Darah Pendekar 5
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 5 lebar. "Aku mengerti, locianpwe." Dan tahu- tahu kakek itu sudah meloncat ke atas, meninggalkan Pek Lian, berjungkir balik dan membiarkan Tiong Li lewat, lalu dia sendiri menghadang para pengejar! "Kejar ! Tangkap ! Bunuh mereka !" Terdengar teriakan para perwira dan tiba tiba mereka itu melepaskan anak panah! Hujan anak panah itu tiba - tiba runtuh semua ketika ditahan oleh bayangan kakek Kam yang ber-kelebatan ke kanan kiri, atas bawah. Demikian ce-patnya, gerakan kakek ini sehingga dia mampu membendung dan meruntuhkan semua anak panah yang meluncur itu dengan kebutan - kebutan kedua ujung lengan bajunya dan pemutaran tongkatnya. Bahkan ada beberapa batang anak panah yang mengenai tubuhnya, hanya merobek dan melubangi kain bajunya saja, namun tidak dapat melukai kulit tubuhnya. Ketika barisan pengejar tiba dekat, kakek itu menggerakkan kedua tangannya dan anak panah yang belasan batang banyaknya meluncur ke depan, ke arah kaki kuda dan barisan terdepan terguling, membawa para penunggangnya terlempar dan jatuh tersungkur, ditabrak oleh teman - teman dari belakang. Tentu saja keadaan menjadi kacau - balau dan terdengar teriakan- teriakan mengaduh dan sumpah - serapah. Sebagian besar meloncat turun dan menyerbu. Kakek Kam sudah mengamuk lagi dengan tongkat bututnya dan siapapun yang dekat dengannya tentu roboh terguling. Akan tetapi Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya, dibantu oleb para perwira, telah mengurungnya la-gi. Sekali ini jenderal itu yang dapat menduga bah-wa dia berhadapan dengan seorang sakti, memben-tak marah. "Kakek pemberontak jabat! Siapakah engkau ?" Mendengar bentakan panglima mereka, para pe-ngeroyok itu menahan senjata mereka dan semua mata memandang kakek itu di bawah sinar obor-obor yang cepat menerangi tempat itu, dipegang oleh para perajurit. "Siancai...... tai-ciangkun yang gagah perkasa. aku bukanlah pemberontak. Namaku Kam Song Ki." Jenderal Beng Tian adalah seorang panglima yang berilmu tinggi dan sudah banyak pengalaman, sudah banyak mengenal hampir semua tokoh persi-latan, akan tetapi dia tidak mengenal nama ini. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat bahwa kakek ini biarpun merupakan murid ke tiga dari Raja Tabib Sakti, namun dia selalu mengasingkan diri dan selama puluhan tahun tidak pernah me-nonjolkan diri di dunia kang - ouw sehingga namanya tidak dikenal orang. "Orang tua she Kam, apakah engkau pura - pura tidak tahu bahwa orang-orang muda yang kaubela itu adalah pimpinan pemberontak - pemberontak besar dari Lembah Yangce ?" "Siancai...... sayang sekali aku tidak tahu tentang berontak-memberontak. Setahuku kalau ada yang memberontak tentu ada sebabnya dan hanya yang tertindas sajalah yang akan memberontak, bu-kan " Setahuku, mereka adalah orang-orang yang baik dan melihat orang baik- baik dikeroyok, tentu saja aku membela mereka." "Engkau hendak melawan pasukan pemerintah " Berarti engkau berani memberontak terhadap pemerintah !" Kakek itu tertawa. "Tai - ciangkun, kalau tidak salah ciangkun adalah Jenderal Beng Tian yang terkenal itu. Tentu saja orang seperti engkau ini akan bersetia sampai mati kepada pemerintah, tidak perduli bagaimana keadaannya, karena engkau mempertahankan kedudukanmu, kehormatan dan kemuliaan sebagai jenderal besar ! Akan tetapi, aku hanyalah seorang rakyat biasa saja, dan orang macam aku ini hanya mempertahankan hidup, asal dapat makan setiap hari dan dapat menutupi tubuh dengan pakaian saja sudah cukuplah. Aku tidak ingin memberontak, akan tetapi kalau melihat kesewenang - wenangan, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja." "Kesewenang - wenangan yang bagaimana maksudmu ?" jenderal itu membentak. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Nona Ho Pek Lian kehilangan keluarganya. Seluruh keluarga ayahnya ditangkap, padahal, siapakah yang tidak tahu bahwa Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong adalah seorang menteri yang amat baik " Dan semua teman dari Kwee Tiong Li itu telah dibasmi oleh pasukan pemerintah! Apakah namanya itu kalau bukan sewenang - wenang " Ka-rena itulah aku membela mereka, bukan karena berontak - memberontak!" Mendengar bahwa gadis yang tadi dikeroyok adalah puteri Menteri Ho, jenderal itu terkejut bu-kan main. Biarpun Menteri Ho dianggap pembe-rontak oleh pemerintah dan menteri beserta selu-ruh keluarganya itu ditangkap, namun diam-diam jenderal yang gagah perkasa ini merasa kagum bu-kan main terhadap Menteri Ho. Tentu saja, seba-gai seorang jenderal dia tidak mampu berbuat se-suatu kecuali merasa menyesal akan nasib menteri yang dia tahu amat setia dan baik itu. Kini, men-dengar bahwa gadis yang gagah perkasa tadi ada-lah puteri Menteri Ho, dia menjadi semakin kagum dan lenyaplah napsunya untuk menangkap atau membunuh gadis itu. Tugasnya hanyalah menum-pas para pemberontak di Lembah Yang - ce dan tugas itu telah diselesaikannya dengan baik. Semua pemberontak telah berhasil ditumpasnya walaupun dia harus kehilangan banyak sekali perajurit. Akan tetapi, sebagai seorrmg panglima, tentu, saja dia tidak boleh memperlihatkan sikap kagum terhadap orang yang dianggap pemberontak, maka diapun berteriak, "Tangkap orang tua ini!" Dua orang pengawal yang juga menjadi sutenya adalah orang - orang yang amat setia terhadap jen-deral itu, akan tetapi merekapun sudah mengenal baik suheng mereka. Mereka itu, dengan pandang mata saja, sudah maklum akan isi hati suheng mereka yang di dalam hati tidak ingin menangkap atau membunuh kakek ini, maka mereka berduapun bergerak lambat, membiarkan para perwira dan perajurit yang maju mengeroyok. Di lain pihak, kakek Kam juga merasa heran mengapa panglima dan dua orang pembantunya yang amat lihai itu tidak turun tangan melainkan membiarkan anak buahnya yang maju mengeroyoknya. Maka diapun cepat menggerakkan tubuhnya dan dengan mudah saja dia meloloskan diri dari kepungan, terus melarikan diri, sengaja tidak berlari cepat agar para pe-rajurit itu dapat terus mengejarnya. Dia mengambil jalan ke kanan, berlawanan dengan jalan yang diambil oleh dua ekor kuda yang melarikan Tiong Li dan Pek Lian tadi. Dia terus main kucing - kucing-an dan untuk menyembunyikan perasaan hati yang sesungguhnya, biarpun dia dapat menduga bahwa kakek Kam yang tidak berlari sekuatnya itu sengaja memancing ke arah lain, Jenderal Beng Tian terus mendesak pasukannya untuk mengejar kakek itu sampai pagi! Tentu saja pasukan itu menjadi semakin jauh dari jejak kaki dua ekor kuda itu dan menjelang pagi, mereka kehilangan bayangan kakek Kam. Kakek ini tentu saja sudah kembali ke tempat semula dan di bawah sinar matahari pagi dia melanjutkan perjalanan mengikuti jejak kaki dua ekor kuda. Sambil berjalan, kedua kakinya diseret dan meng-hapus jejak kaki kuda itu dari permukaan tanah. Matahari telah naik tinggi ketika kakek Kam tiba di dalam hutan di mana dia mendapatkan Tiong Li dan Pek Lian sedang beristirahat. Tiong Li duduk bersila dan mengatur pernapasan, mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan badannya sedangkan Pek Lian dengan wajah agak pucat duduk bersandar pohon tak jauh dari pemuda itu. Kedatangan kakek itu sama- sekali tidak mereka ketahui dan barulah setelah kakek itu berada di depan mereka, keduanya terkejut sekali akan tetapi juga girang karena semalam mereka mengkhawatirkan keadaan kakek sakti itu. "Locianpwe......!" Pek Lian berkata dan tiba- tiba saja kedua mata gadis ini menjadi basah air mata. Hatinya memang sudah berduka sekali karena kematian dua orang gurunya dan khawatir akan keadaan kakek Kam yang melindungi ia dan Tiong Li. "Locianpwe, kami menghaturkan terima kasih karena hanya berkat pertolongan locianpwe maka kami berdua masih dapat hidup sampai sekarang," kata Tiong Li, juga suaranya mengandung kedukaan besar. Kakek itu duduk di dekat mereka. "Nona, engkau masih mengandung luka dalam yang cukup berbahaya kalau tidak diobati. Mendekatlah !" Kakek itu lalu menaruh telapak tangannya di punggung Pek Lian yang segera merasakan adanya hawa panas menjalar masuk ke dalam ruang dadanya. Iapun cepat memejamkan kedua KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ mata dan menerima hawa panas itu, membiarkan hawa itu berputar - putar dan mendorong atau menekan ke arah bagian yang terkena pukulan dalam pengeroyokan tadi. Setelah menyembuhkan luka - luka di dalam tubuh Pek Lian dan membantu Tiong Li memulihkan kembali tenaganya, maka kakek itu lalu mengajak mereka duduk bercakap-cakap di bawah pohon dalam hutan itu. "Sekarang aku ingin sekali mengetahui, apa rencana kalian selanjutnya " Apa yang akan kaulakukan sekarang, nona ?" Ho Pek Lian mengusap air matanya akan tetapi tidak terisak, lalu dengan mata kemerahan diamatinya wajah kakek sakti itu, kemudian ia menunduk dan berkata, "Saya hendak menyelidiki keadaan ayah, locianpwe." "Tapi itu berbahaya sekali!" kata Tiong Li. "Saya sudah menasihatinya untuk tidak melakukan hal itu, locianpwe. Tentu ia akan terjebak dan tertawan." "Jangankan hanya tertawan, biar mati sekalipun aku rela !" Pek Lian berkata. "Bagaimanapun juga, sebelum ayah tewas dalam hukuman... aku ingin melihatnya sekali lagi..." Kembali tangannya mengusap air mata, membuat Tiong Li dan juga kakek itu menarik napas panjang dan merasa kasihan sekali. "Dan bagaimana dengan engkau, Kwee-sicu ?" Bekas kokcu (ketua lembah) itu mengepal tinjunya. Matanya bersinar-sinar seperti mengeluar-kan api ketika dia berkata, suaranya penuh kegeraman, "Saya akan membalas dendam, locianpwe saya akan bergabung dengan suhu yang menjadi bengcu (pemimpin rakyat) dan menghancurkan pemerintah dan Kaisar Chin yang lalim ini !" "Sayapun demikian !" Tiba - tiba Pek Lian berkata, mengepal tinjunya. "Saya tidak akan berhenti sebelum pemerintah ini dapat dihancurkan!" "Siancai... siancai... siancai...!" Kakek Kam berseru lirih sambil merangkap tangan di depan dada, lalu menarik napas panjang berulang-ulang. "Kekerasan... kekerasan..... di mana-mana kekerasan. Mungkinkah kekerasan dapat menghasilkan hal-hal yang baik" Mungkinkah tujuan yang baik dapat dicapai melalui jalan kekerasan ?" "Akan tetapi, locianpwe !" bantah Kwee Tiong Li dengan suara keras karena hatinya dibakar se-mangat dan kebencian. "Kaisar telah bertindak lalim dan sewenang-wenang. Lihat saja keadaan rakyat yang miskin terhimpit dan lihat keadaan para pembesar yang berlebihan ! Pembesar bertindak sewenang - wenang menekan rakyat, pembesar - pembesar melakukan korupsi besar-besaran. Sebaliknya rakyat ditindas, disuruh kerja paksa sampai mati untuk membangun tembok besar. Rakyat dibelenggu dan dibikin tak berdaya, membawa senjata pelindung diri dari ancaman bahaya saja dilarang. Kitab-kitab sastera dibakar sehingga rakyat kehilangan pegangan. Sasterawan-sasterawan dibunuh. Apakah kita harus diam saja, locianpwe " Kalau bukan kita kaum pendekar yang bergerak membela rakyat, habis siapa lagi " Apakah kaisar dan kaki tangannya yang korup dan sewenang-wenang itu dibiarkan saja merajalela di atas kepala rakyat yang menderita ?" "Benar sekali!" sambung Pek Lian. "Kalau o-rang - orang tua bersikap sabar, maka penindasan akan makin membabi - buta! Ayahku bersabar, akan tetapi aku tidak. Kita kaum muda harus serentak bangkit menentang kelaliman, kalau perlu dengan taruhan nyawa!" "Siancai.....!" Kakek Kam menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Nanti dulu, anak - anak. Memang baik sekali semangat kalian untuk membela rakyat yang sengsara Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dan menderita hidupnya. Akan tetapi, tidak baik kalau hanya menurutkan perasaan marah, dendam dan benci saja. Bangsa merupakan keluarga, pemerintah merupakan rumah keluarga itu. Kalau ada sesuatu yang tidak benar pada rumah itu, mari kita perbaiki bagian yang tidak benar itu saja. Bukan lalu meruntuhkan seluruh rumah itu, bukan lalu harus membakar rumah kita sendiri itu ! Pemerin-tah bukan milik kaisar atau para pembesar saja Mereka bahkan menjadi pelayan dan pelaksana. Pemerintah adalah milik kita bersama. Kalau ada yang tidak benar, mari kita perbaiki bersama, de- ngan musyawarah. Kita berhak menyadarkan pem-besar yang bersalah. Akan tetapi, jalan kekerasan hanya akan menimbulkan perang saudara, sama saja dengan membakar rumah kita sendiri dan ka-lau terjadi perang, akhirnya rakyat pula yang akan menderita, bukan " Akan jatuh banyak korban, bunuh-membunuh antara bangsa sendiri, betapa-akan menyedihkan sekali kalau hal itu terjadi, se-perti yang terjadi malam tadi." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Tapi, locianpwe. Tanpa melakukan kekerasan, tanpa menggunakan kekuatan untuk menghantam yang jahat, mana mungkin kita dapat mengenyah-kan kejahatan itu sendiri ?" bantah Tiong Li. "Kejahatan merajalela, orang - orang jahat bah-kan telah mengadakan rapat, dipimpin oleh iblis hitam itu. Apakah kita harus diam saja, locianpwe" Kalau begitu, apa artinya kita mempelajari ilmu silat sejak kecil " Apa perlunya jiwa kependekaran di-tanamkan dalam batin kita ?" Pek Lian juga mem-bantah dan kedua orang muda itu seperti merasa-kan persatuan yang kokoh untuk menentang pen--dirian kakek yang biarpun sakti akan tetapi mereka anggap memiliki pendirian lemah itu. Kakek itu tersenyum. "Seorang pendekar adalah abdi kebenaran dan keadilan. Hal ini memang benar dan memang sudah sepatutnya demikian. Akan tetapi kebenaran dan keadilan tidak mungkin dapat dipertahankan atau didirikan melalui kekerasan. Mungkin saja kita harus mempergunakan ilmu silat untuk melindungi diri dan untuk menun-dukkan lawan yang juga mempergunakan ilmu itu, akan tetapi ini bukan kekerasan namanya. Pendekar bahkan harus menjadi pembantu pemerintah untuk menahan merajalelanya kejahatan dan melindungi rakyat. Bukan malah menentang pemerintah. Bukankah penjahat - penjahat itu merupakan musuh pemerintah " Kalau kita menentang pemerintah, berarti kita memberi angin kepada para penjahat." "Tapi kalau pemerintahnya yang lalim dan jahat ?" "Tidak ada pemerintah yang lalim. Yang jahat itu. hanya seorang dua orang pembesar saja. Bukan semua pejabat itu jahat. Buktinya, bukankah Menteri Ho juga seorang pejabat yang amat baik ?""Juteru karena baik itu maka ayah menjadi celaka !" kata Pek Lian penuh penasaran. "Ayahmu itulah pendekar dan pahlawan sejati, nona ! Tanpa kekerasan, namun dia berani menentang kejahatan. Kalau kita melihat ada pembesar jahat, jangan lalu menganggap pemerintahnya yang jahat, melainkan pembesar itulah yang merupakan perorangan. Dan kewajiban kita adalah mengingatkan, agar pemerintah bertindak terhadap pembesar yang korup dan jahat itu." "Akan tetapi, kalau yang lalim kaisarnya dan orang- orang yang duduk di tingkat teratas, seperti kepala thaikam Chao Kao si penjilat dan Perdana Menteri Li Su rajanya segala pembesar korup dan sewenang-wenang, lebih tepat kalau kita memberontak dan menggulingkan pemerintah bejat ini !" Tiong Li berkata lagi. Kembali kakek itu menggeleng-geleng kepala. "Melalui perang saudara ?" "Kalau perlu!" "Mengorbankan ratusan ribu nyawa rakyat yang tak berdosa " Perang selalu diikuti oleh kejahatan- kejahatan seperti perampokan, perkosaan, pembakaran, balas dendam pribadi, kekacauan karena tidak adanya hukum dan penjaga keamanan ! Setelah pemerintah dapat digulingkan misalnya dan orang - orang yang memimpin pemberontakan itu duduk di atas kursi empuk dan kemuliaan, lalu mereka ini, para pimpinan pemberontak ini, yang tadinya dengan segala propaganda membujuk para pendekar dengan berbagai slogan indah muluk kosong, menjadi berbalik wataknya dan menjadi tukang korup pula, lalu apa yang hendak kalian lakukan " Memberontak dan menggulingkan peme-rintahan baru itu pula " Menimbulkan perang sau-dara yang baru pula " Membakar pemerintah dan negara yang menjadi rumah bangsa lagi " Celaka-lah kalau begitu ! Apakah kalian mampu menja-min bahwa di dalam pemerintahan baru tidak akan timbul tikus - tikusnya ?" Dua orang muda itu saling pandang, ragu - ra-gu, lalu mengerutkan alisnya merenung bingung, tak mampu menjawab ! Penggambaran kakek itu terlalu mengerikan, namun bukan merupakan hal yang tidak mungkin terjadi! Bahkan sejarah sudah mencatat berulang kali terjadinya peristiwa seperti itu! Pemerintah yang dipimpin pembesar-pembesar yang dianggap lalim, ditumbangkan oleh sekelompok orang yang pada waktu itu memang berjiwa pahlawan, mengerahkan rakyat untuk mem-. bantu perjuangan mereka menumbangkan kekuasaan lalim. Kemudian, mereka menang dan menjadi penguasa. Akan tetapi, setelah menjadi pembesar- pembesar mereka seperti lupa akan suara hati nurani perjuangan, lelap dalam kesenangan, mabok kemuliaan dan berobah menjadi orang - orang yang tidak kalah lalim dan korupnya dibandingkan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ de ngan pembesar - pembesar terdahulu yang mereka tumbangkan. Muncul pula pahlawan - pahlawan yang mempergunakan kekuatan rakyat menumbangkan pemerintah baru itu, dan demikianlah, susul - menyusul terjadi pemberontakan - pemberontakan dan perang saudara. Rakyat terus - menerus menjadi korban. Kalau ada perjuangan, rakyatlah yang dijadikan perisai dan tombak, kalau perjuangan berhasil, hanya sekelompok manusia sajalah yang menikmati hasil kemenangan itu dan melu-pakan rakyat sampai ada kelompok pejuang atau pahlawan lain yang muncul, yang kembali memper-gunakan rakyat sebagai mata tombak dan perisaiBetapa menyedihkan keadaan di seluruh dunia ini ! "Anak - anak yang baik," kata pula kakek itu melihat mereka termenung. "Sebuah pemerintahan terdiri dari ratusan, dan ribuan pejabat. Tak mung-kin mengharapkan bahwa seluruh pejabat itu be-kerja dengan jujur dan baik. Tentu ada saja yang salah jalan, sesat dan curang. Adalah kewajiban semua orang yang mencintai tanah air dan bangsanya untuk mengamati hal ini dan memprotes kebu-rukan - keburukan seorang pejabat, menuntut agar pejabat itu diganti dengan orang yang lebih jujur. Bukan lalu memberontak dengan kekerasan. Kekerasan ini mencerminkan adanya keinginan untuk mengejar sesuatu dan biasanya, pengejar - pengejar kesenangan akan mabok kesenangan. Kemenangan dalam kekerasan membuat orang mabok akan kemenangan itu dan menjadi lupa diri dan buta, sebaliknya kekalahan dalam kekerasan menimbulkan sakit hati dan dendam." Dua orang itu saling pandang dan menundukkan muka. Mereka tidak dapat membantah lagi. Keterangan kakek itu mengejutkan hati mereka, membuat mereka seolah - olah dipaksa membuka mata melihat kenyataan yang amat kotor dan pahit. Membuat mereka merasa ngeri. Mereka sendiri adalah orang - orang muda yang berhati bersih dan jujur. Sedikitpun mereka tidak memiliki keinginan untuk menang dan berpesta dalam kemenangan itu. Mereka hanya melihat ketidakadilan, menjadi penasaran dan hendak membela mereka yang tertindas. Keterangan- keterangan yang baru saja diucapkan oleh kakek itu membuat Pek Lian dan Tiong Li diam-diam membayangkan keadaan guru masing - masing. Pemimpin rakyat Liu Pang guru Pek Lian yang terkenal dengan sebutan Liu-toako, pendekar dan pahlawan sejati itu, apakah benar dia memiliki keinginan kotor untuk kesenangan diri pribadi yang tersembunyi di balik cita cita perjuangan demi rakyat itu " Dan Tiong Li juga meragukan apakah gurunya, pendekar dan pejuang Chu Siang Yu, juga memiliki keinginan demi kesenangan pribadi seperti yang digambarkan oleh kakek ini, atau setidaknya kelak kalau menang akan berobah menjadi penindas dan pengejar kemuliaan sendiri saja " Dia tidak mampu membayangkan dan merasa ngeri. "Locianpwe, semua keterangan locianpwe terlalu mengerikan dan terlalu mendalam bagi saya. Sekarang, bagaimana baiknya " Saya mohon nasihat locianpwe," katanya. "Aku tetap hendak melihat keadaan ayahku dan selanjutnya... entahlah. Kata - kata locianpwe sudah memadamkan sebagian besar api dendamku..." kata Pek Lian meragu. Kakek Kam tersenyum. "Anak-anak muda berdarah panas dan bersemangat, memang sudah sepa tutnya demikian, asal saja darah panas dan sema-ngat itu disertai kebijaksanaan dan jangan sampai dipergunakan orang - orang demi keuntungan mereka sendiri. Kwee Tiong Li, engkau adalah seorang pemuda yang hebat! Semuda ini sudah memi-liki ilmu silat tinggi dan tenaga sinkang yang amat kuat, juga memiliki batin yang bersih penuh de-ngan semangat kegagahan. Kalau engkau memiliki sedikit ginkang yang baik, kiranya kelak engkau akan menjadi seorang pendekar pilihan. Maukah engkau ikut denganku untuk belajar ginkang dari-ku " Dan engkau, nona " Engkaupun memiliki ba-kat yang amat baik, aku ingin mewariskan bebera-pa ilmuku kepada kalian berdua." "Teima kasih, locianpwe. Saya terpaksa tidak dapat menerima kebaikan hati locianpwe, karena saya harus pergi melihat keadaan ayah, kemudian kembali ke Puncak Awan Biru," kata Pek Lian. Akan tetapi Tiong Li menerima penawaran ka-kek itu dengan girang. Pendekar muda ini maklum betapa dengan kepandaiannya yang sekarang, dia tidak dapat berbuat banyak terhadap para kaum sesat yang amat lihai itu, maka kalau kakek sakti ini mau mendidiknya, tentu saja dia merasa gem-bira sekali. "Kita tidak boleh terlalu lama berada di sini,?" kata kakek Kam. "Biarpun jejak kaki kuda sudah kuhapus, akan tetapi mereka tentu akan terus mencari dan tentu akan sampai di sini pula." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Kalau begitu, biarlah saya akan pergi lebih dulu," kata Pek Lian. Ia bangkit berdiri lalu memberi hormat kepada kakek itu. "Kam - locianpwe, sekali lagi saya menghaturkan terima kasih atas semua budi kebaikan locianpwe kepada saya. Kwee - toako, terima kasih dan selamat tinggal." Kakek itu hanya mengangguk - angguk dan Tiong Li cepat membalas penghormatan gadis itu. Hatinya merasa terharu sekali. Karena bertemu dengan dia dan kemudian membelanya, maka gadis itu kehilangan kedua orang gurunya. "Nona, akulah yang harus berterima kasih. Mudah- mudahan kelak kita akan dapat saling bertemu kembali" Pek Lian mengangguk, tak kuasa menjawab karena ia khawatir kalau - kalau suaranya akan terdengar parau pada saat hatinya amat berduka itu. Ia lalu menghampiri kuda rampasannya, lalu meloncat ke atas punggung sela kudanya. Ia menoleh dan mengangguk, akan tetapi sebelum ia membe-dal kudanya, tiba - tiba Tiong Li meloncat mendekat sambil berseru, "Tahan dulu. nona!" Pek Lian menahan kendali kudanya dan menoleh. Matanya basah, akan tetapi kini ia dapat menguasai hatinya karena merasa heran. "Ada apa kah, Kwee -toako ?" tanyanya. Tiong Li tidak menjawab, melainkan cepat dia membuang semua tanda-tanda pada kendali dan pelana kuda itu sehingga yang tertinggal hanya sela kasar dan kulit kendali sederhana tanpa hiasan. Kemudian dia mencari sebatang ranting pohon penuh daun dan mengikatkan ranting ini Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dengan pelana kuda sehingga ranting itu akan ter-seret kalau kudanya lari. Setelah selesai melakukan semua itu yang diikuti oleh pandang mata kehe-ranan Pek Lian, dia berkata, "Dengan begini, orang tidak akan mengenal kuda tentara kerajaan dan ranting itu akan menghapus jeiak kudamu, nona Ho." Barulah Pek Lian mengerti dan merasa gembi-ra. "Terima kasih, toako. Engkau baik sekali. Sam-pai jumpa ! Selamat tinggal, Kam - locianpwe !" Dan Pek Lian lalu menjalankan kudanya. Kuda itu berlari cepat, menyeret ranting yang mengha-pus jejak Liki kuda, mengeluarkan debu yang me-ngepul tinggi. Tiong Li memandang sampai bayangan gadis dan kudanya itu lenyap, baru dia membalikkan tubuhnya menghadap kakek Kam dan menjatuhkan dirinya berlutut. "Suhu, teecu mohon petunjuk selanjutnya." Kakek itu tersenyum. "Bagus, mulai saat ini engkau mei'jadi muridku. Tiong Li, kalau engkau kelak berjodoh dengan nona itu, sungguh akupun merasa gembira sekali. Ia seorang gadis yang luar biasa!" Mendengar ini, wajah pemuda yang biasanya tenang itu berobah merah sekali, akan tetapi hatinya terasa perih. Dia tidak tahu apakah dia mencinta gadis itu, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat membayangkan dirinya berjodoh dengan seorang puteri menteri kebudayaan " Dia hanya seorang yatim piatu yang miskin, bahkan rumahpun tidak punya, hidup sebagai seorang pelarian pula. Ah, terlampau jauhlah khayal itu. Dia masih seperti berada dalam lamunan ketika gurunya mengajaknya pergi dari situ, meninggalkan kuda rampasan karena kakek itu tidak mau menunggang kuda dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja. **** Ho Pek Lian melakukan perjalanan seorang diri dengan kudanya. Tadinya, ketika meninggalkan Tiong Li dan kakek Kam, ia membalapkan kudanya karena ingin cepat cepat pergi agar mereka tidak melihat kesedihan dan tidak mendengar tangisnya. Setelah ia pergi jauh, ia membuang ranting di belakang kudanya dan menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil termenung. Kedukaan menghimpit hatinya, membuat wajahnya pucat kehilangan cahaya, matanya sayu dan kadang-kadang, kalau pikirannya meremas perasaan hatinya dengan kenangkenangan dan bayangan-bayangan, air matanya meluap keluar dari pelupuk kedua matanya Selama ini ia melakukan perjalanan dengan dua orang gurunya, menemui hal-hal hebat dan semua ini seolah- olah merupakan hiburan, atau setidaknya membuatnya seperti lupa akan keadaan dirinya sendiri, keadaan keluarganya yang berantakan itu. Akan tetapi sekarang, pada saat ia menunggang kuda seorang diri, melalui pegunungan yang sepi itu, tanpa adanya seorangpun manusia menyertainya, ia merasa amat kehilangan kedua orang gurunya dan perasaan kesepian ini menjalar ke dalam hatinya, membuatnya termenung dan berduka. Dalam KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ keadaan kesepian itu, pikirannya melayang - layang, mengingat-ingat akan keluarga ayahnya yang menjadi tawanan, dan hatinya terasa semakin terhimpit oleh kesepian yang membuat air matanya mengalir keluar, penuh dengan rasa duka dan sengsara. Semakin diingat, semakin gundah hatinya, makin besar rasa iba diri menyerangnya dan membuat ia beranggapan bahwa di dunia ini, hanya ia seoranglah yang paling sengsara hidupnya. Kedukaan membuat tubuhnya terasa lemas dan Pek Lian lalu menghentikan kudanya, turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kudanya makan rumput, sedangkan ia sendiri duduk di bawah pohon, bersandar batang pohon dan menerawang ke langit yang penuh awan putih berarak. Akan tetapi sekali ini tidak nampak keindahan di angkasa itu bagi Pek Lian. Bahkan membuat rasa dukanya menjadi semakin menyesak di dada. Ia merasa seperti menjadi segumpal awan putih kecil yang melayang-layang jauh dari kelompok awan lain, terpencil di sana, sendirian, kesepian. Semilirnya angin membuat hatinya perih oleh rasa rindu kepada orang tuanya. Kenangan akan tewasnya Kim -suipoa Tan Sun dan Pek - bin - houw Liem Tat, dua di antara guru - gurunya yang amat sayang kepadanya seperti orang tua sendiri, membuat air matanya mengalir lagi. Bencana yang menimpa keluarga ayahnya masih belum dapat diatasi, kedua orang gurunya telah tewas pula. Usianya baru delapanbelas tahun dan ia sudah harus mengalami demikian banyak kepahitan hidup. Ia bukanlah seorang dara yang cengeng, sama sekali bukan! Biarpun sejak kecil, sebagai puteri seorang menteri yang berkedudukan tinggi ia hidup di dalam kemuliaan, kehormatan dan kaya raya, namun Pek Lian bukanlah seorang dara yang manja dan cengeng. Sejak kecil pula ia digembleng oleh guru - gurunya sebagai seorang wanita yang berjiwa pendekar, yang tidak mudah mengeluh menghadapi kesukaran. Namun, kepahitan yang dihadapinya sekarang ini terlampau hebat, luka di hatinya terlampau parah, membuatnya menangis seorang diri di tempat sunyi itu. Ia harus bertemu dengan ayahnya sekali lagi sebelum ayahnya dihukum ! Di dunia ini, ia hanya mempunyai seorang keluarga terdekat, yaitu ayahnya. Ibunya sudah tiada, dan ia tidak mempunyai saudara kandung. Ia harus bertemu dengan ayahnya, apapun yang akan terjadi ! Bisikan hati ini menggugah semangat Pek Lian dan iapun bangkit lagi, menaiki punggung kudanya dan melanjutkan perjalanan. Matahari telah condong ke barat ketika kuda yang ditunggangi Pek Lian menuruni sebuah lereng bukit. Ia menghentikan kudanya dan memandang ke sekeliling, hendak mencari sebuah dusun untuk melewatkan malam ketika tiba - tiba ia melihat munculnya lima orang wanita. Begitu bertemu, Pek Lian terkejut karena ia mengenal mereka itu sebagai rombongan wanita bertusuk konde batu giok yang pernah ia jumpai ketika ia masih bersama-sama dua orang gurunya. Lima orang wanita itu muncul dari jalan simpangan dan bertemu dengannya tepat di perempatan jalan kecil itu. Dan mereka berlima itupun agaknya terkejut melihatnya, dan mengenalnya pula. Mereka berhenti dan seorang di antara mereka yang bertahi lalat di bawah telinga kiri berkata, suaranya lantang, "Ah, engkaukah ini " Di mana adanya kokcu (ketua lembah) yang muda itu bersama tiga orang sam - lo - nya " Kenapa engkau hanya sendirian saja ?" Pertanyaan ini lantang dan diajukan dengan nada suara yang meremehkan, tanpa sikap hormat sama sekali seperti sikap orang dewasa yang bertanya kepada anak kecil saja. Pada saat itu, batin Pek Lian sedang mengalami tekanan dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia mudah sekali tersinggung. Hatinya terasa mengkal dan ia sama sekali tidak memperdulikan pertanyaan orang, melainkan dengan gemas ia menarik kendali kudanya, membuat kuda itu terlonjak dan lari. Dengan dagu terangkat Pek Lian lewat menanggalkan mereka. "Haii, bocah sombong, tunggu !" Terdengar bentakan di belakangnya, disusul berkelebatnya bayangan lima orang itu yang sudah melakukan pengejaran. "Tar - tar - tarrr !" Pek Lian terkejut sekali melihat sinar biru menyambar-nyambar di dekat kepalanya dan meledak ketika ia mengelak. Kiranya ia telah diserang oleh seorang di antara mereka dengan sehelai sabuk berwarna biru yang tadi melakukan totokan tiga kali berturut-turut ke arah leher dan pundaknya. "Orang - orang jahat!" bentaknya dan terpaksa ia meloncat turun dari atas kudanya sambil mencabut pedangnya. "Kalian kira aku takut mela-wan ?" Iapun sudah memutar pedangnya dan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ menyerang wanita yang tadi menggerakkan sabuk. Karena dalam keadaan marah dan menganggap bahwa wanita itu tentulah bukan golongan baik-baik dan yang agaknya sengaja hendak memusuhinya, Pek Lian sudah menyerang dengan dahsyat sehingga gerakan pedangnya melahirkan tusukan-tusukan maut ke arah wanita itu. Wanita itu meng-elak beberapa kali, nampaknya terkejut juga me-nyaksikan kehebatan gerakan pedang di tangan Pek Lian. "Cring ! Tarang - tranggg ! !" Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kem-bali wanita itu terkejut ketika memperoleh kenya-taan betapa tenaga dara muda itu cukup kuat un-tuk menandingi tenaganya. Pek Lian terus menye-rang, akan tetapi wanita yang bertahi lalat, yang menjadi pemimpin di antara mereka, segera ber-teriak dan teman - temannya sudah maju menge-pung Pek Lian. Pek Lian terus memutar pedangnya, melawan mati - matian dan penuh kemarahan. Akan tetapi tingkat kepandaiannya hanya seimbang dengan se-orang di antara mereka, maka setelah mereka ber-lima maju bersama, tentu saja ia segera terdesak hebat. Untung baginya bahwa lima orang wanita, bertusuk konde batu giok itu agaknya tidak berni-at membunuhnya. Kalau demikian halnya, tentu ia tidak akan dapat bertahan lama. Beberapa belas jurus kemudian, lima orang itu mempergunakan sabuk biru yang menyambar - nyambar dan. akhir-nya Pek Lian terpaksa menyerah ketika sabuk-sabuk biru itu telah melibat tubuhnya, membuat ia tidak dapat lagi menggerakkan kaki tangannya. Ia tertawan dan dibelenggu kedua lengannya ke belakang. "Manusia-manusia hina, pengecut besar. Beraninya hanya main keroyokan ! Kalau mau bunuh lekas bunuh, jangan dikira aku takut mati!" teriak Pek Lian marah. "Pemberontak hina!" Si tahi lalat itu memaki dan makian ini membuat Pek Lian membungkam. Siapakah mereka ini, pikirnya, dan apakah mereka ini tahu bahwa ia adalah puteri Menteri Ho yang dianggap pemberontak" Ia mulai merasa khawatir. Kalau sampai ia ditangkap sebagai pemberontak, ditawan seperti ayahnya, tentu ayahnya akan marah dan semua usahanya sia - sia belaka. Ia harus mencari akal dan kesempatan untuk meloloskan diri dari orang - orang ini. Ia harus mencari ayahnya. Akan tetapi, gerak - gerik lima orang wanita ini demikian teliti dan teratur, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah rombongan orang-orang terlatih, seperti pasukan kecil yang dikemudikan oleh pemimpinnya, yaitu wanita yang bertahi lalat. Tak pernah mereka itu lengah menjaganya dan ketika malam tiba, mereka berhenti di bagian yang tinggi dan agaknya mereka itu menanti sesuatu. Pek Lian tidak pernah membuka mulut dan hanya memperhatikan gerak-gerik mereka yang juga tidak banyak mengeluarkan kata - kata itu. Mereka berlima itu bersikap seperti menantikan orang, sering kali memandang ke empat penjuru dari tempat tinggi itu dan saling pandang seperti orang - orang yang mulai merasa gelisah. Pek Lian menduga - duga siapa gerangan yang mereka nan-tikan. Ia teringat bahwa ketika ia bersama kedua orang gurunya dan juga orang - orang Lembah Yang - ce melakukan perjalanan dan berjumpa de-ngan mereka ini, terdapat delapan orang di antara wanita bertusuk konde batu giok ini. Akan tetapi sekarang hanya tinggal lima orang. Ke manakah perginya tiga orang lagi " Apakah mereka ini me-nanti munculnya tiga orang kawan mereka itu " Pek Lian diajak makan dan dara ini tidak me-nolak. "Kalau engkau tidak melawan, kamipnn ti-dak akan mengganggumu, hanya engkau harus menurut saja sebagai tawanan yang baik," kata si tahi lalat sambil melepaskan belenggu kedua tangan Pek Lian. Pek Lian hanya mengangguk. Ia tidak takut, hanya ia tahu bahwa kalau ia bersikap keras, ia tidak berdaya untuk lolos, ia harus mempergunakan kecerdikan dan tidak menuruti hati yang panas. Setelah makan, mereka berlima itu duduk bersila, seperti orang bersamadhi, membentuk lingkaran dan Pek Lian berada di tengah - tengah. Pek Lian maklum bahwa lima orang wanita itu beristirahat, namun mereka itupun tidak pernah lengah dan ia seperti dikurung. Maka iapun mencontoh perbu-atan mereka, duduk bersila mengumpulkan tenaga. Api unggun yang dibuat Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo oleh mereka itu bernyala tak jauh dari mereka, mengusir nyamuk dan dingin. Hanya satu kali si tahi lalat itu mengeluarkan suara yang mengandung kegelisahan, "Mengapa sampai sekarang mereka belum juga datang ?" Ucapan ini meyakinkan hati Pek Lian bahwa mereka tentu menanti datangnya tiga orang kawan mereka, dan memang dugaannya ini tepat. Lima orang wanita yang memiliki ciri khas, yaitu tusuk konde batu giok itu, memang sedang menantikan datangnya tiga orang kawan mereka. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Menjelang tengah malam, suasana. sunyi bukan main di tempat itu. Hutan di dekat puncak bukit nampak hitam menyeramkan dan suara binatang-binatang hutan kadang - kadang membuat Pek Lian terkejut dan membayangkan yang bukan - bukan. Biarpun ia masih duduk bersamadhi seperti lima orang yang menawannya, namun diam - diam Pek Lian selalu waspada. Sedikit saja kesempatan untuk meloloskan diri, sudah pasti tidak akan dilewatkannya. Akan tetapi, lima orang itu agaknya tidak pernah lengah, karena mereka itu masih tetap menantikan munculnya tiga orang kawan mereka. Tiba - tiba terdengar bunyi desing di sebelah selatan. Mereka semua terkejut, termasuk Pek Lian dan semua orang menengok ke arah selatan. Nampak oleh mereka meluncurnya anak panah berapi kuning yang meluncur ke angkasa. Anak panah tanda bahaya! Si tahi lalat sudah meloncat bangun dan berkata, "Tanda bahaya mereka ! Tentu terjadi sesuatu yang gawat ! Mari kita bantu mereka. A-bwee, engkau di sini menjaga tawanan!" Wanita yang disebut A - bwee mengangguk dan tanpa diduga oleh Pek Lian, wanita ini sudah me-ringkus dan membelenggu kedua lengannya. Pek Lian terkejut dan hendak melawan, namun maksud hati ini diurungkannya, karena apa dayanya menghadapi mereka berlima " Kedua lengannya diikat di belakang tubuhnya dan setelah melihat betapa tawanan itu tidak berdaya, empat orang di antara mereka lalu berloncatan pergi sedangkan yang seorang itu duduk menjaga tawanan yang sudah ter-belenggu kedua lengannya itu. Ketika empat orang wanita gagah itu dengan tangkasnya berloncatan ke arah anak panah tanda bahaya tadi, tiba-tiba mereka melihat anak panah ke dua dan mengertilah mereka bahwa teman - teman mereka terancam bahaya besar."Mari cepat!" kata yang bertahi lalat dan merekapun mengerahkan seluruh kepandaian mereka berlari cepat menuruni bukit itu dan ketika mereka tiba di lereng, mereka melihat betapa pemimpin mereka sedang berkelahi dengan amat serunya menghadapi seorang nenek yang bertubuh gendut dan lihai bukan main. Jelaslah bahwa pemimpin mereka itu terdesak hebat. Tak jauh dari situ nampak seorang kakek kurus kecil sedang berjongkok, nongkrong di atas sebuah pedati. Dekat pedati itu tergeletak dua orang tubuh wanita, dua di antara tiga kawan kelompok wanita bertusuk konde batu giok itu. Melihat betapa muka mereka nampak kebiruan, mudah diduga bahwa mereka itu tentu terluka hebat dan keracunan. Begitu melihat nenek gendut dan kakek kurus ini, empat orang wanita yang baru datang terkejut bukan main. "Iblis-iblis dari Ban-kwi-to (Pulau Selaksa Iblis) !" teriak mereka dan merekapun sudah cepat mencabut pedang untuk membantu pemimpin mereka. "Awas ......!" Pemimpin mereka berseru sambil memutar pedang melindungi dirinya dari desakan lawan. "Lindungi hidung dengan saputangan! Tempat ini telah penuh disebari racun oleh iblis-iblis ini!" Mendengar seruan itu, empat orang wanita bertusuk konde giok segera mengikatkan saputangan melindungi hidung dan mulut mereka, kemudian merekapun maju mengeroyok wanita gendut yang amat lihai itu. Hebat bukan main wanita gendut itu. Biarpun tubuhnya gendut, akan tetapi ia dapat bergerak dengan amat gesitnya dan ia menghadapi pengeroyokan lima orang wanita lihai yang berpedang itu dengan kedua tangan kosong saja! Akan tetapi, yang terancam maut malah lima orang pengeroyoknya karena setiap gerakan wanita gendut ini selalu mengandung bahaya. Jarum-jarum halus menyambar- nyambar dari jarak dekat kepada mereka sehingga mereka itu harus lebih banyak mempergunakan pedang mereka untuk melindungi tubuh. Setiap tamparan tangan wanita itupun me-ngandung hawa beracun yang selain membawa bau amis, juga mengandung hawa yang kadang-kadang amat panas dan kadang-kadang amat di-ngin. Untunglah bahwa lima orang wanita itu memang pada dasarnya memiliki ilmu pedang yang tangguh, dan setelah kini mereka maju berlima, nenek gendut itu tidak mudah merobohkan seorang di antara mereka. "He-he..., ha-ha-ha, rasakan sekarang ! Kau sekarang dikeroyok banyak orang lihai, sebentar lagi tentu kau akan dicincang pedang mereka menjadi bakso ! Ha-ha-ha ! Mereka akan menggorok lehermu yang buntek, menusuk hidungmu yang pesek dan merobek perutmu yang gendut, lalu kau boleh pelesir ke neraka! Dan aku akan bebas, heh - heh! Jadi ini namanya kita sehidup semati, aku yang hidup, kau yang mati dan aku akan kawin lagi, aku akan mencari yang muda, yang cantik, yang... heiiiittt!" Kakek kecil kurus itu cepat mencelat dan mengelak karena KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ tiba-tiba saja isterinya, si nenek gendut itu telah me-ninggalkan lima orang pengeroyoknya dan menye-rang ke arah suaminya dengan terkaman dahsyat. Melihat suaminya mengelak, nenek itu menyerang lagi dengan hebatnya dan sekarang suaminya menangkisnya. "Desss !!" Nenek gendut itu terdorong sampai tiga langkah akan tetapi suaminya terdorong sampai lima langkah. Ini saja membuktikan bahwa si nenek itu ternyata lebih lihai dari pada suaminya. Perkelahian antara suami isteri iblis ini demikian hebatnya, membuat lima orang wanita bertusuk konde giok itu melongo. Ketika suami isteri itu mulai mempergunakan racun, si suami menyebar pasir beracun, sedangkan isterinya yang tidak mau kalah itu menyebar jarum - jarum dan asap beracun, lima orang wanita itu cepat menyingkir sambil menyeret dua orang kawan mereka yang terluka. Sepasang iblis tua itu benar-benar gila. Agaknya mereka sudah melupakan sama sekali tentang musuh - musuh mereka dan kini mereka itu berkelahi mati - matian. Si nenek lebih ganas lagi menyerang, baik dengan kaki tangan maupun dengan mulutnya yang memaki maki, dan akhirnya kakek itu kewalahan lalu melarikan diri terbirit - birit, dikejar oleh isterinya yang makin keras memaki-maki penuh kemarahan. Melihat kesempatan ini, lima orang wanita bertusuk konde giok itu cepat membawa dua orang teman mereka yang terluka untuk menjauhkan diri dari tempat berbahaya itu. Yang terpenting bagi mereka adalah mencoba untuk menolong dua orang teman yang terluka. Cepat mereka membawa dua orang itu ke dalam hutan dan setelah merebahkan kedua teman itu di atas rumput, mereka berusaha mengobati dengan pe-ngerahan sinkang dan dengan obat - obat penawar racun yang selalu mereka bawa di antara obat - obat luka luar atau dalam. Akan tetapi, luka - luka beracun yang diderita oleh dua orang itu sungguh berbeda dengan luka- luka beracun biasa. Luka gigitan ular berbisa saja masih akan dapat disembuhkan oleh mereka, akan tetapi luka-luka yang diakibatkan serangan tokoh Ban-kwi-to itu sungguh luar biasa sekali dan semua usaha pengobatan mereka sia-sia. Nyawa kedua orang itu tidak dapat diselamatkan dan akhirnya merekapun tewas tanpa dapat meninggalkan kata-kata pesanan lagi. Lima orang wanita yang kelihatan gagah perkasa itu, kini menangisi mayat dua orang teman-nya. Kemudian pemimpin mereka, yang tadi dengan gagahnya melawan nenek iblis, menghentikan tangis mereka dan dengan wajah muram berduka mereka lalu mengubur jenazah kedua orang teman mereka di tempat itu juga. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berlima meninggalkan dua gundukan tanah itu dan bergegas kembali ke tempat di mana mereka meninggalkan seorang teman mereka menjaga tawanan. Akan tetapi apa yang mereka dapatkan ke-tika mereka tiba di tempat itu membuat mereka terkejut bukan main. Tawanan telah lenyap dan teman mereka yang bernama A-bwee itu telah menggeletak tanpa nyawa, dengan muka kebiruan tanda keracunan pula! Setelah mereka berlima memeriksanya, ternyata luka keracunan yang diderita mayat ini sama dengan yang diderita oleh kedua orang teman mereka yang tewas. "Keparat busuk! !" Pimpinan mereka, wanita berusia empatpuluh tahun yang sepasang matanya berkilat - kilat tajam itu, berseru marah sambil menghentak-hentakkan kakinya ke atas tanah, wajahnya penuh geram dan kedukaan. "Sepasang iblis itu sungguh jahat dan kejam! Sayang kita bukan tandingan mereka. Kita harus cepat pulang dan melapor, biarlah siocia yang akan membalaskan sakit hati ini!" Dengan berduka merekapun mengubur jenazah teman ke tiga ini. Tentu saja mereka merasa berduka dan terpukul sekali. Mereka terkenal sebagai Delapan Singa Betina yang terkenal, dan sekarang, sungguh tak terduga sama sekali, dalam waktu- semalam saja, jumlah delapan itu tinggal lima dan yang tiga tewas dalam keadaan yang amat me-nyedihkan. Dan penderitaan ini, korban tiga nyawa ini sungguh merupakan, korban yang sia - sia dan mati konyol, karena mereka bentrok dengan sepasang iblis itu tanpa sebab - sebab tertentu yang kuat, hanya merupakan percekcokan di antara dua kelompok yang berpapasan di jalan ! Setelah selesai mengubur jenazah teman ke tiga itu. lima orang wanita bertusuk konde batu giok itu lalu cepat meninggalkan tempat itu dengan wajah muram. Sudah sejak tadi Pek Lian; merasa betapa jalan darahnya telah pulih kembali. Akan tetapi ia tidak berani bergerak, dan pura - pura masih lumpuh tertotok atau setengah pingsan. Tubuhnya bergoyang - goyang dalam keadaan rebah miring di bagian belakang gerobak yang berjalan lambat - lambat itu, berjalan di atas jalan yang tidak rata sehingga bergoyang goyang keras. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Hanya sepasang mata dara itu saja yang bergerak melirik ke bagian depan gerobak, di mana nampak dua orang suami isteri gila itu sedang duduk berdampingan dan bercanda, tertawa-tawa, kadang-kadang mereka itu bercumbu dengan kasar, tanpa mengenal malu seolah olah tidak ada Pek Lian di dekat mereka yang dapat melihat semua adegan ini. Begitulah kalau suami isteri itu sedang dalam keadaan rukun. Pek Lian memejamkan kedua matanya. Wajah-nya yang bulat telur itu agak pucat dan kurus. Memang selama ayahnya ditawan ia mengalami banyak hal - hal yang pahit, ditambah lagi dengan kematian dua orang gurunya, membuat dara ini menderita tekanan batin yang membuatnya kurus dan pucat. Namun wajah yang kini nampak pucat itu masih tidak kehilangan kecantikannya. Biarpun rambutnya awut-awutan, kulit mukanya agak kotor dan pakaiannya kusut, dara ini masih nampak gagah dan cantik manis. Dagunya yang runcing itu membayangkan kekerasan hati dan keberanian yang luar biasa. Mulutnya tidak pernah membayangkan rasa takut, sedangkan sepasang matanya yang memang agak lebar itu, setelah wajahnya menjadi kurus nampak lebih lebar lagi, sepasang mata tajam yang mengeluarkan sinar berkilat. Memang pantaslah puteri Menteri Ho ini menjadi pimpinan para pendekar di Puncak Awan Biru, membantu suhunya. Sebutan "nona Ho" oleh para pendekar dengan sikap menghormat, tidaklah mengecewakan karena selama ini sepak teriang Ho Pek Lian memang gagah perkasa dan nenuh semangat. Akan tetapi pada saat itu, Ho Pek Lian atau nona Ho yang dikagumi para patriot itu, berada dalam keadaan yang menyedihkan dan sama sekali tidak berdaya. Dalam keadaan lumpuh tertotok ia menjadi tawanan sepasang suami isteri iblis itu, dan ia tahu bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi seorang saja di antara mereka, apa lagi kalau harus Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menghadapi mereka berdua. Dalam keadaan lumpuh tertotok, ia dilempar begitu saia seperti karung kosong di atas gerobak dan selanjutnya suami isteri- itu tidak memperdulikannya dan membawanya melalui dusun - dusun yang terpencil menuju ke utara. Biarpun ia tidak takut menghadapi kematian, akan tetapi menghadapi kemungkinan apa yang akan dilakukan oleh sepasang iblis itu kepadanya, membuat Pek Lian merasa ngeri juga. Ada hal-hal yang lebih mengerikan dari pada kematian. Siang tadi saja ia telah mengalami hal yang mengerikan, masih meremang bulu tengkuknya kalau ingat. Si kakek kecil kurus yang seperti tulang bungkus kulit itu mendekatinya. Kemudian jari-jari tangan yang kecil dan keras dingin itu mera-ba dan membelai lehernya. Pek Lian merasa ngeri dan bulu - bulu di seluruh tubuhnya bangkit ber-diri. Ia menutupkan kedua matanya dan menahan bau apek yang keluar dari tubuh kakek itu. "Heh-heh-heh, halus kulitnya. hemm, lunak halus. Cantik sekali gadis ini !" Jari - jari tangan itu meraba dan membelai. Pek Lian mena-han jeritnya ketika jari-jari tangan itu makin menurun ke dadanya. Akan tetapi, tiba-tiba ka-kek itu menarik tangannya ketika isterinya menghardik. "Hem, bagus, ya " Dahulu engkau merayu dan mengatakan bahwa di dunia ini akulah wanita paling cantik! Dan sekarang, di depan hidungku engkau memuji kecantikan lain orang! Bagus, ya " Engkau menantangku, ya ?" "Uhh, tidak, tidak ! Jangan salah sangka, isteriku yang manis. Sampai sekarangpun, engkaulah wanita paling cantik di dunia. Gadis ini memang cantik, akan tetapi engkaulah yang paling cantik. Heh-heh!" "Betulkah itu, kakanda ?" Si isteri merayu manja. "Heh-heh, siapa bohong padamu?" jawab ka-kek itu dan merekapun lalu bercanda, bergelut di dalam gerobak, saling berciuman, saling cubit dan saling cakar sampai gerobak itu bergoyang - goyang dan berguncang keras! Melihat semua ini, Pek Lian memejamkan matanya akan tetapi tidak mampu menutup telinganya yang terpaksa mendengar semua cumbu rayu mereka yang kasar itu. Setelah permainan cinta mereka itu mereda, si isteri berkata, "Awas engkau, ya " Sekali lagi engkau berani menyentuhnya, akan kurobek kulit yang kausentuh dan akan kupatahkan tanganmu yang menyentuh!" Tentu saja Pek Lian bergidik ngeri, akan tetapi hatinya merasa lega juga. Kakek itu sangat takut kepada bininya yang besar cemburu itu dan hal ini telah menolongnya karena ia melihat pandang mata penuh nafsu dari kakek itu kepadanya. Akan tetapi suami isteri itu sungguh KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ menyeramkan dan againya keduanya memang tidak normal otaknya. Mereka itu kadang - kadang bermain cinta di depannya saja, dan kadang - kadang bercekcok sampai berkelahi mati-matian. Pek Lian merasa tersiksa bukan main. Ia tidak tahu hendak dibawa ke mana dan mau diapakan oleh suami isteri itu. Belum setengah hari ia berada di dalam gerobak tubuhnya sudah terasa gatal-gatal, kulitnya timbul bintik-bintik merah seperti digigiti nyamuk. Ia tahu bahwa hal itu disebabkan oleh hawa beracun yang memenuhi gerobak itu. Untung bahwa ia telah memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat sehingga ia dapat melawan hawa beracun ini. Yang amat menyiksanya hanyalah to-, tokan yang membuat kaki tangannya seperti lum-puh itu. Pek Lian memulihkan tenaganya. Totokan itu telah mulai kehilangan kekuatannya dan jalan da^, rahnya pulih kembali. Ia diam saia, pura - pura masih lumpuh. Sampai lama ia membiarkan darahnya berjalan lancar sampai akhirnya ia merasa betapa tubuhnya telah segar dan sehat kembali. Pek Lian menanti sampai malam tiba. Gerobak itu dihentikan oleh dua orang penawannya di tepi jalan dan seperti biasa, suami isteri itu meninggalkan gerobak untuk mencari bahan makan malam. Indah kesempatan terbaik, pikir Pek Lian dan setelah melihat mereka pergi, iapun cepat meloncat turun. Senia telah tiba dan cuaca mulai remang-remang. Akan tetapi, tiba - tiba dara ini meloncat kembali memasuki gerobak ketika ia mendengar suara kakek nenek itu tertawa - tawa dari jauh. 'Aduh, dingin sekali airnya ....... !" Terdengar kakek itu berseru dan tahulah Pek Lian bahwa mereka itu sedang mandi. Agaknya terdanat sumber air, anak sungai atau telaga di dekat tempat itu. Iapun mengintai dari balik tirai gerobak, melihat apakah keadaannya cukup aman baginya untuk melarikan diri. Ia harus berhati-hati sekali karena kakek dan nenek itu lihai luar biasa dan kalau sampai larinya ketahuan sebelum ia pergi jauh se kali, besar bahayanya ia akan tertawan kembali. Tiba - tiba ada angin menyambar yang membuat pintu gerobak itu bergerak dan hampir saja Pek Lian menjerit saking kagetnya ketika mendadak ada tubuh meloncat masuk dan tahu - tahu kakek kurus itu telah berdiri di pintu gerobak dalam keadaan telanjang bulat sama sekali! Badannya yang kurus itu masih basah kuyup, air masih menetes-netes dari seluruh tubuhnya. Pek Lian menutupi mulut dengan tangan menahan jeritnya dan cepat membuang muka agar tidak usah melihat tubuh telanjang itu walaupun cuaca mulai remang - remang dan ia tidak dapat melihat jelas. "Heh - heh - heh, engkau sudah dapat bangun, manis " Bagus, mari temani aku bersenang - senang sebentar !" Dan kakek itu lalu menubruk dan meraih tubuh Pek Lian. "Tidak ! Jangan... !" teriaknya dan ia memapaki tubuh itu dengan pukulan tangannya. "Plakk !" Pergelangan tangannya ditangkap dan sebelum tangan ke dua bergerak, juga pergelangan tangan ke dua ini ditangkap oleh kakek itu yang terkekeh dan ada air liur menetes dari mulutnya ketika dia mencoba untuk mencium muka nona itu. Pek Lian. merontaronta sekuat tenaga, melawan mati - matian dan tiba - tiba kakinya yang tertindih, tanpa disengaja, menendang sebuah benda di dalam gerobak itu. "Prakk!" Guci kecil itu pecah dan dari dalam guci itu keluarlah berpuluh - puluh kelabang me- rah. Bau amis memenuhi ruangan gerobak itu dan Pek Lian menggigil ketakutan melihat kelabang- kelabang besar merah itu merayap cepat dan ad. yang merayap ke pakaiannya, bahkan memasuki lubang celana dan bajunya. Ia berteriak - teriak dan mencoba untuk mengusir binatang - binatang itu. "Heh - heh - heh, ha - ha - ha !" Kakek itu mera-sa girang bukan main dan agaknya dia seperti seorang anak kecil yang menemukan permainan baru. Sejenak dia lupa akan rangsangan nafsu berahinya dan dia merasa gembira sekali melihat gadis itu tersiksa seperti itu. Sambil berjongkok di dekat Pek Lian, dia terkekeh - kekeh melihat gadis itu menggeliat-geliat kengerian dikeroyok puluhan ekor ke-labang itu ! Dan Pek Lian sekali ini baru dapat mengalami apa artinya rasa takut dan jijik. Dari takutnya ia sampai jatuh pingsan ! Melihat gadis ini pingsan, kakek itu seperti kehilangan kegembi-raannya dan teringat lagi akan nafsu berahinya maka diapun mulai meraba - raba hendak menang-galkan pakaian gadis itu. Akan tetapi, baru dua buah kancing baju KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ dibukanya, tiba - tiba dia menarik kembali tangannya mendengar isterinya berteriak-teriak dari kejauhan. "Bangsat penipu pembohong ! Laki - laki pena-kut dan pengecut! Di mana kau " Akan kurobek mulutmu yang membohongiku. Di mana ada buaya di sungai itu " Sampai kehabisan napas aku menye-lam dan mencari - cari tanpa hasil. Kau pembo-hong ! Di mana kau " Jangan lari !" Mendengar teriakan isterinya ini, kakek itu men-jadi ketakutan dan cepat diapun meloncat keluar dari dalam gerobak dan melarikan diri dalam kea-daan masih telanjang bulat, meninggalkan Pek Lian yang masih rebah pingsan di dalam gerobak. Nenek itu meloncat masuk ke dalam gerobak. Matanya terbelalak melihat binatang binatang itu terlepas dan berkeliaran di situ. "Wah, celaka, sia-pa berani melepaskan peliharaan kesayanganku, hah ?" Cepat ia mengambil sebuah botol kecil dan menuangkan isinya yang berupa cairan ke dalam mangkok. Bau yang amis busuk memenuhi tempat itu dan sungguh mengherankan sekali, semua kela-bang itu cepat - cepat merayap datang dan memasuki mangkok itu. Nenek itu menangkapi dengan jari - jari tangan yang cekatan sekali dan tak lama kemudian semua kelabang sudah disimpannya kem-bali ke dalam sebuah guci kosong. Kemudian ia memperhatikan keadaan Pek Lian dan alisnya yang tebal itu berkerut. Apa lagi keti-ka ia melihat genangan air di dalam gerobak. Ia lalu meloncat turun dan kembali terdengar suaranya memaki-maki. "Bangsat cabul tak tahu diri! Di mana kau ?" Tak lama kemudian, nenek itu mendapatkan suaminya sedang enak - enak memancing ikan di tepi sungai sambil bersiul - siul, seolah - olah tidak pernah melakukan sesuatu yang salah. Akan tetapi, agaknya isterinya tidak dapat dikibuli begitu saja dan segera telinga sang suami dijewer dan dia di-seret oleh isterinya yang galak itu kembali ke peda-ti, yang segera diberangkatkan oleh nenek yang marah - marah itu. Dengan terjadinya peristiwa itu, pengawasan si nenek menjadi lebih ketat sehingga kakek itu tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menco-ba - coba mendekati Pek Lian. Hal ini tentu saja amat menguntungkan Pek Lian, akan tetapi di sam-ping itu, juga ia mengalami penyiksaan lain sebagai akibat dari rasa cemburu dan benci dari nenek iblis. Karena cemburu, kini sikap nenek iblis itu terhadap Pek Lian menjadi sadis. Pada hari ke tiga, Pek Lian tidak dibelenggu kedua lengannya lagi, melainkan diharuskan duduk di bagian depan, di atas tempat duduk kusir dan kaki kanannya di-rantai dengan tiang gerobak. Ia diharuskan men-jadi kusir, mengamati dan mengendalikan kuda penarik gerobak. Lebih celaka lagi, nenek itu telah menotok urat gagunya sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya duduk dengan anteng-nya di bangku kusir sementara itu suami isteri iblis itu bersenang - senang di dalam gerobak. Pek Lian masih selalu menanti saat baik. Bagaimanapun juga keadaannya, gadis perkasa ini tidak pernah putus asa. Selama hayat dikandung badan, ia tidak akan pernah putus harapan. Pada suatu ketika, ia pasti akan dapat meloloskan diri. Ia tidak mau mati konyol dengan melakukan perlawanan yang sia - sia belaka terhadap suami isteri iblis yang amat lihai itu. Bagaimanapun juga, ia kini terlindung oleh rasa cemburu isteri itu terhadap suaminya. Bahaya yang terbesar telah tersingkir dan iapun tidak bodoh untuk dapat menduga bahwa suami isteri itu tidak menghendaki kematiannya, karena kalau demikian halnya, tidak mungkin ia dibiarkan hidup sampai tiga hari lamanya. Hari itu, sejak pagi telah turun hujan. Akan te-tapi suami isteri iblis itu membiarkan Pek Lian tetap duduk di luar dan kehujanan sampai pakaian-nya basah kuyup. Juga nenek itu tidak memper-bolehkannya menghentikan gerobak untuk berte-duh. Tentu saja keadaan Pek Lian ini membuat orang - orang yang melihatnya menjadi terheran-heran. Sementara itu, di dalam gerobak terjadi pu-la perdebatan antara suami dan isterinya yang galak itu. "Eh, isteriku yang manis, yang denok, di luar hujan deras sekali. Apakah akan kaubiarkan saja anak ayam itu kehujanan di luar " Ia bisa masuk angin dan sakit" "Huh ! kau perduli apa sih " Kau kasihan ya " Kau cinta padanya ya ?" "Eh, eh... jangan marah dulu dong! Aku hanya bilang kalau ia sakit dan tidak dapat mengendalikan kuda, kita akan kehilangan seorang kusir yang can... eh,yang cakap." "Sudah, jangan cerewet! Biarkan saja. Hayo kita bersenang-senang, di dalam sini kan hangat, mari kita main adu kelabang !" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Isteriku yang manis, mengapa tidak dibunuh saja biar lekas beres dan tidak mengganggu ?" "Manusia tolol engkau! Lupakah engkau bah-wa kita pernah dipesan oleh Sam - suci Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo " Aku akan diberi hadiah ramuan awet muda yang diciptakan-nya, apa bila kita dapat mencarikan seorang gadis muda cantik keturunan bangsawan yang bertulang bagus dan berdarah murni, juga mempunyai ke-pandaian tinggi. Nah, inilah gadis itu!" "Alaaaa, awet muda. Mana bisa orang tetap awet muda kalau usianya sudah tua ?" kakek itu menggerutu. Mereka tidak ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]*** mak dapat mematahkan rantai yang mem-belenggu kakinya, maka jalan satu - satunya adalah membelokkan kuda menuju ke kota agar kalau ada orang melihat keadaannya, ia akan menarik perha-tian orang dan siapa tahu kalau di antara mereka itu terdapat pendekar-pendekar yang sakti dan dapat membebaskannya dari cengkeraman suami isteri iblis itu. Kini ia sudah tahu mengapa ia dita-wan dan tidak dibunuh. Kiranya iblis betina itu mempunyai niat untuk "menjualnya" kepada seorang iblis lain yang disebut Sam - suci oleh iblis betina itu, untuk ditukar ramuan obat awet muda. Hujan masih deras ketika gerobak itu memasuki pintu gerbang sebuah kota. Agaknya karena hujan yang mendatangkan hawa dingin, suami isteri iblis itu masih enak - enak tidur mendengkur, tidak tahu bahwa gerobak mereka telah disesatkan memasuki kota besar, padahal mereka selalu ingin menjauhi tempat ramai selama ini. Orang - orang yang ber-teduh di tepi jalan memandang dengan heran ke-pada gadis yang menjalankan gerobaknya dan membiarkan dirinya ditimpa air hujan sampai ram-but dan pakaiannya basah kuyup itu. Kota yang dimasuki gerobak itu adalah Lok-yang, yang merupakan kota kedua setelah Tiang-an yang menjadi kota raja. Tentu saja Pek Lian yang menjadi puteri seorang menteri, mengenal ko-ta besar ini dan diam - diam ia mengharapkan un-tuk dapat bertemu dengan orang - orang gagah yang akan dapat membantunya membebaskan diri dari kedua orang iblis itu. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi ia merasa lega mendengar betapa kedua orang iblis itu masih enak-enak tidur mendengkur. Mereka itu sungguh seperti bukan manusia lagi, pikir Pek Lian. Bermain cinta dengan kasar tanpa mengenal malu, bercekcok dan berkelahi, selalu bersaing, bahkan dalam mendeng-kur saja mereka seperti bersaing keras ! (Bersambung jilid ke VII.) xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo Jilid VII BIARPUN waktu itu sudah tengah hari, akan tetapi cuacanya agak dingin dan agak gelap karena sejak pagi hujan. Kota yang besar, penuh dongan toko - toko, rumah- rumah makan dan juga rumah - rumah penginapan itu nampak sunyi karena yang berani berlalu lalang hanya mereka yang membawa payung dan yang naik kereta. Sebagian besar orang berteduh di emper - emper toko dan jalan raya yang cukup lebar itu telah digenangi air. Ketika gerobak yang dikendarai Pek Lian me-masuki pintu gerbang, tak lama kemudian masuk pula sebuah kereta indah yang dihias tanda - tanda kebesaran. Kereta itu dikawal oleh belasan orang perajurit yang berpakaian serba mewah dan indah gemerlapan. Di sebelah kanan kiri kereta itu nampak dua orang gadis cantik yang berpakaian indah se-perti puteri - puteri bangsawan istana atau penga-wal-pengawal wanita istana yang berkedudukan tinggi. Di belakang masing - masing gadis ini ter-dapat seorang perajurit yang melindungi mereka dari air hujan dengan sebuah payung bergagang panjang. Perlakuan ini saja membuktikan bahwa dua orang gadis itu bukanlah sembarang pengawal, setidaknya tentu pengawal- pengawal seorang puteri istana yang dipercaya. Melihat pedang panjang tergantung di punggung dua orang gadis itu, makin mudah diduga bahwa mereka itu tentulah pengawal-pengawai istana yang penting. Karena kereta indah itu mendahuluinya, Pek Lian dapat memperhatikan kereta di depannya itu. Ia melihat betapa orang-orang yang berteduh di tepi jalan, membungkuk dengan hormat KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ ketika ke-reta lewat. Ini hanya menunjukkan bahwa penum-pang kereta itu tentulah seorang pejabat tinggi. Dan melihat dua orang pengawalnya, mudah di-duga bahwa penumpang itu tentulah seorang wanita bangsawan. Pek Lian menduga-duga. Siapa-kah wanita bangsawan tinggi di dalam kereta itu " Pek Lian memandang kepada dua orang penga-wal wanita itu dengan penuh perhatian. Sejak melihatnya tadi, ia merasa seperti telah menge-nal atau setidaknya pernah melihat mereka ini, akan tetapi ia lupa lagi entah kapan dan di mana. Kini ia memandang lagi penuh perhatian dan karena kini ia memandang dari belakang, sege-ra ia tertarik oleh sesuatu pada rambut mereka itu. Tentu saja! Tusuk konde batu giok! Sama benar bentuknya dengan tusuk konde yang dipakai oleh delapan orang wanita berpakaian sutera hitam itu, yang pernah menawannya. Hanya bedanya, dua orang gadis ini masih muda, cantik dan pakaian-nya indah. Karena ia sendiri tidak tahu harus me-nujukan gerobaknya ke mana, maka kuda yang di-diamkannya itu otomatis mengikuti jalannya kereta di sebelah depan. Kereta mewah itu berhenti di pintu gerbang se-buah gedung besar dengan pekarangan yang luas dan indah. Pek Lian juga menghentikan gerobak-nya di belakang kereta itu sambil memandang dengan penuh perhatian. Pintu kereta terbuka dan turunlah seorang wanita tua yang berwibawa, ber-pakaian indah dan bersikap tenang sekali. Wanita tua ini menengok satu kali ke arah gerobak, lalu melangkah ke depan, disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang agaknya menjadi tuan rumah penghuni gedung itu. Pek Lian melihat nenek ini dan juga pria itu, hatinya berdebar tegang. Ia mengenal dengan baik siapa adanya mereka, walau-pun ia tidak pernah berkenalan dekat dengan mere-ka. Pria setengah tua yang kelihatan gagah itu, yang us;anya antara limapuluh lima tahun, adalah Wakil Perdana Menteri Kang yang amat terkenal karena selain wakil perdana menteri ini amat cerdik pandai, juga dia terkenal sebagai seorang pembesar atau pejabat yang adil, jujur dan set;a. Semua pe-jabat di kota raja segan kepadanya, bahkan kaisar sendiripun menaruh hormat kepada wakil perdana menteri ini. Sedangkan nenek itupun pernah dilihat oleh Pek Lian, bahkan nama nenek ini sudah lama dikenalnya. Nenek ini dikenal sebagai Siang Houw Nio - nio, bukan nenek sembarangan karena ia adalah bibi dari kaisar sendiri ! Bahkan, biarpun tidak secara resmi, terdengar desas - desus bahwa nenek inilah yang bertanggung jawab atas keaman-an keluarga kaisar di istana karena nenek ini memang memiliki ilmu kepandaian yang amat- lihai. Pek Lian hanya dapat memandang dengan me-longo ketika nenek itu disambut dengan penuh kehormatan oleh pihak tuan rumah, kemudian ne-nek itu diiringkan masuk ke dalam gedung, dika-wal oleh dua orang gadis cantik yang berjalan gagah di belakangnya. Setelah mereka itu lenyap, ke dalam gedung, barulah Pek Lian sadar bahwa ia sejak tadi telah duduk bengong di atas gerobak yang dihentikannya di belakang kereta. Dan baru ia tahu bahwa para pengawal yang jumlahnya em-patbelas orang tadi mulai memperhatikan gerobak-nya. Bahkan empat orang segera melangkah lebar menghampirinya. "Heii, nona ! Sejak tadi engkau mengikuti kami, ada urusan apakah ?" tegur seorang di antara mereka. Mereka tadi ketika mengawal kereta, meli-hat gerobak ini, akan tetapi mereka tidak berani membikin ribut karena takut kepada Siang Houw Nio - nio yang mereka kawal, juga karena dua orang nona pengawal pribadi nenek itu diam saja, mere-kapun tidak berani banyak bertingkah. Sekarang, setelah nenek penghuni kereta bersama para pe-ngawal pribadinya telah diterima oleh pihak tuan rumah dengan selamat, barulah mereka berani ri-but ribut untuk menyatakan rasa penasaran dan mereka menghampiri gerobak yang masih berhenti tak jauh dari pintu gerbang itu. "Jangan-jangan ia menyelidiki perjalanan kita !" kata seorang di antara mereka sambil. mendekat. "Eh, kenapa kakimu dirantai, nona ?" tanya orang ke tiga dan kini ada enam orang pengawal ramai-ramai mendekat karena tertarik oleh seru-an terakhir ini. Pek Lian tidak dapat banyak mengharapkan orang- orang seperti para pengawal ini. Ia sudah tahu sampai di mana kepandaian perajurit - perajurit pengawal ini. Kalau dua orang gadis tadi, barulah boleh diharapkan dapat menolongnya. Akan tetapi, betapapun juga, ia melihat kesempatan untuk me-nimbulkan keributan dan menarik perhatian, maka mendengar pertanyaan itu, ia lalu menoleh dan me-nudingkan jari telunjuknya ke dalam gerobak. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Isyarat ini cukup bagi para perajurit pengawal. Bagaikan pendekar - pendekar atau pahlawan - pah-lawan yang hendak menolong seorang gadis manis yang tersiksa, mereka itu lalu mendobrak pintu dengan gedoran - gedoran keras. "Penjahat-penjahat keji yang berada di dalam gerobak ! Hayo keluar menerima hukuman !" teriak mereka sambil beramai-ramai mendorong pintu gerobak yang terkunci dari dalam itu. Tiba-tiba terdengar teriakan melengking dari dalam, me-ngejutkan para perajurit pengawal karena teriakan seperti itu hanya dapat dikeluarkan oleh mulut bi-natang-binatang buas. Dan tiba-tiba saja pintu gerobak itu terbuka lebar dari dalam, disusul ber-i kelebatnya dua bayangan orang dan empat orang perajurit berteriak dan roboh, menggigil kedinginan terkena pukulan beracun ! Tentu saja hal ini amat mengejutkan sepuluh orang perajurit pengawal la-innya dan mereka sudah cepat mencabut senjata lalu mengeroyok kakek dan nenek yang telah me-robohkan empat orang kawan mereka itu. Terja-dilah perkelahian yang ramai, di mana sepuluh orang pengawal dihadapi oleh dua orang kakek dan nenek yang amat lihai. Kakek itu berkelahi sambil terkekeh kekeh dan seperti biasa, dia memperma-inkan para pengeroyoknya, membuat mereka jatuh bangun hanya dengan menjegal, mendorong dan tidak menjatuhkan pukulan maut karena memang dia ingin puas mempermainkan dulu para pengero-yoknya sebelum membunuh mereka. Sebaliknya, nenek itu menggerakkan kaki tangannya dengan buas sambil memaki - maki dan dalam waktu sing-kat, sudah ada dua orang lagi perajurit pengawal yang dirobohkan oleh pukulannya yang mengan- dung hawa beracn. Suasana menjadi ribut karena para penjaga gedung itupun sudah berlari - lari mendatangi sambil memegang senjata. Kembali sudah jatuh dua orang perajurit penga-wal sehingga kini sudah ada delapan orang meng-geletak keracunan oleh pukulan suami isteri yang lihai itu. Keributan ini tentu saja segera diketahui oleh para pengawal - pengawal dalam gedung dan merekapun cepat berlari keluar. Kini kakek dan nenek itu dikeroyok oleh puluhan orang perajurit pengawal dan penjaga. Akan tetapi, para perajurit itu sama saja dengan menyerahkan nyawa mencari kematian. Makin banyak kini yang roboh sehingga mayat mereka malang melintang memenuhi ha-laman yang luas itu. Melihat ini semua, diam - diam Pek Lian bergidik. Kakek dan nenek itu benar-benar amat keji dan juga amat lihai. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan nampak berkelebat bayangan merah dan putih meluncur keluar dari dalam gedung. Pek Lian melihat bahwa yang bergerak cepat sekali itu ternyata adalah dua orang gadis pengawal tadi. Tahu - tahu mereka telah berada di situ dan mereka sudah me-ngenal keadaan dengan pandang mata mereka yang tajam dan berpengalaman. "Pek - cici, tentu mereka inilah yang telah mem-bunuh orang - orang kita ! Manusia - Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo manusia iblis dari Ban - kwi - to !" "Benar, Ang - siauwmoi! Kau bantu para pengawal, biar aku bebaskan gadis tawanan itu !" kata wanita baju putih, sedangkan wanita yang bajunya merah telah mencabut pedang panjangnya dan dengan gerakan yang amat cepat dan dahsyat, ia sudah menerjang kakek nenek iblis dengan serangan maut. Pedangnya membuat gulungan sinar dan mengeluarkan suara bercicit, tanda bahwa ilmu pedang gadis baju merah ini amat lihai dan digerakkan oleh tenaga sinkang yang amat kuat. Sementara itu, gadis baju putih sekali meloncat telah tiba di dekat Pek Lian. Dengan cekatan ia mematahkan rantai kaki Pek Lian dengan pedangnya yang ternyata terbuat dari pada baja yang amat kuat itu, dan melihat keadaan Pek Lian, iapun lalu menotok dan mengurut leher Pek Lian sehingga Pek Lian dapat mengeluarkan suara lagi. "Terima kasih," kata Pek Lian. "Tidak perlu, kalau engkau ada kepandaian, lebih baik bantu kami menghadapi sepasang iblis itu!" jawab si wanita baju putih yang kini segera meloncat turun dan membantu gadis baju merah dengan putaran pedangnya yang ternyata tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan si baju merah. Dua orang gadis itu memang benar amat lihai. Terutama sekali ilmu pedang mereka sedemikian hebatnya sehingga sepasang iblis itupun berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan nyaris menjadi korban pedang kalau mereka tidak cepat - cepat menghindarkan diri dengan cekatan sambil mem-balas dengan mengawut - awut jarum, pasir dan asap beracun. Para pengawal yang mengeroyok hanya berani menggunakan senjata - senjata panjang seperti tombak untuk menyerang kakek daii nenek itu dari jarak jauh setelah melihat betapa perajurit pengawal yang berani mehyerang terlalu dekat tentu roboh dalam keadaan mengerikan, menjadi korban KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ pukulan beracun. Melihat betapa se-pasang iblis itu terdesak, akan tetapi masih amat sukar bagi dua orang gadis dan para pengawal un-tuk merobohkannya, Pek Lian yang merasa sakit hati terhadap mereka lalu meloncat turun dari atas gerobak, dan menyambar sebatang pedang yang berserakan di halaman. Banyak senjata para penga-wal yang sudah roboh itu berserakan di tempat itu dan pedangnya sendiri entah dibuang ke mana oleh suami isteri iblis itu. Dengan pedang di ta-ngan, Pek Lian menyerbu dan ikut mengeroyok. Tentu saja serangan Pek Lian dengan ilmu pedang yang tidak boleh dipandang ringan ini membuat suami isteri dari Ban-kwi-to menjadi semakin terdesak. Bagaimanapun juga, ilmu silat pedang Pek Lian adalah ilmu pedang yang masih aseli dan bersih, mengandung dasar yang kuat. Dan selama ini ia telah memperoleh banyak pengalaman dalam pertempuran-pertempuran melawan musuh-musuh yang tangguh sehingga ia memperoleh banyak kema-juan pesat. Maka, pengeroyokannya juga terasa berat oleh suami isteri iblis itu sehingga mereka semakin terdesak. Karena khawatir kalau-kalau sampai terluka dan roboh, tiba- tiba nenek itu mengeluarkan sebuah tabung bambu kuning dari saku jubahnya yang kedodoran, dan membuka tutupnya. Melihat ini, Pek Lian yang selama tiga hari berkum-pul dengan mereka dan sudah tahu akan isi tabung bambu itu, berteriak kaget, "Awas binatang berbisa !!" Teriakannya itu ternyata benar karena dari ta-bung bambu itu keluar beterbangan beratus - ratus lebah yang warnanya putih yang mengamuk dan menyerang para pengeroyok. Hebatnya, di antara para perajurit yang terkena sengatan lebah itu, se-ketika roboh berkelojotan, tubuhnya kejang - kejang ! Bukan main hebatnya bisa dari sengatan lebah pu-tih ini. Yang belum menjadi korban sengatan lebah, segera melarikan diri ke dalam gedung, termasuk Pek Lian dan dua orang wanita tokoh tusuk konde batu giok itu, dikejar oleh lebah - lebah yang marah. Sementara itu, melihat jatuhnya beberapa orang korban sengatan lebahnya, kakek dan nenek itu se-perti kumat gilanya. Mereka tertawa - tawa, ber-tepuk - tepuk tangan dan bersorak, lalu berjongkok dan menonton orang-orang yang berkelojotan dan kejang-kejang sebagai akibat sengatan lebah, kelihatan gembira bukan main seperti anak-anak ke-cil menikmati cacing - cacing yang berkelojotan ter-kena abu panas. Mereka agaknya seperti telah me-lupakan keadaan sekeliling mereka, karena asyik dengan permainan baru ini. Memang nampaknya dua orang ini seperti iblis yang amat kejam. Akan tetapi, bukankah kesadisan, yaitu rasa gembira me-lihat orang atau mahluk lain tersiksa ini telah ada pada diri setiap orang manusia sejak kanak - kanak " Hanya agaknya pada suami isteri ini kesadisan itu menonjol sekali sehingga kelihatannya luar biasa dan keterlaluan. Sementara itu, nenek Siang Houw Nio - nio yang berada di dalam gedung, sedang bercakap - cakap dengan Wakil Perdana Menteri Kang. Mereka bica-ra dengan serius sekali dan wajah keduanya agak muram dan nampak bersemangat. Agaknya mereka saling berbantah dan kini terdengar suara nenek yang berwibawa itu, yang bicara sambil menatap tajam wajah wakil perdana menteri itu, suaranya terdengar lantang dan berpengaruh. "Menteri Kang! Aku pribadi dapat mengerti akan perasaan hatimu. Aku mengerti, apa yang men-jadi sebab sesungguhnya dari permintaanmu untuk pensiun itu. Alasan yang kauajukan bahwa engkau sudah merasa terlalu tua dan tidak sanggup bekerja lagi adalah alasan yang dicari - cari saja. Aku tahu bahwa sebab yang sesungguhnya adalah karena semua nasihatmu tidak pernah digubris oleh kaisar, bukankah demikian" Di dalam batinmu, engkau selalu berselisih pendapat dengan Sri baginda dan hal itu amat mengesalkan hatimu. Bukankah demikian " Apa lagi setelah sahabat eratmu, yaitu Men-teri Ho, ditangkap karena dianggap menentang kebijaksanaan pemerintah. Dan karena engkau setia, muka dari pada engkau harus mengalami tekanan batin, lebih baik engkau mengundurkan diri saja. Bukankah demikian, Wakil Perdana Menteri Kang !'" Ucapan nenek itu begitu terus terang dan ditujukan langsung tanpa pura-pura lagi sehingga bagi men-teri setia itu terasa seolah-olah ada todongan pedang langsung ke ulu hatinya. Mendengar ucapan itu, pembesar ini agak pucat mukanya dan sampai lama dia menundukkan muka-nya. Dia maklum bahwa akan percuma saja untuk menyangkal terhadap puteri yang amat cerdas ini. Akhirnya, setelah menarik napas panjang, diapun berkata, suaranya terdengar berat membayangkan keadaan hatinya yang terhimpit, KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Tuan puteri, hamba mengerti bahwa sebagai bibi dan pelindung sri baginda kaisar, paduka memiliki pandangan yang luas, waspada dan bijaksana. Oleh karena itu, tentu paduka juga maklum bahwa hamba sama sekali tidak mempunyai niat yang kurang baik terhadap sri baginda. Di dalam lubuk hati hamba, yang ada hanyalah kesetiaan, sifat yang dijunjung oleh nenek moyang hamba. Selama ini, selagi mendampingi sri baginda, hamba selalu berbuat baik dan bijaksana agar dapat meraih rasa hormat dan cinta dari rakyat. Kekuatan negara terletak kepada kekuatan kaisarnya dan kekuatan kaisar timbul dari kesetiaan rakyat yang mencintanya. Akan tetapi... ah, bagaimana hamba harus mengatakannya ?" "Lanjutkanlah, Menteri Kang. Jangan khawatir, engkau bicara dengan orang yang mempergunakan hati nuraninya, bukan hanya mempergunakan perasaannya." "Bagaimana hati hamba tidak akan berduka me-lihat betapa sri baginda agaknya hanya selalu me-nuruti keinginan beberapa orang kepercayaan saja. Mengejar kesenangan dan kurang mempertimbang-kan usul - usul mereka yang dipercaya sehingga sering kali muncul keputusan dan perintah yang amat berlawanan dengan kehendak rakyat jelata. Hal itu membuat negara kita menjadi tegang dan kacau seperti sekarang ini. Hamba adalah wakil perdana menteri, tentu ikut bertanggung jawab atas keadaan negara. Akan tetapi apa yang dapat hamba lakukan kalau semua usul hamba tidak di-perhatikan " Kalau semua nasihat hamba dikalah-kan oleh bujuk rayu para penjilat " Lebih baik hamba mengundurkan diri saja. Bukan karena ham-ba ingin melarikan diri atau karena kecewa, mela-inkan karena kehadiran hamba di dekat sri baginda sama sekali tidak ada artinya lagi." "Aku dapat mengerti perasaan hatimu, akan te-tapi jalan pikiranmu yang demikian itu sesungguh-nya keliru sama sekali, menteri yang baik. Kalau engkau mundur, apakah keadaan akan menjadi le-bih baik " Tentu akan semakin parah. Aku sendiri tidak berhak mencampuri urusan pemerintahan, akan tetapi aku tahu bahwa kalau engkau mundur, berarti makin berkurang pula menteri yang berani memberi ingat dan menegur sri baginda kalau be-liau melakukan kesalahan dalam tindakannya. Be-tapapun juga, usia sri baginda masih terlalu muda sehingga beliau perlu dibimbing dan dinasihati oleh orang-orang yang bijaksana dan berpengalaman seperti engkau. Sayang bahwa aku hanya mahir dalam urusan ilmu silat, sedikitpun aku tidak tahu akan seluk-beluk pemerintahan, maka aku minta dengan sangat kepadamu, Menteri Kang, secara pribadi dan demi persahabatan kita, agar engkau suka mempertahankan kedudukanmu, mendampingi sri baginda. Biarlah kita bekerja sama. Aku yang mendampingi dan menjaga keselamatan sri bagin-da, sedangkan engkau yang menjaga kebijaksanaan-nya." Setelah bicara dengan panjang lebar, nenek itu menghapus sedikit peluh dari dahi dan leher-nya. "Akan tetapi, tuan puteri... paduka tentu mengenal kekerasan hati sri baginda. Mungkin saja peringatan hamba akan membuat hamba dijebloskan pula ke dalam penjara seperti Menteri Ho yang baik dan jujur itu" "Hemm, kalau begitu engkau merasa takut dan ngeri " Engkau lebih suka melihat keadaan menjadi semakin buruk dari pada kehilangan nyawamu un-tuk negara " Inikah ucapan Wakil Perdana Men-teri Kang yang terkenal setia dan berbudi itu ?" "Bukan begitu, tuan puteri..." Akan tetapi pembesar ini tidak melanjutkan kata- katanya karena pada saat itu terdengar suara hiruk- pikuk dari para pengawal dan penjaga yang berlarian ke dalam gedung, dikejar oleh lebah-le-bah berbisa. Bahkan di ruangan depan gedung itu, terdapat beberapa orang pengawal yang jatuh ber-gelimpangan dan sekarat. Dua orang gadis bertusuk konde batu giok su-dah meloncat ke dalam dan dengan singkat men-ceritakan kepada nenek itu tentang pengamukan suami isteri dari Ban - kwi to yang memperguna-kan lebah - lebah berbisa untuk merobohkan banyak sekali pengawal. Mendengar keterangan dua orang pengawal pribadi yang juga menjadi murid - murid kesayangannya itu, Siang Houw Nio-nio menjadi marah sekali. Dikibaskannya lengan bajunya. "Pek-ji! Ang-ji! Apakah menghadapi iblis Ban- kwi-to saja kalian tidak mampu mengatasi-nya dan perlu menggangguku ?" bentaknya pena-saran. Biasanya, kedua orang muridnya ini sudah dapat mengatasi segala persoalan yang timbul, karena itu ia sudah menaruh kepercayaan besar dan bahkan mengangkat mereka menjadi pengawal-pengawal pribadinya agar ia tidak usah turun KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ ta-ngan sendiri kalau timbul persoalan. Tentu saja ia merasa penasaran dan marah melihat kedua orang murid yang diandalkannya ini sekarang menjadi kacau hanya oleh amukan dua orang iblis Ban-kwi-to saja. "Maaf, subo, sebetulnya teecu berdua tidak akan kalah kalau saja mereka itu mempergunakan ilmu silat biasa. Akan tetapi mereka melepaskan lebah yang ratusan ekor banyaknya, lebah berbisa yang mengerikan sehingga sudah banyak perajurit yang roboh dan keracunan. Teecu berdua kewalahan untuk mengusirnya." Mendengar laporan muridnya yang berbaju putih yang diberi nama panggilan Pek In Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo (Awan Putih) sedangkan yang berbaju merah disebut Ang In (Awan Merah), Siang Houw Nio - nio mengerutkan alisnya. "Lebah berbisa ...... " Apakah berwarna putih dan yang kena sengatannya terus kejang - kejang karena panas yang hebat dan berkelojotan, lalu kulit para korban juga menjadi putih ?" "Benar, subo," kata Ang In. "Hemm, tentu lebah beracun dari pohon - pohon arak di Sin - kiang yang amat berbahaya. Dalam waktu tiga jam kalau tidak diberi obat penawarnya, luka sengatan itu akan menjadi busuk dan sukar ditolong lagi. Menteri Kang, apakah engkau mempunyai arak yang tua, keras dan wangi " Cepat keluarkan dan bawa ke sini. Suruh semua orang membawa obor, karena hanya dengan api sajalah lebah-lebah itu dapat diusir dan mereka sangat suka kepada arak wangi dan keras. Cepat!" Wakil Perdana Menteri Kang lalu memberi pe-rintah kepada pengawal pribadinya dan tak lama kemudian nenek bangsawan itu telah menuangkan arak wangi ke dalam guci arak yang indah buatannya, kuno dan nyeni. la membawa keluar guci arak itu dan meletakkannya di ruangan depan. Dan terjadilah keanehan. Bau arak yang harum itu agaknya menarik lebah lebah putih itu yang beterbangan dengan cepatnya menuju ke guci arak itu dan sebentar saja semua lebah mengerumuni guci dan mengeroyok arak harum itu seperti semut - semut mengerumuni gula. Setelah semua lebah berkumpul di situ, Siang Houw Nio - nio lalu menyingsingkan lengan bajunya dan dengan kedua tangannya ia meraup lebah - lebah itu dan memasukkannya ke dalam sebuah botol besar, kemudian iapun keluar membawa botol terisi lebah - lebah putih itu. Di halaman depan, suami isteri iblis itu masih seperti orang gila, berjongkok dan tertawa terpingkal- pingkal melihat para korban yang berkelojotan di atas tanah. Memang ada lucunya melihat muka yang tertarik- tarik itu dan kaki tangan yang kejang-kejang, akan tetapi bagi orang biasa, tentu rasa ngeri dan kasihan akan mengusir semua bagian yang lucu. "Heh-heh-heh, lihat hidungnya ! Heh-heh, hidungnya jadi bengkok!" kata nenek itu sambil terpingkal- pingkal. "Dan yang sana itu, kakinya menendang-nendang, ha-ha, agaknya dia mimpi belajar ilmu tendangan baru yang sakti, ha-ha-ha!" suaminya juga tertawa bergelak melihat tingkah laku seorang korban lain. "Hemm, kiranya tak salah dugaanku. Im-kan Siang-mo yang datang mengacau, sungguh berani mati sekali!" nenek bangsawan itu berkata. Suami isteri itu terkejut dan cepat melompat berdiri, berdampingan menghadapi nenek itu, me-mandang heran bahwa ada seorang yang mengenal julukan mereka di tempat ini. Akan tetapi ketika mereka melihat nenek yang berpakaian indah dan bersikap penuh wibawa itu, mereka berdua saling pandang dan nampak terkejut, lalu dengan sikap canggung keduanya menjura ke arah nenek itu. "Bagaimana toanio dapat mengenal Im - kan Siang - mo ?" tanya nenek itu dengan suara parau. Siang Houw Nio - nio tersenyum. "Memang baru sekarang aku dengan sial bertemu dengan kalian, akan tetapi siapakah yang tidak pernah mendengar nama kalian sebagai tokoh - tokoh Ban - kwi - to " Kalian mempunyai ciri - ciri badan yang mudah di-kenal. Im - kan Siang - mo, Sepasang Iblis dari A-khirat, juga suami isteri Bouw Mo - ko dan Hoan Mo - li." "Engkau mengenal kami, lalu mau apa ?" tiba-tiba nenek iblis itu menantang. Siang Houw Nio - nio tetap tersenyum dengan tenang. "Lihat, tidak kenalkah kalian kepada lebah-lebah ini lagi ?" Melihat betapa lebah - lebah putih itu berada di dalam botol yang dipegang oleh si nenek sakti, suami isteri itu menjadi marah sekali. "Kembali-kan lebah - lebahku !" bentak Hoan Mo - li, KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ nenek gendut itu sambil menyerang, diturut pula oleh suaminya. Lebah - lebah itu adalah binatang - bi-natang peliharaan mereka yang menjadi sahabat-sahabat baik dan bahkan merupakan senjata mere-ka yang terampuh dalam menghadapi lawan tang-guh, dan mereka memperoleh lebah - lebah itu de-ngan amat sukar, bahkan dengan taruhan nyawa. Belum lagi waktu yang dipergunakan untuk men-jinakkan mereka yang membutuhkan ketelitian, ke-sabaran dan juga mengandung bahaya. Oleh kare-na itu, melihat betapa lebah - lebah itu berada di tangan nenek bangsawan itu, tentu saja mereka menjadi marah dan menyerang dengan dahsyat dan mati - matian. Akan tetapi, suami isteri yang mempunyai pukulan- pukulan beracun itu sekarang seolah- olah ketemu gurunya. Pada hakekatnya, dasar ilmu si-lat dari tokoh - tokoh Ban kwi - to ini tidaklah ter-lalu tinggi. Yang membuat mereka berbahaya bu-kanlah kelihaian ilmu silat mereka, melainkan ra-cun - racun yang mereka pergunakan itulah. Kini, berhadapan dengan Siang Houw Nio - nio yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi, mereka itu mati kutu. Puteri tua yang menjadi bibi dan juga pe-lindung kaisar ini ternyata amat lihai. Ia menghadapi pengeroyokan dua orang itu hanya dengan tangan kanan saja, sedangkan tangan kirinya dipa-kai untuk memegang botol terisi lebah - lebah putih. Biarpun demikian, dengan langkah-langkah ajaib, ia selalu dapat menghindarkan diri dan kedua orang suami isteri iblis itu tidak pernah mampu menyen-tuhnya. Sampai tigapuluh jurus lebih suami isteri itu mendesak tanpa ada gunanya sama sekali. Tiba- tiba, Siang Houw Nio - nio yang tadi hanya ingin melihat dasar - dasar gerakan mereka dan mengu-kur tingkat mereka, meloncat ke pinggir sambil berseru, "Berhenti!!" Seruannya mengandung tenaga khikang yang demikian kuatnya sehingga dua orang lawannya itu, mau atau tidak, otomatis berhenti bergerak dan memandang kepadanya dengan bengong. "Kita tukar lebah - lebah peliharaan kalian ini dengan obat pemunahnya untuk menyembuhkan para korban. Hayo cepat, kalau tidak, kuhancurkan lebah - lebah ini kemudian kepala kalian juga !" Ucapan nenek itu penuh wibawa dan sekali ini suami isteri itu tidak ragu - ragu lagi. Mereka telah memperoleh bukti bahwa nenek ini tidak hanya mengeluarkan gertak sambal belaka, karena selama tigapuluh jurus lebih tadi mereka berdua memang sama sekali tidak berdaya dan kalau nenek itu be-nar-benar hendak membunuh mereka, agaknya hal itu bukan tidak mungkin. "Baik..., baik... ini obat pemunahnya, obat luar dan obat minum. Berikan kembali lebah- lebahku," kata Hoan Mo-li si nenek gendut. Penukaran terjadilah dan Siang Houw Nio-nio lalu memerintahkan dua orang muridnya untuk mengobati para korban. Dan benar saja, setelah diolesi obat luar dan diberi minum obat minum-nya, para korban itu berhenti berkelojotan dan tak lama kemudian merekapun sembuh kembali. Sementara itu, kakek kecil kurus, Bouw Mo - ko, setelah sejak tadi memandang kepada nenek bang-sawan itu, lalu berkata, "Benarkah kami berhadap-an dengan yang mulia Siang Houw Nio-nio?" Mendengar ucapan suaminya itu, Hoan Mo - li juga kelihatan terkejut. Nenek bangsawan itu mengangguk dan berkata, "Nah, kalian boleh pergi dari sini dan jangan mencoba untuk membikin ka-cau di kota ini !" Bouw Mo - ko yang maklum bahwa tinggal le-bih lama di tempat itu tidak menguntungkan mere-ka, lalu menggandeng tangan isterinya. "Isteriku, mari kita pergi dari sini!" "Nanti dulu !" Hoan Mo - li mengibaskan ta-ngannya yang digandeng suaminya. "Siang Houw Nio-nio, perjanjian antara kita hanya mengenai tukar - menukar lebah dan obat penawarnya. Akan tetapi gadis itu adalah tawanan kami, maka kami akan membawanya kembali!" Nenek bangsawan itu menoleh kepada Pek Lian yang ditudingi oleh nenek iblis itu, lalu ia meng-angkat pundaknya. "Tidak ada hubungannya de-nganku," katanya. Mendengar ini, Hoan Mo - li lalu menghampiri Pek Lian. "Anak manis, mari kau ikut dengan kami!" "Tidak sudi! Biar mati aku tidak akan mau menyerah !" bentak Pek Lian sambil melintangkan pedangnya, pedang yang dipungutnya dari atas tanah di halaman itu. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Eh, eh, kau berani melawanku, ya ?" Hoan Mo - li membentak dan menubruk maju. Pek Lian mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi, Bouw Mo - ko kini juga sudah maju menubruk dan Pek Lian menjadi repot sekali. Melawan seorang di an-tara kedua iblis itu saja ia takkan mampu menang, apa lagi kalau dikeroyok dua. Akan tetapi pada saat itu, Pek In dan Ang In sudah menerjang maju membantunya. "Eh, eh, bukankah gadis tawananku ini tidak termasuk perjanjian tukar - menukar lebah ?" Hoan Mo - li mencela. "Kalian berjanji dengan subo, bukan dengan ka-mi. Kami tidak terikat perjanjian!" jawab Pek In yang terus menggerakkan pedangnya, dibantu oleh Ang In dan Pek Lian. Kini dua orang suami isteri iblis itu yang menjadi kewalahan. Untuk mempergunakan racun, mereka segan dan jerih terhadap Siang Houw Nio-nio, maka akhirnya sambil mengeluarkan seruan - seruan marah dan kecewa, keduanya meloncat ke atas gerobak dan melarikan gerobak mereka itu dengan cepat meninggalkan tempat itu, langsung keluar dari pintu gerbang ko-ta besar Lok yang. Setelah dua orang iblis itu melarikan diri, Siang Houw Nio - nio memandang kepada Pek Lian de-ngan sinar mata penuh selidik, kemudian bertanya, "Nona, siapakah engkau ?" Pek Lian merasa ragu - ragu untuk menjawab. Ia tahu siapa adanya nenek ini yang masih keluarga dekat kaisar. Tentu saja ia tidak berani mengaku bahwa ia adalah puteri Menteri Ho yang kini men-jadi musuh dan tawanan pemerintah. Sebagai bibi kaisar, tentu saja nenek inipun memusuhi keluarga Ho yang dianggap pemberontak. Melihat keraguan Pek Lian, gadis baju merah lalu berkata sebagai keterangan kepada subonya, "Gadis ini tentu merupakan kawan dari orang-orang Lembah Yang - ce yang memberontak. Anak buah teecu pernah menawannya. Bukankah begi-tu ?" tanyanya kepada Pek Lian. Pek Lian tak dapat menyangkal akan hal ini dan iapun tahu bahwa tentu wanita wanita bertusuk konde batu giok itu telah melapor kepada pimpinan mereka ini. Maka iapun menjawab dengan suara mengejek, "Hemm... kiranya wanita - wanita bertusuk konde batu giok itu adalah anak buah-mu ?" Pek Lian memandang ke arah tusuk konde pada rambut nona baju merah itu. "Anak buahmu itu sungguh kurang ajar sekali. Aku hanya pernah berjalan bersama sama ketua lembah itu saja, dan aku lalu ditangkap ! Aturan mana itu ?" "Adik yang baik, kaumaafkanlah anak buah ka-mi. Akan tetapi orang - orang lembah itu adalah buronan pemerintah, maka karena engkau menge-nal mereka, sudah selayaknya kalau engkau dicu-rigai," kata Pek In si baju putih. "Akan tetapi, apa hubungannya dengan wanita-wanita baju sutera hitam bertusuk konde batu giok itu " Ada hak apakah mereka mencurigai orang ?" Pek Lian bertanya penasaran. Gadis baju putih itu tersenyum dan kalau biasa-nya ia nampak gagah, kini baru terlihat jelas bahwa wajahnya manis sekali kalau tersenyum. "Adik, tahukah engkau siapa pembesar pemilik gedung ini " Beliau adalah Wakil Perdana Menteri Kang, dan guru kami ini, beliau adalah bibi dari sri baginda kaisar. Nah, kini engkau mengerti mengapa anak buah kami mencurigai orang - orang yang menjadi teman para pemberontak, bukan ?" Tentu saja Pek Lian sama sekali tidak terkejut mendengar siapa adanya pembesar dan nenek bang-sawan itu karena memang ia sudah pernah menge-nal dan mendengar tentang mereka. Hanya tadi ia merasa kagum bukan main menyaksikan kelihaian nenek itu ketika menghadapi Im - kan Siang - mo, suami isteri iblis yang lihai itu. Dan baru sekarang ia tahu bahwa pasukan wanita berpakaian sutera hitam dengan tusuk konde batu giok itu adalah anak buah murid Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo - murid dari Siang Houw Nio - nio jadi orang-orangnya pemerintah! Atau setidak-nya adalah golongan yang membela kaisar. Ia sendiri tidak ingin dikenal sebagai puteri Menteri Ho karena hal ini akan berbahaya sekali baginya. Maka, ketika melihat Wakil Perdana Men-teri Kang keluar dan memandang kepadanya de-ngan sinar mata tajam, Pek Lian menundukkan mukanya. Menteri Kang itu mengerutkan alisnya dan merasa seperti pernah mengenal gadis ini. akan tetapi dia lupa lagi. Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau sampai ia dikenal " Tidak ragu lagi, ia tentu akan ditangkap sebagai anggauta keluarga pemberontak. Ia harus berhati - hati da-lam memberi jawaban, pikirnya dan ia tidak boleh terlalu banyak bicara. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Nona, siapakah engkau " Benarkah orang-orang Lembah Yang - ce itu adalah kawan - kawan mu " Ataukah engkau barangkali juga anggauta pemberontak ?" kembali wanita tua itu bertanya dengan halus, namun sinar matanya seperti hendak menembus jantung Pek Lian. "Saya adalah seorang perantau dan kebetulan bertemu di jalan dan berkenalan dengan ketua lem-bah itu. Karena saya pernah ditolongnya, maka kami menjadi sahabat, akan tetapi saya bukan anggauta mereka." "Di manakah sekarang sahabatmu, ketua lembah itu ?" Ho Pek Lian memang tidak tahu ke mana pergi-nya Kwee Tiong Li yang ikut bersama gurunya yang baru, yaitu kakek Kam Song Ki yang lihai. Maka iapun menggeleng kepalanya dan berkata, "Saya tidak tahu. Kami saling berpisah tiga hari yang lalu dan saya ditawan oleh pasukan tusuk konde batu giok lalu dirampas oleh sepasang iblis itu." Wakil Perdana Menteri Kang mempersilahkan nyonya bangsawan itu untuk duduk kembali di ruangan tamu melanjutkan percakapan mereka. Siang Houw Nio - nio memberi isyarat kepada dua orang muridnya, "Bawa ia masuk dan awasi baik-baik." Pek In dan Ang In lalu memegang kedua ta-ngan Pek Lian dengan halus dan mengajaknya ma-suk pida ke ruang tamu di mana kedua orang gadis itu duduk agak jauh di belakang nenek yang kini melanjutkan percakapan dengan Menteri Kang. Dua orang muridnya adalah orang-orang keper-cayaan maka diperbolehkan untuk hadir. Dan ne-nek ini biarpun seorang bangsawan, akan tetapi sikapnya seperti orang kang - ouw, tidak begitu perduli akan segala peraturan. Bahkan ia seperti sengaja membiarkan Pek Lian ikut pula mendengar-kan, agaknya memang nenek ini ingin memancing agar Pek Lian dapat memberi keterangan lebih banyak tentang para pemberontak. Pek Lian duduk diapit-apit dua orang gadis lihai yang biarpun bersikap halus akan tetapi tetap saja merupakan pengawal - pengawal yang takkan membiarkan ia lolos. Diam - diam Pek Lian memasang telinga men-dengarkan percakapan tingkat tinggi itu. "Menteri Kang, sekali lagi kuharapkan engkau suka memegang lagi jabatanmu dan mengurungkan niatmu untuk mengundurkan diri. Hal ini telah diputuskan oleh para penasihat istana dalam rapat terakhir dengan sri baginda kaisar sendiri. Akulah yang ditugaskan datang ke sini untuk menyampai-kannya kepadamu." Wakil Perdana Menteri Kang mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Kalau hamba menolak, tentu paduka telah mendapat wewenang dari sri baginda untuk memenggal kepala hamba sekeluarga, bukan " Begini, tuan puteri. Hamba siap untuk kembali, akan tetapi hamba juga siap untuk membiarkan kepalaku dipenggal sekarang juga oleh paduka." Nenek itu mengerutkan alisnya dan sinar mata-nya mencorong menatap wajah pembesar itu. "Hem, apa maksudmu, Menteri Kang ?" "Hamba siap untuk bertugas kembali, apa bila syaratnya dipenuhi. Hamba mohon agar para menteri jujur dan setia yang dipecat dan dipensiunkan agar diampuni dan ditarik kembali karena tenaga mereka amat dibutuhkan negara, termasuk sahabat hamba Menteri Ho. Menteri Ho hendaknya diam-puni dari hukuman mati, keluarganya dibebaskan dan agar dia menduduki lagi jabatannya. Demikianlah, tuan puteri. Kalau permohonan hamba itu tidak dipenuhi, maka lebih baik hamba menerima untuk di..." "Nanti dulu, Menteri Kang!" nenek itu menyela. "Mana mungkin aku dapat memutuskan hal itu sekarang! Bukan wewenangku. Akan tetapi aku akan berusaha untuk menyampaikan permohonanmu kepada sri baginda dan akan berusaha agar beliau mengabulkannya. Aku mendengar bahwa sri baginda telah menghentikan empat orang menteri, bahkan menjatuhkan hukuman mati kepada seorang di antaranya yang kini sedang hendak menjalankan pelaksanaan hukuman matinya. Menteri itu adalah sahabat karibmu" Nenek itu menghela napas. Ia tidak tahu betapa jantung Pek Lian berdebar penuh ketegangan dan keharuan. Betapa tidak akan tergetar rasa hati gadis ini mendengar orang membicarakan ayahnya. Akan tetapi ia menguasai hatinya dan hanya menundukkan muka sambil terus mendengarkan dengan penuh perhatian. "Maaf, tuan puteri. Soalnya bukan semata-mata karena Menteri Ho adalah sahabat karib hamba. Andaikata hamba tidak mengenal dia sekalipun, tetap dia akan hamba bela karena hamba tahu bahwa dia adalah satu di antara para pembantu sri baginda yang terbaik, paling jujur dan setia sampai ke tulang - tulang sumsumnya." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Tapi dia berani menentang kebijaksanaan sri baginda !" kata nenek itu penasaran. "Tidak, tuan puteri. Bukan menentang sri baginda, melainkan mengingatkan beliau bahwa ke-putusan yang diambil beliau itu kurang tepat dan pada akbarnya hanya akan merugikan negara sen-diri. Hanya menteri-menteri- jujur sajalah yang berani mengeritik, sebagai tanda bahwa dia benar-benar setia, bukan sebangsa pejabat yang pandai-nya hanya menjilat jilat, menyenangkan hati sri baginda karena pamrih untuk mencari kedudukan dan pengaruh, pejabat macam ini sesungguhnya adalah pengkhianat, musuh dalam selimut yang amat berbahaya. Kenapa justeru menteri yang ju-jur dan setia yang harus ditangkap dan dihukum ?" "Sudahlah, aku mengerti apa yang kaumaksud-kan. Aku akan menghadap sri baginda dan tunggu-lah selama satu minggu. Aku akan datang lagi, Pek-ji, Ang-ji, mari kita pulang. Bawa nona itu sebagai kawan." Biarpun nenek itu menyebut "kawan" namun dua orang muridnya tentu saja maklum bahwa guru mereka mencurigai nona ini yang harus dibawa sebagai seorang tawanan. Pek Lian tidak memban-tah. Ia dan dua orang murid Siang Houw Nio - nio itu diberi pinjaman pakaian oleh keluarga Wakil Perdana Menteri Kang untuk mengganti pakaian mereka yang tadi basah ketika mereka berkelahi melawan Im - kan Siang - nio. Setelah berpamit, rombongan puteri tua itu meninggalkan Lak-yang untuk kembali ke kota raja. Pengawal yang tadi-nya berjumlah empatbelas orang itu masih utuh biarpun mereka telah menderita luka - luka berat yang kemudian dapat disembuhkan kembali. Ten-tu saja mereka masih nampak loyo. Akan tetapi, sesungguhnya tugas mereka itu lebih banyak se-bagai tanda kebesaran saja dari pada benar benar mengawal puteri tua yang amat lihai dan yang ten-tu saja sama sekali tidak membutuhkan pengawal-an orang - orang seperti mereka. Pek Lian menung-gang kuda di belakang kereta, diapit oleh Pek In dan Ang In. Dua orang gadis ini bersikap manis kepadanya, sama sekali tidak bersikap seperti orang yang menawannya. Pek Lian mengakui namanya, hanya she Ho itu digantinya dengan she palsu, yaitu she Sie. *** Hujan telah berhenti sama sekali sehingga para pengawal, juga Pek In, Ang In dan Pek Lian yang berada di luar kereta tidak lagi basah oleh air hujan. Nenek bangsawan itu sengaja membuka tirai kereta sehingga dari belakang, sambil naik kuda yang disediakan oleh keluarga Menteri Kang, Pek Lian dapat melihat wajah nenek itu yang duduk termenung seperti patung. Diam - diam, seperti tidak sengaja, Pek Lian memperhatikan wajah itu. Seorang wanita yang sudah tua, usianya tentu ada enampuluh lima tahun, akan tetapi masih jelas membayang bekas kecantikannya. Wajah itu masih putih lembut biarpun di sana - sini, terutama di kanan kiri mulut dan di antara kedua mata, terdapat keriput. Alisnya diperindah dengan hiasan hi-tam seperti sudah lajimnya dilakukan oleh para wanita bangsawan. Mulut itu dahulu tentu indah dan penuh gairah, masih nampak jelas garis - garis lengkungnya, akan tetapi kini membayangkan se-suatu yang menyeramkan, menimbulkan sifat di-ngin dan juga keras. Pek Lian teringat akan cerita ayahnya tentang wanita ini, seorang bibi dalam dari kaisar dan juga menjadi pelindung kaisar. Bia-sanya wanita ini selalu berada di dalam istana, menjadi semacam pelindung tersembunyi dari kaisar, di samping adanya pengawal - pengawal pribadi kaisar yang dipimpin oleh Pek-lui-kong Tong Ciak si pendek cebol tokoh Soa-hu-pai itu. Karena nenek ini tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, maka perkenalannya dengan Menteri Ho juga hanya sepintas lalu saja, bahkan Pek Lian sendiri hanya baru mendengar namanya saja dan belum pernah berkenalan secara langsung, hanya melihatnya dari jauh. Tidak demikian dengan Wa-kil Perdana Menteri Kang yang menjadi sahabat baik ayahnya. Ia pernah bertemu, bahkan berke-nalan dengan pembesar ini, walaupun hanya meru- pakan pertemuan sambil lalu. Karena itulah maka pembesar itu meragu dan tidak mengenalnya tadi. Kereta itu dengan tenangnya meluncur keluar dari pintu gerbang benteng sebelah utara. Para penjaga yang mengenal kereta dengan tanda - tan-da pangkatnya ini, cepat berdiri tegak memberi hormat dan kereta itu lewat dengan cepatnya, Pada saat itu, Ang In mendekati jendela kereta dan berkata kepada nenek Siang Houw Nio - nio. "Subo, di depan terdapat empat orang dari per-kumpulan Thian - kiam - pang. Mereka juga keluar dari pintu gerbang dan juga membawa sebuah kereta." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Nenek itu mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam karena alis itu buatan dengan alat penghitam. "Biarkan saja, kenapa ribut-ribut " Jangan perdulikan bocahbocah ingusan itu. Pura-pura tidak melihat saja!" Jelas bahwa dalam kata-kata nenek itu terdapat kemarahan atau ke-mengkalan hati yang tidak senang. "Tapi tapi, subo di sana terdapat Yap-suko ! Teecu... teecu..." gadis baju merah itu tergagap. Juga nona Pek In nampak gugup seperti adik seperguruannya. Melihat semua ini, Pek Lian memandang heran. Ada apakah " Ia juga melihat kereta di depan dengan beberapa orang pemuda perkasa yang mirip dengan rom-bongan pria yang pernah dilihatnya ketika ia masih bersama kedua orang suhunya. Orang - orang Thian-kiam-pang ! Pria gagah perkasa, berbaju putih-putih membawa pedang pasangan yang panjang, sikap merekapun gagah dan Tombak Panca Warna 3 Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Petualangan Manusia Harimau 4