Ceritasilat Novel Online

Malam Tanpa Akhir 3

Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie Bagian 3 sering berkemah di desa ini, waktu aku masih kecil," kata Phillpot lagi. "Kurasa sejak saat itu aku menyukai mereka, meski, tentu saja, mereka itu suka mencuri. Tapi aku selalu tertarik dengan mereka. Asalkan kita tidak mengharapkan mereka menaati hukum, sebenarnya mereka orangorang yang menyenangkan. Waktu masih bersekolah, aku sering makan sup bersama mereka. Keluargaku merasa berutang budi pada Mrs. Lee, karena dia pernah menyelamatkan salah seorang saudara laki-lakiku ketika masih kecil. Mengeluarkannya dari danau ketika lapisan es yang diinjaknya pecah." Tak sengaja aku menggerakkan tanganku dan menjatuhkan asbak kaca di meja. Asbak itu jatuh berkeping-keping di lantai. Aku memunguti pecahan gelasnya, dan Mayor Phillpot membantuku. "Menurutku, Mrs. Lee sebenarnya tidak berbahaya," kata Ellie. "Aku bodoh sekali waktu itu, karena merasa begitu ketakutan." "Ketakutan?" Alis Mayor Phillpot terangkat lagi. "Seburuk itukah?" "Aku tak heran kalau Ellie merasa takut," kataku buru-buru. "Kata-kata yang diucapkan Mrs. Lee kedengarannya lebih seperti ancaman daripada peringatan." "Ancaman!" Suara Mayor Phillpot kedengaran tak percaya. "Yah, seperti itulah kedengarannya, menurutku. Setelah itu, pada malam pertama kami tinggal di sini, telah terjadi sesuatu." Kuceritakan pada Mayor Phillpot mengenai batu yang dilempar melalui jendela. "Aku khawatir sekarang ini banyak pemuda berandalan di sekitar sini," kata Mayor Phillpot, "meski jumlahnya tidak sebanyak di tempat lain. Tapi, dengan sangat menyesal, harus kukatakan bahwa hal-hal seperti itu selalu terjadi." Mayor Phillpot memandang Ellie. "Aku sungguh menyesal kau jadi ketakutan. Sungguh kejadian yang tidak menyenangkan, apalagi malam itu malam pertama kalian tinggal di sini." "Oh, aku sudah melupakan peristiwa itu," kata Ellie. "Kejadian itu bukan satusatunya - ada peristiwa lain yang terjadi tak lama sesudah itu." Kuceritakan pada Mayor Phillpot mengenai peristiwa lain itu. Pada suatu pagi, kami keluar dari rumah dan menemukan seekor burung mati yang ditusuk pisau, dan pada burung itu terdapat selembar kertas kecil dengan tulisan tangan acakacakan, berbunyi, 'Pergilah dari sini kalau kau tahu apa yang baik bagimu.' Phillpot tampak sangat marah mendengar ceritaku. Ia berkata, "Seharusnya kalian melaporkan hal itu pada polisi." "Kami tidak mau melaporkannya," kataku. "Itu akan membuat pelakunya semakin memusuhi kami." "Yah, hal-hal seperti itu harus segera dihentikan," kata Phillpot. Tiba-tiba sikap sang Mayor berubah jadi resmi. "Kalau tidak, orang-orang jahat akan terus melakukan hal seperti itu. Mereka pikir perbuatan mereka itu lucu. Tapi.. tapi kejadian yang kalian ceritakan itu kedengarannya bukan sekadar keisengan. Perbuatan itu jahat... kejam... padahal," kata Phillpot dengan nada seakan-akan ia sedang berbicara sendiri, "padahal sepertinya tak ada orang sekitar sini yang menyimpan dendam pada kalian, menyimpan dendam pada salah satu dari kalian secara pribadi, maksudku." "Tidak," kataku, "tak mungkin ada dendam pribadi, karena kami sama-sama orang asing di sini." "Aku akan memeriksa kasus ini," kata Phillpot. Lalu ia berdiri untuk berpamitan, sambil memandang sekelilingnya. "Tahukah kalian," katanya, "aku suka rumah kalian ini. Biasanya aku lebih suka rumah-rumah dan gedung-gedung tua. Aku tidak suka bangunan modern yang banyak terdapat di selumh negeri ini. Bangunan-bangunan berbentuk kotak-kotak besar seperti sarang lebah. Aku lebih suka bangunan yang dihiasi ornamen-ornamen, sehingga terlihat anggun. Tapi aku suka rumah ini. Bentuknya sederhana dan sangat modern, tapi tetap memiliki keindahan. Dan saat melihat keluar, kau dapat melihat banyak hal - yah, dengan cara pandang yang berbeda dari sebelumnya. Sangat menarik. Siapa yang merancang rumah ini" Seorang arsitek Inggris atau dari luar negeri?" Aku bercerita pada Phillpot mengenai Santonix. "Hmm," katanya, "sepertinya aku pernah mendengar nama orang itu. Apa dia pernah muncul di majalah Rumah dan Kebun?" Aku menjawab bahwa nama Santonix memang cukup dikenal. "Aku ingin bertemu dengannya suatu waktu nanti, meski kurasa aku tak tahu mesti mengobrol apa dengannya. Aku tidak begitu artistik." Setelah itu, Mayor Phillpot meminta kami meluangkan waktu suatu saat untuk berkunjung ke rumahnya dan makan siang bersama dia dan istrinya. "Kalian bisa memberikan pendapat mengenai rumahku," kata Phillpot. "Rumah Anda rumah tua, bukan?" kataku. "Rumah itu dibangun pada tahun 1720. Masa yang bagus. Rumah aslinya bergaya bangunan di masa Ratu Elizabeth. Tapi rumah itu terbakar sekitar tahun 1700-an, dan sebuah rumah baru dibangun di atasnya." "Kalau begitu, Anda sudah lama tinggal di sini," kataku. Tentu saja yang kumaksud bukan Mayor Phillpot sendiri, tapi ia mengerti maksudku. "Ya., Keluarga kami sudah tinggal di sini sejak masa Ratu Elizabeth. Kadangkadang kami berkelimpahan, kadang-kadang kami jatuh miskin dan terpaksa menjual tanah milik kami ketika keadaan semakin memburuk, tapi kemudian kami membelinya lagi ketika keadaan mulai membaik. Dengan senang hati aku akan menunjukkan rumah kami pada kalian berdua," katanya, kemudian ia memandang Ellie sambil tersenyum, "Setahuku, orang-orang Amerika biasanya suka rumah-rumah tua. Mungkin malah kau yang tidak terlalu tertarik," kata Phillpot padaku. "Aku tak akan pura-pura tahu banyak mengenai benda-benda antik," kataku. Setelah itu Mayor Phillpot pulang. Di mobilnya menunggu seekor anjing spaniel. Mobil itu sendiri sebuah mobil tua yang catnya sudah terkelupas, tapi saat ini aku sudah bisa menempatkan diri. Aku tahu bahwa di belahan dunia ini, ia masih dianggap Dewa, dan ia telah memberikan restunya pada kami. Aku bisa merasakan hal itu. Ia menyukai Ellie. Aku merasa ia juga menyukaiku, meski aku juga memperhatikan bahwa kadang kala ia melemparkan pandangan penuh selidik padaku, seakan-akan sedang menyimpulkan sesuatu yang sebelumnya tak ada dalam pikirannya. Ellie sedang membuang pecahan-pecahan gelas asbak yang pecah dengan hati-liati ke tempat sampah ketika aku masuk kembali ke ruang tamu. "Sayang asbak ini pecah," kata Ellie dengan nada menyesal. "Aku sangat menyukainya." "Kita bisa beli yang baru," kataku. "Asbak itu asbak modern." "Aku tahu! Apa yang membuatmu terkejut tadi, Mike?" Aku menimbang-nimbang untuk beberapa saat. "Sesuatu yang dikatakan Phillpot. Sesuatu yang mengingatkanku pada sebuah peristiwa yang terjadi sewaktu aku masih kecil. Aku dan seorang teman sekolahku pernah bolos sekolah untuk pergi berselancar di danau desa kami. Lapisan es di danau itu tak dapat menahan berat badan kami. Kami benar-benar bodoh waktu itu. Temanku terjeblos ke dalam es, dan mati tenggelam sebelum ada yang bisa menolong mengeluarkannya." "Sungguh mengerikan." "Ya. Aku sudah lupa dengan peristiwa itu, sampai Phillpot bercerita mengenai saudara laki-lakinya." "Aku menyukai dia, Mike, bagaimana denganmu?" "Ya, aku juga sangat menyukainya. Aku ingin tahu, seperti apa istrinya." Di awal minggu berikutnya, kami pergi makan siang di rumah keluarga Phillpot. Rumah mereka dicat putih dan bangunannya bergaya Georgia. Bentuknya cukup indah, tapi tidak terlalu istimewa. Bagian dalamnya agak acak-acakan, tapi kelihatannya nyaman. Di sepanjang dinding ruang makan dipajang lukisan-lukisan yang menurutku pasti lukisan-lukisan nenek moyang keluarga Phillpot. Lukisan-lukisan itu tidak begitu enak dilihat, walau kondisinya bisa lebih baik bila sudah dibersihkan. Aku agak tertarik dengan salah satu lukisan, yang menggambarkan seorang gadis pirang bergaun satin merah muda. Mayor Phillpot tersenyum dan berkata, "Kau telah memilih yang terbaik. Lukisan itu dibuat oleh Gainsborough, dan merupakan lukisan yang bagus, meskipun gadis dalam lukisan itu telah menimbulkan masalah pada zamannya. Dia dicurigai telah meracuni suaminya. Mungkin itu cuma kecurigaan saja, karena dia bukan wanita Inggris. Gervase Phillpot bertemu dengannya di luar negeri." Beberapa tetangga lain juga diundang untuk bertemu dengan kami. Dr. Shaw, seorang laki-laki tua yang ramah tapi kelihatan capek. Ia harus bergegas pergi sebelum acara makan siang selesai. Kemudian ada seorang pendeta muda yang penuh semangat, dan seorang wanita setengah baya dengan suara keras yang beternak anjing Corgi. Juga ada seorang gadis cantik bertubuh jangkung dan berkulit agak gelap bernama Claudia Hardcastle. Gadis itu sangat tergila-gila pada kuda, tapi hobinya itu agak terganggu karena ia menderita alergi. Gadis itu dan Ellie lumayan cocok. Ellie juga suka menunggang kuda, dan ia juga menderita alergi. "Di Amerika, aku alergi terhadap, suatu jenis tanaman," kata Ellie, "tapi kadang-kadang pada kuda juga. Tapi sekarang aku sudah tidak begitu terganggu, sebab sudah ada obat-obatan manjur dari dAter untuk mengobati berbagai macam alergi. Aku bisa memberimu beberapa kapsul obatku. Kapsul-kapsul itu berwarna jingga cerah. Minum saja satu kapsul sebelum pergi berkuda, maka kau tak akan terserang bersin-bersin sedikit pun." Claudia Hardcastle berkata bahwa tawaran Ellie itu sungguh baik. "Aku lebih alergi terhadap onta daripada kuda," kata Claudia. "Aku pergi ke Mesir tahun lalu, dan air mataku mengalir terus membasahi wajahku sepanjang perjalanan pulang-pergi ke Piramid." Ellie berkata bahwa ada orang yang alergi terhadap kucing. "Dan juga bantal." Kedua wanita itu terus berbicara mengenai alergi. Aku duduk di sebelah Mrs. Phillpot yang bertubuh jangkung langsing, yang bercerita panjang-lebar mengenai kesehatannya sambil makan dengan lahap. Ia menceritakan semua jenis penyakit yang dideritanya, dan bagaimana para dokter dibuat bingung menghadapinya. Kadang-kadang ia mengalihkan pembicaraan untuk berbasa-basi dan bertanya padaku tentang pekerjaanku. Aku mengelak untuk memberikan jawaban, dan dengan setengah hati wanita itu mencoba bertanya siapa saja yang aku kenal. Aku bisa terus terang menjawab "Tidak ada", tapi kupikir jawaban itu kedengarannya agak tidak sopan - terutama karena aku tahu Mrs. Phillpot sebenarnya bukan orang yang sombong, dan ia juga tidak benar-benar ingin tahu. Mrs. Corgi, yang nama lengkapnya tak sempat kutangkap, lebih banyak bertanya mengenai diriku, tapi aku berhasil mengalihkan perhatiannya ke topik tentang dokter-dokter hewan yang tidak kompeten dan tidak pedulian terhadap binatang peliharaan! Secara keseluruhan, bincang-bincang ini cukup menyenangkan, meski agak membosankan. Setelah makan siang, saat kami sedang diajak berkeliling untuk melihat-lihat taman rumah keluarga Phillpott, Claudia Hardcastle mendekatiku. Gadis itu berkata dengan tiba-tiba, "Aku sudah mendengar mengenaimu - dari saudara laki-lakiku." Aku terkejut. Menurutku, tak mungkin aku kenal dengan saudara laki-laki Claudia Hardcastle. "Apa kau yakin?" kataku. Gadis itu tersenyum. "Sesungguhnya, kakakkulah yang membangun rumahmu." "Maksudmu, Santonix adalah kakakmu?" "Kakak tiri. Aku tidak terlalu akrab dengannya, Kami jarang bertemu." 'Dia orang yang baik," kataku. "Aku tahu ada beberapa orang yang beranggapan begitu." "Apa kau tidak merasa demikian?" "Aku tidak begitu yakin. Ada dua sisi dalam diri Santonix. Pada suatu waktu, kariernya pernah meluncur ke bawah... orang-orang tak mau berurusan dengannya sama sekali. Tapi kemudian... kelihatannya dia berubah. Dia mulai sukses dalam profesinya dengan cara yang sangat luar biasa. Sepertinya dia..." Claudia berhenti seJenak, mencari kata yang tepat, "sangat berdedikasi." "Menurutku dia memang seperti itu - berdedikasi." Kemudian aku bertanya pada Claudia, apakah ia sudah pernah mellhat rumah kami. "Belum - belum pernah sejak rumah itu selesai dibangun." Kukatakan padanya bahwa ia harus datang mengunjungi kami dan melihat rumah kami. "Harus kuperingatkan bahwa aku mungkin tak akan menyukainya. Aku tidak suka rumah bergaya modern. Aku lebih suka rumah-rumah bergaya Ratu Anne." Claudia berkata bahwa ia akan mengajak Ellie menjadi anggota klub golf. Dan mereka juga akan berkuda bersama. Ellie akan membelil seekor kuda, mungkin bahkan lebih dari seekor. Tampaknya ia dan Ellie telah menjadi teman baik. Ketika Phillpot sedang menunjukkan kandang-kandang kudanya padaku, ia bercerita sedikit mengenai Claudia. "Dia sebenarnya adalah anak yang baik," kata Phillpot. "Sayang sekali dia telah mengacaukan hidupnya." "Benarkah?" "Dia menikah dengan seorang laki-laki kaya yang jauh lebih tua daripada dirinya. Seorang laki-laki Amerika. Namanya Lloyd. Perkawinan mereka tidak berhasil, dan langsung hancur berantakan. Dia kembali memakai nama gadisnya. Kurasa dia tidak akan pernah menikah lagi. Dia sudah anti dengan kaum pria. Sungguh sayang." Ketika kami sedang mengendaral mobil untuk kembali ke rumah, Ellie berkata, "Membosankan-tapi mereka orang-orang yang baik. Kita akan sangat bahagia tinggal disini, bukan, Mike?" Aku menjawab, "Ya." Kemudian kulepaskan satu tanganku dari kemudi, untuk menggenggam tangan Ellie. Ketika kami sampai di rumah, aku menurunkan Ellie di depan rumah, kemudian aku memarkir mobil di garasi. Saat berjalan masuk ke rumah, samar-samar aku mendengar bunyi petikan gitar Ellie. Ellie memiliki sebuah gitar Spanyol tua yang sangat mahal. Ia suka memetik gitar itu sambil bernyanyi perlahan dengan suara merdu. Sungguh enak didengar. Aku tidak begitu tahu lagu-lagu yang dinyanyikannya. Kurasa lagu-lagu itu adalah lagu-lagu gereja di Amerika, dan beberapa lagu dari Irlandia dan Skotlandia; manis, tapi agak sedih. Bukan musik pop atau sejenisnya. Mungkin lagu-lagu rakyat. Aku berialan mengitari teras, dan berhenti di depan pintu sebelum aku masuk. Ellie sedang menyanyikan salah satu lagu kesukaanku. Aku tidak tahu judul lagu itu. Ia melantunkan syair lagu itu dengan lembut, sambil menundukkan kepala di atas gitarnya dan memetik perlahan senar-senar gitar itu. Syair lagu itu agak sedih. Manusia terlahir untuk merasa Bahagia dan Sedih Dan jika kita tahu ini Kita 'kan selamat ke mana pun kita pergi Setiap Malam, setiap Pagi Ada yang terlahir untuk Kesedihan. Setiap Pagi dan setiap Malam Ada yang terlahir untuk Kebahagiaan, Ada yang terlahir untuk Malam Tanpa Akhir... Ellie mendongakkan kepalanya dan melihatku. "Mengapa kau memandangiku seperti itu, Mike?" "Seperti apa?" "Kau memandangiku, seakan-akan kau begitu mencintaiku...." "Tentu saja aku mencintaimu. Memangnya bagaimana aku harus memandangimu?" "Tapi... apa yang kaupikirkan tadi?" Aku menjawab perlahan dan terus terang, "Aku sedang berpikir tentang dirimu, ketika aku pertama kali melihatmu - berdiri di dekat pohon pinus." Ya, aku teringat saat pertama kali aku bertemu Ellie, rasa terkejut dan gembira yang kurasakan.... Ellie tersenyum padaku dan bernyanyi perlahan: Setiap Malam, setiap Pagi Ada yang terlahir untuk Kesedihan. Setiap Pagi dan setiap Malam Ada yang terlahir untuk Kebahagiaan, Ada yang terlahir untuk Malam Tanpa Akhir.... Sering kali orang tidak menyadari saat-saat penting dalam kehidupannya - sampai semuanya sudah terlambat. Hari itu, ketika kami makan siang bersama keluarga Phillpot dan pulang kembali ke rumah dengan bahagia adalah saat yang penting. Tapi aku tidak menyadarinya waktu itu - sampai sesudahnya. Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Aku berkata, "Nyanyikanlah lagu tentang si Lalat." Dan Ellie pun mengubah nada lagunya menjadi sebuah lagu bernada riang, dan bernyanyi: "Lalat kecil, bermain-main di Musim Semi, Tanganku yang usil mengusirnya pergi. Bukankah aku seekor lalat sepertimu" Atau bukankah kau seorang manusia sepertiku" Karena aku suka menari dan minum, dan bernyanyi Sampai sebuah tangan kaku menepis sayapku. Kalau akal adalah kehidupan Dan kekuatan dan napas, Maka menginginkan akal Adalah kematian; Maka aku Seekor lalat yang bahagia Dalam hidup Dan saat kutiada." Oh, Ellie - Ellie. 15 Sungguh mengejutkan bahwa di dunia ini hal-hal yang terjadi sering kali tidak seperti yang diharapkan! Kami telah pindah dan tinggal di rumah kami, serta berhasil membatasi hubungan dengan orang-orang lain di sekeliling kami, persis seperti yang kuinginkan dan kurencanakan. Hanya saja, kami tidak berhasil menutup diri terhadap semua orang. Ada orang-orang yang tiba-tiba muncul dalam kehidupan kami dari seberang lautan atau dalam cara-cara lain. Yang pertama adalah ibu tiri Ellie yang menjengkelkan. Ia mengirim surat dan telegram, meminta Ellie pergi menemui agen penjual rumah. Katanya ia sangat kagum dengan rumah kami, dan jadi sangat ingin memiliki rumah untuk dirinya sendiri di Inggris. Ia berkata bahwa ia ingin menghabiskan dua bulan setiap tahun di Inggris. Dan persis waktu telegramnya yang terakhir kami terima, ia datang dan kami terpaksa membawanya berkeliling di desa, sementara ia terusmenerus memberikan perintah ini-itu. Akhirnya ia memutuskan memilih sebuah rumah, sekitar lima belas mil jauhnya dari rumah kami. Tentu saja kami tak ingin ia tinggal di sana, kami sangat tak suka, tapi kami tak dapat mengatakan hal itu padanya. Atau tepatnya, kalaupun kami mengatakan pendapat kami padanya, ia akan tetap menjalankan rencananya. Kami tak dapat memintanya untuk tidak datang kemari. Ellie tak bisa mengatakan hal itu. Aku tahu. Tapi, sementara ibu tiri Ellie sedang menunggu laporan dari agen peneliti tanah dan bangunan, kami menerima beberapa telegram lagi. Paman Frank kelihatannya telah menjerumuskan diri dalam kesulitan. Ia terlibat kasus penipuan, yang berarti perlu banyak uang untuk mengeluarkannya dari penjara. Semakin banyak telegram hilir-mudik antara Mr. Lippincott dan Ellie. Kemudian Ellie mengetahui bahwa ternyata di antara Stanford Lloyd dan Lippincott ada masalah. Mereka bertengkar mengenai beberapa investasi Ellie. Dengan polosnya aku mengira bahwa orang-orang di Amerika itu sangat jauh dari kami. Aku tak pernah menyadari bahwa para kerabat dan koneksi bisnis Ellie tak segan-segan naik pesawat terbang ke Inggris, menghabiskan waktu dua puluh empat jam di sini, lalu terbang lagi ke Amerika. Mula-mula yang datang Stanford Lloyd, setelah itu Andrew Lippincott. Ellie harus pergi ke London untuk menemui mereka. Aku tak pernah tahu mengenai hal-hal yang berbau keuangan ini. Semua orang sangat berhati-hati dengan apa yang mereka katakan. Tapi kurasa duduk perkaranya berhubungan dengan pembentukan, dana simpanan untuk Ellie, dan entah Mr. Lippincott yang menunda masalah itu, atau Stanford Lloyd yang terlambat dengan pembukuannya. Dalam selang waktu antara berbagai masalah ini, Ellie dan aku menemukan sebuah tempat istimewa secara kebetulan. Sebuah bangunan yang oleh Ellie disebut Pondok Peristirahatan. Kami belum pernah benar-benar menjelajahi seluruh tanah kami (hanya bagian di sekeliling rumah saja). Kami suka mengikuti jalan-jalan kecil melalui hutan, untuk melihat di mana jalan itu berakhir. Pada suatu hari, kami mengikuti sebuah jalan kecil yang sudah hampir tertutup rumput, sehingga mulanya jalan itu hampir tak kentara. Tapi kami berhasil menelusuri jalan itu, dan di ujung jalan itulah kami menemukan pondok tersebut. Bangunan itu tidak besar, warnanya putih, dan bentuknya mirip tempat sembahyang. Kondisi bangunan itu masih cukup baik, jadi kami membersihkannya, mengecatnya, meletakkan sebuah meja, beberapa buah kursi, sebuah dipan, dan sebuah lemari pojok di dalamnya. Kami menyimpan beberapa cangkir, gelas, dan botol di dalam lemari pojok itu. Kami sungguh senang. Ellie berkata bahwa sebaiknya kami membersihkan jalan setapak menuju pondok ini, sehingga lebih mudah bagi kami untuk pergi kemari, tapi aku tidak setuju. Akan lebih menyenangkan kalau tak seorang pun tahu mengenai pondok ini, kecuali kami. Ellie merasa ideku sangat romantis. "Yang pasti, kita tak akan memberitahu Cora," kataku, dan Ellie setuju. Saat kami kembali darl pondok itu - bukan setelah kunjungan yang pertama, tapi sesudahnya, setelah Cora pergi dan kami berharap bisa mendapatkan kembali kedamaian kami - Ellie, yang berjalan di depanku, tiba-tiba tersandung akar pohon dan jatuh. Pergelangan kakinya terkilir. Dr. Shaw datang dan berkata bahwa pergelangan kaki Ellie terkilir cukup parah, tapi mungkin dalam seminggu ia sudah bisa berjalan lagi. Setelah itu, Ellie meminta Greta datang. Aku tak bisa menolak. Tak ada yang bisa merawat Ellie dengan baik, maksudku tak ada seorang wanita pun. Para pelayan yang bekerja di rumah kami tak bisa melakukannya, lagi pula Ellie menginginkan Greta. Jadi, Greta pun datang. Kedatangan Greta tentu saja sangat membantu bagi Ellie. Dan bagiku juga, tapi cuma sebatas urusan itu saja. Greta mengatur semua hal dan mengurus rumah tangga kami. Para pelayan kami mulai mengeluh. Mereka berkata bahwa kehidupan mereka di sini terlalu sepi-tapi kurasa Cora-lah yang telah membuat mereka jengkel. Greta lalu memasang iklan dan langsung mendapatkan dua pelayan pengganti. Ia juga merawat pergelangan kaki Ellie, menemani Ellie, mengambilkan barang-barang untuk Ellie, seperti buku-buku dan buah-buahan, serta mengerjakan hal-hal lain sejenisnya - hal-hal yang tak pernah kuketahui. Ellie dan Greta kelihatannya sangat bahagia bersama. Yang pasti, Ellie sangat senang melihat Greta. Dan entah bagaimana, Greta tak pernah meninggalkan kami lagi... Ia terus tinggal bersama kami. Ellie berkata padaku, "Kau tidak keberatan, bukan, bila Greta tinggal lebih lama sedikit?" Aku berkata, "Oh, tidak. Tentu saja tidak." 'Sungguh senang kalau Greta berada di sini," kata Ellie. "Kaulihat, begitu banyak kegiatan wanita yang bisa kami kerjakan bersama. Seorang wanita akan merasa sangat keseplan tanpa ada teman wanita yang lain." Setiap hari kuperhatikan sikap asli Greta semakin terlihat: suka memerintah dan sok berkuasa. Aku pura-pura senang Greta tinggal bersama kami, tapi pada suatu hari, ketika Ellie sedang berbaring di ruang tamu sambil mengangkat kakinya yang terkilir, sementara Greta dan aku berada di teras, tiba-tiba saja timbul pertengkaran di antara kami. Aku tak ingat apa penyebab pertengkaran itu. Ada ucapan Greta yang membuatku jengkel, dan aku membalasnya dengan kata-kata pedas. Setelah itu pertengkaran pun tak dapat dihindari. Suara kami semakin meninggi. Greta mengeluarkan semua kata-kata kasar dan cemooh yang ada di benaknya, dan aku membalasnya dengan kata-kata yang sepadan. Kukatakan padanya bahwa ia suka memerintah dan ikut campur, dan ia sudah terlalu banyak mempengaruhi Ellie, dan aku tak bisa menahan diri melihat Ellie diperintah terus-menerus sepanjang waktu. Kami saling berteriak, dan tiba-tiba Ellie keluar ke teras sambil terpincang-pincang, memandangi kami bergantian, dan aku berkata, "Sayang, aku minta maaf. Aku benar-benar menyesal." Aku masuk kembali ke rumah dan mendudukkan Ellie di sofa. Ia berkata, "Aku tak menyadari. Aku sama sekali tak sadar bahwa kau... bahwa kau benar-benar tak suka Greta tinggal di sini." Aku menghibur Ellie dan menenangkannya. Kukatakan bahwa ia tak perlu merisaukan pertengkaran itu. Kukatakan bahwa aku telah kehilangan kesabaranku, dan bahwa kadang-kadang aku memang pernarah. Kukatakan bahwa pokok permasalahannya adalah karena aku merasa Greta terlalu dominan. Mungkin itu cukup wajar, karena ia sudah terbiasa melakukannya. Akhirnya aku berkata bahwa sesungguhnya aku sangat menyukai Greta, dan aku jadi pernarah karena aku khawatir. Jadi, akhirnya aku terpaksa memohon pada Greta untuk tetap tinggal bersama kami. Kejadian itu cukup menghebohkan. Kurasa cukup banyak orang lain di rumah kami yang juga mendengat pertengkaran itu. Yang pasti, pelayan pria kami yang baru dan istrinya tahu mengenai pertengkaranku dengan Greta. Kalau sedang marah, aku selalu berteriak. Harus kuakui bahwa aku agak keterlaluan dalam hal itu. Memang seperti itulah aku. Sepertinya Greta berusaha menunjukkan kekhawatirannya dengan kesehatan Ellie, dan berkata bahwa Ellie tak boleh melakukan ini-itu. "Dia tidak begitu kuat," kata Greta padaku. "Tak ada yang salah dengan kesehatan Ellie," kataku, 'kesehatannya benar-benar baik." "Tidak, Mike. Tubuh Ellie lemah dan mudah jatuh sakit." Ketika Dr. Shaw datang untuk memeriksa pergelangan laki Ellie, ia mengatakan bahwa pergelangan kaki Ellie sudah sembuh, tapi harus dibungkus apabila akan berjalan-jalan di tanah yang keras. Aku bertanya pada dokter itu, dengan cara agak canggung, seperti umumnya laki-laki, "Tubuh Ellie tidak lemah, bukan, Dr. Shaw?" "Siapa bilang dia lemah?" Dr. Shaw adalah jenis dokter yang sudah agak sulit dicari di zaman sekarang. Di kalangan orang-orang desa, ia dikenal sebagai dokter yang lebih suka membiarkan alam bekerja untuk menyembuhkan. "Setahuku dia baik-baik saja," kata dokter itu. "Siapa saja bisa jatuh terkilir." "Maksudku bukan pergelangan kakinya. Aku ingin tahu apakah dia memiliki jantung yang lemah atau semacam itu." Dokter itu memandangku melalui kaca, matanya. "Jangan mulai membayangkan yang tidak-tidak, anak muda. Apa yang membuatmu berpikir demikian" Kau bukan tipe orang yang biasanya mencemaskan penyakit-penyakit wanita." "Cuma karena perkataan Miss Andersen." "Ah, Miss Andersen. Apa yang diketahuinya" Dia tidak punya ijazah kedokteran, bukan?" "Oh, tidak," kataku. "Istrimu wanita yang sangat kaya," kata Dr. Shaw, "setidaknya menurut gosip lokal. Tentu saja banyak orang mengira semua orang Amerika kaya." "Ellie memang kaya," kataku. "Yah, kau harus ingat ini. Wanita kaya biasanya sering menderita sakit parah. Para dokter atau orang lain sering memberi mereka puyer atau pil, obat perangsang atau pil penenang, pokoknya hal-hal yang sebaiknya dihindari. Wanita desa biasanya lebih sehat karena tak seorang pun terlalu mengkhawatirkan kesehatan mereka." "Ellie memang minum beberapa kapsul atau sejenisnya," kataku. "Aku bisa memeriksanya kalau kau mau. Juga memeriksa obat apa yang sudah diberikan padanya. Kunasihati ya, seperti sering kukatakan pada orang-orang, Buang saja semuanya itu di tong sampah"'. Dr. Shaw berbicara dengan Greta sebelum pergi. Ia berkata, "Mr. Rogers memintaku memeriksa kesehatan Mrs. Rogers. Tak ada yang perlu dicemaskan. Kurasa olah raga di alam terbuka akan baik baginya. Obat-obatan apa yang biasa diminumnya?" "Beberapa tablet yang diminumnya kalau dia merasa kelelahan, juga beberapa tablet untuk membantunya tidur." Greta dan Dr. Shaw pergi untuk memeriksa obat-obat Ellie. Ellie tersenyum sedikit. "Aku tidak meminum semua obat-obatan itu, Dr. Shaw," katanya. "Cuma kapsul untuk alergi saja." Shaw memeriksa kapsul-kapsul itu, membaca resepnya, dan berkata bahwa kapsulkapsul itu tidak berbahaya. Setelah itu, ia memeriksa kapsul-kapsul berisi obat tidur. "Sering sulit tidur?" "Tidak. Rasanya aku tak pernah meminum obat tidur itu lagi sejak aku berada di sini." "Yah, itu bagus." Shaw menepuk-nepuk bahu Ellie. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan dirimu, anakku. Cuma kadang-kadang kau cenderung terlalu cemas. Cuma itu saja. Kapsul-kapsul untuk mengobati alergi ini cukup ringan. Banyak orang menggunakannya sekarang, dan tidak berbahaya. Kau bisa terus meminumnya, tapi tinggalkan obat tidur itu." "Entah kenapa aku jadi khawatir," kataku pada Ellie dengan nada menyesal. "Kurasa itu semua gara-gara Greta." "Oh," kata Ellie sambil tertawa. "Greta memang selalu mengkhawatirkan diriku. Dia sendiri tak pernah minum obat." Lalu katanya lagi, "Yah, kaudengar kata-kata dokter tadi, Mike, buanglah sebagian besar obat-obatan ini." Ellie semakin akrab dengan tetangga-tetangga kami. Claudia Hardcastle cukup sering mampir, dan kadang-kadang mereka berkuda bersama. Aku tak bisa berkuda, selama ini aku cuma tahu mengenai mobil dan mesin. Aku tak tahu apa-apa tentang kuda, kecuali dulu aku pernah bertugas membersihkan kandang kuda di Irlandia selama seminggu-dua minggu. Tapi aku merencanakan bahwa suatu waktu nanti, kalau kami sedang berada di London, aku akan pergi ke tempat pemeliharaan kuda dan belaJar menunggang kuda dengan benar. Aku tidak ingin belajar di sini. Orang-orang pasti akan menertawaiku. Kupikir, menunggang kuda baik bagi Ellie. Kelihatannya ia sangat menyukainya. Greta juga mendorong Ellie untuk berkuda, meski ia sendiri juga tidak tahu apaapa tentang kuda. Pada suatu hari, Ellie dan Claudia pergi bersama ke tempat penjualan kuda, dan menuruti saran Claudia, Ellie membeli seekor kuda untuk dirinya sendiri - kuda berbulu cokelat tua yang dinamai si Penakluk. Aku meminta Ellie berhati-hati kalau pergi berkuda sendirian, tapi Ellie cuma menertawakanku. "Aku sudah menunggang kuda sejak berusia tiga tahun," katanya. Jadi, Ellie tetap pergi berkuda dua - tiga kali seminggu, sementara Greta mengendarai mobil dan pergi ke pasar di Chadwell untuk berbelanja. Suatu hari, pada waktu makan siang, Greta berkata, "Kalian dan orang-orang gipsi itu! Pagi ini aku bertemu seorang wanita tua yang tampangnya sangat jelek. Dia berdiri di tengah jalan. Aku hampir saja menabraknya. Dia berdiri saja di depan mobilku. Aku terpaksa berhenti, padahal jalanannya sedang menurun." "Mengapa" Apa yang dia inginkan?" Ellie mendengarkan percakapan kami, tapi tidak berkata apa-apa. Menurut perasaanku, Ellie tampak agak khawatir. "Sialan, dia mengancamku," kata Greta. "Mengancammu?" tanyaku dengan nada tajam. "Yah, dia berkata padaku agar pergi dari sini. Katanya, 'Ini tanah orang gipsi. Pergilah. Pergilah kalian semua. Pulanglah ke tempat asal kalian, kalau ingin Selamat.' Kemudian dia mengacungkan kepalannya padaku sambil berkata, 'Kalau aku mengutukmu, takkan ada lagi keberuntungan bagimu selamanya. Membeli tanah kami dan mendirikan rumah di atasnya. Kami tak ingin rumah-rumah didirikan di tempat tenda-tenda kami seharusnya berada." Masih banyak yang diucapkan Greta. Setelah itu, Ellie berkata padaku sambil mengerutkan dahi. "Kedengarannya agak aneh. Bagaimana menurutmu, Mike?" "Kurasa Greta agak melebih-lebihkan," kataku. "Kedengarannya tidak pas," kata Ellie. "Aku ingin tahu, apakah Greta mengarangngarang beberapa bagian ceritanya itu." Aku menimbang-nimbang. "Buat apa dia berbuat begitu?" Kemudian aku bertanya dengan nada tajam, "Kau belum pernah melihat Esther akhirakhir ini, bukan" Pada saat kau sedang berkuda?" "Wanita gipsi itu" Tidak." "Kedengarannya kau tidak yakin, Ellie," kataku. Kurasa aku pernah melihatnya sekilas," kata Ellie. "Dia sedang berdiri di antara pepohonan, sambil mengintip keluar, tapi jaraknya tidak cukup, dekat bagiku untuk memastikannya." Tapi pada suatu hari Ellie kembali dari berkuda dengan wajah pucat pasi dan tubuh gemetar. Wanita tua itu tiba-tiba saja muncul dari balik pepohonan. Ellie menghentikan kudanya untuk berbicara pada wanita gipsi itu. Katanya wanita itu Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sedang mengayun-ayunkan kepalannya dan menggumamkan sesuatu. Ellie berkata, "Kali ini aku sangat marah, dan kukatakan padanya, 'Apa yang kauinginkan di sini" Tanah ini bukan milikmu. Ini tanah kami dan rumah kami."' Wanita tua itu lalu berkata, "Tanah ini takkan pernah menjadi tanahmu dan takkan pernah kaumiliki. Aku pernah memperingatkanmu dua kali. Aku tak akan memperingatkanmu lagi. Waktunya sudah dekat - itu saja yang bisa kukatakan. Aku melihat Kematian. Di sana, di balik bahu kirimu. Kematian berdiri di sampingmu, dan kematianlah yang akan kaudapatkan. Kuda yang kautunggangi itu satu kakinya berwarna putih. Tak tahukah kau bahwa menunggang kuda dengan satu kaki putih bisa membawa sial" Aku melihat Kematian, dan rumah besar yang telah kaubangun hancur berantakan! "' "Semua ini harus dihentikan," kataku dengan marah. Kali ini Ellie tak bisa menepiskan kejadian itu begitu saja. Baik ia maupun Greta tampak takut. Aku langsung pergi ke desa. Pertama-tama, aku pergi ke pondok Mrs. Lee. Aku bimbang sejenak, tapi tidak tampak ada lampu menyala dari pondok itu, maka aku pun pergi ke kantor polisi. Aku kenal dengan sersan kepala di sana, Sersan Keene, seorang polisi kekar dan berakal sehat. Ia mendengarkan ceritaku, kemudian berkata, "Saya sungguh menyesal kalian mengalami masalah ini. Mrs. Lee sudah sangat tua, dan kadang-kadang sikapnya. mengesalkan. Kami belum pernah mengalami masalah dengannya sampai sekarang ini. Saya akan berbicara dengannya dan menyuruhnya berhenti mengganggu kalian." "Tolonglah," kataku. Sersan Keene tampak bimbang sesaat, kemudian berkata, "Saya tak senang menanyakan ini... tapi sepanjang pengetahuan Anda, Mr. Rogers, apakah ada orang di sekitar sini yang mungkin mungkin gara-gara masalah sepele - mendendam pada Anda atau istri Anda?" "Saya rasa itu tak mungkin. Kenapa?" "Mrs. Lee tua itu sedang banyak uang akhir-akhir ini - saya tidak tahu dari mana dia mendapatkannya..." "Apa yang sebenarnya hendak Anda katakan?" "Mungkin ada orang yang telah membayarnya; seseorang yang ingin kalian pergi dari sini. Yang seperti ini pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Mrs. Lee menerima uang dari seseorang di desa ini -dia disuruh menakut-nakuti seorang penduduk desa. Melakukan hal-hal seperti ini - ancaman-ancaman - peringatan kejahatan. Orang-orang desa ini masih percaya takhayul. Anda akan terheran-heran kalau tahu berapa banyak desa di Inggris yang masih memiliki tukang sihir. Dia sudah diperingatkan waktu itu, dan setahu saya, dia tak pernah mencoba melakukannya lagi - tapi mungkin saja sekarang dia melakukannya lagi. Dia sangat senang dengan uang; orang-orang gipsi itu mau melakukan banyak hal untuk mendapatkan uang." Tapi aku tak bisa menerima ide itu. Aku berkata pada Keene bahwa kami benarbenar orang asing di desa ini. "Kami bahkan belum sempat mencari musuh," kataku. Aku berjalan pulang dengan perasaan cemas dan bingung. Saat melewati pojok teras, samar-samar aku mendengar suara petikan gitar Ellie, dan sebuah sosok jangkung, yang tengah berdiri di depan pintu sambil melihat ke dalam, berbalik dan berjalan mendekatiku. Untuk sesaat kupikir orang itu orang gipsi, tapi kemudian aku merasa lega, karena ternyata orang itu Santonix. "Oh," kataku sambil menarik napas, "ternyata kau. Dari mana kau datang" Sudah lama kami tidak mendengar kabarmu." Santonix tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia memegang lenganku dan menarikku menjauhi pintu. "Jadi, dia ada di sini," katanya. "Aku tidak heran. Sudah kuduga dia bakal datang kemari, cepat atau lambat. Mengapa kau membiarkannya" Dia sangat berbahaya. Kau harus tahu itu." "Maksudmu Ellie?" "Tidak, tidak, bukan Ellie. Wanita yang satunya lagi! Siapa namanya" Greta?" Aku menatap Santonix. "Kau tahu seperti apa Greta, bukan" Dia telah datang. Mengambil alih kekuasaan! Kau tidak akan bisa mengusirnya sekarang. Dia telah datang, dan dia akan tinggal." "Pergelangan kaki Ellie terkilir," kataku. "Greta datang untuk merawatnya. Dia... kurasa dia akan segera pergi." "Kau sama sekali tidak tahu wanita macam dia. Dia memang bermaksud tinggal di sini. Aku tahu itu. Aku bisa membaca jalan pikirannya ketika dia datang kemari sementara rumah ini masih dibangun." "Kelihatannya Ellie menginginkannya," gumamku. "Oh ya, dia telah menemani Ellie selama beberapa tahun, bukan" Dia tahu bagaimana mengendalikan Ellie." Itulah yang dulu juga dikatakan oleh Lippincott. Baru akhir-akhir ini aku melihat kebenaran pernyataan itu. "Apa kau ingin dia berada di sini, Mike?" "Aku tak bisa mengusirnya keluar dari rumah ini," kataku kesal. "Dia teman lama Ellie. Teman baiknya. Aku bisa apa?" "Tidak," kata Santonix, "kurasa kau tak dapat melakukan apa-apa, bukan?" Ia memandangku dengan sorot mata aneh. Santonix memang orang yang aneh. Kita takkan pernah tahu maksud kata-katanya yang sebenarnya. "Apa kau tahu ke mana tujuanmu, Mike?" tanyanya. "Apa kau pernah memikirkannya" Kadang-kadang kurasa kau tak tahu apa-apa." "Tentu saja aku tahu," kataku. "Aku akan melakukan apa yang kuinginkan. Aku akan pergi ke mana aku ingin." "Benarkah" Aku tidak yakin. Aku tidak yakin kau benar-benar tahu apa yang kauinginkan bagi dirimu sendiri. Aku mengkhawatirkanmu dengan adanya Greta. Dia jauh lebih kuat daripada dirimu." "Aku tak mengerti bagaimana kau bisa berkata demikian. Semuanya ini bukan masalah kekuatan." "Benarkah" Kurasa memang itulah masalahnya. Dia orang yang kuat, orang yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Sebenarnya kau tak mau dia berada di smi. Itu yang kaukatakan tadi. Tapi dia sudah berada di sini, dan aku memperhatikan mereka. Dia dan Ellie sedang duduk bersama di dalam rumah, bercakap-cakap dengan nyaman. Lalu siapakah kau, Mike" Orang luar" Atau kau memang orang luar?" "Kau gila. Kata-katamu itu gila. Apa maksudmu aku orang luar" Aku suami Ellie, bukan?" "Kau suami Ellie ataukah Ellie istrimu?" "Kau konyol sekali," kataku. "Apa bedanya itu?" Santonix mendesah. Tiba-tiba bahunya tampak lemas, seakan-akan ia telah kehilangan semangat hidupnya. "Aku tak dapat menggapaimu," kata Santonix. "Aku tak dapat membuatmu mendengarkanku. Aku tak dapat membuatmu mengerti. Kadang-kadang kupikir kau paham, tapi kadang-kadang aku merasa kau tak tahu apaapa tentang dirimu sendiri atau orang lain." "Dengar," kataku,' "aku sangat mengagumimu, Santonix. Kau arsitek yang sangat hebat, tapi..." Wajah Santonix berubah. "Ya," katanya, "aku memang arsitek yang hebat. Rumah ini karya terbaikku. Aku merasa hampir puas dengan karyaku ini. Kau menginginkan rumah seperti ini. Ellie juga menginginkan rumah seperti ini, untuk tinggal bersamamu. Dia mendapatkan rumah impiannya, begitu pula kau. Singkirkanlah wanita satunya itu, Mike, sebelum terlambat." "Bagaimana aku bisa membuat Ellie sedih?" "Wanita itu sudah berhasil mengendalikan dirimu," kata Santonix. "Dengar," kataku, "aku juga tidak suka pada Greta. Dia benar-benar membuatku jengkel. Pernah aku bertengkar hebat dengannya. Tapi urusannya tak semudah yang kaukira." "Tak ada yang mudah dalam menghadapinya." "Siapa pun yang menjuluki tempat ini tanah orang gipsi, dan mengatakan tanah ini telah dikutuk, mungkin ada benarnya," kataku dengan marah. Ini daerah ini tinggal orang-orang gipsi yang suka tiba-tiba melompat keluar dari balik pepohonan, mengacungkan tinju pada kami, dan memperingatkan kami bahwa kalau kami tidak meninggalkan tempat ini, kami akan bernasib buruk. Padahal mestinya tempat ini tempat yang bagus dan indah. " Kalimat terakhir yang kuucapkan itu kedengarannya janggal. Aku mengatakannya seakan-akan kata-kata itu keluar dari mulut orang lain. "Ya, memang benar," kata Santoix. "Seharusnya tempat ini tempat yang indah. Tapi tidak demikian, bukan, bila kekuatan jahat menguasainya?" "Kau tentu tak percaya dengan..." "Aku percaya akan banyak hal aneh... Aku tahu sesuatu tentang kejahatan. Apa kau tidak menyadari, atau merasa, bahwa aku sendiri kadang-kadang punya sifat jahat" Aku memiliki sifat itu sejak dulu. Itu sebabnya aku tahu kalau ada kejahatan di dekatku, meski aku tak selalu tahu pasti di mana kejahatan itu berada... aku ingin rumah yang kubangun bersih dari kejahatan. Kau mengerti itu?" Nada suara Santonix kedengaran menakutkan. "Kau mengerti itu" Hal itu sangat penting bagiku." Kemudian tiba-tiba sikap Santonix berubah. "Ayolah," katanya, "mari kita lupakan omong kosong ini. Mari kita masuk dan menemui Ellie." Kami masuk melalui pintu depan, dan Ellie menyambut Santonix dengan sangat hangat. Santonix bersikap normal sepanjang malam itu. Ia tidak lagi bersikap dramatis, tapi sebaliknya, sikapnya hangat dan menyenangkan. Ia banyak berbicara dengan Greta, dan sikapnya sangat luwes. Memang, Santonix bisa bersikap sangat luwes. Orang pasti akan mengira Santonix merasa kagum pada Greta, dan bahwa ia menyukai Greta serta ingin menyenangkan hati Greta. Sikap Santonix membuatku menyadari betapa berbahayanya laki-laki itu. Banyak sisi dirinya yang tak pernah kuketahui. Greta juga bersikap sama luwesnya. Ia benar-benar menunjukkan sisi terbaik dirinya malam itu. Kadang-kadang Greta bisa menyembunyikan kecantikannya, atau malah memperlihatkannya, dan malam itu ia kelihatan lebih cantik daripada biasanya. Ia tersenyum pada Santonix, mendengarkan kata-kata laki-laki itu dengan sikap takjub. Aku ingin tahu, apa maksud di balik sikap Santonix itu. Santonix berkata bahwa ia harus pergi keesokan harinya. "Apa kau sedang membangun sesuatu saat ini, apa kau sedang sibuk?" Santonix menjawab tidak, ia baru saja keluar dari rumah sakit. "Mereka mengobatiku sekali lagl," katanya, "tapi mungkin ini untuk yang terakhir kall." "Mengobatimu" Apa sebenarnya yang mereka lakukan terhadapmu?" "Mereka memompa darah jelek keluar dari tubuhku, dan menggantinya dengan darah merah segar yang masih bagus," kata Santonix. "Oh." Ellie agak merinding mendengarnya. "Jangan khawatir," kata Santonix, "hal itu takkan pernah terjadi pada dirimu." "Tapi mengapa hal itu terjadi pada dirimu?" kata Ellie. "Sungguh kejam." "Bukan kejam, tidak," kata Santonix. "Aku kebetulan mendengar apa yang baru saja kaunyanyikan." Manusia diciptakan tuk merasa Bahagia dan Sedih Dan jika kita tahu ini Kita akan selamat ke mana pun kita pergi. "Aku selamat karena aku tahu mengapa aku ada di sini. Dan untukmu, Ellie, Setiap Pagi dan setiap Malam Ada yang terlahir untuk Kebahagiaan. "Kaulah itu." "Kalau saja aku bisa merasa aman," kata Ellie. "Apa kau tidak merasa aman?" "Aku tidak suka diancam," kata Ellie. "Aku tak suka ada orang yang mengutukku." "Maksudmu para gipsi itu?" "Ya." "Lupakanlah," kata Santonix. "Lupakanlah untuk malam ini. Mari kita berbahagia. Ellie untuk kesehatanmu, umur panjang untukmu, akhir yang cepat dan damai untukku dan keberuntungan untuk Mike," Santonix berhenti, gelasnya diangkat ke arah Greta. "Ya," kata Greta. "Dan untukku?" "Dan untukmu, apa yang akan kaudapatkan" Kesuksesan, mungkin?" tambah Santonix, dengan nada setengah bertanya dan setengah mengejek. Santonix meninggalkan kami pagi-pagi keesokan harinya. "Dia benar-benar orang aneh," kata Ellie. "Aku takkan pernah bisa memahaminya." "Aku tak pernah mengerti setengah pun dari perkataannya," kataku. "Dia tahu banyak hal," kata Ellie dengan sungguh-sungguh. "Maksudmu, dia tahu tentang masa yang akan datang?" "Bukan," kata Ellie, "maksudku bukan itu. Dia bisa membaca isi hati seseorang. Aku sudah pernah mengatakannya padamu. Dia bisa mengenal orang lebih baik daripada orang itu mengenal dirinya sendiri. Kadang-kadang dia membenci orangorang itu karena apa yang dia ketahui tentang mereka, dan kadang-kadang dia merasa kasihan pada orang-orang itu. Tapi dia tidak merasa kasihan pada diriku," tambah Ellie. "Mengapa dia harus merasa kasihan padamu?" tanyaku. "Oh, karena...," kata Ellie. 16 Sore hari berikutnya, sewaktu aku sedang berjalan agak terburu-buru melewati bagian hutan yang paling gelap, di mana batang-batang pohon pinus kelihatan begitu menakutkan, aku melihat bayangan seorang wanita bertubuh jangkung sedang berdiri di tengah jalan. Dengan segera aku menyembunyikan diri di balik pepohonan. Aku langsung mengira bahwa wanita itu si wanita gipsi, tapi aku terperanjat ketika melihat siapa wanita itu sebenarnya. Ternyata ibuku, tubuhnya kurus tinggi dan rambutnya sudah kelabu. "Demi Tuhan," kataku, "Ibu membuatku terkejut. Apa yang Ibu lakukan di sini" Apa Ibu datang untuk menengok kami" Kami sudah cukup sering mengundang Ibu, bukan?" Sebenarnya kami jarang sekali memberikan undangan. Aku cuma pernah satu kali mengundang dengan nada enggan. Aku mengatakannya sedemikian rupa, sehingga aku yakin ibuku takkan pernah menerima undangan kami. Aku tak ingin ibuku berada di sini. Aku tak pernah menginginkan ibuku datang kemari. "Kau benar," kata ibuku. "Akhirnya aku datang untuk mengunjungimu. Untuk melihat apakah kau baik-baik saja. Jadi, ini rumah besar dan mewah yang kaubangun, dan memang rumahmu ini sangat mewah," kata ibuku sambil melemparkan pandangan ke balik bahuku. Aku merasa ada nada tak setuju dalam suaranya, seperti sudah kusangka. "Terlalu mewah untuk orang sepertiku, eh?" kataku. "Aku tidak berkata begitu, anakku." "Tapi Ibu berpikir demikian." "Rumah itu tidak sesuai dengan latar belakangmu, dan tidak baik jika seseorang keluar dari lingkungan kehidupannya." "Orang tidak bakal sukses kalau menuruti perkataan Ibu." "Ah, aku tahu kau akan berkata dan berpikir demikian, tapi aku tak mengerti apa gunanya ambisi. Ambisi bisa menghancurkan orang." "Ah, demi Tuhan, jangan mengomel," kataku. "Ayolah. Mari kita masuk, supaya Ibu bisa melihat sendiri rumah mewah kami dan melemparkan komentar-komentar sinis. Dan mari berkenalan juga dengan istriku yang kaya raya, dan mengomentarinya dengan sinis jika Ibu berani." 'Istrimu" Aku sudah bertemu dengannya." "Apa maksud Ibu?" tanyaku. "Jadi, dia tidak memberitahumu?" "Apa?" tanyaku lagi. "Bahwa dia datang untuk menemuiku." Istriku datang menemui lbu?" tanyaku bingung. "Ya. Dia datang dan berdiri di depan pintu, membunyikan bel dengan agak takut. Dia benar-benar cantik dan manis, meski pakaiannya bagus dan mahal. Dia berkata, 'Anda ibu Mike, bukan"' dan kujawab, 'Ya, dan kau siapa"' Dia berkata, 'Aku istrinya.' Kemudian katanya, 'Aku datang untuk menemui Ibu. Rasanya sungguh tidak patut kalau aku belum mengenal ibu Mike.' Dan aku berkata, 'Aku yakin Mike tak mau kau menemui aku'. Dia tampak ragu-ragu, lalu lbu berkata lagi, 'Kau tak perlu takut mengatakan itu padaku. Aku kenal betul anakku. Aku tahu apa yang diinginkan atau tidak diinginkannya.' Lalu istrimu berkata, 'Mungkin... mungkin Ibu akan mengira Mike merasa malu dengan Ibu, karena kalian miskin dan aku kaya, tapi sebenarnya Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bukan itu alasannya. Itu sama sekali bukan sifat Mike. Sungguh.' Lalu aku berkata lagi, 'Kau tak perlu mengatakan itu padaku. Aku tahu sifat anakku. Dan memang dia tak pernah merasa malu dengan keadaan ibunya maupun latar belakangnya.... Dia bukannya malu dengan keadaanku,' kukatakan pada istrimu. 'Dia takut padaku. Aku tahu terlalu banyak mengenai dirinya.' Dan sepertinya istrimu merasa geli mendengar hal itu. Dia berkata, 'Kurasa semua ibu akan selalu merasa seperti itu - merasa paling tahu mengenai anak-anak mereka. Dan kurasa semua anak akan selalu merasa malu dengan hal itu!' "Kukatakan bahwa hal itu ada benarnya. Ketika masih muda, sering kali kita suka berbohong. Aku sendiri teringat ketika masih kecil dan tinggal di rumah seorang kerabat. Di dinding di atas tempat tidur ada lukisan mata yang sangat besar. Pada lukisan itu tertulis 'Tuhan mahatahu.' Lukisan itu selalu membuat bulu kudukku berdiri saat akan pergi tidur." "Ellie seharusnya memberitahuku bahwa dia pergi menemui Ibu," kataku. "Aku tak mengerti mengapa dia merahasiakan hal itu. Seharusnya dia menceritakannya padaku." Aku merasa marah. Sangat marah. Aku tak pernah mengira bahwa Ellie akan menyimpan rahasia seperti itu terhadapku. "Kelihatannya dia agak takut dengan apa yang telah dia lakukan, tapi dia tak perlu takut padamu, anakku." "Ayolah," kataku, "mari masuk dan melihat rumah kami." Aku tak tahu apakah ibuku menyukai rumah kami atau tidak. Kurasa tidak. Ia melihat-lihat semua ruangan sambil mengangkat alis, kemudian keluar ke teras. Ellie dan Greta sedang duduk-duduk di sana. Mereka baru saja datang dari luar, dan Greta sedang mengenakan mantel wol berwarna ungu yang menyelubungi bahunya. Ibuku memandangi kedua wanita itu selama beberapa saat. Ellie bergegas menyeberangi ruangan. "Oh, ternyata Mrs. Rogers," katanya, kemudian ia berbalik ke arah Greta dan berkata, "Ini ibu Mike. Beliau datang untuk melihat-lihat rumah kami dan menengok kami. Sungguh baik, bukan" Ini teman baikku, Greta Andersen." Ellie mengulurkan kedua tangannya dan menggenggam tangan Ibu. Ibu menatap Ellie lekat-lekat, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Greta dan menatap Greta dengan tajam. "Jadi, begitu," gumam ibuku, seakan-akan pada dirinya sendiri, "Jadi... begitu." "Apanya yang begitu?" tanya Ellie., "Aku jadi ingin tahu," kata ibuku, "aku jadi ingin tahu, seperti apa kehidupan kalian di sini." Ibuku menatap Ellie lagi. "Ya, rumah ini memang bagus. Dengan tirai-tirai bagus, perabotan bagus. dan lukisan-lukisan bagus." "Ibu harus ikut kami minum teh," kata Ellie. "Kelihatannya kalian baru saja selesai minum teh." "-Teh adalah minuman yang bisa diminum terus-menerus," kata Ellie, lalu ia berkata pada Greta. "Aku tak perlu menekan bel. Greta, bisakah kau pergi ke dapur dan membuatkan sepoci teh lagi?" "Tentu saja, Sayang," kata Greta, lalu pergi meninggalkan teras sambil menoleh sekilas dan melemparkan pandangan tajam ke arah ibuku. Ibuku pun duduk. 'Di mana barang-barang Ibu?" tanya Ellie. "Apa Ibu akan menginap di sini" Kuharap begitu." "Tidak, anakku, aku. tak bisa tinggal. Aku akan pulang dengan kereta setengah jam lagi. Aku hanya ingin menengok kalian." Setelah itu ibuku berkata lagi dengan agak terburu-buru, mungkin karena ingin mengutarakan maksudnya sebelum Greta muncul kembali, 'Nah, jangan khawatir, Sayang, aku. sudah memberitahu Mike bahwa kau pernah datang mengunjungiku." "Maafkan aku, Mike, karena tak pernah menceritakan hal itu padamu," kata Ellie dengan nada tegas. "Tadinya kupikir lebih baik tidak kukatakan pada "Ellie datang atas dorongan hatinya yang baik," kata ibuku. "Kau menikahi seorang gadis yang baik, Mike, juga cantik. Ya, seorang gadis yang sangat cantik." Kemudian ia menambalikan dengan suara hampir tidak kedengaran, "Aku jadi menyesal." "MenyesaI?" ulang Ellie dengan nada bingung. "Menyesal karena telah berpikiran buruk sebelumnya," kata ibuku dengan nada kaku, "Yah, seperti biasa, para ibu selalu demikian. Cenderung mencurigai menantu perempuannya. Tapi, waktu melihatmu, aku tahu Mike sungguh beruntung. Ini benar-benar luar biasa." "Sungguh tak sopan," kataku, tapi aku mengatakannya sambil tersenyum pada ibuku. "Aku selalu punya selera bagus." "Maksudmu, kau punya selera mahal," kata ibuku sambil melemparkan pandangannya ke arah tirai-tirai brokat yang menghiasi jendela rumah kami. "Aku sebenarnya juga tidak suka berfoya-foya," kata Ellie sambil tersenyum pada ibuku. "Sebaiknya kau menyuruh Mike menabung sesekali," kata ibuku, 'Itu bagus bagi karakternya." "Aku tidak mau karakterku diubah," kataku. "Seorang istri seharusnya menganggap semua yang ada dalam diri kita sudah sempurna. Bukankah demikian, Ellie?" Ellie sudah tampak bahagia lagi. Ia tertawa dan berkata, "Kau sombong sekali, Mike!" Greta kembali sambil membawa poci teh. Tadinya kami semua agak canggung, namun telah berhasil membuat suasana menjadi hangat. Tapi dengan kembalinya Greta, suasana canggung itu timbul kembali. Ibuku menolak semua usalia Ellie untuk membuatnya menginap, dan setelah beberapa saa?" Ellie berhenti membujuknya. Aku dan Ellie mengantar ibuku melalui sepanjang jalan depan rumah kami, sampai ke pintu gerbang. "Apa nama rumah ini?" tanya ibuku tiba-tiba. Ellie berkata, "Gipsy's Acre." "Ah," kata ibuku, "ya, ada orang-orang gipsi di sekitar sini, bukan?" "Bagaimana Ibu bisa tahu?" tanyaku. "Aku melihat seorang wanita gipsi ketika datang tadi. Dia memandangku dengan sorot mata benar-benar aneh." "Sebenarnya wanita itu tidak berbahaya," kataku, "cuma agak tidak waras saja." "Mengapa kaubilang dia agak tidak-waras" Raut wajahnya memang agak aneh ketika, memandang ke arahku. Apa dia menyimpan semacam rasa dendam pada kalian?" "Kurasa itu tidak benar," kata Ellie. "Wanita itu cuma suka mengada-ada. Dia merasa kami telah mengusirnya dari tanahnya, atau semacam itulah." "Kurasa dia ingin diberi uang," kata ibuku. "Orang-orang gipsi memang begitu. Mereka suka, berkoar-koar bahwa mereka telah dikecewakan atau disakiti. Tapi mereka. akan segera berhenti begitu kita menaruh sejumlah uang di tangan mereka yang selalu gatal uang itu." "Anda tidak suka dengan orang gipsi," kata Ellie. "Mereka suka mencuri. Mereka tidak punya pekerjaan tetap dan suka mengambil apa yang bukan milik mereka." "Oh yah," kata Ellie, "kami... kami... tidak khawatir lagi mengenai mereka sekarang." Ibuku mengucapkan selamat tinggal, kemudian berkata, "Siapa wanita muda yang tinggal bersama kalian itu?" Ellie menjelaskan bahwa Greta telah menemaninya selama tiga tahun sebelum ia menikah, dan ia merasa hidupnya akan sangat sulit jika tidak ada Greta. "Greta telah banyak membantu kami. Dia benar-benar baik," kata Ellie. "Aku tidak tahu bagaimana... bagaimana kalau tak ada Greta." "Apa dia tinggal bersama kalian atau cuma berkunjung saja?" "Oh... yah," kata Ellie. Ia mencoba menghindari pertanyaan ibuku. "Dia... dia tinggal bersama kami saat ini, karena kakiku baru saja terkilir, dan aku perlu seseorang untuk merawatku. Tapi kakiku sudah sembuh sekarang." "Pasangan yang sudah menikah lebih baik tinggal berdua saja di awal pernikahan mereka," kata ibuku. Kami berdiri di dekat pintu gerbang sambil memperhatikan ibuku berjalan semakin jauh. "Ibumu memiliki karakter kuat," kata Ellie dengan sungguh-sungguh. Aku masih marah pada Ellie, benar-benar marah karena ia telah menemui ibuku tanpa sepengetahuanku. Tapi ketika Ellie membalikkan badan dan berdiri memandangku dengan satu alis terangkat dan bibir tersenyum kecil, ia tampak begitu polos, seperti anak kecil, hingga aku tak sanggup mempertahankan rasa marahku. "Kau benar-benar penipu kecil," kataku. "Yah," kata Ellie, "kadang-kadang aku harus berbuat begitu." "Itu seperti sandiwara Shakespeare yang pernah kulihat dulu... Sandiwara itu dimainkan di sekolahku." Aku menirukan perkataan dalam sandiwara itu, 'Dia telah berbohong pada ayahnya, dan dia akan membohongimu pula.' "Waktu itu kau berperan sebagai siapa, Othello?" "Tidak," jawabku, "aku berperan sebagal ayah sang gadis. Kurasa itu sebabnya aku masih ingat kata-kata itu sampai sekarang, karena kalimat itu satu-satunya kalimat yang harus kuucapkan." "Dia telah berbohong pada ayahnya, dan dia akan membohongimu pula," kata Ellie dengan sungguh-sungguh. "Setahuku, aku belum pernah membohongi ayahku. Mungkin aku akan membohonginya jika ayahku belum meninggal." "Kurasa ayahmu takkan bisa menerima keputusanmu untuk menikah denganku," kataku, "Sama seperti ibu tirimu." "Betul," kata Ellie," kurasa ayahku takkan setuju. "Dia orang yang konvensional." Kemudian Ellie, melemparkan senyum polosnya lagi. "Kalau begitu, kurasa aku harus berlaku seperti Desdemona dan membohongi ayahku, lalu lari bersamamu." "Mengapa kau begitu ingin menemui ibuku, Ellie?" tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu. "Aku bukannya ingin menemuinya," kata Ellie, "tapi aku merasa sangat bersalah kalau tidak melakukannya. Kau jarang menyebut-nyebut ibumu, tapi bisa kulihat bahwa ibumu telah sangat banyak berkorban untukmu. Dia telah bekerja sangat keras untuk bisa menyekolahkanmu, dan sebagainya. Aku merasa sungguh jahat dan sombong jika aku tidak menemuinya." "Yah, tapi bukan salahmu kalau kau tidak menemuinya," kataku. "Itu kesalahanku." "Ya," kata Ellie. "Aku bisa mengerti bahwa mungkin kau tidak ingin aku pergi menemui ibumu." "Kaupikir aku merasa malu dengan keadaan ibuku" Itu sama sekali tidak benar, Ellie. Sama sekali tidak benar." "Tidak," kata Ellie dengan serius, "aku tahu itu sekarang. Kau tak ingin aku menemui ibumu karena kau tak ingin ibumu melakukan tindakan-tindakan khas para ibu." "Tindakan-tindakan khas para ibu?" tanyaku. "Yah," kata Ellie, "kulihat ibumu tipe orang yang selalu merasa paling tahu, apa yang terbaik bagi orang. Maksudku, dia pasti ingin kau memiliki pekerjaan tertentu." "Memang benar," kataku. "Dia ingin aku memiliki pekerjaan tetap dan menetap di suatu tempat." "Semua itu bukan masalah sekarang," kata Ellie. Memang nasehat itu bagus. Tapi nasehat itu sama sekali tidak cocok untukmu, Mike. Kau bukan tipe orang yang bisa menetap di suatu tempat. Kau tidak suka dengan kehidupan monoton. Kau akan selalu ingin pergi dan melihat hal-hal baru atau melakukan kegiatan-kegiatan baru dan menggapai puncak dunia." "Aku ingin tinggal di rumah ini bersamamu," kataku. "Mungkin untuk saat ini.... Dan kupikir... kupikir kau akan selalu ingin kembali kemari. Begitu pula denganku. Kurasa kita akan selalu kembali kemari setiap tahun, dan kurasa kita akan merasa paling bahagia di sini dibandingkan di tempat lain. Tapi kau pasti ingin pergi ke tempat-tempat lain juga. Kau pasti ingin bepergian, melihat-lihat hal-hal baru, serta membeli barang-barang baru. Mungkin kita bisa membuat rencana untuk merenovasi taman di sini. Mungkin kita bisa pergi melihat-lihat taman-taman di Italia, Jepang, dan bermacam-macam taman lain." "Kau membuat hidup kedengaran mengasyikkan, Ellie," kataku. "Maafkan aku karena marah-marah tadi." "Oh, aku tidak keberatan kau marah," kata Ellie. "Aku tidak takut padamu." Kemudian ia menambahkan sambil mengerutkan kening, "Ibumu tidak suka pada Greta." "Banyak orang tidak suka pada Greta," kataku. "Termasuk dirimu." "Nah, Ellie, kau selalu berkata begitu. Itu tidak benar. Mulanya aku sedikit cemburu terhadap Greta, itu saja. Kami sudah baik-baik saja sekarang." kemudian aku menambahkan, "Kurasa sikap Greta-lah yang membuat orang jadi agak kesal." "Mr. Lippincott juga tidak suka pada Greta, bukan" Menurutnya, Greta terlalu banyak mempengaruhiku," kata Ellie. "Apakah benar begitu?" "Aku ingin tahu, mengapa kau menanyakan hal itu. Ya, kurasa memang Greta banyak mempengaruhiku. Itu wajar saja, dia memang memiliki kepribadian yang dominan, dan aku harus memiliki seseorang yang bisa kupercaya dan kuandalkan. Seseorang yang bisa membelaku." "Supaya kau bisa selalu mendapatkan apa yang kauinginkan?" tanyaku pada Ellie sambil tertawa. Kami kembali ke rumah sambil bergandengan tangan. Entah mengapa, suasana sore itu terasa lebih kelam. Kurasa itu karena matahari baru saja tenggelam dan meninggalkan kegelapan. Ellie berkata, "Ada apa, Mike?" "Entahlah," kataku. "Tiba-tiba saja perasaanku tidak enak." Greta tidak kelihatan di dalam rumah. Kata para pelayan, ia sedang berjalanjalan di luar. Sekarang, karena ibuku telah mengetahui perkawinanku dan berjumpa dengan Ellie, aku bisa melakukan apa yang sudah lama ingin kulakukan. Aku mengirimi ibuku selembar cek dan menyuruhnya pindah ke rumah yang lebih baik, serta membeli beberapa perabotan baru yang diinginkannya. Hal-hal seperti itulah. Tentu saja aku ragu ibuku akan menerima tawaranku itu, sebab uang yang kuberikan padanya bukan hasil jedh payahku sendiri, dan aku tak bisa pura-pura bahwa uang itu adalah uangku. Seperti sudah kuduga, ibuku mengembalikan cek itu, yang sudah dirobek menjadi dua, disertai selembar surat pendek. "Aku tidak mau menerima uang ini," tulis ibuku. "Kau sama sekali tidak berubah. Aku tahu itu sekarang, semoga Tuhan menolongmu." Aku menyodorkan surat itu pada Ellie. "Kaulihat sendiri seperti apa ibuku", kataku. "Aku menikah dengan seorang gadis kaya, hidup dengan uang istriku yang kaya raya, dan wanita tua itu tak senang!" "Jangan khawatir," kata Ellie. "Banyak orang berpikir demikian. Ibumu akan segera melupakannya. Dia benar-benar menyayangimu, Mike," kata Ellie lagi. "Lalu mengapa dia selalu ingin mengubah diriku" Dia ingin mengubahku menjadi orang seperti dirinya. Aku adalah diriku sendiri. Aku bukan anak kecil yang bisa dibentuk sesuka ibuku. Aku adalah diriku sendiri. Aku sudah dewasa. Aku adalah aku." "Kau adalah kau," kata Ellie, "dan aku mencintai Dan sesudahnya, mungkin untuk mengalihkan pikiranku, Ellie mengatakan sesuatu yang agak menyimpang. "Menurutmu, bagaimana pelayan pria kita yang baru itu?" katanya. Aku tak pernah memperhatikan pelayan itu. Memangnya apa yang harus kuperhatikan" Yang pasti, aku lebih suka pada orang itu daripada pada pembantu kami yang sebelumnya, yang dengan terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya akan status sosialku. "Dia lumayan," kataku. "Kenapa?" "Aku curiga dia orang yang disewa untuk menjagaku." "Disewa untuk menjagamu" Apa maksudmu?" "Seorang detektif. Mungkin Paman Andrew-lah yang telah mengatur semua ini." "Kenapa?" "Yah... mungkin untuk menjaga agar aku tidak diculik. Kau tahu, di Amerika Serikat biasanya kami memiliki penjaga, terutama saat kami berada di pedesaan." Satu lagi ketidaknyamanan menjadi orang kaya yang tidak kuketahui. "Pasti menyebaikan sekali." "Oh, entahlah... kurasa aku sudah terbiasa dengan hal itu. Apa bedanya" Kita toh juga tidak pernah benar-benar memperhatikannya." "Apa istrinya juga terlibat?" "Kurasa begitu, meskipun dia juga tukang masak yang hebat. Kurasa Paman Andrew, atau mungkin Stanford Lloyd - pokoknya siapa pun di antara Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mereka yang telah memikirkan hal ini - pasti telah membayar pelayan-pelayan kita yang sebelumnya agar pergi dari sini, dan kedua pelayan baru kita itu langsung siap mengambil alih posisi mereka. Mudah sekali." "Tanpa memberitahumu?" kataku dengan nada agak tak percaya. "Mereka tidak bakal memberitahuku. Mereka khawatir aku akan menolak. Tapi mungkin saja aku salah mengenai para pelayan kita itu." Ellie melanjutkan perkataannya lagi, "Hanya saja, orang bisa merasakan hal itu kalau sudah terbiasa dengan keberadaan orang-orang macam itu di sekitarnya." "Gadis kecil kaya yang malang," ejekku. Ellie sama sekali tidak marah dengan ejekanku itu. "Kurasa julukan itu cukup tepat," katanya. "Banyak hal yang baru kuketahui mengenai dirimu, Ellie," kataku. 17 Betapa anehnya tidur. Kita pergi tidur dengan rasa khawatir terhadap para, gipsi, musuh-musuh yang tidak kelihatan dan para detektif yang berkeliaran di dalam rumah, kemungkinan diculik serta banyak hal lain; tapi pada saat kita tidur, semua kekhawatiran itu lenyap. Dalam tidur, kita berkelana sangat jauh dan tak tahu ke mana kita pergi, tapi ketika kita terbangun, hari baru telah tiba. Tak ada lagi yang perlu, dikhawatirkan, tak ada lagi yang perlu ditakutkan. Bahkan ketika aku terbangun di pagi hari tanggal 17 September itu, aku merasa sangat gembira. "Hari yang indah," kataku pada diri sendiri dengan penuh keyakinan. "Hari ini akan menjadi hari yang indah." Aku benar-benar yakin akan hal itu. Aku merasa seperti orang yang mendapat tawaran pergi ke mana pun dan melakukan apa pun yang disukai. Otakku penuh dengan rencana. Aku sudah berjanji untuk bertemu Mayor Phillpot di pelelangan yang diadakan di sebuah rumah yang berjarak lima belas mil dari rumah kami. Ada beberapa barang bagus yang akan dilelang di sana, dan aku telah menandai dua-tiga buah barang dalam katalog yang disediakan. Aku sudah tak sabar lagi untuk menghadiri pelelangan itu. Phillpot punya pengetahuan luas mengenai perabotan dan barang-barang perak serta hal-hal seperti itu, bukan karena ia orang yang artistik - tidak, ia benar-benar jenis yang sportif - tapi karena ia memang punya kemampuan dalam hal itu. Seluruh keluarganya juga memiliki pengetahuan luas. Aku melihat-lihat katalog pelelangan itu pada waktu sarapan. Ellie muncul dalam pakaian berkuda. Kebanyakan ia, menunggang kuda di pagi hari, kadang-kadang sendirian, kadang-kadang dengan Claudia. Ia juga punya kebiasaan seperti orang-orang Amerika lainnya, cuma minum kopi dan segelas jus jeruk, dan tidak makan apa-apa lagi saat makan pagi. Kalau aku, seleraku lebih mirip selera para bangsawan zaman Victoria, apalagi sekarang aku tidak lagi harus menahan diri! Aku suka banyak makanan panas untuk pagi hari. Pagi ini aku makan ginjal dan sosis serta daging babi kering. Lezat sekali. "Apa acaramu pagi ini, Greta?" tanyaku. Greta berkata bahwa ia akan bertemu Claudia Hardcastle di stasiun di Market Chadwell, kemudian mereka akan pergi ke London untuk menghadiri white sale. Aku bertanya apa itu white sale. "Apakah barang-barang yang dijual di sana harus berwarna putih?" tanyaku. Greta memandangku dengan mengejek dan berkata bahwa white sale artinya penjualan barang-barang rumah tangga seperti linen, selimut, handuk, seprai, dan lainlain. Dari katalog yang diterimanya, ia tahu ada sebuah toko khusus yang menjual barang-barang seperti itu di Bond Street, yang saat ini sedang memberikan penawaran bagus. Aku berkata pada Ellie, "Nah, jika Greta akan pergi ke London hari ini, bagaimana kalau kau naik mobil menemui kami di restoran George di Bartington" Kata Phillpott makanan di sana enak sekali. Dia menyarankan aku mengajakmu makan di sana. Kita bisa bertemu jam satu nanti. Kau harus melewati Market Chadwell, lalu belok sekitar tiga mil sesudahnya. Kurasa ada tanda dengan nama restoran itu di jalan menuju ke sana." "Baiklah," kata Ellie, "aku akan ke sana." Aku membantu Ellie naik ke atas kudanya kemudian ia pergi menunggang kudanya melewati pepohonan. Ellie sangat suka berkuda. Biasanya ia berkuda melalui sebuah jalanan berliku-liku menuju sebuah lembah di mana ia bisa memacu kudanya sebelum kembali ke rumah. Aku meninggalkan mobil yang lebih kecil untuk Ellie, karena mobil itu lebih mudah diparkir. Aku sendiri mengendarai mobil Chrysler yang besar. Aku sampai di Bartington Manor persis sebelum pelelangan dimulai. Phillpot sudah tiba di sana, dan sudah mengambilkan tempat untukku. "Ada beberapa barang bagus di sini," katanya. "satu-dua lukisan bagus. Sebuah lukisan karya Romney dan sebuah lukisan karya Reynolds. Aku tidak tahu apakah kau tertarik untuk membeli lukisan?" Aku menggelengkan kepala. Terus terang, aku lebih suka karya pelukis-pelukis modern. "Ada beberapa pedagang seni yang hadir di sini," Phillpot melanjutkan. "Dua di antaranya datang dari London. Kaulihat laki-laki kunis yang duduk di sana sambil mencubit-cubit bibirnya" Namanya Cressington. Dia cukup terkenal. Apa kau mengajak istrimu?" "Tidak," kataku, "dia tidak begitu suka menghadiri pelelangan. Lagi pula, aku tak ingin dia ikut pagi ini." "Oh" Mengapa tidak?" "Aku ingin memberi kejutan kecil bagi Ellie," kataku. "Apa kau memperhatikan Barang Nomor 42?" Phillpot melihat katalog sekilas, kemudian memandang ke sekeliling ruangan. "Hmm. Meja dari papier machr itu" Ya. Meja kecil yang bagus. Salah satu contoh seni papier machr terbaik yang pernah kulihat. Bentuknya juga unik. Sepertinya barang itu dibuat di awal periode seni papier mache. Aku belum pernah melihat karya seni seperti itu sebelumnya." Meja kecil itu dihiasi lukisan Puri Windsor di atasnya, dan di sisi-sisinya tampak hiasan berbentuk rangkaian bunga mawar. "Kondisinya masih bagus," kata Phillpot. Ia memandangku dengan penuh ingin tahu. "Kupikir barang seperti itu tidak cocok dengan seleramu, tapi..." "Oh, memang tidak," kataku. "Meja itu terlalu berbunga-bunga dan feminin untukku. Tapi Ellie suka barang-barang seperti itu. Minggu depan dia berulang tahun, dan aku ingin menghadiahkan meja itu untuknya. Sebuah kejutan. Itu sebabnya aku tak ingin dia tahu aku hendak menawar meja itu hari ini. Aku yakin dia menyukai meja itu. Dia akan benar-benar terkejut." Kami masuk ke ruangan tempat lelang diadakan, dan mengambil tempat duduk; setelah itu pelelangan dimulai. Barang yang kuinginkan ditawarkan dengan harga cukup tinggi. Kedua pedagang dari London tadi kelihatannya juga tertarik dengan barang yang kuinginkan, namun salah seorang dari mereka tampaknya begitu profesional, hingga kita hampir tak bisa menangkap gerakannya saat ia melihat katalog yang selalu dipelototi oleh para peserta lelang lainnya. Aku juga membeli sebuah kursi kayu berukir, yang menurutku sangat cocok ditaruh di ruang depan rumah kami. Selain itu aku membeli beberapa tirai dari bahan brokat yang kondisinya masih sangat bagus. "Kelihatannya kau sangat menikmati acara lelang ini," kata Phillpot sambil bangkit berdiri ketika juru lelang mengumumkan bahwa lelang sesi pagi sudah selesai. "Apa kau ingin kembali kemari sore nanti?" Aku menggelengkan kepala. "Tidak, tak ada barang yang kuinginkan di sesi kedua. Kebanyakan yang dilelang nanti adalah perabot kamar tidur dan karpet serta barang-barang sejenisnya." "Betul, kurasa kau memang tidak akan tertarik. Yah." Phillpot memandang jam tangannya, "lebih baik kita pergi. Apa Ellie, akan menemui kita di George?" "Ya, dia akan menemui kita di sana." "Dan... eh... Miss Andersen?" "Oh, Greta pergi ke London," kataku. "Dia pergi ke toko yang menjual barangbarang linen. Dengan Miss Hardcastle, kurasa." "Oh ya, Claudia mengatakan itu kemarin. Harga-harga seprai dan barang-barang seperti itu sungguh mahal sekarang. Tahukah kau berapa harga sebuah bantal linen" Tiga puluh lima shilling. Dulu biasanya aku membeli enam buah sekaligus seharga enam shilling." "Kau sangat tahu mengenai harga barang-barang rumah tangga," kataku. "Yah, aku mendengar istriku mengeluh mengenai hal itu." Phillpot tersenyum. "Kau kelihatannya sungguh bahagia hari ini, Mike." "Itu karena aku berhasil mendapatkan meja papier mache itu," kataku, "Atau mungkin itu salah satu penyebabnya. Pagi ini aku bangun dengan perasaan bahagia. Kau tahu bukan, ada hari-hari di mana semuanya kelihatan indah." "Mmm," kata Phillpott. "berhati-hatilah. Sering kali hal seperti itu mendahului peristiwa buruk yang bakal menyusul." "Peristiwa buruk?" kataku. "Seperti takhayul bangsa Skotlandia, bukan?" "Ada kegembiraan berlebihan sebelum timbul bencana," kata Phillpot. "Lebih baik kaubendung, rasa girangmu." "Oh, aku tak percaya dengan tak-hayul seperti itu," kataku. "Juga dengan jampi-jampi orang gipsi?" "Akhir-akhir ini kami tak pernah bertemu lagi dengan gipsi itu," kataku. "Yah, setidaknya sudah seminggu lamanya." "Mungkin dia sedang pergi," kata Phillpot. Phillpot bertanya apakah ia bisa ikut menumpang mobilku, dan aku mengiyakan. "Tak ada gunanya kita menggunakan dua mobil. Kau bisa menurunkanku di sini lagi waktu pulang, bukan" Bagaimana dengan Ellie, apa dia akan membawa mobil juga?" "Ya, dia membawa mobil yang lebih kecil." "Moga-moga restoran George menyediakan menu enak siang ini," kata Mayor Phillpot. "Aku sangat lapar." "Apa kau membeli sesuatu tadi?" tanyaku. "Aku begitu asyik, sampai tidak memperhatikan." "Ya, kau harus selalu memakai akal sehatmu ketika sedang menawar. Kau harus memperhatikan apa yang dilakukan para pedagang tadi. Tidak. Aku menawar satu-dua barang, tapi semuanya dilepas pada harga jauh lebih tinggi daripada yang kutawar.?ku tahu bahwa meskipun Phillpot memiliki banyak tanah, tapi penghasilannya yang sebenarnya tidaklah seberapa. Bisa dikatakan ia miskin, meski sebenarnya ia seorang tuan tanah. Ia baru bisa mendapatkan uang banyak jika menjual sebagian besar tanahnya, tapi ia tidak mau. Ia mencintai tanahtanah miliknya. Kami sampai di George dan melihat sudah banyak mobil diparkir di sana. Mungkin mobil orang-orang yang datang ke pelelangan tadi. Aku tidak melihat mobil Ellie. Kami masuk ke dalam, dan aku mencari-cari Ellie, tapi Ia belum tiba. Saat itu memang baru pukul satu lebih sedikit. Kami masuk dan minum-minum di bar, sambil menunggu kedatangan Ellie. Tempat itu cukup ramai. Aku memandang ke arah ruang makan, dan melihat bahwa meja yang kami pesan masih kosong. Di restoran itu banyak orang desa yang wajahnya kukenal. Di meja dekat jendela, duduk seorang laki-laki yang sepertinya pernah kulihat. Aku yakin pernah bertemu dengan laki-laki itu, tapi aku tak ingat di mana dan kapan. Menurut perasaanku, ia bukan orang dari desa kami, karena pakaiannya tidak seperti yang biasa dipakai orang-orang desa. Tentu saja aku sudah bertemu dengan banyak sekali orang dalam hidupku, dan tak mungkin aku bisa mengingat mereka semua dengan mudah. Seingatku, laki-laki itu tidak menghadiri pelelangan tadi, tapi anehnya, wajahnya seperti pernah kukenal, tapi aku tak bisa mengingatnya. Mengingat wajah memang sulit, kecuali kalau kita bisa menghubungkannya dengan di mana dan kapan kita melihat wajah itu. Kepala pelayan di George, dengan pakaian sutra hitam bergaya era Raja Edward, mendekatiku dan berkata, "Apakah Anda akan segera menempati meja Anda, Mr. Rogers", Ada satu atau dua tamu lain yang sedang menunggu." "Istriku akan tiba di sini satu-dua menit lagi," kataku. Aku kembali menemani Phillpot. Kupikir mungkin ban mobil Ellie bocor. "Lebih baik kita masuk saja," kataku. "Mereka kelihatannya agak kesal, sebab cukup banyak tamu yang menginginkan meja kita. Aku khawatir Ellie bukan orang yang selalu tepat waktu." , "Ah," kata Phillpot dengan gayanya yang kuno, "para wanita selalu membiarkan kita menunggu, bukan" Baiklah, Mike, kalau itu katamu. Kita akan masuk dan mulai makan." Kami pergi ke ruang makan, memilh menu daging panggang dan kue ginjal, lalu mulai makan. "Ellie sungguh mengesalkan," kataku, "membiarkan kita menunggu seperti ini." Aku menambahkan bahwa mungkin itu karena Greta sedang berada di London. "Ellie sangat terbiasa dengan Greta yang selalu mengurus dan mengingatkannya akan acara-acara yang harus dihadirinya, berangkat pada waktunya.. dan semacam itu." "Apa dia sangat tergantung pada MissAndersen?" "Dalam hal itu, ya," kataku. Kami terus makan, menghabiskan daging panggang dan kue ginjal, serta tar apel yang dihiasi sepotong kue besar di atasnya. "Mungkin dia sama sekali lupa," kataku tiba-tiba. "Mungkin lebih baik kau meneleponnya." "Ya, kupikir lebih baik begitu." Aku pergi ke tempat telepon dan menelepon rumah kami. Mrs. Carson, juru masak kami, yang menjawab. "Oh, ternyata Anda, Mr. Rogers. Mrs. Rogers belum pulang." "Apa maksudmu, dia belum pulang" Pulang dari mana?" "Dia belum kembali dari berkuda." "Tapi dia berkuda setelah makan pagi tadi. Tak mungkin dia berkuda separjang hari." "Mrs. Rogers tidak mengatakan apa-apa. Saya sedang menunggu-nunggu kedatangannya." "Mengapa kau tidak menelepon dan memberitahuku mengenai hal ini?" tanyaku. "Yah, saya tidak tahu di mana Anda berada. Saya tidak tahu ke mana Anda pergi." Aku memberitahu Mrs. Carson bahwa kami sedang berada di George di Bartington, dan kuberitahukan nomor telepon restoran itu padanya. Ia harus segera meneleponku begitu Ellie pulang, atau jika ia mendapat kabar dari Ellie. Setelah itu aku kembali menemui Phillpot. Melihat raut wajahku, Phillpot langsung tahu bahwa ada yang tidak beres. "Ellie belum pulang," kataku. "Dia pergi berkuda pagi ini. Biasanya dia memang suka berkuda di pagi hari, tapi cuma setengah jam sampai satu jam saja." "Nah, jangan khawatir dulu," kata Phillpot dengan penuh simpati. "Kau tahu bahwa tempat tinggal kalian sangat sepi. Mungkin kudanya pincang, dan dia terpaksa berjalan menuntunnya pulang. Melalui lapangan dan menuruni bukit di belakang hutan itu. Daerah itu tidak banyak dilalui orang, sehingga dia mungkin tak bisa mengirim kabar." "Kalau dia berubah rencana dan hendak pergi menemui seseorang atau semacamnya pasti dia sudah menelepon kemari," kataku. "Dia akan meninggalkan pesan untuk kita." "Yah, jangan khawatir dulu," kata Phillpot. "Lebih baik kita pergi sekarang dan mencari tahu." Saat kami keluar ke tempat parkir, sebuah mobil lain baru saja meninggalkan tempat parkir tersebut. Laki-laki yang kullhat di restoran tadi ada di dalam mobil itu, dan tiba-tiba saja aku ingat siapa dia. Stanford Lloyd, atau seseorang yang mirip dia. Aku jadi ingin tahu, apa yang dilakukan orang itu di sini. Apakah ia bermaksud mengunjungi kami" Kalau begitu, sungguh aneh karena ia tidak memberitahu kami. Selain laki-laki itu, di dalam mobil itu juga ada seorang wanita yang mirip Claudia Hardeastle, tapi bukankah Claudia sedang berada di London dan berbelanja dengan Greta" Semua itu membuatku agak bingung.... Saat mobil kami melaju, Phillpot memandang ke arahku sekali-dua kali. Aku menangkap tatapannya satu kali dan berkata dengan nada pahit, "Baiklah. Kaubilang aku kelihatan terlalu gembira pagi ini." "Yah, jangan berpikir seperti itu. Mungkin Ellie cuma jatuh dan terkilir atau apalah. Dia mahir menunggang kuda," katanya. "Aku pernah melihatnya berkuda. Menurutku tak mungkin dia mengalami kecelakaan." "Kecelakaan bisa terjadi kapan saja," kataku. Kupacu mobilku dengan kencang, dan akhirnya kami sampai di jalan dekat rumah kami. Sebentar-bentar kami berhenti dan bertanya pada orang-orang yang lewat. Kami berhenti di dekat seorang laki-laki. yang sedang mencangkul, dan dari orang itu kami mendapatkan informasi pertama. "Saya melihat seekor kuda tanpa penunggangnya," katanya. "Kira-kira dua jam yang Ialu, atau mungkin lebih lama dari itu. Saya ingin menangkap, kuda itu, tapi binatang itu langsung lari begitu didekati. Saya tidak melihat siapa pun di dekatnya." "Lebih baik kita langsung ke rumah," saran Phillpot. "Mungkin ada kabar mengenai Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ellie di sana." Kami pulang ke rumah, tapi tidak ada kabar tentang Ellie. Aku memanggil tukang kuda kami dan menyuruhnya mengendarai kuda lain ke lapangan, untuk mencari Ellie. Phillpot menelepon rumahnya dan mengirim orang dari sana juga. Setelah itu ia dan aku menelusuri jalan setapak menembus hutan, jalan yang biasa dilalui Ellie, dan kami sampai di lereng bukit. Mulanya kami tidak melihat apa-apa. Setelah itu kami berjalan menelusuri pinggir hutan, di mana beberapa jalan kecil lainnya berakhir, dan di sanalah... di sanalah kami menemukan Ellie. Teronggok seperti setumpuk pakaian. Kuda Ellie telah kembali, dan sekarang binatang itu sedang berdiri di dekatnya. Aku mulai berlari. Phillpot mengikuti-persis di belakangku. Aku tak menyangka orang seumur dia bisa berlari secepat itu. Ellie berada di sana-tergeletak, wajahnya yang mungil dan pucat menatap ke langit. Aku berkata, "Aku tak bisa - aku tak bisa...," kemudian aku memalingkan muka. Phillpot mendekati Ellie dan berlutut di sampingnya. Ia langsung berdiri lagi. "Kita harus memanggil dokter," katanya. "Shaw. Dia dokter terdekat. Tapi... kurasa sudah tak ada gunanya, Mike." "Maksudmu... Ellie sudah meninggal?" "Ya," katanya, "tak ada gunanya berpura-pura." "Oh, Tuhan! " kataku sambil membalikkan badan. "Aku tak percaya. Tak mungkin ini terjadi pada Ellie." "Ini, minumlah ini," kata Phillpot. Ia mengambil sebotol minuman keras dari kantong bajunya, membuka tutupnya, dan menyodorkannya padaku. Aku menenggak isinya. "Terima kasih," kataku. Tukang kuda kami datang. Phillpot menyuruh orang itu pergi menjemput Dokter Shaw. 18 Shaw datang dengan mengendarai mobil Land-Rovernya yang sudah tua. Kurasa mobil itu biasa ia gunakan untuk mengunjungi tanah-tanah pertanian yang terpencil letaknya dalam cuaca buruk. Ia sama sekali tidak menghiraukan kami. Ia langsung menghampiri dan membungk-uk di depan tubuh Ellie. Setelah itu ia mendekati kami. "Dia sudah meninggal setidaknya sejak tiga atau empat jam yang lalu," katanya. "Bagaimana kejadiannya?" Aku bercerita pada dokter itu bahwa Ellie pergi berkuda seperti biasa, setelah makan pagi tadi. "Apa dia pernah mendapat kecelakaan sebelumnya pada waktu. berkuda?" "Tidak," kataku, "dia penunggang kuda yang mahir." "Ya, aku tahu dia mahir menunggang kuda. Aku pernah melihatnya sekali-dua kali. Kudengar dia sudah biasa mengendarai kuda sejak masih kanak-kanak. Aku ingin tahu, apa dia pernah mendapat kecelakaan akhirakhir ini, dan mungkin hal itu yang membuatnya agak gugup. Kuda yang ditungganginya kelihatannya tenang dan penurut...." "Bagaimana kau bisa berkata begitu" Kuda itu brutal... " "Tidak ada yang salah dengan kuda itu," kata Mayor Phillpot. "Kuda itu cukup, penurut, tidak mudah gugup. Apakah Ellie mengalami patah tulang?" "Aku belum memeriksanya secara teliti, tapi kelihatannya dia tidak mengalami luka-luka di badannya. Mungkin ada luka dalam. Kurasa dia shock." "Tapi orang tidak bisa mati gara-gara shock," kataku. "Sudah banyak orang meninggal gara-gara shock sebelum ini. Kalau dia menderita lemah jantung... "Di Amerika dia memang pernah dibilang memiliki jantung lemah atau semacam itulah." "Hmm. Aku tidak menemukan gejala apa pun saat memeriksanya. Tapi kita tidak punya alat kardiograf. Lagi pula, tak ada gunanya melakukan hal itu sekarang. Kita akan segera tahu penyebab kematiannya setelah autopsi dilakukan." Dokter Shaw memandangku dengan prihatin, kemudian menepuk-nepuk bahuku. "Pulanglah dan pergilah tidur," katanya. "Kaulah yang mengalami shock." Anehnya tiba-tiba saja orang-orang bermunculan di sekitar kami. Ada tiga atau empat orang. Seorang pejalan kaki yang sedang berjalan di jalan utama dan melihat kami mengerumuni sesuatu, seorang wanita berwajah kemerahmerahan yang kurasa hendak mengambil jalan pintas menuju sebuah pertanian. Mereka semua berseru terkejut dan berkata, "Wanita muda yang malang." "Begitu muda. Apa dia jatuh dari kuda?" "Ah, kuda memang tak bisa diduga." "Bukankah itu Mrs. Rogers, wanita Arnerika yang tinggal di The Towers?" Ketika akhirnya semua orang sudah mengutarakan rasa terkejut mereka, salah satunya yang sudah agak tua berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Aku pasti telah melihatnya tadi. Aku pasti telah melihatnya." Dokter Shaw menatap orang itu, dengan pandangan tajam. "Apa yang kaulihat?" "Aku melihat seekor kuda berlari kencang melintasi padang." "Apa kau melihat nyonya ini terjatuh?" "Tidak. Aku tidak melihatnya. Nyonya itu sedang berkuda melalui pinggir hutan ketika aku, melihatnya, dan setelah itu aku membelakanginya, karena aku sedang membersihkan jalan. Kemudian aku mendengar suara kuda meringkik, dan waktu aku mendongak, aku melihat seekor kuda berlari kencang. Tak terpikir olehku bahwa nyonya itu mengalami kecelakaan. Kupikir dia turun dari kudanya, dan entah bagaimana kudanya terlepas. Kuda itu tidak datang mendekatiku; dia berlari ke arah berlawanan." "Kau tidak melihat nyonya ini terbaring di tanah?" "Tidak, mataku sudah kabur dan tidak bisa melihat jauh. Aku bisa melihat kuda itu karena warnanya tampak jelas di cakrawala." "Apa kau melihat nyonya ini berkuda sendirian" Adakah orang yang berkuda bersamanya atau berada di dekatnya?" "Tidak ada orang di dekatnya. Tidak. Dia sendirian. Dia berkuda tidak jauh dari tempatku bekerja. Dia melewatiku dan kudanya berjalan terus. Kurasa dia sedang menuju ke arah hutan. Tidak, aku tidak melihat orang lain selain nyonya ini dan kudanya." "Mungkin gipsi yang tinggal di hutan itu telah menakut-nakutinya," kata si wanita yang wajahnya kemerah-merahan itu. Aku langsung memutar badan. "Gipsi yang mana" Kapan?" "Oh, mungkin... mungkin tiga atau empat jam yang lalu, ketika aku sedang berjalan pagi ini. Mungkin sekitar pukul sepuluh kurang seperempat aku, melihat wanita gipsi yang tinggal di pondok itu. Kurasa memang dia yang kulihat. Tapi aku tidak begitu yakin, karena aku melihatnya dari jauh. Tapi cuma wanita gipsi itu saja yang pergi ke mana-mana dengan mengenakan mantel merah. Dia melalui jalan setapak di sela-sela pepohonan. Ada yang bilang padaku wanita gipsi itu telah mengatakan hal-hal yang menakutkan pada nyonya ini. Mengancamnya. Memberitahunya bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi kalau nyonya ini tidak meninggalkan tempat ini. Kata-katanya itu sangat menakutkan, begitu yang kudengar." "Gispi," kataku. Kemudian, dengan nada pahit, aku berkata pada diriku sendiri dengan suara keras, "Gipsy's Acre. Kalau saja aku tak pernah datang kemari." BUKU TIGA 19 Sungguh aneh karena aku sulit mengingat apa yang terjadi setelah peristiwa naas itu. Maksudku, urut-urutan peristiwa yang terjadi sesudahnya. Sebelumnya, aku bisa mengingat semua kejadian dengan jelas. Aku cuma agak ragu-ragu dari mana harus memulai. Tapi sesudah peristiwa itu terjadi, aku merasa seakan-akan ada sebilah pisau yang jatuh dan membelah hidupku menjadi dua bagian. Aku tidak siap menghadapi apa-apa yang harus kualami semenjak kematian Ellie. Begitu banyak orang dan peristiwa yang berada di luar kendaliku. Berbagai peristiwa terjadi, bukan padaku, melainkan di sekelilingku. Begitulah menurut perasaanku. Semua orang bersikap baik terhadapku. Sepertinya hal itulah yang paling kuingat. Aku merasa gamang dan bingung, tak tahu apa yang harus kulakukan. Seingatku, Greta-lah yang mengurus segala sesuatunya. Ia memiliki kemampuan luar biasa yang umumnya dimiliki wanita dalam menghadapi situasi sulit. Greta-lah yang mengurus semua hal kecil yang sepertinya tidak penting, tapi sebenarnya harus dilakukan. Segala macam urusan yang tak mungkin bisa kukerjakan saat itu. Kurasa, peristiwa pertama yang kuingat dengan jelas setelah mereka membawa tubuh Ellie pergi dan aku kembali ke rumahku rumah kami - adalah kedatangan Dokter Shaw yang bermaksud berbicara denganku. Aku tidak tahu persis kapan peristiwa itu terjadi. Shaw bersikap tenang, sopan, dan rasional. Ia menjelaskan beberapa hal padaku dengan perlahan dan hati-hati. Ada urusan-urusan yang harus dibereskan. Aku ingat ia menggunakan kata "urusan". Benar-benar kata yang mengesalkan. Hal-hal dalam kehidupan, yang diungkapkan dengan kata-kata hebat - cinta, seks, hidup, mati, benci - justru bukanlah hal-hal yang mengatur eksistensi kita. Banyak hal-hal kecil yang tidak penting yang justru lebih besar pengaruhnya. Hal-hal yang harus kita lakukan, urusan-urusan yang tak pernah kita pikirkan sampai sesuatu terjadi pada kita. Urusan yang berhubungan dengan pemakaman dan penyidikan kematian Ellie. Dan para pelayan menutup tiraitirai di seluruh jendela rumah. Mengapa tirai-tirai itu harus ditutup karena Ellie sudah meninggal" Bodoh sekali! Aku ingat itu sebabnya aku merasa berterima kasih pada Dokter Shaw. Ia mengurus hal-hal seperti itu dengan penuh akal sehat menjelaskan dengan lembut mengapa hal-hal seperti penyidikan kematian harus dilakukan. Aku ingat dokter Itu berbicara dengan perlahan-lahan sekali, untuk memastikan aku memahami perkataannya. Aku tidak tahu bagaimana sebuah penyidikan dilakukan. Aku belum pernah mengalami hal itu. Aku merasa penyidikan itu seperti main-main saja. Petugas penyidik yang hadir adalah seorang laki-laki bertubuh kecil yang cerewet. Aku harus memberikan pernyataan dan menceritakan saat terakhir aku bertemu dengan Ellie pada waktu makan pagi, lalu kepergian Ellie seperti biasa untuk berkuda di pagi, hari, serta janji yang kami buat untuk makan siang bersama. Aku berkata bahwa Ellie keliliatan sama seperti biasanya, dengan kesehatan yang baik. Dokter Shaw memberikan pernyataan dengan hatihati, tapi tidak mengarah pada kesimpulan tertentu. Ellie tidak mengalami luka parah, seperti patah tulang leher dan luka-luka yang biasanya terjadi jika seseorang jatuh dari kudapokoknya tidak ada luka-luka yang cukup serius, yang dapat menyebabkan kematiannya. Tampaknya Ellie juga tidak bergerak-gerak lagi setelah terjatuh. Menurut Dokter Shaw, kematian Ellie terjadi dengan tiba-tiba. Tak ada luka dalam yang bisa menyebabkan kematiannya, dan dokter itu tak bisa memberikan penjelasan lain mengenai kematian Ellie selain karena serangan jantung yang mungkin disebabkan oleh shock. Sejauh yang bisa kumengerti dari bahasa kedokteran yang digunakan, Ellie meninggal karena tiba-tiba saja ia tak bisa bernapas. Seluruh organ tubuhnya dalam keadaan baik, isi perutnya juga normal. Greta, yang juga memberikan pernyataan, menekankan dengan nada lebih tegas apa yang dikatakannya pada Dokter Shaw dulu, bahwa Ellie pernah mengalami semacam gangguan jantung sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. Ia sendiri tak pernah tahu pasti mengenai hal itu, tapi keluarga Ellie pernah berkata bahwa jantung Ellie lemah, dan ia harus menjaga diri agar tidak terlalu kelelahan. Hanya itu yang diketahuinya. Setelah itu kami mendengarkan pernyataan orang-orang yang kebetulan berada di sekitar tempat kecelakaan terjadi. Pak tua yang sedang memotong rumput adalah orang pertama yang dipanggil. Orang itu berkata bahwa ia melihat seorang wanita melewatinya, jarak wanita itu dengan dirinya sekitar sepuluh meter. Ia tahu siapa wanita itu, meski tak pernah berbicara dengannya. Wanita itu adalah nyonya yang tinggal di rumah baru. "Apakah Anda mengenali wajahnya?" "Tidak, bukan dari wajahnya, tapi saya mengenali kudanya, Sir. Kuda itu memiliki kaki belakang berwarna putili. Binatang itu dulunya milik Mr. Carey yang tinggal di Shettlegroom. Sepengetahuan saya, kuda itu sangat jinak dan penurut, sangat cocok untuk tunggangan seorang wanita." "Apakah kuda itu tampak liar waktu Anda melihatnya" Melonjak-lonjak, misalnya"' ' "Tidak, kuda itu cukup jinak. Pagi itu pagi yang indah." Pak tua itu juga berkata bahwa ia tidak melihat banyak orang lewat di sekitarnya saat itu. Jalan setapak melalui padang rumput ltu memang jarang digunakan, kecuali oleh orang-orang yang meneambil jalan pintas ke salah satu tanah pertanian di sekitar sana. Jalan setapak yang lain letaknya sekitar satu mil dari tempat itu. Ia melihat satu-dua orang melintas di sana pagi itu, tapi ia tidak begitu memperhatikan mereka. Seingatnya, ada seorang laki-laki yang mengendarai sepeda dan seorang laki-laki lain yang berjalan kaki. Tapi jarak kedua orang itu terlalu jauh, sehingga ia tak bisa melihat siapa mereka, lagi pula ia memang tidak begitu memperhatikan mereka. Sebelum itu, kata pak tua itu lagi, sebelum ia melihat nyonya yang sedang berkuda itu, ia merasa melihat Mrs. Lee, si wanita gipsi. Wanita itu menapaki jalan setapak, menuju ke arahnya, tapi kemudian ia berbalik dan menghilang di balik pepohonan. Wanita itu memang sering berjalan kaki melewati padang rumput dan keluar-masuk hutan. Petugas penyidik bertanya, mengapa Mrs. Lee tidak hadir di pengadilan. Sepengetahuannya, wanita itu telah mendapat panggilan untuk datang ke sana. Ia diberitahu bahwa Mrs. Lee telah meninggalkan desa beberapa hari yang lalu - tak ada orang yang tahu kapan pastinya. Wanita itu tidak meninggalkan alamat tempat ia bisa dihubungi. Tapi itu memang kebiasaannya, ia sering pergi dan kembali tanpa memberitahu siapa pun. Jadi, itu bukan hal aneh. Bahkan satu-dua orang berkata mereka melihat wanita itu telah meninggalkan desa sebelum hari kecelakaan itu terjadi. Petugas penyidik bertanya pada pak tua itu lagi. "Tapi, menurut Anda, wanita tua yang Anda lihat itu adalah Mrs. Lee?" "Saya tidak yakin. Wanita yang saya lihat bertubuh tinggi, sedang berjalan sambil mengenakan mantel merah, seperti yang kadang-kadang dipakai Mrs. Lee. Tapi saya tidak benar-benar memperhatikannya. Saya sedang sibuk dengan pekerjaan saya. Mungkin wanita itu memang Mrs. Lee, tapi mungkin juga bukan. Siapa yang tahu?" Selebihnya, pak tua itu mengulangi ceritanya persis seperti yang sudah dikatakannya pada kami. Ia telah melihat seorang wanita yang menunggang kuda, dan ia cukup sering melihat wanita itu sebelumnya. Ia tidak begitu memperhatikannya. Tapi, sesudah itu, ia melihat kuda wanita itu berlari sendirian. Sepertinya ada sesuatu yang membuat binatang itu takut, kata si pak tua. "Setidaknya, begitulah menurut saya." Ia tak bisa memberitahukan jam berapa tepatnya ia melihat kuda itu. Mungkin jam sebelas, mungkin juga lebih awal. Setelah itu, ia melihat kuda itu lagi di kejauhan. Kelihatannya kuda itu berlari kembali ke arah hutan. Setelah itu, petugas penyidik memanggilku lagi dan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai Mrs. Lee - Mrs. Esther Lee yang tinggal di Vine Cottage. "Anda dan istri Anda bisa mengenali Mrs. Lee?" "Ya," kataku, "dengan cukup baik." "Apakah Anda pernah berbicara dengan wanita itu?" "Ya, beberapa kali. Atau lebih tepatnya," tambahku, "dia yang berbicara pada kami." "Apakah dia pernah mengancam Anda atau istri Anda?" Aku diam sejenak. "Sebenarnya dia memang pernah melakukan hal itu," kataku perlahan.. "tapi saya tak pernah berpikir... ?" "Anda tak pernah berpikir apa?" "Saya tak pernah berpikir bahwa dia bersungguh-sungguh dengan ancamannya," kataku. "Apakah kelihatannya wanita itu menyimpan dendam terhadap istri Anda?" "Istri saya pernah berkata demikian. Dia merasa Mrs. Lee dendam kepadanya, tapi dia tidak tahu sebabnya." "Apakah Anda atau istri Anda pernah mengusirnya, Malam Tanpa Akhir Endless Night Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengancamnya, atau berlaku kasar kepadanya?" "Semua tindakan kasar datangnya dari wanita itu," kataku. "Apakah Anda pernah berpikir bahwa wanita itu tidak waras?" Aku mempertimbangkan pertanyaan itu. "Ya," kataku, "saya memang pernah berpikir seperti itu. Menurut saya, Mrs. Lee merasa bahwa tanah tempat kami membangun rumah kami adalah miliknya, atau milik kelompoknya, atau apalah mereka menyebut diri mereka. Dia sepertinya terobsesi dengan hal itu." Aku menambahkan dengan suara perlahan, "Saya rasa semakin lama dia semakin terobsesi dengan pikirannya." "Begitu" Mrs. Lee tak pernah menyerang istri Anda secara fisik?" "Tidak," kataku perlahan. "Caranya menyerang bukan seperti itu. Dia melakukannya dengan melemparkan jampi-jampi seperti yang biasa dilakukan orang gipsi. Kau akan bernasib buruk jika kau tetap tinggal di sini. Kau akan dikutuk kalau tidak pergi dari sini.` "Apakah dia menyebut-nyebut tentang kematian?" "Ya, sepertinya begitu. Kami tidak menanggapinya dengan serius. Setidaknya," kataku membetulkan, "saya tak pernah menanggapinya." "Apakah menurut Anda istri Anda menanggapi ancaman Mrs. Lee?" "Saya rasa kadang-kadang memang demikian. Kata-kata wanita tua itu memang cukup menakutkan. Tapi saya rasa dia tidak benar-benar bermaksud jahat dengan katakata atau perlakuannya." Petugas penyidik kemudian mengumumkan bahwa penyidikan ditunda dua minggu lagi. Semua pernyataan yang telah diberikan kelihatannya mengarah pada kematian karena kecelakaan, tapi tidak ada bukti cukup untuk mendukung apa yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi. Petugas menunda penyidikan sampai ia bisa mendapatkan pernyataan dari Mrs. Esther Lee. 20 Sehari sesudah penyidikan berlangsung, aku menemui Mayor Phillpot dan berkata terus terang padanya bahwa aku memerlukan pendapatnya. Si pak tua kemarin mengatakan ia melihat seseorang yang mirip Mrs. Esther Lee berjalan melalui hutan pagi itu. "Kau kenal wanita itu," kataku. "Apa menurutmu dia mampu menyebabkan kecelakaan dengan sengaja?" "Aku tidak yakin Mike," kata Mayor Phillp, "untuk melakukan hal seperti itu, orang harus memiliki motif kuat. Dendam pribadi atau semacamn.ya. Dan apa yang pernah dilakukan Ellie pada wanita gipsi itu" Tak ada." "Aku tahu, memang kedengarannya gila. Mengapa wanita itu terus-menerus muncul dengan tiba-tiba, mengancam Ellie dan menyuruhnya pergi" Sepertinya dia menyimpan dendam terhadap Ellie, tapi bagaimana mungkin" Dia tak pernah bertemu Ellie sebelumnya. Apa artinya Ellie baginya, selain orang asing dari Amerika" Tak ada hubungan antara mereka di masa lalu." "Aku tahu, aku tahu," kata Phillpot. "Aku merasa ada sesuatu yang tidak kita pahami dalam hal ini. Aku tidak tahu sejauh mana istrimu pernah berada di Inggris sebelum dia menikah. Apa dia pernah tinggal di desa ini sebelumnya?" "Tidak, aku yakin itu. Semua ini sulit sekali. Aku tidak sepenuhnya tahu tentang diri Ellie. Maksudku, orang-orang yang dikenalnya atau ke mana dia pernah pergi. Kami tiba-tiba saja... bertemu." Aku menenangkan diri dan memandang Phillpot sambil berkata, "Kau tidak tahu bagaimana kami bertemu, bukan" Tidak," lanjutku, "kau takkan pernah bisa menebak bagaimana kami bertemu dulu." Dan tiba-tiba saja, tanpa bisa kutahan, aku tertawa. Aku berusaha mengendalikan diriku, tapi tak bisa. Aku merasa sudah hampir histeris. Bisa kulihat wajah Phillpot yang tampak sabar, menunggu sampai aku bisa mengendalikan diri kembali. Ia memang orang yang penuh pengertian. Itu sudah pasti. "Kami bertemu di sini," kataku. "Di Gipsy's Acre. Aku sedang membaca pengumuman bahwa rumah itu dijual, dan aku berjalan mendaki bukit sampai ke sana, karena ingin tahu mengenai tempat itu. Pada saat itulah aku pertama kali melihat Ellie. Dia sedang berdiri di bawah sebatang pohon. Aku mengejutkannya - atau mungkin dialah yang mengejutkanku. Pokoknya, begitulah mulanya. Itulah awal ceritanya sampai kami tinggal di sini, di tempat terkutuk ini." "Apa kau sudah merasa demikian sebelumnya" Bahwa tempat itu tempat terkutuk?" "Tidak. Ya. Tidak, aku tidak tahu. Aku tak pernah mengakuinya. Aku tak pernah mau mengakuinya. Tapi kurasa Ellie tahu. Kurasa Ellie memang merasa takut pada tempat ini sejak dulu." Kemudian aku berkata dengan nada perlahan, "Kurasa ada yang sengaja ingin menakut-nakutinya." Phillpot berkata dengan nada tajam, "Apa maksudmu" Siapa yang ingin menakutnakutinya?" "Mungkin wanita gipsi itu. Tapi aku tidak begitu yakin. Tahukah kau, wanita itu pernah bersembunyi dan menunggu Ellie, kemudian berkata pada Ellie bahwa tempat ini membawa sial" Lalu dia menyuruh Ellie pergi dari sini." "Ck... ck!" Phillpott mendecak marah. "Kalau saja aku tahu itu. Pasti aku akan langsung berbicara dengan si tua Esther dan mengatakan padanya bahwa dia tak boleh berbuat begitu." "Mengapa dia melakukan itu?" tanyaku, "yang membuatnya melakukan itu?" "Seperti banyak orang," kata Phillpott, "dia suka merasa dirinya penting. Dia suka memberi peringatan pada orang-orang, atau membacakan peruntungan mereka. Dia suka berpura-pura tahu tentang misa depan." "Misalkan ada orang yang memberinya uang " kataku perlahan. "Aku pernah diberitahu bahwa wanita gipsi itu sangat suka uang." "Ya, dia memang sangat suka uang. Kalau ada seseorang yang membayarnya - begitu menurutmu, bukan" Apa sebabnya kau berpikir demikian?" "Sersan Keene," kataku. "Aku sendiri tak pernah berpikir seperti itu sebelumnya." "Begitu." Phillpot menggelengkan kepalanya dengan ragu. "Aku tak percaya dia sengaja mencoba menakut-nakuti istrimu hingga menyebabkan kecelakaan itu terjadi." "Mungkin dia tak mengira akan menyebabkan kecelakaan fatal. Mungkin dia telah menakut-nakuti kuda Ellie," kataku. "Melemparkan petasan atau melambai-lambaikan selembar kertas putih atau semacamnya. Tahukah kau, kadangkadang aku merasa wanita gipsi itu memang menyimpan semacam dendam pribadi terhadap Ellie, kebencian yang timbul karena suatu alasan yang tidak kuketahui." "Itu kedengarannya agak mustahil." "Apakah tempat ini pernah menjadi milik Mrs. Lee?" tanyaku. "Tanah ini, maksudku." "Tidak. Orang-orang gipsi telah diusir dari tanah ini, mungkin lebih dari sekali. Mereka selalu diusir dari berbagai tempat, tapi aku tidak yakin apakah mereka sampai mendendam. gara-gara itu." "Tidak," kataku, "memang kedengarannya agak mengada-ada. Tapi aku jadi ingin tahu, apakah karena suatu alasan yang tidak kita ketahui, wanita gipsi itu dibayar... " "Suatu alasan yang tidak kita ketahui" Alasan apa itu?" Aku berpikir sejenak. "Apa yang akan kukemukakan ini memang kedengarannya tak masuk akal. Misalnya, seperti yang pernah dikatakan Keene dulu, ada seseorang yang membayar wanita gipsi itu untuk menakut-nakuti Ellie. Apa sebenarnya yang diinginkan orang itu" Mungkin mereka ingin kami berdua meninggalkan tempat ini. Mereka mungkin akan berusaha melakukannya terhadap Ellie, bukan terhadapku, karena aku tidak mudah takut seperti Ellie. Mereka menakut-nakuti Ellie untuk memaksanya - dan artinya memaksa kami berdua - untuk meninggalkan tempat ini. Kalau begitu, pasti ada alasan tertentu mengapa mereka menginginkan tempat ini dijual lagi. Mungkin ada orang-orang yang menginginkan rumah kami ini untuk alasan tertentu." Aku berhenti berbicara. "Jalan pikiranmu masuk akal," kata Phillpott, "tapi untuk alasan apa mereka Pedang Pusaka Naga Putih 3 Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah Misteri Mayat Darah 2

Cari Blog Ini