Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie Bagian 2
rasa Anda tak berhak menanyai saya dengan pertanyaan semacam itu!"
"Nyonya, kami sedang menyelidiki suatu pembunuhan."
"Jadi, mau apa Anda" Saya tidak terlibat dalam pembunuhan itu."
"Nyonya, pada saat sekarang kami pun tidak berkata begitu. Tapi Anda kenal baik
dengan korban. Pernahkah dia menceritakan pada Anda tentang suatu bahaya yang
mengancamnya?" "Tak pernah." "Pernahkah dia menceritakan tentang hidupnya di Santiago, dan musuh-musuhnya
yang ada di sana?" "Tidak." "Jadi sama sekali tak bisakah Anda membantu kami?"
"Saya rasa, tidak. Saya benar-benar tak mengerti mengapa Anda harus mendatangi
saya. Apakah istrinya tak dapat memberi tahu Anda apa yang ingin Anda ketahui?"
Suaranya mengandung suatu cemoohan kecil.
"Nyonya Renauld sudah menceritakan pada kami sebisanya."
"Oh!" kata Nyonya Daubreuil. "Saya pikir - "
"Apa pikir Anda, Nyonya?"
"Ah, tak apa-apa."
Hakim Pemeriksa melihat padanya. Pria itu menyadari bahwa dia sedang bertarung,
dan lawannya cukup tangguh.
"Apakah Anda tetap bertahan pada pernyataan Anda, bahwa Tuan Renauld tidak
menceritakan apa-apa pada Anda?"
"Mengapa Anda menganggap bahwa dia mungkin menceritakan itu pada saya?"
"Karena," kata Tuan Hautet dengan keberanian yang diperhitungkan, "seorang lakilaki biasanya lebih mau menceritakan pada kekasih gelapnya, apa yang tak selalu
mau dia ceritakan pada istrinya."
"Oh!" Dia melompat ke depan. Matanya berapi-api. "Anda menghina saya, Tuan! Di
depan anak saya pula! Saya tak bisa menceritakan apa-apa lagi pada Anda. Harap
Anda mau meninggalkan rumah saya!"
Wanita itu pasti merasa kehormatannya telah dilanggar. Kami meninggalkan Villa
Marguerite seperti segerombolan anak-anak sekolah yang kemalu-maluan. Hakim
menggumamkan kata-kata marah. Poirot tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Tiba-tiba dia seperti terkejut dari renungannya, dan bertanya pada Tuan Hautet,
apakah ada sebuah hotel di dekat tempat itu.
"Ada sebuah hotel kecil, Hotel des Bains, sebelum kita sampai ke kota. Hanya
beberapa ratus meter ke arah jalan itu. Tempat itu akan memudahkan pekerjaan
penyelidikan Anda. Kalau begitu kita akan bertemu lagi besok pagi, bukan?"
"Ya, terima kasih, Tuan Hautet."
Setelah saling berbasa-basi, rombongan kami berpisah. Poirot dan aku pergi
menuju kota Merlinville, dan yang lain-lain kembali ke Villa Genevi?ve.
"Memang luar biasa cara kerja polisi Prancis ini," kata Poirot, sambil
memperhatikan mereka. "Informasi yang ada pada mereka mengenai kehidupan
seseorang, sampai-sampai pada hal-hal yang sekecil-kecilnya yang biasa-biasa
saja, sungguh luar biasa. Meskipun Tuan Renauld itu baru enam minggu lebih
sedikit berada di sini, mereka sudah tahu betul akan selera dan kesukaannya, dan
dalam waktu singkat saja mereka sudah bisa memberikan informasi tentang jumlah
simpanan Nyonya Daubreuil di bank, sampai-sampai jumlah yang akhir-akhir ini
disetorkannya! Arsip mereka pasti merupakan suatu badan yang hebat. Tapi apa
itu?" Dia tiba-tiba berbalik.
Tampak seseorang tanpa topi berlari-lari di jalan mengejar kami. Dia adalah
Marthe Daubreuil. "Maaf," teriaknya terengah-engah, setibanya di dekat kami. "Sa - saya tahu, saya
sebenarnya tak boleh berbuat begini. Jangan katakan pada ibu saya. Tapi benarkah
kata orang, bahwa Tuan Renauld telah memanggil detektif sebelum dia meninggal,
dan - apakah Anda orangnya?"
"Benar, Nona," kata Poirot dengan halus. "Betul sekali. Tapi dari mana Anda
dengar itu?" "Fran?oise yang menceritakannya pada Amelie, pelayan kami," Marthe menjelaskan
dengan wajah yang memerah.
Poirot nyengir. "Dalam kejadian seperti ini, kita rupanya tak bisa menyimpan rahasia! Sebenarnya
tak apa-apa. Nah Nona, apa yang ingin Anda ketahui?"
Gadis itu bimbang. Agaknya dia ingin berbicara, tetapi takut. Akhirnya, dengan
hampir-hampir berbisik, dia bertanya, "Adakah - seseorang yang dicurigai?"
Poirot memandangnya dengan tajam.
Kemudian dia menjawab dengan mengelak, "Pada saat sekarang semua orang
dicurigai, Nona." "Ya, saya tahu - tapi - adakah seseorang yang dicurigai secara khusus?"
"Mengapa Anda ingin tahu?"
Gadis itu kelihatan ketakutan mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba saja aku
teringat kata-kata Poirot yang diucapkannya siang tadi mengenai gadis itu.
"Gadis dengan mata ketakutan!"
"Tuan Renauld selalu baik hati pada saya," sahutnya akhirnya. "Wajarlah kalau
saya merasa tertarik."
"Saya mengerti," kata Poirot. "Yah, pada saat ini kecurigaan sedang ditujukan
pada dua orang." "Dua?" Aku berani bersumpah bahwa dalam nada suaranya terdengar nada terkejut dan lega.
"Nama mereka belum dikenal, tapi diduga bahwa mereka itu berkebangsaan Chili
dari Santiago. Nah, Nona, beginilah jadinya kalau ada gadis muda secantik Anda!
Saya telah membukakan rahasia pekerjaan kami pada Anda!"
Gadis itu tertawa ceria, lalu kemudian, dengan agak malu-malu, dia mengucapkan
terima kasih pada Poirot.
"Saya harus lari pulang. Maman akan mencari saya."
Waktu dia berbalik berlari kembali ke jalan yang dilaluinya tadi, dia tampak
bagai Dewi Atalanta yang modern. Aku menatapnya terus.
"Mon ami," kata Poirot, dengan suaranya yang halus mengandung ejekan, "apakah
kita harus terpaku saja di sini sepanjang malam - hanya karena kau melihat
seorang wanita muda yang cantik, dan kepalamu jadi puyeng?"
Aku tertawa dan meminta maaf.
"Tapi dia memang benar-benar cantik, Poirot. Kita harus maklum pada siapa saja
yang sampai tergila-gila padanya."
Poirot menggeram. "Mon Dieu! Dasar hatimu yang peka sekali!"
"Poirot," kataku, "ingatkah kau setelah Perkara Styles selesai, lalu - "
"Lalu kau jatuh cinta pada dua orang wanita cantik sekaligus, tapi kau tidak
mendapatkan seorang pun di antaranya" Ya, aku ingat."
"Kau menghiburku dengan mengatakan bahwa pada suatu hari mungkin kita akan
berburu kejahatan lagi, dan bahwa dengan demikian - "
"Eh bien?" "Nah, sekarang kita sedang berburu kejahatan lagi, dan - " aku berhenti dan tanpa
kusadari aku tertawa. Tetapi aku heran melihat Poirot menggeleng dengan serius.
"Ah, mon ami, jangan menaruh hati pada Marthe Daubreuil itu. Dia tak cocok
bagimu! Percayalah pada Papa Poirot!"
"Ah," aku berseru, "Komisaris meyakinkanku, bahwa gadis itu tidak hanya cantik
tapi juga baik! Bidadari yang sempurna!"
"Beberapa dari penjahat-penjahat terbesar yang kukenal berwajah seperti
bidadari," kata Poirot ceria. "Suatu cacat pada sel-sel kelabu, bisa saja
terjadi dengan mudah pada orang yang berwajah bidadari secantik madona."
"Poirot," aku berseru kengerian, "kau kan tidak bermaksud bahwa kau mencurigai
seorang anak yang tak tahu apa-apa seperti itu!"
"Nah! Nah! Jangan marah! Aku tidak berkata bahwa aku mencurigai dia. Tapi kau
juga harus mengakui, bahwa besarnya keinginannya untuk mengetahui tentang
perkara ini agak aneh."
"Sekali ini pandanganku lebih jauh daripadamu," kataku. "Rasa kuatirnya itu
bukan mengenai dirinya sendiri - tapi untuk ibunya."
"Sahabatku," kata Poirot, "seperti biasa, kau sama sekali tidak melihat apa-apa.
Nyonya Daubreuil benar-benar mampu menjaga dirinya sendiri tanpa dikuatirkan
oleh putrinya. Kuakui aku tadi menggodamu, namun demikian kuulangi lagi apa yang
telah kukatakan tadi. Jangan sampai jatuh hati pada gadis itu. Dia tak cocok
untukmu! Aku, Hercule Poirot tahu itu. Terkutuk! Terkutuk! Aku ingin benar
mengingat di mana aku melihat wajah itu!"
"Wajah yang mana?" tanyaku heran. "Wajah gadis itu?"
"Bukan, wajah ibunya."
Dia mengangguk dengan bersungguh-sungguh waktu melihat keherananku.
"Ya - sungguh. Sudah lama, waktu aku masih dinas di kepolisian di Belgia.
Sebenarnya aku belum pernah melihat wanita itu, tapi aku sudah pernah melihat
fotonya - sehubungan dengan suatu perkara. Kalau tak salah - "
"Ya?" "Mungkin aku keliru, tapi kalau aku tak salah, perkara itu adalah perkara
pembunuhan!" Bab 8 SUATU PERTEMUAN TAK DISANGKA
PAGI-PAGI esok harinya kami sudah berada di villa. Kali ini orang yang mengawal
di pintu gerbang tak lagi menahan kami. Dia bahkan memberi salam dengan hormat,
dan kami berjalan terus ke arah rumah. Leonie, si pelayan, baru saja menuruni
tangga, dan dia kelihatan tak keberatan diajak berbicara.
Poirot menanyakan tentang kesehatan Nyonya Renauld.
Leonie menggeleng. "Dia sedih sekali, kasihan beliau itu! Beliau tak mau makan - sama sekali tak
mau apa-apa! Dan pucatnya seperti mayat. Sedih rasanya melihat beliau. Ah,
sungguh mati, saya tidak akan mau bersedih begitu demi seorang laki-laki yang
sudah main serong dengan perempuan lain!"
Poirot mengangguk penuh pengertian.
"Memang benar apa yang Anda katakan tadi, tapi apa mau dikata" Hati seorang
wanita yang penuh dengan cinta mudah sekali memaafkan segalanya. Namun demikian,
pasti telah terjadi banyak pertengkaran antara mereka berdua dalam bulan
terakhir ini, ya?" Sekali lagi Leonie menggeleng.
"Tak pernah, Tuan. Tak pernah saya mendengar Nyonya mengeluarkan kata-kata
protes - atau bahkan suatu teguran pun! Perangai dan pembawaannya bagaikan
bidadari - lain sekali dengan Tuan."
"Apakah perangai Tuan Renauld tidak seperti bidadari?"
"Jauh dari itu. Bila dia marah-marah, seluruh rumah tahu. Beberapa hari yang
lalu, waktu beliau bertengkar dengan Tuan Jack, - aduhai! Suara mereka mungkin
bisa didengar sampai di pasar, nyaring sekali mereka bertengkar!"
"Begitukah?" tanya Poirot. "Kapan pertengkaran itu terjadi?"
"Oh, sesaat sebelum Tuan Jack berangkat ke Paris. Hampir saja dia ketinggalan
kereta api. Dia keluar dari ruang perpustakaan dan hanya sempat menyambar tas
yang sebelumnya ditinggalkannya di lorong rumah. Padahal mobil sedang
diperbaiki, hingga dia harus berlari ke stasiun. Saya sedang membersihkan ruang
tamu utama, dan saya melihatnya waktu dia lewat. Wajahnya pulih - pucat - dengan
sedikit merah di kedua belah pipinya. Aduh bukan main marahnya!"
Leonie senang benar bercerita itu.
"Apa bahan pertengkaran itu?"
"Oh, itu saya tak tahu," Leonie mengakui. "Mereka berteriak-teriak, suara mereka
nyaring dan melengking, tapi mereka berbicara begitu cepat, hingga hanya orang
yang betul-betul tahu bahasa Inggris saja yang bisa mengerti. Tapi wajah Tuan
sepanjang hari itu seperti mendung gelap saja! Sama sekali tak bisa disenangkan
hatinya!" Bunyi orang menutup pintu di lantai atas seketika memutuskan kisah Leonie.
"Aduh, Fran?oise menunggu saya!" serunya, baru menyadari panggilan tugasnya. "Si
Tua itu selalu memarahi saya saja."
"Sebentar lagi, Nona. Di mana Hakim Pemeriksa?"
"Mereka pergi ke luar melihat mobil di garasi. Tuan Komisaris berpendapat
mungkin pada malam pembunuhan itu, mobil itu dipakai."
"Pendapat macam apa itu?" gumam Poirot, setelah gadis itu pergi.
"Apakah kau juga akan pergi menyertai mereka?"
"Tidak, aku akan menunggu di ruang tamu sampai mereka kembali. Di situ sejuk
pada pagi hari yang panas ini."
Cara menanggapi hal-hal dengan tenang itu kurang berkenan di hatiku.
"Kalau kau tak keberatan - " kataku ragu.
"Sama sekali tidak. Kau ingin menyelidiki dengan caramu sendiri, bukan?"
"Ya, aku lebih ingin melihat Giraud. Jika dia ada di sekitar tempat ini, aku
ingin melihat apa rencananya."
"Anjing pemburu dalam bentuk manusia itu," gumam Poirot, sambi! menyandarkan
dirinya di sebuah kursi yang nyaman, lalu memejamkan matanya. "Silakan,
Sahabatku. Au revoir."
Aku berjalan santai keluar dari pintu depan. Hari memang panas. Aku membelok ke
jalan setapak yang kami lalui sehari sebelumnya. Aku berniat akan menyelidiki
tempat pembunuhan itu sendiri. Tetapi aku tak langsung pergi ke tempat itu,
melainkan membelok ke semak-semak, supaya aku bisa keluar ke lapangan golf yang
terletak kira-kira sembilan puluh meter lebih jauh di sebelah kanan. Bila Giraud
masih ada di tempat itu, aku ingin melihat caranya bekerja sebelum dia menyadari
kehadiranku. Tetapi semak-semak di sini jauh lebih lebat, dan aku harus berjuang
untuk membuka jalan ke luar. Ketika akhirnya aku berhasil keluar ke lapangan
itu, caranya sangat mengejutkan dan dengan demikian tiba-tiba hingga aku bagai
terlempar mengenai seorang wanita muda yang sedang berdiri membelakangi tanah
perkebunan itu. Wanita itu tentu saja memekik, tetapi aku pun berseru karena terperanjat. Karena
dia tak lain adalah teman seperjalananku di kereta api, Cinderella!
Temanku itu pun sangat terkejut.
"Kau!" Kami berdua berseru serentak.
Wanita muda itulah yang mula-mula menguasai dirinya.
"Astaga!" serunya. "Apa yang kaulakukan di sini?"
"Sebaliknya, apa pula urusanmu?" balasku.
"Waktu aku bertemu denganmu terakhir, kemarin dulu, kau sedang dalam perjalanan
pulang ke Inggris, sebagai anak yang patuh. Apakah kau telah diberi karcis
pulang pergi, karena kau bekerja pada anggota Parlemen itu?"
Bagian terakhir dari kata-katanya itu tak kupedulikan.
"Waktu aku bertemu kau terakhir," kataku, "kau sedang dalam perjalanan pulang
dengan kakakmu, sebagai seorang gadis baik-baik. Omong-omong, bagaimana kakakmu
itu?" Sederetan gigi putih adalah jawaban yang kuterima.
"Baik benar kau menanyakan hal itu! Kakakku baik-baik saja, terima kasih."
"Apakah dia ada di sini bersamamu?"
"Dia tinggal di kota," kata gadis nakal itu dengan anggun.
"Aku tak percaya kau punya kakak," kataku sambil tertawa. "Kalaupun ada, namanya
tentu Harris!" "Ingatkah kau siapa namaku?" tanyanya dengan tersenyum.
"Cinderella. Tapi kau sekarang akan memberitahukan namamu yang sebenarnya, kan?"
