Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 1

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 1


r telah m emenuhi keinginannya untuk menitipkan
ilmunya pada Akuwu Sangling y ang baru untuk dapat
bertahan dan bahkan dikembangkan jika ia sendiri pada
saatnya akan meninggalkan dunia.
Dengan sungguh-sungguh Mahisa Bungalan telah
berusaha untuk menyadap ilmu dari orang itu. Mula-mula
yang dilakukan oleh Guru Akuwu Sangling itu adalah
mengetahui ilmu yang telah ada di dalam diri Mahisa
Bungalan. Tatarannya, tingkatnya dan unsur-unsur yang ada
di dalamnya. Kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia
berkata, "Ilmu y ang sangat dahsyat. Aku tidak akan dapat
memberikan lebih dari y ang sudah ada di dalam diri Akuwu.
Yang dapat aku titipkan adalah ilmu yang akan dapat mengisi
sela -sela dari ilmu y ang telah Akuwu miliki. Mungkin satu cara
yang lain y ang dapat dipergunakan untuk melontarkan ilmu
yang dahsy at yang sudah ada pada Akuwu. Serta ilmu sejenis
yang m eskipun tidak akan sedahsyat ilmu yang sudah ada,
namun mempunyai kelainan kegunaan yang barangkali akan
berarti bagi Akuwu."
Demikianlah, maka Akuwu Sangling telah menempa diri.
Dengan menerima i lmu dari guru Akuwu Sangling yang lama
maka ilmu Mahisa Bungalan menjadi semakin lengkap. Ia
memiliki kekuatan ilmu y ang dahsy at dari ilmu Gundala Sasra.
Sementara itu, ia telah mendapat warisan ilmu y ang lain dari
guru Akuwu Sangling itu. Bahkan kemudian Mahisa Bungalan
telah mampu membuat ilmu itu luluh di dalam dirinya.
Dengan kemampuan day a lontar y ang diwarisi dari guru
Akuwu Sangling y ang lama itu, ia dapat melontarkan ilmu
puncaknya Gundala Sasra. Bahkan kemampuan-kemampuan
yang menggetarkan y ang lain telah dapat dikuasainya di
samping ilmu Gundala Sasra itu.
Sebagaimana kesibukan y ang terjadi di padepokan
Suriantal, maka Mahisa Bungalan pun memerlukan waktu
yang cukup lama. Tetapi ia tidak meninggalkan tugasnya
sehari-hari meskipun hampir setiap malam ia berada di dalam
sanggar, atau di lereng-lereng pegunungan dan di lembahlembah
y ang sepi. Ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya guru dari
Akuwu Sangling itu telah berbuat dengan jujur. Ia benar-benar
melakukannya tanpa pamrih selain sekedar menitipkan
ilmunya agar tidak punah ber sama kematiannya jika saat itu
tiba. Karena itu, m aka ketika menurut pertimbangan orang
itu, Mahisa Bungalan telah mewarisi dasar-dasar ilmunya
lengkap, maka ia menganggap bahwa tugasnya telah selesai.
"Akuwu," berkata orang itu, "dasar-dasar ilmu y ang ada
padaku telah aku wariskan. Aku tahu pasti bahwa dalam waktu
yang singkat semuanya akan berkembang dan bahkan atas alas
ilmu y ang telah ada di dalam diri Akuwu, maka ilmu Akuwu
akan jauh melampaui kemampuanku. Karena itu, aku mohon
Akuwu tidak jemu-jemunya menilik setiap perkembangan
ilmu Akuwu itu sebaik-baiknya. Mencari tanpa jemu-jemunya
kemungkinan-kemungkinan yang paling baik bagi
perkembangan selanjutnya. Jangan terpancang pada apa yang
telah ada sebagai unsur gerak dari ilmu itu. Tetapi Akuwu
akan dapat mencari dan menciptakan kemungkinan y ang akan
lebih berarti." Mahisa Bungalan m engangguk kecil. Dengan sendat ia
berkata, "Terima kasih. Aku telah m embawa bekal yang jauh
lebih lengkap sekarang."
Orang y ang meny ebut guru Akuwu Sangling itu menarik
nafas dalam -dalam. Kemudian katanya, "Akuwu. Aku mohon
Akuwu untuk mewariskan semua ilmu yang ada di dalam diri
Akuwu bagi seorang yang paling dapat dipercaya. Akuwu
adalah orang Singasari. Meskipun kini kesatuan Singasari dan
Kediri dapat dipertahankan, namun bukan berarti untuk
seterusnya akan demikian. Kediri pada dasarnya tidak ingin
berada di bawah kuasa Singasari. Jika saat ini kesatuan itu
masih dapat bertahan, karena ada orang-orang y ang mengerti
arti dari persatuan itu, m aka pada suatu saat pikiran-pikiran
lain akan tumbuh dan berkembang."
Akuwu Sangling itu termangu-mangu. Ternyata bahwa
wawasan orang itu bukannya sekedar karena ia tidak mau
ilmunya menjadi punah. Tetapi ada keinginan padanya, bahwa
Akuwu Sangling itu akan dapat m embantu mempertahankan
keseimbangan. Apakah Akuwu Sangling itu sendiri, atau
keturunannya atau orang lain yang dipercaya. Agaknya orang
itu mempunyai wawasan jauh dalam hubungan yang
nampaknya masih mapan antara Singasari dan Kediri. Namun
benih -benih sebagaimana dikatakan itu memang sudah ada
sejak semula. Bahkan seakan-akan tidak pernah padam sejak
Kediri disatukan dengan Singasari oleh Akuwu di Tumapel,
yang kemudian memegang pimpinan pemerintahan bergelar
Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bumi.
Tetapi jika orang-orang y ang berusaha untuk tetap
mempertahankan keseimbangan per satuan itu seperti
Pangeran Singa Narpada dan beberapa orang Senapati yang
sejalan dengannya, termasuk Akuwu Lemah Warah telah tidak
ada, maka hubungan antara Kediri dan Singasari tentu akan
menjadi goncang. Karena Akuwu Sangling itu masih saja termangu-mangu,
maka orang itu pun berkata, "Akuwu. Mungkin y ang aku
katakan itu belum nampak sekarang ini. Tetapi aku minta
Akuwu bersiap-siap sebagai orang Singasari y ang berada di
jalur pemerintahan Kediri. Bagaimanapun juga Akuwu harus
berusaha memandang per soalan itu dengan jernih pada setiap
tahap. "Aku akan mencoba," berkata Akuwu Sangling.
"Akuwu harus berusaha mempertahankan
kepemimpinan ini. Pada saatnya kepemimpinan di Sangling
harus jatuh ke tangan orang yang mempunyai sikap dan
pandangan seperti Akuwu khususnya dalam per soalan
hubungan antara Singasari dan Kediri," pesan orang itu.
"Terima kasih," Akuwu Sangling pun menganggukangguk.
"Namun tidak kalah pentingnya, aku titipkan agar
ilmuku itu tidak punah karenanya. Jika kemudian ilmuku
menjadi bagian dari jalur ilmu Akuwu yang lain, aku tidak
berkeberatan, karena dengan demikian ilmuku akan tetap
menjadi unsur dari ilmu yang hidup dan bahkan mungkin
berkembang lebih luas," berkata orang itu.
"Aku akan selalu m engingat pesan ini," berkata Mahisa
Bungalan. Demikianlah, maka pada saatnya, orang y ang meny ebut
dirinya guru Akuwu Sangling y ang lama namun juga ternyata
telah menjadi guru Akuwu Sangling yang baru itu minta diri.
Tanpa meny ebutkan dimana ia tinggal, maka ia pun
berkata, " Biarlah aku yang setiap kali datang kemari. Akuwu
tidak perlu mengetahui tempat tinggalku. Seandainya aku
tidak sempat lagi datang, maka rasa-rasanya hidupku di saatsaat
terakhir masih juga berarti. Dendam itu telah
terselesaikan. Akuwu Sangling mengerutkan keningnya. Namun ia
tidak menjawab. Meskipun didalam hati ia bertanya, "Apakah
demikian itu merupakan satu-satunya jalan untuk
mengucapkannya. Ia tidak mau m enyinggung perasaan orang
yang telah berbaik hati memberikan tuntunan kepadanya
tentang ilmu yang bernilai tinggi di samping ilmunya yang
telah ada lebih dahulu didalam dirinya.
Namun demikian, pesan orang itu tidak akan pernah
dilupakan. Ia harus mempersiapkan masa depan Sangling
untuk menghadapi kemungkinan yang buruk dalam hubungan
antara Singasari dan Kediri.
Namun agaknya penglihatan orang itu bukan sekedar
sikap dan pendirian. Tetapi jika perlu harus diujudkan dalam
benturan-benturan sikap yang bakal terjadi, bahkan dengan
kekerasan. Ternyata bahwa orang itu berpesan, agar Akuwu
Sangling mempersiapkan orang, apakah itu keturunannya atau
orang y ang paling dipercaya, untuk mewarisi ilmunya yang
mungkin akan dapat disumbangkan bagi Singasari di masa
mendatang. Dalam pada itu, di padepokan Suriantal pun kerja yang
keras sudah m enjadi semakin ramai. Waktu y ang diperlukan
untuk merendam bambu telah cukup. Sementara tali-tali ijuk
pun telah siap beberapa gulung, sehingga m enurut dugaan,
akan mencukupi bagi pembangunan barak-barak yang rusak
serta pintu gerbang. Namun di samping itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang telah menjadi pulih kembali, masih saja berniat untuk
mendirikan satu perguruan baru y ang utuh di padepokan itu.
Keduanya telah membiasakan diri untuk disebut sebagai
Putut. Mahendra memang telah memberikan beberapa
petunjuk. Namun tiba-tiba saja Mahendra bertanya, "Apakah
keberatan kalian jika padepokan ini tetap disebut padepokan
Suriantal?" "Padepokan ini tentu akan dihubungkan dengan isinya,"
sahut Mahisa Murti, "jika kami y ang ada di padepokan ini
kemudian disebut perguruan Suriantal, maka kami memang
agak berkeberatan." "Suriantal yang sebenarnya bukan sebuah perguruan
yang hitam," berkata Mahendra.
"Tetapi noda itu telah terpercik di atasnya. Selain itu,
maka jika orang meny ebut Suriantal, maka kita sudah mulai
membayangkan tongkat-tongkat panjang y ang dianggap
menjadi ciri dari perguruan ini," jawab Mahisa Murti.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Per soalannya
tinggallah pada nama. Karena itu, maka kalian akan dapat
memilih nama y ang sesuai. Tetapi apakah nama itu m enjadi
demikian penting bagi kalian?"
"Nama adalah lambang dari kepribadian sebuah
perguruan," jawab Mahisa Pukat, "jika kita mendengar nama
sebuah perguruan, maka kita dapat membayangkan ujud dari
perguruan itu." " Itu dapat terjadi setelah kita mengenal perguruan itu,"
berkata Mahendra, "tetapi nama yang baru sama sekali, masih
belum merupakan citra dari perguruan itu. Mungkin orang
yang membuat nama itu sudah mempunyai ujud y ang mantap.
Namun bagi orang lain y ang baru m endengar untuk pertama
kalinya, memang bukan apa-apa."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu Mahendra pun kemudian memberikan
pendapatnya, "Lebih baik, k ita benahi dahulu padepokan ini.
Baru kemudian kita memikirkan nama itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, "Baiklah ayah. Kita
akan memperbaiki lebih dahulu padepokan ini."
Mahendra ter senyum sambil berkata, "Bagus. Kita akan
mulai dengan kerja."
Sebenarnyalah, maka padepokan Suriantal itu pun
menjadi terlalu sibuk dengan kerja. Mereka mulai mengangkat
bambu-bambu y ang telah direndam untuk dikeringkan.
Sementara itu, mereka yang memiliki ketrampilan untuk
mengerjakan kayu, telah melakukannya pula. Mereka telah
mulai mengganti pintu di gerbang halaman padepokan itu
yang dibuat untuk sementara, dengan pintu y ang sebenarnya.
Para penghuni padepokan itu terutama yang memiliki
kemampuan mengerjakan kayu, telah sibuk membuat pintu
gerbang. Batang-batang kayu yang bulat telah diikat dengan
tali-tali ijuk. Kemudian kayu y ang menjadi gantungan serta
uger-uger yang sangat kuat.
Ternyata bahwa untuk membuat pintu gerbang itu
diperlukan cukup banyak tenaga. Beberapa orang harus
mengangkat kayu-kayu yang akan diikat menjadi daun pintu.
Yang lain membuat palang dan gapit. Sementara yang lain lagi
memasang uger-uger dan selarak serta gantungannya.
Pada saat pintu gerbang itu sudah mendekati
peny elesaian, maka bambu-bambu pun mulai mengering.
Sebagian dari tenaga y ang ada di padepokan itu telah
mengerjakan bambu-bambu itu untuk m embuat barak-barak
pengganti y ang telah rusak.
Dengan bambu petung disiapkannya tiang-tiang induk
di-atas ompak batu. Kemudian dengan jenis bambu lain yang
lebih kecil, bambu wulung dan apus, telah dibuat kerangka
dari barak yang akan didirikan itu. Di sudut padepokan itu
pun telah tertimbun atap yang dianyam dari jerami kering.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga yang ada, maka
dari hari ke hari, bangunan-bangunan y ang dibuat di
padepokan itu pun mulai nampak hasilny a. Yang pertamatama
siap adalah pintu gerbang y ang kuat, y ang dibuat dari
kayu-kayu utuh, meskipun dipilih kayu y ang tidak t erlalu
besar. Sebuah selarak yang besar dan kuat serta palang yang
tidak mudah patah. Ternyata sebagaimana orang membangun rumah, maka
sa saran y ang dikerjakan seakan-akan telah merambat dari
yang satu ke yang lain. Rasa-rasanya kurang puas untuk
membiarkan bangunan-bangunan y ang lama t etap tidak
mendapat perbaikan. Karena itu, maka orang-orang padepokan itu pun telah
memperbaiki pula barak induk di samping mendirikan
kembali barak yang telah hancur karena pertempuran yang
terjadi antara Kiai Windu Putih dengan guru Akuwu Sangling.
Namun, setelah bekerja berbulan-bulan, akhirnya barakbarak
itu pun telah siap. Dinding-dinding bambu yang
dianyam sendiri oleh para penghuni padepokan itu pun telah
dipasang. Sekat-sekatnya pun telah dibuat pula, sehingga
barak y ang baru itu justru menjadi barak y ang paling baik dari
antara barak-barak yang ada di padepokan.
Namun sebagaimana mereka tidak puas dengan barak
induk yang telah mereka perbaiki, maka barak-barak yang
lain -pun telah dibenahi pula meskipun hanya sekedar
memperbaiki pintu leregnya yang sering meleset dari
palangnya. "Mumpung kita sedang bergairah," berkata seorang di
antara para pemimpin padepokan itu.
Apalagi bahan yang telah mereka sediakan ternyata lebih
banyak dari y ang dibutuhkan untuk membuat barak yang
baru. Tetapi akhirnya kerja mereka pun selesai pula. Barakbarak


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

y ang baru serta barak-barak yang telah diperbaiki, pintu
gerbang dan bangunan induk di dalam padepokan itu pun
telah nampak lebih baik dari sebelumnya.
Pa da saat-saat Mahendra sempat berbincang dengan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ia pun berkata, "Nah,
sekarang kerja kalian telah selesai. Meskipun kerja pada tahap
ini, karena pada saatnya akan segera disu sul oleh kerja yang
lain." "Ya ayah," jawab Mahisa Murti, "lalu apa lagi yang harus
kami kerjakan?" "Sekarang agaknya sudah waktunya untuk m emikirkan
perguruan y ang kau maksudkan," berkata Mahendra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Sementara Mahendra berkata lebih lanjut, "Ternyata
bahwa ilmu y ang kalian miliki bukan lagi murni dari satu
perguruan. Apalagi nampaknya kalian lelah m engembangkan
ilmu yang ada pada diri kalian. Beberapa m acam ilmu yang
kau anyam menjadi satu ujud y ang utuh, y ang bahkan
kemudian menemukan ujud y ang baru. Bahkan sifat dan
wataknya. Karena itu, maka kalian m emang m empunyai hak
untuk meny ebut bahwa ilmu yang ada pada diri kalian adalah
ilmu dari satu perguruan y ang utuh dan bulat, serta bukan
perguruan y ang telah ada sebelumnya."
"Aku mengerti ayah," berkata Mahisa Murti, "agaknya
jalan y ang kami tempuh memang sudah benar menurut
pandangan ayah." "Ya. Kalian sudah berjalan di jalur y ang menurut
pendapatku benar. Karena itu, maka aku tidak mempunyai
keberatan jika kau m empunyai sebutan tersendiri dari aliran
ilmu kalian," berkata Mahendra.
"Terima kasih ay ah," desis Mahisa Murti, "kami mohon
doa dan restu ay ah." Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu "Nah,
persoalannya adalah nama itu. Nama apakah yang paling baik
kami pergunakan untuk perguruan kami y ang baru itu."
Mahendra tersenyum. Katanya, "Kalianlah yang paling
mengenal bentuk dan isi dari ilmu kalian. Dasar dan tujuannya
serta sifat dan wataknya."
Mahisa Murti berpaling k e arah Mahisa Pukat. Namun
Mahisa Pukat pun nampaknya masih menunggu juga.
Karena itu, maka Mahendra pun kemudian berkata,
"Bicarakan dengan orang-orang tua di padepokan ini.
Meskipun hanya diantara kita seisi padepokan, maka kita akan
memerlukan waktu untuk menyatakan bahwa kerja kita sudah
selesai. Sekaligus kita beritahukan kepada para penghuni
padepokan ini, satu nama y ang pantas untuk perguruan yang
akan kalian dirikan. Mungkin kita akan mengundang Ki Bekel
yang telah banyak memberikan bantuan kepada kita selama ini
serta para bebahunya untuk menjadi saksi dari pemberian
nama atas perguruan y ang bakal berdiri."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun Mahisa Pukat masih juga berdesah, "Tetapi nama itu."
"Kau sempat berbicara dengan orang-orang tua seperti
aku katakan," berkata Mahendra.
"Baiklah ayah," jawab Mahisa Murti, "sementara ini kita
akan menyiapkan satu pertemuan y ang meriah."
Demikianlah, sebagaimana dianjurkan oleh ayahnya,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat t elah m engundang Ki Bekel
dan beberapa orang bebahu untuk menghadiri satu upacara
yang sebenarnya khusus bagi para penghuni padepokan,
karena sifatnya y ang selain sederhana juga tidak mengadaada.
Namun diharapkan bahwa Ki Bekel dan para bebahu itu
akan dapat menjadi sak si dari upacara yang sederhana itu.
Akhirnya saat y ang ditentukan itu pun tiba. Semua
persiapan dari upacara y ang sederhana itu pun telah diadakan.
Makan dan minum pun telah disiapkan.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menghadap kepada ay ahnya dan mengajukan sebuah nama
yang barangkali ay ahnya sependapat.
"Ayah," berkata Mahisa Murti, "ilmu tertinggi y ang
pernah ayah berikan kepada kami adalah ilmu Bajra Geni.
Karena itu, bagaimana jika sebagian dari nama itu kita
pergunakan sebagai nama perguruan ini. Namun untuk selalu
mengingatkan kepada kami agar kami tidak melupakan
sumber kekuatan kami, maka kami akan m eny ebutnya bahwa
perguruan kami ini mempunyai niat yang putih dan bersih.
Meskipun tidak akan dapat kami lakukan sepenuhnya, namun
setidak-tidaknya ada semacam bayangan y ang akan selalu
mengikuti apa pun y ang sedang kami lakukan, justru karena
nama itu." "Sebut nama y ang kau kehendaki itu," berkata
Mahendra. "Bajra Seta," jawab Mahisa Murti.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Nama y ang
baik. Aku tidak mempunyai keberatan bagi nama itu."
"Jika demikian, nanti akan kita beritahukan, bahwa
perguruan ini bernama perguruan Bajra Seta. Padepokan ini
pun akan bernama padepokan Bajra Seta pula," berkata
Mahisa Pukat. Demikianlah, m aka upacara itu pun telah berlangsung
dengan m eriah meskipun sederhana. Beberapa ekor kambing
telah dipotong. Beberapa orang y ang telah terbiasa,
memanggangnya diatas api y ang menyala. Kemudian beramairamai
mereka pun makan bersama-sama.
Namun selain acara yang diperuntukkan bagi orangorang
padepokan y ang baru saja mereka ny atakan sebagai
padepokan Bajra Seta, maka beberapa orang tua-tua telah
mewakili seisi padepokan itu, memasuki sanggar khusus untuk
memanjatkan doa agar perguruan dan padepokan y ang lahir
pada hari itu, selalu mendapat bimbingan dari Yang Maha
Agung. Bukan saja tuntunan kewadagan, tetapi semoga selalu
mendapat terang di hati, sehingga seisi padepokan itu tidak
akan melakukan langkah-langkah y ang tercela sebagaimana
pernah terjadi dengan perguruan di padepokan itu
sebelumnya. Demikianlah, ternyata bahwa padepokan itu telah
terbangun semalam suntuk. Setelah doa yang dilakukan oleh
orang-orang tua di dalam sanggar, maka seluruh padepokan
itu benar-benar menjadi ramai. Mereka bergembira dengan
cara mereka masing -masing. Meskipun semua dilakukan
menurut apa adanya, namun padepokan itu benar-benar telah
menikmati kegembiraannya. Ki Bekel dan para bebahu dari
padukuhan terdekat pun ikut pula bergembira bersama
mereka. Bahkan m ereka telah lupa waktu, sehingga mereka
baru sadar, ketika terdengar ayam jantan berkokok
bersahutan. "Hampir pagi," desis Ki Bekel.
"Ya," sahut seorang bebahu, "hampir semalam suntuk
kita berada di padepokan ini."
"Apa salahnya," jawab Ki Bekel, "kita ikut berjaga-jaga
atas lahirnya satu perguruan baru dan sekaligus kelahiran
kembali padepokan ini."
Bebahu itu pun tertawa. Katanya, "Jika demikian, kita
menunggu kegembiraan ini selesai, meskipun sampai
matahari terbit sekalipun."
Ki Bekel itu pun tertawa pula. Sambil meneguk
minuman panas ia berkata, "Kita akan berlomba, siapakah
yang merasa kantuk lebih dahulu, ialah yang kalah."
Dengan demikian m aka Ki Bekel dan para bebahu itu
tetap berada di padepokan itu meskipun sudah menjelang
pagi. Namun ketika fajar mulai meny ingsing, tiba-tiba seorang
diantara mereka y ang bertugas diatas reg ol padepokan itu
telah datang tergesa-gesa mencari Mahisa Murti. Dengan
gagap ia berkata, "Ada tamu di luar."
"Siapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku tidak tahu," jawab orang itu.
Mahisa Murti pun termangu -mangu sejenak. Namun
kemudian bersama Mahisa Pukat dan Mahendra, ia pun naik
ke panggungan diatas reg ol.
Ketiganya memang menjadi berdebar -debar. Oleh
cahaya obor yang menggapai mereka, maka nampak lima
orang y ang berdiri di luar regol. Mereka bersenjata tongkattongkat
panjang sebagaimana orang-orang perguruan
Suriantal. Beberapa saat ketiga orang yang berada diantara para
pengawal diatas reg ol itu termangu-mangu. Namun ketika
kelima orang itu bergerak maju, maka Mahendra pun berdesis,
"bertanyalah kepada mereka."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun telah bertanya, "Ki Sanak. Siapakah Ki Sanak
itu dan apakah keperluan Ki Sanak?"
"Beginikah caranya para pemimpin padepokan Suriantal
menerima saudara-saudaranya," bertanya salah seorang
diantara kelima orang itu.
"Maaf Ki Sanak," berkata Mahisa Murti kemudian,
"beberapa saat y ang lampau padepokan ini memang
padepokan Suriantal. Tetapi sekarang padepokan ini bukan
lagi padepokan Suriantal. Baru sejak malam ini padepokan ini
bernama padepokan Bajra Seta."
"Aku sudah mendengar tentang rencana itu," berkata
salah seorang diantara kelima orang itu, "karena itu maka aku
datang kemari. Namun bahwa padepokan ini kemudian
bernama Bajra Seta, aku belum mendengarnya."
"Jika demikian, sekaligus kau dapat mendengarnya pada
saat kami melakukan upacara malam ini, menetapkan nama
padepokan ini sebagai tempat tinggal dan pasat dari sebuah
perguruan y ang juga bernama perguruan Bajra Seta," berkata
Mahisa Murti kemudian. "Terima kasih," jawab salah seorang diantara m ereka,
"tetapi sekali lagi aku ingin bertanya, beginikah caranya kalian
menyambut kedatangan kami?"
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Ia pun
kemudian berpaling kepada Mahendra dengan pandang penuh
tanya. Mahendra pun kemudian mengangguk sambil berkata,
"Persilahkan mereka masuk."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu Mahisa Pukat pun telah memberi isy arat kepada para
pengawal di dekat pintu gerbang untuk membukanya.
Sebelum pintu gerbang itu terbuka, maka Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahendra pun telah berada di belakang
pintu gerbang itu. "Marilah," Mahisa Murti telah mempersilahkan kelima
orang y ang membawa tongkat panjang itu.
Kelima orang itu pun kemudian telah melangkah
memasuki pintu gerbang. Mahisa Murti telah mempersilahkan
mereka naik ke pendapa. Bersama Mahisa Pukat dan
Mahendra, ia telah menemui kelima orang yang membawa
tongkat panjang itu. "Kami datang atas nama keluarga besar perguruan kita.
Sudah lama Perguruan Suriantal tidak meny elenggarakan
pertemuan keluarga. Karena itu, maka Maha Guru dari
perguruan kita telah memanggil kita semuanya untuk
berkumpul dan berbicara tentang perguruan kita," berkata
orang itu. Lalu "Tetapi agaknya aku datang terlambat.
Perguruan Suriantal di padepokan ini ternyata telah dengan
sengaja memutuskan hubungan dengan kepemimpinan Maha
Guru. Ternyata padepokan ini telah m enentukan nama dan
sikap sendiri. Ketika kami mendengar rencana ini, kami tidak
segera percaya. Tetapi ketika kami tiba di sini, m aka ternyata
rencana itu benar." Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun sebelum
ia menjawab, Mahisa Pukat sudah m endahuluinya, "Kenapa
kalian m asih juga bermimpi" Kami bukan m urid-murid dari
keluarga besar Suriantal. Kami sama sekali tidak mempunyai
hubungan dengan perguruan itu."
"Padepokan ini adalah salah satu diantara beberapa
padepokan Suriantal. Di Tanah Jawa ada empat perguruan
Suriantal yang diikat menjadi satu. Memang padepokanpadepokan
y ang sudah dianggap dewasa telah memilih
namanya sendiri. Bahkan ada diantara perguruan itu benarbenar
telah memisahkan diri dari induk perguruannya. Tetapi
semuanya itu dilakukan atas ijin Maha Guru. Perguruan
Manik Wungu adalah salah satu pecahan dari perguruan
Suriantal. Tetapi perguruan Manik Wungu dengan mudah
dapat dikenali bahwa perguruan itu adalah satu kelahiran baru
dari perguruan Suriantal. Mereka masih tetap m enunjukkan
ciri perguruan besar dengan tongkat panjangnya," jawab salah
seorang diantara mereka. Lalu "tetapi tidak dengan padepokan
ini. Kalian yang ada di sini telah m engambil langkah-langkah
sendiri." "Omong kosong," bentak Mahisa Pukat, "kami tidak
mempunyai hubungan dengan kalian. Apakah kalian tidak
tahu, beberapa perguruan pernah hadir disini dan bahkan
telah menghilangkan kepribadian perguruan Suriantal itu
sendiri. Sejak kehadiran mereka, maka seakan-akan
padepokan Suriantal tinggal namanya saja. Usaha untuk
menguasai Mahkota dari Kediri dan kemudian kerja yang lain
yang dilakukan oleh padepokan ini, telah berubah sama sekali
ujudnya sebagai hasil kerja orang-orang Suriantal."
"Tetapi orang-orang Suriantal masih berkuasa disini.
Atas ijin m ereka, orang -orang dari perguruan lain itu berada
disini," jawab seorang diantara mereka.
"Ternyata ikatan yang ada antara perguruan besar
Suriantal yang dipimpin oleh seorang Maha Guru itu pun tidak
banyak artinya. Kalian tidak tahu apa y ang pernah terjadi
disini. Dan kalian sekarang datang begitu terlambat," geram
Mahisa Pukat. "Kami memang datang terlambat," jawab salah seorang
diantara mereka, "tetapi belum terlalu terlambat. Siapa pun
kalian, tetapi kalian m erupakan penerus dari perguruan dan
padepokan Suriantal. Karena itu, kalian tidak berhak untuk
merubah nama perguruan dan padepokan ini apa pun
alasannya. Baru setelah kalian mendapat ijin kalian dapat
mengumumkan nama perguruan dan padepokan ini dalam
bentuknya y ang baru. Tetapi jika tidak ada ijin itu, maka
kalian tidak dapat melakukannya."
"Sudah aku katakan, kami tidak m empunyai hubungan
apa pun dengan perguruan Suriantal," tiba -tiba saja Mahisa
Pukat membentak, "Ki Sanak. Jangan kalian berpura-pura.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kal ian tahu siapa kami. Dan apa y ang telah terjadi disini."
Orang-orang bertongkat panjang itu mengerutkan
keningnya. Namun mereka pun kemudian saling
berpandangan. Baru kemudian seorang diantara m ereka berkata, "Apa
yang kau maksud berpura-pura itu anak muda."
"Ki Sanak," jawab Mahisa Pukat, "aku tidak percaya apa
yang kalian katakan. Aku belum pernah mendengar perguruan
induk dari perguruan Suriantal. Jika kemarin kami
menghancurkan perguruan Windu Putih y ang datang dengan
kekuatan tiga padepokan y ang masih juga bernama Windu
Putih, kami percaya bahwa Windu Putih memang mempunyai
perguruan induk y ang dipimpin oleh seorang Maha Guru
menurut penilaian m ereka, y ang say ang sekali Maha Guru itu
telah terbunuh disini."
"Bohong," tiba-tiba seorang diantara kelima orang itu
berteriak, "Omong kosong. Aku tidak percaya bahwa kalian
dapat menghancurkan perguruan Windu Putih."
"Terserah. Itu hak kalian. Percaya atau tidak percaya,"
jawab Mahisa Pukat, "namun sekarang, apa yang kalian
kehendaki sebenarnya, mungkin kalian m emang orang-orang
dari perguruan Suriantal y ang pernah meninggalkan
padepokan ini karena sesuatu hal. Tetapi jangan sebut
perguruan induk, Manik Wungu dan segala macam
kebohongan itu." Orang-orang itu menggeretakkan giginya. Namun dalam
pada itu Mahendra lah yang berkata, "Ki Sanak. Sebaiknya Ki
Sanak mempelajari persoalannya dengan tuntas. Meskipun
aku sependapat dengan Putut Mahisa Pukat ini, tetapi ternyata
bahwa kalian memang kurang cermat mengamati keadaan."
"Apalagi yang kau maksud?" bertanya salah seorang dari
kelima orang itu. "Baiklah," berkata Mahendra mendahului anak-anaknya,
"sekarang sebaiknya kalian katakan saja apa m aksud kalian
yang sebenarnya dan siapakah kalian. Kita tidak usah
melingkar -lingkar dan mengambil alasan yang tidak
sewajarnya. Tongkat panjang kalian memang menunjukkan
ciri Suriantal. Tetapi kami tahu bahwa tongkat semacam itu
dapat diambil di pinggir-pinggir jalan. Mungkin batang turi
atau batang lamtara atau kayu metir. Jika tongkat itu tongkat
yang memang kalian anggap sebagai senjata kalian, serta
kalian memang orang-orang Suriantal y ang pernah m elarikan
diri dari padepokan ini, apa sebenarnya yang kalian inginkan?"
Orang yang nampaknya paling berpengaruh diantara
mereka itu pun bergeser maju. Dengan nada tinggi ia berkata,
"Kalian jangan m embuat per soalan Ki Sanak. Apa pun yang
kalian katakan, Maha Guru mengharap kalian datang pada
saat y ang sudah ditentukan dalam pertemuan yang akan
dipimpin langsung oleh Maha Guru kami."
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun ia pun
bertanya, "Di mana dan kapan?"
"Saatnya adalah purnama naik di bulan depan. Sedang
tempatnya adalah disini. Di padepokan Suriantal ini," jawab
orang itu. Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut
mendengar jawaban itu. Sejenak mereka justru terdiam
betapapun jantung m ereka seakan-akan berdentang semakin
keras. "Kenapa kalian terkejut?" bertanya orang itu, "kalian
tidak akan dapat menolak. Itu keputusan Maha Guru. Dan
padepokan ini adalah padepokan Suriantal."
Mahendra lah yang kemudian mengangguk-angguk.
Katanya, "Jadi peri stiwa sebagaimana dilakukan oleh orangorang
Windu Putih itu akan terulang kembali. Kami sadar,
bahwa yang kalian katakan itu adalah sekedar alasan yang
tidak masuk akal. Tetapi y ang akan kalian lakukan adalah satu
cara y ang barangkali kalian anggap paling baik untuk merebut
padepokan ini dengan landasan yang seakan-akan masuk
akal." "Apa pun jawaban kalian. Paling sedikit akan datang
utusan dari empat padepokan. Dengar, bahwa yang datang
hanyalah utusan dari empat padepokan. Tetapi Maha Guru
juga mengundang beberapa padepokan y ang dianggap sebagai
sahabat. Ada tiga padepokan lain sudah menyatakan
kesediaannya untuk datang dan berbicara sebagaimana
pembicaraan antara keluarga sendiri. Memang tidak ada
masalah yang penting. Tetapi karena hal seperti itu sudah
lama tidak pernah kita lakukan, maka kita akan melakukannya
di saat purnama naik di bulan depan," berkata orang yang
paling berpengaruh diantara mereka.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "apa pun alasannya
maka y ang akan kalian lakukan ju stru melampaui kelicikan
orang-orang Windu Putih. Baiklah. Sebelum purnama naik
bulan depan, kami sudah siap menerima kalian. Pintu gerbang
kami akan berlapis baja dan dinding padepokan kami akan
menjadi sekeras batu karang. Lakukan apa y ang ingin kalian
lakukan." Orang itu tiba -tiba menggeram. Katanya, "kau masih
terlalu muda untuk mengenal kehidupan y ang selengkapnya.
Tetapi baiklah. Kita akan melihat apa y ang akan terjadi."
Namun tiba -tiba saja Mahisa Pukat pun berkata,
"Tunggulah sebentar. Aku akan memanggil seseorang yang
barangkali dapat berbicara banyak tentang padepokan
Suriantal." Orang-orang bertongkat itu mengerutkan keningnya.
Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak menghiraukannya.
Ketika ia lewat di depan Ki Bekel, ia sempat berkata, "Tidak
ada apa -apa Ki Bekel. Hanya orang-orang yang ingin
mendapat keuntungan bagi diri mereka sendiri."
Ki Bekel itu mengangguk-angguk meskipun hatinya agak
berdebar-debar juga. Sementara itu, Mahisa Pukat telah m emanggil seorang
yang umurnya sudah, m erayap mendekati pertengahan abad.
Orang itu terkejut ketika Mahisa Pukat bertanya, "Bukankah
kau dahulu murid dari perguruan Suriantal."
Orang itu terkejut. Ia tidak tahu, kenapa hal itu telah
diungkit lagi oleh Mahisa Pukat.
Karena itu, maka ia pun menjadi ragu-ragu untuk
menjawab. "Kenapa kau menjadi bingung," Mahisa Pukat y ang agak
tergesa -gesa mendesak, "bukankah kau orang Suriantal?"
Orang itu m asih k ebingungan. Tetapi ia pun kemudian
berkata, " Itu dahulu. Tetapi bukankah kita sudah bersepakat
untuk melupakannya."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Maaf. Bukan maksudku untuk mempersoalkannya. Tetapi
aku ingin kau mengenali orang-orang yang m engaku sebagai
orang-orang Suriantal. Mungkin kau dapat membantu kami."
Orang y ang sudah hampir setengah abad itu
mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Apa yang harus aku
lakukan?" " Ikutlah aku," jawab Mahisa Pukat.
Demikianlah, maka orang itu pun telah mengikut Mahisa
Pukat menuju ke pendapa padepokan itu. Orang itu m emang
berdebar-debar melihat lima orang yang bersenjata tongkat
panjang. Namun ketika ia naik ke pendapa, tiba -tiba saja
wajahnya m enjadi tegang. Dipandanginya salah seorang dari
kelima orang itu dengan tajamnya. Namun dalam pada itu,
orang y ang dipandanginya itu pun menjadi tegang pula.
Orang-orang y ang hadir di pendapa dengan segera
mengetahui, bahwa keduanya tentu pernah berhubungan
sebelumnya. Demikianlah orang itu duduk, maka Mahisa Pukat pun
segera bertanya, "Apakah ada diantara mereka y ang kau
kenal?" "Ya. Aku mengenalnya," berkata orang itu sambil
menunjuk salah seorang diantara kelima orang itu.
"Aku kira kau sudah ditumpas mati bersama kawankawanmu,"
geram orang y ang bertongkat panjang itu, "kenapa
selagi kalian masih hidup, kalian biarkan orang lain
menginjak-injak padepokan kita ini he?"
"Jangan asal saja bicara, agar tidak didahului," berkata
bekas orang Suriantal, yang masih berada di padepokan itu,
"kenapa kau m elarikan diri pada waktu itu, justru pada saat
kita memerlukan sekali keutuhan tekad. Bukan hanya kau.
Tetapi beberapa orang yang sempat membuat seribu macam
alasan. Kami mencoba bertahan disini. Tetapi pertempuran
demi pertempuran telah benar-benar menghancurkan
padepokan ini. Sehingga akhirnya, latar belakang kehidupan
Suriantal y ang tertinggal tidak ada lagi seperlima dari
kehidupan di Padepokan ini. Nah apakah yang seperlima itu
akan memaksakan kehendaknya atas y ang empat perlima"
Jika hal itu harus kami lakukan, apa saja yang pernah kau
lakukan bagi Suriantal."
Wajah orang itu menjadi merah. Lalu katanya, "Per setan
dengan kau. Diluar padepokan ini aku telah m enghidupkan
kembali jiwa perguruan Suriantal."
"Omong kosong," sahut orang yang tinggal di padepokan
yang kemudian bernama Bajra Seta itu, "Guru sudah tidak
ada. Apa y ang akan dapat kami jadikan tuntunan?"
Orang y ang bertongkat panjang itu tiba-tiba tertawa.
Katanya, "Hidupmu bertumpu pada seseorang. Jika
tumpuanmu itu runtuh, maka kau ikut runtuh seperti yang
terjadi sekarang ini. Tanpa tumpuan baru, kau sama sekali
tidak berarti sama sekali."
Beka s orang Suriantal itu menjadi merah telinganya.
Dengan nada geram ia berkata, " Itukah caramu
menyembuny ikan kelicikanmu. Bahkan pengkhianatanmu
pada waktu itu dengan membiarkan kesulitan itu menjadi
beban orang-orang y ang kau tinggalkan melarikan diri sekedar
memenuhi ketakutan yang membakar jantungmu?"
"Persetan," geram orang itu, "aku tidak peduli apapun.
Sekarang Maha Guru menentukan, kita akan bertemu dan
berbicara disini. Di padepokan Suriantal."
"Maha Guru siapa?" bertanya orang itu.
"Sejak dahulu kau selalu ketinggalan," jawab orang itu,
"kau tidak perlu tahu sekarang. Tetapi padepokan ini harus
dipersiapkan untuk menerima satu pertemuan antara
perguruan-perguruan Suriantal dan beberapa perguruan yang
akan menjadi tamu." "Perguruan-perguruan Suriantal y ang mana y ang kau
maksud?" bertanya bekas orang perguruan Suriantal itu, "ada
berapa perguruan Suriantal menurut hitunganmu ?"
"Kau benar -benar berpengetahuan picik sekali," jawab
orang itu, "karena itu, kita tidak dapat berbicara lebih panjang.
Bahan yang kau ketahui sama sekali tidak memadai kau
pergunakan sebagai bekal berbicara dengan aku dan saudarasaudaraku
ini." Orang itu terdiam. Tetapi wajahnya memang menjadi
tegang. Dipandanginya orang-orang y ang lain seorang demi
seorang. Tetapi ia belum pernah mengenal mereka.
Karena itu, maka ia pun berkata, "Aku belum pernah
mengenal mereka." "Tentu," jawab orang yang mengaku dari perguruan
Suriantal itu, "jika kau mengenalnya ju stru akan t erjadi satu
keanehan. Kau memang hanya mengenal padepokan ini.
Mungkin ternaknya, sawah dan pategalannya atau barangkali
satu dua kali mencuri kambing di padukuhan."
"Tutup mulutmu," bentak bekas orang Suriantal itu, "kau
kira aku tidak dapat berbuat sesuatu terhadapmu."
Namun ketika orang itu bergeser, Mahisa Murti telah
berdesis, "Tunggu. Kita akan berbicara."
Orang bertongkat panjang itu tertawa. Sementara itu ia
masih juga berkata, "Kau marah?"
"Tidak. Aku tidak jadi marah," jawab orang y ang hampir
sa ja meloncat menerkam itu.
"Kenapa" " Orang bertongkat itu tiba-tiba saja ingin
tahu. "Tidak aku lupa mengingat, dengan siapa aku berbicara,"
jawab bekas orang Suriantal itu.
"Jadi kenapa" " orang itu mendesak.
"Tidak apa -apa. Tetapi setelah aku ingat sepenuhnya,
bukan saatnya untuk marah," jawab bekas orang Suriantal itu.
Orang bertongkat y ang m engaku orang dari perguruan
Suriantal itu justru menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "He, kenapa dengan kau" Apa yang kau ingat,
sehingga kau tidak menjadi marah?"
"Aku baru ingat siapakah kau sebenarnya.
Kedudukanmu diantara orang -orang Suriantal dan barangkali
juga sikap dan tingkah lakumu. Kau adalah orang yang paling
tidak disukai diantara kita, orang -orang Suriantal. Dan kini
kau datang dengan cara yang tidak wajar sama sekali. Ju stru
pada saat nama Suriantal telah m ulai kita lupakan," berkata
bekas orang Suriantal yang masih berada di padepokan itu.
"Kau mulai mengigau," berkata orang bertongkat itu,
"sebaiknya aku tidak melayanimu. Aku datang dengan
kepentingan yang jauh lebih besar dari berbicara dengan
orang-orang y ang tidak berarti seperti kau."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Sebaiknya kau tidak berbuat aneh-aneh sekarang ini disini.
Kau harus melihat satu keny ataan. Satu kelahiran baru dari
sebuah perguruan dan sekaligus padepokan ini. Lupakan
mimpimu y ang buruk itu. Seolah-olah ada beberapa
padepokan Suriantal y ang akan mengadakan pertemuan
disini. Bahkan ada perguruan lain yang akan ikut hadir. Benarbenar
satu m impi yang bukan saja buruk, tetapi m impi yang
jahat. Karena dibalik mimpi itu terkandung niat y ang memang
jahat." "Tutup mulutmu," dua orang diantara orang bert ongkat
itu berteriak hampir bersamaan.
Tetapi orang itu justru tertawa. Kemudian ia pun berkata
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "Putut berdua. Inilah
keny ataan dari orang-orang y ang menyebut dirinya orangorang
dari perguruan Suriantal. Orang y ang meny ebut seorang
Maha Guru dari perguruan y ang telah mekar dan bahkan ada
yang telah memiliki pribadinya sendiri dan apalagi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menganggukangguk.
Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, "Kami
memang sudah memperhitungkan bahwa y ang akan kalian


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lakukan adalah satu tantangan. Tetapi apa boleh buat. Kami
tidak akan dapat dengan suka rela menundukkan kepala kami
dan membiarkan leher kami dipancung. Lebih baik
menengadahkan kepala sambil menepuk dada sebagai laku
seorang laki-laki." "Persetan," geram orang bertongkat y ang agaknya
memimpin kawan-kawannya itu, "kami sudah m enyampaikan
segala pesan Maha Guru. Jika kalian mencoba ingkar dari
pesan itu, maka kalian akan mengalami akibat yang sang
buruk." "Sudahlah," berkata Mahendra, "kami sudah mendapat
gambaran serba sedikit tentang kalian dan siapa yang kau
sebut sebagai Maha Guru itu. Karena itu kembalilah. Katakan
kepada mereka, bahwa besok, di bulan depan pada saat
purnama naik, kami tidak dapat menerima mereka yang kau
sebutkan tadi disini. Katakan kepada Maha Gurumu bahwa
disini tidak ada padepokan Suriantal sebagaimana kalian
maksudkan." Kelima orang itu memandang Mahendra dengan sorot
mata y ang memancarkan gejolak di dalam dada mereka.
Namun ternyata bahwa mereka berlima memang tidak berniat
untuk berbuat sesuatu, karena mereka menyadari, bahwa
mereka berlim a tidak akan dapat melakukan apa pun juga.
Sementara itu, langit pun telah m enjadi terang. Cahaya
matahari mulai membayang.
"Cukup," berkata orang yang agaknya memimpin kelima
orang bertongkat itu, "kita akan pergi."
"Ki Sanak," berkata Mahendra, "apa pun yang terjadi
diantara kita, aku ingin mempersilahkan Ki Sanak menunggu
minuman panas yang akan kami hidangkan."
"Terima kasih," jawab orang bertongkat itu, "bukan
waktunya untuk minum dan apalagi makan. Kami mengemban
tugas dari Maha Guru. Karena itu, kami minta diri."
Mahendra tidak menahannya lagi. Sejenak kemudian
maka kelima orang bertongkat itu pun telah meninggalkan
padepokan itu. Ki Bekel yang menunggu keterangan tentang orangorang
bertongkat itu ternyata masih juga berada di padepokan.
Dengan jantung yang berdebaran ia menemui Mahendra dan
anak-anaknya sambil bertanya, "Apa yang telah terjadi?"
Mahendra lah y ang menjawab sambil terseny um, "Tidak
ada apa-apa Ki Bekel. Agaknya memang wajar sekali jika
setiap usaha itu akan mengalami hambatan. Mereka adalah
orang-orang y ang mengaku orang-orang perguruan Suriantal."
"Ya," jawab Ki Bekel, " dahulu, penghuni padepokan ini
memang bersenjata tongkat panjang. Hampir semua orang
bersenjata tongkat. Namun kemudian telah terjadi perubahanperubahan
sehingga saat terakhir sekarang ini."
"Satu permainan y ang kotor dari orang-orang y ang tidak
tahu diri," berkata Mahendra.
"Tetapi, apakah ini satu pertanda bahwa pertentangan
dan kekerasan akan terjadi lagi di padepokan ini?" bertanya Ki
Bekel. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
berat ia berkata, "Memang kami m enjadi prihatin sekali akan
keadaan seperti itu. Kam i menginginkan suasana yang tenang
dan damai. Namun sudah tentu bahwa kami harus
mempertahankan hak kami terhadap siapa pun y ang akan
mengambilnya, seluruhnya atau bahkan hanya sebagian
sekalipun." Ki Bekel m engangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti.
Aku pun dapat m enilai tentang hak itu atas padepokan ini
sebagaimana aku lihat sejak kelahirannya sampai saat ini."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kami
mohon maaf Ki Bekel. Apa pun y ang terjadi disini tentu akan
mempengaruhi kehidupan di padukuhan. Mudah-mudahan
tidak akan selalu berulang setiap kali."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat
ki Bekel itu pun berkata, "Nampaknya kalian m emang tidak
dapat mengingkari kenyataan ini. Tetapi kami pun berdoa,
semoga kalian tidak selalu mengalami kesulitan seperti ini.
Sehingga pada satu saat, kalian benar-benar dapat hidup
dengan damai di padepokan ini."
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah kita
akan bersama-sama berdoa. Kali ini pun kami mohon Ki Bekel
juga berdoa agar kami dapat mengatasi kesulitan-kesulitan
ini." Ki Bekel itu m emandang Mahendra, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berganti-ganti. Kemudian katanya dengan nada
rendah, "Kalian masih harus mengalami cobaan-cobaan berat.
Tetapi aku y akin bahwa kalian akan dapat mengatasiny a."
"Terima kasih Ki Bekel. Kami memang akan berbuat
sejauh dapat kami lakukan untuk mempertahankan hak-hak
kami," desis Mahisa Murti.
Ki Bekel itu pun kemudian telah m inta diri. Sementara
matahari telah mulai m erayap di kaki langit. Bau asap yang
masih mengepul ternyata telah diwarnai dengan kegelisahan
yang timbul karena kedatangan lima orang bertongkat yang
mengaku orang-orang Suriantal itu.
Namun sepeninggal Ki Bekel dan para bebahu maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berusaha untuk
menghilangkan kegelisahan itu. Mereka pun telah menemui
para penghuni padepokan yang baru saja disy ahkan bernama
padepokan Bajra Seta itu, dan mengatakan agar mereka
melupakan kedatangan orang-orang bertongkat itu.
"Setidak-tidaknya untuk hari-hari ini," berkata Mahisa
Pukat, "m ereka tidak akan mengganggu kita sampai bulan
purnama y ang akan datang."
"Bulan purnama?" bertanya seseorang.
"Ya, Purnama di bulan ini sudah lewat. Karena itu,
mereka baru akan datang kira-kira sebulan lagi," jawab
Mahisa Pukat. Para penghuni padepokan itu menjadi tenang. Bahkan
mereka pun kemudian justru merasa mendapat dorongan
untuk bekerja keras meny ongsong kedatangan orang-orang
yang ingin merebut hak atas padepokan Bajra Seta itu.
Dengan demikian, maka orang-orang padepokan itu
masih sempat m enghabiskan sisa -sisa kegembiraan mereka.
Namun sebagian dari mereka telah mulai membersihkan
halaman padepokan mereka yang menjadi kotor dan sampah
pun berserakan di sana-sini.
Demikianlah untuk dua tiga hari, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat masih belum mengambil langkah-langkah
penting. Meskipun demikian penjagaan atas padepokan itu
nampaknya sudah mulai diperkuat.
Baru sepekan kemudian, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah mengumpulkan para pemimpin kelompok
di padepokan itu, untuk memberitahukan selengkapnya, apa
yang telah dikatakan oleh orang-orang bert ongkat itu.
Kepada bekas orang padepokan Suriantal y ang telah
menemui mereka, Mahisa Murti telah memberinya
kesempatan untuk menceriterakan siapakah orang yang
pernah dikenalinya di antara kelima orang itu.
Kawan-kawannya y ang semula juga dari perguruan
Suriantal ternyata telah m engenalinya pula. Seorang diantara
mereka berkata, "Jadi pengecut itulah yang datang" Agaknya
di tempatnya y ang baru, ia merasa dirinya sebagai seekor
burung rajawali, m eskipun semula ia tidak lebih dari seekor
bilalang sakit-sakitan."
Beberapa orang y ang juga mengenalinya tertawa.
Seorang y ang juga bekas murid perguruan Suriantal itu
berkata, "Jika demikian, maka kita tidak perlu cemas."
"Jangan m erendahkan mereka," berkata Mahisa Murti,
"mungkin orang itu dibawa sekedar untuk menjadi penunjuk
jalan." "Tetapi m enilik sikapnya diantara kelima orang itu, ia
termasuk orang y ang sederajad," berkata bekas orang
Suriantal yang ikut menemui kelima orang bert ongkat itu.
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "namun bagaimanapun
juga kita harus berhati-hati. Mereka telah menyebut-ny ebut
Maha Guru bagi seseorang y ang tentu mereka anggap penting.
Ada empat padepokan yang akan terlibat langsung, sementara
itu ada tiga padepokan y ang akan diundang m enjadi tamu.
Nah, kita dapat membayangkan. Tujuh padepokan. Sementara
padepokan Windu Putih yang datang itu tidak lebih dari tiga
padepokan." "Bagaimanapun juga, kita tidak akan menundukkan
kepala kita," berkata bekas orang Suriantal itu, "kita sudah
bertekad untuk berdiri diatas reruntuhan-reruntuhan masa
lampau. Jika kita memang harus runtuh lagi, maka biarlah kita
runtuh bersama perguruan dan padepokan kita y ang baru ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Dengan nada berat Mahisa Murti berkata, "Terima
kasih atas tekad y ang m embara di hati kalian. Agaknya kita
memang harus bertahan dengan kekuatan kita sendiri. Kita
akan segan untuk sekali lagi mohon kepada Akuwu Sangling
agar mempersiapkan pasukan dan membantu kita
menghadapi ke tujuh padepokan itu."
"Apakah kita benar -benar y akin, mereka akan datang?"
tiba -tiba seorang pemimpin kelompok bertanya.
Pertanyaan itu terdengar aneh. Tetapi ternyata
pertanyaan itu telah menarik perhatian mereka yang ikut
dalam pertemuan itu. "Ya," seorang y ang lain berdesis pula, "apakah m ereka
tidak sekedar membuat jantung kita selalu berdebaran.
Setidak-tidaknya untuk satu bulan mendatang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Pukat menjawab, "Kita akan
memperhitungkannya kemudian. Tetapi apa salahnya jika kita
berjaga-jaga menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang
bagaimanapun juga." Orang-orang padepokan Bajra Seta itu menganggukangguk.
Namun dengan nada rendah Mahisa Pukat ju stru
bertanya, "Ada beberapa kemungkinan. Orang itu hanya
sekedar m engganggu kita. Namun kemungkinan lain, setelah
mereka melihat kekuatan yang ada di padepokan ini, m ereka
justru meny ergap kita sebelum saat yang mereka tentukan.
Mungkin mereka akan dapat membuat alasan, seakan-akan
mereka mempersiapkan tempat bagi pertemuan y ang akan
mereka adakan itu disini."
Mahisa Murti lah y ang kemudian mengangguk-angguk.
Katanya, "Memang, kemungkinan itu dapat terjadi. Karena itu,
kita harus berhati-hati."
Para pemimpin kelompok di padepokan itu memang
menyadari kemungkinan-kemungkinan y ang bakal terjadi.
Karena itu, maka mereka sepakat untuk meningkatkan
penjagaan. Tetapi juga meningkatkan latihan-latihan sehingga
secara pribadi m ereka harus memiliki kelebihan dari orangorang
perguruan dan padepokan manapun juga, termasuk
perguruan y ang disebut-sebut bernama Suriantal.
Dalam pada itu, ketika pertemuan itu sudah dibubarkan,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berbincang agak
panjang dengan Mahendra. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang pernah
bekerja sebagai petugas sandi di Kediri, berniat untuk
menyelidiki kebenaran ceritera orang-orang bertongkat itu.
Tetapi Mahendra berkata, "Kau tidak perlu
melakukannya. Kalian berdua tidak sepantasnya
meninggalkan padepokan ini. Kalian adalah pemimpin dari
padepokan ini." "Jadi bagaimana?" bertanya Mahisa Murti.
"Biarlah aku kembali ke Singasari. Mungkin pamanmu
yang mempunyai pengaruh di bidang keprajuritan di Singasari
akan dapat memberikan jalan," berkata Mahendra.
Tetapi dengan serta merta Mahisa Pukat berkata,
"Jangan ay ah. Padepokan ini t erletak di wilayah Kediri. Jika
prajurit Singasari dalam susunan pasukan memasuki Kediri,
meskipun Kediri m erupakan satu kesatuan dengan Singasari,
namun agaknya akan dapat memancing persoalan. Selama ini,
Kediri m asih m empunyai wewenang untuk mengurus dirinya
sendiri meskipun harus mengakui kekuasaan Singasari."
"Bukan maksudku untuk minta agar pamanmu
mengerahkan pasukan Singasari dan diperbantukan disini.
Tetapi mungkin pamanmu akan dapat m encari jalan untuk
mengetahui kebenaran ceritera orang-orang bertongkat itu.
Mungkin dua atau tiga orang petugas sandi akan dapat
melakukannya." "Ayah," berkata Mahisa Murti, "aku berpendapat lain.
Aku mohon ayah berada di padepokan ini untuk satu dua
pekan. Atau mungkin sampai saatnya purnama naik itu.
Biarlah kami berdua mencari jalan untuk mengetahui, apakah
yang dikatakan oleh orang-orang itu benar."
"Apa yang dapat kau lakukan?" bertanya Mahendra.
"Ayah," berkata Mahisa Murti, "biarlah kami berdua
melakukannya. Kami akan meninggalkan padepokan ini untuk
waktu yang tidak terlalu lama. Bahkan jika dalam perjalanan
kami mendengar berita perjalanan pasukan lawan, kami
berdua akan segera kembali."
Mahendra memang menjadi ragu-ragu. Tetapi ia dapat
mengerti, bahwa jika Singasari langsung atau tidak langsung
mencampuri persoalan y ang terjadi di Kediri, maka mungkin
sekali akan dapat memanggil persoalan meskipun tidak selalu
berakibat demikian. Jika Singasari dapat m emberikan alasan
yang mapan, maka Kediri tentu akan dapat mengerti.
Karena itu, m aka y ang mungkin dimohon bantuannya
adalah Pakuwon Sangling atau Lemah Warah y ang masih
berada di bawah kuasa Kediri. Atau bahkan Kediri itu sendiri.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih ingin
mengetahui, apakah orang-orang bertongkat itu bukannya
sekedar bermain-main. Dengan menunjukkan beberapa alasan, akhirnya
Mahendra melepaskan kedua anaknya pergi meninggalkan
padepokan itu. Kepada para penghuninya, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memberitahukan bahwa ay ahnyalah yang untuk
sementara akan tetap berada di padepokan.
"Latihan-latihan berikutnya akan dipimpin oleh ayah
langsung," berkata Mahisa Murti.
Demikianlah, maka setelah berbenah diri, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap untuk pergi. Di
malam hari ia masih mengumpulkan para pemimpin


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelompok. Namun kemudian keduanya pun telah m inta diri
dan meninggalkan beberapa pesan bagi mereka.
"Kami titipkan padepokan ini kepada kalian dibawah
pimpinan ay ah Mahendra. Jika kalian mengakui
kepemimpinan kami, maka kalian pun akan mengakui
kepemimpinan ayah, karena kami berdua justru mengakui
bahwa ayah adalah guru kami," berkata Mahisa Murti.
Meskipun para pemimpin kelompok itu tidak menjawab,
namun pada sor ot m ata mereka, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat dapat m enangkap kesediaan para pemimpin kelompok
itu. Di pagi hari berikutnya, menjelang matahari terbit, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berangkat
meninggalkan padepokannya. Mereka berniat untuk
mengetahui kebenaran ceritera kelima orang bertongkat itu.
Satu-satunya ancar-ancar y ang dapat mereka pakai sebagai
sa saran adalah padepokan Manik Wungu.
"Dimanakah kira-kira letak padepokan Manik Wungu,"
bertanya Mahisa Pukat. "Apa salahnya jika kita bertanya kepada orang y ang kita
anggap mempunyai pengamatan yang luas," jawab Mahisa
Murti. "Siapa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Apa salahnya jika kita menghadap Akuwu Lemah
Warah," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
sependapat. Kita akan menghadap Akuwu Lemah Warah.
Mungkin Akuwu pernah mendengar nama perguruan Manik
Wungu. Ternyata keduanya memang sependapat untuk langsung
menuju ke Pakuwon Lemah Warah.
Demikianlah, kedua anak muda y ang telah m engangkat
diri sebagai pemimpin sebuah perguruan dan pemimpin
padepokan itu telah menuju ke Lemah Warah. Meskipun
Akuwu Lemah Warah itu orang lain bagi mereka, namun
Akuwu telah mengaku mereka sebagai kemanakannya. Bahkan
rasa-rasanya, sikap Akuwu Lemah Warah itu bukan sekedar
diucapkan, tetapi benar-benar terpahat di dalam hati. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat adalah anak-anak m uda yang telah
dapat menarik perhatiannya.
Ternyata kehadiran kedua anak muda itu memang
disambut dengan gembira. Akuwu Lemah Warah yang pernah
berada di padepokan Bajra Seta y ang sebelumnya disebut
padepokan Suriantal itu mendengarkan ceritera Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat tentang padepokan mereka dengan
sungguh-sungguh. Sekali-kali wajahnya nampak berkerut.
Namun kemudian mengangguk-angguk kecil. Sehingga
akhirnya Mahisa Murti-pun mengakhiri ceriteranya dengan
sebuah pertanyaan, "Ampun Akuwu, apakah Akuwu
mengetahui serba sedikit tentang sebuah perguruan atau
padepokan yang bernama Manik Wungu" Perguruan itulah
yang pernah disebut-sebut oleh orang-orang bert ongkat yang
mengaku dari perguruan Suriantal itu."
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk kecil.
Katanya, "Anak-anakku. Ternyata kalian berhadapan dengan
sekelompok siluman."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Dengan nada
rendah Mahisa Pukat bertanya, "Apakah maksud Akuwu
dengan sekelompok siluman?"
"Dengarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat," berkata
Akuwu Lemah Warah, "perguruan Manik Wungu adalah
perguruan dari orang-orang yang tidak lagi mengikatkan diri
dengan martabat kemanusiaan mereka. Perguruan itu tidak
terlalu besar, tetapi sangat berbahaya."
"Jadi apakah menurut Akuwu, perguruan itu benarbenar
merupakan cabang atau satu perkembangan dari
perguruan Suriantal?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku sama sekali tidak melihat persamaannya sama
sekali antara kedua perguruan itu," berkata Akuwu, "yang aku
tahu, perguruan Manik Wungu itu bergerak di tem pat-tempat
yang jauh. Letak padepokannya pun tidak terlalu dekat dengan
Pakuwon Lemah Warah ini. Agaknya orang-orang Manik
Wungu telah menjadi jera memasuki Pakuwon Lemah Warah,
karena aku pernah mengambil tindakan y ang tidak tanggungtang
-gung terhadap padepokan itu. Aku pernah
menghancurkannya hampir enam tahun yang lalu. Namun aku
memang mendengar bahwa padepokan dan perguruan Manik
Wungu telah tumbuh kembali."
"Agaknya mereka telah bekerja bersama dengan pelarian
dari padepokan Suriantal," berkata Mahisa Pukat.
"Memang mungkin sekali," jawab Akuwu Lemah Warah,
"orang-orang Manik Wungu akan senang sekali menerima
pelarian dari Suriantal untuk memperkuat kedudukan
mereka." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
kecil. Orang-orang Suriantal y ang putus asa itu telah
terperosok ke dalam sarang siluman y ang garang. Jika pada
dasarnya orang-orang Suriantal bukannya orang-orang yang
tidak menghiraukan martabat kemanusiaannya, namun
mereka y ang kehilangan pegangan, ternyata telah terjerat ke
dalamnya. Dalam pada itu, Mahisa Murti pun kemudian berkata,
"Ampun Akuwu. Agaknya kami berdua harus mencari
keterangan tentang padepokan Manik Wungu untuk
meyakinkan, apakah benar mereka akan datang di saat
purnama naik di bulan mendatang."
Akuwu Lemah Warah itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya, "Sebaiknya bukan kalian. Biarlah
orang-orangku pergi ke Manik Wungu. Ada diantara m ereka
yang akan dapat mengadakan hubungan dengan penghuni
padepokan itu dengan caranya."
"Bukankah kerja itu kerja y ang berbahaya?" bertanya
Mahisa Pukat. "Orang-orang yang akan aku kirim, tentulah orangorang
yang menyadari akan bahaya itu. Namun memang ada
diantara mereka y ang mengenali satu dua orang Manik Wungu
yang garang itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Lalu dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Jika
demikian, apa yang harus kami lakukan kemudian?"
"Menunggu orang-orangku itu disini," berkata Akuwu
Lemah Warah. "Tetapi apakah itu pantas, bahwa justru kami y ang
berkepentingan sekedar menunggu disini, sementara orang
lain harus bekerja keras dengan mempertaruhkan nyawanya,"
desis Mahisa Murti. "Bukan begitu," berkata Akuwu Lemah Warah, "aku tahu
siapa kalian berdua. Aku pun tahu apa y ang pernah kalian
lakukan. Kalian juga pernah melakukan tugas sandi, sehingga
kalian tidak akan gentar menghadapi segala persoalan yang
mungkin timbul dalam tugas-tugas kalian y ang berat. Tetapi
jika aku akan memerintahkan orang -orangku itu semata-mata
karena medan y ang lebih kami kuasai dari pada kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Nampaknya Akuwu m emang yakin akan keberhasilan tugas
orang-orangnya. Karena itu maka Mahisa Murti pun berkata,
"Jika demikian, kami serahkan kebijaksanaan kepada Akuwu."
(Bersambung ke Jilid 54).
Jilid 054 "TERIMA KASIH," jawab Akuwu, "aku akan segera
menghubungi orang-orang yang mengenal padepokan itu
dengan baik, bahkan mengenal beberapa iblis yang ada di
padepokan itu." Demikianlah, maka Akuwu pun telah memanggil
beberapa orang untuk menghadap.
Namun demikian mereka tampil, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memang terkejut m elihat ujud m ereka. Orangorang
itu adalah orang -orang yang kasar, kotor, bahkan
memberikan kesan sebagai perampok-perampok dan penjahat.
"Hanya orang-orang seperti merekalah yang dapat
berhubungan dengan orang-orang Manik Wungu," desis
Akuwu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Mereka mengerti maksud Akuwu Lemah Warah. Agaknya
pada petugas sandi Lemah Warah terdapat prajurit-prajurit
yang harus menyesuaikan diri dengan segala lapisan rakyat
yang ada di Lemah Warah. Ada diantara mereka yang harus
berujud dan bersikap sebagaimana orang-orang kaya. Ada
yang harus menyatakan dirinya sebagai pedagang dan
saudagar. Tetapi ada y ang harus bersikap seperti bangsawan
dan ada pula sebagaimana mereka hadapi saat itu.
Akuwu Lemah Warah terseny um. Katanya, "Apakah kau
heran melihat mereka?"
Mahisa Murti lah yang menggeleng. Katanya, "Kami
dapat mengerti." "Tentu," berkata Akuwu Lemah Warah, "kalian pernah
berada dalam lingkungan petugas sandi."
Sambil memperkenalkan orang-orang itu, Akuwu Lemah
Warah berkata, "ber sikaplah wajar. Keduanya juga petugas
sandi y ang berpengalaman."
Orang-orang itu tersenyum. Seorang diantara mereka
berkata, "Ampun Akuwu. Hamba menjadi cemas pada diri
hamba sendiri. Jika sikap ini kemudian menjadi kebia saan
hidup hamba sehari-hari."
Akuwu Lemah Warah tertawa. Katanya, "Bukankah
peran seperti ini t idak harus kau lakukan terus-menerus
sepanjang tahun" Bukankah para petugas yang berperan
seperti kalian ini berganti dalam waktu empat bulan sekali?"
"Dalam empat bulan itu Akuwu, rasa -rasanya hamba
menjadi masak," jawab petugas sandi itu sambil tertawa.
"Satu ujian jiwani bagi kalian dalam tugas kalian,"
berkata Akuwu. Lalu "Nah, sekarang kalian benar-benar
dihadapkan kepada tugas y ang sesuai. Kalian harus
menghubungi orang-orang Manik Wungu."
"Orang-orang Manik Wungu," bertanya seorang diantara
mereka, "apakah y ang harus hamba lakukan atas orang-orang
Manik Wungu itu." "Hubungi mereka," berkata Akuwu yang kemudian
menceriterakan apa yang telah terjadi di padepokan yang
semula disebut Suriantal, namun yang kemudian bernama
Bajra Seta. Orang-orang yang berwajah kasar dan keras itu
mengangguk-angguk. Seorang diantara berkata, "Agaknya
memang kamilah diantara para petugas sandi yang paling
tepat datang kepada mereka. Hamba mengenal satu dua
diantara mereka." "Nah," berkata Akuwu, "usahakan untuk mendapat
keterangan, apakah yang akan mereka lakukan, bulan depan di
saat purnama naik." Orang-orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu
Akuwu berkata selanjutnya, "Terserah k epada kalian. Apakah
kalian m emerlukan kawan sedikit atau banyak. Atau bahkan
kalian menganggap bahwa justru cukup dua orang saja
diantara kalian yang akan melakukannya."
Orang yang agaknya pemimpin diantara mereka itu pun
berkata, "Baiklah Akuwu. Perkenankanlah kami
membicarakannya. Menyusup diantara orang-orang Manik
Wungu bukan tugas y ang ringan. Karena itu kami harus benarbenar
siap menghadapi segala kemungkinan. Sebagaimana
Akuwu ketahui, orang-orang Manik Wungu adalah iblis-iblis
yang aneh." "Terserahlah," berkata Akuwu, "aku percaya kepada
kalian. Namun kalian pun harus mencoba untuk mengetahui,
apakah ada perguruan lain y ang berhubungan dengan
padepokan Manik Wungu itu. Perguruan y ang mengaku
bernama Suriantal atau cabang ilmu keturunannya. Kau harus
berusaha menemukan orang-orang bertongkat untuk mulai
dengan peny elidikan y ang akan kau lakukan berikutnya."
"Hamba Akuwu," jawab pemimpin m ereka, "segalanya
akan kami pelajari sehingga kami akan menemukan satu
kesimpulan yang berarti bagi tugas kami."
"Baiklah," berkata Akuwu, "aku menunggu sampai
besok. Kalian harus sudah memberikan laporan kepadaku."
Orang-orang kasar itu pun mengangguk hormat.
Kemudian mereka meninggalkan ruang itu. Sementara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam.
"Apakah kau pernah membayangkan untuk berperan
seperti orang-orang itu?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Dengan
nada datar Mahisa Murti berkata, "Yang pernah kami lakukan
tidak lebih dari pada menjadikan diri kami pengembara. Atau
barangkali lebih rendah sedikit derajadnya dari seorang
pengembara. Tetapi tidak menjadi orang-orang sekasar itu.
Tetapi ternyata bahwa cara ini pun akan baik juga dilakukan."
"Aku menghadapi seribu masalah disini," berkata Akuwu
Lemah Warah, "karena itu belajar dari pengalaman, aku
memerlukan orang-orang seperti itu. Ternyata kali ini ada juga
gunanya, di samping hasil yang memang pernah mereka capai
sebelumnya untuk kepentingan ketenangan dan ketentraman
di Pakuwon Lemah Warah ini."
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka
mengakui sepenuhnya keterangan Akuwu Lemah Warah yang
telah banyak sekali belajar dari pengalaman.
Namun y ang kemudian m ereka pikirkan adalah, bahwa
mereka justru akan duduk-duduk bertopang dagu di Pakuwon
Lemah Warah sementara para petugas sandi dari Lemah
Warah lah yang bekerja keras bagi mereka.
Karena itu, tiba-tiba Mahisa Pukat berkata, "Bagaimana
jika kami berdua ikut bersama mereka dengan cara
sebagaimana mereka lakukan. Berperan menjadi orang-orang
sekasar itu agaknya justru lebih mudah daripada berperan
menjadi seorang yang lembut dan berbudi tinggi."
Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia pun terseny um, "Agaknya sulit bagi kalian.
Apalagi dihadapan orang-orang Manik Wungu. Karena itu,
tunggu sajalah disini. Semuanya akan dapat mereka selesaikan
dengan baik, sehingga kalian akan dapat mengurai dan
kemudian menentukan langkah-langkah yang patut kalian
ambil." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera menjawab.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun nampak bahwa ada perasaan kecewa pada keduanya.
Agaknya keduanya akan lebih mantap jika mereka
diperkenankan untuk ikut serta meskipun keduanya harus
membuat diri mereka sebagaimana para petugas sandi itu.
Namun dalam pada itu Akuwu Lemah Warah pun
berkata, "Anak-anak muda. Ada keberatan lain y ang harus
dipertimbangkan. Jika ternyata salah seorang diantara kelima
orang bert ongkat y ang datang ke padepokan kalian itu ada di
padepokan Manik Wungu dan melihat kehadiran kalian,
akibatnya akan menjadi gawat."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk,
sehingga akhirnya Mahisa Murti berkata, "Baiklah Akuwu.
Kami berdua akan tinggal disini untuk menunggu, m eskipun
dengan demikian, rasa -rasanya kami tidak mampu berbuat
berlandaskan tenaga kami sendiri. Kami hanya akan memetik
hasilny a tanpa mau melakukan kerja."
"Bukan kau y ang ingin berbuat demikian," berkata
Akuwu Lemah Warah, "tetapi aku menasehatkan kalian
berbuat demikian jika kalian masih menganggap aku sebagai
orang tuamu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada dalam Mahisa Murti menjawab, "Kami
mengucapkan terima kasih y ang sedalam-dalamnya."
Akuwu pun kemudian tersenyum. Katanya, "Sudahlah.
Kal ian sudah sepantasnya beristirahat setelah kerja keras sejak
kau mulai menyiapkan patung batu yang menjadi rebutan itu
dan terakhir kalian harus menghalau orang-orang Windu
Putih. "Tetapi sebagian dilakukan oleh kakang Mahisa
Bungalan," jawab Mahisa Murti.
"Bagaimanapun juga kalian tentu juga merasa letih.
Belum lagi kerja kalian membangun kembali padepokan yang
rusak itu. Kemudian ketegangan jiwa karena kehadiran orangorang
bertongkat y ang mengaku datang dari perguruan
Suriantal yang tersebar di empat padepokan," berkata Akuwu.
"Sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih," sahut
Mahisa Murti. Demikianlah, maka sejak hari itu, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat justru sempat beristirahat. Mereka menjadi
tamu yang dihormati di istana Akuwu Lemah Warah. Namun
dengan demikian, m ereka justru merasa kebingungan. Tidak
ada apa -apa y ang pantas mereka lakukan.
Agaknya Akuwu mengerti kegelisahan itu. Karena itu,
maka di hari -hari berikutnya keduanya telah diajaknya masuk
ke dalam sanggar. "Kita isi waktu kalian dengan bermain-main di dalam
sanggar," berkata Akuwu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berkeberatan.
Ternyata mereka memang lebih senang berada di dalam
sanggar daripada sekedar duduk, bangkit, berjalan hilir mudik
di halaman, berbicara ke sana-kemari. Apalagi jika Akuwu
sedang melakukan tugasny a.
Di sanggar mereka dapat melupakan waktu dengan
berlatih dan berusaha menemukan perkembangan baru dari
ilmu y ang telah mereka miliki. Sedangkan di waktu senggang,
maka bersama Akuwu mereka dapat menemukan
perbandingan bagi ilmu mereka.
Demikian Akuwu Lemah Warah y ang tidak pernah
menemukan kawan y ang seimbang untuk berlatih, kehadiran
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata memberikan arti
yang besar baginya. Anak-anak muda yang sudah mendapat
tempaan dari berbagai pihak itu ternyata telah memiliki ilmu
yang tinggi. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di
Pakuwon Lemah Warah, m aka beberapa orang petugas sandi
telah berangkat. Atas persetujuan Akuwu, yang kemudian
berangkat adalah empat orang yang terbagi menjadi dua
kelompok masing-masing dengan dua orang.
Tugas mereka adalah menghubungi orang-orang
padepokan Manik Wungu. Karena diantara mereka terdapat
orang y ang telah mengenal penghuni padepokan itu, maka
diharapkan bahwa tugas mereka akan dapat berhasil.
Ternyata para petugas sandi itu benar-benar mampu
membawakan peranan mereka dengan baik. Di perjalanan
mereka segera menjadi bahan pembicaraan. Meskipun tidak
ada korban yang jatuh, namun orang-orang di sepanjang jalan
yang mereka lalui, menilai mereka sebagai orang-orang liar
yang tidak mengenal martabat kemanusiaan mereka.
"Tetapi mereka bukan orang Manik Wungu," berkata
orang-orang y ang pernah menjumpai para petugas sandi itu.
"Dari mana kau tahu?" bertanya kawannya.
"Setiap kali mereka sesumbar. Mereka datang dari
pusatnya bumi. Mereka agaknya memang datang dari Barat,"
sahut orang yang pernah mendengar orang-orang itu
sesumbar. "Biar saja. Pada suatu saat mereka akan bertemu dengan
orang-orang Manik Wungu. Mereka akan berbicara dan
bersikap sama-sama liar dan kasar," berkata salah seorang
dari orang-orang padukuhan itu.
Sebenarnyalah, kehadiran orang-orang itu memang
terdengar oleh orang-orang Manik Wungu. Karena itu,
padepokan Manik Wungu telah mengirim beberapa orang
untuk membuktikan, apakah benar bahwa di luar padepokan,
di padukuhan-padukuhan ada orang -orang liar yang
mengganggu. Sementara itu orang-orang Manik Wungu
sendiri tidak pernah melakukannya terhadap orang-orang
terdekat, karena mereka lebih banyak menjangkau daerah
yang jauh. Hanya dalam saat-saat tertentu sajalah mereka
memang berlaku kasar dan liar kepada para penghuni
padukuhan yang terdekat. Bukan untuk merampok atau
merampas harta benda, karena pada umumnya mereka
memang orang -orang y ang tidak kaya. Tetapi jika orang-orang
padepokan memerlukan bantuan tenaga mereka untuk satu
kepentingan. Yang pernah terjadi adalah untuk membantu
memperbaiki barak-barak di padepokan, serta membuat parit
bagi lahan y ang dibuat oleh orang-orang Manik Wungu
beserta bendungannya. Ketika orang-orang Manik Wungu menemukan para
petugas sandi dari Pakuwon Lemah Warah itu, memang
terjadi beberapa benturan kecil. Namun para petugas sandi itu
segera menyebut beberapa nama dari orang -orang Manik
Wungu yang pernah mereka kenal.
"Kenapa Kebo Rupak tidak bersama kalian," bertanya
salah seorang dari petugas sandi itu.
"Kau kenal Kebo Rupak?" bertanya orang Manik Wungu.
"Aku ingin bertemu dan berbicara dengan orang itu,"
berkata salah seorang diantara para petugas sandi.
Orang-orang Manik Wungu itu termangu-mangu. Kebo
Rupak m erupakan salah seorang yang berpengaruh diantara
orang-orang Manik Wungu itu.
Karena itu, maka salah seorang diantara mereka berkata,
"Marilah. Jika kau ingin berbicara dengan kakang Kebo
Rupak. Ikut aku." "Kenapa tidak kau suruh saja ia kemari?" bertanya
petugas sandi itu. "Kalianlah yang memerlukannya. Kalianlah yang wajib
datang kepadanya," berkata salah seorang dari mereka.
"Baiklah," berkata salah seorang petugas sandi, "kami
akan datang ke padepokanmu."
Keempat petugas sandi yang bertemu di tempat y ang
sudah ditentukan itu pun kemudian telah pergi ke padepokan
Manik Wungu. Padepokan yang dikenal sebagai sarang
siluman y ang menggetarkan jantung.
Demikian keempat orang itu mendekati pintu gerbang,
maka orang y ang disebut Kebo Rupak itu telah berdiri di
tengah pintu. Sambil meny ilangkan tangan di dadanya ia
menunggu kedatangan empat orang y ang akan menemuinya.
Ketika dilihatnya salah seorang y ang dikenalnya diantara
keempat petugas sandi itu, maka tiba-tiba saja mulutnya
mengumpat kasar. Sambil tertawa berkepanjangan ia berkata,
"jadi kau itu Gagak Sampir."
Yang disebut Gagak Sampir pun mengumpat dengan
kata-kata kotor. Hampir berteriak ia berkata ka sar, "Ny awamu
ternyata masih juga liat Kebo dungu."
Kebo Rupak tertawa semakin keras. Sementara itu,
seorang diantara petugas sandi itu berdesis, "Nama Gagak
Sampir akan menjadi lebih terkenal dari namamu sendiri."
"Jika kata -katamu m ereka dengar, kita akan dibantai di
sini," desis orang y ang disebut Gagak Sampir itu.
Kawan-kawannya terseny um. Namun seorang diantara
mereka berkata, "Aku masih saja sering lupa akan namaku
sendiri. Tetapi aku juga mengenal dua orang penghuni
padepokan ini." "Ya. Tentu T erung dan Damplak Paten," berkata orang
yang meny ebut dirinya Gagak Sampir. "Bukankah kita
mengenal mereka dalam tugas y ang sama?"
Kawannya tidak sempat menjawab. Mereka menjadi
semakin dekat dengan pintu gerbang itu.
Pertemuan itu nampaknya merupakan pertemuan y ang
menggembirakan. Dengan ungkapan y ang khusus mereka
menyatakan kegembiraan hati mereka. Umpatan kasar, katakata
kotor dan sikap yang mendebarkan.
"Marilah. Masuklah," berkata orang y ang disebut Kebo
Rupak itu, "kau akan melihat isi dari rumah kami."
"Aku pernah datang kemari beberapa waktu y ang lalu,"
berkata petugas sandi y ang disebut Gagak Sampir itu. Lalu
katanya, "Kawanku y ang satu ini pernah juga datang kemari."
Kebo Rupak itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia pun mengumpat kasar. Katanya, "Kau itu
Gempol. He, bukankah namanya Gempol."
"Bukan," jawab petugas sandi yang disebut Gempol itu,
"itu hanya nama panggilan. Namaku bukan Gempol."
"Siapa?" bertanya Kebo Rupak.
"Namaku Kuda Wisesa," jawab Gempol.
Kebo Rupak t ertawa berkepanjangan. Dengan nada
tinggi ia berkata, "Kau memang pembual. Orang seperti
kunyuk tidak pantas bernama Kuda Wisesa. Namamu memang
Gempol. Gempol kotor."
Orang-orang itu t ertawa. Gagak Sampir ikut tertawa.
Dan dua orang petugas sandi y ang lain pun tertawa pula.
Sementara Gempol itu pun akhirnya ikut pula tertawa.
Mereka pun kemudian memasuki padepokan y ang
disebut sarang Siluman itu. Bagi petugas yang meny ebut
dirinya Gagak Sampir dan yang dipanggil Gempol itu memang
pernah melihat, meskipun hanya sekilas. Tetapi dua orang
petugas sandi y ang lain, yang belum pernah memasuki
padepokan itu, ku litnya terasa meremang pula. Mereka telah
membuat diri mereka seperti orang-orang liar. Namun
ternyata isi dari padepokan itu terasa lebih liar dari yang
mereka duga. Namun dalam pada itu, Gagak Sampir berkata, "Aku
tidak akan lama berada di sarang iblis ini. Aku akan segera
melanjutkan perjalananku."
"Kemana?" bertanya Kebo Rupak.
"Kau pernah b ertanya begitu kepada dirimu sendiri jika
kau berada di pengembaraanmu?" Gagak Sampir justru
bertanya. Kebo Rupak tertawa. Katanya, "Kau masih juga gila
seperti dahulu. Tetapi marilah, kau harus singgah barang
semalam disini." Gagak Sampir mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Tetapi tidak lebih semalam. Aku dapat menjadi gila t erlalu
lama berada di sarangmu y ang kotor ini."
"He, sebut sarangmu sendiri. Aku memang belum
pernah melihat. Tetapi m enilik ujudmu, sarangmu tidak lebih
baik dari kandang kambing di belakang padepokan ini," geram
Kebo Rupak. Gagak Sampir tertawa. Jawabnya, "Tidak. Kau salah.
Ju stru karena aku tidak mempunyai rumah tempat tinggal."
Kebo Rupak tertawa keras-keras, sehingga perutnya
terguncang-guncang. Dengan nada tinggi ia berkata,
"Tinggallah ber sama kami disini. Kau pantas untuk berada di
tempat kami, karena kau ternyata memiliki sifat -sifat iblis
yang paling jahanam. Disini kau akan mendapat tempat,
karena hanya laki-laki yang sadar akan kelaki-lakiannya yang
dapat tinggal bersama kami."
" Itulah sebabnya padepokan ini disebut sarang siluman,"
sahut Gagak Sampir. "Aku senang akan nama itu," jawab Kebo Rupak. Lalu
"Mari, kita pergi ke barak itu."
Ketika mereka mendekati barak itu, mereka terkejut
ketika dua orang perempuan keluar dari dalamnya. Namun
kedua perempuan itu pun tidak lebih dari iblis betina yang
mendebarkan. Begitu keduanya melihat keempat orang yang
datang bersama Kebo Rupak, maka kedua perempuan itu telah
berhenti. Tingkah laku mereka segera berubah. Selangkah demi
selangkah mereka mendekati keempat orang itu. Pada
bibirnya nampak senyum yang mendebarkan.
"Siapakah mereka?" desis salah seorang dari perempuan
itu. Tetapi sebelum seorang pun menjawab, tiba-tiba saja
Gagak Sampir telah menariknya. Dengan kuat dipegangnya
pinggang perempuan itu. Beberapa kali perempuan itu
diputarnya. Kemudian dipegangnya dagunya dan diangkatnya
wajah perempuan itu. Namun kemudian didor ongnya
perempuan itu menjauh. Belum lagi perempuan itu berbuat sesuatu, perempuan
yang lain telah ditariknya dan diperlakukannya sama. Namun
Gagak Sampir sempat memandanginya agak lama. Baru
kemudian perempuan itu pun telah didor ongnya pula.
"Anak iblis," geram kedua perempuan itu hampir
bersamaan. Gagak Sampir tertawa keras-keras. Katanya kepada Kebo
Rupak, "Kaukah y ang meny impan setan betina ini?"
"Persetan," geram Kebo Rupak, "kenapa?"
"Berapa umurnya" " tiba -tiba saja Gagak Sampir
bertanya. " Iblis," geram Kebo Rupak, "untuk apa kau bertanya
tentang umurnya?"

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa kau tidak mencari y ang lebih segar dari
perempuan-perempuan yang sudah menjadi segemuk
kerbau?" desis Gagak Sampir.
Sebelum Kebo Rupak menjawab, ternyata salah seorang
perempuan itu telah meloncat maju sambil menampar pipi
Gagak Sampir. Namun Gagak Sampir tertawa saja tanpa
menghiraukannya. Bahkan katanya, "Ternyata lebih baik
bagiku untuk mencari perempuan di sepanjang perjalanan dari
perempuan yang telah terlalu lama kau simpan disini."
Kebo Rupak mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi
tegang. Namun tiba-tiba saja ia tertawa bagaikan meledak.
Katanya, " Iblis kau. Demit, thethekan. Kau m asih saja hantu
bagi perempuan di sepanjang jalan yang kau lalui. He, apakah
kawan-kawanmu juga kau ajari begitu?"
"Aku tidak pernah mengajarinya. Jika Gempol itu
melampaui kerakusanmu, itu adalah karena tingkahnya
sendiri," jawab Gagak Sampir.
"Aku?" bertanya Kebo Rupak.
"Ya. Aku tidak bertanggung jawab jika kedua perempuan
itu nanti malam dibawa Gempol keluar padepokanmu dan
besok kalian temukan keduanya pingsan di semak-semak,"
jawab Gagak Sampir. "Gila," tetapi Kebo Rupak tertawa berkepanjangan.
Sementara itu kedua perempuan y ang tidak kalah
kasarnya itu tiba -tiba mengumpat pula. Dengan serta merta
keduanya segera meninggalkan orang-orang yang dianggapnya
melampaui orang gila di sarang siluman itu.
Kebo Rupak justru tertawa semakin keras. Katanya,
"Ternyata kau dapat juga menakuti-nakuti perempuan itu he"
Perempuan y ang kami anggap berhati batu."
Gagak Sampir tidak menjawab. Namun mereka pun
kemudian mengikuti Kebo Rupak memasuki sebuah barak
yang tidak terlalu besar.
Mereka tertegun ketika mereka melihat seorang y ang
sudah melampaui pertengahan abad duduk bersila di sebuah
amben yang cukup besar. Rambut dan janggutnya yang agak
panjang telah menjadi keputih-putihan. Sementara tatapan
matanya masih memancarkan api kehidupan yang membara.
"Siapakah mereka?" tiba-tiba saja orang tua itu berdesis.
"Kawan-kawanku. Orang-orang liar yang tidak
mempunyai tempat tinggal. Mereka mengembara dari satu
tempat ke tempat lain. Beberapa saat yang lewat mereka
pernah singgah sebentar di padepokan ini. Kini mereka
singgah lagi," jawab Kebo Rupak.
"Apakah mereka bukan orang-orang berbahaya?"
bertanya orang tua itu. "Mereka memang berbahaya bagi perempuan. Tetapi
tidak bagi kita," jawab Kebo Rupak.
"Jika demikian jauhkan perempuan-perempuanku
daripadanya. Yang lain aku tidak peduli," berkata orang tua
itu. Kebo Rupak tertawa. Namun dalam pada itu, petugaspetugas
sandi itu mengumpat didalam hatinya.
"Apa y ang mereka kehendaki sekarang?" bertanya orang
tua itu pula. "Aku belum m enanyakannya," jawab Kebo Rupak. Lalu
kepada Gagak Sampir ia bertanya, "He, apa yang kau
kehendaki sekarang he?"
Tetapi Gagak Sampir menggelengkan kepalanya.
Katanya, "Aku tidak menghendaki apa -apa. Kebetulan saja aku
lewat di daerah ini. Beberapa orang Manik Wungu ternyata
telah menghalangi jalanku. Karena itu aku justru singgah
disini." Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "jadi
orang-orang inilah yang membuat orang-orang padukuhan
gelisah." "Ya. Terutama perempuan," sahut Kebo Rupak.
"Bohong," potong Gagak Sampir, "aku tidak mengganggu
perempuan yang kebetulan tidak aku jumpai di jalan."
Kebo Rupak mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia
pun mengumpat sambil tertawa, "Kau memang gila. Sudah
tentu bahwa kau tidak akan mengganggu perempuan yang
tidak kau jumpai," jawab Gagak Sampir.
"Persetan," geram orang tua itu, "bawa mereka pergi."
Kebo Rupak pun kemudian telah membawa keempat
orang petugas sandi y ang m embuat diri mereka sebagaimana
orang-orang padepokan Manik Wungu itu meninggalkan
ruangan itu. Mereka telah memasuki ruangan lain yang lebih
luas. Beberapa orang berada dalam ruangan itu. Namun
agaknya mereka berada dibawah pengaruh Kebo Rupak,
hingga ketika Kebo Rupak memasuki ruangan itu, maka
mereka pun beringsut pergi.
"He," geram Kebo Rupak, "kau cacing hitam. Panggil
orang di dapur. Aku mempunyai empat orang tamu."
Orang yang disebut cacing hitam itu pun mengangguk
sambil menjawab, "Baik Ki Lurah."
"Jadi kau sekarang menjadi lurah," tiba -tiba dahi Gagak
Sampir berkerut. "Sudah lama aku menjadi lurah m ereka," jawab Kebo
Rupak, "marilah. Duduklah."
Keempat orang petugas sandi itu pun kemudian duduk
di sebuah ruangan y ang lebih luas m eskipun sama kotornya
dengan ruang-ruang yang lain.
Beberapa saat kemudian, maka seorang telah
menghidangkan minuman panas bagi keempat orang itu.
Wedang sere dengan gula kelapa.
"Bawa makanan itu kemari," berkata Kebo Rupak.
"Makanan y ang mana?" bertanya orang y ang
menghidangkan minuman itu.
"Aku injak keningmu y ang keriput itu. Kau m empunyai
makanan atau tidak" " Kebo Rupak hampir berteriak.
"Kaspa y ang direbus dengan badek," jawab orang itu.
"Nah. Bawa itu kemari. Jangan bertanya lagi. Perutku
menjadi mual mendengar pertanyaanmu," geram Kebo Rupak.
Orang itu kemudian beringsut meninggalkan bilik itu.
Namun sebentar lagi ia memang membawa kaspa y ang direbus
dengan badek. Bahkan masih hangat, sehingga asap yang
putih mengepul menebarkan bau sedap.
"Kau cium bau sedap itu?" bertanya Kebo Rupak.
"Sedikit. Tetapi bau ampak bilik ini lebih banyak
mengganggu," jawab Gagak Sampir.
"Setan alas, jangan banyak bicara. Makan saja kaspa
yang direbus dengan badek ini," geram Kebo Rupak.
Demikianlah, sejenak kemudian mereka pun telah
mengunyah ketela kaspa yang direbus dengan cairan dari
manggar kelapa y ang biasanya dibuat menjadi gula kelapa.
Ternyata bahwa keempat orang petugas sandi itu memang
telah berhasil meny esuaikan diri dengan sikap orang-orang
Manik Wungu sehingga agaknya diantara mereka memang
sudah tidak ada jarak lagi.
Sehari itu serta malam harinya, para petugas sandi itu
berada di padepokan Manik Wungu. Di malam hari mereka
sempat berbicara tidak saja dengan Kebo Rupak, karena
kemudian telah hadir pula orang yang bernama Terung dan
Damplak Paten. Pa da kesempatan y ang tidak semata-mata, Gagak
Sampir sempat bertanya, "Apa rencana padepokan ini dalam
waktu dekat" Atau mungkin padepokan ini dapat memberi
kesempatan kepada kami untuk ikut serta dalam satu kerja
yang besar." "Kau hanya membual saja sejak dahulu," jawab Kebo
Rupak, "sekarang saja kau sudah begitu tergesa -gesa untuk
pergi. He, apakah kawanmu akan mengambil kedua
perempuan itu?" Gagak Sampir mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian berpaling kepada Gempol sambil berkata kasar,
"Ambil perempuan seperti kerbau itu jika kau ingin."
"Bukan kebia saanku membawa kerbau ke pembaringan.
Beri aku yang lain. Apakah ada?" bertanya Gempol.
Kebo Rupak mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tertawa. Katanya, "Minta kepada guru. Jika ia
berkenan, kau akan diberinya."
Tetapi Gempol menggeleng. Katanya, "Tidak
sepantasnya. Meskipun ia menyimpan sepuluh, tetapi kita
dapat terkutuk karena itu."
Kebo Rupak tertawa keras-keras. Katanya, "He,
mengenal juga unggah-ungguh he?"
"Jangan hiraukan anak demit itu," berkata Gagak
Sampir, "kau akan mengatakan apa tentang rencanamu?"
"Kau mau ikut" Kami memang memerlukan banyak
kawan," berkata Kebo Rupak.
"Untuk apa?" bertanya Gagak Sampir.
"Orang-orang Suriantal minta kami untuk
membantunya," berkata Kebo Rupak.
"Suriantal" He, apakah kau berm impi" Suriantal sudah
hancur menjadi debu," berkata Gagak Sampir.
Kebo Rupak tertawa pendek. Katanya, "Ada satu dua
orang Suriantal y ang dapat lolos. Mereka kemudian
menggabungkan diri dengan perguruan Randu Papak. Namun
mereka tidak mau melepaskan ciri dan sebutan mereka
sebagai orang-orang dari perguruan Suriantal. Sementara itu,
orang-orang Randu Papak juga tidak berkeberatan. Mereka
memberikan tempat bagi orang-orang Suriantal itu, bahkan
membiarkan orang-orang y ang kemudian menjadi pengikut
dari sisa -sisa orang Suriantal itu berada di padepokan Randu
Pa pak itu pula." "Apakah tidak terjadi benturan diantara mereka?"
bertanya Gagak Sampir. "Tidak," jawab Kebo Rupak, "agaknya orang-orang yang
masih meny ebut diriny a orang-orang Suriantal itu dapat
menempatkan dirinya. Dengan demikian, maka m ereka dapat
hidup bersama-sama di dalam satu padepokan."
Gagak Sampir mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Apa keuntungan kalian membantu orang-orang Suriantal?"
Kebo Rupak tertawa. Katanya, "Satu pengalaman
menarik. Orang-orang Suriantal itu ingin merebut kembali
padepokannya y ang diduduki orang lain. Nah, besok tengah
bulan depan, kita akan datang untuk mengambil padepokan
itu kembali." "Siapa saja yang akan ikut bersama kalian?" bertanya
Gagak Sampir, meskipun ia agak ragu-ragu juga. Jika Kebo
Rupak itu mencurigainya, maka akibatnya akan buruk sekali.
Untunglah Kebo Rupak itu tidak begitu m enghiraukan
pertanyaan itu. Namun demikian ia menjawab, "Hanya kami.
Pa depokan ini dan padepokan para pelarian yang kehilangan
induknya dan berkumpul di padepokan yang disebut Randu
Pa pak. Namun justru karena itu, maka padepokan Randu
Pa pak adalah padepokan yang paling gila y ang pernah aku
ketahui." "Uh," Gagak Sampir menggeleng, "tidak ada orang yang
lebih liar dari kalian disini. Kau k ira aku percaya bahwa ada
sekelompok orang y ang lebih gila dari kalian" Orang-orang
Suriantal bukan sejenis kalian. Mereka adalah orang-orang
yang tahu diri, mengenal diri mereka sendiri dan
lingkungannya. Itulah agaknya mereka dapat menyesuaikan
diri dengan tempat tinggal mereka yang baru."
Kebo Rupak termangu -mangu. Namun tiba -tiba suara
tertawanya meledak. Katanya disela -sela tertawanya, "Sejak
kapan kau mengerti tentang hubungan antara sesama kita"
He, Gagak Sampir. Kau jangan membual disini. Bercerminlah
di belumbang di belakang padepokan ini. Lihat mukamu yang
kasar dan matamu yang liar itu."
Gagak Sampir mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia pun menjawab, "Aku tidak m engatakan tentang
diriku. Tetapi tentang orang-orang Suriantal."
"Orang-orang Suriantal adalah orang-orang y ang
cengeng. Pengecut dan tidak tahu diri. Justru tidak tahu diri.
Karena itu, maka kami telah menerima ajakannya. Kami akan
bersama-sama dengan unsur -unsur yang benar-benar laki-laki
dari padepokan Randu Papak. Kami rebut padepokan
Suriantal itu, dan kita selesaikan pula orang-orang Suriantal
itu sendiri. Kita akan menemukan sebuah padepokan yang
baru yang barangkali lebih pantas dari padepokan kita
sendiri," berkata Kebo Rupak.
"Apakah kami juga dapat ikut merasa menemukan?"
bertanya Gagak Sampir. "Anak iblis," gerak Kebo Rupak, "ikut kami. Kalian akan
ikut merasa menemukan."
"Kalian perlakukan kami seperti orang-orang Suriantal!"
bertanya Gagak Sampir. "Jika kau berbuat seperti orang -orang Suriantal, maka
kalian juga akan kami perlakukan seperti orang-orang
Suriantal," jawab Kebo Rupak.
Gagak Sampir mengangguk-angguk. Tetapi ia pun
kemudian bertanya, "Jika tidak?"
"Tentu saja tidak," jawab Kebo Rupak.
Gagak Sampir memandang ketiga orang kawannya. Lalu
katanya kepada Kebo Rupak, "besok aku akan pergi. Tunggu
sampai pertengahan bulan depan. Jika kau berminat, aku akan
datang. Jika ternyata ada tugas lain y ang lebih
menguntungkan, aku tidak akan datang."
"Kau benar -benar setan alasan," berkata Kebo Rupak,
"tugas lain y ang mana y ang kau maksud" Kau dapat
merampok, m embajak, m enyamun dan barangkali m erampas
perempuan kapan saja. Sementara kau dapat hadir disini
sebelum purnama naik. Lima hari sebelumnya, karena kami
akan berangkat empat hari sebelum purnama naik. Singgah di
padepokan Randu Papak dan bersama-sama berangkat ke
padepokan Suriantal."
"Akan aku pikirkan. Tetapi aku masih m enghitung, apa
yang akan aku dapat dari perebutan padepokan itu. Tetapi
tidak menutup kemungkinan bahwa aku akan ikut. Barangkali
ada sesuatu y ang dapat dirampas di padepokan itu," berkata
Gagak Sampir. "Terserah kepadamu. Itu urusanmu," berkata Kebo
Rupak. "Tetapi tolong sebutkan, apakah padepokan Randu
Pa pak itu lebih besar dari padepokan ini" Kenapa kalian yang
harus singgah di padepokan itu, bukan padepokan itu yang
berangkat lebih dahulu dan singgah disini, jika padepokan ini


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang lebih besar dan berwibawa," bertanya Gagak Sampir.
Kebo Rupak mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Kami memperhitungkan waktu. Padepokan ini
memang lebih besar dari padepokan Randu Papak m eskipun
beberapa orang pelarian dan sisa-sisa orang -orang Suriantal
sebagian ada di padepokan itu. Meskipun dengan menampung
pelarian-pelarian itu mereka ingin menjadi sebuah padepokan
yang besar, tetapi sebenarnyalah, padepokan ini lebih besar.
Tetapi arah perjalanan kamilah y ang memberikan
kemungkinan lain dari wibawa sebuah padepokan."
Gagak Sampir mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
bertanya lebih lanjut. Bahkan tiba -tiba saja ia berkata, "Tanpa
perempuan, m ata Gempol cepat terpejam. Tidurlah jika kau
mengantuk. Atau kau ambil kerbau betina itu."
Gempol m engerutkan keningnya. Bagaimanapun juga ia
membiasakan diri dengan sikap dan sifat y ang kasar dan liar,
namun mendengar kata-kata kawannya itu, rasa-rasanya
kulitnya masih juga meremang. Namun ia menjawab juga,
"Persetan. Aku m emang ingin tidur. Lebih baik bermimpikan
seorang perempuan cantik daripada kerbau betina itu."
Kebo Rupak pun tertawa. Katanya, "Aku sembuny ikan
perempuan cantik itu. Kalian dapat mencari sendiri di
sepanjang jalan." Demikianlah, maka Gagak Sampir pun akhirnya
mendapat kesempatan pula untuk tidur, meskipun sudah
lewat tengah malam. Pagi-pagi, ketika matahari mulai memancarkan sinarnya
ke dedaunan, Gagak Sampir dan kawan-kawannya sudah siap
untuk berangkat. Kebo Rupak ternyata masih belum bangun
ketika matahari mulai memanjat langit.
"Aku akan minta diri," berkata Gagak Sampir kepada
salah seorang penghuni padepokan itu.
"Aku tidak berani membangunkannya," berkata orang
itu. "Kapan biasanya kerbau itu bangun?" bertanya Gagak
Sampir. "Menjelang tengah hari," jawab orang itu.
Gagak Sampir mengangguk-angguk. Sebenarnya ia
memang agak bimbang. Jika ia tidak menunggunya, mungkin
akan dapat menimbulkan kecurigaan terhadap maksud
kehadirannya di padepokan itu. Jika ia harus menunggu, itu
berarti keberangkatan mereka tertunda sampai menjelang
tengah hari. Namun Gagak Sampir tidak mempunyai pilihan lain.
Ketika kemudian ia menemukan Damplak Paten, diajaknya
orang itu berkeliling padepokan.
Kawan-kawan Gagak Sampir pun memperhatikan
padepokan itu dengan saksama tanpa menimbulkan
kecurigaan. Mereka menduga -duga kekuatan yang ada di
padepokan itu. Ternyata bahwa padepokan itu memang pantas
disebut sarang siluman, karena orang-orang yang ada di
padepokan itu m erupakan orang-orang yang sifat, sikap dan
tingkah lakunya memang menggetarkan tengkuk. Bahkan
beberapa orang perempuan yang nampak di padepokan itu
pun agaknya adalah iblis-iblis betina y ang liar.
Untuk beberapa saat mereka berjalan-jalan berkeliling
padepokan. Namun kemudian mereka pun telah memasuki
bilik y ang dipergunakan oleh Kebo Rupak menerima para
petugas sandi itu di hari sebelumnya.
" Ia akan segera bangun," berkata Damplak Paten.
"Kami ingin berjalan selagi matahari belum terlampau
panas," berkata Gagak Sampir.
Sebenarnyalah, bahwa Kebo Rupak tidak terlalu lama
lagi telah terbangun. Dari biliknya di sebelah ruang itu,
terdengar ia mengumpat, "Masih sepagi ini kalian telah ribut
sa ja he?" "Kami akan berangkat," berkata Gagak Sampir.
"Berangkat ke mana?" bertanya Kebo Rupak.
"Kami akan minta diri," jawab Gagak Sampir, "seperti
yang aku katakan kemarin. Kami akan meneruskan
perjalanan." "Pergilah," berkata Kebo Rupak sambil muncul di
ruangan itu, "datanglah lima hari sebelum purnama. Aku
benar-benar mengharap kau datang. Kita akan memasuki
padepokan Suriantal dan mengambil sendiri apa y ang kita
inginkan di padepokan itu."
"Aku akan memikirkannya," berkata Gagak Sampir, "jika
pekerjaanku selesai, aku akan datang."
Petugas sandi dari Lemah Warah yang meny ebut dirinya
Gagak Sampir itu pun kemudian meninggalkan padepokan
Manik Wungu bersama ketiga orang kawannya. Sebelum
matahari terbenam, mereka telah berada di tempat yang jauh.
Karena itu, maka mereka tidak lagi merasa cemas, bahwa
tingkah laku m ereka akan diketahui oleh orang-orang Manik
Wungu. Dalam pada itu, orang y ang disebut Gagak Sampir itu
pun bertanya kepada kawan-kawannya, "Apakah kita akan
melihat-lihat padepokan Randu Papak?"
"Tidak banyak gunanya," berkata seorang kawannya,
"kita sudah mendapat keterangan tentang padepokan itu.
Tidak sebesar padepokan Manik Wungu. Dengan demikian
kita sudah dapat memberikan sedikit keterangan tentang
kekuatan kedua padepokan itu. Dengan demikian, maka kedua
anak muda dari Bajra Seta itu akan dapat memperhitungkan
kekuatannya." "Jika demikian, maka kita dapat segera kembali ke
Lemah Warah," berkata petugas sandi y ang disebut Gagak
Sampir itu, "semakin cepat semakin baik."
Demikianlah, keempat orang itu telah memutuskan
untuk kembali k e Lemah Warah. Mereka telah m endapatkan
beberapa keterangan y ang akan dapat menjadi bahan yang
penting bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Ternyata bahwa mereka berempat telah menempuh jalan
kembali ke Lemah Warah. Di malam hari mereka berjalan
menempuh jalan memintas. Mereka ingin segera sampai ke
Pakuwon untuk dapat memberikan laporan tentang
padepokan yang disebut Sarang Siluman itu.
Perjalanan kembali itu agaknya jauh lebih cepat dari saat
mereka berangkat. Mereka tidak perlu memancing perhatian
orang-orang padepokan Manik Wungu lagi. Namun mereka
langsung menuju ke istana Akuwu Lemah Warah.
Namun perjalanan itu tetap merupakan perjalanan y ang
panjang. Sehingga karena itu, m aka keempat orang itu pun
datang ke istana Akuwu dengan langkah yang letih.
Kedatangan keempat orang petugas sandi itu telah
memberikan banyak sekali keterangan bagi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Mereka telah m emberikan gambaran kekuatan
padepokan Manik Wungu dan sekaligus memperkirakan
kekuatan padepokan Randu Papak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengarkan
keterangan itu dengan saksama. Namun mereka sudah mulai
membuat perhitungan-perhitungan tentang kekuatan yang
akan mereka hadapi, meskipun baru didalam angan-angan.
Akuwu Lemah Warah yang ikut mendengarkan
keterangan para petugas sandinya, hanya mengangguk-angguk
sa ja. Namun setelah keterangan itu selesai, maka katanya,
"Pertimbangkan Putut-putut muda. Kalian dapat
memperhitungkan kekuatan kalian. Nah, bukankah kalian ada
diantara dua Pakuwon" Jika kalian memerlukan, kalian dapat
menghubungi Pakuwon Lemah Warah atau Pakuwon
Sangling. Namun jika kalian merasa akan dapat mengatasinya
sendiri, maka kalian dapat melakukannya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun mereka masih belum dapat mengambil keputusan.
Mereka tidak dapat mengatakan, bahwa m ereka akan mohon
bantuan Akuwu Lemah Warah atau Akuwu Sangling. Namun
mereka pun belum dapat m enentukan, bahwa mereka akan
dapat mengatasi kehadiran padepokan-padepokan itu tanpa
bantuan orang lain. Keduanya masih akan berbicara dengan
Mahendra dan para pemimpin kelompok dari padepokan
Bajra Seta. Namun terbersit satu sikap, bahwa mereka harus berani
tegak berdiri sendiri tanpa menggantungkan kepada orang
lain. Namun mereka juga tidak akan m enutup kemungkinan
untuk bekerja sama dengan siapa pun juga menghadapi
kekuatan-kekuatan hitam yang mengikatkan diri dalam
kelompok-kelompok y ang besar m elampaui kemampuan dari
padepokan mereka. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun kemudian telah mohon diri untuk kembali ke
padepokannya. Masih banyak y ang harus dilakukan
menghadapi tingkah orang-orang Suriantal yang pernah
melarikan diri dari padepokannya itu, namun y ang kemudian
telah menemukan tempat baru yang sesuai dengan
perkembangan sikap mereka. Dengan dukungan lingkungan
yang baru itu, maka orang-orang y ang m asih saja m eny ebut
diri mereka orang-orang dari perguruan Suriantal itu ingin
kembali dan menguasai padepokan y ang pernah mereka
tinggalkan. Namun agaknya mereka akan menjadi sangat
kecewa, karena orang-orang Manik Wungu ternyata sudah
siap untuk membinasakan orang-orang Suriantal jika usaha
mereka merebut padepokan itu berhasil. Bahkan tentu juga
orang-orang Randu Papak, sehingga dengan demikian m aka
padepokan Bajra Seta akan jatuh ke tangan orang-orang
Manik Wungu sepenuhnya. "Baiklah," berkata Akuwu Lemah Warah, "jika kalian
memerlukan, jangan segan untuk menyampaikannya
kepadaku atau kepada kakakmu, Akuwu Sangling. Bukan
berarti bahwa kau masih belum dewasa, maksudku padepokan
yang kau nama Bajra Seta itu, tetapi dengan pertimbangan
kekuatan lawan y ang sebenarnya. Perguruan yang telah masak
sekalipun akan membuat perhitungan yang serupa. Mereka
akan sama saja dengan membunuh diri jika mereka tidak mau
melihat kenyataan apabila hal itu sudah diketahuinya lebih
dahulu, bahwa kekuatan lawan berada di luar jangkauan
kekuatan sendiri." "Terima kasih Akuwu," jawab Mahisa Murti, "jika kami
memerlukan bantuan, maka kami akan datang tanpa m erasa
segan. Kami memang harus mencari keseimbangan antara
harga diri dan kenyataan y ang kami hadapi. Apalagi perguruan
kami yang masih baru itu, tentu sangat membutuhkan
bimbingan dan bahkan perlindungan. Namun apabila menurut
perhitungan kami, kami akan dapat mengatasiny a, maka kami
akan melakukannya sendiri.
"Bagus," berkata Akuwu Lemah Warah. Lalu "Tetapi
ingat, bahwa orang-orang Manik Wungu telah bergabung pula
dengan orang-orang Randu Papak. Sementara itu, di
padepokan Randu Papak terdapat orang-orang yang datang
dari berbagai perguruan yang lain. Dengan demikian maka
Bajra Seta tidak harus dengan serta merta merasa dirinya
dewasa dan kuat untuk tegak tanpa kerjasama dengan siapa
pun juga. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat.
Mereka memang merasa bahwa masih terlalu banyak
kekurangan yang terdapat di perguruan dan padepokannya
yang baru. Namun demikian Mahisa Murti menjawab, "Baiklah
Akuwu. Kami mengucapkan terima kasih sebelumnya. Jika
terasa betapa beratnya tekanan yang akan kami alami dengan
kehadiran kedua padepokan itu, maka biarlah kami datang
kembali untuk mohon batuan dari Akuwu Lemah Warah.
"Jangan segan," berkata Akuwu, "ingat. Aku adalah
pamanmu, sebagaimana Akuwu Sangling adalah kakakmu."
"Terima kasih," jawab Mahisa Murti sambil
menundukkan kepalanya. Namun dalam pada itu, keduanya benar -benar akan
meninggalkan Pakuwon Lemah Warah di keesokan harinya.
Beberapa kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengulangi
pernyataan terima ka sihnya kepada Akuwu Lemah Warah dan
kepada para petugas sandi yang telah berhasil mendapatkan
gambaran tentang kekuatan y ang akan datang ke padepokan
Bajra Seta. Ketika matahari terbit di hari berikutnya, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah meninggalkan Pakuwon Lemah
Warah. Akuwu masih memberikan beberapa pesan agar
keduanya tidak merasa segan jika mereka memang
memerlukan bantuan. Di sepanjang perjalanan mereka kembali ke padepokan
Bajra Seta, keduanya sempat membuat perhitungan kasar dari
kekuatan kedua padepokan yang akan datang ke padepokan
mereka, dibandingkan dengan kekuatan yang ada di
padepokan mereka itu. "Agaknya orang-orang dari kedua padepokan y ang akan
datang ke padepokan kita, memang lebih kuat dari orangorang
kita," berkata Mahisa Murti.
"Bukan lebih kuat. Tetapi lebih banyak," jawab Mahisa
Pukat. Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Ya. Kau benar. Lebih
banyak. Memang lebih banyak bukan berarti lebih kuat. Tetapi
bahwa padepokan mereka disebut sarang siluman, tentu
mempunyai arti ter sendiri."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya,
"Mungkin mereka ditakuti karena kekasaran dan keliaran
mereka. Bukan karena memiliki m odal y ang lebih berharga
dari kemampuan orang-orang liar itu. Kita mempunyai
ketahanan jiwani untuk mempertahankan hak kami.
Sedangkan dari segi kewadagan, dinding-dinding padepokan
kami akan menahan mereka, sehingga mereka harus
memberikan korban pertama y ang lebih besar.
Mahisa Murti tidak membantah, Perhitungan Mahisa
Pukat dapat dimengerti. Namun jika kedua padepokan itu
benar-benar mengerahkan kekuatan mereka, Mahisa Murti
memang harus membuat pertimbangan-pertimbangan lain.
Demikianlah, perjalanan mereka kembali ke padepokan
Bajra Seta tidak menjumpai hambatan apa pun juga.
Perjalanan yang panjang itu memang cukup melelahkan.
Tetapi kedua anak muda itu memiliki k etahanan tubuh yang
tinggi, sehingga ketika mereka sampai di padepokannya,
nampaknya ke duanya masih tetap segar.
Setelah membersihkan dan membenahi diri, maka


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keduanya langsung berbicara dengan ayahnya, Mahendra yang
menunggunya dengan berdebar-debar.
"Kalian tidak beristirahat?" bertanya Mahendra.
"Kami tidak lelah ay ah," jawab Mahisa Murti, y ang
kemudian langsung menceriterakan hasil perjalanannya.
Mahendra mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, "Yang Maha
Agung telah memberi kalian jalan yang lancar pada tugas
kalian. Bahkan atas bantuan y ang sangat besar dari Akuwu
Lemah Warah." "Ya ay ah," jawab Mahisa Murti, "bahkan semua tugas
yang seharusnya kami lakukan telah dilakukan oleh para
prajurit sandi Lemah Warah."
"Nah, y ang penting bagi kalian adalah memperhitungkan
kekuatan y ang ada di padepokan ini dengan kedua padepokan
yang akan datang itu. Mungkin padepokan y ang disebut
Sarang siluman itu m emang lebih besar dari padepokan yang
banyak menampung pelarian dari berbagai perguruan itu.
Tetapi mungkin pula tidak. Untuk membuat perhitungan,
maka anggap saja bahwa kekuatan kedua padepokan itu
sama," berkata Mahendra.
"Kita sudah memasang umbul-umbul sendiri sebagai
satu perguruan," berkata Mahisa Pukat, "kita akan
menyelesaikannya sendiri. Seberapa pun besarnya kekuatan
mereka." Mahisa Murti ter senyum. Katanya, "Kita belum
membicarakan kemungkinan-kemungkinan y ang akan kita
tempuh. Kita baru menilai kekuatan lawan."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, "Tetapi pada saatnya kita tentu akan
membuat perhitungan, seberapa kekuatan yang ada pada
kita." Mahendra pun tersenyum pula. Katanya, "Kau benar.
Pa da saatnya kita harus membuat perhitungan seperti itu."
"Jika sampai saatnya kita dapat mengalahkan m ereka
dengan kekuatan kita sendiri. Bukannya kemana kita akan
minta bantuan. Jika demikian, kita untuk seterusny a tidak
akan dapat berdiri tegak sebagai satu perguruan yang dewasa,"
berkata Mahisa Pukat. Mahendra dan Mahisa Murti y ang masih saja tersenyum
mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahendra berkata,
"Pada dasarnya aku sependapat dengan kalian."
"Kenapa hanya pada dasarnya saja?" bertanya Mahisa
Pukat. "Mahisa Pukat," berkata Mahendra dengan nada rendah,
"yang kita hadapi adalah persoalan yang besar. Karena itu,
maka kita t idak dapat mengambil keputusan dalam waktu
sekejap atau dalam pembicaraan seperti ini. Kita harus
berbicara lebih dalam, bukan saja hanya dasar-dasarnya,
tetapi sampai kepada bagian-bagiannya. Nah, jika pada
dasarnya aku sependapat, mungkin pada bagian-bagiannya
kita berpendirian lain."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
kemudian m engangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan
membicarakan bagian-bagiannya."
"Tidak perlu sekarang. Biarlah per soalannya mengendap
di dalam diri kita. Besok kita berbicara tentang hal ini," jawab
Mahendra. "Kita kehilangan waktu sehari," berkata Mahisa Pukat.
Kabut Di Bumi Singosari 3 Candika Dewi Penyebar Maut V I I Rahasia Istana Terlarang 15

Cari Blog Ini