Pendekar Wanita Baju Merah 5
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Bagian 5 menghibur hatinya. Akan tetapi sekarang, setelah menghadapi musuh-musuh lihai dan memutar daya upaya untuk membalas dendam, ia teringat akan ucapan Hek-teong, tokoh pertama dari barat atau suhunya yang pertama ketika gurunya ini menyaksikan ia bermain Bi-jin-khai-i. "Pek Hoa, sayang ilmu silat ciptaan Pekin-sute ini tidak ada isinya. Ataukah kau yang tidak berlatih sungguh-sungguh. Kalau kau sudah dapat menangkap isinya dan kaumainkan dengan pengerahan tenaga rahasia, kiranya kelak akan dapat kaupergunakan merobohkan lawan yang ilmu silatnya jauh melebihi tingkatmu." Teringat akan ini, Pek Hoa lalu melatih diri dengan ilmu silat Bi-jin-khai-i. Kini terbukalah ingatan dan matanya akan kelihaian dan keajaiban ilmu silat ini maka diam-diam ia merasa bersukur sekali. Selama empat tahun ia membawa Im Giok bersembunyi di sebelah puncak yang sunyi dari Pegunungan Ci-lin-san. Setiap hari, tiada bosannya Pek Hoa melatih diri dan melatih muridnya. Im Giok makin lama makin nampak kecantikannya. Akan tetapi setelah bertahuntahun ia hidup bersama Pek Hoa, banyak sifat-sifat Pek Hoa menurun pula kepadanya. Yang terutama sekali adalah kesukaannya untuk berhias. Artinya, Im Giok juga menjadi seorang pesolek! Anak ini semenjak kecil sudah dilatih cara menghias diri dan menjaga wajah serta tubuh agar selalu kelihatan bersih menarik. Bahkan pada suatu hari Im Giok melihat Pek Hoa mengeluarkan sebutir telur yang kemudian dipecahkan lalu dicampur dengan obat, lalu diminumnya! "Eh, Enci Pek Hoa. Biasanya kita makan telur setelah dimasak dahulu, mengapa kau minum telur mentah?" "Kau tahu apa, Im Giok" Telur yang tadi kuminum dapat membuat aku selama hidup tidak akan menjadi tua!" Im Giok yang baru berusia sepuluh tahun itu menggerak-gerakkan alisnya seperti cara Pek Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 109 Hoa menggerakkan alisnya, gerakan yang amat genit sungguhpun harus diakui amat menarik hati pula. Memang, banyak gerak-gerik genit dari Pek Hoa, seperti menggerakkan bibir di waktu bicara dan cara senyumnya yang kesemuanya amat manis dan menarik, telah menurun kepada Im Giok! "Enci Pek Hoa, aku selalu percaya kepadamu, akan tetapi kali ini agaknya aku sukar untuk percaya. Bagaimana telur dapat membikin orang menjadi muda selamanya?" Pek Hoa tersenyum dan kembali Im Giok melihat betapa manisnya senyum ini. Kembali diam-diam ia harus mengakui bahwa gurunya ini adalah seorang wanita yang cantik dan muda. "Im Giok, yang biasa kita makan itu bukan telur seperti ini. Telur ini bukan sembarang telur, dan amat sukar didapatkan. Ini adalah telur burung rajawali putih yang hanya dapat ditemukan di daerah yang amat sukar di utara. Yang kuminum tadi telur terakhir, maka kau akan kuajak ke sana untuk mencari telur ini." "Akan tetapi apa buktinya bahwa telur itu betul-betul dapat membuat orang selamanya menjadi tetap muda?" "Kaulihat aku" Coba katakan, Im Giok, apakah aku tidak cantik?" "Kau cantik sekali, Enci Pek Hoa." Pek Hoa tersenyum puas. "Kelak kau lebih cantik daripada aku, Im Giok. Kaubilang aku cantik dan berapa kaukira usiaku?" "Kalau kubandingkan dengan wanita-wanita lain yang kita jumpai, paling banyak kau tentu berusia dua puluh tahun." Kembali senyum manis membayang bibir Pek Hoa yang merah tanpa gincu itu. "Dua puluh tahun" Anak baik, usiaku sudah, dua kali itu, lebih lagi..." "Empat puluh tahun?" Im Giok berseru tidak percaya. Pek Hoa mengangguk. "Inilah bukti khasiat telur pek-tiauw (burung rajawali putih)." Im Giok menjadi girang sekali. "Mari kita mencari telur seperti itu, Enci. Aku pun ingin muda selalu dan cantik seperti engkau." Demikianlah sifat-sifat Pek Hoa banyak yang menurun kepada anak itu, dan memang benar seperti yang dikatakan oleh Pek Hoa, anak itu makin lama makin cantik dan agaknya ia takkan kalah oleh Pek Hoa dalam kecantikan. Im Giok juga amat suka mempercantik diri dengan pakaian indah. Pek Hoa yang sayang kepadanya sering kali datang membawa pakaian-pakaian indah dan mahal, terbuat dari sutera halus. Dan yang selalu dipilih oleh Im Giok adalah pakaian berwarna merah. "Bagus, kau mempunyai kesukaan yang sama dengan aku di waktu masih remaja, Im Giok. Aku pun suka akan warna merah. Warna merah membuat hati gembira dan membesarkan nyali. Juga kau amat pantas memakai pakaian merah, cocok betul dengan kulitmu yang putih halus itu." Selain mewarisi beberapa sifat dan watak Pek Hoa, juga selama empat tahun ini, Im Giok sudah menerima pelajaran dasar-dasar ilmu silat tinggi. Bakatnya memang luar biasa sekali, apalagi memang Pek Hoa mengajar dengan sungguh hati. Dalam waktu empat tahun saja, Im Giok sudah menjadi seorang anak yang lihai permainan pedangnya, bahkan kalau ia melihat Pek Hoa berlatih ilmu silat Bi-jin-i, ia menonton dan memperhatikan. "Enci Pek Hoa, ilmu silat yang kaumainkan itu seperti tarian yang indah sekali. Aku ingin mempelajari ilmu silat itu Enci?" Pek Hoa tiba-tiba menghentikan permainan silatnya dan memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri. "Hush, kau anak kecil bagaimana bisa mempelajari ilmu silat ini" Ilmu silat ini hanya boleh dimainkan oleh seorang dara yang sudah dewasa." Im Giok merasa aneh dan kecewa. Diam-diam tiap kali gurunya bersilat, ia memperhatikan dan diam-diam ia dapat memetik beberapa jurus dari ilmu silat ini, di bagian yang indah Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 110 gerakannya. Im Giok tentu saja memandang ilmu silat ini dari segi keindahan dan ia ingin memetiknya untuk memperindah gaya dan gerakan ilmu silat yang dilatihnya. Memang nona cilik ini amat suka akan tari-tarian dan akan segala yang indah-indah. Pada suatu hari, Pek Hoa mengajak muridnya turun dari puncak persembunyian itu. Tidak seperti biasanya kalau mengajak muridnya turun gunung bertamasya ke dusundusun, kali ini Pek Hoa membawa buntalan pakaian dan menyuruh muridnya membawa semua pakaiannya pula. "Enci Pek Hoa, kita akan pergi ke manakah?" tanya Im Giok yang seperti semua anak-anak, amat girang diajak bepergian. "Kita turun gunung dan pergi jauh, tidak kembali ke sini lagi." Hampir saja Im Giok bersorak kegirangan. Sudah empat tahun lebih ia tahan saja, menindas hatinya yang rindu kepada ibu dan rumah. Akan tetapi setelah mendapat latihan dari Pek Hoa, bocah ini pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Maka betapapun girang hatinya, pada wajahnya yang manis sekali itu tidak nampak perubahan. "Apakah Enci akan membawaku ke Sian-koan" Ataukah hendak mencari Ayah?" Dua macam pertanyaan ini sudah meliputi seluruh isi hati Im Giok. Dengan pertanyaan pertama ia menyatakan keinginan hatinya untuk bertemu dengan ibunya, karena ibunya tinggal di Siankoan. Adapun tentang ayahnya, ia sudah mendengar dari Pek Hoa bahwa ayahnya telah meninggalkan ibunya, ayahnya yang bernama Kiang Liat dan berjuluk Jeng-jiu-sian adalah seorang gagah di dunia kang-ouw yang suka merantau. Ia mendengar pula penuturan Pek Hoa bahwa ayahnya sengaja meninggalkan ibunya setelah ayahnya membunuh bekas kekasih ibunya! "Sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dahulu telah mempunyai seorang kekasih. Kekasihnya itu seorang sastrawan lemah, tentu saja ayahmu lebih tampan, lebih gagah dan lebih menyenangkan. Setelah bertemu dengan ayahmu, ibumu melepaskan kekasih lama. Akan tetapi setelah kau terlahir, kembali ibumu teringat akan kekasihnya dan hal ini membuat ayahmu marah dan cemburu. Maka dibunuhnya sastrawan kekasih ibumu itu dan ayahmu lalu pergi meninggalkan ibumu." Demikian Pek Hoa mengarang, hati Im Giok tergores luka. Ia merasa kasihan kepada ayahnya dan sebaliknya mencela sikap ibunya, sungguhpun tak mungkin ia dapat membenci ibunya. "Akan tetapi sekarang kabarnya ayahmu telah menjadi gila." Kata-kata ini membuat hati Im Giok terharu sekali sehingga pernah ia mengajukan permohonan kepada gurunya untuk mencari ayahnya. Akan tetapi Pek Hoa selalu menjawab bahwa belum tiba waktunya bagi mereka untuk meninggalkan puncak gunung. Sekarang begitu gurunya mengajaknya turun gunung, otomatis Im Giok mengajak gurunya mencari ibu atau ayahnya. "Tidak, Im Giok. Kita tidak pergi ke Sian-koan, juga tidak mencari ayahmu. Aku mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Aku harus pergi ke Kun-lun-san, kemudian ke kuil Siauw-lim-si untuk membalas sakit hati. Kau harus ikut!" Tentu saja Im Giok tidak berani membantah. "Ingatlah, Im Giok. Aku telah dihina dan dibikin sakit hati oleh beberapa orang kang-ouw yang selain telah membunuh tiga orang guruku, juga telah mendatangkan malu besar kepadaku. Kau ingatlah baik-baik nama musuh-musuh besarku itu. Akan tetapi, karena mereka itu lihai sekali, biarlah yang lain-lain aku yang akan mencari dan membalasnya. Hanya terhadap satu orang, aku mengharapkan kau sebagai muridku kelak akan dapat membalaskan sakit hatiku. Orang itu adalah Bu Pun Su." "Bu Pun Su...?" baru kali ini Im Giok mendengar nama pendekar sakti yang namanya sederhana sekali itu. "Im Giok, jangan kaupandang rendah orang ini. Memang betul namanya hanya Bu Pun Su (Tiada Kepandaian), akan tetapi dialah orang yang paling lihai di antara semua musuhku. Aku Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 111 sendiri tidak berdaya terhadap dia, dan kelak kau orangnya yang kuharapkan akan dapat membalasnya." Demikianlah, sambil menuturkan pengalamannya, Pek Hoa melakukan perjalanan bersama muridnya yang kini sudah cukup pandai sehingga dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, menuruni puncak bukit di mana mereka bersembunyi sambil berlatih silat selama empat tahun lebih. Setelah merasa yakin akan kelihaian ilmu silat baru yang dilatihnya, Pek Hoa berbesar hati dan berani muncul lagi. Yang ia takuti hanya dua orang, yakni pertama Bun Sui Ceng dan kedua Bu Pun Su. Ia gentar menghadapi Bun Sui Ceng karena musuh besar ini adalah seorang wanita sedangkan ilmu silat Bi-jin-khai-i yang baru ia latih sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap lawan wanita. Adapun rasa gentarnya terhadap Bu Pun Su adalah karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian pendekar sakti ini sudah amat tinggi, jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang tiga orang suhunya sendiri! Karena itu, ia merasa ragu-ragu apakah ilmu silatnya yang baru itu akan dapat mengalahkan Bu Pun Su. *** Tidak ada orang yang berjumpa dengan mereka terutama sekali kaum pria, yang tidak memandang dengan penuh kekaguman yang tak mudah dilihat setiap kali. Seorang dara berbaju biru putih, cantik jelita dan nampaknya takkan lebih dari dua puluh tahun usianya. Rambutnya hitam panjang, digelung dengan model gelung dewi kahyangan, di sebelah kiri dihias setangkai bunga putih yang harum, yakni bunga Cilan, di sebelah kanan terhias burung hong dari emas dan permata. Sepasang anting-anting panjang berrnata merah tergantung di bawah telinga, bergerak-gerak membelai pipi menambah kemanisan. Pakaian dan sepatunya baru dan terbuat dari bahan mahal. Gagang sepasang pedang yang, menempel di punggung, dengan ronce-ronce pedang warna merah berkibar di atas pundak, membuat Si Cantik itu nampak gagah sekali. Sepasang pedang ini pula yang membuat tiap orang laki-laki yang memandang kagum, tidak berani bersikap kurang ajar. Yang ke dua masih belum dewasa, baru berusia sepuluh atau sebelas tahun, akan tetapi sudah kelihatan luar biasa cantiknya. Dillhat sepintas lalu, wajahnya hampir sama dengan wajah dara yang dewasa itu, patut kiranya menjadi adiknya. Akan tetapi kalau diperhatikan betul-betul nampak benar perbedaan yang jauh, terutama sekali pada sinar mata dan tekukan bibir. Juga gadis cilik ini menarik hati setiap orang. Tidak saja manis dan jelita, juga amat gagah. Pakaiannya serba merah, terbuat dari sutera indah pula. Rambutnya dikucir dan dihias dengan pita merah pula. Juga di punggung bocah perempuan ini kelihatan gagang sebatang pedang pendek dan langkah kakinya yang tegap dan lincah itu mendatangkan kesan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi seperti kawannya. Pek Hoa dan Im Giok, dua orang itu, di sepanjang jalan bergembira mengagumi pamandangan di kota-kota, terutama sekali Im Giok. Mereka tidak mempedulikan pandangan mata kagum dari para laki-laki yang mereka jumpai di tengah perjalanan. Bagi Im Giok, semua pandang mata itu tidak ada artinya. Akan tetapi tidak demikian dengan Pek Hoa. Sudah empat tahun lebih ia tidak pernah menghadapi pandang mata kagum dari para pria maka kini ia merasa gembira dan bangga bukan main. yata bahwa empat lima tahun tidak mengurangi kecantikannya, tidak merubah usianya! Ini semua berkat telur pek-tiauw yang benar-benar memiliki khasiat membuat orang menjadi awet muda. Yang menyebalkan hati Pek Hoa adalah kenyataan bahwa tidak ada laki-laki yang cukup tampan dan gagah di antara mereka yang ia jumpai. Maka ia pun bersikap seperti Im Giok, tidak peduli sama sekali akan pandang mata orang-orang itu, melainkan tersenyum makin manis dan bangga. Akan tetapi, setelah kembali terjun ke dalam dunia ramai, timbul pula penyakit lama dalam diri Pek Hoa. Hati dan tangannya gatal-gatal kalau tidak melakukan perbuatan seperti dahulu-dahulu. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 112 Mulailah Im Giok terkejut sekali ketika menyaksikan perbuatan gurunya. Sering kali di waktu malam Im Giok diajak mendatangi rumah orang di mana Pek Hoa mengambil barang berharga dan emas sekehendak hati sendiri. Bahkan di depan mata Im Giok, ketika tuan rumah bangun dari tidur dan melihat pencurian yang dilakukan, Pek Hoa membunuh tuan rumah itu bagaikan orang membunuh semut saja! "Enci Pek Hoa, mengapa setelah mengambil barangnya, kau masih membunuh orangnya yang tidak mempunyai dosa apa-apa?" Im Giok memprotes. "Im Giok, mengapa ribut-ribut urusan mati hidupnya seorang manusia macam dia" Dia telah memergoki kita, ini artinya dia harus mampus. Orang macam dia, mati atau hidup apa sih artinya" Kita boleh berbuat sesuka kita, itulah hukum kangouw, siapa kuat dia menang!" Jawaban ini meragukan hati Im Giok. Biarpun semenjak berusia enam tahun ia telah ikut Pek Hoa dan selalu melihat contoh-contoh buruk, namun Im Giok adalah keturunan orang baik-baik. Ibunya seorang wanita bijaksana, ayahnya seorang laki-laki gagah perkasa maka sedikitnya ia pun mempunyai watak yang baik dan gagah. Menghadapi perbuatan yang keterlaluan dari Pek Hoa, hatinya memberontak. Apalagi ketika ia melihat beberapa kali Pek Hoa tidak bermalam di kamar hotel dan diam-diam pergi meninggalkannya sampai semalam suntuk dan keesokan harinya pagi-pagi baru datang dengan senyum-senyum aneh, ia menjadi makin curiga. Namun ia tidak dapat menentang wanita yang menjadi pendidiknya ini. Betapapun juga, ia harus akui bahwa Pek Hoa telah bersikap amat baik terhadapnya, amat baik dan penuh kasih sayang. Beberapa pekan kemudian, Pek Hoa mengajak Im Giok masuk ke dalam pekarangan sebuah gedung besar di tengah kota Cin-an. Im Giok merasa heran karena biasanya kalau Pek Hoa memasuki gedung besar, waktunya tengah malam dan jalan masuknya melalui genteng! "Enci Pek Hoa, rumah siapakah ini?" "Rumah seorang gagah bernama Kam Kin berjuluk Giam-ong-to (Si Golok Maut). Kau harus sebut Susiok (Paman Guru) kepadanya." Kedatangan mereka segera disambut oleh tuan rumah, seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih, tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan sikapnya cukup gagah. Hanya sayangnya, pandang matanya kejam dan senyum bibirnya membayangkan watak mata keranjang dan curang. "Aduuh, pantas saja aku bermimpi kejatuhan bulan!" laki-laki itu berseru sambil tertawa-tawa dan kedua lengannya dibentangkan ketika ia menyambut Pek Hoa, seakan-akan siap hendak memeluknya. "Tidak tahunya benar saja dewiku yang jelita datang berkunjung..." Kata-katanya berhenti ketika Pek Hoa mengerutkan alis dan memberi isarat dengan matanya ke arah Im Giok, mencegah laki-laki itu bicara secara demikian bebas di depan Im Giok. Kam Kin, laki-laki itu, tertawa menyeringai dan ketika ia menengok ke arah Im Giok, sinar kagum terbayang dalam pandang matanya. "Aha Pek Hoa-suci, muridmu ini benar-benar hebat dan manis sekali! Kalau kau seperti bunga cilan putih yang sudah mekar semerbak harum, muridmu ini adalah tunas cilan yang merah. Ha, ha, ha!" Sekali pandang saja, Im Giok merasa benci kepada laki-laki yang menyambut mereka ini. Sungguhpun ia dapat menekan perasaannya, namun tetap saja wajahnya kehilangan Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo serinya. "Im Giok, beri hormat kepada Kam-susiok," kata Pek Hoa. Terpaksa Im Giok menjura untuk memberi hormat tanpa memandang wajah orang. "Teecu Kiang Im Giok memberi hormat kepada Kam-susiok," katanya sederhana lalu berdiri lagi di samping gurunya. "Ha, ha, bagus sekali. Orangnya manis, namanya indah dan suaranya merdu seperti gurunya," Kam Kin menepuk tangan tiga kali dan dari dalam muncullah tiga orang wanita muda yang cantik-cantik. Mereka ini adalah pelayan-pelayan dari hartawan ini, akan tetapi pakaian Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 113 mereka sesungguhnya tidak patut bagi para pelayan, lebih pantas kalau mereka ini disebut selir-selir dari Kam Kin. "Siapkan, kamar yang bersih dan layani Nona Kiang Im Giok ini baik-baik," katanya kepada mereka. Sambil tertawa-tawa tiga orang perempuan muda itu lalu menggandeng tangan Im Giok dan ditariknya nona cilik ini di dalam gedung. Tadinya Im Giok hendak menolak, akan tetapi Pek Hoa berkata, "Kau pergilah beristirahat, Im Giok. Tak usah sungkan-sungkan, kita berada di rumah sendiri. Besok pagi-pagi kita bertemu kembali di ruang depan ini. Aku ada perundingan penting dengan susiokmu." Terpaksa Im Giok ikut dengan tiga orang pelayan itu dan di belakangnya ia mendengar suara ketawa-ketawa dari Pek Hoa dan Kam Kin, dan lapat-lapat ia mendengar lagi sebutan-sebutan mesra dari mulut Kam Kin kepada gurunya. Di dalam kamarnya Im Giok hampir menangis. Ia kecewa sekali. Makin terbukalah matanya dan biarpun belum berani ia menuduh gurunya sebagai seorang penjahat wanita cabul, akan tetapi kepercayaannya mulai berkurang dan hatinya mulai raguragu. Ia tidak ragu lagi bahwa tuan rumah yang bernama Giam-ong-to Kam Kin ini bukanlah orang baik-baik. Bagaimanakah gurunya bisa bergaul dengannya" Ia tidak dapat tidur sama sekali. Bocah yang baru berusia sepuluh tahun lebih ini mulai merasa sengsara dan gelisah. Ia amat merindukan ibunya, bahkan ia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana bentuk wajah ayahnya. Ketika ayahnya pergi meninggalkan ibunya, ia baru berusia dua tahun dan tak dapat mengingat lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya. Ia mulai rindu kepada ibunya, kepada ayahnya, kepada kebebasan! Biarpun Pek Hoa baik terhadapnya, namun ia tidak merasa bebas. Ia harus tunduk dan taat, harus menelan apa saja yang disuguhkan kepadanya. Semua perbuatan gurunya yang sebetulnya ia anggap amat tidak patut dan tidak menyenangkan hatinya, mau tidak mau harus ia terima dan ia anggap baik, atau setidaknya, ia tidak boleh menyatakan pendapatnya. Seperti biasa, di mana saja Pek Hoa membawanya, ia tidak pernah kekurangan makan. Di rumah gedung dari orang she Kam ini pun ia dilayani dengan baik-baik, bahkan ia disuguhi makanan-makanan lezat dan mewah. Akan tetapi, Im Giok tidak dapat merasai kenikmatan makanan itu, bahkan ia menelan makanan dengan paksa hanya untuk berlaku pantas karena ia sungkan menolak sambutan orang yang demikian baik. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Im Giok sudah siap untuk melanjutkan perjalanan dengan gurunya. Alangkah girangnya ketika pagi itu Pek Hoa sudah datang ke kamarnya dan berkata dengan wajah berseri, "Im Giok, mari kita berangkat! Kau akan melihat betapa aku memberi hajaran kepada seorang di antara musuh-musuh besarku." "Yang mana, Enci?" tanya Im Giok ikut gembira karena hendak menyaksikan pertempuran. "Hwesio-hwesio dari Siauw-lim-si, Kok Beng Hosiang dan dua orang hwesio muridnya. Kebetulan sekali dia dan muridnya berada di sebuah kelenteng tak jauh dari kota ini." Akan tetapi, kegembiraan Im Giok segera lenyap ketika ia melihat Giam-ong-to Kam Kin telah menanti di pekarangan rumah dengan tiga ekor kuda. Jelas bahwa lakilaki ini hendak ikut pergi pula! Pek Hoa bermata tajam dan ia dapat melihat kerutan alis muridnya, maka ia cepat berkata, "Susiokmu akan ikut membantuku, Im Giok, kau naiki kuda yang putih itu, kelihatannya paling, baik." Kata-kata terakhir ini diucapkan oleh Pek Hoa untuk menyenangkan hati muridnya. "Jangan yang itu. Kuda itu masih setengah liar. Lebih baik Im Giok naik yang ini!" Kam Kin cepat berkata sambil menuntun seekor kuda bulu hitam dan didekatkan kepada Im Giok. Im Giok tidak biasa menunggang kuda. Akan tetapi sebagal murid orang pandai yang sudah memiliki kepandaian lumayan, ia tidak merasa takut dan dengan gerakan ringan ia melompat ke atas punggung kuda hitam itu. Mereka segera berangkat. Kam Ki dan Pek Hoa menjalankan kuda berdampingan, sedangkan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 114 Im Giok menjalankan kuda di belakang mereka. Dengan hati sebal dan muak ia melihat betapa sikap gurunya dan susioknya amat mesra. Di sepanjang jalan kedua orang itu bersendau-gurau dengan sikap mesra. Makin besarlah perasaan tidak suka mendesak di hati Im Giok, rasa tidak suka terhadap orang yang selama ini ia anggap sebagai gurunya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Pek Hoa kepada Im Giok. Kok Beng Hosiang, tokoh ke tiga dari Siauw-lim-pai, murid ke dua dari Hok Bin Taisu yang dulu ikut pula menyerbu Thian-te Sam-kauwcu bersama suhengnya untuk mengambil kembali kitab yang tercuri, pada waktu itu sedang keluar dari Siauw-lim-si dan berada di sebuah kelenteng yang tidak jauh letaknya menyebarkan Agama Budha di belakang kelenteng lain. Dalam perjalanan ini ia dikawani oleh dua orang muridnya. Hal ini diketahui oleh Kam Kin yang segera memberi tahu kepada Pek Hoa dan siap pula membantunya. Kam Kin yang berjuluk Giam-ong-to adalah seorang bekas perampok tunggal yang kini sudah mengundurkan diri setelah berhasil mengumpulkan banyak harta kekayaan. Ia kini hidup sebagai seorang hartawan muda yang tidak beristeri, akan tetapi bukan rahasia lagi bahwa ia mempunyai banyak selir dan dia pun terkenal sebagai seorang hartawan mata keranjang yang tidak segan-segan mempergunakan harta dan kepandaiannya untuk merampas anak bini orang lain. Kalau orang tidak merasa takut terhadap pengaruh hartanya, tentu ia akan merasa gentar menghadapi goloknya, karena Kam Kin memang termasuk seorang ahli silat kelas tinggi. Biarpun Kam Kin bukan murid Thian-te Sam-kauwcu, namun ia memang termasuk adik seperguruan dari Pek Hoa, karena Pek Hoa pernah pula menjadi murid Cheng-jiu Tok-ong (Raja Beracun Berlengan Seribu), seorang tokoh besar rimba persilatan di daerah barat. Sedangkan raja beracun ini adalah guru dari Kam Kin. Hanya bedanya, kalau Kam Kin hanya menerima kepandaian silat dari Cheng-jiu Tok-ong, adalah Pek Hoa melanjutkan pelajaran dan berguru kepada banyak tokoh lain sehingga kepandaian Pek Hoa tentu saja lebih lihai daripada kepandaian Kam Kin. Semenjak berusia belasan tahun, Pek Hoa memang sudah bejat moralnya. Ketika masih berguru kepada Cheng-jiu Tok-ong, ia sudah jatuh hati kepada Kam Kin yang lebih muda dan memang tampan. Kedua orang ini seperti sampah dengan keranjang, cocok sekali dan sudah lama mempunyai perhubungan yang tidak bersih. Lewat tengah hari mereka tiba di depan kelenteng yang dimaksudkan. Dengan tenang Pek Hoa melompat turun dari kudanya, diikuti oleh Kam Kin dan Im Giok, kemudian tiga ekor kuda itu diikat pada pohon yang tumbuh di halaman kelenteng. Sunyi saja di kelenteng itu. Akan tetapi meja depan dipasangi lilin, tanda bahwa ada penghuninya di dalam kelenteng. "Kok Beng Hosiang, keluarlah untuk menerima binasa!" Pek Hoa berseru keras. Terdengar suara orang dari dalam kelenteng dan muncullah dua orang hwesio muda. Mereka merangkap kedua tangan di depan dan sebagai tanda penghormatan, lalu seorang di antara mereka bertanya, "Sam-wi dari manakah dan ada keperluan apa mencari Suhu yang sedang bersembahyang?" "Kalian ini dua orang keledai gundul murid Kok Beng Hosiang" Bagus, berangkatlah dulu ke neraka untuk mempersiapkan tempat bagi gurumu!" kata Kam Kin yang sudah mencabut goloknya sambil bergerak maju menyerang secara hebat sekali. Im Giok terkejut bukan main, juga merasa penasaran dan ngeri, maka ia cepat melompat mundur dan berdiri di tempat jauh sambil menonton. Hatinya berdebar tidak karuan, dan kembali rasa tidak suka menyerang batinnya, kini bahkan demikian hebat sehingga mulai timbul benci di dalam hatinya kepada Pek Hoa dan Kam Kin. "Eh, eh, kalu ini perampok atau orang gila?" hwesio muda itu berteriak marah sambil mengejek. Kemudian secepat kilat kedua orang hwesio itu menyerang, yang pertama Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 115 menendang ke arah sambungan lutut, yang kedua menghantam ke arah lambung. Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah diperkenankan ikut guru mereka merantau, ini menjadi bukti bahwa kepandaian mereka bukan rendah, maka tentu saja mereka tidak mudah dirobohkan oleh serangan golok Kam Kin bahkan dapat membalas dengan serangan yang cukup berbahaya. Sekali pandang saja Pek Hoa cukup maklum bahwa ia tak perlu membantu sutenya. Tingkat kepandaian sutenya masih lebih tinggi dari dua orang hwesio muda ini. Maka sekali menggerakkan tubuh, ia telah melompat di dekat Im Giok dan menonton jalannya pertempuran. Im Giok mendongkol bukan main. Ia anggap Pek Hoa dan Kam Kin keterlaluan sekali, datang-datang menyerang dua orang pendeta yang tidak terang apa salahnya. Akan tetapi tentu saja untuk membantu dua orang hwesio itu atau mencela Kam Kin ia tidak berani kepada gurunya. Untuk melampiaskan kemendongkolannya, ia sengaja berkata kepada gurunya, "Enci Pek Hoa, tidak tahunya julukan Susiok Giam-ong-to kosong belaka. Menghadapi dua orang hwesio bertangan kosong saja ia tidak mampu menjatuhkani" Mendengar ini, Pek Hoa menjadi merah mukanya. Kata-kata itu biarpun ditujukan untuk mengejek Kam Kin akan tetapi seperti juga menampar mukanya sendiri karena Kam Kin adalah sutenya. Ia memandang lagi ke arah pertempuran dan harus ia akui bahwa kiranya sutenya itu masih agak lama untuk dapat mengalahkan dua orang lawannya. Maka dengan gemas sekali ia melompat mendekati tempat pertempuran, lalu mengayun tangan kiri sambil berseru, "Sute, lekas robohkan mereka. Untuk apa main-main dengan dua ekor keledai macam ini?" Gerakan tangan kiri Pek Hoa tadi bukan sembarangan gerakan, melainkan gerakan melepaskan Pek-hoa-ciam yang lihai. Segera dua orang hwesio muda itu terhuyunghuyung dan dua kali golok besar di tangan Kam Kin berkelebat, muncratlah darah dan robohlah dua orang hwesio itu dengan leher terbacok dan nyawa melayang. "Omitohud...! Siluman wanita Pek Hoa, kau benar-benar keji sekali dan tidak kenal tobat. Datang-datang kau telah membunuh murid-murid pinceng, benar-benar siluman jahat." Kata-kata ini disusul dengan keluarnya seorang hwesio gemuk yang memegang senjata rantai panjang. Dahulu dalam pertempuran di lembah Sungai Yalu Cangpo, hwesio ini sudah merasai kelihaian Pek-in-ong, seorang di antara guru-guru Pek Hoa. Maka kali ini ia berlaku hati-hati menghadapi Pek Hoa, maklum bahwa wanita siluman ini lihai sekali, apalagi senjata rahasianya. Melihat musuhnya sudah berdiri di depannya, tanpa banyak cakap lagi Pek Hoa lalu mencabut siang-kiamnya dan melakukan serangan secepat kilat. Kok Beng Hosiang, hwesio gemuk itu, cepat pula menggerakkan senjata rantainya menangkis. Terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar ketika pedang bertemu dengan rantai. Kemudian terjadilah pertandingan ilmu silat tinggi yang seru. Im Giok tidak senang sekali melihat Kam Kin tadi membunuh dua orang hwesio muda, kini ia lebih gelisah melihat hwesio tua gemuk bertempur melawan gurunya. Kalau saja para pendeta itu bertempur dengan lain orang, bukan dengan gurunya, kiranya Im Giok akan turun tangan membantu pendeta-pendeta itu. Biarpun baru empat lima tahun ia berlatih silat, namun berkat latihan sungguh-sungguh dan ilmu silat tinggi yang diturunkan oleh Pek Hoa, kepandaian Im Giok sudah lumayan dan nyalinya besar sekali. Kini melihat Kok Beng Hosiang bertempur melawan gurunya... Im Giok dapat menduga bahwa hwesio itu takkan menang. Pertandingan itu cukup hebat. Sebagai tokoh ke tiga dan Siauw-lim-pai, kepandaian Kok Beng Hosiang tinggi sekali. Tenaga lwee-kangnya sebenarnya masih mengatasi tenaga Pek Hoa, dan ilmu silatnya amat kokoh kiuat dan tangguh dalam pertahanan. Namun ia harus mengaku kalah gesit dan kalah cepat oleh nona itu. Gerakan Pek Hoa cepat sekali, Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 116 menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda hingga Kong Beng Hosiang nampak terdesak. Betapapun juga, jago Siauw-lim-si ini dapat mempertahankan diri sampai lima puluh jurus lebih sebelum pundaknya terserempet ujung pedang kiri Pek Hoa. Gerakan yang dilakukan oleh Pek Hoa dalam penyerangan yang berhasil itu memang hebat sekali, mengandalkan gin-kang yang sudah tinggi. Sebuah serangan Kok Beng Hosiang dengan rantainya yang menyambar pinggang, dapat ia elakkan dengan lompatan indah dan cepat bagaikan burung tebang, kemudian selagi tubuhnya masih berada di udara, nona ini membalikkan tubuh dan sepasang pedangnya menyerang bertubi-tubi dari atas. Kok Beng Hosiang sudah berusaha menangkis, namun ia kalah cepat sehingga pedang kiri Pek Hoa yang menyambar leher masih saja dapat menyerempet pundaknya, darah membasahi jubah pendetanya. Kok Beng Hosiang terhuyung ke belakang. Sambil tertawa nyaring dan mengejek, Pek Hoa mendesak terus, siap memberi tusukan-tusukan terakhir. Tiba-tiba berkelebat bayangan dan "traang!" pedang Pek Hoa yang sudah menyambar ke arah ulu hati Kok Beng Hosiang bertemu dengan sebatang pedang lain. "Im Giok....!" Pek Hoa berseru marah sekali ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah muridnya sendiri. Bocah ini melihat gurunya mendesak dan hendak membunuh hwesio tua gemuk, tak dapat menahan perasaannya lagi, mencabut pedang pendek dan menangkis pedang Pek Hoa! "Enci, untuk apa membunuh seorang pendeta yang suci" Dia sudah kalah terluka, tak perlu didesak terus, Enci." "Bocah, kau lancang sekali!" Kam Kin melompat dan sekali bergerak ia telah merampas pedang Im Giok dan menyambar tubuh bocah itu, dipeluk pinggangnya terus dikempit. Im Giok yang tidak menduga sebelumnya tidak berdaya dan terpaksa ia hanya membikin tubuhnya kaku dalam kempitan susioknya yang tertawa-tawa menyebalkan. Sementara itu, Pek Hoa terus mendesak Kok Beng Hosiang dengan sepasang pedangnya. Kok Beng Hosiang melawan terus, namun dalam beberapa gebrakan saja, kembali ujung pedang Pek Hoa telah melukai lengannya. "Hwesio keparat, mampuslah kau!" Pek Hoa menggerakkan sepasang pedangnya secara istimewa, menyerang dari kanan kiri dengan gerak tipu Kim-peng-tian-ci (Garuda Emas Mementang Sayap). Kok Beng Hosiang yang sudah terluka mana dapat menjaga serangan yang datang dari kanan kiri dengan hebat ini" Ia tahu bahwa kali ini ia takkan dapat menghindarkan maut lagi, maka ia hanya menarik napas panjang. "Pek Hoa Pouwsat, kau benar-benar keterlaluan sekali!" terdengar suara bentakan halus dan Pek Hoa mengeluarkan jerit kecil ketika tiba-tiba pedangnya terbentur oleh sesuatu sehingga terpental. Ia cepat melompat ke belakang dan ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya tadi adalah sebatang ranting yang dipegang oleh seorang pengemis yang amat dikenalnya, yakni Han Le! Orang sakti itu tersenyum. Han Le adalah seorang yang berwajah tampan dan menarik. Walaupun kini rambut dan jenggotnya tidak terpelihara dan pakaiannya seperti seorang jembel, namun setelah berhadapan muda dan memandang penuh perhatian, ternyatalah oleh Pek Hoa Pouwsat bahwa kulit muka itu bersih dan terawat baik-baik, merupakan wajah seorang jantan yang menggerakkan hati wanitanya! Han Le dan Bu Pun Su merupakan dua orang yang paling berbahaya di antara musuh-musuhnya. Kini melihat Han Le berdiri di hadapannya dengan ranting di tangan, bibir tersenyum dan wajah tenang, dua macam pikiran memasuki kepala Pek Hoa Pouwsat. Pertama bahwa Han Le seorang laki-laki yang sudah masak dan menarik hatinya, kedua bahwa akan menguntungkan sekali baginya kalau ia dapat memikat hati musuh besar ini, selain ia dapat memuaskan hatinya, juga ia mendapat jalan untuk membalas dendam! Dengan senyum yang manis sekali, Pek Hoa Pouwsat menghadapi Han Le, memainkan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 117 matanya yang sinarnya dapat membetot hati setiap pria, baru ia berkata, "Eh, kiranya Han Le Tai-hiap yang muncul. Kebetulan sekali, siauwmoi sudah lama sekali ingin mengunjungimu dan melihat-lihat keadaan Pulau Pek-le-thio!" Kulit muka di balik cambang itu memerah dan Han Le menekan perasaan hatinya yang berdebar aneh ketika ia melihat sikap Pek Hoa Pouwsat dan mendengar wanita cantik itu menyebut diri sendiri "siauwmoi" (adinda)! Semenjak pertama kali bertemu dengan Pek Hoa Pouwsat, memang diam-diam di dalam hatinya Han Le kagum sekali dan merasa menyesal serta sayang mengapa seorang wanita demikian manis jelita telah tersesat dan menyeleweng jalan hidupnya. Han Le adalah seorang yang Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tidak mudah tertarik oleh kecantikan wanita, bahkan semenjak muda ia terkenal sebagai seorang pria pembenci wanita. Akan tetapi, kali ini menghadapi Pek Hoa Pouwsat yang segala-galanya serba cocok dengan seleranya, dan amat menarik hatinya, Han Le harus mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaan yang tergoncang. Akan tetapi Han Le dengan pandang mata keren menegurnya, "Pek Hoa Pouwsat, mengapa kau melukai dan hendak membunuh hwesio Siauw-lim-si ini?" Pek Hoa mengerling ke arah Kok Beng Hosiang yang masih sibuk mengobati lukalukanya, lalu tersenyum dan dengan tubuh digerak-gerakkan secara genit dan kepala dimiringkan, ia berkata kepada Han Le, "Dia ini musuh besarku, mengapa tidak harus kubunuh" Akan tetapi karena Han Le Tai-hiap datang dan melihat muka Tai-hiap, biarlah kali ini siauwmoi mengampuni kepala gundul ini. Kok Beng Hosiang, kau tidak lekas pergi dari sini" Apa menanti sampai aku bergerak lagi" Hayo pergi lekas!" Kok Beng Hosiang sudah merasa bahwa ia takkan menang menghadapi Pek Hoa Pouwsat. Biarpun kini ia melihat kedatangan Han Le, akan tetapi ia telah dibikin malu dan tidak ada muka untuk berdiam terus di tempat itu. "Kau telah menghina Siauw-lim-si, nantikan pembalasan kami!" katanya geram, lalu hwesio ini pergi dengan langkah lebar. Akan tetapi ia tidak pergi jauh karena ia mengambil jalan memutar dan dengan sembunyi ia mengintai, ingin menyaksikan bagaimana Han Le memberi hajaran kepada Pek Hoa Pouwsat dan kawan-kawannya. Kok Beng Hosiang diam-diam merasa sakit hati dan mendongkol sekali, maka ingin ia melihat wanita yang membikin malu padanya itu menerima hajaran keras. Akan tetapi, apa yang dilihat oleh hwesio Siauw-lim-si ini membuat sepasang matanya terbelalak lebar, mukanya merah seperti kepiting direbus dan kepalanya yang gundul licin berdenyut-denyut. Setelah Kok Beng Hosiang pergi, Pek Hoa mendekati Han Le dengan lenggang dibuatbuat, amat menarik hati karena memang wanita ini memiliki bentuk tubuh yang indah menarik. "Tai-hiap, seperti kukatakan tadi, sudah lama aku mendengar bahwa Pulau Pek-leto tempat tinggalmu mengandung banyak rahasia, juga amat indah seperti sorga. Bolehkah aku mengunjungimu" Bawalah aku ke sana, Tai-hiap." Han Le mengerutkan keningnya. "Pek Hoa Pouwsat, permainan apakah yang kaukeluarkan ini" Kau adalah murid Thian-te Sam-kauwcu dan kau tahu bahwa aku dan suhengku, juga kawan-kawan lain telah..." Pek Hoa mengangkat kedua lengannya, digoyang-goyang seperti orang mencegah. Dari dalam lengan bajunya keluar keharuman bunga cilan! "Han-taihiap, harap kau jangan menyebut-nyebut lagi soal itu. Yang sudah lewat, sudahlah. Terhadap seorang gagah seperti Tai-hiap, bagaimana siauwmoi berani menaruh dendam hati" Yang ada di dalam hati siauwmoi bukanlah dendam dan marah, melainkan... kekaguman dan ingin sekali mempererat persahabatan..." Suaranya terdengar demikian merdu dan penuh gaya sehingga wajah Han Le sebentar merah sebentar pucat. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 118 "Jembel busuk, lekas pergi dari sini!" Tiba-tiba Giam-ong-to Kam Kin yang semenjak tadi mendengarkan percakapan itu dan melihat sikap genit sucinya dengan hati sebal dan cemburu, lalu menggerakkan sepasang goloknya menyerang Han Le! "Sute... jangan...!" Pek Hoa membentak Kam King akan tetapi terlambat karena sepasang golok itu dengan ganasnya telah menyambar tubuh Han Le. Bentakan ini sebetulnya bukan dikeluarkan karena Pek Hoa khawatir akan keselamatan Han Le, bahkan sebaliknya ia amat khawatir akan keselamatan sutenya. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Han Le jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian Kam Kin. Memang betul apa yang dikhawatirkan oleh Pek Hoa Pouwsat itu, karena tidak saja Han Le dapat menghindarkan diri dari serangan sepasang golok Kam Kin, bahkan secara cepat dan tak terduga, rantingnya telah menotok pundak lawannya tanpa dapat dielakkan oleh Kam Kin. Giam-ong-to Kam Kin menjerit dan roboh berkelojotan. Pek Hoa menghampiri dan sekali menepuk punggung dan leher sutenya, Si Golok Maut itu terbebas dari rasa sakit yang luar biasa! Ia bangkit berdiri dan menyeringai, mukanya merah sekali. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia mengambil sepasang golok yang tadi terlempar di atas tanah ketika ia roboh, memasukkan sepasang golok itu di dalam sarung golok, lalu ia melompat ke pinggir, ke dekat Im Giok yang memandang semua itu dengan kagum. Kam-susiok, mengapa baru sejurus kau mundur lagi?" tanya Im Giok kepada Giamong-to dengan nada suara mengejek. Anak ini memang tidak suka kepda Kam Kin, maka kini ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kam Kin memandang kepada bocah itu dengan mata mendelik. Im Giok menahan geli hatinya lalu menengok dan menonton apa yang akan terjadi antara gurunya dan pengemis sakti itu. "Han-taihiap, kau makin gagah saja, benar-benar siauwmoi kagum dan tunduk. Siauwmoi ulangi lagi keinginan hati siauwmoi untuk pergi berkunjung ke pulaumu, di mana kita dapat saling menukar ilmu dan bercakap-cakap gembira tanpa gangguan orang lain." Pek Hoa Pouwsat, kau bicara apakah" Kau dan sutemu telah berlaku kejam, membunuh dua orang hwesio Siauw-lim-si dan menghina seorang tokoh Siauw-lim. Untuk perbuatan jahat ini mana bisa aku mendiamkannya saja?" Sambil berkata demikian, Han Le sudah menggerakkan ranting di tangannya, mengirim serangan langsung ke arah leher Pek Hoa Pouwsat. Biarpun ia harus mengaku bahwa hatinya amat tertarik, kejantanannya bangkit oleh kecantikan dan kelembutan yang demikian memikat hati, namun kesadaran Han Le masih penuh sehingga ia mengeraskan hati dengan anggapan bahwa wanita cantik menarik yang dihadapinya adalah seorang jahat dan keji dan sebagai seorang pendekar ia harus membasminya. Pek Hoa Pouwsat mencelat ke belakang, tersenyum manis dan berkata menyindir, "Ayaa, Han-taihiap, galak sekali. Baiklah, mari kita main-main sebentar!" Sambil berkata demikian, Pek Hoa Pouwsat cepat mencabut siang-kiamnya lalu menghadapi Han -Le dengan sikap gagah menarik. "Awas serangan!" Han Le memusatkan semangatnya dan mulai melakukan penyerangan sungguh-sungguh. Ia maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah, karena dahulu ia pernah menghadapi Pek Hoa Pouwsat dan tahu akan kelihaiannya. Akan tetapi, beberapa hari saja berkumpul dengan suhengnya Bu Pun Su, Han Le telah memperoleh kemajuan yang amat banyak. Sehari berkumpul dengan Bu Pun Su dan mendengar nasihat serta penjelasannya dalam hal ilmu silat, sama halnya dengan berlatih satu tahun di bawah pimpinan guru pandai. Oleh karena itu, pertemuan akhir-akhir ini dengah Bu Pun Su membuat Han Le memperoleh kemajuan banyak dalam ilmu silat, dan Bu Pun Su telah membuka matanya untuk melihat kelemahan-kelemahan dan kekeliruan-kekeliruan sendiri. Oleh nasihat Bu Pun Su ia maklum bahwa orang seperti Pek Hoa Pouwsat mengandalkan kelihaiannya dengan kecepatan, kelincahan, dan siang-kiam-hoat yang tidak terduga gerakannya, mengandalkan gin-kang yang tinggi. Untuk melawan orang seperti ini ia harus Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 119 berlaku tenang, tidak boleh mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawan, sebaliknya berlaku tenang dan mengandalkan lwee-kang membentuk pertahanan yang kuat dan melindungi tubuh dengan hawa pukulan dari rantingnya. Maka ketika Han Le mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan suhengnya, ia minta petunjuk untuk menyempurnakan ilmu pedangnya bagian gerakan Jit-in-to-goat (Tujuh Awan Membungkus Bulan), sebuah gerakan ilmu pedangnya yang merupakan benteng pertahanan kuat sekali. Han Le melakukan gerakan ini dengan tenang dan nampaknya ia tidak banyak bergerak. Kedua kakinya hanya dipentang sedikit, hampir sama dengan kuda-kuda yang disebut Kung-si dengan tubuh agak dibungkukkan seperti dalam kuda-kuda Ci-kung-si. Biarpun kedudukan tubuhnya sederhana saja, akan tetapi kedudukan ini memungkinkan dia untuk menggerakkan rantingnya ke mana.saja sepasang pedang Pek Hoa meluncur. Tanpa banyak mengeluarkan tenaga, Han Le dapat menangkis semua serangan Pek Hoa yang pedang itu susul-menyusul ramai seperti sepasang ular berlumba. "Han-taihiap, kau benar-benar mengagumkan sekali. Sekarang lihatlah ilmu pedangku yang baru, kaulihat bagus atau tidak!" Perubahan hebat terjadi pada gerakan pedang Pek Hoa Pouwsat. Biarpun sepasang pedang itu masih melakukan serangan-serangan berbahaya sesuai dengan ilmu silat tinggi, namun gerakan-gerakannya demikian indah dan menarik, tak ubahnya seperti sedang menari saja. "Indah sekali...!" berkali-kali Im Giok mengeluarkan seruan memuji. Gadis cilik ini tadinya bersikap dingin dan kaku karena Kam Kin berada di dekatnya, akan tetapi sekarang melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh gurunya, ia lupa sama sekali akan adanya Kam Kin di situ. Sepasang matanya bercahaya, wajahnya berseri dan tanpa berkedip ia menonton ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Im Giok memang mempunyai darah seni, suka sekali akan keindahan, maka tarian pedang itu benar-benar mempesonakannya. "Aaiih, memalukan sekali..." kata Kam Kin dan cemburunya makin menghebat. Biarpun ia tidak terkena pengaruh langsung dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat, namun keindahan gerakan pedang, kelemasan gerakan tubuh Pek Hoa, tetap saja terasa olehnya sebagai gerakan-gerakan yang memikat hati, gerakan yang tidak sopan. Pinggang Pek Hoa seakan-akan tidak bertulang, menggeliat-geliat seperti ular, menggerak-gerakkan tubuh bagian bawah, bibir tersenyum manis dan merah membasah, sepasang mata setengah redup dan berkacakaca, semua ini ditujukan kepada Han Le. Pengemis sakti itu masih menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dari serangan dua batang pedang yang lihai itu. Akan tetapi ketika Pek Hoa Pouwsat merubah ilmu pedangnya dan mulai dengan ilmu pedang yang seperti tarian indah itu, hati Han Le terguncang hebat. Ia sama sekali tidak tahu bahwa lawannya sedang memainkan ilmu pedang Bi-jin-khai-i, ilmu silat yang sebenarnya merupakan setengah ilmu sihir karena di dalamnya mengandung pengaruh mujijat dari kecantikan wanita untuk merobohkan hati pria. Inilah ilmu silat aneh yang selama ini dilatih secara mendalam oleh Pek Hoa Pouwsat, disediakan untuk merobohkan musuh-musuh besarnya yang tangguh dan kini untuk pertama kalinya, ia pergunakan dalam menghadapi Han Le! Ilmu silat Bi-jin-khai-i ini memang hebat. Andaikata dimainkan oleh seorang perempuan yang berwajah buruk dan bertubuh tak menarik sekalipun, tetap akan mengeluarkan pengaruh yang dapat merobohkan hati laki-laki. Apalagi sekarang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat yang cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh sepenuhnya wanita, tentu saja daya rangsangnya berlipat ganda. Dalam belasan jurus saja, Han Le mulai terkena pengaruhnya. Dalam penglihatan Han Le, sepasang pedang itu tidak lagi mengancamnya, hanya merupakan tari pedang yang amat indah. Tubuh yang berlenggak-lenggok dan menggeliat-geliat itu seakan-akan melambai dan mengajaknya bergembira dan menari. Lebih hebat lagi, makin lama gerakan Pek Hoa dalam mata Han Le makin luar biasa sehingga nampak olehnya benar-benar Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 120 seperti lawannya yang cantik itu sedang menanggalkan pakaian sedikit demi sedikit! Walaupun tidak sehelai pun pakaian tanggal dari tubuhnya, namun gerakannya menanggalkan pakaian demikian sewajarnya sehingga sebentar saja Han Le jatuh dalam pengaruh Pek Hoa. Pendekar sakti yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan wanita ini sekarang menjadi lemas seluruh tubuhnya, semangatnya seakan-akah terbang meninggalkan tubuhnya dan pertahanannya menjadi gempur karena caranya bersilat sudah kacau sekali! Demikianiah lihainya ilmu silat Bi-jin-khai-i yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Kalau sekiranya Pek Hoa menghendaki, sekarang dengan lemahnya pertahanan Han Le, dengan mudah ia akan dapat merobohkan dan menewaskan pengemis sakti itu. Akan tetapi Pek Hoa berpikir lain! Wanita ini memang sudah mendengar tentang keadaan Han Le sebagai seorang laki-laki yang selamanya tidak pernah mau berdekatan dengan wanita, terkenal sebagai seorang laki-laki pembenci wanita, hidup seorang diri di Pulau Pek-le-tho dan menjadi sute dari Bu Pun Su. Ini saja sudah menarik hatinya, apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa Han Le pada dasarnya memiliki wajah yang tampan dan gagah. Maka timbullah hati suka dan ia ingin menjadikan pria pembenci wanita ini sebagai kekasihnya. Tidak saja demikian, juga ia mempunyai niat untuk mempelajari ilmu silat yang lihai dari Han Le. Disamping semua ini, ia pun ingin menarik Han Le di pihaknya untuk membantunya menghancurkan musuh-musuhnya, kemudian setelah usahanya berhasil dan ia sudah merasa bosan, mudah baginya untuk melenyapkan Han Le dari muka bumi ini. Pek Hoa memperhebat gerakan-gerakannya yang penuh gairah dan pengaruh ajaib. Han Le makin mabuk sehingga akhirnya dengan napas memburu pengemis sakti ini mengeluh, "Pek Hoa Pouwsat... hentikanlah... aku tidak kuat lagi..." Pek Hoa tersenyum lebar, gembira dan puas bukan main. Kalau ia mau, dengan sekali tusuk saja akan tembus dada Han Le. Dengan ilmu silatnya yang baru ini, ia akan dapat menjagoi dunia kang-ouw! Tentu saja tidak begitu besar pengaruhnya terhadap lawan wanita namun untuk menghadapi lawan wanita, ia cukup memiliki ilmu silat tinggi. Biar Bu Pun Su sekalipun ia tidak takut menghadapinya! "Han-taihiap, tidak indahkah tarianku ini...?" tanya Pek Hoa dengan suara berlagu. "Indah, indah sekali, Pek Hoa Pouwsat. Bukan main indahnya," jawab Han Le sambil berusaha menggerakkan. ranting karena masih saja sepasang pedang itu menyambar dan mengancam, biarpun digerakkan dengan cara yang amat manis dan sedap dipandang. "Sukakah kau melihat aku memainkannya?" "Suka, Pek Hoa Pouwsat, aku suka sekali..." "Han-taihiap," suara Pek Hoa Pouwsat makin merdu merayu sambil ia memperhebat gerakan-gerakan tubuhnya secara tidak tahu malu. "Sukakah kau kepadaku...?"" Agak lama Han Le tak dapat menjawab, akan tetapi sepasang matanya tak pernah berkedip menelan semua gerakan tubuh lawan dan ia seperti terkena hikmat, terpesona oleh keindahan dan kecantikan yang telah mencengkeram seluruh semangat dan perasaannya. Kini ia sudah tidak menggerakkan rantingnya lagi, berdiri bagaikan patung dan tidak ingat lagi bahwa ia tengah menghadapi lawan, tengah bertempur. "Aku suka sekali padamu, Pek Hoa..." akhirnya ia menjawab dengan suara perlahan, seperti bukan suaranya sendiri. Terdengar suara ketawa Pek Hoa Pouwsat, suara ketawa yang terdengar nyaring dan merdu, penuh kegenitan, akan tetapi bagi yang sadar, suara ketawa ini mengandung sesuatu yang mengerikan. Namun bagi Han Le terdengar merdu menarik. Di lain saat Pek Hoa Pouwsat telah menyimpan sepasang pedangnya, melompat maju dan menggandeng lengan kanan Han Le dengan gaya yang manja dan genit, tersenyumsenyum dan melirik-lirik ke arah wajah pengemis sakti itu, membetotnya dan berkata, "Kalau begitu, Han-taihiap, marilah kita pergi ke pulaumu!" Han Le yang sudah berada dalam cengkeraman pengaruh jahat, sudah seperti orang mabuk Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 121 atau orang bermimpi, hanya menurut saja ketika ia ditarik-tarik oleh Pek Hoa Pouwsat. Pek Hoa berpaling kepada Kam Kin yang memandang semua itu dengan mata melotot marah. Ia penuh dengan hati cemburu, akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan" Ia tidak berdaya di depan sucinya atau kekasihnya yang memang lebih lihai daripadanya. "Sute, kau pulanglah dulu, aku titip murid keponakanmu Im Giok, biar menanti kembaliku di rumahmu." Kemudian dengan suara ketawa seperti siluman, Pek Hoa Pouwsat yang menggandeng lengan Han Le menarik bekas lawannya itu. Han Le tidak membantah dan keduanya berlari cepat sambil bergandengan! *** "Tidak! Aku tidak mau ikut, jangan sentuh aku!" Dengan gerakan lincah Im Giok melompat dan mengelak menjauhi Giam-ong-to Kam Kin yang hendak menggandeng tangannya. Kam Kin menyeringai dan memandang kepada Im Giok selaku seekor kucing memandang tikus. Tadinya ia marah dan jengkel sekali melihat sikap Pek Hoa yang pergi bersama Han Le. Laki-laki mana yang takkan menjadi gemas menyaksikan kekasihnya main gila dengan lelaki lain" Akan tetapi setelah ia memandang Im Giok, kegemasannya lenyap, Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terganti oleh kegembiraan. Biarpun Im Giok baru berusia sepuluh tahun lebih, namun gadis cilik ini sudah mempunyai kecantikan luar biasa. Ia hampir menyerupai Pek Hoa dan pantaslah kalau ia disebut Pek Hoa kecil atau seorang adik dari Pek Hoa Pouwsat. Dalam pandang mata Kam Kin, Im Giok merupakan seorang calon bidadari, atau seperti sebuah kuncup kembang yang tidak kalah menariknya oleh kecantikan Pek Hoa Pouwsat. Dan bocah mungil ini dititipkan kepadanya! Dengan girang ia lalu mendekati Im Giok dan hendak menggandeng. Akan tetapi siapa kira, bocah itu menolak dan menjauhinya. "Im Giok, jangan banyak tingkah. Gurumu telah menyerahkan kau dalam rawatanku. Hayo ke sini dan ikut aku pulang!" kata Kam Kin sambil melangkah lebar menghampiri gadis cilik itu. "Aku tidak mau! Kau pergilah sendiri, aku tidak mau ikut denganmu." Im Giok membandel. "Eh, eh, bocah bandel. Kalau kau tidak makin manis kalau membandel, tentu sudah kutempeleng kepalamu. Hayo ke sini, berani kau membantah susiokmu?" Kini Kam Kin melompat dan tangannya diulur untuk menangkap pergelangan tangan Im Giok. "Tidak, aku tidak punyai susiok seperti engkau. Aku tidak mau ikut!" Im Giok mengelak, kemudian melihat Kam Kin berusaha menangkapnya, ia segera melarikan diri. "Kurang ajar! Sekecil ini sudah kurani ajar dan keras kepala. Benar-benar calon kuda betina liar! Kuncup mawar berduri! Ke sini kau, Im Giok!" Kam Ki mengejar. Akan tetapi Im Glok mempercepat larinya. Dasar bocah ini memang lincah dan ringan tubuhnya, ditambah lagi oleh latihan gin-kang yang ia terima dari Pek Hoa Pouwsat. Sekarang, perasaan wanitanya memperingatkan bahwa ia menghadapi bahaya besar yang mengancam membuat ia ketakutan, maka larinya cepat seperti rusa muda. "Im Giok, berhenti kau...!" Kam Kin mulai marah dan mengejar secepatnya. Betapapun juga, ia seorang laki-laki dewasa dan ilmu silatnya sudah tinggi maka tentu saja ia dapat mengejar dan menyusul Im Giok. Hanya kelincahan anak itu yang membuat ia mengkal sekali. Setiap kali ia telah mendekat dan hendak menangkap, anak itu tiba-tiba miringkan tubuh dan mengganti arah sehingga Kam Kin terpaksa harus membalikkan tubuh dan kembali telah tertinggal agak jauh. Namun Im Giok maklum pula bahwa ia takkan dapat menghindarkan diri lebih lama. Kam Kin telah memiliki ilmu lari cepat yang tak dapat dilawannya. Ia berlari terus dan akhirnya Im Giok memasuki sebuah hutan. Di sini ia lebih leluasa mempermainkan Kam Kin karena hutan ini banyak pohonnya. Dengan cara melompat ke sana ke mari dari balik pohon ini ke pondok itu ia dapat menghindarkan diri. "Manusia tak tahu malu!" makinya berkali-kali. "Mengapa kau tidak mau membiarkan aku pergi" Kau mau apakah" Cih, tak tahu malu. Namanya saja besar, Giam-ong-to, hemm, tak tahunya seorang laki-laki tiada guna, pengecut dan pengganggu anak kecil!" Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 122 Kam Kin makin marah. "Siluman cilik, kautunggu saja dan rasakan kalau kau sudah tertangkap olehku!" Dengan amat bernafsu ia menubruk lagi, akan tetapi kemball ia memeluk batang pohon karena Im Giok telah melompat ke tempat persembunyian lain dengan cekatan seperti seekor kera. "Awas kau, setan cilik, kulumatkan dagingmu, kugerogoti tulangmu...!" Kam Kin memaki-maki gemas. Akan tetapi ia menjadi girang sekali ketika melihat bahwa Im Giok makin mendekati lapangan terbuka yang tidak ada pohonnya. Adapun Im Giok saking sibuknya dan gugupnya, tidak tahu bahwa di belakangnya adalah lapangan terbuka, tempat yang tidak ada pohon dan berarti ia tak akan dapat menyembunyikan diri seperti kalau berada di hutan yang lebat. Kam Kin memakimaki, mengancam-ancam dan mengejar terus. Akhirnya, Im Giok memekik kaget ketika ia melompat dari pohon terakhir, ia tiba di padang rumput yang tiada berpohon. "Ha, ha, ha, kupu-kupu cantik, kau hendak lari ke manakah" Lebih baik kau berlaku manis dan menurut saja pergi dengan susiokmu. Kalau kau menurut dan tidak banyak membantah, aku takkan bersikap kasar kepadamu, Im Giok yang jelita," kata Kam Kin sambil tertawa lebar. Im Giok melompat dan melarikan diri lagi. Saking gugupnya kakinya terjerat rumput dan ia roboh terguling. Di belakangnya ia mendengar suara Kam Kin tertawa bergelak. Im Giok dalam terguling itu, kedua tangannya menyambar batu dan kayu kering. Kemudian ia melompat berdiri, tangan kirinya digerakkan dan batu tadi melayang ke arah kepala Kam Kin yang hendak menubruknya. "Eh, kau berani melawanku!" bentak Kam Kin yang mudah saja mengelak dari sambaran batu. Kemudian ia melangkah maju, tangan kanan digerakkan untuk menangkap. "Jangan sentuh aku!" Im Giok berteriak keras dan ranting kering yang tadi diambilnya dari atas tanah ketika ia jatuh, cepat ditusukkan ke arah pusar susioknya. Kam Kin terkejut, cepat mengelak. Biarpun yang menyerangnya hanya seorang gadis cilik yang berusia sepuluh tahun, akan tetapi serangan itu dilakukan menurut ilmu silat tinggi, dan biarpun masih kecil, tenaga Im Giok bukanlah tenaga biasa, melainkan tenaga yang sudah teriatih. Apalagi kalau dilihat bagian yang diserang pun bukan bagian tubuh yang kuat. Setelah mengelak Kam Kin lalu menubruk lagi. Namun sia-sia, Im Giok yang sudah berlatih selama empat tahun tidak membuang waktu sia-sia. Ia telah memiliki dasar ilmu silat tinggi dan telah memiliki gerakan yang otomatis dan lincah sekali. Tubrukan Kam Kin dapat ia hindarkan dengan lom patan ke kiri dan sebagai pembalasan, rantingnya kini meluncur cepat menusuk ke arah mata paman gurunya. Tusukan ke arah mata ini hanya pancingan belaka karena ujung ranting, itu sebelum lawan mengelak, telah meluncur, ke arah jalan darah di leher! Inilah serangan hebat dan luar biasa bagi seorang anak kecil itu. "Kurang ajar!" Kam Kin membentak marah dan juga kaget karena kalau tangannya tidak cepat-cepat menyampok, hampir saja jalan darah di lehernya terkena totokan ujung ranting, dan hal ini bukan merupakan hal yang tidak berbahaya baginya. Saking marahnya, Kam Kin lalu mengeluarkan kepandaiannya, sepasang tangannya ditekuk merupakan kuku harimau dan ia mengeluarkan ilmu silat Hauw-jiauw-kang. Beberapa kali saja ia bergerak, ranting di tangan Im Giok telah kena disambar dan dibetot terlepas dari pegangan Im Giok. Kemudian ia menubruk lagi, Im Giok mencoba untuk mengelak. "Breettt!" pakaian Im Giok bagian pundak kiri robek hingga nampak kulit pundak yang putih bersih dan halus. Melihat ini, Kam Kin makin menggila dan sambil tertawa-tawa ia menubruk lagi. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 123 Im Giok menjadi bingung. Hanya dengan menjatuhkan diri dan bergulingan ia dapat menghindarkan tubrukan Kam Kin. Kemudian ia melompat lagi dan berlari secepatnya. Diam-diam ia mengeluh karena sekarang habislah dayanya untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi ia pun mengambil keputusan nekat untuk melawan mati-matian, kalau perlu ia akan melawan dengan dua pasang kaki tangan dan juga giginya. Setelah mendengar derap kaki pengejarnya sudah dekat sekali di belakangnya sampai-sampai ia mendengar dengus napas Kam Kin, Im Giok memasang kuda-kuda dan membalikkan tubuh, langsung menyerang dengan menonjokkan kedua tangannya ke depan. "Ha, ha, ha, kau kuda betina liar..." Kam Kin tertawa sambil menggerakkan tangan kiri. Di lain saat, tangan kirinya itu telah memegang erat-erat sepasang pergelangan tangan Im Giok, membuat gadis cilik itu tak dapat berkutik. Namun Im Giok sudah nekat. "Lepaskan tanganku!" bentaknya dan kakinya menendang ke arah bawah pusar. Biarpun kakinya kecil, namun sekiranya tendangan ini mengenai sasaran, biarpun Kam Kin berkepandaian tinggi, kiranya Kam Kin akan roboh binasa atau setidaknya pingsan! Kam Kin cepat menangkap kaki kecil ini dengan tangan kanannya dan di lain saat tubuh Im Giok sudah diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil tertawa terbahak-bahak. "Ha, ha, ha, burung cilik, coba kulihat kau mau berbuat apa lagi sekarang, ha, ha, ha!" Tiba-tiba Kam Kin merasa tubuh Im Giok meronta keras atau seperti juga direnggut orang dari tangannya. Ia tidak tahu betul apa yang telah terjadi, akan tetapi tahu-tahu kedua tangannya sudah kosong dan Im Giok sudah lenyap. Ketika ia membalikkan tubuh, ia melihat bocah itu telah berdiri di atas tanah dan di sebelahnya berdiri seorang kakek yang bermata bintang! Sepasang mata kakek ini demikian tajam berpengaruh sehingga Kam Kin merasa gentar juga, maklum bahwa ia menghadapi seorang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, karena ia tidak mengenal siapa adanya kakek ini, Kam Kin memberanikan hatinya dan membentak keras, "Anjing tua, siapakah kau berani bermain gila di depan Giam-ong-to Kam Kin?" "Kakek, jangan takut. Nama Giam-ong-to hanya untuk menakut-nakuti belaka, sebetulnya dia pengecut besar!" Im Giok berkata dan nona cilik ini kembali dengan nekat maju menyerang Kam Kin dengan pukulan ke arah lambung. Dengan mudah Kam Kin menangkis, kini karena ia merasa gemas, tangkisannya keras membuat tubuh Im Giok terhuyung lalu roboh tertelungkup di atas rumput. Namun gadis cilik itu tidak menjadi kapok atau takut, bahkan dengan marah ia bangkit kembali dan menyerang susioknya. "Bocah edan, apakah kau ingin aku marah dan memukul mampus padamu?" bentak Kam Kin dan kali ini ia kembali dapat menangkap tangan Im Giok. "Boleh pukul mampus, siapa takut?" bentak Im Giok yang meronta-ronta. "Lepaskan dia!" tiba-tiba kakek itu membentak keras dan aneh sekali. Biarpun Kam Kin tidak melihat kakek itu bergerak, namun ia merasa tangannya. yang memegang lengan Im Giok menjadi lemas dan gadis cilik itu dapat merenggut diri dan terlepas. Kam Kin memandang kepada kakek itu dengan mata merah. "Bangsat tua, kau berani mencampuri urusahku?" Sepasang tangannya bergerak dan tahu-tahu golok besarnya telah berada di tangan dan di lain saat ia telah mengirim serangan hebat ke arah kakek itu. Golok itu dibacokkan ke arah kepala untuk kemudian disusul dengan babatan ke leher. Memang permainan golok dari Kam Kin amat ganas dan kuat, dan tidak terlalu dilebihkan kalau ia mempunyai julukan Golok Maut. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba kakek itu dengan tenang dan cepat menggerakkan tangan kiri, lalu menyentil golok itu dengan jari tangannya. Terdehgar suara "Cring" yang keras dan golok itu menjadi somplak! Sentilan kedua menyusul dan kini golok Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 124 itu terlempar jauh. Kam Kin tidak kuasa menahan karena seakan-akan golok itu direnggut oleh tangan yang bertenaga raksasa. "Ini untuk kekurangajaranmu kepadaku, dan ini untuk kekejamanmu terhadap seorang gadis cilik!" kakek itu berkata sambil menggerakkan jari tangannya menyentil. Kam Kin menjerit kesakitan sambil memegangi kedua telinganya yang daunnya sebelah bawah hancur terkena sentilan jari tangan kakek yang lihai itu. Biarpun luka itu tidak berbahaya sama sekali, akan tetapi sakitnya cukup membuat Kam Kin mengaduh-aduh. Darah mengalir di sepanjang lehernya kanan kiri. "Setan tua, harap suka memperkenalkan nama. Kelak Giam-ong-to Kam Kin pasti akan membalas penghinaan ini!" Kata Kam Kin sambil menggigit bibir menahan rasa nyeri. Kakek itu tersenyum duka, mengeleng-geleng kepalanya lalu berkata perlahan, "Untuk mencapai tingkat kosong, kau harus belajar puluhan tahun lagi, dan kalau kau sudah mencapai tingkat itu, aku pun sudah mati. Akan tetapi kalau kau menghendaki, biarlah kau tahu bahwa aku kakek tua bangka ini tidak punya nama juga tidak punya kepandaian. Nah, kaupergilah!" Tiba-tiba wajah Kam Kin menjadi pucat sekali. Ia melangkah mundur tiga tindak seakan-akan kata-kata itu merupakan pukulan yang menyambar mukanya. "Bu Pun Su...!" katanya setengah berbisik, kemudian ia lari lintang-pukang tanpa menghiraukan goloknya yang masih menggeletak di atas tanah. Tiba-tiba Bu Pun Su mengeluarkan suara terkejut dan terheran ketika anak perempuan yang baru saja ditolongnya itu menyerangnya kalang-kabut. Im Giok menyerang dengan nekat, sama nekatnya ketika ia tadi menyerang Kam Kin. "Eh, eh, bukan laku seorang gagah menyerang orang tanpa memberitahukan sebabsebabnya. Bocah galak, mengapa kau menyerang aku?" tanya Bu Pun Su tanpa mempedulikan tangan Im Giok yang memukul tubuhnya. "Karena kau bernama Bu Pun Su dan menurut guruku, Bu Pun Su adalah seorang paling jahat di dunia ini dan harus dibasmi," jawab Im Giok sambil melompat mundur karena pukulannya yang mengenai tubuh kakek itu seakan-akan mengenai tumpukan kain belaka, membuat terheran dan gentar. Bu Pun Su mengerutkan kening lalu tertawa. "Gurumu memang betul, siapa sih nama gurumu yang mulia." "Guruku adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat," jawab Im Giok bangga. Ia memang selalu merasa bangga mengaku Pek Hoa sebagai gurunya, bukan hanya bangga karena ilmu kepandaian Pek Hoa yang tinggi, terutama sekali bangga karena Pek Hoa dianggapnya wanita paling cantik di dunia ini dan amat mengagumkan hatinya. Akan tetapi, kalau biasanya orang-orang lelaki mendengar nama Pek Hoa Pouwsat nampak kagum dan gembira, tidaklah demikian dengan kakek ini. Sepasang matanya yang seperti bintang itu bercahaya dan memandang kepada Im Giok dengan tajam berapi seakan hendak membakarnya. "Dan kau she Kiang?" "Betul, aku she Kiang bernama Im Giok," kata gadis cilik itu kini tiba gilirannya terheran. "Sungguh tak baik! Kalau kau dipelihara dan diambil murid seekor serigala kiranya takkan begitu buruk. Dan kau bahkan girang dan bangga menjadi muridnya. Benar-benar tanda tak baik bagi keluarga Kiang. Eh, bocah tolol, tidak tahukah kau bahwa kau telah diculik oleh siluman betina yang ganas dan jahat?" "Enci Pek Hoa bukan siluman betina dan aku suka menjadi muridnya," Im Giok membantah, biarpun di dalam hatinya ia sudah mulai tak suka kepada gurunya itu semenjak mereka turun gunung dan ia melihat perbuatan-perbuatan yang ganjil dan memalukan dari gurunya. "Bodoh, tolol! Tak tahukah kau bahwa penculikan terhadapmu ini mengakibatkan matinya ibumu dan gilanya ayahmu?" Bu Pun Su membentak. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 125 Wajah Im Giok seketika menjadi pucat. Sepasang mata yang lebar dan indah bentuknya itu terpentang menatap wajah Bu Pun Su tanpa berkedip, kemudian perlahan-lahan mata itu menjadi basah dan air mata mulai menitik turun. "Ibu... meninggal?" Anak ini sudah lupa lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya yang telah pergi meninggalkan ibunya semenjak ia masih kecil sekali. Selama ia pergi ikut Pek Hoa, yang terbayang di depan matanya hanya wajah ibunya dan ia memang merasa amat rindu kepada ibunya. Kini mendengar bahwa ibunya telah meninggal, tentu saja hatinya seperti diiris-iris dan hanya kemauan dan perasaan yang keras saja yang dapat menahannya sehingga ia tidak menjerit-jerit. Sebaliknya, ia hanya menggigit bibirnya menahan pekik tangis sampai-sampai bibirnya terluka dan berdarah! Pandangan mata Bu Pun Su agak berubah, kini, ia merasa kagum melihat bocah itu. Tadinya ia mengira bahwa Im Giok tentu akan menangis menjerit-jerit mendengar tentang ibunya meninggal dan ayahnya gila. Perempuan-perempuan cantik biasanya mengandalkan tangisnya. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan bahwa gadis cilik ini tidak menangis, bahkan memperlihatkan kekerasan hatinya dengan menggigit bibir sampai berdarah. Baru berusia sepuluh tahun sudah memiliki kekerasan hati seperti itu, benar-benar seorang anak yang berbakat untuk menjadi orang gagah, pikir Bu Pun Su senang. Kakek ini mendengar tentang nasib Kiang Liat, merasa kasihan sekali. Maka, kini melihat puteri Kiang Liat "ada isinya", ia ikut gembira. "Kau tidak ingin bertemu dengan ayahmu?" Kesedihan membuat Im Giok tak dapat berkata-kata sampai beberapa lama. Kemudian ia mengeraskan hati menindas perasaannya, dan bertanya. "Di mana ayah" Mengapa ia menjadi gila dan mengapa ia dahulu meninggalkan ibu?" Bu Pun Su mengerti bahwa anak ini sudah terkena pengaruh Pek Hoa, dapat dilihat tanda-tandanya dari cara anak ini berpakaian, bersolek dan bergaya ketika bicara, maka ia sengaja hendak menjauhkan hati anak ini dari Pek Hoa. "Ibumu meninggal adalah karena Pek Hoa telah menculikmu. Di depan ibumu, Pek Hoa mengaku sebagai dewi dan dipercaya penuh oleh ibumu. Tidak tahunya, di balik semua itu, Pek Hoa hendak membalas dendam kepada ayahmu yang membencinya. Sengaja Pek Hoa membawamu untuk membikin duka ibumu. Betul saja, ibumu menjadi sedih, bingung dan akhirnya jatuh sakit lalu meninggal. Ayahmu menjadi gila karena melihat ibumu meninggal." Im Giok adalah seorang yang masih kecil, usianya baru sepuluh tahun lebih. Tentu saja ia mudah dibakar hatinya. Mendengar kata-kata Bu Pun Su mukanya yang tadi pucat kini menjadi merah sekali. "Kalau begitu, Suci Pek Hoa yang membunuh ibuku dan merusak hidup ayahku!" Diam-diam Bu Pun Su menyesal karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang buruk, yakni menanam kebencian dalam hati seorang anak-anak. Akan tetapi ini Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo demi kebaikannya sendiri, pikirnya. Kalau anak ini tidak membenci Pek Hoa, banyak bahayanya kelak ia akan meniru sepak terjang Pek Hoa yang dikaguminya. "Kau boleh anggap begitu. Akan tetapi ibumu sudah meninggal, tak perlu diributkan lagi. Yang penting adalah ayahmu, karena kalau tidak cepat-cepat kau hibur hatinya, kiraku tak lama lagi ayahmu akan menyusul ibumu." Bercucuran air mata dari sepasang mata gadis cilik itu ketika mendengar katakata ini. Akan tetapi tetap saja ia tidak memperdengarkan isak tangis. "Kakek yang baik, harap kau suka membawaku kepada Ayah..." Kata-kata terhenti dan di lain saat Im Giok telah "terbang". Pergelangan tangannya dipegang oleh Bu Pun Su dan ketika kakek ini berlari, Im Giok merasa seakan-akan ia telah terbang. Kedua kakinya tidak menginjak tanah, akan tetapi tubuhnya melayang sedemikian cepatnya sehingga ia terpaksa harus menutup kedua matanya. Hanya telinganya saja yang mendengar suara angin dan mukanya terasa dingin tertiup angin. Diam-diam bocah ini merasa kagum dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 126 juga terkejut sekali. Ia tadi memang telah menyaksikan betapa lihainya kakek ini yang dengan mudah mengalahkan Kam Kin. Akan tetapi karena memang ia memandang rendah kepada Kam Kin, kemenangan Bu Pun Su tadi tidak dianggap istimewa. Gurunya sendiri pasti dengan mudah mengalahkan Kam Kin. Akan tetapi berlari cepat seperti ini, benar-benar luar biasa sekali dan gurunya sendiri kiranya tak mungkin dapat menirunya. *** Di luar kota tembok Liong-san-mui terdapat sebuah kelenteng tua yang sudah lama tak pernah mengebulkan asap hio, tanda bahwa kelenteng itu tidak dipakai orang lagi. Sudah bertahun-tahun kelenteng itu tinggal kosong dan makin lama makin rusak tidak terpelihara. Penghuninya hanya laba-laba yang membuat sarang di setiap sudut, membuat kelenteng itu nampak menyeramkan sekali. Tidak ada orang berani masuk ke dalam, bahkan para jembel yang tidak mempunyai tempat tinggal dan mempergunakan ruang depan kelenteng itu untuk tempat tidur dan berteduh, tidak berani sembarangan masuk ke dalam kelenteng. Akan tetapi akhir-akhir ini, kurang lebih seminggu sudah, terjadi perubahan besar. Tidak ada lagi jembel yang berani tinggal di situ dan keadaan kelenteng itu tidak kosong lagi. Seorang laki-laki bertubuh gagah dan tampan, berpakaian sebagai seorang pendekar, menjadikan itu tempat tinggalnya. Orang ini gerakgeriknya aneh sekali, wajahnya selalu nampak muram dan berduka, akan tetapi tidak jarang orang mendengar gema suara ketawanya memecah kesunyian tengah malam. Semenjak ia mengusiri semua jembel dari ruang depan kelenteng, kemudian memukul kocar-kacir belasan orang pengemis yang datang hendak merampas kembali tempat berteduh, tidak ada lagi orang berani datang mengganggunya. "Dia pendekar aneh," kata seorang yang mengerti ilmu silat, "gerakan-gerakannya menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat tinggi. Lihat saja cara ia menyarungkan pedangnya, tentu pedang pusaka." "Dia berotak miring," berbisik orang ke dua, "Pernah di tengah malam aku mendengar dia tertawa bergelak seperti iblis, dan pernah aku mendengar ia menangis tersedu-sedu dan akhirnya memaki-maki." "Dia orang aneh, benar-benar pendekar aneh," demikian akhirnya orang mengambil kesimpulan. Tadinya penduduk Liong-san-mui mengeluarkan sebutan "pendekar aneh" ini dengan nada mengejek dan menertawakan, akan tetapi tiga hari kemudian semenjak orang itu berada di situ, sebutan ini berubah menjadi sebutan yang disertai rasa kagum, segan, dan menghormat. Tak seorang pun berani lagi menganggapnya "berotak miring" betapapun aneh kelakuan orang ini. Hal ini terjadi setelah pendekar aneh yang dianggap gila ini pada suatu malam, seorang diri dan bertangan kosong, telah merobohkan serombongan perampok yang mengganggu kota Liong-san-mui, dan menyerahkan rombongan perampok terdiri dari tujuh belas orang ini kepada yang berwajib! Tikoan, pembesar yang menerima tawanan perampok itu, menghaturkan terima kasih dan menanyakan nama orang gagah itu. Akan tetapi, benar-benar orang aneh. Dia tidak mengaku bahkan nampak marah-marah ketika berkata, "Kewajiban Taijin hanya menerima dan menghukum orang-orang jahat itu, habis perkara. Perlu apa tanyatanya namaku" Aku tidak minta hadiah!" Maka pergilah ia meninggalkan Tikoan yang menjadi bengong akan tetapi tidak berani berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang bersikap aneh dan kurang ajar itu. Karena sikap yang kurang ajar ini, maka selanjutnya pada pembesar setempat tidak mau dan sungkan menghubunginya. Akan tetapi betapapun juga, penduduk amat berterima kasih dan menganggapnya sebagai tuan penolong atau pendekar budiman. Siapakah pendekar aneh itu" Untuk mengenalnya, mari kita melihat ke dalam kelenteng dan mengikuti gerak-geriknya. Di ruangan yang paling dalam di kelenteng itu, ruangan yang gelap akan tetapi bersih dari sarang laba-laba karena ruangan ini dijadikan kamar tidur dan telah dibersihkan, nampak seorang laki-laki duduk bersila di atas lantai yang telah disapu bersih. Seperti seorang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 127 bersamadhi, laki-laki ini duduk bersila menghadapi meja sembahyang yang sudah tua dan sudah amat lama tak pernah dipakai orang. Kalau orang melihatnya dari belakang, tentu mengira bahwa ia sedang bersamadhi, tak bergerak seperti patung. Akan tetapi kalau orang melihat dari depan dan berada dekat dengannya, akan kelihatan jelas bahwa orang biarpun tubuhnya tak bergerak, akan tetapi bibirnya bergerak-gerak dan terdengar ia bercakap-cakap dengan suara perlahan. Dari sepasang mata yang dipejamkan itu bercucuran air mata dan kalau orang mendengar ia seperti bercakap-cakap tanya jawab dengan seorang yang tidak kelihatan, orang tentu akan menganggap ia gila. "Bi Li, aku memang berdosa besar padamu, isteriku... Aku mengaku sekarang akulah sebenarnya yang membunuhmu, aku yang memaksamu meninggal dunia karena menyiksa hatimu. Aku orang berdosa besar, Bi Li. Kauampunkan suamimu yang hina dan bodoh ini, isteriku..." Mendengar ucapan dalam bisikan ini, tahulah kita bahwa orang itu bukan lain adalah Jeng-jiu-san Kiang Liat. Seperti telah dituturkan di bagian depan, setelah menerima pukulan hebat dari penuturan Ceng Si bekas pelayan isterinya bahwa sesungguhnya isterinya itu tidak berdosa apa-apa, dan bahwa isterinya meninggal dunia karena menyesal dan berduka ditinggal suaminya, Kiang Liat seperti orang gila. Hatinya penuh penyesalan dan ia merantau ke sana ke mari. Hidupnya hanya bertujuan satu, yakni mencari puterinya yang diculik oleh Pek Hoa Pouwsat. Kalau kiranya Bi Li tidak meninggalkan anak, tentu Kiang Liat sudah membunuh diri untuk menyusul isterinya yang tercinta. Ia tidak mempedulikan lagi keadaan tubuhnya yang menderita pukulan batin dan membuat ia kadang-kadang muntah darah. Akan tetapi ia mulai mengumpulkan uang, dan sesuai dengan wataknya, ia memberantas kejahatan. Tiap kali ia membasmi penjahat, selalu ia merampas milik penjahat itu dan sebentar saja ia telah dapat mengumpulkan harta kekayaan yang besar juga, yang disembunyikan dalam sebuah gua. Selama empat tahun lebih ia merantau, mencari-cari Pek Hoa akan tetapi sia-sia belaka, tak seorang pun di dunia kang-ouw tahu ke mana siluman itu menghilang. Kiang Liat mengumpulkan uang bukan sekali-kali karena ia ingin hidup bersenangsenang, akan tetapi ia sengaja mengumpulkan harta untuk kelak dipakai menyenangkan hidup Im Giok anaknya. Bahkan ia mulai pula mengganti pakaiannya yang kotor dengan pakaian bersih dan indah, karena ia ingin kelihatan gagah apabila ia berhasil bertemu dengan puterinya. Setiap malam ia teringat kepada isterinya itu. Keadaan pendekar ini benar-benar amat memilukan hati. Hukuman yang dideritanya akibat kecerobohannya terhadap isterinya, benar-benar amat berat. Setelah mengeluarkan kata-kata itu sambil memandang ke atas meja, Kiang Liat diam beberapa lama, sikapnya seperti mendengarkan orang bicara kepadanya. Kemudian ia mengangguk-angguk dan berkata, "Tentu saja, Bi Li. Aku pasti akan mencari Im Giok sampai dapat. Aku akan mengadu nyawa dengan siluman Pek Hoa dan merampas kembali anak kita. Sudah empat tahun aku mencari jejaknya dengan sia-sia, akan tetapi aku tidak putus asa. Sebelum putus nyawaku, aku takkan berhenti berusaha mencari Im Giok." Kemudian Kian Liat menarik napas panjang, menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya dan berkata lagi, "Kau tidak percaya kepadaku, Bi Li" Sudah sepantasnya kalau kau tidak mempercaya seorang suami goblok seperti aku, seorang suami buta yang menuduh isterinya yang setia berlaku tidak patut. Memang kau berhak tidak percaya kepadaku, Bi Li isteriku. Akan tetapi, biarlah aku Kiang Liat bersumpah, aku akan mencari Im Giok sampai saat penghabisan. Biarlah rambutku menjadi saksi!" Setelah berkata demikian, Kiang Liat mencabut pedangnya dan berlutut. Dengan tangan kiri dijambaknya rambutnya yang hitam panjang, dan tangan kanan yang memegang pedang bergerak membabat rambutnya sendiri! Putuslah rambut di kepalanya dan kepala itu kini hanya tinggal ditumbuhi rambut pendek saja. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 128 "Ayaaah....,!" Tiba-tiba bayangan merah melayang turun dan ternyata yang melompat turun adalah seorang gadis cilik berpakaian merah sedangkan di belakangnya turun seorang kakek. Kiang Liat memandang dengan mata bengong, tidak mengenal siapa adanya anak yang menyebut ayah kepadanya itu. Kemudian ketika ia melirik ke arah kakek yang telah berdiri di belakang gadis cilik itu ia terkejut sekali, melempar pedangnya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Kiang Liat boleh jadi agak gendeng dan miring otaknya apabila ia tenggelam dalam lamunan sendiri dan mengingat akan isterinya, akan tetapi di lain saat ia merupakan seorang manusia biasa yang sadar, "Teecu tidak tahu akan kedatangan Suhu Bu Pun Su, mohon ampun jika teecu tidak menyambutnya," katanya penuh hormat dan segan. Memang kalau ada orang di dunia ini yang disegani dan ditakuti oleh Kiang Liat, orang itu tak lain hanya Bu Pun Su dan mungkin juga Han Le. Bu Pun Su memandang kepada Kiang Liat, sinar matanya penuh belas kasihan. "Kiang Liat, jangan terlalu jauh dilarutkan oleh lamunan dan kedukaan. Inilah Kiang Im Giok puterimu, sengaja kubawa ke sini agar kau dapat hidup kembali bersama puterimu. Pergunakanlah sisa hidupmu sebaiknya untuk mendidik anakmu ini, Kiang Liat." Mendengar ini, dengan muka pucat Kiang Liat menengok ke arah Im Giok. Ayah dan anak berpandangan, dua pasang mata perlahan-lahan mengeluarkan air mata, dua pasang bibir bergerak-gerak dan bergemetar tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata. Kiang Liat mengulurkan dua lengan yang tangannya menggigil, dan Im Giok perlahan melangkah maju. "Im Giok... kau... anakku...?" "Ayaah...!" Di lain saat ayah dan anak itu sudah berpelukan dan bertangisan. Bu Pun Su terbatuk-batuk untuk menenangkan hatinya sendiri yang ikut merasa terharu dan pilu, kemudian setelah membiarkan mereka melepaskan perasaan hati untuk sementara, lalu berkata, "Sudahlah, tak baik menurutkan perasaan, mendatangkan kelemahan saja. Kiang Liat, anakmu ini berbakat baik dalam ilmu silat, biar aku tinggalkan dua macam ilmu silat untuk kelak kauturukan kepadanya. Akan tetapi kauhatihatilah, wataknya keras dan aneh, perlu dikendalikan dengan kuat!" Kiang Liat girang sekali mendengar ini. "Im Giok, anakku, lekas kau menghaturkan terima kasih kepada Susiok-couw-mu (Paman Kakek Guru)." Kiang Liat menarik tangan Im Giok dan keduanya berlutut di depan kakek sakti itu. Dengan amat tekun, Kiang Liat mempelajari dua ilmu silat yang diturunkan oleh Bu Pun Su untuk Im Giok. Pertama-tama Bu Pun Su minta supaya Im Giok bersilat menurut apa yang ia pelajari dari Pek Hoa Pouwsat. Bu Pun Su adalah seorang sakti yang memiliki kepandaian aneh dan luar biasa. Sekali saja melihat, ilmu silat apapun juga dapat ia tiru dengan gerakan yang jauh lebih sempurna daripada aselinya! Demikian pula dengan ilmu silat yang dimainkan oleh Im Giok, sekali melihat kakek ini dapat menurunkan ilmu silat yang sama, akan tetapi yang sama sekali bebas dari kelemahan dan kekurangan. Pendeknya, Bu Pun Su memperbaiki dan menyempurnakan ilmu silat yang seperti tarian, yang dipelajari oleh Im Giok dari Pek Hok Pouwsat. Adapun ilmu silat ke dua yang ia turunkan kepada Kiang Liat untuk Im Giok adalah ilmu silat pedang yang disesuaikan pula dengan gerakan dan bakat yang sudah menjadi dasar dari Im Giok. Selain dua macam ilmu silat yang khusus untuk Im Giok ini, juga kepada Kiang Liat kakek ini menurunkan ilmu berlatih lwee-kang dan gin-kang sehingga Kiang Liat merasa bersukur sekali. Sampai dua pekan Bu Pun Su tinggal di kelenteng kuno itu bersama Kiang Liat dan Im Giok dan siang malam mereka tekun menerima pelajaran baru dari kakek sakti itu. Setelah selesai dan hendak meninggalkan mereka, Bu Pun Su berkata dengan suara sungguh-Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 129 sungguh. "Kiang Liat, dan kau juga Im Giok, dengarkan baik-baik. Setelah kalian menerima pelajaran dariku, maka selanjutnya kalian harus menjaga diri baik-baik. Sekali saja aku mendengar kalian menggunakan kepandaian yang kalian pelajari dariku untuk melakukan perbuatan menyeleweng dan sewenang-wenang, aku sendiri akan datang memberi hukuman berat." Setelah Bu Pun Su pergi, Kiang Liat memeluk puterinya dan berkata dengan hati gembira. "Anakku, mari kita pulang ke Sian-koan dan mulai hidup baru. Akan kusediakan rumah gedung untukmu, pakaian-pakaian indah dan jangan kau khawatir, anakku. Aku akan berusaha supaya kau kelak menjadi seorang dara perkasa yang jarang tandingannya, seorang yang hidup penuh kebahagiaan tidak kekurangan sesuatu!" Im Giok sudah mendengar sumpah ayahnya dari atas genteng, maka ia tidak perlu mendengar janji-janji yang lain. Ia sudah merasa amat kasihan dan terharu melihat nasib ayahnya, dan ia merasa amat bangga karena ternyata ayahnya adalah seorang laki-laki gagah yang patut dibanggakan. Demikianlah, ayah dan anak itu pulang ke Sian-koan. Dengan uang yang ia simpan, Kiang Liat membangun sebuah gedung baru dengan taman bunga yang luas dan indah, perabot-perabot rumah serba baru, pendeknya ia berusaha untuk membikin senang hati puteri tunggalnya. Im Giok baru berusia hampir sebelas tahun, maka menerima budi kecintaan ayahnya yang berlimpah-limpah ini, mau tidak mau timbul sifat manja dalam hatinya. Memang beginilah, tidak hanya Kiang Liat, banyak orang tua-tua di dunia ini yang keliru menyatakan sayangnya kepada anak sehingga bukan anak menjadi baik sebagaimana yang diharapkan, sebaliknya anak menjadi manja. Untungnya, Im Giok memang sudah mempunyai dasar watak gagah dan baik sehingga sikap ayahnya itu hanya mendatangkan sebuah cacat lagi, yaitu manja dan ingin dituruti segala kehendaknya. Di samping ini lain sifat yang ia warisi dari Pek Hoa Pouwsat adalah sifat pesolek, suka berhias dan berpakaian serba indah dan serba merah, tidak lupa untuk menambah merah pada bibirnya, menambah hitam pada alisnya sehingga setiap saat gadis ini kelihatan seperti seorang bidadari baru turun dari kahyangan! Akan tetapi harus diakui bahwa Im Giok benar-benar baik sekali bakatnya dalam ilmu silat. Ditambah lagi oleh semangat Kiang Liat yang amat besar. Pendekar ini benar-benar mempunyai cita-cita untuk membuat puterinya menjadi seorang gagah, maka ia amat tekun dan hati-hati memimpin puterinya dalam ilmu silat, maka dapat dibayangkan betapa pesat kemajuan yang diperoleh Im Giok. Akan tetapi, kadang-kadang Im Giok merasa kesepian. Hidup di dekat Kiang Liat jauh bedanya dengan ketika ia masih bersama dengan Pek Hoa. Betapapun besar sayangnya Kiang Liat kepadanya, akan tetapi ayahnya itu seorang pria, dan Im Giok membutuhkan pergaulan dengan sesama kelamin. Selain ini, Im Giok yang melihat ayahnya masih belum tua dan begitu gagah, diam-diam juga prihatin dan berduka kalau teringat akan ibunya. Banyak buku yang ia baca karena ayahnya menyediakan untuknya dan mengajarnya pula, memberi pelajaran kepada Im Giok bahwa seorang seperti ayahnya itu sudah sepatutnya kalau menikah lagi dengan seorang gadis cantik pengganti ibunya yang telah meninggal. Sifat Im Giok yang tidak pemalu dan periang itu membuat ia sebentar saja mempunyai banyak kawan di kota Sian-koan. Tidak jarang gadis ini keluar rumah dan mengunjungi tetangga dan biarpun hal ini termasuk kebiasaan yang janggal, namun ayahnya tidak melarangnya. Kiang Liat cukup maklum bahwa puterinya telah memiliki kepandaian yang cukup untuk dipakai menjaga diri, dan selain ini, siapakah yang berani mengganggu puteri Jeng-jiu-sian Kiang Liat" Setahun kemudian, pada suatu sore, Im Giok pulang dari tetangga bersama seorang gadis yang cantik. Gadis ini pipinya kemerahan, sepasang matanya yang jeli dan kocak kelihatan agak berduka. Namun harus diakui bahwa gadis memiliki sepasang mata yang indah dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo 130 bening, seperti sepasang kemala. Usianya kurang lebih enam belas tahun dan tubuhnya sehat dan nampaknya biasa bekerja berat. Kiang Liat bangkit dari kursinya dan memandang dengan mata terbelalak heran. Dengan malu-malu gadis remaja itu menjura sebagai penghormatan kepada Kiang Liat. "Im Giok, siapakah nona ini dan mengapa kau membawa dia ke sini?" tanya Kiang Liat dengan nada menegur dalam suaranya. "Ayah, jangan marah dulu," kata Im Giok dengan sikap manja, "dia ini adalah sahabat baikku, namanya Kim Lian, Song Kim Lian, rumahnya di sebelah barat itu. Enci Kim Lian, kau duduk dulu di sini, ya! Aku mau bicara dengan Ayah," Im Giok lalu menghampiri ayahnya, memegang tangan ayahnya itu dan menariknya ke ruangan sebelah dalam. Dengan kening berkerut Kiang Liat mengikuti puterinya, hatinya tidak enak. "Kau mau apakah, Im Giok?" tanyanya setelah mereka berada di ruang dalam. "Ayah, bagaimana ayah lihat Enci Kim Lian itu" Cantik dan matanya seperti mata burung Hong, bukan?" Kerut di kening Kiang Liat makin mendalam. "Kalau dia cantik dan bermata bagus, habis mengapa?" "Ayah, aku selalu merasa kesunyian." "Kan ada Ayah, ada banyak pelayan." "Ayah laki-laki dan para pelayan... ah, mereka selalu bermuka-muka, aku tidak suka. Ayah juga... Ayah juga kesepian, bukan?" Kiang Liat memegang pundak Im Giok, memandang tajam dan berkata, "Im Giok, pikiran ganjil apakah yang terkandung dalam kepalamu" Hayo katakan terus terang, jangan berputar-putar." Im Giok menarik napas panjang, sukar agaknya untuk bicara. Akhirnya ia memberanikan hatinya, memegang tangan ayahnya dengan sikap manja dan berkata, "Jangan marah, ya Ayah" Aku bermaksud baik. Sahabatku Kim Lian ini adalah seorang sahabat yang baik, lagi pula dia sudah yatim piatu, kalau saja... kalau saja dia dapat tinggal di sini, aku mempunyai kawan, alangkah baiknya." "Menjadi pelayan?" Kiang Liat menjelaskan. Im Giok cemberut. "Dia sahabatku, bagaimana harus menjadi pelayan" Biarkan saia dia tinggal di sini, serumah dengan kita, Ayah." Kembali kening Kiang Liat berkerut. "Ah, Im Giok. Ada-ada saja kau ini. Tak tahukah kau bahwa seorang gadis dewasa seperti dia itu tidak patut sekali kalau tinggal di rumah orang lain, apalagi di rumah seorang duda?" "Karena itu, alangkah baiknya kalau Ayah... kawin saja dia!" kata Im Giok cepat. Tangan ayahnya yang tadinya memegang pundak tiba-tiba terlepas dan Kiang Liat terduduk di atas kursi, wajahnya pucat dan matanya melotot memandang kepada Im Giok. Gadis cilik ini kaget sekali dan agak ketakutan, mundur dua langkah. "Im Giok..." akhirnya terdengar suara Kiang Liat, lambat dan perlahan, dengan gigi dirapatkan menahan nafsu marah. "Kalau bukan kau yang mengajukan usul macam ini, tentu kupukul mampus sekarang juga! Apa kau sudah gila" Kalau tidak untuk kau aku sudah menyusul ibumu. Untuk apa hidupku di dunia ini melainkan untuk kau" Bagaimana kau bisa menyuruh aku menikah dengan perempuan lain dan mengkhianati ibumu?" Im Giok menangis dan menubruk ayahnya. Ia berlutut dan menaruh kepala di atas pangkuan ayahnya. "Ampunkan aku, Ayah. Aku tidak sengaja menyakiti hati Ayah. Aku hanya ingin punya kawan, aku... aku kehilangan Enci Pek Hoa. Ayah..." Melihat keadaan anaknya, luluh hati Kiang Liat, lenyap marahnya. Ia berpikir sejenak lalu berkata, "Sudah, diamlah, anakku. Aku bisa memenuhi keinginanmu, akan tetapi bukan menikah. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 131 Mengingat bahwa Kim Lian sudah yatim piatu, dan selain engkau aku pun tidak punya murid, dan melihat gerak kakinya tadi cukup tegap dan kuat, biarlah dia menjadi muridku belajar di sini dan mengawanimu. Bagaimana?" Im Giok hampir bersorak. Ia bangkit berdiri, memeluk ayahnya dan berlari ke ruangan depan. Tak lama kemudian ia sudah datang lagi berlarian sambil menggandeng tangan Kim Lian. Agaknya dia sudah menuturkan kepada sahabatnya itu, karena begitu berhadapan dengan Kiang Liat, Kim Lian lau menjatuhkan diri berlutut dan menganggukanggukkan kepala sambil menyebut, "Suhu...!" suaranya merdu dan halus. "Bangunlah! Kau menjadi muridku atas desakan Im Giok. Akan tetapi entah kau suka atau tidak belajar ilmu silat yang kasar," kata Kiang Liat. "Ayah... jangan Ayah memandang rendah kepada Enci Kim... eh, kepada Suci (Kakak Seperguruan) Kim Lian. Dalam bermain-main dan selama setahun menjadi kawanku, dia telah banyak dapat meniru gerakan silatku. Suci, coba kauperlihatkan kebisaanmu kepada Ayah." "Ah Sumoi, kau membikin aku malu saja..." Kim Lian mengerling dengan muka merah dan senyum dihukum. Kiang Liat kembali mengerutkan kening melihat lagak yang genit dan menarik hati laki-laki ini. Hem, dalam banyak hal gerak-gerik Kim Lian ini hampir sama dengan anaknya, pikirnya. "Tak usah malu-malu, kauperlihatkanlah apa yang sudah kaupelajari. Dengan melihat gerakanmu, aku bisa mengira-ira sampai di mana tingkatmu." Mendengar perintah suhunya, Kim Lian lalu bersilat seperti apa yang ia lihat dan pelajari dari Im Giok. Dan Kiang Liat tercengang. Benar sekali kata-kata Im Giok. Gadis cantik ini memiliki bakat yang luar biasa, sungguhpun tidak sebesar bakat Im Giok, akan tetapi kelemasan gerak kaki tangannya menunjukkan bahwa Kim Lian mempunyai bakat ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada gadis-gadis biasa. Memang sukar mencari seorang murid wanita dengan bakat seperti ini. Timbullah kegembiraan hati Kiang Liat dan mulai hari itu Kim Lian menjadi murid Jeng-jiu-sian Kiang Liat, belajar ilmu silat bersama Im Giok yang tentu saja sudah amat jauh meninggalkannya. Bahkan dalam latihan sehari-hari, boleh dibilang Kim Lian dilatih oleh Im Giok yang mewakili ayahnya. Kiang Liat masih saja berlaku sungkan dan likat-likat, maka ia hanya memberi contoh dan petunjukpetunjuk teori saja, sedangkan prakteknya ia serahkan kepada Im Giok untuk mengajar sucinya. Benar saja, setelah Kim Lian tinggal di rumah gedung itu, Im Giok menjadi gembira sekali. Tidak saja ia menjadi makin giat berlatih ilmu silat, juga ia tekun memperdalam ilmu surat dan bahkan suka belajar menyulam bersama sucinya. Adapun dalam hal mempersolek diri, agaknya Kim Lian merupakan imbangan yang baik bagi Im Giok. Tentu saja Kim Lian tidak secantik Im Giok, karena sesungguhnya sukar mencari seorang gadis secantik Im Giok, akan tetapi pada umumnya Kim Lian juga seorang gadis yang manis dan cantik, lagi pandai beraksi. Biarpun Kim Lian mulai belajar ilmu silat setelah ia berusia belasan tahun dan telah dewasa, akan tetapi berkat bakatnya yang baik dan terutama sekali oleh karena ia belajar di bawah pimpinan seorang ahli silat kelas tinggi, maka ia pun mewarisi ilmu silat tinggi dan menjadi seorang ahli silat yang pandai. Seperti juga Im Giok, ia memiliki gin-kang yang luar biasa, hanya sedikit saja kalah oleh sumoinya itu, sungguhpun dalam hal lwee-kang ia kalah jauh. Akan tetapi, diam-diam Kiang Liat merasa amat khawatir kalau ia melihat watak muridnya ini. Sering kali Kim Lian memperhatikan sikap genit dan memikat di depannya, mengingatkan pendekar ini akan sikap Ceng Si dahulu. Kadang-kadang ia membentak dan menegur muridnya ini, yang diterima oleh Kim Lian dengan senyum manis memikat. Beberapa kali Kiang Liat bahkan menyuruh puterinya menegur, dan kalau Im Giok sudah menegur, baru Kim Lian menghentikan aksinya. Memang Kim Lian tidak takut kepada Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 132 suhunya karena ia merasa lebih leluasa dan dapat menghadapi seorang laki-laki, akan tetapi terhadap Im Giok, ia merasa takut dan segan. Pertama karena ia merasa berhutang budi kepada sumoinya ini. Kalau tidak ada sumoinya yang menariknya ke dalam rumah gedung mewah itu, hidupnya tentu kekurangan dan mungkin sekali terlantar. Ke dua, ia memang tahu bahwa kepandaian sumoinya jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. "Im Giok, sekarang sucimu telah berusia dua puluh tahun lebih, kiranya sudah cukup lama ia berada di sini dan sudah patut baginya untuk berumah tangga. Bagaimana pikiranmu kalau aku mencarikan seorang suaminya untuknya?" pada suatu hari Kiang Liat berkata demikian kepada Im Giok yang sudah berusia empat belas tahun lebih. Gadis ini sudah cukup dewasa untuk mengerti akan maksud ayahnya. Sering kali Kim Lian memperlihatkan sikap yang memikat di depan ayahnya, maka tentu ayahnya merasa tidak enak sekali. Memang, bagi ayahnya, akan lebih baik kalau Kim Lian keluar dari situ dan menikah dengan seorang pemuda yang baik. "Baiklah, akan saya sampaikan kepadanya, Ayah," kata Im Giok yang akhir-akhir ini merasa kasihan dan juga gelisah melihat keadaan ayahnya. Setelah beberapa kali menghadapi godaan Kim Lian, Kiang Liat teringat lagi kepada isterinya dan kepada Ceng Si yang dahulu menggodanya, maka terkenanglah ia akan kebodohannya, akan kekejamannya terhadap isterinya. Kenangan ini membikin kambuh sakit jantungnya, membuatnya pucat dan kadang-kadang batuk-batuk, bahkan sering di tengah malam ia tertawa-tawa dan menangis lagi! Akan tetapi ketika Im Giok menyampaikan usul ayahnya kepada Kim Lian, sucinya itu memperlihatkan muka berduka, bahkan lalu menghadap Kiang Liat sambil berlutut dan menangis. "Suhu, teecu mohon supaya Suhu jangan menyuruh teecu pergi dari sini. Teecu rasanya tidak sanggup untuk berpisah dengan Suhu dan Sumoi. Suhu, tentang menikah, teecu sama sekali tidak ada niat, karena selamanya teecu ingin melayani Suhu dan mengawani Sumoi..." Kata-kata ini biarpun diucapkan dengan suara bersedih dan terputus-putus, akan tetapi bagi pendengaran Kiang Liat hanya bermaksud satu, yakni Kim Lian akan menerima dengan hati terbuka kalau gurunya mau mengambilnya sebagai isteri sehingga gadis ini selamanya akan melayaninya, juga takkan berpisah dari Im Giok! Merah muka Kiang Liat dan ia merasa dadanya sakit. Ia selalu ingat akan kesetiaan mendiang isterinya dan akan kekejiannya memfitnah isterinya, maka ia telah bersumpah untuk membalas isterinya itu dengan kesetiaan selama hidup. Oleh karena ini, setiap godaan seorang wanita membangkitkan penyesalannya kepada diri sendiri dan membuat dadanya terasa sakit. "Kim Lian, jangan kau mengeluarkan kata-kata seperti itu. Setiap pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan. Kami tentu saja tidak mengusirmu, dan terus terang saja, kehadiranmu di rumah ini banyak mendatangkan kegembiraan Im Giok dan untuk ini aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi tentang menikah, kau sudah berusia dua puluh tahun lebih, sudah lebih dari cukup waktunya untuk berumah tangga sendiri, Kim Lian. Jangan kau khawatir, aku dapat memilihkan seorang calon suami yang baik, percayalah kepadaku karena sebagai guru aku takkan menyesatkan murid sendiri..." Makin sedih tangis Kim Lian mendengar ini. Ia merangkul Im Giok lalu berkata, "Suhu, apa saja kehendak Suhu pasti teecu taati asal saja teecu jangan disuruh berpisah dengan Suhu dan Sumoi. Tentang menikah... teecu akan menanti Sumoi. Kalau Sumoi sudah menikah , barulah teecu suka menikah pula... ini sudah menjadi sumpah di dalam hati teecu." Kiang Liat menjadi mendongkol. Ia dapat menduga bahwa kata-kata itu hanya akal saja, alasan untuk menggagalkan usulnya. "Hm, perempuan memang aneh. Lain di mulut lain di hati," pikirnya. "Pada hatinya jelas nampak ia ingin melayani laki-laki, akan tetapi mulutnya bilang tidak mau menikah!" Kemudian dengan suara marah ia berkata, "Kim Lian, kau yang bersumpah, bukan aku yang memaksa. Kau harus memegang teguh Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 133 sumpahmu itu, kalau tidak, aku akan marah kepadamu. Aku tidak sudi melihat muridku bermain lidah dan tidak dapat dipegang kata-katanya. Ingat, kau sudah bersumpah takkan menikah sebelum Im Giok menikah. Baik, akan begitulah jadinya!" Setelah berkata demikian, Kiang Liat meninggalkan dua orang gadis itu dan masuk ke dalam kamarnya. Semenjak saat itu, sikap Kiang Liat makin pendiam. Jarang sekali ia bicara dengan Im Giok. Kepada Kim Lian, ia sama sekali tidak pernah bicara lagi. Akan tetapi anehnya, mulai saat itu ia makin giat melatih dua orang gadis itu. Pagi-pagi sekali ia sudah memaksa mereka bangun, berlatih ilmu silat sampai kedua orang gadis itu hampir tidak kuat lagi. Demikian pun pada siang hari, bahkan sering kali pada malam hari. Pendeknya, Kiang Liat tidak memberi mereka kesempatan untuk bermalas-malasan. "Seorang wanita harus kuat, baru aman hidupnya," katanya di depan dua orang gadis itu. "Kalian harus dapat menerima semua kepandaianku sebelum aku lupa lagi." Demikianlah, hampir tiga tahun lamanya Kiang Liat menggembleng puterinya dan muridnya. Payah-payah Im Giok dan Kim Lian mengikuti latihan ilni, akan tetapi hasilnya juga luar biasa sekali. Im Giok secara terpisah telah menerima latihan ilmu-ilmu silat yang ditinggalkan oleh Bu Pun Su untuknya, dan ternyata ia memang cocok sekali dengan ilmu silat gubahan Bu Pun Su ini. Gerakannya memang lemas dan indah, sehingga sering kali diam-diam Kiang Liat mengerutkan keningnya karena kalau ia melihat puterinya itu bersilat seperti orang menari dengan mata bersinar-sinar, pipi kemerah-merahan dan bibir tersenyum-senyum, teringatlah ia akan Pek Hoa Pouwsat! Alangkah miripnya anaknya itu dengan Pek Hoa. Benar seperti pernah dikatakan oleh Bi Li isterinya dahulu. Adapun Kim Lian, selama tiga tahun ini pun memperoleh kemajuan hebat. Tujuh tahun ia menjadi murid Kiang Liat, akan tetapi yang tiga tahun terakhir ini hasilnya jauh melampaui empat tahun pertama. Kepandaian Kim Lian kini sudah dapat direndengkan dengan tingkat orang-orang pandai, bahkan sudah hampir menyusul kepandaian Kiang Liat sendiri. Tentu saja ia masih kalah oleh Im Giok yang ternyata bahkan telah melampaui ayahnya sendiri! Hal ini adalah karena ia mempelajari jimu silat gubahan Bu Pun Su secara mendalam, sedangkan Kiang Liat hanya menghafal saja agar tidak lupa. Apalagi Kiang Liat memang hanya bersilat untuk mengajar, sama sekali tidak pernah ia berlatih untuk kemajuan diri sendiri. Bahkan kalau terlalu lama ia bersilat, dada kirinya terasa sakit sekali. Ia maklum bahwa ia telah mendapat luka di dalam, mendapat penyakit di dalam jantungnya, akan tetapi ia sengaja tidak mau mengobati, tidak mau mencari obat. Tidak jarang ia batuk-batuk darah, akan tetapi semua ini ia sembunyikan dari Im Giok, takut kalau-kalau puterinya akan menjadi gelisah dan berduka karenanya. *** Pada suatu pagi dan indah di musim Chun (Semi). Matahari muncul di angkasa yang bersih sambil tersenyum gembira, disambut dengan segala kehormatan oleh kicau burung dan mekarnya bunga di dalam hutan. Binatang-binitang hutan pun nampak bergembira di saat seperti itu. Ayam-ayam hutan berkejar-kejaran di atas tanah dan di atas pohon. Kelinci dan tikus melompat ke sana ke mari di antara gerombolan pohon kembang. Kupu-kupu bersayap indah beterbangan dan menari-nari mengelilingi bunga cantik. Seperti kelinci yang tidak takut akan ancaman harimau, kupu-kupu ini pun tidak takut akan ancaman burung-burung. Agaknya di saat seindah itu, binatang-binatang yang paling buas pun merasa enggan untuk mengotori suasana damai dan tenteram dengan pembunuhan kepada sesama mahluk, sungguhpun pembunuhan itu berarti mengisi perut yang kosong dan lapar! Ataukah kebetulan saja harimau-harimau dan burung-burung itu sudah kenyang maka mereka tidak mengganggu kelenci dan kupu-kupu" Mungkin sekali, karena, hanya manusiamanusia saja yang masih temaha dan murka dalam kekenyangannya. Lain mahluk tidak ada yang sekejam manusia. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 134 Tiba-tiba terdengar suara manusia tertawa yang nyaring dan merdu, mula-mula sayup-sampai kemudian makin jelas datang dari jauh memasuki hutan itu. Terdengarnya suara ketawa semerdu itu memang cocok sekali dengan keadaan hutan yang indah dan gembira menyambut munculnya matahari itu. Kemudian tersusul bunyi derap kaki kuda dan suara ketawa-ketawa gadis remaja. Kalau orang memperhatikan seruan-seruan itu, ia tentu akan merasa heran sekali mengapa mula-mula terdengar suara nyaring baru kemudian terdengar derap kaki kuda bagaimana suara ketawa sedemikian merdu tanda suara ketawa wanita, dapat mengatasi suara derap kaki kuda yang biasanya dapat terdengar sampai jauh" Akan tetapi kalau pendengar tadi seorang ahli silat tinggi, ia akan tahu bahwa suara ketawa tadi dikeluarkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang dan penggunaan ilmu yang disebut Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara dari Jarak Jauh). Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kemudian terdengar suara yang bening, merdu dan genit dari seorang gadis remaja, "Sumoi (Adik Perempuan Seperguruan), jangan terlalu cepat! Kaulihat bunga ini, alangkah indahnya...!" Yang bicara ini adalah seorang gadis yang bertubuh agak tinggi langsing, berwajah cantik, sepasang matanya luar biasa sekali dan menjadi bagian yang paling indah dari kecantikannya, mata yang bercahaya, bening dan bagus bentuknya. Ia memakai baju warna kuning, celana sutera biru, ikat pinggangnya merah, tangan kiri memegang kendali kudanya yang berbulu coklat, sedangkan tangan kanan memegang sebatang cambuk pendek. Benar-benar seorang gadis yang selain cantik juga amat gagah sikapnya. Usianya sudah dua puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa, laksana buah sudah masak dan sedap dipandang. Gadis baju kuning ini menghentikan kudanya di depan serumpun pohon kembang di mana terdapat kembang-kembang berwarna putih, kuning, dan merah. Ia tersenyumsenyum memandang bunga-bunga itu dengan kagum, kemudian sekali cambuk di tangannya digerakkan, cambuk itu meluncur ke arah setangkai bunga putih dan di lain saat setangkai bunga putih telah berada di tangan kirinya. Lihai sekali ia mainkan cambuk sehingga cambuk itu dapat memetik kembang demikian tepat dan membawa kembang itu kepadanya tanpa merusak kembang putih, bahkan rontok sedikit pun tidak! Tanda bahwa lwee-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi. Gadis itu tertawa-tawa dan kembali berkata, "Sumoi, lihat alangkah indahnya bunga-bunga ini!" Kembali cambuk pendeknya bergerak dan setangkai bunga kuning di lain saat telah berada di tangan kirinya. Ia memandang dan mencium dua tangkai bunga putih dan kuning itu, kemudian ia memandang ke arah bunga merah. Tangan kanan yang memegang cambuk bergerak lagi. Cambuk meluncur ke bawah. "Tar...!" Sinar merah melayang dengan cepat sekali ke arah cambuk pendek yang terpental melayang ke atas. Gadis itu tertawa pahit sambil menengok ke arah kanan. "Suci, bunga merah tak boleh sembarang dipetik!" kata dara yang baru datang dan yang menunggang seekor kuda bulu putih. Kalau orang gagah kagum dan tertarik melihat gadis baju kuning yang cantik manis itu, kini ia akan terpesona dan boleh jadi lupa bernapas kalau ia melihat gadis yang baru datang ini. Ia jauh melebihi gadis baju kuning dalam segala hal, bahkan kiranya akan jauh melampaui mimpi dan lamunan tiap orang pemuda. Cantik jelita sukar menemukan cacat-celanya. Rambutnya hitam sekali, halus panjang, biarpun digelung secara istimewa di atas kepala dengan hiasan-hiasan dari emas permata, masih saja rambut itu kelebihan, memanjang dan bermain-main di atas punggung dan kedua pundaknya. Sepasang alis yang juga hitam kecil memanjang menghias dua buah mata yang indah, dilindungi oleh butu-bulu mata yang melengkung dan panjang. Mata itu memang tidak begitu bercahaya dan indah seperti mata gadis baju kuning, akan tetapi begitu bening dan jelas terisi api kehidupan yang tak pernah padam, membayangkan semangat yang kuat, ketabahan luar biasa, dan kegembiraan hidup Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 135 yang sehat. Yang paling mengesankan adalah bibirnya yang berbentuk manis sekali, akan tetapi kadang-kadang kulit di bawah bibir, pada lekukan dagu nampak mengeras, tanda bahwa dara ini memiliki hati yang kadang-kadang dapat keras membaja, sungguhpun pada bibirnya dapat diketahui bahwa hati ini pun dapat melembut mesra, hati seorang wanita sejati. Gadis ini usianya baru tujuh belas tahun paling banyak, namun sinar matanya sudah menunjukkan kematangan jiwa, juga bentuk tubuhnya amat bagus, berisi dan sedang. Tubuh ini tertutup oleh pakaian serba merah, berpotongan indah dan terbuat dari sutera mahal. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah. Tangan kanannya memegang sebatang cambuk yang berwarna merah pula. Inilah sinar yang tadi menangkis cambuk gadis baju kuning mencegah cambuk gadis kuning itu memetik bunga merah. "Sumoi, mengapa kau mencegah aku memetik bunga?" tanya gadis baju kuning, keningnya berkerut tanda tak senang hati, akan tetapi sikapnya tetap menghormat seakan-akan ia takut terhadap gadis baju merah yang menjadi adik seperguruannya itu. "Suci, apakah kau tidak melihat warna bunga itu?" Nona baju kuning memandang ke arah rumpun bunga, lalu tertawa gembira dan berkata, "Aha, Ang I Niocu (Nona Baju Merah), akhirnya bunga merahmu pun pasti akan dipetik orang!" Ia tertawa lagi dengan sikap genit. Dara baju merah itu pun tertawa dan menjawab, "Giok-gan Niocu, (Nona Bermata Kemala), tidak boleh sembarangan saja orang memetik bunga merah!" Keduanya tertawa gembira. Nona baju juning itu melemparkan bunga putih ke arah sumoinya yang tidak mengelak atau menyambut, dan bukan main... bunga itu dengan tepat sekali menancap di atas kepala sebelah kiri, menjadi penghias rambut seolah-olah ditancapnya tangan-tangan. Dari sini saja dapat dibuktikan betapa hebat dan tinggi kepandaian menyambit dari Nona Baju Kuning itu. "Terima, kasih, Suci. Terima kasih untuk bunga putih ini. Putih artinya suci." "Aku lebih suka yang kuning ini," dan Nona Baju Kuning itu menancapkan bunga kuning di atas rambutnya, menambah kecantikannya. Siapakah dua orang gadis yang seperti bidadari ini" Dara-dara jelita yang selain cantik remaja menarik hati, juga memiliki kepandaian istimewa" Dara baju merah itu bukan lain adalah Kiang Im Giok yang semenjak ikut Pek Hoa Pouwsat memang suka sekali mengenakan pakaian merah dan oleh orang-orang di kota Sian-koan mendapat sebutan Ang I Niocu. Kisah Si Naga Langit 3 Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala Pendekar Bloon 29