Ceritasilat Novel Online

Titik Nol 8

Titik Nol Karya Agustinus Wibowo Bagian 8


tempat persinggahan, tempat bersilangnya Asia Tengah dengan tanah Hindustan, bersinggungnya jalan dari Persia menuju Tiongkok, tempat berpendarnya fantasi-fantasi negeri misteri" Organisasi Turisme Afghanistan mulai gencar berpromosi, dengan brosur dan peta peninggalan zaman hippies. Kedutaan Afghanistan pun royal menerbitkan visa turis kepada siapa pun yang mau bertandang. Perubahan, mereka yakin, akan segera datang.
Tapi sudah kadung ada tanda sama dengan antara Afghanistan dan perang , sehingga kata turis dan Afghanistan itu memang bukan pasangan pas. Rasanya ada yang salah dengan nama Organisasi Turisme Afghanistan dan visa turis Afghanistan . Bahkan orang Afghan sendiri pun sering keseleo lidah antara turis dan teroris ( Bom di Kandahar itu gara-gara turis. atau Afghanistan perlu promosi supaya lebih banyak tururisti. ). War tourism memang adalah ironi negeri perang. Kulihat bus besar mengangkut happy tourist dari Korea melintasi perbatasan Pakistan di Khyber Pass, dengan pemandu yang menyelip antrean sambil membawa setumpuk paspor hijau dan gepokan dolar. Rombongan puluhan turis berangkat ke Danau Band-e- Amir di Bamiyan yang tersohor, membawa gitar, memancing, menari di sekeliling api unggun. Dalam hati aku bertanya, apakah Afghanistan sungguh akan menjadi Disneyland berikutnya.
Enam tahun berlalu sejak Taliban jatuh. Tatap mata penuh pengharapan orang Afghan yang dulu membuatku jatuh cinta itu, kini justru telah menyurut, seiring dengan memudarnya harapan. Mereka lelah, mereka kecewa. Salam dan doa yang selalu mereka ucapkan memang adalah Assalamualaikum, Semoga damai bersamamu , tapi perdamaian justru semakin jauh dari
mereka. Negeri masih porak poranda, anak jalanan masih berkeliaran di mana-mana, perempuan masih ketakutan. Orang tetap miskin kelaparan. Kriminalitas merajalela, keamanan malah jauh lebih buruk dibanding zaman Taliban. Mana perubahan yang dijanjikan" Mana perbaikan yang diimpikan"
Afghanistan, sekali lagi, jadi tempat persinggahan. Orang asing dan dunia internasional berbondong ke negeri perang, meneriakkan slogan-slogan demokratisasi dan kemanusiaan. Para ekspat mendapat gaji bulanan setara pendapatan rata-rata orang Afghan bekerja nonstop selama tiga puluh sampai seratus tahun, merayakan akhir pekan dengan pesta salsa di tepi kolam renang pemondokan PBB, berliburan hingga ke Dubai dan Maladewa semua itu dengan dana yang dianggarkan untuk membantu rakyat Afghan. Ini adalah negeri di mana tentara asing mancanegara berpatroli dengan tank dan senapan dalam kondisi siaga, dengan alat khusus yang bisa mengacaukan semua sinyal telepon seluler sepanjang jalan yang dilewati, menimbulkan kemacetan parah lautan mobil tua dan gerobak keledai. Ini adalah negeri yang dengan kemiskinannya dan penderitaannya justru menyuapi para staf asing. Ini adalah negeri di mana kemelaratan mendatangkan para pekerja kemanusiaan, yang katanya hendak membantu tapi malah terisolasi dari masyarakat yang mereka bantu, menentukan nasib negeri ini dari balik tembok kantor sempit mereka masing-masing, tak pernah menginjak bumi Afghan dengan dalih buruknya keamanan setelah mereka hitung dengan formula ampuh: risk = threat " vulnerability. Ini adalah negeri yang berada di urutan terdepan negara termiskin dan negara paling gagal di dunia, sekaligus negeri dengan tingkat korupsi paling parah namun menawarkan kesempatan
aliran uang paling dahsyat bagi barang siapa yang tahu caranya. Ini adalah negeri yang penuh kisah tragedi dan penderitaan, namun justru punya supermagnet yang menarik para jurnalis, fotografer, pembuat film, penulis, petualang, pesepeda, backpacker, pengusaha, konsultan, investor... setiap orang datang dengan agenda masing-masing.
Dan aku pun adalah bagian dari mereka.
Kini tengoklah, tatap mata penuh harapan itu berubah menjadi tatap mata penuh kebencian. Sudah tak ada sambutan meluap-luap untuk orang asing, sudah tak ada rasa penasaran penuh impian lagi. Kalau dulu aku sering sendirian menyusuri Bazaar Kabul di tepi sungai yang penuh energi itu, kini sudah tak berani lagi. Seorang teman jurnalis China pernah kehilangan kamera, dirampok di siang bolong di tengah keramaian pasar. Jalanan Kabul makin bahaya. Awas diculik! Awas dirampok! Awas kena bom!
Ini bukan ancaman bohong. Barusan dua puluh tiga orang Korea dalam satu bus, mayoritas perempuan, diculik sekaligus. Semula mereka dikira rombongan turis yang baru pulang dari piknik di Kandahar, tapi ternyata anggota gereja misionaris dari Seoul yang ditengarai berusaha menyebarkan agama Kristen di tengah masyarakat Muslim konservatif Afghan. Orang-orang Korea mungkin memang terlalu optimis atau kurang pengetahuan, tahun kemarin mereka sempat mengajukan usulan edan bikin parade budaya internasional, karnaval jalan darat melintasi provinsi-provinsi Afghanistan selatan yang penuh roket dan gerilyawan Taliban.
Ini kasus penculikan terbesar mahakarya Taliban. Mereka menuntut semua pasukan Korea angkat kaki, juga minta semua
anggota Taliban yang dipenjara segera dibebaskan. Kalau tuntutan tak dipenuhi, maka para tawanan Korea akan dibunuh, satu nyawa melayang tiap dua puluh empat jam. Kabul dicekam ketakutan. Penculikan jadi krisis internasional. Taliban ternyata bukan cuma gertak sambal kecap. Lima hari berselang, mereka penuhi janji: pendeta pemimpin rombongan diberondong peluru. Pemerintah Kabul kalang kabut, ultimatum makin mepet. Satu lagi tawanan Korea ditembak, Taliban bilang solusi masalah sebenarnya mudah, jangan dibikin susah. Bebaskan orang-orang kami, dan kami kembalikan sisa orang Korea. Bukan dolar, bukan euro, hanya keluarkan para Taliban dari kurungan.
Akankah barter ini dituruti" Tak bakal sesederhana itu, kukira. Tak ada yang mengakui dan pemerintah selalu menutupi, tapi pembebasan sandera tentu melibatkan uang-uang, negosiasi pemenuhan tuntutan-tuntutan. Beberapa saat lalu seorang jurnalis Italia yang diculik akhirnya dibebaskan dengan ditukar lima narapidana anggota Taliban. Presiden Karzai menyelamatkan nyawa perempuan itu, tetapi malah disemprot kritikan mana-mana, katanya ini bisa memotivasi penculikan-penculikan berikutnya. Afghanistan semakin mirip Irak. Bukan cuma ledakan bom-bom ala Baghdad yang sekali meletup mampu merenggut lusinan nyawa, penculikan pun jadi tren jalan pintas bin gampang untuk memenangkan negosiasi sekaligus menyedot perhatian media.
Dalam beberapa bulan ini saja, ada kasus insinyur Jerman yang diculik dan dibunuh, wanita hamil dari Jerman yang diculik di depan toko roti, dan seorang perempuan pekerja sosial dari Inggris yang ditembak mati di jalan dengan tuduhan menyebarkan agama Kristen . Keberadaan orang asing di Kabul
jadi beban keamanan. Pemerintah ambil langkah darurat: semua orang asing dilarang bepergian meninggalkan kota Kabul dengan jalan darat. Kecuali sanggup bayar tiket pesawat, semua orang asing terisolasi di dalam kota, tak bisa ke mana-mana. Para backpacker turis perang dan pesepeda mengeluh, Afghanistan jadi destinasi yang makin mahal dan gawat, padahal buku panduan Lonely Planet khusus Afghanistan barusan terbit. Pemerintah Afghan tentu tak ambil pusing soal remehtemeh ini, malah bakal tambah stres kalau orang asing terusterusan diculik dan Taliban terus-terusan minta tebusan.
Hari Kemerdekaan, perayaan rutin yang penuh ironi. Pada ulang tahun Afghanistan ke-88, sebuah perayaan akbar digelar di Stadion Ghazi tempat yang hanya beberapa tahun lalu digunakan Taliban sebagai lokasi eksekusi rajam narapidana. Lelaki-lelaki Afghan dari berbagai etnis mengenakan jubah kebesaran, berparade gagah. Para perempuan memakai busana warna-warni lengkap dengan sulaman benang emas. Belum lagi parade atlet tangguh, barisan tentara yang berderap seragam, semua memamerkan langkah kebanggaan di hadapan Presiden Karzai yang tersenyum lebar melambai-lambaikan tangan.
Stadion Ghazi gegap gempita, tapi tepat di luar pagar stadion, yang ada hanya kesenyapan. Aku berjalan keliling kota, tak kulihat tanda-tanda apa pun dari sebuah perayaan, kecuali spanduk dan bendera triwarna yang menghiasi monumen pinggir jalan. Lengang, toko-toko tutup. Tentara malah di mana-mana, karena serangan teroris sangat mungkin terjadi di hari istimewa. Para pekerja kantoran gembira karena ini tanggal merah. Tapi kebanggaan setelah merdeka 88 tahun" Tak terasakan. Kebanggaan" Ya, itu memang kebanggaan, tapi cuma di
zaman raja-raja, zaman Amanullah, dan Zahir Shah, dan Daoud. Itulah kebanggaan ketika Afghanistan benar-benar negara merdeka. Itu dulu, bukan sekarang. Bagaimana kita bisa bilang kita merdeka, kalau orang-orang asing ini tetap ada, berkeliaran di mana-mana" ujar seorang rekan, pemuda Pashtun terpelajar yang sangat fasih bercakap bahasa Inggris bahasa para orang asing.
Bagaimana mereka merayakan kemerdekaan, kalau tentara asing masih berpatroli, dan dunia mancanegara ikut menentukan hukum nasional" Apakah itu merdeka, kalau keamanan masihlah lelucon konyol" Nilai nyawa manusia memang tak pernah setara. Ketika seorang wanita asing dari negara donor diculik, seketika dia menjadi headline internasional, lengkap dengan profil dan kisah hidup inspiratif. Sementara ketika janda perang anonim terbungkus burqa mati kelaparan di jalan, atau seorang pengusaha Afghan mendadak hilang, itu tak cukup berharga untuk menjadi sebaris berita, bahkan di koran lokal sekalipun.
Kemerdekaan paling utama itu sesungguhnya adalah kemerdekaan dari rasa takut, kemerdekaan untuk hidup dan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia normal. Itulah sebabnya, negeri perang ini justru bertaburan dengan slogan-slogan perdamaian . Nama perdamaian disebut di mana-mana, dalam pidato, dalam dakwah, buku-buku pelajaran, surat kabar. Seperti halnya negeri-negeri otoriter yang terus mendengungkan kata demokrasi, kata perdamaian pun begitu murah di sini. Radio Perdamaian, Televisi Perdamaian, Hari Perdamaian, Sukarelawan Perdamaian, Pasukan Perdamaian, Pameran Foto Perdamaian....
Ketika kebanggaan akan kemerdekaan memudar, maka hari kemerdekaan dengan seruan perdamaian pun tak lebih sebagai
hari libur sehari dengan parade karnaval warna-warni, hanya di dalam stadion.
Semua kebanggaan pudar sudah. Ketika badai datang, aku malah undur diri.
Dengan dalih menyambung perjalanan perahu keluarga yang hampir karam, aku memilih pergi ke balik layar. Mencari uang, meminjam uang, memohon bantuan dan kewelasasihan semua orang. Sejatinya semua hal yang bertentangan dengan nurani ini kulakukan hanya baginya, bagi keluarga.
Tapi, aku tak ada di sisinya. Aku tak mampu menemaninya melewati ujian dan perjuangan paling berat. Aku tak mampu menenangkan hatinya menuju peristirahatan.
Oh, masihkah aku anak yang berbakti" Ataukah aku hanya pengecut yang lari dari keadaan"
Amarah, kesedihan, penyesalan, ketidakberdayaan, kekhawatiran, ketakutan, bersama datang menyerang. Ribuan kilometer jauhnya, di Beijing yang gerah, aku bersila dalam meditasi.
Sebagai anggota komunitas orang asing yang berkeliaran di negeri Afghan, aku akhirnya merasakan langsung ketakutan akibat kebencian itu.
Hampir tengah malam, aku sendirian menumpang taksi dari rumah kawan. Sopir mulai menyetir mobilnya lambat-lambat, mengarungi jalanan Kabul yang gelap total.
Beri dua puluh dolar!!! bentaknya tiba-tiba. Aku tercekat. Terbata-bata, kubilang tak punya.
Dia langsung meraba kakiku, mencengkeram kencang, merayap ke sekitar saku tempat aku menaruh dompet. Ketahuan! Kamu punya uang! Ayo, berikan uangmu. Cepat!
Ayolah, barodar jon! Abang tercinta! Aku adalah mehman, tamu. Tolong.
Dia tak menggubris. Aku juga Muslim, aku berbohong. Kita adalah sahabat. Paisa bede! Berikan uangnya! Dia menatap langsung mataku ketika meraba kakiku. Tatap mata dalam-dalam khas orang Afghan, kali ini adalah tatap mata menyelidik dan meneror, seolah berkata, Kamu penipu! Jangan coba main-main denganku!
Dia menyetir ke arah jalan yang tak kukenal. Aku tak pernah lihat gelap yang sesempurna ini, tak ada bayangan dan lampu sama sekali. Bahkan bulan pun tak bersinar. Nasibku sepenuhnya di tangannya.
Akankah aku diculik" Aku pernah dengar bahayanya taksi di Kabul, yang bahkan merampok dan menculik penumpang di siang hari bolong, bersenjata pistol atau Kalashnikov. Dirampok sopir taksi bukan yang paling seram, tetapi kalau sampai diculik, maka habislah. Penculik lalu menjual si orang asing ke tangan Taliban atau milisi lainnya, yang kemudian menuntut tebusan berjuta dolar. Kasus penculikan bisa berubah motif dari kriminalitas jadi politis, bahkan mencuat jadi krisis internasional seperti penculikan orang-orang Korea beberapa bulan lalu.
Bagai sandera ditutup mata, aku hilang arah. Gelap itu merasuk-rasuk, Kabul seperti kekosongan luas tak terhingga, samarsamar gunung-gemunung berbaris di kejauhan. Ketakutan membuatku tak lagi bisa berpikir rasional. Aku mulai membaca doa dari Al Quran, yang sudah kuhafal sejak masa sekolah. Rabbana
atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina adzabannar.... Kubaca berulang-ulang, keras-keras. Aku tak tahu apakah doa ini pantas dibaca dalam kondisi sekarang. Dari sekian banyak doa sudah kuhafal, hanya ini yang terlintas di benak. Kubaca terus, semakin cepat, semakin keras.
Lelaki itu marah. DIAM! DIAM! Sudah, jangan kaubaca lagi! Aku tahu kamu itu Muslim. Aku juga bakal jadi Muslim lagi setelah kau berikan uangmu. Ayo! Cepat!
Barodar jon... aku akan beri kamu seratus dolar. Tapi, antar aku pulang dulu, kataku, setengah menangis, setengah memohon. Aku janji! Antarkan aku pulang dulu. Rabbana atina fiddunya....
Mukjizat-kah" Karena bacaan doa-doa itu tadi" Tiba-tiba perampok merangkap calon penculik ini banting setir, putar haluan, seratus delapan puluh derajat.
Ketika sudah kurang sedikit lagi sampai, kurapatkan diriku ke arah jendela. Semakin jauh, semakin jauh dari dirinya. Perlahan, kubuka pintu. Eh, mana pembukanya" Dia lihat gelagatku. Dia cengkeram pahaku semakin erat dengan tangan kiri. Klik. Klik. Aduh, dikunci. Mana kuncinya" Tanganku terus meraba-raba. Berhasil! Sedetik kemudian, aku langsung loncat, lari, terpeleset, bergulung-gulung di atas salju tipis.
Dari arah berlawanan, dua mobil melintas, nyaris menabrakku. Aku terus berlari. Aku menjerit, berlari, di tengah gelap malam Kabul.
Aku bukan pahlawan dalam novel hidup ini. Aku tidak memenuhi harapan orang-orang tentang anak berbakti ideal, mengawal Bunda sampai ke pintu ajal.
Lihatlah itu si sulung meninggalkan ibu begitu saja, sementara si bungsu sendirian menghadapi bencana. Si sulung pergi jauh ke ibukota, diundang ke sana kemari bak pendongeng idola berkisah tentang petualangan ke negeri antah-berantah, tersenyum sambil membubuhkan tanda tangan bagi para pembaca.
Lihat pula, dengan pesawat, si sulung sudah terbang jauh ribuan kilometer ke Beijing yang modern, hidup enak di sana, kabur dari masalah. Kamu tidak sayang Mama! Omonganmu cuma basa-basi! Kamu bakal menyesal seumur hidup! Kamu anak tidak berbakti! Pantaskah", orang-orang menuding.
Apakah dia sudah mati rasa", orang-orang mencibir.
Nyawa kecilku masih selamat. Near-death experience membuat kematian berkurang menakutkannya. Orang bilang, jangan-jangan itu proses menuju mati rasa.
Hidup di medan perang mengingatkanku pada sebuah eksperimen (yang tidak perlu dicoba sendiri di rumah) tentang kodok yang dicemplungkan dalam panci berisi air hangat. Suhu air dinaikkan sedikit, si kodok akan belingsatan, sampai dia terbiasa dengan suhu itu, lalu menjadi tenang, menerima keadaan. Suhu air perlahan-lahan dinaikkan sedikit lagi lalu distabilkan, si kodok pun belingsatan, sampai akhirnya terbiasa dan nyaman. Begitu terus-menerus. Si kodok selalu berusaha menyesuaikan dengan perubahan temperatur, dan tetap adem ayem walau
suhu sudah bertambah gerah. Si kodok selalu beradaptasi, ancaman jiwa pun jadi terasa lumrah. Hingga pada akhirnya, si kodok itu mati terebus dalam air mendidih, karena hewan itu sudah terlalu terbiasa mengadaptasikan diri dan menerima keadaan, sampai-sampai lupa untuk meloncat keluar panci.
Adaptasi dan toleransi terhadap kekerasan akan menimpa siapa saja yang terkondisi untuk hidup dalam situasi seperti ini. Hanya tiga minggu sejak kedatanganku ke Kabul, aku sudah merasakan perubahan ini terjadi dalam diriku. Di sebuah restoran yang dikelilingi tembok tebal, aku makan bersama teman-teman diplomat dari kedutaan Indonesia, tiba-tiba terdengar ledakan dahsyat. Apa itu, tanya satu teman. Cuma bom, kata yang lain. Ya, jangan khawatir, itu cuma bom. Dan kami pun melanjutkan melahap burger plus spageti, tanpa terkurangi sedikit pun kenikmatannya. Tak ada yang istimewa, tak ada yang perlu dikhawatirkan, tak ada yang perlu diingat-ingat.
Tinggal terlalu lama di sini, aku pun khawatir ada bagian dari rasa kemanusiaanku yang bakal hilang. Ketika bom meledak di pagi hari, guncangannya bagaikan jam beker yang membuatku terbangun dan memulai aktivitas normal. Ketika bom meledak di siang hari, biasanya jurnalis kalang-kabut untuk memberikan laporan terbaru, memperbarui jumlah korban, lalu merilis berita, sementara fotografer sikut-sikutan di lapangan demi foto yang paling eksklusif. Setelah itu, kehidupan pun normal kembali, tanpa jejak dari tragedi yang baru saja dilewati. Sudah tak ada lagi gemuruh perasaan ketika aku memotret potongan kepala yang terpisah dari tubuh, luka berdarah-darah korban bom, kaki buntung dikerubung lalat, bocah gelandangan yang tubuhnya hanya tinggal kepala sampai perut, atau pecandu opium
bermata merah yang diborgol dan berontak seperti anjing gila. Semua pemandangan itu sudah jadi biasa.
Orang bilang, jurnalis di medan perang adalah sebuah ironi. Pekerjaan kami bergelut dengan kemelut dan kesengsaraan orang-orang. Ledakan bom dan kematian adalah sumber fotofoto dan cerita menggetarkan. Kemiskinan dan ratapan air mata justru mengisi pundi-pundi kami, objek yang kami jual. Penculikan, pembunuhan, pembantaian... wajah kelam realita peperangan justru menjadi surga bagi para jurnalis pencari berita.
Afghanistan adalah ibukota berita dunia, setiap hari rajin mengisi slot breaking news. Semua mata tertuju ke sini. Tempat tinggal Hamid Karzai tak lebih dari satu kilometer jauhnya dari tempatku menggelar matras. Lokasi pengeboman yang muncul kemarin di televisi, kementerian yang ditembaki penyerang misterius, cuma beberapa langkah kaki saja jaraknya. Afghanistan adalah destinasi seksi, primadona, anak emas media, lahan paling subur bagi jurnalis berbagai jenis yang datang berbondongbondong untuk menghasilkan masterpiece stories. Tengoklah, mayoritas foto-foto jurnalistik yang memenangkan hadiah paling bergengsi dan terhormat di kancah internasional itu berhubungan dengan penderitaan, entah itu perang, bencana, serangan teror, wabah penyakit, kemiskinan. Lokasi didominasi negara-negara seperti Irak, Afghanistan, Pakistan, Somalia, Sudan, Palestina, Lebanon. Bad news is good news. Buku-buku tentang Afghanistan yang membanjiri rak toko juga tidak jauhjauh dari perang dan segala eksesnya: konflik etnis, radikalisme, Taliban, terorisme, ketidakadilan gender, burqa, pecandu opium, kemiskinan. Media semakin mengukuhkan hubungan antara
kosakata negatif yang selalu sama itu dengan negara-negara yang itu-itu melulu.
Terlepas dari teori para moralis, menjadi jurnalis medan perang berarti melihat semua horor yang mencekam benak manusia dengan mata kepala sendiri. Ketika menyaksikan korban bom mengaduh minta tolong, atas nama tugas kau cuma bisa menjepretkan kamera dan mewartakan. Ketika kakimu digandoli anak jalanan yang merintih selepas kaupotreti, kau cuma bisa memendam sesal di dalam hati: Maaf, Dik, aku tak mampu mengubah hidupmu.
Tidak adakah dilema dalam nurani"
Orang awam sering melihat pekerjaan ini sangat tidak manusiawi. Ketika menyaksikan penderitaan manusia yang berada pada detik-detik menjelang kematian, masih pantaskah jurnalis itu menjeprat-jepretkan kamera dan menjadi pengintip detik kehidupan paling mengenaskan itu, momen paling hina dan memalukan, proses perlintasan garis batas paling mengerikan di akhir sebuah kehidupan" Masih wajarkah jika jurnalis memperoleh imbalan atas gambar-gambar tragedi kemiskinan yang dijual ke seluruh dunia itu" Mengapa si jurnalis tidak melempar kameranya dan langsung menolong korban dengan tangannya sendiri"
Dalam buku War and Peace , sang maestro Leo Tolstoy menulis, ketika manusia melihat hewan menjelang kematian, maka ketakutan akan muncul dalam dirinya, karena dalam hewan itu dia melihat dirinya sendiri, keberadaannya sendiri, terangterangan dihancurkan di hadapan matanya. Tetapi ketika yang dilihat adalah kematian manusia lain, apalagi orang yang disayangi, maka selain ketakutan juga akan muncul sebuah luka
spiritual, yang terkadang membunuh, terkadang menyembuhkan. Sometimes kills, and sometimes heals.
Jurnalis harus berhadapan dengan semua ketakutannya sendiri, semua kesedihan dan konflik batinnya, demi mewartakan realita laksana siksa neraka ini. Mengapa harus lari dari kematian dan kenyataan" Bukankah itu memang risiko yang harus dihadapi ketika kita benar-benar memutuskan untuk menceburkan diri ke dalam kemanusiaan, di mana realita hidup ini sering kali kebalikan dari idealisme impian"
Di satu titik, ketika kematian sudah begitu lumrah di hadapan mata, ketika kemiskinan parah dan kaki-kaki buntung itu sudah begitu overexposed, ketika fenomena dog eats dog terwujud dalam dunia manusia, dan serpihan daging pun tak ada bedanya lagi dengan semak belukar, maka ada sejumput rasa yang mati. Semua jadi biasa. Di hadapan ini semua, kami samasama manusia lemah yang berjuang untuk mempertahankan keberlanjutan napas. Ketika nyawa sudah begitu murah, setiap embusan napas sungguh justru terasa sangat berharga.
Perang tak punya iba, bom tak punya mata, tapi setidaknya manusia tetap punya jiwa dan rasa.
Seperti kata Tolstoy, sometimes kills, sometimes heals.
Bagaimanakah rasanya kematian itu" Adakah sakit ketika jantung berhenti berdetak, napas berhenti terembus, mata berhenti melihat, darah berhenti mengalir, mimpi-mimpi berhenti berputar" Apakah rasanya gelap yang menandai berakhirnya hidup, sementara dunia berwarna di sekeliling tetap
berjalan seperti biasa" Apakah itu penderitaan, atau justru pembebasan dari siksaan rasa sakit dan deraan mimpi-mimpi tinggi"
Jauh terpisah ribuan kilometer, siksaan batin justru lebih menyakitkan. Dalam sunyi, pikiran selalu terlayang pada Mama di seberang lautan yang berjuang di atas ranjang. Takut membuat kita jadi egois. Di titik inilah, cinta dan kerelaan berbenturan.
Apa harus aku berdoa agar umurnya dipanjangkan" Atau, berdosakah aku jika memohon agar jalan pulang -nya cepat-cepat saja dilapangkan" Biarlah Dia yang mengatur, biarlah Dia yang menentukan. Katanya, air mata lelaki tak boleh murah. Tapi, siapa lagi yang peduli sekarang"
Tatap-tatap mata berkedap-kedip tanpa daya. Di bangsal yang gerah ini, lalat-lalat berdengung berisik, seolah tak sabar menunggu mangsa yang segera membusuk. Bocah-bocah mungil kurus kering, tinggal tengkorak yang dibungkus kulit. Mereka hanya terbaring, seperti menanti suatu penghabisan. Energi mereka cuma cukup untuk bernapas, tak ada lagi sisanya untuk tertawa atau sekadar menoleh. Berkedip, berkedip, berkedip... tatap mata terpaku ke langit-langit. Kosong, tanpa cahaya, tanpa harapan.
Kamera tergantung di leherku. Tugasku mengabadikan krisis pangan yang menghantam Afghanistan. Aku mengangkat kamera, mengintip dari balik lensa. Tatap mata itu, bulat besar tersorot langsung kepadaku. Wajah bayi itu, baru tujuh bulan umurnya, tapi kerut-merut menampilkan horor wajah kakek tujuh puluhan tahun. Tubuh mungil itu terbaring di atas ranjang kecil dengan kerangkeng di keempat sisi. Rambutnya berdiri seperti orang kesetrum. Diameter tangannya itu hanya seukuran jariku. Kembali kutatap wajah itu dengan mataku, kembali kuintip dari balik lensaku.
Jepret. Tangisnya meledak. Tangis sesenggukan yang sudah kehabisan air mata. Ketakutan membayangi tubuh si kecil. Orang asing datang dengan benda aneh seukuran kepalanya, membidik tepat di atas matanya.
Jantungku terus berdebar kencang. Pantaskah" Pantaskah aku, yang tak mampu lagi membawa kata-kata menghibur bagi ibunya yang pasrah itu, meneruskan pekerjaanku ini" Justru tatap mata bayi mungil lemah tanpa daya itu mengobrak-abrik semua ketegaranku, jauh lebih dahsyat daripada bom sekuat apa pun. Tatapan sesosok makhluk yang masih bernapas, tapi entah akan bertahan berapa lama. Si ibu diam saja. Dia memandangku. Ini tatap mata kuyu, seolah berkata, Tolonglah anakku. Tolonglah, apa pun yang kau bisa.
Si ibu menggendong anaknya, menggoyang-goyang agar terhenti tangisnya. Dia menyendokkan susu ke mulut bayi. Cairan putih hanya melintas sebentar di mulut, lalu keluar lagi. Sudah seminggu mereka di sini, bayi tak juga mau makan. Si ibu mulai putus harapan. Bayi semakin lemah, terus melemah, katanya. Mereka pun sudah tak punya apa-apa lagi. Mereka ingin si bayi kembali sembuh, tapi mereka juga tak tega tak kuat lagi hidup seperti ini. Suami telah jual semua ternak hanya untuk beli makan. Tapi harga-harga terus meroket, gagal pangan di Afghanistan menyebabkan gandum naik sampai lima ratus persen. Musim dingin kemarin, orang-orang mati gara-gara terkurung salju sampai berbulan-bulan di pedalaman negeri. Ratusan" Ribuan" Tak ada yang tahu pasti. Dan mereka yang tinggal jauh dari kota, jauh dari pusat perhatian media, semakin tak terdengar suaranya sama sekali.
Aku si fotografer, dan temanku si penulis, kini jadi tumpuan harapan para ibu di bangsal rumah sakit. Semua menggendong bayi mereka yang lemah dan kelaparan. Tanyailah aku! Ayo! mereka berseru kencang. Dengarlah kisahku! Dengarlah! Catatlah!
Mereka menaruh harap pada jurnalis, yang tugasnya menyampaikan ratapan orang-orang kecil yang dilupakan dunia, menjadi suara bagi mereka yang tak bersuara. Laporan-laporan realita adalah demi menyibak sisi manusiawi dari kehidupan di negeri yang sama sekali tidak manusiawi. Menunjukkan bahwa di negeri perang seperti ini, masih ada lapisan yang sering diabaikan media arus utama: air mata, harapan, martabat, kebanggaan.
Tak ada perang yang cuma tentang perang. Ketika dunia sibuk membicarakan keamanan dan pengerahan tentara NATO, serangan terorisme dan radikalisasi, demokratisasi dan kesetaraan gender, sesungguhnya hal yang diperhatikan orangorang di sini teramat sederhana: makan.
Mereka lapar. Seorang ibu berkata, Mimpi terakhirku" Mimpiku kemarin malam adalah makan sepiring nasi. Enak sekali, tapi waktu bangun perutku lapar lagi. Makan daging" Aku lupa kapan terakhir, mungkin beberapa tahun lalu. Sekarang makanan kami adalah jawawut, sudah sama seperti yang dimakan hewan-hewan ternak.
Ayah bocah lapar mengatakan, Lebih baik aku jadi pelaku bom bunuh diri daripada mati sia-sia begini. Setidaknya, aku memang mati, tapi aku dapat uang untuk menghidupi anakanak dan istriku!
Selembar foto jepretanku memang tak akan mengubah dunia. Tapi, setidaknya ini gambaran bahwa sesungguhnya tidak ada hitam-putih di balik selimut debu negeri perang.
Seperti halnya perang, perjuangan si pesakit pun bukan sekadar dukacita, bukan cuma tentang air mata. Ini adalah kisah yang diceritakan adikku:
Dokter berkata, Sekarang, apa pun yang diinginkan Mama, turuti saja. Inilah saatnya untuk menyelesaikan hal-hal yang belum terselesaikan. Mengucapkan kalimat-kalimat yang harus dikatakan, menemui orang-orang yang ingin ditemui, mengunjungi tempat-tempat yang masih ingin didatangi.
Sudah dua bulan Mama tak makan, kering tenggorokannya. Permintaan istimewanya adalah jus sirsak segar. Buah itu, yang kata orang mujarab untuk bunuh sel kanker, masih jadi tumpuan harapannya akan sebuah mukjizat dramatis. Tapi, di mana lagi, di tengah malam ini, kami bisa menemukan sirsak" Para Tante pun kelabakan mencari sirsak di seluruh penjuru kota.
Akhirnya, segelas cairan putih pekat itu terhidang di hadapan Mama. Wajah Mama berseri, segera dia teguk minuman itu. Satu tegukan, dua tegukan. Tak sampai semenit, cairan sirsak segar mengalir keluar kembali dari slang di hidung, juga bersama muntahan dari mulut.
Dia pejamkan mata, puas. Adikku terus bercerita: Mama minta dimandikan suster favorit. Mama minta dibedaki, digincu. Muka Mama cerah sekali. Semua orang mengangguk-angguk. Semua orang bilang, Ya, A Hwie memang cantik!
Mama begitu gembira. Tangannya melambai-lambai ingin menari. Dia bernyanyi, dia tak gentar, wajahnya bersinar. Begitu kuat dia, begitu besar energinya.
Apakah itu tandanya mukjizat" Masih ada harapan dia sembuh" Bukan. Katanya itu sebuah pertanda, itu energi terakhir dari orang yang siap pergi.
Siapa yang tak tersentuh melihat kegembiraan yang paling tulus ini" Siapa yang tidak terkesan oleh keberanian menyambut datangnya Sang Maut ini"
Semua orang ikut tertawa, lega, lepas.
Minggu demi minggu berlalu, lalu berganti bulan, berganti musim. Dari hari-hari hujan deras yang membuat Kabul kebanjiran bersimbah lumpur, masuklah musim panas yang membakar seperti penggorengan, hingga musim dingin minus dua puluh derajat yang membuat beku linu-linu. Kehidupan tetap berlangsung begitu lugas. Bom demi bom masih meletus. Tembakan di sini, penculikan di sana, roket di sini, mayat di sana. Kabul sudah jadi garis depan, serangan sporadis jadi menu harian. Tapi, kehidupan yang normal, yang penuh warna, sesungguhnya masih terus berjalan.
Di bukit putih sebelah kuburan, puluhan bocah berteriak gembira. Mereka mendaki bukit, lalu menjerit histeris ketika meluncurkan diri di atas lapisan es yang sudah menebal. Ini perosotan alami. Ini tawa riang yang asli. Bukan cuma anak kecil, tapi kakek berjenggot juga tergelak-gelak ketika meluncur di atas bukit curam setinggi lima meter. Beberapa bocah membawa ban bekas, meluncur bagai penumpang perahu karet mengarungi jeram. Terkadang, tabrakan pun terjadi, sampai ada yang terpelanting terjerembap. Tapi tak sedikit pun terkurangi keceriaan ini. Betapa mudahnya mereka temukan kegembiraan.
Bukankah kehidupan normal di tengah ketidaknormalan negeri perang, kenyamanan di tengah ketidaknyamanan, terlihat seperti ironi" Berita media menggambarkan seolah pekerjaan orang Afghan sepanjang hari itu cuma tembak-tembakan dan bom-boman. Padahal mereka, sama seperti kita di belahan dunia mana pun, sesungguhnya juga manusia biasa yang punya mimpi, humor, kebanggaan.
Tengoklah bagaimana orang Afghan membanggakan keluarga. Konsep keluarga ini begitu penting bagi mereka, bahkan
darah pun bisa tumpah demi membela kehormatan keluarga. Keluarga adalah sebuah titik nol. Dari keluarga mereka berasal, untuk keluarga mereka hidup, pada keluarga pula mereka akan selalu kembali. Orang Afghan umumnya tinggal dalam rumah besar, keluarga besar extended family tinggal bersama hingga beberapa generasi. Generasi tertua paling dihormati, nenek adalah pengambil keputusan, perempuan bagaikan bunga yang harus selalu dilindungi, sedangkan anak-anak adalah harta karun yang tak ternilai. Jarang sekali ada anak belum kawin yang memilih tinggal di luar, memisahkan diri dari keluarga besar.
Konsep keluarga sangatlah penting lebih-lebih di negeri yang didera kemelut perang. Negara sudah tak bisa diharapkan lagi untuk memberi jaminan keamanan, masyarakat terpecah-belah dalam konflik dan kebencian. Otomatis orang mencari rasa aman dari komunitas yang lebih mikro: kelompok agama, etnis, kampung halaman, kompleks permukiman, juga keluarga. Komunitas mikro ini memberikan perlindungan yang lebih kuat dan jauh lebih bisa diandalkan daripada yang dapat dijanjikan negara. Bagi mereka tak terbayang hidup yang lepas dari lindungan keluarga. Hidup yang paling malang adalah hidup sebatang kara tanpa kehangatan keluarga.
Dalam konsep masyarakat tradisional, semakin kokoh dan kuat bahtera keluarga, semakin mantaplah perjalanannya. Ketika masalah menghantam sebuah rumah, maka sanak saudara lain pun saling bantu dan menguatkan, sehingga semua bahtera dalam armada ini bisa meneruskan perjalanan. Dari sudut pandang seperti ini, tak heran teman-teman di Kabul merasa aneh dan mengasihaniku karena cara hidup dan perjalanan pengembaraan yang kupilih ini.
Bagaimana kabar ibumu di rumah" Bagaimana bapakmu" Apa mereka sehat-sehat saja" Setiap pagi si khola, bibi pembersih kantor selalu bertanya kepadaku saat mengantar termos teh panas ke ruang kerja kami. Bichara baccha, oh, anak malang. Sendirian kamu di Afghanistan tanpa keluarga. Apa ibumu sudah tidak mau kamu lagi"
Aku tak tahu bagaimana menjawab. Aku tak terlalu suka bicara tentang keluarga. Dalam kultur Tionghoa ditekankan: aib keluarga jangan sampai bocor keluar rumah. Keluarga adalah bagian hidup yang paling privasi, karena di situ ada realita hidup paling hakiki. Setiap keluarga punya kitab yang sulit dibaca , masalah-masalah pelik dan tragedi. Keluarga memang menyimpan kebanggaan, keamanan, perlindungan, cinta kasih, tapi dalam keluarga juga terpendam skandal, egoisme, konflik, kemelut, kegagalan, amarah, pertengkaran, kecemburuan, air mata.
Perjalananku sekarang bagaikan sebuah rakit kecil yang terpisah dari armada, sendirian mengelana hingga ke samudra luas. Aku tak tahu gelombang macam apa yang mereka hadapi di sana, mereka pun tak tahu lautan apa yang aku hadapi di sini. Tidak ada kabar dari mereka, aku selalu membayangkan armada keluargaku melintasi laut yang damai sentosa. Tidak ada kabar dariku, mereka selalu membayangkan rakitku ini cepat lambat akan tenggelam ditelan ganasnya samudra.
Seiring waktu, semua gejolak pun jadi biasa. Keluargaku sudah menerima jalan hidup yang kupilih ini, demi sebuah citacita yang lebih tinggi. Seruan Pulanglah! Pulanglah! kini sudah mereda, berganti dengan Jaga badan! Hati-hati! Mereka tahu aku masih mengejar mimpi, tak pernah mau membebani
pikiranku dengan keluh kesah. Sebagaimana aku yang berusaha menghalau cerita seram tentang Afghanistan dari telinga mereka, mereka pun menutup rapat-rapat masalah keluarga dariku. Mama tak pernah rela bertelepon lama-lama, alasannya khawatir panggilan internasional pasti memboroskan banyak uang. Baru aku menyapa, dia sudah minta izin memutus sambungan.
Bagaimana mungkin aku menceritakan semua ini kepada Khola" Bagaimana mungkin aku bercerita tentang keluargaku di sana, kalau mereka pun tak pernah berbagi kabar denganku" Bagaimana bisa aku mengaku, bahwa sebenarnya aku pun tak tahu apa-apa tentang keluargaku sendiri"
Rakitku terus terapung-apung di Afghanistan. Sendirian. Tapi aku terus mendayung, perlahan-lahan.
Bagaikan gelombang, graik kesehatan Mama semakin naik turun tak menentu. Dari semangat menggebu, kini kondisinya anjlok drastis, kesadaran makin tipis. Bersama memori yang telah kacau, bicaranya terus meracau. We, Mama sudah siapkan foto. Foto yang paling ayu, kata Mama. Di mana, Ma" Di mana" adikku bertanya tanpa sabar. Di koco.
Setelah mengucap satu kata ini, bles, Mama kehilangan kesadaran. Mata Mama tetap terbuka, tapi pikirannya terputus. Dia sudah berada di alam lain, meninggalkan sebuah kalimat yang tidak selesai.
Konco" Teman" Adikku menggoyang-goyang tubuh Mama. Ma! Teman yang mana" Siapa" Siapa"
Ketika bercerita soal keluarga, mereka sangat berhati-hati. Tidak semua cerita boleh diungkap, tidak pula untuk semua orang. Jangankan itu, bahkan nama anggota keluarga yang perempuan pun dipandang sebagai aib, tak boleh sembarang disebut.
Ahmadullah Salemi tentu sudah memandangku sebagai sahabat dekat, sehingga dia bercerita segala sesuatu tentang ibunya padaku. Bertahun-tahun aku di Afghanistan ini, kehidupanku semakin tak terpisahkan dari Ahmad. Ketika ada rekan kerja yang menyerangku secara fisik maupun verbal, adalah Ahmad yang setia membelaku. Ketika aku nyaris diringkus polisi, juga adalah Ahmad yang bertengkar hebat dengan para polisi itu. Ketika aku berjalan ke mana pun, Ahmad melindungiku, seperti pengawal. Ahmad sudah bagaikan pemanduku untuk menyelami kehidupan masyarakat Kabul. Tapi berapa hari ini, Ahmad selalu murung. Wajah pemuda kurus itu terlihat semakin kurus.
Ahmad bercerita, ibunya sakit keras, terbaring lemah di ranjang, tak ada semangat tersisa, tak sedikit pun makanan bisa ditelan, wajahnya pucat seperti mayat, bernapas pun susah. Ahmad tak pernah menyebut nama ibunya, hanya sebagai Madar ibu . Sang madar menderita penyakit ginjal yang parah. Tapi di Afghanistan sini, ke mana lagi orang bisa berobat" Bahkan untuk sebuah ranjang di rumah sakit orang harus menyuap mahal.
Very bad, bro, very very bad. What should to do" What should to do" Tapi Allah itu Maha Besar. Allah adalah Pemelihara.
Ahmad memang selalu menyebut nama Allah. Setiap keluh kesah di kantor, ada bom ledakan, atau ada masalah apa pun, nama Allah-lah yang disebutnya.
Di hadapan penyakit keras ini, tampaknya berapa pun uang yang dipunya akan ditelan sebuah lubang hitam tak berdasar. Di mana lagi kita bisa melakukan transplantasi" Hanya luar negeri, Afghanistan sudah tak ada harapan lagi.
Hidup di negeri seperti ini, begitu banyak tekanan, begitu banyak kekhawatiran. Kata survei, mayoritas orang Afghan mengalami depresi. Bagaimana tidak, keluar rumah pun belum tentu bisa pulang selamat. Belum lagi semua mahal, pendapatan sedikit, tak ada fasilitas, dipersulit birokrasi dan korupsi, orang miskin seperti dilarang sakit. Ke luar negeri" Berapa banyak biaya yang dibutuhkan" Bagaimana membawa Madar yang sudah tak bisa bangun lagi itu untuk naik pesawat" Lalu, visa" Semua negara di muka bumi ini tak menyambut kedatangan orang Afghan, semua negara menutup pintu gerbangnya, menerapkan aturan visa yang sulit berbelit-belit. Bahkan Pakistan dan Iran yang dulunya menampung jutaan pengungsi Afghan kini juga sangat pelit. Jangankan visa, untuk memperoleh paspor negara sendiri pun tidaklah mudah, katanya kuota paspor sudah habis. Apa lagi yang bisa dilakukan selain bayar sogokan" Di kantor paspor, di kantor polisi, di kantor Kementerian Dalam Negeri, uang demi uang harus didesakkan ke genggaman para pejabat kalau ingin urusan cepat beres.
Perjuangan panjang. Ahmad menarik napas lega setelah paspor-paspor baru sudah di tangan, ratusan dolar sogokannya. Tapi ini baru setitik dari pendakian sulit yang akan dijalani. Lalu apa setelah ini" Ke mana" Sudah berminggu-minggu
Ahmad mencari tahu tentang India. Katanya, pengobatan di sana tak mahal. Katanya, di sana bisa beli ginjal, murah-murah kalau punya orang India. Katanya, dokter sangat pengalaman, setaraf dengan di Eropa. Katanya, sekarang banyak orang Afghan berobat ke negeri itu.
Aku tak berani membayangkan jika harus mengalami ini semua, kematian ibunda sudah di depan mata, dan masih harus membawa berobat sampai ke luar negeri. Ahmad hanyalah seorang pewarta foto di kantor berita lokal. Bagaimana mungkin dia menanggung semua biaya" Untuk menghidupi dirinya sendiri pun, uang ini tak cukup. Sekarang, dia harus lepaskan pekerjaan, cari utangan ke sana ke sini, demi mengantar sang Madar berobat. Aku bertanya, bagaimana dengan cita-cita" Bagaimana dengan mimpi menjadi fotografer profesional kelas dunia" Karier gemilang sudah membentang, masa dilepaskan begitu saja" Lalu, menyumbangkan satu ginjal untuk ibu yang sudah tua, tidakkah itu pengorbanan yang akan ditanggungnya seumur hidup"
Bro, tak ada yang lebih penting di dunia ini selain ibu. Semua adalah demi ibu. Bukankah Nabi juga berkata, surga itu ada di bawah telapak kaki ibu"
Bahtera keluarga itu nyaris terempas. Beban yang dihadapi Ahmad adalah gunung raksasa yang entah siapa sanggup taklukkan. Ada harapan, tapi ada juga ketakutan.
Sore itu, doa Fatihah dibacakan di ruang newsroom. Kami menadahkan tangan, mendoakan yang terbaik dari-Nya. Pergilah seorang sahabat dekat.
Pemuda itu, gagah berani, bertolak menuju negeri yang sama sekali asing, demi selamatkan nyawa sang bunda.
Teman" Teman" Selang dua menit, Mama kembali ke dunia manusia. Pikirannya langsung tersambung ke kalimat terakhir.
Gimana sih, kok konco" Koco! Kaca, We, kaca! Kaca meja kasir! seru Mama.
Dia tertawa geli. Semua ikut terpingkal-pingkal atas kesalahpahaman yang tidak semestinya ini. Di detik ini, ketika tawa ceria sudah hinggap di ranjang ajal, kematian justru telah menjadi gerbang menuju kemerdekaan. Pembebasan.
Hapuslah semua air mata, tak perlu sedu sedan. Dia sudah siap pergi dengan begitu terhormat.
Langit muram, India bukanlah tanah impian. Kesembuhan yang diharapkan, ternyata bukan di sini tempatnya. Yang Ahmad terima hanya rumah sakit yang sama sekali tak berbelas kasihan menarik bayaran mahal, plus kegagalan bertubi-tubi, tambah bonus penghinaan.
Melalui surat-suratnya, Ahmad bercerita padaku tentang beratnya hidup di India. Baru-baru ini, kedutaan besar India di Kabul, yang letaknya tepat di sebelah kantorku, kena serangan bom, puluhan mayat bergelimpangan di depan mata, termasuk diplomat India. Orang Afghan semakin jadi sasaran kecurigaan, diperlakukan seolah-olah semua mereka adalah calon kriminal. Mengapa dunia memandang semuanya hanya hitam dan putih"
Benar dan salah" Mengapa Afghanistan hanya dikenal untuk perang dan teroris, tentang pembuat bom, pengungsi putus asa, pengedar opium"
Bagi ibunda, Ahmad memilihkan rumah sakit internasional. Biayanya rata-rata empat ratus dolar semalam, setara dua bulan gaji Ahmad sebagai jurnalis. Itu hanya buat biaya ranjang. Belum obat-obatan dan infus, belum biaya dokter. Dalam 24 jam terkadang bisa sampai seribu dolar lima bulan gaji. Belum dihitung pula uang kos Ahmad dan kakaknya, makan, transportasi....
Panasnya India adalah neraka.
Setiap hari, Ahmad menunggu dan menunggu. Dokter hanya suruh menunggu. Kapan dioperasi" Tak tahu. Kapan ditransplantasi" Tak tahu juga. Di mana gerangan bisa beli ginjal" Tak tahu. Apakah bakal ada pengobatan" Tak tahu. Menunggu dan menunggu....
Sebulan berlalu, aku mengusulkan Ahmad mencari rumah sakit lain yang lebih murah. Ahmad menangkis, Bro, kita harus berikan yang terbaik buat Ibu.
Dua bulan berlalu, Ahmad mulai gelisah. Tagihan terus berjalan. Utang-utang sudah menumpuk, entah berapa puluh tahun akan terlunasi. Dokter sialan itu, katanya, hanya menipu uang kita. Jual beli ginjal dilarang pemerintah, bahkan ginjal si Ahmad dan kakaknya juga tak bisa dipakai. Menunggu, menunggu, entah apa pula yang harus ditunggu. Pelayanan sangat parah, dokter bahkan tak mampu mengatasi perdarahan Madar yang makin hebat. Ahmad beradu mulut, berargumentasi, marah-marah menggebrak meja, mengancam, nyaris dia pukul dokter yang terus haus minta uang tapi cuma suruh tunggu dan tunggu.
Hidup terkatung-katung. Dalam gelapnya kamar, Ahmad menangisi diri. Kenapa perang harus menghancurleburkan negeri tercinta, sehingga hanya demi berobat, orang Afghan terpaksa pergi jauh ke India dan mengalami nasib hina" Apakah ini takdir terlahir sebagai Afghan: dipermalukan oleh kemiskinan, perang, kemelaratan, keterbelakangan" Mengapa harus dirundung ketidakberdayaan untuk selamatkan nyawa Ibunda" Allahu Akbar, God is Great, berulang-ulang diucapkannya.
Hanya dengan huruf-huruf yang terkirim melalui internet, aku menyemangati, Ahmad, kau telah lakukan yang terbaik untuk ibumu. Kau telah lakukan apa yang takkan berani kulakukan. Kau telah hadapi semua yang kutakuti. Kau jauh lebih hebat daripada siapa pun. Teruslah berjuang, Ahmad, kau adalah inspirasiku. Tapi jangan lupa untuk tetap rasional. Please, pindahkan ibumu dari rumah sakit itu.
Tiga bulan, empat bulan, lima bulan... sebelas bulan! Siapa lagi yang sanggup biayai ini semua" Seratus ribu dolar telah dihabiskan! Madar makin pucat dan lemah, makin tak kuat berkata-kata. Sepertinya kerja keras seluruh keluarga sepanjang hayat hanya untuk sebilah ranjang di rumah sakit. Transplantasi ginjal" Lupakan semua itu. Kalaupun mereka sekarang berhasil menemukan ginjal di pasar ilegal, sang madar sudah terlalu lemah untuk menjalani pengobatan apa pun. Apa pun!
Berikutnya adalah perjalanan panjang penerbangan dan ketibaan.
Berikutnya adalah pulang ke rumah, kembali ke khawk debu ke kampung halaman Afghanistan yang tercinta.
Berikutnya adalah perdarahan otak, tanah yang diuruk, ratapan di samping nisan, pagi kelabu yang muram, penyesalan, kenangan-kenangan yang menghantui memori.
Ahmad menarik napas dalam-dalam. God is Great!
Hanya Tuhan yang tahu, hanya Tuhan yang mengatur.
Di Beijing, aku mencari nafkah sebagai penyiar radio. Dari gaji sekadarnya inilah aku berharap bisa menambal biaya pengobatan Mama.
Aku masih harus tertawa riang menghibur pendengar di tengah kekalutan kemelut. Narasumber dari Malaysia begitu antusias bercerita, humor sambung-menyambung, tawa terus meledak. Hati yang menangis harus disembunyikan di balik topeng gelak ceria.
Di sela acara, telepon berdering.
Datanglah kabar dari ribuan kilometer seberang lautan itu. Hanya satu kalimat, suara adikku terbata-bata. Mataku bergetar.
Mulutku cuma mampu berujar, Dia sudah bebas! Dia sudah merdeka! Klik.
The show must go on. Aku harus lanjutkan acara. Aku terpaksa tetap tertawa.
Langit retak, satu per satu serpihannya menghunjam bumi. Kamar sempit yang memasungku bergetar. Satu per satu dindingnya ambruk. Kaca berserakan, aku tak bergerak. Kehancuran. Teriakan bertalu-talu. Zalzala! Zalzala! Gempa! Allahu Akbar! Tangisan membahana di luar sana, bersahut-sahutan. Semua orang berlarian panik. Tubuh-tubuh tertindih gedung kantor yang sudah doyong. Potongan kepala. Cuilan kaki. Serpihan telinga. Ceceran darah.
Aku membuka mata. Matras merah yang telah menemani dua setengah tahun tidurku di Afghanistan ini basah kuyup penuh keringat. Masih kantor yang sama. Masih lima meja kayu yang sama. Masih lemari berkarat yang sama. Lagi-lagi mimpi buruk! Lagi-lagi mimpi tentang kematian! Dan begitu nyata! Dari primbon bernama Google, kucari interpretasi dari mimpi tentang gempa bumi:
Ini adalah mimpi yang jarang, artinya sangat bervariasi. Bagi mereka yang tinggal di daerah gempa, mimpi ini hanya menandakan kesulitan minor yang akan dihadapi. Bagi yang lain, mimpi ini menunjukkan Anda akan menghadapi perubahan drastis. Kesulitan minor" Atau perubahan drastis"
Di hari yang sama, datanglah panggilan telepon itu, jawaban misteri mimpi itu. Berita yang bagaikan gempa dibarengi geledek menggelegar.
Mama kena kanker. Suara Papa begitu tegas. Tidak ada sedu sedan, hanya nada datar menyampaikan kabar. Kanker ovarium, stadium 3C, sudah menyebar ke usus. Mama sekarang terbaring lemah setelah operasi pengangkatan rahim.
Aku tak sanggup berkata-kata. Terlalu mendadak. Kanker"
Bagaimana mungkin ini terjadi pada keluarga kami" Aku hanya tahu itu adalah nama penyakit yang begitu seram, begitu mematikan. Satu-satunya penyakit yang namanya berasal dari
rasi bintang, karena terus bercokol menghantui manusia selama ribuan tahun, tak juga tertaklukkan hingga hari ini. Ada obatnya" Bisa disembuhkan"
Tawa Papa menggelegar di ujung telepon. Kamu tidak nangis, kan" Hahaha... anak Papa yang katanya pemberani di negara perang itu menangis" Apa yang ditangisi" Buat apa menangis" Kanker... semua orang juga bisa kena. Mau bagaimana lagi" Harus dihadapi! Papa bilang kanker itu bagaikan gunung raksasa, bagaikan puncak Himalaya kejam yang dibungkus salju. Tapi, bukan berarti tak bisa dikalahkan.
Aku... aku... perlu pulang"
Tak usah! Kami di sini bisa atasi sendiri, kata Papa. Mama menyambung. Semua baik-baik di sini. Aku hanya sedikit lemah, tapi aku tidak kenapa-kenapa. Sungguh mengejutkan, suara Mama terdengar begitu kuat, seperti tak sakit sedikit pun. Aku tahu, dia berusaha keras menyembunyikan siksaan yang tak terkira. Aku cuma sedih, saat aku dioperasi, tidak ada seorang pun dari keluarga yang ada di sisiku. Aku sendirian di kota besar. Papamu harus jaga toko. Adikmu masih harus sidang skripsi. Dan kamu, kamu jauh sekali di sana.
Mama perlu aku pulang" Aku pulang, aku bisa temani Mama.
Kamu jangan bingung, Mama baik-baik saja. Cuma kanker. Ada Papa di sini, aku pasti sembuh. Jangan, jangan pulang. Kamu masih punya mimpi. Aku tahu kamu masih punya begitu banyak mimpi. Kamu masih mau sekolah lagi, kan" Teruskan kejar mimpimu.
Biar aku yang akan bayarkan semua pengobatan Mama. Tidak, Sayang, katanya, Aku sudah belajar untuk menyerah, melepaskan semua. Hidup itu tidak ada yang abadi, aku sudah siap menjalani, tidak perlu kamu pikirkan aku. Kamu tabung uangmu, hasil jerih payahmu itu, buat perjalanan dan pendidikanmu. Buat kejar mimpi-mimpimu.
Apakah ini mimpi" Ataukah realita yang selama ini aku ingkari" Mengapa harus ada kabar seperti ini, tepat di saat aku baru mengumpulkan cukup uang, siap meninggalkan Afghanistan untuk melanjutkan petualangan keliling dunia" Jalanku masih jauh, petualanganku masih panjang, impianku masih tinggi. Tapi yang kubutuhkan sekarang adalah sebuah tamparan. Wahai, siapa saja, bangunkan aku dari mimpiku, sadarkan aku akan krisis raksasa yang kuhadapi. Aku butuh tamparan dahsyat agar terjaga dari fantasi musafir. Sekarang juga!
KAMU HARUS PULANG! NOW!!! Lam Li berteriak dengan huruf-huruf kapital di chatting messenger.
Tapi, biarkan aku berpikir sejenak. Lebih baik pelan-pelan berpikir daripada mengambil keputusan keliru yang terburuburu. Lagi pula, apa yang bisa kulakukan di rumah" Di kampungku tidak ada rumah sakit yang bagus.
KAMU HARUS PULANG! NOW!!! NOW!!! NOWWW!!! Itu kalau kamu tidak mau menyesal seumur hidupmu!
Mama bilang aku tak perlu pulang. Katanya penyakitnya tidak parah.
JANGAN BODOH! Semua ibu pasti bilang begitu! Tapi....
Tak ada tapi. Tinggalkan Afghanistan! Pulang ke Indonesia. NOW!
Aku belum siap. Aku perlu waktu untuk berpikir....
Dewasalah. Tak ada lagi yang perlu dipikirkan. Ini saatnya kamu berbakti pada orangtua. Be a son! Be a man! GO HOME!!!
Kekalutan membuatku menelusuri laman demi laman internet. Aku tak pernah tahu apa pun tentang kanker, seperti ketidaktahuan dan ketidakpedulianku akan hepatitis sampai penyakit itu melekat pada tubuhku sendiri. Aku baru tahu arti istilah-istilah yang selama ini kukira tak mungkin bakal kupakai dalam kosakataku: kemoterapi, karsinoma, tumor ganas, biopsi, kista, indeks CA-125....
Yang kucari adalah angka harapan hidup. Prediksi dan estimasi, 30 persen" 10 persen" Ataukah cuma 2 persen"
Di sudut loteng kantor, di ruang perpustakaan yang selalu kosong, aku duduk menyendiri. Apa yang harus kulakukan" Mengapa harus begini" Mengapa harus aku" Apakah ini reaksi normal, atau sekadar kekalutan belaka" Kutelungkupkan kepala di atas meja, aku sungguh berharap ini semua cuma mimpi. Mimpi....
Suara tangis pecah, bergema di koridor di luar perpustakaan. Si bocah dua tahun itu masih belajar berjalan, tapi malang dia tersungkur, wajah mungilnya menabrak lantai. Meraung-raung, melengking suaranya, jadi berselang-seling dengan isakanku menarik-narik ingus. Pelan-pelan, sedu sedan itu mereda, setelah ibunya lari tergopoh-gopoh, membopongnya berdiri, merayurayu dengan menyanyikan lagu mendayu-dayu.
Woranga. Namanya berarti Beragam Warna . Begitu cepat waktu berlalu, aku sudah mengenalnya sejak dia masih belum
punya apa-apa memori untuk mengenalku, sejak dia masih berwujud orok merah yang diselimuti tebal-tebal, digendong-gendong ibunya setiap hari di ruangan kantor. Betapa berbinar wajah ibunya, kakak ipar si Ahmad itu, karena Woranga cantik adalah kesayangan semua seisi kantor. Si jurnalis genit Nabila yang sedang memoles bibir dengan gincu mengilap, atau Safia yang sedang terbenam dalam foto-foto artis ganteng di halaman Facebook, atau Ahmad yang sibuk dengan kameranya, semua langsung menghentikan segala aktivitas begitu Woranga dibawa masuk ke ruangan kami. Semua staf rajin mengerubungi Woranga, memuji betapa halus kulitnya, betapa besar matanya, betapa bulat wajahnya. Satu per satu mendendangkan ninabobo, atau mengayun-ayunkannya ke angkasa agar dia merasakan sensasi terbang. Gelak tawa Woranga membangkitkan tawa kami semua, sedangkan tangisannya yang pecah adalah malapetaka saking susah berhentinya. Aku paling suka menyodorkan jari telunjuk ke hadapannya. Jari-jari mungil Woranga yang bagaikan barisan biji jagung itu seketika menggenggam jariku. Erat-erat. Aku sendiri tak tahu mengapa, genggaman tangan dari sebentuk manusia teramat mini itu seketika membuncahkan iba. Bangkit hasratku untuk melindungi dan menyayanginya. Juga sekilas euforia karena si makhluk mungil itu memercayaiku untuk memberinya sepercik rasa aman.
Genggaman tangan. Rasa aman.
Seketika, tangisan Woranga di koridor itu membangkitkan sebuah memori yang paling awal tentang diriku sendiri.
Memoriku akan hidup juga dimulai dari sebuah tangan. Tangan yang begitu harum, beraroma bunga, lembut beroles bedak. Gelang giok hijau yang sejuk melingkari pergelangannya,
juga sebentuk cincin emas tipis menemani jari manisnya. Jarijarinya kurus, semua kukunya panjang dan tajam-tajam, perih kalau tergores di kulit.
Jemari itu sangat lincah, cekatan ketika berinteraksi dengan segala jenis peralatan, mulai dari raket bulutangkis, jarum, pisau, wajan, ulekan, sapu, mesin ketik, sampai obeng dan solder. Tapi jemari itu juga bisa jadi begitu lembut ketika sudah berurusan dengan bayi, yang tertidur pulas di gendongannya, dengan liur siap menetes dari ujung mulut yang sedikit menganga. Bayi gendut bulat itu berbalut baju hitam-hitam ala Cheongsam, dengan topi bundar dan bola bulu warna merah. Rambutnya berdiri tegak seperti barisan dedaunan pinus. Ketika bangun, senyum terkembang di wajahnya. Senyum dari mulut kecil dengan gusi rata tanpa gigi. Senyum yang bisa menular pada siapa pun yang melihatnya. Tangan itu membelai kepala si bayi. Jari-jari mungil bayi merespons dengan menggenggam eraterat, lalu berusaha mencubitnya walaupun sia-sia belaka. Air liur terus menggenang, tumpah ke leher dan membasahi baju imutnya.
Pemilik tangan itu adalah perempuan muda, juga berkulit putih mulus seperti bayi. Mata hitamnya yang lebar memancar cemerlang, plus garis alis hitam tebal, menunjukkan sorot pandangan seorang lembut tapi memiliki karakter keras. Lihat pula kontur rona bibir tebal itu, hidung mancungnya, wajahnya yang sedikit tirus, senyumnya yang selalu tersipu menyimpan misteri. Bolehlah dikata, tiada cela dari wajah itu. Kecantikan klasik seorang perempuan Tionghoa.
Bayi itu begitu disayang, bagaikan piala bergilir bagi lusinan orang dewasa: para orangtua, paman, bibi, sepasang kakek
nenek, seorang kakek lain, belasan adik nenek, sepasang buyut. Masing-masing bergiliran dengan si bayi yang sama di gendongan.
Si bayi bertumbuh menjadi bocah, yang menyandarkan kepala di ketiak perempuan itu setiap malam, menikmati kenyalnya dada empuknya berbantal lengan. Semua orang bilang wajah si bocah lama-lama makin mirip dengan wajah perempuan itu. Hidungnya, bibirnya, senyumnya yang terkulum, semua bagaikan fotokopian dirinya. Mulut perempuan itu lambat-lambat menyenandungkan lagu merdu pengiring tidur dalam bahasa Mandarin:
Bulan tercinta, bulan tercinta, Wo... ai... ni....
Lai, lai, lai, turunlah dari angkasa, Lai, lai, lai, turunlah dari angkasa.
Di bulan sana, katanya, ada kelinci giok, ada Dewi Chang e yang cantik rupawan, dengan jubah bersulur-sulur terbang ke bulan karena minum pil dewata. Di bulan sana ada istana sepi, ada pemandangan luar biasa yang tak bakal kautemui di mana pun, ada obat panjang umur yang menjamin hidup abadi tak mungkin mati. Dari bulan sana bisa kaulihat tembok raksasa yang meliuk-liuk bagaikan naga perkasa di atas bumi, keajaiban luar biasa yang diciptakan oleh nenek moyang kita. Mereka berasal dari sebuah negeri jauh di seberang lautan. Di tempat jauh itu, di balik mega-mega garis cakrawala, ada sebuah negeri yang mistis, ada kisah-kisah misterius dan dongengan indah, ada dewa-dewi kahyangan dan kuil-kuil megah, ada pahlawan gagah dan petualangan dahsyat.
Negeri leluhur. Betapa indah khayalan tentang negeri itu. Perempuan itu selalu menyebutnya dengan nama yang begitu eksotis: Chungkwok. Ke negeri yang jauh itulah dia selalu melayangkan impian, lalu menanamkan impian yang sama pada bocah di pelukannya.
Terbang, terbanglah tinggi. Pergi, pergilah jauh-jauh ke negeri di balik lautan. Gapai, gapailah semua mimpimu yang tergantung di angkasa sana.
Ada apa di balik tempat jauh itu", aku pernah bertanya pada Mama, di sebuah malam yang biasa, kala dongeng-dongeng selalu menemaniku menyambut tidur.
Dan dia pun memulai kisahnya: Nun jauh di sana, ada seorang lelaki muda yang gagah rupawan, tanpa gentar dia melawan bangsa penjajah yang mengobrak-abrik kampung halaman. Di tanah Hokkien di Chungkwok itu, orang-orang Jepang merampok dusun, membakar rumah-rumah, membunuh para lelaki dan anak-anak, juga merusak para wanita. Siapa yang mau diinjak-injak seperti itu" Siapa yang sudi hidup di bawah penindasan yang hina" Lelaki pemberani itu membawa bedil curian, dia bunuh orang-orang Jepang itu di malam gelap. Dia dikejar-kejar, kalau tertangkap pasti dipenjara, disiksa, dibunuh. Masih di malam purnama, sendirian dia menyelinap ke atas perahu, berlayar dari Hokkien hingga ke Singapura. Bukan, dia bukan pengecut. Kamu harus ingat, dia pahlawan pemberani! Di Singapura dia menyamar, ikut gerakan terlarang terus melawan para bajingan, melancarkan serangan. Masih pula dia diincar Jepang-Jepang jahat itu, sampai akhirnya dia datang ke sini, ke kampung kita di Jawa ini, melanjutkan perjuangan melawan penjajah karena kita orang mau merdeka. Dialah lelaki paling hebat di dunia. Dia itu papaku. Dia itu kakekmu.
Mama menghela napas panjang, menerawang, lalu meneruskan cerita: Apakah mimpi itu, begitu kau tanya. Lelaki harus punya mimpi setinggi langit. Lelaki harus berani pergi jauh, mengembara, pulang sebagai pahlawan. Kakekmu itu orang yang keras, tegas, paling disiplin. Tapi lelaki sejati itu adalah satria tegar yang tetap punya kelembutan. Dia besarkan aku, dia sayangi aku, dia belai-belai rambutku. Dia bilang, aku anaknya yang paling cantik, aku akan punya anak hebat yang meneruskan cita-citanya.
Dan itu adalah aku", dengan jariku yang mungil aku menunjuk dadaku.
Mama mengangguk, berkata: Iya, kamu. Nanti kamu akan tumbuh besar. Kamu sudah diramal, kamu akan pergi jauh. Jauh sekali, seperti kakekmu itu. Kamu akan jadi pemberani, kamu akan jadi lelaki kuat, orang hebat yang melihat seluruh dunia. Tapi ingatlah mamamu ini kalau kau sudah jauh nanti, bawalah Mama, ajaklah Mama bersamamu melihat dunia.
Perempuan itu berbisik lirih: Cepatlah besar, cepatlah besar. Kalau besar nanti, lu akan pergi jauh. Pergi ke Chungkwok sana, pulanglah ke negeri leluhur. Tapi jangan lupa, Sayangku, bawalah juga Mama ke sana bersamamu....
Bawalah Mama bersamamu.... Bersamamu....
Mimpi tentang negeri jauh adalah mimpi yang universal, ditanamkan oleh para orangtua dari berbagai bangsa. Impian itu juga melahirkan para pengelana akbar, para penakluk yang mengubah sejarah dunia.
Tapi perjalanan adalah realita pahit. Ada perpisahan, ada penantian, ada janji dan harapan, ada derita air mata rindu yang disembunyikan, ada pula mimpi-mimpi yang berujung pada kekecewaan. Ketika sang musafir terus melangkah bersama sang surya keliling dunia, berapa menit dalam harinya dia teringat akan kesabaran sebuah penantian di rumahnya yang sederhana" Ketika dia merambah untuk belajar ilmu-ilmu baru di negeri-negeri jauh, seberapa banyak sebenarnya dia mengenali dirinya sendiri" Ketika dia mengecap diri sebagai yang paling berani, seberapa kuat dia mengakui kerapuhan hatinya menghadapi ketakutan akan ketidakpastian masa depan"
Mama sakit. Pernahkah tebersit dalam benakmu, walaupun sekejap, kalau Mama bisa sakit" Sosok yang selalu tegar dan kuat, tak pernah mengeluh, selalu ada untuk melindungi, ternyata juga bisa jatuh sakit.
Dan dia sungguh sakit. Kutahu nama makhluk itu adalah Mimpi, sebagaimana selama ini telah kukenal dia yang senantiasa menemaniku. Dia berusaha menenangkanku. Keadaan tidak separah itu, dia pasti segera sembuh. Bukankah dia selalu kuat" Bukankah dia sendiri yang bilang, kanker itu bukan apa-apa"
Mungkin si Mimpi benar, reaksiku terlalu berlebihan. Mimpi menyuruhku melanjutkan perjalanan, meraih cita-citaku selama ini. Jalan panjang masih membentang, katanya, masa harus berhenti di sini gara-gara keputusan emosional"
Tapi, bantahku, Itu kanker. Penyakit yang mematikan! Apalah arti semua mimpi itu, semua keberhasilan itu, tanpa dirinya"
Mimpi mengejekku yang mengizinkan Ketakutan masuk. Dengan Ketakutan di sisimu, apa yang bisa kaulakukan" Ketakutanmu justru akan membuat ibumu lebih lemah. Lagi pula, kanker bukan otomatis berarti kematian. Data internet bilang, masih ada 30 persen harapan hidup!
Haruskah aku percaya angka yang sama sekali tidak optimis itu" Sampai kapan aku terus-menerus menuruti si Mimpi"
Sayang, sungguh dia benar, Ketakutan mencengkamku. Aku takut menyaksikan Mama mengembuskan napas terakhir di hadapanku. Membayangkan pun aku tak berani. Aku tak rela kehilangan dia. Kematian Mama adalah kematian diriku sendiri. Tergambar di benakku sesosok tubuh terbaring kesepian mengerang di atas ranjang, menatap putaran jarum jam, menanti kedatangan keabadian. Setiap kali hadir Ketakutan bahwa orang-orang yang disayang juga bisa menua, bisa mati, aku langsung menghalau pergi pikiran-pikiran sial itu, memaksa otak beralih pada cita-cita masa depan yang menghampar.
Mimpi! Sungguhkah dia bernama Mimpi" Dia yang terus menyuruhku pergi jauh-jauh, mengingatkan bahwa aku adalah pemberani yang mengejar cita-cita tinggi" Apakah ini sungguhan Mimpi" Bukankah ini hanyalah sebuah pelarian, yang didasari akan ketakutan terhadap realita" Aku cuma membohongi diri
sendiri, seolah penuaan dan kematian tak akan pernah datang. Mana mungkin aku bisa terus lari" Bahkan sampai ke ujung bumi pun, realita tetap adalah realita, Dia terus mengejar.
Di balik topengnya yang retak lalu pecah berkeping-keping, Mimpi menampilkan wujud aslinya: Ilusi. Wajahnya cantik rupawan, tetapi jasadnya begitu tipis, dan terus semakin menipis, semakin menjadi bayang-bayang tembus pandang, semakin menghilang.
Rumi, sang guru sufi pernah berkata, Tuhan menghadapkanmu dari satu perasaan ke perasaan lain. Dia mengajar dirimu dengan pertentangan yang saling berlawanan, sehingga kau akan punya dua sayap untuk terbang, bukan cuma satu.
Fragmen memori adalah kisah-kisah yang campur aduk, kebetulan yang tak terduga, penderitaan yang tak henti-henti, kejadian-kejadian yang kelihatannya tak penting dan tak menyambung. Tapi sesungguhnya, setiap fragmen adalah kepingan berharga dalam perjalanan menyusuri labirin kehidupan.
Sudah ribuan kilometer aku jalani. Sesungguhnya pada setiap langkah aku diingatkan akan realita Kematian. Ketika aku tenggelam di sungai Tibet, aku merasakan bahwa Kematian adalah gelap yang sempurna, hitam yang paling kosong. Nepal menghadirkan derita kehilangan yang menyakitkan, pencarian sia-sia, perjalanan naik dan turun, serta kenyataan bahwa Kematian akan mengembalikan kita pada wujud asli kita: debu. India mengajarkan tentang sebuah kitab kehidupan, yang pada hakikatnya adalah sebuah siklus samsara. Kematian bukan ujung jalan, seorang pemuda korban gempa di Kashmir pernah bilang, kematian yang bertubi-tubi justru membuatnya sadar akan arti hidup. Pakistan mengajarkan aku becermin, melihat
egoku sendiri yang tak kukenal. Di balik selimut debu Afghanistan yang penuh kejutan, di mana mayat-mayat bergelimpangan dan orang-orang seperti hanya menanti datangnya ajal, kerapuhan hidup manusia justru membuatku tersadar bahwa setiap embusan napas itu begitu berharga.
Lihatlah dongeng-dongeng, legenda-legenda, kisah-kisah akbar, semua berhubungan dengan Kematian. Cerita para nabi, agama-agama, petualang yang menaklukkan gunung raksasa dan samudra, semua juga berkaitan dengan Kematian. Sang Kematian hadir bersama segala aliasnya: Ketakutan, Kesedihan, Kegelapan, Kesepian, Keabadian, Ketidakpastian, Kesekonyongkonyongan, Kekalutan, Pembunuhan Mimpi, Kehilangan, Perpisahan, Penyesalan, Kesakitan, Bahaya, Penderitaan, Kejatuhan, Kehancuran, Ketiadaan, Kekosongan, Kehampaan, Penghabisan, Pulang.
Pramoedya pernah berkata, hidup ini bukan pasar malam. Di tengah pesta kehidupan, kita tidak berbondong-bondong datang, tidak pula berbondong-bondong pulang. Satu per satu kita datang, satu per satu kita berjalan dan menjelajah, satu per satu kita menciptakan kisah kita masing-masing, hingga tiba saatnya nanti, satu per satu kita mengakhiri jalan ini pulang.
Satu per satu tumbuhlah gigi si Woranga. Semakin hitam rambutnya, semakin lincah gerakannya, semakin keras suara tawa dan tangisannya, semakin kuat jejakan kakinya. Jalannya sudah hampir tegak, bicaranya sudah sangat banyak. Woranga kini tak pernah menggenggam tanganku lagi. Dia sudah tahu garis batas,
dia bisa beda-bedakan orang, menjerit-jerit marah kalau disentuh oleh tangan selain punya keluarganya.
Janin jadi orok, orok jadi bayi, bayi jadi bocah, lalu jadi anak, jadi pemuda, sampai akhirnya dewasa. Dari janin yang masih nol, lembaran putih kosong, dia pelan-pelan merangkak, belajar berjalan tertatih-tatih, sampai akhirnya berlari, terbang tinggi mengejar mimpi-mimpi. Pada setiap fase pertumbuhan itu, dia menyerap cinta dari orang-orang sekitar, dari lingkungan. Cinta itu yang membuat dia belajar, cinta itu yang menentukan arah jalan.
Bersama tangisan Woranga yang melambat, berhenti pula sedu sedanku.
Dari belaian tangan, omelan-omelan, kemoceng yang diacung-acungkan, memori tentang Mama satu per satu diputar ulang. Tentang tangisannya saat melepas keberangkatanku, tentang email-emailnya yang menyuruhku pulang, tentang keluguannya yang menanyakan apakah Pakistan dan Palestina itu satu negara. Aku terkenang polesan merah gincu di bibirnya, tubuh sintalnya, gelang gioknya. Bagaimana khusyuk doanya dengan mata terpejam, bagaimana dia mengajariku mengucapkan bahasa chang-ching-chung sambil mengayun-ayunkan dupa kepada Dewa Langit, juga amplop merah berisi uang yang dihadiahkannya setiap Imlek. Bandul memoriku berhenti cukup lama ketika yang terlintas adalah wajah kuyu Mama, saat menyiram gumpalan darah merah di lantai kamar mandi.
Manis, pahit, seram, semua kenangan dari masa lalu. Di titik ini, ketika kita menoleh ke belakang, nukilan-nukilan memori, bahkan kisah-kisah paling tragis pun terasa manis dalam nostalgia. Menyusur memori bagaikan menemukan sebuah kamar
tersembunyi, kosong, gelap, misterius di rumah sendiri. Kamar itu adalah bagian dari rumahku, memori itu adalah bagian dari diriku.
Inilah halaman penanda pergantian fase. Sejak lahir, begitu banyak aku menyerap cinta, terus-menerus tanpa henti. Inilah titik balik, saat untuk membalas cinta. Saat untuk berbakti, saat untuk menjadi dewasa.
Perjalanan mengajarkanku bahwa cinta itu menembus garis batas. Cinta sama sekali tak takut Jarak, Waktu, Maut. Cinta tak kenal perbedaan bangsa dan agama, jurang usia atau kelas manusia. Tapi cinta itu bukan teori, cinta bukanlah kata-kata tinggi, slogan-slogan seperti perdamaian yang terus-menerus diteriakkan di negeri perang. Cinta itu harus ditunjukkan, dilakukan, dibuktikan. Cinta ada bahkan dalam satu sentuhan lembut, dalam kecupan dan untaian dongeng, dalam tatap mata dan ucapan salam.
Buang semua data-data prediksi survival itu. Mama bukanlah statistik, bukan angka dan digit. Dia adalah mamaku sendiri, manusia hidup yang punya perasaan, cita-cita, cinta. Ini sama sekali bukan lagi pilihan, bukan lagi pertanyaan. Tak ada pilihan! Tak ada pertanyaan!
Kupejamkan mata. Beberapa jam berselang, aku mengambil keputusan besar yang tak terduga oleh siapa pun, bahkan oleh diriku sendiri.
Telah kuhitung semua uangku. Kukemasi barang-barangku. Kugulung matras tebal yang telah mengalasi tidurku selama ini. Kulepaskan mimpi-mimpiku. Kutinggalkan zona nyamanku. Kuucapkan perpisahan kepada semua temanku di Kabul. Kututup lembaran tentang Afghanistan. Aku siap pergi. Bukan ke Indonesia, tetapi ke kota Shenzhen di China, ke negeri leluhur dari mana aku mengawali perjalanan panjang ini. Ke sanalah akan kubawa Mama, mewujudkan impian negeri leluhur yang dibisikkannya padaku semasa bayi. Ke sanalah akan kutemani perjuangannya melawan penyakit ini, di rumah sakit terbaik, dan yakinlah mukjizat akan datang bersama ketulusan bakti. Ke sana pula, aku belajar dari semangat Ahmad, seorang lelaki Afghan yang rela dan berani mengorbankan apa pun demi menyelamatkan ibunda.
Mendengar keputusanku, Ahmad berkata, Pulanglah, Bro! Di rumahlah akan kau temukan apa yang selama ini hilang. Apa yang kau cari selama ini, sebenarnya ada di rumah. God is Great!
Pulang, selalu adalah kata seram yang membayangiku.
Di antara mimpi buruk yang paling menakutkan bagiku, sering kali adalah mimpi tentang musafir yang terpaksa pulang. Pulang, bagaikan merobohkan istana pasir yang selama ini dibangun dengan susah payah, lalu lenyap tak berbekas disapu ombak.
Tapi masihkah ada jalan lain"
Ini adalah perjalanan untuk menghadapi realita. Begitu berat, setiap detik merambat lambat. Aku menyandarkan kepala di jendela pesawat, menerawang jauh ke awang-awang. Kota Kabul tampak seperti kotak-kotak kelabu, dibungkus kabut dan asap tebal, dikurung bukit-bukit berlapis salju, bagaikan mozaik yang makin tenggelam dalam kurungan awan gelap. Langit mu

Titik Nol Karya Agustinus Wibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ram, semuram perasaanku yang meninggalkan semua memori. Ah, inikah rasanya perjalanan penuh keputusasaan yang pernah dijalani Ahmad beberapa bulan silam" Dari kaca tebal yang kusam, kupandangi bumi Afghan yang semakin mengecil, sementara pramugara masih sibuk menenangkan para penumpang berjubah yang berteriak-teriak marah entah karena apa.
Mengaburlah memori. Wajah rekan-rekan jurnalis di Afghanistan yang memanjatkan doa Fatihah demi kesembuhan Mama. Suara-suara Mama yang terus menolak keputusanku, tidak rela aku mengorbankan mimpiku demi dirinya. Mimpimimpi dan ilusi yang telah kubiarkan pergi. Dekapan erat teman-teman ekspat dari PBB yang menguatkanku, You are strong! Free-spirited guy, be always strong! Perlahan-lahan, semua gambar memudar. Mengabur.
Segera, semua ini pun bakal jadi kenangan. Berakhirlah sudah Perjalanan Titik Nol menuju Afrika Selatan. Aku kembali ke Timur.
Kini, saatnya untuk berhadapan kembali dengan realita. Seorang anak pulang demi ibunya. Aku menutup semua kenangan, memandang langit tak bertepi. Ini adalah perjalanan yang diawali sebuah mimpi, berlangsung bak untaian mimpi panjang, dan diakhiri dengan sebuah mimpi. Mimpi demi mimpi menjungkirbalikkan hidupku, yang naik turun begitu dramatis bak roller coaster, membawaku terbang ke awang-awang, berputar tiga ratus enam puluh derajat, lalu menukik tajam melemparkanku jatuh bebas.
Perjalananku bukan perjalananmu, tapi perjalananku adalah perjalananmu. Masing-masing kita punya kisah Safarnama sendiri-sendiri, tapi hakikat semua Safarnama itu adalah sama.
Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali. Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang.
Perjalanan, oh, perjalanan... siapa yang benar-benar tahu ke mana kaki ini akan melangkah"
Aku pulang. Inilah Safarnama. Inilah perjalanan. Inilah hidup. C est la vie.
Pulang 31 Juli 2010 Di hari yang sama, lima tahun lalu, aku tersudut di sebuah bangku kereta penuh sesak, memulai sebuah perjalanan panjang yang penuh dibayangi obsesi tentang sebuah kata: Jauh .
Lika-liku perjalanan dalam berbagai dimensi waktu, telah membawaku pergi begitu jauh . Sepuluh tahun lalu, saat melepas kepergianku yang belajar ke negeri seberang, Mama sempat menyelipkan sebuah surat di saku, yang baru boleh kubuka saat aku sudah duduk di pesawat. Begitu rapi tulisan Mama di atas kertas lusuh itu, huruf-huruf berbaris dalam ukuran seragam. Ini adalah kutipan puisi pujangga dari Dinasti Tang, ribuan tahun silam. Bait-bait sederhana, hanya tiga puluh aksara China, berjudul Senandung Pengembara:
Jemari Bunda penyayang pilin benang seuntai, demi baju ananda yang berangkat mengembara. Sabar Bunda jahit dan pintal hingga pagi menjelang, hati kecilnya bimbang ananda tiada pulang.
Siapa bilang sejumput rumput bakti ananda itu sanggup balas kehangatan bermusim kasih ibunda"
Rasanya baru kemarin, aku tinggalkan Kabul untuk membawa Mama berobat ke Shenzhen. Aku ingat betul, bagaimana tangan kurus itu menggenggam erat-erat tanganku. Aku, si bayi mungil yang digadang-gadangnya untuk membawanya ke negeri leluhur, akhirnya dengan hasil keringatku sendiri sungguh mewujudkan mimpi itu. Walaupun ini sama sekali bukan perjalanan yang diharapkan siapa pun. Air matanya meleleh, dia meratap: Aku takut, tak pernah ketemu kamu lagi, Kamu tahu, setiap hari aku melihat berita, ada bom di sana, kamu tidak apa-apa, Ming" Kamu tidak kelaparan di sana" Kamu tidak menderita" Aku senang! Senang sekali, ketemu kamu lagi di sini, kapan lagi kita bisa kumpul-kumpul begini"
Perjalanan panjang memang telah membawaku pergi beribu kilometer. Tapi Mama, perempuan itu menangis diam-diam di sudut rumah, tak peduli apakah bom meledak di Baghdad, Kabul, atau Gaza, masihkah penting beda itu buat ibunda yang senantiasa merindukan kepulangan anaknya"
Rasanya baru kemarin, walaupun sudah setahun berlalu, kugandeng Mama yang ceria meninggalkan rumah sakit di Shenzhen. Dua bulan penuh perjuangan sekaligus sukacita, kami tertawa, kami menang. Kanker itu sudah diberangus habis dari ususnya, hilang sampai ke akar-akarnya. Hari-hari segera jadi indah, seperti sediakala. Seperti kata dokter, Mama memang sempat menjalani hidup normal, kembali menari dan menyanyi. Tapi ketika kanker itu datang lagi hanya dalam hitungan bulan,
energi kami sudah tak tersisa. Serangan jauh lebih hebat, sedangkan uang-uang sudah ludes terbayar, utang-utang terus mengejar.
Hari ini, di atas kabin pesawat, kembali kubuka sudut sampul surat. Surat yang diselipkan ibu narasumber Malaysia saat aku tertunduk di studio selepas siaran di radio. Perempuan Malaysia itu bukan narasumber biasa, dia bahkan membayarkan tiket pesawatku ini, ketika kemampuan dan semangatku sudah di titik nadir. Dia seorang sahabat, seorang kakak, seorang ibu yang selalu menguatkan hari-hari beratku selama ini, jauh di negeri seberang.
Untuk Agus, pada detik yang suram ini,
Menangislah Kerana kehilangan yang dikasihi
Tanda sepinya hati pada hari-hari menanti Kerana tidak bertemu lagi di mayapada ini Bukan kerana kesal
atau tidak meredai Saat manis dengannya Pengorbananmu juga Meskipun sedikit untuknya Pasti kekal menghias hidupmu Menangislah
Andaikata sudah pasrah Bayangan untuknya pasti yang indah
Salam Takziah daripada: Atiah Saleh 29 Julai 2010
Tanganmu telah dingin. Wajahmu telah mengembang.
Tanganmu itu, tangan yang mencengkeram tepian ranjang ketika mengejan melahirkanku, tangan yang selalu membelaiku kala mengisahkan dongeng-dongeng negeri leluhur, tangan yang memukuliku dengan kemoceng, menempeleng sekaligus memelukku... kini telah dingin.
Wajahmu itu, wajah yang senantiasa tersenyum di tengah kesakitan, wajah yang begitu jelita yang selalu kubangga-banggakan sebagai Mama tercantik di dunia , wajah lembut dan ayu, namun ternyata begitu berani dan gagah menyongsong datangnya Maut... kini terpejam dalam kedamaian abadi.
Tubuh mungilmu itu terbaring dalam peti mati kayu yang begitu besar dan lapang, di balik kaca tembus pandang, ditemani berbongkah-bongkah es batu. Tubuhmu dibalut jubah putih yang biasa kaupakai dalam sembahyang di vihara. Kedua tanganmu bertemu, dalam posisi pai seperti ketika kau puja dewa-dewi di altar. Dalam genggam tanganmu yang dibungkus sarung putih, tersemat untaian tasbih. Matamu terpejam. Begitu tenang, sampai aku percaya, matamu itu masih akan terbuka perlahan menyambut matahari bersinar.
Tanganmu yang dingin itu tidak akan menghangat lagi.
Wajahmu yang sedikit mengembang itu tidak akan mengempis lagi. Matamu yang terpejam itu tidak akan pernah terbuka lagi. Rambut-rambutmu yang mulai terlihat ubannya itu tidak akan lebih putih lagi. Tak akan ada lagi jeritan dan erangan kesakitanmu, keluh kesah dan canda tawamu, tak ada lagi dongeng-dongeng dan korekan-korekan kenangan masa lalu. Semua telah berakhir.
Lagi-lagi, aku datang terlambat. Tengah malam, sunyi, lembap, baling-baling kipas angin terus berputar di rumah duka.
Di sekeliling peti, tergantung bait-bait puisi dalam huruf China:
Reruntuhan Cinta Beribu Musim
Betapa nestapa, tak ada obat selamatkan bunda, Tiada terbalas, kasih sayang sedalam samudra Tangisan anak yang tidak berbakti:
Ming, We Seperti kata pujangga Tionghoa, Ketika anak baru mau berbakti, apa daya orangtua tak lagi sanggup menanti.
Kutempelkan wajahku di atas lembar kaca dingin. Ini adalah jarak terdekatku dari tubuhmu. Kutatap wajahmu itu. Mama... kau cantik sekali. Tidak pernah kau secantik ini.... Aku sudah berupaya maksimal membuat diriku tegar. Tapi aku tak kuasa saat memandang foto ayu dengan bibir bergincu dan secuil senyum tersungging itu. Senyum yang hanya sekilas, menyimpan misteri dari barisan gigi tak rata yang selalu kau sembunyikan, seperti halnya selama ini kau pendam semua
ceritamu, marahmu, air matamu, cintamu, deritamu, kekhawatiranmu, harapanmu, kepercayaanmu.
Sungguh cantik... sungguh cantik....
Ko, itu foto yang Mama pilih sendiri, kata si We. Mama sudah pilih foto itu sejak jauh-jauh hari. Dia sudah taruh foto itu di balik kaca. Mama sudah tahu, dia memang siap untuk pergi. Wasiat terakhir Mama padaku, supaya keluarga ini akur kembali. Jangan ada lagi permusuhan, kita sama-sama jaga Papa.
Ya, kau pilih fotomu sendiri, untuk dipasang di nisan dan altarmu sendiri. Kau memang sudah tahu, sudah siapkan datangnya hari ini. Kau hanya pura-pura mengikuti permainan kami, karena kau tak mau kami mencemaskanmu.
Katanya, dua hari lalu kau malah lebih cantik lagi. Wajahmu lebih bersih, senyummu lebih damai. Peti mati dibiarkan terus terbuka hanya demi menanti kepulangan seorang anak dari negeri seberang.
Ritual digelar. Tanganku bergetar ketika memasukkan butirbutir mutiara ke tujuh lubang di wajahmu. Kedua mata, tempatku memandang dan mengharap penguatan. Kedua telinga, tempatku membisikkan segala keluh kesah. Kedua lubang hidung, yang teliti mengendusi segala aroma. Bibir indah, yang melantunkan suara emas. Semua kini begitu dingin... dingin yang mati....
Takkan lagi tangan itu menjadi hangat. Takkan lagi wajahmu itu bercahaya. Takkan lagi matamu itu terbuka. Takkan lagi mulutmu itu berkata-kata. Engkau masih cantik, selamanya cantik. Kau telah beristirahat dengan tenang, tenang sekali.... Mereka bilang, tujuh minggu ini, empat puluh sembilan hari
ini, rohmu masih ada di sini, melayang-layang di antara kami, mengunjungi setiap lokasi yang selama ini selalu membayangi memori.
Ya, demi semua memori itu. Kami masukkan semua baju yang kausukai, jubah sembahyang dan sepatu, kaset lagu-lagu favoritmu, juga bantal Hello Kitty merah jambu yang jauh lebih setia daripadaku dalam menemanimu.
Aku bersujud di pinggir peti kayu jati, dengan wajah menempel ke bumi. Tutup peti dirapatkan. Pasak paku dipasang, palu diketok.
Mama... Mama... Mama.... Tangis penyesalan anak yang tiada berbakti, yang biasanya baru meledak di pinggir peti mati. Maafkanlah aku, yang belum bisa memberikan yang terbaik buatmu.
Ini adalah hari terbesar buat Mama. Semua pelayat membicarakan tentangnya, mengorek kenangan akan dirinya, menyesali drama kehidupannya yang sepertinya berakhir terlalu cepat. Dan orangorang pun berbagi kisah tentang saat-saat terakhir itu. Bagaimana tangis meledak, bagaimana telepon dari Papa datang pas pada napas Mama yang penghabisan, bagaimana ucapan sayang itu akhirnya terucap tepat ketika Mama tergolek dan dinyatakan meninggal, bagaimana kaku lehernya, bagaimana susah membuat tangannya bertemu dalam posisi pai, bagaimana pandita membisik-bisikkan nama Tuhan-nya dan seketika tubuh jenazah itu begitu lentur dan lemas, bagaimana benjolan-benjolan kanker menyeramkan itu seketika luruh dan mengecil, bagaimana hujan mengiringi perjalanan empat jam menuju rumah duka di kampung halaman.
Hari ini, bahkan alam pun seperti ikut menangis. Di hadapan peti mati, hio-hio ditancapkan, doa dibacakan, lagu-lagu dilantunkan paduan suara dari vihara. Tepat ketika mereka menyanyikan lagu favorit Mama, Nirwana yang Indah dan Ibunda Tercinta, tiba-tiba langit yang tadinya cerah langsung diguyur hujan deras. Begitu lagu selesai, seketika itu pula hujan berhenti.
Ketika keranda perlahan memasuki liang lahat, yang menghadap ke timur seperti keinginannya untuk selalu menatap sang mentari, kupersembahkan sebuah puisi baginya yang kutulis saat aku dilanda kekalutan ribuan kilometer jauhnya di Beijing.
Mama yang mengejang sewaktu melahirkanku, Merana kalaku terlahir,
Membesarkanku, Menyuapiku, Membelaiku...
Aku hanya mengipasinya kala ia terbaring di ranjang pesakit, Betapa berdosanya aku...
Mama yang mendidikku, Mengajarkanku arti perjuangan,
Mengajarkanku semangat, keberanian untuk tidak diinjak, Mengajarkanku perlawanan,
Aku hanya membiayai sebagian biaya pengobatan, Dan sudah menepuk dada sebagai anak berbakti, Betapa berdosanya aku...
Mama yang tersenyum bangga kala aku berhasil di sekolah Menangisi kepergianku ke Tiongkok,
Meneteskan air mata setiap mendengar berita bom di Pakistan dan Afghanistan,
Menantikan datangnya teleponku dari negeri antah-berantah, Dan aku hanya mengiriminya kartu pos,
Mengirimi artikel tulisanku yang dimuat di majalah dan koran, Betapa berdosanya aku...
Mama yang tersenyum dalam penderitaan, Menahan setiap rasa sakit yang menghunjam, Mengelus-elusi kanker yang menggumpal,
Bermimpi untuk cepat-cepat meninggalkan rumah sakit, Dan aku hanya bisa berucap, dari ribuan kilometer, Mama, janganlah engkau terlalu lama menderita, Betapa berdosanya aku...
Liang ditutup. Kuburan memang tampak seperti akhir jalan, tetapi sesungguhnya, kematian itu justru adalah awal perjalanan. Sebuah jiwa telah terbebas dari duka derita. Lepas. Merdeka dari belenggu-belenggu fana. Sebuah jalan lain terbentang jalan menuju rumah yang abadi, kebahagiaan yang tak berbatas. Yakinlah, itu jalan menuju nirwana yang indah. Sebuah kisah hidup memang berakhir di sini. Tapi ini juga adalah sebuah awal kisah yang baru. Manusia-manusia yang tersisa meneruskan perjalanannya masing-masing.
Ada orang yang masih hidup, tapi sudah mati Ada orang yang sudah mati, tapi selalu hidup
Teruntuk Mama tercinta: Bagaimana kabarmu di sana" Di nirwana sanalah kedamaian yang kami idamkan. Tentu kau sudah tak perlu dipusingkan pertentangan dan percekcokan kami di dunia fana. Apakah itu Maitreya, Yesus, Rumi, Konghucu, Muhammad, semua selalu adalah para Guru dan sahabatmu. Semoga pula kau berbahagia bersama mereka di sana.
Tepat dua tahun sudah kau pergi tinggalkan kami. Bayangbayangmu masih sering hadir dalam mimpiku. Dulu aku menangis, kalut, takut akan firasat. Aku benci dengan mimpi-mimpi yang membangkitkan depresi itu. Tapi kini, setiap kali kau menyambang, aku tersenyum bahagia. Karena kenangan tentangmu memang selalu adalah yang terindah.
Ma, Tenanglah kau di sana. Ketika kau pergi dengan damai, sebongkah beban berat yang ada di pundak Papa seperti seketika terangkat. Sudah plong, katanya. Dia sempat sakit-sakitan, sebenarnya karena tak tega melihat deritamu. Walaupun dia tak pernah ucapkan kata Cinta , dia juga tak pernah beri belaian sayang, tapi kau tentu tahu pasti isi hatinya. Bukankah kata memang tak mungkin ungkapkan semua rasa" Dan bukankah kekuatan cinta sejati itu sama sekali tidak gentar akan Jarak, Waktu, Garis Batas, dan Maut"
Jangan kau khawatir di sana, Papa sudah jadi tugas kami yang jaga.
Ma, Aku tahu kekhawatiranmu yang sangat besar pada diriku. Aku adalah anak yang paling jauh darimu. Anak yang hampir tak pernah bawa kabar kegagalan, tapi juga hampir tidak pernah bawa kabar apa pun. Si sulung, si petualang dan perambah dunia, yang di matamu tetaplah sebagai si anak kecil yang membangkitkan iba.
Bagaimana rasanya hidup tanpa Mama" Pertanyaan ini selalu menghantuiku. Aku tak siap, tak akan pernah siap untuk datangnya hari itu. Kuakui, hari-hari terakhirmu itu adalah juga hari-hari yang paling berat dalam hidupku. Aku sedih, aku marah, aku malu, aku kecewa, aku takut, aku salahkan Tuhan. Depresi, putus asa, rasa berdosa, tak rela.... Aku menyangkal, tak percaya semua mimpi buruk ini sungguh terjadi. Serpihan-serpihan memori masa lalu, nostalgia, dan dukacita menghunjam bersamaan. Aku lemah, tak kuat lagi.
Ma, Saat masih muda dulu, aku pernah bercita-cita untuk mengubah dunia. Tapi perjalanan panjang ini telah menyadarkanku, aku bukanlah siapa-siapa di hadapan kuasa alam. Biarlah alam terus mengajarkan ilmunya, bukan aku yang mengubah dunia, tetapi dunialah yang mengubahku.
Aku memang telah pergi ke negeri-negeri jauh, untuk menulis tentang kisah orang-orang yang selama ini tak bersuara. Aku pulang, untuk mendengar cerita-cerita dari seorang ibu yang selama ini juga tanpa suara. Walau kau tak pernah ke mana-mana, di matamu yang terpejam dalam kedamaian itulah, kutemukan semua jawaban misteri perjalanan. Di sana terlukis angkuhnya Himalaya, kerasnya Amu Darya, lembutnya pasir Taklamakan. Di wajahmu kutelusuri panasnya Punjab, kemelut Kabul, alunan mantra Tibet, sukacita tarian India. Pada ceritamu, kuresapi kesabaran tanpa tapal batas dari langit biru, nyanyian merdu desau angin padang gersang, kebahagiaan burungburung berkicau menyambut mentari.
Kau memang tak perlu ke mana-mana. Kau telah lewati ini semua. Kau ajarkan, perjalanan adalah menghargai hidup, mencintai hidup, merayakan hidup, mewarnai hidup, memberi makna pada setiap menit, setiap detik, setiap embusan napas. Kau tak pernah menyerah, bahkan hingga embusan terakhir, kaulah sang pemenang.
Sesal sudah berlalu. Karma dosa dan pahala sudah diamini. Aku belajar dari kekuatanmu, belajar memaafkan diri, berhenti mengasihani diri, berdamai dengan masa lalu, berani menghadapi masa depan, bangkit dari kehancuran.
Ma, Safarnama itu bukan melulu tentang kisah-kisah eksotis. Perjalanan itu bukan hanya soal geografi dan konstelasi, perpindahan fisik, lokasi dan lokasi. Perjalanan adalah melihat rumah sendiri layaknya pengunjung yang penuh rasa ingin tahu, adalah menemukan diri sendiri dari sudut yang selalu baru, adalah menyadari bahwa Titik Nol bukan berarti berhenti di situ. Kita semua adalah kawan seperjalanan, rekan seperjuangan yang berangkat dari Titik Nol, kembali ke Titik Nol. Titik nol dan titik akhir itu ternyata adalah titik yang sama. Tiada awal, tiada akhir. Yang ada adalah lingkaran sempurna, tanpa sudut tanpa batas. Kita jauh melanglang sesungguhnya hanya untuk kembali.
Lingkaran sempurna itu begitu agungnya. Seperti yang pernah kaubilang, noktah adalah hidup, hidup adalah noktah. Bumi ini adalah sebuah titik. Bulan, matahari, planet-planet semua adalah titik. Negeri-negeri adalah titik. Engkau adalah titik, aku pun titik. Kita adalah kumpulan titik yang menjadi warna-warni semesta.
Perjuangan, kesenangan, tawa riang, ketakutan, air mata, masalahmasalah mendera, stres, keberhasilan, cinta, perpisahan, nama besar, pangkat, kekuasaan, kekayaan, semua itu akan berakhir dalam wujud yang sama: debu yang berhamburan diterpa angin. Tak ada yang terlalu penting di hadapan kekuasaan alam. Tidak pula aku .
Di sini berakhir sebuah kisah, di sini pula sebuah kisah baru akan dimulai.
Beban demi beban perasaan telah kutanggalkan. Dari Beijing yang sama, segera kumulai perjalanan panjang berikutnya. Kurapatkan tali ranselku. Kukenakan sepatu gunungku. Apakah itu Afrika Selatan, atau Suriah, ujung Siberia atau Amerika, lokasi dan lokasi itu sudah tak penting lagi. Masih jalan panjang yang terbentang. Masih tetap
kisah lika-liku jalan yang akan menjadi rangkaian cerita. Masih tetap proses untuk belajar membaca Kitab Tanpa Aksara.
Ma, Kepadamulah buku ini kupersembahkan.
Dan tenanglah, aku pasti akan lebih sering berbagi cerita. Mama, wo ai ni.
Dari anakmu, Ming, Beijing, 29 Juli 2012 AKHIR SEBUAH JALAN (ATAU AWAL SEBUAH JALAN LAIN")
Perjalananku memang bukan perjalananmu, tapi perjalananku adalah perjalananmu
Perjalanan ini telah memuaskan batinku. Sudah tidak ada sesal dalam hidupku ini. Kalaupun aku harus mati besok, aku sudah siap, ujar Lam Li di Beijing kala mengenang hari-hari petualangan keliling dunia dan tahun-tahun perjalanan hidupnya yang penuh liku. Tak takut mati, tak takut penyakit, tak takut miskin. Tanpa pekerjaan tetap, tanpa suami, tanpa investasi, tanpa asuransi. Lam Li menjalani hidup yang sangat lepas, tak terbebani kekhawatiran akan masa depan dan penyesalan masa lalu.
Menulis buku ini pun sesungguhnya adalah sebuah perjalanan, yang menuntut keberanian dan tekad kuat. Jujur kuakui, ini adalah karya paling berat yang pernah kukerjakan.
Aku harus berhadapan dengan memori, berhadapan dengan diriku sendiri. Aku tak bisa lari lagi dari berbagai macam kenangan dan trauma yang selama ini selalu kuhindari. Di tengah penulisan yang berlarut hingga beberapa tahun ini, sudah berkali-kali tebersit keinginan untuk menyerah, namun akhirnya berhasil juga aku mencapai noktah terakhir. Buku ini mengajarkanku untuk jujur pada diriku sendiri, terkadang membuatku menangis tersedu-sedu seorang diri di kamar sepi, namun ternyata juga mujarab untuk memerdekakan diri dari tindihan memori dan jeratan penyesalan. Buku ini bagaikan menumpahkan semua isi beban di dalam ranselku, meringankan langkahku, menguatkanku untuk terus melanjutkan jalanku.
Kepada Lam Li, seorang kakak dengan free spirit yang teramat dahsyat, aku ucapkan terima kasih tak terhingga. Bukan sekadar inspirator dan travel guru ketika berada di jalanan, kau juga adalah motivator dan sumber ide yang selalu brilian.
Tak ada kata yang cukup untuk mengungkapkan perasaanku untuk Mama, yang dalam penderitaannya tetap sabar mendengar cerita-cerita ini, sekaligus memercayaiku untuk berbagi isi hatinya yang paling dalam. Selama penulisan ini, Mama juga sering hadir dalam mimpi-mimpi, seakan untuk bercakap-cakap dan membangkitkan memori-memori. Kepadanyalah, buku ini kupersembahkan sebagai penghormatan tertinggi, diterbitkan tepat di hari ulang tahunnya yang kelima puluh tujuh.
Terima kasih yang tulus untuk semua sanak keluarga dan kerabat yang mengulurkan bantuan tanpa kenal lelah dalam masa pengobatan Mama. Teristimewa bagi Tante Lioe, Paman Tjioe, Paman Shan, Natalia, dokter Liu, dokter Sindhi, Tante
Ying, Tante Hwa, Paman Kwok, Oom Ricky, Bibi Hong, Tante Lankwee, Puan Atiah, para dokter dan suster, dan masih banyak lagi yang tak mungkin disebutkan semua di sini. Hanya dengan bantuan kalianlah, kami punya kekuatan untuk terus berjuang menghadapi cobaan.
Terima kasih untuk Gramedia Pustaka Utama yang menerbitkan karya ini, teristimewa bagi Mbak Hetih, Mbak Mei, Mbak Donna, Pak Marcel, Mbak Evi, Mbak Raya. Terima kasih Mbak Rai di Bogor yang menjadi inspirasi dengan semangatnya yang pantang menyerah. Terima kasih Keren Deng dan Farah di China untuk ide-ide desainnya. Juga untuk Mas Mbonk dari Kompas.com yang pertama kali menerbitkan tulisan-tulisan perjalanan ini setiap hari dalam Rubrik Petualang, dan menamai serial ini Titik Nol .
Terima kasih pula bagi komunitas Goodreads Indonesia, Backpacker Dunia, Indobackpacker, JalanSutra, Galeri Bogor, dan para pembaca yang senantiasa menjadi motivasi untuk terus menghasilkan karya yang lebih baik.
Beribu tashakor dan shukriya bagi rekan-rekan di KBRI, UNDP, Pajhwok Afghan News, Mr. Kumar, Mr. Danish, dan Ahmadullah di Kabul, Rashid dan keluarga Syed Gillani di Islamabad, Parkash sekeluarga di Umerkot, dokter Gurpreet di New Delhi, Aman di Jaipur, keluarga-keluarga korban gempa di Azad Kashmir, dan semua penduduk lokal yang senantiasa mengulurkan tangan bagi musafir. Tanpa bantuan dan rasa persaudaraan ini, mustahil aku bertahan terus berjalan.
Akhirulkalam, izinkan aku menghaturkan semua rasa hormat bagi Anda semua yang telah meluangkan waktu membaca
coret-coretan beratus halaman ini. Xiexie. Thukjeche. Dhanyabad. Shukriya. Tashakor. Manana. Rahmat. Spasibo. Thank you.
Dan dalam bahasaku sendiri, terima kasih, matur nuwun.
Agustinus Wibowo @avgustin88
http://www.facebook.com/avgustin88
Afghanistan. Nama negeri itu sudah bersinonim dengan perang tanpa
henti, kemiskinan, maut, bom bunuh diri, kehancuran, perempuan tanpa wajah, dan ratapan pilu. Bagaimanakah wajah Afghanistan yang sesungguhnya di balik selimut debu itu"
Agustinus Wibowo menapaki berbagai penjuru negeri perang itu sendirian, untuk menyibak misteri prosesi kehidupan di tanah magis yang berabad-abad ditelantarkan, dijajah, dan dilupakan. Menyibak cadar negeri cantik nan memikat, Afghanistan.
GRAMEDIA penerbit buku utama
SELIMUT DEBU Agustinus Wibowo
ISBN: 978 979 22 7463 9 Halaman: xiv, 461 hlm Pembelian langsung: 021-53650110 ext. 3901/2
Untuk pembelian online: e-mail: cs@gramediashop.com website: www.gramedia.com
Di sini semua mahal. Yang murah cuma satu: nyawa manusia.
AGUSTINUS WIBOWO Impian dan Kebanggaan dari Negeri Perang Afghanistan Selimut Debu
e l i m u t e b u Penulis Kisah Perjalanan Asia Tengah Garis Batas
Perjalanan Agustinus Wibowo masih berlanjut ke negeri-negeri Asia Tengah yang misterius. Tajikistan. Kirgizstan. Kazakhstan. Uzbekistan. Turkmenistan. Negeri-negeri yang namanya semua berakhiran Stan . Perjalanan ini bukan hanya mengajak Anda mendaki gunung salju, menapaki padang rumput, menyerap kemegahan khazanah tradisi dan kemilau peradaban Jalan Sutra, ataupun bernostalgia dengan simbol-simbol komunisme Uni Soviet, tetapi juga menguak misteri tentang takdir manusia yang terpisah dalam kotak-kotak garis batas.
GRAMEDIA penerbit buku utama
GARIS BATAS Agustinus Wibowo
ISBN: 978 979 22 6884 3 Halaman: xiv, 510 hlm Pembelian langsung: 021-53650110 ext. 3901/2
Untuk pembelian online: e-mail: cs@gramediashop.com website: www.gramedia.com
Jauh. Mengapa setiap orang terobsesi oleh kata itu" Marco Polo melintasi perjalanan panjang dari Venesia hingga negeri Mongol. Para pengelana lautan mengarungi samudra luas. Para pendaki menyabung nyawa menaklukkan puncak.
Juga terpukau pesona kata jauh , si musair menceburkan diri dalam sebuah perjalanan akbar keliling dunia. Menyelundup ke tanah terlarang di Himalaya, mendiami Kashmir yang misterius, hingga menjadi saksi kemelut perang dan pembantaian. Dimulai dari sebuah mimpi, ini adalah perjuangan untuk mencari sebuah makna.
Hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si musair pulang, bersujud di samping ranjang ibunya. Dan justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, dia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini terabaikan.
Agustinus telah menarik cakrawala yang jauh pada penulisan perjalanan (travel writing) di Indonesia. Penulisan yang dalam, pengalaman yang luar biasa, membuat tulisan ini seperti buku kehidupan. Titik Nol merupakan cara bertutur yang benar-benar baru dalam travel writing di negeri ini. Qaris Tajudin, editor Tempo dan penulis novel.
S e b a g ia n c e r it a d a la m b u k u in i p e r n a h d im u a t d i k o lo m P e t u a la n g w w w .k o m p a s .c o m
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building
Lembah Tiga Malaikat 14 Kisah Cinta Karya Sherls Astrella Pendekar Seratus Hari 8

Cari Blog Ini