Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 11

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 11


Sementara itu, obat itupun akan sangat berarti bagi orang
lain yang memerlukan pertolongan"
Mahisa Agnipun tertawa. Katanya "Ya Kalian akan
dapat memanfaatkan obat-obat itu. Tetapi yang aku tidak
mengerti, seandainya ada orang yang terkena racun, jika
seketika orang itu mengenakan benda-benda yang dimiliki
oleh anak-anak itu, apakah racun itu juga akan tawar?"
"Demikianlah menurut keterangan pemiliknya yang
memberikan benda-benda itu kepadaku" jawab Mahendra
"seandainya ada seseorang yang terkena racun atau dipagut
ular, maka dengan menempelkan benda-benda, itu pada
tubuh korban, maka racun itu akan menjadi tawar"
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Bendabenda
itu tentu lebih baik bagi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat dari pada obat yang akan dibawanya. Dengan bendabenda
itu melekat di tubuh mereka, maka mereka akan
langsung terhindar dari racun yang menyerang mereka dari
manapun datangnya. Tanpa memerlukan waktu
sebagaimana mereka harus mengobati luka-luka mereka.
Apalagi benda-benda itupun akan dapat menolong orang
lain yang juga terserang racun.
Meskipun demikian, Mahisa Agni dan Witantra telah
menyerahkan obat yang mereka dapatkan dari istana itu
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mungkin orang
lain akan memerlukannya. Dengan demikian, maka niat Mahisa Murti dan mahisa
Pukat untuk menempuh pengembaraan lagi menjadi
semakin kuat. Rasa-rasanya mereka ingin saat itu juga
berangkat. Bekal mereka menjadi semakin lengkap dengan
benda-benda yang dapat melawan bisa, sementara ayahnya
telah memberikan beberapa petunjuk terpenting dalam
puncak kemampuan ilmu mereka.
"Perjalanan itu akan terasa semakin menyenangkan"
berkata Mahisa Pukat. "Kita akan segera dapat melihat, apa yang sebenarnya
telah dilakukan oleh orang-orang yang memesan kapak itu
Mudah-mudahan kita tidak terlambat mengatasi rencana
mereka yang mengerikan itu. Banjir di setiap tahun dan
kekeringan di setiap tahun pula" sahut Mahisa Murti.
"Tetapi hati-hatilah" pesan Mahisa Agni "hal itu bukan
sekedar akan kau lihat di lereng pegunungan. Yang terjadi
di lereng pegunungan itu ternyata dikendalikan oleh
beberapa orang yang mempunyai pengaruh yang kuat di
Kediri" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, Witantrapun berkata "Mungkin
kau tidak dapat membayangkan, betapa besarnya yang kau
hadapi karena kau belum mengetahui berapa besarnya
pengaruh para bangsawan di Kediri. Karena itu, maka kau
merasa sama sekali tidak cemas menghadapi mereka.
Seperti anak-anak yang sama sekali tidak takut memegang
api. Baru ketika tangannya terbakar, ia menyadari, bahwa
api itu dapat menyakitinya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi
mereka benar-benar mulai berpikir. Bahkan perjalanan
mereka mendatang, memang perjalanan yang penuh
dengan bahaya. Apalagi jika mereka benar-benar ingin mengetahui dan
lebih-lebih lagi untuk mencegah orang-orang yang menjadi
alat orang-orang tertentu di Kediri.
Namun niat kedua orang anak muda itu sudah bulat.
Nampaknya sudah tidak ada lagi yang dapat menghalangi
mereka Karena itu, maka yang tua-tuapun hanya dapat
memberikan pesan dan nasehat, apa yang harus diketahui
oleh anak-anak muda yang jiwanya sedang bergejolak.
Jiwanya yang mekar dan berkembang.
Mahendra menyadari, jika jiwa yang sedang mekar itu
dibendungnya, maka pada suatu saat justru akan meledak
dan akibatnya akan tidak dapat diperhitungkan
sebelumnya. Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun segera bersiap-siap. Ketika Mahisa Agni dan Witantra
kembali ke Singasari. maka Mahisa Murti dan Mahisa
pukatpun itu rasa-rasanya tidak tercegah lagi.
"Baiklah" berkata Mahendra "tetapi kalian harus
mempergunakan pengalaman kalian sebaik-baiknya.
Mungkin kalian akan berhadapan dengan keadaan yang
sangat sulit untuk di atasi, mungkin kalian mengalami satu
kesulitan yang sangat gawat. Tidak ada orang lain yang
akan dapat membantu selain kalian berdua sendirilah yang
harus mengatasinya" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
Sementara Mahendra berkata lebih jauh "Namun
bagaimanapun kalian akan dapat berdoa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, karena sebenarnyalah kalian tidak pernah
sendiri dalam arti yang sebenarnya. Jika kalian memohon
kepadaNya, maka sebenarnyalah doa kalian akan terkabul"
Demikianlah, maka pada satu hari yang sudah
ditentukan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan
rumah mereka untuk mengulangi pengembaraan mereka.
Keduanya merasa bahwa peristiwa-peristiwa yang memaksa
mereka kembali kepada ayah mereka. Namun ternyata
bahwa gejolak mereka untuk pergi mengembara masih
bergelora. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sepakat untuk
tidak membawa kuda dalam pengembaraan mereka. Seperti
saat-saat mereka berangkat terdahulu, merekapun tidak
membawa kuda. Namun dalam pada itu, mereka telah sepakat pula untuk
mengambil arah yang lain. Mereka tidak akan pergi ke
kabuyutan-kabuyutan yang pernah dilewati. Apalagi
Kabuyutan-Kabuyutan yang pernah menumbuhkan kesan
tersendiri dihati mereka.
Karena itu, maka mereka telah memilin arah yang
berlawanan sama sekali dengan arah yang pernah mereka
tempuh sebelumnya. Seperti perjalanan-perjalanan yang lain, yang pernah
dilakukannya, maka terasa udara pagi itu sangat cerah.
Langit nampak biru bersih. Sementara matahari masih
membayang di langit dengan warnanya yang merah. Betapa
lembutnya angin, sehingga dedaunan yang bergerak hampir
tidak dapat dilihat oleh mata wadag.
Ketika sesaat kemudian, matahari mulai menjenguk dari
balik cakrawala, maka udara menjadi semakin ceria.
Burung-burung liar bersiul bersahutan. Seolah-olah saling
menyapa setelah mereka tidur nyenyak sepanjang malam
hari. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan perlahanlahan.
Tidak ada yang mengejar mereka untuk tergesa-gesa.
Dengan wajah yang cerah pula seperti pagi hari itu, mereka
melihat orang-orang yang berjalan beriring pergi ke pasar.
Ada yang membawa hasil bumi mereka, ada yang
membawa hasil ketrampilan tangan mereka. Bahkan ada
diantara mereka yang-membawa serentengikan air dan
sekepis lainnya hasil kerjanya semalam-malaman. Dengan
sehelai jala mereka menyusuri sungai untuk mencari ikan
yang akan dapat ditukarkan dengan barang-barang
kebutuhan sehari-hari lainnya. Satu kerja tambahan
disamping kerja di sawah di malam hari"
Namun selain mereka yang pergi ke pasar, ada juga
orang-orang yang langsung pergi ke sawah. Dengan cangkul
dipundak mereka menyusuri pematang untuk melihat,
apakah sawah mereka tidak kekeringan.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan
terus dengan tenangnya. Ketika mereka sebuah bukit di
kejauhan, maka Mahisa Murti berkata "Kita akan
melingkari bukit itu. Kita akan sampai ke daerah yang
menjadi sasaran penebangan itu dari arah yang lain dari
yang pernah kita lakukan"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Meskipun mereka
berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengan
perjalanan mereka yang terdahulu, namun.mereka tetap
ingin melihat, apa saja yang pernah dilakukan oleh orangorang
yang pernah mencegat perjalanan mereka kembali
dengan membawa dua orang tawanan yang telah terbunuh
di perjalanan. "Orang yang bermain-main dengan bisa itu harus dapat
dicari jejaknya" berkata kedua anak muda itu di dalam
hatinya. Mereka tidak lagi merasa ngeri dengan bisa dan
racun yang betapapun kerasnya yang dapat dibuat oleh
orang yang bernama Ki Sarpa Kuning itu.
Perjalanan mereka di hari pertama sama sekali tidak
menjumpai persoalan yang menarik. Sekali ketika mereka
singgah di sebuah kedai, beberapa anak muda telah
memperhatikan mereka. Seorang diantara mereka agaknya
dengan sengaja ingin memancing persoalan. Tetapi Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk tidak melayani
mereka, sehingga karena itu, maka tidak terjadi sesuatu atas
kedua anak muda itu, meskipun jantung mereka terasa sakit
karena mereka memaksa diri untuk menghindar.
"Masih juga ada anak-anak muda yang tidak mempunyai
pekerjaan" desis Mahisa Murti ketika mereka sudah keluar
dari padukuhan itu. "Aku ingin memberikan sedikit peringatan seandainya
kau tidak mencegahnya" guman Mahisa Pukat.
"Tidak ada gunanya, selain membangkitkan dendam di
hati mereka. Jika kemudian ada pengembara berikutnya
yang lewat di padukuhan mereka, akan dapat menjadi
sasaran kebencian mereka kepada setiap pengembara"
berkata Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan demikian
pengembara yang tidak tahu apa-apa, akan dapat menjadi
sasaran dendam mereka. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti
keterangan Mahisa Murti. Namun bagaimanapun juga,
kadang-kadang ia sulit untuk menahan diri, agar ia tidak
tersinggung Karenanya. Demikianlah keduanya berjalan semakin lama menjadi
semakin jauh. Mereka berusaha untuk mengambil jalan
melingkar, sehingga mereka akan dapat mengetahui apa
yang terjadi di berbagai tempat, sebelum mereka akan
berhubungan dengan orang-orang yang telah mendapatkan
tugas yang akan dapat dengan perlahan-lahan membuat
Singasari menjadi sangat lemah. Dan merekapun harus
mempersiapkan diri untuk menemui orang-orang dari
sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Sarpa Kuning.
Dihari-hari pertama dari perjalanan mereka, keduanya
tidak menjumpai masalah yang berarti. Namun keduanya
menjadi heran, bahwa hampir di setiap tempat mereka
bertemu dengan anak-anak muda yang dalam kelompokkelompok
kecil berusaha membangkitkan perselisihan.
"Aneh" berkata Mahisa Murti.
"Hampir dimana-mana" berkata Mahisa Pukat "tetapi
aku justru menjadi terbiasa"
"Apakah tidak ada kerja yang lebih baik dari anak-anak
itu selain mengganggu orang lain" gumam Mahisa Murti.
Tetapi keduanyapun melihat pula kelompok-kelompok
anak-anak muda yang bekerja dengan sungguh-sungguh.
Dengan gembira mereka berdendang sambil mencangkul
sawahnya. Seorang anak muda yang duduk di atas ujung
garunya, dengan menggenggam cambuk di tangan,
memandang gumpalan-gumpalan lumpur di bawah kakinya
dengan cerah, sebagaimana ia memandang hari depan.
Sawahnya itu kelak akan menghasilkan bagi kesejahteraan
keluarganya. Sementara itu, anak-anak dengan riang
bekerjanya sambil menggembalakan kambingnya di
rerumputan yang hijau segar.
Namun ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
kemudian berjalan menyusuri tebing sungai, terdengar
Mahisa Pukat mengeluh "Jika tidak segera dapat di atasi,
maka sawah itu akan rusak. Banjir bandang yang akan
merusakkan tanaman, dan kekeringan yang
menggelisahkan" "Kita akan membantu mereka" berkata Mahisa Pukat
"kita akan melihat, apa yang akan terjadi di lereng
pegunungan" Mahisa Murti mengangguk-angguk Namun kemudian
katanya "Ternyata diantara mereka yang bekerja keras,
masih ada anak-anak muda yang kehilangan hari-harinya
yang paling berharga. Mereka menyia-nyiakan masa muda
mereka dengan tingkah laku yang tidak terkekang"
"Apakah kita juga memanfaatkan masa-masa muda
kita?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ya" jawab Mahisa Murti "kita sudah menuntut ilmu
kanuragan dan sedikit kajiwan. Sekarang kita berusaha
untuk mendapatkan penglaman. Mungkin pengalaman kita
akan berbeda dengan pengalaman anak muda yang sedang
menggarap sawahnya itu. Juga berbeda dengan anak muda
yang membantu ayahnya menjadi pande besi atau anakanak
muda yang mulai mengembangkan kemampuannya
untuk berdagang. Dan berbeda pula dengan Kakang Mahisa
Bungalan yang berada di dalam lingkungan keprajuritan"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Mudahmudahan
pengalaman yang akan kita dapatkan itu akan
bermanfaat" "Tentu" jawab Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu,. Mahisa Pukatpun berkata
"Tetapi, lihatlah pegunungan itu. Hutan yang lebat
bagaikan tidak bercelah-celah. Apakah mungkin
sekelompok orang akan menebangi pepohonan itu sehingga
hutan akan-menjadi gundul. Coba bayangkan, kira-kira.
akan dapat mereka lakukan berpuluh-pulh tahun.
Sedangkan pepohonan yang muda telah tumbuh dan
menjadi besar, sehingga lereng pegunungan itu akan tetap
menjadi hijau" Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian
jawabnya "Kita masih belum tahu pasti, apa yang akan
mereka lakukan. Mereka telah memesan kapak, terlalu
banyak. Mereka telah mengerahkan orang-orang. Tetapi


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku kira benar perhitunganmu. Jika hal itu dilakukan oleh
beberapa padepokan tertentu yang dapat" dibujuk oleh
orang-orang Kediri, berapa puluh tahun, rencananya akan
dapat mereka ujudkan"
"Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi. Tetapi kita harus
melihatnya" berkata Mahisa Murti.
Demikianlah keduanya meneruskan perjalanan mereka.
Dari arah yang mereka tempuh kemudian, sama sekali tidak
mereka temui sikap atau bahkan rerasan tentang hutan di
lereng pegunungan. Seolah-olah yang ada itu memang
seharusnya demikian. Hutan itu memang harus ada. Dan
airpun akan mengalir di segala musim.
Karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun bergeser
melingkar. Mungkin pada suatu saat ia mendengar serba
sedikit tentang pembicaraan yang menyangkut masalah
hutan dan kapak penebang kayu
Tetapi ternyata yang dijumpai oleh kedua anak muda itu
adalah persoalan yang lain. Ketika mereka memasuki
sebuah padepokan, yang mempunyai beberapa orang pande
besi, mereka memang melihat kesibukan dari para pande
besi itu. Tetapi mereka tidak sedang membuat kapak. Tetapi
mereka membuat senjata. "Mereka membuat pedang-pedang yang sederhana"
berkata Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ada dua orang
pande besi di ujung pasar, dan sebuah lagi di sudut pasar
itu, memang sedang sibuk membuat pedang.
Kesibukan itu memang menarik sekali. Pedang adalah
senjata untuk bertempur. Jika pande-pande besi itu sibuk
membuat senjata, maka kesibukan itu agak berbeda dengari
kesibukan pande-pande besi di padukuhan-padukuhan yang
lain. Pande besi di padukuhan yang lain sibuk membuat
alat-alat pertanian. Ada yang membuat kejen bajak, cangkul
dan alat-alat yang lain. Tetapi pande-pande besi di
padukuhan ini membuat senjata untuk bertempur.
"Mungkin telah terjadi sesuatu yang memaksa pandepande
besi itu membuat pedang" berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Jawabnya
"Tentu ada sebabnya"
"Kita dapat bertanya kepada pande-pande besi itu"
berkata Mahisa Murti "tetapi apakah hal itu tidak akan
menarik perhatian mereka?"
"Dalam satu kesempatan yang tidak terlalu khusus" desis
Mahisa Pukat "sambil lalu kita akan menanyakan pada saat
kita berada di kedai"
Mahisa Murti mengangguk-angguk- Katanya "Kita
singgah di kedai itu"
Keduanyapun kemudian singgah memasuki satu kedai di
luar pasar yang sibuk itu setelah mereka melihat-lihat
barang seienak. Terutama Dande-pande besi di pasar itu
Tidak ada yang menarik perhatian kedua anak muda itu
di dalam kedai. Semuanya seperti yang terdapat di kedai
kedai yang lain. Makanan, minuman dan pelayanan
sebagaimana yang mereka alami sebelumnya. Pemilik kedai
itu tidak banyak memperhatikan kedua anak muda
pengembara dalam ujud lahiriah yang kusut dan letih itu.
Mahisa Murtj dan Mahisa Pukat yang duduk di sudut
kedai itu memperhatikan orang-orang yang keluar masuk
kedai itu. Tidak ada yang mencurigakan, dan dalam
pembicaraan mereka, sama sekali tidak tersinggung
masalatf-majsalah yang ada hubungannya dengan pedangpedang
yang dibuat oleh pande-pande besi itu.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Mahisa Murti
berdesis "Tidak ada jalan untuk berbicara tentang pandepande
besi itu" "Kita tunggu sampai kedai ini menjadi sepi. Kita akan
berbicara dengan pemilik kedai itu" jawab Mahisa Pukat.
"Pemilik kedai itu sama sekali tidak menghiraukan kita"
berkata Mahisa Murti. "Kau pancing nanti jika kau membayar makanan yang
kecilmu itu. Dengan demikian pemilik kedai itu akan
memperhatikan kita, dan memberi kesempatan kita untuk
berbicara" berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk Sementara itu,
pemilik kedai itu masih saja sibuk dengan para pembeli,
pemilik kedai itu memang tidak begitu menghiraukan kedua
anak muda pengembara itu. Menurut ujudnya, kedua anak
muda itu tidak akan memberinya uang sebagaimana para
pedagang yang singgah di kedainya.
Namun dalam pada itu, ketika kedai itu menjadi agak
sepi karena beberapa orang pembelinya sudah
meninggalkan makanan dan minuman yang membuat
tubuh mereka menjadi segar, maka Mahisa Murti mulai
menarik perhatian. Ia telah mengambil beberapa jenis
makanan yang paling mahal. Sepotong jadah ketan ireng
dan segumpal iwak empal. Sementara Mahisa Pukat telah
mengambil sepotong paha ayam panggang.
Pemilik kedai itu mengerutkan keningnya. Rasa-rasanya
agak kurang wajar menilik pakaiannya, bahwa anak-anak
muda itu membeli makanan yang mahal, yang jarang dibeli
oleh para pedagang-pedagang kecil di pasar itu. Tetapi
pemilik kedai itu masih belum menegurnya. Ia menduga
mungkin anak-anak muda itu baru saja mendapatkan uang
dari kerja yang keras dalam pengembaraannya.
Namun sikap keduanya semakin menggelitik hati
pemilik kedai itu. Mahisa Pukat ternyata tidak
menghabiskan paha ayamnya. Tetapi sisanya telah
dilemparkannya keluar, sementara itu tangannya menggapi
sebutir telur pindang. Sedangkan Mahisa Murti telah
mengambil sepotong jenang alot. Tetapi jenang alot itu
tidak memuaskannya. Sambil meletakkan jenang alot itu di
bibir paga makanan, ia mengambil sebungkus nagasari.
Pemilik kedai itu menjadi curiga. Karena itu, maka iapun
berkata "Anak-anak muda, apakah kalian menyadari apa
yang kalian lakukan?"
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Barang-barang yang kau buang itu ada harganya.
Bahkan termasuk makanan yang mahal" jawab pemilik
kedai itu. "Aku akan membayarnya" jawab Mahisa Murti. Sejenak
ia termangu-mangu. Namun ketika orang terakhir telah
keluar dari kedai itu, maka ia mulai mengguncang
kampilnya sambil berkata "jika perlu akan membayar harga
lipat dua" Pemilik kedai itu menjadi tegang. Namun Mahisa Pukat
kemudian bergumam "Kami akan membayarnya berapapun
kau minta. Aku senang dengan kedai ini. Masakanmu enak
dan pelayananmu menyenangkan. Apakah semua kedai
disini seperti kedaimu ini?"
Orang itu termangu-mangu. Ia tidak tahu maksud kedua
anak muda itu. Hampir di luar sadarnya ia mengangguk
sambil menjawab "Ya, anak muda. Semua kedai di pasar
ini mempunyai makanan, minuman dan pelayanan yang
hampir sama" "Menarik sekali" sahut Mahisa Pukat "pasar ini cukup
ramai. Ada berapa orang pande besi yang ada di pasar ini?"
Pertanyaan itu tidak diduganya. Kenapa anak muda itu
tiba-tiba saja telah bertanya tentang pande besi, sementara
baru saja ia memuji makanan dan pelayanan di kedai itu.
Namun hampir diluar sadarnya, pemilik kedai itu
rnenjawab "Ada tiga orang pande besi dengan beberapa
orang pembantunya" Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Aku
juga melihat, ada tiga orang pande besi dengan beberapa
orang pembantu. Tetapi apa yang mereka buat sekarang
ini?" Pertanyaan itu juga tidak disangka-sangka. Namun
pemilik kedai itu tidak segera menjawabnya. Sehingga
Mahisa Pukat mendesaknya "Apa yang paling banyak
mereka buat sekarang" Alat-alat pertanian" Alat-alat rumah
tangga atau apa?" "Ya, ya. Anak muda. Mereka membuat alat-alat
pertanian dan alat-alat rumah tangga" jawab pemilik kedai
itu. "Kau yakin?" bertanya Mahisa Murti. Orang itu menjadi
ragu-ragu. Namun akhirnya ia menjawab "Ya. Aku yakin"
Tetapi sambil tersenyum Mahisa Murti menggeleng
"Tidak Ki Sanak. Kau tidak mengatakan yang sebenarnya.
Kenapa" Apakah ada sesuatu yang mendesak, sehingga
pande besi itu semuanya telah membuat senjata?"'
Wajah pemilik kedai itu menjadi tegang. Namun
kemudian jawabnya "Aku tidak tahu Ki Sanak. Itu adalah
persoalan pande besi itu sendiri. Apapun yang mereka
lakukan, tidak ada hubungannya apapun dengan aku. Aku
adalah penjual makanan dan minuman. Jika kau ingin
makan makanan dan memesan minuman, aku akan
melayaninya tetapi tidak tentang senjata-senjata itu"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun dalam pada
itu, Mahisa Pukat bertanya "Berapa aku harus membayar
untuk makanan yang telah kami makan, minuman yang
telah kami minum dan keterangan tentang pedang-pedang"
Wajah orang itu semakin menegang. Sementara Manisa
Murti mulai melepaskan tali kampilnya sambil berkata
"Berapa aku harus membayar"
Orang itu menjadi semakin bingung. Namun tiba-tiba
saja Mahisa Murti telah melemparkan beberapa keping
uang. Jauh lebih banyak dari harga makanan dan minuman
yang telah mereka ambil dari kedai itu.
"Kau benar-benar tidak tahu apa-apa tentang pedang
itu?" bertanya Mahisa Murti.
Pemilik kedai Itu termangu-mangu sejenak. Ternyata
bahwa tidak ada orang lain di dalam kedainya selain kedua
orang anak muda itu Karena itu. maka katanya kemudian
"Tetapi aku hanya akan mengatakan, apa yang aku
ketahui" "Katakan" desak Mahisa Murti.
Pemilik kedai itu masih saja ragu-ragu. Tetapi akhirnya
ia berkata "Kita, padukuhan-padukuhan di daerah ini
sedang dilanda oleh kegelisahan"
"Kenapa?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu. Dipandanginya Kedua anak
muda itu. Namun ketika terpandang olehnya kepingankepingan
uang, maka katanya "Ada semacam ketegangan
yang terjadi. Beberapa hari yang lalu. Ki Buyut telah
meninggal dunia" "Lalu?" Apa hubungannya dengan pedang?" bertanya
Mahisa.Murti. "Ki Buyut tidak mempunyai anak" jawab pemilik kedai
itu. "Lalu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tidak mempunyai kakak dan tidak mempunyai adik
laki-laki" jawab pemilik kedai itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat nwngangguk-angguk Ia
sudah dapat menangkap keterangan pemilik kedai itu.
Karena itu, maka Mahisa Murtipun kemudian berkata
"Dengan demikian, maka ada beberapa pihak yang ingin
menggantikannya. Tetapi apakah Ki Buyut tidak
mempunyai anak perempuan yang kemudian kawin dengan
seseorang?" "Ya" jawab pemilik kedai itu "ada seorang anak
perempuan Ki Buyut yang sudah kawin dan mempunyai
dua orang anak laki-laki"
"Bukankah salah seorang cucunya itulah yang tidak akan
dapat mewarisi kedudukannya?" bertanya Mahisa Pukat.
Tetapi pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Seorang saudara sepupu Ki Buyut merasa dirinya
berhak untuk menggantikan kedudukan itu. Karena itu,
maka iapun mulai berusaha untuk menguasai orang-orang
padukuhan padukuhan di seluruh Kabuyutan ini"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya
"Apakah orang-orang padukuhan menerimanya?"
"Sebenarnya tidak" jawab pemilik kedai itu "tetapi
menantu Ki Buyut kurang memiliki keberanian untuk
melawannya. Apalagi karena saudara sepupu Ki Buyut
yang menginginkan kedudukannya itu berhubungan dengan
orang dari luar Kabuyutan ini"
"Itulan sebabnya kalian memerlukan pedang?" bertanya
Mahisa Murti. "Kami menganggap bahwa yang paling berhak atas ke
dudukan Ki Buyut adalah cucunya yang sulung. Sementara
ia belum dapat melakukan tugasnya, ayahnyalah yang akan
memangkunya. Karena itu, maka kita merasa perlu untuk
mempersiapkan diri. Meskipun nampaknya tidak ada
kegelisahan dan tidak ada ketegangan, namun
sebenarnyalah kami telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Ada dua padukuhan yang dapat dipengaruhi
oleh saudara sepupu Ki Buyut. Tetapi tujuh padukuhan
yang lain, mutlak berpihak kepada menantu Ki Buyut, yang
sayangnya agak lemah hati. Sedang ada dua lagi padukuhan
yang nampaknya ragu-ragu" jawab pemilik kedai itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka mulai dapat membayangkan, apa yang sebenarnya
telah terjadi di Kabuyutan itu. Kabuyutan yang nampaknya
tenang itu ternyata menyimpan gejolak yang setiap saat
akan dapat meledak. Namun dalam pada itu, Mahisa Murtipun telah
melemparkan sekeping yang lagi sambil bertanya "Kau
sebut bahwa saudara sepupu Ki Buyut berhubungan dengan
orang luar. Apakah kau tahu, siapakah orang itu?"
Pemilik kedai itu menelan ludahnya. Sambil
memandangi uang yang sekeping itu ia merenung, la tidak
terlalu banyak mendapat laba dari barang-barang
dagangannya. Uang yang sekeping itu akan sangat berarti
baginya. Dalam keragu-raguan itu terdengar Mahisa Murti
berdesis "Apakah kau memerlukan satu lagi" Atau tidak
sama sekati?"' Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Anak muda. Kalian telah mendorong aku ke
tepi jurang yang terjal. Uang itu sangat berarti bagiku.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi keteranganku akan dapat menjerat leherku. Apalagi
jika kalian berdua termasuk orang-orang yang justru telah
dihubungi oleh saudara sepupu Ki Buyut itu"
"Ki Sanak. Aku orang asing disini. Aku hanya ingin
tahu. Kau tidak usah mencurigai aku. Meskipun mungkin
kau bertanya dari mana aku mendapatkan yang sebanyak
ini. Karena itu, maka aku tidak mempunyai persoalan
apapun dengan kalian, dengan padukuhan ini, kecuali
sekedar ingin tahu" jawab Mahisa Murti.
Orang itu masih termangu mangu. Namun akhirnya ia
berkata "Sebenarnya tidak ada orang yang tahu dengan
pasti. Tetapi menurut desas-desus yang sempat sampai ke
telinga kami, bahwa orang orang itu akan membantu
saudara sepupu Ki Buyut, tetapi dengan imbalan yang
mereka tentukan sendiri"
"Imbalan apa" Uang, sawah atau sebagian dari
Kabuyutan ini akan mereka pergunakan sebagai
padepokan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tidak. Bukan itu. Tetapi mereka minta untuk
menguasai bukit dan lereng pegunungan yang menjadi
daerah Kabuyutan ini" jawab pemilik kedai itu.
"Bukit dan lereng pegunungan?" Bertanya Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. "Ya" jawab orang itu "mereka memerlukan kayu yang
jumlahnya sangat banyak. Mereka akan mengambilnya dari
bukit dan pegunungan itu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun keduanyapun kemudian menganggukangguk.
Dengan suara dalam Mahisa Murti berdesis "'Kita
bertemu lagi dengan persoalan itu"
"Ya. Bukankah memang kita kehendaki" jawab Mahisa
Pukat. Pemilik kedai itu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu
bertanya "Apa yang kalian maksud?"
"Tidak apa-apa" jawab Mahisa Murti "kami hanya
berdesah, bahwa di dalam pengembaraan kami, selalu saja
kami jumpai pertengkaran dan permusuhan. Sebenarnya
aku ingin melihat kehidupan yang tenang damai sehingga
pengembaraan kami akan dapat memberikan arti bagi
kehidupan kami kelak"
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya "Tetapi bukankah kalian tidak terlibat
dalam persoalan ini"
"Tentu tidak. Tetapi kalian akan mengalami malapetaka
dengan permusuhan ini. Pande-pande besi tidak lagi sempat
mencari makan karena mereka terpaksa membuat senjata"
berkata Mahisa Murti. "Apaboleh buat" jawab pemilik kedai itu "tetapi kami
tidak bermaksud bermusuhan. Masih akan dicoba dengan
segala cara untuk menyelesaikan persoalan ini dengan baik,
sebagaimana penyelesaian yang wajar bagi keluarga"
"Bagus" desis Mahisa Pukat "semua warga Kabuyutan
ini harus berusaha. Termasuk saudara sepupu Ki Buyut itu"
Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
percakapan itu terhenti ketika ada dua orang memasuki
kedai itu. Dua orang yang belum dikenal oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Namun yang agaknya sudah dikenal
oleh pemilik kedai itu. Dengan tergesa-gesa pemilik kedai itu menyongsong
mereka. Dengan hormatnya ia mempersalahkan tamunya,
untuk memasuki kedai itu"
"Hem" desis orang itu "sepi sekali kedaimu hari ini?"
"Ya, Ki Sanak" jawab pemilik kedai itu "hampir tidak
ada orang yang singgah kecuali dua orang anak muda
pengembara ini" Orang itu mengangguk-angguk. Dipandanginya isi kedai
itu dengan sapuan matanya. Kemudian sambil tersenyum ia
berkata "Masih saja kau berusaha untuk mengelabui kami.
Bukankah kami tidak bermaksud apa-apa" Aku lihat
barang-barang daganganmu hampir habis. Aku lihat
bungkus meniran dan nagasari berserakan. Aku lihat kulit
pisang dan pincuk-pincuk di sudut kedaimu itu"
Wajah pemilik kedai itu menjadi pucat. Namun ia masih
menjawab "Maksudku, hari ini tidak begitu banyak seperti
hari-hari pasaran yang lewat"
Orang itu tertawa. Lalu katanya "Beri kami minuman
panas. Apakah kau mempunyai daun cengkeh?"
"Ada, ada Ki Sanak. Kami mempunyai daun cengkeh"
jawab pemilik kedai itu dengan serta merta "apakah Ki
Sanak akan minum wedang cengkeh?"
Beri kami dua mangkuk. Celup sama sekali gula kelapa.
Jangan kurang manis" berkata orang itu.
Pemilik kedai itu dengan tergesa-gesa telab menyiapkan
pesanan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandangi kedua
orang itu dengan termangu-mangu. Namun agaknya orang
itu sama sekali tidak menghiraukan mereka. Karena itu,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjadi
gelisah pula. Mereka menghabiskan makanan dan
minuman mereka. Baru kemudian, kedua anak muda
itupun telah minta diri. Tetapi keduanya terkejut, ketika pemilik kedai itu berlarilari
mengejarnya sambil berteriak "He, anak muda. Ada
yang belum kalian bayar"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terhenti. Jarak mereka
belum begitu jauh dari kedai yang telah mereka tinggalkan.
Sementara dua orang yang ada di dalam kedai itu sama
sekali tidak menghiraukannya.
"Apa yang kurang?" berkata Mahisa Murti.
"Kau belum menghitung makanan yang kau buang"
berkata pemilik kedai itu.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun sebelum
ia berkata sesuatu, pemilik kedai itu berdesis "Tidak ada
yang kurang. Tetapi aku hanya ingin memberitahukan,
bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang berbahaya.
Mungkin, tetapi belum pasti, bahwa saudara sepupu Ki
Buyut berhubungan dengan orang-orang itu"
"Kau pernah mengalami perlakuan buruk?" bertanya
Mahisa Pukat. "Tidak. Tetapi sikapnya membuat hatiku kecut" berkata
pemilik kedai itu. Lalu "Nah, sekarang beri aku uang
seberapa saja, agar orang itu tidak menjadi curiga"
Mahisa Murtipun kemudian mengarnbil sekeping uang
lagi dan diberikannya kepada pemilik kedai itu.
"Bukan maksudku untuk memerasmu anak muda"
berkata pemilik kedai itu.
"Aku mengerti maksudmu. Terima kasih. Uang itu
untukmu" jawab Mahisa Murti.
Pemilik kedai itupun kemudian melangkah kembali ke
kedainya sambil mengumpat-umpat. Ketika ia berdiri di
muka pintu, ia berpaling sambil mengacungkan kepalan
tangannya. Katanya lantang "Kalian masih muda sudah
mencoba untuk menipu"
Namun wajah pemilik kedai itu menjadi tegang ketika
salah seorang dari kedua orang yang ada di dalam kedainya
itu tertawa. Katanya "Kenapa anak itu?"
"Ia berusaha untuk tidak membayar beberapa macam
makanan yang sudah dimakannya atau sudah dibuangnya"
jawab pemilik kedai itu" Alangkah sombong mereka.
Ternyata mereka berusaha untuk menipu"
Tetapi wajah yang tegang itu menjadi semakin tegang,
ketika kedua orang di dalam kedainya itu tertawa semakin
keras. Salah seorang dari keduanya berkata "Kenapa tidak
kau tangkap saja keduanya dan kau serahkan orang-orang
yang ada di pasar itu" Mereka akan memberinya pelajaran
kepada anak-anak yang bengal seperti itu"
"Aku masih merasa kasihan kepada pengembarapengembara
itu" jawab pemilik kedai itu.
Namun wajahnya telah menjadi pucat ketika salah
seorang dari kedua tamunya itu membentak "Kau jangan
berbohong lagi. Aku menjadi muak. Berkatalah terusterang,
agar kau tidak ingin mencekikmu"
Orang itu berdiri mematung. Ketika seorang diantara
kedua tamunya itu berdiri, maka iapun menjadi gemetar
"Kau anggap kami terlalu dungu" bentak orang itu
"kenapa kau tidak berterus terang saja kepada kami bahwa
kau telah berusaha memberikan keterangan kepada anakanak
itu tentang kami. Mungkin kau katakan kepada
mereka, bahwa kami adalah orang-orang yang berbahaya,
sehingga karena itu. kedua anak-anak itu harus berhati-hati.
Apalagi mereka ternyata membawa uang sekampil. He, kau
mendapat berapa keping" Bukankah kau sudah menjual
keterangan tentang saudara sepupu Ki Buyut yang telah
berhubungan dengan orang luar. Dan barangkali kau
katakan Kepada anak-anak itu, bahwa yang dimaksud
orang luar itu diantaranya adalah kami" orang berhenti
sejenak, lalu "Persetan dengan persoalan Ki Buyut. Aku
tidak peduli. Persetan dengan orang-orang yang berpihak
kepada saudara sepupunya yang ingin mendapat imbalan
lereng pegunungan dan bukit-bukit berhutan lebat itu. Aku
tidak peduli. Yang aku pedulikan adalah justru uang di
dalam kampil itu" Pemilik kedai itu benar-benar menjadi gemetar. Tetapi ia
tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika ia berpaling, maka
kedua anak muda itu masih belum terlalu jauh.
"Aku berdiri dibalik dinding ketika kau mengigau
tentang Ki Buyut. Aku tahu, gemerincing kepingan uang di
dalam kampil itu. Dan kawanku sempat melihat, kampil itu
memang nampak terlalu berat bagi mainan kanak-kanak"
berkata orang itu puia "karena itu, biar kami sajalah yang
bermain dengan uang itu. Nanti kau akan mendapat bagian
seperti anak-anak itu telah memberimu. Mengerti?" orang
itu meneruskan. Pemilik kedai itu benar-benar menjadi gemetar. Karena
itu, maka justru ia tidak dapat berbuat apa-apa selain tegak
dengan keringat yang mengalir membasahi seluruh
tubuhnya. Dalam pada itu, kedua orang itupun telah beringsut.
Keduanya segera keluar dari kedai itu. Seorang diantaranya
berkata "Aku akan kembali dan membayar lipat lima
setelah kampil itu ada di tanganku"
Pemilik kedai itu sama sekali tidak menyahut. Iapun
kemudian dengan perasaan kasihan memandang kedua
orang anak muda yang berjalan belum terlalu jauh.
Keduanya nampaknya anak baik-baik. "Entahlah, dari
mana mereka mendapat uang itu. Mungkin keduanya
memang anak orang berada. Tetapi keduanya terdorong
untuk pergi mengembara mencari pengalaman hidup
sebelum mereka menjadi dewasa sepenuhnya" berkata
pemilik kedai itu kepada diri sendirl "Namun, disini mereka
telah bertemu dengan dua orang penjahat yang tidak kenal
belas kasihan" Pemilik kedai itu memandang sampai semuanya hilang
di balik tikungan. "Terserahlah, apa yang akan terjadi. Aku tidak ikut
campur. Aku sudah berusaha untuk menyelamatkan kedua
anak-anak itu. Tetapi ternyata aku tidak berhasil" berkata
pemilik kedai itu kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, perhatian pemilik kedai itupun segera
telah berkisar kepada tamu-tamunya yang baru. Tiga orang
pedagang ternak telah singgah di kedainya. Biasanya
mereka membeli makanan dan minuman cukup banyak dan
memberikan keuntungan yang baik kepada pemilik kedai
itu. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berjalan semakin jauh. Mereka tidak menduga, bahwa dua
orang yang mereka temui di kedai itu telah mengikutinya.
Bahkan keduanya masih sempat berbicara tentang
padukuhan-pedukuhan di Kabuyutan yang sedang
kehilangan Buyutnya itu. "Dua berbanding tujuh" berkata Mahisa Murti
"sementara dua yang lain ragu-ragu.
Cukup meyakinkan" sahut Mahisa Pukat "sayang, menantu
Ki Buyut itu dikatakan sebagai berhati lemah. Mungkin
orang itu segan berselisih. Atau mungkin ia memang benarbenar
orang lemah" "Tetapi jika orang luar ikut mencampuri persoalan di
dalam satu lingkungan, biasanya akan benar-benar terjadi
satu kekacauan yang sulit dikendalikan. Jarang ada orang
luar yang ikut campur dengan mengorbankan beberapa
kawan-kawan mereka tanpa mempunyai pamrih sama
sekali. Tentu ada pamrih yang tersembunyi" desis Mahisa
Murti. "Ya" berkata Mahisa Pukat kemudian "tetapi, kita juga
sudah pernah ikut mencampuri persoalan sebuah
Kabuyutan" "Kitapun mempunyai pamrih" jawab Mahisa Murti
"tetapi pamrih itu kami sandarkan kepada kepentingan
kemanusiaan pada umumnya. Kita berusaha menolong
orang-orang lemah dan menempatkan mereka, pada
keadaan yang lebih baik"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata
"Itu bukan pamrih. Aku menganggapnya sebagai satu
pengabdian. Kecuali jika kita berharap, dengan demikian
kita akan dapat disebut seorang pahlawan besar"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Ya. kau
benar. Akupun sependapat"
Dalam keasyikan pembicaraan, mereka tidak menyadari
bahwa dua orang selalu mengikuti langkah mereka dari
arah yang tidak terlalu dekat. Kedua orang yang mengikuti
itu benar-benar ingin mendapatkan sekampil uang yang
dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.
"Bahkan masing-masing telah membawa sekampil"
berkata salah seorang dari orang-orang yang mengikutinya.
"Mudah-mudahan" jawab yang lain "dengan demikian
kita akan semakin beruntung. Kita akan membunuh mereka
dan melemparkan mayat mereka ke pinggir sungai di
sebelah" Yang lain tidak menjawab lagi. Tetapi keduanya berjalan
semakin cepat. Tanpa memperbincangkan lagi, maka


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keduanya-seolah-olah sudah sepakat, bahwa mereka akan
melakukannya di tengah-tengah bulak panjang yang sedang
mereka lalui. Beberapa puluh langkah lagi mereka akan sampai di
tengah bulak. Daerah yang jauh dari padukuhan sebelah
menyebelah dan jarang sekali di lalui oleh orang-orang yang
bepergian. Biasanya mereka memilih jalan lain. Memilih
jalan yang tidak melalui bulak yang sangat panjang.
Dalam pada itu. ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah sampai ke tengah-tangah bulak panjang itu. maka
salah seorang dari kedua orang yang mengikutinya itupun
berdesis "Sekarang. Tidak akan ada orang yang
mengganggu kita" Yang lain mengangguk. Geramnya "Salah sendiri.
Mereka terlalu sombong"
"Jangan terlambat" sahut yang lain.
Keduanya mempercepat langkah mereka. Bahkan
dengan tidak sabar salah seorang dari mereka lelah berteriak
"He. Ki Sanak, berhentilah sebentar. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat terkejut mendengar teriakan itu. Keduanya
serentak berhenti dan berpaling.
"Dua orang itu agaknya telah mengikuti perjalanan kita"
berkata Mahisa Murti. "Apa yang mereka kehendaki dari kita" gumam Mahisa
Pukat "kita sudah berbuat sebaik-baiknya dengan orangorang
yang pernah bertemu dan pernah saling membantu
dalam satu tugas tertentu.
"He, lihat" berkata Mahisa Murti ketika kedua orang
yang mengikuti mereka itu menjadi semakin dekat. Katanya
lebih lanjut "Bukankah keduanya orang orang yang singgah
di kedai itu pula?" Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun iapun
kerpudian mengangguk sambil menjawab "Ya"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya
"Bagaimanapun juga kita harus bersiap. Pemilik kedai itu
dan sekaligus suasananya telah memberi kita peringatan.
Mahisa Pukat menjadi tegang. Dipandanginya kedua orang
yang berjalan dengan tergesa-gesa mendekatinya.
Nampaknya kedua orang itu menjadi semakin kasar
menurut penglihatan Mahisa Pukat
Kedua orang itupun akhirnya berhenti beberapa langkah
saja dihadapan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Kenapa kalian menyusul kami?" bertanya Mahisa
Murti. "Anak-anak muda" jawab salah seorang dari mereka
"aku merasa kasihan terhadap pemilik kedai itu. Tetapi
lebih kasihan lagi kepada kalian. Seandainya kau berhasil
menipu pemilik kedai itu dengan tidak menghitung
beberapa potong makanan yang kau makan, maka ia hanya
sekedar kehilangan beberapa potong makanan itu. Tetapi
kalian ternyata lebih pantas dikasihani"
"Kenapa?" bertanya Mahisa Pukat
"Kalian masih sangat muda. Tetapi kalian telah
menjerumuskan diri kedalam satu sikap yang sangat
menodai watak kalian sendiri" jawab orang itu "kenapa
kalian menipu?" "Kami tidak sengaja menipu" jawab Mahisa Murti. Ia
menjadi agak kesulitan mencari jawab, karena ia tidak
mengira akan menghadapi persoalan yang demikian. Tetapi
ia tidak mau mengorbankan pemilik kedai itu dengan
mengatakan apa yang sebenarnya. Karena itu, maka
jawabnya selanjutnya "yang terjadi adalah sekedar salah
paham. Kami hanya terlupa menghitung beberapa potong
makanan. Tidak dengan sengaja"
Tetapi kedua orang itu justru tertawa. Yang seorang
kemudian berkata "jangan berbelit-belit. Akupun tidak ingin
berbelit-belit agar tugasku cepat selesai. Berikan kampil
uangmu kepadaku. Aku tidak akan mengganggu kalian
lagi" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Sementara itu,
orang itupun berkata selanjutnya "Kami mendengar
percakapan kalian dengan pemilik kedai itu. Kalian
memancingnya dengan uang, agar ia menceriterakan
tentang persoalan yang timbul antara Ki Buyut dengan
saudara sepupunya. Mungkin pemilik kedai itu
menganggap bahwa aku adalah orang yang mungkin
terlibat kedalam persoalan itu. Tetapi itu salah sama sekali.
Aku tidak tahu menahu persoalan Kabuyutan ini. Yang aku
selalu ingin tahu, siapa saja orang memiliki uang yang
cukup banyak untuk dihubungi. Ternyata hari ini aku
bertemu dengan kalian yang membawa uang sekampil.
Bahkan mungkin dua kampil.
Mahisa Murti menjadi tegang. Tetapi ternyata Mahisa
Pukat dahululah yang menyahut "Ya. Kami memang
membawa uang. Aku tidak ingkar. Tetapi uang itu tidak
akan aku berikan kepada siapapun juga tanpa timbul dari
niat kami sendiri. Karena itu, kau jangan berusaha
memaksa kami untuk memberikan uang itu kepadamu.
Apalagi sekampil. Sekepingpun tidak"
Ternyata jawaban itu telah memanaskan telinga kedua
orang itu. Anak muda itu nampaknya sama.sekali tidak
menjadi ketakutan. Bahkan nada jawaban Mahisa Pukat
telah menantang mereka untuk bertindak dengan kekerasan.
Karena itu, dengan nada yang semakin kasar salah
seorang dari mereka berkata "Kau jangan menjadi gila anak
muda. Apakah kau lebih sayang kepada uangmu sekampil
itu dari pada nyawamu"
"Aku sayang keduanya" Mahisa Pukat pulalah yang
menjawab. "Kenapa kau berusaha mempertahankan uangmu?"
bertanya orang itu pula. "Kalianlah yang agaknya lebih menghargai uang
sekampil dari pada nyawamu" jawab Mahisa Pukat pula
"seharusnya kalian menyadari, bahwa dengan berusaha
merebut uang kami, maka kalian telah bermain-main
dengan nyawa kalian"
"Persetan" geram orang itu yang menjadi semakin marah
"rupa-rupanya kalian memang anak-anak gila. Sekali lagi
aku bertanya, apakah kalian bersedia menyerahkan uang
itu. atau kami harus membunuhmu lebih dahulu dan
kemudian mengambil uangmu"
"Bukan aku yang akan terbunuh, tetapi kalian" jawab
Mahisa Pukat. Kedua orang itu benar-benar tidak lagi dapat menahan
diri. Apalagi ketika ia melihat dua orang petani yang
bekerja di sawah mereka. Bahkan di kejauhan masih ada
orang lain lagi yang termangu-mangu.
"Jangan menunggu lagi" berkata salah seorang dari
keduanya "orang-orang itu dapat mengganggu. Jika mereka
memberitahukan hal ini kepada tetangga-tetangga, mereka,
maka mereka akan datang berkelompok. Meskipun kita
tidak takut terhadap mereka, tetapi pekerjaan kita akan
menjadi berkepanjangan"
Kawannya mengangguk. Dan tiba-tiba saja ia sudah
menarik senjatanya, sebilah golok yang besar. Katanya
"Kami ingin menyelesaikan pekerjaan kami dengan cepat"
Mahisa Pukat bergeser beberapa langkah untuk
mengambil jarak dari Mahisa Murti. Dengan tengadah
dihadapinya orang yang telah membawa golok itu.
Orang yang membawa golok itu menggeram. Sikap
Mahisa Pukat sangat menjengkelkannya, sehingga iapun
tidak menunggu lagi. Dengan cepat ia telah meloncat
menyerang dengan ayunan goloknya yang besar.
Ternyata bahwa Mahisa Pukatpun tidak ingin bertempur
terlalu lama. Iapun kemudian telah menarik sebilah pisau
belati dari balik kain panjangnya. Meskipun pisau itu lebih
kecil dibanding dengan golok lawannya, tetapi dengan pisau
belati di tangannya, maka perlawanannyapun menjadi
mantap. Dalam pada itu. Mahisa Murti masih berdiri tegak
menghadapi orang yang lain. Agaknya orang itu lebih
banyak berpikir dari pada kawannya yang telah bertempur
melawan Mahisa Pukat. Sebelum ia berbuat sesuatu, ia
masih berkata "Kalian adalah anak-anak muda yang berani.
Benar-benar diluar dugaanku. Aku kira kalian akan menjadi
gemetar dan tanpa berbuat apapun juga. menyerahkan uang
kaliani dalam kampil itu"
Mahisa Murti termangu-mangu. Dipandanginya orang
itu dengan tajamnya. Baru sejenak kemudian iapun
menjawab "Kami adalah pengembara. Kami menempuh
perjalanan yang tidak kami tetapkan lebih dahulu arahnya.
Kami tidak menghendaki permusuhan dengan siapapun
juga dalam pengembaraan kami. Tetapi kamipun tidak
ingin membiarkan diri kami menjadi sasaran kejahatan
seperti ini" "Ya, ya anak muda. Baru sekarang aku yakin, bahwa
kalian adalah pengembara yang berpengalaman. Aku tadi
menyangka, bahwa aku mendapatkan satu sasaran yang
sangat lunak kali ini. Namun ternyata aku salah. Aku telah
membentur satu sikap seorang petualang sejati" berkata
orang itu "Karena itu alangkah bodohnya pemilik kedai itu.
Dan alangkah bodohnya kami. Namun kami sudah
terlanjur, sehingga kami tidak akan mengorbankan harga
diri kami. Meskipun kami berhadapan dengan seorang
petualang sejati, maka kami akan tetap pada sikap kami.
karena kami benar-benar perampok sejati yang tidak
memilih sasaran. Siapa yang memungkinkan dapat kami
hisap, maka ia akan kami korbankan untuk kepentingan
kami" "Bagus" berkata Mahisa Murti "aku lebih senang
berhadapan dengan orang-orang yang bersikap jantan
seperti kalian. Marilah kita sama-sama menjunjung harga
diri kita masing-masing. Kita akan bertempur di atas
landasan kita masing-masing. Kami adalah pemilik yang
baik dari harta kami dan kalian adalah perampok yang kau
sebut sejati yang ingin merampas harta kami karena itulah,
maka kami akan bertempur"
Aku mengerti anak muda. Kau ingin bertempur sampai
tuntas. Sampai selesai dan tidak lagi akan dapat diulang"
jawab orang itu. Mahisa Murti tidak menjawab. Namun ia sudah
memasuki arena pertempuran antara hidup dan mati.
Sejenak kemudian maka keduanya telah mulai
berputaran. Masing-masing mulai menyerang, meskipun
belum merupakan pertempuran yang sebenarnya. Namun
semakin lama pertempuran itu menjadi semakin cepat dan
semakin seru. Keduanya mulai menambah atas ilmu
masing-masing. Sebagaimana disebut oleh perampok itu, maka anakanak
muda itu adalah anak-anak muda yang memiliki sikap
yang pasti sebagai pengembara. Mereka tidak diambangambingkan
oleh angin yang, berubah arah dalam musim
kesanga, sebagaimana batang ilalang. Tetapi mereka adalah
batu karang yang kokoh menghadapi badai yang
mengamuk bersama deru ombak di lautan.
Dengan demikian, maka pertempuran antara mereka
semakin lama menjadi semakin seru. Mahisa Murti
menyadari, bahwa lawannya masih belum mempergunakan
senjatanya. Agaknya ia ingin mengetahui tingkat ilmu yang
sebenarnya dari Mahisa Murti itu.
Semakin lama keduanya telah semakin meningkatkan
ilmu mereka masing-masing, sehingga benturan-benturan
yang terjadi kemudian, adalah benturan-benturan tenaga
cadangan yang melumpui kekuatan wadag sewajarnya.
Dalam pada itu. Mahisa Pukatpun telah bertempur
semakin cepat pula. Karena senjatanya lebih kecil dari
senjata lawannya, maka Mahisa Pukat harus mengimbangi
kekurangannya itu dengan kecepatan geraknya.
Ternyata Mahisa Pukatpun telah mempergunakan
tenaga cadangan untuk mendorong kecepatan geraknya.
Seperti seekor burung sikatan ia berloncatan. Menghindar,
namun tiba-tiba saja pisau belatinya telah terjulur mematuk
kearah jantung. Tetapi lawannyapun bergerak cepat pula. Karena itu,
maka Mahisa Pukatpun harus mengerahkan
kemampuannya untuk melawan sambaran-sambaran golok
lawannya yang berputaran.
Namun Mahisa Pukat memiliki bekal yang cukup masak.
Karena itu, maka iapun dengan kemampuannya berhasil
mengimbangi lawannya yang bersenjata golok yang besar
itu. Bahkan semakin lama semakin nampak, ketepatan
gerak Mahisa Pukat telah mampu membuat lawannya
kadang-kadang kehilangan arah.
Tetapi lawannyapun adalah orang yang berpengalaman.
Orang itu sudah mengalami berbagai macam benturan ilmu
dengan berbagai macam lawan. Namun ia masih tetap
mampu mengatasinya dan merampas harta milik lawannya
yang tanpa belas kasihan menjadi korban kegarangannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun benarbenar
merupakan satu pertempuran yang liar biasa cepat
dan kerasnya. Mahisa Pukatpun bukan orang yang mampu
menahan diri. la cepat mengambil sikap. Dan sikapnyapun
tegas. Karena itu, maka menghadapi orang yang keras itupun
Mahisa Pukat telah bertempur dengan keras pula. Apalagi
ia hanya bersenjata sebilah pisau belati untuk menghadapi
sebilah golok yang besar.
Namun demikian, terasa di tangan lawannya, setiap
benturan teluh mengguncang genggamannya. Meskipun
hanya sebilah pisau yang jauh lebih kecil, tetapi agaknya
sebuah kekuatan yang besar telah tersalur ke dalamnya.
"Anak iblis" lawannya itupun mengumpat. Sementara
itu, semakin lama gerak Mahisa Pukat seakan akan menjadi
semakin cepat. Serangannya menjadi semakin berbahaya
menyusup diantara putaran golok lawannya.
Dalam pada itu. Mahisa Murtipun telah menunjukkan
kelebihannya atas lawannya. Keduanya masih tetap tidak
memegang senjata di tangan. Tetapi serangan-serangan
maut yang dilambari dengan ilmu masing-masing telah
mewarisi pertempuran itu.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat-saat terakhir, sentuhan-sentuhan tangan
Mahisa Murti mulai mengenai lawannya. Ketika
pundaknya tersentuh serangan Mahisa Murti karena
lawannya itu terhambat mengelak, maka orang itupun telah
mengumpat. Tetapi iapun kemudian berkata "Kau memang
luar biasa muk muda"
Mahisa Murti tidak memburu lawannya. Namun iapun
berdiri tegang sambil menunggu. Sementara lawannya
bersiap menghadapinya. "Sungguh diluar dugaan" berkata orang itu "namun
dengan demikian, kau sudah menyinggung harga diriku
anak muda. Seolah-olah aku tidak mampu melawan anakanak
yang baru pandai berloncatan. Jika sebelumnya aku
hanya menginginkan kampil berisi uangmu, maka tingkah
lakumu telah mendorong aku untuk menginginkan
nyawamu" Tetapi Mahisa Murti justru tertawa. Katanya "Mungkin
kau menganggap aku masih terlalu kanak-kanak. Tetapi
dalam keadaanku sekarang, aku dapat membawa tingkat
kemampuanmu. Kau sudah hampir sampai ke puncak
kemampuanmu. Karena itu, jangan mencoba menggertak
dan menakut-nakuti aku. Seolah-olah aku tidak mengerti
bahwa kau mulai menjadi cemas"
Orang yang mempunyai pengalaman yang luas itu
mengangguk-angguk. Katanya "Kau semakin meyakinkan
aku, bahwa kau adalah anak muda yang pilih tanding.
Tetapi tingkahmu itu membuat keinginanku untuk
membunuh menjadi semakin besar"
"kau akan terperosok ke alam lubang yang akan kau gali
sendiri. Semakin dalam kau menggali, maka aku akan
semakin sulit untuk meloncat keluar. Karena itu, terserah
kepadamu. Sampai dimana kau akan mengerahkan
kemampuanmu untuk melawanku. Aku hanya akan
mengimbangimu saja" jawab Mahisa Murti.
Tetapi dugaan Mahisa Murti ternyata keliru. Orang itu
tidak menjadi marah dan kehilangan perhitungan seperti
yang diharapkannya. Tetapi orang itu masih menjawab
dengan tenang "Baiklah. Kita akan melihat. Aku atau kau
yang akan terkapar mati disini. Sebaliknya aku memang
tidak menganggapmu sebagai anak-anak yang tidak
mengerti arti lawanmu. Tetapi sebaiknya akupun
menyadari, bahwa kau mengerti sepenuhnya apa yang
sedang terjadi. Dan kaupun telah mempunyai takaran
tersendiri tentang lawanmu"
"Tepat" jawab Mahisa Murti "aku sudah mendapatkan
takaran itu" Orang itu tidak berkata lebih banyak lagi. Iapun segera
bersiap untuk menyerang dengan puncak kemampuannya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan
oleh kehadiran seseorang yang tiba-tiba saja muncul dari
balik pohon jarak yang rimbun. Yang mula-mula terdengar
adalah suara tertawanya. Suara tertawa yang seolah-olah
telah menggetarkan udara di sekitar tempat itu.
"Menarik sekali" berkata orang itu "dua orang murid
perguruan yang namanya bagaikan sundul langit, telah
mencegat dua orang anak-anak yang sedang bermain
sembunyi-sembunyian"
Semua orang telah berpaling kearah suara itu. Mahisa
Pukat dan lawannya yang sedang bertempurpun telah
berloncatan surut untuk mengambil kesempatan melihat
orang yang baru saja muncul itu.
Sejenak orang-orang yang keheranan itu berdiri
termangu-mangu. Sementara itu, orang yang baru muncul
itu berkata lebih lanjut "He, dimana guru kalian" Apakah
yang kau lakukan itu mendapat restu dari gurumu?"
Kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu
termangu-mangu. Namun seorang diantaranya merekapun
berkata "Siapa kau?"
"Akapah gurumu tidak pernah mengatakan sesuatu
tentang seseorang seperti aku ini?" jawab orang itu.
Lawan Mahisa Murti itu menggeleng sambil menjawab
"Aku tidak pernah mendengar nama seseorang yang
ujudnya seperti kau. Tetapi jika kau tidak berkeberatan,
sebut namamu" "Eh, kau benar-benar ingin tahu. Namaku Sarpa Kuning.
Orang memanggilku Ki Sarpa Kuning" jawab orang itu.
Kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menjadi tegang. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun menjadi tegang pula. Sekilas terbayang seseorang
yang berdiri di Pematang memandangi sebuah iring-iringan
kecil, menuju ke.Singasari, sementara itu Mahisa Agni dan
Witantra berusaha untuk melindungi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat agar tidak dikenali oleh orang yang berdiri di
pematang. Orang itu agaknya yang sekarang berdiri di hadapan
mereka. Namun dengan kepentingan yang berbeda.
"Ki Sarpa Kuning" desis lawan Mahisa Murti "apa
maksudmu datang ke tempat ini dan mengganggu
permainanku" "Tidak apa-apa. Aku tertarik pada pertempuran ini. Aku
mengenali ilmumu meskipun aku belum pernah melihatmu.
Bukanlah kau berdua murid dari perguruan Gemulung?"
bertanya Ki Sarpa Kuning.
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun
mereka tidak dapat ingkar, bahwa keduanya memang murid
dari perguruan Gemulung. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun menjadi berdebar-debar. Orang itu pernah
bertempur melawan paman mereka, Witantra. Sementara
itu, ilmu yang menurun kepadanya dari ayahnya, memiliki
beberapa unsur yang sama, karena ayah mereka, Mahendra
adalah saudara seperguruan Witantra, meskipun mereka
memiliki perkembangan ilmu mereka masing-masing.
Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga memiliki
beberapa bagian unsur gerak yang mereka pelajari dari
Mahisa Agni, sehingga dengan demikian, maka dalam ujud
lahiriah, maka ilmu kedua anak muda itu memiliki
perbedaan dari ilmu Witantra meskipun bersumber dari
perguruan yang sama. Tetapi ternyata orang itu tidak menghiraukan mereka
berdua meskipun itu belum berarti bahwa orang itu tidak
mengenali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
termangu-mangu. Mereka menduga-duga di dalam hati,
apakah orang itu akan mengenali mereka lewat ilmu
mereka dihubungkan dengan ilmu Witantra, sebagaimana
orang itu mengenali kedua lawannya lewat ilmu mereka.
"Tetapi mungkin kedua orang itu masih mempergunakan
ilmu perguruannya dengan murni" berkata Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Dalam pada itu, orang yang menyebut dirinya Ki Sarpa
Kuning itupun berkata "He, anak-anak Gumulung. Apakah
sebenarnya kerjamu disini?"
"Itu bukan urusanmu" jawab salah seorang dari murid
perguruan Gemulung itu. "Memang bukan urusanku. Tetapi sehubungan dengan
tugas-tugasku, maka aku merasa, kehadiran kita disini tentu
akan bersinggungan" jawab Ki Sarpa Kuning.
"Tugas apa?" bertanya lawan Mahisa Pukat.
"Apapun yang akan aku lakukan disini, kau tidak usah
menghiraukannya. Tetapi aku minta kepadamu berdua,
agar kalian tidak mengganggu tugasku disini" jawab Ki
Sarpa Kuning. Kedua orang murid perguruan Gemulung itu salingberpandangan
sejenak. Namun tiba-tiba seorang
diantaranya bertanya "He, apakah kau mempunyai
hubungan dengan saudara sepupu Ki Buyut?"
Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Tetapi ia
kemudian bertanya "Siapa yang mengatakannya?"
"Perhitunganku tepat. Aku hanya tahu, bahwa saudara
sepupu Ki Buyut telah berhubungan dengan orang luar
Kabuyutan ini untuk merebut kedudukan yang ditinggalkan
oleh Ki Buyut. Jadi orang yang dimaksud adalah kau"
jawab orang itu. "Menarik sekali" jawab Ki Sarpa Kuning "apakah berita
semacam itu sudah tersebar?"
"Hampir semua orang mengetahuinya. Orang-orang
yang duduk di kedai-kedaipun mengetahuinya. Pandepande
besi telah membuat pedang dan anak-anakpun
mempercakapkannya" jawab lawan Mahisa Pukat itu
"bahkan ada orang yang menyangka, bahwa kami juga
termasuk orang-orang yang berhubungan dengan saudara
sepupu Ki Buyut itu"
Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Akupun tidak berkeberatan jika banyak orang
yang mengetahui tentang hubungan kami dengan orang
yang paling tepat untuk menjadi Buyut di Kabuyutan yang
komplang ini. Namun Kehadiranmu rasa-rasanya agak
mengganggu, karena kau sudah membuat keresahan
tersendiri disini" "Jangan hiraukan kami" jawab lawan Malnia Murti'
"urusan kami berbeda dengan urusanmu"
"Kau tidak dapat berkata begitu. Aku berkeberatan.
Biarlah keresahan orang-orang Kabuyutan ini tidak
bertambah tambah dengan tingkah lakumu itu" berkata Ki
Sarpa Kuning. Kedua orang itu menggeram. Tetapi mereka harus
mempertimbangkan banyak segi untuk menghadapi orang
yang menyebut dirinya Ki Sarpa Kuning itu.
"Nah, orang-orang Gemulung" berkata Ki Sarpa Kuning
"tinggalkan tempat ini. Meskipun sikapku ini berarti
keselamatan bagimu. Aku tahu, jika pertempuran ini
diteruskan, maka kalian berdua akan terbaring sebagai
mayat disini, karena kedua anak muda itu memang
memiliki kelebihan dari pada kalian. Tetapi mayat kalian
akan menumbuhkan persoalan tersendiri. Bahkan
perkelahian ini jika berlarut-larut, akan memancing
perhatian petani-petani yang melihatnya"
"Kami akan membunuh kedua kelinci dungu itu" geram
lawan Mahisa Pukat. Tetapi Ki Sarpa Kuning berkata "Kalian tidak akan
mampu melakukannya. Jangan gila. Jangan sangka aku
tidak dapat melihat tingkat kemampuan kalian masingmasing"
Kedua orang murid Gemulung itu tidak dapat
menjawab. Sebenarnyalah mereka memang merasakan
kesulitan menghadapi kedua orang anak muda itu. Namun
mereka tidak mau mengakui dengan sera merta keadaan itu.
Karena kedua orang itu nampak ragu-ragu, maka Ki
Sarpa Kuning itu berkata Apakah kalian tidak percaya akan
pengamatanku" Jika kalian memang ingin melanjutkan
perkelahian ini sampai mati. maka aku akan
mempersilahkan kalian meneruskannya di lereng bukit itu
tanpa ada orang yang akan mengganggunya. Marilah. Aku
akan menjadi saksi kematian dua orang murid dari
perguruan Gemulung" "Persetan "geram lawan Mahisa Pukat "kau terlalu
sombong" "Jangan bersikap kasar terhadapku. Gurumupun tidak
akan bersikap kasar seperti itu" berkata Ki Sarpa Kuning
"Nah, sekarang dengar permintaanku. Tinggalkan tempat
ini. Jangan kembali lagi untuk mencampuri persoalanku
jika perguruan Gemulung tidak ingin berhadapan dengan
aku" "Baiklah Ki Sarpa Kuning" jawab lawan Mahisa Murti
"kami akan meninggalkan tempat ini. Tetapi kami akan
melaporkannya kepada guru kami"
"Terserahlah. Tetapi aku justru berpesan kepada kalian,
agar guru kalianpun tidak mencampuri persoalanku.
Persoalan yang besar yang tidak berdiri sendiri dalam
hubunganya dengan Kabuyutan ini saja" berkata Ki Sarpa
Kuning. Lalu "Pada dasarnya aku tidak ingin bermusuhan
dengan orang-orang Gemulung"
Kedua orang murid perguruan Gemulung itu termangumangu.
Namun lawan Mahisa Murtipun kemudian berkata
"Aku terima permintaanmu kali ini. Tetapi ini bukan berarti
bahwa kau akan dapat memperlakukan perguruan
Gemulung seperti ini intuk seterusnya"
Ki Sarpa Kuning tertawa berkepanjangan. Dengan suara
serak diantara gelak tertawapya ia menjawab "Baik, baik Ki
Sanak. Aku tidak akan memperlakukan perguruan
Gemulung seperti ini untuk waktu-waktu mendatang. Aku
tahu, bahwa gurumupun tentu akan marah, dan akupun
telah memikirkan jawaban jika pada suatu saat ia akan
menemui aku. Tetapi aku justru berharap bahwa gurumu
akan bersedia bergabung dengan aku untuk satu tugas yang
saat penting yang berarti. Bukan sekedar menginginkan
kampil uang dari anak-anak ingusan yang mengembara"
Wajah kedua orang murid dari Gemulung itu menjadi
merah padam. Tetapi mereka tidak dapat ingkar, bahwa
mereka memang harus menyingkir.
Sesaat kedua orang itu masih berdiri tegang. Namun
kemudian keduanyapun bergeser perlahan-lahan
menghindar dari arena pertempuran itu.
Sepeninggal kedua orang itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat menjadi berdebar-debar. Mereka akan dapat menjadi
sasaran berikutnya. Apalagi jika Ki Sarpa Kuning itu sudah
mengetahui bahwa keduanya adalah orang-orang yang
bersama dengan Witantra menangkap kedua murid Ki
Sarpa Kuning dan yang terpaksa dibinasakannya.
Dalam pada itu. Ki Sarpa Kuningpun kemudian
memandangi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti
ganti. Kemudian sambil tersenyum ia berkata "Kalian
adalah anak-anak muda yang luar biasa. He, siapakah
kalian sebenarnya. Apakah kalian juga pernah mendengar
Ki Sarpa Kuning" Mahisa Murtilah yang kemudian menjawab "Tidak Ki
Sanak. Aku belum pernah mendengar nama itu"
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi iapun
mengerti, bahwa Mahisa Murti berusaha menghindari
persoalan yang dapat tumbuh.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau mengingatkan aku kepada dua orang prajurit
Singasari yang masih muda yang membawa dua orang
muridku bersama dengan dua orang prajurit yang lain. yang
lebih tua lagi dari kalian"
"Aku bukan prajurit Singasari" jawab Mahisa Murti
"kau dapat melihat pakaianku. Aku adalah anak
padukuhan" "Kau aneh anak-anak muda" jawab orang itu
"seandainya kau prajurit Singasaripun, kau tentu akan
dapat bertindak dalam tugas sandi"
"Kau benar Ki Sanak. Tetapi aku adalah anak padesan
Tidak ada hubungannya dengan prajurit Singasari" jawab
Mahisa Murti. "Kau panggil aku dengan Ki Sanak. Bukankah kau
sudah mendengar namaku" Kenapa kau tidak, memanggil
dengan namaku saja?" berkata Ki Sarpa Kuning kemudian.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya Namun iapun
kemudian berkata "Baiklah Ki Sarpa Kuning"
"Terima kasih. Aku lebih senang mendengar namaku
kau sebut" Ki sarpa Kuning itu berhenti sejenak, lalu "tetapi
kau tetap memberi kesan kepadaku, bahwa kau adalah dua
orang diantara empat orang Singasari yang membawa dua
orang muridku. He, apakah kau pernah mengembara
sebelum ini?" "Tidak" jawab Mahisa Murti. Namun Mahisa Pukat
menggerutu di dalam hatinya "Kenapa kita harus ingkar"
Tetapi kata-kata itu tidak diungkapkannya.
Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Lalu katanya
"Aku pernah bertempur melawan seorang dari empat orang
Singasari itu. Orang Itu memang luar biasa Ia berhasil
menghindari senjataku yang paling aku banggakan. Ularular
hitamku. Apakah kau mampu juga berbuat begitu?"
Darah Mahisa Murti tersirap. Namun ia masih juga
menjawab "Sudah aku katakan. Aku tidak lebih dari anakanak
padesan" "Tetapi kau dapat mengimbangi kemanisan anak-anak
dari perguruan Gemulung. Kau memiliki ilmu yang cukup
tinggi" berkata Ki Sarpa Kuning.
"Mungkin satu kebetulan. Mungkin orang-orang
Gemulung memang terlalu ringkih. Tetapi kami sekedar
mempertahankan milik kami yang tidak berharga" jawab
Mahisa Murti. "Aku mengerti. Kau sekedar bertahan. Tetapi
kemampuanmu menarik perhatianku" berkata Ki Sarpa
Kuning "bahkan timbul niatku untuk melihat, apakah kau
mempunyai hubungan ilmu dengan orang yang pernah
menyerangku, saat aku membunuh dua orang muridku"
"Kenapa kau bunuh muridmu?" bertanya Mahisa Murti.
"Nah. kau dengar?" Muridku sendiripun aku bunuh jika
ia tidak sejalan dengan keinginanku. Apalagi orang lain"
berkata orang itu. Namun Mahisa Pukatpun bertanya
"Mungkin kau dapat bertindak begitu terhadap muridmu.
Tetapi tentu tidak terhadap orang lain"
Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian tertawa Katanya "Tidak ada orang yang
menentang kehendakku dapat melepaskan diri dari
tanganku " "Setidak-tidaknya ada seorang" jawab Mahisa Pukat.
"Siapa?" bertanya Ki Sarpa Kuning.
"Apakah kau berhasil membunuh prajurit Singasari yang
kau katakan itu?" bertanya Mahisa Pukat pula.
Wajah Ki Sarpa Kuning menjadi tegang. Namun
kemudian katanya "Aku tidak berhasil membunuh prajurit
itu. He. kalian memang sangat menarik perhatianku.
Apakah kalian mempunyai hubungan ilmu dengan prajurit
Singasari itu" Tiba-tiba saja aku ingin mengetahui, apakah
kau benar-benar tidak mempunyai hubungan dengan
mereka" Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi
semakin tegang. Bagaimanapun juga orang yang menyebut
dirinya Ki Sarpa Kuning itu tetap mencurigai mereka.
Namun dalam pada itu Mahisa Murtipun bertanya "Ki
Sarpa Kuning, apakah setiap prajurit Singasari itu
mempunyai kesamaan ilmu" Mungkin dalam perang gelar,
mereka mempunyai kesamaan langkah. Tetapi dalam
perang secara pribadi, ilmu dasar mereka akan dapat
berbeda" "Tentu Ki Sanak" jawab Ki Sarpa Kuning "tetapi rasarasanya
hubungan anak-anak muda dan dua orang yang
lebih tua dari mereka yang menyebut diri mereka prajurit
Singasari itu agak lebih dalam dari hubungan antara para
prajurit. Mungkin diantara mereka ada hubungan
perguruan atau hubungan yang lain. Jika kalian
meyakinkan aku, bahwa kalian tidak mempunyai hubungan
ilmu dengan orang yang pernah bertempur melawan aku,
maka aku tidak akan menganggapmu terlibat dalam
persoalanku dengan, orang-orang Singasari itu"
-oo0dw0oo0- Jilid 009 Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu mangu.
Namun Ki Sarpa Kuning itupun berkata "Bersiaplah. Aku
akan menguji kalian"
Mahisa Murti memandang kesekelilingnya. Mereka,
tidak lagi melihat para petani yang ada di sawah mereka.
"Jangan hiraukan mereka" seolah-olah Ki Sarpa Kuning
itu mengetahui apa yang sedang terpikirkan oleh Mahisa
Murti "para petani itu akan melarikan diri atau
bersembunyi. Mereka tidak akan datang dengan kawankawan
mereka, meskipun mereka sudah menyiapkan
pedang" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat mengelak
lagi. Bagaimanapun juga mereka harus melayani orang
yang menyebut dirinya Ki Sarpa Kuning itu. Seadainya
mereka menghindari sentuhan ilmu, maka kecurigaan orang
itu tentu akan semakin meningkat. Tetapi jika dalam
sentuhan ilmu orang itu mampu mengenali ilmu Witantra
yang pernah bertempur sebelumnya, maka hal itupun akan
menarik perhatiannya juga, bahkan akan dapat
menyeretnya, ke dalam satu pertempuran yang sungguhsungguh.
Bahkan mungkin akan dapat menjerumuskan
mereka ke dalam pelukan maut.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itupun segera mempersiapkan diri. Mahisa Pukat telah
menyarungkan senjatanya, karena nampaknya Ki Sarpa
Kuning tidak mempergunakan senjatanya pula. Namun jika
senjata itu adalah ular-ular hitam, maka kedua anak muda
itu sudah mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Sesaat kemudian, Ki Sarpa Kuningpun telah bersiap
pula. Ketika ia bergeser melingkar, maka Mahisa Murtipun
telah mendekati Mahisa Pukat sambil berkata "Sejauh
mungkin kita hindari ciri-ciri khusus perguruan kita yang
murni. Kita akan memperlihatkan justru ilmu yang kita
dapatkan dari paman Mahisa Agni dalam hal-hal tertentu.
Bahkan tata gerak yang agak jelas dari perguruan paman
Mahisa Agni. Ki Sarpa Kunrng baru sekali bertempur
melawan paman Witantra, sehingga ia tidak akan dapat
mengenalinya dengan teliti. Hanya ciri-ciri khususnya
sajalah yang akan diingatnya"
Sementara itu. Ki Sarpa Kuningpun tertegun. Katanya
"Apakah kalian masih akan berbincang dahulu?"
"Tidak" jawab Magisa Murti "kami sudah siap" Ki
Sarpa Kuningpun kemudian itupun bergeser mendekat.
Dengan tangannya ia mulai memancing serangan.
Sementara Mahisa Murti duu Mahisa Pukat telah bersiapsiap
dengan ciri-ciri khusus yang pernah dipelajarinya dari
Mahisa Agni. Meskipun dalam pertempuran yang
sebenarnya, ilmu yang diturunkan oleh Mahisa Agni dan
Witantra akan dapat luluh dengan ilmu yang diterimanya
dari Mahisa Agni, namun dalam keadaan yang khusus Itu
mereka berusaha untuk lebih memasang unsur-unsur dari
ilmu yang mereka terima dari Mahisa Agni.
Sejenak kemudian Ki Sarpa Kuningpun mulai
menyerang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah
benar-benar bersiap. Namun merekapun menyadari, bahwa
Ki Sarpa Kuning itu tentu hanya akan sekedar menjajagi. Ia
tidak akan bersungguh-sungguh.
Meskipun demikian, jika pada suatu saat, Ki Sarpa
Kuning itu akan bersungguh-sungguh, maka kedua anak
muda itupun tidak akan ingkar akan sikap mereka sebagai
seorang laki-laki Demikianlah, maka Ki Sarpa Kuningpun telah terlibat
dalam pertempuran melawan kedua orang anak muda itu.
Dalam beberapa hal Ki Sarpa Kuning ternyata dapat
dikelabui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan ciriciri
yang tidak terdapat dalam ilmu yang mereka dapatkan
dari Mahendra yang bersumber sama dengan Witantra.
"Ilmu anak-anak ini berbeda sekali dengan ilmu orang
yang menyerangku malam itu, pada saat aku membunuh
kedua orang muridku" berkata Ki Sarpa Kuning di dalam
hatinya. Kemudian Tetapi aku seolah-olah melihat dua
orang diantara prajurit Siugasuri itu sebagai anak an ik
muda ini" Sejenak kemudian Ki Sarpa Kuning telah meningkatkan
ilmunya meskipun masih juga terasa, bahwa ia tidak
bersungguh-sungguh. Justru karena itu, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat masih juga sempat memperhitungkan
tata geraknya, agar lawannya sama sekali tidak mengenali
mereka dalam hubungannya dengan Witantra.
Karena itu, maka sejenak kemudian, Ki Sarpa Kuning
itupun telah meloncat menjauh sambil berkata "Kalian
memang tidak mempunyai hubungan perguruan dengan
orang itu" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak memburunya.
Mereka sadar, bahwa Ki Sarpa Kuning telah mendapatkan
satu kesimpulan. Karena itu, maka merekapun merasa
seolah-olah mereka telah terbebas dari satu beban yang
cukup berat. Meskipun seandainya keduanya terpaksa harus
benar-benar bertempur melawan Ki Sarpa Kuning,
keduanya tidak akan ingkar.
"Kalian memang tidak mempunyai hubungan ilmu
dengan orang yang telah bertempur melawanku malam itu"
berkata Ki Sarpa Kuning "tetapi apakah itu berarti bahwa
kalian bukan dua orang muda yang ada diantara empat
orang Singasari itu. "Aku tidak mengerti tentang empat orang Singasari"
jawab Mahisa Murti yang menyadari, bahwa saat seseorang
yang berujud sebagaimana seorang petani berada di
pematang mengamati perjalanan mereka kembali ke
Singasari, sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra
berusaha untuk membayanginya sehingga seorang yang
berdiri di pematang itu tidak dapat melihat keduanya
dengan jelas. Ki Sarpa Kuning yang telah berhenti bertempur, berdiri
tegak sambil mengamati kedua orang anak muda itu
berganti-ganti. Namun dalam pada itu,, tiba-tiba saja mereka terkejut.
Sekali lagi, tiba-tiba muncul seseorang dari balik pepohonan
perdu sambil tertawa tertahan.
"Bagus sekali" berkata orang itu "Ki Sarpa Kuning. Kau
sudah berhasil menakuti anak-anak. Semula dua orang
anak-anak Gemulung, kemudian dua orang pengembara
yang memiliki ilmu yang tinggi itu"
"Ajar Gemulung" geram Ki Sarpa Kuning "kedua
muridmu telah melaporkannya kepadamu apa yang telah
terjadi?" Tidak. Aku sengaja tidak menemui mereka yang merasa
lebih baik menyingkir daripada berselisih dengan hantu ular
seperti kau ini" jawab orang yang disebut Ajar Gemulung
"tetapi aku memang sudah mengawasimu sejak lama. Jika
kau berbuat sesuatu atas muridku, dan kedua muridku itu
tidak mampu mempertahankan dirinya, maka aku terpaksa
harus campur tangan. Meskipun demikian, terasa betapa
kau merendahkan perguruan Gemulung meskipun aku
yakin, bahwa perguruanku tidak akan kalah bobotnya
dengan perguruanmu" "Jangan membual Ajar Gemulung" jawab Ki Sarpa
Kuning tetapi sebenarnyalah bahwa aku tidak ingin
berselisih dengan perguruan Gemulung Jika aku mengusir
murid-muridmu, karena mereka telah melakukan satu
langkah yang tercela. Mereka akan merampas uang kedua
orang anak muda itu"
"Luar biasa. Sejak kapan kau menjadi seorang
pelindung" Apakah kau tidak tahu, atau sengaja menutup
mata dan telingamu tentang apa saja yang dilakukan oleh
anak-anak muridmu" sahut Ajar Gemulung "bagiku, apa
yang mereka lakukan, biarlah mereka lakukan. Tetapi jika
mereka mati dalam kerja yang mereka lakukan atas
kehendak mereka sendiri itu mengalami kesulitan, itu sama
sekali tidak menjadi tanggung jawabku. Tetapi bagaimana
dengan kau dan anak-anak muridmu?"
"Kami bukan perampok dan bukan penyamun" jawab Ki
Sarpa Kuning "kami bekerja untuk satu tujuan yang penting
bagi kelangsungan hidup kekuasaan diatas Tanah ini"
"O" Ajar Gemulung itu tertawa "demikian tinggi
gegayuhanmu. Tetapi apakah itu bukan sekedar lelucon?"
"Ajar gila" berkata Ki Sarpa Kuning "aku justru ingin
mengajukan untuk bekerja bersama, sehingga muridmuridmu
tidak perlu lagu menyamun atau merampok
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka"
"Sebetulnya hal itu tidak perlu kami lakukan selain
sebagai satu kesenangan saja" jawab Ajar Gemulung "di
perguruan kami, semuanya serba ada. Tanpa harus mencari
lagi kemana?" "Jangan membuta" jawab Ki Sarpa Kuning kita akan
berbicara cukup panjang. Tetapi bagaimana dengan kedua
anak ini" "Terserah kepadamu" jawab Ajar Gemulung "bukankah
kau yang memerlukannya. "Lalu apa maksudmu yang sebenarnya?" bertanya Ki
Sarpa Kuning.

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak apa-apa. Aku hanya mengawasi keadaan
muridku. Jika mereka mengalami kesulitan bukankah
menjadi kewajibanku untuk melindunginya. Tetapi agaknya
kau masih menyadari kemungkinan buruk-yang dapat
terjadi atasmu, jika kau benar-benar mengganggu anak-anak
muridku itu" jawab Ajar Gemulung "tetapi aku sengaja
tidak menemui mereka, agar mereka tidak terbiasa merasa
diawasi dan dilindungi"
"Jangan berbicara seperti dengan kanak-kanak" berkata
Ki Sarpa Kuning "aku tahu, muridmu tidak hanya dua
orang itu. Sementara aku hanya mengenali kedua orang
muridmu itu dari ilmu yang kau turunkan. Apakah dengan
demikian berarti, bahwa kau akan mampu mengamati
semua muridmu dalam waktu yang sama di tempat yang
berbeda-beda?" Mungkin sekarang muridmu yang lain
mengalami kesulitan di tempat lain atau bahkan mungkin
muridmu ada yang terbunuh sekarang ini, sementara kau
hanya mengigau saja disini"
Orang yang disebut Ajar Gemulung itu tertawa. Katanya
"Aku hanya mengamati muridku yang paling lemah. Kedua
orang muridku yang berkelahi dengan dua orang anak
muda ini adalah murid-muridku yang paling lemah dan
tidak akan berdaya untuk melindungi dirinya, seandainya
mereka bertemu dengan kau"
"Aku tidak akan merendahkan diriku, mengganggu
murid-muridmu yang paling dungu itu" jawab Ki Sarpa
Kuning "tetapi, apakah kau mempunyai maksud tertentu
dengan kedua anak muda yang akan mengalahkan
muridmu itu?" Ajar Gemulung memandangi kedua anak muda yang
termangu mangu itu. Namun kemudian katanya "Aku tidak
mempunyai kepentingan dengan mereka. Aku tidak merasa
tersinggung bahwa kedua orang muridku yang paling dungu
itu hampir dikalahkannya. Untunglah bahwa kau datang
dan melerai perkelahian itu sehingga kedua muridku itu
tidak benar-benar mengalami kekalahan"
"Baiklah" berkata Ki Sarpa Kuning. Lalu katanya "Aku
sebenarnya ingin menawarkan satu kesempatan kepada
kedua orang anak muda itu"
"Kesempatan apa?" bertanya Ajar Gemulung.
"Kesempatan untuk menjadi muridku. Keduanya
memiliki bekal yang cukup mantap, sehingga keduanya
pantas untuk menjadi muridku" berkata Ki Sarpa Kuning.
Ajar Gemulung tertawa. Lalu katanya "Kau memang
cerdik. Kau ambil orang yang sudah memiliki ilmu yang
mapan. Kemudian kau ajari mereka menyebut nama
perguruanmu. Selebihnya kau aku orang itu sebagai
muridmu. Itulah sebabnya kau mudah sekali menghukum
murid-muridmu yang tidak berbuat tepat seperti yang kau
kehendaki. Bahkan kau dengan tanpa berpikir panjang telah
menjatuhkan hukuman mati kepada murid-muridmu"
Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Lalu katanya
"Kau jangan mengigau dihadapanku. Ingat. Aku adalah Ki
Sarpa Kuning yang dapat bertindak tegas terhadap siapapun
yang menyinggung perasaannya Termasuk kau"
Tetapi Ajar Gemulung tetap saja tertawa Katanya
"Tetapi siapapun kau, kau tidak akan dapat menakut-nakuti
aku. Namun demikian, baiklah Aku tidak ingin berselisih
sekarang ini. Aku hanya mengamati murid muridku yang
paling bodoh itu. Mereka nampaknya sudah selamat dari
tanganmu. Terima kasih"
"Sudah aku katakan. Aku memang tidak akan berbuat
apa-apa. Karena itu, maka kaupun akan aku lepaskan pergi
kemana kau kehendaki" jawab Ki Sarpa Kuning
"Kau jangan terlalu sombong karena ular-ular hitammu
itu. Sekarang aku memang akan pergi setelah yakin bahwa
kau tidak mengganggu mereka. Aku mempunyai sedikit
perbedaan dengan kau. Tetapi mendasar. Muridku adalah
anak-anakku. Sementara kau, murid adalah alat yang dapat
kau pergunakan untuk apa saja. Jika kau memberikan
sebagian ilmumu kepada murid-muridmu, sama sekali
bukan karena kau ingin membuat mereka menjadi orang
yang berbekal ilmu, tetapi semata-mata untuk memenuhi
keperluan. Bahkan tanpa ragu-ragu kau korbankan mereka
untuk kepeiitinganmu. Dan sekarang, kau akan mengambil
kedua orang anak muda ini sebagai muridmu"
"Sekati lagi aku memperingatkatimu Ajar gila. Jangan
kau biarkan mulutmu mengigau dihadapanku, agar kau
tidak menyesal. Sebaiknya kau segera pergi saja sebelum
darahku naik ke kepala Tetapi aku ingin memperingatkan
sekali lagi Kita dapat bekerja bersama untuk satu
kepentingan yang besar bukan sekedar merampok sekampil
uang di tengah-tengah bulak panjang" berkata Ki Sarpa
Kuning. Ajar Gemulung itu tertawa pula. Katanya "Jangan
mengumpat-umpat. Aku akan memikirkan tawaranku itu.
Tetapi aku tidak akan menjawab sekarang"
"Terserah" jawab Ki Sarpa Kuning "kau dapat
menjawab kapan saja jika kau sudah mengambil satu
keputusan" Ajar Gemulung tidak menjawab. Dipandanginya kedua
orang anak muda itu berganti-ganti. Lalu katanya "Pikirkan
masak-masak sebelum kau menerima tawarannya untuk
menjadi muridnya. Mungkin kau akan dijadikan tumbal
tingkah lakunya yang sama sekali tidak berpijak pada
penalaran yang wajar. Bahkan mungkin kau akan dijadikan
alat untuk membuat ular-ularnya lebih berbisa. Mungkin
darahmu akan diambilnya, atau mungkin otak di kepalamu
atau sungsum di tulang belakangmu"
"Cukup" teriak Ki Sarpa Kuning "kau benar-benar
menantangku" "Jangan berteriak-teriak" jawab Ajar Gemulung
"lakukan apa yang akan kau lakukan. Aku sudah siap"
Ki Sarpa Kuning menggeretakkan giginya. Namun
ternyata Ajar Gemulung itu tidak menunggu lebih lama
lagi. Iapun kemudian melangkah meninggalkan tempat itu
sambil bergumam "Anak-anak itu tentu tidak hanya berdua
saja. Seperti anak-anak harimau, maka induknya tentu
berkeliaran disekitar tempat ini dan akan hadir di setiap saat
yang diperlukan" Ki Sarpa Kuning tidak menjawab. Diamatinya saja Ajar
Gemulung yang kemudian beringsut meninggalkan tempat
itu. Sepeninggal Ajar Gemulung, Ki Sarpa Kuning
mengamati kedua anak muda itu dengan lebih tajam lagi.
Namun kemudian katanya "Kau sudah mendengar.
Apakah kau bersedia berada di lingkungan padepokanku?"
Mungkin ilmumu akan berkembang lebih baik. Kau akan
dapat mempelajari ilmu yang belum pernah kau sentuh
sampai saat ini. Dengan demikian, maka kau akan menjadi
semakin cepat meningkat menjadi dua orang anak muda
yang mumpuni" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Tetapi tawaran itu memang sangat menarik. Bukan karena
keduanya ingin mendapatkan ilmu dari orang yang terbiasa
bermain-main dengan bisa dan racun itu. Tetapi dengan
demikian, mereka akan dapat lebih banyak mengetahui
tentang rencana Ki Sarpa Kuning untuk melaksanakan
niatnya. Menebas hutan di lembah-lembah dan lereng
pegunungan. Namun sekilas diingatnya pula, sekelompok orang yang
berhubungan dengan saudara sepupu Ki Buyut dalam
memperebutkan kedudukan dengan menantu Ki Buyut
yang lemah hati itu. Dalam pada itu, karena kedua anak muda itu tidak
segera menjawab, maka Ki Sarpa Kuningpun berkata "Kau
dapat berpikir sebaik-baiknya dan membicarakannya. Aku
tidak tergesa-gesa" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Sementara itu, Ki Sarpa Kuningpun berkata "Aku
akan menunggu di bawah pohon preh yang nampak dari
tempat ini. Disana ada sebuah belik yang besar dan berair
jernih. Jika kalian sudah mengambil satu keputusan, kalian
dapat datang ke belik itu dan mengatakannya kepadaku.
Aku tidak memaksamu Kalian dapat menerima tetapi juga
dapat menolak" Mahisa Murtilah yang menjawab "Baiklah. Aku akan
datang dan memberikan jawaban"
Ki Sarpa Kuning itu mengangguk angguk Katanya "Aku
telah kehilangan dua orang murid. Aku harus
mengorbankannya untuk satu tujuan yang jauh lebih
berharga dari kedua orang muridku itu. Jika kalian bersedia,
maka kalian akan menggantikan kedudukan kedua muridku
itu" "Juga untuk mengalami akhir yang pahit?" tiba-tiba saja
Mahisa Pukat bertanya. Ki Sarpa Kuning memandanginya dengan tajam. Namun
kemudian sambil tersenyum ia menjawab "Tidak harus
demikian anak muda Hanya mereka yang tidak tahu diri
sajalah yang harus dihukum. Kedua muridku itu telah
melakukan satu kesalahan yang sulit untuk dimaafkan.
Mereka telah mengganggu gadis-gadis padukuhan yang
sedang mencuci di sungai Justru karena itu, keduanya telah
ditangkap. Beberapa orang kawannya, yang kebetulan
bukan seperguruan dengan murid-muridku itu telah
mencoba membebaskan mereka, tetapi tidak berhasil"
Mahisa Murtilah yang kemudian menjawab Baiklah.
Aku ulangi lagi, bahwa aku akan memberikan jawaban
setelah aku sempat merenungi lawaranmu dan
membicarakannya berdua"
"Aku menunggu. Mudah-mudahan kalian bercita-cita
tinggi seperti kami" berkata Ki Sarpa Kuning sambil
meninggalkan kedua anak muda itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
menjawab. Dibiarkannya Ki Sarpa Kuning melangkah
menyusuri pematang menuju ke sebatang pohon preh yang
nampak di tengah-tengah bulak yang luas itu.
*Baru ketika Ki Sarpa Kuning menjadi semakin jauh,
kedua anak muda itu bergeser. Sambil menarik nafas
dalam-dalam Mahisa Murti berkata "Satu kesempatan yang
pantas direnungkan" "Kau berpikir, dengan menjadi muridnya, kita akan
dapat melihat lebih jauh. apa yang telah mereka lakukan?"
bertanya Mahisa Pukat. "Ya. Mungkin kita akan dapat menemukan satu hal yang
berarti bagi Singasari dari petualangan ini, meskipun aku
tahu, bahwa persoalannya tidak terlalu sederhana" jawab
Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi masih
membayang keragu-raguan pada sorot matanya. Dengan
ragu ia bertanya "padepokan itu" Ki Sarpa Kuning tentu
menyadari, bahwa kita memiliki ikatan dengan satu
perguruan lain yang telah membekali kita dengan ilmu yang
kita miliki sekarang. Justru karena itu, maka orang itupun
tentu berpikir masak-masak untuk menerima kita ke dalam
lingkungannnya. Bahkan mungkin satu muslihat yang tidak
kita. ketahui sebelumnya"
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Iapun
mempunyai pertimbangan yang demikian pula. Namun
iapun melihat satu kemungkinan lain.
"Apakah kita dapat menempatkan diri kita diantara
murid-muridnya?" bertanya Mahisa Murti.
"Sulit untuk mengerti watak dan sifat Sarpa Kuning, la
mencegah kedua murid Gemulung itu merampas uang kita.
Sementara itu, Ki Sarpa Kuning juga menganggap kedua
orang muridnya yang mengganggu gadis-gadis itu sebagai
satu sikap yang pantas dihukum" berkata Mahisa Pukat.
"Tetapi yang terpenting alasan Ki Sarpa Kuning
menghukum mati kedua muridnya, adalah untuk
menyembunyikan rahasia padepokannya" jawab Mahisa
Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun keraguraguan
masih membayang di wajah anak muda itu.
Dalam pada itu, selagi kedua anak muda itu masih
belum dapat memecahkan persoalan yang mereka hadapi,
tiba-tiba seorang petani dengan cangkul dipundaknya telah
meloncati parit dan melangkah mendekatinya. Wajahnya
yang cerah membayangkan kecerahan hatinya pula,
sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
mencurigainya bahwa ia akan melakukan sesuatu yang
tidak baik. Apalagi menilik ujudnya, orang itu adalah
kebanyakan petani yang bekerja di sawahnya di siang hari.
Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih juga mempersiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan. Namun petani yang mendekati keduanya itu tertawa
sambil berkata "Kalian tidak apa-apa?" Aku melihat kalian
berkelahi. Kemudian datang orang-orang yang melerai
kalian" "Tidak Ki Sanak" jawab Mahisa Murti.
"Sukurlah" berkata petani itu sambil meletakkan
cangkulnya sambil membenahi bajunya "aku menjadi
cemas melihat keadaan kalian. Tetapi kami, petani-petani
yang bodoh, sama sekali tidak berani mendekati kalian.
Baru setelah kalian tinggal berdua, aku memberanikan diri
untuk datang kemari"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Tetapi merekapun merasa heran, bahwa tiba-tiba saja
mereka melihat petani itu meloncati parit beberapa langkah
saja dari mereka tanpa melihatnya sebelumnya.
"Kami tidak memperhatikan keadaan disekeliling kami"
berkata kedua anak muda itu di dalam hatinya
Dalam pada itu. maka petani itupun kemudian duduk di
rerumputan dipinggir jalan bulak panjang yang sepi itu
sambil berkata "Duduklah. Marilah kita berbicara serba
sedikit" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpadangan.
Mereka akan membicarakan tawaran Ki Sarpa Kuning yang
masih menunggu mereka dibawah pohon preh. Tetapi
keduanya tidak dapat menolak petani yang ingin berbicara


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, agar tidak menumbuhkan kecurigaan apapun juga.
"Tetapi jika Ki Sarpa Kuning marah kepada petani itu, ia
akan mengalami nasib yang buruk" berkata anak-anak
muda itu di dalam hatinya.
Namun demikian, kedua anak muda itupun kemudian
duduk pula di sebelah petani itu. Meskipun demikian
Mahisa Murtipun berkata "Aku tidak mempunyai banyak
waktu Ki Sanak. Aku harus melanjutkan perjalananku"
"Jangan tergesa-gesa" jawab petani itu aku tahu, Ki
Sarpa Kuning menunggumu dibawah pohon preh itu.
Tetapi ia tidak akan segera pergi"
Jawaban itu benar-benar mengejutkan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Keduanya saling berpandangan. Namun
kemudian Mahisa Pukatpun bertanya "Siapa sebenarnya Ki
Sanak?" "Sebagaimana kau lihat, aku adalah seorang petani yang
kebetulan melihat segala peristiwa yang terjadi. Karena aku
tidak berani berbuat apa-apa, maka aku bersembunyi di
balik pematang itu" jawab petani itu.
"Tetapi, pakaianmu tidak terlalu kotor sebagaimana jika
kau merunduk di belakang pematang itu" desis Mahisa
Pukat. Orang itu mengerutkan keningnya. Namun iapun
tersenyum sambil berkata "Kau terlalu teliti mengamati
seseorang. Baiklah. Kita akan berbicara dengan terbuka.
Mungkin akan lebih bermanfaat bagimu"
"Aku sudah mengira" berkata Mahisa Murti "tetapi
berkatalah. Apakah kau akan memberikan satu pendapat
tentang Ki Sarpa Kuning"
"Ya" jawab orang itu "tetapi biarlah aku
memperkenalkan diri agar kau dapat mempercayai katakataku"
"Siapa kau?" bertanya Mahisa Murti.
Orang itu menunjukkan satu jari tangannya yang
mengenakan sebuah cincin. Cincin dengan mata batu akik
yang mirip sekali dengan batu akik yang ada pada
cincinnya. Akik Jamur Gunung.
"Kau kenal akik serupa itu?" bertanya petani itu. Mahisa
Murti memandang Mahisa Pukat sekilas. Namun kemudian
iapun menunjukkan cincinnya pula sambil berkata "Akik
itu mirip dengan akik ini"
"Bukan hanya mirip" jawab petani itu "tetapi akik ini
adalah belahan akik yang kau pakai. Akik Jamur Gunung.
Akik yang dapat menjadi menawar bisa yang paling tajam
sekalipun" "Darimana kau dapatkan akik itu?" bertanya Mahisa
Murti. Orang itu tersenyum. Katanya "Darimana pula kau
dapatkan akik itu?" "Ayah" jawab Mahisa Murti.
"Darimana ayahmu mendapatkannya?"orang itu
bertanya pula. "Dari seorang sahabatnya" jawab Mahisa Murti.
"Darimana sahabat ayahmu itu mendapatkan cincin dan
batu akik itu?" desak petani itu.
"Aku tidak tahu. Ayah tidak pernah menceriterakannya"
jawab Mahisa Murti. "Baiklah. Mungkin akan berarti bagimu. Akik itu
memang belahan akik yang aku pakai ini. Semula seorang
tua yang lebih banyak mengasingkan dirinya, mendapatkan
sebongkah batu yang aneh. Yang ternyata memiliki
kemampuan untuk menawarkan segala macam bisa.
Sementara itu, orang tua itu mempunyai dua orang murid.
Karena itu, maka batu itupun telah dibelah. Satu diberikan
kepada sahabat ayahmu itu, dan satu kepadaku. Kami
adalah saudara seperguruan. Tetapi sahabat ayahmu itu
tidak mempunyai sanak keluarga yang akan mewarisi akik
yang memiliki arti yang sangat besar itu. Menurut
pendapatnya, tidak ada orang lain yang lebih baik dari
ayahmu untuk memilikinya. Ternyata bahwa akik itu benarbenar
diberikan kepadanya, sebagaimana dikatakannya
kepadaku" bertanya orang itu lebih lanjut Lalu "Karena itu,
maka meskipun tidak langsung kita mempunyai hubungan"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya
"Terima kasih atas penjelasan itu. Selanjutnya, apa yang
dapat kita lakukan kemudian"
"Anak muda" berkata orang itu "masih ada kelanjutan
ceriteranya. Kita yang semula seperguruan, akhirnya
terpaksa berpisah. Ketika guru meninggal, maka kami telah
mengambil jalan kami masing-masing. Sahabat ayahmu
memilih satu kehidupan yang tenang dan wajar, sementara
itu, aku pergi mengembara. Memang ada bedanya. Sahabat
ayahmu itu hidup dalam satu lingkungan masarakat biasa.
Sedang aku, untuk waktu yang lama terombang-ambing
dalam satu keadaan yang tidak menentu. Namun akhirnya
akupun berhasil melontarkan diriku dari arus petualangan
dan memasuki kehidupan masarakat biasa. Namun pada
saat terakhir, aku tahu, bahwa cincin Jamur Gunung itu
telah berada di tanganmu karena kalian akan memasuki
satu pengembaraan yang membawa satu niat tertentu"
"Darimana kau tahu?" bertanya Mahisa Murti.
"Ayahmu telah menyampaikannya kepada sahabat
ayahmu itu" jawab orang itu "Adalah kebetulan, bahwa
aku telah berjumpa dengan ayahmu di tempat saudara
seperguruanku itu" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak, dengan nada dalam Mahisa Murti bertanya "Jadi
orang itu masih hidup?"
Petani itu tersenyum. Dengan nada datar ia berkata
"Orang itu masih hidup. Aku masih sering berkunjung
kepadanya, sebagaimana dilakukan oleh ayahmu"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Orang dalam
pakaian petani itu mengetahui banyak hal tentang dirinya,
sehingga karena itu, maka kedua orang anak muda itu tidak
akan dapat ingkar lagi tentang diri mereka.
"Anak muda" berkata orang itu "ceritera ayahmu
tentang pengembaraanmu, sangat menarik hatiku. Namun
juga menimbulkan kecemasan. Karena itu, maka aku
berusaha untuk dapat mengikuti jejakmu"
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun dalam
pada itu Mahisa Pukatlah yang bertanya lebih dahulu
"Bagaimana kau dapat mengikuti kami. Kau nampaknya
tinggal di tempat ini dan mengerjakan sawahmu di bulak
ini. Padahal, pada suatu saat kami tentu akan meninggalkan
tempat ini" Orang itu tersenyum. Katanya "Aku sama sekali tidak
sedang menggarap sawah. Aku memang membawa cangkul
dan berpakaian seperti petani kebanyakan. Tetapi aku
bukan orang padukuhan ini"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, la mengerti maksud
orang itu. Karena itu, maka katanya "Jika demikian, maka
kau berada di tempat ini sejak kami berkelahi?"
"Ya" jawab orang itu.
"Bukankah saat itu ada disini pula Ki Sarpa Kuning dan
orang yang disebut dengan Ajar Gemulung?" bertanya
Mahisa Pukat pula. "Ya" jawab orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
dengan demikian, anak-anak muda itu dapat menilai,
bahwa orang dalam pakaian petani itu bukan pula orang
kebanyakan. Ia hadir bersama Ki Sarpa Kuning dan Ajar
Gemulung. Agaknya orang itupun memiliki kemampuan
yang seimbang dengan Kedua orang itu. Apalagi dengan
cincin bermata batu akik Jamur Gunung yang memiliki
kemampuan menawarkan bisa. Sehingga dengan demikian
maka ular-ular hitam Ki Sarpa Kuning tidak akan banyak
berpengaruh atasnya. Dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Murtilah yang
bertanya "Ki Sanak. Apakah kami boleh mengetahui nama
Ki Sanak" Orang itu tersenyum. Jawabnya "Tentu. Pada suatu saat
ayahmupun akan menyebutnya. Namaku sebagaimana
ayahmu memanggilku adalah Waruju. Ki Waruju"
"Terima kasih Ki Waruju. Dengan demikian, aku tidak
lagi kelbingungan untuk menyebutnya" desis Mahisa Pukat
kemudian. Sementara itu, maka Ki Warujupun berkata "Sudahlah.
Kau sudah mengenal aku. Karena itu, sekarang lakukanlah
apa yang ingin kau lakukan. Tetapi hati-hatilah. Kau akan
memasuki satu lingkungan yang gawat. Ki Sarpa Kuning
akan tetap mencurigai kalian sebagai dua orang anak muda
yang bersama-sama dengan prajurit Singasari yang
menangkap dua orang muridnya"
"Ayah menceriterakannya juga?" bertanya Mahisa
Murti. "Ya. Dan ternyata perhitungan ayahmu benar. Ki Sarpa
Kuning berusaha untuk menemukan dua orang anak muda
itu" jawab Ki Waruju "untunglah bahwa kalian dengan
cerdik telah berusaha untuk mengaburkan unsur-unsur
ilmumu yang kau sadap dari ayahmu, karena Witantra
bersumber dari orang yang sama dengan ilmu ayahmu"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia semakin yakin
akan orang yang sedang dihadapinya. Karena itu maka
katanya "Jika demikian, bagaimana pendapat Ki Waruju,
apakah kami sebaiknya memasuki padepokan Ki Sarpa
Kuning atau tidak" "Memang satu kesempatan bagimu" berkata Ki Waruju
"tetapi seperti yang aku pesankan. Hati-hatilah. Kau akan
memasuki sebuah sarang serigala"
"Apakah Ki Waruju sependapat?" bertanya Mahisa
Pukat. "Mungkin akan dapat berarti bagi Mahisa Agni dan
Witantra yang bekerja untuk kepentingan Singasari" jawab
Ki Waruju "Jika bulat niat kalian, lakukanlah. Aku akan
selalu berusaha untuk membayangi kalian. Kalian dapat
memberikan isyarat-isyarat tertentu kepadaku. Mudahmudahan
kau akan dapat berhasil"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Ternyata orang yang bersama Ki Waruju itu telah
mendorong mereka untuk memasuki padepokan Ki Sarpa
Kuning, karena dengan demikian, ada kemungkinan bagi
mereka untuk mengetahui rencana orang-orang yang
berusaha untuk menghancurkan Singasari melalui jalan
panjang, namun hasilnya pada suatu saat akan meyakinkan.
"Baiklah Ki Waruju" berkata Mahisa Murti kemudian
"kami mohon restu. Mudah-mudahan kami dapat keluar
dari padepokan itu dengan selamat"
"Akik Jamur Gunung dan gelang Kayu Bule itu akan
sangat bermanfaat. Jagalah, agar benda-benda itu tidak
terpisah dari tubuhmu, kapanpun juga" berkata Ki Waruju.
Lalu "Nah, sekarang pergilah kepada Ki Sarpa Kuning
yang menunggumu. Katakan bahwa kau berbicara dengan
seorang petani yang ketakutan melihat perkelahian itu.
Tetapi setelah perkelahian selesai, maka pelani itu berusaha
untuk mendekat kalian dan berbicara serba sedikit. Karena
kedatanganmu yang berjarak waktu tentu akan
menimbulkan pertanyaan padanya"
"Baiklah Ki Waruju" jawab Mahisa Murti "kami berdua
mohon diri. Sejauh mungkin kami akan selalu berusaha
untuk berhubungan dengan Ki Waruju"
Petani yang bernama Ki Waruju itupun kemudian
bangkit sambil bergumam "Kita akan berpisah. Usahakan
pada waktu-waktu tertentu memisahkan diri dari orangorang
padepokan itu. Mungkin aku akan mendapat
kesempatan untuk menemui kalian"
"Terima kasih. Kami mohon doa Ki Waruju, agar kami
dapat melakukan tugas ini dengan selamat, sehingga akan
bermanfaat bagi banyak orang dan bagi Singasari" berkata
Mahisa Murti. Ki Waruju itupun kemudian meninggalkan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu kedua orang anak
muda itupun telah bersiap-siap untuk datang kepada Ki
Sarpa Kuning yang menunggu mereka dibawah pohon
preh, ditengah-tengah bulak yang luas itu.
Namun bagaimanapun juga Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat merasa betapa jantungnya berdetak semakin cepat.
Yang mereka lakukan adalah langkah-langkah yang sangat
berbahaya. Namun yang akan mungkin menyingkap satu
tabir tentang usaha membuat lembah dan lereng
pegunungan menjadi gundul, sehingga kehidupan di
sekitarnya akan terancam karenanya.
Namun bagaimanapun juga, keduanya sudah
menentukan sikap, bahwa mereka akan memasuki satu
padepokan yang dipimpin oleh Ki Sarpa Kuning.
Ketika kedua anak muda itu sampai di bawah pohon
preh yang tumbuh di dekat sebuah mata air yang cukup
besar, mereka melihat Ki Sarpa Kuning duduk bersandar
sebongkah batu yang besar.
"Aku hampir tertidur" berkata Ki Sarpa Kuning "nah,
apakah kalian sudah mengambil satu keputusan?" Aku kira
kalian menjadi ketakutan, justru melarikan diri"
"Tidak Ki Sarpa Kuning" berkata Mahisa Murti "kami
sedang berbincang ketika seorang petani yang ketakutan
berusaha untuk mendekati kami dan menanyakan apa yang
telah terjadi " "Seorang petani?" bertanya Ki Sarpa Kuning.
"Salah seorang dari para petani yang bekerja di sawah
itu" jawab Mahisa Murti "setelah tidak ada lagi untuk hiruk
pikuk, maka ia mencoba mendekati kami dan menanyakan
apa yang telah terjadi"
"Dan kau berceritera tentang peristiwa yang sebenarnya
terjadi?" bertanya Ki Sarpa Kuning.
"Sebagian. Tentang orang-orang Gemulung yang akan
merampas milikku yang tidak seberapa" jawab Mahisa
Murti. "Duduklah" Ki Sarpa Kuning mempersilahkan. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian duduk beberapa
langkah dihadapan Ki Sarpa Kuning.
"Kalian sudah ambil keputusan?" bertanya Ki Sarpa
Kuning. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa saat. Baru kemudian Mahisa Murti berkata
"Tetapi apakah dengan memasuki padepokan Ki Sarpa
Kuning, kebehasanku akan dirampas sehagaimana dua
orang murid Ki Sarpa Kuning yang terbunuh itu?"
Terdengar Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya "Tentu
tidak anak mnda. Kedua orang muridku itupun tidak akan
mengalami perlakuan yang demikian, jika mereka tidak
melanggar paugeran padepokan" Ki Sarpa Kuning berhenti
sejenak. Lalu dengan tiba-tiba ia bertanya "Kebebasan apa
yang kau maksud" Tentu kebebasan itu ada batasnya. Kau
tentu saja tidak akan dapat melanggar paugeran padepokan
seperti dua orang muridku yang terbunuh itu. Mereka telah
berusaha merampas dua orang gadis dari sebuah
padukuhan. Itu adalah kesalahan yang tidak dapat
dimaafkan. Apalagi kemudian keduanya dapat ditangkap
oleh orang-orang yang mengaku prajurit Singasari. Apakah
dengan demikian bukan berarti satu bencana buat
padepokan kami" Juga buat kawan-kawan kami yang
bekerja bersama kami untuk satu tujuan yang mulia bagi
Kediri" Nah, atas kesalahan itulah maka kedua orang itu
tidak mempunyai pilihan lain kecuali dihukum mati. Dan
aku sendirilah yang melaksanakan hukuman itu, setelah
kawan-kawannya gagal melakukannya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun mereka tidak mempunyai bayangan yang pasti
tentang padepokan yang dipimpin oleh Ki Sarpa Kuning.
Seorang yang memiliki pengetahuan yang sangat luas
tentang racun dan bisa. "Tetapi "bertanya Mahisa Pukat kemudian "apakah
berarti pula hahwa kami tidak akan boleh keluar dari
padepokan" Maksudku, untuk meneruskan pengembaraan
kami jika saatnya kami anggap sudah tiba?"
"Tentu. Kami tidak akan berkeberatan setelah ilmu
kalian kami anggap mapan. Setelah kalian memiliki ilmu
dasar bagi padepokan kami. Sebagaimana orang-orang
terpenting di padepokan kami, kami tidak pernah mengikat
mereka untuk tetap berada dipadepokan. Satu dua diantara
mereka telah memencar dan melakukan pekerjaan mereka
masing-masing. Namun sudah tentu, bagi mereka, segala
tingkah laku harus mereka pertanggung jawabkan sendiri.
Tidak lagi menjadi tanggung jawab padepokan kami"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun demikian mereka tidak dapat memegang teguh
semua perkataan Ki Sarpa Kuning. Sehingga apabila pada
suatu saat mereka mengalami perlakuan yang lain, mereka
harus sudah mempersiapkan diri sehaik-baiknya
menghadapi kemungkinan itu.
"Sekarang, katakan. Apakah kalian bersedia tinggal
bersama kami?" bertanya Ki Sarpa Kuning.
"Kami masih tetap ragu-ragu" jawab Mahisa Murti
"bagaimana jika kami tidak bersedia?"
"O, sudah tentu aku tidak dapat memaksa anak muda.
Kalian adalah orang-orang yang bebas menentukan sikap.
Kalian masih belum dibatasi oleh paugeran padepokan
kami sehingga kalian masih belum terikat sama sekali"
berkata Ki Sarpa Kuning "selanjutnya jika kalian akan
meneruskan pengembaraan kalian, aku titip salam kepada
orang-orang yang kau temui di perjalanan"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru menjadi
termangu-mangu. Agaknya Ki Sarpa Kuning benar-benar
tidak ingin memaksakan satu sikap kepada keduanya.
Namun justru karena itu. niat mereka untuk berada di
padepokan yang dipimpin oleh Ki Sarpa Kuning itu
menjadi semakin besar. Karena itu, maka sejenak kemudian, setelah berpikir
kembali tentang rencana mereka, maka Mahisa Murtipun
berkata "Ki Sarpa Kuning. Meskipun ada keragu-raguan,
tetapi tawaran dan sikap Ki Sarpa Kuning telah menarik
keinginan kami justru menjadi semakin besar untuk
mencoba berada di dalam lingkungan padepokan yang Ki
Sarpa Kuning pimpin itu. Meskipun demikian, kami masih
ingin bertanya lagi, apakah setiap saat yang kami inginkan,
kami dapat meninggalkan padepokan itu, meskipun kami
masih belum memiliki kemampuan dasar yang disyaratkan
sebagaimana Ki Sarpa Kuning katakan.
"Pintu padepokan selalu terbuka anak muda" jawab Ki
Sarpa Kuning "jika ada muridku yang meninggalkan
padepokan sebelum mencapai tingkat Kemampuan dasar
bagi padepokan kami, maka ia akan menyesal sendiri.
Orang yang demikian tentu belum memiliki bekal yang
cukup, sementara itu, orang itu sudah terlepas dari
perlindungan dan tanggung jawab padepokan. Dengan
demikian, jika mereka mengalami kesulitan, maka orang itu
harus mempertanggung-jawabkan keadaannya itu sendiri"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka sadar, bahwa mereka tidak akan dapat begitu saja
mempercayai keterangan Ki Sarpa Kuning itu Mungkin
yang dikatakannya itu, tidak lebih dari separuh yang dapat
dipercayainya. Namun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang sudah bertekad untuk memasuki padepokan itu.
Karena itu. maka Mahisa Murtipun kemudian berkata
"Baikian Ki Sarpa Kuning. Aku tidak berkeberatan untuk
berada di dalam padepokanmu. Mungkin aku akan merasa
berbahagia sekali menjadi murid padepokan itu, karena
dengan demikian aku akan dapat meningkatkan ilmuku.
Namun apabila aku berpendirian lain, maka dengan leluasa
aku akan dapat meninggalkan padepokanku dan
meneruskan pengembaraanku yang tanpa tujuan ini"
"Bagus" desis Ki Sarpa Kuning "jika kalian memang
bersedia, aku akan sangat senang. Kalian akan menjadi
pengganti kedua orang muridku yang terpaksa aku
singkirkan karena tingkah lakunya. Dengan demikian,
maka jumlah muridku akan tetap"
"Tetapi apakah padepkan Ki Sarpa Kuning terletak jauh
dari sini?" bertanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Memang agak jauh" jawab Ki Sarpa Kuning "tetapi
tidak sangat jauh. Kita memang memerlukan bermalam
diperjalanan. Namun sebagai pengembara, bukankah kalian
telah terbiasa tidur berselimut embun?"
"Ya. Bukan soal lagi bagiku" jawab Mahisa Pukat -jadi
kapan kita akan berangkat?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya
ketika Ki Sarpa Kuning justru tertawa. Katanya "Jangan
tergesa-gesa. Aku masih mempunyai pekerjaan sedikit di
daerah ini" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun merekapun segera teringat akan keterangan
pemilik warung dan kedua orang murid Ajar Gemulung.
"Agaknya Ki Sarpa Kuning benar-benar telah terlibat
dalam perebutan kekuasaan di Kabuyutan ini" berkata
kedua anak muda itu di dalam hiatinya, "dengan pamrih
yang dapat menguntungkan rencana besar yang dibuat oleh
beberapa orang Kediri, maka Ki Sarpa Kuning telah
berusaha untuk menempatkan orang yang akan berada
dibawah pengaruhnya di Kabuyutan itu"
Namun nampaknya hal itu akan sangat berarti bagi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itu, maka Mahisa
Murtipun kemudian bertanya "Pekerjaan apakah yang
masih harus diselesaikan disini?"
"Kalian akan mengetahui pada saatnya. Sebenarnyalah
bahwa aku tidak sendiri berada di tempat ini. Ada tiga
Suling Pusaka Kumala 5 Wiro Sableng 082 Dewi Ular Bangun Dong Lupus 2

Cari Blog Ini