Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 5

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 5 Dengan mendelong dan perasaan hampa Su Gio-lan mendongak mengawasi bayangan Bubing bertiga menghilang dikejauhan, dia tahu apa yang menjadi perkataan Bu-bing tentu akan dilaksanakan sesuai dengan kehendaknya. Kalau tempo yang ditentukan sudah tiba, mohon ampun atau keringanan pun takkan berguna. Melihat Bu-bing tinggal pergi Cukat Tam menjadi girang, tanpa Bu-bing hadir disini bukankah dirinya yang akan merajai gelanggang" Segera ia berseru pada Thian-hi, "Mari berangkat!" "Siapa berani membawa dia!" sela Su Giok-lan lari kesamping. Melihat Su Giok-lan berani merintangi dirinya Cukat Tam menjadi nekad, jengeknya, "Budak lemah, jangan kau tidak tahu diuntung, Suhumu sudah lama pergi!" Su Giok-lan mencebir bibir, jengeknya, "Orang lain takut padamu, tapi aku tidak!" Cukat Tam terloroh-loroh, serunya, "Sombong benar-benar budak busuk kau ini. Selama hidup ini Cukat Tam belum pernah ketemu budak kecil berbau pupuk berani kurang ajar terhadap aku." "Hari ini justru telah kau temukan." semprot Su Giok-lan berani. Ciang-ho-it-koay mengira dengan menyebut namanya saja cukup membuat Su Giok-lan gentar dan mundur teratur, siapa nyana Su Giok-lan ternyata lebih bandel dan nekad. Dalam hati ia jadi membatin; 'seumpama Bu-bing hadir disini juga belum tentu aku takut, terpaksa aku hari ini harus belajar kenal Hui-sim-kiam-hoat betapa hebat dan lihay, katanya, "Kepandaianmu Hui-sim-kiamhoat dari Bu-bing Loni terkenal di seluruh dunia, hari ini biarlah aku membuka mataku." Membeku dingin wajah Su Giok-lan, kelihatan rasa dongkol dan gemes yang tak terlampias darahnya semakin bergelora, dengan pekik panjang segera ya bergerak sebat sekali, ujung pedangnya meluncur dari samping menusuk jalan darah Ki kay-hiat didada. Cukat Tam. Cukat Tam tertawa besar, laksana angin lesus badannya berputar, tahu-tahu ia melejit kesamping kiri, kedua jari tengahnya langsung menutuk ke Nau-hu-hiat di belakang batok kepala Su Giok-lan. Gesit sekali Su Giok-lan membalikkan pedang menangkis, gerak pedangnya berubah menjadi jurus Siu-li-kan-kun, sinar pedang berkembang melebar terus mendesak dan merabu kepada Cukat Tam. Cukat Tam terdesak mundur jumpalitan ke tempat asal. Gebrak pertama ini berlangsung dalam kilatan waktu saja, namun kecepatan gerak serang menyerang sungguh sangat cepat sekali. Diam-diam kedua belah pihak maklum bahwa hari ini masing-masing ketemu lawan tangguh. Sejak dibawa pergi Bu-bing Loni, Su Giok-lan telah menelan Ho-siu-oh yang berusia ribuan tahun, digembleng selama seratus hari, Hui-sim-kiam-hoat boleh dikata sudah tercangkok dalam sanubarinya. Apalagi Bu-bing Loni selalu was-was, entah malam atau siang selalu dibayangi oleh rasa ketakutan yang luar biasa. Maka cepat-cepat ia bawa Su Giok-lan untuk mencari Hun Thianhi, tak nyana disini ia kebentur dengan Cukat Tam. Hui-sim-kiam-hoat merupakan ilmu pedang tunggal yang paling digdaya tiada keduanya dikolong langit, dengan gabungan Soat-san-su-gou pun tak kuasa menghadapinya, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat dan lihay perbawanya. Diam-diam Cukat Tam sendiri gelisah, seorang gadis kecil saja sudah begitu lihay permainan pedangnya, apalagi kalau Bu-bing sendiri yang turun tangan, terang dirinya bukan tandingannya, terpikir sampai disini kontan ia jatuh semangat. Su Giok-lan sendiripun baru pertama kali ini memainkan Hui-sim-kiam-hoat, namun dalam gebrak serang menyerang kilasan waktu itu ia sudah dapat merasakan Lwekang Cukat Tam yang tinggi dan kokoh kuat. Kedua jari tutukan Cukat Tam yang mengancam jalan darahnya tadi membawa kesiur angin yang tajam laksana ujung golok, kalau dirinya tidak mengandal gerak kecepatan pedangnya, mungkin sejak tadi dirinya sudah roboh. Begitulah hati masing-masing sudah waspada dan meningkatkan perhatian, siapapun tiada yang berani sembarangan bergerak menyerang lebih dulu. Cukat Tam mendengus, diam-diam ia berpikir; mengandal kedudukan dan ketenaran namaku kenapa hari ini aku gentar menghadapi budak kecil ini, kelak masa aku masih bisa berdiri tegak dikalangan dunia parsilatan" Karena pikirannya ini segera ia bergerak, sedikit menekuk dengkul serempak ia gerakkan kedua telapak tangannya memukul kepada Su Giok-lan. Ciang-ho-it-koay sudah puluhan tahun malang melintang di Kangouw, jelas sekali kepandaian. silatnya jauh lebih tinggi dari Su Giok-lan, kalau gebrak tadi mereka kelihatan berimbang itu bukan lain sebab Cukat Tam rada sangsi dan gentar menghadapi Bu-bing Loni, apalagi Su Giok-lan bergerak lebih dulu mengambil inisiatif menyerang. Sekarang setelah hatinya mantap, meski Su Giok-lan kembangkan Hui-sim-kiam-hoat, namun selalu terdesak dan mundur. Begitulah dengan menghardik keras, kedua pukulan Cukat Tam berubah seperti angin lesus laksana sebuah tonggak besar menerpa ke arah Su Giok-lan. Namun penjagaan permainan pedang Su Giok-lan memang cukup ketat dan rapat sekali, kontan ia terpental terbang setombak lebih ke belakang. Tapi begitu kaki menyentuh tanah, gesit sekali laksana burung walet kakinya menjejak terus melejit tinggi, pedang ditangannya melancarkan Tian-kong-jong-pit, inilah salah satu jurus terhebat dari Hui-sim-kiam-hoat, tahu-tahu ujung pedang telah memancah kemuka dan dada Cukat Tam. Terdengar Cukat Tam mendehem seperti lenguh sapi. tubuhnya berputar lagi seperti gangsingan. Ditengah jalan pedang Su Giok-lan rada merandek terus dituntun balik dengan sejurus Go-gui-toan-gwat, beruntun menutuk kedua biji mata Cukat Tam. Dasar kepandaian Cukat Tam memang jauh lebih tinggi, ringan sekali ia angkat tangan kiri melintang menepuk ke arah batang pedang Su Giok-lan yang menyerang tiba, berbareng tangan kanan menutuk jalan darah Sim-king-hiat di bawah dagu Su Giok-lan. Su Giok-lan terdesak mundur, sekarang Cukat Tam mulai lancarkan serangan balasan yang membadai. sedikit pun ia tidak beri kesempatan pada Su Giok-lan untuk bernapas, keruan ia terdesak di bawah angin dan mundur. Hun Thian-hi berpeluk tangan menonton, tahu dia bahwa Su Giok-lan bakal kalah, namun dia tak kuasa maju membantu. Gwat Long dan Sing Poh selalu mengawasi gerak geriknya dari samping. Serangan Cukat Tam semakin gencar dan cepat, terdengar ia menjengek dingin, "Dengan kepandaian bekalmu ini berani kau mengudal mulut. Betapa pun hari ini aku harus hajar kau. Supaya matamu melek betapa besar dunia ini, bukan gurumu melulu yang tinggi kepandaiannya." Karena bicara gerak serangan Cukat Tam sedikit lamban, kesempatan ini tak disiasiakan oleh Su Giok-lan, sambil mengertak gigi, pedangnya berputar setengah lingkaran terus menusuk kelambung Cukat Tam. Tapi gerakan Cukat Tam cukup cepat, kecepatannya sungguh diluar perhitungannya, belum lagi ia berhasil menyelesaikan serangan pedangnya, tahutahu ulu hatinya sudah terancam oleh kepelan lawan, terpaksa ia selamatkan diri lebih dulu. Hun Thian-hi insaf kalau Su Giok-lan kalah pasti dirinya ikut terhina, otaknya jadi berpikir dan menerawang, mendadak sebat sekali ia melejit jauh terus lari sekencangnya ke depan. Mendadak melihat Thian-hi melarikan diri sungguh Gwat Long dan Sing Poh terkejut, "Lari kemana!" sambil membentak berbareng mereka mengejar. Tanpa hiraukan teriakan orang Hun Thian-hi berlari semakin kencang. Melihat Hun Thian-hi melarikan diri, Cukat Tam menjadi gugup. Tanpa hiraukan Su Giok-lan lagi dia pun menghardik keras, suaranya melengking tinggi seiring dengan tubuhnya yang medenting jauh mengejar ke arah Hun Thian-hi. Bagi Su Giok-lan larinya Hun Thian-hi dianggap sebagai perbuatan pengecut yang membalas air susu dengan air tuba, Dia melarikan diri tanpa hiraukan dirinya lagi, saking murka air mata mengembeng dikelopak matanya, dengan gemes ia menyentak keras" tiba-tiba pedangnya bergulung balik, dengan jurus Sing-gwat-cin-hwi, bayangan pedang terpecah kedua jurusan langsung menusuk ke arah dua sasaran ditubuh Cukat Tam. Mendengar samberan angin deras yang mengancam jiwa ini. Cukat Tam menjadi naik darah, sambil menggembor keras ia membalik tubuh, telapak tangannya bergoyang menghantam balik batang pedang Su Giok-lan. Sementara tubuhnya masih melayang ke depan terus meluncur ke arah Thian-hi. Sun Giok-lan tahu dengan bekal Ginkangnya sekarang takkan mungkin dapat mengejar, terpaksa ia berdiri menjublek ditempatnya. Sementara itu, Hun Thian-hi lari terus kebawah, ia belok ketimur lalu balik lagi ke arah barat, darinya pontang panting, namun kira-kira setengah li kemudian ia sudah terkejar oleh Cukat Tam. Ringan sekali tubuh Cukat Tam meluncur turun dihadapan Hun Thian-hi, dengan pandangan mendelik ia awasi Hun Thian-hi. Melihat takkan berhasil lolos, Thian-hi berpaling ke belakang, dilihatnya Gwat Long dan Sing Poh juga sudah menyusul tiba. Su Giok-lan tak kelihatan bayangannya, tanpa merasa ia menghela napas lega. "Berani kau lari!" maki Cukat Tam gusar. Hun Thian-hi mandah tertawa ewa tanpa buka suara. Cukat Tam berludah, katanya kepada Gwat Long berdua, "Kalian ringkus dia dan gusur kembali ke Bu-tong-san!" Baru sadia suara Cukat Tam lenyap, dari hutan sebelah sana terdengar sebuah suara berkata, "Apakah begitu gampang" Kau belum minta izin padaku bukan?" Kontan mereka berempat terperanjat, Cukat Tam menggerung gusar, teriaknya lantang, "Siapa itu di dalam hutan!" Seorang tua berambut merah melayang keluar. Bercekat hati Thian-hi, bagaimana mungkin dia kemari" Demikian dalam hati ia bertanya-tanya. Cukat Tam tertawa dingin, ujarnya, "Kiranya kau. Sejak berpisah tiga puluh tahun yang lalu, tak kira masih hidup?" Pendatang baru ini bukan lain adalah Ang-hwat-lo-co, itu tokoh nomor satu dari aliran sesat, dengan dingin ia pun pandang Cukat Tam, katanya menyeringai dingin, "Ternyata kau berani memasuki daerah Tionggoan. Hari ini ingin aku menjajal betapa maju ilmu silatmu setelah berpisah tiga puluh tahun.!" Sudah lama Cukat Tam mendengar nama dan kepandaian Ang-hwat-lo-co, namun sedemkian jauh belum pernah saling gebrak mengadu kepandaian, segera ia pun balas mengolok dengan tidak kalah pedasnya, "Tak nyana kau pun berani muncul kembali dikalangan Kangouw.' Ang-hwat-lo-mo menyeringai sadis, tanpa bersuara tiba-tiba badannya mencelat mumbul ke atas terus menerjang ke depan merangsek kepada Cukat Tam dengan sebuah pukulan tangan. Cukat Tam tahu kepandaian musuh bukan oleh2 lihaynya, dengan mengerahkan tenaga segera ia balas menyerang dengan kedua kepalannya. Begitulah mereka mulai serang menyerang dengan sengit. Badan kedua orang tampak beterbangan selulup timbul secepat burung walet bermain di atas air, laksana kupu terbang menari di atas kuntum bunga, kelihatan kedua kaki masing-masing seperti tidak menyentuh tanah, namun gerak gerik mereka begitu cepat membawa kesiur angin yang cukup deras, terdengar lambaian baju pakaian mereka yang lirih ditengah deru angin pukulan yang keras. Dari samping Hun Thian-hi menonton pertempuran, diam-diam ia merasa heran, hatinya dirundung pertanyaan, dulu Arg-hwat-lo-co berusaha mencelakai jiwanya, kenapa sekarang malah menolongnya" Apakah mungkin ia punya muslihat lain lagi" Dalam pada itu pertempuran masih berjalan dengan sengit, Hun Thian-hi hampir tak dapat mengikuti gerak tempur kedua orang, masing-masing bergerak begitu lincah seperti Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sikatan, licin bagai belut dan cepat seperti kilat menyamber. Tanpa terasa setengah jam telah lewat, perkelahian itu masih berlangsung dengan serunya, kedua belah masih kelihatan sama kuat, saling hantam dan sepak, masing-masing memberikan tekanan yang mengagumkan. Entah sudah berapa ratus jurus kemudian, tiba-tiba terdengar suara benturan yang rada lirih, suara itu tidak begitu keras, tapi kontan terlihat kedua orang sama-sama terpental mundur. Kelihatan Ang-kwat-lo-co berdiri tegak sambil menyeringai dingin, sebaliknya Cukat Tam pucat pasi, matanya mendelik mengawasi Ang-hwat-lo-co. Dengan tenang Hun Thian-hi menonton dari samping dan menanti perkembangan selanjutnya, tahulah dia bahwa Cukat Tam sudah terkalahkan, malah terluka dalam lagi. Setelah menentramkan pernapasannya, air muka Cukat Tam rada baikan, katanya gusar kepada Ang-hwat-lo-co, "Hadiah pukulanmu hari ini, kelak pasti akan kubalas!" Ang-hwat-lo-co menyeringai dingin, jengeknya, "Justru karena menanti kedatanganmu menuntut balas kelak maka hari ini kuampuni jiwamu." Cukat Tam menggeram gusar, matanya melirik ke arah Hun Thian-hi, serunya, "Jangan sombong! Sakit hati ini dalam setahun pasti kubalas." - habis berkata terus ngacir pergi. Sudah tentu Gwat Long dan Sing Poh menjadi ketakutan, pucat pias wajah mereka, serentak putar tubuh lantas melarikan diri. Terdengar Ang-hwat-lo-co bergelak tawa, dari jauh kedua tangannya mencengkeram kepada mereka berdua, mulutnya pun membentak, "Kemana kalian hendak lari?" berbareng kedua telapak tangan didorong lantas ditarik kembali. Terdengar Gwat Long dan Sing Poh melolong panjang terkena pukulan, setelah lari beberapa langkah akhirnya jatuh terjerambab. Ang-hwat-lo-co menjengek dingin, katanya, "Jangan kalian pura-pura mati disitu, kalian masih berkesempatan hidup satu hari lagi. Lekas pergi!" Dengan susah payah Gwat Long dan Sing Poh merangkak bangun, setelah mendelik gusar kepada Hun Thian-hi dengan terhuyung-huyung mereka tinggal pergi saling payang. Bercekat hati Thian-hi, ia maklum bahwa perbuatan Ang-hwat-lo-mo ini bukan menolong sebaliknya malah semakin menjerumuskan dirinya. Perbuatan ini tidak lain akan menimbulkan rasa pertentangan kaum persilatan terhadap dirinya sehingga dia tak mungkin tegak berdiri di pihak Cing-pay, dan lebih besar pula kepercayaan masyarakat umumnya kaum peisilatan bahwa Giokyap Cinjin memang adalah dia yang membunuh. Kalau peristiwa hari ini tersiar luas mungkin Bun Cu-giok takkan mau percaya lagi akan keperibadiannya. Terpikir oleh Hun Thian-hi, tanpa merasa ia menghela napas rawan. Ang-hwat-lo-co terbahak-bahak, serunya, "Kenapa" Ku tolong kau, masa tidak senang?" Hun Thian-hi berludah dengan gusar, terus tinggal pergi. Ang-hwat-lo-co terloroh-loroh, serunya, "Kalau kau berpisah dari aku, kemana pula kau bisa pergi?" "Seumpama harus mati akupun tidak sudi bersama kau." semprot Hun Thian-hi gusar. Ang-hwat-lo-co berkata, "Pertama aku melihat kau kukira kau dari aliran Cingpay, tapi ternyata kau berani bunuh Bu-tong Ciangbun, tak lain kau pun suka mengagulkan diri saja. sia-sia kau menista golongan kita sebagai kaum sesat yang nyeleweng apa segala. "Hakikatnya siapa lurus dan siapa sesat sukar dibedakan bukan?" Hun Thian-hi mendengus hidung, ia tak mau banyak bicara, langkahnya dipercepat. "Mengandal tingkah lakumu ini, apa kau masih ingin menuntut balas?" terdengar Ang-hwat-loco mengolok, "anggapmu kau gampang mencari kematian?" Tersentak sanubari Thian-hi, serta merta langkahnya berhenti, betapapun dia tidak rela mati secara penasaran. Begitu berkecimpung di kalangan Kang-ouw urusan sudah mengikat dirinya, untuk mencari kematian rasanya memang tidak begitu gampang.... Terdengar Ang-hwat-lo-co berkata, "Kudengar sakit hati ayahmu belum terbalas, apalagi kau pun harus menuntut balas bagi kematian Soat-san-su-gou bukan?" Mendengar orang menyinggung Soat-san-su-gou berkobar amarah Hun Thian-hi, serunya gusar, "Soat-san-su-gou berempat cianpwe berkorban karena aku melancarkan jurus Pencacat langit melenyap bumi yang kau ajarkan itu. Kalau aku harus menuntut balas kecuali Bu-bing Loni langkah selanjutnya adalah kau!" Ang-hwat-lo-co terkial-kial menggila, ujarnya, "Memang benar-benar! Semula memang aku tidak bersungguh hati mengajarkan jurus ganas itu kepada kau. Tapi kau sudah dua kali melancarkan ilmu lihay itu, kedua kalinya telah menolong jiwamu, apa kau berani tidak mengakui" Kalau dulu kau tidak lancarkan jurus Pencacat langit pelenyap bumi, kau takkan hidup sampai sekarang!" Terbayang oleh Hun Thian-hi keadaan Waktu itu, diam-diam ia mengakui kata-kata orang memang benar-benar. Terdengar Ang-hwat-lo-co menjengek lagi, "Sejak kau meninggalkan perguruan siapa saja yang mencari perkara kepadamu" Apakah mereka itu tokoh-tokoh yang menamakan dirinya dari aliran sesat" Bukan, kebanyakan mereka adalah kaum lurus, tapi hanya karena sebuah Badik buntung, saling berebutan, cakar mencakar bunuh membunuh, kiranya juga begitu saja mereka yang mengunggulkan dirinya sebagai kaum lurus!" Hun Thian-hi terkancing mulutnya, tiada alasan untuk balas mendebat. Ang-hwatlo-co meneruskan ocehannya, "Kau, justru kau tidak tahu diri dan tidak bisa lihat gelagat, kau berani mendesakkan diri masuk ke dalam golongan mereka." "Aku bekerja bukan karena minta belas kasihan mereka, hanya menuruti hati nuraniku saja!" semprot Thian-hi. "Lalu kenapa kau takut berada bersama aku?" olok Ang-hwat-lo-co dengan tertawa lebar, "Aku tidak merebut Badik buntungmu secara licik atau terang-terangan. Sekarangpun aku tidak ingin melukai kau. Kau hanya takut diketahui orang lain bahwa kau berkumpul erat dengan aku!" "Memang kau ingin orang lain tahu aku berkumpul dengan kau, jelas sekali tujuanmu hendak menjerumuskan aku. Kau sendiri sudah keliwat batas kejahatan yang telah kau perbuat, kini masih ingin menyeret orang lain kejurang nista, tujuanmu nyeleweng, masih berani kau katakan hatimu suci bersih?" -Demikian Thian-hi mendebat dengan pendapatnya. "Di seluruh kolong langit ini, sekarang aku diangkat sebagai jago nomor satu dari kalangan sesat, tapi masih ada seorang yang kutakuti!" demikian kata Ang-hoat-lo-co. "Bu-bing Loni bukan,?" sambung Thian-hi dengan nada menghina. Ang-hwat-lo-co manggut-manggut, katanya, "Hui-sim-kiam-hoat milik Bu-bing Loni merupakan kepandaian tunggal yang tiada taranya. Walaupun jurus Pencacat langit pelenyap bumi ciptaanku itu punya perbawa yang sangat ampuh, tapi kurasa takkan unggul melawan Hui-simkiam-hoat. Tapi bila kau sudi, aku bisa menunjuk sebuah jalan terang untuk kau, akibatnya kepandaian silatmu bakal jauh lebih tinggi dari kemampuan Bu-bing Loni sekarang." Dengan sikap dingin dan tak acuh Thia-hi pandang Ang-hwat-lo-co. rada lama kemudian ia buka suara, "Kalau mungkin, kenapa kau sendiri tidak mencobanya?" Ang-hwat-lo-co terbahak-bahak, tanyanya menegas, "Kau sudi tidak?" Rada, tergerak hati Thian-hi, sahutnya, "Coba terangkan dulu!" Ang-hwat-lo-co menjelaskan, "Seluruh perhatian tokoh-tokoh goblok itu sekarang tertuju kepada Badik buntung milikmu itu. Tapi rahasia tersembunyi dari Ni-kay-ki-tin tentu tak berada di dalam Badik buntung itu, kalau cdak masa tiada akhir perebutan itu selama ini" Menurut apa yang kuketahui, Wi-thian~chit-ciat-sek yang merupakan ilmu paling hebat dan digdaya pada ratusan tahun yang lalu sekarang telah muncul kembali, malah aku tahu dimana sekarang berada kalau kau dapat memohonnya, apa perlu takut tethadap Bu-bing Loni?"' - Habis berkata ia bergelak tawa sepuasnya. Dengan tajam Thian-hi awasi tingkah pola Ang-hwat-lo-co, katanya dingin, "Kau tahu tempat itu kenapa kau semdiri tidak mau kesana?" Berubah serius wajah Ang-hwat-lo-co, katanya, "Jago nomor satu dari golongan sesat adalah aku, Bu-bing Loni tidak lurus juga rada nyeleweng, tapi siapakah jago Nomor satu dari golongan Cingpay?" Thian-hi awasi terus rona wajah Ang-hwat-lo-co lekat-lekat, tak tahu dia siapa yang harus disebutkan. Apakah Giok-yap Cinjin atau Thian-cwan Taysu" Tapi dari nada ucapan Ang-hwat-loco terang bukan mereka adanya, lalu siapa" Terdengar Ang-hwat-lo-co melanjutkan sambii menyengir, "Kau tak tahu bukan" Orang ini bukan Thian-cwan Taysu, juga bukan Giok-yap Cinjin, tapi adalah Ka-yap Cuncia yang menghilang pada lima puluh tahun yang lalu!" Thian-hi terlongong sebentar, sungguh diluar sangkanya bahwa Ka-yap Cuncia adanya. Sudah lima puluh tahun lamanya Ka-yap Cuncia menghilang dari kalangan Kangouw, konon tokoh ini merupakan orang kosen nomor satu selama ratusan tahun ini, siapa nyana beliau sekarang masih hidup. Terdengar Ang-hwat-lo-co berkata dingin, "Kau tidak sangka bukan" Kiam-boh Withian-chitciat- Kek justru berada ditangannya, kalau kau dapat bersua dengan beliau, tentu tiada seorang pun yang berani mengagulkan diri sebagai jago nomor satu." Thian-hi termenung, benar-benarkah ada kejadian itu" Mengandal tampang Ang-hwatlo-co, seumpama betul mengetahui berita ini tentu takkan rela memberi tahu kepada orang lain, betapapun dia takkan rela ada tokoh lain punya kepandaian yang lebih tinggi dari kemampuan sendiri. Ang-hwat-lo-co melanjutkan, "Sudah tentu, seumpama kau berhasil bertemu dengan beliau, belum tentu dia rela menyerahkan Wi-thian-cit-ciat-sek itu kepadamu, tapi selama hidupnya belum pernah membunuh seorang pun, kau tak perlu takut dan takkan ada bahaya." Hun Thian-hi tertawa tawar, katanya, "Hakikatnya dia tiada punya alasan harus menyerahkan Wi-thian-chit-ciat-sek itu kepada aku, akupun tak perlu kesana!" Ang-hwat-lo-co menyeringai dingin, katanya, "Apa kau mau mendapat Kiam-boh Withian-chiatchiit- ciat-sek itu?" Melihat sikap orang diam-diam Thian-hi mempertinggi kewaspadaannya, ia tahu bahwa orang tengah mengatur tipu muslihatnya, sambil angkat alis ia menjawab, "Siapa yang tidak mau?" Ang-hwat-lo-co manggut-manggut, katanya. "Itulah baik, sudah tentu aku punya caraku sendiri supaya Kiam-boh Wi-thian-chit-ciat-sek itu dapat kau peroleh" "Dengan cara apa?" tanya Thian-hi. "Sudah tentu Ka-yap Cuncia tidak semudah itu sembarang menyerahkan Kiam-boh itu kepada kau," demikian Ang-hwat-lo-co menerangkan, "Kau mohon dan minta2 juga percuma. Kau tak perlu mengemis, berlakulah wajar supaya dia tidak tahu bahwa kedatanganmu justru karena Withian- chit-ciat-sek itu, kalau, kau kesana kau harus pura-pura tidak kenal dengan dia." Thian-hi tahu bahwa Ang-hwat-ho-co tengah mengatur tipu muslihatnya yang keji, tapi ingin dia tahu dan menyelami tipu muslihat apa yang tengah dirancang ini, sehingga dapat mencelakai seorang tokoh kosen seperti Ka-yap Cuncia yang dijunjung sebagai jago nomor satu dari golongan Cing-pay. Kata Ang-hwat-lo-co menyambung, "Untuk orang lain sangat sukar, tapi bagi kau adalah sangat mudah sekali!" "Sebetulnya bagaimana aku harus bekerja?" tanya Thian-hi pura-pura tak sabaran. Ang-hwat-lo-co melanjutkan, "Kau pura-pura tidak mengenalnya, memang dengan usiamu ini tidak mungkin mengenal dia! Jadi dia tidak merasa curiga dan berjaga-jaga terhadap kau, lantas kau gunakan Hek-liong-ling sedikit dicampurkan ke dalam minuman tehnya sudah cukup berlebihan." Bertaut alis Thian-hi, dia tidak tahu apakah Hek-liong-ling (sisik naga hitam) itu, tapi dari nada perkataan Ang-hwat-lo-co, tentu merupakan suatu bisa yang sangat beracun, kalau tidak mana mungkin sebagai tokoh nomor satu dari seluruh kolong langit ini begitu terkena sedikit saja lantas bakal lumpuh dan kena dibereskan. Ang-hwat-lo-co tertawa-tawa, ujarnya, "Mungkin kau tak percaya, tapi sisik naga Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo hitam itu kutemukan di dalam gua ularku itu, walaupun seekor ular yang paling ganas dan beracun juga tidak berani mendekat dalam jarak tiga kaki, begitu masuk kontan mati. Sekarang aku sudah dapat menguasainya, jangan kata baru Ka-yap, seumpama dewata begitu tersentuh oleh Hekliong- ling juga bakal pendek usianya." "Itulah baik," kata Hun Thian-hi, "bolehkah aku melihatnya dulu?" "Masa begitu gampang?" kata Ang-hwat-lo-co, "Pergilah ke selatan, akan kulindungi kau secara sembunyi, sampai pada waktunya tentu akan kuajarkan cara bagaimana kau harus bekerja." Hun Thian-hi termenung sebentar, akhirnya ia tertawa hambar tanpa bicara lagi. Ooo)*(ooO Hun Thian!-hi sudah pergi, Su Giok-lan masih berdiri melengong, sungguh dia menyesal orang macam Hun Thian-hi kenapa tadi tidak mau turun tangan saja" Keadaannya sudah payah tentu dia kena dicandak dan diringkus oleh Ciang-ho-it-koay dan dibawa ke Bung-tong-san. Kesana saja aku mengejarnya. Begitu menggentakkan kaki laksana batu meteor tubuhnya melenting tinggi terus meluncur cepat ke arah gunung Bu-tong. Belum lagi ia sampai di Bu-tong-san sudah mendengar bahwa Ciang-ho-it-koay melarikan diri dengan luka-luka parah. Gwat Long dan Sing Poh kedua murid tunggal Giok-yap Cinjin juga sekarat menderita luka-luka dalam yang sangat berat. Hun Thian-hi tinggal pergi ikut Ang-hwat-loco. Su Giok-lan menjublek, sesaat ia menjadi bingung apa yang harus dilakukan selanjutnya, Hun Thian-hi sudah pergi ikut Ang-hwat-lo-co, bagaimana ia harus bertindak" Bu-bing Loni takkan memberi keringanan terhadap dirinya, pikir punya pikir dengan otak kusut dan perasaan hampa ia melanjutkan ke depan. Entah sudah berapa lama dan berapa jauh ia berjalan, tahu-tahu hari sudah menjelang magrib. Jauh di depan sana kelihatan debu mengepul tinggi, puluhan kuda tunggangan tengah membedal cepat mendatangi. Berjengkit alis Su Giok-lan, sembari membentak ia memapak maju terus menghadang di tengah jalan. Puluhan kuda itu tak hiraukan keselamatan Su Giok-lan, dengan kencang terus menerjang tiba. Enteng sekali tubuh Su Giok-lan mencelat mumbul ke atas berbareng kedua tangan bergerak lincah sekali, dalam sekejap mata ia berhasil memukul puluhan penunggang kuda jatuh sungsang sumbel Waktu ditegasi puluhan orang itu mengenakan seragam merah, terang adalah anak buah Partai Merah, tanpa merasa ia mendengus dingin. Dari depan sana mendatangi pula puluhan kuda tunggangan, mengiringi tiga orang di tengah. Begitu melihat puluhan orangnya malang melintang rebah di tanah, seorang gadis berdiri angker dengan galaknya mencegat jalan segera ketiga orang itu menghentikan kudanya Sebetulnya kesalahan dipihak Su Giok-lan, serta tahu yang dihadapi adalah pihak Partai Merah, rasa salah itu berubah menjadi rasa tuntutan yang mendesak. Sambil menyeringai dingin ia amatamati ketiga penunggang yang terdepan. Ketiga orang ini bukan lain adalah Pangcu Partai Merah Gi Ciok, serta Tio-hongho dan Liong Lui. Enteng sekali Liong Lui bergerak melompat turun dari tunggangannya, dengan muka kecut dingin ia awasi Su Giok-lan. "Dimana Pangcu kalian?" tanya Giok-lan aseran. Liong Lui mendengus ejek, "Kenapa harus Pangcu, aku sudah cukup!" Di mulut Liong Lui bicara takabur, serta melihat puluhan anak buahnya yang malang melintang tak bergerak itu, hatinya rada bercekat. Puluhan anak buahnya itu menerjang dengan tunggangannya yang berlari kencang, namun dapat dirobohkan dalam sekejap mata, ini betulbetul kejadian yang luar biasa, diam-diam ia menerawang, dirinya sendiri belum tentu mampu berbuat begitu. Tahu dia bahwa dia tengah berhadapan dengan lawan berat. Tapi belum pernah di kalangan Kangouw ada muncul seorang gadis macam ini, punya kepandaian silat tinggi, entahlah kenapa dia bersikap bermusuhan terhadap kita. Melihat Liong Lui yang maju, Su Giok-lan tersenyum dingin, tanyanya, "Siapa kau?" "Thian-liong-kiam Liong Lui. Masa kau tidak kenal!" bentak Liong Lui gusar. "Thian-mo-kiam?" seringai Giok-lan semakin menakutkan, "Baik! Cabutlah pedangmu!" Liong Lui insaf lawannya ini tentu sukar dilayani, namun dengan kedudukan dan ketenaran namanya masa harus mengambil keuntungan menghadapi musuh kecilnya ini, sesaat ia menjadi ragu-ragu, tanyanya, "Sekali pukul kau dapat merobohkan puluhan anak buahku, tentu hebat sekali ilmu silatmu, entah siapakah gurumu yang mulia?" "Kau tidak punya hak untuk mengetahui!" Liong Lui tertawa besar, serunya, "Entah gurumu tokoh kosen dari mana, aku Liong Lui kiranya tak sembabat untuk mengetahui, terpaksa aku minta belajar kenal dengan muridnya saja!" sembari berkata pelan-pelan ia melolos pedangnya. Su Giok-lan pun telah mencabut pedangnya, sedikit tangan kanan mengayun, dengan gaya Citiam- yan-hun tahu-tahu pedang panjangnya menutuk langsung ke arah Liong Lui. Liong Lui angkat nama karena dia seorang ahli dalam permainan pedang, begitu melihat jurus permulaan serangan Su Giok-lan ini bercekat hatinya. Kelihatannya Su Giok-lan hanya seenaknya saja mengayun dan menusukkan pedangnya, namun tenaga yang terkandung diujung pedang ternyata begitu kuat dan kokoh sekali, merupakan jurus tipu yang cukup ganas dan keji. Lekaslekas Liong Lui menyilangkan pedang panjangnya lalu didorong kesamping. Su Giok-lan maklum akan maksud tujuan lawan, mengandal Lwekang dan kepandaiannya sekarang lawan sebangsa Thian-mo-kiam masa bisa menjadi tandingannya. Mengikuti dorongan tenaga lawan ia pun menuntun pedang lawan berputar, seiring dengan gerak putaran pedang kakinya pun ikut bergeser, lalu dengan jurus It-sian-heng-kang pedangnya menyapu, miring, tampak selarik sinar pedang kemilau laksana bianglala melesat ke arah Liong Lui. Kaget Liong Lui seperti disengat kala, gerak perubahan serangan Su Giok-lan begitu cepat dan belum pernah diketemukan, insaf dia bahwa hari ini ia bakal terjungkal ditangan musuh kecil ini, tersipu-sipu ia menyurut mundur serta menyampokkan pedangnya miring. Gerak pedang Su Giok-lan berubah lagi, dari menyapu menjadi menutul, telak sekali ujung pedangnya menusuk gagang pedang Liong Lui, kontan pedang panjang ditangan Liong Lui tersontek terlepas dan mencelat jauh. Dengan ketakutan Liong Lui melompat mundur, sambil menghardik ringan Su Giok-lan melejit mengejar, dimana kilasan pedangnya bergerak, tahu-tahu kuping kiri Liong Lui kena terpapas jatuh di tanah. Berubah hebat air muka Gi Ciok melihat kesudahan pertempuran singkat ini. Lekaslekas ia mencabut Thay-i-kiam yang tajam luar biasa itu. katanya sambil tertawa dingin kepada Su Gioklan, "Akulah Pangcu Partai Merah, ada urusan apa kau cari aku?" Su Giok-lan tertawa dingin, katanya, "Urusan sepele saja, hanya ingin minta Badik buntung yang berada ditanganmu itu." Beringas muka Gi Ciok, katanya tertawa besar, "Sombong benar-benar, mengandal apa kau?" "Pedang ditanganmu itu juga harus kau tinggalkan!" Su Giok-lan mengancsm semakin berani Dengan muka beringas dan kemarahan yang memuncak Gi Ciok berpikir, ia insaf bahwa kemungkinan besar dirinya pun bukan tandingan Su Giok-lan, tapi masa harus unjuk kelemahan" Segera ia memberi aba-aba kepada anak buahnya, puluhan anak buahnya segera menyerbu, dia bersama Tio Hong-ho dan Liong Lui pun tidak ketinggalan merangsak dengan hebat Terdengar Su Giok-lan melengking tertawa. tubuhnya tiba-tiba timbul terbang ke tengah udara, kelihatan diujung pedangnya bergetar lalu berputar satu lingkaran melancarkan jurus Heng-miliok- hap, begitu pedang bergerak berpetalah kuntum bunga yang menakjubkan dari sinar gemerdep batang pedangnya, sekaligus menerpa ke arah puluhan penyerangnya. Kontan terdengar jerit dan pekik kesakitan yang menyayatkan hati, sejurus serangan ini sekaligus telah merobohkan enam orang. Keruan Gi Ciok kaget bukan main, insaf dia kalau pertempuran dilanjutkan tentu tidak menguntungkan pihaknya. Sekonyong-konyong teringat olehnya seorang tokoh kenamaan, macam Bu-bing Loni yang telah menerima murid baru bernama Su Giok-lan, bukankah musuh yang dihadapi ini bernama Su Giok-lan, tanpa merasa kuduknya berkeringat dingin, badan pun gemetar.... Cepat ia bertanya, "Apakah kau nona Su?" "Benar-benar!" dengus Su Giok-lan. Gi Ciok tertegun sebentar, katanya, "Nona Su, pamanmu adalah sahabat baikku...." "Jangan singgung dia!" tukas Su Giok-lan aseran. Teringat akan kekejaman Bu-bing Loni badan Gi Ciok semakin merinding, ia menjublek ditempatnya, sungguh diluar tahunya bahwa hari ini ia bakal ketimpa malang berhadapan dengan bintang iblis yang merugikan ini. Apa boleh buat akhirnya ia berkata, "Aku tak tahu kau nona Su, kalau tahu siang-siang tentu sudah kuserahkan Badik buntung itu." Su Giok-lan mandah tersenyum ejek, ia tahu Gi Ciok tentu takut akan Suhunya Bubing. Bergegas Gi Ciok merogoh keluar Badik buntung lalu disodorkan kepada Su Gioklan. "Pedang panjang itu sekalian!" pinta Su Giok-lan. Berubah pucat air muka Gi Ciok, mana bisa Thay-i-kiam diberikan orang" Kalau TThay-i-kiam hilang, untuk selanjutnya jangan harap dirinya bisa bercokol pula dikalangan Kangouw. Dengan sangsi ia mengawasi Su Giok-lan. "Berikan tidak!" desak Su Giok-lan dengan nada mengancam. "Entah keinginan gurumu atau kehendak nona Su sendiri?" tanya Gi Ciok Su Giok-lan mendengus, pikirnya; mungkin orang ini tidak rela menyerahkan pedangnya, maka dengan suara rendah ia berkata, "Apa pula bedanya?" Gi Ciok mengeluh, katanya, "Pedang ini menyangkut jaya atau runtuh dari Partai kita. Kalau gurumu yang meminta, sudah tentu aku tak banyak bicara, tapi kalau hanya kehendak nona sendiri, aku mohon sukalah nona memberi sedikit kelonggaran." "Apa-apaan sikapmu ini," jengek Su Giok-lan gusar, "Masa murid Bu-bing Loni mau ditekan orang lain?" Mendengar Su Giok-lan menyinggung nama Bu-bing Loni, semakin kecut dan gemetar badan Gi Ciok, kalau sampai membuat beliau gusar maka celakalah dirinya, cepat-cepat dengan badan basah karena keringat dingin, ia tanggalkan pedangnya. dengan kedua tangan ia angsurkan Thayi- kiam kepada Su Giok-lan, katanya, "Kalau nona Su memaksa, masa aku harus kikir mengangkangi pedang ini." Setelah menerima Badik buntung dan Thayj-i-kiam Su Giok-lan tak banyak bicara lagi, dengan ulapan tangan ia suruh mereka tinggal pergi. Dengan murung dan rawan segera Gi Ciok bawa anak buahnya berlari pergi. Menurut tujuannya semula ia hendak meningalkan daerah Tionggoan secara diam-diam, sembunyi diri mencari dan menyelami rahasia Badik buntung, sungguh diluar dugaannya ditengah jalan ia ketemu begal, semua harapan dan harta miliknya menjadi ludes. Setelah rombongan musuh pergi jauh, lekas-lekas Su Giok-lan mengamati Badik buntung serta menarik keluar sedikit Thay-i-kiam. Alisnya bertaut semakin dalam, kedua bilah senjata merupakan benda pusaka yang ampuh, tapi apakah kedua pusaka ini bakal membantu dirinya" Mungkin dengan Badik buntung itu ia dapat mengejar jejak Hun Thian-hi, tapi batas waktu yang ditentukan sudah lewat, kalau tiga hari kemudian tidak ketemu, bagaimana sikap Bu-bing Loni terhadap dirinya" Sungguh ia tidak berani membayangkan akibatnya, boleh dikata hatinya sangat membenci Hun Thian-hi, kalau tidak Hun Thian-hi tentu riwayatnya takkan demikian sengsara dan menderita baru sekarang ia sadar bahwa kepandaian silat takkan dapat merubah haluan hidupnya, ilmu silat tiada bawa manfaat yang berguna bagi dirinya, sungguh rela rasanya hidup sederhana dalam ketenangan jiwa yang aman sentosa tanpa mengarungi kilatan pedang dan genangan darah, tapi apakah mungkin ia merubah haluan ke arah itu" Demikian Su Giok-lan tenggelam dalam pikirannya, dengan napas berat ia menarik hawa. Di tengah udara nan jauh sana lapat-lapat terdengar pekik nyaring burung dewata, Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berdebar keras jantung Su Giok-lan, pikirnya; sekarang baru satu setengah hari, meski sikap dan watak Bubing Loni sukar diraba, tapi setiap kata-katanya selamanya tak pernah diubah. Kejap lain, pelan-pelan burung dewata meluncur turun dan hinggap di tanah, pelan-pelan Ham Gwat melorot turun di hadapannya. Diam-diam bergidik sanubari Su Giok-lan, kuduknya sampai merinding, dia jauh lebih takut terhadap Sucinya ini dari pada Suhunya Bu-bing Loni, kalau tiada urusan selamanya Ham Gwat tak pernah bicara dengan dia, menurut penglihatannya, ilmu silat Sucinya ini tidak berbeda jauh dari kemampuan Bubing Loni sendiri, tapi setiap kali ia bicara wibawanya seolah-olah lebih angker dari Bu-bing Loni, raut mukanya selalu wajar dan tak pernah berubah, senang atau duka tak pernah terunjuk pada air mukanya. Sekarang Ham Gwat berdiri di hadapannya, hampir saja ia susah bernapas. Dengan mendelong ia awasi Ham Gwat, dengan pandangan bening Ham Gwat menatap dia, katanya, "Suhu sudah setuju untuk tidak menarik panjang urusanmu. Tapi kau harus segera kembali dan menghadap dinding setengah tahun untuk menyelami pelajaran Hui-sim-kiam-hoat!" Dengan membelalak Su Giok-lan mengawasi Ham Gwat, hampir ia tidak percaya akan pendengarannya. Dia tahu bahwa Bu-bing Loni selamanya tak pernah menjilat ludahnya kembali, tapi kenapa kali ini ia merubah putusannya" Mendadak ia seperti sadar, dengan suara haru ia berteriak, "Suci!" kata-kata selanjutnya tak kuasa diucapkan. Rada lama Ham Gwat berdiam diri, akhirnya ia membuka kesunyian, katanya, "Sumoay! Sikapmu itu tidaklah salah!" Dengan memicingkan mata Su Giok-lan menatap Ham Gwat, meski ia tidak melihat suatu expresi di wajah Ham Gwat, tapi seolah-olah ia telah menemukan wajah lain dari Ham Gwat. Dari sorot mata Ham Gwat yang bening itu terasakan perasaan welas asih yang agung, di dalam kenangan batinnya, hanya ibunya dulu yang pernah memandangnya dengan sorot pandangan begitu. Tiba-tiba ia merasa betapa welas asih dan suci perasaan Ham Gwat itu, begitu agung dan mengesankan, mendadak Su Giok-lan merasa heran, seolah-olah sekarang dia tidak begitu takut lagi terhadap Ham Gwat seperti dulu. Tiada jurang pemisah lagi antara ia dan Ham Gwat, akhirnya tercetus perkataan dari mulutnya, "Suci, katamu aku tidak salah?" Kata Ham Gwat lirih, "Apa tidak betul" Dia kan tidak punya kesalahan terhadap kau, bermula ia tidak membunuh Kim-i Kongcu Leng Bu karena sebelumnya dia sudah berjanji kepada Soat-sansu- gou kalau tidak dalam keadaan yang memaksa dia tidak akan lancarkan jurus ganas itu." Su Giok-lan mengiakan dengan menyesal, terasa olehnya dari nada orang bahwa Ham Gwat rada membela kepada Hun Thian-hi. Dia heran, Hun Thian-hi telah pergi ikut Anghwat-lo-co, Anghwat- lo-co adalah musuh besar pembunuh ayah Ham Gwat, sebaliknya sekarang Ham Gwat bicara membela kebenar-benaran bagi Hun Thian-hi. Terpikir sampai disini tak kuasa ia lantas bertanya, "Tapi sekarang Hun Thian-hi telah pergi ikut Ang-hwat-lo-mo!" Ham Gwat menunduk tanpa bicara. Mendadak Su Giok-lan teringat sesuatu, jelas sekali kalau Ham Gwat telah mintakan belas kasihan terhadap Suhunya, tapi apakah Bu-bing Loni betul-betul begitu gampang mau melulusinya" Tersipu-sipu ia bertanya lagi, "Suci! Urusan apa yang telah kau janjikan kepada Suhu?" Setelah merenung sebentar Ham Gwat berkata, "Bukan soal apa, aku berkata kalau kau toh tidak mau turun tangan, biarlah aku saja yang membunuhnya, dalam jangka satu bulan setelah perjanjian satu tahun lewat aku akan membawa batok kepala Hun Thian-hi." Su Giok-lan berseru tertahan, pelan-pelan ia tunduk tak buka suara lagi, pikirnya, kiranya begitu perkembangan selanjutnya, entah apa maksud Ham Gwat menceritakan duduk perkara sebenar-benarnya tadi, apa mungkin ada sebab lain yang lebih istimewa" Kata Ham Gwat kepada Su Giok-lan, "Sumoay! Jangan banyak pikir lagi, mari kita pulang!" Su Giok-lan angkat kepala, dilihatnya wajah Ham Gwat tetap tidak menunjukkan mimik perubahan, tapi dari biji mata yang besar hitam dan bening itu terasa olehnya rasa prihatin dan kasih sayang Ham Gwat terhadap dirinya. Pelan-pelan ia menghela napas lega, ia tertawa dibuat-buat, bersama Ham Gwat ia naik ke punggung burung dewata terus menghilang di balik awan. Ooo)*(ooO Melihat Ang-hwat-lo-co tinggal pergi, Hun Thian-hi lantas tenggelam dalam renungannya, ia berpikir; 'kau suruh aku ke Thian-lam, apakah tidak bergurau dengan aku, sudah mending kalau ayah Kim-i Kongcu Leng Bu tidak meluruk ke Tionggoan mencari aku, masa aku harus kesana malahan, bukankah masuk kemulut harimau malah"' Lalu terpikir pula olehnya; Tiang-pek-san aku tidak perlu kesana, melawan Anghwat-lo-co saja Ciang-ho-it-koay tidak unggulan, palagi melawan Bu-bing Loni" Tentu Ce-han-it-ki juga tidak lebih unggul dari kemampuan Ciang-ho-it-koay, sia-sialah kalau aku kesana.... Mendadak terbayang dalam pikiran Thian-hi akan Sam-kong Lama, entah bagaimana keadaannya sekarang, Sin-giok-ling berada ditangannya, sejak ia pulang ke tanah barat apakah Bu-bing Loni pernah meluruk ke tempat kediamannya. Apalagi dia pernah berkata bahwa orang aneh berkepandaian tinggi dikolong langit ini bukan Bu-bing Loni melulu, jelas bahwa tentu dia mengetahui ada orang aneh lainnya yang berkepandaian tinggi juga, kalau aku kesana mencari dia, mungkin dia punya cara untuk menolong aku. Diam-diam Thian-hi ambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan kebarat laut, tapi Ang-hwatlo- co pernah berkata akan melindungi dirinya secara sembunyi, bukankah ini berarti secara diamdiam hendak mengawasi setiap gerak geriknya" Untuk membebaskan diri dari kejaran dan pengawasan Ang-hwab-lo co ini sungguh tidak gampang. Dia termenung memikirkan daya cara bagaimana ia meloloskan diri dari pengawasan Ang-hwatlo- co. Demikianlah ia berjalan terus mengikuti langkahnya, tiba-tiba dilihatnya tak jauh di depan sana terdapat sebuah gua besar selebar setombak lebih, terkilas suatu pikiran dalam benaknya, segera ia kembangkan Ginkang terus melesat masuk ke dalam gua itu. Setelah berada di dalam gua, Thian-hi mendapatkan gua itu lekak-lekuk tak merata, hatinya menjadi girang, inilah tempat yang memang diinginkan, beruntun ia berkelebat semakin ke dalam berusaha mencari jalan keluar dari arah lain. Setelah ubek2an sekian lamanya, Thian-hi rada kecewa, selain celah-celah batu yang rada sempit tiada jalan lain untuk keluar dari gua ini. Terpaksa Thian-hi mencari salah satu celah rada besar lalu masuk kesana dan sembunyi disitu, untung tempat itu cukup kering, disana ia mulai duduk bersila bersamadi menenangkan pikiran dan menghimpun tenaga. Tanpa terasa samadinya itu memakan waktu satu hari lamanya, betul juga sesuai dengan dugaan semula, tiba-tiba terdengar dengusan napas berat seseorang memasuki gua itu. Diamdiam Thian-hi membatin, "Tentu Ang-hwa-lo-co telah datang!" Memang begitu melihat Hun Thian-hi memasuki gua Ang-hwat-lo-co lantas berputar di tempat sekitarnya untuk memeriksa apakah gua ini punya jalan keluar lainnya. Setelah melihat kenyataan baru dengan lega hati ia balik dan menunggu dengan sabar di dalam hutan. Tetapi tunggu punya tunggu setelah satu hari satu malam masih belum kelihatan Thian-hi keluar, ia menjadi curiga dan membatin, "mungkin gua ini menembus ke tempat jauh, kalau gua ini panjang tentu Hun Thian-hi sudah pergi jauh, sekarang juga aku masuk dan mengejar kesana tentu dapat kejandak." Begitu dia sampai di dalam gerak geriknya sangat cekatan, melesat kesana melenting kesini, tapi setengah harian sudah ia ubek2 di dalam gua tiada sebuah jalan lain pun yang menembus keluar, tanpa merasa ia mendengus gusar, pikirnya: Hun Thian-hi sibocah keparat itu tengah bermain sandiwara apa. Lalu dengan ketajaman matanya pelan-pelan ia menjelajah seluruh pelosok gua, tapi tidak kelihatan bayangan Hun Thian-hi. Tiba-tiba tergerak pikirannya, segera ia membuka suara, "Hun Thian-hi, lekas keluar! Aku sudah melihatmu!" Mendengar Ang-hwat-lo-co berkaok2, Hun Thian-hi mengumpat dalam hati, kalau aku melongok keluar bukanlah terjebak ke dalam akal muslihatmu malah. Beruntun Ang-hwat-lo-co berteriak dua kali, tanpa mendapat reaksi, hatinya menjadi gusar dan memaki, "Bocah keparat yang licik!" Bab 10 Dia diam berdiri sekian saat, mendadak ia berkata dalam hati; mungkin Hun Thianhi sudah bolos pergi, kalau tidak masa begitu sabar dia mau menunggu begitu lama. Tanpa merasa Anghwat- lo-co menjadi gelisah, batinnya; Hun Thian-hi lolos pergi sih tidak menjadi soal yang penting adalah jangan sampai berita tentang Wi-thian-chit-ciat-sek itu tersiar luas dikalangan Kangouw, atau sebaliknya harapan dirinya menjadi kosong belaka. Terpikir sampai disini, tiba-tiba batinnya berkata; mungkin disaat aku pergi memeriksa tadi dia lantas kabur" Kalau Hun Thian-hi betul-betul berniat melarikan diri, begitu aku tinggal pergi, setelah dia masuk gua lantas keluar pula dan melarikan diri, bebas dari pengawasanku. Semakin dipikir Ang-hwat-lo-co menjadi gopoh, pikirnya; berapa jauh dapat kau tempuh perjalanan selama satu hari ini, betapapun akan dapat meringkusmu kembali. Tanpa banyak pikir lagi segera ia melesat keluar gua. Dengan hati-hati dan waspada Thian-hi memasang kuping, setelah rada lama tak mendengar suara apa-apa, tapi masih kuatir Ang-hwat-lo-co belum pergi, betapapun dia tak berani melongok keluar. Setengah jam kemudian baru ia berani mengintip dari celah-celah batu, melihat tiada kebayangan Ang-hwat-lo-co, baru ia menghela napas lega. Thian-hi lantas berpikir, tentu Ang-hwat-lo-co tengah mengejar jejaknya, beberapa hari ini aku harus selalu waspada dan hati-hati. Akhirnya dia sembunyi lagi digua yang lain selama suatu hari. Hari ke tiga baru ia berani keluar terus melanjutkan ke arah utara, sepanjang perjalanan ini dia tidak berani melalui kota2 besar, jalan yang ditempuh adalah alas pegunungan atau jalan kampung yang jarang dilewati manusia. Tiga hari kemudian tibalah dia di tempat gurun pasir yang terbentang luas memanjang tak berujung pangkal. Segera ia keprak kudanya terus melanjutkan keutara. Tempat kediaman Sam-kong Lama di Kwan - gwa, hampir tiada seorangpun yang tidak kenal akan ketenaran nama Sam-kong lama diluar perbatasan ini, maka sekali mencari tahu, segera ia diberi tunjuk alamatnya. Setelah lohor Thian-hi membelokkan kudanya ke arah barat langsung menuju kuil Bu-la. Cuaca sudah hampir gelap, sang surja sudah hampir tenggelam sejajar dengan garis cakrawala. Tapi selepas pandang ke depan keadaan sekeliling sepi tiada kelihatan bayangan orang atau barang makhluk hidup lainnya. Hati Thian-hi menjadi gelisah dan gugup. Tak lama kemudian dari kejauhan tampak debu mengepul tinggi memanjang tertiup angin, dua ekor kuda dicongklang kencang lewat disampngnya, sekilas pandang saja lantas Thian,hi tahu bahwa mereka adalah kaum persilatan. Thian-hi menjadi girang, melihat ada orang di daerah gurun yang sepi ini, tentu tak jauh di depan sana ada perumahan rakjat. Segera ia tepuk-tepuk perut kuda lalu membedalnya ke depan. Tiba-tiba kedua kuda tunggangan tadi putar balik, terdengar seorang membentak, "Berhenti!" Thian-hi melengak, hatinya rada berang, pikirnya, "Aku tidak berbuat salah terhadap kalian, tanpa sebab kenapa kalian suruh aku berhenti" Ingin kulihat orang gagah macam apa kalian ini." Karena pikirannya terakhir ini segera ia menarik tali kendali menghentikan tunggangannya lalu berpaling. Kedua orang ini bertubuh tinggi kekar dan kurus kering, orang yang bertubuh kekar itu memelihara jambang bauk diselebar mukanya, melihat Thian-hi menghentikan kudanya, segera ia membentak pula, "Bocah, kemana kau hendak pergi?" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Apa pedulimu?" dalam batin Thian-hi memaki, namun dimulut ia berkata, "Entah untuk keperluan apa kalian tanya soal ini?" Laki-laki kekar itu menjadi gusar, hardiknya, "Toaya tanya kau berani kau tidak jawab?" Thian-hi mendengus jengkel, tapi terpikir olehnya bahwa seluruh kaum persilatan tengah mengejar jejaknya, sampai sekarang dirinya masih dapat menyembunyikan jejak, jangan sampai kelak menimbulkan kesukaran bagi Sam-kong Lama. Segera ia berkata: .Kulihat kalian datang dari depan, kukira disana tentu ada rumah tinggal, maka aku hendak kesana untuk minta nginap semalam." Kedua orang itu mendengus bersama, saling pandang sekali lalu berkata, "Disana pun tiada orang tinggal, kesana pun tiada gunanya, di daerah sini jangan kau main ugal2an membedal kuda seenak udel kau sendiri, kalau sampai membuat marah Loyamu, awas jiwa kecilmu!" Hati Thian-hi menjadi marah, dengan mendelik ia pandang kedua orang itu tanpa bicara. Laki-laki kurus itu segera melengking berkata, "Keparat, agaknya kau tidak terima, ya!" - Kudanya dimajukan ke depan. Thian-hi mengangkat alis, kudanya diputar terus hendak tinggal pergi. "Tunggu sebentar!" sentak laki-laki kurus itu, "Loyamu memberi kelonggaran kepadamu, kelihatan kau tidak senang malah main delik segala!" Amarah Thian-hi sudah memuncak, tapi dia selalu prihatin tak suka menimbulkan keributan maka tidak mengumbar adatnya, namun melihat kedua orang ini terlalu kurang ajar dia menjadi gusar dan menjengek, katanya, "Nama kalian berdua...." Laki-laki kekar itu keprak kudanya, telapak tangannya melayang terus mengepruk kemuka Thian-hi sambil memaki, "Keparat yang tidak tahu diuntung, berani kau mencari tahu nama kebesaran loyamu!" Mulut Thian-hi mengejek hrih, tangan kanan diangkat, tiga jarinya mencengkeram dan memuntir, telak sekali ia pegang pergelangan tangan laki-laki kekar itu terus diabitkan kesamping, kontan laki-laki kekar itu terjungkal roboh di atas pasir. Melihat kawan sendiri kecundang begitu gampang, laki-laki kurus itu segera melolos golok, kuda ditarik mundur, dari gebrak pertama ini baru dia tahu bahwa Thian-hi bukan sembarang orang yang gampang dibuat permainan. Thian-hi berludah, dia tidak mau menarik panjang urusan, segera ia putar kuda tinggal pergi. Laki-laki kekar itu bergulingan di tanah, hatinya menjadi berang, melihat Thianhi hendak pergi segera ia memburu maju sembari membentak, sekali lompat ia menubruk ke arah Thian-hi. Thian-hi lecut kudanya ke depan, keruan laki-laki kekar itu menubruk tempat kosong. Dari sebelah samping sana mendatangi seekor kuda putih, seorang gadis mengenakan cadar putih menyungging pedang mendatangi dengan cepat, begitu tiba ia melirik kepada kedua laki-laki itu, lalu mengamati Thian-hi sebentar tiba-tiba ia bertanya, "Apakah kau Hun Thian-hi?" Tergetar hati Thian-hi, pikirnya, "Heran! Orang daerah sinipun sudah tahu namaku, mungkin Sam-kong Lama juga sudah mengetahui pula akan persoalanku. Sesaat ia menjaj terlongong tak tahu cara bagaimana harus menjawab, jejaknya sudah konangan lebih baik aku membedal kuda melanjutkan perjalanan secepat mungkin. Segera ia putar kuda terus dibedal sekencang angin. Baru setengah li kemudian, terdengar di belakangnya derap langkah kuda yang cepat semakin mendatangi, kiranya kuda putih itu telah mengejar semakin dekat bagai angin terbang. Thian-hi rada kejut, waktu ia berpaling dilihatnya derap langkah kaki kuda putih itu begitu kencang dan kokoh kuat lagi, tahu dia bahwa kekuatan kuda tunggangan sendiri terang takkan unggulan, jelas tak mungkin dapat meloloskan diri, terpaksa ia hentikan lari kudanya. Lincah sekali gadis itu kendalikan kudanya melintang menghadang di depan Thianhi, sambil tertawa ringan ia berkata, "Kenapa begitu melihat aku lantas lari, kami tiada niat berbuat sesuatu yang bakal merugikan kau. Kedua orang tadi adalah anak buah Thian-san-sianglong. tapi sudah kubereskan supaya tutup mulut, legakan hatimu aku tidak akan mencelakai kau." Thian-hi menjadi bergidik merinding, sungguh ia hampir tak percaya gadis aju dihadapannya ini ternyata begitu kejam dan telengas. Gadis itu mengerut kening, katanya, "Kenapa kau, badan kurang segar" Kukira kau takkan ketakutan begitu rupa!" "Harap tanya siapakah nama kebesaran Lihiap, apakah aku dapat tahu?" tanya Thian-hi. Gadis itu tertawa-tawa, katanya cekikikan, "Legakan saja hatimu, kau bejat aku pun tidak baik!" Hun Thian-hi menunduk, diam-diam ia menghela napas rawan, kata-kata sigadis sangat meresap dalam sanubarinya, mungkin di seluruh kolong langit ini tiada seorang pun yang menganggap dirinya orang baik. Melihat sikap Thian-hi yang murung itu, sigadis menjadi heran, tanyanya, "Kenapa kau" Apa badanmu sakit" Melihat sikapmu ini aku menjadi heran mengapa kau diberi nama julukan Lengbin- mo-sim dikalangan Kangouw!" Thian-hi tercengang, mulutnya menggumam, "Leng-bin-mo-sim?" "Kenapa" Masa kau sendiri belum tahu?" olok sigadis dengan cekikikan, "Leng-binmo-sin Hun Thian-hi, sekarang sudah terkenal di seluruh dunia, begitu cepat kau angkat nama, sungguh membuat orang sangat kagum dan ngiler." Pedih perasaan Thian-hi seperti ditusuk sembilu, ia tunduk semakin dalam, tibatiba kedua kakinya menjepit perut kuda keras-keras, tunggangannya bebenger panjang kesakitan terus membedal kabur sekeras-kerasnya. Otak Hun Thian-hi merasa pepat pikiran menjadi gelap, tahu dia bahwa dirinya sudah tamat dan tak mungkin bangkit kembali sebagai orang yang terpandang baik. Leng-bin-mosin (muka dingin berhati iblis), sungguh julukan ini sukar diterima oleh lubuk hatinya" Apakah ada muka untuk menjumpai Sam-kong Lama" Apakah tidak malu mengecewakan Lam-siau Kongsun Hong yang telah merawat dan membesarkan dirinya" Demikian juga terhadap ayah bunda yang telah dialam baka, dapatkah dirinya memberi pertanggungan jawab yang setimpal" Sungguh ia tidak berani memikirkan lebih lanjut.... Mendadak tunggangannya meringkjk panjang dan berloncatan. Thian-hi tersentak dari lamunannya, ia menjadi sadar waktu tunggangannya sudah menanjak naik ke atas sebuah ngarai, karena jalan licin kakinya terpeleset dan terperosot hampir masuk jurang. Thian-hi menjadi tertegun mematung, tak terpikir olehnya untuk mengerahkan tenaga melompat menyelamatkan diri. Terdengar seruan tertahan dibelakangnya, sebuah bayangan hijau melesat secepat kilat tahutahu sebuah tangan mencengkeram baju kuduknya terus melempar dirinya ke atas sebuah batu menonjol di Ngarai sebelah samping. Orang itu jumpalitan tiga kali ditengah udara, dimana kedua lengannya tergetar berkembang bagai burung terbang tubuhnya mencelat naik dan persis benarbenar hinggap di atas ngarai. Melihat yang menolong jiwanya adalah gadis bercadar hijau itu, Thian-hi menghala napas, katanya kepada gadis itu, "Terima kasih!" "Kenapakah kau tadi?" goda sigadis tertawa cekikikan, "Mendengar julukan Lengbin-mo-sin lantas kau lari, apa kau tidak senang akan julukan ini?" Dengan rasa hambar Thian-hi pandang gadis di depannya, tak tabu cara bagaimana ia harus memberi penjedasan. Gadis itu tertawa lagi, katanya, "Kau tak perlu takut padaku, namaku mungkin kau pun sudah tahu, aku bernama Giok-bin-hwi-hou Sutouw Ci-ko!" Thian-hi manggut, dia belum pernah dengar nama ini, tapi mungkinkah ia prihatin pada orang lain" Sejenak ia berdiam diri, lalu katanya, "Terima kaS5h Sutouw Lihiap, kupikir aku segera harus berangkat!" "Kemana kau hendak pergi?" tanya Sutouw Ci-ko. Thian-hi menerawang; naga-naganya aku tak bisa ke tempat Sam kong Lama lagi. kemana aku harus pergi" "Sebetulnya aku malah kagum terhadapmu," terdengar Sutouw Ci-ko berkata sungguh, "Kalau kau sudi mari kita ikat persahabatan bagaimana?" Melihat sikap Sutouw Ci-ko begitu polos dan jujur Thian-hi menjadi cerah wajahnya, katanya tertawa, "Apa-apaan ucapanmu ini, kau adalah penolong jiwaku bukan" Kalau bukan pertolonganmu tadi mungkin aku sudah terbanting hancur di bawah sana!" "Tak perlu sungkan," ujar Sutouw Ci-ko. "Sungguh heran, sedikit pun aku tidak melihat dimana letak kebuasan dari kedinginanmu, kenapa kau bisa begitu gapah tangan dan berhati keji." Hun Thian-hi tertawa getir, tak tahu dia bagaimana harus memberi jawaban. Selanjutnya Sutouw Ci-ko berkata lagi, "Maaf! Tidak seharusnya aku tanya hal ini kepadamu, aku hanya merasa. heran saja!" Hun Thian-hi tertawa dibuat-buat. Kata Sutouw Ci-ko lagi, "Kalau kau hendak sembunyi aku punya suatu tempat yang tak mungkin didatangi orang lain. Hanya aku seorang yang tahu tempat itu. Bu-tongpay sudah menyebar Bu-lim-tiap, bermula Siau-lim-si tidak ikut, tapi begitu kedua murid Giok-yap Cinjin mati, Sute Thian-cwan Taysu yang sekarang menjabat Siau-lim Ciangbungjin Te-ciat Taysu turun gunung sendiri untuk mengurus persoalan ini. Sampai di ujung langit pun kau akan dikejar sampai dapat, kalau kau sembarangan ngelajap ke-mana-mana tentu berbahaya!" Mulut Han Thian-hi mengiakan, tahu dia bahwa Thian-cwan Taysu sekarang pun sudah tidak percaya lagi kepada dirinya, mungkin beliau pun merasa sayang dan gegetun telah melepas dirinya tempo hari. Diempat penjuru musuh kuat tersebar luas, tapi Sutouw Ci-ko di hadapannya ini justru mengagumi dirinya, ini betul-betul sungguh menggelikan. "Aih, kenapa kau" Mau ikut aku saja!" ajak Sutouw Ci-ko. Melihat Su-touw Ci-to begitu supel, Thian-hi menjadi tertarik dan tertawa-tawa, memang tiada tujuan yang hendak dituju terpaksa ia menyahut, "Terima kasih Sutouw-lihiap! Entah dimanakah tempat itu?" "Mari kau ikut aku, tak jauh dari sini," kata Sutouw Ci-ko lalu menuntun kuda putihnya. Hun Thian-hi mengekor di belakang Sutouw Ci-ko terus maju ke depan, dalam hati diam-diam ia mereka siapakah sebenar-benarnya Sutouw Ci-to ini, melihat sikapnya begitu baik terhadap dirinya, dia sendiri mengatakan dia bukan orang baik, tapi tidak kelihatan di mana ada kejelekannya. Sembari berjalan Sutouw Ci-ko berkata, "Kuajak kau ke sana, setelah tiba tentu kau akan senang tinggal di tempat itu." Sambil mengiakan pikiran Thian-hi melayang ke urusan lain, dia sendiri sampai tak tahu jawaban apa yang telah diberikan tadi. Sutouw Ci-ko berpaling, tawanya semakin lincah, tanyanya, "Kenapa eh" Apa yang tengah kau pikirkan?" "O, tidak apa-apa," jawab Thian-hi gelagapan. Sutouw Ci-ko mengamati mukanya, sesaat baru berkata, "Kau memang sangat menyenangkan, aku menjadi kurang percaya bahwa kau punya kepandaian begitu tinggi, coba lihat sikapmu yang rada linglung ini." Melihat orang selalu menyinggung persoalan itu Thian-hi rada tak senang, namun betapapun orang telah menyelamatkan jiwanya, tak enak rasanya bertingkah kasar, terpaksa ia bicara, "Sutouw-lihiap, kapan baru kita sampai disana?" "Sebentar lagi! Itu di depan segera sampai!" Begitulah mereka melanjutkan terus ke depan, setelah membelok di kaki gunung terlihat di depan sana terbentang sebuah gua besar setinggi dua tombak. Sutouw Ci-ko menuntun kudanya terus berjalan masuk, Thian-hi mengintil terus di belakang, setelah belok beberapa kali hadapan mereka tiba-tiba terbentang lebar, selayang pandang rumput hijau dan bunga2 liar tersebar luas laksana permadani, di tengah di depan sana terdapat sebuah kolam yang jernih airnya. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hun Thian-hi menyedot hawa segar, batinnya, "Tempat ini betul-betul sangat menyenangkan." Sambil tersenyum simpul Sutouw Ci-ko bertanya, "Apakah kau senang tempat ini?" Thian-hi manggut-manggut, sungguh girang bukan main hampir tak kuasa ia bicara, rada lama kemudian baru berkata, "Aku sungguh sangat senang." Sutouw Ci-ko terpingkal-pingkal sambil berlari ke pinggir kolam, pelan-pelan ia tanggalkan cadar yang menutupi mukanya. Pandangan Thian-hi menjadi terang, sesaat ia menjadi terbelalak, ternyata Sutouw Ci-ko adalah seorang gadis rupawan yang cantik jelita. Setelah menanggalkan cadarnya Sutouw Ci-ko duduk di pinggir kolam, kepalanya mendongak terlongong memandang puncak di depan nan jauh di sana. Diam-diam Thian-hi memperhatikan tingkah laku orang, sejak tadi ia merasa orang berwatak polos dan lincah, tapi sekarang seperti tengah dirundung kesusahan dan murung. Thian-hi dapat menyelami perasaan orang maka dia tidak akan mengganggu ketenangan orang melayangkan pikirannya, pelan-pelan ia mundur dan keluar lagi dari gua itu, pelan-pelan ia berjalan goyang gontai ke arah bawah. Dia celingukan ke kanan-kiri, memikirkan akan diri sendiri, bagaimana aku harus membawa diri selanjutnya" Tak mungkin aku sembunyi di tempat ini selama hidup! Tionggoan tengah bergolak, seluruh aliran dan golongan persilatan disana tengah mengejar dan mencari jejaknya aku tak mungkin pulang ke sana. Begitulah berjalan sambil melayangkan pikiran, tak diketahui sudah berapa lama ia berjalan, tiba-tiba didengarnya langkah kuda berlari mendatangi, seorang laki-laki kurus pertengahan umur mendatangi, begitu melihat Thian-hi, orang itu lantas mendengus dingin. Thian-hi angkat kepala, melihat orang yang tidak dikenal, ia melanjutkan ke depan. Sepintas pandang orang itu tahu bahwa Thian-hi bukan sembarang orang, segera ia menjengek dingin, "Siapa kau! Dua anak buahku dibunuh orang, apa kau tahu siapa. pembunuhnya?" Bermula hati Thian-hi menjadi was-was menyangka utusan dari Tionggoan yang menyirapi jejaknya, serta mendengar pertanyaan orang baru ia sadar bahwa yang dihadapi ini adalah salah satu dari Thian-san-siang-long (dua serigala dari Thian-san), sejenak ia pandang orang itu tanpa buka suara. "Kutanya kau, apa kau tidak dengar?" sentak orang itu jengkel. Bertaut alis Thian-hi, tanyanya, "Harap tanya tuan ini...." Melihat Thian-hi tidak menjavvab malah balas bertanya orang itu menjadi naik darah, sambil menggerung dia melolos rujung beruas dari pinggangnya terus melecut kepada Thian-hi. Thian-hi mengegos ke samping menghindar, dia pun menggeram gusar, sungguh liar dan tak tahu aturan benar-benar orang ini. Orang berkepandaian silat tinggi sudah banyak yang kulayani, masa kubiarkan kau bertingkah dihadapanku" Demikian pikirnya dalam hati. Melihat Thian-hi berhasil lolos dari serangan rujungnya, tangkas sekali orang itu melejit tinggi dari tunggangannya, dimana tangan bergerak rujungnya lagi-lagi menyamber ke arah Thian-hi. Cepat-cepat Thian-hi menyurut mundur, mendapat angin orang itu beruntun lancarkan sapuan rujungnya menerpa dengan kekuatan dahsyat sehingga Thian-hi main mundur lagi. Terdengar ia menghardik sekali, tiba-tiba tubuhnya selicin belut mendak kebawah terus menubruk maju menjotos berbareng sebelah tangan yang lain meraih ke samping memotes sebatang dahan pohon. Belum sempat Thian-hi gunakan dahan pohon sebagai senjata untuk menyerang, Sutouw Ci-ko keburu datang mencongklang kudanya, belum lagi tiba, tubuhnya sudah meluncur ditengah udara, pedangnya bergetar menusuk ke tengkuk orang itu. Orang itu melompat menyingkir, melihat kehadiran Sutouw Ci-ko berubah air mukanya. Kata Sutouw Ci-ko dingin, "Ih Seng! Selamanya kita seumpama air sungai tidak menyalahi air sumur, orang ini adalah sahabatku, kenapa kau datang menganiaja orangku?" Laki-laki ini adalah salah satu Thian-san-siang-long Ih Seng berjuluk Ceng-binlong (serigala muka hijau), katanya, "Kiranya dia sahabatmu, sungguh aku kurang adat. Dua anak buahku dibunuh orang...." Sutouw Ci-ko menarik muka, katanya merengur, "Mereka bermulut kotor dan berani kurang ajar terhadap aku. Akulah yang bunuh mereka." Ih Seng rada tercengang, katanya, "Anak buahku semua kenal kau, mungkin...." sebentar ia merandek lalu melanjutkan, "Kalau begitu, apa boleh buat, selamat bertemu!" Memutar kuda lalu mencongKlang pergi dengan buru-buru. Hun Thian-hi berpaling ke arah Sutouw Ci-ko, katanya tertawa pahit, "Kau menolong aku lagi...." "Justru kaulah yang menolong dia!" tukas Sutouw Ci-ko menggoda. Hun Thian-hi menjadi kikuk dan risi, mulutnya bungkam. "Bagaimana?" ujar Sutouw Ci-ko tertawa ringan, "Agaknya kau punya gangjalan hati ya?" Thian-hi menunduk tanpa bersuara. "Bisakah kau ceritakan kepadaku?" tanya Sutouw Ci-ko dengan suara halus. Thian-hi tersenyum, senggaknya, "Sutouw-lihiap, kulihat kau sendiri juga punya janggalan hati bukan?" Sutouw Ci-ko angkat alis, katanya, "Untuk waktu dekat mungkin Ih Seng takkan tahu kau Hun Thian-hi adanya, tapi cepat atau lambat akhirnya dia pasti akan tahu. Lebih baik mari Kita lekas kembali." Thian-hi mnanggut2 dengan tersenyum bersama Sutouw Ci-ko mereka kembali ke dalam gua itu. Sekian lama, mereka berdiam diri duduk dipinggir kolam, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sekonyong-konyong Sutouw Ci-ko angkat kepala, tanyanya kepada Hun Thian-hi, "Apakah kau merasa tempat ini baik?" Hun Thian-hi manggut-manggut, dalam hati ia membatin; 'Bukankah tadi sudah kukatakan" Apa maksud pertanyaan ini"' Hening sejenak, Sutouw Ci-ko membuka suara lagi, "Masih ada seorang lagi yang mengetahui tempat ini. Tapi mungkin dia selamanya takkan datang kemari lagi!" Lapat-lapat Thian-hi dapat menebak kemana juntrungan kata-kata ini, katanya tertawa, "Sutouw-lihiap, kalau aku dapat membantu kau, sungguh aku akan senang sekali!" "Orang itu adalah sahabat karibmu, Bun Cu-giok!" Tersentak hati Thian-hi. Bun Cu-giok, kiranya Bun Cu-giok! Tapi Bun Cu-giok sudah bergaul begitu intim dengan Ciok Yan, baru sekarang teringat olehnya akan mimik wajah Bun Cu-giok yang aneh tempo hari itu, kiranya begitu kejadiannya. Begitulah ia menerka2. Dengan lekat Thian-hi memandang wajah orang dari samping, terdengar ia berkata lirih, "Aku tahu, pasti dia tahu bahwa aku sudah berbuat buruk, dia tak hiraukan aku lagi." Thian-hi menjadi serba sulit, tak tahu bagaimana harus menjawab, pikirannya melayang; Dalam hati Bun Cu-giok tentu masih ingat akan Sutouw Ci-to, tapi disampingnya sekarang sudah ada Ciok Yan. Terdengar Sutouw Ci-ko berkata lebih lanjut, "Dia menyangka aku belum tahu perihal dirinya, tapi aku sudah tahu segala2nya." Thian-hi bernapas berat, pikirnya; 'Kiranya untuk urusan inilah Sutouw Ci-ko mencari aku,' mulutnya lantas berkata, "Kulihat kau orang baik, kalau aku ketemu dia, tentu akan kuberitahu bahwa kau tengah menunggu dia, supaya dia suka kemari, saat mana boleh kau bicara terus terang kepadanya." "Ah, sungguh banyak terima kasih!" seru Sutouw Ci-ko. Tengah mereka asjik bicara tiba-tiba di belakang mereka terdengar dengusan dingin. mereka tersentak kaget dan berpaling bersama. Tampak Bun Cu-giok berdiri jauh lima tombak dengan muka bersungut gusar. Dengan kejut2 girang Sutouw Ci-ko berjingkrak bangun, serunya, "Cu-giok!" Serta melihat sikap dan wajah Bun Cu-giok yang membeku dingin, kata selanjutnya ditelan kembali. Tersipu-sipu Thian-hi berdiri, begitu melihat air muka Bun Cu-giok lantas ia dapat menerka kemana juntrungan pikiran orang, katanya dengan tersenyum, "Saudara Bun! Kita jumpt kembali!" Bun Cu-giok tutup mulut, dengan memicingKan mata ia pandang mereka bergantian. rada lama kemudian baru berkata kepada Hun Thian-hi, "Saudara lolos dari bahaya, kuucapkan selamat. Konon saudara Hun tertolong oleh Ang-hwat-lo-mo, apakah betul?" Dengan mendelong Thian-hi pandang orang lalu manggut, tahu dia bahwa selanjutnya ia bakal kehilangan seorang sahabat yang paling dekat. Bun Cu-giok berkecek mulut, katanya lagi kepada Hun Thian-hi, "Kaupun tak perlu menjelaskan lagi!" Lalu ia berpaling kepada Sutouw Ci-ko, katanya. "Ci-ko! Perjodohan kita sudah batal, kenapa begitu kau sendiri tentu paham. Kedatanganku ini memang hendak mengembalikan kalung pualam milikmu." Lalu ia mengeluarkan mainan kalung dari batu pualam putih terus dibuang di depan kaki Sutouw Ci-ko. Dengan mengembeng air mata Sutouw Ci-to berkata perlahan, "Cu-giok. Apakah kau tidak hargai hubungan erat kita yang dahulu?" "Hubungan erat apa?" jengek Bun Cu-giok. "Tak ada hubungan erat apa-apa diantara kita berdua, kau hanya erat berhubungan dengan orang di Thian-san itu. yang benarbenar sekarang kau hubungan erat dengan Hun Thian-hi!" Hun Thian-hi menjadi naik pitam mendengar fitnah Bun Cu-giok, desisnya, "Bunpangcu, aku dan Sutouw-lihiap hanya kenalan ditengah jalan saja, dia minta supaya aku mewakili bicara kepadamu, apa maksud kata-katamu ini?" "Hun Thian-hi!" sentak Bun Cu-giok semakin gusar, "Dengan siapa dia bergaul aku tidak peduli. Tapi ternyata dia bersama kau, selama hidup ini aku Bun Cu-giok anggap kau seorang laki-laki, tapi...." Lalu ia berteriak lebih keras lagi, "Hun Thian-hi! Kaum persilatan di seluruh dunia ini tengah mengejar jejakmu. Pihak Bu-tong-pay telah mengutus orang mengundang guruku turun gunung, hari ini himpas sampai disini, kelewat hari ini kau adalah musuh kebujutanku!" Habis berkata bergegas ia membalik terus berlari keluar. Hun Thian-hi tertawa besar, teriaknya, "Bun Cu-giok! Kuanggap kau seorang lakilaki sejati. Ternyata kau seorang pengecut!" Bun Cu-giok membalik dengan murka, dengan mata berapi-api ia pandang mereka berdua sesaat kemudian lalu membalik dan menghilang diluar. "Nanti dulu!" teriak Sutouw Ci-ko, "Masih ada omongan yang hendak kukatakan." Bun Cu-giok membalik lagi sambil menyunggjng senyum dingin, katanya, "Ada kentut apa lagi lekas lepaskan! Aku tak punya tempo mengobrol dengan kau. Ciok Yan sedan menanti aku!" "Ciok Yan?" seru Sutouw Ci-ko dengan nada melengking. "Betul! Ciok Yan! Puteri Ciok Hou-bu dari Hwi-cwan-po." Sutouw Ci-ko menjadi bingung dan melongo sekian lama, akhirnya berkata pelan, "Apapun yang kau katakan! Aku tidak punya kesalahan, urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh, akupun tak perlu banyak mulut lagi! Silakan pergi!" "Tidak berbuat salah apa?" ejek Bun Cu-giok sinis, .,Hm! Setiap aku ingat ingin rasanya kubunuh "kau!" Habis berkata terus berlari pergi. Mendadak Sutouw Ci-ko terkial-kial. Hun Thian-hi menghela napas, tanpa bicara lagi. Sutouw Ci-ko berkata, "Kau adalah orang baik, tak peduli apapun yang pernah kau perbuat, kau tetap orang baik, aku dapat melihat itu!"' Thian-hi tersenyum pahit, katanya, "Apa kau tahu aku pernah berbuat salah apa?" Sutouw Ci-ko tertegun, mulutnya terkancing, pelan-pelan ia duduk kembali dipinggir kolam, hening sekian lama baru buka suara lagi, "Berita angin itu belum tentu benarbenar!" "Sutouw-lihiap," ujar Hun Thian-hi, "Sudah saatnya aku pergi, Bun Cu-giok tahu aku berada disini, mungkin bisa bikin susah padamu." Sutouw Ci-ko tertawa, aneh, ujarnya, "Kemana juga kau pergi sama saja. Tak perlu kau kesusu dalam waktu dekat ini. Apakah kau sudi mendengar perihal diriku?" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hun Thian-hi rada sangsi, akhirnya menjawab, "Janganlah!" Sutouw Ci-ko memandangnya halus, Thian-hi tunduk malu-malu, heran dia mengapa Sutouw Ci-ko memandangnya dengan sorot mata begitu. Terdengar ia berkata, "Kalau beberapa tahun lebih siang aku jumpa dengan kau, tentu aku bisa suka kepadamu." Tergetar hati Thian-hi, serta merta mukanya menjadi merah dan panas, ter~sipusipu ia berkata, "Sutouw li-hiap, sekarang juga aku harus berangkat!" "Kabar berita itu belum tentu benar-benar," Sutouw Ci-ko berkata pelan-pelan, "Banyak cerita yang ingin kukatakan kepadamu, apakah kau tidak sudi tinggal barang sebentar lagi?" Hun Thian-hi menjadi sungkan, Sutouw Ciko memberi tanda supaya Thian-hi duduk kembali. "Ada seorang bernama Kim-ih-kiam di Thian-san, apakah kau pernah tahu?" Thian-hi berpikir sebentar lalu sahutnya, "Agaknya aku pernah dengar nama orang ini, tapi tak ingat lagi!" "Selamanya dia jarang mengembara di Kangouw, apalagi usianya masih sangat muda, maka jarang orang mengetahui dia." Thian-hi manggut-manggut, batinnya, "Mungkin dia itulah yang dimaksud orang dari Thiansan." Sutouw Ci-ko merenung sebentar lalu mulai dengan kisahnya, "Kira-kira sudah lima tahun yang lalu. Kim-ih-kiam-khek menantang aku bertanding pedang. Kita bertempur tiga hari tiga malam, kita bertanding satu lawan satu dalam sebuah ruangan, akhirnya seri alias sama kuat." - Sampai disini ia angkat kepala memandang Thian-hi lalu meneruskan, "Tapi belakangan hari baru aku tahu bahwa dia sengaja mengalah kepada aku!" Hening sebentar lalu meneruskan lagi, "Aku jadi naik pitam. Dalam kesempatan lain dia selalu mengalah, akhirnya aku berhasil memapas secuil ujung bajunya. Tatkala itu, aku kegirangan...." Thian-hi membatin, "Rupanya pertandingan pedang yang menimbulkan pertikaian ini, kenapa pula urusan menjadi semakin bertele2." "Betapa buruk watak Kim-ih-kiam-khek itu, banyak akal muslihat dan licik lagi, waktu kita bertanding pedang tiada orang ketiga yang hadir, selama tiga hari tiga malam kita bertempur, sudah tentu rada janggal dan memalukan. Setelah aku turun gunung lantas kudengar omongan buruk yang menjelekkan nama baikku. "Bun Cu-giok juga dengar kabar buruk itu lantas tanya kepadaku, sudah tentu aku menyangkal, malah dengan riang gembira kuberitahu bahwa aku telah berhasil mengalahkan Kimih-kiam-khek. Dia mencurigai aku, langsung dia naik ke Thian-san mencari Kim-ih-kiam, namun dia mandah tersenyum saja tidak mau menerangkan. Saking gusar Cu-giok lolos pedang lalu menempurnya sengit. Lima ratus jurus kemudian dia dikalahkan dan lari turun gunung. Sebetulnya aku sendiri bukan tandingan Bun Cu-giok!" Thian-hi terperanjat, cara Kim-ih-kiam-khek mengatur tipu dayanya sungguh lihay dan licik benar-benar, tujuannya begitu keji. "Setelah kembali Cu-giok tidak bicara terus tinggal pergi," demikian Sutouw Ciko melanjutkan, "Peristiwa itu aku tidak tahu, akhirnya untuk ketiga kalinya aku naik ke Thiansan mencari Kim-ihkiam- khek, aku memakinya supaya jangan suka main-main dan menggoda orang. Dia tak mau buka suara, saking jengkel aku melabraknya tapi untuk kali ini aku kena disekap tiga hari lamanya, kejadian terakhir ini lebih menjerumuskan aku, tak dapat aku mencuci bersih namaku! Bun Cugiok tinggal pergi dan sembunyi, kalau aku mencarinya selalu dia menghindari pertemuan." Thian-hi juga merasa urusan semakin runyam, pikirnya; meski perangai Bun Cu-giok tidak terlalu jelek, namun rasa cemburunya itu terlalu besar dan tidak beralasan." "Dibeber secara terus terang begitulah duduk perkara sebenar-benarnya, akhirnya saking jengkel melihat dia tidak datang aku lantas membunuh orang, harapanku supaya dia mau datang, tapi kenyataan tidak" demikian Sutouw Ci-ko mengakhiri ceriteranya sambil tertawa terkekehkekeh pilu. Thian-hi ikut tertawa, katanya, "Hal itu tidak bisa terlalu salahkan kau!" "Mungkin! Tapi tidak baik bukan!" "Adakah ayah bundamu masih hidup?" Thian-hi bertanya. Sutouw Ci-ko menggeleng kepala, sahutnya, "Aku hanya punya seorang guru, tapi belakangan beliau pun tak peduli padaku pula." Hun Thian-hi menghembus napas dari mulut. "Kenapa aku selalu melihat kau berkeluh kesah." "Aih, sama dengan aku, guruku pun mengusir aku," kata Sutouw Ci-ko mengawasi Thian-hi, "Kau kasihan padaku atau kasihan kepada dirimu sendiri?" "Aku tidak kasihan pada diriku dan tidak Kasihan padamu. Aku hanya merasa hidup di dunia ini kenapa begitu gampang kena dipermainkan orang, dibuat bulan2an." Sutouw Ci-ko berdiam diri, lubuk hatinya yang paling dalam mendadak merasa bahwa pembawaan Thian-hi ini ternyata begitu agung dan membanggakan. Kata Thian-hi, "Sutouw-lihiap, kupikir aku harus segera berangkat!" "Kemana kau hendak pergi?" Thian-hi menduga Sutouw Ci-ko takkan melepas dirinya pergi, kecuali sekedar diapusi, maka segera ia berkata, "Sam-kong Lama mengundang aku kesana, dia percaya kepada aku." Mata bening Sutouw Ci-ko menatap Thian-hi lekat-lekat, seperti dapat menembusi kebohongan kata-katanya, akhirnya mereka sama menundukan kepala, kata Sutouw Ci-ko sedih, "Aku tak kuasa melindungi kau, sekarang aku hanya mengharap dapat sekuat tenaga membantu kau saja." Thian-hi menjadi terharu, katanya tersedat, "Terima kasih!" Setelah merenung Sutouw Ci-ko berkata, "Bun Cu-giok sudah pergi, akupun tak perlu bersedih lagi. Tapi aku mengharap dapat jumpa kembali dengan kau, pengalaman hidup kita sama, keadaanmu lebih sengsara dan menderita dari aku, tapi aku yakin akan datang satu hari kau akan berhasil, janganlah kau putus asa ditengah jalan." Thian-hi bungkam menelan liur, sesaat baru berkata, "Terpaksa baru guruku mengusir aku dari perguruan, tapi aku pun tak memikirkan beliau lagi, aku punya perhitungan sendiri, kau juga tak perlu kuatir akan diriku." - sembari kata pelan-pelan ia bangkit. "Kuda putihku itu sudah lama ikut aku, sangat berguna bagi kau, biarlah kuberikan kepada kau saja!" Thian-hi hendak menolak, Sutouw Ci-ko keburu berkata lagi, "Kau tak usah menampik, mungkin inilah barang yang kuberikan kepadamu selama hidup ini, terimalah, daya larinya sangat kuat dan cepat, cerdik lagi, kupikir kelak akupun tak perlu menggunakannya lagi." Berdetak jantung Thian-hi, Sutouw Ci-ko memberikan hadiah terakhir kepadanya, apalagi untuk selanjutnya juga tak perlu menggunakan kudanya lagi ....serta merta ia bersitegang leher mengawasi Sutouw Ci-ko. Sutouw Ci-ko tersenyum manis, katanya, "Orang-orang sekelilingku tiada satupun yang berbalas kasihan kepada aku, memang aku tidak perlu belas kasihan mereka, kau tak perlu kuatir aku bakal mencari jalan pendek. Aku akan kembali kepada guruku, pedangku ini silakan bawa sekalian!" - lalu ia menanggalkan pedangnya diangsurkan kepada Thian-hi. Thian-hi terlongong mengawasi orang. Sutouw Ci-ko tersenyum lagi, katanya, "Selamat betemu, aku pun tinggal di Thian-san, kelak boleh kau datang mencari aku." Thian-hi menganggukkan kepala, Sutouw Ci-ko begitu baik terhadap dirinya, dia tertunduk menuntun kuda menenteng pedang terus keluar dari gua, katanya kepada Sutouw Ciko, "Kelak pasti aku tilik kepadamu." Melihat air mata yang mengembang dikelopak mata orang, hati Thian-hi menjadi mendelu, cepat-cepat ia berpaling terus berjalan pergi. Dalam hati ia berdoa supaya Sutouw Ci-ko selalu selamat dan sehat walafiat. Setelah berada diluar Thian-hi menghela napas, perasaan terasa enteng, waktu berpaling Sutouw Ci-ko sudah tak kelihatan, segera ia naik kuda, pedang ditangannya diamat-amati, pedang ini rada halus lencir dan panjang, bobotnya lebih ringan dari pedang biasa. Bayangan Sutouw Ciko kembali terbayang dalam benaknya. Kuda putih pelan-pelan berjalan ke depan. Haru benar-benar perasaan Thian-hi, tiada seorang pun di dunia ini yang memberi pengharapan besar terhadap dirinya, kecuali Sutouw Ci-ko seorang yang punya keyakinan akan masa depannya, ini merupakan dorongan kuat bagi dirinya sehingga ia dapat memulihkan kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Terketuk sanubarinya, tanyanya pada diri sendiri; 'Dimana jiwa gagah dan keperwiraanmu dulu"' Thian-hi mendongak dipandangnya sekeliling yang sepi hampir gelap, tanpa merasa ujung bibirnya mengulum senyum bangga. Terpikir dalam hatinya; jangan aku membuat mereka kecewa! sebentuk bayangan yang sangat. dikenalnya terbayang di depan matanya. Dia tahu, dia tak pernah berbuat salah apapun juga, kenapa pula berkeluh kesah tanpa juntrungan" Tapi iapun amat sadar bahwa bahaya selalu mengintai disekitar dirinya. Setelah tiba di bawah gunung, membedakan arah langsung Thian-hi menuju ke Bu-lasi. Semalam suntuk Thian-hi melakukan perjalanan jauh. Waktu terang tanah, jauh di depan sana Thian-hi melihat Bun Cu-giok sedang menanti kedatangannya. Melihat Thian-hi menunggang kuda Sutouw Ci-ko menyoreng pedangnya pula, Bun Cugiok mendengus ejek, pedang mas dan cambuk perak segera dikeluarkan. Melihat tingkah Bun Cu giok itu, Thian-hi tertawa tawar, katanya, "Bun-pangcu, perbuatanmu ini. kelak kau pasti menyesal!" "Hun Thian-hi,'" desis Bun Cu-giok dengan muka membesi gusar, "Aku mendapat perintah dari perguruan, harus menunaikan tugas, harap kau suka ikut aku pergi ke Bu-tong!" Thian-hi mengangkat alis, katanya tertawa bangga, "Bun-pangcu selamanya kau paling jelas bagaimana sepak terjangku, terpaksa aku harus mengecewakan kau." "Kau tak sudi pergi, tugas perguruanku tak bisa kubangkang, terpaksa aku harus berlaku kasar terhadapmu'." Thian-hi mendongak bergelak tawa, berubah air muka Bun Cu-giok, sinar perak berkelebat secepat kilat meluncur, cambuk perak terayun, 'Tar!" membelit ke arah leher Thian-hi. "Sreng!" Thian-hi melolos pedang, pedang panjang mengiris miring, tepat sekali berhasil menyontek ujung cambuk Bun Cu-giok. Bun Cu-giok tertawa dingin, tubuhnya tiba-tiba melompat mumbul ditengah udara terbang jumpalitan satu lingkaran. cambuk peraknya tergentak bergulung-gulung menggulung ke arah pedang Thian-hi berbareng pedang mas ditangan kanan menyelonong maju menusuk tengah mata Thian-hi. Thian-hi memperkuat jepitan kakinya di perut kuda, kuda putih lantas berlari maju, dimana pedang panjangnya bergetar ia kembangkan Gelombang perak mengalun berderai, sekaligus dua sasaran serangan Bun Cu-giok dari kedua jurusan kena dipunahkan. Bun Cu-giok menggerung murka, pedang masnya kena disampok mental balik oleh daya pertahanan Thian-hi, belum lagi tubuhnya meluncur turun ditengah udara kakinya menjejak kaki yang lain, tubuhnya lantas meluncur ke depan menghalangi jalan Thian-hi, berbareng ia menyerang pula dengan tabasan yang lebih ganas. Melihat Bun Cu-giok dapat bergerak begitu lincah dan enteng, menyerang pula dengan keji. Thian-hi menarik kekang kudanya kesamping terus lari ke pinggir jalan. Bun Cu-giok mengejar. Thian-hi jejakkan kakinya dipedal kuda tubuhnya lantas mencelat tinggi, ditengah udara tubuhnya rada bergerak miring, dengan jurus Hun-liong-pian-yu pedangnya merabu dengan gencar. Bun Cu-giok menghardik keras, kedua tangan bergerak bersama, pedang dan cambuk menangkis dan balas menyerang, jalan darah Thian-bun dan Ki-kut yang mematikan menjadi incaran ujung pedang mas yang berkilauan itu. Melihat Bun Cu-giok selalu merintangi jalan, kelihatannya tak mau melepas dirinya, jengkel pula akan jiwa sempit dan pikiran picik orang, segera ia nekad menempur orang, tapi serangan telak sekaligus musuh ini, terpaksa membuatnya mundur dua langkah. Bun Cu-giok tidak memberi hati, serangan susulan dilancarkan semakin gencar. Permainan pedang. Thian-hi pun cukup hebat, dengan pedang panjang pemberian Sutouw Ci-ko itu ia layani permainan gabungan Bun Cu-giok. Sekejap saja ratusan jurus sudah lewat, mereka masih berkutet sengit sama kuat. Walau Thian-hi tak berhasil mengambil posisi, Bun Cu-giok Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sendiripun tak kuasa mendesak lawannya. Sebetulnya Bun Cu-giok sangat membanggakan kepandaian sendiri, terdengar mulutnya berteriak panjang, serangan kedua senjatanya semakin membadai, tapi cukup mengembangkan jurus Tam-liam-hun-in-hap, Thian-hi berhasil memunahkan seluruh serangan Bun Cugiok. Semakin serang Bun Cu-giok semakin sengit, tapi pertahanan Thian-hi memang cukup berkelebihan untuk membendung setiap jurus serangan yang betapa pun lihaynya. Tengah mereka bertempur seru, sekonyong-konyong dari samping jalan Sana menerobos keluar dua penunggang kuda. Begitu melihat kedua pendatang baru ini Bun Cu-giok kelihatan kaget dan gusar, cepat ia menarik senjatanya lantas keluar gelanggang. Tampak oleh Thian-hi salah satu dari kedua orang itu adalah Serigala muka hijau Ih Seng tentu seorang yang lain adalah Ce-bin-Iong Ih Ceng, salah satu dari Thian-san-siang-lo yang lain, Angbin- long berarti serigala muka merah. Thian-san-siang-long semakin mendekat, begitu melihat Bun Cu-giok, mereka pun rada tercengang. Serta melihat Bun Cu-giok sedang menempur Hun Thian-hi, mereka sedikit lega. Dengan mendelik gusar Bun Cu-giok pandang orang, katanya, "Ternyata kalian yang datang, perhitungan tempo hari belum selesai, kalian sangka lari lantas urusan menjadi beres?" Ceng-bin-long Ih Seng tertawa dingin, katanya, "Bun-pangcu! Hari ini kita kesampingkan dulu pertikaian kita, kedatangan kita sama untuk meringkus Hun Thian-hi ini, kau seorang pun tak bakal unggul, kenapa tidak bergabung saja dengan kita?" "Sebaliknya aku punya perhitungan untuk melabrak kalian dulu," jengek Bun Cugiok. Ce-bin-long Ih Ceng bergelak tawa, serunya, "Bun-pangcu berkukuh demikian, kami berdua pun tak menolak, tapi dengan satu lawan dua, meski kami tidak becus, kami percaya takkan terkalahkan oleh Bun-pangcu. Apalagi kaki tangan kami tersebar luas disekitar daerah ini, aku kuatir nanti Bun-pangcu bakal rugi besar." "Sebagai pejabat Pangcu dari Partai Putih, kalian sangka aku kelujuran seorang diri?" lalu dengan muka cemberut tangan bertepuk tiga kali. Dari. semak-semak pohon dipinggiran jalan sekitar pertempuran satu persatu menongol keluar anak buah Partai Putih. Berubah air muka Thian-san-siang-long, katanya, "Agaknya memang Bun-pangcu ingin mengajak bar2an." dari ujung jalan pengkolan sana berderap segerombolan orang berkuda. Terdengar Thian-san-siang-long melanjutkan, "Hanya menguntungkan Hun Thian-hi saja." Thian-hi bergelak tawa, serunya kepada Thian-sansiang-long. "Apakah kalian mencari aku?" "Benar-benar," jengek serigala muka hijau Ih Seng, "kau bunuh dua anak buahku, dengan kedudukanmu sekarang masih berani keluntang keluntung membuat perkara dimanamana, maka jangan kau sesalkan kita mencari perhitungan terhadap kau." Thian-hi menyeringai sedih, pembunuhan kedua orang itu ditumplekan pula kepada dosa dirinya. Dia pun tak mau main debat, katanya, "Aku Hun Thian-hi disini, mari kalian meluruk kepada aku saja, coba kalian rasakan betapa nikmat kepelanku ini." Bergidik kuduk Thian-san-siang-long, serta teringat akan julukan muka dingin berhati iblis hati lantas menjadi keder, tapi dilihat gelagatnya kepandaian silat Thian-hi tidak begitu tinggi, apalagi pihak sendiri kedatangan bala bantuan, kepandaian sendiripun tak lemah, kenapa harus takut. Pandangan kilat Thian-hi menyapu lebih tajam, hati mereka makin kuncup, serunya, "Hun Thian-hi! Jangan kau sangka kita takut kepadamu, bicara terus terang, kedatangan kita ini adalah menuntut Badik buntung dari tanganmu." Thian-hi rada tercengang, pikirnya; bukankah Badik buntung sudah berada di tangan Partai merah" Kenapa pula mereka menuntut kepada aku" Dalam hati ia berpikir begitu, tapi mulutnya tertawa lebar, katanya, "Bagus, asal kalian bisa menunjukkan kemampuan, jangan kata Badik buntung, batok kepalaku inipun boleh kalian ambil." - saat itu nafsunya membunuh sudah menghangati pikirannya, kalau musuh tidak bergerak itulah baik, atau sebaliknya aku terpaksa harus menggunakan jurus Pencacat langit pelenyap bumi yang ganas itu. Dasar sudah keder Thian-san-siang-long menjadi sangsi, tapi sebagai manusia tamak yang sangat mengincar Badik buntung itu, mereka sudah bersiap2 hendak menyerbu. Tapi keburu Bun Cu-giok mencegah dari samping, teriaknya: Nanti dulu!" Dengan lirikannya Bun Cu-giok menyapu kedua lawannya, dia heran kenapa sikap Thian-hi hari ini rada ganjil, begitu nekad untuk mengikat permusuhan pula dengan musuh kuat ini. Badik buntung tidak berada ditangannya, kenapa dia tidak menyangkal, entahlah apa maksudnya" Biji matanya berputar, sekilas ia melirik ke arah Thian-hi lalu berkata kepada Thian-san-sianglong, "Kalian harus tanya dulu kepadaku apakah aku setuju akan sepak terjang kalian." - lalu iapun berkata kepada Thian-hi dengan pongah, "Jangan anggap aku membantu kau." Thian-hi tersenyum dengan sombong, ujarnya, "Kalau begitu, aku hendak pergi saja!" - lalu ia cemplak ke atas kudanya. Serempak Thian-san-siang-long mengeprak kudanya maju menghadang. Dengan dingin Thian-hi menjengek, "Apa kalian sudah tak ingin hidup lagi?" Gemetar badan Thian-san-siang-long, tapi mereka nekad melolos rujung baja hendak merintangi jalan Thian-hi. Biji mata Thian-hi memancarkan sorot membunuh, sembari menggeram ia menerjang maju. Tapi Bun Cu-giok bergerak lebih dulu, pedang dan cambuknya sudah bergerak merangsak kepada Thian-san-siang-long. Thian-hi hendak meneruskan perjalanan, tapi cambuk perak Bun Cu-giok menyabet balik menyerang ke arah dirinya. Melihat perbuatan Cu-giok yang takabur ini Thian-hi rada gemes, tapi betapapun Bun Cu-giok pernah memberi bantuan yang sangat besar artinya terhadap dirinya, apalagi dia tidak berniat merebut Badik buntung, bagaimana juga aku harus mengalah terhadapnya. Cepat ia menarik kekang mengundurkan Kudanya. Sekarang Bun Cu-giok lebih leluasa menggerakkan pedang dan cambuknya menyerang kepada Thian-san-siang-Iong. Anak buah Partai Putin sembunyi di sekitar gelanggang, anak buah Thian-sansiang-long bisa melihat gelagat, mereka tak berani sembarangan bergerak, maka pertempuran dua lawan satu ini berjalan dengan sengit. Meski melawan dua gerak gerik Bun Cu-giok masih kelihatan lebih unggul, senjatanya bergerak lincah merangsak kepada kedua lawannya yang cukup tangguh juga. Sekonyong-konyong terdengar Sabda Buddha mengalun di angkasa, tiga orang yang bertempur menjadi kaget dan melompat berpencar. Tampak seorang Lama berjubah kuning melangkah pelan mendatangi. Di daerah luar perbatasan kedudukan Lama punya kuasa yang tertinggi, mereka bertiga sama-sama tokoh kosen, tapi naga takkan mungkin dapat melawan ular tanah setempat, begitu melihat kedatangan Lama ini segera mereka berhenti bertempur. Setelah dekat Lama itu merangkap tangan serta berkata, "Pinto mendapat perintah dari ketua Sam-kong Lama, kami undang kalian berempat untuk bertandang ke biara Bu-lakiong!" Terkejut hati Thian-hi, batinnya, "Eh" Sam-kong Lama sudah tahu kedatanganku ini?" Sekilas Thian-san-siang-long saling pandang, mereka tengah terdesak di bawah angin, kedatangan Lama ini sungguh kebetulan bagi mereka malah. Bun Cu-giok mendengus, katanya, "Apa Sam-kong Lama?" "Betul!" sahut Lama jubah kuning, "tuan ini tentu Bun-pangcu adanya?" Diam-diam Bun Cu-giok juga bercekat, bagaimana mungkin Sam-kong Lama juga kenal akan namanya, dalam hati ia menertawakan, kalau begitu, tiada halangannya aku kesana untuk berkenalan dengan Sam-kong Lama lebih dekat. Maka segera ia menganggukkan kepala, katanya, "Kalau begitu menyusahkan Tay-lama menunjuk jalan." Setelah pandang keempat orang bergantian, Lama jubah kuning lantas membalik dan berjalan pergi. Thian-hi menuntun kudanya mengikuti di belakangnya. Diam-diam ia berpikir, kekuasaan Sam-kong diluar perbatasan sini sungguh sangat besar. Kepandaian silat Bun Cugiok semestinya tidak lebih rendah dari Sam-kong Lama, ternyata dia harus tunduk akan kata-kata Sam-kong Lama juga." Kira-kira setengah jam kemudian, rada jauh dibalik gunung sana Bu-la-si sudah kelihatan. Bula- si bagian luar dikelilingi tembok pendek, di dalam halaman tertanam pohon-pohon besar tersebar di mana-mana. Pintu gerbangnya kira-kira tiga puluh tombak dari pintu biara. Thian-hi melayangkan pandangannya ke dalam, tiada kelihatan bayangan seorangpun. Lama jubah kuning langsung membawa mereka memasuki biara terus menuju ke ruang pemujaan bagian tengah. Begitu sampai di ambang pintu biara besar, sekilas pandang Thianhi lantas melihat Sam-kong Lama tengah duduk di tengah ruang pemujaan, beliau sudah menanti kedatangan mereka. Begitulah melihat Thian-hi, Sam-kong Lama terus menyapa dengan tertawa, "Hunsicu, sejak berpisah sudah setengah tahun lamanya. Hun-sicu masih sehat dan selamat, sungguh menggirangkan dan harus diberi selamat." Thian-hi rada tercengang, hampir ia tidak percaya akan pendengarannya dan pandangan matanya bahwa Sam-kong Lama masih bersikap begitu baik terhadap dirinya. Mungkinkah Samkong masih belum tahu akan pengalamannya terakhir" Tapi dia mengutus orang untuk menjemput aku, jelas sekali sangat tahu akan setiap jejaknya. Bagaimana mungkin dia tak tahu akan sepak terjangku belakangan ini" Waktu datang tadi dia berprasangka dirinya bakal ditahan, kini melihat sikap Sam-kong begitu mengindahkan, dia jadi tertegun, setelah menjublek baru ia berkata, "Cianpwe baikkah selama ini" Wanpwe tidak becus dan durhaka, aku telah diusir dari perguruan oleh Suhu!" Agaknya Sam-hong sudah tahu persoalannya, dengan tertawa ia berkata, "Kau tak usah kuatir persoalanmu aku jelas semua." Melihat Sam-kong bersahabat begitu baik dengan Hun Thian-hi, luluhlah hati Bun Cu-giok, betapapun besar kekuatan Partai Putih juga tak berani mencari perkara dengan para Lama. Sambil berseri tawa Sam-hong Lama berkata kepada Thian-san-siang-long, "Akupun jelas akan segala seluk beluk tentang kalian, menurut undang2 disini siang-siang aku sudah harus mengusir kalian kembali ke Thian-san. Tapi sekarang aku hanya perintahkan kalian segera bawa seluruh anak buahmu keluar dari wilajahku. Kalau bangkang kami akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku." Bergidik badan Thian-san-siang-long, walaupun Sam-kong bicara sambil tersenyum, tapi dengan kedudukannya sekarang di tempat itu, setiap ucapannya jauh lebih berpengaruh dari firman raja. Terpaksa mereka ngelojor pergi cepat-cepat. Sam-kong mengalihkan pandangannya kepada Bun Cu-giok, ujarnya, "Bun-pangcu, setelah pulang kau pun harus tutup pintu merenung kembali, harap wakilkan aku menyampaikan salam kepala gurumu!" Bun Cu-giok bersungut tak senang, serunya, "Hun Thian-hi membunuh Bu-tong-pay Ciang-bun Giok-yap Cinjin, kalau Tay-lama benar-benar hendak melindunginya, ini berarti menentang kaum persilatan di Tionggoan." "Terima kasih akan kebaikan Bun-pangcu," ujar Sam-kong Lama, "Bun-pangcu masih muda belia gagah dan cakap lagi, merupakan tunas harapan kaum persilatan, tapi kalau masih ingin maju, maka kau harus berpegang pada kelurusan hati, lapangkan dada!" Bun Cu-giok menjadi sebal mendengar khotbah Sam-kong Lama, dengan langkah lebar ia membalik terus keluar dari biara. Sam-kong berseru menambahi, "Silakan Bun-pang-cu merenungkan lebih tenang di rumah!" Bun Cu-giok tak hiraukan, langkahnya dipercepat. Mengantar punggung Bun Cu-giok yang menghilang diluar pintu biara, perasaan Thian-hi menjadi hambar, untuk selanjutnya mungkin Bun Cu-giok bakal menjadi musuh kebujutannya. Memandang muka Thian-hi Sam-kong tertawa, ujarnya, "Kau tak usah kuatir, akan datang suatu hari dia bakal menyesal. Gurunya seorang cerdik pandai, dia pun tak terlalu lama tenggelam Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dalam kecerobohannya." Dengan rasa kurang tentram, Thian-hi bertanya, "Cianpwe! persoalanku benarbenarkah kau sudah tahu?" Sam-kong manggut-manggut, ia menjelaskan, "Hwesio jenaka telah beritahu kepadaku!" "Hwesio jenaka?" seru Thian-hi kaget. Hatinya banyak dirundung pertanyaan, sudah beberapa kali Hwesio jenaka menolong dirinya. Apakah latar belakangnya" Sebenar-benarnya tokoh macam apakah dia" Tanya Thian-hi lagi, "Cianpwe juga kenal Hwesio jenaka" Sebetulnya orang macam apakah dia?" Sam-kong mengerut alis, jawabnya, "Saat ini tak berguna kuberitahu, tapi cukup kau mengetahui walau kelihatan dia bertubuh pendek kecil, tapi usianya jauh lebih tua dari aku, kau jangan anggap dia sebagai bocah kecil." Thian-hi menjadi tertegun, sungguh tidak nyana olehnya, Hwesio jenaka yang suka tertawa2 bertubuh pendek tambun dan mungil itu, usianya ternyata lebih tua dari Sam-kong Lama. "Kau selalu menyebut dia Siau-suhu, dia sangat tidak senang!" sambung Sam-kong. Mencelos hati Thian-hi, dirinya begitu ceroboh dan kurangajar, naga-naganya dia semestinya menjadi seorang Cianpwe, tapi kenapa aku begitu kasar terhadapnya! Sam-kong menjadi geli melihat Thian-hi menjadi kikuk, katanya tersenyum, "Martabatnya memang jenaka suka guyon dan ngelajap, dia tidak pantang akan segala, kau pun tak usah kuatir apa-apa terhadap dia." Teringat akan bantuan Hwesio jenaka berulang kali itu, sudah semestinya aku harus nyatakan terima kasih kepada beliau, segera ia bertanya, "Sekarang dimanakah dia orang tua?" "Jejaknya selamanya tidak diketahui orang. Persoalanmu dia pun hanya kasih tahu duduk persoalan yang benar-benar, tentang latar belakangnya dia tak mau terangkan, agaknya persoalan ini membawa buntut dan akibat yang sangat besar." Bab 11 Thian-hi manggut-manggut, diapun tak tahu bagaimana latar belakang peristiwa yang dialami itu. Menurut apa yang diketahui hanya menyangkut persoalan Ni-hay-ki-tin melulu. Tapi apakah rahasia Ni-hay-ki-tin betul berada di dalam Badik buntung, dia sendiripun tak tahu. "Kedatanganmu hari ini sungguh tepat, kau bisa bertemu dengan seorang aneh, ada beliau disini, Bu-bing Loni tak berani datang kemari." Thian-hi berpikir, kecuali Ka-yap Cuncia yang pernah didengar dari mulut Anghwat-lo-cu tiada seorang tokoh kosen lainnya yang pernah didengarnya apalagi meski kepandaian Kayap mungkin lebih tinggi dari Bu-bing Loni, namun mati hidupnya merupakan tanda tanya besar. Kira-kira setengah tahun sudah berselang, Sam-kong membekal Sin-giok-ling milik Bu-bing Loni, kenyataan dia masih sehat segar, tidak bisa tidak dia harus percaya akan adanya orang aneh itu, jangan aku menyia-nyiakan kesempatan ini untuk berkenalan dengan "Wi-thianchit-ciat-sek" . Thian-hi mematung seperti orang linglung Sam-kong menjadi geli. tahu dia apa yang tengah dipikir oleh Thian-hi, katanya tersenyum "Beliau sudah pernah dengar tentang kau, ingin sekali bertemu dengan kau. Kalau memang berjodoh mungkin kau bakal ketiban rejeki." Thian-hi tertawa, pikirnya, "Aku tidak ingin rejeki apa segala, kalau benarbenar Bu-bing Loni tak berani datang, ini sudah cukup menggirangkan hatiku." "Mari ikut aku menghadap beliau. Tapi jangan sekali2 kau merasa takut, tahun terakhir ini wataknya suka aseran, apalagi dulu siapa saja yang sampai membuatnya gusar, celakalah dia." Thian-hi manggut, Sam-kong lalu membawa Thian-hi menyusuri lorong2 panjang dan serambi yang belak-belok, akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah. Sam-kong memberi tanda supaya Thian-hi menunggu di luar, dia terus masuk ke dalam. Setelah Sam-kong masuk terdengar suaranya berkata di dalam, "Tecu Sam-kong menghadap!" Sebuah suara menyahut, "Sam-kong! Kau datang pula, di luar kau masih bawa orang, siapakah dia?" Suara ini adalah perkataan seorang nenek, Thian-hi menjadi heran, belum pernah ia dengar ada seorang nenek yang ditakuti oleh Bu-bing Loni. "Orang yang Tecu bawa kemari adalah Hun Thian-hi, apakah Ciangpwe sudi mengundangnya masuk?" Rada lama nenek itu berdiam diri, akhirnya berkata, "Baiklah! Silakan dia masuk!" Dari ambang pintu Sam-kong melambai tangan suruh Thian-hi masuk. Begitu tiba di dalam pintu, di mana matanya melihat seorang nenek tua, hampir saja dia berteriak kejut. Mana ada manusia seburuk itu, hampir menyerupai setan atau dedemit, seluruh mukanya belang bonteng malang melintang bekas luka-luka yang menonjol, kedua matanya buta, seluruh mukanya tiada secuilpun yang kelihatan halus, sungguh mengerikan. Cepat-cepat ia tenangkan hati terus menyembah sapanya, "Wanpwe Hun Thian-hi menghadap Cianpwe!" "Bangun!" ujar si nenek, "apa kau takut kepadaku?" "Takut sih tidak, aku hanya heran kenapa Cianpwe bisa berubah begitu rupa." "Sungguh tepat jawabanmu," sahut si nenek tertawa kering, "tak heran Hwesio jenaka sangat tertariK kepadamu, berapa usiamu tahun ini?" "Tepat dua puluh!" Hilang seri tawa si nenek, wajahnya menjadi kaku, gumamnya, "Dua puluh, sudah dua puluh, ja, seharusnya memang dua puluh!" air mukanya semakin sayu dan dirundung kepedihan. Melihat mimik wajah si nenek, Thian-hi mengira orang tentu punya kenangan yang menyedihkan, dari bekas2 luka di mukanya itu, tentu dicelakai oleh musuh besarnya, entah siapakah orang yang begitu keji dan telengas. Sam-kong Lama batuk2 lalu bicara, "Bantuan yang diminta oleh Hwesio jenaka kepada Cianpwe tidak terlupakan bukan!" Thian-hi melengak, pikirnya, "Bantuan apa yang di minta oleh Hwesio jenaka kepada nenek ini?" Si nenek tertawa, ujarnya, "Kau tak perlu kuatir, urusan itu pun tak perlu tergesa-gesa, sulit untuk menemukan seseorang yang tidak takut melihat rupaku ini, ada banyak omongan yang perlu kami bicarakan." Sam-kong lama mengiakan, si nenek lantas berkata pada Thian-hi, "Kau pernah bertemu dengan Bu-bing Loni?" "Pernah, apa yang perlu Cianpwe ketahui, Wanpwe sedia menjelaskan." Si nenek termenung, lalu bertanya, "Apakah kau hanya bertemu dia seorang" Adakah dia membawa orang lain?" "Masih ada muridnya Ham Gwat, Ham Gwat punya dayang bernama Siau Hong. Belakangan ini dia terima murid baru lagi bernama Su Giok-lan." Si nenek tenggelam dalam pikirannya, sekian lama tak bersuara. Thian-hi tak tahu untuk keperluan apakah si nenek menanyakan itu. "Ada sebuah kisah perlu kuceritakan kepada kalian," demikian si nenek memecah kesunyian, "kisah ini mengenai aku, Bu-bing Loni dan seorang lain." - lalu dia berkata kepada Sam-kong- "Kau layani aku selama dua puluh tahun, sudah tiba saatnya kau tahu asal usulku." Berhenti sebentar, lalu meneruskan, "Aku berada disini, Bu-bing Loni tentu tak berani bertingkah. Bukan karena ilmu silatnya tidak unggul dari aku. Ilmu Jiam-hunciang sudah sempurna kulatih. tapi masih tak bisa menang melawan dia." Sangat heran dan kejut pula hati Thian-hi. tak tahu dia ada permusuhan apa diantara si nenek dengan Bu-bing Loni, Bu-bing takkan mungkin kemari, dengan kekejaman Bu-bing, dia takkan gentar dan takut menghadapi siapapun juga. Terdengar si nenek melanjutkan, "Kalian mungkin heran bekas luka-luka di mukaku ini bukan" Biar kuberi tahu, inilah karya besar tangan Bu-bing Loni!" sampai disini ia berhenti. Diam-diam bercekat hati Thian-hi, buah karya Bu-bing Loni, tanpa merasa ia bergidik dan merinding. Setelah berdiam diri nenek tua berkata lagi, "Dua puluh tahun! Tepat dua puluh tahun sudah! Dia masih mempermainkan aku, aku masih belum berdaya menuntut balas, kupikir saatnya sudah bakal tiba!" Dari tengah angkasa terdengarlah pekik burung dewata yang panjang mengalun tinggi. Nenek tua itu tersenyum getir, katanya pula, "Dia masih menekan aku untuk tutup mulut lagi. Dulu memang aku pernah melulusi dia untuk tak membeber rahasia ini, tapi sekarang aku harus bicara! Apa kalian tahu apa hubunganku dengan Bu-bing Loni" Dia adalah Toaciku!" "O, jadi kalian adalah kakak beradik, hati Bu-bing Loni sungguh sangat kejam, ada permusuhan apa diantara mereka" Begitu tega Bu-bing Loni sampai membuat adik kandung sendiri begitu rupa." Demikian batin Thian-hi. Ditengah angkasa terdengar pula bunyi burung dewata yang rada keras. Nenek tua itu meneruskan, "Kami semua lima saudara, aku paling muda, dia paling tua, tatkala itu dikalangan Kangouw dijuluki Ngo-hong, nama asliku bernama Ong Ging-sia. - sampai disini berubah air mukanya, katanya lagi, "Bu-bing Loni sudah tiba!" Terkejut Hun Thian-hi. Terdengar desir lambaian kain dari luar, segera tampak Bu-bing Loni melayang masuk dari jendela. Dengan dingin ia pandang mereka bertiga, lalu berkata kepada sinenek, "Ging-sia! Kau tahu selamanya aku membalas setiap dendam dan sakit hati. Kalau kau bicara apa-apa terhadap mereka kau maklum tindakan apa yang harus kulakukan terhadap dirimu!" Ong Ging-sia tertawa menyeringai, ujarnya, "Sikapmu sangat keterlaluan terhadap aku. Dia akan tahu, dan kau sendiri kelak juga pasti akan menyesal!" Berubah air muka Bu-bing Loni, jengeknya, "Dia tahu aku pun tak takut, apa kau berani menemui dia" Kupikir diapun ingin sekali melihat keadaanmu sekarang!" Pelan-pelan Thian-hi angkat kepala memandang Bu-bing Loni. Dulu katanya Bu-bing pernah patah hati dan menjadi kortan asmara, rupa2nya begitulah persoalannya" Saingan cintanya kiranya bukan lain adalah adik kandung sendiri, tapi ternyata dia begitu culas, begitu keji dan hina dina, dengan merusak wajahnya dia menyiksa dan melukai sanubari adik kandung sendiri! Ong Ging-sia terpekur diam. Bu-bing berkata lagi, "Kalau kau masih menepati sumpah dulu, aku pun tak perlu menjilat ludahku sendiri, silakan kau pikir dan pertimbangkan pula!" - habis berkata ia menyapu pandang Hun Thian-hi lalu berkelebat menghilang diluar pintu. Ong Ging-sia duduk terlongong-longong. Terpaksa Sam-kong mandah membiarkan Bubing Loni pergi datang seenak udelnya sendiri tanpa berusaha merintangi. Hun Thian-hi tidak tahu janji apa yang terikat diantara mereka, begitu besar penderitaan Ong Ging-sia, namun tak berani mengatakan. Dengan teliti ia menyelusuri lagi setiap perkataan Ong Ging-sia tadi, tanpa kuasa iapun mengeluh pendek, "Dua puluh tahun sudah!" Nuraninya merasa bahwa Ong Ging-sia masih punya ganjelan hati atau sesuatu yang Si Rase Kumala 7 Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam Panji Wulung 12

Cari Blog Ini