Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran Bagian 1
Cerita silat - Maut Bernyanyi Di Pajajaran - cersil - Maut Bernyanyi Di
Pajajaran - baca komik - Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
KARYA: BASTIAN TITO
MAUT BERNYANYI DI PAJAJARAN
SATU Di bawah terik panasnya matahari di siang bolong itu maka bertiuplah angin
kencang dan gersang. Debu pasir di pedataran beterbangan ke udara, memekat tebal,
menutup pemandangan beberapa saat lamanya.
Suara siulan aneh yang melengking-lengking membawakan lagu tak menentu terdengar
di lereng bukit di ujung pedataran. Siulan aneh ini seperti mau menerpa dan
menumbangkan hembusan angin gersang yang datang dari pedataran.
Tiba-tiba sekali suara siulan aneh ini terhenti!
Sebagai gantinya mengumandangkan suara tertawa mengekeh di seantero bukit.
Pemuda berpakaian putih yang ada di puncak bukit saat itu memandang ke samping.
Sebelum jelas telinganya menangkap suara tertawa tadi sejenis cairan harum telah
melesat ke arahnya. Kalau saja dia tidak cepat-cepat melompat ke belakang pastilah sebagian
mukanya kena disambar cairan itu. Cairan yang tak mengenai si pemuda baju putih rambut
gondrong ini menghatam pohon besar. Bukan olah-olah hebatnya semburan cairan aneh tadi
itu!.... Si pemuda sendiri kejutnya bukan kepalang. Baru saja setengah harian berjalan
tahu- tahu sudah ada orang lain yang inginkan nyawanya! Dia memandang ke arah
datangnya semburan cairan aneh tadi. Baru saja dia palingkan kepala mendadak dari atas
menderulah ratusan tetes cairan tadi laksana air hujan yang deras ditiup badai!
Pemuda itu berseru nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke atas. Ratusan tetes
cairan itu muncrat kembali ke atas dan ratusan lagi menyibak ke samping. Daundaun pohon tembus berlubang-lubang sedang batang-batang kayu seperti kena tusukan paku!
Gelak mengekeh menggema lagi di seantero puncak bukit. Anehnya si pemuda belum
juga dapat mencari dengan matanya, manusia yang telah mengeluarkan suara tertawa
itu. Padahal jelas dekat sekali kedengarannya.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Hatinya penasaran sekali. Sambil garuk kepala dia memandang berkeliling. Kedua
matanya kemudian tertuju lekat-lekat pada sebatang pohon raksasa yang tinggi
menjulang ke langit, mungkin lebih dari tiga puluh meter tingginya. Suara tertawa itu datang
dari atas pohon
tapi orangnya masih tak kelihatan. Mungkin tertutup oleh daun-daun pohon yang
lebar-lebar dan
lebat. "Manusia di atas pohon!," bentak pemuda itu: "Kalau berani buka urusan, berani
unjuk diri!" Sehabis berkata begitu pemuda itu pukulkan telapak tangan kanannya ke
atas. Serangkum
angin yang dahsyatnya laksana topan melanda pohon raksasa itu. Ranting dan
cabang berpatahan.
Daun-daun berguguran. Hampir sekejapan mata saja maka pohon raksasa yang
menjulang ke langit itu sudah menjadi ranggas gundul!
Dan di puncak batang pohon yang masih utuh kelihatanlah duduk seorang laki-laki
tua berselempang kain putih. Karena tingginya pohon itu tampangnya tak kentara
betul. Tapi jenggotnya yang panjang sampai ke dada dilihat jelas berkibar-kibar ditiup angin
gersang dari pedataran. Pada pangkuannya ada sebuah bumbung bambu yang panjangnya sekira satu
meter. Bumbung bambu seperti itu masih ada satu iagi tergantung di belakang
punggungnya. Dan kedua
bumbung bambu itu berisi tuak murni yang harum sekali dan lezat rasanya. Tuak
itulah tadi yang
telah disemburkannya kepada pemuda yang di bawah pohon!
Pukulan tangan kosong si pemuda yang telah meluruhkan cabang-cabang dan daundaun pohon mau tak mau akan membuat mental si orang tua berjanggut putih diatap
pohon. Sekurangkurangnya akan membuat terluka tubuhnya di sebelah dalam. Tapi anehnya saat itu
si janggut putih tetap saja duduk enak-enak berpangku kaki di puncak pohon yang gundul itu,
bahkan sambil meneguk tuaknya dan tertawa-tawa, seakan-akan tak ada terjadi apa-apa!
Bukan main geramnya pemuda itu. Tapi untuk bertindak gegabah dia tidak mau.
Manusia tua di puncak pohon tinggi berjanggut putih dengan dua buah bumbung tuak itu
pernah diceritakan oleh gurunya waktu dia masih di puncak Gunung Gede. Dia adalah
seorang pendekar
sakti dari empat puluh tahun yang lalu jarang memperlihatkan diri dan dia adalah
golongan persilatan putih, artinya yang mempergunakan ilmu silat dan kesaktian untuk
maksud-maksud baik. Tapi mengapa tadi dia telah mempergunakan tuaknya untuk menyerang adalah
tidak dimengerti si pemuda rambut gondrong.
"Orang tua!" seru si pemuda. Bibirnya bergetar tanda ucapannya disertai tenaga
dalam agar dapat sampai ke puncak pohon raksasa yang tingginya lebih dari tiga puluh
meter. "Kalau
aku tidak salah lihat bukankah hari ini aku berhadapan dengan seorang tokoh
terkenal di dunia
persilatan yang digelari Dewa Tuak?"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Orang tua di puncak pohon elus jenggotnya sebentar, teguk tuak lalu tertawa lagi
macam tadi. "Orang muda! Matamu sangat tajam dapat mengenali aku yang sudah delapan
puluh tahun ini! Tapi apakah kau mau terima undanganku untuk datang ke puncak pohon ini dan
meneguk tuak harum dari Kahyangan bersamaku?" Begitulah. Dewa Tuak menamakan tuaknya
dari "kahyangan". Memang soal rasa dan harumnya tuak itu sukar dicari tandingan.
Si pemuda tersenyum. "Orang tua, kau baik sekali. Hari ini aku ada keperluan
mendesak. Mungkin di lain kali aku bisa terima undanganmu.... Terima kasih atas kebaikanmu
dan sungguh senang rasanya dapat kenal dengan seorang tokoh persilatan yang selama ini
namanya dikenal di
delapan penjuru angini"
"Ah, kau keliwat memuji, orang muda," jawab Dewa Tuak pula. "Aku sudah lihat kau
sejak dari ujung pedataran gersang sana. Kutunggu kau sampai kesini. Tapi sampai
di hadapanku kau menolak undanganku. Mungkin tuakku ini kurang baik" Tidak harum.. .?"
Si pemuda berpikir sebentar. Agaknya tak menjadi halangan kalau dia menerima
undangan Dewa Tuak dan bicara-bicara dengan orang tua itu di puncak pohon.
Mulutnya dikatup
rapat-rapat, kedua tangan mengembang ke samping dan kedua kaki menghenjot bumi
maka laksana seekor elang melayanglah pemuda itu ke puncak pohon. Puncak pohon itu
selebar meja bundar luasnya. Meski tidak beranting dan bercabang serta tak berdaun lagi namun
ditempat setinggi itu sejuk juga rasanya.
"Aku terima undanganmu. Dewa Tuak," kata si pemuda seraya duduk disatu bagian
yang menonjol bekas patahan cabang pohon.
"He... he... he...," Dewa Tuak girang sekali. "Memang tak ada ruginya menerima
undanganku orang muda. Tuak enak, tempat duduk bagus. Seantero daerah sini bisa
kau tihat dengan jelas!"
Memang ketika duduk di atas pohon itu si pemuda dapat melihat pemandangan indah
sejauh mata memandang. Dewa Tuak segera ambil salah satu bumbung tuaknya dan
memberikannya pada tamunya.
"Kau biasa minum tuak, anak muda?".
Si pemuda itu menjawab. "Pernah juga". Padahal seumur hidupnya baru hari itu dia
melihat dan membual serta akan merasakan minuman yang bernama tuak itu.
Disambutinya bumbung bambu itu dari tangan Dewa Tuak sementara Dewa Tuak mengambil bumbung
yang satu lagi dia masih juga berpura-pura menikmati pemandangan sekelilingnya.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Ayo orang muda, silahkan minum!". Dewa Tuak memperbasakan: "Kau harus tahu,
tuakku tuak murni. Kalau belum biasa nanti kau bisa mabuk atau pusing dan
menggelinding dari
pohon ini!"
Si pemuda tertawa. Ditempelkannya bibimya ke tepi bumbung bambu. Sedikit saja
tuak itu menjalari tenggorokannya maka seluruh badannya menjadi hangat,
pemandangannya menjadi
jernih sedang pikirannya terasa tenang!
"Bagaimana rasanya?".
"Tuakmu betul-betul bagus sekali, orang tua. Tak salah kalau kau namakan tuak
dari kahyangan!".
Dewa Tuak tertawa senang.
"Kau ini datang dari mana, anak muda?".
"Barusan dari Jatiwalu...".
"Jatiwalu kampung jelek. Banyak rampok...," kata Dewa Tuak pula. "Dan rampoknya
orang situ-situ juga"
Si pemuda berpikir kalau Dewa Tuak tahu apa yang terjadi di Jatiwalu kenapa dia
tidak turun tangan"
Dewa Tuak agaknya maklum apa yang terpikir oleh si pemuda. Lantas dia berkata:
"Aku malas dan bosan dengan urusan-urusan tengik macam begituan. Karenanya kubiarkan
saja apa yang terjadi di kampung itu. Orang kampung sana agaknya tidak mau perduli dengan
nasib mereka. Lebih senang ditindas. Nanti keadaan di sana akan baik sendirinya..."
Dewa Tuak meneguk tuaknya kembali.
Setelah diam beberapa lamanya bertanyalah si pemuda: "Dewa Tuak, apakah pohon
besar ini tempat kediamanmu?"
"Kenapa kau tanya begitu?"
"Karena kalau betul berarti aku yang muda telah turun tangan semena-mena membuat
pohon ini jadi gundul begini! Dan aku harus haturkan maaf kepadamu... !"
Dewa Tuak tertawa mengekeh sampai tuaknya berlelehan di tepi mulut.
"Aku senang pada pemuda macammu. Tak percuma satu tahun aku duduk di sini
menunggu. Kau cocok buat jodoh muridku!"
Dewa Tuak meneguk tuaknya lagi tapi sambil meneguk matanya melirik pada si
pemuda. Akan tetapi si pemuda tentu saja kagetnya tiada terkira, mendengar ucapan
DewaTuak itu. Mukanya merah karena jengah. Rupanya dunia ini terlalu banyak manusiamanusia aneh, Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
pikirnya. Diteguknya sedikit lagi tuak harum dalam bumbung. Kemudian bumbung
bambu itu diserahkannya kepada pemiliknya kembali.
"Dahagaku sudah lepas Dewa Tuak. Tuakmu enak sekali. Aku ucapkan terima kasih
dan sekarang aku minta diri untuk meneruskan perjalanan.,.."
"Ah, orang muda, matahari masih belum bergeser, angin masih sejuk dan
pemandangan indah masih banyak yang belum kau lihat. Kenapa musti kesusu?".
Si pemuda tersenyum. "Kurasa sudah cukup. Di lain hari jika ada kesempatan aku
yang muda ini pasti akan membalas undangan serta suguhan tuakmu yang enak itu...".
Dewa Tuak letakkan kedua bumbung tuaknya di pungggung. Ditepuknya bahu pemuda
itu. "Kau tak boleh pergi anak muda. Kau musti ketemu dulu dengan muridku. Kau
berjodoh dengan dia! Mari kita turun!".
Dewa Tuak menarik lengan si pemuda dan keduanya loncat turun ke tanah laksana
dua ekor burung rajawali. Tapi sampai di tanah si pemuda segera lepaskan tangannya
yang dipegang dengan halus. Dia menjura hormat: "Lain kali kita bertemu lagi, Dewa
Tuak. Terima kasih atas suguhanmu!"
Tapi baru saja si pemuda berlalu beberapa tombak, tubuhnya sudah terhenti dan
tertarik ke belakang kembali. Seutas benang sutera halus telah melilit pinggangnya.
Ternyata Dewa Tuaklah yang empunya benang itu dan menariknya.
"Anak muda, aku sudah bilang kenapa buru-buru. Kau belum ketemu dengan
muridku... Mari..." Kalau bukan berhadapan dengan Dewa Tuak mungkin si pemuda sudah keluarkan
semprotan memaki. Namun saat itu dengan menahan hati berkatalah si pemuda: "Dewa
tuak, kita baru saja berkenalan hari ini. Manusia bodoh dan jelek macam aku ini mana
pantas dijodohkan dengan seorang murid pendekar besar macam kau! Masih banyak lain
orang yang lebih pantas!"
Pemuda itu hendak berlalu lagi tapi benang sutera halus itu masih juga meliliti
pinggangnya. Meneliti sutera halus itu si pemuda bukan tak mampu untuk
memutuskannya. Tapi dia khawatir itu akan membuat Dewa Tuak tidak bersenang hati. Sementara itu
didengarnya Dewa Tuak mengeluarkan Suara suitan aneh.
Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesosok bayangan ungu muncui di hadapan pemuda itu dan nyatanya adalah
seorang gadis berpakaian ungu dan berpita ungu. Metihat paras gadis ini mau tak
mau pemuda rambut gondrong itu tertarik juga.
"Orang muda" Kau lihat sendiri. Muridku toh tidak jelek"! Bagaimana...?"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Paras si pemuda jengah sekali. Gadis baju ungu lebih lagi. Ditundukkannya
kepalanya sampai dagu dan dadanya hampir menempel.
"Muridmu memang cantik Dewa Tuak," kata si pemuda. "Tapi tampangku yang
terlalu buruk sehingga tidak cocok! Sebaiknya cari pemuda yang dia sukai
sendiri. Dewa Tuak. Selamat tinggal!"
Habis berkata demikian si pemuda sentil benang sutera yang melilit pinggangnya.
Benang itu putus!
"Pemuda geblek! Dikasih perawan malahan kabur!," maki Dewa Tuak. Dia
berseru: "Hai pemuda! Tunggu dulu! Kau masih belum terangkan nama!".
Orang tua ini keluarkan segulung tali rotan dan dilemparkannya ke arah pinggang
pemuda yang tengah larikan diri. Si pemuda yang tahu dirinya hendak dilibat
kembali pukulkan telapak tangan kanannya ke belakang.
Sesiur angin kencang menderu deras, menahan lontaran tali rotan, terus
menyambar ke arah si orang tua. Dewa Tuak terpaksa loncatkan diri ke atas karena
maklum angin yang datang menyambar itu bukan angin biasa. Sambaran angin
memberantakkan semak-belukar rendah kemudian menghantam pohon kayu besar.
"Krak"
Tak ampun lagi pohon raksasa itu tumbang patah dua dengan suara berisiknya
hampir terdengar di seluruh lereng bukit. Dewa Tuak geleng-gelengkan kepalanya.
"Sayang... sayang...," katanya. "Sayang aku tak dapatkan itu pemuda...". Ketika
dia memasukkan tali rotannya ke balik pakaiannya, orang tua ini terkejut. Pada
bagian pohon besar yang masih berdiri di tanah tapi akar-akarnya hampir berserabutan ke
luar, kelihatan tertera tiga buah angka 212. Dewa Tuak memandang pada gadis baju ungu
disampingnya lalu memandang lagi pada tiga buah angka dibatang pohon dan
leletkan lidah kemudian merenung.
