ujung ekor masih merunduk, itu peringatan serius.
Jika mereka sudah mengangkat ujung ekor... nah, celakalah kau.
Jika kau menghadapi sigung yang sudah membelakangimu dan mengangkat ekornya
tinggi-tinggi, habislah kau. Percayalah. Semua satwa liar tahu ini. Sayangnya
anjing tidak tahu apa-apa tentang sigung. Tetapi beruang, rakun, serigala, dan
sebagian besar burung pemangsa tahu bahwa kita tak bisa main-main dengan ekor
sigung. Mungkin kaupikir kau tahu betapa busuknya bau sigung, karena kau pernah melewati
jalan yang pernah dilalui sigung. Itu sih belum apa-apa. Dari dekat, bau
busuknya berlipat ganda. Bayangkan saja bau paling busuk di dunia, kemudian
kalikan seribu kali, masih kalah dari bau sigung.
"Tak apa-apa, Manis," bujukku. "Jangan semprot aku. Aku temanmu, jadi jangan
semprot aku." Aku bergerak mendekat dan merunduk lebih rendah, menciutkan tubuhku. Supaya
tidak kelihatan mengancam. Aku bergerak pelan sekali, selangkah demi selangkah,
sambil terus-menerus membujuk dan berkata manis, seakan ingin menangkap anak
yang membawa senapan. Sigung itu bergerak! Aku membeku.
Si sigung duduk lagi. Aku bernapas lagi.
"Tolong jangan semprot aku," kataku.
Kurogoh kantongku dan kuambil sepotong daging tikus. Kami menyimpan daging tikus
beku untuk binatang-binatang yang sedang kami rawat. Sigung suka daging tikus
atau belalang. "Ini makan malammu."
Kusodorkan daging itu kepadanya. Sigung itu kelihatannya tidak lapar, tapi
rupanya ia menganggap aku oke kalau aku menawarkan makanan kepadanya.
Aku berjongkok di sebelah si sigung dan kuletakkan senterku di tanah. Hati-hati
kuulurkan tanganku yang bersarung tangan dan kusentuh binatang itu.
Ia gemetar. Seperti kedinginan atau ketakutan. Dan, pada saat itu aku tahu
kenapa. Ada luka bakar di punggungnya. Berbentuk setengah lingkaran yang sempurna,
seakan ada orang yang mengeduk punggungnya.
"Sinar Dracon," bisikku. "Kau tadi di sana, ya" Kasihan."
Saat mengincar aku dan Marco, para Yeerk malah mengenai si sigung. Binatang yang
sama sekali tak bersalah dan terperangkap dalam perang antara Yeerk dan manusia.
Para Yeerk akan menghancurkan seluruh hutan dan penghuninya untuk menangkap
kami. "Sori," bisikku pada si sigung.
Kuangkat ia pelan-pelan, hati-hati, dan kupeluk.
Chapter 8 KAMI bertemu di mall. Saat itu hari Sabtu, jadi wajar kalau kami, para ABG,
berjalan-jalan di mall. Jika kau tinggal di tempat berbahaya, di mana siapa saja bisa jadi musuhmu,
jangan sampai deh berbuat macam-macam. Jangan sampai tingkah kita menarik
perhatian. Termasuk perhatian keluarga atau teman sekolahmu sendiri.
Kau takkan pernah tahu, siapa yang bisa dipercaya dan siapa yang tidak.
Kaum Yeerk mengira kami ini Andalite. Kami ingin mereka terus berpendapat
begitu. Jika mereka sampai tahu kami ini manusia biasa, apalagi masih anak-anak,
tamatlah riwayat kami. Jadi kami tidak meninggalkan jejak. Kami berusaha bersikap seakan kami ini tidak
satu geng. Kami tak ingin ada Pengendali yang berpikir, "Hei, tahu tidak" Anakanak itu selalu ngumpul bareng, kayaknya mereka mencurigakan."
Kami harus tampak dan bersikap normal. Rachel masih ikut kursus senam dan sering
berbelanja. Jake dan Marco masih berlatih melempar bola basket ke keranjang di
halaman rumah Jake atau main video game.
Aku merawat binatang-binatang di Klinik Perawatan Satwa Liar.
Tak ada yang bisa kami lakukan untuk membuat Tobias kelihatan normal. Ia jauh
dari normal. Tapi Tobias berasal dari keluarga kacau. Ia dulunya tinggal
berpindah-pindah dari satu bibi atau paman yang tak peduli ke paman atau bibi
tak peduli yang lain. Ia tak pernah menjadi bagian dari satu keluarga utuh, dan
sedihnya, tak ada yang menyadari ketika ia tiba-tiba saja lenyap.
Satu jam penuh aku mengikuti Rachel, sementara ia berjalan seperti tukang
belanja profesional menyusuri rak-rak di The Limited, Banana Republic, The Gap,
dan berbagai department store.
Rachel punya naluri aneh untuk mendeteksi kapan dan di mana akan ada obral. Ia
tak perlu iklan. Pokoknya ia "tahu".
Kami sedang menyusuri meja-meja penuh tumpukan sweter di Express. Rachel mencari
warna hijau tertentu, yang mungkin malah tidak ada di dunia ini.
"Menurutmu kita mau apa?" aku bertanya padanya.
Rachel, yang sedang menimang-nimang sweter, mendongak.
"Apa" Oh, kurasa kita mau masuk. Kalau kita tahu caranya."
"Itu yang kupertanyakan. Cara apa" Bagaimana kita bisa masuk ke tempat itu"
Maksudku, aku tahu kita mau berubah wujud jadi serangga. Tapi kalau ada yang mau
jadi semut lagi, aku bilang saja dari sekarang, aku ogah ikutan."
Rachel bergidik. "Kurasa tak ada yang mau jadi semut lagi."
Kami memang mendapat pengalaman-pengalaman buruk ketika bermetamorfosis. Tapi
menjadi semut adalah pengalaman terburuk.
Wah, susah deh membayangkan kejadian mengerikan saat itu.
Lorong-lorong yang menyesakkan, lalu beratus-ratus tentara semut ganas
bermunculan di sekeliling kami, semua menyerang, menyerang tanpa ampun....
"Tidak jadi semut, ya," kataku. Kupandang Rachel, kucoba menatap matanya.
"Betul?" Rachel mengangkat bahu. Kemudian ia melirik arlojinya.
"Sudah waktunya. Ax ikut mereka, jadi jangan sampai mereka menunggu."
Ax" Uh-oh." Jake, Marco, dan seorang cowok yang ganteng banget sedang duduk di pusat jajan.
Kedengarannya mereka sedang berdebat tentang siapa yang tadi memenangkan video
game di atrium. "Hei! Rachel!" Marco berteriak memanggil saat kami lewat.
"Ngapain kalian di sini?"
Aku sebal deh harus berpura-pura begini. Goblok banget kayaknya. Tapi memang
kami harus kelihatan bertemu tanpa sengaja.
"Kami shopping," gumamku. "Kalian kan tahu aku senang shopping."
"Gabung dengan kami, yuk. Kalian mau nacho?" tanya Jake sambil tersenyum cerah.
Aku memandang piring kertas berisi nacho. Semuanya sudah kosong. Cuma ada sisa
noda keju berwarna jingga kekuningan. Ada noda jingga yang sama di dagu cowok
keren yang duduk di antara Marco dan Jake.
Jake mengikuti pandanganku dan ia memutar bola matanya.
"Paling tidak kali ini ia tidak memakan piringnya."
"Halo," sapa Ax padaku. "Aku sepupu Jake, Phillip. Sepupu Jake. Pesusu. Pusepu.
Aku dari luar kota."
Aku tak dapat menahan tawa. Sudah lama Ax menciptakan morph manusia dari DNA
yang disadapnya dari kami berempat.
Jadinya ia campuran aneh kami berempat. Ia cowok, tapi manis-manis aneh.
Ia kelihatannya seperti manusia. Memang sih ia dasarnya manusia. Tapi ia masih
punya banyak masalah beradaptasi sebagai manusia. Yang paling utama, karena
Andalite tidak punya mulut, baginya mulut manusia sangat memesona dan luar
biasa. Makanya ia senang banget main-main dengan bunyi kata-kata. Dan cowok ini
bahaya sekali kalau menghadapi makanan.
"Enak tidak nacho-nya?" tanyaku.
"Rasanya campuran lemak dan garam. Plus ada rasa lain yang mengingatkanku pada
rasa oli mesin lezat yang pernah kucicipi. Oli. 0-li-o."
"Oli mesin?" tanya Jake. "Ax... maksudku, Phillip... Ingat tidak, aku pernah
bilang kau tak boleh makan puntung rokok ataupun serbet" Nah, tambahkan oli
mesin pada daftar itu."
Ax mengangguk. "Baik. Wah, banyak peraturan ya, dalam soal makan."
Marco menarik kursi untukku. "Oke, kalau kita sudah selesai basa-basi, ayo kita
ke pokok persoalan."
"Tobias datang tadi pagi," kata Jake pelan. "Dia mengawasi tempat itu dari atas.
Dia pikir para Pengendali di tempat itu punya transponder kecil di pinggang
mereka yang membuat mereka bisa melewati force field."
"Jadi kita harus merampas transponder," Rachel menyimpulkan.
"Tidak," kata Ax. "Transponder itu akan diatur sesuai tanda biokimia pemakainya.
Kaum Yeerk tidak se..."
"Jangan sebut-sebut kata itu," desis Jake.
Kulihat mata Marco jelalatan, melihat apakah ada orang berada cukup dekat
sehingga bisa mencuri dengar obrolan kami.
"Sori. Ri. Sou-ri," kata Ax. "Rencana Rachel takkan bisa dijalankan."
Jake menghela napas. "Tobias juga melihat sesuatu. Ada lubang-lubang kecil di
fondasi kayu bangunan itu. Menurut pendapatnya itu kerjaan rayap."
"Rayap?" tanyaku.
Jake mengangguk. "Yap."
Aku menelan ludah. "Jake, rayap kan hampir sama dengan semut."
"Yah, semut lebih galak sih," kata Jake. "Aku sudah cari info di Internet. Lagi
pula kalau kita bermetamorfosis menjadi rayap di koloni itu, kan tak ada
masalah." Aku jadi sesak napas. Kulihat wajah Marco sudah pucat.
Bahkan tampang Ax pun suram.
"Kau tidak serius, kan?" tanyaku pada Jake. "Maksudku, rayap" Masa rayap sih?"
Mungkin aku kedengaran agak histeris. Soalnya aku memang merasa sedikit
histeris. "Aku tak punya rencana lain," kata Jake. Ia menunduk menatap meja, menggigitgigit bibir bawahnya. "Cassie, kau benar ketika bertanya bagaimana mereka
mendapat izin membabat hutan. Itu titik lemah mereka. Kita harus tahu dari mana
izin itu. Untuk mengetahui itu kita harus masuk ke dalam bangunan itu."
"Lewat terowongan rayap?" tanya Marco. "Lagi pula, bagaimana kita bisa menangkap
rayapnya" Mereka semua kan ada dalam force field?"
Alangkah leganya jika kata-kata Marco itu benar, bahwa kami tak bisa menangkap
rayapnya. Tapi ketika aku memandang Jake, ia cuma menggeleng sedikit. "Tobias
bilang, hari ini mereka mengubah sedikit bentuk bangunan. Mereka menambah sinar
Dracon. Untuk itu mereka harus membuang beberapa tiang kayu."
Jake merogoh saku jaketnya. Ia menarik keluar tabung gelas kecil. Tutupnya
berlubang-lubang agar udara bisa masuk.
Di dalam tabung itu ada serangga kecil mungil, cokelat-putih. Ukurannya sama
dengan semut. Kepalanya yang besar berwarna cokelat.
"Ini dari koloni yang sama," kata Jake. "Dari bangunan yang sama."
Aku menatap rayap itu. Ia sedang mencoba merayapi sisi tabung, tapi tergelincir
turun lagi. Rayap itu tak berdaya. Ia terperangkap dalam penjara gelas - yang baginya tentu
berukuran besar sekali - dipegangi oleh raksasa yang begitu besar sehingga tak
bisa dibayangkan oleh si rayap.
Jake membuka tutup tabung.
"Kita tidak jadi rayap kalau ada yang tidak setuju," katanya. "Tapi kita tak
bisa membiarkan bangsa... mereka... membabat hutan."
Rachel mengulurkan tangannya. Jake menunggingkan tabung, sampai rayap itu
mendarat di telapak tangan Rachel.
Aku melihatnya merayapi garis-garis tangan Rachel. Dan aku melihat rayap itu
diam, sementara Rachel menyerap pola DNA-nya.
Kubayangkan diriku menjadi rayap itu. Merayap di atas tangan raksasa. Menganggap
semua lekukan di tangan Rachel sedalam parit.
Setelah Rachel selesai, kuulurkan tanganku. Tanganku gemetar. Aku tak bisa
menghentikannya. Pusat jajan yang terang benderang itu tiba-tiba terasa suram.
Astaga, serangga kecil ini bikin aku takut.
Jauh di dalam hatiku, aku benar-benar ketakutan.
Chapter 9 KAMI akan pergi malam ini. Malam ini juga.
Sorenya kami diharapkan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rutin di rumah dan
bikin PR. Coba saja sendiri. Cobalah mengerjakan PR sambil berpikir bahwa dalam beberapa
jam mendatang hidupmu mungkin akan tamat.
Cobalah berkonsentrasi mengerjakan soal-soal matematika, sementara kau tahu
persis tak lama lagi kau harus berubah jadi rayap dan menyelinap masuk bangunan
maut yang dijaga ketat. Selamat deh. Aku pergi ke gudang jerami. Ayahku sedang di sana, mengecek pasien-pasiennya. Ia
tidak memerlukan bantuanku, tapi ia juga tidak melarangku.
"PR-mu sudah selesai?"
"Hampir," aku menambah satu kebohongan lagi pada tumpukan kebohongan yang sudah
kubuat. "Aku tadi hendak memeriksa sigungmu yang kita ambil semalam. Dia gelisah sekali,
jadi kuberi sedikit obat tidur."
"Jantan atau betina, Dad?"
"Betina." Ayahku membawa sangkar ke ruangan kecil di sebelah yang biasa digunakannya untuk
memeriksa pasien. Kukeluarkan sigung itu dari kandang dan kugendong ke meja
periksa. Ia kelihatan tenang sekali, tapi itu tenang buatan, tenang gara-gara
obat. Semalam Dad sudah membalut lukanya, dan sekarang dengan hati-hati ia melepas
kain kasa pembalutnya. Luka bakar itu membuatku berjengit, walaupun aku sudah pernah melihat beratusratus binatang yang terluka.
"Hmm. Ffinm. Pah. Pah. Pah. Hmmm."
Itu suara yang biasa diucapkan Dad jika ia sedang memeriksa sesuatu yang
menarik. "Pah." Aku tak tahu kenapa, tapi Dad selalu begitu.
"Aneh. Sangat luar biasa. Aku sama sekali tak bisa menebak apa yang menyebabkan
lukanya ini. Terlalu rapi. Terlalu bersih. Apa pun penyebabnya, pastilah panas
sekali, sehingga membakar jaringan."
"Ototnya terluka atau cuma luka luar?" tanyaku.
Dad mengerling padaku dan tersenyum. "Sebagian besar cuma mengenai bulu dan
kulit. Tapi ada luka yang cukup parah di bahu sini. Jauh lebih dalam. Untung
tulang punggungnya utuh dan dia akan hidup. Mudah-mudahan saja anak-anaknya juga
begitu." "Apanya" Dia punya anak?"
"Yeah. Kira-kira enam atau tujuh minggu usianya."
"Dia punya anak" Di hutan sana?"
Dad mulai membalutnya lagi dengan kain kasa baru. "Cassie, kau tahu, alam memang
kadang-kadang kejam."
"Tapi anak-anaknya masih terlalu kecil untuk bisa hidup sendiri, kan?"
"Aku tidak tahu pasti," katanya, tanpa berani menatapku.
Kupikir kadang-kadang Dad juga berbohong kepadaku. Untuk kebaikanku sendiri,
tentu. Paling tidak ia pikir itu untuk kebaikanku.
"Mereka menunggu di sarangnya, bingung karena induknya tidak pulang-pulang,"
kataku. "Mereka akan mati kelaparan. Atau dimakan binatang pemangsa."
"Ulurkan gunting," kata ayahku.
"Yeah. Ini. Ehm, Dad, boleh tidak aku menginap di rumah Rachel malam ini?"
"Tentu, Sayang. Kau tahu, kan, asal Mom bilang oke. Hei, kau tidak tanya
bagaimana hasil rapatku dengan produsen makanan kucing pagi ini. Kita mendapat
dana tambahan lho!" Kami ngobrol sambil memeriksa berkeliling. Tapi hatiku resah. Aku mencemaskan
beberapa anak sigung di suatu tempat di hutan, sedang menangis menantikan induk
mereka, Dan aku juga menyesal kenapa Dad begitu gampang memberiku izin menginap di rumah
Rachel. Karena, tentu saja, aku tidak menginap di sana. Rachel akan bilang pada
ibunya bahwa ia menginap di rumahku. Dan Jake akan berbohong pada orangtuanya,
dan Marco akan berbohong pada ayahnya, dan kami semua akan terperangkap dalam
situasi yang tidak kami inginkan.
Aku akan menghadapi maut, malam ini juga. Dan aku sebetulnya sama sekali tak
ingin bohong pada ayahku.
Aku teringat terowongan semut. Yang kuingat persis seperti yang kulihat dalam
mimpiku. Aku belum pernah benar-benar melihatnya dalam kenyataan. Semut tidak
bisa melihat dengan jelas, dan di bawah tanah tak ada cahaya.
Tapi dalam mimpi aku melihat semuanya. Aku melihat kepala besar semut-semut
musuh yang berkilau bagai logam ketika mereka menembus dinding pasir dan
menjepitkan jepit besar mereka ke tubuhku, mencoba membuatku remuk.
Tahukah kau bagaimana rasanya kalau kau mau mati, tanpa punya kesempatan berubah
jadi manusia lagi" Bagaimana rasanya mati sebagai semut, terperangkap di neraka
yang belum pernah dikunjungi manusia"
Dan sekarang terbayang juga olehku anak-anak sigung.
Kelaparan. Menangis memelas, dan tangisan mereka justru jadi semacam panggilan
Animorphs - 9 Senjata Rahasia Cassie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagi binatang pemangsa. "Sayang, kau baik-baik saja?"
Ternyata ayahku sedang menatapku. Tanpa kusadari tadi napasku jadi berat, seakan
aku mau menangis. Butir-butir keringat menghiasi dahiku.
"Yeah. Aku baik-baik saja," kataku lesu.
Dad menyelesaikan pekerjaannya dan pergi.
Aku tetap tinggal. Aku kembali ke kandang sigung. Kubuka pintu kandang dan
kumasukkan tanganku. Aku tidak memakai sarung tangan.
Kau tahu kan, kau tidak bisa menyerap pola DNA kalau kau memakai sarung tangan.
Chapter 10 "WAH, kejutan nih, kalian semua kumpul di sini," bisik Marco.
"Semua belum berubah pikiran?" tanya Jake.
"Jelas," jawab Marco. "Kami sudah tak sabar malah. Siapa yang mikir tidur kalau
bisa ikut misi bunuh diri?"
Gelap gulita. Saat itu pukul tiga dini hari. Kami berada di tepi hutan. Jake,
Rachel, Marco, dan aku. Tobias bertengger di dahan pohon di atas kami.
Ax juga ada di sana. Ia berada dalam wujud aslinya, mata di ujung tanduknya
memandang tajam ke segala arah.
"Kupikir kita morph menjadi burung hantu saja," usul Jake. "Gerakan mereka gesit
dan mereka bisa terbang cepat di malam hari. Sampai kita tiba di dekat tempat
mereka." Aku lega. Burung hantu pilihan yang baik untuk apa yang kurencanakan. Burung
hantu satu-satunya pemangsa sigung dewasa.
Soalnya beberapa spesies burung hantu tidak punya indra penciuman. Itu hal yang
bagus kalau kita mau makan sigung.
Tentu saja aku bukan mau makan sigung dewasa. Aku cuma mau mencoba mencari
beberapa bayi sigung.
"Kau kan sudah menemukan jalan menuju tempat itu," kata Jake. "Dan kau juga
telah menangkap rayap supaya kami bisa menyerap DNA-nya."
"Dan kami sungguh berterima kasih padamu," celetuk Marco dengan nada konyol.
Kami semua tertawa, tawa cemas. Lega rasanya mengetahui bahwa yang lain sama
takutnya seperti aku. Kami semua mulai membuka pakaian luar kami. Di baliknya kami sudah siap dengan
pakaian morph kami - gabungan celana sepeda, baju senam, dan T-shirt. Kami bisa
morph jika memakai pakaian ketat, tapi kalau pakai sweter, sepatu atau arloji,
jangan harap deh. Jake memakai celana sepeda dan kaus spandex.
Marco mencibir. "Apa?" tuntut Jake.
Marco pura-pura tolol. "Tidak. Tidak apa-apa. Aku cuma bilang kalau kita mau
jadi superhero, kita perlu mengubah pakaian kita yang konyol ini. Kita kelihatan
seperti atlet senam Bulgaria yang membelot."
"Kecuali Rachel, tentunya," kataku.
Rachel telah berhasil memadankan dengan tepat pakaiannya. Ia kelihatan oke
banget. "Begini rencananya," kata Jake. "Kita berubah jadi burung hantu untuk mendekati
tempat itu. Kira-kira dua ratus meter dari kompleks, kita kembali jadi manusia.
Kemudian kita merangkak mendekat, berubah menjadi rayap, menyusup masuk lewat
bawah force field, dan memasuki bangunan lewat lubang rayap di depannya."
"Yah, yang penting asyik dan simpel deh," kata Rachel muram.
Ia menatapku, dan kusadari bahwa Rachel yang tak kenal takut itu pun kini takut.
Aku jadi tambah takut. Kucoba berkonsentrasi untuk menjadi burung hantu. Tapi pikiranku merayap ke
mana-mana. Memang kadang-kadang kita tak bisa menyetop pikiran kita yang
berkelana" Seperti komputer yang sekaligus memainkan berbagai program.
Aku mencemaskan banyak hal - proyek ilmu alamku, berbohong pada orangtuaku,
apakah Ax benar-benar mencoba minum oli mesin, apakah bayi-bayi sigung sudah
keburu mati... Aku tak ingin mulai mencemaskan hal-hal yang sebetulnya memang bikin aku cemas.
Entah bagaimana hidupku jadi ruwet dan aneh begini.
Kulihat Ax berubah wujud dengan cepat. Ekornya jadi lemas, seperti kaus kaki
kosong. Bulu-bulu burung sudah menggantikan bulu aslinya.
Aku menunduk, memandang lenganku sendiri dan melihat pola sayap sudah terpeta di
kulitku. Pola sayap itu sebetulnya indah, jika kau tidak menyadari bahwa sayap
itu menempel di tubuhmu. Kau bisa melihat helai sayap burung itu, kerangkanya
yang melengkung lembut. Dari kerangka itu ribuan helai bulu muncul.
Kemudian, dengan tiba-tiba pola sayap itu berubah menjadi tiga dimensi. Tibatiba saja menyembul dari kulitku. Rasanya sedikit gatal ketika bulu-bulu tumbuh
di sekujur tubuhku. Sementara itu tubuhku mengecil. Makin lama makin kecil. Tanah dan rontokan daundaun pinus dan dedaunan dan ranting-ranting, semuanya seperti menyongsongku.
Kakiku jadi kasar seperti kapalan. Jari-jari kakiku menyatu, kemudian membentuk
cakar. Kuku-kuku tajam melengkung muncul.
Cakar tajam itu senjata utama bagi burung hantu besar bertanduk. Seekor burung
hantu akan terbang tanpa suara di malam hari. Kemudian ia akan menyerang,
mencengkeram kepala mangsanya - kelinci, marmut, tikus, sigung.
Tulang-tulang dalam tubuhku mengatur perubahannya sendiri. Banyak yang hilang
begitu saja. Yang lain jadi bengkok dan melengkung. Tulang dadaku jadi lebih ke
dalam. Tulang jari-jariku mula-mula memanjang, kemudian memendek.
Proses ini menimbulkan bunyi berkeretak yang menyeluruh dalam tubuhku.
Organ-organ tubuhku juga berubah. Dan mataku membesar terus, sampai rasanya
memenuhi seluruh kepalaku. Mataku besar sekali jika dibanding ukuran tubuhku,
sehingga kedua mata itu nyaris bergesekan dalam tulang kepalaku.
Tiba-tiba saja malam sudah berubah jadi terang benderang.
Seperti siang hari. Sinar yang bagi mata manusiaku hanya setemaram sinar lilin yang berkedip, bagi
mata burung hantuku terang benderang seperti lampu sorot.
Kubentangkan lenganku untuk mengepakkan sayapku. Perubahanku sudah sempurna.
Kurasakan naluri burung hantu. Naluri pemangsa.
Aku sudah pernah berubah jadi burung hantu, jadi aku tahu apa yang akan terjadi.
Aku sudah pernah menggunakan mata dan sayapnya dan merasakan otaknya. Yah,
memang tidak otomatis begitu saja sih, tapi paling tidak itu semua tidak bikin
kaget lagi.
Kukepakkan sayap dan kutarik kakiku. Dengan mudah aku meluncur melewati dahandahan pohon, yang dalam kegelapan itu tak terlihat oleh mata manusia, tapi jelas
seperti neon bersinar bagiku.
Kulihat Tobias bertengger di salah satu dahan. Kurasakan naluri elangnya yang
menyuruhnya hati-hati saat serombongan burung hantu terbang melewatinya.
Siang hari elang merajai, tapi malam hari milik burung hantu.
Kayaknya aku juga. Ada kekuatan istimewa yang muncul ketika kita jadi binatang.
Terutama kalau jadi binatang pemangsa.
Di angkasa di malam hari, tak ada yang bisa mengalahkan kami. Kami jadi raja di
hutan. Kami terbang dalam formasi santai, tidak melayang di atas pepohonan, tapi
melewati dahan-dahannya. Sayap kami tak mengeluarkan bunyi. Sayap burung hantu
bisa dibandingkan dengan sayap pesawat tempur canggih yang didesain dengan
rumit. Malah lebih dari itu. Bulu-bulunya didesain agar tak bersuara maupun
bergerak sementara si burung hantu melayang di angkasa malam yang sunyi.
Tikus-tikus yang ketakutan, yang memasang telinga bersiap menghadapi kemungkinan
bahaya yang ada, sama sekali tak mendengar apa-apa ketika burung hantu menukik
untuk menyambarnya. Pendengaranku sama tajamnya dengan penglihatanku. Aku bisa mendengar apa saja,
sama seperti serigala. Saat kami terbang menuju kompleks penebangan hutan, kucoba memikirkan tujuanku
yang lain - kucoba mendengarkan tangis bayi-bayi sigung. Mataku tajam mencaricari langkah terseret-seret bayi sigung yang tersesat.
Aku meluncur dan melayang di antara pepohonan. Pandanganku tajam mencari-cari di
tanah di bawahku dan pendengaranku kupusatkan. Dengan begitu aku berhasil tiba
di kompleks Yeerk tanpa harus mencemaskan apa yang akan terjadi.
Chapter 11 < KITA hampir sampai,> kata Jake.
Bahkan dengan bahasa pikiran begitu, aku bisa mendengar ketegangan dalam
suaranya. Kurasakan seperti ada tangan dingin meremas hatiku.
Kemudian... Terdengar bunyi. Bunyi yang dilatarbelakangi bunyi-bunyi lain.
Tapi bunyi yang ini adalah bunyi yang ingin didengar otak burung hantu. Bunyi
makhluk lemah. Bayi kecil yang lemah dan tak berdaya.
Itu dia! Datangnya dari dalam lubang yang pasti tak bisa dilihat binatang lain
dalam malam yang gelap gulita begini. Lubang yang digali di bawah akar semak
berduri. Empat... bukan, malah lima bunyi yang berlainan. Apakah mereka bayi-bayi sigung"
Mungkin. Aku tak yakin. Tapi saat ini malam hari, dan kedengarannya mereka
kesepian. Mungkin saja mereka bayi sigung.
Aku memandang berkeliling, kutolehkan kepala burung hantuku. Kucoba mengingat
tempat itu. Pohon-pohonnya. Bukit karang yang berjarak kira-kira setengah meter
dari lubang. Aku ingin bisa menemukan tempat ini kembali.
Kalau aku masih hidup nanti.
Tangisan bayi-bayi itu menyentuh sesuatu dalam hatiku. Dalam hati Cassie yang
manusia. Tapi bagi burung hantu, itu panggilan bersantap.
Aneh rasanya, ada dua perasaan yang begitu berbeda dalam kepalamu pada saat yang
bersamaan - belas kasihan manusia dan kekejaman pemangsa. Aneh.
Kami meluncur turun dan mendarat. Cepat-cepat aku berubah wujud menjadi manusia
lagi. Aku tak ingin lebih lama lagi merasakan naluri pemangsa dalam pikiranku.
Tidak saat itu. Dunia menjadi gelap pekat saat mata manusiaku kembali. Hutan menjadi tempat yang
lebih gelap dan lebih sunyi bagi kami.
Aku memandang berkeliling dan tak bisa melihat satu pun tanda-tanda yang kucoba
kukenali. Tak mungkin aku bisa menemukan bayi-bayi sigung itu dalam gelap.
Paling tidak, kalau memakai mata manusiaku pasti tak bisa. Mungkin di siang
hari. Aku bisa kembali besok pagi.
Seandainya... "Oke, kita harus berusaha mendekati kompleks," bisik Jake.
"Jangan sampai kita terlihat dalam bentuk manusia. Tapi kita pun tak bisa
berubah jadi rayap dalam jarak yang terlalu jauh dari bangunan. Rayap tidak bisa
bergerak cepat."
Ax memang mengira Jake sederajat dengan pangeran Andalite.
Aku langsung tahu apa yang ada dalam pikirannya.
"Andalite?" tanyaku.
"Kau bisa mati kalau begitu caranya," kata Marco.
"Tidak, Ax," kata Jake. "Kau harus masuk ke dalam. Siapa tahu ada komputer Yeerk
di sana. Kami memerlukanmu. Tapi mengalihkan perhatian bukan ide jelek." Jake
menatapku. "Ada yang mau jadi relawan. Mungkin ini malah lebih aman daripada
masuk ke dalam." Ia menawarkan jalan keluar padaku. Jalan untuk menghindar menjadi rayap.
Seharusnya aku bilang ya. Aku ingin bilang ya.
Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa cari gampangnya saja. "Oke, kita undi saja. Ax
tak usah diundi, karena dia harus ikut masuk."
Jake menarik empat helai rumput panjang. Semuanya dipotong sepanjang kira-kira
lima belas senti. Kemudian satu di antaranya dipotong lebih pendek lagi. "Yang
dapat rumput pendek main petak umpet dengan Yeerk."
Bagian bawah potongan rumput itu disembunyikannya dalam genggamannya.
"Lain kali kita main yang lain ah," kata Marco sambil menarik sehelai rumput.
"Gundu, misalnya. Aku tidak suka permainan yang taruhannya hidup atau mati."
Bergantian kami menarik rumput. Panjang. Kutatap lagi rumput di tanganku. Ya,
panjang. Jake kelihatan kaget. Ternyata ia yang memegang rumput pendek.
Kami semua kaget. Bagaimanapun, rasanya sudah otomatis bahwa Jake akan selalu
bersama kami. Marco menyeringai. "Cepat atau lambat kita harus mencoba melaksanakan misi tanpa
kau, oh pemimpin besar yang tak kenal takut."
Marco masih bisa bergurau. Tapi tak seorang pun dari kami merasa tenang menyusup
masuk tanpa Jake. Sekarang sudah terlambat mengubah semuanya.
"Oke," kata Jake tegas. "Kalian sudah tahu apa yang harus dilakukan. Aku akan
berubah menjadi serigala. Para Yeerk akan mengejar-ngejar serigala."
Jake berjalan pergi. Kemudian ia berhenti dan menoleh. "Hati-hati, ya?"
"Pergilah, Mom," kata Rachel. "Kami bisa menanganinya.
"Paling tidak itulah harapan kami," gumamku.
Jake pergi dan sebentar saja sudah tak kelihatan.
"Oke, kita harus siap begitu Jake mulai membuat kerusuhan," kata Rachel. "Kalau
kita mendengar ada keributan, kita berlari mendekati kompleks, bersembunyi di
balik pepohonan, morph, dan berharap bisa menemukan jalan ke dalam bangunan.."
"Mereka seperti semut," jawab Marco.
"Sebetulnya mereka bersaudara dengan kecoak," kataku. "Aku pernah membaca dalam
buku milik ibuku. Mereka hidup berkelompok seperti semut, tapi mereka saudara
kecoak. Mereka makan selulosa - zat yang ada dalam kayu. Bakteri dalam perut
mereka mencernakan kayu itu. Rayap pekerja menyisihkan kotoran mereka. Dan rayap
tentara memakannya. Kurasa, kalau melihat rayap yang dibawakan Tobias waktu itu,
kita akan menjelma menjadi rayap tentara."
Ketiganya terbelalak menatapku, kelihatan agak mual.
"Yah, Ax kan ingin tahu," kataku.
Sorot lampu! "Lihat!" desisku. "Itu, menembus hutan. Pasti dari sisi lain bangunan. Lampu
sorot baru saja menyala."
Kami mendengar suara orang-orang berteriak. Dan kemudian terdengar geraman liar
serigala. "Itu dia. Ayo beraksi," kata Rachel.
Kami berlari menuju kompleks. Kami berlari sambil menunduk, berganti-ganti
bersembunyi di balik semak atau pohon. Kemudian, ketika kami telah semakin
dekat, kami merangkak. Kami mendengar teriakan-teriakan dan suara tembakan sinar Dracon yang
mengerikan. "Kuharap dia selamat," bisikku. Kupikir tak ada yang dengar.
Tapi Ax berkata,
"Bagaimana menurut kalian, apakah kita sudah cukup dekat sekarang?" tanya Marco.
Kami sudah lebih dekat daripada hari sebelumnya. Hanya tinggal kira-kira semeter
dari padang terbuka. Kami semua berkerumun, membungkuk di balik sebatang pohon
besar. Termasuk Ax, walaupun dalam keadaan normal, susah baginya untuk membungkuk.
Kami berkerumun rapat, seperti sedang berpelukan. Kalau berubah wujud nanti,
kami akan menjadi sangat kecil. Dan jarak sejengkal pun akan serasa bermetermeter. "Waktunya merayap," kata Rachel. Sebelah tangannya memeluk punggungku.
Aku sudah sangat ketakutan. Takut memikirkan nasib Jake. Takut memikirkan nasib
teman-temanku. Takut jadi rayap.
"Mudah-mudahan kita semua selamat," gumamku.
"Amin," kata Marco.
Bahu kami berdempetan. Kepalaku menyentuh kepalanya. Dan kemudian, saat tulangtulangku berkeretak dan gigiku gemeretuk karena ketakutan, aku memulai proses
yang akan melenyapkan tulangku dan melelehkan gigi-gigiku.
Turun, turun, turun. Jatuh... jatuh terus-menerus. Seakan aku meloncat dari Empire State Building,
gedung paling tinggi di New York, dan terjatuh. Tapi, walaupun terjatuh, aku
tidak terempas di tanah.
Animorphs - 9 Senjata Rahasia Cassie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menjelma dari gadis yang tingginya kurang dari satu setengah meter menjadi
serangga yang panjangnya kurang dari setengah senti. Aku menjadi sesuatu yang
bisa merayap ke dalam lubang telingaku sendiri.
Teman-temanku yang semula begitu rapat di dekatku, kini sudah terasa jauh.
Dengan mataku yang sebagian masih mata manusia, kulihat wajah Rachel mulai
berubah, menjadi menggelembung.
Kulihat rahang bawahnya yang besar mencuat, seperti gading hitam yang mencuat ke
samping. Dan kemudian pandanganku menjadi gelap.
Aku buta. Dan aku senang karenanya.
Chapter 12 AKU tak bisa melihat, tapi aku bisa merasakan sungutku yang mencuat dari
keningku. Aku tak bisa melihat, tapi aku bisa merasakan sepasang kaki ekstra yang muncul
dari samping kiri-kanan tubuhku.
Aku bisa merasakan, walau tak bisa melihat, bahwa kepalaku sangat besar
dibanding sisa tubuhku yang lain.
Aku bisa merasakan bahwa perutku menggelembung.
Aku bisa merasakan capit besar yang menggantikan mulutku.
Aku ingin menjerit. Aku ingin sekali menjerit, tapi aku tak lagi punya suara.
Aku tak lagi punya lidah.
Panjangku kurang dari setengah senti. Aku cuma sepanjang dua atau tiga huruf di
halaman ini. Butir-butir pasir kelihatan seukuran bola boling bagiku. Dengan
alat perabaku yang bergerak liar aku bisa merasakan adanya sesuatu yang panjang,
seperti batang pohon yang roboh. Di atas kepalaku. Lambat laun aku menyadari itu
hanyalah sehelai daun pinus.
Aku menunggu naluri dan pikiran rayap menyatu dengan naluri dan pikiranku. Tapi
otak rayap tak mengirim sinyal apa-apa. Otak rayap diam tak berfungsi.
Indra perabaku tak mengatakan apa-apa. Aku buta. Aku bisa merasakan getaran
suara, tapi samar sekali. Pendengaran rayap tidak sebagus pendengaran
saudaranya, si kecoak. Aku tahu. Aku kan pernah jadi kecoak.
Satu-satunya yang kupunya hanyalah indra penciuman. Atau sesuatu seperti bau
yang datangnya dari sungutku yang melambai di udara.
Aku ingin sekali ngomong. Dengan siapa saja. Aku perlu tahu bahwa yang lain
masih hidup.
daripada yang kurasakan.
menjelaskan.
bergerak ke arah yang sama. Kurasa mereka semua ada di sekitarku, berjarak
beberapa senti dariku, tapi aku tak tahu pasti.
Kaki rayap tidak begitu kuat dan tidak bisa berlari cepat. Tidak secepat semut.
Aku bisa merasakan karang yang kudaki. Atau butiran kerikil, kurasa ini
sebetulnya cuma kerikil. Tapi rasanya seperti mendaki bukit karang. Seperti
potongan-potongan kristal tajam sebesar kepala manusia.
Kukerahkan segenap tenaga ke keenam kakiku. Kucoba sebisa mungkin untuk tidak
memikirkan apa pun kecuali maju. Terus maju, kataku menyemangati diri sendiri.
Jangan pikirkan betapa kecil dan tak berdayanya dirimu.
yang menggetarkan seluruh tubuh kecilku.
Kurasakan karang-karang di sekitarku bergetar. Kurasakan bahkan udara di
sekitarku pun menari-nari.
Aku bergerak, mendekat ke dinding getaran yang tak kelihatan itu. Tiba-tiba
kusadari kakiku bergerak, tapi aku tidak bergeser.
sinis. Kurapatkan diriku ke tanah dan kucoba menerobos di antara dua butir debu.
Percuma. Kemudian kurasakan sehelai daun pinus tergantung di udara, tak jauh di
atasku. Aku bergerak mendekatinya. Daun pinus itu dekat ke tanah, tapi masih cukup jauh
jaraknya dariku.
< Ya,> kata Ax.
Kuraih daun pinus itu dengan sungutku dan aku merayap di baliknya. Aku bisa
merasakan getaran force field di kanan-kiriku.
Tapi daun pinus itu memang membentuk bayangan. Dan di dalam bayangan itu aku
berhasil menembus masuk.
Pada saat bersamaan, aku menyadari bahwa suara sayup yang kudengar memanggilku
kini terdengar makin jelas.
Aneh, sejenak aku malah menganggap itu suara ibuku. Dan aku ingin
menghampirinya. Kugerakkan keenam kakiku dan aku berjalan menuju tumpukan batu besar. Aku
sekarang yakin arah mana yang harus kutuju. Aku bisa mendengar suara dalam
kepalaku. Aku bisa mendengar panggilan itu.
Tubuh rayapku seakan bergerak sendiri sekarang. Seakan aku ini cuma penumpang
dalam mobil yang dikendarai orang lain.
Kayaknya ia menjawab asal-asalan. Seolah ia sedang mendengarkan orang lain dan
tak ingin aku mengganggunya. Tapi biar saja, sebab sebetulnya aku pun tidak
ingin bicara dengannya. Dengan cepat aku berhasil tiba di bangunan. Aku sih tidak melihat bahwa itu
bangunannya, tapi pokoknya aku tahu. Yang lebih parah lagi, aku bahkan tak
sempat merenungkan bagaimana aku bisa tahu.
Aku tidak peduli.
Aku tahu lubang itu ada di depan. Aku juga tahu bahwa para rayap tentara lainnya
akan menjaga lubang masuk itu.
Aku tak merasa takut. Aku melangkah masuk ke lubang terowongan. Kucium bau yang biasa. Bau yang
kukenal. Rumah. Rumah. Tempatku. Dari mana aku berasal. Di sinilah tempatku.
Aku membaui para tentara lainnya dengan sungutku. Mereka menyentuhku dengan
sungut mereka, sama seperti yang kulakukan.
Kami dari koloni yang sama.
Aku bergegas ke ujung terowongan. Terowongan itu menuju ke atas setelah berbelok
tajam, tapi belokan itu tak berarti bagiku.
Tubuhku nyaris tak ada beratnya. Di depanku ada rayap pekerja. Ia mengeluarkan
sebutir selulosa yang sudah dicerna. Itulah bubur kayu. Cepat-cepat kulahap.
Bubur kayu itu mengandung pesan-pesan. Hormon yang diedarkan ke seluruh koloni,
mengandung informasi. Perintah yang samar-samar. Instruksi yang tidak jelas,
tapi sangat kuat pengaruhnya.
Aku sekarang berbaur dengan serombongan rayap pekerja yang sedang sibuk,
mematuhi perintah tak bersuara dalam kepala mereka.
Beberapa menggali terowongan baru. Yang lain bergegas ke kamar telur untuk
merotasi telur-telur. Dan aku juga mendapat perintah.
Aku bergegas sepanjang terowongan yang dindingnya berlumur bubur kayu yang sudah
dikunyah dan dicerna. Terowongan ini menembus kayu kering yang menyangga
bangunan. Kurasakan cabang-cabang terowongan yang membelok ke terowongan berikut.
Terowongan di atas. Udara berembus masuk, pelan - tapi segar - bahkan seperti
tiupan angin lembut. Tak ada cahaya. Sama sekali tak ada. Tapi tak apa, sebab aku buta. Aku buta,
tapi aku tidak tersesat. Apa yang kulakukan" suara asing bertanya.
Kuabaikan. JANGAN! teriak suara itu.
Aku pernah mendengar suara itu sebelumnya. Tapi datangnya dari tempat yang jauh
dan bahasa yang digunakannya tidak kumengerti.
JANGAN! JANGAN! JANGAN! Lepaskan aku!
Aku merasa mual. Tapi aku terus menyusuri lorong terowongan, belok sini, belok sana. Selalu
bergerak ke arah sasaran tertentu. Ada bau menyengat.
Makin lama makin jelas. Aku menuju bau itu. Aku harus sampai ke bau itu.
JANGAN! Lepaskan aku! Lepaskan aku!
Menuju ke ujung lorong. Melewati dan menembus rombongan para pekerja yang sedang
sibuk-sibuknya. Menuju ke tengah. Ke pusat. Ke inti.
Tolong! Tolong aku! teriak suara itu. Suara itu... suaraku.
Suara samar manusia bernama Cassie. Diriku sendiri.
Ahhhhhhhhhh! Tiba-tiba, aku jadi Cassie lagi. Aku tahu namaku. Aku tahu siapa aku.
Tapi percuma. Tubuh rayap ini sudah di luar kendaliku. Keinginan yang lebih kuat
dari keinginanku menguasainya.
Rayap yang tak lain adalah diriku itu tiba-tiba muncul di ruangan terbuka yang
luas. Ruangan yang sebetulnya cuma selebar lima senti. Tapi rasanya aku berada
di auditorium. Tiba-tiba aku tahu siapa yang telah menguasai otak rayapku.
Aku tahu siapa yang telah menyingkirkan otak manusiaku.
Ia gemuk. Besar sekali. Di ujungnya kurasakan ada kepala rayap dan tangan-tangan
rayap yang melambai tak berguna. Di belakang kepala kecil dan tubuh itu ada
kantong super besar yang berdenyut.
Di ujungnya ada dua deret telur lengket berlendir, untuk diambil dan diangkut
oleh para rayap pekerja. Ratu. Aku berada dalam kamar ratu rayap.
Chapter 13 RATU! Aku bisa merasakan kekuasaannya. Ini dunianya. Semua rayap ini budak-budaknya.
Bukan hanya budak - mereka tak punya keinginan sendiri.
Sekali lagi aku menyadari siapa diriku. Tapi aku merasa lemah dan putus asa. Aku
tak sanggup menguasai tubuh rayapku. Tubuh ini milik sang ratu.
Ia punya perintah-perintah untukku - lindungi para rayap pekerja pengangkut
telur. Perintah itu datangnya dalam bentuk bau dan perasaan yang samar-samar,
tapi tak mungkin ditolak.
menjerit putus asa. Tubuhku sendiri menjauh dengan keenam kakiku.
Aku melangkah di belakang dua rayap pekerja. Masing-masing menyangga satu telur
lembek yang sangat berharga itu. Aku harus melindungi mereka. Siapa tahu ada
musuh. Kami berjalan melewati tubuh ratu yang gendut. Menuju kepalanya.
Semut-semut. Mereka adalah musuh rayap. Kadang-kadang mereka datang. Kadangkadang mereka memenuhi terowongan, mencari telur, membawanya pergi sebagai
makanan mereka. Kadang-kadang mereka bahkan menyerang si ratu. Dan para rayap tentara menyerang
mereka. Rayap-rayap tentara kadang-kadang tewas dalam pertempuran melawan semut.
Aku serasa tersengat listrik! Singkirkan ratu! Ya. Satu-satunya jalan. Mereka
tak akan menyangka. Tak akan ada yang mencegahku.
Tapi tubuhku bukan milikku. Aku tak bisa melakukannya.......
Kedua pekerja itu terus berjalan di depanku. Aku bisa merasakan bagian belakang
tubuh mereka dengan sungutku. Dan aku tahu kepala ratu ada di sebelah kananku.
Paling cuma berjarak satu senti. Kurang malah.
Kepala ratu... alat perabanya... matanya... seperti semut!
Cuma ada satu kesempatan. Konsentrasi... konsentrasi... aku harus menipu pikiran
si rayap. Aku harus mengerahkan seluruh kekuatanku.
Kalau aku gagal, aku akan menghabiskan sisa hidupku sebagai budak si ratu rayap.
Budak yang sama sekali tak punya keinginan apa-apa.
Sekarang! Lakukan sekarang!
Mendadak aku berbelok ke kanan. Rasanya seperti bergerak di atas sirop yang
lengket. Si ratu telah memerintahkan aku untuk mengawal rayap pekerja, dan aku
tidak mematuhinya. Semut! Semut! kuteriakkan kata itu dalam kepalaku sendiri.
Semut! Binasakan! Binasakan! Binasakan semut!
Aku memanjat setengah lusin rayap yang sedang melayani ratu.
Kurasakan keinginanku melemah. Aku tak bisa melenyapkan si ratu. Aku harus
membunuh semut. Itu tujuanku - menjauhkan semut dari ratu.
Aku merayap menuju kepala ratu. Kurasakan sungutku menyentuhnya. Kubuka capit
yang merupakan mulut penjepitku...
Rayap-rayap lari serabutan seperti gila. Mereka kacau, di luar kendali,
tersesat, dan bingung. Untuk sesaat aku pun begitu. Sang ratu telah binasa.
Kurasa, entah bagaimana, aku pun ingin melupakan siapa diriku. Dan apa yang
telah kulakukan. Aku ingin menjadi salah satu dari rayap-rayap yang panik dan
bingung itu.
sayup-sayup ada yang berteriak. Ax" Atau Marco" Rachel"
Manusia. Aku ingin jadi manusia lagi. Biarkan aku jadi manusia!
Biarkan aku keluar dari tempat ini. Keluar dari tubuh ini.
Tubuhku membesar. Dinding-dinding menjepitku. Tubuhku memenuhi lorong. Aku tak
bisa bertambah besar lagi!
Aku terperangkap! Sakit. Hanya sakit yang kurasakan! Aku rayap yang membengkak.
Lebih besar dari ratu mana pun. Besar sekali.
Tubuhku tak bisa bertambah besar lagi. Dan aku tak bisa berhenti. Aku sedang
mencoba menjadi manusia lagi, memaksakan tubuh manusia ke dalam ruangan yang
besarnya tak lebih dari biji kenari.
Kemudian... terjadi ledakan!
Dinding-dinding membuka. Pecahan-pecahan kayu terlontar!
Udara segar membelai kulit rayapku yang keras. Kepalaku sudah bebas dari impitan
kayu dan mulai membesar. Tapi tubuhku masih terperangkap. Terjepit sakit sekali.
Sekarang aku punya mata. Mataku bisa melihat, tapi cuma samar-samar. Tubuhku
masih tetap kecil, dan di udara di atasku, sabit sebesar pesawat jet menyabet ke
bawah. Pecahan kayu di sekitarku berserakan lagi dan tubuhku bebas.
Tubuhku membesar dan tumbuh. Lengan... kaki... kepalaku sendiri.
Aku berlutut di lantai papan. Marco dan Rachel berdiri di depanku. Rupanya Ax
telah menggunakan ekornya untuk menoreh kayu. Mereka semua telah berhasil
meninggalkan koloni rayap lebih dulu. Mereka telah kembali ke wujud semula.
Ruangan itu gelap, tapi ada lampu-lampu indikator merah dan hijau yang berkelip.
Dan ada layar monitor komputer yang menampilkan screen-saver segitiga yang
Animorphs - 9 Senjata Rahasia Cassie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melayang-layang dan berubah bentuk.
"Kau tak apa-apa?" tanya Rachel. Ia membungkuk dan meletakkan tangannya di
bahuku. Aku memeluknya. Kemudian, tiba-tiba saja, aku mendorongnya. "Lepaskan aku!
Jangan sentuh aku! Jangan sentuh aku! JANGAN SENTUH AKU!"
Secepat kilat Rachel menubrukku. Tangannya membekap mulutku. Marco meraih
pergelangan kakiku dan memeganginya kuat-kuat.
"Cassie!" desis Rachel. "Diam. Kita ada dalam bangunan Yeerk. Kita memang ada di
bangunan samping, tapi kita bisa mendengar suara orang-orang di sebelah!"
Aku sudah tak peduli. Aku meronta dan melawan dan mencoba menjerit.
"Ax, apa pun yang bisa kaulakukan dengan komputer itu, lakukan sekarang!" bisik
Marco tegang. Rachel dan Marco memitingku ke lantai. Dan pelan-pelan... sangat pelan... ototototku mengendur. Aku berhenti meronta.
"Kau baik-baik saja sekarang?" tanya Rachel.
Baik" Aku tak akan pernah baik lagi. Tapi aku toh menganggukkan kepala. Rachel
melepaskan tangannya dari mulutku.
"Sudah lewat, Cassie," kata Marco. "Kau menyelamatkan kami. Bahaya sudah lewat.
Dan sekarang kita menghadapi masalah lain."
"Aku tak apa-apa," kataku. "Aku baik-baik saja."
Tapi aku merinding. Teringat pengalaman mengerikan tadi.
Marco bangkit dari lantai. Rachel tinggal menemaniku. Ia membelai-belai
rambutku, seperti apa yang dilakukan ibuku kalau aku habis mimpi buruk.
Susah memang membayangkan Rachel bersikap keibuan. Tapi ia melakukan hal yang
benar. Aku mendengar suara-suara dari ruang sebelah. Suara manusia. Dan HorkBajir, bicara dengan bahasa gado-gado, campuran bahasa asli mereka dan bahasa
manusia yang telah berhasil dipelajari mereka selama bertugas di Bumi.
"Dokumen ini tentang semacam komite," kata Marco, seraya menatap layar komputer.
"Ada tiga anggota. Mereka yang memberikan suara untuk memutuskan apa yang
terjadi dengan hutan ini. Mereka yang menentukan apakah penebangan hutan ini
boleh diteruskan."
"Apanya yang lucu?" tanya Marco.
"Lihat dokumen ini," bisik Marco. "'Izin awal untuk menjajaki kemungkinan...'
Hei! Para Yeerk belum mendapat izin final untuk memulai menebang hutan. Komite
inilah yang harus memutuskan. Anggotanya tiga orang. Satu sudah bilang ya.
Mungkin dia Pengendali. Satu sudah jelas-jelas memilih tidak. Tinggal satu lagi.
Namanya Mr. Farrand. Uiih!"
"Kenapa uiih?" tanya Rachel.
"Uiih, karena dia akan datang ke tempat ini untuk memeriksa lokasi," kata Marco.
"Pada akhir pekan ini. Setelah itu baru dia akan memberikan suaranya. Kalau dia
setuju, barulah rencana para Yeerk bisa dijalankan dan kita celaka."
"Dia akan setuju," kata Rachel muram.
"Tidak, kalau bisa kita cegah," kata Marco.
"Satu-satu dulu. Sekarang kita perlu keluar dari sini," kata Rachel. "Dan kita
tidak akan lewat jalan masuk tadi."
Tak seorang pun membantahnya.
field, setidaknya untuk sementara,> kata Ax.
"Yeah. Kita harus bergerak cepat," kata Rachel. "Cassie, bisakah kau berubah"
Jadi serigala" Aku akan terus menemanimu."
Bisakah aku berubah" Mendengar kata itu saja aku langsung muak. Tapi bahkan
dalam ketakutan pun aku menyadari bahwa menjadi apa pun lebih baik daripada
kembali ke koloni rayap. Lima menit kemudian, Ax membuka pagar, kami berubah wujud, dan berlari
meninggalkan bangunan. Kurasa para Yeerk terlalu percaya pada pertahanan mereka yang teknologinya
canggih. Mereka begitu kaget, sehingga tak ada seorang pun yang meneriakkan
tanda bahaya. Keberuntungan masih menyertai kami. Kami berhasil lolos melewati
jalan kecil yang dijaga dua Pengendali.
Tak seorang pun berteriak. Tak seorang pun menembak. Kami berlari ke dalam
hutan. Di situ Jake menggabungkan diri.
Tak ada yang banyak bicara dalam perjalanan pulang.
Chapter 14 ORANGTUAKU mengira aku menginap di rumah Rachel. Orangtua Rachel mengira ia
menginap di rumahku. Lebih gampang menyelinap ke rumahku, maka kami pergi ke
rumahku. Sudah hampir subuh ketika kami kembali ke wujud manusia. Kami berjingkat
melewati ruang tamu, kemudian naik ke kamarku, berusaha agar anak tangga tidak
bersuara. Kupinjamkan kemeja flanel besar pada Rachel. Ia menjambret selimut dan bantal
dan langsung ambruk ke lantai di sebelah tempat tidurku. Kurasa ia sudah
tertidur sebelum tubuhnya mendarat.
Aku merangkak naik ke tempat tidurku, yang sudah sangat kukenal. Seprainya
dingin. Selimutnya milikku sendiri. Aku memang seharusnya berada di sini. Di
sinilah tempatku. Tapi semua rasanya asing. Bayang-bayang di dinding... bentuk kemeja dan overall
yang tergantung di dinding... deretan buku-buku yang telah kubaca, dalam ruangan
ini malah semuanya seolah tidak nyata.
Kupejamkan mataku, kemudian kubuka lagi cepat-cepat.
Bagaimana mungkin" Bagaimana mungkin aku ingat seperti apa ruangan itu, seperti
apa si ratu rayap, padahal aku tadi tak punya mata" Tapi, tetap saja aku ingat
semuanya. Aku melihat ruangan yang digali dalam kayu membusuk oleh ratusan rayap
pekerja. Dan aku melihat ratu yang gendut itu.
Aku merasa masih punya mulut capit.
Aku tidak hanya membinasakannya. Aku telah menghancurkan seluruh koloni.
Kulakukan itu untuk menyelamatkan diriku sendiri dan teman-temanku.
Aku mau muntah rasanya. Tapi untuk itu aku harus turun dari tempat tidur dan
berlari ke kamar mandi. Padahal aku tak ingin meninggalkan tempat tidurku lagi.
Aku suka binatang. Sepanjang hidupku aku dibesarkan bersama mereka. Aku suka
alam. Tapi apa yang sebetulnya kuketahui tentang itu semua"
Aku sudah pernah menjadi lebih banyak binatang daripada yang pernah dilihat oleh
kebanyakan orang. Aku pernah melayang sebagai burung osprey alias elang laut.
Aku sudah meluncur di samudra sebagai lumba-lumba. Aku sudah menyaksikan dunia
lewat mata burung hantu di malam hari, dan membaui angin dengan indra penciuman
serigala yang tajam. Aku sudah terbang jungkir-balik dalam tubuh lalat. Kadangkadang aku keluar malam hari, menuju ke padang dan menjelma menjadi kuda yang
berlari di antara rerumputan.
Dan binatang apa pun yang pernah kucoba, kalau tidak pembunuh ya korban
pembunuhan. Dalam jutaan pertempuran di seluruh dunia, di semua benua, di tiap jengkal
tanah, ada pembunuhan. Dari harimau besar di Afrika yang dengan darah dingin
menerkam gazelle muda yang lemah, sampai ke pertempuran yang terjadi di koloni
rayap dan semut. Dalam alam ini selalu ada pertempuran.
Dan di atas semua penghancuran itu, manusia saling bunuh, sama seperti spesies
lainnya, dan sekarang orang-orang yang sama telah diperbudak dan dihancurkan
oleh kaum Yeerk. Alam dalam keadaannya yang paling indah. Binatang-binatang lucu, menggemaskan,
yang membunuh agar bisa hidup. Warna alam bukan hijau. Tapi merah. Merah darah.
Kusadari air mataku bercucuran membasahi bantalku. Ingin rasanya aku menangis
keras-keras, tapi aku tak ingin membuat Rachel bangun.
Ingin rasanya aku menjerit, tapi orangtuaku pasti datang tergopoh-gopoh. Dan apa
yang bisa kukatakan pada mereka"
Kebohongan. Lebih banyak lagi kebohongan. Karena dalam duniaku, aku juga mangsa.
Para Yeerk memburuku. Aku ketakutan. Aku sendirian. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku.
Dan kemudian aku teringat bayi-bayi sigung yang kesepian.
Makhluk kecil yang tidak menyenangkan, bagi banyak orang. Tapi mereka juga
merasa takut dan kesepian. Kalau mereka masih hidup.
Chapter 15 RUPANYA aku tertidur juga akhirnya, karena aku bermimpi.
Bukan mimpi buruk. Bahkan bukan tentang dunia rayap.
Aku jadi ibu. Dalam mimpiku aku ibu yang sedang mencari anak-anaknya. Aku
mencari di mana-mana, walaupun aku terluka dan kesakitan.
Akhirnya kutemukan mereka. Dan, dalam mimpiku, mereka memelukku erat-erat.
Ketika terbangun, mimpiku segera terlupakan. Tapi mimpi itu meninggalkan
perasaan damai. Matahari telah tinggi. Sudah pukul sepuluh lewat seperempat.
Wah, Sudah siang banget. Rachel sudah mandi dan berganti pakaian.
"Ya ampun! Nyenyak benar tidurmu," gerutu Rachel. "Aku mimpi buruk. Sekarang aku
harus segera pulang. Tidak apa-apa kalau kutinggal?"
"Beres deh," kataku sambil mengucak-ucak mata. "Maksudku... kau tahu, kan,
semalam dan semua yang terjadi... bukannya aku kena serangan gangguan saraf atau
apa. Cuma saja, yah, aku ngeri."
"Memang," kata Rachel sepakat. "Tapi kalau dipikir-pikir ya tidak ngeri-ngeri
amat, Cassie. Rayap kan memang dibunuh sepanjang waktu. Mereka kan cuma rayap.
Serangga." "Yeah." Rachel pulang. Aku tak tahu apakah ia memang harus pulang atau mungkin aku
membuatnya merasa tak enak. Rachel bukan cewek yang suka pelak-peluk. Setelah
terpaksa membuatku tenang seperti menghibur anak kecil, mungkin ia jadi risi
sendiri. Ibuku ke kantor. Ayahku pergi, entah ke mana, karena pickup-nya tak ada. Aku
membuat roti panggang dan minum air jeruk.
Kemudian aku juga menghabiskan sepotong piza yang tersisa. Aku merasa resah dan
aneh. Gelisah sekali. Seolah aku kehilangan keseimbangan setelah kejadian kemarin.
"Rachel benar," kataku keras-keras, hanya supaya aku mendengar suara. "Mereka
cuma serangga. Rayap. Lagi pula, aku toh berhasil lolos akhirnya."
Aku keluar dan merasakan sengatan matahari di kulitku. Kulit manusiaku.
Tanpa berpikir aku masuk ke gudang jerami dan membuka lemari es tempat kami
menyimpan makanan yang gampang busuk untuk binatang-binatang. Aku mengambil
belalang beku dan memasukkannya ke dalam saku. Kemudian aku menuju ke tepi
hutan.
bising dalam hutan.
Aku mendongak dan melihat Tobias melayang di atas. Ia meluncur turun dan
mendarat di dahan pohon. Cakarnya yang kuat mencengkeram kulit dahan yang
lembut. "Tidak banyak," kataku.
"Yeah" Siapa yang cerita?"
Aku berhenti berjalan. Caranya mengatakan "ngeri sekali" mencurigakan. "Tobias,
kau sudah ngomong dengan siapa lagi?"
"Dan Marco cerita aku jadi gila, begitu?"
Aku tertawa getir. "Yah, kurasa aku memang sedikit sinting," kataku.
banyak ketakutan.> "Yah, aku muak sekali," kataku. "Aku harus membinasakan ratu rayap. Aku tahu
,dia cuma serangga. Tapi kau tahu, kan, siapa sih aku ini sehingga memutuskan
bahwa boleh-boleh saja kita membunuh binatang tertentu, tapi binatang lain
jangan" Padahal aku dikenal sebagai aktivis lingkungan, pencinta tanaman dan
binatang, Ibu Bumi - seperti istilah Marco. Tapi kalau sudah terpaksa, aku sama
seperti..."
"Seperti pemangsa yang lain," kataku lesu.
"Seharusnya aku tidak berada di sana. Itu dunia mereka, bukan duniaku. Loronglorong kecil di dalam kayu keropos itu - itu dunia mereka. Aku memasukinya. Dan
ketika mereka menghalangiku, aku bereaksi. Kau jadi ingat siapa, coba?"
punya beberapa bayi yang akan mati kalau tidak ditolong. Kurasa aku tahu di mana
mereka. Tapi aku tak bisa datang ke sana sebagai manusia."
Sesaat Tobias terdiam.
"Ya."
Aku kaget. Sesaat aku menolak memahami apa yang diucapkan Tobias. Aku tak ingin
berpikir kenapa Tobias... yah, elang ekor merah pasti tahu di mana persisnya
lokasi segerombolan bayi sigung..
Beberapa kali kutarik napas dalam-dalam. Kuusahakan agar suaraku terdengar
biasa-biasa saja. "Apa mereka masih hidup?"
Aku merasakan luapan emosi yang jarang kurasakan. Darahku mendidih. Aku
memandang marah pada Tobias. Memandang cakarnya yang tajam. Memandang paruh
bengkoknya yang jelek. Bisa kubayangkan apa yang terjadi. Caranya menukik turun, mengulurkan cakarnya
ke depan, menyambar si bayi sigung tak berdaya dari tanah dan...
Tubuhku gemetar. Kukepalkan kedua tanganku, agar tidak gemetaran.
"Aku akan menyelamatkan yang tersisa," kataku. Suaraku terdengar seperti suara
orang lain.
Chapter 16 AKU menjelma menjadi elang laut dan terbang mengikuti Tobias, menuju tempat yang
telah kulihat semalam. Belalang beku kubawa dalam paruhku.
Aku tidak bertanya apa-apa pada Tobias, dan ia juga tidak bilang apa-apa.
Ia menunjukkan lubang masuk sarang sigung yang hampir tak kelihatan. Kemudian ia
terbang pergi. Aku tahu ia akan menemui Jake dan melaporkan apa yang kulakukan. Dan aku juga
tahu aku telah melukai perasaan Tobias dengan memperlakukannya begitu dingin.
Tetapi, terus terang saja, saat itu aku tidak peduli. Aku cuma ingin menemukan
bayi-bayi sigung itu. Aku tak tahu kenapa, tapi dalam benakku bayi-bayi sigung
itu telah menjadi sangat penting.
Setelah Tobias tak tampak, aku mulai bermetamorfosis. Berubah jadi sigung tidak
susah. Aku masih tetap punya mata, telinga, dan mulut sementara proses perubahan
berlangsung. Tidak seperti ketika menjadi serangga.
Kurasakan sensasi yang kini telah amat kukenal saat tubuhku mengecil. Dan rasa
Senyuman Dewa Pedang 3 Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa Pendekar Sakti Suling Pualam 13