Ceritasilat Novel Online

Mata Air Dibayangan Bukit 3

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 3


memperhitungkan hentakan-hentakan tenaga masing-masing.
Kiai Kanthi memperhatikan perkelahian itu dengan dada
yang berdebar. Sejak Swasti meningkat semakin besar
menjelang remaja, ia sudah membuat gadis itu menyimpang
dari kebanyakan kawan-kawannya. Mula-mula Swasti
merasakan tekanan ayahnya yang memaksanya untuk
memisahkan waktu bermainnya dengan t ingkah laku yang
tidak disukainya. Bersembunyi ditempat yang tidak disentuh
kaki manusia di balik rimbunnya hutan dilereng pegunungan
sebelum gempa dan tanah longsor yang dahsyat
menghancurkan hutan kecil itu, dengan latihan-latihan yang
mula-mula terasa menjemukan.
Namun perlahan-lahan Swasti ternyata tertarik juga pada
olah kanuragan yang diajarkan oleh ayahnya.
Ketika ia menginjak usia remajanya, maka Swasti telah
memiliki dasar-dasar ilmu yang sudah jarang dikenal orang,
meskipun ada juga beberapa perguruan lain yang memiliki
persamaan. Tetapi ada ciri-ciri yang memberikan warna
tersendiri bagi ilmu Kiai Kanthi yang diturunkannya kepada
anak gadisnya. Kiai Kanthi mengerutkan keningnya ketika ia melihat
gadisnya terpaksa menghindar, dua langkah surut. Namun
dengan serta merta Swasti meloncat sambill menjulurkan
kakinya lurus menyamping. Tetapi ternyata bahwa ia tidak
benar-benar ingin menyerang dengan kakinya. Sebuah
putaran telah mendorongnya kesampimg. Dengan lincahnya ia
melenting dengan tangan terjulur lurus.
Jlitheng sempat mengelak meskipun desir angin yang
lembut telah menyentuh wajahnya. Hampir saja keningnya
disambar tangan Swasti. Betapapun gelapnya malam, dan betapapun kecil api
perapian yang menerangi arena perkelahian itu, namun
Jlitheng mulai melihat ciri-ciri yang khusus pada lawannya. Ia
melihat Swasti dalam sikap yang menumpukan kekuatan pada
hentakkan-hentakkan yang cepat.
Semula Jlitheng mengira bahwa sikap itu sesuai dengan
unsur keperempuanan Swasti yang lebih sesuai dengan
penempaan diri dalam kecepatan bergerak daripada
penyusunan kekuatan wadag. Namun ternyata dugaannya
salah. Meskipun Swasti seorang gadis, tetapi kekuatan
tubuhnya benar-benar mengagumkan.
Pengenalan Jlitheng pada unsur gerak Swasti yang lain
adalah, bahwa Swasti selalu membuka jari-jari tangannya.
Dalam keadaan yang tiba-tiba, serangannya lebih banyak
tertuju kepada bagian yang lemah dengan mempergunakan
ibu jarinya. Bukan jari-jari yang lain. Ketika Jlitheng agak
terlambat mengelak, maka lehernya telah tersentuh ibu jari
Swasti tepat mengenai sasarannya, maka perlawanannya
tentu akan terhenti. Mungkin ia akan menjadi lemas dan
pernafasannya bagaikan tersekat dikerongkongan.
Selain serangan-serangan tangannya yang cepat dan
berbahaya, kaki Swastipun merupakan bahaya yang setiap
saat dapat melumpuhkannya. Nampaknya Swasti terlalu
percaya kepada tumitnya. Sementara itu, Swastipun telah menilai unsur-unsur gerak
lawannya pula. Seperti Jlitheng, iapun melihat beberapa
kekuatan pada tata gerak Jlitheng. Jlitheng bergerak lebih
mantap. Menurut pengamatan Swasti. Jlitheng banyak
mempergunakan sikunya, bukan saja untuk menangkis, tetapi
juga untuk menyerang. Tetapi lebih dari ujud dan gerak masing-masing, maka
Jlitheng maupun Swasti telah menilai lawannya lewat sifat dan
watak gerak masing-masing. Betapapun cepatnya dan
berbahayanya ibu jari Swasti, namun menurut Jlitheng, watak
ilmu gadis itu bukannya ilmu yang garang dan kasar. Ada
beberapa dasar tata gerak yang langsung melumpuhkan
lawan, tetapi bukannya serangan yang ganas dan langsung
mematikan. Kecepatan bergerak Swasti adalah ujud dari
percikan watak ilmunya yang lebih banyak menghindari
benturan-benturan. Namun ternyata bahwa jika benturan itu
harus terjadi, Swasti telah mempersiapkan diri dengan
kekuatan yang dapat diandalkan.
Swastipun melihat, bahwa Jlitheng bukan saja bertempur
dengan kekuatannya. Tetapi ia bertempur dengan lebih
banyak mempergunakan otaknya. Geraknya kadang-kadang
tidak dapat diduganya terlebih dahulu. Namun terasa, bahwa
perhitungannya yang tepat, membuat lawannya kadangkadang
bingung dan dihadapkan kepada keadaan yang tidak
terduga. Jika kedua, orang yang bertempur itu berusaha menilai
kekuatan dan kelemahan masing-masing, maka Kiai Kanthi
mendapat kesempatan yang cukup untuk melihat ciri-ciri gerak
dan watak kedua ilmu yang saling berbenturan itu. Sekali-kali
ia menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian kepalanya
terangguk-angguk lemah. Tetapi Kiai Kanthi t idak menjadi cemas. Nampaknya
keduanya masih saling menjajagi. Dari unsur gerak yang
paling sederhana, sampai kepada ketepatan gerak dan arah
yang rumit. Sentuhan-sentuhan kecil sampai benturanbenturan
yang dahsyat dengan mengerahkan segenap
kekuatan wadag. Namun demikian, perlahan-lahan pertempuran itupun
meningkat semakin seru. Bukan saja benturan-benturan
wadag dengan sepenuh kekuatan, namun ketika tubuh
mereka telah basah oleh keringat, dan jantung mereka
berdentang semakin cepat, maka sadar atau tidak sadar,
mulai mengalirlah kekuatan cadangan pada loncatan-loncatan
yang cepat dan benturan-benturan yang keras.
Kiai Kanthi yang berdiri diluar lingkaran pertempuran
mengerutkan keningnya. Ia harus semakin berhati-hati
menyaksikan pertempuran yang semakin meningkat itu. Bukan
saja benturan kekuatan wajar, tetapi penyaluran kekuatan
cadangan yang mulai bersentuhan, memberikan pertanda,
bahwa keduanya semakin dalam dicengkam oleh perasaan
daripada nalar. Apalagi keduanya masih dialiri darah
kemudaan mereka yang panas dan cepat mendidih didalam
jantung masing-masing. Meskipun demikian. Kiai Kanthi masih membiarkan
keduanya bertempur. Dalam kegelapan ia menyaksikan
pertempuran itu dengan saksama. Tetapi ia tidak
meninggalkan kewaspadaan. Apabila sesuatu terjadi pada
salah seorang dari keduanya, maka ia akan dibebani oleh
tanggung jawab, yang akan dapat membuatnya menyesal
disepanjang hidupnya. Tetapi, sifat ingin tahunyapun telah mengekangnya pula
untuk memisahkan keduanya, ia ingin lalui lebih jauh, betapa
tinggi ilmu yang telah dikuasai oleh anak muda yang mengaku
bernama Jlitheng itu. Karena itu, maka orang tua itu masih berdiri diam. Ia
melihat Jlitheng menjadi semakin mantap dan Swastipun
bergerak semakin cepat. Namun benturan-benturan yang kemudian terjadi telah
mendebarkan jantungnya. Kedua anak muda itu telah tidak
lagi sekedar mempercayakan dirinya pada kekuatan wajarnya.
Dengan tegang Kiai Kanthi melihat Jlitheng yang terdesak
surut, telah menghentakkan kakinya diatas tanah yang
lembab. Kiai Kanthi sadar, bahwa Jlitheng telah
menghentakkan kekuatan cadangannya pula lewat
serangannya yang kemudian menyusul dengan cepat dan
keras. Sambil menggeram anak muda itu menyerang dengan
menjulurkan tangannya. Jari-jarinya nampak berkembang,
seolah-olah ingin menerkam wajah lawannya.
Tetapi Swasti yang menyadari keadaannyapun telah
menyalurkan kekuatan cadangannya pula. Kakinya menjadi
semakin cepat, sehingga gadis itu seolah-olah tidak berjejak
diatas tanah. Tangannya yang kadang-kadang mengembang,
membuatnya bagaikan terbang berputaran.
Dengan tangkasnya ia menghindari serangan Jlitheng.
Sambil merendahkan dirinya ia sempat menyentuh tangan
lawannya kesamping. Hampir diluar pengamatan mata wadag,
kakinya telah terjulur menyerang lambung lawannya yang
terbuka. Jlitheng tidak sempat mengelak. Tetapi ia tidak
membiarkan lambungnya dihantam tumit Swasti. Meskipun
kaki Swasti meluncur dengan cepat, namun Jlitheng masih
sempat melindungi lambungnya dengan sikunya.
Yang terjadi kemudian adalah suatu benturan kekuatan.
Ketika keduanya tergetar dan terdorong selangkah surut,
keduanya menyadari bahwa keduanya telah mulai
mempergunakan kekuatan melampaui kekuatan wadag
mereka yang sewajarnya. "Pantas anak ini dapat membunuh dua orang murid Kendali
Putih," desis Kiai Kanthi yang hanya didengarnya sendiri. Ia
yakin bahwa Jlitheng masih akan meningkatkan
perlawanannya. Demikian pula Swasti, sehingga pada suatu
saat mereka akan sampai pada tingkat yang membahayakan.
Karena itu, maka iapun kemudian melangkah maju. Dengan
nada tinggi ia berkata, "Swasti, sudahlah. Bukan caranya
demikian untuk menyelesaikan masalah. Angger Jlitheng,
sudahlah. Kita akan berbicara dengan baik. Kita sudah dapat
mengetahui, siapakah sebenarnya kita masing-masing."
Tetapi jantung Kiai Kanthi berdentangan semakin cepat
ketika ia mendengar Swasti menjawab, "Bukan salahku ayah.
Aku hanya melayaninya. Aku hanya membela diri dengan cara
yang sama seperti yang dipilihnya."
"Angger Jlitheng ?" berkata Kiai Kanthi yang terputus oleh
jawaban anak muda itu, " " aku ingin membuktikan katakataku.
Bahwa aku akan berhasil menangkap kalian berdua."
"Tidak ngger. Aku tahu, bukan itulah maksudmu yang
sebenarnya." Jlitheng tidak menjawab. Justru Swasti menyerang semakin
cepat. Karena itu, maka Jlithengpun bergerak semakin cepat
pula. "Ngger. Kau tentu hanya akan meyakinkan, siapakah yang
kau hadapi sekarang ini. Yang kau lakukan sudah cukup.
Bahkan sudah berlebihan."
Jlitheng tidak menjawab. Persoalan yang bergejolak
dihatinya telah bergeser. Bukan saja keinginannya untuk
menjajagi dan meyakinkan siapakah yang sedang dihadapi,
namun harga dirinya sebagai seorang anak muda sudah
tersinggung. Swasti adalah seorang gadis. Umurnya tidak akan
lebih tua daripadanya. Sebagai seorang laki-laki yang pernah membunuh dua
orang murid perguruan Kendali Putih, apakah ia akan
membiarkan dirinya diletakkan dalam tataran yang setingkat
dengan seorang gadis perantau yang umurnya lebih muda
daripadanya " Tiba-tiba saja Jlitheng menggeram. Dengan tegang ia
memandang ke dirinya sendiri sambil berkata didalam hati,
"He, apakah kau akan menyerah terhadap seorang gadis kecil
yang dungu dan binal itu ?"
Karena itulah, maka Jlitheng justru semakin mengerahkan
tenaganya. Tenaga cadangannya yang mempunyai kekuatan
berlipat dari tenaga wajarnya. Bukan lagi seperti niatnya
semula, tetapi semata-mata karena ia seorang laki-laki,
sedang Swasti adalah seorang gadis yang lebih muda
daripadanya. Tetapi ternyata bahwa Swastipun mampu pula berbuat
serupa. Gadis itu tidak lagi sekedar bertumpu kepada
kekuaatan wajarnya, ia tidak lebih dari seorang gadis yang
menurut kodratnya tidak akan melebihi kekuatan seorang lakiTiraikasih
laki. Tetapi Swasti ternyata memiliki kelebihan dari gadis-gadis
kebanyakan. Ia mampu mengungkap kekuatan yang
tersembunyi didalam dirinya, yang hanya dapat nampak
dengan sikap dan laku yang khusus, yang memerlukan waktu
dan kemampuan untuk mempelajarinya.
Karena itu, betapapun Jlitheng mengerahkan kekuatan dan
ilmunya, yang wajar maupun yang tersembunyi, ternyata
bahwa Swasti mampu mengimbanginya. Kecepatan bergerak
dari kaki gadis itu kadang-kadang membuat Jlitheng
kehilangan sasaran. Meskipun iapun mampu melakukannya
pula apabila Swasti menyerangnya.
Kedua anak muda itu bertempur semakin dahsyat. Mereka
tidak lagi dua orang yang bergerak dan berbenturan dalam
keadaan wajar, sehingga karena itu, maka pertempuran
itupun telah membuat suasana yang lain dihutan itu.
Pepohonan berguncang bagaikan diputar oleh angin pusaran.
Ge-rumbul-gerumbul berserakan dan dahan-dahan
berpatahan. Batu-batu padas pecah dan terlempar
berhamburan. Kiai Kanthi semakin lama menjadi semakin cemas. Ia
melihat perkelahian itu berkembang semakin dahsyat. Bahkan
kemudian nampaknya kedua anak muda itu benar-benar telah
kehilangan kendali. Dengan hati-hati Kiai Kanthi mendekat. Sekali lagi ia
mencoba berteriak menghentikan pertempuran yang semakin
dahsyat titu. Tetapi suaranya bagaikan hilang ditelan oleh
gemuruhnya angin yang timbul karena ayunan kekuatan yang
terungkap dari kekuatan cadangan yang justru jauh lebih
dahsyat dari kekuatan wajar kedua anak muda yang sedang
bertempur itu. "Angger Jlitheng," teriak Kiai Kanthi, "hent ikan, hentikan."
"Aku bukan laki-laki cengeng yang menyerah kepada
perempuan," geramJ litheng.
Kiai Kanthi menjadi semakin berdebar-debar. Ia sadar
bahwa yang kemudian bergejolak, didada Jlitheng adalah
harga dirinya sebagai laki-laki.
Karena itu, maka iapun mencoba menghentikan Swasti.
Teriaknya, "Berhentilah Swasti. Marilah kita bicara."
Tetapi Swastipun berteriak tidak kalah lantangnya, "Aku
bukan perampok yang mengulurkan kedua tangan dan kaki
untuk dikat dan diseret kehadapan siapapun."
"Kita dapat berbicara dengan baik," Kiai Kanthipun
berteriak pula. "Bukan aku yang mulai," jawab Swasti.
"Siapapun yang mulai, hentikanlah."
"Bukan aku yang harus menghentikan lebih dahulu."
Kiai Kanthi menjadi bingung. Persoalannya sudah jauh
bergeser, sehingga justru akan sangat sulit baginya untuk


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghentikannya, karena yang berbicara dihati kedua anakanak
muda itu adalah perasaannya, bukan lagi nalarnya.
Dalam pada itu, ternyata keduanya telah memeras segala
kemampuan dan kekuatan. Swasti menyambar-nyambar
seperti seekor burung lawet diudara, sementara Jlitheng
mengimbangi kecepatan itu dengan sikap yang kuat dan
tangguh seperti seekor burung elang. Tetapi sentuhan ujung
jarinya akan mampu mematahkan tulang dan menyobek kulit
daging. Semakin lama libatan serangan masing-masing tidak
semuanya dapat dielakkan dan ditangkis. Satu-satu tubuh
merelka telah tersentuh oleh kekuatan tenaga lawan yang
dahsyat. Namun daya tahan tubuh mereka masing-masingpun
melampaui daya tahan orang kebanyakan.
Tetapi perasaan sakit dan nyeri telah merambati tubuh
mereka. Benturan dan sentuhan semakin sering terjadi. SekaliTiraikasih
kali terdengar salah seorang diantara mereka berdesis
tertahan. Namun kadang-kadang terdengar juga hentakkan
yang keras. Kiai Kanthi menjadi semakin bingung. Nampaknya
keduanya telah kehilangan kesadaran dan pertimbangan.
"Aku harus menghentikannya," gumam orang tua itu.
Karena itu maka Kiai Kanthipun justru menjauhi beberapa
langkah. Sekilas ia masih sempat melihat dedaunan yang
bergetar. Yang tidak mampu lagi berpegang pada rantingrantingnya,
telah runtuh berjatuhan diantara semak-semak
yang hancur berserakkan. "Sekali lagi aku memperingatkan," teriak Kiai Kanthi.
Tetapi kedua anak-anak muda itu tidak menghiraukannya.
Kiai Kanthi yang cemas itu tidak dapat menunda lagi. Ia
mulai melihat sentuhan-sentuhan yang berbahaya dari
keduanya. Salah seorang dari kedua anak muda itu kadangkadang
terlempar jatuh. Meskipun ia segera melenting
bangun, tetapi benturan-benturan berikutnya segera menyusul
dengan dahsyatnya. Sejenak Kiai Kanthi termenung. Nampak ia masih tetap
ragu-ragu. Namun kemudian ia menyilangkan tangannya
didadanya. Dengan tajamnya dipandanginya kedua anak muda
yang sedang bergulat dengan ilmunya masing-masing untuk
mempertahankan harga dirinya.
Kiai Kanthi tidak berteriak lagi. Perlahan-lahan bibirnya
bergerak, "Cukup, berhentilah. Berhentilah."
Suaranya tidak terlalu keras. Tetapi berbareng dengan
lontaran kata-kata itu, seolah-olah angin prahara telah bertiup.
Ditelinga kedua anak muda yang sedang bertempur itu, suara
Kiai Kanthi bagaikan ledakan seribu guruh dilangit.
Sesaat kedua anak muda itu masih bertahan. Mereka masih
terlempar oleh ilmu masing-masing dalam benturan yang
dahsyat. Namun ketika Kiai Kanthi mengulangi kata-katanya
maka merekapun bagaikan lumpuh. Suara itu menggelegar
didalam dada mereka, seolah-olah meruntuhkan hati dan
jantungnya. Ketika sekali lagi Kiai Kanthi bergumam, maka keduanya
tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Keduanyapun diluar
sadar, telah menutup telinga masing-masing sambil
menyeringai menahan nyeri dijantungnya.
"Berhentilah," Kiai Kanthi masih bergumam.
"Cukup ayah. Cukup," teriak Swasti.
"Ampun Kiai, aku akan berhenti," sambung Jlitheng.
Kiai Kanthi masih berdiri ditempatnya. Dipandanginya
kedua anak muda yang memegangi telinga mereka, seolaholah
kata-kata yang dilontarkan oleh Kiai Kanthi itu menyusup
kedalamdada mereka lewat getaran selaput telinga.
Tetapi bagaimanapun juga mereka menyumbat telinga
mereka, namun suara itu tetap menghentak-hentak jantung,
seolah-olah hendak merontokkannya.
Namun perlahan-lahan hentakkan suara yang bergulunggulung
didalam dada bagaikan amuk prahara itu, semakin
mereda. Semakin lama menjadi semakin lunak dan seolaholah
lenyap ditelan kesepian. Kembali hutan dilereng gunung itu menjadi senyap. Yang
terdengar kemudian adalah gemerisik air dari beiumbang yang
berair melimpah, disisipi oleh desir angin lembut didedaunan.
"Angger Jlitheng," terdengar suara Kiai Kanthi dengan nada
dalam, suara wajarnya, "aku tidak mempunyai cara lain untuk
menghentikan kalian yang seolah-olah menjadi wuru karena
terlalu banyak minum tuak. Kalian seolah-olah tidak
mendengar suaraku lagi, atau kalian benar-benar telah
kehilangan nalar. Angger Jlitheng tersinggung karena kau
seorang laki-laki, sedang lawanmu adalah seorang
perempuan. Sedangkan Swasti tersinggung karena kau akan
ditangkap dan dibawa menghadap Ki Buyut Lumban Wetan
atau Lumban Kulon." Kedua anak muda itu kemudian duduk tepekur. Ternyata
perkelahian yang baru saja terakhir itu telah menghisap
sebagian besar tenaga mereka. Tenaga wajar dan tenaga
yang tersimpan didalam diri .sebagai tenaga cadangan,
sehingga keduanya menjadi sangat letih. Nafas mereka
bekejaran bagaikan berebut dahulu lewat dilubang hidung.
Dengan susah payah mereka mencoba mengendalikan
pernafasan mereka dan menguasai keletihan yang terjadi pada
tubuh masing-masing. " Yang ingin aku tanyakan, apakah yang kau dapatkan
dengan perkelahian itu " Harga diri ?"
Kedua anak muda itu masih duduk tepekur. Tetapi
perlahan-lahan pernafasan mereka menjadi semakin teratur.
"Kiai," berkata Jlitheng kemudian, "aku mohon maaf.
Semula aku sama sekali tidak ingin berkelahi karena harga
diri. Aku sebenarnya ingin menjajagi, siapakah sebenarnya
Kiai Kanthi. Tetapi yang berhadapan dengan aku kemudian
ternyata adalah Swasti."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya, "Kau tidak
mengatakan demikian, sehingga Swastilah yang mula-mula
tampil. Tetapi jika memang benar-benar kau kehendaki ingin
menjajagi dan mengetahui siapakah sebenarnya aku dengan
caramu ngger, marilah. Kau t idak akan lagi dibayangi oleh
harga diri karena kau seorang laki-laki. Mungkin yang akan
membayangi kemudian adalah karena kau masih muda
sehingga sepantasnyalah bahwa kau harus dapat
mengalahkan orang tua. Apakah begitu ?"
"Tidak Kiai. Aku tidak akan berani lagi melakukannya. Aku
sudah dapat mengetahui dengan bekal ilmuku yang sedikit.
Jika aku tidak dapat melampaui kemampuan Swasti, serta jika
isi dadaku bagaikan rontok mendengar suara Kiai, apakah aku
masih akan mencoba menjajagi kemampuan Kiai?"
"Mungkin saja ngger. Mungkin kau menganggap bahwa
dengan demikian kau akan mengetahui, perguruan manakah
yang sedang kau hadapi, seperti aku kini mengetahui, bahwa
aku sedang berhadapan dengan, perguruan Risang Alit."
"Kiai," Jlitheng terkejut sehingga ia tergeser selangkah,
"darimana Kiai mengetahui?"
Kiai Kanthi tersenyum. Iapun kemudian duduk pula
bersama kedua anak muda yang kelelahan itu. Dihadapannya
bara perapian telah padamdan berserakkan.
Tangan Kiai Kanthi yang sudah mulai dilukisi dengan kerutkerut
tahun itupun kemudian mengumpulkan beberapa potong
dahan dan sisa-sisa bara yang masih hangat.
"Perapian ini padam karena tanah dan padas yang
berserakkan oleh kaki kalian yang sedang berkelahi tanpa
pengendalian diri." Jlitheng dan Swasti tidak menyahut.
Sejenak Kiai Kanthi sibuk dengan dahan-dahan yang tinggal
sepotong-potong sisa api. Dikumpulkannya sisa api itu diatas
bekas perapian yang hangat.
"Apakah Kiai akan menyalakan perapian itu " Sebentar lagi
fajar akan menyingsing," bertanya Jlitheng.
"Dinginnya bukan main. Angger yang baru saja berkelahi
mungkin tidak merasa dinginnya udara."
"Apakah Kiai membawa titikan ?" bertanya Jlitheng pula,
"biarlah aku saja yang menyalakan."
Kiai Kanthi tidak menjawab. Namun Jlitheng dan Swasti
melihat orang tua itu menggeserkan dahan-dahan kering itu
dengan tangannya. Sejenak kemudian Jlitheng sekali lagi tersentak, ia melihat
bara mulai memerah dihadapannya, diantara dahan-dahan
kayu sisa perapian itu. "Siapakah sebenarnya orang tua ini ?" pertanyaan it
bergetar dihatinya. Sejak semula ia memang ingin
memastikan, apakah sudah sepantasnya ia berada dibawah
pengaruh wibawanya. Namun kini J litheng jadi yakin, bahwa ia
memang sudah seharusnya menghormati orang tua itu seperti
gurunya sendiri. Apalagi karena orang tua itu telah
mengetahui bahwa ia berasal dari ilmu keturunan yang
diwariskan oleh perguruan Risang Alit.
"Kiai," Jlithengpun kemudian bertanya dengan nada yang
dalam, "pertanyaanku semula belum Kiai jawab. Darimana Kiai
mengetahui bahwa aku adalah pewaris ilmu dari perguruan
Risang Alit?" "Ah, kau masih pura-pura tidak tahu ngger. Bukankah kau
sudah melepaskan hampir semua unsur gerak dari
perguruanmu" Aku tidak tahu pasti, siapakah yang langsung
menjadi gurumu, sehingga kau memiliki ilmu dari perguruan
Risang Alit itu. Perguruan yang sudah tidak banyak disebut
orang lagi. Tetapi itu bukan berarti bahwa kelebihan ilmu dari
perguruan Risang Alit itu berkurang."
Jlitheng termangu-mangu sejenak. Namun dihadapan orang
tua itu ia tidak merasa perlu untuk berahasia lagi. Karena itu
katanya, "Aku adalah murid Kiai Baskara yang lebih senang
menyebut padepokannya dengan nama Rasa Jati."
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
tersenyum sambil berkata, "Jadi kau menerima warisan ilmu
Risang Alit lewat Kiai Baskara " Jika demikian, wajarlah jika
kau mampu membunuh dua orang murid Kendali Putih."
Jlitheng memandang Kiai Kanthi sejenak. Namun diluar
sadarnya ia berpaling kearah Swasti sambil berkata didalam
hatinya, "Tetapi ilmuku tidak lebih dari ilmu gadis itu. jika
Swasti bertemu dengan kedua orang Kendali Putih itu, iapun
tentu akan dapat mengalahkan mereka."
"Angger Jlitheng," berkata Kiat Kanthi kemudian, "jika kau
ternyata murid Kiai Baskara. maka apakah salahnya jika kau
mengatakan, siapakah sebenarnya kau ini. Kau tentu bukan
anak seorang janda miskin yang merantau kemudian kembali
pulang setelah kau sedikit menerima ilmu dari seseorang."
Jlitheng ragu-ragu sejenak, sekali lagi ia memandang
Swasti yang nampaknya masih acuh tidak acuh saja. Dalam
keremangan malam ia melihat Swasti memandang justru
kearah kegelapan yang pekat.
"Kiai," berkata Jlitheng jika aku tidak melihat betapa
tingginya ilmu Kiai, maka aku tentu t idak akan mau
mengatakannya. Meskipun aku pernah juga menyebut
namaku, tetapi dihadapan orang-orang Kendali Putih yang aku
yakin akan dapat aku selesaikan itu."
"Jika kau tidak berkeberatan, sebutlah namamu,
keturunanmu dan barangkali sesuatu yang harus angger
lakukannya dan asalnya seperti yang pernah dikatakan."
Jlitheng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
mengatakan serba sedikit tentang dirinya. Namanya, orang
tuanya kepada murid-murid Kendali Putih yang telah
dibunuhnya. Namun demikian, Jlitheng tidak mengatakan
apakah tugas yang harus dilakukannya di Lumban itu.
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Ketika Jlitheng menyebut
namanya, orang tua itu melihat anak gadisnya tergeser
setapak. Agaknya nama itu telah menarik perhatiannya. Tetapi
sejenak kemudian, pandangannya telah terlempar kembali
kegelapnya dihutan itu. Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam
hatinya, "Swasti adalah gadis yang sangat angkuh. Tetapi
agaknya sikapnya yang berlebihan itu disebabkan oleh
perasaan rendah diri menghadapi seseorang yang meskipun
seorang yang sederhana pula seperti Jlitheng."
Namun Kiat Kanthi tidak dapat menyalahkan anak
gadisnya. Ia memang melihat pakaian yang melekat pada
anak gadisnya yang meningkat dewasa, sehingga ia tidak akan
dapat berbangga dengan perkembangan wadagnya sebagai
seorang gadis remaja. Itulah agaknya yang telah membuatnya
menjadi seorang gadis yang mudah tersinggung. Menuruti
perasaan rendah dirinya dengan sikap yang keras dan harga
diri yang berlebih-lebihan.
"Kasihan anakku itu," tiba-tiba saja perasaan ibanya lelah
melonjak didalam hatinya, "aku akan berusaha, agar ia dapat
hidup seperti gadis-gadis sebayanya. Bergaul dengan kawankawannya
dan bekerja bersama-sama disawah atau ladang.
Ikut serta dalam kesibukan peralatan bersama kawan kawan
gadis yang lain dan ikut berdesak-desakan menonton wayang
beber atau pertunjukkan tari. berlari-larian bersama gadisgadis
sebayanya dipematang disaat padi sedang berbunga
serta mencuci pakaian di sungai sambil berdendang.
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Swasti tidak pernah
terlibat dalam nafas kehidupan sewajarnya. Sekali-kali ia
bergaul juga dengan gadis-gadis padukuhan yang lenyap
dilanda banjir bandang dan gempa bumi serta tertimbun tanah
longsor itu. Tetapi hanya-sesaat-saat, karena hidupnya
sebagian besar telah dirampas oleh sebuah sanggar untuk
menekuni olah kanuragan. "Swasti berhasil menjadi seorang gadis yang luar biasa. Ia
dapat mengimbangi seorang anak muda dari perguruan yang
pernah menggemparkan seluruh Majapahit. Perguruan yang
dipimpin oleh Risang Alit. yang mempunyai ciri yang khusus,
lewat seorang yang mengagumkan pula, Kiai Baskara. Apalagi
anak muda itu adalah putera Pangeran yang dipercaya untuk
menjadi salah seorang Senapati pada saat Majapahit
mengalami kesulitan. Namun ia telah gugur dimedan perang,"
berkata Kiai Kanthi didalam hatinya. Namun kemudian, "Tetapi
Swasti menjadi besar dengan sifat-sifatnya yang khusus pula.
Ia merasa rendah diri dihadapan kawan-kawannya dan apalagi
dihadapan anak-anak muda. Untuk mengisi perasaan itu, ia
menjadi cepat tersinggung dan keras hati.
Sementara itu Jlitheng sendiri menjadi termangu-mangu. Ia
menunggu apa yang akan dilakukan oleh Kiai Kanthi setelah
orang tua itu mendengar ceritera tentang dirinya.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Angger," berkata Kiai Kanthi, "aku percaya sepenuhnya
apa yang angger ceriterakan itu. Aku melihat kejujuran
memancar disorot mata angger. Selebihnya, meskipun angger
tidak mengatakannya, aku dapat meraba, apakah yang harus
angger lakukan disini."
"Tidak ada yang harus aku lakukan Kiai. Aku memang
seorang perantau yang senang menjelajahi desa, gunung dan
ngarai." Tetapi Kiai Kanthi justru tersenyum. Sambil mengangguk
angguk ia kemudian berkata, "Baiklah ngger. Tetapi masih
selalu menjadi pertanyaan dihatiku, apakah hubunganmu yang
sebenarnya dengan Daruwerdi. Apakah kalian telah bekerja
bersama untuk suatu tugas tertentu, atau kalian ternyata
justru saling mencurigai dan saling mengawasi, atau karena
hubungan yang lain ?"
Jlitheng. mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun
tersenyum sambil menjawab, "Tidak ada hubungan apapun
Kiai." Kiai Kanthipun tertawa. Katanya, "Baiklah ngger. Adalah
suatu kebodohan jika aku mendesak terus, agar angger
mengatakan apa yang tidak ingin angger katakan. Tetapi
bagiku, yang angger sebutkan sudah cukup banyak, sehingga
aku dapat mengenal angger yang sebenarnya."
"Sudahlah Kiai. Yang penting kemudian adalah bagaimana
kita akan menguasai air yang melimpah ini. Aku akan
membantu apa saja yang Kiai perintahkan. Dengan tulus aku
menempatkan diri sebagai seorang yang akan tunduk kepada
segala perintah apapun juga."
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa
ia tidak akan dapat melihat lebih dalam lagi, apakah yang
sedang dilakukan oleh Jlitheng di padukuhan Lumban, sedang
kan di padukuhan itu juga hadir Daruwerdi.
"Baiklah ngger," berkata Kiai Kanthi kemudian, "aku
sependapat, bahwa sebaiknya kita membicarakan bagaimana
kita menguasai air yang tentu akan sangat bermanfaat itu.
Sedangkan masalah-masalah lainnya, mungkin akan dapat aku
dengar dari angger Daruwerdi sendiri."
Wajah Jlitheng menegang sejenak. Tetapi kemudian ia pun
tersenyum sambil berkata, "Mungkin itu lebih baik Kiai. Tetapi
aku mohon, agar Kiai sama sekali tidak menyebut tentang Kiai
Baskara dan tentang sumber ilmu yang mengalir dari
perguruan Risang Alit. Aku kira itu tidak perlu bagi Daruwerdi."
Kiai Kanthi tertawa pendek. Katanya, "Aku orang tua ngger.
Aku tidak akan mengatakan apapun juga. Tetapi pesan angger
itu bagiku merupakan keterangan, bahwa angger dan
Daruwerdi tidak sedang bekerja bersama untuk suatu tugas,
namun angger justru sedang mengawasi angger Daruwerdi
karena sesuatu yang tidak dapat angger katakan kepada siapapun
juga." Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
kemudian mengangguk kecil sambil menyahut, "Mungkin Kiai
benar." Kiai Kanthi tidak menjawab lagi. Diangkatnya kedua
tangannya di atas perapian yang hangat.
"Kiai," berkata Jlitheng kemudian, "baiklah aku mohon diri.
Aku sudah terlalu lama pergi. Jika biyung mengetahui aku
tidak ada dirumah, ia akan menjadi gelisah."
Kiai Kanthi memandang Jlitheng sejenak. Nampak wajah
anak muda itu bersungguh-sungguh. Karena itu, maka
katanya, "Silahkan ngger. Tetapi jika angger ingin lekas
mengendalikain air belumbang yang melimpah itu, sebaiknya
kita segera membicarakan, apakah yang sebaiknya kita
lakukan." "Baiklah Kiai. Tentu Kiai tidak akan betah tinggal di sini
tanpa berbuat sesuatu."
"Itu sudah aku kehendaki ngger. Aku akan melakukan apa
saja. Tetapi adalah lebih baik jika yang aku lakukan itu
berguna bukan hanya bagi aku dan anakku sendiri."
"Ya, ya Kiai. Aku mengerti," sahut Jlitheng cepat. Lalu,
"Sekarang aku mohon diri Kiai. Aku akan berbuat sesuatu
sesuai dengan kehendak dan keinginan Kiai."
"Datanglah secepatnya ngger."
"Tentu Kiai," Jlithengpun kemudian berdiri. Dipandanginya
Swasti yang duduk sambil menundukkan wajahnya dalamdalam.
Namun dengan ragu2 Jlitheng berkata, "Aku minta diri
Swasti. Aku minta maaf jika aku telah melakukan sesuatu
yang tidak kau kehendaki."
Swasti sama sekali tidak bergerak.
"Swasti," desis ayahnya, "kau harus menjawab. Dan
seterusnya kita akan mulai dengan suatu pergaulan baru di
padukuhan Lumban. Kita harus bergaul sebagaimana orangorang
Lumban bergaul diantara mereka."
Tetapi diluar dugaan Swasti menjawab, "Anak muda itu
bukan anak Lumban." Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Tetapi ia sudah menempatkan diri seperti anak muda dari
Lumban." Swasti terdiam. Tetapi terdengar nafasnya mengalir
semakin cepat, seperti pada saat-saat ia memusatkan ilmunya
didalampertempuran yang dahsyat.
Sebenarnyalah terjadi ketegangan didalam jiwa gadis itu. Ia
mencoba untuk mengerti keterangan ayahnya bahwa ia harus
mulai dengan tata pergaulan baru. Tetapi, ia tidak cukup
berani untuk menghadapi tantangan hubungan baru dengan
Jlitheng setelah mereka bertempur dengan segenap
kemampuan. Tetapi terlebih-lebih lagi, Swasti memang tidak
terbiasa bergaul dengan anak muda sejak ia berada
dipadukuhannya yang lama.
"Swasti," ayahnya mendesak, "kau jangan terkeras hati."
Swasti mengangkat wajahnya. Dipandanginya ayahnya
sejenak. Kemudian hampir diuar sadarnya, ia terpaling kearah
anak muda yang termangu-mangu.
Terasa dada Swasti bergetar. Cepat-cepat ia melemparkan
pandangan matanya kekegelapan. Nafasnya menjadi semakin
cepat mengalir, melampaui saat-saat ia berada, dipuncak
ketegangan pertempuran. "Swasti," ayahnya berdesis sekali lagi.
Swasti tidak dapat mengelak lebih lama. Ia sadar, bahwa
ayahnya tentu akan mendesaknya terus sampai ia
mengucapkan sepatah dua patah kata. Karena itu, maka
katanya, "Biarlah ia meninggalkan kita dan melupakan apa
yang telah terjadi ayah."
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Namun katanya,
"Bukan kepadaku. Kepada angger Jlitheng."
Swasti ingin menjerit. Tetapi dipaksanya mulutnya berkata,
"Aku juga minta maaf."
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah Kiai.
Aku sudah merasa ringan, bahwa aku sudah dimaafkan
meskipun dengan istilah apapun juga. Aku mohon diri sebelum
pagi." "Ya. ya ngger. Kembalilah kepada biyungmu. Tetapi kita
sudah bersepakat untuk segera mulai dengan kerja kita.
Membuat sebuah padepokan, menguasai air dan memberikan
suasana yang lebih baik bagi padukuhan Lumban Wetan dan
Lumban Kulon." Jlithengpun kemudian melangkah meninggalkan Kiai Kanthi
dan anak gadisnya. Ketika diluar sadarnya ia berpaling, maka
dilihatnya Swasti cepat-cepat memalingkan wajahnya.
Agaknya iapun sedang menatap langkah Jlitheng yang masuk
kedalam kelamnya gerumbul-gerumbul liar didalam hutan
disisa malamyang sepi. Sejenak kemudian Jlithengpun bagaikan ditelan oleh
kegelapan. Yang tinggal kemudian adalah Swasti dan Kiai
Kanthi. Sejenak mereka saling berdiam diri. Namun kemudian
Kiai Kanthi berkata, "Beristirahatlah Swasti. Kau tentu letih."
Swasti tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian bangkit
sambil mengibaskan pakaiannya yang lungset.
"Aku akan mandi. Aku tidak akan dapat tidur. Pakaianku
basah oleh keringat dan kotor oleh debu yang melekat."
"Jika kau masih basah oleh keringat, jangan mandi dahulu,"
cegah ayahnya. "Keringatku sudah kering. Tetapi pakaianku sangat kotor."
Kiai Kanthi tidak mencegah lagi. Dibiarkannya Swasti pergi
keparit disebelah belumbang. Parit yang mengalirkan air yang
melimpah itu tanpa terarah, sehingga air yang mengalir itu
menyusup kecelah-celah batu padas dan hilang ditelan tanah.
Ketika Swasti tidak nampak lagi, Kiai Kanthi mengelus
dadanya sambil menghela nafas dalam sekali. Anak gadisnya
hanya mempunyai selembar ganti pakaian. Jika ia mandi, ia
sekaligus mencuci pakaiannya yang kotor, untuk nanti dipakai
jika ia mandi dan mencuci pakaiannya yang selembar lagi.
Namun disamping pakaiannya sebagai seorang gadis, Swasti
mempunyai sepengadeg pakaian yang khusus, yang tidak
dipunyai oleh gadis-gadis lain. Pakaian yang dipakainya dalam
olah kanuragan, yang mirip dengan pakaian seorang laki-laki.
Ketika Swasti kembali dari balik gerumbul-gerumbul yang
rimbun, dilihatnya ayahnya duduk dipinggir belumbang sambil
memegangi walesan kail. Ketika seekor ikan terkait pada mata
kailnya, ia berkata, "Swasti, kita sekarang sudah mempunyai
belanga dan kelenting. Kita akan dapat memasak lebih baik
dari saat-saat sebelumnya. Kita dapat merebus gayam dan
dedaunan." Swasti memandangi belanga dan kelenting yang dibawa
oleh Jlitheng sebelum ia berkelahi. Sejenak ia merenung,
mencari makna dari peristiwa yang baru saja terjadi.
"Anak muda itu tentu tidak bersungguh-sungguh ingin
menangkap kami," katanya didalam hati setelah tubuhnya
menjadi segar dan hatinya agak tenang, "jika demikian, ia
tidak akan bersusah payah membawa belanga dan kelenting."
Tetapi semuanya sudah terlanjur terjadi, sehingga ia sudah
terlibat dalam perkelahian yang sengit, bukan saja
mempergunakan tenaga wajarnya, tetapi sudah jauh daripada
itu. Ketika kemudian matahari terbit, Swasti duduk dimuka
perapian sebagai seorang gadis yang sedang menunggui
masakannya. Beberapa ekor ikan yang didapat oleh ayahnya
dengan kail dipainggangnya diatas api, sedang dengan
belanganya ia merebus beberapa buah gayam yang sudah
tua. Diluar sadarnya, Swasti menengadahkan wajahnya.
Selembar awan hanyut dihembus oleh angin yang lembut
mengalir ke Utara. Namun Swasti mulai berpikir, "Jika awan itu menjadi
semakin banyak dan berwarna kelabu, maka itu adalah
pertanda hujan akan turun. Dalam keadaan seperti ini, jika
hujan turun, maka aku akan kedinginan sepanjang hari dan
mungkin sepanjang malam, karena pakaianku akan menjadi
basah semuanya." Tetapi Swasti tidak mengatakannya kepada ayahnya, ia
tahu, bahwa ayahnyapun sudah memikirkannya.
Dalam pada itu, Jlitheng yang sampai kerumahnya
menjelang pagi, langsung menuju kesumur untuk menimba
air. Untunglah bahwa ibunya masih belum bangun, sehingga
ia tidak digelisahkan oleh kepergiannya semalam suntuk.
Sambil menarik sengget, Jlitheng masih saja berpikir
tentang Kiai Kanthi dan anak gadisnya yang aneh. Tetapi ia
tidak ragu-ragu lagi, bahwa keduanya adalah orang-orang
yang luar biasa. Gadis yang sedang meningkat dewasa, yang
tentu masih lebih muda daripadanya itu, ternyata memiliki
kemampuan yang sama sekali tidak diduganya. Jika saat
keduanya datang, dan dibawanya naik kelereng bukit lewat
batu batu padas yang bergumpal-gumpal, ia sudah menjadi
heran, bahwa Swasti dapat juga berloncatan mengikutinya.
Apalagi ketika ia sudah mengalami perkelahian yang hampir
saja lepas dari kekangan nalarnya.
Sementara itu, Jlitheng mulai mendengarkan ibunya
bekerja didapur. Seperti biasanya merebus air dan ketela
pohon. Jlitheng tidak langsung masuk kedapur. Setelah
pakiwannya penuh, maka iapun segera pergi kehalaman
depan sambil membawa sapu lidinya.
Sehari itu, Jlitheng tidak banyak berkumpul dengan kawankawannya.
Disiang hari ia berbaring dibelakang lumbung yang
kosong. Apalagi jika paceklik panjang mencengkam
padukuhun Lumban Wetan dan Lumban Kulon. Maka hampir
setiap lumbung dipadukuhan itu menjadi kosong.
Hanya orang-orang yang terhitung kecukupan sajalah yang
masih menyimpan beberapa ikat padi, sisa panen dimusim
basah. Dimusim kering orang-orang Lumban hanya dapat
menanam palawija yang tidak begitu banyak menghasilkan
meskipun dapat juga dipakai untuk menyambung hidup
mereka sampai musim basah mendatang.
"Aku harus segera berbuat sesuatu," berkata Jlitheng.
Tetapi ia masih ragu-ragu. Apakah sebaiknya ia
mengatakannya lebih dahulu kepada Ki Buyut di Lumban
Wetan dan atau Lumban Kulon atau ia lebih dahulu membantu
Kiai Kanthi membuat gubug kecil sebelum dapat dibangun
sebuah padepokan yang memadai buat orang yang luar biasa
itu bersama anak gadisnya.
Akhirnya Jlitheng mengambil keputusan untuk
menyampaikannya saja lebih dahulu kepada Ki Buyut. Jika ia
membuat sebuah gubug kecil dipinggir hutan itu, maka akan
dapat menumbuhkan salah paham dan kecurigaan. Karena itu
sebaiknya hal itu diberitahukannya lebih dahulu kepada Ki
Buyut Lumban Wetan dan Luban Kulon.
"Tetapi aku tidak akan memberitahukannya kepada
biyung," desis Jlitheng yang kemudian menggeliat bangkit.
Kepada ibunya Jlitheng minta diri untuk pergi kegardu
menemui kawan-kawannya, ia sama sekali tidak menyebut
rencananya untuk menghadap Ki Buyut, agar ibunya tidak
digelisahkan oleh persoalan-persoalan yang tidak
diketahuinya. Yang mula-mula akan didatangi adalah Ki Buyut Lumban
Wetan, karena ia berada didaerah Lumban Wetan itu pula.
Sebagai seorang anak janda miskin yang tidak banyak
dikenal, Jlitheng memang tidak terbiasa menghadap Ki Buyut
atau bebahu padukuhan yang lain. Namun Jlitheng termasuk
seorang anak-muda yang disukai oleh kawan-kawannya,
karena ia suka membantu kawan-kawannya yang sedang
mengalami kesulitan atau sedang melakukan pekerjaan yang


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agak berat. Ia sering membantu kawan-kawannya yang
sedang memperbaiki dinding halaman, atau memperbaiki
lumbung yang miring, atau kerja-kerja lainnya. Bahkan ia rela
membantu kawan-kawannya dengan meminjamkan miliknya
yang sedikit apabila diperlukan.
Karena itu, ketika kawan-kawannya melihat ia menyusuri
jalan padukuhan untuk pergi kerumah Ki Buyut, maka
beberapa orang kawannya menyertainya dan bertanya
disepanjang jalan, apakah keperluannya.
"Aku menemukan dua orang perantau dihutan itu," berkata
Jlitheng. "Bagaimana kau menemukannya ?" bertanya kawannya.
" Ketika aku sedang mencari kayu."
Kawan-kawannya tertarik akan ceritera itu. Mereka tahu
bahwa Jlitheng memang sering mencari kayu kehutan dilereng
bukit. "Aku merasa kasihan kepada mereka," berkata Jlitheng
setelah ia menceriterakan serba sedikit tentang Kiai Kanthi dan
anak gadisnya. "Kasihan. Lalu apakah yang mereka makan di hutan itu ?"
bertanya yang lain. "Kiai Kanthi menangkap binatang-binatang kecil dan
memetik buah gayam yang banyak terdapat dihutan itu."
Demikian pandainya Jlitheng menyusun ceriteranya
sehingga kawan-kawannya benar-benar menjadi iba
mendengarnya. "Lalu, apakah yang ingin kau dapatkan dari Ki Buyut ?"
bertanya salah seorang kawannya.
"Aku hanya akan minta ijin untuk membuat sebuah gubug
kecil dipinggir hutan itu."
"Kenapa dipinggir hutan?" yang lain memotong, "biarlah ia
tinggal di padukuhan ini. Apa salahnya?"
"Aku sudah mengatakannya. Tetapi agaknya perantau itu
mempunyai harga diri juga. Ia tidak mau mengganggu orang
lain. Dipinggir hutan itu ia akan mencoba menghidupi diri
mereka sendiri dengan hasil yang dapat mereka petik dari
hutan yang luas itu. Mungkin buah-buahan, mungkin
dedaunan atau binatang-binatang buruan yang kecil-kecil
saja." "Jika seekor harimau datang merunduk mereka, apalagi
anaknya yang kau katakan seorang gadis."
"Mereka berkeras hati. Nampaknya harimau yang tidak
begitu banyak terdapat dihutan itu, tidak ingin mengganggu
mereka." "Omong kosong. Darimana kau tahu " Aku kira masalahnya
hanyalah waktu. Pada suatu saat akan datang seekor harimau
yang akan menerkamsalah seorang dari keduanya."
Jlitheng mengerutkan keningnya. Ia menjadi sulit untuk
mengatakan bahwa keduanya sama sekali tidak takut
terhadap harimau yang paling garang sekalipun.
Akhirnya ia menjawab, "Masih banyak binatang buruan bagi
harimau di hutan itu, sehingga mereka tidak akan menerkam
seseorang. Harimau yang berani menerkam seseorang, akan
tersisih dari pergaulannya, karena hal itu tidak disukai oleh
lingkungan mereka." Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Merekapun pernah
mendengar ceritera tentang seekor harimau yang akhirnya
membunuh diri karena terpisah dari masarakatnya. Satu
kesalahan telah dilakukannya, yaitu menerkam seorang petani
yang sedang bekerja disawah.
"Hanya harimau yang tua dan lemah sajalah yang karena
terpaksa menghindari kelaparan telah berani menerkam
seseorang," desis salah seorang dari mereka.
Dalam pada itu, Jlitheng bersama beberapa orang
kawannya menjadi semakin dekat dengan rumah Ki Buyut di
Lumban Wetan. Satu dua orang yang ingin tahu telah
mengikut inya dan bertanya-tanya diantara mereka.
Dimuka regol halaman rumah Ki Buyut Jlitheng berhenti. Ia
menjadi ragu-ragu. Karena itu sejenak ia berdiri saja
termangu-mangu. "Apakah Ki Buyut ada dirumah?" t iba-tiba ia bergumam.
"Marilah kita coba untuk menanyakannya," berkata seorang
kawannya. Namun ternyata kedatangan mereka telah dilihat oleh
seorang anak muda yang bertubuh sedang, berkulit kekuningkuningan,
yang berdiri di tangga pendapa.
"Itu, kau lihat anak K i Buyut?" desis seorang kawannya.
"Ya. Marilah kita temui saja Kumbara agar ia
menyampaikan kepada ayahnya bahwa kita akan
menghadap," gumam Jlitheng.
Kawan-kawannya mengangguk. Hampir berbareng
merekapun melangkah memasuki regol halaman rumah Ki
Buyut. Anak muda yang berdiri ditangga pendapa itu termangumangu.
Ia melihat beberapa orang anak muda
mendatanginya, sehingga dahinya telah berkerut. Bahkan
dadanyapun menjadi berdebar-debar, karena agaknya anakanak
muda itu mempunyai keperluan yang cukup penting.
"Ada apa ?" Kumbara tidak sabar menunggu.
Jlithenglah yang menyahut, "Maaf Kumbara. Mungkin
kedatangan kami telah mengejutkan kau dan barangkali Ki
Buyut. Tetapi kami tidak mempunyai kepentingan yang dapat
menggelisahkan. Kami hanya datang untuk menyampaikan
sebuah ceritera. Barangkali Ki Buyut sempat
mendengarkannya." Kumbara termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian mengangguk-angguk. "Aku akan menyampaikannya
kepada ayah. Duduklah."
Ketika Kumbara kemudian masuk kentang dalam, maka
anak-anak muda itupun duduk diatas tikar yang sudah
terbentang dipendapa. Sejenak mereka menunggu. Sementara
Kumbara menyampaikan maksud anak-anak muda itu kepada
Ki Buyut. Ternyata Ki Buyutpun tidak berkeberatan. Ia mengenal
Jlitheng dan anak-anak muda padukuhannya sebagai anakanak
muda yang baik, yang tidak pernah menimbulkan
kesulitan bagi padukuhan dan tetangga-tetangga mereka.
--ooo0dw0ooo" Jilid 03 KARENA itu, maka Ki Buyutpun kemudaan keluar dari ruang
dalam bersama Kumbara menemui anak-anak muda yang
sudah menunggunya dipendapa.
Meskipun demikian Ki Buyut itupun berkata, "Aku menjadi
berdebar-debar karena kunjungan kalian. Kalian jarang sekali
datang kemari. Tiba-tiba saja kalian datang bersama-sama
beberapa orang." Anak-anak muda itu saling berpandangan. Namun
kemudian mereka seperti berjanji memandang Jlitheng yang
termangu-mangu." "Ayo, siapakah yang akan menjadi pembicara dari kalian,"
Ki Buyut mendesak sambil tersenyum.
Jlithenglah yang kemudian beringsut setapak.
Dipandanginya Ki Buyut yang tua itu sejenak. Kemudian
katanya, "Ki Buyut. Mungkin kami telah mengejutkan Ki Buyut.
Biasanya kami tidak pernah datang bersama-sama, atau
bahkan jarang sekali datang menghadap Ki Buyut."
"Ya, ya. Kataikan, apa keperluanmu. Aku tahu, bahwa
kalian tentu mempunyai kepentingan sehingga kalian
memerlukan datang kepadaku."
"Ya Ki Buyut," Jlitheng beringsut lagi, "sebenarnyalah
bahwa aku telah menemukan dua orang perantau di lereng
bukit itu." "Menemukan?" bertanya Ki Buyut.
"Ya Ki Buyut. Maksudku, saat aku mencari kayu, aku telah
bertemu dengan dua orang perantau yang barangkali dalam
keadaan sulit dilereng bukit yang berhutan itu."
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Katakan tentang mereka berdua."
Jlithengpun kemudian menceriterakan serba sedikit tentang
Kiai Kanthi dan Swasti seperti yang dikatakannya kepada
anak-anak muda yang mengikutinya. Seperti kepada anakanak
muda itu iapun telah berhasil menumbuhkan perasaan
iba pada Ki Buyut Lumban Wetan.
Sambil mengangguk-angguk Ki Buyut berkata, "Sudah
sewajarnya kita menaruh belas kasihan kepada sesama. He.
kenapa mereka tidak mau menuju kepadukuhan " Kenapa
mereka berdua justru memilih untuk berada dihutan dilereng
bukit itu?" Jlitheng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
dengan ragu-ragu ia menjawab, "Itulah anehnya Ki Buyut.
Ketika aku tanyakan kepada mereka, orang tua itu
mengatakan bahwa mereka t idak mau menyusahkan kita
disini. Dan menilik kata-katanya, merekapun sebenarnya takut
dicurigai." Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Baiklah
Jlitheng. Jika mereka memang berkeras ingin tinggal dilereng
bukit itu, sudah barang tentu, aku tidak berkeberatan. Jika
kau ingin membantu, itu adalah perbuatan yang baik. Mungkin
kau dapat meminjami alat-alat untuk keperluannya, atau
bahkan kau dan beberapa kawan-kawanmu dapat membantu
membuat sebuah gubug kecil. Tetapi sebaiknya kau
memperingatkan, bahwa di hutan itu terdapat beberapa ekor
harimau yang mungkin dapat membahayakan mereka."
"Aku sudah mencoba memperingatkan mereka Ki Buyut.
Tetapi nampaknya keduanya pandai memanjat, sehingga
mereka menganggap bahwa harimau itu akan dapat
dihindarinya. Selebihnya mereka menganggap bahwa harimau
tidak akan menerkamseseorang jika t idak terpaksa sekali."
Ki Buyut mengangguk-angguk ketika ia mendengar Jlitheng
mengulangi ceriteranya tentang seekor harimau yang terasing
dari lingkungannya seperti yang dikatakannya kepada kawankawannya.
Ki Buyutpun mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Adalah menjadi kuwajibanmu Jlitheng, untuk membantunya
sebagaimana seharusnya dilakukan bagi sesama."
"Kami sudah siap Ki Buyut," berkata Jlitheng, "jika Ki Buyut
sudah mengijinkan, maka kami tidak akan ragu-ragu lagi."
"Aku ikut bersamamu Jlitheng," tiba-tiba saja Kumbara
memotong pembicaraan itu.
Jlitheng mengerutkan keningnya, seolah-olah ia tidak
percaya pada pendengarannya. Namun Kumbara mengulangi,
"Aku akan ikut serta membantu orang tua itu. Mungkin ia
memerlukan alat-alat, mungkin keperluan yang lain. Tetapi
mungkin juga pangan."
Selagi Jlitheng termangu-mangu, terdengar Ki Buyut
berkata, "Biarlah ia ikut serta Jlitheng. Apa anehnya "
Nampaknya kau menjadi heran. Bukankah kau kenal Kumbara
sehari-hari seperti kau mengenal kawan-kawanmu yang lain?"
"Ya, ya. Ki Buyut. Tetapi kedua orang itu hanyalah dua
orang perantau. Biar kami sajalah yang membantunya.
Kumbara tidak perlu ikut serta bersama kami. Ia mempunyai
pekerjaan yang barangkali jauh lebih penting dari dua orang
perantau itu." "Apakah yang harus aku kerjakan " Bukankah pekerjaanku
tidak banyak berbeda dengan pekerjaanmu " Menggarap
sawah, memelihara ternak dan sekali-kali duduk digardu
perondan ?" sahut Kumbara.
Jlitheng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Jika demikian, baiklah. Tentu kedua orang itu akan
sangat berterima kasih. Apalagi bahwa putera Ki Buyut sendiri
telah bersedia membantunya mempersiapkan sebuah gubug
kecil." Ki Buyutpun mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian, "Tetapi Jlitheng. Aku masih menyarankan, agar kau
menghadap Ki Buyut di Lumban Kulon. Kakang Buyut di
Lumban Kulonpun perlu mengerti. Bukankah kau tahu, bahwa
bukit itu terletak diujung padukuhan kami, sehingga bukit itu
tidak terletak didaerah Lumban Wetan, tetapi juga tidak di
daerah Lumban Kulon seluruhnya. Kami t idak pernah
membicarakan, siapakah yang berhak mengurusi bukit
berhutan yang tidak menghasilkan apa-apa itu, seperti kami
juga tidak pernah berbicara tentang bukit gundul yang
gersang tanpa dapat memberikan apa-apa kepada padukuhan
kami." Jlitheng mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya Ki Buyut.
Akupun sudah memikirkan kemungkinan itu. Aku akan
menghadap Ki Buyut di Lumban Kulon untuk mengatakan
maksud kami membantu orang tua dan anak gadisnya itu."
"Aku kira kakang Buyut di Lumban Kulon juga tidak akan
berkeberatan. Orang tua dan anak gadisnya itu sama sekali
tidak akan mengganggu padukuhan Lumban Wetan maupun
Lumban Kulon seperti yang diharapkannya sendiri."
"Ya Ki Buyut. Orang tua itu memang tidak ingin
mempersulit keadaan kita yang tidak terlalu baik ini," jawab
Jlitheng. "Bagiku, itu sudah, merupakan pertanda, bahwa orang tua
itu tidak bermaksud buruk," berkata Ki Buyut, "ia bukam
sejenis orang yang mementingkan diri sendiri. Tetapi ia dalam
keadaan yang pahit, masih juga memikirkan orang lain."
"Baiklah Ki Buyut. Kami mohon diri. Kami akan menghadap
Ki Buyut Lumban Kulon. Mungkin besok kami akan muliai
dengan kerja kami, membantu orang tua itu."
"Dimana ia t idur malam ini ?"
"Mereka telah memilih tempat didalam hutan itu. Mereka
makan dari buah-buahan yang mereka dapatkan, buruan kecil
dan dedaunan." "Berbuatlah sesuatu segera bagi mereka Jlitheng. Kau yang
sudah mulai dengan niat yang baik, teruskanlah."
Jlitheng kemudian minta diri. Ia masih akan menghadap Ki
Buyut di Lumban Kulon untuk minta ijin seperti yang
dilakukannya pada Ki Buyut di Lumban Wetan.
Ketika Jlitheng dan kawan-kawannya memasuki batas
Lumban Kulon, maka beberapa orang anak-anak mudapun
telah mengerumuninya dan bertanya, apakah keperluannya.
Seperti yang sudah dilakukannya, maka iapun mengulangi
lagi ceriteranya tentang kedua orang yang ditemuinya di
lereng bukit. "Kasihan," desis salah seorang dari mereka, "nampaknya Ki
buyut baru saja pulang dari sawahnya. Aku kira ia ada
dirumahnya." "Terima kasih," sahut Jlitheng.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ia sedang sibuk memikirkan anak laki-lakinya," desis yang
lain. "Kenapa dengan Nugata ?" bertanya Jlitheng.
"Ia sedang merajuk. Nugata ingin seekor kuda yang bagus,
tegar dan besar. Tidak seperti kuda yang dimilikinya sekarang,
yang menurut pendapatnya, kecil, kurus dan sakit-sakitan."
Jlitheng mengerutkan keningnya. Katanya, "Seekor kuda
yang tegar, besar dan baik, harganya tidak sedikit."
"Itulah sebabnya Ki Buyut agak prihatin juga. Tetapi
nampaknya ia berusaha untuk memenuhinya."
Jlitheng mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian,
"Jika demikian, apakah kedatangan kami mungkin akan dapat
mengganggu perasaannya yang memang sedang buram itu?"
Tetapi anak-anak muda Lumban Kulon itu menjawab
hampir bersamaan, "Aku kira tidak."
Jlitheng mengangguk-angguk, sementara seorang anak
muda Lumban Kulon berkata selanjutnya, "Cobalah. Jika kau
memang menganggap penting tentang dua orang perantau
yang memerlukan bantuan itu, datanglah. Jika Ki Buyut
sedang sibuk atau sedang bingung, ia akan dapat minta kalian
untuk datang lain kali."
Meskipun agak ragu-ragu namun Jlithengpun melanjutkan
langkahnya menuju kerumah Ki Buyut di Lumban Kulon
saudara kembar Ki Buyut di Lumban Wetan, tetapi yang
dianggap saudara tua justru karena ia lahir kemudian.
Menurut kepercayaan orang-orang Lumban saudara kembar
yang tua akan lahir mengiringi saudaranya yang muda.
Satu dua orang anak muda Lumban Kulon yang tertarik
pada masalah itupun mengikut inya pula, sehingga iring-iringan
anak-anak muda itu menjadi semakin panjang.
Tetapi ada pula diantara mereka yang tidak
mengacuhkannya. Bahkan seorang anak muda yang berkulit
kuning bergumam diantara kawan-kawannya, "Jlitheng anak
baik. Tetapi ia memang senang mencari pekerjaan."
"Ia ingin menolong kedua orang yang dikatakannya
perantau itu," desis yang lain.
Tetapi seorang anak muda yang gemuk pendek berkata,
"He, kau tahu, kenapa Jlitheng bersusah payah tentang kedua
orang itu ?" "Ah kau. Kau tentu berprasangka aneh. Justru kau
sendirilah yang selalu mengejar gadis-gadis," sahut kawannya
yang berkulit kuning, "bukankah kau akan mengatakan bahwa
salah seorang dari kedua perantau itu seorang gadis ?"
Anak muda yang gemuk itu tertawa. Namun seorang
kawannya lagi berkata, "Meskipun ia seorang gadis, tetapi
dapat dibayangkan. Seorang gadis kurus, sakit-sakitan, kumal
dan barangkali suka merengek-rengek."
"Jangan menghina," potong kawannya.
Namun anak-anak muda yang lain sempat pula tersenyum.
Dalampada itu, selagi anak-anak muda itu masih berkelompok
dimulut lorong, mereka mendengar derap seekor kuda.
Dengan tergesa-gesa mereka menepi meskipun mereka belum
melihat kuda itu mendekat.
"Siapa ?" seseorang berteka-teki. "Daruwerdi atau Nugata."
Yang lain tidak sempat menjawab, karena dari tikungan
nampak seorang anak muda duduk dipunggung kudanya.
Kuda itu mengurangi kecepatannya. Bahkan kemudian
berhenti dimulut lorong. "Apakah yang kalian tunggu disini ?" bertanya anak muda
dipunggung kuda itu. "Kami akan pergi kesawah."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun kemudian,
"Tetapi kalian masih saja berkumpul disini."
"Ya. Baru saja kami bertemu dengan Jlitheng," sahut yang
lain. "Jlitheng anak Lumban Wetan ?"
"Ya." "Apa keperluannya ?"
Salah seorang anak muda itupun kemudian menceriterakan
tentang dua orang perantau sepertil yang dikatakan Jlitheng.
Anak muda dipunggung kuda itu mengerutkan keningnya.
Namun kemudian katanya, "Seperti kita masing-masing tidak
mempunyai pekerjaan. Biarlah perantau itu mengurus dirinya
sendiri." Anak-anak muda dimulut lorong itu tidak menyahut.
Mereka memandangi saja ketika kuda itu berderap dan hilang
kedalampadukuhan. Anak-anak muda yang tinggal dimulut lorong itu
memandang debu yang masih mengepul. Salah seorang
berdesis, "Kuda itulah yang dikatakan kecil, kurus, sakitsakitan."
"Seperti gadis perantau itu."
Yang lain tidak dapat menahan tertawa mereka. Namun
suara tertawa itupun bagaikan hanyut oleh angin ketika anak
muda berkulit kuning itu berkata, "Apa urusan kita. dengan
kuda Nugata. Marilah, kita pergi kesawah. Sore nanti kita pergi
ke bukit gundul. Daruwerdi tentu sudah menunggu, Kita akan
berlatih olah kanuragan."
Anak-anak muda itupun kemudian bersama-sama
menyusuri pematang dan berpisah menuju kesawah masingmasing.
Tetapi sawah di Lumban Kulon dan Lumban Wetan
memang t idak begitu baik. Tanahnya mulai kering dimusim
kemarau. Palawijapun tidak dapat tumbuh dengan baik.
Bahkan dimusim kering yang panjang sawah mereka benarbenar
menjadi padang yang gersang sejauh mata
memandang. Dalam pada itu Jlitheng telah berada dirumah Ki Buyut di
Lumban Kulon. Ki Buyut yang tua, tetapi yang lahir kemudian
dari sepasang anak kembar itu, nampaknya memang lebih
tua. Apalagi ia nampak selalu bersungguh-sungguh, meskipun
sebenarnya hatinya cukup lapang.
Kedatangan Jlithengpun mengejutkan pula. Namun Ki
Buyut di Lumban Kulon itu menarik nafas dalam-dalam ketika
ia sudah mendengar maksud Jlitheng untuk menghadap.
"Kalian membuat aku berdebar-debar," berkata Ki Buyut di
Lumban Kulon. "Belum lama aku mendengar peristiwa yang
terjadi di lereng bukit itu. Aku kira berita yang kau bawa
adalah berita yang berhubungan dengan kematian dua orang
yang dibunuh oleh Daruwerdi. Apalagi aku mendengar bahwa
kaupun pernah dibawa oleh dua orang yang tidak dikenal."
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Teringat sekilas, dua
orang yang terpaksa dibunuhnya pula, dan yang dengan diamdiam
telah dikuburnya sama sekali. Tidak seorangpun yang
mengetahuinya, sehingga yang tersebar hanyalah peristiwa
yang terjadi atas Daruwerdi.
"Ki Buyut," berkata Jlitheng kemudian, "peristiwa itu
memang telah membuatku hampir pingsan. Tetapi agaknya
jika terjadi peristiwa berikutnya yang berhubungan dengan
peristiwa itu, tentu akan lebih banyak menyangkut
Daruwerdi." Ki Buyut mengangguk-angguk. Gumamnya seolah-olah
kepada diri sendiri, "Karena itu, latihan2 yang akan diadakan
oleh anak-anak itu mungkin akan dapat berakibat buruk."
Jlitheng mengerutkan keningnya. Katanya, "Kenapa
berakibat buruk Ki Buyut ?"
"Orang-orang yang memusuhi Daruwerdi itu menganggap
bahwa kita semuanya telah melibatkan diri," jawab Ki Buyut.
Jalan pikiran orang tua itu memang dapat dimengerti.
Namun Jlitheng mencoba untuk menjelaskan, "Tetapi Ki
Buyut. Jika jumlah kami cukup banyak, maka aku kira, orangorang
jahat itu tentu akan segan pula untuk berbuat sesuatu.
Meskipun kami belum mumpuni, namun dengan jumlah yang
berlipat ganda, mereka tentu akan memperhitungkan pula."
Ki Buyut menarik nafas panjang. Masih saja ia bergumam
seolah-olah kepada diri sendiri, "Selama ini tidak pernah
terjadi malapetaka di padukuhan ini. Tetapi kedatangan
orang-orang baru itu membuat aku menjadi cemas."
Jlitheng mengangguk-angguk. Nampaknya Ki Buyut di
Lumban Kulon merasa bahwa keadaan terakhir di
padukuhannya telah memburuk. Kehadiran orang-orang yang
dianggapnya asing memang telah membawa persoalan
tersendiri. Termasuk kedatangan Daruwerdi.
"Apakah Ki Buyut juga mencurigai kehadiran Kiai Kanthi
dan Swasti?" pertanyaan itu mulai merayapi hatinya.
Namun ternyata Ki Buyut kemudian berkata, "Jlitheng. Aku
tidak berkeberatan dengan maksudmu dan kawan-kawanmu
untuk membantu kedua orang yang kau sebut perantau itu,
jika Buyut Lumban Wetan juga tidak berkeberatan. Tetapi aku
berharap bahwa kehadirannya didaerah iini tidak akan
menambah persoalan-persoalan baru yang dapat menyulitkan
keadaan kita disini."
Jlitheng mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ki Buyut. Kami
akan melihat dengan saksama, apakah yang kira-kira akan
dilakukan oleh kedua orang itu. Yang seorang sudah terhitung
orang tua, sedang yang satu adalah anaknya, seorang gadis.
Aku kira mereka tidak akan menimbulkan persoalan apapun
juga didaerah Lumban ini."
"Sokurlah. Mudah-mudahan untuk seterusnya kita akan
dapat hidup tenang dan damai. Hidup seperti yang pernah kita
alami dari tahun ketahun, dari masa ke masa. Disaat
pergolakan terjadi dipusat pemerintahan, padukuhan ini tetap
tenang. Kami berdua yang kebetulan dilahirkan kembar dan
menjadi tetua di Lumban Kulon dan Lumban Wetan berusaha
sekeras-kerasnya untuk mempertahankan tata cara dan
kehidupan yang berlaku didaerah kecil ini. Setiap perubahan
akan dapat menimbulkan goncangan-goncangan dan bahkan
mungkin kekisruhan."
Jlitheng menjadi berdebar-debar. Yang dikatakan itu adalah
sikap Ki Buyut di Lumban Kulon. Namun Jlitheng tidak
berputus asa bahwa untuk selanjutnya tidak akan dapat
ditembus dengan kenyataan dan harapan-harapan bagi masa
datang. Namun sayang sekali, bahwa permulaan itu
bersamaan saatnya dengan goncangan ketenangan oleh
orang-orang Kendali Putih yang telah berusaha menipu
Daruwerdi. Namun demikian, ijin yang diberikan oleh Ki Buyut itu telah
membuat Jlitheng berbesar hati. Ia memang harus berhatihati
untuk mengayunkan langkah berikutnya. Perubahanperubahan
yang terjadi memang harus dijaga sebaik-baiknya,
agar tidak menimbulkan kekisruhan yang mengganggu,
apalagi menimbulkan pertentangan-pertentangan didalam
padukuhan yang tenang itu.
Dalam pada itu, ketika Jlitheng mohon diri kepada Ki Buyut,
maka terdengar derap kuda memasuki halaman. Nugata yang
masih berada di punggung kudanya, mengerutkan keningnya
melihat Jlitheng bersama beberapa orang anak muda duduk
dipendapa bersama ayahnya.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak tertarik sama sekali dengan
persoalan yang dibawa oleh Jlitheng seperti yang sudah
didengarnya diujung lorong. Sehingga karena itu, maka
setelah kudanya diserahkan kepada seorang pembantunya, ia
langsung masuk lewat longkangan tanpa berpaling lagi.
Jlitheng dan kawan-kawannya yang berada dipendapa itu
hanya memandanginya saja. Mereka menyangka bahwa
Nugata memang belum mengetahui persoalannya. Namun
mereka-pun mengerti, bahwa Nugata lebih suka
mempersoalkan masalahnya sendiri daripada masalah orang
lain. Karena itu Jlithengpun kemudian meninggalkan rumah Ki
Buyut di Lumban Kulon itu. Ia ingin segera berbuat sesuatu,
sehingga waktunya tidak banyak terbuang. Mulai terbayang di
angan-angannya, sebuah gubug kecil dengan secuwil tanah
buat halaman dan kebunnya. Kemudian orang tua itu tentu
memerlukan sebidang tanah yang lebih luas bagi sawah dan
ladangnya. Namun yang penting bagi Jlitheng adalah bahwa orang tua
dan anak gadisnya itu kemudian akan berjuang menguasai air
yang melimpah dilereng bukit itu untuk mengarahkannya
kesawah dan ladangnya yang akan dibuka.
Air itu tentu akan dapat dimanfaatkan pula bagi padukuhan
Lumban Kulon dan Lumban Wetan. Parit yang hanya
menampung dan mengalir dimusim hujan itui tentu akan
menjadi basah pula dimusim kering.
Sementara itu beberapa orang anak muda mengikut
Jlitheng sampai kesebuah gardu parondan yang berada
didekat padukuhan kecil yang terletak dibatas daerah Lumban
Kulon dan Lumban Wetan. Namun padukuhan itu sendiri
masih termasuk daerah Lumban Wetan.
Satu dua anak muda Lumban Kulon masih tetap bersama
mereka. Bahkan salah seorang dari mereka bertanya, "Jlitheng
kapan kau akan mulai dengan kerjamu itu ?" anak muda itu
berhenti sejenak, namun kemudian ia mulai berkelakar,
"bukankah anak perantau itu seorang gadis yang manis?"
"He, darimana kau tahu ?" Jlitheng pura-pura bertanya.
Kawan-kawannya tertawa. Tetapi tidak seorangpun
diantara mereka yang dapat membayangkan wajah gadis itu
dengan tepat. Seperti anak-anak muda Lumban Kulon yang
tidak ikut bersama mereka, maka bayangan tentang gadis
perantau itu adalah sangat buram.
Dalam pada itu Jlithengpun kemudian berkata, "Besok aku
akan mulai. Tetapi tentu hanya sekedar di waktu-waktu
senggang dan jika badan tidak terasa penat. Namun demikian,
aku tidak sampai hati melihat kedua orang itu terlalu lama
berada di hutan itu. Jika udara dingin malam hari mulai
menyelimuti pepohonan, maka merekapun menjadi basah oleh
embun." "Apakah laki-laki itu sudah teramat tua?" bertanya
seseorang. "Belum tua sekali. Tetapi tenaganya tentu sudah jauh
susut," jawab Jlitheng.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Salah seorang dari
mereka berkata, "Biarlah aku ikut membantumu disaat-saat
senggang pula." Jlitheng tersenyum kecut. Ia masih sempat pula berkelakar.
"Tetapi jangan karena gadis yang manis itu."
Suara tertawa terdengar diantara mereka. Tetapi salah
seorang dari mereka segera berkata, "Aku akan kesawah. Pagi
ini kerjaku hanya berjalan hilir mudik saja. Bukankah hari ini
kita belum akan mulai dengan gubug itu?"
Jlitheng menggeleng. Jawabnya, "Tentu belum."
"Nah, jika kau akan mulai kapan saja, dan jika kau


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memerlukan aku, panggillah aku. Aku sudah mengatakan
bahwa aku bersedia membantu."
"Terima kasih," jawab Jlitheng.
"Sekarang, bukankah kita masing-masing mempunyai
pekerjaan ?" desis anak muda itu.
"Silahkan," sahut Jlitheng, "akupun akan pergi kesawah
juga." Anak-anak muda itupun kemudian meninggalkan Jlitheng
kepekerjaan masing-masing. Namun mereka telah
menyatakan diri, bersedia membantu rencana Jlitheng, pada
saat Jlitheng akan mulai dan diwaktu-waktu mereka yang
terluang. Yang tinggal digardu itu kemudian tinggal Jlitheng sendiri.
Anak-anak Lumban Kulonpun telah pergi pula kesawah
mereka masing-masing. Pada saat Jlitheng sudah mulai melangkah untuk pergi
kesawahnya pula, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang
memanggilnya. Dengan serta merta iapun berpaling.
Dilihatnya Daruwerdi berjalan tergesa-gesa mendekatinya.
Jlitheng bergeser kembali dan duduk dibibir gardu. Sambil
tersenyum ia bertanya, "Kau nampak tergesa-gesa " Apakah
ada sesuatu ?" "Aku memang mencarimu," jawab Daruwerdi.
"Mencari aku ?" Jlitheng mengerutkan keningnya, "apakah
kau mempunyai kepentingan?"
Daruwerdipun kemudian duduk pula disamping Jlitheng.
Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia mulai
bertanya, "Apakah benar kau bertemu dengan dua orang
perantau di lereng bukit itu ?"
"Ya, kenapa ?" Jlitheng mengerutkan keningnya.
"Seorang laki-laki tua dan seorang gadis ?"
"Ya." Daruwerdi mengangguk-angguk. Seperti kepada diri sendiri
ia berdesis, "Jadi keduanya masih dibukit itu."
"Kau pernah melihat mereka ?" Jlitheng pura-pura
bertanya. "Ya. Aku pernah menolong mereka ketika mereka hampir
diterkam oleh seekor harimau. Tetapi aneh sekali bahwa
keduanya justru berada dihutan yang hampir menelan mereka
itu," desis Daruwerdi.
"Apa yang telah terjadi ?" Jlitheng masih berpura-pura.
Daruwerdipun kemudian berceritera tentang seekor
harimau yang garang. Untunglah ia melihatnya dan sempat
menolongnya. "Aku kira keduanya telah pergi," gumam Daruwerdi.
"Aku bertemu dengan mereka ketika aku sedang mencari
kayu." "Kau juga gila. Kenapa kau mencari kayu dihutan yang
dapat membahayakan dirimu " Dihutan itu ada beberapa ekor
harimau. Dan kedua orang perantau itu nampaknya juga gila
seperti kau." Jlitheng mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Aku sudah sering sekali mencari kayu dihutan itu.
Bukankah kau tahu juga kebiasaanku itu " Baru sekali aku
bertemu dengan seekor harimau yang nampaknya akan
berbuat jahat. Tetapi aku dapat memanjat. Dan ternyata
harimau itu tidak menunggui aku terlalu lama."
"Apakah nilai kayu bakar yang kau dapat dihutan itu lebih
besar dari nyawamu ?" bertanya Daruwerdi.
Jlitheng mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
justru bertanya, "Apakah aku akan menukarkan nyawaku
dengan kayu bakar?" Daruwerdi meloncat turun dari bibir gardu sambil
bergumam, "Kau memang anak yang dungu. Sudah tentu
bukan begitu maksudku. Tetapi aku hanya memberimu
peringatan, bahwa kau dapat saja diterkam harimau."
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mudahmudahan
tidak Daruwerdi. Kau membuat aku menjadi cemas.
Selama ini aku tidak pernah memikirkan hal itu. Tetapi tibatiba
saja aku menjadi cemas."
"Nah, katakan pula kepada kedua orang perantau itu.
Suruhlah mereka pergi saja dari lereng bukit. Tetapi kalau
mereka memaksa untuk tinggal, suruhlah ia mendekati
padukuhan ini agar mereka tidak akan menyesal."
Jlitheng mengangguk-angguk. Jawabnya, "Aku akan
mencoba memperingatkan mereka, agar mereka tinggal
dibawah bukit saja."
Daruwerdipun kemudian melangkah pergi sambil berkata,
"Terserah kepadamu." lalu, "Sore nanti aku akan datang
kebukit gundul itu. Bukankah anak-anak minta aku
memberikan sedikit petunjuk tentang olah kanuragan ?"
"Ya. Aku juga akan datang. Tetapi apakah aku mungkin
akan dapat berkelahi seperti kau?"
Daruwerdi yang sudah melangkah menjauh berhenti
sejenak. Sambil berpaling ia berkata, "Kau memang anak yang
paling dungu diseluruh Lumban Wetan dan Lumban Kulon.
Sampai matipun kau tidak akan dapat menyadap ilmu sejauh
itu. Bahkan seandainya kau mempunyai seorang guru yang
mumpuni sekalipun." Jlitheng tidak menjawab. Dipandanginya saja Daruwerdi
yang berjalan menjauh. Namun tiba-tiba saja Jlitheng berlariTiraikasih
lari menyusulnya sambil berkata, "He, Daruwerdi. Apakah
benar Nugata minta kepada ayahnya untuk dibelikan seekor
kuda yang besar dan tegar?"
Daruwerdi berhenti. Sambil mengerutkan keningnya ia
bertanya, "Siapa yang mengatakannya ?"
"Anak-anak Lumban Kulon."
"Itu adalah pertanda bahwa mereka tidak mempunyai
pekerjaan lain daripada membicarakan kawan-kawan mereka
sendiri. Itu bukan urusanku. Dan aku tidak akan mengurusnya
pula meskipun ia akan membeli sepuluh atau duapuluh ekor
lagi." Jlitheng berdiri termangu-mangu. Sementara itu
Daruwerdipun melangkah pula menjauh dan hilang ditikungan.
Sepeninggal Daruwerdi J litheng menggeliat seperti orang
yang baru bangun dari tidur yang nyenyak semalam suntuk.
Bibirnya nampak tersenyum, namun tidak sepatah katapun
yang diucapkannya meskipun bagi dirinya sendiri.
Sejenak kemudian iapun dengan tergesa-gesa pula
meninggalkan tempat itu. Disepanjang jalan seolah-olah
membayang sekilas di kepalanya beberapa orang anak muda
yang menarik perhatiannya di padukuhan Lumban Wetan dan
Lumban Kulon. Anak-anak muda yang dengan serta merta
bersedia membantunya. Kemudian wajah yang cerah dan
terbuka dari anak Ki Buyut di Lumban Wetan yang bernama
Kumbara. Disusul kemudian wajah yang acuh tak acuh dari
putera Ki Buyut di Lumban Kulon. Yang terakhir adalah wajah
Daruwerdi yang tampan dan bersungguh-sungguh.
Jlitheng melangkah semakin cepat. Sambil tersenyum ia
berkata kepada diri sendiri, "Lalu bagaimana dengan wajahku
sendiri?" Seperti kawan-kawanya Jlithengpun kemudian menengok
sawahnya. Tetapi tidak banyak yang dapat dikerjakan.
Sawahnya adalah sawah yang kurang baik seperti pada
umumnya sawah di Lumban Wetan dan Lumban Kulon, yang
menggantungkan air pada hujan yang jatuh dimusim basah.
Disiang hari, ketika kawan-kawannya pulang kerumah
masing-masing, maka Jlithengpun justru pergi ke sungai.
Kepada seorang kawannya ia berpesan agar disampaikannya
kepada biyungnya, bahwa ia akan mencuci pakaiannya."
Tetapi setelah sawah menjadi sepi dipanasnya terik
matahari, Jlithengpun telah pergi menyusuri sungai yang
hampir tidak mengalir lagi dan apalagi dibatasi oleh tebing
yang tinggi, mendekati bukit yang berhutan dan menyimpan
mata air yang deras. Tidak ada harapan untuk dapat memanfaatkan sungai kecil
yang dibatasi oleh tebing itu dimusim kemarau. Namun tibatiba
Jlitheng berhenti sejenak. Dipandanginya tebing sungai itu
serta batu-batu yang berserakan. Katanya didalam hati,
"Untuk sementara air yang melimpah itu dapat disalurkan
lewat sungai kecil ini. Yang perlu dilakukan kemudian adalah
menyekat sungai ini dengan beberapa bendungan untuk
menaikkan airnya kesawah."
Tetapi Jlitheng tidak yakin bahwa itu adalah cara yang
terbaik. Mungkin Kiai Kanthi mempunyai cara tersendiri.
Dengan berlari-lari kecil, Jlitheng memanjat tebing diantara
pepohonan hutan. Setelah meloncati batu-batu padas yang
terjal dan memanjat lereng yang bagaikan dinding, akhirnya ia
sampai kedataran ditepi kolamyang berair melimpah.
"O, marilah ngger," Kiai Kanthi mempersilahkan.
Jlitheng mengangguk hormat. Sekilas ia memandang
kesekelilingnya. Dilihatnya Swasti sedang duduk
membersihkan buah gayam yang sudah tua dengan belanga
yang dibawanya. Jlitheng mengerutkan keningnya. Meskipun Swasti t idak
mengacuhkannya seperti biasa, tetapi seolah-olah ia baru
dapat melihat wajah gadis itu dengan jelas saat itu.
Tetapi ia tidak berani terlalu lama memandanginya, karena
iapun kemudian dipersilahkan oleh Kiai Kanthi duduk diatas
sebuah batu yang nampaknya telah disediakan.
"Silahkan. Aku memang telah menyediakan beberapa
tempat duduk yang khusus," berkata Kiai Kanthi sambil
tersenyum. "Kiai," berkata Jlitheng setelah mereka duduk berhadapan,
"aku telah menghadap Ki Buyut Lumban Wetan dan Lumban
Kulon. Keduanya menyatakan tidak berkeberatan untuk
mengijinkan Kiai membuat sebuah gubuk kecil dilereng bukit.
Namun persoalannya, setiap orang mencemaskan nasib Kiai
berdua, jika seekor harimau datang menerkam Kiai atau
Swasti." "Aku memang menunggu seekor harimau yang akan
menerkam aku," t iba-tiba saja Swasti menggeram.
Jlitheng memandang Swasti sejenak. Tetapi Swasti tetap
duduk sambil membersihkan buah gayam yang akan
direbusnya, tanpa mengangkat wajahnya.
Kiai Kanthi tersenyum melihat sikap anak gadisnya. Namun
kemudian katanya, "Kau salah mengerti Swasti. Tentu saja
maksud angger yang memilih mempergunakan gelar Jlitheng
ini bukan benar-benar mencemaskan nasib kita berdua jika
ada seekor harimau yang tersesat kemari. Tetapi bukankah
kita tidak akan menepuk dada dihadapan orang-orang Lumban
sambil mengatakan bahwa kami tidak takut menghadapi
harimau, bahkan sepasang sekalipun" Jika ada kesan
demikian, maka orang-orang Lumban tentu akan mencurigai
kita, sehingga maksud kita untuk menemukan tempat baru
yang tenang dan wajar, seperti kehidupan orang banyak
dalam hubungan bertetangga tentu akan menjadi baur lagi.
Orang-orang Lumban akan menganggap kita orang lain, atau
orang yang tidak sewajarnya berada dalam pergaulan diantara
mereka." Swasti masih tetap pada sikapnya. Ia sama sekali tidak
mengangkat kepalanya dan apalagi berpaling.
"Karena itu ngger," berkata Kiai Kanthi, "peringatan itu
tentu seharusnya kita perhatikan. Kita harus melakukan
sesuatu yang dapat mereka mengerti tanpa menimbulkan
masalah baru." "Kiai," berkata Jlitheng, "Daruwerdi menyarankan, agar Kiai
tinggal dekat dengan padukuhan, sehingga tidak akan
mendapat gangguan binatang buas dihutan ini. Tetapi aku
berpikir, jika demikian, maka usaha Kiai tentu akan sedikit
terganggu oleh jarak."
"Kau benar ngger. Usahaku mengalirkan sekaligus
menguasai air itu akan menjadi semakin berat, karena aku
tidak dapat menungguinya setiap saat."
"Karena itu Kiai. Untuk memenuhi keduanya, aku
berpendapat, bahwa sebaiknya Kiai membuat sebuah
padepokan kecil dibawah bukit ini. Jarak antara gubug yang
akan dibangun dengan belumbang ini tidak terlalu jauh,
sementara kecurigaan dan kecemasan orang-orang Lumban
sudah berkurang." Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Dipandanginya Swasti
sejenak. Tetapi ia nampaknya tidak mendengarkan
percakapan itu. "Anak bengal," desis Kiai Kanthi lirih.
"Selebihnya Kiai," berkata Jlitheng kemudian, "sebelum Kiai
berhasil menyusun jalur parit yang sesuai dengan keinginan
Kiai, maka apakah Kiai sependapat, jika kita memanfaatkan
sungai kecil yang hampir kering itu untuk menampung air
yang melimpah itu." Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Sementara Jlitheng
meneruskan, "Kita akan dapat menyekat sungai itu dibeberapa
tempat dengan bendungan-bendungan kecil dan mengangkat
airnya kesawah dan ladang."
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada
itu terdengar Swasti berkata dengan nada dalam, "Tentu
untuk kepentingan orang Lumban."
Jlitheng mengerutkan keningnya. Sekilas dilihatnya wajah
Kiai Kanthi yang buram. Namun kemudian orang tua itu
tertawa kecil sambil berkata, "Angger. Setiap orang dilandasi
oleh kepentingan diri yang dapat sama, tetapi dapat berbeda
dengan orang lain. Yang berbeda itu kadang-kadang dapat
menimbulkan persoalan jika yang satu memaksakan
kepentingannya sendiri terhadap yang lain. Tetapi yang
mempunyai kepentingan yang samapun dapat juga
berbenturan karena mereka berebut kepentingan."
Jlitheng termangu-mangu mendengar kata-kata Kiai Kanthi.
Tetapi ia masih tetap menunggu penjelasannya.
"Angger. Dengan jujur aku ingin mengatakan, bahwa
penguasaan air yang melimpah itu pertama-tama tentu karena
kepentingan pribadiku. Aku berjalan menyusuri arus dibawah
tanah dengan suatu keinginan untuk menemukan air, sokur
sumbernya, untuk mengaliri suatu padepokan yang akan aku
bangun kemudian. Dan atas petunjuk angger, aku dapat
sampai ketempat ini," Kiai Kanthi berhenti sejenak, lalu,
"Karena itulah maka sampai saat ini aku masih memimpikan
sebuah padepokan yang dikelilingi oleh tanah persawahan dan
ladang secukupnya, yang dialiri oleh air tanpa henti disegala
musim. Bahkan jika mungkin sebuah belumbang untuk
memelihara jenis-jenis ikan yang dapat menghiasi halaman
dan kebun, tetapi juga dapat menghasilkan bagi hidup kami


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehari-hari." Jlitheng mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti maksud
Kiai Kanthi sehingga karena itulah maka ia tidak memotong
kata-kata orang tua. "Meskipun demikian ngger," berkata Kiai Kanthi
selanjutnya, "aku sudah barang tentu tidak akan dapat ingkar
pada suatu kewajiban untuk berbuat sesuatu bagi kepentingan
lingkungannya. Dalam hal ini, sudah tentu adalah
lingkunganku yang baru. Karena itu, maka aku tidak
berkeberatan untuk menyalurkan air kedalam sungai kecil itu,
setelah melalui padepokan yang masih ada didalam angananganku
itu." Jlitheng masih mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Aku mohon maaf Kiai jika ada sesuatu yang kurang sesuai
dengan jalan pikiran Kiai. Tetapi menurut pendapatku, apa
yang Kiai katakan itupun merupakan pemecahan yang baik.
Air itu akan mengalir kesawah ladang disekitar padepokan
Kiai, akan dialirkan atau katakan dengan istilah lain, akan
dibuang kesungai kecil itu."
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Namun kemudian
sambil tersenyum ia menjawab, "Ya. Begitulah kira-kira."
"Jadi menurut Kiai, yang manakah yang akan kita kerjakan
lebih dahulu. Menguasai dan mengarahkan arus air itu, atau
membuat suatu padepokan dengan membuka hutan dilereng
bukit ini lebih dahulu."
Kiai Kanthi termenung sejenak. Kemudian katanya masih
sambil tersenyum, "Kau memang cerdik ngger. Aku menjadi
bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi nampaknya
aku harus menjawab, bahwa aku akan berusaha menguasai
air lebih dahulu meskipun aku belum mempergunakannya,
karena sawah dan ladang itu memang belum ada. Tetapi aku
ingin mendapat gambaran tentang sawah dan ladang itu kelak
sehingga arus air itu sudah dapat ditentukan, tanpa
menunggu sawah dan ladang itu sendiri."
Jlithengpun tersenyum pula. Jawabnya, "Kira-kira memang
demikian Kiai. Kita akan segera menanam patok."
Dalam pada itu wajah Swastipun menjadi gelap. Dengan
demikian, maka orang-orang Lumban mungkin akan
mempergunakan air itu lebih dahulu sebelum Kiai Kanthi
mempergunakannya. Tetapi Swasti tidak mengatakan sesuatu. Bagaimanapun
juga ia harus mempertimbangkan kesediaan Jlitheng untuk
membantu membuat sebuah gubug yang dapat
dipergunakannya untuk sementara, sebelum mereka dapat
membangun sebuah padepokan yang tentu akan memerlukan
waktu yang panjang. Dalam pada itu, Jlithengpun kemudian minta diri setelah ia
berjanji untuk datang dihari berikutnya bersama satu dua
orang kawannya. "Besok kita akan mulai Kiai," berkata Jlitheng sambil
melangkah. "Terima kasih ngger. Aku senang sekali."
Jlitheng tersenyum. Ketika ia berpaling memandang Swasti
gadis itu sama sekali tidak beringsut.
"Aku minta diri Swasti."
Tanpa mengangkat wajahnya gadis itu menjawab, "Terima
kasih." "Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
berkata apapun juga tentang anak gadisnya itu.
Seperti yang dikatakan Jlitheng, maka iapun telah bersetuju
dengan empat orang kawannya yang sudah sempat
membantunya untuk datang di lereng bukit itu menjelang
matahari terbit. Namun disore hari, ketika anak-anak muda
berkumpul di dekat bukit padas yang gundul, Jlitheng tidak
mengatakannya kepada orang lain. Kepada keempat
kawannya itu ia berkata, "Jangan terlalu banyak lebih dahulu.
Kita akan menjajagi, apakah yang akan kita kerjakan."
Seperti yang dijanjikan, Daruwerdi telah datang pula
ketempat itu. Ia bersedia untuk mengajari anak-anak muda
dari Lumban Kulon dan Lumban Wetan untuk berlatih dalam
olah kanuragan. "Bagaimana ia dapat mengajari anak-anak muda ini,"
berkata Jlitheng didalam hatinya ketika ia melihat anak-anak
muda yang jumlahnya terlalu banyak.
Namun ternyata bahwa Daruwerdi mempunyai
kebijaksanaan tersendiri. Ketika anak-anak sudah berkumpul
ditempat itu, maka iapun berdiri diatas sebuah batu padas dan
mengucapkan sesorah singkat. Ia bersiap memberikan
tuntunan olah kanuragan, tetapi anak-anak muda Lumban
harus bersungguh-sungguh.
Anak-anak muda Lumban menjawab saur-manuk.
"Tetapi tidak mungkin untuk berlatih bersama dalamjumlah
ini," berkata Daruwerdi, "aku akan membagi menjadi tiga
kelompok besar. Kelak, jika kalian akan mempelajari ilmu yang
lebih dalam lagi, kelompok-kelompok itu akan terbagi menjadi
semakin kecil." Daruwerdipun kemudian membagi anak-anak muda
Lumban itu menjadi kelompok besar yang setiap kali akan
diajarinya berurutan kelompok demi kelompok.
Yang kemudian menjadi persoalan bagi Jlitheng, bagaimana
ia dapat berbuat diantara anak-anak muda itu, sehingga
Daruwerdi tidak dapat mengenali tata geraknya. Betapapun ia
memperbodoh diri dalam sikap pura-pura namun ia masih
juga cemas, bahwa Daruwerdi akan dapat melihat, bahwa
sebenarnya ia sudah mempunyai bekal ilmu olah kanuragan.
"Mudah-mudahan aku berhasil mengelabuinya," berkata
Jlitheng didalamhatinya. Karena itulah, maka dihari itu, Jlitheng yang mendapat
giliran dihari ketiga, justru memperhatikan dengan saksama,
bagaimana anak-anak muda Lumban yang belum memiliki
bekal sama sekali itu mengikuti tuntunan Daruwerdi.
Kadang-kadang Jlitheng harus menahan senyum melihat
gerak-gerak yang menurut pendapatnya aneh dan lucu. Tetapi
ia sadar, bahwa sikap yang demikian itulah yang harus
dilakukannya pula. Ternyata bahwa dihari itu anak-anak Lumban telah berlatih
dengan sebaik-baiknya. Rasa-rasanya matahari terlalu cepat
turun dan hilang dibalik pegunungan, sehingga waktu rasaraisanya
berjalan terlampau laju. Jlitheng memperhatikan perkembangan keadaan di Lumban
itu dengan pertimbangan yang dalam. Ia tidak dapat
mengkesampingkan pendapat Ki Buyut di Lumban Kulon,
bahwa latihan-latihan itu akan dapat dianggap oleh orangorang
yang memusuhi Daruwerdi, seolah-olah setiap anak
muda di Lumban telah melibatkan diri.
"Tetapi ini adalah suatu permulaan dari perubahanperubahan
yang akan terjadi di Lumban," berkata Jlitheng
kepada dirinya sendiri, "dengan perubahan-perubahan yang
sedikit demi sedikit, maka akhirnya Lumban t idak akan
tenggelam didalam suasana masa lampau tanpa
menghiraukan masa depannya."
Selebihnya Jlitheng memang mengharap, bahwa perhatian
anak-anak muda kebanyakan akan tertuju pada olah
kanuragan. Hanya anak-anak muda dalam jumlah yang
terbatas sajalah yang akan memperhatikan dua orang
perantau yang akan membuka sebuah padepokan dilereng
bukit. "Tetapi pada saatnya, semuanya akan diperlukan," berkata
Jlitheng didalam hatinya, "untuk menguasai air itu diperlukan
semua orang dipadukuhan Lumban Wetan dan Lumban
Kulon." Didini hari berikutnya, Lumban bersama empat orang
kawannya, dengan diam-diam telah pergi kebukit dengan
membawa beberapa macam alat yang akan dipergunakan
untuk membangun sebuah gubug kecil. Tidak seperti yang
biasa dilakukan oleh Jlitheng jika ia memanjat seorang diri,
melalui tebing tebing curam dan meloncati batu-batu padas,
tetapi ia memilih jalan setapak yang lebih baik agar kawankawannya
tidak mengalami kesulitan meskipun dengan
demikian perjalanan mereka akan bertambah panjang.
Keempat kawan Jlitheng itu menjadi heran ketika mereka
melihat dan kemudian diperkenalkan kepada Swasti. Mereka
menyangka Swasti adalah seorang gadis perantau yang kusut,
kurus dan sakit-sakitan. Tetapi ternyata Swasti adalah gadis
yang nampak sehat dan segar, meskipun pemalu.
"Seperti yang aku janjikan kemarin Kiai," berkata Jlitheng
kemudian, "kami akan dapat mulai dengan kerja ini."
"Terima kasih ngger. Terima kasih. Tetapi apakah yapg
dapat aku pergunakan untuk menyediakan minum jika kalian
haus, dan apa pula yang ada padaku, jika angger menjadi
letih dan lapar." Jlitheng tertawa mendengar pertanyaan Kiai Kanthi.
Jawabnya, "Tentu kami mengerti Kiai, bahwa Kiai tidak akan
dapat menyediakannya buat kami. Tetapi sudah barang tentu
kami tidak akan mengharapkan sesuatu yang akan dapat
menyulitkan Kiai. Jika Swasti mendapatkan banyak gayam dan
merebusnya, itupun sudah memadai buat kami semuanya,
karena kamipun senang sekali makan gayamrebus."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata, "Terima kasih ngger. Terima kasih."
Dalam pada itu, maka Jlithengpun segera mengajak kawankawannya
untuk mulai bekerja. Yang pertama-tama mereka
lakukan adalah memotong dahan-dahan kecil dan
diruncingkannya ujungnya untuk membuat patok-patok yang
akan menandai daerah yang akan dibangun untuk sebuah
padepokan kecil. Dengan patok-patok itu, maka sudah akan
didapat gambaran, apakah yang akan terjadi kelak di lereng
bukit itu. Sehingga dengan demikian, maka arus air yang akan
mengalir lewat padepokan itupun akan dapat pula ditentukan
arahnya. Kiai Kanthipun ikut serta pula membuat patok-patok kayu
dan menyiapkan sebuah rancangan yang mereka
perbincangkan bersama sambil memotong dan meruncingkan
patok-patok kayu itu. "Aku kira sudah cukup untuk kali ini," berkata Jlitheng
kemudian, "marilah kita turun dan menanam patok-patok ini
setelah kita memperhitungkan segala segi dan
kemungkinannya." Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia
berpaling kepada Swasti yang duduk dimuka perapian.
Meskipun Swasti tidak berpaling, karena sikapnya yang seolaholah
acuh t idak acuh, tetapi orang tua itu melihat bahwa ada
sesuatu yang terasa tergetar dihati gadisnya.
Karena itu, maka iapun kemudian mendekatinya sambil
berbisik, "Bagaimana pikiranmu tentang rencana ini ?"
"Ayah lebih senang berbicara dengan anak itu daripada
dengan aku." sungut gadis itu.
"Ah, jangan begitu Swasti. Bukankah kita berterima kasih
atas uluran tangan yang diberikan oleh angger Jlitheng. Dan
kau sudah mendengar pula pengakuannya serba sedikit,
kitapun harus memperhitungkannya pula. Ia bukan anak
Lumban seperti yang lain-lain. Tentu iapun mempunyai
perhitungan yang mapan, bukan sekedar ikut-ikutan seperti
anak-anak muda Lumban yang lain."
"justru karena itu ayah. Mungkin kita akan terjebak pada
rencananya." "Jangan terlampau berprasangka Swasti. Tetapi bahwa ia
telah mencoba menjajagi kemampuanmu itu ada pula baiknya.
Ia tidak akan menganggap kita sekedar penurut yang tidak
mempunyai sikap." "Tetapi sampai sekarang ayah benar-benar seorang
penurut," desis Swasti.
"Itupun telah aku perhitungkan Swasti. Ia lebih banyak
kesempatan bergaul dengan orang-orang Lumban, dengan Ki
Buyut dan anak-anak mudanya. Tentu sikap dan
pandangannya mempunyai hubungan dengan lingkungan yang
sedang dihayatinya sekarang."
Swasti tidak menjawab lagi. Pandangan matanya seolaholah
telah terlekat pada perapian yang menyala ditungku yang
dibuatnya dari batu. "Hati-hatilah tinggal disini Swasti. Aku akan turun bersama
anak-anak muda itu. Tentu tidak terlalu jauh, karena aku tidak
ingin membuat padepokan didekat salah satu dari padukuhan
kecil yang termasuk Lumban Wetan atau Lumban Kulon."
Swasti mengangguk kecil. Meskipun ia tidak
mengatakannya, tetapi Kiai Kanthi dapat merasakan, bahwa
gadis itu masih belum puas dengan jawaban-jawaban yang
telah diberikannya. Namun Kiai Kanthipun tidak akan memperbincangkan
terlalu panjang. Jlitheng dan kawan-kawannya telah
menunggu sambil mengikat patok-patok kayu yang telah
mereka siapkan. Ketika Kiai Kanthi mendekati anak-anak muda Lumban,
maka anak-anak muda itu sudah selesai mengikat patok-kayu
yang akan mereka bawa turun untuk menelusuri tempat
seperti yang sudah mereka perbincangkan. Tempat yang
barangkali paling baik untuk membuat sebuah padepokan.
Masih dilereng bukit, tetapi ditempat yang datar dan agak
luas. Dibawah dataran itu akan dapat dibuka selembar tanah
persawahan dan ladang yang cukup.
"Bagaimana dengan Swasti, "Jlithenglah yang kemudian
bertanya. "Biarlah ia merebus Gayam dan barangkali merebus air
yang akan dapat kita minum, meskipun benar-benar hanya air
putih," jawab Kiai Kanthi.
"Tetapi, apakah itu tidak berbahaya baginya ?" bertanya
anak muda yang lain. "Ia pandai memanjat," jawab Kiai Kanthi, "jika ada binatang
buas mendekat, maka ia akan memanjat dan tidur diatas
dahan sampai binatang itu pergi. Dan aku kira jarang sekali
ada seekor binatang buas yang mendekati manusia jika tidak
terpaksa sekali." "Seperti yang pernah aku ceriterakan," potong Jlitheng.
Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk kecil. Sekilas
dipandanginya Swasti yang sama sekali tidak acuh terhadap
mereka yang sibuk dengan kerja itu, namun ada semacam
kekhawatiran untuk meninggalkan gadis itu seorang diri.
Tetapi ketika anak-anak muda itu melihat ayah Swasti tidak
mencemaskannya, maka merekapun mencoba untuk tidak
mencemaskannya pula.

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak kemudian, maka Kiai Kanthi, Jlitheng dan beberapa
orang kawannya telah meninggalkan tempat itu, sementara
Swasti masih tetap duduk ditcmpatnya tanpa berpaling.
Beberapa saat lamanya, Jlitheng dan kawan-kawannya
menuruni tebing. Seperti saat mereka memanjat naik, maka
Jlitheng telah memilih jalan yang paling mudah untuk dilalui,
karena kawan-kawannya bukannya orang terlatih untuk
mendaki bukit, menuruni lereng terjal dan ketrampilan
kanuragan yang lain. Tetapi mereka tidak perlu mencari-cari lagi. Mereka telah
membicarakan, bagian yang manakah yang akan mereka
tandai, sebagai tempat yang akan dibangun sebuah
padepokan, dan kelak dibawahnya untuk membuka tanah
persawahan dan ladang. Dalam pada itu, Swasti masih tetap duduk dimuka
perapiannya. Ia mencoba memikirkan masa depan yang belum
terbentuk baginya. Namun sebagai seorang gadis, maka iapun
mulai berangan-angan. Sekali-kali tangannya menyentuh
ranting-ranting kecil yang sedang menyala. Dengan jarijarinya
yang panjang gadis itu kemudian bermain dengan
bara-bara kecil yang pecah menjadi abu yang panas.
Tetapi tangan Swasti agak terbiasa dengan panas,
dipadepokannya yang lama. ia berlatih dengan pasir. Mulamula
pasir ditepian sungai. Jika tidak seorangpun yang ada
ditepian, maka mulailah ia menusuk-nusuk pasir dengan jarijarinya.
Namun kemudian ayahnya memberikan latihan-latihan
yang lebih berat. Pasir itu dipanasinya dan latihan-latihan
berikutnya dilakukan ditempat tersembunyi.
Karena itulah, maka jari-jari Swasti bukannya jari-jari
seorang gadis yang halus dan lentik. Namun setiap orang
tentu mengira, bahwa gadis itu terlalu banyak bekerja berat,
sehingga jari-jarinya menjadi kasar.
"Namun dalam pada itu, Swasti terkejut ketika ia
mendengar desir mendekat. Telinganya yang terlatih segera
mengetahui, bahwa seseorang sedang berjalan kearahnya.
Bukan seseorang yang dengan bersembunyi merunduknya,
tetapi seseorang yang berjalan agak cepat.
Swasti selalu ingat pesan ayahnya, agar ia tidak
memperlihatkan kemampuannya kepada orang-orang lain.
Bahkan ayahnyapun selalu berusaha untuk merendahkan diri
dalam olah kanuragan. Karena itulah, maka untuk mempersiapkan diri, ia berpurapura
melakukan sesuatu. Perlahan-lahan ia berdiri dan
melangkah mengambil seonggok kayu kering untuk dibawa
kedekat perapian. Tetapi Swasti kemudian berdiri tegak sambil
menggeliat setelah ia melemparkan seonggok kayu itu.
Bagaimanapun juga gadis itu harus mempersiapkan diri,
karena yang ada ditempat itu hanyalah ia sendiri. Tanpa
ayahnya dan tanpa orang lain.
Swasti tahu pasti dari arah mana suara itu datang. Dan
iapun ternyata telah berdiri menghadap kearah itu.
Tetapi Swasti menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
seseorang yang menyibakkan dedaunan. Seseorang yang
pernah dilihatnya disaat ia datang lewat bulak persawahan di
Lumban. Kemudian orang itu datang lagi untuk menolongnya
dari kegarangan seekor harimau hampir bersamaan waktunya
dengan kedatangan Jlitheng. Tetapi karena Jlitheng kemudian
berhasil melihat permainan ayahnya yang menekan pusat
nadinya, sehingga ia tidak dapat berbuat banyak, maka
Jlitheng sama sekali t idak menampakkan dirinya pada saat itu
"Daruwerdi," ia berdesis didalamhatinya.
Sementara itu Daruwerdi telah berdiri termangu-mangu.
Dilihatnya Swasti menundukkan kepalanya dalam-dalam tanpa
menyapanya. "He, bukankah kau gadis perantau itu ?" Daruwerdilah yang
kemudian bertanya. "Ya," jawab Swasti pendek.
"Dimana kakek tua itu?"
"Pergi." Daruwerdi mengerutkan keningnya. Jawab gadis itu terlalu
pendek bagi pertanyaan-pertanyaannya. Namun Daruwerdi
mencoba untuk mengerti, bahwa gadis itu tentu jarang
bergaul dan merasa rendah diri.
"Kemana kakek tua itu " Maksudku, pergi kemana ?" desak
Daruwerdi. Swasti termangu-mangu sejenak. Namun iapun mengerti,
bahwa kehadirannya tentu bukannya rahasia lagi bagi orangorang
Lumban. Ternyata Jlitheng telah membawa kawankawannya
dan bahkan ia sudah minta ijin kepada Ki Buyut di
Lumban Wetan dari Lumban Kulon.
Karena itu, maka jawabnya kemudian, "Ayah pergi bersama
Jlitheng." "Dengan Jlitheng," Daruwerdi mengerutkan keningnya,
"hanya berdua?"
"Tidak," jawab Swasti masih terlalu pendek, sehingga
Daruwerdi mendesaknya, "Dengan siapa lagi?"
"Anak-anak muda dari Lumban. Tiga atau empat orang."
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah
mendengar rencana Jlitheng untuk membantu orang tua itu
membuat sebuah gubug kecil.
"Dan kau sekarang sendiri?" bertanya Daruwerdi tiba-tiba.
Swasti menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian sambil
mengangguk ia menjawab, "Ya, aku seorang diri."
"Gila. Kau sudah gila. Dan kakek itupun sudah gila.
Bukankah kau hampir mati dikunyah harimau saat kau datang
beberapa hari yang lalu " Dan sekarang kau ditinggalkan
seorang diri disini?"
Swasti kebingungan sejenak. Tetapi jawabnya kemudian
seperti yang sering diucapkan ayahnya, "Aku dapat memanjat.
Jika ada seekor harimau yang datang, aku akan memanjat
pohon itu sampai harimau itu pergi."
"Kalian memang orang-orang yang tidak mengerti bahaya
yang selalu merundukmu. Kedunguanmu itu dapat
membunuhmu." Swasti tidak menjawab. Tetapi kepalanya tunduk semakin
dalam. Sekali-kali ia memandang ujung kaki Daruwerdi.
Meskipun kaki itu kotor oleh lumpur, namun ia melihat kulit
anak muda itu agak berbeda dengan kebanyakan anak-anak
muda Lumban. Kulit Daruwerdi nampak lebih kuning dan
cerah. Tetapi Swasti tidak berani mengangkat wajahnya dan
memandang tubuh Daruwerdi lebih tinggi lagi, selain mata
kakinya. "Sebaiknya kalian meninggalkan tempat ini," berkata
Daruwerdi tiba-tiba, "daripada kalian membuat gubug kecil
diantara daerah perburuan beberapa ekor harimau, kenapa
kalian t idak tinggal saja dekat padukuhan" Apakah Jlitheng
tidak pernah mengatakannya demikian?"
Swasti mengangguk kecil. Jawabnya, "Ya."
"Ya " Ya, apa yang kau maksud ?"
"Jlitheng pernah berkata demikian."
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Gadis ini agaknya
terlalu sulit untuk diajak berbicara. Karena itu, maka katanya,
"Kearah mana kakek itu pergi?"
Swasti termangu-mangu sejenak. Namun tatapan matanya
mengarah ke semak-semak yang tersibak.
"Kesana maksudmu?" desak Daruwerdi. Swasti
mengangguk kecil. Daruwerdi tidak menunggu lebih lama lagi. Tanpa, minta
diri, iapun segera meloncat menyusup kedalam gerumbul-geTiraikasih
rumbul perdu diantara pepohonan hutan, dan kemudian
menghilang. Sejenak Swasti termangu-mangu. Daruwerdi mempunyai
kelainan dengan anak-anak muda di Lumban. Sikapnya, katakatanya
dan pakaiannya. "Jlitheng juga bukan anak Lumban," tiba-tiba saja Swasti
memperbandingkan keduanya diluar sadarnya, "tetapi Jlitheng
telah luluh dan menyatu dengan anak-anak muda Lumban,
sedangkan Daruwerdi nampaknya masih tetap memelihara
jarak itu." Swasti mengerutkan keningnya sejenak. Kemudian
ia bertanya kepada diri sendiri, "Tetapi apakah Daruwerdi
mengenal siapakah Jlitheng sebenarnya ?"
Namun dalam pada itu, ketika Swasti menyadari apakah
yang sedang diangan-angankan, wajahnya terasa menjadi
panas. Meskipun tidak ada seorangpun, tetapi rasa-rasanya
setiap lembar daun memandanginya sambil tersenyum. Seekor
burung yang berkicau diatas dahan yang rendah rasa-rasanya
telah menyindirnya dengan lagu yang nyaring.
"Pergi, pergi kau," bentak Swasti sambil melempar burung
itu dengan kerikil. Burung itu meloncat kedahan yang lebih tinggi. Tetapi
Swasti tidak menghiraukannya lagi ketika burung itu kemudian
berkicau lebih keras. Sementara itu Daruwerdi telah menuruni tebing bukit itu
dengan tergesa-gesa. Dengan mudah ia dapat mengikuti arah
Jlitheng bersama Kiai Kanthi dan beberapa orang anak muda
Lumban. Sehingga karena itu, maka sejenak kemudian
Daruwerdi telah menemukannya.
Ketika Daruwerdi muncul dari balik gerumbul, maka
Jlithengpun menyapanya, "He, marilah Daruwerdi. Kami sudah
mulai." Daruwerdi tidak segera menjawab. Tetapi diperhatikannya
tempat disekitarnya. Ia melihat beberapa batang patok telah
ditancapkan diantara pepohonan hutan.
"Jadi, kalian akan tetap membuat gubug itu disini ?"
bertanya Daruwerdi. "Ya. Tempat ini sudah cukup rendah. Jika Kiai Kanthi ingin
pergi kepadukuhan, maka ia tinggal menuruni beberapa lapis
padas." "Tetapi tempat ini tetap merupakan tempat yang
berbahaya. Setiap kali seekor harimau akan lewat." Daruwerdi
berhenti sejenak. Tetapi ketika Kiai Kanthi akan menjawab.
Daruwerdi mendahului, "Kau tentu akan mengatakan bahwa
kau dan gadis itu dapat memanjat. Dan barangkali kau akan
menceriterakan sebuah dongeng tentang seekor harimau yang
terasing karena menerkamseseorang."
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Namun iapun
tersenyum sambil berkata, "Ya, ya ngger. Aku memang akan
berkata begitu." "Tetapi saat kau datang, hampir saja kau diterkam seekor
harimau jika aku tidak datang menolongmu."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya tesendat-sendat,
"Benar ngger. Dan aku tidak akan pernah melupakan apa
yang telah pernah terjadi itu."
"Tetapi kau tidak memperbaiki kesalahan yang pernah kau
lakukan. Apakah untungmu membuat gubug disini " Apakah
tidak lebih baik jika kau tinggal dipadukuhan. Kau dapat
memilih ,apakah kau ingin tinggal di Lumban Wetan atau di
Lumban Kulon." Kiai Kanthi termangu-mangu. Namun katanya kemudian,
"Angger Daruwerdi. Aku tidak mempunyai secabik tanahpun
didaerah Lumban. Disini aku akan berusaha untuk membuka
hutan tanpa merugikan siapapun juga, selain belas kasihan
angger Jlitheng dan kawan-kawannya, yang bersedia
membantu kami." "Kau orang aneh kakek. Kau perantau yang bernasib
kurang baik. Tetapi kau menganggap dirimu seorang kesatria
yang sungkan menerima belas kasihan orang lain. Bukankah
belas tenaga dan sebidang tanah t idak banyak bedanya?"
Kiai Kanthi menundukkan kepalanya.
"Pikirkan Kakek. Ketika aku bertemu dengan kau untuk
pertama kali, aku sudah mengatakan, bahwa kau terlalu
mementingkan dirimu sendiri. Harga diri atau mungkin
kepuasan untuk mengalami suatu pederitaan seperti yang
sering dilakukan oleh para petapa dengan gegayuhan tertentu.
Tetapi apakah kau pernah memikirkan anak gadismu yang
malang itu ?" Kiai Kanthi tidak segera menjawab. Namun kepalanya
terangguk-angguk kecil. "Tetapi terserah kepadamu. Pendidikan seseorang kadangkadang
sulit dimengerti oleh orang lain, termasuk
pendirianmu. Jlitheng dan kawan-kawannya telah menaruh
belas kasihan kepadamu, tetapi tanpa mempergunakan
otaknya. Mereka sudah berbangga, bahwa mereka dapat
menolongmu. Tetapi mereka tidak memikirkan kelanjutan
hidupmu dan hidup anak gadismu itu."
Kiai Kanthi masih menunduk. Jlitheng dan kanwankawannya
hanya berdiam diri sambil mengangguk-angguk
kecil. Tetapi Daruwerdi tidak tinggal lebih lama lagi. Sekali lagi ia
berkata, "Pikirkan. Jangan terlalu bodoh dengan memercayai
ceritera tentang seeekor harimau yang terasing. Jangan
membiarkan dirimu merasa bahagia oleh penderitaan hidup
dan kesulitan rohaniah yang dialami anak gadismu. Orangorang
masih akan memberi kesempatan."
Daruwerdi tidak menunggu Kiai Kanthi menjawab. Iapun
kemudian meninggalkan Kiai Kanthi yang berdiri termangumangu.
Salah seorang kawan Jlithenglah yang memecahkan
kesenyapan. "Aku kira, apa yang dikatakan oleh Daruwerdi itu
benar." Jlitheng mengangguk-angguk. Jawabnya, "Mungkin benar.
Tetapi kita sudah mulai dengan kerja ini. Sebaiknya kerja ini
kita lanjutkan. Kelak jika ada pertimbangan lain dari Kiai
Kanthi terserah sajalah."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia
menyahut, "Aku kira demikian ngger. Aku ingin meneruskan
kerja ini sampai pada suatu saat hatiku menjadi teguh atau
sama sekali aku ingin merubah sikapku ini."
Kawan-kawan Jlithengpun tidak menyahut. Bagi mereka,
persoalan itu segera mereka lupakan. Yang mereka lakukan
kemudian adalah menanam patok-patok sesuai dengan
tempat-tempat yang ditunjuk oleh Jlitheng setelah dibicarakan
dengan Kiai Kanthi "Nah," berkata Jlitheng kemudian, "dengan patok-patok itu
kita akan mendapat gambaran, bagaimanakah ujud
padepokan kecil yang akan Kiai bangun di dataran yang tidak
terlalu luas dilereng bukit ini."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Jawabnya, "Aku tidak
dapat memimpikan bahwa seumurku padepokan itu sudah
akan siap."

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa tidak Kiai. Disini Kiai tidak begitu sulit mencari
batu untuk dinding halaman padepokan Kiai, meskipun harus
mengumpulkan dari daerah yang agak luas disekitar tempat
ini. Rumah dan kelengkapannya akan dibangun dengan kayu
yang melimpah dihutan ini meskipun bukan kayu yang
terbaik," sahut Jlitheng.
Kiai Kanthi tidak menyahut. Ia hanya mengangguk-angguk
kecil. Namun ia merasa betapa unsur kemanusiaan masih
nampak jelas di padukuhan Lumban. Bahkan Jlitheng, yang
bukan orang Lumbanpun adalah seorang yang sangat baik
bagi sesama. Meskipun demikian Kiai Kanthi tidak menutup
pengamatannya yang kadang-kadang tersembul dipermukaan
pertimbangannya. Bukan mustahil bahwa orang-orang
Lumban yang berbuat baik kepadanya, termasuk Jlitheng itu
tidak mempunyai pamrih apapun juga.
"Itu sudah wajar," berkata Kiai Kanthi, "tetapi jika pamrih
itu akan saling menguntungkan, maka sudah barang tentu,
tidak akan ada keberatan apapun juga bagiku."
Dalam pada itu, maka yang dikerjakan oleh Jlitheng dan
kawan-kawannya pada hari itu adalah baru menanam
beberapa buah patok. Mereka masih akan menunggu Jiltheng
dan Kiai Kanthi yang akan memperhitungkan pengendalian air,
sehingga yang akan mereka kerjakan dikeesokan harinya,
barulah membuat patok-patok juga. Setelah Kiai Kanthi dan
Jlitheng mendapat kepastian arah air yang melimpah dari
belumbang di lereng bukit itu, maka mereka baru akan
menanam patok-patok berikutnya.
Sebelum Jlitheng dan kawan-kawannya kembali ke
padukuhan, maka mereka masih sempat singgah sejenak
dipinggir belumbang untuk mendapat beberapa buah gayam
yang direbus oleh Swasti.
Sementara itu, ketika kawan-kawannya sedang sibuk
makan jamuan yang terasa nikmat sekali itu, Jlitheng
mendekati Kiai Kanthi sambil berbisik, "Daruwerdi nampaknya
tidak setuju Kiai tinggal disini."
"Karena belas kasihan ngger. Angger Daruwerdi tidak
sampai hati melihat salah seorang dari kami diterkam dan
dikoyak oleh seekor harimau atau oleh anjing hutan
sekalipun." "Kiai percaya bahwa itu alasannya?" bertanya Jlitheng.
"Jika bukan karena belas kasihan, apakah angger Jlitheng
melihat alasan lain?" bertanya Kiai Kanthi.
"Aku melihat Kiai. Bukankah dibawah tempat ini beberapa
Gelang Kemala 9 Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang Tembang Tantangan 10

Cari Blog Ini