Ceritasilat Novel Online

Lapangan Golf Maut 1

Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie Bagian 1


MURDER ON THE LINKS By Agatha Christie LAPANGAN GOLF MAUT Alihbahasa: Ny. Suwarni A.S.
Penerbit: PT Gramedia Jakarta, November 1985 POIROT HERAN ketika dia menerima sepucuk surat permintaan tolong penuh harapan dari seseorang
yang ternyata sudah meninggal, dan tiba tepat pada saat pemakaman.
POIROT BINGUNG ketika semua jalur pemeriksaan dan semua kesimpulan yang diambilnya, ternyata
salah. POIROT SAKIT HATI ketika dia dicemoohkan oleh inspektur polisi setempat, dan dia terancam oleh
kegagalan yang sangat memalukan.
POIROT BERADA DI PUNCAK kemampuannya yang tak ada duanya, yang bangkit untuk menghadapi tantangan yang
terbesar, yaitu seorang pembunuh kalap yang meninggalkan serangkaian petunjuk
yang berbelit-belit, untuk menyesatkan dan menghancurkan.
Bab 1 TEMAN SEPERJALANAN ADA sebuah lelucon terkenal mengenai seorang pengarang muda. Dia bertekad untuk
membuat awal ceritanya menarik dan lain dari yang lain, dalam usahanya untuk
menarik dan mencengkam perhatian para editor yang paling cerewet. Untuk itu dia
telah menulis di awal ceritanya itu, kalimat berikut: "'Sialan!' kata wanita
bangsawan itu." Anehnya, kisahku ini diawali dengan cara yang sama. Bedanya, wanita yang
mengucapkan kata itu bukan wanita bangsawan!
Hari itu adalah suatu hari di awal bulan Juni. Aku baru saja menyelesaikan suatu
urusan di Paris, dan sedang berada dalam kereta api pagi dalam perjalananku ke
London, di mana aku masih tinggal sekamar dengan sahabat lamaku, seorang Belgia
bekas detektif, Hercule Poirot.
Kereta api ekspres Calais boleh dikatakan kosong - dalam gerbongku bahkan hanya
ada seorang penumpang lain. Aku berangkat dari hotel agak tergesa-gesa, dan
ketika aku sibuk memeriksa apakah semua barangku sudah terkumpul, kereta api pun
berangkat. Selama kesibukanku itu aku hampir-hampir tak melihat teman
segerbongku, tetapi kini aku benar-benar menyadari kehadirannya. Sambil melompat
dari tempat duduknya, diturunkannya jendela lalu diulurkannya kepalanya ke luar.
Sebentar kemudian ditariknya kembali kepalanya sambil berseru dengan keras,
"Sialan!" Aku ini orang kolot. Aku berpendirian bahwa seorang wanita harus bersikap
kewanitaan. Aku tak sabaran melihat gadis modern yang gila-gilaan, yang berdansa
dari pagi sampai malam, yang merokok tanpa berhenti, dan menggunakan bahasa yang
akan membuat seorang wanita nelayan tersipu-sipu!
Maka aku mengangkat mukaku dengan agak mengerutkan dahiku. Terpandang olehku
seraut wajah cantik yang menantang tanpa malu. Dia memakai topi kecil yang molek
berwarna merah. Seuntai rambut ikal yang berwarna hitam menutupi kedua belah
telinganya. Menurut perkiraanku, umurnya baru tujuh belas tahun lebih sedikit.
Tanpa malu-malu dia membalas pandanganku, lalu meringis.
"Aduhai, kita telah membuat Bapak yang baik hati itu terkejut!" katanya pada
seseorang yang sebenarnya tak ada. "Maafkan bahasa saya yang buruk! Sangat tak
pantas bagi seorang wanita terhormat, saya tahu itu, tapi saya punya alasan
untuk itu! Saya telah kehilangan satu-satunya saudara perempuan saya."
"Begitukah?" kataku dengan sopan. "Malang benar Anda."
"Beliau tak suka!" kata wanita itu. "Beliau benar-benar tak suka - padaku dan
pada saudara perempuanku. Sungguh tak adil untuk tidak menyukai kakakku itu,
karena beliau belum melihatnya!"
Aku membuka mulutku, tetapi dia sudah mendahuluiku.
"Tak usah berkata apa-apa! Tak seorang pun suka pada saya! Biarlah saya menelan
kekecewaan ini! Saya memang tak beres!"
Dia menyembunyikan dirinya di balik sebuah surat kabar komik berbahasa Prancis
yang besar. Sebentar kemudian kulihat matanya mengintip padaku dari tepi atas
surat kabar itu. Aku tak dapat menahan senyumku. Dia langsung melemparkan surat
kabar itu, lalu tertawa ceria.
"Saya sudah menduga bahwa Anda tidaklah segoblok yang saya sangka semula,"
katanya berseru. Tawanya menulari diriku, dan mau tak mau aku ikut-ikutan, meskipun aku tak
senang mendengar kata 'goblok' tadi. Gadis itu benar-benar tipe gadis yang
paling tak kusukai, tapi tak ada alasan mengapa aku lalu harus bersikap tak
wajar. Aku mau mengalah. Apalagi dia benar-benar cantik.
"Nah! Sekarang kita bersahabat!" kata gadis nakal itu. "Katakan bahwa Anda
kasihan pada kakakku tadi - "
"Aku kasihan!" "Begitu sebaiknya!"
"Aku belum selesai. Aku ingin menambahkan bahwa meskipun aku kasihan padanya,
aku sama sekali tidak keberatan dia tak hadir di sini." Aku agak membungkuk.
Tetapi wanita yang aneh itu mengerutkan alis matanya lalu menggeleng.
"Jangan begitu. Aku lebih suka sikap 'tak suka yang terselubung' seperti tadi
itu. Bukan main wajahmu tadi! Wajah itu seolah-olah berkata, 'Dia bukan orang
yang pantas masuk golonganku.' Dan kau memang benar - meskipun, ingat baik-baik,
zaman sekarang ini sukar kita membedakannya. Tak semua orang bisa membedakan
antara seorang wanita setan dan seorang wanita bangsawan. Nah, mungkin aku telah
membuatmu terkejut lagi! Kau kelihatannya berpendirian kolot. Tapi biarlah.
Dunia bahkan akan lebih baik kalau ada beberapa orang lagi seperti kau. Aku
benci sekali pada laki-laki yang tak sopan. Aku jadi marah dibuatnya."
Dia menggeleng kuat-kuat.
"Bagaimana kau kalau sedang marah, ya?" tanyaku dengan tersenyum.
"Aku jadi benar-benar seperti setan! Tak peduli aku apa yang kukatakan dan apa
yang kulakukan! Aku pernah hampir membunuh seorang laki-laki. Ya, sungguh. Dia
memang pantas dibunuh. Aku ini berdarah Itali. Aku kuatir, suatu hari kelak, aku
akan mengalami kesulitan."
"Pokoknya, jangan marah padaku," pintaku.
"Tidak akan. Aku suka padamu - sudah sejak pertama kali aku melihatmu. Tapi kau
kelihatan benci sekali, hingga kupikir kita tidak akan pernah bisa bersahabat."
"Nyatanya, kita sekarang sudah bersahabat. Ceritakan sesuatu tentang dirimu."
"Aku seorang aktris. Bukan - bukan aktris seperti yang kaubayangkan, yang makan
siang di Hotel Savoy dengan bertaburkan perhiasan, dan yang fotonya terpampang
di setiap surat kabar dan mengatakan bahwa mereka sangat menyukai krem muka
buatan Nyonya Anu. Aku berada di atas pentas sejak aku berumur enam tahun kerjaku jempalitan."
"Apa katamu?" tanyaku heran.
"Tak pernahkah kau melihat akrobat-akrobat cilik?"
"Oh itu, aku mengerti."
"Aku lahir di Amerika, tapi sebagian besar dari hidupku kuhabiskan di Inggris.
Sekarang kami sedang mengadakan pertunjukan baru - "
"Kami?" "Kakakku dan aku. Pertunjukan kami adalah semacam tari dan nyanyi, main sulap
sedikit, dan dicampur pula dengan pertunjukan model lama. Penonton selalu suka
pertunjukan macam itu. Lagi pula mendatangkan uang - "
Kenalan baruku itu duduk dengan agak membungkuk, lalu bercerita dengan panjang
lebar dengan menggunakan istilah-istilah yang kebanyakan tak dapat kumengerti.
Namun aku merasa makin menaruh perhatian padanya. Dia merupakan campuran yang
aneh antara kanak-kanak dan wanita dewasa. Meskipun dia kelihatan benar-benar
banyak tahu mengenai dunia, dan seperti dikatakannya sendiri, mampu menjaga
dirinya sendiri, namun ada suatu ketulusan yang aneh dalam sikapnya menghadapi
kehidupan, serta keyakinannya yang penuh untuk 'berbuat baik'. Bayangan dunia
yang tak kukenal itu punya daya tarik terhadap diriku, dan aku suka melihat
wajah kecilnya yang hidup dan berapi-api bila sedang berbicara.
Kami melewati Amiens. Nama itu menimbulkan kenangan lama. Temanku itu rupanya
punya naluri yang memungkinkannya mengetahui apa yang ada dalam benakku.
"Kau sedang teringat akan perang, rupanya?"
Aku mengangguk. "Kurasa kau terlibat dalam peperangan itu, ya?"
"Benar-benar terlibat. Aku luka dan aku jadi cacat. Aku menjabat pekerjaan
setengah tentara. Sekarang aku menjadi sekretaris pribadi seorang anggota
Parlemen." "Bukan main! Itu pekerjaan orang pintar!"
"Bukan. Sebenarnya sedikit sekali yang harus dikerjakan. Biasanya dalam beberapa
jam sehari saja aku sudah bisa menyelesaikan pekerjaanku. Pekerjaan itu juga
membosankan. Terus terang, aku tak tahu apa yang harus kulakukan, bila tak ada
sesuatu tempatku mengalihkan pikiranku."
"Mudah-mudahan saja pekerjaan sampinganmu itu bukan mengumpulkan serangga!"
"Tidak. Aku tinggal sekamar bersama seorang pria yang menarik. Dia berkebangsaan
Belgia - seorang bekas detektif. Dia sekarang menetap di London sebagai detektif
swasta, dan usahanya maju sekali. Dia seorang pria kecil yang benar-benar luar
biasa. Sering-sering dia membuktikan dirinya benar padahal polisi yang bertugas
mengalami kegagalan."
Teman seperjalananku itu mendengarkan dengan mata lebar.
"Menarik sekali. Aku suka sekali akan kejahatan. Aku selalu nonton film-film
misteri. Dan bila ada berita pembunuhan, kulahap berita dalam surat kabar itu."
"Apakah kau ingat 'Peristiwa Styles'?" tanyaku.
"Coba kuingat-ingat dulu. Bukankah peristiwa mengenai wanita tua yang diracun
itu" Di suatu tempat di Essex?"
Aku mengangguk. "Itulah perkara besar yang pertama yang diselesaikan oleh
Poirot. Kalau bukan karena dia, pembunuhnya pasti sudah bebas lepas. Itu memang
suatu karya detektif yang hebat."
Karena sudah mulai dengan bahan itu, aku terus menceritakan tentang peristiwa
itu, sampai pada penyelesaiannya yang gemilang yang tak disangka-sangka. Gadis
itu mendengarkan dengan terpesona. Kami berdua bahkan demikian asyiknya, hingga
tanpa kami sadari, kereta sudah masuk ke stasiun Calais.
"Astaga!" seru temanku itu. "Mana kotak bedakku, ya?"
Dia lalu membedaki wajahnya, kemudian memoles bibirnya, sambil melihat hasilnya
di cermin saku yang kecil. Setelah selesai, dia tersenyum puas, lalu menyimpan
cermin dan kotak alat-alat kecantikannya ke dalam tasnya. "Sekarang lebih baik,"
katanya. "Menjaga penampilan itu cukup melelahkan, tapi bila seorang gadis punya
harga diri, dia tak boleh membiarkan dirinya acak-acakan."
Aku berurusan dengan beberapa orang pekerja stasiun, lalu kami turun ke peron.
Temanku itu mengulurkan tangannya.
"Selamat berpisah, lain kali aku akan menggunakan bahasa yang baik."
"Ah, tapi aku kan boleh mengawasimu di kapal nanti?"
"Mungkin aku tidak akan berada di kapal. Aku harus melihat apakah kakakku
ternyata naik kereta itu juga tadi. Tapi terima kasih."
"Ah, tapi bukankah kita masih akan bertemu" Aku - ", aku ragu. "Aku ingin bertemu
dengan kakakmu." Kami berdua tertawa. "Kau baik. Akan kusampaikan padanya apa yang telah kaukatakan. Tapi kurasa kita
tidak akan bertemu lagi. Kau baik sekali selama dalam perjalanan, terutama
karena aku telah begitu tak sopan terhadapmu. Tapi apa yang terungkap di wajahmu
mula-mula tadi itu memang benar. Aku memang bukan seseorang dari golonganmu. Dan
itu akan menimbulkan kesulitan - aku tahu betul itu."
Wajahnya berubah. Sesaat semua keceriaannya sirna. Wajah itu membayangkan amarah
- dan dendam. "Jadi, selamat berpisah," katanya akhirnya dengan nada yang lebih ringan.
"Tidakkah kau akan memberitahukan namamu padaku?" tanyaku waktu dia berbalik.
Dia menoleh ke arahku. Terlihat lesung pipit di kedua belah pipinya. Dia tak
ubahnya suatu lukisan indah.
"Cinderella," katanya, lalu tertawa.
Aku sama sekali tak menyangka kapan dan dengan cara bagaimana aku akan bertemu
lagi dengan Cinderella. Bab 2 PERMINTAAN TOLONG PUKUL sembilan lewat lima menit esok paginya aku memasuki ruang tamu yang kami
pakai bersama untuk sarapan. Sahabatku Poirot, yang sebagaimana biasanya selalu
tepat pada waktunya, sedang mengetuk-ngetuk kulit telurnya yang kedua.
Wajahnya berseri-seri waktu aku masuk.
"Kau pasti tidur nyenyak, ya" Sudahkah kau pulih dari perjalanan penyeberangan
yang melelahkan itu" Sungguh hebat, kau datang hampir pada waktunya pagi ini.
Maaf, tapi letak dasimu tak simetris. Mari kubetulkan."
Aku sudah pernah melukiskan diri Hercule Poirot. Seorang pria kecil yang luar
biasa! Tingginya satu meter enam puluh, kepalanya berbentuk telur, yang selalu
agak dimiringkannya, matanya bersinar hijau bila ada sesuatu yang
mendebarkannya, kumisnya kaku seperti kumis tentara, sikapnya selalu anggun!
Penampilannya apik dan perlente. Dia mempunyai perhatian yang besar sekali
mengenai kerapian. Bila melihat letak suatu barang perhiasan tak benar, atau
setitik debu, atau letak pakaian seseorang agak mengganggu penglihatan, pria
kecil itu akan merasa tersiksa. Perasaan tersiksa itu baru akan hilang bila dia
bisa memperbaiki hal itu. Dia mendewakan 'Aturan' dan 'Teori'. Dia selalu
meremehkan barang bukti yang nyata, seperti bekas tapak kaki dan abu rokok, dan
berpendapat bahwa barang-barang itu tidak akan pernah memungkinkan seorang
detektif menyelesaikan suatu masalah. Maka dengan tenang sekali dia akan
mengetuk kepalanya yang berbentuk telur itu, dan berkata dengan penuh keyakinan,
"Pekerjaan yang sebenar-benar pekerjaan, dikerjakan dari dalam sini. Oleh selsel kecil yang berwarna abu-abu di sini ini - ingat selalu, sel-sel kecil
berwarna abu-abu, mon ami!"
Aku duduk di tempatku, lalu untuk menjawab kata-kata sambutannya tadi, aku
berkata sambil lalu, bahwa penyeberangan laut dari Calais ke Dover yang hanya
satu jam itu tak dapat dikatakan 'melelahkan'.
Poirot menggoyang-goyangkan sendok telurnya kuat-kuat dalam membantah katakataku itu. "Sama sekali tidak benar! Bila dalam waktu satu jam itu seseorang
mengalami suatu sensasi dan emosi yang sangat menyakitkan, maka orang itu akan
menghayatinya selama berjam-jam! Bukankah salah seorang penyair Inggris sendiri
pernah menulis, bahwa waktu itu tidak dihitung dengan jam, melainkan dengan
detak jantung?" "Tapi kurasa bahwa yang dimaksud oleh Browning, sang penyair, adalah sesuatu
yang lebih romantis daripada mabuk laut."
"Karena dia adalah seorang Inggris, seorang dari kepulauan yang menganggap
Spanyol itu bukan apa-apa. Ah, kalian orang-orang Inggris ini! Kami lain!"
Dia tiba-tiba menjadi tegang lalu menunjuk ke tempat roti dengan dramatis.
"Ah, itu lagi, bagus benar!" serunya.
"Ada apa?" "Insan roti itu. Adakah kaulihat?" Diambilnya potongan roti dari tempatnya, lalu
diangkatnya supaya kulihat.
"Segi empatkah ini" Tidak. Segi tigakah" Juga tidak. Ataukah bulat" Lagi-lagi
tidak. Apakah bentuknya membuat enak mata memandang barang sedikit saja" Simetri
apa yang kita lihat di sini" Sama sekali tak ada."
"Roti adalah potongan dari sebatang roti, Poirot," aku menjelaskan untuk
menyenangkan hatinya. Poirot memandangiku dengan murung.
"Bagaimana kecerdasan sahabatku Hastings ini!" serunya dengan mencemooh.
"Tidakkah kau mengerti bahwa aku sudah melarang membeli roti seperti ini - roti
yang sembarangan saja dan tak tentu bentuknya. Sebenarnya tak boleh ada seorang
pun tukang roti yang sudi membuatnya!"
Aku berusaha untuk mengalihkan pikirannya.
"Adakah sesuatu yang menarik yang datang melalui pos?"
Poirot menggeleng dengan sikap tak senang.
"Aku belum memeriksa surat-suratku, tapi kurasa tak ada yang menarik hari ini.
Penjahat-penjahat besar, penjahat-penjahat yang bekerja memakai teori, tak ada
lagi. Perkara-perkara yang harus kutangani akhir-akhir ini, sangat tak berarti.
Kedudukanku sekarang ini sebenarnya sudah merosot menjadi tukang mencari anjinganjing kesayangan untuk para wanita terkemuka! Perkara terakhir yang agak
menarik adalah perkara kecil yang rumit mengenai berlian Yardley itu, padahal
itu - sudah berapa bulan yang lalu, Sahabatku?"
Dia menggeleng dengan murung.
"Besarkan hatimu, Poirot, nasib akan berubah. Bukalah surat-suratmu. Siapa tahu
mungkin akan muncul suatu perkara besar."
Poirot tersenyum, lalu mengambil pisau kecil pembuka amplop yang selalu
dipakainya untuk membuka surat-suratnya, dan dipotongnya bagian atas dari
beberapa buah amplop yang terletak di dekat piringnya.
"Surat tagihan. Surat tagihan lagi. Suatu bukti bahwa dalam usia tua ini aku


Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah menjadi pemboros. Nah, sepucuk surat dari Japp."
"Ya?" Aku memasang telingaku. Inspektur dari Scotland Yard itu telah berulang
kali menawarkan kepada kami perkara yang menarik.
"Dia hanya mengucapkan terima kasih padaku (dengan caranya sendiri), atas
bantuan kecilku dalam Perkara Aberystwyth, karena waktu itu aku telah memberinya
petunjuk yang benar. Aku senang sudah membantunya."
"Bagaimana dia mengucapkan terima kasihnya?" tanyaku ingin tahu, karena aku tahu
siapa Japp itu. "Dia cukup baik. mengatakan bahwa aku masih hebat dalam usiaku yang sudah
begini, dan bahwa dia senang telah mendapatkan kesempatan untuk menyertakan aku
dalam perkara itu." Itu memang ciri khas Japp, hingga aku tak bisa menahan tawaku. Poirot terus
membaca surat-suratnya dengan tenang.
"Ini ada suatu usul supaya aku memberikan ceramah pada perkumpulan Pramuka
setempat. Countess Forfanock akan merasa mendapatkan kehormatan bila aku mau
mengunjunginya. Pasti aku akan disuruhnya mencari anjing kesayangannya lagi!
Nah, ini yang terakhir. Nah - "
Aku segera mendengar perubahan nada bicaranya, lalu mengangkat mukaku. Poirot
sedang membaca dengan penuh perhatian. Sebentar kemudian dilemparkannya kertas
surat itu padaku. "Yang ini luar biasa, mon ami. Coba baca sendiri."
Surat itu ditulis di atas kertas buatan luar negeri, ditulis tangan dengan huruf
besar-besar. Villa Genevi?ve Merlinville-sur-Mer Prancis Tuan yang terhormat. Saya memerlukan bantuan seorang detektif, dan dengan alasan yang nanti akan saya
katakan pada Anda, saya tak ingin meminta bantuan polisi. Saya telah banyak
mendengar tentang Anda dari beberapa sumber. Semua laporan menunjukkan bahwa
Anda tidak saja punya kemampuan besar, tetapi juga orang yang amat pandai
menyimpan rahasia. Saya tak dapat menceritakan apa-apa secara terperinci, karena
pos tidak dapat dipercaya, tetapi karena rahasia yang ada dalam tangan saya,
setiap hari saya merasa ketakutan. Saya yakin bahwa bahaya itu benar-benar
mengancam, dan oleh karenanya saya mohon agar Anda secepat mungkin menyeberang
ke Prancis. Saya akan mengirim mobil untuk menjemput Anda di Calais bila Anda
mengirim telegram kapan Anda akan tiba. Saya akan berterima kasih sekali bila
Anda mau melepaskan semua perkara yang sedang Anda tangani, dan memusatkan
seluruh perhatian Anda untuk kepentingan saya. Saya bersedia membayar semua
ganti ruginya. Mungkin saya akan membutuhkan tenaga Anda untuk waktu yang agak
lama, karena mungkin Anda akan perlu pergi ke Santiago, di mana saya pernah
tinggal beberapa lamanya. Saya akan senang bila Anda mau menyebutkan berapa
imbalan yang Anda minta. Saya tekankan sekali lagi bahwa soal ini mendesak.
Hormat saya. P.T. Renauld Di bawah tanda tangan itu tertulis sebaris kata-kata yang dicantumkan dengan
tergesa-gesa, sehingga hampir tak terbaca: Demi Tuhan, datanglah!
Surat itu kukembalikan pada Poirot dengan jantung berdebar.
"Akhirnya datang!" kataku. "Inilah sesuatu yang jelas lain dari biasanya."
"Memang," kata Poirot sambil merenung.
"Kau tentu akan pergi, bukan?" lanjutku.
Poirot mengangguk. Dia sedang berpikir dalam sekali. Akhirnya dia rupanya telah
mengambil keputusan, lalu mendongak melihat jam. Wajahnya serius.
"Dengar, Sahabat, kita tak boleh membuang waktu. Kereta api ekspres Continental
berangkat dan stasiun Victoria pukul sebelas. Jangan bingung. Kita masih sempat
berunding selama sepuluh menit. Kau tentu ikut aku, bukan?"
"Yaaah - " "Kau sendiri berkata bahwa majikanmu tidak akan membutuhkan tenagamu selama
beberapa minggu ini."
"Memang benar. Tapi Tuan Renauld ini menekankan dengan tegas bahwa urusannya
bersifat pribadi sekali."
"Alaa, aku bisa menangani Tuan Renauld. Omong-omong, rasanya aku pernah
mendengar nama itu."
"Ada seorang jutawan di Amerika Selatan. Namanya Renauld, meskipun kupikir dia
orang Inggris asli. Aku tak tahu apakah dia orangnya."
"Pasti dia. Itu sebabnya ada disebut-sebutnya tentang Santiago. Santiago itu
terletak di Chili, dan Chili ada di Amerika Selatan! Nah, kita telah membuat
kemajuan yang baik."
"Wah, wah, Poirot," kataku dengan lebih berdebar, "aku sudah bisa mencium bau
uang banyak dalam perkara ini. Bila kita berhasil, kita akan kaya!"
"Jangan terlalu berharap, Teman. Seorang kaya tak begitu mudah mau berpisah dari
uangnya. Aku pernah melihat seorang jutawan terkenal, yang mengerahkan orang
satu trem penuh hanya untuk mencarikan uangnya setengah penny yang jatuh."
Aku mengakui kebenaran kata-kata itu.
"Bagaimanapun juga," Poirot melanjutkan, "bukan uangnya yang menarik bagiku
dalam hal ini. Memang akan menyenangkan bila kita diberi kuasa penuh dalam
pengeluaran uang dalam penyelidikan kita. Dengan demikian kita bisa yakin bahwa
kerja kita tidak akan terlalu banyak menyita waktu. Tapi kadang-kadang dalam
perkara yang menarik perhatianku, soal itu sulit. Adakah kaulihat tambahan yang
di bawah itu" Bagaimana kesanmu?"
Aku mempertimbangkannya. "Jelas bahwa waktu dia menulis surat itu dia menguasai
dirinya, tetapi pada akhirnya dia kehilangan penguasaan dirinya, dan dengan
dorongan hati yang tak terkendalikan, ditulisnyalah ketiga kata itu."
Tetapi sahabatku itu menggeleng kuat-kuat.
"Kau keliru. Tidakkah kaulihat bahwa tinta untuk tanda tangannya hampir hitam
warnanya, sedang tinta untuk tambahan itu pucat sekali?"
"Lalu?" tanyaku heran.
"Ya, Tuhan, mon ami, gunakan sel-sel kecil kelabumu! Apakah kurang jelas" Tuan
Renauld menulis surat ini. Tanpa mengeringkan tintanya, dia membacanya lagi
dengan saksama. Kemudian, bukan hanya terdorong, melainkan dengan sengaja,
ditambahkannya kata-kata yang terakhir itu, lalu mengeringkannya?"
"Mengapa?" "Parbleu! Supaya bisa memberikan kesan atas diriku, sebagaimana kau telah
terkesan." "Apa?" "Mais, oui - supaya aku benar-benar datang! Dibacanya lagi suratnya itu, lalu
dia merasa tak puas. Surat itu dirasanya tak cukup kuat!"
Dia berhenti, lalu menambahkan perlahan-lahan dengan mata yang bersinar hijau
yang selalu menandakan gejolak hatinya. "Maka, mon ami, karena kata-kata
tambahan itu ditambahkan bukan karena dorongan hati, melainkan dengan kesadaran,
dengan darah tenang, itu menandakan betapa mendesaknya perkara itu, dan kita
harus mendatanginya secepat mungkin."
"Merlinville," gumamku sambil merenung. "Kurasa aku pernah mendengar nama itu."
Poirot mengangguk. "Itu suatu tempat kecil yang tenang - tapi itu tak penting!
Letaknya kira-kira di pertengahan antara Boulogne dan Calais. Yah, begitulah
kebiasaan golongan tertentu. Orang-orang Inggris kaya yang ingin hidup tenang.
Tuan Renauld pasti punya rumah di Inggris, ya?"
"Ya, seingatku, di Rutland Gate. Ada sebuah lagi rumah besar di pedesaan, di
suatu tempat di Hertfordshire. Tapi sedikit sekali yang kuketahui tentang dia;
kegiatan sosialnya tak banyak. Kalau tak salah dia punya perusahaan besar yang
berpusat di Amerika Selatan, di London, dan dia lama tinggal di Chili dan di
Argentina." "Pokoknya, kita akan mendengar semuanya secara terperinci dari orangnya sendiri.
Ayo kita berkemas. Masing-masing cukup sebuah kopor kecil, lalu kita naik taksi
ke stasiun Victoria."
"Bagaimana dengan Countess tadi?" tanyaku dengan tersenyum.
"Ah! Aku lak peduli! Perkaranya pasti tak menarik."
"Mengapa kau begitu yakin?"
"Karena kalau memang penting dia pasti datang, bukannya hanya menulis surat.
Seorang wanita tak sabar menunggu - ingat selalu itu, Hastings."
Pukul sebelas kami berangkat dari Victoria menuju ke Dover. Sebelum berangkat,
Poirot mengirimkan sepucuk telegram pada Tuan Renauld, memberitahukan pukul
berapa kami akan tiba di Calais.
"Aku heran mengapa kau tidak menyiapkan obat mabuk laut, Poirot," kataku
menggodanya, sebab aku ingat percakapan kami waktu sarapan tadi.
Sahabatku yang sedang mengamat-amati cuaca dengan penuh perhatian itu, menoleh
padaku dengan pandangan marah.
"Apakah kau sudah lupa akan cara ajaran Laverguier yang begitu ampuh itu" Aku
selalu mempraktekkan ajarannya itu. Ingat, kita menjaga kebimbangan diri kita
dengan menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, sambil menghirup dan
menghembuskan napas, dengan menghitung enam setiap kali sebelum menarik napas."
"Hm," kataku dengan tenang. "Kau sudah akan terlalu letih menjaga keseimbangan
badanmu dan menghitung enam waktu tiba di Santiago, atau Buenos Ayres, atau ke
negara mana pun yang kautuju."
"Pikirkan apa itu! Apa kausangka aku akan pergi ke Santiago?"
"Bukankah Tuan Renauld menyebutnya dalam suratnya?"
"Dia tak tahu cara kerja Hercule Poirot. Aku tak mau berlari hilir-mudik,
bepergian dan meletihkan diriku. Pekerjaanku dilaksanakan dari dalam - sini - "
katanya sambil mengetuk-ngetuk dahinya.
Sebagaimana biasa, pernyataan itu menimbulkan keinginanku untuk menentang.
"Boleh saja, Poirot, tapi kurasa kau punya kebiasaan terlalu membenci hal-hal
tertentu. Nyatanya suatu bekas sidik jari kadang-kadang bisa berakibat
tertangkapnya dan terhukumnya seorang pembunuh."
"Dan pasti, juga telah menyebabkan seseorang yang tak bersalah digantung," kata
Poirot datar. "Tapi pengetahuan tentang sidik jari dan bekas tapak kaki, macam-macam jenis
lumpur, dan petunjuk-petunjuk lain yang tercakup dalam penyelidikan terperinci
sampai sekecil-kecilnya - semuanya itu tentu amat penting, bukan?"
"Tentu. Aku tak pernah membantah hal itu. Seorang penyelidik yang terlatih,
seorang ahli, tentulah amat berguna! Tapi yang lain-lain, orang-orang seperti
Hercule Poirot. adalah lebih dari para ahli itu! Bagi mereka, para ahli itu
memberikan petunjuk-petunjuk nyata. Pekerjaan mereka adalah memikirkan cara
kerja kejahatan itu, uraian yang masuk akal, urut-urutan kerja yang tepat serta
susunan kenyataan-kenyataannya; dan di atas segalanya inti psikologis perkara
itu. Kau tentu pernah berburu rubah, ya?"
"Kadang-kadang aku berburu," kataku, agak kebingungan oleh perubahan bahan
pembicaraan yang tiba-tiba itu. "Mengapa?"
"Eh bien, dalam berburu itu kau membutuhkan anjing, bukan?"
"Anjing pemburu," aku menambahkan dengan halus. "Ya, tentu."
"Tapi," Poirot mengacung-acungkan jarinya padaku, "kau tentu tidak turun dari
kudamu dan berlari-lari di tanah sambil mengendus-endus tanah dengan hidungmu
dan berseru nyaring-nyaring Ow-ow?"
Tanpa kusadari aku tertawa terbahak. Poirot mengangguk puas.
"Jadi kaubiarkan anjing pemburu itu melakukan pekerjaannya sebagai anjing,
bukan" Lalu mengapa kausuruh aku, Hercule Poirot, merendahkan diriku dengan
merangkak (mungkin di rumput yang lembab), hanya untuk mempelajari bekas jejak
kaki yang mencurigakan" Ingat misteri di Kereta Ekspres Plymouth. Si Japp yang
baik itu pergi untuk mengadakan pemeriksaan di jalan kereta api itu. Waktu dia
kembali, aku, yang sama sekali tidak beranjak dari apartemenku, bisa mengatakan
padanya dengan tepat, apa yang telah ditemukannya di sana."
"Jadi kau berpendapat bahwa Japp telah membuang-buang waktunya?"
"Sama sekali tidak, karena hasil pemeriksaannya membuktikan kebenaran teoriku.
Tapi kalau aku yang harus pergi, itu berarti pemborosan waktu. Demikian pula
halnya dengan apa yang dinamakan ahli-ahli itu. Ingat kesaksian tulisan tangan
dalam Perkara Cavendish itu. Berdasarkan tanya-jawab pembela, dinyatakan adanya
persamaan tulisan tangan, tapi terdakwa membawa bukti yang menunjukkan
ketidaksamaannya. Semua bahasanya bersifat teknis. Dan hasilnya" Apa yang memang
sudah kita ketahui sejak semula. Tulisannya sama benar dengan tulisan John
Cavendish. Dan pikiran kita dihadapkan pada pertanyaan 'Mengapa"' Apakah karena
tulisan itu memang tulisannya sendiri" Ataukah karena seseorang ingin agar kita
menyangka demikian" Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mon ami, dan
jawabanku tepat." Dan Poirot yang telah berhasil membuatku terdiam, meskipun tidak meyakinkan
diriku, bersandar dengan rasa puas.
Di kapal aku menyadari bahwa aku sebaiknya tidak mengganggu sahabatku yang
sedang menyendiri itu. Cuaca cerah sekali, dan laut tenang, setenang air dalam
kolam. Jadi aku tak heran waktu Poirot menyertai aku turun di Calais dengan
tersenyum. Dikatakannya bahwa metode Laverguier sekali lagi terbukti
kebenarannya. Tetapi kami menghadapi kekecewaan, karena tak ada mobil yang
menjemput kami, Poirot menjelaskan hal itu dengan mengatakan bahwa telegramnya
terlambat dikirimkan. "Karena kita diberi kebebasan dalam pengeluaran uang, kita sewa saja mobil,"
katanya ceria. Dan beberapa menit kemudian kami sudah terbanting-banting dalam
sebuah mobil sewaan yang paling buruk, yang berderak-derak, menuju ke
Merlinville. Semangatku sedang menggebu-gebu.
"Bagus benar cuaca!" aku berseru. "Ini pasti akan merupakan perjalanan yang
menyenangkan." "Untukmu, memang. Untukku, ingat, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di akhir
perjalanan ini." "Ah!" kataku ceria. "Kau pasti akan menemukan segalanya, meyakinkan Tuan Renauld
bahwa dia aman, kau akan mengejar calon pembunuhnya, dan semuanya akan berakhir
dengan cemerlang." "Kau optimis sekali, Sahabatku."
"Memang, aku begitu yakin akan keberhasilan. Bukankah kau satu-satunya Hercule
Poirot?" Tetapi sahabat kecilku itu tidak menangkap umpanku. Dia memperhatikan diriku
dengan serius. "Kau ini seperti peramal saja, Hastings. Itu bahkan akan merupakan alamat suatu
bencana." "Omong kosong. Bagaimanapun juga, perasaanmu lain daripada perasaanku."
"Memang lain, aku takut."
"Takut apa?" "Entahlah. Tapi aku punya suatu firasat - entah apa!"
Bicaranya demikian seriusnya hingga mau tak mau aku pun terkesan.
"Aku punya perasaan," katanya lambat-lambat, "bahwa ini akan merupakan suatu
peristiwa besar - suatu perkara yang panjang dan sulit, yang tidak akan mudah
diselesaikan." Aku masih ingin bertanya lagi, tetapi kami sudah memasuki kota kecil
Merlinville, dan pengemudi mengurangi kecepatan mobil untuk menanyakan jalan ke
Villa Genevi?ve. "Lurus saja, Tuan, memotong kota. Villa Genevi?ve itu kira-kira setengah mil di
sebelah ujung kota. Anda pasti bisa menemukannya. Sebuah villa besar yang
menghadap ke laut." Kami mengucapkan terima kasih pada orang yang memberi keterangan itu, lalu
meneruskan perjalanan kami, meninggalkan kota. Karena jalan bercabang dua, kami
jadi harus berhenti lagi. Seorang petani sedang berjalan ke arah kami, dan kami
menunggu sampai dia tiba ke dekat kami untuk menanyakan jalan lagi. Tepat di
sisi jalan ada sebuah villa kecil, tetapi villa itu terlalu kecil dan tak
terpelihara, hingga tak mungkin itu yang sedang kami cari. Sedang kami menunggu,
pintu pagarnya terbuka dan seorang gadis keluar.
Kini petani itu lewat di sisi kami, dan supir menjengukkan kepalanya ke luar
untuk menanyakan arah. "Villa Genevi?ve" Beberapa langkah saja lagi terus di jalan ini, lalu membelok
ke kanan, Monsieur. Kalau tak ada tikungan itu, Anda pasti sudah bisa melihatnya
dari sini." Supir mengucapkan terima kasih padanya, lalu menghidupkan mesin mobil lagi.
Mataku melekat memandangi gadis yang masih berdiri melihat pada kami, sambil
memegang pintu pagar dengan sebelah tangannya. Aku seorang pengagum keindahan,
dan inilah suatu keindahan yang tak dapat dilewati oleh siapa pun tanpa
mengatakan sesuatu. Dia tinggi semampai, bentuk tubuhnya seperti dewi yang muda,
rambutnya yang berwarna keemasan memancar kena sinar matahari. Aku berani
bersumpah pada diriku sendiri bahwa dia adalah gadis tercantik yang pernah
kulihat. Waktu kami membelok ke jalan yang berbatu-batu, aku menoleh lagi,
melihatnya. "Astaga, Poirot," aku berseru, "adakah kaulihat dewi muda itu?"
Poirot mengangkat alisnya.
"Nah, mulai lagi kau!" gumamnya. "Belum-belum, kau sudah melihat dewi!"
"Ah, sudahlah, dia memang dewi, bukan?"
"Mungkin. Aku tak melihat kenyataan itu."


Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masakan kau tidak melihatnya!"
"Mon ami, jarang sekali dua orang melihat hal yang sama. Umpama saja, yang
kaulihat adalah dewi. Sedang aku - " dia ragu sebentar.
"Bagaimana?" "Aku hanya melihat seorang gadis yang bermata penuh rasa takut," kata Poirot
serius. Pada saat itu kami memasuki sebuah pintu pagar besar yang berwarna hijau, dan
kami mengeluarkan kata seru serentak. Di hadapan pintu pagar itu berdiri seorang
agen polisi yang tegap. Dia mengangkat tangannya menghalangi kami.
"Tuan-tuan tak bisa lewat."
"Tapi kami harus bertemu dengan Tuan Renauld," aku berseru. "Kami ada janji
dengan beliau. Bukankah ini villanya?"
"Benar, Tuan, tapi - "
Poirot membungkukkan tubuhnya ke depan.
"Tapi apa?" "Tuan Renauld terbunuh pagi ini."
Bab 3 DI VILLA GENEVI?VE POIROT langsung melompat keluar dari mobil, matanya berapi-api karena kacau.
Dicengkeramnya pundak agen polisi itu. "Apa kata Anda" Terbunuh" Kapan"
Bagaimana?" Agen polisi itu membebaskan dirinya. "Saya tak bisa menjawab apa-apa. Tuan."
"Tentu. Saya mengerti." Poirot berpikir sebentar. "Komisaris Polisi pasti ada di
dalam, bukan?" "Ada, Tuan." Poirot mengeluarkan kartu namanya, dan menuliskan beberapa patah kata di situ.
"Voil?! Maukah Anda berbaik hati untuk mengusahakan supaya kartu ini segera
disampaikan pada Bapak Komisaris?"
Agen itu mengambilnya, lalu bersiul sambil menoleh ke belakang. Dalam beberapa
detik saja seorang rekannya datang. Kartu nama Poirot tadi diberikannya pada
rekannya itu. Mereka harus menunggu beberapa menit. Lalu seseorang yang bertubuh
gemuk pendek dan berkumis besar datang terburu-buru ke pintu gerbang. Agen
polisi memberi hormat lalu menyingkir.
"Sahabatku Poirot," seru pendatang baru itu, "senang sekali bertemu dengan Anda.
Kedatangan Anda tepat pada waktunya."
Wajah Poirot menjadi cerah.
"Tuan Bex! Saya senang sekali." Dia berbalik padaku. "Ini sahabat saya. Dia
orang Inggris, Kapten Hastings - Tuan Lucien Bex."
Komisaris polisi itu dan aku sama-sama mengangguk dengan hormat, lalu Tuan Bex
menoleh pada Poirot lagi.
"Sobat lama, lama benar kita tak bertemu, sejak di Ostend itu. Saya dengar Anda
sudah meninggalkan kepolisian."
"Memang. Saya membuka perusahaan swasta di London."
"Dan Anda katakan tadi Anda punya informasi yang bisa membantu kami?"
"Mungkin Anda sudah tahu. Tahukah Anda bahwa saya kemari karena diminta datang?"
"Tidak. Oleh siapa?"
"Oleh almarhum. Agaknya dia sudah tahu bahwa sudah ada rencana pembunuhan atas
dirinya. Malangnya, dia terlambat memanggil saya."
"Sialan!" seru pria Prancis itu. "Jadi dia sudah meramalkan pembunuhan atas
dirinya sendiri" Itu menghancurkan teori kami sama sekali! Tapi mari masuk."
Dia membuka pintu pagar lebih lebar. Dan kami lalu berjalan ke arah rumah. Tuan
Bex berbicara lagi, "Hakim Pemeriksa, Tuan Hautet, harus segera diberi tahu tentang hal itu. Dia
baru saja selesai memeriksa tempat terjadinya kejahatan, dan baru akan mulai
mengadakan tanya-jawab. Dia orang baik. Anda akan menyukainya. Dia simpatik
sekali. Cara kerjanya orisinal, tapi penilaiannya hebat."
"Kapan kejahatan itu dilakukan?" tanya Poirot.
"Mayatnya ditemukan pagi ini, kira-kira pukul sembilan. Baik berdasarkan
kesaksian Nyonya Renauld maupun hasil pemeriksaan dokter, dapat dikatakan bahwa
dia meninggal kira-kira pukul dua pagi. Mari silakan masuk."
Kami tiba di tangga yang menuju ke pintu depan villa itu. Dalam lorong rumah ada
lagi seorang agen polisi yang sedang duduk. Melihat Komisaris, dia berdiri.
"Di mana Tuan Hautet?" tanya Komisaris.
"Dalam ruang tamu utama, Pak."
Tuan Bex membuka pintu di sebelah kiri lorong rumah dan kami masuk. Tuan Hautet
dan juru tulisnya sedang duduk di sebuah meja bundar yang besar. Mereka
mengangkat muka waktu kami masuk. Komisaris memperkenalkan kami dan menjelaskan
kehadiran kami di situ. Tuan Hautet, Hakim Pemeriksa yang bertugas, adalah seorang pria jangkung yang
kurus, matanya hitam dan berpandangan tajam. Janggutnya berwarna kelabu dan
digunting rapi. Dia punya kebiasaan membelai-belai janggutnya itu sambil
berbicara. Di dekat para-para perapian ada lagi seorang pria yang sudah berumur,
yang pundaknya agak bungkuk. Dia diperkenalkan pada kami sebagai Dokter Durand.
"Luar biasa sekali," kata Tuan Hautet, setelah mendengarkan penjelasan
Komisaris. "Tuan membawa suratnya?"
Poirot menyerahkan surat itu padanya, dan Hakim Pemeriksa membacanya.
"Hm, dia menyebut-nyebut tentang suatu rahasia. Sayang sekali dia kurang
berterus terang. Kami berterima kasih sekali pada Anda, Tuan Poirot. Kami akan
mendapat kehormatan, bila Anda bersedia membantu kami dalam penyelidikan kami
ini. Atau apakah Anda harus cepat-cepat kembali ke London?"
"Bapak Hakim, saya bermaksud untuk tinggal di sini. Saya telah terlambat datang
untuk mencegah kematian klien saya, tapi saya merasa bertanggung jawab untuk
menemukan pembunuhnya."
Hakim itu membungkuk. "Perasaan Anda itu sungguh terhormat. Saya juga merasa, Nyonya Renauld pasti
akan meminta bantuan Anda. Kami sedang menunggu Tuan Giraud dari Markas Besar
kami di Paris. Dia akan tiba setiap saat, dan saya yakin, Anda dan dia akan bisa
saling memberikan bantuan dalam penyelidikan Anda. Sementara itu saya harap Anda
bersedia menghadiri tanya-jawab yang akan saya lakukan. Saya rasa tak perlu saya
katakan bahwa kami siap memberikan setiap bantuan yang Anda perlukan."
"Terima kasih, Tuan. Anda tentu mengerti bahwa saya benar-benar masih dalam
kegelapan. Sedikit pun saya tak tahu apa-apa."
Tuan Hautet mengangguk pada Komisaris, dan Komisaris meneruskan bercerita,
"Tadi pagi, waktu pelayan tua yang bernama Fran?oise menuruni tangga untuk mulai
bekerja, dia mendapatkan pintu depan terbuka sedikit. Seketika dia merasa
ketakutan kalau-kalau telah terjadi pencurian, dan dia langsung pergi ke ruang
makan untuk memeriksa. Tapi waktu dilihatnya semua barang perak di situ masih
lengkap, dia tidak lagi memikirkannya, dan berkesimpulan bahwa majikannya
mungkin telah bangun lebih awal, dan pergi berjalan-jalan pagi."
"Maaf, saya menyela, Tuan, tapi apakah itu memang kebiasaannya?"
"Tidak, tapi Fran?oise itu sependapat dengan pendapat umum di sini mengenai
orang-orang Inggris - bahwa mereka itu aneh, dan bisa saja melakukan sesuatu
tanpa perhitungan setiap saat. Seorang pelayan lain yang lebih muda, yang
bernama Leonie, yang seperti biasanya akan membangunkan nyonyanya, terkejut
sekali melihat nyonyanya itu dalam keadaan tersumbat mulutnya dan terikat kaki
tangannya. Lalu hampir pada saat yang bersamaan, disampaikan berita bahwa tubuh
Tuan Renauld telah ditemukan, mati ditikam dari belakang."
"Di mana?" "Itulah salah satu kenyataan yang paling aneh dalam perkara ini, Tuan Poirot.
Tubuh itu ditemukan dalam keadaan tertelungkup, dalam sebuah liang kubur
terbuka." "Apa?" "Ya. Lubang itu baru saja digali - hanya beberapa meter di luar batas tanah
villa ini." "Dan sudah berapa lama dia meninggal?"
Dokter Durand yang menjawab,
"Pukul sepuluh tadi pagi saya memeriksa mayat itu. Mungkin dia sudah meninggal
sekurang-kurangnya tujuh, atau bahkan sepuluh jam sebelumnya."
"Hm, jadi tepatnya antara tengah malam dan pukul tiga subuh."
"Benar, dan berdasarkan kesaksian Nyonya Renauld, setelah pukul dua subuh, yang
dengan demikian lebih memperkecil lapangan pemeriksaan. Dia mati seketika, dan
jelas tidak bunuh diri."
Poirot mengangguk dan Komisaris melanjutkan,
"Para pelayan yang ketakutan cepat-cepat membebaskan Nyonya Renauld dari tali
yang mengikatnya. Tubuhnya lemah sekali, dan dia hampir pingsan karena
kesakitan. Menurut ceritanya, dua orang bertopeng memasuki kamar tidur mereka.
Orang-orang itu menyumbat mulutnya dan mengikatnya, lalu dengan paksa membawa
suaminya pergi. Hal itu kami ketahui dari pelayan sebagai orang kedua. Mendengar
berita menyedihkan itu, dia langsung menjadi bingung sekali. Begitu tiba, Dokter
Durand langsung memberinya obat penenang, dan kami belum bisa menanyainya. Tapi
dia pasti akan bangun dalam keadaan lebih tenang, dan dengan demikian akan bisa
menanggung ketegangan akibat tanya-jawab nanti."
Komisaris berhenti sebentar.
"Bagaimana dengan para penghuni rumah ini, Tuan?"
"Pertama-tama, Fran?oise tua itu, pelayan kepala yang sudah bertahun-tahun
tinggal di rumah ini, bersama pemilik Villa Genevi?ve ini yang terdahulu.
Kemudian ada dua orang gadis kakak-beradik, Denise dan Leonie Oulard. Rumah
mereka di Merlinville, dan orang tua mereka keluarga baik-baik. Kemudian,
seorang supir yang dibawa Tuan Renauld dari Inggris, tapi dia sedang pergi
berlibur. Akhirnya, Nyonya Renauld dan putranya, Tuan Jack Renauld. Dia pun saat
ini sedang bepergian."
Poirot menunduk. Tuan Hautet memanggil, "Marchaud!"
Agen polisi datang. "Bawa kemari pelayan yang bernama Fran?oise."
Agen itu memberi hormat lalu pergi. Beberapa saat kemudian dia kembali, dengan
menggiring Fran?oise yang ketakutan.
"Anda bernama Fran?oise Arrichet?"
"Ya, Tuan." "Sudah lama Anda bekerja di Villa Genevi?ve ini?"
"Sebelas tahun saya bekerja untuk Nyonya Vicomtesse. Lalu waktu beliau menjual
villa ini dalam musim semi yang lalu, saya bersedia tinggal dengan bangsawan
Inggris yang membelinya. Tak pernah saya membayangkan - "
Hakim memotong bicaranya,
"Tentu. Tentu. Nah, Fran?oise, sekarang mengenai pintu depan itu. Tugas siapakah
menguncinya malam hari?"
"Tugas saya, Tuan. Saya selalu mengerjakannya sendiri setiap malam."
"Lalu tadi malam?"
"Saya kunci seperti biasa."
"Anda yakin?" "Saya berani bersumpah demi orang-orang suci. Tuan."
"Pukul berapa waktu itu?"
"Tepat pada waktu seperti biasanya, pukul setengah sebelas, Tuan."
"Bagaimana dengan penghuni rumah lainnya, apakah mereka sudah tidur?"
"Nyonya sudah masuk ke kamar tidurnya beberapa waktu sebelumnya. Denise dan
Leonie naik ke lantai atas bersama saya. Tuan masih di kamar kerjanya."
"Jadi, kalau kemudian ada yang membuka pintu, itu tentu Tuan Renauld sendiri?"
Fran?oise mengangkat bahunya yang lebar.
"Untuk apa beliau melakukannya" Mengingat perampok-perampok dan pembunuhpembunuh yang berkeliaran setiap saat! Tak mungkin! Tuan bukan orang yang bodoh.
Lebih masuk akal kalau beliau membukakan pintu untuk perempuan itu pulang - "
"Perempuan itu?" sela Hakim dengan tajam. "Perempuan yang mana maksudmu?"
"Tentu perempuan yang datang menemuinya."
"Apakah ada perempuan yang datang menemuinya malam itu?"
"Ada, Tuan - bahkan sering, malam hari."
"Siapa dia" Tahukah kau siapa dia?"
Pelayan itu memandang dengan pandangan berarti.
"Bagaimana saya bisa tahu siapa dia?" gerutunya. "Saya tidak membukakannya pintu
semalam." "Oh, begitu!" geram Hakim Pemeriksa, sambil menghantamkan tangannya ke meja.
"Saya minta kau segera mengatakan pada kami, nama perempuan yang sering datang
mengunjungi Tuan Renauld malam hari."
"Polisi-Polisi," gerutu Fran?oise. "Tak pernah saya menyangka bahwa saya akan
terlibat dengan polisi. Tapi saya memang tahu benar siapa dia. Dia adalah Nyonya
Daubreuil." Komisaris Polisi mengeluarkan kata seru, dan membungkukkan tubuhnya, menunjukkan
keterkejutan yang amat sangat.
"Nyonya Daubreuil - dari Villa Marguerite di tepi jalan itu?"
"Itulah yang saya katakan, Tuan. Orangnya memang cantik, huh!" Wanita tua itu
mendongakkan kepalanya mencemooh.
"Nyonya Daubreuil," gumam Komisaris. "Tak mungkin."
"Voil?," gerutu Fran?oise. "Itu rupanya imbalannya kalau kita berkata benar."
"Sama sekali tidak," kata Hakim Pemeriksa membujuk. "Kami terperanjat, itu
sebabnya. Kalau begitu Nyonya Daubreuil dan Tuan Renauld, mereka itu - " dia
sengaja berhenti. "Eh, benar-benar tak salahkah itu?"
"Mana saya tahu" Tapi mau apa lagi" Tuan Renauld adalah seorang bangsawan
Inggris - kaya pula - sedang Nyonya Daubreuil miskin - dan suka bersenangsenang, meskipun kelihatannya dia hidup begitu tenang dengan putrinya. Dia pasti
punya sejarah masa lalu! Dia sudah tak muda lagi, tapi yah! Saya sering melihat
kaum pria menoleh sekali lagi untuk melihatnya kalau dia sedang berjalan.
Apalagi akhir-akhir ini dia sering membelanjakan banyak uang - seluruh kota
sudah tahu. Hidup dengan biaya secukup-cukupnya saja, sudah tak perlu lagi dia."
Dan Fran?oise menggelengkan kepalanya dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Tuan Hautet membelai-belai janggutnya sambil berpikir.
"Dan Nyonya Renauld?" tanyanya akhirnya. "Bagaimana dia menanggapi persahabatan itu?" Fran?oise mengangkat bahunya.
"Beliau itu selalu baik hati - sangat sopan. Orang, akan cenderung mengatakan
bahwa dia tidak menduga apa-apa. Tetapi, begitulah rupanya beliau menanggung
deritanya. Saya perhatikan Nyonya makin hari makin pucat dan kurus. Dia tak sama
lagi dengan waktu dia datang di sini sebulan yang lalu. Tuan juga sudah berubah.
Agaknya beliau pun mengalami banyak kesulitan. Bisa dikatakan bahwa beliau
sedang mengalami guncangan saraf. Dan saya rasa hal itu tidak mengherankan,
mengingat hubungan yang sedang dijalankannya dengan cara itu. Tidak dengan cara
diam-diam, bukan pula dengan sembunyi-sembunyi. Pasti itu cara orang Inggris!"
Teranjak aku dari tempat dudukku karena marahku, tetapi Hakim Pemeriksa
melanjutkan pertanyaannya, tanpa terganggu oleh kejadian-kejadian sampingan.
"Katamu tadi Tuan Renauld membukakan pintu untuk Nyonya Daubreuil keluar" Apakah
wanita itu pulang?" "Ya, Tuan. Saya mendengar mereka keluar dari kamar kerja. Tuan mengucapkan
selamat tidur, lalu menutup pintu setelah perempuan itu keluar."
"Pukul berapa waktu itu?"
"Kira-kira pukul sepuluh lewat dua puluh lima menit, Tuan."
"Tahukah kau pukul berapa Tuan Renauld pergi tidur?"
"Saya mendengar beliau naik kira-kira sepuluh menit kemudian. Anak tangga selalu
berderak-derak, hingga kita selalu tahu kalau ada yang naik atau turun."
"Hanya itu saja" Apakah kau tidak mendengar bunyi yang mengganggu tengah malam
itu?" "Sama sekali tidak, Tuan."
"Siapa di antara pembantu yang pertama-tama turun pagi hari?"
"Saya, Tuan. Saya segera melihat pintu terbuka sedikit."
"Bagaimana dengan jendela-jendela lain di lantai bawah, apakah jendela-jendela
itu semua terkunci?"
"Semuanya terkunci, Tuan. Tak ada satu pun yang mencurigakan atau tidak pada
tempatnya." "Baiklah, Fran?oise, kau boleh pergi."
Wanita tua itu berjalan terseret-seret ke arah pintu. Setiba di ambang pintu,
dia menoleh. "Satu hal ingin saya katakan, Tuan. Nyonya Daubreuil itu orang jahat! Sungguh.
Seorang wanita tahu benar bagaimana wanita lainnya. Dia orang jahat, harap Anda
ingat itu." Lalu sambil menggelengkan kepalanya seperti seorang yang bijak,
Fran?oise meninggalkan kamar itu.
"Leonie Oulard," Hakim memanggil.
Leonie datang dengan bercucuran air mata, bahkan hampir-hampir histeris. Tuan
Hautet menanganinya dengan bijaksana. Kesaksian pelayan itu terutama berhubungan
dengan ditemukannya nyonyanya dalam keadaan terikat dan mulut tersumbat. Hal itu
diceritakannya dengan cara yang berlebihan. Sebagaimana Fran?oise, dia pun tidak
mendengar apa-apa tengah malam itu.
Adiknya Denise menyusulnya. Dia membenarkan, bahwa majikannya sudah berubah
akhir-akhir ini.

Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Beliau makin hari makin murung. Makannya makin kurang saja. Beliau selalu
tegang." Tetapi Denise punya teori sendiri mengenai hal itu. "Pasti beliau
ketakutan pada Mafia. Dua orang yang bertopeng - siapa lagi kalau bukan mereka"
Mengerikan sekali masyarakat sekarang!"
"Itu tentu mungkin," kata Hakim dengan halus. "Nah, sekarang, apakah kau yang
membukakan pintu waktu Nyonya Daubreuil datang semalam?"
"Semalam tidak, Tuan, tapi malam sebelumnya."
"Tapi Fran?oise tadi mengatakan bahwa Nyonya Daubreuil semalam ada di sini."
"Tidak, Tuan. Memang ada wanita yang datang menemui Tuan Renauld semalam, tapi
bukan Nyonya Daubreuil."
Hakim terkejut dan mengatakan bahwa memang wanita itu yang datang, tapi pelayan
muda itu tetap bertahan. Katanya, dia kenal sekali wajah Nyonya Daubreuil.
Wanita yang datang itu memang berambut hitam juga, tetapi lebih pendek; dan jauh
lebih muda, katanya. Tak satu pun yang bisa menggoyahkan pernyataannya itu.
"Sudah pernahkah kau melihat wanita itu?"
"Belum, Tuan." Lalu gadis itu menambahkan dengan agak ragu, "Tapi saya rasa dia
orang Inggris." "Wanita Inggris?"
"Benar, Tuan. Dia menanyakan Tuan Renauld dalam bahasa Prancis yang cukup baik,
tapi logatnya - kita selalu bisa mendengarnya, bukan" Apalagi waktu mereka
keluar dari kamar kerja, mereka berbicara dalam bahasa Inggris."
"Apakah kau mendengar apa yang mereka katakan" Maksudku, apakah kau mengerti?"
"Saya bisa berbahasa Inggris," kata Denise dengan bangga. "Wanita itu berbicara
terlalu cepat, hingga saya tak bisa mengikuti apa yang dikatakannya, tapi saya
mendengar kata-kata Tuan yang terakhir waktu beliau membukakannya pintu untuk
keluar." Gadis itu berhenti sebentar, lalu mengulangi kata-kata majikannya
dengan sangat berhati-hati dan bersusah payah, "Baiklah - baiklah - tapi demi
Tuhan, pulanglah sekarang!"
Hakim memperbaiki ucapan gadis itu.
Kemudian Denise disuruhnya pergi, dan setelah berpikir sebentar dipanggilnya
Fran?oise kembali. Ditanyainya lagi wanita itu, apakah dia tak keliru dalam
menentukan malam kedatangan Nyonya Daubreuil. Tetapi ternyata Fran?oise sangat
keras kepala. Memang benar semalamlah Nyonya Daubreuil datang. Tak salah lagi,
dialah itu. Rupanya Denise ingin membuat dirinya penting, itu jelas! Maka
dikarangnyalah kisah mengenai wanita asing itu. Dengan membanggakan pengetahuan
bahasa Inggrisnya pula! Mungkin Tuan Renauld sama sekali tidak mengucapkan
kalimat dalam bahasa Inggris itu, dan meskipun ada, itu tidak membuktikan apaapa, karena pengetahuan bahasa Inggris Nyonya Daubreuil pun sempurna, dan biasa
menggunakan bahasa itu kalau bercakap-cakap dengan Tuan dan Nyonya Renauld.
"Patut Anda ketahui, Tuan Jack, putra majikan kami, yang biasanya ada di sini,
bahkan bahasa Prancisnya yang buruk."
Hakim tidak berkeras. Dia hanya menanyakan tentang supir, dan dijawab bahwa baru
kemarin. Tuan Renauld menyatakan bahwa beliau mungkin tidak akan memerlukan
mobil, maka sebaiknya Masters - supir itu - pergi saja berlibur.
Alis mata Poirot kelihatan berkerut karena kebingungan.
"Ada apa?" tanyaku berbisik.
Dia menggeleng dengan tak sabar, lalu bertanya, "Maaf, Tuan Bex, tapi Tuan
Renauld pasti bisa mengemudikan mobilnya sendiri, bukan?"
Komisaris melihat pada Fran?oise, dan wanita tua itu segera menyahut, "Tidak,
Tuan tidak mengemudikan sendiri."
Kerut di dahi Poirot makin mendalam.
"Sebenarnya lebih baik kauceritakan padaku apa yang menyusahkanmu," kataku tak
sabar. "Tidakkah kau mengerti" Dalam suratnya Tuan Renauld mengatakan bahwa dia akan
mengirim mobilnya ke Calais untuk menjemputku."
"Mungkin maksudnya sebuah mobil sewaan," kataku.
"Pasti begitu. Tapi mengapa harus menyewa mobil kalau dia mempunyai mobil
sendiri" Mengapa memilih kemarin untuk menyuruh supirnya pergi berlibur - dengan
tiba-tiba pula lagi" Mungkinkah alasannya karena dia menginginkan supir itu
tidak berada di tempat waktu kita tiba?"
Bab 4 SURAT YANG BERTANDA TANGAN 'BELLA'
FRAN?OISE meninggalkan ruangan. Hakim mengetuk-ngetukkan jarinya di meja sambil
merenung, "Tuan Bex," katanya akhirnya, "kita menghadapi dua kesaksian yang
berlawanan. Yang mana yang harus kita percayai, kesaksian Fran?oise atau
Denise?" "Denise," kata Komisaris dengan pasti. "Dialah yang membukakan pintu waktu tamu
itu datang. Fran?oise sudah tua dan keras kepala, dan jelas bahwa dia tak suka
pada Nyonya Daubreuil. Apalagi kita sudah boleh berkesimpulan bahwa Tuan Renauld
berhubungan dengan seorang wanita lain."
"Tiens!" seru Tuan Hautet. "Lupa kita memberitahukan hal itu pada Tuan Poirot."
Dia mencari-cari di antara kertas-kertas yang ada di atas meja, lalu memberikan
kertas yang dicarinya itu pada sahabatku. "Tuan Poirot, surat ini kami temukan
dalam saku mantel almarhum."
Poirot mengambilnya lalu membuka lipatannya. Kertasnya sudah agak lusuh dan
kusut, dan ditulis dalam bahasa Inggris dengan tulisan tangan yang kurang bagus:
Kekasihku, Mengapa sudah lama kau tidak menulis surat" Kau masih cinta padaku, bukan"
Surat-suratmu akhir-akhir ini lain sekali, dingin dan aneh, dan sekarang lama
tak kunjung tiba. Aku jadi takut. Takut kalau-kalau kau tidak lagi mencintai
aku! Tapi itu tak mungkin - alangkah bodohnya aku - selalu membayangkan yang
bukan-bukan! Tapi kalau kau memang tak lagi cinta padaku, tak tahulah aku apa
yang harus kulakukan - mungkin aku akan membunuh diri! Aku tak bisa hidup tanpa
kau. Kadang-kadang kubayangkan mungkin ada wanita lain. Suruhlah dia berhatihati, awas dia - dan kau juga! Lebih baik kubunuh kau daripada membiarkan kau
dimilikinya! Aku bersungguh-sungguh.
Nah, aku menulis yang tidak-tidak lagi. Kau cinta padaku, dan aku cinta padamu ya, cinta sekali padamu. Aku yang memujamu seorang,
Bella Tak ada alamat, tak ada tanggal. Poirot mengembalikannya dengan wajah serius.
"Lalu apa kesimpulannya, Tuan Hakim - ?"
Hakim Pemeriksa mengangkat bahunya. "Agaknya Tuan Renauld terlibat cinta dengan
wanita Inggris ini - Bella. Dia menyeberang kemari, bertemu dengan Nyonya
Daubreuil, dan mulai mengadakan hubungan dengannya. Cinta Renauld terhadap
wanita Inggris itu mulai mendingin, dan wanita itu langsung mencurigai sesuatu.
Surat ini jelas mengandung ancaman. Tuan Poirot, pada pandangan pertama perkara
ini kelihatannya sederhana sekali. Rasa cemburu! Bahwa Tuan Renauld ternyata
ditikam dari belakang, jelas menunjukkan bahwa kejahatan itu dilakukan oleh
seorang wanita." Poirot mengangguk. "Tikaman di punggung, memang benar - tapi tidak demikian dengan liang kubur itu!
Itu pekerjaan berat - tak ada wanita yang sanggup menggali kubur, Tuan. Itu
pekerjaan laki-laki."
Komisaris berseru nyaring, "Benar, benar. Anda memang benar. Kami tadi tidak
memikirkannya." "Seperti saya katakan tadi," sambung Tuan Hautet, "pada pandangan pertama
perkara ini kelihatan sederhana, tapi laki-laki yang berkedok itu, dan surat
yang Anda terima dari Tuan Renauld membuat persoalannya menjadi rumit. Agaknya
kita dihadapkan pada keadaan-keadaan yang benar-benar berlainan, yang sama
sekali tak ada hubungannya satu dengan yang lain. Mengenai surat yang
dikirimkannya pada Anda, apakah menurut Anda mungkin menunjuk pada Belia dengan
ancamannya itu?" Poirot menggeleng. "Saya rasa tidak. Seorang pria seperti Tuan Renauld, yang telah menjalani hidup
penuh petualangan di tempat-tempat yang jauh, tak mungkin meminta perlindungan
dalam menghadapi seorang wanita."
Hakim Pemeriksa mengangguk membenarkan. "Tepat benar dengan pandangan saya. Jadi
kita harus mencari keterangan tentang surat itu - "
"Di Santiago," kata Komisaris menyambung. "Saya akan segera mengirim telegram
pada kepolisian di kota itu, untuk menanyakan mengenai kehidupan almarhum sampai
pada hal-hal yang sekecil-kecilnya selama dia tinggal di sana, hubungan-hubungan
asmaranya, hubungan dagangnya, persahabatannya, dan permusuhannya dengan orangorang, kalau ada. Kalau setelah itu kita belum juga mendapatkan petunjuk
mengenai pembunuhan yang misterius itu, maka aneh sekali jadinya."
Komisaris memandang berkeliling meminta persetujuan.
"Baik sekali," kata Poirot menghargai.
"Istrinya pun mungkin bisa memberi kita petunjuk," Hakim menambahkan.
"Tak adakah Anda menemukan surat-surat lain dari Belia itu, di antara barangbarang Tuan Renauld?" tanya Poirot.
"Tidak ada. Salah satu usaha kami yang pertama tentulah mencari kalau-kalau ada
petunjuk di antara kertas-kertas dalam kamar kerjanya. Tapi kami tidak menemukan
apa-apa yang penting. Semuanya kelihatan beres dan sah. Satu-satunya yang luar
biasa adalah surat wasiatnya. Ini dia."
Poirot mempelajari dokumen itu.
"Jadi begitu rupanya. Suatu peninggalan sebesar seribu pound untuk Tuan Stonor siapa dia?" "Sekretaris Tuan Renauld. Dia tinggal di Inggris, tetapi sekali dua kali datang
kemari untuk berakhir pekan."
"Dan sisanya semua ditinggalkan tanpa syarat untuk istrinya tercinta, Eloise.
Semua dinyatakan dengan sederhana, tapi benar-benar sah. Disaksikan oleh kedua
pelayan, Denise dan Fran?oise. Tak ada satu pun yang aneh." Surat wasiat itu
dikembalikannya. "Mungkin," Bex mulai berbicara lagi, "Anda tidak melihat - "
"Tanggalnya?" tanya Poirot dengan mata memancar. "Tentu, tentu saya melihatnya.
Dua minggu yang lalu. Mungkin hal itu membuktikan saat itu untuk pertama kalinya
dia tahu tentang adanya bahaya. Banyak orang kaya meninggal tanpa meninggalkan
surat wasiat, karena tak pernah memikirkan kemungkinan dirinya meninggal. Tapi
berbahaya untuk menarik kesimpulan terlalu awal. Bagaimanapun, hal itu
menunjukkan betapa kasih dan sayangnya dia pada istrinya, meskipun dia sering
main serong." "Ya," kata Tuan Hautet ragu. "Tapi mungkin dia agak kurang adil terhadap
putranya, karena anak muda itu ditinggalkannya dalam keadaan benar-benar
tergantung pada ibunya. Bila ibunya itu kawin lagi, dan suaminya yang kedua
berhasil mendapatkan kekuasaan darinya, maka anak itu tidak akan bisa
mendapatkan sepeser pun dari uang ayahnya."
Poirot mengangkat bahunya.
"Laki-laki memang makhluk yang suka membusungkan dada. Tuan Renauld pasti
membayangkan bahwa jandanya tidak akan menikah lagi. Mengenai putranya, itu
mungkin suatu tindak pencegahan yang baik untuk meninggalkan uang itu di tangan
ibunya. Putra-putra orang kaya terkenal liarnya."
"Mungkin yang Anda katakan itu memang benar. Nah, Tuan Poirot, pasti Anda
sekarang ingin mendatangi tempat kejadian kejahatan itu. Sayang mayatnya sudah
dipindahkan, tapi foto-foto tentu sudah dibuat dari segala sudut, dan segera
setelah selesai Anda akan mendapatkannya."
"Terima kasih, Tuan, atas segala kerja sama Anda yang baik."
Komisaris bangkit. "Mari ikut saya, Tuan-tuan."
Dibukanya pintu, lalu membungkuk dengan hormat mempersilakan Poirot
mendahuluinya. Tetapi sebaliknya, Poirot pun membungkuk dengan sopan-santun yang
sama, dia mundur lalu membungkuk pada Komisaris.
"Silakan, Tuan."
"Silakan, Tuan."
Akhirnya mereka keluar ke lorong rumah.
"Kamar yang itu, apakah itu kamar kerja?" tanya Poirot tiba-tiba, sambil
mengangguk ke arah pintu yang di seberang.
"Ya. Apakah Anda ingin melihatnya?" Sambil berbicara, Komisaris membuka pintu
kamar itu, dan kami masuk.
Kamar yang dipilih Tuan Renauld untuk kamar khususnya, kecil, tapi ditata dengan
selera tinggi dan nyaman. Di bagian yang menjorok, menghadap jendela, ada sebuah
meja tulis biasa, dengan banyak lubang-lubang kecil tempat menyimpan. Dua buah
kursi besar dari kulit menghadap perapian, dan di antara kedua buah kursi itu
ada sebuah meja bundar yang penuh dengan buku-buku dan majalah-majalah yang
terbaru. Dua di antara dindingnya dimanfaatkan sebagai rak buku yang penuh
dengan buku berjajar-jajar, dan di ujung kamar di seberang jendela ada sebuah
bupet yang bagus dari kayu ek. Di atasnya ada sebuah patung dewa. Tirai-tirai
jendelanya berwarna hijau lembut, dan warna karpetnya senada dengan warna itu.
Poirot berdiri bercakap-cakap sebentar di kamar itu, lalu dia maju, menyapu
dengan lembut sandaran kursi-kursi kulit, mengambil sebuah majalah dari meja,
lalu menyapu permukaan bupet itu perlahan-lahan dengan jari-jarinya. Wajahnya
membayangkan rasa puas. "Tak ada debu?" tanyaku dengan tersenyum.
Dia membalas pandanganku dengan tersenyum, menghargai diriku karena tahu
keistimewaannya. "Tak ada sebutir pun apa-apa, mon ami! Dan sekali ini mungkin aku
menyayangkannya!" Matanya yang tajam seperti burung elang memandang berpindah-pindah ke sana
kemari. "Nah," katanya tiba-tiba dengan nada lega. "Alas lantai di depan perapian itu
berkerut." Dan dia membungkuk untuk melicinkannya.
Tiba-tiba dia berseru, lalu bangkit. Di tangannya tergenggam beberapa potongan
kertas. "Di Prancis ini sama saja dengan di Inggris," katanya, "para pelayan tidak
pernah menyapu di bawah-bawah tikar!"
Bex menerima potongan-potongan kertas itu darinya, dan aku mendekat untuk ikut
melihat. "Kau mengenalinya - bukan, Hastings?"
Aku menggeleng dengan rasa heran - namun kertas yang berwarna merah muda dengan
rona tersendiri itu, rasanya memang kukenal.
Rupanya otak Komisaris bekerja lebih cepat daripada otakku.
"Ini potongan sehelai cek," dia berseru.
Potongan kertas itu besarnya kira-kira lima sentimeter bujur sangkar. Di situ
tertulis perkataan Duveen.
"Bien," kata Bex. "Cek ini dibayarkan pada atau ditarik oleh seseorang yang
bernama Duveen." "Saya rasa dibayarkan pada," kata Poirot, "karena kalau saya tak salah, tulisan
itu tulisan Tuan Renauld."
Hal itu segera dibenarkan dengan membandingkannya dengan tulisan yang ada dalam
catatan yang ada di meja tulis.
"Astaga," gumam Komisaris dengan air muka kecewa, "saya benar-benar tak dapat
membayangkan, bagaimana mungkin barang itu tak terlihat oleh saya."
Poirot tertawa. "Pokoknya, lihatlah selalu ke bawah tikar! Sahabat saya Hastings
ini tahu, bahwa suatu kerut yang sekecil-kecilnya pun akan sangat mengganggu
saya. Segera setelah saya melihat bahwa alas perapian tak licin, saya berkata
sendiri. 'Tiens! Kaki kursi terkait ke alas itu waktu ditarik. Mungkin ada
sesuatu di bawahnya yang tak terlihat oleh Fran?oise!'"
"Fran?oise?" "Atau Denise, atau Leonie. Siapa saja yang membersihkan kamar ini. Karena saya
tadi tidak menemukan debu, itu berarti bahwa kamar ini sudah dibersihkan tadi
pagi. Peristiwa ini menurut bayangan saya, begini terjadinya. Kemarin, atau
mungkin semalam, Tuan Renauld menuliskan sehelai cek untuk ditarik oleh
seseorang yang bernama Duveen. Setelah itu, cek itu disobek, dan dibuang ke
lantai. Tadi pagi - " Tapi Bex sudah menarik lonceng dengan tak sabaran.
Fran?oise datang memenuhi panggilan itu. Memang, tadi banyak sekali potonganpotongan kertas di lantai. Diapakannya kertas itu" Memasukkannya ke dalam anglo
di dapur tentu" Apa lagi"
Bex menyuruhnya pergi dengan isyarat yang membayangkan putus asanya. Kemudian
wajahnya menjadi cerah, dan dia berlari ke meja tulis. Sebentar kemudian dia
mencari-cari dalam buku cek almarhum. Lalu dia mengulangi gerakan putus asanya
tadi. Bekas sobekan cek dalam buku itu kosong.
"Besarkan hati Anda!" seru Poirot sambil menepuk punggungnya. "Nyonya Renauld
pasti akan bisa menceritakan pada kita tenung orang misterius yang bernama
Duveen itu." Wajah Komisaris pun cerah kembali. "Benar juga. Mari kita lanjutkan."
Waktu kami berbalik akan meninggalkan kamar itu, Poirot berkata seenaknya, "Di
sini Tuan Renauld menerima tamunya semalam, ya?"
"Ya - bagaimana Anda tahu?"
"Dari ini. Saya menemukannya di sandaran kursi kulit." Lalu diperlihatkannya
sehelai rambut panjang yang berwarna hitam, yang dipegangnya dengan jari
telunjuk dan ibu jarinya. Rambut itu rambut seorang wanita!


Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuan Bex membawa kami keluar di bagian belakang rumah, di mana ada sebuah gudang
kecil yang tertempel pada bangunan rumah. Dikeluarkannya sebuah kunci dari
sakunya dan dibukanya gudang itu.
"Mayatnya ada di sini. Kami baru saja memindahkannya dari tempat kejadian
kejahatan, segera setelah para fotografer selesai membuat foto."
Setelah pintu terbuka kami masuk. Orang yang terbunuh itu terbaring di tanah,
ditutupi sehelai kain. Dengan cekatan Tuan Bex membuka kain penutup itu. Tuan
Renauld tingginya sedang dan langsing. Kelihatannya dia berumur lima puluh
tahun, dan rambutnya yang hitam sudah banyak diselingi uban. Mukanya tercukur
bersih, hidungnya panjang dan mancung, serta jarak antara kedua matanya dekat.
Warna kulitnya merah perunggu, sebagaimana biasanya warna kulit orang yang
banyak menghabiskan waktunya di bawah sinar matahari di daerah tropis. Giginya
kelihatan keluar, dan air mukanya membayangkan keterkejutan dan ketakutan amat
sangat. "Dari wajahnya kita bisa melihat bahwa dia memang ditikam dari belakang," kata
Poirot. Dengan halus dibalikkannya tubuh mayat itu. Di situ, di antara kedua belah
belikatnya, terdapat sebuah noda bulat berwarna merah kehitaman, mengotori
mantel tipis yang terbuat dari kulit rusa. Di tengah-tengahnya tampak irisan
pada bahan itu. Poirot memeriksanya dengan teliti.
"Tahukah Anda dengan senjata apa pembunuhan ini dilakukan?"
"Alat itu tertinggal di lukanya tadi." Komisaris mengambil sebuah stoples kaca.
Di dalamnya terdapat benda kecil yang kelihatannya lebih mirip pisau kecil untuk
membuka amplop surat daripada untuk dijadikan alat lain. Pisau itu bergagang
hitam, dan mata pisaunya kecil, berkilat. Dari gagang sampai ke ujung pisau
panjangnya tak lebih dari dua puluh lima sentimeter. Poirot menyentuh ujung yang
sudah berubah warna itu dengan ujung jarinya.
"Waduh! Tajam sekali! Alat pembunuh yang kecil mungil dan mudah digunakan!"
"Malangnya, kita tak bisa menemukan satu pun bekas sidik jari," kata Bex dengan
menyesal. "Pembunuhnya pasti memakai sarung tangan."
"Tentu saja," kata Poirot dengan sikap mencemooh. "Di Santiago sekalipun, orang
sudah tahu cara itu. Meskipun demikian, saya merasa sangat tertarik mengenai
tidak adanya sidik jari. Sebenarnya mudah saja meninggalkan sidik jari orang
lain umpamanya! Maka polisi tentu akan senang." Dia menggeleng. "Saya kuatir
penjahat kita ini orang yang kurang tahu akan cara kerja yang baik - atau kalau
tidak, dia mungkin terdesak waktu. Tapi kita lihat saja nanti."
Mayat itu diletakkannya kembali pada keadaan semula.
"Saya lihat dia hanya memakai pakaian dalam di bawah mantelnya," katanya.
"Ya, Hakim Pemeriksa pun merasa bahwa itu aneh."
Pada saat itu terdengar suatu ketukan di pintu yang tadi ditutup Bex. Bex
membukanya. Fran?oise yang datang. Dia berusaha untuk mengintip-intip dengan
rasa ingin tahu yang besar.
"Ada apa?" tanya Bex dengan tak sabar.
"Nyonya. Beliau berpesan bahwa beliau sudah cukup baik, dan sudah siap untuk
menerima Hakim Pemeriksa."
"Baik," kata Tuan Bex dengan tegas. "Katakan itu pada Tuan Hautet, dan katakan
juga bahwa kami akan segera datang."
Poirot agak berlambat-lambat, dan menoleh lagi ke arah mayat itu. Sejenak
kusangka bahwa dia akan menolak ajakan itu, akan menyatakan dengan jelas bahwa
dia tidak akan beristirahat sampai dia menemukan pembunuhnya. Tetapi waktu dia
berbicara, kata-katanya lemah dan tak tegas, sedang pernyataannya menggelikan
dan tak sesuai dengan saat seperti itu.
"Mantelnya kepanjangan," katanya dengan agak tertahan.
Bab 5 KISAH NYONYA RENAULD TUAN Hautet kami temui sedang menunggu kami di lorong rumah, lalu kami semua
naik ke lantai atas bersama-sama, Fran?oise berjalan di depan untuk menunjukkan
jalan. Poirot berjalan naik dengan cara membelok-belok. Aku keheranan, sampai
dia kemudian berbisik sambil meringis,
"Pantas para pelayan mendengar waktu Tuan Renauld menaiki tangga, setiap anak
tangga yang diinjak berderak-derak, hingga orang yang sudah mati pun bisa
bangun." Di atas tangga ada sebuah lorong yang bercabang.
"Tempat para pembantu." Tuan Bex menjelaskan.
Kami berjalan terus di sepanjang lorong, dan Fran?oise mengetuk sebuah pintu
kamar yang terakhir di sebelah kanan.
Suatu suara samar-samar mempersilakan kami masuk. Kami masuk ke sebuah ruangan
yang luas, yang menghadap ke laut. Laut yang terletak empat ratus meter jauhnya
dari tempat itu tampak biru dan berkilauan.
Di sofa terbaring seorang wanita semampai yang sangat menarik. Dia berbaring
dengan ditopang bantal-bantal, dan dijaga oleh Dokter Durand. Wanita itu sudah
setengah baya, dan rambutnya yang semula berwarna hitam kini hampir seluruhnya
putih, namun semangat hidupnya yang membara dan kekuatan pribadinya, seakan
dapat dirasakan di mana pun dia berada. Kita akan segera menyadari bahwa kita
sedang berada di dekat apa yang disebut orang Prancis, 'seorang wanita utama'.
Dia menyambut kedatangan kami dengan menganggukkan kepalanya dengan anggun.
"Silakan duduk, Tuan-tuan."
Kami mengambil kursi-kursi, dan juru tulis Hakim mengambil tempat di sebuah meja
bundar. "Nyonya," Tuan Hautet memulai pembicaraannya, "saya harap tidak akan terlalu
menyusahkan Anda untuk menceritakan pada kami apa yang terjadi semalam."
"Sama sekali tidak, Tuan. Saya tahu apa artinya waktu, asal pembunuh-pembunuh
jahat itu tertangkap dan dihukum."
"Baiklah, Nyonya. Saya rasa tidak akan terlalu meletihkan Anda, bila saya
menanyai Anda dan Anda membatasi diri dengan menjawab saja. Pukul berapa Anda
pergi tidur semalam?"
"Pukul setengah sepuluh, Tuan. Saya letih."
"Dan suami Anda?"
"Saya rasa kira-kira satu jam kemudian."
"Apakah dia kelihatan bingung - risau atau bagaimana?"
"Tidak, tidak berbeda dari biasanya."
"Apa yang terjadi kemudian?"
"Kami tidur. Saya terbangun oleh tangan yang ditekankan di mulut saya. Saya
mencoba berteriak, tapi terhalang oleh tangan itu. Ada dua orang dalam kamar.
Mereka memakai kedok."
"Bisakah Anda melukiskan sedikit tentang mereka, Nyonya?"
"Yang seorang tinggi sekali, dan berjanggut hitam yang panjang, yang seorang
lagi pendek dan gemuk. Janggutnya kemerah-merahan. Keduanya memakai topi yang
dibenamkan dalam-dalam, hingga matanya terlindung."
"Hm," kata Hakim sambil merenung, "saya rasa janggutnya terlalu tebal, bukan?"
"Maksud Anda janggut itu palsu?"
"Ya. Tapi lanjutkanlah cerita Anda."
"Yang memegang saya adalah yang pendek. Mulut saya disumbatnya, kemudian kaki
dan tangan saya diikatnya. Laki-laki yang seorang lagi berdiri di samping suami
saya. Diambilnya pisau kecil pembuka surat saya yang seperti pisau belati itu
dari meja hias saya, lalu ditodongkannya ke jantung suami saya. Setelah lakilaki yang pendek itu selesai mengurus saya, dia menyertai temannya. Suami saya
mereka paksa bangun dan ikut mereka ke kamar pakaian di sebelah. Saya hampir
pingsan karena ketakutan, namun saya paksa diri saya untuk memasang telinga.
"Namun mereka berbicara dengan suara demikian halusnya, hingga saya tak dapat
mendengar apa yang mereka katakan. Tapi saya rasa, saya dapat mengenali
bahasanya, bahasa Spanyol campuran seperti yang digunakan di beberapa bagian di
Amerika Selatan. Agaknya mereka menuntut sesuatu dari suami saya, lalu kemudian
mereka menjadi marah dan suara mereka agak meninggi. Kalau tak salah, laki-laki
yang tinggi yang berbicara, 'Anda tahu apa yang kami ingini!' katanya. 'Rahasia
itu! Mana dia"' Saya tak tahu apa jawab suami saya, tapi yang seorang lagi
berkata dengan kasar, 'Bohong! Kami tahu itu ada padamu. Mana kunci-kuncimu"'
"Lalu saya dengar laci-laci ditarik. Pada dinding kamar pakaian suami saya ada
tempat penyimpanan, di mana dia selalu menyimpan cukup banyak uang tunai.
Menurut kata Leonie, tempat itu sudah dibongkar dan uangnya tak ada lagi. Tapi
rupanya apa yang mereka cari tak ada di situ, karena kemudian saya dengar lakilaki yang jangkung menyumpah-nyumpah dan memerintah suami saya berpakaian.
Segera setelah itu, saya rasa ada suatu suara dalam rumah ini yang mengganggu
mereka, karena mereka lalu mendorong suami saya ke dalam kamar saya dalam
keadaan setengah berpakaian."
"Maaf," Poirot menyela, "apakah tak ada jalan ke luar lain dari kamar pakaian
itu?" "Tidak ada, hanya ada satu pintu, yaitu yang menghubungkannya dengan kamar saya. Mereka cepat-cepat mendorong suami saya, yang
pendek di depan, yang tinggi di belakangnya dengan tetap memegang pisau belati
tadi. Paul mencoba melepaskan diri untuk mendatangi saya. Saya melihat matanya
yang tersiksa. Dia berpaling pada orang-orang yang menangkapnya. 'Saya harus
berbicara dengan istri saya,' katanya. Lalu dia berjalan ke sisi tempat tidur
dan berkata, 'Tidak apa-apa, Floise. Jangan takut. Aku akan kembali sebelum
matahari terbit.' Meskipun dia berusaha untuk berbicara dengan suara mantap,
saya melihat ketakutan yang mahabesar di matanya. Lalu mereka mendorong suami
saya keluar dari pintu lagi. Yang jangkung berkata, 'Sekali saja bersuara - maka
kau akan menjadi bangkai, ingat!'
"Setelah itu," sambung Nyonya Renauld, "mungkin saya pingsan. Yang saya ingat
kemudian, adalah Leonie yang menggosok-gosok pergelangan tangan saya, dan
memberi saya brendi."
"Nyonya Renauld," kata Hakim, "apakah Anda bisa menduga apa yang dicari
penjahat-penjahat itu?"
"Sama sekali tidak."
"Apakah Anda tahu, apa yang kira-kira ditakuti suami Nyonya?"
"Ya, saya melihat perubahan pada dirinya."
"Sejak berapa lama?"
Nyonya Renauld berpikir. "Mungkin sejak sepuluh hari."
"Tidak lebih lama?"
"Mungkin, tapi saya telah melihatnya sejak itu."
"Adakah Anda menanyakan sebabnya pada suami Anda?"
"Pernah sekali. Tapi dia mengelak. Namun saya yakin bahwa ada sesuatu yang
sangat dikuatirkannya. Tapi karena dia ingin menyembunyikan kenyataan itu dari
saya, maka saya mencoba berpura-pura tak melihatnya."
"Tahukah Anda bahwa dia telah meminta bantuan seorang detektif?"
"Seorang detektif?" seru Nyonya Renauld terkejut sekali.
"Ya, tuan ini - Tuan Hercule Poirot." Poirot membungkukkan tubuhnya. "Beliau
baru tiba hari ini atas panggilan suami Anda." Lalu diambilnya surat yang
ditulis oleh Tuan Renauld dari sakunya dan diserahkannya pada wanita itu.
Wanita itu membacanya, dan tampak jelas bahwa dia merasa terkejut sekali.
"Saya sama sekali tidak tahu tentang hal ini. Kelihatannya dia menyadari benar
adanya bahaya yang mengancam itu."
"Nyonya, saya minta agar Anda berterus terang pada saya. Adakah suatu peristiwa
dalam hidup suami Anda di Amerika Selatan, yang mungkin bisa memberikan titik
terang pada pembunuhan atas dirinya?"
Lama Nyonya Renauld berpikir, tapi akhirnya dia menggeleng.
"Tak bisa saya mengingat apa pun juga. Suami saya memang punya musuh, orangorang yang diunggulinya dalam sesuatu hal, tapi saya tak bisa mengingat
seseorang atau suatu peristiwa tertentu. Saya tidak mengatakan bahwa tidak ada
peristiwa saya mungkin hanya tidak menyadarinya."
Hakim Pemeriksa mengelus janggutnya dengan kecewa.
"Lalu dapatkah Anda memastikan saat kejahatan itu dilakukan?"
"Ya, saya ingat, saya mendengar jam di atas perapian itu berbunyi dua kali." Dia
mengangguk ke arah sebuah jam yang terbungkus dalam sebuah wadah kulit, yang
terdapat di tengah-tengah para-para perapian.
Poirot bangkit dari tempat duduknya, memandangi jam itu dengan tajam, lalu
mengangguk dengan puas. "Dan ini ada lagi," seru Tuan Bex, "sebuah arloji tangan yang pasti tersenggol
oleh kedua penjahat itu sampai jatuh dari meja hias. Jam ini hancur luluh.
Mereka sama sekali tak menyangka bahwa jam ini akan bisa memberikan kesaksian
tentang mereka." Pecahan-pecahan kaca Arloji itu disingkirkannya perlahan-lahan. Tiba-tiba
wajahnya berubah, dia kelihatan terkejut sekali.
"Ya Tuhan!" teriaknya.
"Ada apa?" "Jarum arloji itu menunjukkan pukul tujuh!"
"Apa?" seru Hakim Pemeriksa itu dengan terkejut.
Tetapi Poirot, yang selalu tenang seperti biasa, mengambil arloji tangan yang
sudah hancur itu dari Komisaris yang terkejut, lalu menempelkannya ke
telinganya. Kemudian dia tersenyum.
"Kacanya memang sudah pecah," katanya. "Tapi jamnya sendiri masih jalan."
Penjelasan tentang misteri itu disambut dengan lega. Tetapi Hakim teringat akan
suatu hal. "Tetapi sekarang kan bukan pukul tujuh?"
"Tidak," kata Poirot dengan halus, "sekarang pukul lima lewat beberapa menit.
Mungkin arloji ini terlalu cepat jalannya, begitukah, Nyonya?"
Nyonya Renauld mengerutkan alisnya karena merasa heran.
"Memang terlalu cepat jalannya," katanya membenarkan, "tapi saya tak tahu bahwa
sampai sekian banyak kecepatannya."
Dengan sikap tak sabaran, Hakim meninggalkan soal arloji itu lalu melanjutkan
pertanyaannya, "Nyonya, pintu depan kedapatan terbuka sedikit. Boleh dikatakan hampir pasti,
bahwa kedua pembunuh itu masuk lewat pintu itu. Tapi pintu itu terbuka sama
sekali tidak karena paksaan. Dapatkah Anda memberikan penjelasan tentang hal
itu?" "Mungkin pada saat terakhir suami saya keluar untuk berjalan-jalan, lalu lupa
menguncinya waktu masuk."
"Apakah hal itu mungkin terjadi?"
"Mungkin sekali. Suami saya itu orang yang linglung sekali."
Waktu mengucapkan kata-kata itu alisnya berkerut, seolah-olah sifat pembawaan
laki-laki itu kadang-kadang menjengkelkannya.
"Saya rasa kita bisa menarik satu kesimpulan," kata Komisaris tiba-tiba.
"Mengingat orang-orang itu menyuruh Tuan Renauld berpakaian, agaknya tempat di
mana 'rahasia' itu tersembunyi, ke mana mereka akan membawa Tuan Renauld, jauh
letaknya." Hakim mengangguk. "Ya, memang jauh, tapi tidak terlalu jauh, karena almarhum
mengatakan akan kembali pagi harinya."
"Pukul berapa kereta api terakhir berangkat dari stasiun Merlinville?" tanya
Poirot. "Ada yang pukul dua belas kurang sepuluh menit, kadang-kadang pukul dua belas
lewat tujuh belas menit. Tapi lebih besar kemungkinannya ada mobil yang menunggu
mereka." "Tentu," Poirot membenarkan, dia kelihatan agak kecewa.
"Itu memang salah satu jalan untuk menelusuri mereka," kata Hakim dengan wajah
yang menjadi cerah. "Sebuah mobil yang berisi dua orang asing lebih mudah
dilihat. Itu suatu cara yang bagus sekali, Tuan Bex."
Dia tersenyum sendiri, kemudian dia serius lagi, dan berkata pada Nyonya
Renauld, "Ada satu pertanyaan lagi. Kenalkah Anda pada seseorang yang bernama
Duveen?" "Duveen?" ulang Nyonya Renauld sambil berpikir. "Rasanya tidak."
"Tak pernahkah Anda mendengar suami Anda menyebut seseorang yang bernama
demikian?" "Tak pernah." "Apakah Anda mengenal seseorang yang nama baptisnya, Bella?"
Diperhatikannya Nyonya Renauld dengan saksama waktu dia bertanya itu, ingin
melihat tanda-tanda kemarahan atau perasaan lain di wajahnya, tetapi wanita itu
hanya menggeleng dengan cara yang wajar saja. Dia melanjutkan pertanyaannya,
"Tahukah Anda bahwa suami Anda semalam menerima tamu?"
Kini dilihatnya warna merah meronai pipi wanita itu, namun dia menjawab dengan
tenang, "Tidak, siapa dia?"
"Seorang wanita."
"Oh ya?" Tetapi untuk sementara hakim itu sudah merasa puas, dan tidak berkata apa-apa
lagi. Agaknya tak mungkin Nyonya Daubreuil tersangkut dalam kejahatan itu, dan
dia sama sekali tak mau membuat Nyonya Renauld risau tanpa perlu.
Dia memberi isyarat pada Komisaris, dan laki-laki itu menanggapinya dengan
mengangguk. Kemudian dia bangkit, pergi ke ujung lain dari kamar itu, lalu
kembali dengan membawa stoples kaca, yang terdapat di gudang tadi. Dari stoples
itu dikeluarkannya pisau belati itu.
"Nyonya," katanya dengan halus, "kenalkah Anda pada barang ini?"


Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wanita itu terpekik. "Ya, itu pisau belati saya." Kemudian dilihatnya ujung belati yang bernoda itu,
dia menarik tubuhnya mundur dengan mata yang melebar ketakutan. "Apakah itu darah?" "Benar, Nyonya. Suami Nyonya terbunuh dengan senjata ini." Dia cepat-cepat
menarik benda itu dari pandangan. "Yakinkah Anda bahwa pisau belati itu sama
dengan yang terdapat di meja hias Anda semalam?"
"Ya, saya yakin. Itu hadiah dari anak saya. Dia bertugas di angkatan udara
selama perang. Dia mengaku lebih tua daripada umurnya sebenarnya." Dalam
suaranya terdengar nada kebanggaan. "Pisau itu terbuat dari kawat pesawat
terbang, dan anak saya memberikannya sebagai kenang-kenangan."
"Saya mengerti, Nyonya. Sekarang saya harus menanyakan suatu soal lain. Putra
Anda itu, di mana dia sekarang" Kita perlu mengirim telegram padanya segera."
"Jack" Dia sedang dalam perjalanan ke Buenos Ayres."
"Apa?" "Ya. Kemarin suami saya mengirim telegram padanya. Semula dia menyuruh anak itu
pergi ke Paris untuk suatu urusan, tapi kemarin dia baru tahu bahwa anak itu
harus segera melanjutkan perjalanannya ke Amerika Selatan. Kemarin malam ada
kapal yang akan berangkat ke Buenos Ayres dari Cherbourg, lalu dikirimnya
telegram supaya anak itu berangkat dengan kapal itu."
"Tahukah Anda apa urusan di Buenos Ayres itu?"
"Tidak. Saya tidak tahu apa-apa. Tapi Buenos Ayres bukanlah tujuan akhir anak
saya. Dari sana dia harus ke Santiago lewat darat."
Hakim dan Komisaris berseru serentak, "Santiago! Lagi-lagi Santiago!"
Pada saat itu, saat kami semua terpana mendengar nama itu disebutkan, Poirot
mendekati Nyonya Renauld. Sebelum itu dia berdiri saja di dekat jendela bagai
seseorang yang tenggelam dalam mimpi, dan aku tak yakin apakah dia menyadari
benar apa yang sedang berlangsung di sekitarnya. Dia berhenti di sisi wanita itu
sambil membungkuk. "Maaf, Nyonya, bolehkah saya memeriksa pergelangan Anda?"
Meskipun agak terkejut mendengar permintaan itu, Nyonya Renauld mengulurkan
tangannya pada Poirot. Di seputar setiap pergelangannya tampak bekas merah yang
buruk, bekas tempat tali membenam ke dalam dagingnya. Sedang dia memeriksa itu,
aku rasanya melihat lenyapnya suatu bayangan harapan yang semula tampak di
matanya, "Luka ini pasti sakit sekali," katanya, dan sekali lagi dia kelihatan heran.
Tetapi Hakim berbicara dengan bersemangat.
"Tuan muda Renauld harus langsung dihubungi dengan telegram. Penting sekali kita
mengetahui sesuatu tentang perjalanannya ke Santiago itu." Dia tampak ragu.
"Saya semula berharap bahwa dia berada dekat saja, hingga dia bisa mengurangi
kesedihan Anda, Nyonya." Dia berhenti.
"Maksud Anda," kata wanita itu dengan suara halus, "untuk mengenali mayat suami
saya?" Hakim menundukkan kepalanya.
"Saya seorang wanita yang kuat, Tuan. Saya bisa menanggung semua yang dituntut
dari diri saya. Sekarang pun saya siap."
"Ah, besok pun masih bisa."
"Saya lebih suka semuanya cepat selesai," katanya dengan nada rendah, di
wajahnya terbayang rasa pedih. "Tolong tuntun saya, Dokter."
Dokter cepat-cepat mendekatinya, pundak wanita itu ditutupinya dengan mantel,
lalu kami beriring-iring perlahan-lahan menuruni tangga. Tuan Bex cepat-cepat
mendahului semuanya untuk membuka pintu gudang. Sebentar kemudian Nyonya Renauld
tiba di ambang pintu gudang. Wajahnya pucat sekali, tapi geraknya tampak pasti.
Tuan Hautet yang berada di belakangnya tak sudah-sudahnya mengucapkan kata-kata
dukacita dan penyesalannya.
Wanita itu menutup mukanya dengan tangannya.
"Sebentar, Tuan-tuan, saya menguatkan diri sebentar."
Dilepaskannya tangannya lalu dia melihat ke mayat itu. Kemudian daya tahannya
yang begitu hebat, yang telah mampu membuatnya bertahan sampai sebegitu jauh,
sirna. "Paul!" pekiknya. "Suamiku! Oh Tuhan!" Dan dia tersungkur, pingsan di tanah.
Poirot segera berada di sisinya. Diangkatnya kelopak mata wanita itu, dan
dirabanya nadinya. Setelah dia yakin bahwa wanita itu benar-benar pingsan,
Poirot menyingkir. Lenganku dicengkeramnya.
"Benar-benar goblok aku ini, Temanku! Tak pernah aku mendengar jerit seorang
wanita yang lebih banyak mengandung rasa cinta dan kesedihan, daripada yang
kudengar tadi. Anggapanku semula semuanya salah. Eh bien! Aku harus mulai dari
awal lagi!" Bab 6 TEMPAT KEJADIAN KEJAHATAN
DOKTER berdua dengan Tuan Hautet mengangkat wanita yang pingsan itu masuk ke
rumah. Komisaris memperhatikan mereka dari belakang, dia menggelengkan
kepalanya. "Kasihan wanita itu," gumamnya sendiri. "Tak kuat dia menanggung shock itu. Yah,
kita tak bisa berbuat apa-apa sekarang. Nah, Tuan Poirot, mari kita pergi ke
tempat kejahatan itu dilakukan."
"Mari, Tuan Bex."
Kami melalui rumah, dan keluar melalui pintu depan. Sambil lewat Poirot
mendongak, melihat ke tangga yang menuju ke lantai atas, lalu menggeleng dengan
kesal. "Saya masih tetap heran, mengapa para pelayan tidak mendengar apa-apa. Waktu
kita bertiga menaiki tangga itu tadi, bunyi deraknya bahkan bisa membangunkan
orang yang sudah mati!"
"Ingat, waktu itu tengah malam. Mereka waktu itu sedang tidur nyenyak."
Tetapi Poirot tetap menggelengkan kepalanya, seolah-olah tetap tak bisa menerima
penjelasan itu sepenuhnya. Setiba di luar, di jalan masuk ke rumah, dia berhenti
lagi, lalu mendongak melihat ke atas rumah.
"Mengapa mereka pertama-tama mencoba membuka pintu depan" Bukankah hal itu
sulit" Rasanya jauh lebih masuk akal, kalau mereka segera mencoba mendongkel
sebuah jendela." "Tapi semua jendela di lantai bawah dipasangi terali besi," kata Komisaris.
Poirot menunjuk ke sebuah jendela di lantai atas. "Bukankah itu jendela kamar
tidur yang baru saja kita masuki tadi" Lihatlah - di dekatnya ada sebatang
pohon, yang dengan sangat mudah dapat dijadikan titian untuk memasuki kamar
itu." "Mungkin," Komisaris membenarkan. "Tapi mereka tak bisa berbuat demikian, tanpa
meninggalkan bekas jejak kaki di bedeng-bedeng bunga."
Aku melihat kebenaran kata-katanya itu. Ada dua buah bedeng bunga yang lonjong
yang ditanami bunga geranium merah, di kiri kanan anak tangga yang menuju ke
pintu depan. Pohon yang dikatakan Poirot memang berakar di bagian belakang
bedeng itu, dan tidaklah mungkin mencapai pohon itu tanpa menginjak bedeng.
"Begini," lanjut Komisaris, "karena cuaca panas, di jalan masuk atau di lorong
tidak akan tampak bekas jejak kaki orang, tapi di bedeng bunga yang tanahnya
lembut itu, lain lagi soalnya."
Poirot mendekati bedeng itu dan memeriksa tanahnya dengan cermat. Sebagaimana
yang dikatakan Bex, tanahnya memang benar-benar halus. Lagi pula tak ada bekas
apa pun di situ. Poirot mengangguk seakan-akan sudah yakin, dan kami lalu berbalik, tetapi tibatiba dia melompat ke samping dan memeriksa bedeng bunga yang sebuah lagi.
"Tuan Bex!" panggilnya. "Lihat ini. Di sini ada banyak bekas, silakan lihat."
Komisaris mendekatinya - lalu tersenyum.
"Tuan Poirot, sahabatku, itu pasti bekas jejak sepatu bot besar tukang kebun,
yang solnya berpaku. Pokoknya, jejak itu tidak akan penting, karena di sebelah
sini tak ada pohon, dan oleh karenanya tak ada titian untuk dijadikan jalan
memasuki lantai atas."
"Benar," kata Poirot yang kelihatan kecewa. "Jadi menurut Anda, bekas jejak kaki
itu tak penting?" "Sama sekali tak penting."
Kemudian aku terkejut sekali, karena Poirot mengucapkan kata-kata, "Saya tak
sependapat dengan Anda. Saya berpendapat bahwa jejak-jejak kaki ini adalah yang
terpenting, dari segalanya yang telah kita lihat,"
Tuan Bex tak berkata apa-apa, dia hanya mengangkat bahunya. Terlalu halus
perasaannya untuk mengeluarkan pendapatnya yang sesungguhnya.
Dia hanya berkata, "Mari kita lanjutkan."
"Baiklah. Saya bisa menyelidiki soal bekas jejak kaki ini nanti saja," kata
Poirot dengan ceria. Tuan Bex tidak mengambil jalan lurus di sepanjang jalan masuk mobil, melainkan
membelok ke sebelah kanan. Jalan itu menuju ke sebuah tanjakan kecil di sebelah
kanan rumah, dan di kedua belah sisinya dibatasi oleh semacam semak-semak. Jalan
itu tiba-tiba menuju ke sebuah lapangan, dari mana kita bisa melihat laut. Di
situ ada sebuah bangku, dan tak jauh dari situ ada gudang yang agak bobrok.
Beberapa langkah lebih jauh terdapat sederetan semak-semak kecil yang membatasi
perbatasan dengan tanah milik villa itu. Tuan Bex menguakkan semak-semak itu
untuk melewatinya, dan di hadapan kami terbentang bukit berumput yang luas. Aku
melihat ke sekelilingku, lalu melihat sesuatu yang membuatku amat terkejut.
"Wah, ini lapangan golf," teriakku.
Bex mengangguk. "Batas-batasnya belum sempurna," dia menjelaskan. "Diharapkan
lapangan ini akan bisa dibuka bulan depan. Orang-orang yang bekerja di sinilah
yang menemukan mayat itu pagi tadi."
Aku tersentak. Agak di sebelah kiriku, yang tadi belum terlihat olehku, ada
sebuah liang sempit, dan di dekatnya ada tubuh seorang laki-laki. Dia tiarap
dengan kepalanya ke bawah! Jantungku rasanya berhenti berdetak, aku.
membayangkan bahwa tragedi itu telah terulang lagi. Tapi Komisaris membuyarkan
bayanganku itu dengan berjalan maju sambil berseru dengan kesal dan keras,
"Apa saja kerja polisi-polisiku ini" Mereka sudah mendapat perintah ketat untuk
tidak mengizinkan siapa pun juga berada di sekitar tempat ini tanpa surat-surat
pengantar yang jelas!"
Laki-laki di tanah itu membalikkan kepalanya menoleh kepada kami. "Saya punya
surat-surat pengantar yang jelas," katanya, lalu bangkit perlahan-lahan.
"Tuan Giraud, sahabatku," seru Komisaris, "Saya sama sekali tak tahu bahwa Anda
sudah datang. Bapak Hakim Pemeriksa sudah tak sabaran menunggu Anda."
Sedang komisaris itu berbicara, aku mengamat-amati pendatang baru itu dengan
rasa ingin tahu yang besar. Aku sering mendengar nama detektif pada Dinas
Rahasia di Paris yang terkenal itu, dan aku tertarik sekali melihat orangnya
sendiri. Tubuhnya tinggi sekali, umurnya mungkin tiga puluh tahun, rambutnya
berwarna merah kecokelatan, berkumis, dan gerak-geriknya seperti tentara.
Sikapnya agak angkuh, hal mana menunjukkan bahwa dia benar-benar menyadari
betapa pentingnya dirinya. Bex memperkenalkan kami, dengan mengatakan bahwa
Poirot adalah rekannya seprofesi. Mata detektif itu membayangkan bahwa dia
merasa tertarik. "Saya sering mendengar nama Anda, Tuan Poirot," katanya. "Di masa lalu Anda
sangat terkenal, bukan" Tapi zaman sekarang, cara kerja banyak berubah."
"Namun kejahatan tetap sama saja," kata Poirot dengan halus.
Aku segera melihat bahwa Giraud cenderung bersikap bermusuhan. Dia tak suka ada
orang lain yang dihubungkan dengan dirinya, dan kurasa bahwa bila dia menemukan
suatu petunjuk yang penting, dia akan menyimpannya sendiri.
"Hakim Pemeriksa - " Bex mulai lagi. Tetapi Giraud memotongnya dengan kasar,
"Persetan dengan Hakim Pemeriksa! Yang penting adalah cahaya matahari ini! Kirakira setengah jam lagi cahaya sudah akan habis, dan tak bisa lagi dimanfaatkan
untuk tujuan-tujuan praktis. Saya sudah tahu semua tentang peristiwanya, dan
orang-orang di rumah itu bisa kita tangani besok, tapi kalau kita ingin
menemukan petunjuk-petunjuk dari pembunuhnya, di tempat inilah kita akan
menemukannya. Polisikah yang telah menginjak-injak tempat ini semuanya" Saya
sangka sekarang ini mereka sudah lebih mengerti."
"Tentu mereka tahu. Bekas-bekas yang Anda keluhkan itu telah ditinggalkan oleh
para pekerja yang menemukan mayat itu."
Teman bicaranya menggeram penuh kebencian.
"Saya melihat bekas jejak kaki tiga orang yang telah melewati pagar - tapi
mereka itu cerdik. Kita hanya bisa mengenali bekas jejak kaki Tuan Renauld yang
berada di tengah-tengah, sedang bekas jejak kaki kedua orang yang di kiri
kanannya telah dihapus dengan cermat. Meskipun sebenarnya tak banyak yang bisa
dilihat di tanah yang kering dan keras ini, mereka rupanya tak mau mengambil
risiko." "Anda mencari bekas-bekas yang kelihatannya tak penting, bukan?" celetuk Poirot.
"Tentu." Poirot tersenyum kecil. Kelihatannya dia akan berbicara, tapi dia
membatalkannya. Dia membungkuk di tempat sebuah sekop tergeletak.
"Benar sekali," kata Giraud. "Dengan itulah liang kubur itu digali. Tapi Anda
tidak akan menemukan apa-apa pada benda itu. Itu adalah sekop Tuan Renauld
sendiri, dan orang yang menggunakannya memakai sarung tangan. Ini sarung tangan
itu." Dia menunjuk dengan kakinya ke suatu tempat di mana terletak sepasang
sarung tangan yang berlepotan tanah. "Dan sarung tangan itu pun milik Tuan
Renauld - atau sekurang-kurangnya kepunyaan tukang kebunnya. Saya katakan sekali
lagi, orang yang merencanakan kejahatan itu tak mau untung-untungan. Pria itu
ditikam dengan pisau belatinya sendiri, lalu akan dikuburkan dengan sekopnya
sendiri pula. Mereka bertekad untuk tidak meninggalkan jejak! Tapi saya akan
mengalahkan mereka. Pasti selalu ada sesuatu! Dan saya akan menemukannya."
Tapi kini agaknya Poirot tertarik akan sesuatu yang lain, sepotong pipa pendek
dari timah hitam yang sudah berubah warnanya. Pipa itu terletak di sebelah
sekop. Benda itu dipegangnya dengan lembut.
"Lalu apakah barang ini juga milik orang yang terbunuh itu?" tanyanya. Kurasa
aku mendengar sindiran halus dalam pertanyaan itu.
Giraud mengangkat bahunya untuk menyatakan bahwa dia tak tahu dan juga tak
peduli. "Mungkin sudah berminggu-minggu terletak di tempat ini. Pokoknya, barang itu
tidak menarik perhatian saya."
"Sebaliknya, saya menganggapnya sangat menarik," kata Poirot dengan manis.
Kurasa dia semata-mata ingin menjengkelkan detektif dari Paris itu, dan kalau
memang begitu, dia telah berhasil. Detektif itu berbalik dengan kasar, sambil
berkata bahwa dia tak mau membuang-buang waktu. Dan sambil membungkuk-bungkuk
dia mulai mencari lagi di tanah dengan teliti.
Sementara itu, Poirot yang seolah-olah tiba-tiba teringat akan sesuatu, pergi
melewati perbatasan tanah tadi, lalu mencoba membuka gudang kecil itu.
"Pintu itu terkunci," kata Giraud, sambil menoleh melalui bahunya. "Tapi gudang
itu hanya merupakan tempat tukang kebun menyimpan tetek-bengeknya saja. Sekop
ini tidak diambil dari situ, melainkan dari gudang alat-alat yang ada di dekat
rumah." "Luar biasa," gumam Tuan Bex padaku dengan bersemangat. "Baru setengah jam dia
berada di sini, dan dia sudah tahu semuanya! Orang hebat dia! Giraud pastilah
seorang detektif yang terbesar yang hidup di zaman ini."
Meskipun aku benci sekali pada detektif itu, mau tak mau aku terkesan. Orang itu
seakan-akan memancarkan efisiensi kerja. Dengan sendirinya aku merasa, bahwa
sampai sebegitu jauh, Poirot belum menonjolkan dirinya demikian hebatnya, dan
hal itu membuatku kesal. Poirot seolah-olah selalu mengarahkan perhatiannya pada
hal-hal remeh yang tak berarti, yang tak ada hubungannya dengan peristiwa itu.
Sekarang ini pun dia tiba-tiba bertanya, "Tuan Bex, tolong jelaskan, apa arti
garis kapur putih yang mengelilingi liang kubur itu. Apakah itu suatu tanda
buatan polisi?" "Bukan, Tuan Poirot, itu urusan lapangan golf ini. Tanda itu menunjukkan bahwa
di situlah nanti akan dibuat apa yang disebut dalam dunia golf bunkair."
"Suatu bunkair?" Poirot bertanya dengan berpaling padaku. "Apakah itu sebuah
lubang sembarang yang diisi pasir dan sebuah tebing di suatu sisinya?"
Aku membenarkannya. "Anda tidak main golf, Tuan Poirot?" tanya Bex.
"Saya" Tak pernah! Permainan apa itu!" Dia jadi bersemangat. "Bayangkan saja
sendiri, setiap lubang itu berbeda panjangnya. Penghalang-penghalangnya tidak
pula diatur secara matematika. Bahkan tanah rumputnya pun kadang-kadang lebih
tinggi sebelah. Hanya ada satu hal yang menyenangkan, yaitu - apa namanya ya" kotak-kotak tempat berpijak pertama kali itu! Kotak-kotak itu sajalah yang
simetris." Aku tak dapat menahan tawa, membayangkan bagaimana permainan itu di mata Poirot,
dan sahabatku yang kecil itu tersenyum padaku dengan penuh kasih sayang tanpa
ada rasa benci. Lalu dia bertanya, "Tapi Tuan Renauld main golf, bukan?"
"Ya, dia suka sekali main golf. Pembuatan lapangan ini pun bahkan terutama
berkat beliau dan besarnya sumbangannya. Dia bahkan punya hak suara dalam
perencanaannya." Poirot mengangguk sambil merenung.
Kemudian dia berkata, "Pilihan mereka sama sekali bukan pilihan yang baik untuk menguburkan mayat. Bila para pekerja itu mulai menggali tanah, semua pasti
akan ketahuan."

Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tepat," seru Giraud dengan penuh kemenangan. "Dan itu membuktikan bahwa orangorang itu tak mengenal daerah ini. Ini suatu bukti tak langsung yang paling
bagus." "Ya," kata Poirot ragu-ragu. "Orang yang tahu pasti tidak akan mau
menguburkannya di situ - kecuali - kecuali kalau mereka memang ingin mayat itu
ditemukan. Dan itu tentu tak masuk akal, bukan?"
Giraud bahkan tak merasa perlu menjawab.
"Ya," kata Poirot dengan suara agak kesal. "Ya - jelas - tak masuk akal!"
Bab 7 NYONYA DAUBREUIL YANG MISTERIUS
DALAM menelusuri perjalanan kami ke rumah, Tuan Bex minta diri meninggalkan
kami, dengan menjelaskan bahwa dia harus segera memberitahukan kedatangan Giraud
pada Hakim Pemeriksa. Giraud sendiri tampak senang waktu Poirot mengatakan bahwa
dia sudah cukup melihat-lihat apa yang diperlukannya. Waktu kami akan
meninggalkan tempat itu. kami masih melihat Giraud, merangkak di tanah, dan
mencari dengan demikian bersungguh-sungguh, hingga aku merasa kagum. Poirot tahu
apa yang ada dalam pikiranku, karena segera setelah kami tinggal berduaan saja
dia berkata dengan mengejek,
"Akhirnya kautemukan detektif yang kaukagumi - anjing pemburu dalam bentuk
manusia! Begitu bukan, Sahabatku?"
"Sekurang-kurangnya, dia berbuat sesuatu," kataku tajam. "Kalau memang ada yang
bisa ditemukan, dialah yang akan menemukannya. Sedang kau - "
"Eh bien! Aku juga ada menemukan sesuatu! Sepotong pipa dari timah hitam tadi
itu." "Omong kosong, Poirot. Kau tahu betul itu tak ada hubungannya dengan kejadian
itu. Maksudku tadi, hal-hal yang kecil - tanda-tanda yang pasti akan dapat
menuntun kita pada pembunuh-pembunuh itu."
"Mon ami, suatu barang petunjuk yang panjangnya enam puluh sentimeter sama benar
nilainya dengan barang petunjuk yang berukuran dua milimeter! Tapi sudah menjadi
pendapat yang romantis, bahwa semua barang petunjuk yang penting pasti kecil
sekali! Kau mengatakan bahwa pipa timah hitam itu tak ada hubungannya dengan
kejahatan itu, karena Giraud telah berkata demikian padamu. Tidak!" - katanya,
waktu aku akan memotong pembicaraannya dengan pertanyaan - "sebaiknya tak usah
kita bicarakan lagi. Biarkan Giraud mencari sendiri, dan aku dengan jalan
pikiranku. Perkara ini kelihatannya cukup sederhana - namun - namun, mon Ami,
aku tak puas - Dan tahukah kau apa sebabnya" Gara-gara arloji tangan yang terlalu
cepat dua jam itu. Kemudian ada beberapa hal yang kecil yang aneh, yang
kelihatannya tak cocok. Umpamanya, bila tujuan pembunuh-pembunuh itu adalah
pembalasan dendam, mengapa mereka tidak menikam Renauld dalam tidurnya saja
supaya segera beres?"
"Mereka menginginkan 'rahasia' itu," aku mengingatkannya.
Poirot menepiskan setitik debu dari lengan bajunya dengan kesal.
"Lalu, di mana 'rahasia' itu" Mungkin agak jauh, karena mereka menyuruhnya
berpakaian. Tapi dia ditemukan di tempat yang dekat, boleh dikatakan sejengkal
saja dari rumahnya. Apalagi, sungguh suatu kebetulan bahwa suatu senjata seperti
pisau belati itu terletak sembarangan, siap pakai."
Dia berhenti, mengerutkan dahinya, lalu melanjutkan, "Mengapa para pelayan
sampai tak mendengar apa-apa" Apakah mereka dibius" Apakah ada komplotan dan
apakah komplotan itu mengusahakan supaya pintu depan tetap terbuka" Aku ingin
tahu apakah - " Dia tiba-tiba terhenti. Kami telah tiba di jalan masuk mobil di depan rumah.
Tiba-tiba dia berpaling padaku.
"Sahabatku, aku akan memberikan suatu kejutan bagimu - untuk menyenangkan
hatimu! Aku memperhatikan benar teguran-teguranmu! Kita akan memeriksa bekasbekas jejak kaki!" "Di mana?" "Di bedeng bunga di sana itu. Tuan Bex mengatakan bahwa itu adalah bekas jejak
kaki tukang kebun. Mari kita lihat apakah itu benar. Lihat dia sedang menuju
kemari dengan kereta dorongnya."
Memang benar seorang laki-laki setengah baya sedang menyeberangi jalan masuk
dengan membawa bibit sekereta penuh. Poirot memanggilnya, dan laki-laki itu
meletakkan kereta dorongnya dan terpincang-pincang mendatangi kami.
"Apakah akan kauminta salah satu sepatu botnya untuk membandingkannya dengan
bekas jejak kaki itu?" tanyaku dengan menahan napas. Kepercayaanku pada Poirot
timbul lagi sedikit. Karena dikatakannya bahwa bekas jejak kaki yang di bedeng
sebelah kanan itu adalah penting, agaknya memang demikianlah adanya.
"Ya," kata Poirot.
"Tapi tidakkah dia akan menganggap hal itu aneh?"
"Dia sama sekali tidak akan berpikir apa-apa."
Kami tak bisa berkata apa-apa lagi, karena laki-laki tua itu sudah berada di
dekat kami. "Apakah Anda akan menyuruh saya sesuatu, Tuan?"
"Ya. Anda sudah lama menjadi tukang kebun di sini, bukan?"
"Sudah dua puluh empat tahun, Tuan."
"Nama Anda - ?"
"Auguste, Tuan."
"Saya kagum melihat bunga geranium ini. Bunga-bunga ini cantik sekali. Sudah
lamakah bunga-bunga ini ditanam?"
"Sudah agak lama, Tuan. Tapi supaya bedeng-bedengnya tetap kelihatan cantik,
kita harus selalu menyiapkan bedeng-bedeng dengan tanaman baru, dan mencabut
tanaman yang sudah mati, juga menjaga supaya bunga-bunga yang tua dipetik baikbaik." "Kemarin Anda menanam tanaman baru, bukan" Yang di tengah itu, dan yang di
bedeng lain juga?" "Tuan bermata tajam. Selamanya setelah sehari dua tanaman baru itu baru akan
tumbuh dengan baik. Ya, saya memang baru menempatkan sepuluh tanaman baru di
setiap bedeng kemarin malam. Sebagaimana Anda pasti tahu, kita tak boleh
memindahkan tanaman baru bila matahari sedang panas."
Auguste merasa senang melihat perhatian Poirot, dan dia lalu cenderung untuk
banyak bercerita. "Yang di sana itu jenis yang bagus sekali," kata Poirot sambil menunjuk.
"Bolehkah saya minta stek-nya?"
"Tentu, Tuan." Laki-laki itu melangkah ke bedengan itu, lalu dengan berhati-hati
mengambil suatu potongan dari tanaman yang dikagumi Poirot tadi.
Poirot berterima kasih banyak-banyak, dan Auguste pergi kembali ke kereta
dorongnya. "Kaulihat?" kata Poirot dengan tersenyum, sambil membungkuk ke bedeng untuk
memeriksa bekas sepatu bot yang solnya berpaku besar milik tukang kebun itu.
"Sederhana saja."
"Aku tak menyadari - "
"Bahwa kaki itu terdapat di dalam sepatu bot" Kau tidak memanfaatkan kemampuan
pikiranmu dengan baik. Nah, bagaimana dengan bekas jejak kaki itu?"
Aku memeriksa bedengan itu dengan teliti.
"Semua bekas jejak kaki di bedengan ini adalah bekas sepatu bot yang sama,"
kataku akhirnya setelah menyelidiki dengan saksama.
"Begitukah" Eh bien, aku sependapat dengan kau," kata Poirot.
Dia kelihatan sama sekali tidak menaruh perhatian, dan dia seolah-olah sedang
memikirkan sesuatu yang lain.
"Bagaimanapun juga," kataku, "sudah berkurang satu hal yang memusingkan kepalamu
sekarang." "Apa maksudmu?"
"Maksudku, sekarang kau akan bisa mengalihkan perhatianmu dari bekas jejak kaki
ini." Tapi aku terkejut melihat Poirot menggeleng.
"Tidak, tidak, mon ami. Akhirnya aku berada di jalur yang benar. Aku memang
masih berada dalam kegelapan, tapi, sebagaimana yang sudah kusinggung dengan
Tuan Bex tadi, bekas jejak kaki ini adalah hal yang paling penting dan menarik
dalam perkara ini! Kasihan si Giraud itu - aku tak heran kalau dia tidak
memperhatikannya sama sekali."
Pada saat itu, pintu depan terbuka, dan Tuan Hautet menuruni tangga diikuti oleh
Komisaris. "Oh, Tuan Poirot, kami sedang mencari-cari Anda," kata hakim itu. "Hari sudah
malam, tapi saya masih ingin mengunjungi Nyonya Daubreuil. Dia pasti amat
berdukacita atas kematian Tuan Renauld, dan kalau kita beruntung kita akan
mendapatkan petunjuk dari dia. Rahasia yang tidak dipercayakan almarhum pada
istrinya itu, mungkin diceritakannya pada wanita yang cintanya telah menjerat
dirinya. Kita tahu di mana kelemahan Samson, bukan?"
Aku mengagumi bahasa bunga Tuan Hautet. Kurasa Hakim Pemeriksa sedang menikmati
perannya dalam drama yang misterius ini.
"Apakah Tuan Giraud tidak akan ikut kita?" tanya Poirot.
"Tuan Giraud telah menyatakan dengan jelas, bahwa dia lebih suka menjajaki
perkara ini dengan caranya sendiri," kata Tuan Hautet datar.
Dapat dilihat dengan jelas bahwa tindak-tanduk Giraud yang angkuh terhadap Hakim
Pemeriksa tidak mendapatkan tanggapan yang baik dari pejabat itu. Kami tak
berkata apa-apa lagi, lalu kami berjalan bersamanya. Poirot berjalan dengan
Hakim Pemeriksa, Komisaris dan aku mengikutinya beberapa langkah di belakangnya.
"Tak dapat diragukan bahwa cerita Fran?oise memang benar," kata komisaris itu
padaku dengan nada misterius. "Saya baru saja menelepon beberapa markas besar.
Rupanya telah tiga kali selama enam minggu terakhir ini - yaitu sejak kedatangan
Tuan Renauld di Merlinville - Nyonya Daubreuil telah membayarkan sejumlah besar
uang sebagai simpanannya di bank. Jumlah uang itu semua dua ratus ribu franc!"
"Bukan main," kataku sambil berpikir, "itu sama banyaknya dengan empat ribu
pound!" "Tepat. Ya, agaknya memang sudah jelas bahwa pria itu benar-benar tergila-gila.
Sekarang kita tinggal harus melihat, apakah rahasia itu dibukakannya pada
perempuan itu atau tidak. Hakim Pemeriksa merasa optimis, tapi saya tidak
sependapat dengan dia."
Sambil bercakap-cakap itu kami berjalan di sepanjang lorong ke arah jalan yang
bercabang, tempat mobil sewaan kami berhenti petang tadi, dan sesaat kemudian
aku baru menyadari bahwa Villa Marguerite, rumah Nyonya Daubreuil yang misterius
itu adalah rumah kecil dari mana gadis cantik tadi keluar.
"Sudah bertahun-tahun dia tinggal di sini," kata Komisaris, sambil menganggukkan
kepalanya ke arah rumah itu. "Hidupnya tenang sekali, sama sekali tidak menarik
perhatian orang. Agaknya dia tak punya teman atau sanak-saudara kecuali kenalankenalannya selama tinggal di Merlinville ini. Dia tak pernah menceritakan
tentang masa lalunya maupun tentang suaminya. Orang bahkan tak tahu, apakah
suaminya itu masih hidup atau sudah meninggal. Jadi hidupnya memang penuh
misteri." Aku mengangguk, aku makin tertarik.
"Lalu - anak gadisnya?" tanyaku memberanikan diri.
"Seorang gadis yang benar-benar cantik - rendah hati, berbakti, sebagaimana
seharusnya. Orang-orang merasa kasihan padanya, karena, meskipun dia sendiri tak
tahu apa-apa tentang masa lalunya, laki-laki yang ingin mengawininya harus
mencari tahu sendiri tentang masa lalu itu, lalu - " Komisaris mengangkat bahunya
dengan sinis. "Tapi itu kan bukan salahnya!" aku berseru dengan rasa marah.
"Memang bukan. Tapi apa mau dikata" Laki-laki sering ingin sekali tahu tentang
asal-usul istrinya."
Kami tak bisa meneruskan percakapan itu, karena kami sudah tiba di pintu. Tuan
Hautet menekan bel. Beberapa menit kemudian, kami mendengar jejak kaki di dalam,
dan pintu terbuka. Di ambang pintu berdiri dewi mudaku yang kulihat petang itu.
Waktu dia melihat kami, darah di wajahnya seakan-akan sirna, hingga dia
kelihatan pucat sekali, dan matanya terbelalak ketakutan. Tak dapat diragukan
lagi, dia benar-benar takut!
"Nona Daubreuil," kata Tuan Hautet, sambil membuka topinya, "maafkan kami
sebesar-besarnya karena harus mengganggu Anda, tapi ini adalah demi kepentingan
hukum - Anda mengerti, bukan" Tolong sampaikan salam hormat saya pada ibu Anda,
dan tanyakan apakah beliau mau berbaik hati dan mengizinkan saya mewawancarainya
sebentar?" Sesaat gadis itu berdiri tak bergerak. Tangan kirinya ditopangkannya ke sisi
tubuhnya, seolah-olah akan menenangkan debar jantungnya yang kuat. Tetapi
kemudian dia bisa menguasai dirinya, dan berkata dengan suara lemah, "Akan saya
lihat. Silakan masuk."
Dia masuk ke sebuah kamar di sebelah kiri lorong rumah, dan kami mendengar gumam
suara rendah. Kemudian terdengar suatu suara yang sama nadanya, tapi dengan
tekanan yang lebih keras di balik suara yang bulat itu berkata, "Tentu boleh.
Persilakan mereka masuk."
Semenit kemudian kami berhadapan dengan Nyonya Daubreuil yang misterius.
Tubuhnya tidak setinggi putrinya, lekuk-lekuk tubuhnya menunjukkan kematangan.
Rambutnya pun tak sama dengan rambut putrinya. Rambutnya berwarna hitam, dan
dibelah di tengah model madona. Matanya yang setengah terlindung oleh kelopaknya
yang merunduk, berwarna biru. Pada dagunya yang bulat ada lesung pipitnya, dan
bibirnya yang setengah terbuka seolah-olah selalu membayangkan senyum. Dia
selalu kelihatan amat feminin, dia umpak pasrah tapi sekaligus memikat. Meskipun
penampilannya amat terpelihara, kelihatan bahwa dia tak muda lagi, namun daya
tariknya bisa bertahan melebihi umurnya.
Dia berdiri dengan memakai baju hitam yang memakai kerah dan lapis lengan yang
putih bersih. Kedua belah tangannya terkatup. Dia kelihatan amat menarik dan tak
berdaya. "Anda ingin bertemu dengan saya, Tuan?" tanyanya.
"Benar, Nyonya." Tuan Hautet menelan air ludahnya. "Saya sedang menyelidiki
tentang kematian Tuan Renauld. Anda pasti sudah mendengarnya?"
Wanita itu menundukkan kepalanya tanpa berkata apa-apa. Air mukanya tak berubah.
"Kami datang untuk bertanya, apakah Anda bisa - eh - memberikan sedikit titik
terang pada keadaan di sekitar peristiwa ini?"
"Saya?" jelas terdengar bahwa dia terkejut.
"Benar, Nyonya. Tapi mungkin akan lebih baik bila kami berbicara dengan Anda
sendiri saja." Hakim memandang dengan penuh arti pada anak gadisnya.
Nyonya Daubreuil berpaling pada gadis itu.
"Marthe sayang - "
Tetapi gadis itu menggeleng.
"Tidak, Maman, saya tidak akan pergi, saya bukan anak kecil lagi. Umur saya
sudah dua puluh dua. Saya tidak akan pergi."
Nyonya Daubreuil menoleh pada Hakim Pemeriksa lagi.
"Anda dengar sendiri, Tuan."
"Saya lebih suka berbicara tanpa kehadiran Nona Daubreuil."
"Seperti kata anak saya, dia bukan anak kecil lagi."
Hakim itu bimbang sejenak, dia merasa dikalahkan.
"Baiklah, Nyonya," katanya akhirnya. "Terserah Andalah. Kami mendapat informasi
yang dapat dipercaya, bahwa Anda punya kebiasaan mengunjungi almarhum di
villanya malam hari. Benarkah begitu?"
Pipi wanita yang pucat itu kini memerah, tapi dia menjawab dengan tenang, "Saya
Pusaka Tombak Maut 1 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Si Rajawali Sakti 1

Cari Blog Ini