Ceritasilat Novel Online

Maut Bernyanyi Pajajaran 2

Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran Bagian 2


luruh dimakan umur. Sebuah arca besar yang terdapat di pojok kuil sebagian mukanya
rusak dan tangan serta kakinya sudah buntung.
"Lepaskan aku dari sini!" teriak Rara Murni untuk kesekian kalinya. Suaranya
mulai parau. "Kau terlalu banyak cerewet, Rara Murni." kata laki-laki berkerudung. Kedua bola
matanya berkilat-kilat memandangi paras dan tubuh gadis itu. "Tapi..." kata
orang ini kemudian,
"Kau mungkin tak akan banyak ulah bila mengetahui siapa aku."
Habis berkata begitu laki-laki ini membuka kerudung penutup mukanya. Kaget Rara
Murni bukan kepalang. Seperti tak percaya dia akan pandangan kedua matanya.
Betapakah tidak!
Laki-laki berkerudung itu ternyata adalah salah seorang kepala pasukan kerajaan
yang cukup dikenalnya. "Kalasrenggi!"
Kalasrenggi tertawa mengekeh. "Kau sudah lihat mukaku dan tahu siapa aku. Apa
kau juga masih mau cerewet?"
"Apa maksudmu dengan semua ini, Kalasrenggi"!',
"Apa maksudku" Kau akan lihat saja nanti!"
"Pengkhianat! Pengkhianat terkutuk kau Kalasrenggi! Kau sadar apa akibatnya
kalau kakakku mengetahui perbuatanmu ini"!"
"Kakakmu tak akan pernah mengetahuinya!"
"Aku akan adukan dan kau akan dibuang ke pulau Neraka! Tempat pengkhianatpengkhianat kerajaan!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Kalasrenggi tertawa lagi. Matanya semakin berkilat-kilat memandangi paras Rara
Murni. Memang sesungguhnya sudah sejak lama laki-laki ini secara diam-diam merasa
tertarik dan jatuh
hati terhadap Rara Murni. Kini berada berdua-dua di tempat sunyi itu, hasrat
yang terpendam itu
menjadi berkobar-kobar memanasi darah dan tubuhnya.
"Mungkin kau tak akan pernah punya kesempatan untuk mengadu Rara Murni.
Kepalamu cukup bagus untuk jadi benda persembahan kepada kakakmu sendiri!"
Rara Murni terkejut.
"Apa maksudmu?"
Kalasrenggi tertawa. Tawa yang menjijikkan Rara Murni. Katanya: "Kalau kau mau
menuruti apa yang aku katakan, mungkin aku masih bisa menyelamatkan kau dari
kematian...."
"Kau benar-benar pengkhianat terkutuk! Terkutuk!"
Masih dengan tertawa yang menjijikkan itu Kalasrenggi melangkah maju mendekati
Rara Murni. Matanya berkilat-kilat, cuping hidung kembang kempis dan dadanya
bergejoiak. Melihat
ini Rara Murni segera melangkah mundur. Mundur sampai punggungnya membentur
dinding kuil. Sebelum dia sempat lari ke pintu jari-jari tangan Kalasrenggi yang besarbesar dan panas
digelorai nafsu telah mencekal lengannya.
"Kenapa musti takut...?" ujar laki-laki itu. Nafasnya yang keras dan panas
menghembus- hembus ke muka Rara Murni.
"Keparat! Lepaskan tanganku! Lepaskan!" teriak Rara Murni.
Tiba-tiba Kalasrenggi menyentakkan tangan itu. Rara Murni tenggelam ke dalam
pelukannya yang beringas dan ganas. Ciumannya bertubi-tubi di paras jelita gadis
itu. Rara Murni memekik. Meronta dan memekik! Badannya ditekan erat-erat ke dinding kuil
oleh Kalasrenggi, membuatnya hampir tak bisa meronta dan menghindarkan kepalanya dan
ciuman- ciuman laki-laki itu. Bahkan Rara Murni tak bisa berbuat sesuatu apa ketika
Kalasrenggi dengan
beringasnya menarik kain yang menutupi dadanya!
Rara Murni memekik lagi ketika badannya digulingkan ke lantai kuil. Kedua
kakinya dilejang-lejangkannya. Namun lejangan-lejangan ini hanya membuat kain yang
dipakainya menjadi turun sampai ke paha. Pemandangan ini membuat nafsu yang sudah
menggejolak dalam
diri Kalasrenggi jadi mengamuk dengan dahsyat.
Rara Mumi menjerit tiada henti-hentinya. Menjerit meski dia tahu bahwa jeritan
itu tak ada artinya bagi Kalasrenggi, menjerit meskipun tahu bahwa dia dalam keadaan
begitu rupa tak
akan mungkin lagi menyelamatkan diri dan kehormatannya!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Dalam nafsu yang mengamuk itu mendadak Kalasrenggi merasakan sesuatu menyambar
di atas punggungnya. Belum lagi dia sempat palingkan kepala untuk melihat benda
apa yang menyambar itu maka terdengarlah suara bergedebukan di lantai kuil! Dan sesaat
bila Kalasrenggi
memalingkan kepala maka terkejutlah dia, terkejut seperti melihat setan
berkepala tujuh! Tiga
sosok tubuh bergeletakkan di lantai kuil!
Bukan saja tiga sosok tubuh yang bergeletakkan itu yang mengejutkan Kalasrenggi
tapi terlebih lagi ialah ketika mengenali bahwa ketiga manusia ini adalah anak
buahnya sendiri, yang
tadi disuruhnya kembali ke Kotaraja untuk memberikan laporan pada Raden Werku
Alit bahwa tugas penculikan atas diri Rara Mutni telah dilaksanakan.
Nafsu yang membara di tubuh Kalasrenggi dengan serta merta mengendur dan lenyap
sama sekali. Perlahan-lahan laki-laki ini berdiri dan meninggalkan Rara Murni
yang tadi hampir
saja menjadi mangsa kebejatannya.
Ketika diperhatikannya ketiga anak buahnya itu ternyata tidak bernafas lagi
alias sudah menjadi mayat! Muka-muka mereka membiru sedang pada kening masing-masing
dilihatnya tiga
deretan angka-angka 212. Muka yang biru itu diketahuinya adalah akibat pukulan
atau tamparan yang ampuh sekali. Tapi adanya angka-angka 212 pada kening ketiga orang ini
adalah tidak dimengerti sama sekali oleh Kalasrenggi!
Pada saat dirinya dilepaskan oleh Kalasrenggi maka pada saat itu pula dengan
serta merta Rara Murni bangkit berdiri dan hendak lari ke pintu kuil. Namun baru tiga
langkah kedua kakinya bergerak, gadis ini hentikan langkah, darahnya tersirap dan mukanya
memucat. Pada pintu kuil sesosok tubuh yang memakai kerudung hitam berdiri dengan bertolak
pinggang. Tak bisa tidak pastilah manusia ini anak buah Kalasrenggi juga, pikir Rara Murni...
Kalasrenggi sendiri ketika melihat bayangan seseorang di pintu kuil cepat
menoleh dan kembali mukanya dilanda rasa terkejut! Dia tidak kenal dengan manusia
berkerudung di pintu
itu, tapi dia pasti betul bahwa laki-laki ini bukanlah orangnya, tapi kerudung
hitam yang dikenakannya adalah kerudung salah seorang anak buahnya yang telah menemui ajal
dengan cara yang aneh itu! Bukan tidak mustahil manusia ini pulalah yang telah menamatkan
riwayat tiga anak buahnya itu!
Meski amarahnya tidak terkirakan namun Kalasrenggi tidak mau bertindak gegabah.
Sepasang matanya memandang tajam-tajam seperti mau menembus kerudung yang
menutupi kepala sosok tubuh manusia yang berdiri di pintu kuil itu!
"Tamu tak diundang, silahkan buka kerudung!" kata Kalasrenggi.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Orang yang di pintu menyeringai di balik kerudung hitamnya. Lalu terdengarlah
suara tertawanya, mula-mula mengekeh perlahan, tapi kemudian menjadi tawa bergelak
yang menggetarkan gendang-gendang telinga serta menggetarkan dinding-dinding kuil tua
itu! Kalasrenggi bersiap-siap dengan tenaga dalamnya dan berlaku waspada. Kalau suara
tertawa manusia ini dapat menggetarkan gendang-gendang telinga bahkan
menggetarkan dinding
kuil, maka ini suatu pertanda bahwa siapa pun adanya manusia ini, dia bukanlah
orang sembarangan! Dan semakin yakin Kalasrenggi bahwa orang inilah yang telah
menewaskan ketiga anak buahnya.
Akan Rara Murni, kalau tadi hatinya kecut dan takut melihat munculnya manusia
berkerudung ini, maka setelah mengetahui bahwa dia bukanlah di pihaknya
Kalasrenggi, diamdiam Rara Murni menjadi sedikit lega hatinya. Tapi dia tak tahu apakah manusia
yang baru datang ini adalah tuan penolongnya ataukah seseorang yang lebih bejat dan
terkutuk dari Kalasrenggi! Dalam pada itu dia sendiri masih belum dapat melihat tampang orang
ini. Hati Kalasrenggi serasa dibakar karena ucapannya disahuti dengan suara tertawa
macam begitu oleh si kerudung hitam. Maka berkatalah dia dengan menunjukkan nyali
besar: "Kalau kau tak mau buka kerudung, terpaksa aku turun tangan...."
Orang berkerudung hentikan tertawanya. Dan dia buka mulut menyahuti: "Diri
manusia tidak diukur dari tampangnya, tapi dari hatinya! Bila dia seorang prajurit, maka
kejujuran hati,
kesetiaan dan baktinya pada kerajaanlah yang menjadi ukuran!" Merah paras
Kalasrenggi mendengar kata-kata ini.
Si kerudung hitam tertawa bergumam dan berpaling pada Rara Murni dan berkata:
"Bukan begitu Tuan Puteri Rara Murni...?"
Rara Mumi tak menyahuti. Tapi dia menjadi terkejut karena tak menyangka kalau
laki- laki itu tahu namanya. Dan beratlah dugaannya bahwa laki-lakl ini adalah orang
dalam juga. Orang kerajaan juga, entah pengkhianat entah seorang penolong. Tapi kalau dia
bermaksud menolong, mengapa musti pakai kerudung hitam segala"
"Tapi..." kata laki-laki yang di pintu pula melanjutkan bicaranya, "Kalau kau
memang kepingin melihat tampangku, baiklah! Aku tak keberatan untuk membuka kerudung
hitam ini. Tampangku memang buruk. Namun jika dibandingkan dengan tampangmu, masih
mendingan aku ke mana-mana!" Sambil tertawa-tawa laki-laki ini membuka kerudung hitam yang
menutupi kepalanya. -- == 0O0 == -Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
DUABELAS Bila Rara Murni memandang ke muka maka di balik kerudung yang telah dibuka itu
ternyata laki-iaki yang berdiri di pintu adalah seorang pemuda gagah berambut
gondrong. Meski
tertawanya tadi mengekeh dan bergelak namun parasnya yang gagah itu condong
kepada paras anak-anak. Sebaliknya begitu menyaksikan tampang manusia di depannya, kedua mata
Kalasrenggi menyipit, kulit mukanya mengerenyit. Otaknya berputar dengan cepat, mengingatingat di mana dia pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Dan secepat dia ingat maka
menggeramlah Kalasrenggi. Pemuda yang ada di hadapannya saat itu tak lain daripada pemuda
yang malam tadi
telah berteduh di teratak di luar Kotaraja sewaktu hari hujan lebat dan sewaktu
dia tengah bicara
dengan Werku Alit! Juga pemuda inilah yang kemudian ditotok Werku Alit! Dan dia
sendiri menghadiahkan satu tendangan!
"Ingat siapa aku...?"
"Saudara, apa urusanmu dalam hal ini"!" bentak Kalasrenggi garang. Tangan
kirinya menyelinap ke balik pinggang di mana tersisip sebilah keris.
"Ah... tentu ada saja, Saudara. Pertama, kau telah menghadiahkan tendangan
padaku malam tadi. Enak juga tendangan itu. He,.. he... he.... Lalu, aku tidak begitu
suka pada manusiamanusia yang bersifat ular kepala dua, pengkhianat besar serta tukang rusak
kehormatan perempuan.... Apa itu kurang cukup untuk bikin urusan denganmu"!"
"Hem...." Kalasrenggi menggumam. "Jadi hari ini aku berhadapan dengan seorang
pendekar budiman huh"! Satu hal yang menyenangkan sekali!" Habis berkata begini
Kalasrenggi keluarkan suara berdengus dari hidungnya. "Terangkan dulu siapa kau punya nama!"
katanya kemudian. "Ah, kau keliwat ramah tanya-tanya segala nama. Namaku sudah kutuliskan pada
kening ketiga anak buahmu!" jawab si pemuda pula.
Kalasrenggi tertawa mengejek. "Baru kali ini aku bertemu manusia yang namanya
adalah tiga buah angka. Angka-angka gila!"
Si pemuda tertawa. "Angka-angka itu mungkin gila! Tapi tidak segila pengkhianat
macam kau Kalasrenggi!"
"Kau sudah tahu namaku. Kenapa tidak lekas kabur tinggalkan tempat ini"!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Apa kabur dari sini" L.alu kau teruskan maksud busukmu terhadap Tuan Puteri
Rara

Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Murni" Aku tidak sebodoh dan sepengecut yang kau sangka, Kalasrenggi!"
"Kalau betul kau punya nyali, tahan ini!" bentak Kalasrenggi garang.
Dengan satu lompatan cepat Kalasrenggi lancarkan serangan tangan kosong. Tapi
serangan yang hebat ini dapat dielakkan lawan dengan mudah bahkan sambil bersiul
dan tertawa- tawa. "Kalasrenggi, kalau mau baku jotos jangan di dalam sini, mari keluar!" kata si
pemuda rambut gondrong atau pendekar 212 Wiro Sableng. Sengaja dia berkata begitu
karena khawatir
dalam pertempuran nanti Rara Murni yang juga berada di ruangan itu akan mendapat
celaka. "Tak usah banyak mulut! Kau harus mampus disaksikan ketiga mayat anak buahku!"
bentak Kalasrenggi pula. Untuk kedua kalinya kepala pasukan Pajajaran yang
berkhianat ini menyerang, lebih hebat dari tadi. Tiba-tiba orang yang diserangnya lenyap dari
hadapannya. Kemudian di belakangnya terdengar suara siulan. "Aku di sini Kalasrenggi,
mengapa menyerang tempat kosong"!"
Kalasrenggi kertakkan rahang. Dia berbalik dengan cepat dan menyerang lebih
ganas. Tangannya bergerak cepat, tendangan kaki bertubi-tubi. Keseluruhannya
mengeluarkan angin
yang keras dan bersiuran.
Agaknya permainan silat tangan kosong Kalasrenggi tidak dari tingkat rendahan.
Dari angin pukulan dan tendangannya Wiro sudah dapat menjajaki kehebatan lawan.
Karena tak mau ambil resiko pemuda ini segera bergerak cepat. Dalam waktu yang singkat tiga
jurus berlalu sebat. Pada saat memasuki jurus keempat Wiro Sableng melihat Rara Murni
melarikan diri keluar kuil. Sambil rundukkan kepala mengelakkan hantaman tinju Kalasrenggi, Wiro Sableng
berseru: "Rara, tunggu! Jangan pergi dulu!"
Tapi mana si gadis mau dengar. Sambil menyingsingkan kainnya ke atas Rara Murni
mempercepat larinya. Terpaksa pendekar 212 lepaskan pukulan tangan kanan ke arah
kedua kaki gadis itu. Serangkum angin melesat deras dan dingin. Rara Murni merasa kedua
kakinya seperti
disiram air es, kemudian kedua kakinya itu kaku tak bisa lagi digerakkan.
Larinya dengan serta
merta terhenti.
Melihat lawan melakukan dua gerakan sekaligus maka kesempatan ini dipergunakan
oleh Kalasrenggi untuk membobolkan pertahanan lawan. Tendangan kaki kanan dan tinju
kiri kanan menyerang susul menyusul ke tempat-tempat terlemah dari Wiro Sableng!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Namun dengan membentak keras dan berkelebat cepat ketiga serangan lawan dapat
dikelit oleh pendekar 212. Penasaran sekali Kalasrenggi memburu lagi dengan satu
serangan berantai. Kali ini, pada saat tangan kanan Kalasrenggi memukul ke muka, pendekar
212 sengaja menyongsong datangnya lengan lawan. Maka beradulah lengan dengan lengan!
Kalasrenggi terpekik. Tubuhnya terpelanting ke belakang sampai punggungnya
menghantam dinding kuil. Lengan kanannya yang beradu dengan lengan lawan
kelihatan biru dan bengkak besar. Sakitnya bukan alang kepalang! Karena tadi Wiro Sableng
melayaninya seperti acuh tak acuh, Kalasrenggi tidak menduga kalau kehebatan lawan demikian
lihainya. Sesudah mengurut lengannya yang bengkak biru serta mengalirkan tenaga dalam ke
bagian yang terpukul itu maka kemudian Kalasrenggi dengan tangan kirinya mencabut sebilah
keris dari balik
pinggang. Senjata ini sebuah senjata pusaka juga rupanya karena memancarkan
sinar membiru. Tanpa banyak bicara kepala pasukan Pajajaran itu segera lancarkan serangan
dahsyat. Kalasrenggi memang seorang kidal dan permainan kerisnya juga sudah mencapai
tingkat yang matang. Apalagi dengan mempergunakan tangan kiri itu maka serangan-serangannya
sukar diduga. Namun demikian pendekar 212 sudah punya rencana sendiri terhadap manusia kepala
dua ini! Dibiarkan dan dielakkannya saja untuk beberapa lamanya seranganserangan keris Kalasrenggi. Kepala pasukan pengkhianat ini semakin gemas dan geram.
Dipercepatnya gerakannya namun tetap saja tiada mencapai hasil yang dikehendakinya.
"Pegang senjatamu erat-erat, Kalasrenggi." kata pendekar 212 memberi ingat.
Kalasrenggi masih belum mengerti apa maksud ucapan lawannya itu. Bahkan dia sama
sekali tidak dapat melihat dengan jelas gerakan kedua tangan Wiro Sableng. Tahutahu saja dirasakannya keris pusakanya terlepas dari tangan. Laki-laki ini mengeluarkan
seruan tertahan.
Memandang dengan tak percaya pada tangan kirinya yang kosong!
Wiro Sableng tertawa mengekeh dan melompat ke muka. Tangan kanannya terkembang
seperti hendak mencengkeram muka Kalasrenggi. Yang diserang cepat merunduk dan
berusaha menyodokkan lipatan sikunya ke perut lawan. Tapi kali ini Kalasrenggi tertipu.
Tangan yang menyerang dan hendak mencengkeram itu hanya gerakan palsu belaka. Tanpa dapat
dikelit lagi oleh Kalasrenggi maka dua ujung jari tangan kanan Wiro Sableng meluncur ke rusuk
kirinya. Mendadak sontak detik itu juga tubuh Kalasrenggi menjadi kaku tegang. Tangan dan
kakinya tak bisa digerakkan lagi, tapi mulutnya masih sanggup bicara, telinganya masih bisa
mendengar, demikian juga indera-inderanya yang lain masih tetap seperti biasa. Pendekar 212
sengaja menotok laki-laki itu demikian rupa, sesuai dengan rencananya.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Sambil tertawa-tawa dan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong Wiro
Sableng memandangi Kalasrenggi beberapa lamanya. Kemudian pendekar muda ini melangkah
mendapatkan Rara Murni. Dilepaskannya totokan yang telah memakukan kedua kaki
gadis itu. Rara Murni begitu merasa kakinya bebas segera hendak lari namun tangannya cepat
dipegang oleh Wiro Sableng.
"Lepaskan tanganku!" teriak Rara Murni. "Terhadapku tak usah takut, Rara Murni."
kata pendekar 212 pula.
"Kau siapa"!" tanya Rara Murni dan berusaha melepaskan tangannya yang dipegang.
"Siapa aku itu soal nanti. Tapi apakah kau akan tinggalkan begitu saja
Kalasrenggi tanpa
memberikan satu hukuman yang setimpal terhadapnya"!"
"Aku akan laporkan kejahatannya terhadap Sang Prabu. Pasukan Kerajaan akan
menyeretnya ke Pakuan! Dia pasti akan dibuang ke pulau Neraka! "
Pendekar 212 tersenyum. "Kuil ini juga bisa menjadi tempat neraka baginya, Rara
Murni. Mari, aku akan tunjukkan cara yang bagus untuk menghukum pengkhianat dan manusia
bejat macam dia!" Dengan seutas tali pendekar 212 mengikat kedua pergelangan kaki
Kalasrenggi. Kalasrenggi yang saat itu meski tubuhnya kaku tapi masih bisa merasa, melihat
dan bicara: "Keparat! Kau mau buat apa terhadapku"!"
"Ah, kau masih bilang keparat, Saudara..." jawab pendekar 212 dengan tertawa.
"Pernahkah kau melihat dunia terbalik"! Melihat dengan kaki ke atas kepala ke
bawah"!"
"Apa maksudmu"!" bentak Kalasrenggi. Tapi dalam hatinya dia sudah dapat menduga
apa yang bakal dilakukan oleh Wiro Sableng dan tubuhnya mengucurkan keringat
dingin. "Apa maksudku kita akan saksikan sama-sama, Kalasrenggi," kata Wiro Sableng
pula. Sekali saja tali yang mengikat kedua pergelangan kaki Kalasrenggi ditariknya
maka terbantinglah laki-laki itu ke lantai kuil. Kutuk serapah dan keluh kesakitan
bersemburan dari
mulut Kalasrenggi.
"Sudahlah, jangan memaki-maki juga, tak ada gunanya," kata pendekar 212. Dia
memandang ke atas atap kuil dan dilihatnya sebuah tiang yang membentang memalang
di bawah atap. Ujung tali yang dipegangnya dilemparkannya ke atas. Bila ujung tali itu
menjuntai ke bawah kembali setelah terlebih dahulu menyangkut di tiang palang maka pendekar
212 mulai mengerek badan Kalasrenggi.
Gelap dunia ini bagi Kalasrenggi. Dalam tempo yang singkat mukanya menjadi
sangat merah karena darah -yang mengalir turun memberati mukanya. Laki-laki ini coba
meronta, tapi tubuhnya kaku tak bergerak, hanya terbuai-buai saja macam karung diisi pasir dan
digantung! Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Yang bisa dilakukan Kalasrenggi hanya memaki dan memaki tiada habisnya dia
menjadi letih sendiri. Pendekar 212 tertawa mengekeh macam kakek-kakek. Dia berpaling pada Rara Murni
sebentar lalu bertanya pada Kalasrenggi: "Bagaimana, indahkah dunia ini bila
dilihat terbalik...?"
"Demi setan bila bebas aku bersumpah untuk mencincang tubuhmu keparat...!"
hardik Kalasrenggi. "Sumpahmu terlalu hebat Kalasrenggi. Tapi bisakah kau membebaskan dirimu dari
jari- jari tanganku ini...?" Dengan senyum-senyum Wiro Sableng melangkah mendekati
Kalasrenggi. Kemudian sepuluh jari-jari tangannya menggerayang menggelitiki tulang rusuk
Kalasrenggi! Laki-laki ini menjerit, melolong setinggi langit sampai suaranya menjadi serak!
Wiro Sableng tertawa senang. Rara Murni sendiri hampir-hampir tak dapat menahan
gelinya. Dan Kalasrenggi terus juga berteriak, menjerit, melolong dan memekik
dengan suaranya
yang serak parau itu!
"Rara Murni, ayo mengapa diam saja" Kalau kau ingin membalaskan sakit hatimu
terhadapnya, inilah saatnya," kata Wiro Sableng pula.
Meski amarahnya memang masih meluap terhadap Kalasrenggi namun berada lebih lama
di situ menimbulkan kekhawatiran bagi Rara Murni. Gadis ini walau bagaimanapun
tak dapat memastikan manusia yang bagaimana adanya pemuda rambut gondrong itu, meskipun
dianya telah menolong dan menyelamatkan diri serta kehormatannya. Karenanya tanpa
banyak bicara menyahuti ucapan Wiro Sableng tadi, juga tanpa membuang waktu, Rara Murni segera
lari meninggalkan kuil itu. Kali ini Wiro Sableng tidak berbuat apa-apa lagi untuk
menahan Rara Murni, diikutinya saja gadis itu dengan pandangan mata.
"Gadis tolol!" gerendeng pendekar 212 dalam hati. "Dikiranya Kotaraja dekat dari
sini!" Kemudian ketika Rara Murni lenyap di balik kelebatan pohonpohon di lembah
Limanaluk itu maka pendekar 212 segera angkat kaki pula, menyusul dengan diam-diam dari
belakang.... -- == 0O0 == -TIGA BELAS Begitu keluar dari lembah Limanaluk maka sesaklah nafas Rara Murni karena telah
berlari itu. Sebelumnya jangankan berlari, berjalan sejauh itu pun tak pernah
dilakukannya! Dia
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
berhenti dan berdiri bersandar ke sebatang pohon rindang. Saat itulah baru
disadarinya keadaan
pakaiannya yang tidak menutupi badannya, terutama letak kain di bagian dadanya.
Segera dibetulkannya letak pakaiannya, dirapikannya pula rambutnya. Dia menunggu sampai
nafasnya yang memburu dan dadanya yang sesak pulih seperti sedia kala. Saat itu kedua
kakinya pun terasa sakit. Rara Murni merasa bahwa dia tidak sendirian di tempat itu. Dipalingkannya
kepalanya. Darahnya tersirap karena begitu kepalanya diputar maka kedua matanya membentur
sesosok tubuh yang berada dekat sekali di sampingnya. Orang ini ternyata adalah pemuda
rambut gondrong yang di kuil tua tadi!
"Letih?" tanya Wiro Sableng dengan senyum-senyum.
Rara Murni tak menjawab.
"Kotaraja tidak dekat dari sini, Rara..."
"Aku tahu..."
"Lalu, mengapa lari-lari macam begini" Mungkin juga aku membuat kau jadi takut"
Rambutku yang gondrong ini barangkali ya?"
"Saudara, kau ini siapa sebenarnya?"
"Aku" Aku ya aku..." jawab Wiro pula.
"Kalau kau hendak bermaksud jahat pula terhadapku sebaiknya berlalunya saat ini
juga!" "Ah... tampangku memang jelek, tapi aku tidak sejahat yang kau sangkakan Rara
Murni. Aku hanya tak ingin melihat kau musti lari setengah mati sampai di Kotaraja!
Mungkin seperempat jalan kau sudah mengeletak pingsan!"
Rara Murni terdiam. Tapi kemudian dia berkata: "Walau bagaimanapun aku musti
kembali ke Kotaraja selekas mungkin..."
"Itu memang betul. Tapi bukan dengan lari caranya. Mari ikut aku..."
"Ikut ke mana?"
"Dengar Rara, kau tak perlu terlalu bercuriga terhadapku. Di tepi sungai sana


Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada beberapa ekor kuda. Kau bisa naik kuda?"
Gadis itu menggeleng.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Kalau begitu..." katanya, "Kau terpaksa
naik kuda bersama-samaku!"
Maka merahlah paras Rara Mumi. "Jangan bicara seenak perutmu, saudara!" bentak
gadis ini. Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Heh... aku toh tidak bicara usil. Habis kalau kau tak bisa naik kuda sendiri
bagaimana?"
"Aku lebih baik jalan kaki!" sahut Rara Murni dengan hati dan suara keras.
Wiro Sableng tertawa. "Dengar Rara Murni, aku mempunyai firasat bahwa peristiwa
penculikanmu ada ekornya. Ekor yang panjang dan besar. Kalau Kalasrenggi
berkhianat terhadap Sang Prabu, terhadap kerajaan Pajajaran, bahkan bukan hanya sekedar
berkhianat tapi
juga hendak bikin celaka terhadap kau, maka tidak mustahil masih ada pejabatpejabat tinggi kerajaan lainnya yang turut terlibat dalam pengkhianatan ini..."
Ucapan Pendekar 212 itu memang terpikir ada benarnya oleh Rara Murni. Tapi
menunggang kuda bersama pemuda itu, tentu saja dia merasa malu sekali. Apa akan
kata orang bila melihat hal itu nanti"
Kemudian didengarnya pula oleh gadis ini suara Wiro Sableng kembali: "Makin
cepat kau sampai ke Kotaraja semakin baik..."
Rara Murni termenung sejurus. Tapi hatinya tetap keras tak mau naik kuda bersama
pemuda itu. Tanpa banyak bicara gadis ini kemudian putar tubuhnya dan bergegas
meninggalkan tempat itu.
Wiro Sableng menggerutu dalam hatinya. "Gadis keras kepala! Kalau sudah lecet
kulit kakinya baru tahu rasa!" Dia geleng-geleng kepala dan melangkah pula mengikuti.
Beberapa lama kemudian mereka sampai di tepi sebuah jalan umum. Selama itu tak
satu pun dari keduanya yang buka mulut.
"Rara," kata Wiro ketika mereka sampai di jalan umum itu. "Ada baiknya kita
berhenti istirahat di sini. Siapa tahu ada kereta atau gerobak yang lewat dan kita bisa
menumpang."
Gadis itu tak menjawab. Tapi dia menghentikan langkah karena memang kedua
kakinya sudah letih. Hampir sepuluh menit mereka berdiri di tepi jalan itu tapi tak satu
kendaraan pun yang lewat. "Rara Murni..." kata Wiro Sableng. "Agaknya kau tidak senang terhadapku..." Tak
mau bicara denganku?"
Rara Murni diam saja. Sebenarnya memang tak ada yang harus ditidaksenangkannya
terhadap pemuda itu. Hanya segala apa yang tadi terjadi dan segala apa yang
hampir menimpa dirinyalah yang membuat dia jadi tak banyak bicara dan merasa bercuriga terhadap
pemuda berambut gondrong yang sampai saat itu masih belum juga diketahuinya siapa
adanya. Wiro Sableng memandang ke ujung jalan. Sepi tiada bermanusia. "Kita berangkat
lagi, Rara...?" Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Saudara...." kata Rara Murni untuk pertama kalinya sesudah sedemikian lama
berdiam diri. "Kau sendiri siapa sebenarnya dan mau menuju ke mana?"
"Ah... ini pertanyaan yang bagus sekali. Bagus sekali." kata pendekar 212 dengan
senyum-senyum. "Siapa aku, kurasa tidak penting. Dan ke mana aku mau menuju...
aku sendiri sebenarnya juga tidak tahu... !"
Rara Murni memandang dengan sudut matanya memperhatikan pemuda itu.
Jawabannya seperti jawaban orang yang tidak betul pikirannya, atau mungkin pula
jawaban itu hanya sekedar jawaban belaka. Tiba-tiba keduanya memalingkan kepala ke ujung
jalan sebelah kanan. Di kejauhan kelihatan muncul sebuah gerobak, ditarik oleh dua ekor lembu.
Di bagian depan gerobak yang terbuka itu duduk dua orang laki-laki. Mereka berpakaian
petani sedang setengah dari gerobaknya sarat dengan sayur mayur.
"Nasib kita baik juga rupanya Rara," kata Wiro Sableng. Dan ketika gerobak itu
datang mendekat, pemuda ini segera lambaikan tangannya. Gerobak berhenti.
"Saudara, apakah kalian menuju ke Kotaraja?" Kedua orang di atas gerobak tak
menjawab pertanyaan Wiro Sableng melainkan memandang lekat-lekat pada gadis di
sampingnya. "Kalau kami tak salah lihat," kata laki-laki yang mengemudikan gerobak, "Agaknya
kami berhadapan dengan Tuan Puteri Rara Murni, adik Sang Prabu Pajajaran..."
Rara Murni mengangguk dan kedua orang itu segera turun dari kereta lalu menjura.
"Ada hal apakah sampai Tuan Puteri berada di tempat ini...?" tanya laki-laki
yang memegang kemudi gerobak. Kedua matanya kemudian melirik sekilas pada Wiro
Sableng, lalu melirik pada kawannya.
Rara Murni hanya menarik nafas panjang. Karena mengira pemuda rambut gondrong
dan berpakaian sederhana itu adalah hamba sahaya atau pembantu Rara Murni maka
yang ditanya menjawab dengan anggukan kepala acuh tak acuh. Seorang dari mereka
kemudian berkata pada Rara Murni: "Jika Tuan Puteri bermaksud hendak kembali ke Pakuan,
kami tentu saja bersedia bahkan merasa berkewajiban untuk membawa Tuan Puteri. Tapi
maafkanlah keadaan kereta kami, kotor dan penuh sayuran..."
"Itu tak menjadi apa, pokoknya asal sampai ke Kotaraja." Yang menjawab adalah
Wiro Sableng. Ini mengesalkan kedua orang itu. Kemudian mereka menolong Rara Murni
naik ke atas gerobak. Gadis itu duduk di sebelah muka, di samping pengemudi sedang
kawannya bersama Wiro Sableng duduk di sebelah belakang, di samping tumpukan sayur. Tak
lama kemudian gerobak itu pun bergeraklah.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
-- == 0O0 == -EMPAT BELAS Kesunyian sepanjang jalan itu kini dipecahkan oleh suara deru roda gerobak.
Sekali- sekali diselingi dengan gemeletakkan- gemeletakkan bila roda gerobak menggilas
bebatuan atau suara kayu-kayu kendaraan itu bergerobyakan ketika salah satu rodanya memasuki
lobang jalanan. Saat itu masih cukup jauh dari Kotaraja, Pendekar 212 duduk melunjurkan kedua
kakinya di bagian belakang kereta. Matanya terpejam-pejam oleh hembusan angin
siang yang sejuk. Beberapa kali dia sudah menguap. Orang yang duduk di hadapannya
senantiasa membuang muka, segan atau tepatnya tak senang memandang pada pemuda ini yang
sebentar- sebentar menguap, sebentar-sebentar menggaruk kepalanya yang berambut gondrong.
Beberapa saat kemudian Wiro Sableng membuka juga kedua matanya. Dia menggeliat.
Ini menambah ketidaksenangan orang yang di hadapannya.
"Saudara, aku minta mentimunmu satu...." kata Wiro Sableng. Dan tidak menunggu
jawaban pemilik sayuran itu langsung saja Wiro Sableng mengambil sebuah mentimun
besar dan menggerogotinya.
Orang yang di depan Wiro Sableng memaki dalam hati. Rahangnya terkatup rapatrapat. "Rara Murni..." seru Wiro Sableng tiba-tiba. "Apakah kau suka makan mentimun?"
Di bagian depan kereta Rara Murni berpaling sebentar tapi tak menjawab.
"Panas-panas begini enak sekali makan mentimun, untuk pelepas haus dan
mendapatkannya tak usah susah payah..."
"Terima kasih... aku tidak haus, Saudara...." Terdengar jawaban gadis itu.
"Hem...." Wiro Sableng menggumam dan terus juga mengunyah mentimun dalam
mulutnya, dan gerobak terus juga bergerak menempuh jalan berdebu dan berlobang
serta berbatu-batu. Di bagian belakang kereta Wiro Sableng mengusap-usap perutnya. Telah tiga butir
ketimun amblas ke dalam perut itu dan betapa asamnya tampang orang yang di
hadapannya. Kini kembali Wiro Sableng memejamkan matanya. Kalau perut sudah kenyang memang
kantuk segera datang. Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Mendadak gerobak itu dibelokkan ke sebuah jalan buntu yang menuju sungai oleh
pengemudinya. Begitu gerobak berhenti maka terdengarlah suara Rara Murni
bertanya: "Saudara, kenapa ke sini dan berhenti di sini?"
Pengemudi gerobak tertawa mengekeh. Tiba-tiba tertawanya yang menjijikkan itu
lenyap dan diganti dengan teriakan Rara Murni. Dan di bagian belakang kereta
sendiri petani yang duduk dihadapan Wiro Sableng tiba-tiba mencabut sebatang golok dari balik
pinggang. Begitu golok tercabut keluar dari sarungnya tanpa menungu lebih lama segera
dibacokkan ke kepala Wiro Sableng yang saat itu masih pejamkan mata, keenakan tidur-tidur ayam
tertiup angin sejuk sepanjang perjalanan!
Satu jengkal lagi mata gotok yang tajam akan membelah batok kepala pendekar 212,
maka terdengarlah bentakan menggeledek.
"Ciaaat!"
Tubuh petani yang menyerang terpental ke luar gerobak. Goloknya lepas dan tubuh
itu kemudian tergelimpang di tanah dengan perut pecah dihantam tendangan! Manusia
ini hembuskan nafas tanpa keluarkan sedikit suara pun!
Pandangan bola mata pendekar 212 menyorot bersinar. "Kentut betul!" makinya dan
meludahi muka mayat petani ini. "Orang lagi enak-enak tidur mau dibacok, rasakan
sendiri! Puah...!" Diludahinya lagi muka mayat itu kemudian dipalingkannya kepalanya
dengan cepat. Rara Murni tengah meronta-ronta melepaskan cekalan petani yang mengemudikan
gerobak sayur. "Saudara, tolong aku!" teriak gadis itu pada Wiro Sableng.
"Petani sialan!" gerendeng Wiro Sableng seraya melompat dari atas gerobak.
"Budak hina! Pergi dari sini atau kutebas batang lehermu!" teriak laki-laki yang
mencekal Rara Murni. "Sreet!" Dicabutnya sebuah golok dari batik pinggang.
"Hemmm... jadi kau hanyalah seorang rampok bejat yang berkedok sebagai petani
huh" Seekor serigala yang berbulu domba.... Lepaskan gadis itu atau jidatmu kubikin
rengkah!" "Anjing buduk tak tahu diri, dikasih kebebasan malah minta mampus!"
Dengan tangan kirinya pengemudi gerobak itu totok tubuh Rara Murni. Melihat
kelihayan totokan laki-laki itu pendekar 212 segera maklum bahwa orang itu
bukanlah seorang
petani biasa atau pengemudi gerobak yang bodoh, tapi seorang pendekar lihay yang
tengah menyamar! Maka ketika senjata lawan berkelebat ke arah kepalanya pendekar 212 bergerak
cepat dan tak mau kasih peluang lagi. Pengemudi gerobak itu buka matanya lebih lebar
sewaktu Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
melihat orang yang diserangnya tenyap dari hadapannya. Sambaran goloknya yang
deras mengenai tempat kosong. Ini membuat laki-laki itu terdorong ke muka dan pada
saat inilah kedua matanya melihat sosok tubuh kawannya yang menggeletak di tanah dengan
perut pecah! Berdiri bulu kuduk laki-laki ini. Tapi hanya sebentar saja. Rasa ngeri ini
segera digantikan
dengan rasa geram dan amarah yang meluap. Tubuhnya diputar kembali, untuk kedua
kalinya berkiblatlah senjatanya menyerang Wiro Sableng.
Tapi kali yang kedua ini justru adalah saat kematiannya! Senjatanya lagi-lagi
menghantam angin kosong dan sebelum dia sempat mengirimkan serangan berikutnya
maka lima jari tangan dilihatnya berkelebat dekat sekali ke arah keningnya, tak bisa
dipapaki dengan
golok, tak bisa dikelit dengan kecepatan yang bagaimanapun!
"Plaaak!"
Telapak tangan kanan pendekar 212 mendarat di kening laki-laki itu, disusul
dengan suara jerit kesakitan. Laki-laki itu terguling ke tanah tidak sadarkan diri lagi.
Kulit keningnya
hitam seperti terbakar dan di bagian tengah kulit kening itu terteralah angka
212. Laki-laki ini
bernasib masih untung dari kawannya karena pendekar 212 tidak menamatkan
riwayatnya. Wiro Sableng melepaskan totokan yang mengakukan tubuh Rara Murni. "Hari ini
nasibmu sial terus-terusan rupanya, Rara," kata pemuda itu dengan senyum-senyum.
Si gadis tak berkata apa-apa. Mukanya masih agak pucat. Dan Wiro Sableng berkata lagi:
"Tapi ada juga
untungnya. Gerobak ini sekarang jadi milik kita. Ayo kita teruskan perjalanan.
Rara Murni naik
kembali ke atas gerobak. Wiro Sableng mengemudikan gerobak itu. Sepanjang
perjalanan gadis
itu tak habis pikir. Pemuda yang duduk di sampingnya itu bertampang gagah, tapi
aneh dan juga lucu. Dan di samping itu kehebatan yang telah disaksikan sendiri olehnya tadi
diam-diam membuat dia mengagumi si pemuda. Dan sampai saat ini Rara Murni tidak tahu sama


Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali siapa nama pemuda itu!
Beberapa jauh di luar tembok kerajaan, Wiro Sableng menghentikan gerobak. Dia
berpaling ke samping. Lalu berkata: "Rara, Pakuan sudah di depan mata. Aku
mengantarkan kau hanya sampai di sini. Kau bawalah terus gerobak ini, tak susah untuk
mengemudikannya...."
"Kau sendiri hendak ke mana, Saudara?" tanya Rara Murni heran.
Pendekar 212 tertawa. "Ke mana aku mau pergi itulah satu hal yang aku tidak bisa
jawab," ujar Wiro Sableng pula. "Cuma pesanku, jangan lupa untuk mengatakan
segala kejadian yang kau alami pada Sang Prabu. Kurasa peristiwa-peristiwa yang kau
alami itu Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
mempunyai latar belakang. Dan bukan mustahil kalau masih ada pembesar-pembesar
istana lainnya yang menjadi pengkhianat macam Kalasrenggi...."
Rara Murni mengangguk.
Kemudian Wiro Sableng berkata lagi: "Juga jangan lupa mengirimkan sepasukan
prajurit ke kuil di lembah Limanaluk itu untuk membekuk Kalasrenggi...."
Rara Murni mengangguk untuk kedua kalinya. Ketika dilihatnya pemuda rambut
gondrong itu memutar tubuh hendak berlalu, gadis ini cepat-cepat berkata:
"Saudara... tunggu
dulu." Pendekar 212 putar tubuhnya kembali. "Ada apakah Rara...?"
"Aku belum bilang terima kasih pada kau..."
"Ah...." Wiro Sableng goyangkan tangannya, "Tak usah... tak usah. Itu hanya
kebetulan saja...."
"Sang Prabu mungkin akan banyak bertanya tentang kau. Kurasa lebih baik kau ikut
sama-sama ke istana."
"Terima kasih. Tapi aku ada urusan lain Rara...." jawab Wiro Sableng.
"Lalu kalau hem... kalau Sang Prabu bertanya siapa namamu, bagaimana aku musti
menerangkannya?"
Wiro Sableng tertawa. "Nama itu sebenarnya tidak ada arti apa-apa. Rara. Kita
semua dilahirkan tidak bernama. Orang-orang tua kita yang memberi nama dan itu hanya
kebiasaan saja...." "Jadi, apakah kau tidak punya nama?" tanya Rara Mumi pula.
Wiro Sableng tertawa lagi. "Namaku tidak penting Rara. Tapi kalau kau penasaran
ingat-ingat angka ini...." Habis berkata begitu ditariknya saja ujung bawah kain
yang dikenakan Rara Murni. Dan dengan ujung jari tangannya, dengan mempergunakan tenaga dalam
tentunya, maka dituliskannya tiga rentetan angka 212.
Rara Murni memperhatikan angka itu. "Dua satu dua...:" desisnya. Diangkatnya
kepalanya hendak mengatakan sesuatu pada pemuda itu. Namun dia terkejut dan tak
habis heran. Si pemuda sudah tak ada lagi di hadapannya, seakan-akan gaib lenyap
ditelan bumi. Rara
Murni memandang berkeliling. Tapi pendekar 212 tetap saja tidak kelihatan.
Gadis itu menghela nafas panjang. "Pemuda aneh... agak ceriwis... tapi berhati
polos...."
kata Rara Murni dalam hati. Dicambuknya sapi-sapi penarik gerobak. Gerobak itu
pun bergeraklah menuju pintu gerbang Kotaraja.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Tentu saja Prabu Kamandaka sangat terkejut ketika mendapat keterangan dan
mengetahui apa yang telah terjadi atas diri adiknya. Sepasukan prajurit kerajaan
segera dikirim ke lembah Limanaluk. Tapi mereka datang terlambat karena saat itu pengkhianat
Kalasrenggi sudah tak bernafas lagi, mati tergantung dengan darah bercucuran dari hidung,
mata serta telinga! Rara Murni sendiri, secara diam-diam menyuruh beberapa orang kepercayaannya
untuk mencari jejak Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, namun usaha
mereka sia- sia belaka. Hari itu juga di seluruh Kerajaan diadakan pembersihan, termasuk di dalam
istana. Tapi hasilnya tidak memuaskan sama sekali. Bahkan biang racun pengkhianat yaitu Raden
Werku Alit tetap tenang-tenang saja di tempatnya di dalam gedungnya yang mewah di
lingkungan istana. Siapa yang menduga kalau saudara sepenyusuan dari Sang Prabu sendiri
yang menjadi tokoh pengkhianat terbesar"
Satu-satunya orang yang ditangkap dalam pembersihan yang diadakan ialah petani
yang menggagahi Rara Murni di tengah jalan sewaktu naik gerobak. Namun sebelum dibawa
ke hadapan Sang Prabu, petani ini berhasil merampas pedang seorang perajurit dan
menghunjamkannya ke batang lehernya. Tak ampun lagi manusia itu meregang nyawa
di situ juga. Siapakah petani ini sesungguhnya" Siapa pula kawannya yang telah
ditamatkan riwayatnya oleh pendekar 212 sebelumnya" Mengapa pula petani yang satu itu
memutuskan untuk membunuh diri sendiri" Dia dan kawannya tiada lain adalah mata-mata kaki
tangan kaum pemberontak yang dikirimkan oleh Mahesa Birawa untuk menemui Raden Werku Alit
dan menyelidiki suasana di Pajajaran menjelang saat-saat penyerangan total diadakan!
Seperti yang diceritakan di atas, dalam perjalanan menuju ibu kota kerajaan yaitu Pakuan,
mereka telah bertemu dengan Rara Murni, adik Sang Prabu, bersama seorang laki-laki gondrong
yang mereka sangkakan hamba sahaya Rara Murni. Maka saat itu timbullah niat mereka
untuk menculik gadis itu dan membawanya ke tempat persembunyian kaum pemberontak di
kaki Gunung Halimun.
Namun maksud mereka itu membawa celaka kepada diri mereka sendiri. Yang satu
mati dihajar pendekar 212. Yang satu lagi roboh pingsan di tengah jalan kemudian
ditangkap oleh serdadu-serdadu kerajaan tapi berhasil bunuh diri sebelum dibawa ke hadapan Sang
Prabu, sebelum dipaksa untuk memberikan keterangan!
-- == 0O0 == -Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
LIMA BELAS Malam itu untuk kesekian kalinya di dalam kemah besar diadakan pertemuan
kali ini sangat penting sekali rupanya karena di luar kemah itu dijaga dengan
ketat oleh para pengawal. Pertemuan ini bukan saja penting karena datangnya dua tokoh
sekutu dari kaum pemberontak yaitu Adipati Warok Gluduk dari Rajasitu dan
Adipati Tapak Ireng dari Ratujaya, tapi juga karena kabar yang dibawa oleh seorang kurir
Raden Werku Alit dari Kotaraja.
Sebagaimana biasa pertemuan penting ini di:pimpin oleh Mahesa Birawa yang
duduk di kepala meja. Setelah mempersilahkan kelima Adipati meneguk minuman
masing-masing maka Mahesa Birawa segera membuka pembicaraan.
"Pertama sekali perkenankanlah saya atas nama Adipati-Adipati yang terdahulu
datang ke sini dan juga atas nama Raden Werku Alit, mengucapkan selamat datang
pada Adipati Warok Gluduk dan Adipati Tapak Ireng. Kemudian kami juga
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas tekad
Adipati-Adipati berdua untuk bersedia membantu dan bersekutu dalam perjuangan
mencapai cita-cita kita yang besar yaitu menggulingkan Pajajaran, menumbangkan
Kamandaka dari takhta kerajaannya karena sesungguhnya selama Raden Werku Alit
masih hidup maka Kamandaka tidak punya hak sama sekali untuk menjadi Raja
Pajajaran...."
Mahesa Birawa memuntir-muntir kumisnya yang melintang dua tiga kali lalu
melanjutkan bicaranya: "Kedua kalinya, pertemuan ini adalah juga untuk membahas
keterangan yang telah disampaikan kurir dari Kotaraja. Diterangkan bahwa dua
orang mata-mata kita tertangkap. Yang satu terbunuh dan yang satu lagi bunuh diri.
Mayat mereka dibuang ke kali. Mengenai peristiwa ini ada sedikit keterangan yang
bersimpang siur sehingga belum dapat saya menarik satu kesimpulan bagaimana sampai kedua
mata- mata kita itu mengalami nasib demikian rupa. Kabar keterangan yang paling buruk
ialah bahwa salah seorang pembantu utama kita yaitu kepala pasukan Kalasrenggi juga
telah menemui kematiannya. Dia digantung di sebuah kuil tua di lembah Limanaluk.
Mengenai kematian Kalasrenggi ini ada hal-hal aneh dan keterangan yang agak
bersimpang siur. Menurut kurir Raden Werku Alit, ketika pasukan kerajaan datang
ke Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
kuil itu, Kalasrenggi sudah tidak bernafas, digantung kaki ke atas kepala ke
bawah dan pada keningnya tertera guratan-guratan yang membentuk tiga buah angka yaitu
angka 212...." Mahesa Birawa memandang berkeliling dan melihat paras-paras Adipati itu
keheran-heranan.
"Sukar diduga siapa sebenarnya yang membunuh Kalasrenggi dan juga tak dapat
ditafsirkan apa arti angka 212 itu! Di samping itu, sesudah kejadian itu Sang
Prabu memerintahkan pembersihan besar-besaran di kerajaan. Namun semua orang kita
sudah menyingkir. Dan menurut Raden Werku Alit sampai saat dia mengirimkan kurir itu
masih belum ada kecurigaan terhadap dirinya. Namun demikian dalam sehari dua ini
dia akan segera berangkat ke sini untuk berunding terakhir kali, menentukan kapan
penye- rangan dilakukan terhadap Pajajaran. Raden Werku Alit berharap agar kita terus
dalam kesiap siagaan....."
Sunyi sebentar, Adipati Lanabelong dari Kendil yang berkepala sulah meneguk
tuaknya, mengumur-ngumurkan minuman itu dalam mulutnya beberapa lama, lalu
bertanya: "Sampai saat ini berapakah kekuatan balatentara Pajajaran?"
"Menurut keterangan Kalasrenggi sebelum menemui kematiannya tempo hari sekitar
dua ribu lebih. Memang jumlah kekuatan mereka lebih dari kita. Kita cuma sekitar
seribu enam ratusan. Tapi janganlah itu menjadi kekhawatiran para Adipati sekalian. Mengapa
aku katakan tak usah khawatir sebabnya begini. Pertama, dalam peperangan itu jumlah yang
besar tidak selamanya menentukan untuk mencapai kemenangan. Sering pasukan yang lebih
sedikit sanggup mengalahkan pasukan yang lebih besar. Ini adalah disebabkan bahwa
sesungguhnya unsur kekuatan atau jumlah tidak terlalu menentukan tapi unsur taktiklah yang
lebih menentukan. Dengan taktik yang tinggi serta matang, dengan mengetahui di mana
kelemahan- kelemahan pertahanan pasukan Pajajaran, pasti kita dalam sekejapan mata bisa
mengobrak- abrik mereka! Kedua, dalam peperangan kecepatan tempur atau waktu penyerangan yang tepat
adalah sangat menentukan. Bila lawan sedang lengah, meskipun jumlahnya besar, sanggup
dikacau balaukan dan disapu bersih oleh sepasukan kecil saja. Demikian pula dengan kita.
Kita akan menyerang dengan tiba-tiba, dengan menyergap! Pajajaran hanya baru akan
mengetahui bila
balatentara kita sudah berada di depan mata hidung mereka! Dan saat itu mereka
tak akan ada waktu lagi untuk mempersiapkan diri. Aku rasa dengan berpegang teguh pada dua
hal itu, tidak sukar bagi kita untuk membereskan Pajajaran. Apalagi para Adipati di sini bukan
pula manusia- Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
manusia berilmu rendah. Sedikit banyaknya adalah murid-murid dari perguruanperguruan silat
yang ternama juga, bukankah demikian?"
Kelima Adipati itu sama mengulum senyum. Memang rata-rata mereka dalah pewaris
ilmu-ilmu silat dari pelbagai cabang dan aliran dan ilmu-ilmu mereka tidaklah
dapat dianggap ilmu pasaran yang rendah belaka!
"Di samping itu," kata Mahesa Birawa pula, "Jangan pula kita lupakan bantuan
yang akan diberikan oleh seorang tokoh dunia persilatan yang terkenal yakni Begawan
Sitaraga...."
"Oh, jadi Begawan sakti yang diam di puncak Gunung Halimun itu membantu kita
pula?" tanya Warok Gluduk, Adipati dari Rajasitu.
"Ya," sahut Mahesa Birawa.
"Bagaimana sampai Begawan ini mau membantu perjuangan kita?" tanya Tapak Ireng.
"Setahuku dia mempunyai pertikaian dengan Toa Kamandaka.... " jawab Mahesa
Birawa pula. "Kalau benar begitu, satu hari saja Pajajaran pasti sudah sama rata
dengan tanah...." kata Warok Gluduk sambil mengusap-usap dagunya. Dan dibayangkannya
kedudukan yang bakai diterimanya bila pemberontakan mereka berhasil nanti!
* * * Waktu itu hari hujan rintik-rintik. Angin malam bertiup kencang dan dingin.
Sosok tubuh itu berjalan dengan acuh tak acuh. Tidak perduli hujan rintik-rintik,
tidak perduli angin
kencang, tidak perduli segala rasa dingin yang menyembilui tulang-tulang sumsum.
Dia berjalan terus bahkan sambil bersiul-siul. Sesampainya di ujung jalan itu maka
disusurinya

Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tembok tinggi dan sekali-sekali, dalam jarak-jarak tertentu dilewatinya seorang
pengawal ber- senjata lengkap.
Di hadapan sebuah pintu gerbang yang dikawal oleh delapan orang perajurit
berhentilah pemuda itu. Dia memandang ke kiri dan ke kanan, memandang ke atas pintu gerbang
lalu memandang pada barisan pengawal dengan pandangan orang bodoh. Pengawal-pengawal
pintu gerbang mula-mula memandang saja dengan penuh curiga namun kemudian salah
seorang daripadanya membentak: "Pemuda gondrong! Ada apa kau celangak celinguk di
sini"!"
Dibentak malahan pemuda itu tersenyum.
"Apa kau tidak tahu berada di mana saat ini"!" bentak prajurit pengawal yang
lain. Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Ah... itulah yang aku mau tanya, saudara. Apakah ini istananya Sang Prabu Raja
Pajajaran?"
Delapan pasang mata prajurit pengawal memandang dari atas ke bawah. Tak ada
kesimpulan lain bagi mereka daripada berpendapat bahwa tentulah pemuda berambut
gondrong itu seorang yang kurang ingatan.
Seorang prajurit yang agak berumur maju ke muka. "Orang muda, ini memang istana
Raja Pajajaran. Siapapun tak diperkenankan berdiri lama-lama di sekitar
sini...." Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. "Kalau berdiri di sini tidak boleh... tentu
masuk lebih tidak boleh lagi.... " katanya perlahan seperti pada dirinya sendiri.
"Berlalulah dari sini," kata prajurit tadi.
"Tapi, aku mau bertemu dengan Rara Murni...." kata si pemuda.
Prajurit tua itu tertawa. "Tak seorang pun yang diizinkan bertemu dengan Tuan
P.uteri, apalagi kau...."
"Ini urusan penting sekali, Saudara!" desak si pemuda.
Salah seorang prajurit yang lain, yang sudah tak sabaran berkata: "Pemuda gila,
berlalulah dari sini. Atau pangkal tombakku akan membenjutkan kepalamu!"
Tapi si pemuda tidak memperdulikan ancaman itu. "Saudara pengawal, dengarlah,"
katanya. "Aku pernah kenal dengan Rara Murni. Mungkin aku lebih kenal padanya
dari kalian semua di sini. Aku musti ketemu dengan dia. Katakan saja bahwa ada seorang
pemuda berambut gondrong bernama 212 mau bertemu dengan dia. Pasti dia tahu dan
mengizinkan aku
masuk...."
Kedelapan prajurit pengawal itu tertawa membahak. Beberapa di antaranya malah
mencibir. Dan seseorang di antara mereka berkata: "Kau salah alamat, kawan. Mustinya kau
datang ke rumah dukun Gendong di kampung Andawa, minta obat kepadanya agar
otakmu yang geblek sinting itu bisa diperbaikinya!"
"Siapa bilang aku sinting"!" radang si pemuda rambut gondrong.
"Kau memang tidak sinting! Tapi berotak miring atau setengah gila!"
Dan gelak membahak terdengar lagi di depan pintu gerbang istana itu!
"Kalau kalian tidak mau kasih aku masuk, tak apa," kata si pemuda yang tiada
lain daripada pendekar 212 Wiro Sableng. "Tapi satu hal aku katakan, aku tidak gila.
Kalianlah semua yang gila tertawa tiada pangkal sebab!" Habis berkata begini pemuda itu
berlalu, melangkah sambil bersiul-siul.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Rara Murni seperti tidak percaya pada pemandangannya ketika melihat pintu
terbuka dan dua sosok tubuh masuk ke dalam. Yang seorang adalah inang pengasuhnya,
seorang perempuan tua, sedang yang satu lagi adalah pemuda rambut gondrong yang pernah
menolongnya tempo hari.
"Kita bertemu lagi, Rara," kata Wiro Sableng. "Di pintu gerbang aku tak
diperbolehkan masuk, terpaksa lompat lewat tembok dan memaksa perempuan tua ini untuk
memberitahukan kamarmu.... "
"Ada apakah kau datang ke sini, Saudara 212?" tanya Rara Murni.
"Ah... rupanya kau masih belum melupakan angka itu. Bagus sekali! Mengapa aku
datang ke sini.... Untuk bertemu dengan kau tentunya." kata pendekar 212 pula
seraya menyandarkan punggungnya ke pintu yang tadi ditutupkannya.
Merah paras Rara Murni mendengar kata-kata Wiro Sableng. Tentang diri
penolongnya ini memang tak pernah dilupakannya, terutama mengingat kehebatannya. Maka
bertanya pula dia:
"Mengapa kau ingin ketemu aku...?"
"Oh, jadi tak boleh ketemu?"
"Bukan begitu maksudku, Saudara...."
"Dengar Rara, aku musti bertemu dan bicara dengan Sang Prabu malam ini juga...."
Rara Murni terkejut.
"Ada urusan apa...?"
"Urusan penting. Penting sekali...."
Rara Murni berpikir-pikir. Pemuda ini selama dikenalnya meski ceriwis dan suka
bicara ngelantur tapi hatinya polos. Namun demikian dia masih belum tahu siapa adanya
pemuda ini. Bukan mustahil dia adalah seorang pengkhianat macam Kalasrenggi tapi yang
menjalankan taktik
secara lain. Purapura menolong pertama kali, kemudian bila tiba saatnya akan
menggolong. "Katakan saja urusan pentingmu itu, saudara. Nanti aku yang sampaikan kepada
Sang Prabu...."
"Ini bukan urusan perempuan, Rara Murni." kata Wiro Sableng pula.
Rara Murni yang lebih mementingkan keselamatan kakak kandungnya Prabu Kamandaka
menjawab: "Maaf, walau bagaimanapun aku tak dapat mempertemukan kau dengan Sang
Prabu...."
Wiro Sableng tak berkata apa-apa. Digaruknya kepalanya. "Sukar memang untuk
percaya pada manusia macamku. Tapi biarlah, bertemu dengan kau puas juga hatiku."
Pendekar itu tertawa dan kembali melihat bagaimana kedua pipi Rara Murni menjadi merah. Tibatiba tangan Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
kirinya dihantamkan ke muka dengan telunjuk terpentang lurus-lurus. Tanpa
keluarkan suara
inang pengasuh yang tadi berlutut kini rebah tiada sadarkan diri.
Rara Murni hendak menjerit. Tapi mulutnya ditekap oleh Wiro Sableng. Pemuda ini
berkata: "Rara, perempuan itu tak apa-apa. Aku hanya menotoknya agar jangan
sampai dia membocorkan rahasia. Ketahuilah, istanamu ini kini penuh dengan pengkhianatpengkhianat. Aku
tak tahu siapa yang menjadi biang pengkhianat! Kalau tahu siang-siang sudah
kupuntir kepalanya
dan kubawa ke hadapan Sang Prabu. Kuharap besok pagi atau malam ini juga kau
bawalah Sang Prabu ke kamarmu ini dan baca pesanku ini?"
Habis berkata demikian pendekar 212 melangkah ke dinding dan pergunakan jari
telunjuknya untuk menulis. Menulis serentetan syair yang mengandung nasihat dan
peringatan. Dalam waktu yang dekat akan pecah pemberontakan
Pemberontakan menggulingkan Sang Prabu dari takhta
kerajaan Istana penuh dengan pengkhianat-pengkhianat bermuka
jujur tapi berhati seculas setan Siapkan bala tentara di
luar tembok kerajaan
212 "Samapi ketemu lagi Rara Murni." kata pendekar 212 Wiro Sableng sehabis menulis
rentetan syair itu. Lalu cepat-cepat ditinggalkannya kamar itu. Rara Murni
memburu ke pintu
tapi si pemuda sudah lenyap.
Ketika malam itu juga Rara Murni menemui Sang Prabu dan menerangkan tentang
kedatangan pemuda aneh itu maka terkejutlah Prabu Kamandaka. Dengan langkah
besar-besar dan tanpa pengawal sama sekali Raja Pajajaran itu bersama adiknya pergi ke
kamar. Dan memang apa yang tertulis di dinding kamar cocok seperti apa yang diterangkan
adiknya. Dinding kamar itu dari batu dan dilapisi dengan marmer putih yang sangat keras.
Dengan pahat sekalipun akan sukar menuliskan rentetan syair itu. Tapi si pemuda aneh
telah menuliskannya dengan ujung jari!
"Bagaimana pendapat Kanda?" tanya Rara Murni kepada kakaknya.
"Pemuda itu tentu seorang yang sakti luar biasa." kata Prabu Kamandaka. "Tapi
apa yang dituliskannya di dinding ini, adalah satu hal yang aku belum bisa percaya.
Tentara kerajaan telah mengadakan pembersihan. Dan tak seorang pengkhianat pun
ditemukan...."
"Mungkin mereka semua sudah menyingkir dan mempersiapkan diri di satu tempat
yang tersembunyi di luar kerajaan," kata Rara Murni pula.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Prabu Kamandaka mengusap-usap dagunya. Lalu katanya: "Rahasiakan tentang tulisan
ini, Dinda. Meski aku tak percaya, aku akan mengadakan penyelidikan juga."
Sesudah itu, keluarlah Kamandaka dari kamar adiknya.
-- == 0O0 == -ENAM BELAS "Berhenti!"
"Tahan!"
Enam prajurit maju ke muka, enam ujung tombak ditujukan ke dada dan punggung
manusia berpakaian putih itu.
"Siapa kau"!"
"Aku mau bertemu dengan Mahesa Birawa!"
"Keparat, aku tanya siapa, menjawabnya lain" bentak prajurit itu.
Laki-laki itu menggeram dalam hati. "Tunjukkan kemah Mahesa Birawa. Kalau tidak
antarkan aku kepadanya!"
" Manusia bau tengik! Kau kira kami ini budakmu" "
"Kau mata-mata Pajajaran ya"!" bentak prajurit yang paling kanan sekali. Ujung
tombaknya kini digeser ke tenggorokan laki-laki asing itu.
"Kalian sontoloyo semua! Aku bicara baik-baik, dibalas dengan bentakan-bentakan!
Sialan!" Enam ujung tombak dengan serta merta bergerak ke muka. Laki-laki yang hendak
menjadi bahan sasaran ujung senjata itu berkelebat cepat. Satu kali gebrakan
saja maka mentallah keenam prajurit itu! Empat tergelimpang di tanah tak bangun lagi. Satu
berdiri nanar, sedang yang satu sambil memegang perutnya yang kesakitan, masih sanggup
berteriak memanggil kawan-kawannya. Maka dalam sekejapan mata saja puluhan prajurit dengan
senjata terhunus sudah mengurung tempat itu, mengurung ketat laki-laki berpakaian serba
putih. Obor- obor menerangi tempat itu dan jelaslah tampang manusia yang telah menggeprak
enam prajurit tadi. Dia memandang berkeliling dengan air muka melontarkan senyum mengejek.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"'Inikah tampangnya
manusia-manusia
yang hendak memberontak pada
kerajaan....?" Laki-taki itu tertawa mengekeh. "Kalian manusia dogol semua. Mau
saja diperalat oleh segelintir manusia yang hendakkan kekuasaan secara keji! Kalau
kalian kalah, kalian dan dipancung semua! Kalau kalian menang, kalian dapat apa"!"
Seorang laki-laki berbadan tinggi kekar dan berkulit hitam maju ke hadapan orang
asing itu. Dia adalah seorang pelatih prajurit-prajurit yang hendak memberontak
itu. Satu tangan bertolak pinggang, satu lagi menuding tepat-tepat ke muka si orang asing,
dia berkata: "Kurasa kau masih belum buta untuk melihat kenyataan, di mana kau berada saat
ini!" kata laki-laki tinggi besar itu.
Si orang asing masih tertawa seperti tadi, mengekeh mengejek. Si tinggi kekar
yang merasa dihina di hadapan orang banyak dengan gemas sekali hantamkan tinju
kanannya ke perut si orang asing.
Apa yang terjadi kemudian terlalu cepat untuk dilihat oleh mata orang banyak di
tempat itu. Tubuh kepala pelatih yang tinggi besar itu jungkir balik di udara dan jatuh
punggung di tanah. Untuk beberapa lamanya tak dapat bergerak-gerak! Kesunyian karena
terkejut dan keheranan hanya berlangsung beberapa ketika saja. Begitu terdengar seseorang
berteriak maka menyerbulah puluhan prajurit itu. Suara beradunya senjata riuh dan kacau balau.
"Tahan!," Seorang prajurit berteriak. "Lihat! Kita menghantam sesama kita!
Kunyuk itu sudah ada di sana!"
Dan ketika semua mata memandang ke jurusan yang ditunjuk maka kelihatanlah orang
asing tadi berjalan seenaknya di sela-sela kemah prajurit!
Sewaktu dirinya diserang, secara bersama-sama tadi, laki-laki itu dengan
kecepatan luar biasa jatuhkan diri di tanah dan lolos di antara selangkangan para penyerangnya.
Keadaan malam yang gelap menolongnya untuk lolos dan melangkah seenaknya di sela-sela
kemah. Metihat bahwa orang yang mereka serang sudah berada di tempat lain, di samping
terkejut tentu saja prajurit-prajurit itu menjadi geram sekali. Apa lagi kepala
pelatih yang tadi
dibikin menggeletak di tanah dalam satu kali gebrakan. Dia berseru memanggil


Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

prajurit-prajurit
lainnya. "Kurung bangsat itu! Kalau tak mungkin ditangkap hidup-hidup, cincang sampai
lumat!," perintahnya. Kepala pelatih ini kemudian cabut kerisnya.
Sebelum menyerbu di antara anak buahnya dia memberi perintah pada seorang
prajurit yang kebetulan berada di dekatnya: "Beri tahu hal ini pada Mahesa Birawa....!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Di dalam kemah besar itu tengah berlangsung perundingan. Mahesa Birawa tengah
berkata: "Besok Raden Werku Alit sudah berada di sini dan agaknya.... "
Ucapan Mahesa Birawa terputus. Kepalanya berpaling ke kanan dan dari mulutnya
keluarlah suara bentakan: "Pengawal! Apa kamu orang tidak tahu bahwa tidak siapa
pun boleh masuk ke dalam kemah ini" Keluar.... !"
"Mohon maaf Raden... kata pengawal kemah seraya menjura dua kali. "Seorang
prajurit memberitahukan bahwa terjadi kerusuhan di sebelah timur..."
"Kerusuhan...."!" Mahesa Birawa berdiri dari kursinya.
"Ya, seorang asing diketahui memasuki perkemahan. Ketika dikurung dan ditanyai
dia melawan. Dia merubuhkan enam prajurit! Memukul kepala pelatih Suto Rande dan
kini tengah dikeroyok oleh puluhan prajurit di bawah pimpinan Suto Rande!"
"Hanya seorang asing nyasar ke sini saja kalian tidak bisa membereskan"!
Memalukan sekali!" kertak Mahesa Birawa. Tapi dalam hatinya dia sebagai seorang
yang sudah berpengalaman dalam dunia persilatan memaklumi, kalau seseorang sanggup
merubuhkan enam lawan sekaligus, bahkan memukul jatuh kepala pelatih prajurit
ini suatu tanda bahwa dia bukanlah orang sembarangan, pasti mempunyai ilmu yang
diandalkan. Tapi
siapa adanya orang asing yang.berani datang seorang diri ke perkemahan itu,
inilah satu hal
yang ingin diketahui Mahesa Birawa.
Mahesa Birawa berpaling pada Adipati-Adipati yang ada dalam kemah itu dan
berkata: "Harap maafkan. Aku terpaksa meninggalkan persidangan sebentar untuk
membereskan keonaran..."
Semua Adipati menganggukkan kepala. Adipati Tapak Ireng berkata: "Mungkin sekali
perusuh ini seorang mata-mata Pajajaran..."
"Boleh jadi," sahut Mahesa Birawa seraya menindak ke pintu kemah.
Dan saat itu pengawal kemah berkata: "Orang asing itu berkata bahwa dia ingin
bertemu dengan Raden..."
"Dengan aku?" Mahesa Birawa menuding dadanya sendiri.
Pengawal mengangguk.
Ini membuat Mahesa Birawa tambah ingin lekas-lekas mengetahui siapa adanya
perusuh itu. Pertempuran berkecamuk seru ketika Mahesa Birawa sampai ke sana bersama seorang
prajurit. Prajurit ini hendak berseru tapi diberi isyarat oleh Mahesa Birawa
agar diam saja. Akan
disaksikannya dengan mata kepala sendiri beberapa jurus kehebatan pertempuran
itu. Pekik dan Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
jeritan terdengar hampir setiap saat. Setiap pekikan musti disusul dengan
menggeletaknya tubuh
seorang pengeroyok. Menurut taksiran Mahesa Birawa saat itu ada sekitar tiga
puluh prajurit di
bawah pimpinan Suto Rande yang mengeroyok si orang asing.
Diam-diam Mahesa Birawa mengagumi juga kehebatan orang asing itu. Masih muda
belia, bertampang keren dan senjatanya sebuah tombak yang diputar seperti
kitiran, menderu
dan setiap saat meminta korban dari pihak pengeroyok! Mahesa Birawa tahu betul,
tombak yang di tangan pemuda itu adalah tombak rampasan. Dan yang membuat Mahesa Birawa
terpaksa leletkan lidah ialah meski dikeroyok puluhan manusia, si pemuda itu
dengan seenaknya saja melayani sambil tertawa dan bersiul!
Beberapa orang lagi rubuh menggeletak dengan perut atau dada terluka parah
disambar ujung tombak. Kemudian terdengar lagi satu pekikan dahsyat. Sesosok tubuh
mental, jatuh tepat
di hadapan Mahesa Birawa. Ketika diteliti oleh Mahesa Birawa ternyata sosok
tubuh itu adalah
sosok tubuh Suto Rande, kepala pelatih prajurit! Nyawanya sudah minggat dan pada
keningnya kelihatan guratan angka 212...!
Angka ini sekaligus mengingatkan Mahesa Birawa pada keterangan kurir Raden Werku
Alit tentang kematian Kalasrenggi secara aneh, digantung kaki ke atas kepala ke
bawah dan juga ada angka 212 pada kulit keningnya! Tanpa menunggu lebih banyak korban lagi
yang jatuh maka berserulah Mahesa Birawa!
-- == 0O0 == -TUJUH BELAS "Aku Mahesa Birawa memerintahkan untuk hentikan pertempuran ini!"
Suara yang hampir menggeledek itu dengan serta merta menghentikan pertempuran.
Prajurit-prajurit yang mengeroyok melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Si
pemuda asing masih berdiri di tempat dengan tombak di tangan. Teriakan Mahesa Birawa
tadi membuat dia putar kepala ke arah datangnya suara itu. Dan sepasang matanya
segera membentur sesosok laki-laki berbadan tegap berkumis lebat melintang, berpakaian
bagus. Pada pinggangnya terselip keris.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Dalam hatinya pemuda itu menggumam: "Hem... jadi inilah dia manusianya yang
bernama Mahesa Birawa itu...". Selagi dia menggumam begitu laki-laki itu
melangkah mendatanginya. "Orang asing!," kata Mahesa Birawa dengan nada keren dan lantang. "Meski kau
punya sedikit ilmu yang diandalkan, tapi di sini bukanlah tempat untuk memamerkannya!"
Si pemuda keluarkan suara bersiul. "Betul aku berhadapan dengan Mahesa Birawa
saat ini...?" tanyanya.
"Kau siapa"!," membentak Mahesa Birawa.
"Namaku tertulis di kening anak buahmu itu!" Si pemuda pendekar 212 menunjuk ke
mayat Suto Rande.
"Hem... bagus kalau begitu!" Mahesa Birawa puntir kumisnya. "Kau yang membunuh
Kalasrenggi, bukan?"
"Tidak! Aku hanya menggantungnya dan Tuhan kemudian mengambil rohnya....".
Habis berkata begitu pendekar 212 Wiro Sableng tertawa mengekeh.
"Kau tahu Mahesa, manusia macam Kalasrenggi itu tak layak hidup lama-lama di
dunia! Masih kebagusan ada kali untuk tempat pembuang mayatnya! Dan kau tahu...
di atas bumi ini masih banyak manusia-manusia macam Kalasrenggi malahan lebih terkutuk
dari Kalasrenggi yang musti dilenyapkan!"
Di sini bukan tempat pidato, budak hina!," bentak Mahesa Birawa.
"Oh, begitu..." Kalau demikian mari kita bicara empat mata Mahesa Birawa. Aku
memang sudah lama mencari kau!"
Mahesa Birawa menyeringai. Kemudian kelihatan bagaimana mukanya menjadi kelam
membesi. "Kalau aku bicara dengan kau maka biar aku terangkan padamu bahwa
kedatanganmu ke sini hanyalah untuk mengantar nyawa!"
Habis berkata demikian Mahesa Birawa hantamkan tangan kanannya ke muka. Setiup
angin yang bukan olah-olah panasnya menggebubu ke arah pendekar 212! Pendekar
212 lompat tiga tombak ke atas. Angin pukulan lewat di bawahnya dan menghantam sebuah pohon
kayu. "Buum!"
"Kraak!"
Pohon itu bukan saja tumbang dilanda angin pukulan tapi juga berwarna hitam
karena hangus! Kedua orang itu sama-sama terkejut. Pendekar 212 terkejut melihat
kehebatan pukulan dan tenaga dalam lawan sedang Mahesa Birawa heran tidak menyangka kalau
pukulannya itu dapat dielakkan dengan satu lompatan enteng ke udara!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Dengan penuh waspada Wiro Sableng jejakkan kedua kakinya kembali ke tanah.
"Mahesa Birawa," katanya, "Soal pertempuran soal mudah. Mudah dimulai, mudah
diakhiri. Tapi aku bilang, aku mau bicara dengan kau! Empat ma...."
"Budak hina! Siapa sudi bicara dengan kau!" potong Mahesa Birawa membentak.
Sekali lagi tangan kanannya dipukulkan ke muka. Kalau tadi dia hanya
mempergunakan sepertiga dari tenaga dalamnya maka kini dialirkan ke dalam pukulannya itu
setengah dari tenaga dalamnya! Namun untuk kedua kalinya pula Mahesa Birawa dibuat gemas
karena Pendekar 212 berhasil pula mengelakkan serangannya yang dahsyat itu.
"Mahesa Birawa, apakah kau yang lebih tua tidak memberikan kesempatan padaku
untuk bicara empat mata"!"tanya Wiro Sableng pula. Kesabarannya mulai terkikis
dari hatinya. Kalau saja dia tiada ingat pesan gurunya Eyang Sinto Gendeng pastilah saat itu
juga dibalasnya
serangan-serangan Mahesa Birawa tadi!
Untuk tidak terlalu kehilangan muka karena dua pukulannya berhasil dielakkan
lawan maka berkatalah Mahesa Birawa: "Percuma saja kau bicara, toh nantinya nyawamu
akan aku bikin merat juga dari kau punya badan!"
Pendekar 212 tertawa.
"Dengar Mahesa Birawa..." kata pendekar ini. Rahang-rahangnya bertonjolan.
Pelipisnya bergerak-gerak tanda dia menekan amarahnya dan berusaha
mempertahankan kesabarannya. "Aku membawa pesan dari Eyang Sinto Gendeng..."
Maka terkejutlah Mahesa Birawa mendengar nama itu.
"Kau ini siapa kalau begitu"!" tanyanya.
"Siapa aku masih belum penting. Aku tunggu kau malam ini di bukit Jatimaleh.
Seorang diri, Mahesa Birawa. Datanglah seorang diri...."
"Kau bisa bicara di sini!"
Pendekar 212 menggeleng. "Di bukit Jatimaleh..." desisnya.
"Aku bilang di sini!," bentak Mahesa Birawa. "Takutkah kau datang ke bukit itu
malam-malam gelap begini" Atau mungkin takut pada dinginnya udara" Atau mungkin
takut pada roh-roh manusia yang selama ini membayangimu...."!"
Mahesa Birawa kertakkan geraham. Dia memberi isyarat. Bersama puluhan prajurit
yang ada di situ maka menyerbulah dia! Pendekar 212 melompat sampai setinggi
tujuh tombak. Dia berpegangan pada ujung sebuah cabang pohon, membuat satu kali putaran pada
saat mana Mahesa Birawa lemparkan sejenis senjata rahasia.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Mahesa Birawa berseru tertahan ketika melihat senjata rahasianya membalik
kembali menyerang dirinya sendiri. Dikebutkannya tangan kirinya. Senjata rahasia itu
bermentalan, menghantam prajurit-prajurit di sekitarnya. Empat orang menggerang dan rebah ke
tanah! Bayangan Wiro Sableng lenyap namun masih terdengarsuara seruannya mengiangi anak
telinga. "Bukit Jatimaleh, Mahesa! Malam ini. Ingat, seorang diri.... !"
-- == 0O0 == -DELAPAN BELAS Bukit Jatimaleh tertetak tidak berapa jauh dari perkemahan pemberontak. Ketika
Mahesa Birawa hendak meninggalkan perkemahan, beberapa prajurit menyatakan
hendak ikut serta tapi Mahesa berkata: "Biar aku sendiri yang membereskan urusan ini! Kalian
semua di sini bersiap siagalah. Perkuat penjagaan dan lipat gandakan prajurit-prajurit
peronda!" Cuaca malam di atas bukit Jatimaleh gelap gulita. Di langit tiada rembulan tiada
bintang. Udara yang dingin mencucuki daging menyembilui tulang-tulang sampai ke
sungsum. Dalam kegelapan inilah kelihatan dua sosok tubuh berdiri berhadap-hadapan.
Yang satu membentak lantang: "Cepat terangkan siapa kau adanya budak hina!"
"Ah... jangan bicara memaki terus-terusan Mahesa Birawa. Belum tentu aku lebih
hina dari kau!," jawab Pendekar 212.
Marahlah Mahesa Birawa. Dia menggeser langkahnya ke muka. Tapi langkahnya segera
pula terhenti ketika didengarnya pemuda di hadapannya berkata: "Pesan Eyang
Sinto Gendeng ialah agar kau segera kembali ke puncak Gunung Gede dalam waktu secepatcepatnya!"
"Kembali ke puncak Gunung Gede.... "!"
"Yeah... Untuk menerima hukuman atas perbuatan-perbuatan jahatmu sejak kau turun
gunung tujuh belas tahun yang silam!"
"Jangan bicara ngaco belo! Ada hubungan apa kau dengan Eyang Sinto Gendeng"!"
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 tertawa datar. "Aku hanya pesuruh buruk saja,
Mahesa...." jawabnya.
"Dusta!," bentak Mahesa Birawa menggeledek. "Kalau kau tak mau bicara yang
sebetulnya jangan menyesal bila kepalamu kupuntir sampai putus!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Wiro Sableng bersiul. "Aku tak tahu segala urusan puntir kepala. Aku hanya
menyampaikan perintah Eyang Sinto Gendeng agar kau menghadapnya di puncak Gunung
Gede! Kau dengar Mahesa.... He... he... he...."
Jari-jari tangan Mahesa Birawa mengepal membentuk tinju.
"Aku ingin tahu saat ini juga. Apakah kau bersedia memenuhi perintah itu atau
tidak...?"
"Aku tanya dulu! Apa hubunganmu dengan Eyang Sinto Gendeng" Jangan bikin
kesabaranku habis!"
"Kurasa akulah yang mustinya kehabisan rasa sabar melihat tampangmu saat ini!"
tukas Wiro Sableng. "Katakan saja terus terang bahwa kau tak mau menghadap Eyang Sinto
Gendeng! Itu lebih baik dan lebih jelas....!"
Mahesa Birawa busungkan dada. Katanya: "Kalau orang tua geblek itu butuh ketemu
dengan aku, suruh dia datang ke sini!"
Suara menggeram jelas terdengar di tenggorokan Pendekar 212. Mukanya kelam
membesi. Tanah yang dipijaknya melesak sampai tiga senti!
"Bicaramu terlalu besar Mahesa Birawa! Terlalu pongah! Dosamu sendiri sudah
lebih

Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari takaran! Hari ini kau hina gurumu sendiri! Guru yang bertahun-tahun telah
memeliharamu, mengajarmu segala ilmu kepandaian! Guru yang telah kau nodai nama baiknya! Kau
mengandalkan apakah, Mahesa Birawa..... "! "
"Bocah gila! Terpaksa mulutmu kurobek detik ini juga!" bentak Mahesa Birawa.
Secepat kilat, belum lagi habis bicaranya maka lima jari-jari tangan kanannya
bergerak mencengkeram ke muka. Pendekar 212 tertawa. Tertawa dan bersiul. Bentakan
nyaring menggeledek dari mulutnya dan dia lompat ke samping sambil hantamkan tangan
kirinya. Mahesa Birawa terkejut ketika merasakan satu angin yang deras mendorong
tubuhnya. Cepat-cepat dia pergunakan tangan kanan untuk memapasi dorongan angin
itu tapi tak urung tubuhnya menjadi gontai juga! Maka kini keringat dingin memercik
di kening laki-laki itu!
"Urusan kekerasan urusan mudah, Mahesa!," kata Wiro Sableng. "Tapi bicaraku
masih belum habis. Tujuh belas tahun yang lewat kau pernah malang melintang di
Jatiwalu. Ingat.... ?"
"Pemuda sedeng! Darimana...."
"Ah... kau masih ingat! Bagus... bagus sekali! Apa kau juga ingat bahwa pada
masa tujuh belas tahun itu kau telah membunuh Ranaweleng, Kepala Kampung
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Jatiwalu"! Apakah kau juga masih ingat bahwa pada masa itu kau juga merusak
kehormatan seorang perempuan bernama Suci, isteri Ranaweleng, kemudian karena
malu perempuan itu bunuh diri"! Apa kau juga masih ingat dan sanggup menghitung
berapa banyak jiwa penduduk yang kau renggut, kau bunuh"!"
Mulut Mahesa Birawa terkatup rapat-rapat.
Dan pendekar 212 buka mulut lagi: "Kalau aku tidak ingat pesan Eyang Sinto
Gendeng, pada detik aku melihat tampangmu aku sudah bertekad untuk mengermus
kepalamu! Kini setelah tahu bahwa kau tidak mau diperintahkan untuk menghadap ke
puncak Gunung Gede maka tak ada lagi halangan bagiku untuk membalaskan dendam
kesumat seribu karat, untuk membalaskan sakit hati yang berurat berakar sejak
tujuh belas tahun yang lewat! Ketahuilah Mahesa Birawa, aku adalah anak Ranaweleng.
Dan aku adalah juga murid Eyang Sinto Gendeng! Adik seperguruanmu sendiri, tapi yang
akan memisahkan roh busukmu dengan tubuh bejatmu!" Habis berkata begini maka
tertawalah pendekar 212. Suara tertawanya keras dan panjang, menegakkan bulu
roma. Bergetar hati Mahesa Birawa mendengar suara tertawa yang menegakkan bulu
kuduknya itu. Terbayang olehnya masa tujuh belas tahun yang silam. Begitu cepat
waktu berlalu dan tahu-tahu kini dia berhadapan dengan kenyataan yang pahit!
Berhadapan dengan anak laki-laki dari suami isteri yang pernah menjadi korbannya. Seperti
tak percaya dia akan kenyataan ini!
"Orang muda...!," kata Mahesa Birawa pula. Suaranya diperbawa dengan aliran
tenaga dalam agar tidak kentara getaran hatinya. "Kuharap kau cepat-cepat saja
bangun dari mimpimu dan tahu berhadapan dengan siapa...!"
Pendekar 212 tertawa lagi seperti tadi. Lebih seram malah! Dan didengarnya
suara Mahesa Birawa, musuh besarnya itu berkata pongah: "Jangankan kau... Eyang
Sinto Gendeng sekalipun tak akan sanggup turun tangan terhadapku! Kalau kau
teruskan niat edanmu, ketahuilah bahwa kedatanganmu sejauh ini dari puncak Gunung Gede
hanyalah untuk mencari mampus sendiri!"
"Kita akan lihat Mahesa Birawa! Kita akan saksikan! Darah siapa di antara kita
yang akan dihisap oleh tanah! Kau telah menentukan kematian ibu bapakku di siang
hari! Disaksikan oleh langit siang dan matahari! Karena itu besok, bila matahari
tepat sampai di puncak ubun-ubun, aku tunggu kau di atas bukit ini! Biar langit dan
matahari yang dulu menyaksikan kematian ibu bapakku, besok menyaksikan pula kematianmu,
menyaksikan pembalasan dendam kesumat seribu karat!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Mahesa Birawa keluarkan suara mendengus. "Aku bukan manusia yang bisa
menunggu, apa lagi terhadap keroco macam kau! Tapi dengar orang muda... daripada
kau mati tiada guna, aku ada usul baik bagimu. Ikut bersamaku menghancurkan
Paja- jaran, niscaya kau akan kuangkat kelak menjadi seorang pejabat berpangkat
tinggi.... !"
Wiro Sableng bersiul. "Aku tidak butuh usul, Mahesa Birawa, juga tidak butuh
apa-apa. Saat ini aku hanya butuh roh busukmu! Besok siang di tempat ini.
Mahesa. Darahmu atau darahku, nyawamu atau nyawaku!"
Maka kini Mahesa Birawa tidak dapat lagi menahan hatinya. "Tak perlu tunggu
sampai besok! Sekarang pun aku bersedia melayani! Terima pukulan seribu badai
ini!" Mahesa Birawa menerjang ke muka. Tangan kanannya memukul dan gelombang
angin yang sangat hebat menderu menyambar ke arah pendekar 212. Yang diserang
tanpa tunggu lebih lama berkelebat dan melompat setinggi tujuh tombak. Kedua
kakinya tergetar dan linu ketika angin pukulan lawan dalam jarak setinggi itu masih
sanggup menyapu kedua kakinya!
Dengan kerahkan setengah dari tenaga dalamnya Wiro Sabteng hantamkan tangan
kanan ke bawah melancarkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera!
Mahesa Birawa berseru tertahan melihat datangnya angin laksana badai ke
arahnya. Cepat-cepat dia melompat ke samping. Tubuhnya hampir terpelanting
diserempet angin pukulan lawan. Dengan kerahkan tenaga dalamnya dia masih
sanggup berdiri di tempat setelah mengelak tadi. Namun demikian kedua kakinya melesak
sampai lima senti ke dalam tanah!
Dalam keterkejutan melihat kehebatan lawan Mahesa Birawa mendengar suara
tertawa pendekar 212. "Kutunggu besok siang Mahesa Birawa. Di sini,di puncak
bukit ini! Satu hal perlu kukatakan. Besok aku menghadapimu bukan sebagai manusia bernama Mahesa Birawa, tapi sebagai Suranyali!"
Wiro Sableng berkelebat.
"Budak hina! Jangan lari!" teriak Mahesa Birawa alias Suranyali. Namun
pendekar 212 sudah lenyap dari pemandangannya ditelan kegelapan malam.
-- == 0O0 == -SEMBILAN BELAS Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Malam itu Mahesa Birawa tak dapat memicingkan mata. Dia gelisah sekali.
Sebentar-sebentar di atas pembaringan dalam kemah dia membalik ke kiri, membalik
ke kanan. Ingatannya mengawang kembali pada masa tujuh belas tahun yang silam.
Terbayang olehnya kematian Ranaweleng. Terbayang olehnya Suci, perempuan yang
bunuh diri itu. Dan ketika ingatannya berpindah pada pemuda yang mengaku anak
dari Ranaweleng itu, tubuhnya seperti dijalari hawa dingin. Meski sudah dapat
mengukur kehebatan lawan namun Mahesa Birawa tidak takut sama sekali untuk menghadapi
pemuda itu. Cuma kemunculan si pemuda yang tidak terdugalah yang benar-benar mengejutkan dan menyirapkan semangatnya.
Hati kecilnya mengutuki kebodohannya sendiri. Pada masa tujuh belas tahun
yang silam itu dia tahu kalau Ranaweleng dan Suci mempunyai seorang putera.
Kenapa dia tidak sekaligus membunuh orok Ranaweleng itu" Tapi saat itu tentu saja dia
tidak mempunyai pikiran panjang seperti waktu sekarang ini.
Mahesa Birawa membalikkan tubuhnya kembali. Dia memandang ke dinding
kemah. Dan pada dinding kemah itu seperti terbayang oleh matanya rentetan
kalimat yang pernah dibacanya pada dinding tempat kediamannya tujuh belas tahun yang
lalu yaitu ketika dia baru saja berhasil melarikan Suci dan memasukkannya ke
kamarnya. Di sana... di dalam ingatan Mahesa Birawa alias Suranyali, seperti tertera kembali
rentetan kalimat itu. Rentetan kalimat yang menjadi kenyataan:
"Apa yang kau lakukan hari ini akan kau terima balasannya
pada tujuh belas tahun mendatang!"
Mahesa Birawa akhirnya turun dari pembaringan. Beberapa lama dia mondar
mandir di dalam kemah besarnya itu. Kemudian teringat dia pada kematian
Kalasrenggi dan dua orang mata-mata yang dikirim ke Kotaraja tempo hari. Mereka menemui
kematian akibat turun tangannya seorang manusia aneh. Kalasrenggi mati dengan
guratan angka 212 pada keningnya. Dan tadi dia juga saksikan sendiri kematian
Suto Rande dalam cara yang sama! Kalau begitu sedikit banyaknya atau mungkin pasti...
pasti sekali pemuda yang mengaku anak Ranaweleng itu, yang sesungguhnya adalah adik
seperguruannya sendiri, pastilah mempunyai sangkut paut atau hubungan dengan
Pajajaran. Dan kalau sudah begini berarti bocornya rencana untuk menggulingkan
Prabu Kamandaka, bocornya rencana untuk memberontak terhadap Kerajaan!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Mahesa Birawa melangkah lagi mondar mandir sambil mengepalkan tinjunya.
Dia harus bertindak cepat sebelum Pajajaran benar-benar tahu keseluruhan
rencananya. Bukan mustahil saat itu balatentara Pajajaran tengah menuju ke perkemahan mereka
untuk menyapu mereka!
Malam itu juga Mahesa Birawa berunding dengan kelima Adipati. Dan malam itu
pula diputuskan untuk menggerakkan seluruh pasukan ke Kotaraja.
Dua orang kurir dikirim terlebih dahulu. Yang pertama untuk menemui Raden
Werku Alit di Kotaraja, memberitahukan bahwa karena sesuatu hal yang mendesak
maka pasukan diberangkatkan malam itu dan direncanakan untuk menggempur
Pajajaran selambat-lambatnya satu dua jam sesudah fajar menyingsing! Kurir yang kedua
berangkat menuju puncak Gunung Halimun, menemui Begawan Sakti Sitaraga yang
sebelumnya telah mengatakan bersedia turun tangan membantu kaum pemberontak!
Tapi kurir ini kemudian tertawan oleh prajurit-prajurit Pajajaran di perbatasan.
Meski tetap berhati bimbang akan kebenaran peringatan yang dibacanya di dinding
kamar adiknya, namun Prabu Kamandaka tak urung menyiapsiagakan balatentara Pajajaran
secara diam- diam. Dan ketika dini hari itu dia dibangunkan secara mendadak, dilaporkan
tentang terlihatnya
sepasukan besar mendatangi Kotaraja. Raja Pajajaran ini benar-benar menjadi
kaget. Benar juga
peringatan itu, katanya dalam hati. Kepada Kepala-Kepala Pasukan Kerajaan segera
diberikan perintah kilat: "Kalau pasukan yang datang itu adalah benar pasukan pemberontak,
hadapi mereka di luar tembok Kerajaan!"
Manakala sinar fajar pertama memancar di ufuk timur maka pada saat itu pulalah
mulainya berkecamuk pertempuran yang dahsyat di sepanjang tembok besar yang mengelilingi
Kotaraja. Yang paling seru adalah pertempuran pada dua buah pintu gerbang. Pihak
pemberontak menyerang
habis-habisan untuk dapat membobolkan pintu gerbang Kotaraja itu. Yang diserang
bertahan mati- matian! Suara beradunya senjata, pekik kematian, lolong manusia-manusia yang
terbabat senjata,
bau anyirnya darah, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana yang mengerikan.
Agaknya serangan lawan mulai tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah
pertempuran berkecamuk hampir setengah jam lebih.
Prabu Kamandaka dengan teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi
semangat pasukan Pajajaran. Prabu ini menunggangi seekor kuda putih dan di
tangannya tergenggam sebilah golok panjang yang berlumuran darah!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Prabu Kamandaka seperti terpukau dan tak mau percaya akan kedua matanya ketika
dia bergerak ke medan pertempuran sebelah timur, dia langsung berhadap-hadapan
dengan Werku Alit,
saudara sepenyusuan sendiri!
"Matakukah yang terbalik atau benarkah kau yang ada di hadapanku ini, Alit?"
ujar Sang Prabu. Raden Werku Alit tertawa membesi. "Matamu masih belum terbalik, Kamandaka! Cuma
otakmu yang miring sehingga mengambil hak orang lain....!"
"Hak apakah yang aku telah ambil dan siapakah orang lain itu"!"
"Takhta Kerajaan adalah hak syah diriku, Kamandaka!" jawab Werku Alit garang.
Prabu Kamandaka tertawa dingin. "Kau mengigau di slang hari Alit! Tak kusangka,
kau sendiri yang menjadi biang racun pentolan pemberontak yang memberikan perintah
untuk mengeroyok Raja Pajajaran itu!"
Prabu Kamandaka dengan teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi
semangat pasukan Pajajaran. Prabu ini menunggangi kuda putih dan di tangannya
tergenggam golok panjang yang berlumuran darah!
Agaknya serangan lawan mulai tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah
pertempuran berkecamuk hampir setengah jam lebih.
Yang diserang bertahan mati-matian! Suara beradunya senjata, pekik kematian,
lolong manusia-manusia yang terbabat senjata bau anyirnya darah, semuanya menjadi satu
menimbulkan suasana yang mengerikan.
Satu demi satu prajurit yang bertempur bersama rajanya itu gugur bergelimpangan.
Keadaan Sang Prabu sangat kritis sekali sedang di sebelah barat balatentara pemberontak
di bawah pimpinan Mahesa Birawa sudah hampir berhasil membobolkan pertahanan pintu
gerbang! -- == 0O0 == -DUA PULUH Pada saat pertempuran berkecamuk dengan serunya, pada saat pintu gerbang
Kotaraja di sebelah barat hampir bobol dan pada saat keselamatan Prabu Kamandaka sendiri


Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terancam maka pada saat itulah terdengar suara yang keras laksana guntur mengatasi segala
kecamukan perang yang mendatangkan maut itu!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Manusia-manusia bodoh! Hentikan pertempuran ini!"
Hampir semua mereka yang bertempur di medan sebelah timur itu jadi terkejut dan
hampir semua mata pula memandang ke atas tembok Kotaraja di mana kelihatan
berdiri seorang
pemuda berpakaian putih-putih berambut gondrong!
Mungkin sekali Raden Werku Alit adalah orang yang paling terkejut melihat pemuda
di atas tembok itu. Manusia ini tampangnya sama betul dengan pemuda yang tempo hari
ditotoknya sewaktu hujan-hujan di teratak tua!
"Orang-orang mati inginkan hidup, kalian yang hidup mau bertempur sampai mati!
Goblok betul!" terdengar lagi pemuda yang di atas tembok berkata dengan suaranya
yang mengguntur. Werku Alit kertakkan rahang. Hatinya gusar terhadap si pemuda. Diam-diam dia
tahu bahwa suara yang mengguntur itu pastilah menandakan bahwa si pemuda yang
memiliki tenaga
dalam yang sangat tinggi. Namun bila dia melirik ke samping dan detik itu
melihat Prabu Kamandaka berada dalam keadaan lengah maka kesempatan ini dipergunakan Werku
Alit dengan sebaik-baiknya. Senjatanya berkelebat cepat dan ganas. Satu ujung tajam
dari toja menyambar ke leher sedang ujung yang lain menyapu ke kaki Prabu Kamandaka!
Melihat datangnya serangan itu Prabu Kamandaka sadar akan keteledorannya berbuat
lengah. Sangat terlambat baginya untuk dapat mengelakkan senjata lawan yang
menyerang dua tempat itu sekaligus. Salah satu ujung tajam dari senjata lawan pastilah
akan mengenai badannya. Prabu Kamandaka lemparkan diri ke belakang meski dia tahu bahwa
kakinya akan disapu ujung toja lawan.
Tapi pada saat itu pula dari atas tembok melesat satu benda putih sekali laksana
bercahaya. Benda ini berbentuk bintang dan mengeluarkan suara mendesing,
menghantam pertengahan toja Werku Alit dengan tepatnya. Toja itu patah dua. Salah satu
patahannya menggores dada Werku Alit sendiri!
Laki-laki ini menjerit kesakitan dan lompat mundur namun diburu dengan sebat
oleh Prabu Kamandaka. Dalam keadaan terluka, bersama orang-orangnya Werku Alit
bertahan dengan hebat. Dua Adipati lainnya yang melihat terdesaknya Werku Alit segera
berikan bantuan sehingga Prabu Kamandaka dan orang-orangnya kembali terdesak hebat!
Werku Alit mengamuk dahsyat. Mengamuk dengan patahan tojanya. Namun keadaan
dirinya mulai payah akibat luka yang dideritanya. Gerakan-gerakannya mulai
menjadi lamban sehingga dia terpaksa mengambil posisi bertahan dan membiarkan pembantupembantunya menyerang pihak lawan.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Adipati Tapak Ireng mendekati Werku Alit dan sodorkan sebuah pil. "Telanlah
cepat Raden Alit dan alirkan tenaga dalammu ke bagian yang terluka...."
Werku Alit cepat-cepat telan pil yang berwama hitam itu lalu kerahkan tenaga
dalamnya. Obat yang diberikan oleh Adipati Tapak Ireng memang manjur sekali.
Sesaat kemudian darah pada luka Werku Alit berhenti dan tiada terasa sakit lagi. Maka
dengan cabut kerisnya Werku Alit kembali maju menghadapi Prabu Kamandaka. Ketika Adipati
Lanabelong dengan ruyung besi putihnya turut pula membantu Werku Alit maka lebih buruk dari
tadi keadaan Prabu Kamandaka kembali terdesak hebat.
"Kaum pemberontak! Hentikan pertempuran ini!" teriak orang yang di atas tembok.
Tapi tak ada yang memperdulikan malah Adipati Jakaluwing dari Karangtretes
menantang: "Orang gila berambut gondrong kalau mau rasakan toja besiku, turunlah!"
Orang di atas tembok menggerutu penasaran. Dari balik pinggangnya dikeluarkannya
sebuah kapak bermata dua! Mata kapak itu berkilat-kilat ditimpa sinar matahari
pagi. Kemudian dengan satu gerakan yang sangat enteng dia melompat turun. Dan begitu sampai di
tanah ditempelkannya ujung gagang kapak ke bibirnya. Maka sesaat kemudian menggemalah
suara seperti seruling. Mula-mula pelahan, kemudian makin keras dan melengkinglengking! Telinga pihak pemberontak yang mendengar suara lengkingan seruling itu seperti
ditusuk-tusuk sakit sekali. Prajurit-prajurit rendahan menjadi terpukau dan
dengan mudah menjadi korban senjata prajurit-prajurit Pajajaran! Werku Alit dan lima Adipati
sekutunya terkejut ketika merasa bagaimana sakitnya telinga mereka sedang jalan darah
mereka tidak lagi
teratur tapi sesak tersendat-sendat. Dan ketika mereka memandang berkeliling
mereka melihat bagaimana pasukan mereka di bagian medan mayat prajurit dengan dada mandi darah!
Werku Alit dan Adipati-Adipati yang masih hidup terkejutnya bukan main. Serangan
mereka di samping dijuruskan kepada Prabu Kamandaka kini juga dititikberatkan
pada Wiro Sableng! Namun bila sekali lagi Kapak Naga Geni 212 berkelebat maka kini giliran
Adipati Jakaluwing pula yang meregang nyawa dengan kepala hampir terbelah dual
Werku Alit dan Adipati-Adipati yang masih hidup menjadi kecut. Mereka saling
berlirikan tajam dan beri isyarat namun pada saat itu pula pendekar 212 yang
sudah tahu maksud mereka membuat gerakan cepat. Rujung besi Ranabelong mental puntung dua
ke udara disusul dengan jerit kematiannya!
Satu-satunya Adipati yang masih hidup yaitu Warok Gluduk boleh dikatakan
sudah tak ada daya lagi sesudah lengan kanannya tadi dibabat puntung oleh Prabu
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Kamandaka. Dia memutuskan untuk kabur saja tapi tombak seorang kepala pasukan
Pajajaran lebih dahulu menancap di punggungnya terus menembus sampai ke dada!
Nyali Werku Alit semakin luntur menciut. Di medan pertempuran sebelah timur itu
hanya dia sendiri kini yang menjadi pucuk pimpinan. Kalau tadi dia dan anak-anak
buahnya merupakan pihak penyerang yang mendesak maka kini keadaan terbalik! Di
mana-mana puluhan prajurit-prajuritnya bergeletakan mati. Yang masih hidup
bertempur dengan setengah hati, mundur terus-terusan dan kacau balau! Suara seruling Kapak
Naga Geni 212 yang terus menerus melengking seperti melumpuhkan sekujur tubuh Raden
Werku Alit. Dicobanya mengerahkan tenaga dalamnya namun tenaga dalamnya terasa
laksana punah! Telinganya sakit dan kemudian dirasakannya ada yang meleleh pada
kedua liang telinganya itu! Darah!
-- == 0O0 == -DUA PULUH SATU Mahesa Birawa yang ada di medan pertempuran sebelah barat, yang saat itu sudah
hampir berhasil mendesak pasukan Pajajaran dan membobolkan pintu gerbang
pertahanan menjadi terkejut ketika selintas kepalanya dipalingkan ke arah timur! Pasukan
pihaknya di jurusan ini dilihatnya bertempur dengan kacau, malah sebagian besar mundur
terdesak hebat! Beberapa kelompok pasukan bahkan dilihatnya melarikan diri kucar kacir!
Dan di antara semua apa yang disaksikannya itu sayup-sayup telinganya mendengar
lengkingan suara seruling! Jaraknya dengan medan pertempuran sebelah timur terpisah puluhan
tombak tapi suara seruling itu seperti menerpa-nerpa kulit tubuhnya,
menyendatkan jalan
darahnya dan menyakitkan anak telinganya. Dan saat demi saat jumlah prajurit
yang bertempur di medan sana itu semakin berkurang juga, banyak yang lari dan banyak
yang tergelimpang mati!
Mahesa Birawa serahkan pimpinan kepada seorang kepala pasukan yang
dipercayainya. Kemudian dengan gerakan sebat dia menuju ke medan pertempuran
sebelah timur. Begitu sampai di medan pertempuran ini dia disambut oleh satu
peman- dangan yang cukup membuat bulu kuduknya merinding. Saat itu, Raden Werku Alit
sudah terdesak hebat dan tak sanggup mengelakkan sambaran pedang Prabu Kamandaka.
Dalam Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
jarak yang jauh Mahesa Birawa masih berusaha untuk membokong Prabu Kamandaka
dengan pukulan tangan kosong. Namun angin pukulannya yang dahsyat itu diterpa
hebat oleh satu gelombang angin ganas dari samping! Ketika dia berpaling maka sepasang
matanya membentur pemuda yang tak asing lagi baginya.
Maka membentaklah Mahesa Birawa. Namun bentakannya belum lagi keluar, tahu-tahu
satu benda menggelinding ke arah tempatnya berdiri, dan ketika diperhatikan
benda itu adalah
kepala Raden Werku Alit yang sesaat sebetumnya lehernya kena ditebas pedang
Prabu Kamandaka! Kemarahan Mahesa Birawa tiada terperikan. Dengan keris di tangan kanan dan gada
berduri yang mempunyai tiga mata rantai berduri pula dia menyerbu ke hadapan
Prabu Kamandaka! Namun setiup angin dahsyat memotong serangannya itu dari samping. Dan ketika dia
berpaling ternyata lagi-lagi pemuda itu yang menghalanginya!
"Aku lawanmu, Mahesa Birawa!," teriak pendekar 212 dengan bola mata bersinarsinar. "Kutunggu kau di bukit Jatimaleh!"
"Budak hina! Kuburmu adalah di antara tumpukan mayat di tempat ini juga!,"
bentak Mahesa Birawa. Sementara itu Prabu Kamandaka yang tahu bahwa yang tadi hendak menyerangnya
adalah tokoh pemberontak kaki tangan Werku Alit yang berbahaya segera berteriak
berikan perintah: "Kurung bangsat-bangsat pemberontak ini!"
Dua lusin prajurit, tiga kepala pasukan dan Prabu Kamandaka sendiri segera
mengurung Mahesa Birawa. Namun pada saat itu pula Wiro Sableng melompat ke muka dan
berseru: "Prabu Kamandaka! Kau memang punya hak untuk menangkap dan membunuh manusia
karena dia adalah pentolan pemberontak musuh Pajajaran! Tapi aku merasa lebih punya hak
untuk membereskannya karena dialah pembunuh ayahku dan penyebab kematian ibuku!
Serahkan dia padaku Prabu Kamandaka!"
Raja Pajajaran meski amarahnya hampir tak dapat dikendalikan lagi, tapi
mendengar ucapan Wiro Sableng itu menahan juga serangannya dan bertanya: "Orang muda
gagah, kau siapakah"!"
Wiro Sableng senyum sedikit. Diacungkannya kapak yang di tangan kanannya. Dan
pada kedua mata kapak itu jelas kelihatan tiga rentetan angka. 212! Terkejutlah
Sang Prabu! Tak disangka pemuda itulah kiranya manusia aneh yang telah memberikan peringatan
kepadanya sebelumnya tentang akan pecahnya pemberontakan. Tahu kalau si pemuda
gagah Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
betul-betul berada di pihaknya sendiri maka Prabu Pajajaran itu tidak keberatan
mengabulkan permintaan Wiro Sableng. Dia beri isyarat agar prajurit-prajuritnya mundur
kembali. Sementara
itu boleh dikatakan pertempuran sudah hampir berakhir. Balatentara pemberontak
yang kini tidak berpimpinan lagi sudah mundur jauh dari tembok Kerajaan dan terus dikejar
oleh pasukan Pajajaran sehingga lari kucar kacir. Dan di antara gelimpangan mayat manusia di
atas tanah yang banjir darah, di udara yang masih hangat oleh baunya maut maka
berhadapanlah dua
musuh besar, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dengan Suranyali alias Mahesa
Birawa! Pendekar 212 baru saja pasang kuda-kuda dan melintangkan kapak Naga Geni di
muka dada ketika dengan membentak dahsyat Suranyali menerjang ke muka. Keris
menusuk ke kepala dan gada rantai berduri menyapu ke perut!
"Ciaat!"
Wiro Sableng tak kalah sebat. Tubuhnya berkelebat, Kapak Naga Geni berputar
dahsyat menimbulkan gelombang angin dan mengeluarkan suara mengaung laksana
suara ratusan tawon! Gelombang angin itu sekaligus membentur senjata-senjata Suranyali
membuat kedua tangan-tangannya laksana kena dipukul mental!
Suranyali alias Mahesa Birawa kini tidak bisa bertempur tanggung-tanggung lagi.
Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan dan untuk kedua kalinya dia menyerbu ke muka!
Serangan kali ini lebih dahsyat dari yang pertama namun pendekar 212 menunggu
dengan tenang! Setengah tombak tubuh lawan mengapung ke arahnya Wiro Sableng sapukan Kapak
Maut Naga Geni ke muka dalam jurus Orang Gila Mengebut Lalat. Suranyali
merasakan badannya seperti membentur dinding yang tak kelihatan! Dengan andalkan ilmu
mengentengi tubuh yang sudah sempurna sekali, laki-laki ini lompat ke samping.
Kapak Naga Geni melesat di bawahnya dan pada detik itu pula Suranyali kembali menukik
dan

Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

babatkan gada berdurinya!
Yang diserang sama sekali tidak mau mengelak, tapi putar Kapak Naga Geninya di
atas kepala. Maka dua senjata bentrokanlah dengan hebat, mengeluarkan suara
nyaring! Kapak Naga Geni memancarkan bunga api, dua dari rantai besi berduri yang
bergandul pada gada berduri di tangan kiri Suranyali putus! Membuat pemiliknya jadi terkejut
sekali! Dan dalam saat itu pula laksana topan Kapak Naga Geni membalik membabat ke arah
selangkangannya! Suranyali berseru keras dan jungkir balik di udara! Keringat
dingin mengucur di kuduknya!
Prabu Kamandaka leletkan lidah melihat pertempuran yang hebat itu.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Dalam waktu yang singkat kedua orang itu telah bertempur dua puluh jurus! Dan
kentara sekali bagaimana kini Suranyali alias Mahesa Birawa mulai mendapat
tekanan- tekanan hebat! Dan pada saat laki-laki ini terpaksa buang penggada berdurinya
karena senjata itu dibabat puntung oleh kapak lawan!
Dengan penasaran Suranyali cabut senjatanya yang lain yaitu sebuah tongkat besi
yang ujungnya bercagak dua. Tongkat besi ini memancarkan sinar kehijauan tanda bukan
senjata sembarangan dan menggndung racun yang hebat! Dengan keris di tangan kanan dan
tongkat besi bercagak di tangan kiri berkelebatlah Suranyali. Kedua senjatanya
memancarkan sinar
dahsyat yang membungkus lawannya.
Namun yang dihadapi Suranyali saat itu bukan manusia berilmu rendah dan bukan
pula yang bersenjatakan senjata biasa! Kapak Naga Geni 212 menderu-deru mengaung
mengeluarkan sinar putih menyilaukan. Tubuh kedua orang itu hanya merupakan
bayang- bayang saja dan tiba-tiba terdengar teriakan Suranyali. Keris di tangan kanannya
terlepas mental
patah dua. Kalau saja dia tidak cepat-cepat tarik tangan kanannya pastilah
tangan itu kena pula
dibabat kapak lawan! Suranyali melompat ke luar dari kalangan pertempuran!
Mukanya memucat laksana salju! Cepat-cepat dia atur jalan nafasnya.
Ketika dia melangkah ke muka maka kelihatanlah tangan kanannya sampai ke pangkal
siku berwarna sangat hijau dan bergetar.
"Pemuda hina dina! Kau lihat lengan kananku ini"!" tanya Suranyali sambil
acungkan tangan kanannya. "Tujuh belas tahun yang lalu bapakmu meregang nyawa oleh
pukulan Kelabang Hijau-ku! Kini anaknya akan menerima bagian yang sama pula!"
Wiro Sableng tahu. kalau tujuh belas tahun yang lalu musuh besarnya itu telah
memiliki ilmu pukulan Kelabang Hijau itu maka kini kehebatannya tentu tak dapat
dibayangkan. Namun
hal ini sama sekali tidak menggetarkan hatinya! Kapak Naga Geni 212 dipindahkan
ke tangan kiri dan tiga perempat bagian tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan. Dan
kelihatanlah tangan kanan itu menjadi sangat putih sedang kuku-kuku jarinya bersinar memerah
menyilaukan! Terkejutlah Suranyali melihat hal ini. Hatinya tergetar. "Pukulan sinar
matahari...,"
desisnya. Pendekar 212 tertawa menggumam. "Silahkan mulai dahulu, Suranyali...,"
katanya menantang! Diam-diam Suranyali alirkan teluruh tenaga dalamnya ke lengan kanan.
Mulutnya komat-kamit. Kedua kakinya amblas lima senti ke dalam tanah yang basah oleh
genangan darah. Dan sambil lompat sembilan tombak ke atas kemudian laki-laki ini
hantamkan tangan
kanannya ke muka!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Pendekar 212 tetap tak bergerak di tempatnya. Sinar hijau dari pukulan lawan
melesat ke arahnya dan disambutinya dengan pukulan tangan kanan! Dua pukulan dahsyat
beradu di udara mengeluarkan suara berdentum! Sinar hijau dan putih saling nyambar dan
memecah ke samping! Pekik jerit dari orang-orang yang berdiri di tepi kalangan pertempuran
terdengar di mana-mana. Tubuh mereka tergelimpang mati. Ada yang menjadi hijau akibat racun
pukulan Kelabang Hijau Suranyali dan banyak yang menjadi hangus hitam tersambar pukulan
sinar matahari Wiro Sableng! Prabu Kamandaka sendiri jika tidak cepat-cepat melompat
pastilah akan menjadi korban pula!
Ketika dua sinar itu beradu keras Suranyali merasakan badannya menjadi panas.
Celaka! Keluhnya. Pukulannya kelabang Hijaunya bukan saja musnah oleh pukulan lawan tapi
juga kena dihantam dikembalikan ke arah kedua kakinya. Cepat-cepat laki-laki ini
ambil sebuah pil
dari sabuk di pinggangnya dan menelannya. Kemudian sesaat sesudah itu laksana
seekor elang dia menukik ke bawah, tusukan besi bercagaknya ke leher Wiro Sableng. Wiro
memapasi dengan kapaknya. Suranyali coba menjepit gagang kapak dengan gagakan besi. Tapi
"trang!"
Sekali kapak itu berkiblat maka patahkan senjata Suranyali. Sebelum dia sempat
menjejakkan kaki di tanah, sebelum dia sanggup menjauhi lawan maka Kapak Naga Geni 212
menderu lagi kali ini tiada ampun membabat kuntung bahu kanan Suranyali! Laki-laki ini
melolong seperti
srigala haus darah! Tubuhnya limbung menghuyung!
Wiro Sableng tertawa mengekeh.
"Itu dari ayahku, Suranyali!" katanya. "Dan ini dari ibuku!" Kapak Naga Geni
berkiblat lagi. Suranyali coba menghindar dengan segala daya tapi tak berhasil. Bahu
kirinya terpapas
mental. Darah menyembur! Sungguh mengerikan menyaksikan tubuh Suranyali yang
tanpa lengan itu! "Yang ini dari Eyang Sinto Gendeng, Suranyali!" kata Wiro Sableng pula dengan
masih tertawa mengekeh seperti tadi. Kapak Naga Geni sekali lagi menderu. Tubuh
Suranyali mental
tersandar ke tembok Kerajaan! Dadanya sampai ke perut robek besar. Darah
membanjir dan ususnya menjela-jela. Pendekar 212 masih belum puas.
"Yang terakhir ini dariku sendiri, Suranyali!," katanya.
Ketika Kapak Maut Naga Geni 212 itu membelah kepala Suranyali alias Mahesa
Birawa itu, tiada terdengar pekikan atau keluh kematian dari mulutnya.
Tubuhnya masih tersandar sesaat lamanya pada tembok Kerajaan, kemudian merosot
ke bawah dan tergelimpang di atas mayat-mayat pemberontak lainnya. Tapi tubuh itu
tak berada Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
lama menggeletak di sana. Sekali kaki kanan Wiro Sableng menendang maka
mentallah tubuh
musuh bebuyutannya itu sampai belasan tombak!
Wiro Sableng tertawa mengekeh, lama dan panjang. dimasukkannya Kapak Naga Geni
212 ke balik pinggangnya. Kemudian seperti tak ada kejadian apa-apa, seperti dia
bukan berada di antara hamparan ratusan mayat, pemuda ini melangkah seenaknya bahkan dengan
bersiul! "Saudara muda!," Prabu Kamandaka memburu. "Tunggu dulu.... !"
Pendekar 212 berpaling.
"Ah.... aku sampai lupa minta diri padamu Prabu Kamandaka...."
"Saudara, kau tak boleh pergi dulu..."
"Kenapa?"
"Ikutlah ke istana. Kau telah berjasa besar dan...."
"Jasa hanyalah jasa Sang Prabu. Hanya sekedar kenang-kenangan indah. Bagiku jasa
tidak berarti mengharapkan balas imbalan. Selamat tinggal...."
Prabu Kamandaka memegang bahu pemuda itu. "Kuharap kau sudi datang ke istana
terlebih dahulu, saudara," katanya.
"Terima kasih Sang Prabu, terima kasih....," sahut pendekar 212.
"Kalau begitu beri tahu saja namamu...."
Wiro Sableng tersenyum. "Namaku tidak penting Sang Prabu. Cuma ingatlah angka
212. Mungkin suatu ketika angka itu akan kembali lagi ke Pajajaran ini.... Dan satu
hal.... jangan lupa
sampaikan salamku buat adikmu.... Rara Murni...."
"Akan kusampaikan" kata Prabu Kamandaka pula., Dan semua mata kemudian
menyaksikan kepergian pendekar muda itu. Prabu Pajajaran akhirnya geleng-geleng
kepala dan tarik nafas panjang. "Pemuda hebat.... pemuda gagah....," katanya. "Pajajaran
berhutang besar
kepadamu. Jasamu tak akan dilupakan sampai turun temurun....".
TAMAT Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Salam 212 SEMUA HAK KARYA CIPTA CERITA INI ADALAH MILIK
ALMARHUM BASTIAN TITO
Diketik ulang oleh Kailani Sekali
Hanya untuk para pendekar semua pecinta Wiro Sableng
Saran dan kritik kirim ke: kucinglistrik@gmail.com
Bajingan Gunung Merapi 2 Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka Cinta Berlumur Darah 1

Cari Blog Ini