Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 7

15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 7


"Bagus sekali. Tetapi jika yang kau katakan itu benar, karena aku melihat di sorot matamu, bahwa kau adalah seorang pembual."
Ki Pujalana tidak menjawab lagi. Tetapi pedangnya telah berputar dengan cepat. Kilatan-kilatan pantulan cahaya matahari telah ikut berputar pula, membias ke lingkaran pertempuran di sekitarnya.
Dengan tangkasnya pula Ki Pujalanapun kemudian telah menyerang Swandaru. Namun Ki Pujalana sempat terkejut ketika ia mendengar ledakkan cambuk Swandaru yang seakan-akan mampu memecahkan selaput telinga.
Namun Ki Pujalana itupun tertawa. Katanya, "Kau benar-benar tidak lebih dari seorang gembala di padang rumput."
Swandaru tidak menjawab. Tetapi cambuknya berputar pula. Ledakan-ledakannya memang memekakkan telinga.
Mereka yang bertempur disekitamya menjadi gelisah karenanya.
Dalam pada itu, serangan-serangan pedang Ki Pujalanapun menjadi semakin cepat. Namun Ki Pujalana tidak mampu bergerak terlalu dekat. Pertahanan cambuk Swandaru nampaknya terlalu rapat.
Karena itu, maka Ki Pujalana itu berniat untuk menebas juntai cambuk Swandaru. Ketika Swandaru mengayunkan ciunbuknya, maka dengan serta-merta Ki Pujalana telah dengan sengaja membenturnya. Ia yakin, bahwa dengan demikian ia akan mampu memangkas juntai cambuk lawannya itu.
Tetapi justru Ki Pujalana yang terkejut. Bahkan hampir saja pedangnya terhisap oleh ujung cambuk Swandaru. Untunglah Ki Pujalana masih mampu mempertahankannya meskipun tangannya menjadi pedih.
"Gila gembala ini," berkata Ki Pujalana didalam hatinya. Namun Ki Pujalana sekali lagi harus mengakui, bahwa sulit baginya untuk menembus pertahanan Swandaru.
Karena itu, maka tidak ada pilihan lain bagi Ki Pujalana. ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu. Apalagi ketika ia sempat melihat sekilas, Ki Demang Pudak Lawang mulai terdesak.
Dengan demikian, maka Ki Pujalanapun segera sampai ke puncak kemampuannya. Ia harus mengerahkan ilmu pamungkasnya untuk menyelesaikan orang Sangkal Putung itu.
Ki Pujalanapun kemudian telah memusatkan nalar budinya. Disilangkannya pedangnya didepan dadanya. Dirabanya dengan tangan kirinya kemudian diangkatnya pedang itu dan dilekatkannya di dahinya.
Swandaru melihat sikap orang itu. Ia sudah mengira bahwa orang itu tentu telah sampai ke ilmu puncaknya. Sehingga karena itu, maka Swandarupun segera menyesuaikan dirinya.
Sejenak kemudian, maka pedang Ki Pujalana itupun seakan-akan telah berubah warnanya. Tidak lagi putih berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. Tetapi daun pedang itu menjadi kemerah-merahan, seakan-akan pedang itu telah membara.
Swandarupun menyadari, bahwa ia harus menjadi semakin berhati-hati.
Ketika sejenak kemudian pedang itu berputar, maka seolah-olah tubuh Ki Pujalana itu berada dalam gumpalan bara yang kemerah-merahan.
Bahkan terasa oleh Swandaru, bahwa udara di sekitar arena itupun telah menjadi panas.
Swandaru harus segera mengambil sikap. Jika udara di sekitar tubuh Ki Pujalana itu menjadi semakin panas, maka Swandaru tentu tidak dapat mendekatinya.
Karena itu, selagi masih ada kesempatan, maka Swandarupun segera bersiap untuk menyerang.
Ketika ia menghentakkan cambuknya, maka cambuk itu tidak lagi meledak memekakkan telinga. Cambuk itu bahkan seolah-olah tidak bersuara lagi.
Tetapi justru karena itu, maka Ki Pujalanapun terkejut. Dengan demikian iapun semakin menyadari, bahwa yang dihadapi itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.
Swandaru itu tidak hanya mampu meledakkan cambuknya sehingga suaranya bagaikan mengoyak selaput telinga. Tetapi Swandaru itu sanggup menghentakkan cambuknya dengan kemampuan ilmunya, sehingga getarannya langsung menusuk ke dalam dada.
Karena itulah, maka Ki Pujalana yang semula memastikan akan segera dapat menghentikan perlawanan Swandaru, mulai menjadi cemas.
Sebenarnyalah bahwa dalam pertempuran selanjutnya, Ki Pujalana harus mengakui, bahwa ilmu Swandaru itu adalah ilmu yang pilih tanding. Ilmu cambuk yang belum pernah ditemuinya sepanjang petualangannya di dunia olah kanuragan.
Pertempuran antara Ki Pujalana dengan Swandaru itupun telah sampai pada tingkat yang menentukan. Pedang Ki Pujalana yang membara itu bergerak semakin cepat. Bahkan menjadi semakin ganas. Sekali-sekali pedang itu menebas, kemudian terayun menyambar ke arah kepala Kemudian terjulur lurus mengarah jantung.
Bahkan pedang yang seakan-akan membara itu benar-benar telah menebarkan udara panas disekitarnya.
Namun Swandarupun bergerak semakin cepat pula. Meskipun udara disekitar tubuh Ki Pujalana menjadi semakin panas, namun sekali-sekali Swandaru meloncat dengan kecepatan yang tinggi, menyambar lawannya dengan ujung cambuknya.
Tetapi Ki Pujalanapun bergerak dengan cepat pula, sehingga ia masih mampu menghindari ujung cambuk Swandaru.
Tetapi Ki Pujalana memang belum mengenal watak senjata orang Sangkal Putung itu. Karena itu, ketika ujung cambuk itu terjulur lurus mengarah ke dadanya. Ki Pujalana terkejut. Ia tidak mengira bahwa juntai cambuk Swandaru itu mampu menusuk seperti ujung tombak.
Karena itu, ketika ia melihat juntai cambuk itu terjulur kearahnya, maka Ki Pujalanapun berusaha untuk menghindarinya.
Namun Ki Pujalana sedikit terlambat sehingga ujung juntai cambuk itu sempat mengenai lengannya.
Ki Pujalana meloncat surut. Lengannya memang telah terkoyak oleh ujung juntai cambuk Swandaru.
"Gila," geram Ki Pujalana, "ujung cambuk itu melukai lenganku."
Swandaru tidak menjawab. Tetapi dihentakkannya cambuknya sendal pancing.
Sekali lagi Ki Pujalana terkejut. Dengan serta merta Ki Pujalana berusaha meloncat menghindar. Tetapi ujung cambuk itu masih menyentuh pahanya.
Bukan hanya kainnya yang koyak. Tetapi paha Ki Pujalanapun terkoyak pula.
Ki Pujalana itupun mengumpat sejadi-jadinya. Dengan mengerahkan sisa tenaganya ia mencoba menyerang dengan pedangnya yang membara. Dengan demikian maka udara panas di sekitar tubuh Ki Pujalana itu menjadi semakin panas.
Keringat telah membasahi seluruh tubuh dan pakaian Swandaru. Ia mencoba melindungi dirinya dari udara panas itu. Namun rasa-rasanya panas itu telah menembus ke bagian dalam dadanya.
Karena itu, maka Swandarupun menjadi semakin garang. Jika ia terlambat menghentikan perlawanan Ki Pujalana, maka Swandaru menyadari, bahwa ia sendirilah yang akan kehabisan tenaga meskipun seandainya ia masih mampu menghindari serangan-serangan Ki Pujalana Namun justru serangan-serangannya tidak akan mampu lagi menghentikan lawannya.
Karena itu, selagi udara panas disekitar tubuh lawannya belum sempat membuat darahnya mendidih, maka Swandarupun segera menghentakkan ilmu cambuknya.
Dengan demikian, maka cambuk Swandarupun berputar semakin cepat. Hentakkan-hentakannya tidak lagi memecahkan selaput telinga. Tetapi bagi Ki Punjalana, getar hentakan cambuk Swandaru telah menggetarkan jantungnya.
Sebenarnyalah, kecepatan gerak Swandarupun menjadi semakin meningkat. Ketika ujung pedang yang membara itu terjulur lurus mengarah ke dadanya, maka Swandaru bergeser selangkah kesamping. Bersamaan dengan itu, maka dengan dilambari oleh kekuatan tenaga dalamnya, serta penguasaan atas ilmu cambuk dari perguruan Orang Bercambuk, maka Swandaru telah menghentakkan cambuknya sendal pancing.
Ki Pujalana masih berusaha untuk mengelak. Dengan meloncat tinggi-tinggi serta sekali berputar diudara, Ki Pujalana menghindar dari sentuhan ujung cambuk Swandaru. Tetapi demikian kakinya menyentuh tanah, maka sekali lagi cambuk itu menghentak sendal pancing.
Tidak ada kesempatan untuk mengelak. Ujung cambuk Swandaru itu sempat menyentuh lambungnya.
Akibatnya memang buruk sekali. Lambung Ki Pujalana itupun terkoyak, seakan-akan telah terkoyak oleh tajamnya pedang.
Ki Pujalana menggeliat. Namun kemudian, iapun terhuyung-huyung. Akhirnya Ki Pujalana itu terjatuh pada lututnya.
Dipandanginya Swandaru dengan sepasang matanya yang bagaikan menyala. Namun mata itupun kemudian menjadi semakin redup.
"Kau memang seorang yang berilmu tinggi. Swandaru. Kau pantas menjadi Kepala Tanah Perdikan ini."
Swandaru berdiri tegak dengan kaki renggang. Dipeganginya hulu cambuknya dengan tangan kanannya, sedangkan ujungnya dengan tangan kirinya.
"Aku mengucapkan selamat kepadamu. Swandaru."
Ki Pujalana itupun kemudian jatuh menelungkup, ia untuk selanjutnya tidak pernah bergerak-gerak lagi.
Kematian Ki Pujalana sangat mengejutkan, Ki Demang Pudak Lawangpun seakan tidak percaya bahwa gurunya telah terbunuh.
Namun para Pengawal dan prajurit yang bertempur disekitar Swandaru telah bersorak gemuruh, menyoraki kematian Ki Pujalana.
Sementara itu, Ki Demang di Pudak Lawangpun sudah menjadi semakin terdesak. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa kemampuan Prastawa tidak dapat diimbanginya. Sementara itu, gurunya telah terbunuh oleh Swandaru.
Ki Demang Pudak Lawang juga tidak sempat mendekati tubuh gurunya yang sudah tidak bernafas lagi itu, sehingga sekali-sekali ia hanya dapat melihat dari kejauhan. Itupun hanya sesaat-sesaat yang pendek.
Namun dalam pada itu, Prastawa telah semakin menekan Ki Demang Pudak Lawang. Bahkan segores-segores kecil, tubuh Ki Demang sudah terluka. Pakaiannya terkoyak serta bernoda darah.
Ki Demang Pudak Lawang tidak mempunyai sandaran lagi. Ternyata orang yang dibanggakan akan dapat mendukungnya, telah dibunuh oleh orang yang akan dibunuhnya.
Ki Demang Pudak Lawang tidak mengira bahwa gurunya akan dapat dikalahkan oleh anak Demang Sangkal Putung itu. Padahal Ki Demang Pudak Lawang justru berharap, bahwa Ki Pujalana pada saat terakhir dapat mengimbangi Ki Kapat Argajalu.
Dalam keadaan yang paling gawat, Ki Demang Pudak Lawang tidak mempunyai pilihan. Ia tidak lagi menghiraukan harga dirinya. Yang penting baginya, ia masih dapat tetap hidup. Jika ia masih tetap hidup, maka ia akan dapat mencari akal untuk menggapai keinginanya.
Karena itu, ketika pertempuran disekitarnya berlangsung dengan sengitnya, maka tiba-tiba saja Ki Demang Pudak Lawang itu berloncatan surut untuk mengambil jarak. Prastawa mengira bahwa Ki Demang itu sedang membuat ancang-ancang bagi ilmu puncaknya. Karena itu maka Prastawapun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya
Namun diluar dugaan, tiba-tiba saja Ki Demang Pudak Lawang itu meloncat justru kebelakang garis pertempuran. Ki Demang itu berlari di antara para Pengawal Tanah Perdikan dan para pengikut Ki Kapat Argajalu.
Prastawa terkejut. Tetapi ketika ia akan mengejarnya, pintu yang semula seolah-olah terbuka, telah menutup kembali.
Prastawa tidak dapat mengejar Ki Demang Pudak Lawang. Ia tidak akan dengan mudah menerobos menyusup kebelakang garis pertempuran, diantara para Pengawal Pudak Lawang dan para Pengikut Ki Kapat Argajalu.
Dalam pada itu, Swandaru yang kemudian dikerumuni oleh sekelompok pengawal kademangan Pudak Lawang dan para pengikut Ki Kapat Argajalu tidak dapat pula mengejar Ki Demang Pudak Lawang, karena seolah-olah jalan sudah tertutup. Swandaru memang agak terlambat menyadari, bahwa Ki Demang Pudak Lawang melarikan diri.
"Jangan licik, Ki Demang. Jangan lari," teriak Prastawa.
Tetapi Ki Demang Pudak Lawang sama sekali tidak menghiraukannya.
Sebenarnyalah Ki Demang telah hilang dari medan. Demikian ia tiba dibelakang garis pertempuran, maka dua orang putut telah menyongsongnya.
"Kenapa Ki Demang?" bertanya seorang diantara mereka.
"Aku tidak mau ditangkap oleh Prastawa."
Putut yang lainpun bertanya, "Jadi kau melarikan diri ?"
"Aku tidak mau di tangkap Prastawa. Aku tahu akibatnya. Karena itu aku berusaha meloloskan diri."
"Kau melarikan diri ?"
"Sudah aku katakan. Aku tidak mau ditangkap."
"Kau melarikan diri setelah gurumu terbunuh di pertempuran oleh Swandaru."
"Sudah aku katakan. Aku tidak melarikan diri. Aku hanya menghindar agar aku tidak tertangkap."
"Kenapa tidak kau bunuh saja Prastawa ?"
"Sepeninggal guru, Swandaru tentu akan membantu Prastawa."
"Kenapa tidak kau bunuh Prastawa sebelum Swandaru membunuh gurumu ?"
Ki Demang Pudak Lawang termangu mangu sejenak. Namun kemudian ia harus berkata jujur. "Aku tidak mampu."
"Tidak. Bukan karena kau tidak mampu. Tetapi karena kau pengecut."
"Tidak. Aku sudah berusaha. Tetapi aku tidak dapat mengalahkan Prastawa."
"Kau tahu akibat sikap pengecutmu itu, Ki Demang ?"
"Akibat apa ?" "Semua anak-anak muda dan para Pengawal dari Pudak Lawang semuanya akan menjadi pengecut. Jika mereka sadari bahwa Demangnya sudah melarikan diri, maka semuanya akan melarikan diri. Karena itu, maka sebaiknya kau bersembunyi saja."