Tiga deretan angka itu telah menggemparkan dunia persilatan pada dua puluh
tahun yang lalu. Tiga deretan angka yang berarti maut bagi kaum persilatan itu
golongan hitam! Apakah kini angka 212 itu telah muncui kembali"! Dunia persilatan pasti
akan gempar seperti masa dua puluh tahun yang lalu! Tapi yang menjadi tanda tanya
besar di kepala Dewa Tuak saat itu ialah siapa adanya pemuda gagah tadi. Apakah dia
muridnya Eyang Sinto Gendeng" Kalau betul berarti munculnya kembali seorang tokoh gagah
dengan gelar: "Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212..."!
Dewa Tuak palingkan kepala pada anak muridnya.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Anggini! Kau telah lihat kehebatan itu pemuda. Kau musti cari dan kejar dia!
Musti dapat! Kalau tidak dapat jangan kembali kepertapaan..."
"Tapi guru..."
"Tidak ada tapi-tapian. Anggini! Kejar pemuda itu. Kau ... dengan jalan apa pun
musti bisa ambil dia jadi kawan hidupmu karena dia akan menguasai dunia
persilatan dalam waktu yang singkat!"
Anggini si gadis baju ungu berdiri termanggu.
"Tunggu apa lagi?" tanya gurunya.
Gadis ini tak bisa berkata apa-apa lagi melainkan segera meninggalkan tempat itu
ke jurusan lenyapnya si pemuda yang telah menerakan angka 212 pada batang pohon!
-- == 0O0 == -DUA Sang surya sudah lama bergeser ke ufuk barat. Warnanya yang tadi demikian
terik menyilaukan kini memudar merah kekuningan seperti tiada sanggup menahan
diinya dirampas oleh kedatangan sore. Sore yang akan dirampas oleh senja dan
senja yang akan bertekuk lutut di pintu malam.
Jalan yang ditempuh pemuda itu semakin sukar. Berliku dan menanjak. Di kiri
kanan senantiasa mengapit batu karang putih yang tiada berubah dari zaman ke
zaman atas kerasnya. Mendadak dari puncak batu karang di sebelah timur melengking
suara suitan aneh yang menusuk sepasang gendang-gendang telinga si pemuda. Dengan
waspada pemuda ini putar kepala dan mendongak ke atas.
Puncak karang itu tingginya sekira dua puluh lima tombak. Curam dan terjal
sukar didaki. Tapi mata si pemuda yang tajam dapat melihat bekas cungkilancungkilan pada sepanjang lereng karang mulai dari bawah sampai ke atas. Cungkilancungkilan itu merupakan tangga penolong. Meski demikian, jangan harap manusia biasa bisa
mempergunakannya. Sekali tergelincir tubuh akan amblas ke bawah, ditunggu oleh
unggukan batu karang runcing!
Suara suitan aneh itu terdengar lagi lebih keras dan nyaring dari yang pertama.
Dan sesaat mata si pemuda berputar kembali ke puncak batu karang itu dia
terkejut Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
melihat kemunculan seorang tua bermuka brewok yang kaki kanan dan tangan
kanannya buntung. Anggota badan yang buntung ini disambung dengan kayu. Pada ujung kayu
dari lengan menancap sebuah benda berbentuk arit yang bergemerlap ditimpa sinar
matahari di ambang sore itu! Di tangan kirinya ada sebuah tongkat biru dari besi
murni. Karena puncak karang di mana manusia berewok ini berdiri tinggi sekali maka si
pemuda tak dapat mengenali dengan jelas potongan muka orang ini, apalagi
tertutup berewok.
Hanya samar-samar bisa dilihatnya bahwa manusia ini adalah seorang tua yang
bertampang angker. Melihat kepada berewok yang memenuhi mukanya keraslah hati si pemuda
bahwa dia sudah dekat ketempat tujuannya. Mungkin juga sudah sampai.
Dipandang tajam-tajam demikian rupa, si muka angker berewok juga memandang
pada si pemuda secara tajam menyorot. Tapi sebegitu jauh tidak buka suara.
Si pemuda yang menjadi tak sabar lambaikan tangan dan menjura hormat sedikit.
"Orang tua, aku yang muda ini mau tanya apakah ini jalannya ke Gua Sanggreng"!".
Orang yang ditanya kerutkan kening.
"Bocah gondrong, apakah kau yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212..."!". Pemuda yang berada di bawah batu karang terkejut sekali. Siapakah
orang tua berewok bermuka angker ini" Apakah guru atau kakak seperguruannya Bergola Wungu
yaitu musuh yang telah mengundangnya untuk datang ke Gua Sanggreng".
"Aku merasa tak ada orang yang menjuluk demikian, orang tua...!," menyahuti si
pemuda yang tak lain dari Wiro Sableng adanya. .
Si muka berewok masih memandang menyorot pada pemuda itu. Memang adalah tak
dapat dipercayanya kalau pemuda ini adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
karena angka 212 telah menggetarkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu.
Tapi ciri-ciri yang diterangkan muridnya tentang pemuda ini cocok betul. Akhirnya si berewok
bersuit lagi. Kali ini suara suitannya lain dari dua kali tadi. Dan sesaat kemudian muncullah
sosok tubuh berpakaian hitam. Orang ini mukanya juga berewok dan Wiro dapat mengenalinya
sebagai orang yang dulu telah menantangnya yaitu Bergola Wungu! Kini dia yakin bahwa si
kaki buntung itu punya sangkut-paut erat dengan Bergola Wungu. Dari bawah dilihatnya
kedua orang itu bercakap-cakap sedang si buntung sekali-kali menunjuk-nunjuk dengan
tongkat birunya ke arah Wiro.
Tiba-tiba mengumandanglah tawa bergelak dari si kaki buntung. Daerah sekitar
situ seperti dirobek oleh suara tertawanya. Sambil tertawa diketuk-ketukkannya
tongkat di tangan
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
kirinya ke atas batu karang. Batu karang itu bergetar dan bagian yang kena ketuk
lebur menjadi pasir! Kemudian kedua mata orang tua buntung itu kembali memandang tajam pada Wiro
Sableng. "Kalau kau bukan Pendekar 212 palsu pastilah kau muridnya si Sinto
Gendeng...: Ah, kiranya kau tak ubah seperti bocah-bocah ingusan lainnya. Tak ubah seperti
gurumu sendiri! Bego dan keblinger...!"
"Jaga mulutmu, orang tua!," bentak Wiro marah karena gurunya dimaki. Tapi diamdiam dia juga heran kalau si muka berewok yang satu ini tahu nama gurunya.
Melihat kepada umur mungkin kira-kira dia seumur dengan Eyang Sinto Gendeng. Berewok buntung
itu tertawa lagi. Tongkatnya diketuk-ketukkannya lagi.
"Muridku Bergola Wungu bicara terlalu hebat tentang kau. Tapi setelah berhadapan
muka nyatanya kau hanya kosong melompong! Tadinya mendengar kematian tiga
muridku aku ingin mengajaknya bertempur sampai seratus jurus. Hendak kupecahkan
kepalanya dengan tongkat biru besi murni ini! Tapi nyatanya dia adalah seorang bocah
pitit, masih pantas
ngempeng! Pakai baju pun belum becus! Pendekar potongan macammu ini sekali aku
ayunkan tongkat saja pasti sudah kelojotan!"
Panas hati Wiro Sableng tiada terkirakan. Darah mudanya menggeru dalam
pembuluhnya. "Orang tua!," serunya. "Bicaramu terlalu sombong! Apakah kau tahu
bahwa semut itu sanggup mengalahkan gajah" Apakah kau juga tahu bahwa manusia itu bisa
terpeleset oleh sebutir batu kecil berlumut..."!"
Si berewok kaki buntung tertawa dingin. "Barangkali kau belum tahu kebalikan
ucapanmu itu, orang muda! Tahukah kau bahwa semut itu sekali dipijak oleh gajah
akan mejret amblas ke dalam tanah"! Tahukah kau kerikil kecil itu kalau ditendang akan
mental jauh tiada
daya?" Wiro Sableng keluarkan suara mendengus dari hidung. "Kadangkala manusia keliwat
pintar jadi bicara terbalik-balik macam kau!," sahutnya. "Tapi tak apa... aku
tak ada urusan dengan kau. Biar aku bicara dengan Bergola Wungu!".
Si orang tua tertawa berkekeh.
"Jangan sebut soal tak ada urusan, geblek! Muridku mati tiga orang..."
"Bukan aku yang bunuh...!".
"Tapi kau turut bertanggung jawab!" Menukas Bergola Wungu.
"Buset!," kata Wiro."Di depan hidung gurumu kau bisa buka bacot keras Bergola!
Aku sudah datang untuk menerima tantanganmu!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Bergola Wungu tertawa mengejek.
"Ini bukan Gua Sanggreng, Wiro! Bukan di sini ajalmu harus kau pasrahkan!"
"Keren betul kau Bergola! Manusia kalau sudah lupa nasib memang persis macam
kau! Kau tahu bahwa kau dulu anak kampung Jatiwalu kentut"! Yang sekarang punya
sedikit ilmu lantas jadi kepala rampok! Tapi lantas menantang aku dengan lari kepada gurunya"
Kalau aku jadi kau lebih baik terjun dari atas puncak karang itu ke bawah, mampus bunuh
diri!" Merah muka Bergola Wungu sampai ke telinga dan ke kuduk. Mulutnya terkatup
rapat. Gerahamnya bergemeletakkan. Namun tak ada suara jawaban dari dia.
Maka berkatalah si berewok tua kaki buntung. "Bocah 212, karena kau bicara
begitu congkak tentu kau punya sedikit ilmu yang diandalkan. Aku yang sudah tua ingin
sekali bertukar pengalaman!".
Wiro Sableng tertawa-tawa. "Kau yang sebenarnya congkak orang tua! Apakah
umurmu yang sudah bangkotan itu masih belum cukup puas untuk melakukan
pertempuran"
Tapi kalau kau berkeras hati mau iseng-iseng tukar pengalaman katamu, aku yang
muda tidak keberatan...." Wiro gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain "Tapi aku
ingin tahu nama dan siapa kau lebih dahulu.:..".
Si orang tua kembali tertawa macam tadi yang menggetarkan seantero daerah batu
karang itu. "Aku adalah penghuni Gua Sanggreng yang sudah empat puluh tahun malang melintang
dalam rimba persilatan! Kau dengar itu bocah" Dan kalau kau perlu tahu namaku...
akulah yang bernama Bladra Wikuyana Angin Topan Dari Barat!".
Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar nama asli serta nama julukan si
berewok kaki buntung itu karena dari gurunya dia mengenai bahwa Angin Topan Dari Barat
adalah satu tokoh persilatan sakti yang memimpin sebuah perguruan di Jawa Barat, yang
namanya cukup tenar tapi dicurigai adalah kaki tangan golongan hitam (golongan jahat).
Namun demikian pemuda ini sama sekali tidak unjukkan paras kecut. Malah dia
tertawa bergelak: "Julukanmu hebat juga, orang tua! Tapi setahuku angin itu hanyalah
satu benda kosong
belaka dan berbau busuk bila ke luar dari pantat!"
Bladra Wikuyana bersuit marah.
"Bocah setan! Kau berani kurang ajar terhadap Angin Topan Dari Barat! Terima
ini...!". "Wuuuuuutt"!
Tongkat birunya disapukan ke bawah!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
-- == 0o0 == -TIGA Angin sedahsyat topan melanda Pendekar 212. Pemuda ini balas dengan hantaman
Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan ke udara mengirimkan putaran lengan yang mengandung serangkum angin puyuh!
Hal yang hebat sekali terjadilah.
Dua pukulan angin yang sama mengeluarkan suara mengaung itu begitu bentrokkan
menimbulkan letupan udara yang kerasnya bukan kepalang. Bukit-bukit dan puncakpuncak, karang bergetar. Semak-belukar dan pohon-pohon rambas ke tanah. Pukulan angin
puyuh Wiro Sableng telah membuyarkan pukulan angin topan dari tongkat Bladra Wikuyana.
Namun demikian Wiro Sableng masih kena juga diterpa kipratan angin pukulan lawan
sehingga sesaat
tubuhnya menjadi limbung huyung!
Bladra Wikuyana terbeliak kaget.
Hantaman tongkat birunya tadi telah mempergunakan hampir sepertiga bagian tenaga
dalamnya. Dia sudah memastikan kalau tidak mampus pastilah sekurang-kurangnya
pemuda itu kelojotan muntah darah! Tapi kepastiannya itu tidak berkenyataan. Di bawahnya
Wiro Sableng ditihatnya masih berdiri utuh!
Maka berserulah Bladra Wikuyana: "Orang muda! Ilmumu cukup bagus untuk
diandalkan! Aku tunggu kau di Perguruan Gua Sanggreng!"
Habis berkata begitu manusia ini menarik lengan Bergola Wungu. Sekejapan saja
guru dan murid itu lenyap dari pemandangan Wiro Sableng.
Si pemuda garuk kepala. "Tongkat itu hebat sekali!," katanya dalam hati. Tapi
dia tak menunggu lebih lama. Segera dia lompatkan diri ke atas puncak karang yang
tingginya puluhan
tombak itu. Puncak karang itu ternyata licin sekali. Kalau saja ilmu meringankan
tubuhnya dari kelas rendahan pastilah kakinya akan tergelincir!
Wiro memandang berkeliling mencari jejak ke mana larinya kedua orang tadi.
Matanya yang tajam segera menangkap bayangan Bladra Wikuyana dan muridnya di balik
karang sebelah Timur. Tanpa buang waktu Pendekar 212 segera lompat ke karang yang terdekat.
Laksana seekor rajawali demikianlah dia melompat kian kemari sampai akhirnya orang yang
dikejamya itu lenyap di sebuah jurang batu karang yang dalam sekali!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Wiro berdiri di tepi jurang batu itu, memandang ke bawah. Untuk melompat turun
tidak mungkin. Jurang itu dalamnya lebih dari seratus tombak. Berarti tidak mungkin
pula Bladra Wikuyana dan Bergola Wungu lenyap turun ke jurang batu itu. Tapi tiba-tiba Wiro
melihat sebuah tangga tali yang kuat di tepi jurang sebelah Selatan. Segera dia menuju
ke sana dan memeriksa tangga tali itu. Dia berpikir sebentar, kemudian dengan cepat menuruni
tangga tali. Bagian bawah jurang batu itu hampir merupakan pedataran batu yang sedikit sekali
tetumbuhannya. Penuh waspada Pendekar 212 segera memeriksa keadaan. Tiba-tiba
menggema suara suitan dari arah Utara yang dibalas pula oleh suara suitan dari arah
barat. Wiro segera
menuju ke Barat!
Sementara itu di atas jurang, sesosok tubuh yang sudah sejak lama menguntit Wiro
Sableng hentikan langkahnya dekat tangga tali, tak berani terus ikut menuruni
tangga tali itu.
Wiro berdiri di balik sebuah batu karang berbentuk pilar. Sekurang-kurangnya
batu karang itu bisa menjadi tameng baginya dari musuh yang menyerang dengan diamdiam. Dari balik batu berbentuk pilar ini dia memandang ke muka. Tepat di antara dua batang
kayu besar yang sangat rendah maka beberapa puluh tombak di mukanya dilihatnya sebuah gua
besar. Kemudian didengarnya lagi suara suitan. Kali ini dari sebelah belakangnya.
Suitan ini disambut
oleh suitan yang menggema ke luar dari dalam gua.
