K.A. Applegate Senjata Rahasia Cassie (Animorphs # 9) Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 NAMAKU Cassie. Aku tak bisa memberitahumu nama belakangku. Sayang sekali. Soalnya namaku
sebetulnya cukup bagus lho.
Dan aku juga tak bisa bilang di mana aku tinggal atau nama lengkap temantemanku. Kenapa" Karena musuh tak pernah berhenti memata-matai kami.
Musuh. Bangsa Yeerk. Mereka ada di mana-mana.
Bangsa Yeerk: spesies parasit dari planet yang jauh. Tampilan mereka sih cuma
seperti keong abu-abu tanpa rumah. Kau bisa menggilasnya hancur dengan kakimu
dan ia tak akan berdaya mencegahmu.
Tapi kaum Yeerk tidak hidup seperti keong. Seperti telah kubilang tadi, mereka
parasit. Mereka menyusup ke dalam kepala spesies lain, melebarkan diri seperti
kulit martabak, dan membungkus otak spesies yang ditempelinya. Dan kemudian
mereka menguasai spesies itu.
Itulah yang kami sebut Pengendali. Manusia yang sebetulnya sudah bukan manusia
lagi. Atau anggota spesies lain yang sudah dikontrol oleh Yeerk di dalam
kepalanya. Mungkin bagimu ceritaku ini kedengarannya sinting. Kayaknya jika aku jadi kau,
aku juga akan menganggapnya cerita gila. Tapi kadang-kadang hal yang paling gila
sekalipun ternyata benar.
Bangsa Yeerk sudah ada di sini. Di mana-mana. Kalau menurutmu kau tidak kenal
seorang pun Pengendali, mungkin kau keliru.
Sopir mobil jemputan sekolah, polisi dalam mobil patrolinya, penyiar TV,
penyanyi rock favoritmu, orang yang tersenyum padamu saat kau bersepeda
melewatinya - salah satu dari mereka bisa saja Pengendali.
Gurumu, temanmu, adikmu, ayahmu, ibumu. Siapa saja deh. Semua bisa. Dan kau
takkan pernah tahu. Sampai sudah terlambat.
Sampai sudah terlambat bagi planet Bumi.
Kami melawan mereka. Tapi kami cuma segelintir anak ABG - Jake, Rachel, Marco,
Tobias, Ax, dan aku. Kami punya kekuatan ajaib, tapi kami tahu, kami sendiri tak mungkin memenangkan
pertempuran ini. Kami terus bertempur dengan harapan bahwa suatu hari - sesegera
mungkin - kaum Andalite akan datang lagi dan membantu kami.
Seorang pangeran Andalite bernama Elfangor-lah yang memberi kami kekuatan ajaib.
Saat itu ia hampir mati. Ia ingin melakukan sesuatu untuk menyelamatkan umat
manusia yang sudah di ambang malapetaka.
Ia memberi kami kekuatan untuk morph - bermetamorfosis.
Kemampuan untuk menyerap DNA binatang apa saja yang kami sentuh. Kemampuan untuk
berubah wujud menjadi binatang itu.
Maka kami melawan para Yeerk dan Pengendali mereka.
Para Pengendali-Manusia yang mungkin dulunya teman-teman dan saudara kami.
Para Pengendali-Taxxon yang jahat dan kanibal, ulat raksasa dengan mulut
menganga dan bau. Dan makhluk berbahaya, mematikan, tapi dulunya baik, yang disebut Hork-Bajir prajurit-prajurit budak kerajaan Yeerk.
Dan kami bertempur melawan Visser Three. Pemimpin kaum Yeerk yang menyerbu Bumi.
Satu-satunya Pengendali-Andalite yang ada. Satu-satunya Yeerk yang - seperti
kami - bisa berubah wujud.
Visser Three-lah yang menewaskan Elfangor. Ia pembunuh. Penghancur. Makhluk yang
akan menjadikan semua manusia budaknya dan membinasakan planet kita.
Kecuali kalau ada yang bisa mencegahnya.
Kecuali kalau kami bisa mencegahnya.
Kami, lima anak biasa dan seorang anak Andalite bernama Ax, melawan kekuatan
super kerajaan Yeerk. Kami menamakan diri kami Animorphs.
Sebetulnya kami hanya boleh menggunakan kekuatan kami untuk melawan Yeerk. Tapi
ada saatnya kekuatan itu berguna untuk hal-hal lain.
Aku sedang di sekolah bersama sahabatku, Rachel. Kami berada di ruang lab yang
suram dan gelap. Bel pulang sudah berbunyi dan anak-anak berhamburan dengan
kecepatan tinggi, menuju mobil jemputan atau mobil orangtua mereka.
Kau tahu kan, bagaimana keadaannya jika pas pulang sekolah dan kau sudah ingin
pulang. Tapi belakangan ini tugas sekolahku kacau-balau. Soalnya aku sibuk
sekali sih. Ayahku punya Klinik Perawatan Satwa Liar di gudang jerami kami. Aku
membantu di sana, merawat binatang-binatang yang sakit atau terluka. Masih
ditambah lagi dengan urusan Animorphs yang menyita banyak waktu.
Singkat cerita, sekarang aku harus menyelesaikan proyek ilmu alam. Aku membuat
maze - jaringan jalan yang ruwet - untuk tikus yang kuberi nama Courtney.
Kupikir proyek menyelidiki binatang ini akan mudah bagiku. Aku kan sudah pernah
jadi berbagai binatang, lebih banyak jenisnya daripada yang pernah dilihat anakanak lain. Si Courtney diharapkan bisa mencari jalan dan tiba di ujung jaringan jalan. Di
ujung itu sudah kuletakkan kacang-kacangan yang gurih dan harum. Kemudian aku
akan menuliskan laporanku.
Seberapa susahnya sih proyek kayak begitu"
Rachel menatapku. Ia mengentak-entakkan kaki dengan tak sabar. Dipandangnya
arlojinya. Kemudian dipandangnya jam dinding.
"Eh, kau tahu tidak, sudah lewat sepuluh menit dari jam pulang, dan aku masih di
sekolah. Wah, tidak benar nih. Tidak wajar."
"Kenapa sih dia tidak bisa mencari jalan?" tanyaku keras. "Apa sih masalahnya?"
"Tikusnya bloon" Ehm, maksudku, mungkin tikusmu ini tidak terlalu cerdik. Itu
bisa jadi judul kertas kerjamu - 'Tikusku yang Bodoh'."
"Apa sih kesulitanmu?" tanyaku pada si tikus, sama sekali tidak mengacuhkan
Rachel. Kuangkat Courtney dari kandangnya dan kuletakkan di jaringan ruwet
berdinding karton tinggi. "Endus kacangnya. Endus kacangnya, lalu ikuti bau itu
sampai ke ujung jalan."
Courtney menatapku dan menggerak-gerakkan cuping hidungnya.
"Bukan itu jawabannya," kataku. "Aku perlu nilai ini. Bagaimana aku harus
menjelaskan pada orangtuaku bahwa aku dapat D karena kau tidak berhasil mencari
jalan?" "D!" seru Rachel menirukan. "Kaupikir kau akan dapat D" No way."
"Rachel, kaupikir kenapa aku di sini" Karena aku mau cari tambahan nilai dari A
jadi A+" Ya. Aku bisa dapat nilai D gara-gara tikus ini. Orangtuaku pasti akan
ngomel berminggu-minggu. 'Di mana salah kita" Kita gagal sebagai orangtua. Kita
harus menghabiskan lebih banyak waktu bersama Cassie, membantunya mengerjakan PR
setiap malam.'" Rachel bergidik membayangkan masa depan yang menyeramkan itu.
"Hei," kata Rachel. "Gimana kalau kau morph jadi tikus saja" Mungkin kau bisa
tahu apa kesulitannya."
"Bisa sih," kataku pelan. "Tapi kalau Jake sampai tahu... Kau kan tahu
peraturannya: Dilarang bermetamorfosis kecuali kalau perlu sekali."
Rachel mengangkat bahu. "Aku perlu sekali pulang sekarang. Kau perlu sekali
mendapat nilai baik. Jadi... ada dua hal yang perlu sekali, kan?"
Seharusnya tidak kubiarkan diriku terbujuk rayuan seperti itu.
Tapi aku sendiri juga sudah punya pikiran begitu sih. Begitulah asyiknya Rachel,
ia selalu siap membujukmu melakukan perbuatan yang dilarang.
"Kau juga harus jadi tikus," kataku.
"Kenapa" Kenapa aku harus jadi tikus?"
"Ingat tidak, waktu kau mau menakut-nakuti pawang gajah" Saat itu aku kan
membantumu. Lagi pula, kita tak bisa pulang sebelum aku berhasil memecahkan
masalah ini." Rachel memutar-mutar bola matanya. "Oookei. Tidak masuk akal sebetulnya, tapi
apa boleh buat. Ayo berubah, supaya cepat beres."
Menyerap DNA binatang tidak rumit. Kau tinggal menyentuhnya dan konsentrasi pada
si binatang. Binatang itu akan merasa mengantuk, teler. Dalam semenit segalanya
sudah beres, dan pola DNA baru sudah berenang-renang dalam darahmu.
"Kayaknya ini ide tolol deh," komentar Rachel.
Aku sedang menumpuk buku, membuat tangga, agar kami bisa memanjat masuk ke dalam
jaringan jalan jika sudah jadi tikus nanti.
"Yah, ini kan idemu, Rachel."
"Oh, yeah. Ideku. Memangnya aku peduli bagaimana tikus menemukan ujung jalan
yang ruwet itu. Ayo, segera kita bereskan, sebelum ada orang yang mencari-cari
kita," katanya. Ia sudah mulai berubah.
Aku memusatkan pikiran, membayangkan tikus. Dan kemudian... aku merasa mulai
berubah. Aku mengecil. Menyusut dengan sangat cepat. Sebagai manusia, aku tidak terlalu
besar. Malah aku bisa dibilang pendek. Tapi jelas aku jauh lebih besar daripada
tikus, jadi lumayan juga perubahan ukuranku.
T-shirt dan jeans-ku tiba-tiba kedodoran.
Aku memandang Rachel. Misai panjang bermunculan di sekeliling mulutnya yang
masih berbentuk mulut manusia.
Sisi lemari di sebelahku makin lama makin tinggi. Sebetulnya ukurannya cuma
kira-kira semeter. Tapi segera saja lemari itu seolah sama tinggi dengan gedung
bertingkat tiga. Serat kayunya seperti pola pusaran besar, seperti lukisan
dinding yang aneh. Kotak-kotak lantai ukuran tiga puluh sentimeter persegi yang
berwarna hijau kecokelatan serasa dua kali lebih besar, tiga kali, lalu empat
kali, sampai akhirnya masing-masing kotak serasa seluas tempat parkir.
Sementara aku mengecil, pakaianku menggelepar menutupiku seperti tenda sirkus
yang ambruk. Kulitku jadi abu-abu bersemu merah jambu, kemudian tiba-tiba dipenuhi bulu-bulu
putih. Kakiku mengerut. Wajahku menggelembung seperti jerawat yang nyaris
meletus. Hidungku mencuat ke depan, makin lama makin panjang. Mukaku jadi
runcing. Dan kemudian, naluri tikus menggantikan naluriku.
Pendengaranku mendadak jadi tajam, begitu juga penciumanku.
Dan naluri tikus menutupi naluri manusiaku, membawa pesan ketakutan dan lapar
dan ketakutan yang lebih besar.
Chapter 2 MATA tikus tidak lebih tajam dari mataku. Lebih jelek malah.
Seperti mata banyak binatang lain yang pernah kutiru, mata tikus juga lebih baik
untuk melihat gerakan daripada membedakan warna dan bentuk. Tak ada yang
bergerak, jadi penglihatanku seperti... entahlah, yang jelas membosankan.
Tapi aku bisa melihat Rachel dengan cukup jelas. Kami berasal dari DNA tikus
yang sama, jadi pada dasarnya kami tikus yang sama.
Aku bisa melihat ekornya yang pelontos, panjang, dan merah jambu.
Ekor itulah yang membuat orang benci tikus, dan menganggap tupai lebih manis.
Ekor itu, ditambah fakta bahwa tikus kadang-kadang suka menggerigiti manusia.
Pendengaran tikus amat tajam, tetapi penciumannyalah yang luar biasa. Kukedutkan
hidung tikusku yang kecil dan seluruh dunia seakan mengirim pesan padaku.
Aku mencium bau zat-zat kimia dalam lemari. Aku mencium sisa bau keringat
ratusan anak yang pernah melintasi ruangan ini hari ini. Aku bahkan mencium bau
kacang-kacangan yang gurih di dalam jaringan jalanku, di atas meja.
Kurasakan otak tikus dalam diriku sudah lebih menonjol daripada otak manusiaku.
Naluri tikusku mulai menguasai. Aku merasa takut. Bukan takut yang mendadak
seperti yang dirasakan manusia. Melainkan ketakutan abadi binatang kecil dalam
dunia yang penuh pemangsa besar-besar.
Aku juga merasa lapar. Kelaparan seekor binatang kecil yang akan menghabiskan
seluruh hidupnya, setiap menit, untuk mencari makanan.
Aku juga merasakan kecerdasannya.
Kalau kau berubah wujud menjadi binatang, biasanya kau tidak mendapatkan
ingatannya, tapi kau memperoleh nalurinya.
Kemampuan dasarnya. Tikus yang ini sangat gugup. Ia takut berada di tempat terbuka.
Ia ingin berada di dekat dinding sehingga musuh akan lebih sulit menyerangnya.
Kuanggap itu bukan naluri yang jelek.
dengan bahasa pikiran. < Oh, ya, tentu saja,> ia setuju.
Kaki-kaki tikus kami yang kecil segera beraksi dan bergerak pergi. Sebetulnya
sih tidak cepat, tapi terasa cepat sebab kami berada begitu dekat dengan lantai.
Hidungku cuma kurang sesenti dari lantai linoleum.
Sementara aku berjalan kulihat dinding tinggi menjulang di depanku - ternyata
itu sisi-sisi meja lab. Dan aku melihat hutan dengan batang-batang pohon yang
jarang-jarang - sebenarnya sih itu kaki-kaki meja.
Aku meluncur ke sudut tembok, dengan Rachel menguntit di belakangku.
Kemudian kulihat meja yang di atasnya terletak jaringan jalanku. Courtney yang
asli ada di atas sana. Aku mempelajari situasi.
Tubuh tikus ternyata lincah sekali untuk memanjat dan merayap naik ke atas meja.
Kalau melihat tubuhnya yang gemuk pendek dan kakinya yang buntek, pasti kau
tidak mengira tikus bisa memanjat selincah itu. Tapi aku yakin tikus bisa pergi
ke mana saja ia mau. Aku melihat tumpukan buku yang sudah kuatur menyerupai tangga untuk naik ke
dinding luar jaringan jalanku. Sekarang setelah aku jadi tikus, dinding itu jadi
dinding sungguhan. Tingginya serasa tiga meter.
Cepat-cepat aku merayap naik tumpukan buku. Gambar di sampul buku ilmu alamku
kelihatan seperti mosaik raksasa yang terbuat dari ubin berwarna.
Aku tiba di atas dan memandang jaringan jalanku. Aku tahu aku bisa meloncat ke
bawah, ke selasar panjang itu, tapi saat itu aku takut.
Aneh memang, tapi aku cemas kalau-kalau ketemu Courtney yang asli. Aku selalu
merasa aneh saat menggunakan tubuh binatang. Aku merasa sedikit bersalah.
Tapi aku punya tugas. Aku harus mencari jawaban kenapa Courtney tidak bisa
menemukan kacang-kacang itu. Seharusnya ia kan bisa membauinya...
Aku memandang berkeliling, bingung. Kemudian baru kusadari ada tiupan angin.
Kuarahkan mata tikusku ke atas. Di atas sana, serasa berkilo-kilo meter jauhnya,
sejauh bulan, ada kipas angin.
Jika aku punya bibir, pasti aku sudah tersenyum.
Saat aku sedang berpuas diri dengan penemuanku itu, dua hal terjadi bersamaan.
Yang pertama, Courtney - Courtney yang asli - melesat dari sudut jaringan jalan.
Yang kedua, aku mendengar gubrakan keras, raungan tawa, dan dentuman kaki-kaki
yang mendekat. Courtney membeku dan menatapku. Aku balas menatapnya.
Kemudian aku menatap Rachel. Rachel juga membeku, sama seperti aku.