Dia menggeleng dengan pandangan nakal.
"Juga tak mau memberitahukan mengapa kau ada di sini?"
"Oh itu! Untuk beristirahat."
"Di perairan-perairan Prancis yang mahal ini?"
"Murahnya bukan main, asal kita tahu ke mana harus pergi."
Aku memperhatikannya dengan tajam. "Tapi, kau tak punya maksud untuk datang
kemari, waktu aku bertemu denganmu dua hari yang lalu?"
"Kita semua pernah mengalami kekecewaan-kekecewaan," kata Cinderella dengan
tegas. "Nah, ceritaku sudah terlalu banyak daripada yang kauperlukan. Anak kecil
tak boleh terlalu ingin tahu. Kau belum mengatakan padaku, mengapa berada di
tempat ini. Apakah kau datang bersama anggota Parlemen itu, bersenang-senang di
tepi pantai?" Aku menggeleng. "Terka lagi. Ingatkah kau akan ceritaku bahwa sahabat karibku
adalah seorang detektif?"
"Ya, lalu?" "Dan mungkin kau sudah mendengar tentang kejahatan - yang terjadi di Villa
Genevi?ve itu?" Dia terbelalak memandangku. Dadanya terangkat ke depan, dan matanya menjadi
besar dan bulat. "Maksudmu - kau terlibat dalam urusan itu?"
Aku mengangguk. Jelas kelihatan bahwa aku sedang berada di pihak yang menang.
Sedang dia menatapku, nyata benar bahwa dia sedang emosi. Beberapa saat lamanya
dia diam saja, sambil terus menatapku. Lalu dia mengangguk kuat-kuat.
"Bukan main, kebetulan sekali! Tolong antar aku berkeliling. Aku ingin melihat
semua yang mengerikan."
"Apa maksudmu?"
"Ya, seperti yang kukatakan itu. Anak kecil, bukankah sudah kuceritakan bahwa
aku suka sekali akan kejahatan" Apa gunanya aku sampai menyakiti mata kakiku
Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gara-gara aku memakai sepatu bertumit tinggi yang tersandung tunggul ini" Sudah
berjam-jam aku berkeliling mencari di sini. Sudah kucoba untuk masuk lewat
depan, tapi si Tua polisi Prancis itu tak mau mengizinkan aku masuk. Kurasa,
pahlawan-pahlawan wanita seperti Helen of Troy, Cleopatra, dan Mary, ratu
Skotlandia, bersama-sama sekalipun tidak akan bisa menggoyahkan hatinya! Kau
benar-benar beruntung bisa masuk kemari. Ayolah, tunjukkan padaku semua yang
patut dilihat." "Tapi - tunggu dulu - aku tak bisa. Tak seorang pun diizinkan masuk kemari.
Mereka ketat sekali."
"Bukankah kau dan temanmu itu orang-orang penting di sini?"
Aku tak suka mengingkari kedudukanku yang penting itu.
"Mengapa kau begitu ingin?" tanyaku lemah. "Dan apa pula yang ingin kaulihat?"
"Oh, semuanya! Tempat kejadiannya, senjatanya, mayatnya, bekas-bekas sidik
jarinya atau hal-hal lain yang menarik seperti itu. Aku belum pernah mendapatkan
kesempatan berada di tengah-tengah suatu peristiwa pembunuhan seperti ini. Aku
akan mengingatnya sepanjang hidupku."
Besarnya keinginan gadis itu akan melihat hal-hal yang mengerikan membuatku
merasa muak. Aku pernah membaca tentang gerombolan perempuan yang mengepung
pengadilan-pengadilan, sedang seorang laki-laki malang diadili akan menentukan
hidup matinya. Kadang-kadang aku ingin tahu siapa perempuan-perempuan itu.
Sekarang aku tahu. Mereka itu semua seperti Cinderella, muda dan punya kegemaran
akan kejadian-kejadian hebat yang mendebarkan, akan sensasi dalam bentuk apa pun
juga, tanpa mempertimbangkan pantas tidaknya atau perasaan orang lain.
Kecantikan gadis itu yang menyolok mau tak mau membuatku merasa tertarik, namun
dalam hatiku aku tetap mempertahankan kesanku yang pertama yang tak menyukai
kelakuannya. Wajah cantik dengan pikiran yang mengerikan di baliknya!
"Tinggalkanlah tempatmu yang penting itu," kata wanita itu tiba-tiba. "Dan
jangan terlalu mengagungkan dirimu. Waktu kau dipanggil untuk menyelesaikan
pekerjaan ini, apakah dengan mendongak angkuh kau berkata bahwa urusan ini
adalah urusan yang kotor, dan kau tak mau terlibat dalamnya?"
"Tidak, tapi - "
"Bila kau berada di sini karena berlibur, tidakkah kau akan mencari-cari juga
seperti aku sekarang" Pasti!"
"Aku seorang laki-laki. Kau wanita!"
"Bayanganmu tentang wanita adalah seseorang yang naik ke sebuah kursi dan
berteriak-teriak kalau melihat seekor tikus. Itu bayangan prasejarah. Tapi kau
mau mengantar aku berkeliling, bukan" Soalnya itu akan berarti suatu perubahan
besar bagiku." "Perubahan bagimu?"
"Mereka itu tak mengizinkan seorang wartawan pun masuk. Aku akan bisa membuat
perjanjian besar dengan suatu surat kabar. Kau tak bisa membayangkan betapa
tingginya bayaran mereka untuk suatu kisah kejadian seperti ini."
Aku bimbang. Digenggamnya tanganku dengan tangannya yang kecil halus. "Tolonglah
- Temanku yang baik."
Aku menyerah. Diam-diam aku mengakui, bahwa seharusnya aku merasa senang menjadi
penunjuk jalannya. Bagaimanapun juga, sikap moral yang diperlihatkan gadis itu
bukanlah urusanku. Aku hanya agak gugup memikirkan apa yang akan dikatakan Hakim
Pemeriksa. Tetapi kutenangkan diriku dengan meyakinkan bahwa tidak akan mungkin
ada akibat buruknya. Mula-mula kami pergi ke tempat jenazah ditemukan. Di sana ada seorang yang
mengawal. Dia memberi hormat dengan sopan karena dia mengenaliku, dan tidak
menanyakan tentang teman yang menyertaiku. Mungkin dianggapnya gadis itu adalah
termasuk tanggung jawabku. Kujelaskan pada Cinderella bagaimana jenazah itu
ditemukan, dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian, sambil sekali-sekali
menanyakan pertanyaan yang masuk akal. Kemudian kami menujukan langkah kami ke
arah villa. Aku berjalan dengan berhati-hati sekali, karena terus terang, aku
tak ingin bertemu dengan siapa pun juga. Kuajak gadis itu melewati semak-semak
di belakang rumah, di mana ada gudang. Aku ingat bahwa kemarin malam, setelah
mengunci kembali pintunya, Tuan Bex memberikan kunci itu pada agen polisi yang
bernama Marchaud, 'kalau-kalau Tuan Giraud perlu masuk ke gudang itu sedang kami
berada di lantai atas.' Kupikir, pastilah detektif dari Dinas Rahasia itu telah
mengembalikannya pada Marchaud lagi, setelah dia menggunakannya. Kutinggalkan
gadis itu di tempat yang tak kelihatan, di semak-semak. Aku masuk ke rumah.
Marchaud sedang bertugas di depan pintu ruang tamu utama. Dari dalam kamar itu
terdengar gumam suara orang-orang.
"Apakah Tuan membutuhkan Hakim" Beliau ada di dalam. Beliau sedang menanyai
Fran?oise lagi." "Tidak," kataku cepat-cepat, "saya tidak membutuhkan dia. Tapi saya amat
membutuhkan kunci gudang di luar itu, bila itu tidak melanggar peraturan."
"Tentu boleh, Tuan." Dikeluarkannya kunci itu. "Silakan. Bapak Hakim memberikan
perintah supaya semua fasilitas Anda kami penuhi. Harap Anda kembalikan saja
pada saya kalau Anda sudah selesai di luar sana, itu saja."
"Tentu." Aku senang sekali, karena aku menyadari bahwa di mata Marchaud, sekurangkurangnya, kedudukanku sama pentingnya dengan Poirot. Gadis itu masih
menungguku. Dia berseru kegirangan melihat kunci itu di tanganku.
"Kau mendapatkannya, ya?"
"Tentu," kataku dingin. "Tapi kau tentu tahu, bahwa apa yang sedang kulakukan
ini benar-benar melanggar peraturan."
"Kau benar-benar sahabat setia yang baik, aku tidak akan melupakan hal itu.
Ayolah. Mereka tak bisa melihat kita dari dalam rumah, bukan?"
"Tunggu." Kutahan dia yang sudah ingin sekali pergi. "Aku tak mau menahan kalau
kau benar-benar ingin masuk. Tapi apakah kau yakin, kau benar-benar ingin" Kau
sudah melihat kuburnya, dan kau sudah melihat tempat kejadiannya, lalu kau sudah
pula mendengar semua tentang peristiwa itu sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya.
Tidakkah itu cukup bagimu" Pemandangan di tempat itu tidak akan menyenangkan bahkan mengerikan." Dia memandangku sebentar dengan air muka yang tak dapat kuduga. Lalu dia
tertawa. "Aku" Ketakutan?" katanya. "Mari kita pergi."
Tanpa berkata-kata lagi kami tiba di pintu gudang itu. Aku membukanya dan kami
masuk. Aku mendekati jenazah, dan dengan halus menyingkap kain penutupnya
sebagaimana yang dilakukan Tuan Bex kemarin siangnya. Gadis itu mengeluarkan
bunyi napas yang tertahan, dan aku menoleh padanya. Di wajahnya terbayang
ketakutan yang hebat, dan kini dia mendapatkan ganjaran gara-gara kurangnya
pertimbangannya. Aku sama sekali tak merasa kasihan padanya. Dia harus
merasakannya sendiri sekarang. Perlahan-lahan mayat itu kubalikkan.
"Lihat," kataku, "dia ditikam dari belakang."
Suaranya hampir tak terdengar.
"Dengan apa?" Aku mengangguk ke arah stoples gelas.
"Pisau belati itu."
Tiba-tiba gadis itu terhuyung, dan lalu roboh. Aku melompat akan membantunya.
"Kau akan pingsan. Mari keluar. Kau tak tahan rupanya."
"Air," gumamnya. "Air. Cepat."
Kutinggalkan dia dan aku berlari masuk ke rumah. Untunglah tak seorang pun
pelayan ada di tempat itu, hingga aku bisa mengambil segelas air tanpa dilihat,
dan menambahkan beberapa tetes brendi dari botol saku. Beberapa menit kemudian
aku kembali. Gadis itu masih terbaring sebagaimana kutinggalkan tadi, tetapi
beberapa teguk air yang bercampur brendi itu telah memulihkan keadaannya kembali
dengan cepat sekali. "Bawa aku keluar dari sini - aduh, cepat, cepat!" katanya sambil menggigil.
Aku membawanya ke luar dengan menopangnya, supaya dia mendapat udara segar, dan
dia menutup pintunya. Lalu dia menghirup napas dalam-dalam.
"Sekarang lebih baik. Aduh, mengerikan sekali! Mengapa kaubiarkan aku masuk
tadi?" Aku menyadari bahwa hal itu sekadar merupakan pernyataan khas wanita, hingga aku
tak dapat menahan senyum. Diam-diam aku bukannya tak senang bahwa dia pingsan.
Keadaan itu membuktikan bahwa dia tidaklah terlalu kebal seperti yang kusangka
semula. Bagaimanapun juga, dia masih muda sekali, dan mungkin tak bisa
mengendalikan rasa ingin tahunya.
"Bukankah aku sudah berusaha untuk menahanmu."
"Kurasa memang begitu. Nah, selamat tinggal."
"Hei, kau tak bisa pergi begitu saja - seorang diri. Kau belum kuat. Aku harus
menyertaimu kembali ke Merlinville."
"Omong kosong! Aku sama sekali sudah tak apa-apa lagi."
"Bagaimana kalau kau pusing lagi" Tidak, aku tetap harus ikut kau."
Tetapi dia menentang hal itu dengan sekuat tenaga. Namun akhirnya, aku mengalah
hingga hanya diizinkan mengantar sampai ke pinggir kota saja. Kami menyusuri
jalan yang telah kami lalui tadi, melewati liang kubur lagi, dan berjalan
kembali ke arah jalan besar. Setelah tiba di tempat di mana mulai terdapat
deretan toko-toko, dia berhenti lalu mengulurkan tangannya.
"Selamat tinggal, dan terima kasih banyak karena kau telah mengantar aku."
"Yakinkah kau bahwa kau sudah tak apa-apa lagi?"
"Ya, terima kasih. Mudah-mudahan kau tidak akan mengalami kesulitan gara-gara
mengantar aku melihat-lihat tadi!"
Aku membantah pikirannya itu dengan ringan.
"Nah, selamat tinggal."
"Sampai bertemu," kataku memperbaikinya. "Kalau kau masih tinggal di sini, kita
tentu masih bertemu."
Dia tersenyum padaku. "Memang begitu. Sampai jumpa kalau begitu."
"Tunggu sebentar, kau belum memberikan alamatmu."
"Oh, aku menginap di Hotel du Phare. Hotel itu kecil, tapi cukup baik. Datanglah
menjengukku besok." "Baiklah!" kataku, dengan tekanan yang mungkin berlebihan.
Kuperhatikan dia sampai dia tak kelihatan lagi, lalu aku berbalik dan berjalan
kembali ke villa. Aku teringat bahwa aku belum mengunci kembali pintu gudang.
Untunglah, tak seorang pun melihat kealpaanku itu, dan setelah menguncinya
kucabut kunci itu lalu kukembalikan pada agen polisi tadi. Pada saat itu, aku
tiba-tiba menyadari bahwa meskipun Cinderella telah memberikan alamatnya, aku
masih tetap tak tahu namanya yang sebenarnya.
Bab 9 TUAN GIRAUD MENEMUKAN BEBERAPA PETUNJUK
DALAM ruang tamu utama kutemukan Hakim Pemeriksa sibuk menanyai tukang kebun
tua, Auguste. Poirot dan Komisaris, yang juga hadir, menyambut kedatanganku.
Poirot dengan tersenyum sedang Komisaris membungkuk dengan hormat. Diam-diam aku
mengambil tempat duduk. Tuan Hautet berusaha keras dan sangat cermat sekali,
namun tidak berhasil memancing sesuatu yang penting.
Sarung tangan kebun diakui Auguste sebagai miliknya. Sarung tangan itu katanya
dipakainya waktu mengurus semacam bunga primula yang beracun bagi orang-orang
tertentu. Dia tak dapat mengatakan kapan dia memakainya terakhir. Dia sama
sekali tidak merasa kehilangan. Di mana sarung tangan itu disimpan" Kadangkadang di suatu tempat, kadang-kadang di tempat lain. Sekop itu biasanya
terdapat di gudang alat-alat yang kecil. Apakah gudang itu terkunci" Tentu saja
terkunci. Di mana kuncinya disimpan" Parbleu! Tentu saja di pintunya! Tak ada
sesuatu yang berharga, yang patut dicuri di situ. Siapa yang menyangka akan ada
bandit atau pembunuh" Hal semacam itu tak pernah terjadi waktu tempat ini masih
dihuni oleh Nyonya Vicomte. Setelah Tuan Hautet menyatakan bahwa dia sudah
selesai dengan tanya-jawab dengannya, orang tua itu pun pergi, sambil tak sudahsudahnya menggerutu. Mengingat bagaimana Poirot bersikeras terus mengenai bekas
jejak kaki yang terdapat di bedeng-bedeng bunga, aku memperhatikan orang tua itu
dengan saksama selama dia memberikan kesaksiannya. Kesimpulanku, dia sama sekali
memang tak ada sangkut-pautnya dengan kejahatan itu, atau dia seorang aktor
ulung. Tiba-tiba aku mendapatkan suatu gagasan. Sebelum dia keluar dari pintu
aku berkata, "Maaf, Tuan Hautet, maukah Anda mengizinkan saya mengajukan satu pertanyaan saja
padanya?" "Tentu, Tuan." Merasa didorong begitu, aku berpaling pada Auguste.
"Di mana Anda taruh sepatu bot Anda?"
"Sialan!" geram orang tua itu. "Di kaki saya tentu. Di mana lagi?"
"Tapi kalau Anda tidur malam hari?"
"Di bawah tempat tidur saya."
"Lalu siapa yang membersihkannya?"
"Tak seorang pun. Untuk apa dibersihkan" Apakah saya harus berbaris di barisan
terdepan seperti orang muda" Pada hari Minggu, saya tentu mengenakan sepatu
khusus hari Minggu, tapi pada hari-hari lain - !" Dia mengangkat bahunya.
Aku menggeleng kehilangan semangat.
"Yaah," kata Hakim. "Kita tak banyak mendapatkan kemajuan. Kita terpaksa menunda
hal ini sampai kita mendapatkan balasan telegram dari Santiago. Adakah di antara
Anda yang melihat Giraud" Benar-benar kurang sopan! Saya ingin menyuruh
seseorang memanggilnya, dan - "
"Anda tak perlu menyuruh orang pergi jauh, Bapak Hakim."
Kami terkejut mendengar suaranya yang tenang itu. Giraud sedang berdiri di luar,
dan dia kini menjenguk ke dalam dari jendela yang terbuka.
Dia melompat melalui jendela itu ke dalam kamar, lalu mendekati meja.
"Saya siap menjalankan tugas-tugas Anda, Pak Hakim. Maafkan saya, karena tidak
melapor lebih cepat."
"Tak apa-apa, tak mengapa," kata Hakim dengan perasaan tak enak.
"Soalnya, saya hanya seorang detektif," lanjut Giraud, "saya tak tahu-menahu
tentang tanya-jawab. Kalaupun saya mengadakan tanya-jawab, saya tidak akan
melakukannya dengan jendela terbuka. Kalau ada orang yang berdiri di luar, dia
akan bisa mendengarkan dengan mudah. Tapi sudahlah."
Merah wajah Tuan Hautet karena marah. Jelas bahwa Hakim Pemeriksa dan detektif
yang bertugas saling tak menyukai. Sejak semula mereka sudah saling membenci.
Bagi Giraud, semua hakim pemeriksa itu goblok, dan bagi Tuan Hautet, yang
menganggap dirinya penting, sikap seenaknya dari detektif Paris itu pasti akan
menyulitkan. "Eh bien, Tuan Giraud," kata Hakim agak tajam. "Anda pasti telah memanfaatkan
waktu Anda dengan baik sekali" Apakah Anda sudah dapat memberikan nama-nama para
pembunuhnya pada kami" Juga di mana mereka berada sekarang?"
Tanpa merasa tersinggung karena sindiran itu, Giraud menjawab, "Sekurangkurangnya, saya tahu dari mana mereka itu."
"Bagaimana?" Giraud mengeluarkan dua buah barang dari sakunya, lalu meletakkannya di atas
meja. Kami mengerumuni barang itu. Barang-barang itu sangat sederhana: sebuah
puntung rokok, dan sebatang korek api yang belum dinyalakan. Detektif itu
berbalik menghadapi Poirot.
"Apa yang Anda lihat itu?" tanyanya.
Nadanya terdengar kasar. Mukaku jadi panas dibuatnya. Namun Poirot tetap tak
tersinggung. Dia hanya mengangkat bahunya.
"Sebuah puntung rokok dan sebatang korek api."
"Lalu, apa yang dapat Anda jelaskan dari barang-barang itu?"
Poirot menelentangkan kedua belah tangannya. "Tidak - tidak ada apa-apa."
"Oh!" kata Giraud dengan nada puas. "Tidakkah Anda pelajari barang-barang ini"
Bukan begitu caranya yang lazim - setidak-tidaknya di negeri ini bin. Barangbarang itu biasa terdapat di Amerika Selatan. Untunglah korek apinya belum
dinyalakan. Kalau sudah, saya tidak akan bisa mengenalinya. Agaknya salah
seorang di antara mereka membuang puntung rokoknya yang sudah mati, lalu
menyalakan sebatang lagi. Waktu dia akan menyalakannya, sebatang korek apinya
terjatuh." "Lalu puntung korek api yang sebatang lagi?"
"Puntung korek api yang mana?"
"Puntung yang sudah dinyalakannya. Adakah itu Anda temukan pula?"
"Tidak." "Mungkin Anda kurang teliti mencarinya."
"Kurang teliti mencarinya - " Sesaat terkilas seolah-olah amarahnya akan meledak,
tetapi dia berusaha menguasai dirinya. "Anda kelihatannya suka berkelakar, Tuan
Poirot. Tapi bagaimanapun juga, ada atau tidak puntung korek api yang satu itu,
puntung rokok itu saja sudah cukup. Rokok itu dari Amerika Selatan, kertasnya
terbuat dari lapisan dalam kayu manis."
Poirot mengangguk. Komisaris angkat bicara, "Puntung rokok dan korek api itu mungkin kepunyaan Tuan
Renauld. Ingat, dia baru dua tahun kembali dari Amerika Selatan."
"Bukan," sahut detektif itu dengan yakin. "Saya telah memeriksa barang-barang
milik Tuan Renauld. Rokok yang diisapnya dan korek api yang dipakainya lain
sekali." "Tidakkah Anda merasa aneh," tanya Poirot, "bahwa orang-orang tak dikenal itu
datang tanpa membawa senjata, tanpa membawa sarung tangan, tanpa sekop, dan
Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebetulan sekali mereka bisa menemukan barang-barang itu di sini?"
Giraud tersenyum dengan sikap super.
"Tentu saja aneh. Tanpa teori yang ada pada saya, hal itu memang tak bisa
dijelaskan." "Oh!" kau Tuan Hautet. "Maksud Anda mereka berkomplot, dan seorang dari
komplotan itu ada dalam rumah ini?"
"Atau di luar," kata Giraud dengan senyum aneh.
"Tapi lalu tentu harus ada yang membukakannya pintu" Bukankah kita tak bisa
beranggapan, bahwa nasibnya demikian baiknya, hingga mereka menemukan pintu
dalam keadaan terbuka sedikit dan bisa masuk?"
"Setuju, Pak Hakim. Memang ada seseorang yang membukakan mereka pintu, tapi
pintu itu bisa saja dengan mudah dibuka dari luar - oleh seseorang yang memiliki
kuncinya." "Tapi siapa yang memilikinya?"
Giraud mengangkat bahunya.
"Mengenai hal itu, kalaupun ada yang memilikinya, dia tentu akan berusaha untuk
tidak mengatakannya. Tapi ada beberapa orang yang mungkin memilikinya. Tuan Jack
Renauld, putra mereka, umpamanya. Dia memang sedang dalam perjalanan ke Amerika
Selatan, tapi mungkin dia telah kehilangan kunci itu atau kunci itu telah dicuri
orang. Kemudian tukang kebun - dia sudah bertahun-tahun di sini. Salah seorang
pelayan yang masih muda mungkin pula punya pacar di luar. Mudah saja menjiplak
bentuk kunci dan menyuruh orang membuat tiruannya. Pokoknya, banyak
kemungkinannya. Kemudian ada lagi seseorang, yang menurut saya sangat mungkin
menyimpan barang seperti itu."
"Siapa?" "Nyonya Daubreuil," kata detektif itu datar.
"Ehem!" kata Hakim dengan wajah agak sedih, "rupanya Anda juga sudah mendengar
tentang hal itu, ya?"
"Saya mendengar segalanya," kata Giraud dengan tenang.
"Pasti ada satu hal yang belum Anda dengar," kata Tuan Hautet dengan senang,
karena bisa memperlihatkan kelebihan pengetahuannya, dan tanpa menunggu lebih
lama, diceritakannya kisah tentang tamu misterius yang datang pada malam hari
menjelang kejadian itu. Dia juga menyinggung tentang cek yang ditulis untuk
Duveen, dan akhirnya memberikan surat yang ditandatangani oleh Bella pada Giraud.
Giraud mendengarkan tanpa berkata apa-apa, membaca surat itu dengan saksama,
lalu dikembalikannya. "Semuanya menarik sekali, Pak Hakim. Tapi teori saya tetap, tak bisa diganggu
gugat." "Apa teori Anda itu?"
"Sementara ini saya tak mau mengatakannya. Ingat, saya baru saja mulai dengan
penyelidikan saya." "Tolong katakan satu hal, Tuan Giraud," kata Poirot tiba-tiba. "Menurut teori
Anda pintu terbuka. Teori itu tidak menjelaskan mengapa pintu itu dibiarkan
terbuka. Bila mereka pergi, tidakkah wajar kalau mereka menutupnya kembali" Bila
seorang agen polisi kebetulan datang ke rumah ini, seperti yang kadang-kadang
dilakukannya, untuk melihat apakah semuanya aman, mereka bisa ketahuan dan
segera terkejar." "Ah! Mereka lupa. Pasti suatu keteledoran, yakinlah."
Lalu aku heran, karena Poirot mengucapkan lagi kata-kata yang hampir sama dengan
yang diucapkannya terhadap Bex malam kemarin, "Saya tak sependapat dengan Anda.
Pintu yang dibiarkan terbuka, atau yang memang sengaja dibuka, atau memang
dianggap perlu terbuka, dan semua teori yang membantah hal itu, pasti akan
salah." Kami semua memandang pria kecil itu dengan amat terkejut. Tadi dia terpaksa
mengakui bahwa dia tak tahu-menahu tentang batang korek api itu tadi. Kurasa hal
itu pasti telah membuatnya malu. Tetapi sekarang, seperti biasanya, dia
mengemukakan hukumnya pada Giraud yang agung tanpa ragu-ragu dan dengan perasaan
puas. Detektif dari Paris itu memilin-milin kumisnya, sambil memandang sahabatku
dengan sikap geli. "Anda tak sependapat dengan saya, bukan" Nah, apa yang menurut Anda paling
istimewa dalam perkara ini" Coba saya dengar pendapat Anda."
"Satu hal yang saya lihat jelas sekali. Coba ingat-ingat, Tuan Giraud, tak
adakah sesuatu yang menurut Anda seperti pernah Anda kenali dalam perkara ini"
Apakah tak ada yang mengingatkan Anda akan sesuatu?"
"Pernah dikenal" Mengingatkan saya akan sesuatu" Saya tak dapat langsung
menjawabnya. Tapi saya rasa, tidak."
"Anda keliru," kata Poirot dengan tenang. "Ada suatu kejahatan yang hampir sama
benar caranya pernah dilakukan."
"Kapan" Dan di mana?"
"Oh, mengenai hal itu, sayangnya, saya belum dapat mengingatnya sekarang ini tapi kelak pasti bisa. Tadinya saya berharap Andalah yang bisa membantu
mengingatkan saya." Giraud mendengus terang-terangan.
"Banyak sekali kejadian dengan orang-orang berkedok! Saya tak bisa mengingatnya
satu demi satu. Semua kejahatan ini kira-kira sama saja."
"Namun ada yang biasa dinamakan ciri khasnya." Poirot tiba-tiba bersikap seperti
orang memberikan kuliah dan menujukan pembicaraannya pada kami semua. "Sekarang
saya akan membicarakan segi psikologis kejahatan. Tuan Giraud tentu tahu bahwa
setiap penjahat punya cara khasnya sendiri, dan polisi yang kemudian dipanggil
untuk menyelidiki - dalam suatu perkara pencurian, umpamanya - sering kali sudah
bisa menduga siapa pelakunya, hanya dengan melihat cara tertentu yang
dipakainya. (Japp tentu akan berkata begitu pula padamu, Hastings.) Manusia
adalah makhluk yang berlain-lainan. Berlainan, baik dalam hukum, dalam hidupnya
sehari-hari, maupun di luar hukum. Bila seseorang melakukan kejahatan, maka
semua kejahatan lain yang dilakukannya pasti mirip benar dengan cara kejahatan
yang pernah dilakukannya itu. Perkara seorang pembunuh berkebangsaan Inggris
yang menyingkirkan istri-istrinya secara berturut-turut dengan cara
membenamkannya dalam bak mandinya, adalah salah satu contoh. Bila caranya itu
diubahnya, mungkin sampai sekarang pun dia masih belum tertangkap. Tapi dia
menuruti petunjuk-petunjuk biasa dalam kebiasaan manusiawinya, dengan berpikir
bahwa apa yang telah berhasil tentu akan berhasil lagi, dan dengan demikian dia
mendapatkan ganjarannya."
"Lalu apa maksudnya semua ini?" cemooh Giraud.
"Bahwa bila kita menemukan dua kejahatan yang sama benar perencanaannya dan cara
kerjanya, kita akan menemukan otak yang sama pula di baliknya. Saya sedang
mencari otak itu, Tuan Giraud - dan saya pasti bisa menemukannya. Di sini kita
menemukan petunjuk yang tepat - petunjuk psikologis. Mungkin Anda tahu semua
tentang puntung-puntung rokok dan korek api, Tuan Giraud, tapi saya, Hercule
Poirot, tahu pikiran manusia!" Dan pria kecil yang lucu itu mengetuk-ngetuk
dahinya dengan sikap penting.
Giraud masih tetap tak terkesan sama sekali.
"Untuk menuntun Anda," Poirot melanjutkan, "akan saya tunjukkan pula suatu
kenyataan yang mungkin tak tampak oleh Anda. Sehari setelah kejadian menyedihkan
itu, arloji Nyonya Renauld terlalu cepat dua jam. Hal itu mungkin akan menarik
untuk Anda selidiki."
Giraud terbelalak. "Mungkin saja memang biasa terlalu cepat."
"Sebenarnya begitulah kata mereka pada saya."
"Kalau begitu, eh bien!"
"Tapi, dua jam itu lama," kata Poirot dengan halus. "Kemudian ada pula soal
bekas telapak kaki di bedeng bunga."
Dia mengangguk ke arah jendela yang terbuka. Dengan penuh semangat dan dengan
langkah panjang-panjang, Giraud pergi ke jendela itu, lalu melihat ke luar.
"Bedeng yang ini?"
"Ya." "Tapi saya tak melihat bekas telapak kaki."
"Tidak," kata Poirot sambil meluruskan letak setumpukan buku-buku di atas meja.
"Memang tak ada."
Suatu pandangan geram membayangi wajah Giraud sejenak. Dia mengambil langkahlangkah panjang ke arah penggodanya, tapi pada saat itu pintu ruang tamu
terbuka, dan Marchaud mengumumkan,
"Tuan Stonor, sekretaris Tuan Renauld, baru tiba dari Inggris. Bolehkah beliau
masuk?" Bab 10 GABRIEL STONOR LAKI-LAKI yang memasuki ruangan itu adalah orang yang segera menarik perhatian.
Tubuhnya yang jangkung, dengan bobot yang bagus potongannya, serta wajah dan
leher yang cukup banyak mendapat sinar matahari, melebihi semua orang yang
berkumpul dalam ruang itu. Bahkan Giraud pun kelihatan tak berarti di
sampingnya. Setelah aku mengenalnya lebih baik, kusadari bahwa Gabriel Stonor
mempunyai kepribadian yang istimewa. Dia kelahiran Inggris, tapi sudah bepergian
ke mana-mana di seluruh dunia. Dia pernah berburu binatang-binatang besar di
Afrika, pernah mengusahakan tanah pertanian di California, dan berdagang di
Kepulauan Laut Selatan. Dia pernah menjadi sekretaris seorang jutawan kereta api
di New York, dan pernah pula berkemah di padang pasir bersama suatu suku bangsa
yang baik selama setahun.
Dengan mata yang terlatih dia bisa mengenali Tuan Hautet.
"Anda hakim pemeriksa dalam perkara ini" Selamat bertemu, Pak Hakim. Mengerikan
sekali perkara ini. Bagaimana Nyonya Renauld" Bisakah beliau menanggung semua
ini dengan baik" Dia tentu mengalami shock yang hebat."
"Ya, hebat sekali," kata Tuan Hautet. "Saya perkenalkan, Tuan Bex - komisaris
polisi kami, Tuan Giraud dari Dinas Rahasia. Tuan ini adalah Hercule Poirot.
Tuan Renauld telah memintanya datang, tapi beliau datang terlambat untuk
mencegah kejadian itu. Ini sahabat Tuan Poirot, Kapten Hastings."
Stonor melihat pada Poirot dengan penuh perhatian.
"Meminta Anda datang rupanya beliau, ya?"
"Jadi Anda tak tahu bahwa Tuan Renauld telah memanggil seorang detektif?" sela
Tuan Bex. "Tidak. Tapi saya sama sekali tak heran."
"Mengapa?" "Karena orang tua itu kebingungan! Saya tak tahu apa yang dibingungkannya. Dia
tidak menceritakannya pada saya. Hubungan kami belum sebegitu jauh. Tapi beliau
jelas kebingungan - hebat sekali!"
"Hm!" kata Tuan Hautet. "Tapi Anda tak tahu apa sebabnya?"
"Sudah saya katakan, tidak."
"Maaf, Tuan Stonor, tapi kami harus mulai dengan beberapa formalitas. Nama
Anda?" "Gabriel Stonor."
"Sudah berapa lama Anda menjadi sekretaris Tuan Renauld?"
"Sudah dua tahun, sejak beliau mula-mula tiba dari Amerika Selatan. Saya bertemu
dengan beliau melalui seorang teman saya yang juga kenal padanya, dan beliau
menawari saya pekerjaan ini. Beliau bos yang benar-benar baik."
"Apakah dia banyak bercerita tentang hidupnya di Amerika Selatan?"
"Ya, banyak." "Tahukah Anda bahwa dia pernah tinggal di Santiago?"
"Saya rasa telah beberapa kali beliau ke sana."
"Tak pernahkah dia bercerita tentang suatu kejadian khusus yang terjadi di sana
- sesuatu yang mungkin menimbulkan permusuhan terhadap dirinya?"
"Tak pernah." "Adakah dia pernah mengatakan sesuatu tentang suatu rahasia?"
"Seingat saya tidak. Tapi, memang ada suatu misteri pada dirinya. Beliau tak
pernah bercerita tentang masa kecilnya, umpamanya, atau mengenai kejadiankejadian sebelum dia berangkat ke Amerika Selatan. Saya rasa dia orang Kanada
keturunan Prancis, tapi saya tak pernah mendengar dia berbicara tentang
kehidupannya di Kanada. Dia memang bisa menutup mulut rapat-rapat seperti
kerang." "Jadi sepanjang pengetahuan Anda, dia tak punya musuh" Lalu tak dapatkah Anda
memberi kami petunjuk mengenai suatu rahasia yang membuatnya sampai terbunuh,
karena orang ingin mendapatkannya?"
"Tak bisa." "Tuan Stonor, pernahkah Anda mendengar nama Duveen yang punya hubungan dengan
Tuan Renauld?" "Duveen. Duveen." Dia mencoba mengingat-ingat nama itu. "Rasanya tak pernah.
Tapi rasanya saya pernah mendengar nama itu."
"Kenalkah Anda seorang wanita, seorang teman Tuan Renauld, yang nama awalnya
Bella?" Tuan Stonor menggeleng lagi.
"Bella Duveen" Apakah itu nama lengkapnya" Aneh sekali! Saya yakin saya tahu
nama itu. Tapi pada saat ini, saya tak ingat dalam hubungan apa."
Hakim mendehem. "Ketahuilah, Tuan Stonor. Harap Anda tidak menyembunyikan apa-apa. Mungkin Anda,
dengan mempertimbangkan perasaan Nyonya Renauld - yang saya dengar amat Anda
hormati dan sayangi. Anda mungkin - yah!" kata Tuan Hautet. yang kata-katanya
jadi kacau, "pokoknya sama sekali tak ada yang boleh disembunyikan."
Stonor memandanginya dengan mata terbelalak, lalu matanya membayangkan bahwa dia
mulai mengerti. "Saya kurang mengerti," katanya dengan halus. "Apa hubungannya dengan Nyonya
Renauld" Saya sangat menghormati dan menyayangi wanita itu; beliau orang yang
hebat dan istimewa, tapi saya tak mengerti, bagaimana keterbukaan saya dalam
perkara ini atau tertutupnya saya, mempengaruhi beliau?"
"Tak ada hubungannya, kecuali kalau Bella Duveen itu lebih dari sekadar sahabat
bagi suaminya." "Oh!" kata Stonor. "Sekarang saya mengerti. Tapi saya berani mempertaruhkan uang
saya sampai sen yang terakhir, bahwa Anda keliru. Pria tua itu menoleh saja pun
tak mau pada perempuan lain. Dia memuja istrinya sendiri. Merekalah pasangan
yang paling mesra yang pernah saya lihat."
Tuan Hautet menggeleng perlahan-lahan.
"Tuan Stonor, kami ada bukti jelas - sepucuk surat cinta yang ditulis oleh Bella
pada Tuan Renauld. Dalam surat itu dia menuduh bahwa laki-laki itu telah bosan
padanya. Apa lagi, kami ada lagi bukti, bahwa pada saat kematiannya, dia sedang
punya hubungan gelap dengan seorang wanita Prancis, yang bernama Nyonya
Daubreuil, yang menyewa villa di sebelah situ. Itulah laki-laki yang menurut
Anda tak pernah menoleh pada perempuan lain!"
Sekretaris itu menyipitkan matanya.
"Tunggu sebentar, Pak Hakim. Anda sedang menelanjangi orang yang salah. Saya
kenal betul Paul Renauld. Apa yang Anda katakan itu semuanya tak mungkin. Pasti
ada penjelasan lain."
Hakim itu mengangkat bahunya.
"Apa penjelasan lain itu?"
"Apa yang membuat Anda menduga bahwa itu adalah peristiwa cinta?"
"Nyonya Daubreuil punya kebiasaan mendatangi laki-laki itu malam hari. Juga,
sejak Tuan Renauld tinggal di Villa Genevi?ve, Nyonya Daubreuil telah
menyetorkan banyak uang tunai. Jumlahnya mencapai empat ribu dalam mata uang
pound Anda." "Itu memang benar," kata Stonor dengan tenang. "Saya sendiri yang mengirimkan
uang itu atas permintaannya. Tapi itu bukan hubungan gelap."
"Ah! Tuhanku! Lalu hubungan apa?"
"Pemerasan," kata Stonor tajam, sambi! menepuk meja kuat-kuat. "Itulah
persoalannya." "Ah! Itu pendapat baru!" seru Hakim. Mau tak mau dia merasa terguncang.
"Pemerasan," ulang Stonor. "Orang tua itu diperas habis-habisan - jumlahnya
besar sekali. Empat ribu pound dalam beberapa bulan. Huh! Sudah saya katakan
bahwa Tuan Renauld itu diselubungi misteri. Agaknya Nyonya Daubreuil tahu betul
itu dan memanfaatkannya dengan baik."
"Itu memang mungkin," teriak Komisaris dengan bersemangat. "Itu pasti masuk
akal." "Mungkin?" geram Stonor. "Itu sudah jelas! Sudahkah Anda tanyai Nyonya Renauld
mengenai gagasan soal cinta Anda itu?"
"Belum. Kami tak ingin menimbulkan kesedihan hatinya kalau hal itu bisa
dicegah." "Kesedihan" Ah, dia hanya akan menertawakan Anda. Saya ulangi, beliau dan Tuan
Renauld adalah pasangan abadi."
"Ah, hal itu mengingatkan saya pada suatu hal lain," kata Tuan Hautet. "Apakah
Tuan Renauld pernah mengatakan pada Anda, bahwa dia telah mengubah surat
wasiatnya?" "Saya tahu semua - saya yang membawanya ke pengacaranya setelah dibuatnya. Kalau
Anda ingin melihatnya, saya bisa memberitahukan nama pengacaranya. Mereka yang
menyimpannya. Surat wasiat itu sederhana sekali. Separuh diserahkannya pada
istrinya untuk selama hidupnya, yang separuh lagi untuk putranya. Masih ada
Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa peninggalan lain. Kaku tak salah saya ditinggalnya beberapa ribu."
"Kapan surat wasiat itu dibuat?"
"Kira-kira satu setengah tahun yang lalu."
"Apakah Anda akan terkejut sekali, Tuan Stonor, bila Anda mendengar bahwa Tuan
Renauld telah membuat surat wasiat baru, kurang dari dua minggu yang lalu?"
Stonor kelihatan sangat terkejut.
"Saya tak tahu. Bagaimana bunyinya?"
"Seluruh kekayaannya yang banyak itu diwariskannya, tanpa sisa, pada istrinya.
Tak ada disebut sebut tentang putranya."
Tuan Stonor bersiul panjang.
"Itu jelas sangat merugikan anak muda itu. Ibunya sangat memujanya, tapi bagi
dunia luar kelihatannya ayahnya kurang menaruh kepercayaan padanya. Hal itu
tentu akan merupakan sesuatu yang pahit bagi harga dirinya. Namun, hal itu semua
membuktikan kebenaran kata-kata saya tadi, yaitu bahwa hubungan Tuan Renauld
dengan istrinya mesra sekali."
"Memang benar," kata Tuan Hautet. "Mungkin kita akan harus mengubah jalan
pikiran kita mengenai beberapa hal. Kami sudah mengirim telegram ke Santiago,
dan jawabannya kami harapkan akan datang setiap saat. Dengan demikian mungkin
semuanya akan menjadi jelas, dan bisa difahami. Sebaliknya, bila dugaan Anda
mengenai 'pemerasan' itu memang benar, maka Nyonya Daubreuil seharusnya bisa
memberi kita informasi yang berharga."
Poirot bertanya, "Tuan Stonor, apakah Masters, supir yang berkebangsaan Inggris
itu, sudah lama bekerja pada Tuan Renauld?"
"Setahun lebih."
"Tahukah Anda, apakah dia pernah tinggal di Amerika Selatan?"
"Saya tahu betul, tak pernah. Sebelum bekerja pada Tuan Renauld, selama
bertahun-tahun dia bekerja pada orang di Gloucestershire yang saya kenal baik."
"Jelasnya, bisakah Anda menjawab atas namanya, bahwa dia tak perlu dicurigai?"
"Pasti." Poirot kelihatan agak kecewa.
Sementara itu Hakim telah memanggil Marchaud.
"Sampaikan salamku pada Nyonya Renauld, katakan bahwa aku ingin berbicara dengan
beliau sebentar. Katakan padanya supaya tak usah bersusah-payah. Aku akan
menjumpainya sendiri di atas."
Marchaud memberi salam lalu pergi.
Kami menunggu beberapa menit, lalu kami terkejut waktu pintu terbuka, karena
yang masuk adalah Nyonya Renauld yang pucat-pasi.
Tuan Hautet membawakannya kursi, sambil tak sudah-sudahnya meminta maaf, dan
wanita itu mengucapkan terima kasih dengan tersenyum. Tangannya yang sebelah
dipegang Stonor dengan sikap sopan sekali. Pria itu agaknya tak bisa mengucapkan
sepatah kata pun. Nyonya Renauld menoleh pada Tuan Hautet.
"Anda ingin menanyakan sesuatu pada saya, Tuan Hakim?"
"Dengan izin Anda, Nyonya. Saya dengar, suami Anda adalah orang Kanada keturunan
Prancis. Dapatkah Anda menceritakan sesuatu tentang masa mudanya, atau
pendidikannya?" Wanita itu menggeleng. "Suami saya selalu tertutup mengenai dirinya, Tuan. Saya rasa masa kanakkanaknya tidak bahagia, karena dia tak pernah mau membicarakan tentang masa itu.
Kami menjalani hidup ini semata-mata atas dasar masa kini dan masa depan."
"Adakah sesuatu yang misterius dalam hidup masa lalunya?"
Nyonya Renauld tersenyum kecil lalu menggeleng.
"Tak ada sesuatu yang begitu romantis, Tuan Hakim."
Tuan Hakim ikut tersenyum.
"Memang, kita memang tak boleh membiarkan diri kita menjadi terlalu romantis.
Tetapi ada satu hal lagi - " dia ragu.
Stonor cepat menyela, "Mereka punya gagasan yang aneh, Nyonya Renauld. Mereka
membayangkan bahwa Tuan mempunyai hubungan gelap dengan seseorang yang bernama
Nyonya Daubreuil, yang katanya tinggal di sebelah sini."
Pipi Nyonya Renauld menjadi merah tua. Dia mendongakkan kepalanya lalu menggigit
bibirnya. Wajahnya tampak bergetar. Stonor terkejut melihatnya, tetapi Tuan Bex
membungkuk lalu berkata dengan halus, "Kami menyesal menyakiti hati Anda,
Nyonya, tapi mungkinkah Anda punya alasan untuk menduga bahwa Nyonya Daubreuil
adalah kekasih gelap suami Anda?"
Dengan terisak sedih, Nyonya Renauld membenamkan wajahnya ke dalam tangannya.
Bahunya terangkat tegang. Akhirnya diangkatnya kepalanya, dan berkata terputusputus, "Mungkin benar."
Tak pernah aku melihat orang yang demikian hebat tercengangnya seperti Stonor.
Dia benar-benar terpana. Bab 11 JACK RENAULD AKU tak dapat mengatakan bagaimana percakapan itu akan berkelanjutan, karena
pada saat itu pintu terbuka lebar-lebar, dan seorang anak muda yang jangkung
masuk. Sesaat aku dilanda perasaan ngeri bahwa orang yang sudah meninggal itu hidup
kembali. Kemudian aku sadar bahwa rambut yang hitam itu tak ada ubannya, dan
dapat dilihat dengan jelas bahwa usianya baru lebih sedikit dari seorang anak.
Dia menyerbu kami tanpa basa-basi. Dia langsung cepat-cepat mendatangi Nyonya
Renauld, tanpa mempedulikan kehadiran kami yang lain.
"Ibu!" "Jack!" Sambil berseru anak muda itu didekapnya dalam pelukannya. "Sayangku!
Mengapa kau sampai kemari" Bukankah seharusnya kau sudah berlayar dengan kapal
Anzora dari Cherbourg dua hari yang lalu?" Kemudian wanita itu tiba-tiba
menyadari kehadiran kami yang lain. Dia lalu berbalik dengan anggun. "Anak saya,
Tuan-tuan." "Oh!" kata Tuan Hautet, sambil membalas anggukan anak muda itu. "Rupanya Anda
tak jadi berlayar dengan kapal Anzora?"
"Tidak, Tuan. Saya baru saja akan menerangkan, bahwa keberangkatan Anzora
tertunda dua puluh empat jam karena kerusakan mesin. Saya tak jadi berangkat
malam kemarinnya, dan seharusnya berangkat semalam. Lalu saya kebetulan membeli
surat kabar petang, dan di dalamnya saya membaca berita tentang - musibah yang
menimpa kami - " Suaranya terputus dan air matanya tergenang. "Kasihan ayahku kasihan ayahku yang malang."
Sambil mengamati anaknya seolah-olah dalam mimpi, Nyonya Renauld berkata lagi,
"Jadi kau tak jadi berlayar?" Lalu seolah-olah tak disadarinya, dia bergumam
seakan-akan pada dirinya sendiri, "Tapi sudahlah, sudah tak ada artinya lagi sekarang." "Silakan duduk, Tuan Renauld," kata Tuan Hautet, sambil menunjuk ke sebuah
kursi. "Saya ikut berdukacita sedalam-dalamnya. Tentu Anda sangat terkejut
mendapatkan berita dengan cara itu. Namun amatlah menguntungkan bahwa Anda tak
jadi berlayar. Saya berharap bahwa Anda mungkin bisa memberi kami informasi yang
kami butuhkan untuk menyingkap misteri ini."
"Saya siap sedia, Bapak Hakim. Tanyakan saja apa yang ingin Anda ketahui."
"Pertama-tama, saya dengar bahwa perjalanan Anda ini Anda lakukan atas
permintaan ayah Anda?"
"Memang benar, Pak Hakim. Saya menerima sepucuk telegram dari ayah saya, yang
menyuruh saya melanjutkan perjalanan saya terus ke Buenos Ayres, lalu dari sana
terus melalui Andes ke Valparaiso dan terus ke Santiago."
"Oh begitu. Lalu apa tujuan perjalanan itu?"
"Saya tak tahu, Pak Hakim."
"Apa?" "Saya tak tahu. Lihatlah, ini telegramnya."
Hakim mengambil telegram itu, lalu membacanya dengan nyaring.
"'Lanjutkan segera perjalanan ke Cherbourg naik kapal Anzora yang akan berlayar
nanti malam ke Buenos Ayres. Tujuan akhir Santiago. Instruksi selanjutnya akan
menunggu di Buenos Ayres. Jangan sampai gagal. Persoalannya amat penting.
Renauld.' Lalu tak adakah surat-menyurat terdahulu mengenai persoalan itu?"
Jack Renauld menggeleng. "Itulah satu-satunya keterangannya. Tentu saya tahu bahwa ayah saya yang sudah
begitu lama tinggal di Amerika Selatan banyak urusan di sana. Tapi sebelum itu
tak pernah dia menyuruh saya ke sana."
"Tapi Anda tentu sering kali ke Amerika Selatan, Tuan Renauld?"
"Waktu masih kecil, saya di sana. Tapi saya mendapatkan pendidikan saya di
Inggris, dan menghabiskan sebagian besar dari hari-hari libur saya di Inggris
pula, hingga saya benar-benar hanya tahu sedikit sekali tentang Amerika Selatan
daripada yang diharapkan."
Tuan Hautet mengangguk, lalu melanjutkan tanya-jawabnya seperti yang sudah
dilakukannya terdahulu. Sebagai jawaban, Jack Renauld menyatakan dengan pasti,
bahwa dia sama sekali tidak tahu tentang adanya permusuhan yang telah melibatkan
ayahnya di kota Santiago, atau di tempat lain di benua Amerika Selatan. Dia
tidak pula melihat adanya perubahan dalam tingkah laku ayahnya akhir-akhir ini,
dan tak pernah mendengarnya menyebut-nyebut suatu rahasia. Perintah
perjalanannya ke Amerika Selatan dianggapnya berhubungan dengan urusan
perusahaan saja. Waktu Tuan Hautet berhenti sebentar, Giraud menyela dengan suara halus, "Saya
ingin mengajukan beberapa pertanyaan, Pak Hakim."
"Tentu, Tuan Giraud, silakan," kata Hakim dengan nada dingin.
Giraud menyeret kursinya agak mendekati meja.
"Apakah hubungan Anda dengan ayah Anda baik-baik saja, Tuan Renauld?"
"Tentu saja," sahut anak muda itu dengan angkuh.
"Dapatkah Anda memastikan hal itu?"
"Ya." "Tak adakah pertengkaran-pertengkaran kecil?"
Jack mengangkat bahunya. "Semua orang kadang-kadang mungkin saja ada perbedaan pendapat."
"Memang benar. Jadi, bila ada seseorang yang mengatakan dengan pasti bahwa Anda
bertengkar hebat dengan ayah Anda pada malam menjelang keberangkatan Anda ke
Paris, apakah orang itu berbohong?"
Mau tak mau aku mengakui kepandaian Giraud. Kesombongannya waktu berkata, "Saya
tahu segala-galanya", bukanlah isapan jempol belaka. Jack Renauld benar-benar
tampak kacau oleh pertanyaan itu.
"Ka - kami memang bertengkar," dia mengakui.
"Oh, bertengkar rupanya. Lalu dalam pertengkaran itu, apakah Anda menggunakan
kata-kata, 'Kalau Ayah mati, saya bisa berbuat sesuka hati saya'?"
"Mungkin," gumam yang ditanya, "saya tak sadar."
"Menjawab kata-kata Anda itu, apakah ayah Anda berkata, 'Tapi aku belum mati!'
Dan kata-kata itu Anda balas pula dengan mengatakan 'Saya kepingin Ayah mati!'?"
Anak muda itu tak dapat menjawab. Tangannya mempermainkan barang-barang yang ada
di atas meja dengan gugup.
"Saya minta jawaban, Tuan Renauld," kata Giraud dengan tajam.
Sambil berseru dengan marah, anak muda itu melemparkan sebuah pisau pembuka
surat yang berat ke lantai.
"Buat apa lagi" Anda pun sudah tahu. Ya, saya memang bertengkar dengan ayah
saya. Saya pasti telah mengucapkan kata-kata itu - saya demikian marahnya,
hingga saya tak tahu lagi apa yang saya katakan! Saya marah sekali - saya sampai
hampir-hampir bisa membunuhnya pada saat itu - nah begitulah keadaannya,
sekarang terserah!" Dia bersandar di kursinya. Mukanya merah, dan sikapnya
menantang. Giraud tersenyum. Lalu sambil mendorong kursinya agak ke belakang sedikit, dia
berkata, "Sekian saja. Anda tentu ingin melanjutkan tanya-jawab Anda, Pak
Hakim." "Ya, memang benar," kata Tuan Hautet, "apa yang menjadi bahan pertengkaran
Anda?" "Saya menolak menyatakannya."
Tuan Hautet menegakkan duduknya.
"Tuan Renauld, Anda tidak boleh mempermainkan hukum!" bentaknya. "Apa bahan
pertengkaran Anda waktu itu?"
Renauld muda tetap diam, wajahnya yang kekanak-kanakan merengut dan murung. Pada
saat itu terdengar suatu suara yang dingin dan tenang, yaitu suara Poirot.
"Saya akan memberi tahu Anda, kalau Anda mau, Bapak Hakim."
"Anda tahu?" "Tentu saja tahu. Yang menjadi bahan pertengkaran itu adalah Nona Marthe
Daubreuil." Renauld melompat terperanjat. Hakim mendekatkan dirinya ke meja.
"Benarkah itu, Tuan Renauld?"
Jack Renauld menunduk. "Benar," dia mengakui. "Saya mencintai Nona Daubreuil, dan saya ingin menikah
dengannya. Waktu saya memberitahukan hal itu pada ayah saya, langsung saja dia
mengamuk. Jelas saya tak tahan mendengar gadis yang saya cintai dihina, dan saya
pun menjadi marah juga."
Tuan Hautet melihat ke seberang meja, ke arah Nyonya Renauld.
"Apakah Anda mengetahui tentang - pertengkaran itu, Nyonya?"
"Saya juga kuatir hal itu akan terjadi," sahutnya singkat.
"Ibu!" pekik anak muda itu. "Ibu sama saja rupanya! Marthe itu bukan saja
cantik, tapi juga baik. Apa saja yang tak berkenan di hati Ibu mengenai dia?"
"Tak ada satu pun yang tak berkenan di hatiku mengenai Nona Daubreuil. Tapi aku
lebih suka bila kau menikah dengan seorang wanita Inggris, atau kalaupun dengan
wanita Prancis, tidak dengan seseorang yang mempunyai ibu yang leluhurnya
meragukan!" Kebenciannya terhadap wanita yang lebih tua itu terdengar jelas dalam suaranya,
dan aku bisa mengerti dengan baik bahwa dia mengalami pukulan yang hebat ketika
putra tunggalnya menunjukkan tanda-tanda jatuh cinta pada putri saingannya itu.
Nyonya Renauld meneruskan lagi berbicara dengan Hakim, "Barangkali seharusnya
saya membicarakan hal itu dengan suami saya. Tapi saya semula berharap bahwa itu
hanya cinta monyet yang akan lebih cepat berlalu jika tidak diperhatikan.
Sekarang saya merasa bersalah, karena saya tidak berbicara. Tapi sebagaimana
sudah saya katakan, akhir-akhir ini suami saya kelihatannya begitu kuatir dan
murung dan jauh berbeda dari keadaan yang sebenarnya, hingga saya selalu
berusaha untuk tidak menambah beban pikirannya."
Tuan Hautet mengangguk. "Waktu Anda memberitahukan pada ayah Anda mengenai niat Anda terhadap Nona
Daubreuil," Hakim itu melanjutkan, "apakah dia terkejut?"
"Dia benar-benar terperanjat. Kemudian dia memerintahkan saya untuk membuang
jauh-jauh semua gagasan itu dari pikiran saya. Dia tidak akan pernah mau
memberikan restunya pada pernikahan itu katanya. Dengan rasa jengkel, saya
menuntut penjelasan, apa yang menyebabkannya tidak menyukai Nona Daubreuil. Ayah
tak dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan itu, tapi berbicara
dengan kata-kata yang menghina mengenai misteri yang menyelubungi kehidupan
kedua orang anak-beranak itu. Saya jawab bahwa saya akan mengawini Marthe, dan
bukan leluhurnya, tapi dia berteriak memarahi saya dan dengan tegas menolak
untuk membicarakan soal itu lagi. Seluruh gagasan itu harus saya buang begitu
saja. Ketidakadilan dan kesewenangan itu membuat saya marah sekali - terutama
karena ayah sendiri sering menaruh perhatian besar pada kedua beranak Daubreuil
itu, dan selalu menganjurkan agar mereka diundang ke rumah. Saya mengamuk, dan
kami lalu bertengkar hebat. Ayah mengingatkan saya, bahwa saya masih benar-benar
tergantung padanya, dan mungkin dalam menjawab kata-katanya itulah saya berkata
bahwa saya akan bisa berbuat sesuka hati saya sesudah dia meninggal - "
Poirot menyela dengan cepat-cepat mengajukan pertanyaan.
"Kalau begitu Anda tahu isi surat wasiat ayah Anda?"
"Saya tahu bahwa dia telah mewariskan separuh dari kekayaannya pada saya, sedang
yang separuh lagi ditinggalkan untuk ibu saya, dan akan menjadi milik saya pula
setelah Ibu meninggal," sahut anak muda itu.
"Lanjutkan cerita Anda," kata Hakim.
"Setelah itu kami bertengkar dengan berteriak-teriak dengan marah sekali, sampai
saya tiba-tiba menyadari bahwa saya hampir ketinggalan kereta api yang akan
berangkat ke Paris. Saya terpaksa berlari-lari ke stasiun, masih dalam keadaan
marah sekali. Namun, segera setelah saya berada jauh, saya menjadi tenang. Saya
menulis surat pada Marthe, menceritakan padanya apa yang telah terjadi, dan
balasannya membuat saya lebih tenang lagi. Ditekankannya pada saya, bahwa kami
harus tabah, maka katanya semua tantangan akan kalah. Cinta kami harus tahan uji
dan tahan cobaan, dan bila orang tuaku menyadari bahwa aku tidak sekadar
tergila-gila saja, mereka tentu akan mengalah pada kami. Tentulah saya tidak
menceritakan padanya tentang keberatan Ayah yang utama terhadap rencana
perkawinan itu. Saya segera menyadari bahwa saya harus berpikir dengan tenang
dan tidak bertindak dengan kekerasan. Selama saya di Paris, Ayah menulis
beberapa pucuk surat yang bernada kasih sayang, dan sama sekali tidak menyebutnyebut tentang pertengkaran kami atau sebabnya. Maka saya pun membalas dengan
nada yang sama pula."
"Dapatkah Anda menyerahkan surat-surat itu?" tanya Giraud.
"Saya tidak menyimpannya."
Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak apa-apalah," kata detektif itu.
Renauld melihat padanya sebentar, lalu Hakim melanjutkan pertanyaannya,
"Saya ingin menyinggung soal lain. Apakah Anda mengenal nama Duveen, Tuan
Renauld?" "Duveen?" kata Jack. "Duveen?" Lalu dia membungkuk dan perlahan-lahan memungut
pisau pembuka surat yang tadi dilemparkannya ke lantai. Setelah dia mengangkat
kepalanya, dia membalas tatapan mata Giraud. "Duveen" Tidak, saya tak tahu."
"Coba Anda baca surat ini, Tuan Renauld, lalu katakan pada saya, apakah Anda
tahu siapa orangnya yang menulis surat pada ayah Anda itu."
Jack Renauld mengambil surat itu dan membacanya sampai selesai. Sambil membaca
itu wajahnya memerah. "Apakah surat ini dialamatkan pada ayah saya?" Jelas terdengar kemarahan dan
emosi dalam nada suaranya.
"Benar. Kami menemukannya dalam saku mantelnya."
"Apakah - " Dia bimbang, lalu memandang sekilas pada ibunya. Hakim mengerti.
"Sementara ini - belum. Dapatkah Anda memberi kami petunjuk mengenai penulis
surat itu?" "Saya sama sekali tak tahu."
Tuan Hautet mendesah. "Misterius sekali perkara ini. Ah, sudahlah, saya rasa tak usah kita bicarakan
lagi surat itu. Bagaimana pendapat Anda, Tuan Giraud. Agaknya kita tidak
mendapatkan kemajuan-kemajuan dari surat itu."
"Memang tidak," detektif itu membenarkan dengan bersungguh-sungguh.
"Padahal," desah hakim itu, "mula-mula perkara ini kelihatannya sederhana
sekali!" Dia menangkap pandangan Nyonya Renauld, dan dia tiba-tiba merasa malu
hingga mukanya memerah. "Oh, ya," dehemnya, sambil membalik-balik kertas di atas
meja. "Coba saya lihat, sampai di mana kita" Oh ya, senjatanya. Saya kuatir hal
ini akan menyakitkan Anda, Tuan Renauld. Saya dengar barang itu adalah hadiah
Anda untuk ibu Anda. Menyedihkan sekali - menyusahkan sekali - "
Jack Renauld membungkuk. Wajahnya yang pada waktu membaca surat tadi merah, kini
menjadi pucat-pasi. "Apakah maksud Anda - bahwa ayah saya - dibunuh dengan pisau pembuka surat yang
terbuat dari kawat pesawat terbang itu" Tapi itu tak mungkin! Barang sekecil
itu!" "Yah, Tuan Renauld, nyatanya memang begitu! Ternyata itu merupakan alat yang
tepat sekali, meskipun kecil, namun tajam dan mudah menanganinya."
"Di mana barang itu" Bisakah saya melihatnya" Apakah masih melekat di tubuhnya?" "Oh, tidak. Sudah dicabut. Apakah Anda ingin melihatnya" Anda ingin meyakinkan
diri Anda" Barangkali sebaiknya begitu, meskipun tadi ibu Anda sudah
mengenalinya. Namun - Tuan Bex, bolehkah saya minta bantuan Anda?"
"Tentu, Pak Hakim, akan saya ambilkan segera."
"Tidakkah akan lebih baik kalau Tuan Renauld yang dibawa ke gudang itu?" Giraud
mengusulkan dengan halus. "Dia pasti ingin melihat jenazah ayahnya."
Anak itu memberikan isyarat menolak, dia tampak merinding, dan Hakim yang selalu
ingin membantah Giraud pada setiap kesempatan, menyahut,
"Itu tak perlu - tidak sekarang. Tuan Bex tentu mau berbaik hati untuk
membawakannya kemari."
Komisaris meninggalkan ruangan itu. Stonor menyeberang ke arah Jack, dan meremas
tangan anak muda itu. Poirot bangkit dan memperbaiki letak sepasang wadah lilin.
Bagi matanya yang sangat terlatih itu, letak benda-benda itu agak miring. Hakim
sedang membaca lagi surat cinta yang misterius tadi untuk terakhir kalinya. Dia
masih tetap berpegang kuat-kuat pada teorinya yang pertama mengenai rasa cemburu
dan tikaman di belakang itu.
Tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar, dan Komisaris masuk dengan berlari-lari.
"Pak Hakim! Pak Hakim!"
"Ya, ya! Ada apa?"
"Pisau belati itu! Sudah hilang!"
"Apa - hilang?"
"Hilang. Lenyap. Stoples kaca tempat menyimpannya sudah kosong!"
"Apa?" Aku berseru. "Tak mungkin. Baru tadi pagi saya melihatnya - " Lidahku tak
dapat mengucapkan kata-kata itu lagi.
Tetapi perhatian seluruh ruangan itu sudah tertuju padaku.
"Apa kata Anda tadi?" seru Komisaris. "Tadi pagi?"
"Saya melihatnya di sana tadi pagi," kataku perlahan-lahan. "Tepatnya kira-kira
satu setengah jam yang lalu."
"Jadi, Anda pergi ke gudang itu" Bagaimana Anda mendapatkan kuncinya?"
"Saya memintanya dari agen polisi."
"Lalu Anda masuk ke sana" Untuk apa?"
Aku bimbang, tapi akhirnya kuputuskan bahwa satu-satunya yang sebaiknya
kulakukan adalah mengakuinya dengan terus terang.
"Pak Hakim," kataku. "Saya telah melakukan kesalahan besar, untuk mana saya
mohon dimaafkan." "Eh bien! Lanjutkan, Saudara."
"Terus terang," kataku, ingin benar aku agar aku tidak berada di tempat itu,
"saya tadi bertemu dengan seorang gadis, seorang kenalan saya. Dia menunjukkan
keinginan besar untuk melihat segala-galanya, dan saya - yah, singkat cerita,
saya ambil kunci itu untuk memperlihatkan mayat itu padanya."
"Aduh, sialan," seru Hakim dengan marah. "Tapi Anda telah berbuat salah besar,
Kapten Hastings. Hal itu benar-benar melanggar hukum. Anda tak pantas melakukan
kebodohan itu." "Saya akui itu," sahutku lemah. "Apa pun yang Anda katakan, tidak akan terlalu
kasar, Pak Hakim." "Apakah gadis itu Anda undang kemari?"
"Tidak. Saya bertemu dengan dia secara kebetulan sekali. Dia seorang gadis
Inggris yang kebetulan menginap di Merlinville. Saya tidak mengetahui hal itu
sebelum saya bertemu dengan dia secara tak disangka-sangka."
"Yah, yah," kata hakim itu dengan lebih lembut. "Itu benar-benar melanggar
peraturan, tapi wanita itu tentu muda dan cantik, ya" Begitulah kalau anak muda!
Ah, remaja, remaja!" Dan dia pun mendesah dengan pengertian.
Tetapi Komisaris yang tidak begitu romantis dan lebih praktis, mengambil alih
percakapan, "Lalu tidakkah Anda tutup kembali dan kunci pintu itu setelah Anda
pergi?" "Itulah soalnya," kataku lambat-lambat. "Di situlah saya benar-benar menyalahkan
diri saya. Teman saya itu pusing waktu melihat mayat itu. Dia hampir pingsan.
Saya mengambilkannya air dan brendi, dan setelah itu saya bersikeras untuk
mengantarnya kembali ke kota. Dalam kekacauan itu, saya lupa mengunci pintu
kembali. Dan baru saya kunci setelah saya kembali ke villa."
"Jadi selama sekurang-kurangnya dua puluh menit - " kata komisaris itu lambatlambat. Dia berhenti. "Benar," kata saya.
"Dua puluh menit," kata komisaris itu merenung.
"Menyedihkan sekali," kata Tuan Hautet, yang bersikap tegas lagi. "Sungguh
menyedihkan." Tiba-tiba terdengar suatu suara lain berkata,
"Menurut Anda itu menyedihkan, Bapak Hakim?" tanya Giraud.
"Jelas." "Eh bien! Menurut saya itu mengagumkan," kata Giraud dengan tenang.
Sikap memihak padaku yang tak kusangka-sangka itu membuatku heran.
"Mengagumkan, Tuan Giraud?" tanya Hakim, sambil memperhatikannya dengan tajam
dengan sudut matanya. "Tepat." "Mengapa?" "Karena sekarang kita tahu bahwa si pembunuh, atau yang berkomplot dengan
pembunuh itu, berada di dekat villa hanya sejam yang lalu. Maka akan aneh
sekali, bila dengan kenyataan itu kita tak bisa menangkapnya dalam waktu
singkat." Nada suaranya terdengar jahat sekali. Dilanjutkannya lagi, "Dia telah
menantang bahaya untuk mendapatkan pisau belati itu. Mungkin dia takut sidik
jarinya ditemukan pada pisau itu."
Poirot berpaling pada Bex.
"Kata Anda tak ada sidik jarinya?"
Giraud mengangkat bahunya.
"Mungkin dia kurang merasa yakin."
Poirot melihat padanya. "Anda keliru, Tuan Giraud. Pembunuh itu memakai sarung
tangan. Jadi dia tentu yakin."
"Saya tidak mengatakan pembunuhnya sendiri. Mungkin komplotannya yang tak tahu
keadaannya yang sebenarnya."
"Agaknya salah caranya mengumpulkan data-data, selalu komplotan saja
dikatakannya!" gumam Poirot, tapi dia tak berkata apa-apa lagi.
Juru tulis Hakim mulai mengumpulkan surat-surat di atas meja. Tuan Hakim berkata
pada kami, "Pekerjaan kita di sini sudah selesai. Tuan Renauld, silakan Anda mendengarkan
kesaksian Anda dibacakan. Semua pekerjaan di sini saya usahakan supaya
diselesaikan dengan cara tak resmi. Saya dikatakan lain dari yang lain dalam
cara kerja saya itu, tapi saya pertahankan cara yang lain daripada yang lain itu
mengingat hasilnya. Penyelidikan perkara ini sekarang ditangani oleh Tuan Giraud
yang sudah terkenal. Dia pasti bisa menjadi terkemuka. Saya bahkan ingin tahu,
apakah dia sekarang belum berhasil menangkap pembunuh-pembunuh itu! Nyonya,
sekali lagi saya nyatakan rasa turut dukacita saya yang sedalam-dalamnya. Tuantuan, saya mengucapkan selamat siang."
Hakim pergi diikuti oleh juru tulisnya dan Komisaris.
Poirot mengeluarkan arlojinya yang sebesar lobak itu, lalu melihat waktu.
"Mari kita kembali ke hotel untuk makan siang, Sahabatku," katanya. "Dan kau
harus menceritakan lagi selengkapnya mengenai perbuatan salahmu tadi pagi itu.
Tak seorang pun melihat kita. Kita tak perlu minta diri."
Kami keluar, dari ruangan dengan diam-diam. Hakim Pemeriksa baru saja keluar
dari halaman rumah dengan mobilnya. Aku sedang menuruni tangga ketika suara
Poirot menghentikan langkahku, "Tunggu sebentar saja, Sahabatku."
Dia cepat-cepat mengeluarkan pita pengukurnya, lalu dia mengukur sehelai mantel
yang tergantung di lorong rumah itu, dari lehernya sampai ke tepi bawahnya. Aku
sebelumnya tidak melihat mantel itu tergantung di situ, dan menduga itu milik
Tuan Stonor atau Jack Renauld.
Kemudian, dengan menggeram menyatakan rasa puasnya, Poirot menyimpan kembali
pita pengukurnya ke dalam sakunya, dan menyusulku keluar ke udara terbuka.
Bab 12 POIROT MENJELASKAN BEBERAPA HAL
"MENGAPA kauukur mantel itu?" tanyaku dengan rasa ingin tahu, sedang kami
berjalan di sepanjang jalan putih yang panas dengan langkah-langkah santai.
"Parbleu! Untuk melihat berapa panjangnya tentu," sahut sahabatku itu dengan
tenang. Aku jengkel. Kebiasaan Poirot yang tak hilang-hilangnya untuk menjadikan sesuatu
yang penting itu suatu misteri, selalu membuatku jengkel. Aku berdiam diri saja
mengikuti jalan pikiranku sendiri. Meskipun tadi aku tidak mendengarnya secara
khusus, kini beberapa kata-kata tertentu yang diucapkan Nyonya Renauld pada
putranya teringat olehku, sarat dengan pengertian baru. "Jadi kau tak jadi
berlayar?" kau wanita itu, lalu ditambahkannya, "Tapi sudahlah, tak ada artinya
lagi - sekarang." Apa maksud kata-katanya itu" Kata-kata itu menimbulkan tanda tanya - karena
mengandung arti. Apakah mungkin wanita itu tahu lebih banyak daripada yang kami
sangka" Dia mengaku tidak mengetahui tugas misterius apa yang telah dipercayakan
suaminya pada anaknya. Tapi apakah dia sebenarnya tidak sebuta daripada yang
dibuat-buatnya" Apakah sebenarnya dia bisa membantu memberi kami keterangan bila
dia mau" Lalu apakah sikap tutup mulutnya itu suatu bagian dari suatu rencana
yang sudah dipikirkan dan dipertimbangkannya masak-masak"
Makin kupikirkan hal itu, makin yakin aku bahwa aku benar. Nyonya Renauld tahu
lebih banyak daripada yang dikatakannya. Dalam keadaan terkejut melihat
putranya, tanpa disadarinya dia telah mengkhianati dirinya sendiri. Aku merasa
yakin bahwa dia tahu, kalaupun bukan pembunuhnya sendiri, setidak-tidaknya
alasan pembunuhan itu. Tetapi dengan alasan yang kuat, dia harus merahasiakan
hal itu. "Kau sedang berpikir dalam sekali, Sahabatku," kata Poirot memecahkan
renunganku. "Apa yang begitu mengganggu pikiranmu?"
Karena merasa sudah yakin akan kuatnya dasar pikiranku, kuceritakan padanya,
meskipun aku sudah menduga bahwa dia akan menganggap kecurigaanku itu tak masuk
akal. Tetapi dia membuatku terkejut, karena dia mengangguk dengan serius.
"Kau memang benar, Hastings. Sejak semula aku sudah yakin bahwa dia
menyembunyikan sesuatu. Mula-mula aku curiga bahwa dia, kalaupun tidak
mendorong, sekurang-kurangnya membiarkan seseorang melakukan kejahatan."
"Kau mencurigai wanita itu?" Aku berseru.
"Tentu! Dia akan mendapatkan keuntungan besar - bahkan dengan surat wasiat yang
baru itu, dia adalah satu-satunya ahli waris. Jadi sejak semula aku sudah
memberikan perhatian khusus padanya. Mungkin kau melihat, bahwa pada awal
pemeriksaan pun aku sudah memeriksa pergelangan tangannya. Aku ingin melihat
apakah terdapat kemungkinan bahwa dia menyumbat mulutnya dan mengikat dirinya
sendiri. Eh bien, aku melihat bahwa ikatan itu tidak dibuat-buat, tali telah
benar-benar diikat demikian teriknya sampai menggigit melukai dagingnya. Hal itu
menyingkirkan kemungkinan bahwa dia telah melakukan kejahatan itu sendiri. Tapi
masih ada kemungkinannya bahwa dia mendiamkan saja hal itu dilakukan, atau
menjadi pendorong dalam suatu komplotan. Apalagi, waktu dia mengisahkan
kejadiannya, rasanya aku sudah mengenal kejadian serupa itu - orang-orang yang
berkedok yang tak dapat dikenalinya, disebut-sebutnya suatu 'rahasia' - aku
pernah mendengar atau membaca semuanya itu. Suatu hal kecil yang khusus,
meneguhkan keyakinanku bahwa dia tidak berkata benar. Arloji itu, Hastings,
arloji itu!" Lagi-lagi arloji itu! Poirot memandangiku dengan rasa ingin tahu.
"Kaulihatkah, mon ami" Mengertikah kau?"
"Tidak," sahutku dengan rasa tak senang. "Aku tak mengerti dan tak paham.
Semuanya ini telah kaujadikan suatu misteri yang membingungkan, dan rasanya tak
guna memintamu untuk menjelaskannya. Kau selalu suka menyembunyikan sesuatu
sampai saat yang terakhir."
"Jangan marah, Sahabatku," kata Poirot sambil tersenyum. "Kalau kau mau, akan
kujelaskan. Tapi jangan katakan sepatah pun juga pada Giraud, mengerti" Dia
memperlakukan aku seperti seorang tua yang tak ada artinya saja! Kita lihat saja
nanti! Demi kepentingan bersama telah kuberi dia petunjuk terselubung. Bila dia
tidak mengambil tindakan apa-apa, itu urusannya sendiri."
Kutekankan pada Poirot bahwa dia bisa mempercayai aku.
"C'est bien! Kalau begitu marilah kita menyuruh sel-sel kecil kelabu kita
bekerja. Coba katakan, Sahabat, pukul berapa menurut kau, tragedi itu terjadi?"
"Yah, pukul dua atau sekitarnya," kataku terkejut. "Kau tentu ingat Nyonya
Renauld bercerita pada kita bahwa dia mendengar jam berbunyi waktu kedua orang
laki-laki itu ada di dalam kamar."
"Benar, dan berdasarkan keterangan itu, kau, Hakim Pemeriksa, Bex, dan semuanya
yang lain, percaya mengenai jam itu tanpa bertanya lagi. Tapi aku, Hercule
Poirot, mengatakan bahwa Nyonya Renauld berbohong. Kejahatan itu dilakukan
sekurang-kurangnya dua jam sebelum itu."
"Tapi dokter-dokter itu - ?"
"Setelah memeriksa mayat, mereka menerangkan bahwa dia meninggal antara sepuluh
atau tujuh jam sebelumnya. Mon ami, dengan suatu alasan tertentu, amatlah
penting supaya kejahatan itu kelihatannya seolah-olah terjadi kemudian dari jam
yang sebenarnya. Pernahkah kau membaca tentang jam atau arloji yang sudah hancur
tetapi masih bisa memberikan saat kematian yang tepat" Supaya pernyataan
kematiannya tidak akan tergantung pada kesaksian Nyonya Renauld semata-mata,
seseorang telah memutar jarum arloji tangan itu ke arah pukul dua, lalu
melemparkannya kuat-kuat ke lantai. Tapi sebagaimana yang sering terjadi, cara
kerja mereka itu keliru. Kacanya memang hancur, tapi mesin arloji itu tidak
rusak. Itu suatu tindakan mereka yang merugikan, karena hal itu segera
mengarahkan perhatian kita pada dua hal - pertama bahwa Nyonya Renauld telah
berbohong, kedua bahwa pasti ada suatu alasan penting untuk diundurkannya
waktu." "Tapi apa alasan itu?"
"Nah, itulah soalnya. Di situlah letak misteri itu. Untuk sementara aku belum
bisa menjelaskannya. Aku hanya melihat adanya satu hal yang berhubungan dengan
itu." "Apa itu?" "Kereta terakhir meninggalkan Merlinville pukul dua belas lewat tujuh belas
menit." Aku mengikutinya dengan cermat.
"Jadi kejahatan yang mungkin dilakukan kira-kira dua jam kemudian, dengan
berangkatnya si pembunuh naik kereta api itu, dia akan menemukan alibi yang tak
dapat diganggu gugat!"
Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tepat, Hastings! Kau mengerti rupanya!"
Aku melompat. "Tapi kita harus bertanya ke stasiun. Mereka di sana pasti akan
dapat mengenali dua orang asing yang berangkat naik kereta api itu! Kita harus
segera pergi ke sana!"
"Begitukah pendapatmu, Hastings?"
"Tentu, mari kita pergi ke sana."
Poirot mengurangi semangatku dengan menyentuh tanganku dengan lembut. "Pergilah
kalau kau mau, mon ami - tapi bila kau pergi juga, jangan tanyakan khusus
tentang dua orang asing."
Aku terbelalak, dan dia berkata dengan agak tak sabaran, "Nah nah, apakah kau
percaya pada semua omong kosong itu" Tentang orang-orang yang berkedok dan semua
kisah-kisah isapan jempol itu!"
Kata-katanya itu demikian membuatku terkejut, hingga aku hampir tak tahu lagi
bagaimana harus menjawabnya. Dia melanjutkan dengan tenang,
"Bukankah kau sudah mendengar aku berkata pada Giraud, bahwa semua hal-hal kecil
dalam kejahatan ini sudah pernah kukenal" Eh bien, hal itu memberikan
kemungkinan pada satu dari dua hal, mungkin otak yang merencanakan kejahatan
yang dulu itu juga merencanakan kejahatan yang ini, atau setelah membaca tentang
pembunuhan yang terkenal itu, peristiwa itu tanpa disadarinya telah melekat
dalam ingatan si pembunuh, lalu menirukan cara-cara itu. Aku baru akan bisa
menyatakan hal itu dengan pasti, setelah - ". Dia berhenti berbicara dengan
mendadak. Dalam otakku bergalau beberapa soal.
"Lalu bagaimana dengan surat Tuan Renauld itu" Di situ disebutkan dengan jelas
tentang suatu rahasia dan Santiago."
"Memang, pasti ada rahasia dalam hidup Tuan Renauld - hal itu tak dapat
diragukan lagi. Sebaliknya, menurut aku, kata Santiago itu hanya merupakan umpan
saja, yang terus-menerus ditempatkan ke jalur kisah untuk menyesatkan kita.
Mungkin pula hal itu juga dipakai terhadap Tuan Renauld, supaya dia tidak
menujukan kecurigaannya ke tempat yang lebih dekat. Yakinlah, Hastings, bahwa
bahaya yang mengancamnya bukan di Santiago, bahaya itu dekat saja, di Prancis
ini!" Dia berbicara dengan demikian bersungguh-sungguh, dan dengan keyakinan yang
demikian besarnya, hingga aku pun terpengaruh. Tetapi aku masih menemukan suatu
keberatan terakhir, "Lalu mengenai batang korek api dan puntung rokok yang
ditemukan di dekat mayat itu, bagaimana?"
"Diletakkan di situ! Dengan sengaja diletakkan di situ supaya ditemukan Giraud
atau orang-orang semacam dia! Dia memang hebat, si Giraud itu. Banyak akalnya!
Sama benar dengan seekor anjing pelacak yang baik. Dia menggabungkan dirinya
dengan perasaan amat puas pada dirinya sendiri. Berjam-jam lamanya dia
merangkak. 'Lihat apa yang telah kutemukan,' katanya. Lalu dikatakannya lagi
padaku, 'Apa yang Anda lihat di sini"' Aku hanya menjawab kenyataan apa adanya,
'Tak ada apa-apa.' Dan Giraud yang hebat itu tertawa. Pikirnya, 'Oh, goblok
benar pak tua ini!' Tapi kita lihat saja nanti."
Tapi pikiranku terarah pada kejadian-kejadian utama.
"Jadi semua kisah tentang orang-orang yang berkedok itu - ?"
"Bohong belaka!"
"Apa yang terjadi sebenarnya?"
Poirot mengangkat bahunya.
"Hanya seorang yang bisa menceritakannya pada kita - Nyonya Renauld. Tapi dia
tak mau berbicara. Mulai dari permohonan, sampai pada ancaman, tidak akan bisa
menggerakkannya. Dia seorang wanita yang hebat, Hastings. Segera setelah aku
melihatnya, aku terus tahu, bahwa aku harus berurusan dengan seorang wanita yang
bersifat istimewa. Sebagaimana telah kukatakan mula-mula, aku cenderung untuk
mencurigai dia terlibat dalam kejahatan ini. Tapi setelah itu aku mengubah
pendapatku." "Apa yang membuatmu berubah?"
