Ceritasilat Novel Online

Golok Maut 13

Golok Maut Karya Batara Bagian 13 detik dan hal itu cukup membuat dia berada di posisi yang buruk maka gadis ini terdesak ketika lawan juga menambah tenaganya, jari-jari lawan mengusap semakin kurang ajar dan memanaskan hati! "Ha-ha, kau menyerah, Cu-moi. Dan kita berbaik. Aih, aku jatuh cinta padamu dan langsung ingin menikah!" Bhok-kongcu tahu kedudukan lawan, mengeluarkan katakata kurang ajar dan tertawa terbahak-bahak. Dia menirukan panggilan Wi Hong tadi kepada gadis ini, menyebutnya dengan mesra tapi ceriwis, hal yang membuat Swi Cu jadi merah padam dan buyar pemusatan perhatiannya. Dan ketika gadis itu membentak namun kalah dulu tiba-tiba dia terjengkang ketika lawan mendorong. "Bress!" Swi Cu terguling-guling. Gadis ini mengeluh dan pedang di tanganpun terlepas. Bhok-kongcu secara cepat mendahuluinya tadi, menambah Ang-tok-kang dan pukulan Awan Merahnya terdesak, kalah dan tertindih. Dan ketika gadis itu terjengkang dan merasa dadanya sesak maka Bhok-kongcu menyambar dan berkelebat menotok buah dadanya! "Ha-ha, sekarang kita bersenang-senang, Cu-moi. Aih, alangkah nikmat mendapatkan dua kakak beradik sekaligus!" Namun, ketika pemuda hidung belang itu bergerak dan siap merobohkan lawan, karena Swi Cu tak mungkin menangkis lagi karena sedang terguling-guling dan sesak dadanya tiba-tiba berkelebat bayangan putih. Bayangan ini bergerak jauh lebih cepat daripada pemuda she Bhok itu, berkelebat dan tahu-tahu sudah mencengkeram bahu si Hi-ngok ini. Dan ketika Bhok-kongcu terkejut dan terpekik kesakitan tiba-tiba dia terbanting dan sebuah bentakan terdengar di situ, dingin menyeramkan, "Orang she Bhok, jangan mengganggu wanita. Pergilah!" Bhok-kongcu terlempar. Dia tadi serasa diserang setan dan hanya Golok Maut sajalah yang mampu berbuat itu, karena dulu dia pernah mengalami hal serupa. Dan ketika dia menjerit dan sudah menyangka si Golok Maut, lawan yang paling ditakuti tiba-tiba orang she Bhok ini tertegun karena disitu berdiri seorang pemuda lain yang bukan Golok Maut, seorang pemuda berbaju putih. "Beng Tan...!" Yang berteriak itu adalah Swi Cu. Wakil ketua Hek-yan-pang ini girang bukan main ketika melihat siapa yang datang, bukan lain memang Beng Tan adanya. Dan ketika pemuda itu mengangguk dan Bhok-kongcu juga mengenal maka si Hi-ngok si Hidung Belang ini pucat mukanya. "Ah, kau?" Bhok-kongcu tiba-tiba gemetar. Pemuda lihai yang dikenalnya sehebat Golok Maut itu tiba-tiba membuat dia pias, tak ayal membalikkan tubuh dan tiba-tiba meloncat pergi, terbang meninggalkan lawan. Dan ketika Beng Tan, pemuda itu tak mengejarnya melainkan menolong Swi Cu maka gadis baju hitam ini menangis dan menubruk pemuda baju putih itu. "Ah, kau... kau, in-kong. Terima kasih!" "Hush, apa-apaan ini" Bangunlah, Swi Cu. Dan jangan bercanda " Swi Cu, sumoi dari Wi Hong itu girang bukan main. Dia mengguguk tapi segera menciumi Beng Tan. Mereka adalah kekasih dan seperti diketahui di muka sebenarnya dua orang ini pergi bersama-sama, meninggalkan Hek-yap-pang. Tapi karena di tengah jalan Beng Tan ke kota raja sebentar untuk suatu keperluan maka mereka berpisah sejenak dan Swi Cu kebetulan melihat pertandingan sucinya dengan Hi-ngok si Hidung Belang itu, menolong sucinya tapi Bhok-kongcu ternyata lihai. Hampir saja dia celaka. Dan ketika Beng Tan muncul lagi disitu dan tentu saja dia gembira maka Swi Cu ter'upa Danggilannya karena teringat peristiwa ketika Beng Tan dulu menolongnya dari tangan si Golok Maut, wajah berseri-seri dan kini dipeluk pemuda itu, mendapat ciuman sekali di pipi. "Hm, apa yang terjadi, Cu-moi. Bhok-kongcu itu mengganggumu" Dan eh , itu sucimu." Beng Tan tiba-tiba baru melihat Wi Hong disitu, pingsan di atas tanah karena tadi hampir hanyut oleh keberduaannya dengan Swi Cu. Mereka sekarang bertemu lagi dan Beng Tan tentu saja terkejut, melihat Wi Hong yang pingsan. Dan ketika dia melepas kekasihnya untuk berkelebat ke arah Wi Hong maka Swi Cu juga sadar dan berkelebat menyusul disampingnya. "Benar, aku bertemu orang she Bhok itu justeru karena melihat suciku disini, koko. Tadi dia bertanding tapi aneh sekali suciku tiba-tiba roboh, seolah kesakitan!" "Hm, mari kita sadarkan dulu. Lain-lain akan terjawab sendiri," dan ketika Beng Tan menotok serta menolong Wi Hong maka wanita atau gadis baju merah itu sadar. "Ooh. !" Wi Hong membuka mata. "Dimana kau, Cu-moi' Dan dimana keparat Bhokkongcu itu?" "Aku disini," Swi Cu memegang sucinya dengan khawatir. "Kau tak apa-apa, suci, Kau masih pusing-pusing?" "Benar, aku... ah." Wi Hong terkejut, membuka matanya dan melihat Beng Tan disitu, terbelalak. "Siapa.... siapa ini" Dia menolongku?" wanita itu tiba-tiba bangkit, terhuyung dan merah padam. "Keparat, tak boleh ada laki-laki menyentuh tubuhku, Cu-moi. Kau tahu itu!" dan Wi Hong yang bergerak serta menghantam Beng Tan tiba-tiba diterima dan dibiarkan Beng Tan, yang tentu saja mengejutkan Swi Cu, kekasihnya. "Suci.... dess!" pukulan sudah mengena, mendarat namun Beng Tan tentu saja tidak apa-apa. Pemuda ini telah mengerahkan sinkangnya dan Wi Hong malah terbanting, kaget berteriak tertahan. Dan ketika sumoinya berkelebat dan menolong sang enci maka Wi Hong tertegun melihat adik atau sumoinya itu tersedu-sedu. "Jangan... jangan serang dia. Dia.... dia calon suamiku, kekasihku!" "Apa?" Wi Hong tersentak, kaget membelalakkan mata. "Kau... kau sudah berhubungan dengan lelaki" Kau.... plak-plak!" dan Wi Hong yang tiba-tiba menampar dan membuat Swi Cu terpelanting tiba-tiba menjadi marah dan kecewa teringat penderitaannya sendiri. Menganggap laki-laki adalah pendusta belaka dan mereka tu "penyakit" bagi wanita. Wi Hong terguncang dan entah kenapa menjadi marah dan panas mendengar kata-kata sumoinya. Semacam perasaan cemburu dan iri mengganggu dirinya saat itu. Maka begitu sumoinya menerangkan dan dia marah serta menampar sumoinya itu maka Wi Hong bangkit dan berapi-api menghadapi Beng Tan, yang membuatnya terkejut oleh kelihaiannya tadi tapi sama sekali tidak membuat ketua Hek-yanpang ini takut, apalagi gentar! "Jahanam, siapa namamu" Kau telah merayu dan memikat sumoiku" Kau mau menipunya dan berbuat seperti yang lain-lain" Ah, kubunuh kau. Laki-laki tak dapat dipercaya... wut!" dan Wi Hong yang membentak lagi menerjang maju tiba-tiba melepas pukulan namun kali ini dikelit oleh Beng Tan, dibentak dan diserang lagi namun Swi Cu menjerit-jerit disana. Gadis baju hitam ini meloncat bangun dan mencegah encinya menyerang Beng Tan. Tapi ketika Wi Hong membalik dan menghantam dirinya tiba-tiba Swi Cu mengeluh dan terbanting roboh. "Pergi kau..., dess!" Beng Tan mengerutkan kening. Segera pemuda ini menjadi terkejut melihat ketidak wajaran sikap ketua Hek-yan-pang itu. Wi Hong mendesis-desis padanya dan mata gadis atau wanita itu memancarkan api. Dendam dan kebencian tak dapat disembunyikan disitu, Beng Tan melihatnya jelas. Dan ketika dia berkelit sana-sini sementara Swi Cu berteriak-teriak agar sucinya tak menyerang tiba-tiba Wi Hong membentak dan melepas Ang-in-kang "Roboh kau!" Beng Tan menangkap. Tiba-tiba dengan cepat dia menerima pukulan itu, menampar dan menangkis. Dan ketika Wi Hong menjerit dan terlempar roboh, tergulingguling tiba-tiba ketua Hek-yan-pang itu muntah-muntah. "Keparat, kau bersekongkol dengan pemuda jahanam ini, Swi Cu. Kau tak dapat kubela. Ah, kalian terkutuk. Kubunuh kalian nanti... huak!" dan Wi Hong yang menghentikan kata-katanya terguling roboh tiba-tiba muntah-muntah dan penyakit lamanya kumat, mengeluh dan mengglgit bibir dan tiba-tiba gadis itu menangis. Dan ketika Beng Tan tertegun melihat gadis atau ketua Hek-yan-pang itu mendekap-dekap perutnya maka Swi Cu mengguguk menubruk encinya. "Tidak.... tidak, enci. Aku boleh kau bunuh tapi dia jangan. Kau salah paham, kau sedang dilanda dendam. Ah, tenanglah, enci. Tenanglah.... plak!" namun sebuah pukulan yang membuat Swi Cu terlempar dan terbanting bergulingan akhirnya membuat Beng Tan tak tahan lagi, marah dan memaki Wi Hong serta cepat menolong kekasihnya. Swi Cu mengguguk dan menangis tak keruan. Dan ketika disana encinya juga menangis namun mendekap perut serta muntah-muntah maka Beng Tan menjadi curiga dan cepat berbisik di telinga Swi Cu, "Dia agaknya mengalami kelainan. Ada sesuatu yang tidak wajar terjadi di dalam tubuhnya. Coba dekati dan totok dia, Cu-moi. Atau aku akan merobohkannya dan memeriksa!" "Kau... kau bilang apa?" Swi Cu tak mendengar, menangis tersedu-sedu. "Kau dekati dia, totok dan robohkan!" "Tapi..,. tapi..." gadis ini mengguguk. "Suciku marah-marah, Tan-ko. Sebelum aku dekat tentu dia menyerangku!" "Kalau begitu...." Beng Tan tiba-tiba terkejut, mendengar desing sebuah pedang yang ditimpukkan kebelakang punggungnya. "Aku yang akan melakukannya, Cu-moi. Dan maaf terpaksa dia kurobohkan .... plak!" dan pedang yang ditangkis pemuda ini tanpa menoleh tiba-tiba runtuh terpukul dan Beng Tan berkelebat ke arah Wi Hong, tadi disambit dan dia melihat ketua Hek-yan-pang itu berapi-api padanya. Wi Hong mendesis dan rupanya mendengar katakatanya tadi, marah dan menyerang dari belakang. Tapi ketika pedang terpukul ke tanah dan Wi Hong kecewa tiba-tiba pemuda itu telah berkelebat dan menotoknya roboh. "Maaf, kau mengalami gangguan, pang-cu. Robohlah dan jangan menyerang!" Wi Hong tak dapat mengelak. Diserang Bhok-kongcu saja dia tak dapat menghindar, apalagi pemuda yang jauh lebih lihai ini. Maka begitu dia mengeluh dan roboh tertotok maka Beng Tan telah menyambar tubuhnya memeriksa denyut nadi. "Kau... jahanam!" Wi Hong gemetar. "Terkutuk kau, pemuda setan. Keparat kau!" "Tenanglah," Beng Tan tak perduli, sudah menghitung detak jantung. "Kau terguncang oleh sesuatu yang sangat, pangcu. Agaknya oleh Golok Maut. Hm, nadimu cepat sekali. Dan.... he!" Beng Tan tertegun, pucat dan berobah mukanya dan tiba-tiba saat itu lagi-lagi Wi Hong muntah. Tanpa dapat dicegah baju pemuda ini kena semprot, Beng Tan agaknya tak berniat untuk mengelak pula. Dan ketika pemuda itu terkejut dan mundur melepaskan tangan lawannya maka Swi Cu terisak berkelebat menghampiri. "Apa yang kau rasa, Tan-ko" Berbahaya?" "Tidak, dia... dia..." Beng Tan gugup, muka tiba-tiba merah dan Swi Cu membelalakkan mata. Gadis ini heran kenapa Beng Tan tidak meneruskan kata-katanya. Dan ketika disana Wi Hong mendesis dan memaki pemuda itu maka Swi Cu berlutut dan memeluk encinya, menangis. "Suci, dia... dia Beng Tan. Dialah yang menyelamatkan aku dan seluruh murid kita dari amukan Golok Maut. Beng Tan mencintaiku, dan akupun mencintainya. Maaf, aku tak sempat memberitahumu karena kau pergi, suci. Tapi sekarang kuberi tahu dan harap kau tidak marah." "Kaupun jahanam!" Wi Hong membentak, mengejutkan sumoinya. "Perkumpulan kita tak boleh didekati lelaki, Swi Cu. Tapi kau melanggar, keparat!" "Ah," Swi Cu tersentak, mundur membelalakkan mata. "Kaupun melanggar, suci. Kaupun mencintai Golok Maut dan mencari-carinya! Kau... kau..." "Diam!" sang suci marah. "Golok Maut adalah musuhku, Swi Cu. Dia musuh kita semua. Aku.... aku benci padanya!" dan Wi Hong yang menangis dan mengguguk tak dapat menahan diri akhirnya dipeluk dan membiarkan mukanya terbenam di dada sang sumoi, tak tahu saat itu Beng Tan merah terbelalak memandangnya, mau bicara tapi ragu, seolah ada sesuatu yang mengganggu, berat dikatakan. Tapi ketika dia batuk-batuk dan Swi Cu teringat, menoleh, tiba-tiba gadis itu berkelebat menyambar lengannya. "Tan-ko, apa yang terjadi" Ada apa dengan suciku" Kau tampak bingung, mau bicara tapi tak jadi!" "Benar, aku... hm... hm!" Beng Tan merah dan gugup. "Ada sesuatu yang hampir tak kupercaya, Swi Cu. Sucimu itu... sucimu itu..." "Kenapa" Ada apa dengan dia?" "Aku... aku takut mengatakan. Jangan-jangan kau marah!" "Ah, gila. Kita sudah bukan orang lain, Tan-ko. Katakan dan tak mungkin aku marah!" "Dia.... dia..." Beng Tan masih ragu. "Ah, sebaiknya bawa dia ke bidan, Cu-moi. Periksakan saja disana." "Apa?" Swi Cu terkejut, bagai disengat listrik. "Bidan" Maksudmu. ..?" "Benar, dia hamil, Cu-moi. Sucimu itu hamil tapi barangkali bisa juga aku salah periksa!" "Astaga!" Swi Cu mencelat, kaget bagai disambar petir. "Kau. . .kau jangan main-main, Tan-ko. Ini masalah besar dan bisa berupa penghinaan!" "Maaf, kalau begitu biar kau tanya sucimu itu, Cu-moi. Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Aku pergi dulu dan kalian bicaralah!" Beng Tan berkelebat, akhirnya meninggalkan Swi Cu dan tertegunlah Swi Cu disitu. Gadis ini merah padam dan kalau bukan Beng Tan yang bicara tentu dia sudah mengamuk dan menerjang. Bayangkan, sucinya, yang masih gadis dan selama ini diketahuinya sebagai perawan ting-ting tiba-tiba saja dikatakan hamil! Swi Cu pucat dan dia berdiri sampai mendelik. Tapi ketika Beng Tan menyuruhnya bicara dan itu memang betul akhirnya gadis ini membalik dan menyambar encinya itu, yang masih menangis. "Suci..." gadis ini gemetar. "Bolehkah kutahu apa yang terjadi diantara dirimu dengan si Golok Maut itu" Kenapa dia marah-marah dan mengamuk di markas" Apa yang terjadi?" "Dia... dia..." Wi Hong mengguguk, sakit hatinya. "Dia menghina aku, Cu-moi. Dia... dia manusia jahanam!". "Dia mengganggumu" Dia memperkosamu?" "Apa?" Wi Hong tersentak, berjengit kaget. "Maaf," Swi Cu merah padam, menahan diri. "Kau dinyatakan hamil, suci. Beng Tan memeriksa denyut nadimu dan kau katanya hamil!" Wi Hong menjerit. Gadis baju merah ini tiba-tiba roboh dan mengeluh panjang pendek, suaranya tak jelas tapi tiba-tiba dia mengguguk, tersedu-sedu. Dan ketika Swi Cu terkejut dan tentu saja terkesiap maka gadis ini melihat sucinya memukul-mukul kepala sendiri. "Oh, jahanam keparat. Kau bunuhlah aku, Swi Cu. Kau bunuhlah aku dan cari pemuda terkutuk itu. Golok Maut menghinaku. Dia... dia...!" dan Wi Hong yang melengking menjerit tinggi tiba-tiba roboh pingsan. "Celaka!" Swi Cu jadi bingung. "Kenapa begini jadinya, suci" He, tolong aku, Tan-ko. Suci pingsan lagi!" Beng Tan muncul. Pemuda ini berkelebat bagai siluman dan tahu-tahu sudah ada disitu lagi. Beng Tan sebenarnya tak enak mencampuri urusan ini dan bicara tentang itu. Tapi karena Wi Hong dilihatnya pingsan dan Swi Cu tak berhasil menolong encinya maka pemuda ini berlutut dan menotok serta mengeluarkan sebutir pil hijau. "Kau serahkan ini padanya, sebentar lagi tentu siuman." Beng Tan berkelebat mundur lagi. Pemuda ini menghilang karena sungguh tak enak bicara seperti itu. Ketua Hek-yan-pang hamil, padahal jelas dia masih perawan dan suci seperti Swi Cu sendiri, begitu juga seperti halnya murid-murid wanita Hek-yan-pang yang lain. Dan ketika Wi Hong sadar dan benar saja gadis atau wanita baju merah itu siuman dan tertegun melihat sumoinya menangis maka Swi Cu menyerahkan obat pemberian Beng Tan kepada sucinya. "Kau minum ini, dan ceritakan apa yang terjadi!" "Tidak!" Wi Hong tiba-tiba melompat bangun. "Aku akan mencari Golok Maut, Swi Cu. Dan sementara ini kau pimpin tampuk pimpman partai!" "Kau mau kemana?" sang sumoi terbelalak, pucat. "Golok Maut pun sedang kami cari, suci. Daripada sendiri-sendiri lebih baik bersama. Aku..." "Tidak!" Wi Hong membentak, muka beringas. "Aku ingin mencarinya dan mengadu jiwa, Swi Cu. Aku... aku... dia menghina aku!" dan Wi Hong yang menangis berkelebat pergi tiba-tiba terhuyung dan jatuh terjerembab, kiranya belum kuat dan kemarahannya itu membutuhkan energi berlebih. Gadis ini tersungkur dan Swi Cu pun menjerit. Dan ketika gadis itu memeluk sucinya dan menangis tak keruan maka Beng Tan, yang bersembunyi dan mengintai dari jauh menyusupkan suaranya lewat telinga kekasihnya itu, "Cu-moi, berikan obat itu kepada sucimu. Obat itu berguna untuk memulihkan tenaga. Bujuklah, dan biarkan ia pergi!" Swi Cu tersedu-sedu. Teringat obat yang ditampar sucinya cepat dia mengambil lagi, membujuk dan berkata pada sucinya bahwa obat itu untuk pemulih tenaga, seperti yang dikata Beng Tan. Dan ketika Wi Hong terbelalak dan tertegun, menoleh kiri kanan maka dia bertanya di mana Beng Tan, pemuda baju putih itu. "Dia... dia pergi. Tak mau mencampuri urusan kita." "Hm!" Wi Hong menyambar, menelan obat pemberian itu. "Baiklah, Cu-moi. Terima kasih. Tapi aku tak mau bersama siapa pun karena aku ingin sendiri.... wut!" dan Wi Hong yang melompat dan tidak terhuyung lagi ternyata sudah pulih tenaganya dan diteriaki sang sumoi, yang menjerit dan menyusul sucinya tapi Wi Hong membalik. Dengan bengis dan ganas wanita ini tiba-tiba menyambitkan tujuh jarum merah ke arah sumoinya itu, yang tentu saja terkejut dan berhenti menangkis, mendapat seruan agar tidak mengejar dan patuh pada perintah ketua. Dan ketika Swi Cu tertegun dan menangis tersedu-sedu maka Wi Hong lenyap dan lemaslah gadis ini mengguguk di tanah. "Suci, kau... kau gila. Kau tak waras. Ah, kau menempuh bahaya!" "Biarlah!" Wi Hong menjawab dari jauh. "Dendam sakit hati ini tak dapat kubiarkan berlarut-larut, Swi Cu. Dia atau aku yang mati!" Swi Cu mengguguk. Kalau sang suci yang sekaligus juga sebagai sang ketua sudah memerintahkan begitu maka dia tak dapat berbuat apa-apa. Sucinya tadi sungguhsungguh bermaksud membunuh dia dengan sambitan jarum-jarum merahnya itu. Kalau tak cepat dia mengelak atau menangkis runtuh tentu dia sudah terkapar. Ah, sucinya sekarang bengis! Namun ketika gadis ini mengguguk dan tersedu di tanah tiba-tiba bayangan Beng Tan muncul, berkelebat. "Cu-moi, sucimu betul. Dia tak mungkin mau ditemani siapapun. Bersiaplah, kita juga berangkat dan mencari Golok Maut!" "Tapi... tapi..." Swi Cu mengguguk. "Suciku menempuh bahaya sendirian, koko. Dan dia tak mengaku apakah Golok Maut memperkosanya!" "Kita dapat tanyakan itu, kita selidiki Si Golok Maut. Sudahlah, kau bangun berdiri dan kita pergi!" Beng Tan menarik tangan kekasihnya, kening berkerut kerut dan tiba-tiba kebencian membakar dadanya. Dia menganggap Golok Maut mengganggu ketua Hek yan-pang itu, suci kekasihnya Dan karena kebencian Wi Hong juga kelihatan besar dan tentu Golok Maut memperkosa gadis baju merah itu maka Beng Tan berkerotok giginya ketika membangunkan Swi Cu. "Kita pergi, dan kita tangkap Si Golok Maut itu." "Bisakah?" Swi Cu tersedu. "Kau dan dia sama lihai, koko. Kalian berimbang. Aku khawatir...." "Tidak, untuk sebuah tugas mulia tak perlu kita ragu, Cu-moi. Membekuk dan menangkap Si Golok Maut itu sudah berubah sifatnya bagiku. Bukan lagi sekedar menasihati seorang sesat melainkan harus membekuk dan kalau perlu membunuhnya agar dia tak memperkosa wanita-wanita lain lagi." Swi Cu mengangguk. Memang dia pun menganggap begitu. Golok Maut dianggap memperkosa sucinya dan hal itu sungguh membakar hati. Mentang-mentang lihai lalu main perkosa segala. Ah, Golok Maut ternyata tak hanya membunuh-bunuhi musuhnya saja tapi sudah bertindak terlalu jauh dengan menghina dan memperkosa wanita. Sucinya sudah menjadi korban. Dan ketika Swi Cu bangkit berdiri dan mengigit bibir maka dia siap melanjutkan perjalanan namun anehnya kekasihnya tiba-tiba membalik. "Kita ke kota raja sebentar, melapor atasanku." "Apa?" Swi Cu tertegun. "Ke kota raja?" "Ya, sementara ini aku harus pulang, Cu-moi, melapor pada atasanku karena sudah waktunya. Aku sudah ditunggu-tunggu." "Tapi suciku, Dan Golok Maut?" "Dapat disusul, Cu-moi. Sudahlah kau percaya padaku atau kita berpisah sementara waktu!" "Tidak. Aku tak mau kau tinggal lagi, koko. Kalau kau mau ke kota raja aku pun ikut!" "Hm, baik kalau begitu. Kau tak membantah lagi?" Swi Cu terisak. Tiba-tiba. dia memeluk dan menyusupkan kepalanya ke dada kekasihnya itu. Setelah bertemu dan bertempur dengan si Hidung Belang Bhok-kongcu tadi tiba-tiba Swi Cu ngeri untuk sendirian. Ah, di dunia ini penuh dengan orang-orang jahat dan curang, juga keji dan kejam seperti Bhok-kongcu itu, yang hampir merobohkannya dengan kecurangan tak tahu malu. Dan teringat betapa orang she Bhok itu memandangnya dengan mata berminyak dan nafsu yang kotor jelas terpancar dimata pemuda itu, tiba-tiba Swi Cu menjadi ngeri meskipun bukan berarti gentar. "Aku... aku tak membantah lagi. Kau benar, dunia ini penuh dengan laki-laki busuk!" "Hm, karena itu turut nasihatku, moi-moi. Jangan bawa adat sendiri seperti biasanya. Ayolah, kita ke kota raja sebentar dan setelah itu mencari Si Golok Maut!"* Swi Cu mengangguk. Memang dalam perjalanan yang lalu terjadi sedikit perselisihan diantara mereka. Beng Tan waktu itu hendak menemui seseorang tapi ia tak mau ikut, bersitegang sedikit dan akhirnya berpisah. Mereka menentukan akan bertemu di kota Ih-peh tapi ternyata Beng Tan belum datang, dianggap tak menepati janji dan Swi Cu marah, meneruskan perjalanan sendirian dan akhirnya bertemu Bhok-kongcu itu, yang kebetulan juga hendak mengganggu sucinya. Dan ketika orang she Bhok itu hampir mencelakainya namun Beng Tan keburu datang, menolong dan menyelamatkannya maka Swi Cu tak berani bertengkar lagi ketika kekasihnya hendak mengajak ke kota raja. "Aku menurut, dan kau jangan tinggalkan aku." "Ah, bukan aku yang meninggalkanmu, Cu-moi. Tapi kadang-kadang kau tak mau mengerti urusan orang lain dan membawa adat sendiri." "Sudahlah, maafkan aku, koko. Aku sekarang menurut dan patuh padamu!" Beng Tan tersenyum. Tentu saja dia tak akan marah kalau kekasih sudah menyerah begini. Swi Cu sekarang dapat mengerti tugasnya dan mau memahami. Maka begitu Swi Cu terisak dan menyembunyikan muka di dadanya tiba-tiba Beng Tan mengangkat dan menahan dagu itu. Lalu ketika kekasihnya terbelalak dan bertanya mau apa mendadak pemuda ini menundukkan mukanya mencium bibir yang lembut memikat itu. "Aku mau menciummu. Ha-ha, jangan marah dan terimalah!" "Iih!" Swi Cu terkejut, tersentak namun tak mengelak. "Kau nakal, koko. Kau... ah, sudahlah. Aku masih teringat akan nasib suciku!" Dan Beng Tan yang menarik napas melepas bibirnya lalu mengangguk dan tak dapat bersenang-senang dulu, diganggu urusan ini dan diapun mengangguk. Memang, teringat keadaan Wi Hong tiba-tiba dia menjadi tak enak. Mereka bersenang-senang sementara orang lain menderita. Maka ketika dia mengangguk dan mengajak kekasihnya pergi akhirnya Beng Tan berkelebat dan terbang ke kota raja, menggandeng lengan kekasihnya. Namun apa yang terjadi" Kota raja berkabung! Beng Tan, yang pagi itu juga tiba disana ternyata melihat bendera berkibar setengah tiang. Semua wajah di ibu kota muram dan sedih. Wajah semua orang menunjukkan rasa takut yang hebat tapi juga marah. Dan ketika Beng Tan menyelidiki dan bertanya sana-sini ternyata Ci-ongya, adik kaisar, terbunuh. Tewas di tangan Si Golok Maut! "Kau terlalu!" begitu atasan pemuda ini menegur dan langsung marah-marah. "Sudah kubilang agar tidak lama-lama meninggalkan istana, Beng Tan. Tapi kau melanggar dan tidak datang-datang. Semalam Golok Maut mengamuk, membunuh-bunuhi tigaratus siwi dan busu pengawal istana dan adikku Ci-ongya tewas! Apa yang hendak kau katakan dan jawab disini" Dan siapa gadis ini?" Swi Cu, yang menggigil dan berlutut didepan orang yang marah-marah ini hampir tak berani mengangkat mukanya. Ternyata atasan kekasihnya itu adalah kaisar sendiri, sri baginda yang menyambut kedatangan mereka dengan muka merah padam. Dan ketika Beng Tan juga berlutut dan menggigil di depan kaisar maka pemuda ini terguncang dan terkejut, sejenak tak dapat berkata-kata. "Maaf, hamba,... hamba salah, sri baginda. Hamba menemui banyak persoalan ditengah jalan dan telah bertempur pula dengan Si Golok Maut itu, bahkan mengadu jiwa!" "Tapi dia kemari. Semua orang tak ada yang sanggup menandinginya dan tiga ratus pengawal tewas, terakhir adikku. Heh, apa yang hendak kau katakan lagi, Beng Tan" Dan siapa gadis disampingmu ini" Kau rupanya bersenang-senang, mabok dan melupakan tugas! Ah, sialan wanita ini dan gara-gara keteledoranmu maka adikku binasa!" Beng Tan pucat. Kalau kaisar sudah marah-marah seperti itu tak ada siapa pun yang berani mengeluarkan suara. Swi Cu sampai gemetar namun kekasihnya memegang lengannya erat-erat. Beng Tan berbisik tak boleh dia tersinggung atau marah disitu. Kaisar adalah kuasa dan dia adalah segala-galanya. Dan ketika geraman maupun kutukan juga mengenai Swi Cu yang tak tahu apa-apa akhirnya sri baginda menggebrak meja. "Nah, katakan laporanmu dan siapa siluman betina ini!" Swi Cu menggigit bibir kuat-kuat. Kalau Beng Tan tidak mencengkeram lengannya sedemikian kuat dan dia mampu melepaskan diri tentu dia sudah berteriak dan memaki kaisar itu. Betapapun dia tak terima. Enak saja disebut siluman betina, seolah dia iblis! Namun karena Beng Tan mencengkeramnya dan pemuda itu berbisik agar dia menelan segala kata-kata kaisar maka Beng Tan berlutut melipat tubuhnya. "Maaf, dia Swi Cu, sri baginda. Wakil ketua Hek-yan-pang, calon isteri hamba!" Sri baginda terkejut. "Calon isterimu" Hu-pangcu dari Hek-yan-pang?" Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Benar, dan maaf, sri baginda. Kekasih hamba ini tak tahu apa-apa dan justeru ia pun telah diserang dan hampir dibunuh Si Golok Maut!" "Hm, ceritakan pengalamanmu.... ceritakan pengalamanmu....!" Dan sri baginda yang tampak menahan diri dan kelepasan omong lalu sedikit lunak dan minta agar Beng Tan menceritakan perjalanannya, mendengar dan Beng Tan segera bercerita apa yang terjadi. Semua yang dialami bersama Swi Cu diceritakan, kecuali tentu saja pertemuannya dengan Wi Hong, cerita yang rupanya tak perlu didengar orang lain apalagi Wi Hong dalam keadaan hamil, cerita yang hanya akan memancing pertanyaan orang lain belaka dan justeru dapat memalukan diri sendiri. Dan ketika semua itu sudah diceritakan dan sri baginda mengangguk-angguk maka Beng Tan ganti bertanya, "Maaf, sekarang bagaimana dengan paduka sendiri. Kapan Si Golok Maut itu datang dan bagaimana sampai membunuh Ci-ongya?" "Hm, kau tanya Kun-taijin (menteri Kun), Beng Tan. Sekarang aku ingin beristirahat dan biarlah kalian berdua bicara," kaisar memutar tubuh tampak mengerotkan gigi dan menteri Kun memberi isyarat mata padanya. Sri baginda telah menyuruh menterinya itu bercerita, jadi tak mau bercerita sendiri dan Beng Tan tentu saja tak dapat memaksa. Dalam keadaan biasa tentu sri baginda tak akan bersikap seperti itu kepadanya. Namun karena istana lagi berkabung dan kematian Ci-ongya memang menggegerkan semua orang maka Beng Tan mengangguk pada menteri itu dan duduklah keduanya di ruang sebelah, diikuti Swi Cu. =* d*w *= Semalam, para pengawal dan istana tak merasakan datangnya badai yang tiba-tiba mengamuk itu. Semua pengawal dan isi istana biasa-biasa saja, bahkan rakyat masih bergembira diluar sana, bertandang dan masuk keluar toko untuk membeli keperluan barang-barang seperti biasa, untuk esok harinya. Namun ketika malam tiba-tiba mendung dan bulan serta bintang mulai menyembunyikan diri mendadak suasana riang-ria diluar agak berobah. Orang yang hilir-mudik kembali kerumah masingmasing. Angin malam bertiup dingin dan hujan akan datang. Dan ketika benar saja pada kentongan kesepuluh hujan mengguyur ibu kota maka penduduk mulai membuka selimut untuk menutupi tubuh sendiri. "Ah, dingin. Hujan sialan. Lebih baik kita berjaga di dalam gardu dan main kartu!" pengawal di istana menggerutu. Mereka agak terganggu dengan datangnya hujan itu dan bagi yang bertugas jaga memang agak menjengkelkan. Mereka kedinginan diluar dan terpaksa memakai mantol, melindungi diri. Dan ketika tujuh orang bermain kartu di dalam sementara dua lagi berjaga di sudut kiri dan kanan maka sebuah kereta tiba-tiba berderap memasuki halaman istana. "He, siapa itu" Aneh sekali, malam-malam hujan begini datang bertandang!" dua pengawal mengerutkan kening, diam menyambut dan kereta itu akhirnya berhenti di pintu gerbang. Saisnya turun dan pengawal melihat bahwa itu adalah kereta milik Lie-taijin, menteri Lie. Dan ketika sais bicara sejenak dengan penjaga dan berkata bahwa Lie-taijin ingin bertemu Ci-ongya maka penjaga tak curiga namun minta agar Lie-taijin memperlihatkan diri. "Maaf, aneh bahwa taijin malam-malam datang begini, hujan lagi. Bisakah beliau memberikan surat pengantar atau memperlihatkan diri?" "Taijin sakit, tak enak badan. Menggigil di dalam dan ingin secepatnya bertemu ongya. Kalau surat pengantar ada, inilah." sais memberikan surat menteri itu, lengkap dengan stempelnya dan penjaga semakin tak curiga lagi. Namun karena dia harus melapor ke dalam dan Ci-ongya harus diberi tahu maka dia menyuruh kereta dimasukkan ke dalam, di samping gedung. "Ongya kebetulan sedang dilayani selirnya. Baiklah kau tunggu disamping gedung itu dan silahkan taijin masuk!" Sais mengangguk. Caping lebarnya yang dipakai di atas kepala tak mencurigakan siapapun karena waktu itu hujan, jadi dipakai untuk melindungi kepala dan kereta pun berderap masuk. Dan ketika penjaga melapor pada komandannya dan serempak tujuh orang yang bermain kartu itu menghentikan permainannya maka komandan melompat tergopoh menyuruh anak buahnya menyimpan kartu-kartu itu, berikut uang yang berceceran di lantai. Judi! "Ah, sialan kau. Kenapa baru bilang sekarang" Cepat simpan semua uang yang berceceran, jangan diketahui Lie-taijin!" Kiranya di istana pun ada judi. Para pengawal membuang waktunya bukan hanya sekedar bermain kartu tapi juga iseng dengan mempertaruhkan uang, padahal kaisar baru saja mengeluarkan undang-un-dang agar pengawal tidak berjudi, karena dapat mengganggu tugas. Dan ketika semua berlompatan dan uang yang bercecer-tan cepat disembunyikan di balik tikar maka komandan sudah tergopoh-gopoh menyambut tamu. "Taijin, selamat malam. Biarlah kami laporkan pada ongya dan silahkan paduka menunggu di dalam!" "Taijin sakit, tak dapat menggerakkan tubuhnya. Biarlah dia di dalam sampai ongya datang," si sais berkata, tenang-tenang saja dan komandan jaga tertegun. Kenapa begitu" Bukankah kalau sakit harus dibawa ke tabib" Namun ketika sais berkata bahwa justeru Lie-taijin ingin menghubungi tabib Kwee melalui Ci-ongya maka komandan hilang kecurigaannya dan mengangguk-angguk. "Taijin tak berani mengganggu Kwee-yok-ong yang merupakan tabib pribadi sri baginda. Datang dan ingin diantar Ci-ongya agar cepat sembuh." "Oh, begitukah" Baik, kami akan segera memanggil ongya," dan komandan yang bergegas sendiri menghadap majikannya lalu menyuruh anak buahnya memberi minuman hangat pada tamu. Kwee-yok-ong (raja obat Kwee) adalah tabib pribadi kaisar, memang tak sembarangan menemuinya kalau tidak diantar orang-orang yang dekat dengan kaisar. Dan karena Ci-ongya adalah adik tiri kaisar dan tentu saja dapat diantar melalui pangeran itu maka Ci-ongya tertegun ketika mendengar laporan datangnya menteri ini, malam-malam begitu, hujan lagi. "Sakit apa" Kenapa tak disuruh menemui aku?" "Maaf, hamba tak tahu sakitnya, ong-ya, tak bertanya. Tapi katanya tak dapat bergerak dan menunggu di dalam kereta." "Aneh, tadi pagi masih sehat. Bagaimana itu?" "Hamba tak tahu, penyakit memang dapat mengganggu siapa saja, sewaktu-waktu." "Ya, seperti kau ini. Yang datang dan mengganggu aku yang sedang bersenangsenang dengan selirku... plak!" Ci-ongya menampar komandan jaga itu, jengkel dan gemas karena dia merasa diganggu. Kalau bukan Lie-taijin yang datang tentu sudah diusirnya tamu itu. Tapi karena Lie taijin adalah sahabatnya dan jelek-jelek adalah pembantu sri baginda kaisar yang cukup pandai maka dia bergegas keluar dan menyuruh selirnya menunggu disitu. "Bawa dia masuk, biar aku melihatnya!" "Maaf, kereta ada di samping gedung, ong-ya, bukan diluar. Paduka sudah ditunggu disebelah kiri gedung!" Ci-ongya mengumpat. Dia tadi bergegas keluar tapi ternyata bukan disana. Kereta sudah berteduh disamping gedung dan benar saja dia melihat kereta itu, milik Lie-taijin. Dan ketika dia menuruni tangga dan berseru memanggil Lie-taijin maka sais yang berdiri membungkuk tiba-tiba maju mendekat. "Mana majikanmu" Sakit apa" Suruh keluar, biar aku melihatnya!" Sang sais menggumam aneh. Dia tidak memanggil majikannya melainkan malah menyambar lengan pangeran ini. Dan ketika komandan terkejut karena sikap itu dinilai kurang ajar maka Ci-ongya sendiri terkejut melihat keberanian sekaligus kekurang ajaran sais ini. "Lie-taijin ada di dalam, mari kau lihat!" Ci-ongya tersentak. Dia terlalu tergesa dengan menghampiri kereta, tidak melihat baik-baik sais itu. Tapi ketika si sais berengkau dan ber-aku begitu enak kepadanya dan tahu-tahu lengannya disambar maka pangeran ini kaget bukan main melihat wajah di balik caping lebar itu. "Golok Maut...!" Teriakan atau jeritan pangeran ini mengejutkan pengawal. Sang komandan yang sama sekali tidak menyangka atau menduga tiba-tiba bagai disengat lebah. Komandan ini terkesiap dan kaget bukan main. Dan ketika Ci-ongya terlihat meronta dan memekik melepaskan diri tiba-tiba Golok Maut, sais yang menyamar itu tertawa dingin. "Benar, aku, ong-ya. Dan sekarang kau mampuslah." Jerit melengking memecah kesunyian malam. Ci-ongya mencelos dan menarik lepas dirinya, membalik dan lari memasuki gedung. Tapi baru tiga langkah kakinya bergerak menaiki tangga tiba-tiba sinar putih berkelebat dan komandan terbeliak melihat golok yang menyambar cepat sudah menabas putus leher pangeran itu, dalam waktu hanya sepersekian detik. "Crass!" Kepala Ci-ongya menggelinding. Darah menyemprot bagai pancuran dan tubuh itupun roboh. Ci-ongya hanya sekali memekik dan setelah itupun nyawanya terbang ke neraka. Kejadian berlangsung demikian cepat dan tidak terduga. Dan ketika pengawal berteriak dan sang komandan terjaga tiba-tiba mereka malah melarikan diri dan lintang-pukang. "Golok Maut.... Golok Maut....!" "Ci-ongya terbunuh, Golok Maut datang....!" Keadaan menjadi gempar. Sekilas gebrak yang berlangsung bagai mimpi itu tiba-tiba membuat pengawal ketakutan. Mereka gentar dan pucat setelah melihat bahwa itu adalah Golok Maut, bukan sais Lie-taijin. Dan ketika Golok Maut membalik dan tertawa dingin maka dia berkelebat namun pengawal sudah memukul tanda bahaya. "Golok Maut datang, Ci-ongya terbunuh!" Istana menjadi geger. Pekik dan jerit mereka yang ngeri melihat sepak terjang Si Golok Maut sudah tak dapat dikendalikan lagi. Golok Maut mengerutkan kening melihat pengawal memukul tanda bahaya. Namun ketika dia menggerakkan tangan dan sebuah jarum hitam menancap di dahi pengawal itu maka pengawal yang memukul tanda bahaya ini roboh, tersungkur. "Keparat, kalian mencari penyakit!" Sang komandan pucat dan putih mukanya. Dialah yang bertanggung jawab menerima kedatangan Si Golok Maut. Kereta Lie-taijin yang sama sekali tidak mengundang kecurigaan ternyata justeru dipakai Si Golok Maut itu. Golok Maut dengan mudah dan tenang memasuki gedung Ci-ongya, memang tidak menimbulkan kecurigaan dan caping lebar yang biasa dipakainya itu juga kebetulan dilupakan pengawal. Malam itu hujan, jadi pas sekali kalau seseorang melindungi kepala dengan caping. Dan ketika semuanya sudah terlambat dan Ci-ongya terbunuh, begitu cepat dan tidak terduga maka pengawal berteriak-teriak sementara komandan jaga bingung memikirkan hukuman yang akan diterimanya. "Panggil Siang-mo-ko. Beritahukan lo-cianpwe Yalucang dan lain-lain!" Namun Golok Maut berkelebat. Golok Maut mengenal komandan ini sebagai komandan jaga yang menerimanya, bergerak dan tahu-tahu sudah menangkap laki-laki itu. Dan ketika komandan ini berteriak dan meronta serta ketakutan maka Golok Maut bertanya dimana Coa-ongya, "Aku sudah mencari digedungnya, tapi tidak ketemu. Beritahukan atau kau mampus!" "Tidak... tidak...!" sang komandan ber-kaok. "Aku tak tahu, Golok Maut. Aku bukan pengawalnya!" "Tapi kau pengawal istana, pasti tahu. Bertahukan atau kau kubunuh!" "Oh, tidak. Aku tak tahu!" namun ketika pengawal ini menjerit dan berteriak mengaduh maka Golok Maut menjepit batang lehernya dan menginjak dadanya. "Kalau begitu kaupun mampus.. ngek!" komandan itu menggeliat lemah, tidak bersuara lagi karena dari tenggoroKannya keluar cairan kental berwarna merah. Golok Maut telah menghancurkan batang tenggorokannya tadi dengan jepitan di leher, patah dan terkulailah komandan jaga itu. Dan ketika anak buahnya kalang-kabut dan tentu saja berteriak-teriak maka bayangan-bayangan hitam berkelebatan memasuki halaman, bayangan dari para si-wi atau busu, yang berjaga disebelah. "Apa yang terjadi. Dimana Golok Maut!" "Itu, disana. Dia... dia telah membunuh Ci-ongja!" Para siwi dan busu berkelebatan ke arah yang ditunjuk. Mereka melihat bayangan tinggi tegap dengan caping lebar, ciri khas yang dipunyai si Golok Maut. Tapi ketika mereka bergerak dan membentak kesini ternyata Golok Maut Sudan menghilang dan naik ke atas genteng. "Kejar, dia ke gedung Coa-ongya...!" Memang betul. Golok Maut ke barat dan gedung Coaongya yang dituju. Tadi dia sudah kesana tapi tak ketemu, membuat ribut-ribut ditempat Ci-ongya dulu dan kini semua pengawal berhamburan. Dan ketika mereka melihat Ci-ongya putus kepalanya mandi darah maka semua merinding melihat darah yang membanjir dari luka itu bergelimang membasahi tanah. tangga, bercampur air hujan. "Dia membunuh Ci-ongya, kejar. Tangkap iblis berdarah dingin itu!" Golok Maut tak menghiraukan. Sinar putih dan goloknya sudah tak nampak lagi, lenyap dibelakang punggung. Tadi dia sudah membunuh lawan yang dibencinya dan seorang penjaga melihat tokoh bercaping ini menghirup darah di badan golok, menjilat dan memasukkannya lagi dibelakang punggung setelah berkemak-kemik, Dan Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ketika penjaga atau pengawal itu tertegun membelalakkan mata maka seluruh penjuru istana sudah dipenuhi ratusan si-wi atau busu yang mendengar tanda bahaya. "Golok Maut datang, dia membunuh Ci-ongya!" Suasana gempar. Istana yang semula tenang tiba-tiba dibuat hiruk-pikuk oleh kegaduhan ini. Mereka sungguh tak menduga bahwa Golok Maut berani datang lagi, bahkan telah membunuh Ci-ongya. Dan ketika semua mengkirik melihat jenasah Ci-ongya yang tidak berkepala lagi maka wuwungan menjadi penuh orang ketika bayangan Golok maut dituding-tuding. "Dia di atap, di atas. Kejar...!" Namun hanya orang-orang tertentu yang berani mengejar. Mereka adalah pemimpin-pemimpin para siwi dan busu itu, tiga-puluh jumlahnya. Dan ketika bayangan Golok Maut tampak meluncur ke gedung Coa-ongya maka mereka membentak, sebagian melepas panah dan tombak. "Golok Maut, berhenti. Menyerahlah!" "Benar. dan serahkan dirimu baik-baik, Golok Maut. Atau kau mampus sia-sia.... wut-singg." Panah dan tombak menyambar belakang punggung, cepat dan luar biasa namun Golok Maut mendengus. Dan ketika dia menampar dan semua senjata itu ditangkis tanpa menoleh maka tombak atau panah runtuh ke tanah dan patah-patah. -ooo0dw0ooo- Jilid : XXII "PLAK-PLAK-PLAK!" Semua perwira terbelalak. Mereka memang mengetahui kelihaian Si Golok Maut ini, tokoh yang mendirikan bulu roma. Namun karena mereka berjumlah banyak dan patahnya tombak atau panah itu justeru membuat mereka marah maka mereka menerjang dan membentak maju. "Kepung dia. Tangkap!" Tigapuluh perwira menyerang berbareng. Mereka sudah menyiapkan senjata dan masing-masing mengeluarkan bentakan penambah semangat. Menghadapi tokoh seperti Si Golok Maut itu harus mengerahkan keberanian kalau tak ingin jatuh lebih dulu. Tapi ketika pedang dan golok berhamburan menyerang tokoh bercaping ini tiba-tiba Golok Maut lenyap dan entah bagaimana tiba-tiba mereka mendapat tendangan dan tamparan. "Yang bukan she Coa atau Ci tak usah main-main disini. Pergilah... des-des-cringg!" senjata sesama teman bertemu sendiri, nyaring memekakkan telinga dan pemiliknya sudah mencelat beterbangan. Mereka jatuh ke bawah dan menggelinding dari atas genteng yang tinggi. Dan ketika semua memekik dan berdebuk di bawah maka Golok Maut tiba-tiba sudah tampak di sebelah timur. "Hei, kejar. Dia disana!" Namun Golok Maut mengeluarkan tawa dari hidung. Para siwi dan busu yang tiba-tiba melepas panah berdesing-desing tiba-tiba dikebut runtuh. Semua anak panah itu runtuh dan Golok Maut menghilang di puncak gedung. Dan ketika semua kelabakan dan berteriak-teriak mengejar maka para perwira yang sudah melompat bangun mengerahkan anak buahnya masing-masing untuk mengepung rapat tempat itu. "Pagar betis! Semua harap memagar betis...!" Hal itupun sudah dilakukan. Ratusan siwi dan busu yang sudah berkumpul dan cepat mengelilingi seluruh gedung sudah tak dapat disibak lagi. Perwira mereka berteriak-teriak dan melayang kembali ke atas gedung. Dan ketika mereka melakukan pencarian sambil berkelompok dan memaki tak keruan maka lima bayangan berkelebat dari lima penjuru. "Dimana jahanam itu" Mana Si Golok Maut?" "Ah," para perwira girang. "Golok Maut tadi disana, locianpwe. Di gedung sebelah timur!" "Benar, tapi sudah menghilang di puncak wuwungan itu!" dan ketika yang lain saling bersahutan dan memberi tahu maka lima bayangan ini, yang bukan lain Mindra dan empat temannya tiba-tiba berkelebat dan memencar. "Kalian mengepung puncak wuwungan itu. Kita kesana... wut-wut!" Mindra dan Sudra sudah lenyap mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, tiga yang lain bergerak dan menganggukkan kepala dan berturut-turut seperti iblis saja kakek-kakek ini menghilang bagai iblis. Namun ketika mereka tiba disana dan tak melihat bayangan Golok Maut maka semuanya tertegun dan Pek-mo-ko menggeram dan celingukan. "Tak ada. Pasti ke bawah!" Yalucang, kakek tinggi besar mengangguk. Kakek ini mengeluarkan geraman mirip singa dan tiba-tiba berkelebat ke bawah, meluncur ke dalam gedung. Dan ketika Sudra juga mengangguk dan meluncur turun maka Hek-mo-ko yang gentar berada sendirian memandang kakaknya. "Kita cari dia?" "Ya, dan balas sakit hati ini, sute. Ayo turun dan cari dia!" Pek-mo-ko menepuk pundak adiknya. Dia tahu rasa jerih yang menghuni jiwa adiknya ini. Hek-mo-ko telah kehilangan lima jari kanan ketika dulu dipapas Golok Maut, golok mengerikan itu. Dan ketika mereka berkelebat dan menghilang ke bawah maka Yalucang tiba-tiba melihat bayangan tokoh bercaping itu, berkelebat memasuki lorong di bawah air hujan yang kini tiba-tiba seolah dicurahkan dari langit. "Golok Maut, berhenti kau. Jahanam!" Kakek tinggi besar lni mencabut roda-gergajinya. Dia sudah melempar itu dan senjata mengerikan ini berdesing menyambar punggung Si Golok Maut. Tapi ketika Golok Maut menoleh dan menangkis, tersenyum mengejek tibatiba roda-gergaji itu terpental dan menyambar tuannya kembali. "Plak!" Golok Maut melesat menghilang lagi. Yalucang si kakek tinggi besar harus mengerahkan tenaga ketika roda-gergajinya itu menyambar cepat, menuju dadanya dan terdengarlah suara keras ketika senjata itu mengenai atau menghantam dada kakek tinggi besar ini. Tapi karena tokoh Tibet itu sudah mengerahkan sinkang dan roda-gergajinya berdetak maka kakek itu terhuyung tapi sudah mengejar lagi. "Dia disini...!" kakek itu agak berobah. "Hei, dia disini, Mo-ko. Tangkap dan kepung dia!" Namun Golok Maut sudah menghilang lagi. Bagai siluman atau iblis saja tokoh bercaping itu berkelebat entah kemana. Bayangan Mo-ko dan Sudra yang berturut-turut datang sia-sia saja, mereka tak menemukan dan kakek tinggi besar itu melotot. Panggilannya tadi berkesan gentar dan buru-buru minta tolong, hal yang menggelikan namun siapapun tahu kelihaian Si Golok Maut itu, tak ada yang tertawa. Dan ketika Mindra mendengus dan tak melihat bayangan lawan maka kakek itu mengajak saudaranya berpencar. "Kau kesana, aku kesini!" Sudra mengangguk. Dia sudah mencabut cambuknya dan dengan marah menjeletarkan senjatanya itu, meledak dan hancurlah genteng di atas yang berderak roboh. Dan ketika yang lain bergerak dan Mo-ko selalu berdua maka dilorong sebelah kanan terdengar jeritan ngeri. "Aduh..!" Semuanya dahulu-mendahului. Jeritan panjang disusul berdebuknya tubuh yang roboh ke tanah membuat lima kakek itu mendelik. Mereka melihat enam pengawal terbabat tewas, leher mereka digorok dan putus tanpa kepala. Mengerikan! Dan ketika lima kakek itu terbelalak dan marah maka Sudah meledakkan cambuknya berseru nyaring, "Golok Maut, jangan sembunyi-sembunyi. Hayo hadapi kami dan jangan bersikap pengecut!" Namun jeritan dan pekik ngeri terdengar disebelah kiri. Seolah menyambut jawaban kakek itu tiba-tiba belasan tubuh berdebuk seperti pisang. Mereka berkelebat dan melihat belasan pengawal roboh tanpa kepala, lagi-lagi digorok putus! Dan ketika Sudra maupun lainnya membelalakkan mata dengan ngeri dan marah maka di empat penjuru sudah terdengar jeritanjeritan lain. Golok Maut berpincah-pindah dengan cepat dan mencari Coa-ongya, mulai mengamuk dan membunuh-bunuhi pengawal dengan kejam. Dia menangkap dan menanya pengawal tapi selalu dijawab tak tahu, kemarahannya bangkit dan dibinasakanlah pengawal-pengawal itu, tanpa ampun. Dan ketika istana menjadi geger dan bayangan Golok Maut benar-benar merupakan hantu pencabut nyawa maka tubuh-tubuh bergelimpangan di bawan hujan yang semakin deras. "Kepung dia, tangkap!" "Kejar!" Namun semua ini seolah terompet penyambung lidah beleka. yang berteriak dan berseru itu rata-rata tak ada yang berani mendekat. Bayangan Golok Maut yang mulai berkelebatan disekitar gedung istana menyambar-nyambar bagai siluman haus darah. Sudra dan teman-temannva mengejar namun Si Golok Maut berpindah-pindah, cepat dan luar biasa hingga kakek itu memaki-maki. Mereka dibuat malu dan penasaran karena sampai sedemikian jauh mereka belum berhasil menangkap Si Golok Maut itu. Jangankan menangkap, berhadapan dan bertanding saja belum Golok Maut seolah menghindar atau mungkin mempermainkan mereka! Dan ketika tubuh pengawal bergelimpangan dan darah membanjir di istana maka Yalucang mengeluarkan bentakan dahsyat ketika satu saat bayangan Golok Maut dilihatnya melayang turun dari wuwungan yang tinggi. "Blarr!" Kakek itu menyemburkan apinya. ilmu Hwee-kang (Tenaga Api) dilepas dan dikeluarkan kakek ini, mulutnya meniup dan bentakannya tadi sudah menyertai api yang berkobar. Tapi ketika Golok Maut menangkis dari tangan kirinya bergerak tibatiba kakek ini terpental dan jatuh di sudut. "Keparat, jahanam keparat!" Yalucang kakek si tinggi besar merah padam. "Kau hebat Golok Maut. Tapi jangan lari dan hadapi aku lagi. Hayo. . .! dan si kakek yang bangun menerjang lagi, tiba-tiba melihat lawannya berkelebat menjauhkan diri, memang tidak mau melayani Kakek ini. Karena begitu dilayani maka Sudra dan lain-lain pasti datang membantu. Dia bakal dikeroyok dan itu berbahaya. Golok Maut memang sengaja berpindah-pindah dan mencari Coa-ongya sambil membunuh siapa saja yang menghadang di depan. Tapi karena Yalucang adalah kakek lihai dan tentu saja tidak segampang itu membunuh kakek ini seperti halnya membunuh para pengawal atau busu maka Golok Maut meninggalkan lawan dan kakek ini mencak-mencak, tak tahu kemana Golok Maut pergi namun tempat itu sudah dikepung ribuan orang. Pasukan istana sudah bergerak dan jenderal serta panglima ikut membantu. Kegegeran yang terjadi di istana sungguh mengejutkan siapa saja dan hujan yang deras itu seakan menambah suasana jadi semakin menyeramkan saja. Dan ketika duaribu orang sudah memagari tempat itu dan istana benar-benar terkepung maka Golok Maut akhirnya mulai tersudut. Tokoh ini, seperti yang diketahui dari sepak terjangnya yang sudah-sudah adalah tokoh yang keras hati dan tak gampang menyerah. Golok Maut memang laki-laki gagah yang amat luar biasa. Maka ketika ruang geraknya mulai dipersempit dan para perwira serta jenderal mulai bergerak secara rapat akhirnya sikap lari seperti kucing yang selalu berpindah-pindah itu tak dapat diterapkan Si Golok Maut ini. Disitu ada orang-orang lihai seperti Mindra dan kawan-kawannya, Pek-mo-ko dan Hek-mo-ko yang bukan tergolong orang-orang biasa itu. Maka ketika teriakan dan kepungan semakin rapat akhirnya pertemuan dengan lima pelindung Coa-ongya ini tak dapat dihindarkan lagi. Golok Maut mula-mula bertemu Mindra. Kakek lihai dari India yang sudah memegang nenggalanya ini menggeram marah. Mindra merasa dipermainkan lawan karena sama seperti Yalucang tadi dia-pun ditinggal pergi setelah bertemu sebentar, terhuyung dan memaki ketika pukulannya ditangkis. Maka ketika mereka bertemu lagi dan Golok Maut tak dapat menghindar maka satu bentakan dan tusukan nenggala mendahului kemarahan kakek itu. "Mampus kau!" Golok Maut mengelak. Sekarang dia mengerutkan kening karena di mana-mana terdapat musuh. Dua ribu orang sudah mengepung dan baru kali itu istana dibuat guncang. Untuk menghadapi seorang saja mereka telah mengerahkan dua ribu orang, bukan main. Hal yang sebenarnya membuat malu! Maka ketika Golok Maut mulai berhadapan dengan kakek India itu dan para pengawal serta perwira bersorak maju maka Golok Maut berkilat matanya sedikit gugup. "Duk!" nenggala kembali menyambar, ditangkis dan kakek itu terhuyung. Dan ketika Mindra bergerak dan menyerang lagi tiba-tiba Mo-ko kakak beradik muncul berkelebat. "Bagus, bantu aku, Mo-ko. Tangkap dan bunuh jahanam ini!" Mo-ko mengangguk. Mereka, seperti yang lain-lain tadi juga dipermainkan Si Golok Maut ini. Tadi mereka juga bertemu tapi segera ditinggal pergi, setelah dibuat terhuyung dan terjengkang. Hek-mo-ko malah terpelanting terguling-guling ketika Golok Maut menggerakkan senjatanya, Golok Penghisap Darah itu. Dan ketika mereka mengejar namun tentu saja berhatihati, maklum bahwa lawan bukanlah lawan sembarangan maka mereka melihat Mindra yang sudah berhadapan dengan Si Golok Maut itu, berkelebat dan datang menyerang dan duaribu pasukan bersorak. Banjir darah sudah terjadi namun mereka bangkit semangatnya, karena disitu banyak teman. Dan ketika Golok Maut harus berkelebatan karena Mo-ko kakak beradik juga sudah menyerangnya dengan tongkat di tangan maka pemuda ini menggerakkan goloknya yang menyilaukan mata itu. "Crak-dess!" Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mo-ko sang adik berteriak. Ujung tongkatnya terbabat dan putus sejengkal, kaget melempar tubuh dan kakaknya berseru agar tidak menyambut golok di tangan lawan, hal yang sebenarnya sudah dilakukan iblis hitam itu namun Golok Maut mengejar dan menggerakkan goloknya dengan amat lihai. Dan ketika apa boleh buat tongkat harus bertemu golok maka seperti yang sudah diduga senjata di tangan iblis bermuka hitam ini putus, sementara tuannya sendiri melempar tubuh bergulingan. "Jangan sambut goloknya, hindari jauh-jauh...!" Mo-ko mendesis. Dia bangkit lagi dan was-was memandang lawan. Golok Maut tertawa mengejek dan sudah berkelebatan diantara mereka, cepat memutar goloknya dan mereka bertiga tak ada yang berani mendekat. Ngeri! Mindra sendiri terpaksa menarik nenggalanya kalau golok maut menyambar, tak berani dan akibatnya desakan atau tekanan mereka berkurang. Dan ketika mereka hanya menjaga diri dan Golok Maut mulai melihat para pengawal yang berdatangan maka tokoh ini berkelebat dan membentak berjungkir balik, mundur kebelakang. Namun celaka, perwira dan panglima yang ada disitu memberi aba-aba. Mereka melepas panah dan ribuan panah berbahaya menjepret ke satu arah. Golok Maut terancam dan dipaksa menangkis runtuh. Dan ketika dia berhenti sejenak dan tentu saja memberi kesempatan pada orangorang seperti Mo-ko dan Mindra untuk menyerang dari belakang maka nenggala bergerak sementara tongkat juga menghantam, semuanya lewat belakang. "Duk-dess!" Golok Maut terhuyung. Nenggala mengenai punggungnya tapi terpental, begitu juga tongkat Mo-ko kakak beradik. Mereka bertemu kekebalan yang dipasang tokoh bercaping ini, yang melindungi dirinya dengan sinkang. Dan ketika mereka terbelalak tapi perwira dan panglima berteriak menyerang lagi maka Sudra berkelebat muncul disusul kakek tinggi besar Yalucang. "Kepung dia! Jaga rapat-rapat...!" Golok Maut tak dapat melarikan diri. Sekarang dua ribu pasang kaki sudah memagar betis, kemanapun dia lari kesitu pula senjata menyambar, tentu saja bukan dari dekat melainkan dari jauh, panah dan tombak yang dilepas sambil bersorak-sorai. Dan ketika Golok Maut terkepung dan apa boleh buat menghadapi semua lawannya maka lima kakek di depan membentak dan menerjang maju, mengeroyok. "Golok Maut, serahkan dirimu. Atau kau mati kami cincang!" "Benar, dan mintalah ampun, Golok Maut. Cepat sebelum kami semua kehabisan sabar!" Golok Maut tak menjawab. Hujan senjata dari lima orang lawannya itu masih ditambah dengan hujan anak panah dan tombak dari mana-mana. Dari delapan lenjuru para pengawal dan perwira berterak-teriak. Hujan tak mereka hiraukan lagi dan terkepunglah Si Golok Maut itu. Tapi ketika laki-laki ini memutar senjatanya dan golok berkeredepan menyilaukan mata maka Mindra berteriak agar tidak menyambut cahaya putih yang menggiriskan itu. "Awas...!" Namun terlambat. Cambuk baja di tangan temannya terbabat putus, kakek Ya-lucang juga mencelat rodagergajinya bertemu sinar golok itu, yang sudah berkelebat dan menyambar luar biasa cepat. Dan ketika mereka melempar tubuh bergulingan sementara Golok Maut membentak dan melengking tinggi tiba-tiba barisan pengawal yang ada di depan diterjang roboh. "Minggir!" Pengawal berteriak ketakutan. Mereka melepas panahpanah berbahaya namun semua disapu runtuh, rontok oleh kilauan golok yang membungkus Si Golok Maut itu. Dan ketika mereka berteriak dan coba mengelak namun gagal maka sebelas diantaranya roboh tanpa kepala. "Crat-crat-crat!" Mengerikan sekali. Dua ribu pengawal tersentak melihat kejadian itu. Sebelas kepala menggelinding dan pisah dari tubuhnya, begitu cepat dan luar biasa. Dan ketika mereka terkejut sementara disana Mindra dan kawan-kawannya masih bergulingan melempar tubuh maka Golok Maut bergerak dan berjungkir balik menerjang berikutnya. "Ah!" "Awas...!" Semua tiba-tiba menyibak. Golok Maut berjungkir balik turun dikerumunan orangorang ini, yang semua tiba-tiba membalik dan berhamburan melompat mundur. Dan ketika tempat itu kosong dan Golok Maut mendengus maka tokoh ini sudah berloncatan dan mengerahkan ginkangnya untuk terbang dari satu kepala ke kepala yang lain. "Hei, jangan buka kepungan. Tutup rapat-rapat!" Mindra, yang terkejut melihat semua pengawal tiba-tiba mundur mendadak membentak marah. Kakek ini paling dulu melompat bangun dan menggeram menggerakkan nenggalanya lagi. Dan ketika dia berkelebat dan empat temannya yang lain juga bergerak dan marah membentak Si Golok Maut maka kakek ini melepas pukulan berbahayanya, Hwi-seng-ciang. "Dess!" Golok Maut bergoyang. Hwi-seng-ciang membokongnya dibelakang dan saat itu pukulan-pukulan lain juga datang menyambar-nyambar. Mo-ko kakak beradik melepas Pek-see-kang mereka, disusul gerengan kakek tinggi besar Yalucang yang melepas Hwee-kang (Pukulan Api). Dan ketika semuanya hampir bersamaan mendarat di tubuh tokoh bercaping ini dan Golok Maut tak sempat menangkis karena maju ke depan maka semua pukulan itu menghantam keras dan amat hebatnya. "Des-dess!" Golok Maut terhuyung. Dia membalik dan secepat kilat tangan kirinya tiba-tiba membalas. Satu sinar kuning menyambar lima orang itu dan Mindra terkejut, mengelak dan berteriak pada temantemannya agar cepat menghindar. Itulah Kim-kong-ciang atau Pukulan Sinar Emas, hebatnya bukan main karena dari jarak setombak saja pakaian dan baju mereka sudah berkibar. Pengawal menjerit berpelantingan karena tahu-tahu tubuh mereka terangkat, terdorong dan terlempat oleh angin pukulan itu, padahal baru angin pukulannya saja, keserempet! Dan ketika mereka terbanting bergulingan dan mengaduh menjerit-jerit maka disana Yalucang terlempar sementara Mo-ko terpental karena kalah cepat berkelit. "Bres-bress!" Dua orang itu mengeluh. Golok Maut membalas dan sekali balasannya cukup membuat mereka gentar. Tapi ketika tokoh itu hendak melepas pukulannya lagi dan menerjang lawan tiba-tiba empatpuluh perwira menjepretkan anak panah mereka berbareng. "Jret!" Gendewa yang dipentang mengeluarkan suara bergetar. Empatpuluh anak panah menyambar dari delapan perjuru dan bercuitanlah panah-panah yang besar itu. Mereka adalah perwira-perwira pilihan yang mahir memainkan senjata jarak jauh itu. Tapi ketika semua mengenai tubuh Si Golok Maut dan runtuh ke tanah, bertemu kekebalan mengagumkan maka Golok Maut menggeram dan tiba-tiba berkelebat ke arah mereka. "Kalian manusia-manusia jahanam!" Empatpuluh perwira itu terkejut. Mereka berteriak dan melepas anak-anak panah lagi, kini bukan sebatang melainkan dua batang. Jadi delapanpuluh batang panah menyambar Si Golok Maut itu. Tapi ketika Golok Maut memutar senjatanya dan sinar putih yang menyilaukan itu melindungi dirinya tibatiba delapanpuluh anak panah rontok sementara cahaya atau sinar putih itu masih menyambar ke depan, cepat dan ganas, luar biasa. "Augh... crat-crat-crat!" Duapuluh tiga kepala tiba-tiba putus. Golok Maut membabatnya dalam sekali ayunan panjang, begitu cepat dan tak dapat diikuti mata dan tahu-tahu duapuluh tiga kepala menggelinding. Semuanya sudah pisah dari tubuh! Dan ketika tujuhbelas yang lain terbelalak pucat dan nyawa seakan terbang dari tubuh maka mereka melempar tubuh menyelamatkan diri. "Duk-duk-bress!" Tujuhbelas perwira ini saling tumbuk. Mereka menjerit dan berteriak sendiri tapi untunglah saat itu Mindra dan empat temannya datang lagi menolong. Lima kakek ini ngeri tapi juga marah melihat sepak terjang Si Golok Maut. Pemuda bercaping ini sungguh ganas dan kejam, benarbenar bertangan besi! Dan ketika mereka maju lagi dan panglima-panglima yang ada dibelakang membentak pasukannya agar melepas panah-panah atau tom-hoi, maka Golok Maut sudah dikeroyok, "Jangan biarkan dia lolos. Pagar betis! Semua mengepung rapat-rapat!" Keadaan benar-benar menggemparkan. Keganasan dan kekejaman Golok Maut ini yang tak kenal ampun sungguh mendirikan bulu roma. Kini laki-laki itu berkelebatan tapi ditahan lima tokoh lihai itu. Mindra berusaha keras untuk mencegah Golok Maut melarikan diri, karena laki-laki Itu tampak bermaksud meninggalkan pertempuran dan melarikan diri, hal yang memang akan dilakukan Si Golok Maut itu. Dan ketika Mindra berseru pada empat temannya agar mengurung Golok Maut rapat-rapat maka Golok Maut tak dapat keluar karena mereka gantiberganti menyerangnya. Ditangkis yang satu menyerang yang lain, dihadapi yang lain maju lagi yang lainnya lagi, begitu terus-menerus, tak ada yang berani berhadapan langsung karena mereka menghindari keras pertemuan senjata itu. Kutungnya cambuk dan terbabatnya tongkat sudah lebih dari cukup untuk memberi tahu mereka perihal kehebatan golok di tangan Si Golok Maut itu. Dan karena serangan mereka bersifat mengganggu dan Golok Maut tentu saja marah maka pukulan-pukulan Hwee-kang maupun Pek-see-kang atau Hwi-seng-ciang menyambar dari kelima orang itu. "Keparat, kalian pengecut, Mindra. Tak tahu malu. Curang!" "Hm, tak ada yang curang. Kau telengas dan kejam, Golok Maut. Kau berdarah dingin!" "Kalian yang membuat aku begini. Kalian, ah... kubunuh kalian, siut-plak-dess!" dan Golok Maut yang membalik menerima pukulan dari belakang tiba-tiba berseru keras membabat panah-panah yang berhamburan, menggerakkan tangan kirinya dan lepaslah pukulan Kim-kong-ciang menyambut pukulan Hwi-seng-ciang. Sudra menghantamnya dari belakang dan kakek itu terpental, berteriak kaget. Dan ketika yang lain maju menubruk namun Golok Maut memutar goloknya maka tak dapat dihindari lagi kali ini kelima senjata lawan bertemu sinar goloknya itu. "Awas... cring-crak-plak!" dan cambuk serta tongkat yang terbabat kutung tibatiba disusul lengkingan panjang lima kakek itu. Golok Maut melakukan gerak luar biasa yang disebut Le-hi-ta-teng (Ikan Le Meloncat), merundukkan tubuhnya dan dari bawah ia menyapu semua senjata lawannya itu. Tangan kiri baru saja bergerak melepas Kim-kong-ciang dan sisa angin pukulan itu masih tetap menyambar, hebat bukan main. Dan ketika kelima kakek itu terkejut dan mereka cepat melempar tubuh bergulingan maka hujan panah yang kembali menyambar diterima dan disambut kelebatan golok yang meruntuhkan atau merontokkan senjata jarak jauh itu. Lalu begitu lawan terbelalak dan terperangah melihat kehebatan Si Golok Maut ini tiba-tiba Golok Maut berjungkir balik dan terbang menyambar ke pasukan sebelah kiri yang bersenjata tombak. "Minggir..!" Gegerlah pasukan tombak. Mereka tiba-tiba menyibak dan semuanya berteriak mundur, memutar tubuh. Tapi ketika Golok Maut melayang turun dan senjatanya melindungi tubuh dengan rapat sekonyong-konyong terdengar bentakan atau seruan, "Lepaskan jaring!" Dan benda-benda lebar hitam tiba-tiba menakup kepala Si Golok Maut dari segala penjuru. Si Golok Maut terkejut karena waktu itu dia baru saja berjungkir balik, turun ke tanah ketempat pasukan tombak ini. Maka begitu puluhan jaring tiba-tiba melayang ke bawah dan menakup kepalanya tiba-tiba Golok Maut dibuat tersentak dan tentu saja senjata ditangannya itu bergerak membabat. "Bret-bret!" Tujuh jaring robek. Golok Maut dapat keluar tapi jaring-jaring yang lain kembali berhamburan, susul-menyusul dan tentu saja laki-laki bercaping itu terkejut. Dan ketika dia marah dan membentak menggerakkan goloknya lagi tiba-tiba Mindra dan keempat kawannya itu telah berkelebat dan tertawa dengan jaring menyambar pula, di tangan kiri! "Ha-ha, betul, Golok Maut. Sekarang kami dapat meringkusmu!" Si Golok Maut kaget. Di atas kepalanya menyambar tak kurang dari tigapuluh jaring, robek yang satu muncul lagi yang lain. Semuanya bertubi-tubi dan dilepaskan dari jarak jauh. Dan ketika dia dibuat sibuk dengan membabat jaringjaring ini sementara Mindra dan kawan-kawan mendadak juga memegang jaring dan menyerang dirinya dengan cara yang licik maka Golok Maut tersentak ketika jaring yang dilepas kakek India itu menakup kepalanya. "Rrt!" Golok Maut terjebak. Mindra tertawa bergelak dan Golok Maut tak dapat melepaskan diri. Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Saat itu empat temannya juga melempar jaring dan kaki serta tangan tokoh bercaping itu terjirat. Kejadian berlangsung demikian cepat dan semuanya itu dapat terjadi karena disamping kelima kakek ini masih menyambar puluhan jaring-jaring lain, jadi waktu itu Golok Maut dibuat sibuk dengan jaring-jaring diluar kelima kakek ini. Maka begitu kepalanya tertutup dan lemparan jaring kakek India itu jelas berbeda dengan lemparan jaring para pengawal yang bertenaga biasa maka Golok Maut terjebak dan tiba-tiba tak dapat menggerakkan tubuhnya! "Ha-ha, lepaskan golokmu. Atau kau mati!" Pengawal dan panglima bersorak. Mereka melihat Golok Maut terjebak seperti seekor harimau yang tak berdaya lagi. Laki-laki itu terjirat dan seluruh tubuhnya terikat. Mereka tiba-tiba berhamburan dan maju dengan senjata di tangan, menusuk dan membacok karena saat itu, Mindra dan lain-lain sedang berkutat mempertahankan jaring, bersitegang dan menarik agar Golok Maut itu tak dapat melepaskan diri. Tapi ketika senjata golok atau tombak mengenai tubuh laki-laki ini ternyata semuanya patah-patah dan Golok Maut masih dapat menendang! "Plak-des-augh!" Tombak dan golok patah-patah tak keruan. Mindra berteriak agar para pengawal itu mundur, karena hal itu tak dikehendakinya. Dia ingin menangkap hidup-hidup tokoh bercaping ini untuk diserahkan kepada Coaongya, karena tentu Coa-ongya lebih menghendaki Si Golok Maut itu ditangkap hidup-hidup daripada sudah menjadi mayat. Namun karena para perwira dan pengawal sudah terlanjut bersorak-sorai dan mereka itu membacok atau menusuk Golok Maut tapi gagal maka mereka yang terkena tendangan tiba-tiba menjerit dan celaka sekali berjatuhan menimpa Mindra dan empat kawannya. "Keparat.... bres-bress." Kakek itu mengumpat-umpat. Baik dia maupun yang lain otomatis terganggu kejadian ini, tegangan mengendor dan jaring pun melonggar. Dan karena itu cukup bagi Si Golok Maut untuk membebaskan diri maka sekali membentak tiba-tiba tokoh ini sudah meronta dan bebas, benar-benar dapat keluar lagi. Dan begitu Golok Maut menggeram dan berkelebatan kesana-sini maka puluhan pengeroyok yang tadi membacok atau menusuk tubuhnya menjadi korban! "Crat-crat!" Jerit ngeri dan teriakan panjang ini menggema di empat penjuru. Golok Maut telah bersikap beringas dan kemarahannya tadi tak dapat ditahan lagi. Dia hampir celaka oleh jaring kelima kakek iblis itu namun untung para pengawal yang bodohbodoh ini menolongnya. Mereka tanpa sadar mengganggu kelima kakek itu dan ini berarti kebebasan baginya. Maka begitu keluar dan golok bergerak naik turun maka empatpuluh tubuh sudah bergelimpangan tak bernyawa. "Minggir... minggir. Kalian bodoh!" kakek India berteriak-teriak, marah dan mengumpat-caci dan Pek-mo-ko maupun yang lain-lain juga membentak dan memakimaki kebodohan para pengawal tadi. Mereka melepaskan buruan dan kini Golok Maut mengamuk, memaksa mereka mundur dan Mindra sendiri maupun empat temannya terpaksa bergulingan menjauhkan diri. Maklumlah, kemarahan Golok Maut tak dapat dibendung lagi dan laki-laki itu berusaha mendekati mereka, dengan golok yang berlumuran darah tapi cepat kering lagi karena dihisap oleh kekuatan aneh di tubuh golok itu, kekuatan iblis, daya gaib! Dan karena Golok Maut benar-benar marah dan pasukan cerai-berai tiba-tiba Golok Maut melepas tiga benda bulat ke arah Mindra dan kawan-kawan yang sedang bergulingan. "Dar-dar!" Granat tangan meledak. Kiranya Golok Maut menggunakan senjata penyelamatnya itu, senjata terakhir. Dia melepas lagi beberapa granat tangan ke arah pengawal yang tentu saja tibatiba berhamburan dan menjerit-jerit. Mereka yang terkena segera terlempar roboh, luka parah. Mindra terkejut dan bergulingan semakin menjauhkan diri saja. Keempat temannya juga begitu dan asap tebal tiba-tiba menghalangi pandangan. Dan ketika beberapa granat lagi meledak dan duaribu orang itu cerai-berai maka Golok Maut lenyap dan entah menghilang kemana. "Kejar! Tangkap Si Golok Maut itu. Jangan sampai lari!" Namun siapa yang mengejar" Dilempari granat itu saja mereka sudah panik, belum lagi oleh keganasan Si Golok Maut yang amat nggegirisi. Maka begitu semuanya berusaha menyelamatkan diri sendiri-sendiri dan Mindra hanya berteriak mengumpat caci maka ketika asap tebal menghilang Si Golok Maut itu juga tak tampak bayangannya lagi. Tigaratus orang tewas dengan tubuh malang-melintang. Seratus diantaranya putus tanpa kepala, darah membanjir dan menyatu dengan air hujan yang membasahi tanah. Dan ketika yang lain tertegun dan ngeri maka bayangan Coa-ongya muncul di balkon gedungnya. "Bodoh! Gentong-gentong kosong semua! Heh, mana itu Si Golok Maut, Lui-ciangkun" Mana binatang jahanam keparat itu" Dan kau..!" pangeran ini menuding Pek-mo-ko dan lain-lainnya itu. "Bagaimana Si Golok Maut sampai lolos, Mo-ko" Kenapa kalian membiarkannya lari dan tidak mengejar" Keparat, kalian hanya pandai memakan uang. Tak becus menangkap satu orang saja dan layaknya anakanak kecil yang goblok dan tolol!" Dan ketika semua orang tertegun dan tentu saja tak berani bercuit, Coa-ongya marah-marah dan menudingnuding mereka semua maka hujan di malam yang mengerikan itu reda. Coa-ongya marah bukan main di atas balkon dan mencaci-maki mereka semua. Mindra dan saudaranya juga disemprot! Namun ketika yang lain ini juga diam saja dan tak bergeming maka muncullah Kun-taijin yang membujuk dan memberi hormat di depan pangeran ini. "Mereka tak bersalah. Golok Maut memang terlalu lihai. Biarlah paduka masuk kembali dan biarkan aku bercakap-cakap dengan mereka." "Tidak. Aku justeru ingin mencaci-maki mereka ini, taijin. Para pembantuku itu juga gentong-gentong kosong yang tak bisa apa-apa. Ah, mereka itu anjing penjaga yang bisanya makan melulu!" "Sst, tak perlu mengumbar marah disini, pangeran. Semuanya sedang sedih dan paduka masuk saja ke dalam. Mo-ko dan kawan-kawannya itu juga terpukul. Sebaiknya paduka tak usah menyakitkan hati mereka dan aku khawatir kalau mereka pergi karena tersinggung!" Coa-ongya terbelalak. Akhirnya dia terkejut juga ketika Kun-taijin bicara seperti itu. Memang repot kalau Mo-ko dan kawan-kawannya sampai pergi meninggalkan dirinya, tentu tanpa pelindung lagi dan itupun berarti tak baik. Maka ketika dia dibujuk lagi dan dengan halus menteri Kun bicara menasihati akhirnya pangeran ini sadar dan insyaf, kembali menghilang dan dialah tadi yang memberi perintah agar Golok Maut diserang dengan jaring. Pengalamannya masa lalu membuat pangeran ini ingin mengulang keberhasilannya. Tapi bahwa Golok Maut dapat lolos juga dan tokoh bercaping itu memjliki granat untuk menyelamatkan dirinya maka banjir darah malam itu menjadi buah bibir semua orang. Istana benar-benar terguncang dan ini untuk kedua kalinya Si Golok Maut itu beraksi, bukan main beraninya. Bahkan berhasil membunuh Ci-ongya, satu dari dua orang yang dibenci! Dan ketika malam itu mayat-mayat yang tewas diurus dan Kun-taijin turun tangan meredakan Coa-ongya maka keesokannya istana dan seluruh rakyat mengibarkan bendera tanda berkabung. -0deOwi0- "Begitulah," Kun-taijin mengakhiri ceritanya, menarik napas dalam. "Sri baginda dan Coa-ongya marah-marah, Beng Tan. Sri baginda marah karena Golok Maut dianggap menghina istana sedang Coa-ongya karena adiknya dibunuh. Kami tak dapat berbuat apa-apa karena Golok Maut benar-benar luar biasa. Dikeroyok duaribu orang dia dapat melarikan diri juga. Mengejutkan!" Beng Tan termangu-mangu. Mendengar semua cerita ini memang dia dapat memaklumi. Golok Maut amat lihai dan hanya dialah yang dapat menghadapi. Itu-pun kalau dia tak memiliki Pek-jit-kiam, Pedang Matahari, tak mungkin dia dapat menandingi lawannya itu. Dan ketika Kun-taijin selesai bercerita dan Swi Cu yang ada disampingnya juga termangu dan ngeri maka Kun-taijin bertanya pada pemuda itu apa yang selanjutnya hendak dilakukan. "Bagaimana menurut pendapat taijin, apa yang harus kulakukan," Beng Tan balas bertanya, Memang tidak tahu apa yang harus dilakukan karena khawatir kalau ia meninggalkan istana jangan-jangan sri baginda marah lagi. Gara-gara keterlambatannya datang di istana terjadilah semuanya itu. Ah, kalau saja dia ada disitu! Beng Tan bergidik melihat sepak terjang Si Golok Maut ini. "Hm, apa yang harus kuberikan?" Kun-taijin menarik napas dalam, kembali menekuri keadaan di depan. "Aku tak dapat memerintahkan apa-apa, Beng Tan. Hanya kaisar yang berhak memerintahmu. Kau pengawal pribadinya, aku hanya sekedar mewakili sri baginda menceritakan peristiwa ini kepadamu!" "Benar, tapi setidak-tidaknya kau dapat memberikan pandangan, taijin. Apa yang kira-kira harus kuperbuat'" "Sebaiknya kau menghadap sri baginda saja. Tanya apa sarannya." "Tapi sri baginda baru marah-marah. Aku tak enak!" "Bukan sekarang, Beng Tan, melainkan besok. Biar kuantar dan besok sri baginda tentu sudah lebih dingin." "Hm," Beng Tan mengangguk. "Benar, taijin. Tapi agaknya satu yang diperintahkan baginda, aku harus menangkap atau membunuh Si Golok Maut itu!" "Kukira memang begitu, dan kaulah satu-satunya pemilik Pedang Malayan. Golok Penghisap Darah di tangan Si Golok Maut itu tak ada tandingannya. Kau harus bergerak!" Beng Tan mengangguk. Kun taijin akhirnya bicara sanasini lagi memberi petunjuk sebelum dia disuruh istirahat. Dan ketika malam itu Beng Tan ada di kamarnya dan Swi Cu mendapat kamar di sebelah maka malam itu dua muda-mudi ini bercakap-cakap. "Golok Maut memang terlalu. Keberingasannya sudah melewati batas. Hm, orang sedunia perlu menghukum pemuda ini dan mencincangnya sebelum mampus!" "Sabar," Beng Tan berkedip memandang lampu-lampu teng yang mulai dipasang para pengawal. "Sepak terjang Si Golok Maut tentu didasari sesuatu, Cu-moi. Dan aku melihat api dendam yang besar sekali di hatinya. Permusuhannya berawal dengan Coa-ongya dan Ci-ongya itu. Dan sekarang satu di antara dua musuhnya itu telah dibunuh!" "Dan kau membelanya?" "Eh, siapa membela?" "Kau menyuruh aku sabar, koko. Padahal iblis macam itu tak perlu disabari. Dia harus dibunuh dan habis perkara. Apalagi dia juga memperkosa suciku!" Swi Cu tiba-tiba menangis, marah kepada kekasihnya dan buru-buru Beng Tan memeluk. Dia berkata bahwa bukan begitu maksudnya, sepak terjang Si Golok Maut tak patut dibela tapi Beng Tan bermaksud membicarakan sebab-sebab paling dalam kenapa tokoh yang ganas itu dapat sedemikian kejam. Membunuh-bunuhi orang-orang she Coa dan Ci hanya karena permusuhannya dengan dua orang pangeran di istana itu. Dan ketika Swi Cu menjawab bahwa semuanya itu tak perlu diketahui karena Golok Maut pada dasarnya adalah iblis maka Beng Tan menarik napas panjang tak mau berdebat. "Baiklah... baiklah. Dia memang iblis. Tapi sebelum aku diperintahkan membunuh Si Golok Maut ini aku ingin mengetahui kenapa dia bisa sampai begitu." lalu menunduk dan mencium kekasihnya. Pemuda ini mengajak bicara yang lain, percuma bicara tentang itu karena Swi Cu sudah terlampau dendam terhadap si tokoh bercaping itu. Dugaan mereka bahwa Golok Maut memperkosa Wi Hong membuat gadis ini tak mau mendengar Golok Maut dibela sekecil apapun, apalagi oleh Beng Tan, pemuda yang menjadi kekasihnya sekaligus calon suaminya. Ah, tak boleh Beng Tan mencari kebaikan-kebaikan Si Golok Maut, betapa pun kecilnya. Dan ketika mereka bicara yang lain dan malam itu pemuda ini menunggu fajar maka keesokannya dia sudah ditunggu menteri Kun. "Dapat tidur, Beng Tan" Nyenyak tidurnya?" "Ah," Beng Tan tersenyum, melirik Swi Cu. "Kami semalam dapat tidur enak, taijin. Meskipun tentu saja penuh dengan mimpi-mimpi buruk. Kami masih terkejut oleh kejadian di istana!" "Hm, aku juga. Dapat terlelap sejenak tapi setelah itu ingat kau. Sudahlah, kita menghadap sri baginda dan kutemani kau untuk menerima titahnya." Beng Tan mengangguk. Dia menyuruh Swi Cu tinggal di situ tapi gadis ini tak mau, menolak dan ingin ikut bersama. Beng Tan memperingatkan bahwa kemarin kaisar memakimaki gadis itu. Tapi ketika Swi Cu berkata bahwa dia tak menaruh di hati semua ucapan kaisar karena keadaan sedang dirundung malang maka Beng Tan mengangguk dan membiarkan kekasihnya ikut. "Baiklah, tapi jangan marah kalau sri baginda masih mengeluarkan kata-kata pedas!" "Aku tak apa-apa, asal selalu di sampingmu!" Dan ketika Kun-taijin tersenyum karena ucapan itu penuh arti maka ketiganya berangkat dan sudah menemui sri baginda, yang pagi itu ternyata sudah duduk di kursi singgasananya, sedikit cerah meskipun sorot matanya masih menampakkan sisa-sisa kecewa dan marah. "Maaf, kemarin aku tak dapat menahan diri, Beng Tan. Dan, ah... betapa cantiknya kekasihmu ini!" Beng Tan berlutut. Dia tersenyum dan cepat memberi Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo hormat bersama Kun-taijin. Swi Cu merah mukanya namun gembira di hati, kaisar bersikap ramah dan sikapnya sungguh berbeda dengan kemarin. Dan ketika semua memberi hormat dan kaisar menerima, menyuruh mereka berdiri maka Beng Tan bertiga dipersilahkan duduk. "Aku sudah mendengar maksud kedatanganmu, Kuntaijin memberitahuku semalam. Nah, katakan bagaimara pandanganmu setelah mendengar semuanya ini." "Hamba ingin meminta pendapat paduka, tak berani mendahului." "Hm, aku pribadi ingin menyuruhmu menangkap dan membunuh Si Golok Maut itu, Beng Tan. Bawa kepalanya kemari dan tenangkan suasana!" "Benar, hamba akan melaksanakan titah paduka, sri baginda. Tapi mohon keterangan kenapa Golok Maut itu mempunyai permusuhan demikian mendalam terhadap Coa-ongya maupun Ci-ongya?" "Hm, ini..." kaisar mengerutkan kening, tiba-tiba tertegun. "Aku tak ingin menceritakannya, Beng Tan. Dan barangkali tak perlu bagimu. Yang jelas Golok Maut telah menghina dan mengacau di istana, untuk ini saja dia sudah dapat dianggap pemberontak dan musuh berat!" "Apakah hamba tak boleh mengetahui asal mulanya?" "Itu urusan pribadi adikku. Kalau kau mau bertanya silahkan saja kepada yang bersangkutan. Dan, eh... bukankah tak perlu semuanya ini, Beng Tan" Kau kutugaskan untuk menangkap atau membunuh Si Golok Maut itu, bukan menyelidiki. asal mula permusuhan ini!" "Benar, tapi maaf, sri baginda. Sebagai orang kang-ouw yang menjunjung tinggi nilai-nilai kegagahan dan keadilan mestinya hamba ingin tahu kenapa Golok Maut itu dapat bersikap demikian kejam. Siapa yang bersalah dan bagaimana sebenarnya duduknya perkara." "Hm-hm!" kaisar menggeleng-geleng kepala. "Urusan ini tak ingin kubicarakan, Beng Tan. Karena Golok Maut harus ditangkap atau dibunuh. Dia telah mengacau istana, membunuh dan menghina aku!" "Benar..." Beng Tan mau bicara lagi, mendesak tapi Kun-taijin tiba-tiba menyenggol lengannya, batuk-batuK dan memberi isyarat agar dia tidak banyak bertanya. Deheman halus dari menteri itu menyadarkan Beng Tan bahwa tak sepatutnya dia mendesak kaisar. Dia sudah menerima perintah dan dia tinggal melaksanakan. Dan ketika Beng Tan sadar dari menahan kata-katanya maka menteri itu mendahului berkata, "Maaf, kami mengerti, sri baginda. Tapi Beng Tan barangkali hendak bertanya apakah dia harus meninggalkan istana lagi atau tidak. Maklumlah, Beng Tan khawatir paduka marah-marah kalau Golok Maut datang sementara dia pergi! Bukankah begitu, Beng Tan?" Pemuda ini mengangguk. Dengan cepat dia tanggap akan pertanyaan Kun-taijin itu. Bahwa dia harus mengikuti perintah kaisar dan memang inilah yang hendak ditanyakan, apakah dia harus mencari Golok Maut dan membawanya ke istana ataukah menunggu Golok Maut itu datang lagi di istana dan dia menghadapi. Dan karena pertanyaan itu tepat dan Beng Tan tentu saja mengangguk maka pemuda ini membenarkan dan sadar. "Benar, begitu maksud hamba, sri baginda. Bagaimanakah caranya hamba melaksanakan tugas ini." "Kau harus pergi lagi, dan secepatnya kembali!" "Tapi kalau dia datang?" "Tidak, Golok Maut baru saja mengacau, Beng Tan. Tak mungkin dia datang dalam waktu sedekat ini. Dan aku hendak memerintahmu langsung ke Lembah Iblis, tempat Si Golok Maut itu tinggal!" "Lembah Iblis?" Beng Tan terkejut. "Ya, Lembah Iblis, Beng Tan. Aku mendapat keterangan bahwa Golok Maut bertempat tinggal disana. Dia pasti kembali ke sarangnya setelah gagal melakukan balas dendamnya disini, karena adikku Coa-ongya masih hidup!" Beng Tan tertegun. "Dan kau bawa limaribu pasukan kesana!" Beng Tan semakin terkejut. "Apa?" pemuda ini membelalakkan mata. "Bersama pasukan, sri baginda" Hamba harus menangkap Si Golok Maut itu bersama demikian banyak orang?" "Aku tak mau gagal, dan aku juga tidak menyangsikan kepandaianmu. Tapi karena Lembah Iblis merupakan tempat yang tersembunyi dan aku tak ingin iblis itu pergi meninggalkanmu maka limaribu orang yang akan mengiringimu itu bertugas hanya mengepung lembah!" "Tapi hamba tak suka!" Beng Tan memprotes, tiba-tiba bangkit berdiri. "Hamba sendiri sanggup membawa Si Golok Maut itu, sri baginda. Dan hamba bersumpah akan membawanya kehadapan paduka!" "Tapi kau gagal ketika bertemu," kaisar bersinar-sinar, memandang tajam. "Aku tak ingin hal itu terulang, Beng Tan. Dan terus terang saja kali ini aku tak mau gagal! Lui-ciangkun dan Kwan-goan-swe (jenderal Kwan) akan menyertaimu. Dan mereka itulah yang membawa pasukan!" Beng Tan tertegun. Tiba-tiba dia merasa terpukul karena seolah kaisar kurang percaya kepadanya. Dia diberi bantuan limaribu orang untuk menangkap si Golok Maut, hal yang tidak main-main lagi dan tentu saja membuat pemuda itu marah. Tapi ketika kaisar berkata lagi bahwa kaisar tidak meragukan kepandaiannya melainkan semata mengepung Lembah iblis agar Golok Maut tak dapat melarikan diri maka perlahan-lahan muka Beng Tan pulih kembali. "Aku tidak menyangsikan kepandaianmu, dan aku bukannya tidak percaya. Tapi ingat, Golok Maut cerdik dan licik memiliki granatgranat tangan, Beng Tan. Dengan itu dia dapat lari dan meloloskan dirinya. Dan aku tidak menghendaki ini. Aku ingin kau membereskannya dan tidak bekerja dua tiga kali!" "Hm, tapi sekian banyak orang..." Beng Tan termangu-mangu. "Memalukan hamba, sri baginda. Membuat hamba tak ada muka untuk menghadapi Si Golok Maut itu. Sebaiknya begini saja. Untuk menjaga lembah hamba hanya minta bantuan beberapa orang saja, tiga atau empat orang cukup. Orangorang berkepandaian tinggi seperti Pek-mo-ko dan lain-lainnya itu yang membantu Coa-ongya!" "Hm, begitukah?" kaisar memandang ragu, cepat diberi isyarat rahasia oleh Kuntaijin, yang mengedip-ngedip dan menunjuk berulang-ulang ke arah Beng Tan. "Baiklah, Beng Tan. Kuikuti permintaan-mu tapi bagaimana tanggung jawabmu bila sekali ini gagal!" "Hamba akan menyerahkan kepala hamba!" Beng Tan tiba-tiba berseru gemas. "Hamba yakin tak akan gagal, sri baginda. Asal benar-benar bertemu dengan Si Golok Maut itu di Lembah Iblis!" "Bagus, janjimu kuterima. Kalau begitu pergilah ke tempat adikku dan mintalah bantuan kelima pelindungnya itu agar menemanimu!" Swi Cu terkesiap. Kekasihnya telah mempertaruhkan kepala kalau kali ini tugas gagal, padahal Golok Maut itu lihai dan dulu mereka berimbang. Bahkan Beng Tan sendiri mengakui bahwa sebenarnya sukar merobohkan Si Golok Maut itu karena masing-masing sama dan setingkat. Golok Maut memiliki Golok Penghisap Darah itu sementara Beng Tan dengan pedang Pek-jit-kiamnya. Baik senjata mau-pun kepandaian sebenarnya berimbang. Dulu mereka sama-sama roboh ketika bertanding di pulau. Tapi karena Beng Tan sudah menyerahkan janjinya dan agaknya pemuda itu juga gemas dan marah karena sepak terjang Golok Maut benar-benar dinilai keterlaluan maka pagi itu Beng Tan menemui Coa-ongya, bersama Swi Cu Dan ketika dia pergi berdua karena Kun-taijin ditahan kaisar maka terdengar kisik-kisik diantara sri baginda dengan menteri itu. * "Kenapa kau memberiku isyarat?" "Maaf, agar supaya Beng Tan tidak tersinggung, sri baginda. Sebab menolak begitu saja tentu tidak baik. Betapa pun dia adalah pemuda hebat yang satu-satunya dapat menandingi Golok Maut!" "Hm, aku sebenarnya penasaran. Baiklah, kuharap dia sudah bertemu adikku dan rencana tidak akan gagal." Beng Tan sudah menghadap Coa-ongya. Dia tentu saja tidak mendengar pembicaraan ini yang mungkin akan menimbulkan kecurigaannya. Maklumlah, kaisar tak bersuara keras-keras dan Kun-taijin juga tampak berhati-hati. Dan ketika dia tiba di gedung pangeran itu dan Coa-ongya sudah menyambut maka bayangan lima kakek pelindung tampak berkelebatan disekitar sang pangeran. "Aha, kau, Beng Tan" Sudah datang?" Beng Tan memberi hormat. Coa-ongya yang berdiri menyambut dan bergegas bangkit dari kursinya membuat Beng Tan agak tersipu. Sebenarnya dia sudah mengenal pangeran ini kecuali yang bersangkutan. Coa-ongya belum pernah bertemu muka tapi agaknya sudah dapat menduga siapa dia, tentu dari para pembantunya. Dan ketika dia memberi hormat dan Coa-ongya bersinar-sinar memandangnya gembira mendadak pangeran itu tertegun melihat Swi Cu, sepasang matanya mengeluarkan cahaya aneh. "Siapa dia?" "Maaf," Beng Tan menjura. "Kekasih hamba, ong-ya. Swi Cu." "Hm, cantik sekali!" sang pangeran memuji tak canggung-canggung, tiba-tiba tertawa dan menarik lengan Beng Tan. "Mari... mari duduk, Beng Tan. Aku sudah mendapat kabar tentang kedatanganmu dari sri baginda kaisar!" Swi Cu berdetak. Beng Tan sudah ditarik pangeran itu dan duduk menghadapi meja besar, diperkenalkan kepada kelima kakek-kakek itu tapi Beng Tan tersenyum. Tentu saja dia mengenal dan bahkan pernah bergebrak! Dan ketika Sudra maupun saudaranya melengos dan merah bertemu pemuda ini maka Swi Cu agak berdebar melihat kilatan mata Coa-ongya yang agak lain dan membuatnya tidak enak. "Siapa kekasihmu ini" Dari mana?" Beng Tan tersenyum. Dengan wajar dia menjawab bahwa Swi Cu adalah wakil ketua Hek-yan-pang, berkata bahwa gadis itu dikenalnya di Hek-yan-pang pula, ketika diserbu dan mendapat amukan Golok Maut. Dan ketika Coa-ongya terkejut tapi merah mukanya mendengar nama Golok Maut disebut-sebut maka perhatiannya terseret dan mengepal tinju dengan mata berapi. "Ah, kiranya Hu-pangcu dari Perkumpulan Walet Hitam. Maaf, aku tak tahu, nona. Kukira siapa! Hm, dan Golok Maut menyerang Hekyan-pang pula. Sungguh kurang ajar! Apakah ketuamu bershe Coa atau Ci?" "Tidak," Swi Cu menjawab. "Suciku bukan she Coa atau Ci, ong-ya. Tapi kedatangan Golok Maut semata atas keponakanmu Ci Fang itu!" "Oh, dia" Ya-ya..." pangeran ini mengangguk-angguk. "Sekarang Ci Fang entah kemana, nona. Dan ayahnya terbunuh oleh Si Golok Maut itu. Jahanam, aku ingin menuntut balas!" Beng Tan bermuka murung. Bicara tentang itu tiba-tiba saja dia sudah dibawa kemasalah dendam. Pangeran tampak begitu benci namun tak dapat disembunyikan pula ketakutan atau kekhawatirannya yang hebat. Maklumlah, Golok Maut benar-benar luar biasa dan dua kali menyatroni istana dua kali itu pula Golok Maut dapat meloloskan diri. Jadi tokoh ini memang amat lihai dan kepandaiannya tinggi. Beng Tan sendiri mengakui itu karena sudah pernah bertanding dan mengadu jiwa, nyaris sampyuh kalau saja kakek dewa Bu-beng Siansu tidak datang menolong. Dan ketika pembicaraan sudah berkisar ke Golok Maut ini dan Coa-ongya sesekali masih menyambar Swi Cu dengan sinar mata aneh maka pangeran menutup bahwa sri baginda kaisar katanya mengutus Beng Tan untuk menangkap dan membunuh laki-laki bercaping itu. "Semalam sri baginda telah memanggil aku, dan menerangkan maksud atau keinginannya. Nah, katakan bagaimana keinginanmu atau keputusan kaisar setelah kau menghadap padanya!" "Hamba diminta ke Lembah Iblis..." "Cocok! Kalau begitu limaribu pasukan juga akan menyertaimu!" "Tidak, untuk ini hamba menolak, ong-ya. Memalukan rasanya untuk membekuk seorang saja harus dikerahkan sedemikian banyak orang," Beng Tan menggeleng, ganti memotong omongan orang. "Hamba mengajukan usul lain dan kini sri baginda menyerahkannya kepada paduka!" "Hm, usul apa" Tentang apa?" "Bantuan ke Lembah Iblis itu. Sri baginda khawatir kalau Golok Maut lolos, minta agar hamba sekali kerja tak mengulang dua tiga kali." "Ya-ya, itu juga dikatakannya kepadaku!" Coa-ongya mengangguk-angguk. "Aku rasa memang benar, Beng Tan. Bukan tidak mempercayai kepandaianmu melainkan semata mengepung dan menjaga supaya Golok Maut tidak melarikan diri'" "Hm, cara ini hamba tak suka," Beng Tan menggeleng lagi. "Kalau bantuan dimaksudkan agar Golok Maut tidak melarikan diri maka jumiah demikian besar tidak cocok bagi hamba, ong-ya. Terus terang hamba menolak. Dan sri baginda menyetujui rencana hamba yang lain!" "Hm!" Coa-ongya bersinar-sinar, kagum dan mendecak karena tidak sembarang orang dapat dengan begitu saja "memerintah" kaisar. Beng Tan telah mempengaruhi kaisar dan menolak bantuan pasukan, perbuatan yang tak mungkin dilakukan orang lain kalau pemuda itu betul-betul tidak memiliki kepandaian tinggi. Dan ketika Coa-ongya mengangguk-angguk dan bertanya bagaimana maksud Beng Tan, maka pemuda ini memandang dua kakek India itu bersama tiga temannya yang lain. "Hamba ingin meminjam pengawal-pengawal pribadi paduka. Dengan lain kata, limaribu pasukan itu hamba ganti saja dengan lima orang pembantu paduka!" Sang pangeran tertegun. "Mereka-mereka ini?" "Ya, mereka-mereka ini, ong-ya. Mindra dan teman-temannya. Hamba telah berkenalan dengan mereka dan tentu mereka setuju, asal paduka setuju pula!" "Hm-hm!" pangeran berseri-seri, menoleh kebelakang. "Bagaimana kalian, Mindra" Setuju?" "Kami menyerahkannya kepada paduka," Mindra menjawab gugup. "Kalau paduka setuju tentu saja kami setuju, pangeran. Tapi bagaimana istana kalau ditinggal kami Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo semua!" "Hm, sri baginda menjamin Golok Maut tak akan datang dalam waktu dekat. Dia dipastikan kembali ke Lembah Iblis!" Beng Tan menjawab, mendahului. "Karena itu masalah istana tak usah khawatir, Mindra, Lui-ciangkun atau Kwan-goanswe akan mengambil alih tugas kita disini!" "Benar," Coa-ongya mengangguk. "Kami mendapat kabar bahwa Golok Maut bertempat tinggal di Lembah Iblis, Beng Tan. Dan sri baginda juga telah memberitahukan pandangannya itu. Kalau kau minta mereka ini menemani dan sri baginda tak menolak tentu saja aku juga memenuhi permintaanmu!" "Kalau begitu terima kasih," Beng Tan bersoja. "Tapi keikutsertaan mereka hanya menjaga disekitar lembah, ongya. Jangan sekali-sekali membantu hamba mengeroyok Si Golok Maut!" "Ha-ha!" sang pangeran tertawa bergelak. "Kau jujur, Beng Tan. Tapi sekilas berkesan sombong! Hm, kalau saja aku tak mendengar tentang kelihaianmu dan kau bukan pengawal bayangan sri baginda kaisar tentu aku akan menganggapmu bermulut besar! Eh, omong-omong aku ingin kau menunjukkan sedikit kepandaianmu, Beng Tan. Bolehkah" Kalau kau mampu menghadapi Golok Maut seorang diri tentu kau mampu pula menghadapi kelima pembantuku ini. Nah, coba perlihatkan kepandaianmu dan biar mataku ini terbuka!" Coa-ongya tertawa bergelak, pembicaraan inti sudah selesai dan kini tiba gilirannya untuk menyaksikan kepandaian pemuda itu. Sebelumnya Sudra dan Mindra telah memuji kepandaian pemuda ini, dan kaisar pun mempergunakan pemuda itu sebagai pengawal bayangannya, satu jabatan tinggi karena mempertaruhkan kepercayaan yang besar. Dan ketika Beng Tan tersenyum dan dua kakek India itu tersipu merah maka Beng Tan tentu saja memenuhi permintaan pangeran ini. Langsung saja dia memandang lima kakek itu, Pek-moko dan Hek-mo-ko melotot namun Beng Tan tidak perduli. Dan ketika dia melangkah maju dan mengangguk di depan kelima kakek itu maka Beng Tan sudah berhadapan dengan Mindra dan kawan-kawannya ini. "Ong-ya ingin aku menundukkan kalian. Lagi pula belum pernah kalian berlima maju mengeroyok secara berbareng. Nah, majulah, Mindra. Dan mari kita mainmain sebentar!" Mindra dan kawan-kawannya berkelebat. Ditantang dan digapai pemuda itu tentu saja mereka tak dapat menolak, mundur adalah merupakan perbuatan pengecut dan memalukan. Dan ketika semuanya bergerak dan Coa-ongya ingin melihat kepandaian pemuda ini maka Beng Tan bersiap-siap memasang kuda-kuda. "Tak perlu sungkan lagi. Kita bergebrak siapa yang robek bajunya dia kalah!" Mindra mendesis. Kakek ini tentu saja maklum akan kepandaian Beng Tan namun marah karena pemuda itu dianggap merendahkan dirinya di depan Coa-ongya. Beng Tan tak mencabut senjata dan tentu saja dia lebih berani, karena pemuda itu akan lebih hebat kalau mengeluarkan Pek-jit-kiamnya, Pedang Matahari, pedang yang mengerikan karena tajamnya sama dengan Golok Penghisap Darah, golok maut di tangan Si Golok Maut itu. Dan ketika si pemuda sudah bersiap dan keempat kawannnya pun juga sudah menggeram membentak pemuda itu tiba-tiba kakek ini sudah maju menubruk dengan pukulan Hwi-seng-ciangnya. "Bocah, boleh robohkan kami berlima kalau kau mampu!" "Ha-ha, tentu. Kalau tidak begitu tentu kalian tak akan tunduk, Mindra. Dan lihat sebelum limapuluh jurus kalian semua akan kurobohkan, tanpa senjata!" Beng Tan bergerak, membiarkan pukulan Hwi-sengciang lewat dan tiba-tiba Hwee-kang atau Pukulan Api menyembur dari mulut kakek Yalucang. Kakek itu marah dan menganggap Beng Tan juga sombong, membentak dan bergeraklah Pukulan Api dari mulutnya, meniup sekaligus menghantam dengan kedua lengannya pula sementara Hek-mo-ko dan Pek-mo-ko melepas Pek-see-kang dan Heksee- kang mereka, hebat dan tentu saja tidak main-main. Tapi ketika Beng Tan berkelebat dan Hwi-seng-ciang yang dilancarkan Mindra melewati samping tubuhnya maka semua pukulan-pukulan itu diterimanya, disambut dengan Pek-lui-ciang yang tibatiba meledak dari kedua lengannya, Pukulan Kilat. "Dar!" Kelima lawannya terpekik. Mo-ko dan lain-lain terpental dan lima orang kakek itu kaget bukan main, merasa pukulan mereka tertolak dan Hwee-kang atau Pukulan Api malah membalik menyambar kakek Yalucang sendiri, menyembur dan mengenai mukanya. Tapi ketika kakek itu bergulingan dan meniup padam maka api yang berkobar lenyap dan Beng Tan pun tertawa. "Ha-ha, gebrak pemanasan, Yalucang. Selanjutnya kalian harus lebih berhati-hati!" Beng Tan berkelebat mendahului lawan, tertawa dan tiba-tiba beterbangan mengelilingi kelima orang itu bagai capung menyambarnyambar. Lima kakek itu membentak dan tentu saja tak mau kalah. Dan ketika mereka mengerahkan ginkangnya pula dan ilmu meringankan tubuh ini dipakai untuk menghadapi Beng Tan yang sudah beterbangan kian cepat maka enam orang itu tiba-tiba tak nampak ujudnya lagi karena sudah berobah menjadi bayangbayang yang luar biasa cepat, jauh lebih cenat daripada kelima kakek itu sendiri. "Hebat!" Coa-ongya memuji, terkejut tapi tertawa girang, "Hebat sekali, Beng Tan. Ah, kau benar-Denar luar biasa dan agaknya setanding dengan Golok Maut!" "Ha-ha," Beng Tan tertawa. "Hamba sudah hapal kepandaian lima orang lawan hamba ini ong-ya. Tapi kalau mereka mau mencabut senjata tentu kekalahan mereka lebih cepat." "Masa" Begitukah" Eh cabut senjata kalian, Mindra. Dan lihat berapa jurus anak muda itu mengalahkan kalian. Aku ingin melihat Pek-jit-kiamnya pula." "Ha-ha, hamba akan mengalahkan mereka dalam duapuluh lima jurus, setengah dari yang dijanjikan!" "Ah, begitukah" Hei, cabut senjata kalian, Mindra. Dan perlihatkan apakah pemuda ini bermulut sombong atau tidak!" "Baik!" dan Mindra serta kawan-kawan yang tiba-tiba mencabut senjata dan menggerakkannya diruangan besar itu lalu melengking dan marah kepada Beng Tan, hampir bersamaan semuanya bergerak berbareng dan tongkat atau roda-gergaji bersiut hebat, menderu dan nenggala serta cambuk juga mengeluarkan sinar bercahaya ketika menjeletar dan menusuk kuat. Dan ketika kelima kakek itu berseru mengeroyok Beng Tan maka Beng Tan tiba-tiba berjungkir balik dan melayang tinggi nyaris menyentuh belandar ruangan. "Siut-trak-dess!" Semua senjata menghantam lantai. Beng Tan telah menyelamatkan dirinya. dengan berjungkir balik itu, tertawa dan tiba-tiba mencabut Pek-jit-kiamnya ketika melayang turun. Dan karena lima orang itu sudah menggerakkan senjata masing-masing dan belum sempat menarik diri ketika Beng Tan menggerakkan Pek-jitkiamnya maka Pedang Matahari itu menusuk ganas ketika ganti menyambar mereka. "Awas!" Mindra dan kawan-kawan terkejut. Mereka terpaksa melempar kepala kebelakang ketika Pek-jit-kiam menyambar, masih juga tersontek dan robeklah kelima baju kakek-kakek itu. Dan ketika mereka berseru tertahan dan Coa-ongya berteriak kagum maka Beng Tan sudah berdiri lagi di tanah menerima bentakan dan serangan lawan, yang sudah maju dan marah kepada pemuda itu! "Ha-ha, hebat, Beng Tan. Aih, ini agaknya ilmu silat pedangmu itu. Wah, luar biasa. Hebat dan mengagumkan!" dan ketika Coa-ongya bertepuk tangan dan memuji berulang-ulang maka hitungan demi hitungan sudah mulai dilakukan Beng Tan. Pedang Matahari sudah bergerak naik turun menahan dan menyambar senjata kelima lawannya itu, kian lama kian cepat saja hingga pedang bersinar putih itu sudah tak dapat diikuti mata lagi. Dan ketika pertandingan sudah berjalan cepat limabelas jurus banyaknya dan kakek Yalucang membentak menggerakkan roda-gergajinya maka untuk pertama kali Pek-jit-kiam membentur senjata lawan. "Crak!" Roda-gergaji putus. Kakek tinggi besar itu berteriak kaget karena demikian mudahnya pedang di tangan si pemuda membacok senjatanya, seolah membacok agar-agar! Dan ketika kakek itu bergulingan melempar tubuh dan tongkat Mo-ko kakak beradik juga menyambar pemuda ini maka Beng Tan juga menyambut dan membabat dari samping. "Crak-crak!" Semuanya putus! Mo-ko menjerit dart bergulingan seperti kakek tinggi besar itu pula ketika pedang masih menyambar, menukik dan menuju dada mereka. Tapi ketika mereka masih terlambat juga dan pedang menggores ke bawah maka leher Moko kakak beradik tergurat panjang. "Bret!" Dua iblis itu pucat. Coa-ongya bersorak kagum dan tak habis-habisnya memuji. Beng Tan. Sekarang dia benar-benar melihat kepandaian pemuda ini yang sangat luar biasa. Dan ketika gebrakan itu sudah berjalan duapuluh tiga jurus dan tinggal dua jurus lagi untuk merobohkan dua kakek terakhir maka Mindra dan Sudra sudah mengeluh melihat Pek-jit-kiam mengurung diri mereka, tak dapat keluar! -oo0dw0oo- Jilid-XXIII "CRAK-CRAK!" Habislah harapan dua kakek ini. Mereka terpaksa menangkis karena pedang menuju tenggorokan, tak dapat dikelit atau dielak karena gerakan pedang sedemikian cepatnya, menyambar dan tahu- tahu su-dah serambut saja di kulit leher. Dan ketika mereka menangkis dan nenggala mau-pun cambuk tentu saja bukan tandingan Pek-jit-kiam yang luar biasa maka dua senjata di tangan kakek lihai itu putus. "Ha-ha!" pangeran Coa bersorak. "Kalian kalah, Mindra. Sekarang Beng Tan benar-benar membuktikan omongannya dan tepat duapuluh lima jurus kalian menyerah!" Memang benar. Lima orang kakek itu terpaksa mengakui kekalahannya dan mereka menunduk lesu. Beng Tan telah mengalahkan mereka dan kalau pemuda itu bersikap kejam tentu mereka bakal terlu-ka, tidak hanya tergurat kulit atau pecah berdarah seperti Mo-ko kakak beradik. Dan ketika seraua raundur dan Coa-ongya melompat menepuk-nepuk Eieng Tan maka hari itu Beng Tan benar-benar mendapat perhatian istimewa pangeran ini. nKau hebat, ilmu pedangmu luar biasa. Ah, ingin kulihat kalau kau sudah bertanding dengan Si Golok Maut itu! Hm, siapa gurumu, Beng Tan" Bolehkah aku tahu?" "Maaf," Beng Tan tersenyum. "Guruku tak mau disebut guru, ong-ya. Aku hanya belajar sedikit-sedikit darinya. Aku tak mempunyai guru dalam arti mewarisi semua kepandaiannya." "Ah, dan itu saja sudah membuatnmu sedemikian lihai" Wah, kalau begitu orang yang mengajarimu itu hebat luar biasa, Beng Tan. Pantasnya dewa dan bukan manusia!" "Memang, dia kuanggap dewa. Tapi, ah.... sudahlah. Guruku itu tak suka memperkenalkan diri dan sekarang apa yang harus kulakukan, ong-ya. Kapan aku berangkat dan kapan pula kelima orang ini ikut denganku!" "Ah, ha-ha! Jangan tergesa-gesa. Malam ini biar kau beristirahat semalam dan besok baru berangkat!" "Tapi sri baginda..." "Tak usah takut. Aku yang menjamin! Betapapun kelima orangku ini harus bersiapsiap kalau ingin mengikutimu. Sudahlah, kita bersenang-senang dulu, Beng Tan. Dan sungguh beruntung kau mendapatkan Pek-jit-kiam itu. Hm, aku iri!" Coa-ongya tak segan-segan memandang belakang punggung Beng Tan, benar-benar iri akan pedang hebat yang dibawa pemuda itu. Beng Tan tersenyum saja dan dijamulah pemuda itu oleh hidangan-hidangan lezat yang disuguhkan tuan rumah. Dan ketika malam itu dia diminta menginap di gedung pangeran ini dan Beng Tan ragu untuk menolak maka sang pangeran sudah memandang Swi Cu, yang sejak tadi diam dan hanya mengikuti pembicaraan kekasihnya. "Dan kau," pangeran ini tersenyum berkata. "Kau boleh tinggal di kamar belakang, nona. Ada sebuah kamar khusus untuk wanita disana. Beng Tan biar disamping gedung, dan kau disana." Swi Cu tertegun. Sebenarnya dia tak ingin jauh-jauh dari Beng Tan. Semalam dia selalu berdekatan dengan pemuda itu, kamar bersebelahan, dapat bercakap-cakap dan mudah bertemu muka kalau ingin bicara. Maka begitu Coa-ongya berkata dan tentu saja dia tak sanggup menolak, karena malu baginya kalau minta kamar yang dekat dengan Beng Tan maka disana Beng Tan juga agak sedikit gugup mendengar penawaran itu. Namun, mau apalagi" Maka ketika malam itu mereka beristirahat dan Swi Cu diamdiam mengumpat pangeran ini karena memisah mereka dengan kamar yang berjauhan maka sebelum tidur gadis ini melepas kemendongkolannya. "Sialan Coa-ongya itu. Kenapa dia memberiku kamar yang jauh" Uh, sudah tahu aku kekasihmu masih saja dia mengatur kamar yang terlalu jauh. Kalau aku tak malu tentu sudah kuminta kamar yang lain, yang dekat denganmu!"- "Sudahlah," Beng Tan tersenyum, menarik napas dalam. "Aku juga tak enak menawar yang lain, Cu-moi. Tapi tak apa ah, toh kita tetap Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo disatu gedung yang sama." "Benar, tapi aku dibelakang, koko. Jauh darimu. Kalau ada apa-apa tentu kau tak segera tahu!" "Ah, ada apa bagaimana" Kita di tempat aman, Cu-moi. Tak akan ada apa-apa, Sudahlah, kau tidur dan kita beristirahat, besok aku harus berangkat!" Swi Cu mengomel. Beng Tan telah menutup pintu kamarnya karena tadi pemuda itu mengantar, pergi dan sekarang sudah kembali ke kamarnya sendiri. Dan ketika malam itu Swi Cu membanting kesal di atas pembaringannya yang empuk maka malam berjalan merayap dan gadis inipun akhirnya tertidur. -0de0wi0- "Hei, augh.... uph!" Swi Cu kaget bukan main. Malam itu dia terlelap pulas ketika tiba-tiba lampu kamarnya padam. Gadis ini terkejut dan gerakan refleksnya sebagai gadis kang-ouw timbul, bangkit dan tiba-tiba dia membuka mata ketika lampu kamarnya itu padam. Kesiur angin di jendela yang tiba-tiba terbuka lebar membuat gadis ini tersentak, bangun dan mau melompat turun tapi bayangan itu, yang tampak hitam dan tidak jelas tiba-tiba sudah menyambar, menubruk dan mendekap tubuhnya di atas pembaringan. Dan ketika Swi Cu kaget dan tentu saja tersentak maka bayangan itu sudah menciuminya dan tubuhnya digerayangi dari bawah sampai ke atas. "Kurang ajar. Aeh, lepaskan... uph!" Swi Cu meronta-ronta, membentak dan menjerit tapi suara yang keluar hanya ap-up saja. Dia tak dapat berteriak keras-keras karena tubuh dan mulutnya ditutup. Kumis yang kasar dan mata yang berkilat bagai binatang yang sedang berahi menutup tubuhnya erat-erat, mencium dan mulutnya hampir tertutup oleh mulut lawan. Dan ketika Swi Cu kaget dan tentu saja meronta-ronta, marah dan Pendekar Pedang Akhirat 2 Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis Keris Pusaka Nogopasung 3

Cari Blog Ini