Ceritasilat Novel Online

Memburu Si Penjagal Mayat 1

Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat Bagian 1


1 PEMANDANGAN Di Lereng Selatan Gunung Merbabu indah sekali pagi itu. Di atas
langit biru bersih disaput awan berarak yang dihembus angin perlahan-lahan dari timur
ke barat. Di kaki
gunung sebelah timur menghampar sawah luas yang tampak menguning tanda waktu
panen yang menggembirakan para petani tidak lama lagi. Di sebelah barat tampak daerah
bebukitan yang subur,
menghijau tertutup daun-daun pohon jati yang telah berusia puluhan tahun.
Membelah hutan jati, di
sebelah tengah melintang sebuah sungai kecil yang dari jauh airnya kelihatan
memutih seperti perak
tertimpa cahaya matahari yang sedang naik.
Jauh di sebelah selatan menjulang gunung Merapi laksana raksasa penjaga negeri,
penuh gagah dan perkasa. Gunung Merbabu sendiri berdiri tegak dalam kesunyian, seolah
dibungkus oleh satu ketenangan misterius karena selama ini hampir tak ada orang atau penduduk
sekitar tempat itu
yang pernah naik. Jangankan sampai ke puncaknya, sepertiga lereng gunungpun
kabarnya belum pernah didaki orang atau penduduk setempat. Konon pernah ada berita bahwa di
atas gunung Merbabu itu terdapat sebuah pertapaan dimana tinggal seorang sakti pimpinan
sebuah perguruan silat
yang mempunyai beberapa anak murid. Sampai dimana kebenaran berita itu tidak
pernah dibuktikan
orang karena siapa pula yang mau menyelidik.
Angin gunung berhembus sejuk. Daun-daun pepohonan bergemerisik halus. Kicau
burung terdengar dikejauhan. Lalu lenyap. Sunyi beberapa ketika. Sesaat kemudian
kesunyian itu dipecahkan
oleh suara siulan yang akan terasa aneh bagi siapa saja yang mendengarnya. Aneh
karena suara siulan
itu keras sekali seperti bukan suara siulan manusia. Lalu lagu maupun irama yang
disiulkan itu sama
sekali tidak sedap didengar karena kacau balau naik turun tinggi rendah tidak
menentu. Siapa gerangan orang yang bersiul ini"
Ternyata dia seorang pemuda berpakaian putih lusuh. Kepalanya yang berambut
hitam gondrong diikat dengan sehelai sapu tangan putih. Di pinggangnya menonjol
sesuatu tanda di bawah
pakaiannya pemuda ini membekal sebilah senjata, entah golok, entah keris ataupun
pisau besar. Di
tangan kanannya dia memegang sepotong ranting kayu yang dipergunakannya untuk
menguak semak belukar atau rerantingan yang menghalangi langkahnya. Ketika angin bertiup lagi
dan baju di bagian
dada si pemuda tersingkap terlihatlah tiga deretan angka yang dirajah pada
dadanya. Angka 212. Tak
pelak lagi pemuda yang bersiul tanpa juntrungan ini adalah Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 Wiro Sableng, murid si nenek sakti dari puncak gunung gede. Dan benda yang
menonjol di pinggang
pakaiannya itu sudah dapat dipastikan adalah Kapak Maut Naga Geni 212, senjata
mustika yang sulit
dicari tandingannya dalam dunia persilatan.
Mendadak Pendekar 212 hentikan siulannya. Gerakan kedua kakinya ikut berhenti.
Mulutnya dipencongkan ke kiri sedang cuping hidungnya sedikit memekar. Ketika dia mencoba
menarik nafas dalam tak ampun perutnya seperti terbalik dan dari tenggorokannya terdengar
suara seperti mau
muntah. Wiro meludah ke tanah berulang kali. Telapak tangan kirinya ditekapkan
ke hidung. Dia memandang berkeliling. Dari mulutnya lalu terdengar suara mengumpat. "Bau busuk
celaka apa yang
menyambar hidungku di tempat ini"!" Dia memandang lagi berkeliling tapi tetap
saja tidak melihat
benda lain selain pohon-pohon dan semak belukar.
"Gila! Belum pernah aku mencium bau sebusuk ini!" kata Wiro dalam hati. Sesaat
dia mendongak. Perasaan yang didorong oleh penciuman memberi tahu kepadanya bahwa
bau busuk itu datang dari jurusan kanan.
"Hanya bau busuk sialan! Apakah aku harus menyelidiki"!" si pemuda berpikir
sambil garuk- garuk kepala. Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan penyelidikan. Dengan
tangan kanan yang
memegang potongan ranting dan tangan kiri dia menyibak semak belukar lebat, dia
melangkah menuju arah kanan dari mana datangnya sumber bau busuk yang dahsyat itu. Kali
ini tak ada lagi
suara siulan keluar dari mulutnya, malah sambil melangkah dia menutup jalan
penciuman agar bau
busuk itu tidak membuatnya keblinger. Ternyata semakin jauh dia melangkah ke
jurusan kanan itu,
semakin santar bau busuk menyebar. Kalau saja niatnya tidak keras mau rasanya
saat itu juga dia
membalikkan tubuh.
Mata sang pendekar yang tajam melihat ada beberapa bagian semak belukar di kiri
kanan dan di sebelah depannya yang ranggas tanda sebelumnya ada seorang atau mungkin juga
binatang yang melewati tempat itu. Agar lebih mudah bergerak, Wiro mengikuti saja bekas
bagian-bagian rerantingan atau semak belukar yang telah menguak. Bekas yang telah dirambas
orang ini akhirnya
membawanya sampai pada suatu tempat yang penuh ditumbuhi keladi hutan. Di antara
pohon-pohon keladi hutan berdaun lebar itu Pendekar 212 Wiro Sableng melihat sebuah buntalan
besar kain kuning
yang penuh dengan noda-noda merah.
Sepasang mata Wiro memandang tak berkedip pada buntalan kain kuning itu seolaholah hendak berusaha menembus dan mengetahui apa yang ada dalam buntalan kain penuh
noda merah itu.
Nafasnya mulai sesak karena sudah terlalu lama menutup jalan penciuman. Matanya
terus menatap buntalan kain yang menyangsrang diantara batang-batang keladi hutan. Kain kuning
bernoda bercak merah. Dan warna merah itu.
"Bercak merah itu..." desis Wiro. "Itu hampir pasti adalah bercak darah! Dan
buntalan itu....
Itulah sumber bau busuk yang kucium!"
Entah mengapa saat itu tiba-tiba saja sang pendekar merasakan kuduknya menjadi
dingin dan bulu tengkuknya mendadak ikut merinding. Sepasang kakinya terasa berat ketika
dilangkahkan mendekati buntalan kuning yang menyangsrang diantara batang-batang keladi hutan
yang besar-besar
itu. Wiro maju terus. Sambil bergerak kedua matanya tak bisa lepas dari buntalan kain
kuning. Kira-kira hanya tinggal enam langkah lagi dari pohon-pohon keladi, tiba-tiba
buntalan kain kuning
merosot jatuh ke bawah. Satu sosok kaki putih tapi penuh lumuran darah mencuat
dari balik buntalan.
Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Kedua kakinya seperti dipantek ke
tanah sedang sepasang matanya membeliak.
"Kaki manusia...," desis Wiro tercekik dan tubuh bergetar. Jari-jari tangan
kanannya pulang
balik mengusap mulut dan tengkuk berulang kali. "Jangan-jangan daerah ini
sarangnya para dedemit..."
Tengkuk sang pendekar tambah dingin. "Tapi apa iyya dedemit itu betul-betul
ada...?" Wiro
malah balik bertanya pada dirinya sendiri.
Setelah mengusap matanya beberapa kali Wiro akhirnya mampu menguasai rasa takut
yang mempengaruhi dirinya lalu kembali melangkah mendekati buntalan kain kuning
bernoda darah. Tapi
baru saja dia bergerak satu langkah, tiba-tiba semak belukar di samping kanan
bergernerisik dan
terkuak. Wiro berpaling. Tiga orang berpakaian seragam biru gelap dua pemuda,
seorang pemudi muncul, langsung mengurung sang pendekar.
* * * 2 DI PUNCAK gunung Merbabu setelah selesai mengimami tiga orang muridnya
bersembayang subuh di ruang terbuka di bagian depan rumah kayu, orang tua yang
berpakaian selempang kain putih itu memimpin pembacaan doa dan ditutup dengan membaca
tasbih. Kalau biasanya selesai sembahyang subuh si orang tua selalu menyuruh ketiga
muridnya untuk melakukan latihan silat serta tenaga dalam maka sekali ini dia memberi
isyarat agar muridmuridnya tetap duduk di tempat mereka bersila.
"Murid-muridku, kalian bertiga dengarlah baik-baik. Aku akan menceritakan
sesuatu pada kalian...."
"Mengenai orang-orang gagah di jaman Nabi dan para sahabatnya, Kiyai...?" tanya
salah seorang murid yang bernama Djarot.
Orang tua yang dipanggil dengan sebutan Kiyai menggeleng. "Kali ini tidak,
Djarot. Yang akan kuceritakan padamu dan dua saudara seperguruanmu adalah mengenai mimpiku
tadi malam...."
"Ah Kiyai bermimpi rupanya!" yang bicara adalah satu-satunya murid perempuan
yakni Sulindari. "Apakah Kiyai bertemu dengan seorang Dewi atau seorang Peri...?"