"HEI, LIHAT! ADA TIKUS!" terdengar teriakan keras sekali.
Suara cowok, aku yakin. Aku tidak mengenali suara siapa, tapi aku mengenali
nadanya. Ia sedang cari gara-gara.
"IDIH, JIJIK!" terdengar teriakan lain. "MESTINYA TIKUS DIBASMI. AKU BENCI
TIKUS!" Dua cowok iseng. Dua cowok yang sedang mencari-cari sesuatu yang bisa dirusak
atau dihancurkan. Mereka tentu saja merupakan dua makhluk yang amat sangat besar dibandingkan
dengan kami, tikus-tikus kecil.
Tiba-tiba muncul bayangan! Disusul getaran. Gerakan besar!
DUK! Meja bergetar seperti kena gempa besar!
PLAK! DUK! Ada bayangan yang bergerak cepat, mengarah tubuhku. Aku meloncat!
PLAK! Daun meja melompat akibat kena pukulan tangan si cowok yang jatuh di dekatku.
Animorphs - 9 Senjata Rahasia Cassie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kurasakan jaringan jalanku diangkat, sehingga berubah miring. Kulihat bagian
jaringan jalanku yang semula lantai kini jadi dinding.
Courtney terjatuh dari dalam jaringan itu ke atas meja.
"INI DIA! CEPAT, AMBIL SAPU!"
Gagang sapu. Gagang kayu itu menyapu meja, menghampiri kami.
Aku meloncat. Tikus tidak suka meloncat, tapi kalau terpaksa mereka bisa juga.
Hup! Aku meloncati gagang sapu, dengan Rachel tepat di sebelahku. Aku melihat
Courtney meluncur ke jurusan lain.
Lari! Lari! Lari! Rachel dan aku bergerak dengan kecepatan paling top yang bisa
dicapai tikus. Menuju tepi meja! Rasanya seperti berdiri di lantai atas gedung bertingkat empat.
Lantai di bawah kelihatan jauuuh sekali.
Kemudian muncul bayangan lagi! Sirkulasi udara terhambat!
Tak ada waktu untuk menoleh! Tak ada waktu untuk berpikir!
tempat kami berada tadi. Kami serasa mengawang-awang, lama sekali. Seperti terjun payung. Lantai linoleum
seperti sawah-sawah aneh yang terhampar di bawah kami.
Aku terbanting keras di lantai. Kakiku tidak merasakan akibatnya, karena terlalu
pendek. Perutkulah yang menyangga seluruh beban. Akibatnya aku pingsan.
Saat aku mulai sadar kembali, aku menyadari kedua cowok itu tidak mengejar aku
dan Rachel. Mereka mengurung Courtney di sudut. Menyodok-nyodoknya dengan gagang
sapu.
Rachel memang begitu. Kami berdua paling-paling panjangnya cuma tiga puluh
senti, itu pun kalau panjang ekor dihitung juga. Dan bisanya ia hendak menyerang
cowok-cowok yang seukuran Godzilla.
Tapi tahukah kau" Aku juga sudah capek lari. Dan aku tak mungkin membiarkan
Courtney yang malang dibunuh. Ia bukan sekadar tikus percobaan. Bagiku, sekarang
ia sudah jadi semacam saudara tikus.
Aku mengincar kaki cowok yang paling dekat. Ukurannya sebesar batang pohon
redwood, cuma saja warna batangnya tidak merah melainkan biru. Biru celana
jeans.
Kami menyetir kaki-kaki tikus kami dan meluncur ke depan.
Makin lama makin cepat, secepat kami bisa. Dan ternyata cukup cepat.
Naik ke kaki celana! Sekilas kulihat kulit di atas kaus kaki.
Nah, itu sasaranku. Cakar kecilku mencengkeram kaus kaki olahraga, lalu aku
meluncur naik. Rasanya seperti memasuki terowongan. Kain jeans yang kasar menggores kepala dan
punggungku. Daging merah jambu terasa lunak di bawah tubuhku. Kubenamkan
cakarku, baik yang depan maupun yang belakang, ke kaki besar berbulu itu, lalu
aku meluncur ke bagian belakang kakinya.
"AAAAAAHHHHHH!"
Tiba-tiba saja cowok itu tak tertarik lagi pada Courtney.
"AAAAAAHHHHHH! TIKUSNYA MERAYAP DI KAKIKU! LEPASKAN! LEPASKAAAAN!"
"TIDAAAAK! OH! OH! OH!" cowok satunya menjerit-jerit ketika Rachel menyerang.
terbanting ke dinding celana jeans. Sekuat tenaga aku berusaha bertahan ketika
cowok itu menjerit-jerit sambil berlari dan menggoyang-goyangkan kakinya seperti
orang gila. "AAAAAHHH! AAAAAHHH! AAAAAHHH!"
Kami keluar dari lab ilmu alam, menuju koridor. Kedua cowok itu masih terus
menjerit-jerit. Aku berbalik, dengan susah payah, dan meluncur turun. Lalu meloncat keluar.
Meninggalkan pipa celana, menuju kebebasan.
Yang terakhir kulihat, kedua cowok itu masih berlari dengan panik.
Aku tak pernah melihat Courtney lagi. Kurasa ia sudah menemukan tempat tinggal
di balik dinding sekolah. Tapi paling tidak aku sudah tahu kenapa ia tidak
berhasil menemukan ujung jaringan jalan itu.
Rachel dan aku menemukan tempat yang aman untuk berubah wujud. Kemudian kami ke
rumahnya dan mengeriting rambut adik perempuannya. Kesibukan rutin yang biasa.
Chapter 3 MALAM itu semua datang. Kami biasa berkumpul di Klinik Perawatan Satwa Liar,
yang juga merupakan gudang jeramiku.
Kami berkumpul sekali atau dua kali seminggu. Bisa lebih sering lagi jika sedang
ada "misi" khusus.
Aku kaget ketika Jake menelepon dan memberitahu kami harus berkumpul, karena
pertemuan kami yang terakhir baru dua hari lalu. Dan setahuku kami belum punya
rencana serius. Aku berharap ini cuma pertemuan biasa dan tidak ada hal serius lain. Aku sudah
tak punya waktu luang sama sekali. Sekolah. Hidup.
Yang kayak begitu perlu waktu, kan" Aku sedang membersihkan kandang rakun ketika
teman-temanku mulai berdatangan. Rakun ini tertabrak mobil di jalan raya. Banyak
polisi lalu lintas yang menelepon kami jika mereka melihat ada binatang terluka
di jalan. Rakun ini akan selamat, berkat ayahku. Tapi sementara ini ia harus diberi makan
dan minum, diobati, dan kandangnya harus dijaga agar tetap bersih. Dan semua itu
tugasku. Aku memakai overall kotor dan sepatu bot tinggi dari karet. Tanganku masih
diselubungi sarung tangan karet ketika Rachel muncul.
"Hai, Cassie." "Hai, Rachel." Aku sedang membungkuk, berkonsentrasi membersihkan kadang rakun
itu. Bisa kulihat si rakun sedang berpikir-pikir untuk meloncat ke mukaku dan
mengunyah hidungku. "Jadi, Cassie, kau membeli celanamu itu di Banana Republic" Atau apakah itu mode
terbaru keluaran Express?"
Rachel dan aku bersahabat, tapi kami berdua sangat berbeda.
Kalau kau melihat Rachel lewat, mungkin kau akan berpikir ia tipe cewek ABG yang
biasa berkeliaran di mall.
Jika kau mengamatinya lebih teliti lagi, kau akan berpikir, Tidak. Dia ternyata
sangat cantik, sama sekali bukan tipe ABG yang biasa-biasa saja.
Dan jika kau sekali lagi menatapnya, ia mungkin akan mendatangimu, dan
menantangmu, "Mau apa lihat-lihat" Halo" Ada masalah?"
Rachel bertubuh jangkung, berambut pirang, cantik, dan tak kenal takut. Ia
adalah Xena: Warrior Princess - cuma saja tanpa baju kulit.
Kami pastilah pasangan sahabat yang paling tidak klop sepanjang sejarah. Kalau
habis kehujanan dan basah kuyup sekalipun, Rachel bisa kelihatan seperti para
gadis model di majalah Glamour.
Aku, sebaliknya, akan muncul di hari perkawinanku suatu hari nanti dengan celana
jeans dan sepatu bot serta kaus kaki yang warna-warnanya tidak cocok.
