Ceritasilat Novel Online

Balada Padang Pasir 5

Balada Padang Pasir Karya Tong Hua Bagian 5 tanah yang ditutupi salju, namun tak dapat menemukan sosok manusia lain. Air mata di wajahku menjadi es, kulitku merekah, darah mengucur keluar, bercampur dengan air mata dan menjadi tetesan air mata beku berwarna merah darah. Aku yang berusia dua belas tahun, di tengah salju yang menutupi langit dan bumi, berlari seharian penuh, akhirnya aku kehabisan tenaga dan tersungkur ke dalam salju, bunga salju yang melayang-layang memenuhi angkasa jatuh di wajah dan tubuhku, aku membuka sepasang mataku lebar-lebar dan memandang angkasa, tak kuasa bergerak, tak punya tenaga, dan juga tak ingin bergerak lagi. Sedikit demi sedikit, bunga es menyelimuti sekujur tubuhku, aku merasa semuanya sangat baik, sebentar lagi aku tak akan menderita lagi, ternyata seperti ini rasanya! Biarkan semua berakhir di tengah alam serba putih yang bersih ini, sama sekali tak berbau darah. Lang Xiong melolong mencariku, dengan cakarnya, sedikit demi sedikit, ia menyingkirkan salju yang menutupi tubuhku, ia hendak menggunakan mulutnya untuk menyeretku pergi, namun saat itu ia masih kecil dan tak dapat menarikku. Ia mendekam di atas perutku, menggunakan sekujur tubuhnya untuk melindungiku, sambil tak henti-hentinya menjilati wajah dan tanganku dengan lidahnya untuk menghangatkanku. Aku menyuruhnya pergi, memberitahunya bahwa kalau kawanan serigala tak datang tepat pada waktunya, ia juga akan mati beku di tengah salju, namun ia berkeras untuk tetap menjagaku. Mata Lang Xiong menatapku tanpa berkedip, setiap kali aku hendak memejamkan mata, dengan sekuat tenaga ia menjilatiku. Matanya dan mata A Die berbeda, namun maksud yang terkandung dalam pandangan mata mereka sama, mereka semua ingin aku bertahan hidup. Aku ingat bahwa aku telah berjanji pada A Die, bahwa tak perduli apa yang terjadi, aku harus hidup dengan bahagia, oleh karenanya, satu-satunya keinginan A Die adalah agar aku tetap hidup. Aku menatap mata Lang Xiong yang hitam legam dan berkata padanya, "Aku salah, aku ingin hidup, aku harus tetap hidup". Untung saja kawanan serigala datang tepat pada waktunya, salju pun telah berhenti turun, aku diselamatkan oleh kawanan serigala, dengan menggunakan tubuh mereka sendiri dan darah hangat binatang buruan, mereka menghangatkan tangan dan kakiku yang mati rasa?". Tiba-tiba aku berseru, "Jangan bicara lagi! Mudaduo, bagimu semua ini sudah berlalu, namun peristiwa itu adalah parut luka dalam hatiku, dahulu luka itu berdarah-darah, tapi sekarang sudah dengan susah payah menjadi parut dan tak lagi berdarah, kenapa kau muncul di hadapanku dan membuka kembali luka lama itu" Kembalilah! Kalau kau masih menghargai persahabatan kita semasa kecil, sejak saat ini, jangan temui aku lagi, Yu Jin sudah tak ada, dia memang sudah mati, mati di tengah hujan salju lebat bertahun-tahun yang silam itu". Aku melambaikan lengan bajuku, hendak pergi, namun Mudaduo menarik lengan bajuku kuat-kuat sambil berseru, "Jiejie, jiejie".." Sebelum meninggalkan Xiongnu, aku, Yu Dan, Ri Di dan Mudaduo bersahabat erat. Karena jabatan A Die, aku dan Yu Dan paling dekat dibandingkan dengan yang lainnya. Saat Yu Dan, Ri Di dan aku pergi bermain, kami tak suka mengajak Mudaduo. Ia tak pernah berkata apa-apa, namun sepasang matanya yang lebar selalu menatap kami. Untuk mengodanya aku berkata, "Panggil aku jiejie dan aku akan mengajakku pergi bermain". Dengan keras kepala ia menggeleng, tak sudi memanggilku kakak, dengan sikap merendahkan ia berkata padaku, "Kau sendiri tak tahu berapa umurmu, mungkin kau lebih kecil dariku, aku tak akan memanggilmu jiejie". Akan tetapi, tak perduli kemanapun kami pergi, ia selalu membuntuti kami dan tak bisa ditinggalkan. Setelah besar, kami justru dekat karena kami samasama keras kepala dan suka berbuat onar. Sedangkan mengenai keputusanku untuk menyuruhnya memanggilku kakak, setelah berpikir semalam ia bersedia memanggilku demikian. Aku heran kenapa ia bersedia memanggilku kakak, setelah itu aku baru tahu dari Yu Dan bahwa ia bersedia melakukannya karena mengira aku akan melakukan apa saja yang diinginkannya kalau aku memanggilnya kakak. Panggilan jiejie yang berulang-ulang itu melunakkan hatiku, dengan lembut aku berkata, "Sekarang keadaanku sangat baik, aku tak ingin pulang, dan tak dapat pulang". Mudaduo berpikir tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat, lalu mengangukangguk, "Aku mengerti, kau tak ingin menemui Shanyu, maka aku tak boleh memberitahu Shanyu bahwa aku telah bertemu denganmu". Aku mengenggam tangannya, "Banyak terima kasih, kapan kalian akan pulang?" Dengan girang Mudaduo pun mengenggam tanganku, "Besok kami akan pergi, oleh karenanya hari ini semua orang sangat sibuk, tak ada yang memperdulikanku dan aku kabur untuk bermain sendiri". Aku tertawa dan berkata, "Aku akan mengajakmu berkeliling kota! Dan aku akan menyuruh dapur membuat beberapa makanan Han yang luar biasa untukmu, walaupun harus mengucapkan selamat tinggal padamu". Dengan sinis Mudaduo bertanya, "Apakah setelah ini kita masih akan bertemu lagi?" Aku berpaling dan melihat bahwa jejak kaki kami tertera dengan jelas, tapi kami sudah tak dapat menemukan jalan pulang, dengan penuh kepahitan aku berkata, "Aku harap kita tak akan bertemu lagi, aku dan Yinzhixie sama sekali tak bisa bertemu muka. Lagipula kau telah memilihnya, kalau kami sampai bertemu lagi, jangan-jangan kau akan merasa serba salah". Wajah Mudaduo langsung menjadi merah padam, dengan jengah ia menunduk dan memandang ke tanah. Sebenarnya aku hendak mengatakan bahwa ia telah memilih Yinzhixie sebagai Shanyu mereka, namun begitu melihat wajahnya, aku paham, dengan hambar aku bertanya, "Apakah kau sudah menjadi selirnya?" Mudaduo menggeleng, lalu menghela napas dengan pelan, "Shanyu sangat baik padaku, oleh karenanya permaisuri sangat tak suka padaku, seperti perjalanan ke Dinasti Han ini, tak ada yang setuju aku ikut, tapi Shanyu setuju, dan karena masalah ini permaisuri mengamuk. Aku masih tak tahu isi hati Shanyu, tapi kalau ia ingin mengangkatku menjadi selir, aku pasti bersedia". Ia berbicara dengan jengah sambil mencuri pandang ke arahku. Aku tertawa, begitulah perempuan Xiongnu, kalau suka ia akan berkata suka, kalau ingin menikah dengan seorang pria ia berkata akan menikahinya, tak pernah menutupi perasaanya sendiri, dan juga tak merasa hal itu memalukan. "Tak usah perdulikan aku, walaupun kita bersahabat, tapi masalah kau ingin menikah dengan Yinzhixie adalah urusanmu sendiri. Aku hanya berharap tak akan bertemu muka lagi dengannya". Dengan agak takut Mudaduo memandangku, "Apakah kau ingin membunuh Shanyu?" Aku menggeleng, lalu menjawab dengan jujur, "Sekarang tidak, sebelumnya aku merasa sangat sedih dan ingin melawan, tapi akhirnya menjadi tenang, setelah ini?"setelah ini seharusnya tidak, aku hanya ingin tak bertemu muka lagi dengannya sepanjang hidup ini. Mudaduo, sebenarnya bukan aku yang dapat memutuskan hendak membunuhnya atau tidak, tapi dialah yang memutuskan hendak membunuhku atau tidak. Ada beberapa tindakan yang harus dilakukan sampai tuntas, kalau tidak ia akan selalu merasa was-was, oleh karenanya ia lebih suka berduka karena merasa bersalah setelah A Die bunuh diri daripada memberinya jalan keluar". Wajah Mudaduo agak berubah, seakan memahami perkataanku, namun ia tak mau mengakuinya dan masih dengan keras kepala berkata, "Shanyu tak ingin kalian mati, perintah yang diberikannya tidak?"" Sambil tersenyum getir aku berkata, "Apa yang kau takuti" Apakah kau masih takut aku akan membunuhnya" Kalau ia ingin membunuhku hal ini sangat mudah, tapi bukankah sangat sulit bagiku untuk membunuhnya" Dia adalah pejuang nomor satu bangsa Xiongnu, dan juga Shanyu bangsa Xiongnu, kalau aku hendak membunuhnya aku harus melawan seluruh bangsa Xiongnu, oleh karena itu aku hanya dapat memendam dendam ini seumur hidupku. A Die hanya ingin aku menemukan orang yang akan menghadiahiku sekuntum bunga peoni, dengan segenap daya membahagiakan diri sendiri, dan tak tenggelam dalam kesedihan. Mudaduo, kalaupun pada suatu hari aku dan Yinzhixie kembali bertemu muka, kau tak usah cemas, aku hanya khawatir kalau ia tahu aku masih hidup, kehidupanku di Chang"an akan menjadi sulit". Rasa bersalah nampak dalam pandangan mata Mudaduo, dengan bersungguh-sungguh ia berkata, "Aku tak akan berkata pada siapapun bahwa kau masih hidup". ------------------------------------'Tahun Yuanshuo keenam, tanggal satu bulan satu, hari pertama tahun yang baru. Aku tak tahu apakah tahun ini aku akan selalu bahagia, namun di hari pertama tahun baru aku sangat bahagia. Selama tiga puluh malam aku mengurai potongan kain dari kaki Xiao Tao dan hal itu membuatku gembira sepanjang malam, Jiu Ye mengundangku bermain ke Wisma Shi di siang hari tahun baru, ini adalah untuk pertama kalinya kau mengambil inisiatif untuk mengundangku. Aku sedang berpikir bagaimana agar di kemudian hari akan sangat banyak kesempatan seperti itu, sangat banyak........' Ketika memasukkan potongan kain itu ke dalam kotak bambu, aku memperhatikannya, tanpa terasa, potongan-potongan kain itu telah menjadi sebuah tumpukan kecil. Entah kapan seribu satu pikiran dalam potongan-potongan kain itu dapat kuberitahukan padanya. Sebelumnya aku pergi mengucapkan selamat tahun baru pada kakek dan Shi Feng, setelah mengobrol dan bercanda dengan kakek dan Shi Feng setengah hari lebih, aku pergi ke Pondok Bambu. Begitu sampai di Pondok Bambu, aku mencium keharuman bunga yang samar-samar, aku merasa agak heran, biasanya Jiu Ye tak pernah menanam bunga seperti itu. Di dalam ruangan, sebuah vas tanah liat berperut gendut diletakkan di atas meja, di dalamnya terdapat beberapa ranting bunga prem putih, ranting-ranting itu tak tinggi dan bunganya menjuntai keluar dari vas itu, namun bunga-bunga itu sedang mekar dengan rimbun, kelihatannya amat semarak. Di sebelah bunga prem diletakkan sepasang cawan arak dan sumpit yang saling berhadapan, sedangkan sebuah poci arak sedang dihangatkan dalam tungku arang. Mau tak mau sudutsudut bibirku terangkat. Aku menghampiri bunga prem itu, lalu mencium baunya, Jiu Ye keluar dari kamar sambil mendorong kursi rodanya, "Wangi bunganya seakan ada dan tiada". Aku berpaling melihatnya, "Masa bodoh bagaimana baunya, yang penting gembira". Ia tersenyum dengan hangat, aku menaruh sepasang tanganku di balik punggung, lalu bertanya sembari tersenyum, "Kau ingin mengundangku makan hidangan lezat apa?" Katanya, "Sebentar lagi kau akan tahu". Ia mempersilahkanku duduk di samping meja, lalu menuangkan arak panas untukku. "Bahumu masih sakit?" "Ah", ujarku, dengan bingung aku memandangnya, namun aku segera bereaksi dan cepat-cepat mengangguk, "Sudah tak sakit". Ia tertegun, "Sebenarnya sakit atau tidak?" Aku menggeleng, "Hanya sakit sedikit saja". Ia tertawa, "Pikir baik-baik dahulu sebelum bicara, kalau sakit, ya sakit, kalau tak sakit, ya tak sakit. Kenapa gerakan tubuh dan perkataanmu bertolak belakang?" Aku memukul kepalaku sendiri, dasar orang tak berguna. Aku meraba bahuku, "Sudah tak sakit seperti dulu, tapi kadang-kadang agak sakit". Ia berkata, "Walaupun sibuk kau harus merawat tubuhmu dengan baik dahulu, di luar hawa sangat dingin dan semua orang memakai pakaian yang berlapis-lapis, coba lihat apa yang kau pakai" Tak heran kalau tenggorokanmu sakit, kepalamu sakit atau bahumu sakit". Aku menunduk dan memutar cawan arak di atas meja, lalu mencibir dan tersenyum, diam-diam aku merasa senang. Shi Yu memanggil, "Jiu Ye", dari balik jendela, lalu masuk sambil mengusung sebuah baki besar, di atasnya terdapat dua mangkuk besar yang ditutupi, sambil menyengir ke arahku, ia menaruh masing-masing sebuah mangkuk di hadapanku dan Jiu Ye. Aku memandang mangkuk di hadapanku, lalu dengan heran bertanya sembari tersenyum, "Apakah kau mengundangku untuk makan mi?" Jiu Ye membuka tutup mangkuk untukku, "Konon Dewa Panjang Umur Peng Zu dapat hidup sampai delapan ratus tahun lebih karena wajahnya (lian) panjang, lian sama artinya dengan mian , lian panjang yaitu mian panjang, dengan semangkuk mi panjang umur ini aku mengucapkan selamat ulang tahun padamu, semoga panjang umur dan bahagia". Mi dalam mangkuk itu halus seperti rambut, kuahnya kaldu tulang yang seputih susu, permukaannya ditaburi irisan ketumbar dan daun bawang berwarna hijau muda. Dengan sumpit aku mengangkat seutas mi, lalu berkata dengan lirih, "Hari ini bukan hari ulang tahunku". Dengan lembut ia berkata, "Setiap orang seharusnya punya suatu hari khusus, karena kau tak tahu kapan kau berulang tahun, kita pakai hari ini saja! Pada hari ini tahun lalu kita berjumpa lagi di sini, hari ini adalah hari keberuntungan, dan juga hari pertama tahun yang baru. Setelah ini setiap tahun di hari ulang tahunmu, setiap keluarga akan berbahagia bersamamu". Tenggorokanku tercekat, aku tak kuasa berkata apa-apa, dan hanya dapat menyumpit mi dan memasukkannya ke dalam mulut, di sisiku ia dengan tenang menemaniku makan mi panjang umur itu. Mi itu harum dan lembut, ketika sampai di perut, sekujur tubuh menjadi hangat, aku yang selalu menganggap daging adalah satu-satunya makanan yang enak, untuk pertama kalinya merasa bahwa mi adalah makanan yang terlezat di kolong langit. Setelah makan mi, kami berdua dengan perlahan minum arak sambil bercakap-cakap, kekuatan minumku sangat rendah, maka aku tak berani banyak minum, tapi enggan kalau sama sekali tak minum, maka aku menghirupnya sedikit demi sedikit, aku suka rasa mabuk ringan saat kami berdua saling bersulang, rasanya hangat dan bahagia. Hari musim dingin cepat gelap, begitu lewat pukul shenshi , ruangan itu sudah gelap. Jiu Ye menyalakan lilin, dalam hati aku tahu aku harus minta diri, tapi aku enggan pulang, untuk sesaat aku bimbang namun akhirnya membuat keputusan, aku berpura-pura dengan tak sengaja berkata, "Baru-baru ini aku mempelajari sebuah lagu, permainanku sekarang sudah jauh lebih baik dibandingkan dahulu". Sambil tersenyum Jiu Ye berkata, "Ternyata kau punya waktu untuk mempelajari lagu, rupanya kau tak sesibuk seperti yang kukira, lagu apa itu?" Dengan mantap aku berkata, "Aku akan memainkannya, coba Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo lihat, kau tahu atau tidak?" Ia mengeluarkan sebuah seruling kumala, mengelapnya dengan sehelai sapu tangan yang bersih, lalu memberikannya padaku. Aku menunduk, tak berani memandangnya, tanganku yang mengenggam seruling kumala bergetar pelan, setelah menaruhnya di balik lengan baju untuk beberapa saat, aku mengangkatnya ke sisi bibirku. Malam ini malam yang luar biasa, kuambil perahu dan berlayar di tengah sungai. Hari ini hari luar biasa, seperahu dengan sang pangeran. Aku sangat malu, tapi tak perduli. Tak tahu apa-apa, namun bukannya tak perduli, aku berkenalan dengan sang pangeran. Di gunung ada pohon dan di pohon ada ranting. Tahukah ia isi hatiku" Aku sudah beribu kali berlatih memainkan lagu itu, namun ketika memainkannya kali ini, kadang-kadang suara serulingku bergetar. Setelah selesai memainkannya, aku masih menunduk, sambil memegang seruling, aku duduk tak bergeming, khawatir kalau bergerak aku akan memecahkan sesuatu. Sunyi senyap, sunyi senyap bagai kuburan, di tengah kesunyian itu udara seakan mengumpal, api lilin tak lagi menari-nari, seakan makin redup. "Aku belum pernah mendengarnya, tapi melodinya cukup bagus, namun kau tak memainkannya dengan baik, hari akan segera gelap, pulanglah!", dengan hambar Jiu Ye berkata. Krek! Sebelum merasa sakit, hatiku telah retak, setelah beberapa saat, rasa sakit menyebar dari retakan itu ke sekujur tubuhku, tubuhku yang kesakitan gemetar pelan. Aku menengadah memandangnya, pandangan mata kami berdua bertemu, biji matanya seakan tiba-tiba mengkerut dan cepat-cepat menghindari pandanganku. Dengan keras kepala aku terus menatapnya, namun ia memusatkan pandangannya ke arah bunga prem putih di vas tanah liat itu. Pertanyaan 'mengapa"' dan luka hatiku sepertinya tak dihiraukannya. Dia tak akan memperdulikanku lagi, ayo pergi! Paling tidak aku belum menelanjangi diriku sendiri dan masih dapat pergi secara terhormat. Dalam hatiku sebuah suara lirih menasehatiku, namun aku juga masih berharap, berharap ia akan menengadah dan memandangku sekali lagi. Setelah sangat lama, aku bangkit tanpa berkata apa-apa, lalu berjalan ke pintu, ketika hendak membuka pintu, aku tersadar bahwa tanganku masih mengenggam seruling kumala itu eraterat, karena genggamanku terlalu erat, kukuku menembus telapak tanganku dan bercak-bercak darah pun mengenai seruling itu, merah tua dan mengejutkan. Aku berbalik dan dengan hati-hati menaruh seruling itu di atas meja, lalu dengan tertatih-tatih melangkah keluar dari pintu. Di tengah cahaya remang-remang, aku berjalan tak tentu arah, aku tak ingat apakah aku hendak pulang ke Luoyu Fang. Benakku dipenuhi suara seperti guntur yang terus berulangulang, 'Aku belum pernah mendengarnya, tapi melodinya cukup bagus, namun kau tak memainkannya dengan baik'. Kenapa" Kenapa" Apakah kau sama sekali tak punya perasaan padaku" Tapi kenapa ia begitu baik padaku" Kenapa kalau aku pulang malam, ia menungguku di bawah sinar lentera" Kenapa ia selalu mengkhawatirkan setiap penyakitku, walaupun sepele, dan selalu dengan hati-hati menulis resep untukku dan menasehatiku" Kenapa berbicara padaku dengan lembut dan penuh kasih sayang" Kenapa merayakan ulang tahunku" Kenapa" Terlalu banyak 'kenapa', membuat kepalaku begitu sakit seakan hendak pecah. Saat perayaan tahun baru di depan setiap rumah tergantung lentera merah besar, cahaya merahnya yang hangat menyinari jalanan, udara penuh aroma daging yang harum, segalanya hangat dan manis, ketika menengadah aku melihat kebahagiaan di mana-mana, namun begitu menunduk, aku hanya melihat bayanganku sendiri yang terkadang nampak jelas dan terkadang kabur, bergoyang-goyang kesana-kemari bersama sinar lentera. Beberapa anak sedang bermain mercon di jalanan, "Dor, dor!", di tengah api mercon itu meledak, anak-anak itu tertawa-tawa sambil menutup telinga dan bersembunyi di tempat jauh menunggu suara ledakan. Aku berjalan melewati api itu, kebetulan mercon sedang meledak, setelah suara ledakan yang amat keras terdengar, bunga-bunga api jatuh ke gaunku, angin bertiup dan menyulutnya. Melihatnya, anak-anak itu berteriak-teriak dan berpencar. Aku menunduk dan melihat bahwa api di pakaianku makin lama makin besar, setelah tertegun sejenak aku bereaksi, dengan cemas aku menepuknepuk pakaianku dengan tangan, namun api sudah berkobar dan sulit dipadamkan. Ketika aku hendak berguling-guling di tanah untuk memadamkan api, sebuah mantel bulu berkelebat di atas gaunku dan segera memadamkan api. "Apakah tanganmu terluka?", tanya Huo Qubing. Aku menggeleng dan menarik tangan kiriku, lalu menyembunyikannya di balik punggungku. Huo Qubing mengibaskan mantel bulu dalam genggamannya, lalu menghela napas dan berkata, "Sayang sekali, aku baru saja memperolehnya dari kaisar beberapa hari yang lalu, dan hari ini baru kupakai". Tadinya aku hendak berkata akan mengantinya, namun begitu mendengar bahwa mantel itu adalah hadiah dari kaisar, aku segera menutup mulut. Ia memperhatikan sepasang mataku, lalu menyelimutiku dengan mantel besar itu, "Walaupun sudah rusak, namun jauh lebih baik dibandingkan gaunmu yang berlubanglubang itu". Aku merapatkan mantel itu, "Kenapa kau berada di jalanan?" Ia berkata, "Aku baru pulang dari mengucapkan selamat tahun baru pada sang putri dan pamanku. Kenapa kau bisa sendirian di jalan" Kelihatannya kau sudah lama berkeliaran sampai rambutmu penuh bunga es". Sambil berbicara ia membersihkan bunga es di pelipisku dengan teliti. Sebelum menjawab, aku berpaling dan memandang ke segala penjuru, mencari tahu di mana aku sebenarnya berada, ternyata dalam keadaan bingung aku telah memutari separuh kota Chang'an. Ia memandangiku beberapa saat, "Ini tahun baru, kenapa kau murung begini" Ayo ikut aku!" Sebelum aku sempat menolak, ia telah memaksaku melompat ke kereta kuda, tenagaku sudah habis, sekarang aku hanya merasa masa bodoh, tanpa berkata apa-apa, aku membiarkannya mengatur semuanya. Melihatku tak menolak, ia pun duduk tanpa berkata apa-apa, hanya derit roda kereta kuda yang terdengar. Setelah beberapa lama, ia berkata, "Aku tahu lagu apa yang kau mainkan itu. Aku pernah menyenandungkan beberapa nada lagu itu dengan asal, lalu kaisar secara tak sengaja mendengarnya dan bertanya sambil menggodaku, siapa gadis yang menyanyikan Lagu Orang Yue itu untukku. Dengan bingung aku bertanya pada kaisar, 'Kenapa lagu itu tak bisa dinyanyikan seorang pria"'" Aku memaksa diriku untuk tersenyum. "Negara Chu dan Yue berdekatan, tapi bahasanya lain. Ketika Raja E dari Negara Chu naik perahu melewati Negara Yue, gadis Yue pengayuh perahu tertarik padanya, namun apa daya ia tak tahu bahasa sang raja, maka ia terpaksa menyanyikan lagu. Raja E tahu maksud lagu itu, dan paham isi hati sang gadis, ia tertawa dan membawa gadis itu pulang". Dengan bersemangat Huo Qubing menceritakan kisah yang terjadi ratusan tahun yang lalu itu. Karena pertemuan yang berakhir dengan indah itu, mungkin banyak gadis yang meniru perbuatan gadis Yue itu dan berusaha meraih kebahagiaan untuk dirinya sendiri, tapi tak semua orang dapat meraih cita-citanya. Aku tak ingin mendengarkan cerita itu lagi dan memotong perkataannya, "Kau ingin mengajakku ke mana?" Ia menatapku untuk beberapa saat tanpa berkata apa-apa, lalu tiba-tiba tersenyum berseri-seri bagai matahari terbit, "Mengajakmu mendengarkan nyanyian lelaki". Ternyata Huo Qubing langsung membawaku ke markas Pasukan Kavaleri Yulin. Begitu naik takhta, Liu Che memilih pemudapemuda baik yang lahir di enam prefektur, yaitu Longxi, Tianshui, Anding, Peide, Shangjun dan Xihe, untuk menjaga Istana Jianzhang. Saat itu urusan pemerintahan dipegang oleh Ibusuri Dou, walaupun Liu Che berambisi untuk menumpas bangsa Xiongnu, namun ia tak dapat berbuat apa-apa, maka ia bersikap seperti seorang pemuda kaya yang suka hidup mewah. Liu Che membagi pasukan pengawal Istana Jianzhang menjadi dua pasukan yang masing-masing memakai seragam Xiongnu dan Dinasti Han, lalu melatih mereka bertempur. Sepertinya ini adalah permainan seorang pemuda untuk menghibur diri sendiri, namun pasukan itu sebenarnya adalah pasukan yang telah dilatih Liu Che selama bertahun-tahun lamanya, sehingga menjadi pasukan andalan Dinasti Han. Sekarang pasukan itu sudah berganti nama menjadi Pasukan Kavaleri Yulin, yang diambil dari semboyan 'secepat anak panah (yu), lebih banyak dari pohon-pohon di hutan (lin)'. Walaupun saat itu tahun baru, namun suasana dalam markas masih penuh disiplin, setelah sampai di barak suasana tahun baru barulah terasa. Pintu barak terbuka lebar dan lilin-lilin besar menerangi ruangan di dalamnya hingga terang benderang, api merah menyala di perapian, di atasnya mereka sedang memanggang daging, aroma daging dan arak bercampur di udara, membangkitkan selera. Huo Qubing adalah anggota Pasukan Yulin, orang-orang yang duduk di sekeliling perapian nampak sangat akrab dengannya, begitu melihat Huo Qubing mereka tersenyum. Seorang lelaki berpakaian brokat berkata sembari tersenyum, "Hidungmu memang tajam, daging rusa segar baru saja dipanggang, tapi kau sudah datang". Ketika mendengar suaranya aku melangkah maju, dia adalah Li Gan. Sebelum menjawab, Huo Qubing mengajakku duduk di sebuah tempat yang telah disediakan untuk kami diantara kerumunan orang itu, ketika melihatku, mereka sama sekali tak kelihatan heran, seakan aku memang sudah seharusnya berada di situ, atau mungkin mereka menganggap semua tindakan Huo Qubing biasa. Seorang pemuda menaruh masing-masing sebuah cawan di hadapanku dan Huo Qubing, tanpa berkata apa-apa, ia lalu mengisinya dengan arak hingga penuh. Huo Qubing juga diam seribu bahasa, ia bersulang pada para hadirin, lalu menengadah dan menenggak arak itu, semua orang tertawa, sambil tersenyum Li Gan berkata, "Ternyata kau tak banyak alasan dan sudah tahu akan di hukum minum arak karena terlambat". Seraya berbicara ia menuang secawan arak lagi, dalam sekejap Huo Qubing telah menengak tiga cawan arak. Semua orang memandangku, di bawah cahaya api unggun, wajah mereka nampak segar bugar, mata muda mereka nampak jernih, polos dan bersemangat, bersinar-sinar bagai api, entah karena api unggun atau mata mereka, aku merasa hatiku hangat, aku menarik napas panjang, lalu menuang arak sambil tersenyum dan mengikuti Huo Qubing bersulang pada semua orang. Setelah itu, aku menutup mataku dan menengak arak itu dalam sekali tarikan napas. Begitu secawan arak masuk ke perut, para hadirin bertepuk tangan sambil tertawa dan bersorak-sorai, aku menghapus sisa arak di bibirku, lalu menaruh cawan di meja. Cawan kedua telah terisi penuh, ketika aku hendak mengambilnya, Huo Qubing menuang arak ke cawannya dan berkata dengan hambar, "Dia tamuku, dua cawan arak yang tersisa anggap saja punyaku". Sambil berbicara ia meminumnya. Li Gan memandang ke arahku, lalu berkata sembari tersenyum, "Melihat rupanya ia tak bisa minum, aku akan mengikuti teladanmu, tuan, dan membuat si jelita mabuk. Hal ini sangat jarang terjadi! Caixia Li Gan". Sambil berbicara ia menjura kepadaku, untuk sesaat aku tertegun, lalu tersadar dan menghormat kepadanya. Hubungan Li Gan dan Huo Qubing jelas sangat baik. Di depan orang banyak, Huo Qubing sangat jarang berbicara, wajahnya sering nampak angkuh dan dingin, orang-orang tak suka merasa direndahkan, maka mereka biasanya menjaga jarak dengannya. Akan tetapi Li Gan dan Huo Qubing, yang seorang hangat dan yang seorang lagi dingin, nampaknya saling menyukai. Li Gan memenuhi cawan ketiga Huo Qubing, lalu memenuhi cawannya sendiri dan menemani Huo Qubing minum. Setelah itu ia mengiris daging rusa dan menaruhnya di hadapanku dan Huo Qubing. Huo Qubing menusuk sepotong daging dengan pisau dan memberikannya padaku seraya berkata dengan suara pelan, "Makanlah sedikit daging untuk menekan rasa mabuk". Saat itu semua orang lain telah makan daging rusa sambil duduk atau berdiri, tak ada yang memakai sumpit, ada yang langsung mencabik daging dengan tangan dan memakannya, sedangkan yang agak anggun menggunakan pisau untuk makan. Ada juga yang sibuk bermain tebak-tebakan, teriakan mereka memekakkan telinga. Rasa mabuk mulai naik ke kepalaku, mataku berkunang-kunang, aku hanya tahu bahwa asalkan Huo Qubing memberiku sepotong daging, aku memakannya. Aku langsung memasukkan daging ke dalam mulutku dengan tangan, lalu menyeka minyak di mulutku dengan mantelnya. Dengan mata yang kabur karena mabuk, aku sepertinya melihat para pemuda itu menyanyi sambil mengebrak meja, aku pun menyanyi bersama mereka. "........nyanyikan hidup Yang Mulia, antar aku pergi berperang. Ayah ibu memperingatkan, gantung busur dan panah, waspada segala penjuru, hari ini untuk seumur hidup. Lelaki jantan tak sudi menyerah, kuda menginjak-injak Xiongnu, Han berada di atas angin; busur besi dingin, darah panas......" Di tengah sorak sorai itu, kesedihan dan kecemasan dalam hatiku sepertinya sedikit demi sedikit mengalir keluar dari hatiku. Hari ini aku juga untuk pertama kalinya memahami semangat para pemuda itu, darahku pun ikut bergolak. Keesokan harinya, sambil mengerang aku tersadar, Hong Gu menuang semangkuk sup penawar mabuk untukku sambil berbisik, "Dahulu kau tak suka minum, tapi sekali minum sampai begini". Aku memegangi kepalaku sendiri, beratnya seakan ribuan kati. Hong Gu menggeleng-geleng, lalu menyuapiku sesendok demi sesendok sup, setelah minum beberapa sendok, aku bertanya, "Bagaimana aku bisa pulang?" Hong Gu tersenyum aneh, dengan genit ia melirikku, "Kau mabuk berat, mana bisa pulang" Tuan Muda Huo mengantarmu pulang, aku hendak menyuruh orang mengendongmu ke kamar, tapi ia mengendongmu sendiri ke kamar". "Oh!", ujarku, kepalaku terasa makin berat, dengan senyum penuh kemenangan, Hong Gu berkata, "Ada lagi yang akan membuat kepalamu tambah pusing!" Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dengan tak berdaya aku mengerang, "Apa?" Hong Gu berkata, "Ketika Tuan Muda Huo hendak pergi, kau mencengkeram lengan bajunya erat-erat, melarangnya pergi dan menyuruhnya menjelaskan sesuatu, bicaramu meracau, aku juga tak mengerti apa yang kau katakan, tapi secara garis besar maksudnya sepertinya, 'Kenapa kau begitu baik padaku" Kau bisa tidak tak sebegitu baik padaku" Kalau kau agak jahat padaku, mungkin aku tak akan sesedih ini'. Tuan Muda Huo duduk di sisi ranjang, terus menemani dan menghiburmu, sampai kau tertidur ia baru pergi". Aku menjerit, duduk tegak, lalu kembali ambruk ke ranjang. Sebenarnya apa omong kosong yang telah kukatakan" Sedikit demi sedikit aku teringat akan tingkahku yang tak keruan, adegan demi adegan seakan muncul dalam benakku, kadangkadang jelas dan kadang-kadang kabur, dengan kesal aku menghela napas, aku benar-benar mabuk berat sampai tingkahku kacau, setelah ini aku tak boleh terbawa darah panas dan rasa persaudaraan lagi. Aku mengangsurkan tangan kiriku yang dibalut perban putih, "Aku ingat kaulah yang membalutnya". Hong Gu mengangguk dan berkata, "Akulah yang membalutnya, tapi Tuan Muda Huo mengawasiku melakukannya, dan juga menyuruhku memotong kukumu, dengan wajah dingin ia berbisik, 'supaya ia tak mencakar orang lain atau dirinya sendiri'. Sayang sekali, segala yang telah kulakukan untuk kukumu sia-sia, namun begitu melihat wajah Tuan Muda Huo, aku sama sekali tak berani membantah". Aku mengangkat tanganku yang lain, benar saja, kukuku telah menjadi amat pendek. Aku pun mengerang dan menutupi wajahku dengan tangan. ------------------"Kenapa tak ada yang menyanyi?" Aku bersandar di ambang jendela kereta kuda untuk menghirup angin dingin, Huo Qubing menarikku ke dalam kereta, dengan wajah tak berdaya ia berkata, "Kenapa kau begitu tak kuat minum" Apa rasa araknya sangat tak enak?" Sambil tersenyum aku menghindari tangannya, lalu menyanyi keras-keras sambil menghadap ke jendela kereta, "........nyanyikan hidup Yang Mulia, antar aku pergi berperang. Ayah ibu memperingatkanku......gantung busur dan panah, waspada.......penjuru, hari ini........" Ia menarikku ke dalam kereta, "Baru minum arak sudah menghirup hawa dingin, besok kalau kepalamu sakit jangan salahkan aku". Aku hendak mendorongnya pergi, namun ia cepat-cepat mencengkeram tanganku, cengkeramannya kebetulan tepat mengenai bekas lukaku, dengan kesakitan aku menarik napas dalam-dalam, ia mengenggam telapakku dan memperhatikannya, "Ini kenapa" Apakah kau berkelahi dengan orang dalam lengan bajumu?" Aku tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, "Aku sendiri yang melakukannya". Dengan lembut ia bertanya, "Sakit tidak?" Aku menggeleng dan menunjuk ke dadaku sendiri seraya mengigit bibirku, seakan tersenyum sekaligus menangis, "Di sini sakit sekali". Wajahnya kalem, ia tak berkata apa-apa, namun di matanya nampak seberkas rasa sedih, ia menatapku tanpa berkedip, memandangiku yang sudah mabuk berat tapi masih tetap sedih, tak nyana aku tak berani memandangnya dan cepatcepat menghindari pandangan matanya. -------------------Hong Gu tertawa seperti seekor tikus yang berhasil mencuri makanan, ia mencengkeram bajuku, lalu menarikku hingga bangkit, "Tak usah banyak berpikir lagi, setelah minum sup penawar mabuk, makanlah sedikit bubur, lalu suruh gadis pelayan melayanimu mandi air hangat, setelah itu kau tak akan sedih lagi". -------------------Sekarang Xiao Tao dan Xiao Qian suka makan kuning telur, Xiao Qian lumayan, kalau ia ingin makan, ia mencicit, tapi Xiao Tao sangat nakal, kemanapun aku pergi, ia selalu ikut, berputar-putar di sekeliling gaunku, mengejutkanku di setiap langkah. Aku berpikir untuk "membunuhnya dengan menginjaknya" atau "membunuhnya dengan mengemukkannya", namun setelah bimbang sesaat, aku memutuskan untuk membiarkannya bunuh diri perlahan-lahan. Keputusan ini akan membuatku tak bisa menemani mereka makan telur ayam lagi: mereka makan kuning telur, sedangkan aku makan putih telurnya. Saat memperhatikan Xiao Tao dan Xiao Qian aku sering termenung, aku mencoba sebisanya untuk melupakan perkataan Jiu Ye itu, yaitu "aku belum pernah mendengarnya, tapi melodinya cukup bagus, namun kau tak memainkannya dengan baik". Setiap kali aku teringat akan perkataan itu, hatiku seakan ditikam pedang. Kami sudah tak berhubungan lebih dari sebulan lamanya, kadang-kadang aku berpikir, apakah setelah ini untuk selamanya kami tak akan berhubungan lagi" Malam sudah larut, aku bersandar di ambang jendela melihat titiktitik cahaya bintang, warna putih Xiao Tao dan Xiao Qian di tengah kegelapan malam terus menerus menyadarkanku bahwa cahaya malam ini dan sebelumnya tak sama. Diam-diam aku menanyai diriku sendiri, apakah aku melakukan suatu kesalahan" Mungkin seharusnya aku tak memainkan lagu itu, kalau tidak, paling tidak kami masih dapat saling bertukar surat merpati di malam hari. Aku terlalu tamak, ingin terlalu banyak, tapi aku tak bisa menahan diri untuk tak tamak. Sebenarnya aku harus menyuruh orang ke Tianxiang Fang untuk mencari tahu kemana Yinzhixie pergi, tapi aku yang selalu bersikap waspada di Chang'an justru tak dapat melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan itu, aku hanya berusaha sebisanya untuk tak keluar rumah, sehari-hari aku tinggal di rumah sambil berlatih meniup seruling atau bercanda dengan gadis-gadis rumah hiburan kami untuk melewatkan waktu, apakah aku sengaja tak menghiraukan dan melupakannya" Ternyata setelah begitu banyak tahun berlalu, aku masih tak berani menghadapinya. Hatiku galau dan aku terus menerus memainkan sebuah lagu, "Di gunung ada pohon dan di pohon ada ranting. Tahukah ia isi hatiku?" Kekhawatiran lama ditambah dengan kekhawatiran baru, hatiku semakin bimbang. Dari luar jendela sebuah suara berkata, "Sebenarnya aku tak ingin menganggumu, aku hendak menunggu sampai lagumu selesai, tapi kenapa tak selesai-selesai juga?" Sambil berbicara, ia mengetuk pintu. Aku menaruh seruling, "Pintu tak dikunci, silahkan masuk". Huo Qubing mendorong pintu hingga terbuka dan masuk, lalu mengambil seruling yang tergeletak di atas meja dan mempermainkannya. "Lagu yang barusan ini kau mainkan itu lagu apa" Sepertinya sudah akrab di telingaku, tapi aku tak ingat lagu apa itu". Untung saja kau tak pernah memperdulikan hal-hal semacam itu, diam-diam aku menghembuskan napas dengan lega, lalu merebut seruling itu dan menaruhnya di dalam kotaknya, "Kenapa kau mencariku?" Dengan seksama ia memperhatikanku, "Untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja?" Aku memaksa diriku untuk tersenyum berseri-seri, "Aku baik-baik saja". Sambil tersenyum ia mencecarku, "Seharian bersembunyi di rumah dan tak keluar-keluar itu baik-baik saja?" Aku menunduk memandang meja, "Aku suka tak keluar rumah". Tiba-tiba, ia menjulurkan kepalanya untuk melihat mataku, setelah memandangku ia bertanya, "Kau minta beberapa buku untuk dibaca Li Yan?" Topik pembicaraannya berubah dengan sangat cepat, aku tertegun sejenak, lalu bereaksi, yang dimaksud olehnya adalah buku-buku itu, aku cepat-cepat melengos dan menjawab dengan lirih, "Ya". Ia berbisik di telingaku, "Kau sudah membacanya belum?", napas yang hangat menerpa telingaku sehingga separuh wajahku panas membara, aku menjadi panik dan mengangsurkan tanganku untuk mendorongnya pergi. Dengan bertopang dagu, ia menatapku seraya menyengir, ditatap seperti itu olehnya, sekujur tubuhku merinding, aku pun melompat turun dari bangku, "Aku harus pergi mengurus sesuatu, kau cepatlah pergi". Dengan kemalas-malasan ia bangkit, lalu menghela napas dan berkata, "Wajah perempuan lebih cepat berubah dibandingkan cuaca di padang pasir. Barusan ini cuaca cerah, lalu dalam sekejap mata berubah menjadi badai pasir". Tanpa berkata apa-apa, aku membuka pintu dan memelototinya, memberi isyarat agar ia segera pergi, wajahnya menjadi serius, lalu dengan ekspresi dingin, ia melewatiku, namun ketika aku sedang hendak menutup pintu, ia berbalik dan berkata padaku dengan hambar, "Wajahmu yang dingin seperti ini membuat hatiku semakin gatal". Dengan geram aku memelototinya, "Bruk!", pintu kubanting keras-keras. Ketika aku sedang merasa sebal pada Huo Qubing, dari pintu terdengar beberapa ketukan pelan, dengan kesal aku mengomel, "Kenapa kau kembali lagi?" Dengan heran Hong Gu bertanya, "Kalau tidak kembali aku harus pergi ke mana?" Aku cepat-cepat membuka pintu seraya tersenyum, "Ada orang yang membuatku kesal sampai aku kebingungan, barusan ini aku tak marah padamu". Hong Gu tersenyum dan berkata, "Melampiaskan kemarahan itu baik, sudah dua tiga hari ini kau murung, tapi hari ini ternyata kau marah-marah, ayo ikut aku berjalan-jalan di taman, cuaca yang begitu baik sayang kalau disia-siakan". Mendadak aku terkejut, karena dibuat kesal oleh Huo Qubing, aku sibuk marah-marah, sehingga rasa sedih yang sudah menumpuk beberapa hari ini telah hilang separuhnya, apakah?"apakah dia sengaja melakukannya" Melihatku berdiri di ambang pintu sambil tertegun, Hong Gu tersenyum dan menarik tanganku, lalu berjalan keluar, "Jangan mimpi di siang bolong, pikirkanlah hal-hal yang nyata saja. Kemarin aku mengerjakan pembukuan kita, sepertinya kita punya uang lebih untuk membeli sebuah rumah hiburan, bagaimana menurutmu" Aku merencanakan untuk".." sambil berjalan-jalan di taman, aku dan Hong Gu membicarakan urusan bisnis rumah hiburan. "Chen Gongzi, mohon jangan berbuat seperti ini, bukankah aku berkata akan menemanimu berjalan-jalan?" Sambil merontaronta, Qiu Xiang memohon-mohon, namun lelaki yang hendak memeluknya dengan paksa sama sekali tak menghiraukannya, dan masih terus mengerayanginya. Aku dan Hong Gu saling memandang, kami merasa geram, memangnya rumah hiburan kami dianggap apa" Sekarang para bangsawan yang paling kasar pun sudah bersikap sopan begitu tiba di Luoyu Fang, tak nyana hari ini kami bertemu dengan orang yang tak tahu malu seperti ini. Hong Gu tertawa dengan genit dan berkata, "Aku sedang berjalan-jalan sesuka hati dan lantas melihat burung layanglayang berkelahi, dalam hubungan pria dan wanita kedua belah pihak harus sama-sama mau. Kalau gongzi benar-benar suka pada Qiu Xiang, kau harus berusaha merebut hatinya dan membuatnya mengikuti gongzi dengan senang hati, dengan demikian gongzi akan kelihatan romantis dan anggun". Lelaki itu melepaskan Qiu Xiang, lalu menoleh dan tertawa, "Perkataanmu masuk akal, tapi aku justru merasa lebih mengasyikkan kalau ia tak mau?"" Saat pandangan mata kami berdua bertemu, senyumnya membeku, sedangkan jantungku seakan berhenti berdetak, ketika aku berbalik hendak pergi, ia berseru, "Berhenti!" Aku berpura-pura tak mendengar, dan terus berjalan dengan cepat, namun ia melompat beberapa kali dan mengejarku, lalu menarikku, aku menangkis tangannya dan kembali berlari dengan cepat, di belakangku ia berseru dalam bahasa Xiongnu, "Yu Jin Jiejie, aku mengenalimu, aku mengenalimu".." Ketika berbicara suaranya sudah tersedu-sedan, ia jelas-jelas seorang wanita. Langkah kakiku berhenti, namun aku masih tak berpaling, setelah berjalan ke belakangku, ia menarik napas panjang, lalu berbisik, "Hanya aku sendiri yang berbuat onar di sini, Shanyu tak ada di sini". Aku berbalik dan memandangnya, kami berdua saling memperhatikan masing-masing dengan seksama, untuk waktu yang lama kami tak berkata apa-apa. Hong Gu melirik kami berdua, lalu mengajak Qiu Xiang pergi dengan cepat. "Kenapa kau masih begini" Di Chang"an kau begitu tak tahu aturan dan malahan melecehkan seorang nona", aku bertanya sembari tersenyum. Tiba-tiba Mudaduo memelukku sambil menangis, "Mereka semua berkata bahwa kau sudah mati, mereka semua berkata bahwa kau sudah mati, aku menangis setahun penuh, kenapa ketika menjelang ajal Yu Dan bersumpah demi langit bahwa kau sudah mati?" Aku menganggap diriku sudah cukup kuat, namun ternyata air mataku berlinangan, aku mengigit bibirku untuk menahan air mata agar tak jatuh bercucuran, "Yu Dan"..sebelum meninggal kau melihatnya?" Sambil mencucurkan air mata Mudaduo mengangguk, "Mulamula Shanyu tak percaya kau sudah mati, ia tahu waktu kecil kita bersahabat, maka ia sengaja menyuruhku mencarimu, tapi Yu Dan memberitahuku sendiri bahwa kau benar-benar sudah mati, dan bahwa ia mengubur mayatmu di tengah pasir hisap". Aku mengambil sapu tangan dan memberikannya padanya, namun untuk beberapa saat aku tak kuasa bertanya tentang apa yang terjadi pada Yu Dan setelah ia ditangkap. "Jiejie, apakah kau juga menjadi penari di sini" Berapa uang yang diperlukan untuk membelimu?", kata Mudaduo seraya menghapus air matanya. "Rumah hiburan ini milikku, aku fangzhu rumah ini", aku memandangnya sambil tersenyum hangat. Mudaduo memukul kepalanya sendiri, lalu tersenyum, "Aku benar-benar bodoh, di kolong langit ini siapa yang dapat membuat jiejie melakukan sesuatu yang tak kau kehendaki" Kusambit dia dengan "paku gatal", biar dia mati kegatalan!" Aku mencibir, tapi tak tertawa. Senyum Mudaduo pun segera menghilang, setelah diam sesaat, ia berkata, "Jiejie, Shanyu tak membunuh Yu Dan, Yu Dan meninggal karena sakit". Aku tertawa dengan sinis, "Meninggal karena sakit, masa" Sejak kecil Yu Dan dan aku bermain bersama, masa tubuhnya begitu lemah" Aku pernah menipunya hingga ia tercebur ke danau es di tengah musim dingin, aku sendiri sakit karena kedinginan, tapi dia sendiri tak apa-apa". Mudaduo cepat-cepat menjelaskan, "Jiejie, peristiwa itu benarbenar terjadi. Kalau Shanyu ingin membunuh Yu Dan, begitu menangkapnya ia dapat langsung membunuhnya, tapi Shanyu memberi perintah bahwa Yu Dan harus ditangkap hidup-hidup, kalau tidak, masa untuk menangkap satu orang perlu waktu berhari-hari" Kau juga tak tahu bahwa ketika Shanyu tahu bahwa kau terluka ketika kami mengejar kalian, ia begitu marah sampai wajahnya pucat pasi, aku tak pernah melihat Shanyu begitu marah, ribuan prajurit yang mengejarmu semua berlutut di tanah mohon ampun. Selain itu Shanyu juga tak pernah mau percaya bahwa kau sudah mati, ia menanyai Yu Dan berulang-ulang tentang bagaimana kau mati, tapi penjelasan Yu Dan sangat masuk akal, Shanyu mencarimu di seluruh pelosok Xiyu tapi tak bisa menemukanmu, ia mengirim pasukan ke semua gerbang yang menuju ke Dinasti Han, tapi mereka tak bisa menemukan orang yang mirip denganmu, maka akhirnya kami mempercayai perkataan Yu Dan". Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Aku tertawa dengan sinis, "Aku tak ingin mengungkit masalah ini lagi, kalaupun Yu Dan meninggal karena sakit, masih ada A Die ku dan permaisuri, memangnya mereka ingin bunuh diri" Siapa yang membuat semua peristiwa itu terjadi" Walaupun ia tak membunuh mereka, tapi mereka mati karenanya". Sambil berlinangan air mata, Mudaduo menggeleng-geleng, "Jiejie, aku sama sekali tak mengerti kenapa guru ingin bunuh diri, Shanyu terus menerus membujuk guru agar tetap tinggal bersamanya, kalaupun guru tak bersedia, ia masih dapat minta agar Shanyu mengizinkannya pergi, tapi kenapa ia malahan ingin bunuh diri" Aku ingat hari itu aku sedang hendak tidur, lalu tibatiba mendengar suara teriakan dari luar, aku cepat-cepat berpakaian dan keluar dari kemah dan mendengar orang-orang berteriak, "Ibu suri bunuh diri". Tak lama kemudian ada orang yang berseru sambil tersedu-sedan, "Guru bunuh diri". Karena aku memikirkan jiejie, aku tak pergi melihat ibu suri dan langsung berlari untuk melihat guru, kulihat Shanyu berlari menghampiriku, rupanya Shanyu baru bangun tidur, karena tergesa-gesa ia bahkan tak sempat memakai sepatu dan berjalan dengan kaki telanjang di atas salju. Begitu melihat jenazah guru tubuhnya gemetar hingga hampir ambruk, semua orang khawatir ia akan mati dan menyuruhnya beristirahat, namun dengan wajah pucat pasi ia berteriak menyuruh semua orang mundur, dan terus berjaga di sisi tubuh guru sampai hari terang. Jiejie, setelah Shanyu mengumpulkan pasukan dan mengangkat dirinya sendiri menjadi Shanyu, aku selalu membencinya, membencinya karena ia merebut kedudukan Yu Dan, tapi malam itu, aku melihatnya duduk sendirian di dalam kemah, saat itu di luar salju turun dengan lebat, kami yang duduk di dekat perapian saja kedinginan, tapi Shanyu yang hanya memakai pakaian tipis duduk sampai hari terang, tak bergeming, sinar matanya tak senang, justru penuh duka dan derita. Hari itu dingin, namun hatinya jangan-jangan lebih dingin lagi, dari luar aku dengan sembunyi-sembunyi mengintipnya, dan tiba-tiba tak membencinya lagi, aku merasa bahwa semua yang dilakukannya tentu beralasan, dan aku pun menganggapnya lebih pantas menjadi Shanyu kami dibandingkan dengan Yu Dan. Semua ini kulihat dengan mata dan kepalaku sendiri, aku sama sekali tak membohongi jiejie. Setelah itu, walaupun ditentang oleh para menteri, Shanyu menguburkan guru dengan upacara kehormatan sesuai dengan adat orang Han?"" Rasa sakit yang amat sangat berkecamuk dalam hatiku, aku menekan dadaku keras-keras, dengan kesakitan memejamkan mataku. Dahulu ketika mendengar kabar berpulangnya A Die di kaki Qilian Shan, aku juga merasakan rasa sakit yang sama, begitu sakit hingga hatiku seakan dimakan hidup-hidup. Adegan itu pun kembali muncul dalam benakku. Setelah Yu Dan meninggalkanku, aku tak menuruti kata A Die untuk pergi ke Zhongyuan, dan malahan bersembunyi di tengah kawanan serigala, aku berusaha sebisanya untuk mendekati A Die, berkat bantuan kawanan serigala, aku berhasil menghindar dari pencarian yang berulang-ulang itu. Aku mengira dapat dengan diam-diam menemui A Die, bahkan dapat mengajaknya melarikan diri, namun ketika aku hendak menemuinya, aku justru mendapat kabar bahwa ia telah meninggal dunia. Saat itu salju telah turun tiga hari tiga malam, salju yang menumpuk di tanah tak sampai setinggi lututku, tapi Langit belum selesai menurunkan salju. Langit berwarna putih, bumi pun putih, semua diantara langit dan bumi pucat pasi. Yu Dan sudah mati, permaisuri sudah mati, A Die sudah mati, Yinzhixie dalam hatiku juga sudah mati. Sambil menangis tersedu-sedu aku berlari di tanah yang ditutupi salju, namun tak dapat menemukan sosok manusia lain. Air mata di wajahku menjadi es, kulitku merekah, darah mengucur keluar, bercampur dengan air mata dan menjadi tetesan air mata beku berwarna merah darah. Aku yang berusia dua belas tahun, di tengah salju yang menutupi langit dan bumi, berlari seharian penuh, akhirnya aku kehabisan tenaga dan tersungkur ke dalam salju, bunga salju yang melayang-layang memenuhi angkasa jatuh di wajah dan tubuhku, aku membuka sepasang mataku lebar-lebar dan memandang angkasa, tak kuasa bergerak, tak punya tenaga, dan juga tak ingin bergerak lagi. Sedikit demi sedikit, bunga es menyelimuti sekujur tubuhku, aku merasa semuanya sangat baik, sebentar lagi aku tak akan menderita lagi, ternyata seperti ini rasanya! Biarkan semua berakhir di tengah alam serba putih yang bersih ini, sama sekali tak berbau darah. Lang Xiong melolong mencariku, dengan cakarnya, sedikit demi sedikit, ia menyingkirkan salju yang menutupi tubuhku, ia hendak menggunakan mulutnya untuk menyeretku pergi, namun saat itu ia masih kecil dan tak dapat menarikku. Ia mendekam di atas perutku, menggunakan sekujur tubuhnya untuk melindungiku, sambil tak henti-hentinya menjilati wajah dan tanganku dengan lidahnya untuk menghangatkanku. Aku menyuruhnya pergi, memberitahunya bahwa kalau kawanan serigala tak datang tepat pada waktunya, ia juga akan mati beku di tengah salju, namun ia berkeras untuk tetap menjagaku. Mata Lang Xiong menatapku tanpa berkedip, setiap kali aku hendak memejamkan mata, dengan sekuat tenaga ia menjilatiku. Matanya dan mata A Die berbeda, namun maksud yang terkandung dalam pandangan mata mereka sama, mereka semua ingin aku bertahan hidup. Aku ingat bahwa aku telah berjanji pada A Die, bahwa tak perduli apa yang terjadi, aku harus hidup dengan bahagia, oleh karenanya, satu-satunya keinginan A Die adalah agar aku tetap hidup. Aku menatap mata Lang Xiong yang hitam legam dan berkata padanya, "Aku salah, aku ingin hidup, aku harus tetap hidup". Untung saja kawanan serigala datang tepat pada waktunya, salju pun telah berhenti turun, aku diselamatkan oleh kawanan serigala, dengan menggunakan tubuh mereka sendiri dan darah hangat binatang buruan, mereka menghangatkan tangan dan kakiku yang mati rasa?". Tiba-tiba aku berseru, "Jangan bicara lagi! Mudaduo, bagimu semua ini sudah berlalu, namun peristiwa itu adalah parut luka dalam hatiku, dahulu luka itu berdarah-darah, tapi sekarang sudah dengan susah payah menjadi parut dan tak lagi berdarah, kenapa kau muncul di hadapanku dan membuka kembali luka lama itu" Kembalilah! Kalau kau masih menghargai persahabatan kita semasa kecil, sejak saat ini, jangan temui aku lagi, Yu Jin sudah tak ada, dia memang sudah mati, mati di tengah hujan salju lebat bertahun-tahun yang silam itu". Aku melambaikan lengan bajuku, hendak pergi, namun Mudaduo menarik lengan bajuku kuat-kuat sambil berseru, "Jiejie, jiejie".." Sebelum meninggalkan Xiongnu, aku, Yu Dan, Ri Di dan Mudaduo bersahabat erat. Karena jabatan A Die, aku dan Yu Dan paling dekat dibandingkan dengan yang lainnya. Saat Yu Dan, Ri Di dan aku pergi bermain, kami tak suka mengajak Mudaduo. Ia tak pernah berkata apa-apa, namun sepasang matanya yang lebar selalu menatap kami. Untuk mengodanya aku berkata, "Panggil aku jiejie dan aku akan mengajakku pergi bermain". Dengan keras kepala ia menggeleng, tak sudi memanggilku kakak, dengan sikap merendahkan ia berkata padaku, "Kau sendiri tak tahu berapa umurmu, mungkin kau lebih kecil dariku, aku tak akan memanggilmu jiejie". Akan tetapi, tak perduli kemanapun kami pergi, ia selalu membuntuti kami dan tak bisa ditinggalkan. Setelah besar, kami justru dekat karena kami samasama keras kepala dan suka berbuat onar. Sedangkan mengenai keputusanku untuk menyuruhnya memanggilku kakak, setelah berpikir semalam ia bersedia memanggilku demikian. Aku heran kenapa ia bersedia memanggilku kakak, setelah itu aku baru tahu dari Yu Dan bahwa ia bersedia melakukannya karena mengira aku akan melakukan apa saja yang diinginkannya kalau aku memanggilnya kakak. Panggilan jiejie yang berulang-ulang itu melunakkan hatiku, dengan lembut aku berkata, "Sekarang keadaanku sangat baik, aku tak ingin pulang, dan tak dapat pulang". Mudaduo berpikir tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat, lalu mengangukangguk, "Aku mengerti, kau tak ingin menemui Shanyu, maka aku tak boleh memberitahu Shanyu bahwa aku telah bertemu denganmu". Aku mengenggam tangannya, "Banyak terima kasih, kapan kalian akan pulang?" Dengan girang Mudaduo pun mengenggam tanganku, "Besok kami akan pergi, oleh karenanya hari ini semua orang sangat sibuk, tak ada yang memperdulikanku dan aku kabur untuk bermain sendiri". Aku tertawa dan berkata, "Aku akan mengajakmu berkeliling kota! Dan aku akan menyuruh dapur membuat beberapa makanan Han yang luar biasa untukmu, walaupun harus mengucapkan selamat tinggal padamu". Dengan sinis Mudaduo bertanya, "Apakah setelah ini kita masih akan bertemu lagi?" Aku berpaling dan melihat bahwa jejak kaki kami tertera dengan jelas, tapi kami sudah tak dapat menemukan jalan pulang, dengan penuh kepahitan aku berkata, "Aku harap kita tak akan bertemu lagi, aku dan Yinzhixie sama sekali tak bisa bertemu muka. Lagipula kau telah memilihnya, kalau kami sampai bertemu lagi, jangan-jangan kau akan merasa serba salah". Wajah Mudaduo langsung menjadi merah padam, dengan jengah ia menunduk dan memandang ke tanah. Sebenarnya aku hendak mengatakan bahwa ia telah memilih Yinzhixie sebagai Shanyu mereka, namun begitu melihat wajahnya, aku paham, dengan hambar aku bertanya, "Apakah kau sudah menjadi selirnya?" Mudaduo menggeleng, lalu menghela napas dengan pelan, "Shanyu sangat baik padaku, oleh karenanya permaisuri sangat tak suka padaku, seperti perjalanan ke Dinasti Han ini, tak ada yang setuju aku ikut, tapi Shanyu setuju, dan karena masalah ini permaisuri mengamuk. Aku masih tak tahu isi hati Shanyu, tapi kalau ia ingin mengangkatku menjadi selir, aku pasti bersedia". Ia berbicara dengan jengah sambil mencuri pandang ke arahku. Aku tertawa, begitulah perempuan Xiongnu, kalau suka ia akan berkata suka, kalau ingin menikah dengan seorang pria ia berkata akan menikahinya, tak pernah menutupi perasaanya sendiri, dan juga tak merasa hal itu memalukan. "Tak usah perdulikan aku, walaupun kita bersahabat, tapi masalah kau ingin menikah dengan Yinzhixie adalah urusanmu sendiri. Aku hanya berharap tak akan bertemu muka lagi dengannya". Dengan agak takut Mudaduo memandangku, "Apakah kau ingin membunuh Shanyu?" Aku menggeleng, lalu menjawab dengan jujur, "Sekarang tidak, sebelumnya aku merasa sangat sedih dan ingin melawan, tapi akhirnya menjadi tenang, setelah ini?"setelah ini seharusnya tidak, aku hanya ingin tak bertemu muka lagi dengannya sepanjang hidup ini. Mudaduo, sebenarnya bukan aku yang dapat memutuskan hendak membunuhnya atau tidak, tapi dialah yang memutuskan hendak membunuhku atau tidak. Ada beberapa tindakan yang harus dilakukan sampai tuntas, kalau tidak ia akan selalu merasa was-was, oleh karenanya ia lebih suka berduka karena merasa bersalah setelah A Die bunuh diri daripada memberinya jalan keluar". Wajah Mudaduo agak berubah, seakan memahami perkataanku, namun ia tak mau mengakuinya dan masih dengan keras kepala berkata, "Shanyu tak ingin kalian mati, perintah yang diberikannya tidak?"" Sambil tersenyum getir aku berkata, "Apa yang kau takuti" Apakah kau masih takut aku akan membunuhnya" Kalau ia ingin membunuhku hal ini sangat mudah, tapi bukankah sangat sulit bagiku untuk membunuhnya" Dia adalah pejuang nomor satu bangsa Xiongnu, dan juga Shanyu bangsa Xiongnu, kalau aku hendak membunuhnya aku harus melawan seluruh bangsa Xiongnu, oleh karena itu aku hanya dapat memendam dendam ini seumur hidupku. A Die hanya ingin aku menemukan orang yang akan menghadiahiku sekuntum bunga peoni, dengan segenap daya membahagiakan diri sendiri, dan tak tenggelam dalam kesedihan. Mudaduo, kalaupun pada suatu hari aku dan Yinzhixie kembali bertemu muka, kau tak usah cemas, aku hanya khawatir kalau ia tahu aku masih hidup, kehidupanku di Chang"an akan menjadi sulit". Rasa bersalah nampak dalam pandangan mata Mudaduo, dengan bersungguh-sungguh ia berkata, "Aku tak akan berkata pada siapapun bahwa kau masih hidup". ------------------------------------'Tahun Yuanshuo keenam, tanggal satu bulan satu, hari pertama tahun yang baru. Aku tak tahu apakah tahun ini aku akan selalu bahagia, namun di hari pertama tahun baru aku sangat bahagia. Selama tiga puluh malam aku mengurai potongan kain dari kaki Xiao Tao dan hal itu membuatku gembira sepanjang malam, Jiu Ye mengundangku bermain ke Wisma Shi di siang hari tahun baru, ini adalah untuk pertama kalinya kau mengambil inisiatif untuk mengundangku. Aku sedang berpikir bagaimana agar di kemudian hari akan sangat banyak kesempatan seperti itu, sangat banyak........' Ketika memasukkan potongan kain itu ke dalam kotak bambu, aku memperhatikannya, tanpa terasa, potongan-potongan kain itu telah menjadi sebuah tumpukan kecil. Entah kapan seribu satu pikiran dalam potongan-potongan kain itu dapat kuberitahukan padanya. Sebelumnya aku pergi mengucapkan selamat tahun baru pada kakek dan Shi Feng, setelah mengobrol dan bercanda dengan kakek dan Shi Feng setengah hari lebih, aku pergi ke Pondok Bambu. Begitu sampai di Pondok Bambu, aku mencium keharuman bunga yang samar-samar, aku merasa agak heran, biasanya Jiu Ye tak pernah menanam bunga seperti itu. Di dalam ruangan, sebuah vas tanah liat berperut gendut diletakkan di atas meja, di dalamnya terdapat beberapa ranting bunga prem putih, ranting-ranting itu tak tinggi dan bunganya menjuntai keluar dari vas itu, namun bunga-bunga itu sedang mekar dengan rimbun, kelihatannya amat semarak. Di sebelah bunga prem diletakkan sepasang cawan arak dan sumpit yang saling berhadapan, sedangkan sebuah poci arak sedang dihangatkan dalam tungku arang. Mau tak mau sudutsudut bibirku terangkat. Aku menghampiri bunga prem itu, lalu mencium baunya, Jiu Ye keluar dari kamar sambil mendorong kursi rodanya, "Wangi bunganya seakan ada dan tiada". Aku berpaling melihatnya, "Masa bodoh bagaimana baunya, yang penting gembira". Ia tersenyum dengan hangat, aku menaruh sepasang tanganku di balik punggung, lalu bertanya sembari tersenyum, "Kau ingin mengundangku makan hidangan lezat apa?" Katanya, "Sebentar lagi kau akan tahu". Ia mempersilahkanku duduk di samping meja, lalu menuangkan arak panas untukku. "Bahumu masih sakit?" "Ah", ujarku, dengan bingung aku memandangnya, namun aku segera bereaksi dan cepat-cepat mengangguk, "Sudah tak sakit". Ia tertegun, "Sebenarnya sakit atau tidak?" Aku menggeleng, "Hanya sakit sedikit saja". Ia tertawa, "Pikir baik-baik dahulu sebelum bicara, kalau sakit, ya sakit, kalau tak sakit, ya tak sakit. Kenapa gerakan tubuh dan Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo perkataanmu bertolak belakang?" Aku memukul kepalaku sendiri, dasar orang tak berguna. Aku meraba bahuku, "Sudah tak sakit seperti dulu, tapi kadang-kadang agak sakit". Ia berkata, "Walaupun sibuk kau harus merawat tubuhmu dengan baik dahulu, di luar hawa sangat dingin dan semua orang memakai pakaian yang berlapis-lapis, coba lihat apa yang kau pakai" Tak heran kalau tenggorokanmu sakit, kepalamu sakit atau bahumu sakit". Aku menunduk dan memutar cawan arak di atas meja, lalu mencibir dan tersenyum, diam-diam aku merasa senang. Shi Yu memanggil, "Jiu Ye", dari balik jendela, lalu masuk sambil mengusung sebuah baki besar, di atasnya terdapat dua mangkuk besar yang ditutupi, sambil menyengir ke arahku, ia menaruh masing-masing sebuah mangkuk di hadapanku dan Jiu Ye. Aku memandang mangkuk di hadapanku, lalu dengan heran bertanya sembari tersenyum, "Apakah kau mengundangku untuk makan mi?" Jiu Ye membuka tutup mangkuk untukku, "Konon Dewa Panjang Umur Peng Zu dapat hidup sampai delapan ratus tahun lebih karena wajahnya (lian) panjang, lian sama artinya dengan mian , lian panjang yaitu mian panjang, dengan semangkuk mi panjang umur ini aku mengucapkan selamat ulang tahun padamu, semoga panjang umur dan bahagia". Mi dalam mangkuk itu halus seperti rambut, kuahnya kaldu tulang yang seputih susu, permukaannya ditaburi irisan ketumbar dan daun bawang berwarna hijau muda. Dengan sumpit aku mengangkat seutas mi, lalu berkata dengan lirih, "Hari ini bukan hari ulang tahunku". Dengan lembut ia berkata, "Setiap orang seharusnya punya suatu hari khusus, karena kau tak tahu kapan kau berulang tahun, kita pakai hari ini saja! Pada hari ini tahun lalu kita berjumpa lagi di sini, hari ini adalah hari keberuntungan, dan juga hari pertama tahun yang baru. Setelah ini setiap tahun di hari ulang tahunmu, setiap keluarga akan berbahagia bersamamu". Tenggorokanku tercekat, aku tak kuasa berkata apa-apa, dan hanya dapat menyumpit mi dan memasukkannya ke dalam mulut, di sisiku ia dengan tenang menemaniku makan mi panjang umur itu. Mi itu harum dan lembut, ketika sampai di perut, sekujur tubuh menjadi hangat, aku yang selalu menganggap daging adalah satu-satunya makanan yang enak, untuk pertama kalinya merasa bahwa mi adalah makanan yang terlezat di kolong langit. Setelah makan mi, kami berdua dengan perlahan minum arak sambil bercakap-cakap, kekuatan minumku sangat rendah, maka aku tak berani banyak minum, tapi enggan kalau sama sekali tak minum, maka aku menghirupnya sedikit demi sedikit, aku suka rasa mabuk ringan saat kami berdua saling bersulang, rasanya hangat dan bahagia. Hari musim dingin cepat gelap, begitu lewat pukul shenshi , ruangan itu sudah gelap. Jiu Ye menyalakan lilin, dalam hati aku tahu aku harus minta diri, tapi aku enggan pulang, untuk sesaat aku bimbang namun akhirnya membuat keputusan, aku berpura-pura dengan tak sengaja berkata, "Baru-baru ini aku mempelajari sebuah lagu, permainanku sekarang sudah jauh lebih baik dibandingkan dahulu". Sambil tersenyum Jiu Ye berkata, "Ternyata kau punya waktu untuk mempelajari lagu, rupanya kau tak sesibuk seperti yang kukira, lagu apa itu?" Dengan mantap aku berkata, "Aku akan memainkannya, coba lihat, kau tahu atau tidak?" Ia mengeluarkan sebuah seruling kumala, mengelapnya dengan sehelai sapu tangan yang bersih, lalu memberikannya padaku. Aku menunduk, tak berani memandangnya, tanganku yang mengenggam seruling kumala bergetar pelan, setelah menaruhnya di balik lengan baju untuk beberapa saat, aku mengangkatnya ke sisi bibirku. Malam ini malam yang luar biasa, kuambil perahu dan berlayar di tengah sungai. Hari ini hari luar biasa, seperahu dengan sang pangeran. Aku sangat malu, tapi tak perduli. Tak tahu apa-apa, namun bukannya tak perduli, aku berkenalan dengan sang pangeran. Di gunung ada pohon dan di pohon ada ranting. Tahukah ia isi hatiku" Aku sudah beribu kali berlatih memainkan lagu itu, namun ketika memainkannya kali ini, kadang-kadang suara serulingku bergetar. Setelah selesai memainkannya, aku masih menunduk, sambil memegang seruling, aku duduk tak bergeming, khawatir kalau bergerak aku akan memecahkan sesuatu. Sunyi senyap, sunyi senyap bagai kuburan, di tengah kesunyian itu udara seakan mengumpal, api lilin tak lagi menari-nari, seakan makin redup. "Aku belum pernah mendengarnya, tapi melodinya cukup bagus, namun kau tak memainkannya dengan baik, hari akan segera gelap, pulanglah!", dengan hambar Jiu Ye berkata. Krek! Sebelum merasa sakit, hatiku telah retak, setelah beberapa saat, rasa sakit menyebar dari retakan itu ke sekujur tubuhku, tubuhku yang kesakitan gemetar pelan. Aku menengadah memandangnya, pandangan mata kami berdua bertemu, biji matanya seakan tiba-tiba mengkerut dan cepat-cepat menghindari pandanganku. Dengan keras kepala aku terus menatapnya, namun ia memusatkan pandangannya ke arah bunga prem putih di vas tanah liat itu. Pertanyaan 'mengapa"' dan luka hatiku sepertinya tak dihiraukannya. Dia tak akan memperdulikanku lagi, ayo pergi! Paling tidak aku belum menelanjangi diriku sendiri dan masih dapat pergi secara terhormat. Dalam hatiku sebuah suara lirih menasehatiku, namun aku juga masih berharap, berharap ia akan menengadah dan memandangku sekali lagi. Setelah sangat lama, aku bangkit tanpa berkata apa-apa, lalu berjalan ke pintu, ketika hendak membuka pintu, aku tersadar bahwa tanganku masih mengenggam seruling kumala itu eraterat, karena genggamanku terlalu erat, kukuku menembus telapak tanganku dan bercak-bercak darah pun mengenai seruling itu, merah tua dan mengejutkan. Aku berbalik dan dengan hati-hati menaruh seruling itu di atas meja, lalu dengan tertatih-tatih melangkah keluar dari pintu. Di tengah cahaya remang-remang, aku berjalan tak tentu arah, aku tak ingat apakah aku hendak pulang ke Luoyu Fang. Benakku dipenuhi suara seperti guntur yang terus berulangulang, 'Aku belum pernah mendengarnya, tapi melodinya cukup bagus, namun kau tak memainkannya dengan baik'. Kenapa" Kenapa" Apakah kau sama sekali tak punya perasaan padaku" Tapi kenapa ia begitu baik padaku" Kenapa kalau aku pulang malam, ia menungguku di bawah sinar lentera" Kenapa ia selalu mengkhawatirkan setiap penyakitku, walaupun sepele, dan selalu dengan hati-hati menulis resep untukku dan menasehatiku" Kenapa berbicara padaku dengan lembut dan penuh kasih sayang" Kenapa merayakan ulang tahunku" Kenapa" Terlalu banyak 'kenapa', membuat kepalaku begitu sakit seakan hendak pecah. Saat perayaan tahun baru di depan setiap rumah tergantung lentera merah besar, cahaya merahnya yang hangat menyinari jalanan, udara penuh aroma daging yang harum, segalanya hangat dan manis, ketika menengadah aku melihat kebahagiaan di mana-mana, namun begitu menunduk, aku hanya melihat bayanganku sendiri yang terkadang nampak jelas dan terkadang kabur, bergoyang-goyang kesana-kemari bersama sinar lentera. Beberapa anak sedang bermain mercon di jalanan, "Dor, dor!", di tengah api mercon itu meledak, anak-anak itu tertawa-tawa sambil menutup telinga dan bersembunyi di tempat jauh menunggu suara ledakan. Aku berjalan melewati api itu, kebetulan mercon sedang meledak, setelah suara ledakan yang amat keras terdengar, bunga-bunga api jatuh ke gaunku, angin bertiup dan menyulutnya. Melihatnya, anak-anak itu berteriak-teriak dan berpencar. Aku menunduk dan melihat bahwa api di pakaianku makin lama makin besar, setelah tertegun sejenak aku bereaksi, dengan cemas aku menepuknepuk pakaianku dengan tangan, namun api sudah berkobar dan sulit dipadamkan. Ketika aku hendak berguling-guling di tanah untuk memadamkan api, sebuah mantel bulu berkelebat di atas gaunku dan segera memadamkan api. "Apakah tanganmu terluka?", tanya Huo Qubing. Aku menggeleng dan menarik tangan kiriku, lalu menyembunyikannya di balik punggungku. Huo Qubing mengibaskan mantel bulu dalam genggamannya, lalu menghela napas dan berkata, "Sayang sekali, aku baru saja memperolehnya dari kaisar beberapa hari yang lalu, dan hari ini baru kupakai". Tadinya aku hendak berkata akan mengantinya, namun begitu mendengar bahwa mantel itu adalah hadiah dari kaisar, aku segera menutup mulut. Ia memperhatikan sepasang mataku, lalu menyelimutiku dengan mantel besar itu, "Walaupun sudah rusak, namun jauh lebih baik dibandingkan gaunmu yang berlubanglubang itu". Aku merapatkan mantel itu, "Kenapa kau berada di jalanan?" Ia berkata, "Aku baru pulang dari mengucapkan selamat tahun baru pada sang putri dan pamanku. Kenapa kau bisa sendirian di jalan" Kelihatannya kau sudah lama berkeliaran sampai rambutmu penuh bunga es". Sambil berbicara ia membersihkan bunga es di pelipisku dengan teliti. Sebelum menjawab, aku berpaling dan memandang ke segala penjuru, mencari tahu di mana aku sebenarnya berada, ternyata dalam keadaan bingung aku telah memutari separuh kota Chang'an. Ia memandangiku beberapa saat, "Ini tahun baru, kenapa kau murung begini" Ayo ikut aku!" Sebelum aku sempat menolak, ia telah memaksaku melompat ke kereta kuda, tenagaku sudah habis, sekarang aku hanya merasa masa bodoh, tanpa berkata apa-apa, aku membiarkannya mengatur semuanya. Melihatku tak menolak, ia pun duduk tanpa berkata apa-apa, hanya derit roda kereta kuda yang terdengar. Setelah beberapa lama, ia berkata, "Aku tahu lagu apa yang kau mainkan itu. Aku pernah menyenandungkan beberapa nada lagu itu dengan asal, lalu kaisar secara tak sengaja mendengarnya dan bertanya sambil menggodaku, siapa gadis yang menyanyikan Lagu Orang Yue itu untukku. Dengan bingung aku bertanya pada kaisar, 'Kenapa lagu itu tak bisa dinyanyikan seorang pria"'" Aku memaksa diriku untuk tersenyum. "Negara Chu dan Yue berdekatan, tapi bahasanya lain. Ketika Raja E dari Negara Chu naik perahu melewati Negara Yue, gadis Yue pengayuh perahu tertarik padanya, namun apa daya ia tak tahu bahasa sang raja, maka ia terpaksa menyanyikan lagu. Raja E tahu maksud lagu itu, dan paham isi hati sang gadis, ia tertawa dan membawa gadis itu pulang". Dengan bersemangat Huo Qubing menceritakan kisah yang terjadi ratusan tahun yang lalu itu. Karena pertemuan yang berakhir dengan indah itu, mungkin banyak gadis yang meniru perbuatan gadis Yue itu dan berusaha meraih kebahagiaan untuk dirinya sendiri, tapi tak semua orang dapat meraih cita-citanya. Aku tak ingin mendengarkan cerita itu lagi dan memotong perkataannya, "Kau ingin mengajakku ke mana?" Ia menatapku untuk beberapa saat tanpa berkata apa-apa, lalu tiba-tiba tersenyum berseri-seri bagai matahari terbit, "Mengajakmu mendengarkan nyanyian lelaki". Ternyata Huo Qubing langsung membawaku ke markas Pasukan Kavaleri Yulin. Begitu naik takhta, Liu Che memilih pemudapemuda baik yang lahir di enam prefektur, yaitu Longxi, Tianshui, Anding, Peide, Shangjun dan Xihe, untuk menjaga Istana Jianzhang. Saat itu urusan pemerintahan dipegang oleh Ibusuri Dou, walaupun Liu Che berambisi untuk menumpas bangsa Xiongnu, namun ia tak dapat berbuat apa-apa, maka ia bersikap seperti seorang pemuda kaya yang suka hidup mewah. Liu Che membagi pasukan pengawal Istana Jianzhang menjadi dua pasukan yang masing-masing memakai seragam Xiongnu dan Dinasti Han, lalu melatih mereka bertempur. Sepertinya ini adalah permainan seorang pemuda untuk menghibur diri sendiri, namun pasukan itu sebenarnya adalah pasukan yang telah dilatih Liu Che selama bertahun-tahun lamanya, sehingga menjadi pasukan andalan Dinasti Han. Sekarang pasukan itu sudah berganti nama menjadi Pasukan Kavaleri Yulin, yang diambil dari semboyan 'secepat anak panah (yu), lebih banyak dari pohon-pohon di hutan (lin)'. Walaupun saat itu tahun baru, namun suasana dalam markas masih penuh disiplin, setelah sampai di barak suasana tahun baru barulah terasa. Pintu barak terbuka lebar dan lilin-lilin besar menerangi ruangan di dalamnya hingga terang benderang, api merah menyala di perapian, di atasnya mereka sedang memanggang daging, aroma daging dan arak bercampur di udara, membangkitkan selera. Huo Qubing adalah anggota Pasukan Yulin, orang-orang yang duduk di sekeliling perapian nampak sangat akrab dengannya, begitu melihat Huo Qubing mereka tersenyum. Seorang lelaki berpakaian brokat berkata sembari tersenyum, "Hidungmu memang tajam, daging rusa segar baru saja dipanggang, tapi kau sudah datang". Ketika mendengar suaranya aku melangkah maju, dia adalah Li Gan. Sebelum menjawab, Huo Qubing mengajakku duduk di sebuah tempat yang telah disediakan untuk kami diantara kerumunan orang itu, ketika melihatku, mereka sama sekali tak kelihatan heran, seakan aku memang sudah seharusnya berada di situ, atau mungkin mereka menganggap semua tindakan Huo Qubing biasa. Seorang pemuda menaruh masing-masing sebuah cawan di hadapanku dan Huo Qubing, tanpa berkata apa-apa, ia lalu mengisinya dengan arak hingga penuh. Huo Qubing juga diam seribu bahasa, ia bersulang pada para hadirin, lalu menengadah dan menenggak arak itu, semua orang tertawa, sambil tersenyum Li Gan berkata, "Ternyata kau tak banyak alasan dan sudah tahu akan di hukum minum arak karena terlambat". Seraya berbicara ia menuang secawan arak lagi, dalam sekejap Huo Qubing telah menengak tiga cawan arak. Semua orang memandangku, di bawah cahaya api unggun, wajah mereka nampak segar bugar, mata muda mereka nampak jernih, polos dan bersemangat, bersinar-sinar bagai api, entah karena api unggun atau mata mereka, aku merasa hatiku hangat, aku menarik napas panjang, lalu menuang arak sambil tersenyum dan mengikuti Huo Qubing bersulang pada semua orang. Setelah itu, aku menutup mataku dan menengak arak itu dalam sekali tarikan napas. Begitu secawan arak masuk ke perut, para hadirin bertepuk tangan sambil tertawa dan bersorak-sorai, aku menghapus sisa arak di bibirku, lalu menaruh cawan di meja. Cawan kedua telah terisi penuh, ketika aku hendak mengambilnya, Huo Qubing Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menuang arak ke cawannya dan berkata dengan hambar, "Dia tamuku, dua cawan arak yang tersisa anggap saja punyaku". Sambil berbicara ia meminumnya. Li Gan memandang ke arahku, lalu berkata sembari tersenyum, "Melihat rupanya ia tak bisa minum, aku akan mengikuti teladanmu, tuan, dan membuat si jelita mabuk. Hal ini sangat jarang terjadi! Caixia Li Gan". Sambil berbicara ia menjura kepadaku, untuk sesaat aku tertegun, lalu tersadar dan menghormat kepadanya. Hubungan Li Gan dan Huo Qubing jelas sangat baik. Di depan orang banyak, Huo Qubing sangat jarang berbicara, wajahnya sering nampak angkuh dan dingin, orang-orang tak suka merasa direndahkan, maka mereka biasanya menjaga jarak dengannya. Akan tetapi Li Gan dan Huo Qubing, yang seorang hangat dan yang seorang lagi dingin, nampaknya saling menyukai. Li Gan memenuhi cawan ketiga Huo Qubing, lalu memenuhi cawannya sendiri dan menemani Huo Qubing minum. Setelah itu ia mengiris daging rusa dan menaruhnya di hadapanku dan Huo Qubing. Huo Qubing menusuk sepotong daging dengan pisau dan memberikannya padaku seraya berkata dengan suara pelan, "Makanlah sedikit daging untuk menekan rasa mabuk". Saat itu semua orang lain telah makan daging rusa sambil duduk atau berdiri, tak ada yang memakai sumpit, ada yang langsung mencabik daging dengan tangan dan memakannya, sedangkan yang agak anggun menggunakan pisau untuk makan. Ada juga yang sibuk bermain tebak-tebakan, teriakan mereka memekakkan telinga. Rasa mabuk mulai naik ke kepalaku, mataku berkunang-kunang, aku hanya tahu bahwa asalkan Huo Qubing memberiku sepotong daging, aku memakannya. Aku langsung memasukkan daging ke dalam mulutku dengan tangan, lalu menyeka minyak di mulutku dengan mantelnya. Dengan mata yang kabur karena mabuk, aku sepertinya melihat para pemuda itu menyanyi sambil mengebrak meja, aku pun menyanyi bersama mereka. "........nyanyikan hidup Yang Mulia, antar aku pergi berperang. Ayah ibu memperingatkan, gantung busur dan panah, waspada segala penjuru, hari ini untuk seumur hidup. Lelaki jantan tak sudi menyerah, kuda menginjak-injak Xiongnu, Han berada di atas angin; busur besi dingin, darah panas......" Di tengah sorak sorai itu, kesedihan dan kecemasan dalam hatiku sepertinya sedikit demi sedikit mengalir keluar dari hatiku. Hari ini aku juga untuk pertama kalinya memahami semangat para pemuda itu, darahku pun ikut bergolak. Keesokan harinya, sambil mengerang aku tersadar, Hong Gu menuang semangkuk sup penawar mabuk untukku sambil berbisik, "Dahulu kau tak suka minum, tapi sekali minum sampai begini". Aku memegangi kepalaku sendiri, beratnya seakan ribuan kati. Hong Gu menggeleng-geleng, lalu menyuapiku sesendok demi sesendok sup, setelah minum beberapa sendok, aku bertanya, "Bagaimana aku bisa pulang?" Hong Gu tersenyum aneh, dengan genit ia melirikku, "Kau mabuk berat, mana bisa pulang" Tuan Muda Huo mengantarmu pulang, aku hendak menyuruh orang mengendongmu ke kamar, tapi ia mengendongmu sendiri ke kamar". "Oh!", ujarku, kepalaku terasa makin berat, dengan senyum penuh kemenangan, Hong Gu berkata, "Ada lagi yang akan membuat kepalamu tambah pusing!" Dengan tak berdaya aku mengerang, "Apa?" Hong Gu berkata, "Ketika Tuan Muda Huo hendak pergi, kau mencengkeram lengan bajunya erat-erat, melarangnya pergi dan menyuruhnya menjelaskan sesuatu, bicaramu meracau, aku juga tak mengerti apa yang kau katakan, tapi secara garis besar maksudnya sepertinya, 'Kenapa kau begitu baik padaku" Kau bisa tidak tak sebegitu baik padaku" Kalau kau agak jahat padaku, mungkin aku tak akan sesedih ini'. Tuan Muda Huo duduk di sisi ranjang, terus menemani dan menghiburmu, sampai kau tertidur ia baru pergi". Aku menjerit, duduk tegak, lalu kembali ambruk ke ranjang. Sebenarnya apa omong kosong yang telah kukatakan" Sedikit demi sedikit aku teringat akan tingkahku yang tak keruan, adegan demi adegan seakan muncul dalam benakku, kadangkadang jelas dan kadang-kadang kabur, dengan kesal aku menghela napas, aku benar-benar mabuk berat sampai tingkahku kacau, setelah ini aku tak boleh terbawa darah panas dan rasa persaudaraan lagi. Aku mengangsurkan tangan kiriku yang dibalut perban putih, "Aku ingat kaulah yang membalutnya". Hong Gu mengangguk dan berkata, "Akulah yang membalutnya, tapi Tuan Muda Huo mengawasiku melakukannya, dan juga menyuruhku memotong kukumu, dengan wajah dingin ia berbisik, 'supaya ia tak mencakar orang lain atau dirinya sendiri'. Sayang sekali, segala yang telah kulakukan untuk kukumu sia-sia, namun begitu melihat wajah Tuan Muda Huo, aku sama sekali tak berani membantah". Aku mengangkat tanganku yang lain, benar saja, kukuku telah menjadi amat pendek. Aku pun mengerang dan menutupi wajahku dengan tangan. ------------------"Kenapa tak ada yang menyanyi?" Aku bersandar di ambang jendela kereta kuda untuk menghirup angin dingin, Huo Qubing menarikku ke dalam kereta, dengan wajah tak berdaya ia berkata, "Kenapa kau begitu tak kuat minum" Apa rasa araknya sangat tak enak?" Sambil tersenyum aku menghindari tangannya, lalu menyanyi keras-keras sambil menghadap ke jendela kereta, "........nyanyikan hidup Yang Mulia, antar aku pergi berperang. Ayah ibu memperingatkanku......gantung busur dan panah, waspada.......penjuru, hari ini........" Ia menarikku ke dalam kereta, "Baru minum arak sudah menghirup hawa dingin, besok kalau kepalamu sakit jangan salahkan aku". Aku hendak mendorongnya pergi, namun ia cepat-cepat mencengkeram tanganku, cengkeramannya kebetulan tepat mengenai bekas lukaku, dengan kesakitan aku menarik napas dalam-dalam, ia mengenggam telapakku dan memperhatikannya, "Ini kenapa" Apakah kau berkelahi dengan orang dalam lengan bajumu?" Aku tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, "Aku sendiri yang melakukannya". Dengan lembut ia bertanya, "Sakit tidak?" Aku menggeleng dan menunjuk ke dadaku sendiri seraya mengigit bibirku, seakan tersenyum sekaligus menangis, "Di sini sakit sekali". Wajahnya kalem, ia tak berkata apa-apa, namun di matanya nampak seberkas rasa sedih, ia menatapku tanpa berkedip, memandangiku yang sudah mabuk berat tapi masih tetap sedih, tak nyana aku tak berani memandangnya dan cepatcepat menghindari pandangan matanya. -------------------Hong Gu tertawa seperti seekor tikus yang berhasil mencuri makanan, ia mencengkeram bajuku, lalu menarikku hingga bangkit, "Tak usah banyak berpikir lagi, setelah minum sup penawar mabuk, makanlah sedikit bubur, lalu suruh gadis pelayan melayanimu mandi air hangat, setelah itu kau tak akan sedih lagi". -------------------Sekarang Xiao Tao dan Xiao Qian suka makan kuning telur, Xiao Qian lumayan, kalau ia ingin makan, ia mencicit, tapi Xiao Tao sangat nakal, kemanapun aku pergi, ia selalu ikut, berputar-putar di sekeliling gaunku, mengejutkanku di setiap langkah. Aku berpikir untuk "membunuhnya dengan menginjaknya" atau "membunuhnya dengan mengemukkannya", namun setelah bimbang sesaat, aku memutuskan untuk membiarkannya bunuh diri perlahan-lahan. Keputusan ini akan membuatku tak bisa menemani mereka makan telur ayam lagi: mereka makan kuning telur, sedangkan aku makan putih telurnya. Saat memperhatikan Xiao Tao dan Xiao Qian aku sering termenung, aku mencoba sebisanya untuk melupakan perkataan Jiu Ye itu, yaitu "aku belum pernah mendengarnya, tapi melodinya cukup bagus, namun kau tak memainkannya dengan baik". Setiap kali aku teringat akan perkataan itu, hatiku seakan ditikam pedang. Kami sudah tak berhubungan lebih dari sebulan lamanya, kadang-kadang aku berpikir, apakah setelah ini untuk selamanya kami tak akan berhubungan lagi" Malam sudah larut, aku bersandar di ambang jendela melihat titiktitik cahaya bintang, warna putih Xiao Tao dan Xiao Qian di tengah kegelapan malam terus menerus menyadarkanku bahwa cahaya malam ini dan sebelumnya tak sama. Diam-diam aku menanyai diriku sendiri, apakah aku melakukan suatu kesalahan" Mungkin seharusnya aku tak memainkan lagu itu, kalau tidak, paling tidak kami masih dapat saling bertukar surat merpati di malam hari. Aku terlalu tamak, ingin terlalu banyak, tapi aku tak bisa menahan diri untuk tak tamak. Pagi harinya ketika aku baru saja mengambil air dari jambangan air, aku berbalik dan secara tak sengaja melihat beberapa tunas hijau di persemaian bunga di bawah jendela yang dibuat musim gugur lalu, aku terkejut sekaligus kegirangan, tapi sebelum kegiranganku naik ke kepala, hatiku telah hancur berkepingkeping. Aku berjongkok di sebelah persemaian bunga itu dan memperhatikannya, tanaman Yuanyang Teng itu sepertinya telah muncul dalam semalam, daun dan kuncup bunganya yang mungil masih menempel di tanah, nampak rapuh dan cantik, tapi mereka baru dapat melihat sinar mentari setelah menembus tanah yang tebal, sejak musim gugur tahun lalu, mereka berjuang di dalam tanah yang gelap gulita, dari musim gugur sampai musim dingin, dari musim dingin sampai musim semi, lebih dari seratus hari dan malam, apakah mereka tahu betapa tebalnya tanah, dan apakah mereka pernah ragu-ragu akan dapat melihat sinar mentari" Dengan hati-hati aku menyentuh daun mereka, sekonyongkonyong aku merasa bersemangat, aku menyuruh si gadis pelayan Xin Yan untuk minta penutup dari anyaman bambu dari tukang kebun, lalu menutupi tunas-tunas Yuanyang Teng itu dengannya untuk menghalangi Xiao Tao dan Xiao Qian, tunastunas itu masih terlalu lemah dan tak dapat bertahan terhadap kenakalan Xiao Tao. Aku berjalan mondar-mandir di depan tembok Wisma Shi untuk waktu yang lama, namun tak pernah berani melompat masuk, aku selalu menganggap diriku seorang pemberani, namun sekarang aku baru tahu bahwa kalau menghadapi sesuatu yang benarbenar penting, seseorang hanya memikirkan untung dan rugi, keberanian sepertinya begitu jauh meninggalkanku. Ingin masuk tapi tak berani masuk, ingin pergi tapi tak kuasa melakukannya, aku benar-benar mati kutu, hatiku terkesiap, dengan sembunyi-sembunyi aku melompat ke atap rumah lain, berdiri di bagian atap yang paling tinggi, lalu memandangi Pondok Bambu yang berada di kejauhan, di tengah malam buta, cahaya lentera samar-samar masih terlihat, apa gerangan yang kau lakukan di bawah sinar lentera" Malam ini adalah malam tanpa sinar rembulan, hanya ada tiga buah bintang lemah yang cahayanya terkadang terang terkadang redup. Di tengah malam yang segelap tinta, seluruh kota Chang"an tertidur nyenyak, namun ia belum tidur. Aku berdiri seorang diri di ketinggian, angin malam meniup jubahku hingga bergemerisik, tubuhku dingin, namun sinar lentera yang hangat itu terlampau jauh untuk dijangkau. Selama lentera itu masih bersinar, aku masih memandanginya, entah berapa lama aku berdiri dengan terpesona, ketika kokok ayam sayup-sayup terdengar, aku baru sadar bahwa hari akan segera terang, tiba-tiba hatiku terasa pedih, tapi bukan karena diriku sendiri. Sebuah lentera, sebuah malam panjang tanpa akhir, seseorang yang sebatang kara, kenapa kau tak bisa memejamkan matamu semalaman" Kenapa kau selalu kesepian" Di jalan sudah nampak para pejalan kaki, aku tak berani berlamalama dan segera melompat turun dari bubungan atap, namun sebelum mengambil beberapa langkah, langkah kakiku telah terhenti, seketika itu juga, aku terpaku di tempat, Huo Qubing sedang berdiri di tengah jalan. Di bawah sinar mentari fajar yang temaram, ia menengadah, tanpa bergeming, ia mengamati bubungan tempatku berdiri semalaman, angin malam yang dingin bertiup, lengan jubahnya seakan juga membawa dinginnya malam. Sudah berapa lama ia berdiri di tempat itu" Ia menunduk dan memandang ke arahku, dari sepasang bola matanya yang hitam legam sulit untuk diketahui apakah ia girang atau marah, ia seakan tak punya emosi, namun walaupun terpisah seribu li darinya, aku tetap tak bisa menghindar dari pandangan mata yang tajam itu. Jantungku seakan berhenti, aku tak berani menyambut pandangan matanya dan cepat-cepat melihat ke arah lain. Kami berdua berdiri dengan berjauhan, ia diam seribu bahasa, aku tak bergeming, saling mendiamkan. Di jalan, kadang-kadang ada pejalan kaki yang memandanginya dan memandangiku, wajah mereka penuh rasa heran, namun karena sikap Huo Qubing luar biasa, tak ada yang berani lamalama memandangnya dan segera berjalan melewatinya dengan cepat. Sinar mentari menjadi terang, cahaya terang benderang menyinari bumi, sekonyong-konyong ia tersenyum, senyumnya seakan tanpa beban, "Kau semalaman berdiri di tengah angin dan embun, ada apa?" Bibirku bergerak namun tenggorokanku tercekat sehingga tak bisa menjawab pertanyaannya, sekonyongkonyong aku mengangkat kaki dan berlari secepat-cepatnya dari hadapannya, tak berani menoleh dan juga tak dapat menoleh. Di bawah cahaya lilin, tinta di batu tinta telah mengental, namun aku masih tak dapat menulis sepatah kata pun. Apa yang harus kukatakan" Aku sudah memikirkannya dari siang hingga malam, tapi hasilnya sama sekali nihil, akhirnya aku menggertakkan gigi dan mulai menulis, "Aku menemani Xiao Tao dan Xiao Qian makan telur, aku kebanyakan makan dan sakit perut, tak bisa makan nasi. Aku tak suka makan obat, apakah kau punya cara lain?" Setelah selesai menulis aku tak berani berpikir lagi, aku takut begitu berpikir keberanianku akan sirna, dan aku akan membakar potongan kain itu. Aku cepat-cepat mengikatkan secarik kain itu di kaki Xiao Qian, lalu meniup peluit bambu untuk menyuruhnya pergi ke Wisma Shi. Setelah Xiao Qian pergi, aku tak bisa duduk atau tidur dengan tenang dan berjalan keluar dari kamar ke halaman, lalu berjalan dari halaman kembali ke kamar, akhirnya, aku menyalakan lentera, berjongkok di depan tempat persemaian bunga, dan mengamati Yuanyang Teng. Mereka benar-benar cepat tumbuh, pagi kemarin mereka masih menempel di tanah, namun sekarang mereka sudah setinggi setengah jari. Apakah kalau aku berusaha keras seperti mereka, pada suatu hari aku juga akan dapat melihat sinar mentari" Apakah ia akan memberiku jawaban" Akan" Tak akan" Di bubungan atap terdengar kepakan sayap burung, aku segera melompat berdiri, dengan gesit Xiao Qian menerjang turun dari angkasa dan mendarat di lenganku yang terpentang. Untuk sesaat aku tak berani melihat kaki Xiao Qian dan memejamkan mataku, lalu baru dengan perlahan membuka mataku. Bukan surat yang kukirim! Dalam sekejap mata, hatiku pedih sekaligus girang. Setelah mengurai potongan kain itu, aku masuk ke kamar, menelungkup, dan membacanya dengan seksama di bawah cahaya lentera. "Ambil biji shanzha, tambahkan shanyao secukupnya, suruh Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dapur mengukus shanzha dan shanyao hingga menjadi kue dadar tipis, kalau kau suka manis, kau boleh menambahkan beberapa tetes madu, setiap hari makanlah secukupnya. Kalau membuat teh kau boleh menambahkan sedikit kulit jeruk, baik untuk obat sakit perut dan tenggorokan". Aku berpura-pura tak terjadi apa-apa, dan dia pun berpura-pura tak terjadi apa-apa, kami berputar-putar dalam sebuah lingkaran, dan seakan telah berputar kembali ke titik awal. Setelah memandangi potongan kain itu untuk beberapa lama, dan berusaha keras untuk melihat apakah resep obat yang seperti diberikan seorang tabib pada pasiennya itu diam-diam mengungkapkan sesuatu, dengan perlahan aku membacanya sekali lagi, "kalau kau suka manis, kau boleh menambahkan beberapa tetes madu".. baik untuk obat sakit perut dan tenggorokan". Diam-diam aku menghela napas, setelah begitu lama, kau masih ingat bahwa tahun lalu aku berkata tenggorokanku sakit, dan juga masih ingat aku berkata tak suka pahit, hanya perkataan itu yang mengandung perasaan tertentu, namun sepertinya tak ada hubungannya dengan dirinya sendiri. -------------------Sinar mentari pertengahan musim semi bersinar dengan terik, dengan murah hati menyinari Yuanyang Teng. Ketika sinarnya jatuh di daun tua yang warnanya sudah gelap, ia bagai ikan yang masuk ke dalam air, begitu riak air menghilang sudah tak kelihatan, daun-daun itu sama sekali tak berubah. Akan tetapi, daun-daun muda yang baru tumbuh ketika terkena sinar matahari menjadi tipis bagai sayap tonggeret, urat-urat daunnya terlihat jelas. Sinar dan bayangan, terang dan gelap, muda dan tua, serasi dan tak serasi, saling melilit di sekeliling sulur tanaman itu, daunnya hijau dan rantingnya rimbun. "Kapan kau menanam sulur-suluran ini?" Huo Qubing bertanya di belakangku, nada suaranya ringan, seakan kami tak pernah berdiri semalaman di tengah angin dan embun. Setelah hampir setengah bulan tak bertemu dan tiba-tiba mendengar suaranya, untuk sesaat aku tertegun, dalam hatiku muncul rasa girang. Aku tak berani bergerak dan terus memandangi Yuanyang Teng, aku berlagak pilon dan berkata, "Lain kali, kau bisa tidak tak berdiri diam-diam di belakangku seperti ini?" Ia berjalan ke sisiku, lalu menyentuh sulur itu, "Bahkan kau sendiri tak tahu aku berada di belakangmu, rupanya ilmu silatku cukup bagus. Apa namanya" Apakah dapat berbunga?" Aku berkata, "Bunga Jinyin, ia tak cuma berbunga, tapi bunganya amat cantik. Ia berbunga di musim panas, sekarang belum musimnya berbunga". Ia berdiri di sampingku tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat, lalu tiba-tiba bertanya, "Apa kau ingin pulang ke Xiyu?" Pertanyaannya aneh, setelah beberapa saat aku baru mengerti, "Kau ingin pergi ke Xiyu?" "Ya, asalkan kaisar menyetujuinya, seharusnya tak lama lagi". "Ah, benar, aku lupa memberi selamat padamu. Kabarnya kaisar mengangkatmu menjadi pengiringnya". Sambil berbicara aku berpikir. Ia tertawa sinis menertawakan dirinya sendiri, lalu berkata, "Apa bagusnya" Apa kau belum mendengar kata orang" Bocah yang tak tahu apa-apa, hanya membonceng bibi dan pamannya". Aku mencibir dan tertawa, "Aku belum mendengarnya, aku hanya mendengarkan apa yang ingin kudengar. Tahun ini berapa umurmu?" Alis Huo Qubing terangkat, seakan tersenyum namun tak tersenyum ia berkata, "Untuk apa kau menanyakan umurku" Aku berumur delapan belas tahun, masih muda, wajahku tampan, belum kawin, keluargaku punya ladang dan tanah, serta banyak pelayan tua dan muda, menikah denganku bukan ide yang jelek". Aku memelototinya, "Masih muda tapi sudah berkedudukan tinggi mengundang rasa dengki, lagipula kau sekarang......", aku menelan ludahku dan tak berbicara lagi. Huo Qubing mendengus dengan sinis, "Aku akan membuat mereka tak bisa berkata apa-apa tentangku". Aku tertawa, di musim semi tahun ini, Han Wudi memerintahkan Jenderal Besar Wei Qing memimpin pasukan untuk berperang dengan Xiongnu, dan tak sampai dua hari, ia telah pulang dengan meraih kemenangan. Rupanya Huo Qubing tak tahan hanya menjadi bangsawan pengangguran di Chang'an, ia ingin meniru pamannya dan pergi berperang. Aku berkata, "Ketika itu, bukankah kau sudah hafal keadaan alam dan cuaca di Xiyu" Persiapanmu sudah sangat memadai, lagipula di dalam pasukanmu tentu sudah ada orang-orang yang mengenal baik Xiyu untuk menjadi penunjuk jalan, aku tak melihat bagaimana aku dapat berguna di sana". Ia memandangku tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat, lalu menjura padaku sambil tertawa terkekeh-kekeh, "Sudah begitu lama, dengan terus terang maupun sembunyi-sembunyi aku selalu diremehkan orang, namun akhirnya, selain kaisar, ada orang yang memujiku. Orang yang tahu keadaan Xiyu jauh kalau dibandingkan denganmu. Sepanjang tahun bangsa Xiongnu mengembara di Xiyu, mereka sudah hafal keadaan alam di sana, sedangkan pasukan Dinasti Han sangat sulit menyesuaikan diri dengan cuaca di Xiyu". Sambil memandang ruji tempat Yuanyang Teng merambat, aku berkata, "Saat ini aku tak ingin kembali ke Xiyu". Tangannya berpegangan pada pada ruji itu, "Tak apa-apa". Aku berkata, "Ada sesuatu yang ingin kumohon darimu, kalau saat melewati Loulan pasukan Han menyuruh penduduk setempat menjadi penunjuk jalan, perlakukanlah mereka dengan baik". Seakan sedang memikirkannya, ia menatapku, "Aku malas mengurus urusan orang lain, di bawah komandoku, asalkan mereka tak berkhianat, aku tak akan bersikap keras pada mereka". Aku membungkuk untuk memberi hormat padanya, "Banyak terima kasih". Ia berkata, "Setelah hari ini aku tak akan punya waktu menemuimu, kalau kau memerlukanku, kau dapat langsung pergi ke rumahku dan menemui Pengurus Rumah Tangga Chen. Ia sudah mengenalmu, ia adalah Paman Chen yang kau temui di Xiyu, ia akan mengirim orang untuk memberitahuku". Aku mengangguk, lalu menengadah memandangnya, "Aku akan menunggumu pulang dengan membawa kemenangan, setelah kau mendapat hadiah dari kaisar, kau boleh mengundangku berpesta di Yipin Ju". Wajahnya menjadi angkuh, dengan sikap merendahkan ia berkata, "Sekarang kau boleh merencanakan pesta itu, supaya mereka punya waktu untuk mengumpulkan bahan-bahan langka yang diperlukan". Seraya tersenyum aku mengangguk, "Baik! Besok aku akan pergi ke Yipin Ju". Ia pun tertawa, sambil tertawa, ia melangkah keluar dengan jumawa, namun ketika tiba di depan pintu ia sekonyongkonyong berbalik, "Saat aku berangkat berperang, apakah kau dapat melepas aku pergi?" Aku tersenyum dan balas menanyainya, "Memangnya aku ini siapa" Masa ada tempat untukku?" Ia menatapku dengan tajam tanpa berkata apa-apa, aku pun terdiam untuk sesaat, "Kapan kau berangkat?" Seulas senyum tipis muncul di wajahnya, "Sebulan lebih lagi". Aku berkata seraya tersenyum, "Kalau begitu, aku akan menemuimu sebulan lagi". Ia mengangguk, lalu melangkah keluar dengan cepat, di bawah sinar mentari musim semi yang indah, sosoknya yang bagai pohon cemara sedikit demi sedikit berjalan menjauh. Di belakangnya, mentari yang cemerlang tersenyum lebar. Daun-daun Yuanyang Teng yang berwarna hijau zamrud dengan riang melambai-lambai ditiup angin sepoi-sepoi. Sambil memicingkan mata aku memandang langit biru. Suatu hari di bulan tiga, pepohonan menghijau, bunga-bunga merona merah, dan kami berdua muda belia. Aku mengetuk pintu, "Mana Jiu Ye?" Xiao Feng sedang mengatur biji-biji catur, tanpa mengangkat kepala ia berkata, "Di kamar baca sedang membereskan buku". Aku melangkah ke kamar baca, Xiao Feng kembali berkata, "Kamar baca tak boleh dimasuki orang, bahkan menyapu lantai pun dikerjakan Jiu Ye sendiri, kau duduklah dulu berjemur sinar matahari, tunggu sebentar! Di sini ada teh, undang dirimu sendiri, aku sedang sibuk, tak bisa mengundangmu". Aku mengetuk kepala Xiao Feng keras-keras, "Kau ini masih kecil, tapi sudah jadi Tuan Besar di sini". Xiao Feng mengeluselus kepalanya, lalu memelototiku dengan kesal. Aku mendengus dan tak memperdulikannya lagi, lalu melangkah ke kamar baca. Walaupun aku pernah tinggal di Pondok Bambu untuk beberapa lama, namun ini adalah untuk pertama kalinya aku masuk ke kamar baca. Ruangan itu luar biasa besar, sama sekali tak ada pembatasnya, begitu luas hingga kereta kuda dapat berjalan di dalamnya. Lebih dari separuh ruangan itu dipenuhi rak-rak buku, Jiu Ye sedang membolak-balik buku di depan salah satunya. Aku sengaja berjalan dengan suara keras, begitu mendengar suara langkah kakiku, ia berpaling dan tersenyum, lalu mempersilahkanku masuk. "Kau duduklah dulu, aku akan segera selesai". Hatiku girang, aku berpaling dan membuat wajah lucu ke arah Shi Feng. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku mengamati rak-rak buku itu, "Apakah kau sudah pernah membaca semua buku ini?" Suara Jiu Ye datang dari beberapa rak buku di depanku, suaranya tak begitu jelas, "Sebagian besar sudah kubaca". Shi Jing, Shang Shu, Yi Li, Zhou Yi, Chun Qiu, Zuo Zhuan, Li Jing ..."rak buku ini berisi kitab-kitab Konghucu, Shi Jing nampaknya sering dibaca olehnya, kitab itu diletakkan di tempat yang paling mudah dijangkau. Empat Kitab Huangdi, Ilmu Tata Negara Huang Ji, Dao De Jing, Lao Lai Zi?"semua buku di rak buku ini tentang ajaran Huang Lao dan Lao Zi. Dao De Jing karya Lao Zi, Xiaoyao You dan Zhi Bei You karya Zhuang Zi, jelas sering dibolak-balik olehnya, benang yang dipakai untuk menjilid bilah-bilah bambu kitab-kitab itu telah kendur. Fa Jia ......Bing Jia .......kitab-kitab ini sebagian besar telah kuhafalkan di luar kepala sejak kecil, dengan tak tertarik aku menyapu mereka sekilas dengan pandangan mataku, lalu beralih ke rak lainnya. Rak ini agak aneh, bagian atasnya hanya berisi sebuah buku, sedangkan rak bagian bawahnya berisi setumpuk gulungan. Dengan ragu aku mengambil sebuah gulungan, gulungan itu adalah kitab Mo Zi , kabarnya kitab ini sangat rumit, bahkan A Die pun sakit kepala membacanya. Aku membolakbaliknya sejenak, ada bagian-bagian yang dapat kupahami, namun ada bagian yang penuh dengan kata-kata yang sulit dimengerti, sepertinya tentang pembuatan alat-alat seperti as roda kereta dan tangga, tentang fenomena matahari, tentang apabila sesuatu dilihat melalui sebuah lubang kecil bayangannya akan menjadi terbalik, cermin datar, bayangan yang ditimbulkan oleh cermin cekung dan cembung, dan hal-hal lain yang aku sama sekali tak tahu namanya, sambil menggeleng-geleng aku meletakkan buku itu, lalu melangkah ke rak dibelakangnya dan mengambil sebuah gulungan. Gulungan itu bertuliskan tulisan tangan Jiu Ye, untuk sesaat aku tertegun, tak kuasa membaca isinya, aku pun mengambil beberapa gulungan lain, semuanya pun bertuliskan tulisan tangan Jiu Ye. Aku menjulurkan kepalaku untuk melihat Jiu Ye, ia masih membereskan buku sambil menunduk, dengan ragu-ragu aku bertanya, "Apakah aku boleh membaca buku-buku di rak ini?" Jiu Ye berpaling untuk memandangku, berpikir sejenak, lalu mengangguk-angguk, "Tak ada bagusnya dibaca, hanya kesukaanku di waktu senggang". Aku memungut gulungan itu, karena amat panjang, aku tak punya waktu untuk membacanya dengan teliti dan hanya membacanya dengan melompat-lompat. Tulisan-tulisan itu membicarakan strategi untuk menaklukkan atau mempertahankan sebuah kota, bagaimana Mo Zi menyesalkan negara kuat menyerang yang lemah, cara membuat senjata dan cara menghangatkan diri di musim dingin. Beberapa gulungan setelah itu berisi gambar-gambar terperinci tentang berbagai macam senjata yang dapat digunakan untuk menyerang dan mempertahankan kota, dan cara untuk menyerang dan mempertahankan sebuah kota. Aku membaca buku-buku itu dengan sekilas, lalu menaruh mereka dan mengambil sebuah gulungan lain, ?""cintailah semua di kolong langit"..bencilah peperangan?"." Secara garis besar ia menganalisa penjelasan Mo Zi tentang kenapa ia membenci peperangan dan menentang negara-negara besar menganiaya negara-negara kecil. Di satu pihak ia berargumentasi bahwa negara besar tak boleh menggunakan kekuatannya untuk menekan negara-negara kecil, sedangkan di lain pihak ia menganjurkan negara-negara kecil secara aktif mempersiapkan diri untuk berperang, memperkuat pertahanan dan bersiap untuk sewaktu-waktu melawan negara besar, sehingga negara besar tak berani dengan sembarangan memerangi mereka. Aku berpikir dengan diam selama beberapa lama, dengan perlahan meletakkan gulungan di tanganku, lalu kembali mengambil beberapa gulungan lain dan membacanya, gulungan itu penuh gambar tentang cara pembuatan berbagai macam alat, setiap langkah pembuatannya dijelaskan dengan amat terperinci, diantaranya tentang busur silang rumit untuk berperang, alat-alat untuk pengobatan patah tulang, dan ketel berlapis dua sederhana untuk menjaga agar air di dalamnya tetap hangat di musim dingin, bahkan ada juga gambar hiasan rambut wanita. Aku menggarukgaruk kepalaku dan mengembalikan gulungan-gulungan itu, aku ingin membacanya sekali lagi, namun aku lebih ingin tahu ada buku apa di rak di belakangku, aku khawatir setelah ini aku tak akan punya kesempatan untuk membacanya lagi. Rak itu penuh berisi buku-buku ilmu pengobatan, aku membolakbalik salah satu diantaranya, yaitu Pianque Neijing. Walaupun Jiu Ye banyak menulis catatan dengan rinci di buku itu, aku tetap tak memahaminya, dan juga tak terlalu tertarik padanya, oleh karenanya aku dengan sembarangan mengambil sebuah buku di ujung rak itu, yaitu Tianxia Zhidao Tan, buku itu juga penuh catatan Jiu Ye, namun wajahku langsung menjadi panas, "Buk!", aku melemparkan buku itu kembali ke raknya. Mendengar suara itu, Jiu Ye melihat ke arahku, karena terkejut aku melompat ke depan sebuah rak buku lain, mengambil sebuah gulungan dan berpura-pura membacanya dengan tenang, namun jantungku masih berdebar-debar tak keruan. Apakah Jiu Ye juga membaca buku semacam ini" Akan tetapi, walaupun buku ini menjelaskan tentang seni berhubungan dengan wanita, buku itu membicarakannya dari segi ilmu pengobatan, dan banyak diantaranya berhubungan dengan urusan ranjang, pembuahan dan kehamilan, aku sibuk memikirkannya dan untuk beberapa lama aku menunduk tanpa bergeming. "Apakah kau paham buku-buku semacam ini?" Jiu Ye mendorong Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kursi rodanya ke sisiku dan bertanya dengan heran. Aku terkejut dan cepat-cepat menjawab, "Aku hanya sekilas membacanya, lalu kubakar". Dengan kebingungan Jiu Ye menatapku, aku pun bereaksi, ia menunjuk buku yang sekarang berada dalam genggamanku, dan bukan.......saking kesalnya aku hampir pingsan, tak nyana dari begitu banyak orang di kolong langit ini aku justru terpergok olehnya. Aku segera membolak balik beberapa halamannya, dengan tak percaya aku membelalakkan mata lebar-lebar, semuanya penuh bertuliskan huruf-huruf kecil seperti kecebong, aku memutar-mutarnya, namun tak bisa mengenali satu huruf pun, aku tak sudi menyerah dan kembali memandangnya, tapi aku masih tak bisa membacanya. Celaka! Ternyata aku telah berlama-lama membaca buku semacam ini, sekarang aku sudah tak mau pingsan lagi, dan justru ingin bersembunyi dalam sebuah lubang saking malunya. Aku menunduk dan berkata dengan terbata-bata, "Hmm........hmm.......sebenarnya aku tak paham, tapi aku........aku sangat ingin tahu.......oleh karenanya........oleh karenanya aku membacanya dengan seksama, ini.......aku hanya menyelidiki.......menyelidiki kenapa aku tak memahaminya". Mata Jiu Ye berkedip-kedip, dengan penuh rasa ingin tahu ia bertanya, "Kalau begitu, apa kesimpulanmu?" "Kesimpulanku" Eh.......kesimpulanku......eh.......ialah bahwa aku tak bisa membaca huruf-huruf itu". Sudut-sudut bibir Jiu Ye sepertinya nampak bergerak, dalam hati aku menjerit, celaka! Sebenarnya aku sedang bicara tentang apa" Aku menunduk, menatap ujung kakiku sendiri, makin banyak bicara makin salah, lebih baik tutup mulut! Suasana dalam ruangan itu sunyi senyap penuh rasa jengah, dengan putus asa aku berpikir bahwa aku harus menghilang. Jiu Ye mendadak tertawa terbahak-bahak sambil bersandar pada kursi rodanya, suaranya yang riang gembira itu sayup-sayup bergema dalam ruangan itu, dalam sekejap mata seluruh ruangan dipenuhi rasa gembira. Aku menunduk makin dalam, wajahku merah padam, namun aku merasakan seberkas rasa manis, aku belum pernah mendengar suara tawanya, asalkan ia bisa sering tertawa seperti ini, aku rela mempermalukan diriku setiap hari. Ia mengeluarkan sehelai sapu tangan sutra dan memberikannya padaku, "Aku cuma asal bertanya saja, tapi kau malahan begitu tegang sampai wajahmu merah padam, begitu cemas sampai keringatan, sama sekali tak mirip fangzhu rumah hiburan terkenal di Chang'an". Dengan jengah aku menaruh gulungan itu di rak, lalu menerima sapu tangan itu dan menghapus butiran-butiran keringat di dahi dan ujung hidungku. Pandangan mataku menyapu rak buku itu, "Buku-buku ini semua tak ditulis dalam bahasa Han?" Jiu Ye mengangguk. Aku mengalihkan pandangan mataku dan berkata sembari tersenyum, "Barusan ini aku melihat gambar hiasan rambutmu, cantik sekali!" Jiu Ye mengalihkan pandangan matanya dari rak buku dan bertanya sembari menatapku, "Kenapa kau tak bertanya bukubuku ini buku apa?" Setelah terdiam sesaat, aku menghela napas dengan pelan, "Kau juga belum pernah bertanya kenapa aku bisa hidup bersama serigala. Kenapa aku lahir di Xiyu tapi fasih bahasa Han, dan bahkan sama sekali tak bisa bahasa-bahasa Xiyu. Semua orang mempunyai sesuatu yang sukar dijelaskan, kalau pada suatu hari kau bersedia memberitahuku, aku akan duduk di sisimu dan mendengarkannya, tapi kalau kau tak bersedia, aku tak akan menanyaimu. Ada seseorang yang pernah berkata padaku bahwa ia hanya ingin mengenal diriku yang berada di hadapannya, aku juga ingin seperti itu, hanya ingin mengenal kau yang ada di dalam hatiku". Jiu Ye duduk tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat, lalu mendorong kursi rodanya dan keluar dari kamar baca, sambil membelakangiku ia berkata, "Sebenarnya aku sendiri tak bisa memastikan tentang banyak hal, oleh karenanya aku tak bisa membicarakannya". Suaraku pelan namun nadanya sangat tegas, "Tak perduli apa yang kau lakukan, aku akan selalu berdiri di sisimu". Tangannya yang sedang mendorong kursi roda berhenti sejenak, lalu kembali bergerak, "Kenapa kau mencariku?" Aku berkata, "Tak ada hal khusus, aku hanya kebetulan punya waktu luang dan datang untuk menjenguk kakek, Xiao Feng.......dan kau". Setelah keluar dari kamar baca, tiba-tiba aku melihat sebatang tongkat yang bagus buatannya tersandar di sebuah sudut tembok. Apakah tongkat itu dipakai oleh Jiu Ye" Tapi aku Guci Setan 3 Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Turunan Perguruan Sejati 8

Cari Blog Ini