Sang Kiyai tersenyum, namun kemudian tampak wajahnya bersungguh-sungguh sehingga
ketiga muridnya tak berani lagi mencoba bergurau.
"Malam tadi dalam tidur aku bermimpi. Seorang gadis yang tidak kukenal datang
menunggang kuda. Gadis ini mengenakan pakaian aneh berwarna kuning. Dia membawa
sebuah bendera putih di tangan kanannya. Tapi bendera putih itu penuh lumuran darah.
Gadis itu seperti
hendak mengatakan sesuatu padaku.... Tapi justru saat itu aku terbangun...."
Tiga murid terdiam tundukkan kepala. Lalu yang sejak tadi diam yakni murid
termuda bernama Rokonuwu berkata: "Kiyai, kalau mimpi malam tadi Itu yang membuat Kiyai
terganggu, bukankah dulu Kiyai pernah mengatakan bahwa mimpi itu hanyalah bunga tidur yang
tak layak dipercaya?"
"Benar sekali katamu itu Roko," sahut sang Kiyai sambil tersenyum. Sesaat
kemudian senyumnya itu pupus. 'Tapi mimpiku sekali ini datang sampai dua kali. Ketika aku
tidur lagi, mimpi
itu muncul kembali. Aku melihat kembali gadis berpakaian kuning aneh dan
menunggang kuda itu.
Seperti tadi, di tangannya dia membawa sebuah bendera putih kecil yang
berlumuran darah. Kali ini
dia sempat membuka mulut, berkata padaku : Kiyai... tolong saya... Setelah
berkata begitu diapun lenyap. Dan ceritaku tidak hanya sampai disana. Ketika aku
bangun untuk kedua kalinya lalu keluar
dari kamar dan melangkah ke bagian depan rumah dalam kegelapan menjelang subuh
aku melihat ada
sesuatu yang bergerak di arah sana..." Sang Kiyai menunjuk ke arah ujung kanan
halaman rumah. Di antara semak belukar itu aku melihat bayangan seekor kuda. Lalu di atasnya
ada penunggangnya. Dan si penunggang ternyata gadis berpakaian kuning memegang
bendera putih berdarah itu. Dia memandang dengan paras sangat harap pertolongan. Tepat seperti
yang aku lihat dalam mimpi. Ketika aku turun dari langkah ini untuk menghampirinya, kuda dan
penunggangnya itu
lenyap laksana kabut...."
Mendengar penuturan guru mereka, tiga murid itu mau tak mau sama berpaling ke
arah semak belukar yang tadi ditunjuk si orang tua. Djarot dan Rokonuwu merasa tercekat
sementara Sulindari
merasakan seperti ada hawa dingin yang merayapi kuduknya.
"Apakah Kiyai mengenali siapa adanya gadis penunggang kuda itu. Atau mungkin
pernah melihatnya sebelumnya...?" bertanya Djarot.
"Aku, memang aku rasa-rasa pernah melihatnya. Tapi entah kapan dan dimana..."
sahut sang Kiyai. "Apa yang harus kami perbuat kalau begitu Kiyai?" bertanya Sulindari.
"Ada satu keanehan lain yang terjadi di gunung kediaman kita ini, muridmuridku," jawab
orang tua itu. "Sejak beberapa saat lalu telingaku serasa menangkap suara siulan
aneh di lereng gunung sebelah selatan. Kalau kukatakan itu siulan manusia mengapa demikian
santarnya hingga
terdengar olehku lapat-lapat. Jika kukatakan itu siulan setan pelayangan, aku
tak pernah percaya ada
setan di gunung Merbabu ini. Apalagi setan yang pandai bersiul!"
Tiga orang murid itu mengulum senyum mendengar ucapan guru mereka. Ketiganya
memang tidak pernah mendengar suara siulan itu, namun mereka percaya, kesaktian yang
dimiliki sang guru
demikian luar biasanya hingga mampu menangkap suara yang begitu jauhnya.
Rokonuwu si murid termuda diam-diam merasa ada yang tersirat di balik penjelasan
terakhir sang guru Maka diapun berkata: "Jika Kiyai memberi izin, kami bertiga siap untuk
menuruni puncak
Merbabu, menyelidiki ke sekitar lereng sebelah selatan."
"Memang itu yang aku ingini murid-muridku. Pergilah menyelidik. Jangan-jangan
siulan yang kudengar itu ada sangkut pautnya dengan mimpiku..."
Mendengar kata sang guru ketiga murid yang sama mengenakan pakaian biru gelap


Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu segera berdiri. "Kami siap pergi Kiyai..." kata Djarot.
Sang Kiyai mengangguk. Tiga murid itupun lalu berkelebat. Pergunakan ilmu lari
masing- masing, melesat menuju ke lereng gunung sebelah selatan. Dua pemuda dan satu
gadis inilah yang
kemudian menemui Pendekar 212 Wiro Sableng di lereng selatan gunung Merbabu yang
pada saat itu tengah melangkah mendekati bungkusan kain kuning berbecak darah dimana mencuat
satu kaki manusia. * * * 3 UNTUK BEBERAPA saat Pendekar 212 Wiro Sableng dan tiga orang muda di hadapannya
itu saling berpandangan. Lalu terdengar suara pekik Sulindari ketika gadis ini
kaget melihat kaki
berlumur darah yang tersembul keluar dari buntalan kain kuning. Dia kemudian
mendekati kakak
seperguruannya Djarot lalu berbisik: "Kak Djarot, ingat mimpi guru mengenai dara
berbaju kuning aneh yang memegang bendera putih berlumuran darah...?"
"Aku ingat Sulin. Justru saat ini juga aku ingin menyelidiki siapa adanya pemuda
berambut gondrong di hadapan kita ini. Dan apa hubungannya dengan bungkusan kain warna
kuning itu!" Habis
balas berbisik begitu Djarot maju satu langkah mendekati Wiro, lalu menegur
secara sopan. "Ki sanak, siapa kau dan ada keperluan apa berada di tempat ini?"
Wiro tak segera menjawab melainkan memandang ke arah Sulindari dan sesaat dia
tampak terpesona melihat kecantikan sang dara. Melihat saudara seperguruan mereka
dipandangi secara
seenaknya seperti itu, baik Djarot maupun Rokonuwu merasa jengkel. Yang punya
diri malah sudah
menegur dengan keras: "Orang bertanya tak kau jawab! Apakah telingamu tuli"!"
"Eh!" Wiro baru sadar. Sambil garuk-garuk kepala dan tertawa lebar dia berkata:
"Harap dimaafkan, tentu saja aku tidak tuli. Tapi harap kau suka mengulang pertanyaanmu
tadi, sobat..."
Meski jadi tambah jengkel kini tapi Djarot mengulangi pertanyaannya tadi.
"Terangkan siapa
dirimu dan apa yang kau kerjakan di tempat ini?"
"Aku pengelana kesasar. Dan apa yang kukerjakan disini hampir tidak beda dengan
kalian bertiga. Sama-sama heran melihat bungkusan kain kuning berlumur darah itu. Lalu
sama-sama tercekat melihat ada kaki yang menyembul dari bungkusan itu."
"Ki sanak, kau sama sekali tidak menjawab pertanyaan kakakku!" menukas Rokonuwu.
Terangkan namamu dan mengapa terpesat ke tempat ini?"
"Hemm..." Wiro bergumam dan lagi-lagi menggaruk kepalanya yang berambut
gondrong. "Melihat caramu bertanya agaknya kau dan saudara-saudara seperguruanmu ini
tentunya bermukim di
gunung Merbabu ini. Siapa guru kalian?"
"Ditanya malah balik menanya!" Sulindari jadi penasaran...
"Ah, mohon maafmu sahabat. Namaku buruk saja. Wiro Sableng. Aku berada disini
hanya kebetulan saja. Seperti kataku tadi, pengelana kesasar..."
Karena selama menjadi murid-murid Kiyai sakti di puncak Merbabu ketiga muda-mudi
itu tidak pernah turun gunung maka mereka tidak pernah mendengar siapa sesungguhnya
si gondrong yang mengaku bernama Wiro Sableng itu.
"Lalu, mengapa kau membuang bungkusan kuning itu disana?" tanya Djarot pula.
"Bungkusan kain kuning itu" Aku sama sekali tidak membuangnya. Justru aku sampai
kemari karena bau busuk yang ditebarnya! Bungkusan itu sudah ada disana ketika aku
sampai di tempat ini".
Tiba-tiba Wiro sadar dan bertanya. "Ah, kalian bertiga apakah tidak mencium bau
busuk yang keluar
dari bungkusan kuning itu"!"
"Kami memang menciumnya. Tapi kami punya obat untuk penangkalnya," Jawab
Sulindari pula. "Ah, gurumu tentu seorang berkepandaian tinggi. Boleh aku tahu siapa nama
beliau" Lalu
kalian sendiri masing-masing bernama siapa?"
"Kami anak-anak murid Kiyai Djoko Bening. Aku Djarot, ini Sulindari dan itu
Rokonuwu..."
menerangkan Djarot.
"Astaga, kiranya kalian murid-murid orang tua sakti terkenal itu. Nama besarnya
pernah kudengar dari mulut orang-orang rimba persilatan walau guru kalian jarang turun
gunung. Bukankah
Kiyai itu yang memiliki pukulan sakti bernama Selangit Tembus Sebumi Putus"!"
Tiga anak murid Kiyai Djoko Bening sama-sama kaget dan saling pandang ketika
mendengar Wiro menyebut nama pukulan sakti yang memang dimiliki guru mereka dan yang saat
itu tengah mereka rampungkan mempelajarinya.
"Hai, siapa kita mari dilupakan dulu. Aku ingin menyelidiki isi buntalan kain
kuning itu! Kalian mau ikut atau lebih suka jadi penonton?" ujar Wiro.
"Kami ditugasi oleh guru, jadi kami harus turun tangan sendiri!" menjawab
Rokonuwu. "Kalau begitu silahkan kau berjalan lebih dulu sobat," kata Wiro seraya memegang
bahu Rokonuwu. Tapi sobat Rokonuwu tentu diam-diam merasa jerih. Dia balas mendorong
punggung Wiro seraya berkata: "Kau saja yang memeriksa bungkusan itu, sobat. Aku akan
membantu!"
Melihat adik seperguruannya tampak ragu-ragu kalau tidak mau dikatakan ngeri,
Djarot tanpa banyak menunggu segera melangkah mendahului, diikuti Wiro lalu Sulindari di
samping kiri bersama
Rokonuwu. Berada di depan bungkusan kain kuning yang basah oleh dara dan menyembulkan kaki
putih mulus, sesaat keempat orang muda itu tertegun memandangi.
"Aku hampir pasti ini kaki perempuan..." bisik Sulindari pada Rokonuwu.
"Djarot, tunggu apa lagi. Ayo cepat kau buka buntalan kain itu..." berkata Wiro.
Entah mengapa mendadak saja Djarot merasa tubuhnya bergetar dan keluarlah
keringat dingin. Dia memberi jalan pada Wiro lalu berkata perlahan: "Sobat, kau saja yang
membuka bungkusan itu..."
Wiro garuk-garuk kepala namun akhirnya melangkah juga dan ulurkan kedua tangan,
membuka bungkusan kain kuning berdarah. Ketika bungkusan itu terbuka, apa yang
menjadi isinya sungguh mengerikan untuk dipandang. Wiro, Djarot dan dua adik seperguruannya
sama-sama tersurut
mundur dengan mata terbelalak dan lutut gemetar.
Sulindari tak tahan lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Perutnya seperti
terbalik- balik dan dari mulutnya terdengar suara mau muntah berulang kali. Gadis ini
kemudian tersandar ke
sebuah pohon dengan wajah pucat pasi seolah-olah habis melihat setan.
"Gusti Allah..." hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Djarot.
Di atas kain kuning itu bertumpukan potongan-potongan tubuh manusia bergelimang
darah mengerikan. Potongan kaki kanan sebatas lutut ke bawah saling tumpang tindih
dengan potongan kaki
kiri yang dipotong hanya tinggal bagian lutut sampai ke pangkal paha. Lalu ada
bagian perut sebatas
pinggang. Lalu potongan sepasang tangan serta bagian dada. Terakhir sekali
potongan kepala
berambut panjang. Potongan kepala inilah yang paling mengerikan karena jelas
tampak bekas dicincang hingga hancur-dan sulit dikenali. Kedua telinganyapun putus. Pada
pergelangan tangan kiri
tampak melingkar sebuah gelang perak berbentuk ukiran ular yang sebagian
tertutup oleh dara yang
telah Keseluruhan potongan-potongan tubuh itu berjumlah sebelas potong.
Potongan-potongan tubuh itu adalah tubuh seorang perempuan berkulit putih. Tidak
sepotong kainpun menutupi aurat yang teraniaya itu. Karena telah membusuk dapat
dipastikan mayat terpotongpotong itu telah sengaja dicampakkan di tempat itu lebih dari satu hari lalu.
Wiro merasakan tenggorokannya kering dan lidahnya kelu. "Perempuan malang! Siapa
yang memperlakukannya sekejam ini..." desis murid Sinto Gendeng dengan suara
bergetar. Dia berpaling
pada ketiga murid Kiyai Djoko Bening. Sulindari masih tersandar ke pohon. Djarot
dan Rokonuwu masih tertegun membeliak seperti orang kena totok. Wiro cepat-cepat membungkus
potongan- potongan mayat itu dengan kain kuning kembali. Saat itulah dia melihat sebuah
benda berbentuk bulat
berwarna keputihan tersepit di bawah salah satu potongan paha. Ketika dipungut
benda itu ternyata
adalah sebuah giwang terbuat dari perak. Tanpa terlihat oleh ketiga anak murid
Kiyai Djoko Bening,
Wiro memasukkan anting-anting itu ke dalam saku pakaiannya.
"Ini peristiwa pembunuhan yang harus di usut!" kata murid Sinto Gendeng. "Tapi
kita berkewajiban menguburkan mayat ini cepat-cepat. Bagaimana ini...?" Wiro garukgaruk kepala. "Tunggu!" terdengar suara Djarot. "Kejadian ini harus dilaporkan dulu pada guru
karena beliau yang menugaskan kami melakukan penyelidikan."
"Lalu apa yang hendak kau lakukan?" tanya Wiro.
"Potongan mayat harus di bawah ke puncak Merbabu dan diperlihatkan pada Kiyai.
Setelah melihat terserah apa yang akan diperintahkannya."
Wiro geleng-geleng kepala. "Mayat ini bukan kadangku bukan sanakku. Apa yang
hendak kau lakukan silahkan saja. Lagi pula daerah ini adalah wilayah kediaman kalian.
Tapi bagaimana caramu membawanya dalam keadaan seperti itu. Busuk, menjijikkan dan mengerikan!"
Djarot tak menjawab. Dia melangkah mendekati sebuah pohon berbatang kecil
sekitar pergelangan tangan. Sekali pemuda Ini menggerakkan tangannya bagian bawah batang
pohon itu patah. Begitu pohon tumbang, sekali lagi Djarot menghantam batang pohon di
sebelah atas. Kini dia
mendapatkan sebuah potongan kayu. Ujung kayu itu disusupkannya pada buntalan
kain kuning berisi
potongan mayat, lalu dia memberi isyarat pada Rokomuwu. Dua murid Kiyai Djoko
Bening itu kemudian memanggul mayat dalam bungkusan kain kuning. Sebelum meninggalkan
tempat itu Djarot
berkata pada Wiro.
"Kami tidak mengundangmu. Tapi jika kau mau ikut ke tempat kami silahkan saja....
" Wiro mengangguk. Dia menunggu sampai Sulindari melangkah dan berjalan di sebelah
depannya, lalu baru mengikuti dari belakang.
* * * 4 KIYAI DJOKO BENING yang sejak malam tadi memang sudah punya firasat tidak enak
karena itu dia sengaja duduk menunggu di langkah depan tempat kediamannya di
puncak gunung Merbabu. Ketika melihat murid-muridnya muncul orang tua ini sipitkan kedua
matanya, tidak menyangka mereka akan kembali secepat itu. Apalagi dilihatnya Djarot dan
Rokonuwu menggotong
sebuah bungkusan besar kain kuning bercak merah yang menghampar bau busuk bukan
kepalang. Lalu dia melihat pula seorang pemuda bertubuh kekar, berambut gondrong
berpakaian serba putih
yang tidak dikenalnya.
"Apa yang kalian temukan dan siapa pemuda ini?" bertanya sang Kiyai. Pendekar
212 Wiro Sableng karena orang tidak langsung bertanya maka tidak mejawab dan hanya
menjura saja memberi
penghormatan pada orang tua itu.
Djarot dan Rokonuwu menurunkan buntalan yang mereka gotong tepat di tangga
rumah. "Sesuatu yang mengerikan Kiyai..." ujar Djarot seraya mulai membuka buntalan
kain kuning. "Mengerikan dan biadab sekali!" menyambung Sulindari.
Dan ketika bungkusan kain kuning telah dibuka lebar-lebar, Kiyai Djoko Bening
tampak terperangah. Kedua matanya dipejamkan dan kepalanya ditengadahkan ke langit.
"Tuhan, apa arti
semua ini. Kami mohon petunjukmu ya Allah." Terdengar suara sang Kiyai setengah
berbisik. Lalu perlahan-lahan kepalanya diturunkan, kedua mata dibuka dan memandang pada muridmuridnya. Djarot si murid tertua segera memberi penjelasan bagaimana mereka mula-mula
menemui mayat terpotong sebelas itu. Lalu pemuda ini menggamit tangan gurunya, mengajak orang
tua itu ke ujung
rumah hingga terpisah cukup jauh dari lain-lainnya. Disini Djarot berbisik pada
gurunya. "Ketika kami bertiga sampai di tempat buntalan ditemukan, pemuda berpakaian
putih itu telah
berada di sana. Saya curiga Kiyai. Jangan-jangan dialah yang telah membuang
buntalan itu!"
Kiyai Djoko Bening melirik ke arah Wiro Sableng lalu menggelengkan kepala. "Aku
tidak sependapat denganmu Djarot. Jika memang dia yang membuang bungkusan berisi mayat
terpotong- potong itu pakaiannya pasti akan terkena noda-noda darah. Bukti-bukti itu tak
kulihat. Pakaian
putihnya bersih. Lagi pula tidak mudah seorang diri membawa bungkusan mayat
seberat itu ke atas
gunung. Paling tidak harus dua orang menggotongnya atau bisa juga seorang diri,
tetapi dengan kuda.
Kau kenal siapa adanya pemuda itu dan mengapa dia mengikuti ke tempat kita ini?"


Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia mengaku bernama Wiro Sableng dan...."
Kiyai Djoko Bening memegang bahu muridnya. "Apa katamu Djarot" Katakan sekali
lagi nama pemuda itu!"
"Wiro Sableng, Kiyai...."
"Astaga..." Kiyai Djoko Bening memberi isyarat pada Djarot agar mengikutinya.
Lalu dia melangkah menghampiri Wiro seraya berkata: "Apakah benar saat ini aku berhadapan
dengan murid sahabatku Sinto Gendeng, pendekar besar bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212"!"
Wiro yang tidak menduga sang Kiyai mengenalinya hanya bisa menjura sekali lagi
dan tertawa lebar. "Saya hanya murid seorang nenek buruk dan tidak mempunyai
kepandaian apa-apa.
Kiyai keliwat memuji. Saya jadi rikuh menerima penghormatan dan pujianmu, Kiyai
Djoko Bening..."
Sang Kiyai geleng-gelengkan kepalanya lalu ulurkan tangan kanan dan tepuk-tepuk
bahu kiri Wiro Sableng. Uluran tangan, apalagi tepukan yang dilakukan bukanlah sembarangan
karena disertai
aliran tenaga dalam sehingga tepukan itu mempunyai daya berat puluhan kati.
Jangankan bahu manusia, sebuah batu besarpun jika ditekan seperti itu akan amblas.
Ketika sang Kiyai mengulurkan tangannya Wiro merasakan adanya hawa dingin
menyambar ke arahnya. Maklumlah pendekar ini kalau uluran tangan itu disertai aliran
tenaga dalam yang tinggi.
Dan ketika sang Kiyai mulai menepuk Wiro merasakan satu kekuatan dahsyat menekan
tubuhnya. Kini murid Eyang Sinto Gendeng ini sadar kalau orang sengaja hendak menjajal
dirinya. Maka diamdiam dia mengerahkan tenaga dalamnya ke bahu kiri.
Sewaktu Kiyai Djoko Bening hampir menyentuh bahu Wiro dia jadi terkejut karena
dari bahu yang hendak ditekannya itu ada hawa aneh keluar dan membuat tangan kanannya
tergetar sampai ke
siku Karena sudah tanggung, Kiyai Djoko Bening teruskan tepukannya. Dia sempat
menepuk bahu pemuda di hadapannya itu empat kali, namun tangannya mendadak terasa seperti
ditimbun oleh gundukan es sehingga terasa dingin luar biasa, hampir kaku. Cepat-cepat Kiyai
Djoko Bening salurkan tenaga dalam berhawa panas hingga hawa dingin perlahan-lahan sirna.
Di luar orang tua itu tampak tersenyum. Dalam hati dia menyadari. Untuk dapat
memiliki tingkat tenaga dalam yang sanggup menahan tepukannya seperti yang dilakukan Wiro
tadi, murid- muridnya paling tidak harus belajar keras sekitar lima sampai tujuh tahun lagi.
Itupun belum tentu
sempurna. Maka mau tak mau orang tua ini menjadi kagum pada pendekar satu ini.
"Pendekar 212... Dulu ketika kau masih berusia sepuluh tahun, aku pernah
menyambangi gurumu di puncak Gunung Gede. Kami duduk di bawah sebatang pohon jambu dan
terlibat dalam perang mulut. Kami bertengkar besar mempertahankan keyakinan masing-masing, tak
ada yang mau mengalah. Kami bertengkar mulai dari tengah hari sampai menjelang sore. Dan kau
ingat apa yang kau lakukan saat itu...?"
Wiro berpikir mengingat-ingat. "Kejadiannya sudah lama sekali Kiyai. Saya tidak
ingat..." katanya menjawab.
Kiyai Djoko Bening tersenyum. "Saat itu diam-diam kau naik ke atas pohon jambu,
memetik dua buah jambu muda. Satu persatu dua buah jambu itu kau lemparkan ke arah kami
yang sedang bertengkar dan tepat masuk ke dalam mulut gurumu dan mulutku yang sedang
berkoar-koar. Kontan
kami berdua menjadi bungkam membisu malah hampir tercekik!"
Habis menceritakan hal itu Kiyai Djoko Bening tertawa gelak-gelak Tiga.muridnya
ikut tertawa pula sementara Wiro hanya garuk-garuk kepala lalu berkata: "Ah, sungguh
kurang ajar sekali
perbuatan saya saat itu Kiyai..."
Kiyai Djoko Bening mengangguk. "Waktu kecil kau memang nakal sekali Wiro. Tetapi
apa yang kau lakukan terhadap kami saat itu mendatangkan kesadaran bahkan hikmah..."
"Ah mengapa bisa begitu Kiyai?" tanya Wiro tak mengerti.
"Pertama hal itu membuat kami sadar bahwa sebagai tua bangka sudah bukan
tempatnya lagi kami mengikuti hawa amarah dan berlaku tolol bertengkar seperti anak kecil.
Kedua hal Itu membuktikan bahwa siapa saja yang tidak dapat mengontrol kemarahannya akan
menjadi lengah hingga musuh bisa mencelakakan diri kita dengan mudah. Buktinya seorang anak
seusia sepuluh tahun sepertimu sanggup menyumpal mulut dua tokoh silat dengan jambu mentah!"
Kembali Kiyai Djoko Bening tertawa gelak-gelak.
Setelah tawa gurunya reda, Djarot bertanya: "Kiyai, bagaimana dengan potonganpotongan mayat ini..."
Seperti sadar, Kiyai itu anggukan kepala. "Ini satu perkara besar yang tengah
kita hadapi. Dari gelang perak di lengan mayat aku bisa memastikan mayat ini bukan dari
kalangan rakyat biasa.
Gelang perak berukir kepala ular seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang
yang ada hubungannya
dengan kalangan Keraton, atau istana. Paling tidak dengan Kadipaten. Dan melihat
keadaan potongan
mayat kurasa manusia malang ini adalah seorang gadis. Dari bentuk payudara dan
perutnya aku yakin
dia berada dalam keadaan hamil paling tidak empat sampai lima bulan..."
"Lalu apa yang harus kita lakukan Kiyai...?" tanya Rukunowo.
"Sebaiknya mayat ini cepat-cepat kita kuburkan saja Kiyai. Kasihan, arwahnya
pasti tersiksa jika tubuh kasarnya berada dalam keadaan seperti ini," kata Sulindari pula.
"Memang betul, menurut adat dan ketentuan agama jenazah seseorang harus cepatcepat dikubur. Tapi kita menghadapi hal yang luar biasa murid-muridku. Satu perkara
pembunuhan yang
besar. Mungkin melibatkan orang-orang besar pula. Jenazah ini harus kita awetkan
untuk beberapa lama sampai diketahui siapa dia adanya, lalu menyerahkannya pada keluarganya.
Sulindari, kau pergilah ambil bubuk cendana putih..."
Mendengar itu Sulindari masuk ke dalam rumah sedang Kiyai Djoko Bening
menanggalkan gelang perak berukir ular dari potongan lengan kiri dan menyerahkannya pada
Rokonuwu seraya
berkata: "Cuci gelang ini sampai bersih lalu serahkan padaku kembali."
Sulindari keluar membawa sebuah kotak kecil dari kayu berisi sejenis bubuk yang
terbuat dari kayu cendana putih. Kiyai Djoko Bening kemudian menebarkan bubuk putih itu di
atas potongan- potongan mayat. Bau harum menebar. Bubuk putih itu bukan saja mematikan bau
busuk tapi sekaligus juga mampu mengawetkan potongan-potongan jenazah sampai lima-enam
minggu di muka.
Selesai menebar bubuk dan menyerahkan kotak kayu kembali pada Sulindari, Kiyai
Djoko Bening berkata: "Murid-muridku, mayat dipotong sebelas itu ditemukan di gunung
Merbabu, tempat
kediaman kita. Karena itu menjadi kewajiban bagi kita untuk mengusut kejadian
ini. Pertama kita
harus mengetahui siapa adanya gadis yang menjadi korban. Kedua siapa pelaku
pembunuhannya. Dengan demikian kemungkinan orang menjatuhkan tuduhan terhadap kita dapat kita
hindari..."
"Bagaimana caranya kami bisa melakukan semua itu Kiyai?" tanya Djarot.
"Pertama tentu saja kalian bertiga harus turun gunung. Ini satu kesempatan baik
bagi kalian karena setelah bertahun-tahun berada disini baru kali ini kalian mendapat
kesempatan untuk
meninggalkan Merbabu. Berarti tugas dan pengalaman. Kalian bisa mulai dengan
menyirap kabar siapa keluarga yang kehilangan anak gadis mereka. Jika kalian temui bawa mereka
kemari untuk menyaksikan mayat agar bisa dikenali."
Kiyai Djoko Bening berpaling pada Wiro Sableng dan bertanya: "Bagaimana dengan
kau Pendekar 212. Apakah akan melakukan penyelidikan pula...?"
Wiro mengangguk. Lalu berkata: "Saya punya dugaan bahwa korban seorang dari
dunia persilatan, paling tidak pernah belajar ilmu silat."
"Hemm, matamu tajam sekali Wiro. Dari mana kau bisa mengetahui hal itu?"
bertanya Kiyai Djoko Bening. "Pertama lengan kanannya. Lebih besar dan lebih kukuh dari lengan kiri. Berarti
dia sering berlatih diri dalam ilmu golok atau pedang. Kedua telapak tangan kanan. Lebih
kasar dari telapak
tangan kiri. Pertanda dia lebih sering mempergunakannya untuk latihan memukul.
Dan yang terakhir,
kedua telapak kakinya tampak tebal karena lebih sering tidak memakai kasut..."
Kiyai Djoko Bening mengangguk-angguk. Dia berpaling pada ketiga muridnya.
"Kalian boleh berangkat besok saja. Dan kau Wiro, aku undang kau untuk menginap disini
agar kita bisa bercerita banyak dan bertukar pengalaman." Sebenarnya selain berbasa basi orang
tua itu ingin menahan Wiro agar dapat melakukan latihan dengan murid-muridnya. Namun dia agak
kecewa ketika mendapatkan jawaban.
"Terima kasih Kiyai. Saya harus minta diri saat ini juga. Di lain waktu jika
umur sama panjang saya akan menyambangimu lagi disini." Lalu Wiro menjura dalam-dalam pada
orang tua itu. Dia juga menjura pada ketiga murid sang Kiyai.
Sesaat setelah Wiro berlalu, Rokonuwu bertanya: "Kiyai, apa benar pemuda tadi
seorang pendekar tokoh persilatan. Harap dimaafkan kalau di mata saya dia kelihatan
seperti seorang pemuda
konyol. Gerak geriknya aneh. Sering menyeringai dan menggaruk kepala seperti
orang linglung..."
Kiyai Djoko Bening tersenyum kecil. Sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada
dia berkata: "Pertanyaanmu itu membuat aku mengungkapkan lagi satu rahasia hidup
pada kalian, muridmuridku. Apa yang kita lihat baik dan bagus di mata, belum tentu sebenarnya
begitu. Sebaliknya apa
yang kita saksikan buruk mungkin sebenarnya bagus. Begitu juga dengan wajah,
sifat dan sikap
seseorang. Dan satu hal lagi murid-muridku, dunia ini memang penuh dengan
keanehan. Tinggal
terserah pada kita, apakah kita bisa mempergunakan kemampuan otak dan pengalaman
untuk mencerna keanehan itu. Kalian semua telah memiliki kepandaian tinggi. Silat luar
dan silat dalam.
Tetapi soal pengalaman kalian harus banyak menempa diri. Itulah sebabnya tadi
kukatakan bahwa
peristiwa ditemukannya mayat terpotong sebelas itu membuat aku mengambil
keputusan agar kalian
turun gunung."
Setelah berkata begitu Kiyai Djoko Bening keluarkan gelang perak ular yang tadi
telah dicuci oleh Rokonuwu lalu diserahkannya pada Djarot. "Bawa gelang perak ini. Benda ini
dapat dipergunakan untuk bukti bagi keluarga korban, jika kelak kau dan saudarasaudaramu berhasil
menemukan mereka."
Djarot mengambil gelang perak itu lalu memasukkannya ke dalam saku pakaian
birunya. * * * 5 ORANG bercadar hitam dan menunggangi kuda besar itu berhenti tepat di bawah
pohon nangka hutan. Sesuai perjanjian dia akan bertemu dengan kedua orang itu di
tempat tersebut. Tapi dua
orang itu sama sekali tidak kelihatan pangkal hidungnya. Sementara langit sore
tampak lebih cepat
gelapnya karena mendung. Sebentar lagi tentu turun hujan lebat.
"Sialan! Mana mereka itu"!" orang di atas kuda memaki. Lalu karena tidak sabaran
diapun berteriak: "Randu! Tikil! Dimana kalian"!"
Baru saja gema teriakan itu lenyap dalam rimba belantara semak belukar di ujung
kanan tersibak dan dua orang lelaki bertubuh kurus mengenakan pakaian gombrang muncul.
"Kami datang!"
salah seorang dari keduanya cepat menjawab.
"Ingat!" orang di atas kuda membentak. "Dalam pembicaraan jangan sekali-kali
menyebut nama dan gelarku! Pohon dan batu di rimba belantara ini bukan mustahil punya
telinga untuk mendengar dan punya mulut untuk mengadu!"
"Kami mengerti..." jawab orang yang bernama Randu. Dalam hati dia berkata: "Itu
sebabnya dia mengenakan cadar. Tidak seperti pertemuan sebelumnya. Agaknya perbuatan
busuk ini sudah
mulai tercium orang luar..."
Orang di atas kuda melemparkan sebuah kantong berisi uang yang segera ditanggapi
oleh Randu. "Itu uang terakhir yang kalian bisa bagi dua. Setelah ini kalian berdua harus
tinggalkan daerah
sekitar sini dan jangan berani kembali! Sekarang katakan, ada apa kalian meminta
untuk bertemu"!"
Yang menjawab adalah si kurus bernama Tikil. "Sejak satu minggu lalu ada dua
orang

Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda dan seorang gadis muncul di beberapa tempat. Mereka menanyakan apakah ada
gadis hilang atau diculik di daerah ini. Lalu mereka juga memperlihatkan sebuah gelang perak
berukir kepala ular..." "Astaga! Gelang itu!" kata si penunggang kuda hampir berteriak. "Jadi gelang itu
tidak sempat kalian amankan! Celaka! Benar-benar celaka! Kenapa kalian bekerja begitu
sembrono"!"
"Mohon maafmu. Kami tidak memikir sejauh itu. Lagi pula saat itu ada orang
datang hendak menemui dukun beranak itu. Kami berkemas cepat-cepat dan pergi..."
"Celaka! Kalau begitu kalian berdua harus segera menemui Warok Kuto Item. Minta
dia untuk mencari ketiga pemuda itu dan membereskannya!"
"Kami rasa Warok Kuto Item sekalipun kami bantu tidak akan mampu menghadapi tiga
pemuda itu. Mereka ternyata adalah anak-anak murid Kiyai Djoko Bening dari
gunung Merbabu!".
"Celaka! Ini lebih celaka lagi! Tapi... aku tak pernah mendengar Kiyai itu punya
murid! Persetan! tiga orang itu harus disingkirkan! Aku tidak mengerti mengapa mereka
yang justru kasakkusuk melakukan penyelidikan?"
'Tidak dapat tidak mayat yang kami buang di lereng gunung Merbabu pasti telah
mereka temukan!" Jawab Tikil.
"Kalau begitu kalian harus menemukan Datuk Kepala Besi. Beri tahu tokoh silat
golongan hitam itu untuk membunuh ketiga anak murid Kiyai Djoko Bening. Malam ini juga
kalian bertiga harus berangkat ke tempat kediaman sang Datuk di pantai Selatan!" Dari balik
pakaiannya orang di
atas kuda mengambil sebuah kantong uang lagi dan melemparkannya pada Randu.
"Berikan uang itu
pada Datuk Kepala Besi. Dan ingat, setelah kalian bertemu dengan sang Datuk,
kalian harus melenyapkan diri! Aku tidak ingin bertemu lagi dengan kalian. Apapun alasannya!
Kalian mengerti"!"
"Kami mengerti. Namun mohon uang bekal kami ditambah. Soalnya kalau kami pergi
dari sini, kami belum tentu akan dapat pekerjaan dengan cepat. Lalu bagaimana kami
memberi makan anak isteri kami..."
"Sialan, kalian hendak memerasku"!" hardik si penunggang kuda bercadar.
"Ternyata kalian
tidak bisa kupercaya!"
"Kami berdua mana berani memerasmu." yang menjawab adalah Randu. "Soal
kepercayaan dan kesetian kami tidak perlu diragukan. Yang kami khawatirkan justru si dukun
beranak itu!"
Orang di atas kuda jadi terkesiap mendengar kata-kata Randu. "Ucapannya mungkin
ada benarnya," katanya dalam hati. Lalu dia mengeluarkan sebuah kantong lagi dan
melemparkannya pada Randu. "Ambil dan pergi! Jangan kembali-kembali lagi!"
"Terima kasihi" ucap Randu sambil menyambut kantong yang dilemparkan lalu dia
memberi isyarat pada Tikil. Kedua orang ini segera menyeruak di balik semak belukar dan
lenyap. Di atas
hutan langit semakin mendung. Gelegar guntur terdengar dikejauhan disambut oleh
kerlapan kilat. Si
penunggang kuda segera putar binatang tunggangannya dan dengan cepat tinggalkan
rimba belantara
itu. * * * 6 "ISTRIKU..." kata Tumenggung Brojo Menggolo pada istrinya yang duduk terbatukbatuk di kursi besar di ruang tengah gedung kediaman mereka yang terletak di bagian
selatan Kotaraja. "Sudah
hampir seminggu puterimu Sintomurni belum juga kembali dari tempat kediaman guru
silatnya. Apakah aku perlu menyuruh orang untuk menjemputnya?"
Surti Retnoningsih sang istri terbatuk-batuk beberapa kali lalu membuang
dahaknya ke sebuah tempolong. Sudah sejak dua tahun ini perempuan itu menderita batuk
seperti itu. Berbagai
obat telah diminumnya. Berbagai orang pandai mulai dari dukun sampai ahli
pengobatan dari istana
coba mengobatinya tetapi sia-sia saja. Badan perempuan yang dulu gemuk montok
itu berangsur- angsur menjadi kurus. Dalam waktu dua tahun tubuhnya boleh dikatakan hanya
tinggal kulit pembalut
tulang. Wajahnya pucat.
Sintomurni adalah anak satu-satunya kedua suami istri itu. Tumenggung Brojo
Menggolo kawin dengan Surti Retnoningsih dalam usia yang agak lanjut yaitu empat puluh
lima tahun sedang
sang istri yang pada waktu itu adalah seorang janda berusia empat puluh tiga
tahun dan mempunyai
seorang anak perempuan dari suaminya yang terdahulu. Di usia sang Tumenggung
yang hampir enam
puluh maka anak tlrinya yaitu Sintomurni telah menjadi seorang gadis yang
mewarisi kecantikan dan
kebagusan tubuh ibunya di masa muda. Dan tentang gadis itulah kini yang tengah
dibicarakan kedua
suami istri itu.
"Jika anak itu memang tengah digembleng untuk mencapai tingkat ilmu yang lebih
tinggi, sebaiknya kita tidak usah mengganggu dan memanggilnya pulang. Tapi terus terang
sejak satu mingguan ini aku terus teringat padanya, bahkan sampai memimpikan anak itu. Aku
khawatir, janganjangan umurku ini hanya tinggal beberapa saat saja. Ada baikya kau memanggilnya
segera pulang, suamiku..."
"Kalau begitu segera akan kukirim orang menjemputnya," kata Tumenggung Brojo
Menggolo pula. "Kuharap kau jangan menyebut-nyebut soal mati itu Retno. Sakitmu memang
sulit disembuhkan. Tapi percayalah satu ketika kau akan sehat kembali." Sang
Tumenggung lalu berdiri.
Dia melangkah ke samping gedung besar, sesaat tegak seperti termenung disitu
sebelum akhirnya
menuju ke belakang untuk memanggil pengawal.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang lelaki bertubuh langsing berkulit
coklat pekat datang dengan diantar oleh seorang pengawal. Dialah Sangkolo Pratolo guru silat
Sintomurni, seorang
yang ikut menjadi tokoh silat istana karena kepandaiannya yang tinggi dan
dekatnya hubungannya
dengan Tumenggung Brojo Menggolo. Sang guru langsung diantar ke ruangan dimana
Tumenggung berada bersama istrinya.
Setelah menjura memberi hormat pada kedua suami istri itu dan dipersilakan
mengambil tempat duduk, Sangkolo Pratolo segera membuka mulut.
'Tumenggung, terus terang saya heran ada utusan yang hendak menjemput puteri
Tumenggung Sintomurni. Padahal puteri Tumenggung itu telah mohon diri dari
tempat saya tiga hari
yang lalu. Sesuai keterangannya dia berkata akan langsung pulang. Apakah dia
belum sampai kemari...?"
Tumenggung Brojo Menggolo menggeleng lalu saling pandang dengan istrinya. Jelas
ada bayangan rasa khawatir pada wajah perempuan yang pucat dan sakit-sakitan itu.
"Saya takut sesuatu
terjadi dengannya..." kata Retnoningsih dan air mata langsung saja meluncur ke
pipinya yang cekung.
"Jangan-jangan ada orang jahat yang melakukan sesuatu terhadapnya.
Menculiknya... . Menyekapnya
di satu tempat..."
"Sulit hal itu bisa terjadi Den Ayu Retno," sahut Sangkolo Pratolo. "Dengan
tingkat kepandaian yang dimilikinya sekarang tidak sembarang orang mampu berbuat yang
bukan-bukan terhadapnya..."
"Selama Sintomurni berada di tempat kediamanmu, apakah sampean melihat ada
kelainan- kelainan pada diri anak kami itu...?" bertanya Tumenggung Brojo Menggolo.
"Maksud Tumenggung...?" balik bertanya Sangkolo Pratolo.
"Maksudku mungkin sebagai gurunya, Sintomurni lebih terbuka terhadapmu dari pada
kami. Mungkin ada sesuatu yang menjadi unek-unekannya atau yang menggelisahkannya.
Misal siapa tahu
dia berselisih atau sedang marahan dengan pemuda kekasihnya yang bernama Damar
Bintoro itu..."
sahut Tumenggung pula.
"Tidak tampak tanda-tanda apa-apa Tumenggung. Juga tidak pernah dia mengatakan
suatu ganjalan pada saya."
"Kalau begitu kemana perginya anak Itu?" tanya Tumenggung Brojo Menggolo seraya
memandang pada istrinya yang tengah mengusut air mata. "Kita harus mencari tahu
dimana dia berada, suamiku..." berkata Retnonlngsih.
"Tentu... tentu saja. Aku akan memerintahkan para bawahanku. Bahkan aku sendiri
yang akan turun tangan. Dan Sangkolo Pratolo, aku minta kau juga melakukan pencarian..."
"Itu memang tugas saya, Tumenggung," sahut guru silat itu.
* * * 7 DJAROT memperhatikan sejenak danau kecil dihadapannya lalu memandang
berkeliling. Akhirnya murid tertua Kiyai Djoko Bening dari gunung Merbabu ini berkata:
"Walaupun mengeluarkan biaya tapi bermalam di penginapan lebih baik dari berkemah di
tempat ini. Terutama
bagimu Sulindari."
"Aku tidak takut berkemah di alam terbuka di tepi danau ini. Apa yang kau
kawatirkan kakak
Djarot?" bertanya Sulindari sambil mempermainkan gelang perak berukir kepala
ular yang dikenakannya di lengan kirinya. Seperti diketahui gelang itu adalah gelang yang
ditemukan pada lengan kiri mayat terpotong sebelas.
Karena tak mau dianggap pengecut akhirnya Djarot menyetujui usul kedua adik
seperguruannya untuk bermalam dan berkemah di tempat itu.
"Kalian mengusulkan maka kalian yang harus mencari kayu untuk perapian," kata
Djarot pula. Dalam waktu singkat Sulandari dan Rokonuwu telah mendapatkan kayu api yang
diperlukan. Begitu malam turun api unggun segera dinyalakan. Lalu ketiganya melakukan
sembahyang dengan
Djarot sebagai imam.
Pada saat menjelang akhir sembahyang Djarot mendengar suara mencurigakan di
balik semak belukar tak jauh dari perkemahan. Suara itu juga terdengar oleh kedua orang adik
seperguruannya yang membuat ketiganya jadi kurang khusuk melakukan sembahyang. Begitu memberi
salam Djarot segera berpaling pada kedua adiknya dan berbisik: "Kalian mendengar suara
mencurigakan itu...?"
Baik Rokonuwu maupun Sulandari sama-sama mengangguk.
"Aku punya firasat gerak-gerik kita tengah diintai seseorang," kata Djarot. Dia
memandang berkeliling. Tak ada gerakan, tak ada suara. Tapi itu hanya beberapa ketika
karena tiba-tiba sekali
kemudian terdengar suara orang menegur lantang merobek kesunyian malam.
"Dua pemuda satu pemudi di perkemahan, apakah kalian murid-murid Kiyai Djoko
Bening dari gunung Merbabu?"
Dengan gerakan tenang tiga orang di tepi danau berdiri. Mereka sama palingkan
kepala ke arah kegelapan di jurusan mana tadi datangnya suara menegur.
"Siapakah yang bertanya"!" menyahuti Djarot. "Keluarlah dari kegelapan agar kami
bisa mengenalimu!"
Terdengar suara mendengus. Lalu semak belukar di samping kanan tersibak dan
seorang lelaki muncul melangkah mendekati api unggun. Tiga murid Kiyai Djoko Bening
berpaling. Sungguh
aneh bagi mereka. Jelas-jelas orang yang tadi menegur lantang suaranya datang
dari sebelah kiri.
Bagaimana kini tahu-tahu muncul dari sebelah kanan"
"Orang ini memiliki ilmu seperti yang dikatakan guru. Ilmu memindahkan suara.
Dia berada di sebelah kanan tapi suaranya muncul di sebelah kiri..." begitu Djarot
membatin. Dan bersama
adiknya dia memandangi sosok tubuh yang kini tegak dekat api unggun itu.
Orang ini memiliki kepala botak plontos tampak berkilat-kilat terkena cahaya api
unggun. Dia mengenakan sehelai celana hitam sebatas lutut. Di sebelah atas dia bertelanjang
dada. Sehelai kain
hitam menyerupai selendang dililitkan di lehernya. Berada dalam kegelapan dan
sebagian tubuh serta
wajah orang ini tampak angker.
"Aku sudah keluar dari tempat gelap. Sekarang apakah kalian mengenaliku"!" tanya
si botak seraya bertolak pinggang.
"Kami tidak mengenali siapa dirimu ki sanak!" sahut Djarot dengan polos.
Si botak tertawa. "Kalian tidak kenal aku, tapi aku kenal siapa kalian! Bukankah
itu hebat"!"
Kembali si botak ini tertawa. Dia membungkuk mengambil sebatang kayu sebesar
lengan yang jadi
penyala api unggun. Kayu besar itu tiba-tiba dihantamkannya kuat-kuat ke
kepalanya yang botak.
Kraak!!! Bukan kepalanya yang pecah atau remuk tapi kayu api itu yang patah berkepingkeping.

Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kepalanya yang botak jangankan luka, lecet sedikitpun tidak.
Tiga murid Kiyai Djoko Bening yang baru saja turun gunung tentu saja tercengang
kagum melihat hai itu. Malah Rokonuwu sempat berseru: "Hebat luar biasa!"
Si botak tertawa mengekeh. "Baru itu saja kalian sudah terlongong-longong!
Padahal itu belum seberapa!" katanya. "Lihat ini!" Si botak berseru lalu dia berlari dengan
kepala ditekuk ke arah
sebatang pohon besar di tepi danau. Kepala dan batang pohon beradu keras.
Seperti tadi terdengar suara kraak keras sekali. Batang pohon hancur dan pohon
itu kemudian tumbang dengan mengeluarkan suara menggemuruh.
Djarot, Sulindari dan Rokonuwu sama ternganga dan saling pandang, namun Djarot
diam- diam bertanya-tanya dalam hati apa sebenarnya tujuan si botak tak dikenal itu
memperagakan kehebatan kepalanya yang sanggup menghancurkan batang kayu malah menumbangkan
pohon. "Ki sanak yang memiliki ilmu hebat, kami benar-benar mengagumi kehebatanmu.
Kalau kami boleh bertanya siapakah ki sanak ini?" bertanya Djarot.
Si botak tertawa panjang sambil mengusap-usap kepalanya yang botak. "Dunia
persilatan mengenal aku dengan gelar Datuk Kepala Besi. Puluhan tahun aku menjadi raja
diraja daerah selatan!" Baik Djarot maupun dua saudara seperguruannya memang belum pernah mendengar
gelar itu. Gurunya pun tak pernah menceritakan tentang manusia satu ini. Tapi untuk
menyenangkan hati si
botak Djarot berkata lagi: "Ah, ternyata gelarmupun hebat sekali ki sanak. Kami
senang dapat mengenal orang berkepandaian tinggi sepertimu..."
"Bagus... bagus! Anak muda kau bicara sopan dan sikapmu baik terhadapku. Itu
mengurangi hukuman yang bakal aku jatuhkan terhadap kalian bertiga!"
"Hukuman...?" ujar Djarot dan Rokonuwu hampir bersamaan. "Hukuman apa maksudmu
ki sanak?" "Kalian bertiga telah melakukan satu dosa besar. Membunuh seorang gadis,
memotong- motong mayatnya lalu membuangnya di lereng Merbabu!"
"Astaga!" seru Djarot. "Justru guru kami Kiyai Djoko Bening memerintahkan kami
turun gunung untuk menyelidiki peristiwa pembunuhan yang keji itu."
"Kau pandai bersilat lidah dan berani berdusta terhadapku! Aku menuduh bukan
hanya asal gembreng! Aku punya bukti! ayo katakan dari mana gadis satu ini mendapatkan
gelang perak berkepala ular itu!"
Sulindari terkejut dan seperti sadar pegangi gelang di lengan kirinya. Lalu dia
cepat cepat membuka mulut: "Gelang ini memang milik korban pembunuhan itu. Guruku sengaja
mengambilnya dan diberikan pada kami untuk bahan mencari bukti siapa adanya gadis itu dan
siapa pembunuhnya!"
"Siapa bisa percaya pada ucapan dan keterangan kalian!" sahut Datuk Kepala Besi.
"Seperti aku bilang tadi hukuman untuk kalian bertiga akan kuperingan sedikit. Kalian dua
pemuda tetap akan
kubunuh sedang gadis ini kuberi ampun tapi dengan syarat harus ikut aku ke
tempat kediamanku di
pantai selatan!"
Mendengar ucapan Datuk Kepala Besi itu tiga murid Kiyai Djoko Bening serta merta
tegak berpencar. "Kami tidak melakukan pembunuhan! Tuduhanmu tidak berdasar!" teriak Rokonuwu.
"Manusia botak ini hanya mencari-cari dalih. Tujuan sebenarnya adalah hendak
berbust jahat terhadapku!" berkata Sulindari
Datuk Kepala Besi tertawa. Sejak semula sesuai dengan pesan si pemberi uang, dia
sudah bertekad untuk membunuh tiga murid Kiyai Djoko Bening itu. Namun dia sama sekali
tidak menduga kalau murid yang perempuan ternyata adalah seorang yang cantik jelita. Begitu
melihat hatinya
langsung terpikat dan nafsu bejatnya menggelegak.
"Gadis cantik, mana ada niat dihatiku hendak berbuat jahat terhadap dirimu.
Justru aku membawamu ke pantai selatan untuk kujadikan permaisuriku. Ha...ha... ha!"
"Manusia tidak tahu diri!" bentak Sulandari. "Kehebatan ilmumu memang membuat
aku kagum. Tapi tampangmu yang buruk hanya cukup pantas jadi ganjalan roda pedati!"
"Hemmm... Gadis cantik, kalau bukan kau yang menghinaku seperti itu pasti sudah
kurobek mulutnya!" Sepasang mata Datuk Kepala Besi berkilat-kilat. Dia berpaling pada
Djarot dan Rokonuwu. "Apakah kalian sudah siap menerima kematian"!"
"Kami tidak bersalah! Jika kau berniat jahat kami terpaksa membela diri" sahut
Djarot. "Kakak Djarot!" tiba-tiba Sulindari berseru. "Jangan-jangan si botak ini yang
telah membunuh dan mencincang gadis yang mayatnya ditemukan di lereng Merbabu itu!"
"Bisa jadi! Kalau tidak mengapa dia bisa tahu siapa pemilik gelang di lengan
kirimu itu!"
menyahut Djarot.
Mendengar kata-kata Sulindari dan Djarot itu Datuk Kepala Besi menggereng.
Mukanya mengelam dan rahangnya menggembung. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke arah
Djarot, langsung melancarkan satu serangan berupa jotosan deras ke arah dada si pemuda.
Djarot mainkan ilmu silat yang dipelajarinya dari Kiyai Djoko Bening. Tubuhnya
berkelebat dalam satu gerakan mengelak yang gesit. Lalu dia berusaha membalas. Karena
merasa tidak ada
silang sengketa dengan si botak itu, sebagai seorang pemuda yang berhati polos
Djarot tak mau membalas dengan sepenuh hati. Dia hanya berusaha menggaet kaki lawan agar lawan
jatuh tergelimpang. Tapi serangan itu terlalu empuk bagi tokoh silat golongan hitam
dari pantai selatan itu.
Dengan satu gerakan berputar yang aneh, Datuk Kepala Besi melompat dan tahu-tahu
sudah berada di
atas Djarot. Tangan kananya mengemplang ke arah kepala pemuda itu. Sekali
hantaman itu mengenai
sasarannya kepala si pemuda pasti akan pecah, paling tidak rengkah.
Djarot memiliki ketenangan yang mengagumkan. Sambil merunduk dia miringkan
kepala. Begitu pukulan lawan lewat di samping pelipisnya dengan satu gerakan cepat dia
berhasil menangkap
lengan Datuk Kepala Besi dengan kedua tangannya, lalu membetotnya keras-keras
hingga tubuh si
botak itu terlontar ke bawah siap menghunjam tanah.
Datuk Kepala Besi kaget dan marah ketika dapatkan dirinya sempat ditarik lawan
seperti itu. Sebagai orang yang sudah banyak pengalaman dia hanya mengikuti arah tarikan
lengan Djarot, tapi
begitu jaraknya berada lebih dekat sikut kanannya tiba-tiba menusuk ke arah
tulang-tulang iga si
pemuda. Kraak! Terdengar suara patahnya dua tulang iga kanan disertai pekik kesakitan keluar
dari mulut Djarot. Tubuh pemuda ini terhuyung ke belakang beberapa langkah. Sambil pegangi
tubuhnya yang cidera murid Kiyai Djoko Bening ini berusaha mengimbangi diri agar tidak jatuh.
Saat itulah Datuk
Kepala Besi datang dari depan, berlari kencang dengan kepala merunduk. Laksana
banteng menanduk. Djarot yang sudah melihat sendiri kehebatan serta keganasan kepala manusia itu
dalam keadaan menahan sakit segera salurkan tenaga dalamnya penuh ke tangan kanan.
Begitu kepala sang
datuk tinggal satu langkah dari hadapannya maka tinjunya dihantamkan sekeraskerasnya ke kepala
lawan. Buuuk!!! Kepala botak itu terdongak ke atas. Tubuh Datuk Kepala Botak terjajar dua
langkah. Tapi sang datuk sendiri tampak tertawa lebar seolah-olah jotosan yang keras itu
hanyalah satu usapan
belaka. Kepalanya sama sekali tidak cidera. Sebaliknya Djarot terlempar empat
langkah, jatuh di tepi
danau. Kepalan tangan kanannya lecet dan tangan itu menjadi kaku sakit sampai
sebatas bahu. Selagi Djarot mencoba bangkit dalam keadaan kesakitan seperti itu, Datuk Kepala
Besi mendatangi dengan melompat. Kaki kanannya dihunjamkan ke bagian bawah perut si
pemuda. Djarot berusaha menggulingkan tubuh menghindari injakan yang dapat membuatnya cacat
seumur hidup itu
bahkan menemui ajal. Namun dua tulang iga yang patah dan tangan kanan yang
cidera berat membuat
gerakannya menjadi lamban hingga tak sanggup selamatkan tubuhnya dari injakan
kaki lawan. Di saat yang kritis itu tiba-tiba berkelebat dua bayangan disusul dengan
menderunya dua rangkum sinar kelabu yang dahsyat.
Datuk Kepala Besi berseru kaget ketika merasakan tubuhnya seperti ditabrak dua
batu besar, lalu ada dua gelungan asap kelabu menjirat tubuhnya. Yang satu menarik ke atas
dan satu lagi membetot ke bawah siap membuat badannya tersobek-sobek dan terkutung putus.
"Pukulan Selangit Tembus Sebumi Putus!" seru Datuk Kepala Besi. Dia memang
pernah mendengar ilmu pukulan yang dimiliki Kiyai Djoko Bening itu namun tidak menduga
sedemikian dahsyatnya. Cepat-cepat tokoh silat golongan hitam dari selatan ini kerahkan
tenaga dalamnya lalu
menghantam dengan kedua tangan, satu ke atas satu ke bawah. Setelah itu dia
buru-buru jatuhkan diri
dan bergulingan di tanah beberapa kali, lalu bangkit dengan cepat dan menghantam
ke depan. Memang inilah salah satu cara untuk menghindar dan menyelamatkan diri dari
pukulan sakti tadi.
Rokonuwu dan Sulindari terbelalak ketika melihat bagaimana pukulan sakti yang
selama bertahun-tahun mereka pelajari di puncak gunung Merbabu ternyata tidak sanggup
merobohkan lawan. Hanya ada satu dari dua kemungkinan. Lawan memang sangat tangguh atau
tenaga dalam dan
ilmu pukulan yang mereka kuasai belum mencapai tingkat yang dapat diandalkan.
Namun keduanya masih bisa merasa lega karena pukulan-pukulan yang tadi mereka lepaskan sanggup
menyelamatkan kakak seperguruan mereka dari injakan maut Datuk Kepala Besi.
Di hadapan mereka Datuk Kepala Besi tampak komat-kamit, lalu menyeringai sambil
usap- usap kepalanya yang botak.
"Bagus, kalian berdua mau ikut-ikutan mampus! Gadis cantik! Aku nasihatkan
padamu agar menjauh dari kalangan pertempuran! Jika sabarku hilang aku tidak segan-segan
membunuhmu sekaligus!" Sang datuk mengancam.
Sulindari tidak merasa jerih. Malah dia menyahuti: "Kepala botakmu itu sudah
saatnya ditanggalkan dari leher!" sang dara lalu berbisik pada adik seperguruannya.
"Roko, kita harus
menyerang dan bertahan dengan pukulan sakti tadi! Itu pukulan paling tinggi yang
kita miliki! Jangan
beri kesempatan dia menyerudukkan kepalanya! Begitu dia maju kau menghantam ke
arah kepalanya,
aku ke arah badan lalu cepat-cepat menghindar. Sebelum dia bergerak kita harus
kembali menghantam!"
"Aku menurut katamu saja, Sulin... Awas! Bangsat itu hendak menyerang kembali!"
Rokonuwu berseru ketika dilihatnya Datuk Kepala Besi menyerbu ke arahnya dengan
kepala botaknya menyeruduk lebih dahulu.
Untuk menghadapi serangan ganas itu kembali dua murid Kiyai Djoko Bening itu
lepaskan pukulan "Selangit Tembus Sebumi Putus". Tetapi sekali ini keduanya tertipu.
Karena begitu mereka
menghantam ke depan, lawan yang diserang tiba-tiba lenyap. Lalu dari samping ada
suara menderu. Sulindari berpaling dan berteriak ketika melihat Datuk Kepala Besi tahu-tahu
sudah berada dekat
sekali di belakang Rokonuwu dan siap menubrukkan kepala besinya ke punggung adik
seperguruannya itu.
"Roko! Awas punggungmu!" teriak Sulindari.
Sadar bahaya mengancamnya dari belakang Rokonuwu cepat melompat ke depan sambil
lepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi. Tapi celaka tangan yang siap
memukul itu sempat
tercekal tangan kanan Datuk Kepala Besi sementara kepala botaknya tetap terus
menderu menyeruduk
ke punggung Rokonuwu.
Tak ada jalan lain bagi Sulindari. Untuk menyelamatkan adik seperguruannya itu
gadis ini langsung melompati tubuh Datuk Kepala Besi. Kedua tangannya mendorong bagian
bahu dan pinggang sang datuk. Sulindari memang berhasil menyelamatkan Rokonuwu namun kini
dia yang masuk ke dalam perangkap lawan. Begitu tubuhnya terdorong keras ke samping,
Datuk Kepala Besi
cepat menangkap salah satu tangan gadis itu. Keduanya jatuh saling tumpang
tindah dan terguling
beberapa kali. Ketika gulingan itu berhenti dan Sulindari berusaha bangun dengan
cepat sambil memukul dada Datuk Kepala Besi, baru gadis ini menyadari bahwa sekujur tubuhnya


Wiro Sableng 048 Memburu Si Penjagal Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah kaku, tangannya tak bisa bergerak. Ternyata sewaktu terguling-guling tadi Datuk Kepala
Besi sempat menotok tubuhnya.
"Ha...ha...ha! Di atas tanah saja kau sudah menunjukkan kehebatanmu bergulingguling! Di atas ranjang kau pasti lebih hebat dan binal!" Datuk Kepala Besi tertawa
bekakakan. "Manusia bejat! Lepaskan totokanku! Jika kau laki-laki mari bertempur sampai
seribu jurus!"
teriak Sulindari.
Datuk Kepala Besi kembali tertawa mengekeh. "Kau sanggup melayaniku sampai
seribu jurus"! Ha...ha...ha! Gadis hebat! Tunggulah, kita nanti akan bertempur di atas
ranjang! Ha... ha...
ha!" "Manusia keji! Mulutmu pantas dirobek!" satu suara membentak. Itulah suara
Rokonuwu yang saat itu langsung menyerbu dengan satu cakaran kilat ke arah mulut Datuk
Kepala Besi. Sang
datuk anggap remeh serangan ini. Dia julurkan kepalanya. Cakaran Rokonuwu
menyambar tepat pada
bagian atas kepala. Tapi dia seperti mencakar benda licin dan ketika tubuhnya
terpuntir akibat
dorongan bobot badannya sendiri, pemuda ini tidak sanggup mengelakkan jotosan
yang dilepaskan
lawan ke arah lambungnya.
Rokonuwu mengeluarkan suara seperti muntah. Tubuhnya mencelat hampir dua tombak,
jatuh terkapar di tepi danau. Sebagian tubuhnya, sebatas punggung sampai kepala
malah masuk ke dalam air membuatnya megap-megap dan sulit bernafas. Dengan susah payah pemuda
ini berusaha menyeret tubuhnya sendiri keluar dari air. Dia berhasil melakukan itu tetapi
untuk berdiri ataupun
duduk tak sanggup dilakukannya. Perutnya yang kena dijotos lawan seperti pecah
mendenyut sakit
bukan kepalang.
Di bagian lain Djarot tampak terbujur mengerang kesakitan. Tangan kanannya yang
cidera berat membuatnya tak sanggup berdiri.
Datuk Kepala Besi berdiri bertolak pinggang. "Kini membunuh kalian berdua
semudah membalikkan telapak tanganku!" katanya seraya memandang pada Rokonuwu lalu pada
Djarot. "Tapi...sebelum kalian menghadap malaikat maut, aku ingin menyuguhkan satu
hiburan luar biasa
bagi kalian berdua!"
"Apa yang hendak kau lakukan manusia jahat"!" teriak Sulindari.
"Ah, gadisku cantik... Kau cepat sekali bertanya. Itu tanda hatimu sudah jadi
satu dengan hatiku! Ha...ha...ha...! Kau tenang-tenang sajalah. Sebentar lagi kau akan
kubawa ke sorga!"
"Datuk Kepala Besi! Terkutuk kau jika berani menyentuh adik seperguruanku!"
berteriak Djarot dari tempatnya terbujur.
Datuk Kepala Besi melangkah ke tempat Djarot terkapar, lalu membungkuk dan
bertanya; "Anak muda, pernahkah kau melihat tubuh gadis itu tanpa pakaian....?"
"Bangsat! Kau benar-benar terkutuk! Kau dajal!" teriak Djarot.
Datuk Kepala Besi tepuk-tepuk muka Djarot lalu tinggalkan pemuda itu. Dia pergi
mendapatkan Rokonuwu dan disini mengajukan pertanyaan yang sama.
"Iblis! Kau Iblis bukan manusia!" desis Rokonuwu.
Datuk Kepala Besi menyeringai lebar. Kini dia melangkah mendekati Sulindari.
Lalu duduk di samping si gadis dan mulai mengusap-usap wajah Sulindari.
"Jahanam terkutuk!" teriak Sulindari. Dia berusaha menggigit tangan lelaki itu
tapi tak berhasil. Djarot dan Rokonuwu sama-sama berusaha untuk dapat berdiri guna
menolong saudara
seperguruan mereka itu. Tapi keduanya tidak mampu bergerak, apalagi berdiri.
"Gadisku cantik... jangan terlalu memaki. Saat ini kau anggap aku jahanam.
Sebentar lagi kau
tak akan mau kutinggalkan lagi! Kau akan lengket kemana aku pergi! Ha...
ha...haaa!" Datuk Kepala
Besi tertawa panjang. Ketika tawanya berhenti dia berkata: "Gadisku cantik, aku
akan membuka celanaku! Setelah itu aku akan membuka pakaianmu! Nah kau suka bukan...?" Habis
berkata begitu si
kepala botak ini benar-benar membuka celana hitamnya.
Sulindari berteriak keras ketika melihat Datuk Kepala Besi tanpa pakaian sama
sekali kini membungkuk meneduhi tubuhnya dengan nafas memburu. Gadis ini kembali berteriak
ketika sang datuk merenggut robek baju birunya dengan kasar. Tiba-tiba nafas sang datuk yang
memburu seperti
tertahan. Beberapa langkah di hadapannya, dekat semak belukar dia melihat satu
Tamu Aneh Bingkisan Unik 4 Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau Pendekar Buta 8

Cari Blog Ini