Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU MATAHARI pagi kian merambat. Kini sudah
menempati titik tertingginya, butiran-butiran embun
sudah tidak lagi bergayut di dedaunan karena terhisap oleh sinar hangat bola
penerang jagat.
Siang yang cerah, tampak dari kejauhan dua
sosok manusia sedang menuruni lembah Pangrango.
Satu orang di antaranya seorang pemuda tampan bergaris rahang jantan. Dia duduk di atas punggung kuda. Dipacunya kuda dengan kecepatan tinggi seperti
kesetanan. Rambutnya yang panjang kemerahan melambai-lambai diterpa angin, seolah-olah mengucapkan selamat tinggal pada pepohonan dan hewan
liar. Dia adalah Satria Gendeng, murid dua tokoh sakti kenamaan persilatan.
Sedang yang lain adalah seorang
lelaki berbadan bongsor dan berkumis, mengenakan
baju monyet. Namanya Joyolelono, anak sekaligus murid tunggal Ki Jerangkong alias Dewa Gila. Kendati
berpenampilan tak meyakinkan, dia bukan tokoh yang
bisa disembarangi begitu saja.
"Hia! Hia!"
Satria terus menggebah kuda tunggangannya.
Sementara Joyolelono berlari sambil berjingkrakjingkrak kegirangan, mengikuti derap langkah kuda.
Tingkahnya seperti bocah yang sedang menyambut
sang ayah yang baru pulang dari rantau.
"Hoi! Ho!" teriaknya 'gila-gilaan'.
Kuda terus dipacu oleh Satria. Sedangkan
Joyolelono pun terus berlari mengimbangi kecepatan
langkah kuda, bahkan sesekali dia dapat berlari mendahului kecepatan lari kuda tunggangan Satria Gendeng. "Ayo, Kakang! Kejar aku!" seru si 'bocah' berkumis yang sedang berlari sambil
menggoyang- goyangkan pantatnya.
"Slompret!" maki Satria. "Aku dianggap sedang main kejar-kejaran! Hm, harus
kuakui lelaki tengik ini memiliki ilmu lari cepat sangat baik sekali...,"
gumamnya dalam hati.
"Ayo Kakang! Dipercepat sedikit lari kudamu!
Ayo kejar aku!" ejek Joyolelono, sepuluh tombak di depan kuda Satria Gendeng.
"Baik bocah berkumis, kususul kau!" timpal Satria. Pada akhirnya dia meladeni
juga ajakan konyol
Joyolelono. Memang bukan saatnya bermain-main, tapi kalau tidak dilayani malah bisa membuat runyam
lelaki kebocahan di depan sana. Dia bisa 'ngadat' di
tengah jalan. Lebih baik menjinakkan seekor badak
liar ketimbang membujuknya jika sudah 'ngadat'!
Joyolelono, biarpun kekanak-kanakan dan berotak tanggung, merupakan wakil dari Dewa Gila. Sesuai julukannya, Dewa Gila memang benar-benar 'gila'!
Seenak perutnya sendiri dia memberi keputusan tanpa
dipikir-pikir lebih dahulu untuk mengutus Joyolelono.... Keduanya terus kejar-kejaran, sampai pada akhirnya tiba di suatu jalan yang di kiri-kanannya terhampar sawah luas, seluas mata memandang. Bentangan sawah itu sudah ditanami padi, sebentar lagi akan muncul tangkai-tangkainya.
Dalam keadaan memacu
kuda, Satria Gendeng melayangkan pandangan ke sekitar. Daun-daun padi yang hijau terhampar luas bagaikan permadani raksasa yang sengaja dibentangkan
oleh Yang Maha Kuasa.
Satria memperlambat langkah kudanya, tak
peduli dengan Joyolelono yang terus berlari sambil berjingkrak-jingkrak.
"Hoii, Kakang! Kenapa lambat sekali"! Ayo, kita
main kejar-kejaran terus!" teriak Joyolelono dari kejauhan. "Cukup! Kudaku sudah
lelah!" sahut Satria.
Mendengar jawaban tadi, Joyolelono kemudian
membanting pantat di tepi jalan berumput. Lalu dihentak-hentakkannya kaki. Mulutnya mengembung sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aku benci, aku benci! Dia tidak mau mainmain dengan aku," rengek Joyolelono.
Satria yang melihat tingkahnya dari kejauhan,
segera menghampiri.
"Hal, Bocah Berkumis! Kenapa cemberut seperti
katak minta hujan?" tegur Satria dengan nada meledek. "Hu hu hu! Aku benci kau!"
jawab bocah berkumis sambil mengusap-usap mata dengan punggung
tangan. "Benci kenapa, slompret!"
Bocah berkumis makin bertambah keras tangisnya mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Satria. "Hu hu hu! Aku bukan 'slompret'. Kau yang biang 'slompret'!" kilah
Joyolelono. Satria jadi bingung sendiri. Dia memijat-mijat
kening kepusingan. Sepertinya dia sedang berpikir bagaimana caranya menghentikan tangis bocah berkumis
agar dapat melanjutkan perjalanan kembali.
Sial, jadi juga dia menjinakkan orang yang
adatnya lebih dari biangnya segala biang badak!
* * * Ketika itu matahari menjerang garang penghuni
bumi di belahan mana pun. Tak terkecuali pantai pesisir Tuban. Keangkuhan sang mentari seperti hendak
mendidihkan isi lautan. Ombak bergulung ke tepian
berpasir yang menjadi kehangatan.
Di atas pasir yang terhampar sepanjang pantai,
sepasang insan berjalan tergesa-gesa. Jejak mereka
memanjang ke belakang. Arah langkah keduanya menuju sebuah gubuk. Gubuk tersebut dibangun tinggitinggi, ditopang empat batang pohon kelapa yang
ujungnya ditebang. Sungguh unik. Siapa yang akan
berpikir kalau penghuni gubuk adalah orang waras"
Kalau tidak gendeng, siapa yang mau membangun rumah setinggi itu" Sementara, tak terlihat ada satu
tangga pun menuju ke atas.
Mereka adalah Satria Gendeng dan Joyolelono.
Murid dua tokoh kenamaan tanah Jawa sudah tak
menunggangi kuda. Hewan itu sudah dilepasnya memasuki perbatasan Tuban setelah terlalu lelah dia
membawa tuannya menempuh jarak sebegitu jauh.
Kuda saja menurut Satria merasakan kelelahan. Herannya, si kumis bertampang tolol tetap segar-segar
saja. Wajahnya dari memulai perjalanan sampai saat
itu tetap saja cerah-ceria seperti orang yang menang
lotere. Tujuan ke Tuban tentunya untuk menyampaikan surat kepada Adipati Wisnu Bernawa kepada Ki
Dagul alias Pengemis Tuak.
Tiga puluh tombak dari gubuk di atas batang
pohon kelapa, kedua pemuda itu menghentikan langkah. Mereka berdiri sejenak. Wajah keduanya dipaksa
meringis terkena terjangan sinar matahari manakala
mendongak ke arah gubuk. Tangan Satria Gendeng terangkai di depan kening, mencoba menghalangi sengatan sinar matahari yang mengganggu pandangan. Lelaki bertampang tolol melakukan juga. Sekadar iseng
melatahi perbuatan pemuda di sebelahnya.
"Kata orang, di sini dia tinggal," gumam Satria, tersamar bisikan angin pantai.
"Apa sekarang ini dia ada di dalam sana?" tambahnya.
Langkah dilanjutkan. Lebih dekat ke arah gubuk, si pemuda menghentikan langkah kembali. Diangkatnya kedua tangan ke depan mulut. Dia berteriak
keras. "Ki Dagul! Apakah kau berada di dalam?"
Latah pula Joyolelono di sebelahnya hendak
ikut berteriak. Baru mengangkat tangan di depan mulut, dia mengurungkan niat untuk berteriak. Tangannya malah menggaruk-garuk kepala. Dia lupa apa
yang baru saja diteriakkan Satria tadi. Akhirnya dia
berteriak 'semau gua'.
"Di dalam Ki Dagul ada apa"!!"
Tak lama terdengar sahutan. Nada suaranya
terdengar agak malas, serak, dan sumbang, seperti
orang 'ngelindur', atau seperti orang yang baru menenggak segentong tuak.
"Siapa...?"
"Aku utusan dari Adipati Lumajang!"
"Siapa...?" ulang orang di dalam gubuk.
"Satria!"
"Menurutku, kau mau mengibuliku. Aku tahu,
Adipati Lumajang bernama Wisnu Bernawa, bukan Satria...." "Aku barusan mengatakan padamu bahwa na-maku Satria!" seru si pemuda,
mengetahui jawabannya sudah keliru. Rupanya orang di dalam gubuk hendak
menanyakan nama Adipati Lumajang dengan pertanyaan kedua. Bukan menanyakan namanya.
"Ooooh, kau mau mengaku sebagai Adipati Lumajang" Maaf saja, aku tak tertipu...."
Satria merengut. Sudah panas ditimpa terik
mentari, masih saja ada orang yang membuatnya tambah panas. Kalau tak berotak soak, pasti orang itu sedang mabuk berat, pikirnya.
"Aku memang diutus oleh Adipati Wisnu Bernawa. Namaku Satria!" serunya, meralat kesalahpa-haman orang di dalam gubuk.
"Ooo, begitu.... Kenapa Wisnu Bernawa mengutusmu?" "Ada pesan yang harus disampaikan padamu!"
"Naiklah ke atas!"
Si pemuda mengangguk, tak jelas mengangguki
siapa. Dia melangkah lebih dekat. Terdiam sebentar,
memikirkan cara naik ke atas gubuk di atas dahan pohon kelapa tanpa tangga. Pekerjaan yang agak sulit.
Memanjat terlalu makan waktu. Apalagi dengan batang
yang polos tanpa lobang-lobang undakan. Tapi bagi si
pemuda yang lebih kesohor sebagai salah seorang pendekar muda tanah Jawa kenamaan dengan julukan
Satria Gendeng, bukan perkara terlalu sulit untuk naik ke atas sana tanpa harus
memanjat. Di kepalanya, terbayang kembali peristiwa beberapa tahun silam, ketika dia masih berada dalam
godokan salah seorang guru 'sinting-sintingannya',
Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Suatu kali, gurunya
itu pernah menyuruhnya memetikan pohon kelapa
tanpa alat bantu apa-apa, dan tak pula diperbolehkan
untuk memanjat seperti seeker anak kera. Keadaannya
persis seperti sekarang dihadapi. Perpaduan antara
kecerdikan dan hasil godokan teramat keras mengakibatkan dirinya bisa melaksanakan perintah gurunya
yang tak lebih dari satu ujian (Baca kisah-kisah perdana: "Geger Pesisir Jawa" dan "Kail Naga Samudera"!)
Caranya kini diulangi kembali untuk naik ke
atas gubuk. Dia menjejak kaki, melompat dengan pengerahan segenap peringan tubuh ke satu batang pohon
kelapa. Ketika tiba di dahan itu, kakinya kembali menjejak dan memantulkan
tubuhnya lebih tinggi ke dahan lain di sebelahnya. Dari dahan itu, tubuhnya memantul kembali ke dahan sebelumnya. Begitu seterusnya, sampai dia tiba di depan pintu gubuk yang berlantai kayu. Di bawah, lelaki bertampang tolol pelangapelongo sendiri. Mau turut ke atas, agak malas. Dia lebih suka menunggu di
bawah. Lalu dilemparnya pantat ke pasir. Dipandanginya seekor keong laut yang
merangkak-rangkak di dekatnya sambil cengar-cengir
sendiri. Tep! Begitu Satria menjejakkan kaki, bau tuak menyengat hidungnya. Begitu menyengat, sampai-sampai
hidungnya mendengus-denguskan napas. Asalnya dari
pintu gubuk yang agak terkuak. Hebatnya, aroma tuak
itu saja sudah sanggup membuat kepala si pendekar
muda merasa pusing tujuh keliling. Jangan-jangan,
tuaknya malah bisa meracuni orang lain. Tuak sekeras
apa yang telah diminum penghuni gubuk ini" Tanyanya membatin.
"Masuklah!"
Dari dalam gubuk, mencelat suara yang serak,
malas dan sumbang tadi.
Satria Gendeng melangkah setindak. Didorongnya pintu gubuk. Sinar matahari menerobos masuk ke
dalam ruangan yang gelap dan pengap itu. Jerami kering di mana-mana. Kotor sekali. Pantasnya disebut
kandang kerbau, nilai Satria. Baru saja terkuak, dari arah dalam mendadak saja
terdengar suara semburan.
"Fruaah!!!"
Sekilas, mata Satria Gendeng menangkap percikan air menerjang ke arahnya. Untung saja kesiagaan murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu tetap terjaga. Sigap, dia melompat dengan tubuh
membungkal. Berputar sekali,
lalu hinggap kembali di tempat semula. Semburan tadi
lewat begitu saja, hanya setengah jengkal dari punggungnya. Meski begitu, punggungnya sendiri merasakan panas seperti disengat bara. Masih belum jelas ba-gi si pendekar muda, rasa
panas itu berasal dari kerasnya tuak yang disemburkan, atau dari tenaga dalam pemiliknya. Namun, dari situ sudah cukup baginya untuk menilai betapa tinggi kesaktian orang di dalam gubuk.
"Maaf Cah. Sudah jadi kebiasaanku kalau melihat sinar matahari masuk ke dalam gubuk, aku langsung berkumur dan membuang sisa kumurnya. Kebiasaanku kalau baru bangun tidur tengah hari bolong,"
ceracau orang setengah mabuk di dalam gubuk. Seorang tua, bersandar setengah telentang di dinding gubuk dari kayu. Rambutnya merah keemasan dan kaku
berantakan. Wajahnya merah matang akibat pengaruh
Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tuak. Matanya sayu, terkatup-katup. Ukuran tubuhnya lebih kecil dari kebanyakan orang. Mengenakan
pakaian yang amat kumal. Saking kumal, Satria Gendeng menyaksikan berapa ekor kepinding merangkakrangkak di sela-selanya. Satria Gendeng dibuat merinding. Orang inilah yang bernama Ki Dagul. Di dunia persilatan lebih dikenal
dengan julukan Pengemis
Tuak. "Kenapa masih berdiri di sana" Mana surat yang kau bawa untukku" Hik..,"
seru si orang tua disusul seguknya. Satria melangkah hati-hati. Cuma berjaga-jaga
jangan sampai mulut Ki Dagul yang usil menyemburnya lagi. "Cepat Cah! Kenapa kau seperti orang pesakitan begitu"!" bentak Ki Dagul dengan mata mendelik.
Satria Gendeng menyerahkan selembar gulungan kulit yang diambil dari kain ikat pinggangnya pada Ki Dagul. Ki Dagul
menerima, lalu dibentangkan persis di depan hidungnya. Beberapa saat dia sibuk
bergu-mam sendiri. Gumamannya susah dibedakan dengan
suara orang menguap.
Srk! Tiba-tiba saja dia menutup lembaran kulit tadi.
Wajahnya terlihat kembali dengan paras yang berubah
tegang. Buktinya matanya mendelik besar.
"Tujuh Dewa Kematian," Geramnya.
"Kau mengenal mereka, Orang Tua?"
"Bukan kenal lagi, aku memang berseteru dengan mereka dari dulu, hik.... Mereka musuh bebuyutanku!" sentak Pengemis Tuak dengan mata terus
mendelik-delik pada Satria.
Ngamuk pada Tujuh Dewa Kematian, kenapa
melototnya padaku, gerutu Satria Gendeng dalam hati.
"Kau tahu, mereka sudah berkali-kali berurusan denganku sejak masih berguru bersama di Tuban.
Ya, mereka memang pernah jadi saudara seperguruanku. Kau tak percaya" Terserah kau saja. Yang jelas,
mereka itu telah berkhianat pada Eyang Guru. Aku
yang akhirnya jadi repot menjalankan titah Eyang
Guru untuk menghukum mereka. Bayangkan, selama
puluhan tahun aku harus bertemu dan bertarung, bertemu dan bertarung, dan selalu dipecundangi mereka.
Manusia-manusia sialan itu entah berguru dengan
siapa. Dedemit barangkali! Heg.... Sekarang ini, aku
tak mau kalah lagi. Aku sudah mempersiapkan ilmuilmu baruku. Biar mereka tahu rasa sewaktu aku
menghukum mereka, hik.... iya, kan?""
Satria Gendeng jadi pusing sendiri mendengarkan cerita ngalor-ngidul Ki Dagul.
"Kalau begitu, kuharap kau secepatnya pergi ke
Lumajang. Adipati Wisnu Bernawa mengharapkan sekali kedatanganmu," ucapnya buru-buru, daripada
mulut orang tua berambut kaku masai itu meneruskan
ceritanya yang sama sekali tak menarik itu.
"Sudah berbuat apa mereka pada Adipati"!!"
sentak Pengemis Tuak kembali seraya bangkit mendadak. Lagaknya hendak 'pamer' kemarahan. Namun,
karena masih dipengaruhi tuak yang diminumnya, badannya sempoyongan ke samping dan malah menambrak dinding kayo. Untung gubuk itu masih cukup
kuat, jika tidak tentu tubuhnya sudah jatuh bebas ke
bawah. "Mereka meminta Pitaloka sebagai tumbal."
"Bangsat! Berani-beraninya mereka berbuat
itu!" Mendadak Ki Dagul terdiam dengan kening berkerut dan mata terkantukkantuk. Katanya, "Tapi, ngomong-ngomong, siapa Pitaloka?"
"Putri tunggal Adipati."
"Bangsat lagi! Mereka benar-benar kepingin kutebas habis, hik.... Bayangkan saja, mereka beraniberaninya meminta putri Adipati - sahabatku - untuk dijadikan tumbal"!
Keterlaluan, kan" Heg.... iya, kan?"
Di belakang cerocosannya, Pengemis Tuak menenggak tuak dalam kendi di tangan kanannya. Beberapa teguk ditelan. Sisanya dikumpulkan dalam mulut.
"Fruaii!"
Geram, disemburkannya tuak dalam mulutnya
ke segenap arah. Satria sampai-sampai harus merunduk sambil memegangi kepalanya.
Wsssss! Bes bes bes!
Ketika Satria Gendeng mengedarkan pandangan, sudah terlihat puluhan lobang mengelilingi sekitar dinding. Sinar matahari
meranggas masuk melalui setiap lobang, membentuk cahaya memanjang yang saling menyilang tak karuan. Satria Gendeng meringisringis sendiri. Coba kalau tadi dia tak sempat merunduk. Mungkin jidatnya senasib dengan dinding itu!
"Kau tahu Cah" Akan kubuat Tujuh Dewa Kematian seperti dinding itu jika mereka berani merebut putri Adipati, hik...,"
ancam Pengemis Tuak dengan muka makin merah, terbakar kemarahan sekaligus
terbakar kerasnya tuak. Setelah itu, sekali lagi Ki Dagul terdiam mendadak.
Keningnya berkerut lagi. Matanya tak mau berhenti terkatup-katup sayu.
"Lho, jadi Adipati sudah punya putri?" perangahnya dengan mata membelalak.
Terlambat mikir lagi
dia. Satria Gendeng geleng-geleng kepala. Ini susahnya kalau berbicara dengan tukang mabuk! Heran
juga dia. Bagaimana Adipati Wisnu Bernawa bisa
punya sahabat seperti Ki Dagul, seperti diakui Ki Dagul sendiri barusan"
"Jadi, kapan kau akan berangkat?" tanya Satria, meminta ketegasan.
"Begini saja," putus Ki Dagul seraya menenggak kembali kendi tuak di tangannya.
Sekali tenggak, entah berapa teguk. Cara minumnya seperti seekor onta
gurun. Satria Gendeng menunggu ucapan selanjutnya.
Tapi.... Bruk! Pengemis Tuak malah ambruk di tempat!
*** DUA Di SEBUAH desa kecil yang menjadi pusat kegiatan warga masyarakat, seseorang berjalan di jalan
tanah kering yang mengkerangkai desa. Beberapa rumah berdiri di sisi jalan dalam jarak yang cukup berjauhan. Sebagian bangunan berupa kelontong dan satu dua di antaranya adalah kedai makanan. Orang itu
mengenakan topi pandan berbentuk seperti bakul nasi.
Mengenakan pakaian silat warna hitam dengan buntalan kain kusam di belakang bahunya.
Tenang berjalan menyusuri terus jalan tanah,
tibalah orang itu di depan sebuah kedai. Dia berbelok arah, menuju kedai
sederhana yang sebenarnya lebih
tepat dikatakan sebagai warung makan rakyat.
Di depan meja besar yang menyediakan makanan kecil hingga lauk-pauk, terdapat bangku kayu
panjang. Ditempatinya satu sisi bangku tersebut dengan gerak-gerik yang demikian lemah perlahan seakan
seorang pesakitan. Orang yang melihatnya mungkin
menganggap orang itu belum makan selama dua harian. Seorang wanita setengah baya pemilik kedai
berdiri di belakang meja besar. Dia menawarkan tamunya dengan keramahan wajar, tak dibuat-buat.
Tanpa berniat membuka tudungnya yang terlihat begitu bikin gerah, orang tadi mengajukan pesanannya. "Sediakan nasi dicampur arak, Nyi," katanya
dengan suara yang datar dan agak mendesis, nyaris
tak kentara. Bagus perempuan setengah baya pemilik
kedai tidak tuli. Kendati harus menyorongkan kepala,
dia menangkap pesanan tamunya. Alisnya agak bertaut mendengar pesanan tadi. Apa dia tak salah dengar, pikirnya. Masak nasi dicampur arak"
"Nasi campur arak?" ulang pemilik kedai, ingin meyakinkan diri.
Tak banyak cakap, orang bertudung mengangguk. Tak banyak cakap pula, pemilik kedai pun menyiapkan pesanan tadi.
"Pucuk dicinta, ulam pun tiba!" seru seseorang dari arah belakang. Suaranya
keras, kasar, juga agak
angkuh, Tidak ada kesan bertatakrama sedikit pun.
Orang bertudung tak menggubris. Menoleh saja
tidak. "Hei, Orang Bertudung! Tak perlu kau berpura-pura dan bersembunyi di
balik tudungmu lagi! Aku
sudah tahu bahwa kau adalah Arya Wadam!"
Pemilik kedai merengket ketakutan. Disaksikan
olehnya dua lelaki berperawakan seram. Sudah samasama berjambang lebar, masih pula membawa senjata
mengerikan, rantai berbandul bola baja berduri. Di
tangan keduanya, bola berduri sebesar kepala bayi diayun-ayunkan seakan hendak menggertak setiap nyali
yang melihatnya. Meski tidak kembar, penampilan keduanya tak jauh berbeda. Mengenakan pakaian biru
tua. Wajah salah seorang di antaranya cacat oleh bekas luka sayatan memanjang dari kening kiri ke rahang kanan. Luka itu telah membutakan sebelah matanya. "Kau masih punya utang padaku, Arya Wadam!
Hari ini aku akan menagihnya!"
Tiga kali sudah bentakan orang berjambang lebat, berwajah cacat tak mendapat gubrisan dari orang
bertudung yang dipanggil Arya Wadam. Tentu saja hal
itu membuat darah orang berwajah cacat mendidih.
Murka dia. Bergemelutuk rahangnya.
"Keparat kau, Arya! Kau dengar aku"!" berge-muruh hardikan lelaki berwajah
cacat, melantak suasana. Pemilik warung makin ciut.
Puncak kegusaran orang berwajah cacat tiba.
Dikawal geraman berat, tangannya memutar-mutar
rantai bola baja berduri. Menghasilkan suara dengung
keras. Ngung... wrr!
Pada saatnya, senjata itu meluncur juga. Rantainya terjulur cepat. Ujungnya menerkam ke arah kepala orang bertudung. Orang yang hendak dijadikan
sasaran sendiri seperti tak pernah menyadari bahaya
besar mendatanginya. Dia masih duduk tanpa bergerak. Bahkan dadanya seperti tak pernah mengembang
untuk menarik napas.
Perempuan setengah baya pemilik kedai menjerit keras-keras. Masih untung kalau dia tidak semaput.
Tidak untungnya, dia terpaksa terkencing-kencing di
tempat. Begitu bandul berduri tinggal sejenggal lagi me-remukkan batok
kepalanya. Orang bertudung mendadak membalikkan badan. Tangannya bergerak cepat ke
atas. Tep! Mengagumkan. Ditangkapnya ujung rantai itu
seperti gerakan menepuk nyamuk. Dan berhasil! Bandul berduri terhenti seketika hanya dua jari dari wajahnya. "Apa kabar. Paman Remeng" Paman Poleng?"
sapa orang bertudung, datar dan dingin.
Pemilik rantai baja mendengus. Kemarahannya
tentu saja tak mudah lunas hanya dengan teguran
yang terdengar tak cukup ramah itu.
"Kadal kau, Arya!" hardiknya sambil menyentak rantai baja dengan kasar.
Arya Wadam melepaskan ujung rantai baja dari
himpitan tangannya. Dia membiarkan saja lelaki berwajah cacat mendapatkan kembali senjatanya secara
utuh. Tak perlu ada adu tenaga dalam.
"Jangan sekali-kali kau tak menyahut jika kau
kupanggil, Tolol!" maki orang berwajah cacat kembali, masih tersisa
kegusarannya. Lalu dia melangkah mendekati orang bertudung yang dipanggilnya
Arya Wa- dam. Sementara lelaki berjambang kedua tak beranjak
dari tempat semula.
Arya Wadam inilah orang ketiga yang hendak
ditemui Satria Gendeng untuk menyampaikan amanat
dari Adipati Wisnu Bernawa. Beberapa waktu lalu,
pendekar muda itu tanpa sengaja bertemu dengannya
di sebuah kedai. Namun karena belum pernah mengenal ciri-ciri Arya Wadam, Satria Gendeng luput menyampaikan amanat itu (Untuk lebih jelasnya, bacalah
episode awal: "Penghuni Kuil Neraka"!).
"Maaf, Paman. Kupikir bukan kau...," kata Arya Wadam.
Tiba di dekat Arya Wadam, lelaki berwajah cacat bernama Remeng mencoba menyambar tudungnya.
Tangan Arya Wadam bergerak tak kalah cepat.
Tep! Ditangkapnya pergelangan tangan Remeng.
Seketika Remeng tergelak-gelak di tempat.
"Kadal kau Arya Wadam! Rupanya semakin hari
gerakanmu makin sempurna saja! Ha ha ha!"
Remeng menoleh pada lelaki berjambang lebar
yang sejak tadi hanya berdiri di belakang sana.
"Hei, Poleng! Ke sini kau! Apa kau tak mau sedikit berbasa-basi dengan si kadal ini"!"
Lelaki yang dipanggil Poleng berjalan mendekat.
Tak seperti Remeng, lelaki ini lebih banyak diam. Bahkan paras wajahnya tak
berubah sama sekali ketika
mendekati Arya Wadam. Entah wajahnya terbuat dari
batu atau apa. "Bagaimana soal utangku?" tanya Remeng kemudian, ketika Poleng tetap saja dingin, tanpa berniat berbasa-basi dengan Arya
Wadam. "Masih sulit, Paman. Aku belum juga menemukan Keparat yang melarikan pedang itu. Sulit melacaknya" "Maling busuk! Awas jika kau kudapatkan Raja Pencuri Dari Selatan!"
"Tapi aku berjanji akan mendapatkan benda itu
kembali, Paman. Dengan begitu, aku dapat melunasi
utang janji pada Paman."
Remeng tergelak-gelak. Cekakakan keras-keras
tanpa ambil pusing pada perempuan tua pemilik warung yang makin merengket-rengket ketakutan mendengar suara tawanya.
"Eh, ya! Kudengar dari beberapa orang persilatan, ada seseorang sedang mencarimu!" sentak Re
Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meng di akhir tawanya. "Kau sudah dengar berita itu?"
Arya Wadam menggeleng.
"Kau ini bagaimana" Melanglang ngalor-ngidul
tapi luput mendengar berita yang bersangkutan dengan dirimu sendiri!"
"Apa yang Paman tahu tentang berita itu?"
"Iya itu. Ada orang yang mencarimu! Seorang
pemuda. Belum jelas siapa dia. Tapi kalau mendengar
ucapan beberapa orang persilatan yang sempat melihatnya, ciri-ciri orang itu mengingatkan aku pada seorang pendekar muda tanah
Jawa." Arya Wadam menanti.
Remeng mendekatkan mulutnya ke sisi kepala
Arya Wadam. Dia berbisik. Seolah dia begitu khawatir
seseorang mendengar perkataan yang hendak diucapkannya. "Apa kau pernah berurusan dengan murid Panembahan Dongdongka dan Panembahan Kusumo?"
Meski tetap menjaga gerak-gerik tenangnya, tak
urung kepala Arya Wadam terhenyak.
"Satria Gendeng?" tanyanya, seperti berbisik pula. Remeng mengangguk sambil
menegakkan kembali badannya. Sebelah matanya terus menatap ke
arah tudung Arya Wadam.
"Untuk apa aku berurusan dengan seorang
pendekar golongan lurus seperti dia" Kecuali dia bertingkah macam-macam dan kebetulan bertemu denganku...," kata Arya Wadam. Nada suaranya datar
kembali. "Paman tahu ciri-ciri pendekar itu?" lanjutnya.
Menyahuti pertanyaan Arya Wadam, Remeng
menuturkan ciri-ciri Satria Gendeng yang pernah didengarnya dari selentingan kabar.
"Dia seorang pemuda. Tampan. Berusia dua puluhan. Mengenakan rompi bulu putih. Rambutnya kemerahan. Ng... Oya, satu lagi yang menjadi ciri khasnya. Dia memiliki senjata pusaka berbentuk kail yang
bisa dipendekkan seperti tongkat. Aku lupa namanya...."
"Kail Naga Samudera. Aku pernah mendengarnya, Paman."
Sejenak Arya Wadam terdiam. Dia membayangkan ciri-ciri orang yang baru saja dipaparkan Remeng.
Di benaknya, terbayang kembali seseorang yang pernah dijumpainya di suatu kedai beberapa waktu lalu.
"Rasanya aku pernah menjumpainya. Kalau
benar berita itu bahwa dia sedang mencariku, entah
kenapa waktu itu dia malah tak begitu mempedulikan
ku...," gumam Arya Wadam.
*** TIGA WAKTU berlalu. Perlahan-lahan Sang Surya
menyembul dari ufuk timur. Sinar kuning keemasannya menebar di seluruh wajah bumi, menerobos celahcelah dedaunan, hingga membentuk sehimpun garis
lurus. Salah satu garis cahaya jatuh tepat di pelupuk mata seorang pemuda yang
sedang lelap tidur di sela
akar pohon raksasa.
Kehangatan membuatnya terjaga.
Matanya terbuka.
"Sudah siang!" cekatnya.
Pemuda yang tak lain Satria Gendeng itu terperangah sendiri sambil celingukan ke sana kemari,
mencari-cari sesuatu. Tak begitu lama, telinganya menangkap dengkur halus dari atas kepalanya. Satria
mendongak. Sesuatu yang dicarinya ditemukan. Sebenarnya
bukan sekadar 'sesuatu', melainkan seseorang yang
hari-hari terakhir menjadi rekan seperjalanannya,
Joyolelono. Mengetahui Joyolelono masih berada di dekatnya, Satria agak tenang. Dia menguap sebentar seraya menggeliat-geliatkan badan.
"Slompret benar si Arya Wadam," gumamnya.
"Ke mana lagi aku harus mencari dia."
Dalam benaknya, Satria mengkhawatirkan batas waktu purnama yang sudah demikian dekat. Pada
saat itu, Tujuh Dewa Kematian akan merampas Pitaloka, putri sang Adipati. Sementara itu, tugasnya saja
masih belum lagi dituntaskan. Kalau sampai Arya Wadam tak didapatkan hingga menjelang purnama, apakah dia harus kembali ke Lumajang dan mengatakan
pada Adipati Wisnu Bernawa bahwa tugas yang diembannya tak berhasil secara sempurna. Malu bukan
main Satria pada dirinya, kalau begitu. Ya, malu pada nama besarnya, ya malu
pada kedua gurunya.
"Sebaiknya, pencarian Arya Wadam secepatnya
ku lanjutkan," putus Satria. Dia melirik ke atas kembali, ke arah di mana
Joyolelono masih saja pulas dengan dengkur merdunya.
"Hei, Joyo, turun kau!" seru Satria. Si kumis bertabiat kebocahan tak mendengar
teriakan tadi. Bukannya melihat Joyolelono terbangun, Satria malah
mendapatkan sesuatu yang lain. Tetesan berbau minta
tobat mengalir dari sudut bibir Joyolelono. Bisa dibilang rejeki nomplok pagipagi buat Satria. Bayangkan
saja kalau lendir itu jatuh tepat ke arah wajahnya" Untung Satria cepat
menggeser tubuh ke samping. Parasnya tampak ngeri-ngeri. Lebih ngeri ketimbang tertiban hantaman gada
Minakjingga. Tak urung Satria menutup hidung. Kepalanya
berkunang-kunang demi telanjur mencium lendir dari
mulut Joyolelono. Dalam hati, dia mengutuk.
"Hai, bangun kau!!" hardiknya kembali dengan sedikit penyaluran tenaga dalam.
Jika tidak begitu,
mana bisa Joyolelono terbangun. Tidurnya lebih hebat
dari pingsan. Orang pingsan saja tidak akan seperti
itu. Bentakan bertenaga dalam Satria membawa
hasil. Bocah ajaib berkumis itu tersentak. Gelagapan
sebentar dia. Tubuhnya oleng, lalu meluncur jatuh.
Dengan sebelah mata masih terpejam, Joyolelono bangkit. "Kau nanti menemui Adipati Lumajang sendiri.
Aku akan meneruskan pencarian Arya Wadam," kata
Satria, menjelaskan rencananya.
Joyolelono menguap lebar-lebar. Mulutnya
mengenyam-enyam.
"Hei, kau mengerti apa yang kukatakan"!" bentak Satria, agak kesal.
Joyolelono mengangguk.
Bagus, ujar Satria dalam hati. "Sekarang, ayo
kita berangkat!" ajaknya seraya melangkah ke arah kuda tertambat di dekat semak.
Satria tak mendengar
suara langkah di belakangnya. Dia pun menoleh.
Minta ampun! Joyolelono sudah pulas lagi
sambil berdiri!
* * * Seorang lelaki pelanga-pelongo di depan gerbang kadipaten Lumajang. Wajah lelaki itu kebodohbodohan. Penampilannya membuat orang lain terkikik
geli. Bayangkan, dia memakai baju monyet! Pantasnya
yang mengenakan pakaian itu seorang bocah kecil,
bukan lelaki berkumis dan berjenggot jarang macam
dia! Seorang prajurit kadipatenan yang melihatnya
segera menghampiri.
"Ada perlu apa?"
Si kumis berbaju monyet malah tengak-tengok
seperti menganggap pertanyaan prajurit kadipatenan
tadi tak lebih dari hembusan kentut.
"Maaf, Saudara punya kepentingan di sini?"
ulang si prajurit kadipatenan.
Si kumis mengangguk. Bibirnya tersenyum
tanggung. Antara mimik wajah orang telat buang hajat
dengan mimik orang ketiban rejeki nomplok.
"Ada perlu apa?" ulang si penjaga.
Jawaban si kumis malah anggukan lagi. Ditambah senyum tanggung yang tak beda jauh dengan
sebelumnya. Sekarang, tangannya mulai menggarukgaruk kepala pula. Dia cengengesan.
"Kalau tak ada keperluan apa-apa, sebaiknya
Saudara segera pergi dari sini!" peringat si penjaga gerbang. Meski bertampang
galak, cara bicaranya cukup bertatakrama. Mungkin karena dia merasa sedang
berhadapan dengan seorang yang tak memerlukan sikap garang, melotot sambil memeluntir-meluntir ujung
kumis baplang. Si kumis cengengesan lagi. Sebelah alis matanya terungkit-ungkit. Mulaslah perasaan penjaga
gerbang. Dari sabar, sampai tak sabar. Dari ramah,
sampai mulai kepingin marah-marah. Sewaktu menilik
kembali penampilan si kumis, kemarahan ditahannya.
Dia berusaha untuk tetap memaklumi.
Sambil memegang bahu si kumis, pengawal tadi
berbicara perlahan di dekat telinganya.
"Sebaiknya kau 'bermain' di tempat lain, ya"
Main yang jauh dari sini. Di sini bukan tempat bermain. Di sini tempat Kanjeng Adipati. Kalau kau main
di sini, nanti Kanjeng Adipati marah, lho!"
Apa pun yang dikatakan si prajurit, meski dia
mengatakan dunia kebelet kiamat, tetap saja jawaban
si kumis cuma cengengesan.
Prajurit tadi menarik napas. Mulai tak sabar lagi dia. Tangannya pun mulai memeluntir-meluntir
ujung kumis. Dia menggeram, niatnya mau sedikit
menakut-nakuti. Matanya melotot.
"Pergi!" bentaknya kemudian dengan kegalakan seorang centeng terlambat gajian.
Tangannya menud-ing jauh-jauh.
Yang bikin pegal hati si prajurit, lelaki berkumis dengan serta-merta menirukan ulahnya. Matanya
bahkan mendelik lebih hebat. Sampai si prajurit sendi-ri ngeri melihatnya.
Giliran si prajurit yang garuk-garuk kepala.
Mau diapakan lagi orang macam ini" Pikirnya dalam
hati, kehabisan akal. Apa perlu pakai kekerasan" Apa
nanti dibilang tak punya rasa perikemanusiaan" Ah
peduli setan! Menganggap orang di depannya cuma seorang
'anak kecil' berumur tua, si prajurit pun menjalankan cara-cara yang biasa
dipakai untuk menangani anak
kecil. Dijewernya telinga bocah berkumis.
"E-eh, malah meledek...," gerutu si prajurit kembali melihat bocah berkumis itu
masih saja cengengesan.
Jeweran pun dikeraskan lagi.
Cengengesan juga balasannya.
Lebih dikeraskan.
Masih tetap cengengesan.
Mata si prajurit mendelik. Jewerannya lebih dikeraskan lagi. Bahkan sampai otot tangannya bertonjolan dan wajahnya memerah. Lama-lama, hati si prajurit jadi ciut sendiri. Orang macam apa ini" Masa' sudah dijewer sekuat tenaga
masih bisa cengengesan begitu rupa"
Jeweran dilepaskan. Si prajurit mundur teratur
dengan mata tetap tak berkedip mengawasi si bocah
berkumis yang masih saja... cengengesan!
Sampai dengan tiba-tiba, si bocah berkumis
berteriak keras-keras.
"Suaaakiiiiitt!!!"
Si prajurit mencelat dari tempatnya. Jantungnya hampir mau rontok saat itu juga. Kepalanya berdenyut tujuh puluh tujuh keliling. Untung dia tak
sempat jatuh. Cuma sempoyongan karena terlalu kaget. Dua prajurit lain datang mendengar teriakan
sambar geledek Joyolelono.
Bocah berkumis yang menyatroni pintu gerbang
ke kadipatenan Lumajang adalah Joyolelono. Satria
menyuruhnya untuk menghadap Adipati lebih dahulu
sementara dia menyelesaikan urusan dengan Arya
Wadam. Satria mengantar wakil Dewa Gila itu sampai ke
batas Kadipaten. Selanjutnya dia meneruskan perjalanan. Dia berpikir, tentunya tak akan terlalu sulit bagi Joyolelono menemukan
kadipaten setelah diantar cukup dekat ke tempat tujuan. Toh otaknya tak terlalu
anjlok daripada otak keledai.
Memang dia bisa tiba juga di sana. Itu pun setelah ada seorang penduduk desa yang mengantarnya.
Cuma masalahnya, bagaimana dia bisa menjelaskan
bahwa dia hendak menghadap Adipati Wisnu Bernawa
sebagai wakil Dewa Gila. Itu yang tak sempat terpikir oleh si pendekar muda,
Satria Gendeng.
Maka, jadilah dia membuat masalah di depan
gerbang. "Ada apa ini"!" seru dua prajurit yang baru datang tergopoh-gopoh.
Prajurit yang belum lagi hilang terkejutnya,
menunjuk Joyolelono dengan wajah pucat pasi seperti
menantu serong kepergok mertua.
"Kenapa dengan orang itu"!" tanya satu prajurit tak mengerti. Melihat Joyolelono
mulai cengengesan
lagi, bagaimana dia tidak jadi bingung sendiri"
"Usir dia!" kata si prajurit 'jantungan'.
Dengan dahi berkerut, kedua prajurit menuruti
permintaan rekannya.
"Pergi kau!" bentak prajurit pertama. Sikapnya benar-benar galak, garang dan
seram. Rupanya, orang
satu ini tergolong petugas kamtib yang suka main
'sapu bersih'. Tak ada kompromi, atau sedikit timbang rasa, biarpun berhadapan
dengan orang yang keliha-tan lemah.
Dari tadi terus disuruh pergi, pikir Joyolelono.
Memangnya apa salahku" Joyolelono menggeleng.
"Sup, kau beri sedikit dia pelajaran," bisik prajurit pertama pada rekan
disebelahnya. Orang yang dipanggil Sup' (entah namanya Yusup, Supardi, Supeno, atau Sup kaki...) mengangguk
Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali. Kalau temannya sudah dibuat pucat nyaris mati berdiri, memang mestinya orang ini diberi sedikit pelajaran. Sikat saja,
pikirnya. Dengan gemas, tangan kanan orang itu menyiapkan sedikit sontekan kecil ke jidat bocah berkumis. Sontekan kecil saja cukuplah. Kalau bisa bikin
benjol sebesar telur angsa, boleh juga.
"Hih!"
Bletak! "Whuaaa-haaa!"
Mencelat raungan kesakitan. Keliru kalau menyangka raungan itu berasal dari tenggorokan Joyolelono. Memang ada jidat yang kena jitak. Tapi bukan jidat Joyolelono. Justru
jidat prajurit yang berniat men-jitaknya. Rupanya Joyolelono sudah lebih dahulu
punya niat yang sama. Dia sudah mulai dongkol dengan mereka. Lalu tanpa berniat pamit atau sekadar mengucap 'kulonuwun', Joyolelono melompat ke atas gerbang
kadipatenan. Geraknya agak blingsatan, tapi tetap
mengagumkan. Ringan dia menjejak sekali di pucuk
benteng beton, lalu melompat masuk ke pekarangan.
*** EMPAT ADIPATI Wisnu Bernawa tak bisa tinggal diam
ketika mendengar keributan dari pekarangan kadipatenan. Apalagi didengarnya teriakan-teriakan para prajurit pengawal.
"Ada apa ini?" tanya Wisnu Beranawa setibanya di luar. Dua orang prajurit
tergopoh-gopoh menghadap.
"Ada orang asing memasuki kadipatenan, Kanjeng Adipati," lapor seorang dari mereka.
Tak perlu ditunjuk oleh seorang prajurit pun,
Wisnu Bernawa langsung dapat menduga siapa penelusup yang dimaksudkan dalam laporan sang prajurit
barusan. Dilihatnya seorang lelaki muda berkumis.
Wajahnya cukup mengesankan. Khususnya
'mengesankan' seorang yang berotak sejempol. Cengiran diumbar sepuas-puasnya ke segenap penjuru. Tak
perduli pada Adipati, punggawa, bibi emban yang kebetulan mengintip dari jendela kaputrenan, tukang kebun, atau pada beberapa ekor kuda di pekarangan depan yang membalas cengirannya. Pokoknya pukul rata! Kalau cuma itu, Adipati tak terlalu memusingkan.
Tapi kalau dia menyaksikan pakaian si penelusup, ya
mau tidak mau dia mengernyitkan kening juga.
"Siapakah engkau, Adik Muda?" tanya Wisnu
Bernawa. Nada suaranya datar, namun lantang. Tak
terkesan adanya kemarahan, kendati sekadar kegusaran. Joyolelono mengangguk-anggukkan kepala. Ditanya apa, jawabannya apa. Melangkah dia ke arah
Wisnu Bernawa tanpa perasaan berdosa.
Beberapa punggawa mulai hendak bergerak
menyorongkan tombak.
Wisnu Bernawa mengangkat tangan kanan. Para punggawa mengurungkan niat. Joyolelono cemberut. Mendengus sekali dia dengan wajah bermusuhan.
Dua punggawa yang sebelumnya melapor harus
menyingkir ke samping ketika lelaki kekanak-kanakan
itu menyerobot tempat mereka di depan Wisnu Bernawa. Joyolelono menundukkan badan. Cara menjuranya berbeda dengan kebiasaan kadipatenan. Dia merunduk dalam-dalam sampai jidatnya menyentuh
dengkul sendiri.
"Jelaskan maksud kedatanganmu ke sini. Adik
Muda," pinta Wisnu Bernawa.
Tapi Joyolelono tampaknya masih betah merunduk. Kepalanya belum juga diangkat. Setelah Wisnu Bernawa memerintah, barulah dia menegakkan badan kembali. Lalu, Adipati Lumajang itu mengulang
pertanyaannya. "Aku.... Dewa Gila," jawab Joyolelono.
Wisnu Bernawa mau tak mau tersenyum mendengar jawaban tamu brengseknya itu. Dia cukup
kenal Dewa Gila alias Ki Jerangkong. Setidaknya dia
tahu bagaimana rupa dan perawakannya. Kalau orang
di depannya kini mengaku Dewa Gila, apa Wisnu Bernawa tak merasa sedang dikibuli oleh tukang tipu kelas teri" "Sudahlah, kau tak perlu berbohong padaku...,"
ucap Wisnu Bernawa.
"Aku.... Dewa Gila," ulang Joyolelono, tak mau mundur dari pengakuan pertama.
Wisnu Bernawa menggeleng-geleng kepala.
Joyolelono sengit sendiri.
"Aku.... Dewa Gila, muridnya!!!" cetusnya hampir berteriak mengembungkan urat
leher. Sekarang baru jelas duduk perkaranya bagi
Wisnu Bernawa. "Mana Ki Jerangkong?" tanya Wisnu Bernawa
lagi. Sebab yang diharapkan kedatangannya sebenarnya adalah Dewa Gila sendiri.
Joyolelono cuma mengacungkan jarinya ke mana-mana dengan wajah tetap tertekuk.
"Jadi Ki Jerangkong mengutusmu?"
Joyolelono mengangguki pertanyaan Wisnu
Bernawa, tak peduli mengerti atau tidak.
"Ada halangan apa beliau sampai bisa tak datang?" Joyolelono menggeleng.
"Kau tidak tahu?"
Joyolelono mengangguk.
Kalau jawabannya cuma menggeleng dan mengangguk, sampai dunia menelorkan buto ijo pun, masalah tak akan beres-beres.
Sang Adipati pun menarik napas. Sesabarsabarnya dia, lama-lama pegal juga hatinya menghadapi manusia satu ini. Tak habis pikir juga dia, kenapa Ki Jerangkong harus
mengutus muridnya untuk sebuah urusan besar seperti ini. Kalau tak menghormati
Ki Jerangkong sebagai seorang sesepuh, Wisnu Bernawa tentu sudah merasa terhina. Syukurnya dia sadar
bahwa tak selamanya keputusan seseorang dapat disalahkan begitu saja. Apalagi dalam hal ini Ki Jerangkong memiliki hak sendiri untuk menolak atau menerima undangan seorang penguasa seperti Adipati Lumajang. Memaksakan kehendak bagi seorang penguasa cuma akan membuat kepercayaan yang diberikan
kepadanya akan terkikis, timbang Wisnu Bernawa.
"Kalau begitu, ajaklah tamu kita ini beristirahat dulu!" perintahnya kemudian
pada salah seorang
punggawa. Punggawa yang diperintah bengong sendiri.
Kanjeng Adipati apa sudah salah makan" Sergahnya
membatin. Belum lagi perintah dilaksanakan, dari arah
gerbang sudah terdengar pula teriakan gaduh para
punggawa penjaga gerbang.
"Ada penelusup lagi!!!"
Geger lagi seluruh penghuni Kadipatenan Lumajang. Sekarang, siapa yang menelusup" Salah seorang dari Tujuh Dewa Kematian" Atau orang tengik lagi seperti sebelumnya"
* * * Malam sebelumnya, di mana uap dingin pembawa embun menebar ke segenap penjuru, lalu membasahi apa saja di atas permukaan bumi. Lolongan srigala susul-menyusul memapas-mapas malam. Suasana mencekam, membuat nyali siapa pun menjadi terpagut kengerian. Para penduduk yang berada di sekitar Gunung Arjuna tak ada yang berani keluar, walaupun sedang mulas menahan buang hajat. Mereka memilih diam di atas ranjang, menanti mentari menyembul dari ufuk timur.
Tidak bagi tujuh manusia berkepala botak di
Puncak Arjuna sana. Mereka duduk bersila membentuk sebuah lingkaran di atas sebongkah batu datar besar. Mata mereka terpejam rapat. Tangan mereka menyatu satu dengan yang lain.
Mereka adalah Tujuh Dewa Kematian yang sedang melakukan semadi. Mereka sedang menyempurnakan ilmu sesat yang belum kunjung sempurna. Terutama disebabkan karena untuk mencapai taraf itu,
mereka harus mengorbankan seorang perempuan suci
yang memiliki ciri-ciri tertentu. Perempuan itu, disamping perawan, juga harus seorang yang memiliki tiga bintik tahi lalat di leher belakangnya. Terakhir, dia harus lahir tepat
ketika terjadi gerhana bulan.
Semua persyaratan itu mereka dapatkan pada
diri Pitaloka, anak Adipati Wisnu Bernawa yang menjelang purnama depan akan dituntut oleh mereka. Memang sejak lama, mereka mengawasi gadis manis itu.
Mereka pun selama ini menggali-gali masa lalu Pitaloka, termasuk hari lahirnya. Ketika yakin bahwa gadis
itu cocok untuk menjadi tumbal penyempurnaan ilmu
sesat mereka, mereka pun sewenang-wenang menuntutnya langsung dari orangtua Pitaloka, Wisnu Bernawa. Wisnu Bernawa yang sejak semula memang sudah memaklumatkan Tujuh Dewa Kematian sebagai
musuh negeri dan rakyat yang harus diberantas, tentu
saja menjadi gusar. Sebelumnya, dia memerintah Tujuh Prajurit Kembar untuk menumpas mereka. Setidaknya menggiring mereka ke pengadilan kadipatenan
untuk menjalani hukuman. Namun, utusan berjiwa
satria itu malah mengalami nasib mengenaskan, gugur
terbunuh di Puncak Arjuna dan hanya satu orang yang
kembali dengan selamat. Usaha kedua dijalankan Wisnu Bernawa dengan mengusahakan mengundang tiga
tokoh persilatan sakti. Satrialah yang kemudian menyediakan diri untuk mengantarkan undangannya.
(Seluruh kisah itu dapat dibaca pada episode sebelumnya: "Penghuni Kuil Neraka"!).
Kembali kepada Tujuh Dewa Kematian. Kini,
mereka menyatu satu dengan yang lain perlahanlahan. Beberapa saat berikutnya, tangan mereka bergetar. Asap tipis berwarna hitam pekat keluar dari se-la-sela jari. Getaran
makin hebat. Pada puncaknya,
terkerahkan hawa panas yang meranggas.
Tubuh mereka bersimbah peluh. Batu datar
yang mereka duduki yang semula dibasahi embun,
mulai kering mengepulkan asap tipis. Seekor
Jangkring melompat ke batu itu. Naas baginya. Dalam
sekejap, si jangkrik terkapar hangus.
Sekonyong-konyong....
Glar! Letusan memantul ke segenap penjuru. Tubuh
ke tujuh manusia sesat itu terseret mundur tanpa bergeming dari posisi semula. Darah hitam mengalir keluar dari sudut bibir masing-masing.
Peralahan-lahan mereka bangkit.
"Keparat, ajian itu menghantam kita!" maki salah seorang.
"Itu karena kita belum melengkapi seluruh syaratnya!" "Artinya, jika kita tetap ngotot untuk memper-gunakannya dalam satu
pertarungan, maka kita harus
siap menelan akibatnya. Mungkin lebih buruk dari
akibat yang kini kita alami."
"Kecuali kita menyelesaikan upacara persembahan di purnama mendatang!"
"Tersisa delapan hari lagi," sela yang lain.
"Sebaiknya, kita segera bersiap-siap. Aku tak
mau kita kehilangan perawan calon tumbal yang telah
kita incar sejak dia masih hijau!"
Ketujuh manusia sesat beranjak meninggalkan
tempat itu dengan luka akibat penolakan tenaga yang
mereka salurkan ke tubuh masing-masing.
*** LIMA APA mau dikata, satu makhluk brengsek lain
telah telanjur menyatroni Kadipatenan Lumajang, biar
pun para punggawa serabutan dan kelimpungan macam sekumpulan kakek kebakaran jenggot. Orang itu
adalah lelaki tua bangka. Tahu-tahu sudah saja dia tidur-tiduran di atas
wuwungan kaputren. Sudah bergaya santai, masih juga dia menenggak satu dua kali
tuak dalam guci sebesar pelukan tangan orang dewasa. Kalau saja seorang prajurit tak melihatnya lebih
awal, tentu dia sudah benar-benar terpulas di atas sa-na.
Kalau sebelumnya si pengacau berpenampilan
aneh. Orang ini berpenampilan agak berantakan. Pakaian kumal, menebar seribu satu bebauan ke manamana. Rambutnya merah keemasan dan kaku minta
ampun. Berwajah merah, bermata sayu,
"Hei, siapa yang berada di atas sana?" seru seorang punggawa kadipaten.
Keterlaluan, seruan itu diacuhkan. Jawaban
yang terdengar malah sendawa keras susul-menyusul,
nyaris bertubi-tubi. Setelah mendapat teriakan kaleng rombeng untuk ketiga
kalinya, barulah dia mulai ber-suara. "Mana si Wisnu Bernawa?"" Hik...."
Kontan terlonjaklah seluruh punggawa. Ini
orang tak tahu adat sekali! Masak nama Kanjeng Adipati disebut secara 'bugil' begitu" Mau disodokkan galah ke mulutnya apa"
"Kau jangan sembarangan bicara!" sembur
punggawa yang lain, kalap. Matanya mendelik. Ludahnya menyemprot-nyemprot. Sementara Adipati sendiri
justru masih adem-ayem saja. Cuma dia masih berdiri
cukup jauh untuk bisa melihat dengan jelas siapa si
pembuat onar baru.
"Sesukaku saja. Ini mulutku, jadi terserah apa
mauku bicara...."
Yang begini ini namanya sudah berani menginjak-injak kepala! Seorang punggawa pun jadi tak sabar. Tangannya bergerak. Tombak melayang. Sebagai
seorang yang terlatih mempergunakan tombak, lemparannya tentu saja tak asal sampai. Kalau dia menga
Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rahkan ke perut, perut sasaran yang akan termakan.
Kalau ke dada, ya kena dada. Kalau ke jidat, ya kena
jidat. Kalau melempar ke arah jidat kena jempol kaki, itu punggawa mesti
dipensiunkan secepatnya.
Wsss! Mata tombak mengarah bengis ke rusuk kiri calon korban. Calon korban sendiri tak pernah menganggap dia akan menjadi calon bangkai. Tenang-tenang
saja sikapnya, seakan ancaman mata tombak tak lebih
dari ujung peniti untuknya.
Dan ketika mata tombak nyaris sampai, dari
posisi tidur mendadak saja tubuhnya tegak mendadak
tanpa terlihat menggerakkan apa-apa. Sepertinya dia
telah memanfaatkan tiupan angin sepoi-sepoi belaka
untuk berdiri. Padahal, kalau seorang mandraguna
bermata jeli dapat langsung menilai bahwa orang itu
telah mempergunakan sentakan otot punggungnya
dengan menyalurkan tenaga dalam. Dengan begitu, tenaga dalam orang itu tentu saja sudah amat sempurna. Unjuk gigi yang patut dapat acungan jempol.
Dengan terhuyung-huyung, seakan tenaganya
sudah terperas habis, dia melangkah di atas wuwungan. Sebentar-sebentar dia merundukkan kepala,
mencoba mengintip dari lobang udara. Keputren tempatnya putri-putri kadipatenan, termasuk putri adipati sendiri. Barangkali orang
brengsek itu berharap dia
sempat mendapat rejeki nomplok dapat mengintip seorang perempuan kadipaten. Bik emban putri adipati
bolehlah. Syukur-syukur putri adipati sendiri.
Makin galak saja para punggawa dibuatnya.
Mereka berbarengan mendelikkan mata. Beberapa
orang yang punya kepandaian lebih segera melompat
naik ke atas wuwungan. Mereka sampai lupa kalau
adipati belum menurunkan perintah apa-apa.
Tiga orang menyusul si pengacau. Kemampuan
peringan tubuh yang lumayan membuat mereka bisa
berlari cukup lincah di atas wuwungan tanpa membuat kerusakan berarti. Tiba di dekat si pengacau, tiga orang itu langsung
menggebrak. "Ciaaah!"
Sebatang golok membelah udara. Arahnya menuju batok kepala si pemabuk.
Pengacau baru itu menoleh tenang. Matanya
tersayu-sayu. Ketika mata golok hendak tiba, badannya terhuyung ke samping. Sengaja tak sengaja, yang
jelas bacokan tadi tak sampai ke sasaran. Luput hanya dua jari dari kepala si
pengacau. Dua punggawa yang lain menusukkan tombak
berbareng. Dari atas dan bawah. Satu ke tenggorokan,
yang lain ke 'isi' selangkangan. Termasuk serangan kejam. Namun, dua punggawa
sudah tak lagi peduli rupanya. Mereka sudah telanjur kalap. Kalau orang kalap apa masih bisa pikir atau menimbang macammacam" Si pengacau tak bisa hanya mengandalkan
huyungan tubuhnya untuk mementahkan serangan
ini. Dia butuh sedikit gerakan lain. Sedikit saja sudah cukup. Seperti gerakan
yang tak disengaja, dia meneguk isi guci.
Trang! Tombak pertama yang mengarah ke tenggorokan tentu saja terhadang guci besar dari logamnya.
Yang satu luput. Tinggal sisanya yang mengarah ke 'isi'
selangkangan, daerah paling berbahaya kalau sempat
'bocor'. Karena tak ingin ada kebocoran, badan si pengacau pun bergerak lagi.
Lagi-lagi, gerakannya seperti tak disengaja. Dia seperti terhuyung ke depan.
Karena hendak menyeimbangkan tubuh agar tidak nyelonong,
kedua kakinya berjinjit. Pantat pun sedikit ditunggingkan ke belakang.
Wsss! Dan tusukan tombak yang tak menghormati wilayah-wilayah 'hutan lindung' justru yang nyelonong
melewati di bawah sasaran. Gerakkan berikutnya, paha si pengacau tahu-tahu sudah menghimpit badan
tombak. "Ngek!"
Sedikit mengejan, tombak itu pun patah dua!
Si pengacau tersenyum penuh kemenangan,
memamerkan dua butir giginya yang kehitaman. Sebutir di gusi atas, sebutir di gusi bawah. Irit benar dia.
Punggawa bersenjata golok masih penasaran.
Dibabatkannya senjata ke arah dada lawan. Serangan
pertama barangkali cuma sedang tak punya peruntungan, sekadar apes. Siapa tahu serangan kedua dia bisa membelah dada pengacau
berlidah serampangan itu.
"Hih!"
Wukh! Harapannya tak terkabul sama sekali. Hanya
dengan menyorongkan mulut, dijepitnya golok lawan.
Bukan dengan selangkangan lagi tentunya. Sekali ini
dia memakai dua butir gigi pusakanya.
Kling! Begitu rahang si tua bangka itu mengejang,
terbelah dualah golok itu. Lihat caranya mematahkan
golok dari campuran logam pilihan itu, mengingatkan
pada kegaringan kerupuk kulit di mulut seorang bocah. Terpana punggawa pemilik golok. Sudah tahu
patah, masih juga ditatapnya golok itu. Dua punggawa
yang lain saling pandang. Mau serang lagi apa tidak"
Begitu sinar mata mereka kalau bisa diterjemahkan.
Keduanya ragu. Rasanya percuma juga kalau
tetap dihadapi. Mereka tak punya kesempatan menang. Tapi biar bagaimana, pamor sebagai seorang
punggawa tak boleh luntur. Jadi harus ada jalan keluarnya. Dan entah kenapa bisa punya pikiran seragam,
keduanya berpura-pura menyerang kembali dengan
mimik muka seganas-ganasnya (Biar terlihat meyakinkan). Belum-belum lawan melakukan gerakan untuk
membalas, keduanya mendadak saja terguling di atas
wuwungan. Sebenarnya bukan terguling. Cuma mereka saja yang menggulingkan diri.
Berbarengan mereka jatuh menimpa bumi.
Bruak buk! Akal bulus mereka berjalan lancar.
Mereka pikir, tak apa-apa sakit sedikit, asal tak
cacat seumur hidup dikunyah gigi pusaka lawan. Di
samping peringan tubuh yang pas pasan, itulah salah
satu ajian andalan mereka. Ajian 'Selamat Diri, Selamat Gengsi'! Mereka memang tak punya bakat jadi
punggawa. Tinggal sisa punggawa. Masih saja dia memelototi golok buntungnya sendiri. Kalau memang mau marah, mestinya pada si tua bangka tukang mabuk, bukan pada goloknya. Begitu tersadar dia tinggal sendiri di atas wuwungan,
bibirnya pun cengengesan pada
sang lawan. Tua bangka pengacau menggeram. Tangannya
terangkat sedikit. Belum juga tangannya bergerak menuju sasaran, si punggawa mendadak berteriak seperti
orang terkena tusukan seribu satu anak panah.
"Wuaaa!"
Menggiris. Menggidikkan. Yang paling pasti, meyakinkan!
Lalu tubuhnya terlempar, bergulingan di wuwungan dan jatuh berdebam seperti dua punggawa sebelumnya. 'Lagu lama' lagi. Sayangnya, tua bangka tukang mabuk di atas sana sama sekali tak menyadari
siasat cari selamat ketiga punggawa. Tinggal dia yang pelonga-pelongo sendiri di
atas wuwungan sambil menatapi tangan sendiri. Tadi itu ajian milikku yang ma-na"
Kok, belum kuhajar mereka sudah berpentalan"
Hatinya tercengang-cengang.
Sedang asyiknya 'mengagumi' kehebatan dirinya yang datang seperti mukjizat, telinga tua bangka pemabuk itu mendengar
desir angin halus dari arah
belakang. Dia tahu mulai ada yang hendak bermain
api lagi padanya. Sekali ini bukan lagi orang yang ber-kepandaian bertaraf
punggawa, dengan sekali-dua gebrakan saja sudah keok. Sekarang tua bangka itu menilai orang yang menyerangnya termasuk orang berkepandaian tinggi. Dari tinggi rendahnya nada desir angin yang didengarnya, dia dapat menilai setidaknya seberapa tinggi tingkat
peringan tubuh orang itu.
Dia cepat berbalik. Dengan tubuh yang tetap
sempoyongan seakan tak memiliki cukup kuda-kuda.
Benar saja. Selang satu kedipan mata, satu bogem berseliwer di depan hidungnya. Tua bangka itu
mengegoskan badan. Gerakannya seperti penari jaipong wanita yang menolehkan kepala pada pasangan
di belakangnya.
Santer terdengar angin sambaran pukulan lawan. Tingkat tenaga dalam lawan pun dinilai-nilai tua bangka pemabuk.
Tuak diteguk. Sepuluh teguk sekaligus dalam
waktu hanya tiga kedipan mats. Kerongkongannya seperti punya tiga saluran berbeda. Mulutnya mengembung oleh sisa tuak yang tak ditelan. Mau disemburnya orang lancang yang berani main bokong barusan.
Belum-belum....
"Cukup Danusentana!"
Mencelat seruan berwibawa.
Tua bangka yang dipanggil Danusentana menoleh ke muka. Dengan mata nanap dia melirik, lalu terkekeh panjang. "Aku telah datang Wisnu.... Aku telah datang!
Apa persiapanmu sebegitu buruk untuk menyambut
seorang sahabat lama"!" koarnya serak-serak banjir seraya membentangkan sebelah
tangan lebar-lebar.
Orang yang melayangkan tinju sebagai salam pertemuan rupanya Adipati Wisnu Bernawa sendiri.
Danusentana. Itu nama asli si tua bangka. Nama yang tidak asli, dan itu justru lebih dikenal oleh banyak kalangan adalah Ki
Dagul alias Pengemis Tuak!
Ki Dagul dan Wisnu Bernawa pun melayang turun. Hinggap tak cukup jauh dari tempat masingmasing. Sebentar tua bangka berjuluk Pengemis Tuak
meneliti penampilan sahabat lamanya dengan tatapan
yang tetap sayu dan dagu terangkat-angkat.
"Kulihat kau makin gemuk saja, Wisnu. Atau
apa karena aku yang merasa makin kurus" Hei, kau
tak biasa menelan uang rakyat, bukan" Kalau benar,
terkutuklah kau! Semoga kau menjadi kerak neraka!"
Diikuti lagi oleh kekehnya, berderai-derai.
Wisnu Bernawa menggeleng-gelengkan kepala.
Bibirnya menawarkan senyum. Senyum yang kental
persahabatan. Tangannya terbuka lebar-lebar. Begitu
juga tangan Ki Dagul. Mereka saling mendekat, lalu
berangkulan erat-erat sambil tertawa penuh suka. Dua
sahabat yang mungkin saja terpisah oleh nasib. Persahabatan sejati menyatukan mereka kembali setiap saat
mereka inginkan.
Tak lama kemudian, mereka sudah berjalan beriringan sambil menembang sama-sama, kebiasaan
lama mereka ketika sama-sama muda.
Tinggal para punggawa cuma bisa melongo.
Kok, begitu saja akhirnya"
*** ENAM SATRIA masih belum tahu jelas ke mana harus
mulai mencari Arya Wadam. Perangainya aneh. Sulit
Satria untuk mengerti. Karena itu, akan sulit pula baginya untuk menduga di mana
kira-kira Arya Wadam
kini. Tanpa kejelasan tujuan, tentu saja pekerjaannya akan menjadi membosankan. Bukan itu saja, malah menjengkelkan. Apa iya dia harus terus berjalan,
berjalan, dan berkuda menelusuri daerah demi daerah" Bukan cuma membuang waktu percuma, sekaligus juga membuang tenaganya.
Kalau dulu Ki Jerangkong alias Dewa Gila pernah mengatakan bahwa Arya Wadam punya kebiasaan
khas dalam hal makan. Dia makan nasi dicampur
arak. Itu satu petunjuk. Tak ada salahnya untuk diikuti. Tapi ampun juga! Berarti dia harus menyinggahi kedai makanan di setiap
tempat yang dilewati"
Cara lain, Satria mungkin bisa cari tahu dari
beberapa orang yang berpapasan dengannya. Dia minta sedikit keterangan. Siapa tahu mereka pernah bertemu dengan Arya Wadam di suatu tempat.
Sampai saat itu, belum ada satu orang pun
yang memberinya petunjuk. Kebanyakan mereka
menggelengkan kepala.
"Slompret...," rutuk Satria, jadi jengkel sendiri.
Saat itu dia menunggangi kuda ke arah Barat.
Baru saja dia meninggalkan sebuah desa tandus yang
tanahnya kapur melulu. Tenggorokannya sudah kering
kerontang. Kuda tunggangnya pun sudah perlu istirahat dan minum. Kebetulan sekali dia melewati mata air kecil
yang mengalir jernih dari bukit kapur. Kuda pun dihentikan. Dia turun. Dituntunnya kuda ke mata air.
Sang tuan dari hewannya minum bersama.
Saat itulah matanya tertumbuk pada sesuatu
yang menarik perhatiannya. Ada helai-helai bulu ayam
terbawa aliran kecil mata air yang memanjang ke arah
bukit kapur di sebelah kanan sana. Ketika Satria menoleh ke arah bukit kapur, dilihatnya ada asap tipis
mengepul dari atas semak semak liar.
Satria cepat mengambil kesimpulan. Tentu ada
seorang yang sedang menyiangi ayam dan hendak dibakarnya. Orang itu perlu juga ditanyai tentang Arya
Wadam. Kalau dia pun tidak tahu menahu, siapa tahu
Satria bisa sedikit meminta potongan ayam panggang
Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya. Cukup melepaskan dahaga, Satria menuntun
kudanya ke arah kepulan asap. Jarak sudah cukup
dekat, didengarnya teriakan menggeledek. Arahnya
persis dari sumber kepulan asap tadi.
"Hiaa haaa!"
Satria sampai terlonjak. Belum jelas baginya teriakan itu dikarenakan sebab apa. Karena pertarungan, tak mungkin. Sejak tadi dia tak mendengar keributan apa-apa. Kudanya mengalami keterkejutan paling parah.
Hewan itu meringkik-ringkik ketakutan seraya mengangkat-angkat kaki depannya.
Liar. Sulit dikendalikan.
Saat yang sama, sesosok tubuh mencelat dari
balik semak-semak tempat asap mengepul. Gerakannya cepat, membentuk kelebatan bayangan. Kurang
dari sepuluh tombak dari tempat Satria Gendeng, sosok itu menjejakkan kaki.
"Siapa kau"!" bentaknya pada Satria dengan
wajah kelewat sangar. Ditunjuknya Satria dengan jari
telunjuk bergetar kuat, bukan karena takut. Wajahnya
saja tak menunjukkan kalau dia dilanda ketakutan
atas kedatangan Satria Gendeng.
Satria sendiri tertegun sejenak menyaksikan
rupa orang itu. Sebelah kakinya kutung hingga sebatas dengkul, disambung oleh
tulang rusuk harimau Jawa.
Wajahnya tirus dipenuhi rajah bergambar tetekbengek. Usianya terbilang cukup tua. Punggungnya
agak bungkuk. Bajunya besar berwarna ungu menyerupai jubah. Bahunya membopong buntalan kain sebesar anak kerbau.
"Maaf, Orang Tua, aku tak bermaksud mengganggumu," hatur Satria, mencoba meredam kemarahan si orang tua berwajah penuh rajah.
"Siapa kau"! Aku tanya, siapa kau"!" hardik orang itu lagi, tak peduli pada
ucapan Satria Gendeng.
"Aku cuma seorang musafir...."
"Sekali lagi kutanya, siapa kau"! Kau tuli, bodoh atau bagaimana"! Maksudku, ya namamu!"
Satria mengangkat bahu. Apa sulitnya menyebutkan nama, pikirnya. Cuma saja dia agak enggan
untuk menyebutkan nama pada orang-orang persilatan. Salah satu sifatnya yang ingin selalu menyembunyikan jati diri sesungguhnya sebagai seorang pendekar muda tanah Jawa ternama. Cuma pula, kalau sudah ada yang ngotot sesengit itu untuk mengetahui
siapa namanya, mau bilang apa lagi"
"Satria," sebut Satria. Tanpa harus meneruskan dengan julukannya.
"Hm, bagus! Satria, itu namamu bukan?"
Satria Gendeng mengangguk. Semula niatnya
hendak bertanya ini itu pada orang yang baru sekali
seumur hidup dilihatnya itu. Sekarang kenapa malah
dia yang ditanya macam-macam" Gobloknya pula, kenapa dia mau saja diperlakukan seperti maling tertangkap basah....
"Kalau kau tak punya tujuan apa-apa di sini,
Satria, sebaiknya kau segera menyingkir saja! Menyingkir, Satria, seperti angin, seperti kentut, atau seperti apalah!"
"Tapi, aku sebenarnya punya tujuan, Orang
Tua," sergah Satria.
"Apa peduliku," gerutu orang tadi seraya membalikkan badan. Dia ngeloyor begitu
saja, kembali ke
tempat semula. Satria terlolong menatap bokong bongkoknya seperti orang tolol.
Orang itu menoleh.
"Kenapa masih belum menyingkir, Satria"!"
bentaknya lagi, masih terus menyebut-nyebut nama si
pendekar muda tanah Jawa, seolah seorang bapak terhadap anaknya. "Aku ingin bertanya tentang seorang yang
mungkin kau kenal, Orang Tua! Tentang Arya Wadam!"
Pantang mundur, Satria mencoba lagi.
"Kubilang, apa peduliku"! Bertanya saja pada
kudamu, atau dengkulmu sendiri!"
Namun begitu mengingat kalimat terakhir murid Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul itu, si orang tua berwajah penuh rajah
menghentikan langkah tiba-tiba. Badannya berbalik
tergesa. "Kau tadi menyebut-nyebut nama Arya Wadam, Satria"!" perangahnya.
Satria mengangguk. Senyum tipis disembunyikan. Orang tua ini terpancing. Aku mulai menang satu
langkah, pikirnya.
Orang tua tadi melangkah kembali. Didekatinya
Satria, lebih dekat dari sebelumnya. Lebih dekat lagi, sampai jarak antara
mereka hanya satu langkah. Lalu
dia bertanya dengan paras menyelidik. Ada bersit kecurigaan terselip. Satria bisa melihatnya sekilas. Artinya, nama Arya Wadam
tampaknya berarti khusus
untuk orang tua ini, pikir Satria lagi. "Aku sedang mencarinya."
"Aku malah sedang dicarinya, tapi siapa peduli!
Masa bodo siapa mencari siapa! Yang aku ingin tahu,
kenapa kau mencarinya?"
Mulai sengit lagi dia pada Satria.
"Aku harus menyampaikan undangan padanya." "Ah, kukira apa...," gerutunya. Kembali dia membalikkan badan. Kembali
pula dia ngeloyor.
Satria jadi pegal hati. Urusannya belum lagi
beres. Dia belum sempat menanyakan kepentingannya.
Malah dia yang jadi sasaran pertanyaan terus.
"Tunggu, Orang Tua. Aku ingin bertanya apa
kau tahu di mana aku dapat menemukan Arya Wadam?" lontar Satria, setengah berseru.
"Dasar anak tolol sejati. Berpikir sedikit, Satria.
Bukankah tadi sudah aku katakan bahwa Arya Wadam justru sedang mencariku. Buat apa lagi aku mencari tahu di mana dia sekarang. Kalaupun aku tahu,
aku akan secepatnya menyingkir jauh-jauh sampai
aku bisa tak tahu lagi di mana dia...."
Makin tak karuan saja urusan, rutuk Satria dalam hati. Kalau diteruskan, bukannya dapat petunjuk,
bisa-bisa dia mendapat serangan darah tinggi. Bagus
kalau tak kejang-kejang di tempat.
Satria akhirnya menyerah. Tak dicobanya menyusul orang tua bertabiat panas-panasan itu atau
mencoba bertanya lagi. Dia pun naik ke punggung kuda. "Hei, Satria!" panggil orang tua tadi.
Satria menoleh.
Di kejauhan kepala si orang tua berwajah penuh rajah menyembul dari balik semak-semak tempatnya membuat api. Dia mengacungkan sepotong
ayam bakar. "Tangkaplah!" serunya sambil melemparkan
panggangan ayam yang masih panas itu kepada Satria.
"Kudengar tadi perutmu 'melapor' padaku. Jadi, isilah dulu! Tak baik kau
kelaparan dalam perjalanan!"
Satria menyambutnya. Sebentar, ditatapnya
orang tua itu dari kejauhan. Tak disangka, di balik sifat panasnya ternyata ada
rasa welas asih juga, pujinya membatin.
"Terima kasih, Orang Tua!"
"Sekarang menyingkirlah!"
Satria pun meninggalkan tempat itu. Di punggung kuda yang berjalan tak terlalu cepat, disikatnya jatah ayam bakar pemberian
si orang tua. Lahap. Maklum perutnya memang belum tersentuh makanan selama hampir dua hari. Sampai potongan ayam jantan
besar itu tandas hanya dalam waktu singkat.
Pedang Naga Kemala 15 Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Dewi Goa Ular 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama