Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 10

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


ribuan ekor semut. Hemm, kalau pemuda itu masih dapat bertahan, sungguh amat
luar biasa..." "Dua tulang pundaknya juga dikait dengan baja kaitan, Yok-mo." In Hong
menceritakan lagi dengan nada suara bangga. Heran dia mengapa dia berbangga hati
karena pemuda itu, demikian tahan derita!
"Hemm, untung engkau datang kepadaku, nona. Bukan karena aku pandai
mengobatinya, melainkan karena kebetulan sekali aku ada menyimpan obat yang
mujarab untuk melawan racun kelabang hitam. Andaikata aku tidak manyimpan obat
itu, biar aku sendiri tidak mungkin dapat menolongnya, karena mencari obat itu
harus di tempat asal kelabang hitam itu sendiri, yaitu tahi kelabang hitam yang
menjadi bahan bakunya. Dan binatang seperti itu jarang sekali muncul di
permukaan bumi, selalu bersembunyi di dalam tanah."
Kakek tua renta itu lalu masuk ke dalam gubuknya dan keluar lagi membawa
beberapa butir obat pulung, semacam pel kasar yang berwarna hitam. "Ini ada
sembilan butir pel, sehari beri dia tiga kali, setiap kali sebutir dan dalam
waktu tiga hari, setelah pel ini habis, aku tanggung dia sembuh kembali.
In Hong girang bukan main dan cepat menerima bungkusan pel itu, menjura dan
menghaturkan terima kasih. "Harap engkau sudi memaafkan kekasaranku tadi,
locianpwe, dan saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu!"
"Ha-ha-ha-ha, palsunya! Sebelum diberi marah-marah dan mengancam, sesudah
diberi merendah dan berterima kasih. Itulah manusia!" Kok Beng Lama tertawa
bergelak dan In Hong memandang dengan muka berobah merah. Betapapun kasarnya
pendeta Lama itu, kata-katanya amat jitu menancap di ulu hatinya dan dia merasa
malu kalau mengingat akan sikapnya sendiri tadi. Dia tidak segera pergi karena
dia ingin melihat bagaimana Yok-mo akan menyembuhkan anak itu, yang dia yakin
pasti terluka oleh serangan Siang-tok-swa.
"Hayo kauobati muridku, Yok-mo. Jangan sampai aku harus mengancammu seperti
yang dilakukan bocah liar itu." Kok Beng Lama berteriak.
Tanpa menjawab akan tetapi dengan mulut bersungut-sungut karena baru sekali
ini selama hidupnya dia dipaksa orang untuk mengobati, Yok-mo menghampiri tubuh
anak itu dan berlutut, membuka bajunya, mencium dekat dad Lie Seng dan memeriksa
denyut nadinya yang lemah. Lie Seng yang sudah siuman itu masih rebah dengan
lemah, hanya matanya yang lebar itu memandang dan melirik ke mana-mana.
"Hemm, tepat seperti dugaanku. Dia terkena racun yang jahat, racun kembang
yang berbau harum. Racun harum dipergunakan untuk melukai seorang bocah sekecil
ini! Betapa kejamnya manusia di dunia ini."
"Memang kejam sekali iblis betina itu!" Kok Beng Lama berteriak. "Tidak
mampu melawan aku, dia melukai muridku. Awas dia, kalau lain kali bertemu
dengannya, akan kupukul pecah kepalanya!"
Makin tidak senang hati Yok-mo mendengar ancaman itu, dia tidak
memperdulikan dan memeriksa lagi tubuh Lie Seng lalu berkata, "Tentu saja aku
sanggup menyembuhkannya, akan tetapi dia harus dirawat di sini sedikitnya dua
pekan. Racun yang menjalar di tubuhnya ini halus dan lembut akan tetapi cukup
mematikan dan untuk membersihkannya sama sekali membutuhkan waktu lama..."
"Pendeta Lama yang kasar, aku mampu mengobati dia dan kutanggung dalam waktu
tiga hari saja dia akan sembuh!" tiba-tiba In Hong berkata. Tadinya dia
menyangka bahwa anak itu tentu terluka oleh Siang-tok-swa, ketika dia mandengar
teriakan pendeta Lama itu bahwa yang melukai anak itu adalah seorang iblis
betina, dia menjadi yakin bahwa tentu gurunya yang melakukan itu. Agaknya
gurunya bentrok dengan pendeta ini dan dia tidak akan merasa heran kalau gurunya
sampai kewalahan menghadapi pendeta Lama yang memang amat hebat ilmu
kepandaiannya ini. Di dunia ini, yang pandai mempergunakan Siang-tok-swa
hanyalah dia dan gurunya, maka siapa lagi kalau bukan Giok-hong-cu Yo Bi Kiok
yang melukai seorang anak itu" Dia sendiri merasa penasaran mengapa gurunya mau
melukai seorang anak sekecil itu dengan Siang-tok-swa. Perbuatan ini pasti tidak
akan dia lakukan, karena hal itu dianggapnya terlalu keji dan curang. Siang-tokswa adalah pasir beracun yang hanya patut dipergunakan kalau menghadapi
pengeroyokan banyak orang atau bertemu dengan lawan tangguh. Akan tetapi sama
sekall tidak pantas kalau dipergunakan untuk melukai seorang bocah yang masih
begitu kecil dan tentu belum tahu apa-apa! Rasa penasaran inilah yang membuat
hatinya tergerak untuk mengobati anak itu dengan obat penawar Siang-tok-swa yang
selalu dibawanya bersama pasir beracun itu sendiri. Akan tetapi dia memang
seorang dara yang cerdik, tentu saja dia tidak mau mengobati begitu saja!
Kok Beng Lama dan Yok-mo keduanya terkejut mendengar ini. Kok Beng Lama
terkejut bercampur girang, sedangkan Yok-mo terkejut dan marah.
"Bocah sombong engkau! Aku saja baru akan dapat menyembuhkannya dalam waktu
dua pekan atau... baiklah, kuperpendek menjadi sepuluh hari!"
"Dan aku tetap dapat menyembuhkannya dalam waktu tiga hari."
"Akan kukeluarkan semua ilmuku... hemm, aku sanggup menyembuhkannya dalam
waktu sepekan! Aku akan bohong kalau mengatakan kurang dari sepekan!" Yok-mo
kembali berseru, penasaran.
"Dan aku ulangi lagi, paling lama tiga hari obatku pasti akan
menyembuhkannya, paling lama tiga hari, mungkin kurang dari tiga hari."
Kok Beng Lama menghampiri In Hong. "Nona, benarkah itu" Kau sanggup
mengobatinya secepat itu?"
In Hong mengangguk. "Kalau kau pandai mengobati muridku, kenapa kau sendiri datang minta bantuan
kepada Yok-mo?" "Luka yang diderita oleh... sahabatku dan luka yang diderita muridmu tidak
sama, Lama. Dan aku kebetulan mempunyai obat yang paling mujarab untuk mengobati
luka muridmu yang terkena racun itu. Racun itu tentu disebabkan oleh Siong-tokswa, bukan?" Yok-mo terkejut. Tidak memeriksa sudah mengerti, sungguh hebat dan tepat
sekali. "Benar, luka itu oleh senjata rahasia pasir yang mengandung racun harum,"
katanya. "Kalau begitu, nona yang baik, kau obatilah muridku ini dan aku akan
berterima kasih sekali kepadamu!" kata Kok Beng Lama.
"Ucapan terima kasih hanya merupakan kata-kata kosong belaka, apa gunanya
bagiku, Lama" Sudah sepantasnya kalau orang memberi juga meminta, karena itu,
aku mau memberi obat kepada muridmu dengan jaminan bahwa paling lama tiga hari
dia pasti sembuh, sebaliknya akupun ingin meminta sesuatu darimu."
Kok Bang Lama tertawa. "Ha-ha-ha, baru sekali ini aku bertemu dengan bocah
secerdik engkau. Baiklah, kau mau minta apa?"
"Karena engkau seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, maka aku minta
diberi ilmu yang dapat mengalahkan semua ilmuku, termasuk ilmu pedangku."
Sepasang mata yang lebar dan besar itu terbelalak. "Wahhh... ilmu silatku
banyak sekali macamnya, aku sendiri sampai tidak hafal lagi. Yang mana yang
kauminta?" "Yang mana saja, asal bisa menangkan semua ilmuku. Kau tadi menggunakan
kedua lengan kosong untuk menghadapi pedangku, nah, aku mau kauajarkan ilmu sinkang itu kepadaku." "Ha-ha-ha, menggunakan tangan kosong menghadapi senjata hanyalah mampu
dilakukan orang yang memiliki Thian-te Sin-ciang. Kau mau minta sin-kang
istimewa yang khas hanya dimiliki olehku ini?"
"Tidak perduli apa namanya dan bagaimana macamnya, pokoknya aku ingin
menukar obatku dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang itu. Kalau kau mau, boleh. Kalau
tidak, aku mau pergi sekarang. Sahabatku sudah menunggu dan nyawanya tinggal dua
hari lagi." Sambil berkata demikian, dengan lagak "jual malah" In Hong
membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
"Eeiiitttt... nanti dulu...!" Sekali berkelebat Kok Beng Lama sudah mencelat
dan melampaui tubuh In Hong, tahu-tahu sudah berdiri menghadang, membuat dara
itu menjadi makin kagum. Pantas gurunya tidak mampu menandingi hwesio Lama ini,
memang amat luar biasa kepandaiannya.
"Kau mau atau tidak?" In Hong berkata.
"Kaukira mudah saja mempelajari Thian-te Sin-ciang" Untuk memperoleh ilmu
ini kau harus berlatih sedikitnya lima tahun!"
"Tidak perduli, pendeknya aku ingin memiliki ilmu itu, sekarang juga. Dan
jangan kau mencoba untuk menipuku, Lama, karena aku cukup tahu bahwa menurunkan
sin-kang kepada seseorang, sang guru dapat pula menyalurkan hawa murni kepada si
murid dan dengan cara demikian akan dapatlah ilmu itu dikuasai secara langsung."
"Wah, kau minta yang bukan-bukan!"
"Kenapa yang bukan-bukan" Dengan memberikan itu kepadaku, engkau tidak akan
kehilangan apa-apa dan tenaga yang hilang oleh penyaluran itupun akan mudah
terisi kembali." "Ha-ha, agaknya engkau cukup tahu akan segala hal ihwal pengoperan tenaga
sin-kang, nona. Akan tetapi engkau tentu tahu pula bahwa ilmu simpanan seseorang
hanya bisa diberikan kepada seorang muridnya."
"Aku tidak akan menjadi muridmu dan engkau bukan guruku. Tidak ada hubungan
guru dan murid antara kita, bahkan saling mengenal namapun tidak. Kita hanya
saling menukar sesuatu yang berharga. Bagaimana, mau tidak kau menukar Thian-te
Sin-ciang dengan obat untuk muridmu?"
Andaikata Kok Beng Lama masih waras pikirannya, tentu dia akan memikirkan
hal ini lebih mendalam den tidak akan memberikan ilmunya begitu saja. Akan
tetapi dia dalam keadaan bingung, maka dia lalu menghela nafas. "Baiklah,
baiklah... nah, kauobati muridku dan aku akan memberi Thian-te Sin-ciang
kepadamu." "Tidak, engkau serahkan dulu ilmu itu, baru aku obati muridmu."
"Hemm, kenapa begitu?"
"Pendeta Lama, di antara engkau den aku, sudah jelas bahwa kepandaianmu jauh
lebih tinggi. Kalau aku obati dulu muridmu dan engkau ingkar janji, aku tidak
akan bisa apa-apa terhadapmu. Sebaliknya, kalau kauberikan dulu ilmu itu,
kemudian aku tentu tidak mungkin berani ingkar janji terhadapmu karena engkau
akan dapat dengan mudah mengalahkan aku. Nah, ini sudah adil, bukan" Dan lagi,
setelah kau memberikan ilmu Thian-te Sin-ciang kepadaku, aku akan menyerahkan
obat kepadumu lalu pergi karena aku sudah meninggalkan sahabatku yang terluka
itu selama satu hari satu malam. Nyawanya tinggal dua hari lagi umurnya, maka
aku harus cepat pergi."
"Wah-wah, kau memang cerdik dan banyak akal bulusmu. Mana bisa kau mau
menipu aku" Bagaimana kalau obat yang kauberikan itu palsu dan ternyata tidak
bisa menolong muridku dalam tiga hari?"
"Habis, hadirnya Yok-mo ini untuk apa" Dialah saksi yang paling berharga.
Dia akan tahu apakah obatku itu betul mujarab atau tidak setelah kuobatkan
kepada muridmu." Yok-mo yang sejak tadi mendengarkan perbantahan itu, ingin cepat-cepat
terbebas dari dua orang muda dan tua yang sama-sama tiak disenanginya itu. Dia
mengangguk. "Benar, kalau obat itu palsu dan tidak mujarab, aku tentu akan
segera tahu. Akupun ingin melihat apakah dia tidak membohongi orang-orang tua."
"Kalau aku bohong, apa sukarnya bagi Lama ini untuk membunuhku?" In Hong
membantah. Kok Beng Lama merasa kalah bicara. Dia mengangguk-angguk lalu duduk bersila.
"Kau kesinilah dan duduk bersila di depanku," dia berkata dengan nada
memerintah. In Hong girang sekali dan cepat dia duduk bersila di depan kakek itu. Si
kakek menarik napas panjang. Duduk berhadapan demikian dekatnya dengan dara muda
yang cantik jelita ini membuat dia teringat akan puterinya dan tiba-tiba dia
menangis! Tentu saja In Hong menjadi terkejut dan mengangkat muka. Melihat kakek
itu menangis terisak-isak dan air matanya bercucuran, In Hong bergidik dan
merasa serem. Tentu ada suatu hal yang amat hebat menimpa diri kakek sakti ini
yang membuat terguncang batinnya dan membuat kakek setua itu dapat menangis
mengguguk seperti ini. Karena gemblengan paksaan, In Hong menjadi scorang dara
yang berhati dingin, akan tetapi pada dasarnya dia memiliki watak yang lincah,
halus dan perasa seperti mendiang ibunya. Maka kini menghadapi keadaan kakek tua
renta itu, tak dapat dicegah lagi air matanyapun bercucuran!
Hal ini amat menguntungkan In Hong. Kok Beng Lama yang sudah agak sinting
itu, merasa seolah-olah berhadapan dengan puterinya. Dia merangkul dan mengeluh.
"Anakku... ah, anakku..." Dan In Hong balas merangkul. Sejenak mereka saling
berpelukan sambil menangis.
Gila...! Gendeng orang-orang kang-ouw ini..." Yok-mo yang menonton
pertunjukan aneh itu menggeleng-geleng kepala berkali-kali.
"Harap... harap kauberikan ilmu itu kepadaku..." In Hong berbisik, hatinya
masih terharu sekali. Hal ini adalah kakeg itu tadi menyebutnya "anakku" yang
tentu saja mengingatkan dia bahwa dia telah tidak berayah ibu lagi, bahkan dia
belum pernah melihat atau tidak ingat lagi bagaimana wajah ayahnya dan ibunya.
Maka, mendengar kakek ini menganggap dia sebagai anaknya, tentu saja
mengingatkan dia kepada ayahnya menimbulkan keharuan.
"Terimalah, anakku... terimalah... kaubuka seluruh jalan darahmu, buka
pusarmu dan jangan melawan aku... aku akan memasukkan Thian-te Sin-kang kepadamu
yang menjadi dasar Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang..."
In Hong bersila dan "membuka" semua jalan darah dan pusarnya. Tiba-tiba
kedua telapak tangan yang amat lebar dari pendeta itu menyentuh ubun-ubun
kepalanya dan pusarnya. Terasa olehnya hawa yang hangat dan amat kuat mamasuki
tubuhnya, berputaran di seluruh tubuh untuk kemudian berkumpul di pusar,
bercampur dengan hawa sakti miliknya sendiri. Tubuhnya tergetar, kemudian
menggigil dan berkelojotan. Hampir dia tidak kuat menahan, kemudian terdengar
bisikan suara kakek itu, "Perlahan-lahan kerahkan tenaga dari pusar, kuasai
tenaga yang meliar itu sampai berputaran di pusar, pusatkan kekuatan dan seturuh
perhatianmu..." Dengan membuta In Hong mentaati perintah ini, dan dia terus mendengarkan
perintah kakek itu yang merupakan petunjuk dan teori pengendalian tenaga Thiante Sin-kang. Hampir tiga jam mereka duduk bersila berhadapan dan akhirnya In
Hong dapat menguasai tenaga sakti mujijat yang liar itu. Keadaan itu hampir sama
dengan menaklukkan seekor kuda liar. Mula-mula kuda itu meronta dan melawan,
meloncat dan hendak membedal, akan tetapi setelah akhirnya dapat dijinakkan,
menjadi penurut dan bergerak ke mana saja menurut kemauan yang menguasainya.
Setelah membuka matanya dan wajahnya, masih pucat sekali, In Hong dengan
penuh perhatian mendengarkan petunjuk-petunjuk tentang teori Thian-te Sin-ciang.
Cukup ruwet teori ilmu silat ini, akan tetapi sebagai seorang gadis yang cerdas
dapat menerima dan menghafal teori itu dalam waktu dua jam. Tentu saja teori itu
membutuhkan latihan, akan tetapi dengan dasar tenaga sin-kang Thian-te Sin-kang
yang telah dikuasainya, dia akan dapat melatih ilmu itu dengan cepat.
Kok Beng Lama bangkit berdiri dengan tubuh agak lemas dan mukanya pucat. Dia
telah menggunakan banyak tenaga, bahkan kehilangan banyak sin-kang, namun
hatinya puas karena anak perempuan yang seperti anaknya ini dapat menerima ilmu
demikian cepatnya. "Sudah cukup... kau telah menguasai Thian-te Sin-ciang asal kau rajin
berlatih..." Hati In Hong masih diliputi keharuan. Dia tadi merasa betapa kakek itu
menurunkan ilmu kepandaiannya penuh kasih sayang seperti kepada anaknya sendiri.
Dan, memang demikianlah keadaannya. Andaikata tidak ada kasih sayang ini,
kiranya tidak mudah untuk menerima penyaluran tenaga mujijat seperti Thian-te
Sin-kang tadi. Maka kini In Hong menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu
sambil berkata, "Locianpwe, teecu menghaturkan banyak terima kasih kepada
locianpwe." "Hushh, ingat. Kita bukan guru dan murid, bukan apa-apa, bukan sanak bukan
kadang bukan tidak saling mengenal. Hayo cepat kauobati muridku."
In Hong tidak berani, bersikap kasar lagi. Dia mengangguk, lalu mengeluarkan
obat penawar Siang-tok-swa, menghampirl Lie Seng dan memeriksa. Diam-diam dia
menyesal sekali atas perbuatan gurunya yang terlalu kejam. Anak ini terkena
Siang-tok-swa di dada, muka dan perutnya! Cepat dia menaruhkan obat bubuk yang
dicampur air dan diborehkan ke tempat-tempat yang terluka dan menghitam itu,
kemudian dia memasak sebungkus obat lalu obat itu diminumkannya kepada Lie Seng.
Diam-dam dara inipun kagum bukan main karena sejak tadi dia tidak mendengar anak
itu mengeluh sedikitpun! Benar-benar seorang bocah yang luar biasa dan sudah
patut menjadi murid seorang sakti seperti pendeta Lama itu.
Sejam kemudian, hari sudah mulai sore dan Yok-mo memeriksa keadaan Lie Sang.
Dia mengangguk-angguk. "Lama, kau percayalah. Obat boreh dan obat minum itu
benar-benar manjur sekali dan agaknya memang khusus dibuat untuk mengobati luka
karena Siang-tok-swa. Muridmu sudah hampir sembuh dan dalam waktu dua hari saja
kurasa dia sudah akan terbebas dari pengaruh racun."
Kok Bang Lama tertawa girang sekali. "Ha-ha-ha, tidak percuma kalau begitu
aku menyerahkan ilmu kepadamu, nona. Ha-ha-ha!"
In Hong lalu menyerahkan obat untuk Lie Seng kepada Yok-mo, kemudian dia
berpamit setelah menjura kepada Yok-mo dengan ucapan terima kasih, kemudian
memberi hormat kepada Kok Beng Lama sambil berkata, "Biarpun teecu bukan murid
locianpwe, namun teceu berjanji bahwa Ilmu Thian-te Sin-ciang tidak akan teecu
pergunakan secara sembarangan dan akan merupakan ilmu simpanan teecu. Sekali
lagi teecu menghaturkan terima kasih."
"Ha-ha-ha, kalau kaupergunakan dengan sembarangan, apa sukarnya bagiku untuk


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencarimu dan mencabutnya kembali berikut nyawamu" Ha-ha-ha!"
In Hong menjura lalu membalikkan tubuhnya dan berkelebat lenyap dari tempat
itu. Yok-mo bengong dan menggeleng-geleng kepala. "Nona itu dahsyat bukan main,
sinar dingin di wajahnya menunjukkan dendam kebencian yang mendalam. Kini
ditambah ilmu pemberianmu, Lama, sama dengan memberi sayap kepada seekor
harimau." Akan tetapi Kok Beng Lama tidak memperhatikan ucapan itu. Hatinya terlampau
girang melihat Lie Seng tertolong karena dia telah menganggap bocah itu sebagai
muridnya. Memang Kok Beng Lama telah berobah sekali dibandingkan dengan wataknya
sebelum dia mengalami pukulan batin yang hebat. Dulu tidak mudah bagi siapapun
untuk menjadi murid kakek sakti ini. Akan tetapi kini, begitu bertemu dengan Lie
Seng, tanpa tanya-tanya dulu apakah bocah itu mau atau tidak menjadi muridnya,
tanpa menyelidiki lebih dulu siapa bocah itu dan anak siapa, dia sudah begitu
saja menganggap bocah itu sebagai muridnya! Dan tanpa menanyakan nama In Hong,
sama sekali tidak mengenalnya, dia sudah begitu saja menyerahkan ilmu yang
merupakan satu di antara ilmu-ilmunya yang paling rahasia dan ampuh!
Ah, untung engkau keburu datang, lihiap!" pemuda murid Bu-tong-pai itu
berseru dengan suara lega. "Aku khawatir dia sudah dalam sekarat..."
In Hong terkejut mendengar sambutan murid Bu-tong-pai itu dan cepat dia
mengikuti masuk dalam kuil tua. Dan benar saja, orang yang tersiksa itu rebah
dengan mata tertutup, muka kehitaman dan napas tinggal satu-satu. Dua orang
murid Bu-tong-pai yang menjaga di situ juga kelihatan girang melihat datangnya
penolong mereka. Cepat mereka itu membantu In Hong mencari dan memasak air,
kemudian dengan paksa mereka membantu In Hong mencekokkan obat yang dibawa oleh
In Hong itu ke dalam perut pemuda yang sekarat melalui mulutnya yang dibuka
dengan paksa. Mereka berempat menunggu dengan hati tegang, ingin menyaksikan bagaimana
pengaruh obat ymg didapatkan dari Yok-mo yang terkenal itu. Satu jam mereka
menanti penuh ketegangan, karena mereka seolah-olah melihat pemuda itu bergulat
dengan elmaut. Detik jantung pemuda itu amat lemah dan napasnya Senin Kemis,
kadang-kadang menggeliat-geliat seperti orang dalam sekarat.
Tiba-tiba terdengar suare berkeruyuk dari perut Bun Houw. Empat orang muda
itu memperhatikan. Suara berkeruyuk itu sambung-menyambung dan perut pemuda itu
bergerak-gerak, terus bergerak dan kini naik ke dada. Tiba-tiba pemuda itu
muntah dan cepat sekali In Hong melompat dan membantu pemuda itu duduk sehingga
pemuda itu dapat muntah ke pinggir dalam keadaan setengah rebah miring. Lengan
In Hong terkena muntahan yang ternyata adalah darah hitam yang berbau busuk!
Tiga orang murid Bu-tong-pai itu benar-benar merasa kagum sekali melihat
betapa tekun den penuh perhatian In Hong merawat Bun Houw. Padahal wanita sakti
penolong mereka itu sama sekali tidak mengenal pemuda itu, seperti juga tidak
mengenal mereka. Juga mereka melihat betapa sinar mata yang biasanya dingin itu
menjadi berseri ketika melihat bahwa pernapasan Bun Houw kini menjadi lebih
tenang dan detik jantungnya lebih kuat, tanda bahwa obat itu memang manjur
sekali. "Dia tertolong, dan kalian bertiga boleh pergi sekarang," kata In Hong
setelah melihat Bun Houw tidur nyenyak dengan napas tenang dan muka pemuda itu
tidak begitu menghitam lagi.
Dua orang gadis Bu-tong-pai itu memandang dengan mata terharu dan pemuda
yang menjadi suheng mereka memandang kagum.
"Lihiap, kami akan kembali ke Bu-tong-pai untuk melapor kepada suhu kami.
Setelah menerima pertolongan lihiap dan berkumpul beberapa lama, mustahil kalau
kami tidak memperkenalkan diri. Saya bernama Sim Hoat, ini adalah sumoi Lim Soan
Li, dan dia itu adalah sumoi Coa Gin Hwa. Kami masih tinggal di Bu-tong-san
karena belum tamat belajar dari suhu kami, ketua Bu-tong-pai Thian Cin Cu Tojin.
Sudilah kiranya lihiap memperkenalkan nama, karena tanpa ada pertolongan lihiap,
kami bertiga tentu sudah tidak hidup lagi. Kami berhutang budi dan tentu suhu
akan marah kalau kami tidak dapat memberi tahu kepada beliau siapa lihiap yang
telah menyelamatkan nyawa kami."
In Hong mengerutkan alisnya. Sudah berkali-kali dia mengalami bahwa jika
orang mengenalnya sebagai murid ketua Giok-hong-pang, orang akan menggolongkan
dia sebagai orang sesat atau golongan hitam. Dan merasa malu untuk digolongkan
dengan kaum sesat yang selalu mengumbar nafsu tidak segan-segan melakukan
kejahatan. Tidak, dia bukan orang macam itu!
"Terima kasih atas kebaikan sam-wi. Akan tetapi aku tidak punya nama dan
peristiwa kecil itu tidak perlu mengikat kita. Sebaiknya kita melupakan saja hal
yang telah lalu dan aku tidak pernah menolong sam-wi. Baik ikatan budi maupun
ikatan dendam hanya merepotkan hidup saja. Pergilah dan di antara kita tidak ada
hubungan apa-apa lagi."
Tiga orang murid Bu-tong-pai itu saling pandang dan menarik napas panjang.
Banyak terdapat orang sakti yang berwatak aneh di dunia ini, akan tetapi
penolong mereka ini masih begini muda, lebih muda dari mereka, aken tetapi
berwatak begini dingin dan aneh, seolah-olah tidak suka berhubuhgan dengan
manusia lain, akan tetapi yang jelas sanggup mengorbankan apa saja untuk
menolong orang lain yang sama sekali belum dikenalnya. Seorang dara yang luar
biasa! Apalagi bagi Sim Hoat pemuda Bu-tong-pai ini, dia sekaligus sudah jatuh
cinta kepada dara luar biasa yang selain sakti juga amat cantik jelita ini!
Terpaksa mereka lalu berpamit, memberi hormat meninggalkan kuil dalam hujan
lebat itu untuk pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan kepada suhu mereka tentang
kematian suheng mereka di Lembah Bunga Merah dan tentang kegagahan mereka
membalas dendam. Setelah mereka itu pergi, In Hong merawat Bun Houw seorang diri dengan tekun
dan penuh perhatian. Setiap kali dia mencekokkan pel hitam yang dicampur air
matang ke dalam perut pemuda itu, Bun Houw muntahkan darah hitam. Sampai dua
hari pemuda itu terus muntah setiap habis makan pel, akan tetapi setelah
dicekoki pel yang ketujuh, dia tidak muntah lagi dan mukanya sudah menjadi
bersih dari warna hitam! Pada hari ketiga, mukanya mulai agak kemerahan dan kini
napasnya sudah teratur sehat dan detik jantungnya juga sudah menjadi kuat. Tentu
saja In Hong menjadi girang sekali. Tiga hari tiga malam lamanya dia tidak tidur
maka kini saking lelahnya, dia tertidur menyandar tembok tidak jauh dari Bun
Houw yang masih rebah tidak sadar di atas lantai.
Sehabis memberi minum pel yang kedelapan di siang hari, In Hong tertidur
sambil duduk bersandar tembok. Saking lelahnya, dia telah tidur setengah hari
dan siang telah terganti senja hampir golap, namun dia masih juga belum bangun.
Di dalam tidurnya In Hong bermimpi. Dia diajak berjalan-jalan di dalam sebuah
taman bunga yang indah, penuh bunga-bunga mekar semerbak harum, tangannya
digandeng oleh Bun Houw den dia mandah saja. Bahkan dia merasakan suatu
kebahagiaan yang belum pernah dialami sebelumnya. Wajah Bun Houw berseri-seri,
demikian tampan, sikapnya demikian gagah dan melindungi. Dia sudah begitu hafal
akan wajah Bun Houw yang setiap saat dipandangnya itu, hafal akan garis dan
lekak-lekuk wajah itu, dan kini wajah pemuda itu demikian dekat dengan wajahnya,
mata yang bersinar-sinar tajam itu memandang mesra, seolah-olah membelainya
dengan pandang mata, dan senyum yang menawan itu khusus ditujukan kepadanya. Dia
menjadi malu, perasaan malu yang luar biasa, perasaan malu dan jengah yang amat
mengguncang hatinya, mengusap kalbu dan mendatangkan perasaan bahagia yang sukar
dituturkan dengan kata-kata. Akan tetapi tiba-tiba pemude itu mengeluh, In Hong
terkejut dan... dia tersadar, membuka mata, memandang ke kenan, ke arah pemuda
yang tadi masih rebah tak sadar, karena sebelum tidur seluruh perhatiannya
tercurah kepada Bun Houw, maka biarpun dia tidur nyenyak sekali, sedikit saja
pamuda itu mengeluh sudah cukup untuk menyadarkannya.
Kenapa kau tidak membunuhku" Bunuh saja aku, tidak ada gunanya kausiksa dan
kaubujuk. Kau... perempuan hina dina, perempuan keparat jahanam!" Pemuda itu
memaki-maki, pandang matanya penuh kebencian ditujukan ke arah In Hong. Di dalam
ruangan kuil itu sudah mulai gelap.
In Hong lalu meloncat bangun, menjenguk keluar jendela butut untuk mengirangira waktu. Cuaca sudah mulai gelap, sudah tiba waktunya pemuda itu menelan pel
hitam kesembilan, pal yang terakhir dan dia girang sekali karena pemuda itu kini
sembuh, buktinya sudah sadar dan sudah penuh semangat hidup kembali, sudah dapat
marah-marah dan memaki-maki! Dia tahu bahwa pemuda itu mengira dia seorang di
antara para musuh-musuh yang menyiksanya, maka makian itu tidak menyakitkan
hati, bahkan menggelikan.
Tanpa thenjewab, In Hong mengambil air matang dari panci butut di sudut
ruangan, menuangkan ke dalam mangkok, mengambil obat pel terakhir dan
menghampiri Bun Houw. Seperti biasa, tanpa bicara apa-apa dia meletakkan mangkok di atas lantai,
menggenggam pel di tangan kanan dan lengan kirinya menyangga punggung pemuda itu
dan diangkatnya pemuda itu untuk bangkit setengah duduk. Akan tetapi Bun Houw
yang dirangkul itu meronta. "Aku tidak sudi...! Lepaskan, kau pemmpuan hina...!"
Pemuda itu menggerakkan tangannya hendak memukul, akan tetapi dia mengeluh dan
kedua lengannya tergantung lemas karena luka di kedua pundaknya masih belum
sembuh benar sehingga sedikit gerakan saja membuat tulang-tulang pundaknya
seperti ditusuk-tusuk rasanya.
"Tenanglah, engkau harus menelan pel sebutir lagi dan engkau akan sembuh
sama sekali. Buka mulutmu, telah pel ini dan minum air ini."
Akan tetapi Bun Houw menggeleng kepalanya dan memandang wajah yang cantik
itu dengan sinar mata penuh kebencian dan kemarahan. "Perempumn hina, percuma
saja Thian mengaruniai padamu wajah secantik ini, temyata engkau hanya seorang
manusia berhati iblis, seperti ular beracun, hamba dari nafsu yang cabul!" Bun
Houw mengira bahwa gadis yang amat cantik ini tentu saudara seperguruan dari Aikwi dan Ai-kiauw. Wajah In Hong menjadi merah sekali. Kalau saja bukan pemuda ini yang
memakinya seperti itu, kalau saja dia tidak tidak tahu benar bahwa pemuda ini
salah sangka, kalau saja dia masih seperti In Hong beberapa hari yang lalu,
makian itu sudah cukup baginya untuk membunuh laki-laki ini! Huh, laki-laki
berani memaski dia secara demikian menghina! Akan tetapi kini dia tahu betul
bahwa pemuda ini bukanlah laki-laki perusak wanita, bahkan sebaliknya, dia
mempertahankan diri terhadap bujuk rayu wanita-wanita cabul dan hina. Makiannya
itu hanya menunjukkan betapa pemuda ini di saat terakhir pun masih tetap tidak
sudi melayani bujuk rayu itu, masih tetap mempertahankan kegagahannya dengan
menentang maut! Makin kagumlah hati In Hong.
"Orang she Bun, engkau salah kira..." Dia berkata lirih. "Engkau sudah bukan
tawanan lagi, dan aku hanya membantumu menelan pel kesembilan ini yang telah
menyelamatkan nyawamu dari ancaman racun kelabang hitam."
Bun Houw mendengarkan suara ini dan matanya perlahan-lahan terbuka lebar.
Dia memandang wajah itu, yang tidak begitu jelas karena cuaca yang mulai gelap,
dan dia memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di
sebuah ruangan kuil yang rusak.
"Kau... kau... siapakah..." Kau... bukan... seorang di antara mereka...?"
Ing Hong tersenyum dan giginya yang putih sempat berkilau di dalam gelap.
Dia menggeleng kepalanya. "Telanlah dulu pel ini, dan minum air di mangkok
ini..." katanya lirih.
Bun Houw masih bingung, akan tetapi kini mulailah kesadarannya kembali.
Siapapun adanya wanita ini, jelas bahwa wanita ini tidak berniat buruk terhadap
dirinya, bukan meracuni ataupun merayu. Bukan demikian sikap orang merayu,
biarpun lengan wanita ini merangkul punggungnya. Dan kalau wanita ini hendak
membunuhnya atau meracuninya, bukan demikian pula sikapnya. Dan lagi, setelah
mengalami siksaan seperti itu, apalagi yang ditakutinya. Dia lalu membuka
bibirnya menerima pel yang dimasukkan ke dalam mulutnya, pel yang berbau sedap
dan terasa pahit, kemudian menelan pel itu bersama air dari mangkok yang
ditempelkan di bibirnya oleh wanita itu. Kemudian wanita itu merebahkan dia
kembali ke atas lantai. Tanpa bicara In Hong mengembalikan mangkok kosong ke sudut ruangan, lalu
membuat api dari kayu-kayu kering di sudut ruangan itu, agak jauh dari Bun Houw.
Dengan alat seadanya yang disediakan oleh murid-murid Bu-tong-pai, dia memasak
bubur dan semua pekerjaan ini dilakukan dengan mulut tertutup, biarpun dia
maklum bahwa sepasang mata selalu mengikuti setiap gerakannya, memandanginya di
bawah penerangan api unggun yang kemerahan. Sepasang mata yang memandang penuh
keheranan, penuh pertanyaan dan keraguan. Sepasang mata itu terus memandanginya
seperti mata seorang anak kecil memandang orang yang baru pertama kali
dijumpainya, ketika In Hong menyuapkan bubur ke mulut pemuda itu. Akhirnya
sepasang mata itu tertutup kembali, tertidur nyenyak.
In Hong lalu makan pula, makan bubur dengan sayur asin sederhana sebagai
lauknya, akan tetapi karena hatinya lega dan perutnya lapar, rasanya belum
pernah dia makan selezat itu. Kemudian dia pun tidur tidak jauh dari Bun Houw,
tidur dengan nyenyak tanpa mimpi semalam suntuk.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali In Hong sudah bangun. Tubuhnya
terasa segar dan cepat dia keluar dari kuil, kini berlatih ilmu yang baru saja
dipelajarinya dari pendeta Lama raksasa itu. Dia bersila dan mengumpulkan hawa
murni, menggerak-gerakkan sin-kang yang sudah terkumpul di dalam pusar, melatih
perlahan-lahan sehingga "kuda liar" yang amat kuat itu tunduk kepada kemauannya
dan dia dapat mengalirkan Thian-te Sin-kang itu sampai ke ujung-ujung jari
tangannya, akan tetapi belum dapat sepenuhnya.
Setelah merasa cukup berlatih, dia lalu pergi ke sumber air di tengah hutan,
menanggalkan pakaiannya dan mandi sampai bersih. Segar bukan main rasanya,
lenyap seluruh sisa kelesuan dan kelelahan tubuhnya. Sambil berdendang In Hong
mencuci pula rambutnya yang dianggapnya tentu kotor. Tiba-tiba dia berhenti di
tengah-tengah dendangnya dan mukanya teran panas. Dia menengok ke kanan kiri,
menarik napas lege karena tidak ada orang lain yang melihat dan mendengarnya,
cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya membersihkan seluruh tubuh lalu memakai
kembali pakaiannya, duduk memeras air dari rambutnya yang hitam panjang,
mengurai rambut itu agar cepat kering sambil melamun.
Baru sadar dia akan keadaan dirinya sendiri. Dia berdendang" Belum pernah
dia melihat dirinya sendiri seperti ini! Sejak kecil dia tidak pernah bernyanyi,
sungguhpun dia tahu bahwa dia pandai menirukan semua nyanyian yang didengarnya
dinyanyikan oleh para anggauta Giok-hong-pang dan bahwa suaranya cukup merdu.
Tidak pernah selama hidupnya dia merasa begini gembira, begini bebas, begini
lapang dadanya. Belum pernah selama hidupnya dia melihat pagi seindah itu,
secerah itu sinar keemasan matahari pagi, semerdu itu suara kicau burung dan
gemericik air dari sumber air, secantik itu daun-daun hijau terhias embun dan
bunga-bunga beraneka warna, senyaman itu tarikan napasnya, membawa bau sedap
pohon-pohonan dan keharuman bunga-bunga. Mengapa begini" Mengapa setelah melihat
pemuda she Bun... dia terkejut dan cepat dia meloncat bangun ketika teringat
kepada pemuda itu. Tentu telah bangun pemuda itu! Seperti orang takut kehilangan
sesuatu yang amat berharga, In Hong meloncat den berlari cepat ke arah kuil,
memegangi rambutnya yang masih terurai lepas dan terbang melambal-lambai di
belakang tubuhnya ketika dia berlari cepat.
Dengan berindap-indap dia memasuki kuil, seolah-olah khawatir kalau
mengejutkan pemuda itu dan dia menarik napas lega ketika melihat betapa Bun Houw
masih rebah terlentang di atas lantai. Dia lalu duduk dengan perlahan,
menyanggul rambutnya yang menjadi agak kering karena dibawa lari tadi, sambil
menatap wajah pemuda itu. Betapa hafal dia sudah akan wajah yang tampan dan
gagah itu, wajah agak kurus dan pucat karena banyak menderita dan hanya makan
bubur sedikit setiap hari selama lima hari ini. Akan tetapi warna gelap sudah
lenyap sama sekali dan kini wajah itu kelihatan makin tampan, ada warna merah
sedikit pada pipi den bibir itu, tanda bahwa dia sudah sehat benar, hanya
tinggal memulihkan tenaga saja. Hati In Hong dilanda rasa iba melihat pakaian
yang kotor itu, rambut yang kusut dan pundak yang masih dibalut. Ada bekas-bekas
darah pada pakaiannya dan keadaan pemuda itu sungguh mengharukan. Pakaian itu
perlu dicuci, pikir In Hong yang sudah membayangkan betapa dia akan dengan
senang hati mencucikan pakaian pemuda itu.
Tiba-tiba In Hong menghentikan lamunannya dan memandang penuh perhatian.
Jantungnya berdebar tegang. Pemuda itu menggeliat, tubuhnya yang kuat seperti
tubuh seekor harimau itu menggeliat dan menegang, akan tetapi ketika kedua
lengannya direnggangkan, dia menahan rintihan dan membuka mata karena kedua
pundaknya terasa nyeri. Begitu membuka mata, seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruk, Bun
Houw bangkit duduk, menggigit bibir ketika merasa pundaknya kembali nyeri. Dia
menoleh ke kanan kiri, lalu ke arah kaki tangan dan pundaknya dan kini dia
menatap wajah In Hong yang duduk dengan tenang-tenang saja itu dengan mata penuh
selidik. Seperti teringat sebuah mimpi, Bun Houw mengenal wajah ini yang pernah
dilihatnya secara remang-remang, lalu dia menoleh ke sudut di mana terdapat
panci dan mangkok, ke sudut lain di mana terdapat bekas api unggun dan dia
teringat. "Kau... eh, nona... apakah yang telah terjadi dengan diriku" Di mana aku
sekarang ini berada...?" Tanyanya, kesadarannya membuat dia bingung melihat
betapa dia yang tadinya ditawen dan disiksa oleh dua orang musuh besarnya itu
tahu-tahu bisa berada di sini terbebas dari belenggu dan tubuhnya terasa sehat
sama sekali, kecuali rasa nyeri pada kedua tulang pundaknya yang masih terbalut.
Dengan sikap dingin, bukan dingin sewajarnya seperti yang sudah menjadi
sikapnya sejak kecil menurut gemblengan gurunya, melainkan sekali ini dingin
buatan, seperti orang acuh tak acuh, seperti orang memandang rendah, In Hong


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjawab lirih, "Di dalam sebuah kuil rusak..." Lalu dia menunduk dan merapikan
bajunya, kemudian merapikan rambutnya yang tadi digelung, dan dipasangnya tusuk
konde burung hong kumala di rambutnya.
Bun Houw tentu saja melihat betapa cantik jelitanya dara yang duduk di
depannya itu, akan tetapi pada saat itu dia lebih memperhatikan keadaan luar
kuil dari jendela ruangan itu yang terbuka karena hatinya masih diliputi
keheranan besar. Dia melihat pohon-pohon lebat dan tahulah dia bahwa kuil tua
ini berada di tengah hutan.
"Hemmm... di dalam sebuah kuil tua di tengah hutan. Dan... bagaimana aku
bisa berada di sini" Bukankah tadinya aku berada dalam kamar tahanan di Lembah
Bunga Merah?" In Hong tidak menjawab, hanya memandang dan dua pasang mata saling bertemu,
sejenak bertaut dan akhirnya In Hong menundukkan mukanya. Melihat dara itu tidak
menjawab, timbul pula kecurigaan Bun Houw dan dia menduga-duga. Apakah dara ini
murid Hui-giakang Ciok Lee Kim" Akan tetapi tidak mungkin, karene jelas bahwa
dara ini memperlakukan dirinya dengan baik, memberi obat dan menyiapkan bubur!
"Ah, tentu ada yang menolongku keluar dari tempat itu, betapapun anehnya,
hal itu mengingat bahwa aku tersiksa dan dibelenggu, kedua tulang pundakku
dikait dengan besi kaitan..." Tiba-tiba dia teringat akan bayangan rahasia
mimiliki gerakan cepat luar biasa, yang telah menyelamatkan dan membebaskan tiga
orang tawanan Lembah Bunga Merah, yaitu tiga murid-murid Bu-tong-pai. "Nona,
apakah engkau yang telah membebaskan tiga orang anak murid Bu-tong-pai dari
Lembah Bunga Merah?" Dia memandang tajam penuh selidik.
In Hong mengangkat muka, ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata
penuh selidik itu, dia merasakan sesuatu yang aneh pada jantungya. Dia berdebar
malu, dan... bangga! Sungguh dia hampir tidak mengenal diriya sendiri,
perasaannya sendiri, mengapa sekarang menjadi begini aneh" Dia hanya mengangguk
dan menunduk lagi. Kalau begitu... agaknya engkau pula yang telah menolong aku, nona?"
pertanyaan ini diajukan oleh Bun Houw dengan pandang mata penuh keheranan,
hampir tidak percaya. Mana mungkin seorang gadis muda seperti ini, yang begini
cantik jelita, begini pendiam dan agaknya pemalu, dapat menolong dia yang sudah
terbelenggu dan dikait tulang punggungnya dari tangan lima orang sakti dan anak
buah Lembah Bunga Merah"
Akan tetapi kembali dara itu mengangguk!
Hening sejenak karena Bun Houw terlalu heran dan terkejut sehingga sampai
lama dia hanya bengong saja memandang wajah dara itu. Kalau yang menolongnya itu
gurunya, Kok Beng Lama misalnya, atau ayahnya dan ibunya sendiri, masih tidak
terlalu aneh. Akan tetapi dara ini! Dan bukan hanya menolongnyg keluar dari
tahanan yang berbahaya itu, malah sudah menyembuhkannya, padahal dia masih ingat
betul betapa dia tersiksa hebat oleh rasa nyeri dan tahu bahwa dia keracunan,
bahkan menurut Hui-giakang Ciok Lee Kim dia hanya dapat bertahan hidup tiga hari
saja! Buktinya sekarang dia sudah sembuh! Gadis ini pulakah yang
menyembuhkannya" Tiba-tiba dia teringat dan cepat Bun Houw bangkit berdiri
ketika dia melihat dara itu yang agaknya merasa tidak enak dipandanginya terus
seperti itu telah bangkit berdiri di dekat jendela, memandang keluar,
membelakanginya. "Kalau begitu... aku telah kautolong, nona. Kau telah menyelamatkan
nyawaku...! Betapa hebat dan besar budimu terhadap diriku, nona. Bagaimana aku
harus mengatakan terima kasihku?" Kata Bun Houw gagap karena hatinya terharu,
tahu betul dia betapa bahayanya menolong dia dari lembah maut itu, bahaya yang
hanya dapat ditempuh dengan taruhan nyawa.
"Mengapa bingung-bingung?" In Hong menjawab tanpa menoleh. "Sudah saja
jangan menyatakan terima kasih, aku tidak membutuhkan itu..."
Bun Houw menjadi makin bingung. Sikap gadis ini sungguh aneh. Melihat
budinya yang demikian besar, jelas bahwa dara ini adalah seorang yang berhati
milia, akan tetapi mengapa sikapnya demikian dingin" Jangan-jangan ada maksud
tertentu di balik pertolongannya itu! Akan tetapi tak mungkin...!
"Sudikah engkau menceritakan bagaimama engkau dapat membebaskan aku dari
tahanan itu, nona?" In Hong membalikkan tubuhnya. Karena dia berdiri miring, sinar matahari yang
menerobos masuk dari jendela tua itu menimpa separuh mukanya dan kelihatan
cantik bukan main. Rambut yang baru saja dicuci itu berkilauan, anak rambut
banyak yang bergumpal-gumpal kacau dan awut-awutan di sekitar dahi, pelipis dan
leher. Manisnya sukar dilukiskan!
"Apa yang dapat diceritakan" Aku melihat engkau ditawan dan disiksa, lalu
aku menggunakan kesempatan selagi lima orang sakti itu tidak menjagamu, aku
merobohkan semua penjaga, anak buah Lembah Bunga Merah, lalu membawamu ke sini."
Kata-kata yang keluar dari mulut dara itu begitu bersahaja, seolah-olah
menceritakan hal yang biasa saja, demikian penuh kerendahan hati sehingga Bun
Houw menjadi makin terheran-heran dan kagum.
"Akan tetapi... apakah tidak ada di antara mereka yang merintangimu?"
In Hong mengangguk. "Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw menghadangku, akan
tetapi aku dapat melewati mereka dengan selamat."
Bun Houw terbelalak. Kakek den nenek pertapa itu lihai bukan main, dan tentu
dara ini memanggulnya ketika melarikan dia, namun toh dapat membebaskan diri
dari mereka. Bukan main! Cepat dia menjura dengan penuh hormat yang dibalas oleh In Hong dengan kaku
dan sembarangan. "Ah, kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang
amat lihai! Sungguh beruntung sekali, karena tanpa pertolonganmu aku tentu tewas
di tangan mereka. Terimalah ucapan terima kasihku yang sedalam-dalamnya, nona."
Melihat pemuda itu kembali menjura dengan hormat, In Hong membalas dan
berkata. "Sudah kukatakan, aku tidak membutuhkan terima kasih."
"Dan aku telah keracunan, Toat-beng-kauw Bu Sit menusukkan jarum dengan
racun kelabang hitam di tengkukku, sakitnya bukan main, seperti ribuan ekor
semut menggigit dari dalam tubuhku, sampai aku tidak tahan... dan... aku tidak
berdaya, tulang pundakku dikait baja pengait dan Hui-giakang Ciok Lee Kim
mengatakan bahwa aku hanya dapat hidup tiga hari saja. Akan tetapi sekarang..."
Bun Houw melihat kaki tangan dan pundaknya, "tidak ada bekas-bekasnya lagi!
Agaknya engkau pula yang telah menyembuhkan aku dari ancaman racun kelabang
hitam itu, nona?" "Bukan aku, melainkan Yok-mo. Aku pergi ke puncak Gunung Cemara di mana
tinggal Yok-mo, ahli obat gila. Aku memaksa dia memberikan obat untukmu dan
ternyata kau sembuh."
"Dan nona meninggalkan aku di sini ketika pergi mencari obat?"
"Tidak, tiga anak murid Bu-tong-pai menjagamu di sini. Setelah aku kembali
membawa obat, baru mereka pulang ke Bu-tong-pai."
"Aihhhh... dua kali engkau menyelamatkan nyawaku, nona!" Kembali Bun Houw
menjura dengan terheran-heran dankagum sekali.
"Sudahlah, capek aku kalau terus-menerus membalas penghormatanmu!" In Hong
mengomel dan cemberut, akan tetapi sebetulnya belum pernah dia merasa demikian
girang hatinya. Ah, untung engkau keburu datang, lihiap!" pemuda murid Bu-tong-pai itu
berseru dengan suara lega. "Aku khawatir dia sudah dalam sekarat..."
In Hong terkejut mendengar sambutan murid Bu-tong-pai itu dan cepat dia
mengikuti masuk dalam kuil tua. Dan benar saja, orang yang tersiksa itu rebah
dengan mata tertutup, muka kehitaman dan napas tinggal satu-satu. Dua orang
murid Bu-tong-pai yang menjaga di situ juga kelihatan girang melihat datangnya
penolong mereka. Cepat mereka itu membantu In Hong mencari dan memasak air,
kemudian dengan paksa mereka membantu In Hong mencekokkan obat yang dibawa oleh
In Hong itu ke dalam perut pemuda yang sekarat melalui mulutnya yang dibuka
dengan paksa. Mereka berempat menunggu dengan hati tegang, ingin menyaksikan bagaimana
pengaruh obat ymg didapatkan dari Yok-mo yang terkenal itu. Satu jam mereka
menanti penuh ketegangan, karena mereka seolah-olah melihat pemuda itu bergulat
dengan elmaut. Detik jantung pemuda itu amat lemah dan napasnya Senin Kemis,
kadang-kadang menggeliat-geliat seperti orang dalam sekarat.
Tiba-tiba terdengar suare berkeruyuk dari perut Bun Houw. Empat orang muda
itu memperhatikan. Suara berkeruyuk itu sambung-menyambung dan perut pemuda itu
bergerak-gerak, terus bergerak dan kini naik ke dada. Tiba-tiba pemuda itu
muntah dan cepat sekali In Hong melompat dan membantu pemuda itu duduk sehingga
pemuda itu dapat muntah ke pinggir dalam keadaan setengah rebah miring. Lengan
In Hong terkena muntahan yang ternyata adalah darah hitam yang berbau busuk!
Tiga orang murid Bu-tong-pai itu benar-benar merasa kagum sekali melihat
betapa tekun den penuh perhatian In Hong merawat Bun Houw. Padahal wanita sakti
penolong mereka itu sama sekali tidak mengenal pemuda itu, seperti juga tidak
mengenal mereka. Juga mereka melihat betapa sinar mata yang biasanya dingin itu
menjadi berseri ketika melihat bahwa pernapasan Bun Houw kini menjadi lebih
tenang dan detik jantungnya lebih kuat, tanda bahwa obat itu memang manjur
sekali. "Dia tertolong, dan kalian bertiga boleh pergi sekarang," kata In Hong
setelah melihat Bun Houw tidur nyenyak dengan napas tenang dan muka pemuda itu
tidak begitu menghitam lagi.
Dua orang gadis Bu-tong-pai itu memandang dengan mata terharu dan pemuda
yang menjadi suheng mereka memandang kagum.
"Lihiap, kami akan kembali ke Bu-tong-pai untuk melapor kepada suhu kami.
Setelah menerima pertolongan lihiap dan berkumpul beberapa lama, mustahil kalau
kami tidak memperkenalkan diri. Saya bernama Sim Hoat, ini adalah sumoi Lim Soan
Li, dan dia itu adalah sumoi Coa Gin Hwa. Kami masih tinggal di Bu-tong-san
karena belum tamat belajar dari suhu kami, ketua Bu-tong-pai Thian Cin Cu Tojin.
Sudilah kiranya lihiap memperkenalkan nama, karena tanpa ada pertolongan lihiap,
kami bertiga tentu sudah tidak hidup lagi. Kami berhutang budi dan tentu suhu
akan marah kalau kami tidak dapat memberi tahu kepada beliau siapa lihiap yang
telah menyelamatkan nyawa kami."
In Hong mengerutkan alisnya. Sudah berkali-kali dia mengalami bahwa jika
orang mengenalnya sebagai murid ketua Giok-hong-pang, orang akan menggolongkan
dia sebagai orang sesat atau golongan hitam. Dan merasa malu untuk digolongkan
dengan kaum sesat yang selalu mengumbar nafsu tidak segan-segan melakukan
kejahatan. Tidak, dia bukan orang macam itu!
"Terima kasih atas kebaikan sam-wi. Akan tetapi aku tidak punya nama dan
peristiwa kecil itu tidak perlu mengikat kita. Sebaiknya kita melupakan saja hal
yang telah lalu dan aku tidak pernah menolong sam-wi. Baik ikatan budi maupun
ikatan dendam hanya merepotkan hidup saja. Pergilah dan di antara kita tidak ada
hubungan apa-apa lagi."
Tiga orang murid Bu-tong-pai itu saling pandang dan menarik napas panjang.
Banyak terdapat orang sakti yang berwatak aneh di dunia ini, akan tetapi
penolong mereka ini masih begini muda, lebih muda dari mereka, aken tetapi
berwatak begini dingin dan aneh, seolah-olah tidak suka berhubuhgan dengan
manusia lain, akan tetapi yang jelas sanggup mengorbankan apa saja untuk
menolong orang lain yang sama sekali belum dikenalnya. Seorang dara yang luar
biasa! Apalagi bagi Sim Hoat pemuda Bu-tong-pai ini, dia sekaligus sudah jatuh
cinta kepada dara luar biasa yang selain sakti juga amat cantik jelita ini!
Terpaksa mereka lalu berpamit, memberi hormat meninggalkan kuil dalam hujan
lebat itu untuk pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan kepada suhu mereka tentang
kematian suheng mereka di Lembah Bunga Merah dan tentang kegagahan mereka
membalas dendam. Setelah mereka itu pergi, In Hong merawat Bun Houw seorang diri dengan tekun
dan penuh perhatian. Setiap kali dia mencekokkan pel hitam yang dicampur air
matang ke dalam perut pemuda itu, Bun Houw muntahkan darah hitam. Sampai dua
hari pemuda itu terus muntah setiap habis makan pel, akan tetapi setelah
dicekoki pel yang ketujuh, dia tidak muntah lagi dan mukanya sudah menjadi
bersih dari warna hitam! Pada hari ketiga, mukanya mulai agak kemerahan dan kini
napasnya sudah teratur sehat dan detik jantungnya juga sudah menjadi kuat. Tentu
saja In Hong menjadi girang sekali. Tiga hari tiga malam lamanya dia tidak tidur
maka kini saking lelahnya, dia tertidur menyandar tembok tidak jauh dari Bun
Houw yang masih rebah tidak sadar di atas lantai.
Sehabis memberi minum pel yang kedelapan di siang hari, In Hong tertidur
sambil duduk bersandar tembok. Saking lelahnya, dia telah tidur setengah hari
dan siang telah terganti senja hampir golap, namun dia masih juga belum bangun.
Di dalam tidurnya In Hong bermimpi. Dia diajak berjalan-jalan di dalam sebuah
taman bunga yang indah, penuh bunga-bunga mekar semerbak harum, tangannya
digandeng oleh Bun Houw den dia mandah saja. Bahkan dia merasakan suatu
kebahagiaan yang belum pernah dialami sebelumnya. Wajah Bun Houw berseri-seri,
demikian tampan, sikapnya demikian gagah dan melindungi. Dia sudah begitu hafal
akan wajah Bun Houw yang setiap saat dipandangnya itu, hafal akan garis dan
lekak-lekuk wajah itu, dan kini wajah pemuda itu demikian dekat dengan wajahnya,
mata yang bersinar-sinar tajam itu memandang mesra, seolah-olah membelainya
dengan pandang mata, dan senyum yang menawan itu khusus ditujukan kepadanya. Dia
menjadi malu, perasaan malu yang luar biasa, perasaan malu dan jengah yang amat
mengguncang hatinya, mengusap kalbu dan mendatangkan perasaan bahagia yang sukar
dituturkan dengan kata-kata. Akan tetapi tiba-tiba pemude itu mengeluh, In Hong
terkejut dan... dia tersadar, membuka mata, memandang ke kenan, ke arah pemuda
yang tadi masih rebah tak sadar, karena sebelum tidur seluruh perhatiannya
tercurah kepada Bun Houw, maka biarpun dia tidur nyenyak sekali, sedikit saja
pamuda itu mengeluh sudah cukup untuk menyadarkannya.
Kenapa kau tidak membunuhku" Bunuh saja aku, tidak ada gunanya kausiksa dan
kaubujuk. Kau... perempuan hina dina, perempuan keparat jahanam!" Pemuda itu
memaki-maki, pandang matanya penuh kebencian ditujukan ke arah In Hong. Di dalam
ruangan kuil itu sudah mulai gelap.
In Hong lalu meloncat bangun, menjenguk keluar jendela butut untuk mengirangira waktu. Cuaca sudah mulai gelap, sudah tiba waktunya pemuda itu menelan pel
hitam kesembilan, pal yang terakhir dan dia girang sekali karena pemuda itu kini
sembuh, buktinya sudah sadar dan sudah penuh semangat hidup kembali, sudah dapat
marah-marah dan memaki-maki! Dia tahu bahwa pemuda itu mengira dia seorang di
antara para musuh-musuh yang menyiksanya, maka makian itu tidak menyakitkan
hati, bahkan menggelikan.
Tanpa thenjewab, In Hong mengambil air matang dari panci butut di sudut
ruangan, menuangkan ke dalam mangkok, mengambil obat pel terakhir dan
menghampiri Bun Houw. Seperti biasa, tanpa bicara apa-apa dia meletakkan mangkok di atas lantai,
menggenggam pel di tangan kanan dan lengan kirinya menyangga punggung pemuda itu
dan diangkatnya pemuda itu untuk bangkit setengah duduk. Akan tetapi Bun Houw
yang dirangkul itu meronta. "Aku tidak sudi...! Lepaskan, kau pemmpuan hina...!"
Pemuda itu menggerakkan tangannya hendak memukul, akan tetapi dia mengeluh dan
kedua lengannya tergantung lemas karena luka di kedua pundaknya masih belum
sembuh benar sehingga sedikit gerakan saja membuat tulang-tulang pundaknya
seperti ditusuk-tusuk rasanya.
"Tenanglah, engkau harus menelan pel sebutir lagi dan engkau akan sembuh
sama sekali. Buka mulutmu, telah pel ini dan minum air ini."
Akan tetapi Bun Houw menggeleng kepalanya dan memandang wajah yang cantik
itu dengan sinar mata penuh kebencian dan kemarahan. "Perempumn hina, percuma
saja Thian mengaruniai padamu wajah secantik ini, temyata engkau hanya seorang
manusia berhati iblis, seperti ular beracun, hamba dari nafsu yang cabul!" Bun
Houw mengira bahwa gadis yang amat cantik ini tentu saudara seperguruan dari Aikwi dan Ai-kiauw. Wajah In Hong menjadi merah sekali. Kalau saja bukan pemuda ini yang
memakinya seperti itu, kalau saja dia tidak tidak tahu benar bahwa pemuda ini
salah sangka, kalau saja dia masih seperti In Hong beberapa hari yang lalu,
makian itu sudah cukup baginya untuk membunuh laki-laki ini! Huh, laki-laki
berani memaski dia secara demikian menghina! Akan tetapi kini dia tahu betul
bahwa pemuda ini bukanlah laki-laki perusak wanita, bahkan sebaliknya, dia
mempertahankan diri terhadap bujuk rayu wanita-wanita cabul dan hina. Makiannya
itu hanya menunjukkan betapa pemuda ini di saat terakhir pun masih tetap tidak
sudi melayani bujuk rayu itu, masih tetap mempertahankan kegagahannya dengan
menentang maut! Makin kagumlah hati In Hong.
"Orang she Bun, engkau salah kira..." Dia berkata lirih. "Engkau sudah bukan
tawanan lagi, dan aku hanya membantumu menelan pel kesembilan ini yang telah
menyelamatkan nyawamu dari ancaman racun kelabang hitam."
Bun Houw mendengarkan suara ini dan matanya perlahan-lahan terbuka lebar.
Dia memandang wajah itu, yang tidak begitu jelas karena cuaca yang mulai gelap,
dan dia memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di
sebuah ruangan kuil yang rusak.
"Kau... kau... siapakah..." Kau... bukan... seorang di antara mereka...?"
Ing Hong tersenyum dan giginya yang putih sempat berkilau di dalam gelap.
Dia menggeleng kepalanya. "Telanlah dulu pel ini, dan minum air di mangkok
ini..." katanya lirih.
Bun Houw masih bingung, akan tetapi kini mulailah kesadarannya kembali.
Siapapun adanya wanita ini, jelas bahwa wanita ini tidak berniat buruk terhadap
dirinya, bukan meracuni ataupun merayu. Bukan demikian sikap orang merayu,
biarpun lengan wanita ini merangkul punggungnya. Dan kalau wanita ini hendak


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuhnya atau meracuninya, bukan demikian pula sikapnya. Dan lagi, setelah
mengalami siksaan seperti itu, apalagi yang ditakutinya. Dia lalu membuka
bibirnya menerima pel yang dimasukkan ke dalam mulutnya, pel yang berbau sedap
dan terasa pahit, kemudian menelan pel itu bersama air dari mangkok yang
ditempelkan di bibirnya oleh wanita itu. Kemudian wanita itu merebahkan dia
kembali ke atas lantai. Tanpa bicara In Hong mengembalikan mangkok kosong ke sudut ruangan, lalu
membuat api dari kayu-kayu kering di sudut ruangan itu, agak jauh dari Bun Houw.
Dengan alat seadanya yang disediakan oleh murid-murid Bu-tong-pai, dia memasak
bubur dan semua pekerjaan ini dilakukan dengan mulut tertutup, biarpun dia
maklum bahwa sepasang mata selalu mengikuti setiap gerakannya, memandanginya di
bawah penerangan api unggun yang kemerahan. Sepasang mata yang memandang penuh
keheranan, penuh pertanyaan dan keraguan. Sepasang mata itu terus memandanginya
seperti mata seorang anak kecil memandang orang yang baru pertama kali
dijumpainya, ketika In Hong menyuapkan bubur ke mulut pemuda itu. Akhirnya
sepasang mata itu tertutup kembali, tertidur nyenyak.
In Hong lalu makan pula, makan bubur dengan sayur asin sederhana sebagai
lauknya, akan tetapi karena hatinya lega dan perutnya lapar, rasanya belum
pernah dia makan selezat itu. Kemudian dia pun tidur tidak jauh dari Bun Houw,
tidur dengan nyenyak tanpa mimpi semalam suntuk.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali In Hong sudah bangun. Tubuhnya
terasa segar dan cepat dia keluar dari kuil, kini berlatih ilmu yang baru saja
dipelajarinya dari pendeta Lama raksasa itu. Dia bersila dan mengumpulkan hawa
murni, menggerak-gerakkan sin-kang yang sudah terkumpul di dalam pusar, melatih
perlahan-lahan sehingga "kuda liar" yang amat kuat itu tunduk kepada kemauannya
dan dia dapat mengalirkan Thian-te Sin-kang itu sampai ke ujung-ujung jari
tangannya, akan tetapi belum dapat sepenuhnya.
Setelah merasa cukup berlatih, dia lalu pergi ke sumber air di tengah hutan,
menanggalkan pakaiannya dan mandi sampai bersih. Segar bukan main rasanya,
lenyap seluruh sisa kelesuan dan kelelahan tubuhnya. Sambil berdendang In Hong
mencuci pula rambutnya yang dianggapnya tentu kotor. Tiba-tiba dia berhenti di
tengah-tengah dendangnya dan mukanya teran panas. Dia menengok ke kanan kiri,
menarik napas lege karena tidak ada orang lain yang melihat dan mendengarnya,
cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya membersihkan seluruh tubuh lalu memakai
kembali pakaiannya, duduk memeras air dari rambutnya yang hitam panjang,
mengurai rambut itu agar cepat kering sambil melamun.
Baru sadar dia akan keadaan dirinya sendiri. Dia berdendang" Belum pernah
dia melihat dirinya sendiri seperti ini! Sejak kecil dia tidak pernah bernyanyi,
sungguhpun dia tahu bahwa dia pandai menirukan semua nyanyian yang didengarnya
dinyanyikan oleh para anggauta Giok-hong-pang dan bahwa suaranya cukup merdu.
Tidak pernah selama hidupnya dia merasa begini gembira, begini bebas, begini
lapang dadanya. Belum pernah selama hidupnya dia melihat pagi seindah itu,
secerah itu sinar keemasan matahari pagi, semerdu itu suara kicau burung dan
gemericik air dari sumber air, secantik itu daun-daun hijau terhias embun dan
bunga-bunga beraneka warna, senyaman itu tarikan napasnya, membawa bau sedap
pohon-pohonan dan keharuman bunga-bunga. Mengapa begini" Mengapa setelah melihat
pemuda she Bun... dia terkejut dan cepat dia meloncat bangun ketika teringat
kepada pemuda itu. Tentu telah bangun pemuda itu! Seperti orang takut kehilangan
sesuatu yang amat berharga, In Hong meloncat den berlari cepat ke arah kuil,
memegangi rambutnya yang masih terurai lepas dan terbang melambal-lambai di
belakang tubuhnya ketika dia berlari cepat.
Dengan berindap-indap dia memasuki kuil, seolah-olah khawatir kalau
mengejutkan pemuda itu dan dia menarik napas lega ketika melihat betapa Bun Houw
masih rebah terlentang di atas lantai. Dia lalu duduk dengan perlahan,
menyanggul rambutnya yang menjadi agak kering karena dibawa lari tadi, sambil
menatap wajah pemuda itu. Betapa hafal dia sudah akan wajah yang tampan dan
gagah itu, wajah agak kurus dan pucat karena banyak menderita dan hanya makan
bubur sedikit setiap hari selama lima hari ini. Akan tetapi warna gelap sudah
lenyap sama sekali dan kini wajah itu kelihatan makin tampan, ada warna merah
sedikit pada pipi den bibir itu, tanda bahwa dia sudah sehat benar, hanya
tinggal memulihkan tenaga saja. Hati In Hong dilanda rasa iba melihat pakaian
yang kotor itu, rambut yang kusut dan pundak yang masih dibalut. Ada bekas-bekas
darah pada pakaiannya dan keadaan pemuda itu sungguh mengharukan. Pakaian itu
perlu dicuci, pikir In Hong yang sudah membayangkan betapa dia akan dengan
senang hati mencucikan pakaian pemuda itu.
Tiba-tiba In Hong menghentikan lamunannya dan memandang penuh perhatian.
Jantungnya berdebar tegang. Pemuda itu menggeliat, tubuhnya yang kuat seperti
tubuh seekor harimau itu menggeliat dan menegang, akan tetapi ketika kedua
lengannya direnggangkan, dia menahan rintihan dan membuka mata karena kedua
pundaknya terasa nyeri. Begitu membuka mata, seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruk, Bun
Houw bangkit duduk, menggigit bibir ketika merasa pundaknya kembali nyeri. Dia
menoleh ke kanan kiri, lalu ke arah kaki tangan dan pundaknya dan kini dia
menatap wajah In Hong yang duduk dengan tenang-tenang saja itu dengan mata penuh
selidik. Seperti teringat sebuah mimpi, Bun Houw mengenal wajah ini yang pernah
dilihatnya secara remang-remang, lalu dia menoleh ke sudut di mana terdapat
panci dan mangkok, ke sudut lain di mana terdapat bekas api unggun dan dia
teringat. "Kau... eh, nona... apakah yang telah terjadi dengan diriku" Di mana aku
sekarang ini berada...?" Tanyanya, kesadarannya membuat dia bingung melihat
betapa dia yang tadinya ditawen dan disiksa oleh dua orang musuh besarnya itu
tahu-tahu bisa berada di sini terbebas dari belenggu dan tubuhnya terasa sehat
sama sekali, kecuali rasa nyeri pada kedua tulang pundaknya yang masih terbalut.
Dengan sikap dingin, bukan dingin sewajarnya seperti yang sudah menjadi
sikapnya sejak kecil menurut gemblengan gurunya, melainkan sekali ini dingin
buatan, seperti orang acuh tak acuh, seperti orang memandang rendah, In Hong
menjawab lirih, "Di dalam sebuah kuil rusak..." Lalu dia menunduk dan merapikan
bajunya, kemudian merapikan rambutnya yang tadi digelung, dan dipasangnya tusuk
konde burung hong kumala di rambutnya.
Bun Houw tentu saja melihat betapa cantik jelitanya dara yang duduk di
depannya itu, akan tetapi pada saat itu dia lebih memperhatikan keadaan luar
kuil dari jendela ruangan itu yang terbuka karena hatinya masih diliputi
keheranan besar. Dia melihat pohon-pohon lebat dan tahulah dia bahwa kuil tua
ini berada di tengah hutan.
"Hemmm... di dalam sebuah kuil tua di tengah hutan. Dan... bagaimana aku
bisa berada di sini" Bukankah tadinya aku berada dalam kamar tahanan di Lembah
Bunga Merah?" In Hong tidak menjawab, hanya memandang dan dua pasang mata saling bertemu,
sejenak bertaut dan akhirnya In Hong menundukkan mukanya. Melihat dara itu tidak
menjawab, timbul pula kecurigaan Bun Houw dan dia menduga-duga. Apakah dara ini
murid Hui-giakang Ciok Lee Kim" Akan tetapi tidak mungkin, karene jelas bahwa
dara ini memperlakukan dirinya dengan baik, memberi obat dan menyiapkan bubur!
"Ah, tentu ada yang menolongku keluar dari tempat itu, betapapun anehnya,
hal itu mengingat bahwa aku tersiksa dan dibelenggu, kedua tulang pundakku
dikait dengan besi kaitan..." Tiba-tiba dia teringat akan bayangan rahasia
mimiliki gerakan cepat luar biasa, yang telah menyelamatkan dan membebaskan tiga
orang tawanan Lembah Bunga Merah, yaitu tiga murid-murid Bu-tong-pai. "Nona,
apakah engkau yang telah membebaskan tiga orang anak murid Bu-tong-pai dari
Lembah Bunga Merah?" Dia memandang tajam penuh selidik.
In Hong mengangkat muka, ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata
penuh selidik itu, dia merasakan sesuatu yang aneh pada jantungya. Dia berdebar
malu, dan... bangga! Sungguh dia hampir tidak mengenal diriya sendiri,
perasaannya sendiri, mengapa sekarang menjadi begini aneh" Dia hanya mengangguk
dan menunduk lagi. Kalau begitu... agaknya engkau pula yang telah menolong aku, nona?"
pertanyaan ini diajukan oleh Bun Houw dengan pandang mata penuh keheranan,
hampir tidak percaya. Mana mungkin seorang gadis muda seperti ini, yang begini
cantik jelita, begini pendiam dan agaknya pemalu, dapat menolong dia yang sudah
terbelenggu dan dikait tulang punggungnya dari tangan lima orang sakti dan anak
buah Lembah Bunga Merah"
Akan tetapi kembali dara itu mengangguk!
Hening sejenak karena Bun Houw terlalu heran dan terkejut sehingga sampai
lama dia hanya bengong saja memandang wajah dara itu. Kalau yang menolongnya itu
gurunya, Kok Beng Lama misalnya, atau ayahnya dan ibunya sendiri, masih tidak
terlalu aneh. Akan tetapi dara ini! Dan bukan hanya menolongnyg keluar dari
tahanan yang berbahaya itu, malah sudah menyembuhkannya, padahal dia masih ingat
betul betapa dia tersiksa hebat oleh rasa nyeri dan tahu bahwa dia keracunan,
bahkan menurut Hui-giakang Ciok Lee Kim dia hanya dapat bertahan hidup tiga hari
saja! Buktinya sekarang dia sudah sembuh! Gadis ini pulakah yang
menyembuhkannya" Tiba-tiba dia teringat dan cepat Bun Houw bangkit berdiri
ketika dia melihat dara itu yang agaknya merasa tidak enak dipandanginya terus
seperti itu telah bangkit berdiri di dekat jendela, memandang keluar,
membelakanginya. "Kalau begitu... aku telah kautolong, nona. Kau telah menyelamatkan
nyawaku...! Betapa hebat dan besar budimu terhadap diriku, nona. Bagaimana aku
harus mengatakan terima kasihku?" Kata Bun Houw gagap karena hatinya terharu,
tahu betul dia betapa bahayanya menolong dia dari lembah maut itu, bahaya yang
hanya dapat ditempuh dengan taruhan nyawa.
"Mengapa bingung-bingung?" In Hong menjawab tanpa menoleh. "Sudah saja
jangan menyatakan terima kasih, aku tidak membutuhkan itu..."
Bun Houw menjadi makin bingung. Sikap gadis ini sungguh aneh. Melihat
budinya yang demikian besar, jelas bahwa dara ini adalah seorang yang berhati
milia, akan tetapi mengapa sikapnya demikian dingin" Jangan-jangan ada maksud
tertentu di balik pertolongannya itu! Akan tetapi tak mungkin...!
"Sudikah engkau menceritakan bagaimama engkau dapat membebaskan aku dari
tahanan itu, nona?" In Hong membalikkan tubuhnya. Karena dia berdiri miring, sinar matahari yang
menerobos masuk dari jendela tua itu menimpa separuh mukanya dan kelihatan
cantik bukan main. Rambut yang baru saja dicuci itu berkilauan, anak rambut
banyak yang bergumpal-gumpal kacau dan awut-awutan di sekitar dahi, pelipis dan
leher. Manisnya sukar dilukiskan!
"Apa yang dapat diceritakan" Aku melihat engkau ditawan dan disiksa, lalu
aku menggunakan kesempatan selagi lima orang sakti itu tidak menjagamu, aku
merobohkan semua penjaga, anak buah Lembah Bunga Merah, lalu membawamu ke sini."
Kata-kata yang keluar dari mulut dara itu begitu bersahaja, seolah-olah
menceritakan hal yang biasa saja, demikian penuh kerendahan hati sehingga Bun
Houw menjadi makin terheran-heran dan kagum.
"Akan tetapi... apakah tidak ada di antara mereka yang merintangimu?"
In Hong mengangguk. "Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw menghadangku, akan
tetapi aku dapat melewati mereka dengan selamat."
Bun Houw terbelalak. Kakek den nenek pertapa itu lihai bukan main, dan tentu
dara ini memanggulnya ketika melarikan dia, namun toh dapat membebaskan diri
dari mereka. Bukan main! Cepat dia menjura dengan penuh hormat yang dibalas oleh In Hong dengan kaku
dan sembarangan. "Ah, kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang
amat lihai! Sungguh beruntung sekali, karena tanpa pertolonganmu aku tentu tewas
di tangan mereka. Terimalah ucapan terima kasihku yang sedalam-dalamnya, nona."
Melihat pemuda itu kembali menjura dengan hormat, In Hong membalas dan
berkata. "Sudah kukatakan, aku tidak membutuhkan terima kasih."
"Dan aku telah keracunan, Toat-beng-kauw Bu Sit menusukkan jarum dengan
racun kelabang hitam di tengkukku, sakitnya bukan main, seperti ribuan ekor
semut menggigit dari dalam tubuhku, sampai aku tidak tahan... dan... aku tidak
berdaya, tulang pundakku dikait baja pengait dan Hui-giakang Ciok Lee Kim
mengatakan bahwa aku hanya dapat hidup tiga hari saja. Akan tetapi sekarang..."
Bun Houw melihat kaki tangan dan pundaknya, "tidak ada bekas-bekasnya lagi!
Agaknya engkau pula yang telah menyembuhkan aku dari ancaman racun kelabang
hitam itu, nona?" "Bukan aku, melainkan Yok-mo. Aku pergi ke puncak Gunung Cemara di mana
tinggal Yok-mo, ahli obat gila. Aku memaksa dia memberikan obat untukmu dan
ternyata kau sembuh."
"Dan nona meninggalkan aku di sini ketika pergi mencari obat?"
"Tidak, tiga anak murid Bu-tong-pai menjagamu di sini. Setelah aku kembali membawa obat, baru mereka pulang ke Bu-tong-pai."
"Aihhhh... dua kali engkau menyelamatkan nyawaku, nona!" Kembali Bun Houw
menjura dengan terheran-heran dankagum sekali.
"Sudahlah, capek aku kalau terus-mencrus membalas penghormatanmu!" In Hong
mengomel dan cemberut, akan tetapi sebetulnya belum pernah dia merasa demikian
girang hatinya. Sungguh hebat... sunguh mengherankan sekali... engkau yang masih begini
muda... bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia dan terhormat, nona?"
"Hemm, pertemuan antara kita hanya kebetulan saja. Aku hanya tahu engkau
seorang she Bun, dari percakapan mereka di Lembah Bunga Merah. Biarlah aku
mengenalmu sebagai orang she Bun, dan engkau tidak perlu mengetahui namaku..."
"Aih, mengapa begitu, nona?" Bun Houw bertanya dengan heran lagi, dan diamdiam diapun tidak ingin memperkenalkan namanya. Dia tahu betapa bahayanya kalau
namanya dikenal orang, apalagi kalau sampai dikenal oleh Lima Bayangan Dewa,
sedangkan nona jelita ini begini aneh dan penuh rahasia. "Habis, bagaimana aku
harus mengingatmu, harus memanggilmu, kalau aku tidak tahu namamu, nona?"
In Hong tereenyum. "Jangan mengingat, jangan memanggil..."
Melihat sikap yang dingin, kata-kata yang singkat ini, Bun Houw menjadi
khawatir sekali kalau-kalau penolongnya itu marah. Maka dia lalu membelokkan
percakapan dan dia bertanya, "Aku sudah tidak mempunyai harapan ketika ditusuk
jarum beracun itu, akan tetapi buktinya aku sembuh, sungguh hebat obat itu,
bagaimana macamnya dan bagaimana pula cara kerjanya ketika engkau mengobatiku,
nona?" "Aku menerima sembilan butir pel hitam dari Yok-mo. Ketika kau menelan pel
pertama sampai keenam, setiap kali menelan pel hitam itu kau muntah darah hitam
yang berbau busuk, akan tetapi mulai dengan pel ketujuh engkau tidak muntah
lagi." "Aihh... sungguh menjijikkan... akan tetapi mengapa lantai ini bersih?"
"Aku sudah membersihkannya setiap kali kau muntah..."
"Ahhh...! Dan hona merawatku, menjagaku, memberi obat, menyuapkan bubur
selama tiga hari tiga malam... dan..."
Serasa hampir meledak jantung di dalam dada In Hong melihat pemuda itu
memandangnya dengan mata terbelalak penuh keharuan, penuh rasa syukur dan terima
kasih. "Sudahlan, pakaianmu kotor, mari... mari... kucucikan... dan kau dapat mandi
di sumber air di dalam hutan..."
Mata yang sudah terbelalak itu makin terbelalak berisi penuh dengan sinar
keharuan, kekaguman dan kini bercampur dengan keheranan. "Apa" Nona... nona
hendak... mencucikan pakaianku..." Ah, tidak..."
"Mengapa tidak?" Sikap In Hong biasa saja. "Aku seorang wanita, sudah biasa
mencuci pakaian..." "Tidak, tidak boleh nona begitu merendahkan diri. Di mana sumber air itu"
Aku akan membersihkan tubuh den pakaian ini..."
In Hong menudingkan telunjuknya dan Bun Houw cepat bangkit dan melangkah
lebar ke dalam hutan. Pundaknya masih terasa nyeri sedikit apabila terlalu keras
dia menggerakkan kedua tengannya. Setelah tiba di sumber air, dia menanggalkan
pakaiannya, membersihkan tubuhnya dan tubuhnya terasa segar kembali. Dia
merendam tubuh di dalam air, lalu mengumpulkan hawa murni, menggunakan sinkangnya untuk melancarkan jalan darah dan dengan kekuatan sin-kangnya dia dapat
melindungi tulang-tulang pundaknya. Untung bahwa di dalam sakunya masih terdapat
obat lukanya yang mujarab pemberian ayahnya, maka dia membuka balutan pundaknya,
lalu memberi obat luka setelah mencucinya bersih, membalutnya kembali setelah
dia mandi sampai bersih. Kemudian dia mencuci pakaiannya, memeras airnya dengan
kekuatan besar sehingga sebentar saja pakaian itu hampir kering karena semua air
dapat diperasnya keluar. Dia menjemur pakaian ini di atas batu dan sambil
menanti keringnya pakaian itu, dia kembali bersamadhi mengumpulkan hawa murni.
Tak lama kemudian, pulih kembali tenaganya dan ketika dia menggerakkan kedua
lengan, rasa nyeri di pundak hanya tinggal sedikit. Akan tetapi perutnya terasa
lapar bukan main. Kurang lebih dua jam kemudian, dia kembali ke kuil dengan baju bersih dan
pakaian bersih pula, juga sudah kering. Baru saja nampak dinding kuil itu,
hidungnya sudah mencium bau sedap yang membuat perutnya makin terasa lapar.
Dia mempercepat langkahnya dan... di depan kuil itu, di bawah pohon, nampak
dara itu sedang memanggang seekor ayam hutan yang gemuk sekali, sedangkan dari
panci bekas tempat air itu nampak nasi mengepul panas. Bun Houw berdiri
memandang, menelan ludahnya dua kali.
"Kau sudah selesai?" In Hong menengok dan sejenak pandang mata mereka
bertemu. Gadis itu menunduk dan di lehernya menjalar warna merah terus ke
kepalanya, kemudian terdengar suaranya tanpa dia mengangkat muka. "Aku berhasil


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangkap seekor ayam..."
Bun Houw tidak menjawab, hanya memandang dara itu, hatinya diliputi
keheranan besar. Sungguh amat sukar untuk mengerti watak dan sifat wanita cantik
ini pikirnya. Masih begitu muda, tentu lebih muda darinya, namun sudah memiliki
kepandaian yang amat hebat, sungguhpun dia belum menyaksikan sendiri. Dari
caranya menolong dia dari Lembah Bunga Merah saja sudah dapat diduga bahwa
kepandaiannya tentu hebat sekali. Kadang-kadang wanita ini demikian dingin dan
tak acuh, sehingga agaknya sama sekali tidak mau saling berkenalan, tidak mau
memperkenalkan nama dan tidak pula menanyakan namanya, padahal wanita ini sudah
mempertaruhkan nyawa untuk monolongnya, bahkan selama tiga hari tiga malam
merawatnya sedemikian rupa! Akan tetapi ada saat-saat tertentu wanita itu
kelihatan begitu lemah lembut, seperti sekarang ini, sama sekali tidak patut
menjadi seorang wanita kang-ouw yang perkasa dan aneh sekali.
Kau tentu lapar sekali..."
Bun Houw sadar dari lamunannya, sadar betapa sejak tadi dia hanya berdiri
bengong memandang dara itu yang sedang memanggang daging ayam. "Oh, lapar..."
Lapar sekali...! Dan panggang ayam itu begitu sedap!"
"Kalau begitu, mari kita makan. Ayam ini lebih enak dimakan panas-panas
sebagai teman nasi. Sayang tidak ada arak..."
"Ah, itu sudah cukup, nona. Airpun cukup menyegarkan," jawab Bun Houw yang
lalu duduk di dekat dara itu. Mereka lalu makan nasi dan panggang daging ayam,
tidak menggunakan sumpit karena memang tidak ada, hanya menggunakan lima batang
sumpit alam alias lima jari tangan kanan. Nasinya mengepul panas, daging ayam
panggang juga masih mengepul panas, empuk dan gurih, ditambah kesunyian di pagi
indah itu, hadirnya mereka berdua, perut lapar, semua ini membuat nasi dan
daging ayam menjadi lezat bukan main. Dalam waktu pendek saja habislah semua
nasi dan daging ayam, memasuki perut mereka, tidak ada ketinggalan sebutirpun
nasi dan secuilpun daging. Bun Houw menjilati jari-jari tangannya yang terkena
gajih panggang ayam dan In Hong memandang sambil menaban senyum. Satu di antara
kelemahan wanita, adalah, di samping ingin dipuji-puji tentang kecantikannya,
juga ingin dtpuji-puji tentang kelezatan hasil masakannya! Kini, melihat Bun
Houw menjilati jari-jari tangannya, In Hong merasa mendapat pujian yang jauh
lebih mengesankan daripada kata-kata.
"Kau belum kenyang" Masih kurang?" tanyanya lirih, tersenyum dan tampak
deretan gigi mutiara. Bun Houw tertawa. "Makan sesedap ini, agaknya aku takkan mengenal kenyang.
Akan tetapi sementara ini cukuplah, dan terima kasih." Dia lalu minum air tawar
dengan segarnya. "Beras yang ditinggalkan oleh para murid Bu-tong-pai tinggal itu, aku belum
sempat pergi membeli ke dusun."
Kembali Bun Houw tersenyum. Percakapan antara mereka itu seolah-olah
percakapan dua orang sahabat lama yang hidup bersama di suatu tempat. Setelah
mencuci tangan dan mulut, dia lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Nona,
setelah apa yang kaulakukan semua untukku, setelah engkau menyelamatkan nyawaku
dengan mempertaruhkan keselamatanmu sendiri..."
"Cukup, aku tidak mau bicara tentang itu..." In Hong memotong.
Bun Houw menunduk. Melihat wajah nona ini ketika itu, dia menduga bahwa di
samping semua keanehannya, dara ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa.
Sebaliknya, melihat pemuda itu menunduk dan tidak berani bicara lagi, In Hong
merasa kasihan dan sadar bahwa dia terlalu keras. Betapapun juga, tidak aneh
kalau pemuda ini amat berterima kasih kepadanya dan ingin membicarakan tentang
pertolongan itu. Akan tetapi justeru dia tidak mau membicarakannya, karena
pertolongannya itu memang terasa aneh olehnya sendiri, mengapa dia begitu
bersusah payah untuk pemuda ini. Kejanggalan ini membuat dia merasa malu sendiri
sehingga dia tidak ingin lagi membicarakannya. Akan tetapi melihat pemuda itu
bingung dan kecewa, dia lalu ingin membicarakan lain daripada pertolongan itu
sendiri. "Mengapa engkau begitu nekat, menentang lima orang yang berkepandaian tinggi
itu sehingga engkau ditawan dan disiksa?" tiba-tiba In Hong bertanya.
Bun Houw memandang dan hatinya merasa gembira lagi. Kiranya dara ini bukan
marah atau bersikap dingin, hanya agaknya tidak mau menyinggung tentang
pertolongan itu, Betapa rendah hati, tidak ingin menonjolkan jasa, pikirnya. Dia
belum mengenal dara ini, sungguhpun dia sudah percaya sepenuhnya, namun tidak
baik kalau dia memperkenalkan diri dan menceritakan urusan pribadinya. Maka dia
lalu menarik napas panjang dan menjawab, "Yang menjadi gara-gara adalah
lenyapnya tiga orang murid Bu-tong-pai yang kautolong itu. Ketika mereka ditawan
dan hendak dibunuh, Liok-twako mencegah dan memperingatkan mereka agar tidak
menanam permusuhan dengan Bu-tong-pai..."
"Siapa itu Liok-twako?"
"Dia adalah Kiam-mo Liok Sun, dia... eh, majikanku..."
"Yang datang bersamamu" Aku hanya mendengar bahwa engkau orang she Bun
adalah pengawal pribadinya."
"Karena mencegah itulah, setelah tiga orang murid Bu-tong-pai melarikan
diri, Liok-twako dicurigai dan akhirnya dibunuh. Sebagai... eh, pengawalnya,
tentu aku melawan dan aku lalu ditawan dan disiksa."
"Orang she Liok itu dibunuh, akan tetapi mengapa engkau ditawan dan disiksa
pula" Apa yang mereka kehendaki?"
"Mereka memaksa aku mengaku siapa yang membebaskan tiga orang murid Bu-tongpai dan apa maksud kedatangan Liok-twako di Lembah Bunga Merah."
"Ataukah karena perempuan-perempuan hina itu hendak memaksamu melayani bujuk
rayu mereka?" Bun Houw memandang dengah mata terbelalak, "Kau... kau tahu pula akan hal
itu?" "Aku tahu penolakanmu terhadap murid-murid Ciok Lee Kim yang tak tahu malu,
juga terhadap nenek cabul itu sendiri, dan mungkin karena itulah aku
membebaskanmu dari tahanan."
Dua orang wanita murid Ciok Lee Kim itu telah tewas di tanganku, sayang
bahwa aku tidak sempat membunuh gurunya. Akan tetapi, aku akan mencari mereka!
Aku akan mencari Ciok Lee Kim dan teman-temannya, terutama sekali dia sendiri
dan Bu Sit, dua orang yang menyiksaku. Kalau bertemu, mereka harus tewas di
tanganku!" Bun Houw teringat akan penyiksaan itu dan timbul kemarahannya,
otomatis tangannya meraba pinggang dan tampak sinar kilat berkelebat ketika dia
tahu-tahu telah melolos pedangnya, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Pedang ini dia
dapat dari gurunya, sebatang pedang pusaka yang terbuat dari baja murni, tipis
sekali sehingga dapat digulung dan dibuat menjadi sabuk pinggang maka senjata
ini tidak ketahuan dan tidak terampas oleh musuh-musuhnya.
"Aihhh, pedang yang bagus!" In Hong berseru memuji. "Boleh aku melihatnya?"
Bun Houw menyerahkan pedangnya. In Hong menerima dan menggerak-gerakkan
pedang sampai berbunyi berdesing dan berobah menjadi kilat. Dia memuji lagi,
lalu menimang-nimang pedang dan meriksanya. Ketika melihat ukiran gambar burung
hong dekat gagang pedang, dia memuji lagi.
"Sama benar dengan ini...!" Dia melolos hiasan rambutnya yang berupa burung
hong kumala, lalu membandingkan burung hong kumala itu dengan lukisan burung
hong pada pedang Hong-cu-kiam.
"Apanya yang sama, nona?" Bun Houw tentu saja bingung dan tidak mengerti.
Bagaimana sebatang pedang dipersamakan dengan sebuah hiasan rambut wanita"
"Burung hongnya yang sama. Indah sekali pedangmu ini...!" In Hong
menggerakkan pedang itu dan Bun Houw menjadi kagum. Memang benar dugaannya. Dara
ini bukan sembarang ahli silat. Dari cara dia menggerakkan pedang saja sudah
dapat dikenal sebagai seorang ahli pedang yang lihai.
"Sing-sing-wirrrrr... crakk!" Sebatang pohon sebesar paha manusia yang
berdiri dalam jarak jauh, robob hanya tersambar hawa pedang yang digerakkan
dengan sin-kang yang amat kuat.
"Bukan main...! Engkau lihai sekali, nona...!" Bun Houw memuji karena dia
maklum bahwa hanya seorang yang memiliki sin-kang amat kuat saja mampu
merobohkan pohon hanya dengan sinar pedang.
In Hong menimang-nimang pedang itu, meraba-raba mata pedang yang amat tajam.
"Hemm... pedang ini yang lihai..."
Saking kagumnya dan senang hatinya, terloncat saja ucapan dari mulut Bun
Houw. "Kalau nona suka, biarlah pedang Hong-cu-kiam ini kupersembahkan kepadamu,
nona." In Hong terkejut dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Apa?"
"Nona telah..." Dia teringat dan tidak mau mengulangi tentang pertolongan
itu, maka dia melanjutkan, "...kita telah menjadi kenalan, bukan" Karena itu,
dengan hormat aku menyerahkan pedang Hong-cu-kiam itu kepadamu. Pedang itu
ringan dan lemas, memang lebih tepat dipergunakan oleh wanita, pula dapat
dipakai sebagai ikat pinggang..."
Wajah In Hong berseri dan tangannya masih membelai pedang itu dengan rasa
sayang, akan tetapi pandang matanya kepada Bun Houw masih meragu dan penuh
selidik. Melihat wajah pemuda itu terbuka dan polos, dengan pandang mata yang
tajam dan membayangkan kejujuran, dia lalu berkata, "Apakah dengan tulus
ikhlas...?" "Tentu saja nona, dengan sepenuh hatiku yang tulus ikhlas."
"Terima kasih...!" In Hong kelihatan girang sekali dan dia lalu memakai
pedang Hong-cu-kiam itu sebagai ikat pinggangnya, lalu ditutupi jubahnya
sehingga tidak nampak dari luar. Dia lalu meraba-raba pedangnya, akan tetapi
tidak jadi diambil dan dia berkata, "Pedangku ini hanya pedang biasa, sama
sekali tidak pantas untuk ditukar dengan pedang pusaka seperti Hong-cu-kiam,
akan tetapi ini... Giok-hong-cu (burung hong kumala) ini tak pernah terpisah
dari aku sejak aku kecil shhingga bagiku merupakan benda pusaka. Biarlah
kuberikan ini kepadamu, Bun-twako (kakak Bun)." Dia menyerahkan burung hong
kumala itu kepada Bun Houw.
Bun Houw terkejut dan seketika mukanya menjadi merah sekali, jantungnya
berdebar. Dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang amat aneh dalam tukar-menukar
benda pusaka ini! Akan tetapi karena maklum akan keanehan watak wanita ini yang
agaknya pasti akan merasa tersinggung dan terhina kalau dia menolaknya, dia lalu
menerimanya dan memandangi perhiasan, rambut itu dengan kagum.
"Sebuah perhiasan yang indah sekali... terima kasih, nona. Sekarang kita
benar-benar telah menjadi sahabat, bukan?" Bun Houw bertanya sambil menatap
wajah yang cantik jelita dan gagah itu.
In Hong balas memandang, tersenyum dan mengangguk. Sejak pertama kali
melihat Bun Houw marah-marah dan menolak bujuk rayu dua orang murid wanita yang
genit itu, hatinya sudah kagum dan tertarik sekali. Kini, setelah pemuda itu
siuman dari pingsannya dan sembuh, dia memperoleh kenyataan bahwa pemuda ini
benar-benar tidak seperti kaum laki-laki seperti yang disangkanya semula, yaitu
seperti yang sering kali dibicarakan gurunya dan para anggauta Giok-hong-pang,
yaitu mata keranjang, cabul, pengganggu wanita dan pengrusak kehidupan wanita.
Pemuda ini sama sekali tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar, mata
keranjang dan sama sekali tidak pernah mengganggunya.
"Setelah kita menjadi sahabat, apakah engkau masih juga tidak percaya
kepadaku dan tidak mau memperkenalkan namamu kepadaku?"
In Hong meraba pedang Hong-cu"kiam di pinggangnya dan memandang perhiasan
burung hong kumala di tangan pemuda itu, lalu berkata "Pedang Hong-cu-kiam
kauberikan kepadaku dan perhiasan Giok-hong-cu telah kuberikan kepadamu,
keduanya merupakan lambang burung hong. Maka, biarlah aku mengenalmu sebagai
Bun-twako dan kau mengenalku sebagai Hong."
"Hong saja" Apakah namamu Hong?"
In Hong mengangguk. Bun Houw tidak berani mendesak. "Baiklah, Hong-moi (adik Hong), memang
apakah artinya nama" Persahabatan adalah antara pribadi, bukan antara nama!
Tentu tidak perlu lagi aku menceritakan riwayatku atau mendengar riwayatmu,
bukan?" In Hong mengangguk dan Bun Houw menarik napas panjang. Din mulai tertarik
sekali akan pribadi nona ini yang amat aneh, seolah-olah hendak merahasiakan
dirinya dan seolah-olah tidak suka berurusan dengan orang-orang lain. Betapapun
juga, di balik sikap dingin dan tidak perdulian itu, dia tahu bahwa pada
dasarnya dara ini memiliki kegagahan luar biasa dan memiliki jiwa pendekar
penentang kejahatan, juga mempunyai sifat-sifat yang budiman dan mulia.
"Kalau begitu, agaknya engkau tidak keberatan untuk mengatakang ke mana
tujuanmu sekarang" Kau hendak pergi ke mana, Hong-moi?"
In Hong termenung. Pertanyaan itu dengan tepat mengenai hatinya dan dia
menjadi bingung. Hendek ke manakah dia pergi" Apakah tujuan hidupnya" Tidak ada!
Tidak ada ketentuan! "Aku seperti seekor burung di udara," katanya sambil memandang seekor burung
dada kuning yang beterbangan dari dahan ke dahan, mencari-cari ulat, di antara
daun-daun hijau. "Entah ke mana aku hendak pergi, aku sendiripun tidak tahu,
Bun-ko." In Hong meraba pedang Hong-cu cu-kiam di pinggangnya dan memandang perhiasan
burung hong kumala di tangan pemuda itu, lalu berkata "Pedang Hong-cu-kiam
kauberikan kepadaku dan perhiasan Giok-hong-cu telah kuberikan kepadamu,
keduanya merupakan lambang burung hong. Maka, biarlah aku mengenalmu sebagai
Bun-twako dan kau mengenalku sebagai Hong."
"Hong saja" Apakah namamu Hong?"
In Hong mengangguk. Bun Houw tidak berani mendesak. "Baiklah, Hong-moi (adik Hong), memang
apakah artinya nama" Persahabatan adalah antara pribadi, bukan antara nama!
Tentu tidak perlu lagi aku menceritakan riwayatku atau mendengar riwayatmu,
bukan?" In Hong mengangguk dan Bun Houw menarik napas panjang. Din mulai tertarik
sekali akan pribadi nona ini yang amat aneh, seolah-olah hendak merahasiakan
dirinya dan seolah-olah tidak suka berurusan dengan orang-orang lain. Betapapun
juga, di balik sikap dingin dan tidak perdulian itu, dia tahu bahwa pada
dasarnya dara ini memiliki kegagahan luar biasa dan memiliki jiwa pendekar
penentang kejahatan, juga mempunyai sifat-sifat yang budiman dan mulia.
"Kalau begitu, agaknya engkau tidak keberatan untuk mengatakang ke mana
tujuanmu sekarang" Kau hendak pergi ke mana, Hong-moi?"
In Hong termenung. Pertanyaan itu dengan tepat mengenai hatinya dan dia
menjadi bingung. Hendek ke manakah dia pergi" Apakah tujuan hidupnya" Tidak ada!
Tidak ada ketentuan! "Aku seperti seekor burung di udara," katanya sambil memandang seekor burung
dada kuning yang beterbangan dari dahan ke dahan, mencari-cari ulat, di antara
daun-daun hijau. "Entah ke mana aku hendak pergi, aku sendiripun tidak tahu,
Bun-ko." Bun Houw termenung juga, heran mendangar jawaban yang amat aneh ini. "Apakah
engkau tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Hong-moi?"
Dara itu menggeleng kepala.
"Tidak mempunyai keluarga?"
Kembali gelengan kepala. "Tidak mempunyai orang tua?"
In Hong menggeleng lagi, pandang matanya masih mengikuti burung dada kuning
yang telah mendapatkan seekor ulat gemuk yang kini dipatuknya dan dibantingbantingnya ke atas ranting pohon.
"Ahhhh...!" Bun Houw berseru penuh perasaan haru.
"Kenapa?" In Hong menoleh dan memandangnya, memandang tajam.
"Kasihan kau, Hong-moi."
"Kenapa kasihan" Kasihankah engkau kepada burung itu?" In Hong membuang
muka. "Sudahlah, aku tidak mempunyai tujuan tertentu, akan tetapi engkau sendiri
hendak ke manakah, Bun-ko?"
"Yang jelas, aku akan pergi ke Lembah Bunga Merah!"
"Hemm... kau hendak membalas dendam kepada mereka" Berbahaya sekali, Bunkoko, mereka itu lihai."
"Tidak perduli, aku harus membalas penghinaan dan penyiksaan mereka,
terutama dua Bayangan Dewa itu."
"Dua Bayangan Dewa" Kau tahu itu?"
"Aku mendengar dari Liok-twako bahwa Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-bengkauw Bu Sit adalah dua orang di antara Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu."
"Hemm... akupun akan ke sana, twako."
"Apa" Apakah hubunganmu dengan mereka?"
"Akupun ingin mencari Lima Bayangan Dewa."
Bun Houw terkejut sekali. "Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya mendengar bahwa mereka telah mencuri pedang Siangbhok-kiam dari Cin-ling-pai."
"Hemmm... akupun mendengar itu. Lalu bagaimana kalau begitu?"
"Aku ingin merampas pedang itu, aku mendengar bahwa pedang Siang-bhok-kiam
adalah pedang puseka yang amat hebat dan dahulu pernah diperebutkan oleh para
datuk persilatan. Aku ingin merampasnya..."
"Untuk apa, moi-moi?"
"Untuk apa" Mungkin kelak kukembalikan kepada ketua Cin-ling-pai." In Hong
teringat akan kunjungannya ke Cin-ling-pai. "Aku... sekali waktu aku pasti akan
pergi ke Cin-ling-san dan aku akan mengembalikan pedang itu kepada Cin-ling-pai


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau aku berhasil merampasnya."
Engkau aneh sekali, Hong-moi. Tanpa alasan engkau hendak merampas pedang itu
dari tangan Lima Baymgan Dewa. Apakah itu tidak amat berbahaya?"
"Justeru karena berbahaya aku menempuhnya. Lima Bayangan Dewa itu, kalau
melihat yang dua ini, pastilah orang-orang jahat. Kalau aku tidak merampas
kembali pedang itu, mereka akan menjadi sombong, mengira bahwa tidak ada orang
berani terhadap mereka satelah mereka menggegerkan dunia kang-ouw dengan
penyerbuan mereka ke Cin-ling-pai."
"Kalau begitu, mari kita sama-sama pergi ke Lembah Bunga Merah, Hong-moi."
In Hong mengangguk dan berangkatlah mereka meninggalkan kuil itu. Di tengah
perjalanan, tiba-tiba In Hong berhenti.
"Bun-ko, bagaimana dengan kedua pundakmu?"
Bun Houw menggerakkan kedua tangannya, mengayun-ayun kedua legannya. Tidak
terasa nyeri lagi. "Sudah sembuh sama sekali, Hong-moi," katanya.
"Akan tetapi masih berbahaya kalau bertemu dengan lawan tangguh, dan mereka
itu amat lihai. Karena itu, kalau tiba di sana, biarkan aku yang turun tangan,
kau boleh lihat saja, twako."
Bun Houw tersenyum dan mengangguk. Mereka melanjutkan perjalanan dan In Hong
menggunakan ilmunya berlari cepat. Bun Houw tidak ingin menonjolkan diri dan
menimbulkan kecurigaan kepada dara itu. Bukankah dia hanya dikenal sebagai
seorang pengawal pribadi Liok Sun yang tentu saja hanya memiliki kepandaian
silat biasa saja" Maka dia pura-pura mengerahkan tenaganya untuk mengimbangi
kecepatan dara itu, akan tetapi dengan terengah-engah dia tertinggal jauh.
"Aihhh... Hong-moi, harap jangan berlari terlalu cepat...!"
In Hong yang memang hanya ingin mengukur kepandaian pemuda itu, memperlambat
larinya dan diam-diam dia tahu bahwa pemuda yang bernyali besar ini sama dengan
mengantar kematian kalau ingin mencari lima orang di Lembah Bunga Merah yang
berilmu tinggi itu. Maka dia diam-diam mengambil keputusan untuk melindungi
pemuda ini, yang selain tenaganya belum pulih dan pundaknya baru saja sembuh,
juga tingkat kepandaiannya masih terlalu rendah untuk menghadapi lawan-lawan
tangguh seperti Lima Bayangan Dewa dan sekutu-sekutunya.
"Pedangku ini biarpun bukan pedang pusaka, akan tetapi terbuat dari baja
yang cukup baik. Kaubawa pedahgku ini untuk menjaga diri, Bun-ko!" In Hong
berkata dan menyerahkan pedangnya. "Aku sendiri sudah mempunyai Hong-cu-kiam."
Bun Houw tidak membantah sungguhpun sebetulnya untuk menghadapi lawan yang
bagaimana tangguhpun, dia tidak begitu membutuhkan senjata. Kalau tempo hari dia
sampai dapat dirobohkan dan ditawan, adalah karena keneketan Ai-kiauw. Dia
mengucapkan terima kasih dan menggantungkan pedang itu di pinggangnya.
Ketika mereka tiba di daerah Lembah Bunga Merah, suasana di situ sunyi saja
dan mereka cepat memasuki daerah itu menuju ke perkampungan yang menjadi sarang
Hui-giakang Ciok Lee Kim dan anak buahnya. Akan tetapi di dalam bangunanbangunan inipun sunyi tidak kelihatan ada manusianya.
"Hati-hati, mungkin mereka akan menjebak kita!" Bun Houw berkata dan In Hong
mengangguk. Bun Houw mencabut senjatanya karena kalau tidak dia khawatir gadis
itu akan menjadi curiga akan ketenangannya. Dengan berindap mereka memasuki
ruangan depan rumah besar yang tadinya dihuni oleh Ciok Lee Kim dan di mana dia
menjamu para tamunya. "Ada orang-orang mengepung kita... " In Hong berbisik. Tentu saja Bun Houw
juga sudah dapat menangkap gerakan orang-orang itu akan tetapi dia diam saja.
"Awas senjata rahasia...!" In Hong berseru dan dara ini cepat meloncat untuk
melindungi Bun Houw. Akan tetapi anak panah dan senjata-senjata rahasia yang
bagaikan hujan itu datang dari empat penjuru. In Hong menangkisi senjata senjata
rahasia itu dengan hawa pukulan kedua tangannya, sedangkan Bun Houw dengan
"sibuk" menangkisi dengan pedang di tangan yang diputar-putarnya. Sampai habis
senjata-senjata rahasia itu, Bun Houw masih memutar-mutar pedang.
"Siaplah, Bun-ko, biar aku melindungimu, mereka tentu akan muncul." In Hong
yang merasa geli melihat bagaimana pemuda itu memutar-mutar pedang, memegang
lengan pemuda itu den dia berdiri melindungi Bun Houw.
Benar saja, dari empat penjuru muncul belasan orang anak buah Lembah Bunga
Merah dengan segala macam senjata di tangan. Melihat Bun Houw, mereka terkejut
sekali, maklum bahwa pemuda yang pernah ditawan den disiksa ini memiliki
kepandaian tinggi. Akan tetapi karena pemuda itu baru saja terluka parah, bahkan
dua tulang pundak juga dikait, mereka kini memandang rendah. Juga mereka
memandang rendah kepada gadis muda cantik yang datang bersama pemuda itu.
"Ha-ha-ha, kau sudah berhasil lolos kini kembali lagi mengantar kematian?"
teriak seorang di antara mereka yang berhidung besar terhias kumis kecil.
"Toanio tentu akan senang sekali. Hayo lekas kawan-kawan tangkap tikus ini!"
Dua belas orang itu menyergap ke depan.
Bun-ko, biarkan aku membereskan mereka!" In Hong berseru dan tubuhnya
berkelebat cepat sekali, seperti halilintar, menyambar-nyambar dan terdengarlah
pekik-pekik kesakitan, Bun Houw hanya berdiri menonton dan diam-diam diapun
terkejut. Dia dapat menduga bahwa gadis yang bernama Hong ini memiliki
kepandaian tinggi, akan tetapi tidak disangkanya akan selihai itu. Gerakannya
aneh sekali, gerakan ilmu silat yang sama sekali tidak dikenalnya, akan tetapi
kecepatannya belum tentu kalah oleh dia sendiri, dan jari-jari tangan yang halus
itu seolah-olah berobah menjadi baja-baja yang ampuh. Setiap tamparan membuat
lawan terguling roboh, setiap tangkisan membuat lengan lawan patah-patah dan
dalam waktu singkat saja, dua belas orang itu sudah roboh semua, merintih-rintih
dan mengaduh-adub! "Mari kita cari mereka!" In Hong berkata kepada Bun Houw yang masih bengong,
memegang tangan pemuda itu dan menariknya ke dalam. Mereka hanya mendapatkan
bangunan kosong. In Hong mengajak Bun Houw menggeledah dan memeriksa di seluruh
perkampungan itu, namun tidak menemui lima orang sakti yang mereka cari. Dengan
penasaran In Hong mengajak Bun Houw kembali ke ruangan depan di mana dua belas
orang anak buah Lembah Bunga Merah itu masih rebah malang-melintang dan mengeluh
kesakitan. "Hayo katakan di mana adanya nenek cabul Ciok Lee Kim dan teman-temannya!"
In Hong membentak sambil mendekati seorang yang patah-patah tulang lengannya.
Orang itu nampak ketakutan, berlutut sambil merintih-rintih.
"Ampunkan kami, lihiap... ampunkan kami... Ciok-toanio dan yang lain telah
pergi dua hari yang lalu... meninggalkan kami dua belas orang menjaga di
sini..." "Ke mane mereka pergi?" In Hong membentak lagi.
"Tidak... tidak... tahu..."
"Keparat, kalian layak mampus!" In Hong mengangkat tangan, akan tetapi tibatiba Bun Houw berkata, "Hong-moi, nanti dulu..."
In Hong menurunkan kembali tangannya dan menoleh, Bun Houw lalu menghampiri
orang itu. "Srattt...!" Dicabutnya pedang In Hong yang diberikan kepadanya itu
dandengan sikap mengancam dia menempelkan mata pedang di leher orang itu. "Hayo
lekas kau mengaku terus terang, ke mana perginya Hui-giakang Ciok Lee Kim dan
Toat-beng-kauw Bu Sit! Kalau kau tidak mau mengaku, pedang ini akan memenggal
lehermu dan leher semua orang di sini!"
"Ampunkan kami... taihiap, ampunkan kami..." Dua belas orang itu memintaminta dan seorang di antara mereka berkata, "Ciok-toanio dan yang lain-lain
tentu pergi mengunjungi tempat tinggal Phang-loya (tuan besar Phang)..."
"Hemmm, kaumaksudkan Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok?" Bun Houw membentak.
"Benar... benar, taihiap..."
"Di mana tempat tinggalnya?"
"Di dusun Ngo-sian-chung, di lembah muara Sungai Huang-ho..."
"Hayo katakan yang jelas, di mana tempat itu!"
"Benar... taihiap... di sebelab timur kota Cin-an... kurang lebih dua puluh
lima li jauhnya... saya tidak membohong..."
Bun Houw mengangguk girang. Kiranya dua orang Bayangan Dewa itu pergi ke
tempat tinggal orang pertama dari Lima Bayangan Dewa! Alamat orang pertama dari
Lima Bayangan Dewa itu saja sudah merupakan keterangan yang amat penting
baginya. "Mari kita menyusul mereka, Hong-moi."
"Tapi... lebih baik kita bunuh dulu mereka ini!" In Hong berkata den kembali
tubuhnya bergerak. Akan tetapi lengannya sudah dipegang oleh Bun Houw.
"Jangan, Hong-moi. Mereka tidak perlu dibunuh."
In Hong mengerutkan alisnya, sejenak mereka saling pandang dan Bun Houw
merasa betapa sinar mata gadis itu berapi-api penuh kemarahan dan kebencian,
amat mengerikan hatinya. Akan tetapi dia memandang dengan tenang. menentang
pandang mata yang berapi-api itu. Perlahan-lahan api dalam mata itu mengecil dan
akhirnya In Hong menundukkan mukanya, merenggutkan lengannya dan melompat keluar
meninggalkan ruangan itu.
Bun Houw juga meloncat keluar mengikutinya. Tanpa mengeluarkan kata-kata,
mereka meninggalkan Lembah Bunga Merah. In Hong berjalan sambil menundukkan
mukanya. Bun Houw berjalan di sebelahnya. Sampai lama mereka tidak mengeluarkan
kata-kata. Tiba-tiba In Hong berhenti melangkah. Bun Houw juga berhenti. In Hong
mengangkat muka memandang, alisnya berkerut. "Kenapa kau tadi menghalangi aku
membunuh mereka" Kenapa kau berani menghalangi aku?"
Bun Houw memandang heran. "Moi-moi, mereka tidak perlu dibunuh."
"Heran aku, mengapa aku menuruti permintaanmu" Belum pernah ada yang berani
menghalangi kehendakku. Hayo katakan, kenapa mereka tidak perlu dibunuh"
Diam-diam Bun Houw bergidik. Gadis aneh dan agaknya gadis ini biasanya tidak
pernah mau memberi ampun kepada musuh-musuhnya dan kalau dia membayangkan betapa
gadis itu tadi akan membunuh dua belas orang anak buah Lembah Bunga Merah itu
dengan darah dingin, begitu saja, dia bergidik ngeri.
"Hong-moi sebelum aku menjawab, lebih dulu katakanlah, apakah engkau tadi
hendak membunuh mereka karena engkau membenci mereka?"
"Tentu saja! Aku benci mereka, dan, dan sepatutnya mereka dibunuh!"
"Hong-moi, karena itulah aku mencegahmu. Di antara kita dan mereka itu tidak
ada permusuhan langsung, mereka hanyalah orang-orang yang mentaati perintah
pemimpin mereka. Dan pula, kita harus turun tangan menghadapi siapapun dengan
dasar membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Kalau hati kita
dikuasai oleh kebencian, mungkin kita akan membunuh orang yang tidak bersalah
hanya berdasarkan perasaan benci itu."
In Hong masih mengerutkan alisnya, seolah-olah tidak memperdulikan kata-kata
itu. "Baiklah, lain kali harap kau tidak mencegah aku lagi. Sekarang kita hendak
ke mana?" "Aku akan menyusul mereka ke Ngo-sian-chung. Dan kau...?"
"Akupun akan mencari mereka, mungkin Lima Bayangan Dewa berkumpul di sana
dan pedang Siang-bhok-kiam disimpan di sana pula."
"Kalau begitu, mari kita melakukan perjalanan bersama, Hong-moi."
In Hong tiba-tiba menggeleng kepalanya. "Tidak! Aku akan pergi sendiri.
Sampai jumpa!" Gadis itu hendak membalikkan tubuh untuk pergi meninggalkan Bun
Houw. Akan tetapi, mengapa, moi-moi" Bukankah tujuan kita sama?"
"Kalau kita melakukan perjalanan bersama, kita tentu akan saling bentrok!"
"Tidak mungkin!"
"Kau mau berjanji babwa lain kali tidak akan mencegah aku lagi?"
"Kalau aku melihat engkau melakukan sesuatu yang tidak benar, sudah
semeatinya aku mencegah dan mengingatkan engkau, Hong-moi."
"Nah, kalau begitu, selamat tinggal!"
"Hong-moi...!" Bun Houw berteriak memanggil namun bayangan gadis itu sudah
lenyap. Dia hanya dapat menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.
Gadis yang hebat, lihai sekali den cantik jelita, akan tetapi juga liar dan
kadang-kadang berwatak aneh den dingin sekali, seperti setan! Terpaksa dia
melanjutkan perjalanan dengan perlahan seorang diri, kadang-kadang berhenti
untuk memulihkan tenaganya, terutama sekali menyembuhkan luka di kedua
pundaknya. *** Semenjak matinya Panglima Besar The Hoo, biarpun bekas kebesaran panglima
itu mendatangkan banyak kemakmuran dan kemajuan dalam pordagangan dan hubungan
dengan luar negeri, namun tetap pengaruh Kerajaan Beng menurun. Kemajuan yang
dipupuk oleh kebesaran The Hoo memang tampak menonjol, membuat Kerajaan Beng
terkenal di seluruh negeri tetangga.
Pada masa itu, semenjak tewasnya Timur Leng yang amat terkenal di barat,
yaitu pada tahun 1404, hubungan dagang dengan Negara Iran dan lain negara barat
dapat dilakukan melalui darat. Oleh karena itu, maka perkembangan armada
Kerajaan Beng dipandang tidak begitu perlu lagi dan perdagangan melalui lautan
dilakukan oleh bangsa-bangsa lain, yaitu bangsa kulit putih dan Jepang.
Pemerintah Beng hanya menerima barang-barang ini di pantai-pantai sehingga
banyak timbul kota-kota besar di pantai lautan yang makin lama menjadi makin
ramai dengan perdagangan dengan bangsa-bangsa asing ini. Betapapun juga, bangsabangsa asing itu yang masih terkesan oleh kebesaran den kekuatan bala tentara
yang dahulu dipimpin oleh Panglima The Hoo dan para pembantunya, tidak ada yang
berani bermain gila atau mengacau secara berterang, apalagi karena perdagangan
mereka mendatangkan banyak untung, yaitu dengan mengangkut rempah-rempah dan
hasil bumi lain dari pedalaman, serta menjual barang-barang luar negeri yang
masih merupakan benda-benda aneh di masa itu.
Di pantai-pantai selatan dan timur, banyak kota-kota dan dusun-dusun
pelabuhan yang menjadi ramai, setiap hari didatangi perahu-perahu asing yang
membawa barang-barang dagangan dan pajak mereka cukup dengan pemberian-pemberian
terhadap para pembesar setempat.
Kota Yen-tai merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai di pantai Lautan Pohai yang banyak disinggahi kapal-kapal dari luar negeri. Banyak terdapat
pedagang-pedagang di temput ini, di kotanya banyak pula berkeliaran orang-orang
asing yang rambutnya beraneka warna, demikian pula matanya, ada yang berwarna
biru, keemasan, dan kuning muda rambutnya, dan mata mereka berwarna biru atau
coklat. Tidak ada di antara mereka yang berambut dan bermata hitam. Pakaian
mereka juga beraneka warna, dan mereka ini adalah pekerja-pekerja kapal atau
pedagang-pedagang yang datang bersama kapal-kapal yang berlabuh, ada pula yang
menetap di kota itu sebagai pedagang. Akan tetapi jarang kelihatan wanita bangsa
asing, semuanya pria, tua dan muda, dengan muka penuh brewok dan gaya mereka
yang bagi penduduk setempat tampak kasar dan biadab! Ada pula orang-orang yang
muka serta kulitnya sama dengan pribumi, akan tetapi tubuh mereka pendek-pendek
dan pakaian mereka agak berbeda. Mereka ini adalah orang-orang Jepang yang
terdiri dari banyak pulau-pulau
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali keadaan Yen-tai sudah ramai karena semalam
banyak kapal asing berlabuh di pantai. Pagi-pagi sudah tampak kesibukan di kota
itu, ada yang menurunkan barang dari kapal-kapal dan ada pula yang menaikkan
rempah-rempah dan hasil-hasil bumi lainnya, juga barang-barang kerajinan dari
pedalaman, terutama sutera dan barang-barang ukiran, yang serba indah dan mahal.
Di antara banyak sekali orang yang beraneka macam bahasanya, bermacam pula
pakaiannya, terdapat seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh satu
tahun, bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah namun amat sederhana gerak-gerik
dan pakaiannya yang berwarna kuning itu, dengan sebatang pedang di pinggangnya,
pemuda itu adalah Tio Sun, putera tunggal dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas
pengawal panglima Besar The Hoo yang paling dipercaya. Seperti kita ketahui,
secara kebetulan Tio Sun menolong Yap Mei Lan dan diapun tertawan oleh orangorang liar yang dipimpin Jeng-hwa Sian-jin Si Ahli Sihir dan hampir saja dia
celaka oleh kawanan Jeng-hwa-pang di dalam hutan itu kalau saja tidak tiba-tiba
muncul seorang yang luar biasa sektinya, tokoh tua yang sudah tidak pernah
muncul di dunia kang-ouw yaitu Bun Hwat Tosu.
Pemuda ini mewakili ayahnya untuk membantu Cin-ling-pai mencari musuh-musuh
besar Cin-ling-pai, yaitu Lima Bayangan Dewa yang telah menyerbu mengacau Cinling-pai, membunuh murid-murid Cin-ling-pai dan mencuri Siang-bhok-kiam. Karena
dia sudah tahu akan nama-nama Lima Bayangan Dewa, Tio Sun menyelidiki dan
akhirnya dia mendengar berita bahwa Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari
Lima Bayangan Dewa, tinggal di sekitar pantai Po-hai. Berita inilah yang membawa
Tio Sun pergi ke pantai Po-hai dan pada pagi hari itu tibalah dia di kota Yen Naga Beracun 5 Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman Pendekar Pemanah Rajawali 34

Cari Blog Ini