"Kesedihannya yang tulus dan murni waktu dia melihat mayat suaminya. Aku berani
bersumpah bahwa kesedihan dalam ratapannya itu adalah murni."
"Ya," kataku, "kita memang tak bisa keliru dalam hal-hal semacam itu."
"Maaf, Sahabat - orang bisa saja keliru. Ingat saja seorang aktris besar, bila
dia memerankan suatu kesedihan, apakah kita tidak akan terbawa dan terkesan akan
kesungguhannya" Tidak, betapapun kuatnya kesan dan keyakinanku sendiri, aku
membutuhkan bukti lain sebelum aku merasa puas. Penjahat itu bisa saja seorang
aktor besar. Keyakinanku pada perkara itu tidak kusadarkan pada pemikiranku
sendiri, melainkan atas kenyataan yang tak dapat dibantah, bahwa Nyonya Renauld
benar-benar pingsan. Aku membalikkan kelopak matanya dan meraba nadinya.
Kejadian itu tak dibuat-buatnya - dia memang benar-benar pingsan. Oleh karenanya
aku merasa yakin bahwa kesedihannya memang mumi dan tidak dibuat-buat. Selain
daripada itu, ada lagi suatu kenyataan kecil yang menarik. Nyonya Renauld tak
perlu memamerkan kesedihannya yang mendalam. Dia sudah setengah pingsan waktu
mendengar tentang kematian suaminya, dan dia tak perlu lagi berpura-pura
mempertunjukkan kesedihan yang begitu hebat pada saat melihat mayatnya. Tidak,
Nyonya Renauld bukan pembunuh suaminya. Tapi mengapa dia berbohong" Dia
berbohong tentang arloji tangan itu, dia berbohong tentang orang-orang yang
berkedok itu - dia juga berbohong tentang hal yang ketiga. Katakan, Hastings,
bagaimana kau menjelaskan tentang pintu yang terbuka itu?"
"Yah," kataku agak kemalu-maluan, "kurasa itu adalah suatu kelengahan. Mereka
lupa menutupnya." Poirot menggeleng dan mendesah.
"Itu kan keterangan Giraud. Aku tak bisa menerimanya. Ada suatu makna di balik
pintu yang terbuka itu, yang sementara ini belum dapat kupikirkan."
"Aku punya gagasan," teriakku tiba-tiba.
"Nah, bagus! Coba kudengar."
"Dengarkan. Kita sependapat bahwa kisah Nyonya Renauld adalah isapan jempol
belaka. Jadi tidakkah mungkin, kalau Tuan Renauld meninggalkan rumah untuk
memenuhi janji - katakanlah dengan si pembunuh - dengan meninggalkan pintu depan
terbuka, untuk dia kembali nantinya. Tapi dia tak kembali, dan esok paginya dia
ditemukan dalam keadaan tertikam di punggungnya."
"Suatu teori yang pantas dikagumi, Hastings, tetapi ada dua kenyataan yang tak
kaulihat, hal mana dapat dimaklumi. Pertama, siapakah yang menyumbat mulut
Nyonya Renauld dan mengikatnya" Dan untuk apa mereka harus kembali ke rumah
untuk melakukan hal itu" Yang kedua, tak ada seorang pun di muka bumi ini yang
mau memenuhi janji dengan hanya mengenakan pakaian dalam dan mantel saja. Ada
waktu-waktu tertentu di mana orang mungkin hanya mengenakan piyama dan mantel tapi kalau pakaian dalam saja tak pernah!"
"Benar," kataku terpukul.
"Tidak," lanjut Poirot, "kita harus mencari penyelesaian mengenai misteri
tentang pintu yang terbuka itu di tempat lain. Aku yakin mengenai satu hal mereka tidak kembali melalui pintu. Mereka melalui jendela."
"Tapi di bedeng bunga di bawahnya tidak terdapat bekas jejak kaki."
"Tidak - padahal seharusnya ada. Dengarkan, Hastings. Kau kan mendengar Auguste,
si tukang kebun itu, mengatakan bahwa dia telah menanami kedua buah bedeng itu
petang hari sebelumnya. Di salah sebuah bedeng itu banyak terdapat bekas sepatu
botnya yang berpaku besar itu - pada bedeng yang sebuah lagi, tak ada satu pun!
Mengertikah kau" Seseorang telah melewati bedeng itu, seseorang yang telah
melicinkan kembali permukaan bedeng itu dengan sebuah garu, untuk menghilangkan
bekas telapak kakinya."
"Dari mana mereka mendapatkan garu itu?"
"Tak ada sulitnya."
"Tapi apa yang membuatmu menduga bahwa mereka keluar dengan melewati bedeng itu"
Tentu tidak masuk akal kalau mereka masuk melalui jendela, dan keluar melalui
pintu." "Itu tentu mungkin. Tapi aku punya gagasan kuat bahwa mereka keluar melalui
jendela." "Kurasa kau keliru."
"Mungkin, mon ami."
Aku merenung, memikirkan kemungkinan baru yang telah dikemukakan Poirot. Aku
ingat bahwa aku keheranan waktu mendengarkan sindirannya yang tersembunyi
mengenai bedeng bunga dan arloji tangan itu di hadapan orang-orang lain. Waktu
itu kata-katanya itu kedengarannya sama sekali tak berarti, dan baru sekaranglah
aku menyadari betapa hebatnya kemampuannya menguraikan sebagian besar dari
misteri yang menyelubungi perkara itu hanya berdasarkan peristiwa-peristiwa
kecil. Aku menaruh hormat pada sahabatku itu, meskipun terlambat. Seolah-olah
dia bisa membaca pikiranku, dia mengangguk-angguk.
"Cara kerja, ingat itu! Cara kerja! Susun fakta-faktamu! Atur pikiran-pikiranmu.
Dan bila ada suatu fakta kecil tak bisa dicocokkan - jangan sia-siakan, tapi
telitilah baik-baik. Meskipun menurut kau tampaknya tidak begitu penting, kau
harus yakin bahwa itu penting."
"Sementara itu," kataku setelah berpikir, "meskipun sudah banyak yang kita
ketahui, kita masih belum mendekati penyelesaian misteri mengenai siapa yang
membunuh Tuan Renauld."
"Memang belum," kata Poirot tetap ceria. "Kita bahkan makin menjauh."
Hal itu agaknya menyenangkan hatinya, hingga aku memandangnya dengan tercengang.
Dia membalas pandanganku dan tersenyum.
"Tapi lebih baik begitu. Sebelum itu, kelihatannya sudah jelas sekali bagaimana
dan oleh siapa kematian itu. Sekarang semuanya itu hilang. Kita berada dalam
kegelapan. Beratus-ratus soal yang bertentangan membuat kita bingung dan susah.
Itu baik. Itu baik sekali. Dari kekacauan itu akan muncul hal-hal yang memberi
harapan. Tapi kalau sejak semula kita sudah menemukan hal-hal yang memberikan
harapan, bila suatu kejahatan kelihatan sederhana dan jelas, maka hal itu tak
dapat dipercaya! Maka keadaan kita jadi seperti - apa yang dikatakan orang - bak
makan pisang berkubak! Penjahat yang ulung biasanya sederhana - tapi sedikit
sekali penjahat yang benar-benar ulung. Dalam usahanya untuk menutupi jejaknya,
mereka biasanya membuka rahasia sendiri. Ah, mon ami, ingin benar aku bertemu
dengan seorang penjahat yang benar-benar ulung pada suatu hari - seseorang yang
melakukan kejahatannya, lalu - tidak berbuat apa-apa lagi! Maka aku, Hercule
Poirot sekalipun, akan gagal menangkapnya."
Tetapi aku tidak mengikuti kata-katanya itu. Aku mulai melihat titik terang.
"Poirot! Nyonya Renauld! Sekarang aku sadar! Dia pasti melindungi seseorang."
Melihat betapa tenangnya Poirot menyambut kata-kataku itu, aku tahu bahwa
gagasan itu sudah ada pula padanya.
"Ya," katanya dengan merenung. "Melindungi seseorang - atau menyembunyikan
seseorang. Salah satu."
Aku melihat perbedaan kecil sekali antara kedua perkataan itu, tapi aku
mengembangkan pokok pikiranku dengan bersungguh-sungguh.
Poirot mengambil sikap yang benar-benar tak dapat dipahami; dia berulang kali
berkata, "Mungkin - ya, mungkin. Tapi sampai sekarang aku belum tahu! Ada
sesuatu yang tersembunyi dalam sekali di bawah semuanya ini. Kau lihat saja
nanti. Sesuatu yang dalam."
Kemudian, waktu kami memasuki hotel, dia mengisyaratkan supaya aku diam.
Bab 13 GADIS YANG BERMATA KETAKUTAN
KAMI makan siang dengan berselera besar. Aku cukup maklum bahwa Poirot tak mau
membicarakan tragedi itu di tempat di mana orang dapat mendengar kami dengan
mudah. Tetapi sebagaimana biasanya, bila suatu persoalan memenuhi pikiran
melebihi segalanya tak ada satu pun pikiran lain yang bisa menarik perhatian
kita. Hanya sebentar kami makan tanpa berkata apa-apa, lalu Poirot berkata
dengan menggoda, "Eh bien! Bagaimana dengan perbuatanmu yang ceroboh itu!
Tidakkah kau akan menceritakannya"!"
Aku merasa mukaku panas. "Oh, maksudmu kejadian tadi pagi?" Aku berbicara dengan nada santai.
Tetapi Poirot memang bukan tandinganku. Dalam beberapa menit saja dia telah
berhasil memeras seluruh cerita itu dari mulutku, matanya berbinar-binar ketika
sedang mendengarkan itu. "Waduh! Benar-benar suatu kisah yang romantis. Siapa nama gadis cantik itu?"
Aku terpaksa mengakui bahwa aku tak tahu.
"Lebih romantis lagi! Pertemuan pertama dalam kereta api dari Paris, pertemuan
kedua di sini. Perjalanan berakhir di mana orang-orang yang sedang bercinta itu
bertemu, begitu kata orang, bukan?"
"Jangan goblok, Poirot."
"Kemarin Nona Daubreuil, hari ini Nona - Cinderella! Kau benar-benar punya hati
seperti orang Turki, Hastings. Kau seharusnya membangun sebuah harem!"
"Kau memang pantas menggodaku. Nona Daubreuil memang seorang gadis yang cantik,
dan aku sangat mengaguminya - aku bersedia mengakui hal itu. Yang seorang lagi
itu bukan apa-apa - kurasa aku tidak akan berjumpa lagi dengan dia. Dia hanya
seorang kawan bicara yang menyenangkan selama perjalanan kereta api, tapi dia
bukan semacam gadis pada siapa aku akan tergila-gila."
"Mengapa?" "Yah - mungkin kedengarannya sombong - tapi dia bukan wanita utama, sama sekali
bukan," Poirot mengangguk sambil termangu. Kemudian dia bertanya dengan nada yang kurang
mengandung kelakar, "Jadi kau masih percaya akan derajat kelahiran dan
pendidikan?" "Aku mungkin punya pendirian kolot, tapi aku sama sekali tak sependapat dengan
perkawinan karena perbedaan golongan seseorang. Itu tak pernah berhasil."
"Aku sependapat dengan kau, mon ami. Sembilan puluh sembilan dari seratus
perkawinan semacam itu, tak berhasil. Tapi selalu masih ada yang keseratus itu,
bukan" Namun itu tak berlaku, karena kau tak punya niat untuk menemui gadis itu
lagi." Kata-katanya yang terakhir hampir-hampir merupakan pertanyaan, dan aku menyadari
betapa tajamnya pandangan yang ditujukannya pada diriku.
Dan di hadapan mataku, seolah-olah tertulis dengan huruf-huruf dari nyala api,
kulihat kata-kata Hotel du Phare, dan terngiang lagi suaranya mengatakan,
"Datanglah mengunjungi aku," dan jawabanku sendiri dengan tekanan, "Baiklah."
Yah, mau apa lagi" Waktu itu aku memang berniat untuk pergi. Tetapi sejak itu,
aku punya waktu untuk berpikir. Aku tak suka pada gadis itu. Setelah
memikirkannya tenang-tenang, aku bisa mengambil kesimpulan dengan penuh
keyakinan, bahwa aku benar-benar tak suka padanya. Aku terlibat dalam suatu
kesulitan gara-gara kebodohanku mau memenuhi permintaannya untuk memuaskan rasa
ingin tahunya yang gila-gilaan itu, dan aku sama sekali tak ingin bertemu dengan
dia lagi. Aku menjawab Poirot dengan ringan saja.
"Dia memintaku untuk mengunjunginya, tapi tentu aku tak mau."
"Mengapa 'tentu'?"
"Pokoknya - aku tak mau."
"Oh begitu." Diperhatikannya aku beberapa lamanya. "Ya, aku mengerti betul. Dan
kau memang benar. Pertahankanlah apa yang telah kaukatakan itu."
"Agaknya itu merupakan nasihat yang tak dapat dilanggar," kataku dengan
tersinggung. "Aduh, Sahabatku, percayalah pada Papa Poirot. Suatu hari kelak, bila kau mau,
aku akan mengatur suatu pernikahan yang serasi sekali bagimu."
"Terima kasih," kataku sambil tertawa, "tapi aku tak berminat pada rencana itu."
Poirot mendesah lalu menggeleng.
"Dasar orang Inggris!" gumamnya. "Tak punya sistem kerja - sama sekali tak
punya. Kalian selalu menyerahkan segala-galanya pada nasib!" Dia mengerutkan
alisnya, lalu memperbaiki letak botol garam. "Kaukatakan Nona Cinderella
menginap di Hotel d'Angleterre?"
"Bukan, Hotel du Phare."
"Benar. Aku lupa."
Sesaat aku merasa was-was. Aku sama sekali tak pernah menyebutkan nama sebuah
hotel pada Poirot. Aku melihat padanya, dan aku merasa tenang. Dia sedang
memotong-motong rotinya menjadi segi empat kecil-kecil, dia kelihatan asyik
benar dalam pekerjaannya itu. Dia pasti menyangka bahwa aku pernah mengatakan
padanya di mana gadis itu menginap.
Kami minum kopi di luar menghadap ke laut. Poirot mengisap rokoknya yang kecil,
lalu mengeluarkan arlojinya dari sakunya.
"Kereta api ke Paris akan berangkat pukul dua lewat dua puluh lima menit,"
katanya. "Aku harus berangkat."
"Ke Paris?" teriakku.
"Begitulah kataku, mon ami."
"Kau akan pergi ke Paris" Untuk Apa?"
Dia menjawab dengan serius sekali.
"Untuk mencari pembunuh Tuan Renauld."
"Kaupikir dia ada di Paris?"
"Aku yakin sekali dia tak ada di sana. Tapi aku harus mencarinya dari sana. Kau
tak mengerti, tapi akan kujelaskan semuanya itu padamu kalau sudah tiba
waktunya. Percayalah padaku, perjalanan ke Paris ini perlu sekali. Aku pergi
tidak akan lama. Besar kemungkinannya aku akan kembali besok. Aku tak ingin kau
ikut aku. Tinggallah di sini dan amat-amatilah Giraud. Ikutilah pula tindak
Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanduk Tuan muda Renauld. Dan ketiga, kalau kau mau, usahakan untuk memutuskan
hubungannya dengan Nona Marthe. Tapi aku kuatir tidak akan banyak hasil usahamu
itu." Aku tak senang mendengar kata-katanya yang terakhir itu.
"Aku jadi ingat," kataku. "Aku sudah berniat untuk bertanya, bagaimana kau
sampai tahu hubungan mereka berdua?"
"Mon ami - aku tahu sifat manusia. Pertemukanlah seorang anak muda seperti Jack
Renauld itu dan seorang gadis cantik seperti Nona Marthe, dan akibatnya tak
dapat dihindarkan lagi. Lalu, mengenai pertengkaran itu! Kalau tidak karena uang
tentu karena perempuan, dan mengingat penjelasan Leonie tentang betapa marahnya
anak muda itu, aku yakin bahwa yang kedualah yang menjadi persoalan. Jadi aku
lalu menerka - dan ternyata aku benar."
"Lalu itukah sebabnya kauperingatkan aku supaya tidak menaruh hati pada wanita
itu" Apakah kau memang sudah menduga bahwa dia mencintai Tuan muda Renauld?"
Poirot tersenyum. "Yang jelas - aku melihat bahwa matanya penuh ketakutan. Begitulah aku selalu
membayangkan Nona Daubreuil - sebagai seorang gadis yang bermata penuh
ketakutan." Suaranya demikian seriusnya hingga aku mendapat kesan yang tak enak.
"Apa maksudmu, Poirot?"
"Sahabatku, kurasa kita akan melihatnya dalam waktu singkat. Tapi sekarang aku
harus berangkat." "Kau masih punya waktu banyak."
"Mungkin - mungkin. Tapi aku suka bersantai-santai di stasiun. Aku tak suka
berlari-lari, terburu-buru, dan ketakutan akan terlambat."
"Bagaimanapun juga," kataku sambil bangkit, "aku akan ikut mengantarmu."
"Kau tak boleh mengantarku. Aku tak mau."
Kata-katanya tegas sekali hingga aku terbelalak memandangnya karena keheranan.
Dia mengangguk menegaskan kata-katanya.
"Aku bersungguh-sungguh, mon ami. Au revoir! Bolehkah aku merangkulmu" Ah,
tidak, aku lupa bahwa itu bukan kebiasaan orang Inggris. Bersalaman sajalah
kalau begitu." Setelah Poirot meninggalkan aku, aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku
berjalan-jalan saja di pantai, dan memperhatikan orang yang berkecimpung di
laut. Aku tak punya keinginan untuk menyertai mereka. Kubayangkan Cinderella
mungkin sedang bersenang-senang pula di antara orang banyak itu dengan memakai
pakaian yang bagus sekali, tapi aku sama sekali tak melihatnya. Tanpa tujuan aku
berjalan santai di sepanjang pantai pasir ke arah ujung kota. Aku baru menyadari
bahwa, bagaimanapun juga, sepantasnyalah kalau aku menanyakan keadaan gadis itu.
Maka hal itu akhirnya akan menghindarkan kesulitan, dan urusannya akan selesai.
Dan aku pun tak perlu memikirkan dia lagi. Tapi kalau aku sama sekali tak pergi,
mungkin sekali dia akan mengunjungi aku di villa. Dan itu jelas akan
menyusahkan. Jelas akan lebih baik kalau aku mengunjunginya sebentar. Dalam
pertemuan itu akan kujelaskan dengan tegas, bahwa selanjutnya aku tak bisa lagi
menjadi penunjuk jalan baginya.
Sesuai dengan rencana itu, kutinggalkan pantai dan berjalan ke arah darat. Aku
segera menemukan Hotel du Phare, suatu bangunan yang sangat sederhana. Aku
benar-benar jengkel, karena aku tak tahu nama gadis itu, dan dengan demikian
kehilangan harga diriku. Maka kuputuskan untuk masuk dan melihat-lihat saja. Aku
mungkin akan bisa menemukannya di lobi. Merlinville hanya sebuah kota kecil;
orang meninggalkan hotel hanya untuk pergi ke pantai, dan meninggalkan pantai
untuk kembali ke hotel lagi. lak ada tempat lain yang menarik.
Sepanjang pantai sudah kujalani tanpa melihat dia, jadi dia pasti ada di hotel.
Aku masuk. Beberapa orang sedang duduk di lobi yang kecil itu, tapi orang yang
kucari tak ada di antara mereka. Aku melihat ke ruangan-ruangan lain, namun
bayangannya pun tak ada. Aku menunggu beberapa lamanya, sampai kesabaranku
habis. Kuajak petugas penjaga pintunya ke suatu sudut, lalu kuselipkan lima
franc ke dalam tangannya.
"Saya ingin bertemu dengan seorang wanita yang menginap di sini. Seorang gadis
berkebangsaan Inggris, orangnya kecil dan berambut hitam. Saya kurang tahu
namanya." Laki-laki itu menggeleng, dan kelihatan dia seperti menahan senyum. "Tak ada
wanita seperti yang Anda lukiskan itu menginap di sini."
"Mungkin dia orang Amerika," aku menegaskan. Bodoh benar orang-orang ini.
Tetapi laki-laki itu terus menggeleng.
"Tidak ada, Tuan. Di sini hanya ada enam atau tujuh orang wanita Inggris dan
Amerika, dan mereka semuanya jauh lebih tua daripada yang sedang Anda cari.
Bukan di sini Anda harus mencarinya, Tuan."
Dia kelihatan begitu yakin hingga aku jadi ragu.
"Tapi wanita itu mengatakan bahwa dia menginap di sini."
"Mungkin Tuan keliru - atau mungkin wanita itu yang keliru, karena ada seorang
pria lain yang juga menanyakan dia."
"Apa kata Anda?" seruku keheranan.
"Benar, Tuan. Seorang pria yang melukiskan wanita itu seperti Anda pula."
"Bagaimana pria itu?"
"Pria itu kecil, berpakaian bagus, rapi sekali, tak bercacat, kumisnya kaku,
bentuk kepalanya aneh, dan matanya hijau."
Poirot! Jadi itulah sebabnya dia tak mengizinkan aku menyertainya ke stasiun.
Kurang ajar sekali! Akan kukatakan padanya supaya tidak mencampuri persoalanku.
Apakah sangkanya aku memerlukan seorang perawat untuk mengawasi diriku"
Setelah mengucapkan terima kasih pada orang itu aku pergi. Aku tak tahu apa yang
harus kuperbuat, aku masih jengkel sekali pada temanku yang suka mencampuri
soalku. Saat itu aku menyesal sekali bahwa waktu itu dia berada jauh dari
jangkauanku. Aku akan senang sekali kalau aku bisa mengatakan padanya, apa
pendapatku mengenai campur tangannya yang tak diinginkan itu. Bukankah sudah
kukatakan jelas-jelas, bahwa aku tak punya niat untuk menjumpai gadis itu lagi"
Seorang sahabat memang tak boleh terlalu suka campur tangan!
Tetapi di mana gadis itu" Rasa benciku kukesampingkan dulu, dan aku mencoba
memecahkan teka-teki itu. Agaknya, karena kecerobohannya, dia telah salah
menyebutkan nama hotelnya. Kemudian aku mendapatkan suatu pikiran lain. Apakah
itu benar karena kecerobohan" Atau mungkinkah dia dengan sengaja menyembunyikan
namanya dan memberikan alamat yang salah"
Makin lama aku memikirkannya, makin yakin aku, bahwa dugaanku yang terakhir ini
yang benar. Entah dengan alasan apa, dia tak ingin perkenalan kami berkembang
menjadi persahabatan. Dan meskipun setengah jam yang lalu hal itu merupakan
keinginanku pula, aku tak mau aku yang menjadi pihak yang ditolak. Semua
kejadian itu sangat tak menyenangkan hatiku, dan aku lalu pergi ke Villa
Genevi?ve dalam keadaan hati yang kacau. Aku tak pergi ke rumah, melainkan pergi
ke jalan setapak, ke bangku kecil di dekat gudang, lalu duduk dengan murung.
Pikiranku terganggu oleh bunyi suara-suara dari jarak dekat. Sebentar kemudian
aku menyadari bahwa suara-suara itu tidak berasal dari kebun tempatku berada,
melainkan dari kebun di sebelah, yaitu kebun Villa Marguerite, dan suara-suara
itu mendekat dengan cepat. Suara seorang gadis berbicara, suara yang kukenali
sebagai suara Marthe yang cantik.
"Sayang," katanya, "benarkah itu" Apakah semua kesulitan kita sudah berlalu?"
"Kau tahu itu, Marthe," sahut suara Jack Renauld. "Sekarang, tak satu pun yang
bisa memisahkan kita, Sayang. Halangan terakhir terhadap hubungan kita sudah
tersingkirkan. Tak satu pun bisa memisahkan kau dari aku."
"Tak satu juga pun?" gumam gadis itu. "Aduh, Jack, Jack - aku takut."
Aku berniat untuk pergi dari situ, karena aku menyadari bahwa tanpa sengaja aku
telah mendengarkan percakapan orang. Waktu aku bangkit, mereka dapat kulihat
melalui suatu celah pada pagar. Mereka berdua berdiri menghadap ke arahku. Yang
laki-laki memeluk gadis itu, sambil menatap matanya. Mereka memang merupakan
pasangan yang serasi sekali, pemuda berambut hitam yang tampan dan dewi muda
cantik yang berambut pirang. Sedang mereka berdiri di situ, mereka memang
kelihatannya seperti pinang dibelah dua. Mereka berbahagia, meskipun dalam umur
yang begitu muda mereka sudah dibayangi tragedi yang begitu mengerikan.
Tetapi wajah gadis itu murung, dan Jack Renauld agaknya melihat hal itu. Sambil
mendekap gadis itu lebih erat lagi, dia bertanya, "Tapi apa yang kaukatakan,
Sayang" Apa yang harus ditakutkan - sekarang?"
Kemudian tampak olehku pandangan di mata gadis itu, pandangan seperti yang
dikatakan Poirot. Gadis itu menggumam, hingga aku hanya bisa menerka apa yang
diucapkannya melihat gerak bibirnya "Aku takut - demi kau."
Aku tak mendengar jawab Jack Renauld, karena perhatianku tertarik pada sesuatu
yang aneh agak di ujung pagar. Di situ tampak serumpun semak yang berwarna
cokelat, suatu hal yang aneh sekali, mengingat bahwa sekarang masih awal musim
panas. Aku melangkah akan menyelidikinya, tetapi waktu aku mendekat, semak
cokelat itu menghindar cepat-cepat, dan berhadapan denganku dengan jari di
bibirnya. Dia adalah Giraud.
Demi kewaspadaan, dia mengajakku ke belakang gudang sampai ke tempat di mana
kami tak bisa didengar orang.
"Apa yang Anda lakukan di sana tadi?" tanyaku.
"Sama benar dengan apa yang sedang Anda lakukan - memasang telinga."
"Tapi saya berada di tempat itu tadi tidak sengaja!"
"Oh!" kata Giraud. "Saya sengaja."
Sebagaimana biasa, aku mengagumi laki-laki itu sementara aku juga membencinya.
Dia memandangiku dari atas sampai ke bawah dengan semacam pandangan menyalahkan.
"Dengan mengganggu begini, Anda tidak akan membantu menyelesaikan persoalan.
Saya tadi sebenarnya hampir mendengar percakapan yang mungkin akan berguna. Anda
apakan manusia purba Anda itu?"
"Tuan Poirot sedang pergi ke Paris," sahutku dingin. "Dan sebaiknya saya katakan
pada Anda, Tuan Giraud, bahwa beliau sama sekali bukan manusia purba. Dia telah
menyelesaikan banyak perkara yang benar-benar telah mengelabui kepolisian
Inggris." "Bah! Kepolisian Inggris!" Giraud menjentikkan jarinya dengan mengejek. "Mereka
itu pasti hanya setaraf dengan Pak Hakim Pemeriksa kita itu. Jadi dia pergi ke
Paris, rupanya" Yah, bagus juga. Makin lama dia berada di sana, makin baik. Tapi
apa pikirnya yang akan ditemukannya di sana?"
Kurasa aku mendengar nada kuatir dalam suaranya. Hal itu menghidupkan
semangatku. "Saya tak boleh mengatakan hal itu," kataku dengan tenang.
Giraud menatapku dengan tajam.
"Mungkin dia memang bijak untuk mengatakannya pada Anda," katanya dengan kasar.
"Selamat petang. Saya sibuk."
Setelah berkata begitu dia berbalik dan meninggalkan aku tanpa basa-basi. Agaknya keadaan sedang mogok di Villa Genevi?ve. Giraud tidak menginginkan aku
bersamanya, dan berdasarkan apa yang kulihat tadi, pasti Jack Renauld pun tak
suka. Aku kembali ke kota, berenang dengan nyaman lalu kembali ke hotel. Aku pergi
tidur lebih awal, dengan perasaan ingin tahu, apakah esok harinya akan muncul
sesuatu yang menarik. Aku sama sekali tak siap untuk menghadapi apa yang sebenarnya terjadi. Aku
sedang sarapan sederhana di ruang makan ketika pelayan, yang semula sedang
bercakap-cakap dengan seseorang di luar, masuk kembali dengan bergegas. Dia
bimbang sebentar mempermainkan serbetnya, lalu dikatakannya semua.
"Maafkan saya, Tuan. Bukankah Tuan punya hubungan dengan perkara di Villa
Genevi?ve itu?" "Ya," kataku dengan bersemangat. "Ada apa?"
"Belumkah Tuan mendengar beritanya?"
"Berita apa?" "Bahwa semalam ada pembunuhan lagi di sana?"
"Apa?" Kutinggalkan sisa sarapanku, kusambar topiku lalu aku berlari secepat-cepatnya.
Ada pembunuhan lagi, padahal Poirot tak ada. Berbahaya sekali. Lalu siapa yang
terbunuh" Aku berlari memasuki pintu pagar. Sekelompok pelayan berdiri di jalan masuk
mobil, sambil bercakap-cakap dengan disertai gerakan-gerakan tangan. Lengan
Fran?oise kutangkap. "Apa yang telah terjadi?"
"Oh, Tuan, Tuan! Suatu pembunuhan lagi! Mengerikan sekali. Rumah ini sudah kena
kutukan rupanya. Ya, saya yakin pasti sudah dikutuk! Seharusnya dipanggil pastor
dengan membawa air suci. Satu malam pun saya tak mau lagi tidur di bawah atap
rumah ini. Mungkin nanti giliran saya pula, siapa tahu?"
Dia membuat salib. "Ya," teriakku, "tapi siapa yang terbunuh?"
"Mana saya tahu. Seorang laki-laki - seseorang yang tak dikenal. Mereka
menemukannya di sana itu - di dalam gudang - tak sampai sembilan puluh meter
dari tempat mereka menemukan jenazah Tuan kami yang malang itu. Dan itu belum
semua. Dia ditikam - ditikam jantungnya, dengan pisau belati yang sama!"
Bab 14 MAYAT YANG KEDUA TANPA menunggu apa-apa lagi, aku berbalik lalu berlari melalui jalan setapak
yang menuju ke gudang. Dua orang yang mengawal di situ menyingkir memberi jalan
padaku, dan aku masuk dengan perasaan kacau.
Di dalam agak gelap. Tempat itu hanya merupakan bangunan kasar dari kayu untuk
menyimpan pot-pot dan alat-alat tua. Aku masuk menerobos saja, tetapi di ambang
pintu aku menahan langkahku, aku terpana melihat pemandangan di hadapanku.
Giraud sedang merangkak lagi. Sambil memegang sebuah senter, diperiksanya setiap
jengkal tanah di situ. Dia mendongak sambil mengerutkan alisnya waktu aku masuk,
lalu wajahnya menjadi agak lembut, tetapi dengan pandangan agak sombong dan
geli. "Nah, ini dia Tuan dari Inggris! Mari masuk. Mari kita lihat bagaimana Anda
menyelesaikan perkara ini."
Aku merasa tersinggung mendengar nadanya, lalu kutundukkan kepalaku dan masuk.
"Itu dia," kata Giraud, sambil menyorotkan senternya ke sudut yang jauh.
Aku melangkah ke tempat itu.
Mayat itu terbujur tertelentang. Panjang tubuhnya sedang saja, kulit mukanya
agak hitam, dan dia mungkin berumur lima puluh tahun. Pakaiannya rapi, memakai
setelan biru, berpotongan bagus dan mungkin dibuat oleh seorang penjahit dengan
bayaran mahal, meskipun pakaian itu tak baru lagi. Wajahnya kaku sekali, dan di
sebelah kiri tubuhnya, tepat di tentang jantungnya, tertancap gagang pisau
belati, hitam dan berkilat. Aku mengenalinya. Belati itu adalah belati yang
terdapat dalam stoples kaca kemarin pagi!
"Saya menunggu dokter yang akan datang setiap saat," Giraud menjelaskan.
"Meskipun sebenarnya kita boleh dikatakan tidak membutuhkannya lagi. Tak perlu
diragukan lagi apa penyebab kematiannya. Dia ditikam di jantungnya, dan
kematiannya tentu terjadi seketika."
"Kapan hal itu terjadi" Semalam?"
Giraud menggeleng. "Saya tak yakin. Saya tak mau mencampurkan hukum pada kesaksian medis, tapi
menurut saya orang ini sudah lebih dari dua belas jam meninggal. Kapan kata
Anda, Anda melihat pisau belati ini terakhir?"
"Kira-kira pukul sepuluh kemarin pagi."
"Kalau begitu saya cenderung untuk menetapkan bahwa kejahatan itu dilakukan tak
lama setelah itu." "Tapi orang tak henti-hentinya lalu-lalang di gudang ini."
Giraud tersenyum tak sependapat.
"Anda membuat kemajuan hebat! Siapa yang mengatakan pada Anda bahwa dia dibunuh
di gudang ini?" "Yah - " hatiku panas. "Saya - berkesimpulan begitu."
Pengelana Rimba Persilatan 14 Sumpah Palapa Karya S D Djatilaksana Kisah Membunuh Naga 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama