Ceritasilat Novel Online

Ada Seseorang Di Kepalaku 2

Ada Seseorang Di Kepalaku Yang Bukan Aku Karya Akmal Nasery Basral Bagian 2


Belum lagi manipulasi pejabat yang menjadikan lebaran sebagai panggung aristokrasi baru lewat
acara-acara open house, di mana para bawahan dan rakyat yang harus berkunjung ke rumah pejabat. Aku
heran mengapa yang terjadi bukan para petinggi itu yang berpacu mengunjungi tempat-tempat
kumuh di seluruh negeri" Paling tidak mereka bisa membahagiakan sejumlah warga di hari suci itu.
31 Georgette Heyer - Si Kembar Jatuh Cinta m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Bukankah Rasul Muhammad mengajarkan agar lebaran disemarakkan dengan zakat dan takbiran"
Aku pernah membaca sebuah artikel yang ditulis Ki Hadjar Dewantara. Menurut beliau Idul Fitri
menjadi istimewa karena pada hari itulah
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
32Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
manusia bersilaturahmi dan saling memaafkan tanpa pandang latar belakang sosial atau jabatan.
Tak ada keharusan bawahan yang lebih dulu datang ke rumah atasan. Tak ada yang rendah diri,
sebagaimana tak ada yang tinggi diri.
Namun open house mengubah semuanya, bahkan sampai ke kampung-kampung. Siapa yang bisa
menjamin bawahan yang datang ke rumah atasannya pada saat lebaran itu betul-betul murni
bersilaturahmi dan bukan soal kondite" Sebab, ada kisah beberapa mantan pejabat di kampungku
yang setelah tak berkuasa, lenyap pula bawahan mereka yang biasa datang di hari raya.
Kesimpulanku: lebaran bisa dimasukkan sebagai contoh penting pelajaran bahasa. Terutama untuk
pepatah "ada gula ada semut". Tak ada jabatan, silaturahmi hanyut.
RUPANYA tahun ini tahun keberuntunganku. Selain mendapatkan pinjaman, aku berhak atas cuti
besar lima tahunan selama sebulan. Maka sepekan sebelum bulan puasa, aku dan Maryati sudah
mengetuk pintu rumah ayahnya menjelang tengah malam. Seharusnya kami bisa sampai sore tadi.
Namun karena bis yang kami tumpangi sempat mogok di dua tempat, maka rencana untuk
men-ziarahi makam ibu Maryati tak bisa dilakukan pada hari pertama.
Wajah keriput mertuaku langsung berkilau selicin kulit bayi begitu menyadari siapa yang berdiri di
depan pintu. "Maryati" Afrizal" Alhamdulillah, akhirnya kalian datang." Ia maju memeluk anaknya.
Mereka berpelukan bertukar tangis. Mataku ikut berkaca-kaca. Bapak mertuaku segera menyadari
kehadiranku. Ia menyeka ujung matanya, dan mencoba tersenyum menunjukkan barisan gigi yang
menghitam akibat badai nikotin puluhan tahun. "Apa kabarmu, Zal?"
Beberapa tetangga menjulurkan kepala dari rumah masing-masing, mencoba melihat keramaian
yang terjadi di depan rumah mertuaku. Dengan suara keras beliau berteriak ke kiri dan kanan,
"Nggak apa-apa, ini Maryati dan suaminya baru datang dari Jakartaaaa...." Bapak memanjangkan
huruf terakhir seperti mengumandangkan azan.
Setelah bertukar baju, bapak menganjurkan kami segera istirahat. "Besok pagi aku ke kantor pos
dulu buat ambil pensiun. Setelah itu mengabari Pak De Susilo bahwa kalian sudah di sini. Sorenya
baru kita ziarah ke kubur ibumu, Mar."
"Baik, pak. Saya permisi istirahat dulu." Maryati mencium tangan ayahnya, lalu tanganku. "Mau saya
tambah kopinya pak" Mas?"
"Nggak usah, Mar. Aku cuma mau ngobrol sebentar dengan bapak." kataku sembari melihat
mertuaku yang mulai mengeluarkan rokok kreteknya. Celaka! Kalau beliau sudah menunjukkan
gelagat seperti ini, biasanya obrolan bisa berlanjut sampai menjelang azan Subuh. Maryati tertawa
kecil melihat perubahan wajahku. Dengan manja ia berujar. "Pak, tolong bojol-ku nanti dikasih
kesempatan istirahat lho?" Bapak tertawa terkekeh-kekeh, dan mulai mengisap rokoknya perlahan. Wangi kretek memenuhi
ruangan sempit yang terasa panas itu. Setelah Maryati masuk ke kamar, bapak membuka baju
menampakkan badannya yang kurus tapi liat. "Sumuk2 sekali akhir-akhir ini. Kamu tahu sebabnya?"
Rupanya bukan aku saja yang merasakan panasnya malam. Maka sambil menghirup kopi jahe aku
1 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menjawab, "Di Jakarta juga tambah panas, pak. Cuaca sulit diduga sekarang."
"Bukan itu Zal." Ia kembali terkekeh-kekeh sebelum menuangkan kopinya ke atas pisin, dan
meniup-niupnya sehingga aroma kopi berbaur dengan wangi kretek. Lalu ia seperti menyadari
sesuatu yang hilang dari kebiasaanku,
"Kamu sudah tidak merokok?"
"Sudah enam bulan berhenti."
"Mau coba ini," Ia mengeluarkan sebatang kretek baru sembari berbisik. "Mumpung istrimu sudah
tidur." Aku tertawa pelan. Bapak mertuaku terkekeh-kekeh. Selera humor orang tua ini tak pupus juga
rupanya. "Aku berhenti merokok atas keinginan sendiri bukan karena permintaan Maryati."
"Bagus kalau begitu. Oh ya soal sumuk tadi, beberapa bulan setelah kalian pulang ke Jakarta
sekitar 3-4 tahun lalu, di dusun ini dan beberapa dusun sekitarnya ditemukan cadangan minyak.
Katanya bisa sampai 50 tahun Zal."
"Di sini?" "Ya di sini. Di kampung istrimu. Nah, kamu tidak percaya rupanya."
"Aku kok tidak pernah baca soal itu di koran-koran
pak?" "Memang, itu masih er-ha-es." Ia terkekeh sebentar.
"Rahasia." "Kenapa rahasia?"
"Embuh3. Tapi persiapan pengeboran minyak itu jalan terus. Zal, penduduk kampung ini sudah
bernazar jika betul-betul ada minyak di bawah desa ini, kami akan memperbaiki makam Syekh
Habibullah di ujung desa yang pernah kamu kunjungi ketika melamar Maryati dulu. Ingat nggak?"
"Ingat pak. Kalau tidak salah, Syekh Habibullah itu penyebar Islam pertama di wilayah ini."
"Bukan di wilayah ini saja, tapi juga di Pulau Jawa. Banyak yang bilang Syekh Habibullah bukan
hanya sezaman dengan Wali Songo, bahkan menjadi salah seorang guru mereka."
"Lalu nazar apa lagi?"
"Kami juga sudah sepakat untuk memperbaiki pesantren Haji Ayub, balai desa, dan mengaspal
sendiri jalan masuk ke desa ini supaya tidak tertinggal dibandingkan tempat-tempat lain."
"Baguslah pak kalau begitu. Kapan rencana pengeboran berlangsung?" Kali ini aku tak mampu
menahan serangan kantuk yang sudah menggayut di kedua mata. Tanpa sengaja aku menguap
2 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
panjang, tak bisa kuken-dalikan.
"Bapak dengar sih secepatnya. Yo wis. Kamu istirahat sekarang. Besok kita sambung lagi."
"Baik pak." Aku menuju kamar dan melihat istriku sudah tertidur pulas. Aku tak kuat lagi dengan
panas malam ini. Kubuka baju sebelum naik ke dipan. Sayup-sayup wangi kretek dan aroma kopi
bapak masih tercium olehku selama beberapa detik sebelum kesadaranku hilang.
SELEPAS sholat Subuh aku tertidur lagi. Sempat kudengar Maryati yang sedang menjerang air di
dapur, dan bapak yang bersiap-siap menuju kantor pos. Entah berapa lama aku tertidur sampai
Maryati mengguncang tubuhku dengan keras. "Mas, mas, bangun."
Guncangan tangannya yang keras membuat tubuhku terlonjak. Aku mengucek mata dan melihat
arloji: baru 30 menit yang lalu aku tertidur, tapi rasanya sudah berjam-jam.
"Ada apa, Mar?"
"Zal, cepat keluar. Kamu tak akan percaya kalau tidak melihat sendiri!" suara bapak terdengar dari
luar kamar. Aku segera menghambur menemuinya. Begitu sampai di luar rumah, suasana sudah
begitu ramai. Tampaknya semua warga kampung keluar rumah pada saat yang sama dan berjalan
ke arah Selatan desa. "Ada apa pak?" Aku tak bisa lagi menahan pertanyaan.
"Gusti Allah menunjukkan kekuasaannya, Zal. Ayo kita jalan lebih cepat lagi,"
Lima belas menit kemudian kami sampai di ujung desa dekat makam Syekh Habibullah itu. Makam
ibu Maryati juga dikuburkan tak jauh dari situ. Namun sekitar 300 meter sebelum pemakaman desa,
penduduk berkumpul seperti memperhatikan sesuatu di tanah. Kami menyelusup ke dalam
kerumunan, mencoba maju. Sampai di depan aku ternganga melihat dari tanah itu keluar uap panas
dan cairan keruh yang terus menggenang. Suara warga membuat pagi menjadi riuh.
"Pantas saja daerah kita makin sumuk, rupanya ada
mata air panas di sini." Seseorang berseru dengan gembira disambut koor takbir dan tahmid dari
penduduk lain. "Desa ini bisa jadi tempat wisata air panas!" Lanjut sebuah suara.
"Subhanaltah, Engkau berikan karunia tak berhingga pada tempat kami ini, ya Rabbul 'alamin," ujar
seorang lelaki yang berdasarkan pakaiannya kuperkirakan imam di masjid desa.
"Luar biasa ya, Mas." Maryati berbisik di telingaku.
"Untung kita pulang kemarin sehingga bisa meyaksi-kan keajaiban alam ini."
Aku mengangguk dan memperhatikan cairan keruh yang terus keluar dari perut bumi. Uap panas
menimbulkan asap tipis yang melayang-layang seperti kopi baru diseduh. Kerumunan di belakang
kami semakin banyak, mendorong-dorong ingin maju. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah
sekaligus memberikan kesempatan kepada yang lain.
3 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Warga yang datang ke desa mertuaku semakin banyak. Sore harinya kami kembali menuju ujung
desa sesuai rencana untuk berziarah ke makam mertua perempuanku. Tapi ternyata tempat itu
sudah dipenuhi lapisan manusia yang sulit ditembus. Padat sekali. Beberapa kendaraan yang tak
pernah terlihat di desa itu kini terparkir di beberapa tempat. Bapak mertua menyarankan agar kami
berputar melalui arah Tenggara menuju makam. Tetapi semua jalan seolah diblokade oleh lautan
manusia. Dengan hatihati Bapak menyarankan kepada Maryati, "Bagaimana kalau kita kembali besok pagi
sehabis Subuh. Mungkin sudah lengang."
Aku lihat Maryati diam. Aku tahu keinginannya berziarah sudah tak bisa dibendung lagi, tetapi
menerobos lapisan manusia yang sangat rapat ini pun bukan hal mudah. Kulihat ia mengangguk lemah.
"Baiklah pak. Kita kembali besok saja." Kusampirkan tanganku ke pundak Maryati dan memijatnya
dengan hangat. Ujung bibirnya mencoba tersenyum.
Esok paginya desa semakin gempar. Semalaman cairan keruh terus keluar tanpa henti dari perut
bumi. Bapak datang dengan wajah pucat. "Ujung desa mulai terendam lumpur. Tak ada yang
tersisa. Juga makam ibumu, Mar."
Maryati menjerit histeris dan berlari keluar rumah menuju ujung desa. Aku mengejarnya. Kupikir
tindakan Maryati bisa menimbulkan pertanyaan warga, seolah-olah kami sedang mengalami
pertengkaran rumah tangga. Ternyata aku keliru. Semakin jauh aku mengejar, semakin banyak
warga yang kulihat berteriak histeris seperti Maryati.
Lalu masuk Ramadhan, cairan keruh itu seperti enggan berhenti. Pada hari kelima seluruh rumah
mengalami petaka yang belum pernah terjadi: banjir lumpur. Kami terpaksa pindah ke rumah Pak
De Susilo di kabupaten. Memasuki pekan kedua, banjir memasuki desa-desa sekitar. Pekan ketiga,
sebuah danau raksasa tercipta, menyisakan hanya atap-atap rumah yang cuma kami bisa lihat di
layar televisi atau lewat foto di koran.
Seminggu menjelang Idul Fitri semua penduduk tak ada lagi yang berselera untuk bicara. Ratusan
penduduk dikumpulkan di alun-alun kabupaten, dan memasuki bisbis yang sudah disediakan
pamong desa dengan langkah gontai. Semua akan direlokasi ke daerah baru. Tak ada pilihan lain,
termasuk bapak mertuaku. "Percayalah Nak, suatu saat nanti banjir ini akan surut dan makam
ibumu bisa kita temukan lagi." Mertuaku mencoba menenangkan hati anak
tunggalnya. "Ini lebaran penghabisan kita di sini, Nak. Tapi apa pun yang kita hadapi, Idul Fitri
bukan soal tempat dan suasana, melainkan soal kebersihan hati. Kita bisa berlebaran dalam situasi
sesulit apa pun." Suara tuanya bergetar parau.
Sejak itu tak pernah kudengar lagi kekeh suara bapak yang sering bertalu-talu di sela-sela embusan
rokok kreteknya yang wangi. Di sudut matanya, bulir-bulir air mata kulihat ditahannya agar tidak
pecah. Diam tak bisa, tak diam tak bisa.
Lamat-lamat kudengar ia bertakbir dengan mata terpejam. "La ilaaha Mallah huwa-Llahu akbar.
AHahu akbar wa iiiiahi-i hamdA"
4 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Jakarta, 11 September 2006
1 bojo = suami 2 sumuk = panas 3 embuh = tidak tahu 4 Tak ada Tuhan selain Allah. Dialah Yang Maha Besar, kepadaNya segala puji terhampar.
KELAMBU AKU tak menduga hal ini menjadi masalah penting. "Aku ingin ada kelambu," ujarnya perlahan.
"Maaf?" Aku tak yakin benar-benar mendengar kalimat itu.
"Kamu tak salah dengar. Aku ingin ada kelambu." "Kelambu?"
"Ya, di malam perkawinan kita."
Aku terkesiap, lalu tertawa lepas. Menggemaskan sekali calon suamiku ini.
"Ada yang lucu?" Air mukanya serius.
Aku masih tertawa. "Ya, tetapi tidak logis."
"Di mana tidak logisnya?"
"Sebab kita belum membicarakan bentuk kamar pengantin."
"Justru itulah mengapa aku ingin membicarakannya sekarang."
"Oke, kelambu, di hari pernikahan kita. Wow, kamu tidak bermaksud mengatakan bahwa..." "Persis.
Itu maksudku." "Maksudmu kelambu itu juga akan digunakan pada malam harinya?" "Ya."
"Hamdan!" "Kenapa kaget?"
"Karena kau laki-laki. Dan ide memakai kelambu di malam pertama perkawinan kita
adalah...adalah...." Aku
gagal menemukan katakata yang tepat untuk menyatakan "betapa tidak masuk akalnya ide itu di
zaman seperti ini." 5 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kelambu itu bukan cuma kita gunakan di malam pertama, juga di malam-malam selanjutnya."
"Apa?" "Bukankah aku pernah bilang bahwa aku terbiasa tidur memakai kelambu."
"Aku ingat, tapi aku kira itu hanya sewaktu kau masih SD."
"Itulah. Kau tetap saja tidak mendengarkan. Sampai kuliah, bahkan setelah bekerja sekarang, aku
masih tidur seperti itu."
"Kau pernah menceritakan itu memang. Kukira kau hanya ingin melucu."
Hamdan bertahta di hatiku sejak setahun silam. Aku bertemu dengannya di sebuah gerai penjualan
DVD di sebuah pusat belanja. Saat itu aku sudah berulang kali mengaduk-aduk film di kotak kayu
besar bercat cokelat. "Ada yang bisa kubantu?" Suara seorang lelaki membuyarkan pencarianku. Aku mencari asal suara:
sang pemilik gerai. "Aku lihat kamu belum menemukan satu pun film?"
"Betul. Ada saran film apa yang sebaiknya aku tonton" Bukan cuma hiburan, tapi yang bisa
mengembangkan wawasan."
"Kamu sedang resah?"
"Entahlah, belakangan ini aku selalu memikirkan orangtuaku."
"Boleh aku tahu pekerjaan mereka?" "Keduanya dosen."
"Sebentar." Tubuhnya berbalik mencari-cari sesuatu
di tumpukan DVD. "Ah, ini dia." Ia mengangsurkan sebuah film, Madadayo.
"Tentang apa ini?"
"Film yang menyenangkan hati. Lebih baik kau tonton sendiri."
"Terima kasih." Aku membuka dompet dan menjulurkan uang.
"Tidak usah, kamu tonton saja dulu. Kalau bagus, bayar Minggu depan."
Tak bisa kujelaskan betapa beruntungnya aku bisa menonton film yang luar biasa mengharukan itu.
Sebuah film tentang bagaimana seorang dosen yang sudah pensiun masih terus dihormati oleh
bekas muridnya, sampai ke anak cucu mereka. Minggu berikutnya, aku sudah di konter itu lagi.
Hamdan tersenyum melihatku.
"Bagaimana filmnya?"
"Indah sekali. Aku datang dengan tangan hampa, kau memberiku mutiara." "Syukurlah." "Berapa
harganya?" 6 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Hamdan tak mau menerima uangku. Ia malah menjadi konsultan untuk mencari filmfilm yang
bahkan judulnya pun tak kuketahui. Aku hanya berkata, "Aku ingin film seperti ini..." Dan ia akan
membawakan film tertentu, yang setelah aku tonton, persis seperti yang aku inginkan. Hamdan
hanya menjaga gerai di hari Minggu, Di hari lain, ia pengajar pascasarjana di sebuah sekolah
ekonomi swasta. Ia bilang, hobinya terhadap film baru muncul ketika bersekolah di Chicago. "Di
sana ada festival yang diselenggarakan kritikus film Roger Ebert terhadap filmfilm yang diabaikan
orang. Overlooked film. Aku tak pernah sekalipun absen menonton." katanya satu ketika.
Aku mengerti sekarang mengapa ia menginginkan kelambu di hari pernikahan kami. "Hamdan, ide
kelambu ini kau dapat dari sebuah film bukan?"
"Tidak. Itu bagian dari diriku yang harus kamu ketahui."
"Bukankah setelah menikah, seharusnya aku menjadi
kita?" Aku tak bisa membayangkan betapa anehnya harus tidur berkelambu. Itu hanya pernah aku jalani
sampai kelas 2 SD. Hamdan menatapku lembut. "Menjadi kita, bukan berarti semua harus seragam.
Keunikan yang menjadi identitasmu dan aku sebelum menikah biar saja seperti apa adanya."
"Aku mengerti. Begini saja, kelambu itu ada pada siang hari perkawinan, pada saat keluarga melihat
bentuk kamar pengantin. Tapi setelah malam turun, aku tak ingin kelambu itu digunakan."
"Itu tidak baik. Aku ingin semua dimulai dengan kejujuran."
"Kalau begitu aku jujur. Aku tak bisa tidur dengan kelambu, Hamdan. Aku merasa seperti ikan yang
terperangkap jaring nelayan. Perasaan itu bahkan sudah aku ketahui sejak kelas 2 SD, ketika aku
menolak menggunakan kelambu yang dipasang orangtuaku."
"Aku tak bisa tidur tanpa kelambu. Kau harus tahu
itu." "Termasuk ketika kau kuliah di Chicago?" Hamdan mengangguk. "Di asrama" Teman-temanmu
tahu itu?" Tetap mengangguk.
"Apakah tak ada yang merasa aneh karena itu atau, maaf, malah meledekmu?"
Hamdan menggeleng. Astaga!
AKU tak menduga hal ini menjadi masalah penting. "Aku ingin ada kelambu," ujarku perlahan.
"Maaf?" Ia seperti tak yakin benar-benar mendengar kalimatku.


Ada Seseorang Di Kepalaku Yang Bukan Aku Karya Akmal Nasery Basral di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu tidak salah dengar. Aku ingin ada kelambu." "Kelambu?"
"Ya, di malam perkawinan kita."
Ia terlihat terkesiap, lalu tertawa lepas.
7 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Menggemaskan sekali calon istriku ini.
"Ada yang lucu?" Air mukaku serius.
Ia masih tertawa. "Ya, tetapi tidak logis."
"Di mana tidak logisnya?"
"Sebab kita belum membicarakan bentuk kamar pengantin."
"Justru itulah mengapa aku ingin membicarakannya sekarang."
"Oke, kelambu, di hari pernikahan kita. Wow, wow, kamu tidak bermaksud mengatakan bahwa..."
"Persis. Itu maksudku."
"Maksudmu kau ingin kelambu itu juga digunakan pada malam harinya?" "Ya."
"Hamdan!" "Kenapa kaget?"
"Karena kau laki-laki. Dan ide memakai kelambu di malam pertama perkawinan kita
adalah...adalah...."
Anjali tak melanjutkan kata-katanya. Aku selalu suka melihatnya dalam kondisi ini, ketika legam
matanya berpendar seperti danau jernih yang memanggil penduduk hutan untuk berkumpul di
tepinya. Anjali bertahta di hatiku sejak setahun silam, ketika ia sedang mengaduk-aduk koleksi konter DVD
milikku. Wajahnya gundah. Biasanya aku sebal melihat calon pembeli hanya mengaduk-aduk
serampangan. Tapi kali ini aku tak bisa kesal melihat mata kelinci di depanku yang pikirannya
sedang mengembara itu. Wajahnya mirip pemeran utama film Monsoon Wedding karya Mira Nair.
Pipinya padat lembut berwarna cokelat martabak dan menyebarkan harum meruap. Aku
mendekatinya. "Ada yang bisa kubantu?"
Wajahnya terangkat mencari asal suara, sebelum menatap lurus kepadaku. Detik itu aku yakin
perempuan ini akan menjadi ibu dari anak-anakku. Jangan tanya bagaimana aku bisa tahu, apalagi
mengaitkan dengan profesiku sebagai dosen Ekonomi Internasional.
Anjali adalah peranakan dari ayah berdarah Iran dan ibu India, yang sudah tinggal dua generasi di
Indonesia. Seperti kebanyakan peranakan, kecantikannya muncul secara khas. Namun yang lebih
menyenangkan adalah ia seorang pendengar yang baik, dan pembicara yang hebat. Ia
penyeimbang sempurna dari sikapku yang kaku.
Namun sekarang aku tak mengerti, mengapa Anjali yang pandai dan selalu bisa menemukan sisi
baik dari setiap hal merasa heran dengan ihwal kelambu ini. Aku bahkan merasakan ia agak
tertekan. "Aku tak bisa tidur tanpa kelambu." kataku. Aku harus mengatakan hal ini sejujurnya sejak hari
pertama perkawinan kami. Aku selalu tenteram melihat jaring-jaring lembut berwarna putih itu
menjelang hilangnya kesadaranku memasuki alam tidur. Aku selalu menyisakan sedikitnya 10 menit
untuk menatap lubang-lubang kecil kelambu sebelum terlelap. Aku membayangkannya seperti
8 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
jaringan sel yang melindungi janin di rahim. Itulah saat-saat pendek yang membuatku merasa dalam
kandungan ibu, wanita tercinta yang tak pernah kurasakan belai dan kecupnya karena beliau wafat
saat melahirkanku. Suara Anjali menyadarkanku.
"Termasuk ketika kau kuliah di Chicago?"
Aku mengangguk. "Di asrama" Teman-temanmu tahu itu?" Tetap mengangguk.
"Apakah tak ada yang merasa aneh karena itu atau, maaf, malah meledekmu?" Aku menggeleng.
AKU tak menduga hal seperti ini menjadi masalah penting. Mereka berdua berbisik. "Maadha kail?"
Kudengar Anjali mendesis. Entah apa persisnya, telinga tuaku sulit mendengar dengan jelas.
"Madadayo2." Hamdan menjawab tak kalah lirih. Paling tidak kata seperti itulah yang kudengar.
Wajah Hamdan terlihat serius. Bibirnya hampir tak bergerak saat menyebutkan kalimat itu.
"Jadi begini Bunda," Anjali meremas tanganku, tampaknya ia sedang berusaha agar aku tak
khawatir. "Kami sudah siap menikah, hanya saja ..." Anjali memandang Hamdan. Yang ditatap berkomentar
pendek. "Masih ada satu hal yang harus kami diskusikan lagi, Bunda."
Yang aku sukai dari pemuda ini adalah ketulusan suaranya saat memanggilku Bunda. Aku tahu
ibunya meninggal saat ia dilahirkan. Tapi Hamdan sungguh-sungguh memperlakukanku sebagai
seorang ibu, yang dalam beberapa hal, bahkan lebih intens ketimbang yang ditunjukkan
Anjali. "Boleh Bunda tahu masalah kalian?" Mereka terdiam. Aku tak mendesak. Segala sesuatu ada
waktunya. Termasuk untuk memberikan sebuah jawaban.
"Kami ... " Anjali meremas tangannya. "Kami masih belum sepakat soal kelambu, Bunda."
Seribu pertanyaan muncul di ujung mulutku mencari jalan keluar. Tiba-tiba aku merasa begitu renta,
tak mengerti anakanak sekarang. Kubiarkan bibirku terkunci. Ini hidup mereka, ini perahu yang
sedang mereka persiapkan untuk mengarungi samudera kehidupan. Biarlah mereka sendiri yang
memutuskan bentuk biduk yang mereka inginkan.
"Bunda tidak marah?" Suara Hamdan terdengar seperti seorang anak kecil yang sedang belajar
menggenggam sebutir telur.
Aku menggeleng, mencoba tersenyum. Namun di dalam hati, tetap saja aku bingung. Aku tak
menduga hal seperti ini bisa menjadi masalah penting. Begitu penting.
Jakarta, 2006 9 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
1 Maadha kai"* = Sudah siap"
2 Madadayo*= Belum '"Dua kata ini muncul beberapa kali, dan menjadi esensi film Madadayo (Akira Kurosawa).
PROLOG KEMATIAN GADIS itu terperangah melihat tayangan televisi di depannya: siaran langsung dari sebuah ruas
jalan protokol yang biasanya selalu padat. Kali ini suasana jalan terlihat mencekam. Bukan karena
terlalu lengang. Tidak. Jalan itu tetap ramai, tetapi dalam bentuk lain. Bentuk yang kalau bisa tak
ingin ia saksikan meski sepersejuta kerjap mata. Namun terlambat. Ia telanjur melihat kerumunan
orang yang sedang menggelepar seperti disembelih tangan-tangan algojo yang tak tampak. Ada
yang dahinya koyak, lengan kutung, pinggul rompal.
Anehnya tak terlihat warna merah darah yang membanjir seperti layaknya bila mayat-mayat
berserakan. Semua berwarna cokelat kehitaman, seperti wajah-wajah yang diolesi oli mesin pada
permainan rakyat saat perayaan tujuh belas Agustus di kampung-kampung. Kamera menangkap
ekspresi seorang lelaki yang mencoba keluar dari parit di pinggir jalan. Badannya gemetar, seperti
bayi yang baru belajar berdiri dan menyeimbangkan badan. Sedikit lagi ia berhasil keluar dari parit.
Sedikit lagi dan, hup, ia kembali terguling seperti batang pisang yang menggelinding. Daun
telinganya terlihat hanya tinggal yang sebelah kiri. Bajunya cabik-cabik seperti baru diterkam selusin
anjing gila. Lalu kamera televisi mengambil gambar long shoot
kawasan itu. Gadis itu terpaku. Ia lupa hendak mengerjakan apa semenit yang lalu, atau hendak menelepon
siapa. Gambar yang tersaji di layar kaca seperti membangunkan kembali kenangan masa lalu yang
sudah terkubur rapi di pojok ingatannya. Gedunggedung jangkung yang kini terlihat telanjang akibat
semua kaca pembungkusnya hancur beran-takan. Begitu halus seperti beras tumbuk di lesung
petani. Kendaraan yang berhenti tak beraturan, tak berpola, dan masih menyisakan asap hitam
tipis. Kamera televisi berubah mengambil posisi medium close up. Gadis itu tercekik. Di hadapannya, di
layar televisi, sebuah sepeda motor hangus terpanggang seperti bangkai tikus raksasa. Dan di atas
motor itu, ya Tuhan, seseorang tergeletak dengan posisi seperti hendak terjun bebas ke kolam
renang. Tak jelas apakah orang (atau mayat") itu berjenis kelamin lelaki atau perempuan. Tetapi
apakah bedanya sekarang" Seperti apakah rasanya ketika maut mendekapmu dengan pelukannya
yang mesra" Gadis itu menggigil. Butir-butir keringat sebesar jagung bermunculan di dahinya.
Badannya terasa makin panas di ruangan yang begitu sejuk.
Lalu kamera televisi kembali mengambil long shoot dari sebuah mobil yang kini sehitam jelaga.
10 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Gadis itu menghapus setitik air matanya yang mulai terbit. Ia mengambil remote control dan
memberanikan diri memperbesar volume suara televisi. Kamera bergerak mengambil close up, lalu
extreme close up ke arah mobil sedan itu. Seorang perempuan muda terkulai seperti tertidur. Pipi
kanannya bertumpu pada kemudi sehingga ia seperti terlihat menengok ke kiri. Bubuk jelaga di
wajahnya tak bisa menutupi kecantikannya yang menonjol. Kamera menangkap gambar sebuah
folder tergeletak di jok kiri mobil itu. Sebuah tulisan di bagian kanan atas: Kay Elena.
Lantas kamera bergerak menangkap wajah seorang penyiar yang terbata-bata berujar. "... ledakan
besar yang terjadi 25 menit lalu di kawasan ini sudah menewaskan 12 orang tak berdosa yang mati
di tempat, termasuk seorang korban wanita di belakang kami. Kami masih belum bisa memastikan
apakah korban memang bernama Kay Elena seperti terlihat di foldernya, ataukah itu milik orang lain
yang juga masih berada di dalam mobil nahas tersebut..."
Tanggul di pelupuk mata gadis itu jebol seperti banjir besar yang merendam Jakarta hampir setiap
lima tahun sekali. Tak tertanggulangi.
DUA tahun lalu. Ya, dua tahun yang lalu gadis itu bertemu mereka, orang-orang yang baru
dilihatnya pertama kali selama ia bekerja di kafe tersebut. Tiga pasangan yang datang
sendiri-sendiri. Dihitung sejak kedatangan orang pertama seorang lelaki tegap berkaca mata yang
duduk di kursinya sekarang, orang keenam baru muncul hampir 3D menit kemudian. Setelah itu
salah seorang dari mereka, seorang perempuan berwajah Oriental, melambaikan tangan
kepadanya. Ia mendekat. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Bisa keluarkan menu untuk reservasi atas nama Ve-rena sekarang?" ujar si wajah Oriental dengan
senyumnya yang ramah. "Segera. Ada lagi yang lain?"
"Tidak. Cukup itu dulu untuk saat ini. Terima kasih." Gadis itu kembali ke dapur, mengambil
pesanan mereka. Orang-orang yang aneh. Mereka terlihat akrab, sangat akrab, ketika bercakap-cakap.
Tapi sewaktu mereka datang tadi, satu persatu, mereka hanya saling melambaikan tangan, lalu
bersalaman sebentar seperti baru pertama kali bertemu.
Gadis itu mulai menata pesanan di atas meja. Sesekali ia mencuri dengar pembicaraan mereka.
Tidak. Sebenarnya ia bukan mencuri dengar dalam arti harafiah. Ia sedang mengatur pesanan
mereka, sehingga apa boleh buat, banyak juga katakata yang tak sengaja terdampar di gendang
telinganya. "Saya kira besok kita bisa mulai survei ke daerah Trunyan dan Toya Bungkah," ujar seorang lelaki
bertubuh kecil yang berambut ikal. "Kalau cocok, kita bisa mulai syuting lusa."
"Apa tidak sebaiknya kita tunggu dulu Verena selesai dengan seminarnya, Anton?" ujar seorang
wanita berkulit pucat yang duduk di seberangnya.
11 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Toh, dia cuma dua hari sebagai pembicara. Nanti di hari ketiga baru kita hunting lokasi
bersamasama." "Tidak apa-apa Eva. Kalian jalan saja dulu kemana kalian ingin selama dua hari ini. Setelah itu aku
menyusul," jawab Verena.
"Tetapi rasanya kok kurang komplet kalau kita cuma berlima, dan Verena tidak ikut terlibat,"
sambung lelaki pertama yang datang ke kafe. "Aku setuju dengan usul Eva. Bagaimana Malik?"
"Terserah. Aku ikut saja rencana kalian." ujar lelaki ketiga yang terlihat paling tua dari mereka
berenam. "Aku sudah ambil cuti kantor dua minggu, jadi tidak terlalu terburu-buru."
"Ira?" Si lelaki pertama kali ini mengalihkan pandangannya pada seorang perempuan yang terlihat
paling muda di antara mereka. "Bagaimana menurutmu?"
"Aku juga setuju, Beng. Lebih enak kalau kita bisa melakukannya bersamasama, karena
"Bukan begitu maksudku. Maaf kupotong," tukas Verena. "Aku senang kalian mau menunggu
sampai pekerjaanku selesai di sini, tetapi ..."
Gadis itu tak bisa mendengarkan lebih jauh. Ia harus kembali ke dapur, mengambil sisa pesanan
yang belum terbawa. Orang-orang di belakangnya terus bercakap-cakap. Begitulah, sambil
melayani mereka, gadis itu mulai mendapat gambaran tentang tamu-tamunya. Sebuah gambaran
yang mungkin saja berbeda dari kenyataan sesungguhnya.
Keenam orang ini ternyata memang baru pertama kali bertemu. Mereka datang dari beragam
profesi. Verena Sucipto adalah doktor pakar gempa lulusan Universitas Kyoto yang akan menjadi
pembicara di sebuah simposium internasional di Nusa Dua. Tampangnya lebih mirip seperti aktris
Zhang Ziyi ketimbang ilmuwan yang selalu berkutat di laboratorium. Sementara Anton seorang
sutradara independen yang beberapa film dokumenternya sudah diputar beberapa festival film
international. Kalau ia tak salah dengar, mereka akan membuat film tentang kematian. Entah
kematian siapa atau apa. Tapi ia tak yakin apakah ingatannya benar untuk hal ini. Sementara Eva,
Beng, Ira, dan Malik, ah, ia tak bisa mengingat profesi mereka satu-persatu. Lagi pula apa
perlunya" Mereka hanya mampir sekali ini saja di kafe tempatnya bekerja.
Yang membuat gadis itu tertarik kepada mereka adalah karena keenam orang itu sudah lebih dulu
berinteraksi secara virtual. Mereka para pengembara dunia maya
yang tak kenal lelah. Sudah lebih dari dua tahun, dari yang ia dengar, mereka berdiskusi intens
setiap hari. Kadang-kadang bisa beberapa kali dalam sehari. Namun baru kali ini mereka bisa
bertemu muka. Keenam orang itu anggota mailing list Eternal-Life yang tertarik membahas
fenomena kematian dan hidup sesudah mati. Jumlah anggota milis sebenarnya lebih dari 400
orang, tapi hanya mereka yang bisa bertemu sekarang. Dan ternyata tak seorang pun tinggal atau
berasal dari pulau ini. Ada yang dari Jakarta, Malang, Medan bahkan Makassar. Mereka
berbincang-bincang dengan antusias soal pengalaman Astral, near death experience, dan
istilah-istilah lain yang baru pertama kali didengar gadis itu dalam hidupnya.
Mailing list tentang kematian" Ada-ada saja. Apa enaknya hidup bila membicarakan yang mati"
Tapi kemudian sebuah peristiwa tak lazim terjadi. Ketika mereka selesai makan, dan ia sedang
membereskan meja, awalnya Verena yang berkata.
12 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Terima kasih. Anda melayani kami baik sekali."
"Tidak masalah. Itu sudah tugas saya."
"Kalau tidak keberatan, boleh tahu nama Anda?"
Nah, ini dia. Biasanya hanya lelaki iseng yang mulai bertanya seperti itu, dengan mata merah
mereka yang mulai berpendar seperti hendak menerkam tubuhnya.
Gadis itu melihat cepat ke arah lima tamunya yang lain. Mereka menatapnya dengan sopan.
Sebuah tawaran perkenalan yang tulus. Apakah ia akan memberi tahu mereka nama panggilannya"
Tidak, itu terlalu akrab. Nama lengkapnya" Jangan, terlalu formal. Atau nama depannya saja" Ya,
ini saja. Mereka bukan siapa-siapa selain tamu yang hendak berterima kasih.
"Caitlin." Ia menyorongkan tangan.
"Verena." "Eva." "Anton Hermansyah. Bisa kau panggil salah satunya kalau mau." "Malik." "Beng." "Ira"
Ya, ya, aku sudah hafal nama kalian semua, "Caitlin?" Anton menatap matanya, terpaku. "Kamu
Indo?" Mengangguk, "Prancis?" sambung Eva. "Garis wajahmu seperti Sophie Marceau."
Menggeleng, Tertawa lemah, "Terima kasih. Itu pujian yang berlebihan."
"Irlandia ya" Matamu hijau?" Beng menyambar separuh menggoda.
"Huuuuuu...." seru teman-temannya serempak.
"Dia pakai soft lens Beng. Makanya jangan keterusan jadi paranormal supaya nggak ketinggalan
mode. Bergaul dong," ledek Ira.
"Jadi apa?" tanya Verena.
"Mama dari Nebraska. Dari kota kecil yang sulit dicari dipeta."
Para tamunya seperti anggota kelompok vokal yang berseru kompak: "O!"
"Satu pertanyaan kecil, tak usah kaujawab bila tak ingin: kenapa tak jadi bintang sinetron" Dengan
modal wajah dan tubuhmu yang ... " Anton memekik kecil sebelum menuntaskan kalimatnya.
Kakinya diinjak Ira. "Anton!"
"Tak apa-apa Eva. Aku hanya menginginkan pekerjaan yang benar-benar aku inginkan. Ada yang
salah dengan menjadi pelayan kafe, Anton?"
13 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tidak, cuma ..." Anton pantang menyerah.
"Kami di sini ingin membuat sebuah film kolaborasi, independen. Sebagai dokumentasi
persahabatan saja. Tak ada yang mendapat bayaran. Barangkali jika, eh, kau mau ikut" Bagaimana
teman-teman?" Ia mencari dukungan. Film tentang kematian" Tidak, terima kasih.
Begini Caitlin," Verena seperti bisa membaca pikirannya. "Ini sebuah film, ah aku tak tahu apakah
pantas disebut sebuah film, yang jelas hanya sebuah dokumentasi kecil. Entah apa istilah yang pas,
tetapi Anton punya beberapa ide yang menurut kami cukup menarik bila dicoba dalam dokumentasi
ini. Masalahnya adalah tak seorang pun dari kami yang benar-benar akrab dengan seluk beluk
pulau ini. Maksudku, barangkali kau tahu tempat-tempat yang belum over exposed, tapi memiliki
daya magis yang tinggi. Sebentar,.." Verena melihat ponselnya yang bergetar. "Ya, saya sendiri.
Halo ..." "Bagaimana Caitlin?" Kali ini Eva yang buka suara.
"Aku tak tahu. Aku tak pernah tertarik dengan syuting film. Mungkin kalau sekadar menunjukkan
beberapa tempat seperti yang diinginkan Verena, aku tahu beberapa di antaranya. Aku hampir dua
tahun di sini." "Halo" Aduh, sinyalnya putus-putus. Saya keluar sebentar." Verena menutup ponsel dengan
tangannya, dan melihat ke arah teman-temannya.
"Maaf, saya tinggal sebentar. Saya harus menerima telepon ini. Tentang seminar besok."
Verena melihat ke arahnya, seperti minta pertolongan. Ia mengantar tamunya ke pintu dan
membukakannya. Doktor muda itu berjalan menjauh dari kafe. Caitlin melihat sejenak ke lebuh di
depannya yang mulai ramai. The night is still young. Aroma laut tercium tipis di cuping hidungnya.
Mengambang di jalan-jalan. Dentum musik yang menyelinap dari ratusan tembok resto, bar, dan
kafe di sepanjang jalan yang tak terlalu besar itu seperti melukis langit dengan nada-nada mayor
yang repetitif. Ia melihat secercah warna merah di langit Oktober. Ia menutup pintu, dan berjalan
kembali ke meja teman-teman barunya. Anton langsung menyambutnya dengan pertanyaan.
"Jadi bagaimana, Cait... bersed... ik..."
Pertanyaan itu tak utuh didengarnya. Tiba-tiba ia merasa pening yang luar biasa. Lampu-lampu kafe
terlihat bergoyang, tembok bergemuruh seperti sedang dibuldo-zer, dan lantai tempatnya berdiri


Ada Seseorang Di Kepalaku Yang Bukan Aku Karya Akmal Nasery Basral di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seakan sepotong sampan yang diamuk taifun samudera. Seluruh isi perutnya seolah berebut keluar
dari lehernya yang jenjang. Matanya nanar. Orang-orang terlihat menjerit. Ia tak tahu apakah
tamu-tamu di sekitarnya itu memang menjerit, ataukah hanya penglihatannya saja seperti ketika
sedang mabuk berat. Mereka terlihat membuka mulut lebar-lebar dan berteriak, tapi ia hanya mendengar suara
lamat-lamat. Ataukah telinganya yang kini tuli" Lalu gelap. Aneh, kini ia baru mendengar
orang-orang berteriak. Sangat keras seperti mendengar nafiri kematian, dengan bunyi
berderum-derum dari atas kepalanya. Di dalam gulita ia melihat gulungan asap, dan bau mesiu
yang menyilet-nyilet hidungnya sampai ke pangkal penciuman. Ada bau amis yang samar, lalu asin,
lalu tawar. Ia sudah tak yakin dengan kemampuan panca inderanya. Lalu semuanya menghitam. Ia
seperti terjatuh ke dalam lorong tak berujung, begitu panjang. Dan terus meluncur seperti setitik
14 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
debu dalam cerobong asap. Hitam sepekat-pekatnya. Ia tak tahu apakah matanya sudah buta atau masih bisa
melihat. Tapi apa artinya 'bisa melihat1 bila yang ada di sekeliling hanya kelam"
SETAHUN setelah peristiwa itu ia menerima sebuah kiriman paket. Sebuah CD kompilasi lagu.
Desain sampulnya mosaik foto dari enam orang sahabat barunya di Bali. Di bagian atas sampul
tertulis dengan tinta perak yang ditulis tebal, J
time goes you say, ah no.
alas, time stays, we go. Ledakan itu, ledakan yang terjadi ketika malam belum lagi mencapai puncak terkelamnya, ikut
membawa pergi nyawa Verena. Perempuan berwajah Oriental itu berdiri terlalu dekat dengan
episentrum ledakan di luar kafe. Tubuhnya hancur. Sementara ia dan kelima teman barunya
pingsan dan terluka parah. Delapan orang lain di kafe tempatnya bekerja ikut meninggal.
Tiga bulan pertama dihabiskannya di rumah sakit, karena cedera di bagian kepala dan tulang
lengan atasnya retak tertimpa balok. Ia menderita nyeri di sekujur tubuh, tapi kepalanya yang paling
serius. Ia sempat mengalami kondisi permanent vegetatif state selama tiga pekan. Memasuki pekan
keempat, sebuah mukjizat kecil membuatnya percaya Tuhan itu ada. Kesadarannya berangsur
pulih. Cerobong hitam pekat yang mengelilinginya
ternyata berakhir. Ia serasa jatuh di sebuah lubang yang dimasuki sejarum tipis cahaya, lalu
menjadi segaris, sebidang, dan diikutinya terus sumber cahaya itu yang mengantarkannya ke
sebuah taman. Begitu kemilau, begitu wangi semerbak kesturi.
Di bulan keempat ia baru mengetahui bahwa Verena meninggal akibat ledakan itu. Beng diamputasi
kaki kirinya, dan Ira kehilangan bola mata kanannya yang membusuk akibat tertusuk serpihan
puing. Teman-temannya yang lain meski mengalami berbagai cedera, berangsur-angsur kembali
pulih. Tinggal ia sendiri yang harus menjalani terapi pasca-traumatik intensif selama sembilan bulan,
bolak-balik antara Jakarta-Singapura. Ia bersikeras tetap tinggal di Jakarta, dan menampik usul
kedua orang tuanya yang sudah bercerai agar mau menetap di negara pulau itu untuk
memudahkan pengobatan. Di bulan kesepuluh pengobatan, ibunya terbang dari Nebraska ke Singapura dan sudah menunggu
di ruang tunggu therapist. Selesai sesi, ibunya dengan sangat hatihati meminta putri semata
wayangnya yang keras kepala itu untuk mau mengikutinya ke sebuah apartemen di kawasan Bugis
Junction. Ia mengalah, sambil terus bertanyatanya apa yang hendak disampaikan ibunya.
Di apartemen itu ia temukan sebuah kejutan lain: ayahnya sudah menunggu. Tidak mungkin.
Ayahnya seorang Atase Perdagangan KBRI di sebuah negeri pecahan Uni Soviet, terlalu sibuk
untuk mau menunggu. Sejak ia kecil, ayahnya tak pernah punya waktu untuk menunggunya. Tidak
ketika ia pulang sekolah, tidak ketika ia pulang les balet, tidak dalam kondisi apapun. Ia merasa
ayah dan ibunya berkomplot untuk menjebaknya sekarang. Tapi ia tetap memindai adanya
kekakuan hubungan mereka yang
tak pernah cair. "Aku langsung saja ke pokok permasalahan. Ibumu yang memintaku kemari. Dia khawatir kau
15 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
selalu bolak-balik Jakarta-Singapura tanpa pengawalan..."
"Aku bukan pejabat negara yang perlu dikawal."
"Jangan bantah dulu. Demi Tuhan, tidak bisakah kau untuk sekali saja mendengarkan kami?"
"Dengarlah sayang, mama yang akan menemanimu di sini sampai kau benar-benar sembuh.
Setelah itu, terserah apakah kau mau kembali ke Jakarta, ke Bali, atau hidup di manapun. Kau
sudah 21 tahun, dan berhak mengatur hidupmu sendiri."
Gadis itu tahu ia tak punya pilihan lain. Tidak pada saat-saat seperti ini. Tubuhnya sedang tidak
sempurna, mentalnya sedang lemah, dan kondisi keuangannya, ah, tak ada yang bisa disebutnya
sebagai tabungan saat ini. Ia parasit hidup bagi kedua orang tuanya. Di usia ke-21. Betapa
memalukan. Ia tak punya pilihan lain, selain menghabiskan pekan demi pekan di lantai 18 sebuah
kota metropolis yang selalu sibuk setiap saat. Belum lagi seorang ibu yang selalu meladeninya
seteliti meladeni bayi. Ia sama sekali tak tersentuh. Ia tahu telah mewarisi dua sifat terburuk dari
orangtuanya: kekeraskepalaan ayahnya, dan arogansi ibunya. Semua melebur dengan sempurna di
wajahnya yang seindah bidadari.
Suara pembawa acara di televisi tiba-tiba mengembalikan kesadarannya, "... kami baru
mendapatkan konfirmasi dari pihak kepolisian bahwa korban tewas bernama Kay Elena sebenarnya
bernama lengkap Caitlin Elena Adikaryono, putri tunggal Atase Perdagangan Indonesia di
Uzbekistan, Bapak Adikaryono Sumo ..."
Gadis itu mengusap matanya yang basah. Ia tahu
dirinya sudah lama mati, tapi tidak pernah dibayangkannya setragis ini. Ia abaikan ketukan pintu
dan suara ibunya yang bertalu-talu di luar kamar. Kematian itu begitu cepat, meski terus saja terjadi
pada dirinya berulang kali. Setiap saat.
"Kay, Kay, buka pintunya. Sarapanmu sudah dingin nanti nggak enak lagi, ayo sayang. Kamu harus
banyak makan, kalau mau cepat sembuh. Kay, Kay ..."
Bali - Jakarta, 2DD2-2DD6
BOYON NAMAKU Boyon. Jems Boyon. Nama ini diberikan ayah setelah menonton film yang dibintangi Sean
Connery di bioskop lusuh Pasar Atas, Bukittinggi, Sumatera Barat. Atau lebih tepatnya, setelah
ayah dan ibuku yang hamil tua menonton film itu. Mereka tidak tinggal di Bukittinggi melainkan
sekitar 14 kilometer ke arah Payakumbuh, di desa Kapau yang terkenal dengan kelezatan nasinya.
Mungkin karena perjalanan yang cukup jauh, kontraksi perut ibu berlangsung lebih cepat tiga pekan
dari perkiraan. Malam harinya ibu melahirkan dengan bantuan bidan.
Aku ingin namanya Hatta, agar sikapnya harum wangi seperti proklamator kita," kata ibu sembari
16 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berulang kali menciumi pipiku. Tentu saja aku tak ingat kejadian itu kalau tidak diceritakan lagi oleh
ibu. "Nama yang bagus, tapi ..." Ayah jelas tak setuju. Setelah beberapa detik gagal menemukan
katakata yang pantas, sikap ayahku yang gadang ota, alias omong besar, tak bisa disembunyikan
lagi. "Pak Hatta hidupnya terlalu sederhana. Aku tak mau anakku hidup menderita di jamannya."
"Kalau begitu...Hamka?"
"Itu lebih berat lagi. Nama ulama besar jangan sembarang diberikan, Kalau tidak kuat, anak kita
bisa gila." "Bagaimana kalau Navis, katanya itu nama penulis."
Ibu pantang menyerah. "Ah tidak. Penulis hidupnya miskin." "Kita toh sudah melarat."
"Karena itu jangan ditambah-tambah lagi." Lidah ayahku seperti pesilat lincah. Setelah beberapa
menit yang hingar oleh dengung nyamuk di rumah kami yang su-muk, ayah menjentikkan jarinya
seperti mendapatkan ilham.
"Kita namakan saja Jems Boyon seperti film yang kita lihat tadi. Itu nama modern. Pintar, tampan,
dan disenangi padusil."
Ibuku seorang yang santun. Dia hanya berkata pendek. "Uda yakin itu nama yang benar?"
"Yakin. Saya pernah berdagang di Negeri Sembilan. Di sana, begitulah mereka mengucapkannya.
Lidah warisan Inggris mereka tentu tak keliru seperti milik urang awak," Begitulah. Pendidikan
ayahku yang kandas setingkat kelas 4 Ibtidaiyah, bergabung sempurna dengan sifat gadang
ota-nya yang selalu membanggakan diri pernah ke luar negeri, meskipun hanya sebagai penjual
bubur kampiun di Malaysia. Dua bulan kemudian beliau pulang kampung saat mendengar Polis
Diraja Malaysia akan melancarkan razia terhadap pendatang haram. Seperti halnya para gadang
ota sejati, ayah tak punya cukup nyali untuk kembali mengejar mimpinya. Semua terhenti sebatas
katakata. SEWAKTU bersekolah di SD dekat rumah, teman-teman memanggilku Boyon. Aku merasa biasa
saja, mungkin karena belum punya konsep tentang keren tidaknya sebuah nama, Menginjak SMP
aku baru tahu yang dimaksud ayah dengan Jems Boyon tak lain dari James Bond.
Maka di sekolah, aku menulis namaku sebagai James. Kalaupun harus dipanjangkan, ya James B
saja. Nama Boyon terdengar seperti bh'on, istilah yang dipakai seorang teman kelasku dari Jakarta
untuk memanggil orang dungu. Tapi seorang guru mengaji di surau dekat rumahku satu kali
menasehati. "James itu nama orang kafir. Tidak pantas orang Minang yang menjunjung adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah2 memakai nama seperti itu."
Aku diam saja, meski hatiku panas. Shalatku memang seperti saringan teh yang bolong-bolong,
Tapi kalau disamakan dengan orang kafir aku tersinggung juga. Bukankah kata seorang pujangga
Inggris, apalah artinya sebuah nama" Masalahnya, kendati tubuhku semontok karung beras, guru
ngaji itu juga mengajar silat. Jadi apa yang bisa kuperbuat"
17 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sepulang dari surau, aku langsung ke sawah. Menjelang pucuk malam, aku mengendap-endap
mendekati surau dengan karung di pundak. Di Minang ada kebiasaan anakanak lelaki yang mulai
dewasa tidak tidur lagi di rumah orangtuanya, tapi di surau. Malam itu ternyata hanya sedikit murid
tidur di sana. Sedangkan guru mengaji yang rajin berkhalwat kepada Allah Ta'ala itu kuintip tengah
mengerjakan shalat malam. Saat yang pas untuk melepaskan 15 katak dan 23 belut tangkapan
malam itu ke dalam surau.
Lalu aku menjauh, menunggu. Tak lama kemudian, terdengar kehebohan luar biasa dari surau
gelap itu. Hampir semuanya memekik histeris. Lalu pintu terbuka, guru mengajiku keluar seperti
hendak mencari si pelaku. Untungnya bulan malas bercahaya. Aku melangkah pulang dengan hati
puas. Baru sebulan kemudian aku berani mengaji lagi, setelah yakin guru itu lupa dengan serangan
katak dan belut. Lalu aku melanjutkan sekolah di SMA 1 Bukittinggi. Saat itu film Catatan Si Boy yang meledak di
Jakarta bergaung juga gemanya sampai ke ruang kelas kami. Maka aku lupakan nama James.
Namaku menjadi Boy. Aku bergaya seperti Onky Alexander dengan kerah baju diluruskan ke atas,
meskipun kalau mau setia pada tokoh di film, wajahku terlihat lebih mirip Emon karena rambut
ikalku serta postur dengan berat/tinggi tubuh 82 kilogram/164 cm. Terlalu berat" Tidak juga. Jangan
lupa aku berasal dari Kapau. Kalau baru menyantap sepiring nasi, rasanya seperti baru makan
sehelai roti. Jumlah kehadiranku di dalam kelas sebanding dengan jumlah ketidak-hadiranku. Aku lebih suka
nongkrong bersama beberapa teman di jembatan Limpapeh yang menghubungkan Kebun Binatang
dan Benteng Fort de Kock. Jembatan itu terbentang di atas Jalan Achmad Yani, jalan utama di
Bukittinggi. Jembatan ini tempat paling nyaman untuk melihat turis asing lalu lalang. Terutama turis
wanita yang sering malas berpakaian lengkap seperti perempuan kita. Tak ada turis yang berbaju
kurung, apalagi berkerudung. Jika mereka tersenyum, aku merasa melayang seperti balon gas.
Bosan di Limpapeh, aku menyelinap ke bioskop yang pernah diceritakan ibu, meski aku harus
hatihati karena warung bubur kampiun ayahku ada di dekat situ. Pertama agar tidak tertangkap
basah sedang bolos. Kedua, aku tak mau ada teman yang tahu bahwa ayahku tukang bubur
kampiun. Sekali kenyataan ini tersebar, duniaku kiamat selamanya. Maka semua film di bioskop itu
kutonton tanpa peduli. Aku lebur dalam segala peran. Ketika menonton Rambo, aku melihat
wajahku di tubuh kekar Syl-vester Stallone. Tampan sekali. Aku bahkan menirukan gaya bicaranya
yang terdengar seperti sapi mengunyah kelereng.
Betapapun seringnya aku bolos, aku tak pernah tinggal kelas. Bahkan aku selalu bisa masuk tiga
besar. "Beruntunglah otakmu encer, Buyung," kata guru sejarah yang selalu menolak memanggilku
Boy, Menurut teorinya, Buyung itu justru versi lokal Minang terhadap boy dan young. Aku tak tahu
apakah ia serius atau bergurau. Yang jelas terhadap pendapat ini, aku bercita-cita ingin membuat
sebuah film dokumenter tentang legenda Minang yang syahdan pernah disinggahi Iskandar
Zulkarnain Yang Agung ketika "dunia masih sebesar telur ayam". Saat pengumuman kelulusan SMA
diumumkan, aku menjadi juara umum kedua. Hampir tak ada yang percaya. Tapi inilah hidup, tak
semua fakta bisa kita percaya, bukan" Tekadku sebulat tubuhku: masuk Institut Kesenian Jakarta.
Aku ingin menjadi aktor. Di Jakarta nama Boy ternyata banyak sekali. Aku ingin berbeda, modern sekaligus khas. Maka
kupilih nama Jems Boy Chaniago. Panggilan: Jembi. Ketika teman-teman mendengar ini mereka
18 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tertawa terbahak-bahak. Para mahasiswa beramai-ramai menyiramku dengan es cendol di depan
Kafe Alex. Mendadak rambutku seperti Bob Marley. Mahasiswi terkekeh-kekeh geli. "Idih, jorok
sekali sih namamu," teriak salah seorang. Aku jadi malu setelah seseorang membisiki betapa
mengerikannya bila mereka harus memanggil namaku di tengah keramaian. Setelah mengutak-atik
beberapa pilihan, hatiku berkata: Jaby Chan. Ya, ini pilihan terbaik. Jaby tentu saja dari James Boy.
Yang penting terdengar mirip Jacky Chan, idolaku saat itu setelah tahu Jacky hampir tak pernah
menggunakan stunt man dalam filmfilmnya.
Aku pun mulai serius membentuk tubuh biar terlihat mirip Jacky. Lumayan juga hasilnya. Beratku
turun dari 82 menjadi 74 kilo. Otototot perutku mulai terlihat six-pack. Aku pun ikut kursus tertulis
ortopedi. Tinggi tubuhku terdongkrak 2 senti dari 164 menjadi 166 cm. Aku juga berterima kasih
kepada para penemu matematika, sehingga jika angka itu dibulatkan, maka tinggiku sekarang 1,7
meter. Lumayan. Tinggi dan berat badan baru inilah yang kupasang di curriculum vitae sebelum
kusebar ke beberapa artist management.
MEMASUKI kuliah tahun kedua, ayahku wafat. Aku tak sempat menghadiri pemakamannya karena
terikat kontrak dengan sebuah produksi film laga. Jika aku nekad pulang, bukan saja kontrak
diputus, aku malah harus bayar ganti rugi. Sialan!
Di dunia film aku mulai merasakan ritme kehidupan Jacky Chan meski cuma urusan stunt man.
Soalnya peran utama tetap jatah bintang film terkenal meski berotak bagal. Aku hanya pemeran
pengganti. Ada di film, tapi tak dikenali penonton. Yang mengenaliku justru dukun urut patah ulang
di Jakarta Selatan. Itupun setelah beberapa kali aku ke sana,
Hari kelima setelah pemakaman aku bisa pulang melihat tanah pusara yang masih merah. Ibu
bertanya apakah aku tak ingin melanjutkan usaha bubur kampiun. Aku menggeleng tegas. Ia
mengangguk lemah seraya mengangsurkan sepucuk surat.
"Dari ayahmu." "Kapan ayah memberikan?"
"Dia menulisnya sudah lama sekali. Pesannya tolong
diberikan kepadamu jika dia meninggal."
Aku masuk kamar, membuka surat itu. Tanggalnya menjelang aku lulus SMA. Isinya singkat:
Anakku, maafkan jika selama ini ayah membuatmu malu di hadapan teman-temanmu. Ayah memberimu
nama yang salah. Kebodohan dan sifat besar kepala ayah yang menyebabkan itu, bukan niat hati.
Karena itu jangan kau ulangi lagi kebodohan ini pada anakmu kelak. Jika ajal menjemput ayah lebih
cepat, semoga kau bisa memaafkan kesalahan tukang bubur tua ini yang membuatmu menanggung
malu seumur hidup. Ayahmu. SURAT itu kini tersimpan rapi meski sudah kubaca ratusan kali selama 10 tahun terakhir. Aku tak
bermimpi lagi menjadi aktor. Aku beralih profesi menjadi sutradara. Bulan depan aku berangkat ke
19 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sundance Film Festival. Film pertamaku berhasil menembus seleksi resmi. Di situs mereka tertulis
sebaris informasi tentang judul filmku: Ode to My Father (Jems Boyon-Indonesia). Kalimat itu terlihat
kabur di mataku yang basah. Seaneh apa pun ayah memberi nama, yang ia hadiahkan adalah
segunung cinta. Aku saja yang terlambat melihat.
Jakarta, 11 Mei 2DD6 1 padusi = perempuan 2 adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah = adat bersendi syariat (Islam), syariat bersendi
Kitab Allah. LELAKI YANG BERUMAH DI TEPI PANTAI
KAMPUNG kami gempar. Tubuh Mulhid ditemukan sudah kaku di sebuah ceruk kecil, di bagian
pantai yang sukar terlihat dari keramaian. Posisinya seperti orang sedang tidur siang saja, dengan
kedua tangan bersilang di bawah kepala. Mulutnya seperti tersenyum tipis, sangat tipis seperti
sedang mencime'ehl. Badannya mulai membengkak tapi tak tercium bau anyir seperti umumnya
keluar dari tubuh jenasah yang tak segera ditanam.
Tapi bukan hal itu yang membuat kampung kami geger. Keanehan yang disaksikan penduduk
adalah lidah-lidah ombak seperti terus menjaga Mulhid sampai sebatas pinggang, bak selimut hidup
yang terus bergerak. Padahal laut sedang surut. Air berkurang jauh di seluruh bagian pantai, kecuali
di ceruk tempat jasad Mulhid terbujur itu. Angin mati. Para tetua adat yang tergopoh-gopoh datang
menyaksikan kejadian itu hanya bisa menggelengkan kepala sejadi-jadinya. "Belum pernah seumur
hidupku yang renta ini, aku saksikan kejadian seperti ini."
Tetua yang lain menyambung, "Memang aneh sekali. Kita memanggilnya Mulhid, orang yang sesat.
Orang yang tidak percaya kepada Tuhan. Tapi laut melindunginya ketika kematian menjemput.
Seperti dengan sangat hatihati menjaganya. Gerangan apakah yang sedang terjadi di tanah ini?"
TAK ada yang tahu sejak kapan Mulhid terlihat di kampung kami. Tiba-tiba saja di pasar beredar
cerita tentang seorang lelaki berumur 50-an tahun yang ringan tangan. Ia membantu apa saja,
kepada siapa saja. Mengangkat barang, memarutkan kelapa, membersihkan kedai, men-dabih2
sapi, apa saja. Jangan bayangkan ia seorang yang bertubuh tinggi besar. Tidak. Tubuhnya ringkih,
berwarna cokelat matang bercampur warna lumpur kering. Urat-urat menonjol keluar di sekujur
lengan dan kakinya seperti enggan bersatu dengan ototnya yang alot. Menurut para tetua, Mulhid
tak pernah terlihat di desa kami 20 tahun sebelum ini. Jadi ia bukan penduduk asli.
Ada cerita Mulhid dibawa oleh imam surau, Haji Mul-kan, dari sebuah desa yang jaraknya dua hari
dua malam bila ditempuh dengan kendaraan. Konon Haji Mulkan menemukan lelaki itu termenung
sambil memandangi potongan koran yang disisipkan di belakang sebuah bingkai foto.
Kadang-kadang ia menangis, meraung-raung, lalu detik berikutnya tertawa sejadi-jadinya.
Bergantiganti. Tak ada orang lain yang berani mengajaknya bicara kecuali Haji Mulkan, yang entah
dengan alasan apa, menawarkan lelaki itu ikut dengannya untuk membantu mengelola surau.
Entah memang akibat kharisma Haji Mulkan, atau lelaki itu menemukan apa yang dicarinya selama
ini, pekerjaannya dalam merawat surau begitu bagus. Ia teliti. Sayang hal itu tak berlangsung lama.
Setahun kemudian Haji Mulkan meninggal dunia, dan lelaki itu memilih keluar dari surau. Ia tinggal


Ada Seseorang Di Kepalaku Yang Bukan Aku Karya Akmal Nasery Basral di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di pantai, di sebuah gubuk kecil dari pelepah nyiur dan sabut kelapa, dan menetap seterusnya di
20 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sana. Tanpa tetangga. Ini kisah yang beredar di kalangan penduduk dua dekade lalu, dan turun temurun beredar di
lingkungan warga yang mungkin tak lebih dari 30 ribu orang jumlahnya. Konon pula, menurut ingatan para tetua, lelaki
itu dulunya bernama Abdullah. Tapi kalau pun itu benar, bukan pula hal yang luar biasa. Hampir
semua lelaki di desa kami, bahkan di pulau tempat desa kami berada ini, memiliki nama depan
Abdullah. Seperti Haji Mulkan misalnya. Seperti namaku sendiri.
Setelah tinggal di pantai, tak berarti Mulhid berganti profesi menjadi nelayan, atau pencari lokan.
Setiap pagi, sekitar jam 9, ia sudah berada di pasar yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pantai
tempatnya tinggal. Ia membantu semua orang sampai petang, sebelum kembali ke tempatnya
bermukim. Untuk semua pekerjaan itu, Mulhid tak pernah mau dibayar dengan uang. Namun ia
menerima apa saja pemberian orang: nasi, baju, sisir bergagang besi, sepatu bekas, kopiah, cermin
retak, ikat pinggang yang sudah terkelupas kulitnya di sana-sini. Ringkasnya, apa saja selain uang.
Orang-orang mulai menyukainya. Apalagi saat bekerja ia tak banyak bicara, kecuali ditanya. Dan
kalau pun menjawab, selalu dengan kalimat-kalimat pendek. Hanya dua pertanyaan yang tak
pernah dijawabnya: dari mana ia berasal dan siapa keluarganya.
Sampai satu hari, seorang nelayan yang sedang membawa hasil tangkapannya ke pasar bercerita.
"Lelaki itu sudah gila."
"Lelaki yang mana?" tanya lawan bicaranya.
"Lelaki yang dibawa Haji Mulkan dulu, yang kini berumah di tepi pantai."
"Abdullah?" "Ya, sudah beberapa hari ini aku melihat, ia berteriak-teriak di depan gubuknya sendiri."
"Tapi setiap pagi ia ke sini. Kau yakin matamu tak keliru?"
"Tidak. Ia melakukannya pagi-pagi sekali, sebelum berangkat ke sini."
"Apa yang dikatakannya?"
Nelayan itu menengok kiri kanan, seperti takut ada yang mencuri dengar perkataannya. Suaranya
berbisik. "Ia menantang Tuhan. Seperti hendak mengajak berkelahi."
Lawan bicaranya tersentak.
"Astaghfirullah1. Itu bisa mendatangkan bala bagi seisi desa."
"Justru itulah mengapa aku sampaikan berita ini buat Pak Cik. Tengoklah sendiri kalau ada waktu,
ajak satu-dua orang tetua adat sebagai saksi."
21 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Keesokan harinya tujuh orang penduduk sudah berada di pantai ketika Subuh baru turun. Mereka
hanya berjarak sepelemparan batu dari tempat Mulhid. Gubuk itu gulita. Tak setitik kerlip lampu
minyak pun terlihat di dalamnya. Mereka menunggu. Hari mulai terang tanah, laut mulai terbaca.
Sekelompok undan melayang membelah angkasa. Angin berdesir. Mereka masih menunggu
beberapa saat sampai pintu gubuk terbuka. Mulhid keluar. Ia maju mencari air, membasuh muka.
Lalu ia mengencingi laut. Lalu ia memberaki samudera. Ia tak butuh semak. Mungkin karena pantai
itu terlalu sepi. Selesai dengan hajatnya ia kembali menuju gubuk. Tiga langkah dari pintu ia berhenti, kembali
membalikkan badan menatap laut. Hening selama beberapa menit. Lalu tubuhnya pelan-pelan
merunduk, ia duduk bersila.
"Apa yang dilakukannya?" tanya salah seorang dari tujuh orang yang sedang mengintip.
"Sssst! Lihat saja, jangan bicara." bisik yang lain.
Mulhid masih bersila, seperti bersemedi. Ia membasuh mukanya tadi, tapi tidak rambutnya.
Rambutnya yang panjang berkibar seperti bendera ditiup angin. Langit makin terang. Beberapa
sampan terlihat di kejauhan. Mulhid pelan-pelan berdiri, menyeimbangkan tubuhnya. Lalu ia maju
lima langkah, sambil terus memandang debur ombak yang mendekat. Ia arahkan ke dua matanya
ke langit. Ia busungkan dadanya sejauh mungkin sehingga terlihat seperti busur yang hampir patah.
Urat-urat lehernya meregang. Dan ia berteriak.
"Tuhaaaaan... pagi ini aku datang lagi menagih jawabmu. Kenapa aku yang kau biarkan hidup"
Kalau Kau mahakuasa, cabutlah nyawaku sekarang. Kalau Kau maha adil seperti kata jumud-jumud
yang tinggal di belakang pasar itu, keadilan seperti apakah yang Kau miliki selain kecerobohan
yang sangat" Kau tunjukkan kekuasaanMu dengan begitu angkuh, tanpa melihat mana yang patut
mana yang rapuh. Kau bukan lagi mahapengasih seperti yang diajarkan padaku sewaktu kecil dulu.
Kau pembengis tiada tara. Aku marah dan benci padaMu. Kau adalah ..."
Ketujuh orang itu terperanjat. Mereka mendengar semua ucapan dan sumpah serapahnya dengan
jelas. Inilah ucapan terpanjang yang pernah mereka dengar dari seorang yang tak pernah
mengucapkan lebih dari lima kata saat berbicara sebelumnya.
"Abdullah bukan cuma gila, ia sudah mulhid sekarang." ujar seorang tetua dengan wajah pucat.
Napasnya tersengal-sengal.
"Haji Mulkan bisa menangis dalam kuburnya." sambung yang lain.
"Ia harus diusir dari desa kita." Sebuah amarah me letup dari kalimat itu. "Bukti ini sudah lebih dari cukup, ayo kita pulang. Dasar orang tak tahu diuntung."
Berita itu dengan cepat pecah di pasar. Abdullah telah menjadi mulhid, Dan entah siapa yang
memulai, semua kini menyebutnya 'si Mulhid', si sesat.
"Nama Abdullah berarti hamba Allah. Seorang hamba tak pantas dan tak akan pernah
22 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menantangmeragukan tuannya. Ia tak pantas lagi dipanggil dengan nama seindah itu sekarang."
ujar seorang tetua yang murka saat mendengar masih ada yang memanggil lelaki pantai itu sebagai
Abdullah. "Kita tunggu saja apa yang akan dilakukannya hari ini. Sebentar lagi ia datang. Ayo kita bekerja
seperti biasa." ujar seorang pemilik kedai menengahi.
Tapi pagi itu tak lagi menjadi pagi yang biasa bagi penduduk desa, terutama yang bermukim di
sekitar pasar. Keingintahuan mereka yang tinggi terhadap tindakan Mulhid membuat kelakuan
mereka terasa janggal. Mereka bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa, namun dengan ekor mata
yang selalu berusaha menangkap di mana posisi Mulhid, dan apa yang persisnya ia lakukan.
Mereka terperangah. Tak ada perubahan pada diri Mulhid selama di pasar. Ia masih seperti
kemarin, dan kemarinnya lagi, Dengan kerajinannya yang membuat takjub. Sampai petang datang,
dan ia kembali ke gubuk pantainya. Begitu juga keesokan harinya, dan lusa, dan hari-hari
berikutnya. Penduduk yang hanya melihat Mulhid di pasar, tak menemukan adanya perubahan
sekecil apa pun pada tingkah Mulhid.
Persis sepekan kemudian, para tetua menggelar rapat adat.
"Sudah tujuh hari Abdullah, eh Mulhid ini maksudku, bertingkah aneh di depan gubuknya. Ia
menantang Tuhan. Mulutnya semakin kotor.Hatinya semakin hitam. Ini tak bisa dibiarkan, ia harus
diusir secepatnya dari sini."
"Tapi ia tak mengganggu keonaran warga. Tingkahnya di pasar masih menguntungkan penduduk.
Ia tak berbahaya. Kecuali ia melakukan tindakan yang mengancam keselamatan, barulah kita bisa
mengusirnya." "Macam mana pula pendapat pak Datuk, 'riil Polahnya itu justru mengancam keutuhan akidah. Itu
jauh lebih berbahaya ketimbang ia mencuri, yang mungkin dilakukannya karena kebutuhan
ekonomi. Bukan begitu sanak?"
Ruangan itu segera dipenuhi berbagai gumam. Seseorang meminta izin untuk bicara.
"Aku setuju. Tapi ada untungnya juga dia tinggal di pantai. Jadi perkataannya itu tak didengar
banyak orang, terutama remaja dan anakanak kita. Aku setuju denganmu, tapi aku juga setuju
dengan pak Datuk. Kehadirannya di pasar memberi banyak sekali manfaat. Kau lihat, bahkan
setelah pasar hampir sepi, Mulhid masih terus membersihkan pasar. Sendirian. Tentang ucapannya
itu, menurutku Tuhan tak perlu dibela. Ia akan menunjukkan ke-besaran-Nya dengan caraNya
sendiri..." "Macam mana pula pendapat seperti ini bisa keluar dari mulutmu yang pernah lama mukim di Tanah
Suci" As-taghfiruiiah! Katakanlah selama ini Mulhid hanya menantang Tuhan di pantai sepi itu"
Bagaimana kalau satu waktu ia mengoceh tak keruan di pasar, di tengah-tengah warga" Itu seperti
ranjau yang ditanam Belanda di tanah kita ini. Sekali waktu kita silap, habislah semua..."
Perdebatan terus berlanjut, semakin memberangus hati. Ada yang setuju Mulhid langsung diusir
dari desa, ada yang berpendapat sebaliknya. Setelah lima jam adu alasan yang melelahkan, para tetua
23 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sampai pada satu mufakat: selama Mulhid masih melakukannya di pantai, dan bukan di pasar atau
perkampungan warga, ia masih diperbolehkan tinggal. Beberapa orang tetua diamanatkan oleh
peserta rapat adat untuk mendekatinya, berusaha mengetahui motifnya melakukan tindakan itu.
Tujuan akhirnya untuk kembali menyadarkan Mulhid.
Namun 20 tahun berlalu. Mulhid tetap dengan kebiasaannya setiap pagi di tepi pantai. Para tetua
sudah angkat tangan. Mereka gagal membuat Mulhid mengatakan apa motif tindakannya, apalagi
mencegahnya melakukan hal itu. Kini, bahkan anakanak sudah terbiasa mengendap-endap
mengintip kelakuan Mulhid yang mereka anggap seperti akting pemain sandiwara di televisi.
Seringkah tawa mereka pecah saat melihat badan Mulhid mulai melengkung sebelum ia berteriak
lantang. Mulhid yang mendengar tawa bocahbocah itu tak pernah terganggu, Ia tetap saja
melanjutkan tantangannya kepada Tuhan. Para nelayan yang melintas di depan gubuknya pun
sudah tak ada lagi yang ambil pusing.
"Ia sudah semakin gila. Jangan kau dekati." Begitu pesan orang tua kepada anakanak mereka. Dan
anakanak, semakin dinasehati semakin menunjukkan bahwa nasehat itu tak bermanfaat. Mereka
selalu mengerumuni Mulhid di pasar, menggodanya. Namun Mulhid tak pernah menjawab, apalagi
marah. Ekspresinya tetap sedingin batu. Anakanak tak menganggapnya orang yang berbahaya.
Setelah 2D tahun, semua itu hanya dianggap sebagai kebiasaan belaka. Seperti halnya bermacam
tradisi lain yang berlangsung di wilayah kami.
TETAPI kali ini kampung kami benar-benar gempar. Tubuh Mulhid ditemukan sudah kaku di sebuah
ceruk kecil, di bagian pantai yang sukar terlihat dari keramaian. Lidah-lidah ombak seperti terus
menjaga Mulhid sampai sebatas pinggang, bak selimut hidup yang terus bergerak. Padahal laut
sedang surut. Air berkurang jauh di seluruh bagian pantai, kecuali di ceruk tempat jasad Mulhid
terbujur itu. Angin mati. Para tetua adat yang tergopoh-gopoh datang menyaksikan kejadian itu
hanya bisa menggelengkan kepala sejadi-jadinya. "Belum pernah seumur hidupku yang sudah renta
ini, aku saksikan kejadian seperti ini."
Tetua yang lain menyambung, "Memang aneh sekali. Kita memanggilnya Mulhid, orang yangsesat.
Orang yang tidak percaya kepada Tuhan. Tapi laut melindunginya ketika kematian menjemput.
Seperti dengan sangat hatihati menjaganya. Gerangan apakah yang sedang terjadi di tanah ini?"
Pak Datuk maju, dan memberi isyarat pada beberapa orang yang bertubuh besar untuk
mengangkat mayat Mulhid. "Ayo kita keluarkan dulu dia dari laut. Ia tak bisa dibiarkan terus seperti
ini." Empat orang mulai mengangkat tubuhnya. Mereka terkejut. Kerumunan memekik. Tak sedikit yang
wajahnya berubah pucat pasi. Mereka menyebut nama Tuhan berkali-kali.
ANEH sekali. Aku seperti melayang di awan. Melihat tubuhku tertidur telanjang, berselimutkan lidah
ombak yang menjagaku sampai pinggang, seperti menjaga auratku. Lalu beberapa orang datang,
para tetua itu dan beberapa warga desa. Mereka seperti bercakap-cakap, tapi
tak bisa kudengar. Aneh sekali. Biasanya sesibuk apa pun aku bekerja, aku selalu mendengar
suara orang-orang di sekelilingku. Sekarang hanya hening, seperti menyaksikan film bisu. Lalu
empat orang maju mengangkat tubuhku. Mereka seperti berteriak. Yang lain memekik. Aku pun
menjerit. Ajaib, tak sedikit pun suara kudengar.
24 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tubuhku, tubuhku itu tak memiliki kelamin lagi!
Bagian dada dan kedua pahaku tetap utuh. Tetapi perut bagian bawah dan kelaminku sudah tidak
ada. Berlubang. Sebuah bingkai foto meluncur dari atasnya, kandas di pasir. Seseorang
mengambilnya dan menyerahkan pada pak Datuk. Aku tahu apa yang dilihatnya. Fotoku 22 tahun
lalu ketika aku baru berusia 34 tahun. Aku tak sendiri di situ. Ada istri dan empat orang anakku yang
tersenyum lebar. Sebuah foto keluarga yang bahagia.
Pak Datuk membalik bingkai foto, dan membaca potongan koran yang kuselipkan di situ. Kulihat
matanya bergerak mengikuti baris-baris kalimat. Bibirnya seperti mengucapkan sesuatu. Tak
kudengar apa yang dikatakannya. Tapi aku tahu apa yang tertulis di koran daerah yang memuat
fotoku itu: Bupati Ranahjaya, Abdullah Farhani, 34 tahun, diduga mengalami serangan jantung mendadak
ketika mengetahui wilayahnya dilanda badai terbesar yang menewaskan hampir seluruh warga di
kabupaten itu. Termasuk di antara korban adalah istri dan keempat anaknya. Lebih dari separuh
bangunan di kawasan itu hancur dan rata dengan tanah.
Abdullah Farhani sedang berada di ibukota propinsi untuk menjalani pemeriksaan oleh aparat
Kejaksaan Tinggi ketika badai berlangsung. Ia dituduh melakukan penggelapan terhadap bantuan
dari Pemerintah Pusat selama empat tahun terakhir. Farhani sudah memegang jabatan bu-pati
sejak berusia 25 tahun. Kabar yang beredar di masyarakat menyatakan ia menyalahgunakan dana
itu untuk membangun dua rumah mewah bagi dua istri gelapnya, yakni Des (26 tahun) yang tinggal
di ibukota propinsi, dan Apt (23 tahun), konon masih berstatus mahasiswi, yang tinggal di Jakarta.
Keduanya sudah memberikan anak untuk Farhani...
Aku melihat Pak Datuk tak melanjutkan membaca. Ia melepaskan bingkai foto itu jatuh ke pasir.
Lidah ombak dengan sigap menyambut bingkai dan membawanya ke pelukan samudera.
Bergabung dengan jasad istri dan keempat anakku yang tak pernah ditemukan orang sejak badai
menyapu 22 tahun lalu. Bergabung dengan dosa-dosaku yang mungkin tak habis tercuci oleh berapa pun luas samudera.
Jakarta, 25 Januari 2DD5 1 Cime'eh= ejek 2 Dabih = potong PERKABUNGAN HUJAN HORISON tak tertangkap mata, langit jelaga. Patahan hujan melayang menancapi lebuh lengang.
Lampu jalan menggigil dikerat dingin. Meronta-ronta. Cahayanya yang kuning kusam enggan
berpendar. Renta, renta. Di sepotong jalan yang renta ini aku menunggu waktu, menghitung jeda.
25 Prahara titisan hitam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Mobilku harus belok ke kiri dan langsung bergerak patah mengambil jalur ke kanan, memasuki
seruas jalan yang mengecil di kota yang terus membesar ini. Hujan mengaburkan pandangan,
menampar-nampar jendela. Dalam kondisi cerah, rute yang akan kuambil tak sulit sebenarnya.
Bahkan praktis tak ada halangan apa-apa, kecuali jika Sabtu tiba.
Sabtu adalah saat paling mengoyak jantung. Selalu ada darah tertumpah dari rombongan anak
sekolah yang tak bisa bersirobok pandang. Mula-mula mereka saling menatap, lalu menggeram
seperti anjing-anjing liar berebut sisa tulang di belakang pasar. Katakata kumuh melayang seperti
pendulum dari satu sisi ke sisi lain. Memukul ego, menghantam emosi. Selanjutnya pekik ala Indian
sahut menyahut seperti lolongan. Kelompok besar mengepung yang lebih kecil. Begitu cepat,
seolah-olah mereka paramiliter terlatih. Atau tentara bayaran di video game.
Celakalah kelompok kecil yang terperangkap di dalam
bis, yang juga terperangkap di petang macet merambat. Wajah sopir dan kondektur yang pias tak
bisa menghalang (http://cerita-silat.mywapblog.com)
26 Makam Bunga Mawar 26 Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong Pedang 3 Dimensi 5

Cari Blog Ini