Ceritasilat Novel Online

Bujang Gila Tapak Sakti 2

Wiro Sableng 071 Bujang Gila Tapak Sakti Bagian 2


yang enak itu. Tapi kenapa buru-buru mau pergi?" Warok Wesi Randuabang.
Angling Kamesworo tidak menjawab. Dia melompat ke atas kudanya dan memberi
isyarat pada kusir kereta serta dua belas perajurit untuk segera bergerak
meninggalkana tempat itu.
Warok Wesi Randuabang cepat menggerakkan kudanya. Empat kawannya
mengikuti. Kelimanya kini berada di depan rombongan dan jelas-jelas menghadang.
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Anak muda, kalau aku bilang jangan buru-buru pergi kau harus patuh!"
membentak Warok Wesi Randuabang. "Apa kau tidak tahu berhadapan dengan siapa"!"
"Kau yang buta tidak tahu berhadapan dengan siapa!" balas membentak Angling
Kamesworo. "Aku tidak buta anak muda! Kau mengenakan pakaian perwira dan ada dua belas
orang berseragam perajurit. Jelas kalian adalah sekelompok pasukan kerajaan."
Warok Wesi Randuabang berpaling pada teman-temannya. Lalu bertanya "KAwan-kawan,
apakah ada bedanya bagi kita kalau mereka adalah cecunguk-cecunguk kerajaan atau
bukan?" "Tentu saja tidak!" menyahuti salah seorang anak buah Warok Wesi
Randuabang. "Sekalipun mereka srombongan setan atau jin pelayangan tentu saja tak ada
artinya bagi kita!" menyahuti anak buah yang lain.
Warok Wesi Randuabang menyeringai. "Anak muda, kau dengar apa yang dikatakan
teman-temanku."
"Kalian membuatku jijik dan lama-lama aku bisa jengkel! Lekas menyingkir.
Jangan menghalangi jalan!" bentak Angling Kamesworo.
"Lagakmu memuakkan!" tukas Warok Wesi Randuabang, Kepala rampok
hutan Randuabang ini menarik tali kekang mudanya, hendak bergerak ke arah
Angling Kamesworo. Tapi salah seorang anak buahnya cepat mendahului seraya
berkata. "Gembel kerajaan ini biarkan aku yang membereskan!"
Anak buah Warok Wesi Randuabang yang satu ini segera menggebrak
kudanya. Bersamaan dengan itu dia mencabut goloknya. Senjata ini membabat begitu
dia sampai di hadapan Angling Kamesworo.
Perwira muda kerajaan ini cepat merunduk. Kelihatannya dia seperti hendak
menysupkan satu jotosan ke dada lawan.
Melihat gelagat ini anak buah Warok Wesi putar pergelangan tangannya.
Senjatanya kini menderu ke bawah. Siap untuk membabat putus tangan Angling
Kamesworo. Semua orang di pihak rombongan kerajaan yang menyaksikan itu menjadi
terpaku tegang. Sekar Mindi pejamkan mata dan tekap mulutnya kuat-kuat agar
tidak mengeluarkan suara jeritan. Kalau pemuda pelindungnya itu sampai celaka
dan tewas di tangan kawanan rampok hutan berarti dirinya sendiri tak bisa
diselamatkan dan akan jatuh ke tangan gerombolan rampok Warok Wesi Randuabang.
Tubuh gadis ini jadi menggigil dan wajahnya pucat tak berdarah menghadapi
kenyataan ini. Tetapi apa yang terjadi kemudian justru mengejutkan Warok Wesi dan kawankawannya. Di kala mereka sudah memperkirakan lengan perwira muda itu akan
dibabat putus tiba-tiba tubuh Angling Kamesworo merunduk hampir sama datar
dengan punggung kuda. Bersamaan dengan itu kaki kirinya melesat ke depan.
Bukkk! Ujung kaki Angling Kamesworo menghantam lambung anak buah Warok
Wesi hingga mengeluarkan suara bergedebukan sedang dari mulutnya meledak suara
jeritan keras. Tubuhnya terpental dari punggung kuda lalu jatuh punggung
terkapar di tanah, goloknya terlepas mencelat ke udara yang dengan cepat segera
disambar oleh sang perwira muda.
Selagi Warok Wesi dan tiga orang anak buahnya terkesiap melihat kejadian itu
dari atas pohon terdengar suara tertawa bergelak. Jika kita layangkan pandang ke
arah pohon itu ternyata di cabang pohon kini bukan hanya Santiko alias Bujang
Gila Tapak BASTIAN TITO
24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sakti saja yang kelihatan duduk di sana melainkan di sebelahnya kini tampak ikut
duduk seorang pemuda berambut gondrong mengenakan pakaian putih-putih.
"Dut, bagi lagi aku daging panggangnya," kata si gondrong.
"Ah, dagingku tinggal sedikit. Tapi baiklah. Kuberikan secuil lagi!" Lalu Bujang
Gila Tapak Sakti memberika sepotong kecil lagi daging panggangnya pada pemuda di
sampingnya. Keduanya mengunyah daging itu sambil tertawa-tawa.
"Aku sudha lama mencarimu, syukur-syukur sekarang bisa ketemu!" kata si
gondrong. "Aku merasa tidak perlu mencarimu. Karena aku yakin kau pasti mencariku!
Buktinya sekarang kita ketemu! Ha...ha...ha....!" Bujang Gila Tapak Sakti
mengipas-ngipaskan kipas kertasnya ke wajahnya yang keringatan. Saat itulah
tendangan Angling Kamesworo mendarat di lambung anak buah Warok Wesi hingga
rampok satu ini jatuh ke tanah. Tak berkutik lagi karena tulang punggungnya
patah. Bujang Gila Tapak Sakti dan si gondrong tertawa gelak-gelak melihat
kejadian itu. Warok Wesi Randuabang melirik ke arah cabang pohon. Dia tidak
mengenali siapa adanya si gendut berkopiah kupluk dan berbaju yang kancingnya
terbalik itu. Namun dia segera mengenali pemuda satunya yang berambut gondrong.
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng....." membatin Warok Wesi.
Hatinya mendadak santak jadi tidak enak. Dia memberi isyarat pada tiga orang
anak buahnya. "Kalian lekas keroyok perwira muda itu. Aku akan melakukan
sesuatu." Habis berkata begitu Warok Wesi menggebrak kudanya ke kanan seolaholah dia hendak meninggalkan tempat itu. Namun di satu tempat dia membelok lagi
dan memacu kudanya ke arah kereta.
"Lindungi kereta!" teriak Angling Kamesworo.
Sua belas perajurit segera bergerak mengamankan kereta dimana puteri patih
kerajaan berada.
Angling Kamesworo sendiri segera menyambut serangan tiga orang anak buah Warok
Wesi. Ketiganya menyerang dengan golok di tangan.
"Kalian mencari mampus!" hardik perwira muda itu.
Golok di tangannya berputar aneh. Tiga orang anak buah Warok Wesi merupakan
penjahat-penjahat yang memiliki kepandaian memainkan golok tingkat tinggi.
Selama bertahun-tahun malang melintang dalam rimba Randuababng dan sekitarnya
Warok Wesi menyempatkan diri untuk mengajarkan ilmu golok itu pada empat orang
anak buahnya. Walau masih belum sempurna betul namun kehebatan mereka memainkan
senjata tajam itu tidak bisa dianggap rendah. Namun sekali ini ketiganya kena
batunya. Yang mereka hadapi adalah seorang perwira muda berkepandaian tinggi
calon patih kerajaan!
Tiga anak buah Warok Wesi sesaat jadi terkesiap ketika melihat golok yang ada di
tangan perwira muda itu seolah berubah menjadi sepuluh buah, menyambar dengan
mengeluarkan suara berdesing menggidikkan.
Trang....trang....trang!
Tiga kali bunga api berpijar di udara pagi. Tiga seruan tertahan keluar dari
mulut tiga orang anak buah Warok Wesi. Telapak tangan yang memegang golok terasa
pedas. Senjata di tangan masing-masing hampir saja terlepas mental dalam satu
bentrokan golok secara kilat tadi.
Sadar kalau lawan mereka memiliki kepandaian tinggi, salah seorang dari
pengeroyok berseru.
"Keluarkan jurus bintang bertabur!"
Ilmu silat mengandalkan golok yang disebut jurus bintang bertabur itu sebenarnya
harus dimainkan oleh lima orang. Namun karena merasakan adanya BASTIAN TITO
25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ancaman maka tiga orang perampok hutan Randuabang itu lekas-lekas saja
mengeluarkannya dengan maksud dapat menghabisi lawannya.
Begitu jurus bintang bertabur itu dimainkan walau Cuma oleh tiga orang saja,
Angling Kamesworo merasakan dirinya menghadapi serangan laksana curahan hujan
yang bertabur dari arah berbeda-beda. Baru saja dia mementahkan atau menangkis
satu serangan lawan, dari jurusan lain datang pula serangan baru. Dihadapinya
serangan satu ini, gempuran datang menderu dari jurusan lain. Hanya dengan
kehebatan dan kecepatannya bergerak perwira muda itu sanggup lolos dari
serangan-serangan maut walau dua kali pakaiannya robek besar disambar ujung
senjata lawan-lawannya.
Angling Kamesworo kertakkan rahang. Dia keluarkan suara membentak
nyaring lalu menghadapi keroyokan tiga lawannya dengan gebrakan-gebrakan aneh
yang secara perlahan-lahan membuat dia sanggup bertahan lalu balas mendesak
lawan dengan tusukan atau babatan maut!