Aku menjauhi kandang rakun. Lalu tersenyum dan berputar agar Rachel bisa
mengagumi seragamku. "Kau suka" Ini seri Kotoran Binatang kreasi Ralph Lauren."
"Suatu hari nanti aku akan menggetok kepalamu, memasukkanmu dalam kantong besar,
menyeretmu ke mall, dan memaksamu membeli gaun. Boleh saja kau tetap menyimpan
sepatu bot karet itu, kalau kau memaksa, tapi kita akan membeli gaun untukmu."
"Kau bercanda, kan?" tanyaku pada Rachel. Dengan Rachel kau tak pernah bisa
yakin. Ia cuma tersenyum, memamerkan giginya yang putih cemerlang.
Aku mendengar suara sepeda disandarkan di dinding gudang. Kemudian kudengar
suara cowok. "Batman bisa mengalahkan Spiderman" Mana mungkin aku percaya" Sinting kau.
Kukira aku mengenalmu, Jake, tapi ternyata kau idiot. Jangan tersinggung lho.
Pokoknya Spiderman akan memusnahkan Batman."
Itu Marco. Begitulah kalau Marco - yang biasa kocak - sedang serius.
"Dua kata: baju baja. Jaring Spiderman tidak akan bisa menempel di baju baja
Batman. Homer, minggir, Homer. Kau tak boleh masuk."
Itu pasti Jake. Dan Homer, anjingnya. Homer tidak boleh masuk gudang. Sebagai
anjing, Homer mengira semua binatang kecil di dunia diciptakan untuk dikejarkejar. Jake dan Marco masuk melalui pintu kecil di samping gudang. Jake memimpin di
depan, seperti biasa. Jika kami, Animorphs, punya pemimpin, Jake-lah orangnya. Ia kuat, luar-dalam.
Dan kece. Juga luar-dalam. Maksudku, ia cowok yang oke banget.
Jake terpaksa jadi dewasa dalam waktu sangat singkat. Aneh memang sebagai anak
harus bersikap seperti jenderal atau pemimpin besar. Hal-hal besar memang kami
putuskan bersama. Tapi jika kami sedang bertempur, sering kali Jake-lah yang
harus mengambil keputusan-keputusan kecil. Keputusan-keputusan kecil yang bisa
menentukan salah satu temannya hidup atau mati.
Aku tersenyum sendiri menyadari bahwa Jake masih bisa menikmati debat konyol
seperti itu dengan Marco. Aku mencemaskan beban yang harus dipikul Jake.
Jake dan aku adalah... kau tahu sendirilah. Kami saling menyukai. Maksudku ada
rasa, begitu. Marco menyusul di belakang Jake. Ia lebih kecil daripada Jake, dengan rambut
lebih panjang dan lebih hitam, mata gelap yang penuh tawa, dan sikap periang.
Marco berpendapat dunia ini tempat untuk melucu. Marco tetap akan melawak bahkan
pada saat ia sedang luka parah, ketakutan, dan kesakitan. Tapi ada saatnya
ekspresi keraguan menghilang dari matanya dan mata itu menjadi berkilat
berbahaya. "Cassie," sapa Marco, "kau kelihatan cantik seperti biasa. Penggunaan kotoran
binatang sebagai nama koleksi mode menunjukkan kau ini orang yang berselera
tinggi." Kemudian ia ganti menatap Rachel dan mengernyit. "Astaga! Setiap kali melihatmu,
kau ini tambah tinggi. Berhenti deh. Berhenti tambah tinggi."
Rachel membelai kepala Marco. "Jangan kuatir. Aku tidak memandang rendah kau
karena kau pendek, Marco. Aku memandang rendah kau hanya karena kau adalah kau."
Marco mencengkeram dadanya, pura-pura sakit. "Aduuuh! Dan Xena kembali menusukku
dengan tombaknya." "Hai, Jake," sapaku, tanpa mengacuhkan gurauan Marco-Rachel yang biasa.
"Hai, Cassie," katanya. Ia menghadiahiku senyumnya yang jarang muncul. "Eh, aku
dengar cerita aneh nih. Ada dua cowok yang ngotot bilang mereka diserang
sepasang tikus laboratorium."
"Masa" Aku kok tidak dengar," kataku, berusaha agar suaraku tidak berubah
nyaring dan aneh, seperti yang biasa terjadi kalau aku sedang berbohong.
Jake menaikkan sebelah alisnya dan aku cepat-cepat kembali membersihkan kandang.
"Kenapa kita berkumpul?" tanya Rachel langsung ke sasaran.
Jake mengangkat bahu. "Tobias yang memintaku mengumpulkan kalian. Dia dan Ax mau
menyampaikan sesuatu."
Saat itu juga kami mendengar kepakan sayap. Seekor elang melesat masuk lewat
lubang di atap. Ia membelok tajam, mengurangi kecepatan, memajukan cakarnya,
lalu dengan mulus hinggap di palang langit-langit.
Seekor elang ekor merah. Sebagian besar punggungnya berbulu cokelat tua, dan di
bagian perutnya lebih muda. Namanya didapatnya dari bulu-bulu ekornya, yang
berwarna kemerahan. Elang itu menatap kami dengan matanya yang tajam dan berwarna cokelat keemasan.
kami. "Hai, Tobias," balasku.
Tobias adalah anggota kelima dalam grup kami, meskipun ia sudah tidak sepenuhnya
lagi manusia. Soalnya begini, kalau kau berada dalam bentuk metamorfosis selama
lebih dari dua jam, kau akan terperangkap, tak bisa berubah menjadi manusia
lagi. Dalam pikiran dan hatinya, Tobias masih manusia - sering kali. Tapi tubuhnya
tubuh elang. Ia juga hidup sebagai elang.
"Hai, Tobias," kata Rachel. "Kukira kau akan mampir semalam."
Tobias kadang-kadang mengunjungi Rachel. Ia terbang masuk ke kamar Rachel di
loteng, lalu nonton TV atau membaca. Melakukan hal-hal yang tak bisa
dilakukannya di alam terbuka. Hal-hal yang biasa dilakukan manusia.
Dibandingkan Ax, Tobias masih lebih manusia. Ax ini Andalite.
"Ngomong-ngomong tentang Ax, apakah dia akan datang?" tanya Jake.
"Mengawasi apa?" tanya Marco, mulai kedengaran tak sabar.
Tobias melayang, turun mendekat. Ia mendarat di atas pintu salah satu kandang.
Diperiksanya kandan-kandang. Saat itu, selain rakun, kami juga merawat seekor
rubah, dua ekor serigala, berbagai jenis kelelawar, landak yang cakep, sepasang
kelinci besar, seekor rusa yang diterkam beruang, beberapa merpati, seekor
angsa, angsa berleher panjang, serombongan walet, seekor burung hitam yang
cantik, dan seekor burung hantu.
"Dia sudah sehat, jadi kami lepaskan dia." Soalnya rajawali emas kadang-kadang
membunuh dan memakan elang. "Kami melepasnya jauh di perbukitan. Jauh dari
daerahmu, Tobias." Tobias tidak kelihatan senang.
Tapi wajah Tobias kan wajah elang, jadi tampilannya ya kayak begitu, galak
terus. Dulunya ia cowok manis yang lembut. Ia berkenalan dengan Jake ketika Jake
membebaskannya dari cowok-cowok sangar yang akan membenamkan kepalanya di
wastafel.
"No way!" Yang lain sih tidak sepanik aku.
"Jadi, kenapa?" tanya Marco.
"Jadi habitat akan dihancurkan! Jadi binatang-binatang tak akan punya tempat
tinggal lagi! Jadi pohon-pohon tua yang berharga akan ditebang dan dijadikan
tripleks!" seruku. "Jadi begitu."
Marco mengernyitkan dahi. "Dan aku harus peduli... kenapa?"
Aku sudah hendak menjawab, tapi Tobias memotongku.
"Yah, mestinya perusahaan kayu," Marco mengusulkan.
kauduga. Hanya saja yang ini ada istimewanya.>
"Apa istimewanya?" tanya Jake.
mendekat, rasanya seperti menabrak tembok. Lagi pula ada pasukan bersenjata yang
berjaga pada jarak tertentu di sekeliling bangunan, dan berpatroli di jalan yang
menuju ke sana.> "Oh," komentar Jake.
"Yeerk?" tanya Rachel. "Tapi ngapain kaum Yeerk menebang hutan segala?"
Aku tahu jawaban pertanyaan Rachel itu. Rencana para Yeerk itu amat jelas.
"Mereka ingin menghancurkan habitat," kataku.
"Apa" Sekarang Yeerk berkeliaran untuk membasmi rusa dan burung hantu?" tanya
Marco sambil tertawa melecehkan.
"Tidak," kataku. "Bukan habitat burung hantu yang ingin mereka hancurkan. Mereka
mengincar spesies lain."
Chapter 4 "JADI para Yeerk ada di dalam hutan kita. Bagus," kata Rachel yang selalu
antusias jika menghadapi bahaya. "Ayo, kita tengok."
"Kalau ini operasi bangsa Yeerk, sebaiknya kita hati-hati," kata Marco. "Mereka
kan sudah menunggu-nunggu kita."
Marco mengangguk. "Begini. Para Yeerk mengira kita ini makhluk Andalite. Iya,
kan" Mereka pikir hanya Andalite yang bisa bermetamorfosis. Mereka mengira
hutanlah satu-satunya tempat yang dapat dipakai untuk bersembunyi serombongan
Animorphs - 9 Senjata Rahasia Cassie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Andalite. Kita jujur saja - jika kita benar-benar Andalite, mana mungkin kita
mampu mengontrak rumah."
"Jadi kita tinggal di dalam hutan. Persis seperti yang dilakukan Ax sekarang."
Jake mengangguk. "Mereka ingin menggunakan penebangan hutan ini sebagai kedok
untuk berburu Andalite."
"Betul. Itu berarti mereka mengira kita ada di dalam hutan. Jadi mereka harus
bersiap-siap jika sewaktu-waktu diserang. Mereka sudah siap menerima serombongan
binatang aneh yang akan muncul."
Aku sependapat dengan Marco. Tapi ada satu pertanyaan yang menggangguku.
"Bagaimana mungkin mereka bisa mendapat izin menebang pohon di hutan nasional?"
Marco membelalakkan mata, seakan aku ini tolol banget. "Siapa peduli"
Kenyataannya mereka punya izin."
"Kalau kita mau melihat tempat itu, kita tak bisa muncul dalam satu grup," kata
Jake. "Kita bagi dalam dua rombongan. Dalam morph yang berbeda. Kita lihat saja
apa yang bisa kita lihat, tapi kita tak akan berbuat apa-apa. Setuju?"
Semua mengangguk. "Jadi, kalau semua setuju, aku akan jalan dengan Rachel. Aku akan berubah jadi
burung peregrine falcon. Rachel, kau bisa berubah jadi elang bondol. Tobias akan
mengantar kita. Jadi kita akan punya tiga pasang mata supertajam untuk
mengintai. Cassie, kau jalan dengan Marco. Cari bentuk metamorfosis lain."
"Kenapa aku tak boleh jalan dengan Rachel?" tanyaku.
Bukannya aku tak suka pada Marco. Tapi kadang-kadang ia membuatku senewen.
"Karena kau dan Rachel akan saling membujuk untuk melakukan hal-hal yang bisa
membahayakan," jawab Jake.
Ia tahu soal tikus itu. Ia pasti tahu. Tapi aku tetap merasa kurang sreg. "Oh,
maksudmu seperti kau dan Marco yang saling membujuk untuk melakukan hal-hal
aneh?" Jake mengangguk dan mengedip padaku. "Bisa dibilang begitu. Yap. Tepat sekali."
Sepuluh menit kemudian, Marco dan aku berjalan menyeberangi lapangan di tanah
pertanianku, menembus rumput-rumput tinggi, menuju ke tepi hutan.
Hutan ini luas. Terhampar sampai ke pegunungan. Beribu-ribu, mungkin bahkan
berjuta-juta kilometer persegi pohon cemara, ek, dan birch terhampar dari atas
pegunungan sampai ke pinggir kota. Tanah pertanian kami persis di tepinya.
Seperti juga banyak tanah pertanian lain. Juga beberapa kompleks perumahan baru.
Sore ini cerah, jadi pegunungan tampak merah jambu keunguan diterpa cahaya
matahari terbenam. Angin sejuk berembus, membawa aroma bunga-bunga liar. Dua
ekor kuda kami sedang merumput dekat pagar. Di sini aman, maka kami membiarkan
kuda-kuda berlari lepas jika cuaca sedang baik.
Tentu saja, sekarang setelah serigala kembali dilepas ke dalam hutan, kami
mungkin harus mengubah kebiasaan itu. Segerombolan serigala bisa merobohkan kuda
sehat yang paling kuat sekalipun. Aku tahu. Aku kan sudah pernah jadi serigala.
Dan sebentar lagi aku akan jadi serigala lagi.
Tahu-tahu kami sudah tiba di tepi hutan. Sesaat tadi kami masih menginjak
rumput, langkah berikutnya kami sudah menginjak cemara dan daun-daun yang
berguguran. Di bawah pohon-pohon suasana lebih gelap. Dan semakin kami masuk ke dalam hutan,
semakin gelap. Aku menengadah. Masih kulihat langit yang biru. Tapi matahari
sudah mulai turun dan malam kian menjelang. Makhluk-makhluk siang sudah mulai
menghentikan kegiatan mereka, dan makhluk-makhluk malam mulai membuka mata.
"Sebaiknya kita berubah wujud sekarang," usul Marco.
"Ya. Sebagai serigala kita akan bisa bergerak lebih cepat," aku menyetujui.
Marco menyeringai padaku. "Pernahkah kau merasa ngeri" Soal metamorfosis ini,
maksudku" Aku masih ingat yang pertama kali. Rasanya aneh sekali."
"Sekarang pun masih aneh," kataku.
"Bahkan bagimu?"
"Kenapa bagiku tidak?" tanyaku.
Marco mengangkat bahu. "Kau kan ratu metamorfosis."
Aku tertawa. "Jangan begitu dong. Kan kita semua masih belajar."
"Yeah, tapi bahkan Ax pun bilang kau punya bakat khusus. Kayaknya kau bisa lebih
mengendalikan, atau entah apa. Dia bilang kau bahkan lebih pandai
bermetamorfosis daripada dia sendiri."
"Bukan berarti kengeriannya jadi berkurang," kataku. "Maksudku, kita berdua di
dalam hutan, matahari mulai terbenam, dan aku siap-siap berubah jadi serigala.
Ini kan seperti film horor."
"Film Manusia Serigala."
"Sepasang Manusia Serigala."
Kami menyembunyikan pakaian luar kami di bawah semak, lalu mulai
bermetamorfosis. Kupusatkan pikiran pada serigala yang DNA-nya sudah menjadi
bagian tubuhku. Marco dan aku sebetulnya serigala kembar. Kami berdua menyadap
DNA serigala betina yang sama.
Kurasakan mulutku makin memanjang. Tulang-tulang berkeretak ketika mulut
manusiaku yang kecil dan lemah berubah menjadi moncong serigala yang kuat dan
bergigi tajam. Mulut dan gigi manusiaku nyaris tak bisa dipakai menggigit daging
panggang yang alot. Namun moncong serigala bisa merobek leher rusa yang merontaronta. Gusiku gatal ketika gigi-gigiku bertambah panjang.
"Lihat" Ihu makhudku," kata Marco. Ia berusaha bicara padahal lidah dan bibir
manusianya mulai hilang. Beberapa detik kemudian ia sudah bisa beralih ke bahasa
pikiran.
Aku sudah berhasil mengatur proses metamorfosisku sehingga kepala serigala sudah
muncul sempurna sebelum bagian tubuhku yang lain berubah. Tubuhku cewek
seutuhnya, dengan kepala serigala yang berbulu menempel di atas bahuku.
Proses metamorfosis kami berlanjut. Kakiku bertambah kecil. Tapak kasar
menggantikan kakiku. Bulu di tubuhku bertambah panjang dan kasar, berwarna
keabu-abuan. Aku ambruk ke depan, berdiri di atas empat kakiku. Aku tak sanggup lagi berdiri
tegak hanya dengan dua kaki.
Naluri serigala mulai muncul, tapi aku sudah pernah menjadi serigala sebelumnya,
jadi dengan mudah bisa kukendalikan.
Kemudian indra serigala juga muncul, menggantikan indra manusiaku.
Hutan menjadi tempat yang sama sekali lain bagi serigala. Seakan dalam sekejap
aku dipindahkan ke tempat yang sungguh berbeda.
Telinga manusiaku hampir tak menangkap apa-apa, hanya tiupan angin, cicit
serangga, dan gesekan dedaunan. Tapi telinga serigala menangkap segalanya.
Mereka mendengar langkah binatang besar berkaki empat kira-kira seratus meter di
sebelah kanan. Mereka mendengar bajing yang sedang menggerigiti biji pohon ek
dalam sarang mereka, tinggi di atas pohon. Mereka mendengar serangga merangkak
di bawah tumpukan daun cemara yang gugur. Mereka mendengar deru mobil di jalan
raya yang jauh. Dan kemampuan telinga itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan indra
penciumannya. Begini kira-kira. Dalam soal penciuman, semua manusia boleh dikatakan buta. Kita
tidak mencium bau apa-apa. Yah, mungkin kita mencium harum bunga jika bunga itu
didekatkan ke hidung kita, atau aroma kue cokelat yang sedang dipanggang. Tapi
kita sebetulnya bodoh dalam soal penciuman.
Serigala-lah makhluk jenius dalam hal penciuman. Wah, susah dibayangkan deh.
Susah banget membayangkan bagaimana rasanya punya hidung serigala. Ibarat orang
yang tadinya buta, tapi kemudian mendadak saja bisa melihat.
Serigala bisa mencium bau kuda di ladang kami. Ia tidak hanya mencium bahwa itu
bau kuda, tapi ia juga bisa mengenali bahwa kuda itu dewasa dan sehat. Serigala
bisa mencium aroma semua bunga, semua pohon, semua daun, semua jamur. Ia bisa
membaui air di tiga lokasi yang berbeda dan tahu sungai mana yang airnya paling
segar dan manis. Serigala mencium bau seekor bajing tanah, selusin tupai, tikus, celurut, rusa,
burung gereja yang sudah mati, seekor rakun... tidak, dua ekor rakun.
Dan ia juga mencium bauku. Maksudku, ia mencium bauku yang ada di pakaian yang
kulepas sebelum berubah wujud tadi. Ia mencium bau semua burung dan binatang
yang ada di gudangku yang pernah kusentuh, atau bahkan yang kandangnya cuma
kulewati saja. Ia bisa mencium jejak bebauan yang sudah berusia tiga hari. Bau orang yang
pernah berjalan di hutan ini berhari-hari sebelumnya.
Juga bau serigala lain, serigala jantan tua, yang pernah lewat. Bau anjing,
kucing, dan sampah. Dan bau sangat aneh yang kusadari pastilah bau Andalite - Ax.
Kalau semua itu kausatukan dalam kepalamu - indra penciuman dan pendengaran rasanya seakan seluruh dunia di sekitarmu menggeliat, menggelegak, dan meledak
dengan kehidupan.
Serigala senang berlari. Chapter 5 SERIGALA jago lari. Serigala sanggup lari sepanjang malam, tanpa berhenti atau
mengurangi kecepatan atau istirahat.
Kami - Marco dan aku - berlari, meloncati batang-batang pohon tumbang,
menghindari pepohonan dan onak duri. Menyeberangi padang rumput yang masih
tersiram cahaya matahari, dan dalam naungan kegelapan pohon-pohon pinus yang
tinggi. Kami berkecipak riang menyeberangi anak sungai dan merayap mendaki bukit karang.
Sementara kami berlari, semua indra kami bekerja. Kepala kami dipenuhi bebauan,
suara-suara, dan pemandangan. Tak ada sesuatu pun dalam jarak seribu meter yang
tak kami ketahui. Kami seakan dihubungkan dengan sumber data alam itu sendiri.
Kami sudah mencium bau pusat penebangan kayu itu jauh sebelum kami tiba di
tempat itu. Kemudian kami mendengar bunyi mesin. Dan gumam percakapan. Suara
manusia. Kemudian kami diingatkan bahwa kami bukan satu-satunya pemangsa berindra
supertajam di hutan ini.
Aku berhenti berlari dan mendongak seakan siap melolongi bulan purnama. Di
antara rimbunnya dedaunan aku melihat sepotong langit. Dan jauh di atas langit
itu kulihat tiga titik hitam.
Tobias, Jake, dan Rachel, melayang kira-kira lima ratus meter di atas. Bahkan
dalam cahaya yang mulai memudar mereka masih bisa melihat kami dari dalam perut
awan.
Tobias.
Tobias tertawa.
Marco dan aku berlari lagi, tapi lebih pelan daripada sebelumnya.
Lebih- hati-hati. Dari antara pepohonan kami mulai melihat cahaya. Cahaya buatan manusia.
Pelan-pelan kami mengendap maju, bahu direndahkan, kepala ditundukkan, telinga
ditegakkan, mengendus-endus udara, mencari pertanda.
Bangunan pusat komando itu lebih besar daripada yang kelihatan semula. Terbuat
dari kayu, seperti pos komando penjaga hutan. Bertingkat dua, dengan beranda di
depan. Di tingkat bawah, tak ada jendela di bagian samping dan belakang bangunan. Sama
sekali tak ada. Di tingkat atas ada jendela, tapi semua gelap. Terlalu gelap
bagi kami untuk bisa melihat ke dalam.
Lampu-lampu sorot sangat menyilaukan dipasang di atas bangunan. Hutan telah
dibabat sekitar tiga kilometer di sekeliling bangunan, dan tanah yang kosong itu
terang benderang seakan disinari cahaya matahari di hari cerah.
Sekitar selusin peralatan berat berjajar rapi. Pengeruk tanah, derek yang
berbentuk aneh, truk, dan beberapa alat mengerikan yang kelihatan seperti mainan
anak-anak berukuran raksasa. Kurasa alat itu digunakan untuk memotong pohonpohon. Indra serigalaku yang tajam menangkap beberapa orang berjalan mengelilingi tanah
kosong itu. Jarak mereka masing-masing sekitar lima puluh meter dan mereka
tampaknya sangat waspada.
Yang paling dekat lewat di depan kami. Marco dan aku merunduk rendah di balik
batang-batang pohon, tak bergerak.
Orang itu memakai seragam kecokelatan. Pipa celananya dimasukkan ke sepatu bot
tinggi. Ia menyandang senapan otomatis.
Kuarahkan telingaku ke bangunan itu, tapi tak terdengar suara apa pun dari
dalam. Ada dua kemungkinan. Di dalam memang tak ada orang atau bangunan itu
kedap suara.
melakukan sesuatu yang berbeda. Maksudku, manusia normal pun kadang-kadang
bertingkah aneh. Tidak semua orang aneh itu Pengendali.>
tak kelihatan.>
yang hati-hati dan mencuri-curi.
Aku mengerling Marco. Kulihat telinganya juga tegak.
Tapi dalam hal ini aku lebih mempercayai naluri manusiaku.
< Uh-oh, > kata Marco.
Cahaya menyilaukan! Cahaya di mana-mana. Di mana-mana! Mendadak seluruh dunia terang benderang.
Aku merasa seakan seluruh dunia bisa melihatku.
BLAM! BLAM! BLAM! Terdengar bunyi tajam ledakan dari arah atas pepohonan di sekeliling kami. Aku
mendongak. Ada yang jatuh.
Jaring! Jaring baja lebar meletup dari atas pepohonan, jatuh ke arah kami. Di ujungujungnya tampak alat pemberat.
lari.... Bebas! Jaring itu menggores punggungku. Tapi aku berhasil lolos!
TSEWWW! TSEWWW! Sinar merah terang meluncur dari jendela gelap di lantai atas bangunan kayu.
Sinar itu menghantam dasar pohon yang berjarak lima belas senti dari tempatku.
Kayunya langsung menguap. Lubang bergaris tengah lima belas senti menembus
batang pohon itu. Sinar Dracon! Aku mulai berlari. Tapi ada yang tak beres. Marco! Di mana dia"
Aku berbalik dan mencari-cari. Ya ampun! Marco ada di bawah jaring! Ia keberatan
dan merangkak dengan perutnya, mencoba keluar.
Aku berlari mendekatinya.
TSEWWW! TSEWWW! Sinar Dracon, hampir tampak pucat di tengah terang benderangnya hutan, berkalikali menembak. Kucengkeram tepi jaring dengan moncongku dan kuangkat.
Berat sekali. Pantas saja Marco harus merangkak.
Animorphs - 9 Senjata Rahasia Cassie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
TSEWWW! TSEWWW! Aku tak kuat lagi mengangkat tepi jaring. Rahangku sakit semua. Leherku pegal.
Marco merangkak, tapi majunya sedikit sekali.
Sinar Dracon makin lama makin mendekati sasaran.
Dan sekarang aku bisa melihat ke mana perginya para penjaga.
Mereka berlari-lari dari arah hutan ke arah kami. Setengah lusin laki-laki yang
menyandang senjata otomatis. Sungguh pemandangan yang amat mengerikan, melihat
bayang-bayang mereka bagai raksasa yang tingginya mencapai puncak pohon.
Kemudian muncul sesuatu yang cepat. Lebih cepat daripada serigala. Lebih cepat
daripada manusia. Tubuhnya seperti rusa. Seperti kuda. Wajah tanpa mulut, mata di ujung tanduk,
ekor seperti ekor kalajengking. Makhluk yang tak ada duanya di Bumi ini. Makhluk
itu melesat ke arah kami.
Bunga api memercik ketika ujung ekor yang tajam itu menyabet jaring, membuat
robekan lebar tepat di depan moncong Marco.
itu dan langsung lari. Aku mengikuti di belakangnya. Serigala memang larinya
cepat. Tapi serigala yang ketakutan dan punya otak manusia yang ketakutan di
kepalanya, bisa berlari luar biasa cepatnya.
Kami berlari secepat kilat, dengan Ax di samping kami.
DORDORDORDORDORDORDORDOR!
Itu bukan sinar dracon, melainkan tembakan senapan. Bunyinya lebih bising
daripada kalau di film. Dan jauh lebih mengerikan daripada di film kalau sasaran tembakan itu adalah
kau. Yang jelas, ditembaki sama sekali lain daripada nonton film.
Dua ekor serigala dan satu Andalite memecahkan rekor kecepatan berlari dengan
kabur dari tempat itu. Chapter 6 "OKE, kurasa pertanyaan apakah itu tempat penebangan hutan biasa sudah
terjawab," kata Marco.
Kami telah tiba di tepi hutan, dekat tanah pertanianku. Marco dan aku sudah
berubah menjadi manusia lagi. Rachel dan Jake terbang turun dan bergabung
bersama kami. Tobias hinggap di cabang rendah.
Ax berdiri di dekat kami. Kedua mata tanduknya bergerak ke kanan dan ke kiri,
memandang ke dalam hutan gelap di sekeliling kami. Kedua mata utamanya bertemu
pandang dengan mataku. "Eh, Ax, terima kasih, ya," kataku.
"Yeah, trims," Marco menambahkan. "Kalau tak ada kau, aku sudah disandera mereka
deh. Ekormu yang tajam itu sungguh luar biasa."
jendela atas. Tapi jaring kan primitif banget, makanya lolos dari pengamatanku.>
Ax, seperti semua Andalite, tak bisa bicara. Mungkin karena mereka tak punya
mulut. Bahasa pikiran adalah bahasa nasional mereka.
Dari dekat ia kelihatan seperti campuran rusa dan kuda, serta manusia dan
kalajengking. Seperti makhluk centaurus dalam dongeng.
Tubuh bagian atasnya seperti tubuh cowok. Ia punya dua tangan yang kelihatannya
lemah dan kepala yang punya dua tanduk yang bisa bergerak. Masing-masing tanduk
ada matanya. Mata itu waspada terus, memandang ke kanan, ke kiri, dan ke
belakang. Susah sekali kalau kita mau menyerang Andalite dari belakang.
Tubuhnya diselubungi bulu berwarna cokelat keunguan. Bulunya pendek di bagian
atas tubuhnya yang seperti tubuh manusia, dan lebih panjang di bagian tubuh
rusanya. Bagian bawah keempat kakinya hitam dan tajam.
Tapi ekornyalah yang menarik perhatian. Ekor itu cukup panjang, sehingga ia bisa
mengayunkannya melewati atas kepalanya dan menyabet orang yang berdiri di
depannya. Ujung ekor itu tajam melengkung.
"Tak seorang pun dari kita melihat jaring itu," kata Jake. "Jadi, pasti jaring
itu sangat tersembunyi."
"Rupanya mereka sudah menunggu kita," kata Marco. "Jadi jelas ini operasi Yeerk.
Kurasa mereka sebetulnya cuma pura-pura saja melakukan penebangan hutan ini.
Tujuan utamanya adalah menjaring kita."
"Setuju," kata Rachel tegang. "Mereka mengira kita Andalite. Mereka tahu kita
selama ini melakukan perlawanan dari sekitar sini. Mereka menyimpulkan kita
pasti bersembunyi di hutan ini."
"Mereka hampir benar," kata Jake. "Ax dan Tobias memang tinggal di hutan. Dan
kita memang memanfaatkan hutan ini. Untuk tempat berubah wujud, misalnya."
"Kalian tahu tidak, kita bukan satu-satunya yang kena dampaknya kalau hutan
ditebang." Mereka semua kelihatan bingung.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Maksudku, seandainya Tobias dan Ax tidak tinggal
di sini pun, hutan ini tetap penting. Muak aku memikirkan orang-orang itu
menebang pohon-pohon ini."
"Aduh, tolong deh. Jangan jadi Earth Mother dulu, oke?" kata Marco, yang memang
sering meledekku Ibu Bumi. "Aku nyaris saja kena panggang sinar Dracon. Itu kan
bukan untuk menyelamatkan si kijang Bambi?"
"Begini, Marco, kita bukan satu-satunya binatang yang ada di sini. Kita, lebih
dari orang-orang lain, harus memahami hal itu."
"Cassie, siapa sih yang peduli soal-soal begitu" Kita berjuang untuk
menyelamatkan bumi kita dari bangsa Yeerk. Siapa peduli pada lingkungan, cinta
tanaman, atau program daur ulang?"
"Aku peduli," sahutku.
"Yah, itu urusanmu," kata Marco. "Aku sendiri cuma peduli pada sekelompok Yeerk
yang membangun benteng di dalam hutan dan mereka akan membabat hutan ini untuk
mencari kita." Aku sudah hendak menjawab, ketika Jake mengangkat tangan.
"Kalau Cassie mengkhawatirkan soal penebangan hutan, boleh saja. Kalau Marco
mencemaskan keselamatan dirinya, juga boleh saja. Semua itu tidak penting.
Maksudku, apa pun alasannya, kita semua mau mencegah tindakan mereka. Betul,
kan?" Ia memandang Marco, kemudian menatapku. Saat itu aku sakit hati pada Jake.
Maksudku, aku mengerti ia harus mempertimbangkan ide semua orang secara adil.
Tapi tetap saja kelihatannya ia menyetujui pendapat Marco bahwa tidak apa-apa
jika hutan dibabat, asal saja kami selamat.
Aku menoleh pada Rachel untuk minta dukungan, tapi ia malah memandang ke tanah.
Oh, bagus, pikirku. Bahkan Rachel pun berpendapat aku salah.
"Dan tepatnya, bagaimana kita melakukannya?" tanya Marco. "Tempat mereka itu
betul-betul Benteng Malapetaka."
"Kita robohkan" Atau kita ledakkan?" Rachel bertanya-tanya.
"Kita rampas beberapa peralatan berat mereka dan kita tabrakkan ke bangunannya?"
Marco mengusulkan. "Kita sudah kalah duluan karena tak bisa mengejutkan mereka. Mereka tahu kita
akan datang. Mereka tahu cepat atau lambat kita akan menyerang mereka."
terhalang oleh pagar tak kelihatan itu dan kemudian dicabik-cabik oleh sinar
Dracon.> Rachel mengatupkan bibirnya sampai jadi garis lurus. "Jadi kita menyerah begitu
saja" Begitu rencananya" Kita biarkan mereka menebangi pohon-pohon sampai
akhirnya mereka menemukanmu, Ax, atau Tobias?"
Ax tak bisa menjawab. "Kalian tahu, aku tak bermaksud pidato seperti pencinta lingkungan yang bloon
atau semacamnya," kataku sinis. "Tapi pertanyaannya adalah, bagaimana kaum Yeerk
itu berhasil mendapatkan izin menebang pohon di hutan nasional?"
"Memangnya informasi itu bisa membantu?" tanya Marco, lebih sinis dari
sebelumnya. "Karena kadang-kadang, Marco, ada cara-cara lebih halus untuk melakukan sesuatu.
Kaum Yeerk tidak menguasai seluruh jajaran pemerintahan. Setidaknya, belum. Jadi
mereka harus punya izin resmi. Kalau mereka tak punya izin, mereka akan
dikerubuti polisi, agen federal, dan reporter-reporter TV. Mereka kan tidak mau
itu terjadi." Marco sudah hendak berkomentar lagi. Tapi kemudian ia cuma bilang, "Oh."
Jake mengangkat sebelah alis, memandang sahabatnya. "Jadi, Marco, itulah
sebabnya Cassie lebih menyenangkan daripada kau. Dia bisa saja bilang, 'Mereka
kan tidak mau itu terjadi, tolol!'"
Di luar keinginannya, Marco tersenyum.
Jake mengedip padaku, dan aku memaafkan sikapnya tadi yang seakan membenarkan
Marco. "Menurutmu, apa yang harus kita lakukan?"
Aku mengangkat bahu. Aku tak suka memikirkan hal-hal yang bisa berakhir dengan
orang-orang terluka atau bahkan terbunuh.
"Kurasa... maksudku, oke, ehm... Oke, begini, kaum Yeerk pasti punya koneksi.
Pasti salah satu Pengendali mereka menduduki jabatan penting. Kita harus mencari
tahu siapa dia."
"Kurasa..." Aku menatap Jake, minta bantuan. Aku tahu jawabnya. Cuma aku tak mau
bilang. Soalnya, kalau kami membuat rencana, biasanya belakangan buntutnya
berbahaya. "Kita harus masuk ke dalam bangunan itu," kata Jake menyuarakan pendapatku.
Aku mengangguk. Yang bisa kulakukan hanya menyetujuinya.
Rachel menggeleng. "Aku tak tahu binatang apa yang cukup besar untuk bisa
memaksa masuk bangunan itu."
"Tidak besar," kataku. "Justru kecil. Sangat kecil."
Chapter 7 "DARI mana kau?" tanya Dad ketika aku akhirnya tiba di rumah malam itu. Ia
sedang di dapur, memeriksa lemari es.
Aku kaget juga. Orangtuaku biasanya tidak menanyaiku macam-macam. Mereka percaya
padaku. Dan dulunya aku memang bisa dipercaya. Kurasa aku belum pernah berbohong
kepada orangtuaku sebelum aku jadi Animorphs. Sekarang rasanya aku jadi bohong
terus. Sungguh aku merasa tak enak.
"Oh... ehm, aku cuma jalan-jalan," kataku. "Kenapa" Apa Dad memerlukan aku?"
"Oh, ya," kata ayahku.
Ia kedengaran serius banget, jadi aku tahu ia sebetulnya tidak serius. Begitulah
ayahku. Selera humornya kering. Itu yang dibilang Jake. Jake menganggap ayahku
orang paling lucu di planet ini.
"Apa, Dad?" "Tadi ada telepon dari polisi patroli jalan raya. Mereka bilang ada...
binatang... binatang tertentu... di pinggir jalan, lari keluar dari dalam hutan.
Mereka bilang binatang tertentu ini tampaknya kena luka bakar yang parah."
Aku tak suka caranya berkali-kali mengucapkan "binatang tertentu."
"Kita harus keluar dan mengambilnya," kata ayahku. Kemudian ia nyengir. "Yah,
aku yang nyetir mobil, kau yang harus mengambilnya."
Aku mengeluh. Hanya ada satu binatang di seluruh dunia yang ditakuti ayahku. Ia
sudah menangani rubah, serigala, bahkan beruang.
Tapi ia tak mau berurusan dengan "binatang tertentu" ini.
"Maksud Dad, binatang ini sigung?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Kau ahli benar menangani sigung," jawabnya. "Mereka menyukaimu.
Lagi pula, besok aku ada rapat dengan pabrik makanan kucing Dudette. Mana
mungkin aku muncul berbau sigung."
Ibuku muncul dari ruang bawah tanah. Ia membawa enam kotak jus tomat. "Cuma ini
yang bisa kutemukan di gudang," katanya.
Kalian perlu tahu, jus tomat adalah salah satu dari sedikit bahan yang bisa
membantu menghilangkan bau sigung.
"Mom, bagaimana kalau Mom saja yang membantu Dad" Aku... aku belum bikin PR
nih." "Aduh, jangan deh," kata ibuku.
"Ah, payah semuanya. Mom dan Dad kan dokter hewan terkenal," aku protes.
"Bagaimana mungkin kalian takut sigung?"
"Dulunya sih tidak," kata ayahku muram. "Dulu sebelum... sebelum kejadian itu."
"Hanya karena seekor sigung menyemprot Dad..."
"Di mukaku," sambungnya.
"Hanya karena Dad mengalami pengalaman buruk sekali saja..."
"Dia menyemprotku enam kali dalam waktu kira-kira tiga detik," katanya. "Aku bau
selama seminggu. Mom sampai menyuruhku tidur di gudang jerami. Tapi binatangbinatang lain digudang itu jadi gelisah, sampai aku terpaksa pasang tenda di
halaman." "Dan kemudian kita harus membakar tenda itu," Mom menambahkan. Ia terkikik geli.
"Kau tahu cara menangani sigung," bujuk ayahku. "Sebetulnya kau tahu cara
menangani semua binatang. Ayolah, sigung kan senang padamu."
"Sigung yang terbakar di sisi jalan raya tidak menyukai siapa pun," kataku.
Sepuluh menit kemudian, kami sudah ada di jalan raya. Kami naik pickup baru
kami. Pickup butut kesayangan ayahku dicuri orang dan dirusak.
Setidaknya itulah anggapan Dad. Sebetulnya pickup itu kami pinjam sewaktu
bertempur melawan Yeerk dulu. Waktu itu Marco yang nyetir, dan Marco tidak bisa
nyetir. Mobil itu akhirnya ringsek masuk selokan.
Sepanjang jalan kami mendengarkan CD. Itulah satu-satunya yang disukai Dad dari
mobil barunya ini: ada CD player-nya. Ia memutar lagu-lagu jazz nostalgia.
Kami tiba di tempat yang disebutkan polisi patroli lalu lintas. Dad menepikan
mobil dan menyalakan lampu sein.
"Hati-hati. Orang-orang nyetir seperti orang gila di jalan ini," Dad
memperingatkan saat aku turun.
Mobil-mobil meluncur dengan kecepatan seratus kilometer lebih dan lampu di atas
dinyalakan. Hutan yang gelap mengapit rapat kedua sisi jalan. Kuarahkan sorot
senterku ke deretan pohon-pohon.
Biasanya hutan bukan tempat menakutkan bagiku. Tapi aku tahu bahwa kami berada
kira-kira setengah kilometer dari pusat penebangan hutan bangsa Yeerk. Rasanya
aneh banget kembali ke tempat di mana, baru satu jam sebelumnya, aku nyaris
terbunuh. Setidaknya selama dua puluh menit aku berjalan mondar-mandir di jalur hijau di
bahu jalan, ketika sinar senterku menyoroti gumpalan hitam dan putih.
"Dad! Di sini!"
Dad mendekat dan ikut mengarahkan sinar senternya ke sigung itu. "Yep,"
komentarnya. "Aku ambil kandang dulu. Jangan lupa sarung tanganmu. Kau tahu
sigung pembawa utama rabies."
"Dad, aku kan sudah disuntik."
"Vaksin kan tidak seratus persen menjamin," katanya.
Aku berjalan mendekati si sigung. Ia menatapku dan matanya yang kecil hitam
berkilauan memandangku. "Jangan takut," kataku, meninggikan suaraku. "Tidak apa-apa. Kami datang untuk
membantumu. Semua akan beres."
Sebetulnya sigung adalah binatang paling manis di dunia. Tak ada niat jahat
sedikit pun dalam diri mereka. Tapi itu karena mereka memang tak perlu jahat.
Mereka punya senjata hebat.
Meskipun demikian, mereka selalu memberi peringatan dulu.
Jika mereka membelakangimu, itu peringatan. Jika mereka mengangkat ekor, tapi
Mutiara Hitam 10 Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Panji Wulung 10