Ceritasilat Novel Online

Memanah Burung Rajawali 36

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 36 sering berkelit. "Jangan takut, jangan takut," kata Pek Thong, yang ketahui orang lebih banyak menolong diri daripada membalas menyerang. "Jangan takut, kalau ada bahaya, aku nanti bantu kau........" Loo Boan Tong boleh mengatakan demikian, tetapi mereka berada di tempat yang gelap, dia bisa terlambat, maka itu, Kwee Ceng menjadi letih pula, sedang begitu ia merasakan tangan kedua lawanny semakin berat. Ia telah memikir untuk lompat naik ke penglari, untuk beristirahat, siapa tahu Pek Thong mendesak padanya. Ia kaget dan mendongkol, akhirnya ia kata nyaring: "Ciu Toako, manusia tolol, perlu apa kau mengganggu aku?" Percuma anak muda ini mengasih dengar suaranya, suara itu tak terdengar Pek Thong. Di luar, suara pertempuran ada sangat berisik. Ia lantas mundur. Tibatiba kakinya terpeleset, hampir ia roboh. Di saat itu datanglah serangannya Kiu Cian Jin. Sambil terhuyung, ia memunut batu yang ia injak itu, ia angkat tinggi ke dadanya, guna dipakai melindungi tubuhnya. Maka itu, serangannya Kiu Cian Jin mengenia batu itu. Menyusul itu datang serangannya Auwyang Hong, yang menuju ke kirinya. Ia menggunai terus batunya. Kali ini sambil menangkis, ia melemparkan batu itu keras sekali ke atas. Kesudahannya, batu itu membikin wuwungan bolong, hingga di sana tampak sedikit cahaya terang dan bintang-bintang di langit. Pek Thong gusar melihat cahaya terang itu. Ia membentak: "Sekarang segala apa tampak nyata! Mana menggembirakan lagi?" Kwee Ceng merasa sangat letih, ia tidak memperdulikan teguran itu, bahkan ia melompat tinggi sekali, menerobos di wuwungan yang bolong itu. Auwyang Hong berlompat naik, untuk menyusul. "Jangan pergi! Jangan pergi!" Pek Thong berseru-seru. "Mari menemani aku bermain-main!" Dan ia berlompat juga, guna menyambar kakinya See tok. Auwyang Hong kaget, ia menendang. Kakinya itu mesti bebas, tetapi karena itu, ia tidak dapat naik terus, ia mesti turun pula. Kiu Cian Jin melihat keadaan orang, tanpa menanti si Bisa dari Barat meninjak lantai, dia berlompat menendang ke dada, karena mana, Auwyang Hong mesti membikin mengkerat dadanya itu, sambil menolong diri, ia juga menotok ke kaki penyerang. Karena ini, keduanya jadi bertarung pula. Sekarang dengan adanya cahaya terang, orang tertempur dengan satu sama lain bisa saling melihat. Hanya kerika itu, di luar suara berisik telah jadi semakin berkurang. Ciu Pek Thong menjadi lenyap kegembiraannya, ia menjadi mendongkol, karena uring-uringan, ia menyerang Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin, ia menyerang dengan hebat sekali. Kwee Ceng dilain pihak lari terus hingga ke luar dusun. Ia telah menyaksikan sisa kedua pihak tentara yang terluka dan terbinasa, ia pun mendengar rintihan datang dari sana-sini. Ia tidak memperdulikan mereka, ia hanya mencari satu tempat sunyi, di mana segera ia merebahkan diri, untuk berisitirahat. Ia sangat letih, ia merasakan otot-ototnya dan buku-buku tulangnya ngilu dan nyeri. Tanpa merasa ia tidur kepulasan. Lama anak muda ini tidur, ketika besoknya pagi ia mendusin, ia mendusin dengan kaget hingga ia berlompat bangun. Itulah disebabkan ia merasa mukanya terusapusap sesuatu. Ketika ia berlompat, ia berbareng mendengar meringkiknya kuda, untuk girangnya ia melihat kuda merahnya, yang datang padanya dan menjilati mukanya. Ia girang sekali, ia merangkul leher binatang itu. Ketika si anak muda dikurung Auwyang Hong, kuda itu diumbar saja, dia dapat hidup sendiri. Tempo terjadi pertempuran antara tentara Kim dan tentara Mongolia, dia menyingkir jauh, setelah kedua pihak tentara pergi, dia mencari majikannnya itu. Dengan menuntun kudanya, Kwee Ceng berjalan perlahan-lahankembali ke dalam dusun. Sekarang ia melihat tegas sisa pertempuran, mayat serdadu dan bangkai kuda, berserakan di sisi pelbagai senjata. Masih ada serdadu yang terluka, yang merintih. Ia terharu sekali. Terpaksa ia menghiraukan segalanya itu, ia langsung kembali ke rumah batu. Sebelumnya masuk, ia memasang kuping dulu, lalu ia mengintai dari sela pintu, setelah tidak mendengar suara apa-apa dan tidak melihat sesuatu, dengan perlahan ia menolak pintu, untuk bertindak masuk. Tidak ada orang di dalam, entah ke mana perginya Ciu Pek Thong, Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin bertiga. Untuk sejenak ia berdiri menjublak. Kemudian ia keluar dari dalam rumah, untuk naik kudanya, guna berangkat ke arah timur. Ia melarikan binatang tunggangannya itu. Tidak lama, ia berhasil menyandak pasukan perangnya Jenghiz Khan. Itu waktu Khoresmia telah terpukul hebat, pelbagai kotanya pecah atau diserbu rusak, angkatan perangnya hancur luluh, bahkan rajanya, Shah Muhammad ed-Din, kabur entah ke mana. Tapi shah itu, atas titahnya Jenghiz Khan dicari terus oleh Subotai dan Jebe, yang menyusul ke arah Barat. Jenghiz Khan sendiri berangkat pulang dengan kemenangannya itu. Subotai berdua telah mengejar samai di sebelah barat Moskwa, di dekat kota Kiev, di tepi sungai Dnieper, di mana mereka telah melabrak beberapa puluh jiwa serdadu Rusia dan Kimchak, di mana mereka pun menghukum hertog dari Kiev serta sebelas pangeran dengan jalan melindas mereka dengan kereta. Ini dia yang dinamakan "Perang Kalka". Demikian padang rumput Russia mengeluh di bawah injakan kaki muda Mongolia. Jenghiz Khan masgul dan cemas karena hilangnya Kwee Ceng di Samarkand, sekarang ia melihat si anak muda kembali, hatinya girang. Pula tak dapat dikatakan girangnya putri Gochin Baki. Khu Cie Kee tetap turut di dalam angkatan perang yang pulang ke timur ini, saban-saban ia membujuk pendekar Mongolia itu untuk mencintai rakyat dan mencoba mengurangi pembunuhan kepada musuh. Jenghiz Khan sangat tidak menyetujui sikap imam ini tetapi karena ia tahu orang ada orang berilmu, ia tidak mau terlalu menentang nasehat itu. Dengan begitu, kata-katanya imam dari Coan Cin Kaouw ini telah menolong banyak sekali jiwa orang. Di dalam kitab Yuan Shih, jasanya Khu Cie Kee ada tercatat jelas. Untuk memerintah "dunia", Cie Kee menasehati janganlah orang gemar membunuh. Ditanya tentang cara memerintah, ia menganjurkan untuk menghormati Thian dan mencintai rakyat. Mengenai pertanyaan ilmu umur panjang, ia menasehati untuk membersikan hati dan mengurangi segala nafsu keinginan. Karena ini, ia disebut Sin-sian atau dewa dan Jenghiz Khan menganjurkan putra-putranya mencontah imam ini. Ketika kemudian Mongolia menyerang negara Kim, kembali Khu Cie Kee berhasil menolong banyak jiwa manusia. Untuk pulang dari Khoresmia ke negerinya, Jenghiz Khan memerlukan banyak waktu. Ketika akhirnya ia tiba di negaranya, ia membuat pesta besar. Terus ia memelihar tentaranya. Lewat lagi beberapa bulan, timbullah keinginan pendekar ini maju ke Selatan, guna menyerang bangsa Kim. Untuk itu ia segera mengaadakan rapat. Di dalam rapat ini, Kwee Ceng menutup mulut. Semenjak pulang, ia senantiasa berduka, sering seorang diri ia pesiar di tanah datar atau di padang rumput, dengan menunggang kuda merahnya sambil membawa kedua burungnya. Ada kalanya selama bicara, ia berdiam bengong saja. Semua ini disebabkan ia terlalu keras memikirkan Oey Yong yang lenyap itu. Putri Gochin membujukinya, ia tidak mengambil peduli. Orang tahu ia bersusah hati, sampai tidak ada yang menyebutnyebut urusan jodohnya. Demikian di harian rapat itu, selagi lain orang bicara banyak, ia berdiam saja. Habis rapat, Jenghiz Khan menitahkan semua panglimanya mengundurkan diri. Seorang diri ia berdiam di atas bukit, otaknya bekerja. Besok paginya ia mengasih titah untuk angkatan perangnya maju di tiga jurusan, untuk menyerang negara Kim. Tatkala itu Juji dan Subotai amsih ada di Barat, lagi mengurus negara-negara taklukannya, maka itu sekarang pasukan ke satu dikepalai Ogotai, putra nomor tiga, pasukan kedua diserahkan di bawah pimpinan Tuli, putra nomor empat. Kwee Ceng dapat tugas pula, untuk memimpin pasukan ketiga. Jenghiz Khan memanggil berkumpul ketiga kepala perangnya itu, ketika ia mau bicara sama mereka itu, ia menitahkan semua pengiringnya mengundurkan diri. Lantas ia kata: "Pasukan perang Kim dipusatkan di Tongkwan. Kota itu sukar dipukul pecah karena keletakannya di selatan nempel sama pegunungan dan di utara berbatas dengan sungai besar. Pikiran dari pelbagai perwira pun tidak ada akur satu dengan lain. Kalau kita maju dari depan, gerakan kita tentu bakal meminta tempo yang lama. Maka itu aku pikir, jalan yang paling sempurna ialah kalau kita bangsa Mongolia berserikat sama kerajaan Song. Aku pikir baiklah kita meminjam jalan dari negera Song itu, ialah kita maju dari Tong-ciu dan Teng-ciu untuk menuju langsung ke ibukota Kim, Tay-liang." Mendengar itu, Ogotai, Tuli dan Kwee Ceng berlompat untuk saling merangkul, buat bersama-sama berteriak: "Bagus!" Jenghiz Khan memandang Kwee Ceng sambil tersenyum. "Kau pandai mengatur tentara, aku senang denganmu," kata pendekar ini. "Sekarang aku hendak tanya kau, setelah Tay-liang kena dipukul pecah, bagaimana?" Kwee Ceng menggeleng kepala. "Tidak menyerang Tay-liang," sahutnya. Ogotai dan Tuli menjadi heran. Terang barusan ayahnya mereka menyebut menyerang ibukota Kim itu. Kenapa sekarang Kwee Ceng membilang demikian" Maka keduanya mengawasi dengan melongo. Jenghiz Khan sebaliknya tetap bersenyum. "Kalau tidak menyerang Tay-liang, bagaimana?" dia tanya pula. Kwee Ceng menjawab, tenang: "Sudah tidak menyerang, bukannya juga tidak menyerang - menyerang tetapi tidak menyerang, tidak menyerang tetapi menyerang pula....." Kedua pangeran itu menjadi heran bukan main. Jenghiz Khan tertawa, ia berkata pula kepada si anak muda: "Menyerang tetapi tidak menyerang, tidak menyerang tetapi menyerang. Bagus kata-kata itu! Nah, kau menjelaskanlah kepada semua kakakmu ini." Kwee Ceng mengangguk, ia berkata: "Aku dapat menerka siasat perang dari Khan yang agung. Kita berpura-pura menyerang ibukota Kim, untuk membasmi musuh di kaki tembok kota. Tay-liang ialah kota tempat kediaman raja Kim, tetapi di sana tentara yang ditempatkan tidak banyak, jikalau kita pergi ke sana, pasti sekali raja Kim bakal segera mengirim pasukan dari Tong-kwan untuk menolongnya. Tongkwan terpisah jauh dari Tay-liang, kalau tentara dikirim cepat, tentara itu akan keburu lelah di tengah jalan, umpama kata tentara itu dapat tiba te?at, mereka tentulah tidak kuat berperang, dari itu tentara kita yang besar tinggal melabrak saja kepadanya. Kita pasti menang! Kalau bala bantuan musuh itu dapat dipukul hancur, kota Tay-liang bakal jatuh tanpa diserang lagi. Sebaliknya kalau kita langsung menyerang Tong-kwan, itulah sulit, kita pun bisa digencet musuh dari depan dan belakang." Jenghiz Khan bertepuk tangan sambil tertawa lebar. "Bagus! Bagus!" pujinya. Lantas raja ini mengeluarkan sehelai peta bumi, ia membeber itu di atas meja, untuk ketiga panglima perangnya itu melihatnya. Menampak itu, semua ketiga panglima itu heran bukan main. Peta itu ialah peta bumi sekitar kota Tay-liang, di situ terlukis garis untuk dua pasukan tentara - pasukan Mongolia dan musuh. Di situ pun tercatat jelas siasat guna menyerang musuh, buat menghajar bala bantuan dari Tong-kwan selagi bala bantuan itu baru tiba dan masih letih. Jadi cocoklah itu dengan pikiran Kwee Ceng barusan. Kota Tay-liang mau diserang, toh tidak diserang - kota itu tidak diserang, toh bakal dirampas. Ogotai dan Tuli saling memandang, mereka memandang ayah mereka, lalu mereka memandang Kwee Ceng. Pada wajah mereka terlukis nyata keheranan dan kekaguman mereka. Jenghiz Khan berkata pula: "Dengan penyerangan kita ke Selatan kali ini, sudah pasti negara Kim bakal kena dipukul pecah. Di sini ada tiga buah surat tertutup, kau bawahlah satu orang satu. Kalau nanti kota Tay-liang sudah dipukul pecah, kamu berkumpul di istana Kim-loan-thian raja Kim, di sana kau membukanya dengan berbareng, lalu kamu bertindak menuruti apa yang tertera di situ." Sembari berkata, khan agung itu merogoh sakunya mengeluarkan surat tertutup itu atau kim-long atau "kantong sulam", ia menyerahkanny seorang satu. Kwee Ceng melihat surat itu tertutup dan tersegel, laknya dicap dengan cap khan sendiri. "Sebelum kamu memasuki kota Tay-liang, jangan kamu lancang membuka surat tertutup ini," Jenghiz Khan memesan. "Maka itu, sebelumnya kamu membuka, mesti kamu melihat satu sama pada lain, untuk diperiksa dulu ada atau tidak tanda rusaknya." Ketiga panglima itu menjura seraya berjanji akan menaati pesan itu. "Kau biasanya lambat, kenapa sekarang kau cerdas dan sebat?" kemudian khan menanya Kwee Ceng. Pemuda ini tidak mau mendusta, ia mengaku bahwa ia telah membaca kitab Gak Hui. Jehiz Khan lantas menanyakan hal ikhwalny Gak Hui dan si anak muda menuturkannya Gak Hui itu telah melabrak bangsa Kim di Cu-sian-tin, hingga Gak Hui dipanggil "Gak Yaya" alias "Kakek Gak", sampai timbul sebutan, "Menggoncang gunung gampang, menggoncangkan tentaranya Gak Hui sukar." Mendengar itu, khan ini membungkam, ia jalan mondar-mondir di kemahnya sambil menggendong tangannya, kemudian ia menghela napas dan mengatakannya: "Menyesal aku tidak terlahir pada seratus tahun yang dulu, supaya aku bisa bersahabat sama pendekar itu. Sekarang ini di dalam dunia ini siapakah dapat menjadi tandinganku?" Untuk sejenak itu, hati jago ini menjadi tawar sendirinya karena menyesalnya itu. Kwee Ceng sendiri, sekeluarnya dari kemah, sudah lantas menuju langsung ke kemah ibunya. Saking repot sama tugasnya, sudah beberapa hari ini ia tidak dapat ketika menjenguk orang tua itu. Besok ia mau berangkat ke Selatan, guna membalas sakit hati negara., jadi hari itu perlulah ia menemani ibunya. Ketika ia sampai di kemahnya, ia mendapat sebuah kemah kosong, segala apanya sudah dibawa pergi. Cuma seorang serdadu tua menjaga di situ. Atas pertanyaan, serdadu itu memberitahukan bahwa atas perintah khan yang agung, ibunya sudah pindah ke lain kemah. Setelah menanya jelas, ia pergi terus ke kemah yang disebutkan itu. Ia lantas mendapatkan sebuah kemah besar, yang beberapa lipat lebih besar dari kemah yang lama tadi. Dan begitu ia menyingkap pintu tenda, ia terbengong. Di situ terlihat banyak barang berharga yang bergemerlapan, yang tentara Mongolia dapat merampas dari musuh. Putri Gochin juga berada di situ lagi menemani ibunya, yang lagi menutur hal ikhwal ia sendiri diwaktu masih kecil. Menampak si anak muda, putri itu berbangkit menyambut sambil bersenyum. "Ibu!" Kwee Ceng memanggil. "Dari mana semua ini?" "Khan yang agung membilang selama berperang di Barat, kau berjasa besar, maka semua ini ialah hadiah untukmu," sahut sang ibu. "Sebenarnya kita sudah terlalu biasa dengan penghidupan kecil, semua ini tidak ada perlunya untuk kita..." Di kemah itu ada tambah delapan budak, untuk merawat Lie Peng. Semua mereka adalah budak-budak asal rampasan, maka itu bisa dimengerti mereka ada dari kalangan bangsawan. Ketiganya lantas duduk memasang omong. Tidak lama, putri Gochin mengundurkan diri. Ia tahu, anak muda itu tentu mau bicara banyak dengan ibunya, ia tidak mau mengganggu mereka. Hanya, lama ia menantikan di luar, ia tidak melihat si anak muda keluar. "Anak Ceng," berkata Lie Peng. "Putri menantikan kau di luar, pergi kau bicara sama dia." Kwee Ceng menyahut ya, tetapi dia tidak bergerak dari tempatnya duduk. Lie Peng menghela napas, ia berkata: "Sudah duapuluh tahun kita tinggal di Utara ini, meski benar khan agung sangat memperhatikan kita, aku tapinya ingin sangat pulang, maka itu semoga kau berhasil memusnahkan negara Kim, supaya kita berdua bisa lekas kembali ke kampung halaman kita. Kita tinggal tetap di Gu-kee-cun, di tempat kediaman lama dari ayahmu. Kau bukannya seorang yang kemaruk harta dunia dan keagungan, jadi tak usahlah kau datang pula ke sini. Hanya urusan putri sulit..........." Bab 78. Nasib Bab ke-78 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong. "Tentang jodohku," kata Kwee Ceng, "Pernah aku omong sama putri, kalau Yong-jie mati, aku akan tidak menikah untuk selamanya." Lie Peng menghela napas pula. "Mungkin putri sendiri dapat dikasih mengerti, tetapi bagaimana dengan khan yang agung" Aku khawatir sekali........" "Kenapa khan agung?" "Selama beberapa hari ini luar biasa khan kepada kita. Lihatlah ini hadiah, emas dan perak dan barang permata. Benar ini katanya hadiah untuk jasamu berperang ke barat, tetapi sudah duapuluh tahun aku tinggal di sini, kau rasa aku telah mengenal baik sifatnya. Aku mau percaya ini ada lain sebabnya!" "Ibu, apakah yang ibu lihat?" "Akulah seorang wanita, tidak ada pendapatku yang luhur," menyahut sang ibu, "Akn tetapi melihat semua ini, setelah aku memikirkannya, mungkin khan hendak memaksa kita melakukan sesuatu..." "Tentulah dia menghendaki aku menikah dengan putrinya," kata Kwee Ceng. "Menikah adalah urusan yang baik," berkata pula sang ibu itu. "Khan tidak mengetahui kau tidak setuju dengan pernikahan itu, tidak perlu ia memaksanya. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hanya, turut penglihatanku, kau mengepalai satu pasukan tentara besar, kau pun berperang ke Selatan, dari itu aku khawatir khan mencurigai kau nanti mendapat ingatan untuk berontak....." Mendengar itu, Kwee Ceng menggeleng kepala. "Aku tidak mempunyai minat untuk kekayaan dan keagungan, inilah khan ketahui dengan baik," bilangnya. "Buat apa aku memberontak?" "Kalau begitu, aku ingat suatu daya," berkata Lie Peng. "Mungkin ini dapat dipakai untuk mengetahui apa yang dipikir khan. Pergi kau melaporkan kepada khan, bilang aku kangen pada kampung halamanku, aku ingin pulang bersama-sama dengan kau. Coba kau lihat, apa katanya." Kwee Ceng girang mendengar pikirannya ibunya itu. "Oh, ibu, mengapa kau tidak mengatakannya dari siang-siang?" bilangnya. "Kita pulang bersama, bagaimana bagus itu! Pasti khan akan memberikan perkenananya." Pemuda ini lantas keluar dari kemah. I atidak melihat putri Gochin. Mungkin karena terlalu lama menunggu, putri itu habis sabar dan berlalu dengan tidak puas. Ia lantas menuju ke markas besar. Ia pergi sekian lama, ketika ia kembali kepada ibunya, ia tunduk dan lesu. "Khan tidak memberikan perkenanannya, bukankah?" Lie Peng tanya. "Anakmu tidak mengerti, ibu," menyahut Kwee Ceng. "Apa perlunya khan menghendaki ibu tetap berdiam di sini?" Ibu itu diam. "Khan bilang," berkata Kwee Ceng, menjelaskan, "Sesudah negara Kim dipukul pecah, baru kita berangkat pulang, katanya itu kita akan pulang dengan kehormatan besar. Aku membilangi bahwa ibu sangat kangen dan ingin lekas pulang, lantas khan nampaknya gusar, ia menggeleng kepala, dia tetap menolak." "Apa lagi katanya khan kepadamu?" Kwee Ceng memberitahu hal rapat tentara, bahwa ia diberi tugas serta dibekali kim-long. "Ah," berkata si ibu, masgul, "Kalau gurumu yang nomor dua dan Yong-jie berada di sini, mereka pasti dapat menerka maksudnya khan ini. Kapan aku memikirkan ini, aku merasa semakin tidak enak, hanya entah apa sebabnya, aku tidak tahu...." Kwee Ceng mengeluarkan kim-longnya, ia membuat main itu ditangannya. "Ketika khan menyerahkan ini, aku lihat air mukanya beda sekali," ia kata, "Maka aku khawatir jangan-jangan sikapnya itu ada hubunganny sama surat rahasia ini." Lie Peng mengambil kim-long itu, ia mengawasi teliti, kemudian ia suruh budakbudaknya mengundurkan diri. "Kita buka dan kita lihat saja," katanya kemudian. Kwee Ceng terkejut. "Tidak dapat!" katanya. "Surat ini dicap, inilah artinya hukuman mati...." Lie Peng tertawa. "Kau tahu bahwa kepandaian menyulam dari kota Lim-an sangat kesohor di seluruh negara?" katanya. "Ibumu orang Lim-an, sedari kecil ia telah mempelajari kepandaian itu. Tanpa merusak, aku dapat membuka kanting sulam ini, dapat aku menenunnya kembali seperti asalnya." Kwee Ceng percaya ibunya, ia menjadi girang sekali. Lie Peng lantas mengambil jarum halus, dengan itu ia mulai membuka sulaman kantong wasiat itu. Ia bisa bekerja dengan baik. Surat itu lantas di bebar, untuk dibaca bersama. Segera keduanya duduk terbengong, tubuh mereka terasa dingin tidak karua-karuan. Surat wasiat itu adalah titah rahasia dari Jenghiz Khan untuk Ogotai, Tuli dan Kwee Ceng supaya selekasnya mereka dapat mengalahkan bangsa Kim, mereka mesti maju ke Selatan, untuk secepat kilat menyerang negara Song, supaya Mongolia dapat mempersatukan dunia. Dalam perintah rahasia itu ada ditambahkan: Kalau Kwee Ceng berhasil mendirikan jasa besar itu, dia mesti diangkat jadi raja muda dan dihadiahkan secara besar-besaran, tetapi kalau dia berubah hatinya, Ogotai dan Tuli diperintah segera menghukum mati padanya, bahwa ibunya mesti turut dihukum picis," "Ibu," kata Kwee Ceng setelah berdiam sekian lama, "Jikalau bukannya kau berhasil membuka kim-long ini, tentulah celaka jiwa kita berdua. Kita ada orang Song, mana bisa kita menjual negara?" "Sekarang bagaimana?" Lie Peng tanya. "Ah, ibu, biarlah kita menahan penderitaan," kata sang anak, masgul. "Sekarang juga kita lari pulang ke Selatan." "Baiklah!" berkata sang ibu. "Pergi kau bersiap. Jagalah supaya rahasia ini jangan terbuka." Kwee Ceng mengangguk. Iap pulang ke kemahnya untuk berbenah seperlunya. Kecuali kuda merahnya, ia menyisipkan tiga ekor kuda lain. Biar bagaimana, setelah berdiam puluhan tahun di gurun pasir ini, ia merasa sedikit berat untuk meninggalkannya. Sebagai kepala perang, Kwee Ceng dapat bergerak dengan leluasa. Pula ketika itu, rombongannya Lou Yoe Kiak sudah tidak ada bersama dengannya, mereka itu sudah lebih dulu pulang ke Selatan. Semua hadiah khan ia tinggalkan. Paling belakang ia membuka seragamnya, dengan pakaian biasa, ia kembali ke kemah ibunya. Begitu ia menyingkap tenda, begitu ia terkejut, hatinya terkesiap. Ibunya tidak ada di situ, yang ada hanya dua bungkusan menggeletak di tanah. "Ibu!" ia memanggil. Tidak ada jawaban. Ia berkhawatir dan bercuriga. Ketika ia hendak pergi ke luar, tenda tersingkap dari luar, lantas cahaya api terlihat terang-terang, Chiluan dengan seribu serdadu sudah mengurung tenda itu. "Khan agung memanggil menghadap!" demikian ia mendengar. Kwee Ceng kaget dan bingung. Ia mesti segera mengambil keputusan. Kalau ia menggunai kekerasan, Chiluan tidak bakal dapat merintangi dia. Tapi ibunya telah ditawan, mana bisa ia kabur seorang diri" Akhirnya ia menyerah, ia membiarkan Chiluan mengiringnya ke markas besar. Di kemah khan telah berbaris pengiring khan sendiri, yang terdiri dari dua ribu jiwa. Merekalah orang-orang Mongolia pilihan, senjatanya semua tombak panjang dan tombak cagak dan rapat penjagaannya. Kwee Ceng bertindak masuk dengan tindakan lebar. Jenghiz Khan terlihat bengis sekali. Ia menggeprak meja. "Aku perlakukan kau baik sekali, dari kecil aku rawat kau hingga besar, pula putriku aku serahkan padamu!" katanya membentak. "Eh, bangsat kecil, kenapa kau berani memberontak terhadapku"!" Kwee Ceng melihat kim-long yang dibuka ibunya ada di atas meja, maka tahulah dia, bahwa jiwanya sudah sukar ditolong lagi. Ia menjadi berani. Ia mengangkat kepalanya. "Akulah rakyat kerajaan Song, mana dapat aku menyerang negaraku sendiri"!" Melihat orang melawan, Jenghiz Khan menjadi bertambah gusar. "Gusar dia keluar! Hukum mati padanya!" ia menitahkan. Kwee Ceng tidak dapat melawan. Ia telah dibelenggu kuat sekali dan delapan algojo mendampingi padanya. Tapi ia tetap tidak takut. Ia kata nyaring: "Kau telah berserikat sama kerajaan Song untuk memukul bangsa Kim, ditengah jalan kau meninggalkan janjimu, adakah itu perbuatannya satu pendekar?" Jenghiz Khan gusar. Ia mendupak meja. "Sesudah negara Kim pecah, itu artinya habis sudah perjanjianku dengan pihak Song!" katanya. "Kalau waktu itu aku menyerang ke Selatan, mana bisa dibilang aku melanggar janji" Lekas hukum mati padanya!" Banyak panglima mengenal baik Kwee Ceng tetapi disaat itu, tidak ada yang berani membuka mulut. Khan mereka sedang gusar. Segera terlihat Tuli kabur mendatangi dari bpadang rumput. "Tahan! Tahan!" teriaknya berulang-ulang. Ia bertelanjang tubuhnya atas cuma mengenakan celana kulit. Terang ia baru terbangun dari tidurnya. Ia langsung memasuki kemah ayahnya dan berseru: "Ayah, anda Kwee Ceng besar jasanya, dia juga pernah menolong jiwaku, biar pun dia berdosa, dia jangan dihukum mati!" Jenghiz Khan terpengaruh kata-kata putranya itu. "Bawa dia kembali!" ia memberikan perintahnya. Kwee Ceng lantas dibawa balik. "Kau memberati kerajaaan Song, ada apakah baikannya?" khan itu tanya. "Kau pernah omong tentang Gak Hui. Dia begitu setia dan berjasa, akhirnya dia dihukum mati juga! Mari kau membantu aku merobohkan kerajaan Song, aku berjanji padamu, setelah berhasil aku akan mengangkat kau menjadi raja Song!" "Aku bukannya berontak terhadapmu!" Kwee Ceng menyahut. "Tetapi jikalau kau menghendaki aku menjual negara untuk kehidupan mewah dan agung, biar tubuhku dicincang, tidak dapat aku menerima baik permintaanmu ini!" "Bawa ibunya kemari!" Jenghiz Khan memerintah. Lantas dua serdadu mengiring Lie Peng keluar dari kemah belakang. "Ibu!" Kwee Ceng memanggil, dan ia bertindak kepada ibunya. Tapi ia dihalangi dua serdadu. Ia lantas menanya di dalam hatinya: "Urusanku ini cuma diketahui ibu dan aku berdua, maka siapakah yang membocorkan rahasia?" Jenghiz Khan tidak memberi kesempatan orang berpikir. Ia kata: "Jikalau kau menerima baik kata-kataku, kamu berdua ibu dan anak akan hidup agung dan berbahagia, jikalau tidak lebih dulu aku membunuh ibumu! Itu artinya kau yang membunuh mati ibumu, dan kau menjadi anak put-hauw!" Kaget Kwee Ceng medengar perkataan khan itu, apa pula itu kata-kata "put-hauw", tidak berbakti. Ia tunduk. "Anda," berkata Tuli. "Sedari kecil kau tinggal di Mongolia, kau tidak ada bedanya dengan bangsa Mongolia, sebaliknya pembesar-pembesar kerajaan Song termaha sekali, mereka bersekongkol juga sama bangsa Kim, bahkan mereka telah membunuh ayahmu dan membikin ibumu tidak punya tempat untuk pulang. Jikalau tidak ada ayahku, dapatkah kau hidup sebagai sekarang ini" Kita ada sebagai saudara, tidak dapat aku membiarkan kau menjadi satu anak tidak berbakti. Maka itu aku minta, sukalah kau pikir pula baik-baik." Kwee Ceng menoleh kepada ibunya. Sebenarnya ingin ia menerima baik nasehat Tuli itu akan tetapi segera ia ingat ajaran ibunya. Ia juga ingat dan tahu betul nasibnya negara-negara di Barat, yang ditakluki Mongolia, akhirnya mereka itu ialah rakyatnya yang hidup sengsara. Maka ia berdiam terus. Dengan matanya yang tajam, Jenghiz Khan mengawasi anak muda itu. Ia menantikan jawaban. Seluruh kemah menjadi sangat sunyi. "Aku...." kata Kwee Ceng. Ia telah maju satu tindak, lantas ia berhenti pula. Kata-katanya pun tidak dilanjuti. "Khan yang agung," mendadak Lie Peng berkata, "Aku khawatir anak ini kurang mengerti, maka bagaimana jikalau aku coba membujuk dan memberi nasehat padanya?" Jenghiz Khan girang sekali. "Bagus!" katanya. "Pergi kau menasehati dia!" Lie Peng bertindak kepada anaknya, ia menarik lengan anak itu, buat dibawa ke satu sudut dari kemah itu. Di sana keduanya berduduk. Karena sikap rajanya sudah mulai sabar, algojo tidak mencegah Kwee Ceng. Lie Peng memeluk putranya itu. "Pada duapuluh tahun yang lalu, di Gu-kee-cun, Lim-an, aku telah mengandung kau, anak," ia berkata perlahan. "Pada suatu hari ketika turun salju besar, Khu Cie Kee, Khu Totiang telah belajar kenal dengan ayahmu, dia lantas memberikan dua batang pisau belati, yang satu untuk ayahmu, yang lain untuk paman Yo..." Sembari bicara, ibu ini mengeluarkan pisau belati dari saku anaknya, ia menunjuk pada ukiran dua huruf "Kwee Ceng" pada pisau itu, terus ia menambahkan: "Khu Totiang telah memberi nama Ceng padamu dan anaknya paman Yo itu diberi nama Kang. tahukah kau apa artinya itu?" "Khu Totiang menghendaki aku jangan melupakan peristiwa Ceng Kong yang memalukan," sahut sang anak. "Benar. Anaknya paman Yo itu mengakui musuh sebagai ayah, maka runtuhlah dia nama dan tubuhnya. Tentang anak itu, tak usah disebut-sebut lagi. Hanya kasihan paman Yo yang gagah itu, kehormatannya dirusak oleh anaknya sendiri....." Ia menghela napas. Tapi ia lantas melanjuti: "Aku sendiri dulu hari itu telah menahan malu dan menderita. Tahukah kau untuk apakah perbuatanku itu" Mustahilkah aku hendak memelihara satu pengkhianat penjual negara hingga aku akan membuat ayahmu di dunia baka menjadi malu dan menderita?" "Ibu!" kata Kwee Ceng yang lantas menangis. Lie Peng bicara dalam bahasa Tionghoa, Jenghiz Khan semua tidak dapat mengerti, akan tetapi air mata si anak muda mereka telah melihatnya, maka itu mereka itu menduga si nyonya mestinya takut mati dan telah berhasil membujuki anaknya itu. Diam-diam mereka itu girang. "Ada kata orang, hidup manusia hanya seratus tahun, tempo itu lewat dalam sekejap," Lie Peng berkata pula. Dia wanita tetapi dialah wanita sejati. "Maka itu, apakah artinya hidup atau mati" Selama hidup manusia, yang diharap ialah jangan melakukan sesuatu yang membuatnya terhina! Kalau lain orang menyianyiakan kita, biarlah, tak usah kita ingat kejahatannya itu. Maka itu, kau ingatlah perkataanku ini!" Ia menatap wajah anaknya, lalu tampak air mukanya menjadi sabar sekali. Lantas dia menambahkan: "Anak, kau jagalah dirimu baikbaik.........!" Perkataan ini disusul oleh bekerjanya piasu belati itu membikin putus belenggunya putranya, setelah mana ia memutar tubuhnya untuk menikam dadanya sendiri! Kwee Ceng menyingkirkan dadung belungguannya, ia menyambar ibunya, tetapi sudah kasep, pisau itu sudah menancap di dada ibunya, menancap sebatas gagangnya. Jenghiz Khan dapat melihat itu, ia kaget tidak terkira. "Tangkap!" ia menitah. Kedelapan algojo itu tidak berani melukai hu-ma, mereka melemparkan senjata mereka, habis mana barulah mereka berlompat untuk menubruk. Kwee Ceng sangat bersedih, hatinya terluka dan ia memeluk tubuh ibunya itu. Ketika ia melihat orang menyerbu kepadanya, sambil memondong tubuh ibunya, ia menyambuti serbuan itu dengan satu sapuan kaki. Dua algojo kena direngkas, kaki mereka itu patah lantas. Satu algojo disikut dengan sikut kirinya, kena tepat pada dadanya, dia roboh dengan tulang iganya patah juga. Menampak begitu, beberapa perwira terkejut, mereka lantas maju. Kwee Ceng lompat ke belakang, ke tenda, dengan tangan kirinya ia membetot, maka itu separuh dari kemah emas Jenghiz Khan itu roboh menutupi sekalian perwira itu. Dalam kekacauan itu, ia lari dengan membawa kabur ibunya. Segera terdengar suara terompet riuh. Lantas terdengar gerakan dari banyak perwira, yang lari kepada kuda mereka, untuk menaikinya dan mengejar anak muda itu. "Ibu!" Kwee Ceng memanggil sambil menangis. Ia tidak memperoleh jawaban. Ketika ia memeriksa hidung ibunya itu, ia tidak merasakan hembusan napas. Itulah tanda ibunya sudah pulang ke lain dunia menyusul arwah ayahnya. Bukan main mencelosnya hatinya. Tapi ia lagi terancam bahaya. Kupingnya mendengar orang bergerak ke empat penjuru, matanya juga melihat obor dipasang. Ia kabur tanpa memilih jalanan lagi. Ia bingung, dengan memondong ibunya, mana bisa ia melawan demikian banyak orang" Kalau ia menunggang kuda merahnya, ia mempunyai harapan. Ia pun berjalan kaki. Pemuda ini berhenti menangis, tanpa bersuara, ia lari terus. Ingin ia lekaslekas tiba di gunung, di sana ia bisa lari menggunai ilmu enteng tubuhnya untuk mendaki lereng. Asal ia dapat merayap naik, bebaslah dia. Di atas gunung, ia dapat berdiam sementara waktu. Ia tengah lari ketika di depannya muncul sepasukan serdadu yang dipimpin satu panglima muka merah kumis putih, yang di sinarnya api nampak sangat keren. Ia mengenali satu di antara empat panglima jagonya Jenghiz Khan, ialah Chiluan. Ia lantas dipegat dan dibacok. Ia berkelit, untuk membebaskan diri. Setelah itu, bukannya ia lari balik, ia justru berlompat menerjang pasukan Mongolia itu! Sekalian serdadu menjadi kaget hingga mereka pada berseru. Kwee Ceng menyambar seorang opsir pangkat siphu-thio yang menghalang di depannya, selagi ia membetot kaki dia itu kaki kanannya sendiri menjejak tanah untuk berlompat, maka tubuhnya lantas mencelat naik ke punggung kuda orang, begitu ia meletaki tubuh ibunya, ia menolak, terguling opsir itu, tombak siapa sebaliknya ia rampas. Sekarang ia bergerak dengan cepat dan hebar. Ia membuka jalan, ia merobohkan setiap serdadu di depan atau disampingnya. Ia berhasil kabur, maka itu Chiluan dan pasukannya lantas mengejar padanya. Dengan cara kaburnya ini, Kwee Ceng jadi gagal dengan niatnya lari ke gunung arahnya bertentangan, hingga ia pergi semakin jauh dari gunung itu. Toh ia masih memikir langsung menuju ke Selatan atau mampir juga di gunung" Sementara itu, Borchu pun menyusul dengan barisannya. Jenghiz Khan gusar luar biasa, tetapi ia masih ingat untuk menitah menangkap hidup-hidup kepada Kwee Ceng. Barisannya menyusul terus, untuk mengurung. Bahkan ada pasukan berkuda yang kabur mendahului ke Selatan, untuk berjaga-jaga. Kwee Ceng berlaku nekat. Ia berhasil menerobos pasukannya Borchu. Sekarang ini pakaiannya dan kudanya juga sudah berlepotan darah. Satu kali ia meraba tubuh ibunya, ia merasakan dingin. Ia sedih bukan main tetapi ia menguati hatinya. Ia mengaburkan kudanya ke Selatan. Ia berhasil meninggalkan sekalian pengejarnya jauh di belakang, tetapi sementara itu, sang hari sudah mulai terang, sang fajar telah menyingsing. Ia masih berada di dalam daerah musuh, bahkan dipuastnya........... Masih ada ribuan lie untuk sampai di Tionggoan. Bisakah ia seorang diri - dengan membawa-bawa mayat ibunya meloloskan diri" Tengah ia berlari, Kwee Ceng melihat debu mengepul di sebelah depan. Itulah Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pasti satu pasukan tentara berkuda. Ia memutar kudanya, untuk kabur ke timur. Mendadak kuda itu terkekuk kaki depannya, tidak dapat binatang itu bangun pula. Dalam keadaan seperti itu, pemuda ini tidak mau menyerah. Ia pondong tubuh ibunya, ia mencekal keras tombaknya, ia maju untuk menyerang pasukan itu. Tibatiba ia terkejut. Sebatang anak panah menyambar, tepat mengenai ujung tombaknya. Ia merasakan getaran bentrokan itu. Celaka untuknya, ujung tombak itu patah. Menyusul itu, sebatang anak panah lain menyambar ke arah dadanya. Ia melemparkan tombaknya, ia menangkap. Ketika ia melihat anak panah itu, ia melengak. Anak panah itu tidak ada ujungnya yang tajam. Ia tidak bisa berdiam saja, ia mengangkat kepalanya, memandang ke depan. Terlihatlah perwira yang mengepalai pasukan berkuda di depan menahan barisannya, dia maju menghampirkan seorang diri. Ia mengenali Jebe, jago tukang panah yang menjadi gurunya dalam ilmu memanah. "Guru, apakah kau hendak menangkap aku?" ia tanya. "Ya," menyahut Jebe. Cepat sekali Kwee Ceng berpikir; "Kelihatannya sukar aku lolos. Daripada aku ditangkap lain orang, biarlah aku serahkan jasa kepada guruku ini." Maka ia lantas berkata: "Baiklah! Tapi aku hendak mengubur dulu ibuku!" Ia melihat ke sekitarnya. Di kiri ada sebuah bukit kecil, ia bawa ibunya ke bukit itu. Dengan tombak buntungnya, ia menggali tanah, setelah berhasil membuat sebuah liang, ia meletaki tubuh ibunya di situ. Ia tidak tega mencabut pisau belati di dada ibunya. Ia lantas berlutut untuk paykui, kemudian ia menguruk liang kubur itu. Bukan main ia bersedih kapan ia ingat budi ibunya serta kesengsaraan ibunya itu, ia sampai tidak bisa menangis. Jebe lompat turun dari kudanya, ia juga paykui empat kali di kuburan Lie Peng, kemudian ia serahkan kantong panahnya, busur dan juga tombaknya kepada si anak muda. Paling terakhir ia menyerahkan kudanya sendiri, tali lesnya dijejali di tangan muridnya itu. Ia kata: "Kau pergilah! Mungkin kita tidak bakal bertemu muka satu dengan lain." Kwee Ceng tercengang. "Guru!" ia kata. "Dulu hari kau bersedia berkorban menolong aku," berkata Jebe. "Apakah kau sangka aku bukannya satu laki-laki hingga aku pun tidak bisa berkorban menolong kau?" "Tapi, Guru, kau melanggar titahnya Khan, kau terancam bahaya..." "Aku telah berpetang ke timur dan ke barat, jasaku bukannya sedikit," berkata Jebe. "Maka kalau khan mempersalahkan aku, paling juga aku dikeret, kepalaku tidak bakal dikuntungi! Maka lekaslah kau pergi!" Kwee Ceng masih ragu-ragu. "Aku khawatir barisanku tidak menaati perintahku, maka yang aku bawa ini ialah bekas barisanmu yang berperang ke barat," kata Jebe. "Pergilah kau tanya mereka itu, apakah mereka termaha akan jasa dan akan menawanmu..." Kwee Ceng bertindak menuntun kudanya menghampirkan barisannya Jebe itu. Dengan serentak semua serdadu turun dari kuda mereka, untuk berlutut dan mendekam di tanah. Berkata mereka itu: "Hamba mengantarkan ciangkun pulang ke Selatan!" Kwee Ceng mengaawasi. Benar-benar mereka itu barisan bekas bawahannya, yang pernah turut ia menentang kematian, maka itu, ia menjadi sangat terharu. Ia kata: "Aku berdosa kepada khan yang agung, berat hukumanku, sekarang kamu melepaskan aku, jikalau khan agung mengetahui ini, hebat tanggung-jawab kamu..." "Ciangkun baik sekali terhadap kami, budi itu besar seperti gunung, budi itu tidak berani kami melupakannya," menyahut semua serdadu itu. Pemuda itu menghela napas, lantas ia menjura kepada mereka itu, habis mana dengan memegang tombaknya, ia lompat ke atas kudanya. Tepat disaat ia mau mengasih kudanya lari, ia melihat debu mengepul di sebelah depan. Kembali tiba sepasukan serdadu berkuda. Ia terkejut, juga Jebe. "Aku telah bersalah melepaskan Kwee Ceng, kalau aku melawan pasukan ini, terang aku berontak," pikir Jebe. Tapi ia tidak merubah keputusannya. Ia kata kepada si anak muda: "Anak Ceng, lekas lari!" Hampir berbareng dengan itu terdengar teriakan-teriakan tentara-tentara yang mendatangi itu: "Jangan ganggu Huma! Jangan ganggu Huma!" Sekarang orang melihat pasukan itu berbendera benderanya pangeran nomor empat, malah segera tertampak kabur mendatanginya seorang penunggang kuda dari antara pasukan itu. Dialah Tuli dan dia pun menunggang kuda merah dari Kwee Ceng, tidak heran kalau dia datang cepat sekali. Begitu tiba di depan Kwee Ceng, pangeran itu lompat turun dari kudanya. "Anda, apakah kau tidak terluka?" demikiann pertanyaannya yang pertama-tama. "Tidak," menjawab Kwee Ceng. "Bapak guru Jebe hendak menawan aku untuk dibawa menghadap Kha Khan!" Sengaja Kwee Ceng bicara begitu, untuk mencegah gurunya itu dicurigai. Tuli melirik kepada Jebe, terus ia kata kepada anak muda itu: "Anda, kau naiklah atas kuda merah ini dan lekas kau pergi!" Ia juga meletaki satu bungkusan di atas kuda merah itu, ia menambahkan: "Ini uang seribu tail! Di belakang hari nanti kita baru bertemu pula!" Kwee Ceng mengerti, ia lantas naik ke atas kuda merahnya. Ia kata kepada saudara angkatnya itu: "Tolong kau sampaikan kepada adik Gochin agar dia merawat dirinya baik-baik! Biarlah dia menikah dengan lain orang, jangan dia pikirkan pula tentang diriku......." Tuli menghela napas panjang. "Untuk selama-lamanya adik Gochin tidak akan menikah sama lain orang," ia kata. "Aku rasa dia bakal pergi ke Selatan untuk mencari kau. Kalau sampai itu terjadi, aku nanti mengatur orang untuk mengantarkan dia." "Jangan, jangan mencari aku," kata Kwee Ceng. "Jangan kata di dalam negara yang luas sulit untuk mencari aku, umpama kata kita dapat bertemu, itu cuma akan menambah keruwetan kita!" Tuli berdiam, si anak muda berdiam juga. "Jalanlah, aku akan mengantarkan kau serintasan!" kata si pangeran kemudian. Tuli naik atas seekor kuda lainnya, ia berjalan berendeng dengan anak muda itu. "Anda," berkata Kwee Ceng setelah mereka berjalan kira tigapuluh lie, "Silahkan kau kembali. Ada kata-kata membilang, meski orang mengantar sampai seribu lie, akhirnya orang mesti berpisah juga." "Akan aku antar kau serintasan lagi," berkata si Tuli. Maka berjalanlah mereka sampai lebih daripada sepuluh lie. Di sini keduanya turun dari kuda mereka untuk saling menjura, kemudian sama-sama mengucurkan air mata, mereka berpisahan. Tuli mengawasi orang pergi hingga tubuh Kwee Ceng nampak kecil sekali, sampai lenyap, baru ia putar kudanya untuk kembali. Ia masgul bukan main. Kwee Ceng melarikan kudanya untuk beberapa hari, baru ia keluar dari daerah yang berbahaya. Sekarang ia menuju langsung ke Selatan. Di sepanjang jalan, ia menyaksikan bekas-bekas peperangan, terutama rumah-rumah yang rusak dan tulangtulanng berserakan. Itulah pemandangan yang mengiriskan hati. Maka ia berduka bukan main. Akhirnya sampai juga Kwee Ceng di Tionggoan. Ia merasakan diriny seperti orang asing. Sebab tak tahu ia mesti pergi ke mana. Ia tidak mempunyai rumah, tanpa sanak dan kandung. Di dalam satu tahun, ia kehilangan ibunya, Oey Yong dan guru-gurunya. Ia lantas ingat Auwyang Hong dan timbul niatannya untuk mencari balas untuk Oey Yong, akan tetapi kapan ia ingat keaadaan hebat dan menyedihkan di Khoresmia, hatinya menjadi tawar. Ia berhasil membalas sakit hati ayahnya tetapi di sana demikian banyak jiwa manusia yang melayang dalam keadaan sangat menyedihkan. Ia menjadi bersangsi kalau-kalau pembalasan sakit hati itu ada cara yang tepat untuknya. "Selama umurku aku menyakinkan ilmu silat, sekarang beginilah kepandaianku," ia berpikir, "Akan tetapi kekasihku, dan juga ibuku tidak dapat aku belai, maka itu perlu apa aku belajar silat" Aku bertujuan hidup sebagai orang baik-baik, akhirnya, bagaimana sekarang" Siapakah yang memperoleh kesenangan karenanya" Ibu dan Yong-jie terbinasa karena gara-garaku.... Karena aku, untuk seumur hidupnya adik Gochin tidak merasa bahagia...... Ya, banyak orang yang telah aku bikin celaka...." Ia berhenti berpikir sebentar, terus ia melamun pula: "Wanyen Lieh dan Shah Muhammad memang orang-orang busuk, akan tetapi bagaimana dengan Jenghiz Khan" Dia membunuh Wanyen Lieh, dialah orang baik. Dia telah memelihara ibuku dan aku berdua selama duapuluh tahun, tetapi dia menitahkan aku menyerang pemerintah Song, dan sekarang dia memaksakan kematiannya ibuku" Dengan Yo Kang aku mengangkat saudara, diakhirnya hati dia itu serong. Enci Liam Cu seorang yang baik, kenapa dia mencintai Yo Kang mati-matian" Anda Tuli baik sekali padaku, kalau nanti dia menyerang ke Selatan ini, apakah aku mesti menghadapi dia di medan perang, untuk kita bertempur hidup atau mati" Tidak, tidak! Setiap orang ada ibunya, yang telah mengandungnya sembilan bulan, yang dengan susah payah merawatnya hingga besar, maka itu, mana dapat aku membinasakan anak orang hingga ibunya bakal menjadi bersusah hati?" Ia berdiam. Ia berpikir pula. "Belajar silat adalah untuk menghajar orang, membunuh orang..." dia ngelamun terlebih jauh, "Kelihatannya penghidupanku selama duapuluh tahun salah semuanya. Dengan rajin, dengan susah payah, aku belajar silat, akhirnya cuma untuk mencelakai orang..... Kalau tahu begini, lebih baik aku tidak mengerti silat sama sekali! Hanya, kalau aku tidak belajar silat, habis aku mesti kerjakan apa" Aku hidup di dalam dunia, sebenarnya untuk apakah" Nanti, selewatnya beberapa puluh tahun, bagaimana lagi" Bukankah lebih baik mati siang-siang" Kalau aku hidup terus, bukankah keruwetan akan terlebih banyak" Tapi, kalau aku mati siangsiang, untuk apakah ibuku melahirkan aku" Kenapa ibu mesti bercape lelah merawat aku hingga besar?" Maka, makin lama pikirannya jadi makin ruwet. Selama beberapa hari, Kwee Ceng menjadi tidak karuan rasa, dahar tidak bernafsu, tidur pun kurang. Ia berjalan mondar-mandir di tegalan, memikirkan semua pertanyaanya itu. "Ibuku dan semua guruku mengajari aku supaya aku memegang kepercayaan," kemudian ia berpikir pula. "Sekarang timbul urusannya Yong-jie. Aku sangat mencintai dia. Tapi di sana ada putrinya Jenghiz Khan. Dapatkah aku menolak putri itu" Kesudahannya sekarang jodohku itu menyebabkan kematiannya ibuku dan Yong-jie, dan karenanya, khan yang agung, Tuli dan adik Gochin, mereka semua menjadi bersusah hati.... Ketujuh guruku dari Kanglam dan juga Ang Insu ada orang-orang gagah dan mulia hatinya, kesudahannya sekarang, tidak ada satu pun yang berakhir dengan selamat. Sebaliknya Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin jahat, kenapa mereka hidup merdeka dan senang" Sebenarnya di dalam dunia ini ada hukum Thian atau tidak" Thian itu sebenarnya mempunyai mata atau tidak...?" Pada suatu hari tibalah anak muda ini di sebuah dusun di kota Cee-lam, Shoatang. Ia singgah di sebuah rumah makan. Ia duduk seorang diri menenggak arak, pikirannya pepat. Ketika ia baru minum tiga cawan, mendadak seorang laki-laki menghampirkan padanya, sambil menuding, dia mendamprat: "Hai, Tartar bangsat, kau telah membikin rumahku musnah dan keluargaku terbinasa, sekarang aku hendak mengadu jiwa denganmu!" Kata-kata itu disusuli tinjunya. Ia terkejut, ia heran. Dengan lantas ia menangkis sambil menangkap, ketika ia menarik, perlahan saja, orang itu jatuh ngusruk. Nyata dia tidak mengerti ilmu silat, dia jatuh dengan kepada mengenai lantai dan borboran darah. "Saudara, apakah kau salah lihat orang?" ia kata seraya mengasih bangun pada orang itu. Ia merasa tidak enak hati telah dengan tidak sengaja melukai orang. Orang itu gusar sekali. "Tartar bangsat! Tartar bangsat!" mencacinya berulang-ulang. Dari luar rumah makan lantas nerobos masuk belasan orang, mereka ini tanpa banyak omong menyerbu Kwee Ceng. Tentu sekali, anak muda ini menjadi repot. Ia main berkelit, karena ia tidak mau melukai lain orang. Hanya ia repot sebab makin lama serangan makin seru, sedang ruang sempit. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar suara nyaring: "Anak Ceng, kau bikin apa di sini?" Kwee Ceng lantas menoleh, untuk melihat orang yang menegur padanya itu. Ia mendapatkan seorang imam dengan kumis putih dan panjang, yang romannya suci tetapi keren. Ia mengenali Khu Cie Kee. Maka bukan main girangnya ia. "Totiang!" ia menjawab. "Tidak karu-karuan orang-orang ini mengepung aku!" Khu Cie Kee lantas masuk, ia mendorong setiap orang, kemudian ia menarik tangan si anak muda, buat diajak berlalu. Mereka disusul orang banyak yang bergusar itu, hanya setibanya di luar, setelah Kwee Ceng memanggil kuda merahnya, dengan cepat mereka menghilang. Setelah berada berduaan, Kwee Ceng mengulangi keterangannya bahwa dia dikeroyok tanpa sebab. Khu Cie Kee tertawa. "Kau berdandan sebagai orang Mongolia, maka itu kau salah disangka," katanya. Di wilayah propinsi Shoatang ini, orang Mongolia telah bertempur hebat dengan orang Kim. Penduduk Shoatang telah menderita sangat dari bangsa Kim, mereka membantui bangsa Mongolia. Siapa tahu, bangsa Mongolia itu sama kejamnya dengan bangsa Kim. Setelah bangsa Kim kena dikalahkan, mereka pun menindas rakyat. Maka rakyat menjadi gusar dan membenci. Karena ini biasa terjadi, kalau satu pasukan tentara Mongolia lewat dan ada salah satu serdadu atau opsirnya yang ketinggalan, lantas dia ini dibunuh oleh rakyat. "Kenapa kau membiarkan dirimu ditinju dan ditendangi?" tanya Khu Cie Kee kemudian. "Kau lihat, kau menjadi tidak karuan, tubuhmu bengkak dan bengap..." Kwee Ceng menghela napas. "Tidak ada niatku untuk melayani mereka," katanya berduka. Ia lantas menceritakan hal ibunya seperti dipaksa Jenghiz Khan membunuh diri, bahwa selama ini, pikirannya menjadi kacau. Khu Cie Kee sangat terkejut. "Kalau Jenghiz Khan berniat menyerang kerajaan Song, mari kita lekas berangkat ke Selatan," katanya. "Pemerintah mesti diberi kisikan supaya dia bersiap sedia menjaga musuh!" "Apa gunanya itu?" tanya si anak muda menggeleng kepala. "Kesudahannya kedua pihak bakal berperang hingga mayat-mayat bakal bertumpuk setinggi gunung, dan rakyat akan musnah rumahnya dan lenyap nyawanya...." "Jikalau kerajaan Song termusnahkan bangsa Mongolia, rakyat bakal terlebih menderita," Tiang Cun Cu mengasih mengerti, "Penderitaan itu tidak ada taranya." "Totiang," kata si anak muda, "Ada banyak soal yang aku tidak mengerti, tolong totiang menjelaskannya." Khu Cie Kee menuntun tangan anak muda itu dan dibawa ke sebuah pohon, untuk mereka duduk bersama. "Kau omonglah," katanya. Kwee Ceng menjelaskan keruwetan di dalam hatinya, kemudian ia menghela napas dan menambahkannya, "Maka itu sekarang aku mengambil keputusan tidak niat bentrok sama siapa juga. Aku menyesal yang aku tidak dapat melupakan ilmu silatku. Tadi pun tanpa disengaja aku membuat seorang terluka dan berdarah......" "Anak Ceng, pandanganmu salah," kata Tiang Cun Cu menggeleng kepala. "Ketika beberapa puluh tahun yang lalu muncul kitab mustika Kiu Im Cin-keng, orang-orang gagah menjadi kacau, mereka memperebutkannya dengan saling bunuh, sampai kemudian terdapat keputusan di dalam rapat di gunung Hoa San, di mana orang melakukan pertempuran yang terakhir. Di sana, guruku, Ong Tiong Yang, telah keluar sebagai si pemenang, dia telah berhasil mendapatkan kitab itu. Mulanya juga guruku berpikir untuk memusnahkan kitab itu, tetapi kemudian ia mengubah niatnya itu. Ia ingat bahwa air dapat membuat perahu berlayar tetapi juga dapat mengkaramkannya, bahwa keberuntungan dan bencana itu terserah kepada orang masing-masing. Begitu kitab itu dipertahankan, disimpan. Kepandaian manusia itu, sipil dan militer, tentara kuat serta senjata yang tajam, semua itu tidak ada satu yang bisa membuatnya manusia beruntung. Tetapi juga tidak ada satu yang tidak membikin manusia bercelaka. Kau tahu, asal orang berniat baik, maka maikin dia gagah makin baik. Oleh karena itu, mengapa kau ingin melupakan ilmu silatmu?" Kwee Ceng berpikir. Ia kata: "Totiang benar, tetapi... Sekarang ini kaum kangouw rata-rata menyebut Tong Shia dan See Tok, Lam Tee dan Pak Kay sebagai orangorang yang paling gagah, untuk mencapai kepandaian mereka itu, sukarnya bukan buatan, tetapi lihatlah, apakah gunanya kepandaian mereka itu" Aku lihat, untuk manusia tidaklah ada faedahnya." Ditanya begitu, Khu Cie Kee melengak. Selang sejenak, ia kata: "Oey Yok Su itu aneh, pada itu ada sebabnya, yang dia tidak dapat melampiaskannya. Dia sekarang berbuat sesuka hati, dia tidak pernah memikirkan orang lain, maka itu, perbuatannya itu aku tidak suka ambil sebagai teladan. Auwyang Hong jahat, dia tidak usah diceritakan lagi. Toan Hongya berhati baik, kalau dia tetap menjadi raja, dia bisa berbuat banyak untuk rakyatnya, sayang karena satu urusan kecil, dia menjadi tawar hatinya, hingga sekarang ia tinggal bersembunyi sendiri. Adalah lain halnya dengan Ang Cit Kong. Dia tetap bekerja untuk orang banyak, terhadapnya aku kagum dan takluk sekali. Segera juga bakal saatnya rapat di Hoa San, aku pikir, meski ada orang yang dapat melebihkan kegagahannya, aku percaya orang banyak bakal mengangkat dia menjadi orang nomor satu dari dunia Rimba Persilatan." Mendengar disebutnya rapat ilmu pedang di gunung Hoa San itu, Kwee Ceng lantas ingat gurunya. "Apakah guruku sudah sembuh?" ia tanya. "Benarkah guruku itu bakal turut Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengambil bagian di dalam rapat Hoa San itu?" "Semenjak aku kembali dari Barat, belum pernah aku bertemu dengan Ang Pangcu," menyahut Khu Cie Kee. "Tetapi aku percaya, biar bagaimana, dia tentu bakal pergi ke Hoa San. Sekarang ini aku lagi membikin perjalanan ke Hoa San itu, bagaimana kalau kau turut aku pergi ke sana untuk melihat-lihat?" Kwee Ceng menggeleng kepala. Ia telah tawar hatinya dan pusing kalau ia ingat soal pergulatan itu. Ia menjawab: "Maaf, Totiang tidak dapat aku turut totiang pergi ke sana." "Habis kau hendak pergi ke mana?" "Aku tidak tahu. Aku pergi ke mana saja sampaiku......." Imam itu berduka. Ia melihat orang seperti baru sembuh dari sakit berat. Ia mencoba membujuk, tetapi anak muda itu menggoyang kepalanya. Maka ia pikir, Kwee Ceng biasa menurut kata-katanya Ang Cit Kong, ada baiknya kalau pemuda ini suka ikut pergi ke Hoa San untuk bertemu sama gurunya itu. Bagaimana dia harus membujuknya" "Anak Ceng," katanya kemudian. "Kau ingin melupakan ilmu silatmu, untuk itu ada jalannya," katanya kemudian. "Benarkah itu, totiang?" Mendadak hatinya anak muda ini tertarik. "Ya," menyahut Cie Kee. "Ada seorang yang di luar tahunya telah dapat menyakinkan ilmu yang mahir dari Kiu Im Cin-keng, kemudian ia merasa bahwa pelajaran itu menyalahi janjinya, ia menyia-nyiakan pesan orang, ingin ia melupakannya, ia lalu mencoba sebisa-bisanya. Maka itu, kalau kau hendak mencontoh dia, kau mesti mencari dia untuk minta dia mengajarinya." Kwee Ceng berlompat bangun. "Benar," katanya. "Itulah toako Ciu Pek Thong!" Mendadak mukanya pemuda ini menjadi merah, ia likat sendirinya. Ia ingat Ciu Pek Thong adalah paman guru dari Khu Cie Kee dan ia memanggilnya toako alias kakak saja. Khu Cie Kee dapat menerka jengahnya orang, ia tersenyum dan kata: "Ciu Susiok itu memang biasa memandang orang tanpa perbedaan tingkat derajat, maka itu kau dapat memanggil dia menurut sukamu." "Sekarang ini dia ada di mana?" "Dia bakal menghadiri pertemuan di Hoa San, dia tentu akan pergi ke sana." "Baiklah, aku akan ikut totiang," kata Kwee Ceng akhirnya. Cie Kee puas, lantas ia mengajak anak muda itu. Dengan begitu mereka berjalan bersama. Di depan, di dusun pertama, Kwee Ceng membelikan si imam seekor kuda, untuk mereka mempercepat perjalanan mereka. Tujuan mereka ialah arah Barat. Pada suatu hari, tibalah mereka di kaki gunung Hoa San, di sebelah selatan. Mereka lantas singgah di perhentian San-sun-teng. Di samping perhentian itu tumbuh duabelas batang pohon rotan yang dinamakan "rotan naga", sebabnya ialah batang rotan panjang dan mirip naga. "Hoa San adalah gunung suci dari kami kaum Too Kauw," berkata Khu Cie Kee. "Menurut cerita, duabelas batang pohon rotan ini ditanam oleh Hie Ie Sianseng Tan Pok Loocouw." "Tan Pok Loocouw" Bukankah dia dewa yang tidur setahun segenap tanpa bangunbangun?" "Tan Pok Loocouw terlahir diakhir jaman Tong. Selama lima kerajaan, setiap ia mendengar kerajaan ditukar, selalu ia merasa tidak puas, maka itu ia mengunci pintu rumahnya, dia terus tinggal tidur, maka kemudian orang membilangnya dia tidur setahun suntuk tanpa mendusin. Yang benar ialah saking jengkel mengingat nasib rakyat, dia tidak suka munculkan diri. Paling belakang ketika ia mendengar Song Thay-couw naik di tahta, baru dia dapat tertawa lebar dan mengatakan bahwa sejak itu negara bakal aman sentosa." "Kalau Tan Pok Loocouw terlahir di jaman sekarang ini, dia pasti bakal tidur lagi berbulan-bulan dan bertahun-tahun!" kata Kwee Ceng. Khu Cie Kee menghela napas. "Bangsa Mongolia menjagoi di Utara, dia hendak menerjang ke Selatan, sebaliknya raja Song dan menteri-menterinya bangsa dogol semua, maka itu, negara bakal kalut," katanya. "Kita ada bangsa laki-laki, meski kita ketahui kita tidak bakal berdaya, perlu kita bangun, untuk melawannya. Sebab ini aku pun tidak setuju dengan sikapnya Tan Pok Loocouw yang main mengunci pintu dan tidur saja itu." Sampai di situ pembicaraan mereka, mereka lantas menitipkan kuda mereka di kaki gunung, mereka sendiri lantas mendaki. Mereka melintasi Toh-hoa-peng, Hie Ie Ap dan See-bong-peng. Makin tinggi, jalannya makin sukar. Setibanya di See-hianbun, mereka naik dengan berpegangan rantai besi. Untuk mereka, perjalanan manjat itu tidak menyulitkan. Kira tujuh lie, tibalah mereka di Ceng-peng, tanah datar Hijau, akan sehabisnya itu menemui batu-batu yang berdiri tajam, di sebelah utara mana, ada sebuah batu yang memegat jalanan. "Inilah batu yang diberi nama Hwee-sim-cio," kata Cie Kee. "Pelancong yang tiba di sini, dia dapat balik kembali." Hwee-sim-cio itu berarti batu Hati Berbalik Pulang. Maju lebih jauh adalah tempat-tempat yang bernama Cian-cio-kiap dan Pek-ciokiap, selat yang jalanannya lebar tidak ada setengah kaki, hingga orang mesti berjalan miring. Kwee Ceng lantas saja ingat: "Kalau ada musuh memegat dan menyerang di sini, biar orang sangat lihay, sukarlah untuk melawannya....." Baru ia memikir begitu atau dari arah depan mereka, mereka mendengar bentakan: "Khu Cie Kee di Yan Ie Lauw telah kita memberi ampun kepada jiwamu, maka itu apa perlunya kau sekarang mendaki gunung Hoa San ini?" Khu Cie Kee mendapat dengar suara itu, dengan segera ia mempercepat tindakannya, hingga ia berada di samping jalanan di mana ada sebuah gua, dari situ baru ia mengangkat kepala, melihat ke depan. Di sana yang merupakan ujung jalan terkahir, terlihat lima orang, ialah See Thong Thian, Pheng Lian Houw, Lie Teng Siangjin, Nio Cu Ong dan Hauw Thong Hay, yang memegat jalan. Melihat mereka itu, ia heran. Ia menyangka akan menemui Auwyang Hong, Kiu Cian Jin, Ciu Pek Thong dan Ang Cit Kong, tidak tahunya di sini ada rombongan pengkhianat ini. Tentu sekali, ia mengerti bahaya untuknya sebab ia berdua dengan Kwee Ceng berada di tempat yang letaknya buruk itu. Asal terdesak, mereka berdua bakal terjerumus ke dalam jurang. Karena ini, ia menghunus pedangnya, lantas ia mendahului melompat maju. Ia menyerang Hauw Thong Hay. Dia ini bukannya saja yang terlemah tetapi juga jaraknya paling dekat. Thong Hay menangkis serangan, dia lantas dibantu Pheng Lian Houw dan Leng Tie Siangjin, yang menggencet musuh dengan masing-masing senjatanya, poan-koan-pit dan cecer, maksudnya untuk mendesak hingga orang terjatuh ke dalam jurang. Khu Cie Kee tahu apa yang ia mesti bikin, habis menikam Thong Hay, ia menjejak dengan kedua kakinya untuk berlompat tinggi melewati kepala orang she Hauw itu, hingga selain bebas dari gencetan, ia pun tiba di tempat yang lega. Kedua senjatanya Leng Tie Siangjin dan Lian Houw mengenai batu, hingga batu itu memuncratkan api. Selama di Tiat Ciang Bio, See Thong Thian telah kehilangan sebelah tangannya, walaupun begitu, ia tetap gagah, maka ia menampak adik seperguruannya gagal memegat Khu Cie Kee, ia berlompat maju guna membantu saudara seperguruannya. Hanya, saking lihaynya Tiang Cun Cu, yang merampas kedudukan, dia juga kena dilewatkan. Dia lantas lari mengejar, disusul oleh Lian Houw. Cie Kee tidak lari terus, ia melawan kedua musuhnya itu, yang lekas juga dibantu Leng Tie Siangjin, hingga ia jadi dikepung tiga. Selama pertempuran itu berjalan, Kwee Ceng tidak membantu Khu Cie Kee, sedang menurut pantanya, ia mesti turun tangan di pihaknya imam itu. Ia tawar hatinya, ia jemu dengan pertarungan, bukan saja ia tidak sudi membantu, melihat pun tidak. Untuk naik terus, ia pergi mengambil jalan lain, ialah dengan berpegangan pada oyot rotan. Toh, ia tergangu oleh satu pertanyaan yang berkutat di dalam hatinya: "Bantu atau jangan" Bantu atau jangan...?" "Bagaimana kalau Khu totiang terbinasakan mereka" Bukankah itu salahku" Kalau aku membantu dan mereka itu mati, perbuatanku itu benar atau salah?" demikian terus menerus ia terganggu pikirannya, sedang jalannya tidak ditunda, hingga kupingnya tidak mendengar lagi suara senjata-senjata beradu. Sekarang ia berhenti, untuk menyander di sebuah batu. Ia diam terbengong. Tiba-tiba ada suara di sampingnya, di belakang cemara. Ia segera menoleh. Ia melihat seorang muka merah dengan rambut putih, ialah Nio Cu Ong. Dia ini tahu si pemuda lihay, dia takut, maka dia terus sembunyikan diri. Ia tapinya tidak mengambil tahu, ia terus berpikir, mulutnya kemak-kemik. Nio Cu Ong heran. Dia menduga si anak muda tidak melihat padanya. "Aneh kelakukannya bocah ini," pikirnya. "Baik aku mencoba-coba." Ia tidak berani datang mendekati, ia memungut batu, dengan itu ia menimpuk punggung orang. Kwee Ceng mendengar suara sambaran angin, ia berkelit. Ia masih diam saja. Hatinya Som Siam Lao Koay menjadi besar. Ia menghampirkan beberapa tindak. "Kwee Ceng, bikin apa kau di sini?" ia tanya. "Aku lagi berpikir," menjawab si anak muda. "Aku lagi pikirkan, kalau aku menggunai ilmu silatku menghajar orang, pantas atau tidak..." Cu Ong melengak. Lantas ia menjadi girang. "Kedunguan bocah ini makin menjadi, tapi ilmu silatnya tambah lihay," pikirnya. Ia maju lagi beberapa tindak. "Menghajar orang adalah perbuatan yang sangat busuk, itulah tidak pantas," katanya. "Oh, kau pun berpikiran demikian?" kata si anak muda. "Sungguh aku menghendaki aku dapat melupai ilmu silatku..." Matanya Nio Cu Ong bersinar tajam. Kebenciannya jadi bertambah kapan ia ingat pemuda ini telah menghisap darah ularnya. Ia mendekati ke belakang orang, tetapi ia berkata dengan perlahan: "Aku juga lagi berpikir untuk melupai ilmu silatku. Bagaimana jikalau aku membantu kau?" Kwee Ceng jujur, itu waktu pun pikirannya lagi bimbang, ia lupa akan kelicikan orang. "Baik," jawabnya. "Bagaimana itu mestinya?" "Aku tahu caranya," jawab Cu Ong yang terus dengan mendadak mencekuk dua jalan darah thian-cu di belakang leher dan sin-tong di punggung. Kwee Ceng terkejut, dengan lantas ia merasa tubuhnya kaku, tidak dapat ia bergerak. Cu Ong memegang keras, ia lantas menggigit lehernya pemuda itu, untuk menghisap darahnya. Ia mau membalas menyedot darah pemuda itu. Bukankah ular yang ia pelihara susah-susah menjadi korbannya si pemuda" Kwee Ceng merasakan sangat sakit, sampai kedua matanya kabur, ia berontak, tetapi dua jalan darahnya telah ditekan, tenaganya habis. Ia melihat roman Cu Ong yang sangat bengis dan menakutkan. Ia merasa semakin sakit, sebab kerasnya gigitan orang. Bukankah ia akan terbinasa kalau tenggorakannya putus" Dalam kagetnya mendadak ia berontak pula. Kali ini ia menggunai tipunya yang ia dapat dari Ie-kin Toan-ku Pian, dan tenaganya terkerahkan juga kedua-dua jalan darah yang ditekan itu. Nio Cu Ong sedang menekan ketika ia merasa ada tenaga menolak yang keras, lantas telapakan tangannya sakit, tekanannya pun terus melesat, seperti terpeleset di tempat lain. Kwee Ceng tunduk, terus tenaga di pinggangnya bekerja. Begitu anak muda ini membungkuk, begitu tubuh Nio Cu Ong terangkat, lalu terlempar dari punggung si anak muda. Ia mengeluarkan jeritan mengerikan, karena tubuhnya itu terus terlempar ke arah jurang. Menyusul itu di dalam jurang terdengar jeritan yang malah lebih hebat lagi, yang menyayatkan hati, yang berkumandang ke segala penjuru lembah, hingga bulu roma rasanya pada bangun sendirinya. Kwee Ceng menjublak atas kejadian itu. Ia mengusap-usap lehernya yang terluka tergigit itu. Luka itu lalu menyadarkannya bahwa dengan ilmu silatnya itu, tanpa merasa, kembali ia membunuh orang. Ia pikir: "Kalau aku tidak membunuh dia, dia akan membinasakan aku. Kalau dengan membunuh dia, aku berbuat tidak pantas, habis bagaimana dengan dia yang hendak membinasakan aku, dia pantas atau tidak?" Ia melongok ke dalam jurang yang sangat dalam, ia tidak melihat apa juga, maka tak tahulah dia, di bagian mana terjatuhnya Nio Cu Ong itu...... Sambil duduk di batu, Kwee Ceng membalut lukanya. Selang sekian lama, mendadak ada terdengar suara seperti tindakan kaki, hanya kadang-kadang putus. Segera terlihat sesuatu yang aneh, yang muncul dari sebuah tikungan. Ia terkejut tetapi ia terus mengawasi. Ia mengenali satu orang, yang aneh kelakuannya, sebab dia berjalan dengan kaki di atas dan kepala di bawah ialah dia jalan dengan kepalanya, sebab kedua tangannya dilonjorkan lempang ke samping tubuhnya. Karena jalannya berlompatan, demikian terdengar suara tindakannya yang luar biasa itu, suara dari batok kepalanya membentur batu gunung. Kemudian, ia menjadi terlebih heran pula. Setelah mengawasi, ia mendapatkan otang itu ada See Tok Auwyang Hong adanya! Baru saja Kwee Ceng kena diperdayakan orang, ia menduga See Tok pun lagi menggunai akal, maka ia lantas mundur dua tindak. Ia memasang matanya sambil bersiaga. Auwyang Hong itu aneh. Dia berlompat naik ke atas sebuah batu, dia tidak mengambil mumat kepada si anak muda. Dia berdiri tegar dengan kepalanya seperti mayat hidup. "Auwyang Sianseng, kau lagi bikin apa?" akhirnya Kwee Ceng tanya. See Tok tetap tidak memperdulikan, dia seperti tidak mendengar pertanyaan orang. Kwee Ceng mundur lagi beberapa tindak, guna berdiri sedikit jauh. Ia memasang tangan kiri di dadanya, sebab ia khawatir jago dari Barat itu nanti menyerang secara mendadak. Tetapi Auwyang Hong tetap berdiri secara aneh itu, dan si anak muda terus mengawasi. Selang sesaat, karena penasaran dan ingin tahu, Kwee Ceng mengawasi muka orang sambil membungkuk dan kepalanya pun ditempel di tanah. Ia melihat dengan melewati selangkangannya dengan mementang kedua kakinya. Baru sekarang ia melihat tegas. Kepala Auwyang Hong bermandikan peluh, mukanya meringis. Kwee Ceng lantas menduga bahwa orang tentu lagi menyakinkan semacam ilmu. Ia pun lantas melihat See Tok mementang kedua tangannya, tubuhnya di tekuk sedikit, hingga mirip dengan seekor keong besar. Tangannya itu digeraki, makin lama makin cepat. Itulah ilmu yang aneh, pantas Auwyang Hong berlatih di tempat yang sepi. Mungkin kalau keliru jalannya, ilmu ini bakal membuat orang sesat dan membahayakan keselamatan dirinya sendiri. Hanya aneh, kenapa yang dipilih justru gunug Hoa San ini, tempat rapat" Bukankah di sini bakal segera berkumpul orang banyak" Kenapa dia seperti tidak menjaga diri" Tidakkah dalam keadaannya seperti itu, See Tok gampang dibokong" Mungkin seorang yang tidak mengerti ilmu silat pun dapat dengan gampang merobohkannya.......... Tiba-tiba pemuda ini ingat sakit hatinya. Kenapa ia tidak mau mencari balas" Bukankah ini ketikanya yang baik" Hanya, sebab baru saja ia membinasakan Nio Cu Ong, ia menjadi bersangsi. Ia tidak lantas turun tangan. Terus Auwyang Hong tidak memperdulikan si anak muda. Setelah berlatih sekian lama, kembali terdengar tindakannya yang nyaring. Ia kembali ke tempat dari mana tadi dia muncul. Bukan main herannya Kwee Ceng. Ia menjadi ingin tahu, maka diam-diam ia bertindak mengikuti. Auwyang Hong berjalan dengan kepalanya tetapi cepatnya tidak kalah dengan orang yang berjalan seperti biasa dengan kakinya. Yang lebih heran lagi, dia dapat juga mendaki gunung, makin lama makin tinggi. Kwee Ceng mengikuti terus, sampai di depan sebuah gua. Di situ ia berhenti, untuk bersembunyi di belakang batu besar. Tepat di depan gua itu, Auwyang Hong berhenti. Mendadak ia berkata dengan bengis: "Haphouwbun-poat-eng-sengjie-kitkin, sie-kouw-jie! Tidak, tidak tepat penjelasan kau ini! Tidak sempurna aku melatihnya." Kwee Ceng terkejut. Itulah bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng. Bahkan itu ada bunyi yang palsu, yang ia tulis untuk See Tok selama di dalam perahu di tengah laut, ketika dia dipaksa si Bisa dari Barat iu! Dengan siapakah si bisa bangkotan itu sedang bicara" Lantas dari dalam gua terdengar jawaban seorang wanita. "Latihanmu belum sempurna, pasti kau tidak memperoleh hasil," demikian suara nona itu. "Kapankah aku salah membacakannya?" Kwee Ceng terkejut berberang girang, hampir ia berteriak. Itulah suara Oey Yong, yang ia buat pikiran siang dan malam! Jadi mungkinkah nona itu tidak terbinasa di gurun pasir" Apakah ia tengah bermimpi" Atau, apakah dia salah mendengar atau salah mengenali" "Aku berlatih menurut penjelasanmu, tidak bisa salah!" kata Auwyang Hong. "Sekarang aku merasakan ototku, jim-iwe dan yan-wie tidak tersalurkan betul." "Aku sudah bilang, latihannya masih kurang," si nona pun berkeras. "Kalau kau paksakan, percuma saja." Sekarang Kwee Ceng mendengar jelas sekali. Tidak salah, itulah suara Oey Yong, Yong-jienya. Saking girangnya, tubuhnya terhuyung, hampir ia pingsan. Ia menguatkan hatinya, karena mana luka dilehernya pecah hingga mengeluarkan darah, yang molos dari balutannya. Tapi ia seperti tidak merasakan itu. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Auwyang Hong terdengar berkata pula, suaranya menyatakan dia gusar sekali. "Besok tengah hari tepat ada saatnya rapat, mana dapat aku berlatih ayalayalan"!" katanya bengis. "Lekas kau terjemahkan seluruh kitab itu, jangan kau coba main gila!" Sekarang ini Kwee Ceng mengerti betul bahwa orang lagi menyakinkan Kiu Im Cinkeng, untuk memakai ilmu itu di dalam rapat, di waktu mereka mengadu kepandaian, guna menjadi si orang kosen nomor satu. Pantas See Tok bergelisah. Dari dalam terdengar tertawanya Oey Yong. "Aku telah berjanji sama engko Cengku, dia akan mengampuni jiwamu sampai tiga kali," berkata si nona. "Karena itu, tidak dapat kau memaksa aku, kau mesti menyerah, menanti sampai hatiku senang untuk mengajari kau..." Senang hatinya Kwee Ceng akan mendengar orang menyebut "engko Cengku", hampir dia tidak dapat mengendalikan diri lagi, hampir ia berlompat sambil berseru untuk lari kepada si nona manis. Auwyang Hong tertawa dingin. "Temponya sudah mendesak, meskipun ada janji, sekarang ini janji itu mesti ditangguhkan!" katanya sengit. Lantas ia menggeraki tubuhnya, maka dilain saat, dia telah berdiri dengan kakinya. Terus ia bertindak lebar ke arah gua. "Tidak tahu malu!" Oey Yong berseru. "Tidak, aku btidak mau mengajari kau!" Auwyang Hong mengasih dengar lagi tertawa dinginnya beberapa kali. "Aku mau lihat, kau mau mengajari atau tidak!" katanya. Kali ini perlahan. Bab 79. Insyaf Bab ke-79 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong. Mendadak terdengar jeritannya Oey Yong, disusul sama suara robeknya baju! Disaat seperti itu, Kwee Ceng lupa kepada soalnya yang ruwet, ialah pantas atau tidak ia menggunai ilmu silatnya untuk menempur orang. Ia berteriak: "Yong-jie, aku nanti mambantumu!" Ia lantas lompat, berlari ke dala gua. Tepat ia melihat Auwyang Hong memegang tongkat si nona dengan tangan kirinya serta tangan kanannya mau dipakai mencekuk lengan kiri si nona itu, atas mana Oey Yong menggunai jurusnya "Menyontek anjing buduk". Dengan menolak dan terus menarik, dapat ia meloloskan tongkatnya, hingga berbareng tangan kirinya pun bebas. "Bagus!" Auwyang Hong memuji. Dia hendak menyerang pula ketika ia mendengar suaranya Kwee Ceng di luar gua. Mendadak mukanya menjadi merah. Bukankah dia telah memberikan janjinya" Mana dapat ia sekarang menyangkal janjinya itu" Dia berbuat begini pun saking terpaksa. Dia malu kepada dirinya sendiri. Maka itu, dengan lantas dia mengundurkan diri, dengan berkelit, dia melompat keluar gua, mukanya ditutupi dengan tangan bajunya. Dengan berkelebatan saja, dia telah menyingkir ke luar gua dan lenyap! Kwee Ceng tidak peduli orang kabur, dia lari kepada Oey Yong, kedua tangan siapa ia cekal dengan keras. "Yong-jie!" serunya. "Kau membikin aku hampir mati memikirkan padamu!" Oey Yong berdebar hatinya, tubuhnya bergetar. Oey Yong melepaskan tangannya. "Kau siapa?" tanyanya dingin. "Mau apa kau memegang aku?" Pemuda itu tercengang. "Aku Kwee Ceng," sahutnya. "Kau baik?" "Aku tidak kenal kau!" kata si nona seraya terus bertindak ke luar. Kwee Ceng menyusul, mendahului. Lantas berulang-ulang ia menjura. "Yong-jie!" ia kata. "Yong-jie, kau dengar aku...!" "Hm! Apakah kau kira kau dapat menyebut namanya Yong-jie?" kata si nona. "Kau siapa?" Kwee Ceng celangap, tidak dapat ia mengeluarkan suaranya. Nona itu mengawasi, maka sekarang ia melihat muka orang perok dan kucal, tubuhnya pun sedikit kurus. Sesaat itu, timbul rasa kasihannya, rasa tak tega. Tapi kapan ia ingat, berulangkali ia telah disia-siakan, hatinya jadi panas pula. "Fui!" ia berludah, terus ia bertindak cepat. Kwee Ceng cemas hati, ia menyambar ujung baju orang, untuk ditarik. "Kau dengar dulu perkataaku....!" katanya. "Kau bicaralah!" "Di embal pasir aku menemukan gelang rambut dan bajumu, aku menyangka kau...." "Kau ingin aku mendengar perkataanmu, sekarang aku sudah mendengarnya!" memotong si nona. Ia menarik bajunya, terus ia berjalan . Kembali Kwee Ceng bengong, pikirannya bingung. Ia tidak pandai bicara, maka itu, tidak tahu ia mesti mengatakan apa. Ia khawatir si nona nanti lenyap pula, dari itu, ia lantas mengikuti. Oey Yong berjalan terus dengan pikirannya kusut. Ia pulang dari Barat dengan hatinya tawar. Di Tionggoan, ia sebatang kara. Ia ingin pulang ke Tho Hoa To, untuk mencari ayahnya. Apa lacur, tiba di Shoatang, ia mendapat sakit, sakitnya pun berat. Celakanya, tidak ada orang yang merawati padanya, maka selagi rebah di pembaringan, sakit hatinya akan menyaksikan lagaknya Kwee Ceng, yang ia anggap tipis budi pekertinya. Ia menyesal yang ia dilahirkan di dunia kalau ia ingat nasibnya yang buruk. Syukur untuknya, ia dapat sembuh dari sakitnya itu. Tapi ia belum bebas dari penderitaan. Di Shoatang Selatan ia bersomplokan dengan Auwyang Hong, ia dipaksa See Tok turut pergi ke Hoa San. Di sini ia dipaksa untuk menjelaskan isi kitab Kiu Im Cin-keng. Kalau tidak ada si anak muda, entah apa yang Auwyang Hong akan perbuat atas dirinya. Dengan berduka ia berjalan terus. Kwee Ceng terus mengintil. Kalau orang jalan cepat, ia pun mempercepat tindakannya. Kalau orang jalan perlahan, ia perlahan juga. "Mau apa kau mengikuti aku"!" si nona menegur, bengis. "Aku akan mengikuti kau, untuk selamanya...." sahut si anak muda. "Seumurku, aku tidak mau berpisah dari kau..." Oey Yong tertawa dingin. "Kau menantu dari Jenghiz Khan! Buat apa kau mengikuti satu budak melarat?" "Jenghiz Khan telah menyebabkan kematian ibuku, mana dapat aku menjadi menantunya?" Kwee Ceng menjawab. Mukanya si nona menjadi merah. "Bagus!" serunya. "Aku kira kau masih ingat sedikit kepadaku, kiranya kau telah didupak Jenghiz Khan! Setelah tidak dapat menjadi huma, kau sekarang emncari aku, si budak melarat! Apakah kau sangka aku manusia hina dina yang dapat aku perhina sesukamu"!" Si nona lantas menangis, air matanya bercucuran. Kwee Ceng terharu, tetapi ia bingung. Apa ia mesti bikin" Apa ia mesti bilang" Apa ia mesti mengatakan apa..... "Yong-jie..." katanya kemudian, selagi si nona itu sesegukan. "Aku ada di sini, jikalau kau hendak membunuh aku, silahkan, terserah padamu...." "Perlu apa aku membunuh kau?" tanya si nona, suaranya pilu. "Baiklah kau menganggap saja bahwa perkenalan kita ada perkenalan sia-sia.... Aku mohon, janganlah kau mengikuti aku......" Muka Kwee Ceng menjadi bertambah pucat. "Kau menghendaki apa supaya baru kau dapat percaya aku?" ia menanya. "Sekarang kau baik dengan aku," berkata si nona, "Kalau besok kau bertemu sama adik Gochinmu, kembali kau akan melupakan aku, kau bakal menyia-nyiakan padaku.... Sekarang ini cuma asal kau mati di depanku, baru aku percaya padamu..." Darahnya Kwee Ceng meluap, ia mengangguk. Ia terus memutar tubuhnya, untuk bertindak ke jurang. Justru itulah "Sin Sin Gay", atau Jurang Mengorbankan Diri. Kalau dia terjun di situ, tentulah tubuhnya bakal hancur lebur. Oey Yong tahu hati orang keras, ia melompat menyusul, tangannya diulur, untuk menyambar punggung anak muda itu. Ia menarik dengan keras, tubuhnya mencelat, maka di lain saat, ialah yang berada di tepi jurang itu. Ia mencucurkan air matanya, hatinya tegang. "Bagus, ya, sedikit juga kau tidak kasihan aku!" katanya. "Aku mengeluarkan sepatah kata karena pananya hatiku, kau tidak mau melewatkan itu! aku bilang padamu, jangan kau gusari aku, cukup asal kau jangan bertemu pula denganku...." Muka Oey Yong pucat, tubuhnya bergemetar. "Kau ke mari," kata Kwee Ceng. Tadi dia mau membunuh diri, sekarang dia berkhawatir si nona yang terjun. Oey Yong mendengar suara orang, yang menggetar, ia tahu pemuda itu masih mencintai dia, dia berduka sangat. Sembari menangis, ia berkata: "Aku tahu kau berpura-pura saja berkata begini. Ketika aku sakit di Shoatang, tidak ada seorang juga yang memperdulikan aku...Adakah itu waktu kau datang menjenguk aku" Aku dikekang Auwyang Hong, tidak dapat aku meloloskan diri, apakah kau datang menolongi aku" Ibuku tidak menyayangi aku, dia pergi mati sendiri saja... Ayahpun tidak menghendaki aku, dia tidak mencari padaku.... Kau sendiri, kau lebih-lebih tidak menginginkan aku! Di dalam dunia ini, tidak ada seorang pun yang menyayangi aku, yang mengasihani aku...." Ia menangis terus, ia membanttingbanting kakinya. Kwee Ceng berdiam. Ia masih tidak tahu mesti membilang apa. Ia merasakan panasnya hati si nona. Ia cuma bisa mengawasi. Sunyi di antara mereka, cuma sang angin yang berhembus. Rupanya si nona merasa dingin, tubuhnya menggigil. Kwee Ceng membuk abaju luarnya, ia berniat mengerebongi tubuh nona itu. Selagi ia mau melakukan itu, mendadak ada bentakan dari ujung jurang sana: "Siapa yang nyalinya begitu besar menghina nona Oey-ku"!" Mendengar suara itu, Kwee Ceng girang sekali. Ia lantas mendongak, ia melihat seorang tua dengan rambut pendek dan kumis putih, dialah Ciu Pek Thong si tua bangka yang berandalan. "Ciu Toako!" ia memanggil. Oey Yong pun mengasih dengar suaranya, yang agak mendongkol: "Eh, Loo Boan Tong! Aku menitahkan kau membunuh Kiu Cian Jin! Mana kepalanya?" Ciu Pek Thong itu menghampirkan mereka itu, ia tidak menjawab, hanya tertawa haha-hihi. "Nona Oey, siapa mengganggu padamu?" ia tanya. "Nanti Loo Boan Tong membikin kau puas!" "Siapa lagi kalau bukannya dia!" menyahut si nona seraya menunjuk Kwee Ceng. Si tua bangka berandalan untuk membikin senang hatinya si nona, ia bertindak sejadinya saja. Tahu-tahu Kwee Ceng telah digaplok dua kali, hingga si anak muda kelabakan. Inilah ia tidak sangka. Karenanya, bengaplah pipi kiri dan kanannya. Ketika baru dihajar, matanya juga berkunang-kunang. "Nona Oey, cukupkah?" tanya Loo Boan Tong. "Jikalau belum cukup, nanti aku menghajar dia pula." Menampak muka orang merah dan bengap, di mana pun ada bekas tapak lima jari, Oey Yong reda kemendongkolannya, lantas timbul rasa kasihannya, ia berbalik menjadi dongkol kepada si tua tukang berguyon itu. "Aku gusar sendiri, apa hubungannya itu denganmu?" ia menegur orang tua itu. "Kenapa kau lancang memukul orang" Aku perintah kau membunuh Kiu Cian Jin, mengapa kau tidak dengar perintahku?" Ciu Pek Thong mengulur lidahnya panjang-panjang. Ia tidak menjawab. Ketika itu jauh di belakang jurang, terdengar suara beradunya senjata. Pek Thong mendengar itu, segera ia mendapat akal. "Pastilah si tua bangsa she Kiu telah datang, nanti aku pergi padanya!" katanya, seraya terus memutar tubuhnya, untuk lari ke belakang jurang itu. Tentu sekali Loo Boan Tong bukan mau mencari Kiu Cian Jin, bahkan sebaliknya, ia yang jeri terhadap pangcu dari Tiat Ciang Pang itu. Di antara kedua jago ini, keadaan seperti jungkir balik. Dalam pertempuran di rumah batu, di mana Kwee Ceng dan Auwyang Hong berlalu saling susul, juga Pek Thong dan Kiu Cian Jin tidak bertempur lebih lama pula, Cian Jin bisa lolos dan kabur, dia dikejar Pek Thong, ke mana dia lari, ke sana dia disusul, hingga akhirnya ia menjadi mendongkol dan berbareng putus asa. Ia pikir, ia toh jago dan ketua sebuag partai, kenapa sekarang ia menjadi begini sial menghadapi lawan dalam dirinya Ciu Pek Thong yang lihay itu" Ia merasa sangat terhina. Karena putus asa, ia menjadi nekad. Ia pikir, daripada kena dibekuk, lebih baik ia membunuh diri. Kebetulan ia melihat seekor ular berbisa di sela batu, ia tangkap ular itu. Ia berniat memagutkan diri sendiri. Dengan memegangi ular itu, ia kata kepada Ciu Pek Thong: "Eh, Pek Thong, bangsat, kau baik ya" Kau lihat!" Sebenarnya Kiu Cian Jin hendak menempelkan mulut ular ke lengannya, atau mendadak Ciu Pek Thong menjerit, terus dia memutar tubuhnya dan lari kabur. Cian Jin menjadi heran. Hanya sejenak, lantas dia dapat menduga, tentulah Loo Boan Tong takut ular. Maka itu, ia sekarang mendapat hati, ia membatalkan niatnya membunuh diri, dia lantas mengejar si tua bangka berandalan itu. Lebih dulu daripada itu, ia menangkap seekor ular lain, hingga tangan kiri dan kanan mencekal binatang berbisa itu. Sembari mengubar, ia berteriak-teriak mengancam musuhnya itu. Pek Thong ketakutan, ia lari ngacir. Kiu Cian Jin berjuluk Sui-siang-piauw, itu artinya larinya sangat pesat, coba ia tidak jeri, ia tentu sudah dapat menyandak Pek Thong. Karena ini, mereka cuma main kejar-kejaran. Dari siang mereka berlari-lari sampai cuaca gelap, setelah itu baru Pek Thong lolos. Di dalam hatinya Cian Jin tertawa. Ia mengejar hanya untuk menggertak. Sekarang dia pun bisa meloloskan diri, bebas dari ancaman si tua berandalan itu. Oey Yong melihat orang pergi, ia melirik kepada Kwee Ceng. Ia menghela napas lantas ia tunduk. "Yong-jie!" Kwee Ceng memanggil. Nona itu menyahut perlahan. Kwee Ceng hendak berbicara tetapi ia tidak tahu mesti mengatakan apa, ia berdiri diam saja. Oleh karena si nona pun terus membungkam, keduanya berdiri bagaikan patung, tubuh mereka disampoki angin. Tidak lama Oey Yong berbangkis. Ia telah terkena angin. Kwee Ceng ingat bajunya, ia lantas menhampirkan, untuk menutupi tubuh si nona dengan bajunya itu. Tadi ia diganggu oleh Pek Thong, sekarang tidak ada rintangan lagi. Oey Yong diam saja, ia tunduk terus. Di dalam kesunyian itu, kuping mereka mendengar tertawa nyaring dari Ciu Pek Thong, yang terus berseru memuji: "Bagus! Bagus!" Mendadak si nona mengulur tangannya, mencekal tangan si anak muda seraya mulutnya mengatakan dengan perlahan: "Engko Ceng, mari kita melihat!" Kwee Ceng mengikuti. Ia tidak bisa menyahut. Kali ini saking girangnya, ia pun mengucurkan air mata. Dengan ujung bajunya, Oey Yong menepas air mata anak muda itu. "Mukamu ada air matanya, ada tapak jari juga, kalau orang yang tidak tahu, dia pasti menyangka akulah yang memukul kau..." Dengan tertawanya si nona, itulah tanda bahwa mereka berdua sudah akur pula. Dengan berpegangan tangan, mereka lari melintasi jurang, akan pergi ke tempat darimana tadi datang suara tertawanya Ciu Pek Thong itu, Di sana, mereka melihat banyak orang, dengan sikapnya yang aneh-aneh. Pek Thong terlihat girangnya bukan main. Ia memegang perutnya sambil terbungkukbungkuk. Ia tertawa dengan puas sekali. Di dekat Loo Boan Tong tertampak Khu Cie Kee berdiri diam dengan tangan memegang pedang. Di antara mereka, lagi empat orang, ialah See Thong Thian, Pheng Lian Houw, Leng Tie Siangjin dan Huaw Thong Hay. Adalah empat orang ini yang sikapnya luar biasa itu. Mereka memegang senjatanya masing-masing, ada yang lagi menyerang, ada yang lagi berkelit atau mundur. Sikap mereka tetap begitu, sebab mereka bagaikan patung-patung yang tidak dapat bergerak. Sebab merekalah korban-korban totokannya si tua bangka kebocah-bocahan itu. Dulu hari itu aku membuat obat pulung dari lumpur dari tubuhku," terdengar Ciu Pek Thong berkata kepada See Thong Thian berempat itu. "Aku menitahkan kamu memakan itu. Kemudian kamu kawanan bangsat, kamu cerdik juga, kamu mendapat tahu obat itu bukannya racun, lantas kau tidak suka mendengar kata-katanya kakekmu. Hm! Bagaimana sekarang?" Pek Thong mengatakan demikian sebab meski dia berhasil membekuk mereka itu, dia tidak tau bagaimana harus menghukum mereka itu. Tapi begitu ia melihat Oey Yong dan Kwee Ceng, ia lantas mendapat pikiran. Ia lantas kata kepada si nona: "Nona Oey, empat bangsat bau ini aku serahkan padamu!" "Buat apakah aku dengan mereka itu?" berkata si nona. "Kau main gila" Kau tidak mau membunuh orang, kau juga tidak mau melepaskannya! Kau telah menangkap orang tetapi kau tidak berdaya mengurusnya! Lekas kau memanggil tiga kali enci yang baik padaku, nanti aku mengajari kau...!" Pek Thong benar-benar tidak suka banyak pikir, dia juga tidak menghiraukan segala apa. Tanpa bersangsi sedikitpun, ia memanggil tiga kali: "Enci yang baik!" Bahkan itu ditambah sama menjura yang dalam! Oey Yong tersenyum. "Kau geledah dia!" berkata si nona seraya menunjuk Pheng Lian Houw. Pek Thong menurut. Dari tubuh Lian Houw itu ia mendapatkan sebuah cincin yang ada jarumnya yang beracun serta dua peles kay-yok obat pemunah racun. Kata si nona: "Dia pernah menusuk Ma Giok, kemenakanmu seperguruan, dengan jarumnya ini, maka kau tusuklah dia beberapa kali! Kau pun mesti tusukan itu kepada ketiga kawannya itu!" Lian Houw semua mendengar perkataan si nona, mereka kaget dan takut bukan main, Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tetapi mereka adalah korba-korban totokan, mereka tidak dapat lari atau meronta. Maka itu mereka mesti merasakan sakit ditusuk Pek Thong beberapa kali. "Obatnya ada di tanganmu," kata si nona pula pada Loo Boan Tong, "Sekarang kau dapat menitah mereka melakukan apa saja yang kau kehendaki. Lihat, mereka berani membangkang atau tidak!" Pek Thong girang. Ia lantas mengasah otaknya. Ia tidak usah membuang tempo untuk mendapatkan akal. Maka ia membuat pula obatnya dari kotoran, hanya kali ini kotoran itu dicampur dengan kay-yok, dipulung menjadi butir-butir yang kecil, kemudian ia serahkan obat itu kepada Khu Cie Kee sambil berkata: "Sekarang kau giring kawanan bangsat bau ini ke kuil Tiong Yang Kiong di Ciong Lam San, di sana kau penjarakan mereka selama duapuluh tahun. Jikalau selama diperjalanan mereka menurut kata, kau berikan mereka seorangnya satu pel mujarab ini, kalau sebaliknya, biarkan saja, biar mereka tahu rasa! Mereka berbuar, mereka mesti bertanggung jawab, sama sekali jangan merasa kasihan terhadap mereka!" Khu Cie Kee menerima obat itu sambil menjura, ia menghanturkan terima kasih seraya memberikan janjinya. Oey Yong tertawa, ia kata pula kepada Pek Thong: "Loo Boan Tong, kata-katamu ini benar sekali, sangat pantas! Aku tidak sangka, baru satu tahun kita tidak bertemu, kau telah maju begini pesat!" Pek Thong puas sekali, ia cuma mengganda tertawa. Habis itu ia bebaskan totoakanya itu empat orang. Ia kata kepada mereka: "Sekarang kau mesti pergi ke Tiong Yang Kiong, tinggallah di sana dengan baik-baik selama duapuluh tahun. Jikalau kau benar-benar hendak bertobat, di belakang hari kau masih dapat menjadi orang baik, tetapi jikalau kamu tetap sama kejahatanmu, hm! Hm! Maka ketahuilah oleh kamu, imam-imam dari Coan Cin Kauw, kami bukan orang-orang yang dapat dibuat permainan, kami adalah ahli-ahli tukang membetot otot-otot tanpa mengerutkan alis! Maka, empat bangsat bau, kamu berhati-hatilah!" Lian Houw berempat tidak berani banyak omong, mereka cuma mengangguk. Khu Cie Kee menahan untuk tertawa melihat sikap paman gurunya yang lucu itu, ia kembali menjura, lantas ia menggiring pergi keempat orang tawanannya itu turun gunung, untuk pulang ke gunungnya sendiri. "Eh, Loo Boan Tong!" kata Oey Yong tertawa. "Sejak kapan kau belajar mendidik orang" Kata-katamu yang di depan itu masuk di akal, hanya yang belakangan lantas menjadi tidak karuan...." Pek Thong tidak menjawab, ia hanya tertawa sambil melengak. Justru itu ia melihat sinar putih berkelebat di kiri puncak, berkelebat untuk terus lenyap. Ia mau percaya, itulah sinarnya senjata tajam. "Ah, apakah itu?" katanya heran. Oey Yong dan Kwee Ceng mengangkat kepala mereka tapi sinar itu sudah lenyap. Pek Thong takut nanti Oey Yong menanyakan pula halnya Kiu Cian Jin, ia lantas menggunai alasan. "Nanti aku lihat!" katanya. Terus ia pergi lari. Oey Yong berdua Kwee Ceng membiarkannya. Sebab banyak yang mereka hendak bicarakan satu pada lain. Maka itu, mereka lantas mencari sebuah tempat di mana mereka duduk berkumpul, untuk saling menuturkan pengalaman mereka, buat saling mengutarakan rasa hati mereka. Sampai matahari sudah turun ke barat, masih belum berhenti mereka memasang omong. Kwee Ceng membekal rangsum kering, ia mengeluarkannya untuk mereka bersantap bersama-sama. Sembari berdahar, sambil tertawa Oey Yong kemudian kata: "Bangsat tua Auwyang Hong memaksa aku menjelaskan bunyinya Kiu Im Cin-keng. Bukankah kitab tulisanmu yang diberikan padanya kacau-balau" Nah, aku pun menjelaskannya tidak karuan! Tetapi dia percaya itu, dari itu bersengsaralah dia beberapa bulan ini. Aku kata latihannya masti dengan terbalik, kepala di bawah, kaki di atas, dia menurut. Dia sungguh hebat, dia dapat membuat jalan darahnya tersalurkan secara bertentangan. Itulah jalan darah im-iwe, yang-wie, im-kiauw dan yang-kiauw. Entah bagaimana andaikata dia menyalurkan semua jalan darahnya." Kwee Ceng tertawa. "Pantaslah aku melihat dia jalan berjingkrakan dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kiranya dia lagi dipermainkan olehmu!" katanya. Memang sulit untuk berlatih secara demikian. Oey Yong tersenyum. "Kau datang ke mari, apa kau juga hendak turut merebut gelar si orang gagah satu di kolong langit ini?" ia tanya. "Ah, Yong-jie, kau menggoda aku," sahut si pemuda. "Aku datang ke gunung ini buat mencari Ciu Toako untuk minta dia mengajari aku serupa ilmu, ialah ilmu untuk melenyapkan ilmu silatku..." Untuk ini, Kwee Ceng menjelaskan sebab-sebabnya sampai ia mendapat pikiran demikian. Oey Yong memiringkan kepalanya, ia berpikir. "Ya, melupakan itu pun baik juga," katanya kemudian. "Memang, makin kita pandai, pikiran kita makin tidak tenang. Lebih baik seperti kita masih kecil, segala apa kita tidak bisa, tidak ada yang kita pikirkan, tidak ada yang menyusuhkan hati........." Di waktu mengatakan demikian, nona ini tidak pikir bahwa sudahlah wajar, usia bertambah artinya tambah juga keruwetan penghidupan manusia, bahwa penghidupan itu tidak ada hubungannya dengan pandai ilmu silat atau tidak. Kemudian ia berkata: "Besoklah saatnya rapat di Hoa San ini, untuk orang mengadu pedang. Ayah pasti akan mengambil bagian. Karena kau tidak niat turut memperebutkan gelaran jago itu, bagaimana kau pikir caranya untuk kita membantu ayahku itu?" "Yong-jie," berkata si anak muda, "Bukannya aku tidak suka dengar perkataanmu tetapi di dalam halnya ayahmu, sebagai manusia, dia kalah dengan Ang Insu...." Ang Insu itu - guru she Ang yang berbudi - ialah Ang Cit Kong. Oey Yong lagi duduk menyender, ketika dia mendengar orang menyebut ayahnya kalah dari Ang Cit Kong - artinya ayahnya bukan manusia baik-baik - mendadak ia menjadi gusar, ia menjorokkan anak muda itu. Tentu sekali, Kwee Ceng menjadi melengak. Hanya sedetik, si nona lantas tertawa. "Memang, memang Ang Insu baik terhadap kita," katanya. "Sekarang begini saja. Kita tidak membantu pihak mana saja! Baikkah itu?" "Ayahmu dan Ang Insu sama-sama bangsa kesatria, jikalau kita membantu secara diam-diam, tentu mereka tidak senang," Kwee Ceng pun membilang. "Apa" Diam-diam! Apakah kau sangka aku orang jahat?" Lantas si nona mengasih lihat roman tidak senang. Kwee Ceng heran. "Ah, aku salah omong...." katanya. Si nona mengawasi, tiba-tiba ia tertawa pula. "Sudahlah," katanya. "Sebenarnya, asal kau tidak menyia-nyiakan aku, harinya panjang untuk kita berkumpul....." Bukan main girangnya Kwee Ceng, ia mencekal keras tangan si nona. "Mana bisa aku menyia-nyiakan kau!" katanya. "Ya, sebab si tuan putri tidak menghendaki kau, baru kau menghendaki aku si budak hina..." Kwee Ceng berdiam. Disebut-sebutnya Gochin membikin ia terinat kepada ibunya, yang mati secara menyedihkan di gurun pasir. Cahaya rembulan menyinari muka anak muda ini, Oey Yong melihatnya, ia mendapatkan muka itu pucat dan lesu, ia terkejut. Ia menyangka ia telah salah omong. "Engko Ceng," katanya lekas. "Baik kita jangan membicarakan pula urusan yang sudah-sudah. Kita sekarang telah berkumpul, kita bergirang. Aku sebenarnya senang sekali. Bagaimana jika aku membiarkan pipiku dicium olehmu?" Muka Kwee Ceng merah. Ia tidak berani mencium. Oey Yong tertawa, ia melengos. Ia likat sendirinya. "Coba bilang, siapa yang bakal menang besok?" ia menyimpangkan pembicaraan. "Itulah sukar dibilang. Entah It Teng Taysu datang atau tidak..." "Dia sudah menjadi orang suci, tidak nanti ia berebutan pula nama kosong." "Aku pun menduga demikian. Ayahmu, Ang Insu, Ciu Toako, Kiu Cian Jin dan Auwyang Hong, mereka mempunyai masing-masing kepandaiannya sendiri. Mengenai Ang Insu, aku tidak tahu dia sudah sembuh atau belum dan entah bagaimana dengan kepandaiannya......" Itu waktu mengucap begitu, Kwee Ceng berduka. "Menurut keadaan, Loo Boan Tong yang paling lihay," kata si nona. "Hanya kalau dia tidak menggunai Kiu Im Cin-keng, ia kalah dari empat yang lain..." Kwee Ceng membenarkan dugaan itu. Mereka masih bicara sampai si nona datang rasa kantuknya, maka tak lama kemudian, ia pulas di dada si anak muda, yang membiarkannya. Tidak lama, Kwee Ceng pun ingin tidur, hanya baru layap-layap, mendadak ia mendengar tindakan kaki yang disusul sama berkelebatnya dua bayangan yang lari kebelakang jurang. Ia terkejut, samar-samar ia mengenali Pek Thong dan Kiu Cian Jin. Ia menjadi heran Loo Boan Tong di kejar Kiu Cian Jin, ia tidak tahu ketua Tiat Ciang Pang itu menggunakan ular berbisa. Bukankah tadinya Cian Jin yang dikepung-kepung Pek Thong" Maka ia menolak perlahan tubuh si nona dan berkata: "Kau lihat!" Oey Yong bangun, ia mengangkat kepalanya. Ia lantas melihat Pek Thong, yang lari berputaran di dekat mereka. Kamudian ia dengar Loo Boan Tong kata: "Bangsat tua she Kiu, di sini ada bersembunyi kawanku, si tukang menangkap ular berbisa! apakah kau masih tidak mau lekas kabut?" Di sana terdengar jawabannya Kiu Cian Jin, yang tertawa: "Apakah kau menyangka aku bocah umur tiga tahun?" Ciu Pek Thong lantas berteriak-teriak; "Saudara Kwee! Nona Oey! Lekas bantu aku!" Kwee Ceng hendak membantui, ketika ia mau lompat bangun, Oey Yong menarik dia hingga si nona tetap menaruh diri di dadanya!" "Jangan bergerak!" kata si nona perlahan. Pek Thong terus lari berputaran, ia tidak melihat munculnya orang yang ia teriaki itu, setelah ia mengulanginya tetapi tetap tidak ada yang memperdulikannya, ia berteriak: "Bocah busuk! Bocah iblis! Jikalau kau tetap tidak mau keluar, nanti aku mencaci maki delapanbelas leluhurmu!" Oey Yong lantas muncul. Ia tertawa. "Aku tidak mau keluar!" katanya. "Kalau kau bisa, kau makilah!" Pek Thong tidak berani memaki. "Nona kau bantulah aku," katanya. "Bagaimana kalau aku mencaci maki delapanbelas leluhurku?" Kiu Cian Jin melihat munculnya sepasang muda-mudi itu, hatinya ciut. Ia lantas memikir untuk kabur, sebab celakalah dia kalau dia dikepung mereka bertiga. Kalau besok, bertempur satu lawan satu, ia tidak jeri. Lantas dia mengnagkat ularnya, disampokannya ke muka Pek Thong. Loo Boan Tong kaget, ia berkelit. Mendadak ia merasakan barang dingin di lehernya, ia kaget sekali. Ia menyangka kepada ular berbisa. "Aku mati! aku mati!" ia berteriak berulang-ulang. Binatang itu meronta-ronta di punggungnya. Ia pun tidak berani merogoh dengan tangannya. Mendadak ia menjadi lemas lantas tubuhnya roboh. Oey Yong dan Kwee Ceng kaget, keduanya lompat menubruk, untuk menolong. Kiu Cian Jin heran melihat robohnya Pek Thong itu, tetapi karena ini ada ketikanya yang baik, hendak ia lari pergi, hanya belum lagi ia mengangkat kaki, dari gerombolan pohon terlihat munculnya seorang sebagai bayangan, yang terus berkata dengan suaranya yang dingin: "Bangsat tua she Kiu, hari ini tidak dapat kau lolos pula!" "Siapa kau!" membentak Kiu Cian Jin. Orang berdiri membelakangi padanya, tidak dapat ia melihat air mukanya. Ia hanya berkhawatir. Pek Thong sendiri rebah di tanah, ia mengira ia berada di dunia baka. Tapi kupingnya mendengar; "Ciu Looyacu, jangan takut, bukanny ular!" Ia pun dikasih bangun. Ia lantas bangun berdiri. Kembali ia merasakan barang dingin di punggungnya, barang itu meronta. Kembali ia kaget, hingga ia menjerit; "Dia menggigit aku! Ular! Ular!" "Bukannya ular, hanya ikan emas!" ia mendengar orang berkata pula. Sekarang ini Oey Yong berdua Kwee Ceng telah melihat orang yang berkata itu, malah mereka mengenalinya, ialah si tukang pancing, murid kepala dari It Teng Taysu. Orang itu pun lantas mengambil ikan dari punggungnya Loo Boan Tong. Si tukang pancing ini datang ke gunung Hoa San, dia melihat sepasang ikan emas Kim-wawa, ia lantas menangkapnya, entah bagaimana ia membuat yang seekor terlepas, bahkan tepat sekali, ikan itu jatuh ke leher Ciu Pek Thong, lantas masuk ke maju, ke punggung, tidak heran Pek Thong kaget dan takut bukan main, sebab ia menyangka ularnya Kiu Cian Jin. Kapan Pek Thong telah membuka matanya dan mengawasi orang itu, ia bengong. Ia seperti mengenali orang tetapi lupa. Kemudian ia berpaling kepada Kiu Cian Jin, ia mendapatkan ketua Tiat Ciang Pang itu lagi mundur setindak demi setindak, sedang si bayangan maju setindak demi setindak juga. Ia mengawasi bayangan itu. Akhirnya ia kaget tidak terkira, semangatnya seperti terbang pergi. Bayangan itu ialah Eng Kouw atau Lauw Kui-hui dari istana negera Tayli! Kiu Cian Jin juga kaget bukan main, hatinya ciut. Ia datang ke Hoa San ini dengan pengharapan besar, sebab mesti Ciu Pek Thong gagah, ia bisa mempengaruhi Loo Boan Tong dengan ular, ia tidak sangka sama sekali, sekarang ini Lauw Kuihui muncul secara tiba-tiba. Selama di Chee-liong-toa, ia telah menyaksikan selir itu mengamuk, maka sekarang hatinya jadi kecil. Justru itu ia mendengar suara dari nyonya itu: "Pulangkan jiwa anakku...!" Sebenarnya Kiu Cian Jin heran kenapa nyonya ini mengenali dia, sedang ketika dulu hari itu dia menyatroni keraton Toan Hongya, dia menyamar. Dulu pun ia tidak lantas membinasakan anak itu, sebab maksudnya ialah supaya Toan Hongya mengobati anaknya dan menjadi lelah karenanya. "Eh, perempuan edan, buat apa kau mengganggu aku?" ia tanya sambil memaksakan dirinya tertawa. "Pulangkan jiwa anakku!" ada jawabannya Eng Kouw. "Perlu apa kau menyebut-nyebut anakum?" kata Cian Jin. "Anakmu itu mati, ada apa hubungannya dengan aku?" "Sebab kaulah si pembunuh! Malam itu aku tidak lihat mukamu tetapi aku mendengar tertawamu! Nah, coblah kau tertawa pula! Tertawa! Tertawa!" Kiu Cian Jin mundur pula. Ia melihat orang mau bergerak untuk menerkam padanya. Ketika nyonya itu benar-benar maju, ia menggeser sedikit ke samping, tangan kirinya itu terus meluncur ke perut orang! Itulah jurus "Im-yang kwie it", atau "Bersatuny im dan yang", salah satu dari tigabelas jurus dari Tiat Ciang Kang, silat Tangan Besinya yang lihay. Tenaga tangan kanannya itu dibantu tenaga tangan kirinya. Eng Kouw tahu lihaynya serangan itu, hendak ia membebaskan diri dengan Nie Ciu Kang, ilmu lindungnya, tetapi di luar dugaannya, gerakan Kiu Cian Jin sangat sebat. Ia menjadi nekad. Maka bukannya ia menangkis atau berkelit, ia jusru menubruk, guna memeluk musuh, supaya sama-sama mereka jatuh ke jurang! Belum lagi kedua pihak itu mempertaruhkan jiwa mereka, Kiu Cian Jin merasakan sambaran angin di sampingnya, sedang matanya melihat bayangan berkelebat, dengan terpaksa ia menarik pulang serangannya, untuk dipakai menangkis. Ia lantas melihat siapa yang telah merintangi padanya, ia menjadi gusar sekali. "Ah, Loo Boan Tong, kembali kau!" serunya. Memang itulah Pek Thong, yang menolong Eng Kouw dari bahaya. Tiba-tiba saja si tua datang rasa cintanya, bahkan ia menyerang dengan satu jurus dari Kiu Im Cinkeng. Meski ia menolong, Pek Thong tidak berani memandang langsung bekas kekasihnya itu, sembari membelakangi orang, ia kata: "Eng Kouw, kau bukan tandingan tua bangka ini, lekas kau pergi! aku pun mau pergi dari sini!" Benar-benar Loo Boan Tong mau mengangkat kakinya tetapi Eng Kouw tanya padanya: "Ciu Pek Thong, kau hendak menuntut balas sakit hati anakmu atau tidak?" "Apa" Anakku?" tanya Loo Boan Tong. Ia heran hingga ia melengak. "Benar! Pembunuh anakmu ialah ini Kiu Cian Jin!" kata Eng Kouw. Pek Thong bingung. Ia tidak tahu bahwa hubungannya beberapa hari dengan Lauw Kui-hui telah berakhir ia mendapatkan anak. Selagi ia berdiam itu, di situ telah datang beberapa orang lain, tempo dia mengangkat kepalanya, ia melihat It Teng Taysu serta keempat muridnya. Kiu Cian Jin mendapatkan dirinya terpisah tidak cukup tiga kaki lagi dari jurang, itu artinya ia sudah terkurung dan terancam bahaya, sedang semua musuhnya lihay. Dalam keadaan seperti itu, ia menjadi nekad. Ia menepuk kedua tangannya dan berkata dengan angkuh: "Aku mendaki gunung Hoa San ini guna memperebutkan gelar orang kosen nomor satu di kolong langit ini, tapi kamu semua berkumpul sekarang ini! Hm! Apakah kamu hendak mengepung aku, untuk menyingkirkan satu lawan terlebih dulu" Dapatkah kau melakukan perbuatan sehina ini?" Ciu Pek Thong pikir bicara orang beralasan. "Biarlah besok, sehabis rapat mengadu silat, baru aku mengambil jiwa anjingmu!" "Baiklah!" katanya lantas. "Tidak dapat!" Eng Kouw berteriak. "Mana bisa aku menanti sampai besok"!" "Loo Boan Tong!" Oey Yong turut bicara. "Dengan orang terhormat, kita bicara tentang kehormatan, dengan manusia licik, kita bicara secara licik!" Muka Kiu Cian Jin menjadi pucat. Ia mengerti, ia lagi menghadapi bahaya. Tapi ia licik, ia mendapat akal. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kenapa kau hendak membunuh aku?" ia menegur. "Kau jahat sekali, setiap orang berhak membunuhmu!" jawab si pelajar. Kiu Cian Jin tertawa terbahak sambil melengak. "Kamu banyakan, aku bukan tandinganmu!" ia kata mengejek. "Tapi apa kamu kira aku takut" Barusan kamu bicara tentang kehormatan dan kejahatan, baiklah! Sekarang aku bersedia melayani kamu! Nah, majulah siapa yang seumurnya belum pernah membunuh manusia serta belum pernah membuat kejahatan! Kau boleh turun tangan, aku nanti mandah menyerahkan leherku untuk dipenggal! Jikalau aku mengerutkan alisku, aku bukannya satu laki-laki!" It Teng Taysu menghela napas. Ia lantas mendahului mengundurkan diri, untuk duduk bersila. Kata-kata Kiu Cian Jin berpengaruh sekali. Sekalipun si tukang pancing, tukang kayu, petani dan pelajar, semua mereka pernah memangku pangkat mereka, semua mereka pernah membunuh orang. Ciu Pek Thong dan Eng Kouw saling memandang, keduanya ingat segala halnya mereka dulu hari. Oey Yong dan Kwee Ceng turut berdiam. Kiu Cian Jin menggunai ketikanya. Ia bertindak ke arah Kwee Ceng. Si anak muda minggir. Ia lantas menggunakan tenaganya, guna lompat melewatinya. Atau mendadak dari belakang batu besar menyambar sebatang tongkat bambu ke arah mukanya. Ia terkejut, tetapi ia bisa menangkis untuk menangkap tongkat itu, guna dirampas. Di luar dugaannya, ia gagal, bahkan tiga kali beruntun, tongkat itu menyerang terus padanya. Ia kaget akan mendapatkan setiap serangan adalah totokan ke jalan darah, hingga ia menjadi kewalahan, sedang di situ tidak ada jalan mundur. Terpaksa ia mundur ke tempatnya tadi, mendekati jurang. Segera setelah mundur, satu bayangan lompat ke depannya. "Suhu!" Oey Yong berteriak. Si nona mengenali gurunya, ialah Kiu Sie Kay Ang Cit Kong! "Hai, pengemis bau!" Kiu Cian Jin mencaci, "Kenapa kau usilan" Sekarang ini masih belum tiba waktunya untuk rapat, guna mengadu pedang!" "Aku datang untuk menyingkirkan kejahatan!" jawab Ang Cit Kong. "Siapa mau berapat mengadu pedang denganmu?" "Bagus, orang gagah, pendekar!" Kiu Cian Jin berteriak. "Ya, aku orang jahat, kau sendiri si manusia baik yang belum pernah melakukan perbuatan busuk!" "Memang!" jawab Cit Kong pula. "Aku si pengemis tua telah membinasakan limaratus tigapuluh satu orang, itu semuanya manusia jahat, kalau bukan pembesar rakus, mestinya hartawan dan jago jahat atau bangsa manusia tidak berbudi! Benar aku si pengemis tua sangat kemaruk hidangan lezat tetapi seumurku belum pernah aku membunuh orang baik-baik! Kiu Cian Jin, kaulah orang yang kelimaratus tigapuluh dua!" Mendengar itu, hati Kiu Cian Jin terbangun juga. Pedang Sinar Emas 24 Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah Pendekar Bayangan Setan 3

Cari Blog Ini