Di bagian lain, ketika melihat dua belas perajurit melindungi kereta, Warok Wesi
Randuabang segera hunus golok besarnya. Tanpa tedeng aling-aling dia menggebrak
ke arah kereta. Para perajurit yang mengawal tentu saja tidak mau tinggal diam.
Enam orang langsung menyongsong sedang enam lainnya tetap bersiaga menjaga
keselamatan kereta.
Enam perajurit yan gmnyambut kedatangan Warok Wesi Randuabang itu dua
memegang golok, tiga menggenggam pedang dan satu lagi bersenjatakan tombak.
Enam senjata berserabutan ke arah kepala, dada dan perut Warok Wesi. Sang Warok
ganda tertawa. Golok besar di tangannya berkiblat lenyap. Terdengar suara
berdentrangan. Lalu dua jeritan merobek langit. Dua sosok tubuh roboh ke tanah
bermandikan darah. Mereka adalah perajurit yang memegang golok dan pedang.
Empat temannya karuan menjadi gugup. Tapi sadar akan kewajiban dan tanggung
jawab besar mereka atas keselamatan puteri patih kerajaan maka keempat perajurit
ini kembali menyerbu Warok Wesi. Namun keberanian meraka hanya satu kesia-siaan
belaka. Sekali lagi golok di tangan kepala rampok hutan Randuabang itu berkiblat, dua perajurit lagi roboh ke tanah meregang nyawa. Dua
kawannya yang hampir putus nyali segera memberi isyarat pada enam temannya yang
berada di sekitar kereta. Tiga orang segera bergerak, tiga lagi tetap berjagajaga. Kini ada lima perajurit menghadapi Warok Wesi.
"Kalau kalian sayang jiwa lekas minggat dari sini. Kalau tidak kalian akan
merasakan akibatnya!"
Lima perajurit itu rupanya tidak takut akan gertakan Warok Wesi. Dengan cepat
mereka menggebrak memulai serangan. Kali ini mereka menjaga jarak dan bertindak
hati-hati. Tiga jurus pertama mereka bisa bertahan bahkan sesekali melancarkan
serangan yang cukup membuat kepala rampok itu sibuk. Namun jurus-jurus
berikutnya satu persatu mereka menemui ajal dibabat atau ditusuk golok besar di
tanagn Warok Wesi.
Dati tiga orang sisa perajurit yang mengawal kereta hanya satu saja yang mencoba
berjibaku menusukkan goloknya ke punggung Warok Wesi yang saat itu lengah ketika
sibuk membunuhi kawan-kawannya yang lima. Dua lainnya sudah kabur ketakutan.
Perajurit yang satu ini berhasil menusukkan senjatanya ke punggung kepala
perampok itu. Namun alangkah kagetnya ketika menyaksikan bagaimana dia seolah
menusuk batu yang keras. Ternyata sang warok tidak mempan senjata tajam!
Tidak percuma dia menyebut diri sebagai Warok Wesi.
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Pembokong sialan!" rutuk Warok Wesi. Dia memutar tubuh. Tangan kirinya bergerak
mencekik leher si perajurit. Lalu seperti seorang membelah kelapa, golok di
tangannya menetak batok kepala perajurit itu!
"Keparat!" maki Warok Wesi ketika muncratan darah membasahi muka dan pakaiannya.
Dengan lengan bajunya dia menyeka noda darah lalu melompat turun dari atas kuda
dan lari ke arah kereta.
Di atas pohon si gendut berpeci hitam kupluk menepuk bahu si gondrong.
"Sobatku gondrong! Aku mau tanya, sebetulnya kenapa kau mencariku"!"
"Soal kecil saja," jawab Pendekar 212 Wiro Sableng. "Aku dimintakan bantuan oleh
si Kerbau Bunting itu....."
"Kerbau Bunting katamu?" tanya Bujang Gila Tapak Sakti. Dia berpikir sejenak.
Lalu dia berkata.
"Ah! Pasti si Dewa Ketawa itu! Paman sialan! Dia yang memendam aku sampai
karatan di lobang inti es di puncak gunung Mahameru! Bantuan apa yang
dimintanya" Sudah! Kau tak usah menjawab! Aku sudah tahu!"
"Tahu apa?" tanya Wiro menguji.
"Orang tua itu pasti minta bantuanmu untuk mendapatkan dua buah bonang
kelengkapan gamelan keraton! Betulkan......."!"
Wiro mengangguk lalu cepat berkata "Sudah dulu. Urusan dua buah bonang itu kita
tunda dulu. Ada hal yang lebih penting!"
"Apa maksudmu?"
Pendekar 212 menunjuk ke arah kereta.
"Kau lihat sendiri. Orang jahat itu berhasil merobohkan dua belas pengawal.
Kini dia tengah menuju kereta hendak menculik puteri patih kerajaan bernama
Sekar Mindi. Apakah kau tidak akan menolongnya"!"
"Perduli amat dengan gadis itu. Orang-orangnya tadi menghinaku habishabisan...."
"Tapi gadis itu tidak jahat padamu."
Si gendut tertawa sambil berkipas-kipas. "Kau suka padanya. Pasti!"
Wiro menyeringai. Dia memandang ke bawah pohon. Ke arah kereta. "Lihat, Warok
Wesi tengah menarik tubuh Sekar Mindi dengna paksa dari dalam kereta.....
Kau masih tak mau menolong gadis itu?"
"Kalau kau suka padanya, kau saja yang menolongnya!" jawab Bujang Gila Tapak
Sakti. "Kau gendut sialan!" maki Wiro sambil menggaruk kepala. Sekali dia berkelebat
tubuhnya melayang ke arah kereta dan menjejak tanah tepat di belakang Warok Wesi
yang tengah berusaha menarik Sekar Mindi keluar dari dalam kereta.
Gadis ini berusaha bertahan sambil berpegangan pada pinggiran pintu. Namun
apalah artinya kekuatan seorang perempuan dibanding dengan kekuatan Warok Wesi
seorang lelaki bertubuh kokoh besar yang sudah dirasuk setan. Sekali lagi dia
merengut maka Sekar Mindi akhirnya keluar dari kereta. Dengan cepat hendak
menotok gadis ini lalu mendukungnya di bahu kiri. Namun tiba-tiba dia merasakan
ada seseorang menepuk bahunya sambil memanggil.
"Warok...."
Warok Wesi menoleh. Begitu kepalanya menghadap ke belakang satu jotosan melanda
hidungnya. Pegangannya pada pinggang Sekar Mindi terlepas. Kepalanya seperti
dihantam palu godam. Sakitnya bukan main hingga dia menjerit keras. Tetapi
hebatnya jangankan berdarah atau cidera, hidung itu tidak berubah sedikitpun
kecuali hanya berwarna kemerah-merahan.
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kurang ajar! Setan alas ini ternyata kebal senjata tajam kebal pukulan!" kata
Wiro dalam hati. "Tak ada jalan lain,aku harus melumpuhkannya dengna totokan!"
lalu Wiro hendak menotok. Rupanya Warok Wesi tahu apa yang hendak dikerjakan
lawan. Didahului dengan bentakan garang kepala rampok ini menerkam ke depan.
Kedua tangannya seperti hendak mencengkeram leher Pendekar 212. Tapi tahu-tahu
salah satu tangannya menggebuk ke arah perut.
Bukkk! Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu mengeluh tinggi.
Tubuhnya terangkat sampai setengah tombak sebelum mencelat beberapa langkah.
Dari atas pohon terdengar suara tertawa bergelak. Yang tertawa bukan lain adalah
Bujang Gila Tapak Sakti.
"Sobatku Wiro. Bagaimana rasanya digelitik si Warok"!" mengejek si gendut.
"Kentut busuk!" maki Pendekar 212 seraya bangkit berdiri. Baru saja tegak, Warok
Wesi sudah berada di hadapannya melancarkan satu tendangan deras. Untung Wiro
masih sempat jatuhkan diri dan berguling menjauh. Namun lagilagi begitu dia
berdiri kembali kepala penjahat itu sudah berada di dekatnya dan siap
melancarkan serangan ganas. Kali ini Pendekar 212 tidak mau memberi hati lagi.
Dia menahan serangan lawan dengan jurus-jurus ilmu silat orang gila yang
didapatnya dari Tua Gila dari pulau Andalas. Begitu lawan kebingungan dan putus
asa karena semua serangannya luput maka Wiro lalu menggempur dengan jurus-jurus
kilat : membuka jendela memanah matahari, di balik gunung memukul halilintar,
kincir padi berputar dan kepala naga menyusup awan. Empat pukulan melanda muka,
dada dan perut Warok Wesi. Mukanya babak belur. Tubuhnya yang tinggi besar
terbanting ke tanah.
Untuk beberapa lama Warok Wesi terkapa tak bergerak.
"Tamat riwayatmu!" kata Wiro puas. Tapi kedua matanya jadi mendelik sewaktu
perlahan-lahan tubh yang terkapar itu bergerak. Lalu tiba-tiba Warok Wesi
membuat satu lompatan dan tahu-tahu dia sudah berdiri di hadapan murid Sinto
Gendeng itu.

Wiro Sableng 071 Bujang Gila Tapak Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iblis satu ini benar-benar kebal!" desis Pendekar 212. Dia mengerahkan tenaga
dalam siap untuk menghantam dengan pukulan sakti sinar matahari. Justru pada
saat itulah terdenga suara tawa bergelak dari atas pohon.
"Sobatku Pendekar 212! Coba kau bawa setan alas itu ke bawah pohon ini.
Aku akan tunjukkan padamu bagaimana memusnahkan kekebalan dirinya!"
Wiro mendongak ke atas pohon di mana si gendut Bujang Gila Tapak Sakti duduk
berjuntai uncang-uncang kaki sambil berkipas-kipas.
Melihat ke atas pohon, melupakan kedudukan lawan merupakan satu
kesalahan besar yang dibuat Wiro Sableng. Di saat dai bertindak lengah itu Warok
Wesi melompat sambil melayangkan jotosannya ke muka Wiro.
Pendekar212 merasakan kepalanya seolah meledak dan tanggal dari lehernya.
Tubuhnya mencelat jauh dan terbanting tepat di batang pohon di mana Bujang Gila
Tapak Sakti duduk berjuntai. Untuk beberapa lamanya pemandangannya gelap
berkunang-kunang. Dia hanya melihat samar-samar Warok Wesi melangkah
mendekatinya. Tangan kanannya memegang sebilah golok berdarah.
Di hadapan Wiro, Warok Wesi tegak sesaat. Mukanya seganas iblis. Seringai setan
bermain di mulutnya.
"Aku tidak pernah memimpikan hari ini akan membunuh tokoh paling
terkenal dalam dunia persilatan. Pendekar 212 hari ini tamat riwayatmu!"
Tangan Warok Wesi yang memegang golok mengayun ke bawah. Tapi baru setengah
jalan bacokan maut itu berjalan tiba-tiba dari atas pohon mencurah jatuh cairan
kuning. Cairan ini jatuh tepat menimpa kepala dan tubuh Warok Wesi BASTIAN TITO
28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Randuabang, malah bermuncratan mengenai Pendekar 212 yang duduk tersandar di
batang pohon. Dari mulut Warok Wesi keluar suara raungan dahsyat. Orang ini melangkah mundur
dengan muka pucat lalu mencak-mencak seperti orang gila. Kedua tangannya
berulang kali memegangi kepala dan bagian tubuhnya yang kecurahan cairan kuning
dari atas pohon. Lain halnya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu muncratan
air kuning dan hangat itu menerpa tubuhnya, dia segera tahu apa yang terjadi.
"Bujang Gila keparat! Apa yang kau lakukan" Kuputus burungmu!" Wiro berteriak
lalu berdiri. Si gendut di cabang pohon tertawa gelak-gelak. "Kau harus berterima kasih telah
kukencingi!" berseru Bujang Gila Tapak Sakti.
"Setan alas! Enak saja kau bicara begitu! Lihat mukaku basah kejatuhan cipratan
air kencingmu di kepala Warok sialan itu!"
"Anak tolol! Justru itu aku bilang kau harus berterima aksih. Kau Cuma
kecipratan. Lihat si Warok. Dia malah basah kuyup. Air kencingku membuat ilmu
kebalnya musnah tak manjur lagi ! "
"Pembohong besar ! Konyol ! " teriak Wiro masih sangat jengkel. "Turunlah biar
kugebuk tubuhmu sampai jadi pepes ! "
Bujang Gila Tapak Sakti tertawa mengekeh. "Kalau kau tak percaya mengapa tidak
dicoba " Coba kau hajar Warok itu sekali lagi ! "
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Diperhatikannya keadaan Warok Wesi
yang mencak-mencak, meraung sambil coba mengeringkan kepala dan tubuhnya yang
basah dengan kedua tangan. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk mengeringkan
air kencing Bujang Gila Tapak Sakti itu. Dengan wajah sangat ketakutan dia lari
ke kudanya, berusaha melarikan diri dari tempat itu. Apalagi tiga orang anak
buahnya yang terakhir sudah menemui ajal pula di tangan Angling Kamesworo.
"Mungkin apa yang diucapkan si gendut sialan itu benar. Kalau tidak mengapa
Warok Wesi sampai berusaha melarikan diri dengan sangat ketakutan seperti itu. "
Memikir sampai disitu Pendekar 212 segera melompat mengejar Warok Wesi yang saat
itu baru saja menggebrak kudanya hendak melarikan diri. Murid Sinto Gendeng ini
masih sempat mencekal pergelangan kaki kiri Warok Wesi lalu ditariknya kencangkencang, Tubuh Warok Wesi terbetot dari kuda tunggangannya. Binatang ini terus
saja berlari. Akibatnya sang Warok jatuh terbanting ke tanah. Sebelum dia sempat
bangkit tendangann kaki kanan Wiro bersarang di sisi kanannya.
Kraaakk ! Warok Wesi meraung keras. Empat tulang iganya berpatahan ! Dia berusaha bangkit.
Namun baru setengah duduk sebilah golok berkelebat membacok lehernya.
Sekali lagi terdengar suara raungan keluar dari tenggorokan Warok Wesi. Lalu
tubuhnya roboh kembali. Sekali ini tak bergerak lagi. Mati dengna leher hampir
putus. Perlahan-lahan Angling Kameswowo menjatuhkan golok yang dipegangnya
yang barusan dipakainya untuk membunuh kepala rampok hutan Randuabang yaitu
Warok Wesi Randuabang. Lalu dia menoleh ke atas pohon.
"Anak muda bernama Bujang Gila Tapak Sakti, turunlah. Kau telah berbuat jasa
pada kerajaan. Menyelamatkan puteri patih. "
"Ah siapa bilang aku menolong. Tadi aku kan Cuma kencing saja ! "
Pendekar 212 tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
"Gendut!" seru Wiro. "Kau turun sajalah! Orang mau bicara padamu ! "
Mendengar ucapan murid Sinto Gendeng itu Bujang Gila Tapak Sakti
melompat turun dari atas pohon. Tapi dia tidak melompat turun ke tempat di mana
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro dan Angling Kamesworo berada melainkan ke jurusan lain. Begitu dia
berkelebat si gendut inipun lenyap dari pemandangan.
"Astaga! Dia kabur!" seru Wiro. "Aku harus mengejarnya!"
"Tunggu!" kata Angling Kamesworo.
"Ada apa perwira?" tanya Wiro.
"Sobat muda berjuluk Pendekar 212, kau sudah kenal lama dengan anak gendut aneh
itu?" "Belum lama. Tapi dia telah beberapakali menolongku."
"Kau tahu dimana bisa mencarinya" Tahu tempat kediamannya mungkin?"
Wiro gelengkan kepala.
"Ada perlu apa kau hendak mengejarnya?" tanya Angling Kamesworo lebih lanjut.
"Ada urusan besar yang harus diselesaikannya."
"Menyangkut dua bonang milik keraton itu bukan?"
Wiro jadi garuk-garuk kepala.
"Pendekar 212. Ketahuilah, kau juga ikut berjasa menyelamatkan puteri patih
kerajaan. Jika kau mau ikut aku ke kotaraja, niscaya patih kerajaan akan
memberikan hadiah besar padamu......"
Wiro tersenyum. "Perwira, aku harus segera mengejar si gendut itu."
"Baiklah sobat. Atas nama kerajaan aku berterima kasih padamu. Satu hal harap
kau ingat baik-baik. Jika dua buah bonang pusaka itu kau temui, harap kau suka
mengembalikannya ke keraton."
Murid Eyang Sinto Gendeng mengangguk lalu tinggalkan tempat itu. Dia tak tahu
harus mengejar si gendut ke mana.
Sambil berlari dia menggerutu seorang diri. "Kalau tidak diminta oleh Dewa
Ketawa, aku tak akan mau menangani urusan gila brengsek ini ! "
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Biduk kecil itu meninggalkan Tanjung Lenggasana tepat dipertengahan malam Jum'at
Wage ketika bulan purnama empat belsa hari tertutup oleh ketebalan awan kelabu
kehitaman. Laut berombak tenang. Angin bertiup datar. Penumpang biduk, seorang
kakek berambut panjang riap-riapan sampai ke punggung duduk di bagian belakang
biduk. Tangan kirinya yang kurus tinggal kulit pembalut tulang hanya sesekali
saja mengayuh kayu pendayung. Namun hebatnya biduk kecil itu sekali didayung
mampu meluncur jauh.
Berlainan dengan tangan kirinya si kakek memiliki tangna kanan yang tidak pantas
disebut tangan. Karena sebatas siku ke bawah tangan itu berbentuk sebuah gergaji
besi dengan gigi-giginya yang besar runcing berkilau mengerikan.
Kakek ini duduk memandang ke arah kejauhan dalam kegelapan malam. Dia
rupanya tengah memusatkan pikirannya ke suatu titik yang saat itu masih belum
terlihat. Makin jauh ke tengah laut dia mulai melihat apa yang dibayangkannya dalam
pikiran dan coba dilihat dan ditembusnya dalam kegelapan malam.
"Perempuan itu pasti ada di sana. Firasatku mengatakan demikian. " membatin si
kakek. Lalu dikayuhnya biduknya dua kali berturu-turut. Biduk kayu itu laksana
terbang, meluncur di permukaan air laut menembus kegalapan malam. Dia coba
sekali lagi untuk memastikan kebenaran firasatnya. Segala pikiran dan titik
pandang dipusatkan. Setelah beberapa lama apa yang dipusatkannya itu mendadak
buyar. "Aneh ! Aku tidak bisa memusatkan pikiran sepenuhnya. Pasti ada yang tidak
beres. " Si kakek memandang ke timur. Laut tampak gelap. Dia berpaling ke barat.
