Pendekar Rajawali Sakti 171 Sayembara Maut Bagian 2
"Aku..., aku benar-benar tak tahu...," sahut kepala prajurit dengan bibir bergetar. "Tapi kurasa itu mungkin ada hubungannya dengan sikap beliau yang tidak setuju adanya sayembara...."
"Hei"!"
Kepala prajurit itu belum sempat melanjutkan kata-katanya ketika salah seorang prajurit menggunakan kesempatan untuk kabur. Namun hal itu tidak luput dari perhatian orang bertopeng. Secepat kilat, tubuhnya merunduk menyambar sebuah batu kerikil. Dan seketika dicentilnya batu kerikil itu.
Set! Dengan kecepatan dahsyat batu sebesar kele-reng itu melesat, mengancam punggung prajurit yang hendak kabur.
Tuk! "Aaakh...!"
Mantap sekali batu kerikil itu menghantam punggung, membuat prajurit itu terpekik kesakitan. Tubuhnya kontan tersungkur roboh dan terus mengerang-erang. Rupanya lemparan batu kerikil tadi disertai tenaga dalam dan tepat menghantam urat gerak prajurit itu. Sehingga begitu ambruk di tanah, tubuhnya tak bisa digerakkan lagi.
Kejadian ini tentu saja membuat nyali prajurit lain menjadi ciut. Dan kini mereka yakin kalau orang yang dihadapi memiliki kepandaian amat tinggi.
"Nah! Kalau tidak ada yang macam-macam lagi, mari kita lanjutkan persoalan tadi. Kalau memang kau tidak tahu, maka ungkapkan saja kecurigaanmu. Jangan sekali-sekali membohongi, sebab aku tidak suka dibohongi!" lanjut orang bertopeng itu.
"Apa urusannya denganmu?" tanya kepala prajurit.
"Itu bukan urusanmu!"
Kepala prajurit itu menelan ludah dengan wajah pucat, semakin ketakutan mendengar hardikan barusan.
"Apakah Puntalaksana ingin jadi raja?"
"Mungkin...," sahut kepala prajurit, tak pasti.
"Kenapa dia tidak melakukannya?"
"Pengaruh Prabu Kuntadewa masih kuat mele-kat di mata rakyat. Dan kalau sampai Prabu Puntalaksana merebut begitu saja, dikhawatirkan akan timbul perlawanan rakyat..."
? *** ? "Apa kau kira Prabu Puntalaksana berani merebut kedudukan Gusti Prabu?" kejar Rangga.
"Entahlah... Aku tidak tahu...," sahut kepala prajurit.
"Kau memimpin beberapa kawan-kawanmu. Dan itu menandakan, bahwa kau bukan prajurit rendahan. Sedikit banyak kau pasti tahu perse-lisihan rumah tangga kerajaan!"
Kepala prajurit itu terdiam.
"Ayo jawab!"
"Aku benar-benar tak tahu menahu soal ini...," sahut kepala prajurit dengan suara bergetar.
"Kalau begitu kau pilih mati"!" dengus orang bertopeng.
Kepala prajurit ini terdiam seraya memandang orang bertopeng. Lalu kepalanya menunduk.
"Baiklah, kuganti pertanyaannya. Berapa prajurit yang setia kepada Prabu Kuntadewa?"
"Tidak ada seorang pun yang tahu. Semua sa-ling mencurigai. Dan, hanya Prabu Puntalaksana saja yang tahu berapa banyak prajurit yang setia padanya...."??
"Termasuk kalian, bukan?"
"Kami hanya menjalankan perintah atasan, Kisanak...," sahut kepala prajurit lirih.
Mendadak Rangga terdiam. Kepalanya dimi-ringkan ke kanan, seperti mendengar sesuatu dari belakangnya. Lalu tiba-tiba tubuhnya merunduk, memungut dua bilah pedang yang tercecer di tanah.
"Hih...!"
Dengan mengerahkan tenaga dalam tinggi, Pendekar Rajawali Sakti berbalik seraya melem-parkan pedang di kedua tangan. Dan....
Set! Set! Crab! Crab! "Aaa...!"
"Aaa...!"
Terdengar dua jerit kesakitan saling susul dari arah belakang pada jarak sepuluh tombak. Tampak dua orang berseragam prajurit seketika roboh meregang nyawa dengan dada masing-masing tertancap pedang.
Namun bersamaan dengan itu, menyeruak be-lasan prajurit lain dan seorang berpakaian panglima perang dari balik semak-semak. Dan mereka langsung mengurung orang bertopeng. Panglima bertubuh kekar yang agaknya bertindak sebagai kepala pasukan Kerajaan Krojowetan ini memandang garang pada para prajurit yang tadi dipecundangi orang bertopeng itu.
"Apa yang kau lakukan di situ, Sanggawa"! Kau akan mendapat hukuman berat karena kelancangan mulutmu!" bentak panglima itu, geram.
"Aku..., aku tidak mengatakan apa-apa, Panglima Jumeneng!" sahut kepala prajurit yang ter-nyata bernama Sanggawa ketakutan.
"Phuih! Aku mendengar kicauanmu yang akan mengantarkan lehermu ke tiang gantungan. Sekarang, bangkitlah! Dan ajak anak buahmu untuk meringkus bangsat bertopeng ini!" lanjut laki-laki kekar yang tak lain Panglima Jumeneng.
Sanggawa tidak mampu berbuat apa-apa, selain mematuhi perintah itu.
"Tangkap dia hidup-hidup. Dan kalau melawan, bunuh di tempat!" teriak Panglima Jumeneng.
Saat itu juga para prajurit langsung menyerang. Mereka tampak bersemangat, seperti hendak merencah orang bertopeng itu.
'Yeaaa...!"
"Ha ha ha...! Kalian hendak menangkapku, ya" Ayo, buktikan kehebatan kalian sebagai prajurit-prajurit hebat!" ejek orang bertopeng seraya berkelebat cepat sambil menangkis beberapa kelebatan pedang yang berseliweran di sekitar tubuhnya.
Trang! Tang! Bet! Dua prajurit yang sangat bernafsu tampak ter-kejut. Pedang mereka tahu-tahu terlepas dihantam senjata orang bertopeng. Dan belum lagi keduanya sempat berbuat apa-apa, satu tendangan keras telah meluncur deras.
Duk! Des! "Aaakh...!"
Dua prajurit kontan terjungkal roboh tak bisa bangun lagi. Darah tampak meleleh dari sudut bibir masing-masing.
Namun, ini bukan membuat para prajurit lain gentar. Mereka malah marah, dan semakin bersemangat menyerang.
"Yeaaa...!"
"Bangsat terkutuk! Kau akan rasakan balasan kami!" dengus Panglima Jumeneng.
Kata-kata panglima ini agaknya tidak main-main. Karena seketika diserangnya orang bertopeng itu dengan gencar. Pedangnya berkelebat cepat menyambar. Dan sepertinya, dia tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun.
"Hm.... Ilmu pedangmu cukup hebat! Sayang sekali, orang sepertimu menjadi kaki tangan pengkhianat!" leceh orang bertopeng itu, sinis sambil terus berkelebatan menghindari sambaran pedang.
"Tutup mulutmu, Bedebah! Lebih baik, sela-matkan saja nyawamu yang kerdil. Karena sebentar lagi, aku akan mencabutnya!" bentak Panglima Jumeneng.
"Bagaimana mungkin kau bisa mencabut nya-waku, sedang mengejar lalat saja tak mampu?" ejek orang bertopeng itu.
"Setan!"
Panglima Jumeneng menggeram marah. Apalagi, orang bertopeng itu selalu mampu menghindari incaran pedangnya. Maka anak buahnya yang saat ini ikut membantu serangan, diperintahkan untuk lebih keras lagi menyerang.
"Gunakan segala kemampuan kalian untuk membunuhnya! Aku ingin dia mampus sekarang juga!" teriak Panglima Jumeneng.
Dan orang bertopeng itu memang merasakan-nya. Keroyokan lawan-lawannya kini semakin gila. Bahkan cenderung membabi-buta! Agaknya mereka berusaha menggunakan segala cara untuk membunuhnya secepat mungkin.
"Hm.... Orang-orang yang nekat!" umpat orang bertopeng. "Kalian yang memaksaku. Maka jangan salahkan kalau aku bertindak keras!"
Selesai berkata begitu, orang bertopeng ini memutar pedangnya. Ditangkisnya beberapa senjata. Kemudian pedang itu mulai menyambar sasaran dengan gerakan cepat yang tidak mampu terlihat mata.
Trang! Tang! Cras! Bret! "Aaa...!"
Korban mulai berjatuhan. Dua prajurit kembali terjungkal roboh dengan leher nyaris putus. Dan tiga lainnya menyusul cepat dalam waktu singkat.
"Hiyaaa...!"
Orang bertopeng itu pun tidak mau buang-bu-ang waktu. Tubuhnya mencelat gesit, mencari sasaran yang berharga. Panglima Jumeneng!
Wut! Panglima Jumeneng terkesiap mendapat serangan kilat yang tak terdengar dari orang ber-topeng. Dia berusaha menangkis sebisanya.
Trang! "Uhhh...!"
Panglima Jumeneng mengeluh tertahan ketika tangannya bergetar hebat dan rasa nyeri menjalar sampai ke ulu hati ketika terjadi benturan senjata, Dan masih untung dia pun mampu mengelak ketika orang bertopeng ini membabatkan pedang ke perutnya. Tapi siapa sangka kalau itu hanya gerak tipu. Karena tiba-tiba saja, sebuah tendangan telah menunggu dari samping.
Begkh! Tendangan itu tepat menghantam dan diikuti kelebatan pedang orang bertopeng ke arah bahu.
Cras! "Aaakh...!"
Panglima Jumeneng terpekik ketika lengan kanannya robek lebar, tersayat pedang.
"Kalau kau ingin mati, cepat bergeraklah!" de-sis orang bertopeng yang tiba-tiba saja berada di belakang Panglima Jumeneng sambil menempelkan mata pedang ke leher.
Entah kapan bergeraknya orang bertopeng ini, Panglima Jumeneng sendiri tak tahu. Waktu terjajar limbung tadi, dia hanya merasakan desir angin halus yang berkelebat. Dalam hati, panglima ini sebenarnya sudah ciut nyalinya melihat kedigdayaan orang bertopeng. Tapi di depan anak buahnya, dia tak ingin menunjukkannya.
? *** ? "Ayo bunuhlah! Aku tidak takut mati!" dengus Panglima Jumeneng.
Sementara melihat panglimanya berada di bawah ancaman pedang, para prajurit langsung menghentikan serangan. Mereka tak ada yang berani bergerak, kalau tak ingin Panglima Jumeneng tewas.
"Pengkhianat sepertimu kukira akan sayang dengan nyawa. Tapi, ternyata tidak. Kalau begitu kuganti saja. Kau akan mati pelan-pelan," kata orang bertopeng itu, tenang.
"Huh! Kau tidak akan berani melakukannya. Melawan panglima kerajaan hukumannya berat. Kau bisa dihukum gantung!" ancam Panglima Jumeneng.
"Ha ha ha...! Kau masih bisa mengancamku" Padahal, jiwamu tengah terancam. Bukan mati! Hebat sekali. Akan kubuktikan ucapanmu.
Mendadak tangan orang bertopeng itu bergerak cepat ke bahu. Kemudian....
Tuk! Tuk! "Aaakh...!"
Panglima Jumeneng berteriak kesakitan ketika dua buah totokan mendarat di bahunya. Totokan yang disertai tenaga dalam tinggi itu membuat tubuhnya ambruk dengan rasa sakit yang amat sangat. Wajahnya kontan meringis.
"Itu baru permulaan. Dan berikutnya mungkin saja kau akan kubuat lumpuh seumur hidup, lalu mati perlahan-lahan dengan penderitaan yang amat menyiksa!" gertak orang bertopeng ini, tersenyum dingin.
"Keparat! Apa maumu"!" teriak Panglima Jumeneng, di tengah rasa sakitnya.
Orang bertopeng itu tidak langsung menjawab. Matanya melirik sebentar pada prajurit lain yang memandangnya dengan geram. Namun karena pemimpinnya dalam ancaman, maka tiada seorang pun yang berani maju.
"Sebenarnya kalau kau tidak terlalu angkuh, mungkin saja aku mau mengalah. Tapi aku pun orang yang tak sudi bila ada orang lain bersikap angkuh di depanku. Apalagi pengkhianat busuk sepertimu yang jiwanya tak berharga. Tapi, ada satu kesempatan bagimu kalau kau ingin tetap hidup. Yaitu, jawab pertanyaan-pertanyaanku!" tandas orang bertopeng itu, mengancam.
"Apa yang ingin kau ketahui?" tanya Panglima Jumeneng.
"Berapa kekuatan Puntalaksana?" orang bertopeng ini balik bertanya.
"Aku tak tahu pasti. Barangkali seribu atau seribu lima ratus!" sahut Panglima Jumeneng, akhirnya mengalah.
"Berapa jumlah seluruh prajurit kerajaan?"
"Dua ribu orang dan tersebar di beberapa ka-dipaten!"
"Berapa kekuatan di istana?"
"Sekitar dua ratus prajurit!"
"Dan berapa kekuatan Puntalaksana?"
"Hm.... Kalau kau bermaksud hendak membantu Prabu Kuntadewa, lupakan saja! Seluruh prajurit telah dikuasai Prabu Kuntalaksana. Lebih baik, bergabung saja dengan kami. Karena kedudukan baik akan menantimu!" sahut Panglima Jumeneng, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Oh, begitu" Kedudukan apa yang bisa kuperoleh bila bergabung dengan kalian?" pancing Rangga.
"Dengan kepandaianmu, kau bisa saja dijadi-kan panglima perang. Dan sekaligus, pengawal pribadi Prabu Puntalaksana!"
"Lalu, apa keuntungannya aku menjadi panglima perang serta menjadi pengawal pribadinya?"
"Kau bisa saja mendapatkan apa saja yang kau inginkan! Wanita, harta, dan kekuasaan."
"Lupakan saja tawaran itu, Panglima! Semua-nya bisa mudah kudapat, seperti mudahnya membalikkan telapak tangan. Sebaiknya, pergilah kalian kepada Puntalaksana. Dan katakan, bahwa dia tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Dia akan mendapat balasan setimpal atas apa yang dilakukannya selama ini kepada korban-korbannya!" ujar orang bertopeng itu.
Setelah berkata begitu, orang bertopeng ini segera membalikkan tubuh. Panglima Jumeneng yang tadi telentang, lalu dibebaskannya totokan di bahu panglima itu.
Tuk! Tuk! Dan belum sempat Panglima Jumeneng berbalik, tubuh orang bertopeng langsung berkelebat cepat bagai kilat, masuk dalam lebatnya hutan kecil.
"Kurang ajar! Siapa orang itu sebenarnya"!" dengus Panglima Jumeneng dengan wajah geram, begitu bangkit berdiri.
"Apa tidak mungkin kalau dia pemuda itu, Gusti Panglima?" duga seorang anak buahnya.
"Siapa yang kau maksud" Peserta sayembara itu?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Akan kita selidiki nanti. Kalau benar terbukti bahwa orang bertopeng itu dia, maka rasakan saja pembalasanku!" dengus Panglima Jumeneng.
? *** ? 6 ? Pendekar Rajawali Sakti memang menepati janjinya. Sebelum hari gelap dia telah kembali ke Istana Krojowetan. Setelah melapor pada petugas piket sayembara, pemuda itu langsung masuk dalam kamamya.
Segera Rangga mengeluarkan kembali pakaian merah dan kain-kain berwarna-warni yang disem-bunyikan di balik baju rompi putihnya di bagian belakang.
"Hm.... Kelihatannya, penyamaranku tadi cukup berhasil, walaupun tetap menimbulkan kecu-rigaan pada prajurit dan Panglima Jumeneng. Dan sekarang aku ingin tahu tanggapan Prabu Puntalaksana dan Nyai Saptaningmm.
Memang, sebenarnya orang bertopeng yang telah memperdaya Panglima Jumeneng adalah Pendekar Rajawali Sakti. Seperti rencananya, dia memang bermaksud mengungkap tabir di Kerajaan Krojowetan yang mengadakan sayembara memperebutkan putri dari Prabu Kuntadewa. Namun ternyata, setiap peserta sayembara selalu mendapat ancaman kematian. Inilah yang menarik perhatian Rangga untuk ikut sayembara.
Dan memang, sebagai pendekar berhati bersih, Rangga memang paling benci dengan kesewenang-wenangan para pejabat kerajaan. Baginya seorang raja adalah lambang pengayoman untuk para rakyatnya. Bukan sebaliknya.
"Aku yakin, Panglima Jumeneng telah kembali ke istana untuk melapor kejadian tadi. Hhh.... Untung saja, Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang tadi kutinggal di atas pohon tidak hilang. Kalau saja tadi ada tokoh sesat yang kebetulan lewat, entah apa jadinya aku tanpa pedang ini," gumam Rangga, seperti berkata untuk diri sendiri." Sebaiknya aku akan mencuri dengar pembicaraan lagi, di ruang khusus Prabu Puntalaksana...."
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memandang ke atas. Lalu....
"Hup!"
Rangga melayang ringan ke wuwungan. Langsung dibukanya beberapa genteng. Dan seketika tubuhnya menyelinap dan keluar lewat lubang genteng. Hati-hati sekali dia melangkah menuju ke bangunan yang agak memanjang. Rangga yang juga Raja Karang Setra, paham betul bentuk bangunan seperti ini. Dilihat dari bentuknya, bangunan itu adalah gudang berisi perlengkapan senjata.
"Betul!" gumam Rangga dengan wajah berseri ketika membuka beberapa genteng.
Tak ada seorang penjaga pun yang berada di dalam. Maka dengan leluasa dia melompat turun. Begitu berada di bawah, diambilnya sebuah busur dan beberapa anak panah serta beberapa kain perca yang kelihatan telah lusuh. Setelah itu tubuhnya kembali mencelat ke atas. Rangga langsung melangkah tanpa menutup genteng tempatnya masuk tadi.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengendap-endap di atas atap, menuju bangunan yang dihuni Prabu Puntalaksana. Namun langkahnya terhenti ketika....
"Aku tidak tahu, harus bagaimana mengaman-kan bocah itu, Nyai?"
Terdengar sebuah suara di bawah, di luar bangunan. Rangga cepat membuang pandangan ke halaman bangunan. Tampak di halaman Prabu Puntalaksana tengah berjalan-jalan ditemani Nyai Saptaningrum yang bertindak sebagai penasihatnya menuju bangunan tempat tinggalnya.
"Sudah kukatakan padamu, dia tidak bisa dibuat main-main. Dan kau malah menganggap enteng!" desis perempuan tua itu, seraya berhenti melangkah. Ditatapnya tajam-tajam Prabu Puntalaksana yang juga berhenti melangkah.
"Siang tadi Jumeneng melaporkan tentang orang bertopeng yang mencegatnya. Dia punya dugaan kuat, bahwa orang itu adalah bocah yang dibuntuti Sanggawa...," lapor Prabu Puntalaksana.
"Hm.... Jadi, karena itu kau menghukum Sanggawa?" tanya Nyai Saptaningrum.
"Dia terlalu banyak bicara!" desis laki-laki setengah baya itu.
"Kudengar Jumeneng pun sama-sama buka mulut..."
"Jumeneng berada di pihakku. Sedangkan Ka-kang Sanggawa belum berhasil kubujuk. Mungkin dia terlalu setia kepada Kakang Kuntadewa."
"Tidak juga. Kau hanya terlalu curiga. Sudah kukatakan berkali-kali, bahwa kau tidak perlu menunjukkan perasaan tidak suka pada raut wajahmu. Itu bukan sikap yang baik!"
Prabu Puntalaksana terdiam beberapa saat.
"Bagaimana mengatasi bocah itu, Nyai?" tanya Prabu Puntalaksana.
"Jangan khawatir. Besok adalah hari terakhir-nya. Dia tidak akan selamat!"
"Nyai yakin?"
"Aku telah mengatur sebaik-baiknya. Selama ini, tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari tempat itu!"
"Kuharap rencana Nyai berhasil. Sebab kalautidak, aku tidak tahu lagi bagaimana menghadapinya. Terpaksa kau yang melenyapkannya!" kata pemuda itu, dingin.
"Serahkan saja soal itu kepadaku!" tegas Nyai Saptaningrum, langsung kembali melangkah masuk ke dalam bangunan, diikuti Prabu Puntalaksana.
"Hm..., aku harus membebaskan prajurit yang bernama Sanggawa itu. Mudah-mudahan dari dia aku bisa mendapat keterangan lebih banyak lagi...," gumam Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga menggunakan kesempatan itu untuk menuju mang tahanan yang terletak paling bela-kang dari istana ini.
? *** "Haus...! Aku haus sekali...! Tolong ambilkan air...!"
Terdengar keluhan berulang-ulang dari seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus di ruang tahanan bagian belakang bangunan Istana Kerajaan Krojowetan ini. Sesekali dia menyeringai kesakitan. Dari bibirnya yang pecah-pecah masih menetes darah segar. Mukanya babak belur bekas hajaran. Tubuhnya kurus loyo seperti tidak bertulang. Dan pakaiannya compang-camping tidak karuan. Kedua tangannya diikat dan direntangkan ke dinding. Demikian pula kedua kakinya. Di depan ruang tahanan ini berdiri tiga prajurit kerajaan yang menjaga.
Suara keluhan tadi sama sekali tidak ditanggapi ketiga penjaga itu. Bahkan menoleh pun tidak. Mereka hanya diam seperti patung.
"Air...! Air.... Tolong ambilkan aku air...!"
Salah seorang prajurit yang mungkin sebal-mendengar rintihan itu, menoleh dengan muka masam.
"Diamlah kau, Sanggawa! Kalau masih mengoceh juga, akan kuhajar kau!" bentak prajurit yang berkumis lebat.
"Aku haus sekali. Tolonglah ambilkan aku air...," keluh tawanan yang tak lain Sanggawa.
Sanggawa adalah kepala prajurit yang tadi pagi membuntuti Pendekar Rajawali Sakti. Namun, dia dapat dicundangi Rangga, sampai akhirnya membuka mulutnya. Akibatnya, Sanggawa harus rela dirinya dijebloskan ke dalam ruang tahanan.
"Kurang ajar! Rupanya kau memang benar-benar ingin kuhajar!" dengus prajurit itu.
Prajurit ini sudah hendak melangkah ke dalam, untuk melayangkan bogem mentah.
"Kenapa kau repot-repot mengurusinya" Beri-kan saja dia apa yang diinginkannya!" kata prajurit lain, menahan langkah prajurit berkumis tebal.
"Gila! Kau ingin mendapat dampratan dari Gusti Puntalaksana"!" dengus prajurit berkumis lebat.
"Dia ingin air kan?" susul prajurit yang memiliki tahi lalat besar di pipi.
Prajurit berkumis lebat mengangguk.
"Berikan saja...."
Prajurit bertahi lalat itu kemudian membisiki prajurit yang berkumis lebat.
Mendengar bisikan, wajah prajurit berkumis lebat yang tadi kelihatan sewot tiba-tiba berubah cerah.
"Usulmu bagus! Tapi, aku sedang tak ingin...."
"Jangan khawatir," potong prajurit bertahi lalat. "Aku keluar sebentar mengambil cangkir dan sekaligus mengisinya."
"Jangan lama-lama, Sarkam!" ingat prajurit berkumis lebat.
"Beres, Ludira!" sahut prajurit bertahi lalat yang dipanggil Sarkam, seraya beranjak keluar.
Prajurit berkumis lebat yang bernama Ludira tersenyum-senyum sendiri. Sementara, prajurit yang seorang lagi amat penasaran.
"Ada apa?" tanya prajurit itu seraya mendekat.
"Sarkam hendak mengambilkan air minum," sahut Ludira.
Kemudian Ludira menoleh pada Sanggawa di dalam ruang tahanan.
"Sabarlah, Sanggawa! Sebentar lagi Sarkam akan kembali membawakan air minum untukmu!"
"Oh, terima kasih...."
"Kau gila! Kalau Gusti Prabu mengetahuinya kita bisa digantung!" desis prajurit yang belum mengerti rencana Sarkam dan Ludira.
"Tenang saja, Suminta! Kita akan memberikannya air minum yang terbaik!" ujar Ludira sambil tersenyum simpul.
"Apa maksudmu?" tanya prajurit yang dipanggil Suminta.
"Air kencing Sarkam!" bisik Ludira.
Demi mengetahui hal itu, Suminta tidak dapat menahan tawanya. Dan mereka pun cekikikan geli.
"Cepatlah, Sarkam!" ujar Ludira ketika melihat satu sosok berdiri di ujung lorong dengan sikap membelakangi.
"Apa-apaan kau ini" Ayo cepat ke sini! Jangan berdiri saja!" seru Suminta ketika melihat sosok yang disangka Sarkam tetap tak bergeming. Sedikit pun, mereka tak curiga. Sebab apa yang dilihat memang sosok berpakaian prajurit yang tubuhnya seukuran Sarkam. Maka tanpa ragu-ragu lagi, Ludira dan Suminta segera beranjak mendekati.
"Mana airnya?" tanya Ludira tak sabar. ?
"Ini!"
Dan tiba-tiba saja sosok yang disangka Sarkam berbalik, langsung menyiramkan air di dalam cangkir. Karuan saja keduanya kelabakan, namun tak bisa menghindar. Dan....
Wesss...! Pyarrr...! "Hei"! Kau bukan Sarkam! Siapa kau..."!" bentak Ludira gelagapan ketika melihat wajah sosok berpakaian prajurit.
Tapi belum lagi mereka bisa berbuat sesuatu, sosok itu telah berkelebat sambil mengibaskan tangan dua kali berturut-turut.
Begkh! Begkh...!
"Aaakh...!"
Kedua prajurit itu kontan ambruk tak berdaya, ketika dua kibasan tangan mendarat di tubuh masing-masing. Mereka kontan ambruk tak sadarkan diri.
"Oh! Si..., siapakah kau, Kisanak...?"
Dalam keadaan ruang yang remang-remang, apalagi matanya bengkak seperti itu, Sanggawa memang tak bisa cepat mengenali seseorang. Namun Rangga tidak mempedulikannya. Segera dibukanya pintu tahanan dan segera melepaskan ikatan Sanggawa.
Sementara Sanggawa terus memperhatikan dengan seksama.
"Ka..., kau bukankah pemuda yang menjadi peserta sayembara itu"!" seru laki-laki ini dengan sorot mata tidak percaya.
"Jangan ribut! Setelah terjadi keributan nanti, gunakan kesempatan untuk meloloskan diri dari tempat ini. Pergilah kau sejauh mungkin dari istana ini!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Sanggawa hanya manggut-manggut, walau tak sepenuhnya mengerti.
"Gunakan pakaian prajurit yang teronggok di luar. Bersikaplah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Jangan keluar dulu. Tunggu sebentar lagi, ketika suasana mulai ramai!" ujar pemuda itu mengingatkan, seraya berkelebat dari tempat ini.
Sanggawa masih belum jelas maksud pemuda itu. Tapi kalau mesti menunggu di sini, maka jelas berbahaya sekali. Kalau saja ada prajurit jaga yang lewat dan mengenalinya, maka dia segera ditangkap kembali. Bahkan mungkin saja Prabu Puntalaksana akan memberi hukuman yang lebih berat.
? *** ? Ternyata, Sanggawa tidak langsung keluar dari lingkungan istana. Dengan mengendap-endap, tubuhnya menyelinap dari satu bangunan ke bangunan lain. Dan yang dituju adalah sebuah bangunan kecil, di pojok istana.
Begitu tiba di samping bangunan kecil itu, Sanggawa langsung mengetuk jendela.
"Siapa?"
Terdengar suara dari dalam bangunan kecil ini.
"Jangan keras-keras, Ki Sabdo! Ini aku...!" ujar Sanggawa, agak ditekan suaranya.
"Siapa?"
"Sanggawa!"
"Apa"!"
Terdengar suara terkejut kaget dari dalam sebelum akhirnya membuka jendela. Lalu disuruh-nya Sanggawa yang berada di luar untuk buru-buru masuk. Jendela itu kemudian kembali terkunci rapat-rapat.
Laki-laki berusia empat puluh lima tahun ber-nama Ki Sabdo ini tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dipandanginya Sanggawa di depannya itu dalam-dalam dengan wajah masih memperlihatkan sisa keterkejutannya.
"Apa yang kau lakukan sehingga terbebas dari penjara"!" tanya Ki Sabdo.
"Aku kabur!" sahut Sanggawa seraya terse-nyum cerah.
"Apa maksudmu" Kau kabur begitu saja"!" sentak Ki Sabdo.
"Bukan begitu. Seseorang telah membebas-kanku!"
"Siapa?"
"Aduh! Aku haus sekali, Ki! Beri aku air dulu!"
Ki Sabdo buru-buru memberi kendi berisi air minum. Dan Sanggawa segera menenggaknya sampai tandas. Terasa lega sekali hatinya. Rasa letih dan penat seperti sirna dari wajahnya.
"Siapa orang itu, Sanggawa"!" kejar Ki Sabdo dengan nada penasaran.
"Kau pasti tidak akan percaya kalau kukatakan, Ki!" sahut Sanggawa.
"Katakan saja dulu! Nanti akan kutentukan, apakah aku percaya atau tidak," tukas Ki Sabdo.
"Pemuda itu!"
"Pemuda yang mana?"
"Pemuda yang mengikuti sayembara itu!"
"Dia"! Apa maksudnya membebaskanmu" Lagi pula, dari mana dia tahu kalau kau dihukum" Bukankah dia tidak mengenalmu"!"
"Entahlah, Ki. Aku sendiri tidak tahu. Mungkin ada hubungannya dengan peristiwa siang tadi."
"Orang bertopeng yang mencegat kalian?"
Sanggawa mengangguk.
"Kudengar dari Jumeneng, diduga orang bertopeng yang mencegatmu adalah pemuda itu."
"Mungkin juga, Ki!"
"Apa sebenarnya yang diinginkannya?"
"Entahlah, Ki. Tapi orang bertopeng itu sepertinya ingin tahu betul apa yang tengah terjadi di sini. Dia tanya macam-macam!"
"Ya, itulah yang membuatmu dijebloskan ke penjara! Kau tidak tahu, bagaimana harus bersi-kap!" sahut Ki Sabdo bersungut-sungut.
"Kita tidak bisa terus dalam keadaan begini, Ki! Harus ada sesuatu yang mesti kita kerjakan"!" desak Sanggawa.
Pendekar Rajawali Sakti 171 Sayembara Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang bisa kita kerjakan"! Jumlah para prajurit yang berpihak kepada Prabu Puntalaksana demikian banyak. Kedudukan mereka amat kuat. Kalau kita coba macam-macam, mereka akan menggilas kita!"
"Aku mengerti, Ki. Tapi kali ini, kita punya pendukung kuat!"
"Siapa yang kau maksudkan" Prabu Kuntadewa" Jangan harap! Kedudukan beliau sendiri dalam bahaya."
"Bukan. Tapi pemuda itu!"
"Pemuda itu" Bagaimana kau tahu dia di pihak kita" Lagi pula, bagaimana kau bisa yakin bahwa dia peduli pada persoalan di sini" Dia hanya peserta sayembara. Dan yang ada di benaknya hanya kemenangan, lalu bisa mempersunting Gusti Ayu Sekar Arum!"
"Jangan berprasangka buruk dulu kepadanya, Ki. Buktinya dia peduli kepadaku dengan membebaskan aku dari tahanan."
"Mungkin itu hanya kebetulan saja...."
"Kebetulan bagaimana" Apakah perasaanmu, yang putus asa telah membuat semangatmu pa-dam" Kita mesti melihat semua peluang yang ada meskipun kecil. Dan pemuda itu adalah salah satu peluang. Yang bisa dilakukannya cukup banyak, Ki. Dan pertolongan yang diberikannya kepadaku cukup membuktikan, bahwa dia peduli terhadap semua persoalan di sini. Bahkan aku curiga kalau kedatangannya justru bukan untuk mempersunting sang putri," tukas Sanggawa.
"Apa maksudmu?" tanya Ki Sabdo dengan ke-ning berkerut.
"Bisa saja dia orang kepercayaan Gusti Prabu Kuntadewa untuk melindungi sekaligus membereskan kekacauan di kerajaan ini."
Ki Sabdo terdiam beberapa saat merenungkan kata-kata Sanggawa.
"Kita harus menghubunginya, Ki. Katakan, kalau dia berada di pihak kita. Maka, mintalah bantuan padanya. Dan, kita pun harus berhubungan dengan pengawal pribadi Gusti Prabu Kuntadewa!" desak Sanggawa.
"Yang kau maksudkan Ki Bagaspati?" tanya Ki Sabdo ingin meyakinkan.
"Tentu saja!"
"Tidak semudah itu. Kita belum tahu persis. Jangan-jangan dia malah orang kepercayaan Prabu Puntalaksana!"
"Aku yakin, Ki Bagaspati adalah orang yang dipercaya Gusti Prabu!"
"Dari mana kau bisa begitu yakin?"
"Aku pernah melihatnya memasuki kamar pemuda itu."
"Masuk ke dalam?"
"Tidak. Hanya mendekat ke jendela. Sepertinya, tengah berbicara. Tapi aku tahu, apa yang dilakukannya. Karena saat itu, amat gelap. Tapi ketika dia berlalu dari kamar pemuda itu, aku bisa melihat persis kalau dia memang Ki Bagaspati."
Ki Sabdo kembali tercenung memikirkan kata-kata Sanggawa.
Tiba-tiba saja Sanggawa menunjuk ke arah jendela. Dari lubang-lubang jendela, tampak memancar cahaya kemerahan.
"Ki, coba lihat! Apa yang terjadi"!" seru Sanggawa.
Ki Sabdo terperangah. Cepat dibukanya jendela sedikit. Tampak cahaya merah menyapu bangunan istana kerajaan.
"Ada apa, Ki?"
"Bangunan istana terbakar!" jelas Ki Sabdo.
"Apa"!"
Sanggawa terkejut. Dan dia berusaha mengintip dari belakang tubuh kawan satu perjuangan yang mendukung Prabu Kuntadewa.
"Bangunan apa yang terbakar menurutmu?"?
"Entahlah. Sepertinya gudang persenjataan...."
"Ya. Dan gedung yang satu lagi seperti..., tempat kediaman Prabu Puntalaksana!" seru Ki Sabdo.
"Hm.... Siapa yang berani berbuat seperti itu selain dia?" gumam Sanggawa.
"Siapa yang kau maksud" Pemuda itu?"
"Siapa lagi kalau bukan dia"!"
"Jangan terlalu yakin. Kau tidak punya cukup bukti untuk menuduhnya!"
"Dia sendiri yang mengatakan padaku. Kata-nya, sebentar lagi ada keributan. Dan saat itulah aku mesti melarikan diri. Tadi aku masih bingung tentang keributan yang dimaksudnya, sehingga kuputuskan untuk bersembunyi di sini. Mungkin ini keributan yang dimaksudkannya. Hm.... aku tertarik mengikuti sepak terjang berikutnya, Ki!"
"Kau gila! Ini kesempatanmu yang paling baik untuk melarikan diri!" seru Ki Sabdo.
"Apakah kau tidak hendak menyelamatkanku" Kau bisa menyembunyikanku di sini!"
"Bukan itu yang kupikirkan tapi ada hal-hal lain!"
"Apa?"
"Prabu Puntalaksana akan marah besar. Dan dia akan menjebloskan siapa pun orangnya yang bukan di pihaknya. Dia akan menggeledah kamar setiap prajurit. Dan kalau sampai menemukan kau di sini, maka tamatlah riwayat kita berdua. Oleh sebab itu, demi kebaikan bersama, kau mesti menyingkir dulu. Pergilah ke utara. Temui saudaraku yang ada di sana. Mintalah perlindungannya. Aku akan menemuimu bila ada perkembangan selanjutnya!" ujar Ki Sabdo, khawatir.
"Baiklah, Ki. Apa yang kau katakan memang benar. Aku akan angkat kaki. Tapi, jangan lupa pesanku. Kau mesti berhubungan dengan pemuda itu. Dia satu-satunya peluang kita!" sahut Sanggawa, sebelum melompat ke jendela.
? *** ? 7 ? "Eh, siapa"!"
Ki Sabdo terkejut setengah mati saat pintu kamarnya digedor dari luar. Dengan cepat dia berusaha bersikap biasa. Segera dibukanya pintu. Tampak dua prajurit telah menunggu di luar pintu.
"Ada apa?" tanya Ki Sabdo pura-pura mengu-cek-ucek mata.
"Gudang persenjataan serta tempat kediaman Prabu Puntalaksana terbakar!" lapor seorang prajurit.
"Apa" Astaga!"
Ki Sabdo pura-pura terkejut. Segera diajaknya kedua prajurit itu untuk mengikuti yang lain.
Di luar sana telah banyak prajurit berkeliaran. Mereka berusaha memadamkan api sebelum menjalar ke tempat lain. Sementara yang berada di gudang persenjataan, berusaha menyelamatkan senjata-senjata. Namun karena pada umumnya senjata-senjata itu terbuat dari besi, sehingga amat panas sekali. Sulit bagi mereka untuk mengamankannya.
"Kurang ajar! Siapa yang berani melakukan ini kepadaku"!" umpat Prabu Puntalaksana yang telah keluar dari kamarnya. Wajahnya tampak tegang, penuh keheranan.
Sejak tadi Prabu Puntalaksana mondar-mandir sambil membentak-bentak agar para prajurit yang bertugas memadamkan api bekerja lebih cepat.
"Ayo, ambil air lebih banyak! Cepaaat...! Jangan diam saja! Cepat kerja kalian...!" teriak adik tiri Prabu Kuntadewa.
"Ini juga sudah cepat, Gusti Prabu...," sahut seorang anak buahnya.
"Kurang ajar! Aku tidak perlu jawabanmu! Cepat padamkan api itu! Cepat, cepat, cepaaat...!" teriak Prabu Puntalaksana seperti orang kesurupan!
"Baik..., baik, Gusti Prabu...!"
Para prajurit makin lintang pukang mengambil air dengan ember, lalu menyerahkannya pada ka-wan-kawannya yang bertugas memadamkan api.
Kerja keras para prajurit itu memang tidak sia-sia. Tidak berapa lama, api berhasil dipadam-kan.
"Bereskan semua sisa-sisa kebakaran! Aku akan mengusut, siapa saja yang berani berbuat seperti ini. Orang itu akan mendapat hukuman sekeras-kerasnya!" teriak Prabu Puntalaksana, lantang.
Para prajurit yang mendengar maklumat itu bergidik ngeri. Namun bagi mereka yang merasapunya hubungan dekat dengan Prabu Puntalaksana, kelihatan tenang-tenang saja. Orang-orang itu merasa yakin bahwa mereka tidak akan terkena hukuman panglima utama Kerajaan Krojowetan itu.
Menjelang dini hari, para prajurit masih saja disibuki untuk membenahi kedua bangunan yang terbakar. Sementara Prabu Puntalaksana sendiri sibuk menjalankan rencana bersama komplotannya. Orang yang dipercaya sudah barang tentu Nyai Saptaningrum yang selalu bersamanya, serta beberapa panglima kerajaan yang berada di pihaknya.
"Akan kujebloskan mereka semua ke dalam penjara!" dengus Prabu Puntalaksana.
"Itu usul yang bagus, Gusti Prabu!" sahut salah seorang panglima.
"Ya. Dengan begitu, kekuatan mereka berku-rang. Dan istana kerajaan kita kuasai sepenuhnya!" sambut Panglima Jumeneng yang juga hadir di tempat ini.
"Bagaimana menurutmu, Nyai?" tanya Prabu Puntalaksana.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Sepertinya, dia tengah berpikir keras untuk menyum-bangkan usul.
"Bila mereka semua dijebloskan ke dalam penjara, maka istana kita kuasai sepenuhnya. Dan Kuntadewa tidak bisa berkutik lagi!" desak Prabu Puntalaksana.
"Betul! Rencana Gusti Puntalaksana itu amat cerdik dan bagus sekali!" timpal panglima lain yang dikenal bernama Panglima Jatmika.
"Kau melupakan pemuda itu?"
Nyai Saptaningmm tiba-tiba mengalihkan per-cakapan.
"Untuk apa kupikirkan dia" Bukankah kau telah menyanggupi untuk membereskannya"! Atau barangkali kau tidak mampu" Kalau begitu, biar kucari orang lain saja!" sahut Prabu Puntalaksana, sinis. Nada suaranya menyiratkan ketidaksenangan terhadap pertanyaan wanita tua itu.
"Hi hi hi...! Bukan begitu maksudku, Puntalaksana. Aku hanya sekadar mengingatkan, kalau kau belum boleh bergembira. Kita harus memikirkan semua hal yang kelak bisa menjadi batu sandungan. Lagi pula, he he he...! Apa kau kira semudah itu memecatku, dan menggantikannya dengan orang lain" Aku banyak tahu tentang rahasiamu! He he he...!" sahut Nyai Saptaningmm sambil terkekeh kecil.
Prabu Puntalaksana mendongkol betul mendengar kata-kata wanita tua ini. Kalau tidak ingat budi baik, sekaligus ancaman di balik itu, ingin rasanya wanita tua itu dijebloskan ke penjara untuk dihukum mati!
Tapi Prabu Puntalaksana memang orang yang cerdik. Sebisa mungkin disembunyikan kekesalan hatinya. Wajahnya tetap tersenyum ramah.
"He he he...! Nyai terlalu memasukkan ke hati tentang kata-kataku tadi. Padahal, aku hanya bercanda," kilah Prabu Puntalaksana.
"Syukurlah kalau memang demikian. Karena, kita tidak mau hal-hal buruk terjadi di antara ki berdua, bukan?"
"Tentu saja. Nah, bagaimana dengan rencanamu tadi?"
"Yaaah... Boleh saja dilaksanakan."
"Baiklah. Aku akan menjebloskan mereka ke penjara dengan tuduhan berkomplot membakar gedung kediamanku!" dengus Prabu Puntalaksana.
? *** ? Prabu Puntalaksana benar-benar melaksana-kan niatnya untuk menjebloskan prajurit-prajurit yang tidak disukai dan tidak mau berpihak kepadanya. Bermacam-macam alasan dibuat. Dan yang lebih kuat, tentunya adalah soal kebakaran yang terjadi di tempat kediamannya.
"Mereka berkomplot hendak membunuhku. Oleh sebab itu sudah sepatutnya dijebloskan ke dalam penjara!" jelas Prabu Puntalaksana lantang tatkala Prabu Kuntadewa mempertanyakannya.
"Apakah kau punya bukti bahwa mereka yang membakar tempat kediamanmu?" tanya Prabu Kuntadewa.
"Kutemukan busur serta anak panah yang dibalut sumbu. Dan setelah diselidiki, ternyata penyebab kebakaran adalah anak panah yang ujungnya disulut api," papar adik tiri Prabu Kuntadewa ini.
"Di mana kau temukan busur serta anak panah itu?"
"Di tempat kediaman Ki Jiwandana!" sahut Prabu Puntalaksana lantang.
Prabu Kuntadewa terkesiap. Dia betul-betul kaget mendengar tuduhan adik tirinya. Siapa pun di istana kerajaan ini tahu, Ki Jiwandana adalah penasihat Gusti Prabu Kuntadewa. Maka dengan menangkapnya, sama artinya Prabu Puntalaksana mempermalukan Raja Krojowetan itu.
"Tapi kenapa kau menjebloskan sekian banyak prajurit" Ini perbuatan yang tidak adil, Pang-lima!" tanya Prabu Kuntadewa.
Meskipun Prabu Puntalaksana adalah adik tirinya, namun di muka umum, Prabu Kuntadewa selalu memanggilnya sesuai jabatannya.
"Hamba memeriksanya lebih terliti. Dan ter-nyata Ki Jiwandana bersekutu dengan para prajurit itu. Ketahuilah, bahwa hal ini hamba lakukan demi keselamatan Gusti Prabu sendiri!" jelas Prabu Puntalaksana dengan kata-kata manis-yang dibuat-buat.
Prabu Kuntadewa tidak mampu berkata apa-apa lagi. Beliau masih terpaku, tatkala Prabu Puntalaksana telah meninggalkan tempat itu.
*** "Sabarlah, Ayahanda. Mudah-mudahan sega-lanya akan cepat berakhir...."
Prabu Kuntadewa terkejut dan cepat menoleh. Bibirnya tersenyum ketika mengetahui siapa yang baru saja bicara membujuknya.
"Sekar Arum anakku...," sambut laki-laki setengah baya ini.
"Sudahlah. Ayah jangan terlalu merisaukan soal ini," hibur gadis cantik bernama Sekar Arum.
"Bagaimana aku tidak risau" Pamanmu telah menangkap dan menjebloskan sekian banyak prajurit ke dalam penjara. Bahkan dia telah menangkap Ki Jiwandana...," keluh Prabu Kuntadewa. "Ini betul-betul hal buruk dan kelewatan! Sementara itu, aku tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
"Aku mengerti perasaan Ayah. Tapi, apakah selama ini Ayah telah cukup berusaha?" tanya Se-kar Arum.
"Apa maksudmu" Tentu saja aku telah berusaha. Bahkan sayembara ini kau kira untuk apa" Tapi, semuanya nihil. Utusan-utusan yang kukirim untuk meminta bantuan kepada kawan-kawanku, tidak pernah kembali. Mereka raib seperti ditelan bumi. Bahkan para peserta sayembara semua tewas tak tersisa. Apalagi yang bisa Ayah lakukan untuk menghentikan niat keji pamanmu?"
"Apakah Ayah lupa, saat ini kita masih mempunyai seorang peserta lagi?" tanya gadis itu, ter-senyum penuh arti.
"Pemuda itukah yang kau maksudkan?"
'Tentu saja!"
"Dia hanya sendiri. Tidak ada yang bisa dian-dalkan...," sahut Prabu Kuntadewa.
"Memang dia hanya sendiri. Namun kehebat-annya telah terbukti, Ayah. Kenapa Ayah tidak berusaha bicara lebih mendalam lagi?"
"Dan kau ingin agar pamanmu mengetahuinya?"
"Ayah bisa menggunakan cara lain, agar pa-man Puntalaksana tidak mengetahuinya!"
"Cara bagaimana?"
"Entahlah. Tapi Ayah kan pintar. Maka, carilah jalan untuk bisa bertemu dan bicara dengan leluasa padanya. Itu salah satu usaha dan tidak hanya pasrah menerima keadaan!" ujar Sekar Arum dengan suara meninggi.
Prabu Kuntadewa merenung sebentar.
"Kalau Ayah tak mau, biar aku yang menghubunginya!" lanjut gadis itu.
"Itu bukan sikap bijaksana. Seorang gadis semestinya tidak menghampiri laki-laki. Apalagi, gadis terhormat sepertimu. Biar Ayah yang mendekatinya dan membicarakan hal ini kepadanya."
Wajah Sekar Arum tampak berseri mendengar jawaban ayahnya.
"Nah! Ini baru ayahku yang bijaksana dan tidak mudah menyerah!"
Prabu Kuntadewa ikut tersenyum seraya mengelus-elus rambut putrinya.
? *** Pendekar Rajawali Sakti keluar dari kamarnya. Dan dia pura-pura heran melihat keributan yang terjadi. Dihampirinya seorang prajurit.
"Apa yang terjadi" Kenapa kalian menangkap sesama kawan sendiri?" tanya Rangga.
"Mereka berusaha mencelakakan Prabu Puntalaksana," jelas prajurit itu.
"Mencelakakan bagaimana?"
"Kebakaran tadi malam. Itu adalah ulah mereka."
"O, begitu?"
"Orang-orang itu sudah sepatutnya mendapat ganjaran setimpal!" sahut prajurit itu, sinis.
"Ya! Orang-orang seperti mereka memang sudah sepatutnya mendapat hukuman!" timpal Rangga. "Lalu, bagaimana dengan sayembara itu" Bukankah menurut rencananya akan dilaksanakan pagi ini?"
"Aku tidak tahu menahu soal itu. Dengan adanya keadaan seperti ini, maka kemungkinan pengujian ketiga diundur."
"Benarkah" Lalu, siapa yang bertanggung jawab dalam soal sayembara ini?"
"Semula Ki Jiwandana. Namun karena beliau terlibat dalam persekutuan ini, maka mungkin di-alihkan kepada Prabu Puntalaksana."
"Kalau begitu, aku harus menemui Prabu Puntalaksana sekarang juga!"
"Tidak bisa! Kau harus berurusan dengan Panglima Jumeneng, sebagai wakil beliau. Begitu biasanya ketentuan yang berlaku," sergah prajurit ini.
"Hm.... Kalau begitu, di mana bisa kutemui Panglima Jumeneng?"
"Bangunan di sebelah timur sana, nomor tiga dari kiri. Tapi kurasa beliau tidak ada di sana...," sahut prajurit itu.
"Ke mana?"
"Beliau tengah sibuk mengurusi para tawanan itu."
"Hm.... Jadi kepada siapa aku mesti bicara mengenai sayembara itu?"
"Tunggu saja sebentar lagi. Mungkin Panglima Jumeneng akan ke sini membicarakannya padamu, " sahut prajurit itu.
"Yah.... Kalau begitu, baiklah. Biar kutunggu saja keputusan beliau...."
Pendekar Rajawali Sakti kembali ke kamarnya.
Panglima Jumeneng telah muncul di kamar Pendekar Rajawali Sakti. Wajahnya tidak sedap dipandang. Dan lagaknya angkuh sekali.
"Kau boleh kembali sekarang juga!" kata Panglima Jumeneng tanpa banyak bicara.
"Kembali" Apa maksudnya?" tanya Rangga.
"Sayembara ini dibatalkan!" jelas panglima itu.
"Dibatalkan" Mana mungkin! Aku telah melewati dua tahap. Dan kalian tidak bisa membatalkannya begitu saja tanpa alasan jelas!"
"Sebaiknya jangan susahkan dirimu!" desis panglima itu seraya menyeringai kecil. Wajahnya didekatkan pada pemuda itu. "Prabu Puntalaksana telah memutuskan begitu, maka tak seorang pun yang boleh membantah. Pergilah sebelum aku berubah pendirian. Kalau kau tetap bersikeras, maka kau akan kujebloskan ke penjara karena melawan perintah!"
"Tidak! Walau bagaimanapun, aku akan tetap bertahan. Sayembara itu telah berlangsung. Dan kalian tidak boleh membatalkannya begitu saja!" tukas Rangga. "Aku mesti menghadap Gusti Prabu. Biar kudengar jawaban itu dari mulut beliau sendiri."
"Prajurit, tangkap dia!" bentak Panglima Jumeneng, ketika pemuda itu akan melangkah.
Dua prajurit segera meringkus Rangga.
"Jebloskan dia ke penjara!" lanjut Panglima Jumeneng memberi perintah.
"Apa-apaan ini"! Kau tidak bisa melakukan ini padaku! Lepaskan aku!" teriak Pendekar Rajawali Sakti pura-pura berontak.
"Aku bisa melakukan apa saja kepada siapa pun!" dengus Panglima Jumeneng disertai senyum sinis.
"Terkutuk kau, Panglima Keparat! Aku tidakbersalah apa-apa! Kenapa kau menangkapku"!"??
Panglima Jumeneng tersenyum mengejek. Sementara, tak lama muncul wanita tua yang sering bersama Prabu Puntalaksana.
"Jumeneng, hentikan ini! Lepaskan dia!" ujar Nyai Saptaningrum.
"Tapi, Nyai..."!"
Panglima Jumeneng hendak membantah. Namun wanita tua itu telah mengangkat tangannya, menahan kata-kata Prabu Puntalaksana.
"Lepaskan dia kataku!" perintah Nyai Saptaningrum.
Panglima Jumeneng agaknya tidak berani membantah kata-kata wanita tua itu. Segera di-perintahkannya prajurit-prajurit itu untuk melepaskan Rangga.
"Nah, Bocah. Sekarang kau bebas, bukan" Pergilah sejauh-jauhnya dari istana ini. Dan jangan sampai kau terlihat lagi oleh kami," ujar Nyai Saptaningrum.
"Tapi aku ingin tahu, kenapa sayembara dibatalkan" Kalian tidak bisa berbuat sesuka hatinya.
Sayembara diadakan untuk diselesaikan. Kecuali, kalau memang sudah tidak ada peserta lagi," kilah Rangga.
"Tujuan seyambara ini adalah untuk mencari calon suami bagi Gusti Ayu Sekar Ayum. Nah! Dia telah mendapatkan calon suaminya. Oleh karena itu, sayembara ini dibatalkan. Harap kau maklum. Kami pun berterima kasih atas kesediaanmu menjadi peserta. Nah! Kalau kau tetap bersikeras dengan maklumat ini, sama artinya melawan Gusti Prabu. Dan untuk itu, kau bisa dihukum berat. Pergilah sekarang juga," lanjut Nyai Saptaningrum datar.
Setelah berkata begitu perempuan tua ini segera meninggalkan Rangga yang masih termangu di tempatnya.
Rangga tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain merutuk di hati. Semestinya wanita ini membiarkan saja Panglima Jumeneng meringkus dan menjebloskannya ke penjara. Karena, memang hal itu yang diinginkannya. Dia punya rencana sendiri nantinya setelah tiba di sana. Tapi siapa sangka wanita tua itu ternyata jeli juga dengan membiarkannya pergi begitu saja.
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan meninggalkan Istana Kerajaan Krojowetan. Dan sekarang dia telah berada di perbatasan ibukota kerajaan. Sambil terus berjalan, benaknya mencari akal agar dapat memasuki istana itu lagi.
"Kisanak, tunggu!"
"Hei"!"
Rangga tersentak kaget ketika terdengar panggilan dari belakangnya. Seketika langkahnya ter-henti. Tubuhnya berbalik. Matanya liar mencari-cari ke setiap sudut. Dan ketika seseorang melambaikan tangan dari balik sebuah rumah kecil, segera dihampirinya.
"Kaukah yang memanggilku?" tanya Rangga, begitu sampai di tempat orang yang memanggilnya.
"Benar. Kau tentu belum lupa padaku, bukan"!" sahut laki-bki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan muka berseri.
"Kau yang bernama Sanggawa, bukan" Kenapa belum juga meninggalkan negeri ini?" tanya Rangga.
"Aku tidak bisa pergi begitu saja sebelum keadaan di sini selesai. Kau mengerti, Kisanak" Ada sesuatu yang tidak beres tengah berlangsung di dalam istana. Aku tidak bisa membiarkan Prabu Puntalaksana berbuat sewenang-wenang. Dia orang jahat. Dan kalau dia berkuasa, maka rakyat akan sengsara," papar Sanggawa, bersemangat.
"Lalu apa maksudmu!" kejar Pendekar Rajawali Sakti.
"Bantulah aku! Kita bereskan mereka!"
"Baiklah."
Memang kesempatan ini yang ditunggu-tunggu Pendekar Rajawali Sakti. Selama ini, dia hanya berjuang sendiri, tanpa tahu siapa yang bisa diajak bekerja sama untuk menyingkap tabir di Istana Kerajaan Krojowetan itu. Maka begitu Sanggawa memintanya, dia langsung setuju.
? *** ? 8 ? Prabu Kuntadewa mondar-mandir di ruangan khusus ini. Dia tidak habis pikir, bagaimana adik tirinya menangkapi para prajurit. Namun yang ?terpenting baginya adalah, rencananya bisa berantakan. Karena pemuda itu sudah diusir dari sini!
"Apa kau punya usul bagus untukku, Bagas-pati?" tanya Prabu Kuntadewa kepada seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh dua tahun.
"Gusti Prabu harus secepatnya meninggalkan istana, sebab...."
"Tidak!" tukas Prabu Kuntadewa memotong kata-kata orang yang dipanggil Bagaspati. "Itu bu-kan usul bijaksana. Aku tidak bisa membiarkan Puntalaksana berbuat sesuka hati. Lagi pula tidak mudah bagiku untuk keluar begitu saja. Dia telah menguasai istana ini, dan menjaga ketat di semua tempat."
Laki-laki pembantu setia Prabu Kuntadewa ini terdiam. Dia pun merasa bingung, apa yang mesti dilakukannya untuk menyelamatkan junjungannya.
"Apakah kau tidak bisa menyuruh seseorang untuk membuntuti pemuda itu?" tanya Prabu Kuntadewa.
"Sudah, Gusti Prabu. Namun Panglima Jumeneng mencegahnya. Dan hamba tak bisa berbuat apa-apa. Prabu Puntalaksana telah menguasai semua prajurit. Maka semua kendali berada di tangannya," jelas Bagaspati.
"Kurang ajar dia!" umpat Prabu Kuntadewa.
Baru saja Prabu Kuntadewa menutup mulutnya, mendadak terdengar sesuatu berderak dari atas. Cepat keduanya bersiaga. Terutama Bagaspati, yang berkewajiban melindungi junjungannya.
"Hamba di sini, Gusti Prabu...."
"Hei"!"
Prabu Kuntadewa terkesiap dan Bagaspati melompat cepat seraya mencabut pedang begitu terdengar sebuah suara dari arah jendela. Dan mereka langsung berseri, ketika melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih telah memasuki ruangan ini. Dalam hati mereka heran, bagaimana pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti itu bisa masuk tanpa diketahui" Berarti, pemuda itu memang memiliki kepandaian tinggi.
"Hormatku untukmu, Gusti Prabu!" ucap Rangga penuh hormat.
Prabu Kuntadewa tersenyum ramah dan langsung menghampiri Rangga. Sedang Bagaspati segera menyarungkan pedangnya kembali.
"Ah! Syukurlah ternyata kau muncul. Kami baru saja membicarakanmu!" sambut Prabu Kuntadewa.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti tersenyum ketika melihat Prabu Kuntadewa dan Bagaspati masih melirik-lirik ke atas.
"Itu hanya tipuan saja agar Gusti Prabu tidak ribut. Dan hamba bisa masuk lewat jendela ini!" jelas Rangga sambil menunjuk jendela di belakangnya. "Tapi kita tidak punya banyak waktu, Gusti Prabu. Perlawanan telah diberikan!"
"Perlawanan" Perlawanan apa yang kau maksudkan?"
"Perlawanan terhadap orang-orang Prabu Puntalaksana tentunya!" sahut Rangga enteng.
"Oh! Bagaimana hal itu kau lakukan"!" tanya Prabu Kuntadewa dengan wajah kaget.
"Sebenarnya bukan hamba sendiri yang melakukannya. Tapi, juga dibantu para prajurit yang masih setia pada Gusti Prabu!"
"Siapa yang kau maksudkan?"
"Mereka yang telah dijebloskan ke dalam penjara ini!"
"Oh! Kau membuatku takjub, Anak Muda! Bagaimana hal itu bisa kau lakukan?"
"Mudah saja. Mereka kubebaskan, kemudian kubekali senjata. Dan tidak usah diberitahu, mereka mengerti apa yang mesti dilakukan. Yaitu, menangkap orang-orangnya Prabu Puntalaksana," jelas Rangga.
Prabu Kuntadewa berdecak kagum. Lalu buru-buru dia melongok ke jendela untuk memper-hatikan keadaan sekelilingnya. Namun yang terlihat hanya kegelapan malam dan obor-obor terpancang sebagai penerangan, serta pepohonan yang memang banyak tumbuh di halaman istana.
"Aku tidak melihat apa pun..."!" desis Prabu Kuntadewa seraya memandang heran pada pemu-da itu.
"Mereka kusuruh untuk bergerak hati-hati. Dan perang belum dilakukan secara terbuka. Hal ini mengingat, jumlah lawan cukup banyak!" sahut Rangga. "Tapi tidak berapa lama lagi, mungkin akan terjadi perang terbuka. Sebab lambat laun, mereka akan menyadari bahwa sesuatu tengah menggerogoti.
Apa yang dikatakan pemuda itu terbukti. Sesaat kemudian terdengar teriakan pertempuran. Tak lama, tampak beberapa prajurit berhamburan ke sana kemari.
"Cepat, Gusti Prabu! Hamba mesti menolong mereka. Gusti Prabu mesti mencari tempat yang aman, yaitu di kaputren!" ujar Rangga seraya menggamit pergelangan tangan Raja Krojowetan itu, kemudian bergegas keluar ruangan. Sementara Bagaspati mengikuti di belakang.
Karena jarak yang amat dekat, dalam waktu. singkat mereka tiba di istana kaputren. Untungnya tempat itu kini telah dikuasai oleh orang-orang yang masih setia kepada Prabu Kuntadewa.
"Siapa namamu?" tanya Rangga pada Bagaspati ketika Prabu Kuntadewa telah berada di dalam.
"Bagaspati...."
"Nah! Pergilah ke dalam dan lindungi junjung-anmu, Bagaspati!"
"Tapi aku ingin berjuang membela beliau...."
"Dengan melindunginya, sama artinya kau berjuang membela beliau. Cepat! Sebelum ada penyusup masuk ke dalam!" tegas Rangga, mantap.
"Ba..., baiklah!" sahut Bagaspati sedikit gugup.
? *** ? Rangga memang sudah memikirkan matang-matang. Dengan adanya perang terbuka seperti sekarang, maka Prabu Puntalaksana akan memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh semua pemberontak. Dan Nyai Saptaningrum, penasihatnya yang jeli itu, pasti akan memberi saran untuk menyandera Prabu Kuntadewa dan Sekar Arum. Dengan cara seperti itu tentu pertempuran akan cepat berakhir. Sebab mereka akan tahu, para prajurit yang keluar dari penjara adalah pengikut setia Prabu Kuntadewa.
Dugaan pemuda itu tidak salah. Tiga prajurit yang ditugaskan ke istana Prabu Kuntadewa tampak buru-buru ke kaputren. Di belakang mereka, tampak mengikuti Prabu Puntalaksana serta Nyai Saptaningrum.
"Huh! Kau rupanya! Minggir!" bentak seorang prajurit.
"Kaulah yang minggir!" dengus Rangga, yang telah berdiri tenang di depan pintu kaputren.
Begitu selesai kata-katanya, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat sambil mengibaskan tangannya.
Desss! "Aaakh...!"
Keruan saja prajurit itu terpekik. Tubuhnya langsung terjungkal ke belakang. Terhajar tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Dua prajurit lain akan turun tangan. Namun....
"Minggirlah! Ini bagianku!" cegah Nyai Saptaningmm.
Perlahan-lahan perempuan tua ini melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Tatapan matanya tajam bagai sembilu.
"Sudah kuduga, kau akan ikut campur dalam urusan ini!" desis Nyai Saptaningrum! "Tapi kuperingatkan padamu, sebaiknya tidak usah ikut campur. Karena, masih ada kesempatan bagimu untuk angkat kaki dengan selamat dari sini!"
"Sayangnya aku orang paling benci pada orang telengas sepertimu," sahut Rangga, enteng.
"Kalau begitu kau akan merasakan gebukanku, Bocah!" bentak Nyai Saptaningrum.
"Heaaa...!"
Dengan teriakan menggelegar, perempuan tua itu meluruk dengan pukulan bertubi-tubi ke segala jalan kematian Pendekar Rajawali Sakti.
"Uts!"
Namun dengan meliuk-liukkan tubuhnya dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', semua se-rangan mudah sekali dihindari Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat! Jangan hanya menghindar! Lawan aku! Atau kupecahkan batok kepalamu!" dengus perempuan tua itu geram melihat serangannya tak satu pun yang berhasil.
Pendekar Rajawali Sakti memang sengaja me-mancing-macing amarah Nyai Saptaningrum de-ngan terus menghindar. Bagi tokoh tingkat tinggi macam dia, cara bertarung Pendekar Rajawali Sakti sama saja menganggap remeh.
Dan nyatanya Nyai Saptaningrum terus menyerang dengan gencar, seperti mengumbar seluruh kemampuannya. Ini adalah suatu keuntungan bagi Rangga. Dengan demikian dia akan lebih mudah mencari titik lemah lawannya.
Pada satu kesempatan, Nyai Saptaningrum mengebutkan tongkat pendeknya yang tadi terselip di pinggang.
Pendekar Rajawali Sakti 171 Sayembara Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hih...!"
"Uts...!"
Dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang sambil menggerakkan tangannya ke punggung.
Sring! "Hei"!"
Nyai Saptaningrum terkesiap ketika Pendekar Rajawali vSakti menjejak tanah. Ternyata di tangan pemuda itu telah tergenggam sebilah pedang yang memancarkan cahaya biru terang. Seketika, malam yang semula kelam jadi terang benderang. Sejenak perempuan tua itu tercenung. Dan dia ingat, siapa pemuda yang mempunyai pedang seperti ini.
"Aku tahu. Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti"!" tebak Nyai Saptaningmm.
"Syukurlah kalau sudah tahu," sahut Rangga, dingin.
"Huh! Jangan kira aku takut menghadapimu!" sahut perempuan tua itu menyembunyikan rasa kecutnya.
Sebagai tokoh persilatan, Nyai Saptaningrum tahu siapa Pendekar Rajawali Sakti. Dan, sampai di mana kehebatannya. Namun dengan cepat dite-lannya rasa kecutnya. Lalu....?????
"Hiaaat...!"
Nyai Saptaningrum langsung berkelebat sambil mengebut-ngebutkan tongkat pendeknya.
"Kau terlalu memaksaku, Nyisanak. Baik-lah..!"
Rangga langsung menyilangkan Pedang Pusa-ka Rajawali Sakti di depan dadanya. Dan begitu serangan meluncur dekat...
"Hiaaat...!"
Disertai teriakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya memapak tongkat pendek Nyai Saptaningrum. Dan....
Tras! "Uhhh...!"
Mestinya Nyai Saptaningrum tahu bahwa pedang Pendekar Rajawali Sakti bukan senjata sembarangan. Namun perasaan geram membuatnya nekat. Akibatnya sungguh parah. Tongkat itu kontan putus tersambar pedang Rangga. Bahkan ujung pedang itu terus berkelebat ke arah leher.
"Eh"!"
Secepat kilat Nyai Saptaningrum mencelat ke samping, menghindari serangan. Namun pada saat yang sama Rangga telah memutar tubuhnya seraya melepaskan sapuan dengan kaki ke arah perut. Begitu cepat gerakannya sehingga....
Des! "Aaakh...!"
Nyai Saptaningrum terpekik begitu perutnya terhajar sapuan kaki berisi tenaga dalam tinggi. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang. Dalam keadaan begitu, dia masih sempat mengebutkan tangannya"
Wurrr! "Heh"!"
Rangga tersentak melihat sinar putih berkilatan yang meluruk ke arahnya.
"Hiiih!"
Namun dengan gerakan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti memutar pedangnya membuat tameng. Maka tak satu pun sinar putih yang ternyata jarum-jarum beracun itu menyentuh tubuhnya.
"Hup!"
Pada saat Pendekar Rajawali Sakti memutar pedangnya untuk memapak jarum-jarum beracun, Nyai Saptaningrum telah mencelat, sambil melemparkan sisa tongkatnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti disertai tenaga dalam tinggi.
"Hiiih!"
Wuttt...! Pada saat sisa tongkat meluncur, perempuan tua itu telah pula meluncur dahsyat melepaskan tendangan menggeledek.
Namun di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti telah melenting ke atas menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu potongan tongkat lewat menyambar angin kosong, Rangga langsung meluruk dengan merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Perubahan yang tak diduga-duga ini membuat Nyai Saptaningrum tercekat. Apalagi, saat ini tubuhnya telah meluruk deras tak tercegah lagi. Sementara saat yang sama Rangga telah menyambutnya dengan sabetan pedang. Dan....
Crasss...! "Aaa...!"
Tidak ayal lagi, wanita tua itu terpekik begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menyabet leher-nya. Tubuhnya langsung tersuruk dengan kepala menggelinding. Darah langsung menyembur dari lehernya. Tubuhnya meregang nyawa untuk sesaat, lalu diam untuk selama-lamanya.
Trek! Begitu mendarat di tanah setelah berputaran beberapa kali, Pendekar Rajawali Sakti langsung memasukkan pedangnya ke dalam warangka di punggung.
"Hm...!"
Pendekar Rajawali Sakti bergumam dingin melihat Prabu Puntalaksana hendak melarikan diri, begitu Nyai Saptaningrum tewas. Secepat kilat, tubuhnya berkelebat menjejak. Dan hanya sekali melenting saja, Rangga telah mampu menyusul dan mendaratkan kakinya di depan Prabu Puntalaksana.
"Heh"!"
"Kau tidak akan bisa pergi ke mana-mana, Puntalaksana!"
Begitu mendarat, Pendekar Rajawali Sakti langsung berkelebat ke arah Prabu Puntalaksana. Seketika tangannya bergerak cepat. Dan...
Tuk! Tuk! "Aaakh...!"
Prabu Puntalaksana kontan ambruk tak berdaya ketika dua totokan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dadanya. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti menyambar tubuh laki-laki setengah baya itu, dan membawanya ke hadapan Prabu Kuntadewa.
? *** ? "Berhenti! Pertarungan harap dihentikan. Bagi para prajurit pemberontak harap menyerah, sebab Prabu Puntalaksana telah kami tangkap! Bagi yang menyerah akan diperlakukan baik-baik!" teriak Sanggawa di atas dinding pagar istana, sambil mencekal leher Prabu Puntalaksana.
Melihat pemimpinnya tertawan, para prajurit pemberontak langsung melempar senjata masing-masing tanda menyerah.
Maka para prajurit yang berada di bawah pim-pinan Sanggawa segera meringkus tanpa banyak mendapat kesulitan.
Sementara itu Prabu Kuntadewa segera keluar dengan hati-hati bersama putrinya, setelah Ba-gaspati memberitahu bahwa keadaan di luar telah aman.
"Terimalah hormat kami, Gusti Prabu!" seru semua prajurit yang setia ketika Prabu Kuntadewa berada di depan istana. Mereka semua berlutut di depan Raja Krojovvetan ini.
"Bangunlah kalian semua. Aku terharu dan bangga atas semangat serta kesetiaan kalian kepadaku!"
"Terima kasih, Gusti Prabu!"
"Gusti Prabu, izinkanlah hamba bicara mewa-kili yang lain!" seru Sanggawa, ketika telah menyerahkan tubuh Prabu Puntalaksana pada prajurit bawahannya.
"Ada apa, Sanggawa?" tanya Prabu Kuntadewa.
"Sebenarnya semua ini karena andil pemuda peserta sayembara itu. Sedangkan kami hanya sekadar membantu saja," jelas Sanggawa.
"Hm, ya. Aku mengerti. Kemana pemuda itu" Aku mesti berterima kasih kepadanya!" tanya Gusti Prabu Kuntadewa, seraya memandang ke sekeliling.
Ternyata pemuda berjujuk Pendekar Rajawali Sakti telah menghilang entah ke mana. Beberapa prajurit segera diperintahkan mencari namun tidak juga kunjung ditemukan. Mereka berusaha mencari di sekitar halaman istana serta di luar istana, tidak juga melihat batang hidung pemuda yang telah berjasa itu. Dan hal itu membuat Prabu Kuntadewa sedikit merasa kecewa.
"Ke mana dia" Apakah pergi secara diam-diam setelah menyelesaikan semua ini" Jangankan hendak menjodohkan putriku. Bahkan dia tidak memberi kesempatan padaku untuk mengucapkan terima kasih," gumam Prabu Kuntadewa.
"Mungkin anggapan hamba benar. Pemuda itu ikut sayembara bukan untuk mempersunting sang putri, melainkan untuk membenahi keadaan di istana ini...," timpal Bagaspati yang berada di dekatnya.
"Siapa dia sebenarnya" Datang dan pergi bagai angin...!"
"Mungkin sebangsa dewa yang diturunkan untuk menolong kita, Gusti Prabu...."
Lama Prabu Kuntadewa terdiam sebelum mengangguk.
"Kau benar. Dia mungkin Dewa yang diturunkan untuk membantu kita...."
? SELESAI ? Serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya : ?
MISTERI TABIB SILUMAN
? ? www.duniaabukeisel.blogspot.com
www.jagatsatria.com
? Pendekar Rajawali Sakti
Articles de Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
s ? 2017 Pendekar Bayangan Malaikat 9 Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di Keraton Widung Kemelut Kerajaan Mancu 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama