Ceritasilat Novel Online

Malam Tanpa Akhir 2

Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie Bagian 2 "Tidak, tentu saja tidak. Hanya untuk satu musim panas, itu saja." "Kuharap kau tidak terlalu cemas," kata Ellie. "Apa yang terjadi dengan Minnie Thompson?" "Mereka harus menyuap suaminya seharga dua ratus ribu pound, kurasa," kata Ellie. "Dia tidak mau menerima kurang dari itu. Minnie memang tergila-gila pada cowok, dan agak bodoh," kata Ellie lagi. "Kau betul-betul membuatku kagum, Ellie," kataku. "Aku bukan hanya mendapat seorang istri, tapi juga mendapatkan sesuatu yang bisa kutukar dengan uang tunai kapan saja." "Betul," kata Ellie. "Panggil saja seorang pengacara yang berkuasa, dan katakan padanya kau mau bicara soal harga. Dia pasti akan mengurus surat perceraian dan jumlah tuntutan yang harus dibayar," kata Ellie, melanjutkan pendidikan bagiku. "Ibu tiriku sudah menikah empat kali," katanya lagi, "dan dia memperoleh banyak sekali uang dari keempat pernikahannya itu." Ia berkata lagi, "Oh, Mike, jangan terlalu kaget begitu." Lucunya aku memang kaget. Aku merasa muak dengan korupsi tingkat tinggi masyarakat modern seperti itu. Ada kesan gadis-kecil pada diri Ellie, sikapnya begitu polos dan menyentuh hati, jadi aku kaget mengetahui bahwa ia sesungguhnya tahu banyak tentang hubungan-hubungan seperti itu, dan bahwa ia menganggap semua itu biasa saja. Tapi dalam hati aku tahu bahwa pendapatku tentang Ellie pada dasarnya benar. Aku tahu betul bagaimana Ellie sesungguhnya. Keluguannya, kasih sayangnya, sikap manisnya yang alami. Tapi itu tidak berarti ia tidak tahu apaapa. Apa yang ia ketahui dan Ia anggap biasa hanyalah seiris kecil dari pola hidup manusia. Ia tidak tahu banyak tentang duniaku, dunia yang penuh dengan gonti-ganti pekerjaan, tentang taruhan dan pacuan, kelompok pengedar obat bins, dan petualangan-petualangan hidup lain yang berbahaya, kaum sharp-aleck flashy type yang sangat kukenal karena aku telah hidup di antara mereka sejak kecil. Ia tidak tahu bagaimana rasanya dibesarkan secara layak dan terhormat, tapi selalu kekurangan uang, oleh seorang ibu yang bekerja keras membanting tulang supaya bisa hidup terhormat, yang bercita-cita bahwa anak laki-lakinya harus berhasil dalam hidup. Setiap sen diperhitungkan dan ditabung, dan kepedihan hatinya kala anak laki-lakinya yang hanya man hidup enak itu menyia-nyiakan semuanya atau mempertaruhkan segala yang dimilikinya untuk mendapat informasi dalam pacuan kuda. Ellie suka mendengarkan tentang hidupku, sama seperti aku suka mendengarkan tentang hidupnya. Kami berdua merasa asyik bisa menjelajahi dunia yang asing bagi diri kami masing-masing. Kalau memikirkan semua itu kemball, aku merasa kala itu hidupku betul-betul bahagia, hari-hari awal kehidupanku bersama Ellie. Waktu itu aku menganggapnya biasa saja, begitu pula Ellie. Kami menikah di kantor catatan sipil di Plymouth. Guteman bukan nama yang istimewa. Tak seorang pun - para wartawan atau sejenisnya - tahu bahwa pewaris Guteman ada di Inggris. Kadang-kadang ada pemberitaan kabur di koran-koran, yang menyebutkan bahwa Ellie ada di Itali atau di kapal pesiar seseorang. Kami menikah di kantor catatan sipil itu, - hanya dengan seorang pegawai kantor dan juru tik setengah baya: sebagai saksi. Ia mengkhotbahi kami dengan serius tentang tanggung jawab pernikahan, dan menyelamati kami. Kemudian kami keluar, bebas dan menikah. Mr. dan Mrs. Michael Rogers! Kami menginap selama seminggu di sebuah hotel di tepi pantai, kemudian pergi ke luar negeri. Kami bepergian ke mana pun kami suka selama tiga minggu, tanpa memikirkan biayanya. Kami pergi ke Yunani, lalu ke Prancis dan Venice, kemudian melanjutkan ke Lido, ke Riviera Prancis, dan ke Dolomite. Setengah dari tempat-tempat itu sudah tidak kuingat lagi namanya sekarang. Kami naik pesawat atau menyewa kapal atau mobil-mobil besar dan mewah. Dan selama kami menikmati semuanya itu, Greta - begitu yang kuketahui dari Ellie tetap menjaga situasi rumah dan melakukan tugasnya. Greta bepergian sendiri, mengirim surat-surat dan mengeposkan berbagai kartu pos dan surat yang telah ditinggalkan Ellie padanya. "Tak lama lagi kita mesti bikin perhitungan dengan mereka, kata Ellie. "Mereka akan menyerang kita seperti sekawanan burung pemangsa. Jadi, lebih baik kita menikmati segalanya sekarang, mumpung masih ada waktu." "Bagaimana dengan Greta?" kataku. "Bukankah mereka akan marah besar padanya kalau tahu nanti?" "Oh, tentu saja," sahut Ellie, "tapi Greta tidak akan keberatan. Dia orang yang tabah." "Apa itu tidak menyulitkan dia kalau dia hendak mencari pekerjaan lagi?" "Untuk apa dia mencari pekerjaan lagi?" kata Ellie. "Dia akan tinggal bersama kita." "Tidak!" kataku. "Apa maksudmu tidak, Mike?" "Bukankah kita tidak mau siapa pun tinggal dengan kita," kataku. "Greta tidak akan merecoki kita," kata Ellie, "dan dia pasti akan sangat berguna nanti. Sungguh, aku tidak tahu mesti bagaimana tanpa dirinya. Maksudku, dialah yang mengatur segalanya bagiku." Aku mengerutkan dahi. "Kurasa aku tidak akan menyukainya. Lagi pula, kita ingin punya rumah sendiri - rumah idaman kita. Bukankah kita ingin tinggal sendirian di dalamnya, Ellie?" "Ya," kata Ellie, "aku mengerti maksudmu. Tapi masalahnya..." Ia ragu-ragu. "Maksudku, Greta pasti sulit mencari tempat tinggal lain. Lagi pula, dia sudah bersamaku dan melakukan segalanya untukku selama bertahuntahun. Coba liliat bagaimana dia telah menolongku, hingga aku bisa menikah dan bepergian seperti ini." "Aku tidak mau dia merecoki hubungan kita terus!" "Tapi dia bukan orang seperti itu, Mike. Kau bahkan belum pernah berjumpa dengannya." "Memang belum, tapi... tapi itu tidak ada hubungannya dengan... dengan apakah aku menyukainya atau tidak. Aku hanya ingin kita berdua saja, Ellie." "Mike sayang," kata Ellie dengan lembut. Kami membiarkan masalah tersebut sampai di situ, untuk sementara. Selama perjalanan melancong kami, kami telah bertemu Santonix. Tepatnya di Yunani. Ia tinggal di sebuah pondok nelayan kecil di dekat laut. Aku kaget sekali melihat kondisinya, jauh lebih parah daripada setahun yang lalu. Ia menyambut Ellie dan aku dengan hangat sekali. "Kalian berhasil juga akhirnya," katanya. "Ya," sahut Ellie, "dan sekarang kami akan membangun rumah kami." "Aku sudah punya gambar denahnya untuk kalian di sini, rancangannya," Santonix berkata padaku. "Dia sudah bercerita padamu, bukan, bagaimana dia datang mengunjungiku dan menarikku, kemudian memberikan... perintahnya," katanya lagi, memilih kata yang tepat dengan serius. "Oh! Bukan perintah," bantah Ellie. "Aku hanya memohon." "Kau tahu kami sudah membeli properti itu?" tanyaku. "Ellie mengirimiku telegram dan mengatakannya padaku. Dia juga mengirimiku, selusin foto." "Tapi kau tetap harus datang dan melihatnya langsung," kata Ellie. "Mungkin saja kau tidak menyukai tempat itu." "Aku sangat menyukainya." "Mana mungkin kau tahu kalau belum melihatnya sendiri." "Tapi aku sudah melihatnya, anakku. Aku terbang ke sana lima hari yang lalu. Aku bertemu dengan salah seorang pengacaramu yang berwajah kaku di sana - yang orang Inggris itu." "Mr. Crawford?" "Itu dia. Malah pekerjaan awalnya sudah dimulai di sana: membersihkan lahan, membuang puing-puing rumah tua itu, mendirikan fondasi - saluran-saluran. Kalau kau pulang ke Inggris nanti, aku akan ada di sana untuk menemuimu." Santonix mengeluarkan rancangannya dan kami duduk mengobrol, memandangi bakal rumah kami. Ia juga sudah membuat sketsa cat air kasar dari rumah itu, dan struktur arsitektur serta denahnya. "Kau menyukainya, Mike?" Aku menarik napas panjang. "Ya," kataku, "ini dia. Betul-betul seperti yang kubayangkan." "Kau dulu suka sekali membicarakannya, Mike. Kalau kupikir-pikir, tanah itu sudah menyihirmu. Kau jatuh cinta pada sebuah rumah yang mungkin takkan pernah kaumiliki, takkan pernah kaulihat, bahkan mungkin takkan pernah dibangun." "Tapi sekarang kami akan membangunnya," kata Ellie. "Rumah kami akan dibangun.. bukan?" "Kalau Tuhan atau setan merestuinya." sahut Santonix. "Dibangun atau tidak, bukan tergantung padaku." "Kau tidak lebih... baikan?" tanyaku ragu. "Camkan ini di kepalamu yang bebal. Aku tidak akan pernah sembuh. Tidak ada kata itu dalam kamus hidupku sekarang ini." "Omong kosong," kataku. "Zaman sekarang banyak penyembuhan baru ditemukan. Dokter memang suka sok tahu. Mereka seenaknya bilang umur seseorang tidak bakal panjang lagi, tapi orang itu cuma tertawa, tidak mengindahkan omongan si dokter, dan dia hidup lima puluh tahun lagi." "Aku mengagumi optimismemu, Mike, tapi penyakitku tidak seperti itu. Mereka menyuruhku ke rumah sakit untuk cuci darah, supaya aku bisa merasakan hidup normal sedikit lagi, supaya aku punya waktu sedikit lebih lama. Begitu seterusnya, dan setiap kali aku bertambah lemah." "Kau sangat tabah," kata Ellie. "Oh, tidak, aku tidak tabah. Kalau suatu hal sudah pasti, kita tidak perlu tabah. Yang bisa kita lakukan hanyalah mencari penghiburan." "Membangun rumah?" "Bukan, bukan itu. Aku. sudah kehilangan tenagaku, dan karenanya membangun rumah jadi semakin suli?" bukan semakin gampang. Tenagaku terus terkuras. Tapi ada penghiburan lain. Kadang-kadang dalam cara yang sangat aneh malah." "Aku tidak mengerti," kataku. "Tidak, kau tidak akan mengerti, Mike. Aku tidak tahu apakah Ellie bisa mengerti atau tidak. Bisa jadi dia mengerti." Santonix melanjutkan, lebih kepada dirinya sendiri ketimbang pada kami. "Ada dua hal yang selalu berjalan bersama-sama, berdampingan. Kelemahan dan kekuatan. Kelemahan dari semangat yang memudar, dan kekuatan dari pikiran yang frustrasi. Sekarang ini, tidak jadi masalah apa pun yang kulakukan! Toh aku akan mati nantinya. Jadi, aku bisa melakukan apa saja yang kuinginkan. Tak ada yang bisa menghalangi; tak ada yang menahan. Aku bisa menyusuri jalananjalanan Athena dan menembaki siapa saja di sana yang wajahnya tidak kusukai. Coba pikirkan itu." "Tapi polisi bisa menangkapmu," kataku. "Tentu saja mereka bisa menangkapku. Tapi apa yang bisa mereka lakukan" Palingpaling menembak mati diriku. Nah, tak lama lagi hidupku toh akan direnggut oleh, kekuatan yang jauh lebih besar dani sekadar hukum suatu negara. Apa lagi yang bisa mereka lakukan" Mengirirnku ke penjara selama dua puluh tahun" Tiga puluh tahun" Agak ironis, bukan" Aku tak punya waktu untuk menjalani hukuman penjara selama dua puluh atau tiga puluh tahun. Enam bulan - satu tahun - delapan belas bulan paling lama. Tak seorang pun bisa membantuku. Jadi, dalam rentang waktu yang masih tersisa ini, aku adalah raja. Aku bisa melakukan apa saja yang kusukai. Kadang-kadang kupikir ini hebat sekali. Hanya... hanya saja tidak banyak godaannya, karena tak ada satu pun hal eksotis atau. melanggar hukum yang ingin kulakukan." Setelah kami meninggalkan Santonix kembali ke Athena, Ellie berkata padaku. "Santonix itu aneh. Kadang-kadang aku takut padanya." "Takut pada Rudolf Santonix - mengapa?" "Sebab dia tidak seperti orang-orang lainnya, dan ada apa ya" ada sikap tega dan sombong dalam dirinya. Kupikir dia tadi berusaha mengatakan pada kita, bahwa karena tahu dirinya akan segera mati, dia jadi makin sombong, misalkan," kata Ellie sambil menatapku dengan penuh semangat, matanya berbinar penuh emosi, "misalkan dia membangun sebuah istana yang sangat indah bagi kita, rumah kita yang cantik di atas tebing bertepi pohon-pohon pinus, misalkan kita akan tinggal di dalamnya. Lalu Santonix menyambut kita di ambang pintu, mempersilakan kita masuk, dan... " "Ya, Ellie?" "Kemudian, misalkan dia membuntuti kita, menutup pintu pelan-pelan di belakang kita, dan mengorbankan kita di sana. Menggorok leher kita atau sejenisnya." "Kau membuatku takut Ellie. Bagaimana kau bisa punya pikiran seperti itu!" "Masalahnya, Mike, kau dan aku tidak hidup di dunia nyata. Kita memimpikan halhal fantastis yang mungkin tak pernah terjadi." "Jangan menghubungkan pemikiran tentang pengorbanan seperti itu dengan Gipsy's Acre." "Kurasa ini gara-gara namanya, juga kutukan yang ada di sana." "Tidak ada kutukan apa-apa," teriakku. "Semuanya omong kosong. Lupakan saja." Waktu itu kami berada di Yunani. 10 Kurasa kejadian berikut terjadi sehari sesudahnya. Kami sedang berada di Athena. Tiba-tiba, di atas anak tangga menuju Acropolis, Ellie bertemu dengan orangorang yang dikenalnya. Mereka penumpang kapal pesiar Hellenic yang saat itu sedang berlabuh. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahunan memisahkan diri darl kelompoknya dan buru-buru menaiki anak tangga, mengejar Ellie sambil berteriak, "Astaga, sungguh tak kusangka. Kau Ellie Guteman, bukan" Nah, apa yang kaulakukan di sini" Apa kau ikut kapal pesiar juga?" "Tidak," kata Ellie, "aku kebetulan sedang tinggal di sini." "Oh, senang sekali bisa bertemu denganmu. Bagaimana kabar Cora" Apa dia juga di sini?" "Tidak, Cora ada di Salzburg, kurasa." "Nah, nah." Wanita itu memandangiku, dan Ellie berkata pelan, "Mari kuperkenalkan - Mr. Rogers, Mrs. Bennington." "Apa kabar" Sudah berapa lama kau di sini?" "Aku pergi besok," kata Ellie. "Oh, astaga! Aku bisa kehilangan kelompokku kalau tidak cepat-cepat menyusul. padahal aku tidak mau ketinggalan satu kata pun dari cerita tentang Acropolis ini. Kau tahu, mereka suka terburu-buru. Akibatnya aku capek sekali kalau malam. Ada kemungkinan kita bisa minum samasama?" "Tidak hari ini," kata Ellie, "kami akan pergi bertamasya." "Mrs. Bennington buru-buru menggabungkan diri dengan kelompoknya. Ellie, yang tadi menaiki anak tangga Acropolis bersama-sama denganku, membalikkan badan dan turun. "Kalau sudah begini, terpaksa aku buka kartu sekarang. Ya, tidak?" katanya padaku. "Buka kartu bagaimana?" Ellie tidak menyahut selama beberapa saat, kemudian berkata sambil mengeluh, "Aku harus menulis surat malam ini." "Menulis pada siapa?" "Oh, pada Cora dan Paman Frank, kurasa, juga Paman Andrew." "Siapa Paman Andrew" Aku belum pernah mendengar namanya." "Andrew Lippincott. Bukan pamanku yang sesungguhnya. Dia wali utamaku, atau penjaga, atau pengawas, terserah padamu. Dia seorang pengacara - pengacara terkenal." "Apa yang akan kaukatakan?" "Aku akan mengatakan pada mereka bahwa aku sudah menikah. Aku tak bisa dengan tiba-tiba mengatakan pada Nora Bennington, 'Mari kukenalkan pada suamiku.' Bisa-bisa dia menjerit kaget dan berteriak, 'Aku tidak tahu kau sudah menikah. Coba ceritakan padaku, Sayang,' dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya. Sepantasnyalah kalau ibu tiriku, Paman Frank, dan Paman Andrew yang harus tahu pertama kali." Ellie mengeluh lagi. "Oh, sudahlah, kita toh sudah menikinati saat-saat yang sangat menyenangkan sampai saat ini." "Apa yang akan mereka katakan atau lakukan?" tanyaku. "Kurasa mereka akan ribut," kata Ellie dengan gayanya yang tenang. "Tidak masalah, sebab nanti mereka pasti sadar juga. Kurasa kita harus bertemu dengan mereka. Kita bisa pergi ke New York. Apa kau keberatan?" Ia memandangku dengan tatapan bertanya-tanya. "Ya," kataku, "aku keberatan." "Kalau begitu, mereka yang akan datang ke London, mungkin, atau beberapa dari mereka. Aku tidak tahu apakah kau lebih suka begitu." "Aku tidak menyukai semuanya. Aku hanya ingin bersamamu dan melihat rumah kita Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dibangun bata demi bata begitu Santonix sampai di sana." "Bisa saja," kata Ellie. "Yagi pula, pertemuan keluarga itu tidak akan makan waktu lama. Mungkin satu pertengkaran hebat sudah cukup. Selesaikan semuanya dengan satu pukulan. Jadi, pilihannya sekarang apakah kita yang terbang ke sana atau mereka yang terbang kemari." "Jadi katamu ibu tirimu ada di Salzburg." "Oh, aku asal omong saja. Kedengarannya aneh kalau aku tidak tahu di mana dia berada. Ya," kata Ellie sambil menarik napas panjang, "kita harus pulang ke rumah dan menjumpai mereka semua. Mike, kuharap kau tidak terlalu keberatan." "Keberatan apa - keluargamu?" "Ya. Kamu tidak keberatan kalau mereka bersikap kasar terhadapmu?" "Kurasa itu harga yang harus kutebus karena menikah denganmu," kataku. "Aku akan menanggungnya." "Bagaimana dengan ibumu?" tanya Ellie dengan serius. "Demi Tuhan, Ellie, kau tidak akan mengatur pertemuan antara ibu tirimu yang memakai gaun renda serta mantel bulunya dengan ibuku yang tinggal di jalan kecil, bukan" Menurutmu apa yang bisa mereka bicarakan?" "Kalau Cora ibu kandungku, mungkin banyak yang bisa mereka bicarakan," kata Ellie. "Kuharap kau tidak terlalu peka terhadap perbehan latar belakang ini, Mike!" "Aku!" kataku tercengang. "Apa istilah Amerikamu itu - aku datang dari jalur yang salah, bukan?" "Kau tidak berniat menuliskannya di papan dan mengenakannya di lehermu, bukan?" "Aku tidak tahu baju apa yang pantas untuk dipakai," kataku dengan pahit. "Aku tidak tahu cara yang benar untuk berkomunikasi, dan aku sesungguhnya tidak tahu apa-apa tentang lukisan, seni, atau musik. Aku baru belajar tentang siapa yang mesti diberi tip dan berapa banyak." "Iitu justru jadi lebih menggairahkan bagimu, Mike" Menurutku begitu." "Pokoknya kau tidak boleh menyeret ibuku dalam pesta keluargamu," kataku. "Aku bukannya mengusulkan untuk menyeret siapa pun dalam apa pun, Mike, tapi kupikir aku wajib mengunjungi ibumu kalau sudah kembali ke Inggris nanti." "Tidak boleh," kataku dengan keras. Ellie memandangku dengan agak kaget. "Mengapa tidak boleh, Mike" Maksudku, lepas dari segala-galanya, bukankah justru tidak sopan kalau aku tidak mengunjunginya" Apa kau sudah memberitahu ibumu bahwa kau sudah menikah?" "Belum." "Mengapa tidak?" Aku tidak menyahut. "Bukankah cara yang paling gampang adalah mengatakan pada ibumu kau sudah menikah, kemudian mengajakku mengunjunginya kalau kita sudah kemball ke Inggris?" "Tidak," kataku lagi. Kali ini tidak terlalu keras, tapi masih tetap tegas. "Kau tidak ingin aku berjumpa dengan ibumu," kata Ellie perlahan. Tentu saja tidak. Kurasa hal itu sudah cukup jelas, tapi aku tak bisa menjelaskannya. Akii tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. 'Itu bukan hal yang tepat untuk dilakukan," kataku perlahan. "Kau harus mengerti. Aku yakin akan timbul masalah kalau kau mengunjungi ibuku." "Menurutmu ibumu tidak akan menyukaiku?" "Semua orang sudah pasti akan menyukaimu, tapi kalau kau ke sana... oh, aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Ibuku mungkin akan kecewa dan bingung. Bagaimanapun, aku menikah di luar kelasku. Itu istilah kuno. Ibuku tidak akan menyukainya." Ellie menggelengkan kepalanya perlahan. "Apa masih ada orang yang berpikiran seperti itu di zaman sekarang ini?" "Tentu saja ada. Dan orang-orang seperti itu juga ada di negaramu." "Ya," kata Ellie, "boleh dibilang itu benar, tapi... kalau seseorang berhasil meraih sukses di sana..." "Maksudmu kalau seorang laki-laki berhasil mengumpulkan banyak uang." "Yah, bukan hanya uang." "Ya," kataku, "hanya uang yang penting. Kalau seorang laki-laki berhasil mendapatkan banyak uang, dia akan dikagumi dan dipandang orang. Tak seorang pun akan peduli dari mana dia berasal." "Yah, di mana-mana memang seperti itu," kata Ellie. "Sudahlah, Ellie," kataku. "Jangan pergi mengunjungi ibuku." "Aku masih tetap menganggap itu tak sopan." "Tidak, sama sekali tidak. Tak bisakah kau percaya padaku bahwa mulah yang tahu apa yang terbaik untuk ibuku sendiri" Ibu pasti kecewa sekali. Percayalah padaku." "Tapi kau harus mengatakan pada ibumu bahwa kau sudah menikah." "Baiklah," kataku. "Akan kukatakan." Saat itu terpikir olehku bahwa cara paling mudah untuk melakukannya adalah dengan menulis surat pada ibuku dari luar negeri. Malam itu, ketika Ellie sedang menulis surat untuk Paman Andrew, Paman Frank, dan ibu tirinya Cora van Stuyvesan?" aku juga menulis suratku sendiri. Pendek saja. "Ibu," tulisku. "aku mestinya mengatakan hal ini sebelumnya, tapi aku merasa canggung. Aku sudah menikah tiga minggu yang lalu. Kejadiannya agak tiba-tiba. Istriku gadis yang sangat cantik dan sangat manis. Dia anak orang kaya, dan kadang-kadang hal ini membuat segalanya jadi tidak enak. Kami akan membangun rumah kami sendiri di suatu tempat di Inggris. Sekarang ini kami sedang bepergian mengelilingi Eropa. Semoga Ibu baikbaik saja. Salam, Mike." Hasil dari surat-surat yang kami tulis malam itu agak berbeda-beda. Ibuku sengaja membiarkan seminggu lewat sebelum akhirnya mengirimiku sepucuk surat yang betul-betul khas dirinya. "Mike, aku senang menerima suratmu. Kuharap kau bahagia. Salam sayang, Ibu." Seperti sudah diramalkan Ellie, ada jauh lebih banyak keributan di pihaknya. Kami seolah telah mengusik sarang semut. Kami dikejar-kejar para wartawan yang menginginkan berita tentang pernikahan kami yang romantis. Ada artikel di korankoran tentang ahli waris Guteman dan peristiwa kawin larinya yang romantis. Selain itu banyak surat dari bank-bank dan pengacara-pengacara. Akhirnya, kami mengatur pertemuan resmi. Kami menemui Santonix di Gipsy's Acre, untuk melihat rancangannya dan membicarakannya. Setelah yakin semuanya berjalan lancar, kami pergi ke London, menginap di Claridge, dan bersiap-siap menghadapi pertarungan. Yang pertama-tama datang adalah Sir. Andrew P. Lippincott. Ia laki-laki separuh baya, kaku, dengan penampilan sangat rapi. Tubuhnya jangkung dan kurus, dengan sikap halus dan sopan. Ia berasal dari Boston, tapi dari suaranya aku sama sekali tak menyangka bahwa ia orang Amerika. Ia mengatur pertemuan ini dengan menelepon kami di hotel jam 12 tepat. Ellie merasa gugup, aku bisa merasakannya, meskipun ia menyembunyikan hal itu dengan sangat baik. Mr. Lippincott memberikan ciuman pada Ellie dan mengulurkan tangan padaku sambil tersenyum ramah. "Nah, Ellie sayang, kau kelihatan sangat sehat. Boleh dibilang ceria sekali." "Apa kabar, Paman Andrew" Bagaimana Paman datang kemari" Dengan pesawat terbang?" "Tidak, aku naik kapal Queen Mary. Perjalanan yang sangat menyenangkan. Dan ini suamimu?" "Ini Mike, ya." Aku berusaha tampil yakin, atau merasa sudah tampil yakin. "Apa kabar, Sir?" kataku. Kemudian kutawari dia minum, tapi ia menolaknya dengan sopan. Ia duduk di sebuah kursi bersandaran tegak dan berlengan keemasan, sambil memandang Ellie dan diriku dengan tetap tersenyum. "Nah," katanya, "kalian sudah mengagetkan kami. Semuanya sangat romantis, ya?" "Maafkan aku," kata Ellie, "Aku betul-betul menyesal." "Masa?" kata Mr. Lippincott dengan nada datar. "Kupikir itu cara terbaik," kata Ellie, "Aku tidak sepenuhnya setuju dengan pendapatmu itu, Ellie." "Paman Andrew," kata Ellie, Paman tahu betul kalau aku melakukannya dengan cara lain, akan ada keributan yang sangat besar." "Mengapa harus ada keributan yang sangat besar?" "Paman tahu bagaimana mereka," kata Ellie. Paman juga begitu," lanjutnya lagi dengan nada menuduh. Ia meneruskan, "Aku menerima dua pucuk surat dari Cora. Satu kemarin, dan satunya lagi tadi pagi." "Kau harus memahami perasaannya, Sayang. Wajar saja bukan, dalam keadaan seperti itu?" "Siapa yang kunikahi, dan bagaimana, serta di mana, adalah urusanku sendiri." "Kau boleh saja berpikiran seperti itu, tapi kau akan tahu bahwa kaum wanita dalam setiap keluarga jarang yang berpendapat serupa." "Padahal aku justru bermaksud untuk tidak merepotkan siapa-siapa." "Kau bisa bilang begitu." "Tapi itu benar, bukan?" "Kau telah membohongi kami semua, dengan bantuan orang yang-mestinya tahu untuk tidak melakukan hal-hal seperti itu." Wajah Ellie memerah. "Maksud Paman, Greta" Dia hanya melakukan apa yang kuperintahkan padanya. Apa mereka semua memarahinya?" "Tentu saja. Kalian berdua pasti sudah menduganya, bukan" Ingat, Greta dipercaya untuk menjagamu." "Aku sudah cukup umur. Aku bisa melakukan apa saja yang kusukai." "Aku berbicara tentang saat ketika kau belum cukup umur. Kau mulai berbohong sejak sebelumnya, bukan?" "Anda tidak boleh menyalahkan Ellie, Sir." kataku. "Terus terang, aku mulanya tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan karena semua sanak keluarga Ellie ada di luar negeri, aku mengalami kesulitan untuk menemui mereka." "Aku tahu Greta telah mengeposkan beberapa surat dan memberikan informasi pada Mrs. van Stuyvesant dan juga padaku, seperti yang disuruh oleh Ellie di sini, dan boleh dikatakan dia sangat pintar melakukan pekerjaannya," kata Mr. Lippincott. "Kau sudah bertemu dengan Greta Andersen, Michael" Boleh kupanggil kau Michael" Kau toh sudah menjadi suami Ellie." "Tentu saja," kataku, "panggil saja Mike. Tidak, aku belum pernah bertemu Miss Andersen...." "Masa" Sungguh mengherankan." Ia menatapku, lama dan serius. "Kupikir paling tidak dia akan hadir dalam pernikahan kalian." "Tidak, Greta tidak hadir," kata Ellie. Ia memandangku dengan sebal, membuatku merasa tak enak hati. Mata Mr. Lippincott masih terus memandangiku dengan serius. Ia membuatku gugup. Ia tampaknya hendak mengatakan sesuatu lagi, tapi kemudian mengurungkannya. "Aku khawatir," katanya lagi setelah beberapa saat, "kalau kalian berdua, Michael dan Ellie, harus menerima, sejumlah semprotan dan kritik dari keluarga Ellie." "Kurasa mereka akan menyerangku habis-habisan," kata Ellie. "Sangat mungkin," kata Mr. Lippincott. "Aku sudah berusaha menghaluskan jalan kalian," lanjutnya lagi. "Paman Andrew memihak kami?" tanya Ellie sambil tersenyum. "Kau tidak boleh menanyakan hal seperti itu pada seorang pengacara yang selalu hati-hati. Aku sudah belajar bahwa dalam hidup, lebih bijaksana untuk menerima hal-hal yang sudah fait accompli. Kalian berdua telah saling jatuh cinta dan menikah. Dan aku tahu Ellie sudah membeli sebuah properti di Inggris Selatan, dan mulai membangun rumah di atasnya. Jadi, kalian sudah mantap akan tinggal di negara ini?" "Kami memang ingin membangun rumah kami di sini. Apakah Anda keberatan dengan keinginan kami itu?" aku berkata dengan nada sedikit ketus. "Ellie sudah menikah denganku, dan itu berarti dia warga Inggris sekarang. Jadi, mengapa dia tidak boleh tinggal di Inggris?" "Sama sekali tak ada alasan. Sesungguhnya sama sekali tak ada alasan mengapa Fenella tak bisa tinggal di negara mana pun yang diinginkannya, atau memiliki properti di lebih dari satu negara. Rumah di Nassau itu milikmu, ingat itu, Ellie." ,"Aku selalu menganggapnya milik Cora. Dia selalu bersikap seolah-olah rumah itu miliknya." "Tapi hak asli atas properti itu ada padamu. Kau juga punya sebuah rumah di Long Island, kapan pun kau man mengunjunginya. Kau pemilik dari sebagian besar properti sumber minyak di Barat." Suara Mr. Lippincott tetap terdengar tenang dan ramah, tapi aku merasa katakatanya itu ditujukan padaku dengan maksud tertentu. Apakah Ia berniat mencoba menimbulkan jurang antara aku dan Ellie" Aku, tidak begitu yakin. Rasanya sangat tidak masuk akal, memanas-manasi seorang laki-laki dengan kenyataan bahwa istrinya kaya-raya dan memiliki properti di seluruh dunia. Mestinya, kalau menurut pikiranku, ia justru tidak akan membesar-besarkan hak milik Ellie atas properti-properti itu, juga jumlah uang atau kekayaan yang dimilikinya. Kalau aku memang pengejar kekayaan, seperti yang jelas-jelas dianggapnya, semua perkataannya itu justru akan membakar semangatku. Tapi aku sadar bahwa Mr. Lippincott sulit ditebak. Rasanya kita tak mungkin tahu tujuan perkataannya - apa yang ada dalam benaknya di balik sikapnya yang tenang dan ramah itu. Apakah Ia sedang berusaha, dengan caranya sendiri, supaya aku merasa tak enak hati, supaya aku merasa bakal langsung dicap sebagai pengejar kekayaan oleh semua orang" Ia berkata pada Ellie, "Aku membawa beberapa dokumen resmi kemari, dan kau harus membacanya bersamaku, Ellie. Aku butuh tanda tanganmu pada banyak dokumen ini." "Ya, tentu saja, Paman Andrew. Tidak masalah." "Seperti kaubilang, tidak ada masalah. Tak perlu buru-buru juga. Aku masih punya urusan lain di London, dan akan tinggal di sini selama kira-kira sepuluh hari." Sepuluh hari, pikirku. Itu lama sekali. Aku agak berharap Mr. Lippincott tidak tinggal di sini selama sepuluh hari. Ia tampaknya cukup ramah terhadapku, meski boleh dibilang Ia belum mengambil kesimpulan sepenuhnya atas diriku, tapi saat itu aku bertanyatanya dalam hati, apakah ia memang musuhku. Kalau memang ia musuhku, ia jenis orang yang tidak akan menunjukkan perasaannya itu dengan terangterangan. "Nah," katanya melanjutkan, "sekarang, setelah kita sudah saling bertemu dan berkenalan, seperti katamu, untuk kepentingan masa depan, aku ingin berwawancara sebentar dengan suamimu ini." Ellie berkata, "Paman bisa mewawancarai kami berdua." Ellie tampak siap siaga. Aku memegang lengannya. "Nah, nah, jangan tersinggung, Manis, kau toh bukan induk ayam yang harus melindungi anaknya." Aku mendorongnya dengan lembut menuju pintu yang mengarah ke kamar tidur. "Paman Andrew mau menilai diriku," kataku. "Dan itu memang sudah haknya." Aku mendorong Ellie dengan lembut melalui pintu ganda itu. Kututup pintu itu rapat-rapat, lalu masuk lagi ke ruang sebelah, yang merupakan ruang duduk yang lapang dan sangat bagus. Aku mengambil kursi dan duduk berhadap-hadapan dengan Mr. Lippincott. "Baiklah," kataku. "Langsung saja." "Terima kasih, Michael," katanya. "Pertama-tama aku ingin meyakinkan dirimu bahwa aku bukan musuhmu dalam hal apa pun, tidak seperti yang mungkin kaukira." "Yah," kataku, "aku senang mendengarnya." Pada hal aku sama sekali tidak yakin tentang hal itu. "Biar kukatakan terus terang," kata Mr. Lippincott, "lebih terus terang daripada yang bisa kulakukan di hadapan anak manis yang kuwakili dan sangat kusayangi itu. Kau mungkin belum bisa menghargainya sepenuhnya, Michael, tapi Ellie gadis yang sangat manis dan pantas disayangi." "Tak perlu cemas. Aku memang mencintainya." 'Itu sama sekali tidak sama," kata Mr. Lippincott dengan sikapnya yang dingin. "Kuharap, selain mencintainya, kau juga bisa menghargai betapa dia orang yang sangat manis, dan dalam beberapa hal juga sangat rapuh." "Akan kucoba," kataku. "Kurasa aku tak perlu berusaha keras untuk itu, karena Ellie betul-betul hebat." "Kalau begitu, aku akan meneruskan dengan apa yang memang hendak kukatakan padamu. Aku akan membuka semua kartuku di meja dengan jujur. Kau bukanlah pemuda yang kuharap akan dinikahi Ellie. Seperti yang diinginkan keluarganya, aku pun ingin dia menikah dengan seseorang dari lingkungannya sendiri, dari golongannya sendiri..." "Yang berkelas, dengan kata lain," kataku. "Bukan, bukan hanya itu. Menurutku, latar belakang yang sama adalah dasar yang Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bagus bagi sebuah perkawinan. Dan itu tidak ada hubungannya dengan sikap sombong. Bagaimanapun, Herman Guteman, kakek Ellie, memulai hidupnya sebagai seorang kuli pelabuhan. Dan berakhir dengan sukses sebagai salah seorang terkaya di Amerika." "Yah, siapa tahu aku pun bisa seperti itu," kataku. "Bisa jadi aku berakhir sebagai salah seorang terkaya di Inggris." "Semuanya mungkin," kata Mr. Lippincott. "Apa kau punya ambisi ke arah itu?" "Masalahnya bukan hanya uang," kataku. "Aku ingin... aku ingin bisa mencapai sesuatu, melakukan sesuatu, dan..." aku ragu-ragu dan berhenti. "Jadi, kau memang berambisi" Itu bagus sekali." "Aku memulainya dengan tangan kosong. Memulainya tanpa apa-apa. Aku tidak berarti dan bukan siapa-siapa, dan aku tidak mau menutupi kenyataan itu." Mr. Lippincott mengangguk setuju. "Perkataan yang sangat jujur dan bagus sekali. Aku menghargainya. Nah, Michael, Aku tidak ada hubungan darah dengan Ellie, tapi aku telah menjadi walinya, aku adalah pengawas yang ditunjuk oleh kakeknya, untuk mengurus segala urusannya, segala kekayaan dan investasinya. Karena itu, aku bertanggung jawab atas semua itu. Karena itu, aku ingin tahu segalanya tentang suami yang telah dipilihnya." "Yah," kataku, "Anda bisa mencari tahu tentang aku, dan menemukan segala yang ingin Anda ketahui." "Betul," kata Mr. Lippincott. "Aku bisa saja memakai cara itu. Sebuah tindakan berjaga-jaga yang bijaksana. Tapi, Michael, aku ingin tahu segalanya tentang dirimu dari bibirmu sendiri. Aku ingin mendengar ceritamu sendiri tentang bagaimana kehidupanmu sampai sekarang ini." Tentu saja aku tidak menyukainya. Aku merasa Mr. Lippincott tahu bahwa aku memang tidak menyukainya. Tak seorang pun dalam posisiku akan menyukainya. Pada dasarnya kita cenderung berusaha agar diri kita kelihatan bagus. Aku sudah menyimpulkan hal itu semenjak di sekolah dulu. Aku membual sedikit, mengatakan beberapa hal yang bagus, membengkokkan kebenaran sedikit. Aku tidak merasa malu melakukannya. Kupikir itu sudah wajar. Kupikir itu memang perlu dilakukan kalau kita ingin maju. Membuat diri kita kelihatan bagus. Orang-orang toh selalu menilai kita berdasarkan pandangan kita atas diri kita sendiri, dan aku tak ingin kelihatan murahan seperti tokoh dalam sebuah novel karya Dickens. Mereka membaca karya itu keras-keras di televisi, dan harus kuakui bahwa karya itu bagus. Nama tokoh itu Uriah atau sejenisnya, dan ia selalu bersikap sederhana, menggosok-gosok tangannya, membuat rencana, dan menyusun strategi di balik sikapnya yang sederhana itu. Aku tidak mau jadi seperti itu. Aku selalu siap untuk membual sedikit pada teman-teman yang kujumpai, atau menyusun cerita hidup yang menarik bagi calon majikan yang menjanjikan. Bagaimanapun, kita semua punya sisi terbaik dan sisi terburuk dalam diri kita, dan tak ada gunanya menunjukkan sisi terburuk itu dan menyombongkannya. Tidak, aku selalu melakukan yang terbaik untuk diriku dalam menggambarkan segala aktivitasku sampai saat ini. Tapi aku tak ingin melakukan hal seperti itu terhadap Mr. Lippincott. Ia tadi tidak mengacuhkan gagasan menyewa detektif swasta untuk menyelidiki diriku, tapi aku tetap tidak yakin ia tidak akan melakukannya. Jadi, aku menceritakan padanya keadaanku yang sebenarnya, tanpa embel-embel apa pun, boleh dibilang begitu. Aku dilahirkan dalam sebuah keluarga berantakan, ayahku seorang pemabuk, meskipun ibuku orang yang baik. Ibu bekerja keras membanting tulang agar aku dapat mempunyai pendidikan. Aku tidak menyembunyikan kenyataan bahwa aku bagaikan batu yang bergulir, berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Mr. Lippincott seorang pendengar yang baik, bahkan memberi semangat kalau Anda tahu maksudku. Beberapa kali aku tersadar bahwa ia berotak tajam. Ia hanya bertanya sekalisekali, atau memberi kornentar, dan kadang-kadang tanpa berpikir lagi aku langsung mengakui atau menyangkal komentarnya itu. Ya, aku merasa lebih baik bersikap hati-hati dan waspada. Dan setelah sepuluh menit aku merasa lega ketika ia bersandar di kursinya dan pemeriksaan itu kalau bisa dibilang pemeriksaan, meski tidak terasa seperti itu - selesai. "Kau punya sikap hidup seorang petualang, Mr. Rogers - Michael. Bukan hal yang buruk. Coba ceritakan tentang rumah yang sedang kaubangun bersama Ellie." "Yah," kataku, "letaknya tidak jauh dari kota bernama Market Chadwell." "Ya," katanya, "'aku tahu di mana letaknya. Terus terang aku sudah pergi ke tempat itu. Kemarin, tepatnya." Aku agak kaget. Itu menunjukkan bahwa ia seorang pengacara lihai yang tahu lebih banyak daripada yang kita duga. "Properti itu bagus sekali," kataku membela diri, "dan rumah yang sedang kami bangun akan menjadi rumah yang bagus. Arsiteknya bernama Santonix - Rudolf Santonix. Aku tidak tahu apakah Anda pernah mendengar namanya, tapi..." "Oh, ya," kata Mr. Lippincott, "dia sangat terkenal di kalangan arsitek." "Dia pernah berkarya di Amerika juga, kurasa." "Ya, seorang arsitek yang menjanjikan dan berbakat. Sayangnya kudengar kesehatannya tidak bagus." "Dia pikir dia sedang sekarat," kataku, "tapi aku tidak percaya itu. Kurasa dia akan sembuh dan sehat kembali. Para dokter memang suka omong sembarangan. "Kuharap optimisme itu menjadi kenyataan. Kau orang yang optimis." "Memang, untuk Santonix." "Mudah-mudahan semua yang kauharapkan menjadi kenyataan. Menurutku kalian telah membeli properti yang sangat bagus," Aku senang mendengar ucapan pak tua itu, yang mengatakan "kalian". Ia tidak mengungkit kenyataan bahwa Ellie sendirilah yang sebenarnya melakukan pembelian. "Aku sudah berkonsultasi dengan Mr. Crawford..." "Crawford?" aku mengerutkan dahi sedikit. "Mr. Crawford dari Reece and Crawford, sebuah kantor pengacara di Inggris. Mr. Crawford adalah anggota kantor pengacara yang melakukan transaksi pembelian itu. Kantornya bonafid, dan kurasa properti itu berhasil mereka beli dengan harga murah. Terus terang aku agak heran. Aku cukup mengenal harga pasaran tanah sekarang ini di Inggris, dan aku benar-benar tidak mengerti mengapa. Kupikir Mr. Crawford sendiri agak kaget karena berhasil membelinya dengan harga begitu murah. Apa kau tahu sebabnya properti itu ditawarkan dengan sangat murah" Mr. Crawford tidak memberikan keterangan apa pun mengenainya. Dia malah kelihatan agak malu ketika aku menanyakan hal itu padanya." "Oh, itu," kataku, "itu karena properti itu mengandung kutukan." . "Maafkan aku, Michael. Apa katamu?" "Kutukan, Sir," kataku menjelaskan. "Kutukan orang gipsi atau sejenisnya. Tempat itu dikenal dengan sebutan Gipsy's Acre di sana." "Ah. Ada ceritanya?" "Ya. Tampaknya agak membingungkan, dan aku tidak tahu berapa banyak yang merupakan reka-rekaan orang, dan berapa banyak cerita sebenarnya. Ada pembunuhan atau sejenisnya di sana, bertahun-tahun silam. Seorang laki-laki dan istrinya, dan seorang laki-laki lain. Ada yang bilang si suami menembak kedua orang lainnya, kemudian menembak dirinya sendiri. Paling tidak, begitulah hasil keputusan pengadilan. Tapi kemudian banyak cerita yang berkembang seputar kejadian itu. Kurasa sebenarnya tak seorang pun tahu apa yang terjadi. Peristiwanya sudah lama sekali. Tempat itu sudah berpindah tangan kira-kira empat atau lima kali semenjak kejadian itu, tapi tak seorang pun yang tinggal lama di sana." "Ah," kata Mr. Lippincott merasa tertarik, "ya, betul-betul cerita khas rakyat Inggris." Ia memandangku dengan rasa ingin tahu. "Dan kau dan Ellie tidak takut pada kutukan itu?" Ia mengatakannya dengan ringan, bahkan sambil tersenyum simpul. "Tentu saja tidak," kataku. "Baik Ellie maupun aku tidak percaya pada omong kosong seperti itu. Cerita itu justru menguntunkan, karena kami jadi bisa membeli tanah itu dengan harga murah." Ketika mengatakan hal itu, tiba-tiba sebuah pikiran melintas di benakku. Memang boleh dibilang itu suatu keuntungan, tapi kupikir bagi Ellie - dengan kekayaannya yang luar biasa dan juga properti-properti lain yang dimilikinya bukan masalah apakah ia membeli tanah dengan harga murah ataupun mahal. Kemudian aku berpikir lagi, tidak, aku salah. Bagaimanapun, kakeknya dulu memulai kariernya sebagai seorang kuli pelabuhan, dan akhirnya berhasil sukses menjadi miliuner. Semua orang dari keturunan seperti itu pasti selalu ingin membeli dengan harga murah dan menjualnya dengan harga mahal. "Nah, aku bukan orang yang percaya takhayul," kata Mr. Lippincott, "dan pemandangan yang kulihat dari properti kalian betul-betul mengagumkan." Ia ragu-ragu. "Aku hanya berharap bahwa kalau kalian sudah pindah ke rumah kalian dan tinggal di sana, Ellie tak perlu mendengar banyak cerita seperti itu." "Aku akan berusaha menjaganya dari cerita-cerita itu," kataku. "Kurasa tak seorang pun akan mengatakan apa-apa padanya." "Orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan suka sekall mengulangi ceritacerita seperti itu," kata Mr. Lippincott. "Dan ingat, Ellie tidak setangguh dirimu. Michael. Dia bisa dengan mudah dipengaruhi. Hanya dalam hal-hal tertentu. Dan itu mengingatkanku pada..." ia berhenti tanpa meneruskan apa yang hendak dikatakannya tadi. Ia mengetuk meja dengan salah satu jarinya. "Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu. Kau tadi mengatakan belum bertemu dengan Greta Andersen." "Memang belum, seperti, kukatakan tadi." "Aneh. Aneh sekali." "Mengapa?" tanyaku ingin tahu. "Aku yakin sekali kau seharusnya pernah berjumpa dengannya," katanya pelan. "Berapa banyak yang kau ketahui tentang dirinya?" "Aku tahu dia sudah bersama Ellie selama beberapa tahun." "Dia sudah bersama Ellie semenjak Ellie berumur tujuh belas tahun. Dia memegang jabatan yang menuntut tanggung jawab penuh dan kepercayaan besar. Dia mula-mula datang ke Amerika untuk menjadi sekretaris dan pendamping. Semacam pengawas bagi Ellie kalau Mrs. van Stuyvesant ibu tirinya, sedang bepergian, dan boleh dibilang ini sering kali dilakukannya." Ia berbicara dengan nada sengit. "Setahuku, Greta seorang gadis baik-baik dengan referensi yang sangat bagus. Dia campuran, Swedia-Jerman. Wajar kalau Ellie kemudian jadi sangat tergantung padanya." "Begitulah yang kuketahui juga," kataku. "Dalam beberapa hal, Ellie nyaris terlalu tergantung pada Greta. Kau tidak keberatan aku mengatakannya?" "Tidak. Mengapa harus keberatan" Sebenarnya, aku... yah, aku punya pendapat yang sama, kadang-kadang. Greta ini dan Greta itu. Aku jadi... yah, aku tahu ini bukan urusanku, tapi aku kadang-kadang jadi muak." "Tapi Ellie sama sekali tak ingin memperkenalkanmu dengan Greta?" "Yah," kataku, "agak susah menjelaskannya. Ellie mungkin pernah mengusulkannya dengan halus satu dua kali, tapi, yah, kami terIalu asyik dengan satu sama lain. Lagi pula, oh, aku sendiri tidak terlalu ingin bertemu dengan Greta. Aku tidak mau berbagi Ellie dengan siapa pun." "Begitu. Ya, aku mengerti. Dan Ellie tidak mengusulkan agar Greta hadir di pernikahan kalian?" "Ellie mengusulkannya," kataku. "Tapi... tapi kau tak ingin dia datang. Mengapa?", "Entahlah. Aku benar-benar tidak tahu. Aku hanya merasa bahwa Greta - gadis atau wanita yang tak pernah kulihat ini - selalu mengatur segala-galanya. Mengatur kehidupan Ellie. Mengirim kartu pos dan surat dan juga membuat alasan untuk Ellie. Dia mengatur segala acara dan mengabarkannya pada keluarga Ellie. Aku merasa Ellie sangat tergantung pada Greta, sehingga dia membiarkan Greta mengatur hidupnya, sehingga dia melakukan segalanya yang diinginkan Greta. Aku... oh, maafkan aku, Mr. Lippincott, mestinya aku tidak boleh mengatakan halhal ini. Menurut Ellie, aku hanya cemburu pada Greta. Aku jadi marah dan berkata aku tak ingin Greta muncul di pernikahan kami, bahwa pernikahan itu milik kami berdua, urusan kami sendiri dan bukan urusan slapa pun. Jadi, kami pergi ke kantor catatan sipil, dan pegawai kantor serta juru tik di sana menjadi dua saksi kami. Aku tahu bahwa aku telah bertindak egois karena melarang Greta hadir, tapi aku menginginkan Ellie untuk diriku sendiri." "Aku mengerti. Ya, aku mengerti, dan boleh kukatakan kau telah bertindak bijaksana, Michael." 'Anda juga tidak menyukai Greta," kataku menebak. "Kau tidak bisa mengatakan 'juga', Michael, kalau kau bahkan belum pernah bertemu dengannya." "Memang tidak, tapi yah, maksudku kalau kita sudah mendengar banyak tentang seseorang, kita bisa membayangkan bagaimana kira-kira orang itu. Oh aku memang hanya cemburu. Mengapa Anda tidak suka pada Greta?" "Ini tanpa prasangka apa-apa," kata Mr. Lippincott, "tapi kau suami Ellie, Michael, dan aku sangat ingin Ellie bahagia. Menurutku pengaruh Greta atas diri Ellie bukan hal yang baik. Dia terlalu banyak mengatur." "Menurut Anda, apakah Greta akan berusaha mengacau hubungan kami?" tanyaku. "Rasanya aku tidak berhak untuk mengatakan hal seperti itu," kata Mr. Lippincott. Mr. Lippincott duduk sambil memandangku dengan hati-hati dan mengedip-ngedipkan matanya, seperti kura-kura tua yang sudah keriput. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan selanjutnya. Mr. Lippincott yang mula-mula bicara, memilih kata-katanya dengan cermat. "Ada usulan agar Greta Andersen tinggal bersama kalian?" "Aku akan menentangnya," kataku. "Ah. Jadi itu pendapatmu" Usulan itu belum diputuskan." "Ellie memang pernah berkata begitu. Tapi kami masih pengantin baru, Mr. Lippincott. Kami ingin... menikmati rumah kami sendirian saja. Tentu saja Greta boleh datang dan menginap kadang-kadang. Itu wajar saja." "Seperti kaubilang, itu wajar saja. Tapi kau sadar, mungkin, bahwa Greta akan mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan baru. Maksudku, ini tidak ada hubungannya dengan perasaan Ellie tentang dia, melainkan perasaan orang-orang yang mempekerjakannya dan merasa telah dikhianati olehnya." "Maksud Anda, Anda atau Mrs. van apa itu tidak akan merekomendasikannya untuk pekerjaan sejenis lainnya?" "Kemungkinan besar tidak, kecuali kalau memang diperlukan untuk keperluan hukum semata." "Jadi, Anda pikir Greta, lebih suka datang ke Inggris dan tinggal dengan Ellie." "Aku tidak mau membuatmu berprasangka terhadap Greta. Bagaimanapun, semua ini hanya bayanganku saja. Aku tidak suka dengan beberapa hal yang telah dilakukan Greta dan cara dia melakukannya. Kupikir Ellie dengan hatinya yang dermawan itu akan sangat sedih kalau tahu bahwa peluang Greta untuk mendapatkan pekerjaan baru kecil sekali. Dia mungkin berkeras agar Greta tinggal bersama kalian." "Kurasa Ellie tidak akan berkeras," kataku perlahan. Tapi suaraku kedengaran cemas, dan kurasa Mr. Lippincott menyadarinya. "Tapi apakah kami - Ellie, maksudku - apakah Ellie tidak bisa mempensiunkan saja Greta?" "Kami tidak mungkin melakukannya dengan terang-terangan seperti itu," kata Mr. Lippincott. "Ada aturan tentang umur dalam hal mempensiunkan seseorang. Greta masih muda, dan boleh kubilang sangat rupawan. Cantik jelita, tepatnya," lanjutnya lagi dengan suara bemada tidak setuju dan mengkritlk. "Dia sangat menarik bagi kaum pria." "Yah, mungkin dia akan menikah," kataku. "Kalau dia memang seperti kata Anda, mengapa dia tidak menikah sampai sekarang?" "Kurasa ada beberapa laki-laki yang tertarik padanya, tapi Greta tidak berminat. Kupikir gagasan itu sangat masuk akal, dan bisa dilaksanakan dengan cara sedemikian rupa agar tidak melukai perasaan siapa pun. Dan rasanya juga cukup wajar kalau Ellie, yang sudah mewarisi sebagian besar kekayaannya dan menikah berkat bantuan Greta, memberikan sejumlah uang padanya sebagai tanda terima kasih." Mr. Lippincott mengucapkan dua kata terakhir itu dengan nada sekecut jeruk limau. "Nah, semuanya beres kalau begitu," kataku dengan riang. "Sekali lagi aku melihat bahwa kau orang yang optimis. Mari kita berharap Greta mau menerima apa yang akan ditawarkan padanya." "Mengapa tidak mau" Dia pasti gila kalau menolaknya.'.' "Entahlah," kata Mr. Lippincott. "Menurutku, pasti sangat luar biasa kalau Greta sampai menolaknya, tapi tentu saja mereka akan tetap berhubungan sebagai teman." "Anda pikir - bagaimana sebenarnya menurut Anda?" "Aku ingin pengaruhnya atas diri Ellie diakhiri sama sekali," kata Mr. Lippincott. Ia berdiri. "Kuharap kau mau membantuku melakukan segala yang bisa Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kulakukan untuk mencapai hal itu?" 'Anda bisa mempercayaiku," kataku. 'Aku tidak mau Greta merecoki hubungan kami sepanjang waktu." "Kau mungkin akan berubah pikiran setelah bertemu dengannya," kata Mr. Lippincott. "Kurasa tidak," kataku. "Aku tidak suka wanita yang suka memerintah, biarpun mereka sangat efisien atau bahkan cantik jelita." "Terima kasih, Michael, karena telah mendengarkan dengan begitu saban Kuharap kau man makan malam bersamaku, kau dan Ellie. Mungkin malam Selasa besok" Cora van Stuyvesant dan Frank Barton akan berada di London waktu itu." 'Dan aku harus bertemu mereka, kurasa?" "Oh, ya, itu tak bisa dihindari." Mr. Lippincott tersenyum padaku, dan kali ini senyumnya tampak lebih tulus ketimbang sebelumnya. "Tenang saja," katanya. "Cora, kurasa, akan bersikap sangat kasar terhadapmu. Frank tidak akan mengacuhkanmu. Reuben belum akan muncul." Aku tidak tahu siapa Reuben - seorang kerabat lain, kurasa. Aku berjalan menuju pintu penghubung dan membukanya. "Nah, Ellie," kataku, "pemeriksaannya sudah selesai." Ellie masuk kembali ke ruangan itu dan memandangi aku dan Lippincott bergantian, kemudian ia berjalan ke arah Lippincott dan memberikan ciuman. "Paman Andrew," katanya. "Bisa kulihat bahwa Paman telah bersikap baik pada Michael." "Nah, sayangku, kalau aku tidak bersikap baik pada suamimu, besok-besok kau tidak akan mau memakai jasaku lagi, bukan" Tapi aku tetap berhak memberikan nasihat dari waktu ke waktu. Kau masih sangat muda, kau tahu, kalian berdua." "Baiklah," kata Ellie, "kami akan mendengarkannya dengan sabar." "Sekarang, sayangku, aku ingin bercakap-cakap denganmu sebentar, kalau boleh." "Giliranku keluar," kataku,' dan aku berjalan menuju kamar tidur di sebelah. Aku menutup pintu ganda itu dengan keras, tapi kemudian membuka bagian dalamnya lagi setelah masuk. Aku memang tidak diajar untuk bersikap terhormat seperti Ellie, jadi aku merasa agak cemas kalau-kalau Mr. Lippincott bermuka dua. Tapi sesungguhnya aku tak perlu merasa cemas. Mr. Lippincott hanya memberikan sepatah-dua patah nasihat pada Ellie. Ia berkata Ellie harus sadar bahwa aku mungkin akan mengalami kesulitan sebagai seorang laki-laki miskin yang menikah dengan seorang wanita kaya raya, dan kemudian ia melanjutkan tentang usulnya agar Ellie memberikan sejumlah uang yang layak bagi Greta. Ellie segera menyetujuinya, dan berkata bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan hal itu pada Mr. Lippincott. Mr. Lippincott juga mengusulkan pada Ellie agar memberikan uang tambahan bagi Cora van Stuyvesant. "Sama sekali tak ada alasan apa pun bagimu untuk melakukannya," kata Mr. Lippincott. "Jumlah tunjangan yang diperolehnya dari perceraian dengan beberapa suaminya sudah lebih dari cukup. Selain itu, dia juga memperoleh pendapatan dari dana warisan yang diberikan kakekmu, meskipun jumlahnya tidak terlalu besar." "Tapi menurut Paman aku sebaiknya memberikan lebih banyak uang padanya?" "Sebenarnya tak ada kewajiban hukum atau moral untuk melakukannya. Tapi kupikir kalau kau melakukannya, dia tidak akan terlalu merepotkanmu, atau terialu cerewet padamu. Aku akan membuatnya dalam bentuk kenaikan pendapatan, yang bisa kauubah kapan Saja. Kalau kau mendapati dia menyebarkan gosip jahat tentang Michael, atau dirimu, atau kehidupan kalian, dan dia tahu kau punya hak untuk mengurangi penghasilannya, setidaknya lidahnya, akan lebih waspada sebelum melontarkan kata-kata beracun yang sudah menjadi keahliannya." "Sejak dulu Cora membenciku," kata Ellie. "Aku tahu itu." Ia melanjutkan dengan agak malu-malu, "Kau menyukai Mike, bukan, Paman Andrew?" "Kupikir dia pemuda yang sangat menarik," kata Mr. Lippincott. "Dan aku bisa mengerti mengapa kau menikah dengannya." Kurasa itu pujian terbaik yang bisa kuperoleh. Aku bukan tipe yang disukainya, dan aku tahu itu. Aku menutup pintu dengan perlahan, dan sebentar kemudian Ellie muncul untuk menjemputku. Kami berdua sedang berpamitan pada Lippincott, ketika terdengar ketukan di pintu dan seorang pesuruh hotel muncul membawa telegram. Ellie menerimanya dan membukanya. Ia menjerit kecil kegirangan. "Ini dari Greta," katanya. "Dia akan tiba di London malam ini, dan akan menemui kita besok. Bagus sekali." Ia memandang kami berdua. "Bukankah demikian?" tanyanya. Ia melihat dua wajah kecut dan mendengar dua suara sopan berkata, yang satu, "Ya, Sayang," dan satunya lagi, "Tentu saja." 11 Aku pergi keluar untuk berbelanja keesokan paginya, dan kembali ke hotel agak lambat dari yang kurencanakan. Kudapati Ellie berada di ruang duduk, di hadapannya duduk seorang wanita muda yang jangkung dan berambut pirang. Greta. Mereka berdua sedang asyik mengobrol. Sejak dulu aku tidak pandai menggambarkan seseorang, tapi aku akan berusaha sebisanya untuk menggambarkan Greta. Bagaimanapun, tak seorang pun akan menyangkal bahwa Greta, seperti pernah dikatakan Ellie, adalah wanita yang sangat cantik dan, seperti dikatakan Mr. Lippincott dengan berat hati, sangat rupawan. Kedua hal itu tidak sama persis. Kalau kita mengatakan seorang wanita rupawan, itu tidak berarti kita sendiri mengaguminya. Dan menurutku Mr. Lippincott tidak mengagumi Greta sama sekali. Bagaimanapun, kalau Greta berjalan melintasi ruangan, masuk ke dalam hotel atau restoran, semua kepala laki-laki di sana akan berpaling memandangnya. Ia tipe wanita Nordic, dengan rambut keemasan seperti warna jagung. Ia menyanggul rambutnya tinggi-tinggi, seperti model yang populer saat itu, bukan membiarkannya tergerai di kanan-kiri wajahnya seperti gaya Chelsea. Ia tampak seperti asal-usulnya - Swedia atau Jerman utara. Kalau ia mengenakan sepasang sayap, ia bisa menghadiri pesta kostum sebagai Valkyrie. Matanya berwarna biru cerah, dan lekuk-lekuk tubuhnya mengagumkan sekali. Pokoknya harus diakui bahwa Greta betul-betul menarik! Aku mendekat ke tempat mereka duduk dan menggabungkan diri, menyapa mereka dengan sikap yang kuharap tampak ramah dan wajar, meski aku merasa agak kikuk. Sejak dulu aku memang tidak pintar berakting. Ellie segera berkata, "Akhirnya, Mike, ini Greta." Aku berkata bahwa aku sudah menebaknya. Wajahku terasa agak kaku dan tidak kelihatan gembira. Aku berkata, "Senang sekali bisa bertemu denganmu akhirnya, Greta." Ellie berkata, "Seperti sangat kauketahui, kalau bukan karena Greta, kita tak mungkin bisa menikah." "Yah, tapi kita pasti bisa menemukan cara lain," kataku. "Tidak, sebab keluargaku pasti akan langsung menyerang kita dengan membabi buta. Mereka pasti akan memutuskan hubungan kita. Coba ceritakan, Greta, bagaimana sikap mereka setelah tahu aku menikah?" tanya Ellie. "Kau belum menceritakannya sama sekali padaku di surat." "Aku memang tidak mau," kata Greta, "maksudku menuliskan-hal-hal seperti itu pada sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu." "Tapi apa mereka marah besar padamu?" "Tentu saja! Menurutmu sendiri bagaimana" Tapi aku sudah siap menghadapinya, percayalah." "Apa yang telah mereka katakan atau lakukan?" "Segalanya yang bisa mereka lakukan," kata Greta dengan riang. "Tentu saja, dimulai dengan memecatku." "Ya, kurasa itu tak bisa dihindari. Tapi... tapi apa yang telah kaulakukan" Bagaimanapun, mereka tak bisa menolak memberimu referensi." "Bisa saja. Lagi pula, dari sudut pandang mereka, jabatanku adalah suatu posisi dengan kepercayaan tinggi, dan aku telah menghancurkannya." Ia melanjutkan, "Dan aku juga senang melakukannya." "Lalu, apa yang kaulakukan sekarang?" "Oh, aku sudah punya pekerjaan baru." "Di New York?" "Tidak. Di sini, di London. Menjadi sekretaris." "Tapi apakah kau baik-baik saja?" "Ellie sayang," kata Greta, "bagaimana aku bisa tidak baik-baik saja setelah menerima cekmu yang dermawan itu, yang kaukirimkan untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi setelah balonku mengangkasa?" Bahasa Inggris Greta bagus sekali, nyaris tanpa aksen, meski ia suka menggunakan istilah-istilah percakapan yang kadang-kadang tidak tepat. "Aku sudah jalan-jalan ke luar negeri, mendapat pekerjaan dan tempat tinggal di London, dan membeli banyak barang juga." "Mike dan aku juga sudah membeli banyak barang," kata Ellie, sambil tersenyum mengingat-ingat hal itu. Memang benar. Kami telah memuaskan diri dengan berbelanja di banyak negara Eropa. Sungguh menyenangkan punya banyak uang untuk dibelanjakan, tanpa beban atau hambatan. Bahan gorden dan kursi di Italia untuk rumah kami. Kami juga membeli lukisan-lukisan di Italia dan Paris, dan membayar mahal sekali. Sebuah dunia baru serasa telah terbuka untukku, sebuah dunia yang tak pernah kuimpikan sebelumnya telah membentang di hadapanku. "Kalian berdua tampak sangat bahagia," kata Greta. "Kau belum melihat rumah kami," kata Ellie. "Rumah kami akan jadi rumah yang sangat indah. Persis seperti yang kami cita-citakan, bukankah begitu, Mike?" "Aku sudah melihatnya," kata Greta. "Hari pertama aku sampai di Inggris, aku menyewa mobil dan pergi ke sana." "Bagaimana?" tanya Ellie. Aku juga bertanya, "Bagaimana?" "Menurutku...," kata Greta sambil menimbang-nimbang. Ia menelengkan kepalanya dari kiri ke kanan. Ellie tampak tegang, betul-betul terkejut. Tapi aku tak bisa dibohongi. Aku segera melihat bahwa Greta sedang mempermainkan kami. Terlintas dalam pikiranku bahwa caranya mempermainkan kami tidak lucu sama sekali, tapi pikiran itu tak sempat tertanam lama-lama. Greta tertawa terbahakbahak, suara tawanya melengking merdu, membuat orang-orang di sekeliling kami menoleh dan memandang kami. "Kalian harus melihat tampang kalian tadi," katanya, "terutama kau, Ellie. Aku tidak tahan tadi untuk tidak menggoda kalian sedikit. Rumah kalian betul-betul indah. Orang itu memang jenius." "Ya," kataku, "dia memang luar biasa. Tunggu sampai kau bertemu dengannya." "Aku sudah bertemu dengannya," kata Greta. "Dia kebetulan ada di sana wakta aku datang. Ya, dia memang orang yang luar biasa. Agak menakutkan, bukan?" "Menakutkan?" kataku kaget. "Dalam hal apa?" "Oh, entahlah. Dia seolah-olah bisa melihat menembus diri kita melihat apa yang ada di balik kita. Rasanya sangat tidak nyaman." Kemudian ia melanjutkan, 'Dia tampak agak sakit." "Dia memang sakit. Sakit parah," kataku. "Sayang sekali. Apa sih penyakitnya" TBC atau sejenisnya?" "Tidak," kataku, "kurasa bukan TBC. Pokokrtya ada hubungannya dengan... oh, darah." "Oh, begitu. Dokter zaman sekarang bisa menyembuhkan apa saja, bukan, kecuali kalau kita keburu mati di tangan mereka. Jangan bicara soal itu lagi. Mari kita bicara tentang rumah kalian. Kapan selesainya?" "Kurasa tak lama lagi, kalau melihat tahap perkembangannya sekarang. Tak kukira membangun rumah bisa begitu cepat," kataku. "Oh, kata Greta sambil lalu, "itu kan hanya masalah uang. Mereka bekerja dua puluh empat jam sehari dan mendapat bonus - begitulah pokoknya. Kau tidak menyadari, Ellie, betapa senangnya bisa memiliki uang sebanyak itu sendirian." Tapi aku menyadarinya. Aku sudah belajar, belajar banyak pada minggu-minggu terakhir ini. Setelah pernikahanku, aku melangkah ke sebuah dunia yang betulbetul berbeda, dan ternyata dunia itu bukanlah dunia yang sering kubayangkan dulu, ketika aku masih berada di luarnya. Sejauh ini, dalam hidupku, menang taruhan ganda adalah peruntungan terbesar yang pernah kudapatkan. Segepok uang yang kuterima dan langsung kuhabiskan lagi dalam taruhan besar lainnya. Kampungan, tentu. saja. Ciri kelasku. Tapi dunia Ellie berbeda. Kemewahannya bukan seperti yang dulu kubayangkan-kemewahan yang makin mewah dan makin mewah. Kemewahan dunia Ellie bukan berarti kamar mandinya lebih besar, rumahnya lebih megah, lampunya lebih terang dan banyak, makanannya lebih mewah, dan mobilnya lebih cepat. Masalahnya bukan menghabiskan uang hanya demi keinginan menghabiskan uang dan memamerkannya pada orang-orang. Sebabnya, konsep kemewahannya justru sederhana - jenis kesederhanaan yang muncul kalau kita sudah tidak lagi berminat menghamburkan uang hanya karena ingin menghamburkan uang. Kita tak ingin mempunyai tiga kapal pesiar atau empat mobil, kita juga tak bisa makan lebih dari tiga kali sehari, dan kalau kita membeli lukisan yang sangat mahal, mungkin kita hanya ingin satu lukisan saja untuk dipajang. Pokoknya sesederhana itu. Hanya saja, apa pun yang kita miliki pastilah yang terbaik dalam golongannya, bukan semata-mata karena jenis itu yang terbaik, tapi karena kita mampu membeli apa pun kalau kita menyukai atau menginginkan sesuatu. Kita tak perlu berkata, "Saya rasa saya tak mampu membelinya." Jadi, entah bagaimana kadang-kadang hal seperti itu justru memunculkan suatu kesederhanaan yang tidak kumengerti. Waktu itu kami sedang mempertimbangkan untuk membeli sebuah lukisan impresionis Prancis, karya Cezanne, kurasa begitulah namanya. Aku harus mempelajari nama itu dengan hati-hati. Aku selalu keliru dengan tzigane, yang kurasa berarti orkestra kaum gipsi. Setelah itu, ketika kami sedang berjalanjalan di sepanjang jalanan kota Venice, Ellie tiba-tiba berhenti untuk melihatlihat karya para seniman jalanan. Secara keseluruhan, hasil lukisan mereka untuk para turis itu jelek sekali. Sederet lukisan wajah menyengir dengan gigi berkilauan dan rambut pirang jatuh ke pundak. Kemudian Ellie membeli sebuah lukisan yang sangat kecil, yang menggambarkan sekilas pemandangan melalui sebuah kanal. Laki-laki yang melukisnya memandangi kami, dan akhirnya Ellie membeli lukisannya seharga 6 pound dalam uang Inggris. Lucunya aku tahu betul bahwa keinginan Ellie untuk memiliki lukisan seharga 6 pound itu sama besarnya dengan ketika ia membeli lukisan Cezanne itu. tadi. Hal yang sama terjadi pada suatu hari di Paris. Tiba-tiba Ellie berkata padaku, "Mari kita beli sebatang roti Prancis yang betul-betul segar, kita makan dengan mentega dan keju serta daun selada - pasti asyik rasanya." Kami melakukannya, dan kurasa Ellie jauh lebih menikmatinya ketimbang makan malam yang kami santap malam sebelumnya, yang harganya sekitar 20 pound dalam uang Inggris. Mulanya aku tidak mengerti, tapi kemudian aku mulai memahami. Anehnya, sekarang aku mulai bisa mengerti bahwa menikah dengan Ellie tidak berarti hanya bersenang-senang dan bermain-main. Aku harus mengerjakan PR juga, aku harus belaJar bagaimana masuk ke restoran, memesan makanan yang pantas dan memberikan tip yang benar, dan kapan aku harus memberikan tip lebih dari biasanya. Aku harus menghafalkan minuman apa yang cocok dengan makanan apa. Aku harus mempelajari semua itu dengan cara mengamati. Aku tak bisa bertanya pada Ellie, sebab ia tak mungkin mengerti. Ia pernah berkata, "Tapi, Mike sayang, kau bisa memesan apa pun yang kausukai. Siapa peduli kalau si pelayan menganggap kau seharusnya memesan jenis anggur tertentu untuk makanan tertentu?" Hal itu memang tidak penting bagi Ellie, karena ia sudah biasa menghadapinya, tapi bagiku penting karena aku tak bisa melakukan apa saja yang kusukai. Aku kurang luwes. Dalam berpakaian pun demikian. Tapi Ellie lebih bisa membantu dalam hal ini, karena ia lebih memahami. Ia hanya membimbingku ke tempat yang cocok dan menyuruhku membuat repot semua orang. Tentu saja penampilanku dan caraku membawa diri belum sepenuhnya sempurna. Tapi itu tidak penting. Pokoknya aku sudah bisa mengira-ngira, dan itu sudah cukup, supaya aku bisa bercakap-cakap dengan pantas bersama si tua Lippincott, dan sebentar lagi, menurut dugaanku, dengan ibu tiri Ellie dan paman-pamannya kalau mereka datang, walau sesungguhnya hal itu sama sekali tidak penting di masa yang akan datang. Kalau rumah kami sudah selesai dan kami sudah pindah ke dalamnya, kami akan jauh dari siapa-siapa. Rumah itu akan menjadi istana kami. Aku memandang Greta yang duduk di seberangku. Aku ingin tahu pendapatnya yang sesungguhnya tentang rumah kami. Pokoknya, rumah itu rumah impianku. Aku sangat puas dengannya. Aku ingin bisa menyetir mobil ke sana, melalui jalanan pribadi dengan pepohonan di kiri-kanannya. Jalanan itu menuju sebuah ceruk kecil yang akan menjadi pantai pribadi kami, dan tak seorang pun bisa datang ke sana melalui jalan lain. Rasanya pasti seribu kali lebih menyenangkan berenang di laut di sana. Seribu kali lebih menyenangkan daripada berada di pantai yang dipenuhi ratusan tubuh yang berjemur. Aku tidak Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menginginkan hal-hal mewah yang tidak masuk akal. Aku ingin - kata-kata itu lagi, kata-kataku sendiri - aku ingin, aku ingin... bisa kurasakan perasaan itu menjalari diriku. Aku menginginkan seorang wanita yang menyenangkan dan sebuah rumah yang menyenangkan, yang berbeda dari rumah orang-orang lain. Aku ingin rumahku yang indah itu dipenuhi barang-barang yang menyenangkan - barang-barang milikku sendiri. Segalanya akan menjadi milikku. "Dia sedang memikirkan rumah kami," kata Ellie. Rasanya Ellie sudah dua kali mengusulkan padaku bahwa kami lebih baik pergi ke ruang makan sekarang. Aku memandangnya dengan sayang. Malam itu, ketika kami sedang bersiap-siap keluar untuk makan malam, Ellie berkata dengan agak ragu-ragu, "Mike, kau... kau menyukai Greta, bukan?" "Tentu saja," kataku. "Aku tidak tahan kalau kau sampai tidak menyukainya." "Tapi aku suka padanya," bantahku. "Kenapa kau mengira aku tidak menyukainya?" "Aku tidak begitu yakin. Mungkin karena kau nyaris tidak memandangnya, bahkan saat sedang berbicara dengannya." "Yah, kurasa itu karena... yah, karena aku merasa gugup." "Gugup terhadap Greta?" "Ya, dia membuatku agak terperangah." Kukatakan pada Ellie bahwa menurutku Greta tampak seperti Valkyrie. "Tidak segagah Valkyric sesungguhnya," kata Ellie sambil tertawa. Kami berdua tertawa dan aku berkata, "Kau bisa bilang begitu karena kau sudah mengenalnya bertahun-tahun. Tapi dia agak... yah, maksudku dia sangat efisien dan prakus, juga anggun." Kata-kata yang kuucapkan dengan susah payah itu rasanya tidak tepat semuanya. Lalu aku berkata dengan tiba-tiba, "Aku merasa... aku merasa tersisih olehnya." "Oh, Mike!" Ellie betul-betul merasa tak enak hati. "Aku tahu aku dan Greta tadi mengobrol panjang-lebar. Kami asyik dengan lelucon atau cerita lama dan sejenisnya. Kurasa... ya, kurasa itu pasti membuatmu sedikit tidak enak. Tapi kalian pasti akan cepat berteman. Dia menyukaimu. Dia sangat menyukaimu. Dia berkata begitu padaku." "Dengar, Ellie, dia pasti akan mengatakan begitu padamu." "Oh, tidak. Greta orang yang sangat terus terang. Kau sudah mendengarnya sendiri. Hal-hal yang dikatakannya pada kita tadi siang." Memang benar, Greta tidak memilah kata-katanya selama makan siang tadi. Ia berkata, lebih kepadaku, daripada ke, Ellie. "Pasti kadang-kadang kau menganggap aneh, caraku mendukung Ellie, padahal aku belum pernah bertemu denganmu. Tapi aku sudah muak sekali - sangat muak dengan kehidupan yang mereka rancang bagi Ellie. Semuanya terkungkung rapat dalam lingkup kekayaan mereka, ide-ide mereka yang kuno. Dia tak pernah punya kesempatan untuk menikmati hidupnya sendiri, pergi ke mana-mana sendirian, dan melakukan apa saja yang diinginkannya. Dia ingin memberontak, tapi tidak tahu caranya. Karena itu... ya, memang, aku mendesaknya untuk berontak. Kuusulkan agar dia melihat-lihat tanah di Inggris. Kukatakan kalau dia sudah berumur dua puluh satu tahun, dia bisa membeli properti sendid dan mengucapkan selamat tinggal pada mereka yang di New York itu." "Greta selalu punya ide hebat," kata Ellie. "Dia memikirkan hal-hal yang mungkin takkan pernah terpikir sendiri olehku." Apa kata-kata yang waktu itu diucapkan Mr. Lippincott padaku" Pengaruhnya besar sekali pada diri Ellie. Aku jadi bertanya-tanya, benarkah itu" Anehnya, aku tidak berpendapat demikian. Aku merasa ada suatu kekuatan dalam diri Ellie, suatu kekuatan yang tidak disadari oleh Greta sekalipun, meski ia sudah sangat mengenal Ellie. Aku yakin Ellie akan selalu menerima ide yang cocok dengan idenya sendiri. Greta memang telah mengusulkan agar Ellie berontak, tapi Ellie sendiri memang ingin berontak, hanya saja ia tidak tahu caranya. Sekarang, setelah lebih mengenaInya, aku merasa bahwa Ellie adalah jenis orang sangat sederhana yang mempunyai kekuatan tersembunyi. Menurutku Ellie mampu memiliki pendirian sendiri, kalau ia memang menginginkannya. Masalahnyanya, ia tidak sering menginginkan hal itu. Betapa sulitnya memahami seseorang. Bahkan Ellie. Bahkan Greta. Bahkan mungkin ibuku sendiri... caranya memandangku dengan mata penuh ketakutan. Aku ingin tabu tentang Mr. Lippincott. Maka, sementara kami asyik mengupas buah pir yang besar, aku berkata, "Mr. Lippincott tampaknya menerima pernikahan kami dengan sangat baik. Aku sampai heran." "Mr. Lippincott itu seekor serigala tua," kata Greta. "Kau selalu bilang begitu, Greta," kata Ellie, "tapi kupikir dia cukup menyenangkan. Memang sangat tegas dan kaku, begitulah." "Yah, tidak masalah, kalau kau memang menyukainya," kata Greta. "Aku sendiri tidak akan mempercayainya sesenti pun." "Tidak mempercayainya!" kata Ellie. Greta menggelengkan kepala. "Aku tahu. Dia adalah tonggak kehormatan dan kepercayaan. Dia punya segalanya yang diperlukan untuk menjadi seorang wali dan pengacara yang pantas." Ellie tertawa dan berkata, "Apa menurutmu dia telah menyelewengkan kekayaanku" Jangan konyol, Greta. Ada banyak auditor dan bank. Mereka memeriksa semuanya." "Oh, kurasa dia tidak apa-apa," kata Greta. "Tapi justru orang-orang seperti itulah yang suka melakukan penyelewengan. Orang-orang yang kita percayai. Dan kemudian orang-orang akan berkata, 'Tak kusangka pelakunya adalah Mr. A atau Mr. B. Orang yang sama sekali tak diduga.' Ya, begitulah yang akan dikatakan orang-orang. 'Yang sama sekali tak diduga.'" Ellie berkata dengan serius bahwa menurut pendapatnya, Paman Frank-nyalah yang lebih pantas dicurigai melakukan sesuatu yang tidak jujur. Tapi ia tidak kelihatan khawatir atau kaget dengan gagasan itu. "Oh, ya, dia memang kelihatan seperti bandit," kata Greta. "Itu sudah memberi kesan jelek baginya. Sikapnya terlalu manis dan ramah. Tapi dengan posisinya itu, dia tidak bakal pernah bisa menjadi bandit besar." "Apakah dia adik laki-laki ibumu atau ayahmu?" tanyaku. Aku selalu bingung kalau menyangkut sanak keluarga Ellie. 'Dia suami saudara perempuan ayahku," kata Ellie. "Bibiku meninggalkannya dan menikah dengan orang lain, dan sudah meninggal sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu. Paman Frank boleh dikatakan masih tetap menjalin hubungan dengan keluarga kami." "Ada tiga orang yang seperti itu," kata Greta dengan ramah, memberiku petunjuk. "Tiga ekor lintah yang selalu berkeliaran. Semua paman kandung Ellie sudah meninggal. Satu di Korea, dan satunya lagi dalam kecelakaan mobil. Jadi yang dimilikinya sekarang adalah ibu tiri yang payah, Paman Frank yang suka bertandang ke rumah, dan sepupunya Reuben. Ellie memanggilnya Paman, tapi dia sebenarnya hanya sepupu, dan Andrew Lippincott serta Stanford Lloyd." "Siapa itu Stanford Lloyd?" tanyaku bingung. "Oh, seorang wali lainnya, bukankah begitu. Ellie" Pokoknya dia mengurusi investasi dan sejenisnya. Dan itu tidak sulit, sebab kalau kau sudah punya uang sebanyak Ellie, uang itu akan menghasilkan lebih banyak uang lagi sepanjang waktu, tanpa dia perlu melakukan apa-apa. Itulah kelompok utama di sekitar Ellie," lanjut Greta, "dan aku yakin kau akan segera bertemu mereka. Mereka akan terbang kemari untuk melihatmu." Aku mengeluh dan memandang Ellie. Ellie berkata dengan sangat pelan dan manis, "Jangan khawatir, Mike, mereka toh akan pergi lagi." 12 Mereka memang datang. Tapi tak seorang pun tinggal lama. Tidak saat itu - dalam kunjungan pertama. Mereka datang untuk melihatku. Aku merasa sulit memahami mereka, tentu saja karena mereka semua orang Amerika. Mereka berasal dari golongan yang tidak terlalu kukenal. Beberapa dari mereka cukup menyenangkan. Paman Frank, misaInya. Aku setuju dengan pendapat Greta tentang dirinya. Aku tidak akan mempercayainya sedikit pun. Aku sudah pernah bertemu tipe seperti dia di Inggris. Ia berperawakan besar, dengan kantong mata agak tebal, yang membuatnya tampak tidak tulus, dan kurasa itu tidak terlalu jauh dari yang sebenarnya. Ia suka wanita, menurutku, bahkan lebih dari sekadar suka. Ia meminjam uang sekali dua kali dariku, tidak banyak, sekadar untuk biaya hidupnya satu-dua hari. Kupikir ia sebenarnya tidak membutuhkan uang itu; ia hanya ingin mengetesku, untuk melihat apakah aku bisa meminjamkan uang dengan mudah. Aku agak cemas, karena tidak yakin bagaimana cara terbaik untuk menghadapinya. Apakah lebih baik menolaknya terus terang dan mengatakan padanya bahwa aku orang yang pelit, atau lebih baik aku bersikap murah hati dan gampang, yang sama sekali bukan sikapku sebenarnya" Ah, peduli amat dengan, Paman Frank," pikirku. Cora, ibu tiri Ellie, adalah yang, paling menarik perhatianku. Ia berusia sekitar empat puluhan, sangat anggun, dengan rambut dicat dan sikap agak dibuatbuat. Ia sangat manis terhadap Ellie. "Kau jangan terlalu menganggap serius surat-surat yang kutulis padamu, Ellie," katanya. "Pernikahan kalian memang sangat mengejutkan. Begitu sembunyi-sembunyi. Tapi tentu saja aku tahu Greta-lah yang membujukmu melakukannya." "Kau tidak boleh menyalahkan Greta," kata Ellie. "Aku tidak bermaksud membuatmu kecewa. Aku hanya ingin... yah, supaya tidak banyak ribut-ribut..." "Ya, tentu saja, Ellie sayang, kau benar juga. Semua orang itu kaget sekali Stanford Lloyd dan Andrew Lippincott. Mungkin mereka merasa semua orang akan menyalahkan mereka karena tidak menjagamu baik-baik. Dan tentu saja mereka sama sekali tidak tahu, seperti apa Mike. Mereka tidak tahu kalau ternyata Mike sangat menarik. Aku sendiri tak menyangka." Ia tersenyum padaku, senyum sangat manis dan juga paling palsu yang pernah kulihat! Aku berkata dalam hati, kalau pernah ada wanita membenci seorang laki-laki, maka Cora-lah orangnya. Tapi sikap manisnya terhadap Ellie cukup bisa dimengerti. Andrew Lippincott telah kembali ke Amerika dan tak diragukan lagi telah memperingatkan Cora untuk menjaga sikapnya. Ellie sedang menjual beberapa propertinya di. Amerika, karena ia sendiri telah memutuskdn uniuk tinggal di Inggris, tapi ia akan memberikan tunjangan besar untuk Cora, jadi Cora bisa tinggal di mana pun yang disukainya. Tak seorang pun menyebut-nyebut tentang suami Cora. Kurasa ia sudah hengkang ke suatu tempat di belahan bumi lain bersama seseorang. Kemungkinan besar sebentar lagi akan terjadi perceraian. Takkan ada tunjangan perceraian yang besar dari yang satu ini. Pemikahan Cora yang terakhir adalah dengan laki-laki yang jauh lebih muda, dan lebih karena daya tarik fisik daripada uang. Cora menginginkan tunjangan itu. Ia punya selera yang sangat mewah. Andrew Lippincott sudah mempenngatkan dengan cukup jelas bahwa tunjangan itu bisa dihentikan kapan saja oleh Ellie, atau jika Cora tiba-tiba lupa diri dan mengkritik suami baru Ellie dengan keras. Sepupu Reuben, atau Paman Reuben, tidak ikut datang. Ia hanya menulis sepucuk surat yang ramah untuk Ellie dan berharap Ellie bahagia, tapi ia ragu Ellie akan senang tinggal di Inggris. "Kalau kau tidak menyukainya, Ellie, segeralah pulang ke Amerika. Jangan pikir kau tidak akan diterima di sini, karena kami pasti menerimamu, terutama Paman Reubenmu ini." "Kedengarannya pamanmu yang ini cukup menyenangkan," kataku pada Ellie. "Ya," kata Ellie sambil merenung. Kedengarannya ia tidak terlalu yakin. "Adakah di antara mereka yang kausayangi, Ellie?" tanyaku. "Atau aku mestinya tidak bertanya begitu?" "Tentu saja kau boleh menanyakan apa pun." Tapi ia tidak menjawab selama beberapa detik. Kemudian ia berkata dengan nada tegas, "Tidak, kurasa tak ada yang kusayangi. Memang aneh, tapi mungkin itu karena mereka bukan benar-benar kerabatku. Pertalian di antara kami lebih karena keadaan, bukan karena keturunan. Tak satu pun dari mereka punya hubungan darah denganku. Aku sayang ayahku, dari apa yang bisa kuingat tentang dirinya. Kurasa ayahku agak lemah, dan kakekku kecewa padanya, karena ayah tidak suka berkecimpung dalam dunia bisnis. Ayah suka pergi ke Florida dan memancing, atau melakukan hal-hal lain yang sejenis. Kemudian ia menikah dengan Cora, dan aku tidak begitu suka padanya - Cora pun begitu terhadapku. Ibuku sendiri, tentu saja aku tak ingat. Aku suka Paman Henry dan Paman Joe. Mereka menyenangkan dalam beberapa hal jauh lebih menyenangkan daripada ayahku. Ayahku pendiam dan agak sedih. Tapi kedua pamanku menikmati hidup. Paman Joe agak liar, karena dia punya banyak uang. Dialah yang meninggal karena kecelakaan mobil, dan pamanku satunya lagi tewas di medan perang. Kakekku waktu itu sudah sakit-sakitan, dan merasa sangat terpukul karena ketiga anak lakilakinya meninggal semua. Dia tidak suka pada Cora, juga pada kerabat-kerabat jauhnya. Paman Reuben, misalnya. Katanya kita tak bisa menebak apa yang sedang direncanakan Reuben. Itu sebabnya Kakek mengatur agar uangnya tertanam dalam sebuah perwalian. Kebanyakan dari uang itu mengalir untuk museum-museum dan rumah-rumah sakit. Ia mewariskan cukup banyak untuk Cora dan suami anak perempuannya, Paman Frank." "Tapi sebagian besar untukmu?" "Ya. Dan kurasa itu membuatnya agak cemas. Dia berusaha sebaik-baiknya agar uang itu selalu terjaga untukku." "Oleh Paman Andrew dan Mr. Stanford Lloyd. Seorang pengacara dan seorang bankir." "Ya. Kurasa Kakek menganggapku tak mampu menjaga kekayaanku sendiri. Anehnya, dia mengizinkan aku memperoleh uang itu saat aku berumur dua puluh satu tahun. Dia tidak menyuruhku menunggu sampai berumur dua puluh lima tahun, seperti yang banyak dilakukan orang. Kurasa itu karena aku anak perempuan." "Memang aneh," kataku. "Padahal seharusnya justru dia menunggu sampai kau lebih dewasa, karena karena kau perempuan, iya kan?" Ellie menggelengkan kepala. "Tidak," katanya, "mungkin menurut kakekku anak laki-laki selalu lebih liar, sembrono, dan mudah terpikat oleh gadis-gadis pirang yang hanya mau memanfaatkan mereka. Maka lebih baik mereka diberi waktu untuk memuaskan diri berhura-hura. Tapi dia pernah berkata padaku, 'Anak perempuan, kalau pada dasarnya dia berpikiran sehat, umur dua puluh satu pun tetap akan berpikiran sehat. Tidak ada gunanya menunggu sampai dia berumur dua puluh lima. Kalau dia memang tolol, umur sekian pun dia akan tetap tolol.' Kakek juga berkata," - Ellie, memandangku dan tersenyum -"bahwa dia tidak menganggapku bodoh. Dia bilang, 'Kau mungkin tidak tahu banyak tentang hidup, tapi kau punya akal sehat, Ellie. Terutama tentang orang lain. Kupikir kau akan selalu punya akal sehat.." "Kurasa kakekmu tidak akan menyukaiku," kataku serius, Ellie memang selalu berterus terang. Ia tidak berusaha meyakinkan diriku. dengan mengatakan sebaliknya. Ia berbicara apa adanya. "Tidak," katanya, "mungkin dia malah akan sedikit takut. Dia mesti belajar mengenalmu dulu." "Ellie yang malang," kataku tiba-tiba. "Mengapa kau berkata begitu?" "Aku pernah berkata begitu padamu, dulu, apa kau ingat?" "YaKau menyebutku gadis kecil kaya yang malang. Benar juga ucapanmu itu." "Yang kumaksud kali ini tidak sama," kataku. "Aku tidak bermaksud mengatakan kau malang karena dilahirkan sebagai gadis kaya. Yang kumaksud adalah..." aku raguragu. "Terlalu banyak orang di sekelilingmu," kataku. "Semuanya mengitari dirimu. Terlalu banyak orang yang menginginkan berbagai hal darimu, tapi sebenarnya mereka tak peduli padamu. Betul, bukan?" "Menurutku Paman Andrew sungguh-sungguh peduli padaku," kata Ellie agak ragu. "Dia selalu baik padaku, simpatik. Tapi yang lainnya... Ya, kau benar. Mereka hanya ingin sesuatu." "Mereka datang karena ingin ini-itu, bukan" Ingin pinjam uang, ingin minta pertolongan, ingin dibantu dari kesulitan Atau sejenisnya. Mereka mengejarmu, mengharapkanmu, membayangimu!" "Kurasa itu wajar," kata Ellie dengan tenang, tapi aku sudah selesai dengan mereka semua sekarang. Aku akan tinggal di Inggris. Aku tidak akan sering bertemu mereka." Tentu saja Ellie salah, tapi ia belum menyadarinya saat itu. Stanford Lloyd datang sendirian setelah itu. Ia membawa sejumlah besar dokumen dan kertas-kertas kerja untuk ditandatangani Ellie. Ia berbicara dengan Ellie tentang investasi, saham, dan properti yang dimilikinya, serta penarikan dana perwalian. Aku betul-betul buta tentang hal-hal itu. Aku tak bisa menolong atau menasihati Ellie. Aku tak bisa mencegah seandainya Stanford Lloyd menipu Ellie. Kuharap ia tidak melakukannya, tapi bagaimana aku bisa yakin" Ada sesuatu pada diri Stanford Lloyd yang rasanya sulit dipercaya. Ia seorang bankir, dan ia memang tampak seperti bankir. Wajahnya lumayan tampan, meski Ia sudah tidak. muda lagi. Ia sangat sopan padaku dan menganggapku sampah, meski ia berusaha untuk tidak menunjukkannya. Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Nah, kataku ketika akhirnya ia pergi, "itu yang terakhir dari gerombolan si Berat." "Kau tidak menyukai mereka semua, bukan?" "Menurutku, ibu tirimu, Cora, adalah perempuan jahat bermuka dua. Maaf, Ellie, mungkin seharusnya aku tidak boleh berkata begitu." "Mengapa tidak, kalau itu pendapatmu" Kurasa pendapatmu tidak terlalu salah." . "Kau pasti kesepian, Ellie," kataku. "Ya, aku kesepian. Aku punya kenalan gadis-gadis lain yang sebaya. Aku memang bersekolah di sekolah terkenal, tapi aku tak pernah benar-benar bebas. Kalau aku berteman dengan seseorang, entah bagaimana mereka pasti berhasil memisahkan kami, dan menyodorkan gadis lain untuk berkenalan denganku. Kau mengerti" Segala sesuatunya diatur. Mungkin kalau aku menyukai seseorang dan aku protes... tapi aku belum pernah sampai pada tahap itu. Tak ada orang yang benar-benar kusukai. Sampai Greta datang, dan kemudian segalanya berubah. Untuk pertama kalinya ada seseorang yang betul-betul sayang padaku. Rasanya indah sekali." Wajah Ellie melembut. "Kuharap," kataku sambil berbalik ke arah jendela. "Apa yang Ikauharapkan?" "Oh, entahlah... Kuharap kau tidak... tidak terlalu bergantung pada Greta. Tidak baik bergantung pada siapa pun." "Kau tidak menyukainya, Mike," kata Ellie. "Aku menyukainya," bantahku cepat. "Sungguh. Tapi kau harus sadar, Ellie, dia itu... yah, boleh dibilang dia asing buatku. Terus terang saja, aku... aku agak cemburu padanya. Cemburu karena kau dan dia - yah, aku tidak mengerti sebelumnya - betapa dekatnya kalian berdua." "Jangan cemburu begitu. Greta satu-satunya orang yang baik padaku, yang menyayangiku - sampai aku bertemu denganmu. " "Tapi kau sudah bertemu denganku," kataku, "dan kau sudah menikah denganku." Kemudian aku berkata lagi, apa yang sudah kukatakan sebelumnya, "Dan kita akan hidup bahagia selama-lamanya." 13 Meski tak banyak berarti, akan kucoba menggambarkan orang-orang yang muncul dalam kehidupan kami, atau tepatnya: orang-orang yang muncul dalam kehidupanku, karena, tentu saja, orang-orang itu sudah menjadi bagian dalam kehidupan Ellie sejak dulu. Salahnya, kami mengira orang-orang itu akan meninggalkan kehidupan Ellie, tapi ternyata hal itu tidak terjadi. Orang-orang itu sama sekali tidak berniat keluar dari kehidupan Ellie. Tapi pada saat itu kami belum mengetahuinya. Selanjutnya kami menerima selembar telegram dari Santonix, memberitahukan bahwa rumah kami telah selesai dibangun. Sebelumnya ia telah meminta kami untuk tidak datang-datang selama seminggu, tapi sekarang ia mengirim telegram yang berbunyi: "Datanglah besok." Dengan mengendarai mobil, kami pergi ke sana dan tiba saat matahari hampir tenggelam. Santonix mendengar suara mobil kami, dan keluar untuk menyambut kami di depan pintu. Ketika melihat rumah kami yang sudah selesai dibangun, ada sesuatu dalam diriku yang terasa melonjak dan sepertinya akan meledak! Rumah itu adalah rumahku - akhirnya aku berhasil mendapatkannya! Aku menggenggam tangan Ellie erat-erat. "Apa kalian menyukainya?" tanya Santonix. "Benar-benar top," kataku. Kedengarannya konyol, tapi aku tahu bahwa Santonix mengerti apa yang kumaksud. "Ya," kata Santonix lagi, "rumah ini hasil karyaku yang terbaik... Biayanya cukup besar, tapi benar-benar sepadan dengan hasilnya. Aku telah melebihi anggaran yang tadinya kuperkirakan. Ayolah, Mike," katanya, "gendonglah Ellie melewati pintu utama. Itulah yang harus kaulakukan waktu masuk rumah untuk pertaina kalinya bersama pengantin wanitamu!" Wajahku memerah, dan kemudian aku menggendong Ellie - tubuh Ellie cukup ringan. Aku membopongnya melewati pintu utama, seperti disarankan Santonix. Saat melakukannya, aku terhuyung sedikit dan kulihat Salitonix mengerutkan dahi. "Hati-hati," kata Santonix, "baik-baiklah padanya, Mike, dan jaga dia. Jangan biarkan bahaya mengancamnya. Dia tak bisa menjaga dirinya sendiri. Dia pikir dia bisa, tapi dia tak bisa." "Mengapa ada bahaya yang akan mengancamku?" kata Ellie. "Sebab dunia ini jahat," dan banyak orang jahat tinggal di sini," kata Santonix, "juga banyak orang jahat di sekelilingmu, Manis. Aku tahu itu. Aku sudah melihat satu-dua orang di antaranya. Aku melihat mereka di sekitar sini. Mereka datang untuk mengorek-ngorek keterangan, seperti tikus. Maafkan kata-kataku, tapi mesti ada yang mengatakan ini padamu." "Mereka tidak akan mengganggu kami," kata Ellie, "Mereka semua sudah kembali ke Amerika." "Mungkin," kata Santonix, "tapi Amerika cuma beberapa jam dengan pesawat dari sini." Santonix meletakkan tangannya di bahu Ellie. Kedua tangan itu sangat kurus dan pucat. Ia benar-benar kelihatan sakit berat. "Aku sendiri akan menjagamu, anakku, kalau aku bisa," katanya, "tapi aku tak bisa. Aku takkan bisa hidup lebih lama lagi. Kau harus bisa menjaga dirimu sendiri." "Hentikan peringatan-peringatanmu itu, Santonix," kataku, "dan bawalah kami berkeliling. Tunjukkan pada kami setiap sudut rumah ini." Kami pun berkeliling di dalam rumah itu. Beberapa kamar yang ada di sana masih kosong, tapi sebagian besar barang-barang yang kami beli, lukisan-lukisan dan perabotan-perabotan, serta tirai-tirai sudah ada di sana. "Kita belum punya nama untuk rumah ini," kata Ellie tiba-tiba. "Kita tak bisa menamainya The Towers. Nama itu konyol. Apa nama lain untuk rumah ini yang pernah kaukatakan dulu?" tanya Ellie padaku. `Gipsy's Acre', bukan?" "Kita tidak akan menggunakan nama itu," kataku tegas. "Aku tidak suka." "Orang-orang sekitar sini akan selalu menyebut rumah ini dengan nama itu," kata Santonix. "Mereka orang-orang bodoh yang percaya takhayul," kataku. Setelah itu kami duduk-duduk di teras, menikmati pemandangan matahari terbenam sambil memikirkan nama baru untuk rumah kami. Rasanya seperti sedang mengadakan permainan. Kami memulainya dengan cukup serius, tapi kemudian kami mulai melontarkan nama-nama konyol yang tiba-tiba muncul dalam benak masing-masing, seperti "Akhir Perjalanan", "Puri Bahagia", dan nama-nama yang berbau seperti tempat tempat pemondokan, misalnya "Rumah Tepi Pantai", "Pondok Nyaman", dan "Pondok Cemara". Tiba-tiba saja hari berubah gelap dan hawa terasa dingin, jadi kami pun masuk ke dalam rumah. Kami hanya menutup jendela, tapi tidak menurunkan tirai-tirainya. Kami telah membawa makanan untuk dimakanmalam itu. Untuk hari-hari berikutnya, beberapa pelayan yang dibayar mahal akan datang untuk mengurus rumah ini. "Mereka mungkin tidak akan suka tinggal di sini, dan mengatakan rumah ini terIalu sepl, lalu mereka akan pergi," kata Ellie. "Lalu kau akan memberi mereka gaji dua kali lebih besar, agar mereka mau tetap tinggal di sini," kata Santonix. "Kaupikir semua orang bisa dibeli!" kata Ellie. Tapi ia mengucapkan kalimat itu sambil tertawa. Kami telah membawa pate en croate, sebongkah roti dan udang besar. Kami duduk mengelilingi meja sambil tertawa-tawa, makan, dari bercakap-cakap. Bahkan Santonix pun kelihatan lebih sehat dan ceria. Kedua matanya menyorotkan kegembiraan. Lalu terjadilah peristiwa itu, begitu tiba-tiba. Sebuah batu dilemparkan melalui jendela dan iatuh di atas meja. Batu itu juga memecahkan sebuah gelas anggur, dan sepotong pecahan gelas ltu mengenal pipi Ellie. Untuk sesaat kami cuma bisa duduk diam, tapi kemudian aku melompat bangki?" bergegas menghampiri pintu, membukanya, dan pergi ke teras. Tidak tampak seorang pun di sekitar rumah kami. Aku masuk kembali ke dalam rumah. Aku mengambil selembar tisue dan membungkuk di sisi Ellie, mengelap, tetesan darah, yang mengalir di pipinya. "Kau terluka... Tapi tidak parah, Sayang. Hanya luka kecil karena pecahan gelas." Pandangan mataku bertemu dengan Suntonix. "Mengapa ada orang yang melakukannya?" tanya Ellie. Ia tampak bingung. "Para berandalan," kataku, "Mungkin mereka tahu kita berada di sini. Harus kukatakan bahwa kita masih beruntung karena yang mereka lemparkan cuma batu. Mungkin saja mereka punya senapan angin atau barang-barang sejenis itu." "Tapi mengapa mereka melakukannya terhadap kita" Mengapa?" "Aku tidak tahu," jawabku. "Mungkin cuma iseng." Ellie tiba-tiba bangkit berdiri. Ia berkata, "Aku takut. Aku ketakutan." "Kita akan menyelidikinya besok," kataku. "Kita tidak banyak mengenal orangorang di sekitar sini." "Apa karena kita kaya dan mereka miskin?" kata Ellie. Pertanyaan itu tidak ditujukan padaku, tapi pada Santonix, seakan-akan Santonix tahu jawaban yang lebih baik daripadaku. "Tidak," kata Santonix perlahan, "Kurasa bukan karena itu,,," Ellie berkata, "Mereka melakukan itu karena mereka membenci kami... Membenci Mike dan aku. Mengapa" Karena kami tampak bahagia?" Sekali lagi Santonix menggelengkan kepalanya. "Tidak," kata Ellie, seakan-akan ia setuju dengan pendapat Santonix, "Tidak, bukan itu sebabnya. Ada alasan lain. Ada sesuatu yang tidak kita ketahui, Gipsy's Acre. Setiap orang yang tinggal di sini akan dibenci. Akan dibunuh. Mungkin pada akhirnya mereka akan berhasil mengusir kita..." Aku menuangkan segelas anggur dan memberikannya pada Ellie. "Jangan, Ellie," kataku dengan nada memohon. "Jangan berkata begitu. Minumlah ini. Kejadian tadi memang tidak menyenangkan, tapi itu cuma ulah orang-orang iseng." "Aku ingin tahu," kata Ellie, "Aku ingin tahu..." Ia menatapku lekat-lekat. "Apakah ada orang yang sedang mencoba mengusir kita, Mike" Mengusir kita dari rumah yang kita dirikan, rumah yang kita cintai." "Aku tak akan membiarkan mereka mengusir kita," kataku. Kemudian aku menambahkan, "Aku akan menjagamu. Tak seorang pun boleh melukaimu." Ellie menatap Santonix lagi. "Kau pasti tahu," katanya. "Kau berada di sini sewaktu rumah ini dibangun. Tak adakah seseorang yang pernah berkata sesuatu padamu" Orang yang datang dan melempar batu-batu - mengganggu pekerjaan pembangunan rumah ini?" "Orang sering membayangkan hal-hal yang bukan-bukan," kata Santonix. "Kalau begitu, apakah pernah terjadi kecelakaan?" Selalu ada kecelakaan yang terjadi saat membangun rumah. Tapi tidak ada yang serius atau tragis. Seorang pekerja jatuh dari tangga, lalu seorang pekerja lain kejatuhan bata di kakinya, dan yang seorang lagi terkena infeksi gara-gara ibu jarinya tertusuk serat kayu." "Tidak ada kejadian lain di luar itu" Tak ada kejadian lain yang sepertinya sudah direncanakan?" "Tidak," kata Santonix, "tidak ada. Aku berani bersumpah, tidak ada kejadian lain!"' Ellie ganti memandangku. "Kau ingat wanita gipsi itu, Mike. Betapa aneh sikapnya. Dia memperingatkan aku untuk tidak datang ke tempat ini." "Wanita itu agak gila," "Kita telah membangun rumah di tanah yang telah dikutuk oleh para gipsi," kata Ellie. "Kita telah melanggar peringatan yang diberikannya." Kemudian Ellie mengentakkan kakinya. "Aku tak akan membiarkan mereka mengusirku. Aku tak akan membiarkan apa pun mengusirku dari rumah ini." "Tak ada orang yang bisa mengusir kita," kataku. "Kita akan hidup bahagia di sini." Kami mengucapkan kata-kata itu seakan-akan hendak menantang nasib. 14 Begitulah kehidupan kami dimulai di Gipsy's Acre. Kami tidak berhasil mendapatkan nama lain untuk rumah kami itu. Kejadian pada malam pertama kami berada di sana membuat nama Gipsy's Acre semakin melekat di benak kami. "Kita akan menamai rumah ini Gipsy's Acre," kata Ellie, "Untuk menunjukkan bahwa kita tidak takut. Seperti mau menantang, bukan" Ini tanah kita, masa bodoh dengan peringatan-peringatan para gipsi." Keesokan harinya, Ellie sudah kembali ceria. Dengan segera kami menyibukkan diri menata rumah, berkenalan dengan tetangga-tetangga, serta menelusuri daerah sekitar kami. Ellie dan aku pergi mengunjungi pondok tempat si wanita gipsi tinggal. Kupikir, akan baik bagi Ellie kalau ia bisa melihat wanita gipsi itu sedang mencangkul di kebunnya. Ellie baru satu kali bertemu dengan wanita itu, dan pada saat itu wanita itu melontarkan kata-kata peringatan pada kami. Aku berharap Ellie bisa melihat bahwa wanita gipsi itu hanyalah wanita tua biasa - yang sedang menggali kentang di kebunnya - tapi ternyata kami tidak melihat wanita itu. Pondok tempat tinggalnya tertutup rapat. Aku bertanya pada tetangganya, kalau-kalau wanita gipsi itu telah meninggal, tapi si tetangga yang kami tanyai itu menggelengkan kepala. "Dia pasti sedang pergi," katanya. "Kadang-kadang dia bepergian. Dia benar-benar orang gipsi. ltu sebabnya dia tidak kerasan tinggal di rumah. Dia lebih suka berkelana dan kembali lagi kemari." Lalu orang itu mengetukngetuk dahinya. "Wanita itu agak tidak waras." Kemudian orang itu berkata sambil mencoba menutupi rasa ingin tahunya, "Kalian datang dari rumah baru di atas sana, bukan" Rumah di atas bukit yang baru selesai dibangun?" "Benar," kataku, "kami baru saja pindah kemarin malam." "Itu kelihatannya menyenangkan," kata orang itu. 'Kami semua bertanya-tanya waktu rumah itu sedang dibangun. Sungguh berbeda bukan, melihat rumah seperti itu di tempat yang sebelumnya dipenuhi pohon-pohon menyeramkan?" Kemudian ia berkata pada Ellie dengan agak malu-malu, "Kami dengar Anda orang Amerika, bukan?" "Ya," jawab Ellie, "saya orang Amerika - tapi sekarang saya sudah menikah dengan pria Inggris, jadi sekarang saya wanita Inggris." "Dan kalian datang kemari untuk tinggal di sini?" Kami mengiyakan. "Yah, semoga kalian menyukainya." Orang itu kedengaran agak ragu. "Mengapa kami mungkin tidak menyukainya?" "Oh, yah, kalian tahu bahwa keadaan di atas sana agak sepi. Banyak orang tidak suka tinggal di tempat sepi seperti itu, dan dikelilingi banyak pohon." "Gipsy's Acre," kata Ellie. "Ah, kalian tahu tentang nama itu" Tapi rumah yang tadinya berdiri di sana disebut The Towers. Aku tidak tahu mengapa disebut begitu. Seingatku, rumah itu sama sekali tidak memiliki menara." "Menurut saya, The Towers adalah nama yang konyol," kata Ellie. "Kurasa kami akan tetap menamai rumah itu Gipsy's Acre." "Kalau begitu, kita harus memberitahu pegawai kantor pos," kataku, "Kalau tidak, bisa-bisa kita tidak akan pernah menerima surat." "Ya, kurasa kita harus memberitahukannya." "Tapi kalau dipikir-pikir," kataku lagi, "apakah itu penting, Ellie" Tidakkah lebill baik kalau kita tidak pernah menerima surat?" "Itu bisa menimbulkan banyak masalah," kata Ellie. "Bagaimana dengan tagihan-tagihan kita?" "Bagus, kan, kalau begitu?" kataku. "Tidak," kata, Ellie. "Para tukang tagih akan mendatangi kita. Lagi pula, aku tidak ingin kehilangan surat-suratku. Aku ingin mendengar kabar dari Greta." "Lupakan saja Greta," kataku. "Mari kita teruskan perjalanan kita." Maka kami pun melanjutkan perjalanan menelusuri desa Kingston Bishop. Desa itu indah, dan para penjaga tokonya ramah-ramah. Tak ada hal-hal yang berbau kejahatan di desa ini. Para pelayan yang kami pekerjakan sebenarnya tidak begitu senang tinggal di desa sepi ini, tapi kami telah mengatur agar mereka bisa diantar dengan mobil sewaan untuk pergi ke kota terdekat atau ke Market Chadwell di hari libur mereka. Para pelayan itu tidak terlalu suka dengan lokasi rumah kami, tapi rasa tak suka itu bukan gara-gara takhayul. Aku berkata pada Ellie bahwa tak mungkin mereka menganggap rumah kami berhantu, sebab rumah itu baru saja dibangun. "Tidak," Ellie mengiyakan perkataanku, "penyebabnya bukan rumah itu. Tak ada yang salah dengan rumah itu. Yang membuat orang merasa tidak betah adalah jalan di dekat rumah kita, yang menikung melalui pepohonan dan hutan kecil tempat wanita gipsi tua itu dulu berdiri dan membuatku terkejut." "Yah, tahun depan mungkin kita bisa menebang pohon-pohon itu dan menanaminya Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dengan tanaman yang lebih menarik," kataku. Kami terus membuat rencana-rencana. Greta datang dan melewatkan akhir minggu bersama kami. Ia tampak sangat antusias dengan rumah kami, dan memuji-muji perabotan serta lukisan-lukisan yang kami taruh di sana. Ia juga sangat tahu diri. Setelah akhir minggu berlalu, ia berkata bahwa ia tak ingin mengganggu bulan madu kami lebih lama lagi; selain itu, ia harus kembali untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ellie senang sekali memamerkan rumah kami pada Greta. Bisa kulihat bahwa ia benar-benar meny-ukai Greta. Aku sendiri mencoba bersikap sopan, tapi aku merasa sangat lega ketika Greta kembali ke London. Keberadaan Greta di rumah kami membuatku tegang. Setelah dua minggu tinggal di rumah itu, kami sudah diterima dengan baik oleh orang-orang desa, dan telah bertemu dengan sang "Dewa" lokal. Beliau datang mengunjungi kami pada suatu sore. Waktu itu aku dan Ellie sedang berdebat mengenai tempat terbaik untuk menanam bunga. Pelayan laki-laki kami, yang selalu bersikap sopan dan memasang tampang tanpa ekspresi, keluar dari rumah, menghampiri kami dan memberitahukan bahwa Mayor Phillpot sedang menunggu kami di ruang tamu. Pada waktu itulah aku berbisik pada Ellie, "Sang Dewa!" Ellie bertanya padaku, apa yang kumaksud. "Yah, orang-orang desa ini memperlakukannya seperti dewa," kataku. Kami masuk ke rumah dan menemui Mayor Phillpot. Mayor itu berusia enam puluhan, dengan tampang biasa-biasa saja dan agak membosankan. Ia mengenakan pakaian gaya pedesaan yang agak kumal, rambutnya yang kelabu agak botak di bagian tengah kepalanya, dan kumisnya lebat. Ia meminta maaf karena istrinya tak dapat ikut mengunjungi kami. Ia berkata bahwa istrinya tak bisa ke mana-mana, karena kesehatannya kurang baik. Setelah itu, ia duduk dan bercakap-cakap dengan kami. Obrolannya tidak terlalu istimewa atau menarik. Tapi ia memiliki keampuan untuk membuat orang merasa senang bercakap-cakap dengannya. Ia mengangkat berbagai topik secara sambil lalu. Ia tidak mengaJukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung, tapi dengan segera ia bisa tahu hal-hal apa saja yang kami sukai. Denganku ia membicarakan pacuan kuda, dan dengan Ellie ia berbicara tentang kebun atau tanaman-tanaman apa saja yang cocok ditanam di daerah ini. Ia sudah pernah pergi ke Amerika sekali-dua kali. Ia tahu bahwa Ellie tidak suka pacuan kuda, tapi senang berkuda. Ia berkata pada Ellie bahwa kalau kami memelihara kuda, maka Ellie bisa berkuda melalui jalan kecil di antara hutan pinus, kemudian kudanya bisa dipacu melalui belantara luas di balik hutan itu. Setelah itu, pokok pembicaraan beralih ke rumah kami dan ceritacerita mengenai Gipsy's Acre. "Kalian tahu mengenai nama itu," kata Mayor Phillpot, "juga semua takhayul mengenainya... kurasa." "Banyak sekali peringatan dari para gipsi," kataku. "Bahkan terlalu banyak. Terutama dari Mrs. Lee." "Astaga," kata Phillpot. "Kasihan Esther tua itu, apa dia telah mengganggu kalian?" "Dia agak tidak waras, bukan?" tanyaku. "Memang. Aku merasa agak bertanggung jawab mengenai dirinya. Akulah yang menempatkannya dipondok itu," kata Phillpot, "walaupun dia tidak terlalu berterima kasih untuk itu. Aku suka padanya, meski kadang-kadang sikapnya bisa sangat menjengkelkan." "Karena ramalan-ramalannya?" "Tidak, bukan itu. Apa dia telah meramal peruntungan kalian?" "Aku tidak tahu apakah kami bisa menyebutnya peruntungan," kata Ellie. "Kata-kata yang diucapkannya waktu itu lebih merupakan peringatan pada kami, agar tidak datang kemari." "Kedengarannya agak aneh." Alis Mayor Phillpot yang lebat terangkat. "Biasanya ramalannya selalu berbau hal-hal yang manis-manis. Orang asing yang tampan, lonceng pernikahan, enam anak dan setumpuk keberuntungan atau banyak uang di tangan." Phillpot menirukan suara wanita gipsi itu. "Dulu, orang-orang gipsi Rahasia Taman Kematian 1 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Pelangi 13

Cari Blog Ini