Ceritasilat Novel Online

Roh Dalam Keraton 1

Wiro Sableng 122 Roh Dalam Keraton Bagian 1


Ebook by acisx BAB 1 Pendekar 212 Wiro Sableng dan Kinasih yang sembunyi di balik semak belukar di
belakang sederetan pohon-pohon besar tidak menunggu lama. Yang muncul ternyata
bukan Momok Dempet Berkaki Kuda, tapi serombongan penunggang kuda terdiri dari
lima orang. Mereka berseragam hitam, bertampang sangar ganas. Rambut rata-rata panjang
sebahu, kepala diikat kain hitam, muka tertutup kumis, janggut dan cambang bawuk
meranggas. Di pinggang terselip golok besar yang gagangnya berbentuk sama yakni
ukiran tengkorak. Kelima orang ini membawa buntalan besar, digantung di leher
kuda masing-masing.
"Siapa mereka. Pasti orang-orang jahat..." bisik Kinasih.
Wiro memberi anda agar Kinasih segera menutup mulut.
Penunggang kuda paling depan tiba-tiba angkat tangan kirinya. "Kita berhenti di
sini. Hitung jarahan!" Orang ini memiliki cacat di pertengahan kening, membelintang
melewati mata kiri membuat matanya mencelet keluar, merah mengerikan. Tampangnya
paling seram dibanding dengan empat kawannya. Dari ucapan serta sikap agaknya
dia yang menjadi kepala rombongan.
Empat penunggang kuda lain segera hentikan kuda masing-masing lalu melompat ke
tanah, turunkan buntalan. Buntalan itu mereka letakkan di tanah di hadapan
pimpinan mereka.
"Buka!" perintah si mata cacat.
Empat orang berpakaian hitam segera buka buntalan masing-masing. Di dalam setiap
buntalan ternyata ada sebuah peti, terbuat dari kayu jati coklat kehitaman. Pada
penutup peti ada gambar bintang dalam lingkaran, diapit oleh dua ekor naga
bergelung. Empat buah peti itu ternyata dikunci dengan sebuah gembok besar
terbuat dari besi.
Empat lelaki berpakaian hitam cabut golok masing-masing. Tangan sama bergerak
membacok. "Trang... trang... trang... trang!"
Empat gembok terbelah, tanggal dari peti, jatuh ke tanah. Empat orang bertampang
buas segera membuka tutup peti. Begitu peti dibuka, mata mereka sama membeliak
besar lalu berbarengan ke empatnya tertawa bergelak.
"Rejeki kita benar-benar besar! Ha... ha... ha!"
Dari tempat mereka bersembunyi, karena terletak di bagian tanah yang agak
ketinggian Wiro dan Kinasih daprt melihat sebagian isi peti itu.
"Harta perhiasan... uang emas... bukan main! Seumur hidup aku tidak pernah melihat
sebanyak itu..." tak sadar Kinasih keluarkan ucapan. Wiro cepat menekap mulut
perempuan ini. "Warok Mata Api, kau belum membuka buntalanmu! Kami ingin melihat isinya!" salah
seorang dari empat lelaki berpakaian hitam berkata.
"Warok Mata Api..." ujar Kinasih mengulang nama itu dengan suara perlahan dan
bergetar. "Kau tahu siapa dia?" berbisik Wiro.
"Aku pernah mendengar namanya. Suamiku pernah cerita. Warok Mata Api adalah
salah sati dari empat dedengkot rampok Alas Roban. Dia menguasai kawasan
selatan. Suamiku pernah menceritakan Warok Mata Api paling ganas di antara empat
penguasa Hutan Roban."
"Aku sudah duga. Ternyata mereka adalah komplotan penjahat. Gambar pada penutup
peti adalah lambang Kerajaan. Jangan-jangan yang mereka jarah harta benda milik
Kerajaan... Rampok berani mati!"
Wiro hentikan ucapan karena saat itu dia melihat Warok Mata Api mulai membuka
buntalannya. Seperti isi empat buntalan yang sudah dibuka di dalamnya terdapat
sebuah peti coklat kehitaman. Bedanya peti satu ini jauh lebih besar dibanding
empat peti lainnya. Seperti yang dilakukan empat anak buahnya, Wiro mengira
kepala rampok itu akan membacokkan golok besarnya untuk menghancurkan gembok
besar penutup peti. Ternyata Warok Mata Api pergunakan tangan kosong. Gembok
besi digenggam. Sekali tangannya meremas gembok besi itu hancur berantakan!
Kalau Kinasih leletkan lidah terkagum-kagum, murid Sinto Gendeng hanya
menyeringai. "Boleh juga tenaga dalam begundal satu ini..." katanya dalam hati.
Warok Maa Api buka penutup peti. Seringai lebar muncul di wajahnya begitu
sepasang matanya melihat ke dalam peti. Empat anak buahnya terperangah. Peti itu
penuh dengan barang perhiasan dan mata uang. Semuanya dari emas. Karena petinya
lebih besar maka dengan sendirinya isinya jauh lebih banyak dari peti-peti lain.
"Warok! Ada satu kotak kecil di atas tumpukan perhiasan!" Salah seorang anak
buah Warok Mata Api berkata sambil menunjuk.
"Aku sudah melihat!" Jawab Warok Mata Api lalu ulurkan tangan mengambil sebuah
kotak kayu yang terletak di atas tumpukan harta perhiasan. Kotak kayu ini bagus
sekali buatannya, halus berkilat. Di sebelah atas ada ukiran bintang dalam
lingkaran, diapit dua naga bergelung. Itulah lambang kerajaan. Siapa saja yang
melihat pasti mengenali.
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
Dengan tangan kirinya Warok Mata Api buka tutup kotak. Empat anak buahnya
mendekat. Dari dalam kotak kayu itu keluar satu cahaya kuning.
"Keris emas!" Empat anggota rampok Alas Roban berucap berbarengan.
Warok Maa Api tenang saja. Tangan kanannya diulurkan. Ketika jari-jarinya
menyentuh keris emas di dalam kotak, dia merasakan ada satu hawa aneh menjalar
memasuki tubuhnya, membuat tengkuknya menjadi dingin.
"Ini pasti bukan senjats sembarangan," kata sang Warok lalu kerahkan hawa sakti
di dalam tubuhnya untuk menolak hawa aneh yang merangsak. Tangannya bergetar
hebat, rasa ngilu menyengat sampai ke persendian bahu.
"Warok! Ada apa"!" Salah seorang anak buah Warok Mata Api berseru kaget ketika
melihat sosok pimpinannya mengerenyitkan muka angkernya.
Warok Mata Api cepat-cepat kendurkan tenaga dalam, menghindarkan bentrokan yang
bisa membuat dia menjadi malu di depan sekian anak buahnya.
Sambil memperhatikan keris emas itu Warok Mata Api berpikir-pikir.
"Belum pernah aku melihat keris dengan sarung begini bagus. Buatannya halus. Ada
ukiran bintang dalam gelangan. Dua ekor naga... Aku yakin, senjata ini lebih
berharga dari semua harta perhiasan dalam lima buah peti..."
Dengan hati-hati Warok Mata Api cabut keris emas itu. Begitu mata keris keluar
dari sarung, satu cahaya kuning membersit menyilaukan, membuat Warok Mata Api
tersurut dua langkah ke belakang. Tangannya bergetar dan kembali ada hawa aneh
menjalari sekujur tubuhnya. Kali ini lebih hebat dari yang tadi. Keris emas itu
hampir terlepas jatuh dari pegangannya.
"Senjata luar biasa! Benar-benar luar biasa!" Kepala rampok hutan Roban kawasan
selatan itu cepat-cepat masukkan keris emas ke dalam sarungnya lalu selipkan
senjata itu di pinggang di balik pakaiannya. Begitu keris menempel di tubuhnya
kini ada hawa hangat mengalir. Sang Warok menunggu dengan berdebar. Ternyata
hawa hangat itu segera sirna. Dia menarik nafas lega.
"Warok, saatnya kita membagi jarahan," anak buah di samping kanan Warok Mata Api
berkata. Warok Mata Api mengangguk. "Dua pertiga dari harta dan uang dalam empat peti itu
masukkan ke dalam petiku. Sisa yang sepertiga itu bagian kalian!"
Empat anggota rampok terkesiap saling pandang satu sama lain. Wajah mereka
membersitkan rasa tidak puas. Yang tiga hanya berdiam diri tapi yang satu
membuka mulut bicara keras.
"Warok, pembagian yang kau tentukan tidak adil! Kami sudah belasan tahun ikut
bersamamu! Kau masih saja memperlakukan kami seperti ini! Sesuai janjimu semula
kami justru dapat dua pertiga. Yang sepertiga untukmu! Sekarang mengapa
terbalik"!"
"Salak Jonggrang! Apakah kau bicara mewakili teman-temanmu atau itu maumu
sendiri!?" Warok Mata Api bertanya. Suaranya datar dan sikapnya seperti tadi
tetap tenang. Tapi dua matanya memancarkan cahaya seperti kilatan api.
"Tiga temanku semua sungkan bicara. Jadi anggaplah aku mewakili mereka..."
menjawab anggota rampok bernama Salak Jonggrang.
"Hemmmm, begitu" Dari dulu kau selalu menjadi penyulut biang perpecahan di
antara kita..."
"Aku tidak bermaksud begitu Warok. Aku hanya mengingatkan, semua tindakanmu
selama ini, terutama dalam membagi hasil jarahan selalu tidak adil. Kami dapat
sedikit. Kau berlipat ganda. Seperti saat ini. Kau juga sudah mengantongi keris
emas itu. Kami tahu senjata itu bukan sentjata sembarangan. Jauh lebih berharga
dari semua emas perhiasan dan uang yang ada di lima peti. Anehnya kau masih
menetapkan pembagian berlimpah ruah untukmu. Apalagi sebelumnya kau sudah
berjanji. Hasil jarahan yang kami dapat satu banding tiga. Tiga untuk kami, satu
untuk kau. Lagi pula jarahan yang ada padamu tidak kami perhitungkan. Itu bulatbulat untukmu..."
"Jangan bicara segala macam janji. Aku pimpinan kalian. Setiap saat aku bisa
merubah perjanjian sepuluh kali aku suka!"
"Warok, kalau begitu..."
"Bicaraku belum selesai Salak Jonggrang!" hardik Warok Mata Api. Sepasang
matanya mendelik. Mata kirinya yang memerah seperti bara. "Jika aku tidak mau
menuruti permintaanmu dan teman-teman, kau akan melakukan apa Salak Jonggrang"!
Akan mengeroyokku"!"
Salak Jonggrang terdiam. Dia memandang pada tiga temannya. Tiga orang itu hanya
diam dan agaknya mulai merasa tidak enak begitu melihat tampang pimpinan mereka,
kelam membesi sementara mata mendelik tak berkesip.
"Tiga temanku hanya mengikut apa yang aku katakan, Warok..." kaa Salak Jonggrang
pula. Warok Mata Api menyeringai.
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
"Apa aku sudah tuli hah"! Tiga temanmu tidak bicara sepotongpun! Kau yang punya
bisa! Kau biang penghasut! Aku tidak suka pada anak buah sepertimu! Terus terang aku
sudah lama muak melihat tampangmu!"
Salak Jonggrang rupanya memang agak keras kepala. Mungkin karena telah bertahuntahun diperlakukan tidak adil.
"Jika mereka suka menerima pembagian seperti maumu, itu urusan mereka. Untukku,
aku tetap menuntut seperti perjanjian semula."
"Begitu..." Baiklah! Kau boleh ambil semua isi peti yang tadi kau bawa. Mulai
hari ini aku tidak ingin melihat tampangmu lagi!"
Salak Jonggrang pandangi tampang pimpinannya sesaat. Diam-diam hatinya bergeming
juga melihat tampang angker itu. Lalu peti yang ada di hadapannya ditutup,
dimasukkan ke dalam buntalan dan dinaikkan ke atas kuda.
"Aku pergi Warok. Kita tidak akan bertemu lagi!" kata Salak Jonggrang.
"Sebaiknya begitu," sahut Warok Mata Api. "Sebelum pergi ada satu hal ingin
kukatakan padamu!" Sang Warok melangkah mendekati anak buahnya.
"Kau hendak mengatakan apa"!" tanya Salak Jonggrang sambil hentikan gerakannya
yang hendak naik ke punggung kuda.
"Tadi kukatakan aku sudah lama muak melihat tampangmu. Aku kawatir semua orang
bersikap sama denganku..."
"Apa maksudmu Warok Mata Api?" tanya Salak Jonggrang tidak mengerti.
"Maksudku, jika tidak disenangi orang dimana-mana, buat apalagi perlunya hidup
berlama-lama di dunia!" Habis berkata begitu Warok Mata Api tertawa bergelak.
Tiba-tiba seperti direnggut setan tawanya lenyap. Hampir tidak kelihtan kapan
tangannya bergerak tahu-tahu golok besar di pinggangnya telah terhunus keluar
dari sarung, lalu berkiblat di udara. Semua orang, termasuk Salak Jonggrang
hanya melihat cahaya putih berkelebat.
"Crassss!"
Salak Jonggrang menjerit.
Darah menyembur dari lehernya yang nyaris putus. Suara jeritannya tidak selesai,
tercekik setengah jalan lalu tubuhnya tergelimpang roboh ke tanah, menggeliat
sebentar kemudian diam tak berkutik lagi!
"Edan! Gerakan kepala rampok itu luar biasa cepatnya. Aku hanya sempat melihat
bahunya bergerak lalu darah menyembur!" Di balik rerumpunan semak belukar
tempatnya bersembunyi bersama Kinasih, murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.
Dua anak buah Warok Mata Api terbelalak. Mulut ternganga tapi tak ada suara.
Salak Jonggrang adalah anak buah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Namun
jika dia tidak bisa selamatkan diri dari serangan kilat tadi, menemui ajal
sekali tabas saja dapat dimengerti karena waktu mengirimkan serangan maut tadi
Warok Maa Api telah mempergunakan jurus paling hebat yang dimilikinya. Yakni
jurus bernama Di Dalam Gelap Maut Menyusup.
Sesuai dengan nama jurus itu Salak Jonggrang tidak melihat apa-apa. Dia seolah
berada dalam gelap hingga jari di depan matapun tidak kelihaan! Tahu-tahu golok
sudah mengibas tenggorokannya!
Warok Mata Api pandangi mayat anak buahnya itu dengan seringai bermain di mulut.
Lalu dia berpaling pada tiga yang lain.
"Ada di antara kalian yang ingin mengikuti jejak Salak Jonggrang"!"
Tak ada yang menyahut. Warok Mata Api angguk-angukkan kepala lalu berkata. "
Bagus, kalian rupanya bukan bangsa pembangkang! Masukkan dua pertiga isi peti
kalian ke dalam petiku. Lalu tinggalkan tempat ini. Kita berpisah di sini.
Kalian kembali ke Roban, aku menyusul kemudian."
Tanpa banyak cerita atau berani bicara tiga anggota rampok hutan Roban segera
lakukan apa yang diperintah oleh pimpinan mereka. Lalu memasukkan peti kecul
yang isinya tinggal sepertiga ke dalam buntalan masing-masing. Warok Mata Api
kemudian sibuk mengemasi peti besarnya. Ketika ke empat orang ini hendak
melangkah ke kuda masing-masing tiba-tiba kesunyian di tempat itu dipecah oleh
suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian muncul seorang pemuda berbaju kuning yang
kancing-kancingnya terbuat dari kayu diukir seperti potongan bambu kecil.
Celananya berwarna hitam. Wajahnya tampan. Dia menunggang seekor kuda coklat
yang bagian hidungnya berwarana putih. Tubuhnya yang tegap kokoh tampak gagah di
atas kuda. "Warok Mata Api! Jangan buru-buru pergi. Kita perlu membicarakan pembagian hasil
jarahan untukku!"
Warok Mata Api dan tiga anak buahnya berpaling cepat.
"Sial! Kau rupnaya!" maki kepala rampok hutan Roban itu.
"Jangan bermulut lancang berani memaki! kalau bukan bantuan dan keterangan
dariku seumur hidup kau tidak akan pernah mendapatkan hasil jarahan sebanyak
itu! Apa yang kau dapat cukup untuk hidupmu tiga turunan! Bukannya berterima
kasih malah berani memaki!"
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
Rahang Warok Mata Api menggembung. Dua matanya mendelik. Dia masukkan tangan
kiri ke dalam buntalan.
"Kau minta imbalan! Ambillah dan lekas pergi!"
Tangan kiri Warok Mata Api bergerak. Satu benda kuning melesat ke arah pemuda di
atas kuda coklat. Benda itu adalah sebuah perhiasan terbuat dari emas, berbentuk
bunga setangkai yang ujung-ujungnya runcing. Di tangan Warok Mata Api perhiasan
itu berubah menjadi satu senjata sangat berbahaya. Dinding kayu bisa ditembus!
Apalagi daging manusia! Sang Warok melempar sama sekali jelas bukan sekedar
untuk memberikan, tetapi merupakan satu serangan maut karena perhiasan itu
laksana kilat menyambar ke arah tenggorokan pemuda berpakaian kuning!
"Dasar rampok! Membalas budi orang dengan khianat busuk! Hari ini kau akan tahu
dengan siapa berhadapan! Jangan harapkan selamat sekalipun kau punya nyawa
rangkap!" Di balik semak belukar Pendekar 212 sunggingkan senyum. "Ucapannya hebat!
Hemmmm... Siapa adanya manusia satu ini!"
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
BAB 2 Orang di atas kuda gerakkan tangan kiri, melintang di depan leher. Sesaat
kemudian perhiasan yang dijadikan Warok Mata Api sebagai senjata maut untuk
membunuh telah berada dalam genggamannya. Ketika tangan yang menggenggam
bergerak terdengar suara berderak.
Begitu genggaman dibuka perhiasan emas telah hancur, berubah menjadi pasir
kuning luruh jatuh ke tanah. Si pemuda berpakaian kuning menyeringai dan usapusapkan telapak tangannya satu sama lain.
Tiga anak buah Warok Mata Api melengak kaget. Di balik semak belukar Pendekar
212 Wiro Sableng menyeringai sambil garuk-garuk kepala. "Ternyata tenaga dalam
pemuda baju kuning itu lebih tinggi dari yang dimiliki Warok Mata Api..."
Warok Mata Api walau hatinya berdebar melihat kehebatan orang tapi tetap
unjukkan sikap tenag. Malah sambil tertawa lebar dia berkata. "Sayang, hadiah
untukmu kau hancurkan sia-sia. Aku tidak akan memberikan apa-apa lagi padamu.
Jadi lekas pergi dari sini. Jangan berani menghalangi langkahku!"
Tiga anak buah Warok Mata Api segera maklum bakal terjadi hal tak diingini di


Wiro Sableng 122 Roh Dalam Keraton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat itu. Ketiganya segera hendak melompat ke atas kuda masing-masing.
"Siapa menyuruh kalian pergi! Berani menggerakkan kuda satu langkah saja,
berarti minta mati!"
"Bajingan tengik! Kau tidak layak memerintah anak buahku!" bentak Warok Mata
Api. "Aku tidak main-main dengan ucapanku!" tukas penunggang kuda coklat.
Warok Mata Api memberi isyarat dengan tangan agar tiga anak buahnya segera
pergi. "Kalian cepat pergi! Aku mau lihat apa yang akan dilakukan bocah ingusan ini!"
Tiga orang anak buah Warok Mata Api segera sentakkan tali kekang kuda masingmasing. Pada saat itulah sosok pemuda berpakaian kuning di atas kuda coklat
melesat ke udara.
Gerakannya laksana angin. Lalu!
"Bukk! Praakkkk!"
"Bukk! Praakkkk!"
"Bukk! Praakkkk!"
Tiga tendangan menderu dahsyat.
Tiga anggota rampok terpental dari atas kuda, jatuh tergelimpang di tanah. Tak
berkutik lagi. Menemui ajal tanpa keluarkan suara. Kepala masing-masing
kelihatan rengkah! Ganas luar biasa!
Habis menendang, pemuda baju kuning membuat gerakan jungkir balik di udara. Di
lain kejap dia sudah duduk kembali di punggung kudanya. Itulah jurus yang
disebut Menendang Matahari Menduduki Rembulan.
"Gila! Gerakan luar biasa hebat!" kata Wiro sambil geleng-geleng kepala penuh
kagum. Kali ini Warok Mata Api tidak dapat menyembunyikan perasaan hatinya. Mukanya
yang sangar berubah pucat walau sesaat. Kemudian untuk menutupi gejolak hati
yang mempengaruhi nyalinya dia membentak.
"Manusia jahanam! Siapa kau sebenarnya"!"
Pemuda di atas kuda coklat tersenyum.
"Namaku tidak pernah berganti. Kemarin aku memperkenalkan diri padamu sebagai
Damar Wulung. Hari ini dan sekarang tetap Damar Wulung! Ada pertanyaan lain?"
"Jahanam!" rutuk Warok Mata Api. "Kau inginkan bagianmu" Kau boleh ambil lima
peti berisi harta dan uang emas itu! Tapi tinggalkan dulu nyawa busukmu di
sini!" "Warok Mata Api! Aku tidak serakah! Aku hanya ingin setengah dari harta dan uang
jarahan itu. Ditambah sebuah kotak berisi keris emas...!"
"Setan! Kau tidak bakal mendapat sepotong tengikpun!" bentak sang Warok.
Pemuda bernama Damar Wulung tertawa lebar. "Sungguh manusia tidak tahu budi. Kau
tidak mau membagi hasil pada anak buahmu aku tidak perduli. Tapi aku yang
memberi keterangan padamu mengenai rombongan yang membawa harta perhiasan serta
uang itu hendak kau lecehkan begitu saja, mana aku bisa menerima!"
"Perduli setan kau mau menerima atau tidak!" hardik Warok Mata Api. Lalu srett!
Dicabutnya golok besar di pinggang. Sekali di menghentakkan kaki ke tanah,
laksana terbang tubuhya melesat ke udara. Golok di tangan menderu bergulung
menyambar ke arah pemuda di atas kuda coklat. Sinar putih berkiblat menyilaukan!
Jurus serangan yang dilancarkan kepala rampok Alas Roban itu adalah Petir
Bergulung Maut Meraung. Kehebatannya walau berada di bawah jurus Di Dalam Gelap Maut
Menyusup yang tadi menamatkan riwayat Salak Jonggrang namun selama ini jarang musuh bisa
selamat dari jurus Petir Bergulung Maut Meraung itu.
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
"Cepat dan ganas..." kata orang di atas kuda yang mendapat serangan. Memang
benar. Karena sekali menggebrak Warok Mata Api lancarkan dua bacokan dan tiga tusukan.
Kalau lawan lolos dari dua bacokan, masakan satu dari tiga tusukan tidak bakal
menemui sasaran!
Tapi alangkah terkejutnya dedengkot hutan Roban itu ketika mendadak dia dapatkan
lawan yang diserang lenyap dari pemandangan. Di lain saat dari bawah perut kuda
meluncur dua kepalan, menjotos ke arah ulu hati dan bagian bawah perutnya.
"Kurang ajar!" Warok Mata Api kertakkan rahang. Serta merta dia sapukan goloknya
ke bawah. "Putus!' teriak sang Warok. Dia merasa yakin sekali tangan yang memukul ke arah
tubuhnya akan putus disambar tebasan golok. Tapi lagi-lagi dia dibikin kaget
senjatanya hanya memapas angin.
Si pemuda yang diserang dengan gerakan cepat telah terlebih dulu jatuhkan diri
ke tanah. Golok lewat di atas punggung. Dengan geram Warok Mata Api putar goloknya,
mengejar kepala lawan. Mendadak dia merasa kaki kirinya dicekal. Sebelum dia
sempat melihat ke bawah apa yang terjadi tubuhnya tiba-tiba telah dilontarkan ke
atas. Bersamaan dengan itu dari bawah tubuh kuda melesat ke atas sosok
berpakaian kuning.
"Bukkk! Bukkk!"
Masih melayang di udara dua tendangan melabrak dada Warok Mata Api. Tubuhnya
yang tinggi besar mencelat jungkir balik. Darah menyembur dari mulutnya. Selagi
dia berusaha mengimbangi diri agar tidak jatuh kepala lebih dulu, goloknya lepas
ditarik orang. Walau dalam keadaan luka parah di dalam namun kepala rampok itu masih bisa
melayang turun ke tanah dengan kaki lebih dulu. Namun tidak ada gunanya. Karena
begitu dia berdiri, bagian tajam golok miliknya sendiri telah ditempelkan orang
di urat besar di lehernya. Keringat dingin langsung memercik di kening kepala
rampok ini. Mata mendelik seperti melihat setan kepala tujuh! Sebenarnya bukan
golok itu yang menyebabkan nyalinya lumer. Tapi kehebatan gerakan lawanlah yang
membuat dia mati kutu!
"Kau mau membunuh kau. Lakukan cepat!" kata Warok Mata Api dengan suara
bergetar. "Tapi jika kau mau mengampuni selembar nyawaku, kau boleh ambil semua harta dan
uang dalam lima buah peti..."
Damar Wulung sunggingkan senyum. "Permintaanmu mungkin bisa kupertimbangkan.
Untuk itu segera lakukan apa yang aku perintah. Lima peti dalam buntalan! Lekas
kau ikat ke leher kuda coklat milikku!"
Warok Mata Api menarik nafas lega. Dia bisa tersenyum sedikit. "Terima kasih kau
mau mengampuni diriku. Aku Warok Mata Api tidak akan melupakan kebaikanmu!"
"Tidak perlu banyak bicara. Lakukan apa yang aku perintah!" kata Damar Wulung
pula. "Segera aku lakukan!"
Warok Mata Api lalu kumpulkan lima buah peti yang sudah dibuntal lalu satu
persatu dinaikkannya ke atas kuda. Ketika hendak menaikkan peti ke lima tibatiba kepala rampok ini balikkan tubuhnya. Bersamaan dengan itu cepat sekali
tangan kanannya melemparkan sebilah pisau ke arah Damar Wulung.
Pemuda yang dibokong berteriak marah. Sambil jatuhkan diri ke tanah, tangan
kanannya bergerak, balas melemparkan golok milik Warok Mata Api yang masih
dipegangnya. Golok melesat deras ke arah Warok Mata Api. Kepala rampok Alas
Roban ini berusaha mengelak.
Namun terlambat. Senjata miliknya sendiri itu menancap telak di pertengahan
dadanya! Sementara itu pisau tadi yang dilemparkan sang Warok melesat di udara, menancap
di pinggul kuda milik Salak Jonggrang. Binatang ini meringkik keras, lari
belasan langkah lalu roboh tergelimpang, melejang-lejang dengan mulut berbusah
lalu kejang tak bergerak lagi. Pisau yang dilemparkan Warok Mata Api ternyata
mengandung racun luar biasa jahat. Kuda sebesar itu saja menemui ajal begitu
cepat. Apalagi manusia!
Damar Wulung melangkah ke arah kudanya. Dekat mayat Warok Mata Api dia berhenti.
Membungkuk lalu menggeledah tubuh kepala rampok itu. Di balik pinggang pakaian
mayat ditemukannya sebilah keris emas. Senjata ini ditimang-timangnya sesaat
lalu dia melanjutkan langkah ke arah kudanya.
Di balik semak belukar Wiro bergerak siap berdiri. Pada Kinasih dia berkata.
"Kau tunggu di sini sampai aku kembali..."
"Eh, kau mau kemana" Aku tidak mau ditinggal sendiri. Begini banyak mayat
bergelimpangan di tempat ini. Aku ikut..." kata Kinasih sambil pegangi lengan
baju Pendekar 212.
"Aku punya syak wasangka buruk terhadap orang berbaju kuning itu... Dia membawa
semua harta benda rampokan. Kau lihat sendiri lambang Kerajaan pada peti-peti
itu. Aku perlu menanyakan mau dibawanya kemana semua barang jarahan itu..."
"Wiro, itu bukan urusanmu. Jangan mencari perkara. Orang itu tinggi sekali
ilmunya." "Siapa takutkan dia?" ujar murid Sinto Gendeng.
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
"Kau lupa barusan kehilangan tenaga dalam akibat tendangan kaki kuda Momok
Dempet" Apa kekuatanmu sudah pulih?"
Wiro ingat dan jadi terkesiap.
"Kau benar..." berucap Pendekar 212 perlahan. "Biar kucoba lagi..." Murid Sinto
Gendeng ini lalu kerahkan tenaga dalam yang berpusat di perut.
"Sialan!" Wiro memaki sendiri.
Ternyata dia hanya bisa mengerahkan sebagian kecil saja dari seluruh tenaga
dalamnya. "Kalau aku nekad mencari urusan dengan si baju kuning itu bisa-bisa celaka..."
Di depan sana terdengar suara kuda dipacu. Wiro hanya bisa menggeram. Pemuda
bernama Damar Wulung dan kudanya lenyap membawa lima peti berisi barang
perhiasan dan uang serta sebilah keris.
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
BAB 3 Langit di sebelah barat kelihatan merah kekuningan. Sebentar lagi sang surya
akan masuk ke ufuk tenggelamnya, siang akan segera berganti dengan malam. Sebuah
gerobak ditarik dua ekor kuda meluncur kencang memasuki Kotaraja dari arah
selatan. Di sebelah depan tampak dua sosok aneh duduk berdempetan. Salah seorang
dari mereka bertindak sebagai sais gerobak sementera sosok dempet di sebelahnya
duduk terkulai, tiada henti keluarkan suara mengerang.
Dua orang dempet di atas gerobak ini bukan lain adalah Momok Dempet Berkaki
Kuda. Lantai gerobak merah digenangi darah. Darah ini mengucur dari kaki kiri Momok di
sebelah kiri yang bernama Tunggul Gini. Kaki itu dalam keadaan buntung sebatas
lutut ke bawah. Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya ("Tiga Makam
Setan") kaki kiri Tunggul Gini putus dimakan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah
sewaktu terjadi pertempuran antara sepasang momok ini dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Gono... Tubuhku terasa panas. Ada hawa aneh mencucuk menjalari sekujur
badanku..."
"Jangan banyak bicara! Kerahkan tenaga dalam. Totok urat besar di pangkal paha
kirimu agar darah berhenti mengucur..." membentak Tunggul Gono.
"Sudah kulakukan. Tapi aneh... Darah celaka masih terus mengucur. Ujung kakiku
yang putus bengkak membiru..."
"Bengkak membiru"!" Mengulang Tunggul Gono. Dia melirik ke arah kaki kiri
saudaranya yang putus. Memang benar. Kaki itu kelihatan gembung membiru. Tengkuk
Tunggul Gono menjadi dingin. "Kau terkena racun!"
"Racun... racun dari mana?" tanya Tunggul Gini pucat dan serak.
"Ilmu gila Pendekar 212 itu! Tanah yang menjepit dan memutus kakimu itu pasti
mengandung racun!" Kata Tunggul Gono pula lalu mendera punggung dua ekor kuda
penarik gerobak dengan cemeti hingga binatang-binatang itu lari lebih kencang.
"Tunggul Gono... Kalau aku mati.."
"Diam!" bentak Tunggul Gono. "Jangan bicara seperti itu!. Siapa bilang kau akan
mati... Kuatkan dirimu! Kerahkan tenaga dalam. Sebentar lagi kita sampai di tujuan.
Orang yang akan kita temui pasti bisa menolong..."
Saat itu sebenarnya Tunggul Gono sendiri merasa sangat kawatir. Bukan saja
melihat keadaan saudaranya yang tidak beda seperti orang mau sekarat. Tetapi
juga karena hawa panas yang ada di tubuh Tunggul Gini kini merambas masuk ke
dalam tubuhnya sendiri. Berarti kalau saudaranya itu kerasukan racun jahat,
cepat atau lambat racun itu akan masuk ke dalam tubuhnya!
Di depan sebuah pintu gerbang satu gedung besar di pinggiran Kotaraja Tunggul
Gono hentikan gerobaknya. Gedung ini adalah tempat kediaman Raden Mas Selo
Kaliangan, Patih Kerajaan. Dua orang perajurit yang mengawal pintu gerbang
dengan sikap waspada dan gerakan cepat segera mendatangi gerobak. Mereka
terkejut melihat dan mengenali siapa adanya dua sosok di atas gerobak. Momok
Dempet Berkaki Kuda. Lebih terkejut lagi melihat kaki kiri Tunggul Gini yang
putus dan masih mengucurkan darah sementara Tunggul Gini sendiri dalam keadaan
setengah sadar setengah pingsan terus-menerus menggumam erang kesakitan.
Dua pengawal pintu gerbang dalam kejutnya segera bertindak cepat. Setahu mereka
Momok Dempet Berkaki Kuda adalah sepasang buronan yang dicari-cari Kerajaan
karena pernah melakukan pembunuhan terhadap beberapa tokoh silat Istana.
Pengawal pertama melompat ke atas gerobak sambil todongkan ujung tombak ke leher
Tunggul Gono. Pengawal satunya lari ke samping pintu gerbang. Di sini terdapat
sebuah kentongan kayu. Kentongan ini dipukulnya terus-menerus, baru berhenti
ketika dilihatnya dari halaman dalam berdatangan belasan perajurit Kepatihan.
Dalam waktu singkat gerobak yang ditumpangi Momok Dempet sudah dikurung lima
belas perajurit, ditambah satu di atas gerobak yang masih mengarahkan tombaknya
ke leher Tunggul Gono. Momok satu ini sama sekali tidak perdulikan mata tombak
yang hanya seujung rambut dari tenggorokannya. Dia memandang ke arah belasan
perajurit lalu keluarkan ucapan garang.
"Kalian monyet-monyet memuakkan! Mana Patih Kerajaan! Beritahu aku Momok Dempet
Berkaki Kuda ingin menemuinya untuk satu urusan penting!"
Mendengar ucapan Tunggul Gono satu dari belasan perajurit yang mengurung gerobak
maju mendekat. "Kalian buronan Kerajaan! Tidak pantas menemui Patih Kerajaan.
Kalian harus kami tangkap saat ini juga!"
"Setan alas minta kugebuk!" Tunggul Gono berteriak marah. Tangan kanannya
bergerak secepat kilat. Pengawal pintu gerbang yang menodongnya dengan tombak
berseru kaget karena tahu-tahu tombak itu ditarik lepas dari pegangannya. Belum
habis kejutnya ujung tombak yang tumpul menghantam dadanya hingga dia terpental
jatuh dari atas gerobak, megap-megap meggerung kesakitan karena tulang dadanya
remuk. Kemarahan Tunggul Gono tidak sampai di
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
situ saja. Tombak yang masih ada di tangannya ditusukkan ke kepala perajurit
yang tadi bicara hendak menangkapnya.
Perajurit itu cepat babatkan pedangnya menangkis serangan. Beberapa temannya
juga tak tinggal diam. Ada yang ikut membantu menangkis, ada juga yang menyerbu
ke atas gerobak.
"Benar-benar keparat!" maki Tunggul Gono. Setengah berdiri dia babatkan tombak
dalam gerakan setengah lingkaran. Terdengar suara berdentrangan disertai pekik
kejut dan kesakitan.
Beberapa senjata bermentalan ke udara. Dua perajurit terguling di tanah. Satu
patah lengannya, satu lagi benjut bocor keningnya.
Di atas gerobak, walau dalam keadaan luka parah, Tunggul Gini tidak tinggal
diam. Begitu beberapa perajurit melompat naik, dia gerakkan kaki kanannya. Satu
perajurit terpental dan jatuh terbanting ke tanah dengan perut pecah. Tiga
lainnya berteriak kaget dan cepat menghindar ketika melihat dari tangan kiri
Tunggul Gini melesat selarik sinar hitam. Tak ampun lagi ke tiga perajurit itu
mencelat ke udara. Ketika jatuh berkaparan di tanah tubuh mereka kelihatan
hangus menghitam dan mengepulkan asap!
Walau berhasil membunuh empat orang perajurit namun akibat pengerahan tenaga
yang berlebihan membuat keadaan Tunggul Gini semakin parah. Sosoknya terkulai
lemah. Darah makin banyak mengucur dari kaki kirinya yang buntung. Melihat
keadaan saudaranya begitu rupa dan mengira Tunggul Gini sudah mati, Tunggul Gono
jadi mengkelap. Tombak yang masih dipegangnya diputar demikan rupa. Dua
perajurit lagi menjadi korban. Ketika kemudian ujung tombak hampir menembus mati
perajurit berikutnya, tiba-tiba dari samping melesat satu bayangan dan trang!
Tombak di tangan Tunggul Gono patah dua. Di atas gerobak berdiri seorang kakek
berpakaian dan berdestar serba hitam, memegang sebilah pedang tipis berwarna
biru. Sebiru pedang, begitu pula biru warna alisnya.
"Sobat lama Momok Dempet Berkaki Kuda! Kulihat salah satu dari kalian berada
dalam keadaan tidak menggembirakan. Apakah kalian datang untuk menyerahkan
diri"!" Kakek berpedang biru menegur.


Wiro Sableng 122 Roh Dalam Keraton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tungggul Gono meludah. "Malaikat Alis Biru! Jangan bicara terlalu sombong! Momok
Dempet tidak mengenal kata-kata menyerah! Jadi jangan anggap kedatangan kami
untuk meyerahkan diri!"
"Riwayat kalian di masa lalu tidak terpuji. Kalian adalah dua buronan yang
dicari Kerajaan hidup atau mati! Barusan saja kalian membunuhi perajuritperajurit Kepatihan! Apa kalian masih mengira bisa dibiarkan hidup lebih dari
sekejapan mata"! Aku hanya butuh jawabanmu setelah itu bersiaplah menerima
kematian!"
Sosok tinggi Tunggul Gono meregang ke atas.
"Aku ingin menemui Patih Kerajaan!" kata Tunggul Gono.
"Begitu" Sebutkan keperluanmu"!" kata kakek berpakaian serba hitam berkumis biru
disebut dengan julukan Malaikat Alis Biru. Dia adalah salah satu tokoh silat
Istana yang sore itu kebetulan bertamu di Gedung Kepatihan.
"Aku tahu Patih Selo Kaliangan seorang yang memiliki ilmu pengobatan. Aku minta
dia menolong saudaraku ini..."
Mendengar kata-kata Tunggul Gono itu si kakek keluarkan tawa mengekeh. "Otakmu
sudah tidak waras. Tidak menyadari diri sebagai buronan, malah baru saja
membunuhi perajurit Kepatihan, kini bicara minta pertolongan Patih Selo
Kaliangan! Jangan-jangan otakmu sudah miring alias sedeng gila!"
"Aku minta tolong tidak cuma-cuma! Aku membawa imbalan besar sebagai ganti
pertolongan yang aku minta!"
"Hebat! Katakan imbalan apa yang bisa kau berikan" Nyawa busukmu dan nyawa busuk
saudaramu"!" tukas Malaikat Alis Biru.
Rahang Tunggul Gono menggembung mendengar kata-kata si kakek. Namun dia tindih
amarahnya dan berkata. "Kakek bau! Siapa sudi bicara denganmu! Aku hanya mau
bicara dengan Patih Kerajaan!"
Tiba-tiba dari gelap bayang-bayang pintu gerbang Gedung Kepatihan terdengar satu
ucapan membahana.
"Aku Selo Kaliangan, Patih Kerajaan ada di sini! Silahkan memberi tahu imbalan
apa yang akan kau berikan untuk pertolongan yang kau minta!"
Tunggul Gono terkejut. Dia berpaling ke samping kanan. Di situ berdiri seorang
berpakaian serba merah. Tegak tak bergerak sambil rangkapkan dua tangan di atas
dada. Sepasang matanya yang besar memandang tajam ke arah Tunggul Gono. Orang ini
adalah Patih Kerajaan Selo Kaliangan.
Setelah menatap sang Patih sesaat, baru Tunggul Gono membuka mulut. "Aku akan
memberi tahu siapa pembunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta. Untuk
itu aku minta Patih mengabulkan dua hal..."
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
"Katakan apa dua hal itu," kata Patih Kerajaan pula, tenang dan tetap tidak
bergerak di tempatnya berdiri.
"Pertama, Kerajaan harus memberi pengampunan atas diri kami. Mencabut cap bahwa
aku dan saudaraku adalah buronan Kerajaan. Kedua aku minta kesediaan Patih
Kerajaan untuk mengobati luka saudaraku! Jika permintaanku dipenuhi, aku bukan
saja memberi tahu siapa pembunuh Raden Mas Sura Kalimarta, tapi juga akan
membaktikan diri pada Kerajaan..."
Malaikat Alis Biru tertawa bergelak. "Siapa percaya pada manusia kotor
sepertimu...?"
Panaslah hati dan naiklah darah Tunggul Gono.
"Gelarmu Malaikat! Tapi kau sebenarnya hanyalah seekor cecunguk tidak berharga.
Karena kau cuma cecunguk maka sebaiknya jangan bicara banyak. Kau bukan penguasa
yang bisa memberi keputusan!" Habis berkata begitu Tunggul Gono berpaling pada
Patih Kerajaan Selo Kaliangan. :"Patih Kerajaan, aku menunggu jawabanmu."
Patih Selo Kaliangan tatap wajah Tunggul Gono sambil otaknya bekerja. "Siapa
pembunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta memang masih gelap. Ada
baiknya kalau manusia satu ini diberi kesempatan..."
"Patih Selo, aku menunggu...."
"Patih, harap kita jangan sampai tertipu oleh manusia berpakaian bulu domba ini
tapi sewaktu-waktu bisa menjadi srigala! Mayat-mayat perajurit itu masih panas
unuk menjadi saksi!"
Malaikat Alis Biru kawatir kalau Patih Kerajaan terpengaruh oleh ucapan dan
permintaan Tunggul Gono.
Sang Patih anggukkan kepala dan kedipkan mata pada si kakek lalu berkata pada
Tunggul Gono. "Perihal pengampunan atas diri kalian hanya Sri Baginda yang
berkuasa memberikan. Aku tidak punya wewenang sama sekali..."
"Tapi selaku Patih Kerajaan bukankah bisa memintakan pada Raja. Terserah apa
Patih mau melakukan."
Patih Selo Kaliangan usap janggutnya. Dalam hati dia berkata. "Kematian juru
ukir Raden Mas Sura Kalimarta memang mengusik Sri Baginda. Tapi sebenarnya orang
tua itu tidak terlalu penting. Kalaupun pembunuhnya tidak ditemukan rasanya
bukan satu ganjalan. Tapi momok satu ini agaknya bisa dimanfaatkan..."
"Baik, aku akan bicarakan soal pengampunanmu dengan Sri Baginda," Patih Selo
Kaliangan akhirnya ucapkan janji.
"Bagaimana dengan permintaan kedua" Pengobatan untuk saudaraku Tunggul Gini?"
Patih Selo Kaliangan melangkah mendekati gerobak. Saat itu hari sudah gelap.
Patih memerintahan dua perajurit membawa obor. Di bawah penerangan dua obor
Patih Selo Kaliangan memeriksa kutungan kaki kiri Tunggul Gini. Lama dia
meneliti keadaan kaki itu lalu usap-usap janggut kelabunya dan gelengkan kepala
berulang kali. "Melihat kutungan kaki saudaramu ini, aku meragukan dia telah ditabas senjata
tajam. Benda apa yang telah memutus kaki ini?" tanya Patih Selo Kaliangan pula.
"Putus dijepit tanah..."
"Putus dijepit tanah"!" Sang Patih kerenyitkan kening. "Tidak bisa
kumengerti..."
"Patih, sudah kukatakan orang satu ini miring otaknya. Mengapa kita perlu bicara
panjang lebar dengannya"!" berkata Malaikat Alis Biru.
Saat itu Tunggul Gono masih memegang patahan tombak. Dalam marahnya mendengar
kata-kata Malaikat Alis Biru, Tunggul Gono gerakkan tangan hendak lemparkan
tombak ke arah si kakek. Tapi tangannya cepat dicekal oleh Patih Selo Kaliangan.
"Jelaskan padaku hal yang menyangkut buntungnya kaki saudaramu..." berkata Sang
Patih. "Pendekar 212 Wiro Sableng yang melakukan!" jawab Tunggul Gono.
"Pendekar 212 Wiro Sableng?" mengulang Patih Kerajaan sambil memandang pada si
kakek berjuluk Malaikat Alis Biru.
Kakek yang dipandang lantas membentak. "Tadi kau bilang kaki saudaramu putus
dijepit tanah! Barusan kau katakan Pendekar 212 Wiro Sableng yang melakukan!
Mana yang betul"
Jangan berani bicara tak karuan pada Patih Kerajaan!"
"Setan tua! Siapa bicara tak karuan! Kaki saudaraku memang putus dijepit tanah.
Tanah yang menjepit itu terjadi akibat ilmu kesaktian yang dimiliki Pendekar
212!" "Pendekar 212... Aku pernah mendengar nama itu. Tapi sejak beberapa tahun
belakangan ini tidak kedengaran kabar beritanya..." Patih Kerajaan berucap dalam
hati. "Setahuku Pendekar 212 Wiro Sableng telah meninggal dunia dua tahun yang
lalu..." kata Malaikat Alis Biru pula.
Tunggul Gono keluarkan suara mendengus. "Kau terlalu banyak mendapat kesenangan
di Keraton hingga tidak tahu apa yang terjadi di dunia persilatan! Pendekar 212
masih hidup! Dia yang memutus kaki saudaraku dengan ilmu kesaktian aneh yang
tidak pernah kulihat sebelumnya!"
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
"Sepertinya tidak masuk akal!" kata Malaikat Alis Biru. "Tanah Jawa dipenuhi
puluhan tokoh berkepandaian tinggi. Tapi tidak satupun yang memiliki ilmu
kesaktian sanggup membelah tanah lalu menjepit kaki lawan sampai putus!"
"Ada silang sengketa apa di antara kalian hingga Pendekar 212 Wiro Sabelng
memutus kaki saudaramu dengan ilmu anehnya?" bertanya Patih Kerajaan.
Tunggul Gono tidak menjawab. "Patih, saat ini biar kuberi tahu sekalian bahwa
yang membunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta adalah juga Pendekar
212 Wiro Sableng! Kemungkinan besar istri juru ukir itu berselingkuh dengan
Pendekar 212. Karena terakhir sekali kami melihat mereka berdua-dua di satu
tempat..."
Kakek alis biru gelengkan kepala. "Kalau Pendekar 212 memang masih hidup, tidak
masuk akal dia melakukan perbuatan keji itu. Membunuh seorang tua abdi Keraton
yang tidak berdosa lalu berbuat mesum dengan istrinya. Aku tahu betul sifat
perangai Pendekar 212. Senang pada gadis cantik dan sebaliknya disenangi puluhan
gadis jelita. Tapi dia bukan pemuda mata keranjang yang memanfaatkan kesempatan.
Dia tidak pernah menodai perempuan..."
"Setan tua! Aku tidak meminta kau atau Patih Kerajaan untuk percaya pada
keteranganku! Aku hanya memberi tahu apa adanya. Jika kalian tidak percaya
silahkan tunggu.
Kedua orang itu pasti muncul di Kotaraja. Kinasih, istri mendiang Sura Kalimarta
tidak mungkin akan meninggalkan rumah besar dan hartanya begitu saja..." Setelah
diam sebentar, Tunggul Gono meneruskan ucapannya. "Aku sudah memberi tahu siapa
pembunuh juru ukir Keraton.
Harap Patih Kerajaan suka menolong mengobati luka saudaraku..."
Patih Selo Kaliangan kembali meneliti kaki kiri Tunggul Gini lalu berkata. "Aku
mengenal ratusan macam dan jenis racun. Tapi racun yang bersarang di luka
saudaramu ini tidak bisa kukenali. Aku tidak punya kemampuan untuk menolong
saudaramu..."
"Patih Kerajaan, kau berdusta!"
"Apa untungnya kedustaan macam itu bagiku" Aku bisa saja berpura-pura mengobati
luka adikmu. Akibatnya kau yang akan celaka karena mengira racun sudah
dimusnahkan padahal masih mendekam dan bisa menjalar masuk ke dalam jalan
darahmu. Coba kau perhatikan warna biru di kaki kiri saudaramu. Warna itu
sedikit demi sedikit naik ke atas. Bilamana mencapai pangkal paha, berarti racun
sudah masuk ke dalam pembuluh darah besar. Kalau sudah di situ saudaramu dan
juga dirimu tidak akan tertolong lagi!"
Berubahlah paras Tunggul Gono. Momok satu ini usapkan tangan kanannya ke leher.
Terasa panas. "Aku tahu sekali, Patih ini seorang yang mengerti seluk beluk
pengobatan dan ahli dalam segala macam racun. Dia agaknya tidak berdusta. Umur
saudaraku rasanya tak bakal lama.
Aku sendiri..." Tengkuk Tuggnul Gono menjadi dingin. "Celaka, apa yang harus aku
lakukan"!"
Dia menatap tajam pada Patih Selo Kaliangan lalu berpaling pada sosok saudaranya
yang terkulai di sebelahnya.
"Tunggul Gini..."
Orang yang dipanggil diam saja.
"Gini!" Tunggul Gono memanggil lebih keras. Kali ini sambil menggoncang bahu
saudaranya dengan tangan kanan.
Perlahan-lahan sepasang mata Tunggul Gini yang sejak tadi tertutup membuka
sedikit. "Tunggul Gini! Kau dengar suaraku"!"
"Tunggul Gono. Kau... Ada apa... Tubuhku panas. Dadaku sesak, aku sulit
bernafas. Pandangan mataku kabur. Aku..."
"Gini, maafkan aku. Aku terpaksa melakukan hal ini. Tak ada jalan lain!"
"Apa maksudmu Gono...?"
Tunggul Gono tidak menjawab. Tangan kanannya tiba-tiba memancarkan cahaya hitam.
Bergerak ke kiri.
"Kraaakkk!"
Bersamaan dengan suara menggidikkan itu Tunggul Gini menjerit setinggi langit
lalu diam. Ketika Tunggul Gono bangkit berdiri, sosok Tunggul Gini terhempas ke
lantai depan gerobak yang dipenuhi genangan darah. Semua orang terkesiap kaget,
ada yang sampai keluarkan suara tertahan melihat apa yang terjadi. Tunggul Gono
membetot putus bahu kanan Tunggul Gini, saudara dempet yang menyatu bersama
tubuhnya selama puluhan tahun!
Untuk beberapa lama kesunyian menegangkan menggantung di tempat itu. Semua orang
dicekam kengerian. Sesaat kemudian, belum lagi rasa bergidik yang memagut sempat
sirna, tiba-tiba terjadi lagi satu kengerian.
Secara aneh sosok Tunggul Gini yang kini tidak lagi memiliki tangan kanan tibatiba bangkit terduduk di lantai gerobak. Darah mengucur dari luka yang terkuak
besar di bahu kanan.
Darah itu membasahi sekujur tubuh dan pakaiannya.
Kepala Tunggul Gini berputar kaku ke arah Tunggul Gono. Mata membuka besar
menggidikan, bibirnya bergetar. Dari dua lobang hidungnya mengepul hawa aneh
keputih-putihan. Di sela getaran bibir, mulut berucap.
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
"Jahanam Tunggul Gono! Aku tidak rela kau perlakukan seperti ini. Kita
dilahirkan dari perut yang sama. Puluhan tahun hidup dempet bersama dan kelak
harus mati bersama pula. Tapi kini kau bunuh diriku untuk menyelamatkan diri
sendiri. Aku tidak ikhlas. Rohku tidak akan pernah tenteram. Rohku akan
gentayangan mengejarmu. Aku bersumpah akan meregang nyawamu! Kau lebih jahat
dari keparat Pendekar 212 yang menjepit putus kakiku! Aku akan membunuh kalian
berdua!" Mau tak mau ngeri juga Tunggul Gono mendengar ucapan saudaranya itu. Apalagi
waktu memperhatikan wajah Tunggul Gini. Angker menggidikkan. Tengkuknya seperti
diguyur air es!
"Aku harus tinggalkan tempat celaka ini! Tapi aku tidak mau membawa serta
mayatnya! Dia mengancamku dengan rohnya... Gila! Ini semua gara-gara Pendekar 212! Bangsat
itu harus kuhabisi!"
Dengan kaki kirinya Tungggul Gono tendang sosok Tunggul Gini hingga jatuh ke
tanah. Cemeti dicambukkannya ke punggung dua ekor kuda. Dua kuda penarik gerobak
meringkik keras, melompat kabur meninggalkan hadapan pintu gerbang Kepatihan.
Sebelum lenyap di kegelapan terdengar teriakan Tunggul Gono. "Patih Kerajaan!
Jika kau tidak menolong memnta pengampunan pada Sri Baginda, aku bersumpah akan
mengobrak abrik Kepatihan dan Keraton!"
Patih Selo Kaliangan tersentak mendengar ancaman itu. Dia segera balas
berteriak. "Tunggul Gono! Besok pagi sebelum sang surya terbit! Aku tunggu kau di pintu
gerbang Keraton sebelah timur!"
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
BAB 4 Gerobak yang ditumpangi Pendekar 212 Wiro Sableng dan Kinasih memasuki Kotaraja
di malam gelap di bawah hujan rintik-rintik. Sepanjang perjalanan tidak ada yang
bicara, termasuk kusir gerobak. Namun Wiro sempat melihat kesan yang tidak enak.
Dia memperhatikan beberapa kali kusir gerobak itu melontarkan lirikan aneh ke
arahnya dan Kinasih.
Di hadapan satu rumah besar gerobak berhenti.
"Ini rumahku," kata Kinasih sambil turun, dibantu oleh kusir gerobak. "Heran,
mengapa sepi dan gelap saja" Apa suamiku tidak di rumah?"
Wiro melompat turun. Pada saat itulah kusir gerobak untuk pertama kalinya
membuka mulut, berkata sambil membungkuk di hadapan Kinasih.
"Maafkan saya, seharusnya saya memberi tahu dari tadi-tadi..."
"Memberi tahu apa?" tanya Kinasih heran.
"Den Mas Sura Kalimarta, suami Den Ayu, meninggal dunia beberapa hari lalu.
Tewas dibunuh orang..."
Sepasang mata Kinasih terbeliak. "Aku tidak percaya..." katanya lalu memandang
ke arah rumah besar.
"Saya tidak berdusta. Banyak orang berusaha mencari Den Ayu Kinasih, tapi tidak
tahu mencari dimana. Ada yang menduga Den Ayu telah menjadi korban bersama
rombongan yang menyambangi sahabat di desa. Tapi jenazah Den Ayu tidak
ditemukan. Tapi sewaktu Den Ayu mencegat gerobak saya hampir-hampir tidak
percaya. Menduga Den Ayu ini... Maafkan saya..."
Kinasih berpaling pada Wiro.
"Aku akan menyelidik ke dalam rumah," kata Pendekar 212.
"Aku ikut!" kata Kinasih.
Saat itu dari seberang jalan mendatangi dua orang. Ternyata mereka adalah dua
suami istri tetangga Kinasih.
"Jeng... Aduh Jeng! Syukur Jeng Kinasih masih hidup. Kami mengira..."
Belum sempat istri tetangga itu menyelesaikan ucapannya Kinasih sudah memotong.
"Tolong diberi tahu. Apa benar suami saya..."
"Kami semua bingung Jeng. Raden Mas Sura Kalimarta ditemukan tewas di dalam


Wiro Sableng 122 Roh Dalam Keraton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah. Jeng Kinasih tidak diketahui berada dimana..."
Kinasih terpekik. Lalu sambil berulang kali menyebut nama suaminya perempuan ini
lari memasuki pekarangan rumah besar yang gelap. Wiro mengikuti. Tetangga lain
di sekitar situ segera pula berdatangan.
*** Kinasih menangis menelungkup di atas makam Raden Mas Sura Kalimarta yang
tanahnya masih merah sementara hujan masih turun rintik-rintik.
"Ya Tuhan, mungkin musibah ini sebagai hukuman dariMu atas penyelewegnan yang
aku lakukan. Bagus Srubud, aku bersumpah membunuhmu!" Rasa berdosa dalam dirinya
membuat perempuan ini keluarkan ratapan menyayat hati.
"Kang Mas Sura, maafkan diriku! Siapa yang begitu jahat membunuhmu Kang Mas..."
Satu suara di dalam gelap tiba-tiba menyahut kata-kata Kinasih. "Pembunuh
suamimu berada sangat dekat di sebelahmu Kinasih..."
Wiro dan Kinasih serta kusir gerobak yang ada di tempat itu tersentak kaget.
Tempat itu tiba-tiba menjadi terang benderang. Memandang berkeliling Wiro
melihat sekitar dua puluh perajurit Kerajaan memegang obor di tangan kiri dan
senjata di tangan kanan telah mengurung seantero tempat. Di belakang barisan
perajurit itu kelihatan tiga penunggang kuda. Seorang di antaranya adalah salah
satu dari Momok Dempet.
Penunggang kuda kedua seorang kakek berpakaian serba hitam, memiliki alis
berwarna biru. Dia bukan lain adalah kakek sakti tokoh silat Istana berjuluk
Malaikat Alis Biru. Di samping kakek, duduk tenang di atas punggung kudanya
seorang tua berjubah kelabu berenda kuning.
Mulutnya komat kamit seperti tengah mengunyah sesuatu. Di pinggang jubahnya
melilit sebentuk tali berwarna kuning yang ada umbai-umbai pada kedua ujungnya.
Kakek berjubah kelabu ini di kalangan Istana dikenal dengan nama Ki Balangnipa
berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
Mengapa dia mempunyai julukan aneh ini sebentar lagi akan kita saksikan.
Yang tadi berucap menyahuti ratapan Kinasih adalah Tunggul Gono si Momok Dempet
yang kini tinggal sendirian. Setelah memutus tangan saudaranya kini dia memiliki
dua buah tangan di sebelah kiri. Yang satu tangan kirinya sendiri sedang yang
dempet adalah tangan kanan Tunggul Gini.
BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON
"Aneh, makhluk dempet ini mengapa kini tinggal satu" Kemana lenyap
pasangannya"!"
pikir Wiro. Kinasih usap matanya yang basah, memandang ke jurusan tiga penunggang kuda.
"Si... siapa yang tadi bicara?"
Momok Dempet angkat tangan kirinya dan menjawab. "Aku! Momok Dempet bernama
Tunggul Gono..."
"Momok Dempet Tunggul Gono," kata Kinasih dalam hati. "Dia rupanya, tapi mana
yang satunya?"
"Kinasih, apa aku perlu mengulang ucapanku tadi" Kau ingin tahu siapa pembunuh
suamimu?" Tunggul Gono bertanya dengan suara sengaja dikeraskan agar semua orang
termasuk Wiro mendengar.
"Siapa" Kau mengetahui...?"
Tunggul Gono tertawa. Jari telunjuk tangan kirinya di arahkan pada Pendekar 212
Wiro Sableng. "Pemuda gondrong di sebelahmu itulah pembunuh suamimu!"
Kinasih terkejut. Matanya melotot besar memandang pada Wiro. "Dia..." Wiro"!"
"Jangan percaya Kinasih. Ada yang tidak beres. Ada orang memfitnah hendak
mencelakai diriku. Aku tidak heran kalau orangnya adalah Momok Dempet yang kini
berubah menjadi Momok Kampret! Dia punya dendam terhadapku. Beberepa hari lalu
saudaranya aku celakai.
Cuma aku tidak tahu dia buang kemana pasangannya itu!"
"Kau... kau bisa membuktikan pemuda ini yang membunuh suamiku?" tanya Kinasih
pada Momok Dempet Tunggul Gono.
"Soal bukti membuktikan bisa kita lakukan nanti. Saat ini aku dan pasukan
Kerajaan serta dua tokoh silat Istana datang ke sini untuk menangkapnaya. Ini
adalah perintah Raja!"
"Edan!" maki Wiro.
"Pemuda sableng! Kau mau menyerahkan diri hidup-hidup atau perlu kukorek dulu
nyawamu dari tubuhmu"!" Tunggul Gono ajukan pertanyaan dengan sikap sinis
mengejek. "Pendekar 212!" kakek alis biru membuka mulut untuk pertama kali. "Katakan
dengan jujur, benar kau yang membunuh Raden Mas Sura Kalimarta?"
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. "Dengan jujur disertai sumpah, aku tidak
melakukan perbuatan keji itu!"
"Lalu bagaimana kau bisa berada berdua-dua di satu tempat di luar Kotaraja
dengan istri juru ukir itu. Ada dugaan kalian berselingkuh dan berkomplot
membunuh suami perempuan ini.
Lalu berpura-pura berbaik-baik menolongnya untuk menutupi kebejatanmu..."
"Setan sekalipun tidak akan sejahat itu! Apa lagi aku manusia yang punya hati
dan otak!"
"Tapi semua orang tahu hatimu bisa bengkok dan otakmu miring sableng..." tukas
Momok Dempet Tunggul Gono.
Kinasih bangkit berdiri. Manatap Pendekar 212 tajam-tajam. "Wiro, kuharap kau
mengaku secara kesatria. Kau..."
"Tidak perlu bicara panjang lebar dengannya. Dipaksapun dia tidak akan mengaku!
Kinasih, harap kau menyingkir ke tempat aman. Kami orang-orang Kerajaan akan
menangkap manusia keji ini!" Momok Dempet memberi ingat bukan lantaran apa. Tapi
sesungguhnya sejak pertemuan di luar Kotaraja beberapa waktu lalu dia sangat
bernafsu terhadap perempuan muda berwajah ayu jelita ini. Kelak jika urusan
selesai dia akan berusaha mendapatkan Kinasih.
Sebagai salah satu tokoh silat Istana, dia akan mempunyai kesempatan lebih luas.
Siapa berani menghalangi"
Habis berkata begitu Momok Dempet Tunggul Gono memberi isyarat pada dua puluh
perajurit dan dua kakek di sebelahnya. Dua puluh perajurit tancapkan obor ke
tanah lalu melompat mempersempit kurungan.
Bagaimana ceritanya Momok Dempet Tunggul Gono saat itu bisa muncul bersama
pasukan dan dua tokoh silat Istana"
Seperti dituturkan dalam Bab sebelumnya, Patih Selo Kaliangan bersedia menemui
Tunggul Gono di pintu gerbang timur Keraton. Pertemuan itu terjadi pagi tadi
menjelang fajar menyingsing.
Sebelumnya begitu selesai ba'dal Subuh Patih Selo Kaliangan berkesempatan
menemui Baginda dan melaporkan apa yang terjadi tadi malam. Sang Patih pada
pertemuan selanjutnya dengan Momok Dempet Tunggul Gono memberi tahu bahwa Raja
bersedia memberi pengampunan atas perbuatannya di masa lalu menyangkut bentrokan
yang menyebabkan terbunuhnya beberapa tokoh silat Keraton. Dia juga diterima
sebagai salah satu abdi tokoh silat Istana. Namun untuk semua itu Tunggul Gono
harus menjalankan dua tugas besar.
Tugas pertama mencari dan menangkap Pendekar 212 Wiro Sableng yang disebutnya
Pedang Medali Naga 14 Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Pertemuan Di Kotaraja 2

Cari Blog Ini