Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 11

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


tai. Dengan tenang Tio Sun melangkah dan berjalan di atas jalan raya, mengagumi
keramaian kota itu dan terheran-heran melihat banyaknya orang-orang asing yang
warna rambut, mata dan kulitnya amat mengerikan hatinya itu! Memang belum pernah
dia bertemu dengan orang asing kulit putih, sungguhpun sudah banyak dia
mendengar tentang mereka dari ayahnya.
Gembira hati Tio Sun menyaksikan kota pantai yang amat ramai itu. Seringkali
dia berhenti untuk menonton keramaian, melihat orang-orang berdagang dan
mendengarkan kata-kata yang terdengar agak kaku dan asing keluar dari mulut
orang-orang berkulit putih itu. Juga ia melihat-lihat banyak barang yang aneh
dan indah dipamerkan di toko sepanjang jalan. Akan tetapi setelah setengah hari
berjalan-jalan melihat kota yang ramai ini, akhirnya dia merasa bosan juga dan
akhirnya menjelang senja itu dia berjalan-jalan di tepi pantai laut yang hawanya
lebih sejuk karena angin bertiup dan agak sunyi tidak terdapat terlalu banyak
orang. Tio Sun memasuki sebuah warung di tepi laut, warung yang agak sunyi dan
ketika dia masuk, hidungnya disambut oleh bau arak wangi yang memenuhi tempat
itu. Suara tertawe bergelak disusul munculnya dua orang asing kulit putih keluar
dari dalam warung makan itu, keduanya membawa seguci arak. Sambil tertawa-tawa
mereka bicara dalam bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Tio Sun.
Ketika berpapasan, Tio Sun mendapat kenyataan betapa tingginya dua orang itu.
Dia sendiri sudah terhitung seorang pemuda yang bertubuh jangkung, akan tetapi
ternyata tubuhnya hanya mencapai pundak kedua orang raksasa berkulit putih dan
bermata biru itu. Tio Sun segera melupakan mereka dan dia duduk di atas sebuah bangku, memesan
makanan dan minuman kepada pelayan. Tidak banyak tamu sore itu di warung ini,
hanya beberapa orang yang pakaiannya seperti nelayan dan ketika mereka itu
bicara tentang hasil penangkapan ikan maka jelaslah apa pekerjaan mereka itu.
Ketika Tio Sun sedang makan, tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita, yang
kedengaran agak jauh dari situ. Seketika Tio Sun bangkit berdiri. Jerit itu
terulang lagi. "Toloooooonggg...!"
Tio Sun menggeser bangkunya, siap untuk lari keluar. Akan tetapi para
nelayan yang juga menghentikan percakapan mereka dan memperhatikan jeritan itu,
menoleh ke arah Tio Sun dan seorang di antara mereka yang usianya sudah lima
puluh tahun lebih berkata, "Harap kongcu jangan memperhatikan dan mencampuri
urusan kotor itu." Tio Sun memandang heran, "Mengapa kau berkata demikian, lopek?" Dan pada
saat itu kembali jerit tadi terulang.
Kakek nelayan itu hanya menarik napas panjang dan tidak menjawab, lalu
terdengar ucapan pelayan warung. "Omongan paman nelayan ini benar, kongcu. Tentu
keributan itu dilakukan oleh setan-setan kulit putih pemabok itu, dan yang
menjerit itu hanyalah perempuan-perempuan lacur. Memalukan sekali dan kongcu
akan mtndapat malu saja kalau mencampuri urusan pelacur-pelacur dengan setansetan pemabok itu. Kalau melihat itu, lebih baik kita tulikan telinga dan
butakan mata." "Tolonggggg...!"
"Bagaimana kita dapat menulikan telinga dan membutakan mata kalau mendengar
jerit wanita minta tolong?" Tio Sun berkata dan tanpa menanti jawaban dia sudah
berlari keluar, langsung ke kanan dari mana dia tadi mendengar suara jeritan
itu. Cuaca senja sudah mulai remang-remang akan tetapi dia masih dapat melihat
dua orang laki-laki yang sedang menarik dan menyeret seorang wanita di dekat
pantai, agaknya hendak memaksa wanita itu naik ke sebuah perahu.
"Keparat...!" Tio Sun berlari cepat di sepanjang pantai yang sunyi itu,
otot-otot tubuhnya sudah menegang dan hatinya panas oleh kemarahan.
"Plak-plak!" Dua kali Tio Sun menggerakkan tangannya menampar pundak dua
orang raksasa bule itu. Dua orang itu terhuyung dan melepaskan lengan gadis yang
tadi mereka tarik-tarik. Tamparan itu keras sekali namun hanya membuat mereka
terhuyung, maka tahulah Tio Sun bahwa dua kedua orang raksasa bule itu bertubuh
kuat sekali. Gadis itu sambil menangis menjatuhkan diri berlutut di depan Tio
Sun. "Harap taihiap menolong saya... mereka hendak menculik saya..."
Tio Sun memandang. Gadis itu adalah seorang gadis berpakaian nelayan
sederhana, namun kesederhanaan pakaiannya dan air mata yang membasahi mukanya
itu tidak mengurangi kemanisan wajahnya den kepadatan tubuhnya yang muda.
"Nona, kau minggirlah..." kata Tio Sun dengan tenang, lalu dia melangkah
menghadapi dua orang raksasa bule yang kini sudah melangkah maju dengan muka
mereka merah sekali, mata mereka melotot dan memandang Tio Sun penuh kemarahan.
Mula-mula mereka itu mengeluarkan kata-kata keras dalam bahasa asing itu,
telunjuk mereka menuding-nuding, akan tetapi Tio Sun sama sekali tidak mengerti
artinya. Kemudian seorang di antara mereka, yang rambutnya kemerahan, berkata
dalam bahasa pribumi yang kaku namun sikapnya jelas menunjukkan kemarahannya,
"Kau berani merampas perempuan kami?"
Tio Sun teringat akan cerita pelayan warung dan para nelayan tadi, maka dia
dapat menduga bahwa agaknya dua orang kelasi barat yang mabok ini menganggap
gadis itu sebagai seorang pelacur, maka dengan sikap tenang karena mengira akan
kesalahpahaman mereka, dia menjawab, "Kalian salah sangka. Nona ini adalah
seorang wanita baik-baik, maka kalian tidak boleh kurang ajar terhadapnya."
"Kurang ajar" Apa kurang ajar?" Si rambut merah itu membentak dan mengepal
tinjunya yang besar, matanya juga merah melotot marah. "Kami cinta padanya,
kami... kami akan membayar!"
Tio Sun mengerutkan alisnya. "Kalian orang-orang kasar yang mabok. Jangan
mengganggu wanita dan pergilah!"
Si rambut merah melangkah maju dengan langkah lebar, sedangkan temannya yang
berambut pirang hanya menonton sambil tersenyum-senyum memandang rendah, yakin
bahwa temannya tentu akan memberi hajaran kepada pemuda kecil lemah yang
mencampuri urusan mereka itu.
Si rambut merah menuding-nuding dengan isyarat agar Tio Sun pergi dari situ,
suaranya parau dan kasar, kemarahannya membuat dia makin sukar mengeluarkan
bahasa yang belum dikuasainya benar-benar itu. "Pergi kamu... pergi... dia
perempuan kami...!" Melihat keributan itu, beberapa orang yang datang mendekati untuk menonton,
dan seorang nelayan tua berkata kepada Tio Sun, "Orang muda, sebaiknya kau pergi
dan tidak mencampuri urusan mereka. Ketahuilah, mereka itu adalah dua orang
terkuat di antara mereka yang mempunyai banyak anak buah. Jangan kau mencari
penyakit..." Sementara itu, seorang kakek nelayan lain yang kurus dan berpakaian butut
lari mendatangi, dan melihat kakek ini, gadis nelayan tadi lalu menjerit dan
lari menubruk kakek itu. "Ayahhh...!"
"Kui-ji... kau kenapa...?" Nelayan tua itu bertanya sambil mengelus rambut
kepala anaknya. Akan tetapi gadis itu tidak dapat menjawab, hanya menangis.
Nelayan tua yang tadi memperingatkan Tio Sun berkata, "Kalian cepat
pergi...! Lekas...!"
Ayah dan anak itu terkejut dan keduanya hendak menyingkir dari tempat itu,
akan tetapi raksasa berambut pirang dengan beberapa langkah lebar sudah
mendekat, lalu lengannya yang panjang dengan jari-jari tangannya yang besar itu
menangkap pergelangan tangan gadis manis itu.
"Ha-ha-ha, jangan pergi... jangan pergi... kau manis..." kata raksasa asing
itu sambil tertawa. Sang ayah kini mengerti bahwa anak perempuannya menjadi kebiadaban para
kelasi asing itu, maka dengan marah dia memukul.
"Bukkk............!" Dada yang bidang itu menerima pukulan dengan enak saja,
sedikitpun tidak terguncang dan tangan kiri yang lebar itu mendorong sehingga si
kakek terjengkangkang jauh.
"Ayahhh.........!"
"Keparat......!" Tio Sun melangkah maju.
"Orang muda, mari kita pergi. Kalau mereka mengamuk......!" Nelayan itu berkata
ketakutan. Tio Sun menjadi marah sekali. Di bertolak pinggang, memandang ke sekeliling.
Terutama ke arah beberapa orang nelayan yang berdiri di sekitar tempat itu
dengan wajah ketakutan. "Kalian ini laki-laki ataukah pengecut yang tak tahu
malu! Melihat gadis bangsa kita dihina dan hendak dipermainkan orang-orang asing
biadab ini, kalian sama sekali tidak mengulurkan tangan membantu, malah
ketakutan dan hendak menyingkir, dan lebih celaka lagi, kalian melarang aku
untuk menolongnya. Apakah kalian tidak mau hidup sebagai laki-laki?"
Tidak ada seorangpun yang dapat menjawab. Mereka itu hanya nelayan-nelayan
yang tahunya hanya mencari nafkah setiap hari di lautan, dan mereka semua sudah
maklum akan kekuasaan dan kekasaran orang-orang berkulit putih ini. Orang-orang
kulit putih itu ada kalanya amat baik dan ramah terhadap pribumi, apalagi dalam
hal perdagangan. Akan tetapi sikap mereka itu rata-rata kasar dan keras, apalagi
kalau dihalangi kehendak mereka, keramahan berobah menjadi kekerasan dan
kekejaman. Dan rata-rata mereka itu terdiri dari jagoan-jagoan berkelahi yang
bertubuh kuat dan berani, bahkan agaknya mereka itu mempunyai kesukaan untuk
berkelahi sehingga para nelayan yang sering kali mengalami pemukulan mereka,
kini menjadi takut. Lebih-lebih lagi ketika laporan mereka kepada yang berwajib
bahkan merugikan mereka sendiri karena agaknya ada pertalian persahabatan yang
erat antara pembesar-pembeear setempat dengan orang-orang bule tinggi besar itu.
Dan kenyatannya memang demikian. Para pembesar sudah menerima banyak sumbangan
dan hadiah dari raksasa-raksma ini, maka tentu saja sebagai seorang yang baik
hati para pembesar ini merasa sungkan untuk bersikap memusuhi dan setiap ada
pengaduan mereka ini menyalahkan yang mengadu dan memberi nasihat agar sebagai
"tuan rumah" para pribumi suka mengalah terhadap para tamu yang banyak
mendatangkan keuntungan bagi "rakyat" ini. Tentu saja hanya di mulut mereka ini
mengucapkan demi rakyat, padahal sudah tentu, seperti yang sudah lajim terjadi
di seluruh dunia, mereka itu hanya mementingkan dirinya sendiri dan demi
kepadatan kantong mereka sendiri.
Inilah sebabnya mengapa para nelayan bersikap ketakutan dan teguran Tio Sun
itu hanya membuat muka mereka menjadi merah akan tetapi tidak ada seorangpun
berani menentang dua orang raksasa kulit putih itu.
Sebaliknya, ucapan Tio Sun itu membikin marah si rambut merah. "Setan,
engkau perlu dihajar!" bentaknya dan dia sudah menerjang Tio Sun dengan pukulanpukulan kedua tangannya yang bertubi-tubi dan pukulan-pukulannya ternyata keras
sekali! Tio Sun tentu saja sudah siap dan waspada, dengan mudahnya dia menggerakkan
tubuh sedikit saja namun cukup membuat pukulan kanan kiri yang bertubi-tubi
datangnya itu menyambar angin kosong belaka. Ketika pukulan yang kesekian
kalinya meluncur mengarah dagunya, kepalan kanan si rambut merah yang besar
sekali itu menyambar, Tio Sun menggerakkan tangan menangkis dengan tangan
kirinya. Tangkisan ini membuat tulang bawah lengan kirinya bertemu dengan amat
kerasnya dengan tulang atas lengan kanan si rambut merah.
"Dukkkk... aughhhh...!" Si rambut merah berteriak kesakitan dan memegangi
lengan kanannya. Tulang bawah lengan merupakan bagian yang lebih kuat daripada
tulang atas lengan, biarpun keduanya terlatih sekalipun, apalagi Tio Sun
mempergunakan tulang bawah lengannya dengan pengerahan tenaga sin-kang, tentu
saja membuat lawannya yang terpukul tulang atas lengannya itu merasa nyeri bukan
main seolah-olah tulang lengannya retak-retak rasanya.
Akan tetapi rasa nyeri ini tidak berlangsung lama dan kemarahan si rambut
merah memuncak. Dia mengeluarkan suara gerengan disambung maki-makian dalam
bahasa yang tidak dimengerti oleh Tio Sun, kemudian raksasa rambut merah itu
menerjang seperti seekor kerbau mengamuk, kepalanya di depan, tubuhnya agak
membungkuk dan kedua lengannya merapat tubuh, kedua kepalan tangan yang besar
itu silih berganti menyambar dengan pukulan-pukulan keras yang mengarah bagian
muka dan tubuh atas Tio Sun.
Tentu saja serangan sederhana yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini
merupakan serangan yang sama sekali tidak berbahaya bagi Tio Sun. Dengan amat
mudahnya pemuda ini mengelak dan menangkis, kemudian satu kali tanganya
menyambar dia sudah berhasil memukul leher dekat pundak kiri lawan dengan tangan
kanan yang dimiringkan. "Ngekkk!" Raksasa muka merah itu terjungkal, mengaduh dan memijit-mijit lehernya yang
terpukul. Akan tetapi ternyata dia bertubuh kuat sekali karena dia sudah bangkit
kembali, merogoh saku celana dan mengeluarkan dua buah senjata kalung besi yang
ketika digenggamnya melingkari celah-celah jari kedua tangannya sehingga kini
kepalannya tertutup oleb ujung-ujung besi yang menonjol dan agak meruncing.
Dapat dibayangkan betapa kepala akan dapat pecah dan tubuh akan terluka parah
kalau sekali saja terkena pukulan tangan yang diperlengkapi dengan senjata
istimewa ini. "Mampus kamu! Wuuutttt... siyuuuutt...!" Kembali si rambut merah menyerang
dengan ganas. Kedua matanya sudah menjadi merah dan lagaknya persis seekor lembu
jalang yang mengamuk karena terluka.
Kalau tadi si rambut merah menggunakan cara bertinju menurut aturan karena
dia merasa yakin bahwa dengan kepandaiannya bermain tinju dia akan dapat
mengalahkan lawan yang kelihatan kecil lemah ini, kini dia tidak lagi
memperhatikan aturan dan menggunakan segala akal curang dalam cara berkelahi
untuk mencari kemenangan, maka kini dia tidak lagi memukul ke arah tubuh atas
saja, melainkan dia memukul ke arah lambung, pusar dan lain-lain, bahkan kedua
kakinya yang memakai sepatu boot itupun ikut pula menyerang. Betapapm juga, bagi
Tio Sun, gerakan raksasa ini masih terlalu lambat dan kacau tidak teratur,
pokoknya asal menyerang saja maka sudah tentu amat mudah dihadapi oleh pemuda
gemblengan ini. Dia membiarkan lawan menyerang membabi buta sampai dia mundur
empat langkah, kemudian ketika musuh terus menyerbu, dia melangkah ke kiri,
membiarkan tubuh lawan agak terdorong ke depan dan dengan gerakan kaki cepat
sekali, dia melangkah maju sehingga kini dia berada di sisi belakang lawan.
Cepat kakinya bergerak menyentuh lutut kanan lawan, dibarengi dengan tamparan
jari tangan terbuka ke arah tengkuk.
Si rambut merah kembali terjungkal, kini roboh dan menyeringai kesakitan,
kepalanya pening, pandang matanya berkunang-kunang dan dia melihat ribuan
bintang beterbangan di sekelilingnya, dan kakinya yang kanan menjadi salah urat
di bagian lutut sehingga dia tidak mampu bangun kembali.
Semua nelayan yang menyaksikan pertempuran ini dari tempat aman, melongo dan
terheran-heran mengapa ada pemuda yang begitu berani menentang si rambut merah
yang terkenal kuat dan pemberani itu. Bahkan raksasa rambut merah ini pernah
dikeroyok oleh belasan orang nelayan pribumi tanpa merasa takut dan tidak kalah
pula! Juga si rambut pirang bengong keheranan, hampir tidak percaya bahwa
temannya yang cukup jagoan itu dikalahkan sedemikian mudahnya oleh si pemuda
kecil lemah ini. Keheranannya berobah menjadi kemarahan besar ketika dia tahu
bahwa temannya itu terluka cukup parah karena buktinya tidak mampu bangkit
kembali. Dia lalu mencabut sebatang pisau belati, kemudian tanpa banyak cakap
lagi dia menyerang Tio Sun dengan senjata pisaunya yang mengkilap. Melihat ini,
para nelayan menjadi pucat wajahnya. Pemuda itu tentu akan tewas!
Akan tetapi tentu saja serangan pisau yang menyambar ke arah perutnya itu
merupakan serangan yang tidak ada artinya bagi Tio Sun. Akan tetapi pemuda ini
juga sama sekali tidak ada niat di hatinya untuk membunuh dua orang ini, karena
dia masih menganggap bahwa kesalahan mereka itu hanya timbul karena mungkin
terjadi salah pengertian belaka. Mungkin karena kurang pandai bicara atau belum
begitu menguasai bahasa daerah, orang-orang asing ini salah menduga dan mengira
gadis nelayan itu seorang perempuan pelacur yang boleh dipermainkan sesukanya
asalkan dibayar! Dia sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan mabok seperti
itu, dua orang asing ini memang menganggap semua perempuan pribumi suka kepada
mereka dan boleh mereka ajak bermain cinta dengan hadiah uang.
Karena tidak ingin membunuh, maka Tio Sun juga hanya mengelak dari sambaran
pisau itu. Sampai lima kali dia terus mengelak sambil berkata, "Kau pergilah dan
jangan ganggu wanita!"
Akan tetapi mana mungkin si rambut pirang yang sudah marah dan mabok itu mau
menerima begitu saja" Dia menyerang makin ganas karena terbawa oleh rasa
penasaran, betapa lawannya dapat mengelak dengan mudah, bahkan sambil
menasihatinya! Pada saat itu, kelasi barat yang berambut merah sudah berhasil
bangkit, terpincang-pincang dan meniup peluitnya. Terdengar bunyi peluit
melengking nyaring berkali-kali dan para nelayan yang mendengar peluit ini
menjadi terkejut. Mereka maklum apa artinya bunyi peluit ini. Kelasi asing itu
memanggil kawan-kawannya dan mereka menjadi takut kalau-kalau terbawa-bawa, maka
mereka lalu melarikan diri dari pantai itu untuk pergi melapor kepada yang
berwajib agar pemuda itu tidak sampai dikeroyok dan mati secara mengerikan.
Tadinya Tio Sun tidak mengerti apa artinya tiupan peluit nyaring itu. Akan
tetapi ketika dia melihat belasan orang asing datang berlarian ke tempat itu,
dia mengerti bahwa itu tentulah teman-teman dua orang ini yang datang memenuhi
panggilan suara peluit tadi. Marahlah hatinya dan dia berkata kepada dua orang
itu, "Gadis itu dan ayahnya sudah pergi. Perlu apa ribut-ribut lagi" Mundurlah,
kalian dan aku tidak akan memperpanjang urusan ini!"


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ucapan Tio Sun itu dianggap sebagai sikap ketakutan oleh dua orang asing
itu, maka si rambut pirang memperhebat serangan pisaunya, dan si rambut merah
terpincang-pincang memberi isyarat kepada kawan-kawannya agar lebih cepat
datang. "Keparat!" Tio Sun membentak dan pada saat pisau menyambar untuk ke sekian
kalinya, dia hanya miringkan sedikit tubuhnya, pada saat pisau itu meluncur
dekat dadanya dia cepat menggerakkan tangannya yang dimiringkan, membacok ke
arah lengan yang memegang pisau itu.
"Dukkk... plak!" Pisau terpental dan pukulan ke arah lengan itu disusul
tamparannya yang mengenai bawah telinga lawan. Si rambut pirang terpelanting dan
mengaduh-aduh, kepalanya seperti pecah rasanya.
Pada saat itu, sebelas orang kulit putih lain yang merupakan anak buah dua
orang kelasi jagoan ini, sudah tiba di situ dan tanpa banyak cakap lagi
mengepung dan menyerang Tio Sun dari berbagi jurusan, dengan senjata macammacam, besi pelindung kepalan, pisau dan rantai.
"Kalian orang-orang biadab yang jahat!" Tio Sun berseru dan kini pemuda ini
mengamuk. Gerakannya tangkan dan cepat, membagi-bagi pukulan dan tendangan di
antara mereka, sehingga ramailah pertempuran itu. Para pengeroyok itu jatuh
bangun dan setiap kali kaki atau tangan Tio Sun bergerak pasti ada seorang
pengeroyok yang terjungkal atau terpelanting, setidaknya terhuyung-huyung sambil
mengaduh-aduh. Tidak ada yang tahu betapa sejak tadi ada sepasang mata jeli yang
menonton pertempuran keroyokan itu dengan mata berseri-seri dan mulut
mengeluarkan kekagumannya melihat ketangkasan Tio Sun. Mata jeli ini milik
seorang dara muda yang memiliki kecantikan yang khas. Melihat pakaiannya, dia
adalah seorang dara pribumi yang berkecukupan, akan tetapi kalau orang
memperhatikan dia di tempat terang, tidak di tempat gelap seperti sekarang ini
karena senja telah tua, orang akan melihat bahwa sepasang matanya lebar, tidak
seperti dara wanita pribumi, dan warnanya kebiruan! Juga rambutnya tidaklah
hitam seperti biasa, melainkan agak keemasan! Mata dan rambutnya seperti orang
asing itu, akan tetapi bentuk tubuhnya seperti wanita pribumi, demikian pula
pakaiannya! Karena inilah maka dia memiliki kecantikan yang khas dan aneh,
memiliki daya tarik tersendiri, berbeda dari dara-dara umumnya.
Tio Sun yang mengamuk dengan sibuknya, juga karena waktu itu cuaca sudah
mulai gelap, sama sekali tidak melihat betapa orang asing berambut merah tadi
kini mengeluarkan sebuah benda mengkilap, yang dipegang dengan tangan kanannya,
kemudian membidikkan benda itu ke arah pundak Tio Sun yang masih mengamuk diagan
hebatnya, merobohkan semua pengeroyoknya dengan pukulan dan tendangan terukur
agar tidak sampai membunuh orang.
Ketika dara yang menonton pertempuran itu dari tempat tersembunyi melihat si
rambut merah mengeluarkan benda itu, dia kelihatan kaget sekali dan dengan
geraken cepat dia sudah mencabut sebatang hui-to (pisau terbang) yang bentuknya
mungil dan dihias ronce-ronce merah, kemudian secepat kilat dia menggerakkan
tangannya. Pisau kecil itu maluncur cepat, mengeluarkan suara berdesing dan
tepat mengenai tangan si rambut merah yang memegang pistol dan sedang
membidikkan pistol itu ke punggung Tio Sun.
"Crepp... auwww...!" Pistol itu terlepas dari tangan si rambut merah yang
berteriak kesakitan karena pisau kecil beronce merah itu telah menancap di
tangannya. "Pedro...! Berani kau dan kaki tanganmu mengacau di sini, bahkan hendak
menggunakan senjata api" Kalau aku menangkapmu dan mengajukanmu ke depan
pengadilan, apakah kalian tidak akan celaka semua?"
Si rambut merah yang disebut Pedro oleh dara cantik itu makin terkejut. Dia
menoleh, memandang kepada dara itu dan semua teman-temannya yang sudah jatuh
bangun oleh hajaran Tio Sun juga terkejut. Mereka semua memandang kepada nona
itu yang kini berdiri dengan tegak dan gagahnya bertolak pinggang dan memandang
marah kepada si rambut merah.
"Maaf... nona De Gama... maafkan kami..." Pedro kini berkata sambil
memegangi tangannya yang terluka.
"Kalian memang berani mati!" Nona itu menghardik lagi, sikapnya penuh wibawa
dan kata-katanya seperti menusuk jantung tiga belas orang itu. "Sudah berapa
kali kami memperingatkan pimpinanmu agar kalian tidak membikin ribut di sini,
dan terutama tidak boleh mengganggu penduduk pribumi. Kembalikan pisauku!"
bentaknya. Sambil menggigit bibirnya Pedro mencabut pisau terbang yang menancap di
tangan kanan itu dengan tangan kirinya, kemudian dia melangkah maju, menyerahkan
pisau kecil itu, wajahnya masih merah karena mabok, akan tetapi pandang matanya
penuh rasa jerih. Dara itu menerima kembali pisaunya, lalu berkata dengan sikap
dingin dan memerintah, "Kalian pergilah!"
"Terima kasih, nona." Pedro membungkuk dengan hormat, mengambil pistolnya
dan memberi isyarat kepada teman-temannya untuk pergi. Semua temannya juga
memberi hormat kepada dara muda itu.
"Pedro, lain kali kalau engkau mendarat dengan membawa pistol, aku tidak
akan mengampunimu lagi." Nona itu menyusulkan kata-kata ancaman.
Pedro membalik, lalu membungkuk, kemudian merekapun pergi menuju ke perahuperahu yang mereka naiki dan mereka dayung ke tengah lautan di mana terdapat
kapal mereka yang berlabuh.
Mereka berdiri saling berhadapan dan berusaha untuk meneliti wajah masingmasing menembus kesuraman cuaca hampir malam, Tio Sun memandang penuh kekaguman.
Dara ini masih muda dan cantik sekali, akan tetapi mempunyai wibawa begitu besar
den sanggup mengusir belasan orang laki-laki kasar tadi dengan kata-kata dan
ancaman saja, juga dia melihat hui-to yang tadi menancap di tangan si rambut
merah dan biarpun dia tidak melihat cara gadis itu menyerang si rambut merah,
namun dia maklum juga bahwa dara ini selain cantik jelita dan berpengaruh, juga
tentu memiliki kepandaian tinggi. Di lain fihak, nona itupun memandang Tio Sun
dengan kagum, menatap wajah yang membayangkan kesederhanaan, kejujuran dan
kegagahan itu, wajah yang biarpun tidak dapat dikatakan tampan, namun juga tidak
buruk dan cukup jantan. Tio Sun yang masih memandang kagum, juga diam-diam dia terheran-heran. Nona
ini adalah seorang gadis pribumi, akan tetapi tadi telah menggunakan bahasa
orang asing, bahasa orang biadab itu ketika bercaka-cakap dengan mereka! Hal ini
tentu saja menambah kekagumannya dan kini dia menjura dengan hormat sambil
berkata, "Banyak terima kasih atas bantuan nona yang telah berhasil menyuruh
mereka pergi sehingga keributan ini dapat dihentikan."
Dara itu tersenyum dan balas memberi hormat. "Engkau begini sopan den ramah,
taihiap (pendekar besar), sungguh mengherankan bagaimana dapat bentrok dengan
mereka?" Kembali Tio Sun terkejut. Ternyata gadis ini dapat bicara dalam bahasa
daerah yang baik sekali! Hal ini membuktikan bahwa dia benar-benar berhadapan
dengan seorang gadis pribumi, akan tetapi bagaimana tadi gadis ini dapat bicara
dalam bahasa asing terhadap gerombolan orang kasar itu" Dia makin kagum akan
kepintaran gadis ini, maka dia cepat menjawab, "Nona, sebetulnya tidak ada
urusan pribadi antara saya dengan mereka. Saya sedang makan di warung sana
ketika saya mendengar jerit seorang wanita. Saya cepat lari ke sini dan melihat
seorang gadis nelayan sedang ditarik-tarik oleh dua orang di antara mereka tadi,
yaitu yang berambut merah dan pirang tadi. Mereka agaknya sedang mabok, maka
melihat gadis nelayan itu berteriak minta tolong dan mereka menggunakan
kekerasan, saya lalu mencegah. Kemudian datang teman-teman mereka dan saya
dikeroyok." "Dan tikus-tikus itu akan mati semua sekiranya taihiap menghendaki. Betapa
tidak tahu diri mereka itu!"
Tio Sun terkejut karena ucapan ini jelas menunjukkan betapa tajam pandang
mata dara ini dan ini saja sudah jelas membuktikan bahwa dara ini tentu pandai
ilmu silat sehingga tahu bahwa dia tadi melayani pengeroyokan mereka itu dengan
menggunakan tenaga terukur agar jangan sampai kesalahan tangan membunuh mereka.
"Ah, nona terlalu memuji...!" katanya, akan tetapi dia sendiri merasa heran
mengapa hatinya menjadi begini girang mendengar nona ini menyebutnya "taihiap"
dan mengetahuinya bahwa dia tadi tidak bersungguh-sungguh menghajar belasan
orang itu" Biasanya, pujian-pujian baginya hanya akan menimbulkan perasaan muak
karena sejak kecil dia sudah digembleng ayahnya sehingga dia menganggap pujian
orang lain sebagai suatu hal yang amat berbahaya. Jangan mendengarkan pujian,
demikian kata ayahnya, karena pujian itu merupakan racun yang dapat membuatmu
menjadi tinggi hati dan sombong sehingga mengurangi kewaspadaan. Kini, nona ini
memujinya dan baru pertama kali selama hidupnya dia merasa girang dan bangga!
"Saya tidak memuji hanya bicara tentang apa adanya. Taihiap berilmu tinggi
dan sudah lama sekali saya ingin bertemu dengan seorang pendekar seperti taihiap
yang banyak saya dengar dari cerita ibu saya. Menurut ibu, seorang pendekar
sakti yang budiman seperti taihiap akan selalu siap membantu orang yang dilanda
malapetaka, benarkah itu?"
Tio Sun merasa tidak enak juga mendengar dia dianggap sebagai seorang
pendekar sakti yang budiman! Sudah terlampau berlebihan pujian ini! Akan tetapi
karena sikap dara itu jujur dan tidak dibuat-buat, dia menjawab juga, "Nona,
saya bukan seorang pendekar sakti budiman, akan tetapi sebagai seorang manusia,
tentu saja saya selalu siap untuk menolong manusia lain yang dilanda
malapetaka." "Kalau begitu, harap taihiap sudi menolong saya yang sedang dilanda
malapetaka dan menderita kegelisahan hebat ini!" Berkata demikian, nona itu
tiba-tiba lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun.
Tentu saja pemuda itu menjadi terkejut bukan main. "Ah, nona... Jangan
berbuat demikian... tentu saja saya selalu siap sedia membantumu... harap jangan
berlutut seperti ini." Tio Sun memegang kedua lengan yang kecil itu dan menarik
nona itu untuk bangun, Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapat
kenyataan bahwa sedikitpun nona itu tidak dapat diangkatnya naik. Nona itu
ternyata telah mengerahkan ilmu memberatkan tubuh!
"Saya tidak akan bangkit kalau taihiap belum berjanji akan menolong saya."
"Janji baru dapat diberikan kalau saya sudah mendengar urusannya, nona.
Bagaimanapun juga saya hanya akan membantu fihak yang benar." Tio Sun yang
maklum bahwa gadis ini sengaja hendak mengujinya, lalu mengerahkan sin-kangya.
Gadis itu mempertahankan diri, akan tetapi Tio Sun adalah putera tunggal Bankin-kwi Tio Hok Gwan yang memiliki ilmu menghimpun tenaga selaksa kati yang amat
hebat. Maka dara itu akhirnya tidak kuat bertahan dan tubuhnya dapat diangkat
oleh Tio Sun. Akan tetapi, biarpun dengan dipegang kedua lengannya dia dapat
diangkat, tetap saja dia dalam keadaan berlutut seolah-olah tubuhnya menjadi
kaku seperti batu! Tio Sun terkejut dan kagum sekali. Tidak salah dugaannya
bahwa nona ini memiliki kepandaian yang tinggi juga!
Harap nona tidak sungkan-sungkan dan mari kita bicara," katanya sambil
melepaskan kedua lengan itu. Nona itupun turun keadaan berdiri dan di dalam
kegelapan malam itu dia memandang dengan wajah berseri penuh harapan.
"Di sini bukan tempat bicara. Marilah saya persilakan taihiap untuk singgah
di rumahku dan di sana kita dapat berbicara dengan leluasa, dan saya akan
menceritakan malapetaka apa yang menimpa diri saya."
Tio Sun mengangguk. Kalau seorang gadis yang memiliki kepandaian begini
hebat, dan juga mempunyai pengaruh terhadap orang-orang kasar tadi sampai dapat
dilanda malapetaka, tentulah telah terjadi hal yang amat hebat. Mereka lalu
berangkat menuju ke rumah gadis itu, akan tetapi Tio Sun lebih dulu mengajak
nona itu singgah di warung untuk membayar makanan yang tadi dipesannya dan yang
belum dimakan sampai habis. Pemilik warung yang sudah mendengar akan perkelahian
Tio Sun dikeroyok oleh banyak orang asing itu menyambut sambil membungkuk
hormat, akan tetapi sikapnya menjadi makin menghormat ketika dia melihat nona
itu datang bersama Tio Sun.
"Ah, kiranya Souw-siocia (nona Souw)... silakan duduk, nona..." kata pemilik
warung dan dara itu mengucapkan terima kasih dan menanti di luar sampai Tio Sun
selesai membayar harga makanan.
Diam-diam nona itu menjadi semakin kagum dan girang. Tidak salah lagi,
pikirnya. Seperti inilah seorang pendekar budiman yang seringkali dia mendengar
diceritakan oleh ibunya akan tetapi yang belum pernah dijumpainya.
Tio Sun di lain fihak tercengang ketika nona itu mengajaknya memasuki
pekarangan sebuah bangunan yang besar dan megah.
"Inikah rumahmu, nona?" tanyanya dengan ragu-ragu.
Nona itu tersenyum. "Harap jangan perdulikan rumah, taihiap. Engkau datang
untuk bicara dengan aku, bukan dengan rumah, bukan?"
Tio Sun mengangguk. Benar, mengapa dia ribut tentang keadaan nona ini"
Apakah bedanya andaikata nona ini seorang miskin sekali ataukah seorang yang
kaya raya" Mereka memasuki ruangan depan, disambut oleh dua orang pelayan wanita
yang memberi hormat kepada nona majikan mereka dan kepada tamu itu. Dara itu
mengajak Tio Sun memasuki sebuah ruangan besar, ruang tamu dan memerintahkan dua
orang pelayannya untuk mempersiapkan hidangan.
"Ah, tidak perlu repot-repot, nona..." Tio Sun mencegah.
"Tidak repot, akan tetapi seharusnya. Bukankah taihiap sedang makan ketika
taihiap mendengar wanita minta tolong" Nah, akupun belum makan malam maka sudah
sepatutnya kalau saya mengajak taihiap makan malam bersama."
Mereka duduk berhadapan terhalang meja dan Tio Sun makin heran melihat sikap
dara ini yang demikien terbuka dan polos, tidak malu-malu seperti kebanyakan
gadis yang dijumpainya. Akan tetapi ketika dia memandang dan kini wajah gadis
itu nampak jelas disinari lampu gantung di atas mereka, Tio Sun terkejut bukan
main. Gadis itu cantik! Cantik bukan main, seperti gambar seorang bidadari! Akan
totapi matanya berwarna kebiruan dan rambutnya keemasan! Seorang gadis asing!
Akan tetapi kulitnya yang kuning, tata rambutnya, pakaiannya, bicaranya adalah
seratus prosen gadis pribumi. Hanya warna mata dan rambutnya! Dia memandang
bengong! "Eh, taihiap, engkau memandang apa?" Nona itu menegur ketika melihat Tio Sun
terlongong seperti orang terkena pesona, senyumnya melebar dan di sebelah kiri
mulutnya muncul lesung pipit yang manis sekali. Kini tampak jelas oleh Tio Sun
betapa dara itu sebetulnya masih amat muda, akan tetapi agaknya memang mempunyai
tubuh yang lebih besar daripada gadis-gadis biasa, karena biarpun tubuhnya yang
padat itu seperti tubuh dara yang matang, namun wajahnya menunjukkan bahwa dia
baru saja di ambang pintu kedewasaan, paling banyak tujuh belas tahun usianya.
"Maaf... eh, saya kira nona seorang gadis pribumi, akan tetapi..."
Nona itu menghela napas panjang. "Kaumaksudkan mataku biru dan rambutku agak
keemasan?" Lega hati Tio Sun dan dia mengangguk, karena rasanya amat tidak enak kalau
dia yang harus mengatakan hal itu.
"Memang demikianlah" kata nona itu. "Kalau aku dikatakan gadis pribumi, hal
itu benar, dan namaku adalah Souw Kwi Eng, akan tetapi kalau ada yang mengatakan
bahwa aku seorang gedis asingpun, benar dan namaku adalah Maria de Gama. Ayahku
seorang Portugis aseli akan tetapi ibuku seorang Tionghoa aseli pula."
"Aihh, kiranya begitukah...?" Tio Sun memandang dengan penuh kagum dan
terheran-heran karena baru sekarang ini dia bertemu dengan seorang peranakan
yang berdarah campuran. Namun harus diakuinya bahwa belum pernah dia melihat
yang begini mempesonakan, begini cantik jelita, kecantikan yang khas dan amat
menawan hatinya yang berdebar-debar.
"Akan tetapi ayahku bukanlah seperti orang-orang kasar yang mengeroyokmu
tadi, taihiap. Ayahku adalah seorang terpelajar, yang di negaranya termasuk
seorang ahli pedang yang disegani, dan di sini dahulu terkenal sebagai pemilik
kapal den juga kapten kapal. Adapun ibuku juga seorang pendekar wanita yang
terkenal, karena ibuku adalah murid Panglima The Hoo yang terkenal itu. Ayah
bernama Yuan de Gama, maka aku memakai nama Maria de Gama, sedangkan ibuku she
Souw, maka akupun memakai nama keturunan Souw."
Tio Sun kelihatan terkejut bukan main mendengar nama-nama itu. Dia pernah
mendengar penuturan ayahnya tentang nama-nama itu.
Nona... apakah ibumu bernama Souw Li Hwa...?"
Wajah nona yang cantik itu berseri gembira. "Kau telah mengenal ibuku?"
Tio Sun menggeleng kepala. "Aku hanya mendengar dari ayah. Ketahuilah nona,
bahwa ayahku bernama Tio Hok Gwan dan ayah adalah bekas pengawal setia dari
mendiang Panglima Besar The Hoo, oleh karena itu ayah tentu saja mengenali murid
beliau, yaitu ibumu yang bernama, Souw Li Hwa. Akan tetapi..." Dia memandang
wajah yang cantik jelita itu dengan alis berkerut karena dia merasa sangsi,
bahkan agak curiga memandang nona itu.
"Akan tetapi apakah, taihiap?"
"Menurut cerita ayahku, pendekar wanita Souw Li Hwa telah tewas, tenggelam
bersama Yuan de Gama di atas kapal... bagaimana mungkin sekarang muncul seorang
puterinya...?" "Memang begitulah yang diketahui oleh semua orang, akan tetapi ada rahasia
di balik semua itu, taihiap. Sebetulnya ayah merahasiakan keadaan kami ini, akan
tetapi karena sekarang aku menghadapi malapetaka dan membutuhkan bantuanmu,
apalagi setelah aku mengetahui bahwa engkau adalah putera seorang pengawal setia
dari mendiang The-sucouw (kakek guru The), biarlah aku menceritakannya
kepadamu." Dara itu lalu bercerita yang didengarkan oleh Tio Sun dengan penuh perhatian
dan kekaguman. Tentu saja pembaca cerita "Petualang Asmara" juga terheran-heran
mendengar pengakuan nona peranakan yang bernama Maria de Game alias Souw Kwi Eng


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, karena para pembaca tentu masih ingat betapa Souw Li Hwa, pendekar wanita
perkasa murid Perdana Menteri The Hoo telah tewas bersama pemuda asing yang
dicintainya, yaitu Yuan de Gama. Oleh karena itu, mari kita mendengarkan
penuturan nona cantik yang mengaku sebagai puteri Souw Li Hwa itu.
Seperti telah diceritakan dalam cerita "Petualang Asmara", Yuan de Gama,
seorang pemuda Portutis yang gagah perkasa, sebagai seorang kapten kapal, tidak
mau meninggalkan kapalnya yang terbakar dan tenggelam. Setiap orang kapten yang
terhormat dan gagah perkasa harus sehidup semati dengan kapalnya, maka biarpun
dia masih mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri, meninggalkan kapalnya
yang mulai tenggelam, Yuan de Gama berkeras tidak mau meninggalkannya. Dan
seorang dara cantik jelita dan perkasa, murid Panglima The Hoo, yang bernama
Souw Li Hwa, juga berkeras tidak mau meninggalkan Yuan de Gama yang dicintanya.
Kedua orang muda yang saling mencinta ini saling berpelukan dan ikut tenggelam
bersama kapal yang terbakar itu, disaksikan oleh ribuan pasang mata yang merasa
terharu dan kagum sekali, termasuk mata pendekar-pendekar Cia Keng Hong, Yap Kun
Liong, Panglima Besar The Hoo dan lain-lain.
Sudah dapat dipastikan kedua orang muda yang sallig mencinta itu akan mati
tenggelam di lautan kalau saja pada saat kapal tenggelam itu tidak terjadi
sesuatu yang amat luar biasa. Seorang laki-laki tua yang berpakaian nelayan,
yang tidak mencampuri perang yang terjadi antara fihak pemberontak dan tentara
pemerintah (baca Petualang Asmara) dan yang ikut pula menyaksikan terbakarnya
kapal dan ikut tenggelamnya pasangan yang saling berpelukan itu bersana
kapalnya, memandang peristiwa itu dengan air mata menitik turun di kedua pipinya
yang keriputan. Akhirnya tanpa ada yang melihatnya, kakek tua renta yang
perpakaian sebagai nelayan sederhana lalu meloncat dan terjun ke dalam air,
menyelam dan lenyap. Demikianlah, Yuan de Gama dan Souw Li Hwa yang sudah hampir mati lemas,
tahu-tahu telah berada di darat, di tempat yang sunyi dalam hutan. Mereka
ditolong dan diselamatkan oleh kakek nelayan itu. Mula-mula Yuan de Gama marahmarah karena hidupnya itu merupakan suatu hal yang amat memalukan, dan dia dapat
dianggap seorang pengecut karena sebagai seorang kapten dia tidak mati tenggelan
bersama tenggelamnya kapal. Hampir saja dia marah dan menyerang kakek itu, akan
tetapi dicegah oleh Souw Li Hwa yang menangis dan menyatakan keinginan hidupnya
bersama kekasihnya itu setelah ternyata mereka berdua masih hidup.
Adapun kakek itu dengan sabar dan tenang berkata, "Mungkin sekali kebiasaan
bangsamu itu dianggap sebagai perbuatan gagah perkasa, namun di sini hanya akan
dianggap sebagai perbuatan tolol, suatu pembunuhan diri yang konyol. Bagaimana
nyawa manusia disamakan dengan tenggelamnya sebuah benda mati seperti kapal"
Pula, engkau sudah memenuhi kebiasanan itu, sudah tenggelam bersama kapalmu,
maka apakah salahnya kalau hal itu tidak membuat kau mati karena memang Thian
belum menghendaki kau mati" Setelah sekarang kapalmu tenggelam dan kau dapat
kuselamatkan di sini, apakah kau lalu akan membunuh dirimu sendiri bersama
wanita yang amat setia kepadamu ini?"
Mendengar ucapan kakek nelayan se'derhana itu, Yuan de Gama tertegun dan
tidak dapat membantah. Memang, kapalnya sudah tenggelam dan dia ternyata masih
hidup, bukan atas kehendaknya karena dia ditolong dalam keadaan tidak sadar. Tak
mungkin sekarang dia harus mengajak Souw Li Hwa untuk bersama-sama membunuh
diri! Kematian gagah seorang kapten adalah tenggelam bersama kapalnya, bukannya
membunuh diri secara konyol satelah kapalnya tidak ada lagi! Akhirnya Yuan de
Game dapat melihat kebenaran itu dan tak lama kemudian dia saling rangkul dengan Souw Li Hwa yang menangis sesenggukan sehingga Yuan tidak dapat bertahan lagi
untuk tidak mencucurkan air mata. Kakek nelayan itu tertawa bergelak saking
girangnya dan demikianlah, mulai saat itu Yuan de Game dan Souw Li Hwa hidup
sebagai suami isteri dan kakek nelayan itu yang ternyata memiliki kepandaian
renang den bermain di dalam air seperti seekor ikan saja, menjadi pembantu
mereka. Yuan de Game masih merasa sungkan untuk muncul di tempat ramai dan ketahuan
oleh orang-orang bahwa dia tidak lagi menjadi seorang kapten yang gagah perkasa
maka dia mengajak untuk hidup sunyi di pantai laut dalam hutan, hanya ditemani
oleh kakek nelayan itu. Akan tetapi, setelah setahun kemudian Souw Li Hwa melahirkan anak kembar,
terpaksa Yuan mengajak keluarganya pindah ke kota Yen-tai dan di situ dia hidup
sebagai seorang pedagang yang dalam waktu beberapa tahun saja, telah menjadi
kaya raya. "Demikianlah, taihiap, aku diberi nama Maria de Gama alias Souw Kwi Eng,
sedangkan kakak kembarku bernama Richardo de Game seperti kakek, alias Souw Kwi
Beng. Kakek nelayan itu mengajar kami berdua ilmu di dalam air, sedangkan ibu
mengajar kami ilmu silat. Dua tahun yang lalu kakek nelayan itu telah meninggal
dunia karena usia tua."
Mendengar penuturan itu, Tio Sun cepat bangkit dari kursinya, dan menjura
dengan penuh hormat. "Maafkan kesangsian saya tadi. Kiranya nona adalah puteri
pendekar Souw Li Hwa yang dipuji-puji oleh ayah, dan setelah mendengar siapa
adanya nona, maka tentu saja saya siap untuk membantu nona."
"Terima kasih, taihiap..."
"Maaf, harap nona tidak menyebut saya taihiap. Saya adalah putera ayah saya
Tio Hok Gwan yang mengenal baik ibu nona, dan nama saya Tio Sun. Sekarang,
perkenankan saya menghadap ibu nona untuk menyampaikan hormat saya..."
"Aihhh, kalau ibu berada di rumah, tentu sudah sejak tadi dia keluar. Tiotaihiap... eh, baik kusebut kau twako saja, ya?"
"Terserah, asal jangan menyebut taihiap, karena saya tidak pantas disebut
taihiap." "Baiklah, Tio-twako. Ketahuilah bahwa ayah ibuku sudah setengah tahun ini
pergi berkunjung ke barat, ke negeri ayahku di Portugal. Aku dan Beng-koko tidak
boleh ikut dan diharuskan melanjutkan perdagangan ayah den menjaga rumah. Akan
tetapi baru beberapa hari yang lalu terjadilah malapetaka itu."
"Peristiwa apakaah yang terjadi, nona?"
"Kakakku diculik orang..." Dan wajah itu seketika menjadi muram, pandang
matanya diliputi kegelisahan.
Tio Sun terkejut, akan tetapi pada saat itu, empat orang pelayan datang
membawa hidangan yang segera diatur di atas meja. "Nanti saja kita lanjutkan,
twako,", kata Kwi Eng dan mereka lalu makan. Tio Sun yang kini sudah mengenal
siapa adanya dara yang amat menarik hatinya ini tidak sungkan-sungkan lagi dan
mereka makan tanpa bicara, kecuali kalau Kwi Eng menawarkan ini-itu kepada
tamunya. Setelah selesai makan den sisanya diasingkan oleh para pelayan, mereka kini
duduk berdua lagi dan bercakap-cakap.
"Sekarang ceritakanlah bagaimana kakakmu dapat diculik orang, nona. Melihat
kelihaianmu, tentu kakak kembarmu itupun seorang yang tidak akan mudah diculik
orang begitu saja." "Dugaanmu memang benar, twako. Beng-koko memiliki kepandaian yang cukup,
bahkah lebih pandai daripada aku. Selama belajar, aku hanya dapat mengatasi
kakakku itu dalam ilmu di dalam air saja, akan tetapi dalam latihan ilmu silat,
dia lebih pandai dariku. Akan tetapi yang menculiknya juga bukan orang biasa,
melainkan gerombolan bajak laut Jepang yang diketuai oleh seorang yang lihai
sekali yang bernama Tokugawa, dan terkenal sebagai seorang jagoan samurai yang
menyeleweng menjadi kepala bajak. Di antara Tokugawa dan ayah ibu memang
terdapat permusuhan, dimulai ketika Tokugawa dan anak buahnya merampok kapal
milik ayah dan ayah bersama ibu segera merampasnya. Di dalam pertandingan satu
lawan satu, Tokugawa dikalahkan oleh ibu. Semenjak itu, Tokugawa agaknya
tergila-gila kepada ibu dan memiliki niat tidak baik, ingin membunuh ayah dan
merampas ibu! Tentu saja ayah dan ibu menentangya dan selalu gerombolan Tokugawa
dikalahkan. Kini, setelah ayah dan ibu pergi ke barat agaknya Tokugawa berani
lagi bermain gila. Setelah dia dikalahkan untuk yang terakhir kalinya, dia Odak
berani muncul lagi dan kabarnya menyembunyikan diri di Pulau Hiu yang kosong.
Tiba-tiba, beberapa hari yang lalu dia muncul, tentu telah menggunakan akal
sehingga dia berhasil menculik Beng-koko den mengiriin surat kepadaku. Inilah
suratnya!" Dengan wajah gelisah Kwi Eng lalu memperlihatkan sesampul surat yang ditulis
dengan huruf-huruf kasar namun cukup jelas untuk dapat dibaca.
"Kalau ingin melihat pemuda peranakan asing pulang dengan selamat, kirimkan
kapal Angin Timur ke Pulau Hiu sebagai penukarnya."
Di bawah huruf-huruf itu, terdapat sebuah gambar tengkorak hitam. "Apakah
artinya gambar ini?" tanya Tio Sun setelah membaca surat itu.
"Itulah julukan Tokugawa, Si Tengkorak Hitam yang menjadi bendera
gerombolannya." Setelah mengembalikan surat itu, Tio Sun bertanya, "Dan kapal Angin Timur
itu adalah milik ayahmu?"
"Ya, kapal itu milik kami, kapal yang terbesar dan belum lama ini dibeli
oleh ayah dari barat."
"Kenapa kau tidak melaporkan kepada yang berwajib, nona" Bukankah sudah
jelas ada bukti dengan surat itu?"
"Brakkkk!" Kwi Eng menggebrak meja sampai meja itu tergetar. "Itulah yang
menjengkelkan dan menggemaskan! Kau tahu, twako, semua pembesar korup itu telah
makan sogokan dari settap orang. Siapa saja yang mampu menyogoknya, tentu akan
dilindungi, bahkan penjahat sekalipun tidak akan mereka ganggu selama penjahat
itu melakukan sogokan dan membagi hasil!"
"Kaumaksudkan Tokugawa telah menyuap para pembesar?"
"Hal itu sudah diketahui oleh umum. Karena yang berani menentang hanya ayah
dan ibuku, maka kini Tokugawa menentang kami dan berani mengganggu kami. Hal ini
oleh para pembesar dianggap sebagai permusuhan pribadi dan mereka tidak mau
mencampuri." "Hemmm... dan kapal itu amat berharga sehingga engkau merasa sayang untuk
menukarnya dengan kakakmu?"
"Tio-twako!" Tiba-tiba dara itu bangkit berdiri dan memandang Tio Sun dengan
sinar mata berapi. "Kaukira orang macam apa aku ini?"
Tio Sun cepat bangkit berdiri dan menjura. Hebat gadis ini, pikirnya. Penuh
dengan semangat dan api! "Maafkan, nona. Aku tidak menyangka apa-apa, hanya
bertanya untuk mengetahui bagaimana tanggapanmu terhadap surat ancaman bajak
itu." Mereka duduk kembali dan Kwi Eng menarik napas panjang. "Engkau tentu tahu
betapa sayangku kepada kakak kembarku itu, twako. Jangankan hanya sebuah kapal,
biar seluruh harta benda kami akan kuserahkan untuk menebus keselamatan kakakku.
Akan tetapi kau tidak tahu siapa adanya Tokugawa, kepala bajak yang seperti
iblis itu. Dia tahu bahwa ayah dan ibu tidak ada, maka dia minta tebusan kapal
dan aku tahu bahwa kalau kapal itu kuberikan, tetap saja Beng-koko tidak akan
dia bebaskan begitu saja. Yang dia kehendaki adalah ibu atau... aku."
"Maksudmu?" Kwi Eng menundukkan mukanya. "Dahulu, Tokugawa pernah tergila-gila kepada
ibu karena ibulah satu-satunya wanita yang pernah mengalahkannya dalam ilmu
silat. Akan tetapi setelah niatnya itu gagal, dia pernah mengajukan lamaran
kepada orang tuaku untuk minta... aku sebagai isterinya."
"Hemm, manusia keparat!"
"Memang, dia kurang ajar sekali. Kini, dengan ditawannya kakakku, aku
mengerti bahwa tentu dia akan menggunakan kakak sebagai sandera untuk memerasku,
dan untuk memaksa menuruti kehendaknya itu."
"Hemm... lalu bagaimana kehendakmu, nona?"
"Aku akan melawan! Aku akan melawan mati-matian!"
"Bagus kalau begitu!"
"Aku sudah siap, twako. Aku aku sudah mempersiapkan anak buah ayahku yeng
terdiri dari lima puluh orang untuk menyerbu ke Pulau Hiu. Akan tetapi, selama
ini aku selalu menunda niatku itu karena aku tahu bahwa baik kakakku maupun aku
sendiri, tidak akan dapat mengalahkan Tokugawa. Bukannya aku takut kalah. Akan
tetapi kalau sampai aku kalah, bukankah berarti hanya mati konyol dan kakakkupun
tidak akan tertolong" Aku sedang menanti-nanti kembalinya ibu atau hendak
mencari seorang pembantu yang memiliki kepandaian tinggi. Dan... agaknya Thian
telah mengirim twako ke sini sehingga aku bertemu dengan twako. Dengan adanya
twako yang membantu, twako tentu akan dapat menandingi Tokugawa dan kita akan
depat menyelamatkan Beng-koko."
"Kepandaianku tidak seberapa, nona, akan tetapi setelah mendengar
penuturanmu, aku ingin berhadapan dengan Tokugawa si keparat kurang ajar itu dan
aku mempertaruhkan nyawaku untuk menolong kakakmu."
"Aku sudah melihat gerakanmu ketika kau dikeroyok tadi, twako, dan aku yakin
bahwa engkau tentu akan mampu menandingi Tokugawa. Hanya saja, kurahap engkau
berhati-hati dan tidak memandang rendah senjata pistol mereka."
"Pistol?" Tio Sun belum pernah mendengar akan senjata ini.
"Agaknya engkau belum pernah melihat senjata itu. Tadi ketika kau dikeroyok,
hampir saja engkau ditembak dengan pistol oleh Pedro si pengecut. Baiknya aku
melihatnya dan mendahuluinya."
"Hemm, jadi itukah sebabnya maka nona mempergunakan hui-to untuk melukai
tangan si rambut merah itu" Dia hendak mempergunakan senjata pistol" Senjata
rahasia apakah itu?"
"Sebuah senjata api, pelurunya digerakkan oleh obat peledak. Berbahaya
sekali karena peluru itu cepat sekali menyambarnya, sukar dielakkan karena
cepatnya." Tio Sun mengangguk-angguk. "Kiranya senjata api dengan obat peledak. Akan
tetapi, aku pernah mendengar baha pemerintah melarang orang-orang membawa
senjata seperti itu."
"Memang benar demikian, maka tadipun aku mengancam Pedro dan kawan-kawannya.
Akan tetapi siapa bisa melarang bajak-bajak yang hidupnya liar di atas lautan"
Hanya baiknya, menurut pendengaranku, Tokugawa sebagai seorang bekas jagoan
samurai, pantang mempergunakan senjata barat itu dan hanya mengandalkan pedang
samunarinya yang amat dibanggakan. Mungkin di antara anak buahnya ada yang
membawa pistol, akan tetapi jangan khawatir, akupun mempunyai beberapa buah
pistol yang akan kubagi-bagikan kepada anak buahku. Aku sendiri lebih senang
menggunakan hui-to daripada pistol yang sebetulnya kalan cepat karena pistol
harus membidik dan mengisi obat peluru. Pendeknya, dengan bentuanmu, aku yakin
akan dapat menyelamatkan Beng-koko, bahkan dapat membasmi Tokugawa dan anak
buahnya." Gadis itu kelihatan bergembira dan bersemangat sekali.
"Kapan kita berangkat, nona?"
"Besok sore, twako. Besok kupersiapkan anak buahku, lalu pada sore harinya
kita berangkat dengan kapal Angin Timur. Kita bersikap seolah-olah memenuhi
permintaan si jahanam Tokugawa. Akan kulihat bagaimana macam mukanya kalau dia
melihat kita menyerbu pulau itu."
Malam itu Tio Sun tidur di dalam sebuah kamar tamu di rumah Kwi Engm hetinya
gembira sekali, dan malam itu tidurnya diisi mimpi indah dengan dara jelita yang
amat menarik hatinya itu.
*** "Sebentar lagi baru air laut akan bergelombang besar," kata Kwi Eng yang
tiba-tiba muncul di dekat Tio Sun.
"Indah sekali pemandangannya, nona. Mengagumkan sekali."
Malam itu bulan purnama muncul di langit yang cerah. Sinar bulan yang sejuk
menerangi permukaan kapal yang melundur dengan tenangnya, dan Tio Sun yang
berdiri di geladak kapal itu memandangi bayangan bulan yang menari-nari di atas
permukaan air laut, mombuat jalur jalan keemasan. Air hanya berkeriput sedikit
saa dan agaknya kalau tidak ada kapal yang meluncur itu, air laut mungkin akan
diam seperti kaca. "Sebentar lagi baru air laut akan bergelombang besar," kata Kwi Eng yang
tiba-tiba muncul di dekat Tio Sun.
"Indah sekali pemandangannya, nona. Mengagumkan sekali."
Kwi Eng tertawa ditahan. "Memang demikianlah bagi yang belum pernah
melihatnya. Hidup merupakan pengulangan-pengulangan yang membosankan sehingga
baru hal-hal yang baru saja yang akan menarik hati. Coba twako tanyakan kepada
setiap orang nelayan atau mereka yang biasa hidup di atas lautan, malam bulan
purnama seperti ini same sekali tidak ada keindahannya. Para pelaut tentu lebih
mengagumi keindahan di pegunungan, akan tetapi sebaliknya para penghuni gunung
sama sekali tidak lagi depat menikmati tamasya alam di pegunungan."
Tio Sun menghela napas panjang. "Agaknya engkau suka berfilsafat, nona."
Kwi Eng tertawa lagi. "Mungkin hanya terpengaruh oleh kitab-kitab yang
diajarkan oleh ibu kepadaku. Lihat, air laut mulai bergelombang, twako. Sehentar
lagi gelombang akan cukup besar sehingga berdiri di sini tidak menyenangkan
lagi. Apalagi bagi twako yang tidak biasa, jangan-jangan malah memabokkan. Mari
kita masuk saja ke dalam, twako."
Tio Sun melihat bayangan bulan tadi sudah pecah-pecah dan merasakan goyangan
kapal ke kanan kiri. Dia mengangguk dan keduanya lalu memasuki bilik yang cukup
besar di mana tersedia meja kursi.
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa gelombang akan datang, nona" Padahal tadi
tenang-tenang saja, bahkan air laut hampir tidak bergerak sama sekali."
"Karena belum tiba saatnya, twako. Akan tetapi setiap malam terang bulan,
air laut pasti bergelombang besar. Karena itu, para nelayan lebih senang mencari
ikan di waktu malam gelap."
Kwi Eng sengaja memberangkatkan kapal itu di malam hari agar tidak menarik


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhatian orang-orang di pantai, karena dia tahu bahwa sudah pasti diantara anak
buah bajak Tengkorak Hitam, ada yang memata-matai gerakannya. Dia mengerahkan
anak buahnya kurang lebih lima puluh orang, sebagian besar adalah pribumi dan
ada belasan orang anak buah bangsa asing yang bekerja di perusahsan ayahnya. Dia
sendiri memakai pakaian ringkas, dengan sepatu yang hitam mengkilap, sepatu boot
yang sampai di lututnya. Sebatang pedang tergantung di punggungnya dan Tio Sun
memandang kagum karena dara itu benar-benar kelihatan gagah perkasa.
Malam itu gelombang amat besar dan kapal Angin Timur yang besar itu tidak
dapat laju, harus menentang gelombang dan perlahan-lahan mendekati sebuah pulau
yang terpencil jauh dari pulau-pulau lain. Menjelang pagi, ombak mereda dan
kapal itu baru berani membuang sauh di dekat pulau, menanti sampai datangnya
pagi. Setelah bola emas besar sekali itu muncul dari permukaan air di sebelah
timur, membakar lautan menjadi merah menyala, barulah kapal itu bergerak lagi
menuju ke pulau yang memanjang dan dari jauh kelihatan seperti seekor ikan hiu
sedang meliuk. Yang berada di atas dek hanya Kwi Eng, Tio Sun dan beberapa orang
anak buah yang bertugas memegang kemudi dan mengatur layar. Kapal besar itu
kelihatan sunyi sekali dan kosong karena tidak ada sepuluh orang yang berada di
atas geladak. Selebihnya, atas perintah Kwi Eng, menyembunyikan diri di bawah
dan di balik bilik. Pembantu yang mengemudikan kapal itu sudah hafal akan tempat
ini, maka dengan hati-hati dia dapat memilih jalan yang aman dan menempelkan
kapal di tepi putlau yang airnya dalam. Di situ nampak beberapa buah perahu
besar yang bercat hitam, dan beberapa orang yang tadinya berada di situ,
berlari-lari ke daratan ketika melihat Kapal Angin Timur itu.
Tak lama kemudian, muncullah seorang laki-laki setengah tua, usianya kurang
lebih lima puluh lima tahun, bertubuh pendek tegap, kelihatan kokoh kuat dengan
sepasang lengannya yang pendek agak membengkok ke dalam. Dia memakai pakaian
yang berlengan pendek sampai ke siku dan berkaki pendek sampai ke lutut sehingga
nampaklah otot-otot di lengan dan kakinya yang melingkar-lingkar dan besar
menggembung, tanda bahwa orang itu bertubuh kuat dan bertenaga besar. Rambutnya
diikat di bagian atas dan dibiarkan terurai di belakang lehernya, dan di
pinggangnya tampak sebatang pedang melengkung panjang, yaitu sebatang pedang
samurai bergagang panjang. Kedua kakinya memakai sandal sederhana, dan mukanya
tertutup kumis dan brewok yang membuat orang ini kelihatan menyeramkan. Inilah
dia Tokugawa, kepala bajak laut Tengkorak Hitam yang amat ditakuti oleh para
pemilik kapal karena kejamnya. Oleh karena itu, melalui perantara kepala bajak
laut ini yang bukan lain adalah pembesar di kota Yen-tai sendiri, para pedagang
dan pemilik kapal rela membayar uang sumbangan atau hadiah kepada kepala bejak
ini agar kapal-kapal mereka dibebaskan dari gangguan Tengkorak Hitam. Tentu saja
hal ini membuat Tokugawa menjadi seorang yang kaya raya dan hanya karena
permusuhannya dengan Yuan de Gama dengan isterinya saja yang akhirnya membuat
Tokugawa sampai terpaksa melarikan diri ke Pulau Hiu, di mana dia membangun
sebuah rumah besar dan menjadikan pulau itu sebagai tempat persembunyiannya atau
sebagai pusat dari gerombolan bajak Tengkorak Hitam.
Tokugawa tadinya adalah seorang jagoan samurai di Jepang. Golongan samurai
ini amat termasyhur di Jepang yang muncul di abad ke sebelas. Pertama-tama
muncul para pimpinan golongan-golongan yang menamakan dirinya sebagai pendekar
yang disebut daimyo (yang bernama besar) dan para daimyo ini yang karena
sifatnya seperti seorang jenderal pemimpin pasukan, maka muncullah golongan
samurai (mereka yang mengabdi). Senjata para pendekar ini yang terutama adalah
pedang panjang yang bergagang panjang pula, yang bentuknya agak melengkung.
Banyak jagoan-jagoan samurai yang sudah tidak bertugas dalam pasukan seorang
daimyo, lalu menjadi perantau dan sifat mereka yang amat menjunjung tinggi nama
mereka sebagai jagoan samurai, mengutamakan kagagahan, seperti halnya para
pendekar di Tiongkok. Akan tetapi karena mabok akan wajah cantik wanita dan mabok akan kesenangan
duniawi, berobahlah watak Tokugawa setelah tidak ada disiplin kelompok yang
mengikatnya dan dia lalu dimusuhi oleh para jagoan samurai lainnya, karena
dianggap sebagai seorang yang mencemarkan nama samurai. Tokugawa lalu melarikan
diri dan akhirnya dia muncul sebagai kepala bajak yang disegani di sepanjang
pantai Teluk Po-hai. Benar seperti diceritakan oleh Kwi Eng kepada Tio Sun, bekas jagoan samurai
ini ketika bentrok dengan Yuan de Gama dan bertanding satu lawan satu dengan
Souw Li Hwa, samurainya tidak mampu menandingi Li Hwa dan tentu saja dia menjadi
kagum bukan main. Di samping suka akan wanita dan kedudukan serta kehormatan,
juga bekas jagoan samurai ini suka sekali akan kegagahan, maka melihat kegagahan
Li Hwa, dia menjadi tergila-gila kepada nyonya itu! Akan tetapi ternyata dia
selalu gagal menghadapi pendekar wanita dan suaminya itu, dan akhirnya ketika
melihat puteri pendekar wanita itu yang sudah besar, dia mengalihkan harapannya
kepada Kwi Eng karena dia tahu bahwa dara cantik inipun mewarisi kepandaian
ibunya. Hal ini membuat Yuan de Gama dan Souw Li Hwa marah sekali dan dengan
terang-terangan mereka ini memusuhi Tokugawa dan hendak membunuh serta membasmi
gerombolannya. Tokugawa berkali-kali mengalami kekalahan dan akhirnya dia
melarikan diri ke Pulau Hiu itu.
Ketika dia mendengar berita bahwa Souw Li Hwa yang ditakutinya itu bersama
suaminya pergi ke barat timbul kembali niatnya dan akhirnya dia menggunakan
pengeroyokan anak buahnya berhasil mengalahkan dan menculik Richardo de Gama,
kakak kembar dari Kwi Eng dan membawanya sebagai tawanan ke Pulau Hiu. Mulailah
dia melakukan pembalasan terhadap keluarga itu dengan jalan menggunaken
Richardo, sebagai sandera dan dia minta ditukar dengan kapal Angin Timur, kapal
terbesar di pantai itu! Kalau dia dapat memiliki kapal itu, tentu dia akan
leluasa melakukan pembajakan, mengejar kapal-kapal lain yang tidak memberi
sumbangan kepadanya! Dan tentu saja dia akan menggunakan pemuda itu untuk
mendapatkan gadis yang dirindukannya, yaitu Kwi Eng si cantik jelita!
Dapat dibayangkan betapa girang hati Tokugawa ketika mendengar dari penjaga
di pantai pulaunya bahwa kapal Angin Timur yang dinanti-nantinya telah muncul!
Dan lebih girang lagi hatinya ketika dia mendengar laporan bahwa di antara
delapan orang yang membawa perahu dan tampak di atas geladak itu terdapat Souw
Kwi Eng, dara yang membuatnya tergila-gila sebagai pengganti ibu dara itu! Dia
menggosok-gosok kedua tangannya. "Bagus, sekali tepuk dua lalat ini namanya, haha-ha-ha!" Maka cepat dia mengumpulkan orang-orangnya yang berjumlah empat puluh
orang lebih menuju ke pantai menyambut datangnya kapal itu.
Melihat munculnya musuh besar yang amat dibencinya itu, Souw Kwi Eng lalu
mengerahkan khi-kangnya dan berseru dengan suara lantang, "Heiiiii...! Tokugawa,
manusia curang! Hayo lekas bebaskan kakakku, baru aku akan menyerahkan kapal ini
kepadamu. Kalau tidak, aku akan memutar kembali kapal ini!"
"Ha-ha-ha, nona manis. Engkau menjadi tamu kehormatan, silakan turun dulu
dan kita bicara." "Siapa percaya omonganmu! Hayo lekas kau bebaskan kakakku!"
"Omongan seorang pendekar samurai boleh dipercaya seratus prosen seperti
mempercaya pedangnya!" Tokugawa berseru agak marah karena kehormatannya
tersinggung. Dia lalu memberi aba-aba dalam Bahasa Jepang kepada anak buahnya
dan tak lama kemudian kelihatan seorang pemuda yang tampan dan yang mukanya
persis Kwi Eng, hanya lebih besar dan tegap karena dia adalah seorang laki-laki
yang gagah, juga matanya berwarna biru dan rambutnya keemasan. Pemuda ini adalah
Souw Kwi Beng dan dia digiring ke pantai dengan kedua tangan terbelenggu ke
belakang. "Koko...!" Kwi Eng berseru girang ketika melihat kakaknya dalam keadaan
selamat walaupun menjadi tawanan musuh.
"Moi-moi... jangan terjebak oleh jahanam Tokugawa! Jangan kaudengarkan
omongannya yang palsu! Bawa anak buah sebanyaknya dan serbu saja, atau tunggu
sampai ayah ibu pulang. Aku matipun tidak akan penasaran kalau kelak dia dan
gerombolannya terbasmi!"
Diam-diam Tio Sun kagum melihat pemuda itu yang demikian tabah dan
bersemangat, persis seperti sikap dara jelita itu. Sudah berada di tangan musuh,
berarti nyawanya berada di tangan musuh, masih berani bersikap menentang seperti
itu. "Ha-ha-ha-ha!" Tokugawa tertawa bergelak. "Nona manis, engkau tinggal pilih.
Engkau serahkan kapal itu baik-baik dan menjadi tamu kehormatanku, atau kau
boleh bawa pergi kapal itu akan tetapi lebih dulu kau akan melihat leher kakakmu
kupenggal di sini, di depan matamu!" Tokugawa menggerakkan tangan kanannya dan
"sratt!" pedang samurai yang melengkung penjang itu telah dihunusnya dan
berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Sebatang pedang yang terbuat dari baja
pilihan, pikir Tio Sun. "Tokugawa, aku tidak takut akan ancamanmu. Aku memang mau menyerahkan kapal
ini kepadamu sebagai penukar kakakku, akan tetapi suruh kakaku mendekat dan kau
harus menjauhinya agar kau tidak bermain curang. Baru aku mau turun bersama
kakakku." "Moi-moi, jangan...!" Kwi Beng berteriak penuh kekhawatiran.
"Biarlah, koko, matipun tidak mengapa, asal kita bersama. Pulau seorang
jagoan samurai tentu tidak akan mencemarkan samurainya sendiri dengan jalan
melanggar janji dan bertindak curang."
"Ha-ha-ha"ha, kau benar, nona manis. Ha-ha-ha!" Tokugawa menyarungkan
samurainya dan mendorong tubuh Kwi Bang ke arah pantai. "Kau sambutlah adikmu
yang manis dan kalian akan kusambut sebagai tamu-tamu kehormatan, ha-ha-ha!"
Kwi Beng terhuyung dan menghampiri adiknya dengan kedua tangan masih
terbelenggu ke belakang. Pada saat itu, Tio Sun mengeluarkan pekik melengking
nyaring dan tubuhnya sudah melayang dari atas kapal ke derat, langsung dia
menerkam dan menyerang Tokugawa!
Tokugawa terkejut bukan main, cepat dia menggerakkan lengannya yang amat
kuat untuk menangkis. "Dukkk!" Benturan dua tenaga yang sama kuatnya itu membuat
Tokugawa dan Tio Sun keduanya terlempar ke belakang. Tokugawa makin kaget dan
cepat dia memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerbu dan menangkap kakak
beradik itu. Akan tetapi tiba-tiba berserabutan anak buah Kwi Eng keluar dari
kapal dengan jumlah yang sama besarnya dengan jumlah anak buah bajak. Bahkan di
antara mereka ada pula yang memegang pistol seperti juga anak buah Tokugawa. Kwi
Eng sendiri cepat membebaskan kakaknya dari belenggu, menyerahkan sebatang
pedang dan bersama kakaknya dia lalu barlari ke depan.
"Tahaaann...!" Tiba-tiba Tokugawa berseru sebelum anak buahnya bertempur
melawan anak buah Kwi Eng. Dia mengangkat langan ke atas dan Kwi Eng juga cepat
memberi aba-aba agar orang-orangnya menahan senjata.
"Nona Souw, engkau ternyata curang! Engkau menyembunyikan kaki tanganmu di
dalam kapal yang katanya hendak kautukarkan dengan kakakmu!" Tokugawa berteriak,
diam-diam matanya menghitung dan mengukur kekuatan lawan, kemudian mengerling
tajam ke arah pemuda berpakaian kuning sederhana yang memiliki kekuatan dahsyat
tadi. "Tokugawa, manusia tak tahu malu, kau masih berani bicara tentang kecurangan
orang lain" Engkau lari bersembunyi ketika ayah ibu kami masih berada di Yentai, kemudian engkau muncul ketika mareka melakukan perjalanan ke
luar negeri, dan engkau menculik kakakku. Adakah yang lebih curang dari itu"
Sekarang aku datang dengan pasukanku untuk membasmimu, dan engkau bilang aku
curang?" "Bocah she Souw yang sombong! Karena aku kagum kepada ibumu dan karena aku
cinta kepadamu maka aku tidak membunuh kakakmu, aku perlakukan dengan baik.
Daripada engkau dan kakakmu mati konyol, lebih baik engkau menurut saja menjadi
isteriku dan kita semua menjadi keluarga, bukankah kedudukan kita akan menjadi
lebih kuat?" "Jahanam hina! Manusia macam engkau ingin memperisteri aku" Lebih baik aku
mati bersama kakakku daripada dijamah tangan kotormu yang berlumuran darah
manusia tak berdosa itu. Kau orang hina dan curang, yang hendak bersembunyi di
belakang samuraimu yang sudah berkarat!"
Hebat bukan main hinaan ini bagi seorang jagoan samurai. Tio Sun menjadi
terkejut mendengar kata-kata dara itu, karena kata-kata itu luar biasa tajamnya
menusuk perasaan. "Bocah bermulut lancang! Kau menghina Tokugawa" Ayahmu sendiri seorang
pengecut, bersembunyi di balik nama seorang kapten gagah perkasa yang tewas
bersama kapalnya, tapi diam-diam melarikan diri dan hidung dengan sembunyisembunyi...! Kalau memang kalian keluarga gagah, hayo lawan Tokugawa satu lawan
satu!" Tio Sun mengangguk dan dia melangkah maju menghadapi Tokugawa. "Tokugawa,
akulah lawanmu. Kita bertanding satu lawan satu ataukah hendak main keroyokan?"
"Siapa kau?" Tokugawa membentak dengan suara yang agaknya keluar dari dalam
perutnya yang gendut. "Namaku Tio Sun."
"Kenapa kau mencampuri urusan ini" Apakah engkau kaki tangan bayaran dari
keluarga berdarah campuran ini" Sungguh memalukan sekali seorang pendekar
menjadi antek orang asing!"
"Tokugawa, mulutmu kotor seperti pecomberan!" Kwi Eng membentak, akan tetapi
Tio Sun tersenyum kepadanya.
"Tokugawa, dengarlah baik-baik. Ayahku adalah seorang bekas pengawal yang
paling dipercaya dari mendiang Panglima Besar The Hoo, oleh karena itu, biarpun
aku tidak bekerja kepada pemerintah, namun melihat bahwa engkau adalah kepala
bajak laut yang jahat dan mengganggu ketenteraman, sudah menjadi kewajibanku
untuk menentang dan membasmimu."
"Keparat, bocah sombong engkau. Sudah bosan hidup agaknya. Hyaaaaattttt...!"
Dengan tiba-tiba Tokugawa menyerang dengan kedua lengannya yang pendekpendek namun kuat sekali itu. Caranya menyerang seperti seekor kerbau hendak
menyeruduk, kepalanya di depan dan kedua lengannya menyambar dari kanan kiri,
agaknya hendak meringkus tubuh Tio Sun yang dibandingkan dengan dia hanya kecil
saja sungguhpun jauh lebih jangkung.
Tio Sun yang maklum bahwa orang ini mungkin ahli bermain pedang, akan tetapi
bukan ahli berkelahi dengan tangan kosong, hanya mengandalkan tenaga kasarnya
saja, maka dia sengaja tidak mau mengelak, melainkan menangkis pula dengan kedua
lengannya yang dikembangkan ke kanan kiri.
"Plak! Plakk!" Untuk kedua kalinya mereka mengadu tenaga, kini dengan kedua lengan, dan
akibatnya, lengan mereka terpental. Akan tetapi, tiba-tiba Tio Sun menjadi
terkejut bukan main karena entah bagaimana, tahu-tahu tangan Tokugawa telah
dapat menangkap lengannya, dengan cara yang aneh dan cepat lengannya diputar dan
sebelum Tio Sun sempat membebaskan diri, tubuhnya sudah terlempar!
Untung pemuda ini memiliki gin-kang yang baik sekali dan cepat dia dapat
menguasai keseimbangan tubuhnya sehingga dia dapat terhindar dari bantingan, dan
dari kejaran Tokugawa yang sudah tertawa-tawa.
"Keparat, siapa takut padamu?" kini Souw Kwi Beng hendak meloncat ke depan,
akan tetapi adiknya memegang lengannya dan menoleh ke arah Tio Sun.
"Tio-twako, maukah kau mewakili kami memberi hajaran kepada bejak sombong
ini?" katanya. Plak! Desss!" Tokugawa yang kini terkejut ketika tubuhnya terkena tamparan
dan perutnya tercium ujung kaki lawan ketika dia hendak mengejar lawan yang
telah dibantingnya itu. Keduanya lalu meloncat bangun lagi, saling pandang
dengan sinar mata saling mengukur dan marah seperti lagak dua ekor ayam jago
yang berlaga hendak saling terjang.
Tio Sun merasa kecelik. Biarpun mungkin Tokugawa tidak memiliki ilmu pukulan
yang membahayakan, namun ternyata kepala bajak ini memiliki kepandaian gulat dan
gerakan seperti Ilmu Kim-na-jiu yang mengandalkan kecepatan kedua tangan dan
mematahkan kedudukan kaki lawan. Tahulah dia bagaimana harus menghadapi lawan
yang pandai Ilmu Kim-na-jiu (Ilmu Silat Cengkeraman dan Pegangan) ini. Sama
sekali tidak boleh merapat atau mengadu tangan! Maka Tio Sun lalu menerjang
dengan cepat sekali, mengirim pukulan-pukulan mengandalkan kecepatan gerakannya
dan sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk merapat.
"Bukkk...desss...!" Tubuh Tokugawa terpelanting, akan tetapi tubuhnya menang
kuat dan kebal sehingga hantaman tangan kiri Tio Sun yang mengenai pundak
kanannya disusul tendangan pemuda itu yang mengenai lambungnya tidak membuat si
kate kekar ini kalah. Dia terpelanting dan bergulingan lalu meloncat dekat
lawan, langsung dia menerkam seperti seekor burung garuda menyambar anak
kambing. Kini Tio Sun mengelak cepat, meloncat ke kiri dan sengaja berlaku sedikit
lambat sehingga lawan lewat dekat di sampingnya. Sikunya menyambar disusul
tamparan pada tengkuk lawan.
"Plakkk...desss...!" Kembali tubuh Tokugawa terjungkal dan bergulingan, akan
tetapi tetap saja dia meloncat bangun lagi. Kedua matanya menjadi merah,
mulutnya mengeluarkan busa dan jenggot serta kumisnya bergerak-gerak, dari
mulutnya terdengar bunyi kerot gigi beradu. Kedua tangannya direnggangkan dengan
jari-jari tangan terbuka, buku-buku jari tangannya mengeluarkan bunyi
berkerotokan dan tiba-tiba tampak sinar kilat menyambar ketika dia mencabut
samurainya yang gemerlapan saking tajamnya itu. Setelah mencabut samurainya,
agaknya bangkit semangat jagoan samurai dalam diri Tokugawa. Sikapnya menjadi
gagah sekali, gagah dan tenang, agaknya dia telah mampu menguasai kemarahannya
setelah melihat samurainya yang diagungkannya itu. Kedua tangan memegang gagang
samurai yang panjang, tubuhnya agak membongkok, kedua kakinya memasang kudakuda, matanya terang dan tajam memandang gerak-gerik lawan, dan sedikitpun dia


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak bergerak seolah-olah telah berobah menjadi arca batu.
Tio Sun juga sudah mencabut pedangnya. Pemuda itu sama sekali tidak berani
memandang rendah karena biarpun cara memegang pedang lawannya begitu aneh,
menggunakan dua tangan, namun sikap lawannya, pasangan kuda-kudanya,
gerakgeriknya, jelas membayangkan keahlian. Pula, selama hidupnya belum pernah
dia bertemu dengan lawan yang menggunakan pedang samurai, maka dia tidak tahu
bagaimana sifat ilmu pedang ini. Oleh karena itu, setelah menghunus pedangnya
dan memegang pedang dengan tangan kanan, Tio Sun juga memasang kuda-kuda yang
gagah, kaki kiri tegak, kaki kanan diangkat den ditekuk lututnya sehingga ujung
sepatu kanan menyentuh lutut kiri, pedangnya di depan tubuh menuding ke bawah,
ujungnya menyentuh tanah den tangan kiri di atas kepala menuding ke langit, mata
mengerling ke kanan, ke arah lawan dengan pandang mata tajam. Inilah pembukaan
kuda-kuda yang disebut Menunjuk Bumi dan Langit yang merupakan pembukaan
pertahanan yang amat kuat.
Melihat lawannya tidak dapat dipancing untuk menyerang lebih dulu, Tokugawa
yang menjadi penasaran itu lalu menggerakkan pedangnya. "Singgg...
hyyyaaaatttt!" Dia berlari ke depan, pedangnya digerakkan dengan cepat sekali,
terputar-putar berobah menjadi gulungan sinar pedang kilat yang bergulung-gulung
dan mengeluarkan bunyi dahsyat.
"Sing-singggg... wuuutt-wuuutt-wuutt...!"
Tio Sun cepat mengelak den kini dia mulai mengerti akan kedahsyatan ilmu
pedang yang dimainkan oleh dua tangan itu. Pedang itu melengkung dan panjang
lagi berat, digerakkan oleh kekuatan dua buah tangan maka tentu saja amat hebat
dan dahsyat, sekali saja mengenai tubuh lawan pasti berarti maut dan gerakan
lawan itu sembilan puluh prosen berupa serangan, den sedikit sekali mementingkan
pertahanan karena tentu menurut perhitungan Tokugawa, serangannya yang dahsyat
dan bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan kepada lawan itu pasti membuat lawan
tidak mampu balas menyerang. Jadi inti gerakan Tokugawa itu adalah semata-mata
menekan lawan dan tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas!
Tio Sun sejak kecil digembleng oleh ayahnya sendiri dan ayahnya itu, Bankin-kwi Tio Hok Gwan, adalah seorang bekas pengawal Panglima Besar The Hoo
sehingga telah melakukan ribuan pertempuran dan telah memiliki pengalaman vang
luas sekali menghadapi orang-openg pandai dari berbagai aliran. Karena tidak
mungkin baginya untuk menceritakan semua teori aliran-aliran ilmu silat yong
demikian banyaknya, maka dia hanya memesan kepada puteranya itu agar setiap kali
menghadapi lawan yang tidak dikenal ilmunya, janganlah terburu nafsu untuk
mengalahkan lawan itu sebelum tahu benar-benar akan kelemahan-kelemahannya.
Terburu nafsu ini mungkin akan mencelakakan diri sendiri karena dalam keadaan
terdesak, lawan itu mungkin memiliki suatu ilmu simpanan yang akan berbalik
mencelakakan penyerangnya.
Oleh karena itu, biarpun Tio Sun sudah tahu bahwa lawannya lebih menekankan
penyerangan sehingga pertahanannya menjadi lemah, dia tidak mau tergesa-gesa
membalas serangan lawannya, apalagi karena dia maklum bahwa lawannya ini
memiliki ilmu yang aneh-aneh dan tentu saja sebagai seorang tokoh sesat telah
memiliki pengalaman pertempuran yang amat luas. Oleh karena itu, dia hanya
mengelak dan kadang-kadang menangkis dan setiap kali tangkisan, pedangnya tentu
terpental karena tenaga sebelah tangannya, betapapun kuatnya, tidak mampu
menandingi tenaga kedua tangan Tokugawa.
"Sing-sing-wuuut-wuuuttt... trang-cringggg...!"
Sampai lewat lima puluh jurus Tio Sun kelihatan seolah-olah terdesak oleh
Tokugawa dan anak buah Tokugawa sudah menyeringai dan tersenyum-senyum girang.
Mereka itu agaknya maklum bahwa pemuda itu adalah "jagoan" yang dibawa oleh
musuh, dan kalau sang jagoan itu sudah dirobohkan, tentu akan mudah membasmi
pasukan lawan yang sudah kehilangan jagoannya yang diandalkan. Akan tetapi, di
fihak Kwi Eng dan Kwi Beng, hanya para anak buah mereka saja yang kelihatan
gelisah melihat Tio Sun terus didesak mundur, bahkan sering kali samurai yang
tajam bukan main itu hanya berselisih sedikit dari tubuh jagoan mereka! Akan
tetapi Kwi Eng dan Kwi Beng menonton dengan tenang-tenang saja. Dua orang muda
ini adalah putera-puterl pendekar wanita Souw Li Hwa dan mereka itu dapat
melihat betapa Tio Sun bertanding dengan hati-hati dan tenang, tanda bahwa
pemuda itu memang berkepandaian tinggi dan tidak sembarangan main seruduk saja
yang kemudian akan mengakibatkan kekalahan di fihaknya.
Kini mulailah Tio Sun dapat mempelajari inti gerakan lawan. Juga dengan
girang dia melihat betapa lawannya sudah mulai berkeringat dan napasnya mulai
memburu. Hal ini tidak mengherankan karena Tokugawa telah berusia lima puluh
tahun lebih, menggerakkan samurainya dengan kedua tangan dan dengan sepenuh
tenaga, ditambah lagi cara hidupnya yang tidak sehat, maka tentu saja
ketangkasan dan daya tahannya tidak seperti di waktu dia masih menjadi seorang
jagoan samurai di negerinya. Diapun maklum bahwa lawannya ini hebat bukan main,
tidak boleh dipandang ringan saja. Dahulu pernah dia memandang ringan kepada
Souw Li Hwa dan dia kalah, hampir saja dia tewas. Maka kini dia harus bersikap
hati-hati. Setelah mendesak selama lima puluh jurus dan sama sekali tidak ada
tanda-tanda bagi lawan untuk kewalahan menghadapi samurainya, bahkan gerakan
lawan makin lama makin cepat dan ringan, Tokugawa lalu menggunakan siasat. Dia
sengaja memperberat napasnya dan memperlambat gerakannya.
Betapapun juga, Tio Sun adalah seorang pemuda yang baru saja keluar dari
rumah ayahnya, seperti seekor burung yang baru keluar dari sarang. Biarpun dia
telah mempelajari banyak teori, akan tetapi dia belum banyak pengalaman, maka
dia tidak tahu bahwa lawannya itu berpura-pura kehabisan tenaga. Dia menjadi
girang sekali melihat kelambatan gerakan samurai, maka mulailah dia menyerang!
"Heiiiiittttt...!" Pedangnya meluncur seperti kilat.
"Cring-cringgg... ciuuuutttt...!" Samurai itu menangkis dua kali dan tibatiba dari pinggir gagangnya meluncur sebatang paku ke arah Tio Sun.
"Aduhhh...!" Tio Sun terpekik karena kaget ketika tahu-tahu paku itu
menancap di pundak kirinya. Pedangnya berkelebat cepat laksana kilat dan kini
Tokugawa yang berteriak, tangannya berdarah dan terpaksa dia melepaskan
samurainya. Pada saat itu Tio Sun yang telah terluka pundaknya itu secepat kilat
menusukkan pedangnya ke arah dada lawan. Tokugawa miringkan tubuhnya membiarkan
pedang itu menancap di pundaknya akan tetapi pada saat itu, kedua tangannya
menyambar dan dia sudah berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Tio Sun!
Cengkeramannya itu kuat sekali dan Tio Sun maklum bahwa agaknya tidak mungkin
melepaskan kedua lengarmya dari cengkeraman itu, maka diam-diam dia lalu
mengerahkan sin-kangnya untuk memberatkan tubuhnya.
Tokupwa tertawa bergelak. Jagoan samurai ini maklum bahwa bagi ahli silat,
yang berbahaya adalah kedua tangannya, maka kini dia telah berhasil menangkap
kedua pergelangan tangan lawan, membuat lawannya tidak berdaya. Dia sama sekali
tidak berani melepasken lengan lawan, karena maklum bahwa begitu terlepas,
tangan itu akan dapat mengirim
pukulan maut dengan cepat sekali dan hal ini amat membahayakan dirinya. Maka
setelah kini berhasil menangkap lengan lawan, dia tertawa, "Ha-ha-ha, hayo,
kaulepaskan dirimu kalau bisa! Dan bersiaplah kau untuk mampus kubanting!"
Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng memandang dengan kaget sekali. Tadi mereka
sama sekali tidak khawatir karena ilmu silat pemuda yang membantu mereka itu
ternyata tinggi sekali. Akan tetapi sekarang, dengan kedua pergelangan tangan
dicengkeram, ilmu silat tidak ada gunanya lagi, karena kedua lengan tak dapat
digerakkan. Kwi Beng dan Kwi Eng merasa heran mengapa pemuda itu tidak mau
menggunakan kakinya untuk menendang. Dan Tokugawa juga bahkan mengharapkan
lawannya itu menggerakkan kaki menendangnya. Akan tetapi Tio Sun berpendapat
lain. Setelah bertempur, dia maklum bahwa dia dapat mengatasi ilmu silat kepala
bajak ini, akan tetapi yang amat diandalkan oleh lawannya dan tidak dapat
diatasinya hanyalah ilmu gulat yang aneh. Maka dia tidak mau mengangkat kaki
menendang, karena dia menduga bahwa pada saat dia menendang, maka kekuatan bawah
tubuhnya lenyap dan dia akan mudah diangkat dan dibanting oleh lawan yang
bertenaga gajah ini. Dan dugaannya memang benar, Tokugawa juga menanti-nanti
saat itu. Karena dia mendapat kenyataan bahwa lawannya tetap tidak mau menendangnya
bahkan kelihatan seperti memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, Tokugawa tertawa,
kemudian tiba-tiba mengeluarkan suara dari perut dan kedua lengannya bergerak,
otot-otot sebesar jari tangan di sekitar lengannya menonjol.
"Haaaaaiiiiikkkkk... hyaaaaatttt...!" Dia mengerahkan seluruh tenaganya,
dengan ilmu gulat dia berusaha mengangkat tubuh pemuda itu untuk dilemparkannya
atau dibantingnya. Akan tetapi, sedikitpun kedua kaki Tio Sun tidak terangkat!
Pemuda ini adalah putera tunggal, juga murid dari Tio Hok Gwan yang berjuluk
Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati), maka tentu saja dia sudah melatih
diri dengan ilmu kebanggaan keluarganya ini sehingga kini jangankan baru tenaga
seorang Tokugawa, biar kepala bajak itu menggunakan bantuan sepuluh orang kaki
tangannya, belum tentu akan mampu mengangkat tubuh Tio Sun!
Tentu saja Tokugawa menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang jagoan
samurai yang terkenal memiliki tenaga hebat dan jarang ada lawan yang mampu
menandingi tenaganya. Akan tetapi sekarang, setelah menguasai kedua lengan lawan
ini, seorang pemuda yang masih amat muda, bertubuh kecil saja, seorang pemuda
yang belum ternama, dia tidak mampu mengangkatnya!
Saking marahnya, dia mengerahkan seluruh tenaga dalam dan tenaga otot,
perutnya mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka.
"Auggghhhh... haaaiiiikkkkk... prott!"
Kwi Eng sebagai seorang gadis yang wataknya jenaka dan periang, tidak mampu
menahan kegelian hatinya mendengar suara terakhir tadi, karena suara berperopot
itu keluar dari pantat Tokugawa!
"Hi-hi-hik, tak tahu malu...!" Kwi Eng terkekeh sambil menutupi hidungnya,
menjepitnya dengan ibu jari dan telunjukiya.
Pada saat itu, Tio Sun nengeluarkan pekik dahsyat melengking, tanda bahwa
dia telah mengerahkan Ban-kin-keng (Tenaga Selaksa Kati) sepenuhnya dan tibatiba saja tubuh Tokugawa terangkat ke atas dan sekali Tio Sun menggerakkan kedua
lengannya, terlepaslah pegangan kedua tangan Tokugawa dan tubuh kepala bajak itu
terlempar ke depan sampai enam tujuh meter jauhnya, terbanting ke atas tanah
berdebuk dan mengebullah debu di atas tanah yang tertimpa tubuhnya itu. Sebelum
Tokugawa sempat merangkak bangun, tampak sinar menyambar dibarengi suara
ledakan, "Tar-tar...!" Dan tubuh itu roboh kembali dengan kepala pecah disambar
pecut baja, yaitu joan-pian yang merupakan pecut yang dipakai oleh Tio Sun
sebagai ikat pinggang! Tentu saja peristiwa ini mengejutkan hati para bajak laut dan serentak
mereka menyerbu ke depan didahului oleh tembakah-tembakan dari pistol beberapa
orang anak buah bajak. "Tio-twako, awas pistol...!" Kwi Eng menjerit, akan
tetapi Tio Sun yang sudah bersikap waspada, cepat meloncat ke belakang, kemudian
bertiarap di dekat Kwi Eng dan Kwi Beng yang merupakan seorang jagoan tembak,
menyambar sepucuk pistol dari tangan seorang anak buahnya, lalu bersama para
anak buahnya yang memegang pistol dia lalu maju. Terjadilah tembak-menembak,
akan tetapi hanya sebentar saja karena Kwi Eng yang tahu bahwa fihak lawan sudah
kehabisan peluru tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk mengisi kembali
senjata api mereka dan sudah mengerahkan anak buahnya menyerbu ke depan. Dia
sendiri bersama kakaknya dan Tio Sun sudah meloneat ke depan dan mengamuklah
tiga orang muda ini dengan hebatnya.
Perang tanding kini terjadi dengan amat seru. Akan tetapi sebentar saja para
bajak yang sudah kehilangan kepalanya itu menjadi kocar-kacir. Banyak di antara
mereka yang tewas dan sebagian lagi berhasil melarikan diri dari Pulau Hiu
dengan perahu-perahu mereka. Kwi Eng hendak mengerahkan anak buahnya untuk
melakukan pengejaran, akan tetapi dicegah oleh Tio Sun.
"Nona, tidak perlu mereke dikejar. Niat kita hanya menyelamatkan kakakmu dan
hal itu sudah berhasil, sedangkan Tokugawa telah tewas."
Kwi Beng membenarkan pendapat Tio Sun ini dan mereka lalu membakar bekas
sarang gerombolan bajak laut itu, kembali lagi ke kapal membawa teman-teman yang
tewas atau luka dalam pertempuran tadi dan kembali ke pantai daratan.
Dengan hati penuh rasa kagum, kakak beradik kembar itu setelah tiba di dalam
gedung mereka, menghaturkan terima kasih kepada Tio Sun yang diterima oleh
pemuda sederhana ini dengan sikap merendahkan diri. Kwi Beng juga girang
mendengar bahwa pemuda ini ternyata adalah putera pengawal setia dari Panglima
Besar The Hoo, guru dari ibunya sendiri.
"Tio-twako hendak pergi ke manakah maka kebetulan dapat lewat di Yen-tai dan
dapat bertemu dengan Eng-moi dan menolongku?" Kwi Beng bertanya.
Tio Sun menarik napas panjang. "Sebetulnya aku sedang memikul tugas yang
amat penting sebagai wakil dari ayahku yang sudah tua dan yang tidak suka lagi
mencampuri urusan dunia. Karena ayah merasa penasaran akan peristiwa dan
malapetaka yang menimpa keluarga ketua Cin-ling-pai yang amat dihormati dan
disayangnya, maka ayah menyuruh aku untuk pergi melakuken penyelidikan dan
membantu Cin"ling"pai."
Kwi Beng den Kwi Eng kelihatan terkejut dan tertarik sekali. "Apakah twako
maksudkan Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" tanya Kwi Beng.
Tio Sun tidak merasa heran kalau dua orang kakak beradik ini telah mendengar
akan nama Cia Keng Hong. Siapakah yang tidak mendengar nama besar ketua Cinling-pai yang merupakan pendekar atau tokoh besar di dunia persilatan pada masa
itu" "Jadi ji-wi (anda berdua) sudah mengenal beliau?"
"Mengenal sih belum," jawab Kwi Eng. "Akan tetapi ibu sering kali bercerita
kepada kami tentang pendekar-pendekar sakti dan budiman di dunia kang-ouw, di
antaranya adalah Cia Keng Hong locianpwe, ayahmu bekas pengawal Tio Hok Gwan,
dan pendekar Yap Kun Liong. Karena ibu sering bercerita, kami mengenal nama-nama
besar itu sungguhpun belum pernah berjumpa dengan mereka dan baru sekarang
secara kebetulan kami dapat bertemu den berkenalan dengan twako."
"Apakah yang telah terjadi dengan Cin-ling-pai" Malapetaka apa yang dapat
menimpa ketua Cin-ling-pai yang menurut ibu memiliki kepandaian yang amat
tinggi?" tanya Kwi Beng.
"Peristiwa itu terjadi sewaktu Cia-locianpwe (orang tua sakti Cia) den
isterinya tidak berada di Cin-ling-san. Lima orang datuk sesat dari dunia hitam
yang agaknya menaruh dendam kepada keluarga Cia-locianpwe menggunakan kesempatan
itu untuk menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai, mencuri pedang pusaka Siang-bhokkiam den membunuh tujuh orang dari Cap-it Ho-han di Cin-ling-pai." Tio Sun mulai
dengan penuturannya dan kemudian dia menceritakan semua peristiwa yang terjadi
di Cin-ling-san sebagaimana yang didengar dari ayahnya.
Dua orang kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dengan
hati diliputi penuh rasa penasaran karena cara Lima Bayangan Dewa yang
mengganggu Cin-ling-pai itu mereka anggap amat pengecut.
"Dengan menyebutkan nama asing kami, jelas bahwa pembesar korup ini tidak
mempunyai niat yang baik," kata Kwi Beng.
"Pembesar busuk!" Kwi Eng memaki. "Sungguh dia berani menghina kita setelah
ayah ibu tidak ada di sini. Lupakah dia betapa ibu sudah membersihkan Yen-tai
dari gangguan para penjahat dan betapa sudah banyak dia makan uang hadiah dari
ayah?" Tio Sun merasa khawatir sekali. "Kalau sekiranya dia mempunyai niat buruk,
lebih baik ji-wi tidak usah datang menghadapnya."
"Kita tidak mempunyai pilihan lain," Kwi Beng berkata. "Kalau tidak datang
tentu dianggap membangkang dan memberontak. Biarlah kami berdua datang untuk
mendengar apa yang akan dikatakannya."
"Dan aku akan membawa bekal untuk menutup mulutnya kalau perlu," kata Kwi
Eng. Mereka lalu mempersiapkan segalanya, tidak lupa sekantong terisi uang emas,
kemudian minta kepada Tio Sun agar menanti sebentar di gedung mereka. Tak lama
kemudian berangkatlah kakak beradik itu menghadap pembesar setempat, diantar
pandang mata penuh kekhawatiran oleh Tio Sun.
Sampai hampir sore dua orang kakak beradik itu belum juga pulang dan hati
Tio Sun telah merasa gelisah sekali. Tak lama kemudian, datang seorang anggauta
atau anak buah keluarga itu berlarian dengan terengah-engah dia menceritakan
betapa Kwi Eng dan Kwi Beng telah ditangkap dengan tuduhan memberontak, bahkan
para anak buahnya yang malam tadi menyerbu Pulau Hiu juga ditangkap semua!
"Celaka...!" Tio Sun berseru kaget dan pada saat itu, sepasukan perajurit
keamanan kota datang menyerbu gedung tempat tinggal Kwi Eng dan Kwi Beng.
"Tio-taihiap, larilah... kalau tidak taihiap tentu akan ditangkap pula!"
kata orang yang datang pertama tadi.
Tio Sun maklum bahwa tidak mungkin dia melawan perajurit-perajurit
pemerintah. Dia putera bekas pengawal setia dari kerajaan, maka tentu saja tidak
mungkin bagi dia untuk melawan perajurit pemerintah, sungguhpun sekali ini para
perajurit itu dipergunakan oleh seorang pembesar yang agaknya sewenang-wenang.
"Kalau begitu, hayo kau ikut aku melarikan diri!" Tio Sun menyambar lengan
orang itu dan membawanya lari lewat pintu belakang setelah mengambil buntalan
pakaian dan pedangnya. Karena dia dapat bergerak cepat sekali, biarpun dia
mengajak seorang anak buah Kwi Beng, dia dapat lolos melalui tembok belakang
ketika para perajurit menyerbu gedung itu, menangkapi pelayan dan menyita gedung
seisinya. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi atas diri Souw Kwi Beng den Souw Kwi
Eng" Mereka berdua pergi menghadap Ciang-tikoan, akan tetapi begitu mereka tiba,
segera keduanya dikepung oleh sepasukan perajurit dan ditangkap dengan tuduhan
telah membunuhi para nelayan di Pulau Hiu! Tentu saja Kwi Beng menjadi marah


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali dan hampir saja dia mengamuk kalau tidak dilarang oleh Kwi Eng.
"Kita difitnah, Beng-ko den kita dapat membela diri di pengadilan. Kalau
kita menentang, berarti kita memberontak terhadap penguasa setempat yang
mewakili pemerintah." Demikian kata Kwi Eng dan gadis ini lalu menyerahkan
bungkusan uang emas kepada kepala pasukan agar disampaikan kepada Ciang-tikoan.
Akan tetapi mereka tetap saja ditawan, dibelenggu dan dihadapkan kepada tikoan,
sedangkan kantong terisi uang itu entah ke mana larinya!
Dengan suara keren tikoan membentak kedua orang kakak beradik yang sudab
dipaksa berlutut di depannya itu. "Kalian ini keturunan orang-orang asing berani
membuat keonaran di daerah kami" Kalian telah mengandalkan kekuatan, membunuhi
para nelayan di Pulau Hiu den merampok harta benda mereka."
Dua orang kakak beradik itu mengangkat muka dan memandang kepada tikoan itu
dengan heran dan penasaran. Ciang-tikoan ini sudah mengenal baik orang tua
mereka, sudah pernah datang ke gedung mereka dan sudah banyak memperoleh hadiah,
akan tetapi sikapnya sekarang ini seolah-olah seperti belum pernah kenal saja,
seperti menghadapi dua orang penjahat!
"Maaf, taijin (sebutan pembesar). Kami sama sekali tidak merasa membunuhi
nelayan, apalagi merampok harta mereka," jawab Kwi Beng.
"Brakkk!" Tikoan menggebrak mejanya. "Kau masih berani membohong, Richardo
de Gama" Beberapa orang nelayan dari Pulau Hiu berhasil lolos dan mereka menjadi
saksi-saksi utama. Kau tidak mengaku bahwa malam tadi kalian berdua membawa anak
buah, dan naik kapal Angin Timur menyerbu Pulau Hiu dan membunuhi banyak nelayan
tak berdosa di sana?"
"Tidak! Itu hanya fitnah semata!" Kwi Eng menjawab dengan suara lantang.
"Sayalah yang membawa anak buah naik kapal Angin Timur menyerbu Pulau Hiu, akan
tetapi sama sekali bukan untuk membunuhi nelayan, melainkan untuk menolong kakak
saya ini yang diculik oleh gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh Tokugawa."
"Ha, jadi kalian sudah mengaku telah menyerbu Pulau Hiu, bukan" Sudah ada
bukti dan pengakuan, jadi sudah jelas dosa kalian! Jangan mencoba
memutarbalikkan kenyataan, ya" Di Pulau Hiu tidak ada bajak, yang ada hanya
beberapa orang petani dan nelayan Bangsa Jepang dan pribumi yang hidup
tenteram." "Taijin! Mereka itu benar-benar para bajak yang dipimpin oleh Tokugawa!" Kwi
Beng berseru. Ciang-tikoan mengangkat tangannya. "Kau hendak membantah" Mana buktinya
bahwa ada bajak laut di sana" Kalau ada bajak laut tentu sudah kusuruh basmi!"
"Tapi benar-benar kakak saya diculik, taijin!" Kwi Eng membantah.
"Diam! Tanpa bukti, kalian tidak boleh bicara seenaknya saja. Karena masih
mengingat kebaikan orang tua kalian, aku tidak akan menyuruh hukum rangket
kepada kalian, akan tetapi kalian telah melakukan pembunuhan besar-besaran ini
harus diadili di kota raja sebagai pemberobtak-pemberontak!"
"Taijin...!" Kwi Beng berteriak marah.
"Kau akan memberontak pula di sini?" pembesar itu mengangkat tangan dan para
perajurit pengawal sudah mengurung pemuda yang terbelenggu kedua tangannya di
belakang tubuh itu. "Tidak, taijin, kami tidak akan memberontak dan kami tidak pernah
memberontak," Kwi Eng berkata dengan suara halus. "Jika perbuatan kami di Pulau
Hiu itu tidak berkenan di hati taijin, harap Ciang-taijin sudi memaafkan dan
suka memandang muka orang tua kami memberi ampun. Tentu saja atas budi kebaikan
taijin ini kami tidak akan melupakan." Dengan halus Kwi Eng membujuk dan
menjanjikan "balas jasa" yang besar.
Ciang-taijin mengurut kumisnya yang panjang melengkung ke bawah seperti
kumis anjing laut jantan itu. "Ha-ha, kebaikan apa yang dapat dilakukan kalian
ini, peranakan-peranakan asing yang sudah berani memberontak" Seluruh rumah dan
seisinya telah kami sita sebagai milik pemerintah dan kalian akan diadili di
kota raja. Pengawal, kurung mereka sambil menanti saat mereka dikirim sebagai
tawanan pemberontak ke kota raja."
"Penasaran! Tidak adil...!" Kwi Bang meloncat berdiri akan tetapi belasan
orang pengawal sudah meringkusnya kembali.
"Beng-ko, tenanglah dan jangan melawan," kata Kwi Eng dan mereka lalu
digusur keluar dari ruangan itu.
"Tangkap semua anak buahnya yang menyerbu ke Pulau Hiu!" Ciang-taijin
memerintah pasukannya. Mengapa pembesar she Ciang itu demikian keras dan menekan terhadap dua orang
muda itu" Ada beberapa sebab yang mendorong pembesar itu berlaku sedemikian rupa
terhadap Kwi Beng dan Kwi Eng. Pertama-tama, memang terdapat rasa tidak puas dan
tidak senang di dalam hati pembesar itu terhadap keluarga Yuan de Gama, apalagi
setelah Souw Li Hwa selalu menentang para penjahat dan bajak yang berkeliaran di
Yen-tai. Lebih-lebih lagi setelah terjadi bentrok antara keluarga pendekar ini
dengan Tokugawa, diam-diam Ciang-tikoan menjadi makin tidak senang. Tokugawa
adalah "tangan kanannya" secara rahasia dan dari bajak laut inilah segala
keinginan hati Ciang-tikoan dapat terlaksana. Mau kekayaan" Mau wanita-wanita
muda yang cantik" Mau membunuh orang yang tidak disukainya" Hanya tinggal
menyuruh para bajak itu, tanggung beres! Maka kemudian Souw Li Hwa dan suaminya
yang menentang kejahatan, dianggap sebagai ancaman yang dapat menggoyahkan
kedudukannya. Hanya dia tidak berani secara terang-terangan menentang karena
Souw Li Hwa dan suaminya merupakan orang-orang gagah dan berpengaruh, pula tidak
ada alasannya. Kini, suami isteri perkasa itu pergi, dan terjadi peristiwa
pembasmian di Pulau Hiu, Ciang-tikoan mendapat kesempatan baik untuk membalas
dan melampiaskan semua kebenciannya. Dia kehilangan Tokugawa, maka dia segera
mebangkap Kwi Beng dan Kwi Eng dengan tuduhan pemberontak, dan tentu saja rumah
gedung seisinya itulah yang merupakan dorongan besar pula untuk menangkap dua
orang muda itu. Dia tidak khawatir kalau kelak orang tua dua muda-mudi kembar
itu pulang, karena sudah ada bukti dan banyak saksi betapa dua orang kakak
beradik membunuhi orang-orang yang disebutnya "nelayan-nelayan tak berdosa" di
Pulau Hiu. Semenjak sejarah berkembang, tidak perduli di negara manapun di bagian dari
dunia ini, terdapat banyak sekali pembesar-pembesar seperti Ciang-tikoan ini.
Terutama sekali di waktu pusat pemerintahan sedang kalut dan pengawasan dari
atasan kurang ketat, maka para pembesar setempat lalu mempergunakan kekuasaannya
untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Segala sesuatu kebutuhan
rakyat yang harus terlebih dulu mendapatkan ijin dari pera pembesar, pasti
dipersulit sedemikian rupa, sehingga rakyat yang membutuhkan ijin itu secara
terpaksa harus mengeluarkan sebagian miliknya untuk "memberi hadiah" atau
istilah umumnya sogokan atau suapan kalau dia menghendaki pekerjaannya dapat
lancar dan ijin yang dibutuhkannya dapat diberi oleh pembesar yang berwenang.
Tentu saja ada pembesar-pembesar yang betul-betul merupakan pemimpin rakyat,
pelindung rakyat yang bijaksana dan menunaikan tugas kewajibannya dengan baik,
yang berhati bersih dan tidak menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukannya, akan
tetapi sayang, pembesar seperti ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan
saja! Mengapa keadaan di Yen-tai dan di kota-kota lain di seluruh Tiongkok yang
dikuasai Kerejaan Beng-tiauw seperti itu, penuh dengan para pembesar yang
menyalahgunakan kedudukannya untuk memenuhi kesenangan diri pribadi tanpa
menghiraukan nasib rakyatnya" Hal ini adalah karena pengaruh dari keadaan di
pemerintahan pusat, yaitu di Kota Raja Peking, di mana pusat pemerintahan di
tangan kaisar, juga mengalami kekacauan dan kelemahan.
Seperti tercatat dalam sejarah, Peking dibangun oleh Kaisar Yuang Lo yang
gagah perkasa. Bukan saja kaisar ini membangun tembok besar, terutama di bagian
timumya, akan tetapi juga membangun kota raja yang tadinya menjadi kota raja
Bangsa Mongol itu, dibongkar dan dirobah secara hebat sehingga merupakan sebuah
kota raja yang terbesar dan termegah di dunia. Kerajaan Beng-tiauw mengalami
kejayaannya sewaktu Kaisar Yung Lo yang memegang kendali pemerintahan, yang
dilakukannya dengan tangan besi dan dengan adil, tidak segan-segan menghukum
para pejabat yang bersalah sehingga sebagian besar pejabat melakukan tugasnya
dengan baik. Pada masa itu, rakyat dapat mengecap kenikmatan hidup di bawah
pemerintahan yang adil. Dalam tahun 1425, di dalam perjalanan pulang dari penyerbuan musuh di
Mongolia luar, Kaisar Yung Lo meninggal dunia. Kedudukan kaisar diwariskan
kepada putera mahkota, yaitu Kaisar Hung Shi yang sudah sakit-sakitan dan kaisar
inipun meninggal dunia setelah menjadi kaisar selama sepuluh bulan saja.
Kembali kedudukan kaisar diwariskan kepada cucu Yung Lo yang bernama Hian
Tek Ong, seorang kaisar yang mencoba mempertahankan kebesaran kakeknya. Akan
tetapi Kaisar Hian Tek Ong inipun hanya memegang kekuasaan selama sebelas tahun
saja. Kini singgasana diserahkan kepada seorang buyut dari Yung Lo, seorang
pangeran yang baru berusia delapan tahun, yang menjadi Kaisar Cheng Tung.
Penggantian kekuasaan yang berusia pendek ini melemahkan Kerajaan Beng-tiauw,
karena dengan perobahan kaisar berarti terjadi pula perobahan politik den
wibawa. Apalagi karena kaisar yang tetakhir ini, Cheng Tung, masih kanak-kanak
sehingga pemerintah dipegang dalam kekuasaan ibu suri yang tentu saja sebagai
seorang wanita kurang pandai mengatur pemerintahan dan seperti biasa, yang
berkuasa di istana sesungguhnya adalah para thaikam yaitu para pembesar yang
bertugas di dalam istana dan para petugas pria ini semua dikebiri agar jangan
sampai terjadi hal-hal yang melanggar susila antara para petugas ini dengan para
wanita istana. Ketika Kaiser Cheng Tung sudah mulai dewasa, dia sudah terbiasa oleh
pengaruh para thaikam ini, dan boleh dibilang dia berada dalam cengkeraman yang
membius dari seorang thaikam yang paling dipercayanya, yaitu Thaikam Wang Cin,
seorang yang berasal dari kota Huai Lai di utara, di daerah Mongol.
Demikianlah, karena kaisarnya seperti boneka, hanya tahu menandatangani saja
semua hal yang disetujui dan direncanakan oleh Wang Cin, maka pemerintahannya
sangat lemah. Orang semacam Wang Cin mana memikirkan keadaan rakyat" Setiap
gerak perbuatannya selalu bersumber kepada kepentingan pribadinya. Dengan adanya
pemerintah pusat seperti ini, tentu saja para pejabat di daerah menjadi rajaraja kecil yang berdaulat penuh dan sewenang-wenang seperti yang dilakukan oleh
Ciang-tikoan di Yen-tai yang tentu saja cukup cerdik untuk "menempel" para
pembeser di kota raja, terutama mencari muka terhadap yang dipertuan Wang Cin.
Kedua saudara Kwi Eng dan Kwi Beng menjadi korban dari kesewenang-wenangan
pembesar lalim ini dan beberapa hari kemudian, dua orang kakak beradik ini dalam
keadaan terbelenggu kaki tangannya, diberangkatkan menuju ke kota raja dalam
sebuah kereta milik mereka sendiri yang dirampas dan dikawal ketat oleh tiga
losin orang perajurit, dipimpin oleh seorang perwira yang membawa surat-surat
laporan tentang "dosa-dosa" dua orang tawanan itu untuk disampaikan kepada
pembesar atasan di kota raja yang berwenang mengadili perkara-perkara besar.
Banyak rakyat memandang dengan mata merah bahkan ada yang mengucurkan air
mata melihat dua orang muda yang dermawan dan budiman itu menjadi orang-orang
pesakitan diseret ke dalam kereta dan dibawa pergi dari tempat tinggal mereka.
Akan tetapi, seperti biasa, rakyat kecil hanya mampu menangis dan mengeluh,
paling-paling hanya mampu mengepal tinju dengan diam-diam karena mereka tahu
bahwa mereka itu tidak berkuasa atas kehidupan mereka sendiri!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Kwi Beng ketika dalam keadaan
terbelenggu kuat dia bersama adiknya diseret ke dalam kereta itu. Mereka duduk
berhadapan dan saling pandang.
"Moi-moi, kalau saja kita memberontak sejak pertama kali dipanggil..." Kwi
Beng menyatakan penyesalannya.
"Tenanglah, koko. Belum tentu kita akan celaka, kita bersabar saja sambil
melihat perkembangannya. Tentu akan terdapat kesempatan bagi kita, dan lagi...
aku percaya bahwa Tio-twako tidak akan tinggal diam saja."
Seorang pengawal menghardik dan melarang mereka bicara. Kereta lalu
diberangkatkan dan sebelum tirai kereta diturunkan oleh pengawal, Kwi Eng sempat
melihat berkelebatnya bayangan seorang pemuda jangkung berpakaian kuning di
antara rakyat yang menonton dan legalah hati gadis ini. Kwi Beng hanya memandang
heran mengapa ada senyum di bibir adiknya itu dalam keadaan seperti itu!
*** Beberapa hari kemudian pasukan yang mengawal kereta berisi dua oran tawanan
itu tiba di kota Cin-an. Di sini para pengawal berganti kuda dan membawa
perlengkapan dan bekal makanan baru dari para pembesar di Cin-an. Setelah
bermalam di kota Cin-an, pasukan melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya
menuju ke utara, ke kota raja. Sorenya, mereka sudah tiba di tepi Sungai Huangho di mana telah tersedia perahu-perahu besar untuk menyeberangkan mereka. Akan
tetapi karena hari telah mulai gelap, mereka berhenti dan berkemah di dekat
sungai sambil beristirahat. Seperti biasa, dua orang tawanan itu menerima
makanan dan minuman dan mereka diperbolehkan makan minum dengan kedua
pergelangan tangan dibelenggu di depan tubuh mereka dan dipasangi rantai baja
yang panjang dan berat. Demikian pula kedua kaki mereka dibelenggu dengan rantai
panjang. Biarpun kedua orang kakak beradik ini dijaga ketat sekali, namun di
sepanjang perjalanan mereka diperlakukan dengan baik dan sopan. Hal ini adalah
karena si perwira yang memimpin pasukan pengawal itu tahu siapa adanya mereka
berdua ini, tahu pula bahwa ibu dua orang muda itu adalah seorang pendekar
wanita yang amat lihai, demikian pula ayah mereka adalah seorang asing yang
berpengaruh dan dermawan. Akan tetapi diapun maklum betapa penting dan beratnya
perkara yang membuat mereka dikirim ke kota raja, yaitu tuduhan memberontak dan
membunuhi banyak nelayan tidak berdosa! Tentu saja diapun tahu bahwa yang
dimaksudkan dengan "nelayan-nelayan tidak berdosa" itu sesungguhnya adalah
Tokugawa dan kawanan bajak laut. Akan tetapi sebagai seorang bawahan, dia tidak
dapat berbuat apa-apa dan tidak berani menentang atasannya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu melakukan
penyeberangan, menggunakan perahu besar yang telah tersedia di pantai sungai
yang amat luas itu. "Sekarang tiba kesempatan bagi kita, koko. Kau bersiaplah.
Rantai tangan kaki kita ini cukup panjang, memudahkan kita bergerak di air."
"Akan tetapi juga cukup berat untuk membuat kita tenggelam," bisik kembali
Kwi Beng. "Kita harus berani mengambil resiko. Kesempatan ini yang terbaik dengan
mengandalkan kepandaian kita di air," bisik lagi Kwi Eng dan karena perwira
pengawal mendekati mereka, keduanya menghentikan bisikan dan hanya saling
pandang dan mereka telah bersepakat untuk mempergunakan kesempatan penyeberangan
itu untuk melarikan diri.
Ketika perahu besar yang menyeberang itu mulai meluncur ke tengah sungai,
nampak sebuah perahu kecil juga meluncur cepat sekali seiring dengan perahu
besar itu. Perahu ini ditumpangi dan didayung oleh seorang pemuda berpakaian
kuning yang tidak mencurigakan. Para pengawal yang melihat pemuda ini mengira
bahwa dia adalah seorang nelayan atau seorang pelancong saja. Akan tetapi Kwi
Eng menyentuh lengan kakaknya ketika dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain
adalah Tio Sun. Akan tetapi Tio Sun tidak segera turun tangan melainkan terus saja mengikuti
Pedang Kiri 6 Pendekar Rajawali Sakti 69 Titisan Ratu Pantai Selatan Seruling Sakti 13

Cari Blog Ini