Sunyi dan gelap. Perlahan-lahan dia menoleh ke belakang. "Hemm....ini
sebabnya...... " katanya dalam hati. Jauh di belakangnya tampak sebuah perahu.
Berlayar searah dengan tujuannya. "Ada yang mengikuti. Aku akan coba membuktikan
betul tidaknya. " Lalu kakek berambut panjang itu mengayuh tiga kali pada bagian
kanan biduk dan tiga kali pula pada samping kiri.
Terdengar suara bersiur ketika biduk melesat laksana anak panah lepas dari
busurnya. Beberapa saat kemudian si kakek kembali menoleh ke belakang. Perahu
yang tadi berada di belakang sana lenyap tak kelihatan lagi. Si kaakek
tersenyum. Hatinya lega. Kini tak ada lagi yang dirisaukannya. Tapi astaga ! Ketika dia
berpaling ke timur ternyata dilihatnya perahu tadi kini berada sejajar di
sebelah kanannya.
"Kurang ajar ! Siapa orang dalam perahu itu. Kalau dia bisa bermain-main di atas
laut dengan perahunya berarti dia bukan manusia sembarangan. Dia coba
mengikutiku. Bahkan sengaja berlayar mendampingi. Dia hendak mengejekku !
Awas ! Akan kuberi pelajaran padanya ! "
Kakek itu lalu memegang kayu pendayung erat-erat di tangan kiri. Kedua matanya
dipejamkan. Mulutnya komat-kamit. Perutnya menggembung lalu mengempis. Hawa
sakti yang mengalir dari perut orang tua itu bergerak memasuki kayu pendayung
melalaui tangan kirinya yang tampak bergetar keras. Sesaat kemudian perlahanlahan dibukanya kedua matanya lalu memandang lagi ke arah timur. Perahu tadi
kelihatan di arah itu malah kini tampak lebih memepet mendekat.
Si kakek berusaha memperhatikan siapa penumpang perahu itu adanya. Namun
kegelapan malam sulit ditembus.
"Sekarang kau terima hadiah dariku, penguntit gelap ! " si kakek berkata.
Tangan kirinya yang memegang kayu pendayung diturunkan ke dalam air laut. Ujung
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kayu pendayung diarahkannya tepat-tepat ke jurusan perahu di kejauhan. Lalu
genggamannya dilepaskan. Pendayung itu meluncur satu jengkal di bawah permukaan
air laut. Laksana seekor ikan hantu pendayung melesat ke arah perahu. Tak lama
kemudian kelihatan perahu di jauhan sana hancur berantakan bagian samping
kirinya terkena hantaman pendayung !
Si kakek tertawa mengekeh. "Tamat riwayatmu penguntit tolol ! "
Menjelang dinihari si kakek mulai dapat melihat satu titik hitam di kajauhan.
Makin sering dia pergunakan tangan kiri mengayuh, makin cepat biduk itu meluncur
makin tambah besar titik yang dilihatnya itu. Lama-lama titik itu telah berubah
menjadi sebuah noktah hitam dan akhirnya terlihat jelas. Ternyata adalah sebuah
pulau. Biduk kecil medarat di tepi pantai. Dia memandang berkeliling. Juga menoleh ke
tengah lautan di belakangnya. Tak kelihatan apa-apa. Debur ombak yang memecah di
pantai pulau menimbulkan suara menggidikkan. Merasa aman si kakek turun dari
atas biduknya. Lalu dengan langkah bergegas dia memasuki bagian pulau yang
ditumbuhi berbagai macam pepohonan dan semak belukar. Melihat caranya berjalan
yang begitu cepat tampaknya kakek ini sudah mengenal seluk beluk pulau itu.
Dalam waktu singkat dia sudah sampai di pertengahan pulau dimana terdapat sebuah
gubuk berdinding kajang beratap rumbia. Anehnya gubuk ini sama sekali tidak ada
jendela ataupun pintunya.
"Nyi bulan, kau masih saja berlaku aneh seperti dulu-dulu...." Kata si kakek dalam
hati. Setelah memandang berkeliling dan menunggu sesaat maka orang tua ini
kemudian berseru. "Nyi Bulan Seruni Pitaloka! Aku tahu kau ada dalam gubuk.
Begini caramu menyambut tamu yang datang dari jauh"!"
Sunyi sejenak lalu kesunyian itu dipecahkan oleh suara orang tertawa. Suara tawa
perempuan. Bagitu suara tawa lenyap terdengar sesuatu berkereketan. Bagian atap
gubuk yang terbuat dari rumbia tampak menguak. Tiba-tiba dari celah atap dan
dinding melesat keluar satu sosok tubuh. Di udara dia berjungkir balik beberapa
kali sebelum menjejakkan kedua kaki di tanah dan berdiri tegak hanya satu
langkah di hadapan si kakek hingga orang tua itu sesaat jadi tergagau dan
mundur. Betapa tidak.
Yang berdiri di depannya adalah seorang nenek berwajah buruk kalau tidak mau
dikatakan menyeramkan. Hidungnya yang panjang bengkok dicanteli sebuah anting
bulat berwarna merah. Mulutnya yang berbibir tebal kelihatan pencong perot. Yang
menggidikkan adalah sepasang matanya. Mata si nenek berwarna hitam semua, tak
ada putihnya! Lalu rambutnya panjang berkeriting aneh dan menebar bau busuk.
Melihat si kakek tergagau atas kemunculannya yang mendadak si nenek tertawa
mengekeh sambil menggoyang-goyangkan kepalanya hingga rambutnya yang busuk
menebar bau tak sedap ke seantero tempat.
"Siapa kau"!" sentak si kakek.
Si nenek menjawab dengan tawa melengking.
"Kakek jelek. Kalau kau punya peradatan sebagai pendatang kaulah yang harus
memperkenalkan diri lebih dulu. Tapi malam ini aku sedang senang. Aku bisa
memaafkan keteledoranmu. Biar aku yang menyebut siapa dirimu. Kakek jelek,
bukankah kau orangnya yang dikenal dengan gelar si Gergaji Setan"!"
Dalam hatinya si kakek merasa terkejut. "Aku belum pernah mengenal perempuan
celaka ini. Bagaimana dia tahu namauku?"
"Gergaji Setan, lekas bilang apa keperluanmu menginjakkan kaki di pulau Sempu
ini!" "Aku ke sini untuk mencari perempuan bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka!"
jawab si kakek.
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Hemm..... Rupanya kau satu dari sekian banyak lelaki hidung belang yang
tergila-gila pada Nyi Bulan!"
"Jangan bicara ngaco! Aku datang atas tugas yang diberikan kerajaan!"
"Ah! Hebat betul! Kerajaan mempercayai satu tugas padamu orang yang selama ini
dikenal bukan sebagai tokoh silat baik-baik...."
"Siapa aku tidak usah dipersoalkan! Tugasku lebih penting!"
"Kalau kau memang mendapat tugas dari kerajaan, apakah kau bisa
memperlihatkan surat tugasmu?"
"Kau tidak layak memeriksa! Apalagi melihat surat tugas kerajaan!"
"Hemmm..... Beigut" Kalau begitu lekas putar jidatmu, angkat kaki dan pantatmu
dari sini. Tinggalkan pulau Sempu selagi kau bisa bernafas!"
Dalam dunia persilatan si Gergaji Setan cukup dikenal dan merupakan satu tokoh
silat yang disegani walaupun dia bukan termasuk golongan putih. Ucapan si nenek
tadi jelas dirasakannya sangat merendahkan dan menghina dirinya. Namun karena
dia belum mengenal dan mengetahui siapa adanya nenek ini maka dia tidak mau
bertindak ceroboh.
"Soal pergi bukan soal susah. Hanya saja aku ingin tahu siapa kau sebenarnya dan
aku tidak akan pergi sebelum ketemu dengan Nyi Bulan Seruni Pitaloka."
"Kau ternyat tua bangka keras kepala. Tidak melihat tingginya gunung Mahameru di
depan mata! Ketahuilah aku adalah pembantu Nyi Bulan Seruni. Semua urusan dengan
Nyi Bulan harus disampaikan lewat diriku!"
Si kakek manggut-manggut. Tangan kirinya menusap-usap mata gergaji pada
sambungan tangan sebelah kanan.
"Ternyata kau cuma seorang pembantu. Siapa sudi berurusan dengan seorang kacung
buruk sepertimu"!"
Paras buruk si nenek kelihatan berubah jadi tambah buruk. Matanya bersitkan
sinar hitam. Lalut erdengar tawanya melengking panjang.
"Tamu tak tahu diri. Menyingkirlah sebelum aku menajdi marah!"
"Nenek buruk! Jangan tolol! Lebih baik lekas kau panggilkan majikanmu!
Aku kau muntah bicara terlalu lama dengan perempuan busuk bau sepertimu!"
"Tua bangka keparat! Lihat rambutku!" teriak si nenek marah sekali.
Perempuan tua itu lalu goyangkan kepalanya. Rambutnya yang panjang


Wiro Sableng 071 Bujang Gila Tapak Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keriting bergerak aneh, tidak ubahnya seperti senjata yang membabat ke arah
kepala si Gergaji Setan.
Si kakek yang mengenakan jubah biru tak tinggal diam. Dia kebutkan lengan
jubahnya sebelah kiri. Terdengar suara berkesiuran. Serangan tangan kosong si
nenek buyar berantakan. Tubuhnya terjajar sampai tiga langkah. Di saat itu si
Gergaji Setan menekan. Dengan ganas tanagn kanannya yang berupa gergaji besi itu
membabat ke dada si nenek. Perempuan tua ini terlambat mengelak. Gergaji Setan
melanda dadanya.
Tak dapat tidak dada itu akan terbabat dalam sampai setengahnya. Tapi apa yang
terjadi satu keanehan. Terdengar suara berkeresakan yang keras seolah gergaji
besi memapas benda keras.
Si Gergaji Setan terbelalak kaget dan melompat mundur. Diperhatikannya mata
gergajinya ternyata semua masih utuh. Lalu dia memperhatikan ke depan.
Pakaian si nenek robek besar di bagian dada. Tapi dia sama sekali tidak terluka.
Mata si kakek memebelalak ketika melihat pada dada kiri kanan si nenek menempel
dua buah benda bulat kuning yang ada tonjolannya di bagian tengah.
"Bonang penerus slindro dan bonang penerus pelog!" seru si kakek ketika dia
mengenali benda paa yang ada di dada si nenek. Justru kemunculannya di pulau itu
adalah dalan tugas mencari dua buah bebunyian pelengkap gemelan keraton itu!
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kacung Nyi Bulan!" seru si Gergaji Setan. "Jika kau mau menyerahkan dua buah
bonang itu secara baik-baik, aku berjanji mengampuni selembar nyawamu!"
"Ha....ha hebatnya! Bagaimana kalau aku punyai dua lembar nyawa"!" ujar si nenek
pula mengejek lalu tertawa gelak-gelak.
"Kalau begitu biar aku ambil dua-duanya!" kata si kakek dengan marah.
Sekali berkelebat maka dia sudah menyerang perempuan tua itu dengan teramat
ganas. Serangannya susul menyusul laksana deru ombak menghempas karang. Si nenek dibuat
sibuk dan harus bertindak cepat kalau tidak mau kehilangan anggota badannya
putus digilas tangan gergaji. Senjata yang menjadi satu bagian dengan tangan
yang buntung itu menggerus ke dada, membabat ke lengan, kadang-kadang menukik ke
perut lalu berbalik tidak terduga ke arah leher!
Dalam satu gebrakan hebat pada jurus kedua puluh sembilan kaki kiri nenek
pembantu Nyi Bulan terpeleset. Tubuhnya tak ampun lagi jatuh terduduk di tanah.
Sebelum dia sempat berdiri lawan menyorongkan gergaji mautnya ke leher si nenek.
"Berani kau bergerak putus lehermu!" ancam si Gergaji Setan.
"Berani kau membunuhnya kubuat leleh sekujur tubuhmu!" satu suara tiba-tiba
terdengar membentak.
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Si Gergaji Setan terkejut lalu berpaling. Si nenek yang lehernya hampir digorok
juga berusaha memalingkan kepala ke arah datangnya suara membentak itu. Saat itu
malam mulai menjelang pagi. Udara mulai terang-terang tanah. Si kakek dan si
nenek melihat seorang pemuda bertubuh kekar, berambut gondrong tegak sekitar
sepuluh langkah kanan. Kedua kakinya terkembang sedagn tangan kanannya mulai
dari siku sampai ke ujung jari kelihatan memancarkan sinar putih perak
menyilaukan. Tak berapa jauh dari pemuda ini, sedikit agak ke belakang berdiri
pula seorang pemuda lain berbadan gemuk luar biasa, mengenakan baju kesempitan
dan memakai peci hitam kupluk di atas kepalanya hampir menutupi alis.
Mata dan kulit kening si nenek tampak berkerenyit. Dia mengenali siapa pemuda
gendut gembrot itu tapi tidak mengetahui siapa adanya pemuda gagah berambut
gondrong yang tengah mengancam si Gergaji Setan dengan satu pukulan sakti.
Sebaliknya si Gergaji Setan mengenali siapa adanya si pemuda gondrong dan tidak
tahu siapa adanya si gendut.
"Pendekar Kapak Maut 212 Wiro Sableng.... " berkata Gergaji Setan.
"Bagaimanadi abisa muncul di pulau ini ! Apa keperluannya ! Jangan-jangan....
Dia mengancamku dengan pukulan sinar matahari ! Gila betul!. Sekalipun aku mampu
menggorok leher perempuan celaka ini tapi rasanya aku tak bakal bisa lolos dari
hantaman pukulan sakti itu!" Gergaji Setan berpikir sesaat.
Si nenek yang mengaku pembantu Nyi Bulan Seruni Pitaloka capat membaca
situasi. Kalaupun pemuda gagah itu mampu membunuh si Gergaji Setan dengan
pukulan saktinya, lehernya sendiri tak mungkin lolos dari kematian digorok
gergaji lawan. Maka sebelum si kakek mengambil keputusan dia cepat mengangkat
tangan kirinya dan melambai memberi tanda pada semua orang.
"Pemuda rambut gondrong! Jangan teruskan seranganmu! Kau tak bakal mampu
menyelamatkan nyawaku. Kakek setan keparat ini orangnya nekad! Biar aku serahkan
dua buah barang milik Nyi Bulan yang dicari dan diinginkannya! Asal saja dia
tidak menggorokku! Gergaji Setan, kau mau bersumpah tidak akan membunuhku jika
dua buah bonang yang ada di balik pakaianku aku serahkan padamu"!"
Gergaji Setan idak berpikir panjang. Jika orang sudah berkata begitu mengapa dia
harus memperpanjang urusan" Maka cepat dia berkata.
"Aku bersumpah! Tapi awas kalau kau berani menipu!"
Si nenek menyeringai. Kedua tangannya bergerak ke arah dada. Dari balik
pakaiannya dia mengeluarkan dua buah benda bundar berwarna kuning ang bagian
tengahnya menonjol ke atas.
Pendekar 212 dan Bujang Gila Tapak Sakti yang tegak tak jauh dari tempat itu
sama-sama saling pandang.
"Bonang penerus slindro dan bonang penerus pelog.....?" bisik Bujang Gila Tapak
Sakti. Wiro mengangguk. "Heran. Bagaimana dua peralatan keraton yang hilang itu
berada di tangan si nenek tak dikenal ini"'
"Nenek!" Bujang Gila Tapak Sakti berseru. "Kau harus menyerahkan dua buah bonang
milik Keraton itu padaku!"
"Gendut! Aku tidak berurusan denganmu! Tapi dengan kakek berjuluk Gergaji Setan
ini! Dia utusan Kerajaan yang ditugasi mencari dua buah bonang ini! Aku merasa
tidak ada gunanya menahan alat bebunyian ini lebih lama....." Lalu si nenek
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
serahkan dua buah bonang itu pada si Gergaji Setan yang segera diterima dan
cepat-cepat dimasukkan ke dalam jubah birunya. Perlahan-lahan tangan gergajinya
dijauhkan dari leher si nenek.
"Nenek!" kini Wiro yang berseru. "Bagaimana kau tahu kalau dia memang betulbetul utusan Kerajaan"!"
"Apa perdulimu!" menyahuti si nenek yang merasa nyawanya kembali setelah senjata
maut yang tadi menempel di lehernya diangakt ke atas.
Gergaji Setan menyeringai. Dengan tangan kirinya dikeluarkan secarik kertas lalu
dilemparkannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Itu surat tugasku! Ada cap Kerajaan! Kau lihat dan baca sendiri kalau tidak
percaya!" kata si Gergaji Setan. Lalu sekali dia bergerak, tubuhnya sudah
melesat lima langkah.
"Gergaji Setan! Kau membatalkan niatmu menemui majikanku Nyi Bulan Seruni
Pitaloka"!" berseru si nenek.
Tanpa berpaling si Gergaji Setan menyahuti. "Perlu apa lagi aku menemui janda
itu. Dua buah bonang pusaka Keraton sudah ada padaku!"
Sementara itu begitu si Gergaji Setan berkelebat pergi Wiro memberi isyarat pada
Bujang Gila Tapak Sakti yang tegak di sampingnya agar si gendut ini segera
mengambil kertas yang tadi dilemparkan si Gergaji Setan. Pemuda gendut ini cepat
mengambil kertas itu. Dia kelihatan memutar-mutar dan keningnya berkerut-kerut.
"Sialan!" damprat Wiro. "Kalau tidak bisa baca bilang saja!" Wiro lalu menarik
kertas itu dari tangan Bujang Gila Tapak Sakti yang hanya bisa menyeringai
tersipu-sipu. Cepta Wiro meneliti dan membaca surat tugas itu. Di bagian bawah memang ada cap
Kerajaan. Sebelumnya murid Eyang Sinto Gendeng sudah sering melihat surat-surat
penting yang dikeluarkan Kerajaan. Sekali melihat saja dia segera mengetahui
bahwa cap Kerajaan itu palsu. Berarti surat tugas itupun palsu!
"Surat ini palsu!" teriak Pendekar 212 lalu berpaling ke arah larinya si Gergaji
Setan. Saat itu si kakek sudah bergerak sejauh dua puluh langkah. Wiro dan
Bujang Gila Tapak Sakti kemudian sama menoleh pada si nenek berhidung bengkok.
Anehnya perempuan tua berwajah buruk ini tampak menyeringai lalu
terdengar suara tawanya mula-mula perlahan kemudian mengeras tinggi.
"Pagi-pagi aku sudah tahu kalau surat itu palsu! Siapa yang tidak kenal dengan
si Gergaji Setan" Tokoh silat berhati culas yang bisa jadi ular kepala lima!"
"Tapi dua buah bonang itu sudah jatuh ke tangannya! Apa yang hendak kau
lakukan"!" ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Betul! Kalau kau sudah tahu surat itu palsu, mengapa dua buah bonang pusaka itu
kau serahkan padanya. Jangan-jangan kau berkomplot dengan dia. Karena melihat
kedatangan kami! Hayo lekas katakan apa yang akan kau lakukan"!" menukas Bujang
Gila Tapak Sakti.
"Lihat saja!" jawab si nenek tak acuh. Lalu dia melompat bangkit.
Pandangannya diarahkan pada si Gergaji Setan yang saat itu berada hampir dua
puluh langkah di kejauhan dan siap lenyap di balik serumpunan semak belukar.
Dari tempatnya berdiri baik Pendekar 212 maupun Bujang Gila Tapak Sakti dapat
melihat bagaimana sepasang mata si nenek yang keseluruhannya berwarna hitam
mengeluarkan kilatan menggidikkan. Lalu perempuan ini tampak anggukkan kepalanya
dua kali berturut-turut.
Wuss! Wusss! BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dari kedua mata si nenek melesat keluar dua larik sinar hitam berbentuk dua
garis lurus. Udara di tempat itu serta merta terasa panas. Dua larik sinar hitam
berkiblat ke arah si Gergaji Setan. Kakek ini baru sadar kalau dirinya diancam
bahaya ketika dua larik sinar sudah begitu dekat. Dia berpaling dan berseru
keras lalu cepat menyingkir. Namun terlambat. Dua larik sinar hitam keburu
menghantam punggung dan pinggangnya.
Terdengar jeritan si Gergaji Setan sekali lagi. Tubuhnya terkapar di samping
semak belukar. Bagian punggung berlobang besar dan mengepulkan asap berbau
sangitnya daging tubuh yang terbakar. Bagian pinggang laksana dipanggang dan
hampir putus. Si Gergaji Setan menemui ajal secara sangat mengerikan.
Bujang Gila Tapak Sakti leletkan lidah sementara Pendekar 212 Wiro Sableng hanya
bisa menyaksikan kejadian itu sambil garuk-garuk kepala.
"Panasnya udara ini! Aku tak tahan!" kata Bujang Gila Tapak Sakti lalu keluarkan
kipas kertasnya dan mulai berkipas-kipas. "Aku harus pergi dari sini tapi dia
buah bonang itu harus kuselamatkan lebih dulu!" Lalu si gendut ini hendak
melangkah ke arah mayat si Gergaji Setan. Namun langkahnya tertahan ketika dia
mendengar suara tertawa bergerak dari arah depan sementara Wiro dan si nenek
tampak tercekat.
Sesaat kemudian dari balik semak belukar di dekat mana mayat si Gergaji Setan
terkapar muncul satu sosok tubuh gendut, berambut putih yang digulung ke atas,
bermata sipit dan menunggangi seekor keledai kurus pendek.
"Dewa Ketawa!" ujar Wiro.
Orang gendut yang barusan datang menunggang keledai memang benar si kakek aneh
yang dikenal dengan panggilan Dewa Ketawa adanya. Dengan matanya yang sipit dia
memandang si neenk, Wiro dan agak terkejut ketika melihat Bujang Gila Tapak
Sakti juga ada di situ.
"Kerbau Bunting! Ada apa kau tahu-tahu muncul di sini"!" Wiro menegur.
Si kakek meledak tawanya.
"Aku senang kau masih mau memanggil aku dengan sebutan Kerbau Bunting
itu ! Ha...ha....ha... ! Pendekar 212 apakah kau ada baik-baik saja " Ketahuilah
kita semua berada di sini dengan tujuan yang sama. Mencar dan menemukan kembali
dua buah bonang pusaka milik Keraton. Gusti Allah menolongku dan memberi
keberuntungan padaku hingga aku tidak terlambat !" Lalu si kakek gendut ini
turun dari keledainya. Dengan cepat dia memeriksa dada pakaian si Gergaji Setan.
Lalu tampak dia mengeluarkan dua buah bonang yang terbuat dari besi kuning itu
dan memasukkannya ke dalam kantong perbekalan yang tergantung di leher keledai.
Sambil tertawa-tawa si kakek lambaikan tangannya. "Selamat tinggal kalian
bertiga. Aku merasa tak ada kepentingan lain lagi di pulau ini !"
"Tunggu ! Aku punya kepentingan !" teriak Bujang Gila Tapak Sakti.
Dewa Ketawa menoleh pada pemuda gendut itu. Sambil naik ke punggung keledainya
dia berkata. "Ah, kau rupanya. Kucari ke puncak Mahamer. Kukira kau sudah jadi
batu. Mungkin juga sudah jadi santapan binatang buas. Nyatanya kau masih hidup
dan ada di sini ! Ha....ha.....ha.... ! Coba kau katakan apa kepentinganmu !"
"Pertama, kau harus serahkan kedua bonang itu padaku ! Kedua aku ingin
menggebukmu. Tujuh tahun kau memendamku dalam lobang inti es !"
Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. "Apa yang kau katakan itu bukan
kepentingan ! Pertama, dua buah bonang itu bukan milikmu. Kedua kau kuhukum
karena memang berbuat salah yaitu mencuri dua buah bonang ini ! Ciluk baaaaa.
Maluuuuu...... !"
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Diejek begitu rupa Bujang Gila Tapak Sakti jadi naik darah. Sekali lompat saja
dia sudah sampai di depan Dewa Ketawa. Tapi si kakek gendut tidak kalah cepat.
Dia menggebrak pinggul keledainya. Binatang dan penunggangnya melesat ke depan,
lenyap di balik pepohonan.
"Paman jahat sialan ! Apa kau kira bisa kabur seenaknya "!" teriak Bujang Gila
Tapak Sakti. Dia coba mengejar. Tapi dari arah depan ada satu gelombang angin
menghantam dengan tiba-tiba. Demikian derasnya gelombang ini hingga pemuda gemuk
itu walaupun memiliki bobot hampir 150 kati tetap saja terpelanting dan jatuh
tunggang langgang.
Bujang Gila Tapak Sakti membalas dengan mendorongkan telapak tangan
kanannya. Terdengar suara berkesiuran ketika ada angin kencang menggebubu keluar
dari telapak tangan si pemuda. Braak....! Braaaakkkkkk! Semak belukar rambas
berpelantingan. Pohon-pohon kecil bertumbangan. Namun selanjutnya serangan angin
sakti yang dilepaskan Bujang Gila Tapak Sakti itu hanya melanda tampat kosong.
"Keparat sialan! Paman celaka itu akan kukejar kemanapun dia pergi!"
serapah si pemuda lalu melompat dan berkelebat ke arah lenyapnya Dewa Ketawa.
Mengejar sampai puluhan tombak Bujang gila Tapak Sakti masih belum menemukan si
orang tua. Dia terus mengejar hingga akhirnya sampai di tepi pantai. Saat itu
udara telah semakin terang. Langit di ufuk timur tampak benderang. Memandang ke
tengah laut Bujang Gila Tapak Sakti jadi melengak, tarik nafas dalam dan
bantingkan kakinya ke pasir pantai.
Saat itu jauh di tengah laut tampak sebuah perahu meluncur dengan cepat memecah
gelombang pagi. Di atas perahu ada seekor keledai dan di bagian belakang tampak
orang tua gendut berjuluk Dewa Ketawa itu!
"Setan! Setaaaannnnnn!" teriak Bujang Gila Tapak Sakti sambil meninju-ninjukan
tangan kanannya ke telapak tangan kiri. Dia mencebur masuk ke dalam air laut.
Kedua tangannya dipukulkan ke atas air. Terjadilah suatu yang luar biasa.
Dengan kesaktiannya air laut yang dipukul itu bergulung besar membentuk
gelombang tinggi lalu menghantam ke tengah laut tempat beradanya perahu Dewa
Ketawa. Perahu itu sempat bergoncang keras oleh hantaman gelombang yang
memukulnya. Namun perahu itu sudah berada terlalu jauh ke tengah. Hantaman
pukulan sakti Bujang Gila yang membuat gelombang besar itu hanya mampu
menggoncangkannya, sama sekali tidak mampu membuatnya terbalik!
Sadar dia tidak bisa berbuat banyak lagi, sambil memaki panjang pendek Bujang
Gila Tapak Sakti keluar dari laut. Dia menghampiri sebatang pohon kelapa besar.
Tangan kanannya bergerak.
Braaakk! Pohon kelapa itu berderak patah lalu tumbang. Si pemuda gosok-gosokkan kedua
tangannya hingga ada hawa dingin mengalir. Lalu dengan kesaktian luar biasa yang
dimilikinya, hanya dengan mempergunakan tangan kosong, batang kelapa besar itu
dibentuknya menjadi sebuah perahu ramping. Selesai membuat perahu dia mematahkan
dua batang kayu untuk dijadikan pendayung.
Ketika Pendekar 212 Wiro Sableng yang mengikuti Bujang Gila Tapak Sakti sampai
pula di tepi pantai, dilihatnya pemuda gendut itu sudah berada di tengah lautan,
duduk di atas batang kelapa berbentuk perahu seperti menunggang kuda.
Kedua tangannya kiri kanan bergerak cepat mendayung hingga sebentar saja perahu
itu semakin jauh ke tengah dan akhirnya lenyap dari pemandangan Pendekar 212
Wiro Sableng.

Wiro Sableng 071 Bujang Gila Tapak Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kini murid Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede inilah yang memaki panjang
pendek karena ditinggal begitu saja. Padahal sebelumnya mereka datang ke pulau
itu bersama-sama. Di tengah laut perahu mereka hancur berantakan oleh pendayung
yang dihantamkan si Gergaji Setan dan mati-matian keduanya terpaksa berenang
untuk mencapai pulau Sempu yang menjadi tujuan mereka di mana diketahui
beradanya Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang menguasai dua buah bonang perlengkapan
gamelan Keraton.
Selagi Wiro mengomel seorang diri seperti itu tiba-tiba satu suara menegurnya.
"Tak ada gunanya mengomel anak muda berambut gondrong. Dewa Ketawa
dan keponakannya sudah pergi jauh. Dua buah bonang yang kau cari juga tak ada
lagi di sini."
Tanpa berpaling Wiro menjawab."Kalau saja ada perahu di tempat ini pasti sudah
kukejar paman dan keponakan sialan itu. Gara-gara mereka aku jadi tersesat ke
pulau ini!"
Di belakangnya terdengar suara orang tertawa.
"Dalam hidup ini memang banyak hal yang membuat kita kecewa. Tapi apa
kau tahu justru banyak manusia yang sengaja mencari kekecewaan....?"
Ucapan ini membuat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi memutar tubuh. Kini dia
berhadap-hadapan dengan nenek berwajah buruk yang mengaku pembantu Nyi Bulan
Seruni Pitaloka itu.
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Kau rupanya..... kataWiro agak kaget. Kedua matanya menatap lekat-lekat pada wajah
buruk perempuan tua itu.
"Kau terkejut anak muda?" tanya si nenek.
"Ya, kukira siapa....." jawab Wiro lalu mulutnya menyunggingkann senyum.
"Kau manusia aneh. Barusan kau memperlihatkan rasa kaget, kini malah tersenyum.
Apa ada yang lucu" Atau kau menertawaiku" Awas kau...."
"Sabar nek," kata Wiro cepat seraya mundur satu langkah karena dilihatnya si
nenek menggerakkan tangan kanan. "Dari jauh wajahmu kelihatan seram. Tapi
setelah dekat begini rupa kurasa sebenarnya wajahmu bukan seram tapi malah
lucu!" "Kurang ajar, apakah kau hendak mempermainkan orang tua yang umurnya lima kali
usiamu"!" bentak si nenek.
"Maafkan aku," kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Aku tersenyum karena belum
pernah melihat orang pakai anting di cuping hidung sepertimu. Setahuku orang
pakai anting di telinga. Hidungmu walau bengkok kulihat bagus. Sayang hidung
dilobangi untuk dicanteli anting. Eh, apa kau pernah punya kekasih nek?"
"Sialan! Apa maksud pertanyaanmu"!" sentak si nenek.
"Tidak ada maksud apa-apa. Cuma aku mau tahu saja kalau kekasihmu menciummu apa
dia tidak repot karena ada anting besar merah di hidungmu itu"!"
Si nenek kelihatan marah namun sesaat kemudian dia tersenyum lalu meledak
tawanya tinggi dan panjang.
"Sekarang aku yang bertanya nek. Mengapa kau tertawa begini rupa?"
Perempuan tua itu geleng-geleng kepala. "Aku mau tanya dulu, apa betul kau
orangnya yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 seperti yang diucapkan
si Gergaji Setan tadi?"
Wiro kembali garuk-garuk kepala.
"Hai! Kulihat dari tadi kau menggaruk kepala berulang kali. Pasti kau sudah lama
tidak mandi. Cuci mukapun mungkin juga tidak....."
Si nenek lalu tertawa mengekeh sementara Wiro hanya tegak tersipu-sipu.
"Ah, seharusnya aku tidak layak bicara dan tertawa-tawa dengan orang yang pantas
jadi cucuku....."
"Aku yakin kau sebenarnya seorang ramah, nek." Kata Wiro memuji lalu pemuda ini
melihat ada kerlipan sinar aneh pada kedua mata yang hitam dari si nenek.
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa benar kau Pendekar 212 Wiro
Sableng?" "Sebetulnya aku orang biasa saja. Orang lain saja yang macam-macam menjuluki
diriku yang bukan-bukan."
"Kau datang ke pulau Sempu ini ada keperluan apa?"
"Aku datang bersama si gendut brengsek itu....."
"Ya, aku tahu siapa dirinya. Namanya Santiko, dipanggil orang dengan nama Bujang
Gila Tapak Sakti. Kau bersahabat dengan dia....?"
"Bersahabat benar ya tidak. Soalnya dia sering mengencingiku. Kalau sahabat
masakan tega mengencingi kawan sendiri!"
Si nenek tak dapat menahan tawanya. Dia tertawa hingga kedua matanya yang hitam
berair. Wiro memperhatikan wajah dan sepasang mata perempuan itu.
"Aku tahu! Seperti si gendut itu kau kemari untuk mencari dua buah bonang milik
Kerajaan. Betul"!"
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro mengangguk. "Dewa Ketawa, paman Bujang Gila Tapak Sakti yang
meminta aku untuk mendapatkan dua buah peralatan gamelan itu, Keraton kini
dilanda kebingungan besar dengan lenyapnya dua buah alat berbunyian itu.
Kabarnya Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang mencurinya...."
"Dari mana kau tahu janda itu yang mencurinya?"
"Dia bukan mencuri, dia hanya menyuruh seseorang untuk mengambilnya.
Yaitu si gendut Bujang Gila Tapak Sakti itu!"
Wiro menyeringai. "Kalau begitu, si Bujang Gila adalah maling kecil karena dia
hanya disuruh saja. Dan Nyi Bulan berarti yang jadi maling besarnya karena dia
biang keroknya!"
"Enak saja kau mengatakan majikanku biang kerok. Kutampar pecah
kepalamu!" si nenek mengancam.
Wiro angkat tangannya. "Jangan aku ditampar nek. Aku hanya ingin bertanya satu
kali lagi. Setelah itu akan pergi dari sini."
"Apa yang hendak kau tanyakan.....?" Dua mata si nenek menyorot ke arah Wiro.
"Apa betul kau pembantunya Nyi Bulan Seruni Pitaloka itu?"
Si nenek terdiam sesaat. Lalu "Eh, ada perlu apa kau bertanya begitu"!"
"Kalau kau tak mau menjawab sudahlah. Aku pergi. Tapi....." Wiro
memandang berkeliling. "Laut begini luas. Tak punya perahu tak mungkin berenang.
Bagaimana aku bisa pergi dari sini...." Wiro memandang pada si nenek. "Jika kau
berada di pulau ini berarti kau punya perahu untuk datang ke sini. Apa aku boleh
meminjam perahumu nek?"
"Enak bicaramu! Kalau aku pinjami lalu aku mau pakai apa nanti?"
"Bukankah di sini ada dua buah perahu?" ujar Wiro pula.
"Dari mana kau tahu"!"
"Bukankah kau tinggal di sini bersama Nyi Bulan" Berarti paling tidak ada dua
buah perahu di tempat ini."
"Nyi Bulan sedang tidak ada di pulau ini. Dia pergi dengan perahunya. Hanya ada
satu perahu di sini. Kalaupun ada dua aku tak akan memeberikannya padamu.
Kau datang mau-maumu sendiri. Silahkan pergi semaumu pula!"
"Ah, nasibku jelek amat kalau begitu!" ujar Wiro seraya garuk-garuk kepala.
"Nek, kau pernah melihat kuda melahirkan"'
"Apa-apaan kau bertanya seperti itu?"
"Jikalau kau tertarik, aku punya seekor kuda betina di teluk. Sedang hamil
besar. Kurasa hari ini adalah hari dia akan melahirkan. Paling tidak besok.
Kalau kau ingin melihat kita bisa pergi bersama-sama...."
"Itu hanya akalmu saja agar kau bisa meninggalakan pulau ini, naik perahu
bersamaku. Kau cerdik tapi ketololanmu bisa kubaca!"
Wiro menghela nafas dalam lalu berkata. "Aku mau pergi. Jadi kau tak bersedia
menolong"'
"Dari tadi kau selalu bilang mau pergi. Mau pergi. Tapi tidak pergi-pergi.
Sudah pergi sana !"
"Sebelum pergi aku ingin melihat tempat kediaman Nyi Bulan dulu. Mungkin dia
bisa menolongku."
"Kau tak layak melihat. Bukan sembarang orang boleh masuk !"
"Hemmm begitu?" kata Wiro seraya usap-usap dagunya. "Tadi kulihat kau keluar
dari dalam gubuk kajang beratap rumbia tak ada pintu tak ada jendela. Apa di
gubuk aneh itu kediamanmu bersama Nyi Bulan" Tadi aku diam-diam coba mengintip
ke dalam gubuk. Di dalam ternyata kosong melompong. Tak ada apa-apanya. Tapi di
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
bawah lantai tanah aku merasa ada sesuatu tersembunyi. Mungkin kau dan majikanmu
itu tinggal di bawah tanah seperti undur-undur!"
Paras si nenek berubah. Wiro menatapnya dengan tersenyum lalu berkata
"Aku suka melihat kedua matamu yang hitam semua tak ada putihnya itu. Apakah Nyi
Bulanmu yang membuatkan mata itu untukmu" Jangan-jangan pendanganmu bisa tembus
hingga kau bisa melihat auratku sebelah dalam....!"
"Pemuda lancang! Mulutmu kurang ajar!" teriak si nenek. Dia maju selangkah
hendak memukul. Wiro hanya tegak diam. Perlahan-lahan si nenek tarik pula
tangannya. Dia membalikkan tubuh dan terdengar berucap. "Lekas tinggalkan pulau
Sempu ini sebelum aku berna-benar marah!"
"Aku tidak akan mau pergi sebelum tahu siapa kau sebenarnya. Jangan-jangan kau
adalah Nyi Bulan janda yang tersohor sampai di Kotaraja itu."
Terdengar suara tercekat. Si nenek membalik dan kini kedua matanya yang hitam
pekat tampak berkilat-kilat memandang pada Pendekar 212.
"Nek...." kata Wiro perlahan seraya mengulurkan tangan memegang lengan perempuan
tua itu. "Eh! Berani-beraninya kau memegang diriku!" tangan si nenek lalu menampik tangan
si pemuda. "Nek, kalau kau tak mau mengatakan siapa dirimu sebenarnya tak jadi apa.
Terus terang aku sudah tahu keadaan dirimu sebenarnya. Nah, aku memang harus
pergi. Aku terpaksa mencari batang pohon dulu untuk kujadikan perahu!"
Wiro membalikkan diri lalu melangkah ke arah sederet pepohonan.
"Tunggu dulu!" seru si nenek.
Wiro hentikan langkah dan berpaling.
"Apa yang kau ketahui tentang diriku"! Lekas jawab !"
Wiro terdiam sesaat. Kedua matanya menatap wajah dan sepasang mata hitam si
nenek. Dipandang lama dan lekat seprti itu membuat si nenek seperti gelisah lalu
palingkan wajahnya ke jurusan lain.
"Aku tahu kau bukan pembantu atau kacungnya Nyi Bulan Seruni Pitaloka !"
kata Wiro. Bahu si nenek tampak bergetar.
"Apa lagi yang kau ketahui?"
"Sudahlah! Buat apa kita bertanya jawab panjang lebar. Akan mulai membuat perahu
sebisaku." Lalu Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya.
Si nenek terkesiap melihat kapak sakti bermata dua yang memancarkan sinar
menyilaukan itu. Dalam hati perempuan tua ini berkata. "Mungkin senjata mustika
itu bisa menolongku memecahkan masalah. Tapi apakah pemuda ini bisa
dipercaya....." Kadang-kadang kulihat dia seperti kurang waras. Kadang-kadang
ucapannya kurang ajar seenaknya..... Bagaimana ini" Tapi kalau tidak kucoba
rasanya tidak puas hatiku."
"Pendekar 212!" memanggil si nenek.
"Eh, ada apa lagi ini?"
"Aku ingin membuat perjanjian denganmu!"
"Perjanjian" Perjanjian apa?" tanya Wiro.
"Temui aku tengah malam dua hari dari sekarang di Candi Gajah di bukit
Imogiri...."
Wiro tersenyum lalu tertawa panjang. "Jika kau seorang gadis cantik jelita tanpa
dimintapun aku malah berharap dapat bertemu denganmu. Siapa sudi berjanji
denganmu nek."
"Jangan bergurau. Aku tidak main-main...."
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aku juga tidak main-main," sahut Wiro.
Si nenek tampak marah sekali. Tiba-tiba tanagn kanannya bergerak ke arah
wajahnya. Dia membuat gerakan seperti merenggutkan sesuatu. Di lain saat Wiro
jadi melengak kaget. Si nenek ternyata telah menarik lepas sehelai topeng kulit
yang halus sekali dari kepalanya. Kini kelihatanlah satu wajah perempuan muda
luar biasa cantiknya. Bahkan kedua mata si nenek yang semula hitam pekat kini
tampak putih hitam bening berkilat indah sekali.
"Siapa kau sebenarnya....?" Tanya Wiro masih setengah tercekat dan kagum.
"Apa kau masih tak membuat janji bertemu denganku di bukit Imogiri"!"
"Ah...!" Wiro menyeringai. "Katakan dulu siapa dirimu sebenarnya. Janganjangan kau adalah setan pulau atau jin laut yang memperlihatkan diri sebagai
nenek lalu berubah menjadi perempuan muda dan cantik..."
"Kau selidikilah sendiri!" kata si jelita. Lalu dia menggerakkan kedua kakinya.
Tubuhnya melesat ke atas atap gubuk. Bersamaan dengna itu atap gubuk terbuka dan
tubuh perempuan itupun lenyap masuk ke dalam gubuk. Wiro mengejar, melompat dan
coba ikut menyusup tapi atap gubuk yang terbuat dari rumbia itu sudah menutup
kembali. "Sialan!" maki Wiro. Karena masih menggenggam Kapak Maut Naga Geni 212 di
tangannya, semula murid Eyang Sinto Gendeng ini hendak pergunakan senjata itu
untuk menghancurkan atap. Tapi dia berpikir. "Si nenek sepertinya tidak berniat
jahat terhadapku. Ada satu rahasia yang disembunyikannya. Kalau aku merusak
gubuk ini mungkin dia akan marah besar dan aku bisa dapat kesulitan." Setelah
berpikir lagi sesaat akhirnya Pendekar 212 turun dari atas atap. Dia mengorek
dinding gubuk sedikit lalu mengintai ke dalam. Tak ada benda apapun di situ,
kecuali hanya lantai tanah. "aneh, kesaktian apa yang dimiliki perempuan itu
hingga bisa lenyap begitu rupa" Apakah dia amblas menembus tanah?"
Sambil geleng-geleng kepala Wiro akhirnya tinggalkan tempat itu. Tiga langkah
dia berjalan dari arah gubuk terdengar suara orang berseru. Suara perempuan.
"Pendekar 2121! Berjalanlah dua ratus langkah ke arah timur! Kau akan menemukan
tiga buah perahu. Kau boleh mengambil salah satu untuk menyeberang ke daratan"!
Wiro tertawa perlahan lalu menjawab. "Terima kasih nek! Eh, siapa kau.
Nenek atau gadis jelita adi. Ya sudah terima kasih nek gadis!" Wiro tertawa
gelak-gelak lalu melangkah cepat ke jurusan sesuai petunjuk suara tadi.
BASTIAN TITO 43 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Keledai kurus dan pendek itu kelihatan seperti terbang memasuki pintu gerbang
Kotaraja di sebelah timur. Dewa Ketawa yang berada di atas punggung binatang ini
tampak tersenyum-senyum.
"Kalau malam ini bisa kutemui sang Patih berarti selesailah urusan gila ini!
Sialan betul! Lebih dari tujuh tahun aku dibuat tersiksa. Gara-gara keponakan
kurang ajar itu!"
Dalam waktu singkat Dewa Ketawa sampai di hadapan sebuah gedung bagus
yang di bagian depannya tampak menyala sebuah lampu minyak besar. Inilah gedung
kediaman Patih Kerajaan. Dua orang pengawal yang tengah bertugas segera
menghadang di pintu masuk.
"Orang tua penunggang keledai. Kami tidak kenal siapa dirimu. Apa keperluanmu
malam-malam mendatangi tempat kediaman Patih Kerajaan?"
Dewa Ketawa menatap tampang pengawal yang barusan menegur lalu tertawa perlahan.
"Pengawal konyol, kau tidak perlu mengenal aku. Adapun keperluanku ialah hendak
menemui Patih Kerajaan. Katakan padanya Dewa Ketawa datang menghadap."
"Apa" Siapa" Namamu Dewa Ketawa. Eh, betul....?" Pengawal satunya
bertanya terheran-heran.
Orang tua gendut di atas keledai itu menjawab dengan suara gelak berderai.
"Lekas beri tahu Patih Kerajaan. Aku datang membawa urusan penting. Disamping
itu aku juga ingin minta kopi manis. Minum kopi malam-malam begini tentu nikmat
sekali!" "Orang tua, maan mungkin kami akan memberi tahu Patih bahwa ada orang
yang hendak menghadap malam-malam buta begini. Salah-salah kami bisa kena
tendangan!"
"Kalau begitu biar aku yang memberitahu langsung!" Dewa Ketawa lalu menggebrak


Wiro Sableng 071 Bujang Gila Tapak Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keledainya. Dua orang pengawal cepat mencegah namun keduanya segera terpental
jungkir balik di tanah. Ketika Dewa Ketawa mencapai tangga dan hendak bertindak
turun tiba-tiba seorang pemuda bertubuh tinggi tegap muncul dan menegur sopan.
"Orang tua, keu tentu datang dari jauh dan membawa urusan penting. Mari kusuruh
orang menjaga keledaimu. Kau harap memberi tahu apa keperluanmu."
"Kau betul. Aku membawa satu urusan maha penting. Aku ingin menghadap
Patih Kerajaan," jawab Dewa Ketawa.
"Ah, kau tentu orang penting yang tengah ditunggu-tunggu oleh Patih. Namun patut
saya beritahu sejak sore tadi Patih kurang sehat. Saat ini dia baru saja pulas.
Tentu kau sependapat denganku bahwa terlalu tidak sopan kalau dia dibangunkan.
Apakah kau tidak keberatan menunggu sampai pagi datang. Lalu kita sama-sama
menghadapnya. Di samping itu kau tentu sangat letih, ingin istirahat. Paling
Persekutuan Pedang Sakti 9 Tembang Tantangan Karya S H Mintardja Pedang Pembunuh Naga 3

Cari Blog Ini