemuinya, hanya lolap mendengar dari guru
kami yang ketika itu turut di dalam rombongan yang
mengeroyoknya." Alisnya It Hiong terbangun.
"Menurut aku yang rendah, taysu." katanya bersungguhsungguh.
"Mengenai semua pembunuhan ini, aku tak perduli
itu dilakukan oleh In Tok Sinshe atau bukan, karena kejahatan
dan keganasan itu si pembunuh tidak seharusnya dibiarkan
lebih lama pula dalam dunia ini, kalau tidak pasti akan roboh
lebih banyak lagi orang rimba persilatan golongan lurus."
Liauw In tertarik dengan kata-kaanya anak muda ini.
"Sicu muda dan gagah, sudah sepantasnya kalau sicu suka
bertanggung jawab melenyapkan manusia sejahat itu."
katanya. "Tetapi dia datang dan pergi tak berbekas, gerak
geriknya dalam rahasia, untuk mencari dia itulah bukan
Pekerjaan mudah." "Taysu benar." It Hiong membenarkan. "Tetapi apakah kiat
harus berdiam saja ?"
Kembali si pendeta memuji sang Buddha.
"Lolap bebal, sicu, sekarang ini lolap tak dapat memikir
sesuatu." kata ia kemudian. "Hanya dapat lolap jelaskan, di
dalam dunia sungai telaga, orang tak lepas dari kungkungan
nafsu dan nama....."
It Hiong heran. Pikirnya, "Aneh, pendeta ini. Dia agaknya
tak prihatin mengenai pembunuhan hebat ini dan sekarang dia
bicara tentang filsafat......"
Liauw In memandang si anak muda, yang berdiam saja.
Lalu ia meneruskan kata-katanya, "Dari huruf nafsu itu muncul
budi dan penasaran, orang saling bermusuhan dan saling
membunuh, dan darimana itu orang bersedia menyingkir dia
atau mereka yang tak sepaham dengannya, orang mudah
sembarang melakukan pembunuhan cuma buat mengangkat
dirinya, untuk menjadi jago rimba persilatan !"
It Hiong berdiam. Ia cuma mengawasi si pendeta.
Liauw In menambahkan, "Lolap tidak tahu orang yang
melakukan pembunuhan hebat itu, perbuatannya disebabkan
oleh nafsunya atau keinginannya memperoleh nama besat itu,
hanya dapat lolap menerka walaupun sekarang dia masih
dalam rahasia, tak lama lagi namanya bakal muncul juga !
Asal sudah dapat diketahui siapa dia, dan bagaimana asal
usulnya, dapat kita berdaya menghadapinya."
It Hiong beranggapan pendeta ini terlalu lemah atau
mungkin ia rada jeri. Itulah sikap yang ia tak setujui. Maka ia
berkata, "Taysu, beberapa kata-kata yang ingin aku ucapkan
di depan taysu, hanya aku kuatir aku nanti dikatakan lancang
!" "Sicu menjadi penolong kami, kami sangat bersyukur."
berkata si pendeta. "Karena itu, kalau ada pengajaran dari
sicu, silahkan utarakan saja ! Lolap mohon supaya kami
janganlah dipandang sebagai orang luar......"
"Maksudku begini, taysu." berkata It Hiong mengeluarkan
pikirannya. "Aku memikir akan mencari dan menyingkirkan
dahulu si jahat itu, setelah itu baru akan mau menghadapi
urusan Bu Lim Cit Cun dari kawanan bajingan dari luar lautan
itu. Mulai besok, aku akan membuat penyelidikan. Di samping
itu aku pun mohon lekas-lekas memilih dan mengangkat ketua
serta kepala-kepala dari Ngo Ih, supaya Siauw Lim Sie dapat
berdiri tegak seperti sedia kala. Setelah itu supaya taysu
beramai turut bekerja guna dapat menghentikan bencana
rimba persilatan. Dengan begini kita jadi dapat bekerja
berbareng dan bersama."
"Amida Buddha !" Liauw In memuji. "Sungguh sicu gagah
dan bermurah hati. Lolap sangat kagum. Hanya, sicu, dengan
usaha kita ini, entah akan roboh lagi beberapa orang kita
kaum rimba persilatan lurus....."
"Harap taysu tidak demikian murah hati, taysu." berkata si
anak muda. "Dengan jalan ini aku justru mengenai siasat
membunuh untuk menghentikan pembunuhan."
Pendeta Siauw Lim Sie itu mengawasi tuan penolong
partainya, parasnya berubah, alis dan kumisnya bergerak.
"Baiklah !" katanya selang sesaat. "Akan lolap ambil ini
jalan membunuh ! Hanya sicu, walaupun sicu gagah sekali,
kau harus jangan melupakan pepatah yang berkata satu
tangan tidak dapat melawan empat tangan. Bagaimana kalau
lolap menugaskan dua orang kami yang ilmu silatnya terpilih


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mereka mengikuti sicu ?"
"Itulah tidak usah, taysu." It Hiong menampik. "Untuk
melayani si jahat itu, apapun sekarang baru bersifat
penyelidikan, tak usah aku merepotkan murid-murid taysu.
Lagi pula aku ingin pergi ke In Bu Sam supaya kalau bisa,
dapat aku menghalang-halangi usaha Bu Lim Cit Cun itu,
supaya mereka gagal dan runtuh sebelum waktunya."
"Sicu, apa sebenarnya Bu Lim Cit Cun itu ?" tanya Liauw In,
yang belum jelas sebab ia belum pernah mendengarnya.
"Itulah suatu nama baru kamu sesat." kata It Hiong, yang
lantas menuturkan apa yang ia lihat dan dengar tentang
usahanya It Yap Tojin dari Heng San Pay.
Liauw In menghela nafas. "Inilah yang dinamakan nafsu dan nama." katanya masgul.
"Orang mau menuruti suara hatinya, orang mau menjadi
tersohor, sampai pun satu diantara tiga kiamkek, jago pedang
terbesar seperti It Yap Tojin telah melangkah ke jalan yang
sesat....." Demikian kedua orang itu bicara sampai merasa tiba sang
sore, waktunya menyalakan api penerang. It Hiong lantas
berpamitan. Di saat ia mau berlalu, mendadak seorang kacung
pendeta lari datang dengan tergesa-gesa, untuk segera
berkata keras tetapi tidak lantas, "Di pendopo...... Tay Hong
Po tian.... di sana..... terjadi........ perkelahian...... !"
"Siapakah orang yang datang itu ?" Liauw In tanya,
terkejut. Kacung itu menggeleng kepala, masih tersengal-sengal, tak
dapat dia lantas berbicara pula.
"Nanti aku yang lihat !" kata It Hiong yang segera lompat
keluar dari kamar untuk lari ke pendopo yang disebutkan itu.
Tiba diluar pendopo Tay Hong Po tian, It Hiong melihat
beberapa orang pendeta sudah roboh dilantai, sejumlah yang
lain lagi berada dengan tampang jeri, sebab walaupun mereka
bersenjata, mereka tak lantas menyerang lawan. Mereka itu
cuma mengurung sejauh empat lima tombak.
Lantas juga si anak muda meliha tamu-tamunya Siauw Lim
Sie itu, yang berdiri berkumpul di dalam pendopo. Merekalah
empat orang, yang satu berdandan sebagai pendeta, yang tiga
seperti orang biasa saja. Mereka itu justru lagi berkaok-kaok
menitahkan para pendeta Siauw Lim Sie itu menyerahkan Lok
Giok Hud Thung, tongkat gemala hijau dari Sang Buddha,
tanda kebesaran ketua Siauw Lim Sie atau Siauw Lim Pay.
Setelah mengawasi sebentar, It Hiong lantas lompat maju
ke depan empat penyerbu itu, untuk bertanya dengan keras.
"Para sahabat, ada urusan apa kalian datang ke Siauw Lim Sie
ini ?" Si pendeta yang usianya sudah lima puluh lebih, berkata
nyaring, "Urusan kami, kaum Siauw Lim Sie, tidak usah ada
orang luar yang mencampuri !"
Selagi orang bicara, It Hiong sempat mengawasi pendeta
itu, yang mengenakan jubah merah, mukanya potongan muka
kuda, matanya berjelalatan dan senjatanya bukan golok kayTo
su seperti umumnya senjata para pendeta, hanya sebuah
golok besar. Hingga goloknya saja sudah menyatakan dia
bukanlah orang Buddha. Habis mengawasi si pendeta, It Hiong memandang ketiga
kawannya dia itu. Orang yang satu berdandan sebagai pelajar,
tubuhnya kecil dan kurus, kulit mukanya pada berkerut, alis
dan kumisnya ubanan semua, sepasang matanya tajam sekali.
Orang yang kedua, usia pertengahan, menggendol sebatang
golok, dia berdandan sebagai orang rimba persilatan. Yang
ketiga adalah seorang wanita yang berwajah centil atau genit,
mukanya tembam, pupurnya tebal, bercat bibir atau pipi, dan
usianya lebih kurang empat puluh tahun.
It Hiong merasa si pendeta yang ia rasa kenal tetapi ia lupa
dimana pernah menemuinya. Tiga yang lain, semuanya asing.
Ia tak senang dengan kata-kata dan sikapnya pendeta, tetapi
ia berlaku sabar. "Bapak pendeta, kalau kaulah orang Siauw Lim Sie, kenapa
kau tidak mentaati aturan partaimu?" tanyanya. "Kalau kau
mempunyai urusan untuk bertemu dengan ketuamu, apakah
dapat dibenarkan, sekarang kau melukai banyak murid Siauw
Lim Sie yang menjadi sesama orang beragamamu ?"
Pendeta berjubah merah itu tertawa bergelak.
"Pek Cut ketua Siauw Lim Sie sudah wafat, sekarang mana
ada ketua lainnya lagi ?" katanya jumawa. "Aku si pendeta tua
adalah Pek Cian, aku menjadi adik seperguruan dari Pek Cut,
karenanya sekarang aku pulang ke kuil ini buat menyambut
kedudukan sebagai ketua itu !"
Si pendeta terus mengawasi si anak muda, sambil dia
bersenyum. Terang yang dia memandang sebelah mata pada
anak muda itu. It Hiong bersuara dingin ketika ia berkata pula, "Bapak
pendeta, kau mempunyai bukti apa yang memastikan kaulah
adik seperguruan dari Pek Cut Taysu ?"
Si pendeta gusar, kata dia bengis, "Kau orang luar,
berhakkah kau untuk menanyakan sesuatu tentang diriku ?"
It Hiong bersenyum, alisnya terbangun.
"Setiap murid Buddha dilarang berbicara dusta !" katanya.
"Belum pernah aku mendengar yang Siauw Lim Sie
mempunyai murid bernama Pek Cian."
Pendeta itu bukan marah, hanya tertawa.
"Eh, Tio It Hiong bocah, hak apa kau miliki untuk menanya
aku si pendeta tua ?" tegurnya. "Kalau kau tahu selatan,
lantas kau menggelinding pergi dari sini, dengan demikian
dapat aku mengampuni jiwamu buat banyak hari !"
Heran It Hiong yang orang mengenalinya dan dapat
menyebut namanya seenaknya saja hingga ia melengak
sejenak. Ia menatap pendeta itu sambil kata di hatinya,
"Heran pendeta ini ! Darimana dia tahu she dan namaku ?"
Pendeta itu menjadi marah, maka selagi orang berdiam, dia
kata keras : " Kau biasa mengandalkan In Gwa Sian, si
pengemis bangkotan. Kau berani melakukan segala macam
perbuatanmu secara bebas, kau berani menyampuri segala
urusan orang lain ! Sekarang si pengemis tua sudah mampus,
kenapa kau masih tidak tahu diri " Kenapa kau justru
mencampur tahu urusan Siauw Lim Sie " Apakah kau sudah
bosan hidup ?" Belum lagi It Hiong menjawab kata-kata menghina itu tibatiba
dari belakangnya terdengar suara keras, "Kan Tie Uh !
Masihkah ada mukamu pulang kemari menemui aku ?"
Si anak muda menoleh, maka ia melihat munculnya Liauw
In. Ketika itu Liauw In sudah melihat murid-muridnya yang
pada rebah binasa dan terluka, hatinya panas.
"Adakah ini perbuatanmu ?" dia menegur pendeta itu yang
dia menyebutnya Kan Tie Uh, sedang si pendeta sendiri
mengaku bernama Pek Cian.
Pendeta berjubah merah itu kata takabur, "Liauw In, aku si
pendeta adalah Pek Cian. Kau jangan berlagak pilon.
Bagaimana kau berani menyebutku Kan Tie Uh " Ha ha ha !"
Ketika itu kawannya Pek Cian yang berdandan sebagai
pelajar itu memperdengarkan suara "Hm!" yang dingin dan
kepalanya terus diangkat, dipakai menengadah langit,
sedangkan kedua belah tangannya digendongkan ke
punggungnya. Dengan sikap jumawa itu dia seperti tak
memperhatikan dan tak memperdulikan Liauw In semua.
Pek Cian terkejut mendengar suara dingin "Hm !" itu
hingga dia berpaling dan mukanya pun tampak pucat, hanya
sebentar dia mendapat pulang ketabahannya, hingga sikapnya
menjadi tenang seperti semula.
"Liauw In" katanya dingin. "Jangan kau bicara tidak karuan
! Aku datang kemari kau ketahui atau tidak, dengan maksud
baik sebab aku tidak mau bertindak secara selingkuh ! Hendak
aku menjelaskannya supaya kau ketahui !"
"Amida Buddha !" Liauw In memuji. "Silahkan kau jelaskan
itu !" Pek Cian mengawasi dengan mata merah karena gusarnya.
Kata dia dingin, "Dengan telah meninggalnya Pek Cut, kakak
seperguruanku itu, maka kedudukannya harus kau yang
mewakilkan kedudukannya. Itulah menurut pantas ! Maka itu
Liauw In, kau harus menyerahkan padaku tongkat kebesaran
Siauw Lim Sie ! Aku maksudkan Pek Giok Hud Thung ! Kau
mengerti atau tidak?"
Liauw In gusar sekali, hingga dia tertawa. Hanya nadanya
menandakan dia sangat menyesal dan mendongkol, dia
penasaran sekali. Selekasnya dia berhenti tertawa, dia kata
dingin, "Kan Tie Uh, pantaskah kau menyebut dirimu Pek Cian
" Pada dua puluh tahun lebih yang lampau kau telah diusir
dari kuil dan partai, bagaimana sekarang kau berani pulang
dan juga menangih kedudukan ketua " Ha ! Sungguh tidak
tahu malu !" Mendengar sampai disitu, maka tahulah It Hiong bahwa si
pendeta ialah Kan Tie Uh, si pendeta murtad dari Siauw Lim
Sie, Lagi sekali ia mengawasi muka orang sampai tiba-tiba ia
ingat pendeta ini ialah pendeta yang telah kabur dan lolos dari
ujung pedangnya di gunung Ay Lao San, baru-baru ini. Maka
ia menyesal sekali yang dulu hari itu, ia telah berlaku murah,
membiarkan orang hidup terus......
Memang Kan Tie Uh telah lolos dari bahaya di Ay Lao San
itu tetapi bukannya dia menyesal dan bertobat, dia bahkan
penasaran hingga dia tak mau merubah kekeliruannya, dia
mau hidup terus sebagai jago. Tapi dia tahu diri. Setelah
kematiannya Kee Liong, ia insaf tentang ilmu silatnya belum
sempurna. Jadi tak dapat baginya kalau dia mau bekerja
terus. Dia tidak mau pergi ke pertemuan di Tay San sebab dia
tahu di sana dia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Tetapi juga
dia tidak mau kembali ke sarangnya kaum Bwe Hoa Bun.
Sebaliknya dengan satu keputusan tetap, dia pergi ke Cenglo
Ciang, maksudnya mencari Couw Kong Put Lo. Dia berhasil
dalam perjalanannya menemui orang yang dicari itu tetapi dia
tidak kesampaian maksudnya. Mereka berdua tidak
bersahabat. Couw Kong Put Lo tidak mau membantu bahkan
menjahilinya. Dia dianjurkan pergi ke Peng Kok, lembah di
gunung Thian San untuk menemui Ie Tok Sinshe. Couw Kong
Put Lo percaya Ie Tok sudah mati pada empat puluh tahun
dahulu, jadi kalau Kan Tie Uh pergi ke Thian San, dia bakal
capik lagak. Di luar dugaan Couw Kong Put Lo, Ie Tok masih hidup dan
dilembah es justru dia mempelajari ilmu pukulan es beracun.
Selama dia belum berhasil, dia menyiksa dan menyekap diri
sampai dia merasa cukup dan berniat muncul pula di
Tionggoan guna menuntut balas terhadap setiap orang yang
dahulu mengeroyoknya. Sungguh kebetulan bagi Tie Uh, justru Ie Tok Sinshe keluar
dari tempat menyekap dirinya. Di tengah jalan mereka
bertemu satu dengan lain, lantas dia menggabung diri buat
bekerja sama walaupun tujuannya ialah masing-masing.
Demikian sedang terjadi, beberapa orang ketua partai telah
terbinasakan secara aneh, secara rahasia dan tak berbekas
juga. Kan Tie Uh mengandal betul pada Ie Tok, dia lantas
berdandan kembali sebagai pendeta, lantas dia mengajak
rombongannya pergi ke Siauw Lim Sie. Bahkan dia pakai pula
nama suCinya yang dulu ialah Pek Cian, bukan main besar
maksudnya pendeta murtad ini yakni guna memperoleh
jabatan ketua Siauw Lim Sie dan Siauw Lim Pay.
Tak terkirakan gusarnya Tie Uh yang Liauw In
mendampratnya sebagai murid murtad atau pemberontak.
Setelah dia melihat wajah suaram dari Ie Tok Sinshe, lantas
hatinya menjadi semakin besar. Demikian dia kata bengis, "In,
kalau kau tidak nyebur ke sungai Hong Ho, hatimu tidak
mampus, maka itu baiklah akan aku menyempurnakanmu !"
Begitu dia menutup kata-katanya begitu Kan Tie Uh
menghunus goloknya atau kawannya yang setengah tua itu
mendahului maju sambil berkata nyaring, "Suhu, kasihlah
muridmu yang bekuk jahanam ini !"
Selekasnya ia menghunus goloknya, orang yang mengaku
murid ini sudah lantas membacok Liauw In.
Pendeta ini berkelit setengah tindak, ia tidak menangkis
atau membalas menyerang, ia hanya berkata nyaring, "Kan
Tie Uh, baiklah kau turun gunung untuk meninggalkan tempat
ini ! Masih ada ketika buat kau menyesal dan merubah
kelakuanmu. Dengan begitu leluhur kita dapat berlaku murah
hati dengan memberi ampun padamu !"
"Hm !" Kan Tie Uh mengasih dengar suara dinginnya. Dia
tak mau menjawab sama sekali.
Si orang setengah tua menjadi murid Bwa Hoa Bun, ilmu
goloknya adalah penyaluran dari ilmu tongkat Siauw Lim Sie
yang terdiri dari seratus jurus, dan dia telah berhasil
melatihnya. Maka ilmu goloknya ini menjadi lihai. Setiap
gerakannya mendatangkan hembusan angin keras. Karena
Liauw In masih terus main berkelit, lima kali terus dia
menyerang tak hentinya. Para murid Siauw Lim Sie panas hati, ingin mereka
mewakilkan Liauw In menghajar musuh jumawa itu, tetapi
kapan mereka melihat si pelajar, mereka jadi sangsi. Pelajar
itulah musuh yang paling berbahaya.
Kawan wanita dari Kan Tie Uh adalah Hiat Ciu Jie Nio si
nyonya Tangan Berdarah. Dia berasal dari kaum Jalan Hitam
di Kwan gwa. Di sana dia terkenal telengas, maka juga dia
mendapat julukan itu. Dia juga cepat pikirannya, mudah dia
mengiringi rasa hatinya. Sudah begitu dia juga paling
menggemari kepelesiran dengan bangsa pria, hingga dia
banyak sahabat dan kekasihnya. Sebaliknya, setiap pria yang
menantangnya, pasti dia membunuhnya.
Biasanya si sesat suka bergaul erat dengan si sesat.
Demikian juga dengan Ie Tok dan Jie Nio. Kebetulan sekali
mereka bertemu di tengah jalan di Pek liong twie, lantas
mereka menjadi sahabat satu dengan lain. Lantas dengan
sukanya sendiri Jie Nio mengaku menjadi murid. Demikian
mereka berdua selalu bersama-sama memasuki wilayah
Tionggoan sampai bertemu dengan Kan Tie Uh, hingga kedua
pihak lantas bekerja sama. Ie Tok bersedia membantu si
kawan merebut kedudukan ketua Siauw Lim Sie.
Hian Ciu Jie Nio tidak puas menyaksikan kawannya tak
dapat merobohkan Liauw In walaupun pendeta itu sudah
dirangsek hebat, lantas ia berlompat maju sambil berteriak.
Senjataya yang beracun pun sudah lantas dikeluarkan.
Segera dia menyerang Liauw In tiga kali. Senjatanya itu


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semacam gaitan Cui tok Bwe hon Toat, digerakinya ke arah
kepala terus ke dada. Gerakannya luar biasa, sedangkan
cahayanya bersinar menyilaukan mata.
Liauw In Taysu sabar sekali. Terus ia main mundur, sampai
tiga kali. Baru setelah itu, dua kali ia membalas dengan tangan
kosong buat menghindarkan celaka.
It Hiong terus menonton. Ia tidak mau segera membantu
Liauw In, hanya diam-diam ia memasang mata kepada si
orang pelajar yang gerak geriknya menarik perhatian. Ia mau
percaya orang lihai. Ia melihat pertempuran menjadi hebat.
Terang Kan Tie Uh tak mudah mundur, sedangkan kawannya
si nyonya galak sekali. "Mereka pasti tak akan mundur, apabila tidak diberi rasa."
pikir si anak muda kemudian. Maka juga ia lompat kepada
Liauw In untuk membisik, "Taysu, silahkan mundur sebentar,
tetapi lekas-lekas taysu menitahkan sekalian muridmu
menyediakan banyak obor dengan api. Mereka mesti bersiap
sedia mengurung musuh yang mirip pelajar itu. Tentang ini
dua orang jalanan pria dan wanita, biarlah aku yang
membereskannya." Setelah berkata begitu, dari sisi si pendeta It Hiong maju ke
depannya, terus ia menghunus Keng Hong Kiam hingga
pedangnya itu memberi cahaya berkilauan.
Hiat Ciu Jie Nio terkejut melihat si anak muda dengan
pedang yang tajam itu, dia mundur dua tindak, tetapi dia
berkata nyaring, "Eh bocah, apakah kau tepat untuk
bertempur denganku Hiat Ciu Jie Nio " Nah, kau sebutkanlah
she dan namamu !" It Hiong mengawasi tajam.
"Aku yang rendah ialah Tio It Hiong dari Pay In Nia."
sahutnya hormat. Justru anak muda kita melayani si nyonya berbicara,
kawannya si nyonya, si orang setengah tua yang berpakaian
hitam itu, tiba-tiba datang membacok pinggangnya. Ia melihat
itu, wajar saja ia menangkis.
Selekasnya kedua senjata bentrok nyaring, golok si
penyerang buntung seketika dan terpental hingga dia menjadi
kaget. Lalu bergusar maka juga dia berseru, "Eh, bocah, kau
menggunakan pedang mustika. Itu bukan berarti
kepandaianmu !" Ia menimpukkan gagang goloknya sambil
berkata pula, "Kalau kau benar gagah, kau sambut senjata
rahasiaku !" Hebat golok buntung itu menyambar tetapi It Hiong dengan
mudah saja menyambutnya dengan menjepit dengan dua jari
tangan kirinya ! Jie Nio turun tangan secara mendadak setelah dia melihat
kawannya gagal, dia menyerang dengan senjatanya yang
beracun itu. Ujung senjata mencari mukanya si anak muda
yang lagi mengawasi si baju hitam.
It Hiong terancam bahaya, syukur ia tidak menjadi gugup.
Dengan cepat ia berkelit dan sambil berkelit itu, golok musuh
dipakai menimpuk balik pada si musuh. Ia mengelit dari
senjatanya si nyonya sebab sudah tak keburu buat dia
menangkis. Habis berkelit barulah dia maju dua tindak akan
membalas menebas lawan wanita itu.
Muridnya Kan Tie Uh berani. Dia berhasil menyambuti
goloknya yang ditimpukkan balik kepadanya itu. Dia maju pula
sambil menggunakan golok buntungnya membacok si anak
muda. Berbareng dengan itu, Jie Nio pun menyerang karena dia
tahu pedang lawan tajam luar biasa, dia tak mau membuat
senjatanya bentrok. Maka itu ia berkelahi secara lincah, dia
banyak berlompatan ke sana kemari.
Menghadapi kepungan ini, It Hiong bertempur dengan
menggunakan gerakan dari Khie bun Patkwa Kiam.
Hanya sebentar mereka sudah bertempur dua puluh jurus
lebih. Jilid 41 Si pelajar menonton dengan perhatian, kemudian dia
menggerakkan tangannya memberi isyarat kepada Kan Tie Uh
atas mana pendeta murtad itu lantas berlompat maju, buat
mengepung si anak muda. Sebenarnya dia jeri tetapi terpaksa
dia maju juga, sebab dia malu terhadap Ie Tok. Goloknya
sudah lantas menjurus ke bahunya musuh lamanya itu.
It Hiong melihat orang maju, ia berkelit. Lantas ia memikir
walaupun ia tak usah takut tetapi cara berkelahi itu bukannya
cara yang sempurna, ia pun pasti bakal menyia-nyiakan
banyak waktu yang berharga. Maka ia mengambil keputusan
akan menghajar Kan Tie Uh, membekuk atau membunuhnya !
Kan Tie Uh berlaku cerdik walaupun mengepung ia tidak
mau merapatkan diri. Tapi It Hiong justru mengarah padanya,
ia yang selalu di awasi. Selekasnya kesempatan tiba, secara
sekonyong-konyong tubuhnya si anak muda lompat melesat
kepada pendeta itu. Ilmu ringan tubuh Tangga Mega
dipersatukan dengan ilmu Gie Kam Sut, Pedang
Terkendalikan, maka pesat sekali ia sudah berada di depan si
pendeta dan menikam dadanya dengan tikaman "Burung Air
Mematuk Ikan." Kan Tie Uh kaget sekali, dia berlompat mundur beberapa
tindak. Tidak demikian dengan si orang berbaju putih, ia
menyangka dengan baru menaruh kaki, si anak muda pasti
hilang dayanya, maka dia berlompat terus membacok anak
muda itu. It Hiong melihat datangnya lawan itu, ia menyambutnya
dengan cepat. Selekasnya kedua kakinya menginjak tanah, ia
berkelit meringankan tubuh sambil berdiri dengan kaki kiri,
selagi golok lewat, kaki kanannya diangkat dilayangkan ke
tubuh penyerangnya itu sedang pedangnya disabetkan dengan
sama cepatnya ! Hanya satu kali si baju hitam menjerit, lantas tubuhnya
roboh mandi darah, sedang Keng Hong Kiam telah membabat
lengannya dan kaki si anak muda nyasar ke dadanya, hingga
tubuhnya terpental setombak dan jatuh terbanting sampai dia
tak berkutik pula. Hiat Ciu Jie Nio kaget, hingga ia sudah
lantas mencari mundur. Hebat apa yang ia saksikan itu. Si
pelajar pun heran dan kaget, beberapa kali ia mengasih
dengar suara dinginnya, "Hm !"
Kan Tie Uh pun terkejut hingga dia jadi berdiam saja.
Sementara itu, cahaya terangnya api jelas tampak. Itulah
disebabkan datang perkumpulannya para pendeta, yang
semua membawa obor. Makin lama jumlah mereka itu makin
banyak. Lebih dari seratus orang. Lekas sekali medan
pertempuran berikut si pelajar telah kena terkurung.
Si pelajar kelihatan tidak tentram. Dia ngeri terhadap api.
Dengan menggertak gigi dan mata melotot, ia mengawasi
para pendeta yang membawa obor itu.
It Hiong tidak memperhatikan Barisan api itu, justru Jie Nio
mundur justru ia melompat kepada Kan Tie Uh. Ia berniat
membekuk atau merobohkan si murtad itu, si biang keladi.
Pedangnya sudah meluncur ke dada orang ! Itulah salah
sebuah tipu dari ilmu pedang Sam Cay Kiam dari Tek Cio
Siangjin. Kan Tie Uh sedang gugup ketika sertang tiba. Ia melihat
sinar pedang berkelebat. Ia kaget dan mencoba berkelit tetapi
kalah cepat, baju didadanya pecah robek dan kulitnya
mengeluarkan darah sebab ujung pedang telah
menggoresnya. Setelah tikaman pertama itu memberi hasil walaupun tak
telak, It Hiong mengulangi dengan tikaman susulannya atau
"Traaang !" pedangnya kena ditangkis oleh senjatanya Hiat
Ciu Jie Nio dengan kesudahannya bentrokan itu
mengakibatkan berkelebat sinar api warna biru terus ujung
senjatanya si nona terkutung dan jatuh ke tanah !
Itulah sebab Jie Nio menyaksikan terlukanya Tie Uh sudah
lantas menangkis tikaman susulan dari si anak muda. Tie Uh
sendiri yang ketolongan sudah lompat melejit. It Hiong
mengawasi wanita yang merintanginya itu, siapa terkejut di
dalam hati sebab terkutungnya ujung senjatanya
mengingatkan ia bahwa lawan menggunakan pedang mustika.
Si orang tua yang berdandan sebagai pelajar itu selalu
berdiam saja, tetapi sekarang melihat suasana buruk bagi
pihaknya mendadak dia berkata nyaring, "Mari kita pergi !"
dan dia mendahului mengangkat kakinya. Dia menggapai
kepada dua kawannya supaya mereka segera menyusulnya.
It Hiong melihat orang kabur, dia lompat untuk menyusul.
Para pendeta melihat si pelajar tua sudah pergi, mereka lantas
bergerak, berniat mengurung dan menyerbu Kan Tie Uh
bertiga. Jie Nio jeri melihat kaburnya si pelajar, ia segera
merapatkan diri bersama Kan Tie Uh dan si pria berbaju
hitam. Tie Uh masih berlepotan darah di dadanya. Bagus
untuknya lukanya tidak parah.
Dengan tangan kanannya, Jie Nio melintangi senjatanya di
depan dadanya sendiri. Dengan tangan kirinya dia merogoh
sakunya buat mengeluarkan serupa barang mirip seruling
bukannya seruling, warnanya hijau, panjangnya satu kaki.
Selekasnya dia mengibaskan tangan kirinya, dari dalam benda
itu meluncur keluar satu gulung asap yang tajam menyerang
hidungnya, siapa kena menciup asap itu lantas dia berbangkis
tak hentinya dan matanya mengeluarkan air.
Dengan beberapa orang pendeta yang pertama terkena
asap itu, mereka berbangkis terus-terusan, mata mereka
mengeluarkan air, tanganpun menekan dada masing-masing,
lalu dilain detik semua menjadi lemas dan roboh tak berdaya.
Para pendeta yang lainnya kaget, mereka gusar, maka lupa
pada ancaman bahaya, mereka lantas menyerang dua orang
itu dengan menimpukkan masing-masing senjatanya.
Jie Nio berlaku cerdik, dia mendahului lari disusul oleh Tie
Uh. Sebentar saja mereka berdua sudah lenyap. Setelah kuil
menjadi sunyi pula, ternyata ketika itu sudah jam empat.
Liauw In repot mengobati para muridnya yang terluka serta
mengurus yang terbinasa. Justru itu ia melihat satu sosok
tubuh putih bagaikan sinar melompat turun dari atas genteng,
ketika ia mengawasi dia mengenali It Hiong yang kembali
dengan mengempit tubuhnya seseorang.....
Sambil melemparkan tubuhnya orang yang dikempit itu ke
lantai, It Hiong berkata pada si pendeta, "Taysu, inilah si
murid murtad dan pendurhaka dari Siauw Lim Sie ! Silahkan
Taysu menghukumnya."
Liauw In sudah lantas mengenali Kan Tie Uh, segera ia
merapatkan kedua belah tangannya seraya memuji, "Berkat
Sang Buddha.... dan untung bagusnya kuil kami ! Siancay !
Siancay !" Kemudian ia memberi hormat pada si anak muda
sambil mengucap, "Terima kasih Sicu !"
It Hiong membalas hormat, terus dia kata, "Orang ini telah
terhajar tanganku, dia tidak akan bertahan lama lagi, karena
itu kalau taysu ingin mendengar keterangannya, baik taysu
lekas-lekas memeriksanya !"
Liauw In menggeleng kepala.
"Dia seorang jahanam, mana dapat dia bicara jujur !" sahut
si pendeta. "Paling benar ialah membuat dia tak usah
menderita terlebih lama pula....."
"Aku yang muda hanya menyaksikan kawannya si pelajar
tua itu," kata It Hiong. "Entah dia orang dari golongan mana.
Nampak dia licik sekali....."
Liauw In diingatkan kepada orang tua yagn lihai itu, maka
dia lantas balik bertanya, "Sicu telah mengejarnya, apakah
yang sicu dapatkan ?"
"Sungguh malu buat menyebutnya taysu." sahut si anak
muda. "Setibanya aku di Hea Ih, dia telah tak nampak lagi.
Justru aku berjalan pulang, aku bersamplokan dengan Kan Tie
Uh ini, maka segera aku menghajarnya roboh dan
membawanya pulang......."
Berbareng dengan kata-katanya si anak muda, tubuhnya
Tie Uh yang rebah di lantai itu mendadak berkelejit terus
berdiam sedangkan dari mulutnya terlebih dulu menyembur
keluar darah hidup. Dengan demikian dia menarik nafas yang
penghabisan. Liauw In menghela nafas. "Beginilah nasibnya seorang murid murtad dan pendurhaka
!" katanya. "Pek Cian, semoga di lain penitisan kau nanti dapat
berbuat baik !" Menyusul kata-katanya si pendeta mendadak ada angin
menghembus masuk hingga semua lilin di dalam pendopo
tertiup padam ! It Hiong terkejut, tangannya menyambar
lengannya Liauw In buat diajak berlompat keluar dari pendopo
itu ! Dia menggunakan ilmu ringan tubuh Tangga Mega. Dia
pun menegur, "Sahabat dari mana datang kemari " Silahkan
kau perlihatkan diri !"
Teguran itu tidak mendapat jawaban walaupun telah
diulangi. Maka itu lewat beberapa detik, It Hiong mengajak si
pendeta kembali ke dalam pendopo yang lilinnya telah
dipasang pula. Dengan terangnya api lilin, kedua orang itu menjadi
terperanjat. Itulah sebelah mayat Kan Tie Uh telah lenyap dan
sebagai gantinya di lantai tertancap sebatang pisau belati
yang berwarna hijau tertusuk sehelai kertas seperti sutera.
Yang hebat ialah beberapa pendeta yang terluka, sekarang
sudah mati semuanya ! It Hiong maju satu tindak kepada surat itu, yang ia pegang
dan angkat, niatnya buat diserahkan kepada Liauw In atau
tiba-tiba ia menjadi kaget sekali sebab mendadak saja tangan
kanannya itu menjadi kaku, terasakan hawa dingin
bersalurkan naik dari lengannya itu.
"Hawa beracun !" serunya dan terus ia terhuyung dan
roboh ! Liauw In kaget sekali. Ia menoleh dengan cepat hingga ia
melihat orang roboh terbanting. Ketika itu ia sedang bingun
mengawasi mayat-mayat para muridnya yang baru mati disaat
api lilin padam. Lekas-lekas ia memondong tubuh si anak
muda buat memeriksanya. Parasnya It Hiong seperti biasa saja, tetapi matanya
dipejamkan. Yang menguatirkan itulah tubuhnya sangat lemas
dan nafasnya berjalan dengan perlahan sekali, seperti juga
itulah tarikan nafasnya yang terakhir........
Pendeta itu segera meletakkan tubuh orang diatas kursi,
dengan dimiringkan, terus dia membantu dengan menyalurkan
hawa tubuhnya kepada anak muda itu. Ia menggunakan ilmu
Tay Poan jiak Sian Kang, tangan kanannya ditekankan pada
bagian jalan darah hoa kay si anak muda. Itulah cara buat


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menguatkan tubuh bagian dalam buat mencegah menjalarnya
racun. Dengan tangan kiri, ia pun mengeluarkan obat Kay Tok
Ban Leng Tan, pil buat melawan racun yang ia terus masuki ke
dalam mulut orang yang pingsan itu.
Lewat setengah jam Liauw In mengangkat tangannya. Ia
mendapatkan nafasnya si anak muda lebih teratur, tinggal
tubuhnya tetap lemas dan tak dapat bergerak. Ia mengawasi,
bingungnya tak terkirakan. Hebat racun yang menyerang anak
muda itu. Dulu belum pernah ia melihatnya. Setelah berdiam
sekian lama dan otaknya bekerja, lantas pendeta ini ingat
bahwa keadaan It Hiong ini sama dengan keadaan matinya
para Tianglo dari Kam Ih, adik-adik seperguruannya itu.
Suasana di dalam pendopo itu sungguh-sungguh membuat
hati orang ciut. Di situ Liauw In berada sendiri saja, berdua
dengan It Hiong yang masih hidup tetapi tidak berdaya. Yang
lain-lainnya ialah para muridnya yang telah menjadi mayat.
Api lilin berkelik-keliik suaram.
Di dalam keadaan yang menegang hati itu, pendeta dari
Siauw Lim Sie itu dikejutkan dengan tiba-tibanya terdengar
tindakan dari banyak kaki. Ia sudah lantas menoleh sambil
bersedia menyambut musuh. Maka legalah hatinya kapan ia
sudah melihat tegas siapa yang datang itu ialah Kiauw In
bersama-sama Pek Giok Peng dan Tan Hong.
Dua nona yang pertama hendak memberi hormat pada
Liauw In atau Tan Hong yang melihat It Hiong rebah diatas
kursi tanpa berkutik menjadi kaget hingga dia sudah lantas
menjerit keras sekali. Hingga mereka menoleh dan menjadi
kaget juga karenanya. Nona Cio yang paling dahulu berlompat pada kekasihnya itu
untuk meraba muka orang lalu dada dan kaki tangannya, atau
tiba-tiba ia melihat kertas di tangan kanannya It Hiong.
"Apa ini ?" tanyanya heran, lalu tangannya diulur.
"Jangan !" teriak Liauw In. "Jangan pegang !"
Nona itu menjadi terlebih heran pula.
"Kenapakah taysu ?" tanyanya.
"Apakah adik Hiong terkena racun ?" Giok Peng tanya
sambil dia menyambar kertas ditangannya si anak muda.
Liauw In kaget hendak ia mencegah tetapi sudah kasip.
Justru itu mendadak Giok Peng menjerit lantas tubuhnya
roboh ke lantai berdiam seperti It Hiong !
Kiauw In dan Tan Hong kaget sekali. Tahulah mereka
sekarang bahwa kertas atau surat itu ada racunnya. Tapi Tan
Perjodohan Busur Kumala 3 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Pendekar Bodoh 19

Cari Blog Ini