Pendekar Rajawali Sakti 143 Iblis Tangan Tujuh Bagian 1
" 143. Iblis Tangan Tujuh Bag. 1-3
November 27, 2014 at 6:38pm
1 ? Gunung Panjar berdiri tegak dengan puncaknya yang seperti ingin menggapai langit. Dari kejauhan tampak asap keluar dari lubang kepundan, langsung mengepul tinggi ke udara. Sementara matahari siang ini bersinar terik, seperti hendak memanggang daerah yang sunyi. Sinarnya terus menerobos sampai ke lembah-lembah berlumpur yang ditumbuhi pohon pohon pinus.
Daerah sekitar Gunung Panjar yang sangat su?nyi, memang terkesan angker. Apalagi pada saat-saat tertentu terdengar suara menggemuruh di da?lam tanah. Seakan ada makhluk raksasa yang tengah menggeliat di dalamnya. Daerah ini memang merupakan sebuah teka-teki yang belum terungkapkan. Sehingga, tidak seorang pun yang berani melintasinya.
Tapi, rupanya keangkeran Gunung Panjar tidak berlaku bagi tiga laki-laki penunggang kuda berpakaian merah darah dan bersenjata pedang. Kuda mereka te-rus digebah, melewati sela-sela hutan pi?nus yang tumbuh subur di sekitarnya. Melihat cara menggebah kuda kudanya tampaknya mereka me?mang tergesa-gesa. Sampai akhirnya, mereka berhenti di suatu tempat. Dua orang lainnya yang berkuda di belakang, memperhatikan laki laki berbadan bnggi tegap yang berada di depan.
"DI sinikah tempatnya?" Tanya laki-laki rjnggi tegap pada dua orang yang baru menjajari di samping kudanya.
"Memang di sinilah tempatnya, Kakang Yudistira!" sahut laki laki bertubuh kurus.
Laki laki tinggi tegap yang dipanggil Yudistira terdiam sejenak. Matanya yang tajam berkilat-kilat berselimut kejantanan, memandang ke puncak Gu?nung Panjar yang terus menunjukkan keangkerannya.
"Rasanya iblis itu tidak mungkin bersembunyi di sekitar sini, Somali," duga laki laki satunya, yang bertubuh gemuk.
"Belasan murid Partai Tengkorak Darah raib di tempat ini, Kakang Gerdatama. Belum lagi tokoh-tokoh persilatan dari aliran hitam dan putih. Apakah bukti-bukti itu belum cukup kuat, kalau sebenarnya iblis terkutuk itu masih hidup hingga sampai saat ini?" tegas laki-laki kurus yang dipanggil Somali.
"Hm." Laki-laki yang dipanggil Gerdatama menggumam tidak jelas. "Apa yang kau katakan memang sudah kudengar. Tapi menurutku, iblis itu sering berpindah-pindah tempat. Terbukti tindakannya selalu di berbagai tempat."
"Aku mendukung pendapat Gerdatama," tandas Yudistira sependapat. "Tapi walau demikian, tidak ada salahnya jika tetap bersikap waspada mu?lai dari seka-rang!"
Kedua orang yang memang adik seperguruan Yudis-tira ini sama-sama mengangguk setuju. Ger?datama sekali lagi mengarahkan matanya pada Gu?nung Panjar yang tetap sunyi-sunyi saja, tanpa terlihat tanda-tanda mencurigakan.
"Manusia iblis! Aku yakin kau berada di sekitar sini. Tujukkanlah rupamu yang sangat menjijikkan itu!"
Tiba-tiba saja Yudistira berteriak keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tak penuh. Namun demikian suaranya sudah sangat menyakitkan gendang-gendang telinga. Bahkan suara itu terus menelusup ke lembah-Iembah yang terdalam.
Setelah berlalunya suara Yudistira, maka suasana di sekitarnya kembali diliputi kesunyian mencekam.
Entah sudah berapa lama keadaan seperti itu berlalu. Dan saat-saat berikutnya, perlahan-lahan terdengar suara menggemuruh, bagaikan gempa bumi. Malah disusul pula oleh suara auman seperti singa. Suara yang ditimbulkan bukan saja membuat wajah tokoh-tokoh yang berasal dari Partai Teng?korak Darah menjadi terkejut, tapi juga semakin meningkatkan kewaspadaan.
"Dia datang, Kakang!" desis Somali.
"Ya.... Berhati-hatilah!" tegas Yudistira.
Baru saja kata-kata Yudistira selesai, mendadak.
Hrrr..! Tiba-bba saja, tanah di sekitar mereka bergetar hebat. Batu-batu yang terdapat tidak jauh dari depan, berpentalan ke seluruh penjuru. Gerakan-gerakan dari dalam tanah yang sangat mengejutkan ini, tidak berhenti sampai di situ saja. Diawali terkuaknya sebuah lubang yang menganga, tiba-tiba dari dalamnya menyembul tangan yang sangat banyak berukuran rak-sasa. Begitu mengerikan, ketika menggapai-gapai ke segala arah seakan mencari jalan keluar. Tak lama, munculah sebuah kepala berbentuk singa, kemudian bagian-bagian tubuh lainnya.
Dan... Kemudian dengan satu lompatan berat, sosok bertubuh raksasa berwujud sangat menge?rikan telah berdiri legak dengan angkemya, di depan tokoh-tokoh dari Partai Tengkorak Darah.
"Dialah manusia setengah singa, Kakang!" bisik Somali.
Sementara kedua orang saudara seperguruan laki-laki kurus ini memperhatikan wujud makhluk sete-ngah manusia dan setengah singa bertangan tu?juh ini, dengan mulut menganga. Mereka benar-benar tercenung, seperti tersihir.
"Grauuung...!"
Terdengar suara menggeram marah. Jelas sua?ra yang terdengar bukan suara manusia, tapi suara singa yang dilanda kemarahan.
Siiing! Siiing!
Gerdatama dan Somali langsung mencabut pedang dari warangka. Sementara itu kuda tunggangan mereka mulai, meringkik sambil mengangkat-angkat kaki depannya dengan gelisah.
"Manusia setengah iblis!" bentak Yudisbra yang di-kenal sangat pemberani. "Aku yakin, kau dapat bicara. Sekarang kuperingatkan padamu, menyerahlah!"
"Hraaah...! Aku memang dapat bicara! Sayang, kalian terlalu angkuh untuk dapat mengakui keberadaanku, sebagaimana manusia biasa!" dengus laki-laki raksasa setengah manusia dan berta?ngan tujuh itu. Matanya berkilat-kilat tajam, memandang bga orang dari Partai Tengkorak Darah.
Ketiga tokoh ini langsung tertawa-tawa pada saat mendengar ucapan laki-laki setengah manusia itu. Setelah tawa mereka terhenti, Gerdatama langsung melompat dari punggung kudanya.
"Kau bukan manusia. Wujudmu tidak lebih baik daripada iblis. Dan tahukah kau, apa yang akan kami lakukan padamu?" kata Gerdatama dengan senyum mengejek. Tangannya menuding, menyiratkan kebencian.
"Keangkuhan kalian harus ditebus dengan nyawa!" desis laki-laki mengerikan bertangan tujuh itu.
Kemudian tanpa berkata-kata lagi laki-laki berwajah singa ini, mengibaskan dua buah tangannya ke depan. Bukan main cepatnya gerakan tangan-tangan berkuku runcing itu. Bahkan seketika itu juga, menyambar agin kencang bercampur hawa panas menyengat ke arah Somali dan Yudistira yang masih duduk di atas kudanya.
Seketika kedua laki-laki ini melentang tinggi dari punggung kudanya. Begitu keras angin sambaran pukulan itu, hingga baju mereka yang berwarna merah darah sampai berlabar kibar. Sementara tiga ekor kuda tunggangan mereka langsung lari terbirit-birit, me-ninggalkan majikannya.
"Gunung Panjar adalah kuburan manusia-manusia picik yang memusuhiku. Kalian nanti pun akan merasakannya! Grauuung...!" dengus manu?sia setengah singa ini.
Laki-laki setengah manusia ini kembali mengibas-kan tangan tangannya yang berjumlah tujuh buah. Menghadapi serangan yang tidak dapat terduga, tentu saja Yudistira dan saudara seperguruannya menjadi kelabakan juga. Tapi sebagai tokoh kelas tinggi di Partai Tengkorak Darah, mereka sudah cukup berpengalaman luas dalam menghadapi keadaan yang sangat sulit sekali pun.
Maka hanya dalam waktu singkat, pertempuran seru di lereng Gunung Panjar tak dapat dielakkan lagi. Yudistira bersama dua orang saudaranya yang menge-rahkan jurus pedang andalan 'Mengusir Mendung Menghalau Hujan', terus bergerak mencecar laki-laki setengah singa. Tapi untuk mendesak manusia setengah singa ini ternyata tidak semudah yang dibayang-kan. Jangankan untuk mendesak, sedangkan untuk menghindari serangan balasan saja sudah terlalu sulit. Manusia setengah singa bertubuh tinggi besar ini memiliki jangkauan tangan yang sa?ngat panjang. Bah-kan gerakan tubuhnya lincah bu?kan main. Malah serangan-serangan balasannya be?gitu cepat, tertuju ke bagian bagian tubuh lawan yang mematikan.
"Hiyaaa...!"
Ketiga laki-laki dari Partai Tengkorak Darah ini sangat penasaran bukan main, karena serangan-sera-ngannya selahi kandas di tengah jalan. Dan sekarang, disertai teriakan membahana mereka merubah jurus-jurus silatnya. Jika semula mereka memainkan pedang dengan gerakan biasa, maka kini de?ngan gerakan sa-ngat cepat luar biasa. Bahkan Yu?distira mulai menge-rahkan ilmu meringankan tu?buhnya yang sudah mencapai taraf tinggi.
Kini manusia setengah singa itu mendapat per-lawanan dari segala penjuru. Malah sudah beberapa kali pedang di tangan Yudistira menghantam bagian punggungnya.
Crakkk! "Heh"!"
Yudistira terpekik kaget. Pedang pusaka di ta?ngan-nya sama sekali tidak dapat menembus kulit tubuh manusia setengah singa. Padahal pedangnya dibabatkan dengan mempergunakan tiga perempat tenaga dalamnya. Kenyataan ini sebenarnya sudah membuka mata Yudistira, kalau manusia setengah singa yang dihadapinya kebal terhadap senjata.
"Tusuk perutnya!" teriak Gerdatama, sambil bergulingan. Nyaris saja ia terinjak kaki manusia raksasa itu.
Somali yang mendengar aba-aba itu langsung bergerak ke samping kiri. Tapi, mata manusia sete?ngah singa yang tajam rupanya melihat gerakannya. Sehingga tangannya cepat digerakkan ke arah pe?dang yang menderu ke arahnya. Sedangkan tangan yang lain menangkis serangan Gerdatama dan Yu?distira.
Crakkk! Crakkk! Terlihat percikan bunga api ke segala arah begitu senjata ketiga tokoh dari Partai Tengkorak Da?rah ini menghantam pergelangan tangan manusia setengah singa. Sebaliknya, pada saat yang sama, manusia setengah singa itu berhasil menendang perut Somali yang lowong.
Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Somali terbanting keras di tanah. Perut?nya terasa bagaikan hancur diaduk-aduk. Dia berusaha bangkit tapi ambruk lagi. Dari bibirnya tampak mengalir darah kental. Agaknya laki-laki kurus itu menderita luka dalam yang cukup parah.
Melihat kejadian yang tak disangka-sangka ini, Ger-datama dan Yudistira terkejut bukan main. Be?lum hilang rasa kaget mereka, kaki manusia sete?ngah singa telah menginjak dada Somali.
Krakkk! "Aaa...!"
Disertai jeritan panjang, mulut Somali menyem-burkan darah. Matanya langsung melotot dengan lidah terjulur keluar. Salah satu tokoh dari Partai Tengkorak Darah itu menemui ajalnya.
"Somali!" teriak Yudistira dan Gerdatama hampir bersamaan.
Bukan main gusarnya mereka melihat kejadian yang memilukan ini. Mereka ingin mendekati mayat adik seperguruannya, tapi gerakan mereka terhalang oleh tangan tangan raksasa manusia setengah singa. Sehingga tidak ada pilihan lain lagi, kecuali menggempur manusia setengah singa dengan segenap ilmu olah kanuragan yang dimiliki.
"Hiyaaa...!"
Gerdatama berteriak nyaring. Tidak tanggung-tang-gung lagi langsung saja jurus terhebat yang di-milikinya dikerahkan. Sehingga, pertarungan pun semakin menghebat. Gerakan kaki dan tangannya lincah bukan main, dalam melakukan tendangan telak ke arah bagian punggung manusia setengah singa.
Sementara Yudistira sendiri telah mengerahkan jurus 'Membelah Mega'.
"Hraaakh...!"
Manusia setengah singa itu menggerung marah. Terlebih-lebih setelah tendangan Gerdatama menghan-tam punggungnya. Seketika manusia setengah singa memutar tubuhnya sambil mengelebatkan ta?ngannya yang berjumlah tujuh buah ke arah Ger?datama. Sedangkan kakinya melakukan tendangan kilat ke arah Yudistira.
Bukf "Aaakh...!"
Seketika itu juga Yudistira jatuh terguling-guling di tanah. Hidung dan bibirnya mengeluarkan darah se-gar. Laki-laki itu merasa ada salah satu tulang iganya yang remuk. Napasnya mendadak terasa sesak.
Melihat ini manusia setengah singa segera menerjang Yudistira yang belum bisa bangkit berdiri. Dia memang bermaksud menghabisinya. Tapi pada saat itu, Gerda-tama melihat saudara sepergu?ruannya yang dalam keadaan terancam. Maka tanpa bicara apa-apa, dia melompat tinggi melepaskan pukulan maut.
"Hiaaa...!"
Werrr..! Seketika itu juga angin kencang menderu. Terlihat sinar merah membara melesat dari telapak ta?ngan Gerdatama yang terhentak.
Melihat datangnya serangan hawa panas ini, manusia setengah singa yang dapat menembus perut bumi ini langsung mengibaskan tangannya ke arah Gerda-tama. Sementara, tangan yang lain tetap terarah pada Yudistira yang belum bisa berbuat apa-apa akibat luka dalamnya.
Glarrr! Seketika terjadi ledakan sangat kuat ketika dua pukulan jarak jauh beradu. Namun Gerdatama ter-pelanting roboh. Dari mulutnya menyembur darah segar. Secepatnya dia bangkit berdiri, tapi pada saat itu juga terdengar jeritan Yudistira. Begitu menoleh, tampak Yudistira sudah tercabik-cabik oleh tangan-tangan manusia raksasa berkepala singa itu.
"Grakkk! Grauuung...!"
Bukan main tajamnya kuku-kuku manusia sete?ngah singa itu. Sehingga dalam waktu singkat, tu?buh Yudis-tira sudah tidak berbentuk lagi.
Laki-laki bertangan tujuh itu mencampakkan mayat Yudistira ke arah Gerdatama. Namun de?ngan cepat Gerdatama mengelak. Lalu sambil menggerung penuh kemarahan, dihujaninya laki-laki setengah singa itu dengan pukulan pukulan jarak jauhnya.
Sayang, serangan-serangan gencar yang dilakukan Gerdatama selalu kandas di tengah jalan. Tak hanya berhasil dihindari, tapi juga dipapak oleh manusia setengah singa. Bahkan di lain saat terpaksa serangan-serangan ganas lawannya dihindari.
"Huuup...!"
Gerdatama melompat ke samping kiri sambil membabatkan pedang ke arah kaki lawan yang sangat besar.
"Grauuung!"
Laki-laki setengah singa itu menggeram marah sambil mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Kemudian dua tangannya menyambar ke samping kiri. Gerak?an manusia setengah singa cepat bukan main. Se?hingga angin begitu terasa menyambar ke bagian tubuh Ger-datama. Dan sesaat setelah itu, jemari ta?ngan berkuku tajam manusia setengah singa telah menghujam di dada Gerdatama.
Crakkk! Tokoh Partai Tengkorak Darah ini, meskipun tubuh-nya telah tertembus kuku-kuku tajam, masih mampu membabatkan pedang pusakanya ke arah pergelangan tangan lawannya.
Crakkk! Bunga api langsung memijar pada saat pedang di tangan Gerdatama membentur tangan manusia sete-ngah singa. Namun sungguh di luar dugaan ternyata tangan itu seperti tidak mengalami apa-apa. Jelas, manusia raksasa setengah singa itu memiliki kekebalan tubuh luar biasa.
"Aaa...!"
Malah Gerdatama yang kini menjerit-jerit. Dadanya yang ditembusi kuku-kuku runcing, semakin koyak. Tubuhnya langsung roboh dan menggelepar dan terus berkelojotan, sampai akhimya terdiam. Mati. Darah semakin banyak menggenangi tubuh?nya.
Manusia setengah singa itu mendengus. Lalu ditendangnya mayat Gerdatama begitu saja. Dan mendadak manusia setengah singa diam mematung, seakan ada sesuatu yang dipikirkan.
"Ayah, ibu...!" rintih laki-laki bertangan tujuh, de-ngan kepala tertunduk. "Aku tidak tahu, bagaimana nasib kalian! Kehadiranku hanya membuat ayah dan ibu menderita dan menanggung malu. Bahkan banyak orang lain yang memusuhimu. Mestinya dulu aku ti-dak usah dilahirkan..! Satria Pemali tidak ingin membuat kalian semua mende?rita. Tapi, awas! Siapa saja yang berani menyakiti ayah dan ibu, akan mendapat ganjaran setimpal!"
Mata manusia raksasa setengah singa yang ber-nama Satria Pemali berkilat-kilat aneh. Setelah memperhatikan keadaan di sekelilingnya, dia menjejak tanah di bawah. Seketika terdengar suara mengge-muruh disertai berhamburannya batu-batu gunung.
Di bawah kaki Satna Pemali, kjni terdapat se?buah lubang yang cukup besar Laki-laki raksasa bertangan tujuh, berkepala singa itu kemudian memasuki lubang dalam itu. Dan begitu tubuhnya menghilang, lubang itu menutup kembali.
? *** ? Seorang pemuda berompi putih tampak tengah menggebah kuda hitamnya dengan kecepatan laksana kilat. Sesekali terdengar suara ringkikan keras, disusul tenakan penunggangnya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Dan kuda hitam itu pun semakin melesat, laksana kilat. Debu beterbangan menutupi jalanan yang di-lewati. Sementara penunggang kuda berompi putih itu sesekali menyempatkan menoleh ke belakang.
Tidak terlihat apa pun di belakangnya, kecuali ter-dengarnya derap langkah kuda dalam jumlah cukup banyak. Rupanya penunggang kuda yang ti?dak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti ini sudah men-dengar derap kaki kuda yang mengikutinya. Tapi sampai sejauh ini, para penunggang kuda di belakang sana masih belum mampu menyusulnya.
"Hm. Aku heran, sejak tadi mereka terus mengikutiku. Sebenarnya apa yang mereka inginkan, sehingga mengejarku," kata batin Rangga da?lam hati.
Sambil terus memacu kuda hitamnya, Rangga ber-usaha mencari akal untuk menjebak orang-orang tidak dikenal yang mengejarnya. Sampai ke mudian, tiba-tiba laju kudanya dihentikan.
"Hieeeh...!"
Dewa Bayu meringkik keras, seakan tidak senang dengan sikap majikannya. Tapi, Rangga lantas mene-puk-nepuk punggung kuda itu.
"Tidak perlu kecewa. Kita harus bersembunyi untuk menjebak mereka yang terus mengejar!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Dengan tergesa-gesa, Rangga membelokkan kudanya ke semak-semak belukar yang terdapat di samping kiri jalan yang dilalui. Lalu dengan ilmu meringankan tu-buh yang sudah sangat tinggi, Pen?dekar Rajawali Sakti langsung melompat pada salah satu dahan pohon yang terdapat di atas jalan. Dia segera sembunyi, sambil menunggu orang-orang yang mengejarnya.
Sementara itu derap langkah langkah kuda semakin lama semakin terdengar jelas. Sebentar sa?ja, Rangga sudah dapat melihat lima orang pe?nunggang kuda bergerak ke arahnya. Yang keseluruhannya berpakaian serba hitam dan bersenjata pedang.
Hanya sekali lirik, Pendekar Rajawali Sakti su?dah dapat memastikan kalau kelima penunggang kuda itu tampaknya berasal dari sebuah perguruan silat. Walaupun demikian, Pendekar Rajawali Sakti ini tetap membiarkan orang-orang itu bergerak melewatinya.
"Kita kehilangan jejak!" teriak salah seorang yang berkumis dan bercambang lebat.
Serentak empat orang lainnya langsung menghen-tikan laju kuda masing masing sambil memperhatikan keadaan di sekeliling dengan tatapan curiga.
"Mustahil dia dapat menghilang seperti setan!" desis seorang laki laki berperawakan paling tegap.
'Tapi kita memang harus mengakui kalau kecepatan kudanya benar-benar mengagumkan," timpal yang lain.
"Pokoknya, kalian harus menemukan orang itu secepatnya. Siapa tahu dia mata-mata dari Partai Teng-korak Darah! Guru kita pasti tidak ingin meli?hat kor-ban kembali berjatuhan!" tegas laki-laki berkumis itu seakan mengingatkan. "Ayo cari...!" Se?ketika itu juga empat orang lainnya segera melom?pat dari atas punggung kudanya. Dalam waktu singkat, mereka sudah berpencar. Belum juga mereka menemukan apa yang ditemukan tiba-tiba...
? *** ? 2 ? "Aaakh...!"
Mendadak terdengar seruan tertahan, yang disusul oleh ambruknya salah seorang. Bahkan sekujur tangan dan kaki orang itu sangat sulit digerakkan. Untuk bicara saja, dia tidak mampu.
"Kirana!" desis salah seorang laki-laki berpakaian serba hitam yang berada demikian dekat de?ngan laki-laki bernama Kirana.
Dia langsung berteriak memanggil kawan-kawannya yang lain. Tanpa disadari lelaki berpakaian hitam itu, kembali terlihat benda kecil berwarna hitam melesat dari kerimbunan pohon. Lalu....
Tuk! "Akh..!"
Disertai keluhan samar, laki-laki itu jatuh terduduk tak jauh dari kawannya yang bernama Kirana.
"Kirana! Turangga! Apa yang terjadi pada ka?lian!" desis laki-laki berkumis dan bercambang bauk, begitu berada di depan dua laki-laki yang sudah tak berdaya. Jangankan bicara, nampaknya kedua laki-laki itu sudah sulit untuk menggerakkan tangan?nya. "Pasti sese-orang telah menotok urat gerak kawanku-kawanku!"
Setelah membebaskan totokan pada kawan-kawan-nya, mata laki-laki berkumis itu dengan liar memperhatikan sekelilingnya. Namun tidak terlihat tanda-tan-da yang mencurigakan. Apalagi, melihat penunggang kuda yang mereka kejar tadi.
"Siapa pun yang bersembunyi, kami harap sudi memperlihatkan diri!" teriak laki-laki yang sebenarnya bernama Karta dengan gusar bukan main. Sesaat suasana berubah hening. Bahkan angin pun seakan enggan bertiup. "Kami tahu, siapa kau Kisanak. Kau berada di sekitar sini. Cepat tunjukkan diri. Jika Kisanak bukan dari Partai Tengkorak Da?rah, kami pasti suka memberi maaf!"
Karta memperhatikan pohon pohon di sekitarnya lebih tinggi lagi. Sampai kemudian, matanya melihat sesuatu bergerak-gerak dari sebuah pohon berdaun lebat. Namun belum sempat Karta bicara lebih lanjut, tiba-tiba saja dari atas pohon itu berkelebat sosok bayangan putih.
Tidak sampai sekedipan mata, telah berdiri seo?rang pemuda berwajah tampan dan bersenjata pe?dang di depan mereka.
Karta memperhatikan pemuda berompi putih ini dengan seksama. Namun, sepertinya dia belum pernah mengenal pemuda ini.
"Siapakah, Kisanak?" Tanya Karta. Rangga terse-nyum tipis. Diperhatikannya laki-laki bertampang angker itu.
"Semestinya aku yang bertanya, mengapa ka?lian mengejarku...?" desis Rangga.
"Kami hanya menjalankan tugas. Sekarang, meng-akulah. Apakah kau berasal dari Partai Teng?korak Darah?" Tanya Karta, tidak kalah sengit.
Rangga terdiam dengan kening berkerut. Agaknya otaknya tengah mengingat-ingat sesuatu. Tadi, sepanjang jalan yang dilalui, Pendekar Rajawali Sakti me-lihat keganjilan-keganjilan. Ketika melintasi sebuah desa, Pendekar Rajawali Sakti melihat kesunyian di sana. Dugaannya, pasti ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Hal ini diperkuat lagi oleh kehadiran lima laki laki berpakaian serba hitam ini.
"Mengapa kalian curiga, kalau aku dari Partai Teng-korak Darah" Apakah pentingnya bagi ka?lian?" Tanya Rangga sambil memandang tajam pa?da laki-laki di depannya.
Tanggapan yang terlihat benar benar di luar dugaan Pendekar Rajawali Sakti ini. Empat orang lainnya langsung mengepung Rangga dari segala penjuru. Bahkan tanpa segan-segan lagi, mereka langsung mencabut pedang dari warangka.
"Kalau memang benar kau dari Partai Tengko?rak Darah, jelas sudah kalau kau adalah mata mata yang sengaja mengintai Padepokan Kencana Ungu. Kau harus kami tangkap!" dengus Karta.
Dia bersiap-siap melakukan serangan ke arah Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti ini cepat-cepat mengangkat tangannya.
"Tahan, Kisanak semua! Perbuatan yang paling keji adalah menuduh orang lain tanpa bukti. Dan lagi, yang dituduh justru tidak tahu menahu tentang masalah yang dibicarakan!" tegas Rangga.
"Hm... Dalam suasana yang sangat gentang seperti sekarang ini, sudah cukup alasan untuk meringkus orang asing yang berkeliaran di daerah kami," tandas Karta.
Tidak lama kemudian, laki laki berkumis itu memberi isyarat pada anak buahnya untuk meringkus pemuda berompi putih ini.
"Hiyaaa..!"
Tanpa menunggu diperintah dua kali, empat orang anak buah Karta dengan pedang terhunus langsung menyerang gencar pada Rangga.
'Tunggu!" cegah Rangga, langsung berkelit dengan liukan tubuhnya menghindari serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Tapi mana mau orang-orang yang ternyata dari Pade-pokan Kencana Ungu ini mendengar peringatan Rangga. Malah mereka semakin mempergencar serangan-serangan. Dan pemuda berompi putih ini akhirnya menyadari kalau orang-orang yang mengeroyoknya memang benar-benar sulit diajak berpikir dingin. Dan merasa tidak ada pilihan lain lagi, Pendekar Rajawali Sakti terpaksa meng?hadapi serangan mereka.
"Baiklah. Kalau kalian menghendaki kekerasan. Aku pun dapat bersikap keras pada kalian!" dengus Rangga.
? *** ? Seketika itu juga, Pendekar Rajawali Sakti me?nge-rahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dalam gebrakan pertama saja, gerakan-gerakan Rangga terlihat cepatnya bukan main. Bahkan sam?bil meng-hindari serangan-serangan pedang, Pen?dekar Rajawali Sakti juga mulai melancarkan se?rangan balasan berupa tendangan-tendangan gen?car ke arah perut dan kaki lawannya. Sehingga sering lawan-lawannya terke-coh dalam menghadapi serangan baliknya.
"Jangan beri kesempatan padanya untuk melolos-kan diri!" teriak Karta yang sejak tadi masih be?lum juga mampu mendesak.
Sing! Sing! Pedang dari orang-orang Padepokan Kencana Ungu menderu-deru, sehingga menimbulkan suara mencuit nyaring. Di lain kesempatan, mereka juga melakukan tendangan menyilang secara bersamaan. Tapi Rangga cepat memapak serangan itu dengan jemari tangannya yang terkembang.
Plak! Duk...! "Ukh...!"
Keempat orang itu terpekik kaget, dengan tu?buh terhuyung-huyung. Kaki mereka yang membentur tangan Rangga terasa bagaikan membentur tembok baja saja. Sehingga, menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Kini semakin terbukalah mata mereka, bahwa sebe-narnya lawan yang dihadapi sangat tangguh.
Tapi untuk mengakui kehebatan lawan ini, mereka jelas-jelas tidak memiliki keberanian. Di sisi lain, me-reka memang hanya seorang murid yang harus selalu mematuhi setiap perintah guru mereka.
"Masih ada kesempatan bagi kalian untuk meng-hindari kesalahpahaman ini. Sekarang, simpanlah senjata kalian!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.
"Boleh jadi dia memiliki ilmu olah kanuragan lebih tinggi dari kita. Tapi, apa pun yang terjadi, ki?ta harus dapat meringkusnya!" tegas Karta, berusaha memberi semangat.
Dan ternyata, apa yang dikatakan Karta membawa pengaruh yang sangat besar pada kawan-kawannya. Terbukti, mereka segera membangun serangan-sera-ngan baru disertai pengerahan segenap kepandaian.
"Kalian benar benar mencari urusan denganku. Terserahlah. .!" desis Rangga.
"Hiyaaa...!"
Di luar dugaan tiba-tiba saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara dengan gerakan cepat dan sulit diikuti mata. Sementara orang-orang dari Padepokan Kencana Ungu berusaha terus mengejar dengan serangan-serangan senjata yang se?makin menghebat. Tapi, tusukan maupun babatan pedang mereka masih kalah cepat, bila dibanding gerakan lincah Pendekar Rajawali Sakti, yang tengah mengerah-kan jurus 'Rajawali Menukik Mengejar Mangsa'.
Tidak pelak lagi, keadaan kini benar-benar berbalik. Dalam waktu singkat, permainan pedang murid-murid Padepokan Kencana Ungu seakan ti?dak mampu ber-kembang lebih jauh. Bahkan berulang kali serangan-serangan gencar yang dilakukan selalu mencapai sasaran-sasaran kosong. Kenyataan ini, tentu saja membuat Karta yang menjadi pemimpin menjadi gusar.
"Haiiit!"
Kali ini, Karta tak mau tinggal diam. Dia lang?sung ikut menyerang dengan sambaran pedangnya ke bagian kaki Rangga. Namun tubuh pemuda ini langsung melesat ke udara. Setelah berputaran, tubuhnya langsung meluruk sambil melepaskan ten?dangan beruntun pada bagian kepala lawan lawannya.
Duk! Buk! Dua orang murid Padepokan Kencana Ungu langsung jatuh terjengkang. Tubuh mereka menggelepar disertai teriakan menyayat hati. Dari bagian telinga, hidung, dan mulut menyembur darah segar. Agaknya tulang kepala mereka rengat.
Dan belum lagi hilang rasa terkejut Karta, tahu-tahu pemuda berompi putih ini telah melesat ke arahnya. Bersamaan itu pula, ditangkapnya pergelangan tangan Karta yang memegang senjata.
Karta berusaha meronta sambil melepaskan tenda-ngan ke bagian selangkangan Rangga. Na?mun dengan gerakan manis, Rangga berhasil menghindarinya. Bahkan langsung memutar pergelangan tangan laki-laki bertampang kasar itu, hingga menjerit-jerit kesakitan.
Melihat kenyataan ini, dua orang Padepokan Ken-cana Ungu yang sempat luput dari tendangan Rangga, bermaksud menolong kakak seperguruan?nya dengan cara menyerang dan belakang.
"Jangan kalian lakukan! Atau terpaksa tangan kawanmu ini kupatahkan!" ancam Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti semakin memperkuat genggaman ta-ngannya, sehingga membuat Karta semakin bertambah menderita saja.
"Lepaskan.... Lepaskan, aukh...!" Karta berteriak-teriak penuh permohonan. Dia berusaha meronta, tapi semakin kuat membebaskan diri, maka semakin bertambah sakitlah tangan?nya yang terputar ke belakang itu.
"Kau harus mengatakan padaku, apa sebenarnya yang telah terjadi sehingga memusuhiku!" desis Rangga, tanpa melepas tangan Karta yang terus meringis-ringis kesakitan.
"Lep..., lepaskan dulu. Perbuatanmu dapat membuat tanganku patah, Kisanak!" rintih laki-laki berkumis tebal itu penuh permohonan.
Rangga tidak langsung melepaskan tangan mu?rid kepercayaan Padepokan Kencana Ungu. Tapi, hanya sedikit mengendorkannya saja.
"Cepat katakan, apa yang terjadi!" bentak Rangga dengan sikap semakin tidak sabar saja.
"Dan, perintahkan juga kawan-kawanmu untuk me-masukkan senjatanya. Jika tidak, jangan harap ka?lian dapat kembali ke Padepokan Kencana Ungu dengan selamat!"
Karta segera memberi isyarat pada kedua orang kawannya yang tampak ragu mendengar perintah Rangga ini.
"Tetapi, Kakang...!" Salah seorang masih merasa ragu-ragu.
"Buang kataku! Ini perintah...!" bentak laki-laki berkumis tebal ini, gusar.
Setelah melihat kesungguhan dalam ucapan Karta, barulah mereka membuang senjata. Itu pun tidak jauh dari tempat berdiri.
"Nah! Sekarang, bicaralah!" ujar pemuda be?rompi pubh itu. Segera cekalan pada Karta dilepaskan.
Sementara, Karta segera mengibaskan tangan?nya yang terasa nyeri dan sakit bukan main.
"Apakah kisanak benar-benar bukan berasal dari Partai Tengkorak Darah?" Tanya laki-laki itu. seakan ingin memasbkan.
"Aku sama sekali tidak kenal dengan para iblis dari Partai Tengkorak Darah," tegas Pendekar Ra?jawali Sakti.
Karta terdiam agak lama. Tampaknya, dia ber?usaha bersikap setenang mungkin dalam mengha?dapi pemuda yang ternyata memiliki ilmu olah kanuragan sangat tinggi ini. Setelah memperhatikan kesungguhan Rangga. Rasanya Bdak ada alasan la?gi baginya untuk curiga.
"Kisanak! Siapakah kau ini" Aku belum pernah me-lihatmu berkeliaran di sini sebelumnya."
"Kau mencurigaiku?" Tanya Rangga, penuh selidik.
"Oh! Ten..., tentu saja tidak!" sahut Karta tergagap.
"Baiklah... Untuk tidak membuatmu curiga, aku berasal dari Karang Setra! Namaku Rangga...!" jelas pemuda berompi pufih ini, terus terang.
"Hm... Tunggu, Kisanak! Apakah Kisanak, Pendekar Rajawali Sakti!" tebak Karta setelah mengingat-ingat sebuah nama. Dia kelihatan sangat hati-hati dalam melontarkan dugaannya.
"Hanya julukan kosong belaka," sahut Rangga merendah.
Namun jawaban itu justru membuat sikap Karta dan dua kawannya yang tersisa kontan berubah. Seketika mereka menjura hormat.
"Tak perlu bersikap demikian, Kisanak. Sudahlah. Sekarang, coba jelaskan, mengapa kalian ke?lihatan begitu membenci orang-orang Partai Teng?korak Darah?" Tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Kami bukan saja membenci tapi juga mendendam. Yang jelas, dendam Padepokan Kencana Ungu dan Pa-depokan Belibis Putih sudah setinggi gunung dan sedalam lautan!" tegas Karta. Napasnya agak tersengal pada saat mengutarakan segala sesuatu yang dike-tahuinya. Sementara, Rangga semakin tertarik untuk mendengarnya.
"Katakanlah, mengapa kalian bersikap demi?kian!"
Karta memperhatikan kawan kawannya Tampaknya, mereka sama-sama mengangguk. Sehing?ga laki-laki berkumis itu dengan leluasa menceritakan segala sesuatu yang diketahui.
"Sembilan tahun yang lalu..," tutur Karta sam?bil menelan ludah dan menarik napas pendek. "Putri Ke-tua Padepokan Belibis Putih yang bernama Mustika, melahirkan seorang bayi sangat aneh...!"
"Aneh" Bagaimanakah yang kau maksudkan?" po-tong Rangga, tidak sabar.
"Karena bayi itu tidak sebagaimana lazimnya. Dalam arti, bayi yang dilahirkan istri Ketua Pade?pokan Belibis Putih itu, berwujud setengah manusia dan setengah singa. Bahkan memiliki tujuh tangan."
Dahi Pendekar Rajawali Sakti ini langsung berkerut dalam. Belum pernah telinganya mendengar ada kejadian aneh yang diceritakan Karta.
"Apa hubungannya Padepokan Belibis Putih dengan Padepokan Kencana Ungu?" desah Pende?kar Rajawali Sakti.
"Ketua Padepokan Kencana Ungu merupakan adik kandung Ketua Padepokan Belibis Putih...!" jelas murid Padepokan Kencana Ungu ini.
"Lalu, mengapa kalian memusuhi Partai Teng?korak Darah!"
Karta terdiam sejenak.
"Sebenarnya bukan kami yang memusuhi orang-orang dari Partai Tengkorak Darah. Tapi, merekalah yang membuat perkara," jelas Karta.
Laki laki itu terdiam lagi, tarikan-tarikan napasnya semakin bdak teratur saja.
"Ketika istri Gatama melahirkan, orang-orang Partai Tengkorak Darah mengumumkan pada to?koh tokoh rimba persilatan, bahwa bayi aneh itu kelak hanya akan membawa malapetaka saja. Dan ternyata golo-ngan putih dan hitam percaya dengan cerita itu. Sehingga, putra Gatama diculik dan di bunuh di suatu tempat. Istri Ketua Padepokan Be?libis Putih tentu saja sangat tertekan mengalami kenyataan ini. Maka di satu purnama kemudian, beliau mati gantung diri. Pendekar Rajawali Sakti, penderitaan yang dialami Pade-pokan Belibis Putih dan Padepokan Kencana Ungu ti-dak sampai di sini saja. Sejak itu rimba persilatan mulai mengucilkan keberadaan kami. Selain itu orang-orang Partai Tengkorak Darah juga mulai menghasut perguruan lainnya, dengan mengatakan kalau sebe-narnya Padepokan Belibis Putih telah dikutuk Yang Maha Kuasa!" tutur Karta.
Bukan main terkejut Rangga mendengar penjelasan Karta ini. Sehingga berulangkali kepalanya menggeleng seakan tidak percaya.
? *** ? "Yang tidak habis kumengerti, mengapa orang?-orang Partai Tengkorak Darah bisa mengambil kesimpulan sampai sejauh itu?" Tanya Pendekar Ra?jawali Sakti kemudian.
"Kami tidak tahu, Tuan Pendekar...!"
"Rangga! Panggil saja aku dengan nama itu," ujar pemuda berompi putih ini, dengan suara lebih hinak.
"Benar, Pendekar Rajawali Sakti... eh, Rangga. Aku sendiri kurang tahu. Akhir-akhir ini, fitnahan yang dilontarkan semakin gencar dengan kemunculan makhluk mengerikan di Gunung Panjar." je?las Karta.
"Makhluk mengerikan yang bagaimanakah maksudmu?" Tanya Rangga dengan kening semakin berkerut dalam.
Karta lagi lagi memperhatikan suasana di seke-lilingnya. Seakan, dia ingin memastikan kalau segala sesuatunya dalam keadaan aman.
"Akhir-akhir ini, orang dari Partai Tengkorak Darah banyak yang menjadi korban di Gunung Panjar. Me-nurut mereka putra Gatama bangkit dari perut bumi. Dan kini, siap mengadakan pembalasan besar-besa-ran."
"Bukankah orang-orang Partai Tengkorak Da?rah telah membunuhnya" Bagaimana mereka beranggapan kalau makhluk raksasa yang menyerang mereka ada-lah putra Ketua Padepokan Belibis Pu?tih?" Tanya Rangga, jadi tak mengerti.
'Tidak tahulah, Rangga. Keadaan sekarang memang benar-benar semakin kacau saja. Setiap orang saling curiga mencurigai. Tidak jarang, orang dari Partai Tengkorak Darah melakukan penculikan di sini. Itulah sebabnya, kami merasa perlu bersikap waspada ketika melihatmu muncul di wilayah ini."
"Menurutmu apakah mungkin manusia sete?ngah singa itu masih hidup hingga sampai saat ini, Karta?"
Tidak seorang pun yang tahu. Terkecuali, orang-orang Partai Tengkorak Darah," sahut laki-laki itu dengan suara nyaris tidak terdengar.
Rangga terdiam lagi. Meskipun sudah menangkap arah pembicaraan Karta, tapi hatinya masih ragu. Apa-kah benar manusia setengah singa itu ma?sih hidup" Atau, hanya sepak terjang orang-orang dan Partai Tengkorak Darah saja untuk mengacau dunia persilatan"
"Rangga! Kupikir, jika kau ingin tahu duduk persoalan yang sebenarnya, sebaiknya datang ke Padepokan Belibis Putih! Gatama pasti suka menjelaskannya," usul Karta.
"Hm. Sebenarnya aku sendiri ingin mengadakan perjalanan jauh ke suatu tempat. Tapi, tak apalah. Mungkin ada baiknya jika aku mendengar lang?sung segala yang kau katakan pada orang yang bersangkutan."
Begitu selesai kata-katanya, Rangga memandang ke satu arah. Lalu Pendekar Rajawali Sakti ini bersuit nyaring. Tak lama dari semak-semak belukar, ter-dengar ringkik suara kuat yang disertai kemunculan seekor kuda berbulu hitam.
"Mendekatlah kemari, Dewa Bayu. Mereka ini hanya salah paham belaka!" ujar pemuda berompi putih ini.
Seketika itu juga kuda berbulu hitam mengkilat itu mendekati Rangga. Dan tidak lama kemudian, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke punggung kudanya. Setelah berpamitan pada murid-murid Padepokan Ken-cana Ungu Rangga segera menggebah kudanya menuju Padepokan Belibis Putih.
Sementara Karta dan dua orang kawannya sa?ling berpandangan. Sama sekali mereka tidak menyangka kalau orang yang dihadapi ternyata seo?rang pendekar ternama.
"Hihhh...!"
Karta menggidikkan bahunya. Lalu, dia segera meng-hampiri kedua mayat saudara seperguruannya untuk diurus. Dan mereka pun kembali ke Pade?pokan Ken-cana Ungu.
? *** ? 3 ? Sebenarnya, Partai Tengkorak Darah adalah tempat berkumpulnya tokoh aliran hitam. Partai ini dipimpin seorang wanita bemama Sarpakenaka, atau lebih dikenal dengan julukan 'Bidadari Tangan Api', yang ber-kepandaian sangat tinggi. Padahal, usianya baru sekitar dua puluh delapan tahun! Na?mun jarang ada tokoh persilatan yang berani bertindak gegabah pada wanita cantik itu.
Anggota Partai Tengkorak Darah ini cukup besar jumlahnya. Bahkan rata-rata berkepandaian tinggi. Tidak heran bila di daerah selatan ini, Partai Tengko-rak Darah memiliki pengaruh cukup luas.
Ada dua padepokan silat yang tidak pernah tunduk pada Partai Tengkorak Darah, yakni Pade?pokan Belibis Putih dan Padepokan Kencana Ungu.
Ini merupakan hari ketiga, setelah kepergian tiga orang kepercayaan 'Bidadari Tangan Api'. Na?mun sampai saat ini belum ada kabar sedikit pun dari mereka. Sehingga pagi-pagi sekali Sarpakena?ka mengumpulkan enam pembantunya yang terdiri dari tokoh sesat ang-katan tua.
Di dalam sebuah mangan yang agak mirip balai pertemuan, para pembantu yang berasal dari orang taklukan Sarpakenaka telah berkumpul, duduk membentuk sebuah lingkaran.
Pendekar Rajawali Sakti 143 Iblis Tangan Tujuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pertama-tama kuucapkan terima kasih atas kehadiran kalian di balairung pertemuan ini!"
Terdengar suara begitu lembut dan merdu. Se?hingga semua yang hadir di situ jadi tidak bisa membedakan siapa perempuan yang dihadapi sekarang ini. Padahal Sarpakenaka adaiah pimpinan mereka.
'Tahukah kalian, mengapa aku memanggil kemari?" Tanya perempuan berpakaian tipis itu, sungguh-sung-guh.
Suasana di dalam ruangan pertemuan seketika ber-ubah hening. Namun tidak lama kemudian, seorang laki-laki berambut putih, berkumis dan bercambang putih menengadahkan wajahnya. Ditatapnya Sarpakenaka dengan sorot mata penuh hati-hati.
"Menurut hemat hamba, bila ketua memanggil kami tentu ada urusan penting yang akan dibicarakan."
'Tepat, Banu Keling!" kata Sarpakenaka. "Apa yang ingin kubicarakan dengan kalian bukan saja penting. Tapi, boleh dikatakan teramat penting demi masa depan Partai Tengkorak Darah!"
"Kami semua siap mendengarnya, Ketua!" sa?hut keenam laki-laki bertampang kasar yang hadir di ruangan ini hampir bersamaan.
Bidadari Tangan Api menarik napas lega.
"Seperti yang telah sama-sama diketahui, kawan-kawan kalian yang terdiri Yudistira, Somali, dan Ger-datama telah kuperintahkan untuk menyelidiki Gu-nung Panjar. Tapi yang membuatku heran, hingga sampai hah ini mereka belum kembali. Pa?dahal, seharusnya sudah kembali ke sini dua hari yang lewat!"
Terasa jelas sekali ada kekhawatiran terkandung dalam suara Ketua Partai Tengkorak Darah ini.
"Menurut hamba, sudah sering terjadi hal-hal seperti ini, Ketua," sahut seorang laki-laki berbadan kekar dan bertelanjang dada.
Perhatian Sarpakenaka kini beralih pada laki-laki bersenjata gada itu.
"Coba teruskan, Paman Faksi!" perintah pe?rempuan itu penuh perhatian.
Faksi Jaladara langsung menghaturkan sembah.
"Seingat hamba, banyak utusan kita yang menye-lidiki di Gunung Panjar tidak kembali. Terlebih-lebih, beberapa waktu yang lalu."
"Hm. Memang! Tapi, Yudistira, Somali, dan Gerda-tama berkepandaian tinggi. Mereka lebih hebat dari-pada para pendahulu-pendahulunya. Aku merasa kha-watir, kalau-kalau manusia iblis itu be?nar-benar ada!" tandas Ketua Partai Tengkorak Darah tanpa sungkan-sungkan.
"Ketua, bolehkah hamba bicara?" Tanya seo?rang laki laki berpakaian tambal-tambalan dan ber?senjata tong-kat butut. Bila dibandingkan yang lain-lainnya, maka laki-laki ini berusia paling tua.
"Silakan, Kakek Praba! Menurutku, kakeklah yang tahu banyak tentang ihwal kerurunan Ketua Pade-pokan Belibis Putih yang keras kepala itu...!" sahut Sarpakenaka. Nada bicaranya jelas jelas menyimpan kebencian.
Laki-laki berpakaian tambal-tambalan ini terdiam agak lama. Seakan dia berusaha mengingat-ingat kejadian belasan tahun yang lalu.
"Waktu almarhum ayah dan ibumu menculik putra terkutuk Gatama, aku turut serta. Kami telah membunuh bayi bertangan tujuh itu di lereng Gu?nung Panjar. Bahkan ayah-ibumu mempergunakan senjata pusaka. Kami kemudian meninggalkan mayat bayi itu, setelah memastikan kematiannya. Seminggu kemudian, ayahmu meninggal. Menyusul ibumu dengan pe-nyakit yang tidak jelas. Menurut hemat hamba, rasa-nya mustahil bila bayi setengah singa itu dapat bertahan hidup dengan tubuh dipenuhi luka mengerikan. Lagi pula, peristiwa itu su?dah lama terjadi. Jika pun dia masih mampu ber?tahan hidup, tentu binatang-binatang buas telah memangsanya!" jelas Kakek Praba, penuh keyakinan.
Raut wajah perempuan cantik menggiurkan itu ber-ubah muram. Rasanya terasa janggal jika ayah dan ibunya meninggal secara mendadak seperti itu. Bah-kan tanpa sebab-sebab jelas. Apakah benar anak Ke-tua Padepokan Belibis Putih membawa bencana sebagaimana yang pernah dikatakan seo?rang peramal yang mereka hubungi"
? *** ? Rasanya melihat apa yang terjadi memang masuk akal, bila dihubungkan dengan kenyataan. Kematian ayah dan ibunya sudah merupakan sesuatu bukti. Belum lagi, bencana kelaparan yang menimpa para pen-duduk di wilayah kekuasaan mereka. Apa yang terjadi juga merupakan pertanda buruk. Mengingat semua ini, Sarpakenaka merasakan sesak pada dadanya. Maka ditariknya napas dalam dalam, sehingga membuat buah dadanya yang membusung bergerak turun naik.
"Bagaimana menurutmu, Banu Keling!" Tanya Ketua Partai Tengkorak Darah, sambil melirik pada laki-laki yang duduk di sebelah kirinya.
Banu Keling menghaturkan sembah.
"Menurut hamba, Yudistira dan dua saudara seper-guruannya sekarang sudah tidak dapat diselamatkan lagi," duga laki-laki tua ini.
"Bagaimana kau dapat berpendapat demi?kian?" se-lidik Sarpakenaka. Matanya yang liar, menyorot tajam pada Banu Keling yang terus menundukkan kepala.
"Begini, Ketua. Jika manusia setengah singa itu ma-sih hidup hingga sekarang ini, tentu akan mengadakan perhitungan terhadap orang-orang ki?ta."
Ketua Partai Tengkorak Darah menganggukkan kepala. Tapi kemudian ada yang terasa mengganjal dalam otaknya.
"Menurutmu, mungkinkah putra iblis itu dapat me-ngenali lawan-lawannya" Sedangkan saat itu saja, dia masih berupa bayi merah yang tidak dapat membeda-kan apa-apa?" Tanya Sarpakenaka pada akhirnya.
"Maaf, Ketua. Menurut hamba, jika memang benar putra Ketua Padepokan Belibis Putih yang kami bunuh dapat bertahan hidup, mungkin dia dapat mengguna-kan naluri hewannya untuk me?ngenali lawan-lawan yang telah membuatnya celaka!" sahut Kakek Praba.
"Hm, begitu!" desis Faksi Jaladara yang duduk di samping kakek berpakaian tambal-tambalan ini. Tanpa sadar, bulu kuduknya meremang berdiri.
Suasana di dalam balairung pertemuan berubah menjadi hening. Masing masing orang tenggelam dalam pikirannya.
"Keadaan ini dapat membahayakan keselamatan kita semua, andai sepak terjang iblis berta?ngan tujuh itu terus dibiarkan," gumam Sarpa?kenaka seperti dituju-kan pada diri sendiri. "Apakah kalian mempunyai pendapat?"
"Menurut pendapat hamba...!" kata Faksi Ja?ladara, namun langsung terdiam. Sepertinya dia sedang mencari kata-kata yang tepat.
"Teruskan, Paman Faksi!" perintah Ketua Partai Tengkorak Darah penuh minat.
"Menurut hamba, ada baiknya jika kita menyelidiki ulang ke Gunung Panjar. Sedangkan yang lain segera melakukan penyelidikan ke Padepokan Kencana Ungu atau Padepokan Belibis Putih. Paksa salah seorang dari mereka untuk mengatakan, apakah manusia ter-kutuk itu pernah kembali, masih hidup atau bagaimana. Jika memang tidak mau mengatakannya, lebih baik bunuh saja!"
"Sebuah usul yang sangat baik," dukung Ka?kek Pra-ba.
"Aku kurang sependapat!" selak Banu Keling, tiba-tiba saja.
Semua mata kini tertuju pada Banu Keling dengan pandangan heran.
"Coba jelaskan alasanmu, Banu Keling!" desak Sar-pakenaka, tidak sabar.
"Mengenai penyelidikan ke Gunung Panjar, aku sependapat. Dalam arti, untuk memastikan apakah benar manusia raksasa itu berada disana. Juga, se-kaligus untuk melihat Yudistira dan saudara-saudara seperguruannya, apakah masih hidup atau tidak..!"
"Katakanlah cepat! Jangan bertele-tele!" dengus pe-rempuan jelita itu mulai gusar.
"Begini, Ketua. Jika kita menyerang Pade?pokan Be-libis Putih dan Padepokan Kencana Ungu, kemungkinan besar akan menghadapi kesulitan."
Gatama dan Lirenda juga berkepandaian tinggi. Se-lain itu, murid-muridnya juga cukup banyak. Bukan tidak mungkin, mereka akan melakukan perlawanan sengit. Apalagi, mengingat anak mereka satu-satunya telah mati. Demikian pula istri Gatama yang sampai bunuh diri karena ulah kita," jelas Banu Ke?ling panjang lebar.
Semua orang yang berada di dalam ruangan itu sama-sama mengangguk. Sedangkan Sarpake?naka ter-diam dengan alis berkerut. Tapi tak lama, tiba-tiba saja Ketua Partai Tengkorak Darah ini tertawa lepas. Tokoh-tokoh yang ikut ambil bagian dalam rapat itu hanya terbengong, sekaligus heran melihat ulah ketua mereka.
"Tidak kusangka! Temyata kalian telah berubah sepengecut itu!" hardik Sarpakenaka sesaat, setelah tawanya mereda. "Apa yang kalian takutkan" Menjatuhkan padepokan mana pun yang tidak mau ber-gabung, sudah merupakan tujuan dan cita-cita utama kita sejak dulu. Apa susahnya membasmi Padepokan Belibis Putih dan Padepokan Kencana Ungu?"
"Kami sama sekali tidak pernah takut dengan apa yang bakal terjadi, Ketua. Tapi hamba pikir, ada baik-nya kita mendahulukan mana yang paling penting dikenakan," sahut Kakek Praba, dengan perasaan ciut.
"Menurutmu, mana yang pantas kita kerjakan terlebih dulu, Kek?" Tanya perempuan itu, sedikit lunak.
"Menurut hamba lebih baik kita tumpas dulu dua padepokan yang selama ini membangkang. Se?telah itu, baru kita hadapi si iblis bertangan tujuh. Bagaimana?"
"Tidak!" tegas Ketua Partai Tengkorak Darah. "Tekad-ku sudah bulat, untuk mengerjakannya secara bersama-sama!"
"Maksud ketua?" Tanya Faksi Jaladara. Wajahnya jelas-jelas menunjukkan rasa terkejut.
"Aku punya tugas untuk kalian."
Perempuan berpakaian tipis ini menarik napasnya sejenak. Dadanya yang membusung bergerak naik turun, sehingga membuat berdebar jantung yang me-lihat.
"Pertama aku mengutus Banu Keling bersama se-puluh anggota pilihan, untuk meneliti ke Gunung Panjar. Sedangkan Paman Faksi Jaladara memimpin tiga puluh orang-orang pilihan untuk menyerbu ke Pade-pokan Belibis Putih dan Padepokan Kencana Ungu. Bagaimana" Apakah kalian setuju?" Tanya Ketua Partai Tengkorak Darah sekadar berbasa basi.
Kenyataannya mereka memang dihadapkan pada pi-lihan sulit. Bagaimanapun, apa yang dikatakan ketua mereka sulit dibantah. Sarpakenaka selalu bersikap keras dalam pendirian. Sehingga, mau tidak mau, mereka hanya dapat menurut.
"Baiklah... Kalau ketua sudah memutuskan demi-kian, apa boleh buat. Maka kami akan berusaha me-laksanakannya dengan baik!" desah Faksi Jaladara setelah beberapa saat.
"Bagus!" sambut perempuan itu dengan wajah berubah berseri-seri.
"Kapan kami dapat melaksanakannya, Ketua?" Tanya Banu Keling.
"Besok. Setelah fajar, kalian sudah harus memulai. Dan, ingat! Jika ada hambatan besar yang mengha-dang perjalanan, bisa tidak bisa salah satu harus memberi laporan padaku secepatnya. Mengerti"!"
"Mengerti, Ketua," sahut tokoh-tokoh yang hadir hampir bersamaan.
"Nah! Sekarang, pertemuan ini kuanggap selesai. Kalian sudah dapat mempersiapkan segala sesuatu-nya mulai hari ini!" tegas Sarpakenaka.
Tidak lama setelah itu, perempuan cantik ini me-ninggalkan ruangan pertemuan. Satu demi satu tokoh-tokoh yang hadir di dalam ruangan itu mulai meninggalkan tempat. Sampai kemudian, suasana dalam ruangan berubah sunyi kembali.
? *** ? Seekor kuda berbulu hitam ditunggangi pemu?da berompi putih, menghentikan larinya tepat di depan sebuah bangunan sederhana yang dikelilingi berbagai jenis pohon buah-buahan. Namun baru saja pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu melompat dari kudanya, dari atas pohon-pohon yang terdapat di sekitarnya berlompatan sosok tubuh berpakaian putih. Begitu menjejak tanah mereka langsung mengepung Rangga.
"Eit, tunggu...!" cegah pemuda berompi putih ini, pada saat sosok-sosok berpakaian putih itu mencabut senjatanya yang berupa tombak bermata ganda.
"Jelaskan, siapa Kisanak. Dan, apa tujuanmu datang kemari!" dengus salah seorang, curiga.
Pada hakekatnya Rangga memang tidak ingin bertele-tele.
"Aku Rangga. Seorang murid Padepokan Ken?cana Ungu menyarankan, agar aku dapat bertemu Ketua Padepokan Belibis Putih. Bukankah ini padepokan yang kumaksudkan?"
"Suruh dia masuk, Permadi!"
Tiba-tiba sebuah suara serak dan berat terde?ngar sebelum orang yang mencegat Rangga yang bernama Permadi itu menjawab.
Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti memuji kepandaian orang yang baru saja mengirimkan sua?ra jarak jauh itu. Karena begitu menoleh ke arah suara Rangga tidak melihat seorang pun, kecuali para murid Padepokan Belibis Putih. Jelas, orang itu juga telah memiliki ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara' sehingga kehadirannya bisa diketahui.
Kemudian Permadi memberi isyarat pada Rangga, untuk mengikutinya. Sementara salah seo?rang murid Padepokan Belibis Putih menuntun ku?da milik Rangga untuk ditambatkan di bawah po?hon teduh.
Rangga lantas diajak memasuki sebuah ruang?an yang cukup besar, untuk penerimaan tamu.
'Tunggu di sini sebentar. Guru kami pasti segera menemuimu!" jelas Permadi.
Tak lama kemudian, Permadi segera berlalu dari ruangan itu. Dalam kesendiriannya, Rangga menyempatkan diri melihat suasana di dalam ruangan yang sejuk. Tidak ada sesuatu yang menarik perhatiannya, ter-kecuali jenis-jenis senjata yang dipajang dalam ruangan ini. Lalu sebuah patung terbuat dari batu, berbentuk Burung Belibis Putih. Mungkin, inilah lambang kebesaran padepokan yang kini sudah tidak dipakai secara resmi.
"Hem...!"
Mendadak terdengar seseorang terbatuk, mem?buat Rangga tersentak dan langsung memandang ke satu arah. Dalam cahaya yang agak remang-remang, Pendekar Rajawali Sakti melihat seorang la?ki-laki berbadan jangkung terbungkus pakaian serba putih. Orang berikat kepala putih itu berialan menghampiri Rangga. Matanya yang tampak cekung, berkilat-kilat tajam memandang Pendekar Rajawali Sakti.
Pemuda berompi putih ini segera mengangguk hormat. Tidak lama kemudian, laki-laki berwajah kusut ini telah duduk tidak jauh di depan Rangga, sambil terus memperhatikan. Seakan ingin meyakinkan, siapa tamu yang dihadapinya.
"Siapakah, Kisanak?" Tanya laki-laki tua yang memang Ketua Padepokan Belibis Putih, tanpa me-nunjukkan keramahtamahan sedikit pun juga.
"Namaku Rangga, Paman...!" jawab pemuda itu mem-perkenalkan diri.
? ? *** ? Selanjutnya Bagian 4-6
Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
s ? 2017 " . 143. Iblis Tangan Tujuh Bag. 4-6
27. November 2014 um 18:40
4 ? Kening Ketua Padepokan Belibis Putih ini lang?sung berkerut dalam. Kembali diperhatikan pemuda itu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Pandangan matanya yang tajam kemudian terhenti pa?da pedang bergagang kepala burung yang tergantung di punggung Rangga. Lalu, dia pun menarik napas lega.
"Rangga! Hm.... Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti, bukan?" tebak laki-laki berbadan jangkung itu.
Rangga tentu saja tersentak kaget. Sama sekali tidak disangka kalau laki-laki di hadapannya me ngenalinya.
"Bagaimana Paman tahu?" Tanya Rangga, penasa-ran.
Laki-laki berumur sekitar lima puluh tahun ini ter-senyum kecut. Wajahnya yang agak pucat, tidak menunjukkan gairah sama sekali.
"Sering kudengar tentang sepak terjangmu da?lam membela kebenaran, Rangga. Pakaian dan pedang yang kau bawa, itulah ciri-ciri yang selalu ku?dengar tentangmu," jelas laki-laki ini.
"Paman Gatama," sebut Rangga kemudian.
Sekarang laki-laki itu malah yang terjekut.
"Bagaimana kau mengenal namaku, Rangga?" Tanya laki-laki bemama Gatama penuh selidik.
"Salah seorang murid Padepokan Kencana Ungu yang mengatakannya padaku, agar aku menemui Paman."
"Hm, begitu...," desah Gatama tidak bersemangat. "Lalu, apa yang ingin kau ketahui dariku?"
"Maaf, Paman. Sebenamya aku tidak ingin mencam-puri segala sesuatu yang terjadi di sini. Tapi menurut pendapatku, apa yang dilakukan orang-orang Partai Tengkorak Darah terhadap dua pade?pokan bersau-dara, benar-benar sangat keterlaluan," kata Rangga.
Sepasang mata Gatama yang tak memiliki cahaya kehidupan ini agak terbelalak. Namun sebentar saja sikapnya sudah berubah seperti biasa kem?bali. Tampak jelas kalau laki-laki berpakaian serba putih ini sedang mengalami tekanan jiwa yang berlanjut-lanjut.
"Dunia ini memang penuh segala tipu daya dan ke-angkaramurkaan. Sudah lama aku berusaha mengu-burkan penstiwa yang pahit ini. Dan rasanya ti?dak ada gunanya aku menceritakan segala sesuatu yang terjadi di Padepokan Belibis Putih ini."
"Maaf, Paman. Bukannya aku ingin mengungkap kesedihan hati Paman. Tapi jika Paman bersi?kap masa bodoh bagaimana nasib murid-murid pa?depokan ini?"
"Aku memang bersikap sedkit tidak peduli se?telah kepergian istriku yang sudah berlangsung sejak lama! Tapi mereka merupakan murid-murid yang sangat tahu diri," tegas Gatama tanpa sema-ngat.
Sekarang jelaslah sudah bagi Rangga, bahwa laki-laki yang duduk di hadapannya ini benar-benar tidak peduli dengan suasana di sekelilingnya. Hal ini sangat berbahaya. Terlebih-lebih, Rangga sudah mendengar dari murid Padepokan Kencana Ungu mengenai penye-rangan Partai Tengkorak Darah untuk membasmi kedua padepokan itu.
"Paman! Jika merenungi kepergian istri Paman, walau hingga seratus tahun lagi, yang sudah mati pasti tidak akan pernah kembali. Sedangkan kita yang hidup, harus menjalani sebagaimana layaknya!" kata Rangga, tanpa maksud menggurui.
Mata laki-laki tua yang selalu tampak meredup itu, sekarang terbuka lebih lebar. Gatama memperhatikan Rangga agak lama. Entah, apa yang dipikirkan Ketua Padepokan Belibis Putih ini.
"Apa yang kau maksudkan, Rangga?" Tanya Gatama agak meninggi nada suaranya.
"Maaf, Paman. Aku hanya bicara tentang kemung-kinan orang-orang dari Partai Tengkorak Da?rah mela-kukan serangan ke sini."
"Bagaimana kau tahu?"
"Menurut murid Padepokan Kencana Ungu, Partai Tengkorak Darah akhir-akhir ini sering mengirim mata-mata. Selain itu, mereka juga telah ke?hilangan beberapa orang penting di Gunung Panjar!"
"Apa"!" desis Gatama, tersentak kaget. "Mere?ka kembali ke Gunung Panjar?"
"Benar, Paman," tegas Rangga. "Kabarnya, orang-orang kepercayaan mereka tidak kembali se?telah me-lakukan penyelidikan."
Di luar dugaan, Gatama tiba-tiba tersenyum sinis. Tidak jelas, ditujukan pada siapa.
"Sejak dulu mereka memang tidak pernah berhasil membunuh putraku yang tidak memiliki salah apa-apa. Mereka menyebut 'putraku' dengan sebutan iblis. Padahal, merekalah yang iblis," tandas Gatama, ber-api-api.
"Paman! Apakah benar putra Paman masih hi?dup?" Tanya pemuda berompi putih itu, tiba-tiba.
Seketika tawa Gatama terhenti.
"Kenyataan yang sebenarnya aku tidak tahu, Rangga! Mereka meramalkan kalau kelahiran anakku yang aneh hanya akan membawa melapetaka di kemudian hari. Itulah sebabnya, orang-orang Partai Tengkorak Darah menculik sekaligus membunuhnya!" geram Gatama, sambil mengepalkan tangannya.
? *** ? Rangga kembali terdiam. Rupanya duduk persoalan yang sebenarnya tentang anaknya sendiri.
Ketua Padepokan Belibis Putih ini tidak tahu sama sekali Dan sungguh mengherankan jika berita yang demikian gencar tentang anaknya, laki-laki bertu?buh jangkung ini berusaha tidak mencari tahu. Ataukah Gatama memang sengaja merahasiakan keberadaan anaknya"
"Paman Gatama. Tahukah kalau anak Paman seka-rang sedang dicari-cari oleh orang-orang Partai Teng-korak Darah?" Tanya Rangga, lebih lanjut
Namun laki-laki berkumis tipis ini hanya meng-geleng.
"Paman tidak berusaha mencarinya?" desak Rangga.
"Mencari anakku merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Kalau raksasa setengah singa itu me?mang anakku, tentu cepat atau lambat akan menca?ri orang tua-nya," kilah Gatama.
"Paman tidak merasa khawatir bila dia terluka di tangan orang Partai Tengkorak Darah?" desak Rangga lagi.
Gatama menyeringai kecut. Tampak jelas pada saat itu jiwanya semakin tertekan.
"Apa yang kutakutkan?" sahut Gatama, seakan bertanya pada diri sendiri. "Suatu hari, aku mendapat wangsit tentang kesaktian yang dimilikinya. Dia tidak memiliki guru, dan tidak belajar llmu olah kanuragan. Kesaktiannya datang dari langit! Kau mungkin tidak percaya. Tapi, aku merasa yakin orang-orang Partai Tengkorak" Darah tidak akan mampu mengalahkan-nya."
"Mengagumkan sekali, Paman," desah Rang?ga.
Dalam hari, Pendekar Rajawali Sakti mulai ragu akan kebenaran cerita Gatama. Dia berpikir, jangan-jangan laki-laki ini sekarang telah sinting.
"Rangga!"
Suara Gatama menyentakkan Rangga dari lamu-nannya. Pemuda berompi pubh ini kemudian meman-dang seksama pada Ketua Padepokan Beli?bis Putih.
"Aku merasa sudah sangat tua, Rangga. Aku ingin minta tolong padamu...," ucap Gatama agak ragu.
"Katakan saja, Paman. Jika sanggup melakukannya, aku past' akan menolongmu!" tegas Rangga.
"Begini. Jika suatu saat kau bertemu anakku yang bernama Satria Pemali, tolong katakan padanya kalau lbunya telah tiada. Dan satu lagi..., jika orang-orang Partai Tengkorak Darah menyerang kemari, tolong bantulah aku. Sekarang ini, aku me?rasa kekuatan yang kumiliki semakin menurun. Dan sebenarnya, aku sedang menderita sakit!" desah laki-laki itu sambil mengurut-urut dadanya.
Pernyataan Gatama tentu saja sangat mengejutkan Rangga Sama sekali tidak disangka kalau laki-laki itu menderita tekanan batin demikian parah! Bahkan membuatnya teramat menderita.
"Paman! Bolehkan aku memeriksa keadaan Paman?" Tanya Rangga, menawarkan diri.
"Tidak usah repot-repot. Aku bukan sedang menderita luka dalam akibat pukulan seseorang. Penyakit ini, aku sendiri yang membuatnya. Tanpa kusadari."
Rangga merasa tidak ada gunanya membujuk Gatama. Laki-laki ini termasuk sangat keras kepala dalam pendirian.
? *** ? Sebelas rombongan berkuda dengan pakaian serba merah, tampak melewati lembah dan bukit bukit Kasmara. Melihat dari pakaian, jelas mereka adalah dari Partai Tengkorak Darah. Sedangkan yang berkuda paling depan, tak lain dari Banu Ke?ling yang memang diperintahkan Sarpakenaka un?tuk memimpin.
Dari daerah ini Gunung Panjar sudah terlihat jelas. Kepulan asapnya membubung tinggi dan sesekali memperlihatkan lidah api, seakan ingin menggapai langit.
Di daerah tandus dan tidak bertuan ini, rombongan berkuda pimpinan Banu Keling terpaksa mengurangi kecepatan kudanya. Sesekali terdengar ringkikan kuda yang ditunggangi. Namun di lain saat, suasana terasa sunyi mencekam. Hanya angin gersang yang terasa membelai dan menyapu keringat mereka yang meleleh di pipi.
Banu Keling dengan anak panah di pinggang serta busur di punggungnya terus memimpin rombongan-nya tanpa mengenal rasa gentar sedikit pun.
"Tidak lama lagi kita sampai di lereng Gunung Panjar!" kata Banu Keling, tiba-tiba memecah keheningan suasana. "Kuharap kalian memeriksa kembali perlengkapan kalian!"
"Segala sesuatunya telah kami persiapkan, Ka?kang!" sahut sepuluh orang anak buah Banu Keling sambil terus menggebah kuda.
Setelah mereka melewati bukit-bukit Kasmara, tanpa diduga-duga, tiba-tiba saja terlihat ada sesua?tu yang bergerak-gerak tidak jauh di depan. Tidak lama setelah itu, batu-batu di depan mereka pun beterbangan ke segala penjuru.
Banu Keling dan kawan-kawannya terkejut se?tengah mati. Terlebih, beberapa batu ada yang me?lesat ke arah mereka. Untung orang-orang yang menyertai Banu Keling memiliki kepandaian lumayan. Sehingga dengan cepat mereka dapat meng?hindari serangan-serangan tidak terduga ini.
"Bersiagalah, Kalian!" Sekali lagi Banu Keling berteriak memperingatkan.
Belum lagi hilang gema suara laki-laki bertampang angker ini, mendadak angin kencang menderu ke arah mereka. Pasir-pasir beterbangan. Bahkan suasana di sekeliling mereka seketika berubah gelap. Lalu dalam kegelapan yang tercipta akibat hembusan angin, batu-batu di depan mereka kem?bali melesat menghantam kaki-kaki kuda.
Binatang-binatang malang itu kontan bergelimpa-ngan roboh. Bahkan dua orang yang berada di sam-ping Banu Keling juga tenungkal roboh, dengan kepala remuk terhantam batu.
"Licik! Pengecut...!" maki Banu Keling.
Seketika laki-laki bercambang ini menghantamkan kedua tangannya ke arah datangnya angin ken?cang tadi. Seketika terlihat cahaya kuning kemerahan me-lesat dari telapak tangannya, yang kemu?dian meng-hantam sesuatu yang bergerak-gerak bagaikan tangan di depannya.
Glarrr! Terdengar suara benturan yang sangat dahsyat. Namun mendadak saja sinar kuning yang melesat dari telapak tangan Banu Keling, kembali berbalik ke arah tuannya. Cepat bagai kilat Banu Keling me?lompat dari punggung kuda, diikuti delapan orang lainnya.
"Uhk.... Sialan...!" rutuk Banu Keling.
Pukulan jarak jauh yang sempat berbalik. itu meng-hantam batu sebesar kerbau, yang tenetak sa?tu tombak di samping Banu Keling. Sampai hancur berke-ping-keping.
Banu Keling dan kawan-kawannya terbelalak takjub. Dalam hati, laki-laki ini merasa heran sendiri. Bagai-mana mungkin pukulan yang berbalik itu da?pat mengandung tenaga dalam berlipat ganda"
? Belum lagi hihng rasa terkejut di hati Banu Ke?ling dan kawan-kawannya, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar, disusul munculnya sosok tubuh ber-kepala singa dari dalam tanah!
"Mayat dari kubur!" teriak salah seorang.
"Manusia setengah singa," desis yang lain sambil memperhatikan sosok raksasa yang muncul kepermukaan tanah itu, penuh ketidakpercayaan.
Siapkan senjata kalian!" teriak Banu Keling, segera dapat menguasai keadaan.
Tanpa bicara apa-apa lagi, anak buah Banu Keling segera menarik busurnya. Sementara itu, tawa sosok yang tak lain manusia setengah singa yang muncul dari dalam bumi telah berhenti.
"Aku mendengar langkah kuda kalian dalam keadaan tergesa-gesa. Untuk apa kalian berkeliaran di daerah pembuangan ini?" Tanya laki-laki berbadan raksasa ini, sambil memperhatikan Banu Ke?ling dan kawan-kawannya dengan sorot mata merah membara.
"Siapa kau!" Tanya Banu Keling tanpa menghiraukan pertanyaan laki laki setengah singa.
"Hraaa... Aku Satria Pemali!" dengus manusia rak-sasa setengah singa ini tidak senang.
Banu Keling tiba tiba saja tertawa lebar. Baginya sudah sangat jelas kalau Satria Pemali tidak lain anak Ketua Padepokan Belibis Putih yang pernah disingkirkan Ketua Partai Tengkorak Darah dua puluh tahun yang silam. Berarti, pembunuhan yang dilakukan sese-puh Partai Tengkorak Darah tidak mendatangkan harapan sebagaimana yang diinginkan. Hal ini diperkuat lagi dengan kenyataan kalau manusia raksasa itu telah berdiri dihadapannya.
Hm kau rupanya anak Gatama, Ketua Padepokan Belibis Putih yang keras kepala itu," desis Banu Keling tanpa sungkan-sungkan lagi.
Sungguhpun, Banu Keling harus mengakui ka?lau manusia setengah singa ini sempat membuat nyalinya ciut.
"Kau anak iblis, bukan anak manusia. Dan aku yakin, ayah ibumu juga keturunan iblis?" ejek la?ki-laki bertampang kasar ini sengaja memanas manasi.
Tapi sungguh aneh! Di luar dugaan, Satria Pe?mali tidak terpengaruh sama sekali dengan ucapan Banu Keling.
"Apakah kalian datang dari Partai Tengkorak Darah?" Tanya manusia setengah singa dengan sua?ra serak dan besar bagai guntur.
Banu Keling tersenyum mengejek. Sementara dela-pan orang anak buahnya telah merentang busur, siap-siap melepaskan anak panah.
"Kalau benar kau mau apa, Anak Iblis"!" dengus Banu Keling.
"Grauuung!"
Terdengar suara teriakan menggelegar, yang ti?dak ubahnya bagai auman marah menggetarkan. Belum hilang gema suara auman tersebut, Satria Pemali sudah kembali menatap ke arah mereka.
"Sejak dulu naluriku mengatakan kalau orang orang Partai Tengkorak Darah bermaksud membunuhku. Mereka menyebarkan fitnah, bahkan mengucilkan orang tuaku. Alam roh barusan menga?takan, kalau arwah ibuku tidak tenang di alam baka sana, sebelum aku dapat melenyapkan semua orang-orang Partai Tengkorak Darah!"
"Sebagaimana orang tuamu, kau pun tidak mungkin punya kemampuan menghancurkan Partai Tengkorak Darah!" desis Banu Keling dengan angkuh.
? *** "Hraaa.... Grauuung...!"
Manusia setengah singa itu menggerakkan tu?juh tangannya ke segenap penjuru. Maka tiba-tiba saja angin bertiup kencang, sehingga membuat Ba?nu Keling terpaksa mengerahkan tenaga dalam un?tuk tetap bertahan pada tempatnya.
"Banyak kawanmu yang tidak dapat kembali ke Partai Tengkorak Darah dengan selamat! Seka?rang, kalian pun akan mengalami nasib serupa!" tegas Satna Pemali.
"Bicaramu kelewat takabur, Iblis Terkutuk. Kau tidak mungkin dapat lolos dari panah-panah beracun kami!" tantang Banu Keling.
"Bicaralah sesukamu. Jika kalian semua sudah menjadi mayat, aku tidak sudi lagi menunggu di sini. Akan ku obrak-abrik Partai Tengkorak Darah sampai tidak bersisa lagi," tegas manusia setengah singa itu sambil memandang nyalang pada lawan lawannya.
"Panah...!" teriak Banu Keling tak mau kalah, langsung memberi aba-aba.
Seketika itu juga puluhan batang anak panah me-lesat ke arah Satria Pemali. Sambil menggeram marah, laki-laki setengah singa ini menggerakkan tangannya ke segala penjuru. Dan tahu tahu saja anak-anak panah itu sudah berada dalam genggaman tangan Satria Pemali.
Banu Keling dan anak buahnya terkejut bukan main. Sama sekali tidak disangka kalau lawan dapat melaku-kan gerakan secepat itu.
"Panah terus!"
Banu Keling kembali berteriak memberi aba-aba pada anak buahnya. Tidak dapat dikendalikan lagi, anak-anak panah itu terus berhamburan menghujani tubuh Satria Pemah. Tapi untuk kesekian ka?li, Banu Keling dan kawan-kawannya dibuat tercengang. Panah-panah yang dilepaskan mereka sama sekali tidak mampu menembus kulit laki-laki sete?ngah singa itu.
Dan kini ganti, Satria Pemali yang menerjang mereka dengan sambaran sambaran tangannya yang menim-bulkan angin bersiuran. Banu Keling terpaksa mencabut pedang bermata ganda yang terselip di pinggang. Maka begitu senjata itu menderu dengan kecepatan sulit diikuti mata, maka ter?lihat kalau senjata itu di tangan Banu Keling berubah menjadi banyak.
Satria Pemali sempat terkesiap, namun keada?an se-perti itu tidak berlangsung lama. Karena pada kesempatan lain, tubuhnya sudah menerjang Banu Keling dengan tendangan-tendangan.
Batu-batu di sekitar pertempuran, beterbangan ke segala penjuru terhantam kaki Satria Pemali. Namun sampai sejauh itu, lawannya masih mampu menghin-dari serangan manusia setengah singa ini dengan gerakan cukup lincah.
Sementara dari bagian-bagian lain, sesekali anak buah Banu Keling melepaskan anak-anak panahnya. Mendapat serangan yang demikian gencar dan cukup berbahaya, Satria Pemali tidak menjadi gentar. Tangan-tangan yang lain bergerak cepat, menangkap atau menangkis serangan anak panah yang dilepaskan anak buah Banu Keling. Sedang?kan tangan yang lain bergerak lincah, menyambar serjap lawan yang berusaha mendekati.
"Mampuslah! Hiyaaa..!"
Dari arah samping, Banu Keling melompat ke udara Selanjutnya sambil melepaskan pukulan menggeledek ke arah lawan, senjatanya ditusukkan ke bagian dada Satria Pemali.
Dengan cepat manusia setengah singa ini me ngibaskan tangannya memapaki pukulan jarak jauh yang dilepaskan Banu Keling. Sedangkan tangan yang lain, menyambut serangan pedang yang men-deru ke bagian perutnya.
Trak! Glarrr...! Terjadi ledakan yang sangat dahsyat. Banu Ke?ling jatuh terguling guling sejauh tjga tombak. Dari bibir-nya, tampak meleleh darah kental. Jelas, laki-laki bertampang kasar ini menderita luka dalam.
Sementara itu, Satria Pemali masih tetap berdiri tegak di tempatnya sambil tersenyum sinis.
? *** ? 5 ? "Nanti kau akan tahu kalau aku benar-benar meng-inginkan nyawamu!" dengus Satria Pemali.
Begitu selesai kata katanya manusia setengah singa ini tiba-tiba kembali menerjang. Kali ini bukan Banu Keling saja yang menjadi sasaran, tapi juga kawan-kawannya yang terdiri dari pemanah-pemanah pilihan.
"Hraaa! Grauuung...!"
Tangan-tangan manusia setengah singa yang berkuku runcing dan berjumlah cukup banyak ini menyambar-nyambar ke arah para pengeroyoknya dengan dahsyat. Pada satu kesempatan, manusia setengah singa berhasil meraih salah seorang anak buah Banu Keling.
"Akh...!"
Dengan dipenuhi nafsu amarah, Satria Pemali langsung mencabik-cabik anak buah Banu Keling. Ter-dengar suara tulang berpatahan, disertai lolong kematian yang demikian memilukan. Darah kental, mem-basahi bumi. Namun, Itu tak membuat semangat mereka surut.
"Dia tidak mempan senjata, Ketua!" teriak anak buah Banu Keling mulai bingung.
"Pergunakan senjata apa saja!" teriak Banu Keling, berusaha memberi semangat anak buahnya.
Tapi apa yang diucapkan Banu Keling tampaknya akan sia-sia. Karena selain manusia sete?ngah singa itu kebal terhadap senjata tajam, juga tampaknya nyali mereka berubah menciut. Malah beberapa di antara mereka malah hanya dapat ber?gerak menjauh, meng-hindari serangan Satria Pe?mali yang semakin menggila.
Kuda Besi 7 Panji Akbar Matahari Terbenam Seri 3 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Bloon 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama