Fear Street - Bulan Merah Bad Moonlight Bagian 2
jangan pergi ke luar kota. Pergilah berbelanja, nonton film, atau tidur
sampai siang kalau kau mau. Setelah itu, lihat bagaimana perasaanmu
nanti." "Aku sudah tahu perasaanku!" seru Danielle. "Takut. Bukan,
bukan takut" ngeri! Bibi Margaret, khayalanku ini semakin lama
semakin mengerikan. Dan aku terus-menerus memikirkan Mom dan
Dad. Sering sekali."
"Bukankah kata Dr. Moore itu memang wajar?" tanya Bibi
Margaret. "Bahwa dibutuhkan waktu lama untuk melupakan peristiwa
itu?" "Ya, tapi ini sudah terlalu lama," tukas Danielle ngotot. "Aku
bukan cuma merasa kehilangan mereka, Bibi Margaret. Kalau masalah
itu, kurasa aku bisa mengatasinya. Tapi mereka selalu membayangbayangi aku"aku melihat mobil mereka melayang dari tebing.
Mengapa" Mengapa aku tidak bisa melupakannya?"
Bibi Margaret mengerutkan kening dengan sedih dan
menggelengkan kepalanya. "Ceritakan lagi peristiwa kecelakaan itu padaku," pinta
Danielle. "Aku ingin mengetahui kejadiannya secara persis. Mungkin
aku harus mendengarnya berulangkali sampai muak."
Bibi Margaret mendecakkan lidahnya. "Tidak baik terusmenerus memikirkan hal itu."
"Tapi?" "Tidak ada tapi-tapian." Bibi Margaret berjalan menghampiri
Danielle dan memeluknya. "Bibi memang bukan ahli jiwa, tapi Bibi
tidak percaya bahwa dengan mendengar cerita mengenai kecelakaan
itu berulang-ulang, kau akan bisa merasa lega."
Benarkah begitu" tanya Danielle dalam hati. Mungkin. Tapi toh
sama saja bila ia tidak mendengarnya. Ia tidak dapat melupakan
peristiwa itu, walaupun sudah berusaha sekuat tenaga.
"Oh, coba lihat, sudah jam berapa sekarang!" seru Bibi
Margaret. "Aku masih harus melipat cucian dan melakukan beberapa
pekerjaan lain, padahal sekarang sudah jam dua."
"Biar aku yang melipat cuciannya," kata Danielle menawarkan.
"Jangan! Kau tidak boleh melakukan apa-apa, kecuali bersantai
dan bersenang-senang." Bibi Margaret meremas bahu Danielle. "Itulah
yang terbaik untukmu."
"Semoga Bibi benar."
"Tentu saja aku benar, anak manis!" tukas Bibi Margaret galak.
"Hmm. Bukankah kau dan Caroline punya rencana untuk nonton film
nanti?" Danielle mengangguk. "Bagus. Sekarang pergilah ke teras dan bersantai sampai tiba
waktunya pergi." Sambil menepiskan rambutnya yang dicat merah,
Bibi Margaret bergegas keluar dari dapur.
Danielle mencuci cangkir kopi dan mengelap meja. Ia melihat
ke luar jendela. Cuaca terang dan cerah. Tapi ia merasa tidak ingin
duduk-duduk di teras. Ia juga tidak kepingin pergi nonton.
Caroline pasti mengerti. Temannya itu mengerti kesulitan yang
dialaminya. Danielle mengeringkan tangannya dengan lap dan meraih
pesawat telepon yang tergantung di dinding dekat kulkas.
Terdengar Bibi Margaret berbicara. Danielle membuka mulut
hendak minta maaf, tapi Bibi Margaret rupanya tidak sadar kalau
Danielle mengangkat pesawat telepon yang ada di dapur.
Sebelum Danielle sempat meletakkan gagang telepon kembali
ke tempatnya, didengarnya Bibi Margaret menyebut namanya.
"Ini soal Danielle," kata Bibi Margaret pada orang yang
diajaknya bicara. "Saya sangat mengkhawatirkan dia. Khawatir
sekali!" Sejenak tak terdengar suara apa-apa. Lalu Danielle mendengar
suara yang kedua. "Datanglah ke sini sekarang. Kita harus membicarakannya,"
desak suara itu. "Saya juga merasa khawatir."
Danielle memandangi gagang telepon di tangannya dengan
shock. Itu suara Dr. Moore. Bab 16 Rahasia Besar "DATANGLAH ke kantor saya sekarang," Danielle mendengar
Dr. Moore mengulangi kata-katanya.
"Lima belas menit lagi saya sampai di sana," jawab Bibi
Margaret. Danielle mendengar bunyi "klik" sewaktu bibinya
meletakkan gagang telepon.
Terpana, Danielle juga menutup teleponnya. Ditatapnya benda
itu dengan pandangan kosong, otaknya berputar.
Ia sama sekali tidak mengira Bibi Margaret kenal Dr. Moore.
Apakah selama ini mereka sudah saling mengenal, sejak Danielle
mulai menjadi pasien Dr. Moore" Kedengarannya mereka sudah
saling kenal. Menurut Bibi Margaret, keadaanku sudah semakin parah, pikir
Danielle. Suara detak sepatu tinggi di lorong membuat Danielle terlonjak
kaget dan menjauh dari pesawat telepon. Ketika Bibi Margaret masuk
ke dapur, didapatinya Danielle sedang melongok ke dalam lemari es.
Bibi Margaret mendecakkan lidah. "Kau kan sudah Bibi suruh
pergi ke luar, berjemur dan bersantai."
"Aku memang akan ke luar. Cuma mau mengambil minuman,
kok." Danielle meraih sekaleng Coca-cola dan berbalik. Bibinya sudah
bersiap pergi. Sebuah tas besar tergantung di bahunya, dan lipstiknya
sudah diperbaiki. Ia kelihatan tegang sekali, pikir Danielle. "Bibi sudah selesai
melipat cucian?" "Nanti saja," jawab Bibi Margaret. "Aku mau pergi melihatlihat obral barang kebutuhan rumahtangga di Brady's. Yang bagusbagus mungkin sudah terjual semua sekarang, tapi siapa tahu masih
ada yang tersisa." "Tentu," timpal Danielle. "Sampai nanti."
"Kau rileks sajalah," seru Bibi Margaret sambil bergegas pergi.
Setelah mendengar pintu depan ditutup, Danielle terenyak ke
kursi terdekat. Ia memejamkan mata, karena ruangan seolah berputar.
Bibi Margaret bohong padanya!
Setelah kedua orangtuanya meninggal, bibinya jauh-jauh pindah
ke Shadyside untuk mengasuh Danielle dan Cliff. Bibi Margaret selalu
mendampingi mereka di kala suka dan duka.
Danielle percaya padanya.
Sampai sekarang. Diam-diam ternyata Bibi Margaret membicarakan keadaan
dirinya dengan Dr. Moore.
Adakah hal lain yang disembunyikannya"
Danielle bangkit dari kursinya dan memandang ke luar jendela.
Cliff dan seorang temannya sedang asyik bermain di benteng yang
terbuat dari kardus. Bisa berjam-jam mereka main di sana.
Danielle sendirian di rumah.
Sekarang saatnya untuk mencari tahu kalau-kalau Bibi Margaret
menyimpan rahasia lain. Danielle mengembalikan kaleng Coca-cola-nya ke dalam kulkas
dan melangkah keluar dari dapur, menaiki tangga.
Kamar bibinya menghadap ke halaman depan. Pintunya
tertutup. Seharusnya kau tidak boleh melakukannya, kecam Danielle
pada diri sendiri. Privasi Bibi Margaret harus dijaga.
Tapi aku berhak tahu apakah ia bisa dipercaya.
Danielle memutar gagang pintu dan mendorongnya hingga
terbuka. Kamar tidur berukuran kecil itu dulunya berfungsi sebagai
kamar tamu. Bibi Margaret menolak menempati kamar orangtua
Danielle. Sikapnya itu merupakan salah satu sebab mengapa Danielle
menyayangi bibinya. Danielle berjalan melintasi kamar itu dan memulai
pencariannya dari meja. Laci paling atas berisi sejumlah pulpen dan pensil, gunting,
serta karet gelang. Laci yang kedua berisi cek dan kumpulan rekening, serta kotak
berisi kertas surat. Danielle beralih ke laci yang ketiga. Laci itu besar, dengan
map-map berjejalan di dalamnya. Diambilnya satu. Isinya guntinganguntingan resep dari majalah dan koran yang sudah menguning.
Map yang lain berisi setumpuk kertas kosong. Sementara yang
ketiga berisi guntingan artikel-artikel mengenai komputer dari buletin
Consumer Reports. Danielle ingat, Cliff ingin hadiah komputer pada
hari ulang tahunnya. Rupanya Bibi Margaret ingin membelikan
komputer yang paling bagus.
Danielle meneliti isi map demi map, tapi tidak ada hal-hal yang
menarik atau yang mengejutkan. Tidak ada rahasia apa-apa.
Bagus, pikirnya. Sekarang kembalikan semua ini ke tempatnya
semula sebelum kepergok. Ketika sedang mengumpulkan map-map itu, ada sesuatu di
ujung laci yang menarik perhatian Danielle.
Sehelai amplop dijejalkan di bagian belakang. Danielle
meletakkan map-map yang dipegangnya, dan mengambil amplop itu
dengan hati-hati. Amplop itu berisi guntingan koran yang sudah kusut.
Tanggalnya dua hari setelah orangtua Danielle ditemukan tewas.
Mata Danielle tertumbuk pada judul berita: PENYEBAB
KEMATIAN SUAMI-ISTRI WARGA SHADYSIDE MASIH
MISTERIUS. Masih misterius" Tangan Danielle bergetar sedemikian hebat
sampai-sampai ia takut guntingan koran itu robek. Tidak ada yang
misterius dengan kematian kedua orangtuanya! Mereka tewas dalam
kecelakaan! Tapi benarkah begitu"
Apakah ini satu rahasia lagi" Apakah Bibi Margaret juga
membohonginya dalam hal ini"
Danielle berjalan ke seberang ruangan dan duduk di sebuah
kursi goyang. Walaupun tidak ingin, ia harus membaca isi guntingan
koran ini. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orangtuanya.
Setelah meletakkan kertas itu di atas pangkuan dan
meratakannya, Danielle mulai membaca:
Jenazah pasangan suami-istri warga Shadyside, Michael dan
Abigail Verona ditemukan pada pagi hari Rabu di jurang berbatu, tiga
puluh dua kilometer jauhnya dari kota. Keduanya sedang dalam
perjalanan pulang ke Shadyside dengan menggunakan mobil pribadi.
Diduga mereka terpaksa berhenti karena ban mobil yang
mereka tumpangi kempis. Apa yang terjadi selanjutnya masih belum
berhasil diungkapkan oleh polisi setempat.
Yang pasti, pasangan suami-istri itu ditemukan tewas dalam
keadaan tubuh tercabik-cabik dan beberapa anggota badan terpisah.
Menjawab pertanyaan para wartawan, seorang polisi jalan raya
di tempat kejadian perkara mengungkapkan bahwa "Kematian mereka
tampaknya disebabkan oleh serangan binatang buas."
BAGIAN TIGA LOLONGAN Bab 17 Keluar dari Band "MENGAPA Bibi Margaret membohongi saya, Dr. Moore?"
tanya Danielle esok harinya. "Mengapa ia tidak menceritakan kejadian
yang sebenarnya kepada saya?"
"Ia berbohong karena ingin melindungimu, Danielle," jawab Dr.
Moore menjelaskan. "Ia menyimpan kenyataan yang menyakitkan itu
karena tidak ingin membuatmu merasa lebih sedih lagi."
"Saya"saya kaget sekali," ujar Danielle mengakui. "Kaget dan
bingung. Selama ini saya"saya kira bibi saya itu bisa dipercaya."
"Kau bisa?" ucap Dr. Moore.
Tapi Danielle memotongnya. "Ia memang tidak perlu
memberitahukan peristiwa mengenaskan yang menimpa Mom dan
Dad itu pada saya segera setelah kejadian. Tapi ia kan bisa
menceritakannya pada saya belakangan. Seharusnya ia
menceritakannya pada saya."
Dr. Moore mencondongkan badannya. "Kemarin aku bicara
panjang lebar dengan bibimu?"
"Saya tahu," sela Danielle. "Saya mengangkat telepon untuk
menelepon teman dan mendengarnya bicara pada Anda. Mengapa
Anda tidak memberitahu saya kalau selama ini kalian membicarakan
keadaan saya?" Dokter itu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Karena kami memang belum pernah membicarakanmu sebelumnya,"
jawabnya. "Danielle, bibimu bisa dipercaya. Percayalah padaku.
Kemarin ia sangat mengkhawatirkanmu, jadi ia lantas meneleponku"
untuk pertama kalinya sejak kau jadi pasienku."
Kemarin, pikir Danielle sambil mencengkeram lengan kursi
erat-erat. Sampai kemarin aku percaya bahwa kedua orangtuaku tewas
dalam sebuah kecelakaan mobil. Ternyata benar"tubuh mereka
tercabik-cabik. Tapi bukan karena terempas ke bebatuan seperti yang
ia bayangkan semula. Tubuh mereka koyak-koyak diterkam binatang buas.
Danielle bergidik. "Bibi Margaret mene lepon Anda karena ia
khawatir," kata Danielle pada Dr. Moore. "Dan saya dengar Anda juga
mengatakan hal yang sama. Saya harus tahu, Dokter"apakah keadaan
saya memang lebih parah daripada yang saya kira?"
"Aku tidak mau berbohong padamu, Danielle," jawab Dr.
Moore dengan nada lembut. "Ya, aku prihatin pada keadaanmu."
Lemas Danielle mendengarnya. Ternyata keadaannya memang
jauh lebih parah. "Khayalan-khayalan yang kaualami memang normal, seperti
yang sudah aku jelaskan padamu," lanjut Dr. Moore. "Tapi semakin
kau khawatir, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk
menyingkirkan khayalan-khayalan itu dari pikiranmu. Itulah yang
membuatku prihatin."
"Maksud Dokter, saya sendiri yang membuat keadaan menjadi
bertambah parah?" tanya Danielle.
"Tidak, kau tidak boleh menyalahkan diri sendiri," jawab Dr.
Moore cepat-cepat. "Salahkan aku. Seharusnya aku bisa meredakan
ketakutanmu, tapi ternyata tidak berhasil. Belum," tambah Dr. Moore
sambil tersenyum. Danielle tidak membalas senyumannya.
Dr. Moore berdiri dan duduk di pinggiran meja. "Mari kita
mulai, Danielle. Aku ingin kau jangan memikirkan apa-apa dan mulai
menghitung." Perlahan-lahan, Danielle mulai menghitung mundur dari
seratus. Biasanya ia sudah merasa rileks pada hitungan ke sembilan
puluh. Sayup-sayup didengarnya suara Dr. Moore, seakan-akan suara
itu datang dari jauh. "Apakah kau sudah merasa nyaman sekarang,
Danielle" Sudah lebih tenang?"
"Ya," bisik Danielle.
"Bagus. Ceritakan padaku apa yang kaulihat."
Danielle kembali tegang saat sebuah bayangan muncul dalam
benaknya. "Dee!" ia berseru. "Saya bersama Dee!"
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Dr. Moore.
"Marah. Takut. Ia benci padaku."
"Kenapa ia benci padamu?"
"Karena cemburu," jawab Danielle. "Ia cemburu karena saya
Fear Street - Bulan Merah Bad Moonlight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditunjuk menjadi penyanyi. Dan ia cemburu karena Kit. Ia ingin
memiliki Kit." Napas Danielle mulai memburu.
"Apa yang terjadi sekarang?" tanya Dr. Moore.
"Saya lari," jawab Danielle dengan napas memburu.
"Melarikan diri dari Dee?"
Danielle menggeleng. "Tidak, tapi kami sama-sama lari di
lintasan. Joging bersama." Danielle mengerutkan kening. "Tapi Dee
tidak sedang joging. Ia lari cepat sekali. Dan?"
"Dan?" Danielle megap-megap. "Dan saya lari mengejarnya! Saya ingin
menangkapnya. Yak! Saya berhasil menyusulnya!"
"Kau berhasil melewatinya?" tanya Dr. Moore.
"Tidak! Tidak, ia merenggut saya!" pekik Danielle. "Ia marah
sekali. Ia ingin menang. Ia tidak segan-segan membunuh saya supaya
bisa menang." Danielle mengangkat kedua tangannya. Jari-jarinya melengkung
seperti cakar. "Tapi Dee tidak bisa membunuh saya. Saya tidak akan
membiarkannya. Akan saya bunuh dia duluan!"
Seluruh otot Danielle mengejang. Napasnya berpacu lebih cepat
lagi. "Kami berkelahi sekarang. Berguling-guling di tanah. Ia kuat,
tapi saya lebih kuat lagi!"
Danielle mengerang pelan. "Ia menjambak rambut saya, tapi
saya berhasil menyambar lehernya. Saya akan?"
Sayup-sayup didengarnya Dr. Moore menjentikkan jari-jarinya.
Sekali. Dua kali. Danielle merasa lengan dan kakinya mulai rileks saat
khayalannya berkelahi dengan Dee memudar. Ia duduk merosot di
kursi, napasnya mulai teratur.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Dr. Moore.
"Saya"saya tidak tahu," jawab Danielle terbata-bata. "Maaf.
Itu tadi tidak begitu menolong, Dokter. Saya tidak tahu harus
bagaimana. Saya sedang berpikir-pikir ingin keluar dari band."
Dr. Moore menggeleng. "Tentu saja aku tidak bisa
mencegahmu. Tapi aku yakin, band itu sangat berguna bagimu,
Danielle. Kau jadi punya tujuan hidup dan kegiatan."
"Ya, itu memang benar," sahut Danielle sependapat. "Kalau
tidak ada band itu, saya mungkin hanya akan mendekam di kamar."
"Itu berarti bakatmu terbuang percuma." Dr. Moore tersenyum.
"Kau pasti sembuh, Danielle. Percayalah. Tapi kau harus tetap
berkonsultasi denganku."
Danielle mengangguk dan berdiri sewaktu Dr. Moore melirik
jam yang terletak di atas meja. Waktunya sudah habis. Sebenarnya ia
tidak ingin pergi. Ia merasa aman di sini.
"Kau ditunggu temanmu di luar?" tanya Dr. Moore waktu
Danielle berjalan ke pintu.
"Ya. Caroline," jawab Danielle. "Kami mau shopping."
"Ah. Kudengar membelanjakan uang adalah terapi yang sangat
baik," goda dokter itu.
Danielle memaksa diri tersenyum, lalu berpamitan. Begitu pintu
ditutup, ia langsung merasa tegang lagi.
Tenanglah, katanya dalam hati. Kau toh tidak bisa selamanya
bersembunyi di ruang praktek Dr. Moore.
"Oke, Caroline, aku?" Danielle terdiam dan memandang ke
sekeliling ruang tunggu. Mana Caroline"
"Maaf," kata Danielle pada resepsionis, Mrs. Wilkins. "Tadi
teman saya menunggu di sini"rambutnya pirang panjang, bercelana
jins, dan kaus merah. Anda melihatnya?"
Tangan Mrs. Wilkins menggantung di atas keyboard
komputernya. "Saya melihatnya datang bersamamu tadi. Tapi saya
sibuk sekali, jadi tidak melihatnya pergi."
Mungkin Caroline bosan membaca-baca majalah di sini, pikir
Danielle sambil mendorong pintu hingga terbuka. Ia pasti
memutuskan untuk menunggu di luar.
Danielle bergegas menghampiri mobil Caroline yang diparkir di
lapangan parkir kecil yang berbatu kerikil. Tapi mobil itu kosong.
"Caroline!" panggilnya sambil memandang berkeliling. "Aku
sudah selesai! Kita bisa pergi sekarang!"
Terdengar bunyi langkah kaki menginjak batu-batu kerikil.
Danielle berbalik. "Caroline?"
Ternyata bukan. Dee melenggang menghampiri Danielle dengan mata berapiapi.
"Untuk apa kau datang ke sini?" tanya Danielle. "Mana
Caroline?" Dee maju terus. "Aku ingin kau keluar dari band, Danielle. Kau
dengar aku tidak" Aku ingin kau keluar!"
Bab 18 Sang Pembunuh "APA lagi yang kauocehkan ini" Mana Caroline?" tanya
Danielle. Dee berhenti. "Dia pergi."
"Pergi?" Danielle menunjuk mobil Caroline. "Kalau begitu,
kenapa mobilnya masih di sini" Ia tidak ke mana-mana, Dee. Aku
tidak percaya padamu. Mana dia?"
"Masa bodoh." Dee melangkah menghampiri Danielle. "Aku
ingin bicara denganmu."
Sialan, keluh Danielle dalam hati dengan kesal. Benar-benar
menyebalkan. "Tidak ada waktu. Lagi pula?"
"Dengarkan aku!" bentak Dee. "Kau tak akan punya waktu
lagi"kalau kau tidak segera keluar dari band!"
Danielle bersandar di mobil Caroline dan menyilangkan kedua
tangannya di dada. "Dengar, Dee. Aku tidak mau keluar dari band"
walaupun kau begitu menginginkannya. Aku kasihan padamu karena
kau bukan penyanyi utama lagi. Dan aku kasihan bila kau cemburu
padaku gara-gara Kit. Sungguh. Tapi kata dokter, band ini sangat
bermanfaat untukku, dan?"
"Tinggalkan band itu!" teriak Dee. "Aku peringatkan kau?"
Danielle menegakkan badan. Kedua tangannya terkepal.
Amarah melandanya bagai api yang menyambar-nyambar.
Kenapa aku" tanyanya dalam hati. Aku" aku merasa
kehilangan kendali! Sambil menggeram buas, ia menerjang Dee. Jari-jarinya
melengkung seperti cakar. Ia mengarahkannya ke leher Dee.
Dee melawan sambil berteriak-teriak marah. Direnggutnya
rambut Danielle dan dijambaknya keras-keras.
Danielle menjerit kesakitan. Tangannya terulur ke bagian
bawah dagu Dee dan mendorongnya sekuat tenaga. Napas Dee
tersentak. Ia terhuyung-huyung ke belakang.
Danielle menerkam Dee hingga roboh ke tanah.
Kenapa" Kenapa aku melakukan hal ini" Apa yang terjadi pada
diriku" Sambil menggeram-geram, Danielle bergulat dengan Dee di
tanah. Sikunya luka tergores batu-batu kerikil, tapi ia tidak peduli.
Pokoknya ia harus menang. Ia harus bisa mengalahkan Dee!
Dee terkesiap waktu pipinya robek terkena batu kerikil.
Darah! Danielle bisa menciumnya. Lidahnya nyaris bisa merasakannya.
Ia ingin menjilat darah itu. Mencicipinya lagi. Asin. Kental. Lezat!
Danielle mendengar dirinya melolong lagi, melolong karena
melihat darah, seperti binatang.
Binatang. Apa yang terjadi pada dirinya"
Sambil menggeram, Danielle membenamkan jari-jarinya yang
seperti cakar itu ke leher Dee.
Persis seperti khayalanku, pikirnya.
Tapi ini bukan khayalan. Ini kenyataan.
Aku akan membunuhnya! Membunuhnya! Bab 19 Haus Darah BAU darah membuat nadinya berdenyut kencang dan
jantungnya berdebar-debar.
Aku harus merasakannya! Aku harus merasakannya sekarang juga!
Dengan diiringi lolongan seram, Danielle menerjang leher Dee
lagi. Dee menendang-nendang dengan kalap. Menghantam perut
Danielle dengan tendangannya.
"Dee! Danny! Hentikan!"
Danielle mendengar jeritan Caroline.
Dee melompat menindihnya.
Aku harus merasakannya! pikir Danielle, sambil megap-megap
dengan suara keras. Aku harus merasakan darah itu!
"Berhenti!" seru Caroline. "Kalian ini kenapa" Sudah gila ya"
Mau saling bunuh?" Danielle merasa badan Dee terangkat. Cepat-cepat ia bangkit.
"Apa-apaan ini?" omel Caroline, mata birunya terbelalak lebar,
shock bercampur marah. Dipegangnya lengan Dee kuat-kuat. "Ada
apa?" "Tanya saja dia!" teriak Dee dengan napas terengah-engah.
"Aku ingin bicara dengannya, tapi ia malah menyerangku seperti"
entah seperti apa!" Seperti binatang buas, pikir Danielle, megap-megap. Ia
membungkuk, memegang kedua lututnya dengan tangan, berusaha
keras mengatur napas. Caroline memandang Dee dengan mata menyipit. "Kau kan
tahu, jangan membuat Danny marah! Apa yang kaukatakan padanya
tadi?" "Aku tidak mengatakan apa-apa," gerutu Dee. Ia menyentakkan
tangannya dari pegangan Caroline. "Aku tidak bilang apa-apa.
Lupakan saja." Sambil melayangkan tatapan marah pada Danielle, Dee
membalikkan badan dan kabur secepat kilat dari lapangan parkir.
Setelah Dee lenyap dari pandangan, Caroline berpaling pada
Danielle. "Astaga, mengerikan sekali! Kau tidak apa-apa?"
Danielle mengangguk, napasnya masih memburu. "Kau"kau
tadi ke mana?" "Aku merasa bosan, jadi lantas jalan-jalan ke sungai," jawab
Caroline menjelaskan. Direngkuhnya bahu Danielle. "Yakin kau tidak
apa-apa" Apa yang dikatakan Dee padamu?"
"Ia menyuruhku keluar dari band dan aku?" Danielle menarik
napas panjang. "Aku langsung menerjangnya, Caroline, persis seperti
yang ia katakan!" "Sudahlah, jangan panik. Ia membuatmu marah, itu saja."
"Marah?" Danielle menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku
lebih dari sekadar marah. Aku"aku kepingin membunuhnya!"
"Yeah, well, aku tidak menyalahkanmu," tukas Caroline. "Ia
tidak berhak menyuruhmu keluar. Mestinya ia?" Caroline terdiam,
menggigit bibir. "Mestinya dia apa?"
"Mestinya ia melakukan yang terbaik untuk band kita," jawab
Caroline cepat-cepat. "Tapi Dee malah kalap."
"Rupanya kau tidak mengerti juga," tukas Danielle. "Justru aku
yang kalap. Aku benar-benar ingin membunuhnya. Dan ketika aku
melihat darah, aku jadi seperti orang gila! Aku ini kenapa, Caroline"
Aneh sekali!" "Kau tidak apa-apa, hanya perlu menenangkan diri saja," jawab
Caroline sambil tetap memeluk bahu Danielle. "Shoppingnya kita
batalkan saja. Ayo, kuantar kau pulang."
Caroline tidak mau percaya kalau aku sudah benar-benar kacau,
pikir Danielle dalam perjalanan pulang. Kok bisa-bisanya dia bilang
aku tidak apa-apa" Danielle melirik temannya itu. Caroline mengerutkan kening
dan menggigit bibir dengan tegang. Tangannya mencengkeram setir
begitu erat sampai buku-buku jarinya memutih.
Ia pasti tahu bahwa ada yang tidak beres, pikir Danielle, Dan ia
takut. Mungkin ia malah takut padaku.
**************************
"Kena kau sekarang! Rasakan, biar mampus!"
Danielle merunduk dan menahan napas.
Hening. Mana dia" Lalu didengarnya suara langkah-langkah kaki. Suara napas
memburu. Danielle menahan diri untuk tetap diam.
Suara napas itu terdengar semakin keras. Langkah-langkah
kakinya semakin dekat. Akhirnya sebuah kepala berambut pirang muncul dari balik
kardus besar. Danielle menyeringai dan mengarahkan pistol airnya. "Kena!"
teriaknya sambil menyemprotkan air ke dada adiknya.
Cliff menjatuhkan diri dan berusaha menangkap semprotan air
dengan mulutnya. "Tolong! Aku tenggelam!"
Danielle tertawa, memompa pistol airnya, dan
menyemprotkannya lagi pada Cliff.
Setelah kejadian yang mengerikan kemarin, Danielle senang
bisa bermain-main di halaman belakang bersama adik lelakinya.
"Kau kok bisa menemukan aku?" tanya Cliff setelah pistol
Danielle habis airnya. Dicopotnya kausnya yang basah.
"Tidak susah, kok," jawab Danielle sambil mengisi pistolnya
lagi dengan air dari keran yang ada di samping rumah. "Jalanmu
kayak gajah, Cliff. Dan suara napasmu juga kedengaran dari jauh."
"Omonganmu mirip Bibi Margaret," keluh Cliff. "Ia selalu
melarangku bernapas melalui mulut, karena nanti bisa kemasukan
lalat." "Makanya, tutup mulutmu," ujar Danielle menasehati.
"Yeah, oke." Cliff menyemprot lengan Danielle. "Ayo main
lagi! Kali ini kau pasti bakal kalah!"
Keduanya berlari ke benteng kardus Cliff, dan masing-masing
berlindung di baliknya dalam posisi yang berhadapan.
Danielle melihat benteng kardusnya mulai lembap kena air.
"Hei, Cliff!" serunya. "Bentengmu bakal ambruk kalau kena air lagi.
Mungkin sebaiknya kau buat benteng lain dari kayu."
Cliff meneriakkan jawabannya, tapi Danielle tidak bisa
mendengar kata-katanya dengan jelas.
Sekarang aku tahu di mana posisinya, pikir Danielle. Cliff
memang gampang kena tipu.
Danielle mendengar suara gedebuk pelan.
Sambil nyengir, ia merayap di sepanjang dinding benteng, lalu
berbelok sesampainya di pojok. Tampak adiknya meringkuk di tanah.
"Kena lagi!" pekik Danielle sambil menodongkan pistol airnya.
"Time out," protes Cliff. "Aku terluka."
Danielle memutar bola matanya. "Ah, alasan."
"Benar, kok! Aku jatuh, dan tanganku tergores,pinggiran
kardus. Ternyata ujungnya tajam juga." Cliff bangkit dan
mengulurkan tangannya. "Lihat kan" Tanganku berdarah."
Danielle mendekat dan menatapnya. Di tangan Cliff tampak
sebuah luka kecil, panjangnya kira-kira satu setengah sentimeter.
Darah segar mengalir menuruni tangannya yang kurus.
Danielle meraih tangan adiknya itu.
Fear Street - Bulan Merah Bad Moonlight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau mau apa?" pekik Cliff sambil berusaha menarik
tangannya. Danielle semakin mempererat pegangannya.
"Kasar benar sih, Danielle! Lepaskan!"
Protes Cliff berdengung-dengung di otak Danielle. Katakatanya tidak berarti apa- apa.
Air liurnya menetes melihat luka itu. Merah. Kental. Berdenyutdenyut.
Danielle menempelkan bibirnya ke kulit Cliff yang lembut, dan
menjilati darahnya dengan rakus.
Bab 20 Tamu Tengah Malam MALAM itu Danielle membuka tirai jendela kamarnya dan
melayangkan pandangan ke halaman belakang.
Bulan purnama menggelantung rendah di atas pepohonan yang
daunnya keperak-perakan. Cahayanya yang terang benderang
menyinari benteng kardus Cliff yang mulai miring.
Danielle memalingkan wajahnya dari jendela.
Aku tidak habis pikir dengan kelakuanku tadi, pikir Danielle
sambil menutup mulutnya dengan tangan.
Entah mengapa aku menjilati darah Cliff.
Pikirkan hal lain saja, perintah Danielle dalam hati. Lagu,
misalnya. Ciptakan lagu baru. Pokoknya, jangan memikirkan kejadian
tadi. Danielle membaringkan badannya di tempat tidur sambil
menumpangkan kakinya di bingkai jendela. Ia memejamkan mata, dan
membiarkan pikirannya berkelana. Ia sering menciptakan lagu dengan
cara seperti ini, tanpa gitar. Setelah liriknya terbentuk di dalam
otaknya, barulah ia menuangkannya dalam bentuk lagu.
Tak lama kemudian, ia sudah berhasil menyusun lirik.
Kududuk dekat jendela melolong pada bulan, meneriakkan cintaku, berusaha mendapatkan, mendapatkanmu. Kumelolong, melolong, melolongkan cintaku. Mencakari jalanku kembali,
kembali padamu. Aneh, pikir Danielle. Melolongkan cintaku" Mencakari jalanku kembali"
Ini sudah bukan aneh lagi. Ini mengerikan.
Mengapa aku selalu menciptakan lagu seperti ini" Ada kata
mencakari dan melolong segala. Juga soal pembunuhan.
Danielle membuka mata dan duduk di tempat tidur. Di luar,
cahaya bulan seakan bertambah terang. Tubuhnya menggigil.
Tangannya terulur, hendak menutup gorden.
Tapi gerakannya terhenti di udara.
Bayangan di benteng Cliff itu"apakah sudah ada di sana
sebelumnya" Dengan tegang Danielle melihat bayangan itu bergerak
menyusuri benteng kardus yang sudah bobrok itu, lalu berdiri di
tempat yang disinari cahaya bulan yang dingin.
Ada orang mengendap-endap di halaman belakang, mendongak
memandangi jendela kamarnya.
Bab 21 Kabar Buruk DANIELLE merunduk di balik lipatan gorden. Bersembunyi
dalam gelap, sambil berusaha keras mengatur napas agar tetap tenang.
Lalu, dengan hati-hati ia mengintip ke luar.
Dilihatnya seraut wajah yang pucat diterpa sinar bulan
menengadah ke arah jendelanya. Wajah Billy.
Danielle mencondongkan badannya ke luar jendela. "Billy!"
bisiknya dengan suara keras. "Ngapain kau"tunggu! Aku mau
turun." Ia tidak ingin bibi' dan adiknya terbangun. Sambil berjingkatjingkat, ia turun ke lantai bawah, lalu masuk ke dapur. Dibukanya
kunci pintu belakang dan dibukanya pintunya dengan suara pelan.
Billy menyelinap masuk. Dengan bantuan seberkas sinar bulan
yang menerobos masuk melalui celah pintu, Danielle bisa melihat
wajah Billy yang tampak gugup. Matanya yang cokelat kehijauan itu
tampak bergerak-gerak, tak mau menatap mata Danielle. Kedua
tangannya tetap dibenamkan ke dalam saku celana pendeknya yang
sudah lusuh. Ada yang tidak beres. "Ada apa?" tanya Danielle. "Kenapa kau mengendap-endap di
halaman belakang rumahku seperti itu" Aku benar-benar ketakutan!"
"Sori. Aku?" Billy melayangkan pandangannya ke pintu
dapur. "Tadinya aku mau mengetuk pintu depan, tapi kulihat semua
lampu sudah dimatikan. Aku tidak ingin membangunkan bibimu."
"Ada masalah apa?"
"Masalah" Tidak ada masalah apa-apa." Lagi-lagi Billy
mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Aku"eh"aku
hanya ingin memastikan bahwa kau siap tampil besok malam."
Danielle memandangi cowok itu. Mana mungkin Billy
mengendap-endap di halaman belakang rumahnya pada tengah malam
seperti ini hanya untuk memastikan hal itu.
"Billy?" "Kita akan tampil di sini, di Shadyside," sela Billy cepat-cepat.
"Jadi lebih mudah, kan" Kita tidak usah berkemas-kemas, tidak usah
naik mobil jauh-jauh, dan tidak usah menginap di hotel yang jelek."
"Benar," timpal Danielle sependapat. Kenapa sih dia" tanyanya
dalam hati sambil mengamati wajah Billy.
"Senang rasanya bisa tampil di hadapan warga sendiri," lanjut
Billy. "Kata manajernya, tiket pertunjukan kita terjual habis."
"Bagus." Billy mengeluarkan kedua tangannya dari saku celana, dan
berkacak pinggang. Tapi lalu menjejalkannya lagi ke dalam saku.
Kepalanya menunduk, memandangi kakinya.
"Billy, ada apa sebenarnya?" desak Danielle. "Kau gugup
sekali. Aku jadi ngeri."
Akhirnya Billy menatapnya juga.
Danielle menjauhkan diri. Matanya! Mata cowok itu
menyorotkan sinar putus asa!
Sambil menjilat bibir, Billy bergerak-gerak gelisah, lalu mulai
mendekati Danielle. "Danielle, aku?"
"Apa?" pekik Danielle. Ia mundur lagi satu langkah. Badannya
menabrak sebuah kursi. "Ada apa" Katakan!"
Billy maju terus. "Kabar buruk," bisiknya. "Aku membawa
kabar buruk." Bab 22 Danielle Berburu "KABAR buruk?" Danielle berjalan mengitari kursi, matanya
melirik pintu yang mengarah ke lorong. Tiba-tiba saja ia ingin
melarikan diri dari Billy. Segera. "Kabar buruk apa?"
"Soal Dee," jawab Billy.
"Dee?" Danielle berhenti. "Dee kenapa?"
"Ia keluar dari band."
Danielle menatapnya. "Ia keluar?"
Billy mengangguk. "Sebenarnya aku ingin membujuknya
supaya tidak keluar, tapi ia tidak menyampaikannya padaku secara
langsung, melainkan melalui surat."
"Ia menyebutkan alasannya?"
"Tidak juga," jawab Billy. "Ia hanya bilang bahwa ia tidak
tahan menghadapi situasi saat ini."
"Pasti aku maksudnya. Aku tahu sekali," tukas Danielle. "Ia
benci padaku. Ia tidak suka orang lain menjadi penyanyi utama, dan"
" "Bukan!" sergah Billy. "Bukan kau gara-garanya, Danielle."
Billy maju selangkah lagi. "Aku tahu bukan kau yang menyebabkan ia
keluar." "Kalau begitu kenapa?" tanya Danielle. Sebenarnya diam-diam
ia merasa lega. Senangnya tidak ada Dee yang memelototiku terusterusan, pikirnya.
"Kenapa lagi ia keluar?" desak Danielle.
"Aku?" Billy terdiam. Lalu berdeham-deham dengan tegang.
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan," katanya. "Dengar, sebaiknya aku
pergi saja. Maaf aku membuatmu takut tadi. Sampai ketemu waktu
latihan besok." Billy mendorong pintu kawat nyamuk hingga terbuka, dan
dengan cepat sosoknya lenyap ditelan bayang-bayang gelap di
halaman belakang. Danielle tidak berusaha mencegahnya. Ia menutup pintu dalam,
dan menggerendelnya, lega karena Billy sudah pergi.
Badanku gemetaran, pikirnya menyadari. Billy membuatku
takut. Tingkahnya aneh sekali tadi. Aku tahu ia tidak menceritakan
semuanya. Rahasia apa yang ia sembunyikan"
Sekembalinya di kamar, Danielle menutup gorden jendelanya
dan merebahkan diri di tempat tidur. Sekarang sudah tidak mungkin
lagi menulis lagu. Ia masih terus memikirkan kedatangan Billy tadi.
Dan memikirkan Dee. Apa yang ingin dikatakan Billy mengenai Dee" Jelas cowok itu
merahasiakan sesuatu. Danielle meraih gagang telepon yang terletak di meja samping
tempat tidur, dan berpikir-pikir sesaat. Sebaiknya ia menelepon siapa"
Caroline" Jangan. Kit. Kit, cowok bermata indah dengan bulu mata hitam lebat dan
senyum hangat. Kit, yang penuh perhatian padanya.
Kit tinggal sendiri di sebuah rumah mobil di North Hills. Hari
sudah larut malam. Tapi Danielle tidak peduli bila Kit terbangun garagara teleponnya. Ia harus bicara dengan cowok itu.
Kit langsung menjawab setelah deringan pertama.
"Kit?" "Danielle," sapa Kit. "Hei, aku senang kau meneleponku."
Danielle tersenyum, senang mendengar suara cowok itu. "Aku
juga." "Ada apa?" "Tidak ada apa-apa. Aku cuma?" Danielle terdiam sejenak.
"Aku cuma ingin mengobrol. Denganmu, maksudku."
"Well, aku senang mendengarnya. Tapi kedengarannya kau
sedang bingung," kata Kit. "Ada masalah?"
"Tidak juga. Well, mungkin juga," jawab Danielle mengakui.
"Tadi Billy datang ke rumahku. Baru lima menit yang lalu dia pergi."
Kit terdengar kaget. "Untuk apa dia datang ke rumahmu?"
"Entahlah," jawab Danielle. "Ia memberitahu aku soal Dee
keluar dari band." "Itu memang benar. Dua jam yang lalu Billy memberitahu aku
melalui telepon." Sekarang nada suara Kit berubah jengkel. "Sopan
sekali si Dee itu, mendadak keluar begitu saja."
"Apakah Billy bercerita padamu tentang surat yang ditulis
Dee?" tanya Danielle.
"Ya, tapi aku tidak mengerti maksudnya." Kit mengembuskan
napas. "Ngomong-ngomong, tadi kaubilang kau tidak tahu untuk apa
Billy datang ke rumahmu. Apa maksudmu?"
"Entahlah. Ia hanya bicara soal Dee. Tapi aku punya perasaan,
sebenarnya ada lagi yang ingin ia sampaikan padaku." Danielle
merinding, teringat pada tingkah Billy yang aneh. "Ia benar-benar
tegang, Kit." "Well, ia sedang banyak pikiran. Apalagi sekarang, dengan
hengkangnya Dee," kata Kit mengingatkan. "Biasanya dia kalem, tapi
kurasa hal ini membuatnya bingung. Tapi jangan cemaskan Billy. Ia
baik kok." Benarkah Billy baik" tanya Danielle dalam hati. Dulu ia pun
mengira begitu. Baik sekali, malah. Tapi sekarang, ia tidak begitu
yakin. Sesuatu pada diri Billy benar-benar meresahkannya.
"Danielle" Kau masih di sana?"
"Masih," jawab Danielle. "Aku"aku cuma sedang bingung."
Kit berdecak. "Well, rupanya berbicara melalui telepon tidak
banyak gunanya. Kau mau aku datang ke rumahmu?"
"Mau sekali," jawab Danielle serta merta. "Tapi sekarang kan
sudah larut malam?" "Memangnya kenapa" Semakin malam malah semakin baik,"
tukas Kit. "Masa tidak ingat, aku kan makhluk malam?"
"Okelah!" Danielle berpikir sebentar. "Tapi tidak usah
mengetuk pintu, ya" Bibiku sudah tidur. Aku akan menemuimu di
luar, dan setelah itu kita bisa jalan-jalan."
"Baik. Sepuluh menit lagi aku sampai di sana."
Delapan menit kemudian, Danielle menyelinap keluar melalui
pintu depan. Kaus usangnya sudah diganti dengan tank top baru warna
biru. Rambutnya juga sudah disisir, dan wajahnya dirias tipis-tipis. Ia
masih resah memikirkan kedatangan Billy tadi. Tapi itu bukan berarti
ia tidak bisa tampil cantik untuk Kit.
Tak lama kemudian, Kit datang. Cowok itu mematikan mesin
Mustang putihnya. Mobil itu menggelinding tanpa suara, sebelum
akhirnya berhenti di pinggir jalan.
"Kau kelihatan cantik," puji Kit sambil melangkah turun ke
trotoar. "Terima kasih." Danielle tersenyum, merasa lebih tenang
dengan kehadiran Kit. "Kau juga keren." ebukulawas.blogspot.com
Kit menunduk, memandangi celana jins-nya yang compangcamping dan sepatu ketsnya yang belel. Sambil nyengir diraihnya
tangan Danielle. "Ayolah, kita jalan-jalan."
Mereka pun berjalan tanpa mengatakan apa-apa. Bulan timbultenggelam di balik gumpalan awan yang bertebaran.
Danielle menelan ludah dengan susah payah. Kali ini ia tidak
merasa terpengaruh oleh sinar bulan yang dingin. Perasaannya pun
biasa-biasa saja. Aneh, pikirnya. Biasanya aku pasti sudah menggigil. Sudah
merasa aneh. Ketakutan. Tapi kali ini tidak.
Pasti karena ada Kit, pikir Danielle sambil menoleh
memandangi cowok itu. Ia membuatku merasa hangat dan aman.
Seolah tahu dipandangi, Kit tersenyum padanya. "Sekarang kau
tidak begitu gelisah lagi," komentarnya. "Mau bercerita padaku
tentang kunjungan Billy?"
Danielle menggeleng. "Kusangka aku mau, tapi ternyata tidak."
"Ya sudah, tidak apa-apa," timpal Kit lembut. "Kukira ia
membuatmu merasa gelisah, dan ingin menceritakannya padaku."
"Tidak, kok," tegas Danielle lagi. "Aku ingin melupakannya
saja." Kit melepaskan gandengannya dan merengkuh bahu Danielle.
Tapi Danielle tidak mau dipeluk. Ia menengadah ke bulan, dan
sekonyong-konyong merasa mendapat suntikan tenaga baru. "Tahukah
kau apa yang ingin klakukan sekarang?" tanya Danielle. "Aku ingin
berlari. Ayo, Kit, mari kita lari!"
Tanpa menunggu jawaban Kit, Danielle langsung lari
menyusuri Fear Street. Di belakangnya, didengarnya Kit memanggilmanggil namanya. Tapi Danielle lari terus. Tertawa-tawa. Makin lama
makin kencang. "Hei, Danielle! Tunggu!" teriak Kit di belakangnya. "Kau jauh
sekali. Tunggu aku!"
"Ayo, kejar aku!" Danielle balas berteriak tanpa memperlambat
larinya. Danielle suka sekali merasakan terpaan angin di wajah dan
rambutnya. Merasakan jantungnya yang berdebar-debar. Dan detak
Fear Street - Bulan Merah Bad Moonlight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara sepatunya. Ia memompa semangatnya sendiri untuk lari lebih cepat. Lebih
cepat! "Danielle!" panggil Kit, jauh di belakangnya.
Tapi Danielle tidak berhenti. Tidak mau berhenti!
Kenapa begini jadinya" tanya Danielle dalam hati. Kenapa
malam-malam begini aku lari seperti orang gila"
Ia tidak tahu. Dan tidak peduli. Ia tidak bisa berpikir. Ia hanya
bisa berlari, seperti kuda.
Seperti binatang liar. "Danielle!" Suara Kit nyaris tak terdengar. Cowok itu tidak
akan mampu menyusulnya. Angin bertiup. Danielle mengendus-endus. Matanya menyipit.
Ia pun berhenti lari. Berdiri diam, mendengarkan.
Di dekatnya ada sesuatu. Seekor binatang. Binatang kecil.
Telinganya bisa mendengar debar jantung hewan itu, ketakutan. Ia
bisa mencium baunya. Itu dia, di halaman samping rumah itu!
Seekor kelinci. Kelinci kecil yang gemuk.
Air liur Danielle menitik. Hanya dengan sekali gigit, ia akan
bisa merasakan darah kelinci itu. Tanpa menimbulkan suara sedikit
pun, Danielle meloncati pagar tanaman yang rendah dan menghambur
masuk ke halaman. Sesaat kelinci itu hanya diam mematung. Lalu kabur secepat
kilat. Danielle menundukkan kepala dan melangkahkan kakinya. Aku
bisa menangkap kelinci itu! pikirnya. Pasti bisa!
Aku sudah bisa merasakan darahnya dalam mulutku!
184 Bab 23 Kejutan di Dalam Hati "HEI, apa-apaan ini!" bentak Billy dengan suara menggeledek,
menyela obrolan mereka. "Kalian lupa ya, malam nanti kita
manggung. Kenapa tidak latihan" Daripada hanya ngobrol tidak
keruan seperti ini?"
Mary Beth cemberut. "Sudah dari tadi kami latihan, Billy.
Sekarang kami sedang istirahat. Tenang sajalah."
"Latihan" Jadi ini yang disebut latihan?" tukas Billy sengit.
"Bisa-bisa aku tertipu. Mungkin kalau kalian berusaha sedikit lebih
keras lagi, penampilan kita bisa cukup lumayan untuk ditampilkan di
pesta-pesta ulang tahun!"
Billy melihat jam tangannya dengan gaya dilebih-lebihkan.
"Lima menit!" serunya dengan suara keras sambil menghambur turun
dari panggung. "Astaga," gumam Caroline pada Danielle. "Kenapa sih dia?"
Danielle menggeleng. Apa pun yang mengganggu pikiran Billy
semalam, rupanya masih mengganggu pikirannya hari ini. Tapi
Danielle tidak tahu hal apa yang meresahkan temannya itu.
"Yah, kuharap dia bakal baik-baik saja," gerutu Mary Beth.
"Malam ini mestinya menyenangkan"Bulan Merah pulang dan
tampil di Shadyside. Sikapnya itu merusak suasana saja."
Mary Beth benar, pikir Danielle. Mereka semua sudah tidak
sabar lagi ingin manggung di Shadyside. Terutama main di Red Heat,
tempat mangkal anak muda paling terkenal di kota ini.
Karcis pertunjukan malam ini sudah terjual habis. Red Heat
berlokasi di sebuah bekas gudang yang besar, jadi dengan karcis
terjual habis berarti mereka akan ditonton lebih dari dua ratus orang.
Semua anggota band merasa bersemangat sewaktu datang untuk
latihan tadi, tapi sikap Billy yang uring-uringan membuat suasana hati
mereka jadi berantakan. Kenapa sih dia" Sebuah suara serak-serak basah membuyarkan lamunan
Danielle. "Hei, Danielle, Billy tidak selalu bersikap seperti ini, kan?"
Shawna Davidson, penyanyi yang menggantikan Dee, melangkah
menghampiri Danielle sambil menyibakkan rambutnya yang hitam
lurus. Ia teman Kit. Pagi tadi Kit meneleponnya, dan Shawna
langsung menerima tawarannya untuk bergabung dengan Bulan
Merah. Shawna bertubuh tinggi dan ramping. Orangnya ramah. Mata
cokelatnya bersinar-sinar, dan selera humornya bagus. Danielle tahu,
Shawna kaget melihat sikap sang manajer band.
"Latihan kita yang pertama tadi kayaknya sudah cukup bagus,"
sambung Shawna lagi. "Tapi aku tidak mau bertengkar dengan Billy
pada hari pertama aku bergabung dengan band ini."
"Biasanya Billy tidak seperti ini, kok," hibur Danielle.
"Entahlah apa yang tidak beres, Shawna. Tapi aku yakin, ia uringuringan bukan karena latihan kita kacau."
Shawna melihat jam tangannya. "Tiga menit lagi istirahat kita
habis. Sebaiknya aku bersiap-siap."
Danielle berpaling dari Shawna, dan bertabrakan dengan Kit,
yang sedang berjongkok di dekat pengeras suara.
"Bagus. Ada bantuan tenaga." Kit tersenyum padanya. "Maukah
kau membantu memegang kabel ini?"
"Tentu saja." Danielle memegang kabel yang tebal itu
sementara Kit membungkusnya dengan selotip hitam. Ketika jari-jari
cowok itu menyentuh jari-jari tangannya, Danielle tersentak.
Kit mendongak. "Apakah aku mengatakan sesuatu yang
menyinggung perasaanmu?" tanyanya.
"Maaf?" Kit memotong selotipnya dan berdiri. "Well, tadi kau terlonjak
waktu aku menyentuh tanganmu. Dan kemarin malam, kau lari
meninggalkan aku. Jadi kupikir, mungkin ada perbuatan atau
perkataanku yang menyinggung perasaanmu."
"Tidak! Tidak ada!" sanggah Danielle. "Dan aku bukannya lari
meninggalkanmu, Kit. Aku cuma... lari saja."
Lucu. Ia masih ingat kalau kemarin malam ia lari. Tapi tidak
ingat tujuannya. Atau kenapa.
Danielle tertawa gugup. "Kurasa tadi aku cuma gelisah saja,
karena memikirkan sikap Billy yang uring-uringan," tutur Danielle
menjelaskan pada Kit. "Kelakuannya aneh sekali sih."
"Memang." Kit mengerutkan kening. "Aku jadi ingin tahu apa
sebabnya." Aku juga, pikir Danielle. Dugaanku, pasti ada hubungannya
dengan Dee. Billy pasti kesal karena Dee mendadak keluar begitu
saja. "Oke, semuanya!" seru Billy sambil berjalan dengan langkahlangkah cepat ke arah panggung. "Waktu istirahat habis. Sekarang
latihan!" Para anggota band mengambil peralatan masing-masing, lalu
cepat-cepat mengatur posisi.
Danielle mengganti lirik lagu yang ditulisnya kemarin malam.
Tadi pagi ia menciptakan nadanya. Sekarang ia memainkan nada-nada
pembukaan, dan mulai menyanyi.
Kududuk dekat jendela memandangi bulan, meneriakkan cintaku, berusaha mendapatkan, mendapatkanmu. Pada bagian refrein-nya, Shawna ikut bernyanyi.
Kumenangis, menangis, menangisi cintaku
Menyusuri jalanku kembali,
kembali padamu. Suara mereka berpadu dengan indah" suara Danielle yang
tinggi dan jernih, serta suara Shawna yang rendah dan serak-serak
basah. Danielle merasa puas. Tapi Mary Beth menganggap lagu itu
terlalu datar. "Harusnya lebih menggigit, dong," desaknya.
Danielle tertawa. "Mestinya kau mendengar lirik aslinya.
Sebenarnya bukan 'memandangi' bulan, tapi 'melolong'. Dan juga
bukan 'menyusuri jalanku kembali', tapi 'mencakari jalanku kembali'."
Mata hijau Mary Beth bersinar-sinar. "Itu lebih cocok,"
tukasnya. "Ayo kita coba."
Lirik yang lama tetap membuat Danielle merasa gelisah. Tapi
ketika mereka selesai menyanyikannya, Caroline dan Mary Beth
sama-sama mengacungkan jempol, puas.
Maka Danielle pun berusaha menyingkirkan perasaan tidak
enak itu dari hatinya. Selesai menyanyikan lagu itu, mereka mencoba beberapa lagu
lain, lalu mengakhirinya dengan "Bulan Merah."
"Ali right!" seru Caroline setelah latihan selesai. "Malam ini
Shadyside bakal heboh!"
"Suaramu bagus, Shawna," puji Mary Beth. "Mulai sekarang,
band kita bakal tambah hebat."
Billy tidak mengomentari penampilan mereka. "Pertunjukannya
jam sembilan," kata cowok itu. "Jam delapan semua sudah harus
datang." Dua setengah jam lagi. Danielle berniat pulang, mandi, dan
makan. Mungkin tidur-tiduran sebentar.
Tapi ia ingin bicara dulu dengan Billy untuk mencari tahu
penyebab sikapnya yang uring-uringan itu.
Dihampirinya Billy ketika cowok itu sedang berjalan melintasi
lantai dansa, menuju ke pintu keluar. "Billy?"
Billy berhenti dan menoleh, jelas tampak sebal karena
diganggu. Danielle menelan ludah dengan gugup. "Aku tahu kau sedang
banyak pikiran, tapi"Billy, ada apa sebenarnya?" tanyanya. "Kau
marah sekali! Dan kemarin malam kau kelihatan gugup dan gelisah!"
Billy memandanginya. Matanya tampak besar disinari lampu
merah-biru yang ada di bekas gudang itu.
Danielle melihat Billy menjilat bibir dan menelan ludah dengan
susah payah. Tapi ia diam saja. Tidak mengatakan apa-apa pada Danielle.
Cowok itu lalu malah membalikkan badan dan cepat-cepat
berlalu dari situ. ******************************
Beberapa menit sebelum pukul delapan, Danielle sudah datang
lagi ke Red Heat. Tampak Billy dan Kit berdiri berdekatan di atas
panggung, mengobrol dengan sikap sungguh-sungguh. Caroline dan
Mary Beth melatih intro salah satu lagu yang akan ditampilkan malam
itu. "Hai!" seru Danielle sambil berjalan melintasi lantai dansa yang
luas. "Kukira aku datang paling cepat, tapi ternyata kalian malah
sudah datang duluan."
Kit tersenyum. Mary Beth dan Caroline juga.
Billy meliriknya, lalu membuang muka. "Shawna sudah datang
belum?" tanyanya. "Sudah!" Pintu depan terbanting dan tampak Shawna bergegas
lari menghampiri panggung.
"Bagus," kata Billy. "Caroline dan Mary Beth ingin melatih
sesuatu denganmu." "Baik." Shawna mengatur napasnya. "Bas-ku ada di atas.
Kuambil dulu." "Biar aku saja," sergah Danielle menawarkan. Diangkatnya
gaun merahnya yang dibungkus plastik. "Sekalian mau menaruh ini di
atas." "Terima kasih. Bas-ku disimpan di peti besar," kata Shawna.
"Sebentar ya." Danielle menaiki tangga besi melingkar yang
mengarah ke loteng. Dua buah kamar ganti berjejalan di ruangan sempit berlangitlangit rendah yang terdapat di atas lantai dasar. Ruangan lainnya
dipakai sebagai tempat penyimpanan lampu-lampu cadangan, kabel,
dan peralatan lain. Danielle sampai di atas dan menyalakan lampu.
Ia menggantung bajunya di rak pakaian yang ada di kamar ganti
pertama, lalu pergi mengambil gitar bas milik Shawna.
Di peti besar, kata Shawna tadi.
Danielle mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang
penyimpanan yang remang-remang, dan menemukan tiga peti besar.
Dua di antaranya disandarkan di dinding dan diselimuti debu.
Pasti peti yang satu itu, pikir Danielle sambil mengamatinya.
Peti yang dimaksud berukuran besar dan diletakkan dalam posisi
berdiri dengan tiga selot metal yang berat.
Dicobanya membuka selot itu.
Wah, panas benar di sini, pikir Danielle. Disekanya keringat
yang membasahi dahinya. Peti itu terjepit di antara kotak-kotak kardus dan tumpukan
kursi lipat. Danielle meraih pegangannya dan berusaha menggeser peti
itu dengan susah payah. Tak bergerak sedikit pun.
Apa lagi yang disimpan Shawna di sini selain bas-nya" Satu ton
batu bata" Kotak-kotak kardus itu berisi jel warna-warni yang digunakan
untuk lampu sorot. Danielle mendorongnya jauh-jauh supaya tidak
menghalangi. Lalu ia membungkuk di depan peti itu, dan membuka tutupnya.
Mengintip ke dalam. "Tidaaaak!" jerit Danielle pelan.
Mayat Dee ambruk keluar dari peti.
Hancur tercabik-cabik. Bab 24 Billy Tahu MAYAT Dee jatuh menimpa sepatu Danielle.
Danielle terhuyung-huyung mundur. Ia membuka mulut, untuk
menjerit, tapi tidak ada suara yang keluar.
Kaus dan celana jins Dee bersimbah darah dan terkoyak-koyak.
Kedua tangannya penuh bekas cakaran yang panjang-panjang dan
dalam. Lehernya juga, seolah-olah ia diserang oleh seekor binatang
buas. Danielle memegangi wajahnya dengan kedua tangannya, dan
mundur dari sana. Tubuhnya menabrak tiang penyangga mikrofon.
Benda itu jatuh dengan suara berdentang nyaring.
Danielle nyaris tidak mendengarnya.
Dadanya terasa seperti dipukul-pukul. Suara menggemuruh
memekakkan telinga. Danielle memejamkan matanya erat-erat, lalu
memaksa diri untuk membukanya lagi.
Danielle menunduk penuh kengerian. Bayangan dirinya dalam
khayalan yang menyeramkan itu pun muncul lagi. Ia berlari bersama
Dee di lintasan lari. Mengejarnya.
Menyerangnya. Sekali lagi ia bisa melihat perkelahian mereka di lapangan
parkir rumah Dr. Moore. Ia menggeram-geram dan berkelahi dengan Dee di atas batu
kerikil. Mengincar lehernya.
Waktu itu ia ingin membunuh Dee. Ingin mencakarnya hingga
tercabik-cabik. Dan sekarang Dee tergeletak di kakinya. Sekujur tubuhnya
tercabik-cabik, persis seperti dalam khayalanya yang mengerikan itu.
Mati dicakar dengan tubuh terkoyak-koyak. Seperti Joey.
Dee dan Joey. Akukah yang melakukannya" Akukah yang membunuh Dee"
Pertanyaan menakutkan itu mendadak muncul dalam pikiran
Danielle.
Fear Street - Bulan Merah Bad Moonlight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tentu saja bukan aku
yang membunuh mereka. Tentu saja aku bukan pembunuh.
Tapi ia tidak bisa mengingat apa yang terjadi ketika ia berada di
taman bersama Joey pada malam yang naas itu.
Dan Dee" Danielle tidak ingat. Tidak ingat.
Dr. Moore sudah menegaskan bahwa ia tidak akan melakukan
perbuatan seperti yang ada dalam khayalannya. Tapi bagaimana kalau
Dr. Moore salah" Badannya bergetar hebat. Keluar! desaknya dalam hati. Keluar
dari sini"sekarang! Kakinya tersandung tiang lampu yang tergeletak di lantai dan ia
jatuh tersungkur dengan suara berdebam. Lututnya terasa sakit sekali,
tapi ia tidak menggubrisnya. Dengan napas terengah-engah, ia cepatcepat berdiri dan berlari menyusuri koridor yang sempit.
Tampak seseorang berdiri di puncak tangga.
"Billy!" Danielle berhuyung-huyung dan berhenti.
Billy memandanginya tanpa suara.
Danielle menatap mata Billy. Otaknya berputar kencang.
Tingkah laku Billy sewaktu memberitahukan kepergian Dee dari band
terasa sangat aneh. Cowok itu gugup sekali, hingga membuat Danielle
ketakutan. Billy pasti merahasiakan sesuatu.
Apakah ia merahasiakan pembunuhan Dee"
Apakah Billy sudah tahu kalau Dee tewas terbunuh ketika ia
mendatangi rumah Danielle"
Apakah gara-gara itu maka tingkahnya jadi aneh sekali"
Billy-kah yang membunuh Dee" Mengapa" Mengapa Billy tega
membunuh Dee" Billy bergerak-gerak gelisah dan memandang Danielle dengan
mata menyipit. Ia tahu, pikir Danielle menyadari. Ia tahu kalau aku sudah
menemukan mayat Dee. Aku harus segera menyingkir. Mencari pertolongan.
"Minggir!" teriak Danielle pada Billy.
Billy diam saja. Menghalangi jalan.
"Jangan halangi aku!" pekik Danielle panik. "Aku mau keluar!"
"Tidak, Danielle." Billy mengulurkan tangan. "Maafkan aku.
Kau tidak boleh pergi"
Bab 25 Lolongan di Hutan DANIELLE panik sekali. Apa yang bisa kulakukan" Apa"
Lari ke ruang penyimpanan dan bersembunyi di balik sesuatu
yang ada di sana" Tidak. Bisa-bisa aku terjebak nanti. Tersudut.
Danielle berpaling lagi pada Billy. Rasa takutnya langsung
berganti menjadi amarah. Ia tidak boleh menghalangi aku! Tidak boleh.
"Danielle." "Tidak!" Sambil meraung diterkamnya Billy. Cowok itu
mengulurkan tangan, siap menyambarnya. Tapi Danielle menerjang
Billy dengan kekuatan penuh.
Billy menyambar tangannya. Mencengkeramnya erat-erat.
"Tidak!" Danielle melayangkan tinjunya dan menghantam
bagian samping kepala Billy keras-keras.
Billy tersentak. Cengkeramannya mengendur.
Sambil menjerit liar, Danielle menyentakkan tangannya hingga
terlepas, mendorong Billy, lalu lari menuruni tangga.
Di tengah-tengah tangga, sandalnya tersangkut pagar besi.
Danielle menjerit dan berjuang keras mempertahankan
keseimbangannya supaya tidak jatuh.
"Danielle!" Terdengar Caroline berseru memanggilnya. "Hatihati! Nanti jatuh!"
Danielle menendang sandalnya yang sudah mau copot, dan
melepaskan yang satunya lagi.
Di belakangnya, terdengar suara langkah-langkah kaki. Billy
mengejarnya. Secepat kilat Danielle turun.
Keluar, desaknya dalam hati. Lari! Larilah sejauh mungkin.
Ia melompati tiga anak tangga yang terakhir, terhuyunghuyung, tapi berhasil mempertahankan keseimbangannya. Lalu ia
menundukkan kepala dan menghambur ke pintu. Sempat dilihatnya
wajah Kit yang tercengang, disusul kemudian oleh wajah Shawna.
Didengarnya Caroline dan Mary Beth memanggil-manggil namanya.
Danielle tidak mau berhenti. Dengan kedua tangan terulur ke
depan, ia menabrak daun pintu dan menghambur ke luar.
Mobilnya terhalang mobil lain. Tapi ia toh tidak bisa
memakainya. Kuncinya ketinggalan.
Ia berlari menjauhi mobil-mobil itu. Kakinya yang telanjang
memukul-mukul aspal. Danielle berlari melewati lapangan parkir, dan terus ke jalan.
Klakson mobil bersahut-sahutan. Rem-rem berdecit. Para
pengemudinya memaki-maki.
Danielle tidak menggubris semuanya itu. Di sela-sela
lengkingan klakson dan teriak-teriakan para pengemudi, ia mendengar
suara-suara di belakangnya.
"Dia lari! Hentikan dia!"
Larilah lebih cepat lagi, Danielle! desaknya menyemangati
dirinya sendiri. Lebih cepat!
Bulan purnama menghiasi langit malam bagaikan bulatan es
yang berkilauan. Danielle merasakan cahayanya menyinari kepala dan
tangannya. Dingin. Berbahaya.
Larinya semakin cepat. Dengan jantung berdebar-debar, Danielle lari melompati trotoar
dan masuk ke areal hutan yang gelap gulita.
Suara-suara di belakangnya tak terdengar lagi.
Danielle berlari terus. Kakinya tertusuk daun cemara yang
setajam duri. Dahan-dahannya menghantam tangan dan wajahnya.
Menarik rambutnya. Pinggangnya terasa sakit dan telapak kakinya nyeri karena
berlari di aspal tanpa alas kaki. Ia memperlambat larinya, tapi tidak
berhenti. Ia tidak berani berhenti.
Sebatang ranting menjerat rambutnya. Danielle ragu-ragu. Ia
mendengar suara-suara di depannya.
Ia berhenti. Membuka telinganya lebar-lebar.
Suara gemericik air. Ternyata ada sungai di sebelah kirinya.
Ia tahu hutan ini. Ia bisa berjalan melintasinya dan keluar di
dekat rumahnya. Sambil mengembuskan napas lega, Danielle merasa mendapat
tenaga baru. Ia menyingkirkan ranting yang menjerat rambutnya, lalu
lari lagi. Ia menyibakkan ranting-ranting pohon yang menghalangi
jalannya, dan melihat kilauan sinar bulan jauh di depan, di antara
pepohonan. Aku sudah hampir keluar dari hutan, pikirnya.
Ia menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa.
Rumah, pikirnya. Aku harus segera sampai di rumah.
Masih tiga atau empat kilometer lagi baru ia bisa sampai di
rumah. Tapi ia pasti bisa sampai ke sana. Pasti bisa.
Billy tahu rumahku, pikir Danielle. Apakah ia akan
menungguku di sana" Apakah karena itu maka ia tidak mengejarku
sampai ke dalam hutan"
Tidak usah dipikirkan sekarang. Pokoknya ia harus sampai di
rumah. Suara gemerisik di sebelah kanan membuatnya terlonjak.
Ia berhenti, mendengarkan, memicingkan matanya dalam gelap.
Hening. Pasti suara bajing atau rakun, pikirnya. Lari saja terus.
Danielle sampai ke pinggir hutan. Ia menerjang ranting-ranting
yang menghalang di depannya, dan kakinya menapak tanah yang
lembut dan sejuk. Ke arah mana rumahnya"
Sebelum ia sempat memutuskan, mendadak sesosok tubuh
menghambur keluar dari hutan dan menyambar lengannya.
Danielle menjerit, kaget dan ketakutan.
"Danielle! Tenanglah! Ini aku!"
Caroline! Danielle mengembuskan napas lega. "Tolong aku, Caroline!"
tangisnya. "Aku" aku sudah tidak sanggup lari lagi. Bantu aku,
Caroline, please! Ia mau membunuhku! Ia mau membunuhku juga!"
Caroline merangkul Danielle dan memeluknya erat-erat.
"Tenanglah, Danny. Tentu saja aku mau menolongmu," bisik Caroline
lembut. "Aku harus pulang!" seru Danielle dengan suara tercekik.
"Dia"dia mungkin akan menyakiti Bibi Margaret atau Cliff!"
"Tenanglah. Atur napasmu," bujuk Caroline. "Aku akan
mengantarmu pulang."
Danielle merebahkan kepalanya di bahu Caroline. Lambat laun
napasnya kembali teratur. Tubuhnya sudah tidak gemetaran lagi.
Cahaya bulan menyinari mereka. Danielle menggigil. "Ayo
cepat," katanya. "Kita pergi dari sini."
"Atur napasmu," ulang Caroline. Suaranya terdengar aneh"
rendah dan parau. "Tidak usah. Ayolah. Lekas!" desak Danielle. "Kita tidak boleh
membuang-buang waktu."
Kali ini Caroline diam saja. Kedua tangannya yang menempel
di punggung Danielle terasa berat. Danielle mendengar suara geraman
pelan jauh di dalam dada Caroline.
"Kau baik-baik saja?" tanya Danielle.
Bau apa itu" pikir Danielle dalam hati. Hidungnya mengendusendus. Bau tajam menyengat. Seperti anjing yang bertahun-tahun
tidak dimandikan. Badannya merinding. "Caroline?" bisiknya.
Ia berbalik"dan terkesiap. "Tidak! Tidak! Tidak mungkin!"
Caroline memandanginya dengan mata biru yang bersinar-sinar
di wajah yang diselimuti bulu kasar berwarna abu-abu. Bulu yang
sama juga menutupi sekujur tangan dan kaki Caroline.
Terdengar lagi bunyi geraman dari dada Caroline.
Dan kemudian, bibirnya yang tebal dan ungu itu menyeringai,
menampakkan sederet taring yang kuning dan tajam. Air liur menetesnetes dari taring itu. Taring yang bisa dengan mudah merobek daging
dan mengoyak-ngoyakkannya.
Di sinar bulan yang dingin, Caroline mendongakkan kepalanya
yang diselimuti bulu abu-abu mengerikan, dan melolong dengan suara
melengking. Bab 26 Siapa yang Dapat Dipercaya"
LOLONGAN yang melengking tinggi itu merobek keheningan
malam. Diakhiri dengan geraman buas yang mengerikan.
Bola mata Caroline berputar-putar liar, memantulkan cahaya
bulan yang keperakan. Air liurnya menetes-netes, membasahi
bulunya. Bibirnya yang ungu itu menyeringai lagi.
"Caroline!" jerit Danielle. "Kau kenal aku. Aku temanmu.
Jangan, Caroline!" Caroline mengangkat kedua tangannya yang diselimuti bulu.
Kuku-kukunya kuning dan panjang, melengkung membentuk cakar
yang tajam. Cakar yang bisa mengoyak dan mencabik-cabik.
Geraman buas itu terdengar lagi. Asalnya dari dalam
tenggorokan Caroline. Dengan kedua cakarnya, disambarnya Danielle
dengan kasar. "Caroline!" pekik Danielle. "Ini aku" Danielle! Caroline,
please!" Yang tersisa dari Caroline hanyalah mata birunya. Temannya
itu sudah berubah bentuk menjadi makhluk mengerikan dengan suara
menggeram dan air liur berceceran.
Serigala" Manusia serigala" Dengan perasaan takut yang amat sangat, Danielle merontaronta, berusaha melepaskan diri. Tapi cengkeraman Caroline amat
kuat, melebihi kekuatan manusia. Lalu, di balik punggung Caroline,
Danielle melihat dua buah lampu bersinar di kejauhan.
Lampu mobil, pikirnya. Ada mobil datang. Ada orang yang bisa
menolongku. Danielle berteriak sekuat-kuatnya. "Tolong! Di sini! Tolong!"
Suara mesin menderu. Lampu mobil itu semakin dekat.
Caroline menggeram marah dan memutar kepalanya ke
belakang. Cengkeramannya mengendur.
Danielle melepaskan diri dan berlari menghampiri lampu mobil
itu. "Hei!" teriaknya sambil melambai-lambaikan kedua tangannya
di atas kepala. "Di sini! Tolong!"
Sesaat matanya dibutakan oleh sinar lampu mobil itu. Tapi
sinarnya lalu menyamping, sehingga Danielle bisa melihat mobilnya.
Ternyata bukan mobil. Tapi sebuah van.
Van milik bandnya. Di dalamnya ada Billy dan Mary Beth.
Van itu berhenti. Mary Beth dan Billy melompat turun dan
berlari-lari menghampiri Danielle.
"Jangan! Kembali ke mobil!" jerit Danielle. "Kembali! Lekas
pergi dari sini!" Billy dan Mary Beth seakan tidak mendengar kata-katanya.
Mereka keluar dari balik bayang-bayang pepohonan, berjalan ke
tempat yang diterangi sinar bulan yang dingin.
Wajah mereka mengernyit. Mata mereka berkilat diterangi sinar
bulan, dan bibir mereka menyeringai, menampakkan taring yang
runcing dan tajam. Danielle ternganga ketakutan melihat bulu-bulu bermunculan di
sekujur tubuh mereka: wajah, tangan, dan kaki.
Manusia serigala! Danielle tersadar. Billy, Mary Beth,
Caroline"mereka semua manusia serigala!
Danielle menjerit lagi dan cepat-cepat membalikkan badan.
Caroline melompat ke arahnya dalam posisi merangkak. Air liur
menetes-netes dari moncongnya yang menyeringai.
Di belakangnya, Billy dan Mary Beth mendongakkan kepala
mereka yang penuh bulu dan melolong dengan suara melengking
tinggi. Aku tidak bisa lari ke mana-mana! pikir Danielle dengan
jantung berdebar-debar. Pelipisnya berdenyut-denyut.
"Pergi!" teriaknya. ''Please! Please"tinggalkan aku!"
Ketiga serigala itu menghadangnya, menghalangi jalan.
Mengelilinginya sambil menggeram-geram.
Tercium bau yang tidak enak, tajam menyengat.
Serigala-serigala itu membuka dan mengatupkan moncong
masing-masing. Mendesak maju...
Memaksanya mundur. Mundur...
Sampai mata kakinya masuk ke dalam air yang dingin.
Danielle menjerit. Serigala-serigala itu telah mendesaknya
hingga ke tepi sungai. Apa yang ingin mereka lakukan terhadapnya"
Menenggelamkannya" Lalu merobek-robek dagingnya"
Mencabik-cabik tubuhnya seperti mereka mencabik Joey" Dee"
Kaki Danielle menginjak sebuah batu yang halus dan licin.
Ia jatuh. Air sungai yang dingin mengalir di kakinya.
Danielle cepat-cepat berdiri, merintih ketakutan.
Ia mendongak, melihat ke arah van. Letaknya cukup dekat.
Biasakah ia mencapai van itu sebelum serigala-serigala ini
Fear Street - Bulan Merah Bad Moonlight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sempat menyerangnya" Sanggupkah ia berlari mendahului mereka"
Harus bisa. Sambil menarik napas panjang, Danielle menghambur keluar
dari air. Tersandung-sandung dan terpeleset-peleset, lari melintasi
tanah yang basah. Di belakangnya, tak terdengar lagi suara geraman.
Danielle menoleh. Mereka tidak mengejarnya. Apakah mereka
sudah menyerah" Danielle berusaha melihat. Tapi hutan diselimuti kegelapan
yang hitam pekat. Segumpal awan menutupi bulan.
"Danny?" Terdengar suara Caroline memanggilnya. "Sekarang
sudah tidak apa-apa. Kau tidak perlu melarikan diri dari kami." Suara
Caroline sudah kembali normal.
"Benar, Danielle!" teriak Mary Beth.
"Kau aman sekarang," tambah Billy. "Kami tak akan
menyakitimu." Danielle ragu-ragu. Ia ingin mempercayai mereka.
Tapi itu tidak mungkin. Tadi mereka diubah oleh cahaya bulan
menjadi manusia serigala. Cahaya bulan yang mengerikan.
Sekarang bulan tenggelam di balik awan. Dan mereka pun
kembali menjadi manusia. Tapi begitu bulan muncul lagi, Danielle
tahu mereka akan segera berubah menjadi manusia serigala dan
mencabik-cabik tubuhnya! "Tidak!" jeritnya.
Lalu terdengar suara lain di belakangnya. "Danielle!"
Danielle mengenali suara itu. Hatinya lega bukan main.
Kit. "Kit!" serunya. Ia melesat menghampiri suara itu. "Tolong
aku!" "Cepat, Danielle!" teriak Kit sambil mengulurkan tangannya.
"Aku bawa mobil. Lekas!"
"Lebih dekat ke van!" teriak Danielle dengan napas terengahengah.
"Aku tidak punya kuncinya. Ayo, Danielle, cepat!"
Danielle berusaha lari, tapi tiba-tiba saja ia ambruk. Otot-otot
kakinya kram. Ia tidak bisa bergerak. "Tolong aku, Kit!"
"Danielle, jangan dekati dia!" didengarnya Billy berteriak. "Ia
tidak akan menyelamatkanmu! Kit sama seperti kami!"
Danielle membeku. Bernapas pun ia tidak bisa. Apalagi
bergerak. "Boleh juga usahamu, Billy." Suara Kit mendadak terdengar
sangat marah. "Jangan dengarkan dia, Danielle. Ia bohong. Menipumu
mentah-mentah." "Kit tidak akan menyelamatkanmu!" ulang Billy dengan nada
putus asa. "Ke sinilah, Danielle!"
Dalam kepanikannya, Danielle hanya bisa memandangi Billy
dan kelompoknya, satu per satu.
"Billy kan pemimpin band"sekaligus juga pemimpin mereka,
Danielle!" teriak Kit. "Ikut aku dan kita pergi dari sini."
Kit beringsut-ingsut maju, mendekatinya. Kedua tangannya
terulur. "Ayo, Danielle," desaknya.
Billy melangkah maju bersama Caroline dan Mary Beth di
sampingnya, mendesaknya untuk ikut bersama mereka.
Bagaimana ini" tanya Danielle dalam hati.
Siapa yang bisa kupercaya"
Siapa" Kit. "Percaya padanya?" teriak Billy sambil tertawa sinis. "Kamilah
teman-temanmu, Danielle. Ikutlah kami"please."
Dengan napas memburu, Danielle memandangi mereka
berganti-ganti. Billy dan Kit saling melotot dengan mata menyalanyala marah.
Pilih! perintah Danielle dalam hati. Kau harus memilih!
Dilihatnya Caroline dan Mary Beth. Keduanya menengadah ke
langit dengan wajah cemas.
Mereka, menunggu awan tersibak, pikir Danielle. Menunggu
datangnya sinar bulan supaya mereka bisa berubah bentuk menjadi
serigala lagi. Supaya mereka bisa mencabik-cabik badanku.
"Kit!" pekik Danielle. Ia membalikkan badannya dan berlari
menghampiri Kit. Kit menyambar tangannya. "Ayo, cepat pergi dari sini. Bulan
sudah mau muncul!" Bersama Kit, Danielle berlari ke arah hutan. Harapannya timbul
kembali. Kami pasti selamat!
Saat itulah, pohon-pohon mendadak terang benderang.
Bulan sudah muncul dari balik awan, pikir Danielle. Bulan
bersinar lagi. Aku bisa merasakan cahayanya yang dingin di bahuku.
"Jangan menoleh!" perintah Kit.
Danielle mendengar lolongan panjang di belakangnya. Dekat
sekali. Ia tersandung, nyaris membuat Kit ikut terguling. Kit
menyambar pinggangnya dan mengangkat badannya hingga berdiri
kembali. "Aaarrgghhh!" Raungan serigala itu mengejutkan Danielle. Ia menoleh.
Dilihatnya Billy melompat, menerkam punggung Kit.
Billy menyambar badan Kit dengan moncongnya yang kuat,
dan merobohkannya ke tanah.
"Lari, Danielle!" seru Kit dengan suara serak. "Larilah selagi
masih bisa!" Billy menggeram-geram, berguling-guling di tanah bersama
Kit. Kit melawan dengan sekuat tenaga. Tapi seekor serigala besar
bukanlah tandingannya. Tatapan Danielle beralih ke Caroline dan Mary Beth. Mereka
mendekatinya dalam posisi merangkak.
Aku harus menyelamatkan Kit, pikir Danielle panik. Tapi aku
tidak akan bisa melawan mereka bertiga. Aku harus mencari
pertolongan. Aku harus bisa mencapai van itu.
Kit dan Billy terus bergumul sambil meraung dan menggeramgeram. Sementara dua serigala yang lain mendekati Danielle.
Danielle berlutut. Meraup segumpal lumpur basah.
Kedua serigala itu menggeram, meneteskan air liur dari
moncong mereka yang terbuka.
Danielle bangkit, melemparkan lumpur basah ke mata kedua
serigala itu, lalu lari secepat kilat ke mobil van.
Mobil van itu diparkir dalam posisi miring, menghadap ke arah
hutan. Pintunya dibiarkan terbuka. Mata Danielle menangkap secercah
warna perak. Kunci mobil! Tergantung di lubangnya.
Sambil menjerit, Danielle melompat masuk ke dalam mobil,
menutup pintunya rapat-rapat, dan menguncinya.
Diiringi geraman marah, Caroline dan Mary Beth menerjang
sisi mobil, dan mengguncang-guncangnya.
Dengan tangan gemetaran, Danielle meraih kunci mobil.
Memutarnya. Mesin mobil menderum, terbatuk-batuk, lalu mati.
Bab 28 Kejutan di Rumah LAMPU mobil menerangi pohon-pohon.
Apakah akinya mati" Dengan badan gemetar, Danielle mematikan lampu mobil dan
meraih kuncinya lagi. Lagi-lagi Mary Beth dan Caroline menerjang badan mobil,
menggoyang-goyangnya... Kunci terlepas dari tangan Danielle yang licin dan basah oleh
keringat. Wajah serigala Mary Beth dengan matanya yang liar menempel
di kaca jendela. Mencakari kaca dengan kuku-kukunya yang runcing.
Danielle memutar kunci. Mesin mobilnya menderum pelan. Ia
berhenti, menekan pedal gas, lalu memutar kuncinya sekali lagi.
Akhirnya! Mesin mobil meraung hidup.
Danielle memasukkan gigi mundur, dan menginjak pedal gas
dalam-dalam. Ban mobil berputar di lumpur yang basah. "Ayo!" teriak
Danielle. Mobil tersentak maju. "Bagus!"
Mary Beth bergelayut di kaca spion samping. Danielle
menginjak rem dan memasukkan persneling. Diinjaknya lagi pedal
gas. Mobil meloncat maju, dan Mary Beth pun terpelanting. Keempat
kakinya yang penuh bulu menggapai-gapai liar.
Melalui kaca spion, Danielle melihat kedua serigala itu lari
mengejarnya sambil menggeram-geram.
Danielle menginjak pedal gas sampai habis, dan berteriak lega
ketika mobilnya melesat maju, jauh meninggalkan binatang-binatang
buas itu. "Berhasil!" pekik Danielle kegirangan.
Tapi nasib Kit bagaimana"
Please, Kit"please. Berjuanglah untuk tetap hidup sampai aku
kembali. Danielle mengemudikan mobilnya melewati jembatan kayu
yang tidak rata, kembali ke jalan raya. Ia menarik napas panjang dan
mencoba berpikir jernih. Billy adalah pemimpinnya. Apakah itu berarti dia yang
membunuh Joey dan Dee"
Mengapa" Mendadak Danielle teringat pada lolongan hewan yang
didengarnya melalui jendela kamar hotel. Lolongan serigala. Ternyata
itu suara "teman-temannya." Melolong ke bulan.
Danielle teringat pada jari-jarinya sendiri yang mendadak
memanjang dan melengkung seperti cakar.
Ingat ketika ia menghirup darah Cliff. Serta keinginannya untuk
membunuh Dee. Apakah mereka berusaha membuatku jadi manusia serigala
juga" tanya Danielle dalam hati dengan badan merinding.
Tapi tidak berhasil, pikirnya menenangkan diri.
Aku tetap manusia biasa. Bukan serigala.
Mereka tidak berhasil mengubahku.
Jangan pikirkan hal itu lagi, perintah Danielle sambil memacu
mobilnya menyusuri Fear Street tempat rumahnya berada. Yang
penting cari pertolongan.
Dengan takut-takut Danielle melirik kaca spion.
Tidak ada apa-apa kecuali kegelapan. Tidak ada yang
mengikutinya. Napasnya tercekat. Terlambatkah dia" Apakah polisi nanti akan
menemukan mayat Kit dalam keadaan tercabik-cabik seperti yang
lain" "Bertahanlah, Kit!" bisiknya.
Akhirnya rumahnya kelihatan juga di hadapannya. Ia sudah
meloncat turun sebelum mobilnya berhenti benar-benar di pinggir
jalan. Dengan napas memburu, ia berlari ke trotoar. Tersandung di
tangga depan yang terbuat dari kayu. Telapak tangannya kemasukan
serpihan kayu. Tanpa memedulikan rasa sakit, ia cepat-cepat berdiri
lagi. Pintu depan terkunci.
"Bibi Margaret!" teriaknya sambil menggedor-gedor pintu.
"Bibi Margaret, buka pintu! Cepat!"
Hening. Digedor-gedornya lagi pintu itu, kali ini lebih keras. "Bibi
Margaret! Ini aku, Danielle! Cepat buka pintunya!"
Sayup-sayup terdengar lolongan binatang. Suara anjing"
Atau serigala" "Bibi Margaret! Cliff!" Dipukul-pukulnya pintu. "Cepat!"
Ia baru mau lari ke belakang ketika didengarnya langkahlangkah kaki di lorong depan. Lampu teras menyala, dan terdengar
bunyi kunci diputar. Pintu terbuka. Danielle menghambur masuk dan bertabrakan
dengan bibinya. Bibi Margaret mengenakan mantel kamar tipis warna biru.
Rambut merahnya berantakan, dan matanya bengkak karena
mengantuk. "Danielle" Ada apa?" tanyanya.
Danielle mengangkat kepalanya. "Aku tidak sempat
menjelaskan. Cepat, kita harus menelepon polisi!"
Ia lari menuju dapur, tapi ditahan oleh bibinya.
"Telepon polisi?" tanya Bibi Margaret. "Kenapa" Ada kejadian
apa" Kau seperti habis berkelahi, Danielle!"
"Memang!" "Dan kau luka-luka," sambung Bibi Margaret. "Ayo ke kamar
mandi. Biar Bibi bersihkan luka-lukamu."
"Jangan!" teriak Danielle panik. "Aku tidak apa-apa. Kit yang
membutuhkan pertolongan! Mereka akan membunuhnya!"
"Hah" Membunuh siapa" Danielle, tenanglah dan ceritakan
padaku!" "Billy! Juga Mary Beth dan Caroline!" jawab Danielle dengan
napas terengah-engah. "Mereka semuanya manusia serigala!"
Mata Bibi Margaret terbelalak.
"Mereka tadi juga mencoba membunuhku, tapi aku berhasil
meloloskan diri. Tapi Kit tertinggal di sana"dan mereka akan
membunuhnya!" Danielle melepaskan diri dari pegangan bibinya dan lari
menyusuri lorong, masuk ke dapur yang gelap. Ia menabrak sebuah
kursi, menendangnya, lalu menyambar pesawat telepon.
Lampu dapur menyala. "Danielle," panggil bibinya dengan nada tegas.
Danielle tidak menggubrisnya. Ia tahu bibinya tidak percaya
pada ceritanya. Ia akan meyakinkan bibinya nanti. Jari-jarinya mulai
menekan nomor telepon polisi.
Bibi Margaret mengulurkan tangan dan merampas teleponnya.
"Apa yang Bibi lakukan?" teriak Danielle. "Bibi Margaret, aku
tahu ceritaku kedengarannya memang tidak masuk akal, tapi aku tidak
bohong. Mereka manusia serigala dan mereka mencoba membunuh
Kit"sekarang!" Dengan putus asa Danielle berusaha melepaskan telepon dari
pegangan bibinya. "Kenapa Bibi menghalang-halangiku" Masa Bibi
tidak percaya" Bibi sangka aku sudah gila, ya?"
Bibi Margaret menggeleng. "Tidak, Sayang, menurutku kau
sama sekali tidak gila. Malah, aku yakin benar kau tidak gila."
"Jadi kenapa?""
"Maafkan aku, Danielle, tapi kau tidak boleh menelepon polisi.
Aku tidak akan membiarkannya." Seulas senyum aneh tersungging di
wajah Bibi Margaret. "Kau harus kembali pada mereka, Sayang. Kami
semua sudah bekerja keras. Kau tidak boleh menghancurkan rencana
yang sudah kami susun untukmu."
Bab 29 Rencana Besar untuk Danielle
AKU salah dengar, kata Danielle dalam hati.
Mana mungkin Bibi Margaret berkata begitu.
Tapi apa yang ia katakan tadi"
Dengan lembut Bibi Margaret mengambil telepon dari tangan
Danielle dan mengembalikannya ke tempatnya semula.
"Kau harus kembali pada mereka, Danielle," ulang Bibi
Margaret. "Mereka tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja.
Mereka akan membunuhmu."
Tidak, pikir Danielle. Mana mungkin Bibi Margaret berkata
Fear Street - Bulan Merah Bad Moonlight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu. Ini hanya khayalanku saja. Tunggu saja, pasti sebentar lagi
khayalanku ini akan berlalu.
Terasa olehnya tangan Bibi Margaret menyentuh bahunya.
Tubuhnya mengejang. "Danielle!" Bibi Margaret terdengar tersinggung. "Jangan takut
padaku. Duduklah. Aku akan membuatkan teh untukmu."
Danielle menggeleng dan menepiskan tangan Bibi Margaret
dari bahunya. "Aku harus mencari bantuan untuk Kit!"
Bibi Margaret mengeluh. "Tidak bisa, Sayang. Tolong
dengarkan aku. Aku tidak akan membiarkanmu merusak rencana
kami, Danielle. Kami sudah melaksanakannya begitu lama."
Danielle mengedarkan pandangannya ke sekeliling dapur. Jam
dinding berdetak-detak. Lemari es mendengung. Tanaman di pot
gantung bergoyang-goyang tertiup angin.
Hadapilah. Semuanya nyata, kata Danielle dalam hati. Semua
ini benar-benar terjadi. Dan... dan... Bibi Margaret ternyata juga salah satu dari mereka!
Matanya beralih kembali ke wajah bibinya. Ia menelan ludah.
"Tapi kau bibiku!" bisiknya dengan suara serak. "Bagaimana Bibi tega
membantu mereka?" Bibi Margaret menggelengkan kepalanya lambat-lambat. "Aku
bukan bibimu, Danielle."
"Hah" Apa maksudnya?" pekik Danielle. "Sejak kecil aku kenal
Bibi! Tentu saja kau bibiku!"
"Kau tidak pernah bertemu lagi dengan bibi kandungmu sejak
kau masih kecil sekali," tukas Bibi Margaret mengingatkan.
"Tapi"tapi?" Danielle terbata-bata.
"Aku menggantikan dia," kata wanita itu membuka rahasia.
"Dan bibi kandungku?" tanya Danielle.
Wanita itu naenyibakkan rambut merahnya dan menghela napas
lagi. "Kau tidak perlu tahu, Danielle. Semakin sedikit yang
kauketahui, semakin mudah bagimu untuk?"
"Beritahu aku!" bentak Danielle.
"Bibi kandungmu sudah meninggal," jawab Bibi Margaret terus
terang. "Sama seperti kedua orangtuamu. Ketiganya tewas dengan
cara yang sanaa." "Apa maksudmu" Bibiku tidak bersama kedua orangtuaku
ketika mereka mengalami kecelakaan!"
"Tentu saja," ujar Bibi Margaret membenarkan. "Tapi ia juga
dibunuh, sama seperti mereka membunuh kedua orangtuamu."
"Sama seperti mereka?" Danielle terdiam, ngeri.
Guntingan surat kabar itu! Kedua orangtuanya tewas diterkam
binatang buas. Jadi itu sebabnya mengapa ia terus-menerus
memikirkan mereka. Entah bagaimana, selama ini diam-diam ia tahu
bahwa kisah mengenai kecelakaan mobil itu omong kosong belaka.
Ayah, ibu, dan bibinya sama-sama tewas karena serangan
binatang buas. Manusia serigala. Manusia serigala-lah yang membunuh mereka.
Bibi Margaret melanjutkan penuturannya. "Semua itu sudah
kami rencanakan," katanya pada Danielle. "Para kerabatmu harus
disingkirkan, supaya aku bisa mengasuhmu. Supaya aku bisa
mempersiapkanmu." "Siap untuk apa?"
"Siap untuk suamimu!" Bibi Margaret mencondongkan
badannya ke arah Danielle. Mata birunya yang dingin berkilat-kilat
senang. "Kau sudah berusaha keras melawan, tapi kau takkan bisa
menang," bisiknya. "Kau tak akan pernah menang. Dan kau sudah
hampir siap. Hampir siap menjadi calon pengantinnya!"
"Calon pengantin siapa?" pekik Danielle. "Apa maksudmu?"
"Calon pengantin si manusia serigala." Bibi Margaret
tersenyum penuh kemenangan. "Tuan kami. Ia ingin punya istri,
Danielle, dan ia telah memilihmu."
Billy! pikir Danielle, sekujur tubuhnya dingin karena takut.
Mereka ingin aku menikah dengan makhluk itu.
Danielle merayap mundur, tapi Bibi Margaret menyambar
lengannya dan memeganginya erat-erat. Tubuhnya kecil, tapi
pegangannya kuat sekali. "Lepaskan aku!" seru Danielle. "Aku tidak mau ikut dalam
rencana busuk kalian. Lepaskan aku!"
"Terlambat!" bisik Bibi Margaret. "Terlambat bertahun-tahun."
Danielle memandang ke sekeliling ruangan. Bagaimana caranya
keluar dari sini" Bagaimana aku bisa melarikan diri darinya"
"Jangan coba-coba," ancam Bibi Margaret. "Percuma saja,
Danielle. Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Kau tidak boleh
menghancurkan rencana kami."
Danielle menyentakkan tangannya keras-keras.
"Hentikan!" bentak Bibi Margaret marah. "Kau hanya semakin
menyusahkan dirimu."
"Hei, ada apa nih?" tanya sebuah suara melengking.
"Cliff!" pekik Danielle. Adik lelakinya itu berdiri di ambang
pintu dapur dengan tubuh terbungkus piama Power Rangers,
mengerjap-ngerjapkan mata dengan mengantuk.
"Ada apa?" tanya Cliff sambil menguap lebar-lebar. "Aku
mendengar teriakan-teriakan."
"Tidak ada apa-apa, Cliff," sergah Bibi Margaret cepat-cepat.
"Tidur saja lagi."
Cliff memandangi mereka dengan curiga. "Kalian bertengkar
ya?" "Tidak!" bentak Bibi Margaret. "Sekarang kembali ke
kamarmu!" Cliff cemberut. "Oke, oke. Aku kan cuma tanya?"
"Dengar aku, Cliff!" Danielle buru-buru memotong. "Larilah ke
atas dan telepon polisi! Nomornya 911!"
"Polisi?" Cliff terbelalak. "Hei, kita dirampok?"
Bibi Margaret tertawa serak. "Kakakmu bohong, Cliff. Kau kan
tahu, dia memang suka menggodamu."
"Tidak!" bantah Danielle. "Aku tidak bercanda, Cliff. Please,
panggil polisi!" Cliff ragu-ragu. Dipandanginya bibi dan kakaknya bergantiganti.
"Cliff, turuti aku dan kembalilah ke tempat tidur," perintah Bibi
Margaret. Wanita itu bergerak menghampiri Cliff, pegangannya
mengendur. Sambil berteriak Danielle menyentakkan tangannya dan
mendorong wanita itu jauh-jauh. Wanita itu terhuyung-huyung, lalu
menabrak Cliff. Keduanya tersungkur ke lantai.
Tanpa memedulikan teriakan mereka, Danielle lari ke pintu
belakang, membuka kuncinya, dan menyentakkannya hingga terbuka.
Billy berdiri di luar. Matanya menyala-nyala marah. "Mau ke mana kau?" tanyanya.
Bab 30 Tolong "MAU ke mana kau?" ulang Billy.
"Pokoknya pergi sejauh-jauhnya darimu!" jerit Danielle.
Sebelum Billy sempat bereaksi, Danielle mengulurkan kedua
tangannya dan mendorong cowok itu ke arah tangga belakang, hingga
jatuh tunggang langgang. Billy terpekik kaget. Tangannya menggapai-gapai, hendak
menyambarnya. Tapi Danielle meloncatinya. Mendarat dalam posisi merangkak.
Lalu cepat-cepat ia bangkit, dan lari mengitari rumah.
"Tahan dial" seru Bibi Margaret dari dapur. Lalu Danielle
mendengar tangis ketakutan Cliff.
Apakah Bibi Margaret akan menyakiti Cliff"
Tidak, jawab Danielle dalam hati. Manusia-manusia serigala itu
tidak mengincar Cliff. Mereka hanya menginginkan seorang pengantin
wanita untuk Billy. Pengantin untuk seorang manusia serigala.
Di belakangnya terdengar suara langkah-langkah kaki. Billy!
Terdorong oleh rasa marah, Danielle mempercepat larinya
melintasi halaman depan, dan meloncat ke dalam mobil van.
Saat mengeluarkan kunci mobil dari saku celana pendeknya,
jari-jarinya terasa tebal dan kaku.
Kunci itu terjatuh dari tangannya. Danielle menunduk dan
meraba-raba lantai van yang gelap.
Billy menerjang mobil. "Danielle!" teriaknya. "Tunggu dulu!"
Kuncinya ketemu. Danielle menjejalkannya ke lubang starter.
Billy mencakari kaca jendela. "Danielle, buka pintunya!"
teriaknya. "Jangan lari. Kau tidak bisa lolos. Kau tidak mungkin
menang!" Oh, bisa saja! tukas Danielle dalam hati dengan marah.
Ditekannya pedal gas, dan diputarnya kunci.
Jari-jari Billy mencakari kaca jendela.
"Pergi!" teriak Danielle.
Mesin meraung hidup. Danielle memasukkan gigi satu dan
memacu mobilnya pergi. Melalui kaca spion dilihatnya Billy berlari
mengejarnya. Danielle menginjak pedal gas dalam-dalam dan melesat
melewati Fear Street. Ketika Danielle membelokkannya di tikungan
yang mengarah ke Mill Road, mobilnya bergoyang hebat, dan bannya
berdecit-decit. Billy sudah tidak kelihatan lagi.
Aman, pikirnya. Setidaknya untuk sekarang.
Danielle mengurangi kecepatannya sedikit. Ia harus berpikir.
Ke mana aku harus pergi" Siapa yang akan menolongku"
Aku bisa saja pergi ke kantor polisi. Tapi kalau mereka tidak
percaya padaku, bisa-bisa mereka malah akan mengantarkan aku
pulang ke Bibi Margaret. Aku tak akan bisa kabur lagi.
Siapa yang bisa kupercaya" Siapa yang mau menolongku"
Ketika mobilnya sedang melaju kencang ke arah utara melalui
Mill Road, mendadak sebuah nama muncul di otaknya.
Dr. Moore. Kata dokter itu, ia bersedia membantu Danielle kapan saja,
siang maupun malam. Pokoknya, kapan saja Danielle membutuhkan.
Well, sekarang ia benar-benar membutuhkan pertolongan.
Danielle memutar mobilnya dan memacunya ke pusat bisnis
kota Shadyside. Semua toko dan gedung perkantoran tampak kosong
dan gelap gulita. Bulan memandikan gedung-gedung gelap itu dengan
cahayanya. Cahaya bulan yang mengerikan.
Cahaya yang mengubah Billy dan teman-temannya yang lain
menjadi serigala. Danielle tahu itu. Dan cahaya yang sama hampir
membuatnya menjadi seperti mereka.
Tapi bagaimana" Selama hidupnya, ia sudah ratusan kali berada di bawah sinar
bulan, tapi tidak pernah merasa aneh atau ingin melakukan hal-hal
yang menyeramkan. Sampai ia bergabung dengan band itu.
Billy pasti punya kekuatan khusus, pikir Danielle
menyimpulkan. Tiba-tiba saja jalanan berubah gelap. Danielle mendongak,
melihat ke langit melalui kaca depan. Gumpalan awan bergulunggulung di angkasa, menuju ke kota.
Bagus, pikirnya. Mungkin bulan akan tenggelam di balik awan
sampai Dr. Moore dan aku berhasil menemukan jalan keluar.
Rumah besar bergaya Victoria milik Dr Moore sudah tampak di
depan mata. Semoga ia ada di rumah. Kumohon, semoga ia tidak pergi, doa
Danielle dalam hati dengan putus asa.
Diinjaknya rem mobil kuat-kuat. Mobil berhenti dengan suara
berdecit. Danielle melompat turun dan langsung lari. Telapak kakinya
yang telanjang terasa sakit terkena kerikil-kerikil tajam yang menutupi
pelataran parkir. "Dr. Moore!" Danielle menggedor-gedor pintu dengan dua
tangan. "Please, ada masalah gawat! Saya membutuhkan bantuan.
Nyawa saya terancam. Cepat, buka pintunya!"
Rumah tua itu tetap sunyi dan gelap gulita.
Danielle meraba-raba dinding, mencari bel pintu. Setelah
ketemu, ditekannya bel itu berulang-ulang. Didengarnya suaranya di
dalam rumah. Sebelah tangannya tetap menekan bel, sementara tangan
yang lain menggedor-gedor pintu.
Akhirnya lampu luar menyala juga. Terdengar suara rantai
penahan pintu dilepas, kunci pintu dibuka, dan setelah itu, pintu pun terbentang.
Dr. Moore memandanginya dengan mata berkedip-kedip kaget.
Dokter itu memakai celana panjang yang kusut masai dan baju hangat
longgar. Rambutnya yang sudah beruban melekat di kepala.
"Syukurlah!" seru Danielle, menerobos masuk dengan napas
terengah-engah. "Saya takut Anda tidak ada di rumah!"
"Aku tadi membaca di sofa dan ketiduran," kata Dr. Moore
menjelaskan sambil mengusap-usap wajahnya. "Ada apa, Danielle"
Apa yang terjadi?" Danielle membanting pintu. "Saya rasa Billy tidak bakalan
mengira saya ada di sini," bisiknya dengan nada takut. Ia berbalik
untuk mengunci pintu dan memasang rantai pengaman. "Tapi saya
tidak begitu yakin, Dr. Moore. Ia punya semacam kekuatan!"
Mata dokter itu membelalak bingung. "Apa maksudmu" Kau
dikejar-kejar?" tanyanya sambil mengamati Danielle. Ekspresi
wajahnya berubah. "Kau terluka, Danielle! Wajahmu memar dan
lecet-lecet. Mari masuk ke ruang praktekku, supaya aku bisa lebih
jelas melihatnya." "Saya tidak apa-apa," sanggah Danielle ngotot. Tapi Dr. Moore
tetap menggiring Danielle ke ruang prakteknya. "Saya tidak apa-apa.
Tolonglah! Saya dalam bahaya. Demikian juga Anda"kalau ia
sampai tahu saya ada di sini!"
"Tenanglah," bujuk Dr. Moore lembut. "Kau bisa menjelaskan
semuanya padaku nanti. Sekarang, akan kuperiksa dulu semua pintu
dan jendela, untuk memastikan semuanya sudah terkunci."
Danielle melihat dokter itu bergegas keluar ruangan.
Setidaknya sekarang aku aman di sini, pikir Danielle. Napasnya
lebih teratur sedikit. Tapi apa yang bisa kami lakukan" Mana mungkin
kami bisa melawan segerombolan manusia serigala yang buas"
Tak lama kemudian, Dr. Moore muncul kembali. "Semua sudah
dikunci," kata dokter itu sambil menutup pintu kamar praktek. "Dan
alarm pun sudah kunyalakan. Tidak ada yang bisa masuk."
"Mereka pasti akan menemukan cara untuk bisa masuk ke sini,"
sahut Danielle. "Anda tidak tahu saja. Walaupun mereka tidak bisa
masuk, kita toh tidak mungkin mendekam di sini selamanya. Dan
mereka akan menunggu sampai kita keluar!"
"Danielle." Dr. Moore mengerutkan kening dengan prihatin.
"Cobalah menenangkan diri dan ceritakan padaku apa yang terjadi."
"Mana mungkin saya bisa tenang!" pekik Danielle sambil
berjalan mondar-mandir. "Anda tidak mengerti, Dr. Moore! Anda
tidak tahu apa-apa!"
"Memang tidak," sahut dokter itu tenang. "Kau harus
menceritakannya padaku, Danielle."
"Mereka ternyata manusia serigala!" sembur Danielle. "Saya
tahu kedengarannya memang sinting, tapi ini kenyataan. Billy,
Caroline, Mary Beth"mereka semua manusia serigala. Bibi Margaret
Fear Street - Bulan Merah Bad Moonlight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga. Tapi ternyata ia bukan bibi kandung saya. Ia?"
Dr. Moore mengangkat tangan. "Sebentar, kau membuatku
bingung. Maaf. Cobalah tarik napas dalam-dalam, Danielle. Mulailah
dari awal." Danielle memaksa diri untuk tetap tenang. Ia menghela napas
dengan gemetar, melipat tangan di dada, dan mulai bicara.
Ia menceritakan semuanya, dan berusaha agar tetap berpegang
pada fakta. Dijaganya juga suaranya tetap tenang, supaya Dr. Moore
tidak menganggapnya sinting.
Dr. Moore mendengarkan tanpa bergerak ataupun mengedipkan
mata. Setelah selesai, dokter itu bangkit dan berjalan ke sebuah lemari
es kecil yang diletakkan di sudut ruangan. Dikeluarkannya sekarton
jus jeruk. "Minumlah," kata dokter itu sambil mengulurkan kotak jus
itu. "Kau shock."
"Tidak"saya tidak shock!" tukas Danielle marah. "Anda harus
percaya pada saya! Saya tidak mengarang-ngarang! Sungguh!"
"Tidak ada yang menuduhmu mengarang-ngarang cerita," kata
Dr. Moore. "Tenagamu terlalu cepat terkuras, jadi tubuhmu
membutuhkan gula. Atau, kalau kau mau, aku bisa menyuntikmu,
supaya kau tenang." "Jangan!" Danielle menyambar karton itu dan menenggak
isinya. "Saya tidak boleh lengah sedikit pun."
Dokter itu menganggukkan kepalanya dengan tenang. "Baiklah.
Aku ingin menolongmu, Danielle. Tapi bagaimana kalau kau duduk
dulu" Kau harus istirahat."
Danielle menggeleng. "Billy mungkin bisa menerka keberadaan
saya di sini," katanya. "Jadi kita harus mencari jalan untuk menangkap
mereka." "Maksudmu jebakan?"
"Ya." Danielle menenggak jus jeruknya lagi. "Kita harus
membuat jebakan itu di dalam rumah. Bila berada di bawah sinar
bulan, mereka akan berubah menjadi serigala. Kalau sudah begitu, kita
tidak mungkin menang."
"Aku mengerti."
"Sungguh?" tanya Danielle. "Kalau begitu Anda... percaya pada
saya?" Dokter itu mengangguk dengan tenang. "Aku percaya padamu."
"Syukurlah!" Diminumnya jusnya. Ia merasa lebih tenang.
Lebih kuat. "Oke. Nah, mari kita pikirkan cara untuk menjebak
mereka." Ketukan di pintu membuat Danielle terlonjak kaget hingga
karton jusnya terlepas dari tangan dan jatuh ke lantai. Isinya
menggenang di dekat kakinya.
"Dad?" Terdengar sebuah suara memanggil. "Mana dia"
Apakah dia ada di dalam sana bersama Dad?"
Danielle langsung mengenali suara itu.
Kit! Jantung Danielle berdebar-debar. Kit masih hidup!
"Ya, Kit, calon pengantinmu sudah menunggu di sini," jawab
Dr. Moore. Dibukanya pintu kamar prakteknya. "Bagaimana ia bisa
sampai lepas?" Bab 31 Terperangkap KIT melangkah masuk ke kamar praktek. "Terima kasih, Dad,"
ucapnya tenang. Ekspresi wajahnya langsung berubah cerah begitu melihat
Danielle. "Ternyata kau ada di sini!" serunya.
Danielle nyaris bisa merasakan darah surut dari wajahnya.
Ternyata aku keliru, pikirnya.
Pilihanku salah. Ternyata bukan Billy. Tapi Kit.
Mereka ingin aku menikah dengan Kit.
"Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa begitu sembrono, Kit,"
tukas Dr. Moore sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Untung
sekali dia datang ke sini. Kalau tidak, bisa-bisa kau kehilangan dia."
"Maaf, Dad. Tidak sengaja." Kit memandang Danielle sambil
nyengir. "Tapi dia ada di sini sekarang. Jadi semuanya beres."
"Tidak!" bisik Danielle dengan suara parau. Ia mundur saat Kit
melangkah maju. "Jangan dekati aku!"
"Danielle, dengar?" kata Kit.
Dr. Moore memotong kata-katanya. "Untuk sementara jangan
kauganggu dulu dia, Kit," perintahnya. "Bagaimanapun juga, malam
ini ia mengalami shock yang bertubi-tubi. Beri kesempatan padanya
untuk menenangkan diri dulu."
Kit mengangguk. "Baiklah," bisiknya. Ia lantas duduk di salah
satu kursi empuk yang diletakkan di depan meja tubs.
"Bagaimana kau bisa lolos dari kepungan Billy dan temantemannya?" pekik Danielle.
Kit mengangkat bahu. "Mudah saja. Begitu kau berhasil
melarikan diri dengan mobil, aku membiarkan bulan mengubahku.
Billy dan teman-temanmu yang lain tidak ada apa-apanya
dibandingkan aku." "Jadi kau juga termasuk gerombolan mereka," kata Danielle
lemas. "Selama ini, kau termasuk anggota gerombolan." Ia berpaling
pada Dr. Moore. "Dan kau ayah Kit, jadi kau juga termasuk."
Dengan muram dokter itu mengangguk.
"Tapi aku bukan anggota gerombolan biasa, Danielle," tukas
Kit. Cowok itu mencondongkan badannya. "Aku pemimpinnya."
"Kukira Billy yang?"
"Billy!" Kit melambaikan tangannya, seolah-olah menepuk
lalat. "Billy selalu menuruti perintahku. Tahukah kau kenapa aku
mengangkatnya menjadi manajer band" Supaya kau tidak tahu siapa
aku sebenarnya. Tapi dia, Caroline, dan Mary Beth"mereka semua
berada di bawah kekuasaanku."
"Seperti halnya kau nanti," sambung Dr. Moore dengan tenang.
Danielle menggelengkan kepala dengan marah. "Kalian berdua
gila! Itu tidak akan terjadi. Kalian mungkin mengira bisa menguasai
aku, tapi aku tidak akan tinggal diam!"
"Kau tidak punya pilihan lain," tukas Kit.
"Putraku benar," timpal Dr. Moore sependapat. "Tapi kau tak
perlu panik. Kau sudah kami kuasai."
"Hah" Apa maksudmu?" pekik Danielle.
"Terapimu," jawab Kit. "Kunjunganmu ke tempat praktek
ayahku." Danielle memandangi Dr. Moore.
"Mudah sekali sebenarnya," ujar Dr. Moore. "Aku bukan
mengobatimu, tapi memberimu saran-saran melalui hipnotis.
Menanamkan ide-ide di otakmu supaya kau bisa dikuasai oleh cahaya
bulan." "Cahaya bulanlah yang akan mengubahmu," jelas Kit. "Tapi itu
belum cukup. Kau harus punya keinginan untuk berubah. Paling tidak,
pada awalnya. Jadi Dad memberimu keinginan itu."
"Hipnotis memang proses yang mengagumkan." Dr. Moore
tertawa terkekeh-kekeh. "Aku bahkan menanamkan sejumlah lagu di
otakmu, Danielle!" Lagu-lagu itu, pikir Danielle. Lagu-lagu aneh yang liriknya
bertutur mengenai pembunuhan, lolongan, cakaran, dan kematian.
Tahulah dia sekarang bagaimana lagu-lagu semacam itu bisa lahir dari
otaknya. "Mengerti, kan, Danielle?" tanya Kit. "Kau sudah kami kuasai.
Dan itu sudah berlangsung selama hampir tiga tahun."
"Bohong!" pekik Danielle. "Tiga tahun lalu aku belum kenal
padamu!" "Tapi aku sudah mengenalmu," tukas Kit. "Mungkin kau tidak
ingat. Tiga tahun yang lalu, kau menonton konser rock di taman.
Sejumlah band tampil di sana."
Danielle ingat konser itu. Bukan karena pertunjukannya bagus,
tapi karena tiga hari kemudian, kedua orangtuanya meninggal.
"Band-ku termasuk salah satu yang tampil malam itu," lanjut
Kit. "Para musisinya berbeda, tapi tukang angkat-angkat barangnya
tetap sama"yaitu aku. Selesai konser, aku melihatmu berkeliaran di
sana, berharap bisa minta tanda tangan. Saat itulah aku tahu."
"Tahu apa?" "Bahwa kaulah calon pengantinku." Mata Kit yang biru pucat
itu bersinar-sinar. Mata serigala, pikir Danielle.
Danielle bergidik. Bagaimana aku dulu bisa menganggap
matanya indah" Mata itu begitu dingin. Begitu... mematikan.
"Begitu aku memilihmu, aku langsung menyusun rencana untuk
memilikimu," sambung Kit. "Pertama-tama, tentu saja aku harus
memisahkanmu dari orang lain."
Memisahknn. Mendengar kata itu, Danielle merasa seperti
dihantam palu. Ia mengerti maksud Kit.
"Orangtuaku," bisiknya dengan suara yang sarat kebencian.
"Kau membunuh kedua orangtuaku." Danielle berusaha keras
menahan diri untuk tidak menerkam cowok itu. Mencakar,
menendang, dan menggigitnya. Pokoknya menyakitinya, seperti ia
telah menyakiti dirinya. Kit mengangguk. "Termasuk bibimu. Aku terpaksa
menyingkirkan mereka semua. Jika tidak, bisa-bisa rencanaku gagal."
"Rencanamu tidak akan berhasil!" sergah Danielle berapi-api.
"Lihat saja nanti. Kau boleh membunuh siapa saja?" Ia terdiam,
mengingat-ingat. Seolah-olah bisa membaca pikirannya, Kit mengangguk lagi.
"Kau teringat pada Joey dan Dee. Kau benar, Danielle. Akulah yang
membunuh mereka." Bayangan mayat mereka yang bersimbah darah berkelebat
dalam ingatan Danielle. Disingkirkannya bayangan mengerikan itu
jauh-jauh, dan ditatapnya Kit. "Kenapa?" desaknya. "Mereka kan anak
buahmu. Kenapa kaubunuh?"
"Joey sudah tahu kalau kau milikku, tapi ia tetap saja
menggodamu." Mata Kit menyorotkan kemarahan. "Sudah
kuperingatkan agar ia jangan menggodamu lagi, tapi ia tetap saja
nekat. Aku tidak tahan. Joey harus kubunuh."
"Bagaimana dengan Dee" Apa salahnya, lupa menyembahmu?"
jerit Danielle. Kit meloncat dari kursinya dengan kedua tangan terkepal.
"Kit," tukas Dr. Moore. "Kendalikan dirimu. Tujuan kita sudah
dekat, Nak." "Benar." Pelan-pelan kepalan tangannya terbuka. Ia berjalan
perlahan-lahan ke meja. Danielle gemetar. Tapi Kit hanya melewatinya dan berjalan ke lemari es.
Mengambil sebotol air dan menenggak isinya banyak-banyak. "Dee
berusaha memberitahumu mengenai aku," katanya, seolah-olah tidak
pernah diinterupsi. "Ia mengkhianati aku. Ia mencoba
memperingatkanmu agar jangan dekat-dekat denganku. Mencoba
menyuruhmu keluar dari band."
Danielle memejamkan mata. Mendadak ia sadar bahwa ternyata
Dee berusaha menyelamatkannya. Kusangka ia benci padaku. Padahal
selama itu ia justru berusaha menyelamatkan aku.
Gara-gara itu Kit membunuhnya.
"Kau tidak mengerti juga ya, Danielle?" tanya Kit. "Aku tidak
dapat membiarkan Dee memperingatkanmu. Usahaku sudah terlalu
keras. Jangan sampai ia membuatmu lari ketakutan dan
menghancurkan semua rencanaku."
Danielle menggelengkan kepalanya dengan sedih.
Kit menghela napas. "Dan kemudian Billy juga mencoba
menyelamatkanmu." "Billy?" Danielle terbelalak. "Kusangka ia antek-antekmu."
"Dia memang budakku, sama seperti Mary Beth dan Caroline,"
jawab Kit membenarkan. "Tapi tentu saja mustahil bisa seratus persen
mengendalikan semua anggota gerombolan. Apalagi pada siang hari.
Dan Billy mulai bisa berpikir sendiri. Malam ini ia benar-benar
bermaksud menyelamatkanmu. Untunglah, kau memilih untuk ikut
aku." "Kasihan Billy," gumam Dr. Moore.
"Ya, padahal sebenarnya aku suka padanya," timpal Kit. "Tapi
ia harus mati karena mencoba menyelamatkanmu, Danielle."
"Kau sinting!" pekik Danielle. "Kenapa kau harus
membunuhnya" Lepaskan saja dia!"
Sorot mata Kit tampak semakin dingin. "Tak seorang pun boleh
mengkhianati aku. Tak seorang pun."
Danielle menggigil dipandang seperti itu. "Kalau begitu, kau
juga harus membunuhku."
"Tak akan," bisik Kit. "Aku tak akan pernah membunuhmu."
"Istri seorang manusia serigala sepenuhnya berada di bawah
kekuasaannya, Danielle," ujar Dr. Moore menjelaskan. "Setelah kau
dan Kit menikah, kau tak akan mau melawannya."
"Kau akan melupakan semuanya, kecuali cintamu padaku,"
tambah Kit. Danielle membuang rnuka. Ia muak melihat Kit. Bagaimana
aku dulu bisa membiarkannya menyentuhku" pikirnya.
Lagi-lagi Kit menghela napas. "Kurasa aku tidak bisa
mengharapkanmu merasakan kebahagiaan sekarang," ucapnya. "Tapi
kelak kau pasti bahagia, Danielle. Pasti."
Tak akan, pikir Danielle. Aku tak akan pernah bisa bahagia,
karena itu tak akan pernah terjadi!
Ia harus menyingkir dari sini.
Tanpa memalingkan kepala ataupun mengangkat matanya,
Danielle cepat-cepat mengamati keadaan di sekelilingnya.
Dr. Moore berdiri di depan pintu. Kit di dekat meja. Aku
terperangkap. Benarkah begitu" Di balik meja ada jendela besar yang membuka ke arah teras.
Di balik teras ada halaman. Di belakang halaman, ada sungai.
Pecahkan kacanya, kata Danielle dalam hati. Angkat kursi dan
lemparkan ke jendela. Lalu lari menyelamatkan diri.
Kursinya berat dan terbuat dari kulit. Mustahil ia kuat
mengangkatnya. Tapi kursi itu beroda. Ia bisa menabrakkannya ke
kaca jendela. "Sekarang sudah tiba waktunya," kata Kit memberitahu. "Mari,
Ayah. Kita siapkan upacaranya. Nikahkan aku dan Danielle di
halaman. Di bawah terang bulan."
Kit dan ayahnya bergerak menghampiri Danielle.
Sambil menjerit panik, Danielle menyambar stapler dari atas
meja dan melemparkannya ke wajah Kit.
Cowok itu menunduk. Stapler-nya menghantam dinding.
Danielle meraih kursi. Tapi sebelum sempat menghantamkannya ke jendela, Kit sudah
melompat maju dan menyambarnya. Mendekatkan wajahnya. "Kau
tidak akan menang," bisiknya. Napasnya yang panas membuat
Danielle bergidik. Danielle berbalik, merenggut rambut Kit, dan menjambaknya
keras-keras. Kit tersentak. Danielle menendang dan menjambak rambut Kit lagi.
Sebuah tangan kokoh hinggap di bahunya. "Kau justru semakin
menyusahkan dirimu sendiri," kata Dr. Moore. "Buka jendelanya,
Kit." Dengan dipegangi Dr. Moore, dengan marah Danielle melihat
Fear Street - Bulan Merah Bad Moonlight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kit membuka jendela. "Ayo, Danielle." Kit menoleh dan tersenyum. "Marilah,
pengantinku. Sudah tiba waktunya sekarang."
Aku tidak punya pilihan lain, pikir Danielle dengan perasaan
ngeri. Aku tidak bisa lari dari sini.
Bab 32 Pernikahan di Bawah Sinar Bulan
KIT dan ayahnya menyeret Danielle melalui jendela dan terus
ke teras. Danielle tidak mau menyerah begitu saja. Ia meronta-ronta
dan menggeliat-geliat, lalu melemaskan badan dan tidak mau jalan.
Tapi kedua pria itu menariknya terus, melewati teras batu dan
menuruni tangga menuju ke halaman.
"Lihat, Danielle," perintah Kit. "Lihatlah para tamu yang
menghadiri pernikahan kita."
Danielle mengangkat kepalanya. Caroline, Mary Beth, Bibi
Margaret, dan Billy sudah berkumpul di halaman.
"Billy!" teriak Danielle. "Caroline! Hentikan mereka! Tolong
aku, please!" Caroline bergerak-gerak gelisah. Ia menundukkan kepala, tidak
mau bertatapan mata dengan Danielle.
"Billy, tolonglah aku!" pinta Danielle memohon.
Billy membalas tatapannya. Mimik kalah yang terlukis di
wajahnya membuat Danielle terkesiap.
"Ia mau membunuhmu, Billy. Masa kau tidak tahu?" teriak
Danielle. "Kit mau membunuhmu karena kau berani melawannya.
Masa sekarang kau lantas diam saja seperti itu, tidak melakukan apaapa?"
"Aku tidak percaya," tukas Billy tanpa semangat. "Tuanku tak
mungkin membunuhku."
"Kau lihat sendiri, kan, Danielle?" bisik Kit tepat di telinganya.
"Mereka semua anak buahku. Mereka percaya, apa pun yang
kulakukan pasti selalu benar."
Dengan marah Danielle memelototi para "tamu" yang hadir saat
itu. Caroline tetap tidak mau melihatnya. Mary Beth seakan tidak
punya semangat dan bertingkah seperti robot. Bibi Margaret
tersenyum gembira pada Dr. Moore.
"Coba kalian lihat diri kalian!" jerit Danielle. "Menyedihkan!
Konyol! Mengapa kalian biarkan Kit mengendalikan hidup kalian?"
"Tidak ada gunanya menghina mereka," tukas Dr. Moore. "Apa
pun yang kaulakukan, tidak akan membuahkan hasil apa-apa,
Danielle." Danielle memelototinya. Tapi ia tahu perkataan Dr. Moore itu
benar. Tak ada yang bisa ia lakukan.
Ia terjebak. Dr. Moore bertepuk tangan. Lagaknya seperti pemimpin acara
saja. "Mari kita mulai," serunya.
Para tamu pun berdiri membentuk lingkaran di sekeliling Kit
dan Danielle. Belum pernah Danielle merasa begitu sendirian.
Kit meraih tangannya. "Sebelum ayahku menikahkan kita, aku
ingin kau menyanyi dulu, Danielle."
Danielle memandangi Kit dengan tatapan tidak percaya. "Kau
pasti?" ia terdiam. Sudah, nyanyi sajalah, katanya dalam hati. Lakukan apa saja,
untuk mengulur waktu. ebukulawas.blogspot.com
Agar ia bisa memikirkan cara untuk meloloskan diri dari sini.
"Lagu apa?" tanyanya pada Kit.
"'Bulan Merah.'" Kit tertawa lirih. "Aku menganggapnya
sebagai lagu kita." Cowok itu meremas tangannya.
Sentuhannya membuat perut Danielle mengejang.
"Baiklah," jawab Danielle pelan. Ia berdeham, menarik napas
panjang, dan mulai bernyanyi dengan suaranya yang jernih dan tinggi.
Bulan merah, menyinariku,
Bulan merah, membasahiku.
Suaranya bergetar. Aku tidak sanggup, pikirnya.
Ditatapnya Kit dan ayahnya. Mereka berdua mengawasinya.
Senyum beku tersungging di wajah Kit. Dr. Moore menggigit- gigit
bibir bawahnya dengan tegang.
"Nyanyi terus, Danielle," desak Dr. Moore. "Kit, ia sengaja
mengulur-ulur waktu."
"Ia cuma gugup. Benar, kan, Danielle?" tanya Kit.
Danielle mengangguk. Ketakutan lebih tepat. Ia sampai takut
jantungnya copot. "Ia mencoba mencari cara untuk melarikan diri dari sini," tukas
Dr. Moore. Kit mengangkat bahu. "Kalau toh memang benar begitu, biar
sajalah. Ia tidak akan bisa ke mana-mana. Tidak sekarang. Tenang
sajalah, Ayah." Ayahnya pun berada di bawah kendalinya, pikir Danielle.
"Nyanyi terus, Danielle," perintah Kit padanya. "Jangan
pedulikan suaramu." Danielle berdeham sekali lagi. Suaranya masih terdengar lemah
dan kecil. Ia batuk-batuk. "Tolong, beri aku air," bisiknya pada Kit.
Dr. Moore menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sikap
tidak sabar. "Ia tidak butuh air, Kit. Suruh dia menyelesaikan lagunya,
supaya kita bisa segera mulai."
Kit menengadah ke langit. Danielle mengikuti arah
pandangannya. Gumpalan awan yang dilihatnya tadi ternyata masih
ada. Tapi kini berarak menjauh.
Sebentar lagi bulan akan muncul dari balik awan.
"Sudah hampir waktunya," kata Kit pada Danielle. "Tapi aku
ingin sekali mendengarkan lagu itu pada hari pernikahan kita. Kalau
perlu, bersenandung sajalah."
Danielle memunggungi Kit dan menghadap para tamu.
"Ayo!" desak Kit. "Selesaikan lagunya."
Dengan suara lirih, Danielle mulai menggumamkan nada lagu
yang diminta sambil bergerak mengelilingi lingkaran, memandangi
mata mereka satu demi satu.
Mereka tidak bisa mengendalikan jalan pikiran mereka sendiri,
pikirnya, baru menyadarinya. Kit-lah yang mengendalikan pikiran
mereka. Sebentar lagi lagu ini habis, padahal ia belum tahu bagaimana
caranya meloloskan diri. Sambil bersenandung dengan suara lirih, Danielle mendekati
Billy dan menatap matanya.
Lakukanlah sesuatu, Billy! pinta Danielle dalam hati. Jangan
diam saja! Billy membuka mulut. "Aku sudah berusaha
menyelamatkanmu, Danielle," bisiknya. "Tapi kau kabur."
Danielle merasa mendapat harapan. Billy bicara padanya! Billy
yang sesungguhnya, yang menyayanginya.
"Aku sudah berusaha," bisik Billy lagi. "Tapi sekarang tidak
bisa lagi. Kau harus menyelamatkan dirimu sendiri."
Danielle cepat-cepat berbisik, "Menyelamatkan diriku sendiri"
Bagaimana caranya?" "Tengadahkan kepalamu, dan pandangilah bulan," jawab Billy.
"Ikuti saja. Pasrahkan dirimu."
"Tapi"aku tidak mau!" protes Danielle.
"Kau harus mau," bisik Billy. "Biarkan cahaya bulan
mempengaruhimu. Nanti kau akan tahu caranya."
Danielle membuang muka. Otaknya berputar. Apakah yang
berbicara itu benar-benar Billy yang sejati, yang menyayanginya"
Atau Billy yang budak Kit"
Bisakah ia dipercaya"
Bagaimana kalau sarannya tadi hanya tipuan"
Kalau itu tipuan, maka berarti Danielle kalah. Tapi toh sama
saja. Sekarang ia juga sudah kalah.
Danielle selesai menyanyi.
"Bagus!" puji Kit. "Sekarang kita bisa menikah. Ayah, ayo kita
mulai upacaranya." Kit meraih tangan Danielle. Sentuhan cowok itu membuatnya
mual, tapi Danielle memaksa diri untuk tidak menepiskannya. Aku
harus membuatnya lengah, pikir Danielle.
Dr. Moore menurut dan berdiri menghadap mereka semua.
Danielle mendongak lagi ke langit. Awan berarak pergi, dan
bulan pun bersiap muncul. Cahayanya yang keperakan mengintip dari
sela-sela gumpalan awan. "Tengadahkan kepalamu, dan pandangdah bulan," begitu kata
Billy tadi. Apa yang akan terjadi kalau aku menuruti sarannya" tanya
Danielle dalam hati. Apa yang akan terjadi"
"Teman-teman sekalian," kata Dr. Moore memulai upacara
dengan khidmat. "Mari kita bergandengan tangan, menyaksikan
upacara pernikahan ini. Upacara penyatuan yang sudah lama kita
nanti-nantikan bersama."
Kelompok kecil itu pun saling berpegangan tangan.
Membentuk lingkaran yang semakin rapat.
Danielle berdiri menghadap Kit. Sementara Dr. Moore
berbicara, Danielle melihat kilau cahaya bulan menyelimuti rambut
Kit yang hitam. Apakah Billy bisa dipercaya"
Bisakah" Pelan-pelan Danielle menengadah ke langit. Awan telah berarak
pergi. Bulan bergelayut rendah di atas kepalanya.
Danielle merasa tubuhnya menggigil disinari cahaya bulan yang
dingin itu, tapi ia diam saja. Matanya tak beranjak sedikit pun dari
langit. Menunggu. Bab 33 Terang Bulan DETIK-DETIK berlalu. Danielle mendengar suara Dr. Moore.
Merasakan tangannya digenggam erat-erat oleh Kit.
Lalu ia merasa tubuhnya mulai berubah.
Kulitnya seperti digelitik, lalu terasa gatal.
Lehernya mengejang. Ia terbatuk-batuk. Suara yang keluar
terdengar seperti geraman.
Ia merasa tangannya mulai ditumbuhi bulu. Begitu juga
lengannya. Bulu yang tebal dan kasar.
Ia membengkokkan jari-jari tangannya yang tidak digenggam
oleh Kit, dan merasakan cakar tajam menusuk telapak tangannya.
Wajahnya terasa berkerut, hidung dan mulutnya tertarik ke depan
menjadi moncong. Giginya semakin memanjang, sementara bibirnya
tertarik ke belakang, menyeringai seperti binatang.
"Kalau cahaya bulan telah mengubahmu, kau akan tahu."
Billy benar, pikir Danielle. Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Ia beringsut-ingsut mendekati Kit.
Dari dalam perutnya, terdengar suara geraman rendah. Suara itu
merayap naik ke atas, dan keluar dari mulutnya dalam bentuk raungan
keras. Lalu Danielle membuka moncongnya yang kuat dan
membenamkan giginya dalam-dalam ke leher Kit.
Didengarnya Kit melolong kesakitan.
Dan suara para anggota gerombolan terkesiap kaget.
Ia melihat mereka semua kocar-kacir. Bibi Margaret
memegangi wajahnya dengan penuh kengerian. Dr. Moore terbelalak,
lututnya goyah. Danielle tidak melepaskan gigitannya.
Bertahan. Bertahan terus.
Membenamkan giginya lebih dalam lagi di leher Kit.
Terdengar suara melengking tinggi dari mulut Kit yang terbuka.
Ia menggerakkan kepalanya dengan kalap ke depan dan ke belakang.
Danielle terhuyung-huyung. Tapi gigitannya belum lepas juga.
Bertahan terus. Lengkingan Kit berubah menjadi erangan kesakitan. Darah
mengucur deras dari lehernya.
Lolongannya berubah menjadi rintihan tertahan.
Kit jatuh tersungkur. Danielle ikut tersungkur, menggeram, mengerang. Suaranya
tajam dan terengah-engah. Giginya tetap terbenam di leher Kit.
Ia tidak melepaskan gigitannya sampai dilihatnya bola mata Kit
berputar, dan cowok itu roboh ke rumput, tak bernyawa lagi.
Didengarnya jeritan para anggota yang lain. Tapi Danielle
menengadahkan kepalanya ke bulan. Ke cahayanya yang putih pucat.
Sinar bulan yang mengerikan. Lagi-lagi bulan tenggelam di
balik awan. Cahayanya memudar. Memudar...
Saat kembali ke bentuknya semula sebagai manusia, Danielle
merasa badannya seperti digelitik, dan gatal. Ia memejamkan matanya
erat-erat dan menunggu rasa sakit itu hilang.
Ia membuka mata dan melihat Dr. Moore jatuh berlutut.
Sekujur tubuhnya berguncang-guncang dan bergetar hebat.
Semakin hebat. Semakin hebat. Seperti diguncang gempa.
Kedua lengannya terangkat, sementara tubuhnya terguncang
semakin hebat. Lalu anggota badannya berlepasan dari tubuhnya.
Badannya bergetar dan bercopotan, pikir Danielle, ternganga
ketakutan. Kedua tangan Dr. Moore lepas dari bahunya. Telinganya copot
dari kepalanya yang bergetar hebat. Lalu kepalanya lepas. Danielle
menutup mulut, melihat kepala itu jatuh ke tanah.
Danielle berbalik. Dilihatnya tubuh wanita yang selama ini
dianggapnya sebagai Bibi Margaret juga bergetar hebat. Juga badan
Kit. Kepala, tangan, dan kaki mereka copot satu demi satu, dan
berceceran di rumput. "Ohhhh. Ohhhhh. Ohhhhh tidak."
Apakah erangan itu keluar dari mulutnya sendiri"
Billy, Caroline, dan Mary Beth berlari-lari menghampirinya.
Mata Billy berkilat kagum. "Kau berhasil, Danielle. Kau
berhasil membebaskan kami."
"Berkat kau, kami bebas!" pekik Caroline kegirangan.
Direngkuhnya bahu Danielle dan dipeluknya erat-erat. "Terima kasih,
Danielle. Terirna kasih!"
"Kit menawan kami dengan bantuan cahaya bulan," tutur Mary
Beth menjelaskan. "Kami tidak cukup kuat untuk mematahkan
kekuatannya." Mata hijaunya menyorotkan ungkapan terirna kasih.
"Terima kasih, Danielle. Kau berhasil mematahkan kekuatannya.
Sekarang kami bisa normal kembali."
Mereka mengerubungi Danielle dan bergantian memeluknya
dengan sukacita. Setelah bertangis-tangisan dan bersukaria merayakan peristiwa
ini, Danielle berhasil melepaskan diri dari kerumunan temantemannya. Ia lari masuk ke dalam rumah dan menelepon Cliff.
Adiknya itu baik-baik saja. Bocah itu tidak tahu apa-apa. Ia malah
marah karena dibangunkan.
Danielle merasa sayang sekali pada adiknya. Sekarang mereka
yatim-piatu. Ia harus berjuang keras agar mereka bisa tetap bersama.
Tapi ia sudah berhasil menghadapi seorang manusia serigala"dan
menang! Tak ada lagi yang tak bisa dihadapinya sekarang.
Setelah memberitahu Cliff bahwa ia akan pulang sebentar lagi,
Danielle kembali nemui teman-temannya. Caroline dan Mary Beth
Fear Street - Bulan Merah Bad Moonlight di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
duduk di tangga teras, menengadahkan kepala ke langit malam.
Mereka memandangi bulan, seolah-olah baru pertama kali
melihatnya. Cahayanya yang putih menyinari mereka. Murni dan
indah. Billy merengkuh bahu Danielle dengan lembut. "Sekarang kita
tidak usah takut lagi pada bulan purnama," katanya. "Berkat kau."
Danielle bersandar pada Billy. "Aku tidak peduli kalau aku
tidak pernah melihat bulan lagi," katanya sambil mengembuskan
napas. "Tahukah kalian, apa yang paling kunanti-nantikan?"
"Apa?" tanya Billy.
Danielle menyeringai pada cowok itu. "Sinar matahari!"END
Siluman Hutan Waringin 1 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Panji Wulung 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama