Ceritasilat Novel Online

Pertarungan Di Bukit Segara 1

Jaka Wulung 1 Pertarungan Di Bukit Segara Bagian 1


?"Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
PERTARUNGAN DI BUKIT SEGARA (Serial Jaka Wulung 1)
Karya : Hermawan Aksan Cetakan Pertama, September 2013
Penyunting: Dhewiberta Perancang sampul: Edi Jatmiko
Ilustrasi Isi: M. Isnaeny Pemeriksa aksara: Nunung Wiyati Penata aksara: Gabriel & gores_pena Digitalisasi: Riyan Trisna Wibowo PDF Ebook : yoza
Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved.
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
Anggota Ikapi Jln. Kalimantan G-9A, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta 55204 Telp. & Faks. (0274) 886010
http://bentang.mizan.com/
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Hermawan Aksan Pertarungan di Bukit Sagara/Hermawan Aksan; penyunting, Dhewiberta Yogyakarta: Bentang, 2013.
ISBN 978-602-8811-60-6 I. Judul. II. Dhewiberta. 899. 221 3
e-Book ini didistribusikan oleh: Gedung Ratu Prabu I Lantai 6 Jln. T.B. Simatupang Kav. 20 Jakarta 12560 Indonesia Phone: +62-21-78842005 Fax.: +62-21-78842009 website: www.mizan.com
Isi Buku Masa MuramSepotong Sejarah 1. Terkucil di Lembah Baribis 2. Bocah Kumal Misterius
3. Kitab Siliwangi 4. Jalan Aneh Menimba Ilmu 5. Menyelamatkan Kitab Pusaka
6. Berawal dari Mimpi 7. Lahirnya Seorang Pendekar 8. Geger Kembalinya Bujangga Manik
9. Firasat yang Makin Kuat
10. Dari Tangan Turun ke Hati
11. Patah Sebelum Tumbuh 12. Kemelut di Bukit Sagara 13. Titik Akhir Adalah Sebuah Awal Tentang Penulis
Tentang Penulis Prolog Masa Muram Sepotong Sejarah
Tahun 1580-an adalah salah satu masa paling muram dalam sejarah Nusantara. Keraton Majapahit sudah puluhan tahun runtuh nyaris tanpa bekas. Tapi, sisa-sisa pasukannya masih berkeliaran di gunung-gunung, hutan, perkampungan, dan di kotaraja, kadang dengan membawa-bawa nama Brawijaya meskipun pakaiannya koyak moyak.
Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa Dwipa, runtuh dalam usia hanya 90 tahun dan kini muncul Kesultanan Pajang di bawah kekuasaan Jaka Tingkir, yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Tapi, tanda-tanda keruntuhan Pajang mulai kelihatan dengan ambisi Danang Sutawijaya, kerabat Hadiwijaya sendiri, untuk menyerang Pajang dan mendirikan kerajaan sendiri.
Di belahan barat Jawa Dwipa, Kerajaan Sunda, salah satu kerajaan di Nusantara yang berusia paling tua, sudah pula sirna ning bhumi. Kerajaan Sunda orang-orang juga menyebutnya Pajajaran akhirnya teriris-iris menjadi Kesultanan Banten, Cirebon, Sumedang Larang, dan sejumlah daerah kecil yang masih merasa berhak menjadi raja karena merasa keturunan Siliwangi.
Sementara itu, raja-raja kecil bermunculan di pantai utara, pantai selatan, hingga pantai timur Jawa.
Pendeknya, Jawa Dwipa menjadi semacam makanan yang terus dicacahcacah oleh para penguasa yang merasa dirinya berhak menjadi raja.
Dalam situasi seperti itu, wajarlah kalau kemudian banyak wilayah yang lepas dari kerajaan mana pun, menjadi tak bertuan, dan yang berkuasa kemudian adalah para jagoan yang hanya mengandalkan kekuatan wadak dan kesaktian. Belum lagi ancaman dari orang-orang negeri jauh bertubuh tinggi, berkulit pucat, dan berhidung mancung yang siap mencengkeram.
Rakyat kebanyakan hanya menjadi perasan tidak hanya oleh para penguasa, tetapi juga oleh para penjahat, perampok, begal, dan jagoan golongan hitam lainnya. Nyaris tak ada yang bisa menolong mereka kecuali ketika muncul satu-dua tokoh-tokoh putih yang disebut sebagai pendekar.
Tiga abad kemudian, di sebuah kabuyutan bernama Astana Luhur, di sisi timur bekas wilayah Kerajaan Sunda, ditemukan banyak naskah yang ditulis pada helai-helai daun lontar, menggunakan aksara Sunda kuna. Lembar-lembar naskah itu sudah nyaris rusak dimakan zaman, tetapi sebagian masih bisa dibaca. Salah satu naskah itu bertutur tentang seorang tokoh yang misterius asal usulnya, tidak diketahui nama aslinya, seorang pendekar hebat yang entah mengapa belakangan hilang dari catatan sejarah.
Berdasarkan naskah inilah terjalin sebuah kisah tentang sang pendekar, seorang pahlawan pembela rakyat yang mewarisi dua ilmu yang selama ini dianggap saling berlawanan: kesaktian Prabu Siliwangi dan kedigdayaan Gajah Mada .... []
1 Terkucil di Lembah Baribis
Pondok kayu itu berdiri hanya beberapa puluh langkah dari Ci Gunung, sebuah sungai berbatu-batu besar dan membelah Gunung Baribis, dengan jurang-jurangnya yang menganga. Pondok itu terkesan dibuat seadanya, asal cukup untuk berteduh dari hujan dan angin yang selalu menggigit. Tapi, tiang penyangganya terbuat dari kayu besi. Keras dan kukuh. Dindingnya berupa gedek dari bambu hitam. Atapnya terbuat dari rumbia dan dibuat berbentuk limas.
Pondok itu memang terkesan sengaja dibangun di tempat terpencil. Kampung terdekat harus ditempuh sepertiga hari berjalan kaki. Di samping berdiri di dekat tebing curam, hutan yang ditumbuhi berbagai pohon yang rapat dan hijau seakan membungkus bangunan itu dari pandangan. Di tambah pula, pagar kayu yang rapat setinggi jangkauan tangan menghalangi pemandangan di dalamnya.
Gunung Baribis sendiri adalah bebukitan berhutan rapat yang jarang sekali diinjak manusia. Harimau, babi hutan, dan berbagai jenis kera masih menjadi penguasa utama. Hanya orang dengan tekad sangat bulatlah yang berani menembus hutan di bukit itu, lebih-lebih menyusuri Sungai Ci Gunung, sungai yang berdinding ngarai terjal dan memiliki jeram-jeram yang mematikan.
PAGI masih menyisakan titik-titik embun terakhir di dedaunan. Matahari menerobos dedaunan lebat akasia dan garis-garis cahayanya rebah memanjang di halaman depan pondok kayu itu. Luas halaman itu kira-kira sepuluh tumbak.
Tiga bocah belasan tahun berdiri berjajar menghadapi seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun dengan wajah yang keras.
Wajah ketiga bocah itu berkilat oleh keringat. Baju mereka juga basah dan kotor. Dada mereka tampak mengembang dan mengempis dengan cepat.
Ulangi jurus yang terakhir, kata pria berwajah keras itu. Matanya memandang tajam ketiga bocah di hadapannya satu per satu.
Ketiga bocah itu sama-sama mengeluarkan keluhan melalui bibir dan hidung mereka.
Bocah paling kanan memiliki wajah yang tampan, dengan bibir tipis yang selalu tampak menyeringai. Tubuhnya tinggi langsing, lebih tinggi daripada dua bocah lainnya.
Bocah paling kanan kira-kira setengah jengkal lebih pendek dan bertubuh kekar, nyaris bulat, dengan kulit lebih gelap.
Sementara itu, bocah di tengah memiliki rambut panjang yang diikat pita ungu serta berwajah lembut dengan mata yang cemerlang dan bibir merah. Dia memang bocah perempuan yang mulai menunjukkan garis-garis kecantikan.
Umur mereka sebaya, kira-kira empat belas atau lima belas tahun.
Kalian jangan cengeng. Nama besar leluhur agung kita berada di pundak kalian.
Lelaki itu memandang ketiga bocah di depannya satu per satu. Ia lelaki dengan kulit cokelat karena matahari. Sehelai ikat kepala menutupi sebagian rambutnya yang mulai bergaris-garis putih. Wajahnya terkesan menyimpan seribu pengalaman pahit sepanjang perjalanan hidupnya. Garis lurus menghitam melintang di pipi kirinya, luka yang rasanya belum benar-benar sembuh meskipun sudah bertahun-tahun.
Ayo, Lingga, jangan menganggap enteng pelajaran kali ini.
Bocah paling kanan menangkupkan telapaknya di depan dada, sedikit membungkuk, kemudian berkata dengan tegas, Baik, Paman Jayeng. Masih tersisa nada keluhan dalam suara Lingga Prawata, nama lengkap si bocah.
Lelaki yang dipanggil Jayeng itu, lengkapnya Ki Jayeng Segara, menghela napas dalam-dalam, mencoba meredam kegeramannya.
Sekarang ia memang sudah kehilangan nyaris segalanya. Tapi, beberapa tahun lalu, ia masih seorang senapatiyuda. Tentu saja lengkapnya Senapatiyuda Jayeng Segara, salah satu kesatria dari Kadipaten Jipang Panolan, yang bertanggung jawab atas keselamatan wilayah itu. Posisinya hanya dua lapis di bawah Arya Penangsang, pimpinan tertinggi angkatan perang Jipang.
Sebagai salah seorang senapatiyuda, Jayeng tentu saja memiliki ilmu kanuragan pada tataran tinggi. Ia memimpin ratusan laskar Jipang yang semuanya terlatih. Senjata andalannya, seperti umumnya kesatria Jipang, adalah sebilah keris tanpa luk dengan bilah yang hitam legam mirip keris Kiai Setan Kober milik Arya Penangsang sendiri. Sampai sekarang, gagang keris pusakanya selalu mencuat di perut, ditempa oleh keadaan untuk selalu bersiaga menghadapi siapa pun yang berniat menyerang.
Kalian juga, Wulan dan Watu, berlatihlah dengan penuh semangat. Kalian tak akan bisa menjadi apa-apa kalau melakukannya hanya setengah-setengah.
Kedua bocah yang dipanggil Wulan dan Watu, lengkapnya Dyah Wulankencana dan Watu Ageng, membungkuk dengan hormat. Baik, Paman Jayeng, ucap keduanya berbarengan. Mulai!
Lingga Prawata, Dyah Wulankencana, dan Watu Ageng sama-sama berdiri tegak dengan kaki selebar pundak, lalu sedikit menekuk kaki seraya mengangkat kedua tangan, mula-mula hingga di sisi pinggang, kemudian merentang melebar seperti sayap-sayap burung. Kaki kiri melangkah menyerong, kemudian kaki kanan menyusul, dengan jemari tangan yang mengeras seakan-akan cakar rajawali yang siap mencengkeram dan mencabik-cabik.
Itulah salah satu dasar gerak awal jurus ilmu gagak rimang, ilmu kesaktian andalan laskar Jipang Panolan, ciptaan Arya Penangsang sendiri. Pada taraf puncaknya, seperti yang dimiliki Arya Penangsang, ilmu ini berpadu dengan ilmu kebal sang adipati, yang membuatnya disegani siapa pun lawan yang ia hadapi.
Mata Ki Jayeng Segara tak pernah sedetik pun lepas dari setiap gerakan ketiga bocah itu. Ilmu gagak rimang bukanlah ilmu sembarangan. Kesalahan gerak atau keliru bernapas sedikit saja, kedahsyatan ilmunya tak akan keluar.
Memang, meskipun ia seorang senapatiyuda, Ki Jayeng Segara merasa ilmu gagak rimang yang ia miliki masih satu-dua lapis di bawah ilmu Arya Penangsang yang sulit ditakar kedalamannya.
Meskipun demikian, Ki Jayeng Segara adalah lelaki yang memiliki semangat baja dan otak lumayan cerdas sehingga ia tak pernah berhenti mengasah sendiri ilmu gagak rimang-nya. Kalau saja ada kesempatan, ingin rasanya menjajal ilmu gagak rimang Arya Penangsang. Begitu pikiran usilnya, meskipun selalu kemudian ia meralat pikirannya.
Setelah Arya Penangsang percaya oleh cara licik yang diterapkan Danang Sutawijaya, atas gagasan Jaka Tingkir sendiri, laskar Jipang Panolan menjadi buron pasukan Pajang. Tidak hanya keluarga Arya Penangsang. Bahkan, keluarga pasukan inti Jipang Panolan dikejar-kejar ke mana pun mereka melarikan diri.
Kenyataan itulah yang selalu membuat mata Ki Jayeng Segara berkacakaca. Sekaligus, di dadanya bergolak dendam yang sulit diredam.
Sisa-sisa laskar Jipang yang tertangkap hampir bisa dipastikan nasibnya: hukuman penggal. Mereka yang lolos tercerai-berai ke berbagai tujuan dan arah mata angin. Ki Jayeng Segara tidak tahu berapa banyak sisa laskar Jipang yang selamat. Dia sendiri bersama belasan orang lain melarikan diri ke arah matahari tenggelam. Mereka tersaruk-saruk mendaki gunung berhutan-hutan dan menembus hutan-hutan pegunungan, lembah dan ngarai, menyeberang sungai yang membentang, meninggalkan wilayah Pajang. Setelah berbulan-bulan, mereka akhirnya tiba di sebuah lembah di kaki Gunung Baribis, melewati batas sisi barat bekas Kerajaan Majapahit. Mereka membangun rumah-rumah sederhana di tepi Ci Gunung.
Sendirian, Ki Jayeng Segara kemudian menembus hutan Gunung Baribis, membangun pondok kayu di tempat terpencil. Setiap saat ia melakukan mesu diri, menempa ilmu miliknya, kemudian mengambil tiga bocah untuk dijadikan muridnya. Ketiganya adalah anak-anak para prajurit Jipang yang gugur ketika melawan pasukan Pajang. Ia berharap muridmuridnya bisa melestarikan ilmu kebanggaan Arya Penangsang supaya tidak musnah dimakan zaman.
Akan halnya Sungai Ci Gunung, sungai ini mengalir ke timur dan akan bermuara di Ci Pamali, sungai yang pernah menjadi batas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit.
KETIKA ketiga bocah itu tengah memperagakan gerakan-gerakan gagak rimang, tiba-tiba wajah Ki Jayeng Segara menegang. Matanya memandang tajam ke arah pohon kiara di luar pagar. Telinga dan indranya yang peka merasakan ada sesuatu yang tidak wajar di pohon berdaun rimbun itu.
Dipungutnya sebutir batu kecil. Melalui tenaga lontar yang terbentuk dari jari tengah yang dijentikkan dengan tumpuan ibu jari, batu itu pun meluncur nyaris tak kasat mata, menimbulkan desis ketika menyibak angin, kemudian terdengar bunyi benturan nyaring ketika batu itu mengenai sesuatu.
Hanya dalam waktu sepersekian detik kemudian, terdengar bunyi gedebuk benda jatuh ke tanah.
Gerakan yang diperagakan ketiga bocah itu langsung terhenti.
Tanpa menunggu waktu, Ki Jayeng Segara melesat dan melalui tumpuan ujung kaki kirinya, ia melenting tinggi dan kedua kakinya hinggap di ujung pagar, kemudian menjadikan ujung pagar sebagai tumpuan berikutnya guna melenting keluar dari pagar pondok mereka.
Lingga Prawata, Dyah Wulankencana, dan Watu Ageng bergegas menuju pintu pagar, lalu berlarian memburu ke arah Ki Jayeng Segara.
Di hadapan mereka, seorang bocah lelaki tengah meringis sambil memegangi pantatnya yang sakit. []
2 Bocah Kumal Misterius BOCAH itu berusia kira-kira sebaya dengan Lingga Prawata, Watu Ageng, dan Dyah Wulankencana. Kulitnya cokelat cenderung ungu, sekilas seperti warna bambu wulung. Rambutnya tergerai hingga sepundak dan hanya diikat dengan bandana hitam yang sudah pudar warnanya. Celananya pangsi dan bajunya tanpa lengan, dengan warna kelabu yang sudah pudar dan koyak di beberapa tempat.
Siapa kamu" tanya Lingga Prawata dengan wajah geram.
Bocah itu tidak menjawab. Ia masih terduduk menyeringai sambil mengusap-usap pantatnya.
Ia merasa bersyukur hanya pantatnya yang sakit, itu pun karena jatuh ke tanah. Tadi ia tidak menyadari adanya sebutir batu yang menyambitnya dan nyaris mengenai keningnya. Kalau saja ia tidak membungkuk secara tiba-tiba, pasti dahinya sudah berlubang dan hidupnya berakhir begitu saja.
Batu itu mengenai batang pohon, melesak hingga menembus kulitnya entah seberapa dalam. Bisa dibayangkan betapa kuat tenaga yang melontarkan sebutir batu itu.
Si bocah sendiri heran bagaimana ia bisa membungkuk pada saat yang tepat. Tapi, karena terkejut, posisi duduknya di dahan pohon menjadi goyah dan ia tidak bisa menjaga keseimbangan dan melayang jatuh. Ia berusaha tersenyum menyadari kebodohannya.
Anehnya, meskipun kumal, bocah itu memiliki mata yang cemerlang dan gigi yang rapi berbaris seperti mutiara. Bahkan, kalau diperhatikan secara lebih saksama, ia juga memiliki alis yang tebal, bentuk bibir yang menarik, dan rahang yang tegas. Pendeknya, ia bocah tampan, setidaknya untuk ukuran golongan pengemis.
Lingga Prawata melangkah dengan wajah marah.
Akan tetapi, Ki Jayeng Segara menahan langkah Lingga Prawata.
Bocah, siapa kamu" Ada tujuan apa mengintip kami" tanya Ki Jayeng Segara.
Si bocah memandang Ki Jayeng Segara, kemudian Lingga Prawata, dan berturut-turut Watu Ageng dan Wulankencana, dengan wajah yang masih menyeringai meskipun ia sudah berupaya mati-matian tersenyum.
Duh, maafkan saya, Tuan. Sungguh saya tidak tahu mengapa bisa sampai di sini. Saya hanya berjalan mengikuti langkah kaki ke mana saja. Kemudian, saya mendengar sesuatu di sini dan ternyata saya lihat ada Tuan-Tuan Muda sedang berlatih ilmu silat yang hebat. Saya senang melihat orang berlatih silat. Jadi, saya menonton di atas pohon. Sekali lagi maafkan saya kalau kedatangan saya mengganggu teman-teman semua.
Kata-kata si bocah kumal mengejutkan Ki Jayeng Segara dan ketiga bocah keturunan laskar Jipang itu. Pertama, susunan katanya runtut dan ia mengucapkannya dengan wajah yang tampak ceria. Kedua, ia menyebut keempat orang itu teman . Dan ketiga, ia terkesan dengan enaknya menonton di atas pohon .
Ki Jayeng Segara mengerutkan dahinya.
Wajah Lingga Prawata berubah merah. Ia merasa dalam kata-kata itu tersimpan semacam ejekan. Bagaimana mungkin seorang bocah kumal tak dikenal menyebut dirinya sebagai teman"
Akan tetapi, sebelum ia bergerak, lagi-lagi Ki Jayeng Segara menahannya.
Ki Jayeng Segara lalu menarik napas dalam-dalam. Nama kamu siapa, Bocah"
Oh, ya, orang-orang memanggil saya Wulung. Kadang-kadang Jaka Wulung. Mungkin karena kulit saya begini, ya. Seperti sudah saya bilang, saya tidak tahu mengapa saya bisa sampai di sini. Dan kalau Tuan percaya, saya juga tidak tahu dari mana saya berasal ....
Dan, tujuan kamu mengintip kami" Ki Jayeng Segara memotong.
Oh, maafkan saya. Saya tidak mengintip, tapi saya terang-terangan menonton. Makanya saya kaget bukan main ketika Tuan melempar saya dengan kerikil.
Kurang ajar! seru Lingga Prawata.
Ki Jayeng Segara lagi-lagi mengangkat tangannya.
Sejak kapan kamu menonton" tanya Ki Jayeng Segara. Meskipun hatinya mengkal, ia penasaran, bagaimana mungkin ia tidak mengetahui ada penyusup di luar pagar pondoknya yang terpencil. Lagi pula, dengan enteng Jaka Wulung, si bocah itu, lagi-lagi mengaku sengaja menonton.
Yang juga mengherankan Ki Jayeng Segara, tidak ada tanda-tanda bahwa batu yang dilontarkannya mengenai si bocah. Tak ada luka di tubuhnya, tak ada darah yang menetes. Si bocah hanya menyeringai kesakitan sambil melirik pantatnya.
Dilihat dari sosoknya, Jaka Wulung hanyalah bocah gelandangan seperti yang kerap dijumpainya di mana-mana. Di balik bajunya yang koyak moyak juga tampak otot-otot lengan dan dada yang kurus. Lagi pula, tempat mereka berlatih bukanlah tempat yang mudah didatangi karena terlindung oleh hutan belukar yang lebat, bukit menjulang di belakang, dan ngarai terjal di bibir Ci Gunung.
Mmm ... saya menonton kira-kira sepuluh jurus, sahut Jaka Wulung.
Lagi-lagi, Ki Jayeng Segara dan ketiga bocah asuhannya terkejut bukan main. Sepuluh jurus bukanlah waktu yang pendek untuk menonton di atas pohon.
Meskipun demikian, Ki Jayeng Segara mencoba menahan diri. Dan, apa tujuan kamu menonton"
Jaka Wulung memandang Ki Jayeng Segara dengan ragu. Hmm ... kalau boleh ... saya ingin ikut belajar silat ....
Ki Jayeng Segara dan ketiga muridnya sama-sama membelalakkan mata.
Maaf, Bocah, kata Ki Jayeng Segara. Ini bukan perguruan silat yang menerima murid secara terbuka. Saya hanya mengajari ketiga keponakan saya ini.
Oh. Padahal, saya ingin sekali ikut belajar ....
Kamu dengar apa kata guru kami! Wajah Lingga Prawata mulai memerah. Guru kami tidak sembarangan menurunkan ilmunya kepada orang seperti kamu!
Ki Jayeng Segara masih berupaya menahan geram Lingga Prawata. Bocah, katanya. Ilmu ini hanya diberikan untuk orang-orang tertentu, Ki Jayeng Segara berhenti sebentar sambil mengatur napasnya, yaitu mereka yang masih memiliki terah laskar Jipang.
Oh. Jaka Wulung memandang Ki Jayeng Segara dengan wajah kecewa.
Oleh karena itu, segeralah pergi dari sini! Mata Lingga Prawata membelalak.
Tapi, saya ingin sekali belajar .... Pergi kubilang!
Oh. Jaka Wulung masih memandang keempat orang di depannya dengan pandangan tak mengerti.
Pergi! Kalau tidak .... Lingga Prawata mengepalkan jemarinya dan mengangkatnya di depan wajahnya. Itu berarti ia mengancam akan mengusir si bocah kumal dengan kekerasan.
Dengan wajah tertunduk, Jaka Wulung berbalik hendak meninggalkan tempat itu. Langkahnya gontai.
Tunggu! Langkah Jaka Wulung terhenti.
Berapa kali kamu mengintip latihan kami"
Jaka Wulung menoleh memandang Ki Jayeng Segara. Ia tampak ragu-ragu beberapa jenak sebelum menjawab, Tiga kali.
Kalau saja Ci Gunung tiba-tiba dilanda banjir bandang, tentulah Ki Jayeng Segara tidak akan sekaget mendengar kata-kata Jaka Wulung. Lingga Prawata, Watu Ageng, dan Dyah Wulankencana bahkan sampai samasama ternganga. Tubuh mereka bergetar oleh campuran berbagai perasaan, tetapi yang terutama adalah terkejut sekaligus marah.
Ki Jayeng Segara berdebar-debar. Bagaimana mungkin ia tidak tahu bahwa selama tiga kali seorang bocah bisa lolos dari pengamatannya" Jika jawaban Jaka Wulung benar, Ki Jayeng Segara bisa menyimpulkan bahwa Jaka Wulung bukanlah bocah kampung pada umumnya.
Dan, berapa lama setiap kali kamu mengintip" tanya Ki Jayeng Segara pula.
Hmm ... dari awal sampai selesai.
Lagi-lagi Ki Jayeng Segara membelalakkan mata. Ditatapnya si bocah dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ada sebersit rasa kagum, tetapi sekaligus ia merasakan kekhawatiran.
Dan, kemudian hening berkuasa dalam hitungan lima. Matahari makin tinggi. Burung-burung melintas, meninggalkan titik-titik bayangan buram di tanah dalam sekilas.
Jaka Wulung kembali membalikkan badan dan berniat meninggalkan tempat itu.
Kamu pasti seorang telik sandi! Telik Sandi dari Pajang! Lingga Prawata bergegas mendekati Jaka Wulung dengan wajah yang makin memerah.
Lingga Prawata mengulurkan tangannya yang terlatih untuk meraih pundak kanan Jaka Wulung. Ia yakin, dengan sekali sentak akan bisa menghentikan bocah aneh itu untuk mengorek keterangan. Akan tetapi, satu keanehan terjadi hanya dalam sekejap.
Tangan Lingga Prawata memang berhasil meraih pundak Jaka Wulung. Tapi, anehnya, Lingga Prawata seakan-akan tidak memegang sesuatu pun. Ia seperti menangkap angin. Karena ia hendak merenggut pundak Jaka Wulung dengan sepenuh tenaga, Lingga Prawata justru kehilangan keseimbangan dan kemudian terjerembap dengan pundak kanannya berdebum di tanah lebih dahulu.
Lingga Prawata masih beruntung karena tanah di sana berumput tebal sehingga terhindar dari rasa sakit dan cedera.
Akan tetapi, rasa malu yang bukan alang kepalang lebih menyakitkan daripada cedera seperti apa pun. Apalagi ia terjatuh oleh sebab yang di luar akalnya. Jatuh di kaki seorang bocah kumal, di hadapan dua saudara seperguruan dan gurunya!
Akan halnya Jaka Wulung, bocah kumal itu memandang Lingga Prawata dengan mulut ternganga. Wajahnya benar-benar menunjukkan bahwa ia pun tidak mengerti mengenai apa yang terjadi, mengapa dan bagaimana bisa bocah gagah itu terjatuh di dekat kakinya. Oleh karena itu, Jaka Wulung dengan cepat mengulurkan tangannya hendak menolong Lingga Prawata berdiri lagi.
Akan tetapi, dengan cepat Lingga Prawata meloncat berdiri. Matanya merah nanar memandang Jaka Wulung.
Bocah setan! pekik Lingga Prawata.
Lingga Prawata tampaknya sudah dikuasai kemarahan hebat. Tanpa berpikir matang, Lingga Prawata menyerang Jaka Wulung dengan jurus yang selama ini ia pelajari: jurus maut yang membuat nama Arya Penangsang sangat disegani siapa pun di Pajang dan sekitarnya. Gagak rimang.
Meskipun baru dalam tataran gerak kasar, gagak rimang tetaplah ilmu yang kehebatannya tak terperi. Bisa dibayangkan kalau bocah mana pun akan terjungkal dalam sekali pukul, lebih-lebih jemari Lingga Prawata langsung mengarah salah satu titik mematikan pada manusia: leher.
Sekali pukulan Lingga Prawata mengenai leher Jaka Wulung, tentu akibatnya akan mengerikan. Jalan napas akan terputus. Setidaknya, korban serangan akan menderita sesak napas berat dan itu akan berlangsung berhari-hari.
Jaka Wulung sendiri masih berdiri dengan wajah terheran-heran. Sama sekali tidak bersiap menghadapi sebuah serangan mematikan. Ki Jayeng Segara terlambat mencegah gerakan Lingga Prawata.
Plak! Apa yang terlihat adalah Jaka Wulung hanya menyilangkan tangan kirinya di depan wajahnya yang tertunduk dan terjadilah benturan antara jemari Lingga Prawata dan siku Jaka Wulung.
Jaka Wulung terjengkang dua langkah dan tubuhnya terjerembap ke belakang.
Di pihak lain, Lingga Prawata terpental selangkah mundur, tetapi masih mampu berdiri dengan kedua kakinya. Wajahnya menyeringai sesaat, seakan memperlihatkan kepuasan telah berhasil mengalahkan lawannya.
Akan tetapi, kepuasan Lingga Prawata hanya berlangsung beberapa kejap. Tak lama kemudian, wajahnya menyeringai kesakitan. Jemari tangan kanannya seperti kaku dan rasa panas menyebar hingga pangkal lengan. Kedua kakinya goyah, kemudian ia jatuh dengan bertumpu pada lututnya. Lingga!
Ki Jayeng Segara dan Watu Ageng sama-sama memburu Lingga Prawata.
Dyah Wulankencana ragu-ragu sejenak, tetapi kemudian melangkah dan pelan-pelan membungkuk di hadapan Jaka Wulung.
Kamu tidak apa-apa" tanya Dyah Wulankencana dengan nada penuh khawatir.
Jaka Wulung terlonjak kaget. Ini lebih mengagetkan dibanding dengan serangan mendadak Lingga Prawata tadi.
Dipandangnya gadis itu dengan mata menyipit. Ajaib! Seorang gadis cantik, sangat cantik, menyapanya dengan lembut. Digosok-gosoknya matanya. Benar-benar ajaib! Gadis itu nyata di hadapannya.
Nay nanya saya" Keheranan Jaka Wulung makin menjadi-jadi. Di tengah wajah-wajah merah karena marah dan mata-mata nyalang karena berang, ternyata masih ada wajah bersih dengan mata penuh kasih. Tanganmu terluka ....
Tangan halus itu tanpa sungkan memegang siku Jaka Wulung. Entah, apakah Jaka Wulung tidak benar-benar terluka dalam benturan itu, ataukah karena elusan tangan halus Dyah Wulankencana, Jaka Wulung tidak merasakan apa pun pada sikunya. Memang ada memar berwarna biruungu, tetapi Jaka Wulung tidak merasa sakit.
Elusan jemarinya pun ajaib! pikir Jaka Wulung.
Terima kasih, saya baik-baik saja, Jaka Wulung mencoba tersenyum semanis yang ia bisa meskipun ia sadar bahwa mungkin bentuk bibirnya mirip senyum kuda.
Akan tetapi, senyum Jaka Wulung dengan lekas lenyap dari wajahnya ketika didengarnya sebuah bentakan yang suaranya lebih mirip dahan patah.
Wulan! Mundur! Lingga Prawata berdiri dengan dua tangan bertolak pinggang dan wajah yang gelap mengerikan. Wajah tampan Lingga Prawata tiba-tiba berubah menjadi seperti ririwa. Matanya merah menyala dan kulit wajahnya menjadi merah padam kecokelatan. Bahkan, rambutnya tampak kejang dan ada asap tipis dari ubun-ubunnya. Setidaknya, begitulah gambaran orang yang sedang marah bukan main.
Kemarahan Lingga Prawata berlipat-lipat melihat Dyah Wulankencana alih-alih memburu dirinya, malahan memburu Jaka Wulung. Dadanya bergolak oleh rasa marah, geram, dan ... cemburu!
Dyah Wulankencana segara mundur.
Ia tidak suka dibentak begitu rupa, tetapi ia menahan diri. Jaka Wulung mendongak memandang Lingga Prawata. Watu Ageng dan Ki Jayeng Segara berada di belakang Lingga Prawata.
Jaka Wulung perlahan-lahan bangkit berdiri. Aneh. Memandang wajah Lingga Prawata, Jaka Wulung merasa sikunya berdenyut-denyut lagi. Sakit dan ngilu. Luar biasa tenaga Lingga Prawata tadi, dan luar biasa pula daya sembuh senyum seorang gadis rupawan.
Ayo, kita selesaikan secara laki-laki, Lingga Prawata menggeram.
Jaka Wulung memandang aneh kepada Lingga Prawata. Apanya yang harus diselesaikan" Saya pikir, persoalan sudah selesai.
Jangan banyak bermain kata-kata. Ayo!
Berbekal pengalaman sebelumnya, Lingga Prawata tidak lagi meremehkan bocah dekil itu. Lingga Prawata kini yakin Jaka Wulung bukan bocah sembarangan. Ia memang kelihatan kurus, tetapi tampaknya si bocah pernah belajar ilmu silat. Meski demikian, Lingga Prawata yakin ia bisa memukul jatuh si bocah. Kalaupun sebelumnya ia sempat terjerembap, ia yakin itu karena ia terlalu meremehkan si bocah.
Kali ini, ia tak mau melakukan kesalahan lagi. Oleh karena itu, Lingga Prawata merangkum ilmu yang bertahun-tahun ia serap dari Senapatiyuda Jayeng Segara, berupa jurus maut yang dilambari pokok ilmu gagak rimang yang dahsyat. Melalui dua gerak awal untuk maksud mengecoh, kedua tangan Lingga Prawata yang mengembang langsung mengarah kepada sasarannya: kepala Jaka Wulung.
Gerakannya secepat kaki burung gagak sehingga siapa pun akan bisa menduga bahwa ia akan dengan mudah menjatuhkan Jaka Wulung. Kalaupun Jaka Wulung akan menghindar, Lingga Prawata tentulah akan mengubah gerakannya untuk memapasnya.
Kali ini Ki Jayeng Segara diam saja menyaksikan gerakan muridnya. Pertama, ia ingin tahu sejauh mana ilmu yang telah dipelajari sang murid. Kedua, ia penasaran apakah benar si bocah memiliki ilmu silat. Siapa sebenarnya bocah kumal itu"
KARENA kali ini Lingga Prawata sudah memberikan peringatan lebih dulu, Jaka Wulung pun tampak bersiap menghadapi sebuah perkelahian. Oleh karena itu, ketika melihat serangan kedua tangan Lingga Prawata, Jaka Wulung menekuk kedua kakinya untuk merendahkan tubuhnya.
Akan tetapi, gerakan seperti ini sudah diduga Lingga Prawata. Oleh karena itu, dengan cepat pula tangan Lingga Prawata berbelok arah dan langsung mengarah ke bawah. Lingga Prawata tersenyum mengejek melihat gerakan menghindar Jaka Wulung yang terlalu sederhana.
Akan tetapi, sekejap kemudian senyum di bibir Lingga Prawata menguap, berganti dengan keluhan tertahan. Melalui gerakan yang aneh dan nyaris tak kasat mata, Jaka Wulung sengaja melemparkan tubuhnya ke belakang, tetapi kaki kanannya setengah berputar memapas gerak tangan Lingga Prawata.
Sebuah gerakan nekat! Lingga Prawata telanjur menyalurkan tenaganya yang penuh ke tangan kanannya dan tidak sempat menghindari serangan balik Jaka Wulung. Apa yang kemudian terdengar adalah suara benturan keras. Tulang bertemu tulang!
Jaka Wulung terjengkang untuk kali kedua. Kali ini wajahnya menyeringai menahan sakit yang tak terperi di tulang kering kakinya. Panas sekujur tubuhnya seperti disengat bara api. Ia tidak tahu mengapa kakinya tadi harus berbenturan dengan tangan Lingga Prawata. Maksud sebenarnya adalah menghindar dari serangan lawannya.
Apakah kakiku patah" Sakit bukan kepalang!
Sepuluh langkah dari Jaka Wulung, Lingga Prawata terduduk bertumpu pada kedua lututnya. Punggungnya melengkung dan kepalanya tertekuk, menahan rasa nyeri tak terperi di pergelangannya. Mula-mula ia seperti mati rasa. Kemudian, rasa nyeri menyerang seluruh tubuhnya. Kini, tangan kanannya sama sekali tak bisa ia gerakkan. Ia menyeringai. Air mata menetes tak tertahan.
Bocah iblis! Kamu mematahkan tanganku!
Lingga Prawata menggeram sekeras-kerasnya. Giginya beradu sesamanya, menimbulkan suara gemeretak seperti kayu terbakar. Dadanya benar-benar terbakar oleh marah dan gusar. Sejak kecil, dunia yang ia ketahui adalah perkelahian dan pertempuran. Ia dibesarkan oleh lingkungan prajurit dan ia sudah diajari jurus-jurus dasar silat semenjak belum lima tahun. Setelah itu, apa yang ia hirup sehari-hari adalah olah kanuragan yang diturunkan oleh siapa saja, dan terakhir oleh guru yang ia kagumi ilmunya, Ki Jayeng Segara.
Menghadapi lawan yang sepadan dalam usia, bahkan satu-dua tahun lebih tua, belum pernah ia mengalami kekalahan.
Akan tetapi, kini menghadapi bocah yang kelihatan lebih muda dan lebih ringkih, bahkan dengan tingkat ilmu yang tidak ada apa-apanya, Lingga Prawata menemui kenyataan menyakitkan. Sakit tidak hanya di tangan yang tulangnya patah, tetapi di hati yang jauh lebih dalam. Hatinya benar-benar terluka.
Oleh karena itu, tangan kirinya lekas mencabut keris yang tersarung di bagian perut ikat pinggangnya. Tanpa menunggu kejapan mata berikutnya, Lingga Prawata menerjang Jaka Wulung yang masih dalam posisi terjengkang.
Pada saat yang persis sama, Watu Ageng melompat dengan kekuatan penuh.
Satu kekuatan yang didorong kemarahan luar biasa dan satu kekuatan yang masih segar bugar mengincar sasaran yang sama dari dua arah yang berbeda.
Ki Jayeng Segara terlambat mencegah kedua muridnya. Dyah Wulankencana hanya bisa memejamkan matanya.
Jaka Wulung melihat dalam sekejap dua bocah itu melompat bersamaan. Hatinya mengeluh tak tertahankan. Ia tidak tahu apa kesalahan yang telah ia perbuat. Ia hanya ingin mereguk sebuah ilmu yang hebat, tetapi justru serangan maut yang didapat.
Jaka Wulung hanya tidak ingin menjadi sasaran empuk yang sia-sia. Hanya berdasarkan naluri, Jaka Wulung kemudian menjejak sebuah pokok kayu dengan kaki kanannya untuk memberikan daya tolak bagi tubuhnya untuk meloncat menghindar.
Gerakan itu memberinya waktu lebih lama untuk bertahan. Akan tetapi, waktu lebih lama itu hanyalah beberapa kejap belaka.
Baik Lingga Prawata maupun Watu Ageng sama-sama sudah bisa menebak kemungkinan sederhana itu.
Ujung keris di tangan kiri Lingga Prawata melesat membelah udara.
Dari sisi yang hampir berseberangan, Watu Ageng meluncur dengan jemari mengembang.
Hanya satu yang bisa dilakukan Jaka Wulung. Ia berguling ke belakang dengan sekuat tenaga yang tersisa.
Jaka Wulung terhindar dari serangan maut Lingga Prawata dan Watu Ageng.
Akan tetapi, ia tidak bisa menghindari bahaya lain yang mengintainya. Jaka Wulung hanya bisa berguling dua putaran.
Pada putaran berikutnya, tubuhnya tidak lagi merasakan lapisan bumi. Jaka Wulung melayang menuju jurang.
Kecuali jeritan sesaat dan gemeresak benda yang menembus dedaunan pekat, tak ada suara apa pun di bawah sana.
Ketegangan menggurat di wajah keempat manusia asal Jipang Panolan itu. Tak ada yang menduga akhir pertempuran itu demikian adanya. Setetes air bening menggulir dari mata Dyah Wulankencana.
Akan tetapi, lekas-lekas ia menyekanya sebelum tepergok oleh Lingga Prawata, Watu Gunung, dan Ki Jayeng Segara.
3 Kitab Siliwangi KAMPUNG itu diapit dua sungai, yaitu Kali Keruh dan Kali Erang. Nama Kali Keruh tampaknya dipakai karena airnya selalu keruh, tidak hanya pada musim penghujan. Pada musim kemarau pun, airnya tetap cokelat. Sebaliknya, Kali Erang, yang hanya beberapa ratus langkah dari Kali Keruh, adalah sungai yang airnya selalu jernih, bahkan pada musim penghujan.
Secara resmi kampung ini pernah menjadi batas barat Kerajaan Majapahit. Tapi, setelah kerajaan-kerajaan jatuh dan bangun, daerah ini seakan-akan tak bertuan. Mungkin karena, dari pusat kerajaan di Jawa, daerah ini terhalang oleh Gunung Slamet. Padahal, wilayah ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena dilintasi jalur yang menghubungkan pantai utara dan pantai selatan Jawa Dwipa.
Lagi pula, lahannya subur dan makmur. Para petani selalu menghasilkan panen yang melimpah. Hutan-hutannya juga menyediakan kekayaan yang membuat masyarakatnya sejahtera.
Dengan aliran dua sungai yang bermata air dari bebukitan di sisi barat Gunung Slamet, kampung ini juga memberikan pemandangan alam yang indah tak terkatakan. Sungguh bumi yang indah.
Bumi Ayu. Tanah yang elok. Pendeknya, kalau ada peribahasa gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, wilayah inilah contohnya.
Akan tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa di tengah ketenteraman wilayah ini, datang sejumlah orang dengan wajah dan penampilan yang jauh dari ketenteraman.
LANGIT biru menjadi latar belakang Gunung Slamet. Seekor burung sriti melesat menggarisi segumpal awan. Di letar depan, orang-orang berjualbeli hasil hutan dan tani, yang digelar di bangku atau beralas tikar di tepi jalan tanah berbatu.
Di sebuah kedai makan, orang-orang sudah hampir selesai sarapan. Ada sekitar enam atau tujuh orang yang masih duduk di bangku masingmasing. Biasanya mereka adalah para petani atau peladang yang datang dari jauh dan berhasil menjual dagangan mereka.
Akan tetapi, hari itu ada dua pengunjung kedai yang berpakaian agak berbeda. Yang seorang adalah laki-laki yang sulit ditebak usianya, mungkin 35 tahun, tetapi bisa saja 45 tahun. Duduk di sudut, wajahnya tampak gelap karena tertutup topi caping bundar yang sudah lusuh. Tubuhnya sedang, tetapi kelihatan kukuh. Ia sudah menyantap dua piring nasi dan lauk-pauk, dan sekarang piring ketiga. Ia makan seolah-olah sudah satu bulan tidak bertemu dengan nasi.
Satu orang lagi adalah perempuan berpakaian putih-putih. Rambutnya hitam tebal, sebagian digelung dan sisanya tergerai ke punggung. Lehernya seperti kulit langsat. Usianya menjelang 40 tahun, tetapi masih kelihatan cantik. Atau tepatnya begini: ia sedang berada di puncak kematangan pada usianya yang di akhir 30-an.
Yang membedakan keduanya dari orang-orang lain adalah senjata yang tersandang di badan. Si lelaki membawa pedang panjang yang sedikit melengkung di punggung dan sekilas mirip dengan pedang yang biasa dibawa oleh para samurai negeri Jepun. Adapun si perempuan membawa dua bilah pedang pendek, masing-masing di pinggang kiri dan kanan.
Si perempuan tampaknya sudah selesai makan. Ia berdiri, membayar makanan, dan bertanya kepada si pemilik kedai. Suaranya lembut, lebih dekat disebut berbisik, dan nyaris ditelan keriuhan pasar sehingga hampir tidak ada yang mendengarnya.
Ki Sanak tahu di mana letak Bukit Sagara" tanya perempuan itu.
Beberapa jenak lelaki pemilik kedai makan itu terpaku. Sekilas kelihatan dari wajahnya bahwa ia merasa heran. Tapi, sejenak kemudian ia tersenyum.
Nona ikuti jalan di depan ke arah barat. Dari sini akan kelihatan sebuah bukit yang membujur berwarna biru. Tidak perlu sampai setengah hari juga Nona akan sampai di bukit yang dimaksud. Nah, Bukit Sagara terletak di balik bukit yang tampak itu.
Terima kasih, kata perempuan itu sambil tersenyum manis. Ia mungkin merasa senang karena dipanggil dengan sebutan nona . Ha, ia memang masih berstatus nona meskipun sudah hampir empat puluh tahun. Pasti ia punya kisah cinta yang menarik untuk diceritakan ....
Setidaknya arah yang kuambil sudah benar.
Di tempat duduknya di sudut kedai, lelaki berpedang panjang terkejut mendengar pertanyaan perempuan itu kepada pemilik kedai. Jarak antara si perempuan dan lelaki itu sebenarnya hampir sepuluh langkah, tetapi ia dengan jelas mendengar pertanyaan si perempuan. Jelas bahwa ia memiliki indra pendengaran yang peka dan kemampuan seperti itu hanya bisa diperoleh seseorang yang sudah mencapai taraf ilmu yang tinggi. Sapta pangrungu.
Ketika si perempuan melangkah pergi, lelaki itu terus memasang telinganya untuk menangkap langkah-langkah si perempuan.
Dan, sebelum langkah-langkah itu hilang dari pendengarannya, lekas-lekas ia menyelesaikan makannya dan membayar kepada si pemilik kedai.
Pada saat yang sama, dua orang itu, si pemilik kedai dan lelaki berpedang panjang, sama-sama dilanda keheranan.
Si lelaki berpedang heran karena perempuan itu menanyakan Bukit Sagara, tempat yang juga menjadi tujuannya.
Si pemilik kedai heran karena dalam dua atau tiga hari ada beberapa orang yang menanyakan bukit yang sama. Dan, mereka memiliki ciri yang serupa: sama-sama membawa senjata dan bisa dipastikan mereka adalah orang-orang dari dunia persilatan.
Ki Sanak juga hendak ke Bukit Sagara" tanya pemilik kedai. Sebuah pertanyaan polos.
Si lelaki berpedang dengan cepat menutupi keheranannya yang bertambah besar. Ia tersenyum lebar. Jadi, meskipun bercaping bundar, lelaki itu bukan jenis orang yang sangar.
Oh, tidak. Saya hendak ke selatan.
Si pemilik kedai mengangguk-angguk meskipun ia kurang percaya terhadap kata-kata si lelaki berpedang. Tapi, tentu saja ia tidak akan mendesak lebih lanjut. Hanya saja, dalam hatinya terselip pertanyaan: ada apa orang-orang berpedang menanyakan Bukit Sagara"
Si lelaki berpedang cepat-cepat melangkah keluar supaya tidak kehilangan jejak si perempuan. Di kepalanya juga berputar pertanyaan: berapa orang yang memiliki tujuan yang sama menuju Bukit Sagara"
Kabar itu ternyata telah menyebar, pikirnya.
Perempuan itu sudah menghilang di jalan bercabang. Tapi, si lelaki berpedang panjang langsung bisa memutuskan jalan mana yang diambil si perempuan. Diambilnya jalan yang kiri.
Akan tetapi, di sana ia segera kehilangan jejak.
Di hadapannya, hanya jalan tanah membentang membelah persawahan. Sapta pangrungu-nya sama sekali tidak menangkap gelombang selirih apa pun yang ditinggalkan perempuan itu. Sunyi sepi. Hanya lirih embusan angin yang membawa uap rerumputan. Dan, satu-dua suara cangkul petani di kejauhan.
Sungguh wanita yang luar biasa, desah lelaki itu.
Ia berharap bisa berkenalan dengan wanita itu, wanita yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama, tetapi ia bahkan sudah kehilangan jejak pada pandangan kedua.
Lelaki itu baiknya disebutkan saja namanya, Mahesa Geni, pendekar dari kawasan Gunung Mahameru di belahan timur Jawa Dwipa menghela napas sebelum menerapkan ilmu lari cepatnya.
Dari balik sebatang pohon, sepasang mata setajam elang mengamati kepergian Mahesa Geni. Ia mengelus selendang yang menyampir di pundaknya.
PADA zaman kapan pun, di belahan dunia mana pun, perempuan memang selalu menjadi sasaran kejahatan. Terutama, perempuan yang bepergian sendiri, melalui jalan yang lengang dan hutan yang lebat. Lebih-lebih kalau perempuan itu memiliki ciri lahiriah cantik dan berpakaian menarik.
Begitu pula dengan perempuan cantik berpakaian putih-putih yang sedang melenggang menuju Bukit Sagara.
Sepasang pedang yang menggantung di pinggang hanyalah menjadi bahan tertawaan dua lelaki bertubuh raksasa yang berniat mengadang.
Kedua raksasa yang berpenampilan serupa itu maklum bahwa sasaran mereka pastilah bukan perempuan sembarangan. Oleh karena itu, mereka mengamati hingga mangsanya hanya beberapa langkah dari sampan yang hendak membawanya menyeberang sungai.
Sungai itu bernama Ci Pamali, sungai yang sudah ratusan tahun menjadi batas wilayah Kerajaan Sunda. Sungai yang sangat legendaris, menyimpan kisah-kisah lama yang selalu menjadi tuturan secara turun-temurun di kalangan masyarakat, tidak hanya masyarakat Sunda, yang berdiam di belahan barat Ci Pamali, tetapi juga masyarakat Banyu Mas, yang berdiam di belahan timur.
Salah satu kisahnya adalah pertempuran antara Ciung Wanara dan Hariang Banga yang konon menjadi penanda terpisahnya Sunda dan Jawa.
Bagian sungai tempat menyeberang itu lebarnya sekitar seratus langkah kaki.
Di bagian itu air mengalir tenang.
Akan tetapi, tenangnya aliran sebuah sungai tidaklah selalu berarti aman dan damai.
Ci Pamali mengalir tenang sekaligus mengancam.
Bukan hanya buaya yang bisa muncul pada waktu-waktu tertentu, tetapi juga perompak sungai, yang kadang lebih berbahaya dibanding buaya karena mereka bisa muncul semaunya. Dan kali itu, dua raksasa yang sedang mengincar mangsa adalah dua penyamun air yang berasal dari nun jauh muara di selatan: Segara Anakan.
Bahkan, di siang benderang seperti saat itu.
Perempuan itu ah, ya, namanya Sekar Ayuwardhani sebenarnya sudah tahu bahwa ia dikuntit oleh setidaknya dua orang. Tapi, ia tetap melenggang dengan keyakinan diri yang tak berkurang. Begal, rampok, atau berandal jenis apa pun bukan sesuatu yang asing baginya wanita yang sudah belasan tahun disegani dengan julukan Mawar Beracun dari Bhumi Sambhara Budhara!


Jaka Wulung 1 Pertarungan Di Bukit Segara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika ia keluar dari kedai makan tadi, ia sadar diikuti oleh lelaki berpedang panjang. Selepas kampung itu, ia mempermainkan si lelaki dengan cara bersembunyi di balik sebuah gerumbul, tanpa gerak dan tanpa suara sehingga keberadaannya sama sekali tidak terjejaki. Setelah si lelaki pergi, barulah ia keluar dari persembunyiannya dan berjalan melenggang.
Sekar Ayu memang pendekar yang senang usil, seakan-akan pertempuran adalah sebuah permainan.
Akan tetapi, kali ini boleh jadi ia akan ketemu batunya. Atau, bertemu sepasang manusia batu.
Sekar Ayu memandang langit barat di seberang Ci Pamali. Untuk kali pertama, sebentar lagi ia akan melintas batas sebuah negeri.
Ia meloncat dari sebongkah batu dan mendarat tepat di lantai sampan tanpa membuat sampan itu bergoyang! Sungguh ilmu meringankan tubuh yang bukan main dahsyat!
Ayo jalan, Pak, katanya kepada tukang dayung sampan.
Akan tetapi, hanya beberapa saat setelah tukang dayung itu mendorong sampannya ke air, berloncatan dua lelaki bertubuh raksasa. Dan, sungguh hebat, meskipun keduanya memiliki badan sebesar badak gemuk, mereka hinggap di lantai sampan secara bersamaan dan hanya menimbulkan sedikit goyangan pada sampan itu!
Alamat buruk, pikir si tukang sampan, yang memilih membiarkan dirinya mematung di tepi sungai sementara sampannya sudah melaju di air. Karena tidak ada yang mendayung, sampan itu pun pelan-pelan terseret arus ke hilir.
Sekar Ayu beberapa jenak kebingungan memandang si tukang sampan yang memilih membiarkan sampannya terbawa hanyut. Kebingungan itu membuatnya kehilangan waktu. Untuk kembali meloncat ke darat, jaraknya terlalu jauh. Untuk berenang, ia masih bimbang. Apa yang bisa dilakukannya hanyalah menunggu.
Salah satu dari dua raksasa itu memungut galah bambu yang dipakai untuk mengarahkan sampan ke seberang. Hanya dengan dua kali tumpuan, sampan pun melaju kencang dan mencapai tengah sungai.
Akan tetapi, di tengah sungai itulah si raksasa menancapkan bambunya ke dasar sungai dan menjadikannya sebagai penahan sampan. Sampan berhenti.
Seperti anak-anak yang menemukan mainan menyenangkan, kedua raksasa itu tertawa berbarengan.
Lihat, Balaupata, dia mulai ketakutan, kata salah satu lelaki raksasa itu di antara tawanya.
Betul, Cingkarabala, dan itu membuatnya tambah jelita, tidak kalah dengan Dewi Dresanala.
Oh, oh, nama mereka rupanya mengambil dari nama raksasa kembar penjaga pintu Kahyangan itu.
Sekar Ayu terkejut mendengar nama keduanya. Balaupata dan Cingkarabala adalah nama yang sudah tidak asing lagi di telinganya meskipun ia belum pernah bertemu.
Keduanya dikenal dengan julukan Raksasa Kembar dari Segara Anakan.
Merekalah sepasang perompak yang menggentarkan nyali siapa pun. Terutama, kalau mereka berlaga di wilayah hidupnya sehari-hari: air! Sekar Ayu berdebar-debar dengan sejumput rasa sesal.
Akan tetapi, ia teguhkan keyakinannya melalui sorot mata yang berkilat seperti kucing.
Ah, jangan melihat kami seperti itu, Dewi yang Cantik, ujar Balaupata.
Kaki kanannya menjejak pinggir sampan. Sampan bergoyang-goyang.
Sekar Ayu terkejut. Tapi, kemudian ia menyesuaikan diri dengan goyangan sampan supaya tidak kehilangan keseimbangan.
Balaupata, kata Cingkarabala. Kalau menilik penampilannya, aku yakin dia adalah si mawar ... apa namanya" Ah, ya, si mawar dari candi buruk itu. Hahaha!
Balaupata sejenak mengerutkan kening memandang Sekar Ayuwardhani. Terkejut juga hatinya kalau dugaan saudara kembarnya itu benar. Wanita berjuluk Mawar Berduri itu bukanlah wanita sembarangan. Tapi, berdua dengan Cingkarabala, Balaupata yakin mereka tidak akan terkalahkan. Oleh karena itu, beberapa saat kemudian ia pun terbahak-bahak.
Tawa mereka menggetarkan udara. Dan, entah mengapa, siang itu keadaan di sana begitu sunyi. Mungkin orang-orang sedang berada di kebun, sawah, dan huma masing-masing.
Apa mau kalian" Sekar Ayu menggeram.
Balaupata dan Cingkarabala kembali tertawa terbahak-bahak. Tawa yang khas dari orang-orang golongan hitam.
Akan tetapi, lebih dari itu, tawa keduanya mengandung ajian yang membuat udara bergetar dan membuat siapa pun yang mendengarnya gemetar.
Gelap sayuta. Akan tetapi, Sekar Ayu bukan wanita sembarangan. Apalagi terasa bahwa ajian dalam tawa mereka masih terlampau mentah dan menakutkan bagi anak-anak ingusan belaka.
Menyadari tawanya tidak memberikan pengaruh apa-apa, seperti Balaupata, Cingkarabala menjejakkan kaki kirinya ke pinggiran sampan sehingga goyangan sampan kian menggila.
Kali ini, darah mulai mengalir deras di seluruh pembuluh tubuh Sekar Ayu. Meloncat dari sampan ke sungai tentu bukan tindakan bijaksana. Sungai itu dalamnya tidak bisa diduga. Airnya mengalir tenang kecokelatan dan dasarnya tidak kelihatan. Mungkin hanya sepinggang, tetapi mungkin juga sedalam gapaian tangannya. Yang jelas, kalau ia meloncat dan berenang, ia justru akan menjadi mangsa empuk dua raksasa kembar itu.
Oleh karena itu, sebelum gila oleh goyangan sampan, Sekar Ayu menghunus dua pedang pendeknya dan langsung merangsek. Dalam situasi seperti itu, menyerang adalah cara bertahan yang paling baik.
Baik Balaupata maupun Cingkarabala sama-sama menghindar mundur. Bukan karena takut, melainkan karena sekejap mata pun keduanya bisa melihat ujung-ujung pedang pendek Sekar Ayu yang berwarna ungu. Pedang beracun!
Jadi, benar dugaan mereka, wanita itu adalah Mawar Beracun dari Bhumi Sambhara Budhara. Candi raksasa itu memang menyimpan sejarah gemilang tidak hanya mengenai sastra dan budaya, tetapi juga para perempuannya yang terkenal jelita dan berilmu tinggi, sebagaimana leluhur mereka, Pramodhawardhani salah satu perempuan paling jelita dalam sejarah Nusantara.
Oleh karena itulah, Balaupata dan Cingkarabala tak hendak bermain-main dengan mawar beracun. Mereka lebih banyak menghindar dan hanya sesekali mencoba menangkis gagang pedang Sekar Ayu dengan gada masing-masing. Lagi pula, karena sampan itu hanya selebar satu depa, keduanya sulit menempatkan diri untuk menjepit Sekar Ayu.
Wanita itu pun sadar bahwa ia harus menempatkan kedua lawannya di depannya dan tidak memberikan ruangan yang memadai sehingga bisa menjepitnya dari dua posisi yang berlawanan.
Pertempuran itu dengan cepat berlangsung beberapa jurus. Dengan mengandalkan kecepatan dan ilmu meringankan tubuhnya yang hampir sempurna, Sekar Ayu menggerak-gerakkan kedua pedangnya seperti mulut-mulut ular berbisa yang siap mematuk lawannya. Sementara itu, makin lama makin kelihatan bahwa meskipun unggul segalanya dalam tenaga, kedua raksasa itu sebagaimana umumnya para raksasa memiliki otak yang terlalu kental. Atau mungkin beku. Mereka lebih banyak mengandalkan naluri karena kebiasaan hidup mereka di atas air.
Oleh karena itu, lama-lama kelihatan bahwa Balaupata dan Cingkarabala kewalahan menghadapi sepak terjang Sekar Ayu. Meskipun air sungai bukanlah dunianya, Sekar Ayu menunjukkan bahwa Mawar Berduri bukanlah gelar kosong belaka. Hanya saja, meskipun bisa mendesak sedikit demi sedikit, Sekar Ayu sulit mendekati, apalagi menjatuhkan lawannya. Sebab, setiap kali Sekar Ayu melancarkan serangan maut, Balaupata dan Cingkarabala bergantian menggoyang-goyangkan sampannya dengan keras. Bagaimanapun, arah serangan Sekar Ayu menjadi mentah karenanya.
Sehebat-hebatnya Adipati Karna, kalau keretanya sengaja digoyanggoyang oleh Salya, bidikannya akan selalu meleset.
Oleh karena itu, pertempuran satu lawan dua itu bertambah seru dan terus berlangsung seimbang. Sekar Ayu tahu bagaimana catatan buruk dua lawannya yang tidak pernah segan-segan melakukan apa pun demi memuaskan nafsu mereka. Di pihak lain, Balaupata dan Cingkarabala sadar bahwa sekali ujung pedang Sekar Ayu menggores kulit mereka, mautlah akibatnya.
Dengan demikian, kedua pihak benar-benar memusatkan perhatian mereka kepada lawan masing-masing.
Ketiganya tidak menyadari ada sejumlah pasang mata yang mengawasi pertempuran sengit itu.
Di balik sebuah gerumbul perdu, di sebelah timur sungai, mata Mahesa Geni tak sedetik pun lepas dari perkelahian itu. Sekali lagi, dalam hatinya ia memuji kehebatan ilmu wanita itu. Ia baru datang ketika salah satu raksasa kembar itu menyebut gelar si pendekar wanita meskipun dengan ungkapan yang dipelesetkan.
Pantas saja, desis Mahesa Geni memuji Sekar Ayu, si Mawar Beracun dari Bhumi Sambhara Budhara.
Mahesa Geni tersenyum sendiri. Aku ingin suatu saat bisa menguji ilmunya.
Oleh karena itu, Mahesa Geni menarik sebatang bambu kecil sepanjang sejengkal dari balik bajunya. Dipungutnya sebutir kerikil, dimasukkannya ke lubang bambu, lalu bambu itu pun ditiupnya. Kerikil melesat seperti anak panah, menimbulkan desis yang mengiris.
Balaupata terlambat menyadari datangnya serangan gelap itu.
Sesuatu mengenai mata kakinya dan sakitnya langsung menyengat hingga sekujur tubuh. Tumpuan kakinya menjadi goyah dan tubuh besarnya terjengkang, lalu tercebur dengan punggung lebih dulu. Gadanya terlepas mencelat dan jatuh tepat mengenai keningnya.
Ibarat peribahasa: sudah jatuh tertimpa gada!
Cingkarabala terkejut bukan buatan. Perhatiannya terpecah sehingga ujung pedang Sekar Ayu nyaris menyayat lengannya. Kalau saja ia tidak menghindar, pastilah tidak hanya bajunya yang sobek.
Akan tetapi, ujung pedang Sekar Ayu terus memburu seperti ular sendok mendesis-desis. Cingkarabala hanya mampu mencoba menangkis, baik dengan tangan kiri maupun dengan gada di tangan kanan. Tapi, lambat laun ia kian terdesak, hingga pada satu saat kakinya keliru menumpu dan tubuhnya terjengkang dan tercebur dengan punggung lebih dulu. Gadanya mencelat dan jatuh menimpa keningnya.
Mungkin begitulah nasib saudara kembar. Nasib sial pun serupa.
Sekar Ayu memanfaatkan kesempatan itu untuk mencabut galah bambu yang tadi ditancapkan ke dasar sungai, dan dengan menjejakkan pangkal bambu itu sekuat tenaga, sampan pun meluncur ke tepi barat sungai.
Sebelum sampan sampai ke tepi, Sekar Ayu meloncat menuju sebongkah batu yang menonjol di tepi sungai, kemudian menjadikan batu itu benarbenar sebagai batu loncatan untuk mencapai daratan.
Uh, nyaris saja! katanya dalam hati.
Di balik sebatang pohon, seseorang dengan mata elang mengamati sepak terjang Sekar Ayu, sepasang raksasa dari Segara Anakan, dan Mahesa Geni sekaligus.
Sebelum Sekar Ayu menjejakkan kakinya di seberang, seseorang merapatkan tubuhnya di balik sebuah gerumbul perdu.
Gila, setidaknya empat orang aneh dengan kemampuan tinggi sama-sama hadir di sini, pikirnya. Apakah tujuan mereka sama"
Ia membiarkan Sekar Ayu melenggang hanya beberapa puluh langkah darinya. Sekar Ayu memandang sekilas ke arah sepasang raksasa kembar, Siapa pun yang telah membantuku, kuucapkan terima kasih, batin Sekar Ayu, yang sejenak kemudian melesat menembus hutan di hadapannya.
Sepasang raksasa itu dengan susah payah berenang menuju tepi. Meskipun mereka jagoan air, mereka baru saja terluka dan gerak mereka tak lebih dari kerbau.
Tunggu pembalasanku! kata Balaupata. Pembalasan kita! ucap Cingkarabala.
Akan tetapi, keduanya berjalan terpincang-pincang sehingga mustahil mengejar Sekar Ayu.
Orang yang bersembunyi di balik gerumbul perdu itu mengambil jalan memutar agak ke selatan. Ia untuk sementara tidak ingin bertemu dengan siapa pun.
Pasti akan ada pertunjukan yang hebat, pikir orang itu. Meskipun hanya kabar angin, keberadaan Kitab Siliwangi memang menarik minat siapa pun jago silat di jagat ini.
MEMANG sulit diterima akal sehat. Pada masa itu, antara satu kampung dan kampung lain kadang terbentang jarak sejauh satu bukit. Dari satu kota ke kota lain harus ditempuh paling cepat satu hari naik kuda. Kabar hanya beredar dari mulut ke mulut. Alat pembantu penyampai kabar hanyalah kentongan, yang ditabuh dengan jumlah ketukan atau irama tertentu untuk menyampaikan kabar tertentu. Akan dibutuhkan waktu berhari-hari hingga seseorang mendengar kabar bahwa saudaranya di kampung lain meninggal dunia misalnya.
Akan tetapi, entah bagaimana caranya, pepohonan seakan-akan memiliki telinga dan udara seolah-olah dengan cepat menyampaikan kabar ke pelbagai sudut negeri bahwa di sebuah kawasan bernama Bukit Sagara tersimpan salah satu kitab yang paling dicari di kalangan para pendekar. Kitab Siliwangi.
Inilah satu-satunya kitab yang ditulis semasa Sri Baduga Maharaja, yang jauh lebih termasyhur dengan julukan Prabu Siliwangi, tengah berada di puncak kekuasaannya. Tidak jelas siapa yang menulisnya, apakah Prabu Siliwangi sendiri atau seorang pejabat keraton yang ia percayai. Tapi, kalangan luas percaya bahwa kitab itu, selain berisi wejangan mengenai ajaran leluhur, juga mengandung inti ilmu kesaktian Prabu Siliwangi sendiri, yang membuatnya nyaris tanpa lawan ketika berada di puncak kejayaan.
Kitab itu kemudian diturunkan kepada para penerusnya.
Hanya sayang, penerus Sri Baduga, Prabu Surawis"sa, kurang memiliki minat terhadap ajaran dan kesaktian yang terpapar dalam kitab itu. Rajaraja berikutnya, Prabu D"watabuanawis"sa, Prabu Sakti, Prabu Nilak"ndra, dan terakhir Prabu Ragamulya, malahan makin lama makin surut perhatiannya.
Dan kini, entah bagaimana, kitab itu diyakini berada di sebuah wilayah terpencil di Bukit Sagara, sebuah perbukitan kecil di lereng selatan Gunung Kumbang, tidak jauh dari bekas batas timur Pajajaran.
Oleh karena itu, dengan cepat Bukit Sagara didatangi oleh tokoh-tokoh utama persilatan dari berbagai penjuru Jawa Dwipa dengan tujuan yang sama: berebut Kitab Siliwangi. Mereka tidak hanya datang dari negerinegeri bekas Pajajaran, tetapi juga dari berbagai pelosok, mulai dari pantai utara, pantai selatan, Demak, Pajang, Madiun, bahkan Probolinggo di ujung timur Jawa Dwipa. Tidak hanya para pendekar pembela kebenaran, kebanyakan justru para jagoan dari golongan hitam.
Siapa pun tahu, pada masa itu pengakuan sebagai tokoh silat paling hebat masih menjadi angan semua orang.
Kedatangan mereka memang tidak terlalu mencolok. Biasanya mereka datang seorang demi seorang. Tapi, mereka memiliki ciri yang hampir serupa: mereka datang dengan menyandang senjata di pinggang atau punggung mereka.
Nantinya, memang, tidak semua tokoh itu tiba di daerah yang dituju pada saat yang tepat. Sebagian terlambat, sebagian lagi perlu mengukur diri untuk berebut melawan tokoh-tokoh hebat.[]
4 Jalan Aneh Menimba Ilmu JAKA WULUNG membuka mata. Melalui lubang-lubang di dinding bilik, tampak di luar masih remang. Barangkali fajar baru merekah di langit timur.
Dan, selalu saja, dalam waktu seperti itu, si kakek sudah pergi. Ke mana ia sepagi ini"
Jaka Wulung meregangkan tubuhnya. Setiap hari, ia merasakan tubuhnya makin bugar. Kakinya tak lagi merasakan sakit. Begitu pula tangannya. Pendek kata, ia sudah pulih seperti sedia kala, seperti sebelum mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari bocah-bocah keturunan Jipang Panolan, beberapa hari lalu.
Oh, bahkan terasa lebih bugar. Napasnya lebih segar dan panjang. Otototot jemarinya lebih kencang.
Apa yang telah dilakukan kakek itu"
Ketika jatuh dari tebing, Jaka Wulung sudah tidak lagi berharap selamat. Tubuhnya terasa remuk redam tatkala berbenturan dengan dahan-dahan pepohonan. Ia bahkan sudah tak merasakan apa-apa lagi karena sejak itu kesadarannya sudah lenyap.
Ketika ia membuka mata, hanya kesunyian yang ia rasakan. Angin seperti mati. Hanya terdengar napas teratur seseorang tak jauh darinya. Seorang lelaki tua. Mengenakan jubah abu-abu, ia duduk bersila dengan tangan bersedekap dan mata terpejam.
Siapa dia" Syukurlah kamu sudah siuman, desis lelaki tua itu.
Jaka Wulung terkejut. Lelaki tua itu masih terpejam dengan napas teratur seperti sedang tidur.
Di mana saya" Jaka Wulung mencoba duduk.
Jangan bergerak. Berbaringlah. Lelaki tua itu masih tetap terpejam.
Jaka Wulung tetap berbaring. Bukan karena kata-kata kakek itu, melainkan karena ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Semua tulang tubuhnya seperti porak-poranda. Otot-ototnya tidak bertenaga. Rasa nyeri merejamrejam seperti seribu jarum menusuk-nusuk pori-porinya.
Ia hanya bisa mengedarkan matanya.
Lampu minyak jarak yang suram memberikan pemandangan sebuah bangunan yang lebih tepat disebut pondok, sebuah bangunan yang terkesan dibuat untuk tempat tinggal sementara. Hanya ada satu pembaringan, yang kini ditempatinya. Di sebuah sudut, ada bangku persegi yang tidak terlalu tinggi. Di atasnya teronggok sejenis dedaunan bertulang panjang.
Tiang-tiang kayu pondok itu kelihatannya sudah mulai keropos dimakan rayap. Dinding bambunya berlubang-lubang. Udara mengalir pelan dan membuat tubuh Jaka Wulung menggigil.
Dengan daya nalarnya yang masih belum pulih benar, Jaka Wulung mencoba mereka-reka apa yang terjadi ketika ia jatuh. Ah, ia pastilah ditolong oleh kakek itu. Ia kemudian dibawa ke pondoknya yang sederhana ini, entah di mana.
Kakek itu tampaknya enggan berbicara mengenai siapa dia dan di mana mereka berada. Tapi, setiap hari kakek itu memberikan ramuan yang harus diminum Jaka Wulung. Pada hari kedua, Jaka Wulung sudah bisa bangun dan berjalan dengan tertatih-tatih. Ketika memandang ke luar, barulah ia menyadari bahwa pondok itu berada di sebuah lereng yang landai, di tengah hutan yang sunyi.
Maksudnya, sunyi dari manusia dan bangunan lain.
Hutan ini, sebagaimana hutan di mana pun, adalah kehidupan yang riuh oleh suara binatang dan gesekan dedaunan.
Akan tetapi, sampai hari ketiga, kakek tua itu tetap sunyi dari kata-kata.
Terutama mengenai dirinya. Meskipun demikian, Jaka Wulung yakin bahwa kakek itu bukan manusia pada umumnya. Terbukti Jaka Wulung pulih dalam waktu singkat berkat ramuannya.
Siang hari, barulah lelaki tua itu akan muncul lagi dengan membawa berbagai tanaman untuk dibuat ramuan serta buah-buahan. Kakek, siapa sebenarnya Kakek ini"
Lelaki tua itu memandang Jaka Wulung tanpa menjawab. Ia membereskan semua bawaannya. Setelah semuanya tertata, barulah ia menghadapi helaihelai daun bertulang panjang dan menggores-goreskan cairan hitam dengan semacam kuas.
Baru belakangan Jaka Wulung tahu nama daun itu adalah daun nipah dan kakek itu sedang membuat tulisan di permukaan daun nipah itu.
Bolehkah saya menjadi murid Kakek" Jaka Wulung memandang lelaki tua itu penuh harap.
Kali ini lelaki tua itu menoleh dan memandang Jaka Wulung beberapa lama, seakan-akan sedang menimbang-nimbang keinginan Jaka Wulung. Aku tidak punya kepandaian apa-apa. Lelaki tua itu bangkit, mengambilkan buah-buahan, dan menyodorkannya kepada si bocah. Makanlah.
Jaka Wulung memandang lelaki itu meminta ketegasan. Kakek menolong saya ketika jatuh dari tebing yang sangat curam. Kalau tidak punya kepandaian apa-apa, Kakek tentu tidak akan mampu menolong saya. Lelaki tua itu masih diam.
Jaka Wulung tertunduk. Kalau begitu, sebelum saya pergi, boleh tahu nama Kakek"
Lelaki tua itu kembali memandang Jaka Wulung yang masih tertunduk. Jangan pergi dulu. Tunggulah beberapa hari lagi, ditariknya napas dalam. Kau boleh panggil aku Karta. Ki Karta.
DAN kini, Jaka Wulung bangkit, membuka pintu, lalu memandang keremangan pagi. Langit masih benderang oleh bintang-bintang.
Dedaunan hutan memberikan kesegaran berupa zat asam. Paru-paru Jaka Wulung menghirup sebanyak mungkin udara dan melepasnya pelan-pelan. Mendadak, samar-samar ia mendengar sesuatu.
Jaka Wulung melangkahkan kakinya mengikuti pendengarannya. Ia merasakan keanehan. Hutan itu riuh dengan gesekan dedaunan, derit dahan-dahan pohon, nyanyian serangga, dan jerit bermacam kera. Biasanya, memang seperti itulah yang ia dengar. Tapi, kali ini pendengarannya bisa dengan jelas menangkap suara-suara lain.
Ia terpaku ketika tiba di suatu tempat yang agak lapang, beberapa puluh langkah di sebelah kanan pondok mereka.
Di hadapannya, seseorang sedang melakukan gerakan-gerakan kaki, tubuh, dan tangan yang lincah. Langkahnya sangat ringan, tangannya seperti menari, tetapi juga mematuk dan mencakar udara, dan tubuhnya sangat lentur mengikuti segala gerakan kaki dan tangannya. Beberapa gerakan bahkan sedemikian cepat sehingga Jaka Wulung tidak bisa mengikuti dengan penglihatannya. Jelas bahwa gerakan demikian hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan tinggi!
Kalau tidak dengan mata kepalanya sendiri, Jaka Wulung pastilah tak akan percaya.
Tiada lain orang itu: Ki Karta!
Berbeda dengan penampilan selama ini, yang kelihatan ringkih, Ki Karta benar-benar kelihatan dua puluh atau bahkan tiga puluh tahun lebih muda. Hanya mengenakan celana pangsi sampai separuh betis, tanpa baju, Ki Karta memperlihatkan tubuh yang terpelihara. Dan, di tengah hawa pagi yang masih menggigit, keringat berkilat memenuhi permukaan badannya. Tiba-tiba pada suatu saat, Ki Karta menghentikan gerakannya. Keluarlah! serunya.
Jaka Wulung terkejut. Sekali lagi terbukti bahwa Ki Karta bukan orang sembarangan. Ki Karta tahu bahwa Jaka Wulung sedang mengintipnya di balik sebatang pohon.
Jaka Wulung ragu-ragu beberapa jenak. Ke sinilah, Bocah.
Jaka Wulung keluar dari balik sebatang pohon.
Langit mulai terang dan wajah Ki Karta tampak segar. Tak ada rona kemarahan pada wajahnya.
Si bocah membungkuk penuh hormat.
Aki, saya ingin belajar silat, suara Jaka Wulung pelan, tetapi mengandung bergumpal harapan.
Ki Karta menghela napas. Itu tadi bukanlah ilmu silat, katanya. Itu tadi hanyalah gerakan-gerakan untuk menjaga kesehatan. Maklumlah, aku sudah tua. Kalau tidak melakukan gerak badan seperti ini setiap pagi, penyakit akan mudah sekali datang.
Ki Karta adalah seorang berilmu tinggi dan saya ingin menjadi murid Aki.
Tidak, Bocah. Aku hanyalah kakek-kakek biasa. Tapi, boleh kan kalau saya menjadi murid Aki" Ki Karta menggeleng dengan tegas.
Jaka Wulung menunduk penuh kecewa.
AKAN TETAPI, Jaka Wulung adalah bocah yang memiliki kemampuan mengingat yang luar biasa meskipun ia sendiri tidak menyadarinya. Ia juga tergolong bocah yang mempunyai keinginan sangat kuat untuk belajar. Terutama belajar ilmu kanuragan. Hanya saja, sampai saat itu ia belum pernah menjadi murid siapa pun atau perguruan mana pun.
Rupanya, kalangan jelata seperti dia sulit mendapat tempat di mana pun. Keinginannya untuk belajar ilmu kanuragan bahkan telah membuatnya celaka. Tapi, di sisi lain, pengalaman pahitnya itu justru menambah kuat keinginannya untuk memiliki kemampuan, setidaknya membela diri. Jaka Wulung sudah melihat bahwa Ki Karta memiliki ilmu yang hebat, punya pengetahuan tentang pengobatan, dan bisa membuat tulisan di daun nipah. Pastilah Ki Karta bukan orang kampung biasa.
Sayang sekali keinginannya untuk berguru kepada Ki Karta tidak kesampaian.
Penolakan Ki Karta sebenarnya membuat Jaka Wulung ingin segera pergi dari pondok itu. Tapi, ia masih menyimpan penasaran. Setidaknya, ia ingin dua atau tiga kali lagi melihat Ki Karta melatih gerakan-gerakan silatnya.
Untuk mengisi waktunya, siang itu, ketika Ki Karta pergi seperti biasanya, Jaka Wulung mencoba mengingat-ingat semua gerakan yang dilakukan Ki Karta, lalu menerapkannya sendiri. Mulai dari langkah kaki, kemudian gerakan tubuh, hingga bentuk jemari yang dibuat seperti cakar harimau. Mula-mula memang terasa kaku, tetapi lama-lama ia bisa melakukannya dengan sempurna.
Jaka Wulung juga melakukan semua gerakan yang dilakukan bocah-bocah keturunan Jipang Panolan. Ia tidak tahu bahwa gerakan itu berdasarkan ilmu hebat yang disebut gagak rimang, ilmu andalan Arya Penangsang.
Berdasarkan daya ingatnya, dari tiga hari menonton ketiga bocah itu
berlatih dibimbing Ki Jayeng Segara, Jaka Wulung berhasil meniru semua jurus gagak rimang nyaris tanpa kesalahan. Di tengah melakukan semua gerakan itu, tergambarlah dengan jelas wajah-wajah bocah itu: Lingga Prawata, Watu Ageng, dan Dyah Wulankencana.
Ketika mengingat wajah gadis kecil itu, hatinya berdesir oleh rasa hangat. Apakah aku bisa bertemu lagi dengannya" Cepat-cepat Jaka Wulung mengusir pikiran seperti itu. Ia hanyalah bocah jelata. Gadis itu jelas sebangsa bidadari meskipun kini seperti bidadari yang tersesat di rimba raya.
Meskipun demikian, dengan membayangkan wajah gadis itu, dan terutama bocah sombong bernama Lingga Prawata, Jaka Wulung terus melakukan semua gerakan dasar ilmu gagak rimang berulang-ulang.
Berulang-ulang pula ia meniru semua gerakan yang ia ingat dilakukan Ki Karta pagi itu.
Keringat sudah membanjir dari tubuhnya.
Jaka Wulung tidak sadar matahari sudah mulai jatuh di langit barat.
Ia juga tidak sadar sepasang mata menyorot tajam dari balik rumpun perdu.
Luar biasa bocah ini, kata hati Ki Karta.
Ketika kali pertama menemukan bocah itu dalam keadaan pingsan di atas gerumbul perdu di tepi Ci Gunung untung bocah itu tidak jatuh menimpa bebatuan Ki Karta mengakui bahwa Jaka Wulung memiliki tubuh yang sangat istimewa. Kalau yang jatuh dari ketinggian seperti itu anak muda biasa, setelah membentur-bentur dahan-dahan pepohonan, apalagi ia jatuh setelah melalui sebuah perkelahian, Ki Karta yakin siapa pun tak akan selamat nyawanya. Tapi, bocah itu hanya pingsan.
Setelah ia membawa bocah itu ke pondoknya, di sebuah tempat yang jauh terpencil di sebuah bukit kecil yang dinamakan orang Bukit Segara, lalu merawatnya, Ki Karta benar-benar dibuat kagum. Hanya dalam beberapa hari, bocah itu sudah hampir pulih seperti sediakala. Padahal, ia hanya merawat dengan ramuan seadanya dan makanan buah-buahan di sekitarnya.
Ki Karta menunggu sampai Jaka Wulung menyelesaikan semua gerakannya.
GELAP mulai menyungkup seperti tirai raksasa. Nyanyian serangga mengiring kepergian garis-garis matahari ditelan rerimbun hutan.
Ki Karta tengah menulis sesuatu di lembar-lembar nipah ketika Jaka Wulung muncul dari membersihkan diri di aliran sungai kecil di lembah pondok.
Sampurasun, Aki. Rampes, Ki Karta menjawab tanpa menoleh. Ia terus mengguratguratkan kuasnya di lembar nipah dengan alas bangku. Dapat ikan banyak, ya" Kepala Ki Karta tetap menunduk.
Jaka Wulung tersenyum sendiri. Kadang orang tua memang selalu lupa. Bagaimanapun disembunyikan, makin jelas bahwa Ki Karta banyak memiliki kelebihan dibanding orang kebanyakan. Ia bisa mencium bau ikan dan jumlahnya banyak.
Iya, Ki, tadi saya dapat di kali sebelum mandi di pancuran. Nanti sekalian saya bakar, ya. Malam ini kita makan enak.
Jaka Wulung lekas menyiapkan kayu-kayu dan segera membuat pembakaran. Tak lama kemudian, menguarlah aroma ikan bakar. Jaka Wulung tidak sabar lagi untuk segera menyantapnya. Perutnya terdengar seperti tetabuhan dogdog!
Ki, ujar Jaka Wulung ketika mereka bersama-sama menyantap nasi dan ikan bakar. Kalau Aki menolak mengajari saya ilmu beladiri, biarlah saya menjadi murid Aki dalam menulis di daun nipah. Boleh, kan"
Ki Karta berhenti mengunyah sejenak, kemudian menarik napas dalam. Bocah ini memiliki banyak kelebihan. Siapa sebenarnya dia" pikir Ki Karta.
Baiklah, kata Ki Karta. Semenjak malam itu juga Jaka Wulung mendapat pelajaran tentang menulis. Benar-benar dari dasar, yaitu menulis huruf demi huruf. Mulamula ia belajar melalui goresan kayu di tanah. Setelah mahir, barulah ia berpindah ke daun nipah. Bahkan di belakang hari, Jaka Wulung juga belajar menulis di atas permukaan daun lontar dengan menggunakan pisau pangot.
Tidak hanya belajar cara menulis huruf. Jaka Wulung juga belajar cara menulis naskah sastra. Tahap ini tentu saja jauh lebih rumit dibanding hanya menulis huruf. Dan, belakangan terbukti bahwa baik Jaka Wulung maupun Ki Karta sama-sama saling memuji meskipun dalam hati.
Jaka Wulung memuji Ki Karta, yang sudah ia panggil sebagai guru, yang ternyata seorang penulis naskah yang mumpuni. Naskah-naskahnya yang sebagian besar berupa pantun1 sangat indah. Di pihak lain, Ki Karta memuji Jaka Wulung sebagai murid yang sangat cerdas. Ingatannya sangat kuat dan bakatnya dalam menulis naskah sangat besar.
Serupa benar dengan Bambang Ekalaya di jagat pewayangan, pikir Ki Karta.
Tiba-tiba Ki Karta teringat sosok yang selama ini ia anggap menjadi gurunya, baik dalam sastra maupun ilmu kanuragan, Resi Jaya Pakuan. Kalau saja sang Guru masih ada, pikir Ki Karta, tentu Jaka Wulung akan mendapat didikan dari orang yang tepat. Ki Karta menyesal tidak terlalu mendalami ilmu sastra. Ia selama ini lebih memilih mendalami ilmu kesaktian, yang membuatnya lebih banyak menghadapi masalah daripada menyelesaikan masalah.
Ki Karta menghela napas panjang, mengusir rasa sesalnya.
Sementara itu, setiap menjelang fajar menyingsing, Ki Karta akan selalu bangun lebih dulu.
Jaka Wulung akan pura-pura masih tertidur kalau Ki Karta memulai kegiatannya setiap hari. Tidak berapa lama kemudian, Jaka Wulung akan bangun dari tempat tidurnya, bersijingkat keluar dari pondok itu, berhatihati menuju sebatang pohon di tepi lahan lapang, dan dari sana ia juga memulai harinya.
Langit masih temaram, tetapi Jaka Wulung makin lama makin terbiasa melihat Ki Karta mulai menghangatkan tubuhnya dengan olah napas, kemudian melatih dan memelihara kelenturan segenap anggota badannya melalui gerakan-gerakan teratur yang membentuk jurus-jurus tertentu yang kelihatan sederhana, tetapi kerap memberikan akibat yang dahsyat.
Setiap geraknya selalu menimbulkan kesiur angin di sekitar tubuhnya, yang membuat dedaunan rontok dari tangkainya.
Jaka Wulung akan menyimpan dalam kepalanya semua yang dilakukan Ki Karta. Dan, sebelum matahari sepenggalah, menjelang Ki Karta menyelesaikan ritual latihannya, Jaka Wulung akan menyelinap kembali ke pondok, lalu membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Jaka Wulung akan pura-pura mendengkur ketika Ki Karta masuk ke pondok.
Ketika Ki Karta pergi menjelang siang, Jaka Wulung akan segera menuju sebuah tanah agak lapang yang ia pilih sendiri, tidak jauh dari pancuran. Ia pun akan segera menerapkan semua ingatan di kepalanya saat itu juga. Mulai dari olah napas hingga bermacam gerak yang membentuk jurusjurus tertentu.
Beberapa kali Jaka Wulung melakukan kesalahan ketika menerapkan gerak baru. Tapi, ia akan selalu mengulanginya sehingga semua jurusnya ia lakukan hampir tanpa kesalahan lagi.
Ketika matahari sudah di puncak langit, Jaka Wulung akan menyelesaikan latihannya. Ia akan meloncat-loncat lincah, meniti bebatuan yang bertonjolan, dan akan segera menceburkan diri sambil menikmati segarnya air pancuran. Berendam menikmati kesejukan sungai dan memulihkan tenaganya.
Jaka Wulung tidak menyadari bahwa dari sebuah gerumbul perdu sepasang mata mengawati semua yang dilakukannya.
Ki Karta! Sekali lagi Ki Karta mengagumi bakat yang dimiliki Jaka Wulung. Tanpa bimbingan langsung siapa pun, hanya dengan mengingat apa yang ia lihat, Jaka Wulung mampu melakukannya dengan hampir sempurna.
Tentu saja Ki Karta tahu bahwa Jaka Wulung selalu mengintip setiap pagi. Ki Karta juga tahu bahwa Jaka Wulung hanya pura-pura tidur, baik ketika ia keluar maupun ketika ia datang lagi.
Kalau saja bocah ini mendapat bimbingan secara langsung, batin Ki Karta. Tapi, ia tidak bisa melakukannya. Ia tak ingin melanggar sumpahnya sendiri, yakni tidak akan pernah mengangkat seorang pun murid.
Batin Ki Karta dilanda kebimbangan menyaksikan bakat luar biasa Jaka Wulung.
Oleh karena itu, Ki Karta memutuskan untuk menjadikan Jaka Wulung sebagai murid secara tidak langsung. Ia akan membiarkan Jaka Wulung menyerap ilmunya setiap pagi, tahap demi tahap meningkat secara terusmenerus, mulai dari tahap gerak kasar, hingga akhirnya ke jurus yang dilambari tenaga dalam. Ia akan berpura-pura tidak tahu bahwa Jaka Wulung selalu mengintipnya. Ia juga berpura-pura tidak tahu bahwa Jaka Wulung meniru semua gerak dan jurusnya setiap hari.
Dengan demikian, Ki Karta merasa tidak melanggar sumpahnya untuk mengangkat seorang murid.
Demikianlah, terjadi penurunan ilmu yang ganjil dari seorang kakek misterius yang mengaku bernama Ki Karta kepada bocah aneh bernama Jaka Wulung.
DALAM waktu singkat, karena daya serap Jaka Wulung yang sangat istimewa, seluruh ilmu yang dimiliki Ki Karta sudah diturunkan kepada si bocah. Tinggal satu ilmu yang belum diturunkan. Ki Karta ragu-ragu apakah ia akan menurunkan ilmu yang satu ini.
Ilmu pamungkas miliknya. Ada beberapa pertimbangan yang membuatnya ragu-ragu.
Pertama, Jaka Wulung kelihatan masih terlampau muda untuk menerima ilmu ini. Ki Karta tidak yakin apakah si bocah akan mampu mempelajari ilmu ini mengingat dibutuhkan laku yang sangat berat untuk mencapai tingkatan yang diharapkan.
Kedua, ini yang sangat sulit dilaksanakan, ilmu ini diturunkan hanya kepada orang yang mewarisi darah Prabu Siliwangi. Sebab, ilmu ini memang diciptakan dan disempurnakan oleh Prabu Siliwangi sendiri dan yang secara tradisi hanya diturunkan kepada mereka yang dalam tubuhnya mengalir kental darah Prabu Siliwangi.
Inilah ilmu yang membuat Prabu Siliwangi hampir tidak menemui lawan sepadan ketika ia di puncak kejayaan.
Ilmu gulung maung. Dalam hati kecilnya, Ki Karta cenderung ingin menurunkan pula ilmu gulung maung kepada si bocah. Ia tidak tahu tinggal berapa orang di tatar Sunda yang masih menggenggam ilmu dahsyat ini. Ia khawatir ilmu ini akan punah kalau tidak diturunkan sekarang.
Akan tetapi, di sisi lain, ia harus mematuhi garis yang telah ditetapkan leluhurnya agar tidak sembarangan menurunkan ilmu ini kepada orang yang tidak jelas asal usulnya.
Semalam suntuk Ki Karta menimbang-nimbang kemungkinan untuk menurunkan ilmu gulung maung. Tak lupa ia bersemadi, meminta petunjuk kepada leluhurnya, apakah ia tidak tergolong melanggar purbatisti dan purbajati kalau ia memutuskan menurunkan ilmu pamungkasnya kepada si bocah.
Di kejauhan, terdengar auman panjang seekor harimau. Telinga Ki Karta menegang.
Beberapa saat kemudian, setelah auman itu menghilang, Ki Karta membuka matanya. Dadanya menjadi lega.
Ki Karta yakin, auman harimau itu menjadi semacam restu Ia pun sudah bisa mengambil keputusan secara mantap.
LANGIT masih ditaburi ribuan kerlip bintang. Burung-burung bangun dari tidur nyenyak mereka, berceriap nyaring, menyilap serangga malam yang mulai kelelahan.
Ki Karta sudah menyelesaikan olah napasnya sebagai pemanasan menuju olah tubuh dan gerak badan. Jurus demi jurus kemudian melindas udara pagi, hingga akhirnya, bertepatan dengan garis-garis pertama matahari, Ki Karta mulai memasuki jurus pamungkasnya: gulung maung.
Sedikit demi sedikit tangan dan jemarinya mengeras, membentuk cakar yang siap mencabik sasaran. Pancaindranya menjadi lebih tajam. Penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan pengecap perlahan tetapi pasti menjadi lebih peka. Jika ada gerakan kecil di mana pun yang mencurigakan di sekitarnya, pasti tak akan lepas dari pancaindranya.
Dari tenggorokannya tak tertahan mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman, seperti suara harimau ....
Grrrhhh! Ki Karta meloncat ringan dan kedua tangannya mengarah sebatang pohon kiara sebesar tubuh manusia. Segumpal tenaga tak kasat mata meluncur dari cakar-cakar Ki Karta dan menghantam batang pohon, menimbulkan suara debam yang akan terasa memukul dada siapa pun yang menyaksikannya.
Beberapa jenak Ki Karta tetap berdiri dengan kedua kaki rendah dan tangan masih terentang ke depan.
Pohon itu tetap berdiri tegak. Tetapi hanya beberapa jenak.
Tiba-tiba terdengar suara derak batang yang remuk dan patah, kemudian pohon itu pun tumbang berdebum menimpa tanah.
Sulit membayangkan bagaimana kalau pukulan tak kasat mata itu menimpa tubuh manusia.
Dari balik pohon, Jaka Wulung hanya bisa memandang peristiwa itu dengan mulut menganga. Ia lupa bahwa ia harus segera pergi dari tempat itu sebelum ketahuan oleh Ki Karta.
DI tanah yang agak lapang di atas pancuran, di sanalah Jaka Wulung menerapkan daya ingatnya yang luar biasa ke dalam gerakan-gerakan jurus yang nyata. Sampai beberapa lama Jaka Wulung tidak menyadari bahwa semua ilmu yang dipertunjukkan Ki Karta makin lama makin bertambah dan tingkatannya makin naik.
Baru belakangan ia sadar ketika kemampuannya sendiri terasa meningkat dengan pesat. Langkahnya kian ringan, loncatannya makin jauh, tendangan dan pukulannya tambah bertenaga, dan pancaindranya menjadi jauh lebih peka.
Matanya bisa melihat lebih jelas meskipun Ki Karta memulai latihannya dalam gelap dini hari. Telinganya mampu menangkap jerit kera di kejauhan, embusan angin yang menggesekkan rumpun bambu di lembah pondok, dan bahkan jatuhnya tetes-tetes air dari dedaunan. Hidungnya bisa membedakan rumput dan ilalang dari jarak beberapa langkah. Ia juga bisa merasakan permukaan sebatang pohon sebelum telapaknya benar-benar menyentuhnya.
Ia menduga Ki Karta dengan sengaja membimbingnya secara tidak langsung. Dan, dugaannya sudah menjadi kesimpulan ketika kakek yang tetap misterius itu mempertunjukkan jurus ilmunya yang dahsyat.
Jaka Wulung memusatkan segenap kekuatannya untuk mengingat seluruh gerak ilmu dahsyat Ki Karta.
Perlahan-lahan Jaka Wulung merasakan tangan dan jemarinya mengeras, membentuk cakar yang siap mencabik sasaran. Pancaindranya menjadi lebih tajam. Dari tenggorokannya mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman, seperti suara harimau ....
Grrrhhh! Jaka Wulung meloncat ringan dan kedua tangannya mengarah sebatang pohon rasamala yang masih muda, dengan ukuran batang sebesar paha orang dewasa. Jaka Wulung merasakan segumpal tenaga tak kasat mata meluncur dari cakar-cakar jemarinya dan menghantam batang pohon rasamala, menimbulkan suara debam yang gemanya seakan-akan memukul dadanya sendiri.
Beberapa jenak Jaka Wulung agak goyah di atas kuda-kuda kedua kakinya yang rendah dan dengan tangan masih terentang ke depan. Pohon itu tetap berdiri tegak. Hanya bergoyang pelan. Jaka Wulung menunggu.
Pukulannya seakan-akan tidak memberikan pengaruh apa-apa. Jaka Wulung menarik napas kecewa.
Ia berdiri tegak, melangkah mendekati pohon itu, dan menyentuh bekas pukulannya.
Jaka Wulung menarik napas lega ketika menyentuh bekas pukulannya di pohon yang terasa seperti kayu keropos selebar telapak tangan. Tapi, hanya sampai di situ. Pukulan itu belum mampu menyebabkan batang itu patah.
Aku harus banyak berlatih, pikirnya.
Demikianlah, dalam beberapa hari Jaka Wulung benar-benar memusatkan perhatiannya untuk mengasah ilmunya.
Dan kemudian, suatu hari, ketika ia mencoba melepaskan pukulan yang sama ke sebatang pohon rasamala yang sedikit lebih besar, tiba-tiba terdengar suara derak batang yang remuk dan patah, kemudian sebatang cabang pohon itu pun tumbang berderak menimpa tanah.
Jaka Wulung menganga tak percaya.
Di tempat persembunyiannya, Ki Karta tak kurang terkesima.
Untuk bisa mengeluarkan tenaga tak kasat mata sebesar itu, Ki Karta perlu berlatih dalam hitungan berbulan-bulan. Tapi, si bocah bocah semuda itu melakukannya hanya dalam tempo hanya beberapa hari.
Luar biasa, batinnya. Hanya Prabu Siliwangi sendirilah yang mampu melakukannya dalam usia semuda itu.
Ki Karta berdebar-debar. Dalam hatinya ia kembali memohon restu dari para leluhur semoga ia tidak salah memilih murid. Sebab, kalau ilmu itu jatuh kepada orang yang salah, akibatnya akan sangat mengerikan.
Tinggal rajin mematangkan diri, aku yakin bocah ini suatu saat setidaknya akan bisa setara dengan guruku sendiri, batin Ki Karta lagi.
Pada kesempatan berikutnya, Ki Karta mengarahkan pukulannya pada sebongkah batu sebesar kepala kerbau.
Batu itu pecah berserakan menjadi ribuan kerikil beterbangan ke segala arah.
Ketika Jaka Wulung mencoba menerapkan hal yang sama, permukaan batu yang terkena pukulannya remuk memercik, meninggalkan lekukan selebar telapak tangan.
Demikianlah, melalui penurunan ilmu secara tidak langsung, kemampuan Jaka Wulung meningkat dengan pesat.
SEIRING dengan peningkatan yang pesat dalam kemampuan olah kanuragan, Jaka Wulung juga cepat sekali menangkap pelajaran menulis sastra yang diturunkan Ki Karta. Hal itulah yang justru tidak disadari oleh Ki Karta sendiri, yang membuat jati dirinya yang sesungguhnya terungkap.
Suatu hari, ketika Ki Karta pergi dari pondok itu, Jaka Wulung membukabuka lembar-lembar naskah yang sudah ditulis gurunya. Dalam kebanyakan naskahnya, Ki Karta tak pernah menuliskan namanya.
Akan tetapi, Jaka Wulung secara tidak sengaja menemukan sebuah nama pada salah satu naskah karya Ki Karta. Nama yang jauh berbeda.
Darmakusumah. Lama Jaka Wulung memandang lembar daun nipah itu. Sampai-sampai ia tidak menyadari kemunculan Ki Karta. Ah, tekun sekali kau membaca naskah itu, ujar Ki Karta. Jaka Wulung terkejut karena tidak menyadari kedatangan gurunya.
Oh, maafkan saya, Ki, telah membuka-buka naskah Aki, Jaka Wulung membereskan naskah yang terserak-serak. Lalu, ia memandang gurunya dengan penuh hormat. Siapa Darmakusumah itu, Ki"
Ki Karta memandang Jaka Wulung, duduk bersila di hadapan sang murid, menarik napas dalam-dalam, dan melepaskannya perlahan-lahan.
Cerita yang panjang, Bocah, kata Ki Karta, tidak menjawab pertanyaan Jaka Wulung.
Apakah itu nama asli Aki" Jaka Wulung memandang gurunya dengan rasa ingin tahu yang menggelora.
Ada baiknya memang kamu mengetahui cerita yang sebenarnya. []
5 Menyelamatkan Kitab Pusaka
MAKA, cerita harus mundur ke tahun 1579. Waktu itu isi Keraton Pakuan, istana Kerajaan Pajajaran, sudah nyaris kosong melompong. Prabu Ragamulya Suryakancana, raja terakhir Pajajaran, sudah pergi mengasingkan diri ke arah matahari tenggelam, yakni Gunung Pulasari di ujung barat Jawa Dwipa. Ia menolak diiringi banyak pengikut.
Empat perwira tepercayanya, Jaya Perkosa, Wiradijaya, Kondang Hapa, dan Pancar Buana, diiringi sejumlah orang lain, sudah pula pergi ke arah sebaliknya, dengan membawa pusaka-pusaka kerajaan, termasuk Mahkota Bino Kasih Sanghyang Pake mahkota yang sudah berusia 200 tahun, sebagai lambang raja Sunda sejak zaman Niskala Wastukancana. Akan tetapi, ada satu ruang pusaka di keraton yang terlupa.
Ruang itu sebenarnya tidak jauh dari ruang tempat para raja Pajajaran bersemadi, menyepi menyerahkan diri kepada Yang Mahatinggi, yakni ruang berisi pustaka leluhur.
Hanya satu orang yang berhasil menyelamatkan pustaka leluhur sebelum keraton menjadi puing-puing arang. Sebagian besar pustaka pusaka itu musnah dilalap api, tetapi orang itu berhasil menyelamatkan tiga kitab paling penting: satu kitab Patrikrama Galunggung, satu naskah adalah kitab yang belakangan disebut naskah Bujangga Manik, dan satu lagi tanpa judul. Kalangan keraton menyebut naskah ketiga itu Kitab Siliwangi.
Si penyelamat, Resi Darmakusumah, sebenarnya masih memiliki darah Siliwangi yang sangat kental. Kalau ditelusuri, garis darahnya akan sampai kepada Surasowan, salah satu putra Prabu Siliwangi. Tapi, ia lebih memilih hidup sebagai resi, menyendiri di tempat-tempat sunyi, lebih banyak menyerahkan diri kepada Yang Mahasuci. Setelah menjadi resi, Darmakusumah nyaris tak pernah menginjakkan kaki di Keraton Pakuan. Darmakusumah tidak lain adalah murid tunggal Resi Jaya Pakuan, yang hidup menyendiri di Gunung Sepuh hingga entah usia berapa.
Adapun Jaya Pakuan, tidak lain adalah seorang legenda besar Pajajaran: Bujangga Manik! Dialah petualang terbesar Negeri Pajajaran, tokoh legendaris yang sangat dihormati di seantero Jawa Dwipa karena ketinggian ilmunya baik dalam sastra maupun olah kanuragan meskipun tidak pernah menonjolkan kehebatannya.
Nah, Resi Darmakusumah kecewa karena para penerus Prabu Siliwangi tidak sekuat dan setegar pendahulunya. Surawisesa, yang menggantikan Prabu Siliwangi, perlu meminta bantuan orang-orang berkulit pucat dari Peranggi untuk menangkal ancaman Cerbon. Pada masa Surawisesa, terjadi beberapa kali pertempuran dan sedikit demi sedikit wilayah Pajajaran direbut Cerbon.
Sang Ratu Dewata, pengganti Surawisesa, cenderung mengabaikan urusan dunia sehingga kurang peduli terhadap segala urusan pemerintahan. Raja berikutnya, Ratu Sakti, malah berkuasa dengan zalim, hanya ingin memenuhi nafsu serakahnya. Ia membunuh orang-orang tak berdosa, merampas harta rakyat, menghina para pendeta, dan bahkan menikahi ibu tirinya!
Prabu Nilakendra nyaris sama buruknya dengan Ratu Sakti. Ia berpesta pora tiap hari, mengabaikan rakyat yang kelaparan. Setelah itu, Pajajaran benar-benar sekarat. Dan, di bawah raja penghabisan, Prabu Ragamulya, Pajajaran hanya menunggu sekali pukul untuk musnah dikubur waktu.
Satu hal membuat hidup Darmakusumah penuh sesal: ia dan sejumlah prajurit Sunda yang tersisa sama sekali tak dapat mempertahankan Keraton Pakuan, keraton yang terkenal dengan nama Sri Bima-Punta-Narayana- Madura-Suradipati, lambang persatuan Pajajaran, ketika diserbu dari dua jurusan sekaligus, laskar Banten dari barat dan laskar Cerbon dari timur. Maka sirnalah Pajajaran dari marcapada.
Masih membayang di mata Resi Darmakusumah ketika malam itu api raksasa menghanguskan Keraton Pakuan dan api membubung memerahi langit.
MENGIKUTI jalan hidup gurunya, Resi Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, Resi Darmakusumah sudah merasa tenteram dan damai hidup di sebuah tempat terpencil, yakni di Bukit Tunggul, tidak begitu jauh dari gunung legendaris Tangkuban Parahu, setelah bertahun-tahun menjalani petualangan di berbagai sudut Jawa Dwipa.
Ia ingin sebelum hidupnya berakhir, ia bisa menulis setidaknya sebuah naskah yang bisa diwariskan kepada generasi jauh sesudahnya.


Jaka Wulung 1 Pertarungan Di Bukit Segara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oleh karena itu, selain menyerahkan diri kepada Yang Mahatinggi, Resi Darmakusumah setiap hari berusaha terus menulis, baik di lembar daun nipah maupun daun lontar.
Akan tetapi, ketenteraman hidupnya terkoyak oleh bayangan mengerikan yang terus-menerus menghampiri malam-malamnya.
Malam itu sudah hampir melewati puncak. Bulan yang belum lagi purnama mulai tergelincir di zenit langit, memulas rimbun pohon ki hujan menjadi keperakan. Garis-garis cahayanya yang samar merebahkan diri pada atap rumbia sebuah bangunan kayu sederhana.
Resi Darmakusumah siap membaringkan tubuhnya di bangku kayu setelah menyelesaikan semadi malamnya. Kantuk sudah menarik kelopak matanya ketika tiba-tiba saja sebuah ruang di Keraton Pakuan tergambar nyata di kepalanya. Langit membentang hitam, tetapi sekonyong-konyong menjadi terang oleh nyala api yang berkobar-kobar. Terdengar jerit dan pekik kesakitan. Lalu, samar tercium bau lembar-lembar nipah dijilat api.
Resi Darmakusumah tergeragap bangun, lalu duduk dengan napas terengah-engah. Angin dini hari kian menggigit, tetapi kening sang resi basah oleh keringat.
Tiga malam berturut-turut pemandangan itu menjelma di kepalanya, sangat nyata. Tiga kali tentu saja sebuah pertanda. Sudah niscaya. Sang resi merapatkan jubahnya, lalu membenahi ikat kepalanya. Ia tidak mau menunggu lagi lebih lama.
Butuh setidaknya dua hari untuk mencapai Keraton Pakuan.
Benar seperti bayangan mengerikan yang menerjang kepalanya. Asap sudah menyerbu hidung Resi Darmakusumah begitu ia tiba di batas luar Pakuan. Malam dilukis dengan warna kuning, merah, dan hitam.
Pakuan benar-benar sudah nyaris rata dengan tanah. Api berkobar di mana-mana, menghanguskan rumah-rumah kayu penduduk ibu kota Kerajaan Pajajaran itu. Nyaris tak ada satu pun yang tersisa.
Istana Pakuan tidak lagi berisi orang-orang Pajajaran. Yang terdengar adalah pekik kemenangan pasukan penyerbu.
Berloncatan di antara bara, asap, dan api, Resi Darmakusumah menyelinap dan ia nyaris terlambat menyelamatkan tiga harta pusaka yang sangat berharga: Kitab Patikrama Galunggung yang ditulis Prabu Darmasiksa beberapa ratus tahun lalu, Bujangga Manik yang ditulis gurunya sendiri, Resi Jaya Pakuan, beberapa puluh tahun lalu, dan Kitab Siliwangi yang mungkin disusun oleh Prabu Siliwangi sendiri.
Beberapa saat Resi Darmakusumah melihat sejumlah orang yang juga memburu ke tempat yang sama. Tapi, ia tak sempat memikirkan hal itu terlalu lama.
Hanya beberapa kejap setelah Resi Darmakusumah berhasil membawa ketiga kitab itu, ruang pustaka tersebut ambruk sempurna dilalap api.
Berdiri di kejauhan, Resi Darmakusumah menatap dengan hati remuk redam Keraton Pakuan istana yang hampir keseluruhan bangunannya terbuat dari kayu jati, yang mestinya masih bisa tahan beberapa ratus tahun lagi luluh lantak tidak bersisa lagi.
Matanya basah. Satu-dua tetes bergulir melalui pipinya yang keriput, menggantung di janggut putihnya, lalu jatuh ke tanah. Tanah tumpah darahnya. Tanah yang sudah bukan lagi bernama Pajajaran.
Pajajaran sudah sirna! RESI Darmakusumah tergeragap bangun dari lamunannya yang menyayat hati. Langit masih dilukis warna merah dan hitam. Ia membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, ia terkejut.
Di hadapannya, sudah mengadang setidaknya tiga orang. Semuanya dengan pedang menggantung di pinggang. Bagaimana mungkin ia tadi tidak menyadari kedatangan mereka" Ah, pasti karena hatinya sedang dilanda duka. Hati yang terluka bisa menyebabkan kurangnya rasa waspada.
Di luar sadarnya, Resi Darmakusumah meraba ketiga kitab yang terselip di balik jubahnya.
Sampurasun, Resi, sapa salah seorang dari mereka, seorang lelaki tinggi besar berusia kira-kira empat puluh tahun yang tampaknya menjadi pemimpin di antara mereka, dengan suara rendah dan sopan.
Rampes, Ki Dulur, Resi Darmakusumah memandang satu per satu ketiga orang yang mengadangnya. Dilihat dari pakaiannya yang berbeda, ketiga orang itu tampaknya bukan bagian dari pasukan yang membumihanguskan Istana Pakuan. Ada apakah gerangan dulur semuanya mengadang saya"
Tampaknya Resi membawa sesuatu yang dicuri dari Istana Pakuan, ujar pemimpin kelompok orang itu.
Resi Darmakusumah sejenak terkejut. Tapi, dengan cepat ia menguasai diri. Dengan segera pula ia ingat bahwa orang-orang itulah yang ia lihat ketika menyelamatkan tiga kitab pusaka di Keraton Pakuan.
Berdasarkan apa Ki Dulur menyangka saya membawa sesuatu yang dicuri dari Istana Pakuan" tanya Resi Darmakusumah.
Pemimpin kelompok itu menahan napasnya seraya meraba gagang pedangnya. Sudahlah, Resi, katanya. Suaranya mulai meninggi. Jangan memulai silat lidah. Kami tidak punya cukup banyak waktu. Serahkan saja barang curian itu.
Resi Darmakusumah mengerutkan keningnya. Sikap sopan orang itu dengan cepat menguap ke udara. Tapi, sang Resi masih berusaha menahan kesabarannya.
Saya menyelamatkan barang ini, bukan mencurinya. Tahukah apa barang yang Resi curi"
Resi Darmakusumah menghela napas. Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak mencuri, tetapi menyelamatkan pusaka leluhur Kerajaan Pajajaran.
Nah, kamilah yang berhak atas pusaka itu.
Resi Darmakusumah lagi-lagi mengerutkan dahinya, menimbulkan keriput yang makin dalam di wajahnya. Siapa kalian" tanyanya.
Ketahuilah, nama saya Munding Wesi, kata pemimpin kelompok kecil itu. Dan, ini saudara-saudara saya. Kami sama-sama keturunan Prabu Dewata Buana Wisesa. Kami adalah orang-orang Pajajaran yang tersingkirkan. Tapi, kami tentu saja berhak atas benda-benda yang dicuri Resi.
Resi Darmakusumah terkejut. Wajahnya segera berubah keruh. Hanya remang malam yang membuat perubahan di wajahnya tidak tampak. Tapi, tak lama kemudian ia mengangguk-angguk. Kalau Munding Wesi mulai memperlihatkan sifat yang serakah dan merasa berhak atas sesuatu yang bukan miliknya, ia mafhum adanya. Prabu Dewata adalah salah satu penerus Prabu Siliwangi yang sifat-sifatnya bertolak belakang. Ia penguasa zalim yang menghancurkan kerajaannya sendiri, Pajajaran.
Kalau Ki Dulur merasa berhak, mengapa tidak segera menyelamatkan benda-benda pusaka ini jauh lebih awal, sebelum ada serangan dari Banten dan Cerbon" tanya Resi Darmakusumah.
Munding Wesi dan saudara-saudaranya menggeretakkan gigi hampir berbarengan. Kalau tidak keduluan dicuri, kami tentu sudah bisa menyelamatkan benda-benda hak milik kami itu.
Resi Darmakusumah tertawa pelan. Hmm ... sudahlah, biarkan saya pergi, katanya. Kalau Ki Dulur mengaku berhak atas pusaka ini, saya juga bisa mengatakan berhak.
Munding Wesi menyeringai. Dalam keremangan, seringai itu membuat wajahnya menjadi tambah menyeramkan. Memangnya siapakah kau ini sehingga mengaku berhak atas pusaka itu"
Resi Darmakusumah diam. Penyebutan kata ganti pun sudah berubah. Ia ragu-ragu apakah akan membuka diri mengenai siapa ia sebenarnya.
Siapa sebenarnya kau ini" suara Munding Wesi terdengar tak sabar lagi. Panggil saja aku Karta, kata Resi Darmakusumah begitu saja.
Munding Wesi tertawa terbahak-bahak sehingga badannya yang besar terguncang-guncang hebat, seakan-akan ia baru saja mendengar sebuah lelucon yang sangat lucu. Begitu juga kedua saudaranya.
Memandang ketiga orang itu Resi Darmakusumah menjadi prihatin. Wajahnya menjadi suram. Sungguh tidak mencerminkan keturunan Prabu Siliwangi.
Setelah tawanya reda, Munding Wesi memandang tajam Resi Darmakusumah. Tidak mungkin keturunan Siliwangi bernama aneh seperti itu!
Aneh atau tidak, saya tetap keturunan Prabu Siliwangi. Dasar kakek pembual!
Bukankah segenap warga Sunda adalah keturunan Prabu Siliwangi"
Darah serasa mulai naik ke kepala Munding Wesi. He, dari mana kau punya pendapat ganjil seperti itu"
Kalau Ki Dulur mendapat karunia umur panjang, kelak akan muncul pendapat seperti yang kukatakan.
Sudahlah, pusing aku mendengarnya!
Senyum tersungging di bibir Resi Darmakusumah. Jika demikian, biarkan aku pergi dengan aman.
Gigi Munding Wesi gemeletuk. Siapa yang akan membiarkanmu pergi dengan aman"
Resi Darmakusumah tidak memedulikan kata-kata Munding Wesi. Ia melangkah hendak pergi.
Akan tetapi, tentu saja Munding Wesi tidak akan membiarkan Resi Darmakusumah pergi begitu saja. Ia pun bergeser menghalangi jalan Resi Darmakusumah.
Resi Darmakusumah menimbang-nimbang apakah ia punya kesempatan untuk menembus kepungan ketiga orang ini.
Ia menarik napas dalam-dalam.
Sudah belasan tahun ia tidak pernah lagi menggunakan tangan dan kakinya dalam sebuah laga. Sebenarnyalah Resi Darmakusumah enggan lagi menghadapi segala urusan dan mengakhirinya dengan pertempuran.
Hanya saja, ia melihat tidak ada jalan leluasa untuk menghindar. Resi Darmakusumah yakin masih ada beberapa orang lain selain ketiga orang yang mengadang di depannya. Setidaknya tiga atau empat orang lagi bersembunyi di balik pepohonan.
Oleh karena itu, dan demi kitab-kitab yang ia bawa, tampaknya kali ini ia harus kembali melakukan sesuatu yang dibencinya.
Cepat serahkan sebelum kami melakukan kekerasan, Munding Wesi meloncat dengan tangan terjulur. Gerakannya sama sekali tidak diduga, sangat cepat seperti harimau lapar.
Resi Darmakusumah menghindar selangkah.
Munding Wesi sudah menduga lawannya akan menghindar. Oleh karena itu, secepat kilat tangan yang satu lagi melayang cepat dengan jemari terbuka, dengan maksud mencengkeram baju Resi Darmakusumah. Orang tidak akan menyangka Munding Wesi yang bertubuh besar mampu bergerak secepat itu. Gerak cepatnya itu seakan menimbulkan hawa panas di sekitarnya.
Munding Wesi sendiri tidak mau setengah-setengah menghadapi orang tua itu. Ketika Munding Wesi dan saudara-saudaranya hampir mendapatkan apa yang mereka cari di Keraton Pakuan, ia sudah melihat bagaimana hebatnya sang resi melesat di antara api dan asap.
Meskipun demikian, dengan langsung mengerahkan kecepatan dan tenaga penuhnya, ia yakin bahwa ia akan mampu menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Ia akan lekas kembali ke tempat gurunya dan bersama-sama mempelajari isi kitab-kitab yang ia yakini berisi rahasia ilmu mumpuni leluhur-leluhurnya.
Kalau mereka sudah mempelajari semua ilmu leluhurnya, begitu pikir Munding Wesi, mereka akan tumbuh menjadi kelompok yang disegani. Bukan tidak mungkin mereka bisa menarik banyak pengikut untuk suatu saat kelak membangun sebuah kerajaan baru, sebagai penerus kejayaan Pajajaran di bawah Prabu Siliwangi.
Akan tetapi, khayalan Munding Wesi terlampau tinggi.
Resi Darmakusumah juga sudah bisa menebak ancaman Munding Wesi dengan cara menekuk kaki kanannya dan mencondongkan punggungnya sedikit ke belakang. Pukulan jari terbuka Munding Wesi itu pun melesat hanya beberapa jari dari hidung Resi Darmakusumah.
Dalam sekejap itu penciuman Resi Darmakusumah menangkap bau yang dibawa angin pukulan itu. Bau semacam warangan yang mengandung racun mematikan, bercampur dengan ... bau badan Munding Wesi!
Sekedipan Resi Darmakusumah bergidik membayangkan betapa jiwanya terancam kalau kuku-kuku Munding Wesi menggores kulitnya.
Resi Darmakusumah sebenarnya punya kesempatan untuk menampar tengkuk Munding Wesi yang terbuka setelah serangannya luput dari sasaran. Tapi, ia tak hendak lagi melumuri tangannya dengan kesalahankesalahan yang tak perlu.
Pada saat yang sama, ia merasa prihatin orang yang sesungguhnya memiliki garis darah yang sama dengan dirinya itu sudah mulai menggunakan sejenis racun. Selama ini, belum pernah Resi Darmakusumah mendengar dalam sejarah panjang negeri Sunda ada pendekar yang bersenjatakan racun. Senjata seperti itu bertentangan dengan sikap yang selalu dijunjung Prabu Siliwangi hingga leluhurleluhurnya jauh di masa awal: sikap kesatria!
Keparat! Resi Darmakusumah terkesiap sejenak.
Bahkan ketika mendapat serangan maut seperti itu, sempat-sempatnya ia melamun!
Dua saudara Munding Wesi secara bersamaan merangseknya, dari kanan dan kiri dua ujung pedang mengarah tubuhnya. Ujung pedang di sebelah kanan berkilat kemerahan memantulkan cahaya api di kejauhan, melesat mengarah pundaknya. Ujung pedang di sebelah kiri tak kalah cepat menuju sasaran pinggang Resi Darmakusumah.
Resi Darmakusumah belum benar-benar menyimpan dengan aman kitabkitab pusaka di balik jubahnya. Oleh karena itu, ia harus mengamankan dengan salah satu tangannya. Ia hanya punya satu tangan bebas untuk menghadapi ujung-ujung kedua pedang itu.
Akan tetapi, tentu saja kedua kaki Resi Darmakusumah pun mampu bergerak bebas dan cepat. Dengan tumpuan salah satu kakinya, Resi Darmakusumah melenting mengatasi serangan beruntun itu dan sebelum tiba lagi di tanah ia sempat sekali berjumpalitan dan tangannya memapas tangan salah seorang saudara Munding Wesi yang menggenggam pedang, dan sepersekian kejap juga menyentuh pelipis satu orang lainnya.
Salah satu orang itu memekik dengan tangan yang terasa membara. Pedangnya terlontar ke udara, lalu jatuh di bebatuan dengan suara berdentang. Adapun orang satunya lagi terhuyung-huyung dengan kepala serasa disambit dengan batu sebesar kepalan tangan!
Munding Wesi terkejut bukan kepalang melihat betapa hanya dalam satu gebrakan ia dan saudara-saudaranya berada dalam kesulitan.
Oleh karena itu, seraya menghunus dan mengacungkan pedangnya, Munding Wesi bersiul nyaring.
Suiiiit! Tiga orang melesat dari balik kerimbunan pohon dengan senjata terhunus di tangan masing-masing. Tiga orang dan tiga senjata yang berbeda, dan dari arah yang berbeda-beda, membentuk segitiga hampir sama kaki. Orang pertama sekilas tampak masih muda, mungkin baru berumur tiga puluhan, bertubuh sedang, dan meloncat dengan tombak di tangan. Orang kedua berusia separuh baya, agak bungkuk, dan di tangannya terarah senjata trisula tombak bermata tiga. Orang ketiga botak, berusia sekitar lima puluh tahun, bermata sipit tapi kejam, dan mengarahkan kerisnya.
Resi Darmakusumah tidak lagi sempat menimbang-nimbang. Ia juga tidak sempat menebak dari mana saja asal ketiga orang itu, yang ia yakin bukanlah orang-orang pribumi negerinya.
Dengan cepat Resi Darmakusumah menyelipkan salah satu kitabnya lebih ke dalam, tetapi segera menarik dua kitab yang lainnya. Lembaranlembaran kitab lontar umumnya berukuran selebar tiga jari dan panjang hampir dua jengkal. Lembar-lembar itu disatukan dengan benang dan naskah yang paling luar diperkuat masing-masing dengan kayu yang panjang dan lebarnya sama. Dalam keadaan terlipat, kitab itu serupa saja dengan dua kayu pipih yang dilekatkan.
Dengan demikian, Resi Darmakusumah menggunakan kedua kitab itu seperti sepasang ruyung. Satu di tangan kanan dan satu di tangan kiri.
Meskipun demikian, Resi Darmakusumah menghindari benturan langsung dengan senjata logam lawan-lawannya. Dari kesiur angin yang ditimbulkan ketiga senjata itu bisa disimpulkan bahwa ketiga orang itu bukanlah lawan yang bisa dipandang sebelah mata.
Akan tetapi, Resi Darmakusumah adalah tokoh yang pernah disegani di jagat silat karena ilmunya yang dahsyat meskipun sudah belasan tahun bersembunyi dari dunia ramai. Oleh karena itu, Resi Darmakusumah menggunakan kecepatan gerak dan kelenturan tubuhnya untuk menghindari tiga serangan lawannya sekaligus. Resi Darmakusumah bahkan mampu menyerang balik melalui salah satu kitab yang ia gunakan sebagai senjata.
Ujung kayu pejal di tangan Resi Darmakusumah itu tiba-tiba berubah menjadi senjata maut yang siap mematuk punuk orang yang agak bungkuk.
Kecepatan gerak Resi Darmakusumah membuat lawan-lawannya sejenak sama-sama terkesiap. Bagi pendekar dalam tataran mereka, serangan ketiganya secara bersamaan adalah serangan yang muskil dihindari. Tapi, dia tidak hanya berhasil menghindar, bahkan mampu melakukan serangan balik, menyerang sasaran empuk di punuk.
Si bungkuk pasti tidak akan mampu menghindar dari serangan mengejutkan Resi Darmakusumah. Dan, itu disadari oleh dua rekannya yang dalam posisi lebih bebas. Keduanya secara bersamaan menyerang sang resi dengan keris dan tombak pendek di tangan masing-masing.
Kalau Resi Darmakusumah meneruskan serangannya, tentu pertahanannya akan terbuka sehingga besar kemungkinan keris atau tombak lawannya akan mengenainya. Oleh karena itu, Resi Darmakusumah terpaksa mengurungkan serangannya ke arah punuk lawannya, dan harus melenting mundur.
Maka, pertempuran antara Resi Darmakusumah dan tiga pengeroyoknya segera berlangsung dengan cepat menuju jurus-jurus andalan mereka.
Tampaknya, masing-masing tidak mau berpanjang-panjang dalam perkara ini. Resi Darmakusumah merasa tidak punya urusan apa-apa dengan Munding Wesi dan orang-orangnya sehingga semakin lama waktu terbuang, akan semakin sia-sia. Sebaliknya, Munding Wesi juga ingin cepat-cepat merampas semua kitab pusaka yang diincarnya, yang sekarang nyata-nyata berada dalam pegangan resi aneh ini.
Anak muda yang bersenjatakan tombak bertarung trengginas dengan pola gerak khas pesisir timur Jawa Dwipa. Penuh tenaga dan tak pernah raguragu untuk terus-menerus menyerang, seperti banteng yang tidak mengenal kata mundur.
Gerakan-gerakan si bungkuk yang menggunakan senjata trisula tidak kalah mengerikan. Trisulanya menusuk-nusuk tak henti-henti. Pola geraknya yang kasar mirip dengan manusia-manusia pegunungan di sekitar Pegunungan Sewu.
Sementara itu, si botak bersenjatakan keris mengandalkan kelincahan dan kecepatan gerak. Demikian cepatnya, seakan-akan telapak kakinya tidak pernah menginjak tanah. Cukup dengan ujung kaki sebagai tumpuan, ia mampu melenting-lenting seperti umumnya para pendekar berkulit kuning dari zaman Dinasti Ming.
Anehnya, meskipun pola gerak ketiga pendekar itu berbeda-beda seperti bumi dan langit, mereka mampu saling mengisi satu sama lain. Masingmasing bisa saling menutupi dan kemudian menjadikan ketiganya satu kesatuan kekuatan yang mematikan. Bisa dikatakan, ilmu ketiga pendekar itu berpadu untuk saling menguatkan, seperti halnya satu ditambah satu ditambah satu sama dengan tiga.
Dalam hati, Resi Darmakusumah memuji kehebatan mereka. Tidak mudah memadukan ilmu yang berbeda-beda menjadi satu kekuatan yang dahsyat.
Akan tetapi, sang Resi ini pun bukanlah manusia biasa. Pada masa mudanya, setelah berguru kepada Resi Jaya Pakuan, sang Resi mengembara ke berbagai sudut Jawa Dwipa, bahkan ke pulau-pulau lain di luar Jawa, dan ilmunya terus semakin matang. Ia mengenal banyak jenis ilmu bela diri di tempat-tempat yang ia sambangi.
Oleh karena itu, pertempuran antara Resi Darmakusumah dan ketiga lawannya makin lama makin seru. Sulit ditebak siapa yang lebih unggul. Ketiga lawan Resi Darmakusumah melancarkan serangan demi serangan yang tidak putus-putusnya, seakan-akan mereka adalah sebuah pasukan yang terdiri atas puluhan orang. Ujung-ujung keris, trisula, dan tombak pendek mereka silih berganti mengincar leher, dada, perut, dan bagianbagian tubuh lain Resi Darmakusumah.
Di pihak lain, Resi Darmakusumah pun seakan-akan memiliki sepuluh mata dan kedua senjata sederhana di tangannya meliuk-liuk cepat tak ubahnya seperti ruyung dengan sepuluh ujung. Dengan tatag ia melayani ketiga lawannya sekaligus. Sedikit demi sedikit, meskipun sangat pelan, Resi Darmakusumah bahkan menguasai keadaan.
Pertarungan itu membuat Munding Wesi gelisah. Paduan tiga pendekar itu tidak juga dapat merobohkan lawannya. Oleh karena itu, Munding Wesi tidak perlu berpikir lebih lama lagi.
Munding Wesi tak mau tinggal diam. Dengan pedang di tangan, ia menggabungkan dirinya untuk mengeroyok Resi Darmakusumah.
Akan tetapi, sesungguhnyalah kemampuan Munding Wesi masih dua atau tiga lapis di bawah ketiga begundalnya. Di satu sisi, hal itu membuat Resi Darmakusumah prihatin. Keturunan Prabu Siliwangi ini sama sekali tak bisa dibanggakan. Di sisi lain, kesempatan Resi Darmakusumah dengan demikian justru makin terbuka karena dalam beberapa jurus pun kelihatan bahwa gerak Munding Wesi justru merusak keselarasan gerak paduan ketiga begundalnya.
Ibarat dalam permainan gamelan, ketiga pendekar yang juga begundal Munding Wesi itu sudah memainkan rebab, saron, dan kendang secara baik dan menghasilkan bebunyian yang selaras. Tapi, Munding Wesi memainkan gong tanpa mengikuti ketukan yang semestinya. Ia memainkan lagu sendiri, sama sekali tidak menyesuaikan diri dengan lagu yang sedang berlangsung. Pada saat seharusnya menabuh gong kecil, ia malah menabuh gong besar. Pada saat harus menabuh gong besar, ia malah menabuh gong kecil. Atau kadang-kadang, seharusnya mengakhiri sebuah irama dengan gong besar, ia malah tidak menabuh apa-apa.
Parahnya, Munding Wesi tidak menyadari bahwa permainan gongnya sama sekali merusak permainan gamelan secara keseluruhan.
Akibatnya, serangan yang sudah terpola rapi dari ketiga pendekar sewaannya menjadi buyar tidak tentu arah. Kadang-kadang, permainan pedang Munding Wesi membuat gerakan keris si botak atau trisula si bungkuk menjadi tidak terarah. Sesekali, pedang Munding Wesi nyaris berbenturan dengan tombak pendek si pemuda.
Ketiga pendekar itu mengeluh dalam hati masing-masing. Meskipun alot dan akan membutuhkan waktu lama, mereka yakin bisa mendesak lawannya. Setidaknya mereka bisa menguras tenaga sang Resi. Bagaimanapun, alam sudah mempunyai hukumnya sendiri. Sehebat apa pun seorang tua, tentu napas dan kekuatan ototnya sudah dibatasi oleh usia. Mereka jauh lebih muda sehingga merasa yakin, kalau bertempur dalam waktu yang lama, mereka akan meraih kemenangan.
Tuan Munding Wesi, biarkan kami saja yang menyelesaikan tugas ini, seru si bungkuk tak tahan lagi, sambil berusaha menghindari serangan Resi Darmakusumah yang mengarah ke kepalanya.
Betul, Tuan, lebih baik Tuan beristirahat saja! timpal si botak. Aku bantu kalian membekuk kakek ....
Munding Wesi tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba sebuah pukulan menyengat pergelangan tangannya dan pedangnya melenting ke udara. Sebelum mencapai puncak ketinggian, pedang itu mendadak lenyap.
Munding Wesi juga tidak sempat mengetahui ke mana lenyapnya pedang itu karena tahu-tahu ia merasakan sebuah sabetan ringan yang menyobek bajunya, tembus tipis di kulit dadanya.
Kakek iblis ...! Pedang itu, yang juga beracun, memakan tuannya sendiri. Munding Wesi pun harus segera mengoleskan obat pemusnah racun kalau tidak ingin nyawanya lekas melayang.
Munduuur! teriaknya parau, sambil berusaha meloncat ke sela-sela gerumbul.
Menyadari luka yang menggores tubuh Munding Wesi, ketiga pendekar itu juga sama-sama meloncat jauh, menghindari serangan Resi Darmakusumah, kemudian melarikan diri.
Resi Darmakusumah berdiri termangu sejenak. Ia tidak ingin mengejar mereka. Ia merasa memiliki tugas yang jauh lebih penting: menyelamatkan tiga kitab pusaka itu.
Dilemparkannya pedang Munding Wesi yang tadi berada di tangannya.
Tanpa menunggu waktu lagi, Resi Darmakusumah berlari meninggalkan tempat itu ke arah datangnya fajar.
Langit timur sudah berhias dengan warna keperakan.
Di sebuah bukit, untuk kali terakhir Resi Darmakusumah memandang jauh ke arah warna kemerahan dan asap hitam yang masih membubung ke langit.
Sirnalah sudah negerinya. []
6 Berawal dari Mimpi Sunyi senyap di lereng barat Bukit Tunggul. Awan dan kabut menghalangi pandangan ke puncak Gunung Tangkuban Parahu. Kedua gunung itu, Bukit Tunggul dan Tangkuban Parahu, adalah sisa-sisa legenda Sangkuriang.
Belasan tahun Resi Darmakusumah melalui hari-hari yang damai di Bukit Tunggul, menunggu saat-saat moksa jika waktunya tiba.
Akan tetapi, kedamaian itu tampaknya bakal segera tercoreng. Pancaindranya yang peka bisa merasakan bahwa udara yang selama ini penuh kedamaian telah berubah menjadi hiruk-pikuk oleh lintasan gelombang yang samar di kejauhan.
Kenapa setelah lenyap dari persemayamannya selama ini, kitab-kitab ini seakan-akan menjadi buron" Apakah orang-orang tidak menyadarinya selama ini" Kenapa sesuatu menjadi sangat berharga setelah tidak ada lagi di tempatnya"
Semua tanda tanya itu berseliweran di kepala Resi Darmakusumah.
Dibungkusnya kitab-kitab yang telah ia selamatkan dengan sehelai kain yang selama ini ia jadikan ikat kepala. Dikemasnya beberapa helai pakaian miliknya ke dalam sebuah kantong kulit sapi.
Hanya itulah harta kekayaan miliknya.
Hanya sebilah kujang kecil yang terselip di balik bajunya. Kujang yang bahkan tidak bernama apa-apa.
Tak ada air mata ketika Resi Darmakusumah meninggalkan pondoknya, lalu perlahan menuruni Bukit Tunggul ke arah matahari terbit. Sungguh keputusan yang didasarkan pada nalurinya yang tajam. Weruh sadurunge winarah.
Tiga hari setelah Resi Darmakusumah pergi, sejumlah orang mendatangi dan mengobrak-abrik pondok peninggalan Resi Darmakusumah.
RESI Darmakusumah tidak takut kalau ia menjadi semacam buruan justru menjelang akhir masa hidupnya. Ia hanya tidak mau banyak berurusan, terutama dengan orang-orang yang mungkin saja akan menyelewengkan keluhuran isi kitab pusaka. Betapa akan berduka para leluhurnya kalau tahu kitab-kitab itu jatuh ke tangan orang yang keliru.
Oleh karena itu, Resi Darmakusumah terus mengikuti naluri dan langkah kakinya ke mana pun mengarah.
Ia sempat tinggal di lereng Gunung Indrakila, sebuah gunung yang kemudian disebut juga Gunung Cerme, yang menjega di selatan Negeri Cerbon. Tapi, tidak sampai dua purnama, ia tinggalkan tempat itu.
Perjalanannya akhirnya sampai di Bukit Sagara, sebuah bukit kecil yang dirasanya sudah jauh dari pusat-pusat keramaian di bekas Kerajaan Pajajaran, tetapi juga jauh dari berbagai negeri di sebelah timur.
Bertahun-tahun Resi Darmakusumah menyepi, menyerahkan hidupnya kepada Yang Mahakuasa, sambil mempelajari isi ketiga kitab yang dibawanya.
Sampai kemudian ia merasakan bahwa hidupnya akan terusik lagi. Dan, kali ini tampaknya akan terjadi peristiwa besar menyangkut ketiga kitab yang ia sembunyikan.
JADI, di mana sebenarnya Aki, eh, maaf, Resi Darmakusumah menyembunyikan kitab-kitab pusaka itu" tanya Jaka Wulung.
Resi Darmakusumah menarik napas dan tersenyum. Suatu saat kau akan tahu.
Jaka Wulung berdebar-debar mendengar kata-kata gurunya. Benarkah" Resi Darmakusumah mengangguk.
Jaka Wulung memandang langit kelam di luar. Tetapi, di matanya, langit itu tampak bercahaya cerah.
Ia membayangkan suatu saat membaca dan mempelajari kitab-kitab hebat itu. Ia berkhayal menjadi seorang sakti seperti gurunya, Ki Karta alias Resi Darmakusumah.
Ia akan membasmi para penjahat, para pembuat onar negara, mereka yang membuat rakyat sengsara, dan ... ya, pokoknya orang-orang yang seperti itu. []
7 Lahirnya Seorang Pendekar
KELUAR DARI HUTAN, padang rumput membentang hijau, mengikuti cekungan dan cembungan tanah lereng barat bukit. Pohon-pohon menggerumbul di beberapa tempat, seperti pulau-pulau di tengah ombak. Dedaunan di permukaannya kekuningan memantulkan cahaya mentari sore hari, yang menembus lembut lapisan tipis kabut.
Burung-burung bercericit terbang dari pohon ke pohon, kembali pulang ke kandang, menggarisi langit yang putih cerah. Udara sangat segar oleh embun yang siap-siap turun. Di latar belakang, puluhan atap rumah, dengan warnanya yang kelabu, hilang timbul mengikuti lekuk tanah. Sungguh alam yang tak kepalang indah.
Ratusan tahun alam bergeming dalam keindahannya.
Akan tetapi, sore itu lengking suara jeritan menyayat udara, menyobek keindahannya.
Tolooong! Lepaskaaan! Suara perempuan.
Akan tetapi, hanya sekali itu suaranya melengking, merayap di udara, menyebar seperti uap air, kemudian lenyap seperti diserap kabut. Setelah itu sunyi.
Tiada satu pun penduduk kampung yang berani memburu asal suara. Kakikaki mereka seolah dipasak ke dalam lapisan tanah. Mereka hanya bisa melihat tanpa daya ketika seorang lelaki berwajah tampan tiba-tiba muncul seperti siluman, lalu melarikan seorang gadis yang sedang mandi di sungai kecil yang mengalir di lembah di tepi kampung.
Tentu saja tidak ada yang berani.
Mana ada yang nekat menghalangi sepak terjang Bratalaras, pemuda berilmu siluman yang lebih dikenal dengan julukan Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana. Sudah enam purnama ia merajalela di kampung itu, dan beberapa kampung kecil di sekitarnya, menebarkan ketakutan bagi para gadis muda. Setiap bulan ia datang, seperti drakula yang meminta persembahan perawan setiap purnama. Dan selalu, yang diincar adalah gadis usia lima belas tahun.
Bidadari Sungai Ular 2 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Ratu Penggoda Siluman Ayu 1

Cari Blog Ini