Ceritasilat Novel Online

Muslihat Para Iblis 3

Wiro Sableng 087 Muslihat Para Iblis Bagian 3


Aku tidak mau jadi orok lagi!"
"Kau sungguhan tidak mau menikmati apa yang kau lihat"
"Aku sungguhan. Melihat saja bagiku sudah cukup. Aku tak berani lebih dari
itu..." "Kau tidak merasa rugi?"
"Rugi tidak, untung juga tidak. Anggap saja impas!" jawab Wiro sambil
menyeringai sementara di belakangnya Raja Obat Delapan Penjuru Angin jengkel
bukan main melihat sikap dan mendengar kata kata Pendekar 212 itu.
"Dengar, tidak sepuluh tahun sekali aku mempelihatkan diriku seperti ini. Kalau
aku sudah mengenakan pakaianku walau kau minta sambil menangis air mata darah
aku tak bakal mau menanggalkannya kembali!"
"Gadis cantik, sebaiknya kau kenakan pakaianmu kembali. Kalau masuk angin kau
bisa berabe," kata Wiro pula.
"Hemm... Kau juga tak ingin menyentuh tubuhku" Kau tinggal pilih bagian mana
yang kau senang..."
"Terima kasih..."
"Kau berlagak malu karena ada orang tua itu disini?"
"Bukan begitu. Sinar matahari mulai menyengat. Sayang kalau kulitmu yang mulus
sampai disengat panas..."
Gadis itu tersenyum. "Kau jujur. Aku suka padamu. Baiklah, aku tidak akan
mempermainkan dirimu lebih lama. Akan kuperlihatkan padamu siapa aku
sebenarnya..."
Habis berkata begitu si gadis lalu goyangkan pinggulnya.
*** BAB XII MURID Sinto Gendeng tergagau dan keluarkan seruan tertahan. Dua matanya masih
terpentang lebar tapi kini dia menyaksikan satu pemandangan berbeda seperti
langit dan bumi. Sementara itu Raja Obat Delapan Penjuru Angin tetap tenang
walau diam-diam dia tetap berwaspada.
Di hadapan Wiro kini bukan lagi tegak seorang gadis berwajah cantik dengan tubuh
polos mulus. Wajah cantik itu kini telah berubah menjadi wajah seorang neneknenek yang dilumuri bedak setebal dempul. Sepasang alis mata diberi penghitam
dan mencuat ke atas. Bibir dan pipi semerah saga.
Tubuh telanjang yang tadi begitu bagus dan mulut putih kini telah berubah
menjadi tubuh kurus kering berkulit keriput. Sepasang payudaranya yang tadi
membusung kencang kini hanya tinggal sepasang daging leper menjijikkan. Yang
tetap sama dari manusia ini hanya sanggul rambut di kepalanya hitam dan rapi.
Perlahan-lahan si nenek kenakan pakaiannya kembali.
Sambil garuk-garuk kepala Wiro bertanya. "Nenek cantik, siapa kau ini
sebenarnya?"
Dipanggil nenek cantik perempuan berdandan mencorong di hadapan Wiro tertawa
mengekeh. "Seumur hidup baru sekali ini ada orang yang memanggil aku dengan
sebutan itu. Nenek cantik! Aku suka panggilan itu. Kau benar-benar suka
membanyol. Aku senang bergurau. Kita rupanya benar benar cocok satu sama lain. Apakah kau
masih suka kujadikan kekasihku?"
Ditanya begitu Pendekar 212 jadi mesem-mesem dan kembali garuk-garuk kepalanya.
"Eh, aku memperhatikan. Kalau sedang menghadapi sesuatu yang membuatmu tercekat
kau selalu menggaruk-garuk kepalamu... Untung!"
"Untung bagaimana?" tanya Wiro tidak mengerti.
"Untung kau menggaruk kepalamu yang sebelah atas. Kalau kau menggaruk kepala
yang lain... Hik... hik... hik!"
Wiro terbatuk-batuk mendengar ucapan si nenek. "Kau belum mengatakan siapa
dirimu sebenarnya," ujar murid Sinto Gendeng.
"Juga harap terangkan ada keperluan apa kau datang ke sini?" ikut bicara Raja
Obat. Si nenek juiurkan kepalanya ke arah Raja Obat. "Eh, kukira kau sudah tidur
tadi..." katanya sambil senyum-senyum. "Kalau menurut umur seharusnya aku cocok
denganmu. Tapi maaf saja sobatku tua, aku lebih suka dengan anak muda ini walau
aku tahu dia belum tentu suka padaku. Hik... hik... hik..."
"Apakah kau tidak mau menerangkan siapa dirimu?" tanya Wiro.
"Hemmm... Apa susahnya menerangkan diriku," jawab si nenek. Tapi mendadak dia
putuskan ucapannya dan mendongak ke langit.
"Eh, kampret tua ini mengapa tiba-tiba menangis?" ujar Wiro dalam hati ketika
melihat si nenek teteskan air mata. Air mata itu segera berguling di atas kedua
pipinya yang berbedak tebal.
Raja Obat Delapan Penjuru Angin juga terheran heran melihat perihal si nenek.
"Nek, ada apa kau menangis...?" Wiro bertanya seraya ulurkan tangan dan memegang
lengan kiri perempuan tua itu. Yang dipegang lalu meremas tangan Wiro dengan
jari-jari tangan kanannya. Sesaat kemudian pegangannya dilepaskan.
"Aku mempunyai seorang saudara kembar... Namanya tak perlu kalian tahu! Dia
dikenal dengan julukan Iblis Tua Ratu Pesolek..." Sampai di situ si nenek
hentikan ucapannya. Dia menyeka air mata di kedua pipinya.
Di saat yang sama Wiro mendengar suara Raja Obat mengiang di telinganya.
"Aku pernah dengar siapa adanya Iblis Tua Ratu Pesolek itu. Seorang nenek yang
mau melakukan kejahatan apa saja asal diberi imbalan barang berharga seperti
perhiasan, uang. Kalau saudaranya jahat kurasa yang satu ini tidak seberapa
beda. Tetap waspada anak muda. Dia bisa merubah dirinya menjadi seekor singa
lapar yang siap menyergapmu..."
Wiro tidak perdulikan peringatan Raja Obat. Dia malah berkata pada si nenek.
"Kalau saudara kembarmu itu berjuluk Iblis Tua Ratu Pesolek, apakah kau
menyandang gelar Iblis Muda Ratu Pesolek...?"
Yang ditanya tersenyum sedikit namun senyum itu tidak dapat menutup
kesedihannya. "Aku tidak menyandang gelar apa-apa. Tapi orang-orang brengsek di
dunia persilatan memanggilku Iblis Putih Ratu Pesolek. Mungkin ini disebabkan
karena aku punya cara dan jalan hidup yang bertentangan dengan kakak kembarku
itu..." "Lalu apa maksud kedatanganmu ke pulau ini dan pakai menyamar serta telanjang
segala dan tahu-tahu kini menangis?" tanya Wiro.
"Walau kakakku orang jahat tapi dia tetap kakak kembar sedarah sedaging.
Beberapa waktu yang lalu aku mendengar dia menemui ajal dibunuh orang. Aku
berusaha mencari jenazahnya untuk diurus baik-baik. Di samping itu aku sudah
punya tekad bulat untuk mencari siapa pembunuh jahanam itu dan membalaskan sakit
hati dendam kesumat kematian kakak kembarku..."
Raja Obat Delapan Penjuru Angin menarik napas lega karena mengetahui bahwa
perempuan tua itu datang ke pulau bukan untuk membuat kejahatan walau tadi
segala perbuatannya membuat dia jadi panas dingin. Namun orang tua ini kembali
jadi tidak enak ketika mendengar Wiro ajukan pertanyaan.
"Lalu kau kira apakah pembunuh kakak kembarmu itu ada di pulau ini" Dia
mungkin"!" Wiro enak saja tudingkan ibu jari tangan kanannya ke arah Raja Obat.
Iblis Putih Ratu Pesolek gelengkan kepala. "Aku ke sini sebetulnya tersesat
tidak sengaja... Dalam perjalanan di laut selatan aku melihat sebuah benda
melayang di udara.
Mula-mula kukira burung atau kelelawar. Tapi ketika benda itu jatuh di lantai
perahu ternyata adalah satu kepala manusia, busuk dan terpanggang. Tak dapat
kukenali. Namun satu hal kuketahui kepala itu datangnya dari arah pulau ini.
Lalu aku coba menyelidik kemari. Yang kutemui kau yang ganteng dan temanmu yang
tua jelek itu!"
Wiro tersenyum dan berpaling pada Raja Obat yang saat itu dilihatnya jadi
meringis asam mukanya yang belang.
"Iblis cantik..." kata Wiro perlahan. "Apakah kau sudah tahu siapa pembunuh
kakak kembarmu itu?"
Si nenek rapikan sanggulnya, permainkan ujung lidahnya di atas bibir. Sikapnya
yang mendendam tertutup oleh gayanya yang genit. Dia mengangguk. "Mereka
berdua..."
jawabnya. "Sepasang manusia setan..."
"Apa"!" Wiro bertanya setengah berseru karena mendadak saja dia ingat pada dua
musuh besarnya.
"Yang satu bernama Tiga Bayangan Setan. Jahanam satunya dikenal dengan nama
Elang Setan!"
"Ah! Kita punya musuh-musuh yang sama rupanya!" ujar Wiro.
"Apa maksudmu?" tanya si nenek. "Apa mereka juga membunuh kakak kembarmu"!"
Kalau tidak menahan diri Wiro hampir meledak suara tawanya. "Aku tidak punya
saudara kembar. Kalau punya pasti kasihan dia..."
"Eh, kasihan bagaimana?" tanya Iblis Putih Ratu Pesolek pula sambil kerenyitkan
keningnya hingga sepasang alisnya yang tebal hitam tambah mencuat ke atas.
"Tampangku sudah begini jelek. Kalau punya kakak kembar pasti tampangnya lebih
jelek!" Iblis Putih Ratu Pesolek tatap wajah Pendekar 212 sesaat lalu meledaklah tawa si
nenek ini. "Wiro! Kita punya urusan besar! Mengapa kau membuang waktu berkonyol-konyol
melayani perempuan itu!" Suara Raja Obat tiba-tiba mengiang di telinga murid
Sinto Gendeng. Tapi Wiro cuma tenang saja dan memberi isyarat dengan gerakan
tangan agar Raja Obat mau bersabar.
"Satu hari suntuk aku mendengar senda guraumu aku bisa ngompol habis-habisan!"
Iblis Putih Ratu Pesolek berucap sambil menyeka pipinya kiri kanan. Setelah
hentikan ketawa dia lalu ajukan pertanyaan.
"Tadi kau menerangkan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan juga adalah musuhmusuh besarmu. Perbuatan keji apa yang telah mereka lakukan terhadapmu?"
"Mereka berdua berniat membunuhku. Mereka berhasil dan pergi begitu saja, tidak
mengira kalau aku sebenarnya masih hidup. Seseorang kemudian menolongku. Aku
selamat namun dua senjata mustika milikku mereka curi..."
"Senjata apa?"
Wiro hendak menerangkan tapi lewat kepandaiannya mengirimkan suara secara diamdiam Raja Obat memperingatkan. "Wiro, jangan memberi keterangan banyak pada
orang yang tidak kau ketahui siapa dan bagaimana dirinya..."
Wiro melangkah mendekati Raja Obat dan bicara setengah berbisik. "Dia secara
jujur menceritakan diri dan keadaannya. Menurutmu apakah aku perlu membatasi
diri" Siapa tahu dia malah bisa membantu..."
Raja Obat terdiam lalu setelah menarik napas dalam dia berkata. "Terserah
padamulah anak muda..."
"Eh, apa yang dikatakan sahabat tuamu itu"' tanya Iblis Putih Ratu Pesolek
ketika Wiro kembali ke hadapannya. "Tidak apa-apa, dia cuma mau mengatakan
sedang sakit perut dan mau buang hajat. Aku bilang silahkan saja tapi aku tidak
menjamin kalau nanti kau diam-diam akan mengintipnya waktu buang hajat!"
"O... lala!" si nenek pelototkan mata tapi kemudian tertawa gelak-gelak. "Apa
untungnya aku mengintip tubuh peot begitu" Paling-paling aku cuma akan melihat
terong bonyok! Hik...hik...hik!"
Kedua orang itu jadi sama-sama tertawa riuh membuat Raja Obat selain heran juga
jengkel dan mengomel dalam hati habis-habisan.
Setelah puas tertawa Wiro lalu menerangkan. "Senjata milikku yang dicuri dua
manusia setan itu adalah sebilah kapak bermata dua dan pasangannya sebuah batu
hitam..." Iblis Putih Ratu Pesolek mendongak ke langit. "Aku tidak seperti kakakku suka
malang melintang kemana mana di rimba persilatan. Tapi kalau kau menyebut kapak
bermata dua, setahuku di dunia persilatan hanya ada satu manusia yang memiliki
senjata seperti itu. Apakah kau Pendekar...?"
Si nenek tidak teruskan ucapannya saking hatinya terguncang keras.
"Dugaanmu tepat. Aku monyet jelek yang dijuluki orang Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212. Gelar gila padahal kemampuanku dibanding dengan dirimu aku masih kalah
jauh..." "Anak muda, nama besarmu sudah bertahun-tahun kudengar dengan penuh rasa kagum.
Rejekiku sungguh besar kalau hari ini aku bisa bertemu denganmu. Kau pandai
merendah diri. Aku benar-benar suka padamu. Jika Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan pernah berniat keji hendak membunuh lalu mencuri dua senjata mustikamu
sedang mereka juga adalah musuh-musuh besarku, berarti kita memang berjodoh satu
sama lain. Paling tidak untuk sama-sama seperjalanan mencari dua bangsat itu! Terakhir
sekali ada yang melihat mereka berada di muara Kali Opak, tengah bicara dengan
seorang gadis yang membawa tujuh buah payung."
"Gadis membawa tujuh buah payung" Ah, dialah yang menyelamatkan aku dari tangan
dua setan itu..." Saat itu Wiro jadi terkenang pada Puti Andini yang berjuluk
Dewi Payung Tujuh dan rasanya ingin sekali dia bertemu dengan gadis itu.
"Kabarnya dia cantik dan berilmu tinggi..." kata si nenek seolah cemburu.
"Tidak secantikmu di masa muda," jawab Wiro yang membuat Iblis Putih Ratu
Pesolek jadi terbatuk-batuk beberapa kali.
"Pendekar 212, kau pandai mengajuk hati orang. Apakah kau menerima ajakanku
pergi seperjalanan?"
"Nenek cantik, terus terang aku suka pergi sama-sama dengan kau. Namun..."
"Namun! Nah buntutnya ini yang jelek!" kata si nenek yang sudah maklum kalau
sang pendekar tak mungkin diajaknya pergi sama-sama.
"Jangan salah mengira. Selain masih punya urusan yang belum selesai di tempat
ini, aku juga mendapat keterangan bahwa dua senjata mustikaku itu telah
diserahkan oleh dua setan tadi pada seseorang..."
"Berarti Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah diperalat seseorang untuk
membunuhmu dan mencuri kapak serta batu mustika itu... '
"Tepat sekali!"
"Apa kau sudah tahu siapa biang racunnya?"
Wiro anggukkan kepala. "Dia musuh bebuyutanku, seorang pendekar sesat dikenal
dengan julukan Pangeran Matahari"
Paras si nenek mendadak sontak berubah. Jangan-jangan dia juga yang membunuh
saudara kembarku..."
"Kau harus memastikan hal itu agar tidak kesalahan tangan..."
"Tapi bagaimanapun juga Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan memang sudah saatnya
harus disingkirkan dari muka bumi. Kejahatan mereka sudah bertumpuk, lebih
tinggi dari gunung! Dan bangsat yang bernama Pangeran Matahari itu kabarnya
telah memiliki satu ilmu baru. Ilmu Iblis yang bersumber pada sebuah kitab..."
{Seperti diketahui yang membunuh Iblis Tua Ratu Pesolek adalah Pangeran
Matahari. Baca Episode I: Wasiat Iblis)
"Kitab Wasiat Iblis! Dia memang telah memiliki kitab itu. Yang akan
menjadikannya raja di raja dunia persilatan..."
"Kalau tidak ada yang mencegah kiamatlah dunia persilatan ini..."
"Nenek cantik, mengingat kau juga digelari orang sebagai perempuan iblis, maaf
bicara aku masih belum tahu kau ini di pihak mana adanya..."
Si nenek tersenyum. "Tadi sudah kukatakan, jalan hidupku berbeda dengan kakak
kembarku. Nasib dan mukaku yang jelek. Tapi hatiku rasa-rasanya tidak seperti
itu. Cuma terus terang sebagai manusia biasa walau mungkin sudah bau-bau tanah kalau
ada lelaki yang mau bercumbu denganku masakan aku menolak. Apa kau punya minat
anak muda" Kalau kau sudah tua sepertiku nanti, kelak kau akan merasakan sendiri
bahwa rangsangan itu makin dikekang semakin mau meledak. Kalau kau tidak percaya
coba tanyakan saja pada kawanmu si tua itu. Tapi kurasa dia malu-malu
mengakuinya, hik...
hik...hik!" Iblis Putih Ratu Pesolek lalu tertawa cekikikan.
"Nenek cantik, perbedaan antara kita tidak menghalangi untuk bersahabat..."
"Hanya bersahabat, tidak pakai cumbu-cumbuan segala?" tanya si nenek.
"Itu bisa kita bicarakan nanti..."
"Anak muda gila!" makian itu mengiang di telinga Wiro. "Jangan kau berani
membuat janji dan memberikan harapan pada orang seperti dia. Sekali dia menagih
dia akan mengejarmu sampai ke liang kubur sekalipun!"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Kau menggaruk kepala, pasti ada sesuatu yang menyekat hatimu. Aku tahu sejak
tadi sahabat tuamu secara diam-diam mengirimkan ucapan-ucapan padamu walau aku
tidak tahu apa yang dikatakannya..."
"Tak usah perdulikan sahabatku itu. Dia orang tua yang baik..."
"Baiklah pemuda gagah. Aku sungguh gembira bisa bertemu dengan pendekar besar
yang selama ini kukagumi segala tindak tanduknya. Aku setuju dengan kata-katamu
tadi. Persahabatan melebihi segala-galanya. Tapi kalau ada bumbu-bumbunya tentu
akan lebih sedap bukan?" Si nenek mendongak ke langit. "Matahari sudah tinggi.
Aku harus tinggalkan tempat ini untuk mencari manusia keji penyebab kematian
kakak kembarku.
Sebelum pergi aku ingin tanyakan satu hal padamu. Apakah hari sepuluh bulan
sepuluh punya arti bagimu?"
"Hari sepuluh bulan sepuluh...?" ulang Wiro dan coba mengingat-ingat. Lalu dia
menggelengkan kepala walau agak meragu.
"Ini ada artinya bagimu?" tanya si nenek lagi. Lalu dari balik dada pakaiannya
dia mengeluarkan secarik kertas yang sudah lecak. "Bacalah!" katanya seraya
menyerahkan kertas itu pada Wiro.


Wiro Sableng 087 Muslihat Para Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wiro mengambil kertas yang disodorkan. Di situ tertera sebait tulisan. Hari
Sepuluh Bulan Sepuluh di Pangandaran.
Begitu membaca apa yang tertulis di kertas tersebut paras Pendekar 212
mendadak berubah. Dia lalu tepuk kepalanya sendiri. "Astaga!" desisnya.
"Kau ingat sekarang, anak muda?" ujar si nenek.
Wiro mengangguk. "Dari mana kau mendapatkan surat ini" Siapa yang membuatnya?"
"Seorang sahabat..."
"Iblis Pemabuk?"
"Nah, kau sudah tahu orangnya?" kata Iblis Putih Ratu Pesolek pula. "Hari
sepuluh bulan sepuluh masih cukup lama. Kalau tidak mungkin bertemu lagi berarti
kita akan bertemu pada hari tersebut. Eh, apakah kau sudah mendapat undangan
serupa dari si pemabuk aneh itu! Karena dia lebih banyak membunuh orang daripada
menunjukkan sikap bersahabat."
"Aku bertemu dengannya di tempat kediaman Ratu Duyung..."
"Ratu Duyung!" seru si nenek. Lalu berdecak berulang kali. "Kau sungguh
beruntung bisa masuk ke tempat kediamannya. Eh, apakah kau sudah diajaknya
tidur" Hik... hik... hik!"
Wiro tertawa lebar. "Pertanyaanmu ada-ada saja nenek cantik..."
Si nenek kembali mendongak ke langit. "Sayang matahari sudah tinggi. Aku harus
pergi sekarang, sebelum pergi apakah aku boleh menciummu?"
Wiro belum sempat menjawab ataupun menyingkir tahu-tahu.
"Cup! Cup!"
Pipinya kiri kanan kena dicium si nenek. Ketika dia memandang ke depan Iblis
Putih Ratu Pesolek telah berkelebat pergi. Hanya suara tawa cekikikannya
terdengar menggema di seantero pulau perlahan-lahan sirna di kejauhan.
"Enak dicium orang itu?" tanya Raja Obat sambil senyum-senyum sementara Wiro
gosok-gosok pipinya kiri kanan dengan kedua tangan. Wiro mendekat dan duduk di
hadapan si orang tua. "Raja Obat rasanya akupun harus bersiap pergi..."
"Kau hendak melupakan Kitab Putih Wasiat Dewa begitu saja" Mengabaikan tugas
dari guru dan dua tokoh persilatan yang kau hormati" Menganggap enteng bencana
besar yang bisa membuat kiamat rimba persilatan?"
Wiro terdiam sesaat. "Aku tidak mungkin dapatkan kitab sakti itu. Mungkin saat
ini belum entah nanti. Itu sebabnya aku pergi untuk mencari petunjuk lebih
lanjut. Mungkin aku harus menemui ketiga orang itu..."
Raja Obat gelengkan kepala. "Petunjuk sudah kau terima. Di mana beradanya kitab
itu sudah kau ketahui. Tinggal kita mencari akal bagaimana mendapatkannya."
"Satu-satunya jalan adalah terowongan di bawah laut yang kau katakan itu. Tapi
ikan-ikan hiu pemangsa manusia berkeliaran di sana..." kata Wiro. "Obat bubuk
batu merahmu, apakah bisa dipakai untuk meracuni ikan-ikan itu"'
"Obatku untuk menyembuhkan makhluk, bukan untuk membunuh," jawab Raja Obat pula.
"Kalau aku masuk ke dalam laut dan membunuh binatang-binatang itu dengan pukulan
Sinar Matahari..."
"Itu lebih celaka lagi, Wiro. Setiap kau membunuh seekor ikan hiu di sekitar
mulut terowongan, sepuluh kawannya akan muncul membantaimu!"
"Kalau begitu jelas tak ada jalan untuk mendapatkan kitab itu. Kita juga tidak
tahu apakah Ki Hok Kui masih ada di dalam lobang sana... Lalu apa gunanya kita
berdebat?"
"Bukan berdebat anak muda, tapi mencari segala akal. Aku ingin, semua orang juga
ingin, jika kau meninggalkan pulau ini Kitab Putih Wasiat Dewa sudah menjadi
milikmu..."
"Apa yang harus aku lakukan...?" ujar Wiro perlahan.
Ditanya seperti itu Raja Obat juga tak bisa menjawab.
Sekonyong-konyong di kejauhan terdengar suara orang berteriak.
"Penghuni pulau, aku datang menjalankan amanat! Harap beri tanda dimana kau
berada!" Suara teriakan itu menggema keras dan untuk beberapa lamanya baru lenyap dari
pendengaran Raja Obat dan Wiro Sableng. Saat teriakan menggema batu pulau yang
diduduki kedua orang itu ikut bergetar.
"Gangguan baru datang pula..." kata Raja Obat.
"Yang datang orangnya pasti memiliki kepandaian sangat tinggi serta tenaga dalam
sempurna," ujar Wiro pula.
Raja Obat berdiri. Sekali berkelebat orang tua ini melesat dan naik ke atas
sebuah batu besar di tempat ketinggian. Memandang berkeliling dia melihat orang
yang berteriak itu jauh di sebelah barat pulau. Saat itu Wiro sudah melesat pula
dan tegak di samping Raja Obat.
"Melihat caranya datang dengan memberi tahu lebih dulu berarti orang ini
siapapun adanya dia punya niat baik. Lekas kau beri tanda agar dia tahu kita
berada di sini."
"Tanda akan aku berikan. Namun aku tidak setuju dengan ucapanmu. Bahwa orang itu
punya niat baik baru bisa dibuktikan kalau kita sudah menyelidik. Hati-hati dan
jangan bertindak lengah!"
Raja Obat lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Aku ada di sini! Jika datang membawa maksud baik silahkan kemari. Jika membawa
maksud keji terselubung lebih baik segera angkat kaki!"
Teriakan Raja Obat tak kalah hebatnya dengan teriakan orang tadi. Pendatang di
sebelah barat segera melihat Raja Obat dan Wiro di puncak batu itu. Dia balas
mengangkat tangan lalu berlari mendatangi.
*** BAB XIII DALAM waktu singkat orang itu sudah sampai di hadapan Wiro dan Raja Obat.
Ternyata dia seorang lelaki muda bertubuh tinggi kekar, mengenakan pakaian serba
putih yang tidak dikancing hingga dadanya yang penuh otot terpentang lebar.
Keningnya diikat dengan sehelai kain putih. Rambutnya berombak tebal dan
panjang. Di atas sepasang matanya yang memandang dengan sikap tajam melintang
sepasang alis tebal hitam.
Bibirnya yang tipis panjang dan hidungnya yang tinggi menandakan kekerasan hati.
Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki basah kuyup.
"Orang muda, kau telah berhadapan dengan penghuni pulau. Harap jelaskan siapa
dirimu dan ada keperluan apa datang ke sini." Menegur Raja Obat.
Mendengar ucapan itu, orang yang barusan datang segera menjura lalu
menganggukkan kepala pada Wiro.
"Kau tentu Raja Obat Delapan Penjuru Angin, aku gembira akhirnya bisa menemuimu.
Namaku Mahesa Kelud. Aku datang menjalankan amanat dari Ratu Duyung..."
Wiro dan Raja Obat saling berpandangan.
"Jadi Ratu Duyung yang mengirimkanmu ke pulau ini"' tanya Raja Obat.
Pemuda itu mengangguk. Dia berpaling pada Wiro. Sekali lagi dia menganggukkan
kepala memberi hormat "Kau tentunya Pendekar 212 yang terkenal itu..."
"Ah, bagaimana kau bisa tahu?" tanya Wiro.
"Ratu Duyung yang mengutusku kemari sebelumnya telah memberi tahu bahwa kelak di
pulau ini selain bertemu dengan Raja Obat, aku juga akan bertemu dengan seorang
pemuda gagah bergelar Pendekar 212..."
"Tempat kediaman Ratu Duyung rasanya sangat jauh dari sini. Bagaimana kau bisa
menemukan pulau ini dengan mudah?" bertanya Wiro.
"Tidak mudah, aku menghabiskan waktu sehari penuh. Itupun dibantu dengan panduan
anak buah Ratu Duyung dan ditarik beberapa ekor ikan lumba-lumba..."
"Jadi kau kesini setengah berenang... Pantas pakaianmu basah kuyup..."
"Kira-kira begitu..." jawab orang yang mengaku bernama Mahesa Kelud.
"Apa amanat yang kau bawa hingga Ratu Duyung mengutusmu ke sini?" tanya Raja
Obat. "Sebelumnya Ratu Duyung berulang kali memantau lewat cermin saktinya. Dia
mengetahui kesulitan yang kalian hadapi di tempat ini..."
"Kesulitan apa"' tanya Wiro.
"Dia tidak mengatakan dengan rinci. Cuma memberi tahu bahwa kalian tengah
mengalami kesulitan dan aku harus membantu..."
"Kalau kau tidak tahu kesulitan yang kami hadapi bagaimana mungkin bisa
membantu?" ujar Raja Obat pula.
"Ratu Duyung hanya mengatakan agar aku menghancurkan batu merah, membuka jalan
sebuah lobang di bawah pulau..."
Terkejutlah Raja Obat dan Pendekar 212 mendengar kata-kata orang yang tidak
mereka kenal itu.
"Hanya itu yang dikatakannya, tak ada hal-hal lain?" bertanya Raja Obat.
Mahesa Kelud menggeleng. Baik Raja Obat maupun Wiro Sableng tidak dapat
memastikan apakah orang ini benar-benar tidak mengetahui perihal Kitab Putih
Wasiat Dewa itu.
"Saudara muda kami sangat berterima kasih dan menghargai kedatanganmu.
Namun kami meragukan apakah kau bisa menolong kami dari kesulitan. Sebelumnya
kami berdua telah bekerja keras namun sia-sia. Kau diamanatkan untuk
menghancurkan batu merah. Kau membawa peralatan apa"'
Atas pertanyaan Raja Obat itu Mahesa Kelud mengangkat kedua tangannya lalu
mengepalkan tinjunya.
"Aku cuma punya sepasang tangan ini. Raja Obat..."
Kembali Raja Obat dan Wiro Sableng saling berpandangan.
"Pukulan sakti Sinar Matahari saja tidak mampu menjebol batu merah di bagian
lobang itu. Kalaupun aku memiliki Kapak Naga Geni 212 saat ini juga belum tentu
senjata mustika itu akan mampu menjebol lapisan batu merah. Dia sesumbar mampu
menjebol batu merah dengan mengandalkan sepasang tinju! Benar-benar konyol!
Tetapi aku tak boleh terlalu memandang sebelah mata. Bukankah ada ujar-ujar yang
mengatakan di atas langit masih ada langit lagi..."!" Begitu Pendekar 212
berkata dalam hati.
"Raja Obat dan Pendekar 212, aku tidak punya waktu banyak. Tunjukkan bagian mana
yang harus kujebol nanti akan kukerjakan..."
"Kucing besar yang basah kuyup ini kuharap saja tidak bermulut besar. Biar aku
menguji lebih dulu!" kata Wiro dalam hati.
"Sobat, kami berdua ingin melihat kemampuanmu. Coba kau hantam batu merah besar
di samping kananmu itu."
Mahesa Kelud berpaling ke kanan. "Aku tidak menyalahkan kalian. Sebelumnya kita
tidak saling kenal. Tahu-tahu aku muncul berlagak seperti seorang maha jago.
Tapi jika kalian ingin mengujiku, mana mungkin aku menampik"!"
Habis berkata begitu Mahesa Kelud maju mendekati batu besar. Tangan kanannya
berkelebat. "Bukkkk!"
"Byaaarrr!"
Batu merah sebesar sosok tubuh gajah yang kena jotosan Mahesa Kelud hancur lebur
berantakan. Wiro garuk-garuk kepala. "Dengan salah satu pukulan sakti aku juga
mampu menghancurkan batu itu. Tapi apakah dia mampu menghancurkan batu di lobang
ujung terowongan sana?"
"Orang muda kau telah memperlihatkan satu hal yang luar biasa. Bagaimana aku
tahu bahwa kau benar-benar dikirim oleh Ratu Duyung dan tidak datang dengan
maksud culas."
Mendengar ucapan itu Mahesa Kelud menjawab. "Menurut Ratu Duyung Pendekar 212
mempunyai kemampuan untuk melihat jauh. Saat ini Ratu Duyung sengaja menunggu,
siap dengan cermin saktinya. Jika kau mengadakan sambung rasa pasti kau akan
mampu melihat sang Ratu dan mendapatkan tanda-tanda darinya."
Raja Obat memandang pada Pendekar 212. "Aku hanya memiliki ilmu Menembus
Pandang. Tak mungkin dipergunakan untuk melihat jauh..." kata Wiro pula.
"Ratu menyadari hal itu. Itu sebabnya dia sengaja menunggu sampai kau melakukan
sesuatu. Katanya lewat cermin sakti dia akan menyalurkan tenaga dalam dan hawa
aneh hingga kau sanggup melihatnya walau terpisah sangat jauh..."
Murid Sinto Gendeng segera kerahkan tenaga dalamnya ke kepala lalu kedipkan
sepasang matanya dua kali berturut-turut. Kepalanya bergoyang-goyang oleh
munculnya satu gelombang angin halus. Sesaat kemudian dia melihat laut membiru.
Lalu ada cahaya matahari seolah keluar dari dalam laut.
Kemudian walaupun samar-samar dia melihat sebuah benda memantulkan sinar
menyilaukan. Itulah pantulan cahaya yang jatuh pada cermin yang dipegang Ratu
Duyung. Tak selang berapa lama Wiro melihat wajah sang Ratu menganggukkan kepala
beberapa kali. Lalu perlahan-lahan bayangan wajah itu lenyap.
"Aku melihat sang Ratu. Dia memberi tanda yang bisa dipercaya bahwa kau memang
utusannya..."
Raja Obat lalu memegang bahu Mahesa Kelud. "Ikuti aku..." katanya. Orang tua ini
berkelebat. Tubuhnya melayang turun dari bukit batu, dengan cepat dia berjalan
menuju lobang di ujung terowongan. Mahesa Kelud mengikuti. Wiro menyusul di
belakang. Tak lama kemudian mereka sampai di pertengahan pulau di mana terletak lobang
pada ujung terowongan. Raja Obat berdiri di pinggir lobang.
"Ini lobangnya. Dasar lobang dulunya rengkah akibat gempa. Kemudian secara aneh
bertaut kembali. Sanggupkah kau menjebolnya dengan kekuatan pukulanmu?"
"Semoga Tuhan membantu kita semua," jawab Mahesa Kelud pada Raja Obat Delapan
Penjuru Angin. Dia melangkah ke tepi lobang batu.
"Tunggu dulu!" seru Wiro.
"Ada apa Wiro?" tanya Raja Obat.
"Kita perlu memberi tahu bahwa di bawah lobang ini ada sebuah lobang lagi. Ki
Hok Kui besar kemungkinan berada di sana. Jika pukulan yang menjebol lantai
lobang sebelah atas sempat mengenai dirinya..."
"Jangan khawatir Pendekar 212... Pukulanku hanya akan menghancurkan benda yang
kita inginkan. Sekalipun ada sehelai rambut di belakang batu itu niscaya tidak
akan tersentuh... Hanya saja kita terpaksa membunuh ikan-ikan kecil itu."
Baik Wiro maupun Raja Obat menjadi lega mendengar keterangan Mahesa Kelud itu.
Lalu lelaki ini kerahkan tenaga dalamnya dan disalurkan pada sepuluh jari tangan
yang telah mengepal membentuk tinju. Otot-otot lengan Mahesa Kelud mengembang.
Uratnya bertonjolan. Rahangnya mengencang. Tiba-tiba dia melompat masuk ke dalam
lobang. Bagian tubuh sebelah atas masuk lebih dulu. Dua tangan menghantam ke
dasar lobang batu merah.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
"Byaarr!"
"Byaaar!"
Dua jotosan dahsyat menghantam dasar lobang hingga hancur berantakan. Semua
hancuran batu merah dan ikan-ikan kecil tak satupun yang amblas ke dalam tetapi
mental dan muncrat ke atas lobang. Hebatnya lagi walau pecahan-pecahan batu
mengenai kepala dan mukanya namun Mahesa Kelud sama sekali tidak cidera barang
sedikitpun! "Betul-betul luar biasa!" seru Wiro ketika dia melihat sebuah lobang besar kini
menganga di bawah sana. Cukup untuk jalan masuk dua orang sekaligus. Raja Obat
turun lebih dulu disusul oleh Wiro sementara Mahesa Kelud tetap berdiri di luar.
Masuk ke dalam lobang ujung terowongan kedua mula-mula dua orang itu tidak dapat
melihat apa-apa. Selain cahaya matahari yang masuk agak terbatas juga debu
hancuran batu merah masih menghalang di sebelah atas.
Setelah mendekam beberapa saat sepasang mata Wiro dan Raja Obat menjadi biasa
dan bisa melihat keadaan seluruh lobang bahkan sebagian terowongan sebelah kanan.
Memandang berkeliling, mata Raja Obat membentur sesuatu di lantai lobang.
Orang tua ini tercekat dan tersurut satu langkah.
"Pendekar 212, kita terlambat. Ki Hok Kui telah lama menemui kematian. Tapi apa
yang kita cari berada di depan mata..." Raja Obat berkata.
Wiro cepat menyorongkan badan dan kepalanya di samping sosok Raja Obat Delapan
Penjuru Angin. Memandang ke depan murid Sinto Gendeng melihat sebuah jerangkong
manusia tanpa tangan dan kaki tergeletak dalam keadaan utuh di lantai goa batu
merah arah terowongan. Pakaian yang melekat di tubuh tengkorak ini sebagian
besar sudah hancur. Pada tulang-tulang dada jerangkong tergeletak sebuah benda
yang tak lain adalah Kitab Putih Wasiat Dewa. Kitab yang terbuat dari daun
lontar ini ternyata dalam keadaan utuh walau ada beberapa bagian ujung sebelah
atas dan bawah mulai hancur dan tertutup lumut. Pada sampul kitab sebelah depan
jelas terlihat tulisan dalam huruf Jawa kuno : Kitab Putih Wasiat Dewa.
Sekian lama mencari dan mengejar kitab sakti itu, begitu berhadapan Pendekar 212
justru merasa merinding sendiri dan tak berani langsung mengulurkan tangan
mengambilnya. Dalam hati malah dia sempat berkata. "Kitab sakti, bentuknya
biasa-biasa saja malah sudah butut..."
"Kau tunggu apa lagi anak muda" Kitab yang kau cari sudah di depan mata.
Ambillah..." Raja Obat memberi jalan pada murid Sinto Gendeng untuk mengambil
kitab sakti itu.
Mendengar ucapan si orang tua Wiro dengan gemetar ulurkan tangan kanannya untuk
mengambil Kitab Putih Wasiat Dewa.
Begitu jari-jari tangan Pendekar 212 menyentuh kitab sakti tiba-tiba di kejauhan
terdengar lantunan suara seruling. Bersamaan dengan itu satu auman dahsyat
menggelegar menggetarkan seantero pulau dan seolah hendak merobohkan lobang dan
terowongan dimana kedua orang itu berada. Wiro terkesiap kaget dan cepat
bertindak mundur sementara Kitab Putih Wasiat Dewa telah berada dalam
pegangannya. "Dia datang..." bisik Raja Obat Delapan Penjuru Angin.


Wiro Sableng 087 Muslihat Para Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia siapa?" tanya Wiro tak mengerti.
"Kau lihat saja. Sebentar lagi dia akan menampakkan diri..."
Wiro memandang ke depan. Matanya dibuka lebar-lebar tapi diam-diam tengkuknya
terasa dingin juga dan lututnya bergetar. Di hadapannya di arah terowongan dia
hanya melihat benda tipis putih, entah kabut entah asap.
*** BAB XIV Perlahan-lahan kabut tipis itu berubah membentuk dua sosok makhluk. Yang pertama
adalah sosok seorang tua bertubuh sangat tinggi, memiliki wajah gagah. Dia
mengenakan selempang kain putih. Di tangan kirinya dia memegang sebatang tongkat
terbuat dari kayu putih. Kegagahan wajahnya hampir tertutup oleh keangkeran
sepasang matanya yang berwarna biru, yang memandang seolah-olah menembus. Pada
pinggangnya orang tua ini menyisipkan sebatang saluang yakni sebuah suling besar
khas Minangkabau. Di sebelahnya mendekam seekor harimau besar berwarna putih
memiliki bola mata berwarna hijau. Dua makhluk yang muncul dari dalam kabut
putih ini adalah Datuk Rao Basaluang Ameh dan harimau pengiringnya Datuk Rao
Bamato Hijau. Bersamaan dengan terbentuknya sosok dua Datuk itu mendadak sontak ruangan di
dalam lobang dan terowongan menjadi sangat dingin hingga baik Wiro maupun Raja
Obat menggigil kedinginan. Padahal selama puluhan tahun Raja Obat sudah terbiasa
dengan dinginnya udara di pulau batu merah itu, tetap saja orang tua ini menjadi
goyah lututnya.
"Aduh, mengapa udara tiba-tiba menjadi dingin! Kalau terus-terusan begini aku
bisa-bisa tak sanggup menahan kencing!" kata Wiro dalam hati padahal saat itu
tengkuknya sudah merinding oleh angkernya suasana.
Raja Obat Delapan Penjuru Angin segera membungkuk memberi hormat. Dia menendang
kaki Wiro agar segera memberi penghormatan.
"Eh, dua makhluk ini sama dengan yang aku lihat sewaktu diriku tenggelam ke
dalam arus masa lampau..." pikir Wiro. Lalu dia cepat-cepat membungkuk.
"Pangeran Soma..." Datuk Rao angkat bicara. "Tujuh puluh tahun kita tidak
bertemu. Tujuh puluh tahun kau membuktikan kesabaranmu, menunggu sesuai
amanatku. Hari ini tugasmu selesai. Aku dan Datuk Rao Bamato Hijau mengucapkan terima
kasih padamu dan puji syukur pada Yang Maha Kuasa bahwa akhirnya apa yang kita
rencanakan tujuh puluh tahun lalu kini menjadi kenyataan walau seorang gagah
dari kita yaitu Ki Hok Kui telah mendahului. Ketahuilah Raja Obat, semua apa
yang terjadi adalah atas jalan dan kehendak Allah. Kita semua hanyalah para
pelaku yang memikul beban menjalankan tugas. Ada yang hendak kau sampaikan
Pangeran?"
"Pertama sekali kita memang patut memanjatkan puji syukur pada Gusti Allah yang
telah memberi kekuatan pada kita hingga semua apa yang Datuk inginkan bisa
terlaksana. Selanjutnya masih ada amanat yang harus kami laksanakan hingga
petunjuk lebih jauh dari Datuk sangat diperlukan."
Datuk Rao Basaluang Ameh mengangguk sedang Datuk Rao Bamato Hijau keluarkan
gerengan perlahan.
"Pangeran karena semua tugas sudah kau laksanakan maka kau kini bebas untuk
melakukan apa saja. Namun jika aku boleh memberi petunjuk ada baiknya kau
meninggalkan pulau ini. Kembali ke Kerajaan. Di sana kau akan lebih banyak
manfaatnya daripada di sini. Di sana kau bisa berbuat lebih banyak kebajikan
daripada di sini. Perlu kau ketahui Ayahandamu Sri Baginda telah lama wafat. Kau
harus merintis kembali hubungan darah yang selama ini terputus dengan saudarasaudaramu..."
"Terima kasih Datuk. Kata-kata Datuk akan saya perhatikan," jawab Pangeran Soma
alias Raja Obat Delapan Penjuru Angin.
Datuk Rao Basaluang Ameh memalingkan kepalanya ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Pandangan sepasang mata biru angker itu membuat murid Sirrto Gendeng
tercekat. "Anak manusia terlahir bernama Wiro Saksana, oleh gurumu kau diberi nama Wiro
Sableng dan oleh dunia persilatan kau dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212. Hari ini akhirnya kita bertemu muka juga..."
"Astaga..." membatin Wiro. "Bagaimana makhluk ini bisa tahu nama asliku."
Sang Datuk melanjutkan. "Tujuh puluh tahun yang silam nama dan rupamu sudah
tertanam di alam gaib dan hanya beberapa orang pandai saja mengetahui. Lewat
liku perjalanan panjang, terakhir lewat mimpi si Raja Penidur kau akhirnya
terlibat penuh dalam urusan besar ini. Urusan menyelamatkan dunia persilatan
dari kiamat yang akan ditimbulkan oleh manusia-manusia keji berhati iblis. Hari
ini Kitab Putih Wasiat Dewa itu sampai di tanganmu. Karena memang begitu takdir
mengatakan. Tugasmu sangat berat. Kau harus menjaga kitab itu seperti menjaga
nyawamu sendiri sebelum kau akhirnya mempunyai kesempatan untuk memusnahkan
kitab hitam orang-orang sesat pembawa malapetaka yaitu Kitab Wasiat Iblis. Kau
telah mengetahui di tangan siapa beradanya Kitab Wasiat Iblis itu. Kejahatan
memang selalu satu langkah lebih dulu dari kebenaran. Tapi satu hal yang pasti
kebenaran tidak pernah tunduk dan kalah dari kejahatan. Dalam alam gaib yang kau
lihat ketika kau pingsan, kau telah mengetahui sebagian isi Kitab Putih Wasiat
Dewa. Aku tahu kau telah menghafal dengan baik apa-apa yang disebut sebagai
Delapan Sabda Dewa. Tugasmu sekarang adalah membuka halaman kelima yang selama
ini tak satu orangpun diperkenankan membuka dan membaca apalagi mempelajari
isinya. Pulau batu merah ini adalah tempat yang baik bagimu untuk meresapi
segala isi Kitab Putih Wasiat Dewa yang hanya terdiri dari delapan halaman itu.
Tapi jika kau ingin pergi ke tempat lain yang kau lebih suka tak ada yang
melarang. Kitab itu hanya berjodoh denganmu. Bila kau telah selesai mempelajari
isinya harus kau simpan baik-baik. Karena kelak pada seratus tahun dimuka baru
ada orang lain yang berjodoh lagi dengan kitab itu. Sekarang harap kau berlutut
di hadapanku. Berlutut bukan berarti kau menyembahku atau aku merasa lebih
tinggi darimu. Hanya Tuhan yang disembah umat dan tiada manusia yang lebih
tinggi di mata Tuhan kecuali ketakwaannya..."
Dengan menggoyangkan tongkat kayu putihnya Datuk Rao Basaluang Ameh memberi
isyarat pada Wiro agar maju lalu berlutut di hadapannya. Dengan menabahkan diri
Wiro melakukan apa yang diperintah. Dia maju sampai sejarak satu langkah dari
hadapan Datuk Rao Basaluang Ameh, lalu berlutut.
"Apa gerangan yang hendak dilakukannya terhadapku?" membatin murid Sinto
Gendeng. Matanya melirik pada Datuk satu lagi yakni si harimau putih besar.
Moncong binatang ini hanya dua langkah dari hadapannya di sebelah kanan!
Datuk Rao Basaluang Ameh meletakkan tongkat kayu putihnya di atas kepala Wiro.
"Arahkan kepalamu ke kanan dan ulurkan lehermu. Menunduk sedikit..."
Sesuai yang diperintah Wiro Sableng putar kepalanya ke kanan, lehernya
dipanjangkan dan kepala agak ditundukkan. Dengan sikap seperti itu kepalanya
berada sangat dekat dengan mulut harimau putih. Napas sang pendekar mendadak
menjadi sesak dan lututnya bergetar keras.
"Datuk Rao Bamato Hijau," kata Datuk Rao Basaluang Ameh seraya angkat tongkat
putihnya dari atas kepala Pendekar 212. "Temanmu sudah siap..."
Harimau putih besar itu menggereng keras. Wiro merasa seolah-olah dilemparkan
mental ke langit ke tujuh. Tiba-tiba binatang itu melangkah mendekatinya.
Kepalanya diulurkan dan mulutnya dibuka besar-besar. Lalu haummm!
Kepala Pendekar 212 amblas masuk ke dalam mulut Datuk Rao Bamato Hijau!
Nyawa murid Sinto Gendeng serasa terbang. Selangkangannya mendadak sontak basah
tanda dia tak dapat lagi menahan kencingnya!
"Kalau binatang ini sampai mengatupkan mulutnya, putus leherku!" ujar Wiro dalam
hati. Lututnya goyah.
Di dalam mulut harimau Wiro merasa kepalanya dilanda hawa panas dan sejuk silih
berganti. Sekujur pakaian hitamnya telah basah oleh keringat. "Apa yang tengah
dilakukan binatang ini" Mau diapakan diriku ini oleh si Datuk...?" Wiro merasa
makin lama nafasnya makin pengap.
"Cukup Datuk," terdengar suara Datuk Rao Basaluang Ameh.
Datuk Rao Bamato Hijau mengaum keras. Karena kepalanya masih berada di dalam
mulut harimau putih itu maka Wiro merasa seolah kepalanya pecah amblas disambar
petir. Sewaktu harimau putih menarik mulutnya, sekujur kepala Pendekar 212
kelihatan basah kuyup. Dari mata, hidung dan telinga serta mulutnya kelihatan
ada darah mengucur. Raja Obat tampak gelisah tetapi Wiro sendiri tidak merasa
sakit apa-apa. "Datuk, bersihkan dulu kepala dan muka temanmu," kata Datuk Rao Basaluang Ameh
pada sang harimau. Binatang ini ulurkan lidahnya. Lalu dengan lidah itu
dijilatinya seluruh kepala dan muka Pendekar 212. Rambut Wiro menjadi kering,
noda-noda darah di mukanya menjadi bersih.
Wiro menarik napas lega. Lalu cepat-cepat mau berdiri.
"Tunggu, pekerjaan Datuk Rao Bamato Hijau masih belum selesai," kata Datuk Rao
Basaluang Ameh.
"Walah! Mau diapakan lagi diriku ini?" pikir Wiro. Namun tak berani menolak atau
membantah. "Ulurkan tangan kananmu Pendekar 212. Lima jari tangan harus dikepal kuat-kuat,"
perintah Datuk Rao.
Wiro ulurkan tangan kanannya.
"Datuk..." kata Datuk Rao Basaluang Ameh pada harimau putih di sebelahnya.
Binatang ini maju dua langkah, ulurkan kepalanya dan buka lebar-lebar mulutnya.
"Haummmm!"
Tangan kanan Wiro sampai sebatas siku lenyap masuk ke dalam mulut harimau itu.
"Gila! Jangan sampai binatang ini kemasukan setan dan menggerogot putus
tanganku! Uhhh... Perutku mendadak sakit. Jangan-jangan aku sudah kecipirit!"
Sesaat kemudian seperti tadi Wiro merasakan ada hawa panas dan sejuk menjalari
tangannya silih berganti.
"Cukup Datuk..." kata Datuk Rao Basaluang Ameh. Harimau putih bersurut. Wiro
cepat tarik tangannya. "Untung tanganku masih utuh!"
"Buka kepalanmu Pendekar 212 dan kembangkan telapak tanganmu lebar-lebar,"
kata Datuk Rao Basaluang Ameh selanjutnya.
Wiro Sableng buka kepalan dan kembangkan telapak tangan kanannya lebar-lebar.
"Apa yang kau lihat di telapak tanganmu Pendekar 212?" tanya Datuk Rao Basaluang
Ameh. Ketika dia memperhatikan terkejutlah murid Sinto Gendeng. Raja Obat yang tegak
di sampingnya tak kalah kagetnya. Pada telapak tangan kanan Wiro tertera sangat
jelas gambar kepala harimau putih.
"A...ada gambar kepala harimau putih Datuk..." jawab Wiro dengan mulut bergetar.
"Itu gambar temanmu Datuk Rao Bamato Hijau. Berarti kini kau telah memiliki satu
kekuatan dahsyat Wiro. Jika kau tiup satu kali gambar itu akan lenyap. Jika kau
tiup lagi gambar itu akan muncul. Bersamaan dengan munculnya gambar itu tubuhmu
sudah dialiri kekuatan yang membuatmu mampu menghadapi lawan tangguh. Kau bisa
menghancurkan benda apa saja tanpa harus mengalirkan tenaga dalam. Tapi ingat
dan selalu ingat, setiap ilmu bukan segala-galanya..."
Wiro masih melotot memandang telapak tangan kanannya lalu dia melirik pada Datuk
Rao Bamato Hijau. Harimau putih ini mengaum keras membuat Wiro tergagau dan Raja
Obat tersurut. "Datuk Rao Bamato Hijau, kita sekarang berteman. Jangan takuti diriku..."
Datuk Rao Basaluang Ameh tersenyum. "Datuk Rao Bamato Hijau merasa senang
berteman denganmu. Kau tak usah takut padanya Wiro. Pada saat kau memerlukannya
dia akan muncul secepat kilat menyambar..."
Wiro mengangguk tapi matanya kembali memandangi tangannya. Dia ingin tahu.
Tangan kanannya itu didekatkannya ke mulut. Lalu dia meniup. Gambar kepala
harimau putih serta merta lenyap. Wiro masih belum percaya. Kembali dia meniup.
Gambar kepala harimau itu kembali muncul!
"Pangeran Soma dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tugas kami berdua sudah selesai.
Kini tugas besar menghadang kalian, terutama kau Wiro. Selamatkan dunia
persilatan. Makin cepat kau menyingkirkan Kitab Wasiat Iblis makin baik bagi
rimba persilatan. Semuanya kini mempertaruhkan diri dalam tanganmu Wiro. Jaga
dirimu baik-baik. Jaga betul Kitab Putih Wasiat Dewa itu. Kau harus berhasil.
Jika aku merasa perlu untuk menyampaikan sesuatu padamu, aku akan muncul..."
"Terima kasih Datuk Rao," kata Wiro pada orang tua berselempang kain putih itu.
Lalu dia berpaling pada harimau besar. Terima kasih teman..." Binatang ini buka
mulutnya lebar-lebar lalu mengaum keras seolah mengatakan sesuatu menyambut
ucapan Wiro tadi.
Datuk Rao Basaluang Ameh berpaling pada Raja Obat dan berkata. "Beritahu pemuda
ini agar membersihkan tanda merah bekas kecupan bibir di kedua pipinya..."
Pendekar 212 terkejut dan cepat mengusap pipinya kiri kanan. Sementara itu
perlahan-lahan sosok dua makhluk di hadapannya kembali berubah menjadi kabut
putih tipis dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Hawa dingin yang tadi mencekam
ikut sirna. Keadaan di dalam lobang di ujung terowongan itu berubah menjadi
panas. Wiro memandang berkeliling.
"Aneh, lobang batu sesempit ini bagaimana tadi kita berempat bisa berada di
sini...?" ujar Pendekar 212 terheran-heran Lalu dia pandangi tangan kanannya
kembali. "Orang bernama Mahesa Kelud itu memiliki ilmu pukulan hebat luar biasa.
Sanggup menjebol batu di lobang. Menurut Datuk Rao kini aku sudah memiliki satu
ilmu yang hebat. Aku mau buktikan sampai di mana kehebatanku. Apa ilmu baruku
sanggup menghancurkan batu merah ini?"
Wiro memutar tubuhnya menghadap ke dinding batu di ujung terowongan.
"Tanpa tenaga dalam aku sanggup menghancurkan apa saja!" katanya. Lalu dia
mundur selangkah. Tangan kanannya dikepal. Hanya mengandalkan tenaga luar murid
Sinto Gendeng hantam batu merah di depannya. Langsung saat itu juga dia terpekik
sambil kibas-kibaskan tangan kanannya. Dinding batu di hadapannya sama sekali
tidak bergeming. Malah ketika memperhatikan ternyata jari-jari tangannya lecet
dan bengkak! Hampir terlepas ucapan kotor dari mulutnya. "Raja Obat, jangan-jangan aku sudah
kena dimuslihati Datuk Rao. Kau dengar sendiri tadi ucapannya mengatakan bahwa
aku kini telah memiliki satu ilmu pukulan yang bisa menghancurkan apa saja!
Buktinya" Kau lihat sendiri tanganku! Untung tidak ada jari-jariku yang patah!"
Raja Obat Delapan Penjuru Angin tertawa lebar.
"Eh, sudah aku ditipu orang dan kesakitan setengah mati kau malah menertawaiku!
Jangan-jangan kau berkomplot dengan dua makhluk asap tadi!"
"Anak muda. jangan cepat menduga salah. Tak ada yang menipu memuslihatimu.
Kau sendiri yang salah!"
"Nah...nah! Sekarang malah kau menuduhku yang salah! Apa-apaan ini sebenarnya"!"
"Waktu kau memukul dinding batu merah itu, apakah di telapak tanganmu sudah ada
gambar temanmu si harimau putih itu?"
"Eh"!" Wiro kembangkan telapak tangan kanannya. Dia lalu berpaling pada si orang
tua di sampingnya. "Kau betul... Memang aku yang ngaco!" katanya. Habis berkata
begitu lalu meniup telapak tangan kanannya. Serta merta di telapak tangan itu
muncul gambar kepala harimau putih. Lalu dia mundur kembali satu langkah.
"Sekarang!" teriak Pendekar 212 sambil menghantam menjotos dinding batu di
depannya. Terdengar suara menggelegar. Dinding batu merah amblas hancur
berantakan! Murid Sinto Gendeng jadi terperangah sendiri. "Kau betul Raja Obat. Datuk Rao
dan harimau putih itu tidak menipu. Aku yang tolol!" Lalu dia tiup telapak
tangan kanannya. Gambar kepala harimau putih serta merta lenyap.
Raja Obat menepuk bahu Pendekar 212. "Simpan Kitab Putih Wasiat Dewa itu dan
kita harus keluar dari dalam lobang ini." Lalu orang tua itu mendahului keluar
dari dalam lobang batu. Wiro cepat memasukkan kitab sakti ke balik pakaiannya.
Tapi dia tidak segera menyusul Raja Obat keluar dari dalam lobang. Dia melangkah
ke mulut terowongan di mana tergeletak sosok jerangkong Ki Hok Kui. Dipegangnya
batok kepala tengkorak dan diusapnya berulang kali sambil berkata.
"Kalau kau masih hidup tentu sudah jadi kakek saat ini. Kakek Ki Hok Kui, jasamu
membawa Kitab Putih Wasiat Dewa ke tanah Jawa ini hanya Tuhan saja yang bisa
membalas dengan pahala besar. Aku harus pergi sekarang Kek. Aku berterima kasih
padamu. Semoga aku bisa melanjutkan tugasmu. Aku doakan agar kau mendapat tempat
yang paling baik di akhirat. Tapi doakan juga aku ya, agar aku berhasil dan
siapa tahu bisa jalan-jalan ke negeri leluhurmu di Tiongkok sana!"
Di atas lobang Raja Obat yang sempat mendengar doa Wiro itu walau tidak sabaran
tapi jadi senyum-senyum juga mendengar segala apa yang diucapkan Wiro itu.
"Selamat tinggal kakek Ki Hok Kui!" Wiro mengusap sekali lagi batok kepala
tengkorak itu lalu melesat keluar lobang.
Begitu berada di atas lobang kembali yang pertama sekali dilakukannya adalah
mencari lelaki bernama Mahesa Kelud tadi.
"Eh, kemana orang sakti yang tadi menolong kita menjebol dasar lobang batu
merah..." tanya Wiro sambil mencari-cari.
Raja Obat memandang berkeliling. Tapi Mahesa Kelud memang tak ada lagi di situ.
"Rasanya dia sengaja pergi duluan. Tidak mau berbasa basi menerima ucapan terima
kasih kita," kata Raja Obat.
"Kelak aku akan mencari orang gagah itu untuk menghaturkan terima kasih," kata
Wiro pula. (Siapa adanya Mahesa Kelud harap baca serial Mahesa Kelud karangan
Bastian Tito) "Aku ingat pada ucapan Datuk Rao tadi. Rasanya memang sudah saatnya aku
meninggalkan pulau batu ini. Kembali ke Kotaraja. Kau mau sama seperjalanan


Wiro Sableng 087 Muslihat Para Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

denganku?" tanya Raja Obat pada Pendekar 212.
"Aku suka sekali pergi bersamamu. Namun ada satu hal yang aku pikirkan saat
ini..." "Apa..."
"Mungkin ada baiknya aku kembali dulu ke tempat Ratu Duyung. Dia banyak
membantuku dalam usaha mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa ini. Dia juga
memberiku ilmu yang sangat berharga. Kalau bukan orang-orangnya yang
menyelamatkan, aku tak akan pernah sampai di pulau ini..."
"Hemmm.. Hutang budi memang satu hal yang sulit untuk dibayar. Apakah kau punya
pikiran untuk menolongnya dari penyakitnya" Membebaskannya dari kutukan dengan
jalan memenuhi permintaannya melakukan hubungan badan...?"
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Ratu Duyung pernah bercerita bahwa dia telah
mencoba menghubungimu untuk meminta obat penyembuhan..."
"Betul, itu terjadi puluhan tahun lalu sewaktu aku masih dikucilkan di tengah
hutan... Aku tak bisa menolongnya. Penyakit karena kutukan tidak dapat
disembuhkan dengan obat."
"Puluhan tahun lalu katamu" Jadi berapa umurnya saat ini?"
"Seratus tahun... Mungkin dua ratus tahun!" Jawab Raja Obat. "Eh, mengetahui
umur Ratu Duyung apakah kini kau jadi hilang selera?"
Wiro tertawa lebar. "Terus terang aku tak bisa melupakannya. Aku harus
menemuinya kapan-kapan. Tapi kalau boleh aku bertanya mengapa dia tidak meminta
lelaki lain untuk melakukan hal itu. Misalnya lelaki muda yang gagah utusannya
tadi si Mahesa Kelud itu..."
Raja Obat menggelengkan kepala. "Masalahnya bukan masalah nafsu Wiro. Tapi
menyangkut semacam kasih sayang tulus. Dia tak mungkin melakukannya dengan orang
yang tidak dicintainya..."
"Maksudmu... Maksudmu Ratu Duyung mencintaiku?" tanya Wiro.
"Bukan cuma dia Wiro. Tapi kalau bisa aku sebutkan satu persatu di antaranya
Pandansuri anak angkat almarhum Raja Rencong dari Utara. Lalu Anggini murid Dewa
Tuak. Suci alias Dewi Bunga Mayat. Lalu masih ada Bidadari Angin Timur, Dewi
Payung Tujuh..."
"Sudah... sudah!" seru Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Bagaimana kau bisa tahu
semua itu"!"
Raja Obat tertawa mengekeh. "Tuhan memberikan beberapa kelebihan pada tua renta
buruk ini... Kalau saja aku masih muda sepertimu hemm..."
Wiro membalas senda gurau Raja Obat itu dengan gurauan pula. "Kau menyesal
terlanjur lahir cepat" Walau sudah tua bukankah kau bisa meramu obat kuat hingga
mampu berbuat lebih hebat dari anak muda"! Ha... ha... ha! Kalau kau nanti
meramu obat kuat itu jangan lupakan diriku. Tinggalkan barang segenggam!
Ha...ha...ha!"
Raja Obat tertawa pencong lalu berkata. "Kau sudah siap meninggalkan pulau ini
dan seperjalanan denganku?"
"Tentu saja!"
"Maaf saja anak muda. Aku merasa malu berjalan sama-sama denganmu!"
"Eh, memangnya ada apa Raja Obat?" tanya Wiro.
"Di pipimu kiri-kanan masih ada tanda merah bekas kecupan Iblis Putih Ratu
Pesolek itu!"
"Eh, bukankah tadi waktu di lobang sudah kubersihkan"!"
"Apanya yang kau bersihkan. Tanda itu masih ada!"
"Jangan bergurau Raja Obat!"
"Siapa yang bergurau"!"
"Wah... wah!" Wiro pergunakan kedua tangannya untuk menggosok pipinya kiri
kanan. "Sudah hilang?" tanyanya pada Raja Obat.
Yang ditanya menggeleng.
Kini Wiro pergunakan baju hitamnya dan menggosok keras-keras.
"Tetap tidak hilang!" memberi tahu Raja Obat.
"Gila! Alat pewarna bibir apa yang dipakai nenek setan itu. Jangan-jangan
sebangsa cat yang tak bisa dihapus. Tapi tunggu dulu. Aku belum mencoba yang
ini!" Wiro ludahi kedua telapak tangannya kiri kanan. Dengan basahan ludah dia
membersihkan kedua pipinya.
"Percuma saja Wiro. Tanda bibir bekas kecupan itu tak mau hilang. Kau harus
mencari sejenis minyak untuk menghilangkannya!"
"Mati aku! Bagaimana aku bisa kemana-mana seperti ini"!"
"Agaknya kau terpaksa memakai topeng atau memakai cadar!"
"Nenek setan keparat!" maki Wiro.
*** TAMAT Format djvu oleh: syauqy_arr
Format MS Word unedited oleh: kiageng80
Dilengkapi oleh: Pendekar212
diedit & diupload oleh: mercy13019
kritik& saran kirim ke: mercy13019@yahoo.com
Salam 212 SEMUA HAK KARYA CIPTA CERITA INI ADALAH MILIK
ALMARHUM BASTIAN TITO
Kemelut Di Majapahit 11 Pahlawan Harapan Karya Tang Fei Munculnya Sang Pewaris 2

Cari Blog Ini