Jaka Wulung 1 Pertarungan Di Bukit Segara Bagian 2
Kalau seorang gadis sudah dilarikan Si Pemetik Bunga, dipastikan nasibnya akan lebih buruk daripada sekadar kembali tinggal jasad. Sebagian lenyap tidak diketahui nasibnya. Beberapa lainnya kembali dalam keadaan tubuh yang hancur dan jiwa yang rusak.
Para orang tua hancur hatinya. Dan, kampung itu pun menjadi kawasan yang muram.
Tentu saja pada awalnya ada beberapa pemuda yang punya nyali untuk mencoba menghalangi sepak terjang Si Pemetik Bunga. Tapi, siapa pun yang nekat, sudah jelas nasibnya: pulang tinggal nama.
BRATALARAS sebenarnyalah lelaki yang tampan. Usianya kira-kira dua puluh tiga tahun. Rambutnya terurai hingga separuh punggungnya dan diikat dengan kulit ular sanca. Ia selalu mengenakan baju dan celana kulit ular tanpa lengan. Senjatanya adalah sebatang tongkat dengan pangkal berwujud kepala ular dan dengan ujung runcing berlapis baja.
Akan tetapi, begitulah, ketampanan wajah tidak berbanding lurus dengan perilakunya.
Sudahlah, Gadis Manis, tak perlu menangis. Nanti kita akan bersenangsenang, kata Bratalaras alias Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana.
Meskipun memondong si gadis di pundak, Bratalaras berlari ringan meniti bebatuan di tepi sungai.
Hanya terdengar isak tertahan-tahan. Si gadis tidak lagi bisa memberontak. Meskipun masih sadar, gadis itu hanya bisa pasrah dengan tubuh lemah karena titik-titik tertentu urat sarafnya sudah dibuat kaku dengan pukulan kecil ujung jari Bratalaras.
Akan tetapi, tiba-tiba langkah Bratalaras terhenti.
Nyaris tanpa diketahuinya dari mana datangnya, seorang pemuda tahutahu sudah berdiri tepat di jalur jalan yang akan dilaluinya.
Bratalaras membelalakkan matanya. Alisnya menyatu dan keningnya berkerut membentuk garis-garis. Tapi, hanya beberapa saat kemudian ia tertawa tergelak-gelak, seakan-akan menemukan kejadian yang sangat jenaka.
Mau apa kamu, Bocah" tanya Bratalaras. Tangannya kemudian menepisnepis seperti gerakan mengusir ayam. Hush, hush, ayo minggir!
Pemuda di hadapannya itu memang tampak masih sangat muda. Sekitar lima belas tahun. Rambutnya tergerai sepundak dan diikat seadanya dengan bandana hitam yang sudah pudar warnanya. Kulitnya kehitaman seperti bambu wulung.
Ia memang Jaka Wulung. Akan tetapi, kali ini bajunya tidak lagi sekumal beberapa waktu lalu. Baik baju maupun celananya sudah lebih baik dan bersih. Sedikit.
Jaka Wulung memandang Bratalaras dengan kepala sedikit miring, seakanakan mengira-ngira apa yang sedang dilakukan Si Pemetik Bunga.
Aha, desis Jaka Wulung kemudian. Pasti gadis yang dipondong Ki Dulur itulah yang tadi berteriak minta tolong.
Bratalaras memandang Jaka Wulung dengan sisa tawa di mulutnya. Kalau betul, kau mau apa"
Jaka Wulung berdeham, lalu pura-pura batuk. Yaaa, melihat kondisinya, tentu gadis itu sangat butuh pertolongan. Jadi, aku akan coba menolongnya.
Belum satu tarikan napas kata-kata Jaka Wulung lepas dari bibirnya, Bratalaras kembali tertawa terbahak-bahak. Kali ini bahkan sampai mengguncang-guncangkan tubuhnya dan tubuh lemas si gadis di pundaknya. Orang jahat bisa diketahui dari tawanya, pikir Jaka Wulung. Tawamu menyebalkan, Jaka Wulung mencebikkan bibirnya. Tawa Bratalaras langsung lenyap. Wajahnya pun segera berubah merah.
Seumur-umur, baru kali inilah ia terpaksa menghentikan tawanya secara mendadak. Dan, yang membuatnya terhenti tertawa hanyalah bocah culun yang baru saja kering ingusnya.
He, Bocah, minggirlah. Kau tahu dengan siapa berhadapan" Jaka Wulung menggeleng, lalu menyeringai. Memangnya kau siapa"
Pertanyaan sederhana ini membuat wajah Bratalaras kian merah. Darah di kepalanya serasa mendidih. Ditancapkannya tongkat berkepala ular sanca di tanah. Oh, bukan, di batu cadas! Dan, clep! Tongkat itu melesak sekitar setengah jengkal ke dalam. Sungguh pertunjukan tenaga dalam yang memukau.
Kali ini aku tak ingin membasahi tongkatku dengan darah anak semuda kau. Namaku Bratalaras. Orang mengenalku dengan nama Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana.
Bratalaras menunggu beberapa saat. Ia berharap, setelah mendengar namanya, bocah itu akan gemetaran dan langsung lari terbirit-birit sambil terkencing-kencing. Atau kalau tidak begitu, si bocah akan terduduk menyembah-nyembah meminta ampun. Atau malah bersujud menghunjamkan kepalanya ke tanah dan kedua tangan menangkup mengacung-acung. Sebab, memang seperti itulah yang biasa ia lihat jika orang-orang mengetahui siapa dia sebenarnya.
Akan tetapi, Jaka Wulung bukanlah bocah biasa.
Ia malah mengerutkan keningnya, seakan-akan sedang mengingat-ingat sesuatu, kemudian kepalanya menggeleng.
Ah, aku baru mendengar nama Bratalaras, ucap Jaka Wulung dengan wajah yang datar-datar saja. Nama yang sangat bagus. Begitu juga julukannya.
Bratalaras menggeram, lalu mencabut tongkat ular sancanya dengan cara menekan ke belakang sehingga menghasilkan percikan kerikil. Bocah setan. Kau mencari mampus rupanya!
Bratalaras bukanlah orang yang senang bermain. Apalagi ia juga sedang dikejar waktu. Ia tidak mau didahului oleh gelapnya malam. Oleh karena itu, meskipun hanya lontaran kerikil, ia melakukannya dengan tenaga penuh.
Butir-butir kerikil itu pun meluncur bersamaan mengarah tubuh Jaka Wulung, sangat cepat seperti lontaran ketapel! Jika salah satu kerikil itu mengenai sasaran di kepala, tulang kepala pun bisa retak!
Akan tetapi, Jaka Wulung kali ini bukanlah seorang bocah yang terkejut ketika disentil dengan peluru kerikil. Tanpa memindahkan kakinya, Jaka Wulung memiringkan tubuhnya ke kanan dan kerikil-kerikil itu melesat beberapa jari dari telinga kirinya.
Oh, rupanya kamu punya nyali juga! Bratalaras meraung seraya mengibaskan tongkat ular sanca di tangannya, berlawanan arah dengan gerakan tubuh Jaka Wulung ketika menghindar tadi. Ujung baja putihnya yang tajam menyibak udara, menimbulkan desir angin yang menciutkan nyali. Bratalaras yakin lawannya tidak akan memiliki kesempatan untuk menghindar.
Akan tetapi, melalui gerakan yang ringan, Jaka Wulung bisa membelokkan arah tubuhnya, masih tanpa memindahkan kakinya, dan dada Jaka Wulung hanya terkena angin kibasan tongkat Bratalaras. Dan, karena hanya mengenai udara kosong, Bratalaras terbawa oleh tenaganya sendiri.
Bahkan tanpa dipahami oleh Bratalaras, tiba-tiba ia merasakan jemarinya seperti dihantam sebatang baja.
Auww! pekik Bratalaras. Nyaris saja tongkat ular sanca miliknya lepas.
Bratalaras memandang Jaka Wulung seakan-akan si bocah adalah makhluk aneh yang baru pertama kali dilihatnya. Rupanya si bocah memukulnya dengan senjata sebatang kayu pendek yang aneh. Kapan si bocah menghunus senjatanya" Setahu Bratalaras, si bocah tadi hanya bertangan kosong!
Mimpi apa Bratalaras tadi malam sampai mengalami peristiwa aneh ini" Dia, Bratalaras, yang bergelar Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana, yang disegani para pendekar terutama di kawasan selatan Cakrabuana yang merentang hingga pantai selatan, hari ini kena pukul oleh seorang bocah tidak dikenal, hanya dalam dua gerakan pendek!
Atau ini hanya mimpi"
Akan tetapi, rasa sakit di jemarinya benar-benar nyata. Berdenyut-denyut hingga mencengkeram jantung.
Jangan berbangga diri dulu, Bocah! Bratalaras menurunkan si gadis curian dari pundaknya, setengah melemparkannya ke rumput di sisi jalan setapak.
Jaka Wulung menjadi sebal melihat lagak iblis berwajah tampan itu. He, siapa pula yang berbangga diri, Kang"
Bocah iblis! Bratalaras langsung mengarahkan ujung tongkatnya ke leher Jaka Wulung. Kali ini ia tidak mau meremehkan si bocah.
Wah, siapa pula yang iblis" Jaka Wulung menghindar dengan langkah ringan.
Akan tetapi, serangan pertama Bratalaras hanya pancingan. Tongkat Bratalaras memutar mengikuti ke arah tubuh Jaka Wulung menghindar, seakan-akan tongkat itu adalah ular sanca yang memiliki mata tajam dan tahu akan ke mana Jaka Wulung bergerak.
Jaka Wulung terkesiap sekejap melihat kecepatan gerak ujung tongkat Bratalaras. Ia terpaksa melenting dengan tumpuan salah satu kakinya.
Bratalaras tidak mau memberikan kesempatan bagi Jaka Wulung. Tangan kirinya yang bebas memutar separuh lingkaran dan mencoba memapas Jaka Wulung dari arah yang berbeda dengan arah tongkatnya.
Jaka Wulung merendahkan tubuhnya guna menghindari benturan. Ia masih enggan berbenturan dengan lawannya. Benturan yang tidak perlu mungkin saja akan membuat tenaganya cepat terkuras. Oleh karena itu, Jaka Wulung lebih mengikuti gerakan lawannya.
Bratalaras bukanlah pendekar kemarin sore. Sejak masih bocah, ia sudah mendapat gemblengan ilmu silat dahsyat dari seorang tokoh sakti di Gunung Cakrabuana, yang lebih dikenal dengan julukannya, Si Jari-Jari Pencabik, karena kegemarannya yang sangat mengerikan, yakni mencabikcabik tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya. Pada masanya, tokohtokoh persilatan, bahkan dari golongan hitam, pun enggan berurusan dengannya. Orang-orang menilai Si Jari-Jari Pencabik bukan lagi manusia, melainkan iblis!
Anak ular tentu tidak akan belajar terbang kepada induknya, tetapi belajar bagaimana menggelosor dengan otot-otot perutnya, mengintip mangsanya, menyerang dengan racunnya, lalu menerkam mangsanya.
Bratalaras pun menyerap segala macam ilmu dan perilaku gurunya. Bedanya, Bratalaras memanfaatkan rupa yang tampan, tidak buruk seperti gurunya, untuk menyalurkan hasrat jahatnya.
Kali ini Bratalaras melihat peluang untuk memasukkan serangan berikut, yaitu berupa sapuan kakinya. Gerakan kakinya itu pun sangat cepat, menjulur seperti kecepatan kepala ular ketika menerkam mangsanya.
Tongkat, tangan, dan kedua kaki Bratalaras benar-benar memberikan serangan tanpa jeda, seperti angin topan saja layaknya.
Di pihak lain, Jaka Wulung sudah pula menyerap semua ilmu dahsyat Resi Darmakusumah meskipun masih perlu waktu untuk mematangkannya. Nalurinya sudah terasah dan dengan otaknya yang cerdas, ia mampu meladeni serangan-serangan awal Bratalaras.
Dengan demikian, seiring dengan langit yang makin temaram, Jaka Wulung dan Bratalaras langsung terlibat dalam pertempuran dahsyat.
Bratalaras tidak lagi menerapkan gerak penjajakan, tetapi segera melarapkan ilmu andalannya, ilmu ular sanca emas, sebuah ilmu yang didasari gerak-gerak tipuan yang cerdik dan licik, tetapi juga disertai patukan-patukan yang mengejutkan.
Akan halnya Jaka Wulung, meskipun tenaga dalamnya masih memerlukan waktu untuk penyempurnaan, ia mampu menerapkan segala pelajaran yang telah diberikan gurunya, terutama gerak-gerak inti ilmu dahsyat gulung maung. Bahkan, Jaka Wulung kadang kala menyelipkan gerak-gerak ilmu gagak rimang yang ia serap dari pengalamannya mengintip bocah-bocah Jipang itu berlatih.
Bratalaras terus meningkatkan kecepatan dan tenaganya. Ia juga terus memasang gerak-gerak tipu untuk memerangkap lawannya. Tongkat berujung baja di tangannya mendesis-desis menebarkan ancaman kematian.
Akan tetapi, Jaka Wulung mampu melayani setiap tipuan dan terkaman Bratalaras. Bahkan, sesekali Jaka Wulung memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun untuk melancarkan serangan-serangan maut. Sebilah kayu tipis di tangannya berkali-kali mengincar titik-titik mematikan di tubuh lawannya. Jaka Wulung tidak akan setengah-setengah bertempur dengan manusia bermoral bejat macam Bratalaras. Ia sudah bertekad menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat banyak.
Bratalaras benar-benar geram dan penasaran. Ia sama sekali tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang masih bocah itu. Kalau lawannya adalah tokoh tersohor, ia bisa maklum mengalami pertempuran yang seimbang. Tapi, lawannya kali ini hanyalah bocah belasan tahun yang bahkan namanya pun belum ia tanyakan. Sungguh memalukan!
Oleh karena itu, Bratalaras bersiap dengan ilmu pamungkasnya: jari-jari naga maut. Ilmu ini sebenarnya belum dikuasainya benar dan ia perlu waktu lama untuk mematangkannya. Tapi, Bratalaras sudah gelap mata. Ia tidak melihat jalan lain untuk menaklukkan bocah aneh ini. Ssssss ...!
Dengan mengeluarkan suara desis, Bratalaras melipatgandakan tenaganya dan menyalurkannya ke tangan kirinya yang terbuka. Kuku-kukunya serasa bermunculan seperti cakar naga. Disertai raungan yang menggetarkan udara, Bratalaras meloncat panjang langsung berniat membenturkan cakar naganya ke dada Jaka Wulung.
Jaka Wulung terkesiap melihat ilmu lawannya. Ia sadar bahwa Bratalaras sudah sampai pada ilmu pamungkasnya.
Oleh karena itu, Jaka Wulung pun tidak menunggu waktu dan pada saat yang bersamaan memindahkan senjatanya ke tangan kirinya, lalu mengaum panjang seraya menyalurkan tenaga dalam melalui jemari kanannya yang juga terbuka. Duarrr!
Dua tenaga yang tak kasat mata berbenturan di udara, menciptakan bunyi yang memekakkan telinga.
Jaka Wulung terlontar dua-tiga langkah ke belakang. Kuda-kudanya goyah. Tangannya serasa menghantam baja dan tenaga pantulannya membuat dadanya sesak. Jaka Wulung menyeringai menahan sakit.
Di pihak lain, Bratalaras terjengkang jauh ke belakang. Tubuhnya berdebum menimpa rerumputan. Kalau saja kepalanya membentur batu atau pokok kayu, bisa dipastikan nyawanya sudah melayang.
Dadanya seperti dibakar api, akibat pantulan tenaga panas yang dialaminya. Napasnya satu-satu. Dari sela-sela bibirnya menetes darah kental.
Bratalaras menggeleng-geleng, mengusir kepalanya yang berputar-putar. Bocah ..., ucapnya, siapa ... sebenarnya ... kamu"
Jaka Wulung memandang Bratalaras ragu-ragu. Pada saat itu, sebenarnya bisa saja ia melancarkan sisa tenaganya untuk menuntaskan perlawanan Bratalaras. Tapi, Jaka Wulung mendadak diselimuti perasaan welas asih yang aneh. Ia tidak bisa menyerang orang yang sudah tidak berdaya, sejahat apa pun orang itu.
Inilah yang kelak akan selalu menjadi kekuatan Jaka Wulung, sekaligus kelemahannya!
Namaku Jaka Wulung. Bratalaras mencoba mengingat-ingat apakah ada pendekar bernama Jaka Wulung. Tidak, ia tidak pernah mendengarnya. Dia pasti bocah siluman. Apa ... kau punya ... julukan"
Jaka Wulung termangu sejenak ditanya demikian. Ia tidak pernah berpikir akan punya julukan apa pun. Bagus atau tidak, Jaka Wulung adalah namanya. Setidaknya, itulah nama pemberian orang yang pernah memeliharanya. Sejenak ia memejam. Siapa orangtuaku"
Bratalaras mencoba bangun, lalu meraih tongkatnya. Aku belum kalah ... Jaka Wulung. Aku ... akan datang lagi menemuimu suatu saat.
Jaka Wulung memandang dingin Bratalaras. Ya, kali ini aku memberimu kesempatan. Tapi awas, kalau telingaku masih mendengar kelakuanmu, aku tak akan segan-segan membunuhmu.
Bratalaras mengangguk, lalu berbalik dan berjalan dengan langkah goyah hendak meninggalkan tempat itu.
Tetapi, mendadak ia berhenti, lalu menoleh. Benarkah kau ... tidak punya julukan"
Jaka Wulung menarik napas beberapa jenak. Secara mendadak, di kepalanya muncul sebuah nama. Lalu, ia menyebutkannya begitu saja. Aku Titisan Bujangga Manik.
8 Geger Kembalinya Bujangga Manik
CAHAYA MENTARI pagi menerobos dinding bambu dan menimpa wajah Jaka Wulung, memaksanya membuka mata. Sebenarnyalah Jaka Wulung belum lama terlelap. Semalaman ia tidak benar-benar bisa memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi satu persoalan yang baru saja disulutnya sendiri: ia menyebut dirinya sebagai Titisan Bujangga Manik.
Kemarin, nama Bujangga Manik melintas begitu saja di kepalanya. Resi Darmakusumah sudah menuturkan kisah perjalanan sang legenda di masa mudanya hingga Pulau Dewata. Jaka Wulung benar-benar mengagumi tokoh ini. Ia ingin suatu saat, ingin sekali, mengikuti jejak tokoh hebat ini.
Satu hal lagi, ia bangga karena bagaimanapun Bujangga Manik adalah kakek gurunya.
Mudah-mudahan pemakaian nama Titisan Bujangga Manik tidak membawa petaka bagiku, pikir Jaka Wulung.
Kemarin ia tidak berpikir betapa besarnya akibat dari penyebutan julukan ini. Ketika ia mengatakannya kepada Bratalaras, lelaki berjuluk Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana itu terbelalak.
Tidak mungkin ..., ucap Bratalaras.
Jaka Wulung memandang tajam Bratalaras. Apanya yang tidak mungkin"
Bujangga Manik sudah lebih dari setengah abad tidak lagi terdengar.
Kepalamu berisi juga, Jaka Wulung tersenyum mengejek. Tentu saja. Dan, aku cucu muridnya!
Dalam senja yang temaram, wajah Bratalaras memucat. Ia kemudian pergi menembus keremangan senja, entah ke mana ah, ya, pastilah melapor kepada gurunya di Gunung Cakrabuana sana!
Gadis yang diculik itu masih terkulai. Jaka Wulung mendekatinya dan, dengan ilmu yang didapat dari sang guru, disalurkannya hawa murni yang hangat ke titik-titik tempat simpul sarafnya yang terkena totokan. Oh, terima kasih, Tuan Pendekar ....
Segeralah pulang, Nyai. Kukira kampung Nyai tidak terlalu jauh dari sini.
Gadis itu membenahi kainnya yang kusut masai. Mungkin Tuan mau mampir dulu"
Terima kasih, aku masih punya tujuan lain.
Si bocah memandang gadis itu hingga lenyap ditelan keremangan, di balik tikungan jalan setapak.
Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian timbul penyesalan dalam hatinya. Kenapa ia tidak ikut ke kampung gadis itu" Perjalanan yang tengah ia lakukan masih jauh dari tujuan. Jadi, ia harus menemukan pondok di tengah hutan, atau di pinggir huma, untuk tempatnya bermalam.
Jaka Wulung tidak tahu, benar-benar tidak terpikirkan dalam kepalanya, bahwa malam itulah namanya mulai menjadi buah bibir. Si gadis, sesampainya di kampungnya, bercerita kepada orang-orang kampung itu. Sebagian orang tua di sana pun menjadi heboh.
Bagaimana orangnya" Kakek tua pasti, ya" Dia remaja belasan tahun.
Tidak mungkin! Lalu, Bratalaras, sesampainya di Gunung Cakrabuana beberapa hari kemudian, menuturkan kepada sang guru, Si Jari-Jari Pencabik, yang terbelalak tak percaya.
Benarkah ia punya murid dan kini cucu murid" Di kedua tempat itu, dimulailah terjadi kehebohan yang serupa. Dari kedua tempat itu, kabar akan merayap ke berbagai tempat lain, mungkin sepelan kura-kura, tetapi boleh jadi secepat angin. Barangkali perlu berbulan-bulan, tetapi sangat boleh jadi hanya dalam hitungan hari. Seperti biasanya, kabar dari mulut ke mulut akan selalu berubah dari kisah awalnya, bisa dikurangi, bisa ditambah, dibumbui ini dan itu sehingga bisa saja kabar yang tersebar menjadi jauh melenceng.
Meskipun demikian, yang jelas, dunia persilatan akan guncang. Bujangga Manik muncul lagi!
JAKA WULUNG memandang matahari yang mulai meninggi. Tubuhnya menjadi segar setelah mandi di sebuah pancuran, lalu melakukan olah napas secukupnya.
Di tempatnya berdiri, ia harus membelakangi matahari untuk menentukan arah mencapai tujuannya.
Dari kejauhan, puncak Gunung Sawal tampak biru lembut, disaput tipis kabut, berpulas garis-garis warna emas. Di latar depan, tidak jauh di kaki Gunung Sawal, terdapat danau alam yang indah. Orang menyebutnya Situ Lengkong. Di tengah danau itu terdapat sebuah pulau kecil yang dikenal dengan nama Nusa Larang.
Sesuai dengan pesan sang guru, ke sanalah ia menuju.
Apa yang akan saya dapatkan di sana" tanya Jaka Wulung menjelang keberangkatannya dari pondok Resi Darmakusumah di Bukit Sagara.
JAKA WULUNG memandang hamparan danau yang bening seperti bentangan kaca, memantulkan langit biru muda dan segerombol mega. Di tengahnya, Nusa Larang seakan mengapung di permukaannya. Matahari hampir tegak lurus dengan bumi.
Bersama dengan empat atau lima penduduk setempat, Jaka Wulung naik sampan membelah danau, menimbulkan kecipak yang memberikan nada syahdu. Aroma air danau membuat dadanya menjadi lega.
Jaka Wulung memejamkan mata, menikmati keindahan alam yang tiada tara.
Tepat di tengah Nusa Larang, Jaka Wulung menunduk dalam-dalam di depan sebuah pusara. Pusara itu dirindangi dedaunan rimbun dari sebatang pohon kiara berusia ratusan tahun. Dan, tentu saja pohon-pohon lain yang juga tua, dengan lingkar batang yang rata-rata lebih dari dua depa orang dewasa.
Pusara itu sendiri sangat sederhana, hanya dikelilingi deretan batu alam.
Akan tetapi, di situlah terbaring abadi seorang tokoh besar kalau tidak dikatakan terbesar negerinya: Niskala Wastukancana, leluhur Prabu Siliwangi, dan leluhur masyarakat Sunda.
Lembar-lembar sastra menyebutnya juga Sang Mokteng Nusa Larang yang mukti di Nusa Larang .
TIRAI malam menyungkup senja di Nusa Larang. Ketika orang-orang sudah lama pergi, dan tempat itu dicekam sunyi, Jaka Wulung masih duduk bersila, tafakur tunduk di dekat pusara Sang Niskala. Ia tidak tahu mengapa ia merasa kakinya seperti pokok kayu kiara, berat sekali untuk segera pergi. Ia bahkan merasakan keinginan untuk terus berdiam di sana. Saat itulah ia mengalami sebuah suasana yang penuh keanehan.
Jaka Wulung tahu bahwa dirinya sadar. Matanya sepenuhnya terbuka. Tapi, masih dalam posisi bersila, ia merasakan tubuhnya ringan. Makin lama makin ringan, seakan-akan badan wadaknya larut menjadi butir-butir udara. Ia merasa seolah-olah tidak lagi memiliki wujud nyata.
Langit gelap tanpa bulan. Tapi, Jaka Wulung mampu melihat dengan sangat jelas apa pun di sekitarnya. Hamparan rumput, perdu, dedaunan, kilau permukaan danau, serangga hutan yang berdengung di sekitarnya, bahkan ulat yang merayap di daun-daun ki hujan. Telinganya menangkap suara tetes air yang satu demi satu menimpa permukaan batu, desir angin yang mengusap bening danau, bahkan langkah pelan sejenis kadal yang menembus rerumputan. Saraf penciumannya pun bisa membedakan dengan jelas bau daun kering yang jatuh, bau uap air yang terbawa udara, dan bau celurut yang berkerosak.
Jaka Wulung melayang, memasuki alam niskala!
Ia merasa seperti sedang bermimpi, tetapi sesungguhnya ia sadar. Ah, ketika kita sadar, mimpi memang bukanlah kenyataan. Tapi, ketika ketika kita bermimpi, kesadaran seakan-akan bukanlah kenyataan.
Perlahan-lahan, langit di sekitar Jaka Wulung berubah seperti tabir hitam. Suara-suara berhenti. Dan, kemudian samar-samar tercium bau kesturi. Bau kesturi itu tertiup oleh angin yang membawa asap putih tipis.
Di tempat duduknya, badan Jaka Wulung gemetar. Ada rasa takut yang membuat bulu tengkuknya meremang. Tapi, juga ada rasa penasaran yang bergolak di dadanya.
Asap putih itu mengumpul menjadi satu, perlahan-lahan menciptakan bentuk seperti tubuh manusia, kemudian kaki, tangan, dan kepala.
Badan Jaka Wulung menggigil. Giginya gemeletuk. Keringat mengucur dari pori-pori kening dan punggungnya.
Bersamaan dengan terciptanya sosok manusia, asap itu mulai memendarkan cahaya keperakan. Makin lama makin terang dan nyata.
Dan, akhirnya menjelmalah sosok lelaki muda yang sangat tampan. Usianya sekitar 25 tahun. Kulitnya memendarkan cahaya kekuningan. Rambutnya sedikit mengombak, tergerai melewati pundaknya. Bajunya berwarna semu ungu dengan kilau-kilau keemasan melingkari lehernya.
Di kepalanya bertakhta mahkota emas dengan bentuk sedikit mengerucut ke atas, dengan pola dedaunan yang mengilaukan warna emas cemerlang. Matanya memandang Jaka Wulung dengan sorot yang lembut tetapi tegas. Kedua sudut bibirnya membentuk senyum yang bersahaja tetapi tulus.
Jaka Wulung tak sanggup membalas tatapannya. Wajah Jaka Wulung hanya menekur menatap jemarinya sendiri, yang saling menjalin di pangkuannya. Dadanya bergetar karena takut, tetapi juga sekarang oleh rasa bahagia tiada terkira.
Beberapa jenak lamanya tak ada suara.
Jaka Wulung menunggu dengan dada berdebar, apa yang akan terjadi. Apakah ia akan mengucapkan sesuatu"
Jaka Wulung tetap menunduk, seakan sebongkah batu menahannya di bagian tengkuk.
Di tengah keheningan itulah terdengar sesuatu diletakkan di atas tanah pusara.
Dia meletakkan sesuatu di sana.
Sesuatu yang memancarkan sinar keperakan. Jaka Wulung makin merasakan dadanya berdebar-debar.
Dari sinar keperakan itulah memancar semacam kekuatan yang langsung menghantam sekujur tubuh Jaka Wulung. Jaka Wulung serasa disengat kilat. Tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya menyeringai menahan panas di seluruh permukaan kulit tubuhnya. Badannya kejang-kejang. Jaka Wulung memekik membelah udara sebelum tubuhnya ambruk tak berdaya dan kesadarannya sirna.
KETIKA Jaka Wulung membuka matanya, fajar sudah membayang. Siluet pepohonan yang hitam menjadi latar depan langit yang dipulas warna kuning dan lembayung.
Jaka Wulung bangkit. Tubuhnya sedikit menggigil karena tanah basah oleh embun. Angin pagi masih diam, seakan belum terjaga dari tidur malam.
Dalam keadaan terjaga, Jaka Wulung merasa baru saja bangun dari mimpi yang sangat aneh. Lelaki tampan bermahkota keemasan. Siapa dia"
Jaka Wulung berdiri. Aneh, ia merasa tiba-tiba menjadi orang yang sangat berbeda. Napasnya ringan, kekuatan tubuhnya berlipat, dan tatapan matanya menjadi sangat tajam. Apa yang terjadi padanya, ia tidak tahu. Apakah karena sambaran sinar yang dipancarkan sesuatu yang diletakkan sosok misterius itu"
Jaka Wulung memandang tanah dua langkah di depannya.
Sesuatu itu masih ada di sana. Sesuatu itulah yang semalam memancarkan cahaya keperakan dan gelombang kekuatan yang menghantamnya.
Panjang keseluruhannya hanya satu setengah jengkal. Bilahnya melengkung, memancarkan warna logam pejal yang keperakan. Ujungnya tajam melengkung mirip paruh burung ciung. Punggungnya berhias lima mata lubang kecil yang diisi butiran perak. Perutnya melekuk dan tajam berkilat, memantulkan cahaya pagi. Tadahnya lengkungan menonjol pada perut juga sama tajamnya dengan bagian ujung. Gagangnya entah terbuat dari kayu jenis apa cokelat kehitaman dan sangat keras. Landean bagian bawah gagangnya berbentuk kepala harimau sedang menganga, mengaum siap melindas mangsanya.
Jaka Wulung berdebar-debar.
Sebilah kujang yang tiada tara!
Kujang itu terletak berdampingan dengan warangkanya. Warangka itu pun terbuat dari kayu yang sama dengan gagangnya, berhias ukiran dedaunan yang sangat rapi dan indah.
Jaka Wulung membungkuk untuk meraih gagang kujang.
Diangkatnya kujang yang sudah di genggamannya. Ujungnya mengarah ke langit. Sebuah gelombang kekuatan kembali mengalir dari kujang itu, merasuk ke segenap pembuluh darahnya, memberinya tenaga yang berlipat!
Bersamaan dengan itu, pendengarannya menangkap sebuah suara yang samar, tetapi memberikan gema kuat dalam dadanya:
Cucuku, kurestui kudi hyang itu menjadi milikmu. Bawalah selalu. Jadikan ia perkakas untuk meniti di jalan waras. Jangan lupa, bersikaplah selalu berdasarkan welas asih, junjung tinggi tata krama, dan pakai selalu budi bahasa yang baik. Hanya itu pesanku.
Pesan itu menghilang bersamaan dengan sinar pertama matahari di cakrawala.
Jaka Wulung terpaku dengan ujung kujang, kudi hyang, masih teracung.
Badannya berdenyar ketika ia memastikan siapa sosok ia saksikan semalam, dan memberikan pesannya pagi ini. Tak salah lagi.
Dialah lelaki pertama yang mengenakan mahkota itu, Mahkota Bino Kasih Sang Hyang Pake. Lelaki yang paling dihormati di tanah Sunda, yang jasadnya sudah seratus tahun terbaring di sana: lelaki yang kemudian bergelar Sang Mokteng Nusa Larang.
Niskala Wastukancana! 9 Firasat yang Makin Kuat HUJAN SUDAH REDA, awan-awan menyingkir membuka wajah langit yang biru, menyilakan matahari sore mengintip. Tapi, Sungai Ci Tanduy masih meluap, membawa air kecokelatan dari hulunya di utara.
Setelah berteduh di sebuah dangau, Jaka Wulung memutuskan tidak akan nekat menembus sungai yang sedang meluap.
Ia memilih mencari dulu sebuah kedai untuk sekadar menyantap makanan kecil atau menyeruput bandrek. Bahkan kalau mungkin, ia juga hendak menginap sekalian. Sore itu ia merasa cukup kelelahan juga. Sepulang dari Nusa Larang di Situ Lengkong, ia sengaja mengunjungi dua tempat bersejarah sebagaimana yang disarankan gurunya.
Mula-mula, ia mampir ke Kawali, tidak terlalu jauh dari Nusa Larang. Di sana ia menyaksikan sendiri sebuah situs yang pernah menjadi pusat Kerajaan Sunda. Sayang sekali tidak banyak yang tersisa dari peninggalan Prabu Niskala Wastukancana. Reruntuhan bekas Istana Kawali sudah nyaris menjadi tumpukan batang kayu yang lapuk dimakan zaman.
Hanya barisan bebatuan yang masih menandakan bahwa di sana, pada suatu kurun ratusan tahun, pernah bertakhta para raja besar Sunda, termasuk Prabu Linggabuana, tokoh besar yang gugur dalam pertempuran dengan pasukan Gajah Mada di Bubat, ketika mengantar sang putri Dyah Pitaloka untuk melangsungkan perkawinan dengan Raja Hayam Wuruk sebuah perkawinan yang gagal.
Entah mengapa, dadanya sesak ketika membayangkan sang putri melesakkan ke ulu hatinya sendiri sebilah patrem pusaka.
Dari Kawali, ia menuju arah matahari tenggelam, menyambangi bekas pusat Kerajaan Galunggung, yang terletak di gunung dengan nama yang sama.
Kerajaan Galunggung adalah salah satu kerajaan yang pernah disegani. Di sana pernah bertakhta Prabu Darmasiksa, salah seorang leluhur raja-raja Sunda. Prabu Darmasiksalah yang menulis kitab terkenal Patikrama Galunggung.
Jaka Wulung sesungguhnya sudah mulai meneruskan perjalanan menyusuri pantai selatan. Meskipun mungkin perlu waktu lama, ia ingin menuju Pelabuhan Ratu, dan kemudian kelak menuju bekas Kerajaan Salakanagara di ujung barat Jawa Dwipa.
Akan tetapi, entah mengapa, mendadak ia selalu teringat kepada Resi Darmakusumah di Bukit Sagara. Semacam firasat. Mungkin ada apa-apa dengan gurunya. Oleh karena itu, Jaka Wulung memilih berbalik kanan dan kembali ke arah matahari terbit.
KEDAI itu berada di tanah yang agak tinggi, menghadap jalur jalan tempat orang-orang hendak pergi menyeberangi sungai dan sebaliknya datang dari seberang. Ada beberapa sampan di tepi sungai. Tapi, tidak ada satu pun yang dijalankan untuk menyeberangkan orang-orang. Luapan air terlalu berbahaya bagi sampan kecil itu. Dan, orang-orang tampaknya sudah tak ada lagi yang hendak menyeberang.
Jaka Wulung terhenti di luar pintu kedai ketika didengarnya suara percakapan dua orang.
Terdengar suara seorang laki-laki, pelan, bahkan lebih tepat disebut berbisik, tetapi telinga Jaka Wulung dapat menangkapnya dengan jelas, Mungkin kita lebih baik menginap saja di sini, sambil menunggu air surut.
Lalu, jawaban seorang perempuan, juga dengan suara perlahan, Lebih baik kita menyeberang sekarang. Kita sudah terlambat. Bukit Sagara kupikir tidak akan terlalu jauh. Jangan sampai kita kedahuluan orang lain.
Jaka Wulung berdebar-debar. Kedua orang itu hendak menuju Bukit Sagara. Ada tujuan apakah mereka hendak ke Bukit Sagara" Bukit Sagara adalah tempat yang sangat sunyi, jauh dari pedukuhan, dan ia pikir bukanlah tempat yang terkenal seperti Gunung Cerme atau Gunung Slamet. Atau apakah ada tempat lain di sana yang bernama sama dan letaknya lebih dekat" Siapa gerangan mereka"
Kemudian, terjadi percakapan dengan suara yang lebih keras. Siapa kiranya tukang sampan di sini" tanya suara perempuan.
Mereka sudah pada pulang, Nyi, jawab seseorang, mungkin suara si pemilik kedai.
Perempuan itu mendesak, Tapi kami mau menyeberang.
Waduh, Nyi, kalau banjir begitu, tak ada tukang sampan yang berani menyeberang.
Sepi beberapa jenak. Kemudian, terdengar lagi suara si perempuan, Kalau begitu, biar kami sendiri yang akan mendayungnya. Ini bayarannya, berikan ke tukang sampan. Kami akan menyimpan sampannya di seberang. Tapi, Nyi ....
Dari pintu, melangkah dengan cepat dua orang itu, si perempuan lebih dulu, kemudian si lelaki, nyaris menabrak Jaka Wulung. Untung si bocah sempat meloncat mundur.
Lelaki itu sempat menoleh kepada Jaka Wulung kumisnya tebal dan sorot matanya tajam, sekilas usianya tampak sekitar 45 tahun, di balik ikat kepalanya rambutnya sudah bergaris-garis putih. Sejenak lelaki itu mengerutkan kening, tetapi kemudian berlari mengikuti si perempuan. Langkahnya cepat di atas tanah yang basah, tidak kesulitan melompati bebatuan dan tanah yang licin.
Sementara itu, si perempuan juga kelihatan berusia sekitar 45 tahun.
Pakaiannya ketat, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang masih langsing. Rambutnya sebagian diikat di belakang kepala, sebagian lagi terurai dan melambai-lambai hingga di bawah punggung.
Keduanya sama-sama membawa pedang panjang di punggung mereka. Ciri bahwa mereka adalah tokoh persilatan.
Apakah mereka sepasang suami-istri" pikir Jaka Wulung. Ah, bukan sesuatu yang penting.
Si lelaki menarik sampan dari bawah sebatang pohon kelapa, kemudian mendorongnya menuju tepi sungai. Si perempuan meloncat ringan ke atas sampan. Begitu menyentuh air sungai, sampan itu pun segera terbawa arus deras Sungai Ci Tanduy ke arah selatan.
Beberapa orang yang sempat menyaksikan peristiwa itu sempat memekik. Nekat sekali mereka! begitu pikir orang-orang dengan mulut ternganga.
Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan dan di luar akal sehat manusia kebanyakan. Sampan itu perlahan-lahan bisa melawan terjangan arus sungai menuju hilir, kemudian melaju lurus menuju arah seberang. Padahal, kedua orang itu sama sekali tidak memakai dayung. Keduanya mendayung menggunakan tangan kosong!
Dapat dibayangkan betapa luar biasa tenaga dalam mereka! Jelaslah bahwa keduanya memiliki ilmu yang tinggi!
Jaka Wulung sangat penasaran pada kedua orang itu. Batinnya bertanyatanya, Siapa mereka" Apakah mereka menuju Bukit Sagara, tempat Resi Darmakusumah berada" Kalau benar, untuk apa mereka ke sana" Lagi pula, tampaknya mereka sangat tergesa-gesa. Jangan sampai kita kedahuluan orang lain .
Jaka Wulung kembali berdebar-debar. Firasatnya semakin kuat bahwa tampaknya akan terjadi apa-apa pada gurunya.
Sepasang lelaki dan perempuan itu, entah siapa mereka, sudah hampir mendarat di seberang. Mata Jaka Wulung terus memperhatikan mereka. Rasa laparnya tidak lagi terasa. Begitu juga keinginannya untuk minum air hangat seperti bandrek. Perhatiannya terus terpusat kepada dua orang itu.
Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah sampai di seberang, menarik sampan yang baru saja mereka naiki, kemudian sama-sama meloncat dan berlari. Beberapa saat berikutnya, mereka hilang di balik pepohonan.
Jaka Wulung berlari ke tepi sungai dan menarik sebuah sampan lain, lalu mendorongnya ke permukaan air.
Seseorang terkejut dan berteriak, He, Bocah! Kau mencari mampus" Jaka Wulung mengabaikan teriakan itu. Ia meloncat ke atas sampan.
Sampan itu pun dengan cepat terseret arus air banjir Sungai Ci Tanduy ke arah hilir. Jaka Wulung memusatkan tenaga pada kedua tangan, memberikan tekanan yang besar kepada laju sampan. Terasa oleh Jaka Wulung betapa saat itu arus air sungai sangat kuat. Gelombangnya menggila seperti hendak menelan apa saja. Tidak hanya itu, Jaka Wulung juga harus melawan serbuan dahan-dahan kayu yang terbawa hanyut.
Meskipun demikian, perlahan-lahan sampan itu melaju memotong arah arus sungai. Tapi, tidak urung, sekalipun Jaka Wulung sudah mengerahkan seluruh kekuatannya, arus yang kuat terus mendorong sampan ke hilir. Sampan itu pun melaju dengan arah menyerong.
Sampan itu pun akhirnya tiba di seberang, di tempat sejauh ratusan langkah di hilir dari titik kedatangan sampan yang ditumpangi kedua orang tadi.
Jaka Wulung meloncat, kemudian menarik sampan itu hingga jauh dari permukaan air.
Jaka Wulung tertegun beberapa jenak. Ia baru sadar telah memakai sampan orang lain tanpa minta izin dan sama sekali tidak memberikan bayaran. Mohon aku dimaafkan, wahai tukang sampan. Kalau aku mendapat kesempatan untuk kembali ke tempat ini kelak, aku tidak akan lupa untuk bayar, kata Jaka Wulung kepada dirinya sendiri.
Jaka Wulung berlari menuju jalur jalan, kemudian mendaki menuju ketinggian tebing.
Tak kelihatan ada orang satu pun di sana.
Untunglah jejak kaki kedua orang itu masih kelihatan di tanah dan bebatuan.
Jaka Wulung mengikuti jejak-jejak kaki itu.
Di belahan langit barat, matahari kembali tersaput mega. Mungkin hujan akan turun lagi.
Jaka Wulung mempercepat larinya.
10 Dari Tangan Turun ke Hati
HIDUP memang selalu tidak bisa diduga. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Begitu juga dengan Jaka Wulung, pendekar bocah yang mulai mengaku dirinya sebagai Titisan Bujangga Manik. Tujuan perjalanannya sudah jelas, yaitu kembali segera ke pondok Resi Darmakusumah, gurunya, di lereng Bukit Sagara.
Keinginannya pulang dipicu oleh firasatnya yang kuat, ditambah secara kebetulan menguping pembicaraan sepasang pendekar yang dicurigai hendak menuju Bukit Sagara. Tapi, perjalanan Jaka Wulung terpaksa tertunda keesokan paginya ketika di suatu jalan yang sunyi, di pinggir hutan, ia mendadak mendengar suara dentang senjata beradu disertai pekikan-pekikan. Suara perkelahian.
Jaka Wulung memperlambat larinya, kemudian berhenti. Ia pun mengintai di balik sebatang pohon.
Di sebuah padang rumput yang lapang, terjadi perkelahian seru yang melibatkan tiga orang. Sungguh perkelahian yang tidak seimbang: dua orang lelaki bertubuh besar mengeroyok seorang gadis yang masih sangat muda. Dua lelaki itu berwajah sama-sama menyeramkan. Yang seorang memiliki kumis dan cambang yang nyaris mengisi seluruh wajahnya. Badannya gempal dan hitam. Sekilas orang itu mirip sekali dengan gorila. Di tangannya tergenggam senjata semacam gada, tetapi bentuknya aneh, lebih mirip dengan pemukul beduk.
Yang seorang lagi bermata besar yang seakan-akan terus-menerus melotot. Giginya juga besar-besar. Ia akan mengingatkan orang kepada tokoh raksasa dalam wayang golek. Ia memainkan senjatanya berupa golok yang bilahnya sangat lebar, persis golok jagal sapi.
Sementara itu, seorang lelaki yang tidak kalah menyeramkan tampak berdiri sambil bertolak pinggang hanya beberapa langkah dari kalang perkelahian. Wajahnya penuh bopeng. Sesekali ia tersenyum-senyum.
Tapi, berkali-kali ia tampak mengernyit. Kadang-kadang kepalanya miring mengikuti gerak mereka yang sedang berkelahi.
Dengan gerak yang kasar dan mengandalkan tenaga mereka yang kuat, kedua lelaki menyeramkan itu mengeroyok seorang gadis remaja berusia kira-kira lima belas tahun.
Jaka Wulung mengernyit. Wilayah bekas negerinya benar-benar sudah tidak aman. Di mana-mana tampaknya ada saja kejahatan.
Meskipun demikian, si gadis mampu melayani perlawanan kasar kedua orang itu dengan sebatang pedang ramping dan dengan gerak dan langkah kakinya yang cepat dan ringan. Rambutnya yang panjang dan diikat dengan pita ungu berkibar-kibar ketika ia bergerak menghindar, menunduk, dan bahkan kadang mencoba menyerang salah satu lawannya. Lengan bajunya digulung hingga siku, memperlihatkan kulit tangannya yang berwarna seperti langsat. Matanya tajam cemerlang ... oh! Jaka Wulung terkejut ketika mengenali siapa gadis itu. Wulan.
Dyah Wulankencana! Oh, ada persoalan apa Wulan tersasar sampai jauh dari Gunung Baribis dan menghadapi dua begal yang kasar" Ah, ya, kedua orang pengeroyok itu, ditambah satu orang yang berdiri, tentulah para begal. Pekerjaan mereka memang membegal alias merampok mangsanya di jalan yang sepi. Apalagi mangsanya kali ini adalah gadis muda yang cantik. Seperti mendapat durian runtuh saja.
Di mana gurunya, Ki Jayeng Segara, dan dua saudara perguruannya, Lingga Prawata dan Watu Ageng" Wulan tampaknya akan menghadapi masalah besar.
Akan tetapi, di luar dugaan si wajah gorila dan si raksasa wayang golek, gadis yang memang Dyah Wulankencana itu bukanlah remaja manja yang akan merengek minta ampun ketika bertemu dengan para begal atau penyamun mana pun. Wulan adalah murid Ki Jayeng Segara, seorang yang pernah menjadi senapatiyuda Kadipaten Pajang di bawah pimpinan Arya Penangsang yang sudah hampir sempurna menguasai ilmu gagak rimang.
Baik gada pemukul beduk di tangan si gorila maupun golok jagal sapi di tangan si raksasa wayang golek belum sekali pun mengenai sasaran. Jangankan tubuh, ujung rambut yang berkibar-kibar pun selalu luput dari serangan keduanya.
Laki-laki berwajah bopeng yang sejak tadi menyaksikan perkelahian itu tampaknya mulai tidak sabar. Ia pun memekik dengan kasar, Dasar manusia-manusia tak berguna! Jangankan menangkap hidup-hidup dengan tangan kosong, menyentuh dengan senjata pun kalian tidak becus!
Kedua laki-laki yang mengeroyok Wulan, si gorila dan si raksasa wayang golek, menggeram marah. Kata-kata si bopeng, yang pastilah pemimpin para begal itu, membuat darah mereka mendidih. Oleh karena itu, mereka meningkatkan serangan masing-masing untuk melumpuhkan si gadis. Gada pemukul beduk di tangan si gorila terus berputar-putar seperti baling-baling untuk kemudian mengincar sasarannya. Golok jagal sapi di tangan si raksasa wayang golek pun makin membabi buta memburu sasarannya.
Akan tetapi, Wulan tetap mampu melayani permainan senjata maut kedua lawannya. Bahkan, berkali-kali ujung pedang Wulan mengancam titik-titik lemah kedua lawannya sehingga kedua lawannya itu pun memaki-maki penuh benci.
Jaka Wulung terpesona memandang sepak terjang Wulan.
Si bocah bergumam pelan, Hanya dalam waktu beberapa bulan, dia makin hebat dan ... makin cantik ....
Jaka Wulung tiba-tiba merasakan wajahnya menghangat. Memerah seperti warna kesumba. Ia menolah ke kanan dan kiri, berharap tidak ada satu pun orang di dekatnya, hingga mendengar gumamannya. Tentu saja tidak ada seorang pun di sana. Kalaupun ada, Jaka Wulung pasti akan mengetahuinya. Tapi, begitulah, jatuh cinta memang bikin orang lupa diri dan lupa lingkungannya.
Ai, apakah aku jatuh cinta" bisik hati Jaka Wulung. Lagi-lagi wajahnya memerah. Karena pada dasarnya kulitnya gelap, maka wajah Jaka Wulung menjadi bersemu merah tua. Jaka Wulung menggeleng-gelengkan kepala. Aku belum tahu apa itu cinta.
MUNDUR! Khayalan Jaka Wulung pecah berkeping-keping.
Dua lawan Dyah Wulankencana sama-sama meloncat mundur sambil sama-sama terus menumpahkan sumpah serapah.
Si muka bopeng kemudian berdiri sambil tetap bertolak pinggang menghadapi si gadis Jipang Panolan.
Inilah masalah besar Wulan, pikir Jaka Wulung.
Hmm ... hebat juga kau, Bocah Cantik! puji si bopeng. Suaranya serak, seakan-akan keluar dari kerongkongan dengan pita suara yang sobek.
Dyah Wulankencana memandang tajam si bopeng. Ia yakin si bopeng memiliki tingkat ilmu yang lebih tinggi dibanding kedua anak buahnya. Oleh karena itu, ia tetap memasang pedang tipisnya di depan dada, dengan kuda-kuda yang tetap bersiaga. Gadis itu benar-benar mirip burung sriti yang siap mematuk.
Nah, sebelum aku benar-benar turun tangan, aku peringatkan. Lebih baik kau letakkan saja pedangmu di tanah. Serahkan apa pun perhiasan dan harta benda yang kau bawa. Dengan demikian, kujamin kau akan pulang dengan aman.
Dyah Wulankencana masih memandang tajam si pemimpin begal dengan kuda-kuda yang bergeming.
Ayo, Bocah Manis. Kuhitung ya, sampai tiga. Satu ...! Dyah Wulankencana tidak menggeser kakinya sejari pun. Dua ...!
Tatapan gadis itu bahkan semakin tajam. Tiga ...!
Tidak ada yang berubah. Hening.
Seekor burung melintas. Bayangannya melewati tanah di antara si bopeng dan Dyah Wulankencana.
Pemimpin begal itu menggeleng. Kau sudah kuperingatkan, Bocah Ayu ....
Sreeet! Di tangan si bopeng sudah tergenggam senjata berbentuk kapak. Kapak raksasa, dengan mata kapak yang lebarnya lebih dari sejengkal. Cling, cling! Kedua mata kapak itu berkilat memantulkan cahaya matahari, menunjukkan betapa tajamnya!
HIAAAA! Dengan raungan serak si muka bopeng langsung meloncat menyerang seraya memainkan kapaknya untuk menebas pedang tipis di tangan Dyah Wulankencana. Wuuut! Ayunan kapaknya menimbulkan bunyi seperti siulan.
Dyah Wulankencana tidak mau mengadu pedang tipisnya dengan kapak raksasa di tangan si bopeng. Ditekuknya lututnya lebih rendah dan disabetkannya pedangnya mengarah perut si bopeng. Si bopeng sudah menduga serangan seperti itu. Oleh karena itu, dengan cepat ia membelokkan arah kapaknya ke bawah. Tapi, Dyah Wulankencana juga sudah memperkirakan kemungkinan ini. Sebelum terjadi benturan, gadis ini juga menarik pedangnya dengan cepat, lalu menusukkannya dengan lebih cepat ke dada lawannya.
Eit, bocah ayu edan!
Jaka Wulung 1 Pertarungan Di Bukit Segara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si bopeng terkesiap dan nyaris ujung pedang Dyah Wulankencana mengenai dadanya. Beruntung ia masih bisa meloncat mundur dua langkah. Tapi, tak urung si bopeng menggeretakkan giginya tanda mulai jengkel. Oleh karena itu, ia tidak mau lagi meremehkan si gadis seakanakan hendak menepuk nyamuk. Yang ia lawan adalah burung sriti yang ternyata mampu bergerak sangat cepat.
Akan tetapi, si bopeng yakin bahwa ia memiliki tenaga yang jauh lebih kuat. Oleh karena itu, ia terus melancarkan serangan dengan kapaknya dengan maksud membenturkannya dengan pedang si gadis. Sebagaimana umumnya para begal, yang memang adalah manusia kasar, jurus-jurusnya juga kasar. Sudah begitu, kata-kata yang keluar dari bibirnya yang kasar pun kasar-kasar.
Awalnya, Dyah Wulankencana mampu melayani serangan macam apa pun yang dilancarkan si bopeng. Tapi, lama-kelamaan tampak bahwa kelincahan juga membutuhkan tenaga yang kuat. Oleh karena itu, semakin lama si gadis kerepotan dan hanya bisa mengelak dan menghindar, tanpa mampu memberikan serangan balik.
Si bopeng menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang berbintikbintik hitam. Oh, ternyata giginya pun bopeng.
Sudahlah, Bocah Ayu, menyerah sajalah, si bopeng menyapukan kakinya yang hitam kelam seperti kaki meja.
Lebih baik mati daripada menyerah, Dyah Wulankencana meloncat mundur menghindari sapuan kaki si bopeng.
Si bopeng sengaja tidak meneruskan serangannya. Tapi, tangan kirinya mengibas seraya berseru, Ayo, Kawan-Kawan, kita cepat ringkus saja bocah sombong ini!
Si gorila dan si raksasa wayang golek, yang dari tadi menonton, kembali bangkit semangatnya, lalu berbarengan meloncat ke tengah gelanggang perkelahian. Si gorila meloncat ke sebelah kanan, si raksasa wayang golek ke sebelah kiri Dyah Wulankencana.
Si bopeng berseru lagi, Tangkap dia hidup-hidup, jangan sampai tergores sedikit pun!
Siap, Kang! sahut kedua anak buah si bopeng berbarengan.
Dyah Wulankencana mengeluh dalam hati. Ia bisa membayangkan nasib buruk yang akan menimpanya kalau sampai bisa diringkus hidup-hidup. Pastilah lebih mengerikan daripada kematian. Tampaknya kematian akan lebih terhormat daripada ... ah, Dyah Wulankencana tak sanggup membayangkan lebih jauh.
Jadi, gadis pemberani itu pun berteriak, Ayo, keroyok saja! Aku tidak takut! seraya mulai memutarkan pedangnya seperti kincir angin.
Akan tetapi, agaknya dewa kematian belum mau mengulurkan tangannya untuk mencabut nyawa si gadis. Ketika itulah tampak sesosok bayangan melesat dan mendarat tepat di sebelah Dyah Wulankencana. Baik si gadis maupun ketiga begal itu sama-sama terkejut. Mereka hanya bisa melihat satu bayangan melesat cepat dan tahu-tahu bayangan itu sudah berdiri di sebelah si gadis.
Tak tahu malu, tiga orang tua mengeroyok gadis kecil, kata sosok yang baru datang itu.
Ketiga begal itu terpaku beberapa saat saking terkejut.
Dyah Wulankencana pun hanya bisa memandang orang yang baru datang itu. Lebih terkejut lagi ketika ia tahu siapa orang yang datang. Kau ..."
Jaka Wulung menoleh memandang wajah Dyah Wulankencana. Dasar gadis cantik, ketika kaget pun wajahnya tetap cantik.
Wulung ..." Ya, sahut Jaka Wulung. Ia tersenyum, Ini aku, bukan hantu. Kau ..."
Ceritanya panjang, Wulan. Aku siap mendengarkan. Waktu itu ....
DIAAAM! Jaka Wulung dan Dyah Wulankencana terkejut. Keduanya kembali ke dunia nyata: di sekeliling mereka masih berdiri tiga begal berwajah seram. Si bopeng, si gorila, dan si raksasa wayang golek. Mereka memandang Jaka Wulung dengan wajah memerah. Ah, bukan, menghitam lebih tepat. Tentu saja mereka merasa diremehkan karena dianggap tidak ada.
Oh, ... rupanya kita ada di tengah arena perkelahian, kata Jaka Wulung. Kalau begitu, kita cepat bereskan saja.
Dyah Wulankencana terkejut mendengar kata-kata Jaka Wulung. Katakatanya terkesan main-main. Apakah bocah ini sudah gila karena pernah jatuh ke jurang" Ia nyaris menjadi korban keganasan mereka dan Jaka Wulung mengucapkan kata-kata seakan-akan para begal itu anak-anak ingusan.
Ketiga begal itu lebih terkejut lagi. Mereka adalah begal yang sangat ditakuti di daerah itu dan kini seorang bocah yang baru mereka lihat, memandang mereka dengan sebelah mata. Tidak. Bahkan, si bocah mengatakannya tanpa melihat mereka.
Bocah gila! raung si bopeng. Ayo, Kawan-Kawan! Kalian lawan si bocah ayu. Aku akan hadapi bocah gila ini. Dia harus dihukum akibat kelancangannya!
Si gorila dan si raksasa wayang golek bersiap dengan senjata masingmasing. Keduanya sebenarnya agak jeri menghadapi Dyah Wulankencana yang di luar dugaan memiliki tingkat ilmu tinggi. Keduanya, yang sudah belasan tahun malang melintang sebagai penyamun yang ditakuti, kerepotan menghadapi seorang gadis yang masih sangat belia.
Mereka sebenarnya ingin menghadapi bocah edan yang baru datang itu. Mereka juga berhasrat besar membungkam mulutnya yang sangat kurang ajar!
Si bopeng, pemimpin para begal itu, memandang Jaka Wulung dari kepala sampai ke kaki. Tingginya paling-paling sebatas telinganya. Badannya juga terkesan kurus dan tidak bertenaga. Tapi, tadi ia sudah melihat bagaimana si bocah melesat cepat dan tahu-tahu sudah berdiri di sana. Ditambah dengan kata-kata yang penuh ejekan, si bocah tentulah setidaknya mempunyai nyali yang besar.
Bocah, kau benar-benar mencari mati datang ke sini, ujar si bopeng dengan suaranya yang serak dan pecah. Tapi, sebagai penghormatan, sebutkan namamu, supaya nanti kalau ada yang menguburmu, orang-orang bisa menuliskan namamu! Lalu, sambil membusungkan dada, si bopeng meneruskan, Namaku Kalamarica, kalau kau mau tahu.
Wajah Jaka Wulung tidak memperlihatkan perubahan apa pun mendengar si bopeng menyebutkan namanya, seakan-akan nama itu tidak berarti apaapa. Sebetulnya aku tidak mau tahu. Tapi baiklah, Kalamarica, namaku Jaka Wulung. Lalu, dengan sengaja ia menekankan lagi, Titisan Bujangga Manik.
Sejenak keempat orang di sana tertegun. Sebagai orang-orang yang lama malang melintang di dunia silat yang penuh kekerasan, para begal itu pun setidaknya pernah mendengar nama-nama para pendekar yang punya nama besar, baik yang sudah lama hilang dari peredaran maupun yang masih berkeliaran. Bujangga Manik adalah salah satu nama besar yang pernah diceritakan oleh guru mereka.
Dan kini, seorang bocah mengaku sebagai titisan Bujangga Manik!
Sementara itu, Dyah Wulankencana pernah sesekali mendengar gurunya, Ki Jayeng Segara, menyebut nama Bujangga Manik. Kedatangan mereka jauh dari Jipang Panolan ke seputar Gunung Baribis, selain dalam rangka melarikan diri dari kejaran prajurit Pajang, tampaknya berkaitan dengan nama ini meskipun ia tidak tahu secara persisnya.
Akan tetapi, benarkah Jaka Wulung adalah titisan pendekar besar Bujangga Manik" Dyah Wulankencana makin yakin bahwa Jaka Wulung sudah menjadi gila gara-gara jatuh ke dalam jurang.
Tiba-tiba si bopeng tertawa tergelak-gelak.
Bocah, jangan mengigau di siang bolong! Geli aku mendengarnya!
Si bopeng, yang mengaku bernama Kalamarica, tertawa lagi. Lebih keras dan lama. Kini si gorila dan si raksasa wayang golek ikut-ikutan tertawa. Sudah bisa diduga, para begal, seperti kelompok penjahat lainnya, memiliki cara tertawa yang sama. Sama-sama menyebalkan!
Tertawalah kalian, ucap Jaka Wulung dengan suara pelan, sebelum kalian ditertawakan orang.
Suara Jaka Wulung, sekali lagi, pelan saja. Kesannya, mau didengar atau tidak, ia tidak peduli. Tapi, ternyata pengaruhnya luar biasa. Ketiga begal itu langsung berhenti tertawa pada saat yang sama. Persis seperti suara tiga jangkrik yang langsung diam karena sama-sama tergilas kaki seekor gajah!
Kau memang mencari mati! pekik Kalamarica. Lalu, dengan sekali loncat ia langsung menerkam Jaka Wulung seraya menyabetkan kapaknya, Yeaaaahh!
Siuuut! Jaka Wulung menunggu hingga mata kapak itu mendekat. Ia kemudian memiringkan tubuhnya beberapa jengkal. Kapak itu pun melintas hanya beberapa jari dari wajahnya.
Kalamarica sebenarnya bisa menduga gerakan menghindar Jaka Wulung. Oleh karena itu, ia berniat mengubah gerakan kapaknya. Secara naluri ia memang harus melakukannya. Tapi, apa yang tidak disangkanya adalah tangan Jaka Wulung bergerak sangat cepat, nyaris tidak terlihat oleh mata Kalamarica. Dan, si bopeng ini tidak bisa menghindar ketika jemarinya yang menggenggam kapak serasa dihantam sebatang baja. Pletak!
Kalamarica memekik kesakitan.
Kapaknya melayang di udara, tetapi kemudian tidak terdengar bunyi jatuhnya.
Sebab, tahu-tahu kapak itu sudah ada di genggaman Jaka Wulung.
Tidak hanya dua anak buah Kalamarica yang terpana. Bahkan, Dyah Wulankencana terkesima oleh sepak terjang Jaka Wulung yang jauh di luar perkiraannya. Hanya dalam satu pukulan, Jaka Wulung membuat Kalamarica memekik kesakitan dan hanya bisa terbungkuk-bungkuk memegang jemarinya yang serasa remuk. Alhasil, baik dua begal anak buah Kalamarica maupun Dyah Wulankencana seolah-olah lupa bahwa mereka mestinya bertempur lagi. Ketiganya tetap berdiri di tempat masingmasing.
Jaka Wulung masih menunggu dengan kapak di tangan kanan.
Lalu, katanya, Bagaimana, Paman Kalamarkisa, eh, Kalamarica" Masih mau bertempur lagi"
Kalamarica menggeram penuh geram. Selama perjalanan kariernya sebagai seorang begal yang sudah berlangsung belasan tahun, dan bahkan sekarang menjadi pemimpin yang ditakuti di wilayah ini, belum pernah ia mengalami kekalahan sekali pun. Tapi, kali ini, dalam sekali gebrak, ia harus merasakan betapa jemarinya remuk dan tak bisa digerakkan sama sekali. Dan, yang melakukannya adalah seorang bocah ingusan. Ia benarbenar terhina luar biasa!
Mulutnya yang bergigi bopeng terus meracau, Bocah iblis! Bocah setan! Bocah siluman! sampai-sampai ia kesulitan menemukan kata yang lain, Bocah ... iblis!
Akan tetapi, untuk melawan lagi, Kalamarica benar-benar kehilangan nyali. Apalagi senjata andalannya, kapak bermata dua, sudah berpindah ke tangan lawannya.
Bagaimana dengan dua anak buahnya" Alih-alih berniat melawan Jaka Wulung, keduanya merasakan betapa tiba-tiba nyali masing-masing ciut menjadi sebesar mulut cecurut.
Bagaimana, Kang" tanya salah satu anak buahnya, yang wajahnya dipenuhi bulu. Kali ini, ia tidak lagi mirip gorila, tetapi lebih mirip seekor lutung. Jadi, akan lebih tepat kalau julukannya pun menjadi si lutung. Bagaimana, bagaimana ... ayo, lawan!
Si lutung terbengong-bengong mendengar perintah pimpinannya. Tapi, bukannya melancarkan serangan, ia memilih ... Kabuuur! teriaknya, lari lintang pukang, seperti lutung dikejar maung. Teriakan si lutung seakanakan menjadi komando bagi si raksasa wayang golek untuk memilih langkah seribu.
Tinggallah Kalamarica yang kini terduduk di tanah. Kariernya sebagai begal benar-benar hancur dalam sekejap. Ia kehilangan kekuatan jarinya yang remuk, kehilangan anak buahnya, dan terbayang di matanya, ia kehilangan mata pencahariannya sebagai begal. Mau diberi makan apa anak-istrinya di rumah"
Sudahlah, Paman, kata Jaka Wulung, jangan menangis seperti anakanak ....
SIAPA YANG MENANGIS, HA"
Ya, sudah, kata Jaka Wulung pula, tidak perlu teriak-teriak begitu. Sakit kupingku. Jaka Wulung mendekati Kalamarica, Sekarang pulanglah. Carilah pekerjaan yang baik. Kalau kudengar namamu masih berkeliaran membegal orang-orang, aku tak segan-segan meremukkan tidak hanya jari-jarimu, tetapi kepalamu!
Kalamarica menggeram lagi, Bocah ib ....
KAU YANG IBLIS, TAHU! Jaka Wulung mengacungkan kapak andalan Kalamarica di tangannya. Orang seperti kau seharusnya tidak diberi ampun. Tak tahu diri!
Akan tetapi, gerakan tangannya terhenti di udara. Jari-jari yang halus menghentikan gerakan Jaka Wulung, yang sesungguhnya hanyalah gertak belaka. Jari-jari Dyah Wulankencana.
Sudahlah, Wulung, kata si gadis. Dia pasti akan menuruti katakatamu.
Jaka Wulung tidak menyahut. Bukan semata-mata karena ia percaya akan kata-kata Dyah Wulankencana. Lebih dari itu, ia menikmati saat-saat demikian. Dari jemari Dyah Wulankencana mengalir hawa hangat, merayap turun melalui pembuluh darah di tangannya, kemudian sampai di dadanya. Lalu ke hatinya. Mau rasanya Jaka Wulung menjadi patung sehingga adegan itu akan terus berlangsung, abadi. []
11 Patah Sebelum Tumbuh DYAH WULANKENCANA memandang Jaka Wulung dengan rasa kagum yang luar biasa. Beberapa waktu lalu, Jaka Wulung hanyalah bocah kumal yang tidak memiliki kemampuan apa-apa selain gerak silat seadanya. Kini, Jaka Wulung sudah menjelma menjadi seorang pemuda dengan kemampuan yang sulit dicari tandingannya.
Apa yang terjadi pada bocah aneh ini" pikir Dyah Wulankencana.
Di pihak lain, Jaka Wulung memandang Dyah Wulankencana dengan rasa kagum yang berbeda. Kau sungguh gadis yang cantik dan menarik, batinnya.
Mata Dyah Wulankencana dan Jaka Wulung saling memandang, saling mengalirkan denyar yang menghangatkan dada. Kedua dada remaja itu pun berdebar-debar bahagia.
Keduanya tak peduli lagi orang-orang lain di kedai makan di sebuah kampung.
Dyah Wulankencana menunduk dengan wajah yang memerah jambu. Maafkan kami waktu itu, ujar Dyah Wulankencana pelan.
Ah, tidak apa-apa. Tanpa kejadian itu, pasti aku tidak akan menjadi seperti ini.
Keduanya diam lagi, sama-sama merasakan kebahagiaan yang baru mereka rasakan.
Jadi, kau sendiri hendak menuju ke mana" tanya Jaka Wulung.
Dyah Wulankencana menarik napas sebelum mengisahkan perjalanannya. Kami menjalani masa percobaan mengembara dua bulan. Guru kami, Ki Jayeng Segara, menugasiku pergi ke arah selatan, Lingga Prawata ke timur, dan Watu Ageng ke utara. Setelah dua bulan, kami diminta untuk berkumpul lagi di pondok di lereng Gunung Baribis.
Jaka Wulung mengangguk-angguk. Sungguh masa percobaan yang sangat berat bagi gadis muda sepertimu, terasa nada suara Jaka Wulung yang menunjukkan kekhawatiran.
Tapi, begitulah tugas yang harus kami jalani. Dan, aku bisa menjalaninya dengan baik sebelum bertemu dengan Kalamarica dan anak-anak buahnya.
Jaka Wulung tersenyum, Kau hebat, Wulan, bisa menghadapi orangorang kasar itu dengan baik.
Dyah Wulankencana menunduk dengan wajah sedikit memerah. Selalu begitu, kalau gadis cantik wajahnya memerah, dia akan semakin cantik. Tapi, kebetulan sekali kau muncul. Kalau tidak ....
Itu bukan kebetulan, Wulan.
Dyah Wulankencana mendongak memandang Jaka Wulung.
Maksudku, Jaka Wulung menunjuk langit, Dia Yang Di Atas pasti sudah mengatur sedemikian rupa sehingga aku yang baru saja pulang dari barat bertemu dengan kau di tempat pertempuran tadi.
Dyah Wulankencana mengangguk. Kekagumannya kepada Jaka Wulung bertambah saja. Dalam usia semuda itu paling banyak setahun lebih tua dibanding Dyah Wulankencana Jaka Wulung sudah menunjukkan kebijaksanaan seseorang yang berumur dewasa.
Kalau kau dalam perjalanan pulang, bolehkah aku menemanimu" Jaka Wulung menatap Dyah Wulankencana penuh harap.
Gadis itu tampak berpikir sejenak. Hmm ... kurasa tidak. Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Kenapa"
Dyah Wulankencana tersenyum. Manis sekali. Maksudku, tidak menolak.
Kerutan di kening Jaka Wulung memudar dengan segera. Dicubitnya hidung gadis itu dengan gemas. Cubitan sayang.
Auuww! Orang-orang menoleh ke arah Jaka Wulung dan Dyah Wulankencana. Akan tetapi, keduanya tidak peduli.
JAKA WULUNG dan Dyah Wulankencana berjalan pulang ke utara. Mereka menyusuri jalan kampung selebar kira-kira lima langkah kaki, terbuat dari tanah dan batu-batu. Sebuah gerobak lewat ditarik seekor kerbau. Gerobak itu membawa hasil tani berupa padi dan palawija. Orangorang juga banyak yang lewat jalan itu. Memang jalan yang cukup ramai.
Di sebuah jalan cabang, mereka mengambil jalan lurus. Jalan itu lebih sepi. Hanya satu-dua orang yang lewat. Itu pun para pahuma (petani huma) atau orang yang baru mencari kayu di hutan.
Mereka memang harus melalui pinggir hutan dan melintas satu bukit sebagai jalan yang lebih dekat.
Akan tetapi, itu bukan masalah bagi mereka, anak-anak muda yang sudah terbiasa mengembara melalui hutan, gunung, ngarai, dan tempat-tempat lain yang jarang sekali disambangi manusia.
Dyah Wulankencana merasa nyaman berjalan berdua dengan Jaka Wulung. Di pihak lain, Jaka Wulung senang menemani gadis itu. Dunia di sekitarnya serbahijau. Indah tak terkira.
Dunia milik berdua. Orang lain cuma penonton. Akan tetapi, mendadak keindahan itu buyar. Hiyaaaaaaaa!
Sesosok tubuh manusia melayang dari kanan Jaka Wulung. Jaka Wulung terkesiap karena ia sama sekali tidak menyangka. Ia terlampau asyik bercakap-cakap dengan Dyah Wulankencana sehingga kewaspadaannya menurun.
Jaka Wulung hanya memasang tangannya di luar sadarnya, untuk melindungi diri dan, terutama, khawatir kalau-kalau serangan itu ditujukan kepada Dyah Wulankencana.
Terjadi benturan keras dan Jaka Wulung merasakan seakan-akan tangannya dihantam dengan kayu besi! Jaka Wulung terdorong mundur tiga langkah, tetapi dengan cepat mempersiapkan diri menjaga kemungkinan dari serangan berikutnya.
Orang itu rupanya menyerangnya dengan sapuan kaki kanan dan ia juga terdorong mundur tiga langkah. Wajahnya merah padam.
Lingga! teriak Dyah Wulankencana.
Bocah setan! pekik orang yang menyerang itu, yang ternyata Lingga Prawata, saudara seperguruan Dyah Wulankencana. Rupanya kau masih hidup ...! Lingga Prawata mencabut kerisnya dan langsung menyerang Jaka Wulung membabi buta.
Lingga! Jangan! pekik Dyah Wulankencana lagi.
Akan tetapi, Lingga Prawata tidak mendengar teriakan gadis itu. Telinganya sudah tidak mendengar suara lain. Ia hanya bisa mendengar suara hatinya sendiri, suara hati yang dilambari dengan kemarahan dan ... cemburu buta!
Jaka Wulung menghindari serangan Lingga Prawata. Sebenarnya ia bisa saja melakukan serangan balik. Orang yang marah besar dan cemburu buta akan mudah kehilangan penguasaan diri. Ia akan terus menyerang dan mengabaikan pertahanannya. Dan, itulah yang terjadi pada Lingga Prawata.
Jaka Wulung sesungguhnya marah juga mendapat serangan tiba-tiba. Dan, si penyerang adalah Lingga Prawata, orang yang telah menyebabkannya celaka tempo hari sehingga jatuh ke jurang dalam. Ingin juga rasanya memberikan perlawanan yang sepadan bagi anak sombong itu.
Akan tetapi, Jaka Wulung masih mempertimbangkan Dyah Wulankencana. Akan apa jadinya kalau ia mencelakakan saudara seperguruan gadis itu" Seperti sering terjadi, hubungan dengan saudara seperguruan acap kali lebih kuat dibanding dengan saudara sekandung.
Apalagi antara ia dan Dyah Wulankencana sama sekali tidak ada hubungan apa-apa kecuali bahwa ia merasa bahagia berdekatan dengannya.
Oleh karena itu, Jaka Wulung hanya bisa menghindari apa pun jenis serangan Lingga Prawata. Kadang ia meloncat mundur, kadang menekuk tubuh, atau juga berguling di tanah.
Lingga Prawata heran sekaligus semakin marah. Selama berbulan-bulan ini ia terus meningkatkan ilmunya di pondok sunyi di lereng Gunung Baribis. Ki Jayeng Segara sudah menurunkan semua ilmunya. Kemajuan yang dialami Lingga Prawata pun sudah cukup jauh melampaui Watu Ageng dan Dyah Wulankencana. Ia memang memiliki bakat alam yang kuat dibanding dua adik perguruannya.
Dalam dua bulan pengembaraannya, Lingga Prawata juga terus meningkatkan ilmunya, baik melalui latihan sendiri sepanjang perjalanan maupun dengan pertempuran melawan orang lain. Ia dua kali harus bertempur dengan para pembuat onar di sebuah kampung. Di sana ia mampu mengalahkan dua pembuat onar yang sebelumnya ditakuti seluruh kampung.
Ketika masa pengembaraannya hampir selesai, ia memang sengaja memutar ke selatan sambil bertanya-tanya kepada orang-orang, barangkali pernah melihat gadis muda dengan ciri-ciri yang dimiliki Dyah Wulankencana. Rasa penasarannya terjawab. Ia senang karena akhirnya bisa mencium jejak gadis itu.
Akan tetapi, hatinya dibakar rasa cemburu ketika dilihatnya Dyah Wulankencana justru berjalan sambil bercakap akrab berdua dengan Jaka Wulung.
Dan, kini Lingga Prawata semakin mendidih darahnya ketika setelah puluhan jurus tak mampu juga senjatanya menyentuh, jangankan kulit Jaka Wulung, bahkan bajunya pun tidak.
Bocah setan, ayo lawan! pekik Lingga Prawata. Jangan menghindar terus seperti banci!
Bagi Lingga Prawata, kemampuan Jaka Wulung untuk menghindari setelah sekian jurus sungguh membuatnya heran. Keheranan pertama, bagaimana cara Jaka Wulung selamat dari kecelakaan jatuh ke jurang"
Yang kedua, ya inilah, bagaimana mungkin Jaka Wulung mampu menghindari serangan-serangan maut Lingga Prawata"
Di pihak lain, meskipun hatinya mulai panas juga, Jaka Wulung enggan terpancing oleh kata-kata pedas Lingga Prawata. Sambil terus menghindar itulah Jaka Wulung akhirnya bertanya-tanya mengapa orang-orang selalu mengatainya sebagai bocah setan . Apakah aku benar-benar keturunan setan" tanya hati Jaka Wulung. Tapi, ia menjawab sendiri pertanyaannya, Tidak mungkin. Sebab, hanya orang-orang jahatlah yang menyebutnya bocah setan . Kalau begitu, apakah Lingga Prawata termasuk orang jahat" Ia jahat karena merusak kebahagiaannya bersama Dyah Wulankencana.
Lingga! Hentikan! seru Dyah Wulankencana berkali-kali.
Akan tetapi, berkali-kali pula Lingga Prawata mengabaikan teriakan gadis itu. Lingga Prawata bahkan memutuskan untuk menggunakan ilmu yang paling diandalkannya: gagak rimang.
Bocah setan, bersiaplah! Jaka Wulung mengenali gerak jurus maut itu. Dan, ia tidak mau lagi menjadi sasaran ilmu yang dilandasi kemarahan memuncak. Oleh karena itu, ia pun bersiaga dengan ilmu andalannya pula: gulung maung. Jaka Wulung dengan cepat menyalurkan tenaga dalamnya ke kedua tangannya, lalu ke jari-jemarinya yang mengembang seperti cakar harimau. Grrrhh ...!
Belum pernah Jaka Wulung menggunakan ilmu ini untuk ditujukan kepada manusia mana pun. Ia bahkan belum lagi mencobanya setelah kali terakhir di Bukit Sagara ia hanya mampu mematahkan dahan pohon. Jadi, ia kini seperti sedang berjudi ....
Sebelum Lingga Prawata melancarkan serangannya, Jaka Wulung sudah mendahuluinya. Sebuah gelombang tak kasat mata meluncur cepat mengarah ... sebatang pohon!
DUARRR! Terdengar ledakan keras. Pohon yang batangnya sebesar tubuh manusia dewasa itu dihantam sebuah kekuatan yang luar biasa.
Bergoyang-goyang beberapa jenak, kemudian batangnya ambruk berdebum ke tanah di antara Jaka Wulung dan Lingga Prawata, menerbangkan debu dan dedaunan kering ke udara.
Beberapa saat kemudian hening.
Tak ada yang berbicara. Bahkan, tak ada yang bergerak.
Ketiganya terpaku di tempat masing-masing dengan pikiran sendirisendiri.
Jaka Wulung menarik napas meredakan perasaannya yang campur aduk. Dipandangnya wajah Dyah Wulankencana untuk kali terakhir sebelum ia meloncat dan melesat pergi ke arah utara.
Wuluuuung ...! Pekikan Dyah Wulankencana dengan cepat menjadi samar di telinganya.
Jaka Wulung berlari seakan dikejar setan. Hatinya remuk redam. Kebahagiaannya bertemu dengan Dyah Wulankencana hanya berlangsung sekejap. Ia harus merelakan gadis itu. Dyah Wulankencana bukanlah miliknya. Meskipun tidak pernah terucap, Jaka Wulung tahu bahwa Lingga Prawata cemburu buta. Cemburu itu tanda cinta. Itu berarti telah ada hubungan antara Lingga Prawata dan Dyah Wulankencana. Lagi pula, ia tidak yakin apakah Dyah Wulankencana menyukainya juga. Jadi, Jaka Wulung merasa bahwa ia harus melupakan gadis itu. Tak terasa pipinya basah oleh air mata.
Hatinya patah sebelum tumbuh berkembang. []
12 Kemelut di Bukit Sagara ANGIN meniup pelan di lereng Bukit Sagara. Matahari menyapa dedaunan perdu yang bergoyang-goyang disentuh cipratan air pancuran. Suara gemercik air ditingkahi cericit burung-burung menyambut hari baru. Udara harum tercium.
Sejenak Resi Darmakusumah memejamkan matanya, merasakan segarnya berendam di dekat pancuran. Hampir tiap hari ia berendam di sana, tetapi setiap kali itu pula ia selalu merasakan keindahan alam di sana. Sungguh keindahan yang tak terkira. Resi Darmakusumah makin larut dalam pengakuan akan kebesaran Sang Pencipta.
Mendadak telinganya menangkap bunyi samar yang aneh. Seperti jauh, tetapi rasanya dekat. Seperti ketukan tak berirama entah di mana, tetapi juga seperti langkah kaki yang sangat berhati-hati.
Resi Darmakusumah berdebar-debar.
Perlahan ia bangkit dari air kali, naik ke rerumputan, mengambil bajunya, lalu melangkah cepat menuju pondok.
Tak ada siapa-siapa di pondoknya.
Suasana tetap sunyi seperti hari-hari kemarin. Bayangan pohon rasamala rebah memanjang di halaman pondok. Dedaunannya bergoyang pelan. Akan tetapi, kesunyian itu terasa mencekam sang Resi.
Ia beranjak ke dalam pondok kecilnya, menuju ruang di sudut belakang, tempat ia menyimpan kitab-kitab pusaka. Sarang laba-laba saling melintang dan Resi Darmakusumah menarik napas panjang.
Tiba-tiba ia teringat muridnya, Jaka Wulung. Dipanjatkannya doa, semoga bocah itu selamat dalam perjalanannya dan menyerap pengetahuan apa pun di mana pun.
Bocah itu punya bakat yang langka, batin Resi Darmakusumah. Mungkin aku terlampau cepat melepasnya. Dia masih perlu bimbingan, baik dalam kanuragan maupun dalam sastra. Kuharap dia tidak mengalami musibah. AKAN TETAPI, ihwal musibah, tidak seorang pun bisa menduganya.
Telinga Resi Darmakusumah menegang ketika didengarnya suara samar langkah-langkah manusia di luar pondoknya. Mungkin masih agak jauh, tetapi makin lama makin jelas bahwa langkah-langkah itu makin dekat menuju kediamannya. Ia memastikan itu bukan Jaka Wulung. Ia sangat mengenal cara melangkah muridnya. Siapa dia"
Tunggu. Tidak hanya satu, tetapi dua .... Tiga malah. Lebih ....
Siapa mereka" Ada tujuan apakah mereka menuju kemari" Selama bertahun-tahun tempat ini benar-benar tempat yang damai. Apakah mereka sudah menemukan tempat persembunyiannya" Apakah mereka masih terus mengejar kitab-kitab yang sekarang ada di tangannya"
Ada rasa penyesalan di dalam dada Resi Darmakusumah. Mungkin ia terlalu yakin bahwa persembunyiannya sudah aman, tidak bakal tercium oleh mereka yang berambisi memiliki kitab-kitab pusaka di tangannya. Boleh jadi ia terlalu khusyuk dalam semadi memuja Yang Mahatinggi. Tapi, apa pun alasannya, penyesalan sudah tidak berguna lagi. Bukit Sagara yang indah dan damai kini terancam ternoda.
Ada keinginan untuk lari dari tempat itu sebelum mereka datang. Tapi, Resi Darmakusumah akhirnya memutuskan menghadapi mereka apa pun yang terjadi. Lagi pula, kalaupun pergi diam-diam, ia tidak yakin apakah akan bisa lolos dari mereka. Ia tidak tahu siapa saja dan seberapa besar kemampuan mereka.
Resi Darmakusumah sudah menunggu di pintu pondoknya ketika orang pertama muncul.
Orang pertama adalah laki-laki yang sulit ditebak usianya. Tubuhnya lebih kekar daripada Resi Darmakusumah sehingga kelihatan lebih muda. Tapi, wajahnya tirus dan penuh dengan keriput sehingga kelihatan lebih tua dari Resi Darmakusumah. Lagi pula, kepalanya gundul, bukan karena digunduli, melainkan rambutnya rontok semua dan tidak mau tumbuh lagi. Di tangannya tergenggam erat cambuk berujung baja yang setajam belati. Selamat pagi, Resi, ucapnya seraya tersenyum misterius.
Resi Darmakusumah mengerutkan keningnya, Oh, rupanya Ki Wira alias Si Cambuk Maut. Aku nyaris tidak mengenalmu. Sekarang kepalamu gundul.
Ki Wira terkekeh-kekeh, memperlihatkan mulutnya yang tidak lagi bergigi. Setelah dua puluh tahun, Resi, akhirnya kita bertemu lagi.
Resi Darmakusumah mengangguk-angguk. Ya, ya. Tampaknya ada keperluan penting sehingga Ki Wira jauh-jauh dari pantai utara mengunjungi tempat sepi ini.
Tentu saja, Resi. Pertama-tama, aku kangen untuk berjumpa kawan lama. Kedua, aku dengar kau punya benda yang menarik. Jangan rakus, Resi, berbagilah dengan sahabat.
Resi Darmakusumah mengernyit lagi. Benda apakah yang menarikmu sejauh ini"
Ki Wira terkekeh lagi. Sudahlah, Resi. Dulu aku memang kalah ketika kali terakhir kita bertempur. Tapi, selama dua puluh tahun ini aku sudah meningkatkan ilmuku. Begitu kerasnya aku berupaya sampai-sampai rambut dan gigiku tak mau tumbuh lagi. Sekarang perlihatkanlah barang milikmu kepadaku sebelum datang orang lain ....
Belum selesai kata-kata Ki Wira, sudah muncul orang lain seakan-akan tidak diketahui dari mana datangnya.
Ia seorang perempuan yang kira-kira sebaya dengan Resi Darmakusumah dan Ki Wira. Rambutnya yang sebagian besar sudah berwarna putih dibiarkan berkibar ditiup angin. Tapi, wajahnya masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikan masa mudanya. Ia tidak kelihatan membawa senjata apa pun, tetapi tatapan matanya tajam seperti mata elang. Di tubuhnya hanya melintang sehelai selendang merah yang ujungnya tergenggam di tangan kanan.
Ah, kalau punya sesuatu, jangan dihabisi berdua, kata perempuan itu. Aku juga tak mau ketinggalan oleh kalian.
Resi Darmakusumah dan Ki Wira sama-sama memandang perempuan itu dengan kening berkerut.
Ki Wiralah yang mula-mula mengenali perempuan itu. Ia terkekeh-kekeh, Ah, Siluman Cantik dari Karang Bolong pun datang.
Resi Darmakusumah mengangguk-angguk. Hmm ... Nyai Purwati rupanya. Sungguh kehormatan bagiku.
Nyai Purwati tertawa. Sekilas tawanya terdengar renyah di telinga, seperti tawa riang seorang remaja. Tapi, akan terasa kemudian bahwa suara tawa itu mengandung tenaga dalam tersembunyi yang membuat siapa pun yang mendengarnya lama-lama akan bergidik ngeri.
Ah, benar kata Ki Wira. Cepatlah kau perlihatkan benda yang kini di tanganmu itu. Aku yakin itu bukanlah benda milikmu. Oleh karena itu, lebih baik kita pelajari saja bersama-sama. Bukankah bersama-sama kita bisa menjadi kekuatan yang sangat dahsyat"
Resi Darmakusumah memandang Nyai Purwati seraya menarik napas dalam. Ia juga memandang Ki Wira. Ki Wira memandang Resi Darmakusumah dan Nyai Purwati bergantian dengan mulut terkekeh. Nyai Purwati memandang Resi Darmakusumah dan Ki Wira sambil menyunggingkan senyumnya yang masih menyisakan aura kecantikan.
Mereka saling pandang dan belum ada yang bersuara lagi. Jadi, suasana hening beberapa jenak.
Akan tetapi, keheningan itu pecah ketika dalam waktu yang nyaris bersamaan, meloncat dua orang dari arah yang berbeda. Dari arah timur, muncul perempuan berpakaian putih-putih. Rambutnya hitam tebal, sebagian digelung dan sisanya tergerai ke punggung. Lehernya seperti kulit langsat. Usianya menjelang 40 tahun, tetapi masih kelihatan cantik. Ya, ia adalah Sekar Ayuwardhani atau yang lebih dikenal sebagai Mawar Beracun dari Bhumi Sambhara Budhara.
Dari arah utara muncul lelaki berusia 40-an juga, menyandang pedang panjang yang melengkung di punggung. Dialah Mahesa Geni dari Gunung Mahameru.
Baik Sekar Ayu maupun Mahesa Geni terkejut melihat keberadaan para orang tua itu. Tapi, mereka segera meredam keterkejutan itu dan mulai memperhatikan satu per satu siapa mereka. Sekar Ayu belum pernah bertemu dengan Ki Wira. Tapi, melihat penampilannya yang aneh dengan senjata cambuk di tangan, Sekar Ayu segera mengenali bahwa lelaki botak itu adalah Si Cambuk Maut. Sekar Ayu juga belum pernah bertemu dengan Nyai Purwati. Tapi, dari ciri-cirinya ia langsung bisa menebak bahwa nenek yang masih kelihatan cantik itu adalah Siluman Cantik dari Karang Bolong. Dan, orang berjubah di depan pondoknya tentulah sang tuan rumah, Resi Darmakusumah.
Lalu, siapa lelaki yang datang pada saat yang hampir bersamaan dengannya" Rasanya Sekar Ayu pernah berjumpa dengannya, entah di mana.
Akan halnya Mahesa Geni, seperti Sekar Ayu, ia bisa mengenali para tokoh golongan tua itu dari penampilan mereka. Mahesa Geni membungkuk kepada mereka, juga kepada Sekar Ayu.
Mohon dimaafkan kalau saya mengganggu pertemuan para orang tua di sini. Lalu, katanya kepada Sekar Ayu, Senang juga bisa berkenalan dengan Mawar Beracun di sini.
Sekar Ayu memandang Mahesa Geni dengan kening berkerut.
Ki Wira tertawa. Karena ompong, suara tawanya terdengar aneh, seperti mengandung suara siulan. Ah, katanya setelah tawanya reda, Mawar Beracun dari Bumi Sambhara Budhara. Sungguh bukan nama yang kosong. Dunia persilatan benar-benar tak pernah kehilangan kelompok muda yang hebat. Juga Ki Sanak yang berpedang panjang. Ki Sanak pasti juga bukan orang sembarangan.
Nama saya Mahesa Geni. Sayang saya tidak punya julukan apa pun.
Nyai Purwati tertawa. Mungkin Pendekar Pedang Panjang nama yang cocok. Atau Pendekar Sumpit Maut"
Mahesa Geni menoleh ke arah Nyai Purwati dengan kening berkerut. Mungkinkah nenek ini melihat ketika ia menggunakan sumpitnya di tepi Sungai Ci Pamali" Bagaimana mungkin aku tidak tahu keberadaannya"
Tiba-tiba terdengar tawa membahana, menggetarkan udara di sekitarnya, dan menggetarkan dada siapa pun yang mendengarnya. Tawa yang mengandung ilmu gelap sayuta.
Raksasa Kembar dari Segara Anakan sama-sama meloncat dari balik pohon. Orang-orang di sana terkejut. Tidak mungkin tawa hanya dua raksasa itu mampu menggetarkan dada mereka. Ternyata benar, di belakang mereka muncul seseorang yang juga bertubuh raksasa. Bedanya, ia kelihatan lebih tua karena kepalanya sudah botak nyaris seluruhnya, tinggal menyisakan helai-helai rambut putih di belakang dan di dekat telinganya. Dialah yang melalui tawanya menebarkan ilmu gelap sayuta, yang kekuatannya berlipat-lipat dibanding gelap sayuta-nya si raksasa kembar.
Nyai Purwati memandang si raksasa tua. Hmm ... rupanya bayi kembar itu belum punya nyali sehingga masih harus nggandul gurunya ....
Cingkarabala dan Balaupata sudah hendak mengacungkan gadanya ke arah Nyai Purwati, tetapi sang guru menahan keduanya.
Ah, Anak-Anak Manis, kata Nyai Purwati kepada raksasa kembar itu, lebih baik kalian di rumah saja.
Nyai, sudahlah, kata si raksasa tua menggelegar. Bagaimanapun, tersinggung juga ia. Murid-murid yang ia banggakan, yang telah menebarkan ketakutan di wilayah Segara Anakan dan sekitarnya, hanya dianggap sebelah mata oleh perempuan itu.
Sementara itu, mendengar kata-kata Nyai Purwati, Sekar Ayuwardhani menunduk menahan tawa.
Baik Cingkarabala maupun Balaupata melihat gerakan Sekar Ayu dan keduanya sama-sama melotot ke arah si Mawar Beracun.
Akan tetapi, keinginan raksasa kembar itu untuk membalas dendam terhadap Sekar Ayu harus mereka pendam dulu ketika terdengar kata-kata Brahala, guru mereka, yang menggelegar. Kenapa kalian justru saling bertegur sapa seperti terhadap sahabat lama" Nyai Purwati tertawa genit. Jadi, apa maumu, Brahala"
Brahala memandang Nyai Purwati, kemudian berturut-turut menatap Ki Wira, Mahesa Geni, Sekar Ayuwardhani, dan akhirnya Resi Darmakusumah. Lalu, katanya, Bukankah kita datang ke sini untuk merebut pusaka di tangan Resi Darmakusumah"
Dan, kau ingin pusaka itu" tanya Ki Wira.
Hahaha, tentu saja! Dan kau, kalian semua, buat apa jauh-jauh datang ke sini"
Maksudku, bagaimana kau akan mendapatkannya" tanya Ki Wira lagi.
Ditanya seperti ini, Brahala terdiam. Ia menyadari bahwa orang-orang yang datang memiliki kemampuan yang sulit ditakar. Mungkin ia bisa menandingi Ki Wira, Nyai Purwati, atau bahkan Resi Darmakusumah secara sendiri-sendiri. Tapi, bagaimana kalau ia menghadapi mereka secara bersama-sama"
Akan tetapi, bukan hanya Brahala yang kebingungan. Ki Wira, Nyai Purwati, Mahesa Geni, dan Sekar Ayuwardhani, apalagi raksasa kembar dungu macam Cingkarabala-Balaupata, juga sama-sama bingung bagaimana mereka bisa merebut benda yang mereka incar, yang kini berada di tangan Resi Darmakusumah.
Ki Sanak yang bersembunyi di sana, Ki Wira menunjuk sebatang pohon di arah timur, mungkin Ki Sanak punya usul bagaimana kita mendapatkan kitab pusaka itu"
Kata-kata Ki Wira alias Si Cambuk Maut kedengarannya hanya pertanyaan biasa-biasa saja. Tapi, di balik itu, tentu saja Ki Wira sedang menunjukkan pengamatannya yang sangat tajam, yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Bahkan, Nyai Purwati dan Brahala pun terkejut karena mereka tidak menyadari ada orang lain lagi di sekitar mereka.
Seorang lelaki meloncat dari balik sebuah pohon, lalu mendekat kepada kelompok yang sedang mengepung pondok Resi Darmakusumah. Ia lelaki berusia awal 40-an dengan wajah yang keras dan sorot mata tajam. Dialah Ki Jayeng Segara, tokoh penting di masa kejayaan Jipang Panolan. Di perutnya terselip keris dengan gagang dan warangka hitam.
Ki Wira mengerutkan keningnya memandang Ki Jayeng Segara, seakanakan sedang menggali ingatannya mengenai siapa lelaki di depannya. Tapi, ia menggeleng pelan. Begitu juga Nyai Purwati dan Brahala. Pengetahuan seseorang tampaknya menjadi terbatas terhadap orang yang berbeda cukup jauh usianya.
Selamat datang, Ki Sanak. Lebih baik Ki Sanak segera memperkenalkan diri, kata Ki Wira.
Sekar Ayuwardhani menyela melalui tawanya yang renyah. Kelompok orang tua memang sering menganggap enteng orang-orang muda, katanya. Kalau tidak salah lihat, mata Sekar Ayu memandang keris yang menyelip di perut Ki Jayeng Segara, Ki Sanak ini tentulah tokoh penting dari Kadipaten Jipang. Barangkali dia orang kedua atau ketiga Arya Penangsang sendiri.
Baik Ki Wira, Nyai Purwati, maupun Brahala sama-sama terkejut. Arya Penangsang adalah sosok yang tentu saja menggetarkan hati mereka. Dan, mereka yakin tokoh kedua atau ketiga Kadipaten Jipang bukanlah tokoh sembarangan.
Ki Jayeng Segara membungkuk. Saya sebenarnya datang bukan untuk kitab pusaka seperti Ki Sanak semua. Tapi, akhirnya saya tertarik untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di sini.
Ki Wira tertawa. Terserah apa tujuanmu, Ki Sanak. Tapi, karena sudah berada di sini, bukankah Ki Sanak akan ikut juga berebut benda pusaka"
Akan tetapi, sebelum Ki Jayeng Segara menjawab, terdengar suara tawa yang panjang. Suara tawa dari dua orang. Lelaki dan perempuan. Dan, ketika suara tawa mereka belum hilang, kedua orang itu sudah melayang dan hinggap tepat di ruang kosong di sebelah Nyai Purwati.
Tatapan semua orang kini mengarah kepada sepasang lelaki dan perempuan itu. Si lelaki memiliki kumis tebal dan sorot mata tajam, sedangkan si perempuan berwajah cantik dan berpakaian ketat. Sekilas keduanya sama-sama berusia sekitar 45 tahun. Di punggung mereka menyilang pedang panjang.
Ah, rupanya kalian, ucap Nyai Purwati sambil menggeleng-geleng. Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu. Sungguh kalian tidak berubah sejak puluhan tahun lalu. Tetap awet muda. Tetap gagah dan cantik. Ada nada iri pada kata-kata Nyai Purwati.
Ki Wira dan Brahala mengangguk-angguk.
Akan tetapi, Sekar Ayuwardhani, Mahesa Geni, Ki Jayeng Segara, dan Raksasa Kembar dari Segara Anakan terkejut mendengar siapa mereka itu. Nama mereka sudah tersohor di dunia persilatan. Terutama nama mereka sebagai pasangan. Sebab, orang tak pernah menyebut mereka secara sendiri-sendiri. Nama masing-masing hilang oleh nama mereka sebagai pasangan yang tak terpisahkan. Entah dengan ramuan apa, sepasang rajawali itu tetap tampak berusia muda, padahal usia mereka sudah enam puluhan tahun, sama dengan Ki Wira dan lain-lain.
Nah, kata si rajawali jantan. Kami ternyata belum terlambat tiba di tempat ini. Rupanya kalian lebih senang saling memperkenalkan diri seakan-akan kalian sedang kangen-kangenan. Bukankah tujuan kalian adalah merebut kitab pusaka" Mengapa tidak ada satu pun yang mulai bergerak"
Brahala mengerutkan keningnya sebelum berkata dengan suaranya yang mengguntur, Kau punya usul bagaimana kita melakukannya"
Si rajawali jantan tertawa panjang. Otak kalian tampaknya makin tua makin mengerut. Tentu saja sekarang kita kepung pondok ini dan keroyok Resi Darmakusumah. Setelah kita dapat pusaka itu, kita tentukan nanti melalui pertarungan yang adil di antara kita. Bagaimana" Setuju! teriak si rajawali betina. Tentu saja.
Kelompok tua di antara mereka, Ki Wira, Nyai Purwati, dan Brahala, terpaksa mengangguk-angguk meskipun hati mereka mangkel disebut otak mereka mengerut. Adapun kelompok yang lebih muda, Sekar Ayuwardhani, Mahesa Geni, Ki Jayeng Segara, dan Cingkarabala- Balaupata, sama-sama terdiam menunggu.
Sementara itu, Resi Darmakusumah berdebar-debar melihat perkembangan yang terjadi. Dari semula ia lebih suka berdiam diri seraya mencari cara bagaimana meloloskan diri dari mereka. Terhadap siapa pun Resi Darmakusumah tidaklah jeri kalau berhadapan satu per satu. Atau paling banyak dua atau tiga. Tapi, menghadapi keroyokan mereka, persoalannya akan sangat berbeda.
Resi Darmakusumah hanya bisa mengukur seberapa jauh niat mereka untuk memiliki kitab di tangannya. Ki Wira, Nyai Purwati, dan Brahala serta dua muridnya jelas adalah orang-orang dari golongan hitam yang sangat rakus terhadap apa pun di dunia ini. Ki Wira dan Nyai Purwati mungkin saja kelihatan akrab ketika pertama kali berjumpa tadi. Tapi, bagi mereka, nyawa hanyalah salah satu unsur kecil kehidupan. Mereka mampu membunuh dengan darah dingin sambil memperlihatkan sikap bercanda.
Sepasang Rajawali itu, setahu Resi Darmakusumah, sulit diketahui apakah termasuk golongan hitam atau putih. Mungkin orang seperti merekalah yang masuk golongan abu-abu. Adapun terhadap Sekar Ayu, Mahesa Geni, dan Ki Jayeng Segara, pengetahuan Resi Darmakusumah sangat terbatas. Jadi, ia hanya menunggu apa yang akan terjadi.
Nah, Resi, ujar si rajawali jantan, menghadap langsung Resi Darmakusumah. Tampaknya tak ada pilihan lain. Kauserahkan kitabkitab pusaka di tanganmu, atau kami akan memaksamu menyerahkannya.
Resi Darmakusumah berdeham. Setahuku, katanya, kalian, Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu, bukanlah jenis orang yang senang memburu kitab seperti ini.
Sepasang Rajawali itu tertawa bersama-sama. Tampaknya mereka sudah terbiasa untuk tertawa bersama-sama. Maklum, mereka sudah selama sekitar 40 tahun hidup bersama. Sejak sama-sama remaja.
Resi, kata si rajawali jantan, meskipun silsilahnya sudah berjauhan, aku yakin bahwa kita masih sama-sama keturunan raja-raja besar Negeri Sunda. Tapi, aku tidak peduli soal itu. Yang kupedulikan, aku juga masih berhak atas kitab-kitab pusaka peninggalan para leluhur. Nah, sekarang kesempatan bagiku terbuka lebar. Mengapa tidak kuambil"
Benar, Kakang, timpal si rajawali betina. Sudah saatnya kita membangun nama lebih besar sebelum kita moksa dari dunia. Resi Darmakusumah menarik napas dalam-dalam. Ia mundur selangkah ketika Sepasang Rajawali itu melangkah maju setapak. Pada saat yang sama, Ki Wira, Nyai Purwati, dan Brahala juga melangkah maju. Kini lima tokoh dengan ilmu yang sulit diukur kedalamannya mengepung Resi Darmakusumah setengah lingkaran.
Berturut-turut dari sebelah kanannya adalah Nyai Purwati, si rajawali jantan, si rajawali betina, Ki Wira, dan Brahala.
Nyai Purwati, alias Siluman Cantik dari Karang Bolong, sudah menggenggam erat ujung selendang merahnya. Pada masa mudanya, ia pernah bertempur dan merasakan betapa hebatnya ilmu Resi Darmakusumah. Kalau saja sendirian, ia tentu merasa jeri. Tapi, kini ia bersama empat tokoh lain yang setara ilmunya sehingga hatinya menjadi yakin.
Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu sudah sama-sama meloloskan pedang panjang di punggung mereka. Sepasang pedang yang sudah memantapkan nama mereka terutama di pesisir selatan Jawa Dwipa bagian barat. Mereka belum pernah bentrok langsung dengan Resi Darmakusumah, tetapi mereka pernah bertempur dengan Nyai Purwati dan ilmu mereka tidak kalah dibanding siluman cantik itu.
Ki Wira alias Si Cambuk Maut sudah pula menguraikan cambuknya. Bahkan, berkali-kali sudah dimainkannya cambuk itu. TAR! TAR! Bunyinya mengandung gelombang yang menyakitkan telinga siapa pun yang mendengarnya. Memekakkan sekaligus menebarkan aroma maut melalui bau racun di ujungnya.
Sementara itu, Brahala memutar-mutarkan gada raksasanya, yang panjangnya hampir separuh tubuhnya. Ia menamai gadanya Rujak Polo. Padahal, Rujak Polo adalah gada milik Bima. Tapi biarlah, seperti umumnya raksasa, Brahala juga memiliki isi otak yang tidak terlalu besar. Karena memang bertubuh besar, masih beruntung ia memiliki tenaga raksasa, dan itulah yang menjadi andalannya.
Benar-benar tak ada ruang bagi Resi Darmakusumah untuk meloloskan diri.
Sementara itu, kelompok yang lebih muda, Sekar Ayu, Mahesa Geni, Ki Jayeng Segara, dan Raksasa Kembar dari Segara Anakan, masih samasama menunggu perkembangan. Meskipun tidak tahu apa yang akan terjadi, kelompok ini berharap para tokoh tua itu saling bertempur di antara mereka.
Rupanya Brahala sudah tidak sabar lagi. Ia meloncat dan langsung menghantamkan Rujak Polo-nya mengarah ke kepala Resi Darmakusumah. Sang Resi menghindar dan gada raksasa itu menghantam sebongkah batu yang kemudian hancur berkeping-keping menjadi kerikil yang beterbangan ke segala arah!
Dalam waktu yang bersamaan, ujung pedang Sepasang Rajawali meluncur mengarah Resi Darmakusumah yang belum memiliki kuda-kuda setelah menghindari serangan Brahala. Resi Darmakusumah melenting setinggi orang dewasa dan sambil berjumpalitan mencoba membalas melalui ujung kujangnya. Kujang itu sudah belasan tahun tidak pernah ia pakai dan sekarang pada jurus pertama Resi Darmakusumah terpaksa menggunakannya.
Akan tetapi, Resi Darmakusumah terpaksa menarik serangannya karena ia melihat kelebatan selendang merah Nyai Purwati. Selendang itu kelihatannya memang hanyalah selembar kain lembut karena terbuat dari sutra. Lagi pula, dalam keadaan biasa, Nyai Purwati memakainya juga sebagai pemanis busananya. Tapi, di tangan perempuan bermata elang ini, ujung selendang itu, yang memang diberi puluhan batang jarum, bisa menyayat-nyayat kulit seperti halnya sisi tajam pedang. Resi Darmakusumah tentu tak mau tangannya tersayat sia-sia.
Dan, hanya sekejap kemudian, cambuk maut di tangan Ki Wira sudah pula meledak-ledak menyobek udara dan berupaya mengejar ke mana pun gerak Resi Darmakusumah.
Sekejap kemudian, berlangsung pertarungan tingkat tinggi yang secara kasat mata sulit diikuti gerakannya. Yang terlihat adalah bayanganbayangan yang berkelebat menimbulkan semacam angin puting beliung yang menerbangkan kerikil-kerikil dan merontokkan dedaunan di sekitar pertempuran, diselingi bunyi dentang senjata logam beradu dan ledakan suara cambuk dan kibasan selendang.
Meskipun dikeroyok lima tokoh termasyhur yang tingkatannya tidak jauh dari dirinya sendiri, Resi Darmakusumah justru beruntung karena kekuatan lima orang itu tidak menggambarkan penjumlahan kekuatan masingmasing. Karena masing-masing ingin menonjolkan diri sendiri, serangan yang dihasilkan para tokoh itu acap kali tidak selaras dan, kadang kala, saling mengancam di antara mereka sendiri.
Dengan demikian, melalui ilmu andalan gulung maung yang sudah terasah selama beberapa tahun melalui sumbernya langsung di lembar-lembar Kitab Siliwangi, sampai puluhan jurus Resi Darmakusumah mampu melayani perlawanan kelima lawannya.
Akan tetapi, seburuk-buruknya keselarasan serangan yang diperagakan Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu, Siluman Cantik dari Karang Bolong, Si Cambuk Maut, dan Brahala, mereka adalah tokoh-tokoh yang selama ini menggentarkan siapa pun, terutama di tanah Jawa Dwipa. Serangan demi serangan melanda tidak pernah berhenti sejeda pun.
Dua ujung pedang sepasang rajawali melesat-lesat seakan-akan berubah menjadi belasan ujung pedang. Selendang Nyai Purwati berkelebatan tak ubahnya seperti ular bersayap, siap mematuk lawan dengan jarum-jarum di ujungnya. Cambuk Ki Wira tidak henti-hentinya meledak-ledak menimbulkan suara yang bikin pekak dan siap menerkam sasaran. Gada Rujak Polo pun terus berputar-putar dan, jika tidak mengenai sasaran, menghantam bebatuan dan pepohonan, menimbulkan badai yang menggila.
Tampaknya kepastian nasib Resi Darmakusumah tinggal menunggu waktu.
Pucuk-pucuk daun rasamala bergoyang-goyang ditiup angin, seakan-akan menggelengkan kepala tidak rela bahwa bebukitan yang selama ini, dalam kurun ratusan tahun, damai tiba-tiba akan ternoda. Darah sebentar lagi tumpah, memerahi tanah.[]
13 Titik Akhir adalah Sebuah Awal
JAKA WULUNG terus berlari seperti kesetanan. Kekuatan yang ia peroleh secara ajaib di Nusa Larang, ditambah rasa patah hati yang menyayat-nyayat, membuat tenaga Jaka Wulung menjadi berlipat-lipat. Kakinya yang telanjang seakan-akan tidak menapak di tanah ketika ia meniti jalan setapak, menuruni ngarai, mendaki bukit, menyeberang sungai kecil, dan menembus pepohonan rapat di hutan menjelang Bukit Sagara.
Ia baru menahan langkah larinya ketika telinganya menangkap dentang senjata dan pekik manusia berpuluh-puluh langkah di depannya.
Jaka Wulung menyelinap dari satu pohon ke pohon lainnya dengan penuh kehati-hatian. Ada apa gerangan" Siapa yang bertempur di tempat yang begini sunyi"
Di tanah datar di bagian lembah pondok gurunya, tampak seorang perempuan berbaju putih-putih, dengan dua pedang pendek, sedang bertempur seru dengan dua lelaki bertubuh sangat besar, seperti raksasa, dengan senjata gada di tangan masing-masing.
Rupanya, Raksasa Kembar dari Segara Anakan itu masih penasaran atas kekalahan yang mereka alami di tangan si Mawar Beracun. Jadi, di sini, mereka mengerahkan segala kemampuan dan tenaga mereka yang besar untuk mencoba membalas dendam. Mungkin mereka tidak peduli terhadap tujuan utama mereka datang ke Bukit Sagara.
Sekilas Jaka Wulung mengagumi sepak terjang perempuan cantik itu, yang dengan lincah dan gesit mampu melayani dua raksasa bertenaga raksasa. Bahkan, sesekali ujung pedang pendeknya, baik di tangan kiri maupun kanan, mampu menyentuh tipis kulit Cingkarabala dan Balaupata, yang membuat kedua raksasa itu bertambah marah dan berusaha melipatgandakan serangan mereka.
Jaka Wulung 1 Pertarungan Di Bukit Segara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jaka Wulung terkesiap ketika dilihatnya di tanah yang lebih tinggi, tepat di depan pondoknya, sang guru, Resi Darmakusumah, mati-matian menghadapi lima orang pengeroyok yang dalam sekilas pun kelihatan bahwa ilmu mereka berada pada level yang sangat tinggi, setidaknya hanya selapis tipis dari tingkat ilmu Resi Darmakusumah.
Di bawah sadarnya, Jaka Wulung meloncat ketika ujung cambuk Ki Wira melesat mengancam kepala gurunya. Sambil melayang di udara, Jaka Wulung menarik kudi hyang dari balik bajunya, mengarahkannya untuk memapak ujung cambuk si Cambuk Maut. Ilmu gulung maung sudah siap menerkam.
Grrrhh ...! Dalam keadaan sadar dan memahami keadaan, pastilah Jaka Wulung akan berpikir tiga kali untuk melawan senjata maut di tangan Ki Wira. Itu adalah tindakan nekat!
Akan tetapi, acap kali terjadi, kenekatan seperti itu memberikan tenaga yang berlipat, seperti seseorang yang tiba-tiba mampu meloncati pagar tinggi ketika dikejar binatang buas. Itulah yang terjadi pada Jaka Wulung saat itu.
Trang! Tas! Dalam dua gerakan singkat, kudi hyang di tangan Jaka Wulung membentur logam baja di ujung cambuk dan memapas leher cambuk itu. Cambuk itu putus!
Jaka Wulung berjumpalitan dan hinggap tepat di sebelah kiri gurunya. Pertempuran sejenak terhenti.
Wulung" Resi Darmakusumah memandang muridnya seakan-akan sudah puluhan tahun tidak melihatnya. Ia terkejut melihat apa yang baru saja diperbuat sang murid. Tapi, tak lama kemudian ia yakin bahwa kepergian Jaka Wulung sesuai dengan petunjuknya telah memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Kudi hyang di genggaman Jaka Wulung adalah senjata pusaka yang hanya dimiliki tokoh hebat masa lalu, misalnya Prabu Niskala Wastukancana sendiri. Resi Darmakusumah tentu saja ingin mendengar cerita tentang pengalaman Jaka Wulung, tetapi keadaan tidak memungkinkan.
Tidak hanya pertempuran di antara mereka yang terhenti. Pertempuran antara si Mawar Beracun dan dua raksasa itu pun terhenti. Mereka ingin tahu apa yang terjadi. Mereka terkejut melihat kedatangan seorang bocah belasan tahun yang tiba-tiba menunjukkan sesuatu yang berada di luar akal mereka.
Mahesa Geni dan, tentu saja, Ki Jayeng Segara, yang sedari tadi tidak melakukan apa-apa kecuali menonton dua kalangan pertempuran, menganga tidak percaya. Terutama Ki Jayeng Segara, yang segera mengenal siapa orang yang tiba-tiba ikut terjun dalam pertempuran tingkat tinggi itu. Beberapa waktu lalu, bocah itu bukanlah siapa-siapa. Bagaimana mungkin dalam waktu yang sangat singkat ia tiba-tiba menjadi sedemikian hebat" Ki Jayeng Segara bahkan tidak sempat menggelenggelengkan kepala.
Akan tetapi, orang yang paling terkejut tentu saja adalah Ki Wira. Matanya melotot tak percaya. Mulutnya terbuka, memperlihatkan gua yang menganga. Ia bahkan tidak bergerak beberapa jenak, dengan cambuk terkulai di tangannya. Bagaimana mungkin" Bagaimana bisa" Cambuk maut di tangannya adalah senjatanya yang nyaris tidak pernah terkalahkan seumur ia terjun di dunia persilatan. Entah sudah berapa puluh nyawa tercabut oleh cambuk mautnya. Dan kini, hanya dalam satu gebrakan, cambuknya putung! Dan, yang melakukannya adalah seorang bocah ingusan!
Brahala tidak kalah kagetnya. Baru kali pertama dalam hidupnya ia menyaksikan seorang tokoh hebat setingkat Si Cambuk Maut mengalami peristiwa memalukan seperti itu.
Mata Sepasang Rajawali pun menatap Jaka Wulung dengan kening berkerut berlipat-lipat.
Bukankah kau ..., kata si rajawali jantan, ... kau yang kemarin kulihat di seberang Ci Tanduy"
Jaka Wulung memandang sepasang lelaki dan perempuan itu. Benar, kata Jaka Wulung. Saya lihat Ki Dulur berdua menyeberang Sungai Ci Tanduy yang sedang banjir bandang. Luar biasa. Tapi, mengapa Ki Dulur berdua mengeroyok guru saya"
Sepasang Rajawali itu mengangguk-angguk. Pantas, kata mereka dalam hati. Resi Darmakusumah adalah tokoh hebat dan pantas memiliki murid yang hebat.
Akan tetapi, tiba-tiba, pada saat yang sama, mereka justru menjadi gembira. Sehebat-hebatnya seorang murid tentu belum akan melebihi kehebatan gurunya. Kalaupun tadi ia mampu memutuskan senjata maut Ki Wira, itu pastilah karena keberuntungan. Meskipun datangnya hanya sekali dua kali dari seribu peristiwa, keberuntungan terkadang datang dalam sebuah pertempuran.
Pemikiran yang sama menghinggapi Nyai Purwati alias Siluman Cantik dari Karang Bolong dan Ki Wira sendiri. Bahkan, Brahala, dengan otaknya yang bebal, saat itu mendadak menjadi agak cerdas dan menyimpulkan bahwa gerak mengejutkan si bocah tadi lebih banyak terjadi karena keberuntungan.
Sebenarnyalah, Jaka Wulung sendiri merasakan tangannya yang menggenggam kudi hyang seperti tersengat hawa panas yang luar biasa. Beberapa saat ia merasakan seperti mati rasa. Untunglah, pusaka di tangannya tidak mencelat jatuh dan beberapa saat kemudian ia mampu menyalurkan hawa sejuk ke tangan kanannya dan kini yang tersisa adalah rasa seperti kesemutan.
Brahala tertawa dengan suara yang tetap mengguntur. Hah, sekarang kau mendapat bantuan sepadan, Resi. Pertempuran ini akan semakin menarik.
Sambil menjejakkan kakinya ke tanah dan menimbulkan getaran seperti gempa, Brahala menyerbu langsung ke arah Jaka Wulung dengan gada Rujak Polo-nya. Jaka Wulung terkejut sepersekian kejap, tetapi kemudian menyadari ancaman yang mengincar kepalanya.
Jaka Wulung merunduk dengan cepat dan kakinya mencoba menyapu Brahala. Brahala sengaja tidak menghindari sapuan kaki Jaka Wulung. Dan, hal itu justru membuat Jaka Wulung ragu-ragu sehingga ia menarik serangannya dan memilih menusukkan kudi hyang-nya mengarah ke ulu hati.
Demikianlah, pertempuran berlangsung kembali. Kali ini Resi Darmakusumah dan Jaka Wulung bahu-membahu menghadapi lima orang yang tadi mengeroyok sang Resi sendirian. Ki Wira, setelah cambuk mautnya putung, memang sempat patah arang. Tapi, ia tersulut lagi hasrat tempurnya, bahkan kini dilambari dengan dendam yang membara. Ia merasa sudah dipermalukan oleh seorang bocah. Oleh karena itu, Ki Wira, yang kini menggenggam sebilah keris berwarna cokelat kelam, langsung menggempur Jaka Wulung.
Dengan demikian, Jaka Wulung menghadapi dua orang sekaligus, Brahala dan Ki Wira, sedangkan Resi Darmakusumah melawan gempuran Sepasang Rajawali dan Nyai Purwati.
Brahala adalah tokoh tua bertubuh raksasa yang sangat mengerikan. Muridnya saja, si raksasa kembar, sudah menebarkan ketakutan di kawasan Segara Anakan dan sekitarnya karena kekejaman dan tingkat ilmu mereka yang tinggi. Dan, tentu saja gurunya memiliki tingkat ilmu yang jauh lebih tinggi.
Sementara itu, meskipun sudah tidak menggenggam cambuk mautnya, Ki Wira tetaplah tokoh dengan tingkat ilmu yang tak terperi, yang membuat namanya ditakuti di sepanjang pantai utara di bagian tengah Jawa Dwipa.
Kalau tadi keduanya, Brahala dan Ki Wira, kurang leluasa ketika mengeroyok Resi Darmakusumah, kini mereka benar-benar bisa memusatkan perhatian dan bisa mengeluarkan segenap ilmu kepada Jaka Wulung.
Oleh karena itu, serangan yang mereka lakukan adalah serangan-serangan yang berhawa maut. Brahala terus membabi buta sebagaimana kebiasaan seorang raksasa di mana pun, seperti babi hutan yang terus menyeruduk tidak peduli apa pun yang menghalang di depan. Dari arah yang selalu berlawanan, Ki Wira tidak pernah putus menusukkan kerisnya yang berwarna kusam, yang justru menimbulkan hawa maut yang sangat kental.
Jaka Wulung, meskipun sudah tuntas menyerap ilmu Resi Darmakusumah dan tingkatan ilmunya sudah melesat jauh secara ajaib dalam peristiwa aneh di Nusa Larang, hanyalah bocah berumur lima belas tahun. Ia belum menyerap banyak pengalaman dalam pertempuran yang sesungguhnya. Apalagi sekarang ia melawan tokoh-tokoh dengan tingkat ilmu yang sangat tinggi seperti Brahala dan Ki Wira, dan langsung berhadapan dengan dua orang.
Tampak dengan segera bahwa kedudukan Jaka Wulung langsung terdesak hebat. Ia hanya bisa berloncatan menghindari dua tokoh dari pantai selatan dan pantai utara itu.
Luar biasa bocah ini! Ki Wira mengakui dalam hati, dan hal itu justru membuatnya penasaran dan terus meningkatkan ilmunya hingga ke puncak.
Sementara itu, Resi Darmakusumah mampu meladeni perlawanan Sepasang Rajawali dan Siluman Cantik. Nama besarnya di masa lalu bukanlah nama kosong, apalagi pada beberapa tahun terakhir ia mendalami semua intisari yang terkandung dalam kitab-kitab pusaka peninggalan leluhurnya. Tapi, perhatiannya menjadi terbelah ketika melihat Jaka Wulung terdesak hebat oleh Brahala dan Ki Wira.
Situasi itu memaksa Resi Darmakusumah sesekali mendekat ke lingkaran pertempuran antara Jaka Wulung dan dua lawannya. Sesekali pula ia berhasil membantu muridnya dengan cara menahan serbuan Brahala atau Ki Wira.
Akan tetapi, Sepasang Rajawali dan Nyai Purwati selalu sengaja menjauhkan Resi Darmakusumah dari lingkaran pertempuran muridnya. Kami bukan anak-anak, Resi, teriak Nyai Purwati seraya tertawa.
Resi Darmakusumah menggeram dan melesat hendak membungkam mulut Nyai Purwati. Tapi, ia harus menarik serangannya karena dua ujung pedang milik Sepasang Rajawali mengancamnya dari dua arah yang berbeda.
Suatu saat, kedudukan Jaka Wulung benar-benar terjepit. Ia baru saja menghindari hantaman Rujak Polo di tangan Brahala ketika keris kusam Ki Wira sudah menjemputnya dari arah yang sama sekali tidak diduga. Resi Darmakusumah melihat situasi tersebut dan ia dengan nekat melenting memapak keris Ki Wira.
TRANG! Kujang Resi Darmakusumah menghantam keris Ki Wira pada saat yang tepat. Ia berhasil menyelamatkan sang murid. Tapi, pertahanan dirinya sendiri menjadi terbuka. Hanya sekejapan, ujung selendang merah Nyai Purwati menyentuh tipis leher Resi Darmakusumah. Sang Resi terpekik dan ia merasakan lehernya seperti panas membara.
Jarum-jarum di ujung selendang itu pastilah beracun!
Akan tetapi, Resi Darmakusumah sudah tidak lagi memikirkan dirinya sendiri.
Wulung, cepat lari! pekiknya seraya mati-matian menahan serbuan lawan-lawannya.
Akan tetapi, Jaka Wulung sama sekali tidak berpikir untuk lari. Kalaupun mereka tidak mampu lagi bertahan, pikirnya, biarlah ia akan gugur bersama gurunya.
Kini pertarungan sudah bisa ditebak kesudahannya. Tenaga Resi Darmakusumah dengan cepat susut. Darah terus mengucur dari lukanya, sedangkan racun yang buas dengan cepat meresap ke dalam pembuluh darahnya, menyerap kekuatan di dalam tubuh sang Resi.
Sementara itu, Jaka Wulung beberapa kali tidak bisa menghindari serangan lawan-lawannya. Pakaiannya sudah koyak di beberapa tempat oleh ujung keris Ki Wira. Kulit perutnya bahkan sudah tersayat sepanjang hampir setengah jengkal. Terasa luka itu sangat perih.
Ujung keris Ki Wira pun mengandung racun! Begitulah kejinya orang-orang golongan hitam!
Akan tetapi, baik Resi Darmakusumah maupun Jaka Wulung tetap bertarung seperti maung. Mereka tidak mengenal kata menyerah. Guru dan murid sama-sama menerapkan ilmu andalan leluhur mereka: gulung maung. Meskipun sudah terluka nyaris arang keranjang, keduanya terus mengaum melancarkan serangan-serangan pamungkas. Pada satu saat, boleh jadi melalui semacam keberuntungan juga, kujang Resi Darmakusumah berhasil merobek selendang Nyai Purwati, bahkan menggores tangan nenek siluman cantik itu.
Grrrhhh ...! Pada kejapan yang sama, ujung kudi hyang Jaka Wulung menyayat perut Brahala.
Nyai Purwati dan Brahala memekik pada saat yang sama.
Melalui tenaga dan kecepatan yang seakan-akan menjadi berlipat, Resi Darmakusumah melepaskan kujangnya dan Nyai Purwati tidak sempat menghindar. Kujang itu menancap tepat di ulu hati Siluman Cantik dari Karang Bolong. Pada saat yang sama, kudi hyang Jaka Wulung di luar dugaan siapa pun, bahkan Jaka Wulung sendiri, mengiris leher Brahala. Nyai Purwati dan Brahala tumbang pada saat yang sama!
Akan tetapi, setelah itu pertahanan Resi Darmakusumah benar-benar terbuka. Tenaganya seakan terisap habis untuk melakukan serangan terakhir. Secara beruntun ujung-ujung pedang panjang di tangan Sepasang Rajawali menembus tubuh Resi Darmakusumah!
Resi Darmakusumah, salah seorang tokoh besar terakhir dari Pajajaran, tumbang di tangan Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu, daerah yang sesungguhnya pernah menjadi andalan Pajajaran sendiri!
GURUUU! Jaka Wulung memekik pilu menyaksikan akhir hidup gurunya.
Akan tetapi, pada kejapan berikutnya Jaka Wulung juga tidak mampu menghindari serangan maut keris Ki Wira yang meluncur seperti kilat ke arah ulu hatinya ....
Pada saat-saat terakhir itulah entah dari mana datangnya, sesosok bayangan putih melesat, meraih tubuh Jaka Wulung dan Resi Darmakusumah sekaligus, kemudian menghilang di rerimbunan hutan di sebelah barat pondok.
Semua orang yang ada di sana hanya bisa terpaku menyaksikan kejadian yang bagi mereka di luar akal itu. Bayangkan, mereka, Sepasang Rajawali dan Ki Wira, di luar Nyai Purwati dan Brahala yang tampaknya hampir sekarat, sama sekali tidak mengetahui ada sosok putih yang menyelamatkan Resi Darmakusumah dan Jaka Wulung.
Siapa dia" Manusiakah" Adakah di dunia ini manusia yang memiliki kecepatan seperti itu"
Pondok bekas kediaman Resi Darmakusumah kembali dicekam kesunyian.
Orang-orang belum segera bisa menepis keanehan yang mereka alami dan lihat pada akhir pertempuran itu.
**** GUNUNG Sepuh sunyi senyap. Hanya angin yang cukup kencang meniup permukaan kawah berwarna putih bersemu hijau.
Jaka Wulung memandang puncak gunung itu dengan perasaan aneh. Ia merasa pernah mengalami kejadian seperti itu. Tentu saja, ia pernah diselamatkan oleh seorang tua aneh ketika terjatuh ke jurang dalam, ketika ia sudah pasrah akan nasib buruk apa pun. Ia kemudian menjadi murid orang tua aneh itu, yang belakangan diketahui bernama Resi Darmakusumah, melalui jalan yang aneh pula.
Kini untuk kali kedua, ketika sudah hendak dijemput maut dalam sebuah pertempuran yang hanya samar-samar ia ketahui persoalannya, ia diselamatkan oleh seorang tua yang tidak kalah anehnya.
Apakah ini semacam peristiwa berulang"
Angin lembut berdesir. Jaka Wulung menoleh. Orang tua aneh itu berdiri seraya menggenggam kitab lontar di tangan kanannya. Rambut, alis, kumis, dan janggut lelaki itu putih semua. Jubah yang dikenakannya juga putih meskipun sudah agak kusam. Kerut merut di wajahnya menunjukkan usianya.
Pastilah ia setidaknya dua puluh tahun lebih tua dibanding Resi Darmakusumah. Ah, Resi, semoga kedamaian kau dapat di sana .... Sorot matanya tajam, tetapi terasa teduh di dada Jaka Wulung.
Jaka Wulung membungkuk penuh hormat. Selamat pagi, Kakek yang terhormat ....
Cucuku, syukurlah kau sudah makin pulih. Racun yang sempat meresap di aliran darahmu sangat kuat. Kalau aku terlambat datang, kau pasti tidak akan bertahan lama.
Terima kasih atas pertolongan Kakek.
Ini kubawakan salah satu kitab yang untungnya juga masih bisa kuselamatkan dari pondok gurumu. Kau pelajarilah. Kau memiliki bakat yang langka. Tak perlu dibimbing, kau akan mampu menyerap ilmu dalam kitab ini. Aku tinggal tidak jauh dari sini. Nanti sesekali, kalau usiaku masih ada, aku akan mengunjungimu, melihat perkembanganmu. Sekali lagi, terima kasih. Bolehkah saya menyebut ... guru" Lelaki tua itu tersenyum.
Aku sudah terlalu tua untuk menjadi seorang guru. Aku hanya bisa memberimu restu. Jalan masih panjang membentang bagimu dan kau telah memutuskan sebuah nama untuk kau sandang. Jangan coreng nama itu. Ya, ya, aku merestuimu meneruskan jalanku.
Jaka Wulung masih menunduk, menunggu kata-kata berikutnya. Akan tetapi, yang ada hanya keheningan.
Jaka Wulung mendongak. Kakek serbaputih itu tiada lagi di tempatnya semula.
Kakek" Jaka Wulung celingukan. Kakek"
Jaka Wulung berdebar-debar. Otaknya yang cerdas langsung berputar.
Tentu dialah orangnya, tokoh legendaris yang selama ini seakan-akan hanya ada di dalam khayalan: Resi Jaya Pakuan. Atau orang lebih mengenalnya dengan nama ini: Bujangga Manik. "
TAMAT Nantikan petualangan Jaka Wulung selanjutnya dalam buku kedua serial Jaka Wulung.
Tentang Penulis Hermawan Aksan lahir di Brebes Jawa Tengah, telah cukup lama malang melintang di dunia literasi dan jurnalistik. Beberapa cerpen karyanya dimuat di sejumlah media massa, antara lain Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos, Media Indonesia, Koran Tempo, majalah Horison, Koran Sindo, dan lain-lain. Hermawan juga menulis beberapa cerpen dalam bahasa Sunda. Karya-karyanya itu bisa ditemukan di majalah Mangle, Cupumanik, Galura, dan Kujang. Adapun novel-novelnya antara lain Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit (C Publishing, Desember 2005), Niskala, Gajah Mada Musuhku (Bentang Pustaka, Yogyakarta, Juni 2008). Pernah bekerja sebagai editor bahasa pada tabloid Detik, Bola, Raket, dan Detak. Kini ia menjadi redaktur di harian Tribun Jabar. []
Pendekar Patung Emas 8 Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins Rahasia Kunci Wasiat 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama