14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 13
Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan menyahut - Baiklah, kang. Kami akan menungguinya- Jangan disakiti lagi. Apa yang telah terjadi itu sudah cukup. Aku akan kembali sebelum fajar, ketemu atau tidak ketemu dengan kedua orang itu.Dalam pada itu, Rara Wulan yang meninggalkan rumah gadis itu langsung menuju ke tempat suami isteri yang telah menawarkan penginapan kepadanya dan berusaha mencegahnya agar tidak pergi ke banjar.
- Kau akan kemana Rara " - bertanya Glagah Putih.
- Aku akan mengambil pedangku. Kita akan meninggalkan padukuhan ini.- Kita masih diperlukan disini, sehingga gadis-gadis yang Lain dapat diketemukan.- Orang-orang padukuhan inipun akan dapat menemukannya-Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti kenapa Rara Wulan telah tersinggung.
Namun ternyata berita tentang terbongkarnya kejahatan Ki Demang itu telah merata. Nampaknya beberapa orang sengaja membangunkan tetangga-tetangga mereka dan mengajaknya ke rumah gadis itu.
Rara Wulan telah mengajak Glagah Putih untuk tidak berjalan di sepanjang jalan. Tetapi mereka berjalan melewati halaman dan kebun agar tidak bertemu dengan orang-orang yang pergi ke rumah gadis itu. Jika sekali lagi timbul salah paham, mungkin Rara Wulan tidak lagi dapat mengekang dirinya.
Ketika ia sampai di rumah yang ditujunya, maka Rara Wulanpun segera mengetuk pintunya.
- Siapa " - terdengar suara seorang perempuan.
- Aku bibi. Wara Sasi. Aku yang menitipkan pedang di rumahPerempuan itu tidak melupakan suara Rara Wulan. Karena itu, maka iapun segera membuka pintu pringgitan dan mempersilahkan Rara Wulan dan Glagah Putih masuk.
- Kalian darimana saja ngger "- Kami telah berusaha membebaskan gadis yang hilang itu, bibi. Kami telah berhasil dan menyerahkannya kepada orang tuanya. Sementara itu, Ki Demangpun telah diikat tangannya di halaman rumah gadis itu. Jika gadis itu berani memberikan kesaksian, maka Ki Demang benar-benar akan dapat dihukum.- Jadi angger berdua berhasil "- Begitulah, bibi. Tetapi dimana paman "- Seseorang telah memberitahukan, bahwa salah seorang gadis yang hilang itu sudah diketemukan. Pamanmu pergi ke rumah gadis itu. Apakah kalian tidak bertemu dijalan "- Tidak bibi- desis Rara Wulan.
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian " Seharusnya kalian bertemu dijalan. Bukankah kau juga dari rumah gadis itu" "
- Ya, bibi. Tetapi aku sengaja menghindar agar tidak banyak berpapasan dengan orang-orang yang pergi ke rumah gadis itu.- Kenapa ngger. Kenapa kau begitu cepat meninggalkan gadis itu Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kepada Glagah Putih iapun berdesis - Begitu cepat berita itu tersebar,- Kita yang memerlukan waktu berlipat karena kita tidak berjalan lewat jalan padukuhan.Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah - Ya Kitalah yang memerlukan waktu yang panjang.Sementara itu, laki-laki yang sudah separo baya serta ayah gadis yang baru diketemukan itu telah turun ke jalan. Mereka memang tidak tahu, kemana mereka mencari kedua orang yang telah membebaskan gadis itu. Seorang yang melihat kedua orang itu keluar dari regol halaman hanya dapat menunjukkan arahnya saja
Namun di jalan padukuhan, kedua orang itu telah bertemu dengan laki-laki yang dititipi pedang oleh Rara Wulan.
- Kau lihat seorang laki-laki dan perempuan lewat di jalan ini "-bertanya orang yang sudah separo baya
- Siapakah yang kau maksud " - Dua orang yang telah membebaskan gadis yang hilang itu.- Kenapa harus dicari "- Mereka pergi begitu saja setelah menyerahkan gadis itu kepada ayahnya- Salahku - berkata ayah gadis itu - aku terlalu bingung sehingga sikapku telah menyinggung perasaan perempuan yang telah membebaskan anakku.- Aku tidak bertemu dengan mereka. Tetapi perempuan itu telah menitipkan pedangnya dirumahku. Karena itu, entah sekarang, entah besok, perempuan itu tentu mengambil pedangnya- Mungkin sekarang - berkata ayah gadis itu - jika demikian, marilah, kita pergi ke rumahmu, kang.Kedua orang yang mencari Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian bersama-sama dengan laki-laki yang dititipi pedang Rara Wulan itu dengan tergesa-gesa berusaha menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan.
Sebenarnyalah, ketika mereka sampai di rumah laki-laki itu,
Glagah Putih dan Rara Wulan masih berada di rumah itu. Tetapi Rara Wulan yang telah menggantungkan pedangnya di lambung kirinya telah siap untuk pergi meninggalkan rumah itu.
Demikian ayah gadis itu melihat Rara Wulan, maka dengan serta merta orang itu telah berlutut sambil berkata - Aku mohon maaf, ngger. Aku mohon maaf atas kekerasanku. Waktu itu aku benar-benar menjadi bingung, sehingga aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan.Rara Wulan tercenung melihat sikap orang itu. Justru karena itu, perempuan itupun seakan-akan telah membeku.
- Aku mohon angger sudi datang kembali. Anak gadisku itu menanyakanmu. Ia meyakinkan aku, bahwa sikapku telah menyinggung perasaanmu.Rara Wulan masih belum menjawab. Sementara itu Glagah Putihlah yang mendekati laki-laki itu dan menariknya berdiri.
- Berdirilah, paman.- Orang itu masih belum mau berdiiri.
- Berdirilah - minta Glagah Putih.
- Aku ingin mendengar jawabannya Jika angger bersedia kembali ke rumahku, maka aku akan berdiri.Akhirnya jantung Rara Wulan tergetar pula Dengan suara yang hampir tidak terdengar Rara Wulanpun menjawab - Baiklah, paman. Aku akan kembali menemui gadis itu.- Terima kasih ngger, terima kasih.Rara Wulan bergeser surut ketika orang itu akan mencium kakinya, sementara Glagah Putih menariknya untuk berdiri.
Orang itupun akhirnya berdiri juga Namun ia masih mengulangi permintaannya - Marilah, ngger. Kembalilah. Anakku mencarimu.Rara Wulan memandang Glagah Putih sejenak. Ketika Glagah Putih menganggukkan kepalanya maka Rara Wulanpun berkata - Marilah. Masih ada beberapa orang yang harus dibebaskan.Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun kembali ke rumah gadis yang telah diketemukan kembali itu, di iringi oleh beberapa orang.
Dalam pada itu, orang-orang yang menunggui Ki Demang menjadi gelisah. Tiba-tiba saja seorang kaki tangan Ki Demang telah naik ke pendapa sambil berteriak - Serahkan Ki Demang kepadaku atau kalian semua akan menjadi debu.Tidak seorangpun yang menjawab. Kaki Tangan Ki Demang yang datang itu adalah seorang yang bertubuh agak pendek, namun tubuhnya nampak begitu kokoh. Tangan dan kakinya nampak seperti terbuat dari tembaga.
Ternyata orang itu tidak sendiri. Dua orang yang Lain berdiri disebelah menyebelah pendapa, sedangkan orang-orang yang pingsan di rumah Ki Demang telah sadar pula serta ikut datang ke halaman rumah itu.
Dalam pada itu, orang yang bertubuh agak pendek dan berdiri di pendapa itu berteriak lagi "Minggir. Biarkan aku mengambil Ki Demang yang telah kalian sakiti. Agaknya kalian telah termakan oleh fitnah yang keji, sehingga berani bertindak sedemikian kasarnya terhadap Demangnya sendiri. "
Tidak seorangpun yang menjawab.
- Minggir - Teriak orang itu sehingga atap rumah itu seakan-akan telah bergetar.
Orang-orang yang berdiri di halaman itupun menjadi cemas melihat sikap orang itu. Orang itu bukan saja nampak kokoh dan kuat, tetapi pada wajahnya juga terbayang sifatnya yang kasar dan bahkan kejam. Segores bekas luka di pelipisnya telah melengkapi ujudnya yang mendebarkan.
- Aku akan menghitung sampai lima - berkata orang itu - jika kalian tidak mau minggir, dan membiarkan aku mengambil Ki Demang, maka aku akan mempergunakan kekerasan. Siapa yang menghalangi, aku akan bunuh tanpa belas kasihan. Beberapa orang menjadi ketakutan. Tetapi ada yang berani menjawab - Kami akan mengadili Ki Demang karena tingkah lakunya. Kami tidak akan melepaskan Ki Demang. - Setan kau - geram orang itu - jadi kau akan mengorbankan nyawamu " Ketika orang yang berdiri di pendapa itu menarik goloknya yang besar, maka orang yang menjawab itu mulai menjadi ragu-ragu. Apalagi kedua orang yang berdiri disebelah-menyebelah pendapa itupun telah menggenggam senjata mereka pula. Seorang diantaranya bersenjata canggah dan seorang yang lain bersenjata kapak yang besar. Sedangkan mereka yang telah pingsan di kebun di belakang rumah Ki Demang itupun telah ikut bersama mereka.
- Minggir - orang itu berteriak lagi sambil memutar goloknya -aku akan mulai menghitung - orang itu berhenti sejenak, lalu - satu, dua, tiga.....Tiba-tiba saja terdengar jawaban - Menghitunglah sampai seratus Ki Sanak. Kami tidak akan melepaskan Ki Demang. Kami akan menyerahkannya kepada yang berwenang mengadilinya. Orang yang bertubuh agak pendek itu menjadi semakin tegang. Di halaman, seorang justru melangkah maju ke tangga pendapa
-Silahkan menghitung terus sampai esok. - Siapa kau, he"- - Bertanyalah kepada kawan-kawanmu yang tadi berada di rumah Ki Demang. Sayang, kau tidak ada disana waktu itu. Tiba-tiba saja Ki Demang itupun berteriak - Bunuh orang itu. Masih ada seorang lagi yang harus kau bunuh. Seorang perempuan. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa seorang perempuan. Disela-sela tertawanya iapun berkata - Aku disini Ki Demang. - Mampuslah kau " - Rara Wulan itupun melangkah mendekatinya. Katanya - Jika kau mengumpati aku sekali lagi, gigimu akan rontok. Ki Demang itupun terdiam. Perempuan itu tentu tidak hanya sekedar mengancam. Tetapi ia akan benar-benar memukul mulurnya jika ia berteriak lagi.
Dalam pada itu, kehadiran Glagah Putih dan Rara Wulan telah membesarkan hati orang-orang yang berada di halaman. Mereka yang semula sengat cemas atas kehadiran kaki tangan Ki Demang itu, telah dapat menarik nafas lega.
- Ki Sanak - berkata Glagah Putih kemudian kepada orang yang berdiri di pendapa - sebaiknya kau tinggalkan tempat ini. Kesetiaanmu kepada Ki Demang akan sia-sia, karena Ki Demang sudah tidak akan berkuasa lagi di kademangan ini. - Omong kosong. Kau siapa anak muda " Kau tentu bukan rakyat kademangan ini - Apakah kau juga penghuni kademangan ini " Kau dan kawan-kawanmu itu tidak lebih dari orang-orang upahan. Hidupmu tergantung kepada keadaan Ki Demang. Jika Ki Demang besok sudah tidak menjadi Demang lagi, bahkan jika Ki Demang harus menjalani hukuman, apakah kalian masih akan menunjukkan kesetiaan kalian " Renungkan ini, Ki Sanak.Orang itu memang merenung. Namun tiba-tiba iapun berkata lantang - Aku akan membebaskan Ki Demang. Jika ia sekarang bebas, maka aku masih dapat mengharapkan pemberiannya meskipun untuk yang terakhir kali. Tetapi jika sekarang Ki Demang tidak dapat aku bebaskan, maka upahku tidak akan terbayar. - Satu perhitungan yang cermat Tetapi yang lebih buruk dapat terjadi. Kau tidak berhasil melepaskan Ki Demang, justru kau dan kawan-kawanmu itulah yang akan kami tangkap dan kami ikat pada pepohonan di halaman ini sampai saatnya yang berwenang menahan dan mengadili itu datang. Orang yang terdiri di pendapa itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menggeram - Apapun yang akan terjadi, minggir. Aku akan melepaskan Ki Demang. - Tidak ada gunanya, Ki Sanak. Sekali lagi aku peringatkan, pergilah. Glagah Putih tidak ingin berbantah terlalu panjang, selangkah lagi ia maju sambil berkata
- Marilah. Jika kau ingin menyelesaikannya dengan kekerasan. Orang itu termangu-mangu sejenak. Dari kawan-kawannya yang pingsan ia sudah mendengar serba sedikit tentang seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berilmu tinggi.
Namun tiba-tiba saja orang itu berteriak kepada kawan-kawannya " Bebaskan Ki Demang. Aku akan membunuh anak muda ini. Siapa yang menghalangi, singkirkan. Yang keras kepala, bunuh saja. Jangan ragu-ragu. Ini adalah kesempatan kita yang terakhir untuk menerima upah dari Ki Demang. "
Orang-orang yang ada disebelah menyebelah pendapa itu mulai ringsut. Keberanian orang-orang yang pingsan itupun telah tumbuh kembali karena kehadiran orang-orang yang mereka banggakan kemampuannya
"Jangan ragu-ragu meskipun kalian masing-masing harus membunuh sepuluh orang. Biarlah dua orang kakak beradik itulah yang bertanggungjawab. "
Namun demikian mereka bergerak, maka Rara Wulan telah menarik pedangnya sambil berkata lantang " Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa Jika ada diantara kalian yang membunuh satu orang saja maka aku akan membunuh Ki Demang. Dengan demikian maka yang kalian lakukan adalah sia-sia, karena setelah Ki Demang mati, ia tidak akan sempat memberikan uang meskipun hanya sekeping. "
Orang-orang yang mulai bergerak itu tertegun. Sementara Glagah Putihpun berkata kepada orang yang berdiri di pendapa "Dengar. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa "
"Pengecut," " Kami bukan pengecut. Jika kau juga bukan pengecut, marilah, kita selesaikan persoalan ini dengan kita masing-masing sebagai taruhan. Kau dan aku. Jika kau menang, bawa Ki Demang. Tetapi jika kau kalah, kau harus tunduk kepada keputusan kami. "
Orang yang berdiri diatas pendapa itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata " Baik. Aku terima tantanganmu. Kita akan bertempur seorang melawan seorang. Tetapi kau harus berjanji, bahwa kau tidak akan ingkar."
"Aku tidak akan ingkar. "
" Baik. Orang-orang yang ada di halaman ini menjadi saksi, bahwa kami berdua akan berperang tanding. Menurut pengertianku, bukan kita masing-masing yang menjadi taruhan, tetapi justru Ki Demang yang akan menjadi taruhan. "
" Apapun namanya, tetapi kita masing-masing mengetahui maksudnya Turunlah, kita akan segera mulai. "
Orang yang berdiri di pendapa itupun kemudian menuruni tangga pendapa. Nampaknya ia memang ragu-ragu. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Jika ia bertempur, maka ada kemungkinan ia dapat mengambil Ki Demang. Jika tidak, maka ia tidak berpengharapan sama sekali, meskipun dapat saja terjadi, bahwa ia akan terbunuh dipeperangan. Namun sebaliknya, iapun akan dapat membunuh lawannya itu.
Sejenak kemudian orang yang bertubuh agak pendek, sedang kulitnya seakan-akan terbuat dari tembaga itupun telah bersiap sepenuhnya untuk bertempur melawan Glagah Putih.
Anak muda itupun telah bergeser mendekat pula. Beberapa orang-purt segera membuat lingraran di halaman itu. Namun karena Glagah Putih sengaja bergeser lebih mendekati Ki Demang yang terkat, maka Ki Demang itu seakan-akan justru berada di arena itu pula.
Rara Wulan berdiri di sisi Ki Demang itu. Ia benar-benar bersiap untuk menghujamkan pedangnya di tubuh Ki Demang, jika para pengikumya berusaha membebaskannya dengan kekerasan.
Sejenak kemudian, maka orang yang bertubuh pendek tetapi nampak sangat kokoh itu mulai menyerangnya. Ayunan tangannya telah menggetarkan udara disekitamya, sehingga bagaikan menimbulkan arus angin yang menerpa tubuh lawannya
Tetapi Glagah Putih yang mempunyai banyak sekali pengalaman itu sama sekali tidak terkejut. Agaknya untuk menggertak lawannya, orang itu langsung menghentakkan ilmunya pada tataran yang tinggi
Karena itu, maka Glagah Putihpun harus mengimbanginya. Ia tidak boleh terhembas oleh ilmu lawannya pada tataran yang tinggi, sementara ia masih baru mulai.
Karena itu, maka Glagah Putihpun langsung meningkatkan ilmunya pula Namun agaknya Glagah Putih yang tidak sempat menjajagi ilmu lawannya itu, agak sulit untuk mengambil ancang-ancang.
Karena itu, maka untuk sementara Glagah Putih masih belum berniat menyerang. Ia masih saja berusaha untuk menghindari serangan-serangan lawannya. Namun sekali-sekali Glagah Putih sengaja menangkis serangan-serangan orang bertubuh agak pendek itu. Tetapi Glagah Putih tidak langsung membentur kekuatan lawan.
Dengan hati-hati Glagah Putih setiap kali menepis serangan-serangan lawannya menyamping, sehingga dengan demikian, Glagah Putih dapat menjajagi kekuatan dan kemampuan lawannya.
Orang yang bertubuh pendek itu memang sudah mengetahui, bahwa lawannya berilmu tinggi. Itulah sebabnya, ia tidak mau ragu-ragu dan tenggelam dibawah arus ilmu lawannya. Karena itulah, maka serangan-serangan orang bertubuh pendek itupun segera datang membadai.
Meskipun demikian, Glagah Putih sama sekali tidak merasa terdesak. Semakin banyak ia mengenali kekuatan serta kemampuan lawannya, maka perlawanannyapun menjadi semakin mapan.
Dengan demikian, maka orang bertubuh pendek dan berkulit seperti tembaga itu semakin menyadari, bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berilmu tinggi.
Karena itu, maka orang itu tidak ingin berlama-lama bertempur melawan anak muda itu. Apapun yang terjadi, biarlah segera terjadi.
Sambil berteriak nyaring orang itu menghentakkan kemampuannya, menyerang Glagah Putih dengan satu loncatan panjang. Tubuhnya yang meluncur seperti sebuah lembing yang dilontarkan dengan derasnya. Kedua kakinya terjulur lurus menyamping mengarah ke dada Glagah Putih.
Glagah Putih yang melihat serangan itu, serta meyakini kemampuannya sendiri, sama sekali tidak berusaha menghindar. Glagah Putih itupun berdiri tegak menghadap kearah lawannya. Satu kakinya melangkah sedikit kedepan, agak merendah pada lututnya, serta menyilangkan kedua tangannya didadanya.
Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang keras. Glagah Putih tergetar setapak surut. Namun ia masih tetap pada sikapnya. Sementara itu, lawannyalah yang justru terpental dengan kerasnya. Orang bertubuh pendek itu menjatuhkan dirinya, dan berguling dua kali. Kemudian melenting bangkit berdiri.
Tetapi orang itupun terhuyung-huyung sejenak. Ia berusaha untuk dapat berdiri tegak. Namun orang bertubuh pendek itupun kemudian jatuh pada lutumya dan bahkan kemudian terduduk sambil menyeringai menahan sakit. Kakinya yang membentur tangan Glagah Putih terasa
sakit sekali. Tulang-tulangnya bagaikan telah berpatahan. Kakinya itu rasa-rasanya telah membentur selapis baja yang tidak goyah sama sekali.
Glagah Putih telah berdiri tegak. Selangkah ia maju mendekati lawannya yang kesakitan.
- Berdirilah - berkata Glagah Putih - atau pertempuran ini akan berhenti sampai disini " - Setan kau anak muda " - Jika kau menyerah, kita akan berhenti sampai sekian. Kau kalah dan aku tidak akan dapat membawa Ki Demang. Tetapi jika kau belum merasa kalah, cepat berdirilah sebelum aku mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Orang itu seakan-akan tidak ingin mengakui betapa sakitnya kakinya yang membentur pertahanan Glagah Putih. Karena itu, maka ia masih mencoba untuk bangkit berdiri. Tetapi usahanya itu sia-sia Bahkan orang itupun berteriak keras-keras untuk melepaskan kemarahan yang menyumbat didadanya, sementara itu wadagnya tidak lagi mampu mendukungnya.
- Kau akan menyesal anak muda - Kenapa aku harus menyesal " Bukankah dengan demikian, Ki Demang tidak akan terlepas dari tangan rakyatnya " - Dengar anak muda Aku tidak berdiri sendiri. Mungkin kali ini kau berhasil mengalahkan aku. Tetapi seseorang akan datang untuk menuntut balas.- Siapa " - - Aku adalah salah seorang anggauta dari sebuah keluarga besar yang akan dapat menggulungmu menjadi debu.- Keluarga besar siapa " - Kau akan pingsan jika kau mendengarnya.- Sebut, Ki Sanak. Aku siap menghadapinya- Setan kecil yang sombong. Kau akan mati membeku mendengar nama perguruanka- Perguruan apa " sebut,- Aku adalah murid dari perguruan Kedung Jati.- Bohong - teriak Glagah Putih - Kau pakai nama perguruan Kedung Jati untuk menakut-nakuti orang lain. Aku mengenal unsur-unsur yang terdapat dalam ilmu perguruan Kedung Jati. Dan unsur-unsur gerakmu sama sekali tidak mencerminkan ilmu dari perguruan itu.- Gila. Kau tidak percaya " - Aku tidak percaya karena kami adalah murid dari perguruan Kedung Jati. Kau nodai nama perguruan Kedung Jati dengan petualangan kotormu itu. Aku akan melaporkan kau orang pendek, bahwa kau telah menempatkan diri menjadi orang upahan dari tindak kejahatan yang dilakukan oleh Ki Demang sehingga menimbulkan dongeng seolah-olah Ki Demang adalah serigala jadi-jadian yang memakan gadis-gadis remaja dan perempuan-perempuan muda.Orang bertubuh pendek serta yang kulitnya seperti tembaga itu menjadi pucat Dengan suara yang tersendat iapun bertanya - Kau murid dari perguruan Kedung Jati " -Ya- - Kau akan melapor " Kepada siapa " - Apakah kau mengenal nama-nama seperti Kidang Rame, Wanda Segara, Nyi Yatni, Ki Saba Lintang... - Cukup, cukup. Jangan sebut-sebut nama itu lagi. - Kenapa " - - Ambil Demang itu. Aku tidak akan berurusan lagi dengan orang itu.- Akui, bahwa kau bukan orang dari perguruan Kedung Jati. Atau kita akan membuka masalah baru " Persoalan yang akan timbul kemudian bukan lagi persoalan Ki Demang serigala jadi-jadian itu. Tetapi persoalan antara murid dari perguruan Kedung Jati.- Aku memang murid dari perguruan Kedung Jati. Tetapi aku belum terlalu lama berada dilingkungan keluarga perguruan Kedung Jati."
Glagah Putih memandang orang itu dengan tajamnya Dengan nada tinggi iapun bertanya"Sejak kapan kau menjadi keluarga perguruan Kedung Jati?"
" Menjelang pertempuran yang terjadi di Sangkal Putung."
"Memang belum lama. Tetapi kau sudah menodai nama perguruan Kedung Jati" Siapakah yang telah membawamu memasuki keluarga perguruan Kedung Jati" Atau katakan siapakah orang yang langsung menanganimu?"
" Aku berada dalam lingkungan keluarga perguruan Kedung Jati bersama guruku."
"Siapa nama gurumu?"
" Ki Ajar Sungsang."
" Ki Ajar Sungsang" Jadi kau murid Ki Ajar Sungsang?"
" Ya. Kenapa?" "Kau pantas untuk mati. Apalagi kau sudah mengotori nama perguruan Kedung Jati."
" Aku, aku sudah mempunyai kebiasaan ini sebelum aku memasuki lingkungan keluarga perguruan Kedung Jati. Aku mohon ampun. Jangan bunuh aku."
" Baik-baik. Aku tidak akan membunuhmu. Tetapi persoalanmu akan sampai kepada Ki Saba Lintang."
" Ampun. Aku mohon belas kasihanmu."
" Setan kau orang pendek. Siapa namamu" Kau harus mengatakan yang sebenarnya. Jika kau berbohong, maka kau akan mati ditan-ganku."
"Namaku Jalu Sampar."
" Baik, Jalu Sampar. Kali ini aku ijinkan kau pergi. Tetapi ingat, aku ada disini. Aku akan selalu datang ke kademangan ini."
"Jadi?" " Pergilah. Bawa semua orang jahat itu pergi. Jika masih tertinggal seorang saja disini, maka aku akan mencari orang yang bernama Jalu Sampar. Aku akan menelusurinya lewat jalur keluarga perguruan Kedung Jati. Aku akan mencari Ki Ajar Sungsang, Ki Saba Lintang tentu akan memberikan petunjuk, apa yang harus aku lakukan terhadap mereka yang telah menodai nama baik keluarga perguruan Kedung Jati."
" Aku mohon ampun."
"Pergilah. Cepat, sebelum aku merubah keputusanku."
Tertatih-tatih orang itu bangkit berdiri. Kedua orang kawannya dengan cepat mendapatkannya dan membantunya untuk bangkit berdiri. "Bawa Jalu Sampar itu pergi. Bawa semua orang jahat yang telah diupah Ki Demang pergi dari kademangan ini. Atau harus mengalami nasib yang sangat buruk ditanganku."
Kedua orang kawan Jalu Sampar itupun telah memapah Jalu Sampar meninggalkan tempat itu. Iapun memberi isyarat kepada orang-orang upahan Ki Demang yang lain untuk pergi.
Ki Demang yang terikat pada sebatang pohon menjadi lemas. Ia tidak mempunyai harapan lagi untuk melepaskan diri dari tangan rakyatnya yang marah. Sementara itu, masih belum ada bebahu yang datang ke tempat itu. Jika mereka datang, Ki Demang juga tidak dapat membayangkan apakah mereka akan berpihak kepadanya, atau justru akan semakin menyulitkannya.
Rakyat padukuhan itu dengan tegang menyaksikan orang-orang upahan Ki Demang itu melangkah meninggalkan halaman rumah itu. Satu-satu mereka keluar dari regol halaman dan hilang di kegelapan.
Ketika perhatian orang-orang itu tertuju kepada mereka yang meninggalkan halaman rumah itu, Rara Wulan mendekati Glagah Putih sambil bertanya " Siapakah Wanda Segara itu?"
"Wanda Segara?" ulang Glagah Putih.
"Ya, Wanda Segara?"
" Siapa" Darimana kau dengar nama itu?"
" Tadi kau sebut nama itu disamping nama Kedung Rame, Nyi Yatni, Ki Saba Lintang."
" O " Glagah Putih mengangguk-angguk " ya. Aku sebut nama Wanda Segara. Aku hanya asal saja menyebutnya."
"Jadi kau tidak mengenal orang bernama Wanda Segara?"
"Tidak." " Begitu yakin kau sebut namanya?"
" Asal saja aku menyebut sederet nama."
Rara Wulan tersenyum. Katanya"Kau ucapkan nama itu dengan mantap, sehingga kesannya kau bersungguh-sungguh."
"Tetapi bukankah yang lain orangnya benar-benar ada."
" Ya," Keduanya tidak berbicara lagi ketika orang-orang itu hilang dibalik pintu.
Sepeninggal orang-orang itu, Glagah Putih sadar, bahwa ia harus memberikan arah kepada orang-orang yang berada di halaman itu agar mereka tidak berbuat sesuka hati mereka sendiri.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian naik ke tangga pendapa sambil berkata "Sekarang, kita harus melakukan sesuatu. Aku usulkan untuk memanggil para bebahu, terutama Ki Jagabaya."
Orang yang sudah separo baya itupun melangkah kedepan sambil berkata " Aku sependapat anak muda. Biarlah anak-anak muda memanggil para bebahu, terutama Ki Jagabaya."
" Apakah paman dapat minta bantuan anak-anak muda itu?"
Orang yang sudah separo baya itupun mengangguk sambil berkata " Tentu. Aku akan dapat minta bantuan anak-anak muda itu untuk memanggil para bebahu kademangan dan padukuhan ini. "
Sejenak kemudian, maka beberapa orang anak muda telah berlari-lari memanggil para bebahu, terutama Ki Jagabaya.
Sementara itu, beberapa orang menjadi tidak sabar lagi. Mereka berteriak-teriak agar Ki Demang itu diserahkan kepada mereka.
Tetapi Glagah Putih tidak memberikannya. Orang yang sudah separo baya itupun berusaha untuk menenangkan mereka.
- Kita bukan orang-orang yang tidak mempunyai tatanan - berkata orang yang sudah separo baya itu - kita harus dapat menahan diri.Sementara itu, Rara Wulan yang berdiri disebelah Ki Demang yang terikat itu terkejut ketika ia mendengar Ki Demang itu terisak.
- Kau menangis, Ki Demang " - bertanya Rara Wulan.
- Aku minta ampun - suara Ki Demang menjadi serak.
- Biarlah para bebahu nanti menentukan, apakah yang akan mereka lakukan terhadap Ki Demang.- Aku tidak akan mengulanginya - Sudah aku katakan, nanti para bebahu yang akan menentukan. Bukan aku.- Kau dapat menolongku. Kasihanilah aku.- Apakah kau pernah menaruh belas kasihan kepada gadis-gadis yang kau jadikan korbanmu itu "- Aku khilaf. Saat itu hatiku sedang dikuasai oleh iblis laknat,- Saat itu " Yang terjadi bukannya hanya sesaat, Ki Demang. Tetapi untuk waktu yang panjang, sejak kau ditetapkan menjadi Demang. Sebelum itu, kaupun telah melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk bersandar pada kekuasaan ayahmu waktu itu.- Aku sudah menjadi jera sekarang.- Mungkin sekarang. Tetapi besok, penyakitmu itu akan kambuh lagi Ki Demang.- Tidak. Aku bersumpah.- - Apa artinya sumpah bagi orang yang sedang dikuasai iblis " Sumpah adalah sebuah tipuan yang paling keji bagi orang yang berhati iblis.- O. Ampun. Aku mohon ampun.Rara Wulan tidak sempat menjawab. Seorang laki-laki yang masih terhitung muda telah menjawabnya - Itu adalah keluhan iblis dari dasar neraka. Tetapi jika benar ia diampunkan, maka kejahatan yang akan ditimbulkan tentu akan berlipat.
-Tidak. Tidak.- - Jangan didengar. Suruh orang itu diam. Atau kita memaksanya diam - teriak seorang yang lain.
- Diamlah - berkata Rara Wulan - atau aku akan menyumbat mulutmu. Ki Demang memang tidak berbicara lagi. Tetapi ia tidak dapat menahan isaknya
Baru sejenak kemudian, Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu telah datang.
- Apa yang terjadi disini " - Ki Demang - berkata orang yang sudah separo baya
- Kenapa dengan Ki Demang " Orang itupun menunjuk Ki Demang yang terikat pada sebatang pohon.
- Kenapa dengan Ki Demang " Siapa yang telah mengikatnya " - Aku - jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng.
- Kenapa " - - Ki Demang tidak ubahnya seperti seekor serigala jadi-jadian yang terbiasa menerkam seekor kambing muda. - Apa yang kau katakan itu " - Bukankah Ki Jagabaya pernah mendengar dongeng tentang Ki Demang yang sering menculik membunuh dan makan daging perawan ?"
Ki Jagabaya tidak segera menjawab.
-Ki Jagabaya pernah mendengarnya " Semua orang di kademangan ini pernah mendengar dongeng seperti itu. - Aku tidak percaya - berkata Ki Jagabaya.
- Tentu. Semua orang juga tidak percaya. Yang terjadi memang tidak seperti itu. -Jadi kenapa "- - Tetapi Ki Demang memang sering menculik gadis-gadis remaja kademangan ini. - Jangan asal menuduh saja. Kau harus dapat membuktikan atau menunjuk saksi yang bersedia memberikan kesaksian. - Tentu - jawab Rara Wulan - aku adalah salah seorang perempuan yang diculik oleh kaki tangan Ki Demang. - Kau siapa " - - Aku Wara Sasi. Tetapi saksi yang lebih baik adalah anak gadis pemilik rumah ini. Ki Jagabaya mengerutkan dahinya. Ketika ia berpaling ke pendapa, dilihatnya seorang gadis dalam pelukan ibunya
- Gadis itukah " "
-Ya- - Kau bersedia memberikan kesaksian yang sebenarnya " -Gadis itu mengangguk.
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Ayah gadis itupun melangkah mendekatinya sambil berkata " Ki Jagabaya. Anak itu adalah anakku. Kau tentu dapat mengenalnya "
Ki Jagabaya mengangguk. Katanya - Ya. Aku memang dapat mengenalnya - Ia bersedia menjadi saksi, meskipun ia harus menyandang malu.Ki Jagabaya itupun mengangguk-angguk. Katanya - Baik Baik. Sekarang biarlah Ki Jagabaya bersamaku ke padukuhan induk. - Ia harus dihukum - teriak seseorang.
- Ya. Tetapi kita tidak wenang menjatuhkan hukuman itu- Jika demikian, biarlah Ki Demang berada disini.- Kalian juga tidak dapat mengikat Ki Demang seperti itu. Bukankah Ki Demang belum dinyalakan bersalah.- Aku berhak melakukannya - berkata Rara Wulan - bahkan seandainya aku ingin membunuhnya, karena aku mempertahankan diriku dari kebuasannya. Bahkan dari usahanya untuk membunuhku agar jejak kejahatannya hilang.- Meskipun dermkian, kau tidak berhak membunuhnya - Sekarang. Justru setelah Ki Demang terikat di pohon itu. Tetapi tadi, pada saat kami bertempur, aku dapat membunuhnya tanpa dapat dianggap bersalah.- Kau jangan keras kepala - Aku pertahankan Ki Demang untuk tetap berada di padukuhan ini - berkata Rara Wulan.
- Aku perintahkan untuk melepaskan ikatan Ki Demang itu.Ayah gadis itulah yang menjawab - Ki Jagabaya Aku minta Ki Jagabaya melihat persoalan ini dalam keseluruhan. Setelah anakku dapat dilepaskan dari tangan Ki Demang, apakah Ki Jagabaya tidak berusaha untuk mencari beberapa orang gadis yang pernah hilang di kademangan ini " Anakku adalah gadis yang hilang dari padukuhan ini. Tetapi di padukuhan-padukuhan lain, ada juga gadis-gadis yang hilang. Nah, Ki Demang ada disini sekarang. Ki Jagabaya dapat bertanya kepadanyaKi Jagabaya menjadi ragu-ragu sejenak. Namun seorang laki-laki yang bertubuh gemuk berkata - Bukankah salah seorang gadis yang hilang itu kemanakan Ki Jagabaya sendiri "
14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
- He " - tiba-tiba wajah Ki Jagabaya menjadi tegang.
- Salah seorang gadis yang hilang itu adalah kemanakan Ki JagabayaTiba-tiba saja jantung Ki Jagabaya itu bergejolak. Sebenarnyalah bahwa salah seorang gadis yang hilang justru dari padukuhan induk adalah kemanakan Ki Jagabaya sendiri.
- Tolong kemanakanmu itu sebelum terlambat, Ki Jagabaya- berkata orang bertubuh gemuk itu.
Betapapun terasa dada Ki Jagabaya berguncang, namun ia masih juga berusaha menahan diri. Dengan suara yang ditahan-tahan Ki Jagabaya itupun bertanya - Ki Demang. Apakah benar bahwa kemanakanku itu juga kau ambil " Tangis Ki Demang mengeras. Disela-sela isaknya Ki Demang itu menjawab - Ya, Ki Jagabaya Akulah yang telah memerintahkan untuk mengambil kemanakanmu.Darah Ki Jagabaya serasa mendidih. Kakak perempuannya yang kehilangan anaknya itu bagaikan menjadi gila Ia menangis setiap saat ia teringat kepada anak gadisnya. Kadang-kadang berteriak-teriak. Namun kadang-kadang ia diam saja sepanjang hari. Bahkan suaminyapun bagaikan kehilangan akal. Seekor dari kedua ekor lembunya sudah dijual untuk mencari seorang dukun yang dianggap pandai yang dapat memberikan petunjuk dimana anak gadisnya itu berada Namun usaha itu sia-sia
Sekarang ia mendengar pengakuan Ki Demang dengan serta-merta bahwa kemanakannya itu telah diambil oleh Ki Demang.
Kecurigaan itu memang sudah ada, sebagaimana beredarnya dongeng tentang Ki Demang yang bagaikan serigala itu. Namun Ki Jagabaya masih belum yakin.
Sekarang, ia mendengar langsung pengakuan itu.
Untunglah bahwa ia justru seorang Jagabaya, yang tidak boleh bertindak sekehendak hatinya sendiri. Sehingga karena itu, maka Ki Jagabaya itupun bertanya - Dimana anak itu kau sembunyikan Ki De-mang.Sebelum Ki Demang menjawab, Glagah Putihpun berkata - Nah, Ki Jagabaya. Jika untuk kepentingan pencaharian gadis-gadis yang hilang, silahkan membawa Ki Demang. Tetapi biarlah rakyat kademangan mi, setidak-tidaknya para bebahu menjadi saksi.Ki Jagabaya mengangguk. Katanya - Baik. Aku akan membawa Ki Demang untuk menemukan kemanakanku itu.- Bukan hanya kemanakan Ki Jagabaya Tetapi masih ada gadis-gadis yang lain yang disembunyikannya.- Aku akan membawanya untuk menemukan semua gadis yang pernah hilang dari kademangan ini atau bahkan gadis dari kademangan yang lain.- Silahkan Ki Jagabaya. Silahkan melepas talinya dari sebatang pohon itu. Tetapi jangan lepas ikatan tangannya agar ia tidak dapat melarikan diri dari tangan Ki Jagabaya- Baik, anak muda. Kami akan menggiring Ki Demang. Mudah-mudahan gadis-gadis yang hilang itu dapat diketemukan.Rara Wulanpun melangkah surut Ki Jagabaya dan dua orang bebahu melangkah mendekati Ki Demang. Dengan kasar mereka membuka tali yang mengikat Ki Demang pada sebatang pohon itu.
Sikap Ki Jagabayapun telah berubah. Sejak seorang mengingatkannya, bahwa kemanakannya juga telah hilang, maka rasa-rasanya iapun ingin langsung menghukum Ki Demang. Namun untunglah, bahwa ia masih selalu ingat akan kedudukannya, sehingga ia tidak langsung menghakimi Ki Demang.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu telah "enggiring Ki Demang pergi ke padukuhan induk. Ia harus menunjukkan gadis-gadis yang lain, yang telah diculiknya dan disembunyikannya
Beberapa orang laki-laki ikut mengiringkannya. Mereka membawa senjata apa adanya untuk berjaga-jaga jika orang-orang upahan Ki Demang ingin merebut dan menyelamatkan Ki Demang.
Semakin lama laki-laki yang mengiringinya itupun menjadi semakin banyak, sehingga terjadi sebuah iring-iringan yang panjang.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah tidak ada di dalam iring-iringan itu. Mereka justru memisahkan diri untuk selanjurnya meninggalkan kademangan yang sedang sibuk membuka rahasia kejahatan Demang mereka sendiri.
- Apakah kita tidak perlu mengamati mereka " - bertanya Rara Wulan.
- Dari kejauhan saja, Rara. Aku yakin, bahwa Ki Demang akan menunjukkan semua gadis yang telah diculik dan disembunyikannya Selanjutnya kita tidak usah turut campur.- Jika orang-orang upahannya itu datang lagi " - Kau lihat, berapa banyak orang yang ikut mengiringinya. Mereka tentu tidak akan merasa takut lagi kepada orang-orang upahan Ki Demang. Laki-laki yang mengiringinya itu pada umumnya membawa senjata apa saja yang ada. Bahkan ada yang membawa selumbat, sepotong kayu yang ujungnya ditajamkan, yang biasanya untuk mengupas serabut kelapa. Ada yang sekedar membawa kayu selarak pintu. Namun ada juga yang membawa tombak, pedang dan keris.- Tadi seharusnya kakang tidak melepaskan orang-orang upahan itu. Seharusnya kakang menangkapnya dan mengikat mereka, sehingga mereka tidak akan mengganggu lagi.- Semula aku juga berpikir seperti itu, Rara. Tetapi aku berpikir lebih jauh lagi. Jika mereka disakiti oleh orang-orang kademangan ini, maka dendamnya akan berbahaya bagi kademangan ini. Aku percaya bahwa salah seorang di antara mereka mempunyai hubungan dengan sebuah perguruan. Dengan melepaskan mereka, maka rasa-rasanya mereka tidak akan mendendam dan kembali lagi ke padukuhan untuk melakukan pembalasan.- Mereka hanya akan mendendam kepada kita "- Itu mungkin sekali. Tapi bukankah kita sudah menyadari kemungkinan seperti itu akan dapat terjadi atas diri kita "Rara Wulan mengangguk-angguk
Demikianlah, maka keduanya tidak melibatkan diri lagi dalam persoalan Ki Demang yang sudah berada di tangan rakyatnya. Biarlah Ki Jagabaya untuk sementara memimpin kademangan itu. Khususnya untuk menyelesaikan persoalan Ki Demang dengan gadis-gadis yang pernah diculiknya serta orang tua mereka.
Agaknya semalam suntuk Ki Jagabaya dan sekelompok laki-laki di kademangan itu mencari gadis-gadis yang pernah hilang. Ketika kemudian matahari terbit, semua gadis telah dapat dibebaskan dan diserahkan kepada orang tua masing-masing.
Hampir saja para bebahu tidak mampu menahan kemarahan orang-orang yang pernah kehilangan anak gadisnya. Seseorang dengan serta merta telah mengayunkan pedangnya. Untunglah, bahwa Ki Jagabaya sempat mendorong Ki Demang kesamping. Ki Demang itu jatuh terguling di tanah. Namun ujung pedang itu masih juga menyentuh kulitnya, sehingga bajunya di arah lengannya koyak, serta kulitnya tergores sehingga darah mulai menitik.
Yang justru mengalami benturan perasaan terberat adalah Ki Jagabaya. Sebagai seorang paman yang pernah kehilangan kemanakan-nya, maka rasa-rasanya iapun ingin mengungkapkan kemarahannya. Tetapi justru karena kedudukannya, maka ia harus menahan agar orang-orang yang marah itu tidak langsung menghakimi Ki Demang yang pucat, gemetar dan menangis itu.
Akhirnya Ki Jagabaya telah membawa Ki Demang dan menahannya di banjar dengan kaki dan tangan terikat
Dalam pada itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan kademangan itu. Ki Jagabaya dan terutama orang tua gadis yang pernah hilang itu, tidak berhasil menemukannya Orang yang semalam dititipi pedang itupun tidak tahu, kemana kedua orang yang mengaku sebagai kakak beradik itu pergi.
Buku 336 "KITA telah kehilangan," berkata ayah gadis yang pertama kali dibebaskan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, "gadis yang menyebut dirinya Wara. Sisi itu telah mengumpankan dirinya sendiri. Sebagai seorang gadis yang cantik, ia berharap bahwa Ki Demang yang telah dicurigainya itu menculiknya. Dengan tingkat kemampuannya yang tinggi, ia justru berhasil menawan Ki Demang serta membebaskan anak gadisku."
"Gadis itu telah kecewa," desis ibu gadis yang pertama kali diketemukan.
"Salahku. Dalam keadaan bingung sekali, aku justru membentaknya. Tetapi aku sudah mohon maaf, dan gadis itu bersedia datang kembali ke rumah ini."
"Kita tidak akan dapat menemukan mereka," berkata Ki Jagabaya dengan penuh penyesalan.
Orang-orang kademangan itu memang menyesali kepergian Glagah Putih dan Rara Wulan. Apalagi orangtua dari gadis-gadis yang hilang yang telah diketemukan kembali. Mereka menjadi semakin menyesal, ketika mereka mendengar dari orang yang pernah dititipi pedang oleh Rara Wulan, bahwa perempuan yang menyebut dirinya Wara Sasi itu telah mengumpankan dirinya untuk membongkar kejahatan yang dilakukan oleh Ki Demang. Jika usaha perempuan itu gagal, maka ia sendiri akan menjadi korban sebagaimana gadis-gadis yang lain.
"Aku menduga bahwa ia akan kembali ke rumahku," berkata orang yang pernah dititipi pedang Rara Wulan itu.
"Kapan?" bertanya Ki Jagabaya.
"Itulah yang tidak dapat aku katakan."
Ki Jagabaya menarik nafas panjang. Katanya, "Apaboleh buat. Tetapi hati kami telah mengucapkan terima kasih kepada mereka. Meski-pun mereka tidak mendengar, tetapi kami bukan orang-orang yang tidak mau berterima kasih. Orang tua gadis-gadis yang hilang itu tentu sudah berputus-asa. Mereka cenderung untuk mempercayai dongeng yang mengerikan tentang Ki Demang."
"Ya. Kami juga mengira bahwa anak gadis kami sudah mati dan tidak mungkin akan dapat pulang dalam keadaan apa-pun."
"Kita ucapkan terima kasih kami dengan hati yang tulus. Biarlah angin membawanya ke telinga hati kedua orang kakak beradik itu," berkata salah seorang ibu dari seorang gadis yang telah diketemukan pula.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan-pun sudah semakin jauh meninggalkan padukuhan itu. Mereka sadari, bahwa ada kemungkinan buruk terjadi atas diri mereka. Orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati itu akan dapat menyentuh saudara-saudaranya seperti sentuhan pada sarang semut ngangrang. Semut-semut itu akan dapat keluar dari sarangnya dan menebar berserakan dengan marah.
Semalam suntuk keduanya tidak beristirahat. Ketika matahari naik, serta sinarnya mulai menggatalkan kulit, keduanya sampai kesebuah pasar yang terhitung ramai dikunjungi orang.
"Agaknya hari ini hari pasaran," desis Rara Wulan.
"Kita dapat berhenti sebentar disini."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Kita cari minuman hangat. Aku haus."
"Dan lapar." Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Ya. Kita memang lapar. Lihat, mega megana nampaknya masih hangat."
"Apakah tidak sebaiknya kita masuk ke kedai itu" Kita dapat duduk lebih tenang."
"Kenapa harus masuk kedai?"
"Bukankah kita juga ingin membeli minuman hangat?"
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun ia-pun masih berdesis, Apakah kita sudah berada cukup jauh dari kademangan yang dipimpin oleh manusia serigala itu?"
"Agaknya sudah, Rara. Bukankah kita sudah berjalan cukup lama?"
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Baiklah, kita masuk ke dalam kedai saja. Kita dapat minum minuman hangat serta makan nasi megana yang masih mengepul dengan lebih tenang."
Demikianlah, maka keduanya telah memilih kedai yang paling ujung dari sederet kedai yang ada di sebelah pasar yang ramai itu.
Demikian mereka duduk dan memesan makan dan minum, Rara Wulan-pun berdesis, "Kita berada tidak jauh dari sebuah sungai."
Pelayan kedai yang mendengar kata-kata Rara Wulan itu-pun menyahut, "Tidak jauh di belakang kedai ini ada sebatang sungai."
Rara Wulan mengangguk-angguk, "sungai apa?"
"Sungai Pepe." "O," tetapi Rara Wulan masih bertanya, "Pasar ini?"
"Pasar Banyuanyar."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara pelayanan itulah yang justru bertanya, "Ki Sanak berdua datang dari jauh?"
"Ya," Glagah Putihlah yang menjawab.
"Darimana?" "Kami adalah pengembara. Kami tidak lagi mengingat asal kami dan tidak pula memperhatikan arah perjalanan kami."
Orang itu mengganguk-angguk. Sementara Rara Wulan-pun berdesis, "Tolong, pesanan kami Ki Sanak."
"O, maaf. Aku terpancing untuk berbincang."
Pelayan itu-pun segera pergi untuk menyiapkan pesanan Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara pemilik kedai itu bertanya perlahan-lahan kepada pelayannya, "Apa yang dikatakan?"
"Mereka pengembara. Mereka bertanya, dimana mereka sekarang berada."
"Layani mereka secepatnya. Biarlah mereka segera meninggalkan kedai ini."
"Kenapa?" "Kenapa" Kau masih bertanya?"
Pelayan kedai itu termangu-mangu sejenak. Sementara pemilik kedai itu-pun berkata, "Kau memang dungu. Tiga hari berturut-turut telah terjadi pencurian di kademangan Banyuanyar."
"O," palayan itu mengangguk-angguk, "tetapi bukankah ia seorang perempuan?"
Pemilik kedai itu menjawab, "Bukankah yang seorang laki-laki."
"Ya. Tetapi jika ia melakukan kejahatan, mengapa mengajak seorang perempuan?"
"Bukankah kau juga melihat bahwa perempuan itu bukan perempuan kebanyakan. Perempuan itu berpakaian aneh serta membawa pedang di lambungnya."
Pelayan itu mengangguk-angguk. Katanya, "Memang mungkin saja. Tetapi bukankah kita tidak dapat dianggap bersalah jika keduanya membeli minum dan makan di kedai ini" Bukankah kita tidak tahu apa-apa."
"Tentu. Tetapi siapa tahu bahwa mereka akan melakukan kejahatan disini. Selagi banyak orang, biarlah keduanya segera selesai dan pergi. Nanti, jika kebetulan kedai ini kosong, keduanya dapat saja tiba-tiba menjulurkan pedangnya di leher kita. Merampok uang kita."
Pelayan itu-pun mengangguk. Ia-pun segera menghidangkan minum dan makan yang dipesan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah disiapkan oleh pemilik kedai itu."
"Silahkan Ki Sanak," berkata pelayan kedai itu.
"Terima kasih," desis Rara Wulan.
Rara Wulan yang haus segera meraih mangkuk minumannya. Tetapi ternyata minumannya itu masih terlalu panas, sehingga Rara Wulain masih harus menunggu.
Bagi pemilik kedai itu, rasa-rasanya Glagah Putih dan Rara Wulan itu sangat lama duduk di kedainya. Dua tiga orang sudah meninggalkan kedai itu dan berganti dengan orang-orang baru. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum selesai.
Tetapi pemilik kedai itu tidak dapat mengusirnya. Meski-pun pemilik kedai itu mencurigai mereka tetapi kecurigaan itu bukannya satu kepastian bahwa keduanya telah melakukan kejahatan di kademangan itu.
Ketika kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan itu selesai dan memanggil pelayan kedai itu untuk membayar, pemilik kedai itu menjadi berlega hati. Rara-rasanya kedainya telah menjadi lapang kembali.
Sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di halaman kedai itu. Di depan mereka nampak kesibukan pasar masih saja terasa. Bahkan rasa-rasanya orang-orang menjadi semakin banyak berjejal di pasar pada hari pasaran itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan masih berdiri di halaman. Mereka tertegun ketika mereka melihat beberapa orang prajurit lewat.
Namun para prajurit itu tidak berhenti. Mereka menyibak orang-orang yang berada di jalan di depan pasar dan berjalan terus melintasi pasar memasuki padukuhan.
Meski-pun para prajurit itu tidak berhenti dan tidak berbuat apa-apa, namun kehadiran mereka telah menimbulkan ketegangan. Orang-orang yang berada di jalan, di depan pasar itu masih saja memandang kearah para prajurit yang semakin dalam memasuki padukuhan.
Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu-mangu di halaman kedai itu. Sementara itu, pemilik kedai nampaknya merasa tidak begitu senang, bahwa keduanya tidak segera meninggalkan halaman kedainya.
"Jika para prajurit itu melihat mereka berdua, maka keduanya tentu akan ditangkap," berkata pemilik kedai itu.
"Apa alasannya?" bertanya pelayannya.
"Keduanya sangat mencurigakan. Lihat para prajurit yang lewat."
"Para prajurit itu sudah jauh. Mereka masih saja berdiri disitu. Aku menjadi semakin curiga kepada mereka. Sikap serta pakaian perempuan itu tidak sebagaimana perempuan kebanyakan."
"Tetapi bukankah mereka tidak berbuat apa-apa," sahut pelayannya.
"Dungu kau," geram pemilik kedai itu, "suruh mereka pergi."
"He?" "Suruh mereka pergi."
"Bagaimana aku menyuruh mereka pergi" Bukankah mereka tidak mengganggu kita?"
"Tentu saja mengganggu. Orang-orang yang akan masuk ke kedai ini akan menjadi ragu-ragu. Bahkan ada yang mengurungkan niatnya."
"Ah, kau aneh-aneh saja kang. Lihat, dua orang itu tanpa ragu-ragu masuk ke kedai kita."
"Ya dua orang itu. Tetapi ampat orang yang lain hanya berhenti termangu-mangu. Akhirnya mereka meneruskan perjalanan mereka. Mereka tentu akan singgah di kedai yang lain."
Pelayan itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara pemilik kedai itu membentaknya, "Cepat. Suruh mereka pergi."
Pelayan kedai itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika ia menatap mata pemilik kedai itu, hatinya menjadi kecut. Sehingga karena itu, maka pelayan itu-pun segera turun ke halaman dan melangkah betapa-pun ia ragu, mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih saja berdiri di halaman kedai itu.
"Maaf, Ki Sanak," berkata pelayan kedai itu kepada Glagah Putih.
Glagah Putih dan Rara Wulan berpaling. Mereka merasa heran melihat sikap pelayan kedai itu. Dengan ragu-ragu Glagah Putih bertanya, "Ki Sanak berbicara dengan aku?"
Pelayan itu mengangguk sambil menjawab, "Ya, anak muda."
"O, maaf. Aku tidak segera menyadarinya."
"Ki sanak," berkata pelayan itu kemudian, "bukan maksudku sendiri. Aku hanya menjalankan perintah majikanku."
"Ada apa Ki Sanak?"
"Karena itu, jangan marah kepadaku. Sebenarnya aku keberatan untuk melakukannya. Tetapi jika aku menolak, maka aku akan dapat di marahinnya, bahkan mungkin dipecat."
"Ada apa sebenarnya, Ki Sanak," bertanya Glagah Putih.
"Majikanku, pemilik kedai itu, minta agar Ki Sanak berdua segera meninggalkan halaman kedai ini."
"Kenapa?" Majikanku khawatir, bahwa orang-orang yang akan masuk ke kedai ini mengurungkan niatnya melihat anak muda berdua berdiri disini."
"kenapa?" bertanya Rara Wulan.
"Mereka menjadi ketakutan. Anak muda berdua bukan orang yang dikenal disini. Sementara itu, adikmu, seorang perempuan menyandang pedang di lambungnya. Pakaiannya-pun tidak sebagaimana pakaian perempuankebanyakan."
Rara Wulan akan menjawab. Tetapi Glagah Putih telah mendahuluinya, "O, maaf Ki Sanak. Kami tidak menyadarinya. Baiklah. Kami akan segera pergi."
"Tetapi, tetapi bukan maksudku. Aku sendiri tidak menaruh keberatan apa apa. Aku hanya menjalankan perintah majikanku."
"Baik, baik. Aku tahu," sahut Glagah Putih.
Tetapi wajah Rara Wulan menjadi merah. Meski-pun demikian ia tidak sempat menjawab, karena Glagah Putih-pun segera berkata kepadanya, "Marilah. Agaknya kita mengganggu orang yang akan memasuki kedai ini."
Namun baru saja mereka akan melangkah pergi, terdengar pemilik kedai itu berteriak, "Tidak, bukan kami."
Namun suaranya terputus dikerongkongan.
Pelayan kedai, Glagah Putih dan Rara Wulan itu-pun segera berpaling. Mereka melihat keributan terjadi di dalam kedai itu.
"Ada apa Ki Sanak?" bertanya Glagah Putih.
"Entahlah," sahut pelayan kedai itu. Dengan serta merta pelayan itu-pun berlari ke pintu kedainya sambil berkata, "Maaf Ki Sanak. Aku akan melihatnya."
Namun demikian pelayannya itu berlari ke pintu, tiba-tiba saja ia-pun telah terlempar keluar. Tubuhnya jatuh terguling beberapa kali.
Ketika ia mencoba bangkit berdiri, maka punggungnya terasa sangat sakit
Demikian pelayan itu terlempar keluar, maka seorang yang bertubuh tinggi kekar meloncat menyusulnya. Kemudian menyeretnya kembali masuk ke dalam kedai.
"Ada apa?" desis Rara Wulan.
"Marilah kita lihat. Tetapi berhati-hatilah."
Keduanya-pun kemudian melangkah mendekati pintu. Belum lagi mereka tahu apa yang terjadi di dalam kedai itu, terdengar seorang berkata lantang, "Masuklah. Masuklah atau aku akan membunuh kalian berdua."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandang sejenak. Namun kemudian terdengar orang yang berdiri di belakang pintu menggeram, "Masuklah cepat."
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun melangkah ke pintu. Namun demikian kakinya melangkahi tlundak, tangan mereka telah ditarik dengan kuat. Glagah Putih dan Rara Wulan itu-pun terlempar kedalam kedai itu menimpa lincak bambu panjang.
Rara Wulan menyeringai menahan sakit di pinggangnya.
Tetapi sebelum Rara Wulan berbuat sesuatu, Glagah Putih telah menggamitnya sambil berdesis.
Rara Wulan yang marah itu mengurungkan niatnya untuk berbuat sesuatu. Sementara itu, mereka mendengar seseorang membentak pemilik kedai itu, "Tentu kau yang telah melaporkan kehadiran kami disini."
"Tidak Ki Sanak. Sungguh."
"Tadi aku singgah di kedaimu. Kemudian beberapa orang prajurit menuju kemari. Tanpa laporanmu, para prajurit itu tidak pernah sampai di pasar ini."
"Sungguh. Aku bersumpah."
"Apa artinya sumpahmu bagi kami". Sebaiknya kau mengaku sebelum aku penggal lehermu."
"Sungguh, Ki Sanak. Sungguh. Kami tidak melaporkan."
"Kau yang paling awal memperhatikan kehadiranku disini ketika aku dan kawan-kawanku itu makan di kedai ini."
"Sungguh mati. Jika kalian tidak percaya, bertanyalah kepada para prajurit itu."
"Edan kau. Ternyata kau cerdik juga. Kau mencoba untuk menjebak kami. Tetapi kami bukan orang-orang dungu sebagaimana kau duga."
"Jangan membuang-buang waktu," berkata seorang yang lain. "sebelum para prajurit yang meronda itu kembali, kita lemparkan mayat orang itu ke Kali Pepe."
"Ampun. Aku minta ampun."
Seorang yang lain tertawa. Katanya, "Sekarang kau minta ampun. Pada saat kau melaporkan kehadiran kami, kau tentu mentertawakan kami didalam hatimu."
"Tidak. Aku justru tidak memperhatikan ketika kalian berada di kedai ini. Aku tidak tahu siapakah kalian dan apa yang telah kalian lakukan."
"Tidak ada gunanya kau membela diri. Sudah sepantasnya kau dibunuh dan mayatmu akan kami lemparkan ke Kali Pepe."
"Sumpah bahwa aku tidak melaporkannya. Biarlah aku disambar petir jika aku melaporkan kehadiranmu disini. Tetapi entahlah jika hal itu dilakukan oleh pelayaanku."
"Pelayanmu" Mana pelayanmu itu?"
Pemilik kedai itu-pun segera menunjuk kepada pelayannya yang gemetar.
"Jadi kau yang melaporkan keberadaan kami disini, he?"
Pelayan kedai itu menjadi bingung. Wajahnya nampak pucat. Keringat dingin mengalir seperti diperas dari tubuhnya.
"Aku tidak tahu apa-apa."
"Tentu kau yang sudah melaporkan kehadiran kami kepada petugas di pasar itu, yang kemudian melaporkannya kepada para prajurit sehingga mereka mengirimkan beberapa orangnya untuk mencari kami. Sebenarnya kami tidak takut kepada para prajurit itu. Apalagi hanya beberapa. Nanti, jika perlu kami akan membinasakan mereka semuanya. Tetapi yang sangat menjengkelkan adalah bahwa ada orang yang ikut campur persoalan orang lain dan melaporkan kehadiran kami disini."
"Bukan aku. Bukan aku."
"Kalau bukan kau siapa lagi," pemilik kedai itu berteriak, "aku sendiri tentu tidak akan dapat meninggalkan kedai ini. Aku harus menyiapkan pesanan makan dan minum para tamu. Tentu kau yang telah lari sebentar menemui petugas pasar itu. Itulah agaknya, kenapa aku harus berteriak memanggilmu tadi untuk menyampaikan pesan kepada seorang tamu."
"Kang, apa yang sebenarnya terjadi, kang. Kenapa tiba-tiba saja kau memfitnah aku" Bukankah aku sudah bekerja disini bertahun-tahun. Sekarang, tiba-tiba saja kau surukkan kepalaku kedalam api."
"Kaulah yang hampir mencelakakan aku. Karena pokalmu, aku telah dituduh melaporkan kehadiran mereka disini. Jika hal itu tidak kau lakukan, maka hidupku tidak akan terancam."
"Tetapi sungguh, kang. Matilah aku jika aku melaporkan orang yang datang itu."
"Tetapi aku tidak melakukannya."
Seorang yang bertubuh tinggi dan kekar itu-pun berkata, "Kita bawa saja ke sungai. Kita akan mengikat kaki dan tangannya, memasukkan kedalam karung dan melemparkan ke dalam sungai. Betapa-pun dangkalnya sungai itu, ia akhirnya tentu akan mati."
"Jangan, jangan," pelayan kedai itu berteriak-teriak.
"Berteriaklah. Meski-pun orang-orang di kedai sebelah mendengarnya mereka tidak akan berani berbuat apa-apa."
"Marilah. Banyak orang berkerumun di halaman. Jika para prajurit itu 1ewat, tentu akan menarik perhatian mereka. Kita seret orang itu ke Kali Pepe."
Dua orang diantara orang-orang yang garang itu telah menangkap pergelangan tangan pelayan kedai itu dan menyeretnya lewat pintu belakang.
"Lewat pntu belakang saja," berkata salah seorang yang menyeret pelayan itu, "di depan banyak orang yang akan menonton."
Demikian mereka keluar dari pintu kedai sebelah belakang, maka mereka akan langsung turun ke jalan kecil yang menuju ke sungai.
"Jangan-jangan," teriak pelayan itu.
Orang-orang yang menyeretnya tidak menghiraukannya. Pelayan itu-pun mereka seret dengan kasar menuju ke sungai.
Namun tiba-tiba saja ada suara lain, "Jangan. Jangan."
Orang-orang it-pun tertegun. Ketika mereka berpaling, dilihatnya dua orang. Laki-laki dan perempuan berdiri beberapa langkah di belakang mereka.
"Jangan lakukan itu," berkata Glagah Putih.
"Kau siapa?" "Apakah kau perlu mengetahui siapa aku?"
"Supaya kau tidak mati tanpa nama."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Baiklah, Namaku Warigalit dan adikku,Wara Sasi. Puas?"
"Kalian sombong sekali anak-anak muda."
"Sekarang, aku bertanya. Siapakah kalian" Apakah kalian juga akan mengaku murid perguruan Kedung Jati?"
Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka bertanya, "Kenapa kau sebut perguruan Kedung Jati?"
"Aku mendendam orang-orang perguruan Kedung Jati," jawab Glagah Putih
"Persetan dengan perguruan Kedung Jati. Aku memang pernah mendengar. Tetapi aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan perguruan itu."
"Jadi, siapakah kalian?"
"Kami adalah kami yang berdiri diatas kekuatan dan kemampuan kami sendiri."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Rara Wulan-pun bertanya, "Kenapa tiba-tiba saja kau marah kepada pemilik kedai yang licik itu, yang berusaha untuk menyelamatkan diri dengan mengorbankan orang lain. Dan kenapa kalian begitu bodoh untuk langsung mempercayainya?"
Orang yang bertubuh tinggi kekar itu menggeram. Katanya dengan suara yang bergetar, "Kau benar-benar ingin mencampuri persoalan kami, anak muda."
"Ya. Justru karena kau begitu bodoh untuk menuduh pelayan kedai itu bersalah."
"Orang ini telah melaporkan kehadiranku disini."
"Bukankah itu sekedar dugaanmu?"
"Tidak ada kemungkinan lain."
"Kenapa kau menjadi ketakutan melihat beberapa orang prajurit lewat. Mungkin prajurit-prajurit itu sekedar meronda sebagaimana sering mereka lakukan di hari-hari pasaran. Mungkin mereka mempunyai keperluan lain. Jika kau tidak merasa bersalah, kau tidak usah gelisah meski-pun ada prajurit segelar-sepapan lewat jalan itu."
"Cukup," potong orang itu, "kau tidak usah turut campur. Pergilah. Atau kau berdua juga akan aku lemparkan ke Kali Pepe seperti orang ini."
Glagah Putih justru melangkah mendekat sambil berkata, "Lepaskan orang itu. Ia tidak bersalah."
"Diam kau," bentak orang bertubuh tinggi kekar itu.
"Lepaskan orang itu, kau dengar," tiba-tiba saja Glagah Putih membentak lebih keras, "jika kalian tidak mau melepaskan orang itu, maka kami akan mempergunakan kekerasan."
"Apakah kau sudah gila anak-anak muda" Kau kira kau ini siapa he" Agaknya kalian belum pernah mengenal aku."
"Kami memang belum pernah mengenal kalian. Perguruan kalian dan guru kalian."
"Pengetahuanmu memang picik. Karena itu, pergilah sebelum kami sampai pada batas kesabaran kami."
"Aku hampir tidak telaten menunggu kalian sampai sebatas kesabaran. Katakan caranya, agar kalian lebih cepat sampai sebatas itu."
"Anak iblis, kau."
"Lepaskan orang itu, kalian dengar" Atau kalian memang tuli?"
Orang bertubuh tinggi dan kekar itu benar-benar tidak dapat mengekang diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah melompat menyerang Glagah Putih. Namun dengan satu loncatan kesamping sambil memiringkan tubuhnya, Glagah Putih berhasil menghindar dari serangan orang itu. Tangan orang itu terjulur setapak di depan dada Glagah Putih. Namun sama sekali tidak menyentuhnya.
Pada saat yang bersamaan, Glagah Putih telah mengayunkan tangannya menebas mengenai pinggang orang yang bertubuh tinggi kekar itu.
Orang itu mengaduh tertahan. Dengan cepat ia meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Namun kemudian mulutnyalah yang mengumpat-umpat
Glagah Putih sengaja tidak memburunya. Namun ia-pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Rara Wulan-pun segera bersiap pula. Dengan lantang Rara Wulan itu-pun berkata, "Nah, sebelum terlambat, lepaskan orang itu dan kalian harus pergi dari tempat ini. Atau kami akan menangkap kalian dan menyerahkan kepada para prajurit yang sedang meronda itu."
Seorang yang bertubuh agak gemuk melangkah maju sambil berteriak marah, "Kalian berdua memang orang-orang gila. Tetapi kalian akan menyesal. Kalian akan mati terbenam di Kali Pepe itu, seperti pelayan kedai yang telah melaporkan kehadiran kami itu."
Namun Rara Wulan tidak menghiraukannya sama sekali. Bahkan ia-pun berkata, "Nampaknya kalian benar-benar ingin mati."
Orang bertubuh gemuk itu-pun kemudian berkata, "Jangan hiraukan tikus-tikus kecil ini. Bawa orang itu ke sungai. Aku akan menyelesaikan kedua orang ini dan membawanya ke sungai pula."
Kedua orang yang menyeret pelayan kedai itu-pun tidak menghiraukan lagi kedua orang laki-laki dan perempuan itu. Mereka telah menyeret pelayan itu lagi ke arah Kali Pepe.
"Marilah," berkata orang bertubuh gemuk itu kepada Glagah Putih, "aku akan menyelesaikan kalian berdua."
Ketika orang yang bertubuh tinggi kekar itu melangkah mendekat maka orang bertubuh gemuk itu-pun berkata, "Pergi sajalah ke sungai bersama yang lain-lain."
"Aku ingin menyeret perempuan itu ke sungai. Mungkin aku tidak tergesa-gesa menenggelamkannya."
"Setan kau." "Aku ingin melihat mereka menyesali kesombongan mereka."
Orang bertubuh gemuk itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak mencegah orang yang bertubuh tinggi kekar itu mendekati Rara Wulan.
Tetapi yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Sebelum orang bertubuh kekar itu berbuat sesuatu, maka Rara Wulan justru telah meloncat menyerangnya. Dengan satu loncatan panjang, kakinya terjulur lurus menyamping langsung ke arah dada.
Orang bertubuh tinggi kekar itu terkejut. Namun kaki itu sudah terlalu dekat di depan dadanya.
Dengan demikian, maka orang itu tidak lagi dapat mengelak atau menangkis serangan Rara Wulan. Serangan yang datang dengan derasnya itu-pun langsung mengenai dadanya yang bidang.
Terdengar orang itu mengaduh. Tubuhnya terdorong beberapa lingkah surut. Dengan derasnya orang itu terbanting jatuh.
Sekali orang itu menggeliat. Namun kemudian ia-pun telah menjadi pingsan.
Orang yang bertubuh gemuk itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Glagah Putih telah berdiri di hadapannya.
"Bagaimana dengan kita?" bertanya Glagah Putih kepada orang bertubuh gemuk itu.
Orang itu mundur selangkah. Ia-pun kemudian menyadari sepenuhnya bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi. Perempuan itu dapat langsung membuat kawannya yang bertubuh tinggi kekar itu pingsan. Tentu laki-laki muda itu dapat berbuat lebih banyak lagi.
Karena itu, maka orang bertubuh gemuk itu-pun tiba-tiba telah berteriak nyaring, "Tunggu. Kita berhadapan dengan sepasang iblis. Kita akan menyelesaikan mereka sebelum kita melemparkan orang itu ke sungai. Kita akan membunuh sepasang iblis ini."
Orang-orang yang sudah mulai bergerak untuk pergi ke Kali Pepe itu tertegun. Demikian pula kedua orang yang menyeret pelayan kedai yang malang, yang berteriak-teriak ketakutan.
"Diam kau pengecut," bentak seorang yang menyeretnya.
Tetapi orang itu masih saja berteriak, "Ampun. Aku tidak bersalah. Jangan lemparkan aku ke sungai."
Orang yang menyeretnya menjadi jengkel. Satu pukulan yang keras mengenai tengkuknya, sehingga orang itu terdiam. Demikian kedua orang itu melepaskannya, maka orang itu-pun rebah tidak sadarkan diri.
Sebentar kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah berhadapan dengan lima orang laki-laki yang garang. Seorang lagi berusaha menolong kawannya yang sedang pingsan.
"Kita akan membinasakan iblis ini," geram orang yang bertubuh gemuk.
Dalam pada itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah berdiri saling membelakangi. Perlahan-lahan Glagah Putih-pun berbisik, "Hati-hati Rara."
Rara Wulan tidak menyahut. Tetapi ia-pun sudah bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, lima orang yang mengepung mereka itu-pun telah menarik senjata mereka. Nampaknya mereka orang-orang seperguruan yang mempergunakan senjata dari jenis yang sama pula.
Sesaat kemudian, kelima orang itu telah menggenggam golok di tangan mereka.
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak ingin mengalami akibat terburuk. Karena itu, maka keduanya-pun telah menarik pedang mereka pula.
Ketika kelima orang itu mulai bergerak, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun mulai bergeser pula.
Demikianlah sejenak kemudian kelima orang itu-pun segera berloncatan sambil berputar. Mereka dengan cepat menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Namun kadang-kadang mereka hampir berbarengan meloncat sambil mengulurkan golok mereka yang besar itu.
14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dengan tangkasnya Glagah Putih dan Rara Wulan menangkis setiap serangan. Bahkan mereka tidak sekedar menebas senjata lawan menyamping, namun mereka bahkan sering menangkis dengan membenturkan pedang mereka.
Kelima orang itu memang terkejut. Pada setiap benturan yang terjadi, terasa telapak tangan mereka menjadi pedih.
Ternyata kekuatan kedua orang yang berada di dalam kepungan mereka itu terlalu besar.
Namun orang-orang itu-pun merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang ditakuti. Karena itu, maka mereka tidak segera mau mengakui kenyataan yang mereka hadapi. Bahkan dengan kemarahan yang membakar isi dada mereka, kelima orang itu-pun telah meningkatkan kemampuan mereka sampai kepuncak. Bahkan seorang yang berusaha menolong kawannya yang pingsan itu-pun telah siap untuk turun ke arena setelah kawannya itu menjadi sadar.
Glagah Putih dan Rara Wulan melihat kemungkinan yang lebih buruk, jika kedua orang itu ikut pula bertempur bersama saudara-saudara seperguruan mereka. Pekerjaan mereka akan menjadi lebih berat untuk menghadapi tujuh orang bersama-sama meski-pun seorang di antara mereka baru sadar dari pingsannya.
Karena itu, sebelum keduanya langsung terjun ke arena, maka Glagah Putih telah memberi isyarat Rara Wulan untuk menghentakkan ilmu mereka.
Kelima orang lawannya terkejut. Tetapi mereka terlambat menyadari hentakkan serangan kedua orang yang mereka kepung itu. Ketiga orang itu berloncatan surut ketika dua orang di antara mereka terpelanting dari arena.
Untuk sesaat pertempuran itu terhenti. Glagah Putih mau-pun Rara Wulan tidak memburu lawan-lawan mereka yang mengambil jarak. Namun dengan lantang Glagah Putih-pun berkata, "Menyerahlah. Atau kami terpaksa membunuh."
Tetapi orang yang bertubuh gemuk itu-pun berkata, "Kalian telah kehilangan semua kesempatan. Kalian akan mati, dan mayat kalian akan trerapung di Kali Pepe."
Bukan saja orang-orang itu sajalah yang telah kehabisan kesabaran, tetapi Rara Wulan-pun rasa-rasanya tidak lagi dapat menahan diri. Karena itu, maka ia-pun berkata, "Bagus. Apakah dengan demikian berarti kalian benar-benar akan membunuh kami?"
"Ya. Tidak ada alasan apa-pun juga untuk membatalkannya. Meski-pun kalian berdua menangis dan menitikkan air mata darah serta mencium telapak kakiku, kami tetap akan membunuhmu."
"Jika demikian, kami-pun akan mengambil keputusan yang sama. Tidak ada alasan untuk mengurungkan niat kami membunuh kalian."
Orang-orang itu tidak berbicara lebih panjang. Dua orang yang lain telah siap untuk turun ke arena. Seorang yang bertubuh tinggi kekar yang telah sadar dari pingsannya. Yang seorang lagi yang telah menolongnya dan membantunya mengatasi kesulitan pernafasannya.
Sementara itu dua orang yang baru saja terlempar dari arena itu-pun telah pingsan pula. Ternyata mereka tidak terluka oleh senjata. Tetapi serangan kaki Glagah Putih dan Rara Wulanlah yang telah melemparkan mereka dan membuat mereka pingsan.
Tetapi ketika kemarahan Rara Wulan telah sampai ke puncak, maka agaknya ia tidak akan mengekang diri lagi. Pedangnya benar-benar akan berbicara.
Sejenak kemudian, lawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu telah menjadi lima kembali. Dengan garangnya kelima orang itu mulai bergeser. Seperti yang dikatakan oleh orang yang bertubuh gemuk itu, bahwa kelima orang itu benar-benar akan membunuh. Tidak ada alasan apa-pun untuk mengurungkan pembunuhan itu.
Ketika seorang di antara mereka mulai menjulurkan goloknya, maka pertempuran telah berkobar kembali. Kelima orang itu menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan dari segala arah. Golok mereka yang besar terayun-ayun mengerikan. Sementara itu yang lain terjulur lurus menggapai ke arah dada.
Ketika pertempuran itu sedang berlangsung dengan sengitnya, maka kedua orang yang pingsan itu-pun mulai menjadi sadar kembali. Keduanya membuka mata dan menggeliat perlahan-lahan.
Sementara itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Lima orang bersenjata golok yang besar itu berloncatan mengelilingi dua orang yang berdiri beradu punggung.
Kedua orang yang baru saja pingsan itu segera menyadari apa yang terjadi. Mereka-pun segera berusaha untuk bangkit meski-pun tulang-tulang mereka terasa nyeri.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak ingin bertempur melawan tujuh orang sekaligus. Karena itu, ketika kedua orang yang pingsan itu bangkit serta memungut golok mereka, sekali lagi Glagah Putih dan Rara Wulan menghentakkan kemampuan mereka.
Pada saat kedua orang itu memasuki arena, maka mereka justru bergeser surut. Demikian pula ketiga orang kawan mereka. Sedangkan dua orang yang lain, terhuyung-huyung beberapa langkah. Namun keduanya tidak mampu mempertahankan keseimbangan mereka.
Kedua orang itu-pun telah jatuh berguling di tanah. Mereka tidak saja dikenai serangan kaki atau tangan Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi kedua-keduanya benar-benar telah terluka. Seorang diantara mereka terluka menyilang di dada. Pedang Glagah Putih telah menyentuh dan meninggalkan luka yang panjang di dadanya.
Sementara itu, lambung yang seorang lagi telah terkoyak oleh pedang Rara Wulan.
Sejenak kelima orang yang lain termangu-mangu. Mereka memandang kedua orang kawannya yang terluka. Kemudian dengan sorot mata yang bagaikan menyala, mereka memandang Glagah Putih dan Rara Wulan yang berdiri dengan pedang yang bergetar di tangan mereka.
"Kalian memang sepasang iblis," berkata orang yang bertubuh tinggi dan kekar, yang telah sadar dari pingsannya serta memasuki arena pertempuran itu lagi.
"Kami akan membunuh kalian semuanya. Tidak ada alasan untuk membatalkannya," geram Rara Wulan.
Orang bertubuh gemuk itulah yang kemudian maju selangkah. Dikembangkannya tangan kirinya sambil berkata lantang, "Sekarang. Kita bunuh mereka sekarang."
Kelima orang itu meloncat hampir bersamaan. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan segera berloncatan. Serangan-serangan dari kelima orang itu sama sekali tidak menyentuhnya.
Kembali terdengar dentang senjata beradu. Kelima buah golok di tangan kelima orang lawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu berputaran, terayun-ayun dan menebas mendatar. Kelima orang laki-laki yang garang itu berusaha untuk menembus pertahanan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Namun ternyata pertahanan Glagah Putih dan Rara Wulan terlalu rapat sehingga kelima orang itu masih belum berhasil. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan berloncatan seperti burung sikatan menyambar bilalang.
Semakin lama benturan yang terjadi pun menjadi semakin keras. Namun yang mengeluh karena telapak tangannya terasa pedih bukan Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan ini masih dapat meningkatkan ilmu pedang mereka, sehingga justru pertahanan kelima orang itulah yang menjadi goyah.
Orang yang bertubuh tinggi kekar itu berteriak nyaring ketika justru ujung pedang Rara Wulan yang telah menyentuh bahunya.
Kemarahan, dari orang-orang yang nampak garang itu-pun menjadi semakin menyala. Mereka-pun telah menghentakkan kemampuan mereka. Golok-golok mereka-pun terayun-ayun semakin cepat.
Tetapi mereka tetap tidak mampu menguasai kedua orang lawan mereka. Bahkan seorang lagi diantara mereka yang telah tersentuh pedang Glagah Putih di lengannya. Seorang lagi justru dipahanya. Sedangkan orang yang gemuk itu telah tergores di pundaknya.
Betapa-pun kemarahan membakar jantung orang-orang yang garang itu, namun mereka tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa kedua orang itu tidak akan dapat ditundukkannya. Bahkan beberapa saat kemudian, kelima orang yang sedang bertempur itu-pun telah terluka semuanya. Darah telah mengalir dari tubuh mereka. Sementara itu, tenaga mereka-pun seakan-akan telah terkuras habis. Bukan saja karena darah yang bagaikan terperas, tetapi juga karena mereka telah menghentak-hentakkan tenaga dan kemampuan mereka.
Dalam pada itu, terdengar suara Rara Wulan, "Kami akan membunuh kalian semuanya. Tidak ada alasan untuk mengurungkannya."
Jantung kelima orang lawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu-pun menjadi semakin cepat berdetak. Mereka benar-benar tidak mempunyai harapan lagi kecuali melarikan diri. Namun untuk melarikan diri-pun mereka harus membuat perhitungan yang sebaik-baiknya, karena kedua orang itu tentu akan melepaskan mereka.
Tetapi bagi mereka, melarikan diri adalah satu-satunya harapan bagi sebuah kemungkinan untuk hidup.
Karena itu, orang-orang itu mempunyai pertimbangan yang hampir bersamaan meski-pun mereka tidak sempat membicarakannya. Meninggalkan arena pertempuran dengan meninggalkan kedua orang kawannya yang terluka cukup parah.
Namun semuanya sudah terlambat untuk melarikan diri-pun sudah terlambat pula.
Sebelum mereka berbuat apa-apa, tiba-tiba saja tempat itu sudah dikepung oleh beberapa orang prajurit dengan ujung tombak yang merunduk.
"Hentikan," perintah Lurah prajurit yang mengepung tempat itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun segera berloncatan mengambil jarak dari lawan-lawannya Mereka masih berdiri beradu punggung.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Lurah prajurit itu.
Pelayan kedai yang semula sudah kehilangan harapan untuk tetap hidup itulah yang tertatih-tatih mendekati Lurah prajurit itu sambil berkata, "Orang-orang itu akan membunuhku tanpa alasan. Sedangkan kedua orang laki-laki dan perempuan itu berusaha menolongku."
Lurah prajurit itu termangu-mangu sejenak. Ia-pun kemudian memandang berkeliling. Orang-orang yang sudah terluka itu, dan bahkan orang-orang yang berada di kejauhan.
"Orang itu berbohong Ki Lurah," berkata orang yang bertubuh gemuk, yang bajunya sudah bernoda darah.
"Ya," sahut orang yang bertubuh tinggi dan kekar, yang terluka bukan saja di pundaknya, tetapi juga di pinggang dan tangannya.
"Jika orang itu berbohong, apakah yang sebenarnya telah terjadi?" bertanya Lurah prajurit itu.
"Aku tidak berbohong," sahut pelayan kedai itu, "orang-orang itu menuduhku melaporkan kehadiran mereka, sehingga pagi ini para prajurit meronda sampai ke pasar ini."
"Tidak," teriak salah seorang dari kelima orang yang terluka itu.
"Jika tidak, lalu apa?" bertanya Lurah prajurit itu pula.
Orang-orang itu terdiam. Mereka belum merencanakan, apa yang akan mereka katakan.
Karena orang-orang itu tidak segera menjawab, maka Lurah prajurit itu-pun bertanya kepada pelayan kedai itu, "Kau siapa?"
"Aku pelayan kedai itu, Ki Sanak. Ki Sanak dapat bertanya kepada pemilik kedai itu atau kepada pemilik kedai yang lain. Mereka tahu, bahwa aku adalah pelayan kedai itu."
Lurah prajurit itu mengangguk-angguk.
Namun sebenarnyalah para prajurit itu lebih mempercayai pelayan kedai itu daripada orang-orang yang telah terluka. Menilik ujudnya, maka para prajurit itu dapat segera mengenali, bahwa orang-orang yang terluka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Namun kemudian Lurah prajurit itu-pun bertanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "Siapakah kalian berdua Ki Sanak?"
"Kami adalah pengembara, Ki Sanak. Namaku Warigalit. Perempuan ini adalah adikku."
"Menurut kalian berdua, kenapa kalian bertempur melawan orang-orang ini?"
"Seperti kata pelayan kedai itu, Ki Sanak. Kami sedang singgah untuk makan dan minum di kedai itu ketika orang-orang itu berusaha menangkap dan melemparkan pelayan kedai itu ke kali Pepe."
Lurah prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, "baiklah. Kami akan menangkap orang-orang itu. Tetapi jika diperlukan, pelayan kedai itu akan kami panggil setiap saat untuk memberikan kesaksiannya."
"Aku bersedia. Ki Sanak," sahut pelayan kedai itu.
Lurah prajurit itu-pun terrnangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kalian berdua juga tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum persoalan ini selesai."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putih-pun berkata, "Kami adalah pengembara. Jika kami tidak boleh meninggalkan tempat ini, kami harus tinggal dimana?"
Pelayan kedai itulah yang dengan serta-merta menyahut, "Kalian dapat tinggal dirumahku, Ki Sanak. Meski-pun rumahku kecil, tetapi ada tempat bagi kalian berdua untuk dua tiga hari."
"Apakah dalam dua atau tiga hari persoalannya sudah selesai" Meski-pun persoalannya mungkin masih akan berlanjut sampai tuntas, namun dalam dua tiga hari kalian dapat meninggalkan tempat ini."
"Bahkan seandainya mereka harus pergi, aku bersedia mempertanggung-jawabkan persoalannya," berkata pelayan kedai itu, "bahkan kecuali aku, maka tentu akan banyak saksi yang bersedia memberikan keterangan dengan jujur."
"Aku minta kalian berdua tetap tinggal disini."
"Baik," jawab Glagah Putih, "kami akan tinggal disini untuk dua atau tiga hari."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, para prajurit itu-pun telah membawa orang-orang yang garang itu. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan akan tinggal barang dua tiga hari di padukuhan itu.
"Perjalanan kami akan terhambat," desis Rara Wulan.
"Aku berharap kalian bersedia tinggal di rumahku dalam dua tiga hari ini. Tetapi jika kalian mempunyai kepentingan lain yang harus segera kalian lakukan, tinggalkan saja tempat ini. Biarlah aku yang menjawab pertanyaan-pertanyaan para prajurit itu. Para saksi-pun akan dapat memberikan penjelasan kalau kalian tidak bersalah."
"Aku telah melukai mereka. Dua orang diantara mereka nampaknya agak parah."
"Itu salah mereka."
"Untunglah para prajurit itu segera datang, sehingga aku tidak terpaksa membunuh mereka."
"Jangan salahkan diri sendiri."
Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Agaknya mereka telah terlibat persoalan yang akan menahan perjalanan mereka. Tetapi mereka tidak akan dapat menghindar. Mereka tidak akan dapat membiarkan kesewenang-wenangan terjadi.
Karena itu, jika keterlibatan mereka itu harus menahan perjalanan mereka, apaboleh buat
Dalam pada itu, setelah para prajurit yang membawa orang-orang yang garang itu, termasuk dua orang yang lukanya agak parah, menjadi semakin jauh, maka pemilik kedai itu-pun telah berlari-lari menemui Glagah Putih dan Rara Wulan. Sambil mengangguk hormat orang itu berkata, "Terima kasih atas pertolongan Ki Sanak berdua. Jika tidak, maka kawanku itu sudah dilemparkan ke Kali Pepe. Mungkin ia tidak akan dapat lagi membantu aku untuk selanjutnya."
Glagah Putih memandang orang itu dengan kerut di dahi. Dengan nada berat Glagah Putih-pun bertanya, "Kenapa kau jadikan kawanmu itu kambing hitam, sehingga hampir saja menelan nyawanya?"
"Maksud Ki Sanak."
"Kenapa kau lemparkan tuduhan orang-orang itu kepadanya?"
"Aku menjadi bingung sekali Ki Sanak."
"Tetapi kenapa kau harus menunjuk orang yang sudah bertahun-tahun bekerja padamu."
"Aku takut sekali."
"Kau ingin selamat?"
"Ya Begitulah, Ki Sanak."
"Dengan mengorbankan orang lain."
"Bukan maksudku."
"Seharusnya kaulah yang bertanggung jawab atas keselamatannya. Orang itu bekerja padamu. Kau harus melindunginya. Bukan sebaliknya. Justru orang yang berada dibawah tanggung jawabmu itu telah kau jadikan kambing hitam. Kau korbankan orang itu demi keselamatanmu. Padahal orang itu sama sekali tidak bersalah dan bahkan tidak tahu menahu persoalannya."
"Aku menyesal, Ki Sanak."
"Jika banyak orang mempunyai watak seperti kau, maka banyak orang yang akan tersuruk kedalam bencana tanpa melakukan kesalahan apa-pun juga, karena ia hanya sekedar menanggung beban yang seharusnya dipikul orang lain."
"Aku menyesal, Ki Sanak. Tetapi sebenarnyalah aku bingung sekali. Aku mempunyai enam orang anak yang harus aku hidupi."
Glagah Putih-pun kemudian berpaling kepada pelayan kedai itu sambil bertanya, "Berapa orang anakmu Ki Sanak?"
"Delapan." "Delapan?" Rara Wulan menjadi heran, "masih muda itu kau sudah mempunyai delapan orang anak?"
"Itu begitu saja terjadi, Ki Sanak. Aku sama sekali tidak merencanakannya."
Rara Wulan menahan tertawanya. Sementara Glagah Putih-pun berkata kepada pemilik kedai itu, "nah, kau dengar. Ia mempunyai anak lebih banyak dari anakmu."
"Waktu itu aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sendiri merasa tidak bersalah. Aku tidak melakukan apa yang dituduhkannya kepadaku."
"Lalu kau lemparkan nasib burukmu itu kepada orang lain yang juga tidak bersalah."
"Aku akan minta maaf kepadanya."
Glagah Putih-pun terdiam.
Seperti yang dikatakannya, maka pemilik kedai itu-pun minta maaf kepada pelayannya. Nampaknya pemilik kedai itu benar-benar menyesal, bahwa pelayannya itu hampir saja mati dilemparkan kedalam sungai oleh orang-orang yang garang itu.
"Agaknya membunuh merupakan permainan yang menyenangkan bagi mereka," berkata Glagah Putih di dalam hatinya.
Seperti yang dikatakan oleh para prajurit, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu tidak boleh meninggalkan lingkungan itu. Setiap saat mereka dapat dipanggil untuk memberikan keterangan tentang peristiwa yang telah terjadi di belakang kedai itu.
Hari itu, kedai itu-pun segera ditutup meski-pun belum waktunya. Pelayan kedai itu-pun segera pulang bersama Glagah Putih dan Rara Wulan.
Seperti yang dikatakannya, rumahnya memang tidak begitu besar. Sementara itu, ia mempunyai delapan orang anak. Namun seperti yang dikatakannya pula, di rumahnya masih ada tempat bagi Glagah Putih dan Rara Wulan yang akan bermalam.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berada di rumah pelayan kedai itu, maka anak-anaknya yang kecil-kecil itu merubunginya. Seperti ayahnya, anak-anak itu segera akrab dengan orang yang semula belum dikenalnya. Agak berbeda dengan ibunya yang sedikit pemalu, meski-pun setelah berkenalan, ia-pun segera menjadi akrab.
"Keduanya telah menyelamatkan jiwaku," berkata pelayan kedai itu kedua isterinya.
"Terima kasih, Ki Sanak. Terima kasih. Jika kalian tidak menolong suamiku, entahlah apa jadinya keluarga ini. Anakku begitu banyak, sementara aku tidak dapat bekerja apa-apa kecuali pergi ke sawah."
"Namaku Warigalit, mbokayu. Adikku namanya Wara Sasi."
"Nama yang bagus," desis perempuan itu. Sementara pelayan kedai itu berkata, "Orang memanggilku. Setraderma."
"Rumahku tidak mempunyai gandok yang dapat kami peruntukkan bagi tamu-tamu kami adi Warigalit, tetapi sentong sebelah dapat aku siapkan bagi kalian berdua."
"Kami dapat tidur dimana saja, kakang. Setraderma. Kami dapat tidur disini, di amben besar ini bersama anak-anak."
"Anak-anak terlalu ribut jika mereka mulai berbaring di amben besar ini."
"Akhirnya mereka akan tertidur juga."
"Tetapi biarlah kalian tidur di sentong itu."
Glagah Putih tertawa. Sementara Rara Wulan-pun berkata, "Tidak apa-apa, kakang. Biarlah kami tidur disini."
Pelayan kedai itu akhirnya tidak memaksa. Jika kedua orang itu ingin tidur bersama anak-anak, maka biarlah mereka tidur di amben yang besar itu.
Setelah Glagah Putih dan Rara Wulan mandi, maka mereka-pun dipersilahkan makan bersama anak-anak. Sebenarnyalah betapa repotnya Nyi. Setraderma melayani anak-anak. Dari delapan orang anak itu, baru tiga orang sudah dapat melayani dirinya sendiri. Sementara yang lain masih harus dilayani oleh ibunya. Dua yang terkecil dari kedelapan anak itu masih harus disuapi. Sedangkan anak yang kelima dan keenam sudah mencoba untuk makan sendiri. Tetapi nasinya masih terhambur disekitar mangkuknya.
Rara Wulanlah yang menjadi berdebar-debar. Berbeda dengan Nyi. Setraderma yang sudah terbiasa melayani anak-anaknya. Bahkan Nyi. Setraderma seakan-akan tidak menghiraukan anaknya yang kelima dan keenam menghamburkan nasi dari mangkuknya.
Kakaknya yang bungsulah yang kemudian membantu adiknya itu.
"Alangkah repotnya," berkata Rara Wulan didalam hati.
"Marilah, adikku berdua," Ki. Setraderma mempersilahkan, "biarlah anak-anak makan bersama ibunya. Kita juga akan makan."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menolak. Tetapi mereka sempat memikirkan kehidupan Ki. Setraderma. Ki. Setraderma bekerja sebagai seorang pelayan kedai yang penghasilannya tentu itu mencukupi. Mungkin ia mempunyai sawah serba sedikit. Tetapi untuk makan sekian banyak orang, tentu tidak mencukupi pula.
"Bahkan aku kira. Setraderma itu masih belum berkeluarga," berkata Rara Wulan didalam hatinya, "atau setidak-tidaknya belum begitu lama menikah. Namun ternyata anaknya sudah delapan, yang jaraknya yang satu dengan yang lain tidak lebih dari setahun.
"Orang ini tentu kawin muda," berkata rara Wulan di dalam hatinya pula.
Namun ketika Rara Wulan mencoba unutk membantu anak yang keenam, anak itu justru menyingkir. Diangkatnya mangkuknya yang masih berisi nasi. Namun karena mangkuk itu miring, maka sebagian sayurnya telah tumpah.
Tetapi ternyata ibunya tidak menjadi bingung. Dibiarkannya anak itu bergeser dan duduk di belakangnya.
Namun kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan harus bergeser.
Ki. Setraderma mempersilahkan mereka untuk makan pula. "Seadanya di makan," berkata Ki. Setraderma.
"Sebagai pengembara kami terbiasa makan apa adanya, kakang. Yang kami hadapi sekarang adalah lebih dari cukup."
"Tetapi menilik pesananmu di kedai itu, kalian terbiasa makan jauh lebih baik dari yang dapat kami hidangkan."
"Tidak, kakang. Kami tidak selalu makan sebagaimana kami pesan. Bahkan kadang-kadang kami harus makan rebung bambu yang kami rebus karena tidak ada makanan lain. Kadang-kadang buah-buahan apa saja yang kami dapatkan. Namun kadang-kadang juga binatang buruan yang kami asapi."
Ki. Setraderma mengangguk-angguk. Sementara itu, untuk menunjukkan keakrabannya, serta kebiasaannya sebagai pengembara, maka Glagah Putih dan Rara Wulan makan dengan lahapnya.
Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidur di amben yang besar di ruang dalam rumah yang tidak besar itu. Seperti yang dikatakan oleh Nyi. Setraderma, sebelum tidur, anak-anak itu selalu saja ribut Ada yang bergurau dan tertawa berkepanjangan. Tetapi ada pula yang bertengkar bahkan berkelahi.
Dengan sabar Nyi. Setraderma melerai anak-anaknya yang bertengkar, namun juga mencegah anaknya yang tertawa berkepanjangan.
"Nanti kalian masuk angin," berkata Nyi. Setraderma. Lalu katanya pula, "Sekarang, tidurlah. Aku mempunyai sebuah dongeng yang bagus bagi kalian."
"Dongeng apa?" bertanya anaknya yang keempat, "Cindelaras."
"Ibu kemarin sudah menceriterakan dongeng Cinde Laras. Bahkan ibu sudah menceriterakan berulang kali."
"Lainnya," berkata anaknya yang kelima.
"Lainnya apa lagi?"
"Golek kencana," minta anaknya yang kelima.
"Aku sudah jemu," berkata anaknya yang ketiga.
"Kau tidak usah ikut mendengarkan. Kau tidur saja," sahut anak yang keempat.
"Lainnya saja," berkata anaknya yeng ketiga.
"Timun emas." "Emoh. Kasihan Timun Emas dikejar Buta Ijo."
"Lalu apa?" "Othak-othak ugel," berkata Ki. Setraderma.
"Ya. Othak-othak ugel. Aku mau," sahut tiga anak Ki. Setraderma berbareng.
Nyi. Setraderma itu-pun kemudian ikut berbaring bersama anak-anaknya sambil menceriterakan sebuah dongeng yang melingkar-lingkar tanpa ujung pangkal karena Nyi. Setraderma sendiri sudah mengantuk.
Namun ketika anak-anaknya sudah tertidur, maka Nyi. Setraderma itu bangkit dan mengangkat anaknya yang bungsu ke dalam biliknya, sementara itu Ki. Setraderma mengangkat anaknya yang ketujuh. Juga dibawa masuk ke dalam biliknya. Yang lain dibiarkannya tidur di amben yang besar itu.
"Apakah adi berdua dapat tidur bersama mereka?"
"Dapat saja mbokayu," jawab Rara Wulan, "aku senang tidur bersama mereka."
Malam itu, sebelum Glagah Putih dan Rara Wulan membaringkan dirinya, untuk beberapa saat lamanya, mereka masih berbincang dengan Ki. Setraderma. Menurut Ki. Setraderma, pemilik kedai itu memang seorang yang sangat mementingkan diri sendiri.
"Jika saja sawahku tidak hanya secabik, maka aku tidak akan kerasan bekerja padanya. Tetapi untuk menutup kebutuhan karena hasil sawahku tidak mencukupi, maka aku harus bekerja padanya. Di kedai itu, aku mendapat makan dua kali. Dengan demikian aku tidak lagi mengganggu persediaan makan anak-anak serta ibunya. Selain itu, kadang-kadang jika hati pemilik kedai itu sedang cerah, aku mendapat beberapa potong lauk yang tersisa di kedai itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan menganggung-angguk. Namun mereka dapat membayangkan kesulitan-kesulitan yang disandang oleh suami isteri yang masih terlalu muda untuk merawat dan membesarkan delapan orang anak. Bahkan mungkin masih dapat bertambah lagi. Satu bahkan dua karena umur mereka.
Menjelang tengah malam, maka Ki. Setraderma-pun telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan tidur. Sementara itu, pelayan kedai itu sendiri telah masuk kedalam biliknya pula.
Glagah Putih dan Rara Wulan sempat memperhatikan wajah anak-anak yang sedang tidur nyenyak itu. Wajah-wajah yang bening. Wajah-wajah itu membayangkan jiwa mereka yang seakan-akan tidak bercacat.
"Merekalah sahabat-sahabat yang paling baik," berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah berbaring pula di amben yang besar itu.
Dalam pada itu, malam-pun menjadi semakin malam. Dikesunyian terdengar derik cengkerik dan bilalang di halaman. Suara angkup yang terdengar seperti sedang merintih berkepanjangan.
Ketika mata Glagah Putih hampir terpejam, tiba-tiba saja jantungnya terasa berdesir. Telinganya yang tajam, mendengar langkah kaki seseorang di belakang dinding bambu rumah itu.
Glagah Putih menahan nafasnya. Di sebelahnya Rara Wulan telah lebih dahulu tertidur. Agaknya perempuan itu merasa letih.
Suara langkah kaki itu semakin jelas di telinga Glagah Putih, meski-pun agaknya orang yang berada di balik dinding itu berusaha untuk teringsut perlahan-lahan.
Namun suara itu-pun kemudian telah menghilang. Glagah Putih tidak lagi mendengar langkah kaki itu lagi.
Beberapa saat lamanya, Glagah Putih berusaha mempertajam pendengarannya. Ternyata ia-pun berhasil menangkap desah nafas orang yang berada di bilik dinding itu.
Lampu di ruang dalam itu telah menjadi redup sejak Ki. Setraderma masuk ke dalam biliknya. Anak-anak yang tidur di sebelah Glagah Putih itu nampaknya menjadi semakin nyenyak. Agaknya di sudut ruang itu, Nyi. Setraderma menyulut ontel keluwih. Asapnya dapat mengusir nyamuk, meski-pun baunya terasa menusuk hidung.
Namun ontel keluwih itu tinggal pangkalnya lagi. Sebentar lagi ontel itu akan habis menjadi abu.
Perlahan-lahan dan dengan hati-hati Glagah Putih membangunkan Rara Wulan. Demikian Rara Wulan membuka matanya, Glagah Putih langsung memberi isyarat kepadanya agar berdiam diri.
Rara Wulan-pun tanggap akan isyarat itu. Karena itu, maka Rara Wulan tidak berbuat sesuatu. Rara Wulan justru berusaha menyadari sepenuhnya apa yang ada disekitarnya.
Dalam pada itu, terdengar lagi suara desir langkah di luar dinding. Rara Wulan yang telah terbangun itu-pun dapat mendengar pula sentuhan tubuh seseorang di luar dengan dinding rumah itu.
Bahkan sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar seseorang yang memutuskan tali-tali ijuk pengikat dinding itu dengan tiang kayu disudut ruang.
Glagah Putih dan Rara Wulan harus mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Tentu ada seseorang yang ingin berbuat jahat. Mungkin seorang pencuri, tetapi mungkin pula seorang yang mempunyai niat lebih jahat dari pencuri.
Karena itu, maka perlahan-lahan sekali Glagah Putih telah mencabut pedangnya dan bersiap mempergunakannya, meski-pun Glagah Putih masih tetap berbaring. Jika ia mencoba untuk bangkit dan apalagi turun dari amben yang besar itu, maka suara deritnya tentu akan terdengar dari luar.
Dalam keremangan cahaya lampu di ruang dalam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat melihat dinding bambu di sudut ruang dalam itu merenggang setelah tali-tali ijuknya terputus.
Jantung Glagah Putih berdesir. Ia melihat sesosok tubuh di luar dinding itu. Ia melihat kepalanya yang menjenguk ke dalam. Kemudian memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan yang berbaring di ujung amben yang besar itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak bergerak. Untunglah bahwa keduanya membelakangi lampu minyak yang redup, sehingga orang yang menjenguk itu tidak dapat melihat dengan jelas, apakah mata Glagah Putih dan Rara Wulan itu terbuka atau tidak.
Namun tanpa mengatakan sesuatu tiba-tiba saja orang yang menjengukkan kepalanya itu mendorong dinding sehingga terbuka semakin lebar. Tiba-tiba saja pula Glagah Putih melihat tangan orang itu terayun dengan cepatnya.
Dari tangan orang itu, Glagah Putih sempat melihat benda yang berkilat-kilat meluncur dengan derasnya. Untunglah bahwa Glagah Putih telah mempersiapkan pedangnya, sehingga dengan tangkasnya Glagah Putih sempat menangkis benda yang berkilat-kilat yang meluncur ke arah dadanya.
Benda itu-pun telah terpental mengenai atap rumah dan kemudian jatuh di lantai.
Ternyata benda itu adalah sebilah pisau belati.
Glagah Putih tidak menunggu lagi. Ia-pun segera meloncat ke arah orang itu. Dengan tangkasnya Glagah Putih memburu ke arah dinding yang terbuka itu sambil berkata, "Rara Lindung anak-anak itu."
Rara Wulan-pun telah bangkit pula, Ia-pun telah menarik pedangnya pula.
Peristiwa itu telah mengejutkan anak-anak yang sedang tidur. Beberapa orang di antara mereka langsung menangis menjerit-jerit sehingga membangunkan ayah dan ibunya di biliknya.
"Ada apa?" Ki. Setraderma meloncat keluar dari dalam biliknya.
Rara Wulan yang berdiri di antara anak-anak yang sedang menangis itu berkata, "Tenangkan anak-anak ini, kakang. Ada orang yang mencoba untuk mengganggu ketenangan malam ini."
"Siapa?" "Kami belum tahu, kakang. Kakang Warigalit sedang memburunya. Orang itu telah memotong tali-tali ijuk pengikat dinding pada tiang kayu itu. Dengan demikian maka dinding itu terbuka. Orang itu telah melemparkan pisau belati ke arah kakang Warigalit. Untunglah bahwa kakang Warigalit telah mempersiapkan dirinya."
Nyi. Setraderma segera keluar pula dari biliknya. Untunglah anak-anaknya yang tidur di dalam bilik itu tidak terbangun. Sementara itu, ayah dan ibu itu-pun berusaha untuk menenangkan anak-anak mereka.
"Jangan takut. Di sini ada paman Warigalit," berkata Ki. Setraderma.
Di luar rumah, Glagah Putih yang meloncat lewat dinding yang terbuka itu harus berloncatan dan berputar beberapa kali dengan menapakkan tangannya di tanah. Orang yang diburunya itu telah melemparkan tiga pisau belati lagi ke arah Glagah Putih. Satu diantaranya di tangkisnya dengan pedangnya. Sedangkan dua yang lain dihindarinya.
Orang yang melemparkan pisau belatinya itu mengumpat. Dengan tangkasnya orang itu melenting dan kemudian berdiri tegak di halaman.
Sesaat kemudian, Glagah Putih-pun telah berdiri di halaman itu pula.
"Siapakah kau anak iblis?" bertanya orang itu dengan geram.
"Seharusnya akulah yang bertanya. Siapakah kau dan kenapa tiba-tiba saja kau menyerang aku."
"Kau telah mencelakakan orang-orangku siang tadi."
"Orang-orang yang datang di kedai itu?"
"Ya. Kenapa kau ikut mencampuri urusan mereka?"
"Jadi kau anggap orang-orangmu dapat melakukan perbuatan sewenang-wenang itu?"
"Tetapi bukankah perbuatan mereka tidak menyentuh tubuhmu tidak pula menyinggung namamu."
"Orang itu telah menyinggung rasa kemanusiaanku. Dengan semena-mena orang-orang itu menangkap pelayan kedai itu dan akan melemparkannya ke sungai."
"Tetapi orang itu bersalah."
"Apa salahnya?"
"Orang itu telah melaporkan kehadiran orang-orangku. Pagi itu orang-orangku telah membeli minuman dan makanan di kedai itu. Kemudian beberapa orang prajurit telah datang meronda sampai ke pasar. Bukankah jelas, bahwa pelayan kedai itu telah melaporkan kehadiran orang-orangku?"
"Bagaimana jika yang melaporkan kehadiran orang-orangmu itu orang lain" Juga orang yang sedang membeli minuman dan makanan di kedai itu?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku tidak peduli. Tetapi kemungkinan terbesar adalah pemilik kedai itu atau pelayannya. Sementara itu pemilik kedai itu tidak merasa melakukannya, bahkan ia sudah menunjuk pelayannya."
"Kau tahu benar apa yang sudah terjadi. Apakah waktu itu kau juga ada di kedai itu?"
"Aku berada di sekitar tempat itu."
"Kenapa kau tidak berusaha menolong orang-orangmu tadi siang"'
"Aku bukan orang yang dungu dan tidak berperhitungan. Aku tidak mau ikut terkepung oleh para prajurit."
"Sekarang apa maumu?"
"Aku tidak dapat membiarkan kau menjerumuskan orang-orangku ke dalam kesulitan. Kau harus dihukum karenanya."
"Seharusnya kau menghukum orang-orangmu sendiri. Kenapa mereka berbuat semena-mena. Pelayan kedai itu sama sekali tidak bersalah. Ia tidak melaporkan kehadiran orang-orangmu kepada para prajurit."
"Pemilik kedai itulah yang bertanggung jawab. Bagi kami, keterangan pemilik kedai itu sudah cukup, sehingga apa yang kami lakukan adalah sah."
"Itukah paugeran yang berlaku menurut pendapatmu?"
"Paugeran bagi kami adalah apa yang kami kehendaki."
"Bagus, trapkan paugeran itu. Aku juga akan mengetrapkan paugeran yang sama. Apa yang aku inginkan, sah untuk aku lakukan atasmu."
Orang itu tidak menjawab. Dua buah pisau belati berbareng meluncur dari kedua belah tangannya. Namun Glagah Putih yang telah siap itu, dengan tangkasnya menggeliat, sehingga kedua-duanya pisau belati itu tidak menyentuh tubuhnya.
Ketika sebuah lagi pisau belati meluncur, maka ditangkisnya pisau belati itu dengan pedangnya, sehingga pisau itu terlempar jauh menyamping.
Orang itu tidak berbicara lagi. Dicabutnya pedangnya yang panjang. Kemudian dengan garangnya ia menyerang Glagah Putih yang telah lebih dahulu memegang pedangnya.
Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ilmu pedang orang itu cukup tinggi, sehingga Glagah Putih harus meningkatkan kemampuannya untuk mengimbanginya.
Serangan-serangan orang itu semakin lama menjadi semakin cepat. Pedangnya bergetar menggapai-gapai.
Namun Glagah Putih-pun cukup tangkas. Serangan-serangan yang cepat dari lawannya tidak mampu menguak pertahanannya. Setiap kali pedang orang itu selalu membentur pedang Glagah Putih yang berputar dengan cepat.
Namun Glagah Putih-pun cukup berhati-hati. Ia menyadari bahwa setiap saat orang itu dapat melemparkan pisau-pisaunya di samping ayunan pedangnya.
Untuk beberapa saat mereka mengadu kemampuan mereka dalam ilmu pedang. Beberapa kali lawan Glagah Putih itu harus meloncat surut mengambil jarak karena serangan Glagah Putih yang datang membadai.
Namun seperti yang diperhitungkan oleh Glagah Putih, maka di samping ujung pedangnya, maka pisau belati orang itu masih juga meluncur mengarah ke dada Glagah Putih.
Glagah Putih masih mampu menghindar dengan memiringkan tubuhnya. Namun ia terkejut bahwa satu lagi pisau belati meluncur dari tangan orang itu.
Demikian cepatnya, sehingga Glagah Putih sedikit terlambat menggeliat. Meski-pun Glagah Putih sudah berusaha, namun pisau itu masih juga melukai lengannya.
Glagah Putih meloncat surut. Di lengannya, darah mulai menitik dari lukanya.
Kemarahan Glagah Putih membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Darahnya terasa memanasi seluruh tubuhnya.
Ketika orang itu melemparkan lagi pisau belatinya, Glagah Putih telah menepis dengan pedangnya, sehingga pisau belati itu terlempar jauh ke samping.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran bidikan pisau lawannya Karena itu, maka Glagah Putih harus bergerak lebih cepat dari ayunan tangan orang itu, sehingga orang itu tidak sempat menarik pisaunya yang berjajar diikat pinggangnya dan melemparkannya ke arah Glagah Putih.
Dengan perhitungan itulah, maka Glagah Putih-pun telah menyerang orang itu dengan cepat. Ia menjaga jarak jangkauan pedangnya. Jika lawannya sempat mengambil jarak, maka pisau-pisaunya tentu akan meluncur ke arah dadanya.
Dengan demikian maka serangan Glagah Putih-pun kemudian datang seperti arus angin ribut. Serangannya datang beruntun, bahkan seakan-akan dari segala arah.
Lawannya memang tidak mempunyai kesempatan untuk melontarkan pisaunya. Sedangkan ilmu pedangnya ternyata berada dibawah kemampuan lawannya yang masih muda itu.
Dalam keadaan yang memaksa, maka orang itu-pun telah meloncat surut. Ia berusaha untuk mengambil jarak. Dengan cepat pula ia telah menarik pisaunya dari ikat pinggangnya.
Namun Glagah Putih ternyata mampu bergerak lebih cepat. Sebelum orang itu sempat melemparkan pisaunya, maka ujung pedang Glagah Putih telah menggapai dada orang itu, langsung menghunjam menyentuh jantung.
Orang itu sempat mengaduh tertahan. Namun kemudian orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
Ketika orang itu jatuh terguling di tanah, terdengar pelayan kedai itu memukul kentongan dengan irama titir.
Beberapa orang yang mendengar suara kentongan itu ternyata tidak segera berlari keluar. Mereka memang merasa ragu-ragu. Jika yang datang ke padukuhan itu segerombolan perampok yang garang, maka apakah orang-orang padukuhan itu akan dapat melawannya.
Bahkan ada diantara mereka yang berpendapat bahwa yang datang itu tentu kawan-kawan dari orang-orang yang akan membunuh. Setraderma. Mereka mendendam karena niat mereka membunuh. Setraderma gagal.
Namun ketika suara titir itu sempat menjalar, maka orang-orang padukuhan itu mulai berani keluar dari rumahnya. Semakin lama semakin banyak. Semula mereka-pun ragu-ragu untuk datang ke rumah. Setraderma. Namun akhirnya mereka-pun telah memasuki regol halaman rumah itu.
Namun ketika mereka datang, orang yang bertempur melawan Glagah Putih itu sudah terkapar mati.
"Kau telah membunuhnya," berkata Ki Bekel yang kemudian juga datang.
"Ya," jawab Glagah Putih, "aku tidak mempunyai pilihan lain. Jika aku tidak membunuhnya, maka akulah yang akan mati."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun kemudian ia-pun berkata, "Peristiwa ini tentu ada hubungannya dengan peristiwa di pasar itu."
14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin sekali, Ki Bekel."
"Besok kau harus melaporkan peristiwa ini."
"Biarlah aku yang melaporkannya, Ki Bekel," berkata. Setraderma.
"Siapa-pun yang melaporkan, tetapi peristiwa ini akan diusut berkaitan dengan peristiwa di kedai itu."
"Baik, Ki Bekel. Aku siap memberikan kesaksian," berkata. Setraderma.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Bawalah mayat ini ke serambi. Besok kita akan menguburnya."
Dalam pada itu, maka Glagah Putih-pun telah memberikan penjelasan, bahwa orang itu memang datang untuk membalas dendam, karena beberapa orang kawannya telah ditangkap.
Namun dalam pada itu, didalam kegelapan seseorang memperhatikan pertistiwa itu dengan saksama. Orang itu melihat apa yang telah terjadi. Sejak peristiwa di kedai itu, maka ia sudah memperhitungkan bahwa kedua orang anak muda itu tentu akan disusul oleh seseorang atau sekelompok orang yang mendendam. Karena itu, maka orang itu telah hadir di tempat keduanya menginap.
"Luar biasa," desis orang itu, "seumurnya tentu sulit untuk dicari tandingnya. Ketika ia bertempur di belakang kedai itu, aku belum melihat tataran ilmunya yang sebenarnya. Pada kawannya perempuan muda itu, sekilas nampak ciri-ciri perguruan Kedung Jati. Namun pada tataran tertinggi ilmu anak muda ini, ciri-ciri perguruan Kedung Jati itu sama sekali tidak nampak lagi. Atau mungkin keduanya bukan saudara seperguruan. Seorang dari perguruan Kedung Jati, yang seorang bukan."
Namun orang itu tidak berbuat apa-apa. Ia hanya memperhatikan saja dari kejauhan. Bahkan kemudian orang itu-pun telah meninggalkan tempat itu.
Dikeesokan harinya, peristiwa itu-pun telah menjadi pembicaraan yang ramai. Lebih-lebih lagi mereka yang mengetahui atau sudah mendengar peristiwa yang terjadi di belakang kedai di sebelah pasar itu.
Sementara itu, sebelum matahari terbit,. Setraderma sudah pergi menghadap Ki Demang untuk melaporkan peristiwa itu.
Pada hari itu juga peristiwa yang terjadi itu telah dilaporkan kepada para prajurit Pajang yang bertugas. Peristiwa itu justru mempercepat pemeriksaan terhadap Glagah Putih dan Rara Wulan. Ternyata pada hari itu juga mereka telah dipanggil untuk memberikan keterangan, apa yang telah terjadi. Baik di belakang kedai di dekat pasar itu, mau-pun di rumah. Setraderma.
Ternyata setelah pemeriksaan selesai, maka tidak ada ikatan lagi bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan kesaksian. Setraderma serta pemilik kedai itu yang merasa telah bersalah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan justru diperkenankan untuk meninggalkan padukuhan itu.
Tetapi hari itu Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum meninggalkan rumah Ki. Setraderma. Ia masih menunggu tetangga-tetangga Ki. Setraderma menguburkan orang yang telah terbunuh itu, disaksikan oleh Ki Bekel dan Ki Demang.
Macan Kepala Ular 1 Pendekar Naga Putih 36 Misteri Desa Siluman Manusia Yang Bisa Menghilang 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama