Darah Pendekar 6
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 6 jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan pendekar-pendekar perkasa. "Huh, kalau ada bocah itu, kenapa sih " Apa-kah kalian takut padanya?" nenek itu bertanya dan nampaknya semakin penasaran. "Lihat, apa yang dapat mereka lakukan kalau ada aku di sini !" Ho Pek Lian menjadi semakin heran. Ada apa-kah antara nenek dan dua orang muridnya itu de-ngan orang-orang dari Thian - kiam - pang, sehing-ga dua orang gadis lihai itu nampak seperti gentar dan kehilangan keberanian mereka " Apakah orang-orang Thian - kiam - pang itu musuh- musuh mere-ka dan apakah mereka itu demikan lihainya se-hingga dua orang gadis itu kelihatan gentar" Ka-rena tertarik, Pek Lian agak menjauhkan kudanya dari kereta untuk dapat melihat lebih jelas ke arah orang - orang Thian - kiam - pang yang berada di depan itu. Kereta di depan itu agaknya berjalan lambat-lambat sehingga hampir tersusul oleh kereta yang ditumpangi Siang Houw Nio-nio. Kini Pek Lian dapat melihat lebih jelas. Orang - orang dari Per-kumpulan Pedang Langit itu rata - rata berusia antara tigapuluh lima sampai empatpuluh tahun, kelihatan tegap dan gesit, rata - rata bersikap ga-gah dan membayangkan kepandaian silat yang tinggi. Setelah kereta yang berada di belakang itu menyusul dekat, pria pria gagah perkasa yang rata - rata berpakaian serba putih itu serentak me-nengok ke belakang dan kesemuanya nampak ter-kejut sekali dan kikuk, persis seperti sikap Pek In dan Ang In ketika melihat mereka ! Jadi ada sema-cam rasa tidak enak, segan dan takut antara kedua rombongan itu. Kini Pek Lian teringat betapa wanita-wanita berpakaian sutera hitam yang me-makai tusuk konde batu giok itupun nampaknya kikuk ketika pria - pria gagah itu bertemu dengan pimpinan wanita bertusuk konde batu giok. Empat orang pria itu meringis, senyum yang masam dan kikuk, dan mereka hampir berbareng menegur ke-pada dua orang gadis itu. "Adik Pek! Adik Ang!" Teguran yang dilakukan dalam keadaan cang-gung itu membuat dua orang gadis itu kelihatan makin serba salah, keduanya hanya tersenyum masam sambil sedikit mengangguk ketika mende-ngar sebutan itu. Padahal, melihat nada suara se-butan itu, mudah diduga bahwa hubungan antara mereka itu sesungguhnya amat dekat. Kini dua orang gadis itu hanya mengerling tajam dengan sikap takut-takut ke arah jendela kereta. Mereka merasa lebih gugup ketika melihat betapa kereta itu, kereta para pria itu, berhenti dan pemuda yang tadi duduk di bangku kusir kini meloncat turun dan menghampiri mereka ! Pemuda ini nampaknya paling muda di antara mereka berempat, akan te-tapi melihat caranya memberi isyarat kepada yang lain untuk berhenti dan yang lain mengangguk ta-at, dapat diduga pula bahwa kedudukannya adalah yang paling tinggi. Tentu saja Pek In dan Ang In tahu siapa pemuda ini. Namanya Yap Kiong Lee dan biarpun usianya termuda di antara yang lain, yaitu baru ti-gapuluh satu atau dua tahun, akan tetapi dia ada-lah murid tertua atau paling lama sehingga meru-pakan toa - suheng dari yang lain dan tingkat ilmu silatnya juga paling tinggi. Melihat dua orang ga-dis itu, murid Thian - kiam - pang yang paling lihai ini tersenyum girang dan dengan langkah lebar menghampiri sambil menegur. "Hei, kiranya Pek-siauwmoi dan Ang-siauwmoi ! Apa kabar, adik-adik yang manja " Dari manakah" tiba-tiba dia terdiam ketika dua orang gadis itu kelihatan ketakutan dan kebingung-an, memandang ke arah jendela kereta di belakang itu. Cepat dia menghentikan langkahnya dan me- mandang ke arah jendela kereta pula, wajahnya agak berobah dan sikapnya menjadi gugup pula, Tiba - tiba terdengar suara nenek bangsawan dari dalam kereta, suaranya agak ketus, "Hayo, Pek-ji dan Ang-ji! Jangan layani bocah - bocah itu!" Pek In dan Ang In menjadi semakin ketakutan. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Yap-suheng... aku... aku..." Pek In tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menjalankan kudanya maju menjauhi pemuda itu, disusul oleh Ang In. Yap Kiong Lee juga kelihatan jerih, sambil mennura ke arah kereta, diapun berkata, "Subo...!" Dan saudara-saudara seperguruannya juga menjura dengan hormatnya. Akan tetapi, nenek di dalam kereta itu sama sekali tidak menjawab dan kereta-nya lewat dengan cepat mendahului kereta Thian-kiam - pang itu dan Pek Lian juga mengikuti kereta sambil melirik dengan penuh keheranan. Betapa anehnya semua orang ini, pikirnya. Je-laslah bahwa mereka itu saling mengenal dengan amat baiknya, apa lagi pemuda she Yap itu sudah jelas memiliki hubungan yang amat akrab dengan dua orang gadis itu. Akan tetapi mengapa mereka itu bersikap seolah - olah mereka bermusuhan atau merasa takut untuk memperlihatkan keakraban " Pek Lian melirik ke belakang ketika mereka me-lalui kereta orang-orang Thian - kiam - pang itu, dan ia melihat kereta itupun bergerak dengan ce-patnya, melalui jalan kecil di sebelah kiri dan agak-nya memang hendak mengambil jalan lain agar tidak sejalan dengan nenek bangsawan. Sebentar saja kereta mereka itu lenyap, meninggalkan debu mengepul tinggi. Sementara itu, kereta nenek bangsawan jalan seenaknya seperti yang diperintahkan oleh nenek itu kepada kusirnya. Ketika kereta Siang Houw Nio - nio memasuki kota kecil di sebelah timur kota raja, hari telah senja. Jarak antara kota kecil Bin - an dengan Kota Raja Tiang - an tinggal perjalanan setengah hari saja. Akan tetapi karena nenek bangsawan itu tidak ingin melakukan perjalanan di malam hari, ia me-merintahkan agar mereka bermalam di kota kecil Bin - an. Dan biarpun ia seorang yang berkeduduk-an tinggi di istana, namun karena ia tidak terma-suk orang pemerintahan dan tidak begitu menge-nal para pejabat, iapun tidak mau merepotkan pe-jabat kota itu dan memerintahkan dua orang mu-: ridnya untuk mencari penginapan, tentu saja hotel yang paling baik dan besar di kota itu. Hotel itu selain besar dan mempunyai banyak kamar, juga menyediakan sebuah rumah makan yang mewah. Nenek Siang Houw Nio-nio segera memasuki kamar yang disediakan untuknya dan memesan kepada Pek In dan Ang In agar untuk makan malamnya, diantar saja ke dalam kamar karena ia enggan keluar. "Kalian boleh makan di luar dan jalan-jalan, akan tetapi jaga jangan sampai gadis itu lolos," katanya. Dua orang gadis itu menyanggupi lalu mereka mengajak Pek Lian keluar dan memasuki rumah makan itu. Sikap keduanya gembira dan terhadap Pek Lian mereka menganggap seperti se- mang sahabat sendiri. "Adik Pek Lian, engkau tahu bahwa demi tugas, kami harus mengawasimu karena engkau dicurigai, akan tetapi percayalah bahwa kami suka kepadamu dan sedikitpun kami tidak mempunyai hati benci atau memusuhimu," demikian mereka pernah ber-kata sehingga di dalam hatinya, Pek Lian juga su-ka kepada dua orang gadis yang berilmu tinggi ini. Ketika mereka memasuki rumah makan, tempat itu penuh dengan tamu - tamu yang makan minum. Ada sebuah meja kosong di sudut dan tiga orang gadis itu duduk menghadapi meja ini, tidak jauh dari meja di mana terdapat empat orang laki - laki yang menarik perhatian mereka. Di pinggang mereka ini terselip golok. Padahal, waktu itu sudah ada larangan membawa senjata. Jelaslah bahwa empat orang ini termasuk jagoan - jagoan dan dua orang di antara mereka mempunyai lengan yang dibalut, tanda bahwa mereka telah mengalami luka. Sikap mereka kasar - kasar dan diam - diam Pek Lian melirik penuh perhatian karena ia merasa seperti pernah melihat wajah - wajah kasar ini. Empat orang kasar itu kini menjadi semakin kasar karena mereka telah agak kebanyakan minum arak keras. Ketika mereka minta tambah arak dan pelayan datang agak terlambat, seorang di antara mereka bangkit berdiri dan menampar pelayan itu. Pelayan yang sial itu roboh terguling dengan pipi bengkak dan pingsan. Tentu saja keadaan menjadi gempar. Banyak di antara para tamu merasa tidak enak dengan adanya peristiwa ini dan mereka su-dah bangkit berdiri, bermaksud meninggalkan tem-pat itu. Akan tetapi, empat orang kasar itu bangkit berdiri, mencabut golok mereka dan mengacung-acungkannya ke atas. "Jangan ribut! Teruskan kalian makan, siapa berani pergi akan kami bunuh !" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Tentu saja para tamu menjadi semakin ketakut-an. Mereka tidak jadi pergi, akan tetapi tentu saja napsu makan sudah lama terbang meninggalkan hati mereka. Para pelayan lain dengan ketakutan segera menggotong pelayan sial yang pingsan itu. "Harap nona suka hati-hati," bisik seorang di antara para pelayan ketika mereka lewat dekat me-ja tiga orang gadis itu. Ketika ada beberapa orang petugas keamanan kota memasuki rumah makan, para tamu meman-dang dengan penuh harapan. Tentu mereka akan menangkap empat orang yang jelas merupakan penjahat-penjahat kasar itu. Akan tetapi, empat orang itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan seorang di antara meieka mengangkat kakinya ke atas meja secara menantang sekali. Dan anehnya, para petugas keamanan itu nampak ragu - ragu! Hal ini tentu saja amat mengherankan hati Pek Lian. Kota kecil ini tidak terlalu jauh dari kota raja, akan tetapi mengapa para penjahat ini begitu beraninya, seolah - olah menantang petugas keaman-an " Melihat sikap mereka, Ang In hampir tidak dapat menahan hatinya, akan tetapi sucinya berkedip kepadanya dan mencegahnya turun tangan karena Pek In ingin melihat perkembangannya. Empat orang yang mabok - mabokan itu agak-nya tidak memperdulikan kanan kiri dan kesem-patan ini dipergunakan oleh Pek Lian untuk meng-gapai pelayan yang tadi membisikkan peringatan kepada mereka bertiga. Pelayan itu datang ke me-ja mereka dan sambil berpura - pura memesan ma-kanan, Pek Lian berbisik dan bertanya kepada pelayan itu tentang empat orang kasar tadi. Sam-bil berbisik pula, dengan singkat pelayan itu lalu bercerita. Kiranya memang sudah kurang lebih sepekan ini kota kecil itu didatangi oleh penjahat - penjahat yang beraksi di sekitar kota raja, termasuk di kota kecil itu. Ketika para petugas keamanan turun tangan bertindak, para penjahat melawan dan be-berapa orang petugas tewas dalam perkelahian. Hal ini membuat para komandan marah dan diada-kanlah pembersihan terhadap para penjahat. Akan tetapi, ketika diadakan pembersihan pada siang harinya, maka pada malam harinya, terjadilah pembunuhan-pembunuhan gelap terhadap para komandan yang memimpin pembersihan. Dan di setiap tempat di mana perwira itu dibunuh, terdapat sebuah bendera kecil berdasar hitam dengan gambar harimau berwarna kuning. Di pinggang harimau itu melilit sebuah rantai yang kedua ujung nya bermata tombak. Mendengar penuturan itu, Pek Lian menahan kagetnya. Bukankah gambar yang dilukiskan itu merupakan tanda dari San - hek - houw (Harimau Gunung Hitam), raja kaum perampok dan begal, copet dan maling, yang merupakan seorang di an-tara Sam - ok (Tiga Jahat) " "Hemm, mengherankan sekali," kata Ang In. "Apakah tidak ada pasukan penjaga keamanan dari kota raja ?" tanyanya kemudian. Pelayan itu sambil berbisik melanjutkan cerita-nya. Agaknya dia termasuk orang yang suka de-ngan kabar angin, dan suka bercerita pula, agak-nya bangga karena dia dapat menceritakan semua itu. Menurut kabar, oleh penguasa kota telah dila-porkan ke kota raja, akan tetapi sampai hari itu belum ada hasilnya. Para penjahat itu nampaknya semakin berani. Beberapa kali terjadi perkelahian antara para penjahat dan para penjaga yang diban-tu oleh pendekar pendekar yang kebetulan lewat di situ dan yang membela rakyat dari ancaman para penjahat. Hampir setiap hari. Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terjadi pembu-nuhan. Baru, kemarin terjadi pertempuran sengit antara para penjahat dengan beberapa orang pen-dekar dari Kun - lun - pai. Para penjahat melari-kan diri sambil membawa teman - teman mereka yang terluka karena lima orang pendekar Kun - lun-pai itu lihai sekali. Akan tetapi, kemudian muncul seorang laki - laki tinggi besar yang berjubah kulit harimau. Laki - laki tinggi besar ini selalu diikuti oleh dua ekor harimau kumbang dan lima orang pendekar Kun - lun - pai itu tewas semua di tangan raja penjahat ini! "Dan mereka itu..." kata si pelayan sambil melirik ke arah empat orang yang duduk di meja sambil tertawa- tawa itu. " adalah sebagian dari penjahat-penjahat yang melarikan diri karena kalah oleh pendekar-pendekar Kun-lun-pai" Mendengar penuturan itu, Pek Lian mengepal tangannya di bawah meja dan tanpa disadarinya lagi iapun berkata gemas, "Hemm, orang-orang si Raja Kelelawar sudah mulai merajalela !" Setelah mengeluarkan kata-kata itu dan melihat betapa dua orang gadis itu memandangnya dengan aneh, barulah Pek Lian terkejut sendiri. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Adik Pek Lian sudah mengenal Raja Kelelawar dan pengikut - pengikutnya ?" tanya Pek In sambil memandang tajam. "Ah, tidak..." kata Pek Lian yang sudah menyadari bahwa ia tadi terdorong oleh perasaan- nya dan kelepasan bicara. "Aku hanya mendengar berita angin saja bahwa kini kaum hitam telah bersatu dan dipimpin oleh seorang raja penjahat besar yang bernama Raja Kelelawar. Raja ini ka- barnya dibantu oleh dua orang pimpinan penjahat yang berjuluk Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti." Gadis baju merah mengangguk-angguk. "Memang berita itu benar. Anak buah yang kami kirim ke tempat pertemuan itu juga melaporkan demikian. Kiranya engkaupun sudah mendengar akan berita menghebohkan itu." Ang In tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu terdengar suara berisik derap kaki kuda di luar restoran. Pelayan yang datang mengantar hidangan ke meja tiga orang gadis itu, menjadi pucat ketika menaruh mangkok-mangkok di atas meja. "Celaka... mereka... mereka datang lagi ......!" Dan setelah menaruh masakan-masakan panas di atas meja, pelayan itu bergegas pergi meninggalkan ruangan dan bersembunyi di bagian belakang res-toran bersama temantemannya. Empat orang kasar itu kini semakin mabok dan semakin ugal-ugalan. Kata-kata mereka kasar dan juga jorok dan cabul, apa lagi setelah kini mereka melihat adanya tiga orang wanita cantik tidak jauh dari meja mereka. Kata-kata mereka mulai menyindir dan mengenai tiga orang wanita itu se-hingga wajah ketiga orang gadis itu menjadi merah karena marahnya. "Ha - ha - ha, A - tung, gadis - gadis di sini memang berani - berani. Lihat saja, banyaknya gadis yang datang mendekati kita ke manapun kita ber-ada. Ha - ha - ha 1" "Memang rejeki kita sedang besar. Tapi, kita berempat sedangkan yang ada hanya tiga, harus diundi !" "Aku ingin yang paling muda!" "Kalau aku yang lebih tua, karena tentu lebih berpengalaman dan lebih menyenangkan." Ang In sudah meraba gagang pedangnya, akan tetapi lengannya disentuh oleh sucinya yang mela-rangnya untuk menanggapi orang - orang kasar itu. Pek In lebih hati - hati dari pada sumoinya, ia sela-lu ingat bahwa mereka berada dalam tugas dan mereka tidak sepatutnya kalau melibatkan diri dengan urusan pribadi. Mereka hanya akan bergerak kalau ada perintah dari subo yang juga menjadi majikan mereka. Kalau mereka menimbulkan keributan karena urusan pribadi, tentu mereka akan meneri-ma teguran dari subo mereka. Akan tetapi, empat orang kasar itu agaknya tidak tahu gelagat dan mereka itu makin menjadi-jadi kurang ajarnya. Apa lagi ketika Pek Lian yang merasa marah karena dirinya dibicarakan secara jorok itu, melirik dengan sinar mata berapi. Seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, bangkit dan dengan langkah sempoyongan menghampiri meja tiga orang gadis yang sedang mulai makan itu. "Ha-ha-ha, nona manis, jangan jual mahal. Mari makan bersama kami" Dan diapun mengulurkan tangannya hendak meraba dada Pek Lian. Gadis itu tidak dapat lagi mengendalikan, kemarahan hatinya. Disambarnya mangkok kuah bakso panas dan "sekali ia menggerakkan tangan "byuurrr" kuah panas itu menyiram muka yang berkumis tebal itu. "Aduuhhh... auphh... panas, panas... !" Dia menjerit - jerit, kulit mukanya terbakar, matanya kemasukan kuah yang banyak mericanya, terasa pedas dan perih. Tiga orang kawannya terkejut dan marah sekali, meloncat sambil, mencabut golok mereka. Suasana menjadi panik karena para tamu sudah menjadi ketakutan. Akan tetapi, sebelum empat orang kasar itu sempat turun tangan, terdengar bentakan yang amat nyaring, "Tahan ! Jangan mengganggu wanita !!" Kiranya yang membentak dan yang kini telah berdiri di situ adalah Yap Kiong Lee, murid kepala dari ketua Thian - kiam - pang itu. Tiga orang su-tenya dengan sikap tenang berdiri di belakangnya. Kiranya derap kaki kuda tadi adalah kuda dan kereta mereka. Empat orang kasar itu adalah penjahat - penja-hat yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Apa lagi sekarang, sepeiti diceritakan oleh pelayan tadi dan diketahui pula oleh tiga orang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ gadis, mereka sedang berbesar hati karena banyak kawan mereka merajalela di situ, dan mereka merasa di-lindungi oleh raja mereka, Si Harimau Gunung ! Mengandalkan semua ini, tentu saja mereka tidak merasa gentar menghadapi empat orang pria muda ini. "Keparat jahanam ! Berani engkau hendak men-campuri urusan kami ?" bentak pimpinan gerom-bolan empat orang penjahat itu yang kepalanya botak kelimis sambil menudingkan goloknya ke arah muka Yap Kiong Lee. Pemuda ini tersenyum tenang saja. "Mengganggu wanita di tempat umum bukan-lah urusan pribadi, melainkan urusan umum karena kalian telah mengacaukan orang lain di tempat umum, Sebaliknya kalian berempat pergi saja dari sini dan jangan membuat gaduh." "Keparat!" Si botak itu dengan marahnya mem-bacok dengan goloknya ke arah leher pemuda she Yap. Namun, dengan amat mudahnya, pemuda she Yap ini miringkan kepala dan golok itu lewat di dekat lehernya tanpa menyentuhnya sedikitpun ju-ga. Hanya seorang ahli silat tinggi sajalah yang dapat mengelak seperti itu, sedikit saja dan membiar-kan senjata lawan lewat dekat. Karena gerakan yang sedikit inilah yang memungkinkan dia dapat cepat pula melakukan serangan balasan. Akan tetapi agaknya pemuda itu sabar sekali dan tahu bahwa -dia hanya menghadapi orang - orang kasar. Dia tidak membalas dan pada saat itu, dua orang sute-nya sudah maju. "Toa - suheng, biarkan kami yang maju meng-hajar bajingan - bajingan kecil ini!" Dua orang sutenya itu lebih tua beberapa tahun dari pada Kiong Lee, akan tetapi mereka menyebut suheng, bahkan toa - suheng atau kakak seperguruan terbe-sar karena memang pemuda inilah yang pertama kali menjadi murid ketua Thian - kiam - pang. Yap Kiong Lee segera mundur dan dua orang sutenya maju. Empat orang kasar itu tidak perduli dan mereka sudah menerjang dengan golok mereka. Akan tetapi, dua orang murid Thian - kiam - pang yang maju ini adalah murid-murid kepala, murid-murid pilihan yang sudah mempunyai ilmu kepan-daian tinggi. Dengan kedua tangan kosong saja mereka menghadapi empat orang bergolok itu dan membagi - bagi pukulan dengan enaknya, membuat empat orang kasar itu jatuh bangun dan akhirnya mereka memperlihatkan warna aselinya, yaitu pe-ngecut - pengecut yang beraninya hanya main keroyok, menindas yang lemah dan kalau bertemu tanding yang lebih kuat, mereka itu berlumba me-larikan diri! Yap Kiong Lee melirik ke kanan kiri untuk me-lihat apakah guru dari dua orang gadis yang dike-nalnya itu berada di situ. Setelah merasa yakin bahwa nenek yang ditakutinya itu tidak berada di situ, wajahnya menjadi cerah dan diapun bersama tiga orang sutenya cepat menghampiri meja Pek In dan Ang In. "Suheng, apa kabar " Subo berada di kamarnya. Marilah!" Pek In mempersilahkan pemuda itu dan mereka berempat lalu mengambil tempat duduk dan bercakap-cakap dengan amat akrabnya dengan Pek In dan Ang In. "Sebetulnya, Yap-suheng dari manakah " Kelihatan tergesa-gesa sekali. Dan bagaimana kabarnya dengan Kim-suheng " Kenapa dia tidak kelihatan bersamamu " Biasanya, Kim-suheng yang bandel itu tidak pernah berpisah denganmu," kata Pek In dan ketika ia menyebutkan "Kim- suheng", ia melirik kepada sumoinya, Ang In. Mendengar pertanyaan Pek In ini, mendadak sikap empat orang gagali itu berobah dan mereka kelihatan berduka dan menundukkan mukanya. Terutama sekali Yap Kiong Lee, pemuda ini me-nundukkan muka dan matanya menjadi basah. Teringatlah pemuda itu akan semua keadaan-nya yang membuatnya berduka sekali pada saat itu, setelah mendengar pertanyaan Pek In tentang adiknya. Ya, Yap Kim adalah adiknya. Dia sendiri adalah seorang anak yatim piatu yang sejak kecil telah diambil murid, kemudian bahkan diangkat anak oleh gurunya sendiri, yaitu seorang pendekar terkenal yang memiliki ilmu kepandaian hebat dan kemudian menjadi ketua Thian - kiam - pang. Gurunya itu she Yap dan biasanya orang hanya me-ngenal sebagai Yap - taihiap saja, dan setelah tua dikenal sebagai Yap - lojin yang disegani orang. Nama lengkapnya adalah Yap Cu Kiat. Karena su-hunya itu tadinya tidak mempunyai keturunan ma-ka diapun diangkat anak oleh Yap Cu Kiat. Dua tahun kemudian, ketika dia berusia delapan tahun, isteri suhunya melahirkan seorang anak laki - laki yang diberi nama Yap Kim karena ketika isterinya mengandung, suhunya pernah bermimpi isterinya melahirkan sebuah boneka emas ! Yap Kiong Lee sendiri amat sayang kepada adiknya ini. Dialah yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ menggendongnya, dialah yang mengajaknya bermain-main sejak Yap Kim kecil dan setelah adiknya itu dewasa, mereka menjadi akrab dan ru-kun sekali, saling menyayang. Takkan ada orang yang menyangka bahwa mereka itu sesungguhnya hanyalah saudara angkat saja. Kiong Lee sangat menyayang adiknya itu dan memang Kim - ji, de-mikian sebutannya, amat dimanjakan oleh semua orang sehingga sejak kecil anak itu menjadi ban-del dan nakal bukan main. Dan kini, diingatkan oleh pertanyaan Pek In, hati Kiong Lee seperti di-tusuk karena dia teringat kepada adiknya. "Ahh... dia... Kim-te terluka parah" Akhirnya dia dapat mengeluarkan kata-kata yang penuh kegelisahan. "Terluka parah...... ?"" Ang In bertanya dan mukanya berobah pucat. "Apa yang terjadi dengan dia ?" "Dia dilukai oleh Si Raja Kelelawar! Lukanya parah sekali... entah bisa sembuh atau tidak..." Suara Kiong Lee gemetar penuh kegelisahan. "Apanya yang terluka " Dan... di manakah dia sekarang ?" Kembali nona Ang In bertanya, hampir menangis. Melihat semua ini, Pek Lian dapat menduga bahwa nona Ang yang gagah ini agaknya ada hati terhadap pemuda bernama Yap Kim yang terluka parah itu. ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]*** oleh kaum sesat itu. Akan tetapi karena ada larangan dari suhu, maka akupun tidak mau, Tidak kusangka sama sekali bahwa dengan nekat adik Kim pergi sendiri ! Mendengar bahwa Kim- te pergi seorang diri, suhu lalu memanggilku dan me-nyuruhku mencari dan mengajaknya pulang. Aku mengajak beberapa orang suteku untuk menyusul Kim - te, akan tetapi setibanya di tempat pertemuan itu, ternyata sudah terlambat. Orang - orang sudah bubaran dan pertemuan itu telah lewat. Kami ber-pencar untuk mencari Kim - te. Kalian tentu sudah tahu bahwa biarpun Kim - te sangat berbakat dalam ilmu silat, namun watak nakalnya sukar untuk di- robah. Apa lagi Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo setelah subo pergi meninggalkan suhu, anak itu makin sukar diurus." Yap Kiong Lee menarik napas panjang, nampak berduka seka-li. "Akan tetapi bukankah dia amat penurut kepa-damu, Yap-suheng ?" "Memang dia amat patuh kepadaku karena se-jak kecil akulah yang mengasuhnya, melindungi dan mengajarnya ilmu silat yang diberikan oleh suhu dan subo." "Yap - suheng memang sangat berbudi, aku dan adik Ang juga sejak kecil selalu menyusahkanmu," kata Pek In lirih. "Hemm, adik Pek, engkau tahu apa " Sejak ke-cil aku sudah yatim piatu. Suhu memungut dan memeliharaku, bahkan mengangkatku sebagai anak. Setelah aku berusia delapan tahun, baru adik Kim terlahir. Budi suhu dan subo yang dilimpahkan kepadaku, sampai matipun takkan dapat kubalas, maka apa artinya membimbing kalian yang menjadi murid-murid tersayang dari subo ?" 'U "Lalu bagaimana dengan Kim-suheng ?" tanya Ang In. "Baiklah, kulanjutkan ceritaku. Dari seorang pengunjung pertemuan itu, kami mendengar bah-wa ada seorang pemuda yang berpakaian putih dan bersenjata siang - kiam (pedang pasangan) tam-pak bersama seorang gemuk pendek berkelahi me-lawan kelompok orang berjubah naga di lereng bu-kit sebelah selatan. Kami segera mengejar ke sana. Akan tetapi terlambat. Perkelahian telah selesai dan kedua pihak sama - sama terluka dan kedua pihak telah pergi. Yang membuat kami khawatir adalah ketika kami melihat dari bekas-bekas pertempuran bahwa kawan Kim-sute yang pendek itu adalah seorang tokoh pulau terlarang atau Pulau Ban-kwi- to. Kalau benar seperti kata orang yang menyaksikan itu, orang yang gemuk pendek itu tentulah Ceng-ya-kang (Kelabang Hijau) to-koh penting dari Ban-kwi-to." "Lalu bagaimana ?" Ang In mendesak, khawatir sekali. "Kami mengikuti jejaknya. Di sebuah dusun kami menemukan Kim-sute terluka parah di rumah seorang petani, dirawat oleh seorang pendekar tua yang tidak mau menyebutkan namanya. Menurut pengakuannya, adik Kim telah berkelahi melawan penjahat-penjahat yang dipimpin oleh raja bajak, kemudian datanglah Raja Kelelawar dan Kim-sute dilukainya. Untung ada pendekar tua itu yang lewat dan menolongnya." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Lalu ke mana perginya si Kelabang Hijau itu ?" tanya Pek In. "Entahlah, Kim-sute sendiripun tidak tahu karena setelah terpukul, dia pingsan." "Di mana adanya Kim-suheng sekarang?" Ang In bertanya, wajahnya membayangkan kekhawatiran hebat. "Di dalam kereta, dijaga oleh Ngo-sute." "Aku ingin menengok Kim-suheng !" Ang In cepat bangkit berdiri dan semua orangpun bangkit hendak mengikutinya. Akan tetapi, sebelum mereka meninggalkan meja itu, tiba-tiba terdengar suara halus. "Hemm kalian mau ke mana ?" Semua orang terkejut karena mengenal suara ini dan ketika mereka membalikkan tubuh, ternyata Siang Houw Nio - nio telah berdiri di situ ! Yap Kiong Lee terkejut dan jerih, cepat - cepat dia dan ketiga orang sutenya menjatuhkan diri berlutut sambil berkata takut - takut, "Subo... !" Akan tetapi wanita bangsawan itu tidak mengacuhkan mereka melainkan memandang kepada kedua orang muridnya yang nampak ketakutan, dan wanita tua itu nampak marah. "Kenapa kalian tetap bergaul dengan murid-murid tua bangka itu " Apakah engkau ingin mengikuti mereka dan memusuhi aku ?" Di dalam ucapan ini terkandung kepahitan yang amat mendalam sehingga dua orang gadis itu menjadi bingung dan tidak mampu menjawab. Melihat ini, Yap Kiong Lee mengangkat muka dan berkata, "Subo... teeculah yang..." "Diam kau !" bentak wanita bangsawan itu dengan suara keras, membuat Pek In menjadi semakin pucat. Peristiwa ini diam - diam sejak tadi diikuti oleh Ho Pek Lian. Jiwa pendekarnya bergolak. Ia me-lihat ketidakadilan dan merasa tidak senang dengan sikap nenek bangsawan itu yang dianggapnya ter-lalu menekan kepada orang - orang muda yang di-kaguminya itu. Tanpa dapat menahan gelora hati-nya, Pek Lian sudah melangkah ke depan dan de-ngan jari telunjuk menuding kepada nenek bangsa-wan itu, ia berkata marah, "Haii, apa - apaan ini " Main gertak main kasar! Lihat dulu masalahnya baru marah - marah, itu baru adil namanya !" "Anak kecil, engkau tahu apa !" bentak nenek itu dan tangannya melayang, menampar ke arah pipi Pek Lian. Tentu saja nona ini tidak membiar-kan pipinya ditampar dan iapun sudah cepat me-loncat ke belakang dan baiknya nenek itu agaknya-pun bukan menyerang dengan sungguh - sungguh hanya untuk melampiaskan kemengkalan hatinya saja sehingga tidak melanjutkan serangannya. Dan pada saat itu, terdengarlah suara ribut - ribut di luar. Yap Kiong Lee melihat empat orang laki-laki jahat yang tadi dihajar oleh dua orang sutenya, maka diapun cepat meloncat keluar. Hampir saja dia bertabrakan dengan seorang tinggi besar ber-mantel kulit harimau yang melangkah masuk. Laki-laki tinggi besar ini tidak menghindar atau mihggir, akan tetapi malah memasang kuda-kuda dan menggerakkan sikunya ke depan, menyerang ke arah tulang rusuk pemuda baju putih itu. Mereka sudah berada dalam jarak dekat sekali dan serangan itu dilakukan secara tiba - tiba dan tidak terduga-duga, akan tetapi ternyata pemuda she Yap ini amat lihai, tenang dan tidak kehilangan akal. Dia maklum bahwa kalau dia mengadu tena-ga, dia akan kalah posisi dan kalau orang itu ber-tenaga besar seperti nampaknya, dia akan menderita rugi. Dan pintu itu terlalu sempit untuk dapat me-nerobos keluar, apa lagi karena lubang pintu telah dijaga oleh sepasang lengan yang panjang dan kuat dari orang itu, di samping adanya dua ekor harimau hitam yang berdiri di kanan kiri orang itu, dengan rantai leher yang ujungnya dipegang oleh dua orang di. antara empat penjahat yang tadi meng-ganggu Pek Lian. Dalam beberapa detik saja, Yap Kiong Lee telah memperoleh akal yang amat cerdik. Kakinya yang sedang melangkah tadi dilanjutkan dengan tendangan ke arah selangkang si tinggi be-sar dan dia bersikap seolah - olah dia memang hendak mengadu tenaga. Melihat ini, orang tinggi besar itu menyeringai dan tubuhnya sedikit membungkuk untuk menangkis tendangan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya tetap melakukan serangan dengan siku. Akan tetapi tiba-tiba Kiong Lee menarik kembali kakinya dan mengenjot badan dengan menekankan kaki pada lantai, tangannya menampar siku yang menyerang rusuknya, meminjam tenaga lawan untuk mengayun tubuhnya meluncur ke atas di antara kepala lawan dan daun pintu seperti seekor KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ burung lolos dari pintu kurungan yang terbuka sedikit saja. Kemudian, tubuhnya yang meluncur keluar itu membuat salto yang amat manisnya sehingga dia dapat turun di luar pintu dengan lunak. Semua orang melongo dan memandang kagum. Bahkan nenek Siang Houw Nio-nio sendiri merasa kagum dan memuji ketangkasan dan kecerdikan pemuda itu. "Berani... bagus sekali... anak ini sungguh semakin lihai saja !" Kalau semua orang memandang kagum sekali, tiga orang gadis itupun bersorak karena gembira-nya. Pek In dan Ang In sampai lupa kepada subo-nya yang marah - marah. Mereka terbawa oleh sikap Pek Lian yang bersorak memuji sehingga merekapun ikut pula bersorak. Baru setelah mere-ka melihat subo mereka memandang kepada mereka dengan mata melotot, mereka sadar dan tangan yang sedang bertepuk itupun terhenti di tengah jalan. Sementara itu, orang tinggi besar itu menjadi marah sekali. Dia adalah orang ke tiga dari Sam-ok, yaitu tiga raja penjahat. Dia adalah San-hek-houw atau Si Harimau Gunung yang sebelum munculnya Raja Kelelawar telah merajai semua penjahat di daratan, rajanya para. perampok, maling dan copet. Kini dia telah menjadi pembantu utama dari Raja Kelelawar di samping dua orang rekannya yang terkenal dengan julukan Sam-ok atau Si Tiga Jahat. Melihat betapa dalam gebrakan pertama dia tidak mampu menghadang pemuda baju putih itu dan sebaliknya malah memberi ke-sempatan kepada pemuda itu mendemonstrasikan kepandaiannya sehingga memperoleh pujian, Sam-hek-houw menjadi marah sekali. Cepat dia mem-balikkan tubuhnya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Kiong Lee yang baru saja turun ke atas tanah. Serangan San - hek - houw ini ganas dan dahsyat sekali, tiada bedanya dengan ulah seekor harimau yang sedang kelaparan. Dua ekor harimau hitam yang menjadi binatang peliharaannya itu mengaum-ngaum melihat majikan mereka berkelahi, seolah-olah memberi semangat. Tentu saja para tamu restoran menjadi panik ketakutan. Berdiam di restoran merasa ngeri, mau lari keluar terhadang oleh perkelahian di luar pintu, juga mereka takut kepada dua ekor harimau itu yang rantainya dipegang oleh empat orang penjahat yang kini tertawa-tawa karena mereka merasa yakin bahwa muculnya raja mereka ini akan dapat membalaskan kekalahan mereka tadi. Akan tetapi sekali ini mereka kecelik. Baru sekarang mereka memperoleh kenyataan bahwa raja mereka itu bukanlah jaminan untuk selalu menang. Biarpun Si Harimau Gunung menyerang dengan ganas dan dahsyat, namun pemuda baju putih itu dengan sikap tenang sekali dapat menan-dinginya dan sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan membalas dengan serangan- serangan yang tidak kalah ampuhnya. Mereka ternyata seimbang, baik kecepatan maupun tenaga mereka. Perkelahian itu amat seru dan menegangkan, terutama sekali bagi mereka yang mempunyai keahlian dalam ilmu silat sehingga dapat mengikutinya. Yang merasa marah dan penasaran adalah San-hek-houw sendiri. Biasanya, selama ini setiap kali dia turun tangan, dan hal ini jarang terjadi karena dia cukup mewakilkan kepada anak buahnya saja, sudah dapat dipastikan bahwa dia akan berhasil baik. Akan tetapi ternyata pemuda baju putih ini sedemikian lihainya sehingga semua serangannya gagal dan dia malah harus menjaga diri karena pemuda itu membalas dengan serangan yang amat berbahaya pula. Karena penasaran, maka raja penjahat ini lalu mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu rantai yang kedua ujungnya bermata tombak. Begitu diputar, rantai itu lenyap berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar- nyambar. Meli-hat ini, Yap Kiong Lee cepat mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di punggung. Nampak dua sinar putih berkelebatan menghadapi senjata rantai dan kembali terjadi perkelahian yang lebih seru dan juga ternyata dalam adu kepandaian senjata, mereka memiliki tingkat yang seimbang. (Bersambung jilid ke VIII.) xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo Jilid VIII *** LIMAPULUH jurus telah lewat dan keduanya sudah saling desak samibil mengerahkan tenaga sekuatnya. "Tring - trang... trakkk...!" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Tanpa dapat dicegah lagi, rantai itu melibat kedua pedang dan senjata - senjata itu saling berbelit de-ngan amat kuatnya. Karena tidak ada jalan lain untuk melepaskan senjata yang terlibat itu, kedua-nya lalu mengerahkan tenaga sinkang. Mereka membentak nyaring dan saling tarik. Akibatnya, kedua pedang Kiong Lee terlepas dari pegangan, akan tetapi juga tangan kanan Harimau Gunung itu terpaksa melepaskan senjata rantainya yang ki-ni hanya dipegang oleh tangan kiri. Inipun tidak lama karena secepat kilat kaki Kiong Lee menen-dang ke arah pergelangan tangan kiri lawan. Ka-kek tinggi besar itu berusaha mengelak, akan te-tapi tetap saja ujung sepatu menyerempet perge-langan tangan kirinya sehingga tangan inipun terpaksa melepaskan rantainya. Kini senjata-senjata itu terlepas di atas tanah dan keduanya melanjutkan lagi dengan tangan kosong ! San-hek-houw mengeluarkan suara auman seperti harimau yang disambut oleh dua ekor harimau peliharaannya, kemudian diapun mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo silat tangan kosong Houw-jiauw- kang. (Ilmu Cakar Harimau). Kedua tangannya membentuk cakar harimau dan gerakannya juga seperti gerakan kaki depan hari-mau kalau mencakar - cakar dengan dahsyatnya. Hanya cakar harimau yang dibentuk oleh jari - jari tangan manusia ini bahkan jauh lebih berbahaya dari pada cakar harimau aseli karena setiap gerak-an mengeluarkan desiran angin tajam. Kedua kaki-nya berloncatan persis seperti gerakan harimau kumbang dan selama belasan jurus Kiong Lee nam-pak terkurung dan terdesak oleh ilmu silat yang berbeda dengan Ilmu Silat Houw - kun (Silat Ha-rimau) biasanya ini. Ilmu Silat Houw - jiauw - kang milik Si Harimau Gunung ini benar - benar luar biasa sekali. Agaknya telah dipelajari dengan sem-purna sehingga biarpun jari - jari tangan yang mem-bentuk cakar harimau itu tidak sampai menyentuh lawan, namun sambaran angin pukulannya saja te-lah mampu mencabik - cabik benda. Baju pemuda yang putih itu, terutama di bagian lengan baju, robek - robek terlanggar angin pukulan itu, seperti dicakari oleh kuku - kuku tajam. Tentu saja semua orang terkejut dan memandang khawatir karena pemuda itu nampak terdesak, terutama sekali tiga orang gadis yang selalu berpihak kepada pemuda itu. Ilmu silat raja perampok itu sungguh lihai bukan main. Tiba - tiba Kiong Lee mengeluarkan teriakan yang mengejutkan semua orang dan pemuda ini sudah merobah gerakan silatnya. Dia menggerak-gerakkan kaki tangannya perlahan - lahan namun mengandung penuh tenaga sehingga setiap kali ka-kinya dihentakkan, bumi seperti tergetar rasanya. Telapak tangannya terbuka dan otot - otot lengan-nya tersembul keluar. Buku - buku tulangnya se-perti saling bergeser mengeluarkan bunyi berke-rotokan dan uap putih nampak membayang tipis di setiap permukaan lengannya. Dan ketika lengan yang bergerak perlahan itu menangkis cakaran Si Harimau Gunung, semua orang menjadi terkejut. Gerakan itu, yang dilakukan perlahan, tahu - tahu meluncur cepat bukan main seperti kepala ular yang mematuk mangsa yang sudah lama diintai-nya. Suara mencicit bagaikan bunyi burung malam terdengar ketika lengan bergerak dan cepatnya membuat semua serangan cakaran Si Harimau Gu-nung itu terhenti setengah jalan karena setiap kali tangan yang berbentuk cakar itu bergerak, baru se- tengah jalan sudah terpukul ke samping dan sebe-lum cakar dapat ditarik kembali, tangan pemuda baju putih yang bergerak seperti ular mematuk itu telah menyerang bagian bagian tubuh yang ber-bahaya. Si Harimau Gunung terkejut bukan main dan dalam beberapa gebrakan saja nyaris kepalanya kena dipatuk oleh tangan kiri Yap Kiong Lee. Cepat dia membuat gerakan seperti ha- rimau mendekam untuk menghindarkan kepa-lanya. Akibatnya, sebuah arca singa yang berada tepat di belakangnya kena hantaman tangan Kiong Lee. Nampak cap lima jari tangan di tubuh arca batu itu dan kemudian arca itu menjadi retak - re-tak dan akhirnya hancur berantakan menjadi ke-pingan - kepingan kecil berserakan. Tentu saja semua orang melongo dan ada yang menjulurkan lidah saking kagum dan ngerinya, bahkan Si Ha-rimau Gunung sendiri terbelalak dan air mukanya berobah. Hatinya mulai menjadi ragu dan gentar dan timbul pertanyaan dalam hatinya siapa gerang-an pemuda yang amat lihai ini sebenarnya " Ca-karan tangannya itu biasanya mampu menghancur-kan batu karang yang keras sekalipun, akan tetapi sekarang ternyata hanya dapat membuat kulit le-ngan pemuda itu lecet - lecet sedikit saja, semen-tara dia sendiri tidak berani menangkis pukulan pukulan pemuda yang demikian kuat dan ampuh-nya. Ilmu apakah itu " KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Nenek Siang Houw Nio-nio juga menggeleng-geleng kepala saking kagumnya. "Hemm, tua bang-ka itu kiranya telah menurunkan ilmu rahasia ke-turunannya kepada murid kesayangannya ini," gumamnya. Pek In dan Ang In tentu saja menjadi kagum bukan main. Mereka memang sudah lama mengetahui bahwa suheng mereka itu amat lihai, akan tetapi mereka tidak menyangka sehebat ini. Diam - diam mereka, dan juga Pek Lian, merasa gembira sekali karena-sekarang Harimau Gunung itu mulai terdesak. Pek In tadi telah mengambil dan menyimpan sepasang pedang milik Kiong Lee yang terlepas, seperti juga seorang di antara pen-jahat penjahat itu telah (menyimpan senjata rantai dari Si Harimau Gunung. Selagi Kiong Lee mendesak Si Harimau Gu-nung, tiba - tiba dia terkejut bukan main mende- ngar teriakan seorang di antara para sutenya, "Su-heng ! Kim - sute lenyap dan Ngo - suheng yang menjaga kereta tertotok pingsan !" Mendengar teriakan ini, wajah Yap Kiong Lee menjadi pucat seketika dan diapun meloncat me-ninggalkan lawannya yang sudah terdesak untuk berlari menghampiri kereta yang ditinggalkan di tepi jalan tak jauh dari rumah makan itu. Dengan wajah pucat dia memeriksa dan memang benar, sutenya yang luka parah dan tidak mampu bergerak itu lenyap. Ngo sutenya pingsan dengan leher berwarna kehijauan, mukanyapun mengandung warna kehijauan. Maka mengertilah dia bahwa sutenya ini tentu terkena totokan Ceng - ya - kang, Si Kelabang Hijau tokoh Ban-kwi-to itu. Yap Kiong Lee menjadi bengong, wajahnya pucat se-kali dan hatinya dicekam rasa khawatir yang hebat akan keselamatan sutenya yang tersayang. Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali dari tahu - tahu nenek Siang Houw Nio nio telah ber-ada di dekat kereta dan suaranya terdengar keren ketika ia menghardik, "Apa katamu " Ada apa dengan Kim - ji (anak Kim) " Hayo jawab !" Yap Kiong Lee menjawab dengan suara penuh duka dan kepala ditundukkan, "Subo, adik Kim telah dilukai orang karena dia bergaul dengan orang jahat. Hari ini sebenarnya teecu hendak mem-bawanya kepada suhu, tidak teecu sangka bahwa orang yang menjadi sahabatnya itu telah menculik-nya, selagi teecu berkelahi di restoran tadi." Nenek itu menjadi semakin marah, sepasang matanya memancarkan sinar berapi. "Kenapa eng-kau dan suhumu membiarkan anak itu berkeliaran" Sungguh orang tua yang tidak tahu mengurusi anak! Berteman dengan segala macam manusia jahat dibiarkan saja. Hemm, aku akan minta pertanggungan jawab kepada suhumu. Akan kulabrak dia kalau tidak bisa mendapatkan anakku dalam keadaan sehat selamat !" Wajah nenek itu menjadi merah padam dan hampir saja ia menangis. Ia lalu cepat memasuki keretanya dan berkata dengan suara berteriak kepada murid - muridnya, "Kita tidak jadi bermalam di sini! Bayar semuanya lalu susul aku. Malam ini juga aku harus melabrak si tua bangka itu atas keteledorannya mengasuh Kim-ji!" Setelah berkata demikian, kereta dilarikan de-ngan kencang menuju ke barat, ke arah kota raja. Para murid itu tertegun dan bengong saja. Yap Kiong Lee menjadi serba salah. Sejak suhu dan subonya hidup berpisah, hatinya merasa bingung dan prihatin sekali, bahkan dia sampai tidak mau menikah sampai sekarang. Dia sangat takut dan hormat kepada subonya karena di waktu dia masih kecil, subonya itulah yang mengasuhnya dan dia tahu bahwa subonya itu sebenarnya amat sayang padanya. Kemudian suhu dan subonya saling ber-pisah, subonya meninggalkan suhunya yang sudah tua itu dan mengabdi kepada kaisar di istana yang masih keponakannya sendiri. Suhunya tidak mau ikut dan dia sendiri kasihan dan tidak tega untuk meninggalkan suhunya yang sudah tua dan sendirian itu. Karena dia tidak mau ikut subonya dan memilih untuk tinggal di situ merawat suhunya, maka subonya tidak mau lagi menggubrisnya. Kini subonya marah marah, tentu akan terjadi keribut-an dan dia merasa prihatin sekali. Yap Kiong Lee lalu memerintahkan para sute-nya untuk berpencar dan menyelidiki ke mana Yap Kim dilarikan orang. Pada saat itu, Si Harimau Gunung bersama empat orang penjahat kasar tadi telah lenyap dari situ, agaknya jerih dan tidak ber-napsu lagi untuk melanjutkan perkelahian. Pek In dan Ang In membayar sewa kamar yang belum dipakai itu dan membayar harga makanan, kemudian mereka yang juga nampak tegang dan khawatir itu menghampiri Kiong Lee. "Bagaimana baiknya sekarang, Yap - suheng ?" tanya Pek In. Tidak ada jalan lain, kalian harus mentaati perintah subo, menyusulnya ke tempat suhu. Dan nona ini siapakah nona ini dan bagaimana bisa bersama kalian ?" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Nona Sie Pek Lian ini adalah seorang yang dicurigai subo sebagai teman ketua Lembah Yang-ce, maka subo memerintahkan kami untuk mena-wannya dan mengajaknya pulang." "Hemm, kalau begitu, mari kita susul subo. Pasti akan menjadi ramai di sana." Merekapun berangkat, mempergunakan kereta Kiong Lee un-tuk mengikuti jejak kereta nenek Siang Houw Nio-nio yang marah itu. Kiong Lee benar-benar me-rasa prihatin sekali. "Adik Pek dan Ang, aku khawatir akan terjadi salah paham antara subo dan suhu. Padahal, saat ini suhu sedang mengasingkan diri di tempat sa-madhinya, sudah belasan hari suhu tidak keluar dari situ." Dua orang gadis itupun merasa khawatir sekali. Sebaliknya, Pek Lian menjadi ingin tahu sekali dan merasa amat tertarik. Makin lama, makin banyak ia mengalami hal yang aneh - aneh, bertemu de-ngan orang - orang yang aneh dan berilmu tinggi Betapa di dunia ini penuh dengan orang - orang pandai, pikirnya, akan tetapi herannya, semakin pandai orang, semakin banyak masalah yang mereka hadapi, keruwetan - keruwetan hidup yang membuat kehidupan mereka itu menjadi tidak te-nang, bahkan menderita. Biarpun ia belum tahu benar, akan tetapi iapun dapat menduga bahwa tentu ada rahasia besar antara nenek Siang Houw Nio - nio dan ketua Thian - kiam - pang itu, raha-sia yang membuat mereka terpisah dan agaknya menderita dan saling bermusuhan. Benar juga kata-kata yang pernah didengarnya dahulu bahwa kelandaian itu, seperti juga harta dan kedudukan, lebih banyak mendatangkan malapetaka dari pada bahagia. Tadinya ia sendiri tidak begitu mengerti akan arti kata - kata ini yang dianggapnya tak masuk akal karena bukankah semua itu bahkan merupakan sarana untuk dapat merasakan keba-hagiaan " Akan tetapi, sekarang ia mulai melihat betapa orang - orang yang berkepandaian tinggi, justeru menjadi sengsara hidupnya karena kepan-daian itu sendiri. Persaingan, permusuhan, perkelahian terjadi di mana - mana dan saling bunuh terjadi di antara orang-orang yang pandai ilmu silat. Apakah hal buruk ini akan terjadi pada orang-orang yang tidak tahu ilmu silat " Agaknya kemungkinannya jauh karena mereka tentu tidak condong mempergunakan kekerasan. Dan kedu-dukan " Ayahnya sendiri sekeluarga tertimpa malapetaka karena kedudukan. Andaikata ayahnya bukan seorang menteri, melainkan seorang petani miskin, apakah kaisar akan melihatnya" Tentu keluarga ayahnya kini masih aman sentausa, walaupun sebagai keluarga petani miskin ! Untung bagi mereka bahwa malam itu terang bulan sehingga dengan mudah mereka dapat meng-ikuti jalan yang berlika - liku mengikuti arus su-ngai itu. Belasan li sebelum memasuki daerah Ko-ta Raja Tiang - an, mereka membelok ke kanan, meninggalkan jalan besar memasuki jalan kecil, akan tetapi tetap mengikuti aliran sungai. Mereka memasuki sebuah hutan kecil yang banyak me-nyembunyikan cahaya bulan. Akan tetapi karena Yap Kiong Lee sudah hapal akan jalan di tempat itu, dia dapat menjalankan keretanya dengan lan-car. Kemudian nampak sebuah telaga kecil di te-ngah hutan dan di pinggir telaga itu terdapat sebu-ah bangunan megah yang dilingkari tembok merah yang kokoh kuat seperti benteng. Hari telah larut malam dan tempat itu nampak sunyi sekali. Akan tetapi mereka tahu bahwa tem-pat itu tentu terjaga ketat oleh para murid perkum-pulan Thian - kiam pang. Kiong Lee, Pek Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo In dan Ang In longak - longok dan merasa heran karena tidak melihat adanya kereta subo mereka yang ta-di dilarikan kencang lebih dahulu. "Berhenti! Siapa di sana ?" Bentakan nyaring ini segera dikenal oleh Kiong Lee sebagai suara ji-sutenya, yaitu orang ke dua setelah dia di antara murid - murid Thian - kiam - pang. Tentu ji - sute-nya itu sedang bergilir meronda. Pek Lian yang mendengar bentakan itu, merasa jantungnya tergetar karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan khikang yang cukup kuat un-tuk membuat orang yang datang dengan niat buruk menjadi gentar. Akan tetapi Kiong Lee tidak jadi menjawab karena dia mendengar suara kaki berlari - lari disu-sul suara beradunya senjata! Agaknya yang dite-gur oleh ji-sutenya tadi bukanlah rombongannya, melainkan orang lain. Yap Kiong Lee mengerahkan ilmu ginkangnya dan sekali tubuhnya meluncur ke depan, dia telah meninggalkan tiga orang wanita muda itu. Tubuhnya lalu mencelat ke atas, berpu-taran dan tahu - tahu dia telah hinggap di atas pa-gar tembok yang kokoh kuat dan tinggi itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak pagar tembok, dari sebelah dalam menyambar sebatang piauw ke arah lehernya. Dia cepat mengelak, akan tetapi penyerangnya itu sudah berada di dekatnya dan menyerangnya dengan tusukan pedang. Kembali KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Kiong Lee mengelak dan biarpun cuaca remang-remang, agaknya penyerangnya itu mengenal gerakan mengelak ini, sedangkan Kiong Lee juga mengenal gerakan serangan pedang. "Toa-suheng... !" penyerang itu berseru. "Sam-sute ! Ada apakah ini ?" "Entahlah, suheng. Aku baru saja keluar karena mendengar teriakan ji-suheng tadi. Agaknya tempat ini kedatangan orang-orang jahat. Lihat, di sana ji-suheng sedang melayani seorang musuh agaknya!" "Benar ! Cepat kau pergi ke belakang, di sana terdengar banyak orang bertempur. Aku akan membangunkan semua saudara kita !" Sute ke tiga dari Kiong Lee itu meloncat lenyap dan Kiong Lee lalu mengerahkan ilmunya yang hebat, membung-kuk dan mencengkeram ke arah tembok pagar itu sehingga tembok itu hancur di dalam genggaman tangannya, kemudian dia menggunakan tenaga-nya untuk menyambit ke arah genta besar di atas menara yang berada tinggi dan agak jauh di sudut pekarangan. Biarpun jaraknya jauh dan yang dipakai menyambit hanyalah hancuran tembok, akan tetapi segera terdengar suara genta nyaring berbunyi berkali-kali seperti ditabuh bertalu-talu oleh tangan yang kuat. Tentu saja suara itu mengejutkan semua penghuni rumah perkumpulan atau perguruan Thian-kiam-pang itu dan semua terbangun dari tidur dan bergegas keluar. Keadaan menjadi gempar akan tetapi kini semua murid te-lah berlarian keluar dengan pedang di tangan. Akan tetapi mereka itu hanyalah murid- murid tingkat rendahan yang juga menjadi anak buah Thian-kiam-pang, sedangkan di antara tujuh orang murid utamanya, kini yang berada di situ hanya Yap Kiong Lee, ji-sutenya dan sam - sutenya saja, sedangkan yang lain- lain masih ketinggalan karena sedang berpencar dan mencari-cari ke mana perginya orang yang menculik Yap Kim. Kiong Lee sudah cepat meloncat ke arah sam-ping bangunan di mana dia melihat jisutenya sedang bertanding melawan seorang wanita cantik. Melihat betapa Kwan Tek, yaitu adik seperguruan-nya yang ke dua itu tidak bersepatu, tahulah Kiong Lee bahwa Kwan Tek tentu terbangun dari tidur dan tidak sempat mengenakan sepatu. Kiong Lee berdiri memperhatikan perkelahian itu. Dengan sepasang pedangnya, Kwan Tek sebetulnya dapat mendesak lawannya, karena selain serangannya le-bih mantap, juga ia memiliki tenaga yang lebih besar sehingga lawannya kewalahan menghadapi serangan - serangan sepasang pedangnya. Akan tetapi wanita baju hitam itu memiliki kegesitan yang luar biasa dan jelaslah bahwa ginkangnya memang hebat sehingga sebegitu jauh ji-sutenya itu belum juga dapat mengalahkannya. Kiong Lee segera mengenal wanita cantik itu yang bukan lain ada-lah Pek - pi Siauw - kwi (Iblis Cantik Tangan Seratus) atau juga terkenal dengan sebutan Si Maling Cantik yang amat terkenal namanya sebagai maling tunggal di daerah selatan. Maling Cantik itu juga memegang sepasang senjata, yang kiri se-batang pedang pendek dan yang kanan sehelai sa-buk sutera. Kiong Lee maklum bahwa sutenya itu tidak perlu dibantu, maka diapun cepat meloncat ke belakang dan terkejutlah dia melihat betapa tempat itu telah didatangi oleh banyak penjahat yang rata - rata memiliki kepandaian tinggi. Ba-ngunan sebelah kiri sudah terbakar dan dia meli-hat adik seperguruannya yang ke tiga sibuk meng-hadapi serbuan para penjahat, dibantu oleh para anggauta Thian-kiam- pang. Dia teringat akan suhunya yang masih berada di dalam tempat pertapaannya, yaitu di sebuah bangunan yang berada di atas pulau kecil di tengah telaga kecil. Cepat dia berlari ke tempat itu dan di depan bangunan itupun terdapat orang bertempur. Ketika Kiong Lee melihat bahwa yang berkelahi itu adalah nenek Siang Houw Nio - nio, dia terkejut bukan main. Lawan subonya itu adalah seorang laki - laki tinggi bermantel hitam, memiliki gerakan yang luar bia-sa sekali, cepat dan aneh sehingga subonya sendiri nampak terdesak ! Sejenak Kiong Lee berdiri tertegun. Subonya bukanlah tokoh silat sembarangan. Ia merupakan pengawal pribadi kaisar yang berilmu tinggi. Dia tahu betul betapa saktinya subonya itu, mungkin tidak banyak selisihnya dengan kesaktian gurunya. Akan tetapi sekarang, menghadapi lawan berjubah hitam ini, subonya jelas terdesak. Orang berpakaian hitam itu bergerak luar biasa cepatnya, seperti setan saja. Jantungnya berdebar tegang. Dia sudah mendengar laporan tentang Raja Kelelawar. Inikah orangnya " Kiong Lee mengamati gerakan orang itu dengan penuh perhatian. Memang luar biasa sekali gerakan orang itu. Kiranya mantel hitam itu-lah yang menjadi semacam perisai, atau tempat berlindung, juga tempat di mana dia bersembunyi dan dari situ melakukan serangan - serangan dah-syat. Mantel hitam itu kadang - KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ kadang kaku ka-dang-kadang lemas dan dapat menyembunyikan gerakan - gerakannya dari mata lawan karena pihak lawan hanya dapat melihat ujung kepala, kaki dan tangan saja. Semua serangan lawan banyak diga-galkan oleh adanya mantel yang menjadi perisai itu dan setiap kali ada lowongan, tentu iblis itu me-nyerang dari balik mantel dengan dahsyat. Beberapa kali dilihatnya betapa subonya kewalahan dan nyaris terpukul. Melihat ilmu silat aneh ini, Kiong Lee teringat akan cerita gurunya tentang ilmu andalan Si Raja Kelelawar yang amat hebat, yaitu yang disebut Ilmu Silat Gerhana Bulan. Man-tel itu seolah - olah menjadi awan tebal yang me-nyelimuti atau menyembunyikan bulan. Inikah il-mu aneh itu " Kiong Lee tidak tega melihat subo nya terdesak dan terancam bahaya, maka diapun cepat terjun ke dalam medan perkelahian dan membantu, subonya. Begitu terjun, Kiong Lee menyerangnya dari belakang. Dia berpendapat bahwa kalau orang itu dikeroyok dari depan dan belakang, tentu tidak akan mampu berlindung di balik mantelnya lagi. Akan tetapi ternyata pendapatnya ini tidak benar. Secara aneh sekali, mantel yang hitam lebar itu dapat bergerak aneh dan cepat, menggulung dan berkibaran mengelilingi tubuh Si Raja Kelelawar sehingga menyembunyikannya dari semua jurusan, juga dari belakang ! Seperti juga subonya, Kiong Lee tidak dapat melihat tubuh lawan dengan jelas dan tidak melihat pula gerakan lawan di balik mantel hitam itu. Dan semua hantamannya selalu bertemu dengan mantel yang seperti perisai. Kalau dia mempergunakan tenaga sinkang, maka pukul-annya tiba di permukaan mantel yang lunak dan yang menyerap semua tenaga pukulannya, dan kadang-kadang mantel itupun menjadi keras seperti perisai baja yang kuat. Sungguh merupakan ilmu yang aneh dan, berbahaya. Mantel itu bisa sa-ja tiba-tiba terbuka untuk memberi jalan keluar serangan dahsyat dari Raja Kelelawar itu ! Dan gerakan orang itu cepat bukan main, berkelebatan.seolah - olah dia mempergunakan ilmu terbang sa-ja. Kiong Lee sudah mencabut sepasang pedang-nya dan menyerang dengan sungguh - sungguh, na-mun semua serangannya gagal dan dia sendiripun kini terdesak. Mengeroyok dua bersama subonya yang sakti masih terdesak, padahal tingkat kepan- daiannya di saat itu sudah maju pesat, tidak ber-selisih banyak dengan tingkat subonya. Sungguh membuat mereka berdua merasa penasaran sekali. Tiba - tiba subonya mengeluh karena paha kiri-nya kena tendangan iblis itu yang mencuat dari balik mantel hitamnya. Tendangan itu datangnya sama sekali tidak tersangkasangka dan sedemikian cepatnya karena gerakan iblis itu memang luar bi-asa cepatnya, dilakukan ketika tubuh iblis itu baru saja meloncat dan mengelak dari sambaran pedang Kiong Lee sehingga datangnya tidak tersangka-sangka dan tendangan itu luar biasa kerasnya sam-pai tubuh Siang Houw Nio - nio terlempar dan me-nabrak pintu bangunan sampai jebol! Tentu saja Kiong Lee terkejut sekali dan cepat menolong subonya yang bangkit lagi. Sepasang pedangnya diputar dengan pengerahan sinkang sekuatnya se-hingga membentuk gulungan sinar yang lebar dan tidak memungkinkan Raja Kelelawar untuk men-desak nenek yang sudah terkena tendangannya itu dan terpaksa harus menghadapi pemuda perkasa itu. Akan tetapi setelah kini dia harus menghadapi iblis itu sendirian saja sedangkan subonya agaknya belum pulih kembali dan belum terjun membantunya, Kiong Lee merasakan betapa hebatnya ke-pandaian iblis itu. Setelah kini dia harus meng-hadapinya sendirian, baru terasa olehnya kehebat-annya. Terutama sekali kecepatan gerakan itulah yang membuatnya benar - benar bingung dan ke-walahan karena dia merasa seperti menghadapi banyak lawan. Iblis itu bergerak sedemikian cepat-nya sehingga sukar untuk dapat diikutinya dengan pandang mata, sebentar di depan, tahu-tahu sudah menyerang dari kanan, dari kiri, bahkan tahu - tahu menerjang dari belakangnya ! Dia sudah mengerahkan kepandaiannya, memainkan langkah - langkah ajaib, akan tetapi semua itu sia - sia saja karena ke-cepatan gerak Si Raja Kelelawar itu sungguh tak dapat dipecahkan oleh langkah - langkah ajaib. Iblis itu seolah - olah dapat terbang atau menghilang, dan juga dalam hal tenaga sinkang, Kiong Lee ha-rus mengakui keunggulan lawan. Dia memang kalah segala - galanya, pendeknya tingkatnya masih kalah jauh. Maka, setelah terdesak hebat, akhir-nya pundak kirinya terkena sambaran jari tangan lawan. Kelihatan perlahan saja, akan tetapi cukup membuat lengannya terasa ngilu dan seperti sete-ngah lumpuh, lengan kirinya tergantung lemas dan terpaksa dia melompat mundur. Pada saat itu nampak bayangan di luar pintu. Nenek Siang Houw Nio - nio yang maklum bahwa pemuda itu terluka pula, khawatir melihat bayang-an ini. Kalau ada musuh lagi datang, KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ tentu mereka berdua takkan berdaya lagi. "Lee - ji, cepat buka pintu rahasia bawah tanah! Cepat!" Kiong Lee tercengang dan meragu. "Tapi... tapi suhu sedang bertapa di dalam... teecu takut mengganggu, tanpa ijin beliau tak seorangpun boleh membukanya... aughh... !" Sebuah tendangan iblis itu mengenai punggungnya dan Kiong Lee terlempar, muntah darah ! "Persetan dengan tua bangka itu ! Cepat sebe-lum kita mati penasaran ! Lihat, lawan kita ber- tambah !" Sambil berkata demikian, nenek itu menyebar jarum-jarum halus ke arah iblis itu, Ba-gaimanapun juga, nenek itu adalah seorang yang berilmu tinggi dan hal ini diketahui oleh si iblis yang tidak berani sembarangan dan cepat melin-dungi tubuhnya dari jarum Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo jarum halus itu dengan mantelnya. Juga dia maklum bahwa pemuda itu-pun amat lihai, maka biarpun keduanya telah ter-luka, dia tidak berani sembarangan mendekat dan menanti kesempatan baik untuk menurunkan tangan mautnya. Dan kini, khawatir kalau mereka lolos, iblis itu bergerak cepat mengelilingi mereka, tidak membiarkan mereka melarikan diri melalui pintu rahasia yang belum diketahuinya di mana letaknya. Siang Houw Nio - nio dan Kiong Lee berdiri beradu punggung melindungi diri yang sudah terluka. Tiba - tiba berkelebat bayangan orang memasuki ruangan bangunan kecil itu. Semua orang melirik dan kiranya yang masuk adalah Ho Pek Lian, no-na tawanan itu. Di belakangnya nampak Pek Lian dan Ang In. Ketika Pek Lian melihat Raja Kelela-war yang pernah menawannya, dan melihat betapa pemuda perkasa itu luka, ia menjadi marah sekali dan langsung saja, dengan nekat iapun menerjang maju dan menyerangnya dengan pukulan tangan kanan. Akan tetapi, Raja Kelelawar itu menangkis dan akibatnya, tubuh Pek Lian terlempar mena-brak sebuah pot bunga yang berada di sudut ru-angan. Pot bunga kuningan itu tidak roboh ter-langgar tubuh Pek Lian, melainkan tergeser ke samping. Terdengar bunyi berkerotokan dan tiba - tiba saja separuh lantai ruangan itu terbuka dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh nenek Siang Houw Nio nio dan Kiong Lee, juga tubuh Pek Lian terjerumus ke dalam lubang. Melihat ini, Pek In dan Ang In berteriak khawatir, akan tetapi merekapun meloncat menyusul ke dalam lubang itu karena mereka maklum bahwa lubang itu tentulah merupakan rahasia yang baru dibuat oleh Thian-kiampang. Melihat ini, Raja Kelelawar menjadi marah, hen-dak mengejar, akan tetapi dia meragu, takut kalau-kalau dia akan terjebak. Kembali terdengar suara berkerotokan dan tahu - tahu lantai telah menutup kembali. Barulah Raja Kelelawar sadar bahwa mereka itu telah meloloskan diri melalui pintu rahasia, yaitu lubang tadi. Dia menjadi geram. Dihampiri-nya pot bunga kuningan itu dan digeser - gesernya ke kanan kiri untuk membuka lantai. Namun dia tidak berhasil. Agaknya lubang itu telah tertutup dan dikunci dari bawah. Dia memukul - mukul pot bunga sampai hancur dan memukul - mukul lantai, menendang - nendang. Akhirnya dia mengerahkan anak buahnya untuk membakar bangunan di tengah pulau kecil itu, lalu diapun keluar dan bersama anak buahnya dia melakukan pembantaian besar-besaran di gedung induk Perguruan Pedang Langit (Thian - kiam - pang). Semua anggauta dan murid dibunuhnya dengan kejam, dan seluruh bangunannya dibakar sampai habis. Agaknya, Raja Kelela-war ini amat membenci Thian - kiam - pang, seperti orang melampiaskan dendam yang hebat! ** * Mereka yang terjeblos ke dalam lubang itu ter-jatuh ke dalam ruangan bawah tanah dan biarpun lantai di atas telah menutup kembali, namun kea-daan di situ cukup terang dengan adanya lampu-lampu yang menempel di dinding batu. Nenek Siang Houw Nio - nio yang terluka pahanya itu, terpincang - pincang menuruni lorong kecil. Di be-lakangnya, Pek In dan Ang In memapah Kiong Lee yang terluka parah di pundak dan punggung. Pa-ling belakang adalah Ho Pek Lian. Lorong itu panjang sekali, berbelak - belok naik turun dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah pintu tertu-tup yang bertuliskan RUANGAN SAMADHI. Agaknya langkah kaki mereka sudah diketahui orang karena dari balik pintu terdengar suara te-guran halus, "Siapa di luar itu " Lee-jikah itu ?" Sebelum Kiong Lee dapat menjawab, nenek itu mendahuluinya menjawab lantang, "Akulah yang datang!" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Terdengar seruan tertahan dari dalam dan tiba-tiba daun pintu terbuka. Di balik pintu itu berdiri seorang kakek berambut panjang. Kiong Lee, Pek In dan Ang In cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Suhu !" Untuk beberapa lamanya, nenek dan kakek itu berdiri saling pandang penuh selidik dan ada ke-haruan menyelinap dalam pandang mata mereka. Mereka adalah suami isteri yang telah saling ber-pisah selama limabelas tahun walaupun keduanya sama - sama tinggal di daerah kota raja. "Sumoi... !" Kakek itu akhirnya menegur dengan suara lirih. Semenjak berpisah, nenek itu tidak mau lagi diakui sebagai isteri, maka terpaksa kakek itupun menyebutnya dengan sebutan semula sebelum mereka menjadi suami isteri, yaitu sumoi karena memang isterinya ini adalah sumoinya sendiri. Akan tetapi, panggilan yang mengandung keha-ruan dan kelembutan ini tidak diacuhkan oleh si nenek yang marah. Ia bahkan tidak memperdu-likan pahanya yang amat nyeri rasanya, akan tetapi langsung saja ia menyerang kakek itu dengan kata-kata ketus. "Di mana anakku, Kim - ji " Hayo katakan di mana dia " Engkau membiarkan dia dihina orang, ya " Engkau membiarkan dia bergaul dengan se-gala macam manusia sesat, ya " Hayo kaukembali-kan anakku kepadaku, kalau tidak ...... !" Nenek itu terengah - engah dan kedua matanya tiba-tiba menjadi basah ! Kakek itu menjadi bengong. Matanya meman-dang berganti-ganti kepada isterinya dan murid-murid itu, karena dia sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh isterinya yang marah-marah. Juga dia merasa heran melihat mereka masuk seperti itu, bahkan isterinya dan juga murid utamanya menderita luka yang cukup parah. Melihat keadaan suhunya, Kiong Lee merasa kasihan dan diapun berkata, "Suhu... adik Kim... dia telah dilukai orang... lalu diculik " Sejenak kakek itu terbelalak, akan tetapi seben-tar saja dia sudah mampu menguasai hatinya lagi dan dengan sikap tenang diapun berkata, "Marilah kita semua masuk ke dalam, jangan ribut-ribut di sini. Aku mempunyai seorang tamu di sebelah dalam. Mari, sumoi, silahkan masuk dan kalian samua, anak - anak, masuklah." Biarpun masih cemberut, nenek Siang Houw Nio - nio melangkah masuk terpincang pincang, diikuti semua murid dan juga Pek Lian tidak ke-tinggalan memasuki ruangan itu dengan hati te-gang dan heran. Ternyata ruangan itu sangat luas dan nyaman sejuk. Pada dinding - dindingnya ber-gantungan lukisan - lukisan orang dalam posisi ber-silat. Di dalam kamar itu telah berdiri seorang kakek tua yang nampaknya masih sehat dan berse-mangat, menyambut sambil tersenyum membung-kuk terhadap Siang Houw Nio-nio. Melihat pa-kaian kakek itu, diam - diam Pek Lian menjadi ter-kejut bukan main. Kakek tamu ini berjubah hitam yang ada lukisannya seekor naga di bagian dada-nya, menutupi tabuhnya yang tinggi besar. Pek Lian teringat akan orang - orang dari Liong-i-pang, yaitu Perkumpulan Jubah Naga yang berambut riap riapan dan yang pernah menyerang keluarga Bu itu. Inikah ketua dari Liong - i - pang yang mempunyai anak buah yang kasar dan kejam itu " Akan tetapi karena maklum bahwa ia berada di antara orang - orang sakti, maka Pek Lian berlagak tidak tahu dan bersikap tenang saja walaupun hatinya terguncang hebat."Isteriku, inilah dia saudara Ouwyang Kwan Ek" Kakek itu memperkenalkan. Nenek itu memandang dan nampaknya tertarik. "Ah, murid ke dua dari mendiang Sin - yok - ong ?" tanyanya. Kakek tinggi besar berkulit hitam itu tersenyum dan menjura. "Sudah lama mendengar nama besar Siang Houw Nio - nio, sungguh beruntung hari ini dapat bertemu. Toanio, kakimu terluka dan me-ngandung racun, kalau boleh saya berlancang, si-lahkan toanio menelan obat ini, tentu segera sem-buh kembali," kata si tinggi besar sambil menye-rahkan sebutir pel merah. Nenek itu maklum bah-wa ia berhadapan dengan murid seorang tokoh besar raja obat, maka iapun tidak mau sungkan lagi, menerima pel itu dan menelannya. Rasa pa-nas menjalar dari perutnya dan dengan sinkangnya ia menekan hawa panas itu ke arah pahanya yang terluka dan sungguh ajaib, ia merasa betapa rasa nyeri di pahanya perlahan - lahan lenyap. Cepat ia menghaturkan terima kasih."Ouwyang - toyu, jangan pelit, sekalian berilah obat kepada muridku yang terluka," kata kakek itu. "Lee - ji, majulah agar diobati oleh Ouwyang-locianpwe." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Kiong Lee maju dan berlutut di depan kakek itu. Ouwyang Kwan Ek adalah murid ke dua dari Si Raja Tabib dan sebenarnya dia tidak mewarisi ilmu pengobatan karena yang mewarisi adalah mendiang Bu Cian murid pertama Si Raja Tabib. Akan tetapi sebagai murid Raja Tabib, tentu saja dia tidak buta dengan ilmu pengobatan dan kalau tidak terlalu hebat saja, dia mempunyai obat - obat untuk bermacam luka parah. Setelah meraba punggung dan pundak Kiong Lee, kakek itu me-narik napas panjang. "Siancai... ! Luka - luka ini diakibatkan pukulan- pukulan sakti yang hebat. Untung muridmu ini telah memiliki sinkang yang amat kuat, kalau tidak, tentu aku akan sukar mengobatinya, Yap- lojin !" katanya kepada tuan rumah. Kakek ketua Thian - kiam - pang itu bernama Yap Cu Kiat atau di antara kenalan - kenalannya lebih terkenal disebut Yap - lojin (orang tua Yap). Setelah menotok pundak dan punggung Kiong Lee, kakek itu lalu memberi obat bubuk berwarna kuning untuk diminum dengan air. Dan memang obat itu mustajab sekali karena Kiong Lee merasa betapa luka-luka di dalam tubuhnya tidak terasa nyeri lagi dan hanya membutuhkan pengobatan dengan pengerahan sinkang sendiri. Diapun cepat menghaturkan terima kasih. "Kiong Lee, apakah yang terjadi " Kenapa engkau sampai terluka dan juga subomu..." "Hemm, enak - enak saja bersenang sendiri di sini, tidak tahu di luar dibanjiri musuh yang dipim-pin oleh Raja Kelelawar. Anak sendiri dilarikan orangpun tidak tahu!" Nenek itu masih marah.Mendengar ini, terkejutlah Yap-lojin. "Raja Kelelawar menyerbu ke sini " Ah, aku harus keluar melihatnya !" "Aku akan menemanimu, lojin !" kata Ouwyang Kwan Ek yang segera mengikuti tuan rumah. Mereka cepat keluar dari terowongan itu dan mencari keluar. Akan tetapi, setelah mereka tiba di luar, pertempuran telah berhenti dan pihak musuh telah tidak nampak lagi bayangannya. Yang ada hanya mayat-mayat para anggauta Thian - kiam - pang, termasuk muridmuridnya yang ke dua, yaitu Kwan Tek, dan murid ke tiga, di antara bangunan yang terbakar habis! Tentu saja Ouwyang Kwan Ek merasa terkejut dan kasihan kepada sahabatnya yang berdiri bengong dengan muka pucat. Dia la-lu membantu tuan ramah untuk mengangkut ma-yat - mayat itu melalui terowongan. Melihat kedua adik seperguruannya tewas, Kiong Lee memekikinya sambil menangis. Juga Pek In dan Ang In ikut menangis sedih. Bahkan nenek Siang Houw Nio - nio sendiri tak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya dan nenek ini mengepal tinju. "Raja Kelelawar, aku akan menghadapimu kelak untuk membuat perhitungan !" Pek Lian yang melihat semua ini menjadi ikut terharu dan ikut menangis. Tak disangkanya bahwa keluarga yang sakti ini tertimpa malapetaka de-mikian hebat dan kembali matanya seperti dibuka oleh kenyataan bahwa semakin tinggi kepandaian orang, semakin besar pula bahayanya karena tentu orang itu mempunyai musuh-musuh yang lihai pula. Dengan penuh duka cita mereda semua lalu mengubur mayat-mayat dengan upacara se-derhana saja. Mayat-mayat itu dikubur di belakang bangunan yang sudah menjadi abu dan malam hari itu terpaksa mereka kembali memasuki terowongan karena semua tempat telah terbakar sehingga sisa tempat yang ada hanyalah ruangan di bawah tanah. Mereka duduk berkumpul dalam suasana duka dan masing-masing merasakan suatu keakraban. Bahkan Pek Lian sendiri yang tadinya adalah seorang tawanan, pada saat itu merasa seolah-olah ia menjadi anggauta keluarga itu. Juga Ouwyang Kwan Ek memperlihatkan Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo simpatinya. Suami isteri yang tadinya seperti mengambil sikap bertentangan itupun kini seperti melupakan perselisihan mereka yang sudah berlangsung belasan tahun itu. "Ilmu silat Raja Kelelawar dengan jubahnya itu memang hebat luar biasa. Semua setanganku kan-das, bahkan jarum - jarumku tidak ada gunanya. Mengeroyoknya bersama Kiong Leepun masih ter-desak dan terluka." Suaminya menarik napas panjang. "Itu baru Il-mu Gerhana Bulan, belum yang lain lain. Ah, sungguh tidak kusangka setelah berpuluh tahun ti-dak ada jago silat yang menonjol dan berbakat, kini muncul keturunan raja kaum hitam yang penuh bakat dan menyamai kesaktian leluhurnya, Si Raja Kelelawar yang sakti." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Memang kenyataan yang pahit sekali!" kata Ouwyang Kwan Ek, kakek tinggi besar hitam berju-bah naga itu. "Padahal, di pihak kaum bersih, sam-pai kini tidak ada seorangpun jago berbakat yang muncul. Dari perguruan kamdpun tidak ada seorang yang berbakat seperti mendiang suhu Raja Tabib Sakti. Aku sendiri cuma mewarisi sebagian saja dari ilmu - ilmunya, seperti halnya saudara seperguruanku yang lain." "Demikian pula pada perguruan kami," Yap-lojin berkata penuh sesal. "Sebenarnya Kiong Lee ini sangat berbakat, akan tetapi akulah yang bodoh tak mampu membimbingnya. Sayang, guruku, Sin-kun Bu-tek, telah tiada. Kalau masih ada, tentu beliau akan dapat membimbing Lee-ji ini dan akan ada seorang penggantinya yang boleh diandalkan !" Mendengar percakapan mereka, diam - diam Pek Lian mengalami kejutan lain. Tahulah ia se-karang bahwa ketua Perguruan Pedang Langit ini adalah keturunan dari Sin-kun Bu - tek, datuk da-ri utara, pendekar sakti terbesar seabad yang lalu, yang pernah didengarnya ketika ia masih bersama dua orang gurunya. Sin-kun Bu-tek yang sejajar namanya dengan si datuk selatan, yaitu Raja Tabib Sakti. Keduanya merupakan datuk-datuk kaum bersih yang merupakan saingan terbesar dari da-tuk - datuk kaum sesat seperti pendiri Tai - bong-pai, pendiri Soa - hu - pai, dan juga tentu saja men-jadi musuh yang ditakuti dari Bit - bo - ong Si Raja Kelelawar. Mengertilah ia kini mengapa Raja Ke-lelawar memusuhi Thian - kiam - pang. Kiranya iblis itu ingin membalas dendam leluhurnya yang kabarnya tewas di tangan Sin - kun Bu - tek. Pan-tas saja sarang Thian - kiam - pang itu dibasminya, semua penghuninya yang ada ditewaskan dan ba-ngunan - bangunannya dibakar habis. Nenek Siang Houw Nio-nio juga hanyut dalam percakapan itu dan ia menarik napas panjang lalu berkata, "Yahh... padahal asal salah seorang dari murid-murid kita bisa mendalami pelajaran perguruan masing-masing secara sempurna seperti halnya iblis itu mempelajari ilmu leluhurnya yaitu Raja Kelelawar, aku berani bertaruh bahwa iblis itu pasti akan bisa ditaklukkan. Seperti juga di jaman dahulu Si Raja Kelelawar tidak berkutik ketika melawan guru-guru kita, baik melawan guru kami Raja Tabib Sakti maupun melawan Sin-kun Bu-tek." Ouwyang Kwan Ek mengangguk-angguk mem-benarkan ucapan ini. Memang patut disayangkan bahwa tidak ada murid dari para datuk itu yang dapat mewarisi seluruh ilmu gurunya sampai men-capai tingkat setinggi mereka. Akan tetapi dia ti-ba - tiba teringat akan sesuatu, lalu diapun ber-kata, "Kim - mo Sai - ong pendiri Soa - hu-pai yang bersama dengan iblis pendiri Tai - bong-pai merupakan juga datuk - datuk persilatan yang setingkat dengan guru guru kita seabad yang lalu" Nah, aku mendengar bahwa ada cucu murid dari Kim - mou Sai - ong ini yang sangat berbakat, dan kabarnya kini telah mencapai tingkat ke tigabelas ilmu - ilmu Soa - hu - pai, yaitu tingkat terakhir dari Soa-hu-pai yang hebat itu. Dan kabarnya orang itu kini mengabdi kepada kaisar." Berkata demiki-an, Ouwyang Kwan Ek memandang kepada nenek Siang Houw Nio - nio yang juga mengabdikan diri-nya kepada kaisar karena masih terhitung keluar-ga dekat kaisar. Nenek itu mengangguk - angguk. "Memang be-nar, akan tetapi orang itu menjadi komandan pe-ngawal istana dan kurasa diapun masih belum se-tinggi Raja Kelelawar tingkatnya. Dan seperti juga dahulu, alirannya tidak mau berurusan dengan iblis itu. Seperti, juga guru - gurunya tidak pernah acuh terhadap Raja Kelelawar." "Selama ini aku tidak pernah mendengar ten-tang orang-orang Tai - bong - pai. Setelah ketu-runan Raja Kelelawar keluar, apakah keturunan-nya juga tidak memperlihatkan diri " Ataukah Tai - bong - pai sudah mati dan tidak mempunyai keturunan?" Yap-lojin bertanya karena percakap-an itu membongkar hal - hal lama, mengingatkan mereka akan golongan golongan jaman dahulu yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Pek Lian membuka mulut menjawab. Ia teringat akan orang - orang yang membawa gadis cantik dalam keranjang yang terluka parah dan lumpuh itu. Untung bahwa ia masih dapat menahan hatinya, karena kalau ia membuka mulut, akhirnya tentu ia akan terpaksa membuka rahasianya bahwa ia ada-lah puteri Menteri Ho dan hal ini dapat berbahaya bagi dirinya. Maka iapun diam saja dan menun-dukkan muka, hanya memasang telinga mende-ngarkan percakapan yang amat menarik hatinya itu. "Entahlah, tidak ada berita tentang mereka ...." kata kakek berjubah naga. Tiba - tiba Yap-lojin berseru, "Ahh... ! KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Pek Lian terkejut dan mengangkat muka meman-dang kepada kakek itu yang agaknya teringat akan sesuatu. "Lupakah kalian akan sasterawan itu " Dia yang yang mengalahkan keempat datuk sakti dahulu, leluhur kita itu ?" Kakek berjubah naga terkejut. "Maksudmu ?" "Mari kita memasuki ruang samadhiku." Kakek itu mendahului mereka semua memasuki pintu ra-hasia dan berkumpul di ruangan bawah tanah yang luas. Yap - lojin membawa mereka semua kepada beberapa buah gambar. Gambar - gambar yang melukiskan bermacam gerakan menyerang, gambar searang sasterawan terhadap lawan - lawannya. Dalam tiap gambar, sasterawan tua itu mengha-dapi seorang lawan berbeda. "Lihat gambar-gambar ini dilukis untuk mengabadikan pengalaman yang amat langka itu, yaitu kalahnya para datuk sakti terhadap si sasterawan tua dan lukisan- lukisan ini adalah jurus- jurus terampuh yang dipergunakan para datuk, akan tetapi selalu si sasterawan yang menang," kata Yap-lojin. "Ah, betapa hebat dan menariknya. Harap suhu sudi menceritakan karena teecu amat tertarik mendengarnya." Kakek ita menarik napas panjang. "Hal ini sebenarnya merupakan rahasia para datuk yang di-anggap amat memalukan, bahkan subomu sendiri-pun tidak tahu akan cerita ini. Akan tetapi setelah kini Raja Kelelawar seperti menjelma lagi dan me-ngacaukan dunia, kita memang boleh mengharapkan munculnya tokoh keturunan sasterawan ini yang akan menundukkannya. Nah, kalian dengar-lah ceritaku." Kakek itupun lalu menceriterakan peristiwa hebat yang terjadi puluhan tahun yang lalu. Seabad yang lalu, dunia persilatan mengenal nama empat orang datuk yang dianggap sebagai tokoh - tokoh yang memiliki kepandaian silat paling tinggi di dunia persilatan. Mereka itu adalah dua orang tokoh golongan putih, yaitu Bu-eng Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan) yang merupakan datuk putih daerah selatan, dan Sin-kun Bu - tek (Kepalan Sakti Tanpa Tanding) yang menjadi datuk putih di utara. Kemudian dua orang datuk golongan hitam, yaitu Cui-beng Kui-ong (Raja Iblis Pengejar Arwah) pendiri dari Tai-bong-pai dan Kim-mo Sai-ong (Raja Singa Berbulu E-mas) pendiri dari Soa- hu-pai. Empat orang tokoh inilah yang dianggap amat sakti dan paling tinggi ilmunya sehingga seorang seperti Bit-bo-ong (Raja Kelelawar) yang dianggap rajanya kaum penjahat sekalipun tidak pernah berani bertingkah terhadap mereka dan dianggap masih lebih rendah dari pada mereka berempat. Biarpun di antara dua golongan itu ada go-longan putih dan golongan hitam, akan tetapi mereka itu dapat mengikat persahabatan dan tidak pernah saling bermusuhan. Memang aneh, akan tetapi memang kehidupan para datuk ini tidak lumrah manusia biasa. Biarpun Cui- beng Kui- ong dan Kim-mo Sai-ong itu merupakan dua orang datuk hitam, akan tetapi mereka sendiri tidak pernah melakukan kejahatan, hanya dianggap datuk dan didewa- dewakan oleh kaum sesat. Mereka itu balikan memiliki kegagahan yang mengagum-kan, walaupun pandangan mereka kadang-kadang sesat dan tidak mengenal arti kesopanan atau hukum-hukum yang ada. Mungkin karena saling segan oleh ilmu masing-masing yang amat tinggi, dan saling menyayang kepandaian masing - masing kawan, maka mereka itu dapat bersahabat. Anehnya, setiap empat tahun sekali, empat orang datuk itu selalu mengadakan pertemuan untuk membicarakan ilmu silat, bahkan mereka itu masing- masing memperlihatkan kemajuan - kemajuan yang mereka peroleh selama empat tahun terakhir, untuk dikagumi oleh yang lain, juga diakui! Akan tetapi baiknya, belum pernah di antara mereka itu terjadi persaingan atau cekcok, apa lagi lalu saling serang sampai bunuh - membunuh. Mereka agak-nya maklum bahwa sekali bentrok, berarti mereka akan membiarkan dirinya terancam maut, karena sekali berkelahi, tentu kematian mengancam mereka. Bukan tidak mungkin, mengingat bahwa tingkat mereka seimbang, mereka akan sampyuh dan mati semua. Kadang-kadang mereka mengadakan pertemuan di tepi pantai, kadang-kadang di puncak gunung atau di tempat- tempat yang sunyi dan yang tak pernah didatangi orang lain. Pada suatu hari, kembali mereka mengadakan pertemuan setelah selama empat tahun mereka tidak pernah saling bertemu. Sekali ini, mereka memilih tempat di lembah Gunung Hoa- san yang indah dan amat sunyi. Dan di lembah itu terdapat sebuah telaga yang indah sekali, dengan airnya yang dalam dan kehijauan, bening seperti kaca. Sunyi sekali di situ sehingga ketika KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ empat orang datuk itu datang secara beruntun, mereka merasa suka sekali dan memuji tempat itu sebagai tempat pertemuan yang amat menyenangkan. "Ha - ha - ha, kamu tukang obat memang pandai memilih tempat yang bagus !" Cui beng Kui - ong pendiri Tai-bong-pai memuji karena memang tempat itu adalah pilihan Bu-eng Sin-yok- ong. Mereka lalu duduk mengelilingi sebuah perapian sambil bercakap-cakap, membicarakan tentang ilmu silat dan tentang hasil - hasil mereka selama empat tahun ini. Bu eng Sin - yok - ong mengatakan bahwa diapun hanya mendengar saja tentang keindahan telaga ini dan baru sekarang dia datang ke tempat itu. "Yok-ong, selama empat tahun ini ilmu apa sajakah yang berhasil kauciptakan ?" Kita - mo Sai - ong bertanya. Di antara mereka berempat, memang boleh dibilang tingkat Bueng Sin-yok- ong yang paling tinggi sehingga tiga orang yang lain menganggap dia seperti saudara tua. Menurut tingkat mereka, walaupun mereka tidak pernah saling gempur, orang pertama adalah Bu - eng Sin-yok - ong, ke dua adalah Sin - kun Bu - tek dan Cui-,beng Kui - ong yang (memiliki tingkat seimbang, dan yang sedikit lebih "rendah adalah Kim - mo Sai - ong. Akan tetapi, perbedaan tingkat ini tidak pernah mereka, nyatakan dengan mulut, hanya masingmasing mencatatnya di dalam hati, mengukur dari kepandaian mereka ketika saling mendemonstrasikan ilrnu masing - masing. Ditanya oleh Kim - mo Sai - ong secara terbuka itu, Bu - eng Sin - yok - ong tersenyum sambil mengelus jenggotnya. "Ah, sudah tua seperti aku ini, perlu apa memperdalam ilmu membunuh orang lain " Tidak, :elama ini aku tidak mau menambah ciptaan ilmu (membunuh. Sudah terlalu banyak ilmu membunuh diciptakan orang-orang pandai seperti kalian bertiga ini, maka aku lalu tekun di dalam guha untuk mencfcri rahasia ilmu menghidupkan yang menjadi kebalikan dari ilmu membu-nuh." "Lo - heng, engkau adalah seorang Raja Tabib yang merupakan dewa pengobatan di Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dunia ini, apakah engkau maksudkan selama ini engkau memperdalam ilmu pengobatan yang sudah hebat itu " Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat kausembuhkan dengan ilmumu," tanya Sin- kun Bu-tek yang merasa seperti saudara sendiri dengan datuk selatan itu sehingga menyebutnya lo-heng. "Bukan hanya ilmu pengobatan, lo-te, melainkan ilmu menghidupkan," jawab yang ditanya. "Ha-ha-ha, tukang obat !" Cui-beng Kui-ong yang suka ugal-ugalan dan tidak pernah mau memakai peraturan, juga dalam hal memanggil nama itu, tertawa. "Yang dihidupkan itu hanyalah orang mati, apakah kau mau katakan bahwa engkau dapat menghidupkan orang mati ?" Pertanyaan ini seperti kelakar, akan tetapi diam-diam yang bertanya merasa tegang dan juga dua orang lainnya memandang wajah Bu-eng Sin-yok-ong dengan mata terbelalak penuh perhatian. Sin - yok - ong menarik napas panjang. "Siancai... aku hanya manusia biasa, mana mungkin dapat membuka rahasia antara mati dan hidup " Akan tetapi, sebagai ahli pengobatan, aku tertarik untuk menyelidiki sebab-sebab mengapa ada kematian dalam hidup ini. Manusia ini hidup karena adanya tenaga yang menggerakkan segala sesuati dalam tubuh kita, baik selagi terjaga maupun sedang tertidur, menggerakkan jantung, pernapasan dan seluruh urat syaraf dalam tubuh, sampai yang terha-lus sekalipun. Kematian disebabkan karena tenaga penggerak ini tidak dapat menembus bag;an tubuh yang rusak, baik oleh kuman maurmn oleh kekeras-an dari luar. Nah, aku melakukan penyelidikan bagaimana untuk menembus bagian tertutup itu sehingga tenaga penggerak itu mampu menembus ke bagian-bagian yang terpenting sehingga semua anggauta tubuh dapat bekerja dengan baik walau-pun ada bagian yang cacat dan hidup dapat dipertahankan." Tiga orang datuk lainnya mendengarkan de-ngan mata terbelalak. "Wah, wah, bukan main hebatnya! Kalau benar engkau telah berhasil mengatasi kematian, maka segala ilmu di dunia ini tidak ada artinya lagi. Selamat, Yok-ong!" kata Kim-mo Sai-ong akan tetapi Sinyok-ong mengangkat tangannya. "Jangan tergesa - gesa memberi selamat, Sai-ong. Aku baru dalam taraf penyelidikan dan per-cobaan saja dan ternyata di balik itu tersembunyi rahasia - rahasia yang amat pelik dan gawat. Sudah-lah, lebih baik kalian menceritakan dan memperli-hatkan ilmu - ilmu baru yang kalian berhasil cipta-kan selama ini." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Kim - mo Sai - ong lalu mendemonstrasikan ilmu-nya yang paling hebat, yaitu ilmu tenaga sakti Rawa Pasir. Ketika dia mainkan ilmu ini yang diberi nama Pukulan Pusaran Pasir Maut, di sekitar tu-buhnya terasa ada tenaga hebat yang berdaya tolak luar biasa kuatnya, mengandung hawa dingin yang menggigilkan, terasa oleh tiga orang datuk lainnya yang dapat mengerti bahwa lawan yang kurang kuat tidak akan dapat bertahan mengha-dapi datuk ini dalam jarak tiga langkah saja. Dan kaki tangan Kim - mo Sai - ong mainkan ilmu silat yang dinamakannya Soa-hu- lian (Teratai Danau Pasir). Tiga orang datuk itu memuji ilmu-ilmu baru ini. Tiba giliran Cui-beng Kui-ong yang mendemonstrasikan ilmunya yang mutakhir, yaitu Ilmu Pukulan Penghisap Darah! Bukan main hebatnya pukulan ini. Terasa oleh tiga orang datuk lainnya betapa dalam angin pukulan itu terkandung hawa beracun yang menyedot ke arah lawan dan se- tiap pertemuan anggauta badan dengan lawan, seperti kalau lawan menangkis dan sebagainya, lawan yang kalah kuat sedikit saja tenaganya tentu akan terkena akibat hawa pukulan ini yang akan menyedot keluar darah dari balik kulit mereka sehingga lawan seolah-olah akan berkeringat da-rah ! Sebelum ilmu yang mengerikan ini, Cui - beng Kui - ong sudah pula memiliki Ilmu Tenaga Sakti Asap Hio yang membuat keringatnya berbau seper-ti hio (dupa biting) yang harum - harum aneh.Diam-diam Sin-yok-ong dan Sin-kun Bu-tek merasa khawatir dan ngeri. Kalau ilmu kedua orang datuk kaum sesat itu dipergunakan oleh mu-rid-murid mereka yang berahlak bobrok, tentu akan mendatangkan malapetaka di dunia ini. Akan tetapi mereka berdua merasa yakin bahwa biarpun dua orang datuk sakti itu dianggap sebagai datuk sesat, namun mereka amat keras terhadap muridmurid mereka dan tidak sembarangan menurunkan ilmu mereka kepada murid mereka. Tiba giliran Sin-kun Bu-tek yang memperli-hatkan ilmu pukulan terbarunya. Ilmu itu dina- makan Ilmu Silat Angin Puyuh dan dimainkan dengan pengerahan tenaga sakti yang dinamakan- nya tenaga Thian - hui - gong - ciang (Tangan Ko-song Halilintar). Ketika orang sakti ini memainkan ilmunya, maka terasa oleh tiga orang datuk lain-nya betapa ada hawa menyambar - nyambar panas dan disertai angin puyuh yang mengamuk hebat. Debu mengepul tinggi dan berpusing seperti ter-bawa angin puyuh dan pohon-pohon di sekeliling tempat- itu bergoyang - goyang, daun - daun rontok beterbangan terbawa berpusing pula. "Hebat, hebat... , lo-te. Ilmu pukulan ini hebat sekali" Bu-eng Sin-yok-ong memuji, demikian pula dua orang datuk sesat juga merasa kagum dan merasa bahwa bagaimanapun juga, ke- majuan ilmu mereka masih kalah dibandingkan dengan Sin - kun Bu - tek ini. "Nah, sekarang tiba giliranmu, lo-heng. Biar-pun engkau mengaku belum berhasil, akan tetapi selama empat tahun ini tentu telah ada kemajuan. Siapa tahu engkau telah dapat menghidupkan orang mati ! Wah, kalau benar demikian, kami bertiga akan berlutut dan takluk!" kata Sin - kun Bu - tek yang dibenarkan oleh dua orang datuk lainnya. Kalau benar Tabib Sakti itu dapat menghidupkan orang mati, apa artinya semua kemajuan yang mereka peroleh " Kecil sekali dibandingkan dengan ilmu yang dapat menghidupkan orang mati ! Bu - eng Sin - yok - ong tersenyum dan mengge-leng kepala. "Jangan kalian melebih - lebihkan. Sudah kukatakan, aku baru membuat penyelidikan dan percobaan, dan di balik kehidupan ini terdapat hal - hal yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan otak belaka. Akan tetapi, memang selama empat tahun ini aku sudah membuat percobaan - percoba-an. Nah, Sai - ong, engkau yang paling gesit, coba-lah engkau mencari seekor kelinci." "Baik!" Begitu menjawab, tubuhnya sudah melesat lenyap dan sebentar saja iblis pendiri Soa-bu - pai ini telah datang kembali membawa seekor kelinci. "Bunuhlah tanpa merusak kepalanya !" kata pula Bu-eng Sin-yok-ong. Kim - mo Sai - ong tertawa dan sekali tangan kirinya bergerak, jari telunjuknya telah memukul punggung kelinci itu. "Ngekk!" dan kelinci itupun tewaslah, hanya berkelojotan sekali dua kali saja. "Periksalah oleh kalian apa benar - benar bina-tang, ini sudah mati," kata pula Bu - eng Sin - yok-ong dengan tenang. Tiga orang datuk itu dengan bergantian memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa kelinci itu memang sudah mati, darahnya sudah terhenti sama sekali dan napasnya tidak ja-lan walaupun tubuhnya masih hangat. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Bu - eng Sin - yok - ong sudah mengeluarkan se-rangkaian jarum - jarum emas dan perak. Lalu dia mengambil bangkai kelinci itu dan mulai menggu-nakan jarum - jarumnya untuk menusuk sana - sini. Belum sampai duabelas kali dia menusuk... eh, binatang itu dapat bergerak kembali dan ketika jarum - jarum itu diambil dan kelinci dilepaskan, binatang itu berlari cepat memasuki semak-semak! Tiga orang datuk itu terbelalak dan seperti telah mereka janjikan tadi, mereka menjatuhkan diri ber-lutut. Akan tetapi Bu - eng Sin - yok - ong juga ber-lutut membalas mereka dan berkata, "Sudah, su-dah, jangan main - main. Mari kita duduk kembali. Aku hanya menghidupkan seekor kelinci yang mati-nya dalam keadaan utuh. Kalau manusia yang mati dan rusak alat tubuhnya yang penting, sung-guh aku tidak berani memastikan apakah aku akan dapat menghidupkannya." Biarpun kakek itu merendah, namun tiga orang datuk itu semakin kagum dan hormat kepadanya. Mereka lalu beroakap - cakap dan mula - mula yang membangkitkan kebanggaan di hati mereka adalah Kim - mo Sai - ong yang berkata, "Setelah kita ber-empat mencapai tingkat seperti sekarang ini, siapa-kah di dunia ini yang sanggup mengatasi kita ?" "Ha-ha-ha, omonganmu sungguh aneh, Sai-ong !" Cui***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]*** Sin - kun Bu - tek batuk - batuk untuk menekan rasa bangga ini, kemudian dia berkata, "Uhh, tua bangka - tua bang-ka seperti kita ini menghabiskan waktu puluhan tahun untuk menciptakan ilmu - ilmu silat yang tinggi. Kalau sudah mencapai tingkat tertinggi, lalu untuk apa ?" Biarpun demikian, dalam ucap-annya ini mengakui bahwa mereka telah mencapai tingkat tertinggi! "Siancai... , sungguh beruntung bahwa kita berempat dapat bersahabat seperti ini. Kalau ilmu-ilmu kita ini dipergunakan untuk saling hantam, bukankah dunia akan menjadi kacau dan kiamat ?" Bu-eng Sin-yok-ong juga berkata dan dalam kata-katanya juga terbayang rasa bangga akan kepandaian mereka berempat yang mereka anggap sudah tidak ada bandingnya lagi di seluruh dunia ini. Tiba - tiba mereka dikejutkan oleh suara nyanyian halus yang datangnya dari seberang telaga! Suara itu halus sekali seperti berbisik, akan tetapi mereka dapat mendengar dengan jelas, seperti suara anak - anak yang dibawa angin lalu. "Langit biru tinggi nian apa gerangan yang berada di atasmu " Telaga biru betapa dalam apa gerangan yang berada di bawahmu " Adakah yang tertinggi" Adakah yang paling dalam " Aku tak tahu... !" Empat orang tua itu saling pandang dan dalam pandang mata itu mereka tahu babwa nyanyian itu seolah - olah mengejek dan menusuk jantung mere-ka, seolah - olah mencela rasa bangga dan angkuh yang tadi mencekam hati mereka. Di samping rasa penasaran, juga mereka merasa malu bahwa mere-ka yang telah berada di tempat itu selama hampir setengah hari, tidak tahu bahwa di dekat telaga itu ada orangnya! Orang itu adalah seorang sasterawan, atau seorang kakek yang memakai pakaian sederhana seper-ti sasterawan, sudah tua sekali, dengan kumis dan jenggot panjang berwarna putih, tubuhnya kurus kering seperti orang kurang makan, namun wajah-nya membayangkan kelembutan yang mengharu-kan. Kakek ini sejak pagi buta telah duduk di tepi telaga, terlindung oleh semak-semak dan pohon-pohon, dan karena dia sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun, seperti gerakan bayangan pohon saja, maka empat orang datuk sakti itu sama sekali tidak tahu akan kehadirannya. Sasterawan itupun tidak memperdulikan mereka berempat, tenggelam dalam kesibukannya sendiri. Dia sedang melukis keindahan telaga dengan gunung- gunung yang mengelilinginya. Di dekatnya terdapat tangkai pancing yang ditancapkan, ada bebera-pa buah berderet - deret di tepi telaga. Akan teta-pi sasterawan itupun tidak memperdulikan pan-cing - pancing ini, melainkan asyik melukis. Hanya setelah empat orang datuk KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ itu berbincang-bincang dengan penuh kebanggaan dan keangkuhan tentang kepandaian mereka, kakek tua ini secara langsung menyanyikan sajak tadi, sama sekali bukan bermaksud untuk mengejek atau menyindir, melainkan karena ucapan - ucapan empat orang yang mengan-dung keangkuhan itu membuat dia termenung dan bertanya-tanya dalam hati tentang apakah ada yang tertinggi dan terdalam. Pertanyaan ini tim-bul karena dia melukis langit dan danau, dan ter-dorong Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo oleh percakapan yang mengandung nada angkuh dan bangga akan diri sendiri itu. Empat orang datuk itu dengan kepandaian mereka yang hebat, dalam beberapa detik saja sudah berada di tepi telaga, berhadapan dengan kakek sasterawan yang asyik melukis itu. Kakek itu hanya menengok dan memandang dengan sinar mata lembut dan mulutnya yang kempot tak bergigi itu tersenyum tenang. Akan tetapi Cui - beng Kui - ong, si iblis peng-isap darah dari Tai - bong - pai yang berangasan itu sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia melangkah maju dan memandang kepada ka-kek sasterawan itu dengan sinar mata berapi dari sepasang matanya yang lebar terbelalak, lalu dia menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. "Heh, orang tua yang sombong ! Engkau telah lan-cang mengintai kami, ya " Sungguh kurang ajar sekali perbuatan itu, melanggar peraturan dan ke-biasaan orang - orang gagah ! Bukan jantan kalau suka mengintai orang lain!" Sasterawan tua itu nampak terkejut dengan se-rangan kata - kata yang kasar ini. Dia bangkit ber-diri dengan gerakan lemah, meninggalkan lukisan-nya yang terbentang di atas tanah, akan tetapi dia tidak melepaskan tempat tinta bak yang dipegang dengan tangan kiri dan pena bulu yang dipegang dengan tangan kanan, yaitu alat - alatnya untuk me-lukis tadi. "Maaf, maaf harap cu - wi yang gagah perkasa tidak salah sangka dan menuduh aku melakukan hal yang bukan - bukan. Sejak pagi buta aku telah berada di sini seperti yang kulakukan setiap hari, memancing dan melukis atau menulis sajak. Rumahkupun tidak jauh dari sini, itu di lereng sebelah sana, nampak dari sini. Siapa yang mengintai " Salahkah aku kalau aku sudah berada di sini ketika cu-wi datang ?" Ucapan itu halus dan cukup beralasan, akan tetapi karena Cui - beng Kul - ong merasa penasar-an dan menduga bahwa orang ini tentu telah me-nyaksikan ilmu-ilmu baru yang mereka keluarkan, tadi, dia menjadi naik darah. Apa lagi, sejak tadi dia memang merasa kurang puas, karena dia mera-sa bahwa ilmu barunya tadi masih kalah hebat di-bandingkan dengan ilmu bara dari Sin-kun Bu-tek, dan hal ini berarti bahwa dalam empat tahun ini kemajuan ilmunya masih kurang dibandingkan dengan kemajuan tiga orang datuk lainnya. "Mancing " Alasan ! Beginikah caranya orang mancing?" Dan diapun menggunakan. tangannya bergerak ke depan dan batang-batang pancing itu tercabut semuanya dan ternyata di mata kail-nya tidak ada seekorpun cacing !" Inikah namanya mancing ?" Dia melempar - lemparkan semua ba-tang pancing ke atas tanah. Akan tetapi, kakek sasterawan itu ternyata sa-bar sekali. Dia sama sekali tidak marah, bahkan dia lalu mengangkat muka memandang ke atas dan bersajak lagi. "Memancing tanpa umpan karena tidak butuh ikan hanya memancing ketenangan untuk menikmati kebahagiaan. Apa artinya pintar kalau hanya untuk menipu " Apa artinya kuat kalau hanya untuk menindas " Lebih baik bodoh lebih baik lemah!" Cui-beng Kui-ong menjadi semakin marah karena dia merasa diejek dan disindir. "Keparat, berani engkau memaki orang ?" katanya dan dia-pun merenggut lukisan dari atas tanah dan mero- bek - robek lukisan itu ! Datuk yang bertubuh ting-gi besar dengan kumis dan jenggot kasar pendek ini kelihatan menyeramkan sekali. Lukisan itu hancur lebur ketika dirobeknya. Padahal, sastera-wan tua itu bersusah payah dengan lukisan itu selama berhari-hari dan lukisan itu telah mendapatkan bentuknya. Sebuah lukisan yang amat in-dahnya. Matahari pagi dilukisan itu seolah- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ olah menyinarkan cahaya begitu hidup, cahaya keemas-an yang gilang - gemilang dan yang membentuk cahaya panjang di permukaan danau. Padahal, lukisan itu hanya hitam putih saja, namun orang yang menatap lukisan itu seolah-olah melihat ke indahan warna-warna aselinya. Bu-eng Sin-yok-ong dan Sin-kun Bu-tek mengerutkan alisnya dan merasa bahwa tindakan Cui - beng Kui - ong itu agak keterlaluan walaupunmereka berduapun merasa tidak senang kalau mengingat bahwa kakek sasterawan ini tadi telah mendengarkan semua percakapan mereka berem-pat, bahkan mungkin sekali telah melihat demons-trasi kepandaian mereka yang amat dirahasiakan itu. Sasterawan tua itu ternyata tidak marah, hanya dengan muka sedih sekali dia melihat betapa lu-kisan kesayangannya dirobek - robek orang. Ke-dua lengan yang memegang mouw - pit dan tem-pat bak itu tergantung lemas dan wajahnya yang tua keriputan nampak amat berduka. Lalu dia berlutut di dekat robekan - robekan lukisan, me-naruh pena bulu dan tempat tinta di atas tanah, memunguti robekan lukisan, melihatnya dengan air mata berlinang, kemudian dia berkata dengan lirih, nadanya penuh keprihatinan, "Kuharap dengan sangat agar tuan - tuan suka cepat berlalu dari tempat ini sebelum anak angkatku yang pemarah itu datang ke sini dan melihat malapetakka ini." Tentu saja ucapan yang mengandung peringat-an ini membuat empat orang datuk itu mau tidak mau tertawa, bahkan Bu - eng Sin - yok - ong sen-diripun sempat tersenyum dan mengelus jenggot-nya. Mereka adalah empat orang datuk terbesar di seluruh dunia persilatan, merasa tanpa tandingan dan tentu saja menghadapi siapapun mereka tidak merasa takut, apa lagi harus berhadapan dengari anak angkat kakek itu yang berangasan saja, bahkan dengan kaisar dan bala tentaranya sekalipun mere-ka tidak akan gentar menghadapinya. Bahkan Sin-kun Bu - tek yang berjiwa pendekar juga merasa tersinggung diperingatkan seperti itu, seolah olah mereka berempat akan merasa takut terhadap an-caman seorang bocah, karena betapapun juga, anak angkat kakek itu tentu masih muda. Maka diapun bertanya dengan suara mengandung kemarahan. "Sobat yang pandai melukis dan bersajak, tahukah engkau siapa adanya kami berempat ?" Dengan sikap tenang sasterawan itu menjawab, "Sejak cu-wi datang, sebenarnya aku tidak tahu sama sekali siapa cu-wi dan akupun tidak perduli. Akan tetapi aku tahu bahwa cu-wi saling bersa-habat dan ingin menguji ilmu masing-masing, Baru setelah cu-wi selesai saling menguji ilmu dan bercakap-cakap serta saling memanggil nama ma-sing - masing, aku tahu bahwa cu-wi adalah empat orang datuk dunia persilatan yang tersohor itu. Benarkah demikian " Menilik dari kesaktian- kesaktian yang telah cu-wi perlihatkan tadi, tentu perkiraanku benar." Jawaban ini tentu saja mengejutkan dan mencengangkan. Kalau sasterawan ini sudah dapat mengenal ilmu kesaktian mereka, berarti kakek ini tidak asing dengan ilmu silat tinggi. Kim-mo Sai-ong yang sejak tadi diam saja kini berkata dengan suara mengejek, "Meskipun telah dapat menduga siapa kami, engkau masih berani menakut-nakuti kami dengan anak angkatmu itu " Apakah anak angkatmu itu bisa mengalahkan kami ?" "Justeru itulah yang kutakutkan. Biarpun berangasan, aku sangat mengasihinya, dan aku tidak ingin melihat orang menyakitinya. Kalau dia da-tang dan melihat lukisanku dirobek - robek orang, tentu dia akan marah dan mengamuk. Padahal, pada waktu ini, ilmunya belum mencapai tingkat setinggi tingkat cu-wi. Akibatnya tentu dia akan dihajar habis-habisan. Bukankah aku akan merasa sedih sekali kalau begitu ?" "Sudahlah mari kita pergi saja!" Bu-eng Sin-yok-ong membujuk tiga orang temannya karena dia merasa kasihan terhadap sasterawan tua itu. Tiga orang datuk lainnya juga merasa enggan untuk mengganggu seorang kakek lemah seperti itu. Tidak pantaslah kalau datukdatuk sakti seperti mereka harus melayani seorang sasterawan tua lemah. Merendahkan martabat saja dan mem-buang-buang tenaga sia-sia. Mereka bertiga mengangguk dan sudah hendak pergi bersama Bu-eng Sin-yok-ong. Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan muncullah seorang pemuda tinggi tegap dari balik tebing gunung. Begitu datang, pemuda ini melihat lukisan yang robek robek dan ayah ang-katnya yang berdiri dengan muka berduka, berha-dapan dengan empat orang kakek yang agaknya hendak meninggalkan tempat itu. "Tahan !!" Pemuda itu berteriak dan karena teriakannya mengandung tenaga khikang yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ cukup dahsyat, maka empat orang datuk itu terkejut dan tertarik, lalu tidak jadi pergi dan memandang kepada pemuda itu. Inikah anak angkat kakek sasterawan yang berangasan itu " "Siapakah yang berani merobek-robek lukisan ayahku " Hayo, siapa berani melakukan perbuatan biadab ini " iblis sekalipun tidak akan tega mengganggu ayah, apa lagi merobek lukisannya yang dibuatnya dengan penuh kecintaan dan ketekunan selama berharihari. Hayo kalian mengaku, siapa di antara kalian yang merobek- robeknya ?" "Anakku ....... sudahlah !" Sasterawan tua itu membujuk, suaranya gemetar. "Biar, ayah. Aku tidak akan mau sudah sebelum yang merobeknya berlutut mintaminta ampun kepadamu dan bersumpah lain kali tidak akan berani berbuat sewenangwenang lagi!" Tentu saja sejak tadi Cui-beng Kui-ong sudah marah bukan main. "Heh, bocah gila, akulah yang telah merobek-robek gambar busuk itu! Habis, kau mau apa ?" Sambil berkata demikian, datuk ini melangkah maju dan membusungkan dadanya yang bidang dan kokoh kuat. Pemuda itu memandang kepada datuk tinggi besar itu dengan mata berapi-api. "Engkau, ya " Siapakah engkau begitu berani menghina ayahku ?" Cui-beng Kui-ong masih merasa malu kalau harus melayani seorang pemuda seperti ini, maka dia menahan kemarahannya dan tertawa. "Ha-ha-ha, ketahuilah, pemuda tolol. Aku adalah Cui-beng Kui-ong!" Dikiranya bahwa pemuda itu tentu akan ketakutan setengah mati mendengar namanya. Di seluruh dunia ini, baik pendekar maupun pen-jahat, gemetar ketakutan mendengar namanya, apa-lagi seorang pemuda tak terkenal seperti ini. Akan tetapi sikap pemuda itu sungguh mengejutkan empat orang datuk itu. "Hernm, engkau baru seorang Kui-ong (Raja Iblis) sudah berani mengganggu ayahku. Sedangkan seorang Sian- ong (Raja Dewa) sekalipun tidak akan berani. Iblis Jala Pedang Jaring Sutra 5 Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang Senopati Pamungkas I 13