Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah Bagian 2
"Sebenarnya, namanya Ki Badranaya. Tapi
orang-orang rimba persilatan selalu menyebutnya Setan Lembah Kumala," sahut Ki Arman lagi.
"Hm...."
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Sementara itu malam sudah hampir tergeser. Suara kokok ayam jantan sudah mulai terdengar saling bersahutan. Dan burung-burung pun sudah mulai terdengar berkicau. Tampak di ufuk Timur rona merah sudah terlihat membias, menandakan
fajar sebentar lagi akan muncul ke permukaan bumi ini. Sementara Rangga
dan Ki Arman masih terus berbicara di beranda depan rumah si Tua Tukang Perahu
itu. Seakan-akan mereka
tidak mempedulikan waktu yang terus berjalan. Dan
mereka juga seperti tidak peduli kalau semalaman tidak memejamkan mata sekejap
pun juga. *** Baru setelah matahari naik cukup tinggi, Rangga berpamitan pada Ki Arman. Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan-lahan
meninggalkan rumah laki-laki tua yang dikenal sebagai si Tua Tukang Perahu di
Desa Karanggati ini. Rangga terus berjalan semakin
jauh diiringi pandangan mata Ki Arman yang terus
berdiri memandanginya dari depan beranda rumahnya.
Rangga terus mengayunkan kakinya menuju
Selatan sampai hilang dari pandangan Ki Arman. Sedikit pun ayunan kakinya tidak
berhenti. Benaknya terus mengulang kembali semua pembicaraannya dengan si Tua Tukang Perahu itu. Dan dia ingat semua
yang diucapkan laki-laki tua itu semalaman tadi. Bahkan sekarang tahu, ke mana
tujuan dari perjalanannya ini. Dia yakin, Pandan Wangi menuju ke Lembah Kumala,
seperti yang tertulis di lembaran daun lontar yang ditemukan Cempaka di kamar
Pandan Wangi. "Kakang...."
Rangga langsung menghentikan langkahnya ketika tiba-tiba saja terdengar panggilan halus dari arah kanan. Perlahan tubuhnya
berputar ke kanan. Kening
Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut begitu melihat Rinjani tahu-tahu sudah
berdiri di bawah sebatang
pohon yang cukup rindang, sehingga melindungi kulitnya yang putih halus dari
sengatan matahari. Rangga menghampiri gadis itu.
"Kenapa kau ada di sini, Rinjani?" tegur Rangga langsung.
"Aku mendengar semua yang kau bicarakan dengan kakek semalam," kata Rinjani tidak menghirau-kan teguran Rangga.
Kening Rangga semakin dalam berkerut. Dipandanginya gadis berwajah cantik itu lekat-lekat. Dan ini membuat Rinjani harus
menundukkan kepala, tidak sanggup membalas sinar mata Pendekar Rajawali
Sakti yang demikian tajam, namun terasa begitu lembut menyentuh halus ke dalam relung hati. Mereka ja-di terdiam begitu lama.
Perlahan Rangga menghampiri gadis itu lebih
dekat lagi. Lalu, lembut sekali wajah Rinjani diangkat dengan ujung jari
tangannya. Sehingga, gadis itu tidak bisa lagi menghindar dari tatapan mata
Pendekar Rajawali Sakti yang begitu penuh daya pesona yang kuat tak terkirakan.
Dan Rinjani hanya dapat diam dengan dada menggemuruh.
"Kau menghadangku di sini pasti tanpa setahu
kakekmu...," tebak Rangga begitu perlahan suaranya, dan terdengar agak dalam.
Rinjani hanya bisa diam saja tak mampu berkata apa pun juga.
"Sekarang, kembalilah pulang. Kakekmu pasti
bingung mencarimu," kata Rangga tegas.
'Tapi...," suara Rinjani jadi tercekat.
"Tidak ada alasan lagi, Rinjani. Pulanglah...,"
desis Rangga, tetap tegas nada suaranya.
Rangga tidak ingin lagi berdebat dengan gadis
ini. Segera saja tubuhnya berbalik dan melangkah cepat meninggalkan gadis itu.
Sesaat Rinjani berdiri terpaku memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang beberapa tombak berjalan di depannya. Namun tiba-tiba
saja.... "Hup!"
Bagaikan kilat, tahu-tahu Rinjani melompat begitu cepat. Dan hanya sekali lompatan saja, gadis itu sudah berdiri menghadang
Rangga. Terpaksa Pendekar
Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Hatinya tidak lagi terkejut melihat ilmu meringankan tubuh yang ditunjukkan Rinjani
barusan. Memang pantas jika cu-cu seorang tokoh persilatan seperti si Tua Tukang
Perahu memiliki tingkat kepandaian lumayan tinggi.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Rinjani?"
tanya Rangga tidak ingin bermain-main lagi.
Sudah terlalu berat tekanan yang harus ditanggungnya sekarang ini. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin lagi bertahan
hanya untuk mengurusi gadis ini. Pandan Wangi harus secepatnya ditemukan.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar mencemaskan keadaan Pandan Wangi. Dugaannya, si Kipas Maut itu
tanpa disadari telah menjadi umpan di dalam perangkap untuk Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tidak akan bisa bertemu Pandan Wangi
tanpa bantuanku, Kakang," kata Rinjani, terdengar agak dalam nada suaranya.
"Apa maksudmu, Rinjani?" tanya Rangga, agak berkerut keningnya.
"Aku tahu, di mana Pandan Wangi. Dan aku juga tahu, apa yang terjadi pada Pandan Wangi dan pada dirimu," tegas Rinjani.
Rangga benar-benar jadi kebingungan sekarang
ini. Dia merasa semua orang yang ada, bisa mengetahui semua yang sedang terjadi pada dirinya. Juga
pada Pandan Wangi. Bahkan banyak orang yang tidak
dikenalnya mengetahui persoalan yang sedang dialaminya. Dan sekarang pun, Rinjani mengetahui persoalan yang dihadapinya. Dan itu membuat Rangga
semakin bertambah bingung saja.
"Apa saja yang kau ketahui, Rinjani?" desak Rangga. Tatapan matanya begitu tajam
menusuk langsung ke bola mata gadis itu.
"Kau sedang mencari Pandan Wangi, bukan...?"
Rinjani malah bertanya, seperti ingin memastikan saja.
Rangga hanya mengangguk, menjawab pertanyaan gadis itu.
"Kau tahu, di mana Pandan Wangi sekarang berada?" Kali ini Rangga hanya menggelengkan kepala saja. Sinar matanya masih
menatap tajam pada gadis
di depannya ini.
"Ayo, kutunjukkan agar kau bisa bertemu Pandan Wangi," ajak Rinjani.
Gadis itu langsung saja menyambar tangan
Rangga, dan mengajaknya melangkah meninggalkan
tempat itu. Tapi, Rangga tidak segera mengikutinya.
Dia malah terdiam, dan melepaskan genggaman tangan Rinjani pada tangan kirinya. Sehingga gadis itu kini malah menatap tajam.
"Aku ingin menolongmu, Kakang. Hanya aku
yang bisa menunjukkan di mana Pandan Wangi berada. Tanpa pertolonganku, kau tidak akan mungkin bisa bertemu kekasihmu itu," kata Rinjani setengah mendesak.
"Katakan saja, di mana Pandan Wangi sekarang
berada...?" desak Rangga, agak mendesis nada suaranya. "Aku tidak bisa
mengatakannya. Tempat itu tidak bernama, dan hanya sedikit orang yang mengetahui," sahut Rinjani.
Rangga semakin tajam menatap Rinjani. Sinar
matanya tampak memancarkan ketidakpercayaan. Dan
gadis itu rupanya tahu kalau Rangga tidak percaya
atas jawabannya barusan. Perlahan didekatinya Pendekar Rajawali Sakti, lalu kembali menggenggam tangannya erat-erat. Seakan-akan dia tidak ingin melepaskannya lagi.
"Aku tahu, dalam keadaan seperti ini kau memang tidak bisa mempercayai siapa pun juga. Tapi aku sungguh-sungguh ingin
membantumu," tegas Rinjani.
"Kita baru kenal semalam. Dan itu pun tidak
ada kesempatan berbicara. Kenapa kau begitu ingin
sekali membantuku, Rinjani?" Rangga tampaknya masih belum bisa mempercayai gadis
ini. Rinjani hanya tersenyum saja. Dilepaskannya
genggaman pada tangan Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan tubuhnya berputar dan melangkah tanpa berbicara lagi. Sesaat Rangga hanya diam berdiri memandangi, kemudian mengayunkan kakinya menyusul gadis itu. Langkah kakinya disejajarkan di samping gadis ini.
*** Matahari terus bergulir sejalan dengan sang
waktu yang mengikuti peredarannya sepanjang zaman.
Rangga dan Rinjani terus berjalan tanpa banyak bicara lagi. Hanya sesekali saja
mereka berbicara. Dan selama perjalanan ini, Rangga terus mendesak Rinjani yang
begitu ingin membantunya mencari Pandan Wangi.
Tapi, gadis itu seperti menyembunyikan sesuatu. Meskipun Rangga terus mendesak,
dia tetap bertahan tidak mau mengatakan alasannya.
Mereka baru berhenti melangkah setelah sampai di bibir sebuah lembah yang terlihat begitu indah.
Semerbak harum wangi bunga-bunga yang bermekaran begitu terasa menyengat hidung. Rangga sampai
berdecak kagum menyaksikan keindahan lembah ini.
Tapi begitu teringat cerita Ki Arman semalam, keningnya jadi berkerut. Memang
sukar bisa dipercaya kalau lembah yang begitu indah memiliki keangkeran yang
sukar bisa dimengerti.
"Rinjani, bukankah ini yang disebut Lembah
Kumala...?" tanya Rangga ingin memastikan.
"Benar," sahut Rinjani.
"Tadi katamu, kau akan membawaku ke tempat
yang tidak bernama?" tanya Rangga teringat ucapan Rinjani sebelum sampai ke
lembah yang begitu indah
Ini. "Memang. Dan kita belum sampai di sana, tapi
harus melewati lembah ini dulu," kata Rinjani, terdengar agak ditekan nada
suaranya. Rangga memandangi gadis ini. Dirasakan ada
sesuatu di dalam nada suara Rinjani. Seperti suatu
kekhawatiran untuk melewati Lembah Kumala ini. Dan
memang, Rangga sudah mendengar dari Ki Arman kalau tidak ada seorang pun yang bisa selamat keluar ji-ka sudah memasuki lembah
ini. Tapi dia tidak tahu,
apa sebabnya sehingga Lembah Kumala begitu ditakuti semua orang.
"Kau takut melewati lembah ini, Rinjani?" tegur Rangga.
Rinjani tidak langsung menjawab. Wajahnya
berpaling dan menatap Pendekar Rajawali Sakti. Jelas sekali kalau gadis itu
berusaha tersenyum untuk
menghilangkan kecemasan di hatinya. Tapi bibirnya
yang bergerak tersenyum itu tampak bergetar. Rangga tahu, gadis ini berusaha
keras untuk bisa tenang dan mencoba memberikan senyum, meskipun teramat dipaksakan. "Sudah lama sekali aku ingin ke Lembah Kumala. Tapi kakek tidak pernah mengizinkan ku datang ke sini. Setiap kali aku
pergi, dia selalu mengawasi. Dia begitu khawatir aku pergi ke lembah ini," jelas
Rinjani. "Aku bisa memaklumi kecemasan kakekmu,
Rinjani. Dan memang sebaiknya kau tidak datang ke
sini, meskipun bersamaku," sambut Rangga.
"Kecemasannya terlalu berlebihan, Kakang.
Dan itu membuatku semakin ingin ke lembah ini. Dan
kesempatan itu datang waktu aku mendengar semua
pembicaraanmu semalam dengan kakek," kata Rinjani
lagi. "Boleh aku tahu, kenapa kau begitu ingin datang ke Lembah Kumala ini,
Rinjani?" pinta Rangga.
"Ayah dan ibuku adalah sepasang pendekar.
Mereka tewas di lembah ini oleh Ki Badranaya, si Setan Lembah Kumala. Aku begitu
dendam dan ingin
membalas kematian kedua orang tuaku. Tapi, kakek
tidak pernah mengizinkan untuk menuntut balas.
Bahkan dengan keras sekali melarangku untuk mendekati lembah ini," tutur Rinjani menceritakan kehidu-pannya.
"Dan .kau memanfaatkan keberadaanku, begitu...?" "Lebih tepat kalau dikatakan kerjasama, Kakang." "Kerjasama apa?"
"Kau ingin menemukan Pandan Wangi kembali,
dan aku ingin membalas kematian kedua orang tuaku
di lembah ini. Aku sudah begitu banyak mendengar
tentang dirimu sebelum kau datang bersama kakek
semalam. Dan aku yakin, kau mampu menghadapi Ki
Badranaya. Dan sebagai imbalannya, aku akan membawamu menemui Pandan Wangi. Karena, aku tahu
betul tempat Pandan Wangi sekarang berada," jelas Rinjani lagi.
"Cerdik...," desis Rangga seraya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudah terlalu lama aku menunggu kesempatan ini, Kakang. Dan aku tidak ingin melewatkannya
begitu saja. Rasanya, hanya satu kali ini saja kesempatan itu ku peroleh. Kini
aku telah mendapatkan seorang pendekar tangguh dan digdaya yang tingkat kepandaiannya sukar dicari tandingannya," kata Rinjani lagi. "Bagaimana kalau
kakekmu tahu kau ada di
sini bersamaku, Rinjani?" tanya Rangga ingin tahu.
"Dia tidak akan tahu. Setiap hari dia sibuk me-nyeberangkan orang di sungai,"
sahut Rinjani agak ketus.
"Hari ini dia tidak ke sungai. Dan...," Rangga tidak meneruskan.
"Aku ada di sini."
"Eh..."!"
Bukan main terkejutnya Rinjani, begitu tibatiba terdengar suara yang begitu dikenalnya dari arah belakang. Cepat-cepat
tubuhnya berbalik. Kedua kelopak matanya jadi terbeliak begitu melihat Ki Arman,
yang dikenal sebagai si Tua Tukang Perahu sudah ada di bibir Lembah Kumala ini.
Sungguh dia tidak tahu, kapan kakeknya ini datang. Tahu-tahu sudah berdiri
di belakangnya tadi.
"Kakek...," desis Rinjani seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Aku tidak mengerti, kenapa kau bisa lakukan
ini, Rinjani..." Sudah berulang kali aku melarangmu datang ke lembah ini," tegur
Ki Arman menyesali tindakan Rinjani yang nekat datang ke Lembah Kumala
ini bersama Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, Ki. Aku....."
"Aku tidak menyalahkanmu, Rangga," selak Ki Arman cepat-cepat memutuskan ucapan
Pendekar Rajawali Sakti. "Aku tahu, kau tidak bisa menolak keinginan cucuku ini.
Dia memang bandel. Susah diatur!"
Rinjani diam saja dengan kepala agak tertunduk. Sebentar-sebentar matanya melirik Rangga yang
juga jadi terdiam. Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti merasa tidak enak pada Ki
Arman. Rinjani merasa ber-salah, karena telah melibatkan Pendekar Rajawali Sakti ke dalam urusan pribadinya. Padahal, dia tahu kalau
pemuda berbaju rompi putih itu juga sedang menghadapi suatu persoalan yang begitu pelik.
Di saat mereka semua terdiam, tiba-tiba saja....
Whrrr...!
Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** 6 "Apa itu..."!" desis Rinjani terkejut.
Bukan hanya Rinjani saja yang terkejut. Bahkan Rangga dan Ki Arman juga jadi terperanjat begitu tiba-tiba saja berhembus
angin yang begitu keras, bagai terjadi badai topan dahsyat dan tiba-tiba sekali
datangnya. Suara angin itu teramat keras, terdengar
menderu-deru menggetarkan jantung. Debu dan bebatuan berhamburan ke udara. Beberapa pohon mulai
jatuh bertumbangan, membuat bumi yang dipijak jadi
bergetar seperti diguncang gempa.
"Hati-hati! Ini bukan badai biasa," desis Rangga memperingatkan.
Rangga yang juga bisa menciptakan badai topan seperti ini, langsung bisa merasakan kalau badai yang terjadi begitu tibatiba memang bukan badai biasa. Dan dia tahu, badai topan ini buatan seseorang
yang memiliki tingkat kepandaian tinggi.
"Kalian ke belakangku, cepat...!" seru Rangga, agak keras suaranya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa merasakan adanya kekuatan yang begitu besar dari pengerahan tenaga dalam tinggi di balik badai topan ini. Ki Arman yang sudah sering
mendengar sepak terjang pe-tualangan Pendekar Rajawali Sakti segera menarik
tangan Rinjani dan membawanya ke belakang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hep...!"
Rangga segera merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Sebentar saja ditariknya napas dalam-dalam, lalu
ditahannya di dada. Kemudian matanya sedikit terpejam, memusatkan seluruh
perhatian dan inderanya untuk mengerahkan aji 'Bayu Bajra'.
Pendekar Rajawali Sakti akan mengimbangi badai topan buatan ini.
"Hap...! Aji 'Bayu Bajra'.... Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga menghentakkan kedua
tangannya ke samping, hingga merentang lebar. Dan
seketika itu juga bertiup angin keras menderu-deru, yang mengimbangi badai topan
itu. Tapi mendadak sa-ja seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti jadi bergetar
dahsyat. Maka segera dilakukannya beberapa gerakan
dengan kedua tangannya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga
menghentakkan kedua tangannya ke depan. Tampak
dari kedua telapak tangan yang terbuka lebar itu mengepulkan asap putih yang
bergulung-gulung, di-sertai percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Pada saat itu juga, Ki Arman dan Rinjani yang berada di belakang Rangga tidak lagi
merasakan adanya hembusan angin topan yang keras. Padahal di sekeliling mereka
topan itu masih terlihat mengamuk semakin dahsyat. Suara ledakan-ledakan mulai terdengar menggelegar memekakkan telinga. Tampak batu-batu dan
pepohonan hancur berkeping-keping seperti terhantam pukulan keras bertenaga
dalam tinggi. Rangga perlahan-lahan segera menarik kedua tangannya ke belakang, hingga sampai sejajar dada. Lalu....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar
Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke
depan. Seluruh tenaga dalamnya yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan juga dikerahkan. Seketika itu
juga terdengar ledakan keras menggelegar begitu dahsyat. Akibatnya, bumi yang
dipijak jadi bergetar hebat.
Pepohonan bertumbangan tercabut sampai ke akarakarnya. Dan bebatuan pecah berhamburan mengepulkan debu yang membumbung tinggi ke angkasa.
Pada saat itu, tiba-tiba saja badai topan yang
mengamuk dahsyat berhenti seketika. Dan perlahanlahan, Rangga menurunkan kedua tangannya. Tampak
dadanya bergerak turun naik cepat sekali. Keringat
mengucur deras membasahi seluruh tubuhnya. Jelas
sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti tadi mengerahkan seluruh kemampuan aji 'Bayu Bajra' pada tingkatan yang terakhir. Dan memang, hasilnya sungguh
luar biasa. Hutan di sekitar bibir Lembah Kumala ini jadi porak-poranda.
"Kalian tunggu di sini," ujar Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah
menuruni Lembah Kumala. Tebing lembah yang landai, tidak menyulitkan baginya untuk memasuki lembah itu. Sementara, perlahan-lahan Ki Arman dan Rinjani melangkah mengikuti
sampai benar-benar berada
di tepi bibir jurang. Mereka berhenti di sana, dan
hanya memandangi Rangga yang terus melangkah semakin dalam memasuki Lembah Kumala ini.
Rangga baru berhenti melangkah setelah sampai di tengah-tengah lembah yang terlihat indah itu.
Hamparan rumput yang tergelar bagai permadani, dan
dihiasi bunga-bunga yang bermekaran menyebarkan
harum wangi, membuat pemandangan di lembah itu
terasa begitu indah. Namun di balik keindahan itu, tersirat sesuatu yang begitu
mengerikan. Sesuatu yang teramat sukar dibayangkan.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti jadi sedikit menyipit begitu melihat seonggok tulang-belulang manusia berserakan tidak
seberapa jauh di depannya.
Dan tidak jauh di sebelah kanan, juga terlihat beberapa tulang tengkorak manusia
berserakan. Demikian
juga di samping kiri. Entah ada berapa tulang tengkorak kepala manusia di
sekitar Rangga berdiri. Memang tulang-tulang itu tidak akan terlihat dari atas
tebing lembah ini, karena tertutup rerumputan yang cukup
tinggi hingga hampir sampai ke betis. Dan tampaknya, di sinilah si Setan Lembah
Kumala menghabisi mereka yang mencoba memasuki daerah kekuasaannya di
Lembah Kumala ini.
"Kau sungguh berani datang ke tempatku,
Anak Muda...!"
"Hm...."
Perlahan Rangga memutar tubuhnya berbalik,
begitu tiba-tiba terdengar suara yang begitu dalam dari belakang. Kening
Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, dan kelopak matanya menyipit begitu di
depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki yang sukar untuk diketahui
usianya. Dia mengenakan baju warna hitam
ketat. Sebilah golok berukuran begitu besar, tersandang di pundaknya. Dan di
pinggangnya, menggantung
sebilah pedang bergagang kuning keemasan yang bagian ujungnya berbentuk kepala tengkorak manusia.
"Kaukah yang bernama Ki Badranaya...?" tanya Rangga ingin memastikan.
"He he he.... Baru kali ini kudengar ada orang menyebut namaku yang benar. Dan
biasanya, mereka
selalu menyebutkan Setan Lembah Kumala," ujar laki-laki itu diiringi suara
tawanya yang terkekeh mengerikan. "Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam perlahan.
Diamatinya wajah Ki Badranaya yang tampak
rusak. Sebagian pipi kirinya mengelupas, hingga tulang pipinya yang putih agak kemerahan terlihat. Ada segaris luka memanjang
membelah wajahnya. Dan sebelah matanya tampak bolong. Rambutnya yang panjang tak teratur, dibiarkan meriap. Sehingga tampang si Setan Lembah Kumala itu
semakin mengerikan.
Dari luka-luka yang sudah mengering itu,
Rangga tahu kalau Ki Badranaya sudah mengalami
begitu banyak pertarungan. Dan luka-luka yang membuat wajahnya jadi rusak begitu pasti akibat dari per-tarungannya dengan lawanlawan tangguh. Bahkan
kaki kirinya pada bagian betis disambung dengan besi baja berwarna hitam.
Keadaan tubuh si Setan Lembah
Kumala ini memang sudah tidak lagi sempurna. Begitu banyak cacat yang tampak
pada dirinya, sehingga sukar diketahui berapa usianya.
"Kau lihat tulang-tulang yang berserakan itu,
Anak Muda..." Mereka adalah orang-orang yang mencoba mengusik ketenteraman hidupku. Dan kau pasti
sudah tahu, tak ada seorang pun yang bisa keluar dari daerah ku ini dalam
keadaan selamat," kata Ki Badranaya, begitu dingin nada suaranya.
"Kau yang membunuh mereka semua?" tanya
Rangga ingin tahu.
"Benar," sahut Ki Badranaya cepat.
"Kenapa...?"
"Mereka datang hanya untuk membunuhku.
Mereka menganggap, aku orang yang paling berbahaya
dan harus dilenyapkan. Kau tahu, Anak Muda. Aku
hanya mempertahankan diri, dan sebenarnya pula tidak bermaksud membunuh mereka. Tapi mereka bermaksud membunuhku. Hm.... Kenapa kau datang ke
lembah ini, Anak Muda" Dan siapa namamu?"
"Namaku Rangga. Kedatanganku ke sini hanya
untuk lewat saja. Sedikit pun tidak ada maksud untuk mengusik kehidupanmu di
sini. Kalau tidak keberatan, aku hanya ingin lewat tanpa harus mendapatkan
kesulitan darimu," sahut Rangga kalem.
"Kedatanganmu saja sudah merusak keindahan
lembah ini, Anak Muda," desis Ki Badranaya. "Hm..., namamu Rangga. Kau pasti
yang dijuluki Pendekar Rajawali Sakti."
Rangga tersenyum.
"Maaf. Tadi aku hanya mempertahankan diri
saja dari serangan badai mu," sahut Rangga sopan.
"He he he...! Ternyata kau bisa cepat tahu kalau badai itu aku yang buat, Anak Muda. Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti. Dan tentu kepandaianmu juga sangat
tinggi, sehingga bisa mengalahkan aji 'Badai Penyapu Bumi'. Kau tahu, Anak
Muda. Baru sekarang aji 'Badai Penyapu Bumi' yang
kumiliki bisa tertandingi. Dan aku yakin, kau pasti memiliki ajian-ajian lain
yang lebih dahsyat," kata Ki Badranaya mengakui keunggulan Rangga tadi dengan
hati tulus. "Terima kasih," ucap Rangga seraya tersenyum.
Rangga tahu, apa arti kata-kata si Setan Lembah Kumala. Dan sudah barang tentu bila diajak bertarung tidak mungkin bisa ditolak lagi. Meskipun terdengar begitu halus, tapi
kata-kata tadi merupakan
suatu tantangan. Ki Badranaya sudah menjual terlebih
dahulu, dan Rangga tidak bisa mengelak untuk membelinya. Mereka kini tidak berbicara lagi. Tapi sinar ma-ta satu sama lain
menyorot begitu tajam menusuk. Sepertinya, mereka sedang mengukur tingkat
kepandaian masing-masing yang dimiliki. Perlahan mereka sama-sama bergerak ke
samping, hingga membentuk lingkaran. Dan sorot mata mereka masih tetap tajam tanpa
berkedip sedikit pun juga.
"Dengar, Anak Muda. Aku hanya mengenal satu
kata dalam pertarungan. Mati...," desis Ki Badranaya, dingin sekali nada
suaranya. "Jadi, kau tidak perlu sungkan-sungkan lagi. Kau harus dapat
membunuhku kalau tidak ingin mati di sini seperti yang lain."
Rangga hanya diam saja, meskipun agak terkejut juga mendengar kata-kata Ki Badranaya barusan.
Kata-kata yang tidak bisa dianggap enteng begitu saja.
Dan tampaknya, Ki Badranaya memang bersungguhsungguh. Hal itu terbukti dari tengkorak-tengkorak
yang berserakan di tengah-tengah lembah ini. Pendekar Rajawali Sakti melirik sedikit pada Ki Arman dan cucunya yang masih berada
di bibir tebing Lembah
Kumala ini. "Bersiaplah kau, Rangga. Hiyaaat...!"
Cepat sekali Ki Badranaya melompat menyerang sambil mengebutkan goloknya yang berukuran
sangat besar. Angin menderu dahsyat begitu golok si Setan Lembah Kumala
berkelebat cepat ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Wusss! "Hap!"
Hanya sedikit saja Rangga menundukkan kepala, maka golok berukuran sangat besar yang melayang deras itu lewat di atas
kepalanya. Rangga segera menarik kakinya ke depan beberapa langkah begitu Ki Badranaya cepat menarik goloknya, dan mengebutkannya
kembali ke arah dada. Kembali ujung golok yang berki-latan tajam itu lewat
sedikit saja di depan dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Serangan Ki Badranaya rupanya tidak berhenti
sampai di situ saja. Dua kali serangannya manis sekali dapat dielakkan, membuat
si Setan Lembah Kumala
itu semakin meningkatkan serangannya. Rangga cepat
mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan laki-laki berwajah rusak dan penuh
cacat di seluruh tubuhnya.
Sebentar saja dua orang berkepandaian tinggi
itu sudah terlibat ke dalam pertarungan yang begitu dahsyat. Setelah melewati
beberapa jurus, Rangga ba-ru mengeluarkan jurus-jurus dari rangkaian lima jurus
'Rajawali Sakti'. Namun begitu, hanya sesekali saja melakukan serangan balasan.
Tapi itu juga sudah
membuat Ki Badranaya harus berjumpalitan menghindarinya. Dan Rangga sendiri mengakui dalam hati kalau jurus-jurus yang dimiliki Ki Badranaya memang
sangat dahsyat dan tidak bisa dianggap enteng.
*** Jurus demi jurus berlalu begitu cepat. Entah
sudah berapa jurus dilewati dalam pertarungan itu.
Namun, tampaknya Rangga belum juga menggunakan
pedang pusakanya dalam menghadapi Ki Badranaya
yang selama ini selalu dikenal dengan julukan Setan Lembah Kumala. Walaupun
Pendekar Rajawali Sakti
tidak menggunakan satu senjata pun, tapi masih terla-lu sulit bagi Ki Badranaya
untuk bisa mendesaknya.
Bahkan setiap kali Rangga melakukan serangan balasan, laki-laki cacat itu jadi kelabakan menghindarinya. Sepuluh jurus
berlalu tanpa terasa, dan Ki Badranaya belum juga dapat mendesak Pendekar
Rajawali Sakti. Terlebih lagi, dia seperti tidak sanggup membuat pemuda berbaju
rompi putih itu kerepotan.
"Lepas...!" seru Rangga tiba-tiba.
"Heh..."!"
Ki Badranaya jadi tersentak setengah mati, begitu tiba-tiba Rangga melentingkan tubuh ke udara.
Dan bagaikan kilat, tangan Pendekar Rajawali Sakti
berkelebat menyampok ke arah golok besar yang tergenggam di tangan kanannya.
"Hait...!"
Buru-buru Ki Badranaya menarik goloknya
yang tadi sudah terulur. Tapi, gerakannya sudah terlambat. Akibatnya kibasan
tangan Rangga tepat menghantam pergelangan tangan kanannya yang menggenggam golok berukuran sangat besar.
Plaak! "Akh...!" Ki Badranaya terpekik keras agak tertahan. Begitu kerasnya kibasan
Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Ki Badranaya tidak dapat lagi mempertahankan goloknya
yang langsung terpental
melayang ke udara.
"Hiya...!"
"Yeaaah...!"
Bersamaan melesatnya tubuh Ki Badranaya ke
udara, Rangga juga cepat sekali melenting mengejarnya. Lalu secepat kilat pula, dilepaskannya beberapa pukulan beruntun yang
disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Saat
itu, Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sehingga, kedua tangannya bergerak begi-tu cepat. Mau tak mau Ki
Badranaya jadi kelabakan, dan berjumpalitan di udara menghindari setiap sambaran dan pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu keras dan cepat luar biasa.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba
saja Rangga memutar cepat sekali tubuhnya, sehingga kepalanya berada di bawah.
Dan sebelum Ki Badranaya bisa menyadari apa yang akan dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja kedua kaki lawannya sudah bergerak cepat
secara bersamaan.
"Heh..."!"
Diegkh! "Akh...!"
Ki Badranaya memang hanya, mampu terbeliak
dan memekik keras agak tertahan begitu kedua kaki
Pendekar Rajawali Sakti keras sekali menghantam dadanya. Begitu kerasnya tendangan itu, sehingga Ki Badranaya tidak bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya. Keras sekali laki-laki bermuka cacat itu terbanting ke tanah dan bergulingan beberapa kali di antara tulang-tulang yang
berserakan. Tepat di saat Ki Badranaya bisa berdiri lagi, Rangga sudah
menjejakkan kakinya di tanah yang berumput cukup tebal dan
tinggi ini. Sret! Ki Badranaya langsung mencabut pedangnya
yang tergantung di pinggang. Matanya yang tinggal sebelah, tampak terbuka lebar
menatap tajam pada Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak sambil balas menatap tajam pula.
Perlahan-lahan kakinya bergeser ke kanan sambil menggerak-gerakkan pedangnya
per- lahan-lahan di depan dada. Sedangkan Rangga masih
tetap diam berdiri tegak, memperhatikan setiap gerak yang dilakukan si Setan
Lembah Kumala itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan
kilat Ki Badranaya melompat cepat sambil mengebutkan pedangnya. Gerakan pedangnya begitu cepat
sekali, tertuju langsung ke arah beberapa bagian tubuh Rangga yang sangat
mematikan. "Hup! Yeaaah...!"
Tapi Rangga yang memang sudah siap sejak tadi, langsung mengegoskan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang dilakukan si Setan Lembah Kumala ini. Bahkan tanpa diduga
sama sekali, Rangga melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang begitu dahsyat luar biasa. Begitu
cepatnya pukulan yang dilepaskan, sehingga Ki Badranaya jadi terbeliak sesaat.
"Hap! Yeaaah...!"
Memang tak ada lagi yang bisa dilakukan Ki
Badranaya untuk menghindari serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti, selain melenting ke belakang.
Beberapa kali si Setan Lembah Kumala itu berputaran ke belakang. Tapi begitu
menjejakkan kakinya di tanah, tiba-tiba saja Rangga sudah melepaskan satu
tendangan kilat disertai pengerahan tenaga dalam yang begitu sempurna.
'Yeaaah...!"
Sulit bagi Ki Badranaya untuk menghindari
tendangan menggeledek yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga....
Desss! "Ugkh...!" Ki Badranaya jadi mengeluh pendek.
Tendangan Rangga tepat menghantam perut si
Setan Lembah Kumala. Akibatnya, tubuh laki-laki tua itu terpaksa harus
terbungkuk. Pada saat itu juga,
Rangga sudah melepaskan satu pukulan yang begitu
keras ke arah wajah Ki Badranaya. Begitu cepatnya
pukulan yang dilepaskan, membuat Ki Badranaya benar-benar tidak mampu lagi berkelit.
"Akh...!"
Di saat kepala ki Badranaya terdongak akibat
terkena pukulan yang begitu keras dan mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi, tanpa dapat dicegah lagi Rangga kembali
melepaskan satu pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Akibatnya Ki
Ba- dranaya terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak begitu dadanya terhantam
pukulan yang begitu
dahsyat. "Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Rangga melompat mengejar tubuh Ki Badranaya yang melayang deras ke belakang.
Dan sebelum Setan Lembah Kumala itu menghantam
tanah, Rangga sudah melepaskan satu kibasan tangan
kanannya. Kibasan itu langsung menghantam tangan
kanan Ki Badranaya yang menggenggam pedang berwarna kuning keemasan.
Lagi-lagi Ki Badranaya terpekik keras. Pedangnya yang terpental, tidak bisa lagi dipertahankan begitu tangannya terkena
kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuh Ki Badranaya terbanting keras ke
tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Namun begitu mencoba bangkit berdiri,
darah menyembur keluar da-ri mulutnya. Dan pada saat itu, Rangga sudah berdiri
tegak di depannya dengan sebilah pedang berwarna
kuning keemasan tergenggam di tangan kanan. Ujung
pedang itu menempel erat di leher Ki Badranaya yang terus bergerak bangkit
perlahan-lahan. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu pedang si Setan Lembah
Kumala itu sekarang sudah berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau kalah, Ki," ujar Rangga tanpa bermaksud mengejek.
Ki Badranaya hanya terdiam saja. Disekanya
darah di bibir dengan punggung tangan. Sementara
perlahan-lahan Rangga melangkah mundur menjauh.
Lalu, dibuangnya pedang berwarna kuning keemasan
itu ke depan pemiliknya. Pedang itu menancap tepat di ujung jari kaki si Setan
Lembah Kumala. "Kau sudah mengalahkanku, kenapa sekarang
tidak membunuhku, Pendekar Rajawali Sakti...?" agak mendesis suara Ki Badranaya.
"Maaf. Aku bukan pembunuh, Ki. Dan antara
kita tidak ada permusuhan. Aku terpaksa mengalahkanmu, agar kau mengizinkan aku melewati lembah
ini," sahut Rangga sopan.
"Ke mana tujuanmu?" tanya Ki Badranaya.
Rangga tidak langsung menjawab. Wajahnya
berpaling, menatap Ki Arman dan cucunya yang masih
berdiri di bibir tebing lembah ini. Ki Badranaya juga mengarahkan pandangan pada
mereka, kemudian
kembali menatap Rangga yang berdiri sekitar satu batang tombak di depannya.
Sementara, Ki Arman dan
Rinjani sudah melangkah cepat memasuki lembah itu
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa kau tidak membunuhku, Pendekar Rajawali Sakti. Dan, apa yang kau inginkan dariku sekarang?" tanya Ki Badranaya
sambil mencabut pedangnya yang tertancap di tanah, lalu menyarungkan kembali ke dalam warangka di pinggang.
Sementara itu, Ki Arman dan Rinjani sudah berada dekat di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Tampak sekali kebencian terpancar di mata Rinjani melihat si Setan Lembah Kumala
ini. "Kenapa dia tidak dibunuh saja, Kakang...?" desis Rinjani dengan nada penuh
kebencian. 'Tidak ada alasan untukku membunuhnya. Dan
lagi, aku bukan pembunuh," jawab Rangga.
'Tapi dia sudah membunuh orang tuaku. Dan
kau juga sudah berjanji padaku!" sentak Rinjani.
"Aku tidak berjanji apa-apa padamu, Rinjani,"
sergah Rangga. Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti tidak
pernah mengucapkan janji apa pun pada Rinjani. Dia
hanya mau bertarung dengan Ki Badranaya, tapi bukan untuk membunuhnya. Rangga hanya ingin mengalahkannya saja untuk bisa melewati lembah ini dengan leluasa. Dan itu sudah
dilaksanakannya. Tapi, tampaknya Rinjani tidak puas melihat kenyataan ini.
"Kenapa dia menginginkan kematianku, Rangga?" selak Ki Badranaya.
"Dia ingin membalas kematian orang tuanya
yang kau bunuh di sini," jelas Rangga, singkat.
"Hm.... Begitu banyak orang yang datang ke
lembah ini ingin membunuhku. Siapa orang tuanya?"
agak menggumam suara ki Badranaya.
"Sepasang Pendekar Pedang Malaikat," sahut Rinjani, terdengar begitu ketus nada
suaranya. "Hm..., aku tahu," gumam Ki Badranaya. "Mereka memang datang ke lembah ini dan
sempat berta- rung denganku. Tapi, pertarungan ku dengannya belum selesai. Lalu, mereka pergi ke arah Selatan. Aku tidak mengejar siapa saja
yang ingin pergi dengan selamat dari lembah ini."
"Bohong! Kau pasti sudah membunuhnya! Kalau orang tuaku masih hidup, tentu akan menemuiku.
Tapi, sudah lebih dari enam purnama mereka tidak
kembali!" sentak Rinjani tampak berang.
"Bukan hanya mereka saja yang bisa keluar dari sini hidup-hidup. Mereka kubiarkan keluar dalam
keadaan hidup jika mau mengakui kekalahannya. Dan
mereka yang mati di sini, itu karena terlalu angkuh dan keras kepala. Aku juga
terpaksa membunuh mereka. Kalau tidak, aku yang akan mati di tangan mereka," jelas Ki Badranaya.
Rinjani terdiam. Sepertinya dia masih belum
puas atas jawaban Ki Badranaya yang mengatakan
orang tuanya masih hidup, dan sekarang berada di
daerah Selatan Lembah Kumala ini.
"Belum lama, juga datang seorang gadis ke sini.
Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena telah teri-kat perjanjian. Dan dia
kubiarkan lewat," sambung Ki Badranaya lagi.
"Gadis..." Kau tahu siapa dia, Ki?" tanya Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung teringat Pandan Wangi yang sampai saat ini belum juga jelas jejaknya. Dan hatinya begitu
terkejut saat Ki Badranaya
mengatakan kalau belum lama ini lewat seorang gadis.
Rangga langsung mengira kalau gadis itu adalah Pandan Wangi. "Aku tidak kenal. Tapi, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa padanya. Karena,
orang yang menginginkan gadis itu sudah mengalahkan aku. Dan aku diminta agar tidak mengganggu jika ada seorang gadis
berbaju biru muda yang membawa kipas dan pedang
bergagang kepala naga hitam lewat lembah ini," jelas Ki Badranaya lagi.
"Pandan Wangi...," desis Rangga langsung mengenali gadis yang dikatakan Ki
Badranaya barusan.
*** 7 "Ke mana perginya?" tanya Rangga langsung.
"Ke arah Selatan. Dia harus menemui seseorang," sahut Ki Badranaya memberi tahu. "Apa kau ada keperluan dengan gadis itu,
Rangga?" "Maaf, aku tidak bisa mengatakannya, Ki," sahut Rangga.
'Tidak mengapa," ujar Ki Badranaya seraya
mengangkat pundaknya.
Kemudian, Ki Badranaya menatap Rinjani yang
tampaknya masih belum puas, dan masih menyimpan
dendam padanya. Perlahan-lahan si Setan Lembah
Kumala ini menghampiri gadis itu. Rinjani jadi agak bergidik melihat wajah yang
begitu menyeramkan. Rasanya memang pantas kalau Ki Badranaya dijuluki Setan Lembah Kumala. Tapi, Rangga melihat adanya kebersihan di hati laki-laki cacat ini. Dan juga bisa dilihat kalau apa yang
dilakukan Ki Badranaya hanya sekadar mempertahankan diri dari gangguan orangorang yang datang ke lembah ini dan ingin membunuhnya. Cerita-cerita buruk mengenai Setan Lembah
Kumala membuat para pendekar yang sering mengaku
berada di jalan lurus jadi merasa terganggu. Bahkan yang datang ke lembah ini
bukan hanya para pendekar, tapi juga tokoh-tokoh golongan hitam. Kedatangan
mereka juga hanya untuk menguji kepandaian Ki
Badranaya saja. Dan Rangga tahu, mereka yang datang ke Lembah Kumala ini dan ingin membunuh Ki
Badranaya adalah tokoh-tokoh tanggung, yang hanya
sedikit saja memiliki kepandaian. Sedangkan Ki Badranaya sendiri sebenarnya tidaklah setangguh dan
sekejam dari apa yang selama ini diceritakan orang.
Dari pertarungan tadi, Rangga sudah bisa menilai seperti apa si Setan Lembah
Kumala itu sebenarnya.
"Kau masih belum percaya kalau aku tidak
membunuh orang tuamu, Nisanak...?" pelan sekali suara Ki Badranaya.
Dengan mata yang hanya tinggal sebelah, ditatapnya Rinjani tajam-tajam. Hal ini membuat gadis itu melangkah mundur dengan
tubuh sedikit bergidik ngeri. Dia memang dendam dan tidak percaya. Tapi melihat keadaan wajah dan tubuh laki-laki yang selalu dijuluki Setan Lembah Kumala
ini, hatinya jadi bergetar juga. Bukan tingkat kepandaiannya yang membuat
Rinjani bergetar, tapi sosok yang mengerikan itu yang membuatnya tidak sanggup
menatap lama-lama.
"Kalau kau ingin bertemu orang tuamu, pergilah ke arah Selatan. Aku yakin, orang tuamu juga pasti ada di sana seperti gadis
yang dicari Pendekar Rajawali Sakti," jelas Ki Badranaya lagi. "Dan aku juga
yakin, sebenarnya kau sudah tahu akan hal itu, Nisanak."
"Jangan menuduh sembarangan...!" sentak Rinjani, agak bergetar suaranya.
Sementara itu, Rangga hanya diam saja memperhatikan. Sebentar ditatapnya Ki Badranaya, lalu be-ralih menatap Rinjani dan
Ki Arman. Otak Pendekar
Rajawali Sakti itu langsung berputar keras, mencoba mengerti semua pembicaraan
yang didengarnya.
"Rangga! Kalau kau ingin bertemu gadismu itu,
Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia tahu di mana kau bisa menemukannya," kata Ki Badranaya tegas, seraya
berpaling menatap Pendekar
Rajawali Sakti.
"Aku memang tahu di mana Pandan Wangi berada!" sentak Rinjani menyelak.
Rangga dan Ki Badranaya menatap tajam gadis
cantik ini. Dan Rangga juga sempat melihat Ki Arman menggeser goloknya yang
terselip di pinggang. Sedangkan raut wajah Rinjani kelihatan begitu berang
dan memerah. Ketegangan begitu terasa menyelimuti
mereka semua. Dan untuk beberapa saat, mereka jadi
terdiam dengan sinar mata yang sukar diartikan.
"Aku tahu semua rencana busuk ini, Rinjani.
Dan kau memanfaatkan kehadiran Pendekar Rajawali
Sakti untuk membunuhku. Tapi aku tahu, pendekar
yang kau harapkan bisa membunuhku ternyata tidak
seperti yang ada di dalam pikiranmu. Rangga bukanlah pendekar yang ringan tangan dan gampang membunuh. Dan sekarang, kau bisa lihat sendiri kalau aku masih hidup. Padahal,
tidak sukar bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk membunuhku tadi," kata Ki
Badranaya, agak dingin nada suaranya.
"Jangan coba-coba memojokkan aku, Setan!"
desis Rinjani semakin bertambah berang.
"Aku tahu, semua alasanmu hanya pura-pura
saja. Sebenarnya, kau tahu kalau orang tuamu masih
hidup. Dan kau juga tahu kalau orang tuamu ingin sekali membunuhku. Benar-benar
rencana yang begitu
rapi. Sayang, orang-orang yang kalian rangkul tidak semuanya berhati busuk,"
kata Ki Badranaya lagi.
'Tutup mulutmu, Keparat!" bentak Rinjani garang. Sret! Rinjani langsung saja mencabut pedangnya
yang tergantung di pinggang. Tepat ketika gadis itu mengebutkan pedangnya ke
arah dada Ki Badranaya,
Rangga langsung melompat. Segera ditangkapnya pergelangan tangan gadis itu. Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalam, Pendekar
Rajawali Sakti menyentakkan tangan Rinjani. Akibatnya, gadis itu jadi ter-huyung-huyung ke belakang
beberapa tindak. Kalau
saja Ki Arman tidak menahannya, barangkali Rinjani
sudah jatuh terjerembab akibat sentakan Rangga yang cukup kuat, dan disertai
sedikit pengerahan tenaga
dalam. "Kau menyakiti ku, Kakang...," desis Rinjani seraya meringis, menguruturut pergelangan tangannya
yang tadi dicengkeram Rangga begitu kuat.
"Aku tidak akan menyakitimu bila kau tidak
mempermainkan aku!" sentak Rangga dingin.
"Aku..." Mempermainkan mu..." Ada apa ini,
Kakang" Kenapa tiba-tiba saja kau menuduhku mempermainkan mu...?" Rinjani seperti jadi kebingungan.
"Jangan mendustai ku lagi, Rinjani. Aku tahu semua yang kau rencana kan. Kau
membuat perangkap padaku, untuk menyingkirkan semua musuhmusuhmu. Kenapa kau lakukan itu, Rinjani?" desis Rangga, begitu dingin nada
suaranya. "Rencana apa..." Aku..., aku tidak melakukan
apa-apa," Rinjani jadi gelagapan.
"Di mana kau sembunyikan Pandan Wangi...?"
tanya Rangga mendesis.
Rinjani jadi celingukan seperti kebingungan
mendengar pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Ditatapnya Ki Arman yang kini berada di sebelah kanannya. Sementara
perlahan-lahan Rangga melangkah mendekati. Sedangkan Ki Badranaya tetap berdiri
tegak memperhatikan dari jarak sekitar dua batang
tombak jauhnya dari mereka.
"Katakan, di mana Pandan Wangi berada, Rinjani..." Untuk siapa kau lakukan semua ini?" tanya
Rangga lagi, masih terdengar mendesis suaranya.
Rinjani tidak menjawab. Matanya hanya melirik
Ki Arman yang berada di sebelahnya. Dan tanpa banyak bicara lagi, tiba-tiba saja....
"Hiyaaat...!"
Sret! Bet! "Uts...!"
*** Cepat sekali Ki Arman melompat sambil mengebutkan goloknya, begitu ditarik dari sarungnya di pinggang. Namun hanya
sedikit saja mengegoskan tubuh, Rangga berhasil mengelakkan tebasan golok yang
berkilat tajam itu. Dan tanpa diduga sama sekali, Pendekar Rajawali Sakti
menghentakkan tangan kanannya
dengan tubuh membungkuk ke arah perut laki-laki tua yang dikenal sebagai si Tua
Tukang Perahu. "Yeaaah...!"
"Hup!"
Ki Arman cepat-cepat melenting berputar ke belakang, sehingga sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai mengenai sasarannya. Namun begitu kaki Ki Arman menjejak tanah yang berumput tebal, tahu-tahu Rangga sudah membungkuk.
Dan secepat dia menjumput sebuah tulang dari ujung
kaki, secepat itu pula dilemparkan ke arah si Tua Tukang Perahu.
"Hiyaaa...!"
Wusss! "Hait...!"
Ki Arman jadi terperanjat setengah mati. Cepatcepat goloknya dikebutkan untuk menyampok tulang
yang dilemparkan Pendekar Rajawali Sakti dengan kecepatan begitu tinggi. Pada saat yang bersamaan,
Rangga sudah melenting tinggi-tinggi ke udara. Lalu tubuhnya meluruk deras
disertai gerakan kedua kakinya yang begitu cepat luar biasa. Saat itu Rangga
mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa'. Salah satu jurus dahsyat dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'.
"Hiyaaa...!"
"Heh...!"
Ki Arman hanya mampu terbeliak melihat serangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat dan beruntun. Dan sebelum dia
sempat menghindari, mendadak saja....
Plak! "Akh...!" Ki Arman jadi terpekik keras.
Satu tendangan kaki Rangga tepat menghantam kepala laki-laki tua itu. Akibatnya, tubuhnya ter-pelintir sambil menjerit
panjang dan memegangi kepalanya. Tampak dari sela-sela jari tangan yang memegangi kepala itu, merembes cairan agak kental berwar-na merah. Sementara itu,
Rangga sudah kembali menjejakkan kakinya sekitar enam langkah dari Ki Arman yang masih menggerung-gerung
memegangi kepalanya
yang retak mengucurkan darah.
Bruk! Tiba-tiba saja Ki Arman ambruk menggelepar di
tanah. Darah semakin banyak mengucur dari kepalanya yang pecah akibat terkena tendangan dari jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Beberapa saat Ki
Arman masih menggelepar meregang nyawa, kemudian
mengejang dan diam tak bergerak-gerak lagi. Darah terus mengucur deras dari
kepalanya yang pecah.
Sementara Rangga sudah melangkah perlahanlahan mendekati Rinjani yang terus bergerak mundur
dengan wajah kelihatan tegang memerah. Gadis itu
tampak kebingungan melihat Ki Arman tewas hanya
dalam beberapa gebrakan saja. Dengan tangan gemetar, gadis itu merogoh lipatan bajunya bagian dalam.
Lalu, dikeluarkannya sebuah peluit kecil terbuat dari perak. "Swuiiit...!"
Nyaring sekali suara peluit perak itu, sehingga
membuat telinga Pendekar Rajawali Sakti jadi mendenging. Bahkan Ki Badranaya yang berada cukup jauh dari Rangga pun terpaksa harus menutup telinganya mendengar suara peluit yang ditiup Rinjani. Dan belum lagi suara peluit itu
menghilang dari pendengaran, tiba-tiba saja....
"Heh..."!"
Rangga jadi terkejut setengah mati, karena tibatiba saja tanah yang dipijaknya jadi bergetar seperti diguncang gempa. Pada saat
itu, Ki Badranaya cepat melompat mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya
jadi agak limbung begitu kakinya mendarat di samping Rangga. Dan mereka jadi
saling berpandangan, karena getaran di tanah ini semakin bertambah kuat saja.
"Ada apa ini...?" tanya Rangga.
"Hati-hati, mereka datang...," sahut Ki Badranaya, agak bergetar nada suaranya.
"Siapa mereka?" tanya Rangga lagi.
Belum juga pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti
bisa terjawab, tiba-tiba saja tanah di sekeliling mereka jadi menggerenjul dan
bergerak cepat menuju ke arah mereka. Kelihatannya seperti ada sesuatu yang
bergerak di dalam tanah itu. Rangga mengedarkan pandangan berkeliling, memperhatikan tanah menggerenjul panjang yang terus bergerak cepat menuju ke
arahnya. Dan sebelum bisa berpikir lebih jauh lagi, ti-ba-tiba saja ujung tanah
yang bergerak itu berhamburan di udara. Lalu dari dalam tanah, bermunculan
orang-orang berpakaian serba hitam yang semuanya
membawa tombak bercabang tiga pada ujungnya.
Sebentar saja, Rangga dan Ki Badranaya sudah
dikepung delapan orang berpakaian serba hitam dan
bersenjatakan tombak bermata tiga yang tadi bermunculan dari dalam tanah. Kini mereka tidak lagi merasakan getaran pada tanah yang
dipijak, setelah delapan orang berbaju serba hitam itu muncul.
"Mereka tidak bisa berbicara. Bahkan akan
langsung menyerang dan membunuh begitu terdengar
suara peluit," jelas Ki Badranaya.
"Hm...."
Baru saja Rangga menggumam, terdengar suara peluit yang begitu nyaring melengking tinggi. Dan tiba-tiba saja, delapan
orang berpakaian serba hitam itu berlompatan menyerang tanpa ada seorang pun
yang memperdengarkan suara. Rangga dan Ki Badranaya cepat melompat menyambut serangan delapan
orang berpakaian serba hitam yang muncul dari dalam tanah itu.
*** Memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan, selain menghadapi delapan orang berpakaian serba hitam itu. Mereka bertarung ganas, dan jurus-jurusnya cepat sekali. Sedikit pun
Rangga dan Ki Badranaya tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang.
Beberapa kali Rangga mengumpat, karena
ujung-ujung tombak lawan-lawannya hampir saja merobek tubuhnya. Namun belum ada sedikit pun kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bisa
membalas. Sementara, Ki Badranaya sudah tampak
kewalahan menghadapi empat orang yang menyerangnya. Dan dia juga hanya bisa berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang begitu cepat dan beruntun. Memang benar apa
yang dikatakan Ki Badranaya. Tak ada seorang pun dari mereka yang mengeluarkan suara. Tapi serangan-serangan yang dilancarkan begitu cepat dan dahsyat
sekali. "Uts! Phuih...!"
Rangga memaki di dalam hati begitu satu batang tombak hampir saja menembus dadanya. Lalu,
cepat sekali tangannya dikibaskan, hendak menyampok tombak yang lewat di samping tubuhnya. Tapi
orang berbaju hitam itu cepat sekali menarik tombaknya, sehingga kibasan tangan
Rangga tidak mengenai
sasaran sama sekali.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting
ke udara. Tapi pada saat yang sama, satu orang penye-rangnya juga melesat ke
udara sambil menghunjamkan tombak ke arah dada pemuda berbaju rompi putih
itu. "Hait! Yeaaah...!"
Rangga cepat-cepat mengegos ke kanan. Dan
secepat kilat pula tangan kanannya dihentakkan, untuk memberikan satu pukulan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam
yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan. Begitu cepatnya pukulan yang
dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga orang
berbaju serba hitam itu tidak dapat lagi menghindar.
Desss! Sedikit pun tak ada jeritan terdengar, meskipun
pukulan yang dilepaskan Rangga tepat menghantam
dadanya. Seketika orang berbaju serba hitam itu terpental ke belakang sejauh dua
batang tombak, lalu keras sekali jatuh bergelimpangan di tanah. Namun, dia bisa
cepat bangkit berdiri. Sedikit pun pukulan Rangga yang mengandung pengerahan
tenaga dalam sempurna
itu tidak ada pengaruhnya.
"Edan...! Apakah mereka bukan manusia..."!"
desis Rangga merutuk sendiri dalam hati.
Sret! Rangga langsung mencabut pedangnya begitu
menjejakkan kakinya kembali di tanah. Seketika itu
juga, cahaya biru terang berkilauan menyemburat begitu Pedang Rajawali Sakti tercabut dari warangkanya.
"Kalian hadapi pedangku ini! Hiyaaat...!" teriak Rangga keras menggelegar.
Wuk! Rangga tidak ingin lagi menyia-nyiakan kesempatan yang dimilikinya. Dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti berlompatan
sambil mengebutkan pedang pusakanya beberapa kali. Pendekar Rajawali Sak-ti
tidak tanggung-tanggung lagi dalam menghadapi lawannya kali ini. Langsung
dikeluarkannya jurus
'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus andalannya yang
jarang sekali digunakan jika tidak dalam keadaan terpaksa. "Hiya! Hiya!
Hiyaaa...!"
Dahsyat sekali jurus 'Pedang Pemecah Sukma'
yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Gerakangerakan yang dilakukan begitu cepat luar biasa, membuat empat orang berbaju
hitam yang mengeroyoknya
jadi kelabakan setengah mati. Tapi sebelum mereka bi-sa melakukan sesuatu, tibatiba saja sudah dua orang yang terpental dengan leher buntung terbabat pedang
pusaka Pendekar Rajawali Sakti.
Dan sebelum ada yang sempat menyadari,
Rangga sudah cepat melompat sambil mengebutkan
pedangnya dengan kecepatan begitu luar biasa. Kebutan pedang Pendekar Rajawali Sakti menimbulkan deru angin yang demikian dahsyatnya. Dan kembali serangan Rangga tidak dapat terbendung. Sekali tebas
Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja, dua orang lawannya langsung terjungkal dengan dada terbelah menyemburkan
darah segar. "Hiyaaat..!"
Rangga cepat melompat ke arah empat orang
lain yang masih mengeroyok Ki Badranaya. Secepat kilat pula pedangnya dibabatkan
ke arah satu orang
berbaju serba hitam itu.
Bet! Cras! Tak ada suara jeritan sedikit pun begitu pedang
Pendekar Rajawali Sakti membabat buntung leher
orang berbaju serba hitam itu. Dan Pendekar Rajawali Sakti kembali bergerak
cepat sambil membabatkan pedangnya beberapa kali ke arah lawan-lawannya.
Trek! Begitu Rangga memasukkan Pedang Rajawali
Sakti ke dalam warangka, tak ada lawan seorang pun
yang bisa berdiri lagi. Dan hal ini membuat Ki Badranaya jadi terperangah bengong seperti mimpi.
Sungguh tidak disangka kalau Pendekar Rajawali Sakti bisa bergerak demikian
cepat, bagai bayangan saja.
Begitu sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu, tak ada seorang pun
dari lawan yang bisa bangkit lagi. Mereka semua sudah tergeletak berlumuran
darah tak bernyawa lagi.
"Oh...! Di mana Rinjani, Rangga..."!" tanya Ki Badranaya langsung teringat gadis
cantik yang bernama Rinjani. "Dia sempat kabur ke arah Selatan," sahut Rangga yang tadi sempat melihat
Rinjani melarikan di-ri ke arah Selatan.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat
mengejar, karena terlalu sibuk menghadapi empat
orang lawan yang muncul dari dalam tanah.
"Dia pasti menemui pimpinannya," ujar Ki Badranaya, agak mendesis suaranya.
"Kau sudah tahu gadis itu, Ki. Tapi kenapa tadi berpura-pura tidak
mengenalnya...?" desak Rangga meminta penjelasan.
"Maaf. Aku baru menyadari kalau hanya dijadikan alat permainan. Kusadari kalau sebenarnya aku
adalah salah satu umpan dari perangkap mereka," sahut Ki Badranaya.
"Perangkap apa, Ki?" desak Rangga lagi.
"Nanti saja, akan ku jelaskan. Sebaiknya sekarang kita kejar, sebelum Rinjani sampai," ajak Ki Badranaya.
Rangga tidak bisa mendesak lagi, karena Ki Badranaya sudah berlari cepat menuju Selatan. Dan
Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna untuk mengikuti laki-laki cacat itu. Sehingga, tidak ada kesulitan sedikit
pun untuk bisa berada di samping Ki Badranaya yang dikenal berjuluk Setan
Lembah Kumala ini.
*** 8 Rangga memandangi bangunan candi yang begitu besar ukurannya. Seluruh bangunan itu terbuat
dari batu yang sudah ditumbuhi lumut tebal. Begitu
sunyi sekitarnya, sehingga desir angin yang begitu
lembut dan perlahan terasa jelas mengusik telinga.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti mengamati
keadaan sekitarnya. Sedangkan Ki Badranaya yang berada di sampingnya, hanya berdiam diri saja memandangi bangunan candi yang sangat besar ukurannya.
"Kau yakin ini tempatnya, Ki?" tanya Rangga, agak berbisik suaranya.
"Aku pernah satu kali datang ke sini bersama
yang lain," sahut Ki Badranaya. "Waktu itu, aku masih bergabung dengan mereka.
Aku dulu memang seorang
tokoh hitam, Rangga. Penggabungan ku dengan mereka karena aku telah dikalahkan. Maka, aku, Rinjani, dan Ki Arman berupaya
memancing mu ke sini. Jadi,
waktu itu kami hanya bersandiwara saja. Dan begitu
aku berhasil kau kalahkan, aku baru yakin kalau kau memang pendekar sejati.
Itulah sebabnya, aku langsung memilih menjadi orang yang lurus. Aku telah banyak
berdosa, Rangga."
Pendekar Rajawali Sakti hanya menganggukangguk mendengar penuturan Ki Badranaya. Sungguh
hatinya merasa terharu mendengar penuturan yang
polos dari laki-laki tua berwajah cacat itu.
"Apakah mereka semua orang persilatan sepertimu?" Rangga mengalihkan pembicaraan.
"Benar. Tapi, tidak semua sepertiku. Kebanyakan dari mereka memang ingin melenyapkanmu. Dan
mereka bergabung merencanakan sebuah perangkap
untuk menjebakmu. Waktu itu aku benar-benar terpaksa. Mereka telah mengalahkanku," jelas ki Badranaya.
"Berapa jumlah mereka?" tanya Rangga lagi.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi sebagian pasti sudah kau hadapi," sahut Ki Badranaya.
Rangga tidak bertanya lagi. Memang selama
pergi mengejar Pandan Wangi, sudah beberapa orang
yang bentrok dengannya. Dan tampaknya mereka memang sudah mengetahui kalau Pendekar Rajawali Sakti sedang mencari Pandan Wangi. Saat itu, Rangga sa-ma sekali tidak tahu kalau
dirinya sedang masuk sua-tu perangkap. Dia kembali teringat kata-kata Ki Arman, yang sama sekali tidak diduga kalau laki-laki tua itu justru salah satu
dari orang-orang yang menginginkan kematiannya. Benar-benar suatu perangkap berdarah. Persis seperti yang dikatakan si Tua Tukang Perahu itu.
"Kau yakin Pandan Wangi disekap di sini?"
tanya Rangga lagi.
"Ya! Mereka menjadikan Pandan Wangi umpan
untukmu," sahut Ki Badranaya lagi.
"Hm.... Bagaimana mereka bisa menangkap
Pandan Wangi...?" Rangga menggumam seperti bertanya pada diri sendiri.
"Mereka tahu kalau Pandan Wangi sedang mencari sanak keluarganya. Dan kesempatan itu dimanfaatkan. Begitu bertemu Pandan Wangi, mereka mencampur pembius pada minumannya. Jadi tidak perlu
mengeluarkan tenaga untuk menangkapnya," jelas Ki Badranaya kembali.
"Di mana mereka lakukan itu?" tanya Rangga lagi. "Di dalam candi itu."
"Hm.... Kau tahu siapa otak dari semua rencana ini, Ki?" tanya Rangga lagi dengan suara terdengar agak menggumam.
Belum juga Ki Badranaya menjawab, tiba-tiba
saja.... "Aku...!"
"Heh..."!"
Mereka jadi terkejut begitu tiba-tiba terdengar
suara yang begitu lantang menggema. Dan tampak pada bagian tingkat kedua dari candi itu, berdiri tegak seorang gadis berwajah
cantik. Tubuhnya yang ramping dan indah, terbungkus baju warna merah muda.
Sebilah pedang tersampir di punggungnya.
"Mayang...," desis Rangga hampir tidak percaya dengan penglihatannya.
Bersamaan dengan itu, dari setiap pintu candi
bermunculan orang-orang dari kaum persilatan. Dari
pakaian yang dikenakan dan senjata yang disandang, sudah dapat dipastikan kalau
mereka semua dari kalangan persilatan. Dan beberapa di antara mereka sudah
dikenal Rangga, karena pernah berurusan dengannya. Kini Rangga baru benar-benar mengerti kalau mereka bergabung untuk
membalas dendam. Tapi, beberapa dari mereka yang belum dikenal Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak diketahui tujuannya.
Hanya dari keterangan Ki Badranaya saja yang mengatakan kalau mereka merasa terusik atas kemunculan
Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan tujuan gadis cantik berbaju merah
muda yang dikenali Rangga bernama Mayang, tidak bisa dijelaskan lagi. Dan yang pasti, Mayang juga ingin Pendekar Rajawali Sakti
lenyap, karena cintanya tidak pernah terbalaskan. Dan Rangga sudah menjatuhkan
pilihan, serta menumpahkan cintanya pada Pandan
Wangi. Lagi pula, Mayang sudah bersumpah untuk
melakukan apa saja agar Rangga bisa terpisah dari
Pandan Wangi. "Kau bisa menghadapi mereka semua, Rangga?"
tanya Ki Badranaya, seakan-akan meragukan kemampuan Rangga dalam menghadapi orang-orang persilatan yang berada di atas candi itu.
"Entahlah. Jumlah mereka terlalu banyak," sahut Rangga, agak mendesah nada
suaranya. Rangga memang jadi tidak yakin bisa menghadapi orang-orang berkepandaian tinggi yang berjumlah cukup besar itu. Terlebih
lagi, sebagian dari mereka sudah diketahui tingkat kepandaiannya. Dan Rangga
tidak bisa menganggap enteng. Apalagi kalau bersatu seperti ini. Rasanya, memang
kecil sekali baginya untuk bisa mengalahkan mereka semua. Tapi, Rangga tidak ingin mengatakan kalau hari ini adalah akhir dari segalanya. Walaupun
disadari, kematian bukanlah sesuatu yang buruk bagi seorang pendekar.
Dan juga disadari kalau kehadirannya di kalangan rimba persilatan, membuat banyak orang tidak
menyenanginya. Terutama mereka dari kalangan persilatan golongan hitam. Sudah barang tentu mereka merasa terusik atas kehadiran seorang pendekar muda
digdaya yang berkepandaian sangat tinggi dan sukar
dicari tandingannya.
*** "Sudah kuduga, kau pasti akan melakukan apa
saja untuk menyelamatkan kekasihmu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka sudah tidak sabar lagi menunggu untuk menguji kepandaianmu," lantang sekali suara Mayang.
"Di mana kau sembunyikan Pandan Wangi, Mayang...?" tanya Rangga, keras suaranya.
"Sayang sekali! Dia tidak bisa menemuimu lagi, Kakang," sahut Mayang.
"Jangan katakan kau telah membunuhnya! Aku
tidak akan berdiam diri kalau kau sampai berani men-celakakannya!" ancam Rangga
tidak main-main lagi.
Lupakanlah, Kakang. Pandan Wangi tidak pantas mendampingimu. Dia bukan siapa-siapa, dan
hanya anak gelandangan yang dipungut dan bernasib
baik hingga kau mengenalnya sebagai pendekar wanita yang tangguh. Tapi
bagaimanapun juga, dia tetap anak gelandangan yang bodoh! Dia benar-benar tidak
pantas berdampingan denganmu, Kakang. Dan aku tidak
Ingin kau dipermalukan di depan...."
"Cukup...!" sentak Rangga keras menggelegar, membuat Mayang tidak bisa
melanjutkan ucapannya.
Begitu kerasnya suara Pendekar Rajawali Sakti,
sehingga bumi jadi bergetar seperti diguncang gempa.
Di dalam kemarahan yang tiba-tiba saja menggelegak, tanpa disadari Rangga
mengeluarkan seluruh kekuatan tenaga dalam pada suaranya tadi. Dan itu membuat mereka semua jadi tersentak setengah mati.
"Kau sudah keterlaluan, Mayang. Rasanya sulit
bagiku untuk memaafkanmu lagi," desis Rangga, hampir tidak dapat lagi menahan
kemarahannya. "Aku memang tidak lagi membutuhkan maafmu, Kakang. Dan aku tahu, tidak mungkin bisa memiliki mu lagi. Tapi tidak ada seorang pun yang bisa berdampingan denganmu. Tidak
seorang pun...! Juga
Pandan Wangi!" keras sekali suara Mayang.
"Hatimu benar-benar sudah dikuasai iblis, Mayang...," desis Rangga menggeram.
"Aku lebih suka melihatmu mati, daripada harus merelakan mu berdua dengan gadis lain. Maafkan
aku, Kakang...," ujar Mayang, agak perlahan suaranya.
Selesai berkata-kata, Mayang langsung melompat ringan dari atas candi itu. Gerakannya ringan sekali. Lalu, manis sekali
kakinya mendarat sekitar dua batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Pada saat itu, mereka yang berada di atas candi juga berlompatan turun. Tidak
kurang dari lima puluh orang, kini sudah berdiri di depan Pendekar Rajawali
Sakti yang hanya ditemani Ki Badranaya.
Dari jumlah yang tidak berimbang ini, memang
kecil sekali kemungkinannya bagi Rangga dan Ki Badranaya untuk bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup. Dan di antara
mereka itu, terlihat Rinjani yang berdiri tepat di belakang Mayang. Dari Ki
Badranaya, Rangga tahu kalau semua yang terjadi di Lembah Kumala adalah hanya kepura-puraan saja. Tapi,
Ki Badranaya cepat menyadari kalau dirinya hanya di-peralat. Sehingga, membuat
Rinjani berang setengah
mati. "Ketahuilah, Kakang. Apa yang kulakukan ini tidak akan bisa menyembuhkan
luka di hatiku. Bagaimanapun juga, aku tetap mencintaimu," tegas Mayang, begitu
perlahan suaranya. Hampir tidak terdengar di telinga. "Maafkan aku, Kakang. Aku
terpaksa melakukan semua ini karena mencintaimu. Aku tidak rela kau berdampingan
dengan gadis lain."
Sret! Mayang langsung mencabut pedangnya, dan
diangkat tinggi-tinggi ke atas kepala. Pada saat itu, semua orang yang berada di
pihaknya langsung berhamburan. Mereka berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil berteriak-teriak keras menggelegar, seakan-akan ingin
meruntuhkan semua yang ada di
sekitar candi ini. Namun belum juga sampai, tiba-tiba saja....
Wsss...! Gerakan mereka seketika jadi tertahan, begitu
tiba-tiba saja berhamburan puluhan anak panah dari
atas pepohonan yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Tentu saja mereka cepat-cepat berlompatan ke belakang, menghindari
hujan anak panah itu.
Kejadian ini bukan hanya mengejutkan mereka,
tapi juga membuat Rangga jadi terlongong tidak mengerti. Dan sebelum ada yang bisa menyadari, tahutahu dari balik pepohonan bermunculan orang-orang
bersenjata terhunus. Dan dari atas pepohonan, juga
berlompatan puluhan orang yang membawa panah serta senjata lain yang beraneka ragam bentuk dan ukurannya. Sebentar saja, di belakang Pendekar Rajawali Sakti sudah berjajar
ratusan orang yang menyandang
senjata lengkap dari berbagai macam bentuk dan ukuran. Di antara mereka, juga terlihat orang-orang tua berjubah yang sudah dikenal
baik oleh Rangga. Pendekar Rajawali Sakti langsung tahu, orang-orang yang ti-batiba saja bermunculan itu gabungan dari beberapa padepokan beraliran putih.
Enam orang laki-laki berusia lanjut yang semuanya mengenakan jubah putih segera menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti. Dan memang, mereka adalah
para ketua padepokan yang pernah dikunjungi Rangga
selama dalam pengembaraannya di rimba persilatan.
Dan di belakang mereka, tidak kurang dari lima puluh orang para pendekar
golongan putih yang sudah ter-nama di kalangan rimba persilatan. Tingkat
kepandai-an mereka pun tidak bisa dikatakan rendah.
"Kau selamatkan saja Pandan Wangi. Biar kami
yang mengurus mereka," kata salah seorang laki-laki tua berjubah putih.
Rangga tidak bisa lagi berkata apa-apa. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu kalau sahabat-sahabatnya berdatangan
Pendekar Rajawali Sakti 67 Perangkap Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membantunya, dan sudah
ada di sini tanpa diketahui sama sekali. Terselip rasa keharuan di dalam
hatinya. Dan Pendekar Rajawali
Sakti hanya bisa mengucapkan terima kasih di dalam
hati. Dia tak mampu lagi mengucapkan sesuatu melalui bibirnya yang jadi bergetar karena haru melihat ra-sa persahabatan yang
ditunjukkan secara tiba-tiba ini.
"Wadyabala...! Serang mereka...!" seru laki-laki tua berjubah putih itu dengan
suara lantang menggelegar. Seketika itu juga terdengar teriakan-teriakan keras
menggelegar, bagai hendak meruntuhkan apa
saja yang ada di sekitar candi ini. Bumi bagai bergetar terguncang gempa begitu
ratusan orang di belakang
Rangga berhamburan, meluruk ke arah Mayang dan
teman-temannya.
Sementara Rangga hanya bisa terpaku memandangi, tak tahu harus berbuat apa lagi. Tidak mungkin pertempuran yang langsung
terjadi ini bisa dicegah.
Teriakan-teriakan keras dan jerit pekik melengking
tinggi serta denting senjata beradu, langsung terdengar dari pertempuran yang
sudah berlangsung begitu sen-git.
"Ayo, Rangga. Kita cepat selamatkan Pandan
Wangi," ujar Ki Badranaya sambil menepuk pundak Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh..."!" Rangga jadi tersentak.
Sebentar wajahnya berpaling menatap Ki Badranaya. "Tidak ada waktu lagi, Rangga. Kita harus cepat, sebelum ada di antara mereka yang mencelakakan Pandan Wangi," ujar Ki
Badranaya lagi.
"Kau tahu, di mana mereka menyembunyikan
Pandan Wangi?" tanya Rangga.
"Ikuti saja aku," sahut Ki Badranaya langsung melompat dan berlari cepat ke arah
candi berukuran
besar itu. "Hup!"
Rangga juga segera melompat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Hanya beberapa kali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di pintu pertama candi itu.
Bahkan langsung mendahului Ki Badranaya yang sudah lebih dulu melesat tadi.
"Di mana...?" tanya Rangga langsung, begitu Ki Badranaya sudah sampai di
depannya. "Di pintu paling atas," sahut Ki Badranaya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga
langsung melenting ke atas. Sekali lompatan saja, di-lewatinya beberapa tingkat
dari candi ini Hingga sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di
depan pintu pada tingkat paling atas. Tapi begitu kakinya menjejak di depan
pintu itu, mendadak saja....
Wusss! "Ufs...!"
Rangga cepat memiringkan tubuh, ketika tibatiba dari dalam pintu yang tidak memiliki penutup meluncur sebatang tombak. Dan
sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa mengembalikan sikap tubuhnya, tahutahu dari dalam melesat sebuah bayangan merah yang
langsung menerjangnya.
"Hup...!"
Rangga cepat-cepat melenting, berputaran ke
belakang beberapa kali. Dan begitu menjejakkan kakinya kembali di baru candi ini, di depannya sudah
berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya yang
mengenakan jubah warna merah menyala.
"Iblis Merah...," desis Rangga langsung mengenali.
*** 'Tidak semudah itu kau bisa mengambil Pandan Wangi, Pendekar Rajawali Sakti," desis laki-laki berjubah merah itu dingin
menggetarkan. "Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan, "Hadapi aku dulu, Pendekar
Rajawali Sakti. Hiyaaat ..!"
"Hap!"
Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke kanan begitu Iblis Merah melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Dan
sebelum laki-laki berjubah merah itu bisa menarik kembali pukulannya, cepat sekali Rangga melepaskan satu sodokan tangan ki-ri disertai pengerahan
tenaga dalam sempurna ke arah belakang.
"Hait...!"
Tapi Iblis Merah masih bisa mengelakkannya,
dengan menarik tubuhnya cepat ke belakang. Pada
saat itu, tampak Ki Badranaya menerobos masuk ke
dalam bangunan candi tingkat teratas melalui pintu
yang sudah tidak terjaga lagi. Dan tindakan laki-laki cacat itu bisa diketahui
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Rangga segera melenting ke udara, lalu cepat
sekali meluruk deras dengan kedua kaki bergerak bagai kilat. Rangga langsung mengeluarkan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Hep...!"
Iblis Merah segera menjatuhkan tubuhnya, dan
bergulingan beberapa kali menghindari serangan
Rangga yang begitu cepat luar biasa. Namun baru saja bisa bangkit berdiri, tahutahu Rangga sudah melepaskan satu pukulan keras menggeledek dari jurus
'Pukulan Maut Panah Rajawali'. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Iblis Merah tidak dapat lagi menghindarinya.
Dan.... Begkh! "Aaakh...!" Iblis Merah menjerit keras melengking tinggi.
Begitu keras dan sempurnanya tenaga dalam
yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga,
Iblis Merah langsung terpental jatuh ke belakang deras sekali, begitu dadanya
terkena pukulan dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Iblis Merah tidak bisa lagi mengendalikan
keseimbangan tubuhnya, lalu keras sekali tubuhnya terbanting langsung ke tanah.,
Hanya sebentar saja tubuhnya mampu menggeliat,
kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Darah tampak mengucur deras dari mulutnya
yang terbuka lebar.
"Kakang...!"
"Oh..."!"
Rangga tidak dapat lagi menguasai diri begitu
melihat Pandan Wangi berdiri di depan pintu. Pendekar Rajawali Sakti langsung menghambur, dan memeluk gadis itu. Tidak dipedulikan kalau di sana ada Ki Badranaya yang jadi
tersipu sendiri melihat Rangga
memeluk Pandan Wangi begitu erat, membuat gadis
itu jadi sesak bernapas.
"Maafkan aku, Kakang," ucap Pandan Wangi lirih.
Sementara itu, pertarungan di bawah tampaknya sudah berhenti. Rangga baru melepaskan pelukan
setelah diingatkan Pandan Wangi kalau ada Ki Badranaya. Segera dihampirinya si Setan Lembah Kumala
itu dengan tangan tidak terlepas menggenggam tangan Si Kipas Maut ini.
'Terima kasih, kau telah menyelamatkan Pandan Wangi," ucap Rangga sambil menyalami tangan Ki Badranaya.
"Jangan berterima kasih padaku, Rangga. Tapi
pada mereka yang ada di bawah sana," sahut Ki Badranaya.
Rangga berpaling menatap orang-orang yang
berada di bagian depan candi ini. Bibir Pendekar Rajawali Sakti jadi
menyunggingkan senyuman. Sebuah
senyuman haru dan ucapan rasa terima kasih, karena
telah dibantu menghadapi lawan-lawannya pada saat
yang sangat tepat.
"Bagaimana mereka bisa tahu, Ki?" tanya
Rangga sambil melangkah menuruni candi ini di samping Pandan Wangi. Sedangkan Ki Badranaya berjalan
di depan kedua pendekar muda dari Karang Setra ini.
"Kabar tentang perangkap untukmu ini sudah
tersebar luas, Rangga. Dan bukannya tidak mungkin
mereka sudah mendengar kabar itu," sahut Ki Badranaya. 'Tapi, mereka harus
melewati lembah untuk
sampai ke sini, bukan...?"
"Memang benar," Sahut Ki Badranaya.
"Lalu, bagaimana mungkin mereka bisa sampai
lebih dulu?"
Ki Badranaya tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja sambil terus melangkah. Tentu saja
Rangga tidak bisa melihat senyum si Setan Lembah
Kumala itu, karena berjalan di belakangnya. Dan mereka baru berhenti setelah menjejakkan kakinya di tanah kembali, tepat di depan
pintu pertama dari candi yang berukuran sangat besar ini.
"Aku tidak melihat Mayang dan Rinjani. Di mana mereka...?" tanya Rangga sambil mengedarkan pandangan, merayapi mayat-mayat
yang bergelimpangan.
"Dia kabur bersama yang lainnya," sahut salah seorang laki-laki tua berjubah
putih. "Hm.... Lagi-lagi dia bisa melarikan diri," gumam Rangga perlahan, untuk dirinya
sendiri. Rangga kembali merayapi mayat-mayat yang
bergelimpangan. Hanya sepuluh orang lawan saja yang terlihat tewas. Sedangkan
dari pihak orang-orang yang membantu Rangga, lebih dari lima puluh orang yang
tergeletak tak bernyawa lagi. Dan Rangga bisa memaklumi, kalau lawan yang
dihadapi memang bukan tandingan. Tapi bagaimanapun juga, Rangga tidak bisa
mengabaikan pengorbanan yang begitu besar ini.
"Rasanya, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan di sini. Kami mohon diri," ujar laki-laki tua berjubah putih yang rupanya
menjadi pemimpin dan rombongan dari gabungan beberapa padepokan.
'Terima kasih atas bantuan dan pengorbanan
kalian semua," ucap Rangga tulus.
Setelah berbasa-basi sebentar, mereka semua
bergerak meninggalkan candi ini. Rangga dan Pandan
Wangi memandangi penuh haru dan ucapan terima
kasih yang terpancar dari sinar mata mereka. Sementara itu Ki Badranaya masih tetap bersama kedua pendekar muda ini. Dan mereka
masih belum berbicara,
meskipun orang-orang dari gabungan beberapa padepokan itu sudah tidak terlihat lagi.
Pendekar Rajawali Sakti teringat surat buat
Pandan Wangi yang isinya memberitahukan keberadaan sanak keluarganya. Sebuah surat yang isinya
ternyata hanya kabar bohong belaka. Rangga kemudian mengambil surat itu dari dalam saku ikat pinggangnya. Tanpa setahu Pandan Wangi, surat itu dilumat dalam genggaman, lalu dibuang jauh-jauh.
"Surat keparat!" dengus Rangga dalam hati.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
Pendekar Penyebar Maut 17 Perguruan Sejati Karya Khu Lung Neraka Karang Hantu 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama