Ceritasilat Novel Online

Patung Pembawa Maut 1

Patung Pembawa Maut Karya Aryani Bagian 1


PATUNG PEMBAWA MAUT Oleh : Aryani SATU PELABUHAN SEMARANG ramai sekali dengan pedagang yang bongkar muat dagangan di kapal.
Pedagang dari manca negara banyak berdatangan di Nusa Jawa dengan melalui pelabuhan ini. Para kuli
angkut naik turun dengan punggung berisi muatan, di bawah kapal dekat dengan barang yang ditum-puk,
seorang pedagang Cina berkepala gundul pelontos. Berdiri sambil memegang sebuah kotak berukir. Di
belakangnya dua orang centeng bertubuh gempal dengan kumis melintang seperti Raden Gatotkaca
menjaga dengan patuhnya. "Ayaaa, lambat betul olang-olang itu keljanya! Owe mau makan dulu, Dul. Awasi olang-olang itu
sebental!" katanya dengan suara cedal. Pedagang Cina ini tidak dapat mengucapkan huruf dengan benar,
dia selalu mengucapkan r dengan l. Pedagang Cina yang bernama Lim Hok Coan itu memerintahkan
Dullah salah seorang centengnya.
"Baik, Tuan Lim. Jangan khawatir, sebentar lagi kalau sudah selesai saya kabari." Dullah menjawab
cepat sambil membungkukkan tubuh. Hati-hati lu jaga! Jangan dikasih hati kalau ada yang malas!" kata
Babah Lim lagi. "Owe pelgi, Dul. Hati-hati!"
Dengan mengempit kotak berukir Lim Hok Coan berjalan menuju ke Rumah Makan SEDAP di
perempatan jalan dekat pasar. Memasuki ruangan dengan langkah berat, tubuhnya yang gendut itu menaiki
tangga batu agak kesukaran.
"Selamat pagi, Juragan Lim." sambut pelayan. Dia telah mengenal Juragan Lim Hok Coan ini
dengan baik karena juragan ini adalah langganan tetap rumah makan ini. "Disediakan seperti biasa,
Juragan." "Iya, sepelti biasa! Tolong alaknya dua guci!"
"Baik, juragan!"
e-bukugratis.blogspot.com
1 Juragan Lim Hok Coan duduk di sudut seorang diri. Kotak berukir ditaruh di atas meja. Sambil
menanti pesanan datang dia berkipas-kipas mengusir panas! "Pagi, Juragan Lim."
Juragan Lim Hok Coan menengok ke samping. Ternyata yang menegurnya adalah seorang yang
memakai pakaian bagus dengan kain sutera hitam. Wajahnya tampan tanpa kumis, akan tetapi sepasang
matanya liar bergerak ke sana-sini. Tubuhnya tinggi kurus.
"Aiyaaa, kapan datang" Ada belita apa lagi?" sapa Lim Hok Coan. "Ayo duduk dulu, kita bicala
santai!" Sancaka duduk di depan Juragan Lim. Melihat kotak berukir, tangannya terulur.
"Jangan sentuh!" bentak Juragan Lim. Sancaka menarik tangannya cepat seakan kena patukan ular
cobra. Mengawasi Juragan Lim penuh tanya. "Apakah itu barang ... ?"
"Nanti saja bicala di lumah! Di sini banyak olang!" katanya pelan sambil berkedip dengan sebelah
mata kiri. Pelayan datang membawa makanan dan arak dua guci. Menaruh di meja lalu membongkok pergi
dengan hormat. "Kita makan dulu." katanya sambil menawarkan. Sancaka tanpa malu-malu lalu mengambil
makanan yang terhidang, juga minum arak. keduanya makan dengan diam. Akan tetapi pandang mata
Sancaka tidak pernah lepas dari kotak berukir di atas meja depan Juragan Lim.
"Aku permisi dulu, juragan. Ini, mau mengantarkan untuk Juragan Cakra." Sancaka minta diri.
Memberi salam lalu berlalu dengan cepat keluar dari rumah makan. Sancaka membelok ke dalam pasar dan
lenyap di kerumunan orang!
Setelah selesai makan. Juragan Lim kembali ke tempat penurunan barang-barang di dermaga. itu.
Dullah yang melihat kedatangan tuannya menyambut.
"Tuan Lim, tadi tuan Coa ke sini." katanya cepat. "Tuan Coa bilang akan ke rumah nanti malam."
"Oya, Kalau begitu masukkan semua dalam gudang! Aku mau pulang sekalang!" Lim Hok Coan
lalu menuju ke kereta yang menarrti di sudut jalan. Menaiki kereta lalu menyuruh kusir untuk mengantar
pulang. Dua orang centeng lain naik di belakang kereta mengawalnya pulang.
Malam itu di rumah Juragan Lim Hok Coan. Seorang tamu yang berbadan kurus memakai hancinco
hitam dengan kepala tertutup topi kopiah hitam pula. Kumisnya tipis panjang sampai di bawah dagu,
sepasang matanya sipit. Dia bukan lain adalah Coa Bo Gie seorang pedagang barang-barang antik.
"Bagaimana, Lim-toako" Asli atau tidak patung itu?" tanya Coa Bo Gie. Mereka berdua bicara
menggunakan bahasa asalnya. Bahasa Cina.
"Asli! Ini terang asli! Orang dari Surabaya itu telah meneliti dengan seksama." jawab Lim Hok Coan
dengan suara pasti. "Penjual patung .berani menanggung bahwa patung ini asli."
"Boleh aku melihatnya sebentar?" kata Coa Bo Gie kemudian.
"Mari, kita masuk saja ke ruang belakang! Di sana kita dapat meneliti lagi. Coa-te sebagai penjual
barang antik tentu lebih tahu." Lim Hok Coan lalu bangkit berdiri, mengajak tamunya untuk mengikutinya
ke belakang. Menuju ke ruang khusus tempat ia menyimpan benda-benda keramat dari berbagai daerah.
"Mari, mari silakan masuk saja!"
e-bukugratis.blogspot.com
2 "Ck-ck-ck ... !" Coa Bo Gie begitu melihat koleksi benda-benda di ruangan itu berdecak kagum!
"Luar biasa, sungguh luar biasa sekali! Sungguh tak pernah kusangka bahwa Lim-toako mempunyai begini
banyak benda berharga!" katanya penuh kagum.
"Aiyaaa, kau ini bisa saja! Kan ini koleksi sejak dari tanah leluhur sana!" katanya sambil tersenyum
bangga. Lim Hok Coan yang melihat temannya itu kagum merasa bangga sekali. Sebagai pedagang barang
antik tentu saja Coa Bo Gie ini lebih dapat menilai!
Lim Hok Coan menuju ke sebuah lemari kaca di sudut kamar, membukanya lalu mengambil sebuah
kotak berukir. Menaruh di atas meja di tengah ruangan serta membuka tutupnya. "Mari, lihatlah!"
"Terima kasih!" Coa Bo Gie maju mengawasi isi kotak berukir. Ketika tangannya terulur akan
mengambil patung dalam kotak terdengar bentakan menggeledek!
"Tahan! Jangan pegang patung itu!" Berkelebat sesosok bayangan tinggi besar di tengah ruangan.
Kedua orang yang di dalam tersentak kaget sekali. Bagaimana tahu-tahu tamu tak diundang ini dapat
masuk ke "ruang belakang tanpa diketahui para penjaga di luar!
"Maafkan, pinceng datang tanpa diundang!"
"Tan-suhu ... " Hampir berbareng Lim Hok Coan dan Coa Bo Gje berseru. Bagaimana pendeta ini
dapat mengetahui bahwa dia mempunyai Patung Batari Durga"
"Kebetulan Tan suhu datang. Sebetulnya besok pagi saya mau menghaoap suhu di kelenteng!" Lim
Hok Coan cepat-cepat berkata untuk menutupi rasa kagetnya. Siapakah yang memberi tahu pendeta ini
sehingga malam-malam datang ke rumahnya dengan menggunakan kepandaiannya! "Pinceng tadi ketika
bersamadhi seakan-akan ditarik-tarik untuk pergi ke mari! Kiranya memang ada sesuatu di sini!" kata Tan
suhu halus sambil merangkapkan kedua tangan depan dada. Menjura kepada Lim Hok Coan dan Coa Bo
Gie. Kedua orang nupun membalas penghormatan itu dengan segan. Hanya alasan saja, pikir keduanya.
"Tan suhu, mengapa mencegah saya untuk memegang patung itu?" tanya Coa Bo Gie.
"Begini, menurut apa yang kudengar dari kelenteng di Surabaya. Patung Batari Durga itu
mengandung kekuatan yang menyesatkan! Banyak sudah orang menjadi korbannya!" Menerangkan
demikian, Tan suhu maju ke depan mengawasi patung. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantera serta
tangannya memutar-mutar tasbih yang dibawanya.
Kedua orang itu saling pandang. Tidak percaya! Sudah biasa kalau benda seni itu mengandung daya
magis, pikir keduanya. Tetapi semua itu dapat dicari penangkalnya!
"Tapi suhu kan bisa memberi penangkal" Tolonglah Patung Batari Durga ini jangan memberi
bencana di rumah ini. Patung ini berharga sangat mahal, suhu."
Tan suhu mengangguk. Lalu duduk di depan patung di atas bantal yang disediakan oleh tuan rumah.
Lim Hok Coan serta Coa Bo Gie juga duduk di bantal di belakang hwesio ini, mengikuti ucapan mantranya.
Suasana di dalam kamar menjadi syahdu dengan adanya irama mantram ketiga orang itu. Tiba-tiba
mengepulah asap putih dari peti berukir di mana Patung Batari Durga berada. Lim Hok Coan dan Coa Bo
Gie terbelalak! Memandang ke arah asap yang membubung naik itu dengan keheranan meliputi hatinya.
e-bukugratis.blogspot.com
3 Asap itupun semakin tinggi, seakan membentuk bayangan seorang wanita! "Hi-hi-hik ... kenapa aku
kausuruh pergi" Di sini tempatku bersemayam! Siapapun tidak dapat menyuruh aku pergi!" Entah siapa yang
mengeluarkan suara ini. Mungkin hanya Tan suhu saja yang dapat menebaknya"
Tan suhu semakin keras membaca mantram. Dari dahinya telah keiuar keringat sebesar kedele
memenuhi mukanya. Tiba-tiba dia berhenti membaca mantram dan tubuhnya dalam keadaan duduk itu
telah melayang ke atas. "Siapapun adanya kau, kuminta jangan mengganggu rumah ini!" Sambil
melemparkan tasbihnya ke arah peti berukir di meja! "Buuussss ... !!!"
Api kemerahan memancar keluar dari sepasang mata patung. Menahan tasbih di udara, begitu tasbih
turun ternyata peti itu telah pindah tempat! Sekarang ada di meja di sudut kamar.
Tan suhu menulis huruf-huruf di udara dan mengacungkan kedua jari telunjuk serta jari tengahnya.
"Wuuuusssss!!" Jari-jari itu menyala ketika diarahkan ke patung.
Entah bagaimana caranya meloncat" Tahu-tahu peti berukir telah tidak ada di tempat tadi ketika api
menyambar datang! "Hi-hi-hik ... kau kira sudah menundukkan aku!"
Kembali ada suara mengejek. "Terimalah ini!"
Tahu-tahu Tan suhu telah dibungkus oleh api yang berkobar. Kembali terjadi keanehan. Tan suhu
yang terbakar api tidak berteriak kesakitan sama sekali. Api itu seakan-akan tidak dapat menembus hawa
yang melindungi tubuhnya!
"Daaarrrrr ... !!!"
Ledakan dahsyat terdengar memekakan telinga yang mendengarnya. Tan suhu terlihat kembali telah
duduk di bantal dengan napas terengah-engah. Pendeta yang ahli kebatinan dan silat ini belum mampu
membendung serangan dari Patung Batari Durga yang entah berisi makhluk siapa itu!
"Amitaba ... !" Tan suhu memuji kebesaran Sang Buddha. Agaknya dia sadar bahwa belum
waktunya patung dapat dimusnahkan. Kedua orang di belakangnya ternyata telah bersujud berkali-kali
sambil mengucapkan kata-kata yang tidak jelas!
Tan suhu berdiri lalu mohon pamit pada Lim Hok Coan. Coa Bo Gie juga mengikuti hwesio,
berpamit kepada tuan rumah. Juragan Lim sendiri juga takut berada di kamar itu sendiri, mengikuti kedua
orang keiuar kamar. Menutupkan daun pintu, setelah itu mengantar kedua tamunya keiuar dari rumahnya.
Ketika sampai di pintu depan Tan suhu berkata.
"Kuharap malam ini jangan ada yang masuk kamar! Apabila matahari telah bersinar baru boleh
masuk!" pesannya. "Pesan suhu akan saya pelhatikan."
"Besok siang saja kita lanjutkan pembicaraan kita, Lim-toako. Sekarang lebih baik saya pulang
dulu." kata Coa Bo Gie sambil memberi isyarat mata. Juragan Lim mengangguk!
Setelah kedua tamunya pergi Juragan Lim masuk ke rumah. Memanggil seluruh penghuni rumah
untuk berkumpul di ruangan besar. Dia memesan siapapun untuk tidak membuka pintu kamar tempat
barang seni. "Besok setelah telang tanah balulah boleh! Bial aku saja yang membuka. Nanti setelah kubuka
balu dibelsihkan oleh pala pembantu!" katanya pelo.
e-bukugratis.blogspot.com
4 "Ada apakah sebetulnya ayah?" Anak perempuan satu-satunya bertanya.
"Wahh, nanti saja kubelitahu. . Sekalang semua boleh bubal!" kata Lim Hok Coan kepada anak
perempuannya dan semua orang yang berada di ruangan itu.
Semua orang lalu kembali ke tempat masing-masing hanya puterinya yang masih duduk di dekat
ayahnya. Setelah semua orang pergi barulah Juragan Lim melanjutkan keterangannya. "Begini, Hwa."
Juragan Lim menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi di kamar belakang. Puterinya Lim Gin Hwa
mengangguk-angguk sambil memandang ayahnya dengan kedua mata tak percaya" "Lebih baik kau tidul
kembali! Hari sudah malam, Hwa!"
Lim Gin Hwa mengiyakan. Lalu dara ini menuju ke kamarnya sendiri. Ketika semua telah pergi
Juragan Lim pun menuju ke kamar untuk mengaso!
e-bukugratis.blogspot.com
5 DUA PERGURUAN SILAT Balung Wesi terletak di sebuah bukit di tepi laut utara. Rumah perguruan itu
besar sekali dan dikelilingi oleh pagar tembok tinggi. Pintu gerbangnya tertutup oleh daun pintu yang
terbuat dari kayu jati yang tebal. Ketua perguruan Balung Wesi bernama Ki Jaluwesi telah berusia sekitar
enam puluhan tahun. Ketua ini dibantu oleh adik seperguruannya yang berumur lima puluhan tahun
bernama Ki Pentet Prawirayuda sebagai wakil ketua perguruan silat Balung Wesi. Siang hari itu di
pelataran depan penuh dengan pemuda yang sedang berlatih pencak silat. Diawasi langsung oleh kedua
gurunya.Di sudut samping empat orang yang memegang golok besar sedang mencoba kekebalan temannya.
"Dukk! Dukk! Dukk! Dukkk!"
Empat batang golok silih berganti menghunjani tubuh bertelanjang dada. Golok terpental kembali
tanpa sedikitpun melukai kulit hanya meninggalkan bekas kemerahan di tubuh si pemuda.
"Hati-hati Parta! Sekarang balaslah menyerang!" kata salah seorang pemegang golok.
"Baik! Kerahkan seluruh tenaga kalian!"
"Wirrrr ... ! Plakkk!" Sebuah babatan golok dari depan ditangkis Parta, terlempar ke udara! Ternyata
pemegang golok di depan tidak dapat memegangi goloknya akibat tertangkis tangan Parta.Ketiga temannya
menyusuli dengan serang-an golok mereka. Bagaikan hujan saja layaknya babatan golok melanda tubuh
Parta. Parta menggunakan geseran-geseran kaki serta gerak kilat kedua tangannya ia dapat mengelak dari
hujan serangan golok. "Ciaaattttt! Plakk! Plakk! Plakk!"
Ketiga temannya terlempar ke kanan kiri terkena tamparan di pundak masing-masing. Parta
menerima babatan golok dengan tubuhnya dan membarengi dengan tamparan. Ketika golok menimpa
tubuh terpental dan tamparan Parta mengenai pundak lawan tanpa dapat dielakkan saking cepatnya."Bagus
Parta. Sekarang engkau telah maju pesat!" puji Ki Pentet Prawirayuda yang melihat gerakan murid
didiknya. Dia maju men-dekati Parta yang sedang berdiri memandang rekannya.
"Terima ini!" seru Ki Pentet Prawirayuda sambil melayangkan sebuah pukulan ke dada.
Parta menggeser kaki ke kiri lalu tangannya menggedor lambung gurunya. Ditangkis, serta disusul
serangan bertubi melanda tubuhnya. Parta memainkan ilmu silatnya sebaik mungkin dalam menghadapi
pelatihnya Ki Pentet Prawirayuda ini. Sesekali membalas serangan lawan.
"Plakkk! Duukkk!!"
Ternyata dada Parta terkena pukulan. Ketika tadi menangkis serangan pancingan lawan dadanya
terbuka sehingga dimanfaatkan oleh pelatihnya ini. Tanpa ampun lagi Parta terlempar ke belakang!
"Bagus. Ternyata Ilmu Tameng Wajamu sudah sempurna." Puji Ki Pentet Prawirayuda. Senang
melihat kemajuan yang diperoleh oleh Parta.
"Terima kasih, paman guru."
e-bukugratis.blogspot.com
6 Ki Pentet Prawirayuda mengawasi sekeliling, tiba-tiba dia tertarik melihat seorang murid tinggi
besar menyerang temannya. Murid nya itu membawa sebuah balok sebesar lengan diputar-putar lalu
terayun ke arah pemuda bertubuh kurus di depannya!
"Wuuutttttt ... dukkk-kraakkkk!!"
Akibat pukulan balok sebesar lengan itu sungguh di luar dugaan. Balok yang deras menerpa tubuh
kurus kering itu malahan patah menjadi dua tatkala menimpa tubuhnya. Sungguh hebat sekali ilmu yang
diperlihatkan oleh si kurus kering ini. Bejo si raksasa pemegang balok membuang sisa balok ke pinggir,
mendekati pemuda kurus. "Hebat kau Pardi! Balok sebesar lengan dapat patah dan membuat tanganku terasa sakit." Bejo
memuji dengan lantang terdengar oleh rekan di kanan kirinya.
"Yang hebat bukan aku, kang Bejo. Ilmu Tunggak Waja ajaran guru inilah yang hebat!" Pardi
menjawab merendah.Ki Jaluwesi yang mendengar omongan ini tersenyum kecil. Murid kecilnya ini
sungguh menyenangkan hatinya. Dia pandai membawa diri dan bakatnya dalam ilmu kanuragan sungguh
luar biasa. Semua jurus yang ia berikan dilalapnya dengan mudah.
"Kuummpuuulllll ... !!!" Ki Jaluwesi menyuruh para muridnya untuk berkumpul. "Berjajar seperti
biasa!" Sambil berlarian para murid mengikuti perintah ini. Ketika semua telah rapi di pelataran, Ki
Jaluwesi memberi isyarat kepada adik seperguruannya. Ki Pentet Prawirayuda mengerti maksud kakaknya
ini, dia lalu memberi aba-aba.
"Satu ... ! Dua ... ! Tiga ... ! Empattt!!" Begitu aba-aba itu diulang beberapa kali. Para murid
melakukan jurus-jurus pencak siiat ajaran Perguruan Balung Wesi. Semua gerakan para murid ini
mendatangkan angin saking kerasnya. Ki Jaluwesi puas melihat hasil ini. Ketika dia hendak berlalu seorang
penjaga berlarian dari pintu luar.
"Lapor guru. Di luar menanti Tan suhu dengan Juragan Lim."
"Hemmm, suruh masuk saja keduanya! Kutunggu di ruang samping."
Penjaga itupun berlalu menyampaikan perintah gurunya kepada tamu di depan pintu benteng.
"Silakan masuk. Andika berdua ditunggu di bangunan samping." kata si penjaga.
"Telima kasih. Mali tolong antalkan kami beldua!" kata Juragan Lim dengan logat bicara nya yang
pelo. Salah seorang dari penjaga mengantar kedua tamu menuju keruangan samping di mana sang guru
telah menanti. Begitu kedua tamu telah diterima gurunya diapun mengundurkan diri, melanjutkan tugas
menjaga pintu benteng depan!
Tan suhu (pendeta Tan). Kebiasaan penduduk Cina memanggil para hwesio dengan sebutan suhu
(guru) dan Juragan Lim memberi salam kepada Ki Jaluwesi, dibalas oleh tuan rumah dan dipersilakan
duduk. Tak berapa lama kemudian datanglah seorang murid yang membawa namptin berisi air teh dan
makanan kecil. Menaruh di atas meja depan ketiga orang itu lalu mengundurkan diri kembali ke belakang!
"Angin apakah yang membawa Tan suhu datang di kediamanku yang buruk ini?" tanya Ki Jaluwesi.
"Angin baik, Ki Jaluwesi." Tan suhu menjawab. "Aku mengantar Lim Hok Coan juragan kapal di
Semarang ini." e-bukugratis.blogspot.com
7 "Lho ada apa" Apakah ada sesuatu yang membutuhkan bantuanku?"
"Aiyaaa, saya menjadi malu sendili. Begini, tuan Jaluwesi. Aku membutuhkan banyak olang untuk
menjaga balang yang kukilim ke Plambanan!" katanya langsung pada persoalan.
Ki Jaluwesi mengawasi Juragan Lim dengan penuh perhatian. Aneh juragan ini, di Semarang kan
banyak para pengawal barang antaran. Ki Jaluwesi lalu bertanya. "Mengapa tidak menyewa orang-orang di
sana?" Tan suhu menceritakan semua kejadian yang menimpa keluarga Juragan Lim dengan adanya peti
berukir berisi patung! Diceritakannya secara jelas dan rinci!
"Barang itu mau dikirimkan kepada guruku di Prambanan." kata Tan suhu. Dia mengawasi Ki
Jaluwesi yang keheranan mendengar ceritanya tentang Patung Batari Durga. "Kami membutuhkan
pengawalan orang-orang sakti."
"Iyaaa, tolonglah saya tuan Jaluwesi. Benda ini sangat bertuah, saya sungguh mohon kesediaan tuan
Jaluwesi untuk menjaganya sendiri." Desak Juragan Lim.
Ketika itu masuklah Ki Pentet Prawirayuda. Ki Jaluwesi menyuruhnya untuk duduk di samping
kirinya. Dia lalu memperkenalkan kedua tamunya kepada Pentet Prawirayuda. "Perkenal kan ini adikku
seperguruan atau boleh dibilang wakilku sendiri, Pentet Prawirayuda."
Tan suhu berdiri memberi salam. "Saya pendeta Tan, dari kelenteng di Semarang."
"Owe Julagan Lim Hok Coan!" Juragan Lim juga memperkenalkan dirinya. "Saya senang dapat
belkenalan dengan tuan Plawilayuda." Keempatnya lalu bicara ke sana ke mari. Tan suhu kembali
mengulang peristiwa di rumah Juragan Lim beberapa malam yang lalu, semua diceritakan tanpa tedeng
aling-aling. Untuk menyakinkan kedua tamunya kedua orang guru itu lalu mengajak tamunya ke tempat
latihan. "Mari silakan memilih sendiri murid-murid kami!"


Patung Pembawa Maut Karya Aryani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keempatnya berjalan ke pelataran di mana para murid masih giat berlatih sendiri-sendiri. Juragan
Lim terbelalak melihat latihan murid Perguruan Balung Wesi, sungguh tidak pernah disangkanya sama
sekali bahwa badan yang kurus kering itu ternyata mampu menahan babatan dan tetakan golok yang
tajamnya menggiriskan. Apalagi ketika melihat seorang yang tinggi besar memukul dengan sebuah balok
ke arah pemuda kerempeng!
"Bleekkkk! KraaakkkkH"
"Hebat, hebat sekali. Hatiku menjadi tenang, Tan suhu." Juragan Lim memuji lalu menyatakan
kesenangan hatinya kepada Tan suhu. Kedua orang itu lalu memohon diri untuk kembali ke Semarang.
Menyatakan hari pemberangkatannya. Ki Jaluwesi dan Ki Pentet Prawirayuda menyanggupi permintaan itu
untuk siap mengawal pada hari yang telah ditentukan. Kedua tamunya diantar sampai di depan pintu luar.
Setelah kereta berjalan pergi barulah dua ketua perguruan Balung Wesi kembali masuk ke dalam benteng.
"Kita harus meny iapkan diri. Memilih murid-murid yang telah pandai untuk menjadi pengawal. " Ki
Jaluwesi mengutarakan maksudnya.
"Kakang Jaluwesi, apakah tidak sebaiknya kalau saya sendiri saja yang mengawal?" usul Ki Pentet
Prawirayuda kepada kakak seperguruannya. "Kukira ini tidak perlu dibuat khawatir. Prambanan bukanlah
tempat yang jauh. Dalam sehari saja kukira dapat sampai di sana. Apalagi kalau aku mengendarai kuda."
e-bukugratis.blogspot.com
8 "Jangan gegabah, adi! Agaknya semua orang telah mengetahui benda bertuah itu!"
"Kalau begitu bagaimana baiknya, kakang." tanya Ki Pentet Prawirayuda.
"Lebih baik kaubawa sepuluh murid terpandai membantumu!"
"Baik, kakang."
Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah Ki Pentet Prawirayuda dengan disertai oleh sepuluh
orang murid perguruan Balung Wesi. Rombongan ini berangkat dengan gagahnya mereka semua menaiki
kuda yang dikirim dari Juragan Lim Hok Coan. Kuda-kuda tinggi besar, kuda Arab. Semua membawa
golok besar digantung di punggung!
Ketika rombongan ini tiba di tempat kediaman Juragan Lim, ternyata di sana telah menanti tiga
kereta tertutup tirai hitam. Juragan Lim begitu melihat kedatangan rombongan Balung Wesi ini maju
menyambut. "Aiyaaa, sudah sedali pagi menanti. Tuan Pentet Plawilayuda, bolehkah sekalang juga kita
belangkat?" "Maafkan kami, Juragan Lim. Ada sesuatu yang mesti kulakukan sehingga kedatanganku terlambat."
Ki Pentet mohon maaf. "Tidak apa, tidak apa. Bagaimana" Kita belangkat sekalang, ya?"
"Boleh. Mari, silakan." kata Ki Pentet Prawirayuda tegas.
Juragan Lim, puterinya Lim Gin Hwa dan Tan suhu menaiki kereta yang di tengah. Ki Pentet
Prawirayuda setelah melihat ketiga orang itu menaiki kereta lalu memberi isyarat. Rombongan itupun
bergerak maju. Ternyata jumlah pengawal ini ada tiga puluhan orang lebih. Ki Pentet Prawirayuda memacu
kudanya ke depan diiringi oleh kedua murid perguruan Balung Wcs" vang sudah mempunyai ilmu cukup
tinggi yaitu Parta dan adiknya si Pardi!
Dengan cepat rombongan ini keiuar dari kota Semarang menuju ke arah selatan. Karena banyaknya
pengawal yang mengawal kereta, maka perjalanan tidak dapat dilakukan dengan cepat. Apalagi Juragan
Lim meminta agar rombongan tidak tergesa-gesa. Dia ingin menikmati keindahan pemandangan alam
perjalanan ini! Ketika hari telah sore, rombongan ini berhenti di Desa Sambungmacan. Kepala desa datang
menyambut sendiri. Dia tidak tabu bahwa yang datang bukan rombongan bangsawan tinggi, tetapi
rombongan Juragan Lim Hok Coan.
"Mari, silakan masuk!" katanya. Ki Pentet Prawirayuda memasuki pendapa kalurahan. Lalu
memberi tahu maksudnya ingin menyewa beberapa rumah penduduk untuk tempat menginap anggota
rombongan. "Saya tidak ingin menyusahkan warga di sini, Pak Lurah. Tolong saja, saya ingin menyewa
tiga buah rumah untuk mereka semua."
"Tiga rumah" Apakah tidak terlalu banyak, kisanak." tanya Pak Lurah dengan wajah menunjukkan
keheranan. "Tidak, Pak Lurah. Kami tidak mau terganggu oleh orang luar." kata Ki Pentet Prawirayuda
menjelaskan. Bapak Lurah mengetahui maksud tamunya, lalu menyuruh ponggawa kelurahan untuk
meminta kesediaan penduduk warga desa meminjamkan tiga rumah untuk bermalam. "Ini uang
penggantinya, Pak Lurah." Sambil menyerahkan uang pengganti Ki Pentet lain memohon diri dari bapak
e-bukugratis.blogspot.com
9 lurah untuk mengatur anak buahnya. Dengan cepat dia menemui Juragan Lim dan menyilakan juragan itu
untuk memilih tempat bermalam.
Mereka lalu berpencar menuju tempat yang telah ditentukan itu. Melihat semua berjalan lancar Ki
Pentet Prawirayuda lalu menuju rumah besar, di mana Juragan Lim Hok Coan menginap bersama ketiga
kereta. Ketiga kereta ditaruh di halaman depan yang luas dan dijaga oleh sepuluh orang pengawal.
Sedangkan yang lainnya menuju ke arah dua rumah di kanan kiri tempat itu.
"Tuan Pentet. Kuhalap tidak teljadi apa-apa malam nanti!" Juragan Lim berkata dengan wajah yang
penuh kekhawatiran. "Tenang tak usah khawatir. Saya akan ikut menjaga kereta itu." kata Tan suhu menenangkan Juragan
Lim. "Betul, juragan. Tak usah khawatir. Pen-agaan telah kuatur supaya mereka berjaga bergiliran."
Sambung Ki Pentet Prawirayuda.
Mereka lalu mengobrol ke sana ke mari. Tanpa terasa malam telah mendatang. Ki Pentet
Prawirayuda lalu mernohon diri untuk mengaso. Juragan Lim dan Tan suhu pun saling berpisah, Juragan
Lim memasuki kamarnya dan Tan suhu juga menuju ke tempat yang disediakan untuk dirinya! Ki Pentet
Prawirayuda sebelum memasuki kamar memeriksa keadaan di luar, setelah merasa semua dalam keadaan
baik diapun lalu memasuki kamarnya!
Di tempat para pengawal berjaga, tampak lima orang sedang mengelilingi api unggun. Mengusir
dingin sambil membakar singkong. Salah seorang mengorek-orek api agar tetap menyala sedangkan dua
orang penjaga yang lain sudah menikmati ubi kayu yang masih panas sambil bicara simpang siur
menceritakan pengalaman mereka sendiri-sendiri.
Lima orang penjaga yang lain berjalan meronda mengelilingi tiga buah kereta kuda.
Ketika menjelang tengah malam penjagaan diganti oleh yang Jain. Sepuluh orang penjaga
menggantikan penjaga pertama! Terdengar suara derap kaki kuda memecah kesunyian malam dan tak lama
kemudian dua ekor kuda membalap cepat di jalan utama dusun. Kedua penunggangnya hanya menengok
sekilas ke arah kereta yang ditaruh di halaman depan rumah. Dalam sekejab saja telah tidak tampak lagi
hilang di kelokan jalan. Sepuluh orang penjaga itu tidak menaruh hati curiga sedikitpun juga, mereka
mengira sudah biasa ada orang kemalaman dari perjalanan jauh sehingga membalapkan kuda tunggangan
mereka. Malam pun semakin larut. Para penjaga terkantuk-kantuk di dekat kereta, sedangkan yang lainnya
sebanyak lima orang asyik bermain gaple! Di dekat pintu masuk ke halaman dua orang penjaga berdiri
sambil menikmati rokok. "Kloootaaakkkk! Reeeettttt!!"
"Siapa!" bentaknya. Salah seorang penjaga menghampiri belakang kereta dengan golok siap di
tangan kanan. "Dukkkk! Adduuuhhhh!"
Penjaga itu terlempar ke belakang dengan dada terbuka lebar mengalirkan darah. Sesosok bayangan
hitam melompat ke atas genteng!
"Tangkap penjahat! Siaaappppp ... ! Ada penjahat ... !"
e-bukugratis.blogspot.com
10 Para penjaga pun berlarian ke arah kereta masih sempat melihat sesosok bayangan hitam melompat
ke atas genteng. Sesosok tubuh gendut menggelinding keluar mendengar teriakan ini.
"Ada apa" Apa yang dibawa pen jahat?" teriak Juragan Lim penuh kekhawatiran. Dia tidak bisa
tidur teringat akan harta bendanya yang berada di kereta. Takut kehilangan peti berukir berisi Patung Batari
Durga yang ditaruh di bawah tempat duduk di dalam kereta. "Ha-ha-ha ... tunggu saja. Nanti akan kuambil
lagi!" Begitu habis berkata bayangan hitam itu telah meloncat ke belakang rumah. Ketika dikejar oleh para
penjaga ternyata telah tidak nampak lagi bayangannya. Entah lari ke mana bayangan hitam yang meloncat
turun dari atas genteng tadi" Kegelaman malam telah menyulitkan para penjaga untuk mencari dengan teliti
karena tidak tahu ke arah mana bayangan itu melarikan diri. Ki Pentet Prawirayuda juga keluar dari
kamarnya, dia sebetulnya baru ingin merebahkan diri untuk mengaso setelah melihat bahwa hampir tengah
malam tiada kejadian apa-apa yang patut dicurigai. Ketika baru memasuki kamarnya, tiba-tiba terdengar
teriakan penjaga sehingga dengan cepat dia keluar lagi dan mendekati seorang penjaga yang menggeletak
mandi darah di dekat kereta. Ternyata penjaga itu telah menemui ajalnya terkena babatan senjata tajam di
dadanya! "Kuharap kalian lebih berhati-hati! Sekarang terbukti ada orang-orang yang menginginkan isi kereta
barang kita!" katanya sambil mengawasi para penjaga satu persatu.
"Kami akan lebih waspada menjaga kereta ini, tuan Pentet." kata salah seorang penjaga yang
menjadi kepala mereka. "Iya betul. Keleta ini belisi balang langka! Kuhalap kalian tidak semblono dalam
menjaganya!" kata Juragan Lim dengan pelo.
Juragan ini meminta pengawal untuk menjaga lebih waspada. Kedua orang itu lalu kembali ke dalam
rumah. Penjagaan lalu ditambah oleh lima orang pengawal lagi menggantikan teman mereka yang telah
tewas. Karena ada salah seorang rekan mereka tewas maka sekarang mereka berjaga dengan penuh
kewaspadaan, tidak berani lengah!
Sampai hari menjelang pagi ternyata tidak ada lagi peristiwa yang mengganggu mereka. Kereta lalu
disiapkan di depan, kuda-kuda dipasang kembali untuk menarik kereta. Para pengawal setelah mengubur
teman mereka bersiap kembali menjaga keamanan dan keselamatan kereta Juragan Lim Hok Coan dan
keluarganya. "Kita sekarang tahu bahwa rombongan ini tentu akan dihalangi oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab," Ki Pentet Prawirayuda berhenti sejenak. Mengawasi para pengawal satu persatu, lalu
kembali berkata. "Untuk menjaga supaya jangan ada korban lagi, kuharap kalian selalu waspada di dalam perjalanan
nanti!" Para pengawal mengangguk mengerti mereka sadar bahwa sekarang ini bukan hanya sekedar
mengawal kereta. Akan tetapi jiwa mereka juga terancam!
"Maajuuuu ... !" Ki Pentet Prawirayuda berteriak memberi perintah. Rombongan inipun rnulai
bergerak meninggalkan desa dan debupun mengepul tebal ketika kuda-kuda mereka ber-lari congklang di
e-bukugratis.blogspot.com
11 jalan desa. Para penduduk dusun mengantar mereka dengan pandang mata penuh tanda tanya. Dua ekor
kuda melintas di belakang rombongan itu menuju ke simpangan jalan di belakang pasar, dalam sekejab
mata telah hilang dari pandangan karena tertutup debu tebal akibat lari kudanya!
Ki Pentet Prawirayuda hanya menengok sebentar ke arah kedua penunggang kuda itu, lalu
membedal kudanya ke depan berendeng dengan Parta dan Pardi. Berkata perlahan-lahan untuk jangan
sampai terdengar oleh orang lain yang berada di pinggir jalan. Kembali lagi ke belakang kereta terus
menuju belakang rombongan! Dengan cepat desa itu telah ditinggalkan oleh rombongan Juragan Lim.
Semua pengawal berwajah tegang karena peristiwa ma lam tadi, akan tetapi semangat mereka tidak
menurun walanpun teman me"reka telah tewas seorang!
e-bukugratis.blogspot.com
12 TIGA SURYO memandang kepergian gurunya, Pengemis Alis Putih. Bayangan putih berkelebat cepat
sekali menuju ke timur. Dalam beberapa detik saja bayangan itu telah hilang dari pandangan. Suryo
menghela napas panjang, lalu duduk di bawah pohon, termenung!
Rombongan orang berkuda itu melewatinya. Debu yang beterbangan membuat Suryo berdiri dan
menyingkir dari tepi jalan, menghindar.
"Uwahh, melarikan kuda kok tidak pakai aturan! Lihat dulu, dong." gerutunya keras."Siapakah
pemuda itu, Di." tanya Parta.
"Entahlah, kang Parta! jangan-jangan dia mata-mata?" sahut Pardi.
"Suruh semua teman untuk waspada!"
"Baik, kang." Setelah menjawab, Pardi melarikan kudanya ke belakang menemui gurunya.
"Ada apa, Pardi." tanya Ki Pentet Prawirayuda.
"Saya curiga pada seorang pemuda pakaian putih." sahut Pardi. "Dia tadi menyelinap ke balik pohon.
Ketika kami melewatinya."
"Hemmm!" Ki Pentet Prawirayuda lalu membedal kudanya. "Semua waspada!"
Akan tetapi ketika Ki Pentet Prawirayuda tiba di dekat pohon pemuda berpakaian putih telah lenyap.
Kecurigaannya menjadi bertambah, diapun lalu memerintahkan Parta maupun Pardi untuk lebih waspada.
Kedua orang itu lalu melarikan kudanya ke depan memata-matai keadaan di depan rombongan. Pardi
memberi isyarat dan rombongan itu melanjutkan perjalanan kembali! Setelah rombongan itu tidak tampak
lagi Suryo meloncat turun dari atas pohon. Dia tadi bersembunyi sekitar dua tombak dari jalan, mendekam
di cabang yang tinggi. Suryo lalu berjalan ke arah yang berlawanan dengan rombongan itu. Belum begitu
jauh ia berjalan, dua ekor kuda dibalapkan oleh penunggangnya hampir menyerempet dirinya.
"Buusyeetttt!" Suryo menggerutu.
"Agaknya rombongan itu baru melewati jalan ini, Drun!" kata salah seorang penunggang kuda.
"Benar, Man. Jejak roda itu masih terlihat jelas!" sahut Timan singkat. Tak lama kemudian ia
berkata lagi. "Kita harus cepat memberi tahu kakang Simo Gendeng!"
Suryo yang lapat-lapat mendengar pembicaraan dua orang penunggang kuda itu menjadi curiga.
Agaknya rombongan itu terancam oleh dua orang penunggang kuda berpakaian hitam. Siapakah orang
bernama Simo Gendeng" Ahh, lebih baik aku kembali saja! Mungkin rombong an itu membutuhkan
bantuanku" Katanya dalam hati. Langkahnya lalu berubah arah seratus delapan puluh derajat. Suryo
kembali mengikuti rombongan yang telah jauh meninggalkannya.
Mendengar suara kuda yang dipacu kencang orang di belakang rombongan berteriak memberi tahu.
Rombongan dan kereta bergerak ke tepi memberi kesempatan dua orang berkuda itu lewat. Kedua kuda
itupun tanpa mengendorkan lari nya melewati rombongan dan salah seorang dari penunggang kuda
menoleh ke samping, mengawasi tiga kereta. Dengan cepat keduanya berialu pergi meninggalkan
e-bukugratis.blogspot.com
13 rombongan itu jauh di belakang. Dalam sekejab mata keduanya telah tidak nampak lagi, hilang di kelokan
jalan. "Gilaaa!! Kedua orang itu agaknya telah mendem gadung!" kata Bejo murid perguruan Balung Wesi
yang tinggi besar seperti Aria Werkudara.
"Husshhh! Hati-hati kalau omong, Bejo!" tegur Ki Pentet Prawirayuda dari belakangnya. "Maaf,
guru." "Sudahlah! Cepat kau pergi ke depan!" perintah Ki Pentet Prawirayuda. Begitu Bejo mau berlalu, Ki
Pentet Prawirayuda berkata lagi. "Suruh Pardi meneliti hutan di depan, Jo!"
"Baik, guru." Bejo lalu membedal kudanya ke arah Parta dan Pardi. Diapun lalu menyam paikan
perintah gurunya kepada Pardi. Pardi lalu membedal kudanya ke depan mendahului rombongan untuk
meneliti keadaan di depan yang akan dilewati rombongan.
Kembali dari belakang terdengar suara kaki kuda yang dilarikan kencang. Ternyata sekarang ada
empat ekor kuda yang berlari cepat, kembali rombongan itu memperlambat jalannya kereta, dipinggirkan.
Keempat kuda itupun melewati rombongan tanpa memperlambat lari kudanya. Debu mengepul tinggi
akibat lari kuda, akan tetapi, keempat penunggang kuda tak peduli. Dengan membungkuk rapat di perut
kuda mereka melarikan kuda-kudanya bagaikan sedang berlomba saja.Para pengawal menyumpahnyumpah meihat ulan orang-orang itu. "Gila! Agaknya siang hari ini, banyak orang gila naik kuda!"
"Kau sendiri yang gila! Apa kau tidak naik kuda, Dul" Memaki orang seenak perut sendiri!" sahut
teman dari belakang Dullah. Salah seorang centeng Juragan Lim.
Rombongan itu lalu melanjutkan perjalanan kembali. Begitu mereka membelok di tepi hutan, tibatiba mereka melihat seorang laki-laki sedang bertempur dikeroyok empat.
"Itu Pardi! Cepat bantu!" Bejo berteriak lantang.
Parta yang juga mengenal adiknya segera membedal kudanya. Begitu dekat dia meloncat dari atas
kuda. Tubuhnya melayang bagaikan seekor burung alap-alap menerkam mangsa.
"Plakkk! Duukkkk!!" Terjangan Parta mendapat sambutan hantaman ruyung. Parta menangkis
dengan tangan kanannya, tapi kakinya dapat menggedor dada lawan. Tanpa ampun lawan yang memegang
ruyung terpelanting ke belakang! Melihat kedatangan teman-teman lawannya, keempat orang berbaju hitam
segera meninggalkan Pardi, meloncat ke atas kuda dan melari-kan diri memasuki hutan. Lenyap dalam
rimbunnya semak perdu hutan.
Rombongan itu melanjutkan perjalanan mereka sampai matahari terbenam, rombongan baru saja
keluar dari dalam hutan. Ketika mereka melewati tanah lapang, Ki Pentet Prawirayuda berteriak keras.
"Berhenti di sini! Kita akan melewatkan malam di tempat ini!"
Kereta lalu disejajarkan. Juragan Lim, puterinya Lim Gin Hwa dan hwesio Tan (Tan suhu) menemui
Ki Pentet Prawirayuda. "Mengapa kita halus belhenti di sini" Matahali masih belsinal, sebaiknya kita melanjutkan
peljalanan! Kenapa belhenti?" tanya Juragan Lim yang merasa keheranan melihat rombongan berhenti di
tepi hutan. "Kalau kita melanjutkan perjalanan. Kita akan kemalaman di tengah hutan!" kata Ki Pentet
e-bukugratis.blogspot.com
14 Prawirayuda menerangkan. Diapun memandang Juragan Lim dengan tajam. Lalu katanya kemudian. "Apa
juragan lebih senang bermalam di hutan?"
"Aiyaaaa, tentu saja tidak! Lebih baik di tempat telbuka sepelti ini." Juragan Lim kaget mendengar
akan menginap di tengah hutan. Maka cepat ia menyatakan pendapatnya.
Ki Pentet Prawirayuda dihampiri Tan suhu, diajak menuju ke sebuah pohon yang agak jauh dari
tempat itu. Tan suhu lalu mengatakan apa yang jadi pikirannya. "Tuan Pentet, ku-harap kau tidak berkecil
hati. Menurut pendapat saya, pendapat tuan benar. Akan tetapi harap semua disiagakan penuh!"
"Tentu Tan suhu. Setelah peristiwa siang tadi aku menjadi was-was selalu! Kukira rombongan ini
telah diincar orang sejak keluar dari Semarang!"
"Saya juga menduga demikian, tuan Pentet." sahut Tan suhu pelan sambil memandang ke arah
rombongannya. Ki Pentet Prawirayuda lalu meminta diri untuk mengatur para pengawal maupun muridmuridnya. Para penjaga kereta bawaan Juragan Lim lalu mencari kayu bakar. Mereka membuat api unggun
di tengah. Dekat dengan kereta.
Kegelapan menyelimuti bumi. Di tengah lapangan itu banyak bayangan hilir mudik menjaga kereta
dan teman-teman mereka yang mengusir hawa dingin di dekat unggun. Juragan Lim dan puterinya tidak
kelihatan di antara mereka. Mereka berdua lebih merasa hangat berdiam di dalam kereta. Tan suhu
kelihatan membuka kereta kedua di samping kanan, masuk untuk mengaso. Di kejauhan beberapa sosok
tubuh berpakaian hitam. Merayap mendekati tempat itu, tidak kurang dari lima belas orang jumlahnya. Di
tangan kanan mereka nampak beberapa tombak yang diseret. Tanpa menimbulkan suara sama sekali
bagaikan geleser ular berjalan dilindungi oleh kegelapan malam, tahu-tahu mereka telah berada di dekat
rombongan para penjaga. "Kulikk! Kulikk! Kulikk!"
"Wirrr! Wirrr! Wirrr!" hampir bersamaan tombak itu telah melayang menuju sasaran!
"Tranggg! Aduhhh!"
"Trangg! Trangg-trrangg-traaanggg!!"
Suasana malam dipecahkan oleh teriakan kesakitan dan senjata yang beradu. Orang-orang yang
berada di dekat api unggun segera memadamkan api. Malahan ada yang berteriak untuk memberi tahu.
"Kita diserang! Siaaapppp ... ! Padamkan api!"
Suara saling sahut menambah kacaunya para pengawal. Dari tempat gelap kembali melayang
belasan tombak. Orang-orang yang tidak memiliki kepandaian tinggi yaitu para pengawal kereta jatuh
termakan tombak-tombak! "Parta, Pardi dan kau Bejo. Maju! Terjang musuh!!" teriaknya.
Ki Pentet Prawirayuda mendahului menerjang ke depan. Parta, Pardi dan Bejo mengikuti gurunya


Patung Pembawa Maut Karya Aryani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerjang lawan yang bersembunyi di gelapnya malam.
"Tang-ting-tang-ting buukk-dukk-blekkk!!"
Beradunya senjata disusul muncratnya bunga api menerangi kegelapan malam dalam sekejap.
Tubuh-tubuh berpentalan karena terkena pukulan atau tendangan sambil me-ngeluarkan teriakan
e-bukugratis.blogspot.com
15 mengerikan! Keempat orang itu mengamuk tanpa mengenal kasihan lagi. Tubuh lawan berjatuhan terkena
senjata mereka. Melihat ini, pemimpin penyerang berteriak keras. "Munduurrrr ... ! Lawan terlalu keras,
munduuuurrrrr!" Dengan cepat orang-orang berpakaian hitam itu melarikan diri sambil berusaha membawa kawankawan mereka yang terluka atau terbu-nuh! Dalam waktu yang singkat saja mereka telah hilang di dalam
gelapnya malam, apalagi pakaian mereka yang serba hitam sangat mem bantu mereka dari pandangan
lawan. Ketika Juragan Lim, Tan suhu dan Ki Pentet memeriksa sambil membawa obor, ternyata tidak
kurang dari belasan orang telah menjadi korban tombak lawan! Yang tertinggal hidup hanyalah sepuluh
orang murid perguruan Balung Wesi. Ternyata kekebalan tubuh mereka telah banyak membantu dan
menolong mereka dari hujan senjata lawan.
"Kita kubur mereka sekarang juga! Besok pagi-pagi buta kita melanjutkan perjalanan!" Ki Pentet
Prawirayuda memberi perintah.
"Baik, guru. Murid menjalankan perintah!" Salah seorang murid Balung Wesi menyahut.
Mereka lalu membagi kerja untuk membuat lubang sederhana guna mengubur teman-teman
seperjalanan mereka yang tewas karena menjadi korban serbuan kedua ini.
"Apa olang-olang itu tidak kembali lagi" Bagaimana kalau meleka kembali?" Juragan Lim Hok
Coan bertanya dengan suara gemetar dan tubuh gendutnya menggigil.
"Tidak perlu takut! Kukira malam nanti tidak akan ada serangan lagi." sahut Tan suhu.
"Betul juragan! Silakan juragan mengaso dengan tenang." pinta Ki Pentet Prawirayuda. Dia pun lalu
berjalan menuju ke tempat bekas pertempuran di kegelapan untuk mencari sesuatu yang dapat dijadikan
penyelidikannya. Mengapa Suryo tidak datang membantu" Pergi ke mana anak muda itu" Pertanyaan ini
tentu saja agak sukar dijawab. Lebih baik kita mengikuti pengalamannya, mengapa Suryo Lelono tidak
dapat membantu rombongan kereta yang diserang oleh orang-orang berpakaian hitam. Apabila ada pemuda
itu pastilah tidak akan terjadi korban manusia sampai belasan orang!
Melihat rombongan berhenti di lapangan rumput, Suryo mencari tempat yang baik untuk mengawasi.
Ketika kegelapan telah menyelimuti bumi Suryo turun untuk menuju ke sebuah sungai kecil. Tiba-tiba
pemuda ini men dengar suara orang bercakap-cakap.
"T-lati-hati, jangan sampai benda itu lolos!"
"Tapi ... tapi, benda itu berada di dalam kereta! Entah kereta yang mana?" katanya lirih. Menjawab
perintah orang berbaju hitam yang bertubuh kurus.
"Kalau perlu bakar kereta itu! Peti berukir harus menjadi milikku!"
"Baik! Saya akan berusaha untuk mendapatkannya."
Suryo mengintai ke tepi sungai. Dua orang berpakaian hitam sedang berdiri berhadapan. Salah
seorang bertubuh besar dengan kepala gundul plontos. Sedangkan yang bertubuh kecil malahan agak kurus.
Seperti bentuk perempuan yang bertubuh sedang dan langsing.
e-bukugratis.blogspot.com
16 "Siapakah sebetulnya dua orang berpakaian hitam itu" Mengapa mereka bertemu di sini" Benda
apakah yang sangat berharga?" Suryo ingin sekali mengetahui jawaban ini. Dia meng ambil keputusan
untuk mengikuti orang yang mempunyai kepala gundul plontos. "Si gundul akan mengambil benda itu,
lebih baik kuikuti!" katanya dalam hati.
Orang gundul yang berpakaian hitam menyelinap dalam kegelapan malam bagaikan bayangan iblis
saja geraknya di antara pepohon an dalam hutan. Suryo akan kesukaran mengikutinya. Dia hanya melihat
kepala gundul yang kadang kala terlihat di kegelapan terkena cahaya bintang-bintang di angkasa! Sampai
jauh sekali dia menguntit. Entah berapa lama tak merasa lagi. Tiba-tiba orang gundul itu lenyap ketika
meloncat ke dalam desa. Suryo mengikuti dengan berjalan biasa, memandang ke kanan kiri, akan tetapi
tidak nampak bayangan orang gundul berpakaian serba hitam tadi. Entah pergi ke mana dia"
"Lebih baik aku masuk ke warung saja. Memberi makan cacing-cacing yang kurang ajar ini."
Bisiknya pelan. Dengan santai Suryo masuk warung makan, duduk, dan memesan makanan dan teh panas.
"Tolong pak, saya minta nasi pecelnya. Oya, teh manisnya sekalian."
Dengan cepat penjual nasi menyediakan pesanannya. Ketika Suryo sedang menikmati makannya,
datang dua orang berpakaian hitam yang bagus. Wajahnya tampan tanpa kumis, sepasang matanya liar
bergerak ke sana ke mari. Sedangkan salah seorang agaknya orang Cina. "Pak minta nasi dua, sediakan
tuak kalau ada." Orang Cina berpakaian hitam dengan kopyah seperti mangkok berwarna hitam memesan
makanan. Keduanya menikmati makan minum yang disediakan tanpa banyak bicara. Begit selesai, mereka lalu
membayar dan berlalu pergi. Suryo keheranan melihat tingkah laku kedua orang itu. Yang satu terang
orang Cina, tetapi lelaki satunya yang bertubuh tinggi kurus dan mengenakan pakaian bagus dari sutera
hitam terang orang pribumi. Siapakah gerangan dia" Mengapa makan tanpa bicara" Pergi dengan cepat
tanpa menoleh ke kanan kiri" Suryo pun mengambil keputusan untuk mencari tempat menginap di
kampung ini. Dia tidak akan mengikuti rombongan itu. Melainkan akan menanti rombongan lewat di
kampung ini. Mengawasi dari rumah penginapan! Karena keputusan ini, maka Suryo tidak mengetahui
kalau rombongan itu mendapat musibah. Semua ini agaknya telah menjadi suratan yang tidak dapat diubah
lagi. Sudah takdir! e-bukugratis.blogspot.com
17 EMPAT ROMBONGAN ini berjalan dengan lesu. Tiga kereta itu masing-masing hanya ditarik seekor kuda
saja. Sedangkan sisa para pengawalnya semua berjalan kaki. Ke mana perginya kuda mereka" Ternyata
ketika terjadi serangan di malam hari. Kuda-kuda mereka telah dicuri oleh para anak buah orang yang
berpakaian hitam yang lain.
Ketika Ki Pentet Prawirayuda dan ketiga murid kepala perguruan Balung Wesi mencari ke dalam
hutan, mereka hanya dapat mene-mukan tiga ekor kuda saja. Agaknya kuda-kuda ini terpisah dari
rombongan. Dengan cepat mereka menangkapnya dan dibawa ke tempat berkumpulnya rombongannya.
"Aiyaaaa, sungguh celaka! Mengapa kuda pun hilang. Sialaaan benal!" Juragan Lim meng gerutu.
"Bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan kembali" Sialan, betul, betul, sialan!"
"Ayah, tenang. Serahkan saja semua kepada Tuan Pentet!" kata Lim Gin Hwa menyabarkan ayahnya.
Dara ini merasa malu oleh ulah ayahnya.
"Kita masih mempunyai kereta. Jangan menggerutu saja. Itu tidak baik." Tan suhu pun menimpali.
Mengingatkan Juragan Lim untuk tidak selalu menggerutu.
Ketika itulah Ki Pentet Prawirayuda datang dengan membawa tiga ekor kuda. Parta dan Pardi
menaiki seekor kuda dengan berboncengan, sedangkan Bejo juga menaiki kuda sendiri!
"Seekor kuda untuk sebuah kereta!" kata Ki Pentet Prawirayuda, memberi tahu kepada Parta dan
Bejo. Keduanya lalu memasang kuda di kereta. Pardi meminta kuda dari Ki Pentet Prawirayuda untuk
dipasang di kereta yang lain.
Ki Pentet Prawirayuda lalu mengatur anak muridnya untuk menjaga di samping kereta. Dia sendiri
berjalan di depan rombongan. Parta, Pardi dan Bejo berjalan di belakang kereta sebagai pengawal belakang.
Ketiga orang ini telah mempunyai kepandaian yang dapat diandalkan. Bara murid yang lain saling
bergantian naik ke tempat kusir untuk menjaga ketahanan tubuh mereka. Menjaga kalau nanti ada serangan
mendadak! Perjalanan tidak dapat dilakukan dengan cepat. Sehingga ketika matahari hampir silam di balik bukit,
rombongan ini baru memasuki dusun dengan tubuh pengawal yang nampak kuyu dan kelelahan! "Kita
mengaso di dusun ini! Dalam satu dua hari lagi kita akan berangkat lagi." Ki Pentet Prawirayuda memberi
perintah. Dia berjalan memasuki sebuah penginapan satu-satunya di dusun itu, menemui pemiliknya
meminta kamar. Juragan Lim turun dari kereta sambil membawa sebuah bungkusan besar.
"Boleh, boleh, kita mengaso di sini dua hali! Aku juga ingin mengembalikan dulu kesehatanku."
kata Juragan Lim. Begitu melihat puterinya mengikuti diapun berkata. "Hwa, suluh olang-olang
menyediakan ail panas! Aku ingin belendam di ail panas!"
"Baik, ayah." Gin Hwa dengan cepat ber-lalu menemui pemilik penginapan untuk menyediakan
permintaan ayahnya. Sedangkan Tan suhu tetap berada di dalam kereta. Dia duduk bersamadhi di dalam
kereta. Tidak ingin menginap di dalam rumah penginapan.
e-bukugratis.blogspot.com
18 Ketika Suryo keluar kamar. Terjadi tabrakan yang tidak sengaja dengan Gin Hwa. Ini terjadi karena
Gin Hwa berjalan sambil menoleh ke belakang, sehingga tanpa disengaja menabrak Suryo yang baru keluar
dari pintu kamar. "Aihh, maaf saudara." jerit Gin Hwa. "Tidak apa-apa, nona."
Kedua pasang mata beradu pandang. Sejenak keduanya saling terpesona oleh keindahan masingmasing. Mereka berdua hanya berdiri seperti patung.
Gin Hwa menundukkan mukanya yang kemerahan lalu berkata lagi.
"Maaf, maaf ... , maafkan saya."
Cepat-cepat ia berlalu menuju ke kamarnya. Ketika akan memasuki pintu menoleh dan tersenyum ke
arah si pemuda lalu lenyap di balik pintu.
Suryo masih memandang dengan bengong. "Uwahh, cantiknya!" katanya dalam hati. Diapun lalu
masuk kembali ke dalam kamar. Tidak jadi keluar, ternyata rombongan kereta itu telah tiba. Dia akan
mengamati saja dari jauh, pikirnya.
Malam kembali datang. Suasana kampung menjadi sepi dengan kedatangannya rombongan ini.
Entah apa sebabnya" Semua rumah penduduk desa, dari matahari terbenam telah menutup pintu dan
jendela dikunci dari dalam. Akan tetapi kesunyian ini dipecahkan oleh teriakan banyak orang yang datang
secara tiba-tiba. "Bakarrr! Serbuuuuu!"
"Wirrr! Wirrr! Wirrrrr!"
"Kereta terbakar! Tolong ... cepat padam kan api!"
"Kebakaran ... ! Kebakaran ... !" Orang-orang berpakaian hitam menyerang ketiga kereta dengan
tombak berapi! Dengan cepat ketiga kereta terbakar. Membuat para pengawal menjadi kacau dan panik.
Sambil berlarian ke sana ke mari, berusaha untuk memadamkannya.
"Ciiaaattt " Teriak seorang kepala gundul berpakaian hitam. Dengan senjatanya yang menggiriskan
yaitu kampak besar menyerang para murid Balung Wesi.
Bett! Bett! Bettt! Senjatanya mengampak tiga murid. Ternyata kampaknya berhasil menembus kekebalan tubuh murid
Balung Wesi. Ketiga murid terpelanting dengan kepala pecah!
"Tranggg-criiinggg!" Kampaknya tertahan sebatang golok di tangan Ki Pentet Prawirayuda. Melihat
ini dia melayangkan kakinya menendang. Ki Pentet meloncat ke belakang menghindari tendangan ke arah
perutnya. Tendangan yang kuat sekali didahului angin deras menyambar.
"Ha-ha-ha ... hayo anak-anak serbuuuu!" teriak si Gundul ini menggeledek.
Perang campuh terjadi di depan penginapan ii bawah bintang-bintang di angkasa yang
menyaksikannya. Tubuhnya bergelimpangan termakan golok atau senjata lain. Oleh karena penyerang
berbaju hitam lebih banyak maka para murid Balung Wesi menjadi terdesak hebat.
"Ha-ha-ha ... hayo mana lagi jagomu! Ini Simo Gendeng raja hutan Krendowahana. Ha-ha-ha ... !"
e-bukugratis.blogspot.com
19 Ki Pentet Prawirayuda kaget mendengar ini. Dia pernah mendengar perampok Simo Gendeng dari
Krendowahana yang namanya telah terkenal di kalangan persilatan. Dia lalu mengerahkan seluruh
kepandaiannya maju menyerang dengan goloknya. Ditangkis kampak di tangan Simo Gendeng. Dibalas
dan dielakkannya lalu dia membalas membabat, dielakkan lawan. Pertempuran sekarang menjadi sengit
sekali. Saling serang dan tangkis. Beradunya kedua senjata menimbulkan bunga api yang menyilaukan
mata, tanpa terasa seratus jurus telah terlewati, akan tetapi keduanya masih belum nampak ada yang kalah
atau yang menang. Mereka berimbang ilmu kepandaiannya.Di belakang rumah penginapan ltupun terjadi
pertempuran yang tak kalah hebatnya. Ketika Suryo keluar kamar untuk menolong kereta yang terbakar,
begitu keluar kamar dia mendengar jeritan seorang wanita.
"Tolooonggggg ... !!" Suryo menoleh dan melihat wanita yang menabraknya tadi dalam pondongan
orang berpakaian hitam. Tanpa membuang waktu tangan Suryo bergerak ke depan.
"Dukkkk!!" Penculik tertotok kaku. Dengan cepat Suryo menolong si dara cantik jelita.
"Terima kasih. Tolong bebaskan ayahku." Lim Gin Hwa berkata.
Bagaikan kilat tubuh Suryo menerjang ke dalam kamar. Akan tetapi dia tidak melihat siapapun di
kamar itu, ia lalu keluar lagi menemui si dara jelita. "Di kamar tidak ada siapapun."
"Kebakarannnn! Kebakarannn ... !!"
Keduanya menjadi pucat. Suryo dengan cepat menuju ke depan diiringi Gin Hwa. Ternyata ketiga
kereta telah terbakar habis. Suryo berkelebat cepat ke arah pertempuran, tongkatnya bergerak ke kanan kiri
dan ke mana tongkat itu bergerak, tubuh orang ber-baju hitam tertotok lumpuh.
Melihat ini dengan cepat Simo Gendeng berteriak. "Muunnduuurrrrr ... !!"
Dalam sekejab orang-orang berpakaian hitam telah meninggalkan medan pertempuran. Temanteman mereka melindungi mundur mereka dengan melepas anak panah berapi! Ketika Ki Pentet
Prawirayuda meneliti anak buahnya yang tinggal hanyalah Parta, Pardi dan Bejo. Yang lainnya ternyata
telah menjadi korban tombak bambu atau terbelah kampak Simo Gendeng!
"Ayahku ... tolonglah ayah ... !" Lim Gin Hwa dengan tersedu meminta tolong. Ki Pentet
Prawirayuda mengawasi Suryo dengan pan-dang mata curiga, tetapi dia lalu bertanya. "Kenapa Juragan
Lim" Di mana dia?"
"Dia diculik penjahat berpakaian hitam!"
"Keparat! Ternyata Simo Gendeng telah . menipu kita! Dia menyerang kereta hanya untuk
mengalihkan perhatian. Setaaannn!!" Ki Pentet Prawirayuda marah-marah. "Di mana Tan suhu" Kenapa
sejak tadi tidak kelihatan?"
Semua orang baru teringat. Kenapa Tan suhu tidak muncul sedari tadi" Sedangkan dia adalah
seorang ahli silat yang handal! Mereka lalu mencari Tan suhu, tetapi hasilnya nihil.
Ketika Ki Pentet Prawirayuda teringat sesuatu dia lalu bertanya kepada Lim Gin Hwa.
"Bagaimana dengan peti berukir itu" Apakah masih selamat?"
e-bukugratis.blogspot.com
20 Lim Gin Hwa pun kaget ketika diingatkan hal ini. Dia lalu berlari kecil ke kamarnya, tetapi betapa
kagetnya Gin Hwa ketika melihat kamarnya telah diacak-acak tidak karuan! Peti berukir itupun telah
lenyap dari tempat simpanannya!
"Peti itu telah lenyap! Ahh, ini semua gara-gara Patung Batari Durga!"
"Apa" Patung Batari Durga?" Ki Pentet Prawirayuda bertanya dengan kaget.
Ternyata benda berharga itu adalah Patung Batari Durga yang telah menghebohkan. Patung
peninggalan Nyi Calon Arang!
Seperti teringat sesuatu dia menoleh ke belakang. Hatinya mencelos ketika apa yang diduganya
terbukti. Pemuda tampan berpakaian putih itu telah lenyap tanpa dia ketahui sama sekali. Ketika dia
bertanya kepada tiga orang muridnya, mereka juga tidak tahu.
"Dia tadi masih berdiri di samping si Pardi. Ketika paman menengok kamar, pemuda itupun ikut."
jawab Parta singkat. "Betul, paman. Pemuda itu tadi berada di sampingku." Pardi pun menjelaskan. "Bagaimana dia
dapat hilang begitu saja" Siapakah dia, paman?"
Ki Pentet hanya menggeleng kepala. Lalu dia bertanya kepada Lim Gin Hwa. Akan tetapi jawaban
yang diperolehnya tidak memuaskan hatinya.
"Saya tidak mengenalnya! Dia menginap di kamar sebelah dan tadi ketika aku mau diculik, aku
ditolongnya. Ketika mendengar teriakan kebakaran kami berdua pergi ke depan dan berusaha menolong!"
"Siapakah nama pemuda tadi?"
"Saya tidak tahu."
Ki Pentet Prawirayuda hanya menggeleng kepala. Sialan, pikirnya! Sungguh baru sekali ini dia
mendapat teka teki yang sukar dijawab. Diapun lalu berunding untuk mencari jalan keiuar dari kesulitan ini
dan mencari hilangnya Juragan Lim Hok Coan yang diculik penjahat pimpinan Simo Gendeng!
******* e-bukugratis.blogspot.com
21 L IM A BUKIT GAJAH! Karena bentuknya seperti gajah maka orang-orang menyebutnya Bukit Gajah. Jangan coba-coba
untuk menaikinya, karena sudah banyak sekali orang-orang yang berusaha pergi berburu ke bukit itu hilang
tanpa meninggalkan bekas! Maka bukit itu juga disebut Bukit Setan oleh penduduk di sekitar kaki bukit!
Setelah matahari hampir tenggelam, banyak bayangan berkelebat menuju ke atas puncak Bukit
Gajah atau Bukit Setan. Apabila ada orang dusun yang melihatnya pastilah dia percaya bahwa Bukit Gajah
atau Bukit Setan telah kedatangan para penghuninya!
"Adi Mangkurat, kenapa banyak sekali orang menaiki bukit?" tanya Bango Dolok kepada adiknya.
"Mungkin Nyai mengundang banyak tamu, Kakang Dolok."
"Untuk apa" Biasanya Nyai tidak suka dengan orang-orang persilatan."
"Entahlah?" jawab Mangkurat sambil mengangkat kedua pundaknya.
Percakapan keduanya terhenti. Dua orang lelaki berbaju hitam berlari datang dari belakang mereka.
Salah seorang jelas orang asing, seorang Cina yang berpakaian serba hitam dan wajahnya dihiasi kumis
tipis dan panjang sampai di bawah dagu. Sedangkan temannya seorang tinggi kurus mengenakan pakaian
bagus dari sutera hitam. Ketika melihat ada dua orang di depannya salah seorang menegur."Maaf, kisanak.
Bolehkah saya bertanya?"
"Hemmm, boleh! Apa yang ingin diketahui?" Bango Dolok menjawab kaku.
"Betulkah di puncak itu tempat tinggalnya Nyi Langen Asmara?" tanya Sancaka.
"Saudara ini siapa" Apa perlunya bertanya tempat tinggalnya Nyai?"
"Maaf, maaf. Saya bernama Sancaka dan saudara ini Coa Bo Gie pedagang barang antik dari
Semarang." Sancaka menjawab cepat. Memperkenalkan diri dan temannya. "Kami mempunyai urusan
penting! Ingin minta pertolongan Nyai!"
"Hemm, begitu. Aku Bango Dolok dan dia adikku Mangkurat! Kami berdua adalah murid beliau!"
kata Bango Dolok sambil memandang tajam kedua orang di depannya.
"Maaf, maaf. Kami tidak tahu bahwa andika berdua adalah murid beliau!" kata Sancaka. Dia
meminta maaf. Tidak menyangka akan bertemu dengan murid Nyai.
"Mari kita bersama menghadap beliau." ajak Mangkurat.Keempatnya lalu berangkat kembali
menaiki puncak Bukit Gajah. Sambil mengutarakan maksudnya Sancaka juga mohon pertolongan kepada
kedua murid itu untuk membantu.Bango Dolok dan Mangkurat menyanggupi akan membantu. Babah Coa
Bo Gie lalu mengeluarkan sebuah pundi-pundi dan menyerahkan kepada Bango Dolok."Ini sekedar tanda
persahabatan. Hanya sedikit, kok."
Begitu Bango Dolok membuka pundi-pundi matanya terbelalak. Mangkurat pun melongok, dan
keduanya lalu saling pandang. Dengan wajah berseri Bango Dolok memasukkan pundi-pundi ke dalam
saku. Sekarang sikapnya menjadi ramah.
e-bukugratis.blogspot.com
22 Dengan adanya kedua murid Nyi Langen Asmara perjalanan ke puncak dapat dilakukan dengan
cepat. Ketika mereka berempat tiba di puncak, ternyata di depan goa telah penuh dengan orang-orang yang
mengenakan pakaian hitam.Nyi Langen Asmara berdiri di atas batu besar. Mendengarkan laporan Simo


Patung Pembawa Maut Karya Aryani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gendeng kepala rampok Krendowahana. Di sebelahnya berdiri pula orang yang mengenakan pakaian serba
hitam dengan kepala tertutup kerudung hitam pula. Hanya nampak sepasang matanya yang bersinar tajam
dan genit. "Seperti rencana semula, hamba telah mem bakar kereta mereka. Akan tetapi ketika teman hamba
menculik anaknya telah dihalangi seorang pemuda berpakaian putih." Simo Gendung melaporkan misinya.
"Bagaimana dengan peti berukir itu?"
Seorang di belakang Simo Gendeng maju dan menjawab. "Kamar di mana ayah dan anak itu telah
hamba bongkar. Ternyata tidak ada! Juga Juragan Lim tidak nampak dalam kamar. Entah sembunyi di
mana dia?" "Hi-hi-hik ... , kenapa orang-orang tolol ini selalu gagal. Tahu begini, lebih baik aku pergi sendiri!
Hi-hi-hik ... !" "Guru, menurut pendengaran murid mereka menuju ke Prambanan!" Begitu maju ke depan Bango
Dolok berkata. Setelah mereka dekat dan mendengar laporan itu dengan cepat Bango Dolok berkata untuk
mencari muka di depan gurunya.
"Hi-hi-hik ... , kaukah itu, Dolok" Sini ... sini, mendekatlah ke mari!"
Bango Dolok dan Mangkurat maju. Duduk di depan Nyi Langen Asmara. Melaporkan apa yang
menjadi kehendak kedua orang teman seperjalanannya. Nyi Langen Asmara memandang ke arah Sancaka
dan Coa Bo Gie sejenak lalu kembali dia berkata.
"Cegat Juragan Lim di dekat Prambanan! Rampas peti berukir berisi Patung Batari Durga!"
Perintahnya kepada Simo Gendeng. Simo Gendeng menyembah lalu berlalu dengan anak
buahnya. Sedangkan Bango Dolok dan Mangkurat masih tetap duduk di situ.
"Kalian berdua bantu mereka!"
"Baik, guru!" Keduanya juga berlalu. Bango Dolok segera mengajak kenalan barunya untuk berlalu
dari tempat itu. Tidak berani membantah perintah gurunya.
"Hi-hi-hik ... tinggal kita berdua saja bocah ayu! Hi-hi-hiik aku kangen kepadamu! Hayo masuk ke
dalam!" katanya. Nyi Langen Asmara mengandeng tangan orang berbaju hitam ke dalam goa. Tak lama
kemudian dari dalam goa terdengar lenguh kenikmatan dan kekeh kegelian dari dua orang wanita memecah
kesunyian tempat itu. Entah berapa lama mereka berhal seperti itu" Hanya mereka sendiri yang tahu!
***** "Kita belhenti sebental! Ini kaki sudah mau patah lasanya!" Dengan suara pelo Juragan Lim
mengeluh. Orang gundul yang bukan lain adalah Tan suhu menghentikan larinya. Juragan Lim segera
menjatuhkan dirinya ke atas rumput tebal. Napasnya megap-megap seperti ikan dilempar ke darat.
e-bukugratis.blogspot.com
23 Semalaman dia ditarik Tan suhu melarikan diri. Ternyata begitu mendapat serangan, Tan suhu
meloncat keluar dari kereta. Menyelinap ke belakang rumah penginapan. Melihat dua orang berpakaian
hitam menerobos melalui jendela.
Ketika salah seorang memondong tubuh Juragan Lim sambil membawa peti berukir meloncat dari
jendela dan melarikan diri. Diam-diam dia membayangi. Begitu lawan berpakaian hitam telah jauh dari
desa dan memasuki sebuah hutan, tanpa mengeluarkan suara Tan suhu menyerangnya."Plakkk!" Kepala
orang berpakaian hitam terkena tamparan. Jatuh bersama dengan tubuh Juragan Lim yang masih
dipondongnya sambil membawa peti.
"Aduuhhhh! Cilaka ... !" jerit Juragan Lim menggelinding pergi.
Tan suhu cepat membangunkannya. Dia menarik tangan Juragan Lim diajaknya melarikan diri.
Juragan Lim mencoba untuk membantah.
"Kita mau lali ke mana" Bagaimana dengan lombongan dan puteliku?"
"Nanti kita urus belakangan! Yang penting peti dan engkau selamat dahulu!" tukas Tan suhu dengan
cepat. "Hayo cepat! Orang-orang jahat itu nanti keburu mengejar!"
Keduanya lalu melarikan diri sampai pagi hari telah menjelang. Begitu kaki Lim Hok Coan telah
mogok, minta berhenti, barulah mereka berdua mengaso di rerumputan di dekat hutan itu. Tanpa terasa lagi
Juragan Lim tertidur saking lelahnya! Melihat ini Tan suhu lalu duduk bersamadhi untuk memulihkan diri.
Menjaga kesegaran kondisinya untuk menjaga keselamatan mereka! Begitu membuka mata, keduanya
kaget sekali. Mereka telah dikurung oleh orang-orang yang mengenakan pakaian serba hijau! Tan suhu
sendiri juga kaget, bagaimana dapat terjadi demikian. Kenapa dia tidak mendengar kedatangan mereka ini"
"Maafkan kami berdua kalau telah melanggar wllayah tuan." kata Tan suhu penuh hormat.
"Ha-ha-ha ... tidak ada maaf-maaf segala.Tangkap mereka!" bentak seorang tinggi besar.
Sambil mengeluarkan pekik menyeramkan majulah orang-orang berpakaian serba hijau menuruti
perintah pimpinannya. Tan suhu segera mencabut golok yang dia sembunyikan di balik jubah pendetanya.
"Wutt-wutt-wutt!"
Goloknya diputar di atas kepala mengeluarkan bunyi mendesir kuat sekali lalu maju mener-jang ke
depan memapaki lawan. "Trangg-trangg-bukk-plakk-plakkk!"
Golok Tan suhu menangkis senjata pengeroyok, membuat senjata di tangan lawan ter pental ke
udara. Kakinya juga tak ketinggalan membagi-bagi tendangan di tubuh lawan. Lawan yang terkena
tendangan terjungkal dan tak dapat bangun kembali saking kuatnya" te-naga kaki yang menendangnya.
Akan tetapi bagaikan air bah datang para pengeroyok dari berbagai penjuru. Juragan Lim mundur-mundur
ketika tiga orang berpakaian hijau mendekatinya. Membalikkan tubuh hendak berlari pergi. Tiba-tiba
tubuhnya berhenti mendadak! Di depannya telah berdiri seorang raksasa berpakaian hijau dengan
membawa ruyung yang bergerigi besi!
"Ammmppuuuunnnnn ... saya jangan dibunuh! Tooolooongg ... !" ratapnya.
"Ringkus dia!" Seru Sugriwa Yaksa kepada anak buahnya.
e-bukugratis.blogspot.com
24 Dengan cepat para anak buah berbaju hijau maju menubruk Juragan Lim. Kaki dan tangan nya diikat
lalu sebuah kayu panjang dipakai untuk memikul tubuhnya. Seperti orang memikul hewan buruan!
Sugriwa Yaksa maju ke depan ruyungnya terayun ke arah kepala Tan suhu. "Wirrrr ... !"
Melihat datangnya ruyung yang didahului angin deras menyambarnya, Tan Suhu menangkis dengan
goloknya. Kedua senjata beradu di tengah udara, bunga api berpijaran akibat pertemuan senjata ini. Akan
tetapi golok Tan suhu terpental ke samping. Sugriwa Yaksa menyusuli serangan ruyung dengan tendangan
kakinya. Dielakkan lawan dibalas babatan ke arah pinggang.
"Traaanngggg ... !!"
Golok Tan suhu terpental ke angkasa. Sugriwa Yaksa menyusuli dengan tendangan yang tak dapat
dielakkan Tan suhu saking cepat gerak kakinya.
"Bleeekkkkk!" dadanya terkena tendangan telak. Tanpa ampun lagi Tan suhu terlempar dalam
keadaan pingsan! Para anak buah berbaju hijau menubruk maju. Tan suhu diikat seperti mengikat hewan buruan. LaJu
beramai-ramai dipanggul menuju markas mereka. Mereka berjalan sambil ber-sorak-sorak saking
gembiranya. Sugriwa Yaksa berjalan paling depan dengan memanggul ruyung gerigi besinya.Ketika
mereka tiba di markas, Sugriwa Yaksa memerintahkan para anak buahnya untuk menggantung kedua orang
itu. "Gantung dia seperti biasa. Siapkan peralatan untuk pesta malam nanti!"
"Hoorreeeee!" Hampir bersamaan anak buah nya bersorak. Mereka lalu berlarian mencari kayu
bakar. Ada yang menyiapkan sebuah kuali yang panjang dan besar. Membuat api unggun dan memotongmotong buah dimasukkan dalam kuali!
"Toolonggg ... ! Tolongggg ... ! Saya jangan digantung! Kepala ini lasanya mau meledak!
Tolongggg!" Juragan Lim berteriak ketakutan karena darahnya telah memenuhi kepala membuat kedua
telinganya mendengar bunyi yang mengaung-ngaung.
"Babi gemuk itu siapkan dulu! Sekarang pentang di kayu!"
Kedua orang itu lalu diturunkan dari gantungan. Diseret ke tempat pementangan dan kaki tangannya
diikat di kayu. Sedangkan peti berukir hanya ditaruh dekat tempat duduk Sugriwa Yaksa. Agaknya orang
ini tidak peduli akan isi peti, lebih mengilar terhadap daging keputihan kedua orang itu. Agaknya Sugriwa
Yaksa ini adalah pemakan daging manusia!
Ketika hari menjelang malam, Lim Hok Coan didunkan dan pamentangan. Diseret begitu saja.
Orang gemuk ini menjerit-jerit ketakutan. Apalagi ketika tubuhnya digantung di atas kuali besar yang
panjang dan besar di mana air yang ada di dalamnya telah mendidih sedari tadi!
"Aiyaaa ... akuu mau diapakan" Tolong aku jangan dibunuh! Nanti kubeli uang yang banyak!"
Juragan Lim membujuk. "Ha-ha-ha ... he-he-he ... he-he-he-he!!"
Hanya kekeh tawa ini yang menyambut permintaannya. Semua orang menari-nari mengelilingi api
yang berisi. air mendidih. Sambil menyuarakan nyanyian ritual. Sugriwa Yaksa duduk di atas kursi yang
e-bukugratis.blogspot.com
25 ditilami kulit hari-mau tutul. Duduk dengan anggunnya melihat semua yang disajikan anak buahnya. Dia
memberi tanda dengan tangan diangkat ke arah Juragan Lim.
Dua orang anak buah berpakaian hijau maju. Dengan paksa menarik pakaian juragan gendut.
"Breeetttt, breettttt!"
Baju dan celana Juragan Lim telah terobek. Tubuhnya yang putih mulus telah telanjang. Juragan Lim
menggerinjal-gerinjal tidak karuan.
"Ha-ha-ha ... ! Sungguh sedap daging babi gemuk itu." Sugriwo Yaksa sampai mengeluarkan air liur
melihat daging juragan gendut. "Cepat turunkan dia!"
Anak buah yang bertugas menurunkan adalah empat orang yang bertubuh besar mengulur tali
gantungan. Juragan Lim yang melihat air mendidih menyambutnya di bawali apalagi uap panas telah
menyengat tubuhnya tidak kuasa untuk menahan takutnya lagi.
"Tolongggg, tolonggg!" Sambil berteriak dia berputaran di tali gantungan. Pelan-pelan tubuhnya
meluncur turun ke arah air mendidih dalam kuali besar.
Sesosok bayangan putih berkelebat. Tepat sekali menyambut tubuh yang meluncur turun.
"Taassss! Byuuurrrrr!"
Tali pun terpotong. Sedangkan kuali besar itu telah pecah. Airnya tumpah, membuat orang yang
mengelilinginya berteriak-teriak kesakitan. Berusaha untuk menghindar dari guyuran air panas yang
menyerang! "Cepat pakai! Tolong lepaskan temanmu!"
Juragan Lim menerima sarung dengan cepat dia kenakan dan mendekati Tan suhu. Dengan susah
payah akhirnya dapat juga dia melepaskan tali pengikat tangan. Tan suhu berusaha membuka tali pengikat
kakinya sendiri. Ketika keduanya menengok ke arah pemuda berpakaian putih, ternyata pemuda itu sedang
beterbangan ke kanan kiri. Di mana bayangan tiba pastilah orang berbaju hijau mencelat untuk tidak
bangun kembali, pingsan! Sugriwa Yaksa yang melihat kejadian yang tidak pernah diduganya ini terbelalak. Siapakah pemuda
baju putih yang mengobrak-abrik anak buahnya itu" Akan tetapi tidak lama dia berhal seperti ini. Sambil
mengeluarkan teriakan menyeramkan ruyung gerigi besi di tangannya mengemplang bayangan putih!
"Auuuggghhhhh ... wuuusssss! Plakk-plakk!"
Ternyata Suryo sambil menangkis ayunan ruyung ke arah kepala, tangan kirinya memukul dada.
Sugriwa Yaksa tergetar tangannya yang memegang ruyung akibat tangkisan lawan dan ketika melihat
dadanya terancam dengan sebat tangan kirinya membabat ke depan dada. Membuat dua tenaga raksasa
bertemu di udara. Akibatnya sungguh rnengherankan hati Sugriwa Yaksa, dia terpental ke belakang tiga
langkah! "Bojleng-bojleng ... setan alas, demit kemimit! Siapa kau bocah lancang!" bentaknya.
"Ooo lhaa dhaa lah! Ketemu yaksa (raksasa atau buta) awakku ini! Hee, Yaksa. Aku bangsane
manusia biasa, bukan raksasa pemakan manusia!" Suryo menjawab seenaknya. Sambil menyeringai
mengejek. Melihat lawan mengejeknya Sugriwa Yaksa bertambah marah. "Demit, iblis, setan bekasakan!
e-bukugratis.blogspot.com
26 Sebutkan siapa dirimu sebelum kau mampus tanpa nama!" bentaknya dengan wajah berubah merah padam.
"Kau ingin tahu siapa aku?" tanya Suryo.
"Hiiyyaaaa! Cepat sebutkan namamu! Sebelum gada rujak polo ini menghancurkan kepala mu!"
Sambil mengamangkan ruyungnya ke arah kepala Suryo, Sugriwa Yaksa berkata lantang. Tangan kirinya
berkacak pinggang. "Namaku Suryo!" jawab Suryo singkat.
"Mampus kau!" Begitu lawan menjawab dan menyebutkan namanya, ruyungnya telah mengemplang
kepala. Dengan mudah Suryo mengelak ke samping dan tongkat pendeknya me-ngait kaki lawan."Eit, eit ...
berkelahi kok tidak pakai aturan." seru Sugriwa Yaksa. "Hayo mengadu kebalnya kulit kerasnya tulang!
Jangan main gait begitu!"
Suryo tertawa geli melihat raksasa pemakan daging ini marah-marah. Baru tertarik kakinya sudah
mencak-mencak tidak karuan, malah menantang mengadu kekebalan. Baik kalau itu maunya raksasa ini.
Dia harus melayani untuk menundukkan raksasa pemakan bangkai ini. Dalam hati pemuda ini merasa geli
bukan main. Apa ada berkelahi pakai aturan! Seperti latihan atau bersilat di atas panggung saja.
"Kalau itu maumu, aku ladeni! Hayo pilihlah sendiri!" tantang Suryo pelan sambil memasang kudakuda dan mengerahkan ajinya Gedong Wesi Kuning.
"Pecah kepalamu!" Ruyung bergerigi menyambar dahsyat ke arah kepala Suryo yang berdiri tegak.
"Wussss!" Ruyung bergerigi lewat di atas kepala. Tubuh Sugriwa Yaksa terpelanting ke depan karena
hebatnya tenaga yang mengayun ruyung! Ternyata Aji Gedong Wesi Kuning telah menunjukkan
khasiatnya. Ruyung bergerigi besi meleset begitu mendekatinya.
Melihat keadaan lawan seperti itu, Suryo menggerakkan tongkat memukul belakang telinga raksasa
itu. "Duukkkk!" tanpa ampun lagi tubuh Sugriwa Yaksa tersungkur ke depan. Berusaha bangun, akan tetapi
baru setengah jalan tubuhnya kembali menelungkup untuk terus pingsan!
Para anak buah berpakaian hijau berlarian tak tentu arah. Mereka ketakutan melihat pemimpin
mereka dikalahkan begitu mudahnya, hanya terpukul oleh sebuah tongkat berwarna hitam. Dengan sekali
pukul malah! Suryo lalu mendekati Juragan Lim dan Tan suhu. Menceritakan tentang peristiwa di penginapan serta menceritakan bahwa puteri babah gendut itu selamat. Sambil memandang ke arah Tan suhu,
Suryo berkata. "Tan suhu, tolong hubungi puteri juragan dan Ki Pentet Prawirayuda. Biar juragan ini aku
yang antar." "Baik! Aku akan mengajak mereka untuk . meneruskan perjalanan ke Prambanan. Kita bertemu di
sana!" Tan suhu mengiyakan per-mintaan pemuda. Kepada Juragan Lim, Tan suhu berkata. "Tuan Suryo
ini akan mengantar mu ke tempat tinggal suhuku di Prambanan."
"Telima kasih. Tolong puteli owe dijaga, suhu! Agal menyusul secepatnya!" pinta Juragan Lim.
Ketiganya lalu berpisah. Tan suhu kembali untuk menemui rombongannya. Sedangkan Suryo
mengantar Juragan Lim yang membawa peti berukir menuju ke tempat guru Tan suhu di Prambanan!
******** e-bukugratis.blogspot.com
27 ENAM "MALI kita mampil di walung itu dulu!" ajak Juragan Lim. Suryo berhenti sejenak, tongkatnya
memukul batu bundar di tanah.
"Tasss!" Batu melayang mengenai buah mangga di tepi jalan. Berjatuhan menimbulkan suara beruntun bukbuk-bukk! Suryo memungut mangga-mangga itu dan dimasukkan ke dalam saku. Juragan Lim yang tidak
mendapat tanggapan ajakannya tadi berkata lagi.
"Hayolah! Mampil dulu di walung! Aku sudah lapal, nih."
"Haaaa, lapar" Ya, ya, mari!"
"Nha, gitu kan enak!" Bersicepat Juragan Lim menuju warung di dekat hutan itu. Warung satusatunya yang ditemuinya sejak perjalanan sedari pagi hari tadi. Suryo mengikuti dari belakang.
"Mari silakan masuk, den!" Seorang dara yang cantik berkulit kuning langsat menyambut
kedatangan Juragan Lim. "Telima kasih, telima kasih."
Lalu tubuh gendut juragan ini memasuki warung. Sepasang mata yang sipit itu mengawasi sekeliling,
tiada seorangpun yang berada di dalam warung ini. Tanpa sungkan lagi Juragan Lim duduk di kursi,
bersebelahan dengan si pemuda yang mengenakan pakaian putih.
"Makannya apa juragan?"
"Ooooo, nasi pecel, kalau ada telul golingnya sekalian." Juragan Lim menjawab cepat.
"Telul gulingnya yang tidak ada, juragan."
"Itu tu, itu ... telul ... lalu digoleng! Aiyaa telul mata sapi. Ya betul, telul mata sapi!" Sambil
menunjuk telur ayam yang ditaruh di atas meja. Juragan Lim menerangkan maksudnya. Memang si pelayan
cantik ini tidak dapat menangkap maksud tamunya yang bicara cedal itu maka dia cepat bertanya. Setelah
mengerti bahwa orang gemuk ini tidak dapat menyebut huruf r dengan benar, maka sambil tertawa dia
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 2 The Unpredictable You Karya Belowthepar Matahari Esok Pagi 9

Cari Blog Ini