Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 28

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 28


terasa menjadi terlampau tegang.
"Bacalah," desis Sutawijaya kemudian.
Pemimpin prajurit itu memandanginya dengan ragu-ragu.
Tetapi sekali lagi Sutawijaya berkata, "Bacalah."
Dengan suara bergetar maka prajurit itu pun membaca nama
itu, "Sutawijaya yang bergelar Ngabehi Loring Pasar."
Suara prajurit yang gemetar itu terdengar seperti ledakan
Gunung Merapi di telinga orang-orang yang berdiri di
sekitarnya. Baik yang berdiri di dalam lingkaran, maupun yang
berada di luar kepungan. Sejenak mereka dicengkam oleh
suasana yang aneh, sehingga tak seorang pun yang segera
dapat menentukan sikapnya. Prajurit yang pemimpin
pengepungan itu pun berdiri dengan mulut menganga. Pedang
yang di tangannya itu tiba-tiba menjadi bergetar dan hampirhampir
jatuh dari genggamannya. Sekali lagi dicobanya untuk menatap wajah anak muda yang
menggenggam tombak itu. Kemudian beralih kepada anak
muda yang disebutnya adik Untara, seterusnya kepada anak
muda yang gemuk bulat yang seakan-akan selalu tertawa
dalam segala keadaan. Sutawijaya melihat ketegangan dalam setiap hati. Ia ingin
mempergunakan kesempatan itu untuk meyakinkan orangorang
Prambanan tentang dirinya. Bukan karena ia ingin
bersombong diri, tetapi dengan demikian ia mengharap para
prajurit dan orang-orang Prambanan mengurungkan niatnya
untuk menangkapnya. Dengan demikian maka perkelahian
pun akan terhindar, dan pertumpahan darah pun dapat
disingkiri. Dengan wajah tengadah anak muda itu pun berkata, "Nah,
siapa yang tidak percaya pada tulisan itu" Aku tidak
berkeberatan seandainya masih ada yang berkata, bahwa
setiap orang dapat saja menulis apa saja pada landean
tombaknya. Dapat saja menulis dirinya dengan sebutan anehaneh.
Mungkin kalian dapat berkata bahwa setiap orang dapat
menulis namanya dan menyebutnya sebagai putera Dewa
Brahma seperti tersebut di dalam dongeng-dongeng. Atau
dapat menyebut dirinya sebagai titisan Wishnu seperti Kresna
atau Kekasih Syiwa. Tetapi aku masih mempunyai satu bukti
lagi yang akan meyakinkan kalian apabila kalian kehendaki.
Aku adalah Sutawijaya putera Ki Gede Pemanahan. Akulah
yang pernah membenamkan ujung tombakku ke lambung
Arya Penangsang, meskipun tombak itu bukan tombak yang
aku pergunakan sekarang. Tombak itu adalah tombak pusaka
sipat kandel Kadipaten Pajang, yang bernama Kiai Pleret, dan
berlandean panjang, jauh lebih panjang dari tombakku ini.
Meskipun demikian, meskipun aku kali ini tidak membawa Kiai
Pleret, tetapi apabila kalian tetap dalam pendirian kalian ingin
menangkap Sutawijaya, maka sebelum kalian sempat
menyentuh pakaianku, maka kalian pasti telah menjadi mayat.
Apalagi kalau kedua kawan-kawanku itu ikut serta. Pedangnya
tidak kalah dahsyatnya dari sepuluh pasang pedang di dalam
genggaman tangan kalian. Aku berkata sebenarnya bahwa
yang seorang itu adalah adik Untara. Ya, adik Kakang Untara,
senapati yang mendapat kepercayaan di seluruh daerah di
seputar Gunung Merapi. Sedang yang seorang lagi, yang
gemuk itu adalah putera Ki Demang Sangkal Putung,
pemimpin anak-anak muda pengawal Kademangan Sangkal
Putung. Apalagi seperti yang kalian lihat di sini berdiri
pemimpin prajurit Pajang di Prambanan yang syah dan di sini
berdiri pula beberapa anak muda yang masih dapat berpikir
jernih. Yang masih sempat melihat keruntuhan yang dengan
perlahan-lahan menerkam kademangan kalian. Keruntuhan
pribadi satu-satu dari kalian adalah pertanda yang paling jelas
bahwa kademangan ini kini telah berada di pinggir jurang
kehancuran," Sutawijaya berhenti sejenak. Dipandanginya
setiap wajah yang ada di sekitarnya. Wajah-wajah anak-anak
muda yang berada di dalam lingkaran dan wajah-wajah yang
sedang mengepungnya rapat-rapat, juga wajah-wajah yang
berada di luar kepungan. Pada wajah-wajah itu Sutawijaya
dapat membaca bahwa kata-katanya telah bergolak di setiap
dada. Pinggir Kali Opak itu kini dicengkam oleh kesenyapan. Tak
seorang pun yang mengucapkan kata-kata. Mulut mereka
terbuka, tetapi serasa kerongkongan mereka tersumbat oleh
sebuah perasaan yang aneh.
Sejenak kemudian kembali Sutawijaya berkata, "Nah,
sekarang apa yang akan kalian lakukan" Apakah kalian
percaya kepada kata-kataku ataukah kalian masih saja
menganggap bahwa aku hanya sekedar menakut-nakuti?"
Tak ada jawaban. Dan Sutawijaya pun berkata pula, "Meskipun aku baru
semalam melihat wajah Kademangan kalian, tetapi aku sudah
mendapat gambaran yang jelas, apa yang sebenarnya terjadi
di sini. Kemunduran watak dan tabiat, kehilangan pegangan
karena mabuk kemenangan-kemenangan kecil yang
sebenarnya tidak berarti apa-apa, dan yang terpenting
kemudian, pengingkaran atas nilai-nilai kebaktian kalian
kepada sumber hidup kalian. Kemaksiatan bukan saja
pelanggaran atas nilai-nilai hidup duniawi, tetapi lebih-lebih
daripada itu, kemaksiatan adalah jalan yang menuju kepada
Bebendu Abadi. Mungkin bagi mereka yang memegang
pedang di tangan, dapat menghindari setiap tanggung jawab
duniawi dengan kekuasaan yang terpancar dari tajam
pedangnya. Tetapi apakah pedang itu akan bermanfaat untuk
melawan pengadilan tertinggi, pengadilan dari Sumber Hidup
kalian?" Orang-orang yang berdiri di tepian Kali Opak itu benar-benar
seperti cengkerik terinjak kaki. Diam membeku.
Namun tiba-tiba mereka seperti tersentak bangun ketika
Sutawijaya berkata, "Ayo, siapa yang akan menangkap
Sutawijaya?" Prajurit-prajurit yang berdiri memagari Sutawijaya dan kawankawannya
itu pun tiba-tiba terlemnpar pada kesadaran mereka
tentang diri mereka. Kata-kata Sutawijaya itu seakan-akan ujung-ujung tombak
yang menghujani beribu kali ke pusat jantung mereka. Pedih
dan nyeri. Tubuh mereka itu pun kemudian bergetaran.
Meskipun ada juga perasaan ingkar atas segala tuduhan yang
tidak langsung ditimpakan kepada diri mereka, tetapi ketika
terpandang wajah Sutawijaya itu, maka wajah-wajah mereka
pun tertunduk lesu. Bahkan kemudian terbayang di rongga
mata mereka, Panglima Wira Tamtama yang mereka segani,
akan datang sendiri menghakimi mereka. Menunjuk ke wajahwajah
mereka sambil menjatuhkan hukuman yang paling
berat. Demang Prambanan pun berdiri dengan pucatnya. Lututnya
beradu seperti orang melihat hantu. Dadanya serasa
diguncang-guncang oleh perasaan yang mengerikan. Seakanakan
ia sedang berada di dalam dunia mimpi yang
menakutkan. Orang-orang yang berdiri di pinggir kali Opak itu kini serasa di
kejar oleh perasaan bersalah dan ketakutan. Para prajurit
yang mengepung Sutawijaya itu pun merasa betapa mereka
menyesal atas kelakuan mereka. Kenapa ia harus berhadapan
dengan putera Ki Gede Pemanahan tanpa mereka ketahui.
Kini ternyata mereka telah mengancam putera panglimanya.
Bukan saja karena anak muda itu putera Panglima Wira
Tamtama, tetapi anak muda itu adalah putera angkat yang
kinasih dari Adipati Pajang sendiri.
Dengan demikian maka setiap orang dipinggir sungai Opak itu
kini justru terbungkam. Yang memecah kesenyapan adalah
suara Sutawijaya kembali, "Bagaimana" Apakah kalian masih
tetap pada pendirian kalian?"
Tiba-tiba pemimpin prajurit yang mengepungnya itu
melangkah selangkah maju. Tubuhnya yang gemetar hampirhampir
tidak dapat lagi berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Ketika ia kemudian membungkukkan badannya maka
pedangnya pun terjatuh dari tangannya, katanya maka, "Aku
dan kawan-kawanku memohon seribu ampun"
"Apakah kau masih ragu-ragu?" bertanya Sutawijaya lantang.
"Tidak. Tidak, Tuan," sahut prajurit itu dengan serta merta.
"Kau melihat aku berkelahi melawan Argajaya?"
"Ya, Tuan." "Ketahuilah, bahwa dengan dua tiga unsur gerak aku dapat
membunuhnya. Tetapi aku masih menghormatinya dan
membiarkan ia melawan sampai beberapa saat. Meskipun
demikian aku tidak akan membunuhnya. Bukan karena ia
paman Sidanti, sebab Sidanti itu pun sama sekali tidak berarti
bagiku." Sutawijaya itu berhenti sejenak. Dipandanginya para
prajurit yang menundukkan kepalanya dengan lutut gemetar,
"Ketahuilah," katanya kemudian, "Sidanti kini memang sudah
tidak berada di Sangkal Putung lagi. Sidanti telah melarikan
dirinya karena ia melawan kepada pimpinannya. Sidanti telah
mencoba membunuh Kakang Untara untuk dapat
menggantikannya. Tetapi Untara tidak terbunuh, sehingga
dengan demikian Sidanti harus melarikan diri. Anak muda
yang bernama Sidanti dan dibangga-banggakan itu sama
sekali tidak mampu melawan anak muda yang berdiri di sini
itu. Adik Kakang Untara. Karena itu, seandainya datang tiga
Sidanti di pinggir Kali Opak saat ini, maka kami bertiga tidak
akan menjadi cemas sama sekali, apalagi tiga orang Argajaya
yang sombong itu." Prajurit-prajurit Pajang itu masih berdiri dengan wajah yang
tertunduk. Tak seorang pun kini yang berani mengangkat
wajahnya memandangi wajah putera Ki Gede Pemanahan itu.
Dalam pada itu Ki Demang Prambanan yang masih muda itu
berkata dengan nada yang datar gemetar, "Tuan, kami benarbenar
tidak tahu siapakah Tuan. Bukan kebiasaan kami tidak
menghormati tamu-tamu, tetapi hanya karena kami tidak tahu,
maka mungkin sikap kami, orang-orang kademangan ini, tidak
berkenan di hati Tuan. Terhadap Argajaya itu pun kami
bersikap hormat pula, meskipun kami tahu, betapa orang itu
sangat memuakkan karena kesombongannya. Apalagi
terhadap Tuan apabila kami tahu sebelumnya."
Sutawijaya mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki
Demang Prambanan itu. Sedang Ki Demang itu berkata pula,
"Karena itu, Tuan, aku mengharap Tuan sudi bermalam di
Kademangan kami. Kami akan menjamu Tuan dengan
kemeriahan dua tiga kali lipat dari jamuan yang pernah kami
adakan untuk Argajaya."
Sutawijaya memandangi wajah Demang itu dengan tajamnya.
Tetapi anak muda itu tidak segera menjawab.
Ki Demang itu masih juga berkata, "Kami akan mengadakan
pertunjukan menurut kesenangan Tuan tiga hari tiga malam
dan akan menjamu Tuan menurut kehendak Tuan. Kami akan
menyembelih lembu dan kambing sebagai tanda hormat kami
atas kesudian Tuan hadir di Kademangan ini."
Ketika terpandang oleh Sutawijaya wajah Swandaru, maka
Sutawijaya itu pun segera mengetahui, bahwa di dalam dada
anak muda itu pun bergejolak perasaan seperti yang bergolak
di dalam dadanya sendiri. Tetapi ketika ia memandangi wajah
Agung Sedayu, maka sukarlah baginya untuk menjajagi
perasaan anak muda itu. Wajahnya hampir tidak berubah.
Kesannya tenang dan dalam.
Tetapi dalam ketenangan itu, sebenarnya bergelombanglah
perasaan di dalam hatinya. Bahkan tiba-tiba ia menjadi
kecewa melihat wajah Ki Demang Prambanan itu. Kecewa
akan sikapnya yang miyur, tanpa berpegangan kepada suatu
sikap yang terpuji. Baru saja mereka melihat, bagaimanakah
sikapnya terhadap Argajaya, kini mereka melihat sikap yang
tiba-tiba berubah. Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk
menekan perasaannya. Ia tidak mau merusak suasana yang
sudah hampir mereda. "Marilah, Tuan," berkata Ki Demang, yang kemudian kepada
para prajurit dan orang-orangnya ia berkata, "Marilah kita
sambut tamu-tamu kita ini dengan kegembiraan di hati. Tidak
terpaksa karena sopan santun saja seperti kita menyambut
Argajaya kemarin. Tetapi kali ini kita akan merayakannya
dengan ikhlas. Bahwa kademangan kita telah mendapat
kesempatan dikunjungi oleh priyagung dari Pajang."
Belum lagi Ki Demang itu selesai, terdengar Sutawijaya
berkata, "Terima kasih Ki Demang. Kami bukan orang-orang
yang dapat dimabukkan oleh sambutan-sambutan dan
kemeriahan lahiriah. Kami bukan Argajaya. Mungkin ada
beberapa perbedaan di antara kami dan Argajaya itu."
Sutawijaya berhenti sejenak. Dilihatnya wajah Ki Demang
yang pucat menjadi semakin pucat. Apalagi ketika sejenak
kemudian Sutawijaya berkata, "Jangan mencoba mencuci
tanganmu dengan darah lembu dan kambing yang akan kau
sembelih. Tak ada gunanya Ki Demang. Yang dapat mencuci
namamu yang agaknya selama ini menjadi buram adalah
sebuah pengakuan. Pengakuan atas kesalahan-kesalahan
yang pernah kau lakukan. Dengan janji di dalam hati bahwa
kesalahan itu tidak akan terulang kembali."
Mulut Ki Demang kini benar-benar terbungkam. Seluruh
tubuhnya telah basah karena keringat dingin yang mengalir
seperti terperas dari dalam tubuhnya. Dengan lutut yang
beradu ia mencoba untuk dapat tegak berdiri.
Ki Demang itu hampir terjatuh ketika ia terkejut mendengar
Sutawijaya membentaknya, "Bagaimana Ki Demang. Apakah
kau dengar kata-kataku?"
"Ya, ya, Tuan. Aku mendengar."
"Dan Mengerti pula?"
"Ya, aku mengerti, Tuan."
"Apa?" Jantung Ki Demang Prambanan itu serasa dihentak-hentak
oleh guruh yang meledak di dalam dadanya. Hampir-hampir ia
menjadi pingsan karena ketakutan.
"Apa yang kau ketahui he Ki Demang?"
Ki Demang tidak segera dapat menjawab. Mulutnya benarbenar
serasa tersumbat. "Kenapa kau diam, he" Kau sangka aku bermain-main?"
desak Sutawijaya agak keras. "Aku tidak bermain-main Ki
Demang. Aku juga tidak menakut-nakuti kalian. Aku akan
dapat membuktikannya apa yang aku katakan. Bukan karena
aku putera Panglima Wira Tamtama. Tetapi seandainya
bukan, maka aku sanggup menghadapi kalian dengan ujung
tombakku ini, kau dengar?"
"Ya, ya, Tuan," suara Ki Demang hampir tidak kedengaran.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau menyesal?"
"Ya, Tuan." Sutawijaya menarik nafas. Ia tahu, bahwa Ki Demang itu
memang sudah tidak mungkin lagi diajaknya berbicara. Tetapi
dengan demikian, maka semua kata-katanya besok atau lusa
pasti akan dipertimbangkannya. Karena itu maka katanya,
"Aku malam nanti tidak akan bermalam lagi di Kademangan
ini. Aku sudah tahu gambaran yang pasti tentang
Kademangan ini. Beruntunglah bahwa di sini masih ada
seorang prajurit yang menyadari kesalahannya pada saat-saat
terakhir. Kepadanya aku percayakan prajurit-prajurit yang lain.
Apabila masih juga terjadi, mereka menentang perintah
pemimpinnya yang syah, yang diangkat dan bertanggung
jawab kepada Kakang Untara, maka mereka akan ditindak
seperti orang-orang yang sampai saat ini masih
membangkang di bawah pimpinan Sanakeling. Sedang
Kademangan Prambanan harus merasa berterima kasih
bahwa mereka masih memiliki anak-anak muda seperti
Haspada, Trapsila dan beberapa orang yang lain. Merekalah
yang seterusnya harus tampil ke depan, membimbing kawankawannya.
Mungkin satu dua ada juga yang tidak ingin
melepaskan cara hidupnya kini. Berkeliaran, berbuat anehaneh
dan tidak menghiraukan lagi adat dan tata-cara. Adalah
menjadi tugas anak-anak muda sendirilah untuk
menghentikannya. Bahkan orang-orang tua yang memberi
banyak contoh-contoh yang sesat itu pun harus dihentikan.
Sekarang juga. Jangan menunggu sampai gunung Merapi
meledak dan menimbuni daerah ini dengan pasir dan batu."
Ketika Sutawijaya terdiam, maka tak ada suara yang berderik,
selain gemericik air Kali Opak dan desir angin di dedaunan.
Semaunya terdiam beku. Wajah-wajah yang menunduk dan
hati yang pepat dan kecut. Ternyata mereka berhadapan
dengan seorang anak muda yang luar biasa. Tidak saja
menggerakkan tombaknya, tetapi juga menggerakkan
lidahnya. Kesepian itu kemudian terpecahkan ketika Sutawijaya tiba-tiba
berkata, "Aku akan pergi."
Kata-kata itu pun sangat mengejutkan. Semua wajah yang
tunduk itu terangkat, dan semua mata memandang
kepadanya. Tetapi ia berkata sekali lagi, "Aku akan pergi.
Marilah Agung Sedayu dan Swandaru. Kita lanjutkan
perjalanan kita." "Tuan," pemimpin prajurit itu berusaha untuk mencegahnya,
"Sebaiknya Tuan bermalam di sini. Bukan maksud kami untuk
mencoba menyenang-nyenangkan hati tuan karena
kesalahan-kesalahan kami, dengan harapan supaya Tuan
sudi memaafkannya, tetapi sebenarnyalah kami ingin Tuan
bermalam di sini untuk memberikan beberapa petunjuk yang
mungkin akan sangat penting bagi kami."
"Cukup," sahut Sutawijaya. "Aku sudah cukup banyak
berbicara. Mungkin besok atau lusa atau seminggu dua
minggu lagi ada orang lain yang berkepentingan datang
kemari. Mungkin kawan-kawanmu para prajurit yang berada di
sini harus ditarik dan diganti oleh yang lain, mungkin
keputusan-keputusan lain yang akan diambil oleh kakang
Untara, tetapi mungkin kalian masih akan dibiarkannya saja
seperti sekarang, karena kesibukannya yang terlampau
banyak. Aku tidak tahu. Itu ukan urusanku. Tetapi aku
mempunyai kepentingan sendiri dan aku akan pergi."
"Tuan," potong prajurit itu, tetapi Sutawijaya seperti tidak
mendengarnya. Bahkan ia berkata kepada Swandaru,
"Berikan busurku itu."
Swandaru pun kemudian memungut busur itu dan
memberikannya sambil bertanya, "Apakah kita akan
meneruskan perjalanan kita?"
"Ya," sahut Sutawijaya
Swandaru tidak bertanya lagi. Yang berbicara kemudian
adalah Sutawijaya kedapa Haspada dan Trapsila, "Selamat
kepada kalian. Mudah-mudahan kalian akan tampil kembali
dalam kepemimpinan anak-anak muda. Jangan patah hati.
Kalau perlu kalian dapat berlaku agak keras. Bukankah kalian
mempunyai bekal yang cukup untuk melakukannya?"
"Mudah-mudahan kami dapat melakukannya, Tuan," jawab
mereka hampir bersamaan. "Bagus. Sekarang aku akan meninggalkan kademangan ini.
Aku mengharap di saat lain aku akan kembali mengunjungi
daerah ini. Bukankah menurut cerita yang pernah aku dengar,
kademangan ini pernah mendapat seorang demang yang
sangat baik" Cobalah ulangi nama yang baik itu. Jauhkan
segala macam kericuhan dan kemaksiatan."
Orang-orang yang berdiri di pinggir Kali Opak itu kemudian
hanya?" ".. Dalam pada itu Sutawijaya masih berdiri keheran-heranan.
Orang yang datang itu belum begitu dikenalnya. Serasa ia
pernah melihatnya sepintas tetapi di mana" Ataukah memang
belum pernah ditemuinya orang ini" Namun menilik sebutan
yang diucapkan oleh Agung Sedayu maka Sutawijaya pun
segera dapat mengenalinya. Orang itu pasti guru Agung
Sedayu dan Swandaru. Karena itu, maka ketika orang tua itu
memandangnya Sutawijaya mengangguk hormat sambil
berkata, "Maafkan Kiai, mungkin aku belum begitu mengenal
Kiai sehingga aku tidak segera mengerti dengan siapa aku
berhadapan." "Ya, ya. Angger memang belum mengenal aku dengan baik."
"Bukankah Kiai guru Agung Sedayu dan Swandaru?"
"Ya, begitulah."
Sekali lagi Sutawijaya menganggukkan kepalanya sambil
berkata, "Kiai Gringsing."
"Demikianlah orang yang sudi menyebut aku. Ada pula yang
memanggilku Ki Tanu Metir."
Tiba-tiba suara Swandaru memotong pembicaraan mereka
diseling suara tertawanya, "Kiai, kalau demikian maka aku
tahu sekarang." Semua orang berpaling kepadanya. Tampaklah wajah
Sutawijaya menjadi berkerut-merut, "Apa yang kau ketahui?"
Swandaru yang gemuk itu masih saja tertawa, sehingga
tubuhnya terguncang-guncang.
"Apa yang kau ketahui?" bertanya Kiai Gringsing pula.
"Nah, aku tahu sekarang. Kenapa kita hampir menjadi gila
pada waktu kita berada di bekas perkemahan Tohpati. Api
perapian dan lincak bambu itu, pasti Kiai yang membuat dan
memasangnya." Kiai Gringsing, Sutawijaya dan Agung Sedayu pun kemudian
tertawa pula. "Ya," sahut Agung Sedayu, "pasti Kiai-lah yang telah
membingungkan kami."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia masih saja tertawa.
"Kami menjadi ketakutan dan hampir mengurungkan niat
kami," berkata Sutawijaya.
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak.
Ternyata kalian tidak menjadi takut, tetapi kalian menjadi
marah dan mengamuk."
Ketiga anak-anak muda itu masih saja tertawa.
"Kalian agaknya memang tidak mengenal takut," berkata Kiai
Gringsing pula, "Aku melihat apa yang terjadi di Kademangan
Prambanan semalam, dan pagi tadi di pinggir Kali Opak."
Ketiga anak-anak muda itu dengan tiba-tiba berhenti tertawa.
Mereka menjadi heran, bagaimana mungkin Kiai Gringsing
dapat melihat apa yang terjadi pagi tadi. Tentang semalam,
kemungkinan itu memang cukup banyak, tetapi pagi tadi,
hampir setiap wajah di sekitar arena itu telah dilihatnya. Tetapi
mereka sama sekali tidak melihat wajah Kiai Gringsing itu.
Agaknya Kiai Gringsing mengerti gejolak perasaan anak-anak
muda itu. Maka katanya, "Aku melihat apa yang terjadi di
pinggir Kali Opak itu dari atas tebing. Aku berdiri di belakang
semak-semak yang tidak terlampau rimbun. Namun karena
agaknya kalian baru sibuk dengan Argajaya, maka kalian tidak
melihat aku." Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Jadi Kiai melihat kami berkelahi?" bertanya
Sutawijaya. "Menurut penglihatanku yang berkelahi hanyalah seorang
saja, Anakmas Sutawijaya," sahut Kiai Gringsing.
Sutawijaya tersenyum, "Ya Kiai. Meskipun kedua murid-murid
Kiai itu pun sudah hampir pula berkelahi."
"Aku kagum melihat sikap dan kesabaran Anakmas. Ternyata
Anakmas berhasil menghindari pertumpahan darah. Aku tidak
mendengar apa yang kalian percakapkan. Tetapi menilik sikap
dan tingkah laku kalian dan orang-orang Prambanan, aku tahu
bahwa Anakmas berhasil mencegah perkelahian itu dengan
huruf-huruf yang tertera pada landean tombak Anakmas.
Apakah pada landean itu tertulis nama Anakmas yang
sebenarnya?" "Ah," desah Sutawijaya, "begitulah, Kiai."
"Jarang-jarang anak muda yang dapat mengendalikan
perasaannya seperti Anakmas. Aku melihat bagaimana
Swandaru dan Agung Sedayu menarik tali busurnya. Aku
menjadi berdebar-debar karenanya."
"Ah, aku hanya menakut-nakuti mereka saja guru," sahut
Swandaru sambil tersenyum.
"Bagus," jawab Kiai Gringsing. "Kalau demikian kalian telah
berbuat sebaik-baiknya. Tetapi ternyata kalian kurang
menyadari bahaya yang akan dapat timbul karenanya. Apakah
kalian kini masih juga akan pergi ke alas Mentaok?"
Sejenak anak-anak muda itu saling berpandangan.
Pertanyaan itu terdengar aneh di telinganya. Namun yang
menjawab kemudian adalah Sutawijaya, "Ya, Kiai. Kami akan
terus ke hutan Mentaok."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Anakmas. Apakah tidak sebaiknya Anakmas
kembali saja ke Sangkal Putung?"
"Kenapa?" bertanya Sutawijaya.
"Jalan ke Mentaok terlampau sulit, Ngger," jawab Kiai
Gringsing. "Tidak apa Kiai. Kami telah mendengar pula sebelumnya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Tetapi wajahnya
sama sekali tidak sejalan dengan anggukkan kepalanya.
Katanya, "Anakmas. Mungkin Anakmas sudah bersedia untuk
menempuh jalan yang bagaimanapun sulitnya. Mungkin
Anakmas sudah bertekad akan mengatasi segala macam
bahaya yang akan Angger jumpai di perjalanan. Tetapi bahaya
sebenarnya bagi kalian bertiga tidak terletak di perjalanan
Angger bertiga." Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ia kurang dapat mengerti
kata-kata Kiai Gringsing itu, sehingga sejenak ia tidak
menyahut. Karena Sutawijaya tidak segera menyahut, maka
Kiai Gringsing itu pun meneruskannya, "Mungkin di perjalanan
ke Mentaok itu Angger tidak akan menjumpai kesulitan apaapa.
Mungkin satu dua Angger bertemu dengan penyamun
atau perampok, tetapi mereka sama sekali tidak berarti bagi
kalian bertiga. Tetapi dengan peristiwa yang telah terjadi di
Prambanan itu, maka bahaya yang sebenarnya akan dapat
terjadi di Sangkal Putung."
Ketiga anak-anak muda itu pun saling berpandangan.
Keterangan Kiai Gringsing itu masih belum begitu jelas bagi
mereka, sehingga Sutawijayapun bertanya, "Kenapa Kiai,
kenapa Sangkal Putung terancam bahaya?"
"Angger," jawab Kiai Gringsing, "Argajaya yang telah Angger
kalahkan di hadapan orang-orang Prambanan itu sudah tentu
mendendam di hatinya. Bukankah Argajaya itu seorang
utusan dari Kepala Tanah Perdikan yang bernama Argapati,
dan Argapati itu ayah Sidanti" Nah. Argajaya pasti akan
bertemu dengan Sidanti. Mereka berdua menyimpan dendam
di dalam hati masing-masing kepada Angger dan juga kepada
Agung Sedayu dan Swandaru. Nah, apakah kira-kira yang
akan terjadi apabila mereka masing-masing bertemu dan
berbicara tentang tiga orang anak muda Sangkal Putung
seperti kalian?" Sutawijaya pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung
Sedayu dan Swandaru pun mulai mengerti, apakah yang
dimaksud oleh gurunya. "Kiai," berkata Sutawijaya, "meskipun mereka kemudian
bertemu apakah kira-kira yang dapat mereka lakukan?"
"Banyak sekali, Ngger," sahut Kiai Gringsing. "Salah satu
kemungkinan yang dapat mereka lakukan adalah berusaha
mencegat Angger bertiga, kelak jika Angger kembali dari
Mentaok." Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung
Sedayu dan Swandaru sejenak saling berpandangan. Katakata
Kiai Gringsing itu masuk ke dalam akal mereka. Jarak
antara Prambanan dan padukuhan Ki Tambak Wedi tidak
melampaui jarak Prambanan dan alas Mentaok. Meskipun
jaraknya terpaut, tetapi jalan ke alas Mentaok pasti akan lebih
sulit. Apalagi apabila satu dua kali mereka akan bertemu
dengan beberapa orang penyamun seperti yang dikatakan
oleh Kiai Gringsing. Tetapi yang menjawab kemudian adalah Sutawijaya, "Benar
Kiai, hal itu memang dapat terjadi. Tetapi apabila kami telah
memperhitungkannya, maka kami akan mencari jalan lain
kelak. Kami akan menempuh jalan yang sama sekali tidak
diduga-duga oleh Ki Tambak Wedi."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Memang, Angger akan dapat mencari jalan lain yang mungkin
tidak diduga-duga oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi jangan dikira,
bahwa kemungkinan mencari jalan lain itu tidak diperhitungkan
pula oleh Ki Tambak Wedi. Mungkin Ki Tambak Wedi tidak
mencegat Angger di Prambanan, di hutan Tambak Baya atau
di pedukuhan-pedukuhan lain seperti Cupu Watu atau Candi
Sari, tetapi tanpa Angger duga-duga, Ki Tambak Wedi itu
justru berada di muka hidung para peronda di Sangkal Putung,
di sisi regol masuk ke dalam Kademangan itu."
Sekali lagi Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika ia berpaling ke arah kedua kawannya, maka dilihatnya
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. "Memang," katanya dalam hati, "kemungkinan itu dapat terjadi.
Tetapi aku sudah menempuh separo jalan. Sayang sekali
apabila aku terpaksa kembali sebelum aku melihat tanah
Mentaok. Tanah yang kelak akan diterima oleh ayah dari


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ramanda Adipati Pajang sebagai hadiah."
Karena itu, maka Sutawijaya itu pun terdiam sejenak diamuk
oleh kebimbangan. Ia dapat mengerti kata-kata Kiai Gringsing
dan menyadari bahaya yang sedang mengancam. Tetapi ia
tidak dapat melepaskan keinginannya untuk melihat hutan
Mentaok. Sejenak mereka saling berdiam diri. Agung Sedayu dan
Swandarupun menjadi berbimbang hati pula. Tetapi
kepentingan mereka tentang tanah Mentaok tidak setajam
Sutawijaya. Karena itu, maka merekapun tidak sedemikian
bernafsu untuk meneruskan perjalanan. Meskipun demikian,
karena mereka telah berjanji sejak mereka berangkat untuk
pergi bersama, maka Agung Sedayu dan Swandaru
menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Sutawijaya.
Kiai Gringsing melihat kebimbangan di dalam hati putera
Panglima Wira Tamtama itu. Namun demikian, dibiarkannya
anak muda itu membuat pertimbangan sendiri.
"Kiai," berkata Sutawijaya itu kemudian, "aku sudah
menempuh jarak ini. Bagaimanakah kalau aku meneruskan
beberapa langkah lagi Kiai" Aku hanya ingin melihat sejenak,
bagaimanakah ujudnya alas Mentaok itu. Tidak terlampau
lama. Sekejap saja."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Begitu besar
keinginan Sutawijaya untuk melihat tanah yang kelak akan
dimilikinya. Dengan demikian maka Kiai Gringsingpun menjadi ragu-ragu
pula. Ia tidak sampai hati untuk mengecewakan putera
Panglima Wira Tamtama itu. Tetapi ia tidak pula dapat
membiarkan mereka mengalami bencana.
Namun yang dicemaskan oleh Kiai Gringsing bukan saja
Sutawijaya dan kawan-kawannya, tetapi juga Sangkal Putung.
Kalau Panglima Wira Tamtama hari ini atau besok kembali ke
Pajang dengan membawa orang-orang Jipang, maka
sebagian dari prajurit Pajang di Sangkal Putung pasti
meninggalkan Kademangan itu untuk mengawal orang-orang
Jipang ke Pajang. Ki Tambak Wedi yang licik, apabila dapat
memperhitungkan dengan tepat keberangkatan Ki Gede
Pemanahan, maka Sangkal Putung benar-benar berada
dalam bahaya. Sepeninggal Ki Gede Pemanahan, maka
Sangkal Putung hanya ditunggui oleh para prajurit di bawah
Untara dan Widura. Tidak ada orang-orang lain yang akan
dapat membantunya seandainya Ki Tambak Wedi benarbenar
menyergap Kademangan itu. Sedangkan di dalam
barisan Ki Tambak Wedi akan muncul orang-orang yang
tangguh seperti Sidanti, Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan
sudah tentu Argajaya yang menyimpan dendam pula di
hatinya. Dalam keadaan demikian maka tenaga Agung
Sedayu dan Swandaru pasti akan sangat berarti.
Dengan demikian maka yang dapat terjadi adalah beberapa
kemungkinan. Ki Tambak Wedi, Argajaya dan Sidanti
berusaha mencegat Sutawijaya, atau mereka mengerahkan
laskarnya untuk menghantam Sangkal Putung. Kemungkinan
yang lain, tetapi tidak terlampau mencemaskan adalah bahwa
Ki Tambak Wedi nanti akan mencegat Ki Gede Pemanahan.
Apabila demikian, maka kehadiran Sutawijaya pun pasti
diperlukan. Satu demi satu kemungkinan-kemungkinan itu pun
diberitahukannya kepada Sutawijaya dan kedua kawankawannya.
Ternyata merekapun dapat mengerti arti dari
bahaya itu. Meskipun demikian Sutawijaya masih juga
berkata, "Baik Kiai, aku akan segera kembali. Aku harap ayah
menungguku di Sangkal Putung. Aku hanya memerlukan
waktu sedikit untuk mencapai alas Mentaok. Bukankah
sebentar lagi kami akan memasuki alas Tambak Baya?"
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Waktu yang Anakmas perlukan paling sedikit adalah dua hari
dua malam. Sedang Argajaya malam nanti pasti sudah akan
sampai ke Padepokan Ki Tambak Wedi. Ceriteranya pasti
akan membakar kemarahan mereka sehingga seandainya
mereka tidak bernafsu untuk berbuat sesuatu, atau rencana
mereka masih berjarak beberapa waktu, maka mereka akan
segera menentukan sikap. Mereka pasti segera akan
mempercepat setiap rencana."
"Aku akan berjalan siang dan malam, Kiai."
"Tetapi dua malam itu tak akan dapat Angger percepat."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Belum lagi kalau Angger bertemu dengan beberapa orang
penyamun. Meskipun penyamun-penyamun di hutan Tambak
Baya itu tidak berbahaya bagi Anakmas, namun setidaktidaknya
mereka akan menghambat rencana Anakmas. Kalau
Anakmas bertemu dengan gerombolan Daruka, maka Angger
akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk
menundukkannya. Bukan karena Daruka itu seorang yang
sakti tiada taranya, tetapi karena gerombolannya terdiri dari
orang-orang yang berpengalaman dan cukup banyak
jumlahnya." Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi kedip matanya
menunjukkan kekecewaan hatinya. Ia pernah juga mendengar
dari beberapa orang prajurit, nama Daruka. Tetapi semula ia
sama sekali tidak memperhatikannya. Ternyata menurut Kiai
Gringsing, Daruka itu akan dapat memperlambat
perjalanannya. Namun demikian Kiai Gringsing tidak sampai hati untuk
mengecewakannya. Anak itu merasa bahwa alas Mentaok
sudah berada di hadapan hidungnya. Karena itu maka
katanya, "Baiklah Anakmas. Aku menjadi iba melihat mata
Angger berkedip seperti anak-anak yang kecewa karena
ibunya tidak membawa oleh-oleh dari pasar. Nah, kalau
demikian, maka pergilah terus. Tetapi cepat. Secepatcepatnya.
Seperti yang Angger katakan, berjalan siang dan
malam." Swandarulah yang kemudian mengerutkan alisnya. Desisnya,
"Siang dan malam" Hem, kalian tidak perlu membawa tubuh
sebesar tubuhku. Kalau ada salah seorang dari kalian
bersedia membantu membawa perutku, aku tidak
berkeberatan berjalan siang dan malam. Bahkan tanpa
berhenti sekalipun."
Mau tidak mau, yang mendengar kata-katanya itu terpaksa
tersenyum. Yang menjawab adalah Agung Sedayu,"Kau akan
menjadi langsing adi Swandaru. Kalau kau banyak berjalan,
maka gembung perutmu akan berkurang."
"Sebuah latihan yang baik," berkata Ki Tanu Metir. "Nah,
manfaatkan kesempatan ini apabila kalian benar-benar tidak
ingin segera kembali ke Sangkal Putung. Mungkin kalian akan
mempergunakan waktu lebih dari dua hari dua malam. Tetapi
supaya kalian tidak memilih jalan yang salah, yang akan dapat
memperpanjang waktu, atau kalian sengaja mencari jalan lain
karena kenakalan kalian, maka biarlah aku pergi bersama
kalian." "He," wajah Sutawijaya dan kedua kawannya tiba-tiba menjadi
cerah, "Kiai akan pergi bersama kami?"
"Hanya supaya kalian cepat kembali ke Sangkal Putung."
"Kita tidak cemas lagi dicegat oleh Ki Tambak Wedi, sehingga
kita tidak perlu mencari jalan lain,"berkata Swandaru.
"Akibatnya kita segera sampai ke Sangkal Putung," sahut Kiai
Gringsing. "Kalau begitu kita dapat berbicara sambil berjalan," gumam
Agung Sedayu. "Tak ada lagi yang dibicarakan," berkata Kiai Gringsing,
"ternyata kalian tidak mau kembali ke Sangkal Putung. Nah,
marilah kita berangkat, supaya kita tidak terlampau lama
diperjalanan." Maka segera merekapun melangkahkan kaki-kaki mereka
kembali. Kali ini mereka membawa seorang penunjuk jalan
yang dapat diandalkan, Kiai Gringsing.
Dengan demikian maka perjalanan itu menjadi lebih cepat.
Agaknya Kiai Gringsing telah cukup mengenal daerah yang
akan mereka jalani. Sebelum mereka memasuki hutan Tambak Baya, maka
perjalanan mereka sama sekali tidak menemui kesulitan.
Candi Sari, kemudian Cupu Watu dan ketika mereka
melangkah ke barat lebih jauh lagi, maka terbentang di
hadapan mereka sebuah hutan yang lebat. Tambak Baya.
Meskipun hutan ini tidak segarang Mentaok, tetapi Tambak
Baya cukup menyeramkan. Pepohonan yang pepat seakanakan
berserakan di setiap jengkal tanah. Pohon-pohon perdu
yang rimbun dan pepohonan yang merambat, bahkan yang
berduri sekali. Sejenak mereka berhenti di pinggir hutan itu. Ketika mereka
menengadahkan wajah mereka, maka matahari telah tampak
condong di arah barat. Cahayanya yang kemerah-merahan
memencar menyoroti langit yang terbentang. Sehelai-sehelai
mega yang putih mengalir beriringan.
Dibelakang mereka terbentang padang rumput yang diseling
oleh tanaman-tanaman perdu. Di ujung padang itu terdapat
pategalan dan kemudian tanah persawahan yang cukup
subur. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat seorangpun berada
di tempat itu. Lengang dan terasa kesunyian mencekam dada
mereka. Sehingga tanpa sesadarnya Swandaru
berdesis,"Alangkah lengangnya. Apakah tak pernah ada orang
yang menggarap pategalan itu?"
"Tentu ada," sahut Ki Tanu Metir, "Bagaimana mungkin
tanaman-tanaman itu tumbuh teratur?"
"Tetapi tak seorangpun nampak," berkata Swandaru pula.
"Mereka mengerjakan sawah dan ladang mereka di pagi hari.
Mereka memerlukan kawan untuk pergi ke sawah dan ladang
mereka. Di sini ada semacam warung sepekan sekali atau dua
kali. Bukan saja tempat orang-orang menukarkan barangbarang
keperluan sehari-hari, tetapi kadang-kadang ada pula
orang-orang yang akan menyeberangi hutan ini memerlukan
bekal di perjalanan. Bahkan di sini kadang-kadang ada
beberapa orang pengantar yang menemani dan melindungi
orang-orang yang ingin pergi ke daerah-daerah di seberang
hutan ini. Mungkin ke Nglipura, mungkin ke Mangir."
Anak-anak muda yang mendengarkan kata-kata itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang bertanya adalah
Agung Sedayu, "Tetapi kenapa kali ini mereka tidak ada di
tempat ini Kiai. Bagaimana seandainya saat ini ada orang
yang akan menyeberangi hutan. Apakah tidak ada orang yang
bersedia mengantarkannya?"
"Ada saat-saat tertentu bagi mereka yang akan menyeberangi
hutan ini. Para pengantar hanya bersedia di hari-hari yang
sudah mereka tentukan. Misalnya di hari Manis dan Pahing.
Selain hari-hari itu mereka tidak berada di tempat ini. Mungkin
mereka sedang di dalam perjalanan kembali setelah
mengantarkan beberapa orang bersama-sama, tetapi mungkin
pula mereka sedang beristirahat."
"Bagaimana kalau ada keperluan yang tidak mungkin
tertunda?" bertanya Swandaru.
"Tergantung kepada orang itu sendiri. Apakah mereka berani
menanggung setiap kemungkinan bertemu dengan
gerombolan penyamun di dalam hutan ini. Kalau mereka itu
merasa diri mereka cukup kuat, maka merekapun akan
menyeberang tanpa pengawalan dan perlindungan orang
lain." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya pula,
"Dengan demikian maka para pengawal itu pasti orang-orang
yang cukup kuat untuk menghadapi setiap kejahatan yang
dapat terjadi di hutan ini Kiai."
"Demikianlah. Tetapi kadang-kadang para penjahat itu saling
bantu-membantu. Kadang-kadang mereka bekerja bersama
untuk suatu kepentingan. Tetapi kadang-kadang mereka
saling bertempur di antara mereka berebut korban."
Sutawijaya mendengarkan ceritera itu sambil menganggukanggukkan
kepalanya. Kemudian ia bergumam, "Seperti
kehidupan binatang-binatang yang menghuni hutan ini.
Begitukah kira-kira Kiai?"
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian agak ragu ia
menjawab, "Ya. Begitulah kira-kira. Apabila mereka sedang
mempunyai kepentingan yang sama, maka kadang-kadang
kekuatan mereka benar-benar tak terlawan oleh para
pengawal. Dalam keadaan yang demikian, maka kadangkadang
iring-iringan itu benar-benar menjadi korban para
penyamun. Namun hal itu jarang terjadi. Kalau para pengawal
tidak lagi mampu bertahan, maka orang-orang itu sendiri pasti
akan ikut bertempur. Tetapi sekali dua kali, kemalangan
memang dapat terjadi atas para pengawal dan orang-orang
yang dikawalnya." Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Ketika sekali lagi mereka menebarkan pandangan
mata mereka di sekitar tempat itu, maka pinggiran hutan itu
benar-benar sepi dan lengang.
"Apakah kita akan menyeberang sekarang?" terdengar
Sutawijaya bertanya. "Terserah kepada Anakmas," sahut Kiai Gringsing, "Tetapi
apabila kita benar-benar ingin berjalan siang dan malam,
maka sebaiknya kita berjalan terus. Kita tidak perlu
mencemaskan para penyamun, sebab kita tidak membawa
barang-barang yang berharga kecuali leher-leher kita sendiri."
Sutawijaya tersenyum, tetapi Swandaru mengerutkan dahinya.
"Apakah kalian tidak merasa lelah?"
Swandaru menjadi kecewa ketika Agung Sedayu menjawab,
"Tidak. Aku tidak merasa lelah."
"Ah," Swandaru bertolak pinggang sambil mendesah.
Kemudian anak yang gemuk itu menggeliat, katanya, "Hem,
baiklah. Akupun tidak lelah."
Agung Sedayu, Sutawijaya dan Kiai Gringsing tersenyum.
"Salahmu," berkata Agung Sedayu.
"Kenapa?" sahut Swandaru.
"Kau terlampau banyak makan."
Swandaru memberengutkan wajahnya. Tetapi sebelum ia
menjawab, terdengar Kiai Gringsing berkata,"Marilah kita
berjalan terus. Mungkin kita terpaksa berhenti nanti sebelum
kita terlampau dalam masuk ke hutan ini."
Sejenak Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru saling
berpandangan. Matahari telah menjadi semakin rendah.
Apabila mereka memasuki hutan itu, maka segera mereka
akan terhalang oleh gelap. Namun mereka sudah terlanjur
berkata, bahwa mereka akan berjalan siang dan malam.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sehingga karena itu maka Sutawijaya menjawab,"Marilah Kiai.
Kalau Kiai menghendaki kami berjalan terus."
"Ya. Kita harus berjalan terus. Kalau tidak maka kita akan
kehilangan waktu. Kira harus memperhitungkan keadaan
Sangkal Putung pula. Bukan sekedar melihat keadaan diri kita
sendiri." "Baiklah Kiai," sahut Sutawijaya kemudian.
"Bagus," gumam Kiai Gringsing, "kita haru mempergunakan
waktu sebaik-baiknya."
Maka merekapun segera melangkah mendekati bibir hutan
yang lebat. Sejenak mereka menjadi termangu-mangu, tetapi
mereka melangkah terus. Tiba-tiba langkah mereka tertegun ketika mereka melihat
rimbunnya daun bergerak-gerak di hadapan mereka. Dan
merekapun terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat beberapa
orang muncul dari balik dedaunan.
Tetapi dalam pada itu capat Kiai Gringsing berbisik, "Mereka
adalah orang-orang yang sering mengawal para pedagang
dan orang-orang lain yang berkepentingan menyeberangi
hutan ini." Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya menganggukanggukkan
kepala mereka. Orang-orang yang baru muncul itu
adalah orang-orang yang rata-rata bertubuh tegap kekar. Di
lambung mereka tersangkut pedang dan beberapa di
antaranya membawa pula pisau atau kapak.
Kiai Gringsing masih juga berbisik, "Senjata-senjata itu kecuali
berguna untuk bertempur, juga berguna untuk merambas jalan
yang pepat karena daun-daun perdu dan akar-akar yang
merambat dan menutup jalan."
Kembali ketiga anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Sementara itu Kiai Gringsing masih berkata, "Mereka masuk
hutan tiga hari yang lampau. Mungkin di hari Aditya Manis."
"Sekarang hari apa?" bertanya Swandaru.
"Hanggara Jene."
"He, Bintang Kuning."
"Ya, Selasa Pon."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu
orang-orang yang muncul dari dalam hutan itu telah berdiri
beberapa langkah di hadapan mereka. Namun ketika wajahwajah
mereka menjadi semakin jelas, nampaklah bahwa
beberapa orang di antara mereka terluka. Titik-titik darah yang
kering masih jelas pada pakaian mereka.
Seorang yang berkumis lebat dan tidak berbaju melangkah
mendekati mereka. Dengan nada yang berat ia bertanya,
"Apakah Ki Sanak anak menyeberangi hutan?"
Yang menjawab adalah Kiai Gringsing, "Ya Ki Sanak. Kami
akan menyeberangi hutan."
"Kemanakah kalian akan pergi?"
"Mentaok." "Mentaok" Ke alas Mentaok" Apakah keperluan kalian ke
Mentaok?" Kiai Gringsing berpaling ke arah Sutawijaya. Tetapi orang tua
itu menjawab, "Kami akan pergi ke Nglipura, Ki Sanak. Ada
keluargaku di sana."
Orang yang berkumis lebat, yang agaknya pemimpin dari para
pengawal itu berkata, "Kalian hanya berempat?"
"Ya." "Menilik persiapan dan senjata kalian, maka kalian merasa
bahwa kalian cukup kuat untuk menyeberangi hutan ini tanpa
pengawalan. Ternyata pula kalian memilih hari ini, bukan harihari
yang telah kami tentukan. Kami tidak berkeberatan kalian
menyeberang sendiri, tetapi kami wajib memperingatkan
kalian. Kali ini gerombolan Daruka berada di hutan ini. Kami
terpaksa berkelahi. Untunglah bukan seluruh kekuatan yang
kita hadapi, sehingga kami sempat melepaskan diri bersama
orang-orang yang kami antar. Tetapi di perjalanan kembali,
kami terpaksa mencari jalan lain. Kami takut kalau gerombolan
itu memperkuat diri, apalagi Daruka sendiri, akan
menghadang kami pula."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mudah-mudahan kalian menemukan jalan yang aman.
Jangan kau telusuri jalan yang biasa kami lalui. Mungkin untuk
sebulan kami tidak akan membawa orang menyeberang,
kecuali kami mendapat tambahan kawan yang dapat kami
percaya." Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, "Terima kasih Ki Sanak. Kami akan mencari jalan
lain. Mudah-mudahan kami selamat."
"Apakah keperluan kalian tidak dapat ditunda seminggu dua
minggu?" "Kepentingan kami sangat mendesak."
"Hati-hatilah," pesan pemimpin pengawal itu.
"Terima kasih."
Para pengawal itu pun kemudian meninggalkan mereka.
Tampak jelas bahwa mereka baru saja menempuh perjalanan
yang berat, dan jelas pula luka-luka silang-menyilang di tubuh
mereka. Ada yang dalam, tetapi ada pula yang dangkal.
Bahkan ada salah seorang dari mereka yang terluka agak
parah di lengannya yang telah dibalut dengan sepotong kain.
Ketika orang-orang itu telah menjadi semakin jauh, berkata
Kiai Gringsing, "Itulah isi hutan Tambak Baya. Juga hutan
Mentaok mempunyai penghuni-penghuninya sendiri. Nah,
apakah kita ingin melihat pula?"
Wajah Sutawijaya tiba-tiba menjadi tegang. Sambil
menggeram ia berkata, "Itukah isi dari tanah yang akan
diterima oleh ayah dari Ramanda Adipati Pajang"
Beruntunglah paman Penjawi mendapat tanah Pati yang
sudah jauh lebih baik dari tanah Mentaok. Kami masih harus
membuka hutan yang lebat, dan mengusir penghunipenghuninya
yang banyak itu. Untunglah bahwa aku sempat
menyaksikannya kini."
Kiai Gringsing dan kedua muridnya terdiam. Mereka
merasakan pula, betapa anak muda putera Panglima Wira
Tamtama itu menjadi kecewa. Tanah Mentaok seakan-akan
telah dimilikinya, sehingga sudah tentu Sutawijaya sama
sekali tidak senang melihat penghuni-penghuni yang sama
sekali tidak terhormat itu.
Dengan kesal anak muda itu kemudian menggeram, "Kiai, aku
mempunyai tanggung jawab atas tanah itu meskipun belum
secara resmi diserahkan kepada ayah. Aku harus mengusir
setiap orang yang mengotori hutan Mentaok."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
menjawab, "Berapa bulan Angger memerlukan waktu untuk
itu?" Sutawijaya mengerutkan keningnya, "Ya," desisnya, "aku
memerlukan waktu untuk melakukannya."
"Jangan kau lakukan kini. Apabila datang saatnya, bersamasama
dengan beberapa orang kawan, Angger pasti dapat
mengusirnya." Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, marilah kita lihat," berkata Kiai Gringsing kemudian,
"Mungkin kita dapat bertemu sebuah contoh dari isi hutan itu."
"Marilah," sahut Sutawijaya.
"Mudah-mudahan kita dapat bertemu," Swandaru pun
bergumam pula. Kiai Gringsing tersenyum. Ia tahu, bahwa Swandaru hanya
ingin berbuat sesuatu. Demikianlah mereka berjalan kembali. Kini mereka sudah
memasuki hutan Tambak Baya. Namun demikian mereka
masuk, maka cahayua matahari telah menjadi semakin pudar.
Meskipun demikian mereka berjalan terus. Namun akhirnya
malam yang semakin kelampun turunlah. Pohon-pohon
raksasa yang bertebaran itu pun menjadi semakin kabur.
"Malam terlampau gelap di hutan ini," desis Swandaru.
"Ya, lebih gelap dari hutan tempat orang-orang Jipang
membuat perkemahan," sahut Agung Sedayu.
"Tentu," berkata Kiai Gringsing, "Hutan ini jauh lebih lebar.
Isinya pun jauh lebih garang. Apalagi hutan Mentaok. Selain
yang dikatakan oleh para pengawal, maka isi hutan ini adalah
binatang buas." Ketiga anak-anak muda itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi mereka tidak takut terhadap binatang buas
maupun orang-orang jahat seperti yang dikatakan oleh para
pengawal. Tetapi berjalan di dalam kelam serasa berjalan di
daerah yang sama sekali tidak dikenalnya. Mereka seolaholah
hampir tak melihat apapun selain hitam pekat. Bahkan
kawan-kawan seperjalanan mereka sendiripun hampir tidak
dapat dilihatnya. Tetapi telinga mereka adalah telinga yang cukup baik. Mereka
dapat mengenal tempat-tempat kawan seperjalanan hanya
karena pendengaran mereka.
Namun meskipun demikian, akhirnya Swandaru berkata,
"Nafasku terasa sesak."
Kiai Gringsing tertawa. "Kenapa?" ia bertanya.
"Gelapnya bukan main."
"Ya, gelapnya bukan main," sahut Sutawijaya.
"Jadi bagaimana?" bertanya Kiai Gringsing.
Tak seorang pun yang menjawab.
"Apakah kita akan berhenti dan tidak berjalan siang dan
malam?" Masih tidak terjawab. "Baiklah. Kita berhenti," berkata orang tua itu, "tetapi kita harus
mendapatkan tempat yang baik. Kita akan membuat
perapian." "Bagaimana kita mendapat kayu baka?" bertanya Swandaru.
"Di bawah kaki kita adalah setumpuk daun-daun kering. Kalau
kita sudah menyalakannya, maka kita akan melihat, apakah
kita akan dapat mencari kayu atau ranting-ranting perdu."
Akhirnya merekapun mengumpulkan daun-daun kering di
bawah kaki mereka. Dengan batu titikan mereka membuat api,
dan dengan agak susah, merekapun berhasil menyalakan
dedaunan yang sudah cukup kering.
Ketika api sudah menyala, maka segera mereka melihat
ranting-ranting perdu yang dapat mereka tebas dan mereka
lemparkan ke atas api. Malam itu mereka beristirahat di sekitar perapian. Tak ada
yang menarik. Meskipun Swandaru mengharap, mudahmudahan
orang-orang jahat itu mendekati mereka, tetapi
tempat itu masih belum cukup dalam, sehingga semalam itu
mereka benar-benar dapat beristirahat, meskipun bergantian
mereka tetap bangun. Pagi-pagi mereka sudah meneruskan perjalanan. Meskipun
demikian, Swandaru masih juga berkata, "Aku sudah mulai
lapar. Apakah di hutan ini tidak ada makanan?"
"Kau akan mendapatkannya," berkata Kiai Gringsing, "Kau
akan dapat mencari makan buat menambah besar perutmu."
Ternyata yang dikatakan Kiai Gringsing itu pun benar pula.
Dengan panah-panah mereka, mereka berhasil pula
mendapat makan pagi mereka.
Perjalanan mereka hari ini ternyata agak lebih berat dari harihari
yang telah mereka lalui. Untunglah bahwa Kiai Gringsing
berjalan beserta mereka, sehingga mereka tidak takut lagi
akan tersesat. Meskipun demikian ketiga anak-anak muda itu
kadang-kadang masih juga membuat tanda-tanda pengenal
pada pepohonan yang besar, supaya apabila terpaksa mereka
harus mencari jalan keluar, mereka tidak akan menemui
kesukaran. Gairah perjalanan hari itu didorong oleh perasaan kecewa
pada Sutawijaya, karena tanah yang akan diterimanya itu
ternyata telah dikotori oleh orang-orang jahat. Sedang
Swandaru segera ingin bertemu dengan orang-orang jahat itu.
Agung Sedayu tidak terlampau banyak dipengaruhi oleh
gerombolan-gerombolan itu. Meskipun demikian, pengalamanpengalaman
itu pasti akan berguna baginya. Sehingga karena
itu perjalanan inipun sangat menarik hati. Ia akan mengenal
tempat-tempat yang hampir belum pernah dijamahnya. Hutan
yang lebat pepat, binatang-binatang yang buas dan alam yang
keras. Agung Sedayu baru mengenalnya lewat ceriteraceritera
yang pernah didengarnya dari kakaknya, Untara, di
masa kanak-kanaknya. Ternyata Kiai Gringsing adalah seorang penunjuk jalan yang
terlampau baik. Tanpa kesulitan yang berarti, mereka berjalan
menembus hutan. Tetapi hutan itu sendiri telah merupakan
penghalang yang banyak memperlambat dan menelan waktu.
Oyot-oyot bebondotan dan tumbuh-tumbuhan merambat
lainnya. Batang-batang kayu yang roboh yang malangmelintang
dan semak-semak yang pepat padat.
Dalam pada itu terdengar Swandaru bertanya, "Apakah jalan
ini pula yang sering dilalui oleh orang-orang yang
menyeberangi hutan ini diantar oleh para pengawal?"
"Ya," jawab Kiai Gringsing.
"Apakah tidak ada jalan lain yang lebih baik?"
"Jalan inilah yang paling tipis ditumbuhi oleh berbagai macam
tetumbuhan. Telah beberapa kali aku menyeberangi hutan ini,
sekali-sekali bersama-sama dengan para pengawal."
Swandaru tidak bertanya lagi. Tetapi ia dapat membayangkan
bahwa di tempat-tempat lain tetumbuhan pasti jauh lebih lebat
dari tempat ini, tempat yang paling banyak dilalui orang.
Ketika mereka masuk semakin dalam ke tengah-tengah hutan
Tambak Baya, maka berbisiklah Kiai Gringsing, "Kita hampir
sampai." "Sampai di mana?" bertanya Agung Sedayu, "Apakah kita
sudah sampai di alas Mentaok?"
****** "Bukan alas Mentaok," sahut Kiai Gringsing. "Kita hampir
sampai di tempat-tempat yang sering dipergunakan oleh para
penyamun mencegat korbannya. Di sini ada beberapa
gerombolan penyamun yang satu dengan yang lain saling
bersaing. Hanya dalam waktu-waktu yang khusus sajalah
mereka dapat menyatukan diri."
"Siapakah yang paling kuat di antara mereka, Kiai?" bertanya
Sutawijaya. "Kekuatan mereka hampir seimbang. Kadang-kadang mereka
menunggu lawan-lawan mereka itu lengah, dan menyerang
mereka dengan tiba-tiba. Tetapi meskipun demikian,
Darukalah yang paling disegani."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi anak
muda itu tidak menjawab. Belum lagi mereka maju terlampau jauh, maka mereka sampai


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di tempat yang agak lapang. Tidak terlampau banyak pohonpohon
perdu yang tumbuh dan akar-akar yang menyilangTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
lintang jalan. Tetapi Kiai Gringsing yang sudah penuh
menyimpan pengalaman itu pun berkata,"Tempat ini adalah
tempat yang paling baik untuk beristirahat, tetapi juga tempat
yang paling berbahaya."
"Kenapa?" bertanya Swandaru meskipun ia telah menduga
apa yang dimaksud oleh gurunya.
"Banyak orang mempergunakan tempat ini untuk beristirahat.
Tetapi tiba-tiba saja mereka disergap, sehingga akhirnya para
pengawal selalu menjauhi tempat ini, dan membawa orangorang
yang dikawalnya beristirahat di tempat lain. Tetapi
hampir tak ada gunanya. Hampir setiap kali para pengawal
harus berkelahi. Tetapi apabila pengawalan cukup kuat, maka
para penyamunlah yang membiarkannya lewat. Meskipun
demikian, kadang-kadang para pengawal itu menyediakan
semacam pajak bagi mereka. Ditinggalkannya beberapa
macam barang, dan dengan demikian mereka tidak di
ganggu." Ketiga anak-anak muda yang mendengarkannya itu
mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi mereka tidak
menjawab. Bahkan tiba-tiba saja mereka mempertajam
pendengaran mereka, seakan-akan mereka mendengar desir
di dedaunan yang kering. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun sejenak
kemudian wajahnya telah menjadi tenang kembali. Bahkan ia
masih berkata terus, "Para penyamun itu datang tanpa
disangka-sangka. Tiba-tiba saja mereka telah mengepung
korban-korbannya." Sutawijayalah yang kemudian bertanya, "Bagaimanakah kalau
mereka yang tidak membawa sesuatu lewat hutan ini Kiai?"
"Biasanya mereka adalah para pedagang yang akan pergi ke
Nglipura atau Mangir atau bahkan ada yang pergi ke
Menoreh." "Jika demikian, apakah Argajaya itu lewat daerah ini pula?"
"Adalah suatu kemungkinan. Tetapi Argajaya pasti tidak akan
memerlukan pengawalan."
Mereka terdiam sejenak. Dalam kediaman itu mereka
mendengar desir yang lembut, namun semakin jelas. Sejenak
mereka saling berpandangan. Dengan isyarat, mereka segera
mengerti, bahwa mereka kini telah terkepung. Tetapi dengan
demikian justru Swandaru tampak bergembira.
Sejenak kemudian berkatalah Kiai Gringsing itu pula, "Tetapi
para penyamun itu pasti akan dapat membedakan. Mereka
yang lewat dengan barang-barang dagangan, dan mereka
yang lewat dengan senjata di lambung."
Tiba-tiba terdengar suara dari balik pepohonan, "Ya, kami
dapat membedakan. Mereka yang lewat dengan senjata di
lambung atau mereka yang pantas mendapat penghormatan
karena memberi kami sekedar oleh-oleh."
Sebenarnya mereka sama sekali tidak terkejut mendengar
suara itu, tetapi Kiai Gringsing yang tua itu terlonjak kecil
sambil berputar menghadap suara itu. "He, siapakah kalian?"
"Kau agaknya mengenal tempat ini terlampau baik kakek tua?"
terdengar suara itu menyahut.
"Ya, aku sudah sering melewati tempati ini. Siapakah kau?"
"Aku sedang menunggu para pengawal yang telah melukai
bebepapa orang-orangku. Aku ingin bertemu dengan mereka.
Tetapi mereka tidak kunjung datang?"
"Tiga hari yang lalu?"
"Dua hari yang lalu."
"Ya, dua hari yang lalu. Aku telah bertemu dengan mereka.
Mereka mengatakan bahwa mereka bertempur dengan orangorangmu.
Ternyata mereka mencari jalan lain, sebab mereka
sudah menyangka bahwa pemimpin gerombolan yang
dikalahkannya itu pasti akan marah."
"He, mereka sudah melewati tempat ini?"
"Jalan lain. Mereka sudah keluar dari hutan ini."
"Gila!" teriak suara itu. Dan tiba-tiba meloncatlah sesosok
tubuh dari balik sebatang pohon yang cukup besar. "Kau
bilang mereka sudah keluar dari hutan ini?"
Yang meloncat dari balik pohon itu adalah seorang yang
bertubuh tinggi, kekar, berdada bidang dan berkepala botak.
Kumis serta janggutnya yang jarang-jarang tumbuh satu dua
disekitar bibirnya yang tebal. Di tangannya tergenggam
sebilah pedang yang panjang.
Dengan kasarnya ia membentak kembali, "Kau bilang, para
pengawal telah keluar dari hutan ini?"
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. "Ya" sahutnya.
"Kemarin sore aku bertemu dengan mereka."
Terdengar orang itu menggeram.
"Dimanakah rumah-rumah mereka itu?" bertanya orang itu.
Kiai Gringsing menggeleng lemah, "Aku tidak tahu."
"Bohong, kau pasti kawan mereka."
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah
ketiga anak-anak muda yang berjalan bersamanya itu. Yang
kemudian menjawab adalah Agung Sedayu, "Kami sama
sekali tidak ada hubungan apapun dengan mereka."
"Bohong! He, apakan orang tua ini ayahmu" Yang
mengajarmu untuk berbohong?"
"Kami bertemu di perjalanan," sambung Sutawijaya.
"Kau pasti mendapat tugas dari mereka untuk memata-matai
kami. Kamu mungkin anak-anak mereka, atau cucu mereka,
atau kemanakan mereka."
"Atau tetangga mereka. Atau orang lain sama sekali,"
Swandaru yang gemuk itu memotong.
Orang yang botak itu membelalakkan matanya. Dengan
pedangnya ia menuding wajah Swandaru. "Jangan bergurau.
Aku sedang kehilangan buruan. Yang datang kini adalah
kalian, maka kalian akan menjadi sasaran kemarahan kami."
"Kami bukan pengawal dan kami bukan pedagang. Kami
datang mencari buruan kami pula," berkata Swandaru.
"Siapakah buruan kalian?"
"Apa saja. Kijang, menjangan, bahkan kancil pun kami mau
pula." Swandaru terkejut sehingga kata-katanya terputus ketika
orang yang botak itu meloncat dan langsung menyerang mulut
Swandaru dengan tangan kirinya. Ternyata orang itu mampu
bergerak sangat cepat. Beruntunglah bahwa Swandaru tidak
terlampau lengah. Ketika ia melihat orang itu mengerinyitkan
dahinya, dan melihat jari tangannya bergetar, maka Swandaru
pun menyadari kemungkinan yang ternyatat benar-benar
terjadi. Dengan lincahnya ia meloncat kesamping menghindari
sambaran tangan orang yang botak itu sehingga serangan itu
sama sekali tidak menyentuh tubuhnya.
Orang yang botak itu semakin membelalakkan matanya.
Sama sekali tidak diduganya bahwa anak yang gemuk itu
mampu menghindari serangannya, sehingga dengan demikian
maka terdengar orang itu menggeram semakin keras.
Swandaru yang meloncat beberapa langkah kesamping, kini
berdiri sambil membelai pipinya. Dengan kerut-merut
diwajahnya ia berkata, "Ternyata kau pemarah. Tetapi jangan
menyerang lawan tanpa memberi kesempatan lawan itu
bersiaga." "Kau menghina aku."
"Sama sekali tidak. Aku berkata sebenarnya."
"Aku tidak peduli, tetapi kalian telah membuat aku marah. Kini
aku mempunyai suatu cara untuk memeras keterangan kalian
tentang para pengawal. Kalu kalian tidak bersedia
memberitahukan kepada kami dimana rumah-rumah mereka,
maka kalian akan terpaksa mengalami perlakuan yang tidak
menyenangkan." "Kami tidak bersangkut paut dengan para pengawal itu, Ki
Sanak," Kiai Gringsing-lah yang kemudian menjawab. "Kami
adalah pemburu yang hanya mengenal binatang-binatang
buruan kami." "Omong kosong! Tak pernah ada pemburu masuk sampai
begini dalam. Mereka biasanya selalu berada jauh di tepi-tepi
hutan ini. Kau pasti orang-orang mereka. Meskipun kalian
tidak bersedia membuka mulut sampai tubuh kalian lumat,
namun kami pasti akan dapat menemukan rumah mereka.
Kematian kalian itu pasti hanya akan sia-sia."
Sutawijaya ahirnya tidak bersabar lagi. Selangkah ia maju dan
berkata, "Jangan mengigau, Ki Sanak. Jangan menakut-nakuti
kami dan jangan mencoba memeras keterangan kami.
Sebutkan siapa namamu."
Orang itu terkejut bukan buatan. Belum pernah ia melihat anak
muda segarang anak yang memegang tombak pendek itu.
Namun sejenak kemudian orang itu tertwa. Semakin lama
semakin keras. Di sela-sela derai tertawanya itu ia berkata,
"Tentu. Tentu kau berani bertolak pinggang dihadapanku,
sebab kau belum tahu siapa aku. Nah, sebaiknya aku
perkenalkan diriku supaya kalian menyadari, betapa kecil arti
kalian bagiku, bagi raja hutan Tambak Baya dan Mentaok in.
Namaku Daruka." Belum lagi orang itu berhenti tertawa, terdengar suara tertawa
yang lain, sehingga dengan tiba-tiba suara orang itupun justru
terputus. Suara itu adalah suara tertawa Swandaru.
"Gila!" teriak Daruka. "Apakah kau mendengar namaku?"
"Jangan kau sangka bahwa hanya kau yang dapat tertawa
sedemikian kerasnya," Sahut Swandaru. "Nah, ketahuilah,
namaku Swandaru Geni. Gegedug anak-anak muda di seluruh
Kademangan Sangkal Putung. Kau pernah mendengar
namaku?" Mata Daruka itu seakan-akan menyala dibakar oleh
kemarahannya. Ternyata anak muda yang gemuk itu sama
sekali tidak takut mendengar namanya, bahkan seolah-olah
ditanggapinya nama yang menakutkan itu sambil bergurau
saja. Tetapi bukan saja anak yang gemuk itu. Ketika ia
memandang berkeliling, maka anak muda yang memegang
tombak itupun sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun
di wajahnya, sedang anak muda yang lain bahkan seolah-olah
acuh tak acuh saja. Kembali Daruka menggeram. Demikian kemarahannya
membakar dadanya, maka terdengarlah ia bersuit nyaring.
Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing pun
segera menyadari, bahwa Daruka sedang memanggil temantemannya
keluar dari persembunyiannya.
Dugaan Kiai Gringsing dan ketiga anak-anak muda dari
Sangkal Putung itu ternyata benar. Sejenak kemudian mereka
melihat beberapa orang berloncatan mendekat dari balik
pepohonan. Di tangan mereka tergenggam berbagai macam
senjata. Ada yang menggenggam pedang seperti pedang
pada lazimnya, ada yang memegang kelewang yang besar,
ada yang membawa canggah, bahkan ada yang membawa
trisula, tombak bercabang tiga.
Tanpa perintah siapapun, maka anak-anak muda itu dengan
sendirinya merenggang dan menghadap kesegala arah.
Seakan-akan mereka telah mengatur diri menghadapi
serangan dari segala penjuru.
Daruka menggeram melihat sikap anak-anak muda itu. Kini ia
yakin bahwa ia berhadapan dengan anak-anak muda yang
bukan sekedar pandai berburu kijang atau menjangan atau
babi hutan. Tetapi mereka adalah anak-anak muda yang
mampu menghadap bahaya seperti yang kini sedang
mengepungnya. "Ternyata kalian cukup menggembirakan kami," bergumam
Daruka. "Kami tidak kecewa lagi kehilangan buruan kami.
Kalian pasti telah diminta sraya oleh para pengawal itu. Kalian
pasti mendapat upah sengaja untuk menghadapi kami."
Yang menyahut adalah Swandaru, "Ya. Kami telah mendapat
upah dari mereka untuk membinasakan kalian."
"Hus!" Agung Sedayu memotong.
Tetapi yang terdengar adalah suara Daruka lantang, "Nah apa
kataku. Betapa kalian mencoba memutar balik keadaan, tetapi
kami yakin, bahwa dengan menangkap kalian dan memeras
darah kalian, kami pasti akan mendapat keterangan tentang
para pengawal itu." Kiai Gringsing dan Sutawijaya hanya dapat menggelenggelengkan
kepalanya. Swandaru ternyata hanya menuruti
kesenangannya sendiri. Tetapi perbuatannya itu benar-benar
telah membakar kemarahan kepala penyamun itu.
Bahkan Swandaru itu berkata tanpa berpaling, karena
kebetulan ia tidak menghadap ke arah Daruka yang berdiri
berhadapan dengan Agung Sedayu. "Sekarang menyerahlah,
supaya hukuman kalian diperingan."
"Setan!" Daruka itu menggeram. "Ternyata anak yang gemuk
itu merasa seperti jantan sendiri. Daruka hanya menyerah
kepada maut. Ayo, kalau mau menangkap kami, tangkaplah."
Sutawijaya-lah yang kini menjawab dengan tergesa-gesa
supaya tidak didahului oleh Swandaru. "Begini Ki Sanak.
Sebenarnya kami tidak bersangkut-paut langsund dengan
kalian, tetapi kami ingin bahwa tak seorang pun terganggu di
dalam perjalanan. Baik di Hutan Tambak Baya, maupun di
Hutan Mentaok." "O, ternyata kau mengigau pula. Jauh lebih sumbang dari
igauan anak yang gemuk itu. Tambak Baya adalah
kerajaanku. Aku tidak akan pernah meniggalkannya selagi aku
masih hidup." "Dengarlah dahulu Ki Sanak," berkata Sutawijaya. Kini ia
berputar setengah menghadap kearah Daruka. "Sebentar lagi
Hutan Mentaok dan Tambak Baya akan menjadi sebuah
negeri. Sebentar lagi akan berdatangan orang-orang yang
akan membuka hutan ini. Nah, apakah katamu"."
Daruka mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir, tetapi
kemudian ia berkata, "Oh, kau benar-benar seorang pemimpi.
Aku tidak ingin mendengarkan igauanmu itu. Aku ingin
mendengar kalian menunjukkan rumah beberapa orang
pengawal yang telah melukai orang-orangku."
"Kami adalah wakilnya," teriak Swandaru.
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mendahului
Daruka yang hampir berteriak pula. "Dengar kataku. Aku
berkata sebenarnya. Tanah Mentaok dan Tambak Baya akan
menjadi milik Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama
di Pajang. Nah, apakah kekuatanmu dapat melampaui setidak2nya
menyamai kekuatan Wira Tamtama Pajang."
Sekali lagi Daruka mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi
ia membentak, "Jawab pertanyaanku. Kalau kalian yang
mewakilinya, maka nyawa kalianlah yang akan menjadi


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tebusannya." Kali ini Swandaru belum sempat menjawab, tetapi telah
didahului oleh Sutawijaya, "Jangan mengancam. Kami telah
siap untuk bertempur. Kami akan menghancurkan kalian
sampai orang yang terakhir. Tetapi perkelahian bukanlah
tujuan kami. Kalau kau mau mendengar, dengarkanlah. Kalian
mempunyai kesempatan yang pertama di hutan Tambak Baya
ini. Mulailah dengan membuka hutan ini sebelum banyak
orang Iain berdatangan. Kalian akan dapat memilih tempat
yang paling baik, yang paling subur dari segala tempat di
hutan ini. Kelak, kalian pasti akan mendapat pengampunan
akan segala macam kesalahan yang pernah kau lakukan di
sini." "Setan alas!" potong
Daruka "macam apa kata-katamu itu?" "Jangan membantah dahulu. Aku adalah prajurit Wira Tamtama yang datang merintis jalan. Apakah kau tidak percaya. Berapa orang yang datang bersamamu" Kami seorang-seorang akan bernilai sepuluh kali orang-orangmu bahkan lebih daripada itu. Kami bukan sekedar pengawal upahan untuk mengantar orangorang yang akan menyeberangi hutan Tambak Baya."
Ketika Swandaru mendengar Sutawijaya bersungguhsungguh,
maka ia kini tidak mau lagi memotong, meskipun ia
menahan kegelian di dalam dirinya.
Tetapi seperti yang telah disangka, Daruka tidak akan mudah
percaya. Bahkan kemudian ia pun bersiap dengan pedangnya.
Sekali ia memandang berkeliling.
Sutawijaya menarik nafas. Tetapi ia mempunyai rencana yang
baik dengan orang ini. Dengan orang terkuat di hutan Tambak
Baya ini. Karena itu, maka katanya, "Daruka, aku mendengar,
bahwa kau adalah orang yang terkuat di antara para
penyamun di hutan ini. Karena itu, maka kau sebenarnya
dapat membantu kami, para prajurit Wira Tamtama. Kau dapat
menebus dosa ini dengan perbuatan yang menguntungkan
dirimu dan menguntungkan kami. Aku akan menanggungmu,
bahwa kau kelak akan mendapat kedudukan yang baik.
Bahkan mungkin kau akan dapat menjadi seorang bekel."
Agung Sedayu dan Swandaru mengerutkan keningnya
mendengar kata-kata Sutawijaya. Tetapi lamat-lamat mereka
dapat menerka maksud anak muda yang akan memiliki hutan
Mentaok dan Tambak Baya itu. Apalagi Kiai Gringsing. Orang
tua itu pun tersenyum di dalam hati sambil bergumam lirih,
"Alangkah tajamnya otak putera Ki Gede Pemanahan ini,"
Tetapi agaknya Daruka sendiri merasa, bahwa Sutawijaya
telah menghinanya. Sehingga karena itu maka sekali lagi ia
menggeram sambil berkata, "Persetan ocehanmu. Apakah kau
Panglima Wira Tamtama, apakah kau Adipati Pajang, aku
tidak peduli. Aku adalah raja di sini. Semua harus tunduk
kepada perintah dan kemauanku."
"Kau mencoba menipuku. Bagaimana dengan gerombolangerombolan
lain yang merasa dirinya raja pula di sini"
Wajah Daruka menjadi merah padam. Katanya, "Tak ada yang
berani melawan Daruka. Semua gerombolan akan dapat aku
binasakan satu demi satu kalau aku mau."
Kenapa hal itu tidak kau lakukan" Ternyata kau tidak mampu
berbuat demikian. Bahkan kadang-kadang anak buahmu
sendiri dapat disergap dan dikalahkan."
"Memang, mereka dapat berbuat demikian dengan licik. Tetapi
Daruka belum pernah dengan sungguh-sungguh mencoba
membinasakan mereka. Asal mereka tidak mengganggu
secara langsung kerajaanku, maka aku tidak terlalu bernafsu
membinasakan mereka. Orang-orangku masih aku perlukan
untuk kepentingan lain."
"Sekarang aku datang untuk menaklukkan kerajaanmu, atas
nama Panglima Wira Tamtama di Pajaag," sahut Sutawijaya.
Kesabaran Daruka kini telah sampai pada batasnya.
Terdengar ia bersuit nyaring. Mendengar aba-aba itu
beberapa orangnya segera mendesak maju dengan senjatasenjata
mereka siap menembus tubuh lawannya.
Tetapi lawannya ternyata benar-benar di luar dugaan mereka.
Dengan lincahnya Sutawijaya meloncat mendesak Agung
Sedayu sambil berkata, "Serahkan orang ini kepadaku.
Tolong, tundukkan orang-orangnya. Jangan kau binasakan
mereka. Beri mereka kesempatan untuk hidup dan menyesali
perbuatannya. Segera Agung Sedayu dapat menangkap maksud itu.
Swandaru yang gemuk dan hanya berbuat seenaknya sendiri
itu pun dapat mengerti pula, sehingga betapa perasaannya
sendiri melonjak-lonjak, namun ia mencoba mengekangnya.
Kiai Gringsing yang berada di antara anak-anak muda itu
menjadi termangu-mangu. Tetapi terdengar Sutawijaya
berkata, "Kiai, apakah Kiai sudi bermain-main dengan kami?"
Kiai Gringsing tersenyum. Sementara itu ia melihat ketiga
anak-anak muda dari Sangkal Putung itu sudah melibatkan diri
dalam perkelahian melawan Daruka dan orang-orangnya.
Sutawijaya sendirilah yang kini berhadapan dengan pemimpin
gerombolan yang ditakuti oleh gerombolan-gerombolan Iain
seisi hutan Tambak Baya dan Mentaok.
Demikianlah, maka segera terjadilah perkelahian yang riuh
antara anak-anak muda dari Sangkal Putung bersama Kiai
Gringsing, melawan gerombolan Daruka yang Iangsung
dipimpin oleh kepala gerombolannya sendiri. Daruka, yang
namanya menakutkan di segenap sudut Alas Mentaok dan
Tambak Baya. Tetapi kali ini yang dihadapinya bukan sekedar seorang
pengawal dari padesan di ujung hutan. Tetapi yang
dihadapinya adalah putera Panglima Wira Tamtama itu
sendiri. Dengan demikian maka Daruka itu benar-benar
terkejut. Hampir tidak kasat mata, maka tombak Sutawijaya
telah memukul-mukul senjatanya.
"Gila," geramnya. Meskipun anak muda itu membawa busur
yang bersilang di punggungnya, serta endong panah
dilambungnya, namun geraknya sama sekali tidak terganggu
olehnya. Kelincahannya dan kecepatannya benar-benar
mengagumkan kepala gerombolan yang garang itu.
Di sisi lain, Agung Sedayu telah memutar pedangnya pula,
sedangkan di sisi yang lain lagi Swandaru berkelahi sambil
tertawa. Kiai Gringsing yang tua itu pun tidak ketinggalan,
tetapi karena ia tidak membawa pedang, maka ia berkelahi
dengan tangannya. Salah seorang gerombolan itu berteriak, "He, orang tua
bangka. Apakah kau mau mati pula."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi begitu mulut
orang itu terkatup, ia terkejut bukan buatan. Yang terasa
olehnya adalah suatu dorongan yang keras. Hampir saja ia
terlempar jatuh. Tetapi beruntuaglah ia segera mampu
berpegangan sebatang perdu. Tetapi matanya tiba-tiba
terbelalak ketika ia melihat senjatanya telah berpindah ke
tangan orang tua itu. "Terima kasih," berkata Kiai Gringsing.
Swandaru tertawa melihat perbuatan gurunya. Katanya "Kiai,
tolong, ambilkan pula bagiku."
"Hus!" kembali terdengar Agung Sedayu berdesis. Tetapi
Swaudaru itu justru tertawa berkepanjangan.
Orang-orang Daruka itu pun kemudian berdesakan maju
bersama-sama, sehingga Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai
Gringsing harus bertempur melawan beberapa orang
bersama-sama. Hanya Daruka sendirilah yang justru
membentak-bentak ketika beberapa orang mencoba
membantunya. "Pergi!" teriaknya. "Aku ingin membunuh anak ini dengan
tanganku sendiri, tanpa kau ganggu sama sekali. "Namun
Daruka sendiri tidak meyakini kata-katanya Apalagi ketika tibatiba
tangannya menjadi pedih. Hampir saja senjatanya
terlepas dari tangannya. Beruntunglah ia bahwa ia masih
mampu mempertahankannya. Dalam pada itu Sutawijaya pun bergumam di dalam hatinya,
"Pantalah kalau orang ini ditakuti oleh gerombolangerombolan
lain di hutan ini. Tandangnya cukup meyakinkan.
Tetapi ia harus segera dapat dijinakkan. Aku harus memberi
kesan kepadanya, bahwa apa yang dilakukan sama sekali
tidak berarti bagiku."
Dengan demikian, maka Sutawijaya pun segera memperketat
serangannya. Bergulung-gulung seperti ombak menghantam
tebing. Adalah di luar dugaan Daruka, bahkan mimpipun tidak, bahwa
akan dijumpainya lawan setangkas anak muda itu. Bahkan
belum pernah ia berkelahi dengan orang yang memiliki
ketangkasan, kelincahan, dan keperkasaan seperti lawannya
kini. Dengan demikian maka ia bergumam di dalam hatinya,
"Mungkin benar apa yang dikatakannya, bahwa ia adalah
seorang prajurit Pajang."
Tetapi kini ia sudah tidak mendapat kesempatan untuk
menghindar. Ketika sekali ia sempat melihat orang-orangnya, maka ia pun
terkejut bukan buatan. Duabelas orang-orangnya itu sama
sekali tidak mampu mendesak ketiga orang lawannya. Orang
yang tua itu pun masih juga mampu berkelahi melawan
beberapa orang-orangnya sekaligus.
Sejenak kemudian Daruka itu pun menjadi bingung. Ia tidak
dapat mundur. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan
bahwa ia beserta anak buahnya itu pasti tidak akan mampu
melawan ketiga anak-anak muda itu beserta seorang tua
bangka. Maka jalan satu-satunya yang dapat dipilihnya untuk
menyelamatkan diri adalah lari. Lari meninggalkan arena
pertempuran itu. Bagi Daruka, maka nilai-nilai harga diri sama
sekali tidak akan diperhitungkan. Bahkan mengorbankan anak
buahnya pun termasuk kebiasaan pula baginya.
Demikian pula kali ini. Ketika tekanan lawannya menjadi
semakin ketat, maka Daruka itu pun telah mencoba mencari
jalan yang mungkin akan dapat dilaluinya untuk
menyelamatkan diri. Tetapi Sutawijaya melihat gelagat itu, Baginya untuk
menjatuhkan kepala gerombolan yang paling ditakuti itu
ternyata tidak terlampau sulit. Dengan demikian, ketika Daruka
itu telah bersiap-siap untuk lari terdengar Sutawijaya
bergumam, "Ayo, akan lari ke manakah kau" Apakah seorang
yang namanya menggelegar di seluruh hutan Tambak Baya
dan Mentaok ini akan tinggal-glanggang colong-playu. Apakah
kau tidak malu terhadap dirimu sendiri, Daruka."
Terdengar Daruka menggeram. Katanya, "Aku tidak pernah
meninggalkan arena sebelum lawanku menjadi mayat atau
aku sendiri yang mati."
Kembali mereka dikejutkan oleh suara Swandaru tertawa
terputus-putus. Sambil menggerakkan pedangnya ia berkata,
"He Daruka. Apakah kau mengigau" Aku percaya bahwa kau
belum pernah meninggalkan gelanggang dalam keadaan
hidup. Jadi apa yang selalu kau lakukan adalah melarikan diri
setelah kau mati." "Setan!" terdengar Daruka menggeram. Bahkan kemudian
orang itu pun mengumpat tak habis-habisnya. Namun justru
suara tertawa Swandaru menjadi semakin keras. Lawanlawannya
sama sekali tidak mampu berbuat apapun atasnya.
Sambil tertawa dan berkelakar Swandaru telah membuat
lawan-lawannya menjadi pening. Bahkan seorang dari antara
mereka telah terluka. Agung Sedayu terpaksa berkelahi melawan lima orang. Tetapi
kelimanya pun tidak dapat mendeak anak muda itu, meskipun
untuk melawannya, Agung Sedayu harus bekerja jauh lebih
keras daripad Swandaru. Mungkin anak buah Daruka itu
mencoba suatu cara untuk menjatuhkan lebih dahulu
lawannya seorang demi seorang, untuk kemudian
melenyapkan semuanya berturut-turut. Tetapi ternyata yang
seorang itu pun tidak dapat dikalahkannya.
Sedang Kiai Gringsing yang tua itu pun harus berkelahi
dengan beberapa orang pula. Dengan sekedar melayani dan
mempertahankan dirinya, Kiai Gringsing sama sekali tidak
banyak berbuat. Ia menunggu saja Sutawijaya mengalahkan
lawannya, dan berbuat menurut rencananya.
Yang ditunggu Kiai Gringsing itu pasti segera akan terjadi.
Sebab Daruka kini benar-benar kehilangan segala
kesempatan. Apalagi kesempatan menyerang, kesempatan
untuk mempertahankan dirinya pun telah hampir tidak dapat
dilakukannya. "Jangan lari," gumam Sutawijaya ketika ia melihat Daruka
selalu mencoba menarik diri.
"Aku bukan pengecut," teriak Daruka
"Huh," sahut Sutawijaya. "Jawabanmu lebih memalukan dari
perbuatanmu. Apakah kau telah melupakan kata-katamu
sendiri bahwa hanya mautlah yang dapat memaksamu untuk
menyerah" Kenapa kau kini akan melarikan diri?"
"Setan tetakan!" mulut Daruka menghamburkan sumpah
serapah tidak karuan. "Aku akan membunuhmu."
Tetapi kata-katanya terputus. Tangkai tombak Sutawijaya tibatiba
mengenai kepalanya yang botak, yang sama sekali tidak
ditutupinya dengan ikat kepala.
Sekali lagi Daruka menyumpah-nyumpah semakin kotor.
Namun sekali lagi kepalanya yang botak itu terpukul oleh
tangkai tombak Sutawijaya.
"Aku baru mempergunakan tangkai tombakku," berkata
Sutawijaya. "Ayo, lebih baik menyerahlah. Aku tidak akan
membunuhmu." Daruka membelalakkan matanya. Tetapi ia masih berkata, "Daruka hanya
menyerah kepada maut."
Kini bukan sekedar tangkai


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tombak Sutawijaya mengenai
kepalanya, tetapi tiba-tiba
pedang Daruka tergetar keras.
Tangannya tiba-tiba terasa
nyeri bukan buatan. Ketika ia
mencoba memperbaiki genggamannya, sekali lagi
pedangnya terasa tersentuh
senjata lawannya. Kali ini ia
sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Pedangnya terlontar beberapa langkah
daripadanya dan jatuh tergolek di tanah yang lembab.
Daruka kini berdiri dengan gemetar. Kemarahannya masih
mencengkam dadanya, tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu.
Ujung tombak Sutawijaya melekat di dadanya yang berbulu
lebat. "Apa katamu?" bertanya Sutawijaya.
Daruka menggeram. Tetapi ketika ujung tombak lawannya
tertekan semakin keras, Daruka itu pun menyeringai.
"Apakah kau hanya menyerah terhadap maut?"
Daruka tidak menjawab. Sementara itu kawan-kawannya
masih juga berkelahi. Namun ketika mereka melihat lurah
mereka sudah tidak berdaya, maka hati mereka pun segera
berkeriput. Anak buah gerombolan itu belum pernah melihat lurahnya
berdiri kaku tegang tanpa dapat berbuat apa-apa karena ujung
senjata lawan yang melekat di tubuhnya. Apalagi ketika sambil
tertawa Swandaru berkata, "Ayo, apa yang akan kalian
lakukan. Lihat kepalamu telah menyerah."
Dalam pada itu Sutawijaya pun berkata pula, "Ayo, lekas
katakana apakah kau hanya menyerah terhadap maut?"
Daruka tidak juga segera menjawab. Tetapi ia menahan
nafasnya ketika ujung tombak Sutawijaya menekan semakin
keras. "Kalau kau menyerah, maka perintahkan orang-orangmu
berhenti melakukan perlawanan. Kalau tidak, maka satu
persatu kalian akan aku penggal kepala kalian dan akan
kutancapkan di ujung hutan ini sebagai pertanda bahwa
Daruka kini sudah tidak menakutkan lagi."
Terasa dada kepala penyamun yang menakutkan itu berdesir.
Betapa tabah hatinya, namun ancaman itu mendirikan bulu
kuduknya. "Cepat!" bentak Sutawijaya. "Pilihlah. Menyerah atau mati.
Kalau kau malu mengakui kekalahanmu, maka kau dapat
memberi perintah saja kepada anak buahmu supaya
menyerah." Daruka masih juga ragu-ragu. Namanya yang menakutkan
selama ini telah menahannya untuk tidak segera melakukan
perintah itu. Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar
sebuah pekik kesakitan. Ketika mereka berpaling, mereka
melihat salah seorang yang berkelahi melawan Swandaru
meloncat surut sambil memegangi lengannya yang berdarah.
"Nah," berkata Sutawijaya, "lihat, seorang anak buahmu
terluka. Apakah kau menunggu mereka terbunuh?"
Daruka itu masih ragu-ragu. Sekali dipandanginya wajah
Sutawijaya dan sekali dilontarkannya pandangan matanya
berkeliling kepada anak buahnya yang sedang berkelahi itu.
Tetapi sekali lagi terasa unung senjata Sutawijaya itu semakin
menekan dadanya dan terdengar Sutawijaya membentak tidak
sabar. "Cepat, atau kau benar ingin mati."
"Tidak," tiba-tiba Daruka itu menjawab terbata-bata.
"Cepat, perintahkan kepada orang-orangmu."
"Baik. Baik," berkata kepala gerombolan itu, yang kemudian
berteriak dengan penuh kebimbangan, "Hentikan perlawanan!"
Beberapa orang Daruka yang sudah merasa, bahwa mereka
tidak akan mampu melawan, tidak menunggu perintah itu
terulang. Segera mereka berloncatan mundur menjauhi
lawannya. Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir pun segera
menghentikan perkelahian pula. Mereka sama sekali tidak
mengejar lawan-lawan mereka, dan membiarkannya berdiri
termangu-mangu meskipun senjata mereka masih tetap di
dalam genggaman. "Nah," berkata Sutawijaya, "sekarang jawablah pertanyaanku.
Apakah kau menyerah atau tidak?"
Mulut Daruka kembali terbungkam. Hanya matanya sajalah
yang berkeredipan seperti anak burung yang menunggu
induknya. "He, apa katamu?" bertanya Sutawijaya mengejut.
Daruka itu pun terperanjat sehingga terhenyak selangkah
surut. Tetapi ujung tombak Sutawijaya masih mengikutinya.
"Jawab!" bentak Sutawijaya.
"Ya," akhirnya Daruka menjawab penuh keragu-raguan.
"Kau ragu-ragu."
"Ya." "He?" "Oh, tidak," Daruka itu tergagap.
"Sekarang katakana. Apakah kau menyerah atau tidak?"
"Ya, aku menyerah."
"Nah. Ternyata harga dirimu masih kalah bernilai dari
nyawamu. Apakah kau benar-benar menyerah?"
"Ya." "Aku dapat mempercayaimu?"
"Ya." ***** Sutawijaya menarik nafas. Jawaban orang itu sama sekali
tidak meyakinkannya. Memang kemungkinan yang paling
dekat adalah, Daruka sekedar mencoba menyelamatkan
dirinya. Tetapi meskipun demikian Sutawijaya ingin
mencobanya. Katanya, "Daruka. Apakah kau benar orang
yang paling ditakuti di hutan Tambak Baya dan Mentaok ini?"
Daruka kembali menjadi ragu-ragu. Tetapi ia menjawab, "Ya.
Demikianlah kata orang."
"Ketahuilah Daruka. Kau memang seharusnya dimusnahkan
dari hutan ini. Tak ada cara yang lebih baik daripada
membunuhmu dan memenggal lehermu untuk ditanjir di mulut
hutan ini." "Tetapi," wajah Daruka tiba-tiba menjadi pucat.
"Apakah yang lebih baik menurut pendapatmu?" bertanya
Sutawijaya. Daruka menjadi makin pucat.
"Apakah kau mempunyai cara yang lebih baik daripada ditanjir
di mulut hutan untuk mengabarkan bahwa orang-orang yang
ingin menyeberangi hutan ini tidak perlu takut lagi kepada
Daruka" "Tetapi, tetapi, bukankah aku udah menyerah?"
"Kau menyerah di hadapanku. Apabila aku pergi, maka tak
ada lagi yang kau takuti."
"Aku tidak akan ingkar. Aku menyerah."
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kembali ia
bergumam seperti kepada diri sendiri, "Mustahil. Mustahil
orang semacam Daruka ini dapat dipercaya. Mulutnya baru
dapat dipercaya apabila ia sudah tidak dapat berkata sepatah
kata pun lagi." Tiba-tiba Daruka yang kekar itu menjadi gemetar. "Jangan kau
bunuh aku. Aku kira tidak akan banyak gunanya. Bukan hanya
aku sendiri perampok dan penyamun di hutan ini."
"He," bentak Sutawijaya, "kau ingin hidup karena bukan hanya
kau endiri perampok di dalam hutan ini?"
Adalah menggelikan sekali tampaknya bahwa seorang yang
bertubuh segagah Daruka dapat menjadi gemetar dan
ketakutan. Wajahnya kini benar-benar menjadi seputih kapas.
Sekali lagi ia merengek seperti kanak-kanak yang melihat
bapanya menggenggam cemeti.
"Ampun, Tuan. Ampun."
Sutawijaya memandanginya dengan tajamnya. Kemudian
memandang beberapa anak buah Daruka. Aneh. Mereka pun
menjadi gemetar dan ketakutan. Wajah-wajah mereka pun
menjadi seputih kapas. "Hem," desah Sutawijaya, "aku sangka kalian tidak mengenal
takut, meskipun berhadapan dengan maut."
"Tuan," berkata Daruka, "kami bukan seorang prajurit. Kami
berkelahi sekedar untuk mendapat makan. Sedang prajurit
bertempur untuk kewajiban. Karena itu, maka mungkin Tuan
sebagai seorang prajurit tidak takut mati dalam kewajiban
Tuan. Tetapi kami ingin bahwa kami tidak mati hanya karena
kami sedang mencari sesuap nasi."
Betapa tegang hati Sutawijaya, namun ia harus tertawa di
dalam hati mendengar kata-kata Daruka.
"Karena itu, Tuan," Daruka meneruskan, "kami mohon
ampun." "Daruka," sahut Sutawijaya, "mungkin kau sekarang
menyadari bahwa seakan-akan tidaklah seimbang
kesalahanmu dengan hukuman mati itu, karena kau hanya
sekedar mencari makan untuk hidupmu. Tetapi bagaimana
dengan para pengawal itu" bukankah mereka pun bekerja
sekedar untuk mendapatkan upah yang berarti sekedar untuk
mendapatkan sesuap nasi juga" Apakah sudah selayaknya
bahwa kau berkeras hati untuk mencarinya dan kemudian
membunuh mereka karena mereka telah melawan anak
buahmu dan mengalahkannya?"
"Aku tidak akan membunuh mereka, Tuan. Tidak."
"Untuk apa kau cari mereka?"
"Kami hanya akan mencari siapakah yang telah mencelakai
orang-orangku." "Ya, untuk apa?" bentak Sutawijaya.
Orang yang botak itu menundukkan kepalanya.
"Daruka," berkata Sutawijaya kemudian.
Daruka mengangkat wajahnya.
"Wajahmu seram. Tubuhmu pun cukup mengerikan. Kau
memang pantas bernama Daruka, seorang yang menakutkan
di hutan Tambak Baya dan Mentaok. Seorang yang paling
ditakuti oleh gerombolan-gerombolan lain di alas ini."
Daruka tidak menjawab. Ia tidak tahu, apakah maksud
Sutawijaya sebenarnya. "Apakah kau sudah benar-benar menyerah?"
"Ya, Tuan," sahut Daruka serta-merta.
"Dan menyesal?"
"Ya, Tuan." Daruka, dengarlah baik-baik," berkata Sutawijaya bersungguhsungguh.
"Kau dengar bahwa sebentar lagi hutan ini akan
dibuka menjadi sebuah negeri?"
"Ya, Tuan." "Nah, dengan demikian maka setiap kotoran yang ada di
dalam hutan ini harus dibersihkan lebih dahulu. Panglima Wira
Tamtama yang akan memiliki hutan ini tidak mau melihat
orang-orang semacam kau ini tinggal di dalam hutan ini."
"Aku akan pergi, Tuan."
"He," Sutawijaya membelalakkan matanya, "begitu
mudahnya" Kau menyamun dan merampok. Setelah kau
tertangkap begitu saja kau pergi" Tidak. Kaupun pasti akan
menyamun dan merampok di tempat lain sebab kau tidak
punya pekerjaan tertentu."
"Tidak, Tuan. Aku akan mencoba mencari tanah pertanian
dengan anak buahku. Aku akan hidup bercocok tanam
bersama dengan mereka."
"Sementara ini kau tidak akan dapat melakukannya. Kau
adalah seorang yang biasa hidup dengan berkelahi," jawab
Sutawijaya. "Apalagi kau tertangkap saat kau melakukan
perlawanan. Lain halnya kalau kau menyerah sebelum aku
menarik pedang dari sarungnya."
"Ampun, Tuan." "Kau harus dihukum."
"Tetapi aku minta diampuni, Tuan. Aku masih belum ingin
mati." "Orang-orang yang kau rampok dank au bunuh pun belum
ingin mati." Daruka terdiam. Beberapa titik keringat dingin menetes pada
pundaknya. Tubuh yang gemetar itu menjadi kian menggigil.
"Daruka," berkata Sutawijaya seterusnya, "kau harus
menerima hukuman. Kalau kau benar menyesal atas segala
tingkah lakumu, maka kau harus dapat memenuhi beberapa
syarat supaya kau tidak dihukum mati."
Daruka mengangkat wajahnya. Tampaklah sebersit harapan di
dalam wajahnya. "Apakah syarat itu, Tuan?"
"Tetapi jangan mencoba melepaskan diri dari tanganku dan
tangan Wira Tamtama."
"Tidak, Tuan." "Tidak aka nada gunanya. Aku akan selalu dapat
mengawasimu dan menangkap kau setiap saat. Kau tidak
dapat mengalahkan aku, apalagi para pemimpin Wira
Tamtama lainnya." "Ya, Tuan." "Nah, dengarlah syarat itu. dalam waktu yang dekat, sebe lum
hutan ini mulai dibuka, maka kau harus sudah menyelesaikan
syarat itu. kau harus mampu menangkap semua orang yang
menjadi penyamun dan perampok di dalam hutan ini. Kau dan
orang-orangmu harus mampu menumpas semuanya. Tetapi
ingat. Aku tidak memerintahkan kepadamu untuk menumpas
orang-orangnya, tetapi perbuatannya. Apakah kau dapat
mengerti" Hanya apabila perlu kau boleh mempergunakan
pedangmu. Kau mengerti?"
Wajah Daruka yang telah memutih kapas itu kini mulai dialiri
oleh darahnya kembali. Ditatapnya wajah Sutawijaya seakanakan
ia ingin mendengar ketegasan dari kata-katanya.
"Apakah yang harus kau lakukan?"
"Membinasakan setiap gerombolan yang ada di hutan ini."
"Tetapi jangan berlaku seperti apa yang pernah kau lakukan.
Ingat, alangkah ngerinya menghadapi maut. Kau sendiri telah
melupakan kejantanan dan kesombonganmu ketika kau sudah
mulai dijamah oleh bahaya maut itu."
"Kau dengar kata-kataku?" bertanya Sutawijaya.
"Ya, Tuan. Aku mendengar," jawab Daruka.
"Kau mengerti?"
Daruka termangu-mangu sebentar. Tiba-tiba ia mengangguk.
"Ya, Tuan aku mengerti."
Daruka mengerutkan keningnya.
"Kau merasa tidak seimbang bahwa kau harus mati karena
sesuap nasi. Demikian pula orang-orang lain. Gerombolangerombolan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lain. Tundukkan mereka, kalau mungkin
tanpa pepati. Bawalah mereka memilih tanah yang paling baik
di seluruh hutan Mentaok. Bukalah hutan itu, kalian akan
mendapat hak untuk bertempat tinggal di sana kelak apabila
tempat ini menjadi ramai. Kau mengerti?"
"Ya, aku mengerti," sahut Daruka sambil mengangguk lemah.
Ia tahu benar apa yang harus dilakukan. Mengalahkan
gerombolan-gerombolan yang ada di hutan ini sejauh mungkin
tanpa melukai kulit mereka. Apakah ia mampu berbuat seperti
anak muda itu" tetapi Daruka tidak lagi bertanya.
"Nah, lakukan perintahku baik-baik. Dengan demikian kau
telah menyelamatkan dirimu sendiri. Memberi harapan kepada
kedamaian hatimu sendiri di masa-masa mendatang. Apakah
apabila otot-ototmu telah menjadi rapuk dimakan umur, kau
masih juga merasa orang yang paling ditakuti di hutan ini"
Dan apakah kau masih merasa mampu mencari sesuap nasi
dengan pedang di genggaman?"
"Ya, Tuan," Daruka mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mulai hari ini kau sudah dapat melakukan pekerjaanmu. Tetapi
ingat, jangan mencoba melepaskan diri dari pengawasan Wira
Tamtama. Kalau kau lancing kali ini, maka hukumanmu bukan
sekedar dipancung di alun-alun, tetapi kau akan dirampog
setelah kau diadu melawan harumau di alun-alun. Kalau kau
juga tidak mati, maka kau akan dihukum picis. Kau dengar?"
Meskipun Daruka selama ini tidak pernah ngeri mendengar
nama harimau, namun diadu dengan harimau di alun-alun
untuk mengganti rampogan adalah tidak menyenangkan sama
sekali. Apabila ia masih hidup maka hukuman picis telah
menunggu. Adalah tidak menyenangkan mati di celah-celah
gigi harimau atau mati tersayat-sayat dalam menjalani
hukuman picis. Karena itu maka ia tidak mempunyai pilihan lain dari
bertempur melawan setiap gerombolan yang ada di hutan
Tambak Baya dan Mentaok. Hampir setiap gerombolan telah
dikenalnya dengan baik. Dan tak seorang pun yang perlu
dicemaskannya apabila mereka berhadapan beradu dada.
"Nah, apakah kau sanggup melakukan?" bertanya Sutawijaya.
Daruka tersentak mendengar pertanyaan itu. dengan sertamerta
ia menjawab, "Ya, Tuan. Aku sanggup."
"Bagus," berkata Sutawijaya pula. "Pergilah. Lakukan perintah
ini. Tetapi kau jangan berbuat semena-mena dan
menyalahgunakan perintahku. Aku tidak memerintahkan
kepadamu untuk mengadakan pembantaian dan pembunuhan
besar-besaran. Kalau mungkin selesaikan dengan
pembicaraan. Kau dapat menceriterakan kepada mereka apa
yang kau alami. Kau dapat memberitahukan bahwa sebentar
lagi sepasukan Wira Tamtama akan menjelajah seluruh isi
hutan ini." "Ya, ya aku mengerti, Tuan," sahut Daruka.
"Kalau demikian, pergilah. Bawa orang-orangmu. Apakah
orang-orangmu hanya sebanyak dua belas orang ini?"
"Tidak, Tuan. Aku mempunyai lebih dari duapuluh lima kawan.
Aku mengharap mereka dapat mengerti apa yang harus aku
lakukan. Dan aku harap mereka dapat membantuku."
"Bagus," desis Sutawijaya, "sekarang pergilah. Di Cupu watu,
Nglipura, Mangir, Menoreh, tersebar prajurit-prajurit Wira
Tamtama. Kalau kau ingkar, maka kau pasti akan menyesal."
"Tidak, Tuan. Aku tidak akan ingkar. Berkelahi melawan
gerombolan yang ada di hutan ini bagiku adalah jauh lebih
ringan daripada berkelahi melawan Wira Tamtama seperti
Tuan." Sutawijaya tersenyum di dalam hati. Kemudian sekali lagi ia
berkata, "Pergilah. Kumpulkan orang-orangmu, dan mulailah
melakukan pekerjaanmu itu."
"Baik, Tuan. Kami, seluruh orang-orangku mengucapkan
beribu terima kasih atas kesempatan yang Tuan berikan
kepada kami." "Jaga kepercayaan ini baik-baik."
"Ya, Tuan." Sejenak kemudian Daruka beserta orang-orangnya pun
segera meninggalkan mereka. Satu-satu mereka menghilang
ke dalam semak-semak. Satu dua di antara mereka masih
juga berpaling memandangi wajah anak-anak muda itu. tetapi
segera mereka membuang pandangan mata ketika mereka
melihat Swandaru yang gemuk mencibirkan bibirnya.
"Mudah-mudahan usaha ini berhasil," gumam Sutawijaya.
"Anakmas cukup cerdik," sahut Kiai Gringsing. "Aku kira
Daruka benar-benar ketakutan. Ia pasti akan melakukan
perintah itu. mudah-mudahan ia berhasil. Nanti Anakmas akan
membuka hutan ini dengan tenteram. Orang-orang yang
berdatangan tidak lagi takut mendapat gangguan dari para
penyamun dan perampok. Untuk membasmi mereka dengan
cepat, alangkah sulitnya. Sekarang Anakmas mendapat alat
yang sebaik-baiknya untuk melakukan pekerjaan itu. dan pasti
hasilnya pun akan lebih baik daripada Anakmas mengerahkan
sepasukan Wira Tamtama."
Sutawijaya tersenyum. "Mudah-mudahan, Kiai," katanya.
Swandaru yang masih berdiri di tempatnya menyahut, "Aku
tidak dapat mempercayai mereka sepenuhnya. Kalau Daruka
sendiri mungkin benar-benar telah jera, tetapi aku tidak yakin
melihat wajah-wajah dari anak buahnya."
Sutawijaya masih saja memandangi semak-semak di mana
Daruka dan orang-orangnya menghilang. Sejenak ia terdiam.
Tetapi yang menjawab perkataan Swandaru adalah Kiai
Gringsing, "Tidak, Swandaru. Gerombolan perampok dan
penyamun merasa jauh lebih takut kepada pimpinannya
daripada prajurit yang manapun juga. Seorang pemimpin
perampok atau penyamun dapat saja menghukum mati
anggotanya setiap saat dikehendaki. Tanpa banyak
pertimbangan dan tanpa banyak pertanggungan jawab.
Seorang yang dianggapnya berkhianat atau kurang baik
melakukan pekerjaannya, akan dapat mengakibatkan
kepalanya terlepas. Kalau kemudian ternyata bahwa tuduhan
yang diberikan kepadanya itu keliru, maka pimpinannya cukup
bergumam "Oh, ternyata keliru," tetapi yang mati itu tetap juga
mati. Dengan demikian, maka setiap anggota perampok atau
penyamun atau sebangsanya akan berusaha untuk mentaati
dan menyenangkan hati pemimpinnya."
Swandaru mengangguk-anggukan kepalanya. Apa yang
ditemuinya kali ini benar-benar memberinya banyak
pengalaman. Meskipun hanya berpapasan, tetapi ia melihat
beberapa orang pengywal yang benar-benar telah
mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi orang lain
meurut kesanggupannya. Mereka adalah orang-orang yang
sebenarnya mempunyai tanggungjawab yang tinggi atas
pekerjaan yang mereka pilih. Kemudian Swandaru itu melihat
sebuah gerombolan perampok dan penyamun. Dengan
demikian, maka ia telah mendapat sedikit gambaran apa yang
sebenarnya tersimpan di gutan2 yang besar dan lebat seperti
hutan Mentaok dan Tambak Baya ini.
Bagi Sutawijaya, apa yang dilihat itu pun telah memberikan
petunjuk kepadanya, apakah yang kelak akan dihadapinya.
Mungkin Daruka dapat melakukan sebagian dari tugasnya,
tetapi mungkin uga ia akan menemui kegagalan. Seandainya
Daruka benar-benar ingin melakukan tugasnya, maka yang
dihadapinya bukan saja satu atau dua gerombolan, yang tidak
begitu banyak mempunyai perbedaan kekuatan. Mungkin
gerombolan yang lain dapat bergabung satu sama lain untuk
bersama-sama mengadapi gerombolan Daruka atau bahkan
memusnahkan gerombolan Daruka ini.
Sejenak mereka saling berdiam diri tenggelam dalam anganangan
masing-masing. Yang mula-mula memecah
kesenyapan itu adalah Kiai Gringsing, "Bagaimana, Ngger.
Apakah kita akan berjalan terus?"
"Kita sudah sampai di sini Kiai, apakah salahnya kalau kita
berjalan terus?" jawab Sutawijaya.
"Kita tidak akan menemukan apa-apa lagi. Alas Mentaok
hampir tak akan ada bedanya dengan hutan ini. Kita hanya
dapat melihat pohon-pohon raksasa. Akar-akaran dan batangbatang
yang merambat. Daun-daun yang mengandung racun
yang sangat gatal, sejenis semut yang disebut semut Salaka,
tetapi yang kini sudah hampir punah. Harimau yang garang
dan kijang yang bertanduk panjang. Apa lagi?"
"Apakah sama sekali tidak ada daerah yang didiami orang
Kiai?" "Tentu saja tidak di tengah-tengah Alas Mentaok. Kalau
Angger berjalan terus menembus sisi yang lain dari Alas
Mentaok maka Angger akan sampai di daerah yang
berpenduduk. Daerah Nglipura, Pliridan yang masih terlampau
dekat dengan hutan ini, sebelum kita sampai di hutan Mentaok
yang menjorok ke Selatan di daerah Beringan dan Pacetokan.
Tetapi menurut pengelihatanku saat-saat terahir daerah ini
sudah ditinggalkan oleh penduduknya karena gangguan para
penjahat. Kemudian agak jauh ke Selatan Angger akan
menemui daerah yang sudah agak ramai, Mangir."
"Apakah daerah itu juga termasuk daerah Mentaok?"
Kiai Gringsing mengerutkan keninya. Tetapi kemudian ia
menggeleng, "Aku tidak tahu, Ngger. Meskipun daerah itu
dahulu juga termasuk daerah yang tunduk kepada Sultan
Demak. Apakah daerah itu kemudian akan tunduk juga
kepada Adipati Pajang untuk seterusnya termasuk tanah yang
akan dihadiahkan kepada ayahanda Ki Gede Pemanahan, aku
tidak tahu." Sutawijaya berpikir sejenak. Tiba-tiba ia berkata, "Aku ingin
melihat daerah itu, Kiai."
Kiai Gringsing menarik nafas. Katanya, "Angger memrlukan
waktu yang lama. Apalagi dedatangan angger belum tentu
akan mendapat sambutan yang baik. Kita belum tahu,
bagaimana tanggapan Mangir atas Pajang dan atas Alas
Mentaok." "Karena itu aku ingin menemuinya. Siapakan yang
memerintah Mangir" Seorang Demang?"
"Mangir adalah sebuah Tanah Perdikan, Ngger. Seperti
daerah-daerah di Bukit Menoreh. Perdikan yang dikukuhkan
oleh pengakuan Sultan Trenggana."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tanah itu tanah perdikan.
Tiba-tiba dadanya menjadi berdebar-debar. Di samping tanah
yang akan diterimanya, terletak sebuah tanah perdikan yang
sudah menjadi ramai. Apakah tanah itu mengakui kekuasaan
Pajang atas penyerahan kekuasaan daerah itu kepada Ki
Gede Pemanahan" Lalu bagaimanahkah sifat dan bentuk
Tanah Mentaok kelak"
Kiai Gringsing yang tua itu seakan-akan dapat membaca
perasaan Sutawijaya. Maka katanya, "Anakmas. Jangan
terlampau pagi merisaukan tanah ini. Apakah Angger kini
sedang dijalari oleh kecemasan tentang Mangir itu" Apakah
tidak ada bahaya yang dapat datang dari tanah itu selagi
Angger membuka Tanah Mentaok ini" Bukankah Angger
berpikir tentang itu?"
"Ya Kiai." "Lupakanlah. Kita akan melihat perkembangan keadaan.
Memang Mangir adalah tanah perdikan yang perllu mendapat
perhatian, Tetapi tidak sekarang. Sekarang sebaiknya kita
kembali ke Sangkal Putung."
Sutawijaya menarik nafas. Mangir akan dapat menumbuhkan
persoalan kelak. Kemudian dipalingkannya wajahnya kepada
kedua kawan-kawannya yang perhatiannya agaknya tertarik
kepada pohon-pohon raksasa dan jenis burung2 liar yang
terbang hilir mudik dari dahan ke dahan.
"Bagaimana dengan kita?" bertanya Sutawijaya kepada kedua
anak muda itu Agung Sedayu dan Swandaru tidak segera menjawab. Bahkan
sejenak mereka saling berpandangn. Tetapi keduanya
ternyata saling berdiam diri.
Meskipun Swandaru merasa banyak mendapatkan
pengalaman dalam perjalanan itu, dan meskipun sebenarnya
ia masih ingin menjelajahin tempat-tempat yang selama ini
belum pernah dilihatnya, namun ia ingat juga kepada
kademangannya. Kademangan yang selama ini
dipertahankannya dengan pengorbanan yang tidak kecil.
Bahkan nyawa dari beberapa orang telah pula dikorbankan.
Sedang Agung Sedayu pun mempunyai pertimbanganpertimbangan
yang lain pula. Ia menjadi cemas, apakah
kakaknya Untara membenarkannya. Kalau terjadi sesuatu
atas Sangkal Putung dan para prajurit Pajang, bahkan atas
kakaknya Untara dan pamannya Widura, maka ia tidak dapat
melihatnya. Ia akan dapat dipersalahkan, bahwa ia telah
meninggalkan kuwajibannya.
Tetapi mereka berdua tidak inin mendahului pendapat
Sutawijaya. Mereka telah terlanjur berjanji ingin pergi
bersamanya ke Alas Mentaok. Sehingga karena itu, maka
dibiarkannya Sutawijaya itu sendiri menjawab pertanyaannya.
"Bagaimana, Ngger?" bertanya Kiai Gringsing kemudian. "Aku
harap Angger mempertimbangkannya. Meskipun Angger
sampai juga di Alas Mentaok, maka yang akan Angger lihat
adalah serupa ini juga. Pohon-pohon besar dan rimbun,
gerumbul-gerumbul perdu yang pepat. Pohon-pohon yang
merambat, yang tidak berduri dan yang berduri. Batu-batu
padas yang kotor dan jamur-jamur dari segala macam jenis.
Kemladean dan beberapa macam anggrek. Angger tidak akan
dapat melihat dengen jelas, manakah batas-batas yang
memisahkan Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya. Mungkin
sebuah padang rumput yang sempit yang masuk dalam
sebuah lekukan hutan ini dapat dianggap sebagai batas
tersebut. Tetapi di dalam hutan, maka batas itu tidak akan
nampak." Sutawijaya menjadi bimbang. Ia menyadari, betapa hangatnya
keadaan Sangkal Putung kini. Apalagi apabila ayahnya telah
pergi meniggalkan kademangan itu. Maka Sangkal Putung
akan mengalami saat yang paling lemah tanpa adanya Agung
Sedayu, Swandaru dan lebih-lebih Kiai Gringsing. Sedang apa
yang akan dilihatnya pun tidak akan jauh berbeda dari apa
yang dilihatnya sekarang. Bruntunglah bahwa ia telah bertemu
dengan gerombolan terkuat dari Alas Mentaok, Daruka, yang
dapat memberinya beberapa macam gambaran tentang Alas
Mentaok yan liar. Liar wajah dan isinya.
Ketika Agung Sedayu dan Swandaru tidak juga menjawab,
maka terdengar Sutawijaya itu berdesis "Baiklah, Kiai. Aku
telah puas melihat sebagian saja dari Alas Mentaok. Bagian
yang bernama Tambak Baya. Aku mengerti, bahwa Sangkal


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putung kini benar-benar dalam keadaan yang sulit apabila Ki
Tambak Wedi mengambil kesempatan menyerangnya. Karena
itu, baiklah kita kembali."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagus,"
desisnya, "ternyata Angger cukup bijaksana. Sejak saat ini kita
akan memerlukan waktu sedikitnya dua malam untuk
mencapai Sangkal Putung kembali. Hari ini telah lebih dari
separo kita lampaui untuk bermain-main dengan Daruka dan
kawan-kawannya. Kita masih memrlukan waktu lagi unuk
memberi kesempatan Swandaru memburu makan malamnya
nanti." Swandaru menggigit bibirnya, sedang kedua kawannya
tertawa perlahan-lahan. "Kalau begitu," berkata Kiai Gringsing kemudian, "kita segera
kembali ke Sangkal Putung. Jangan kita lalui kembali
Kademangan Prambanan. Kita pasti akan terhambat pula
desikitnya satu malam. Kita tidak akan sampai hati menyakiti
perasaan mereka apabila kita menolak permintaan mereka
untuk bermalam di kademangan itu."
"Baik, Kiai," sahut Sutawijaya.
"Kita berusaha mencari jalan lain pula. Mungkin Argajaya
membuat persiapan yang baik untuk menyambut kedatangan
kita di Sangkal Putung. Karena itu, biarlah kita mencoba
menghindarinya." "Kenapa tidak kita penggl saja lehernya, Kiai?" potong
Swandaru. "Leher yang melekat ditubuh Argajaya bukanlah leher ayam.
Ia pasti akan mempertahankan lehernya. Bahkan tidak
seorang diri. Mungkin bersama Sidanti, Sanakeling, Alap-alap
Jalatunda dan bahkan mungkin pula Ki Tambak Wedi. Nah,
kalau demikian apakah bukan lehermu yang meremang?"
Swandaru tersenyum. Kedua kawannya pun tersenyum pula.
"Nah, marilah. Kita harus mempergunakan waktu sebaikbaiknya.
Nudah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan
Sangkal Putung." Tetapi dengan demikian, kata-kata Kiai Gringsing yang
terakhir itu telah membuat jantung Swandaru menjadi
berdebar-debar. Agung Sedayu pun merasa cemas pula.
Apakah sebenarnya yang paling mencemaskan baginya"
Agung Sedayu sendiri kadang-kadang menjadi ragu-ragu.
Untara barangkali" Untara adalah kakaknya. Untara adalah
seorang senapati. Seorang yang memimpin sepasukan prajurit
yang kuat. Kenapa ia mesti mencemaskannya" Sangkal
Putung barangkali" Kademangan itu" Agung Sedayu tiba-tiba
menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau menelusur lebih jauh,
apakah sebabnya kecemasannya tentang Sangkal Putung
menjadi kian memuncak. Keempatnya kini telah berjalan kembali kearah yang
berlawanan dari jalan yang telh ditumpunya. Tiba-tiba saja
mereka merasa bahwa merka telah terlampu lama
meninggalkan Sangkal Putung. Sutawijaya pun merasa,
bahwa ayahnya pasti tidak terlampau senang kepadanya
karena kepergiannya yang tanpa pamit itu.
Demikianlah maka mereka berusaha tanpa berjanji, berjalan
secepat-cepatnya untuk mencapai Sangkal Putung. Mereka
paling sedikit masih memrlukan dua malam satu hari
diperjalanan. Kalau saja tidak ada rintangan apapun, kalau
saja mereka tidak berjumpa dengan orang-orang Prambanan
yang akan meminta mereka untuk singgah, kalau saja mereka
tidak bertemu dengan Argajaya dan Sidanti.
Sebagin dari harapan mereka itu pun terjadi. Mereka setelah
bermalam satu malam, dapat melampaui Prambanan tanpa
dilihat oleh seorang pun sehingga mereka tidak perlu singgah.
Tjeng Hong Kie Su 1 Crash Into You Karya Aliazalea Pisau Terbang Li 6

Cari Blog Ini