Ceritasilat Novel Online

Dendam Datuk Geni 2

Pendekar Rajawali Sakti 112 Dendam Datuk Geni Bagian 2


"Guru Purwasih adik seperguruanku. Seka-ligus, adik kandungku..." lirih suara Ki Leor ketika menjelaskan hal itu pada Rangga dan Pandan Wangi.
Rangga dan Pandan Wangi dapat merasakan kesedihan Ki Leor. Agaknya hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai kakek kedua gadis itu. Jadi dengan demikian, Eyang Kumala adalah terhitung nenek mereka sendiri. Tak heran bila kemudian Ratih Kumaladewi menggeram dan berniat akan menuntut balas atas neneknya.
"Ratih! Kau harus bisa menahan amarahmu. Mereka bukan tandinganmu. Salah satu di antara kedua orang itu, pasti murid Nyi Lengser. Dan perempuan tua itu memiiiki kepandaian hebat. Aku sendiri tak ada apa-apa bila dibandingkan dengannya...," sahut Ki Leor.
"Tapi kita tak bisa mendiamkan kematian Eyang Kumala begitu saja, Eyang!" sentak gadis itu garang.
"Aku mengerti apa yang kau rasakan. Tapi, tak banyak yang bisa kita kerjakan...," keluh Ki Leor.
'Tidak! Aku akan cari mereka, dan harus mati di tanganku!" sentak Ratih sambil bangkit berdiri.
Namun sebelum mereka melangkah, Ki Leor menangkap pergelangan tangan Ratih. Tapi, Ratih Kumaladewi agaknya keras kepala.
"Sabarlah, Ratih," bujuk Ki Leor.
Tanpa menjawab, dia melepaskan diri sekuat tenaga. Maka terpaksa Ki Leor bertindak cepat. Menggerakkan tangannya dan...
Tuk! "Uh...!"
Ratih kontan jatuh lemas, begitu punggungnya tertotok jari Ki Leor.
"Maafkan aku, cucuku. Tak ada jalan lain yang bisa kulakukan. Kau tak tahu bahwa tindakanmu sama saja bunuh diri. Kita harus memikirkan cara yang terbaik," kata Ki Leor. Kemudian, Ki Leor segera memanggul tubuh kedua cucunya.
"Aku mengucapkan terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Dan sekarang aku mohon diri," ucap Ki Leor.
Setelah berpamitan dengan Rangga dan Pandan Wangi, orang tua itu berbalik dan melangkah cepat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Dia berjalan melalui arah yang ditempuhnya tadi.
"Kasihan mereka...," gumam Pandan Wangi menghela napas, setelah Ki Leor dan kedua cucunya telah lenyap dari pandangan. Memang, Ki Leor berjalan disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh. Tak heran kalu sebentar saja, mereka telah jauh dari sepasang Pendekar dari Karang Setra itu.
? *** ? Selanjutnya ke Bagian 5-6
? Kembali ke Bagian 1-2
" 112. Dendam Datuk Geni Bag. 5-6
13. August 2014 um 07:36
5 ? ? ? Hari belum terlalu siang ketika Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti tiba di Desa Pasir Batang yang saat ini terlihat ramai. Tampak di dalam sebuah kedai makan yang cukup besar, juga telah dipenuhi pengunjung. Beberapa orang yang kebetulan melakukan perjalanan dan melewab desa ini, pasti akan mampir ke kedai makan itu. Demikian juga Rangga dan Pandan Wangi. Kedua pendekar dari Karang Setra segera melangkah ke arah kedai itu. Namun baru saja berada di ambang pintu, semua mata pengunjung kedai menatap ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi tanpa berkedip. Beberapa di antaranya terlihat ketakutan, dan buru-buru meninggalkan kedai itu. Sementara yang lainnya menunjukkan wajah sinis.
"Kakang! Aku merasa tak enak dengan kea-daan ini. Ada sesuatu yang tak beres...," bisik Pandan Wangi dengan wajah kesal.
"Ya. Aku pun merasakannya. Tampaknya mereka tak bersahabat dengan kita. Tapi kita kan tak punya persoalan dengan mereka. Ayolah, Pandan, tak usah dipikirkan," sahut Rangga sambil mengajak Pandan Wangi memasuki kedai itu.
Baru saja mereka hendak melangkah masuk, sekonyong-konyong....
"He, bocah-bocah busuk! Mau apa kalian ke sini. Cari mampus, ya'!" terdengar bentakan kesal menggelegar.
Rangga segera mengarahkan pandangan pada seorang laki laki bertubuh besar dan berbaju hitam, yang mengeluarkan bentakan tadi. Tampak bagian dada laki laki itu dibiarkan terbuka lebar, sehingga terlihat bulu-bulunya yang lebat. Bola matanya melotot lebar dengan cambang yang menghiasi wajahnya. Di pinggangnya terselip sebatang golok yang gagangnya sudah digenggam.
"Kisanak! Kau bicara pada kami?" tanya Rangga sopan.
"Kau kira aku bicara pada bapak moyangmu, he"!" bentak orang itu, seraya beranjak dari tempat duduknya. diikuti tiga orang anak buahnya dari belakang.
'Tidak bisakah kau bicara sopan, Kisanak?" kata Rangga kalem.
"Sopan katamu" Puih! Itu sudah sopan diban-dingkan kesombongan kalian!" dengus laki-laki ber-tampang seram itu.
"Kisanak... Maaf, kami semakin tak mengerti arah pembicaraanmu. Karena ada urusan yang lebih penting maka kami tak bisa meladenimu. Maaf...," sahut Rangga berusaha mengalah. "Ayo, Pandan. Rasanya di sini sudah dipenuhi tikus-tikus kotor."
"Keparat! Kau pikir bisa berbuat seenak perut-mu di depan Warok Singodimejo! Yeaaa...!"
Setelah membentak demikian, tubuh orang yang mengaku bernama Warok Singodimejo langsung melompat sambil mencabut goloknya untuk menyerang.
Bet! Bet! Meskipun tanpa menoleh, namun Rangga da-pat merasakan angin serangan tajam yang terarah kepadanya. Maka kepalanya, cepat ditundukkan untuk menghindari sambaran golok lawan. Bersamaan dengan itu tubuhnya berputar ke samping dan terus mengayunkan satu tendangan ke arah perut lawan. Namun Warok Singodimejo telah melompat ke samping kiri.
"Kurang ajar. .!" maki Warok Singodimejo.
Kembali laki-laki bertubuh besar itu menyabetkan goloknya. Namun Rangga mencelat ke atas, dan terus melewati kepala Warok Singodimejo dengan jungkir balik. Lalu seketika itu kedua kakinya menghantam ke arah punggung laki-laki bertubuh besar itu.
Bug! Seketika tubuh Warok Singodimejo terjajar ke depan, begitu punggungnya dihantam kaki Pen-dekar Rajawali Sakti.
"Keparaaat...!" maki Warok Singodimejo ge-ram sambil cepat berbalik hendak menghabisi la-wan.
"Kisanak, di antara kita tak ada saling permu-suhan. Kenapa kau begitu bernafsu membunuh-ku?" tanya Rangga, begitu kakinya mendarat di tanah.
"Dasar bocah-bocah busuk! He! Kalian pikir mataku buta" Kalian telah membunuh guru kami, Ki Slongsor Geni. Apa itu tidak cukup"! Dan kalian juga telah menghancurkan Perguruan Tombak Baja dan menghabisi murid-muridnya tanpa sisa. Apa itu tidak cukup sebagai bukti kebiadaban kalian" Coba lihat mereka! Orang orang itu memiliki dendam kesumat pada kalian berdua!" teriak Warok Singodimejo lantang.
"Astaga! Tuduhanmu salah alamat. Kisanak. Sabarlah. Mari kita bicara baik-baik!" bantah Rangga.
Sementara itu tokoh-tokoh persilatan yang tadi berada dalam kedai saat ini sudah mengerumuni mereka.
Apa yang dikatakan Warok Singodimejo memang tak salah. Mereka umumnya menunjukkan wajah kebencian dan dendam menyala-nyala. Tentu saja hal itu membuat Rangga dan Pandan Wangi semakin geram saja. Tak ada angin atau hujan, tahu-tahu mereka menunjukkan sikap bermusuhan. Namun dengan tenang, Pendekar Rajawali Sakti berusaha menguasai diri.
"Kisanak semua! Kalau memang kami bersalah dan melakukan apa yang dituduhkan orang ini, kami bersedia dihukum! Tapi kalau ternyata kalian melampiaskan dendam kesumat pada orang yang tak bersalah, kalian akan menyesal sendiri!" kata Rangga lantang.
"He! Jangan dikira kami takut pada kalian! Kami telah sepakat. Kalau bukan kalian maka biarlah kami yang akan mati!" timpal yang lain berteriak.
Dan teriakan itu diikuti teriakan-teriakan yang sama dan mengutuk sepasang anak muda itu. Rangga dan Pandan Wangi melihat orang yang berkerumun di tempat itu semakin banyak saja. Seolah-olah, seluruh penduduk desa ini tumpah ruah untuk menyaksikan sambil memaki-maki geram. Bahkan dari arah belakang, dengan perasaan jengkel beberapa orang melempari Rangga dan Pandan Wangi dengan batu-batu kecil. Tentu saja hal itu membuat jengkel kedua pendekar itu.
"Baiklah, kalau memang kalian memaksa kami untuk bertindak keras...," desah Pendekar Rajawali Sakti, agak sedikit mengesal.
Belum selesai kata-kata yang diucapkan Rangga, mendadak....
"Hentikan perbuatan kalian...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang berkumandang ke segala penjuru.
? *** ? Semua orang seketika menoleh ke arah datangnya bentakan tadi yang berasal dari seorang laki-laki tua bertubuh pendek dan kurus. Jenggotnya panjang berwarna putih, seperti rambutnya yang telah ubanan. Di pinggangnya yang kecil terlihat sebuah pedang yang amat tipis, sehingga bisa dililitkan seperti sebuah sabuk. Bagi Penglihatan orang awam, tentu saja akan menyangka kalau orang tua itu memakai sabuk dari baja tipis. Namun sekali pandang saja, Rangga bisa tahu kalau itu pedang.
"Sungguh memalukan! Tidak tahukah kalian, dengan siapa kalian berhadapan"!" lanjut orang tua bertubuh kecil itu lantang seperti seorang bapak menghardik anak-anaknya yang nakal.
"Ki Wakalpa, kedua orang inilah yang...," Warok Singodimejo membuka suara, namun....
"Goblok! Tolol! Apakah kau mengetahui jelas siapa pembunuh gurumu. Sedangkan, saat itu kau tak melihatnya"! Dan kalian semua, kenapa ikut-ikutan tanpa periksa" Tidak tahukah kalian, kalau saat ini kita tengah berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut?" potong orang tua yang dipanggil Ki Wikalpa, sehingga membuat wajah Warok Singodimejo berubah.
"Heh"!"
"Benarkah?"
"Astaga..."!"
Orang-orang yang berada di tempat itu kontan tersentak kaget ketika Ki Wikalpa menyebutkan siapa kedua anak muda itu.
"Aku menyadari dan bisa merasakan apa yang kalian rasakan saat ini. Kematian orang-orang yang kita cintai, memang amat menyakitkan. Tapi membalas dendam pada orang yang tak salah secara membabi buta dan tanpa periksa lebih dulu, adalah perbuatan tolol sekaligus tak terpuji. Aku tahu pasti, siapa mereka berdua. Sebab, beberapa kali aku melihat sepak terjang mereka. Tak mungkin keduanya berbuat demikian. Lagi pula dengan melihat dari korban-korban yang jatuh, dugaanku semakin kuat kalau itu bukan perbuatan Pendekar Rajawali Sakti maupun Kipas Maut!" jelas orang tua itu panjang lebar, ketika melihat ada beberapa orang yang masih belum percaya.
"Oh, jadi, benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu"!" tanya Warok Singodimejo dengan wajah penuh penyesalan setelah mendengar keterangan Ki Wikalpa.
"Demikianlah orang-orang memanggilku...," sahut Rangga datar.
"Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, ma-afkan kesalahan dan kekasaranku. Kami sama sekali tak menduga kalau kalian adalah pendekar besar itu. Kematian guru kami membuat kami gelap mata dan tak bisa membedakan orang. Sekali lagi maafkan kesalahan kami,'' ucap Warok Singodimejo dengan tubuh menjuru hormat.
"Sudahlah. Kisanak. Kita memang salah pa-ham. Dan semua itu sejak tadi telah kusadari. Hm", Apakah persoalan yang sebenarnya terjadi di tampat ini?" desak Pendekar Rajawali Sakti' disertai senyum manis tersungging dibibirnya.
"Kemarin dalam satu hari saja, banyak kejadian yang menggemparkan. Guruku Ki Slongor Geni kedapatan tewas. Lalu, murid-murid Perguruan Tombak Baja dibantai habis. Padahal banyak orang desa ini pernah menjadi murid perguruan itu. Maka pasti mereka merasa geram dan dendam. Kabarnya yang melakukan perbuatan itu adalah sepasang anak muda seperti kalian. Itulah sebabnya ketika kalian tiba, kami menduga kalau pengacau itu adalah kalian," jelas Warok Singodimejo singkat.
Rangga dan Pandan Wangi hanya mengang-gukkan kepala mendengar penjelasan itu.
Sementara orang-orang yang tadi mengerubungi mereka, satu persatu bubar dengan wajah penuh penyesalan. Kini tinggal Warok Singodimejo dan tiga orang anak buahnya, Ki Wikalpa yang kemudian menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti. Atas nama mereka, aku mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besamya padamu!" ucap Ki Wikalpa.
"Ki Wikalpa, aku menyadari kesalahpahaman ini. Tak perlulah kau meminta maaf," sahut Rangga halus.
"Ah! Kelapangan hatimu memang sering kude-ngar. Dan ternyata, hari ini aku diperkenalkan untuk melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, sudilah kalian memenuhi undanganku untuk mampir di gubukku. Sekedar istirahat, sambil melepaskan dahaga. Bukankah kalian telah melakukan perjalanan jauh?" ajak Ki Wikalpa dengan nada hormat.
Mendengar permintaan itu Rangga tak bisa menolak lagi. Kelihatannya orang tua itu memang baik dan sopan. Namun ketika mereka hendak melangkah meninggalkan tempat itu, mendadak....
"Kisanak, tunggu!"
Tiba-bba terdengar sebuah suara yang membuat Ki Wikalpa, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi menoleh. Begitu juga Warok Singodimejo beserta tiga orang anak buahnya. Tampak seorang pemuda bertubuh tegap terbungkus baju lusuh yang di beberapa bagian terlihat robek. Wajahnya keras, namun bersih dan tampan. Sorot matanya tajam menusuk. Di pinggangnya tampak terselip dua buah tongkat runcing yang terbuat dari batu gunung. Sementara di sampingnya, seorang gadis cantik berambut panjang, diikat agak ke atas dengan pita merah. Bibirnya tipis dan raut wajahnya menunjukkan kalau gadis itu amat galak. Bajunya berwarna ungu dan agak longgar, serta terlihat sebatang pedang di pungunggnya.
"Kamikah yang kau panggil, Kisanak?" tanya Ki Wikalpa dengan nada ramah sambil tersenyum.
Kedua orang muda yang baru datang itu tak peduli dengan pertanyaan Ki Wikalpa.
"Siapa di antara kalian yang bernama Wikalpa?" tanya pemuda itu dengan sikap sombong.
"Hm.. Sudah kuduga. Cepat atau lambat, kau pasti akan datang. Kisanak! Kau tengah berbicara dengan orangnya!" sahut Ki Wikalpa seperti telah menduga, siapa kedua orang itu.
? *** ? "Bagus! Kau tentu memang sudah tahu mak-sud kedatanganku. Sebagian besar kawanmu telah mampus. Dan kau akan mendapat gilirannya saat ini!" sahut pemuda itu dingin.
"Ki Wikalpa! Inikah orang yang telah membunuh guruku"!" tanya Warok Singodimejo berang.
Ki Wikalpa mengangguk. Maka seketika itu juga bola mata Warok Singodimejo kelihatan membesar. Rahangnya menggelombung dan urat-urat di pelipisnya menegang. Dengan serentak dicabutnya golok, yang diikuti ketiga anak buahnya.
"Keparat! Jadi kalian pembunuh biadab itu, he"! Kalian membunuh guruku! Kalian yang menghabisi nyawa murid-murid Perguruan Tombak Baja! Kalian harus mampus! Hiyaaa...!"
"Warok Singodimejo, hentikan...!" bentak Ki Wikalpa mencegah.
Tapi mana mau Warok Singodimejo mende-ngar teriakan Ki Wikalpa dalam kemarahan yang meluap-luap seperti itu. Dendam di dadanya sudah menyala-nyala. Dan rasa malu akibat mendakwa orang yang salah tadi, kini membuatnya semakin geram saja ketika ketemu orang yang sebenarnya memang tengah dicarinya.
Teriakan Warok Singodimejo yang mengguntur bagai geledek, rupanya menarik perhatian keru-munan orang yang tadi berkumpul. Mereka mulai berdatangan satu persatu.
"Habisi iblis-iblis biadab itu!" "Cincang diaaa...!"
Orang-orang yang sudah berkerumun itu langsung berteriak memaki serta mengutuk kedua anak muda yang baru datang ini.
"Hentikan! Hentikan! Kalian hanya mengan-tarkan nyawa percuma saja!" teriak Ki Wikalpa berkali-kali mengingatkan orang-orang yang mulai mengikuti tindakan Warok Singodimejo. Mereka memang hendak menggeroyok kedua orang itu beramai-ramai.
Namun, tak seorang pun yang mau mendengar kata-kata Ki Wikalpa. Mereka kini telah menemu-kan pembunuh orang yang mereka cintai. Dan sakit hati, serta dendam kesumat yang masih menyala-nyala di setiap dada harus dilampiaskan, tanpa sama sekali memperhitungkan akibatnya. Dalam benak mereka hanya ada satu keinginan yang harus terjadi, yaitu kematian para pembunuh itu. Tapi nyatanya itu bukanlah semudah apa yang diduga. Karena tiba-tiba saja...
Jdeeer! "Aaaa...!!"
Crat! Crat! Werrr...!
"Wuaaa...!
Pengeroyok itu seketika buyar, begitu terdengar suara keras laksana geledek, diikuti teriakan kesakitan. Tampak lebih dan sepuluh orang langsung ambruk ke bumi dalam keadaan mati! Memang, begitu terlihat beberapa kali kilatan api yang berputar menyambar, para pengeroyok hangus.
Sementara beberapa orang lagi tewas dalam keadaan tubuh kaku dan membeku. Bahkan tak ada darah yang menetes. Tentu saja hal itu tak bisa didiamkan Ki Wakalpa.
"Bocah-bocah terkutuk! Hentikan perbuatan biadab kalian. Hiyaaa...! Maka tubuhnya langsung melesat ke arah kedua anak muda itu sambil orang tua ini menghantamkan satu pukulan jarak jauh.
Namun, pemuda yang menjadi sasarannya tak kalah sigap. Seketika kedua tangannya dihentakkan ke arah orang tua itu. Dan Ki Wikalpa, sama sekali tak diberi kesempatan oleh kedua anak muda itu. Dengan gerakan kompak dan saling mengisi, mereka terus mendesak orang tua bertubuh kecil itu. Mereka terus mengumbar serangan maut, setelah kerumunan orang-orang yang mengeroyoknya menepi. Nyali para pengeroyok memang telah ciut, ketika melihat datangnya lidah api yang berasal dari sepasang tongkat di tangan pemuda yang mereka keroyok tadi. Memang, begitu tongkat-tongkat diadu satu sama lain, maka seketika melesat lidah api ke arah sasaran. Sementara gadis berbaju ungu yang tadi bersamanya, telah mencabut pedangnya dan berputar beberapa kali, seperti hendak meng-gulung tubuh Ki Wikalpa. Orang tua bertubuh kecil itu menyadari pedang di tangan si gadis itu, bukanlah pedang sembarang. Maka dia harus hati-hati menghadapinya. Memang pedang itu seperti menabur hawa dingin yang amat menusuk pada setiap serangannya. Tak heran lawan yang terkena sabetan pedangnya, akan tewas dalam keadaan tubuh membeku.
"Kakang! Aku khawatir orang tua itu tak mampu menghadapi lawannya Mereka hebat dan sangat kompak...," keluh Pandan Wangi sambil memperhatikan pertarungan itu.
"Ya. Aku pun menyadari. Tapi kita belum tahu, sampai di mana kehebatan orang tua itu," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah Kakang tak turun tangan membantu-nya?" tanya Pandan Wangi.
"Apakah orang tua itu betul-betul membutuh-kan bantuan kita?" sahut Rangga balik bertanya.
Mendengar itu Pandan Wangi tak bertanya lagi, Memang secara tak langsung, dibenarkannya ucapan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Buktinya, orang tua itu mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi lawan. Tapi ternyata hal itu tak lama. Karena, kini terlihat Ki Wikalpa sudah meloloskan pedang tipisnya yang sejak tadi melilit di pinggang.
"Hiyaaa!"
Klap! Klap! Di tangan orang tua ini pedang yang tipis dan terlihat lemah itu berubah tegang dan kaku laksana tombak baja. Bahkan ketika menangkis senjata lawan, terdengar bunyi berdenting seperti halnya pedang yang kuat. Malah dalam sekejap mata, pedang di tangan Ki Wikalpa kembali mampu lentur laksana ular yang meliuk-liuk menyambar lawan.
"Huh! Ilmu pedangmu memang hebat, orang tua! Tapi sayang, kematianmu telah digariskan hari ini!" dengus gadis berbaju ungu itu geram.
"Hm. Begitukah?" sahut Ki Wikalpa.
Tapi agaknya ucapan gadis itu bukan sekedar gertakan dan omong kosong belaka. Bahkan Ki Wikalpa sampai tersentak kaget, ketika menangkis dua senjata lawan sekaligus. Tubuhnya kontan bergetar hebat, akibat terkena dua tenaga dalam berlainan jenis yang sangat kuat.
Ketika tubuh Ki Wikalpa terhuyung-huyung mundur, saat itu juga ujung pedang gadis ini menyambar ke arah dadanya. Untungnya orang tua bertubuh kecil itu masih mampu menghindari dengan menjatuhkan diri ke tanah. Namun, ternyata serangan kedua ujung tongkat pemuda lawannya telah menanti. Bahkan mengancam leher dan jantungnya! Dengan terpaksa pedang dikibaskan untuk menangkis.
Tak! Pedang tipis di tangan Ki Wikalpa, kontan ter-pental begitu membentur tongkat di tangan pemuda itu, sehingga menimbulkan bunyi keras seperti geledek. Sedangkan orang tua itu langsung melenting ringan untuk menyelamatkan diri dari sambaran ujung tongkat yang satu lagi. Justru pada saat itu ujung kaki kanan pemuda itu sudah bergerak cepat ke arah perulnya. Dan"
Desss! "Aaakh.,.!" Ki Wikalpa menjerit kesakitan, begitu kaki pemuda itu mendarat telak di perutnya. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang.
Dan di situ, juga telah menunggu gadis berbaju ungu yang siap menebas lehernya. Agaknya orang tua itu tak mampu menghindari lagi. Ki Wikalpa hanya terkesima melihat maut akan menghampirinya.
Namun mendadak saat itu melesat satu sosok bayangan biru langsung menangkis pedang gadis berbaju ungu itu.
Takkk! "Sial!"
? *** ? ? 6 ? ? ? Begitu serangannya gagal, gadis berbaju ungu itu segera melampiaskannya ke arah bayangan itu yang memapak serangan tadi.
"Yeaaa!"
"Hup!"
Bett! Ujung pedang di tangan gadis itu menyambar-nyambar dahsyat menimbulkan hawa dingin yang hebat. Namun lawan yang dihadapinya kali ini pun cukup gesit. Tubuhnya mampu meliuk-liuk seperti orang menari untuk menghindari sambaran pedang lawan. Kemudian mendadak sosok bayangan biru tadi balas menyerang dengan kecepatan tinggi. Dan tentu saja ini sangat mengagetkan gadis berbaju ungu tadi. Maka dia cepat melenting ke belakang sambil membuat gerakan berputar untuk menghindari sambaran ujung kipas sosok berpakaian biru yang seperti mengurungnya.
"Siapa kau"!" bentak gadis berbaju ungu itu ketus bercampur geram ketika kedua kakinya menjejak di tanah.
Di depan gadis berbaju ungu, terlihat seorang gadis cantik memakai baju biru muda dengan kipas di tangan.
"Siapa pula kau"!" bentak gadis yang tak lain dari Pandan Wangi.
"Keparat! Kau pikir kepandaianmu sudah hebat, sehingga mau jadi pahlawan"! Kau akan mampus bersama tua bangka busuk itu!" geram gadis berbaju ungu itu.
Setelah berkata demikian, kembali gadis berbaju ungu itu melesat menyerang Pandan Wangi. Bersamaan dengan itu, melompat pula pemuda yang tadi bersamanya.
"Kania! Biar kita bereskan bersama perempuan pengacau ini agar urusan lebih cepat!" teriak pemuda yang namanya Mintarja. Sedangkan gadis berbaju ungu itu adalah Kaniawati.
"Biarkan mereka bermain-main, Kisanak. Dan aku ingin bermain-main pula denganmu," sahut Rangga tenang sambil melompat menghadang Mintarja.
"Sial! Siapa kau"!" bentak Mintarja, mengu-rungkan niatnya untuk ikut menyerang Pandan Wangi.
"Apa perlunya kau ketahui?" sahut Rangga.
"Keparat! Kalau begitu kau akan mampus tanpa nisan!" dengus Mintarja tajam.
"Hm... Sayang sekali, Kisanak. Saat ini aku masih belum ingin mati," jawab Rangga enteng.
"Huh! Yeaaa. .!"
Ujung tongkat Mintarja langsung berputar-putar menyambar Pendekar Rajawali Sakti. Sesekali terlihat lidah api yang menyambar, menimbulkan hawa panas luar biasa ketika kedua tongkat itu diadu satu sama lain. Namun, agaknya Rangga mampu menghindari setiap serangan lawan, dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Sebenarnya, kedua tongkat Mintarja amat ber-bahaya. Selain keras dan kuat, juga mampu me-nyemburkan lidah api yang akan menghanguskan apa saja yang terkena. Pendekar Rajawali Sakti menyadari kalau tak bisa terus-menerus bertangan kosong. Rasanya kalau tongkat itu sudah disingkirkan, akan lebih mudah untuk menaklukan lawannya.
"Hiyaaa!"
Bet! Bet! "Hup...!"
Nyaris dada Pendekar Rajawali Sakti robek ter-sambar ujung tongkat Mintarja, kalau tidak cepat melompat ke atas. Namun, tongkat lawan yang satu lagi terus menyambar mengikuti. Masih untung dia talah memperhitungkan hal itu, dengan melenting berputar. Sehingga, Pendekar Rajawali Sakti terbebas dari jangkauan senjata lawan. Dan baru saja Rangga menjejak tanah, ujung tongkat Mintarja kembali menyambar kearah leher. Seketika kepalanya dimiringkan sedikit, kemudian cepat melejit ke atas.
"Yaaa!"
"Huh! Jangan harap lolos dariku, bangsat!" geram Mintarja langsung mengejar.
Tepat ketika Mintarja berada di udara, Pendekar Rajawali Sakti sudah mencabut pedang pusakanya. Tampak sinar biru memancar dari batang pedang di tangan pemuda berbaju rompi putih itu, sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya kontan terkejut. Termasuk Mintarja sendiri, begitu dia hampir menggerakkan senjatanya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dan Mintarja makin terkejut ketika tiba-tiba pedang Rangga menyambar ke arahnya. Maka mau tak mau salah satu senjatanya diayunkan untuk menangkis. Trak! Begitu cepat kejadian itu berlangsung, sehingga"
Tubuh masing-masing kontan terjajar beberapa langkah. Bahkan Mintarja sempat terhuyung-huyung, namun cepat menguasai keseimbangan. Memang, benturan yang disertai tenaga dalam hebat itu menghasilkan getaran yang dahsyat. Tak heran kalau satu sama lain bisa terjajar.
"Keparat!" maki Mintarja, begitu menyadari kalau saat itu senjatanya telah terputus menjadi tiga bagian.
Dengan kegeraman yang amat sangat, Mintarja kembali melesat disertai ayunan senjatanya yang tinggal satu.? Dan ternyata, serangan itu bukan hanya sekedar melalui tongkatnya saja.
Werrr! Werrr! Begitu cepat Mintarja mengibaskan tongkatnya sehingga seketika beberapa senjata rahasia melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Maka Rangga cepat bergeser ke samping kiri sambil mengayunkan pedangnya Seketika disam barnya senjata-senjata rahasia itu. hingga rontok tak tersisa.
"Hm" 'Kalajengking Api'! Kau tak bisa meng- andalkan binatang-binatang beracun itu, Kisanak. Usahamu akan sia-sia saja. Lebih baik, sadarlah jangan teruskan sepak terjangmu yang gila dan diliputi dendam ini. Kembalilah ke jalan yang benar. Gunakanlah hidupmu sebaik-baiknya." ujar Pendekar Rajawali Sakti, begitu berdiri tegak lagi.
"Puihh! Jangan coba-coba menasehatiku, keparat! Kau akan kubinasakan saat ini juga. Yeaaa!" bentak Mintarja. Seketika pemuda itu menyorongkan telapak tangan kirinya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Maka dari telapak kirinya melesat selarik sinar kuning keemasan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Uts! Edan!" sentak Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti cukup terkejut merasakan hawa panas luar biasa dari angin sambaran pukulan lawan tadi.
Masih untung dia cepat mengelak ke samping. Sehingga sinar itu hanya lewat hampir dua jengkal dari pinggangnya. Dan Mintarja tak berhenti sampai di situ. Seketika tubuhnya melesat dengan ujung tongkat menyambar ke arah leher Rangga. Dengan kecepatan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang. Tapi....
Werrr! Werrr! Kembali Mintarja melemparkan kalajengking-kalajengking beracunnya, begitu serangannya ga-gal.
Mintarja agaknya sengaja melemparkan senja-ta-senjata rahasianya hanya untuk membuat repot Pendekar Rajawali Sakti. Karena bersamaan dengan itu, tubuhnya bergerak laksana kilat ke arah Rangga disertai satu pukulan maut.
Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat melenting seraya berputaran sambil menyabetkan pedangnya.
Tras! Tras! Seketika seluruh kalajengking api itu habis terpapas pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu Rangga menjejakkan kakinya di tanah, Mintarja sudah hampir dekat dengannya. Maka sebelum serangan pukulan datang, Rangga cepat mendahuluinya dengan sodokan kaki kiri ke arah lambung. Namun dengan tangkas Mintarja memapak dengan sapuan tendangannya. Lalu, seketika tubuhnya melenting ke atas melewati kepala Mintarja. Begitu sampai berada di udara, Pendekar Rajawali Sakti cepat meluncur turun. Dan seketika dilepaskannya satu tendangan ke arah punggung. Cepat sekali gerakan Rangga, sehingga Mintarja tak sempat menyadarinya. Sehingga...
Dess! "Aaakh!"
Mintarja menjerit keras ketika satu tendangan keras menghantam punggungnya. Tubuhnya tersungkur ke depan, namun masih mampu menguasai diri. Bersamaan dengan itu, cepat berbalik. Dan seketika dilemparkannya senjata senjata rahasianya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa mempedulikan rasa sakit yang dideritanya, dia sudah melompat menyerang kembali dengan pukulan jarak jauh yang mengeluarkan sinar kuning keemasan.
"Hiyaaa!"
"Hm... Kau coba bertindak nekat agaknya! Bersiaplah, Kisanak. Aku akan memberi pelajaran sedikit tapi pasti tak akan kau lupakan! Yeaaa!" gumam Pendekar Rajawali Sakti setelah memapas senjata-senjata rahasia lawan hingga rontok.
Bersamaan dengan itu juga tubuh Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat, menyorongkan tangan kirinya ke depan. Maka dari telapak tangan kirinya yang terbuka melesat selarik sinar merah dari 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' Seketika, sinar merah itu meluncur memapak sinar kuning keemasan yang juga meluncur cepat. Sehingga...
Glarrr! Begitu dua sinar berlainan jenis beradu di satu titik, terdengar ledakan dahsyat. Lalu....
"Aaakh...!"
"Yeaaa!"
Tampak tubuh Mintarja terlempar ke belakang disertai pekik kesakitan, serta ceceran darah segar. Dan sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Pendekar Rajawali Sakti telah melesat cepat melakukan serangan berikutnya. Mintarja sendiri jadi terkejut. Sama sekali tak disangka kalau lawannya mampu bergerak secepat itu. Cepat dia bangkit berdiri, lalu mengayunkan tongkatnya untuk menangkis.
Trak! Mintarja makin terkejut begitu menyadari tongkat ditangannya putus menjadi tiga bagian hanya sekali dibabat saja. Begitu terkejutnya, sehingga dia lupa kalau Pendekar Rajawali Sakti masih meluruk ke arahnya dengan hantaman tangan kiri ke arah dada.
Dragh! "Aaakh...!"
Mintarja memekik setinggi langit, begitu dada-nya terhantam tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan beberapa tulang dadanya patah sehingga suaranya sampai kedengaran tadi. Tubuh pemuda itu kontan ambruk, tanpa perlawanan lagi.
"Keparat! Aku akan balas perlakuanmu ini dengan cara yang lebih menyakitkan!" teriak Mintarja, seraya mengusap darah yang mengalir dari sudut-sudut bibirnya.
"Kakang..."! Oh, Kakang! Keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus Kaniawati ketika melihat keadaan kekasihnya.
Seketika itu Kaniawati terus melompat menye-rang Pendekar Rajawali Sakti dengan kemarahan meluap-luap.
"Kakang! Biar kuhadapi dia!" teriak Pandan Wangi gemas, dan langsung melesat mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Pandan! Mundurlah! Biar sekalian gadis ini kuberi pelajaran agar tidak besar kepala," ujar Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
Tanpa menunggu serangan lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah langsung melompat dengan kelebatan pedang pusakanya untuk menekan ayunan pedang gadis itu.
Trasss! Kaniawati tersentak kaget, begitu serangannya ditahan Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi ketika menyadari kalau pedangnya langsung putus menjadi dua bagian. Namun dia tidak bisa terlalu lama dalam keterkejutannya. Dan dia harus melompat karena tendangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti cepat mengarah ke dadanya. Gadis itu langsung bersalto ke belakang seraya mengebutkan tangannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Serrr! Serrr! Kaniawati mencoba menyerang lawan dengan lemparan 'Racun Ulat Salju'. Namun, pedang Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat lagi bergerak.
Cras! Cras! Dan tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terus melesat keras ke arah Kaniawati yang baru saja menjejak tanah. Dengan perasaan geram, gadis itu membalas dengan menghentakan kedua tangannya ke depan. Maka seketika dari kedua telapaknya melesat cahaya biru keputih-putihan. Itulah pukulan 'Banyu Ti'is' yang mampu membuat lawan mati membeku dalam sekejap mata saja. Tapi agaknya Pendekar Rajawali Sakti telah menduga. Maka langsung dibalasnya 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', yang mampu mengeluarkan sinar merah, sehingga...
Desss! "Aaakh!"
Kedua sinar itu beradu tepat di tengah-tengah. maka terdengarlah seperti suara besi panas yang dicelupkan ke dalam air. Bahkan kemudian terde-ngar pekikan kesakitan, sinar merah yang keluar dari pukulan Rangga terus menderu menghantam nya. Tubuh gadis itu kontan terjungkal, dan berkali-kali memuntahkan darah segar.
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti menyarungkan kem- bali pedang pusakanya. Matanya menatap tajam sambil mendekati gadis berbaju ungu yang tertatih-tatih berusaha bangkit.
"Pergilah kau dari sini. Dan, bawa kawanmu itu! Jangan coba-coba membuat bencana lagi!" dingin suara Pendekar Rajawali Sakti, tegas.
Kaniawati menyadari kalau pukulan lawan tadi menghantam telak tubuhnya, sehingga membuat luka dalam yang cukup parah. Hanya karena tenaga dalamnya saja yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu bertahan. Tapi kalau dia mencoba terus menyerang lawan, bisa dipastikan dirinya sendiri yang akan celaka. Maka dengan hati diliputi dendam kesumat, gadis itu menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.
"Kami akan mengingat peristiwa ini. Dan kelak akan ada pembalasan setimpal bagimu. Sebutkan siapa kau sebenarnya"!" dengus Kaniawati.
"Kau boleh membalas dendam kapan saja. Pendekar Rajawali Sakti tak akan mundur setapak pun."
"Hm, Pendekar Rajawali Sakti! Kau harus ingat. Nantikan pembalasan kami atas campur tanganmu ini!" lanjut Kaniawati geram sambil me-langkah pelan mendekati Mintarja.
Dengan terpaksa Kaniawati memapak Mintarja. Kemudian dengan tertatih-tatih mereka meninggalkan tempat itu diiringi caci maki dan lemparan batu dari penduduk desa itu. Bahkan beberapa orang hendak membunuh dengan senjata-senjata tajam siap di tangan.
"Hentikan! Biarkan mereka pergi!" bentak Pendekar Rajawali Sakti nyaring menggelegar.
Mendengar bentakan yang menggema ke se-gala arah, banyak di antara mereka yang menggerutu kesal bercampur geram. Namun tak seorang pun yang berani membantah. Sampai kedua orang itu lenyap dan pandangan, kerumunan penduduk desa masih terus mengumpat-umpat tak habis-habisnya.
"Mereka agaknya tak senang dengan keputus-anmu, Pendekar Rajawali Sakti..," kata Ki Wikalpa lirih.
"Ya... Aku menyadari hal itu, Ki Wikalpa...," sahut Rangga. 'Tapi mereka masih muda dan belum banyak pengalaman hidup. Hati mereka penuh dendam kesumat. Aku berharap, pelajaran itu bisa membuka mata mereka. Sehingga menentukan jalan hidup mereka ke arah yang lebih baik,"
"Aku khawatir harapanmu sia sia ."
"Kenapa?"
"Melihat ilmu olah kanuragan serta senjata yang digunakan, aku yakin kalau mereka adalah murid Ki Sara Geni dari puncak Gunung Merapi, dan Nyi Lengser dari puncak gunung Rijasangka. Mereka bukan tokoh sembarangan. Kuat dugaanku, merekalah yang menyelamatkan putra-putri Ki Rogo Janggat dan Ki Sempang Jinggolo. Lalu kedua anak itu di didik untuk membalaskan dendam kedua orangtuanya pada kami. Aku yakin hal itu, karena Ki Sara Geni dan Nyi Lengser bersahabat akrab dengan kedua tokoh yang tewas di tangan kami dua puluh tahun lalu," jelas Ki Wikalpa.
Rangga mengangguk-angguk kepala mende-ngar penjelasan orang tua itu.
"Pendekar Rajawali Sakti, maaf. Aku tahu kepandaianmu hebat. Bahkan boleh disebut seba-gai pendekar nomor wahid di negeri ini. Tapi Ki Sara Geni dan Nyi Lengser bukan tokoh sembarangan. Kepandaian mereka sangat hebat dan tak terukur. Apa yang dimiliki kedua muridnya, barangkali hanya separo dari kehebatan yang dimiliki gurunya. Kau patut hati-hati jika suatu saat bertemu mereka," sambung Ki Wikalpa memperingatkan.
"Maksud Ki Wikalpa, kedua guru mereka akan membalaskan sakit hati muridnya kepadaku?" tanya Rangga ingin kepastian.
"Hal itu tak mengherankan, bukan?"
"Ya, aku mengerti. Tapi aku siap menghadapi mereka, apa pun yang terjadi." sahut Rangga se-tenang mungkin.
"Rangga.. Aku merasa hal ini amat merepot-kanmu. Kamilah sebenarnya yang diincar mereka. Dengan campur tanganmu, maka kini sasaran mereka yang utama adalah kau. Baru kemudian, menyelesaikan urusan dengan kami...," kata Ki Wikalpa lirih.
"Ki Wikalpa. Sudah selayaknya kita saling tolong menolong. Anggap saja ini merupakan kewajibanku. Nah! Kurasa, sekarang kami mohon diri dulu. Permisi." pamit Rangga, sambil berbalik dan melangkah pergi diikuti Pandan Wangi.
Dalam perjalanan, terlihat Pandan Wangi lebih banyak berdiam diri tak seperti biasanya. Beberapa kali Rangga meliriknya namun gadis itu seperti tak ingin berpaling.
"Ada apa, Pandan?" tanya Rangga ketika mereka telah berada di luar desa.
Pandan Wangi memandang sekilas, kemudian kembali meluruskan pandangan ke depan. Wajah-nya tampak gelisah.
"Pandan, adakah sesuatu yang merisaukan hatimu...?" desak Rangga lembut.
"Kedua orang itu, Kakang. Aku khawatir kau tak akan mampu menghadapinya...," cetus Pandan Wangi lirih.
"Guru mereka maksudmu?"
Pandan Wangi mengangguk.
"Kalau kepandaian guru mereka benar dua kali lipat dari murid-muridnya, Kakang tentu berada dalam keadaan berbahaya. Aku tak tahu, apakah bisa menolong banyak atau tidak," lanjut gadis itu lirih.
"Pandan..., Aku telah memikirkan hal itu. Yang jelas kita tak mungkin mundur menghadapi kezaliman. Kau tak perlu khawatir. Aku yakin, hidup mati seseorang bukanlah di tangan manusia, meski bagaimanapun tingginya kemampuan seseorang," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Pandan Wangi tak berkata-kata lagi. Dan mereka terus melanjutkan perjalanan.
?

Pendekar Rajawali Sakti 112 Dendam Datuk Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** ? Selanjutnya ke Bagian 7-8
? Kembali ke Bag. 3-4
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 112. Dendam Datuk Geni Bag. 7-8 (selesai)
13. August 2014 um 07:37
7 ? ? ? Kekhawatiran Pandan Wangi beberapa hari ini agaknya mulai beralasan. Buktinya ketika mema suki Desa Gelagah, Rangga dan Pandan Wangi melihat sebuah lembaran yang berisi tulisan. Dan itu sudah yang ketujuh kalinya mereka menemukan lembaran seperti ini. Hanya kali ini, lembaran itu beda dengan yang pernah mereka lihat! Lembaran dari kulit itu, ditancapkan di sebuah batang pohon besar, tepat di sebelah gerbang perbatasan desa itu. Yang menarik bagi Rangga untuk membacanya kembali adalah pisau yang menjadi alat penempel lembaran. Dan yang lebih menarik lagi, ternyata lembaran itu ditulis dengan tinta darah! Bunyinya,
Aku menantang Pendekar Rajawali Sakti untuk bertarung di Puncak Gunung Rinjani pada bulan purnama ini. Jika dia tak datang, berarti malapetaka akan meniimpa orang banyak.
Rangga menghela napas pendek ketika selesai membaca tulisan yang tertera di batang pohon itu. Pandan Wangi memandangnya sekilas, kemudian turun dari kudanya. Gadis itu melangkah sebentar, lalu duduk di atas sebuah batu besar tak jauh dari situ. Sedangkan Rangga juga turun, lalu melangkah ke hadapan gadis itu.
"Bagaimana Kakang" Apakah kita akan ke sana" Sudah tujuh tulisan seperti itu kita temui selama dalam perjalanan ini. Apakah Kakang akan mendiamkannya saja?" tanya Pandan Wangi agak risau.
Rangga tak menjawab. Bibirnya hanya terse-nyum, lalu duduk di hadapan gadis itu. Sebentar kepalanya mendongak melihat ke angkasa. Sebentar kemudian dia sudah menatap Pandan Wangi dalam-dalam.
"Kalau aku tak memenuhi tantangannya, apakah kau kira aku takut?" tanya Pendekar Rajawali Sakti pelan.
"Kakang! Aku mengerti, kau tak gentar pada siapa pun. Tapi apakah akan kau biarkan namamu tercemar, tak mempedulikan tantangannya?"
"Kalau aku mengikuti tantangannya, sama artinya menyombongkan diri," jawab Rangga kalem.
'Tapi, Kakang! Banyak orang akan menjadi korbannya kalau tantangannya tak kau penuhi," kata Pandan Wangi, agak keras.
"Hm... Kukira orang itu hanya menggertak saja...," sahut Rangga tenang.
'Aku pun berharap demikian. Tapi, bagaimana kalau ternyata benar?"
Rangga diam tak menjawab. Pada saat itu lewat sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Sementara di belakangnya beberapa penumpang kuda mengiringi. Kereta itu sendiri agaknya bukan kendaraan sembarangan. Bentuknya saja indah, dengan jendela di kiri dan kanan yang dilapisi tirai berbunga-bunga.
"Hei..." Bukankah itu Pendekar Rajawali Sakti"! Aku pernah melihatnya di Desa Pasir Batang!" seru orang itu.
Rombongan itu berhenti, ketika salah seorang di antara mereka agaknya mengenali Pendekar Rajawali Sakti.
Mendengar teriakan itu, yang lain segera menghentikan langkah kudanya. Seketika mereka berpaling ke arah Rangga dan Pandan Wangi.
"Hei, Pendekar Rajawali Sakti! Apakah kau akan menyambut tantangan Ki Sara Geni?" tanya seseorang.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu.
"Atau, kau kini telah menjadi seorang pe-nakut"!" timpal yang lain.
"Ha ha ha...!"
Kata-kata itu disambut tawa terbahak-bahak oleh yang lainnya. Rangga dan Pandan Wangi sendiri tak mengacuhkannya. Dan kedua pendekar dari Karang Setra itu segera bangkit berdiri, lalu menghampirinya. Begitu telah berada di punggung kuda, mereka segera berlalu dari tempat itu.
Rangga menyadari kalau sebenarnya orang-orang itu telah kesal, karena belum ada tanda-tanda tantangan itu ditanggapinya.
Itu sebabnya, Rangga lebih suka untuk pergi dari situ daripada meladeni orang-orang tadi. Tapi hal itu justru membuat Pandan Wangi mencak- mencak sendiri. Gadis itu memang mudah tersinggung melihat perlakuan orang yang dirasakannya keterlaluan. Seperti penduduk Desa Glagah ini.
? *** ? Waktu yang ditentukan Ki Sara Geni telah berlalu tadi malam. Dan rupanya Pendekar Rajawali Sakti tak memenuhi tantangan orangtua itu. Semula Rangga tak begitu mempedulikan ancaman Ki Sara Geni. Tapi ketika pagi ini melihat sebuah desa, ternyata Ki Sara Geni membuktikan ancamannya!
Dalam setiap sudut terlihat mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan tubuh hangus terbakar, tampak orang berduyun-duyun mengungsi, ke tempat yang lebih aman. Rangga dan Pandan Wangi terus menggebah kudanya dengan kecepatan sedang. Sementara korban korban yang ditemui semakin banyak. Bukan saja yang berasal dari golongan persilatan, tapi rakyat biasa pun ikut dibantai!
Memang agaknya Ki Sara Geni tak memilih-milih korbannya. Tentu saja hal ini amat mencemaskan Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh! Aku tak bisa membiarkan hal ini terus berlangsung. Mari, Pandan. Kita cari dia!" geram pemuda itu dengan marah meluap-Iuap.
*** Perguruan Silat Batu Kuwung yang berada di daerah selatan memang sudah dikenal di berbagai kalangan persilatan. Selama dua puluh tahun terakhir, terutama sejak dipegang seorang tokoh persilatan berkepandaian tinggi. Namanya Ki Garda Raga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Pedang Bambu Kuning. Pada masa mudanya memang pernah menggetarkan rimba persilatan. Tak heran kalau tokoh-tokoh tua sering menyebut-nyebutnya.
Siang hari ini, seperti biasanya murid-murid Perguruan Batu Kawung tengah beristirahat setelah berlatih sejak pagi tadi, Ki Garda Raga sendiri berniat akan istirahat di dalam rumah utama perguruan itu. Namun baru saja orangtua berusia empat puluh delapan tahun itu berbalikkan tubuhnya, mendadak pintu gerbang depan hancur berantakan. Tentu saja hal itu, tak hanya membuat kaget dirinya, tapi juga seluruh murid perguruan Batu Kuwung!
Dan di ambang pintu yang telah jebol berantakan itu telah berdiri tegak orangtua bertubuh kurus terbungkus baju compang-camping. Sorot matanya tajam, dan kulitnya merah kehitaman dengan wajah penuh kerut, Kepalanya hampir tak di tumbuhi rambut, kecuali di bagian tengkuknya. Itu pun jarang-jarang dan sudah memutih.
"Orangtua! Siapa kau"! Dan, mengapa menga-cau tempat ini"!" bentak seorang murid, langsung menghadang.
Murid itu telah siap mencabut pedang yang se-jak tadi tergenggam di tangannya. Bahkan dua orang kawannya juga bergegas mengikuti. Mereka mengawasi orangtua yang tangan kirinya meng-genggam dua buah tongkat runcing terbuat dari batu gunung.
"Hiyaaa!"
Namun tanpa basa-basi lagi, tubuh orangtua berpakaian compang-camping itu sudah bergerak cepat
Craaas! "Aaa...!"
Kedua ujung tongkatnya langsung menyambar ketiga murid Perguruan Batu Kuwung yang kalah cepat dalam memainkan senjata. Tubuh mereka langsung ambruk dengan bagian dada terluka lebar. Setelah menggelepar, mereka tewas berlumur darah.
"Keparat! Pengacau busuk! Kau datang hanya membawa bencana. Mampuslah sekarang juga! Yeaaa!" bentak salah seorang murid lain langsung diserang orangtua itu, diikuti kawan-kawannya yang lain.
"Hup!"
Orang tua bertubuh kecil itu melesat cepat sekali mengayunkan kedua tongkatnya yang runcing. Gerakannya cepat bukan main! Bahkan tak seorang pun dari murid-murid perguruan itu yang mampu melihat ke mana arah kelebatannya. Dan tahu-tahu...
Trasss! Brettt! "Aaa...!" terdengar pekik kesakitan yang saling sambung. Tujuh orang murid Perguruan Batu Kuwung kembali berguguran dalam keadaan mengerikan! Sementara orang tua itu terus bergerak cepat menyambar yang lainnya sebelum di serang.
Traaas! Breeet! "Aaa...!"
Korban terus berjatuhan tanpa terelakkan lagi, disertai pekikan menyayat. Tentu saja Ki Garda Raga tak bisa membiarkan hal ini terus berlangsung. Maka....
"Orangtua! Hentikan tindakanmu! Akulah lawanmu!"
Namun baru saja kata-kata Ki Garda Raga se-lesai, tubuh laki-laki tua yang tengah membantai murid-murid Perguruan Batu Kuwung itu melesat ke arahnya.
"Uts! Sial!"
Ki Garda Raga cepat melenting ke belakang ketika satu tendangan lawan menderu menghan-tamnya. Namun baru saja mejejak tanah, orang tua itu sudah meluruk ke arahnya dengan satu sambaran senjata berbentuk tongkat dari batu itu. Tak ada kesempatan lagi bagi Ki Garda Raga untuk menghindar, selain memapak dengan ayunan pedang bambu kuning di tangannya.
Wuuut! Trak! Bukan main terkejutnya Ki Garda Raga ketika senjatanya beradu dengan senjata orang tua itu. Betapa tidak" Telapak tangannya kontan terasa nyeri dan terkelupas. Bahkan hampir saja geng-gaman pedangnya terlepas. Dan belum juga dia bersiap kembali senjata orang itu menyambar ke arah dadanya. Begitu cepat gerakan orangtua itu, sehingga buru-buru Ki Garda Raga melenting ke belakang. Namun usahanya terlambat sedikit Karena...
Breeet! "Aaakh! Betapa terkejutnya Ki Garda Raga, karena senjata orang tua itu masih sempat merobek dadanya, sehingga membuatnya memekik kesakitan. Tampak darah mengalir lewat sela-sela jari tangannya yang mendekap luka di dada, begitu kakinya menjejak tanah.
Sementara agaknya orangtua bertubuh kecil itu tak suka berbasa-basi. Dia langsung mengejar, dengan tongkat siap diayunkan ke arah Ki Garda Raga.
"Hiiih!"
Ketika tongkat orang tua itu meluncur deras ke arah dadanya Ki Garda Raga segera menangkis dengan pedangnya.
Trakkk! Prasss! Bukan main terkejutnya Ki Garda Raga ketika melihat pedang di tangannya terlepas dari geng-gaman dalam keadaan patah. Bahkan dia belum menghilangkan keterkejutannya, kembali tongkat yang lain milik orang tua itu datang menyambar ke leher. Maka buru-buru Ki Garda Raga menunduk. Namun kaki kiri orang tua itu cepat melepaskan tendangan ke perutnya sehingga....
Desss! "Aaakh!"
Ki Garda Raga memekik kesakitan, begitu tendangan orang tua itu mendarat telak di perutnya. Tubuhnya terangkat tiga jengkal dari tanah. Padahal, saat itu lawannya sudah siap dengan sabetan tongkatnya. Nyawa Ki Garda Raga benar-benar bagai telur di ujung tanduk. Namun....
Mendadak melesat sebuah benda sebesar kepalan tangan, dan langsung menghantam tangan orang tua yang akan menyabetkan tongkatnya.
Trakkk! Orang tua itu bukan main terkejutnya, ketika serangannya gagal akibat tangannya terhantam sebuah batu yang dilempar dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat sempurna. Langsung serangannya pada Ki Garda Raga dihentikan, lalu berbalik.
? *** ? Tahu-tahu di depan orang tua itu pada jarak delapan langkah, berdiri tegak seorang pemuda berwajah tampan rupanya, pemuda rambut panjang terurai inilah yang menggagalkan serangannya pada Ki Garda Raga dengan lemparan batu tadi.
Pemuda berbaju rompi putih itu menatap tajam pada orang tua di depannya.
"Hm... Boleh juga kepandaianmu, Bocah. Siapa kau"!" tanya orang tua itu dingin.
"Kaukah Ki Sara Geni.'?" sahut pemuda itu balas bertanya.
"Hm... Jadi kau orangnya yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti!" dengus orang tua itu langsung menduga.
"Begitulah orang-orang menyebutku...," sahut pemuda itu tenang.
"Dan gadis di belakangmu itu yang berjuluk si Kipas Maut?"
'Ternyata matamu jeli untuk mengenali seseo-rang, tapi buta terhadap rasa kasih sayang terhadap sesama manusia," sahut pemuda yang tak lain memang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan di belakangnya berdiri Pandan Wangi.
Rupanya dalam pencarian Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi secara tak sengaja melintasi jalan yang tak jauh dari Perguruan Batu Kuwung. Dan mereka mendengar teriakan-teriakan pertarungan. Makanya kemudian Rangga langsung menolong, setelah memperhatikan mana yang harus ditolong, dan ketika melihat senjata yang dipakai orang tua itu, Rangga menduga kalau dia adalah Ki Sara Geni, masalahnya hanya senjata itu yang pernah dipakai Mintarja.
"Ha ha ha...! Jadi inikah tampang orang yang telah mencoreng mukaku dengan melumpuhkan muridku"!" dengus orang tua yang tak lain dari Ki Sara Gem sambil tertawa sinis.
Tapi kemudian wajah orang tua itu cepat be-rubah kelam. Kelopak matanya menyipit, lalu me langkah tenang tiga langkah ke depan. Dan matanya terus mengawasi Pendekar Rajawali Sakti tanpa berkedip.
"Bocah! Lekas cabut pedangmu. Aku tak ingin banyak bicara denganmu. Ingin kulihat, sampai di mana kehebatanmu yang telah kesohor itu!" tantang Ki Sara Geni.
"Ki Sara Geni! Sebenarnya hal ini tak perlu..."
"Uts!"
Belum selesai kata-kata Pendekar Rajawali Sakti, Ki Sara Geni telah melompat menyerang dengan kecepatan dahsyat. Sehingga, terpaksa Pendekar Rajawali Sakti melompat ke samping kiri untuk menghindari sambaran ujung tongkat lawan.
"Hiiih!"
Sejak bertarung melawan Ki Garda Raga, Ki Sara Geni selalu bertindak cepat dan bermaksud menghabisi lawan secepat mungkin. Tak heran kalau segenap kemampuannya dikerahkan. Terlebih-lebih, terhadap Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga bukannya tak menyadarinya. Dalam gebrakan pertama saja dia tak menyangka kalau lawannya mampu bergerak secepat kilat. Dan kini, kedua tongkat Ki Sara Geni telah mengurung ketat gerakannya Pendekar Rajawali Sakti seperti tak mampu berbuat banyak. Dalam keadaan bertangan kosong begitu rupa, dia betul-betul terdesak hebat.
"Yeaaa! Tampak ujung tongkat Ki Sara Geni menyambar ke arah perut. Namun gesit sekali Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke samping. Dan baru saja Rangga bermaksud balas menyerang dengan tendangan keras, ujung tongkat Ki Sara Geni yang satu lagi telah lebih dulu menyambar ke arah leher. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti melenting seraya berputaran.
"Hup!"
Baru saja Rangga menjejakkan kedua kakinya di tanah, ujung tongkat Ki Sara Geni kembali menyambar perutnya. Rangga terkesiap sebentar, lalu melompat ke samping. Namun ternyata ujung tongkat satu lagi milik lawannya telah menunggu. Sebisanya Rangga mengelak, namun terlambat karena....
Brettt! Tak urung pinggang Rangga robek, tersambar ujung tongkat Ki Sara Geni Darah kontan mengu-cur dari tubuh yang terluka cukup lebar.
Belum juga Rangga menyadari betul apa yang terjadi, tiba-tiba kaki kiri Ki Sara Geni meluncur kearah dadanya. Begitu cepat gerakannya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti tak marnpu menghindar. Sehingga..
Desss! "Aaakh!"
Pendekar Rajawali Sakti kontan terjajar beberapa langkah, disertai teriakan tertahan, begitu dadanya terhantam tendangan dahsyat bertenaga dalam tinggi.
"Kakang....!" Pandan Wangi terpekik kaget ketika melihat pemuda itu terjajar limbung.
Sring! "Orang tua busuk, mari hadapi aku!" bentak Pandan Wangi nyaring.
"Pandan, jangaaan...!" Rangga terkejut melihat tindakan gadis itu.
Tapi mana mau Pandan Wangi mendengarnya dalam keadaan kalap begitu. Bahkan pedangnya telah menyambar ke arah leher orang tua itu. Namun Ki Sara Geni bukannya mengelak. Sambil mendengus garang, dipapaknya pedang gadis itu dengan tongkatnya.
Trakkk! Bukan main terkejutnya Pandan Wangi, ketika merasakan tangannya bergetar hebat akibat ben-turan dengan senjata lawannya barusan. Kulit tangannya terkelupas. Bahkan pedang dalam genggamannya terlepas. Sementara itu ujung tongkat Ki Sara Geni terus menderu menyambar ke arah tenggorokannya. Sebelum terlambat gadis itu masih sempat memiringkan kepalanya. Namun saat itulah satu tendangan keras meluncur ke arah perutnya. Dan Pandan Wangi hanya terkesiap, tak mampu berbuat apa-apa lagi. Maka....
Bugh! "Uhhh...!"
Pandan Wangi terpekik, begitu perutnya terhantam tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Pandan Wangi...!" jerit Rangga keras sambil menghambur mendapati gadis itu yang terengah- engah berusaha bangkit.
"Bangun kau, Pendekar Cengeng! Mari hadapi aku lagi!" dengus Ki Sara Geni berdiri tegak di be lakangnya pada jarak lima langkah.
? *** ? ? 8 ? ? ? Wajah Rangga yang tadi cemas memikirkan keadaan gadis itu, kini berubah kelam dengan ke-marahan sampai ke ubun-ubun. Pelahan-lahan dia bangkit sambil memandang Ki Sara Geni de- ngan sorot mata tajam. Tangan kanannya perlahan-lahan bergerak meraih pedangnya.
"Orang tua! Hari ini kita akan tentukan, kau atau aku yang akan mampus!" dingin suara Pendekar Rajawali Sakti.
'Tidak usah banyak bicara. Keluarkan seluruh kepandaianmu karena aku tak akan segan-segan mencabut nyawamu!" dengus Ki Sara Geni. Dan seketika dia melompat menyerang.
Pendekar Rajawali Sakti berteriak keras meng-gelegar. Dan seketika pedangnya dicabut.
Yeaaa!" Maka sinar biru langsung memancar dari pedangnya.
Ki Sara Geni sedikit terkejut melihat sinar biru menyilaukan yang terpancar dari batang pedang lawan. Namun, tak ada waktu lagi untuk memikirkan keterkejutannya, karena Pendekar Rajawali Sakti telah menghadangnya. Maka langsung salah satu tongkatnya digunakan memapak.
Trasss! Betapa terkejutnya Ki Sara Geni, begitu tahu kalau tongkatnya putus menjadi dua bagian.
"Heh"!"
Dan tentu saja Ki Sara Geni tak mau tongkatnya yang tinggal satu patah kembali. Dia menambah serangan. Maka seketika itu potongan tongkat di tangan kiri dihantamkannya dengan tongkat di tangan kanan, dengan sasaran ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Crakkk! Pras! Terlihat lidah api melesat cepat menyambar ke arah Pendekar Rajawali Sakti akibat benturan dua buah potongan tongkat tadi. Tapi Rangga melenting dan berputaran diudara, kemudian menangkis dengan kelebatan pedangnya.
Kembali Ki Sara Geni dibuat terkejut ketika melihat nyala api sama sekali tak berdaya ketika menghantam pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mendarat kembali di tanah. Maka dengan melompat sambil berputaran di udara, dilemparkannya senjata rahasianya berupa kalajengking-kalajengking berapi ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya sendiri kemudian melesat mengikuti disertai putaran tongkat yang menimbulkan pusaran angin kencang berhawa panas luar biasa!
"Yeaaa...!"
Sementara Pendekar Rajawali Sakti segera me-ngerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' disertai gerakan ilmu meringankan tubuhnya. Sambil terus meliuk-liuk di udara, Rangga membabat senjata-senjata rahasia Ki Sara Geni dengan pedangnya. Namun pada saat itu juga ujung tongkat Ki Sara Geni menyambar lehernya. Cepat sekali Rangga memiringkan kepalanya ke kanan. Dan tubuhnya terus mencelat ke atas, disertai tebasan pedang ke arah dada lawan.
"Hup!"
Cepat sekali Ki Sara Geni melompat ke belakang untuk menghindarinya sambil berputar. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tak memberi kesempatan sedikit pun. Dengan gerakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' terus dikejarnya tokoh tua itu. Bahkan pedang pusaka yang tersilang di depan cepat diusap batang pedangnya dengan tangan kiri.
Rangga sengaja berbuat demikian untuk men-jaga segala kemungkinan yang terjadi. Dan perkiraannya memang tak meleset. Begitu berhadapan dengannya, saat itu juga Ki Sara Geni melepaskan pukulan mautnya, 'Pukulan Racun Api' Seketika dari kedua telapak tangannya melesat selarik sinar kuning keemasan yang menimbulkan hawa panas luar biasa!
"Aji Cakra Buana Sukma!" bentak Pendekar Rajawali Sakti, seraya menghentakkan tangan kiri nya ke depan.
Sekebka dari telapak kiri Pendekar Rajawali Sakti yang terhentak ke depan, melesat sinar biru yang meliuk-liuk ke arah sinar kuning keemasan tadi. Sehingga...
Glaaar! "Aaa...!"
Terdengar benturan keras laksana guntur dahsyat yang memekakan telinga, begitu dua sinar itu beradu di satu titik. Dan seketika itu juga terdengar pekikan menyayat. Sementara udara di sekitar tempat itu berubah panas. Debu-debu beterbangan ke segala arah, kebka tanah ikut bergetar hebat.
Tampak di antara kepulan debu dua tubuh terlempar beberapa langkah. Begitu jatuh di tanah tubuh Ki Sara Geni menggelepar-gelepar dengan sinar biru terus menyelubunginya. Orang tua itu sesaat kemudian diam tak bergerak dengan tubuhnya menghitam hangus!
"Kakang, kau tak apa-apa...?" teriak Pandan Wangi cemas sambil berlari kecil mendapati Rangga yang terhuyung-huyung.
Wajah pemuda itu terlihat pucat dan napasnya tak beraturan. Beberapa tetes darah tampak keluar dari sudut bibirnya.
"Kakang, kau... Kau terluka dalam!" desis Pandan Wangi cemas.
"Tenanglah, Pandan. Aku tak apa-apa...," sahut pemuda itu lirih.
"Kisanak, maaf, Kau jadi begini gara-gara kami. Tapi kami akan mengobati lukamu sampai sembuh," ucap Ki Garda Raga yang tadi ikut menghampiri pemuda itu.
"Terima kasih, Kisanak."
Ki Garda Raga segera menyuruh beberapa orang muridnya untuk menuntun tubuh pemuda itu ke dalam rumahnya. Tapi baru saja akan melangkah...
"Pendekar Rajawali Sakti! Aku tak peduli dengan keadaanmu! Kau harus bertarung dengaku. Atau, kau boleh mampus saat ini juga!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang menggema ke segala arah.
? *** ? Semua orang yang berada di tempat itu seren-tak berpaling ke arah sumber bentakan tadi. Tam pak seorang perempuan tua berwajah agak lebar dengan tubuh kurus sudah berdiri di dekat mayat Ki Sara Geni. Pakaiannya serba hitam. Rambutnya yang panjang dan telah memutih, dibiarkan lepas begitu saja sehingga ujung-ujungnya menyentuh panggul. Wajah perempuan tua itu masih menunjukkan sisa-sisa kecantikan. Tapi sorot matanya yang tajam, memancarkan sinar keberingasan dan dendam yang mendalam. Senjatanya sebuah tongkat runcing berwarna hitam. Kelihatannya sama seperti yang digunakan Ki Sara Geni tadi, tapi bedanya lebih halus dan licin.
"Siapakah kau, Nisanak ini?" tanya Rangga, setelah berbalik.
"Aku Nyi Lengser!" dengus perempuan tua itu dingin.
"Nyi! Kalau memang kau ingin bertarung de-ngannya, cobalah secara jujur. Dia tengah terluka akibat pertarungan tadi. Dan kini, kau malah menantangnya dalam keadaan begini!" sinis ucapan Ki Garda Raga.
"Hi hi hi...! Apa peduliku dengan peraturan sial itu! Lagi pula, bagaimana kau bisa mengatakan kalau aku tak jujur"! Sudah sejak tadi aku berada di sini, memperhatikan pertarungan mereka dari awal. Ki Sara Geni itu saudara seperguruanku! Dan kalau aku berlaku curang, sudah sejak tadi ikut menghajar pemuda itu. Tapi setelah Ki Sara Geni mampus, maka dia harus berhadapan denganku. Nah, bocah! Ayolah bersiap-siap!" ujar Nyi Lengser. Perempuan tua itu segera melangkah pelan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Namun beberapa murid Ki Garda Raga bergerak menghadang. Demikian juga Pandan Wangi. Padahal dia masih merasa sakit, namun tetap memaksakan diri.
"Pandan Wangi, minggirlah. Dan kalian, mene-pilah. Biar kuhadapi dia," sahut Rangga tenang.
'Tapi, Kakang! Kau tengah terluka begitu! Sangat berbahaya menghadapinya. Biar kami saja yang akan menghadapinya!" bantah Pandan Wa ngi.
"Benar, Kisanak. Kau tak boleh menghadapi nya. Biar kami yang akan menghadapinya!" desak Ki Garda Raga berkeras.
Setelah berkata demikian, Ki Garda Raga langsung menyuruh anak buahnya mengepung perempuan tua itu.
"Hi hi hi...! Kecoa-kecoa busuk! Apa kalian pikir bisa menahanku di sini, he! Ayo, majulah. Ingin kulihat, sampai di mana kemampuan kalian!"
Dengan kata-katanya, tampaknya Nyi Lengser bersiap akan menghadapi serangan lawan-lawannya. Tapi kenyataannya, dialah yang langsung melompat menyerang.
"Yeaaa!"
Nyi Lengser langsung melesat dengan tongkat dibenturkan satu sama lain. Gerakan perempuan tua itu cepat bukan main. Bahkan tak kalah dengan apa yang dilakukan Ki Sara Geni tadi. Akibatnya...
Brettt! "Aaa...!"
Hanya dalam segebrakan saja, empat murid Ki Garda Raga tewas. Tentunya melihat hal ini Pendekar Rajawali sakti tidak tinggal diam. Maka....
Wut! Pandan Wangi terkejut bukan main ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti nekat memapak serangan lawan untuk melindungi murid-murid Perguruan Batu Kuwung yang akan menjadi korban perempuan tua itu berikutnya.
"Kakang..."!"
Gadis itu bermaksud akan turun tangan mem-bantu, namun....
"Pandan, minggir! Bawa mereka menjauh. Tu-ruti kataku...!" cegah Rangga cepat.
Meski dengan perasaan kesal, Pandan Wangi terpaksa menurut juga. Kalau Rangga sudah terlihat marah begini, Pandan Wangi tak bisa berbuat banyak lagi.
Meskipun Rangga memiliki pedang yang hebat, tapi gerakannya terlihat lamban. Sehingga tak heran bila semakin terdesak terus menerus. Dan Pandan Wangi yang melihat ke arah pertarungan, jadi cemas bercampur geram.
Rangga sendiri bukannya tak menyadari hal itu. Kalau terus meladeni, maka bisa dipastikan bakal tewas. Maka dia cepat memeras otak untuk mencari akal, bagaimana caranya mengalahkan perempuan tua itu.
Sementara dengan kemarahan yang meluap, Nyi Lengser menyerang bertubi-tubi pada Pendekar Rajawali Sakti. Tongkat di tangannya berputar-putar, menimbulkan hawa dingin yang amat menggigil! Akibatnya beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus melawan dua serangan sekaligus. Ujung tongkat lawan yang runcing, dan hawa dingin luar biasa.
"Hiyaaa...!"
Disertai teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti segera balas menyerang dengan babatan pedangnya. Tapi gesit sekali Nyi Lengser melesat ke atas. Bahkan kaki kanannya cepat menendang ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti disertai tenaga dalam yang cukup tinggi. Begitu cepatnya, sehingga serangan itu tak mampu lagi dihindari oleh Rangga. Dan....
Diegh! "Aaakh!"
Rangga memekik nyaring sambil muntahkan darah segar. Tubuhnya terjungkal ke belakang hingga tiga langkah, namun cepat bisa menguasai diri. Dan Nyi Lengser agaknya tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan gerakan cepat bagai kilat tongkat di tangannya diayunkan ke arah lawan di sertai tenaga dalam setinggi mungkin.
"Yeaaa! Mampus kau!"
"Hiiih!"
Namun Rangga tak kalah sigap. Cepat mata pedangnya digosok dengan tangan kiri. Seketika tangan kiri yang sudah terselimut cahaya biru itu dihentakkan ke depan.
"Aji Cakra Buana Sukma!"
Glarrr! "Aaa...!"
? *** ? Kejadian itu begitu cepat berlalu. Pandan Wangi tersentak kaget sambil menjerit keras, ketika melihat Rangga terlempar ke belakang, Ki Garda Raga serta murid-muridnya terperanjat kaget, ketika mendengar pekikan nyaring salah seorang yang tengah bertarung.
"Kakang...!"
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti ambruk ke tanah disertai muntahan darah kental beberapa kali. Wajahnya yang sudah pucat, semakin pucat saja. Napasnya tak beraturan. Bahkan tubuhnya begaikan tak bertenaga lemah dan tak berdaya.
"Kakang, kau tak apa-apa"!" tanya gadis itu dengan wajah cemas.
Rangga tersenyum kecil dengan tatapan lemah. Tangannya bergerak pelahan, menghapus darah yang mengalir di sudut bibirnya.
"Aku tak apa-apa. Bagaimana dia...?"
Pandan Wangi memandang sekilas ke arah tempat jatuhnya Nyi Lengser, Dan ternyata wanita tua itu diam tak bergerak lagi. Bahkan tubuhnya hangus menghitam!
"Dia sudah tewas, Kakang...," sahut gadis itu pelan.
Rangga hanya diam saja. Kejadian yang mene-waskan Nyi Lengser, memang berlangsung cepat. Rasanya Pandan Wangi dan Ki Garda Raga sendiri tak menyangka kalau perempuan tua itulah yang justru tewas.
Sementara itu, murid-murid Perguruan Batu Kuwung menyambut gembira kemenangan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi dan Ki Garda Raga segera memapah tubuh Pendekar Rajawali Sakti, memasuki rumah utama perguruan itu. Memang, Pendekar Rajawali Sakti harus memulihkan luka dalamnya yang cukup parah. Jadi, tidak dia harus tinggal di situ selama beberapa hari.
? ? SELESAI ? ? ?http://duniaabukeisel.blogspot.com
? Kembali ke Bagian 5-6
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017

Pendekar Rajawali Sakti 112 Dendam Datuk Geni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pedang Tanpa Perasaan 7 Pendekar Bayangan Sukma 11 Pertarungan Di Gunung Tengkorak Pedang Penakluk Cinta 2

Cari Blog Ini