"Maksudmu ?" "Biarlah kau tidak menjadi teladan buruk. Jika mereka tidak melihatmu, maka mereka akan mengira bahwa kau sedang bertempur di tempat lain, kecuali mereka yang langsung melihat kau lari seperti seekor ayam aduan yang kalah."
"Aku akan bertempur."
"Kau tidak akan menguntungkan lagi. Kehadiranmu di medan hanya akan menimbulkan ketakutan dan kecemasan bagi orang-orangmu. Karena itu, lebih baik kau bersembunyi saja."
"Bersembunyi dimana " "
"Ikutlah kami."
Ki Demang Pudak Lawang tidak dapat membantah lagi. Iapun kemudian harus mengikuti kedua orang putut itu untuk bersembunyi.
Sementara itu, di seluruh medan, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Namun para pengawal dari Pudak Lawang serta para pengikut Ki Kapat Argajalu semakin lama menjadi semakin menyusut Lebih cepat dari para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para prajurit dari Pasukan Khusus. Sekelompok-sekelompok diantara merteka yang berhasil memasuki halaman banjar, akhirnya lenyap seperti ditelan bumi. Mereka tidak pernah dapat keluar lagi.
Yang tidak terbunuh, telah menyerahkan diri.
Jilid 356 DUA ORANG putut yang tidak yakin tentang apa yang telah terjadi di halaman banjar, berusaha dengan sekuat tenaga bersama para cantriknya untuk dapat memasuki halaman dengan meloncati dinding halaman samping.
Mereka merasa berhasil ketika mereka sudah berada di halaman. Namun ketika mereka berlari-lari ke pendapa, mereka telah bertemu dengan sekelompok Pengawal Tanah Perdikan serta sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus.
Dengan garangnya kedua orang putut itu beserta sekelompok cantriknya berusaha untuk menembus pertahanan di lapisan terakhir itu. Namun dua orang perempuan telah menyongsong kedua orang putut yang garang itu.
Ternyata bahwa kedua orang perempuan itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga kedua putut serta para cantrik itu tidak mampu untuk menembusnya.
Ketika isyarat untuk menyerah mereka abaikan, maka tidak ada pilihan lain. Kedua orang putut itupun akhirnya terbaring diam. Seorang telah dilukai dengan ujung pedang sedangkan yang lain tengkuknya patah karena hentakan tongkat baja putih.
Di belakang pintu gerbang, Ki Jayaraga masih bertempur melawan tiga orang lawan. Namun ketiganya tidak banyak mempunyai kesempatan. Setiap kali seorang dari mereka telah terlempar dari arena. Demikian yang seorang itu bangkit dan kembali bergabung dengan kedua orang saudaranya yang lain, maka seorang yang lain telah terlempar pula
Kemarahan ketiga orang bersaudara itu sudah membakar ubun-ubun mereka. Lawan mereka, seorang tua, kesannya memang sedang mempermainkan mereka.
Karena itu, maka yang tertua diantara ketiga orang bersaudara itu telah meneriakkan isyarat agar adik-adiknya mengerahkan tenaga dan kemampuannya.
"Kita harus membunuhnya dengan cepat," teriak saudara yang tertua diantara mereka.
Tetapi usaha mereka tetap sia-sia. Orang tua itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Meskipun demikian, ketiga orang itu tidak berputus-asa. Mereka masih berharap bahwa orang tua itu melakukan kesalahan atau mengalami kelelahan, sehingga mereka akan mendapat kesempatan untuk membunuhnya.
Tetapi Ki Jayaraga tidak pernah membuat kesalahan. Bahkan sambil bertempur Ki Jayaraga itupun berkata, "Sudahlah. Jangan mempersulit diri sendiri. Jika kalian bertiga menghentikan perlawanan, maka kalian akan diadili dengan wajar. Tetapi jika kalian tetap melawan, kalian akan dapat mati disini."
Yang tertua diantara ketiga orang saudara itu menjawab dengun lantang, "Kau terlalu sombong orang tua. Kau kira apa yang teluh kau pertunjukkan itu sempat menarik perhatianku" Permainanmu buruk Knu tidak pantas memperbandingkan ilmumu dengan ilmu kami bertiga."
"Jangan berkata begitu. Jangan membohongi diri sendiri. Kau akan dapat menemui kesulitan. Karena itu bersikaplah wajar-wajar saja, kau tentu tidak akan dapat mengingkari kenyataan."
"Persetan dengan kau, kek. Ternyata bahwa kau memang sudah jemu hidup."
"Baiklah. Jika kau tidak mau mempergunakan kesempatan ini."
Pangestu itu justru berteriak kepada adik-adiknya. "Bunuh orang ini. Orang tua yang tidak tahu diri."
Seharusnya Pangestu melihat wajah adik-adiknya yang ragu-ragu. Agaknya mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa mereka mengalami kesulitan menghadapi orang tua itu.
Tetapi mereka tidak dapat membantah perintah kakaknya. Karena itu, maka mereka berduapun segera menghentakkan kemampuan mereka.
Ketiga orang bersaudara itupun kemudian telah berdiri di tiga arah dari lawan mereka.
Tiba-tiba terdengar Pangestu itu memberikan isyarat.
Serentak ketiga orang itupun bergerak. Mereka tidak langsung menyerang Ki Jayaraga. Tetapi mereka bergerak melingkar. Bertiga mereka berputaran. Kaki-kaki mereka menghentak-hentak di tanah dalam irama yang runtut meskipun bagi orang lain terasa agak rumit.
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun pengalamannya yang luas membuatnya tetap tenang. Ia menunggu perkembangan tata gerak lawannya itu.
Gerak ketiga orang bersaudara itu semakin lama menjadi semakin cepat. Sambil menghentak-hentak. Bahkan kemudian dari mulut-mulut merekapun telah keluar bunyi bernada tinggi, sehingga terasa menusuk selaput telinga.
Ketika mereka berlari semakin cepat, maka suara itupun menjadi semakin gaduh.
Ki Jayaraga masih tetap pada sikapnya. Ia mulai membaca maksud lawannya. Lawannya ingin membuat pening serta perasaannya menjadi baur oleh bunyi yang tajam itu.
Ketika sikap Ki Jayaraga mulai nampak gelisah, serta kakinya seakan-akan goyah, maka terdengar Pangestu memberi isyarat kepada kedua adiknya.
Tiba-tiba saja ketiga orang itu berloncatan. Lingkaran yang berputar itu terkoyak. Demikian tiba-tiba. Tata gerak ketiganya berubah dengan serta merta.
Ki Jayaraga memang agak terkejut. Dari gerak berputar yang teratur tiba-tiba saja berubah menjadi gerak yang baru dan dengan sengaja dibuat sangat membingungkan.
Tetapi Ki Jayaraga tidak menjadi bingung. Jika Ki Jayaraga terkejut, itu hanya terjadi tidak lebih dari sekejap. Kemudian segala sesuatunya telah menjadi mapan kembali.
Ketiga orang bersaudara itu ternyata menyerang serentak dengan garangnya. Namun Ki Jayaraga sama sekali tidak kehilangan kendali. Betapapun ketiga orang lawannya itu berusaha mengejutkannya dengan perubahan tata gerak yang tiba-tiba, namun Ki Jayaraga masih sempat tersenyum sambil berkata, "Menarik sekali permainan kalian. Aku hampir kebingungan dan kehilangan akal."
"Persetan kau kakek tua," geram Pangestu.
Namun ternyata serangan ketiga orang bersaudara itu sama sekali tidak mampu menyibak pertahanan Ki Jayaraga. Bahkan tiba-tiba saja seorang dari ketiga orang itu terpelanting jatuh. Namun dalam sekejap orang itu telah melenting berdiri. Tetapi ketika ia berlari ke arena, maka yang seorang lagi telah terlempar menimpa saudaranya sehingga keduanyapun telah terjadi lagi.
Ki Jayaraga tertawa. Katanya, "Hati-hatilah. Jangan saling menindih. Itu hanya akan menghabiskan tenaga saja bagi kalian."
"Iblis tua. Kau akan segera mati."
"Sekali lagi aku beri kesempatan kepada kalian untuk menyerah. Kalian akan diperlakukan sebagai tawanan perang. Tidak diperlakukan sebagai perampok atau penyamun."
"Cukup." Pangestupun tiba-tiba meloncat menyerang dengan garangnya. Kakinya terjulur kearah dada Ki Jayaraga.
Tetapi Ki Jayaraga tidak pernah lengah. Dengan cepat mpun menghindari. Bahkan dengan cepat pula Ki Jayaraga telah mengayunkan tangannya menghantam lambung orang itu disaat kakinya masih terjulur.
Pangestu mengaduh tertahan. Tubuhnya terpelanting ke samping. Dengan cekatan Pangestupun bangkit. Namun ternyata lambungnya terasa sakit sekali. Bahkan perutnya menjadi sangat mual serta nafasnya menjadi sesak.
Diluar kemampuannya, Pangestu itupun kemudian terjatuh pada lututnya. Pangestu masih mencoba bertahan dengan kedua tangannya agar ia tidak terguling di tanah.
Dengan cepat kedua orang adiknya-pun berlari dan kemudian berjongkok di sampingnya.
"Kakang," desis Werdi.
Pangestu menyeringai menahan sakit. Ketika kedua orang adiknya menolong bangkit, Pangestu memang berusaha untuk dapat berdiri tegak.
Dengan nada datar Ki Jayaragapun bertanya, "Apakah kita sudah dapat menghentikan pertempuran ini " Aku berjanji untuk mengusahakan keringanan hukuman bagi kalian."
"Persetan dengan kau kakek tua," geram Pangestu, "kami akan membunuhmu."
"Kau tidak dapat mengingkari kenyataan yang sekarang kau hadapi. Jika kau berkeras untuk bertempur terus, kau akan dapat mengalami kesulitan."
Pangestu tidak menjawab. Tetapi Pangestu itupun berteriak, "Bunuh orang tua itu. Atas nama Ki Kapat Argajalu."
Nama Kapat Argajalu nampaknya mempunyai pengaruh terhadap adik-adiknya. Karena itu, Werdi dan Berkah yang semula nampak agak bimbang telah menjadi mantap kembali.
"Baiklah. Jika kalian masih bersikap garang. Jika kalian masih ingin membunuhku tanpa belas kasihan. Bahkan kalian akan mendapat kepuasan jika kalian melihat aku ketakutan."
"Ya. Kami ingin melihat kau berlutut di depan kaki kami dengan wajah pucat dan tubuh gemetar untuk mohon pengampunan. Tetapi kami memang tidak mempunyai belas kasihan. Kepalamu akan kami penggal untuk menjadi pengewan-ewan."
"Watak seperti inikah yang telah dibentuk didalam perguruan yang dipimpin oleh Ki Kapat Argajalu itu" Ajaran seperti itukah yang selama ini kalian resapi?"
"Ya." "Baik," suara Ki Jayaragapun tiba-tiba saja berubah, "jika jiwa kalian sudah diwarnai dengan sikap iblis itu, maka tidak ada yang lebih baik daripada membunuh kalian. Dengan demikian, maka aku sudah ikut membina kedamaian di tanah ini dengan mengurangi jumlah orang-orang yang berhati iblis seperti kalian. Aku akan membunuh kalian tanpa kebencian. Tetapi semata-mata karena aku ingin menghentikan langkah-langkah kalian yang kotor itu. Jika saja aku dapat memungut silat dan watak kalian dari teleng jiwa kalian tanpa membunuh kalian. itulah yang akan aku lakukan. Tetapi agaknya jantung kalian telah benar-benar berada dicengkeraman iblis."
"Jika demikian, ambil jantungku kalau kau mampu."
"Membunuh bukan pilihan terbaik, Tetapi jika tidak ada jalan lain, maka jalan itulah yang harus aku lalui. Karena itu sekali lagi aku peringatkan untuk yang terakhir kalinya. Menyerahlah."
"Cukup. Aku kagum akan sesorahmu. Tetapi kami bukan muridmu yang harus mendengarkan ajaran-ajaranmu. Kami tidak wajib menuruti keinginanmu. Kami mempunyai sikap sendiri, Membunuh atau mati di arena pertempuran ini. Seorang laki-laki tidak akan mengingkari akhir yang bagaimanapun juga."
"Bagus," sahut Ki Jayaraga, "tetapi bagaimana pendapatmu jika seorang laki-laki pada akhirnya menemukan kembali kecerahan hidupnya sebagai hamba dari Yang Maha Agung?"
"Cukup," bentak Pangestu, "kami akan membungkam mulutmu."
Ki Jayaraga masih akan menjawab. Tetapi Pangestu itupun berteriak, "Bunuh laki-laki tua keparat itu."
Kedua adiknyapun segera berloncatan. Pangestu sendiri dengan sisa-sisa tenaga dan kemampuannya telah melibatkan diri pula dalam pertempuran itu.
Ki Jayaraga berloncatan surut menghindari serangan lawan-lawannya. Namun sejenak kemudian, justru Ki Jayaragalah yang menyerang. Kakinya telah menyambar lambung Werdi sehingga Werdipun terpelanting jatuh. Sementara tangannya sempat terayun mengenai kening Berkah, sehingga Berkahpun terlempar pula dari arena.
Keduanyapun dengan cepat berusaha bangkit. Sementara Ki Jayaraga berdiri sambil bertolak pinggang. Dipandanginya Pangestu yang berdiri termangu-mangu.
"Kau mulai ragu-ragu Pangestu," berkala Ki Jayaraga, "satu pertanda bahwa sepercik cahaya mulai menyinari hatimu. Karena itu, yakinkan dirimu. Jangan mati sia-sia di tengah pertempuran ini. Pertempuran yang tidak akan memberikan arti apa-apa kepadamu."
"Tutup mulutmu. Tutup mulutmu kakek tua."
"Kau takut mendengarkannya" Jangan takut. Tengadahkan wajahmu, maka kau akan mengerti arti hidupmu yang sebenarnya."
"Cepat. Bunuh iblis tua itu," teriak Pangestu.
"Iblislah yang membisikkannya ditelingamu, bahwa kau harus bertempur terus, membunuh atau dibunuh. Tetapi itu bukan kekudangan dari orang tuamu yang memberimu nama dengan berpengharapan. Tetapi kau sia-siakan harapan orang tuamu itu."
"Diam. Diam kau kakek tua."
"Kedua adikmu sudah menjadi semakin ragu-ragu untuk bertempur. Agaknya mereka lebih dahulu menyadari arti dari hidupnya. Selama ini hidup mereka tidak berarti sama sekali. Bagi orang banyak dan bahkan bagi diri mereka sendiri."
Tubuh Pangestu menjadi gemetar. Nafasnya terasa sesak. Dadanya menjadi semakin nyeri. Sementara itu, kedua orang adiknya sudah menjadi semakin ragu-ragu.
"Kalian masih mempunyai kesempatan memilih. Menjadi pengikut Ki Kapat Argajalu yang tamak, atau menjadi diri kalian sendiri. Menjadi seorang yang bebas menentukan pilihan. Menjadi seorang yang berpegang pada dasar-dasar nuraninya sendiri."
Kaki Pangestu menjadi semakin bergetar. Karena itu, tiba-tiba saja ia telah kehilangan kekuatannya untuk dapat berdiri tegak.
Sekali lagi ia terhuyung-huyung dan kemudian terjatuh pada lututnya.
Werdi dan Berkah segera lari dan berjongkok di samping kakaknya.
"Kakang. Kau kenapa?" bertanya Werdi yang mengira keadaan kakaknya menjadi lebih baik.
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kakaknya itu telah kehilangan sebagian besar dari tenaganya, sedangkan nafasnya menjadi semakin sesak.
Pangestu mencoba mengatur pernafasannya. Tetapi dadanya bagaikan terhimpit sebongkah batu.
"Bagaimana keadaan kakang?"
Pangestu itu mencoba mengangkat wajahnya. Terluka di dadanya terasa semakin nyeri.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, kakang" " Pangestu itu mengangkat wajahnya. Dipandanginya Ki Jayaraga yang berdiri beberapa langkah dihadapannya.
"Aku akan menyerah Ki Sanak. Tetapi aku mempunyai permintaan."
"Permintaan apa, Pangestu?"
"Hukumlah aku. Bunuh aku. Tetapi jangan kedua adikku. Aku mohon pengampunan bagi keduanya. Setidak-tidaknya keringanan hukuman."
Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Katanya, "Baiklah. Aku akan mengusahakannya. Aku kira aku akan berhasil mengusahakan keringanan bagi anak-anak lewat Ki Lurah Agung Sedayu."
"Kau tidak akan pernah dapat bertemu lagi dengan Ki Lurah Agung Sedayu itu."
"Kenapa?" "Ia berhadapan dengan Ki Kapat Argajalu. Tidak seorang-pun yang akan dapat terlepas dari tangannya. Siapa yang pernah berdiri berhadapan dengan Ki Kapat Argajalu, maka yang tinggal adalah namanya."
"Kau yakin." "Ya. Tapi jika kau sempat serta masih belum terlambat, kau dapat membantu Ki Lurah Agung Sedayu, karena ternyata kaupun berilmu tinggi."
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Ketika ia menebarkan pandangan matanya, maka dilihatnya tidak terlalu jauh, Rara Wulan sedang bertempur dengan sengitnya melawan Tumpak yang juga diyakini berilmu tinggi.
Karena itu, maka Ki Jayaraga memutuskan untuk tidak akan pergi melihat keadaan Ki Lurah Agung Sedayu. Ia akan tetap berada di tempatnya untuk mengawasi Rara Wulan sebagaimana diminta oleh Sekar Mirah. Sementara itu, Ki Jayaraga terlalu yakin akan kemampuan Ki Lurah Agung Sedayu.
"Ki Lurah akan dapat menolong dirinya sendiri meskipun ia harus berhadapan dengan Ki Kapat Argajalu."
Ki Jayaragapun kemudian dengan isyarat memanggil beberapa orang Pengawal Tanah Perdikan. Kepada mereka Ki Jayaragapun berkata, "Ikat tangan mereka di belakang punggung. Bawa mereka ke belakang garis pertempuran. Jaga mereka baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan lawan."
"Kenapa tangan kami harus diikat. Aku sudah tidak berdaya," berkata Pangestu.
"Dalam keadaanmu itu, sisa-sisa kemampuanmu masih sangat berbahaya," jawab Ki Jayaraga.
Beberapa orang pengawal itupun kemudian lelah mengikat tangan ketiga orang yang menyerang itu di belakang tubuh mereka dengan ikat kepala mereka sendiri. Kemudian membawa mereka ke belakang garis pertempuran.
Sementara itu, Ki Jayaragalah yang telah mengisi kekosongan garis perlawanan Tanah Perdikan yang ditinggalkan oleh beberapa orang prajurit yang membawa ketiga orang tawanan itu. Meskipun yang menggantikannya hanya seorang, tetapi ternyata yang seorang ini memiliki banyak sekali kelebihan. Apalagi karena diantara mereka, para cantrik Ki Kapat Argajalu sempat melihat, Pangestu, Werdi dan Berkah telah menyerah.
Ketika penyerahan ketiga orang itu oleh seorang penghubung diberitahukan kepada Tumpak, maka Tumpak itupun mengumpat-umpat. Ketiga orang itu adalah kepercayaannya. Tiga orang yang dianggapnya sangat setia kepadanya, bahkan sampai matipun. Tetapi ternyata mereka telah menyerah.
"Kau telah kehilangan banyak kawan," berkata Rara Wulan.
"Persetan dengan mereka. Mereka adalah pengecut yang tidak pantas berada didalam pasukanku. Sudah seharusnya mereka mati. Bukankah besok mereka juga akan dihukum mati oleh Swandaru?"
"Kakang Swandaru bukan pendendam. Seorang yang menyerah tidak akan dihukum mati. Bahkan seandainya kau menyerah, kaupun tidak akan dihukum mati."
"Persetan perempuan jalang," geram Tumpak, "kau tidak usah membanggakan siapapun juga. Jika kau ingin berbangga, banggakanlah dirimu sendiri. Karena sebentar lagi kau sudah akan mati."
"Siapa yang akan membunuhku?" bertanya Rara Wulan.
"Edan kau perempuan liar. Tentu aku yang akan membunuhmu."
"Sejak tadi kau hanya dapat berkutat tanpa menghasilkan apa-apa. Nah, apakah kau masih berharap untuk dapat membunuhku."
"Tentu. Aku tentu akan dapat membunuhmu. Sampai saat ini aku masih sayang menghentakkan ilmu puncakku. Aku berharap bahwa tanpa ilmu puncakku itu, aku dapat menundukkanmu. Kemudian membawamu pulang ke padepokanku. Kau akan dikagumi oleh para penghuni padepokanku karena kecantikanmu."
"Diam kau iblis," bentak Rara Wulan.
Tumpak tertawa. Ternyata ia berhasil menyinggung perasaan Rara Wulan. Dengan demikian, ia akan dapat mempengaruhi jiwanya. Jika Rara Wulan itu menjadi marah sekali, maka ia akan dapat kehilangan penalarannya yang bening. Perempuan itu mungkin sekali akan membuat kesalahan sehingga ia akan benar-benar dapat menundukkannya.
Tetapi betapapun Rara Wulan tersinggung oleh kata-kata Tumpak, namun ia tidak kehilangan perhitungan. Setiap kali orang-orang yang pernah membinanya mengatakan kepadanya, bahwa ia harus tetap menguasai dirinya dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
"Ternyata aku masih tetap bimbang," berkata Tumpak kemudian, "apakah aku harus membunuhmu atau tidak. Jika saja aku mau, aku tidak akan banyak mengalami kesulitan untuk membunuhmu. Tetapi rasa-rasanya ada saja yang menahannya. Mungkin wajahmu serta keliaranmu yang bagiku justru amat menarik. Kakang Soma tentu akan berterima kasih pula kepadaku jika aku membawamu pulang."
Kemarahan memang telah membakar jantung Rara Wulan. Namun Tumpak memang salah hitung. Ternyata Rara Wulan tidak kehilangan penalarannya. Ia masih tetap dapat membuat perhitungan yang mapan untuk menghadapinya. Bahkan serangan-serangan Rara Wulan kemudian datang semakin cepat.
Tumpak telah mengerahkan kemampuannya pula untuk mengimbangi Rara Wulan. Keyakinannya akan kemampuan serta ilmunya yang tinggi, masih saja mewarnai sikapnya.
Tetapi Tumpak harus melihat kenyataan yang dihadapinya. Ia justru menjadi semakin terdesak.
Serangan-serangan Rara Wulan semakin sering mengenai tubuhnya. Meskipun Tumpak sekali-sekali mampu juga menembus pertahanan Rara Wulan, namun serangan-serangan Rara Wulanlah yang lebih sering mengenai sasarannya.
Tumpak memang tidak dapat berpura-pura lagi. Ia tidak dapat tersenyum atau tertawa sambil berusaha menyinggung perasaan lawannya. Bahkan semakin lama Rara Wulan semakin menekannya.
Ketika Tumpak meloncat menyerang Rara Wulan dengan kakinya yang terjulur menyamping, maka dengan tangkasnya Rara Wulan menghindarinya. Tetapi Tumpak tidak melepaskannya. Iapun kemudian berputar sambil mengayunkan kakinya menyambar ke arah kening. Namun Rara Wulan sempat meredah. Kakinya bahkan menyapu kaki Tumpak yang kemudian menjadi tumpuan tubuhnya demikian ia menginjak tanah.
Tumpak terkejut. Ia mencoba meloncat untuk menghindari sapuan kaki Rara Wulan. Namun tiba-tiba saja Rara Wulan itu melenting dengan cepat. Kakinya tiba-tiba saja telah terjulur ke arah dada Tumpak.
Sebelum Tumpak mapan, kaki Rara Wulan telah mengenai dadanya. Demikian kerasnya, sehingga Tumpak itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan Tumpak hampir saja kehilangan keseimbangannya.
Namun Rara Wulan tidak melepaskan kesempatan itu degan cepat Rara Wulan meloncat memburunya. Sambil meloncat dan memutar tubuhnya, kaki Rara Wulan terayun mendatar.
Tumpak belum sempat menghindar ketika Rara Wulan mengenai pelipisnya.
Tumpak benar-benar tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Karena itu, maka Tumpakpun telah terpelanting jatuh.
Beberapa kali Tumpak berguling mengambil jarak. Ketika kaki Rara Wulan meloncat memburunya, Tumpak telah berhasil bangkit berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah pertempuran diantara keduanya menjadi semakin seru. Keduanya saling menyerang dan bertahan. Menghindari dan membalas menyerang.
Serangan-serangan kedua belah pihakpun telah berhasil menyakiti lawannya. Tubuh mereka mulai nampak memar kebiru-biruan. Bahkan wajah-wajah merekapun mulai menjadi lebam.
Darah telah meleleh dari sela-sela bibir Tumpak ketika kaki Rara Wulan menyambar wajahnya, tepat pada mulutnya, sehingga dua giginya tanggal.
Kemarahan Tumpak sudah tidak tertahankan lagi. Meskipun ia melihat kening Rara Wulan mulai membengkak, serta tenaganya mulai menyusut, Tumpak tidak dapat menahan diri lagi. Tumpak sendiri merasa bahwa tenaganyapun sudah mulai menyusut pula.
"Aku tidak mau terlambat," berkata Tumpak di dalam hatinya. Meskipun ia yakin, bahwa tubuh Rara Wulanpun tentu mulai terasa sakit di mana-mana, tetapi perempuan itu masih tetap memberikan perlawanan dengan gigihnya. Bahkan semakin lama Tumpak merasa semakin mengalami kesulitan.
Karena itu, maka selagi kemampuannya masih terhitung utuh, serta kesempatan masih terbuka baginya, sebelum perempuan itu semakin mendesaknya, maka Tumpak berniat untuk mengakhiri pertempuran.
"Aku harus segera membunuhnya, atau aku akan kehilangan kesempatan itu," berkata Tumpak didalam hatinya.
Karena itu, maka Tumpakpun segera mempersiapkan dirinya. Ia merasa telah memiliki ilmu puncak yang dapat dibanggakannya, yang diwarisinya dari Ki Kapat Argajalu.
"Aku tidak peduli jika tubuhnya akan lebur menjadi debu," berkata Tumpak di dalam hatinya.
Karena itu, maka iapun segera memusatkan nalar budinya untuk melepaskan Aji Pamungkasnya.
Rara Wulan sempat melihat ancang-ancang yang dilakukan oleh Tumpak untuk melepaskan Ilmu Puncaknya. Karena itu, maka Rara Wulanpun segera mempersiapkan dirinya pula. Ia tidak boleh terlambat sehingga ia sendiri akan dihancurkan.
Rara Wulan masih belum mengetahui tingkat kemampuan ilmu pamungkas Tumpak. Namun menilik kemampuannya yang tinggi, maka ilmu pamungkasnya tentu sangat berbahaya.
Tumpak yang sudah siap melepaskan ilmu pamungkasnya, sempat melihat Rara Wulan juga membuat ancang ancang, memusatkan nalar budinya. Tumpak sempat merasa heran, bahwa perempuan itupun agaknya memiliki ilmu simpanan.
Namun Tumpak tidak mau kehilangan waktu lagi. Tiba-tiba saja Tumpakpun melepaskan ilmu puncaknya.
Pada saat yang bersamaan, Rara Wulanpun telah melepaskan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce untuk melawan kekuatan ilmu puncak Tumpak itu.
Sejenak kemudian, maka kedua ilmu yang tinggi itupun saling berbenturan. Demikian kerasnya benturan itu, sehingga terjadi pantulan getaran yang cukup kuat. Namun ternyata bahwa tingkat kekuatan kedua ilmu itu tidak sama. Kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Rara Wulan. Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce, memiliki kelebihan selapis dibandingkan kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Tumpak.
Dengan demikian maka pantulan getar kekuatan ilmu yung terpantul oleh benturan itupun tidak berimbang.
Rara Wulan tergetar beberapa langkah surut. Tubuhnyapun menjadi gemetar, sehingga ia tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga Rara Wulan itupun telah terguling jatuh terbaring di tanah.
Namun dalam pada itu, Tumpak seakan-akan telah dilemparkan dari arena pertempuran. Tubuhnya terbanting jatuh terlentang.
Terdengar Tumpak itu berdesah. Dadanya terasa menjadi sakit sekali. Nafasnyapun serasa tersumbat di kerongkongan dan jantungnya seakan-akan telah berhenti.
Ki Jayaraga yang menyadari, telah terjadi benturan yang dahsyat, segera berlari mendekati Rara Wulan. Sambil berjongkok disampingnya, Ki Jayaraga mengangkat kepala Rara Wulan.
"Rara," desis Ki Jayaraga.
Rara wulan masih tetap sadar sepenuhnya atas apa yang terjadi. Sambil berdesah menahan sakit iapun berkata, "Aku terluka didalam, Ki Jayaraga."
Ki Jayaraga tidak bertanya lebih banyak lagi. Iapun segera mengangkat tubuh Rara Wulan dan dibawanya kebelakang garis pertempuran.
Sementara itu, beberapa orang murid Ki Kapat Argajalupun segera berlari mendekati Tumpak. Dua orang berjongkok di sebelah menyebelah.
"Tumpak. Tumpak," kedua orang yang berjongkok itu memanggil namanya.
Tumpak membuka matanya. Tiba-tiba matanya menjadi liar. Dengan suara yang bergetar ia bertanya, "Dimana perempuan itu?"
"Perempuan yang mana, Tumpak ?"
"Perempuan jalang yang mencoba berani melawan aku. Apakah ia sudah mati?"
Kedua orang itu melihat Rara Wulan didukung oleh seseorang ke belakang garis pertempuran. Mereka tidak tahu apakah perempuan itu mati atau tidak. Namun seorang di antara mereka menjawab, "Ya. Perempuan itu telah mati."
"Akhirnya aku berhasil membunuhnya."


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tumpak itu tersenyum. Namun kemudian Tumpak itu memejamkan matanya.
"Tumpak. Tumpak."
Tumpak tidak menjawab. Kedua orang itupun segera membawa Tumpak meninggalkan medan pertempuran.
Berita tentang keadaan Tumpak telah mengguncangkan hati Ki Kapat Argajalu yang bertempur melawan Ki Lurah Agung Sedayu serta Soma yang bertempur melawan Glagah Putih. Ketika seorang penghubung menyampaikannya kepada mereka, maka rasa-rasanya mereka tidak percaya.
"Bagaimana keadaaannya?" bertanya Soma kepada penghubung yang memberitahukan kepadanya.
"Tadi Tumpak masih hidup. Tetapi keadaanya sudah menjadi sangat parah."
"Siapa yang telah melukai Tumpak sehingga sangat parah?"
"Perempuan itu. "
"Perempuan yang mana?"
"Yang masih muda."
"Rara Wulan ?" "Aku tidak tahu namanya."
Dalam pada itu, Glagah Putihpun tiba-tiba saja menyahut! "Ya."
"Setan kau," geram Soma.
Glagah Putih yang justru seakan-akan memberi kesempatan Soma untuk mendengarkan berita dari penghubung itu berkata, "Aku yakin sejak semula, bahwa Tumpak tidak akan mampu melawan Rara Wulan."
"Persetan denga istrimu itu."
"Perempuan itu juga tidak mampu bangkit seteluh benturan itu terjadi. Seorang tua mendukungnya dan membawanya pergi ke belakang garis pertempuran."
"Orang tua itu siapa ?" bertanya Soma.
"Yang telah menundukkan Pangestu dan kedua adiknya. Soma termangu-mangu sejanak. Sementara Glagah Putih masih belum menyerangnya. Glagah Putih ingin juga mendengar keterangan orang yang memberikan laporan kepada Soma itu.
"Apa maksudmu, bahwa orang tua itu sudah menundukkan Pangestu dan kedua orang adiknya?"
"Mereka bertiga telah menyerah."
"Menyerah. Mereka bertiga menyerah."
"Ya. Mereka tidak mampu melawan orang tua itu. Ketika Pangestu menjadi tidak berdaya. Mereka bertiga telah menyerah."
Wajah Soma menjadi merah. Giginya gemeretak. Matanya bagaikan membara.
Namun tiba-tiba ia berkata, "Jangan kau tangisi isterimu Glagah Putih. Aku akan mengantarmu menyusulnya."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia tidak begitu yakin akan laporan orang itu tentang isterinya.
Sementara itu, Soma berniat untuk menghancurkan perasaan Glagah Putih dengan mengulang-ulang berita seolah-olah Rara Wulanpun telah terbunuh. Mati bersama-sama Tumpak pada saat ilmu mereka berbenturan.
Namun akibatnya justru sebaliknya. Glagah Putih tidak menjadi patah dan kemudian membunuh diri. Tetapi berita tentang Rara Wulan itu justru telah membakar jantungnya.
"Apapun yang terjadi pada isteriku, maka kau akan memikul akibatnya. Kau akan mati sendiri seperti adikmu."
"Kau yang akan mati. Aku harus membalas sakit hati adikku yang telah dibunuh isterimu itu."
Kemarahan telah membakar kedua orang yang sudah berhadapan di medan perang itu. Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah bertempur lagi dengan sengitnya. Keduanya berloncatan dengan cepat, serangan demi serangan datang beruntun. Sekali-sekali mereka terlempar dan jatuh bergulingan. Namun dengancepat merekapun segera bangkit kembali.
Soma yang merasa dirinya pilih tanding, sulit untuk mengakui kenyataan, bahwa ternyata Glagah Putih mampu mengimbanginya. Ketika ia datang bersama Ki Kapat Argajalu dan Tumpak, Somapun merasa yakin, bahwa tidak ada orang di Tanah Perdikan yang dapat mengimbanginya. Meskipun mereka pernah mendengar nama Agung Sedayu, Glagah Putih, Ki Gede dan bahkan Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan, mereka merasa yakin, bahwa bersama-sama dengan Ki Kapat Argajalu dan Tumpak, Soma akan dapat menggulung Tanah Perdikan itu. Apalagi putut-pututnya yang dianggapnya sudah cukup mempunyai bekal. Soma sebelumnya merasa yakin, bahwa Kliwon Tua dan Kliwon Muda serta Pangestu dan kedua adiknya akan mampu mengatasi setiap orang yang berilmu tinggi di Tanah Perdikan. Tetapi yang terjadi ternyata lain. Menurut penghubung itu, Tumpak sudah terbunuh. Pangestu dan kedua adiknya bahkan telah sangat memalukan. Mereka telah menyerah.
Namun Soma masih berpengharapan. Jika ia dapat segera membunuh Glagah Putih, maka ia akan dapat berbuat lebih banyak. Ia akan memusnahkan para Pengawal Tanah Perdikan seria para prajurit dari Pasukan Khusus. Ia akan membunuh puni pemimpin di Tanah Perdikan itu tanpa kecuali. Tumpak adalah korban lerbesar yang telah diberikannya bagi perjuangannya. Bahkan Ki Demang Pudak Lawang dan gurunya, Ki Pujalana sama sekali tidak berdaya.
"Aku bunuh Glagah Putih. Kemudian Swandaru. Terakhir aku akan memancung Ki Gede dan Ki Argajaya. Sedang Prastawa akan aku seret di belakang kaki kuda yang akan aku larikan di sepanjang jalan padukuhan ini," geram Soma.
Sejenak kemudian Soma telah menghentakkan ilmunya. Tetapi Glagah Putih justru menjadi semakin sering mengenainya. Glagah Putih yang juga menjadi sangat marah itupun telah meningkatkan ilmunya pula.
Namun akhirnya Soma harus mengakui, bahwa ia telah menguras tenaganya untuk mengimbangi lawannya. bahkan Soma mulai merasa, bahwa tenaganya telah menyusut. Sementara itu seluruh tubuhnya rasa-rasanya telah tersentuh oleh serangan Glagah Putih. Dadanya semakin terasa nyeri. Lambungnya yang sakit serta perutnya yang menjadi mual. Beberapa noda kebiru-biruan nampak di wajahnya.
Meskipun Glagah Putih mengalami hal yang sama, namun tenaga Glagah Putih agaknya masih lebih baik dari lawannya. Ketahanan tubuhnya agaknya masih lebih tinggi dari Soma.
Bahkan benturan-benturan serangan yang sering terjadi telah mendesak Soma beberapa langkah surut.
Dalam keadaan yang terdesak, Soma tidak mempunyai pilihan lain. Seperti Tumpak, maka Somapun memiliki ilmu pamungkas yang akan dapat menghancurkan lawannya. Ilmu itulah yang sering dipamerkannya kepada Ki Demang Pudak Lawang serta para Pengawal Kademangan itu. Bahkan telah dipamerkannya pula kepada Prastawa yang hatinya sempat terombang-ambing.
Somapun sadar, jika benar Rara Wulan mampu melawan dan bahkan berhasil membunuh Tumpak, maka Glagah Putih itupun tentu mempunyai andalan ilmu pula.
Namun Somapun sadar, bahwa pertempuran itu harus berakhir. Jika bukan dirinya yang mengakhiri, maka Glagah Putihlah yang akan melakukannya. Meskipun ia pernah meyakini akan menghancurkan Tanah Perdikan itu sehingga menjadi debu, namun kini ia bagaikan bergayut pada tangkai timbangan. Siapakah yang lebih berat. Dirinya atau Glagah Putih.
Dalam keadaan yang semakin mendesak, maka Somapun telah mengambil ancang-ancang. Ia ingin mendahului Glagah Putih. Karena itu, maka Soma telah berloncatan mengambil jarak. Tiba-tiba saja kedua telapak tangannya yang menengadah di depan dadanya bergetar. Kemudian dengan satu tarikan ke sisi tubuhnya tangan itupun dihentakannya.
Glagah Putih melihat gerakan yang baginya akan menjadi sangat berbahaya. Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan diri.
Tetapi Soma yang memang lebih matang selapis dibanding dengan Tumpak itu mampu meluncurkan ilmu pamungkasnya lebih cepat. Karena itu, maka sebelum Glagah Putih bersiap sepenuhnya, dari tangan Soma yang bergetar itu meluncur sinar yang berwarna kemerah-merahan seperti anak panah yang meluncur dari busurnya.
Namun Glagah Putih yang ilmunya sudah matang pula, mampu mengimbangi kecepatan gerak Soma serta melontarkan ilmunya. Karena itu. Glagah Putih itupun sempat meloncat dan berputar di udara sehingga sinar yang berwarna kemerah-merahan itu tidak mengenainya.
Tetapi sinar itu telah menimpa beberapa orang Pengawal Tanah Perdikan serta Pengawal dari Pudak Lawang yang sedang bertempur. Ampat orang diantara mereka telah terlempar menimpa dinding halaman di belakang mereka.
Dua orang diantaranya mati seketika. Seorang Pengawal Tanah Perdikan yang masih setia kepada Ki Gede dan seorang Pengawal dari Pudak Lawang yang mendukung gerakan Ki Kapat Argajalu. Sedangkan dua orang yang lain terbaring diam. Mereka terluka parah sehingga langsung menjadi pingsan.
Dinding halaman itupun menjadi retak dan bahkan kemudian roboh.
Jantung Glagah Putih memang tergetar. Tetapi ia tidak ingin korban berjatuhan. Seandainya Soma melontarkan serangan lagi, sementara Glagah Putih sendiri mampu mengelak, namun yang kemudian akan terkena serangan yang dasyat itu akan menjadi korban. Mungkin tidak hanya dua atau ampat orang. Mungkin lebih dari itu.
Karena itu, maka Glagah Putihpun tidak membiarkan serangan-serangan Soma berlanjut. Demikian ia berdiri tegak, maka Glagah Putih telah bersiap untuk menyerang.
Namun sekali lagi serangan Soma meluncur dari kedua tangannya yang bergetar. Karena itu, Glagah Putih harus menjatuhkan dirinya. Untunglah bahwa sinar yang meluncur itu tidak mengenai seseorang. Tetapi langsung mengenai dinding halaman sehingga dinding itupun pecah karenanya.
Tetapi pada saat yang bersamaan, pada saat Glagah Putih melenting berdiri, maka kedua kakinya yang renggangpun merendah pada lututnya. Kedua tangannya terjulur kedepan dengan telapak tangannya menghadap kepada sasaran.
Segumpal cahaya meluncur dari kedua telapak tangannya. Demikian cepatnya menyambar Soma yang sudah siap untuk melontarkan serangannya pula.
Namun ternyata Somalah yang terlambat. Ketika kedua tangannya bergetar, maka serangan Glagah Putih telah menimpa tepat di dadanya.
Soma tidak sempat menghindar justru saat ia sendiri sudah siap menyerang.
Soma terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya menimpa sebatang pohon yang terguncang karenanya.
Terdengar teriakan tertahan. Kemudian tubuh Soma itupun terkulai di tanah. Bukan hanya pakaiannya di bagian dadanya yang terbakar. Tetapi tubuh Somapun seakan-akan telah terbakar pula.
Beberapa orang Pengawal Tanah Perdikan yang melihat Soma tergolek dibawah sebatang pohon yang telah terguncang pada saat tertimpa tubuhnya tiba-tiba saja telah bersorak.
Pada saat itu pula beberapa orang cantrik berlari-lari mendekatinya untuk mengambil tubuh yang sudah tidak akan pernah bergerak lagi itu.
Ketika beberapa orang Pengawal Tanah Perdikan akan menyerang, Glagah Putih yang nafasnya masih terengah-engah itu berkata, "Beri mereka kesempatan."
Para Pengawalpun mengurungkan niatnya. Mereka membiarkan para cantrik itu mengusung tubuh Soma kebelakang garis pertempuran.
Tidak terlalu jauh, disela-sela hiruk pikuk pertempuran yang masih berlangsung, Swandaru menarik nafas panjang. Ia melihat betapa orang yang masih terhitung muda itu sudah berhasil mematangkan ilmunya.
Beberapa waktu yang lewat, pada saat Swandaru masih belum menyadari betapa tingginya ilmu Agung Sedayu, pernah hampir saja terjadi perang tanding antara dirinya dengan orang yang masih terhitung muda itu. Pada waktu itu Swandaru masih belum menekuni hingga tuntas ilmu cambuk dari perguruan orang bercambuk.
"Mungkin pada saat itu, aku masih belum mampu menandinginya," berkata Swandaru itu didalam hatinya. Bahkan Swandaru itu masih saja ragu, apakah pada saat itu, seandainya perang tanding itu berlangsung, apakah ia mampu mengimbangi kemampuannya.
Namun dalam pada itu, Swandaru tidak dapat merenung terlalu lama. Ia masih harus terlibat dalam pertempuran. Namun Swandaru tidak lagi harus mengerahkan ilmu puncaknya. Cambuknya kembali meledak-ledak memekakkan telinga.
Dalam pada itu, kematian Tumpak dan Soma sangat mengejutkan Ki Kapat Argajalu. Ia tidak mengira bahwa kedua orang anaknya yang dianggapnya sudah memiliki ilmu yang mumpuni itu tidak akan mendapat lawan yang dapat mengatasinya di Tanah Perdikan Menoreh. Namun ternyata bahwa kedua orang anak laki-lakinya yang dibanggakannya itu, telah terbunuh.
Bahkan Ki Kapat Argajalu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa perlawanan para pengikutnya sudah menjadi semakin lemah. Apalagi para Pengawal dari kademangan Pudak Lawang. Hampir semua Pengawal kademangan Pudak Lawang telah meletakkan senjata mereka. Sementara itu, korban diantara merekapun terhitung cukup banyak.
Dengan demikian maka pertempuran dipadukuhan Jati Anyar itupun semakin lama menjadi semakin surut.
Ki Kapat Argajalu mulai menjadi gelisah. Ia tidak dapat mengabaikan kenyataan itu, Sementara itu, Ki Kapat Argajalu tidak segara dapat menghentikan perlawanan Ki Lurah Agung Sedayu. Jika saja Ki Kapat Argajalu itu dapat segera mengalahkan lawannya, maka ia masih berpengharapan untuk dapat memenangkan pertempuran. Dengan sisa-sisa pengikutnya yang masih ada, ia akan dapat menghancurkan pertahanan pasukan Tanah Perdikan. Tidak seorangpun akan dapat menghentikannya jika ia berhasil melampaui perlawanan Ki Lurah Agung Sedayu.
Karena itu, maka Ki Kapat Argajalu yang terlalu yakin akan kemampuannya itu telah meningkatkan ilmunya. Ia harus segera dapat membunuh lawannya.
Namun berita kematian kedua orang kepercayaannya. Kliwon tua dan Kliwon muda yang bertempur melawan Empu Wisanata.
Ternyata kedua orang kepercayaan itu masih belum mampu menempatkan diri sejajar dengan Empu Wisanata.
Bahkan anak perempuan Empu itu telah menyapu beberapa orang yang menghadapinya sebagai lawannya.
Namun bukan berarti bahwa kemenangan Nyi Dwani itu datang tanpa perlawanan. Ternyata tubuh Nyi Dwani juga terluka. Beberapa goresan senjata telah mewarnai kulitnya sedangkan darahnya telah menodai pakaiannya yang terkoyak.
Dengan demikian maka Ki Kapat Argajalu itu kemudian merasa dirinya sendirian. Tidak ada lagi orang yang pantas diandalkan. Bahkan Soma dan Tumpakpun telah terbunuh pula. Demikian pula Ki Pujalana, guru Ki Demang Pudak Lawang.
Karena itu, usahanya kemudian adalah membunuh Ki Lurah Agung Sedayu. Seandainya kemudian ia tidak lagi mampu keluar dari medan, namun kematian Agung Sedayu sudah cukup memadai untuk mengurangi kepahitan yang tertuang ke rongga dadanya.
Ketika kemudian Swandaru, Ki Jayaraga dan Empu Wisanata mendekati arena pertempuran antara Ki Lurah Agung Sedayu melawan Ki Kapat Argajalu, maka Ki Kapat itupun berteriak, "He, siapa saja kalian" Apakah kalian akan berusaha menyelamatkan Ki Lurah Agung Sedayu?"
"Tidak," Agung Sedayulah yang menjawab.
"Marilah. Jika kalian tidak sampai hati melihat Agung Sedayu terbantai disini. Bergabunglah. Dengan demikian tugasku akan semakin cepat selesai. Aku akan membunuh kalian semuanya."
Namun Agung Sedayupun menyahut, "Tidak. Mereka tidak akan mengganggu permainan kita. Mereka datang karena mereka tidak mempunyai lawan lagi dipertempuran ini. Karena itu maka mereka akan dapat menjadi saksi, siapakah di antara kita yang tidak akan sempat keluar dari pertempuran ini."
"Kecuali jika kau menyerah," berkata Ki Jayaraga.
Ki Kapat Argajalu sempat memandang wajah Ki Jayaraga sekilas. Terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Namun Ki Jayaraga berkata selanjutnya, "Aku tidak akun ikui campur Ki Kapat Argajalu. Kau sudah mendapat lawan yang mantap."
"Persetan dengan kau orang tua bangka. Setelah membunuh Agung Sedayu, aku akan membunuhmu."
Ki Jayaraga tidak menjawab. Sementara itu pertempuran diantara kedua orang berilmu tinggi berlangsung semakin sengit. Ilmu merekapun meningkat semakin tinggi.
Tetapi Ki Kapat Argajalu masih juga belum mampu mengatasi dan apalagi menghentikan perlawanan Ki Lurah Agung Sedayu.
Karena itu, maka Ki Kapat itupun memutuskan untuk mempergunakan senjata andalannya.
Ki Lurah Agung Sedayu bergerser selangkah surut ketika ia melihat Ki Kapat Argajalu menggenggam senjata. Rantai yang panjangnya sedepa. Diujungnya terdapat sebuah bandul yang agaknya sebuah batu yang berwarna kehijau-hijauan.
"Batu peninggalan guruku, Ki Lurah," desis Ki Kapat Argajalu, "batu yang ditemukan di Puncak Gunung Merbabu. Ketika guru sedang bersamadi, maka dari langit nampak cahaya kehijauan yang jatuh tidak terlalu jauh dari tempat guru bersamadi itu. Guru terkejut. Ia melihat segerumbul terbakar. Ketika ia datang mendekat, maka diketemukannya diantara abu gerumbul yang terbakar itu, sebuah bantu yang berwarna kehijauan. Nah, tidak seorangpun yang pernah berhasil menyelamatkan diri jika aku sudah mengurai rantai yang berkepala batu yang oleh guruku disebut Watu Lintang ini."
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Batu itu tidak bulat atau bulat telur. Tetapi tidak teratur. Bahkan berusudut-sudut tajam.
Ki Kapat Argajalu mula memutar rantainya. Batu yang berwana kehijau-hijauan itu nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari.
Batu yang tidak begitu besar dan yang semula disimpan dalam sebuah kampil kulit bergantung di lambungnya itu, agaknya memiliki bobot yang cukup berat, sehingga ketika rantai itu berputar, terdengar suaranya yang bergaung.
"Tubuhmu akan disayat oleh batuku ini Ki Lurah," geram Ki Kapat Argajalu.
Ki Lurah Agung Sedayu menyadari, bahwa senjata Ki Kapat Argajalu itu adalah senjata yang sangat berbahaya. Sentuhan batu yang nampaknya tidak begitu besar itu, akan dapat mengoyakkan kulit dan dagingnya.
Karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayupun segera mengurai cambuknya pula. Cambuk yang berjuntai panjang.
Ki Kapat Argajalu termangu-mangu sejanak. Namun kemudian iapun berkata, "Kau kira dengan cambuk gembala itu kau akan dapat melawan senjataku?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia telah menghentakkan cambuknya sendal pancing.
Suara cambuk Agung Sedayu itupun meledak memekakkan telinga. Namun Ki Kapat Argajalu tertawa berkepanjangan.
"Jadi hanya sekian itu batas kemampuanmu?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tapi sekali lagi ia menghentakkan cambuknya. Tetapi cambuk itu tidak meledak seperti sebelumnya. Bahkan cambuk itu seakan-akan tidak mengeluarkan bunyi sama sekali.
Namun hentakkan cambuk yang tidak berbunyi sama sekali itu justru mengejutkan Ki Kapat Argajalu. Ia merasa getaran udara yang bagaikan menusuk langsung menyentuh jantungnya.
"Setan kau Ki Lurah."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia harus berhati-hati menghadapi senjata lawannya. Apalagi Ki Kapat Argajalu itu tentu tidak hanya sekedar mempercayakan diri kepada kekuatan wadagnya saja.
Dalam pada itu, maka batu yang berwarna kehijau-hijauan yang disebut Watu Lintang itu mulai menyambar kearah kening Agung Sedayu. Namun dengan cepat Agung Sedayu menghindar. Bahkan dalam sekejap Agung Sedayu sudah mampu membalas menyerang. Ujung cambuknya telah menghentak ke arah tubuh lawannya.
Hampir saja ujung cambuk Ki Lurah Agung Sedayu mengoyak perut Ki Kapat Argajalu. Namun Ki Kapat Argajalu masih meloncat dan berputar di udara, sehingga ujung cambuk itu sama sekali tidak menyentuhnya.
Dengan demikian, pertempuran diantara kedua orang berilmu tinggi itu menjadi semakin sengit. Rantai Ki Kapat Argajalu berputar semakin cepat, sementara ujung cambuk Agung Sedayupun menghentak-hentak tidak henti-hentinya.
Ketika batu ujung rantai itu sempat menyentuh lengan Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Kapat Argajalu terkejut. Sentuhan itu tidak menyayat kulit dan daging Agung Sedayu. Meskipun Ki Kapat Argajalu yakin, bahwa batunya telah menyentuh tubuh Agung Sedayu, tetapi sudut-sudut tajam batu itu tidak melukainya sama sekali.
"Anak iblis kau Ki Lurah. Agaknya kau memiliki ilmu kebal."
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun serangan-serangannya semakin lama menjadi semakin cepat.
Agung Sedayu menarik nafas panjang ketika ia menyadari bahwa lawannya tentu memiliki ilmu yang dapat membuat tubuhnya seakan-akan menjadi semakin ringan. Karena itu, jika sebelumnya Agung Sedayu hanya mengetrapkan ilmu kebalnya, maka Agung Sedayupun kemudian telah mengetrapkan ilmu meringankan tubuh, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya, Ki Kapat Argajalu.
Dengan demikian, maka Ki Kapat Argajalu semakin mengalami kesulitan. Putaran rantainya tidak lagi mampu memburu gerak Agung Sedayu yang semakin cepat. Bahkan ujung cambuk Agung Sedayu itu mulai menyentuh kulit Ki Kapat Argajalu. Namun ujung cambuk Ki Lurah itu juga tidak dapat melukai kulit Ki Kapat Argajalu, karena Ki Kapat Argajalu juga dilindungi oleh ilmunya yang disebut Lembu Sekilan.
Dengan ilmu itu, maka setiap serangan lawannya, tidak sempat menyentuh tubuhnya. Seolah-olah ada perisai yang selalu menjaga jarak jangkau sentuhan serangan atau senjata lawan sehingga tidak menyentuh tubuhnya.
Namun kekuatan ilmu cambuk Agung Sedayu sudah benar-benar mencapai puncaknya. Dengan hentakan segenap kekuatan dan kemampuannya serta didukung oleh tenaga dalamnya yang tinggi, maka ketika Agung Sedayu menghentakkan cambuknya, ternyata bahwa ujung cambuknya itu mampu menembus ilmu Lembu Sekilannya adalah pertanda buruk baginya.
Karena itu, maka Ki Kapat Argajalupun semakin meningkatkan ilmunya pula. Ketika ia mencoba menyalurkan segenap kekuatan ilmunya serta tenaga dalamnya lewat ayunan rantainya, namun sudut-sudut tajam batunya ternyata tidak mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu.
Dengan demikian, maka Ki Kapat Argajalu menjadi semakin gelisah. Ia mulai melihat kenyataan, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu memang seorang yang pilih tanding.
Namun itu bukan berarti bahwa Ki Kapat Argajalu harus menyerah. Ketika Agung Sedayu menawarkan sekali lagi kepadanya untuk menyerah, maka Ki Kapat Argajalu menggeram, "Aku tentu akan mampu membunuhmu."
Ki Lurah itu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Ki Kapat Argajalu yang meloncat mengambil jarak memegangi batunya dengan tangan yang bergetar. Kemudian diangkatnya batunya keatas kepalanya tiga kali.
Batu yang berwarna kehijau-hijauan itu seakan-akan telah memancarkan sinar yang menyilaukan. Berkeredipan melampaui keredip sebuah batu berlian.
Ki Lurah Agung Sedayu menyadari, bahwa Ki Kapat Argajalu telah sampai ke puncak salah satu ilmunya. Karena itu, maka Ki Lurahpun menjadi semakin berhati-hati.
Sebenarnyalah sesaat kemudian, ketika Ki Kapat Argajalu telah sampai ke puncak salah satu ilmunya. Karena itu, ketika Ki Kapat Argajalu melepaskan batunya itu, batu yang berwurrta kehijau-hijauan itu seakan-akan mampu bergerak sendiri. Batu itupun berputaran, berayun pada rantainya dan kemudian terjulur lurus kearah dada Agung Sedayu.
Agung Sedayu harus berloncatan menghindarinya. Meskipun Agung Sedayu sudah mengetrapkan ilmu meringankan lubuhnya, namun rasa-rasanya itu selalu saja memburunya ia mengelak.
Semakin lama rasa-rasanya semakin mendekati kulitnya. Bahkan kemudian batu itupun telah menyentuhnya.
Ki Lurah Agung Sedayu terkejut. Ternyata batu yang berwarna kehijau-hijauan itu mampu menguak ilmu kebalnya. Meskipun sentuhannya tertahan oleh perisai ilmunya, tetapi ternyata mampu juga mengoyak pakaiannya dan bahkan menggores kulitnya meskipun tidak terlalu dalam. Tetapi batu yang berwarna kehijau-hijauan itu mampu menitikkan darahnya.
Ki Lurah Agung Sedayu meloncat surut. Namun Ketika ia meloncat menyerang lagi, Agung Sedayu telah berada dalam puncak ilmu kebalnya. Dengan demikian, maka rasa-rasanya udara disekitarnya-pun menjadi panas.
Ketika dalam kemarahannya dan puncak ilmunya, cambuknya yang dihentakkannya sendal pancing. Seakan-akan telah memancarkan kilat yang melampaui terangnya kilauan batu yang berwarna kehijauan itu.
Demikianlah kedua puncak ilmu dari kedua orang yang berilmu tinggi tengah beradu. Masing-masing masih saja meningkatkan ilmu mereka. Ilmu yang satu dan ilmu yang lainnya pula.
Sementara pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya, Glagah Putih telah berada di sebuah rumah yang dijaga oleh beberapa orang pengawal pilihan. Didalamnya Rara Wulan berbaring dengan luka-luka yang parah bukan saja di tubuhnya, tetapi juga luka didalam. Namun Rara Wulan telah menjadi sadar, ia tersenyum ketika ia melihat Glagah Putih duduk disebelahnya.
"Bagaimana keadaanmu Rara," bertanya Glagah Putih.
"Tidak apa-apa, kakang, "jawab Rara Wulan. Namun suaranya masih terdengar sangat dalam. Meskipun demikian, sorot matanya sudah mulai kelihatan menyala lagi.
"Aku akan mengobati luka-lukanya ditubuhmu untuk sementara. Setidak-tidaknya akan dapat memampatkan darah yang masih saja menitik dari luka-lukamu."
Rara Wulan tidak menolak. Dibiarkannya Glagah Putih menaburkan obat di luka-lukanya, Glagah Putih memberikan sebutir reramuan obat yang diberikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu sebelum mereka turun ke medan pertempuran.
Dengan air masak yang sudah menjadi agak dingin, reramuan obat-obatan itu ditelannya.
"Mudah-mudahan kau merasa menjadi lebih baik."
Tetapi obat yang ditaburkan di luka-lukanya itu terasa pedih sekali. Namun Rara Wulan tahu, bahwa dengan demikian obat itu mulai bekerja memampatkan darah di luka-lukanya.
Dalam pada itu, setelah, pedih di luka-lukanya berkurang. Rara Wulan sempat bertanya, "Bagaimana dengan kakang Agung Sedayu?"
"Tadi kakang Agung Sedayu masih bertempur melawan Ki Kapat Argajalu."
"Kakang. Sebaiknya kakang melihat apa yang terjadi. Agaknya Ki Kapat Argajalu benar-benar seorang yang berilmu sangat tinggi."
"Aku yakin akan kemampuan kakang Agung Sedayu."
"Meskipun demikian, sebaiknya kau melihatnya."
"Bagaimana dengan kau ?"
"Aku sudah merasa lebih baik. Bukankah beberapa orang berada di luar" Mereka akan menjagaku. Jika terjadi sesuatu yang tidak teratasi, biarlah mereka membunyikan isyarat."
Glagah Putih Termangu-mangu sejenak. Namun Rara Wulanpun berkata pula, "Tinggalkan aku disini kakang. Disini terasa aman. Bahkan barangkali pertempuran sudah berhenti dimana-mana selain kakang Agung Sedayu dengan Ki Kapat Argajalu."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun jantungnya memang terasa berdebaran. Ki Kapat Argajalu yang sangat yakin akan keberhasilannya itu tentu mempunyai bekal yang memadai.
Karena itu, ketika Rara Wulan mendesaknya sekali lagi Glagah Putih itupun bangkit berdiri.
Meskipun demikian Glagah Putih masih tetap ragu. Karena itu, maka iapun berkata, "Aku akan melihat keadaan. Jika keadaan sudah memungkinkan, aku akan melihat apa yang terjadi dengan kakang Agung Sedayu. Tetapi jika pertempuran masih berlangsung, aku akan tetap berada di sini."
Rara Wulan tidak menjawab. Sementara itu, Glagah Putih-pun melangkah keluar.
Dihalaman beberapa orang pengawal terpilih masih saja berjaga-jaga. Tidak hanya di halaman depan. Tetapi juga dihalaman samping dan belakang. Tetapi agaknya tidak seorangpun dari para pengikut Ki Kapat Argajalu atau para Pengawal dari kademangan Pudak Lawang yang mendekat.
"Pertempuran sudah hampir padam," berkata seorang anak muda kepada Glagah Putih.
"Kau yakin ?" bertanya Glagah Putih.
"Ya. Tinggal benturan-benturan kecil di beberapa tempat. Para pengikut Ki Kapat Argajalu yang kehilangan hubungan masih mengadakan perlawanan. Tetapi sudah tidak berarti lagi."
"Apakah kau tahu, bagaimana kakang Agung Sedayu ?"
"Ki Lurah masih bertempur melawan Ki Kapat Argajalu. Ki Lurah tidak membenarkan seseorang mencampurinya."
Glagah Putih tidak bertanya lagi. Iapun segera berlari-lari kecil di arena pertempuran.
Ketika Glagah Putih sampai di arena, dilihatnya Sekar Mirah dan Pandan Wangi sudah berada di tempat itu pula.
Demikian Glagah Putih mendekat. Sekar Mirah masih sempat bertanya, "Bagaimana dengan Rara Wulan?"
"Ia sudah menjadi semakin baik," jawab Glagah Putih.
Sekar Mirah menarik nafas panjang. Namun perhatiannyapun segera kembali kepada Ki Lurah Agung Sedayu yang sedang bertempur.
Yang kemudian mendekatinya adalah Ki Jayaraga. Ki Jayaraga yang telah membawa Rara Wulan keluar medan dan membaringkannya di dalam rumah itu. Ia menungguinya untuk beberapa lama sampai Glagah Putih datang menggantikannya.
"Bagaimana keadaannya?"
"Sudah menjadi lebih baik, Ki Jayaraga."
"Sokurlah." Namun kemudian Glagah Putih yang bertanya, "Bagaimana dengan kakang Agung Sedayu?"
"Ki Kapat Argajalu memang berilmu tinggi."
Jantung Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Sementara itu agaknya Ki Lurah Agung Sedayu telah bertekad untuk menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan orang lain meskipun ia sedang berada di medan pertempuran.
Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu masih bertempur melawan Ki Kapat Argajalu.
Pertempuran yang semakin sengit. Ki Kapat Argajalu telah mengetrapkan beberapa macam ilmunya. Demikian pula Ki Lurah Agung Sedayu.
Ketika Ki Kapat Argajalu masih saja terdesak, maka Ki Kapat Argajalu telah menaburkan semacam serbuk yang berwarna putih kelabu. Tiba-tiba saja serbuk itu telah berubah menjadi kabut yang menyelimuti dirinya, sehingga tubuh Ki Kapat Argajalu itu tidak dapat dilihat dengan mata kewadagan.
Ki Lurah Agung Sedayu bergeser surut. Beberapa orang yang berada di sekitar arena itupun bergeser pula menjauhi kabut yang berwarna kelabu itu.
Ketika tiba-tiba saja senjata Ki Kapat Argajalu yang berupa batu berwarna kehijau-hijauan itu terjulur lurus kearah dada Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Lurahpun terkejut. Ia tidak melihat lawannya membuat ancang-ancang atau gerakan yang lain karena kabut yang kelabu itu. Namun tiba-tiba saja telah terjulur serangan yang mengejutkan.
Untunglah bahwa Ki Lurah Agung Sedayu telah meningkatkan kekuatan ilmu kebalnya, sehingga sentuhan batu yang berwarna kehijau-hijauan itu tidak mematahkan tulang-tulang iganya.
Meskipun demikian, namun Agung Sedayu itu telah tergetar dan terdorong beberapa langkah surut.
Namun agaknya Ki Kapal Argajalu tidak dapat menghampiri Agung Sedayu lebih dekat lagi. Ketika Agung Sedayu meningkatkan ilmu kebalnya, maka udara disekitarnyapun menjadi panas karenanya. Panas udara itulah yang agaknya menghalangi Ki Kapat Argajalu untuk menyerangnya dari jarak yang lebih dekat.
Meskipun demikian, kabut kelabu yang menghalangi penglihatan Agung Sedayu itu terasa sangat mengganggunya. Bahkan setelah Agung Sedayu mengetrapkan aji Sapta Pandulu. kabut itu masih saja menghalangi penglihatannya. Sehingga dengan demikian, maka kesempatan Ki Kapat Argajalu menyerangnya menjadi lebih besar dari kesempatan Agung Sedayu. Meskipun cambuknya beberapa kali menghentak kedalam kabut yang kelabu itu, namun ujungnya masih belum menyentuh tubuh Ki Kapat Argajalu yang juga dilindungi oleh ilmu Lembu Sekilan.
Beberapa kali serangan Ki Kapat Argajalu mampu dapat mengenai Agung Sedayu serta menggetarkan pertahanannya. Sementara itu Agung Sedayu masih belum mempunyai kesempatan untuk membalasnya.
Dengan demikian, maka Ki Kapat Argajalu telah berhasil mendesak Agung Sedayu beberapa langkah surut.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka tahu bahwa Agung Sedayu masih memiliki kesempatan dengan jenis-jenis ilmunya yang lain.
Sementara itu, Ki Kapat Argajalu masih berlindung dibalik kabut yang berwarna kelabu. Kabut itu melindunginya kemanapun Ki Kapat Argajalu bergeser. Namun ternyata bahwa Ki Kapat Argajalu merasa sulit untuk dapat lebih mendekat lagi untuk menyerang Ki Lurah Agung Sedayu.
Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu terkejut. Yang meluncur dari balik kabut bukan batunya yang berwarna kehijau-hijauan. Tetapi Ki Kapat Argajalu ternyata telah melontarkan serangannya yang lain. Dengan menghentakkan segenap kemampuannya dan tenaga dalamnya Ki Kapat Argajalu telah menyerang Agung Sedayu dengan sebilah pisau belati kecil.
Agung Sedayu tidak sempat menghindari serangan itu. Pisau belati kecil yang dilontarkan dengan lambaran kekuatan ilmu puncaknya serta seluruh kemampuan tenaga dalamnya itu mampu menguak perisai ilmu kebal Agung Sedayu. Meskipun pisau itu terjatuh di depan kaki Ki Lurah Agung Sedayu.
Bagaimanapun juga pisau belati itu telah melukai kulitnya dan menitikkan darahnya.
Yang kemudian terdengar adalah suara tertawa Ki Kapat Argajalu. Disela-sela derai tertawanya terdengar Ki Kapat itu berkata, "Ki Lurah Agung Sedayu. Meskipun lukamu hanya seujung duri kemarung, tetapi kau akan mati. Di ujung pisau itu terdapat racun yang sangat tajam. Tidak seorangpun akan mampu lolos dari racunku. Sementara itu, hanya akulah yang mempunyai penawarnya."
Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Dirabanya bahunya yang terluka setitik kecil, bahkan lebih kecil dari kelenteng kapuk randu.
"Agung Sedayu," berkata Ki Kapat Argajalu pula, "kau tidak akan mampu bertahan sepenginang."
Agung Sedayu bahkan bergeser setapak surut.
"Jika kau mau berlutut di hadapanku, menyembahku maka aku akan memberimu penawarnya. Tetapi sekaligus aku akan membunuhmu dengan kerisku. Keris pusakaku yang tidak ada duanya di dunia ini. Ilmu kebalmu sama sekali tidak akan berarti apa-apa."
"Kenapa kau tidak mempergunakan kerismu sementara batumu tidak mampu menembus ilmu kebalku?"
"Aku tidak ingkar, bahwa kerisku terlalu pendek untuk menggapaimu dibanding dengan juntai cambukmu. Apalagi setelah kau sebarkan udara panas di sekitar tubuhmu."
"Bisa diujung pisaumu memang bisa yang sangat tajam," desis Agung Sedayu.
"Berlututlah dan mohon ampun. Aku akan memberimu penawarnya sehingga kau tidak akan mati karena racun."
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi setapak lagi ia bergeser surut. Bahkan nampaknya Agung Sedayu itu menjadi goyah.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Jantung Sekar Mirah bahkan hampir berhenti berdetak, sedangkan Glagah Putih sudah siap untuk meloncat kearena. Meskipun ia tidak melihat Ki Kapat Argajalu yang berdiri didalam kabut kelabunya, namun Glagah Putih akan mengerangnya dengan ilmu pamungkasnya dari jarak beberapa langkah, di luar jarak jangkau rantainya yang berkepala batu yang berwarna kehijau-hijauan itu.
Dalam pada itu. dengan penuh keyakinan Ki Kapat Argajalu sudah memastikan bahwa Agung Sedayu akan segera mati karena racun yang berada di ujung pisau belatinya itu.
Karena itu. maka Ki Kapat Argajalupun perlahan-lahan telah membiarkan kaburnya di hanyutkan angin, sehingga semakin lama keberadaannya menjadi semakin jelas.
"Aku disini Agung Sedayu," berkata Ki Kapat Argajalu, "apakah kau masih berkeras untuk melawan tanpa bantuan orang lain" Jika kau berniat memberikan isyarat kepada kawan-kawanmu, lakukanlah. Aku masih snaggup melawan mereka semuanya. Sementara itu, kau sendiri akan segera terkapar mati. Sehingga dengan demikian, maka akan tersebar berita di Mataram, bahwa Agung Sedayu, andel-andel prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah dibunuh oleh Ki Kapat Argajalu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia masih tetap berdiri di tempatnya. Rasa-rasanya keseimbangannya menjadi semakin goyah.
Tetapi yang tidak terduga telah terjadi. Demikian kabut itu semakin menipis, sehingga keberadaan Ki Kapat Argajalu itu menjadi semakin jelas. Agung Sedayupun berkata, "Jangan terlalu berbesar hati dengan pisau-pisau kecilmu Ki Kapat Argajalu. Kau akan menyesali kesombonganmu itu."
Ki Kapat Argajalu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu tiba-tiba saja sudah meloncat menyerangnya. Cambuknya menghentak sendal pancing. Kilatpun seakan-akan memancar dari ujung cambuk Ki Lurah Agung Sedayu itu.
Ki Kapat Argajalu terkejut. Ketika ia mencoba meloncat menghindar ujung cambuk Agung Sedayu telah memburunya. Satu hentakkan yang kuat telah menembus aji Lembu Sekilan dan mengenai kulit Ki Kapat Argajalu sehingga kulitnya itupun terkelupas di pundaknya.
"Setan kau Agung Sedayu," geram Ki Kapat Argajalu sambil meloncat mengambil jarak. Sekali lagi Ki Kapat Argajalu menghamburkan serbuknya sehingga kabutpun segera menyelimutinya. Namun Agung Sedayu telah sekali lagi mengenainya. Meskipun tidak mengoyak lambungnya karena hambatan ilmu Lembu Sekilan, namun lambung Ki Kapat itu telah terkelupas pula.
Namun sejenak kemudian, Ki Kapat Argajalu itupun telah hilang pula di balik kabutnya. Yang tertinggal adalah suaranya, "Racunku sudah ada didalam tubuhmu, Ki Lurah. Semakin banyak kau bergerak, maka kau akan menjadi semakin cepat mati."
"Racunmu bersikap baik kepadaku, Ki Kapat Argajalu," jawab Agung Sedayu.
"Gila. Apakah kau tawar racun?"
"Ya." "Bagus. Mungkin satu pisauku tidak mampu membunuhmu karena kau mempunyai penawar racun. Tetapi dua tiga pisauku akan mempengaruhi peredaran darahmu."
Sebelum Agung Sedayu menjawab, satu lagi pisau belati kecil meluncur dari dalam kabut. Agung Sedayu terlambat menghindar, sehingga pisau itu telah menembus ilmu kebalnya dan menyentuh lengannya.
Agung Sedayu meloncat mundur. Ia sadar, bahwa yang dikatakan oleh Ki Kapat Argajalu itu benar. Jika cukup banyak racun masuk ke dalam tubuhnya meskipun ia juga kebal racun, namun dalam jumlah tertentu akan dapat mempengaruhi aliran darahnya. Karena itu, maka Agung Sedayu harus berusaha menghindari pisau-pisau kecil itu.
Bahkan satu lagi pisau kecil itu meluncur. Tetapi Agung Sedayu masih sempat meloncat kesamping sambil memiringkan tubuhnya sehingga pisau itu meluncur didepan dadanya.
Yang kemudian terkejut adalah Ki Kapat Argajalu. Ia merasa mempunyai kesempatan menyerang lebih banyak dari Agung Sedayu meskipun ilmu kebal Agung Sedayu lebih kuat dari ilmu kebalnya. Tetapi tiba-tiba saja sasarannya menjadi kabur. Bukan saja karena Agung Sedayu selalu bergerak. Namun Ki Kapat Argajalu itu melihat ada tiga sasaran yang selalu bergerak. Bahkan tiga sasaran yang sama itu berdiri di arah yang berbeda.
Ki Kapat Argajalu mengumpat. "Kakang kawah Adi Ari-ari," geramnya.
Namun kemampuan ilmu Ki Kapat Argajalu yang tinggi mampu menemukan, yang manakah sasaran yang sebenarnya harus dikenai serangannya. Meskipun demikian Ki Kapat Argajalu memerlukan waktu.
Sementara itu, ternyata Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmunya yang lain pula. Jika Aji Sapta Pandulu tidak mampu menembus tirai kabut kelabu itu, maka Agung Sedayu telah mengetrapkan aji Sapta Panggraita. Ia mempunyai pengalaman dengan kemampuannya itu. Pada saat ia berhadapan dengan seseorang yang mempunyai aji panglimunan, yang seakan-akan dapat mengaburkan penglihatannya sehingga ia merasa seolah-olah orang itu hilang. Agung Sedayu justru dapat meraba keberadaannya dengan aji Sapta Panggraita karena Aji Sapta Pandulu tidak mampu membantunya.
Ternyata bahwa Agung Sedayu berhasil. Ia dapat menghambat serangan-serangan Ki Kapat Argajalu dengan ujud-ujud bayangan yang dapat mengaburkan keberadaannya yang sebenarnya. Sementara Ki Kapat Argajalu berusaha dengan ketajaman penglihatan mata batinnya untuk menemukan sasaran yang sebenarnya. Agung Sedayu telah dapat mengetahui di mana Ki Kapat Argajalu itu berdiri didalam tirai kabutnya.
Karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayupun telah meloncat sambil menghentakkan cambuknya menyerang Ki Kapat Argajalu.
Ternyata Agung Sedayu mampu mendahului lawannya. Pada saat Ki Kapat Argajalu menemukan sasaran yang sebenarnya diantara ketiga ujud yang sama itu, Agung Sedayu telah menyerangnya dengan hentakan cambuknya sendal pancing dilambari dengan segenap kekuatan dan tenaga dalamnya.
Ki Kapat Argajalu yang sudah siap untuk menyerang dengan pisau kecilnya, tidak sempat menghindarinya. Meskipun tertahan oleh perisai ilmu Lembu Sekilan, tetapi ujung cambuk Agung Sedayu masih juga menggores dan mengelupas kulit di dada Ki Kapat Argajalu.
Ki Kapat Argajalu meloncat surut. Namun Agung Sedayu telah menemukannya dengan penggraitanya. Karena itu, maka Agung Sedayu tidak melepaskannya. Iapun segera meloncat memburu. Sekali lagi cambuknya dihentakkannya, sehingga ujung cambuknya telah mengoyakkan baju dan kulit di pundak Ki Kapat Argajalu.
Ki Kapat Argajalu harus berloncatan mengambil jarak. Ia masih saja diselubungi oleh kabut kelabunya. Namun Agung Sedayu dapat mengikuti, kemana ia bergeser.
Akhirnya, Ki Kapat Argajalu harus mengakui, bahwa kabutnya tidak lagi mampu melindunginya. Karena itu maka sejenak kemudian, maka kabut itupun segera menyibak.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun telah kembali kedalam ujudnya yang satu. Ketika Ki Kapat Argajalu menampakkan dirinya di mata kewadagan Agung Sedayu, maka Agung Sedayupun telah melepas pula aji Kakang Kawah Adi Ari-ari.
Dengan demikian, maka keduanya telah berhadapan lagi beradu wajah.
Ketegangan telah mencengkam jantung setiap orang yang menyaksikan pertempuran itu. Mereka merasakan getar kemarahan dari kedua orang yang sedang bertempur, sehingga mereka yang menyaksikan pertempuran itu seakan-akan mer asakan denyut jantung mereka yang semakin cepat.
Orang-orang yang menyaksikannya itupun menyadari, bahwa keduanyapun akan segera sampai ke puncak segala macam ilmu mereka.
Sebenarnya baik Agung Sedayu maupun Ki Kapat Argajalu benar-benar telah sampai ke puncak kemampuan mereka. Mereka merasa bahwa mereka sudah terlalu lama bertempur sehingga mereka menganggap bahwa sudah waktunya mereka mengakhiri pertempuran itu apapun akibatnya.
Karena itu, sambil menengadahkan dada, mereka berdua tidak mempunyai cara lain daripada melepaskan kemampuan pamungkas mereka masing-masing.
Ki Kapat Argajalupun kemudian telah membuat ancang-ancang. Ia memiliki kemampuan yang jarang ada duanya. Sebagaimana Tumpak dan Soma, maka Ki Kapat Argajalupun telah siap meluncurkan serangannya.
Ki Lurah Agung Sedayu memperhatikan ancang-ancang itu dengan saksama. Namun Ki Lurahpun telah membuat ancang-ancang pula. Dipusatkannya segenap nalar budinya. Dikerahkan segenap kemampuan dan tenaga dalamnya untuk mendukung ilmu pamungkasnya.
Sesaat kemudian, maka Ki Kapat Argajalu telah mengangkat tangannya. Dilontarkannya ilmunya yang selama ini diyakininya akan menyelesaikan semua lawan-lawannya. Bahkan jarang sekali Ki Kapat Argajalu mengetrapkan ilmunya itu. Hanya dalam keadaan yang tidak teratasi dengan ilmunya yang lain. maka Ki Kapat Argajalu melepaskan ilmu pamungkasnya.
Dengan yakin pula. Ki Kapat Argajalu melepaskan serangannya untuk menghancurkan Agung Sedayu. Seberapapun tingginya ilmu Agung Sedayu. namun dengan ilmu pamungkasnya yang jauh lebih mapan dan lebih masak dari ilmu Tumpak dan Soma, maka Agung Sedayupun akan dapat dilumatkannya.
Kedua telapak tangan Ki Kapat Argajalu yang tengadah di depan dadanyapun bergetar. Seakan-akan asap yang putih mengepul dari telapak tangan itu. Kemudian dengan satu tarikan sikunya di samping tubuhnya. Ki Kapat Argajalupun menghentakkan telapak tangannya menghadap ke arah Ki Lurah Agung Sedayu.
Dalam pada itu. semua orang yang berada di garis serangan Ki Kapat Argajalu telah menyibak. Jika serangan itu meluncur, maka sentuhan udaranya akan dapat melukai isi dada mereka.
Dalam pada itu, seakan-akan segumpal awan yang berwarna kemerah-merahan meluncur dari telapak tangan Ki Kapat Argajalu.
Namun bersamaan dengan itu, maka Ki Lurahpun memandangi telapak tangan Ki Kapat Argajalu dengan tajamnya. Demikian ia melihat seleret sinar kemerahan meluncur, maka dari sepasang mata Agung Sedayupun telah memancar pula cahaya yang menyilaukan meluncur membentur serangan Ki Kapat Argajalu.
Dua macam ilmu yang dilontarkan oleh kedua orang yang sedang bertempur itu telah berbenturan dengan dahsyatnya.
Tidak terdengar ledakkan yang memekakkan telinga.
Tetapi benturan itu telah mengguncang udara dengan menimbulkan getaran yang bergelombang melingkar menebar di sekitar arena pertempuran itu.
Untunglah bahwa mereka yang menyaksikan pertempuran itu tidak berdiri terlalu dekat, sehingga pengaruh getaran itu sudah menyusut ketika menyentuh jantung mereka. Sedangkan yang berdiri terdekat, adalah orang-orang yang berilmu tinggi yang mampu mengatasi getaran itu dengan daya tahan tubuh mereka yang tinggi.
Namun benturan itu sendiri telah memantulkan getar ilmu kedua orang itu. Seperti yang terjadi pada benturan ilmu Tumpak dan Rara Wulan, maka perbedaan tingkat ilmu antara Agung Sedayu dan Ki Kapat Argajalu itu mempunyai pengaruh yang menentukan.
Ternyata bahwa dalam kenyataan yang terjadi, tingkat ilmu Ki Kapat Argajalu masih belum mampu menyamai tingkat ilmu Ki Lurah Agung Sedayu. Dengan demikian, maka arus balik dari benturan ilmu itupun lebih banyak mengalir ke tubuh Ki Kapat Argajalu. Bahkan dorongan ilmu Ki Lurah Agung Sedayu yang selapis lebih tinggi telah ikut pula menentukan akhir dari pertempuran itu.
Dalam benturan ilmu yang terjadi itu. Agung Sedayu telah tergetar beberapa langkah surut. Bahkan kemudian Agung Sedayupun sulit untuk mempertahankan keseimbangannya. Isi dadanya yang terguncang serasa bagaikan dirontokkannya.
Agung Sedayupun kemudian terhuyung-huyung. Hampir saja Agung Sedayu itu jatuh terlentang jika saja Glagah Putih tidak dengan tangkasnya meloncat menahannya.
"Kakang," desis Glagah Putih.
Agung Sedayu berdesah menahan sakit di dadanya. Namun Agung Sedayu masih melihat Ki Kapat Argajalu yang terlempar jatuh terguling beberapa kali. Seorang pengikutnya tidak berhasil menahannya agar Ki Kapat Argajalu tidak terjatuh. Bahkan pengikutnya itupun telah ikut pula terdorong beberapa langkah, sehingga kedua-keduanya telah jatuh berguling pula.
Baru kemudian tiga orang pengikutnya segera berlutut di sampingnya.
"Apa yang terjadi dengan orang itu," desis Agung Sedayu perlahan.
Ketika beberapa orang berusaha mendekati Ki Kapat Argajalu, maka para pengikutnya masih berusaha melindunginya. Meskipun pertempuran sudah berakhir serta mereka tidak berpengharapan lagi, namun mereka tidak membiarkan orang lain mendekati tubuh Ki Kapat Argajalu.
"Biarkan mereka," desis Ki Lurah Agung Sedayu, "jangan ganggu orang-orang itu."
Para Pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit dari Pasukan Khusus kemudian membiarkan para pengikut Ki Kapat Argajalu itu mengerumuninya. Namun Ki Lurah Agung Sedayu berdesis pula. Biarlah mereka membawa Ki Kapat ke banjar.
Swandarulah yang kemudian melangkah mendekati para pengikut Ki Kapat Argajalu itu.
"Bawa Ki Kapat Argajalu ke banjar."
"Untuk apa?" bertanya seorang Putut, "apakah kau akan menjadikannya pangewan-ewan?"


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak. Tetapi bawa Ki Kapat itu ke banjar."
"Kami keberatan. Kami akan membawa Ki Kapat pulang."
"Pulang ke mana" Ia tidak akan dapat bertahan di perjalanan. Karena itu, bawa ke banjar. Kalian tidak mempunyai pilihan lain."
"Kami tidak akan menyerahkan kepada siapapun," jawab putut itu.
"Karena itu, kalian sendirilah yang membawanya. Biarlah Pengawal Tanah Perdikan ini membuka jalan, agar kalian tidak diganggu di perjalanan ke banjar."
"Tidak," jawab putut itu, "kami tidak akan menyerahkannya kepada siapapun."
"Kalau kalian tidak mau mendengarkan perintah ini, maka kamilah yang akan membawanya ke banjar."
"Kami akan mempertahankannya."
"Pergunakan nalarmu. Kami dapat membunuh kalian semuanya dan memperlakukan Ki Kapat Argajalu lebih buruk dari yang kalian duga."
Putut itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Swandaru berkata, "Kami tidak mempunyai banyak waktu. Lakukan."
Memang mereka tidak mempunyai pilihan lain. Para pengikut Ki Kapat Argajalu sudah tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Karena itu, maka akhirnya merekapun harus tunduk kepada perintah itu.
Dengan dikawal oleh beberapa orang Pengawal Tanah Perdikan, maka Ki Kapat Argajalu itupun telah diusung oleh para pengikut ke banjar padukuhan.
Sementara itu Swandarupun memerintahkan kepada para Pengawal untuk mengatasi segala persoalan yang timbul setelah pertempuran berakhir.
"Mungkin masih ada sekelompok pengikut Ki Kapat Argajalu yang tidak mau melihat kenyataan," berkata Swandaru.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang juga terluka di bagian dalam tubuhnya, telah di papah Glagah Putih ke sebuah regol halaman rumah di pinggir jalan. Beberapa saat Agung Sedayu duduk untuk mengatur pernafasannya.
Sekar Mirah yang berjongkok di sisinya menjadi sangat gelisah ketika ia melihat titik darah di sudut bibir Agung Sedayu. Dengan demikian, maka luka dalam Agung Sedayu tentu cukup parah.
"Bawa Ki Lurah ke pendapa rumah itu," berkata Ki Jayaraga.
Tetapi Agung Sedayu menolak untuk diusung.
"Aku dapat berjalan sendiri," berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
Meskipun demikian, Glagah Putih masih harus membantunya, karena Ki Lurah masih terlalu lemah.
Di pendapa, Agung Sedayu duduk diatas tikar pandan yang sudah digelar. Kedua kakinya bersilang. Sedang kedua telapak tangannya diletakkannya diatas lututnya.
Tidak seorangpun mengganggunya ketika Agung Sedayu berusaha untuk mengatasi kesulitan pernafasannya.
Dengan gelisah Sekar Mirah dan beberapa orang yang lain menungguinya. Sementara itu di regol masih nampak beberapa orang pengawal berjaga-jaga.
Dengan di kawal oleh beberapa orang Pengawal Tanah Perdikan serta prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, Ki Kapat Argajalu telah dibawa ke banjar.
Ternyata Ki Kapat Argajalu mempunyai daya tahan tubuh yang kuat sekali, sehingga meksipun dadanya terluka parah, namun Ki Kapat Argajalu itu masih dapat membuka matanya.
Ki Gede dan Ki Argajaya duduk menunggguinya bersama beberapa orang pengawal. Namun diantara mereka terdapat tiga orang pengikut setia Ki Kapat Argajalu. Seorang diantara mereka, seorang putut, sama sekali tidak mau bergeser dari sisi Ki Kapat Argajalu yang terbaring diam itu.
"Kakang," desis Ki Gede.
Ki Kapat Argajalu yang sudah membuka matanya itu mencoba menarik nafas panjang. Namun ternyata sakit yang sangat telah menusuk dan mencengkam isi dadanya.
"Adi," desis Ki Kapat Argajalu sambil menyeringai menahan sakit.
"Minumlah. Mungkin minuman itu dapat mengurangi rasa sakit di dadamu."
Namun ketika seseorang menyerahkan semangkuk minuman, putut itulah yang menerimanya. Putut itulah yang lebih dahulu minum seteguk, sebelum minuman itu diberikan kepada Ki Kapat Argajalu.
"Kau terlalu curiga," desis Ki Argajaya, "kau mencemaskan racun di dalam minuman itu?"
"Ya," jawab putut itu tegas.
"Ternyata kau sangat dungu," desis Ki Argajaya, "jika kami ingin membunuhnya, kami tidak perlu mempergunakan racun. Bahkan kau dan kawanmu juga."
Putut itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun dapat mengerti maksud Ki Argajaya. Tetapi putut itu tidak menjawab.
Setelah minum seteguk, maka Ki Kapat Argajalu itu berdesis. "Bagaimana dengan Ki Lurah Agung Sedayu?"
"Ki Lurah terluka. Tetapi ia belum ada disini. Mudah-mudahan Ki Lurah segera menjadi baik."
"Aku harus mengakui," suara Ki Kapat Argajalu perlahan sekali, "Ki Lurah adalah orang yang memiliki segala-galanya di dunia olah kanuragan. Ia memiliki bekal yang lengkap untuk disebut orang yang terbaik. Aku harus mengakui kemenangannya dengan, ikhlas."
"Sudahlah, kakang," berkata Ki Gede, "kami akan berusaha mengobati luka dalam kakang. Kami akan memanggil tabib terbaik. Bahkan mungkin Ki Lurah Agung Sedayu yang memiliki kemampuan pengobatan peninggalan gurunya, mempunyai obat untuk mengatasi luka dalam kakang Kapat Argajalu."
Tetapi Ki Kapat Argajalu itu tersenyum. Katanya, "Tidak ada gunanya Ki Gede. Lukaku sangat parah. Aku akan mati."
"Bertahanlah kakang. Sebentar lagi tabib itu akan datang."
Tetapi Ki Kapat Argajalu itu menggeleng. Katanya, "Aku minta diri. Tetapi aku minta adi mengijinkan tubuhku dibawa kembali ke padepokanku dan dikuburkan disana. Aku tahu bahwa Soma dan Tumpakpun tidak dapat bertahan hidup dalam pertempuran yang keras ini, yang sama sekali diluar dugaanku. Aku minta adi juga mengijinkan tubuh kedua anakku itu dibawa pulang."
Ki Gede menarik nafas panjang. Katanya, "Baiklah kakang. Aku tidak akan berkeberatan."
"Salamku buat Ki Lurah Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa dan yang lain-lain. Aku minta maaf kepada Pandan Wangi atas usahaku mengguncang warisan yang seharusnya memang diterimanya."
"Sudahlah, kakang. Lupakan semuanya. Tetapi agaknya keadaan kakang justru bertambah baik. Tabib itu akan segera datang."
Tetapi Ki Kapat Argajalupun kemudian memejamkan matanya. Masih terdengar ia berdesis, "Aku juga minta maaf kepada adi berdua."
Ki Gede tidak sempat menjawab Ki Kapat Argajalu itupun telah pergi untuk selamanya.
Putut yang setia kepadanya itupun memandanginya dengan wajah sayu. Iapun memalingkan wajahnya ketika matanya menjadi basah. Ia sadar, jika ada air mata yang menitik, hendaknya jangan membasahi tubuh Ki Kapat Argajalu yang telah meninggal.
Ketika tabib yang dipanggil itu datang, maka Ki Kapat Argajalu sudah tidak bernyawa lagi.
"Tidak ada yang dapat aku lakukan sekarang," desis tabib itu.
Memang tidak ada yang dapat dilakukan oleh tabib itu atas Ki Kapat Argajalu yang telah meninggal.
Namun Ki Gedepun kemudian telah memerintahkan untuk mengumpulkan tubuh Soma dan Tumpak yang juga telah dibunuh di medan pertempuran.
"Meskipun mereka sudah berada di tangan para murid Ki Kapat Argajalu, tetapi mereka tentu masih berada di padukuhan ini. Mereka tentu belum dapat dibawa keluar," berkata Ki Gede, "selain itu, kitapun harus segera berkumpul di banjar untuk membicarakan langkah-langkah lebih lanjut."
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka orang-orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan serta para pemimpin Pengawal dan para pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus telah berkumpul di banjar. Sementara itu para Pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit masih sibuk di bekas medan pertempuran yang terpencar di seluruh padukuhan.
Mereka bertugas untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah gugur. Selain tugas itu maka sebagian yang lain mengamati para Pengawal dari Pudak Lawang serta para pengikut Ki Kapat Argajalu yang menyerah, mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan terbunuh di pertempuran.
Agung Sedayu yang terluka dalam, sudah berada di banjar itu pula. Meskipun tubuhnya masih lemah namun Agung Sedayu berusaha untuk berjalan meskipun harus dipapah.
Namun Rara Wulan masih belum mampu menapak. Ia masih sangat lemah. Karena itu, maka setelah memapah Agung Sedayu sampai ke banjar, Glagah Putih segera pergi mendapatkan Rara Wulan.
"Biarlah aku disini saja kakang," berkata Rara Wulan. "Semua orang berkumpul di banjar."
"Aku masih sangat lemah. Aku juga tidak akan dapat berbuat apa-apa di banjar."
"Tetapi segala sesuatunya akan menjadi lebih mudah dan lebih cepat dilakukan. Juga tentang pengobatan. Kakang Agung Sedayu juga terluka di bagian dalam tubuhnya ketika ia bertempur melawan Ki Kapat Argajalu."
"Apakah kakang Agung Sedayu juga pergi ke banjar?"
"Ya. Aku memapahnya."
"Daya tahan kakang Agung Sedayu yang sangat tinggi mampu mengatasi perasaan sakit karena luka dalamnya. Bahkan kakang Agung Sedayu dengan mengatur pernafasannya mampu mengatasi kelemahannya sehingga dengan sisa tenaganya, kakang Agung Sedayu masih sanggup berjalan ke Banjar. Aku tidak, kakang."
"Aku akan membawamu. Aku akan menyiapkan seekor kuda. Kau akan naik ke punggung kuda."
"Aku tidak bisa."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Jika demikian, aku akan mendukungmu."
"Ah, malu," sahut Rara Wulan dengan serta-merta.
"Mungkin akan banyak yang harus dibicarakannya di banjar malam nanti, Rara."
"Sebaiknya kakang saja berada di banjar. Biarlah beberapa orang pengawal menemani aku disini. Mbokayu Pandan Wangi dan mbokayu Sekar Mirah tentu akan ikut serta dalam setiap pembicaraan. Mungkin Nyi Dwani tidak akan banyak terlibat. Ia dapat menemani aku disini."
"Semua orang mengharapkan aku dapat membawamu ke banjar."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Glagah Putihpun berkata, "Mungkin kami dapat mengusungmu dengan tangga bambu yang diberi beberapa lembar galar. Kau dapat berbaring diatasnya. Ampat orang yang mengangkatmu dan membawamu kemari."
"Tidak." "Jadi bagaimana menurutmu cara yang terbaik agar kau dapat berada di banjar malam ini."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah ada pedati di padukuhan ini?"
"Ada. Aku dapat mengusahakan."
"Aku mau pergi ke banjar. Tetapi aku akan naik pedati."
Glagah Putih tertawa. Namun iapun kemudian pergi untuk mencari sebuah pedati.
Ada beberapa pedati di padukuhan Jati Anyar. Orang-orang yang pergi mengungsi, meninggalkan pedati mereka di padukuhan. Bahkan dengan lembunya sekali. Sebelum terjadi pertempuran, mereka masih saja menyabit rumput dan membawanya ke kandang.
Malam itu, Rara Wulan benar-benar berada di banjar. Namun perempuan itu masih belum dapat ikut dalam pembicaraan-pembicaraan di pringgitan. Selama berada di banjar, Rara Wulan berada di dalam sebuah bilik di serambi ditunggui, oleh Nyi Dwani yang agaknya tidak banyak terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan di antara para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh.
Namun mereka masih belum membicarakan persoalan Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri. Tetapi mereka membicarakan penyelesaian dari pertempuran yang baru saja terjadi.
Tanah Perdikan Menoreh, akhirnya telah menetapkan bahwa beberapa orang pengikut Ki Kapat Argajalu dapat membawa mayat Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak kembali ke padepokan mereka Sementara itu, sebagian yang lain akan tetap tinggal sebagai tawanan di Tanah Perdikan. Mereka yang tinggal juga harus menguburkan kawan-kawan mereka yang terbunuh, serta merawat kawan-kawan mereka yang terluka.
Ketika keputusan itu dengan resmi diberitahukan kepada Putut Mawekas, maka putut itupun mengucapkan terima kasih berulang-ulang.
"Besok aku akan membawa mayat Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak. Mereka adalah lambang kebesaran perguruan kami."
"Baiklah. Bawa mayat itu kembali ke perguruanmu. Selain lambang kebesaran perguruanmu, makam itu hendaknya juga menjadi patok peringatan atas kegagalannya karena Ki Kapat Argajalu telah berjalan menyimpang dari jalan kehidupan seorang yang berilmu tinggi."
Putut Mawekas tidak segera menjawab.
"Nampaknya kau masih meragukan langkah-langkah sesat yang diambah oleh gurumu," berkata Ki Gede, "renungkanlah. Apa yang telah dilakukannya disini. Apakah ia berhak melakukannya atau tidak. Bukan hanya karena kami memiliki orang-orang yang lebih baik dari para pemimpin perguruanmu. Tetapi kami juga berlandaskan pada langkah-langkah yang benar yang telah kami jalani. Yang Maha Agung telah memberikan perlindungan kepada kami sekaligus menunjukkan keperkasaannya kepada orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran."
Putut itu menundukkan kepalanya. Sementara Ki Gede berkata selanjutnya, "Renungkan ini. Kecuali jika kau memang tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi."
"Aku mengetahui, Ki Gede."
"Nah, jika kau mengetahuinya, serta kau dapat membedakan salah dan benar, maka kau akan mengetahui, apakah Ki Kapat Argajalu berjalan di jalan kebenaran atau tidak."
Putut Mawekas tidak menjawab.
"Tetapi aku yakin bahwa Ki Kapat Argajalu telah banyak memberikan keterangan yang tidak benar kepadamu dan kepada murid-muridnya yang lain. Terutama dalam hubungannya dengan langkah-langkah yang diambilnya di Tanah Perdikan ini."
Putut Mawekas menarik nafas panjang.
"Putut Mawekas," bertanya Ki Gede kemudian, "Jika kau mengetahuinya, siapa sajakah orang-orang yang telah berhubungan dengan gurumu sebelum ia mengambil langkah-langkah yang menyesatkan itu " Jika kau mengetahuinya dan bersedia mengatakannya, mungkin kami dapat menelusuri jejak dari orang-orang yang akan mengambil keuntungan dari gejolak yang terjadi di Tanah Perdikan ini."
"Tidak ada orang lain yang mempengaruhinya," jawab Putut itu, "guru yakin bahwa langkah yang diambilnya itu benar."
"Keyakinan memang mahal harganya. Tetapi keyakinan yang melawan kebenaran akan berakibat sangat buruk. Bahkan seandainya gurumu berhasil menundukkan Tanah Perdikan ini, maka akibatnya tentu masih akan berkepanjangan. Kau kira gurumu akan dapat menemukan jalan yang akan dapat disetujui bersama dengan Ki Demang Pudak Lawang?"
Putut Mawekas itu terdiam. Ia memang tidak mengetahui secara terperinci rencana gurunya. Yang diketahuinya hanyalah garis besarnya saja.
Karena Putut itu tidak menjawab, maka Ki Gedepun bertanya pula, "Kau kenal sahabat-sahabat dekat gurumu?"
"Ada beberapa orang yang aku kenal, Ki Gede," jawab Putut itu.
"Siapakah diantara mereka yang paling menarik perhatianmu" Atau mereka yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap gurumu serta perguruanmu?"
"Guru adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, bukan guru yang terpengaruh oleh orang-orang yang dekat dengannya, tetapi sebaliknya pengaruh guru kepada merekalah yang cukup besar."
"Jadi menurut jalan pikiranmu, orang yang lebih tinggi ilmunya sajalah yang dapat memberikan pengaruh kepada orang lain yang lebih rendah tingkat ilmunya."
"Ya." "Itukah yang terjadi?"
"Menurut pendapatku, ya."
Ki Gede mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun berkata, "Kau keliru Putut Mawekas. Meskipun tataran ilmunya lebih rendah, tetapi jika ia memiliki kelicikan dan kecerdikan yang lebih tinggi, maka ia akan dapat memperalat orang yang ilmu kanuragannya lebih tinggi."
"Guruku tidak akan diperalat oleh seseorang."
"Baiklah. Jika demikian aku dapat mengerti sifat dan watak gurumu."
"Maksud Ki Gede?"
"Apa yang nampak itu benar-benar pancaran dari sikap jiwanya. Ia benar-benar seorang yang berhati kelam."
"Kenapa ?" "Gurumu telah dicengkam oleh perasaan iri hati, tamak dan nafsu iblis yang tidak terkendali. Semua itu timbul murni dari dirinya sendiri. Berbeda dengan mereka yang karena bujukan atau katakan dipengaruhi oleh orang lain. Mungkin karena hatinya yang sedang goyah atau karena sebab-sebab lain, maka mereka dapat termakan oleh bujukan."
Putut Mawekas itu terdiam. Sementara Ki Gedepun berkata, "Jika demikian, maka kami tidak akan pernah memaafkan kesalahannya meskipun gurumu sudah terbunuh."
Putut Mawekas tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi semakin menunduk.
"Baiklah. Tidak ada persoalan lagi yang perlu kita bicarakan. Kami tahu, bagaimana kami harus bersikap."
Putut Mawekas masih saja berdiam diri. Ada sesuatu yang terasa bergejolak didalam dadanya. Namun Putut Mawekas itu tidak berkata apa-apa lagi.
"Baiklah Mawekas. Kau dapat beristirahat. Besok kau dan beberapa kawanmu dapat meninggalkan padukuhan ini untuk membawa mayat kakang Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak kembali ke padukuhanmu."
"Terima kasih, Ki Gede."
Tetapi Putut Mawekas tidak segera beranjak, sehingga Ki Gede justru bertanya, "Apakah masih ada yang ingin kau katakan?"
"Ki Gede," berkata Putut itu kemudian, "aku mohon maaf, bahwa tidak semua yang aku katakan itu benar."
"Maksudmu?" "Guru memang mempunyai beberapa orang sahabat. Aku memang tidak tahu dengan pasti, apakah guru telah terpengaruh oleh mereka atau salah seorang dari mereka. Tetapi yang aku tahu, guru memang pernah berbicara dengan mereka tentang Tanah Perdikan ini."
"Siapa saja yang kau ketahui pernah berbicara dengan gurumu tentang Tanah Perdikan ini."
"Beberapa orang. Seorang diantaranya adalah seorang pemimpin dari sebuah perguruan yang sangat terkenal."
"Perguruan apa?"
"Perguruan yang dipimpin oleh seorang yang berilmu tinggi dan mempunyai sejenis senjata yang khusus."
"Senjata apa?" "Aku menjadi heran dan bertanya-tanya ketika aku juga melihat jenis senjata yang sama di Tanah Perdikan ini."
"Apakah ujud senjata itu?"
"Tongkat baja putih. Di pangkalnya terdapat ujud tengkorak kecil berwarna kuning keemasan."
Yang mendengar keterangan Putut Mawekas itu terkejut. Bahkan dengan serta-merta Glagah Putih menyahut, "Saba Lintang."
Putut itulah yang terkejut. Dipandangilah laki-laki muda yang telah berhasil membunuh Soma itu.
"Darimana kau tahu namanya" " Putut itu bertanya.
"Kami mengenalnya dengan baik " jawab Glagah Putih.
"Ia pernah datang kemari?"
"Ya. Ia pernah datang kemari. Dengan beberapa orang pengikutnya, namun juga pernah datang dengan pasukan segelar sepapan. Tetapi tidak pernah berhasil."
Putut itu menarik nafas panjang.
"Jika demikian, aku berani mengambil kesimpulan, bahwa Ki Saba Lintang telah mempengaruhi gurumu, Ki Kapat Argajalu. Setidak-tidaknya memberikan dorongan untuk melakukan sebagaimana yang telah dilakukannya."
Tetapi Putut Mawekas itu menjawab dengan serta-merta. "Sikap guruku adalah mandiri. Tidak ada orang yang mempengaruhinya. Ia dapat mengambil keputusan menurut kemauannya sendiri."
"Kaulah yang dungu. Kau tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan gurumu. Mungkin gurumu mempunyai rencananya sendiri. Bahkan mungkin gurumu sudah siap berkhianat terhadap Ki Saba Lintang. Tetapi gagasan untuk menguasai Tanah ini tentu timbul dari hasutan Ki Saba Lintang. Ternyata hasutan itu menyentuh hati Ki Kapat Argajalu. Lalu ia membuat rencananya sendiri."
"Yang benar adalah guru membuat rencananya sendiri."
"Tidak," bentak Glagah Putih, "kau benar-benar dungu. Gurumu juga dungu. Mungkin gurumu menganggap dirinya cerdik. Mungkin gurumu merasa bahwa pada suatu hari ia akan dapat mempermainkan Ki Saba Lintang. Tetapi seandainya gurumu berhasil, maka ia tidak akan lebih dari seekor cengkerik aduan yang digelitik dengan kembang rumput."
"Omong kosong. Kau jangan asal dapat membuka mulutmu."
Glagah Putih menjadi snagat marah. Dengan keras ia berkata, "Ternyata kau tidak akan pernah dapat membawa mayat gurumu keluar dari Tanah Perdikan Menoreh. Aku dapat membunuhmu lebih cepat dari membunuh Soma."
Wajah putut itu menjadi merah. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia berhadapan dengan seorang yang masih terhitung muda namun berilmu tinggi.
Tetapi sebelum putut itu menjawab, terdengar Ki Gede menengahi, "Sudahlah. Kita tahu apa yang sudah terjadi. Kakang Kapat Argajalu tentu terpengaruh oleh Ki Saba Lintang. Diakui atau tidak diakui. Baik oleh Kakang Kapat Argajalu sendiri seandainya ia masih hidup, atau oleh para cantrik dan pututnya. Tetapi itu tidak penting. Meskipun demikian, kami akan mengucapkan terima kasih jika kau atau salah seorang diantara kalian yang mengetahui jalur hubungan dengan Ki Saba Lintang, dapat memberi tahukan kepada kami."
Wajah Putut itu menjadi semakin tegang. Bahkan iapun berkata, "Jadi Ki Gede juga merendahkan guruku" Bahkan mencoba untuk mempengaruhi agar aku atau salah seorang diantara kami berkhianat terhadap orang-orang yang mempercayai dan dipercayai oleh guru ?"
"Diam kau," bentak Glagah Putih, "dengar sekali lagi. Aku dapat nembunuhmu."
Pusaka Bernyawa 1 Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Pendekar Bayangan Malaikat 8

Cari Blog Ini