Malam Tanpa Akhir 1
Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie Bagian 1 Agatha Christie Malam Tanpa Akhir Endless Night Scan, Convert & edit to word : Hendri Kho Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/ http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/ MALAM TANPA AKHIR (Endless Night) Agatha Christie UNTUK NORA PRICHARD Dari siapa aku pertama kali Mendengar tentang Legenda Gipsy's Acre BUKU SATU 1 Akhirku adalah permulaanku... Aku sering mendengar kutipan itu. Kedengarannya bagus - tapi apa sebenarnya artinya" Apakah memang ada tempat tertentu di mana orang bisa menunjuk dan berkata, "Semuanya bermula pada hari itu, pada jam sekian, di tempat tertentu, dengan kejadian tertentu?" Mungkinkah ceritaku dimulai ketika aku melihat papan yang tergantung di dinding George and Dragon, yang mengumumkan pelelangan properti mahal The Towers, lengkap dengan penjelasan tentang luas tanah, panjang dan lebarnya, serta foto megah The Towers yang kelihatannya diambil semasa jaya-jayanya properti itu, sekitar delapan puluh atau seratus tahun yang lalu" Waktu itu aku cuma sedang berjalan-jalan santai di sepanjang jalan utama Kingston Bishop, sebuah tempat yang tidak ada arti pentingnya sama sekali. Aku sekadar menghabiskan waktu saja. Aku memperhatikan papan pengumuman lelang itu. Mengapa" Takdir yang memberikan pertanda buruk" Atau justru memberikan pertanda keuntungan besar" Terserah Anda pilih yang mana. Atau mungkin juga semua ini bermula saat aku bertemu Santonix, ketika aku mengobrol bersamanya; kalau kupejamkan mataku, bisa kubayangkan pipinya yang kemerah-merahan, matanya yang terlalu cemerlang, dan gerakan-gerakan tangannya yang kuat namun luwes, yang lihai menggambar sketsa dan membuat rencana denah rumah-rumah. Atau sebuah rumah, tepatnya, sebuah rumah yang cantik, yang pasti sangat menyenangkan untuk dimiliki. Keinginanku untuk memiliki rumah-rumah yang bagus dan cantik, rumah yang tak pernah kubayangkan bisa kumiliki tiba-tiba merebak ke permukaan. Itulah anganangan menyenangkan yang menjadi topik obrolan kami, rumah yang rencananya akan dibangun Santonix untukku - kalau saja umurnya panjang... Sebuah rumah yang dalam mimpiku akan kutinggali bersama gadis yang kucintai, rumah di mana kami akan hidup bersama dan "bahagia selama-lamanya", seperti dalam dongeng anak-anak yang konyol Semuanya angan-angan belaka, mimpi di siang bolong, tapi menimbulkan kerinduan di hatiku - kerinduan akan sesuatu yang rasanya takkan bisa kumiliki. Atau kalau ini sebuah kisah cinta - dan memang ini sebenarnya kisah cinta, aku berani sumpah mengapa tidak mulai dengan saat aku pertama kali melihat Ellie yang sedang berdiri di antara pepohonan cemara tinggi di Gipsy's Acre" Gipsy's Acre. Ya, mungkin lebih baik aku memulainya dari sana, pada saat aku beralih dari papan pengumuman lelang itu dengan agak menggigil, karena segumpal awan hitam telah menutupi matahari. Iseng-iseng aku bertanya pada seorang penduduk setempa?" yang saat itu sedang sibuk memotong pagar tanamannya dengan serampangan. "Bagaimana rupa rumah ini, The Towers?" Masih kuingat jelas wajah aneh pak tua itu, sementara ia melirik ke arahku dan berkata, "Bukan itu namanya di sini. Nama apa itu?" Ia mendengus tak setuju. "Sudah bertahun-tahun tidak ada, orang tinggal di sana dan menyebutnya The Towers." Ia mendengus lagi. Aku bertanya padanya, apa namanya sekarang, dan sekali lagi matanya beralih dari diriku di wajah tuanya yang penuh keriput. Ia berbicara tanpa menatapku langsung, cara khas orang pedesaan. Mata mereka biasanya tertuju pada sesuatu di balik bahu kita, atau ke suatu tikungan, seolah-olah mereka melihat sesuatu yang tidak kita liha?" dan ia berkata, "Di sini orang-orang menyebutnya Gipsy's Acre." "Mengapa begitu?" tanyaku. "Ada ceritanya. Aku tidak tahu persis. Ada yang bilang begini, ada yang bilang begitu." Kemudian ia melanjutkan, "Pokoknya, itu tempat terjadinya kecelakaankecelakaan. "Kecelakaan-kecelakaan mobil?" "Semua jenis kecelakaan. Sekarang memang lebih sering kecelakaan mobil. Tikungan di situ tajam sekali." "Yah," kataku, "kalau memang tikungan di situ tajam sekali, saya rasa kecelakaan-kecelakaan itu pasti tak bisa dihindari." "Dewan Desa sudah memasang tanda bahaya, tapi tidak ada gunanya, sama sekali tidak. Tetap saja terjadi kecelakaan." "Mengapa Gipsy's' tanyaku. Sekali lagi matanya beralih dari diriku, dan jawabannya tidak jelas. "Ada cerita lain lagi. Dulu tanah itu memang tanah orang gipsi, kata orang, sebelum akhirnya mereka diusir keluar. Orang-orang gipsi kemudian mengutuk tanah itu." Aku tertawa. "Betul," katanya, "kau boleh tertawa, tapi memang ada tempat-tempat yang terkutuk. Kalian orang-orang kota yang modern tidak tahu apa-apa tentang itu. Tapi tempat-tempat itu sungguh ada, dan tempat ini salah satunya. Sudah beberapa orang terbunuh di penggalian di sana, waktu mereka berusaha mengeluarkan batubatuan buat membangun. Gordie tua, contohnya, dia terpeleset jatuh dan lehernya patah." "Mabuk?" aku menebak. "Mungkin. Gordie memang suka minum. Tapi banyak orang mabuk yang jatuh - bahkan sampai luka parah - tapi mereka akhirnya baik-baik saja. Sementara Gordie, lehernya patah. Di sana," ia menunjuk di belakangnya, ke arah bukit yang penuh pohon-pohon pinus, "di Gipsy's Acre." Ya, kurasa begitulah semua ini dimulai. Bukannya waktu itu aku serius menanggapi omongan pak tua itu. Aku hanya kebetulan teringat padanya. Itu saja. Kupikir kalau aku memikirkannya dengan cerma?" aku hanya menyimpan ceritanya di benakku. Aku tidak inga?" apakah sebelum atau sesudahnya aku bertanya apakah masih ada orang-orang gipsi yang tinggal di sana. Polisi selalu mengusir mereka, begitu kata pak tua itu. Aku bertanya, "Mengapa orang-orang tidak suka dengan kaum gipsi?" "Mereka itu pencuri semua," sahut si pak tua dengan sebal. Kemudian ia memandangku sedikit lebih dekat. "Kelihatannya kau ada keturunan gipsi, ya?" katanya menebak, sambil memelototi diriku. Kubilang aku tidak tahu. Betul, aku memang agak kelihatan seperti orang gipsi. Mungkin itu yang membuatku tertarik dengan nama Gipsy's Acre. Mungkin saja aku masih keturunan orang gipsi, kataku dalam hati, sementara aku berdiri dan membalas senyuman pak tua itu, merasa geli atas obrolan kami. Gipsy's Acre. Aku mendaki jalanan yang berkelok-kelok itu, keluar desa dan mengitari pohon-pohon besar. Akhirnya aku sampai di puncak buki?" bisa melihat laut dan kapal-kapal. Betul-betul pemandangan bagus, dan dengan iseng aku berpikir lagi, "Bagaimana ya rasanya kalau aku bisa menjadi pemilik Gipsy's Acre?". Tiba-tiba saja pikiran itu muncul. Betul-betul pikiran yang, tidak masuk akal. Ketika aku berpapasan lagi dengan pak tua pemotong pagar tanaman itu, ia berkata, "Kalau kau ingin bertemu orang gipsi, temui saja Mrs. Lee. Pak Mayor memberi Mrs. Lee sebuah pondok untuk ditinggali." "Siapa Pak Mayor itu?" tanyaku. Pak tua itu menyahut dengan suara kaget. "Mayor Phillpotttentu saja." Ia tampaknya kecewa sekali mendengar pertanyaanku! Jadi, kusimpulkan bahwa Mayor Phillpot adalah Dewa Setempat. Mrs. Lee adalah salah seorang yang bergantung padanya, kurasa, orang yang diberinya nafkah. Keluarga Phillpot tampaknya sudah tinggal di sana turun-temurun, dan boleh dikatakan menguasai tempat itu. Ketika aku melambai pada pak tua itu dan beranjak pergi, ia berkata, "Mrs. Lee tinggal di pondok terakhir di ujung jalan ini. Mungkin kau bisa menjumpainya di luar. Dia tidak suka berada di dalam rumah. Orang gipsi memang begitu." Jadi, begitulah... aku berjalan sambil bersiul-siul dan memikirkan Gipsy's Acre. Aku hampir melupakan apa yang baru saja kudengar, ketika kulihat seorang wanita tua jangkung berambut hitam sedang menatapku dari balik pagar tanamannya. Aku langsung tahu bahwa wanita itu Mrs. Lee. Aku berhenti dan bercakap-cakap dengannya. "Kudengar Anda bisa menceritakan padaku tentang Gipsy's Acre di sana itu," kataku. Ia menatapku dari balik rambut hitaMr.ya yang kusu?" kemudian berkata, "Jangan main-main dengannya, anak muda. Dengarkan aku. Lupakan Gipsy's Acre. Kau pemuda yang tampan. Tak ada hal baik yang muncul dari Gipsy's Acre dan tidak akan pernah." "Saya lihat Gipsy' Acre akan dijual," kataku. "Memang betul dan siapapun yang membelinya pasti bodoh sekali." "Siapa yang mungkin membelinya?" "Ada kontraktor yang mengincarnya. Lebih dari satu orang. Harganya pasti murah. Lihat saja nanti." "Mengapa harus dijual murah?" tanyaku ingin tahu. "Padahal daerahnya bagus." Mrs. Lee tidak mau menjawab. "Misalnya ada kontraktor yang membeli dengan murah, apa yang akan dilakukan kontraktor itu dengan Gipsy's Acre?" Mrs. Lee tertawa cekikikan sendiri. Suara tawanya terdengar jahat dan tidak menyenangkan. "Merobohkan rumah tua yang sudah bobrok itu dan membangunnya, tentu saja. Dua puluh - tiga puluh rumah, mungkin dan semuanya terkutuk." Aku tidak mengacuhkan bagian terakhir kalimatnya. Aku langsung menyahu?" tak bisa menghentikan diriku sendiri. "Patut disayangkan. Benar-benar patut disayangkan." "Ah, kau tidak perlu khawatir. Mereka toh tidak akan menikmatinya, baik yang membeli maupun yang memasang bata dan semennya. Pasti akan ada kaki yang terpeleset dari tangga, truk yang terguling sampai muatannya jatuh semua, potongan baja yang jatuh dari atap rumah dan menimbulkan kecelakaan... Belum lagi pohon-pohonnya. Mungkin akan roboh tiba-tiba. Ah, lihat saja nanti! Tak ada hal baik yang muncul dari Gipsy's Acre. Lebih baik tempat itu dibiarkan saja. Percayalah. Percayalah." Mrs. Lee mengangguk-angguk dengan cepa?" kemudian menggumam pelan pada dirinya sendiri, "Tak ada keuntungan bagi siapa pun yang mengusik Gipsy's Acre. Tidak akan pernah." Aku tertawa. Mrs. Lee berkata dengan tajam. "Jangan tertawa, anak muda. Menurutku hal-hal seperti itu tidak boleh dianggap remeh. Tak pernah ada keberuntungan di sana, baik di dalam rumahnya maupun di atas tanahnya." "Apa yang telah terjadi di dalam rumah?" tanyaku. "Mengapa dibiarkan kosong begitu lama" Mengapa dibiarkan sampai bobrok begitu?" "Orang-orang terakhir yang tinggal di sana meninggal, semuanya." "Bagaimana meninggalnya?", tanyaku ingin tahu. "Lebih baik tidak diungkit-ungkit lagi. Tapi setelah itu tak ada orang yang mau datang dan tinggal di sana. Rumah itu dibiarkan berlumut dan ambruk. Sekarang orang sudah melupakannya, dan memang itu yang terbaik." "Tapi Anda bisa menceritakannya pada saya," desakku. "Anda tahu segala sesuatu tentang Gipsy's Acre." "Aku tidak menceritakan gosip tentang Gipsy's Acre." Kemudian Mrs. Lee merendahkan suaranya, hingga terdengar seperti rengekan pengemis. "Coba kemari, pemuda ganteng, akan kubacakan nasibmu. Ayolah. Letakkan sekeping perak di tanganku, dan akan kubacakan peruntunganmu. Kau termasuk orang yang akan sukses suatu hari nanti." "Saya tidak percaya pada membaca peruntungan seperti itu," kataku, "dan saya juga tidak punya sekeping perak. Tidak untuk dihamburkan, pokoknya." Mrs. Lee mendekat dan melanjutkan rengekannya. "Kalau begitu, enam penny juga boleh. Enam penny. Akan kubacakan untukmu dengan harga enam penny. Apa artinya enam penny" Tidak ada sama sekali. Tapi aku mau melakukannya, karena kau pemuda yang ganteng, dengan lidah tajam dan memikat. Bisa jadi kau memang akan mengembara jauh." Aku mengeluarkan enam penny dari saku, bukan karena aku mempercayai takhayulnya yang konyol itu, tapi karena untuk alasan tertentu, aku menyukai tipuan tua itu, meski sesungguhnya aku tahu itu cuma tipuan belaka. "Berikan tanganmu sekarang. Kedua-duanya." Mrs. Lee memegang tanganku dengan cakarnya yang keripu?" dan memelototi telapak tanganku yang terbuka. Ia terdiam selama beberapa saa?" melotot. Kemudian ia menjatuhkan tanganku dengan tiba-tiba, bahkan hampir menepisnya menjauh. Ia mundur selangkah dan berkata dengan tajam. "Kalau kau memang tahu apa yang baik untukmu, kau harus segera pergi dari Gipsy's Acre dan jangan pernah kemari lagi! Itu nasihat terbagus yang kuberikan padamu. Jangan pernah kemari lagi." "Mengapa tidak" Mengapa saya tidak boleh kemari lagi?" "Sebab kalau kau kembali, kau akan menemukan kesedihan, kehilangan, dan mungkin bahaya. Ada masalah, masalah yang gelap sekali, sedang menunggumu. Lupakan bahwa kau pernah melihat tempat ini. Aku sudah memperingatkanmu." "Yah, dari semua..." Tapi Mrs. Lee sudah berbalik dan berjalan menuju pondoknya. Ia kemudian masuk ke dalam dan membanting pintunya. Aku bukan orang yang percaya pada takhayul. Tapi tentu saja aku percaya pada takdir, siapa yang tidak" Tapi tidak tentang omong kosong menyangkut sebuah rumah bobrok yang penuh kutukan. Entah mengapa perasaanku jadi tidak enak, seolah-olah wanita tua jahat itu telah melihat sesuatu di tanganku. Aku memandang kedua telapak tanganku yang terbuka. Apa sih yang bisa dilihat seseorang di telapak tangan orang lain" Membaca garis tangan memang cuma omong kosong - cuma tipuan untuk mendapatkan uang kita saja uang yang kita keluarkan karena kekonyolan kita sendiri. Aku mendongak memandang langit. Matahari sudah terbenam, membuat hari terasa lain sekarang. Agak temaram, seolah mencekam. Mungkin akan ada badai, pikirku. Angin mulai bertiup, daun-daun bergemeresik kencang di pepohonan. Aku bersiul untuk meninggikan semangatku sendiri, dan berjalan menuju desa. Aku melihat papan pengumuman lelang The Towers itu lagi. Aku bahkan mencatat tanggalnya. Aku belum pernah menghadiri lelang properti seumur hidup, tapi kupikir aku akan datang dan menghadiri yang satu ini. Pasti menarik, mengetahui siapa yang akan membeli The Towers - atau boleh dikata, menarik untuk mengetahui siapa yang akan jadi pemilik Gipsy's Acre. Ya, kurasa semuanya memang bermula dari saat itu... Sebuah pikiran fantastis muncul dalam benakku. Aku akan datang dan pura-pura menjadi orang yang berminat membeli Gipsy's Acre! Aku akan menawar menantang para kontraktor lokal itu! Mereka akan mundur, kecewa karena tidak berhasil membeli dengan harga murah. Aku akan membelinya, lalu aku akan mendatangi Rudolph Santonix dan berkata, "Bangunkan rumah untukku. Aku telah membeli lokasinya untukmu." Kemudian aku akan mencari seorang gadis, gadis yang cantik, dan kami akan tinggal di rumah itu bersama-sama, bahagia selama-lamanya. Aku sering punya mimpi seperti itu. Sudah pasti tidak ada mimpiku yang menjadi kenyataan, tapi toh tetap menyenangkan. Begitulah pikiranku saat itu. Menyenangkan! Menyenangkan, demi Tuhan! Kalau saja aku tahu! 2 Hanya kebetulan saja hari itu aku bisa datang kembali ke Gipsy's Acre. Aku sedang mengendarai sebuah mobil sewaan, mengantar beberapa orang London yang datang untuk menghadiri lelang bukan lelang rumah, tapi lelang isi sebuah rumah. Rumah itu besar sekali, tepat di pinggiran kota, dan jelek sekali. Aku mengendarai mobil, mengantar sepasang suami-istri tua ke sana. Kalau mendengar percakapan mereka, tampaknya mereka tertarik pada koleksi papier-mache, entah apa papier-mache itu. Aku baru satu kali mendengar istilah itu, yakni ketika ibuku mengucapkannya berkenaan dengan baskom untuk mencuci. Kata ibuku, baskom dari papier-mache jauh Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo lebih bagus daripada yang terbuat dari plastik. Jadi, tampaknya aneh ada orang kaya yang mau jauh-jauh datang hanya untuk membeli koleksi barang-barang itu. Bagaimanapun, aku menyimpan fakta itu dalam pikiranku dan berniat mencari arti istilah itu di kamus, atau membaca buku untuk mengetahui apa arti papier-mache sesungguhnya. Pokoknya itu sesuatu yang menurut orang-orang cukup berharga, sehingga mereka rela menyewa mobil dan menghadiri suatu lelang desa untuk menawarnya. Aku memang senang mengetahui banyak hal. Saat itu umurku dua puluh dua tahun, dan aku sudah punya cukup banyak pengetahuan yang kudapat dari berbagai cara. Aku tahu cukup banyak tentang mobil, dan bisa menjadi mekanik yang lumayan, atau sopir yang hati-hati. Pernah aku bekerja menangani kuda-kuda di Irlandia. Pernah juga aku hampir terjerumus dalam sekumpulan pecandu obat bius, tapi akhirnya sadar dan berhenti tepat pada waktunya. Pekerjaan menjadi sopir mobil-mobil bagus di sebuah perusahaan persewaan mobil tidaklah jelek. Aku bisa mendapat uang tips lumayan. Dan juga tidak terlalu melelahkan. Tapi pekerjaannya sendiri sebenarnya membosankan. Pernah aku bekerja menjadi pemanen buah waktu musim panas. Bayarannya tidak seberapa, tapi aku suka sekali. Aku memang sudah pernah mencoba banyak hal. Aku pernah menjadi pelayan di hotel bintang tiga, pengawas pantai, penjual ensiklopedi dan penyedot debu, dan juga beberapa barang lain. Aku pernah menjadi tukang kebun di sebuah taman botani dan belajar sedikit tentang bungabunga. Aku tidak pernah lama menekuni satu pekerjaan. Untuk apa" Menurutku hampir semua yang pernah kulakukan menarik. Ada beberapa yang membutuhkan keda lebih keras daripada lainnya, tapi aku tidak terlalu peduli dengan hal itu. Aku bukan sungguh-sungguh pemalas. Kurasa aku orang yang pembosan. Aku ingin pergi ke mana-mana, melihat segala-galanya, melakukan semuanya. Aku ingin menemukan sesuatu. Ya, itu dia. Aku ingin menemukan sesuatu. Sejak saat keluar sekolah, aku sudah ingin menemukan sesuatu, tapi aku belum tahu sesuatu itu apa. Pokoknya sesuatu yang sedang kucari dengan cara yang tidak jelas dan tidak memuaskan. Sesuatu itu pasti ada di suatu tempat. Cepat atau lamba?" aku akan mengetahui segala sesuatu mengenainya. Bisa jadi sesuatu itu adalah seorang gadis... aku suka gadis-gadis, tapi tak se orang pun gadis yang kukenal itu memiliki arti khusus... Kita memang menyukai mereka, tapi kemudian kita berpindah pada gadis berikutnya dengan ringan hati. Gadis-gadis itu sama seperti pekerjaan-pekerjaanku. Menyenangkan untuk beberapa saa?" tapi kemudian kita jadi bosan dengan mereka dan ingin pindah ke yang berikutnya. Aku sudah sering berpindah dari satu hal ke hal lain semenjak keluar dari sekolah. Banyak orang tidak setuju dengan cara hidupku. Mereka berharap hidupku berjalan dengan baik. Tapi itu karena mereka tidak memahami diriku. Mereka ingin aku berpacaran dengan seorang gadis yang baik, menabung, menikahi gadis itu, dan mempunyai pekerjaan tetap yang bagus. Hari demi hari, tahun demi tahun, sebuah dunia tanpa akhir, amin. Tidak, aku tidak mau! Pasti ada sesuatu yang lebih bagus daripada itu. Aku tidak mau kenyamanan yang biasa seperti itu, dengan jaminan kesejahteraan dari pemerintah yang terpincang-pincang! Kalau di dunia ini orang sudah mampu meletakkan satelit di langi?" mampu merencanakan untuk terbang ke bintang-bintang, mestinya ada sesuatu yang bisa membangkitkan diri kita, yang membuat jantung kita berdebar, yang layak dicari di seluruh penjuru dunia! Aku ingat suatu hari aku sedang menyusuri Bond Street. Waktu itu aku sedang bekerja menjadi pelayan, dan sedang bertugas. Aku berjalan santai sambil melihat-lihat sepatu di etalase toko. Semuanya tampak keren. Seperti sering diiklankan di koran-koran: Sepatu keren untuk laki-laki keren, dan biasanya ada foto laki-laki keren itu. Padahal menurutku orang itu terlihat konyol! Aku suka menertawakan iklan- iklan seperti itu. Aku berjalan dari etalase toko sepatu ke etalase toko berikutnya, yakni toko lukisan. Hanya ada tiga lukisan di etalasenya, diletakkan sedemikian rupa dengan sampiran kain beludru berwarna netral di ujung piguranya yang berwarna emas. Nyeni, kurasa begitu. Aku memang tidak terlalu suka dengan seni. Aku pernah mampir ke National Gallery, karena ingin tahu saja. Aku cukup terkagum-kagum karenanya. Banyak lukisan berwarna yang besar-besar, tentang peperangan atau para orang suci yang kurus-kurug dengan anak panah menusuk jantung mereka. Lukisan-lukisan wajah para wanita terkenal yang sedang duduk sambil tersenyum lebar, dalam gaun-gaun sutra, beludru, dan renda. Aku langsung memutuskan bahwa seni bukanlah bidangku. Tapi lukisan yang sedang kulihat saat itu terasa berbeda. Ada tiga lukisan di etalase itu. Satu menggambarkan pemandangan desa yang cantik. Satunya lagi memperlihatkan seorang wanita yang dilukis dengan cara yang lucu, begitu tidak beraturan, sehingga sulit sekali melihat bahwa itu gambar seorang wanita. Kurasa itulah yang disebut-sebut art nouveau. Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Lukisan ketiga adalah yang kusukai. Sebetulnya lukisan itu biasa-biasa saja. Tapi... bagaimana ya menggambarkannya" Pokoknya, lukisan itu sederhana. Ada banyak bidang kosong dan beberapa lingkaran besar saling mengelilingi, kira-kira begitulah. Semuanya dengan warna berbeda-warna-warna aneh yang tidak kita sangka. Di sana-sininya ada goresan-goresan kecil berwarna-warni yang sepertinya tidak ada artinya. Tapi, entah bagaimana, rasanya ada artinya! Aku memang tidak pandai menggambarkan sesuatu. Yang bisa kukatakan hanyalah lukisan itu membuat kita tertarik untuk terus memandanginya. Aku hanya berdiri di situ, merasa aneh, seolah olah ada sesuatu yang sangat luar biasa menimpa diriku. Sepatu-sepatu keren itu... aku memang kepingin bisa memakainya. Maksudku, aku selalu berusaha keras menjaga penampilanku. Aku suka berbusana bagus, supaya memberikan kesan bagus, tapi seumur hidup aku tak pernah dengan serius memikirkan akan membeli sepasang sepatu di Bond Street. Aku tahu mereka memasang harga setinggi langit di sana-lima belas pound sepasang, bisa jadi begitu. Buatan tangan, atau apalah istilahnya, yang menurut mereka bisa membuat sepatu-sepatu itu layak dihargai mahal. Betul-betul pemborosan uang. Memang sepatu itu keren, tapi kita tidak boleh menghamburkan uang demi kemewahan seperti itu. Priinsipku teguh untuk hal-hal seperti itu. Tapi lukisan ini, berapa ya harganya, aku ingin tahu" Misalnya aku hendak membeli lukisan itu" Dasar gila, kataku dalam hati, pada diri sendiri. Kau kan tidak suka lukisan. Memang betul. Tapi aku ingin memiliki lukisan itu. Aku ingin menjadi pemiliknya. Aku ingin menggantungnya, lalu duduk memandanginya sesuka hatiku, dan mengetahui bahwa mulah pemilik lukisan itu! Aku! Membeli lukisan. Rasanya memang gagasan gila. Kupandangi lagi lukisan itu, Keinginanku untuk membelinya tidak masuk akal, lagi pula aku mungkin tak mampu membelinya. Tapi kebetulan saat itu aku sedang punya uang. Hasil menang taruhan dalam pacuan kuda. Lukisan ini mungkin akan menghabiskan seluruh uangku. Dua puluh pound" Dua puluh lima" Bagaimanapun, tidak ada salahnya bertanya. Mereka toh tidak bakal menendangku, bukan" Aku masuk ke dalam dengan perasaan agak agresif, tapi juga defensif Bagian dalam toko itu sangat tenang, dan juga mewah. Suasananya sunyi, dengan dinding-dinding berwarna netral dan kursi berlapis beludru, di mana kita bisa duduk-duduk memandangi lukisan-lukisan yang ada. Seorang laki-laki yang menyerupai model laki-laki keren di iklan-iklan datang menghampiriku. Ia berbicara dengan suara pelan, sesuai dengan suasana tokonya. Lucunya, ia tidak tampak angkuh, seperti yang biasanya kita jumpai dl toko-toko di Bond Street. Ia mendengarkan apa yang kukatakan, kemudian mengambil lukisan itu dari etalase dan memamerkannya bagiku. Ia berdiri membelakangi sebuah dinding, dan memegang lukisan itu supaya aku bisa memandanginya dengan leluasa. Baru saat itu aku menyadari - seperti yang kadang-kadang kita sadari tentang bagaimana sesuatu terjadi atau berlangsung - bahwa dalam hal lukisan tidak berlaku peraturan-peraturan yang sama. Seseorang bisa saja datang ke toko seperti ini dengan pakaian usang dan kurnal, tapi ternyata ia seorang jutawan yang ingin menambah koleksi lukisannya. Atau ia bisa saja datang dengan penampilan murah dan gaya, seperti diriku, mungkin, dan entah bagaimana ia tibatiba menginginkan sebuah lukisan, dan kebetulan ia juga punya uang untuk membelinya. "Sebuah contoh karya seni yang sangat bagus," kata laki-laki yang memegangi lukisan itu. "Berapa harganya?" tanyaku cepat. Jawabannya membuat napasku tersentak. "Dua puluh lima ribu," katanya dengan suaranya yang lembut. Aku cukup pintar mengendalikan ekspresiku. Aku tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Paling tidak, begitulah menurutku. Laki-laki itu menyebutkan sebuah nama yang kedengarannya asing. Nama si pelukis, kukira, dan juga bahwa lukisan itu baru saja muncul di pasaran, dari sebuah rumah di desa, yang penghuninya tidak menyadari betapa berharganya lukisan itu. Aku tetap menjaga sikapku dan mendesah. "Mahal sekali, tapi kurasa harga itu pantas," kataku. Dua puluh lima ribu pound. Sungguh menggelikan! "Ya," sahut laki-laki itu, dan mendesah juga. "Ya, memang." Ia menurunkan lukisan itu dengan sangat perlahan, dan membawanya kembali ke etalase. Ia memandangku dan tersenyum. "Anda mempunyai selera yang bagus," katanya. Entah bagaimana, aku merasa ia dan aku saling mengerti. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan keluar lagi ke Bond Street. 3 Aku tidak tahu banyak tentang menulis - maksudku, menulis dengan cara seorang penulis sejati. MisaInya, kesan-kesan tentang lukisan yang kulihat itu. Sebetulnya lukisan itu tidak ada hubungannya dengan apa pun. Maksudku, setelah melihat lukisan itu, tidak ada apa pun yang muncul sebagai kelanjutannya, peristiwa itu tidak menyambung ke kisah lain, tapi entah bagaimana aku merasa lukisan itu penting, dan bahwa lukisan itu mempunyai tempat di suatu tempat. Melihat lukisan itu adalah salah satu peristiwa yang punya arti bagiku. Persis seperti Gipsy's Acre mempunyai arti bagi diriku. Seperti Santonix mempunyai arti bagi diriku. Sesungguhnya aku belum bercerita banyak tentang dirinya. Ia seorang arsitek. Tentu saja, Anda pasti sudah menebaknya. Aku jarang berurusan dengan arsitek, meski aku tahu sedikit tentang bangun-membangun. Aku bertemu Santonix dalam pengembaraanku. Waktu itu aku bekerja sebagai sopir, menyopiri orang-orang berduit. Kadang-kadang aku menyetir ke luar negeri, dua kali ke Jerman - aku bisa berbahasa Jerman sedikit - dan sekali-dua kali ke Prancis - aku juga bisa berbahasa Prancis sedikit - dan sekali ke Portugis. Para penumpangku biasanya orang-orang tua yang punya uang banyak, tapi kesehatannya buruk. Mengendarai mobil bagi orang-orang seperti itu, kita jadi sadar bahwa ternyata uang tidak terlalu penting artinya. Apa artinya uang kalau kita punya gejala serangan jantung, berbotol-botol pil kecil-kecil yang harus diminum sepanjang waktu, dan temperamen panas yang gampang meledak gara-gara makanan dan pelayanan hotel yang tidak layak. Kebanyakan orang kaya yang kukenal hidupnya cukup sengsara. Mereka juga selalu cemas. Gara-gara pajak dan investasi. Aku sering mendengar mereka mengobrolkan hal itu di antara mereka, atau dengan teman-teman mereka. Cemas! Itu yang membunuh setengah mereka. Dan kehidupan seks mereka juga tidak menyenangkan. Biasanya mereka menikah dengan wanita seksi berambut pirang, berkaki panjang dan langsing, yang menipu mereka dengan mempunyai cowok simpanan, atau mereka menikah dengan wanita yang terus-menerus mengomel, pokoknya menyebaikan, yang selalu mengatakan di mana mereka mau turun. Tidak. Aku lebih suka menjadi diri ku sendiri. Michael Rogers, yang bisa menikmati hidup dengan mengembara dan berkencan dengan gadis-gadis cantik sesuka hatinya! Tentu saja hidupku agak pas-pasan, tapi aku bisa mengatasinya. Hidup harus dinikmati, dan aku sudah puas bisa menikmatinya. Tidak heran, sebab aku masih muda. Kalau masa muda sudah berlalu, hidup mungkin tidak senikmat itu. Tapi di balik semua itu, dalam hatiku selalu ada sesuatu itu mendambakan seseorang atau sesuatu... Bagaimanapun, melanjutkan ceritaku tadi, ada seorang laki-laki tua yang sering kusopiri sampai ke Riviera. Ia mempunyai sebuah rumah yang sedang dibangun di sana. Ia datang untuk melihat sendiri, sampai di mana kemajuan pembangunannya. Santonix adalah arsiteknya. Aku tidak terlalu tahu apa kebangsaan Santonix sesungguhnya. Mula-mula kupikir ia orang Inggris, meskipun namanya terdengar aneh dan asing di telingaku. Tapi kurasa ia bukan orang Inggris, mungkin orang Skandinavia atau sejenisnya. Ia bukan orang yang sehat. Aku bisa langsung mengetahuinya. Ia masih muda, sangat pucat dan kurus, dengan wajah aneh - agak miring. Kedua sisinya tidak sama. Ia bisa galak dalam menghadapi para langganannya. Padahal kita pikir merekalah yang mestinya memberikan perintah dan bersikap galak. Tapi ini tidak begitu. Santonix-lah yang memegang kendali, dan ia selalu yakin pada dirinya sendiri, meskipun para langganannya tidak. Aku inga?" laki-laki tua yang menjadi penumpangku marah besar begitu melihat kemajuan pembangunan rumahnya. Sesekali aku mendengar teniakan-teriakan, waktu aku sedang berdiri berjaga-jaga, siap membantu sebagai sopir maupun orang suruhan. Bukan rahasia lagi kalau Mr. Constantine bisa mendapat serangan jantung atau stroke. "Kau tidak melakukan perintahku," katanya setengah berteriak. "Kau menghabiskan banyak uang. Terlalu banyak uang. Bukan begini perjanjiannya. Ini bakal membuatku keluar uang lebih banyak dari yang kuperkirakan." "Anda betul sekali," sahut Santonix. "Tapi uang memang untuk dikeluarkan." "Uangku tidak boleh dihamburkan! Tidak boleh. Kau harus tetap pada batas yang sudah dianggarkan. Kau mengerti?" "Kalau begitu, Anda tidak akan mendapatkan rumah seperti yang Anda idamkan," kata Santonix. "Aku tahu apa yang Anda inginkan. Rumah yang kubangun ini akan menjadi rumah yang Anda inginkan. Aku sangat yakin tentang itu, dan Anda juga begitu. Jangan repot-repot menasihatiku tentang masalah-masalah ekonomi. Anda menginginkan sebuah rumah berkualitas, dan Anda akan mendapatkannya. Anda akan menyombongkannya pada teman-teman Anda nanti, dan mereka pasti iri. Aku tidak membangun rumah bagi sembarang orang, sudah kubilang itu. Bagiku membangun lebih penting daripada uangnya. Rumah ini tidak akan seperti rumah-rumah orang pada umuMr.ya!" "Rumah ini bakal kacau. Kacau." "0h, tidak, tidak mungkin. Masalahnya Anda tidak tahu apa yang Anda inginkan. Atau paling tidak, begitulah anggapan orang-orang. Tapi sesungguhnya Anda tahu apa yang Anda inginkan, hanya Anda tidak mampu mengeluarkannya dari dalam pikiran Anda. Anda tidak bisa melihatnya dengan jelas. Tapi aku bisa. Itu salah satu hal yang selalu bisa kuketahui-apa yang dikejar dan diinginkan orang. Anda punya cita rasa tinggi. Karena itu, aku akan memberikan kualitas yang bagus." Santonix memang suka berkata begitu. Aku biasanya berdiri di dekat mereka, mendengarkan. Entah bagaimana, aku sendiri bisa merasakan bahwa rumah yang sedang dibangun di antara pohon-pohon pinus itu akan menjadi rumah yang lain dari yang lain. Separuh dari rumah itu tidak menghadap ke arah laut seperti rumah-rumah pada umuMr.ya, melainkan menghadap ke arah pulau, sehingga bisa terlihat lengkungan gunung-gunung dan sekilas langit di antara bukit-bukit. Pokoknya bentuk rumah itu aneh dan tidak umum, tapi sangat menarik. Santonix kadang-kadang suka mengobrol denganku kalau aku sudah bebas tugas. Ia berkata, "Aku hanya membangun rumah untuk orang-orang yang kusukai." "Orang-orang kaya, maksud Anda?" "Mereka memang harus kaya, kalau tidak mereka takkan mampu membiayai pembangunan rumah-rumah itu. Tapi yang penting bagiku bukanlah uang yang, bakal kuperoleh. Para langgananku harus kaya, sebab aku ingin membangun rumah yang butuh uang banyak. Kau tahu, rumah saja tidak cukup. Harus ada setting-nya. Itu sama pentingnya. Sama seperti batu mirah delima atau zamrud. Permata yang indah hanyalah permata yang indah. Tapi tak bisa membawamu ke manamana lagi. Tak ada artinya sama sekali, tanpa setting yang tepat. Dan setting itu harus mempunyai batu permata yang indah supaya berharga. Nah, aku mengambil setting itu dari lansekap yang ada. Dia ada karena memang sudah dari sananya. Lansekap itu tidak ada artinya sampai rumahku berdiri megah di sana, seperti batu permata yang sudah dipasang." Santonix memandangku dan tertawa. "Kau tidak mengerti?" "Kurasa tidak," sahutku perlahan, "tapi - rasanyaaku bisa memahaminya..." "Aku mungkin saja begitu." Ia memandangku dengan ingin tahu. Kami datang lagi ke Riviera setelah itu. Waktu itu rumah tersebut sudah hampir selesai. Aku tidak akan menggambarkannya, karena aku tak bisa melakukannya dengan tepat. Pokoknya rumah itu - yah-istimewa - dan juga indah. Aku tahu itu. Sebuah rumah yang bisa dibanggakan, bangga untuk dipamerkan, bangga untuk dipandangi sendiri, bangga untuk ditinggali bersama orang yang tepa?" mungkin. Dan tiba-tiba suatu hari Santonix berkata padaku, "Aku bisa membangunkan sebuah rumah untukmu. Aku tahu model rumah seperti apa yang kauinginkan." Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Aku menggelengkan kepala. "Aku sendiri bahkan tidak mengetahuinya," kataku dengan jujur. "Mungkin tidak. Tapi aku tahu." Kemudian ia melanjutkan, "Sayang sekali kau tidak punya uang." "Dan tidak akan pernah," kataku. "Kau tidak bisa bilang begitu," kata Santonix. "Lahir miskin, tidak berarti kau akan miskin seterusnya. Uang itu unik, hanya pergi ke tempat-tempat yang diinginkannya." "Aku tidak pandai mencari uang," kataku. "Kau tidak cukup berambisi. Ambisi dalam dirimu belum tergugah, tapi ambisi itu ada, kau tahu itu." "Oh, baiklah," kataku, "suatu hari kalau ambisiku sudah tergugah dan aku berhasil punya banyak uang, aku akan datang pada Anda dan berkata, 'Bangunkan sebuah rumah untukku.'" Santonix menarik napas panjang dan berkata, "Aku tak bisa menunggu... Tidak, aku tak sanggup menunggu saat itu. Aku hanya punya waktu sedikit. Satu rumah - dua rumah lagi. Tak lebih dari itu. Tak ada orang yang mau mati muda- tapi nasib menentukan lain... Kurasa itu tidak penting." "Kalau begitu, aku harus segera menggugah ambisiku." "Tidak," kata Santonix. "Kau sehat dan menikmati hidup. Jangan ubah cara hidupmu." Aku menyahu?" "Aku memang tak bisa mengubahnya, meski aku sudah mencoba." Saat itu memang begitulah pendapatku. Aku suka dengan cara hidupku. Aku memang menikmati hidup dan sehat walaflat. Aku telah menyopiri banyak orang kaya yang telah bekerja keras, yang mempunyai bisul, penyempitan pembuluh darah, atau penyakit-penyakit lain akibat bekerja terlalu keras. Aku tidak mau bekerja keras. Aku bisa menangani berbagai pekerjaan, tapi hanya sebatas itu saja. Dan aku tidak punya ambisi, atau tepatnya aku tidak merasa mempunyai ambisi. Santonix punya ambisi, kurasa. Aku tahu bahwa merancang rumah dan membangunnya, menggambar denahnya dan hal lainnya yang tak bisa kupahami, semua itu telah menguras habis dirinya. Pada dasarnya ia memang bukan orang yang kuat. Kadangkadang aku punya pikiran aneh bahwa ia sendirilah yang membuat ajalnya datang lebih cepat gara-gara pekerjaan yang dilakoninya demi ambisinya. Aku tidak mau bekerja. Gampang saja. Aku tidak percaya dengan pekerjaan, dan tidak menyukainya. Menurutku pekerjaan adalah ciptaan manusia yang sangat buruk bagi diri manusia itu sendiri. Aku sering memikirkan Santonix. Ia menggugah rasa ingin tahuku, melebihi siapa pun yang kukenal. Menurutku, salah satu hal teraneh dalam hidup adalah hal-hal yang bisa kita ingat. Atau tepatnya, hal-hal yang kita pilih untuk diingat. Sesuatu yang harus kita pilih. Santonix dan rumahnya adalah salah satu dari hal-hal itu, begitu juga dengan lukisan di Bond Street dan mengunjungi rumah bobrok, The Towers, serta mendengar cerita tentang Gipsy's Acre - semua itu adalah hal-hal yang kupilih untuk diingat! Kadang-kadang gadis-gadis yang kutemui, dan perjalanan-perjalanan ke tempat-tempat asing dalam pekerjaanku sebagai sopir. Para langgananku semuanya sama membosankan. Mereka selalu tinggal di hotel-hotel yang sama dan makan makanan membosankan yang sama. Aku masih punya perasaan aneh dalam diriku yang menunggu datangnya sesuatu, menunggu sesuatu untuk ditawarkan padaku, atau untuk terjadi pada diriku. Aku tidak tahu bagaimana cara mengutarakannya dengan tepat. Kurasa sebetulnya aku sedang mencari seorang gadis, gadis yang cocok - dan maksudku bukanlah gadis manis yang cocok untuk diajak hidup bersama, seperti yang diharapkan ibuku atau Paman Joshua atau beberapa temanku. Waktu itu aku tidak tahu apa-apa tentang cinta. Yang kuketahui hanyalah seks. Rasanya hanya itu yang diketahui okh orangorang segenerasi denganku. Kurasa itu karena kita terlalu sering membicarakannya, mendengarnya, dan juga terIalu serius menanggapinya. Kita tidak tahu - semua temanku dan juga diriku, bagaimana rasanya kalau hal itu terjadi. Cinta, maksudku. Kita semua masih muda dan liar. Kita menaksir gadis-gadis yang kita jumpai dan mengagumi lekuk tubuh dan kaki mereka, serta lirikan mata yang mereka lemparkan, sementara dalam hati berpikir, "Dia mau atau tidak" Apa aku hanya membuang waktu?" Dan semakin banyak gadis yang kita kenal, semakin bisa kita menyombongkan diri, dan orang-orang akan menganggap diri kita heba?" begitu pula anggapan kita sendiri. Aku sama. sekali tidak tahu bahwa itu bukanlah segala-galanya. Kurasa cinta pasti datang bagi setiap orang, cepat atau lamba?" dan dengan tiba-tiba. Kita tidak bakal sempat berpikir seperti yang selalu kita bayangkan, "Mungkin ini gadis yang cocok buatku.... Ini dia gadis yang akan jadi milikku." Paling tidak, aku tidak merasa begitu. Aku tidak tahu waktu itu bahwa cinta datangnya begitu tiba-tiba, sehingga aku bisa berkata, "Itu gadisku. Aku miliknya. Aku miliknya seutuhnya dan selamanya." Tidak. Aku tak pernah bermimpi bahwa cinta akan seperti itu. Bukankah salah seorang pelawak pernah berkata guyonannya yang jitu - "Aku pernah jatuh cinta, dulu, dan kalau aku merasa cinta itu akan datang, lagi, aku akan segera melarikan diri." Begitulah kenyataannya dengan diriku. Kalau saja aku tahu, kalau saja aku tahu apa yang akan terjadi, aku akan melarikan diri juga! Kalau saja aku lebih bijaksana. 4 Aku tidak melupakan rencanaku menghadiri pelelangan. Masih ada waktu tiga minggu. Aku mendapat kesempatan dua kali lagi untuk pergi keluar Inggris, sekali ke Prancis dan sekali ke Jerman. Ketika di Hamburg, aku mendapat kesulitan. Salah satunya karena aku sangat tidak menyukai suami-istri yang menjadi langgananku. Mereka mewakili segala sesuatu yang paling tidak kusukai. Mereka kasar, tak peduli dengan orang lain, dan tak sedap dipandang. Kurasa mereka juga membangkitkan perasaan tertentu dalam diriku - perasaan tak mampu menghadapi hidup yang penuh basa-basi ini lebih lama lagi. Tapi aku tak mau bersikap ceroboh. Aku merasa tak bisa menghadapi mereka lebih lama lagi, tapi tentu saja itu tidak kukatakan terus terang pada mereka. Tidak baik merusak hubungan dengan perusahaan tempat kita bekerja. Jadi, aku menelepon suami-istri itu di hotel mereka dan mengatakan bahwa aku jatuh sakit. Kemudian aku menelepon London dan mengatakan hal yang sama. Kubilang mungkin aku harus dikarantina, dan sebaiknya mereka mengirim sopir lain untuk menggantikanku. Tak seorang pun akan menyalahkan aku karenanya. Mereka juga tidak cukup peduli dengan diriku, jadi mereka tidak akan bertanya-tanya lebih jauh Paling-paling mereka pikir aku kena demam tinggi, sehingga tak sanggup mengabari mereka lagi. Setelah semua berlalu, aku akan muncul kembali di London dengan cerita tentang sakitku yang sangat parah! Tapi kupikir aku tidak akan melakukannya. Aku sudah bosan sekali dengan pekerjaan menyopir. "Pemberontakan" itu adalah suatu titik balik penting dalam hidupku. Karena pemberontakan itu, dan hal-hal lainnya, aku bisa muncul di ruang pelelangan pada tanggal yang telah ditetapkan. Di papan pengumuman penjualan dulu itu terpampang tulisan "Kecuali sudah terjual oleh perjanjian pribadi". Tapi papan itu masih ada di sana, berarti belum ada perjanjian pribadi untuk membeli. Saking bersemangatnya, aku nyaris tidak tahu apa yang kulakukan. Seperti pernah kukatakan, aku belum pernah menghadiri pelelangan properti untuk umum. Dalam pikiranku, pastilah pelelangan itu menarik sekali, tapi nyatanya tidak begitu. Sama sekali tidak. Pelelangan adalah satu-satunya pertunjukan paling membosankan yang pernah kuhadiri, yang berlangsung dalam suasana agak temaram dan hanya dihadiri oleh enam atau tujuh orang. Si pelelang berbeda sekali dengan para pelelang yang pernah kulihat sedang menjual perabotan atau barang-barang lain sejenisnya - mereka biasanya laki-laki dengan suara menggoda, bersemanga?" dan selalu melontarkan lelucon. Tapi yang ini suaranya datar saja ketika menjelaskan nilai properti itu, dan menggambarkan luas serta beberapa hal lainnya. Kemudian dengan setengah hati ia membuka penawaran. Seseorang menawar sebesar 5.000 pound. Si pelelang melontarkan senyum bosan, seperti kalau kita mendengarkan lelucon yang tidak lucu. Ia memberikan beberapa komentar, dilanjutkan dengan beberapa penawaran lagi. Para penawar itu kebanyakan orangorang desa. Ada seseorang yang kelihatannya petani, seorang yang kurasa kontraktor, dua pengacara, kupikir, dan seorang laki-laki yang kelihatannya orang asing. dari London, berpakaian bagus dan bertampang profesional. Aku tidak tahu apakah ia juga ikut menawar; mungkin saja ia melakukannya. Tapi kalau memang begitu, ia melakukannya dengan diam-diam, dan hanya dengan gerakan tangan. Pokoknya, pelelangan itu berakhir juga. Si pelelang mengumumkan dengan suara melankolis bahwa harga yang diminta tidak tercapai dan menutup pelelangan. "Betul-betul acara yang membosankan," kataku pada salah seorang laki-laki bertampang desa yang berjalan keluar di sampingku. "Hampir sama dengan biasanya," katanya. "Sering menghadiri pelelangan seperti ini?" "Tidak," sahutku, "ini yang pertama." "Karena ingin tahu, ya" Saya tidak melihat Anda melakukan penawaran." "Memang tidak," kataku. "Saya hanya ingin melihat bagaimana pelelangan itu berlangsung." "Yah, sama seperti biasanya. Mereka ingin melihat siapa yang tertarik, itu saja." Aku memandangnya dengan bertanya-tanya. "Menurut saya, hanya tiga orang yang tertarik," kata temanku itu. "Whetherby dari Helminster. Dia kontraktor. Kemudian Dakham dan Coombe, yang menawar untuk mewakili suatu perusahaan di Liverpool, begitu yang saya dengar, dan seorang asing dari London, yang menurut saya seorang pengacara. Mungkin masih ada orang-orang lainnya. tapi mereka bertiga tampaknya yang paling utama. Pasti properti itu laku dengan harga murah. Begitulah yang dikatakan orang." "Karena reputasi tempat itu?" tanyaku. "Oh, Anda juga sudah dengar tentang Gipsy's Acre, ya" Itu hanya omongan orangorang setempat. "Dewan kota mestinya sudah mengubah jalan di sana itu bertahun-tahun lalu betul-betul tikungan mematikan." "Tapi tempat itu benar-benar punya reputasi buruk?" "Menurut saya, itu cuma omong kosong. Seperti kata saya tadi, bisnis sesungguhnya akan terjadi sekarang, di balik layar. Mereka akan pergi dan membuat penawaran. Menurut saya, orang-orang dari Liverpool itu yang akan mendapatkannya. Saya rasa Whetherby tidak akan mau menawar lebih tinggi lagi. Dia suka membeli yang murah-murah. Sekarang ini banyak properti yang dijual untuk dikembangkan. Bagaimanapun, tidak banyak orang yang mampu membeli tempat seperti itu, belum lagi harus merobohkan rumahnya dan membangun yang baru, ya kan?" "Memang rasanya tidak banyak sekarang ini," kataku. "Terlalu susah. Belum lagi masalah pajak dan hal-hal lainnya. Selain itu, tidak mudah mendapat tenaga pembantu di pedesaan. Tidak, orang lebih suka membayar ribuan pound untuk membeli apartemen di tingkat enam belas sebuah gedung modern di kota sekarang ini. Rumah besar yang merepotkan di pedesaan betul-betul jatuh harga di pasaran." "Tapi Anda bisa membangun rumah yang modern," debatku. "Jadi menghemat tenaga pembantu." "Memang, tapi itu pasti mahal sekali, dan kebanyakan orang tidak suka hidup sepi." "Tapi ada orang yang suka begitu," kataku. Ia tertawa dan kami berpisah. Aku menyusuri jalanan dengan dahi berkeru?" sambil bertanya-tanya. Kakiku berjalan tanpa aku sendiri menyadari, ke mana aku pergi di sepanjang jalan di antara pepohonan, terus naik, melalui tikungan yang menuju suatu tempat di antara pepohonan dan padang belantara. Begitulah ceritanya bagaimana aku sampai di tempat aku melihat Ellie untuk pertama kali. Seperti kubilang semula, Ellie sedang berdiri di dekat sebuah pohon cemara yang tinggi. Sosoknya - kalau bisa kugambarkan demikian - bagaikan sosok seseorang yang semula tidak ada di situ, namun tiba-tiba saja menjelma, seolah-olah dari antara pepohonan. Ia mengenakan sejenis mantel berwarna hijau tua, rambutnya cokelat lembut seperti warna daun-daun musim gugur. Sosoknya bagai terselubung misteri. Aku melihatnya dan terenyak. Ia sedang memandangiku juga, bibirnya terbuka sediki?" tampaknya ia agak terkejut. Kurasa aku juga kelihatan terkejut. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu apa yang harus diucapkan. Akhirnya aku berkata, "Maaf. Aku... aku tidak bermaksud mengagetkan. Aku tidak tahu ada orang lain di sini." Ia menjawab, suaranya sangat lembut dan pelan, seperti suara anak perempuan kecil, meski tidak pas begitu. Ia berkata, "Tidak apa-apa. Maksudku, aku juga tidak mengira ada orang lain di sinl." Ia memandang sekelilingnya sejenak dan berkata, "Ini... ini tempat yang sepi. Dan ia menggigil sedikit. Memang sore itu angin bertiup agak dingin. Tapi mungkin bukan angin itu penyebabnya. Entahlah. Aku mendekat selangkah-dua langkah. "Tempat ini juga agak menyeramkan, bukan?" kataku. "Maksudku, karena rumahnya sudah bobrok." "The Towers," katanya dengan serius. "Begitu kan namanya dulu, hanya saja... maksudku, kelihatannya tidak ada Tower-nya. Tidak ada menaranya." "Kurasa itu cuma nama," kataku. Orang-orang suka menamai rumah mereka dengan nama-nama seperti The Towers, supaya kedengarannya lebih megah dari kenyataannya." Ia tertawa kecil. "Kurasa begitulah," katanya lagi. Ini - mungkin kau tahu, aku tidak yakin - ini tempat yang mereka jual hari ini atau ditawarkan lewat pelelangan?" "Ya," kataku. "Aku baru saja datang dari pelelangan itu." "Oh." Ia tampak terkejut. - "Apa kau... merasa tertarik?" "Aku tak mungkin membeli sebuah rumah bobrok dengan tanah hutan yang cuma beberapa ratus ekar saja," kataku. "Aku bukan dari golongan itu." "Apakah sudah laku?" tanyanya. "Tidak, harganya tidak mencapai yang telah ditetapkan." "Oh, begitu." Ia terdengar lega. "Kau sendiri tidak ingin membelinya, bukan?" tanyaku. "Oh, tidak," katanya, "tentu saja tidak." Suaranya terdengar gugup. Aku ragu-ragu, dan tiba-tiba saja aku berkata tanpa pikir panjang. "Aku hanya pura-pura," kataku. "Tentu saja aku tak bisa membelinya, sebab aku tak punya uang, tapi aku sebenarnya tertarik. Aku ingin membelinya. Aku mau membelinya. Silakan tertawa kalau mau, tapi begitulah kenyataannya." "Tapi bukankah tempatnya sudah terlalu kuno juga... "Oh, ya," kataku. "Maksudku, aku tidak suka melihat kondisinya sekarang ini. Aku ingin merobohkan rumah itu dan membuang semuanya. Rumah itu sudah jelek, dan dulu rumah itu pasti menyedihkan. Tapi tempat ini tidak menyedihkan atau jelek. Tempat ini justru cantik. Lihatlah kemari. Sedikit ke arah sini, melalui pepohonan. Lihatlah pemandangan yang mengarah ke bukit-bukit dan padang belantara. Bisakah kau melihatnya" bersihkan pemandangan di sini, lalu kita sampai di jalan ini..." Aku menggandeng tangannya dan membimbingnya ke titik kedua di kompas. Mungkin ia tidak memperhatikan, bahwa kami berdua sudah saling bersikap akrab sekarang. Lagi pula, caraku menggandengnya biasa saja. Aku hanya ingin menunjukkan padanya apa yang kulihat. "Di sini," kataku, "di sini kau bisa melihat pemandangannya menurun sampai ke laut dan batu-batu yang bermunculan di sana. Sebenarnya ada sebuah kota di antara kita dan lau?" tapi kita tak bisa melihatnya karena terhalang bukit-bukit yang menggunung agak jauh di bawah sana. Kemudian pemandangan ketiga adalah lembah hijau samar-samar. Kalau kita menebang beberapa pohon, Ialu membuat pemandangan-pemandangan luas serta membersihkan tempat ini di sekeliling rumah, bisakah kau melihat betapa kau akan memiliki sebuah rumah yang cantik di sini" Rumahnya tidak boleh dibangun di tempat rumah yang lama. Tapi harus sekitar lima puluh atau seratus langkah - di sebelah kanan, di sini. Di sini tempat yang bagus untuk membangun rumahnya, sebuah rumah yang cantik. Rumah yang dibangun oleh seorang arsitek jenius." "Apa kau kenal arsitek yang jenius?" Ia kedengarannya tak percaya. "Aku kenal satu," kataku. Kemudian aku mulai bercerita tentang Santonix. Kami duduk berdampingan di sebuah batang pohon yang tumbang, dan aku bercerita. Ya, aku bercerita pada gadis hutan yang ramping itu, yang baru kali ini kujumpai, dan aku mencurahkan segala perasaanku ke dalam ceritaku. Kuceritakan juga padanya tentang impianku. "Tapi semua itu tidak akan terjadi," kataku. "Aku tahu itu. Tak mungkin terjadi. Tapi coba bayangkan. Bayangkan kalau semuanya terjadi seperti yang kuimpikan. Di Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sana kita tebang pohon-pohonnya, dan di sebelah sana kita bersihkan lahannya. Kita tanami dengan berbagai jenis tanaman, rhododendron dan bunga azalea. Temanku Santonix pasti mau datang. Dia pasti akan terbatuk-batuk parah. Kurasa dia sedang sekarat gara-gara TBC atau sejenisnya, tapi dia pasti bisa melakukannya. Dia bisa melakukannya, sebelum meninggal. Dia bisa membangunkan rumah yang sangat indah. Kau tidak tahu bagaimana rupa rumah-rumah yang dibangunnya. Dia membangun semuanya itu untuk orang-orang yang sangat kaya, dan mereka haruslah orang-orang yang menginginkan hal yang benar. Maksudku bukan hal yang benar secara umum. Tapi menginginkan suatu mimpi yang menjadi kenyataan. Sesuatu yang indah!" "Aku ingin memiliki rumah seperti itu," kata Ellie. "Kau membuatku melihatnya, merasakannya.... Ya, ini akan menjadi tempat yang indah untuk ditinggali. Segalanya yang diimpikan bisa menjadi kenyataan. Kita bisa tinggal di sini dengan bebas, tidak terkungkung, tidak terikat pada orang-orang yang selalu mendesakmu melakukan sesuatu yang tidak kauinginkan. Oh, aku bosan sekali dengan hidupku dan orang-orang di sekelilingku. Pokoknya segalanya!" Begitulah permulaannya, Ellie dan aku. Aku dengan mimpiku, ia dengan pemberontakannya atas hidupnya. Kami berhenti bercakap-cakap dan saling memandang. "Siapa namamu?" tanyanya. "Mike Rogers," kataku. "Michael Rogers," aku membetulkan. "Siapa namamu?" "Fenella." Ia ragu-ragu, kemudian berkata, "Fenella Goodman," sambil memandangku agak cemas. Kami tidak bercakap-cakap lagi setelah itu, tapi kami tetap saling memandangi. Kami berdua ingin bisa bertemu lagi - tapi saat itu kami tidak tahu bagaimana harus mengaturnya. 5 Nah, begitulah awal hubunganku dengan Ellie. Tidak terlalu lancar, sebab kami berdua menyimpan rahasia pribadi. Sesuatu yang ingin kami rahasiakan dari pihak lainnya, jadi kami tak bisa saling bercerita terlalu banyak tentang diri sendiri. Kami selalu waspada, seolah-olah ada penghalang. Kami tak bisa berkata terang-terangan, "Kapan kita bisa bertemu kembali" Di mana aku bisa menemuimu" Di mana kau tinggal?" Sebab, kalau kita bertanya begitu pada seseorang, ia akan mengharapkan kita menjawabnya juga. Fenella tampak cemas ketika menyebutkan namanya. Saking cemasnya ia, sampaisampai kupikir itu pasti bukan nama aslinya. Aku nyaris mengira nama itu cuma diada-ada saja olehnya! Tapi tentu saja aku tahu bahwa itu tak mungkin. Aku telah memberitahukan namaku yang sebenarnya padanya. Kami tidak tahu bagaimana sebaiknya saling berpamitan hari itu. Sungguh kikuk rasanya. Udara mulai dingin, dan kami ingin meninggalkan The Towers - tapi kemudian apa" Dengan agak kikuk, aku berkata agak ragu-ragu, "Apa kau tinggal di sekitar sini?" Ia berkata bahwa ia tinggal di Market Chadwell, sebuah kota pasar yang tidak terlalu jauh. Aku tahu di kota itu ada sebuah hotel bintang tiga yang besar. Kuduga ia menginap di sana. Ia berkata, dengan agak ragu-ragu juga, "Apa kau tinggal di sini?" "Tidak," kataku, "aku tidak tinggal di sini. Aku hanya berkunjung sehari ke sini." Kemudian kami saling berdiam diri lagi. Ia menggigil sedikit. Angin dingin sepoi-sepoi mulai bertlup. "Lebih baik kita jalan," kataku, "supaya tubuh kita tetap hangat. Kau... naik mobil atau datang kemari dengan bus atau kereta api?"' Ia berkata bahwa ia meninggalkan mobilnya di desa. "Tapi aku akan baik-baik saja," katanya. Ia tampak agak gugup. Kupikir mungkin ia ingin bisa segera lepas dariku, tapi tidak tahu caranya. Aku berkata, "Bagaimana kalau kita berjalan sampai di desa saja?" Ia melirik penuh syukur ke arahku. Kami melangkah perlahan-lahan di jalanan yang berkelok-kelok, di mana telah terjadi banyak kecelakaan mobil. Begitu kami sampai di tikungan, tiba-tiba muncul seseorang dari bawah lindungan dedaunan pohon-pohon cemara. Begitu tiba-tiba kemunculannya, hingga Ellie berteriak kage?" "Oh!" Ternyata orang itu wanita tua yang kutemui waktu itu di pondok kebunnya sendiri - Mrs. Lee. Ia tampak sangat liar hari itu, dengan rambut hitaMr.ya yang kusut tertiup angin dan mantel merah tua menutupi pundaknya; dari tempat berdirinya, ia kelihatan jauh lebih jangkung. 'Dan apa yang sedang kalian lakukan di sini, anak-anak?" tanyanya. "Apa yang membawa kalian ke Gipsy's Acre?" "Oh," kata Ellie, "kami tidak melakukan pelanggaran, bukan?" "Bisa saja. Ini dulu daerah kaum gipsi. Daerah kaum gipsi, dan mereka mengusir kami semuanya. Kalian tidak ada gunanya di sini, dan tak ada gunanya kalian berkeliaran di Gipsy's Acre." Ellie sama sekali tidak membantah; ia memang bukan tipe seperti itu. Dengan lembut dan sopan ia berkata, "Maafkan kami, kalau kami memang tidak boleh kemari. Saya pikir tempat ini akan dijual hari ini." "Dan siapa pun yang membelinya pasti tertimpa sial!" kata wanita tua itu. "Dengarkan aku, Cantik, sebab kau memang cukup cantik, nasib sial akan menimpa siapa pun yang membelinya. Tanah ini sudah terkutuk, bertahun-tahun lamanya. Kau jangan datang kemari. Jangan berurusan dengan Gipsy's Acre. Kematian akan menimpamu, juga bahaya. Pulanglah ke seberang lau?" dan jangan kembali ke Gipsy's Acre. Kuperingatkan kau." Dengan agak sebal Ellie berkata, "Kami tidak merusak apa-apa." "Ayolah, Mrs. Lee," kataku, "jangan menakut-nakuti nona ini." Aku berbalik dan menjelaskan pada Ellie. "Mrs. Lee tinggal di desa. Dia memiliki pondok di sana. Dia bisa membaca peruntungan dan meramal nasib. Bukankah begitu, Mrs. Lee?" kataku padanya dengan nada bergurau. "Aku memang berbaka?"" sahut Mrs. Lee singka?" sambil menegakkan tubuh gipsinya lurus-lurus. "Aku memang berbakat. Sudah ada dalam darahku. Kami semua memilikinya. Aku akan membaca peruntunganmu, Nona. Letakkan sekeping perak di tanganku, dan aku akan membaca peruntunganmu." "Rasanya aku tidak mau peruntunganku dibaca." "Tapi itu tindakan bijaksana. Bisa mengetahui sesuatu tentang masa depan. Bisa mengetahui apa yang harus dihindari, apa yang bakal menimpa dirimu kalau kau tidak hati-hati. Ayolah, toh ada banyak uang di sakumu. Banyak uang. Aku tahu hal-hal yang patut kauketahui." Kebanyakan wanita senang peruntungannya diramal. Aku tahu itu. Aku memperhatikannya pada gadis-gadis yang kukenal. Biasanya aku yang selalu harus merogoh kantong supaya mereka bisa masuk ke tenda tukang ramal, kalau aku mengajak mereka ke pasar malam. Ellie membuka dompetnya dan meletakkan dua keping uang di tangan wanita tua itu. "Ah, nona cantik, ini baru betul. Dengarkan apa yang akan dikatakan Ibu Lee tua ini." Ellie melepaskan sarung tangannya dan meletakkan tangannya yang kecil dan lembut di tangan wanita tua itu. Mrs. Lee menunduk dan menggumam sendiri. "Apa yang kulihat sekarang" Apa yang kulihat?" Tiba-tiba ia menjatuhkan tangan Ellie dengan cepat. "Aku akan segera pergi dari sini, kalau aku jadi kau. Pergi dan jangan kembali! Itu yang kukatakan padamu sebelumnya, dan itu betul. Aku melihatnya lagi di telapak tanganmu. Lupakan Gipsy's Acre, lupakan kau pernah melihatnya. Dan bukan hanya rumah bobrok di atas sana, tapi tanahnya sendiri memang sudah terkutuk." "Anda ini betul-betul tergila-gila pada kutukan itu," kataku dengan kasar. "Lagi pula, nona ini tidak ada urusannya dengan tanah di sini. Dia kemari hanya untuk berjalan-jalan hari ini; dia tak punya urusan apa-apa dengan penduduk di sekitar sini." Wanita tua itu tidak mengindahkan diriku. Ia berkata dengan serius, "Kukatakan padamu, Cantik. Kuperingatkan kau. Kau bisa hidup bahagia - tapi kau harus menghindari bahaya. Jangan datang ke tempat yang ada bahaya atau ada kutukannya. Pergilah ke tempat kau dicintai, diperhatikan, dan dijaga. Kau harus menjaga agar dirimu tetap aman. Ingat itu. Kalau tidak... kalau tidak..." ia menggigil sedikit - "aku tak suka melihatnya. Aku tak suka melihat apa yang ada di tanganmu." Tiba-tiba, dengan gerakan cepa?" ia mendorong kembali dua keping uang itu ke dalam tangan Ellie, sambil menggumamkan sesuatu yang nyaris tidak kedengaran. Kedengarannya seperti, "Betul-betul jahat. Apa yang akan terjadi, betul-betul jahat." Kemudian ia berbalik dan berjalan menjauh dengan cepat. "Astaga - betul-betul wanita yang menakutkan," kata Ellie. "Jangan perhatikan dia," kataku sebal. "Kurasa dia sudah setengah gila. Dia hanya ingin menakut-nakutimu. Kurasa orang-orang gipsi itu masih menyimpan perasaan untuk tanah ini." "Apa di sini memang pernah terjadi kecelakaan" Atau peristiwa buruk?" "Sudah pasti, Coba lihat tikungan ini, dan jalannya yang sempit. Dewan Kota harusnya mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Tentu saja di sini sering terjadi kecelakaan. Tidak ada cukup tanda-tanda peringatan." "Hanya kecelakaan atau juga hal-hal lainnya?" "Begini," kataku, "orang-orang suka mengumpulkan cerita tentang kecelakaan. Memang banyak yang bisa dikoleksi. Begitulah biasanya suatu daerah menjadi terkenal dengan legendanya." "Itukah salah satu alasan mereka berkata tanah ini akan dijual dengan harga murah?" "Yah, mungkin saja, kurasa. Secara lokal memang begitu. Tapi kurasa tidak akan ada orang lokal yang membelinya. Kurasa tanah ini akan dibeli untuk dibangun perumahan. Kau masih menggigil," kataku. "Jangan menggigil. Ayo kita berjalan cepat." Aku melanjutkan, "Apa kau ingin aku meninggalkanmu sebelum kau sampai di kota?" "Tidak. Tentu saja tidak. Mengapa harus begitu?" Aku berkata dengan putus asa, "Begini," kataku, "aku akan pergi ke Market Chadwell besok. Kurasa... kurasa... aku tidak tahu apakah kau masih akan ada di sana ... maksudku, apakah masih ada kesempatan untuk... bertemu denganmu?" Aku menggeser-goserkan kakiku dan membuang muka. Kurasa wajahku pasti merah. Tapi kalau aku tidak mengatakan apa-apa sekarang, baga-imana aku bisa melanjutkannya" "Oh, ya," katanya, "aku baru akan kembali ke London besok malam." "Kalau begitu, mungkin... maukah kau... maksudku, ini agak keterlaluan..." "Tidak, sama sekali tidak." "Yah, mungkin kau mau datang minum teh di kafe... Blue Dog, kurasa begitulah namanya. Tempatnya sangat nyaman", kataku. "Maksudku... tempatnya..." aku tak bisa mengucapkan kata yang tepa?" jadi kusebutkan kata yang kadang-kadang diucapkan ibuku "tempatnya sangat terhorma?"" kataku cemas. Kemudian Ellie tertawa. Mungkin ucapanku kedengaran agak aneh zaman sekarang ini. "Pasti akan menyenangkan sekali," katanya. "Ya. Aku akan datang. Sekitar jam setengah lima, bagaimana?" "Aku akan menunggumu," kataku. "Aku... aku senang." Aku tidak mengatakan, apa yang membuatku senang itu. Akhirnya kami sampai di tikungan terakhir jalanan itu, di mana mulai ada rumahrumah "Sampai di sini, kalau begitu," kataku, "dan sampai besok. Jangan... jangan pikirkan ucapan wanita tua itu. Dia hanya suka menakut-nakuti orang. Dia toh tidak tinggal di sana," kataku lagi. "Menurutmu, apakah tempat itu menakutkan?" tanya Ellie. "Gipsy's Acre" Tidak, menurutku tidak," kataku. Mungkin aku mengatakannya agak terlalu tegas, tapi memang menurutku tempat itu tidak menakutkan. Aku malah menganggapnya tempat yang indah, tempat yang cocok bagi sebuah rumah indah.... Nah, begitulah cerita pertemuan pertamaku dengan Ellie. Aku pergi ke Market Chadwell keesokan harinya, dan menunggu kedatangan Ellie di Blue Dog. Kami minum teh bersama-sama dan mengobrol. Kami masih tidak bercerita banyak tentang diri masing-masing, atau tentang kehidupan kami, maksudku. Kebanyakan kami mengobrolkan hal-hal yang kami pikirkan atau rasakan; kemudian Ellie melirik jam tangannya, dan berkata bahwa ia harus segera pergi, karena keretanya, akan berangkat ke London jam setengah enam. "Kupikir kau membawa mobil kemari," kataku. Ia tampak agak malu dan berkata, tidak, tidak, itu bukan mobilnya kemarin. Tapi ia tidak berkata mobil siapa. Bayangan kekikukan lagi-lagi menyelimuti kami berdua. Aku mengangkat tangan untuk memanggil pelayan dan membayar bon, kemudian aku berkata terus terang pada Ellie, "Apakah aku... apakah aku bisa bertemu denganmu lagi?" Ia tidak memandangku; ia malah menunduk memandang meja. Ia berkata, "Aku akan berada di London selama dua minggu." Aku berkata, "Di mana" Bagaimana?" Kami menetapkan tanggal untuk bertemu di Regent's Park dalam tiga hari. Hari itu betul-betul cerah. Kami mampir untuk makan di sebuah restoran terbuka, dan berjalan-jalan di kebun Queen Mary. Di sana kami duduk berdua di kursi panjang dan mengobrol. Dari saat itulah kami mulai bercerita tentang diri masing-masing. Aku bercerita tentang pendidikanku yang lumayan, walaupun karierku tidak cemerlang. Aku bercerita padanya tentang pekerjaan-pekerjaanku, tidak semuanya, dan bagaimana aku tak pernah menetap dan selalu ingin berpindah-pindah mencoba: segala sesuatu. Anehnya, ia betul-betul terpesona mendengar ceritaku itu. "Begitu berbeda," katanya, "berbeda dan hebat." "Berbeda dari apa?" "Dari aku." "Kau gadis yang kaya?" kataku menggoda. "Gadis kaya yang malang." "Ya," katanya, "aku gadis kaya yang malang." Kemudian ia bercerita sepotong-sepotong tentang latar belakang kekayaannya, tentang kenyamanan yang kaku, tentang kejenuhan, tentang tidak bisa memilih teman sendiri, tentang ketidakmampuan melakukan apa yang diinginkannya - kadangkadang melihat orang-orang yang tampaknya bersenang-senang, sementara ia tak bisa begitu. Ibunya sudah meninggal waktu ia masih bayi, dan ayahnya telah menikah lagi. Tak lama setelah itu, ayahnya meninggal juga, katanya. Menurutku ia tidak dekat dengan ibu tirinya. Hampir seumur hidupnya ia tinggal di Amerika, tapi juga sering bepergian ke luar negeri. Mendengar ceritanya, aku merasa kagum, karena masih ada gadis di zaman ini yang hidup dalam pingitan dan terkekang. Memang betul, ia sering pergi ke pesta-pesta dan hiburan-hiburan, tapi rasanya seperti di zaman lima puluh tahun yang lampau, menurutku, dari caranya bercerita. Rasanya tak ada keakraban atau kesenangan sama sekali! Hidupnya, betul-betul berbeda dari hidupku, seperti kapur dan keju. Bagaimanapun, aku kagum juga mendengar ceritanya, meski kedengarannya konyol. "Jadi, kau tidak pernah sungguh-sungguh punya teman sendiri kalau begitu?" kataku tak percaya. Magaimana dengan teman laki-laki?" "Mereka biasanya sudah dipilihkan untukku," katanya dengan agak pahit. "Dan semuanya membosankan." "Seperti di penjara," kataku. 'Memang begitulah rasanya." "Dan kau benar-benar tidak punya teman sendiri?" "Aku punya sekarang. Greta." "Siapa Greta itu?" kataku. "Mula-mula dia datang sebagai gadis au pair - tidak, tidak persis begitu. Dulu ada seorang gadis Prancis yang tinggal bersama kami selama setahun, supaya aku bisa belajar bahasa Prancis, kemudian Greta datang dari Jerman, supaya aku bisa belaJar bahasa Jerman. Greta berbeda. Segalanya jadi beda begitu Greta datang." "Kau sangat sayang padanya?" tanyaku. "Dia membantuku," kata Ellie. "Dan berada di pihakku. Dia yang mengatur supaya aku bisa melakukan berbagai hal dan pergi ke mana-mana. Dia tidak keberatan berbohong untukku. Aku tak mungkin bisa datang ke Gipsy's Acre kalau tidak dibantu Greta. Dia menemaniku dan menjagaku di London, sementara ibu tiriku pergi ke Paris. Aku menulis dua atau tiga pucuk sura?" dan kalau aku pergi ke tempat lain, Greta mengeposkan surat-surat itu setiap tiga atau empat hari, Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sehingga semuanya mempunyai cap pos London." "Tapi mengapa kau ingin pergi ke Gipsy's Acre?" tanyaku. "Untuk apa?" Ia tidak langsung menjawab. "Greta dan aku mengaturnya," katanya. Dia memang menyenangkan," katanya lagi. Dia bisa memikirkan macam-macam. Idenya banyak." "Bagaimana tampang si Greta ini?" tanyaku. "Oh, dia cantik," sahutnya. "Jangkung dan pirang. Dia cakap sekali." "Kurasa aku tidak menyukainya," kataku. Ellie tertawa. "Oh, kau akan menyukainya. Aku yakin itu. Dia juga sangat pintar." "Aku tidak suka gadis pintar," kataku. "Aku juga tidak suka gadis jangkung dan pirang. Aku suka gadis mungil dengan rambut seperti daun-daun musim gugur." "Kurasa kau cemburu pada Greta," kata Ellie. "Mungkin saja. Kau sangat menyayanginya, bukan?" "Ya, sangat. Dia membuat banyak perbedaan dalam hidupku." "Dan dialah yang mengusulkan padamu untuk datang ke sana. Mengapa" Aku ingin tahu. Tidak banyak yang bisa dilihat atau dilakukan di tempat seperti itu. Menurutku itu agak misterius." "Itu rahasia kami," kata Ellie, tampak malu. "Rahasiamu dan Greta" Coba ceritakan." Ia menggelengkan kepala. "Aku harus punya rahasia sendiri," katanya. "Apa Greta-mu itu tahu kau sedang bersamaku sekarang?" Dia tahu aku akan menemui seseorang. Itu saja. Dia tak suka bertanya macammacam. Dia tahu aku bahagia." Setelah itu, seminggu lamanya aku tidak bertemu Ellie. Ibu tirinya sudah pulang dari Paris, juga seseorang yang dipanggilnya Paman Frank. Ia menjelaskan dengan enteng bahwa ia akan menyelenggarakan pesta ulang tahun, dan mereka akan merayakannya besar-besaran di London. "Aku tak mungkin menyelinap pergi," katanya. "Tak mungkin minggu depan. Tapi setelah itu... setelah itu pasti berbeda." "Mengapa pasti berbeda setelah itu?" "Aku bisa melakukan apa yang kusukai setelah itu." Dengan bantuan Greta, seperti biasa?" kataku. Biasanya Ellie akan tertawa mendengar caraku berbicara tentang Greta. Ia akan berkata, "Kau ini konyol sekali, bisa cemburu terhadap Greta. Suatu hari kau harus bertemu dengannya. Kau pasti menyukainya." "Aku tidak suka gadis yang suka memerintah," kataku keras kepala. "Mengapa kaupikir dia suka memerintah?" "Dari caramu bercerita tentang dia. Dia selalu saja sibuk mengatur sesuatu." Dia memang sangat efisien," kata Ellie. Dan dia mengatur segalanya dengan sangat baik. Itu sebabnya ibu tiriku mempercayakan banyak hal padanya." Aku, bertanya padanya, bagaimana rupa Paman Frank-nya. Ia berkata, "Aku tidak terlalu kenal dia. Dia suami saudara perempuan ayahku. Jadi, bukan saudara langsung. Dari dulu dia suka berkelana, dan pernah mendapat kesulitan sekali dua kali. Pokoknya dia sering digosipkan." "Bukan anggota keluarga favorit?" tanyaku. "Jenis yang buruk?" "Oh, tidak sungguh-sungguh buruk kurasa, tapi dia memang pernah mendapat kesulitan. Masalah keuangan. Dan para pengacara serta keluarga harus membayar untuk mengeluarkannya dari masalah-masalah itu." "Itu dia," kataku. "Dia kambing hitam dalam keluarga. Kurasa aku lebih cocok dengannya ketimbang dengan Greta yang hebat." "Paman Frank bisa bersikap, sangat menyenangkan kalau mau," kata Ellie. "Dia bisa menjadi teman yang akrab." "Tapi kau tidak terlalu menyukainya?" tanyaku dengan tajam. "Kurasa aku menyukainya.... Hanya saja kadang-kadang, oh, aku tak bisa menjelaskannya. Aku hanya merasa tak bisa menebak apa-apa yang sedang dipikirkan atau direncanakannya." "Jadi, dia seorang perencana, ya?" "Aku tidak tahu bagaimana dia sebenarnya," kata Ellie lagi. Ia tak pernah terus terang mengusulkan agar aku berkenalan dengan keluarganya. Kadang-kadang aku bertanya-tanya, apakah aku harus menyinggung masalah tersebut. Aku tidak tahu bagaimana perasaannya tentang itu. Akhirnya aku langsung bertanya. Megini, Ellie," kataku, "menurutmu apakah aku tidak sebaiknya... berjumpa dengan keluargamu, atau kau lebih suka kalau aku tidak berjumpa dengan mereka?" "Aku tidak mau kau bedumpa dengan mereka," katanya cepat. "Aku tahu aku bukan siapa-siapa...," kataku. "Bukan begitu maksudku, sama sekali bukan! Maksudku, mereka pasti ribut. Aku tidak suka keributan." "Aku kadang merasa kita seperti main kucing-kucingan. Bukankah itu justru membuatku kelihatan buruk?" "Aku sudah cukup umur untuk memilih teman-temanku sendiri," kata Ellie. "Aku hampir dua puluh satu tahun. Kalau aku sudah dua puluh satu nanti, aku bisa memilih teman-temanku sendiri, dan tak seorang pun bisa melarangku. Tapi sekarang ini, yah, seperti kubilang tadi, mereka pasti akan ribut sekali, dan mereka akan berusaha menjauhkan aku darimu. Belum lagi... oh, biar saja kita tetap berhubungan seperti ini." "Kalau kau tidak keberatan, aku juga tidak keberatan," kataku. "Aku hanya tidak suka... yah, terlalu kucing-kucingan begini." "Ini bukan kucing-kucingan. Ini supaya kita bisa saling berteman, mengobrolkan segalanya, juga supaya bisa-" tiba-tiba ia tersenyum"bisa membayang-bayangkan. Kau tidak tahu betapa menyenangkannya itu." Ya, begitulah - membayang-bayangkan! Kami memang semakin sering menghabiskan waktu dengan membayang-bayangkan ini-itu. Kadang-kadang aku yang melakukannya. Tapi lebih sering lagi Ellie yang berkata, "Mari kita misalkan kita telah membeli Gipsy's Acre dan sedang membangun rumah di sana." Aku telah banyak bercerita padanya tentang Santonix dan rumah-rumah yang pernah dibangunnya. Aku mencoba menggambarkan model rumah-rumah itu dan cara Santonix merancang semuanya. Kurasa aku tidak terlalu bagus menggambarkannya, karena aku memang tidak pintar menggambarkan sesuatu. Ellie, tidak diragukan lagi, punya gambaran sendiri tentang rumah itu-rumah kami. Oh, kami memang tak pernah mengatakan "rumah kami", tapi kami tahu begitulah maksudnya.... Jadi, untuk seminggu lamanya aku tak bisa bertemu Ellie. Aku telah menghabiskan semua tabunganku (yang jumlahnya tidak banyak) untuk membelikannya sebentuk cincin mungil dengan permata Irlandia berwarna hijau. Kuberikan cincin itu padanya sebagai hadiah ulang tahun. Ia menyukainya, dan kelihatan sangat bahagia. "Clncin yang indah," katanya. Ellie memang tidak memakai banyak perhiasan, dan kalau harus memakainya, tak diragukan lagi ia pasti memakai berlian dan zamrud asli, dan permata-permata lain sejenis itu, tapi ia menyukai cincin hijau Irlandia pemberianku. "Ini akan menjadi hadiah ulang tahun yang paling kusukai," katanya. Kemudian aku mendapat sepucuk surat yang ditulis terburu-buru oleh Ellie. Ia harus pergi ke Prancis Selatan bersama keluarganya, segera setelah hari ulang tahunnya. "Tapi jangan cemas," tulisnya, "kami akan kembali dalam dua-tiga minggu, dalam perjalanan ke Amerika kali ini. Pokoknya kita pasti bertemu lagi. Aku punya sesuatu yang istimewa, yang ingin kubicarakan denganmu." Aku merasa cemas dan tidak tenang, karena tak bisa bertemu Ellie, dan karena aku tahu ia telah pergi ke Prancis. Aku juga punya sedikit kabar tentang Gipsy's Acre. Tampaknya ada pihak swasta yang telah membelinya, tapi tidak banyak informasi tentang siapa pihak swasta itu. Sebuah kantor pengacara di London tampaknya sudah ditunjuk menjadi pembelinya. Aku mencoba mendapat keterangan lebih banyak, tapi tidak berhasil. Kantor pengacara itu betul-betul tertutup. Tentu saja aku tidak berbicara dengan pimpinannya. Aku hanya mendekati salah seorang staf mereka, dan mendapatkan sedikit informasi samar-samar. Gipsy's Acre telah dibeli oleh seorang klien kaya raya yang bermaksud menyimpannya sebagai investasi yang bagus, begitu tanah di daerah itu sudah lebih berkembang. Memang sulit sekali mencari tahu tentang sesuatu kalau kita harus berurusan dengan kantor pengacara yang eksklusif. Segalanya betul-betul rahasia, seolaholah mereka agen negara atau sejenisnya! Setiap orang selalu bersikap atas nama orang lain yang tak bisa disebutkan namanya atau dibicarakan! Aku jadi betul-betul tidak tenang. Aku memutuskan berhenti memikirkan Gipsy's Acre dan pergi mengunjungi ibuku. Sudah lama aku tidak berjumpa ibuku. 6 Ibuku masih tinggal di jalan yang sama selama dua puluh tahun terakhir ini jalan yang penuh dengan rumah-rumah terhormat yang membosankan dan tidak menarlk. Anak tangga depan menuju pintu rumah telah dicat putih bersih dan tampak persis seperti biasanya. Nomor rumahnya 46. Aku menekan bel depan. lbuku membukakan pintu dan berdiri menatapku. Ia tampak seperti biasanya juga. Tinggi dan persegi, dengan rambut kelabu dibelah tengah, bibir seperti jebakan tikus, dan mata yang selalu menatap curiga. Ia juga tampak keras seperti paku. Tapi, kalau menyangkut diriku, selalu ada titik lunak di hatinya. Ia memang tak pernah memperlihatkannya, tapi aku selalu berhasil menemukannya. Ia tak pernah berhenti berharap agar, aku mau berubah, tapi harapannya itu sia-sia belaka dan takkan pernah jadi kenyataan. Hubungan kami jadi datar karenanya. "Oh," katanya, "ternyata kau yang datang." "Ya," kataku, "memang aku." Ibu mundur sediki?" supaya aku bisa masuk. Aku melangkah melewati ruang duduk, dan terus menuju dapur. Ibu mengikutiku dan berdiri memandangi diriku. "Sudah lama sekali," katanya. "Apa saja yang kaulakukan?" Aku hanya angkat bahu. "Macam-macam," sahutku. "Ah," kata ibuku, "seperti biasa, ya?" "Seperti biasa," kataku mengiyakan. Berapa banyak pekerjaan yang kaupunyai sejak terakhir kali aku melihatmu?" Aku berpikir sebentar. "Lima," kataku. "Kapan kau mau dewasa?" "Aku sudah betul-betul dewasa," kataku "Aku sudah memilih jalan hidupku sendiri. Bagaimana kabar Ibu?" lanjutku. "Juga seperti biasa," sahut ibuku. "Baik-baik saja?" "Aku tak punya waktu untuk jatuh saki?"" kata ibuku. Kemudian ia menambahkan dengan tiba-tiba, "Untuk apa kau datang kemari?" "Apa aku harus punya tujuan tertentu kalau datang kemari?" Biasanya begitu." "Aku heran, kenapa Ibu tidak setuju kalau aku suka melanglang dunia," kataku. "Menyetir mobil mewah ke seluruh Eropa! Itukah idemu tentang melanglang dunia?" "Tentu saja." "Kau tidak bakal dapat sukses besar dari pekerjaan itu. Apalagi kalau kau suka sakit mendadak, meninggalkan klienmu di kota tak beradab." "Bagaimana Ibu bisa tahu?" "Perusahaan tempatmu bekerja menelepon. Mereka ingin tahu, apakah aku tahu alamatmu." "Untuk apa mereka meneleponku?" "Kurasa mereka ingin mempekerjakaMr.u kembali," kata ibuku. "Aku tidak mengerti buat apa." "Sebab aku pengemudi yang baik, dan para klien menyukaiku. Lagi pula, aku toh tidak bisa apa-apa kalau saki?" bukan?" "Entahlah," kata ibuku. Jelas menurut ibuku aku mestinya bisa mempertahankan pekerjaanku biarpun sakit. "Kenapa kau tidak melapor kembali pada mereka waktu kau tiba di Inggris?" "Sebab aku mau memancing ikan yang lain," kataku. Ibuku mengangkat alisnya. "Ide baru lagi di kepalamu" Ide gila-gilaan lagi" Kerja apa lagi kau setelah itu?" "Jadi petugas pompa bensin. Jadi montir di bengkel. Staf temporer, dan tukang cuci di restoran dan kelab malam." "Turun derajat tepatnya," kata ibuku dengan sebal. "Sama sekali tidak," kataku. "Ini semua bagian dari rencana. Rencanaku!" lbuku menarik napas panjang. "Kau mau minum apa, teh atau kopi" Ibu punya duaduanya." Aku memilih kopi. Aku sudah melepaskan kebiasaan minum teh. Kami duduk berhadap-hadapan dengan cangkir-cangkir kopi di depan kami. Ibu mengeluarkan kue buatannya dari kaleng dan mengiris sepotong untuk kami masingmasing. "Kau lain," kata ibuku tiba-tiba. "Lain bagaimana?" "Entahlah, tapi kau memang lain. Apa yang terjadi?" "Tidak ada apa-apa. Mengapa harus ada yang terjadi?" "Kau bersemanga?"" kata ibuku. "Aku mau merampok bank," kataku. Ibuku tidak berminat bergurau. Ia hanya berkata, "Tidak, aku tidak takut kau akan merampok bank." "Mengapa tidak" Rasanya itu cara gampang untuk cepat kaya sekarang ini." "Merampok bank butuh kerja keras," kata ibuku. "Dan banyak perencanaan. Harus memeras otak lebih banyak daripada yang kausukai. Juga tidak aman." "Ibu pikir Ibu tahu segalanya tentang aku," kataku. "Tidak, aku tidak tahu. Aku tidak sungguh-sungguh tahu segalanya tentang dirimu, sebab kau dan aku berbeda sekali seperti bumi dan langit. Tapi aku tahu kalau kau sedang merencanakan sesuatu. Dan kau memang sedang merencanakan sesuatu sekarang. Apa itu, Micky" Apakah cewek?" "Mengapa Ibu menebak itu cewek?" "Aku selalu tahu ini bakal terjadi suatu hari." "Apa maksud Ibu dengan 'suatu hari'" Aku punya banyak cewek." "Bukan itu yang kumaksud. Cewek-cewekmu yang banyak itu hanya untuk senangsenang. Kau suka berhubungan dengan cewek mana pun, tapi tak pernah serius sampai sekarang ini." "Tapi Ibu pikir aku serius sekarang?" "Apakah memang cewek, Micky?" Aku tidak memandang mata ibuku. Aku membuang muka dan berkata, "Boleh dibilang begitu." "Cewek macam apa dia?" "Yang cocok untukku," kataku. "Apa kau akan mengajaknya menemui Ibu?" "Tidak," kataku. "Begitu, ya?" "Bukan apa-apa. Aku tidak mau melukai perasaan Ibu, tapi..." "Kau tidak melukai perasaanku. Kau tidak mau aku melihat cewekmu, karena kau takut aku bilang 'Jangan'. Begitukah?" "Aku toh tidak akan peduli kalaupun Ibu bilang jangan." "Mungkin tidak, tapi itu akan menggoyahkanmu. Menggoyahkan hatimu, sebab kau memperhatikan apa yang kukatakan dan pikirkan. Banyak hal yang telah kutebak tentang dirimu - mungkin tebakan itu betul dan kau mengetahuinya. Aku satu-satunya orang di dunia ini yang bisa menggoyahkan keyakinanmu pada diri sendiri. Apakah cewek yang sudah mengikatmu ini cewek nakaI?" "Cewek nakaI?" kataku dan tertawa. "Kalau saja Ibu melihatnya! Ibu membuatku tertawa." "Apa yang kaukehendaki dari aku" Kau pasti butuh sesuatu. Kau selalu begitu." "Aku butuh uang," kataku. ?"Kau tidak akan mendapatkannya dariku. Untuk apa kau butuh uang - supaya bisa membelikan barang-barang untuk cewek itu?" "Tidak," kataku, "aku ingin membeli setelan jas kualitas utama, supaya bisa menikah." Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kau akan menikahinya?" "Kalau dia mau menerimaku." Mendengar itu, Ibu betul-betul kaget. "Kalau saja kau mau bercerita padaku!" katanya. "Kau sudah salah pilih, aku tahu itu. Aku selalu khawatir dari dulu, kalau kau salah pilih cewek." "Salah pilih! Astaga!" teriakku. Aku merasa marah. Aku keluar dari rumah dan membanting pintu. 7 Ketika aku sampai di rumah, ada telegram menungguku datangnya dari Antibes. Temui aku besok jam setengah lima tempat biasa. Sikap Ellie lain dari biasanya. Aku segera melihatnya. Kami berjumpa seperti biasa di Regen?"s Park. Mula-mula kami merasa agak asing dan kikuk satu sama lain. Ada yang hendak kukatakan padanya, tapi aku agak bingung bagaimana menyampaikannya. Kurasa tiap laki-laki pasti demikian, kalau sudah saatnya melamar seorang gadis. Ada lagi sikap Ellie yang juga aneh. Mungkin ia sedang memikirkan cara yang paling baik dan sopan untuk menolakku. Tapi entah mengapa aku merasa bukan itu yang membuatnya bingung. Seluruh keyakinanku pada hidup ini didasarkan pada kenyataan bahwa Ellie mencintaiku. Tapi ada suatu kebebasan baru pada dirinya, sebuah keyakinan diri yang baru, yang tak mungkin disebabkan hanya karena ia sudah setahun lebih tua sekarang. Satu ulang tahun tak mungkin bisa membuat perbedaan seperti itu pada seorang gadis. Ia dan keluarganya telah berlibur di Prancis Selatan, dan ia bercerita sedikit padaku tentang liburannya itu. Kemudian dengan agak malu-malu ia berkata, "Aku... aku melihat sebuah rumah di sana, yang pernah kauceritakan dulu. Rumah yang dibangun oleh teman arsitekmu." "Apa" Santonix?" "Ya. Kami pergi ke sana untuk makan siang suatu hari." "Bagaimana bisa" Apa ibu tirimu kenal dengan laki-laki yang tinggal di sana?" "Dimitri Constantine" Yah - tidak tepat begitu, tapi dia pernah bertemu dengan Dimitri dan... yah... sebenarnya Greta yang mengatur supaya kami bisa pergi ke sana." "Greta lagi," kataku, memblarkan rasa kesal menandai suaraku, seperti biasanya. "Sudah kubilang padamu," kata Ellie, "Greta pintar mengatur sesuatu." "Oh, baiklah. Jadi, dia berhasil mengatur supaya kau dan ibu tirimu..." "Dan Paman Frank," kata Ellie. "Jadi, pesta keluarga, ya," kataku, "dan Greta juga iku?" kurasa." , "Oh, tidak, Greta tidak iku?" karena-" Ellie ragu-ragu - "Cora, ibu tiriku, tidak menganggap Greta seperti itu." "Dia bukan anggota keluarga, dia cuma saudara jauh yang miskin, bukan?" kataku. "Cuma seorang gadis au pair, kenyataannya. Greta pasti benci diperlakukan seperti itu kadang-kadang." "Greta bukan gadis au pair; dia temanku yang baik." "Seorang pengawas," kataku. "Pembimbing, penjaga. Ada banyak kata untuk menyebutnya." "Oh, diamlah," kata Ellie, "aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku tahu sekarang, apa yang kaumaksud tentang temanmu Santonix. Rumah itu betul-betul indah. Betul-betul berbeda. Bisa kubayangkan kalau Santonix membangun rumah untuk kita, rumah itu pasti akan sangat menyenangkan." Ellie menyebutkan rumah "kita" nyaris tanpa sadar. Kita, katanya. Ia telah pergi ke Riveria dan menyuruh Greta mengatur segalanya agar dapat melihat rumah yang pernah kuceritakan padanya, karena ia ingin bisa melihat sendiri dengan lebih jelas, rumah yang dalam dunia mimpi kami berdua, akan dibangun Rudolf Santonix bagi kami. "Aku senang kau merasa demikian tentang rumah itu," kataku. "Ia berkata, "Apa saja yang kaukerjakan selama ini?" "Hanya pekerjaan membosankan," sahutku. "Aku juga pergi ke pacuan kuda. Aku bertaruh pada kuda yang tidak diunggulkan. Tiga puluh banding satu. Aku mempertaruhkan semua uang yang kumiliki, dan aku menang besar. Siapa bilang nasibku tidak mujur?" "Aku senang kau menang," kata Ellie, tapi ia mengatakannya tanpa semangat, karena mempertaruhkan segalanya pada pacuan kuda dan ternyata menang, tidak berarti apa-apa di dunia Ellie. Tidak seperti dalam duniaku. "Dan aku juga mengunjungi ibuku," kataku lagi. "Kau jarang bercerita tentang ibumu." "Untuk apa?" kataku. "Apa kau tidak sayang pada ibumu?" Aku merenung sejenak. "Aku tidak tahu," kataku. "Kadang-kadang kupikir tidak. Bagaimanapun, kalau sudah dewasa, kita jadi jauh dari orangtua. Ibu-ibu dan ayah-ayah." "Kurasa kau menyayangi ibumu," kata Ellie. "Kalau tidak, kau tidak akan ragu saat bercerita tentang ibumu." "Boleh dibilang aku takut pada ibu," kataku, Dia sangat kenal diriku. Maksudku, dia mengenal sisi burukku." "Memang harus ada orang yang begitu," kata Ellie. "Apa maksudmu?" "Seorang penulis besar pernah berkata bahwa tak seorang pun bisa menjadi pahlawan bagi pelayan pribadinya. Mungkin setiap orang harus punya seorang pelayan pribadi. Kalau tidak pasti susah, bagaimana kita selalu hidup dan berusaha tampil baik di mata setiap orang." "Wah, boleh juga pendapatmu itu, Ellie," kataku. Kuraih tangannya. "Apa kau mengenalku dengan baik?" tanyaku. "Kurasa begitu," kata Ellie. Ia mengatakannya dengan sangat tenang dan sederhana. "Aku tidak banyak bercerita tentang diriku." "Maksudmu kau tidak pernah bercerita tentang dirimu sama sekali; kau selalu tertutup. Itu beda. Tapi aku cukup tahu bagaimana dirimu, dirimu sendiri." "Aku tidak tahu itu," kataku. Aku melanjutkan, "Kedengarannya agak konyol, mengatakan aku cinta padamu. Tampaknya sudah terlambat untuk itu, bukan" Maksudku, kau sudah tahu itu dari dulu, nyaris dari awal pertemuan kita, bukan?" "Ya," kata Ellie, "dan kau juga tahu itu tentang diriku, bukan?" "Masalahnya," kataku, "apa yang harus kita lakukan sekarang" Tidak akan mudah, Ellie. Kau tahu persis keadaanku sebenarnya, apa yang telah kukerjakan, dan jenis kehidupan yang kujalani. Aku mengunjungi ibuku di rumahnya, di sebuah jalan kecil yang terhormat dan suram. Dunia kita tidak sama, Ellie. Aku tidak tahu apakah kita bisa mempertemukan dua dunia itu." "Kau bisa mengajakku mengunjungi ibumu." "Ya, memang," kataku, "tapi aku lebih suka tidak. Mungkin itu kedengarannya sangat kurang ajar bagimu, atau jahat, tapi kita harus menjalani hidup yang aneh bersama-sama, kau dan aku. Bukan hidup yang biasa kaujalani, juga bukan hidup yang biasa kujalani. Tapi suatu hidup baru, gabungan antara kemiskinan dan ketidakacuhanku, dengan uang, budaya, serta pengetahuan sosialmu. Teman-temanku akan menganggapmu sombong, sementara teman-temanmu akan menganggapku tidak pantas. Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Akan kukatakan padamu," kata Ellie, "apa tepatnya yang harus kita lakukan. Kita akan tinggal di Gipsy's Acre, di sebuah rumah-rumah idaman yang akan dibangun temanmu Santonix bagi kita. Itulah yang akan kita lakukan." Ia melanjutkan, "Mula-mula kita harus menikah dulu. Itu yang kaumaksud, bukan?" "Ya," kataku, "memang itu maksudku. Kalau kau yakin itu sesuai bagimu." "Gampang saja," kata Ellie, "kita bisa menikah minggu depan. Kau tahu aku sudah cukup umur. Aku bisa berbuat sesukaku sekarang. Beda dengan dulu. Kurasa kau benar tentang urusan keluarga. Aku tidak akan bilang apa-apa pada keluargaku, dan kau juga tidak akan bilang apa-apa pada ibumu, sampai kita sudah menikah. Setelah itu biar mereka ribut sendiri, itu tidak akan mempengaruhi kita." "Bagus," kataku, "bagus sekali, Ellie. Tapi ada satu hal. Aku tak suka mengatakannya padamu. Kita tak bisa tinggal di Gipsy's Acre, Ellie. Kita tak bisa membangun rumah di sana, sebab tempat itu sudah terjual." "Aku tahu sudah terjual," kata Ellie. Ia tertawa. "Kau tidak mengerti, Mike. Akulah yang membelinya." 8 Aku duduk di rerumputan di samping sungai kecil, di antara bunga-bunga air dan jalan-jalan setapak kecil berbatu-batu di sekeliling kami. Banyak orang duduk di sekeliling kami, tapi kami tidak memperhatikan mereka, juga tidak menyadari keberadaan mereka, sebab kami sama seperti yang lainnya - sepasang muda-mudi yang asyik mengobrol tentang masa depan. Aku menatap Ellie lekat-lekat. Aku betul-betul tak bisa berbicara. "Mike," katanya. "Ada sesuatu, sesuatu yang harus kukatakan padamu. Sesuatu tentang diriku, maksudku." "Kau tak perlu mengatakannya," kataku. "Tak perlu mengatakan apa-apa." "Tapi aku harus. Aku harus mengatakannya padamu sejak awal, tapi aku tak ingin sebab... sebab kupikir kau pasti akan menjauh. Ini bisa menjelaskan tentang Gipsy's Acre." "Kau membelinya?" kataku. "Tapi bagaimana kau bisa membelinya?" "Melalui pengacara-pengacaraku," katanya, "cara yang biasa. Itu betul-betul investasi yang bagus. Harga tanahnya akan naik. Para pengacaraku sangat senang mengenainya." Tiba-tiba terasa aneh mendengar Ellie, yang biasanya lembut dan pemalu, berbicara dengan penuh keyakinan dan pengetahuan tentang dunia membeli dan menjual. "Kau membelinya untuk kita?" "Ya. Aku menemui pengacaraku sendiri, bukan pengacara keluarga. Kukatakan padanya apa yang ingin kulakukan. Kuminta dia memeriksa, dan aku mengatur segalanya. Ada dua orang lain yang juga ingin membeli Gipsy's Acre, tapi mereka tidak betul-betul menginginkannya, dan mereka tidak mau membayar mahal. Tapi yang penting segalanya harus diatur sedemikian rupa, sehingga siap kutandatangani begitu aku cukup umur. Sekarang semuanya sudah ditandatangani dan selesai." "Tapi kau pasti telah membayar panjar atau sejenisnya. Apa kau punya cukup uang untuk itu?" "Tidak," kata Ellie, "tidak. Aku tidak punya kuasa atas uang sebanyak itu sebelumnya, tapi tentu saja ada orang-orang yang bisa meminjamkan uang pada kita. Dan kalau kau pergi ke sebuah kantor pengacara yang baru, mereka pasti ingin kau terus menyewa kantor mereka untuk mengurus urusan-urusan bisnismu, begitu kau sudah mendapatkan uang yang memang menjadi hakmu, jadi mereka mau mengambil risiko bahwa bisa saja kau tiba-tiba mati sebelum ulang tahunmu tiba." "Kau kedengaran seperti pengusaha," kataku, "kau membuatku tercengang!" "Jangan pedulikan bisnis," kata Ellie. "Aku harus kembali pada apa yang hendak kukatakan padamu. Sebetulnya aku sudah mengatakannya padamu, tapi kurasa kau tidak menyadarinya." "Aku tidak ingin tahu," kataku. Suaraku meninggi, dan aku nyaris berteriak. "Jangan bilang apa-apa padaku. Aku tidak mau tahu apa-apa tentang sepak terjangmu, atau siapa pacarmu dulu, atau apa yang pernah terjadi pada dirimu." "Bukan itu," kata Ellie. "Aku tak mengira kau mencemaskan hal-hal seperti itu. Tidak, bukan itu. Tidak ada rahasia seks. Aku tidak punya pacar lain selain dirimu. Masalahnya begini... aku... aku ini kaya." "Aku tahu itu," kataku, "kau,sudah bilang padaku." "Ya," kata Ellie sambil tersenyum kecil, "dan kau memanggilku, 'gadis kecil kaya yang malang'. Tapi sebenarnya aku lebih dari itu. Kakekku kaya sekali. Minyak. Sebagian besar minyak. Dan hal-hal lainnya. Para bekas istri yang harus ditunjangnya sudah meninggal semua, jadi tinggal ayah dan diriku, sebab dua anak laki-laki lainnya tewas terbunuh. Satu di Korea, satunya lagi dalam kecelakaan mobil. Jadi semuanya diwariskan pada kami dalam bentuk simpanan yang sangat besar, dan ketika ayahku tiba-tiba meninggal, semuanya menjadi milikku. Ayahku telah menyiapkan tunjangan untuk ibu tiriku, jadi dia tidak bakal mendapat apa-apa lagi. Semuanya milikku. Aku... sebetulnya aku salah satu wanita terkaya di Amenika, Mike." "Astaga," kataku. "Aku tidak tahu... Ya, kau betul, aku tidak tahu kau ternyata sekaya itu." "Tadinya aku tak ingin kau tahu. Aku tak ingin mengatakannya padamu. Itu sebabnya aku takut menyebutkan namaku - Fenella Goodman. Kami mengejanya G-u-te-m-a-n, dan kupikir kau mungkin mengenal nama Guteman, jadi aku mengulurnya supaya kedengaran seperti Goodman." "Ya," kataku, "aku memang pernah mendengar nama Guteman samar-samar. Tapi rasanya aku tak mungkin mengenalinya waktu itu. Banyak orang punya nama seperti itu." "Itu sebabnya aku selalu dijaga, ketat sepanjang waktu dan dikurung," kata Ellie. "Ada detektif-detektif yang bertugas menjagaku, dan semua pemuda harus diperiksa sebelum diizinkan bicara denganku. Kalau aku berteman dengan seseorang, mereka harus yakin dulu bahwa temanku itu pantas. Kau tidak tahu betapa merananya hidup di penjara seperti itu! Tapi sekarang semuanya sudah berlalu, dan kalau kau tidak keberatan..." "Tentu saja aku tidak keberatan," kataku. "Kita pasti bisa bersenang-senang. Yang jelas," kataku, "aku tidak keberatan kau kaya!" Kami berdua tertawa. Ellie berkata, "Kau bisa bersikap wajar dalam banyak hal. Itu yang kusukai dari dirimu." "Lagi pula," kataku, "kurasa kau juga harus membayar pajak tinggi, bukan" Itu salah satu keuntungan jadi orang seperti diriku. Semua uang yang kuhasilkan masuk ke kantongku sendiri, dan tak seorang pun bisa mengambilnya dariku." "Kita akan punya rumah," kata Ellie, "rumah kita sendiri di Gipsy's Acre." Tibatiba ia merendak sejenak. "Kau tidak kedinginan, bukan, Savang?" kataku. Aku mendongak menatap matahari. "Tidak," sahutnya. Hari itu udara betul-betul panas. Kami pasti akan. gosong karenanya. Rasanya seperti di Prancis Selatan "Tidak," kata Ellie, "hanya... hanya saja wanita itu, wanita gipsi yang muncul hari itu." Oh, jangan pedulikan dia," kataku. "Dia toh orang gila." "Menurutmu, apa dia serius menganggap tanah itu terkutuk?" "Kurasa orang gipsi memang seperti itu. Kau tahu kan - selalu ingin membuat lagu dan berdansa tentang kutukan atau sejenisnya." "Apa kau tahu banyak tentang orang gipsi?" "Sama sekali tidak," kataku terus terang. "Kalau kau tidak suka dengan Gipsy's Acre, Ellie, kita beli rumah di tempat lain. Di puncak gunung di Wales, di tepi pantai di Spanyol, atau di lereng bukit di Italia. Santonix bisa membangun rumah untuk kita di sana." "Tidak," kata Ellie, "aku ingin punya rumah di Gipsy's Acre, sebab di situlah aku pertama kali melihatmu muncul di jalan, tiba-tiba saja membelok di tikungan, dan kemudian kau melihatku dan berhenti menatapku. Aku tak pernah melupakannya." "Aku juga tidak," kataku. "Jadi, rumah kita harus di sana. Dan temanmu Santonix akan membangunnya." "Kuharap dia masih hidup," kataku dengan perasaan agak cemas. "Kesehatannya payah sekali." "Oh, ya," kata Ellie, "dia masih hidup. Aku sudah pergi menemuinya.". "Kau menemui Santonix?" "Ya. Waktu aku berada di Prancis Selatan. Dia tinggal di sebuah sanatorium di sana." "Ellie, setiap menit kau jadi semakin mengagumkan. Begitu banyak yang kaulakukan dan tangani." "Kurasa dia lumayan menyenangkan," kata Ellie, "tapi agak menakutkan." "Apa dia membuatmu takut?" "Ya, dia membuatku sangat takut untuk suatu alasan tertentu." "Apa kau menceritakan padanya tentang kita?" "Ya. Ya, aku menceritakan semuanya tentang kita, juga tentang Gipsy's Acre dan rumahnya. Dia bilang padaku bahwa kita harus mengambil risiko kalau hendak memakai jasanya, sebab dia betul-betul sakit parah. Menurut pendapatnya, dia masih cukup kuat untuk pergi melihat Gipsy's Acre, merancang denah, membayangkannya, kemudian menggambarnya. Katanya dia tidak keberatan sama sekali kalau harus meninggal sebelum rumah itu selesai, tapi kukatakan padanya bahwa dia tak boleh meninggal. sebelum rumah itu selesai, sebab aku ingin dia bisa melihat kita tinggal di dalamnya." Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Lalu apa katanya?" "Dia bertanya padaku, apakah aku menyadari keputusanku menikah denganmu, dan kujawab tentu saja aku sadar." "Lalu?" "Dia bilang dia ingin tahu apakah kau sadar apa yang kaulakukan." "Tentu saja aku sadar," kataku. "Dia bilang, 'Kau akan selalu tahu arah yang hendak kuambil, Miss Guteman.' Katanya 'Kau selalu pergi ke tempat yang memang ingin kautuju, dan karena jalan itu adalah jalan yang sudah kaupilih.' "'Tapi Mike,' katanya lagi, 'mungkin akan mengambil jalan yang salah. Dia belum cukup dewasa untuk tahu ke mana dia akan pergi.' "Lalu kubilang," kata Ellie, "Mike akan aman-aman saja bersamaku." Ellie memang punya keyakinan diri yang sangat besar. Tapi aku jengkel mendengar ucapan Santonix. Ia seperti ibuku saja. Ibu tampaknya jauh lebih mengenal diriku daripada aku sendiri. "Aku tahu ke mana aku akan pergi," kataku. "Aku pergi ke arah yang memang ingin kutuju, dan kita akan pergi bersama-sama." "Mereka sudah mulai merobohkan puing-puing The Towers sekarang ini," kata Ellie. Ia mulai membicarakan hal-hal praktis sekarang. "Mereka harus mengedakan pembangunannya dengan cepat, begitu gambarnya selesai. Kita harus bergegas. Begitu kata Santonix. Apa kita bisa menikah Selasa depan?" tanya Ellie. "Itu hari yang bagus dalam seminggu." "Tanpa dihadiri orang-orang," kataku. "Kecuali Greta," kata Ellie. "Peduli amat dengan Greta," kataku. "Dia tidak boleh datang ke pernikahan kita. Hanya kau dan aku, tidak boleh ada orang lain. Kita bisa mencari saksi yang dibutuhkan di jalan." Kalau kuingat-ingat kembali, rasanya hari itu memang hari paling membahagiakan dalam hidupku.... BUKU DUA 9 Jadi begitulah, Ellie dan aku menikah. Kedengarannya remeh, hanya menyebutnya demikian, tapi memang begitulah yang terjadi. Kami memutuskan untuk menikah, dan kami menikah. Pernikahan kami adalah bagian dari keseluruhan ceritanya - bukan akhir dari suatu novel atau dongeng romantis. "Akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia selama-lamanya." Kita toh tak bisa menggembar-gemborkan hidup bahagia selamalamanya itu. Pokoknya kami menikah, dan kami berdua bahagia. Untuk beberapa lama, tak ada orang yang tahu dan menyulitkan kami, namun kami telah memutuskan bagaimana harus menghadapi semuanya. Segalanya betul-betul sederhana. Ellie berhasil merahasiakan gerak-geriknya sampai sekarang, demi kebebasan yang begitu didambakannya. Greta si serba bisa itu telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan, dan setalu berjaga-jaga di belakang Ellie. Tapi aku segera menyadari bahwa sesungguhnya tak seorang pun benar-benar peduli tentang Ellie dan segala sepak-terjangnya. Ibu tirinya sibuk sendiri dengan kehidupan pribadi dan hubungan-hubungan cintanya. Kalau Ellie tak ingin menemaninya ke tempat tertentu, maka Ellie tak perlu melakukannya. Ia dulu punya banyak pengasuh andal dan pelayan-pelayan perempuan; ia juga berpendidikan tinggi, dan kalau ia ingin pergi ke Eropa, mengapa tidak" Kalau ia memilih merayakan ulang tahunnya yang kedua puluh satu di London, sekali lagi mengapa tidak" Sekarang ia telah mewarisi kekayaan yang luar biasa besar, dan itu berarti ia memegang kendali keluarga dalam hal pengeluaran uang. Kalau ia menginginkan sebuah villa di Riviera, atau sebuah istana di Costa Brava, atau sebuah yacht atau barang-barang mewah lainnya, ia cukup menyebutkan kenyataan itu, dan salah seorang ajudannya akan mengatur segalanya dan menyerahkannya pada Ellie. Kurasa Greta dianggap oleh keluarga Ellie sebagai budak yang mengagumkan. Cekatan, bisa mengatur segalanya dengan efisiensi sempurna, patuh, dan pandai meyakinkan sang ibu tiri, paman, dan beberapa saudara sepupu yang tampaknya selalu muncul. Ellie punya paling tidak tiga pengacara yang bisa dipanggilnya sewaktu-waktu, begitulah yang kudengar dari ueapannya sesekali. Ia dikelilingi oleh jaringan finansial yang sangat luas, yang terdiri atas para bankir, pengacara, dan pengurus dana perwalian. Dunianya ini hanya bisa kuintip sekilas kadang-kadang, sebagian besar dari percakapan atau obrolan Ellie yang tercetus tanpa sengaja. Ellie pasti tidak terpikir bahwa aku tidak memahami hal-hal seperti itu. Ia dibesarkan dalam lingkungan seperti itu, dan otomatis menganggap semua orang tahu lingkungan tersebut, bagaimana cara kerjanya, dan sebagainya. Kenyataannya, saling mengetahui sekilas-sekilas tentang keanehan-keanehan dalam dunia masing-masing justru merupakan hal yang paling kami nikmati dalam awalawal pernikahan kami. Kasarnya begini - dan aku memang mengatakannya dengan kasar pada diriku sendiri, sebab hanya itulah satusatunya cara untuk membiasakan, diri dengan kehidupanku yang baru-si miskin tidak tahu persis, seperti apa kehidupan si kaya, dan si kaya tidak tahu persis bagaimana kehidupan si miskin, dan sangat menarik bagi mereka untuk saling mencari tahu tentang hal itu. Pernah aku berkata dengan tak sabar, "Begini, Ellie, apa kau yakin bakal ada keributan besar gara-gara pernikahan kita?" Ellie langsung menyahu?" tanpa ragu-ragu sedikit pun. "Oh, ya," katanya, "pasti akan ribut sekali." kemudian ia melanjutkan, "Kuharap kau tidak terlalu keberatan." "Aku takkan keberatan - untuk apa" - tapi kau. Apa mereka akan menyalahkanmu?" "Kurasa begitu," kata Ellie, "tapi kita tak perlu mendengarkan mereka. Yang penting mereka tak bisa berbuat apa-apa terhadap kita." "Tapi mereka akan mencobanya?" "Oh, ya," kata Ellie. "Mereka akan mencobanya." Kemudian ia melanjutkan dengan serius, "Mereka mungkin akan mencoba menyuapmu." "Menyuapku?" "Jangan terlalu kaget begitu," kata Ellie, dan ia tersenyum. Senyuman gadis kecil yang bahagia. "Tidak persis begitu." Kemudian ia melanjutkan, "Mereka menyuap suami pertama Minnie Thompson." "Minnie Thompson" Yang dijuluki ratu minyak oleh orang-orang?" "Ya, betul. Dia minggat dan menikah dengan seorang pengawas pantai." "Begini, Ellie," kataku tak enak. "Aku dulu pernah menjadi pengawas pantai di Littlehampton." "O ya" Pasti asyik rasanya! Pekerjaan permanen?" Bujukan Gambar Lukisan 17 Rajawali Emas 25 Rahasia Bwana Pembunuh Berdarah Dingin 1