Pemuda ini menunggu dengan tidak sabar. Ke mana perginya kedua orang tadi"
Apakah masuk ke dalam gua itu" Dan apakah gua Itu yang bernama Gua Sanggreng" Lalu
apakah saat itu
dia sudah berada di Perguruan Gua Sanggreng"
Tiba-tiba terdengar suara suitan yang lebih hebat dari suitan-suitan tadi. Dan
Wiro melihat dari mulut gua ke luar dua lusin manusia, semuanya laki-laki, ada yang berewokan
ada yang tidak dan semuanya mengenakan pakaian hitam dengan ikat pinggang kain putih. Pada
pinggang masing-masing tersisip sebatang tongkat biru yang sama bentuknya dengan milik
Bladra Wikuyana. Keduapuluh empat orang itu membentuk dua barisan panjang mulai dari
mulut gua sampai ke pelataran batu. Tak lama kemudian muncullah Bladra Wikuyana diiringi
oleh Bergola Wungu. "Pendekar Kapak Naga Geni 212 tak usah sembunyi di balik pilar! Keluarlah!,"
seru Bladra Wikuyana.
Pemuda itu segera ke luar dari balik tiang batu karang dan berdiri waspada di
ujung pelataran. "Angin Topan Dari Barat! Sandiwara atau tari-tarian apakah yang akan
kau pertunjukkan kepadaku"!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Bladra Wikuyana tertawa hambar. "Dasar manusia tolol! Ajal sudah di depan mata
masih juga mau jadi badut! Tahukah kau bahwa siapa-siapa yang sudah masuk ke mari
berarti tak ada
lagi jalan keluar! Berarti mampus di sini"!".
Wiro Sableng menyengir. Katanya: "Kalau begitu kalian semua di sini juga samasama ikut mampus dengan aku!".
Kembali Bladra Wikuyana tertawa hambar. Ditepukkannya kedua tangannya.
"Turunkan tangga tali," perintahnya.
Dua orang anak murid Perguruan Gua Sanggreng segera melaksanakan tugas itu.
Bladra Wikuyana berkemik. "Tangga tali telah diturunkan berarti umurmu
semakin singkat. Tapi ada syarat jika kau kepingin hidup terus..."
"Apa?" tanya Wiro Sableng kepingin tahu. "Berlutut minta ampun di hadapanku
dan bergabung denganku!".
Wiro Sableng tertawa meledak.
"Muridmu Bergola Wungu menantang aku datang kemari untuk bertempur! Tahutahu kini diajak bergabung, disuruh berlutut malah! Enak betul bikin aturan...!"
"Kalau begitu kau datang ke sini betul-betul untuk antarkan jiwa!" kata Bladra
Wikuyana pula. Habis berkata begini dia bertepuk tangan satu kali.
"Bereskan dia dengan gebrakan enam tongkat merenggut nyawa!" bentak Bladra
Wikuyana dengan geram sekali.
Maka enam orang muridnya segera melompat mengurung Pendekar 212 dengan
tongkat di tangan.
"Ketahuilah:.." kata Bladra Wikuyana pula. "Yang akan kalian hajar itu adalah
seorang bocah yang mengaku bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Mulai!"
Bladra Wikuyana bersuit keras. Keenam muridnya juga bersuit keras dan dengan
serentak menyerang Wiro Sableng!
Enam larik sinar biru mengambang di udara kian ke mari dalam gerakan yang
sangat tak menentu, mengeluarkan suara bersiuran dan kesemuanya menyerang
pendekar bertangan kosong itu. Wiro lompat ke udara dan berteriak: "Angin Topan
Dari Barat! Kerapa anak muridmu yang tak ada sangkut paut dengan aku kau suruh.maju"
Apa kau tidak punya nyali"!".
Biadra Wikuyana menyahut dengan membentak: "Kalau kau ada urusan dengan
salah seorang di sini berarti kau berurusan dengan Perguruan Gua Sanggreng...!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Saat itu keenam murid Perguruan Gua Sanggreng melompat pula ke udara dan
menyerang Wiro Sableng dengan sebat. Tapi dengan pergunakan jurus: Belut
Menyusup Tanah, maka Pendekar 212 yang diserang oleh mereka telah berdiri di pelataran
batu kembali. Maka bentrokkanlah enam tongkat biru itu di udara!
"Tolol," makl Bladra Wikuyana pada murid-murudnya: "Aku beri kesempatan
tiga jurus lagi pada kalian! Kalau tak berhasil merubuhkan bangsat itu kalian
musti mundur dan terima hukuman!".
Ternyata gebrakan enam tongkat merebut nyawa yang dikeluarkan enam murid
Perguruan Gua Sanggreng tadi tidak mampu merubuhkan Pendekar 212. Kini karena
takut terima hukuman dari guru mereka, keenamnya segera putar tongkat dengan
sebat dan lancarkan enam tusukan pada enam bagian tubuh Wiro Sableng!
"Ciaaat!"
Bentakan dahsyat menggema dan menggetarkan jurang batu itu. Bulu-bulu
tengkuk anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng meremang, bukan saja oleh
kedahsyatan bentakan tadi tapi juga menyaksikan bagaimana enam kawan mereka kini
berdiri kaku tegang di tengah pelataran karena tubuh masing-masing sudah kena
ditotok lawan. Sedang Pendekar 212 berdiri saat itu berdiri tenang-tenang bahkan
bersiul-siul! Rasa tak percaya membuat Bladra Wikuyana buka matanya lebar-lebar. Dan hatinya
merutuk. Tiba-tiba dicabutnya tongkat birunya dari pinggang dan disapukannya ke
muka. Keenam tubuh muridnya berpelantingan laksana daun kering tapi sekaiigus angin
topan dashyat yang keluar dari tongkat ampuh itu telah melepaskan keenamnya dari totokan!
Kemudian Pemimpin atau Ketua Perguruan Gua Sanggreng itu berkata pada Bergola
Wungu: "Kau majulah, pimpin semua muridku yang ada di sini! Bentuk-lingkaran
pasang surut!". Mendengar ini Bergola Wungu segera melangkah ke muka seraya cabut golok panjang
dan bersuit keras tiga kali berturut-turut. Maka dua puluh empat manusia
berpakaian hitam-hitam
dengan tongkat di tangan di bawah pimpinan Bergola Wungu yang memegang golok
panjang segera membentuk dua lapis lingkaran yang disebut lingkaran pasang surut,
mengurung Wiro Sableng di tengah-tengah. Gilanya, yang mau diserang malah tetap berdiri tenangtenang, kemak kemik dan sambil bersiul-siul.
Tiba-tiba Bergola Wungu bersuit nyaring. Maka berputarlah barisan lingkaran yang
sebelah dalam ke kiri sedang barisan lingkaran sebelah luar berputar ke kanan.
Mula-mula lambat
pelahan kemudian makin lama makin kencang, makin kencang sampai tubuh kedua
puluh empat. Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
manusia berpakaian hitam itu tidak jelas iagi, hanya merupakan bayang-bayang.
Debu yang menutupi pelataran menggebu ke atas dan sambil berputar-putar itu Bergola Wungu
dan kawan- kawannya tiada henti berteriak melengking-lengking.
Karena putaran dua barisan lingkaran itu makin cepat dan saling berlawanan serta
diiringi lengking pekik hiruk pikuk yang memekakkan dan mengacaukan pikiran lambat laun
kedua pandangan mata Pendekar 212 menjadi berkunang. Kepalanya terasa pusing. Dia
tertegun beberapa jurus lamanya. Dan dua baris lingkaran itu kini kelihatan semakin
menciut mendekatinya! Bergola Wungu melihat lawan muiai terpengaruh dengan bentakan lantang menyerbu
dan tebaskan goloknya ke kepala lawan yang terkurung ditengah lingkaran. Serangan
ini datangnya secara pengecut yaitu dari belakang! Dan Wiro Sableng dalam tertegunnya itu
masih juga bersiul-siul seperti orang lupa diri!
-- == 0O0 == -EMPAT Dia hanya merasakan datangnya sambaran angin dari arah belakang. Lalu cepatcepat menggeser kaki ke muka, bergerak ke samping dan sambil bungkukkan diri balikkan
badan! Golok panjang Bergola Wungu lewat satu setengah jengkal di atas kepalanya,
mengibarkan rambutnya yang gondrong!
"Dasar pengecut! Sudah main keroyok menyerang dari belakang!," bentak Wiro
Sableng. Kedua tangannya bergerak ke muka untuk merampas golok lawan. Namun
hampir hal itu terlaksana, tahu-tahu dua belas ujung tongkat menderu menyerang kedua
lengannya. "Sialan!" maki Pendekar 212 dan terpaksa tarik pulang tangannya sambil hantamkan
kaki membabat ke arah beberapa orang pengeroyok dari barisan sebelah muka.
Mereka yang diserang tendangan kaki anehnya tidak melakukan sesuatu apa, tapi tiba-tiba dari
belakang menyeruak kawan-kawan mereka dari barisan kedua, dan menangkis tendangan Wiro
Sableng. Sejurus kemudian barisan muka kembali menyerang dengan dua belas tongkat biru
mengarah pada dua belas bagian tubuh Wiro Sableng! Sementara itu dari atas laksana alapalap golok Bergola Wungu kembati membabat! Ini lah kehebatannya lingkaran pasang surut!
Ciptaan Bladra Wikuyana! Dua tahun dia melatih murid-muridnya untuk betul-betul memahami
jurus Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
tersebut. Meski belum begitu sempurna tapi hasilnya tidak mengecewakan! Sambil
senyum- senyum dia berdiri menunggu saat di mana matanya akan menyaksikan tubuh Wiro
Sableng terpancung belasan senjata muridnya, telinganya bakal mendengar pekik kematian
Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemuda itu! Tapi tiada kelihatan, Pendekar 212 terpancung meregang nyawa di tengah pelataran
itu! Tiada terdengar pekik kematian Wiro Sableng! Dengan kecepatan luar biasa yang
tiada terlihat oleh mata Bladra Wikuyana maka tahu-tahu Wiro Sableng sudah berada di luar
serangan anak- anak muridnya, berdiri dengan tenang dan kembali bersiul-siul!
Sebenamya pemuda bermata tajam ini sudah dapat melihat di mana letak kelemahan
barisan lingkaran pasang surut yang mengeroyoknya saat itu. Dengan merobohkan
dua atau tiga orang pengeroyok dari salah satu barisan maka pastilah lingkaran pasang surut
itu akan menjadi
kacau balau! Bisa juga sebagian atau seluruh pengeroyoknya ditumpasnya dengan
hantaman pukulan angin puyuh atau dinding angin berhembus tindih menindih! Tapi ini
pemuda inginkan
cara lain yang lebih disukainya sendiri.
Maka berserulah Pendekar 212.
"Angin Topan Dari Barat! Apakah kau pernah iihat manusia dipakai jadi senjata
untuk menyerang manusia..."!"
"Bocah gila! Jangan banyak bacot! Nyawamu sudah di depan hidung! Anak-anak
ciutkan lingkaran dalam sepertiga jurus!," teriak Bladra Wikuyana dengan
penasaran sekali.
Siulan Pendekar 212 tiba-tiba lenyap berganti dengan suara tertawa aneh yang
menegakkan bulu tengkuk. Tubuhnya berkelebat tak kelihatan. Dan tiba-tiba pula
Bergola Wungu merasakan kedua pergelangan kakinya dicengkeram erat sekali. Dicobanya
untuk meronta dan menendang tapi cengkeraman itu laksana japitan besi tak mungkin
untuk di1epaskan. Sementara itu tubuhnya menjadi limbung dan terasa terangkat ke atas!
Dicobanya membabatkan goloknya! Terdengar satu pekikan! Pekikan kawannya sendiri yang,
kemudian roboh mandi darah! Sesudah itu Bergola Wungu tak tahu apa-apa lagi!
Wiro Sableng dengan tertawanya yang aneh memegang erat-erat kedua
pergelangan kaki Bergola Wungu lalu memutar tubuh manusia itu laksana kitiran!
Pekik jerit serta seruan-seruan tertahan terdengar di mana-mana! Barisan lingkaran
pasang surut hancur berantakan. Beberapa orang yang masih tak mau menyingkir dan
terpukau oleh kedahsyatan itu terpaksa dihantam kitiran dari tubuh Bergola Wungu! Belasan
anak murid Perguruan Gua Sanggreng bergeletakan di pelataran batu karang dalam
keadaan tubuh luka-luka parah tanpa nyawa. Suara erangan terdengar tiada hentinya. Yang
masih hidup yaitu sekira sembilan orang menyingkir jauh-jauh ke dinding batu karang.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Suara tertawa Pendekar 212 berhenti.
"Angin Topan Dari Barat! Ini terima bangkai muridmu!". Tubuh Bergola Wungu
yang tadi dibuat menjadi kitiran untuk melabrak kawan-kawannya sendiri melesat
ke arah Bladra Wikuyana. Orang tua ini lambaikan tangan kirinya dan tubuh Bergola
Wungu terpelanting ke dinding samping. Tentu saja sudah tanpa nyawa lagi karena
sudah sejak tadi kepalanya nyenyar macam pepaya busuk!
Bau anyirnya darah yang mengantarkan regangan-regangan nyawa manusia
menyesak lobang hidung. Wiro Sableng meludah ke tanah. Dan memandang pada Angin
Topan Dari Barat.
"Angin Topan Dari Barat! Murid-muridmu menemui kematian dengan cara yang
tentu kau tidak senangi! Dan mereka mati tanpa ada sangkut-paut kesalahan apaapa terhadapku! Kau yang tanggung-jawab semuanya kalau malaekat maut tertanya di
liang kubur!" "Pemuda iblis!" bentak Bladra Wikuyana. "Tak usah banyak bacot! Terimalah
kematianmu dalam tiga jurus!". Tampang manusia ini kelihatan membesi dan tambah
angker. Dia melangkah ringan ke hadapan Wiro Sableng dan cabut tongkat birunya!
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan selarik sinar biru melanda Pendekar 212.
Pemuda ini egoskan diri ke samping dengan cepat. Tapi dari samping menderu tangan kanan
Bladra Wikuyana yang disambung-dengan kayu dan ujungnya mempunyai senjata berbentuk
Arit! "Heyyaaa!".
Pendekar 212 membentak keras. Empat dinding jurang tergetar hebat. Tubuhnya
lenyap dan sambil jatuhkan diri berjongkok pemuda ini hantamkan tangannya ke
muka lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah!
Tapi tongkat biru Bladra Wikuyana sungguh hebat! Pukulan Kunyuk Melempar
Buah yang dilancarkan Pendekar 212 mempergunakan sebahagian tenaga dalamnya
namun sambaran angin tongkat biru membuat angin pukulan Pendekar 212 tersibak ke
samping dan menghantam dinding karang! Dinding karang itu retak-retak pecah!
Kepingan-kepingan karang menghambur ke udara berpelantingan!
Wiro Sableng penasaran sekali. Tenaga dalamnya dilipat-gandakan sampai
tangannya tergetar hebat namun tetap pukulan Kunyuk Melempar Buah yang
dilancarkannya masih sanggup disapu oleh angin tongkat biru lawan!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Edan!" maki pemuda ini dalam hati. Dia menjerit setinggi langit dan berkelebat
lagi. Kini Pendekar 212 keluarkan jurus Orang Gila Mengebut Lalat! Kedua
tangannya kiri kanan memukul kian kemari dan mengeluarkan angin keras laksana badai!
Untuk dua jurus lamanya Bladra Wikuyana terdesak hebat bahkan kepepet ke
dinding jurang sebelah Timur. Anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng yang ada
di jurusan ini terpaksa menyingkir kecuali kalau mau mampus terkena sambaransambaran angin dahsyat kedua manusia sakti yang bertempur itu!
Angin Topan Dari Barat mengeluh dalam hati! Puluhan tahun hidup di dunia
persilatan baru hari ini menghadapi lawan yang tangguhnya bukan olah-olah! Dan
gilanya lawan itu adalah anak muda hijau yang baru berumur tujuh belas tahun!
Orang tua ini kertakkan gerahamnya. Dari tenggorokkannya keluar suitan kencang.
Dengan serta merta permainan tongkat dan jurus-jurus silatnya berubah. Tongkat
biru di tangan kirinya menderu dan mencurah taksana hujan badai, laksana menjadi ratusan
banyaknya! Wiro Sableng terkejut sekali melihat keganasan serangan tawan ini! Cepat dia
lompat tiga tombak ke udara.
"Ho-ho! Mau kabur hah"!" bental Bladra Wikuyana. Dan segera manusia ini susul
melompat. "Angin Topan Dari Barat!," seru Pendekar 212. "Antara kita sebenarnya tak ada
permusuhan yang berarti...".
Bladra Wikuyana tertawa buruk. "Ketika nyawa sudah di tenggorokan kau baru
ribut-ribut segata permusuhan yang tak berarti! Sudah kepepet-mulai bicara
rendah diri! Sebaiknya sebut nama Tuhanmu sebentar tagi roh busuk manusia yang mengaku
bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 akan minggat ke neraka!" Bladra Wikuyana
menyerang lagi dengan ganas membuat Wiro Sableng kembali terpaksa lompatkan diri
tiga tombak ke belakang.
"Kalau kau yang tua tetap berkeras kepata maka sambutlah pukulanku ini!"
Bladra Wikuyana terbeliak kaget ketika melihat tangan kanan Wiro Sableng
berwarna sangat putih sedang kuku-kuku jarinya memerah menyilaukan!
"Pukulan Sinar Matahari!" teriaknya dengan keras. Sekaligus dia menyerukan pada
murid-muridnya untuk mencari perlindungan sedang seturuh tenaga dalamnya
dialirkannya ke tongkat biru!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Selarik sinar putih yang menyilaukan mata melesat ke depan. Bladra Wikuyana
lompat ke udara sampai tujuh tombak dan sapukan tongkatnya ke bawah! Dua angin
keras beradu hebat. Bladra Wikuyana berseru keras. Tongkatnya hampir terlepas mental
sedang tangan kirinya tergetar hebat! Tiada nyana tenaga dalam lawan yang muda belia
itu lebih tinggi beberapa tingkat dari padanya. Dengan jungkir balik di udara jago tua ini
jauhkan diri untuk atur jatan nafas serta darahnya dengan cepat! Ketika bola matanya
berputar memandang berkeliling terkejutlah ia!
Seluruh sisa anak muridnya yang tadi masih hidup menggeletak bergelimpangan
dipelataran batu karang itu. Tubuh mereka semuanya termasuk yang sudah menemui
ajal lebih dahulu di tangan Wiro Sableng mengepulkan asap dan udara dalam jurang itu
kini pengap bau daging manusia yang hangus!
Ketika Pendekar 212 lepaskan pukulan sinar matahari tadi. Bladra Wikuyana
berhasil mengelakkannya. Angin pukulan menghantam dinding karang di sebelah
tenggara. Bukan saja dinding karang itu menjadi pecah tapi juga hancur
berantakan. Bagian atasnya longsor ke bawah sedang pukulan Sinar Matahari memantul dua kali
berturut-turut di dinding karang. Hawa panas angin pukulan ini telah melabrak
sisa-sisa anak murid Bladra Wikuyana sehingga tubuh mereka tersambar hangus dan
menggeletak mati
di situ juga! .Dan sementara itu di tepi jurang sebelah atas, sesosok tubuh berpakaian ungu
menyaksikan apa yang terjadi di dalam jurang batu karang itu dengan mulut
menganga dan mata
terbeliak sedang bulu kuduk merinding....
Kembali ke dalam jurang.
Air muka Bladra Wikuyana kelihatan kelam membeku. Tubuhnya laksana patung
berdiri di tengah pelataran. Cambang bawuk atau berewoknya kelihatan meranggas kaku
sedang sepasang matanya menjadi merah angker.
"Pendekar 212!" desis Bladra Wikuyana. "Detik ini jangan harap nyawamu akan
selamat...!" Tongkat birunya diacungkan ke muka lurus-lurus dan kini tongkat itu
berubah menjadi hitam legam. Sinar hitam yang memancar dari senjata ampuh Itu
menggidikkan sekali...
"Bersiaplah untuk minggat ke neraka!" teriak Bladra Wikuyana. Serentak dengan
itu menyerbulah dia ke muka. Seluruh bagian tenaga dalamnya telah mengalir ke dalam
tongkat dan serangannya kini luar biasa ganasnya! Sambil menyerang itu Bladra Wikuyana tiada
hentinya bersuit-suit aneh, menggetarkan telinga dan raga!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Wiro Sableng begitu merasakan tekanan serangan yang hebat luar biasa segera
percepat gerakannya. Namun ilmu mengentengi tubuhnya yang sudah sangat tinggi itu masih
sangat terasa lamban ditindih oleh sinar pukulan Angin Hitam yang ke luar dari tongkat lawan.
"Breet"!
Tersirap darah Pendekar 212. Nyawanya serasa iepas! Ujung tongkat lawan telah
merobek pakaiannya di bagian dada. Angin tongkat membuat tulang-tulang dadanya
seperti melesak! Pendekar ini berteriak nyaring dan jungkir balik ke belakang ke luar
dari kalangan pertempuran! -- == 0O0 == -LIMA "Ho ho.... Mau merat ke mana"!" tanya Bladra Wikuyana. "Aku sudah bilang, sekali
masuk ke sini musti lepas nyawa di sini!"
Wiro Sableng tak berikan sahutan. Kalau saja ada sepuluh manusia jahat sesakti
Bladra Wikuyana ini di atas jagat pastilah dunia akan tenggelam dalam kekalutan
pikirnya. Ketika lawan menyerang kembali Pendekar 212 sambut dengan pukulan Benteng
Topan Melanda Samudera. Untuk beberapa ketika lamanya serangan tongkat Bladra
Wikuyana terbendung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro Sableng untuk
melompat ke udara, menukik kembali dan lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Dentuman
yang dahsyat terdengar. Wiro terpaksa turun ke pelataran batu karang kembali karena
pukulannya kena disapu aliran angin hitam tongkat lawan. Pemuda ini kepepet ke dinding
jurang sebelah Timur! Pemuda ini merutuk sendiri dalam hatinya. Dalam merutuk itu tongkat lawan
menyapu di atas kepalanya. Wiro lompat ke samping. Tongkat menghantam dinding
karang sampai hancur berantakan! Ketika Bladra Wikuyana balikkan tubuh siap untuk
menyerang kembali, langkahnya tertahan. Kedua matanya yang merah memandang tak berkedip
pada senjata berbentuk kapak bermata dua yang ada di tangan lawannya.
Bergidik juga Angin Topan Dari Barat melihat senjata tersebut. Dua puluh tahun
yang silam dia pernah saksikan sendiri kehebatan Kapak Maut Naga Geni 212. Kini
apakah sanggup dia menghadapinya"!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Angin Topan Dari Barat," Pendekar 212 buka mulut. "Baiknya kau lekas-lekas
minta tobat atas kejahatanmu selama ini. Sebentar lagi tentu sudah tak keburu.... !"
Angin Topan Dari Barat atau Bladra Wikuyana tindih rasa jerihnya dengan tertawa
bergelak. Tahu akan kehebatan senjata di tangan lawan maka dia segera menyerang
lebih dahulu! Sinar hitam bergulung-gulung ke arah Pendekar 212.
Pemuda ini sambut serangan lawan dengan pergunakan jurus: Orang Gila Mengebut
Lalat. Kapak Naga Geni 212 di tangannya berkelebat cepat ke kiri dan ke kanan,
mengeluarkan suara berdengung macam suara ribuan tawon!
Terkejutnya Bladra Wikuyana bukan kepalang ketika merasa bagaimana kini tongkat
saktinya tak dapat lagi bergerak leluasa, tertindih, terbendung dan terpukul
angin kapak bermata dua di tangan lawan!
Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bladra Wikuyana percepat permainan tongkatnya dan menyerang dengan jurus-jurus
lihay mematikan. Namun tetap saja tak dapat ke luar dari tindihan senjata lawan.
Dan kini sesudah bertempur di jurus yang kesembilan puluh delapan maka mulailah jago tua
ini terdesak hebat! Diam-diam Bladra Wlikuyana cucurkan keringat dingin. Ditahannya
sedapat- dapatnya serangan senjata lawan. Satu kali tongkatnya beradu dan tak ampun ujung
tongkat terbabat puntung! Bladra Wikuyana tak berani lagi bentrokan senjata! Matanya
kini liar mencari kesempatan untuk kabur. Dia menggeram karena telah menyuruh muridmuridnya menurunkan tangga gantung karena tangga dari tali itulah satu-satunya jalan
untuk kabur ke luar jurang batu karang!
Karena pikirannya bercabang dua, satu memikir jalan untuk lari, kedua memusatkan
pada serangan lawan maka pertahanan Bladra Wikuyana sering-sering melompong. Hal
ini bukan tak dilihat oleh Pendekar 212, kalau saja dia mau maka sudah sejak tadi
dia melabrak manusia berewok bertangan dan kaki buntung itu.
Dari mulut Pendekar 212 mulai terdengar siulan membawakan lagu tak menentu!
Sambil kirimkan bacokan ke pinggang, Wiro Sableng putar gagang kapak. Kedua mata
kapak membuat setengah lingkaran, salah satu dari padanya memapas pergelangan tangan
kanan Bladra Wikuyana yang terbuat dari kayu! Tangan palsu yang ujungnya berbentuk
arit itu kutung dan lepas! Mental ke udara!
Bladra Wikuyana melompat ke belakang. Mukanya pucat pasi. Dia mengerang karena
aliran aneh yang berhawa panas dari senjata lawan merembes melalui kutungan
tangan kayu ke dalam tubuhnya!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Cuma lengan kayumu saja. Angin Topan Dari Barat! Kenapa musti pucat macam
mayat?" Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. "Sekarang aku minta kaki kayumu!"
Habis berkata begitu. Wiro Sableng bersiul dan melompat ke muka. Kapaknya
membabat ke kepala Bladra Wikuyana. Jago tua ini yang tak berani lakukan
bentrokan senjata
cepat-cepat melompat berkelit dan lancarkan serangan balasan dengan pukulan
tangan kosong yang menimbulkan angin hebat. Namun dengan Kapak Naga Geni 212 di tangan, segala
pukulan tangan kosong bagaimanapun hebatnya dari manusia berewok yang bergelar
Angin Topan Dari Barat itu tiada artinya lagi!
Kapak Naga Geni 212 membacok ke bahu, berbalik merambas pinggang, menderu lagi
ke kepala membuat tokoh silat tua dan berpengalaman luas itu menjadi sangat
sibuk. Dan ketika
tiba-tiba sekali senjata lawan membabat ke bawah, dia tak punya kesempatan lagi
untuk mengelak! Untuk kedua kalinya mata kapak membabat anggota badannya yaitu kaki kayu Bladra
Wikuyana sebelah kanan! Meski huyung-huyung tapi laki-laki ini masih sempat
lompatkan diri ke luar dari kalangan pertempuran. Mukanya pucat sekali dan keningnya penuh
keringat! Di dalam dadanya menggelegak rasa benci, dendam dan nafsu untuk membunuh!
Dengan tahan tubuhnya pada ujung tongkat, Bladra Wikuyana pejamkan mata.
Mulutnya komat kamit.
"Ilmu apa yang kau mau keluarkan Angin Topan Dari Barat" Sebaiknya dengar
omonganku! Aku yang muda ini masih mau kasih ampun kepada kau jika kau berjanji
untuk bertobat dan hidup di jalan yang benar, tidak lagi berbuat kejahatan tapi
mempergunakan iimumu buat menolong sesama manusia. Bagaimana..."!"
Bladra Wikuyana buka sepasang matanya sedikit. Mulutnya berkemik mengejek.
"Jangan kira kau sudah menang bocah hijau! Aku masih jauh dari kalah! Lihat
mukaku bocah hijau... lihat mukaku.... " Mata Wiro Sableng menyipit. Ketika diperhatikannya
tampang Bladra Wikuyana terkejutlah dia. Kepala tokoh silat itu kini rnenjadi enam dan
berwarna hitam, gigi-giginya merupakan caling-caling yang mengerikan, bola-bola matanya
besar sedang lidahnya panjang menjulai sampai ke dada. Dari dua belas mata yang ada di
enam kepala itu memancar sinar hijau.
"Ah... ilmu siluman macam begini hanya pantas untuk menakut-nakuti anak kecil!"
ejek Wiro Sabteng. Disapukannya Kapak Naga Geni 212 ke muka. Angin deras membuat
Bladra Wikuyana terpelanting tapi muka silumannya masih juga seperti tadi malah
semakin Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
menyeramkan. Tiba-tiba dengan menggereng keras laksana harimau terluka
menerjanglah tokoh silat itu didahului oleh dua belas sinar hijau yang ke luar dari mata
silumannya! "Tua bangka geblek! Dikasih ampun malah keluarkan Ilmu yang bukan-bukan!" rutuk
Wiro Sableng. Ditunggunya beberapa detik. Sesaat kemudian berkiblatlah kapak
mautnya dari atas ke bawah! Angin Topan Dari Barat terkapar di pelataran batu karang tanpa berkutik, juga
tanpa menjerit. Kepalanya sampai ke dada terbelah dua. Darah membanjir! Tamatlah
riwayat tokoh silat dari golongan hitam itu yang selama hidupnya telah menebar benih kejahatan
dan mendidik manusia-manusia untuk disesatkan!
Wiro Sableng garuk rambut gondrongnya dan meludah. Jijik juga dia melihat darah
yang membanjir dari tubuh Bladra Wikuyana. Dipandangnya Kapak Maut Naga Geni 212
di tangan kanannya. Mata kapak itu berlumuran darah. Pemuda ini goleng-goleng
kepala. "Kapak
hebat... kapak hebat...." katanya. Kemudian sekali hembus saja maka noda darah
pada mata kapak pun lenyaplah! Senjata sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng itu segera
dimasukkannya ke balik pinggang kembali.
Selama setengah jam Wiro Sableng memasuki dan menggeledah isi Gua Sanggreng. Di
sini ditemuinya banyak sekali persediaan makanan dan uang serta barang-barang
perhiasan. Menurut pikiran Wiro uang serta perhiasan itu mungkin sekali hasil rampokan yang
ditimbun menjadi milik Perguruan Gua Sanggreng. Wiro mengambil sejumlah uang dan
perhiasan sekedar bekal di perjalanan. Kemudian pemuda ini duduk di sebuah kursi besar dan
menikmati makanan yang ada di dalam gua itu. Waktu dia ke luar dari gua dilihatnya langit
sudah sangat merah kekuningan tanda matahari hampir tenggelam. Pemuda ini segera mencari
tangga tali. Tangga tali itu kemudian dilemparkannya pada patok runcing batu karang di tepi
jurang sebelah atas dan mulailah pendekar ini menaiki anak tangga demi anak tangga menuju ke
atas. Dari atas
sebelum berlalu dilayangkannya pandangannya untuk terakhir kali ke dalam jurang
batu. Duapuluh enam mayat bergelimpangan di mana-mana. Pemuda ini garuk dan golenggoleng kepala. Dan mulailah dia melangkah sepembawa kakinya. Malam tiba nanti entah di
mana dia akan berada. Suara siulannya mengumandang di belantara batu-batu karang. Sambil
terus berjalan. bernyanyilah pendekar ini:
Langit merah angin silir....
Surya tenggelam di ufuk Barat....
Malam yang datang tentu dingin dan gelap....
Berjalan seorang diri memang tidak enak....
Tapi selalu diikuti orang lain juga tidak enak. ..
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Nyanyian ini tiada menentu nadanya dan diulang-ulang sampai beberapa kali.
Akhirnya disatu penurunan curam Pendekar 212 hentikan nyanyiannya dan duduk di
sebuah unggukan batu. Sambil tertawa-tawa berkatalah dia: "Manusia yang ikuti aku
kenapa sembunyi di belakang batu" Coba ke luar unjukkan jidat, apa betul manusia atau
hantu...?"
Wiro memandang pada celah batu karang yang tadi dilewatinya. Suasana hening
saja. "Ah, manusia di belakang batu tentu seorang pemalu," katanya. "Biarlah aku
sendiri yang lihat tampangnya!"
Habis berkata begitu Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah celah batu.
Sebagian lagi terguling ke bawah. Dan dari balik batu terdengar seruan tertahan!
Apa yang tidak diduga oleh Pendekar 212 ternyata bahwa penguntitnya sejak
dari jurang Gua Sanggreng tadi adalah seorang gadis!
-- == 0O0 == -ENAM "Aha... Nyatanya seorang gadis molek! Pantas malu-malu unjukkan diri...!"
kata Wiro Sableng pula dengan tertawa lebar. melihat kepada pakaian ungu yang
dikenakan gadis itu segera pemuda ini mengenali bahwa gadis itu adalah anak
murid Dewa Tuak. "Gadis molek, ada apa kau menguntit aku sejak dari lereng bukit
sampai ke jurang maut sana...?" bertanya Wiro.
Anggini, si gadis baju ungu, tak memberikan jawaban. Mukanya merah karena
malu dan jengah. Wiro Sableng tertawa lagi dan berkata: "Mungkin ada mengandung
suatu maksud tidak baik .... "
"Saudara... a...aku..." Anggini gugup sekali. Apa yang harus dikatakannya pada
pemuda itu" "Apakah gurumu si Dewa Tuak itu juga ikut bersamamu saat ini"
Barangkali juga kalian hendak menjebakku...?"
"Saudara dengarlah..." kata Anggini pula. "Aku sebenarnya tidak mau dengan
semuanya ini..."
"Semuanya ini apa...?" potong Wiro Sableng.
Anggini menggigit bibir.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Gurumu bersamamu?"
"Tidak...."
"Gurumu yang menyuruh untuk menguntit aku?"
Gadis itu anggukkan kepala.
"Perlu apa gurumu menyuruh demikian?"
Kembali Anggini menggigit bibir.
"Apa dia belum puas dengan sedikit pertempuran siang tadi...?"
Anggini tetap membungkam. Ya, bagaimana dia harus mengatakan pada si
pemuda bahwa gurunya menyuruhnya mengejar untuk kemudian berusaha menjadi
kawan hidup pemuda itu" Bagaimana dia harus terangkan semua itu! Ingin dia menangis dan lari dari hadapan pemuda itu. Tapi kepada Dewa Tuak gadis ini takut
sekali! Pendekar 212 kerutkan kening. Mendadak mukanya menjadi merah, semerah
langit yang disaputi sinar sang surya yang mau tenggelam di saat itu. Dia ingat
akan ucapan Dewa Tuak yang mengatakan bahwa dirinya cocok untuk jadi jodoh muridnya!
Pendekar muda ini melirik pada gadis baju ungu. Anggini berparas bujur telur dan
molek. Kulitnya kuning dan potongan tubuhnya sedap dipandang mata. Tapi urusan
jodoh mana ini pemuda berpikir sampai di situ. Tak ada ingatannya sampai sejauh
itu. Bahkan kewajiban berat yang dipikulkan gurunya ke pundaknya, hutang nyawa
dendam seribu karat terhadap Suranyali alias Mahesa Birawa sampai hari ini masih
belum lunas! Masih belum dilaksanakannya!
Wiro Sableng berdiri dari duduknya. Dipandanginya gadis baju ungu itu
seketika lalu mengumandanglah gelak tawanya. "Saudari... apakah penguntitan ini
ada sangkut pautnya dengan ucapan gurumu si Dewa Tuak?"
Paras Anggini semakin merah. "Tadi aku sudah bilang... sebenarnya aku tak
senang dengan semua ini. Tapi guru memaksaku..."
"Memaksa bagaimana"!"
"Katanya aku harus mengejarmu sampai dapat. Kalau tak berhasil tak usah
kembali kepertapaan. Katanya lagi aku harus... harus..." Anggini tak dapat
meneruskan ucapannya. "Kurasa gurumu itu sudah sinting! Sekurang-kurangnya seperempat sintingl"
Meski Anggini memang tak suka menjalankan apa yang diperintahkan Dewa
Tuak namun mendengar nama gurunya dicaci demikian rupa gadis ini jadi marah.
"Jangan hina guruku, saudara!" bentaknya.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Wiro Sableng garuk kepala. "Ah... guru dan murid sama saja gebleknya!" kata
ini pemuda. "Kalau gurumu suruh kau makan beling dan minum racun, apakah kau
juga akan ikuti ucapannya itu..."!"
"Guruku tidak segila itu!" bentak si gadis.
"Aku memang tidak bilang gurumu gila, tapi sinting!" menukasi Wiro Sableng.
"Sekali lagi kau berani menghina guruku, kutampar mulutmu!" ancam Anggini.
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul! "Gurumu memang sinting!" katanya lagi.
Anggini telah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan ketinggian kesaktian
Pendekar 212 waktu terjadi pertempuran di jurang Sanggreng beberapa saat yang
lalu. Dari situ dia dapat menyimpulkan bahwa gurunya sekali pun belum tentu akan dapat
mengalahkan pemuda itu dengan mudah. Namun saat itu kegemasannya tak dapat
ditahan lagi. Tangan kanannya bergerak cepat. Sebaliknya Wiro Sableng malah
angsurkan pipi ke muka!
"Plaak!"
Tamparan mendarat di pipi Wiro Sableng. Pendekar muda ini tertawa. "Betapa
lembutnya jari-jarimu mengelus pipiku..," katanya dengan pejamkan mata. "Ayo,
tamparlah sekali lagi... dua kali lagi... tiga kali lagi... sesuka
hatimulah...!"
Wiro menunggu tapi tamparan berikutnya tak datang dan pemuda ini bukakan
kedua matanya 'kembali. Dilihatnya Anggini berdiri dengan hidung kembang kempis
menahan geram yang menyesaki dadanya. Pendekar 212 tertawa. "Kenapa tidak mau
tampar?" tanyanya sinis.
Karena digemasi terus-terusan Anggini jadi penasaran sekali. Segera dibukanya
selendang ungu yang melilit di pinggangnya yang berpinggul besar. "Eh... saudari
Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau ini apa mau buka pakaian di depanku?" tanya Wiro Sableng sambil kedip-kedipkan mata
dengan ceriwis. "Pemuda rendah terima selendangku ini!" bentak Anggini. Tangan kanannya
bergerak. Ujung selendang berputar pelahan dan lamban ke arah kepala Wiro Sableng.
Selendang terbuat dari kain yang halus. Bila benda itu bergerak lamban berarti
benda itu dialiri oleh aliran tenaga halus. Dan Wiro tahu bahwa kadangkala tenaga halus
lebih berbahaya
daripada tenaga kasar yang di luarnya kelihatan hebat. Pemuda ini tak mau
menyambuti liuk
liku selendang itu. Dia menggeser kedua kaki dan menjauhkan kepalanya. Masih
tertawa dia mengejek: "Saudari, tarianmu bagus sekali! Apakah ini juga dari gurumu kau
pelajari"!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Dugaan Pendekar 212 memang tepat. Kalau sekiranya dia mencoba memapasi
selendang yang meliuk-liuk itu maka dengan satu sentakan cepat Anggini akan
menarik selendang dan melesatkan ujungnya ke mata si pemuda. Ini pun sebenarnya belum
ketentuan Wiro Sableng akan kena dihajar begitu saja. Tapi demikianlah kenyataannya bahwa
kadangkala ilmu halus dan lembut harus dihadapi dengan kehalusan dan kelembutan pula.
Melihat si pemuda geser kaki menjauh tapi masih dengan sikap mengejek maka kini
Anggini rubah permainan selendangnya. Laksana seekor naga selendang ungu itu
meliuk dan mematuk kian ke mari. Dan kini barulah Wiro menghadapinya dengan kekasaran pula.
"Saudari, permainan selendangmu patut dikagumi!" memuji Pendekar 212. "Tapi tak
cukup pasal kalau kau sampai menyerangku begini rupa. Aku..." Ucapan Wiro
Sableng terpotong oleh bentakan Anggini.
"Tutup mulut pemuda ceriwis! Lihat selendang!" Ujung selendang ungu dengan
sangat tiba-tiba mematuk ke arah mata kiri Wiro Sableng. Ganda tertawa pemuda ini
tundukkan kepala
untuk mengelak. Sejak tadi meski dia menghadapi serangan-serangan lawan dengan
cara kasar tapi sesungguhnya Pendekar 212 terus-terusan mengambil sikap mengelak.
Tapi pada saat Wiro Sableng mengelak, pada detik itu pula ujung selendang dengan
sangat cepat turun dan melibat leher! Setengah libatan Pendekar 212 cepat-cepat
pergunakan tangan kiri untuk rnengibaskan selendang ujung tapi ini tak bisa dilakukannya
karena serentak
dengan itu Anggini kirim satu tusukan dua ujung jari tangan kiri ke dada kiri
Wiro Sableng. Hebat sekali serangan ini sehingga kalau dilihat dari atas maka serentakan
dengan serangan
selendangnya tadi, maka sepasang serangan Anggini tak ubahnya seperti sebuah
gunting besar yang hendak menggerus tubuh dan leher si pemuda!
"Ah... ah... bagus, bagus sekali saudari! Tak percuma kau jadi murid si Dewa
Tuak!" memuji Wiro Sableng. Tangan kirinya terpaksa dipalangkan untuk menunggu tusukan
jari tangan lawan. Anggini yang tahu bahwa tenaga dalam pemuda itu jauh lebih tinggi
darinya batalkan serangan sebaliknya tangan kanannya siap menyentakkan selendang ungu
yang ujungnya telah melibat setengah leher Wiro Sableng.
Pendekar 212 cepat angsurkan lehernya ke muka untuk mengendurkan selendang
sehingga kalaupun detik itu disentak, sentakan itu tak akan mencelakainya.
Kemudian dengan
tangan kanannya, cepat sekali disampoknya bagian tengah selendang!
Anggini sama sekali tak dapat melihat cepatnya tangan kanan lawan yang
menyampoki senjatanya. Dia hanya tahu tiba-tiba saja bagaimana selendangnya menjadi
menegang dan tertarik ke muka!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Sesaat mengetahui bahwa selendangnya kena terpegang lawan terkejutlah gadis ini,
tapi juga penasaran sekali. Dibetotnya selendang itu namun mana Wiro Sableng mau
lepaskan, malahan sebaliknya pemuda ini tarik selendang tersebut sehingga tubuh Anggini
sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah ikut tertarik ke hadapannya.
Anggini memaki dalam hati.
"Sambut paku perakku, rnanusia rendah!" bentak gadis itu.
Sekali dia gerakkan tangan kirinya maka selusin benda yang besarnya setengah
jengkal, berbentuk paku dan berwarna putih perak mendesing ke arah Wiro Sableng. Karena
jarak mereka terpisah dekat sekali maka dua belas senjata rahasia ini sangat berbahaya
bagi keselamatan si pemuda. Anggini sendiri tiba-tiba merasa menyesal melepaskan
senjata rahasia
itu karena kawatir si pemuda tak dapat berkelit atau memapakinya, karena
bukankah gurunya
telah berpesan bahwa pemuda itu adalah cocok bakal jadi jodohnya..."!
Sebaliknya yang diserang tenang-tenang saja. Bahkan sambil bersiul
dilambaikannya tangan kirinya. Delapan paku perak luruh ke tanah sedang yang empat lagi
dielakkan dengan
berkelit sedikit ke samping.
Kalau tadi dia merasa menyesal menyerang pemuda itu dengan senjata rahasianya
maka kini setelah si pemuda berhasil selamatkan diri, kembali Anggini menjadi
penasaran. Dia memekik keras, lompat ke atas dan kirimkan dua tendangan jarak dekat susul
rnenyusul. "Ah, tak sangka gadis molek begini galak sekali!" kata Wiro Sableng pula. Dia
melompat ke samping. Membuat gerakan satu putaran, dan sebelum Anggini turun ke
tanah, kedua kaki gadis itu sudah terlibat selendangnya sendiri! Membuatnya berdiri
dengan terhuyung-huyung tak bisa melangkah!
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Ayo, kenapa berhenti galaknya?" tanyanya mengejek.
Karena sampai saat ini Anggini masih memegang ujung yang lain dari selendangnya
maka dengan cepat dia dapat membukanya kembali. Paras gadis ini merah sekali.
Matanya menyorot memandang kepada Wiro Sableng, sebaliknya Pendekar 212 dengan ceriwis
mengedip-ngedipkan matanya!
"Senjata apa lagi yang bakal kau keluarkan"!" tanya Wiro.
"Lepaskan selendangku!" teriak Anggini.
Wiro hanya tertawa.
"Lepaskan!" teriak gadis itu lagi. Dicobanya menyentakkan selendang itu tapi
Wiro memegangnya erat sekali. Kalau ditariknya keras pasti selendang kain itu akan
robek. Kesal dan
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
gemas akhirnya dengan menghentakkan kaki Anggini lepaskan selendangnya, putar
tubuh dan lari ke balik sebuah batu besar. Di sini menangislah gadis itu.
"Heh... kenapa jadi nangis?" tanya Wiro ketika dia melangkah dan datang di balik
batu besar. Pemuda ini jadi garuk-garuk kepala. Lalu katanya: "Saudari, lihat, hari
sudah senja. Sebaliknya kau kembalilah ke tempat gurumu! Kalau tidak pasti kau akan sesat di
malam yang gelap nanti!"
"Aku tak mau kembali! Tak bisa kembali ke pertapaan!" jawab Anggini di antara
tangis sesungguhnya. "Kenapa tak mau" Kenapa tak bisa?"
"Guruku akan marah!"
"Marah kenapa?" tanya Wiro tagi.
"Sudah... sudah! Kau tidak tahu!" Dan tangis Anggini semakin mengeras.
"Lalu kalau kau tak mau kembali ke tempat gurumu, apa kau bakal nginap di
sini"!"
"Tak usah perdulikan aku! Biar aku mau malang mau melintang tak usah ambil
pusing! Pergi dari sini kau...!" Anggini menyeka mata dan pipinya.
"Tak perlu bicara keras macam begitu, Saudari. Antara kita tak ada permusuhan.
Ini semua adalah gara-gara gurumu yang berotak sinting itu!"
"Jangan hinakan guruku!" hardik Anggini.
"Kau seorang murid yang baik. Patuh terhadap guru dan juga hormati Tapi sayang
kau juga turut-turutan bertindak tidak pakai pikiran sehat. Sekarang sudah,
kembalilah ke pertapaan
gurumu sebelum hari menjadi malam..."
"Tidak!"
Wiro Sableng melangkah ke belakang Anggini. Kasihan-kasihan lucu dia merasa saat
itu. Akhirnya pemuda ini berkata juga: "Ini selendangmu. Kalau kau banyak
berlatih pasti kau
menjadi seorang gadis yang hebat...."
Wiro lantas menyampirkan selendang ungu itu di pundak si gadis. Ketika dia
meman- dang ke langit dilihatnya bintang-bintang sudah bermunculan dan bulan sabit
kelihatan samarsamar di balik awan. "Sudah malam...." desis pemuda ini. Kemudian dia memandang
pada gadis yang berdiri di depannya dengan membelakang itu. "Pergilah cepat, saudari.
Nanti kau kemalaman di jalan...."
Anggini gelengkan kepala. "Guruku akan marah... akan marah kalau aku kembali....
" "Kalau begitu ya tak usah kembali saja..." ujar Wiro Sableng.
"Aku memang tak bakal kembali..." kata Anggini pula.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Hem... dan kau mau pergi ke mana?"
"Apa urusanmu tanya-tanya?"
"Ah..." Wiro tertawa. Dia melangkah ke hadapan si gadis. Kemudian dipegangnya
pundak Anggini. Si gadis dengan serta merta hendak menyibakkan tangan itu. Tapi
tubuhnya sudah keburu dijalari perasaan aneh yang menggelora-gelora sampai ke lubuk
hatinya. Tak kuasa dia menyibakkan pegangan tangan pada bahu itu.
"Saudari, dengarlah..." kata Wiro pula. Tangannya masih memegang bahu si gadis
malahan meremas-remasnya dengan lembut. "Dalam hubungan guru dan murid walau
bagaimana pun kau musti kembali ke pertapaan. Kau tak boleh tempuh jalan
sehdiri. Kalau kau
tak kembali malah gurumu akan marah sekali. Kau pasti akan dihukumnya!"
"Tapi bagaimana aku mungkin bisa kembali" Tidak bisa saudara.., kau tidak
tahu...." "Apa yang aku tidak tahu?" tanya Wiro.
Tak mungkin bagi Anggini untuk mengatakannya dengan terus terang. Namun
terluncur juga ucapan dari mulutnya: "Kalau aku musti kembali kata guruku... aku
harus bersamamu..."
Wiro tertawa. Suara tertawanya menggema di daerah sepi dingin di permulaan malam
itu. "Saudari... namamu siapa?" bertanya Wiro Sableng. Dan karena tadi gadis itu diam
saja diremas bahunya maka tangan Wiro kini meluncur ke pipi, membelai pipi yang
masih belum kering dengan air mata itu. Rasa yang menyentak-nyentak mendebarkan dada
si gadis kini tambah keras dari tadi. Lagi-lagi tak kuasa dia menyibakkan tangan yang
membelai-belai itu. Ditundukkannya kepalanya.
"Siapa namamu, saudari...?" tanya Wiro lagi.
"Anggini," jawab si gadis perlahan.
"Nama bagus... nama bagus," puji Pendekar 212 dan tangannya semakin berani
membelai muka Anggini. "Dengar Anggini, orang tua macam gurumu itu memang suka
bicara ngelantur. Sekarang kau kembali saja ke pertapaannya dan katakan bahwa kau tak
berhasil mengejar atau menemui aku. Habis perkara. Atau kalau tidak katakan saja kau
telah menemuiku
dalam keadaan tak bernyawa mati di jurang Sranggreng!"
"Aku tak bisa berdusta... kalau aku berdusta dia selalu mengetahuinya!" kata
Anggini pula. "Wah berabe kalau begini!" ujar Pendekar 212 dengan garuk-garuk kepala. Dia
berpikir-pikir apa yang akan diperbuatnya. Kalau ditinggalkannya gadis itu
sendirian di situ, tak
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
tega pula hatinya. Pemuda ini hela nafas panjang. Akhirnya diajaknya gadis itu
duduk di sebuah
batu datar. Daerah belantara di mana mereka berada saat itu serba asing baginya.
Mungkin sampai ratusan tombak bahkan ribuan tombak perjalanan belum menemui rumah
penduduk. Apakah dia dan gadis itu terpaksa tinggal terus di tempat itu malam ini"
Angin bertiup dari celah-celah batu-batu yang meruncing memenuhi tempat itu.
"Dingin...?" bisik Pendekar 212.
Anggini mengangguk. Dan tangan kiri Pendekar 212 bergerak di balik punggung si
gadis untuk kemudian merangkul bahu Anggini. Suasana berubah hangat. Dan untuk beberapa
lamanya mereka tiada bicara.
Wiro memecah kesunyian. "Kalau kau tak mau kembali ke pertapaan dan aku tak bisa
pula meninggalkan kau sendirian maka kita terpaksa bermalam di sini. Tunggulah
sebentar aku akan cari tempat yang baik...."
"Nanti sajalah.... " kata Anggini. Diletakkannya tangan kanannya di paha
Pendekar 212 dan dia memandang ke angkasa.
Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Langit cerah," kata Wiro. "Kalau nanti turun hujan, memang. kita yang
sialan.... !"
Anggini tertawa. Manis sekali tertawa itu. Hati Pendekar 212 sejuk sekali
jadinya. Dan diperketatnya rangkulannya. Kemudian dengan beraninya pendekar ini menggelitiki
tengkuk si gadis dengan hidungnya.
"Jangan begitu ah...." kata Anggini menggeliat kegelian. Tapi tubuh dan
tengkuknya tidak dijauhkannya.
Malam itu Wiro Sableng sengaja tidak membuat, perapian. Dia khawatir kalau-kalau
nyala api hanya akan mengundang datangnya hal-hal yang tidak diingini. Apalagi
kalau yang datang itu adalah Dewa Tuak adanya. Meskipun dingin, meskipun mereka hanya
terbaring di balik batu besar hitam itu dan beratapkan langit luas namun tubuh mereka yang
berada berdekatan itu saling memberi kehangatan. Pendekar 212 ingat pada suatu malam
ketika dia berada berdua-duaan di sebuah dangau di tengah sawah dengan Nilamsuri. Malam ini
tak ada bedanya dengan malam yang dulu itu. Sama-sama ada seorang gadis di sampingnya.
Tapi terhadap Anggini, Pendekar 212 masih punya pikiran panjang dan sehat: Meski saat
itu Anggini sudah berbaring pasrahkan seluruh tubuhnya untuknya dan memang sudah
hampir setiap bagian dari tubuh Anggini disentuh oteh Pendekar 212, namun untuk berbuat
lebih jauh dari itu pemuda ini tidak mau. Tubuh perawan itu laksana bara hangatnya,
tangannya menggapai punggung Wiro dan pahanya melejang-lejang halus. Tapi Pendekar 212
hanya Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
merangkuli tubuh itu, hanya mengecupi bibirnya yang basah, hanya menciumi
matanya yang sayu kuyu tapi menyembunyikan hasrat yang meluap itu.
* * * Sinar matahari yang menyapu mukanya membuat gadis ini terbangun dari kenyenyakan
tidurnya. Dibukanya kedua matanya dengan pelahan, digosoknya beberapa kali
kemudian dipalingkannya kepalanya ke samping. Dia terkejut mendapatkan pemuda itu tak ada
di sampingnya, la segera bangun duduk, lalu berdiri dan memandang ke belakang. Tapi
pemuda itu tidak kelihatan.
"Wiro," panggilnya.
Tak ada yang menyahut.
"Wiro.... !" panggilnya sekali lagi lebih keras. Hanya gaung suaranya yang
menjawab. Tiba-tiba ketika matanya memandang ke batu besar di samping pembaringan di mana
dia dan Wiro tidur semalam terbentur olehnya tulisan. Tulisan.
Anggini Maafkan kalau aku pergi tanpa pamit. Aku terpaksa
meninggalkan kau. Kalau ada umur kita pasti bertemu lagi.
Kembalilah ke tempat gurumu. Terima kasih untuk segala-galanya
malam tadi. 212 Anggini merasakan dadanya menyesak. Digigit-gigitnya bibirnya. Nyatanya pemuda
itu sudah pergi. Tubuhnya masih terasa hangat oleh pelukan Wiro malam tadi. Seperti
masih terasa jari-jari tangan pemuda itu mengelusi kulit tubuhnya. Juga kecupan-kecupan yang
disertai gigitan-gigitan kecil.
Terima kasih untuk segala-galanya malam tadi
Anggini membaca lagi tulisan itu. Termangu dia. Diputarnya tubuhnya, parasnya ke
kemerahan, ditambah lagi sentuhan sinar matahari pagi. Tak mungkin baginya untuk
mengejar pemuda itu kembali. Dia tak tahu apakah Wiro pergi larut malam tadi atau
dinihari, atau pagi
tadi sebelum dia bangun. Gadis ini tarik nafas panjang dan dalam. Ketika dia
membetulkan ikatan selendang ungunya yang di pinggang, maka pada ujung selendang itu
dilihatnya Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
sederetan angka: 212. Sekali lagi gadis ini tarik nafas dalam dan panjang. Lalu
dengan langkah gontai ditinggalkannya tempat itu.
-- == 0O0 == -TUJUH Kerajaan Pajajaran... Pada masa itu Kerajaan Pajajaran masih belum luas
pengaruhnya di Jawa Barat. Bahkan dengan kesultanan Banten di pantai Utara masih terdapat
hubungan baik, belum ada silang sengketa. Di bawah pemerintahan Prabu Kamandaka maka Kerajaan
Pajajaran aman tenteram. Penduduk hidup berkecukupan.
Tapi di dunia ini selalu saja ada manusia yang berbusuk hati, yang iri dan
dengki. Yang tidak senang dengan kebahagiaan orang lain, yang tidak suka dengan keberuntungan
orang lain, yang tidak suka akan kekuasaan orang lain dan ingin meruntuhkan kekuasaan orang
lain itu lalu ganti menguasainya!
Saat itu satu-satunya manusia di seiuruh Pajajaran yang paling membenci Prabu
Kamandaka ialah Werku Alit. Dalam tambo keturunan raja-raja Pajajaran maka Prabu
Purnawijaya adalah satu-satunya raja pajajaran yang tidak mempunyai keturunan
kandung dari permaisurinya. Mungkin ini sudah menjadi takdir Dewa-dewa di Kahyangan, dan ini
jugalah yang menjadi pangkal sebab buntut daripada terjadinya banjir darah di Pajajaran.
Ketika Prabu Purnawijaya mangkat maka tokoh-tokoh istana, ahli-ahli agama dan
orang- orang tua kerajaan menyepakati untuk menobatkan Kamandaka, adik kandung Prabu
Purnawijaya, menjadi raja Pajajaran. Kamandaka memang seorang yang bijaksana,
pandai serta berilmu tinggi, disegani dan dihormati. Memang dia telah menunjukkan bakat untuk
menjadi seorang pemimpin agung. Lagi pula memang tak ada manusia lain di Pajajaran saat
itu yang punya hak dan pantas untuk dinobatkan sebagai pengganti mendiang Prabu
Purnawijaya. Dari seorang selirnya, Prabu Purnawijaya mempunyai seorang anak yang bernama
Werku Alit. Werku Alit ini tua beberapa bulan dari Kamandaka. Ketika masih orok
keduanya sama-sama disusukan pada seorang perempuan penyusu istana sehingga boleh
dikatakan antara
Werku Alit dan Kamandaka terjalin sudah satu pautan tali persaudaraan!
Namun ketika Kamandaka dinobatkan sebagai Prabu Pajajaran timbullah dengki di
hati Werku Alit. Bukankah Kamandaka hanya adik Prabu Purnawijaya; bukan anak
kandungnya"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Dan bukankah dia sebagai anak dari Prabu Purnawijaya, lebih mempunyai hak untuk
memegang tahta kerajaan" Werku Alit dalam dengkinya, apalagi sesudah kena hasutan oleh
golongan- gdongan tertentu yang memang tidak suka pada Kamandaka, lupa bahwa dirinya
hanyalah seorang anak yang dilahirkan dari selir Prabu Pumawijaya, yang sama sekali tidak
punya hak untuk menjadi raja Pajajaran.
Demikianlah, secara diam-diam Werku Alit meMnggalkan istana Pajajaran,
mengembara menuntut ilmu dan menghubungi beberapa orang tertentu. Ketika dia kembali ke
istana maka saat itu dia sudah menyusun suatu rencana besar. Yaitu untuk merebut takhta
kerajaan dengan
jalan kekerasan! Dengan pertempuran, dengan peperangan! Dalam pengembaraan
itulah Werku Alit bertemu dengan Suranyali atau Mahesa Birawa. Tahu bahwa Mahesa Birawa
seorang manusia sakti luar biasa maka Werku Alit mengambilnya sebagai tangan kanan
dengan perjanjian bila kerajaan berhasil digulingkan maka Mahesa Birawa akan dijadikan
Perdana Menteri! Dalam menjadi tangan kanan membantu rencana busuk Werku Alit. Mahesa Birawa
mempunyai rencana sendiri, rencana dalam selimut. Jika kerajaan jatuh dan Werku
Alit menang, maka Mahesa dan kawan-kawannya akan menyingkirkan Werku Alit untuk kemudian dia
sendiri yang akan menampilkan diri menduduki tahta kerajaan Pajajaran
* * * Di hutan belantara di sekitar kaki Gunung Halimun kelihatan bertebaran ratusan
buah kemah. Inilah pusat balatentara pemberontak yang hendak merebut tahta kerajaan
Pajajaran di bawah pimpinan Werku Alit. Sementara Werku Alit kembali ke Pajajaran maka
pimpinan dipegang langsung oleh tangan kanannya yaitu Mahesa Birawa. Di sini berhimpun
sekitar seribu prajurit. Kebanyakan dari pasukan-pasukan ini didapat Werku Alit dan Mahesa
Birawa dari Adipati-adipati kecil yang bernaung di bawah Pajajaran tapi yang kena
dipengaruhi dan dihasut
oleh kedua orang itu. Bahkan saat itu Mahesa Birawa masih menunggu beberapa
orang Adipati lagi yang telah dihubunginya.
Jika Adipati-adipati ini datang dan menyerahkan beberapa ratus prajurit tambahan
maka dapatlah diatur kapan dilaksanakan penyerangan terhadap Pajajaran. Sementara
waktu menunggu maka semua prajurit senantiasa dilatih perang-perangan. Para kepala-kepala
pasukan diberi tambahan ilmu silat dan kesaktian yang lumayan oleh Mahesa Birawa sedang para
Adipati yang Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
saat itu sudah bergabung Mahesa Birawa menurunkan beberapa ilmu kesaktiannya.
Mahesa merasa sangat menyesal sekali ketika mendapat kabar bahwa tiga orang anak
buahnya yang; diam di Jatiwalu telah menemui ajal akibat bentrokan dengan anak-anak murid
Perguruan Gua Sanggreng sedang Kalingundii hilang lenyap tak tentu rimbanya. Kalau saja
keempat manusia itu
ada di sana tentu tak usah payah-payah dia menggembleng kepala-kepala pasukan
dan Adipati- adipati itu. Tapi tak apa payah sedikit. Nanti dia akan memetik hasilnya
sendiri! Di dalam kemah besar yang terletak di tengah-tengah ratusan kemah di kaki Gunung
Halimun itu, mengelilingi sebuah meja bulat telur maka duduklah empat orang
laki-laki. Yang
pertama tak lain dari Mahesa Birawa, kumis melintang dan badan semakin gemuk.
Yang kedua Adipati Karangtretes yaitu Jakaluwing, bercambang bawuk lebat, potongan tubuhnya
tegap kekar. Yang ketiga, yang duduk di samping kiri Mahesa Birawa ialah seorang
berbadan tinggi
kurus bermuka licin bernama Surablabak. Dia adalah Adipati Manganreja. Yang
terakhir seorang
laki-laki berbadan gemuk pendek, berkepala sulah. Sinar lampu dalam kemah
membuat kepalanya itu berkilat seperti bersinar-sinar. Manusia ini bernama Lanabelong,
Adipati Kendil.
Di atas meja, di hadapan keempatnya terletak masing-masing segelas tuak murni
dan harum. Ketiga Adipati itu telah kena dihasut oleh Mahesa Birawa dan Werku Alit untuk
memberontak terhadap Pajajaran dan kepada mereka dijanjikan kedudukan sebagai Menteri
kerajaan bila pemberontakan mereka berhasil kelak.
"Silahkan diteguk tuaknya, saudara-saudara Adipati," kata Mahesa Birawa pula
sesudah keheningan mengungkungi kemah itu beberapa lamanya. Masing-masing kemudian
meneguk tuak yang enak itu. Di malam yang dingin minum tuak memang enak menghangatkan
tubuh. Jakaluwing raba cambang bawuknya. Lalu bertanya:'"Kapan kira-kira saatnya kita
akan menggempur Pajajaran, adimas Mahesa Birawa?"
"Soal penggempuran itu kangmas Jakaluwing, sebenarnya saat ini pun kita sudah
sanggup melakukannya. Jumlah prajurit cukup, tenaga pimpinan, rata-rata sudah
berpengalaman dan dapat diandalkan. Cuma kita tak enak kalau meninggalkan saudara-saudara
Warok Gluduk dan Tapak Ireng. Kedua Adipati itu telah berjanji akan bergabung dengan kita
bersama beberapa
ratus prajurit-prajurit mereka. Ada baiknya jika kita tunggu kedatangan mereka.
Sesudah itu baru
kita hubungi Raden Werku Alit untuk menentukan kapan saat yang baik untuk
penyerangan...."
Adipati Jakaluwing manggut-manggut.
"Begitu memang bagus," kata Lanabelong. Adipati berkepala sulah. Lalu diteguknya
tuaknya. Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Di samping itu, mengingat bahwa di Pajajaran tentunya terdapat tokoh-tokoh
pelindung yang berilmu tinggi maka kita musti tidak pula menyia-nyiakan bantuan yang
Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hendak diberikan
oleh Begawan Sitaraga yang diam di puncak Gunung Halimun!"
"Ah, hebat sekali kalau Begawan yang tersohor ini ikut di pihak kita!" kata
Surablabak sambil pukul meja.
"Sebenarnya," kata Mahesa Birawarpula. "Begawan Sitaraga ini mempunyai dendam
kesumat yang masih belum terbalaskan terhadap toa Pajajaran yaitu kakek dari
Kamandaka...."
"Kalau Begawan ini setingkat umurnya dengan kakek Kamandaka, tentu kini kirakira sudah seratusan usianya..." kata Lanabelong.
"Kira-kira begitutah," sahut Mahesa Birawa. Kemudian laki-laki ini berseru
memanggil pelayan untuk menyuruh tambah tuak di keempat gelas itu.
Sesudah pelayan pergi Mahesa Birawa buka mulut kembali. "Besok aku akan kirimkan
dua orang kurir ke Pajajaran untuk menemui Raden Werku Alit. Kuminta kepadanya
untuk menyebar mata-mata lebih banyak, terutama di dalam istana guna mengetahui
perkembangan terakhir, terutama mencari kabar selentingan apakah gerakan kita ini bocor atau
tidak.... "
"Dan jangan lupa pula untuk meneliti pertahanan Pajajaran di mana yang lemah,"
kata Lanabelong. Mahesa Birawa mengangguk. "Saudara-saudara Adipati, agaknya pertemuan kita malam
ini cukup. Sampai besok pagi."
Keempat orang itu saling menjura kemudian satu demi satu meninggalkan kemah
besar khusus untuk tempat perundingan, menuju ke kemah masing-masing.
-- == 0O0 == -DELAPAN Laki-laki itu berjalan di liku-liku lorong bagian belakang istana dengan
menundukkan kepala. Sekali-sekali dilewatinya para pengawal. Pengawal-pengawal istana tidak
menegur atau menahan laki-laki ini karena semuanya tahu bahwa laki-laki itu adalah Udayana,
pembantu Prabu Kamandaka. Segala urusan rumah tangga sang Prabu dialah yang mengurusnya.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
Di pintu besar gedung istana sebelah belakang laki-laki ini berhenti sebentar
lalu menyeberangi halaman kecil dan masuk ke pintu sebuah bangunan kecil yang bagus
bentuknya. Justru di sini dua orang pengawal memalangkan tombak menghentikannya.
"Aku mau ketemu Raden Werku Alit," kata Udayana.
"Ada keperluan apa?" tanya salah seorang pengawal.
"Beliau sudah tahu."
"Tunggu di sini," Pengawal itu masuk yang seorang tetap di tempatnya.
Tak lama kemudian pengawal yang masuk muncul kembali. "Kau dipersilahkan
menghadap." katanya memberi tahu.
Udayana mengangguk dan memasuki pintu gedung.
Di dalam sebuah kamar yang luas, Werku Alit menyambut kedatangannya. Ditepuktepuknya bahu Udayana. "Bagaimana" Ada perkembangan baru...?" Werku Alit
berbadan tinggi
langsing dan me-melihara kumis panjang menjulai seperti tali, seperti raja-raja
Tiongkok! "Perkembangan baru belum ada Raden.... Cuma ada satu berita. Mungkin sedikit
banyak nya ada perlunya juga saya sampaikan kepada Raden..."
"Bagus, katakanlah Udayana...."
"Rara Murni adik Kamandaka siang besok akan berangkat ke Kalijaga untuk
menyambangi adik neneknya. Dia akan pergi dengan kereta dan dikawal
secukupnya.... "
"Hem...." Werku Alit menggumam dan mengusut-usut kumis talinya. "Aku belum
melihat adanya hubungan keteranganmu ini dengan rencanaku. Tapi tunggu sebentar,
coba kupikir...." Tangan yang tadi mengusut kumis ini memijit-mijit kening. Dan
tangan itu tiba-tiba
menepuk bahu Udayana sampai laki-laki ini terkejut. "Aku telah melihat kegunaan
keteranganmu ini Udayana. Suruh seorang mata-mata kita menghubungi Kalasrenggi.
Katakan bahwa aku akan bicara dengan dia malam ini di pondok tua di luar tembok
kerajaan."
Udaya menjura. "Perintah Raden akan saya jalankan," katanya lalu cepat-cepat meninggalkan kamar
itu. * * * Seluruh balatentara kerajaan Pajajaran dibagi atas lima kelompok pasukan dan
tiap-tiap pasukan dibagi dual masing-masing bagian dikepalai oleh seorang yang disebut
kepala prajurit,
Kalasrenggi adalah salah seorang dari kepala pasukan balatentara Pajajaran.
Sebagai kepala Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
pasukan tentu saja dia memiliki ilmu dan pengalaman yang dapat diandalkan. Dan
memang banyak orang yang mengatakan bahwa diantara lima kepala pasukan Pajajaran maka
Kalasrenggi adalah yang paling tinggi ilmunya. Tapi sayang kepala pasukan ini, telah pula
terseret ke dalam
rencana busuk Werku Alit dan Mahesa Birawa. Telah kena bujuk dan dihasut untuk
memberontak dan menggulingkan pemerintahan Prabu Kamandaka!
Siang tadi seorang suruhan Raden Werku Alit telah menemui Kalasrenggi dan
menyampaikan pesan bahwa Werku Alit akan bicara dengan dia malam ini di pondok
tua di luar tembok kerajaan. Maka malamnya dengan seorang diri berangkatlah Kalasrenggi ke
ternpat yang ditentukan itu. Dia sampai ke pondok tua itu. Sebenarnya tak pantas disebut
pondok karena sama
sekali bangunan tua itu tiada mempunyai dinding dan atapnya pun sudah sebagian
melompong dimakan umur. Pondok atau lebih tepat teratak itu sunyi saja. Tak seorang pun
kelihatan di sana.
Kalasrenggi berpikir tentu Raden Werku Alit belum sampai ke sana, maka dia pun
menunggulah. Dinyalakannya sebatang rokok. Dia memandang ke angkasa. Langit kelihatan
mendung. Bintang-bintang mulai tertutup awan. Bulan menghilang dan angin bertambah besar
serta dingin. Dia tak sabaran menunggu. Rokok yang dihisapnya sudah hampir habis. Berbarengan
ketika rokok itu dibuangnya ke tanah maka dipengkolan muncul tiga sosok bayangan. Dua
dari sosok bayangan itu berhenti sedang yang satu terus melangkah ke arah teratak itu.
"Sudah lama kau...?" bertanya orang yang datang ini yang tak lain dari Werku
Alit adanya. "Sudah juga," sahut Kalasrenggi. "Raden mau bicara apa dengan saya?"
Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun. Angin tambah kencang. "Ada tugas
buatmu besok Kalasrenggi," kata Werku Alit.
"Tugas apakah, Raden?"
Hujan rintik-rintik berubah menjadi lebat. Guruh menggelegar. Kilat menyambar.
Sesosok bayangan putih dibawah penerangan kilat yang hanya sedetik saja
terangnya, kelihatan
berlari sangat cepat menuju teratak tua itu. Werku Alit dan Kalasrenggi terkejut
sekali dan tangan-tangan mereka segera meraba hulu senjata di pinggang masing-masing!
"Hujan sialan!" Terdengar orang yang baru datang ini merutuk. Kemudian dia
berpaling pada Werku Alit dan Kalasrenggi dan berkata: "Saudara-saudara, aku numpang
mondok sama- sama kalian."
Werku Alit dan Kalasrenggi memandang tajam pada laki-laki yang baru datang ini.
Dia masih muda, berbadan kekar dan berambut gondrong. Kedatangannya mau tidak mau
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
mencurigakan kedua orang itu meski ada alasan bahwa dia datang ke sana untuk
berteduh karena
hari hujan lebat.
"Kau siapa"!" tanya Kalasrenggi membentak garang. Pandangannya buas sekali.
Tangan kirinya menyelinap ke pinggang.
Laki-laki muda yang dibentak memandang dengan keheran-heranan. "Memangnya apa
aku tidak boleh mondok di sini, Saudara"!"
"Aku tanya kau siapa dan jangan banyak tanya!" hardik Kalasrenggi.
Pemuda itu bersiul dan menyeringai. "Tak usahlah bicara pakai membentak segala.
Urusan kecil kalau dipersoalkan dengan kasar bisa menimbulkan gara-gara yang
tidak diingini!"
Kalasrenggi dengan tidak sabar melangkah ke hadapan pemuda itu dan hendak
menempelaknya. Tapi langkahnya dihentfkan ketika dalam kegelapan dan masih
sempat rnelihat
isyarat yang diberikan oleh Werku Alit. Werku Alit tak ingin terjadi keributan
yang buntut- buntutnya bisa membocorkan rencana besamya. Karena itu dengan terancam dia
melangkah mendekati pemuda itu.
"Saudara," kata Werku Alit sambil memegang bahu si pemuda. "Harap maafkan.
Kawanku memang lagi kasar berangasan habis kalah judi! Sudahlah, tak ada yang
harus kita ributkan di malam buta begini, mana hujan, mana dingin. Bukankah begitu...?"
"Ah... tepat sekali saudara...." jawab si pemuda. Werku Alit tersenyum. Tibatiba laksana kilat cepatnya, dua jari tangan kirinya menusuk ke muka menghantam urat besar di
bagian kiri tubuh si pemuda. Tak ampun lagi pemuda itu rebah ke tanah. Sebagian kakinya
terjulur lewat atap dan segera diguyur oleh air hujan!
Werku Alit tertawa mengekeh. "Pemuda konyol mau banyak tingkah!"
"Tapi siapa tahu dia bukan pemuda biasa. Raden. Mungkin mata-mata...."
"Ah, tampangnya saja geblek, dogol, bagaimana bisa jadi mata-mata" Buktinya
sekali totok saja sudah rubuh!"
Kalasrenggi memandang sosok tubuh yang menggeletak menelungkup itu. Dia
bermaksud untuk menggeledah pemuda itu namun didengarnya Werku Alit berkata:
"Sudah, tak perlu perdulikan kunyuk itu! Mad kita muiai pembicaraan. Menurut
keterangan pembantu rahasiaku, besok siang Rara Murni akan berangkat dengan
kereta ke Kalijaga. Tugasmu culik gadis itu, sekap di kuil tua di lembah Limanaluk. Bila
sudah beri laporan sama aku biar aku tentukan langkah selanjutnya!"
"Itu tugas mudah, Raden," kata Kalasrenggi. "Tapi saya ingin tahu siapa-siapa
saja yang ikut dengan Rara Murni...?"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Aku tak mendapat keterangan tentang hal itu. Yang penting kau harus tangkap
Rara Murni hidup-hidup. Yang lainnya kalau melawan bereskan saja, habis perkara!"
"Baiklah Raden. Sebelum malam tiba besok, saya akan mengirimkan seseorang untuk
memberitahukan bahwa tugas sudah selesai...."
Werku Alit menepuk bahu kepala pasukan itu. "Nah, aku pergi sekarang!"
Kalasrenggi memperhatikan sampai ketiga orang itu lenyap di kejauhan dalam
kegelapan malam. Kemudian laki-laki ini memutar tubuh dan kembali matanya memandangi
manusia yang menelungkup di bawah teratak itu. Dia membungkuk hendak menggeledah, meneruskan
niatnya yang tadi batal, tapi kemudian terpikir olehnya, perlu apa susah-susah dengan
diri orang lain.
Dengan seenaknya Kalasrenggi menendang tubuh laki-laki yang menggeletak itu
sehingga tubuh itu terlontar sampai beberapa tombak! Kalasrenggi kemudian berlalu pula dari
teratak tua itu.
-- == 0O0 == -SEMBILAN Hanya beberapa ketika saja Kalasrenggi meninggalkan teratak tua itu maka orang
yang tadi ditotok dan ditendang anehnya tiba-tiba berdiri dengan cepat. Dia melangkah
kembali ke bawah teratak. Disekanya mukanya yang basah oleh air hujan dan berselomotan
lumpur. Diperhatikannya pakaiannya, kotor semua. Ditepuk-tepuknya pinggul kirinya yang
tadi bekas kena ditendang Kalasrenggi.
"Sialan betul! Sakit juga tendangan kunyuk itu!" makinya seorang diri. "Di lain
hari aku akan balas keramah tamahannya tadi!"
Sesungguhnya sewaktu Werku Alit menotoknya tadi, orang ini sudah dapat menduga
gerakan dan maksud Werku Alit. Sebelum totokan datang cepat-cepat bagian tubuh
di samping kiri dialirkan dengan tenaga dalam. Kemudian ketika totokan Werku Alit mendarat
di tubuhnya, taki-laki ini pura-pura jatuh tak sadarkan diri. Demikian juga ketika
Kalasrenggi menendangnya,
dia dalam meneiungkup pura-pura pingsan masih sempat melihat gerakan kaki orang
itu dan bersiap menjaga diri sehingga waktu ditendang tubuhnya hanya terasa pegal-pegal
sedikit! Dan apa yang telah dibicarakan kedua orang itu dapat didengarnya dengan jelas.
Orang ini duduk bergelung lutut dan berpikir-pikir. Siapakah gerangan kedua
orang tadi"
Siapa yang dipanggil dengan sebutan "raden" dan siapa yang satu lagi" Mengapa
mereka bicara Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
di tempat terpencil dan di malam hari berudara buruk seperti ini" Dan tugas yang
diberikan oleh orang yang dipangglkan "raden" itu" Siapakah Rara Murni" Apakah keduanya bukan
gerombolan-gerombolan rampok pengacau" Yang hendak menculik Rara Mumi kemudian
melakukan pemerasan terhadap orang tua gadis itu"
Orang itu usut-usut dagunya. Banyak yang tak dimengertinya atas apa yang telah
Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dialaminya tadi. Tapi esok bila hari sudah siang dia bisa mencari keterangan di
Kotaraja. Sejak pagi sampai saat itu sudah beberapa jam dia mengelilingi Kotaraja.
Berbagai tempat dan pelosok didatanginya. Namun tampang-tampang manusia yang dua orang
yang ditemuinya malam tadi tak berhasil dicarinya. Akhimya masuklah dia ke dalam
sebuah kedai. Memang saat itu tenggorokannya sudah seperti terbakar oleh rasa haus dan
perutnya perih keroncongan. Sambil makan dia terus juga berpikir-pikir. Rasanya tak mungkin kedua orang yang
semalam itu gerombolan-gerombolan rampok. Seorang rampok tak akan dipanggil
"raden". Pasti
yang dipanggil "raden" itu seorang bangsawan kaya. Lalu kenapa bangsawan kaya
mau menculik gadis orang" Mungkin pernah melamar tapi tak diterima"
Dia menyudahi makanannya. Ketika dia memandang berkeliling ternyata kedai itu
sudah penuh dengan tamu-tamu yang makan siang. Dengan perut kenyang dia kemudian
melangkah mendekati pemilik kedai. Ditanyakannya berapa jumlah yang harus dibayarkannya
lalu diberikannya sejumiah uang.
"lni kembalinya, Nak," kata orang kedai. Dia sudah tua. Rambutnya sudah putih
semua. "Ah, tak usah. Ambil saja...." kata pemuda.
Si orang tua jadi keheranan. Demikian juga beberapa orang yang duduk di dekat
sana. Pemuda yang berambut gondrong, berpakaian lusuh serta bertampang keren tapi
macam anak- anak itu berlagak seperti seorang kaya raya yang punya banyak uang, sok tak mau
terima uang kembalian! Tapi perhatian orang hanya sebentar tertuju kepada si pemuda. Masingmasing kemudian sibuk mengurusi mulut dan perutnya sendiri.
Si pemuda mendekati pemilik kedai dan berkata pelahan: "Uang yang kulebihkan itu
untuk membayar beberapa keterangan darimu, Bapak," katanya.
"Keterangan?" Si orang tua kerenyitkan kening. "Keterangan apa...?"
"Bapak sudah lama tinggal di Kotaraja ini?"
"Dari masih orok sampai punya buyut!" jawab pemilik kedai pula. Hatinya masih
bertanya-tanya dan heran. "Kenapa anak tanya begitu?"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Oh tak apa-apa.... Mungkin bapak kenal dengan seorang perempuan bernama Rara
Murni?" Pertanyaan ini membuat si orang tua lebih heran. "Semua orang di Pakuan
ini tahu siapa Rara Murni," katanya.
"Oh pantas.. pantas... Rara Murni yang kau tanyakan itu adalah adik Sang Prabu
Kamandaka!" Tentu saja si pemuda mendengar ini jadi kaget sekali. Siapa sangka
kalau Rara Murni adik dari raja Pajajaran"! Namun dengan pandainya dia menyembunyikan
kekagetannya itu. Kemudian terdengar suara orang kedai bertanya.
"Anak muda, ada maksud apakah kau bertanyakan adik Sang Prabu itu...?"
"Oh tidak apa-apa. Tidak apa-apa...."
"Kalau kau bermaksud buruk ketahuilah bahwa di Kotaraja ini banyak sekali
hulubalang- hulubalang Sang Prabu yang bertelinga tajam!"
Si pemuda sunggingkan senyum.
"Kau terlalu bercuriga terhadapku, orang tua. Aku hanya seorang pemuda desa yang
mendengar kabar disampaikan dari mulut ke mulut bahwa Rara Murni adalah seorang
yang cantik jelita. Biasa bukan laki-laki tanya perempuan...?" Pemuda ini kemudian
tertawa geli. Namun tawa gelinya itu diputuskan oleh suara bentakan dari arah pintu.
"Manusia yang berani bicara seenaknya tentang adik Sang Prabu coba putar tubuh!
Aku mau lihat tampangnya!"
.Suara itu keras dan garang.
Si pemuda melihat bagaimana orang tua di hadapannya menjadi gemetar ketakutan.
"Aku sudah bilang apa... aku sudah bilang apa..." katanya berulang kali.
Pemuda itu dengan perlahan memutar tubuh. Di pintu dilihatnya berdiri seorang
prajurit berhadapan tegap bersenjata tombak.
"Bagus! Tampangmu memang mirip kunyuk. Jadi cukup pantas untuk pengisi
kerangkeng istana!" Prajurit ini melambaikan tangannya. Dua orang prajurit lagi
muncul di ambang pintu. "Tangkap pemuda rambut gondrong itu! Dia telah menghina adik Sang
Prabu!" Dengan tombak terhunus kedua prajurit itu melangkah ke hadapan pemuda rambut
gondrong. "Sebentar saudara... sebentar!" kata si pemuda sambil pentangkan kedua
telapak tangannya ke muka. Selarik sinar halus berhembus ke arah jalan darah kedua
prajurit itu. Dan
semua mata dalam kedai yang tak tahu menahu ha1 itu hanya menyaksikan bahwa
kedua prajurit itu hentikan langkah karena memenuhi permintaan si pemuda. Padahal dua prajurit
itu sudah kena ditotok dari jarak jauh dan berdiri kaku tak bisa bergerak tak bisa bicara!
"Sebentar, aku
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
mau bicara dulu!" kata pemuda rambut gondrong kini pada prajurit yang di pintu.
"Bicara apa"!
Lekas" Katakan!"
Seekor lalat terbang dan hinggap di lengan kiri si rambut gondrong.
"Ah lalat ini! Mengganggu aku yang hendak bicara!" kata si rambut gondrong.
Dengan jari-jari tangan kanannya disentilnya lalat itu. Namun tujuan sebenarnya bukan
binatang itu. Sang
lalat memang terpental mati dengan tubuh hancur tapi angin sentilan terus
menotok jalan darah
prajurit yang berdiri di pintu kedai. Orang-orang tetap melihat dia berdiri
sebagaimana biasa tapi
sesungguhnya tubuhnya sudah kaku tegang!
Si rambut gondrong datang ke hadapannya, pura-pura membisikkan sesuatu lalu
menepuk bahu prajurit itu dan berlalu. Orang-orang mulai menjadi heran. Dan
beberapa ketika
saja sesudah pemuda aneh tadi lenyap tiba-tiba: "Bluk... bluk... b!uk.... !"
Ketiga prajurit itu
rebah ke tanah susul menyusul! Begitu mencium lantai begitu mereka kembali
sadarkan diri! Kedai itu menjadi hiruk pikuk. Tiga prajurit dengan rasa malu, geram dan amarah
meluap memburu ke luar kedai tapi si rambut gondrong sudah lama lenyap!
Tiga prajurit ini tiada lain adalah anak buah Kalasrenggi. Sewaktu pemuda rambut
gondrong mengeliling Kotaraja mencari dua manusia yang ditemuinya malam tadi di
teratak tua di luar tembok kerajaan maka tanpa setahunya sepasang mata telah menguntitnya.
Yang menguntit tiada lain dari Kalasrenggi yang saat itu tengah bersiap-siap untuk
melaksanakan tugas
yang diberikan oleh Werku Alit. Ketika si rambut gondrong masuk kedai maka
dikirimnya tiga
orang prajurit ke sana. Diperintahkannya untuk menangkap pemuda itu dengan
alasan yang dibuat-buat. Bila sudah ditangkap, maka pengusutan lebih lanjut siapa adanya
pemuda ini akan
dilakukan Kalasrenggi sesudahnya dia selesai melakukan tugas dari Werku Alit.
Ketika mereka masuk dengan diam-diam mereka telah mencuri dengar apa yang
dipercakapkan si rambut gondrong dengan orang kedai. lni mereka jadikan alasan
untuk menalngkap pemuda itu. Namun karena tiga prajurit ini hanyalah mengandalkan
tenaga-tenaga lahir yang kasar, tak mempunyai ilmu dalam maka dengan mudah si rambut gondrong
"mempermainkannya!"
-- == 0O0 == -SEPULUH Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Kalau Rara Murni adalah adiknya Raja Pajajaran..." kata pemuda itu sambil terus
juga menyusuri jalan di bawah panas teriknya matahari musim kemarau, "Pasti peristiwa
penculikannya mempunyai latar belakang yang besar dan buntut panjang!"
Dia menengadah ke langit.
"Ah, cepat benar bergesernya matahari...." katanya lagi. Dan ketika dia
berpapasan dengan seorang penjual sayur mayur maka bertanyalah dia, "Bapak, manakah jalan
yang menuju ke lembah Limanaluk?"
Penjual sayur mayur itu menyeka peluh di keningnya terlebih dahulu. Diputarnya
badannya sedikit dan dia menunjuk ke ujung jalan.
"Ikuti saja terus jalan ini, jangan mengkol. Limanaluk sekira setengah hari
perjalanan dari
sini." Pemuda yang bertanya mengucapkan terima kasih lalu metanjutkan perjalanannya
kembali.... Kereta itu bagus dan mungil potongannya. Dua ekor kuda coklat yang menariknya
berlari kencang. Empat prajurit terpercaya mengawal kereta ini. Dua orang di depan, dua
lainnya di belakang. Debu menggebubu sepanjang jalan yang mereka lalui.
Setelah dua jam perjalanan meninggalkan Kotapraja jalan yang ditempuh mulai
banyak lobang-lobang dan batu-batunya. Kusir memperlambat jalan kereta terutama ketika
melewati satu pengkolan tajam. Selewatnya sebuah penurunan jalan yang mereka lalui baik
kembali dan menyusuri tepi sebuah kali kecil berair jernih.
Prajurit di depan sebelah kanan melambaikan tangan memberi tanda berhenti.
Ketika kereta itu berhenti maka tersibaklah tirai jendela dan sebuah kepala berparas
jelita remaja munculkan diri ke luar.
"Ada apa berhenti?" Suara gadis ini bertanya begitu merdu.
Kepala pengawal menjura sedikit dan menjawab: "Kuda-kuda kita perlu diberi
minum, Tuan Puteri..."
Rara Murni menutupkan tirai jendela kembali. Kusir turun dari kereta dan membawa
kedua ekor kuda coklat ke tepi kali. Enam ekor binatang itu kemudian seperti
berebutan memasukkan mulutnya ke datam air kali yang bening sejuk. Beberapa ketika berlalu
maka rombongan bersiap-siap untuk melanjutkan kembati. Namun belum lagi kusir naik ke
atas kereta empat orang penunggang kuda muncul di tempat itu. Badan tegap-tegap dan muka
mereka tak dapat dikenali karena kepala masing-masing tertutup dengan kerudung kain hitam
yang dilubangi di bagian matanya.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Perjalanan kalian hanya sampai di sini!" kata penunggang kuda paling depan.
Suaranya berat dan parau, disertai dengan tenaga dalam sehingga tak mungkin untuk
mengenali suaranya
yang asli. Empat pengawal kereta yang tahu bahwa manusia-manusia berkerudung kain hitam itu
datang bukan dengan membawa maksud baik segera cabut pedang! Melihat ini orang
yang tadi bicara tertawa mengekeh.
"Kalian kunyuk-kunyuk Pajajaran kalau masih ingin selamatkan batang leher
segeralah tinggalkan tempat ini!"
"Bangsat rendah! Berani menghina prajurit kerajaan! Terima pedangku!" bentak
kepala pengawal. Dia melompat ke muka dan pedangnya berkelebat, berkilauan ditimpa
sinar matahari!
Manusia berkerudung sentakkan tali kekang kuda dan miringkan badan. Berbarengan
dengan itu kaki kanannya meluncur dengan sangat cepat. Kepala pengawal kereta
terpekik. Pedangnya lepas dan mental sedang sambungan sikunya yang dimakan tendangan
tanggal dari persendian! Dia mengeluh kesakitan, terbungkuk-bungkuk sambil memegangi
sambungan sikunya
yang copot! Tiga pengawa! yang lain tanpa banyak bicara segera menyerbu dan disambuti oleh
tiga laki-laki lainnya yang memakai kerudung. Setelah terlibat dalam dua jurus
pertempuran maka
terdesaklah ketiga pengawal kereta.
Sementara itu di dalam kereta, mendengar suara ribut-ribut dan disusul dengan
suara beradunya senjata dengan hati cemas Rara Mumi singkapkan tirai jendela. Dia
terkejut sekali
melihat ada sesosok tubuh berkerudung melangkah mendekati kereta. dan
mengulurkan tangan
untuk membuka pintu kereta!
"Rara Murni... kau tak usah cemas! Apa yang terjadi di,sini hanya pertunjukan
biasa saja. Silahkan turun...!"
"Kalian siapa..."!"
"Siapa kami itu tidak penting. Turunlah...."
"Rampok-rampok biadab! Kalau kalian tahu siapa aku segeralah tinggalkan tempat
ini sebelum pasukan kerajaan datang menumpas kalian!" Laki-laki berkerudung tertawa
bergelak. Dibukanya pintu kereta dan diulurkannya tangan kanan untuk menarik Rara Murni
keluar dari kereta. Kusir kereta yang sejak tadi seperti terpukau melihat pertempuran yang
berkecamuk di depan matanya, ketika mengetahui bahwa Rara Murni hendak diperlakukan secara
kasar segera
Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengambil cambuk kereta dan menderu punggung laki-laki berkerudung.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Rampok laknat! Berani mengganggu adik Sang Prabu!" Dan cambuk itu mendera lagi
beberapa kali. Laki-laki berkerudung memutar tubuh. Sekali dia gerakkan tangan maka berhasillah
dia merampas cambuk itu. Dan kini cambuk itu dipakainya untuk melecuti muka kusir
kereta. Kusir ini
menjerit-jerit. Kemudian dengan kalap mencabut golok pendeknya dan menyerang si
muka berkerudung. Namun hanya dengan mengelak dan sekali tendang saja maka kusir
kereta itu terpelanting ke tebing kali, masuk ke dalam kali. Tubuhnya segera hanyut terbawa
air, tenggelam timbul karena sebelum jatuh ke dalam kali tendangan laki-laki berkerudung telah
membuatnya pingsan terlebih dulu!
Pertempuran antara tiga prajurit pengawal dan tiga laki-laki berkerudung lainnya
tak berjalan lama. Ketiga pengawal itu menggeletak di tanah bermandikan darah.
Sementara itu di atas
kereta Rara Murni berusaha melawan dan meronta-ronta, menerjang dan meninju
laki-laki yang hendak menyeretnya turun secara paksa. Namun apalah kekuatan seorang perempuan.
Dalam waktu sebentar saja segera laki-laki berkerudung itu dapat membekuknya. Rara
Murni dinaikkan
ke atas kuda. "Lemparkan ketlga mayat itu ke dalam kali!" perintah laki-laki berkerudung yang
sudah naik ke atas punggung kudanya. "Juga kereta itu!"
Tiga mayat pengawal dilemparkan ke dalam kali. Kuda penarik kereta melonjaklonjak dan meringkik keras ketika tiga manusia berkerudung itu mendorong kereta ke dalam
kali! Dalam waktu yang singkat keempat orang itu segera berlalu. Yang tinggal kini di
tempat itu hanya bekas-bekas pertempuran, darah, mayat, kereta dan kuda yang masih
terus meringkikringkik sementara tubuhnya dengan perlahan tapi pasti tenggelam ke dalam kali!
-- == 0O0 == -SEBELAS Lembah Limanaluk satu daerah yang jarang didatangi manusia. Daerah ini sunyi
sepi, ditumbuhi pohon-pohon raksasa dan semak belukar lebat. Ke sinilah keempat
manusia berkerudung itu membawa Rara Murni. Di hadapan sebuah kuil tua mereka berhenti
dan menurunkan gadis itu yang sampai saat itu masih terus juga melawan dengan segala
daya yang ada. Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
"Rara Murni, kalau kau tak banyak cingcong aku tak akan perlakukan kau dengan
kekerasan..."
"Lepaskan aku!" teriak Rara Murni.
"Masuklah ke dalam kuil sana!"
"Tidak!" dan Rara Murni berusaha hendak lari namun tangannya segera kena
dicekat. Laki-laki berkerudung yang bertindak sebagai pemimpin tiga orang lainnya
berpaling, lalu katanya pada ketiga orang itu: "Kalian kembalilah. Beritahukan bahwa tugas
kita berhasil baik!" Tiga laki-laki berkerudung segera lompat kembali ke atas punggung kuda masingmasing dan meninggalkan tempat itu. Yang seorang tadi menyeret Rara Murni ke dalam
kuil. Kuil itu sebuah kuil tua yang sudah tak dipakai lagi. Batu dindingnya sudah pada
Rahasia Istana Terlarang 14 Pendekar Naga Putih 07 Raja Iblis Dari Utara Pendekar Tangan Baja 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama