Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil Bagian 1
BAGIAN SATU SAATNYA BERPESTA Bab 1 KECELAKAAN TRAGIS HOOP"there it is! HOOP"there it is! TWOOOOOO points! CORKY CORCORAN tertawa dan bertepuk tangan. "Ayo kita
lakukan lagi!" serunya kepada kedua temannya, Kimmy Bass dan
Hannah Miles, yang habis berlari.
Ketiga cheerleader itu berhenti di tengah-tengah pelataran
parkir yang kosong, beberapa langkah dari mobil Kimmy yang
tertutup salju. Kimmy melempar gumpalan salju ke arah Hannah.
Hannah mengelak sambil tertawa. Gumpalan salju itu menghantam
bagasi mobil Kimmy. Sambil berangkulan dan penuh semangat, mereka mengulangi
sorak-sorai yang selama ini telah mereka latih dalam ruang olahraga.
HOOP"there it is! HOOP"there it is! TWOOOOOO points! Hannah melepaskan diri dan memperagakan gerakan roda
berputar yang sempurna. Syal wolnya yang berwarna merah berkibarkibar.
"Dasar pamer!" seru Kimmy. Pipinya yang tembam tampak
lebih kemerah-merahan daripada biasanya.
Hannah tergelak dan melempar segenggam penuh salju ke arah
Kimmy. Kemudian ketiga gadis itu menyerukan sorak-sorai lain yang
telah mereka latih sepanjang siang itu.
Where are we putting it"
IN YOUR FACE! Where are we keeping it"
IN YOUR FACE! Slam it, Tigers! Slam it!
Ketika gadis itu melompat-lompat di pelataran parkir yang luas
dan kosong. Di belakang mereka angin meniup-niup tembok
bangunan sekolah, menerbangkan butiran-butiran salju ke arah kusenkusen jendela.ebukulawas.blogspot.com
Corky melambai ke arah Debra Kern dan Heather Diehl, dua
cheerleader lain. Mereka baru saja keluar dari ruang olahraga dan
dengan terburu-buru melintasi hamparan salju menuju mobil Heather
yang diparkir di ujung pelataran parkir. "Sampai ketemu besok,
teman-teman!" seru Corky.
Embusan angin menenggelamkan jawaban Debra.
Corky menarik tudung mantelnya hingga menutupi rambut
pirangnya, lalu berpaling ke arah Kimmy dan Hannah. "Kita sudah
teriak-teriak sejak bubaran sekolah. Kenapa kita masih berdiri di sini
dan mengulanginya terus?" ia berteriak.
"Untuk menghangatkan badan?" Hannah mengusulkan.
Kimmy menggigil. Ia menarik topi ski wolnya yang berwarna
merah-putih hingga menutupi rambut hitamnya yang ikal. "Dalam
mobil pasti lebih hangat," cetusnya sambil menepuk-nepuk tangannya
yang terbungkus sarung tangan. "Kalau aku bisa menghidupkan
mesinnya." Saat menuju Camry biru Kimmy, Corky tersandung gundukan
es. Kimmy menyangganya sebelum Corky terjungkal. "Hati-hati," ia
memperingatkan Corky. "Jangan sampai kakimu patah sebelum
Turnamen Musim Dingin selesai."
"Tenang saja," balas Corky dengan nada kering. Saat Kimmy
membersihkan kaca depan mobilnya dari timbunan salju dengan
sarung tangannya, Corky menengadah memandang langit. Langit
tampak gelap, sekelam malam. Selama tiga hari ini, salju sebentarbentar turun. Awan tebal yang menggantung rendah menunjukkan
akan lebih banyak lagi salju yang turun.
Hannah menyelinap ke kursi penumpang. Corky melempar
tasnya lebih dulu, kemudian duduk di jok belakang, dan
mengempaskan pintu mobil dengan cepat. "Dalam mobil malah lebih
dingin!" serunya. Napasnya berembun di kaca jendela.
"Alat pemanasnya akan menghangatkan kita," ujar Kimmy, lalu
menyelinap ke belakang kemudi. Ia membutuhkan waktu beberapa
saat untuk memasukkan kunci kontak dengan tangannya yang
terbungkus sarung tangan.
Kimmy bersorak ketika mesin mobilnya hidup. Ban mobilnya
melindas salju saat ia mengemudikan mobilnya perlahan-lahan
melewati Shadyside High ke arah Park Drive.
Hannah mengulurkan tangannya dan menyalakan radio. "Aku
suka sekali lagu ini!" serunya sambil membesarkan volume radio. Ia
membuka topi wol putihnya dan mengibaskan rambutnya yang hitam
lurus. "Pakai sabuk pengamanmu," Kimmy memberitahu Hannah.
"Tak perlu," balas Hannah. Ia masih asyik mengikuti alunan
musik. "Naik mobil ke rumahku cuma sepuluh menit kok."
"Tapi jalanannya sangat licin," Kimmy berkeras. Ia
mencondongkan badannya ke arah kemudi untuk melihat lebih jelas
dari balik kaca depan yang tertutup es. "Kau tidak lihat iklan di
televisi dengan maneken-maneken yang terempas ke kaca depan?"
Hannah tertawa riang. "Aku suka cowok-cowok itu!" ia
berteriak di tengah-tengah alunan musik. "Kimmy, kau ini khawatiran
sekali sih." "Terserah," gumam Kimmy. Ia memusatkan perhatian pada
mobil yang dikemudikannya.
Sambil membenamkan kedua tangannya di saku mantel, Corky
bersandar di kursi belakang. Dari balik jendela, tampak olehnya
rumah-rumah dan pekarangan-pekarangan tertutup salju. Semua putih
dan kelabu seakan-akan seseorang telah menyulap hilang warnawarna yang ada.
Mungkin ini saatnya Natal penuh salju, pikir Corky.
Suara Kimmy membuyarkan lamunannya. "Latihan kita tadi
hebat, kan" Rasanya kita benar-benar kompak. Akhirnya."
"Sorakan baru kita memang luar biasa," Hannah membenarkan.
"Kalau saja Naomi tidak kehilangan lensa kontaknya"lagi!"kita
bakal berhasil melakukan gerakan penutup berbentuk piramida juga."
"Hei, tak usah membawa-bawa Naomi," tukas Corky. Naomi
Klein adalah anggota baru tim cheerleader mereka. Dia menggantikan
Ronnie Mitchell yang pindah sekolah. Naomi benar-benar pintar dan
berbakat, dengan segudang ide yang mengagumkan.
Corky membayangkan Naomi. Anak itu cantik dan penuh
semangat. Rambut panjangnya berwarna wortel, dan berkibar-kibar
setiap kali ia bersorak-sorai. Sebagai pesenam andal, Naomi
membawa banyak kekuatan baru dan keterampilan pada tim
cheerleader mereka. "Apa dia harus kehilangan lensa kontaknya setiap hari?"
Hannah mengeluh. "Maksudku, tidak dapatkah dia mengelemnya?"
Kimmy tertawa. Hannah iri pada Naomi, Corky menyadari. Tahun lalu Hannahlah yang jadi bintang baru yang bersinar. Sekarang Naomi yang
menggantikan posisinya. "Ide Naomi untuk gerakan tongkat berapi sangat luar biasa,"
ujar Kimmy. Dengan hati-hati ia mengemudikan mobilnya yang
sedikit tergelincir. "Kupikir Ms. Closter benci pada Naomi."
Ms. Closter adalah pelatih cheerleader yang baru. Ia
menggantikan Miss Green yang telah pindah.
"Hah" Kenapa Ms. Closter benci pada Naomi?" tanya Corky
sambil menggerak-gerakkan jarinya seakan mencorat-coret kaca
jendela yang berembun. "Karena gerakan-gerakan ciptaan Naomi lebih bagus daripada
ciptaannya," sahut Kimmy.
Hannah mencondongkan badannya dan membesarkan volume
radio. "Lagu ini benar-benar asyik!" serunya. "Kalian sudah dengar
versi unplugged-nya" Keren juga lho!"
Dari balik kaca depan yang berembun, Corky melihat sinar
merah lampu lalu lintas. Kimmy mengerem mobilnya, berusaha
berhenti. Ia memutar kemudi saat ban mobilnya meluncur ke jalur kiri.
"Kenapa mereka tidak menggarami saja jalan-jalan ini?" keluhnya di
tengah musik yang ingar-bingar.
"Kau lihat Alex setelah pertandingan basket Jumat malam?"
tanya Hannah pada Corky sambil menoleh ke jok belakang.
Corky mengangguk. "Yeah. Sepertinya begitu."
"Pertanyaan bodoh," gumam Kimmy. "Memangnya ada hal lain
yang Corky lakukan?"
Corky merasa wajahnya memanas, dan ia tahu pipinya bersemu
merah. Walaupun sudah sebulan jalan dengan Alex, ia tetap merasa
tak nyaman bila membicarakan cowok itu, bahkan dengan sahabatsahabat karibnya.
Aku dan Alex tidak seperti orang berpacaran, pikir Corky
dengan muram. Kami hanya menghabiskan waktu bersama-sama
sepanjang akhir pekan. Alex adalah salah satu cowok populer di Shadyside High.
Terlalu populer, Corky berkata dalam hati. Sabtu kemarin ia melihat
cowok itu di mal, sedang asyik bercengkerama dengan Deena
Martinson. Minggu sebelumnya Kimmy melaporkan bahwa dia
melihat mobil Alex diparkir di jalan masuk rumah Janie Simpson.
"Aku membantunya dalam pelajaran bahasa Inggris," Alex
menjelaskan saat Corky menemuinya di halaman depan rumahnya. Ia
nyengir pada Corky. Bola matanya yang biru bersinar-sinar.
"Cemburu?" "Enak saja!" Corky tidak mau mengalah. Sambil bercanda ia
mendorong Alex hingga cowok itu telentang di salju.
Detik berikutnya, mereka berdua asyik bergulat di salju sambil
tertawa-tawa dan menjerit-jerit gembira.
Aku memang sulit marah pada Alex, Corky menyadari. Anak
itu begitu tampan, dengan rambut pirangnya yang memesona dan mata
birunya yang menyipit setiap kali ia tersenyum. Dan Alex tidak
bodoh. Dan ia penyerang tengah dalam tim basket. Karena Alex, tim
dari daerah mereka memperoleh kemenangan mudah tahun ini. Dan...
dan... "Hei!" teriakan Kimmy membuyarkan lamunan Corky tentang
Alex. Mobil Kimmy menikung tajam, lalu tergelincir, dan akhirnya
berhenti di pinggiran jalan saat sebuah van besar meraung dan
menyalipnya. "Kalian lihat cara cowok itu menyetir?" Kimmy mengomel
sambil mengawasi van itu dari balik kaca spionnya. "Dasar gila! Dia
ngebut di sepanjang jalan!" Ban mobilnya berputar saat Kimmy
berusaha menghidupkan mesin mobilnya kembali.
"Mungkin sebaiknya kauantarkan aku ke rumah Corky,"
Hannah berteriak sesaat kemudian. "Aku baru ingat. Orangtuaku
sedang rapat. Tak ada orang di rumah." Ia berpaling kepada Corky.
"Ibumu menyediakan makan malam apa nih?"
Corky tergelak. "Mana aku tahu. Tapi boleh saja sih, kalau kau
mau menjamu dirimu sendiri."
"Oke. Trims," sahut Hannah sambil memutar badannya kembali
ke depan. "Jadi sekarang kita ke rumahmu?" Kimmy berseru pada Corky.
"Hei, aku tak bisa mendengar apa-apa. Hannah, bisa tidak sih
kaukecilkan suara radionya?"
"Apa" Aku tak dengar. Musiknya terlalu keras!" canda Hannah.
Saat Hannah mencondongkan badan untuk mengecilkan volume
radio, Kimmy menjerit ketakutan.
Mobil menikung tajam. "Kimmy"ada apa?" Hannah berteriak.
Mobil melonjak ke depan. "Remnya!" Kimmy menjerit.
Mobil berputar. Corky menjerit keras.
Tiba-tiba sebuah batang pohon yang besar menghantam mobil,
dan menutupi kaca depan dalam kegelapan.
Corky terlonjak dari kursinya, lalu terempas ke depan dengan
sangat keras. Semuanya berlangsung begitu cepat. Bunyi pecahan logam
memekakkan telinga. Corky melihat Hannah terpental ke luar.
Kepalanya menghantam kaca depan dengan bunyi krak yang
mengerikan. Pecahan kaca berhamburan. Kacanya hancur berkeping-keping.
Mobil melonjak-lonjak. Corky mendengar Kimmy terkesiap saat anak itu terempas ke
arah kemudi. Kemudian terdengar bisikan Kimmy yang melengking,
"Tidak"tidak"tidak.
Corky memeriksa Hannah. Tubuh Hannah. Dari balik kaca
depan yang hancur. Kakinya terjuntai ke dasbor. Bagian atas tubuhnya
terbujur di kap mobil. Bab 2 ROH JAHAT TELAH KEMBALI "ROH jahat itu telah kembali," gumam Kimmy sambil
memejamkan mata. Corky menelan ludah dengan susah payah. "Kimmy"tidak!"
bisiknya. Dua dokter yang memakai baju bedah berwarna hijau lumut
berjalan tergesa-gesa. Cahaya lampu yang berkedip-kedip membuat
wajah mereka tampak kekuning-kuningan.
Ruang tunggu di rumah sakit Shadyside General sangat panas,
tapi Corky masih belum melepaskan jaketnya. Ia duduk berdempetan
dengan Kimmy di bangku vinil. Dengan was-was mereka
memperhatikan setiap perawat atau dokter yang lewat. Menunggu
kabar tentang Hannah. "Aku bisa merasakan kehadirannya dalam mobil," gumam
Kimmy. Wajahnya pucat dan dagunya bergetar. "Aku bisa merasakan
roh jahat itu." Ia bergidik.
"Kimmy"hentikan," Corky memohon. Ia meletakkan
tangannya di lengan sweter Kimmy. "Remmu blong. Hanya itu."
"Gara-gara roh jahat itu!" Kimmy mengerang.
Seorang pria tua menggerakkan kursi rodanya dengan perlahan.
Ia menatap Kimmy, kemudian melanjutkan menggerakkan kursi
rodanya di sepanjang koridor yang panjang.
"Kimmy, remnya rusak. Itu saja," Corky berkeras. "Itu bukan
salahmu. Bukan salah siapa-siapa. Yang bisa kita lakukan sekarang
hanyalah berdoa untuk kesembuhan Hannah."
Kimmy menatap lantai. Rambut hitamnya yang ikal tergerai di
dahinya, tapi ia tidak berusaha untuk menyingkirkannya. Ia menekan
dadanya yang waktu itu menghantam kemudi. Tetapi dokter
mengatakan tidak ada tulang iganya yang patah.
"Roh jahat itu...," katanya lirih.
"Roh jahat itu telah lenyap," sahut Corky dengan tajam. "Kita
telah menenggelamkannya. Dalam sungai"ingat" Kini roh itu
terperangkap dalam es, terkubur dalam sungai yang membeku."
Kimmy terdiam. "Kau tak dapat menyalahkan roh jahat itu setiap kali terjadi hal
yang tidak menyenangkan," ujar Corky pada temannya. "Kau harus
dapat melupakannya. Kadang-kadang sesuatu yang buruk terjadi. Kita
tak dapat menghindarinya."
Kata-kata Corky memantul-mantul dalam telinganya sendiri.
Apa yang Kimmy rasakan sebenarnya sama seperti yang ia rasakan.
Setiap kali terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, ia bertanyatanya apakah benar roh jahat itu telah kembali.
Ia tidak dapat melupakannya. Ia terus mengingatnya setiap hari
sepanjang hidupnya. Ia ingat cheerleader Shadyside High yang lain, Jennifer Daly,
yang tewas saat bus yang membawa tim cheerleader mereka
Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengalami kecelakaan di Pemakaman Fear Street. Namun roh jahat
yang telah terkubur selama seratus tahun bangkit, merasuki dan
mengambil alih tubuh Jennifer, dan menghidupkannya kembali.
Roh jahat itu menggunakan tubuh Jennifer untuk melakukan
kejahatan. Ia membunuh Bobbi, kakak perempuan Corky. Dan
membunuh yang lainnya. Setelah berjuang dengan susah payah, Corky mengira ia telah
mengalahkan roh jahat itu. Jennifer terkubur. Tetapi ternyata roh jahat
itu masih bebas. Ia merasuki Kimmy, lalu Corky, dan memaksa
mereka untuk melakukan teror-teror keji.
Akhirnya, aku berhasil menenggelamkannya, Corky mengenang
sambil bergidik. Aku membebaskan diri. Aku menenggelamkan roh
jahat itu. Itu satu-satunya cara untuk mengalahkannya.
Namun sekuat apa pun aku berusaha, aku tak dapat
mengenyahkan kenangan itu dari benakku Rasa takut itu terus
menghantuiku. Rasa takut bahwa roh jahat itu mungkin akan kembali. Rasa
takut bahwa roh jahat itu mungkin akan mengendalikan pikiranku lagi,
menggunakanku, memaksaku untuk berbuat jahat lagi.
Corky berpaling pada Kimmy. Kimmy memeluk mantelnya
erat-erat. Air mata menggenangi pelupuk matanya. Pipinya yang
tembam tampak merah. "Kimmy"Hannah akan baik-baik saja," Corky
meyakinkannya. "Kau harus percaya itu. Orangtuanya ada di atas
bersamanya. Mereka bisa saja turun setiap saat dan mengatakan
bahwa dia akan sembuh."
Masih mencengkeram mantelnya, Kimmy menatap lurus ke
depan. Ia seperti tidak mendengar kata-kata Corky.
Aku senang orangtua Kimmy sedang dalam perjalanan ke sini,
pikir Corky sambil menepuk-nepuk lengan temannya. Kurasa Kimmy
mungkin shock. "Kata Debra roh jahat itu akan kembali," gumam Kimmy.
Setetes air mata bergulir turun ke pipinya.
Debra Kern satu-satunya gadis lainnya yang tahu keseluruhan
cerita mengenai roh jahat itu.
"Debra memang aneh," balas Corky dengan nada tajam.
"Beberapa hari setelah bertemu dengannya, aku melihatnya sedang
berusaha mengucapkan mantra tidur pada anjingnya."
Kimmy tidak tersenyum. "Debra tahu banyak tentang hal-hal
aneh," sahutnya dengan suara datar.
"Kau menghabiskan terlalu banyak waktu bersamanya," Corky
memberitahu temannya. "Membaca buku-buku kunonya yang
berdebu, mempelajari segala macam tetek-bengek yang aneh-aneh.
Meskipun Debra menggemari hal itu, tidak berarti?"
"Aku juga sangat tertarik pada hal itu," Kimmy mengaku.
"Setelah semua yang terjadi pada kita..." Suaranya melemah.
Corky menengadah dan melihat orangtua Hannah berjalan
mendekati mereka. Seperti Hannah, Mrs. Miles berambut hitam dan
berbola mata gelap. Ia merangkul lengan suaminya erat-erat. Mr.
Miles bertubuh pendek dan gempal. Mantel panjangnya yang
berwarna abu-abu harnpir menyentuh lantai. Matanya merah dan
berair. Saat mereka melangkah ke ruang tunggu, Corky melompat dan
bergegas menghampiri mereka. "Bagaimana keadaan Hannah?" ia
berteriak. "Dia akan sembuh, kan?"
Mrs. Miles menangis tersedu-sedu.
Bab 3 KEJUTAN DI SUNGAI Down the floor, Shoot two more! Down the floor, Shoot two more! Go, TIGERS! TUBUH Corky melayang sewaktu melakukan gerakan elang
terbang yang mengakhiri sorak-sorai. Ia mendarat dengan canggung,
menyebabkan pergelangan kakinya terkilir.
Dari bawah barisan, ia mengawasi Debra yang terlambat
memulai gerakan itu. Saat meloncat gadis itu berubah pikiran, dan
mendarat tanpa menyelesaikannya.
Setelah kecelakaan itu, latihan cheerleader dibatalkan. Kini, dua
hari sesudahnya, setiap orang tampak tidak bersemangat. Corky, yang
baru saja terpilih menjadi wakil kapten, menyadarinya.
Ms. Closter meniup peluitnya. Bunyinya melengking tanda
tidak setuju. "Wah! Wah!" ia berseru sambil mengangkat kedua
tangannya saat ia melangkah mendekati para cheerleader.
Pelatih itu berbadan mungil, kurus seperti pensil. Usianya
sekitar tiga puluh atau tiga puluh lima tahun, Corky mengira-ngira.
Ms. Closter selalu mengenakan T-shirt putih yang saking panjangnya
sampai hampir menyentuh lututnya yang dibalut legging abu-abu.
Bentuk wajahnya panjang dengan raut wajah hampir tanpa ekspresi.
Bola matanya berwarna abu-abu, yang entah mengapa tampak selalu
murung. Sebuah topi pet Notre Dame berwarna biru tua dan keemasan
dipakainya terbalik, menutupi rambut cokelatnya yang pendek.
"Kalian bersorak seperti orang penyakitan saja," ia mengomel
sambil mengempaskan peluitnya hingga terjuntai kembali di lehernya.
"Ayo coba lagi!" Kimmy berteriak. Pipinya yang tembam
tampak merah padam. Ada titik-titik keringat di atas bibirnya
walaupun mereka baru saja mulai berlatih. "Ayo bersorak dengan
lantang!" Dengan berbagi jabatan wakil kapten bersama Corky, Kimmy
tahu bahwa tugasnya adalah untuk memompa semangat para
cheerleader di saat stamina mereka menurun. Hari itu mereka semua
tampak tidak keruan dalam T-shirt yang bermandi keringat. Sama
sekali tidak bertenaga. "Wah," Mrs. Closter mengulangi ucapan favoritnya. "Satu kata,
gadis-gadis." Ia berdeham. "Ini latihan pertama kita tanpa Hannah,
dan kita semua merasa kehilangan"ya, kan" Kita semua sedih dia ada
di rumah sakit." "Aku bicara dengan ibunya pagi ini sebelum sekolah," Corky
melaporkan. "Dan apa katanya?" tanya Ms. Closter. Ia meletakkan tangannya
di pinggangnya yang ramping.
"Kondisi Hannah stabil," sahut Corky sambil memandang
Kimmy. Kemudian ia menambahkan, "Entah apa maksudnya."
Ms. Closter mengangguk dengan sungguh- sungguh. "Semoga
itu berarti perdarahan dalamnya sudah berhenti."
Corky mengangkat bahu. "Kata dokter dia stabil. Ibu Hannah
bilang wajah Hannah benar-benar parah. Dia memerlukan banyak
jahitan. Dan tulang selangkanya patah. Tapi dia akan sembuh."
Debra mengembuskan napas. Naomi dan Heather
menggelengkan kepala. "Untung tidak begitu parah," gumam Ms. Closter sambil
memain-mainkan tali yang menggantung peluitnya. "Lehernya bisa
saja patah. Dalam peristiwa itu, Hannah bisa dibilang beruntung."
"Yeah. Sangat beruntung," gumam Debra sambil memutarmutar bola matanya.
"Aku tahu ini kurang pantas," cetus Kimmy sambil
menyibakkan poninya. "Tapi kita harus memikirkan Turnamen Musim
Dingin. Apa yang bisa kita lakukan kalau tidak menemukan pengganti
Hannah?" Ms. Closter mengangkat alis. "Kita akan mengadakan seleksi
hari Senin sepulang sekolah. Jika kalian mengenal siapa saja yang
tertarik?" "Tapi turnamennya kan tinggal dua minggu lagi!" Heather
memprotes. "Bagaimana anggota baru bisa mempelajari semua
gerakannya?" "Latihan," balas Ms. Closter sambil memutar topi petnya ke
depan. "Banyak latihan." Ia memberi isyarat dengan kedua tangannya.
"Oke, semuanya. Berbaris. Elang terbang. Lakukan lagi. Kali ini
dengan lebih bertenaga. Pikirkan dengan ringan. Ringan. Kalian
seringan bulu." Naomi bersin keras-keras. Ia menggosok-gosok hidungnya.
"Aku alergi bulu!" ia berseru.
Semua gadis tertawa. Corky memaksakan dirinya untuk tertawa
juga. Tapi pikirannya lidak tertuju pada latihan. Ia hanya memikirkan
Hannah. Ms. Closter mengatakan bahwa Hannah beruntung, pikir Corky
resah. Menurutku Hannah tidak akan setuju.
Dan kalau Kimmy benar, bahwa roh jahat itu telah kembali,
maka tak satu pun dari mereka yang beruntung.
Namun Kimmy tak mungkin benar, Corky memutuskan.
Ia menempatkan dirinya di pinggir barisan. Ia menggelengkan
kepala sekuat tenaga, berusaha menepis semua bayangan mengerikan.
Di seberang ruang olahraga, pintu menuju ruang ganti terempas
terbuka. Cowok-cowok anggota tim basket berlari-lari kecil dan mulai
mendribel dalam lingkaran besar.
Corky melambai ke arah Alex, tapi cowok itu tidak melihatnya.
Alex dan sahabat karibnya, Jay Landers, mulai mengoper bola dengan
cepat ke depan dan ke belakang.
"Sorakan yang sama!" Ms. Closter memberi instruksi. "Teriak
selantang-lantangnya. Buat papan ring hancur!"
Kata-kata Ms. Closter membuat Corky terenyak. Ia melihat
kaca depan yang hancur. Tubuh Hannah yang terbujur di kap mobil.
Sorak-sorai dimulai. Corky terlambat memulai iramanya. Ia
berusaha keras untuk mengikuti.
Down the floor, Shoot two more! Down the floor, Shoot two more! Go, Tigers! Sekarang ia melakukan gerakan elang terbang. Matanya tertuju
pada Alex. Kenapa cowok itu tidak menoleh" Corky bertanya-tanya.
Kenapa Alex tidak memperhatikan"
Lompatan yang bagus. Corky merentangkan kedua kakinya
hingga lurus, lalu turun dan melakukan gerakan split.
Ya! Kelihatannya bagus! Semua cheerleader melayang serentak. Melompat. Bertepuk
tangan. Bersorak-sorai. Dan berlarian.
"Lumayan!" Ms. Closter berseru di tengah bunyi entakan bola
basket yang didribel. "Jauh lebih baik. Ayo coba lagi. Debra, tadi kau
belum menunjukkan lompatan terbaikmu. Ayo. Berbaris."
"Uh"kakiku kram," ujar Corky pada pelatihnya. "Aku akan
segera kembali setelah kramku hilang."
Ia pura-pura berjalan terpincang-pincang saat menuju ke
seberang ruang olahraga. "Hei"Alex!" panggilnya.
Jay yang melihatnya pertama kali. Sambil mengepit bola basket,
cowok itu mengembangkan seulas senyum dan melambai. "Corky"
kau manis deh!" Corky menyukai Jay. Banyak gadis yang menganggap Jay
konyol. Penyebab utamanya karena ia selalu memamerkan cengiran
lebarnya. Dan selalu menceritakan lelucon-lelucon yang tidak lucu
dan tertawa terbahak-bahak pada mereka. Atau ia sengaja berjalan
menabrak dinding untuk mengundang tawa konyol.
Dengan hidung yang panjang dan bengkok, mata cokelat yang
kecil, dan rambut pendek berwarna pirang keputihan yang tajam-tajam
seperti paku, Jay kelihatan seperti seekor ayam raksasa. Tapi Corky
menganggapnya menyenangkan. Ia selalu membela Jay di saat gadisgadis lain menggunjingkan keanehan cowok itu.
"Hei, Alex!" panggilnya.
Alex akhirnya melihat Corky. Ia mendekat sambil mendribel
bola. Jay sengaja membanting bolanya ke kaki Alex. Dengan
santainya Alex menendang bola Jay. "Ada apa, Cork?"
"Kau bawa mobil?" tanya Corky. Ia menyibakkan beberapa
helai rambut pirang yang menutupi keningnya.
Alex mengangguk. "Yeah. Kau perlu tumpangan pulang?"
Corky ragu-ragu. "Bisa tidak kita jalan-jalan naik mobilmu
sebentar" Sehabis latihan?"
Alex menyipitkan mata birunya dengan bingung. "Jalan-jalan"
Aku janji pada ibuku sudah berada di rumah waktu makan malam."
"Hanya ke sungai kok, setelah itu kita langsung pulang," kata
Corky kepadanya. "Jangan ikut mobil Alex," tukas Jay sambil nyengir. "Dia suka
mabuk darat." "Hei, Landers!" Alex memprotes. "Aku hanya mual kalau
melihat wajahmu. Seperti digilas orang."
Jay menyikut Alex agar menjauh. "Aku akan mengantarmu ke
sungai, Corky," ia menawarkan sambil memutar-mutar bola dengan
satu jari. "Kau bawa mobil?" tanya Corky.
"Tidak. Memangnya kenapa?" Jay membuka mulutnya dan
tertawa nyaring. Alex memutar-mutar bola matanya. "Kenapa sih kau ingin ke
sungai?" Corky tidak punya kesempatan untuk menjawab. Ia mendengar
bunyi peluit Ms. Closter. "Corky"waktumu habis!" pelatihnya
memanggil. "Kami menunggumu."
"Oke. Temui aku sehabis latihan," Alex menyetujui. Ia berbalik,
memantul-mantulkan bola di lantai, berhenti di daerah tiga angka, dan
menembakkan bola. Bola melayang dan menjebol ring basket.
Alex berbalik ke arah Corky dan tersenyum lucu, senyum
kekanak-kanakan yang selalu membuat Corky ingin memeluknya.
"Tembakan mujur!" Corky mendengar seruan Jay saat ia
bergegas kembali ke tempat latihannya.
**************************
"Bagaimana latihannya?" tanya Corky kepada Alex sambil
menjatuhkan dirinya ke kursi penumpang Sable putih milik ayah Alex,
lalu mengempaskan pintu. "Lebih baik daripada kau," sahut Alex. "Aku dengar Ms.
Closter berteriak-teriak pada kalian." Ia menggelengkan kepalanya.
Alex benar-benar tampan, pikir Corky. Ia suka rambut pirang
Alex, yang selalu tampak acak-acakan menutupi keningnya. Dan ia
suka lesung pipi kecil di pipi kanan Alex yang muncul setiap kali
cowok itu tersenyum. "Latihan kami tidak begitu bagus hari ini," ujar Corky perlahan.
Alex melepaskan tudung jaketnya, lalu menghidupkan mesin.
Corky memandang langit sore. Bulan pucat sudah mengintip dari balik
pepohonan gundul di musim dingin. Di bulan Desember hari cepat
sekali gelap, pikirnya. Langit yang hitam kelam sesuai dengan perasaan hatinya. Ia
merosot di kursinya dan menaikkan lututnya ke dasbor saat mobil
Alex keluar dari Park Drive.
"Kau lihat waktu aku menahan serangan Gary Brandt?" tanya
Alex dengan riang. "Saking lebarnya mulutnya menganga, aku sampai
mengira dia hendak menelan bola itu!" Alex tergelak. "Aku tak sabar
menunggu saatnya turnamen. Rasanya kita pasti bisa membabat
mereka!" Mobil tergelincir saat Alex menikung tajam ke River Road.
Corky membetulkan sabuk pengaman di depan jaket birunya. Mereka
melewati tiga bocah yang sedang asyik main perang-perangan bola
salju di pekarangan depan yang luas. "Hei"bukan gumpalan es!"
Corky mendengar salah satu dari mereka berteriak.
"Tadi ada kerumunan apa sih di sekitar Jay?" tanya Corky.
Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kulihat kau berlari ke arahnya."
"Gary dan Jay bertubrukan. Jay mengira hidungnya patah!" ujar
Alex sambil terkekeh-kekeh.
"Hah?" Corky menurunkan lututnya dan duduk tegak. "Apa dia
baik-baik saja?" "Dengan hidungnya itu, siapa yang tahu?" canda Alex.
"Dia kan sahabat karibmu," Corky pura-pura mengomel.
"Kan tidak berarti aku harus menyukai hidungnya," balas Alex
cepat. Mereka berdua tertawa. Corky menyandar lebih dekat lagi ke
Alex. Jalan mulai menanjak dan berkelok-kelok di sepanjang Sungai
Conononka, melewati pepohonan yang gelap, bergoyang-goyang
diembus angin dingin. Dari balik pepohonan, sungai tampak bagaikan
diselubungi selimut putih yang pekat.
"Sungainya benar-benar sudah membeku," gumam Corky.
Sedikit merasa lega. "Kenapa sih kau ingin ke sini?" tanya Alex ingin tahu. Ia
menginjak pedal rem saat mobil mulai berputar di sebuah tikungan.
"Pelan-pelan!" perintah Corky. "Kalau kita sampai tergelincir
ke situ?" Alex menyelesaikan kata-kata Corky, "Kita akan mati"dan
ayahku bisa gila karena aku meringsekkan mobil barunya."
Ban-ban mobil meremukkan salju yang keras. Perlahan-lahan
Alex menghentikan mobilnya di sisi jalan sebelum mereka sampai ke
puncak. Dahan-dahan pohon berderak-derak di atas mereka.
Alex memarkir mobil dan membiarkan mesinnya tetap hidup. Ia
menggosok-gosokkan kedua tangannya, menghangatkannya di depan
lubang pemanas. "Jadi kenapa kau ingin kita kemari?" ulangnya.
Seulas senyum menghiasi wajahnya.
Ia mencondongkan badannya ke Corky, meraihnya, dan
menariknya mendekat. Sebelum Corky dapat menolak, Alex sudah
menciumnya. Hidung Alex terasa dingin, tapi bibirnya hangat. Corky merapat
padanya dan balas menciumnya.
Corky mengakhirinya dengan mendorongnya perlahan. "Ini
bukan alasanku kemari," kata Corky lirih.
Alex mengerutkan bibirnya, membentuk cibiran yang dibuatbuat. "Kau yakin?" ia meraih Corky lagi. Tapi Corky sudah membuka
pintu dan turun dari mobil.
Tiupan angin dingin sekonyong-konyong mengejutkannya dan
membuatnya terengah-engah. Embusan angin keras menahan pintu
sehingga tetap terbuka. Corky berusaha menutupnya dengan sekuat
tenaga. Sambil menggenggam kunci mobil, Alex bergabung dengannya
di depan mobil. "Kalau kau hendak berenang, lupakan saja deh!"
candanya sambil menggigil.
Corky merapatkan jaketnya. "Kenapa kau tidak menutup
ritsleting jaketmu?" tanyanya kepada Alex.
Cowok itu mengangkat bahu. "Karena aku macho."
"Bukan. Karena kau bodoh," Corky membetulkan.
Alex mencibir lagi. Corky tertawa dan memimpin jalan menyusuri pohon-pohon.
Sepatu Doc Martennya meremukkan gumpalan salju yang keras.
Angin dingin berputar-putar di sungai, membuat dahan-dahan pohon
berderak-derak dan melengkung.
Alex tergesa-gesa berusaha menyamai langkah Corky. Ia
memakai tudung jaketnya dan meraih jemari Corky.
"Cu-a-ca ba-gus... untuk berjalan-jalan," ujarnya sambil
menggigil. "Aku hanya ingin melihat sungai," Corky memberitahu. "Sulit
untuk dijelaskan." "Nah, ini dia," Alex mengumumkan saat mereka keluar dari
pepohonan. "Seperti lapangan luncur es." Ia menarik lengan Corky.
"Kita bisa balik sekarang?"
"Sebentar lagi," sahut Corky. Angin membuat matanya berair.
Ia melindunginya dengan sebelah tangannya yang terbungkus sarung
tangan dan memandang ke arah sungai yang membeku.
Dari ujung ke ujung hanya terlihat hamparan es.
Angin yang menderu-deru menebarkan butiran-butiran salju ke
permukaan sungai yang membeku.
Ya, semuanya benar-benar membeku, Corky memandang,
mulai merasa sedikit lebih baik. Roh jahat itu masih terkubur di bawah
sana, di tempat aku meninggalkannya. Tidak ada yang dapat
membebaskan diri dari bongkahan es yang kokoh itu.
Tidak ada. Bahkan roh jahat pun tidak.
Mata Corky kemudian tertumbuk pada sesuatu dan ia menjerit
tertahan. Ia menunjuk dengan penuh kengerian.
Dan mencengkeram lengan jaket Alex. "Apa itu?" jerit Corky.
Bab 4 TAMU DI MALAM HARI ALEX mengamati hamparan es. "Ada apa sih?" tanyanya
sambil merangkul bahu Corky.
"Apa itu?" ulang Corky dengan nada melengking. Angin
meniup butiran salju ke wajahnya. Ia memicingkan mata, berusaha
melihat dengan jelas di tengah cahaya yang remang-remang.
"Maksudmu lubang es itu?" tanya Alex dengan bingung. "Itu
kan lubang untuk memancing ikan."
Corky maju selangkah, lalu berhenti. Bulan memantulkan
bayang-bayang pohon yang panjang di permukaan sungai yang
membeku. Es yang berwarna putih tampak bersinar mengerikan.
Dengan mata terpicing, Corky dapat melihat gumpalan uap
putih melayang dari dalam lubang, seperti hantu di langit yang gelap.
"Dia"dia berhasil lolos," gumam Corky. Ia tak bisa
menyembunyikan rasa takutnya.
"Hah?" Alex melongo. Ia mencoba mengira-ngira apa yang
membuat Corky takut. "Corky" Ada apa sih?"
Corky menunjuk lagi. Tangannya gemetar.
"Uap itu?" tanya Alex tak mengerti. "Uapnya keluar dari lubang
karena air di bawah es lebih panas daripada udara di atasnya."
Bukan, pikir Corky sambil mencengkeram lengan jaket Alex.
Bukan, itu bukan uap. Tapi bagaimana aku dapat mengatakan pada Alex wujud uap itu
sebenarnya" Bagaimana dapat kukatakan bahwa roh jahat itu telah
lolos dan mencari korban untuk dikendalikan"
Aku tak dapat. Uap putih itu terus melayang-layang, menembus langit yang
gelap dan berputar-putar ditiup angin. "Alex, ayo kita pergi," Corky
memohon. ******************** Retakan itu menyerupai tangga, tangga yang sangat panjang,
tampak menyerong di kejauhan. Sambil berbaring telentang di tempat
tidur, Corky memandang langit-langit. Ia tak bisa tidur.
Ia mencoba menghubungi Kimmy sehabis makan malam, tapi
yang menyambutnya hanyalah mesin penjawab telepon. Kemudian ia
mencoba mengontak Debra. Tapi malah ayah Debra yang menjawab
dengan nada bingung. Dia bilang dia tidak tahu ke mana Debra atau
ibunya pergi. Akhirnya Corky menelepon rumah sakit untuk berbicara dengan
Hannah. Tapi seorang perawat memberitahunya bahwa Hannah
sedang istirahat dan tak bisa diganggu.
Dengan perasaan tidak menentu dan kesepian, Corky mencoba
berkonsentrasi pada PR-nya. Kemudian ia masuk kamar lebih cepat,
berharap supaya lekas tertidur dan mengenyahkan pikiran-pikiran
mengerikan yang berkecamuk dalam benaknya.
Tapi ia tak dapat melakukannya.
Sambil menatap retakan berbentuk labah-labah di langit-langit,
dalam benaknya terlintas berbagai hal tentang Hannah, kecelakaan itu,
roh jahat, Bobbi kakaknya, serta uap putih yang berputar-putar
mengerikan dari bawah lubang di sungai yang membeku.
Sekonyong-konyong retakan di langit-langit tampak bergerakgerak.
Corky membelalakkan mata. Ia bangkit dan memicingkan mata.
Retakan itu tampak berkilauan, tapi tidak bergerak.
Kemudian Corky melihat uap mengambang di langit-langit.
Kabut putih berarak perlahan-lahan bagaikan awan.
Perlahan menuju kematian, pikir Corky.
Uap memenuhi langit-langit kamarnya, lalu mulai bergulunggulung turun.
Aku harus keluar dari sini! pikir Corky panik. Napasnya
seakan-akan tersangkut di tenggorokan. Ia terengah-engah. Kenapa
aku tidak bisa bergerak"
Kenapa" Ia berbaring membeku di tempatnya, memandang ke atas
dengan ketakutan sementara hamparan uap turun makin rendah,
bersiap-siap untuk membungkusnya.
Dan saat uap itu menyapu tempat tidur, menyelimuti tubuhnya
dan terus naik ke wajahnya, Corky mulai merasakan kemarahan
merasukinya. Merasakannya membakar dadanya.
Merasakan kemarahan meledak-ledak dalam tubuhnya. Hingga
letupan kemarahan itu berubah menjadi kebencian.
Dan ia membuka mulutnya, melepaskan lolongan penuh
kebencian. Aku kembali jadi monster! pikir Corky.
Kembali, untuk selamanya.
Bab 5 KEGELAPAN DI RUMAH DEBRA "CoRKY!" "Corky!" Suara-suara memanggilnya, berusaha mengenyahkan gumpalan
kabut. Tangan-tangan hangat mencengkeramnya. Mengguncangguncangkannya.
"Corky!" "Corky"bangun!"
Ia membuka mata dan melihat orangtuanya di sisi tempat
tidurnya. Ibunya memegang bahunya. Ayahnya membungkuk di
atasnya dan memanggil-manggil namanya.
"Mimpi buruk lagi!" gumam Mrs. Corcoran sambil
mengendurkan pegangannya, tapi masih memegang bahu anaknya.
"Corky"kau sudah bangun?"
"Pasti sangat menakutkan," ujar ayah Corky. "Kau sudah lama
tidak pernah menjerit sekeras tadi."
"Hanya mimpi," bisik Corky sambil memandang orangtuanya
yang cemas. Tidak ada uap yang melayang-layang di kamarnya. Tidak ada
gumpalan kabut di tempat tidurnya. Tidak ada roh jahat yang
mengambil alih pikirannya.
Tentu saja. Itu hanya mimpi.
Benar, kan" Ia mengalami mimpi buruk sedikitnya sekali dalam sebulan
sejak roh jahat itu menghuni tubuhnya dan memaksanya untuk
mengikuti kemauannya. Dalam tidurnya, Corky merasakan roh jahat itu kembali dalam
bentuk kemarahan yang meletup-letup dalam dadanya, yang akhirnya
meledak dalam lolongan kebencian.
Hanya mimpi. Tentu saja, hanya mimpi.
Jadi kenapa kali ini mimpinya berbeda"
Kenapa tampak jauh lebih nyata"
********************** Alex memukul meja dengan kedua tangannya. "Ini semua
salahku!" ia berteriak marah. "Aku mengacaukannya! Aku benarbenar mengacaukannya!"
"Hei, superstar?" jay mendekati meja dan dengan main-main
meninju rahang Alex. "Tidak ada yang menyalahkanmu kok."
"Kenapa tidak ada?" tanya Alex menuntut. "Aku membiarkan
cowok itu memasukkan bola. Aku membiarkannya menjebol ring kita.
Gara-gara aku kita kalah, kan?"
"Cuaca bagus," Corky berkomentar dengan nada kering. Ia
bertanya-tanya apakah ia bisa bangkit dan pergi. Ia dapat melihat
bahwa sepertinya Alex dan Jay akan terus mengulang-ulang
pertandingan basket sepanjang sisa Jumat malam ini.
Betapa membosankan. Corky merasakan gabungan rasa gembira dan lelah dalam setiap
pertandingan. Tenggorokannya terasa kering karena bersorak-sorai.
Urat-urat kakinya sakit. Tapi dadanya masih berpacu. Dan ia mau
bersorak-sorai lagi atau berjingkrak-jingkrak sampai roboh.
Mereka berdesak-desakan duduk di pojok belakang dalam
Pete's Pizza di mal. Corky duduk di sebelah Jay. Alex tertelungkup di
meja di depannya. Sepiring pizza pepperoni besar terhidang di meja formika putih.
Sejauh ini hanya Corky yang sudah mengambil sepotong.
"Aku melompat terlalu cepat, itu saja," ujar Alex getir sambil
bertopang dagu. "Kalau tidak, aku pasti bisa memblokir
lemparannya." "Tunggu sebentar, Alex. Dia kan berhasil mengelabuimu
sampai sepatu Nike-mu copot," balas Jay sambil tertawa nyaring. Ia
memakai topi pet Mighty Ducks yang menutupi rambut pakunya yang
pendek, dan tampak lebih konyol daripada biasanya.
"Kau mencoba menghiburku, ya?" tanya Alex sambil merengut.
Jay menarik dua potong bulatan pepperoni dari dalam pizza dan
menempelkannya di kedua matanya. "Hei"kalian pikir aku perlu
kacamata?" Corky tergelak. Setidaknya Jay berusaha melupakan
kekecewaannya. Alex kembali merengut dan menggelengkan kepala.
"Jadi kita kalah pada detik-detik terakhir," Jay melanjutkan
sambil mencomot kedua pepperoni itu dari matanya dan
memasukkannya ke dalam mulutnya. "Coba pikir begini saja, Alex,
kita kan sudah menang pada empat puluh tujuh menit pertama dan
lima puluh sembilan detik dalam pertandingan!"
Corky tertawa. Jay selalu bisa membuatku tertawa, pikirnya.
Alex mengambil sepotong pizza, lalu meletakkannya lagi.
"Pertandingan tadi bukan apa-apa!" Jay menandaskan. "Kita
masih akan menghadapi turnamen, man! Turnamen itulah yang paling
utama. Sepuluh tim terbaik dari negara bagian! Itu baru yang namanya
pertandingan!" "Mungkin kau benar," sahut Alex. Ia mengangkat bahu.
Kemudian Corky melihat seulas senyum menghiasi wajahnya. Mata
biru Alex bercahaya untuk pertama kalinya sejak mereka tiba.
Ia akhirnya bersemangat! Corky berkata dalam hati.
Tapi kemudian ia menyadari bahwa Alex bukan tersenyum
kepadanya. Pandangan mata Alex melampaui bahu Corky.
Corky berpaling"dan sekonyong-konyong melihat dua gadis di
meja sebelah"Corky tahu mereka siswa Shadyside High. Jade Smith
dan Deena Martinson. Deena mengibaskan rambut pirangnya dan
tersenyum pada Alex. "Ada apa sih di sini?" Corky berkata gusar sambil berpaling
kepada Alex. Senyum Alex segera lenyap. "Hah" Apa maksudmu?" semu
merah menjalari pipinya. "Oh. Aku hanya menyapa gadis-gadis itu.
Kau kenal mereka, kan" Deena dan Jade."
Corky menatap Alex dengan curiga. Alex tergelak. "Kau
kenapa sih, Corky?" Ia terus menatap Alex tanpa mengatakan apa-apa.
Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayo kita bicarakan pertandingan tadi saja," Jay memecah
keheningan. Ia berusaha mencairkan suasana yang mulai memanas.
"Bukankah aku tampak mengesankan malam ini" Kalian lihat waktu
aku melompat hampir setinggi satu meter untuk melakukan slam
dunk?" "Sayangnya kau tidak memegang bola!" balas Alex sambil
nyengir. "Sayangnya kepalamu membentur papan ring!" Corky
menambahkan. Corky ikut tertawa. Tapi ia tidak merasa ingin tertawa. Alex
sudah berhenti tersenyum kepada Deena, tapi ia kini menghindari
Corky. Apakah ada sesuatu di antara mereka" Corky bertanya-tanya.
Kenapa tiba-tiba perasaanku tidak enak terhadap Alex"
Terhadap turnamen" Terhadap segalanya" *********************** Corky berusaha mengontak Kimmy pada Minggu siang. Ia
harus berbicara dengan seseorang tentang Alex. Mereka sudah
membuat janji untuk nonton film Sabtu kemarin. Tapi tiba-tiba, di
menit-menit terakhir, Alex menelepon untuk membatalkan janji
dengan alasan menggelikan: dia harus tinggal di rumah untuk menjaga
adik perempuannya. Suaranya terdengar aneh, pikir Corky. Dasar pembohong. Ia
membayangkan Alex meletakkan gagang telepon dan bergegas keluar
menemui Deena. Dengan perasaan kacau Corky menghabiskan Sabtu
malam itu dengan bermain bersama adiknya, Sean. Anak itu memaksa
Corky bermain Mortal Kombat. Sean mengalahkannya di setiap
permainan. Telepon berdering tiga kali di rumah Kimmy. "Ayo dong,
Kimmy"angkat!" desak Corky dengan suara lantang. Aku bahkan
belum sempat menceritakan apa yang kulihat dalam sungai, pikir
Corky sambil menekan gagang telepon di telinganya. Tentang lubang
di permukaan sungai dan uap aneh yang melayang dari dalamnya.
Setelah dering kelima, telepon diangkat ibu Kimmy. Mrs. Bass
menjawab dengan terengah-engah. Ia memberitahu Corky bahwa
Kimmy pergi ke rumah Debra.
Corky meminjam mobil ibunya dan menyetir ke rumah Debra
di Canyon Road. Awan kelabu yang tebal telah sirna. Langit tampak
biru cemerlang. Sinar matahari yang terang benderang membuat
pekarangan yang tertimbun salju berkelip-kelip seperti perak.
Sinarnya menerangi kaca depan mobil. Tapi matahari tidak
membawa kehangatan. Suhu udara masih di bawah nol derajat
Celsius. Jalan-jalan masih diselubungi es dan licin.
Ia mengenali mobil yang diparkir di pinggir jalan depan rumah
Debra"Corolla biru yang pasti dipinjam Kimmy dari ayahnya. Mobil
Kimmy masih ada di bengkel, bempernya diperbaiki dan kaca
depannya yang hancur diganti.
Corky memarkir mobilnya di jalan masuk rumah Debra dan
mengamati rumah yang beratap putih itu. Jalan menuju serambi
rumahnya tampaknya sudah dibersihkan dari timbunan salju, tapi
masih ada timbunan salju di jendela-jendela depan. Semua jendelanya
kelihatan membeku. Sepatu Doc Marten-nya terpeleset di jalan yang licin. Dengan
susah payah Corky berusaha mencapai pintu depan dan menekan bel.
Kimmy dan Debra mungkin sedang mengerjakan PR bersama-sama,
pikirnya. Seharusnya aku membawa ranselku.
Tidak ada sahutan. Ia mencoba menekan bel lagi, tapi ia tidak
mendengar bunyinya dari dalam. Mungkin belnya rusak.
Jadi ia mengetuk. "Hei, Debra"ini aku!" ia memanggil. "Buka
dong!" Masih belum ada sahutan. Mereka pasti ada di belakang, pikir Corky. Ia meraih pegangan
pintu"dan pintunya terbuka.
'"Kalian di mana?" Corky memanggil-manggil sambil
melangkah masuk. "Hei" Debra" Kimmy" Ini aku!"
Seluruh ruangan tampak gelap.
Dan sunyi. Corky mengintip ke ruang tamu. "Hei" teman-teman?"
panggilnya bimbang. Tirai-tirai tertutup, menghalangi sinar matahari. Tidak ada
lampu yang dinyalakan. Corky menatap dalam kegelapan. "Debra?"
Mata Corky menembus ruang tamu yang besar dan tertumbuk
pada kelipan cahaya samar-samar. Ini ruang baca, Corky menyadari.
Dengan ragu-ragu ia melangkah menuju cahaya yang remang-remang.
Cahaya lilin" "Hei Debra" Kau di situ?"
Tidak ada sahutan. Lingkaran cahaya makin terang berkelip-kelip saat Corky
mendekati ruang baca. Ia berhenti di pintu yang terbuka"dan
terperangah. "Apa-apaan ini?" bisik Corky dengan sangat terkejut.
Bab 6 "DATANGLAH WAHAI ROH"
CORKY melihat cahaya lilin berkelip-kelip di depan wajah
kedua temannya. Mata mereka mengamati lidah-lidah api tanpa
berkedip. Ruangan itu gelap, tirai-tirai ditutup.
Debra dan Kimmy berlutut di lantai ruang baca. Lilin-lilin
diatur sedemikian rupa hingga membentuk lingkaran di sekeliling
mereka. Debra memegang sebuah lilin merah yang panjang dengan satu
tangan, dan perlahan-lahan menggerakkannya melewati lingkaran
lilin. Sebuah buku besar terbuka lebar di lantai di depannya.
Bibir kedua gadis itu bergerak-gerak perlahan. Mereka tetap
mengamati lidah-lidah api, terlalu berkonsentrasi hingga tidak
mendengar ucapannya. Corky berdiri di pintu, tidak berminat untuk masuk ke ruangan
itu. Ia tidak suka senandung aneh yang diucapkan Debra.
Akhirnya Kimmy mengangkat kepala. Wajahnya tampak
terkejut. "Corky"apa yang kaulakukan di sini" Bagaimana kau bisa
masuk?" Debra menggeram dan meluruskan badan sambil mengangkat
lilinnya. "Kau mengacaukannya," ia mengomel.
"Apa sih yang kalian lakukan?" tanya Corky sambil mendekat
dengan ragu-ragu. Debra berdiri. Ia meregangkan tangannya ke atas. "Kau tadi
mengebel" Belnya rusak. Mungkin sudah beku."
"Pintunya terbuka," Corky menjelaskan sambil menunduk
memandang cahaya lilin. "Ibu Kimmy bilang Kimmy ada di sini,
jadi?" Debra mendorong Corky. "Oh. Ada telepon. Aku akan segera
kembali. Lalu kau bisa menolong kami." Ia bergegas ke luar ruangan.
"Menolong apa?" tanya Corky kepada Kimmy.
Kimmy menjatuhkan diri dan duduk. Ia memakai sweter wol
gombrong dan legging hitam. "Debra menemukan mantra kuno yang
tadi kami coba," ia menjelaskan dengan tenang.
Kimmy bersandar pada tangannya. Cahaya oranye menari-nari
di wajah dan rambut hitamnya. Matanya bersinar-sinar menatap
Corky. "Semalam kau kencan dengan Alex?"
Corky duduk di samping Kimmy sambil menekuk lutut. "Tidak.
Dia menelepon dan bilang bahwa dia berhalangan." Corky menghela
napas. "Dia memberiku alasan yang konyol."
Kimmy berdecak. "Seandainya rasa sukaku tidak sebesar itu," Corky mengakui. Ia
membungkuk untuk melepaskan sepatunya. Sepatunya masih terasa
dingin karena dipakai berjalan-jalan di luar.
"Oke. Ayo coba lagi," ujar Debra saat kembali ke ruang baca.
"Ini hebat. Dengan senandung kita bertiga, kekuatannya akan lebih
besar." Dengan bimbang Corky bangkit dari sebelah Kimmy. "Tapi apa
yang kalian senandungkan?" tanyanya ingin tahu. "Apa yang hendak
kalian lakukan?" "Kami hendak memunculkan Alex di ruangan ini," canda
Kimmy. "Dalam keadaaan bugil."
Mata biru Debra yang dingin menyipit ke arah Kimmy.
"Ayolah. Jangan bercanda. Nanti rohnya tak mau datang."
Debra menjatuhkan dirinya ke sisi lain lingkaran lilin.
Kemudian ia mencondongkan badannya ke dekat buku besar di lantai
dan mempelajarinya. "Ini senandung untuk memanggil roh," Kimmy menjelaskan
sambil merendahkan suaranya. "Debra menemukannya dalam buku
yang kami beli di toko buku bekas."
Debra terus mempelajari buku tua itu.
"Roh apa?" tanya Corky sambil berbisik. "Roh jahat?"
"Bukan"tentu saja bukan!" balas Kimmy. Ia bertukar pandang
dengan Debra. "Kami ingin memanggil roh lain"roh yang dapat
melindungi kita." "Maksudmu...," kata Corky.
Debra mengangkat sebelah tangan untuk mendiamkan mereka.
Matanya menembus cahaya lilin saat ia menatap Corky. "Kami akan
memanggil roh untuk melindungi kita dari roh jahat. Seandainya roh
jahat itu kembali. Kita?"
"Itulah yang ingin kukatakan kepada kalian," tukas Corky.
"Kemarin aku ke sungai, tempat aku menenggelamkan roh jahat itu.
Sungainya membeku." "Aku tahu," sahut Debra tajam. "Aku pernah main ice skating di
tempat itu. Banyak anak-anak yang main ice skating di sana.
Sungainya sudah membeku sejak beberapa minggu yang lalu."
"Aku melihat lubang di permukaan es," Corky melaporkan
sambil terengah-engah. "Hah?" Kimmy berseru kaget.
"Lubang yang cukup besar, benar-benar bundar," lapor Corky.
"Dan ada asap yang keluar dari situ. Seperti kabut tebal yang
menakutkan. Bergulung-gulung keluar dari dalam es."
"Mungkin hanya uap," gumam Debra sambil berpikir-pikir.
"Kau benar-benar mengira roh jahat itu berhasil lolos?" tanya
Kimmy. "Menurutmu kecelakaan Hannah..." Suaranya melemah
sementara matanya membelalak ketakutan.
"Kau yang membuatku berpikir begitu," balas Corky. "Waktu
remmu blong dan terjadi kecelakaan. Apakah itu hanya sekadar
kecelakaan" Atau roh jahat itu kembali untuk balas dendam?"
Corky menghela napas. "Aku tak dapat melupakannya. Bahkan
sampai terbawa mimpi."
"Roh jahat itu hanya bisa kembali bila merasuki seseorang,"
ujar Debra perlahan. "Dan hanya ada kalian bertiga dalam mobil itu."
Corky bergidik. "Bukan aku", sahutnya. "Aku merasa cukup
normal." "Aku juga," balas Kimmy cepat.
Bunyi berisik membuat mereka bertiga melompat. Setelah
beberapa detik, Corky baru sadar bahwa bunyi itu berasal dari tong
sampah yang jatuh terempas angin.
"Ayo kita panggil rohnya," kata Debra dengan nada mendesak.
Ia mengambil sebuah lilin merah panjang dari lantai di sebelahnya dan
mendekatkannya ke api lilin lain untuk menyalakannya. "Kalau roh
jahat itu kembali, kita perlu roh yang akan membantu kita
melawannya." "Bagaimana kau tahu ini akan berhasil?" tanya Corky.
"Buku ini sangat tua," sahut Debra. "Pemilik toko tadinya tidak
mau menjualnya kepadaku. Katanya mungkin bisa berbahaya."
"Mungkin itu hanya alasan untuk menaikkan harga bukunya,"
kata Corky. "Mungkin saja dia berkata jujur," balas Debra bersungguhsungguh. Ia memberi isyarat pada Corky untuk mendekat ke lilin-lilin.
Aku benar-benar tidak suka ini, pikir Corky. Ini sangat
menakutkan. Tapi ia mengikuti petunjuk Kimmy, berlutut dan
mencondongkan badan ke lilin-lilin. Begitu dekat hingga dapat
merasakan panasnya. la mendengarkan senandung Debra yang lirih.
"Datanglah, wahai roh," Debra bergumam sambil menggerakgerakkan lilinnya perlahan, membentuk gerakan melingkar, berulangulang. "Datanglah, wahai roh, kerjakan perintah kami."
Corky mencondongkan badan dan mendekat. Cahaya lilin
menari-nari saat Debra mulai bersenandung lirih dalam bahasa yang
belum pernah didengar Corky. Debra berulang kali melantunkan kata
demi kata sambil membaca buku.
Sambil bersenandung, Debra mengangkat kepala lalu
memandang Corky dan Kimmy. "Ikuti aku," ujarnya memberi
perintah. Ketiga gadis itu mencondongkan badan ke arah lidah-lidah api
dan bersenandung serempak.
Corky berhenti bersenandung saat ia mendengar bunyi langkah
kaki yang berdentam-dentam. Pelan tapi stabil dari arah ruang tamu.
Ia dan Kimmy bertukar pandang.
Debra mengisyaratkan agar mereka terus bersenandung.
Suara mereka bertambah lirih saat bunyi langkah kaki itu makin
mendekat. Corky menengadah dan melihat lukisan-lukisan di dinding
ruangan itu mulai bergoyang-goyang. Suara gemuruh yang ringan
bersaing dengan bunyi langkah kaki yang berdentam-dentam. Dinding
tampak bergetar. Sebuah patung Cina di atas lemari terguncangguncang dan hampir terempas ke lantai.
"Berhasil!" bisik Debra dengan gembira. Matanya bersinarsinar dari balik cahaya lilin yang menari-nari.
Tenggorokan Corky seakan-akan tersumbat, tapi ia memaksa
dirinya untuk terus bersenandung. Suara mereka sekonyong-konyong
terdengar lirih di antara bunyi gemuruh di sekitar mereka.
Dinding bergoyang-goyang. Lantai bergetar hebat.
Seluruh ruangan bergoyang-goyang! Corky menyadari. Ia
memaksa dirinya untuk terus mengulangi kata-kata aneh itu.
Bunyi langkah kaki makin mendekat.
Corky mengangkat kepala dan memandang pintu masuk. Ia
dapat mendengar seseorang mendekat.
Tapi tidak ada seorang pun di sana.
Tak ada. Dinding bergetar hebat. Lantai bergoyang-goyang. Sebuah
lukisan jatuh dari dinding dengan suara gaduh.
"Si"siapa di situ?" teriak Corky.
Ia merasakan embusan angin dingin menerpanya. Bau apak
memenuhi ruangan. Dan semua lilin padam seketika.
Bab 7 KECELAKAAN DI RUANG OLAHRAGA
CORKY bernapas dengan susah payah. Bau apak itu
membuatnya tersedak. Ruangan yang gelap itu terasa dingin
mencekam. Kimmy mendesah. Corky berkedip saat lampu menyala. Ternyata Debra yang
bangkit dan menyalakan sebuah lampu meja.
"Wahai roh, datanglah!" Debra berseru sambil memandang
berkeliling. Corky menoleh ke pintu masuk. Tidak ada orang di sana.
"Hentikan! Hentikan!" Kimmy berteriak histeris sambil
melonjak-lonjak. Wajahnya merah padam. Rambutnya acak-acakan.
"Tolong hentikan, Debra! Aku takut sekali!"
"Rohnya telah pergi," jawab Debra dengan tenang. "Tadi aku
Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat merasakan kehadirannya di ruangan ini. Tapi sekarang dia telah
pergi." "Sulit dipercaya!" seru Corky sambil berdiri. Kakinya terasa
lemah dan gemetar. "Kita benar-benar berhasil memanggil roh!"
Ruangan itu sudah tidak bergoyang-goyang. Yang masih tersisa
hanyalah embusan udara dingin yang lembap.
Kimmy menghela napas. "Sori, jeritanku tadi agak keterlaluan,"
cetusnya sambil mengusap rambutnya dengan kedua tangan. "Ak"
aku takut sekali tadi."
"Aku juga," Corky mengakui. Ia menunduk dan memperhatikan
lingkaran asap yang timbul dari lilin-lilin yang padam. "Aku takut
setengah mati." "Ada sesuatu yang datang ke ruangan ini tadi," Debra berkata
dengan ketenangan yang mengagumkan. "Kalau tadi kita tidak panik,
dia pasti masih di sini. Tidak akan menghilang. Kembali ke tempat
asalnya." "Singkirkan buku ini!" Kimmy berkata dengan tegas. Ia meraih
buku besar itu dan menyodorkannya pada Debra. "Sembunyikan.
Pemilik toko buku itu benar. Buku ini terlalu berbahaya."
"Kita harus melupakan senandung dan mantra gaibnya," kata
Corky dengan nada mendesak. Napasnya mulai teratur. "Kita harus
melupakan semua itu dan kembali hidup normal."
Debra tertawa getir. Mata dinginnya menatap Corky dengan
tajam. "Normal" Setelah semua yang terjadi di sini?"
"Corky benar," kata Kimmy berapi-api. "Sembunyikan buku itu,
Debra. Jangan cari-cari masalah deh."
"Oke, oke." Debra memutar-mutar bola matanya. "Kalian
menang. Buku itu akan kusimpan di kamarku. Untuk berjaga-jaga,
kalau-kalau kita menghadapi masalah di kemudian hari."
Corky dan Kimmy mendesah lega.
Mereka tidak tahu masalah akan segera timbul.
********************* Tigers claw! Tigers ROAR! Send the hall down the floor"
Two points MORE! Ivy Blake menyelesaikan sorakannya dengan bersalto ke depan,
lalu mendarat di atas kedua kaki. Kemudian ia berlari dan bertepuk
tangan keras-keras. Rambutnya yang panjang melambai-lambai.
Corky dan Kimmy memperhatikan dari baris terbawah tribun,
sambil mencoret-coret kertas di clipboard mereka. "Dia bagus," cetus
Corky sambil mengawasi Ivy yang berlari-lari kecil menuju para calon
anggota baru cheerleader yang lain.
"Aku suka dia," Kimmy membenarkan. "Dia tampak tangguh.
Atletis sekali." Ivy memang berbadan besar, Corky mengamati. Jangkung dan
atletis. Wajahnya yang impresif dibingkai dengan rambut panjang
berombak berwarna cokelat diselingi garis-garis pirang. Ia memakai
lipstik merah jambu manyala.
"Jadi pilihan kita sudah dipersempit sampai tiga unggulan," ujar
Kimmy sambil mengamati clipboard-nya. Ms. Closter sedang
menghadiri rapat guru di lantai tiga. Sebagai wakil kapten, pilihan
pengganti Hannah diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan Corky
dan Kimmy. Corky mengangguk. Ia mulai mengatakan sesuatu tentang Ivy.
Tapi seorang pria tiba-tiba menyela.
"Hei, cewek-cewek"menyingkirlah dari tribun! Kalian tidak
lihat kami sedang bekerja di sini?"
Corky berpaling dan melihat dua pria berpakaian tukang
berwarna biru di puncak tribun. Mereka sedang sibuk melapisi
bangku-bangku kayu dengan bingkai logam.
"Sori!" Corky berseru kepada mereka. Ia dan Kimmy kembali
membicarakan calon-calon anggota baru dengan suara pelan. Mereka
berjalan melewati ruang olahraga menuju sekumpulan gadis.
"Kalian semua hebat-hebat!" kata Corky kepada mereka. Ia
dapat melihat ketegangan tercermin di wajah-wajah mereka.
Kelihatannya hanya Ivy yang tampak tenang. Ia menyapukan
pelembap bibir berwarna merah jambu sementara Corky berbicara.
"Kami telah memilih tiga finalis," Corky memberitahu mereka.
Ia memandang clipboard-nya. "Ivy Blake, Lauren Wilson, dan
Rochelle Drexler." "Kami mengucapkan terima kasih pada kalian semua karena
sudah mengikuti seleksi ini," ujar Kimmy. "Kalian semua luar biasa.
Ini pilihan yang sulit."
Ia berpaling kepada Ivy, Lauren, dan Rochelle. "Dan kalian
bertiga tetap di sini," ucap Kimmy. "Yang lain bisa mengambil
barang-barang kalian dan pulang. Sekali lagi terima kasih sudah
mengikuti seleksi." Beberapa gadis menggerutu karena kecewa. Corky dan Kimmy
tinggal sebentar untuk menyalami ketiga finalis itu. Yang lain
bergegas ke dinding untuk mengambil mantel dan ransel mereka.
Corky mengawasi mereka keluar dari ruang olahraga, lalu
berpaling kepada Ivy, Lauren, dan Rochelle. "Aku berharap bisa
memilih kalian bertiga," ujarnya. "Sayangnya kami hanya butuh satu
pengganti." "Bisakah kalian menunggu di sana?" tanya Kimmy sambil
menunjuk ke arah tribun. "Aku dan Corky perlu waktu sebentar. Kami
hampir mendapatkan keputusan final. Tapi mungkin kami akan
meminta kalian untuk melakukan sorakan yang lain kalau masih ada
waktu." "Jangan berdiri terlalu dekat tribun," Corky memperingatkan.
"Ada tukang-tukang yang sedang bekerja di atas."
Lauren dan Rochelle berjalan sambil mengobrol dengan
gembira. Ivy mengikuti di belakang mereka sambil menyibakkan
rambut panjangnya yang cokelat-pirang.
Corky dan Kimmy masuk ke ruang kerja Ms. Closter yang kecil
di pojok ruang olahraga. Kimmy menyalakan lampu. Corky duduk di
pinggir meja Ms. Closter yang berantakan sementara Kimmy
bersandar pada pintu. Dari balik jendela yang besar, Corky memandang ke arah tiga
gadis yang sedang menunggu keputusan dengan canggung di dekat
tribun. "Mereka semua punya kelebihan dan kekurangan," cetus
Kimmy. "Mereka bertiga pernah mengikuti seleksi sebelumnya dan
hampir membentuk regu. Lauren dulunya tinggal di sebelah rumahku
sebelum keluarganya pindah ke North Hills. Dia dan Ivy bersahabat
karib." Corky memperhatikan Lauren Wilson. Anak itu jangkung dan
anggun, kulitnya putih susu dan pucat. Rambut pirangnya yang lurus
diikat ke belakang membentuk kucir kuda yang kecil. Ia memakai
sweter abu-abu panjang dan legging biru.
"Lompatan Lauren bagus," Corky berkomentar. "Tapi suaranya
terlalu lembut." Kimmy mengangguk. "Yeah. Suara Rochelle yang paling
bagus. Bisa terdengar dari jarak dua blok!"
Rochelle Drexler mengenakan sweter gombrong warna merah
tua. Ia juga memakai topi pet Shadyside Tigers warna merah tua dan
putih, yang menutupi rambut panjangnya yang pirang keputihan.
Wajahnya cantik memesona dengan hidung kecil yang mancung dan
mata biru yang bulat. "Gerakan-gerakan Rochelle mengagumkan," Kimmy
melanjutkan sambil memeriksa clipboard-nya. "Lompatan elang
terbangnya paling tinggi dan gerakan split-nya amat anggun."
"Menurutku antara Rochelle dan Ivy," kata Corky sambil
berpikir-pikir. Ia mengawasi ketiganya dari balik jendela. Lauren
sedang mencoba topi pet Rochelle, memutarnya ke belakang, lalu ke
depan. Rochelle duduk sambil mencondongkan badan, kakinya
disilangkan di lantai. Rambutnya menutupi wajahnya sampai
menyentuh lantai. Ia sedang menyikat rambutnya dengan semangat.
Tapi di mana Ivy" Apakah ia sedang berjalan-jalan"
"Ivy sangat bagus," sahut Kimmy. "Lebih bagus daripada
Lauren. Tapi dia tidak seanggun Rochelle. Dan suara Rochelle masih
lebih bagus. Dan juga lebih bersemangat."
"Jadi kita pilih Rochelle?" tanya Corky.
"Yeah, kurasa?" Kimmy mulai berucap.
Corky menyela dengan seruan kaget. "Hei!" Ia melompat dari
meja dan membuka pintu. Kimmy melangkah ke samping"dan tampaklah Ivy berdiri di
belakangnya, tepat di luar ruangan.
"Ivy"sudah berapa lama kau berdiri di sini?" tanya Corky
dengan nada tajam. "Kau menguping, ya?"
Bibir Ivy yang berwarna merah jambu membulat karena
terkejut. Warna merah menjalari wajahnya sampai pipinya tampak
lebih merah daripada bibirnya. "Tidak. Enak saja!" ia memprotes.
"Kaudengar apa yang kami bicarakan?" tanya Kimmy dengan
nada melengking. Ivy menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak. Sungguh, Kimmy,
aku tidak mendengar satu kata pun. Sumpah." Ia mengangkat tangan
kanannya seperti sedang bersumpah.
"Lalu kenapa kau bersembunyi di balik pintu?" tanya Corky.
"Aku tidak bersembunyi!" tandas Ivy. Wajahnya masih bersemu
merah. "Aku hanya ingin menanyakan masih berapa lama lagi kalian
mengambil keputusan. Aku harus les tenis, dan ibuku sedang
menunggu di mobil." "Kami sudah hampir selesai berunding," kata Kimmy.
"Kembalilah bergabung dengan kedua temanmu. Kami akan segera
menyusul." Ivy berbalik dan berjalan perlahan menuju tribun. Kimmy
berpaling kepada Corky. "Kaupikir dia mendengar kata-kata kita?"
"Tak jadi masalah," balas Corky sambil mengangkat bahu.
"Kita sudah mengambil keputusan, kan" Urutannya adalah Rochelle,
Ivy, Lauren"satu, dua, tiga."
"Sip," Kimmy setuju. "Ayo kita umumkan."
Mereka melangkah keluar dari ruang kerja Ms. Closter dan
berjalan ke arah tribun. Corky berhenti dan mencengkeram lengan Kimmy saat ia
mendengar teriakan seorang pria. "Hei"awas!"
Lalu suara jeritan seorang gadis.
Lalu suara pria lain yang mengerang keras, "Tidaaak!"
Corky dan Kimmy berlari kencang.
Lauren menjerit-jerit histeris. Topi pet merah tua dan putih
terlepas dari tangannya. Corky melihat Ivy menempelkan kedua tangannya ke pipi.
Mulutnya yang merah jambu menganga karena shock.
"Ada apa" Apa yang terjadi?" teriak Corky.
Lalu matanya tertumbuk pada Rochelle. Gadis itu masih
bersilang kaki di lantai. Masih membungkuk dengan rambut menutupi
wajah. "Ohhh!" suara Corky melengking ketakutan ketika ia melihat
darah segar mengucur bagaikan air mancur dari leher Rochelle.
Ia melihat darah itu. Dan kemudian ia melihat obeng itu.
Tertancap dalam di tengkuk Rochelle.
"Ohhh... tidak!" Corky tahu apa yang terjadi. Obeng itu jatuh
dari tribun di atas. Jatuh tegak lurus. Dan menghunjam tengkuk Rochelle.
Darah menggenang di sekitar Rochelle. Sikat rambut terlepas
dari tangannya. Tubuhnya condong ke depan sampai kepalanya
membentur lantai. Rochelle tidak bergerak. Bab 8 KEJUTAN DARI LAUREN CORKY berdiri mematung beberapa langkah di belakang
Kimmy. Ia tak dapat mempercayai penglihatannya.
"Panggil dokter! Panggil dokter!" jerit Lauren sambil berlutut di
sebelah Rochelle. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Tapi dia sudah meninggal!" Ivy mengerang. Ia terisak-isak.
"Belum. Dia belum meninggal! Cepat panggil dokter!" seru
Lauren sambil membalikkan tubuh Rochelle yang tak bergerak.
"Ada apa ini?" Ms. Closter masuk ke ruang olahraga dengan
tergopoh-gopoh. Ia menggeser bukunya ke samping saat melihat
tubuh Rochelle yang tertelungkup di lantai. "Darahnya banyak sekali!
Dia jatuh?" Pelatih cheerleader itu terpekik kaget saat ia mendekat dan
melihat obeng yang tertancap di leher Rochelle.
Kedua tukang tadi menghampiri Ms. Closter. "Benda itu
terlepas dari tanganku!" salah satu dari mereka berseru dengan suara
gemetar. "Aku tak tahu apa yang terjadi. Aku memegangnya erat-erat.
Tapi tiba-tiba terlepas begitu saja!"
"Corky! Kimmy! Pergi!" Ms. Closter berteriak sambil
menunjuk-nunjuk ruang kerjanya dengan kalang kabut. "Panggil
ambulans! Cepat! Pergi!"
"Dia akan kehilangan banyak darah," gumam salah satu tukang.
Corky memalingkan wajah dari Rochelle, dan dengan tersengalsengal memaksa dirinya untuk berlari menuju ruang kerja Ms. Closter.
Saat ia berbalik, sekilas ia sempat menangkap ekspresi aneh di
wajah Ivy. Pikiran itu terus berkecamuk di benaknya saat ia berlari.
Bukan senyuman, pikirnya.
Bukan. Bukan senyuman. Ivy tidak sedang tersenyum"ya,
kan" ********************* Petugas paramedis segera datang. Mereka menghentikan
perdarahan dan dengan sigap mengusung Rochelle dengan tandu.
Gadis itu kehilangan banyak darah, tapi masih bernapas.
Corky mengawasi dua petugas polisi yang sibuk meminta
keterangan dari para tukang. Kedua tukang itu menundukkan kepala.
Salah satu dari mereka menggerak-gerakkan tangannya,
memperagakan bagaimana obeng itu jatuh.
Dua petugas polisi yang lain naik sampai ke puncak tribun dan
memeriksa bingkai logam. Seorang polisi muda berdiri di depan pintu
dan berbicara dengan kepala sekolah, Mr. Hernandez.
Corky menyeka air mata yang membasahi pipinya dengan
lengan sweternya. Ia dan Kimmy sudah menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan para petugas. Mereka kini berdiri
berdesakan dengan tenang, bersebelahan dengan Ivy dan Lauren di
depan ruang kerja Ms. Closter.
"Ak"aku tak per caya!" Kimmy mengerang. "Beberapa menit
yang lalu Rochelle masih bersorak-sorai dan melompat-lompat.
Lalu..."' Tangisnya tercekat di tenggorokan.
"Dia akan sembuh. Aku yakin," gumam Corky.
Corky menundukkan kepala dan menatap lantai. Ia tidak mau
menangis lagi. Setelah memanggil ambulans, ia menangis tersedusedu. Setelah beberapa saat kemudian ia baru bisa menghentikan
tangisnya. Ia tahu bahwa ia bukan menangisi Rochelle. Ia tidak terlalu
kenal dengan Rochelle. Ia menangisi kakaknya, Bobbi.
Pikiran tentang mendiang kakaknya selalu terbayang-bayang di
benaknya. Bobbi juga cheerleader. Tapi dia tidak seberuntung
Rochelle. Dia mati di ruang olahraga ini. Di ruang ganti. Di bawah
pancuran. Bobbi terjebak di kamar mandi, di bawah pancuran. Entah
bagaimana, pintu-pintu terkunci dan ia terkurung di dalam. Lalu
semua pancuran menyemburkan air panas. Bobbi yang tak dapat
Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluar akhirnya mati sesak di tengah kepulan uap mendidih.
Terbunuh. Dibunuh oleh roh jahat.
Dan sekarang seorang cheerleader lain terluka karena
kecelakaan yang aneh. Makin menakutkan.
Apakah itu kecelakaan"
Corky memandang Ms. Closter. Petugas polisi masih meminta
keterangan darinya. "Saya harus menghubungi orangtua Rochelle
sekarang," ujar Ms. Closter. "Saya harus memberitahu mereka tempat
Rochelle dirawat." Kimmy memeluk badannya erat-erat. Corky melihatnya
berusaha untuk berhenti gemetar. Ivy dan Lauren berbisik-bisik
sambil bersandar pada dinding. Mata mereka merah, wajah mereka
pucat. "Gadis-gadis, kalian boleh pulang!" seru Ms. Closter sambil
melambai ke pintu. "Aku akan mengontak kalian kalau ada apa-apa."
Corky menarik napas panjang. Ia menyandang ranselnya dan
berjalan ke selasar. Ia dan Kimmy berhenti di luar pintu. Mereka
bertukar pandang dengan getir, tapi tidak ada yang bersuara.
Ivy dan Lauren mengikuti. Wajah mereka memancarkan
ekspresi bingung dan sedih.
Lauren berusaha memasukkan tangannya ke lengan jaket. Ivy
membantunya. Kemudian Ivy berpaling kepada Kimmy dan Corky. "Hmm"
ini mungkin kedengarannya kurang pantas setelah"setelah apa yang
terjadi," ia bergumam dengan ragu-ragu. "Tapi menurut kalian, apakah
kalian bisa memberitahu kami..." Ia bimbang.
Corky tidak mengerti apa yang dimaksud Ivy. "Memberitahu
apa?" tanyanya dengan suara melengking tajam.
"Ehm..." Ivy memandang Lauren. "Bisakah kalian memberitahu
kami siapa yang terpilih" Siapa yang akan menjadi anggota baru
cheerleader?" Mulut Kimmy menganga. Ia terenyak.
Wajah Ivy memerah. "Mak"maksudku, semua yang menimpa
Rochelle"memang mengerikan!" ia tergagap. "Aku sendiri masih
kacau. Masih belum bisa percaya. Tapi aku akan merasa lebih tenang
kalau mengetahuinya"maksudku, mengetahui siapa yang terpilih."
Lauren mengangguk dengan diam, tanda setuju.
Corky memandang mereka dengan tidak percaya, berusaha
untuk mengerti. Bagaimana mereka masih memikirkan soal
cheerleader itu sementara rekan mereka nyaris tewas" Bagaimana
mereka bisa begitu tak berperasaan" Corky bertanya-tanya.
Atau mereka hanya berusaha sekuat tenaga untuk kembali hidup
normal" Berusaha berpikir normal untuk mengenyahkan kejadian
menyeramkan itu dari benak mereka"
Corky memandang Kimmy. Kimmy mengangguk.
"Ehm, kurasa Ivy-lah anggota baru tim cheerleader," Corky
memberitahu mereka. Suaranya terdengar lirih.
"Apa" Apa katamu?" tanya Lauren.
"Ivy," Corky mengulangi sambil mencoba mengeraskan
suaranya. "Cheerleader baru adalah Ivy."
Senyum senang terulas di bibir merah jambu Ivy.
Dagu Lauren bergetar dan lubang hidungnya kembang-kempis
karena marah. "Ini tidak adil, Corky!" ia berteriak. "Sungguh. Ini tidak
adil!" "Tenang, Lauren...," Corky angkat bicara.
"Tak usah munafik!" Lauren menyemburkan kemarahannya
pada Corky. "Aku tahu kenapa kau tidak memilihku. Aku tahu
alasannya. Ini pasti karena aku dan Alex!"
Bab 9 BUM! "PERTAMA Hannah, lalu Rochelle," Debra bergumam sambil
mengerutkan kening. Ia duduk sambil melipat kakinya di sofa.
"Jangan ungkit-ungkit lagi deh," Corky memohon. Ia duduk
merosot di lengan sofa yang berjauhan dengan Debra. Ia mengangkat
sebelah kaki dan memperhatikan jari kakinya yang mengintip dari
sela-sela lubang di kaus kaki putihnya.
"Apakah kau merasakan kehadiran roh jahat?" tanya Debra
tanpa memedulikan permohonan Corky.
"Itu kecelakaan," Corky berkeras. "Kecelakaan tragis yang tak
disangka-sangka. Ak" aku kasihan pada Rochelle. Dia mungkin tak
dapat masuk sekolah selama berminggu-minggu."
Mereka duduk di ruang tamu rumah Corky. Cahaya matahari
siang yang keemasan menyeruak masuk ke jendela depan. Di luar
salju mulai mencair. "Kaupikir roh jahat itu tidak kembali?" Debra terus bertanya.
Matanya yang berwarna biru langit menatap Corky.
Corky menggelengkan kepala. "Terlalu seram untuk dipikirkan.
Please"kita tak usah mengulas kejadian kemarin. Ngobrol yang lain
saja." "Kira-kira berapa lama, ya, mereka akan menutup ruang
olahraga?" kata Debra sambil memain-mainkan pinggiran bantalnya.
"Bagaimana kita bisa berlatih untuk turnamen?"
"Kemungkinan hanya ditutup untuk hari ini," jawab Corky. Ia
meneguk coke dari kaleng yang dipegangnya. "Polisi kan harus
melakukan tugasnya."
"Mereka punya penasihat di sekolah," Debra menambahkan.
"Untuk anak-anak yang ingin berkomentar tentang kecelakaan itu.
Kau tahu, kan" Untuk mengemukakan perasaan mereka." Ia
menjatuhkan bantal itu ke pangkuannya. "Mau coba" Kau
kelihatannya sangat tertekan."
Corky menghela napas. "Kupikir aku tak perlu berbicara dengan
penasihat," balasnya sambil meremas kaleng coke. "Aku perlu
berbicara dengan Alex. Aku masih tak bisa mempercayai semua yang
dikatakan Lauren! Aku tak percaya Alex?"
"Lauren hanya berusaha mengatakan hal terkeji yang dapat dia
pikirkan," kata Debra sambil mengusap rambut pirangnya yang
pendek. "Dia kecewa karena Ivy yang terpilih. Jadi dia mengatakan
hal pertama yang terlintas di benaknya."
"Apa mungkin?" Corky menurunkan kaleng coke ke
pangkuannya sambil berpikir-pikir. "Aku tak tahu, Debra. Lauren dan
Ivy sudah bersahabat bertahun-tahun. Kupikir apa mungkin Lauren
marah pada Ivy?" "Dia marah padamu"bukan pada Ivy," sahut Debra.
Telepon berdering. Corky melompat, hampir menumpahkan
coke-nya. "Mungkin itu Alex. Aku meneleponnya dua belas kali dan
meninggalkan dua belas pesan agar dia meneleponku!"
Corky bergegas menuju dapur dan menyambar gagang telepon.
"Halo?" ucapnya dengan terengah-engah.
"Hai. Ini aku!"
"Alex"ke mana saja kau?" teriak Corky. Ia berusaha menjaga
suaranya agar tak terdengar panik.
"Uh"ada yang harus kukerjakan. Bagaimana kabarmu, Corky"
Kau baik-baik saja" Aku sudah dengar kejadian seusai sekolah
kemarin. Tentang Rochelle."
"Ak"aku baik-baik saja," jawab Corky ragu-ragu. Ia menarik
napas dalam-dalam. "Dengar, Alex, ada yang ingin kutanyakan
padamu. Aku langsung saja, oke?"
Alex bimbang. "Yeah. Oke. Masalah apa?"
"Ada hubungan apa antara kau dan Lauren?" Corky langsung ke
titik sasaran. "Hah" Lauren?" Corky tak dapat menebak apakah Alex benarbenar bingung atau hanya mengulur-ulur waktu.
"Yeah. Kau dan Lauren," tandas gadis itu. "Lauren bilang kau
dan dia?" "Wah!" Alex menyela. "Kalau dia bilang kami pergi berkencan
atau semacamnya, itu bohong."
"Kau tidak kencan dengan Lauren?" tanya Corky. "Jadi apa
yang kaulakukan"tinggal bersamanya?"
Alex melepaskan tawa yang terdengar agak dipaksakan. "Tidak.
Tentu saja tidak, Corky. Minggu lalu aku membantunya mengerjakan
tugas. Hanya itu. Mungkin dia beranggapan lain."
"Mungkin...," balas Corky. "Dengar, Alex, kau mau datang
malam ini" Kita bisa belajar bersama. Mungkin kau bisa membantuku
mengerjakan tugas." "Sori," jawab Alex ragu-ragu. "Aku tak bisa. Aku"uh"malam
ini aku tak bisa, Corky."
Tak dapatkah Alex memberi alasan" Corky bertanya-tanya.
Alasan yang konyol masih lebih baik daripada tak ada alasan sama
sekali. Mereka berbicara hanya selama beberapa detik lagi, lalu
mengakhiri pembicaraan. Setelah meletakkan gagang telepon, Corky
masuk ke dapur. Alex tidak mengatakan yang sejujurnya, pikirnya
sedih. Jelas-jelas ada yang tidak beres.
Saat kembali ke ruang tamu, Corky terkejut karena menemukan
Naomi di sana. Masih memakai jaket skinya yang berwarna biru dan
merah, Naomi duduk di kursi Corky dan berbicara kepada Debra
dengan berapi-api. "Kalau kita tak bisa berlatih, kita tak dapat melakukan gerakan
tongkat berapi," kata Naomi. "Kita perlu kerja keras"terutama
dengan adanya anggota baru dalam regu kita."
Kedua gadis itu mengangkat kepala dan memandang Corky saat
ia masuk ke ruang tamu. "Naomi, aku tak tahu kau datang," cetus
Corky. "Apa kabar" Baik?" tanya Naomi. "Kimmy bilang kau dan
Debra ada di sini, jadi aku?"
"Mau diet coke atau yang lain?" Corky menawarkan. "Buka saja
jaketmu." Naomi membuka ritsleting jaketnya, tapi tidak melepaskannya.
Sinar matahari sore yang pucat menyeruak masuk ke jendela dan
membuat rambutnya yang merah terang bercahaya. "Kau sudah
dengar kabar tentang Lauren?"
Corky bersandar pada lengan sofa. "Hah" Memangnya ada apa
dengannya?" "Dia menghadap Ms. Closter dan minta agar dijadikan
cadangan," jawab Naomi.
"Cadangan" Kita kan tak pernah punya cadangan."
Naomi mengangguk. "Aku tahu. Tapi Ms. Closter setuju.
Lauren jadi anggota ketujuh dalam tim kita. Dia mengatakan pada Ms.
Closter bahwa dia akan datang tiap latihan dan mempelajari semua
gerakan. Hanya untuk berjaga-jaga?"
"Berjaga-jaga apa?" tanya Corky.
"Berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan
terhadap kita," sahut Naomi pelan-pelan. "Jadi Lauren siap
menggantikannya." "Apa lagi yang bisa terjadi?" seru Debra sambil memutar-mutar
bola matanya. "Lauren bilang itu ide Ivy," Naomi mengemukakan.
Corky menggelengkan kepala. "Yah, baiklah," cetusnya. "Kalau
jadi cadangan bisa membuat Lauren senang"okelah. Tapi Debra
benar. Yang terburuk sudah terjadi. Tak ada lagi yang akan terjadi
pada kita. Setuju?" "Setuju," Debra dan Naomi menjawab serempak.
******************** A tisket, a tasket We want a BASKET! A tisket, a tasket" "Aduh!" Heather menjerit. "Berhenti!"
Cheerleader yang lain mendarat dengan keras, masih bersoraksorai.
Heather memisahkan diri dari barisan dengan terpincangpincang sambil memegang betis kirinya. "Aw! Aduh!" ia mengerang.
"Heather"ada apa?" Ms. Closter bergegas mendekatinya.
"Kakiku kram," Heather mengerang. Ia membungkuk dan
memijat-mijat betisnya. "Nah, sekarang terasa lebih baik." Ia
menggoyangkan kepala. "Sakitnya bukan main!"
"Perlukah aku menggantikannya?" tanya Lauren dari garis
samping lapangan. "Tak perlu," jawab Ms. Closter. "Kau sudah cukup hafal
gerakan-gerakan ini. Aku ingin mengecek apakah meriam-meriam
konfeti" untuk menembakkan serpihan kertas warna-warni"dapat
bekerja." Corky melirik ke jam yang terpasang di dinding ruang olahraga.
Pukul delapan lewat dua puluh menit. Kamis malam. Para cheerleader
jarang berlatih pada malam hari. Tapi Ms. Closter meminta mereka
berlatih karena turnamen tinggal beberapa hari lagi. Juga karena acara
pembukaan turnamen akan dilangsungkan besok, hari terakhir sekolah
sebelum liburan musim dingin.
Corky tersenyum ketika Heather mengacungkan jempolnya dan
kembali ke rekan-rekannya. Latihan ini dimulai dengan lambat.
Kurasa semua orang masih tak merasa nyaman kembali ke
ruang olahraga, Corky berkata dalam hati. Setiap kali kami menoleh
ke tribun, kami selalu teringat pada kecelakaan mengenaskan yang
menimpa Rochelle. Tapi setelah melakukan pemanasan dengan gerakan aerobik
yang diikuti dengan gerakan roda berputar dua kali dan sorak-sorai,
gadis-gadis itu terlihat sangat bersemangat.
"Ivy cepat belajar," Kimmy berbisik kepada Corky. "Dia malah
lebih hafal gerakan-gerakannya daripada Naomi."
"Yeah. Dia bagus," Corky membenarkan.
Lauren juga berlatih bersama-sama para cheerleader. Ia berada
di barisan akhir. Ia memperhatikan yang lain dengan serius. Ia
mencoba mengikuti gerakan-gerakan dan melafalkan kata-kata dengan
benar. Ia dan Corky sama-sama menghindari bertatapan mata. Corky
masih tidak dapat melupakan apa yang telah dikatakan Lauren tentang
Alex. "Corky" Kimmy" Tolong bantu aku," Ms. Closter memberi
perintah. Mereka bertiga mendorong meriam-meriam konfeti ke
tengah ruang olahraga dan mengarahkan moncong meriam-meriam itu
ke arah tribun yang kosong.
"Mudah-mudahan bekerja," gumam Ms. Closter. "Kita
meminjamnya dari college. Mereka selalu menggunakannya di setiap
acara pembukaan." Para cheerleader berkerumun di sekitar Ms. Closter yang
sedang menjelaskan cara kerja meriam-meriam tersebut. "Semua
sudah diisi," ia memberitahu mereka. "Penuh dengan serpihan kertas
warna-warni. Kalian hanya tinggal mengarahkannya ke tribun,
menarik talinya, dan"bum! Serpihan kertas warna-warni akan
menghujani penonton."
"Kita tidak akan menembakkannya malam ini, kan?" tanya
Naomi. "Kita harus mencobanya," jawab Ms. Closter. "Untuk
meyakinkan bahwa meriam-meriam ini bekerja. Meriam-meriamnya
hanya setengah diisi. Penjaga gedung akan membersihkannya besok
pagi dan mengisinya kembali penuh-penuh."
Ms. Closter mungkin sudah menjanjikan tiket gratis kepada
penjaga gedung untuk menonton turnamen nanti, pikir Corky. Pria itu
tidak pernah mau melakukan sesuatu secara cuma-cuma.
"Sekarang aku mau tiga gadis melakukan gerakan handspring
dan tiga gadis lainnya memegang meriam-meriam," Ms. Closter
memberi instruksi. Ia menunjuk ke tiga gadis"Kimmy, Debra, dan
Ivy. "Kalian melakukan gerakan handspring. Yang lain memegang
meriam-meriam."ebukulawas.blogspot.com
Corky mendengar suara-suara gerutuan bernada kecewa. Semua
Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang ingin menembakkan meriam.
"Sekarang kita akan mulai dengan sorakan Hoop," lanjut Ms.
Closter. "Lakukan dua kali. Lalu jangan lakukan gerakan penutup
yang biasa, tapi langsung gerakan handspring. Tarik sumbunya segera
setelah mereka menyelesaikan gerakan handspring. Serpihan kertas
warna-warni akan langsung terlontar."
"Ini sulit!" Debra memprotes. "Maksudku, waktunya?"
"Tunggu! Jangan ada yang bergerak!" teriak Naomi. "Lensa
kontakku ada yang jatuh! Jangan bergerak!"
Semua orang mengerang. Lensa kontak Naomi selalu saja
terlepas! "Itu dia. Tepat di sebelah sepatu ketsmu," Lauren memberitahu
Naomi sambil menunjuk lantai.
"Hei"trims!" Naomi membungkuk dan mengambil lensa
kontaknya. "Matamu jeli!" ia berjuang untuk memasangnya kembali.
"Aku sungguh-sungguh perlu membeli yang baru nih. Yang ini
kelihatannya tidak cocok."
"Ayo kita coba atur waktunya supaya pas," kata Ms. Closter
sambil mengempaskan kalung peluitnya ke belakang bahu. "Ini tidak
sesulit kedengarannya kok. Hanya masalah ketepatan menarik tali
begitu sorak-sorai berakhir."
Corky berpaling ketika ia mendengar suara bernada marah di
belakangnya. Dilihatnya Ivy dan Heather sedang bertengkar mulut.
"Bagaimana aku bisa?" kata Heather. "Kakiku kan masih sakit garagara kram."
Kimmy beringsut-ingsut melangkah di antara mereka. "Kenapa,
Heather?" "Rasanya aku yang harus memegang meriam," tukas Ivy
sebelum Heather mulai menjawab. "Gerakan handspring-ku tidak
begitu bagus. Nanti aku kelihatan konyol."
Heather menggeleng-gelengkan kepala. "Tak bisa, Ivy. Aku
sungguh-sungguh ingin menembakkan meriam. Sori, tapi?"
Ivy angkat tangan dan mengerang putus asa. "Oke, oke.
Terserah!" teriaknya gusar. Ia menyingkir dari hadapan Heather.
Anak itu cepat naik darah, pikir Corky. Ia terkejut melihat Ivy
yang meledak-ledak. Ivy anggota baru, kata Corky dalam hati sambil memperhatikan
ekspresi geram di wajah Ivy. Mana bisa dia memberi kesan baik bila
bertingkah seperti orang gila hanya karena masalah sepele.
"Sudah siap?" tanya Ms. Closter hati-hati sambil melirik jam
pada papan pencatat skor. Pelatih mereka memang tak pernah ikut
campur dalam pertengkaran-pertengkaran semacam ini. Ms. Closter
membiarkan para cheerleader membereskan masalah pribadi masingmasing. "Ini sudah larut malam. Aku tahu, masih ada PR yang harus
kalian kerjakan." "Semuanya berbaris!" Kimmy berseru.
"Kita melakukan sorakan Hoop seperti biasa?" tanya Debra.
Ms. Closter mengangguk. "Tak ada perubahan. Hanya bagian
penutupnya. Tiga gadis yang sudah ditunjuk melakukan gerakan
handspring dari kanan ke kiri di depan meriam-meriam. Saat mereka
selesai, meriam-meriam yang ditembakkan akan melontarkan serpihan
kertas warna-warni."
Masih ada pertanyaan-pertanyaan lagi. Sebagian besar berkisar
tentang masalah waktu. Lalu Ms. Closter membantu posisi Corky,
Heather, dan Naomi. "Pegang sumbunya erat-erat sebagai persiapan."
Corky memandang ke barisan cheerleader. Semuanya tampak
sudah siap. Ia senang melihat Ivy sudah mengembangkan senyum.
Wajahnya kelihatan berseri-seri.
Kimmy memberi aba-aba, dan mereka mulai bersorak-sorai:
Hoop"there it is! Hoop"there it is TWO points! Kemudian mereka memperagakan gerakan handspring dipimpin
oleh Kimmy. Corky menarik sumbu meriamnya kuat-kuat dan menembakkan
meriamnya. Ia memandang berkeliling untuk mencari tahu keberhasilan
rekan-rekannya. Ia berpaling tepat saat meriam Heather meledak sebelum
waktunya. Meriam itu meledak dengan bunyi gemuruh yang menggetarkan
ruang olahraga. Heather terlambat bereaksi.
Ledakan itu menggetarkan kepalanya. Tangannya terkulai tak
berdaya, dan ia terpental ke belakang.
Ia terjengkang keras ke lantai dan tidak bergerak.
Bab10 IVY SI BIANG KELADI"
CORKY yang pertama kali menghampiri Heather. Ia
menjatuhkan diri di sebelah gadis malang itu dan memegang
tangannya. "Heather"kau baik-baik saja" Kau dengar aku" Heather?"
Corky berteriak. Cheerleader yang lain berdesakan mengelilingi mereka. Ms.
Closter menyeruak dari lingkaran. Wajahnya tegang. "Mundur! Beri
dia ruang untuk bernapas!"
Perlahan-lahan Heather membuka matanya. Ia menatap Corky
dan mengejap-ngejapkan mata dengan ekspresi bingung. "Hah?"
ucapnya sambil memandang Corky dengan tatapan kosong seolaholah tidak mengenalinya.
Ms. Closter menghalau Corky. Ia membungkuk di atas Heather
dan mulai menanyainya, "Kau tahu namamu" Kau ingat aku" Berapa
umurmu" Apa nama sekolah ini?"
Heather menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan lancar.
Kemudian ia mengerang dan berusaha duduk. Ia menyentuh pipinya
yang kemerahan. "Aduh!"
"Bubuk mesiu," kata Ms. Closter lirih. "Meriammu meledak."
Pelatih cheerleader itu membantu Heather berdiri. Heather
mengusap rambutnya, lalu memijat-mijat tengkuknya. "Ak"aku baikbaik saja," ujarnya ragu-ragu. "Rasanya tadi aku takut sekali."
Rasanya kami semua takut sekarang, pikir Corky dengan
muram. *********************** Latihan kali itu berakhir beberapa menit kemudian. Corky
bergegas menuju mobilnya yang diparkir di pelataran parkir murid. Ia
ingin secepatnya menyingkir"menyingkir dari semua orang, dan
mencari tempat untuk berpikir dengan tenang.
Ia menarik pintu mobilnya dan mulai masuk. Tapi Kimmy dan
Debra berlari-lari ke arahnya. "Hei, Corky"tunggu! Kita harus
bicara!" seru Kimmy.
Langit tampak jernih di malam yang dingin. Bulan pucat
menggantung rendah di balik pepohonan yang gundul. Angin
berembus tenang. Di pinggir pelataran, Corky melihat seekor kucing
hitam menyusup ke bawah pagar kawat.
"Aku tahu yang hendak kalian bicarakan," kata Corky kepada
dua temannya itu. Ia duduk di kursi pengemudi, sebelah kakinya
masih berpijak di tanah. Kimmy dan Debra berdesakan di pintu mobil
yang terbuka. "Kita harus membicarakannya," ulang Kimmy sambil terengahengah. Ia melilitkan selendang wolnya di leher. Keningnya masih
berkeringat karena baru saja keluar dari ruang olahraga yang panas.
"Kau harus menghadapi kenyataan, Corky," kata Debra dengan
berapi-api. "Aku tak mau menghadapi apa-apa," balas Corky sambil
berteriak. "Aku hanya ingin pulang dan mandi."
"Corky"kau tadi memperhatikan senyum di wajah Ivy?" tanya
Kimmy. "Kau lihat dia tersenyum saat sumbu meriam akan ditarik?"
"Benar, Kimmy...," Corky mulai berucap.
Tapi Debra menyela. "Ayo kita mulai dari awal," katanya
sambil menatap Corky dengan tajam. "Kita buat daftarnya, oke?"
Corky menghela napas. "Kelihatannya kalian tidak berniat
memberiku kesempatan untuk beristirahat."
"Corky, kau kan setuju denganku waktu kubilang roh jahat itu
kembali!" tukas Kimmy. "Sekarang kau malah tak mau
membicarakannya. Kenapa sih?"
"Kita buat daftarnya dulu," ulang Debra dengan tenang.
"Pertama: Hannah mengalami kecelakaan mobil yang mengerikan. Ini
memberikan kesempatan pada Ivy untuk bergabung dengan tim
cheerleader kita. Kedua: tadinya Ivy tidak terpilih. Dia menguping
pembicaraanmu dengan Kimmy yang sepakat memilih Rochelle. Tibatiba saja Rochelle tertimpa kecelakaan tragis dan dirawat di rumah
sakit. Dua kecelakaan yang mengenaskan"dan sekarang Ivy masuk
sebagai anggota regu."
"Debra"ini gila!" jerit Corky. la berpaling kepada Kimmy.
"Kau tidak percaya semua yang dikatakan Debra, kan" Kau tidak
percaya Ivy dirasuki roh jahat, kan" Bahkan kalau memang Ivy yang
menyebabkan semua kecelakaan itu, tak berarti roh jahat itu telah
kembali." Kimmy mengangkat bahu. "Aku tak bisa berpikir, Corky.
Biarkan Debra menyelesaikan kata-katanya."
Corky bergidik. Ia ingin menutup pintu mobilnya dan meraung
pergi. "Kita semua akan menghadapi kematian kita di sini,"
gumamnya. "Menghadapi kematian kita. Itu pasti," Debra mengulangi
dengan getir. "Hal ketiga: Lauren adalah sahabat karib Ivy, kan" Dan
Lauren ingin sekali bergabung dengan regu kita. Jadi apa yang terjadi
malam ini" Kecelakaan ketiga. Meriam meledak dan Heather nyaris
tewas. Lauren hampir jadi anggota cheerleader."
"Maksudmu, meriam yang meledak itu ulah Ivy?" tanya Corky
sambil bergidik lagi. Hawa dingin atau kata-kata Debra yang
membuatnya menggigil"
Debra mengangguk. "Kita semua kan melihat Ivy bertengkar
dengan Heather gara-gara masalah meriam. Dia pasti sudah tahu
bahwa Heather akan menolak. Lalu kita semua melihat senyum di
wajahnya sebelum sumbu meriam ditarik. Apa maksud senyum itu,
Corky" Apa?" Corky tidak menjawab. Ia merasakan gelombang kesedihan
melandanya. Mengalahkan roh jahat terlalu sulit, terlalu berbahaya,
terlalu menakutkan. Ia pernah menenggelamkannya sekali. Ia tak mau
menghadapinya lagi. "Kau belum membuktikan apa-apa, Debra," ujar Corky sambil
meraih pegangan pintu dan mengerling ke arah ban. "Kita harus
percaya bahwa semua itu cuma kecelakaan biasa. Kita harus percaya.
Kalau tidak"kalau tidak"semua ini terlalu menyeramkan!" Ia
berteriak, terkejut dengan emosinya sendiri.
"Dengar, Corky," Debra merendahkan suaranya.
"Tidak!" Corky berteriak. "Hentikan, Debra. Hentikan! Kau
ingin percaya bahwa roh jahat itu kembali. Kaupikir ini
menyenangkan dan mengagumkan! Bagi kau dan Kimmy mungkin ini
hanya permainan! Kau tidak kehilangan kakak gara-gara roh jahat!
Kau tidak kehilangan saudara yang kausayangi. Aku selalu
memikirkannya setiap hari sepanjang hidupku!"
Tetesan air mata panas berlinang dari mata Corky. Seluruh
tubuhnya gemetar. "Aku sangat merindukan Bobbi! Aku
memikirkannya setiap jam!" ujar Corky sambil terisak-isak. "Aku
memikirkan kakakku yang malang dan kematiannya yang tragis. Dan
aku tak ingin roh jahat itu kembali! Aku ingin semua itu hanya
kecelakaan biasa, Debra! Semua kecelakaan biasa!"
Wajah Debra melembut. "Sori," gumamnya.
Kimmy membungkuk dan memeluk Corky. "Maafkan aku,
Corky. Aku hanya?" "Berapa lama kita dapat mengabaikannya?" tanya Debra sambil
tetap merendahkan suaranya. "Berapa banyak kecelakaan yang bisa
terjadi, Corky" Ivy akan membuat Lauren bergabung dengan regu
kita. Aku tahu pasti. Kecelakaan berikutnya bisa saja me"menimpa
salah satu dari kita."
Debra menarik napas panjang, lalu menambahkan, "Bisa saja
menimpa dirimu." Corky terenyak sambil menatap temannya.
Kenapa Debra mengatakannya dengan cara demikian" Corky
bertanya-tanya. Kenapa kedengarannya seperti ancaman"
Bab 11 GERAKAN INDAH KETIKA mobilnya sudah mendekati rumah, Corky melihat
sebuah mobil yang sangat dikenalnya diparkir di jalan masuk
rumahnya. "Apa-apaan ini?" katanya dengan terkejut. "Mau apa lagi
Alex kemari?" Ia menemukannya di lantai ruang tamu sedang bergulat dengan
adiknya, Sean. Alex tertelungkup di karpet sambil memukul-mukul
lantai dengan satu tinjunya. Sean duduk di punggung Alex dan
memuntir sebelah lengan Alex yang lain ke belakang kuat-kuat.
"Oke! Oke! Aku menyerah!" teriak Alex dengan wajah merah.
Rambut pirangnya tampak berdiri semua.
"Tiga-dua, ya!" seru Sean dengan riang dan penuh kemenangan
sambil melompat tu-run dari punggung Alex.
Mereka berdua berpaling saat Corky melangkah ke tengah
ruangan. "Aduh, kenapa sih kau harus pulang?" teriak Sean dengan
gusar. "Aku juga senang bertemu denganmu!" balas Corky. Ia
mengempaskan mantelnya ke kursi.
Alex bangkit dan menarik ujung kemeja abu-abunya agar
menutupi celana jeans-nya yang sudah belel. Ia nyengir kepada Corky.
"Sean dan aku hanya main-main sebentar."
"Aku menang lawan dia!" Sean mengumumkan. Ia berbalik ke
pintu masuk dan memamerkan kedua otot bisepsnya. Corky tertawa
geli melihat lengan adiknya yang ceking.
"Kayaknya kalian berdua ingin aku angkat kaki nih," ujar Sean
sambil meringis. "Supaya kalian bisa asyik-asyikan."
Corky tergelak. "Dari mana kau dapat kata-kata itu?"
"Dari TV," balas Sean. Ia lalu berlari menaiki tangga dan masuk
ke kamarnya. Alex menjatuhkan diri di sofa. Ia mencoba merapikan
rambutnya dengan kedua tangan. "Bagaimana latihannya?"
"Kau takkan percaya," jawab Corky sambil memutar bola
matanya. Sambil duduk di pinggir sofa, ia bercerita tentang
kecelakaan yang menimpa Heather.
"Aneh," gumam Alex sambil geleng-geleng kepala. "Kau baikbaik saja, Corky?"
Corky mengangguk. "Aku kaget melihatmu di sini, Alex.
Bukankah seharusnya kau membantu tugas Lauren" Atau membantu
Deena Martinson mengerjakan tugas bahasa Prancisnya?"
Alex mengangkat bahu. "Kalau aku jenius, bisa tidak aku
membantu mereka?" Corky melihat pipi Alex bersemu merah. Sebelah tangannya
mengetuk-ngetuk sofa dengan gelisah. "Hmm, aku senang sekali
bertemu denganmu," Corky mengakui. Ekspresi wajahnya melembut.
"Bagaimana ceritanya sampai kau bisa ke sini?"
Alex mengangkat bahu lagi. "Hanya ingin tahu kau sedang
apa." Ia memandang berkeliling, lalu kembali menatap Corky. "Susah
rasanya duduk diam dan mengerjakan PR. Otakku mampet!
Maksudku, pikiranku terus-menerus tertuju pada turnamen."
Corky menghela napas. "Aku juga tidak sabar," ujarnya sambil
meremas kedua tangannya di pangkuan. "Tapi kecelakaan-kecelakaan
mengerikan itu..." Suaranya melemah.
"Aku mengerti," sahut Alex lembut. Tangannya masih
mengetuk-ngetuk lengan sofa. Ia duduk tak bisa diam, kakinya
menyilang dan membuka bergantian.
Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kenapa ia tampak gelisah" Corky bertanya-tanya.
"Mungkin acara pembukaan besok akan membuatmu lebih
tenang," Alex berkata.
"Mungkin," sahut Corky tanpa semangat. "Kami punya sorakan
baru yang keren. Lampu-lampu di ruang olahraga akan dipadamkan
dan Naomi akan melakukan gerakan tongkat berapi."
"Pasti hebat," ujar Alex. Ia berdeham. Pipinya tampak makin
merah. Ia kelihatan ragu-ragu, seperti sedang mengumpulkan
keberaniannya. "Corky, aku ingin mengatakan sesuatu," Alex angkat
bicara. Dada Corky berdebar kencang. Alex datang ke sini untuk
mengakhiri hubungan kami! pikir Corky menyadari.
Tega-teganya ia melakukan ini padaku! Saat menjelang
turnamen. Menjelang Natal.
Pipinya memanas. Mulutnya tiba-tiba terasa kering seperti
kapas. Ia tidak ingin hubungan mereka berakhir. Ia sungguh-sungguh
menyayangi cowok itu. "Kenapa, Alex?" Corky memaksakan diri untuk bertanya.
"Ehm, sudah dari dulu aku ingin memberitahumu," kata Alex
sambil mengetuk-ngetuk lengan sofa. "Aku"uh?"
Bel pintu berdering. Corky melompat dari sofa. "Siapa sih itu?" ia bergegas menuju
pintu depan dengan perasaan terganggu.
Ia berpaling kepada Alex. Apakah cowok itu tampak kecewa
karena belum sempat mengutarakan pikirannya" Atau malah lega"
Corky tidak bisa menebak.
Ia membuka pintu depan dan Jay menghambur masuk. Cowok
itu memakai sweter ski berkerah bermotif petak-petak merah. Sebelah
lengan sweternya digulung. Jeans baggy-nya yang belel berlubang di
kedua lututnya. Topi pet Mighty Ducks-nya disampirkan miring di
kepalanya. "Jay!" Corky terkejut.
Jay nyengir dan mendorong Corky ke ruang tamu. Lalu, tanpa
banyak bicara, ia merentangkan kedua kakinya dan mengangkat
tangan, lalu berseru lantang.
Give me a C! Give me an O! Give me an R! Give me a K! Give me a Y! What's the spell" I don't KNOW! Alex memejamkan mata dan menggelengkan kepala. Corky
tergelak. "Tadi benar tidak aku mengejanya?" tanya Jay pada Corky.
"Aku tidak bisa mengeja sebaik Alex si jenius."
"Untuk apa kau kemari?" tanya Alex.
Alex memamerkan cengiran lebarnya. "Hei"kau tahu kata
orang-orang" Dua orang jadi berteman, tiga orang jadi berpesta!"
Corky tertawa dan menjatuhkan diri di sofa. Paling tidak Alex
tidak akan mengakhiri hubungannya denganku selama Jay ada di sini,
ia berkata dalam hati. Ia memandang Alex. Tapi apa yang akan terjadi bila hanya ada aku dan Alex" pikir
Corky sedih. ********************* "Semua pasti bakal lancar!" Kimmy berteriak dengan riang di
tengah-tengah suara gemuruh dari tribun. "Semua orang sudah siap!"
Corky mengacungkan jempol dan bergegas menempatkan diri
di posisinya untuk melakukan sorakan Hoop. Ia memandang ke tribun
yang dipenuhi dengan sorak-sorai, teriakan, dan tepuk tangan yang
ditujukan kepada anak-anak Shadyside.
Ini acara pembukaan yang paling meriah! pikir Corky dengan
gembira. Bahkan pidato Mr. Hernandez yang membosankan"tentang
keharusan menjadi warga negara yang baik sepanjang turnamen
berlangsung karena membawa nama Shadyside sepanjang masa"
tidak membuat anak-anak jatuh tertidur.
Segera sesudah kepala sekolah mengakhiri pidatonya, tribun
kembali ribut. Semua anak melonjak-lonjak, tidak sabar untuk
memulai sorak-sorai dan mendukung Tigers. Saat anggota tim
diperkenalkan dan berlari-lari kecil di lantai ruang olahraga, soraksorai membahana datang dari tribun dan membuat ruangan itu
bergetar hebat. Kami tidak perlu mengajak para penonton untuk bersorak-sorai
hari ini, pikir Corky. Bakal banyak orang yang sakit tenggorokan dan bersuara serak
seusai acara pembukaan ini!
Sorak-sorai berirama rap yang baru membuat mereka jadi tak
terkendali. Tribun bergetar hebat saat semua anak bergabung.
Penonton sangat suka dengan gerakan itu sampai para cheerleader
diminta untuk mengulanginya tiga kali!
Corky sekarang melayang tinggi dalam gerakan elang
terbangnya. Setelah itu ia melompat tinggi. "A tisket, a tasket."
Mengagumkan, sedikit adrenalin bisa membuat semua ini!
Corky berkata dalam hati.
Kaki terentang. Sempurna! Sekarang mendarat dengan gerakan
split. Ya! Ia memandang ke bawah, ke barisan gadis-gadis. Semuanya
tampak cemerlang! Sekarang ia berdiri"dan mengulangi sorakan.
Sorak-sorai terdengar riuh rendah. Ruang olahraga tampak
berkilauan dan bergetar di bawah lampu-lampu yang bersinar terang.
Apakah dinding-dinding tua ini bisa menahannya" Corky bertanyatanya.
Ia membayangkan dinding-dinding runtuh dan tribun ambruk di
saat semua orang tetap berteriak dan bertepuk tangan.
Tapi bayangan mengerikan itu lenyap saat ia dan Kimmy
melakukan gerakan roda berputar dari kedua sisi lapangan.
Mereka mengakhirinya dengan bersalto ke depan. Sorak-sorai
terdengar makin meriah. Corky melihat Ms. Closter bersandar di
dinding ruang olahraga, senyum puas menghiasi wajahnya.
Dan kini klimaks penutup! pikir Corky.
Gerakan tongkat berapi! "Mari nyalakan api kemenangan!" Kimmy berteriak dari
pengeras suara. "Ini akan menutup sorakan kami di siang ini. Jadi mari
kita dengarkan! Mari kita simpan tenaga untuk keseluruhan turnamen!
Biar Tigers tahu bahwa kalian ada di belakang mereka!"
Corky berbaris di belakang Naomi untuk menerima tongkat
yang sudah dinyalakan. Ivy yang bertugas menyalakan api.
"Ini mengagumkanl" seru Naomi.
"Tak masuk akal!" teriak Heather, tepat di belakang Corky.
"Aku belum pernah melihat sekolah yang begini meriah!"
"Ayo, Tigers!" seru Corky. Ia berpaling kepada Ivy, tidak sabar
ingin memulai gerakan baru.
Sambil bersandar di dinding, Ivy mengambil sebuah tongkat
dari tiang. Ia mencelupkan salah satu ujungnya ke dalam ember berisi
minyak tanah di depannya, lalu membalikkan tongkat itu dan
mencelupkan ujungnya yang lain. Kemudian, sambil memegang
bagian tengah tongkat itu, ia menyalakan kedua ujungnya dengan
korek api plastik. Di baris pertama, Debra menerima tongkat berapi dari Ivy,
memegangnya dengan hati-hati, dan memutar-mutarnya dengan
perlahan. Bola api kembar membentuk lingkaran di udara.
Naomi yang akan menerima tongkat berapi berikutnya. Corky
menunggu dengan tidak sabar saat Ivy menyalakan tongkat
selanjutnya. Penonton menanti-nantikan dengan tenang. Lampu-lampu
padam saat Ivy menyalakan tongkat terakhir, memutar-mutarnya
dengan perlahan, dan kembali ke barisan.
Gedung olahraga jadi sunyi saat para cheerleader mengangkat
tongkat-tongkat berapi di atas kepala mereka dan memutar-mutarnya.
Corky memandang ke barisan sementara ia memutar-mutar
tongkatnya. Tongkat-tongkat itu membentuk lingkaran-lingkaran api
yang terang, menari-nari dan berputar di kegelapan yang hening.
Ketika Corky mendengar suara teriakan nyaring, pertama-tama
ia mengira itu adalah dengkingan anak anjing.
"Aw! Aw! Aw! Aw!"
Tapi saat mencari sumber suara, ia melihat lidah-lidah api
menjilat lengan baju Naomi. Ketika lidah-lidah api itu berlompatan ke
sweter dan rok gadis itu, Corky baru sadar teriakan ketakutan itu
berasal dari Naomi. Teriakan nyaring itu tenggelam dalam jeritan dan desahan
ketakutan dari tribun. Bab 12 IVY DI ATAS ES TIPIS "KIMMY, kau sungguh berani!" seru Corky. "Aku hanya
berdiri mematung di sana. Tapi kau"mempertaruhkan nyawa."
Dahi Kimmy mengernyit. "Kalau kau mau tahu yang
sebenarnya, aku sama sekali tidak memikirkan hal itu. Saat kulihat
Naomi terbakar, aku melompat ke arahnya, membantingnya ke lantai,
dan berusaha memadamkan apinya."
Debra menggelengkan kepala. "Jangan merendahkan diri. Kau
menyelamatkan jiwa Naomi. Luka bakarnya parah. Tapi kau
mematikan apinya sebelum mencapai wajahnya."
Kimmy menghela napas. "Aku bahkan tidak ingat. Kejadiannya
begitu cepat." Corky dan kedua temannya berjalan sambil membisu. Mereka
memakai mantel, selendang, dan topi wol. Mereka melintasi taman
dengan susah payah. Di bawah pepohonan yang gundul, mereka
berjalan melintasi gundukan-gundukan salju.
Bulatan matahari yang merah tidak memberi kehangatan. Corky
menggigil dan membenamkan tangannya kuat-kuat ke dalam saku
mantelnya. Napasnya membentuk gumpalan uap putih.
"Lihat"ada kelinci!" Debra menunjuk ke antara pepohonan.
Corky melihat hewan kecil berwarna cokelat melesat masuk ke
onggokan daun-daun mati. "Apakah tidak ada yang memberitahu
mereka bahwa sekarang sudah musim dingin?" gumamnya.
Shadyside Park membentang di belakang sekolah. Pohon-pohon
melandai ke arah sungai. Corky melihat sebuah layang-layang
tersangkut di cabang pohon yang tinggi. Sungai yang membeku
tampak berkilauan seperti berlian raksasa.
Kimmy dan Debra muncul di rumah Corky tepat sesudah
sarapan di Sabtu pagi. Mereka berkeras ingin membicarakan sesuatu
yang serius. Corky tidak heran melihat mereka. Ia juga merasa sesak
dan tidak nyaman di dalam rumah.
Jadi di sinilah mereka, berjalan-jalan melewati pepohonan,
tanpa ada orang lain, membicarakan semua hal kecuali subjek utama
dalam pikiran mereka"Ivy. Dan kecelakaan-kecelakaan itu.
"Naomi akan dirawat di rumah sakit selama bermingguminggu," Kimmy melaporkan sambil menginjak ranting pohon yang
jatuh. "Berarti Lauren bakal masuk tim cheerleader
"Keinginan Ivy terkabul," gumam Debra.
"Maksudmu keinginan Lauren yang terkabul," Corky
mengoreksi. Ia membuka topi wolnya dan mengibaskan rambut
pirangnya. Topi selalu membuat kepalanya gatal.
"Kaupikir roh jahat itu ada dalam diri Lauren?" tanya Debra.
"Kaupikir Lauren yang selama ini mencelakakan para cheerleader satu
demi satu?" "Tidak," jawab Kimmy setelah beberapa detik. Ia menerobos
semak berduri yang rimbun. Duri-duri tajam menempel di lengan
mantelnya. "Ivy-lah yang menyalakan tongkat-tongkat berapi. Hanya
dia yang bisa melumuri tongkat Naomi dengan minyak tanah."
"Dia bersumpah itu bukan salahnya," timpal Corky sambil
membantu Kimmy melepaskan duri-duri dari lengan mantelnya.
"Kalian tidak lihat betapa dia tersedu-sedu ketika Ms. Closter
menanyainya" Dia bersumpah dia sudah berhati-hati."
"Kalau Lauren yang dirasuki roh jahat itu, bisa jadi dia yang
membuat Ivy jadi tampak bersalah," ujar Debra.
Corky melempar duri terakhir ke tanah. Ia berpaling kepada
kedua temannya. "Apakah kita memang perlu mengetahui yang
mana?" ia berteriak. "Kita semua tahu roh jahat itu telah kembali. Kita
semua yakin, kan" Sesudah kejadian yang menimpa Naomi, kita
semua yakin bahwa roh itu akan kembali!"
Kimmy dan Debra mengangguk dengan sungguh-sungguh.
"Jadi apa artinya semua itu?" Corky melanjutkan dengan
berapi-api. "Itu berarti?"
Ia berhenti ketika mendengar suara. Suara seorang gadis. Di
dekat situ. Mereka semua mendengarnya.
Sambil memicingkan mata melalui batang-batang pohon, Corky
menyadari mereka berjalan mendekati tepi sungai. Hamparan putih
bersinar-sinar yang dilihatnya dari balik pepohonan ternyata lapangan
es yang keras. Ia mendengar tawa melengking seorang gadis.
Lalu ia melihat kilatan sinar biru di tengah-tengah hamparan
putih itu. Siapa di sana" Siapa di lapangan es"
Sambil memberi isyarat yang lain agar diam, Corky memimpin
jalan ke tepi sungai. Sambil merayap di bawah batang-batang pohon,
mereka mendekati tepi sungai untuk melihat dengan jelas. Sungai
membentang, keperak-perakan dan berkilau-kilauan ditimpa sinar
matahari. Kilatan sinar biru yang lain.
Corky melihat seorang gadis dengan rompi dan sweter biru
sedang berseluncur di bagian kecil permukaan sungai yang membeku.
Seorang gadis lain, yang memakai sweter merah dan selendang
yang serasi, berdiri beberapa kaki dari tepi sungai. Dengan kedua
tangan yang diselipkan di saku jeans, ia mengamati gadis yang sedang
berseluncur. Corky mengenali Lauren lebih dulu. Gadis itulah yang berdiri di
tepi sungai. Kemudian Corky mengenali rambut cokelat-pirang Ivy yang
panjang melambai-lambai saat dia berseluncur. Lempengan besi di
sepatu luncur Ivy menimbulkan bunyi gesekan-gesekan yang nyaring
ketika gadis itu berseluncur dan berputar dengan gaya aneh.
Lengannya bergerak ke depan dan ke belakang.
"Itu kan Ivy!" ujar Kimmy dengan suara pelan. "Sedang apa
dia" Kenapa dia berseluncur seperti itu?"
Corky tidak menjawab. Sambil mengintai dari balik batang
pohon, ia melihat cara Ivy berseluncur"membelok tajam dan
memutar dengan cepat, lalu mengulangi gaya itu terus-menerus.
Lauren mengamati dengan penuh perhatian dari tepi sungai.
Berdiri mematung di permukaan es, bergeming dan membisu.
"Aku tak mengerti! Aneh sekali!" bisik Kimmy.
"Kupikir dia berseluncur dengan membuat simbol," ujar Debra
sambil bersembunyi di belakang Corky. Tangannya memegang
pundak Corky. "Lihat kan, dia terus mengulanginya?"
Corky tercekat ketika ia melihat uap putih berbentuk corong
melayang di belakang Ivy. Sambil memicingkan mata ke permukaan
es yang berkilau-kilau, ia melihat sebuah lubang kecil di
permukaannya. Uap yang melayang berasal dari lubang itu.
Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan sekarang Ivy berseluncur mengelilingi lubang itu,
berulang-ulang, berputar makin cepat sampai tampak seperti kilatan
biru yang buram di balik asap yang bergulung-gulung.
"Ini buktinya!" ucap Corky lirih kepada kedua temannya. Ia
merasakan udara dingin mengalir dalam badannya dan membuatnya
gemetar. "Ini buktinya. Roh jahat itu ada dalam diri Ivy!"
"Apa yang harus kita lakukan?" seru Kimmy. Ia tidak dapat
menyembunyikan rasa takutnya. "Dia membuat Hannah, Naomi, dan
Rochelle masuk rumah sakit. Bisa saja giliran kita berikutnya."
Dagunya bergetar. Tangisnya tercekat di tenggorokannya. "Apa yang
harus kita lakukan?"
"Aku punya rencana," ujar Debra pelan. Ia bahkan makin
merendahkan suaranya. "Kita harus menenggelamkannya."
Bab 13 KEJUTAN DARI SINTERKLAS CORKY menggapai gagang telepon, lalu menurunkan
tangannya ke pangkuan. Ayo"telepon dia! ia membujuk dirinya
sendiri. Kau sudah menatap telepon selama dua puluh menit!
Ia berbalik ketika pintu kamarnya terempas membuka. "Kau
sedang sibuk, ya?" tanya Sean. Anak itu sedang mengunyah sesuatu
yang tampaknya seperti buah berwarna ungu. Buah itu bergantunggantung di mulutnya.
"Ya. Aku sedang menelepon," jawab Corky ketus.
"Tidak. Kau tidak sedang menelepon," tukas Sean.
"Hmm, aku memang akan menelepon kok. Sana pergi!" usir
Corky. Ia meraih gagang telepon dan menunggu adiknya pergi.
"Kau brengsek!" teriak Sean sambil membanting pintu.
Corky merasa bersalah. Ia tahu bahwa ia melampiaskan
kegelisahannya pada Sean.
Ayo maju dan telepon Alex, ia berkata dalam hati sambil
menatap telepon. Kau kenapa sih" Kau kan pernah meneleponnya
selama ribuan kali. Ia tahu masalahnya. Ia tak ingin Alex mengakhiri hubungan
mereka. Ia telah menghindari Alex sejak sekolah mengumumkan
liburan musim dingin. Corky merasa sangat khawatir bila mereka
mulai berbicara, AIex akan menyelesaikan kata-katanya yang terputus
waktu cowok itu berada di rumahnya Jumat malam lalu.
Dan ia tidak akan punya cowok lagi.
Tapi sekarang ia tidak punya pilihan. Ia harus meneleponnya
untuk mengajaknya datang ke pesta.
Dengan perut bergejolak, ia menekan nomor yang sudah
dihafalnya luar kepala itu. Alex mengangkat telepon setelah dering
kedua. "Halo?" "Hai, Alex. Ini aku."
Hening sejenak. Aku sudah mengejutkannya, pikir Corky.
"Corky" Ada apa?"
"Kupikir kau akan latihan basket," jawab Corky dengan kikuk.
"Aku memang akan ke sana sebentar lagi," sahutnya. "Ini
memang hari libur, kan" Tapi Mr. Hall sudah menjadwalkan latihan
tiap malam. Stamina kami akan terus digenjot sebelum turnamen
dimulai." Corky tertawa pendek. "Kami juga berlatih. Kami harus berlatih
gerakan baru untuk menggantikan gerakan tongkat berapi. Menurut
Ms. Closter, gerakan tongkat berapi terlalu berbahaya."
"Kupikir juga begitu," balas Alex.
Alex sepertinya menjaga jarak, pikir Corky. Mungkin dia hanya
terburu-buru pergi ke tempat latihan.
Bisakah aku melakukannya" Bisakah aku mengajaknya datang
ke pesta" Kalau Alex menolak, berarti aku tahu bahwa dia ingin
mengakhiri hubungan kami.
Corky berdeham. "Uh"Alex"Debra dan Kimmy"dan aku"
kami akan mengadakan pesta," ia mulai berkata.
"Di rumahmu?" tanya Alex. Corky mendengar Alex menjauh
dari corong telepon dan berteriak kepada ibunya. "Aku pergi, Mom!"
"Pesta Natal," Corky melanjutkan. Tangannya sekonyongkonyong gemetar. Ia sadar ia menggenggam gagang telepon terlalu
erat. "Kami pikir akan menyenangkan mengadakan pesta itu sebelum
kita semua pergi ke New Foster untuk mengikuti turnamen. Pesta ice
skating. Di sungai."
"Hah" Malam hari?" Suara Alex terdengar bingung.
"Besok siang. Pasti akan menyenangkan," ujar Corky. "Kita
akan main ice skating ditemani lagu-lagu Natal, minum sari apel
hangat, dan?" "Ide aneh," gumam Alex.
"Kita mengundang semua anak yang kita kenal, para
cheerleader, dan teman-teman dari tim basket," ia menambahkan.
"Jadi kau mau datang, kan" Denganku?"
"Yeah. Tentu saja," balas Alex dengan tenang. "Kedengarannya
asyik. Aku harus pergi, Corky. Kita lanjutkan lagi nanti, oke?"
Corky mengucapkan selamat tinggal dan meletakkan gagang
telepon. Ia menyadari bahwa tangannya dingin dan basah oleh
keringat. Dadanya berdebar kencang.
Ya, kau benar, Alex, pikirnya dengan muram sambil
memandang kegelapan di luar dari balik jendela kamarnya. Pestanya
bakal asyik. Semua orang bakal bersenang-senang.
Semua kecuali Ivy. ************************ Saat Corky tiba di sungai, anak-anak sedang asyik berseluncur.
Lagu Winter Wonderland mengalun dari tape player Kimmy. Corky
melihat beberapa anak berbaris di depan meja sambil memegang
cangkir berisi sari apel yang mengepul-ngepul.
"Corky"dari mana saja kau?" Debra berlari menghampirinya.
Selendang wolnya berkibar-kibar ketika ia melintasi salju yang basah.
Debra memakai rompi biru dan sweter putih panjang yang dipadukan
dengan legging hitam. "Aku dan Kimmy sudah kebingungan! Kami
kira kau berubah pikiran dan kabur ketakutan."
"Tidak," sahut Corky. Sepatu botnya tenggelam dalam salju
yang lembek ketika ia bergegas menghampiri Debra. "Ini salah Alex.
Mestinya dia yang menjemputku. Tapi di menit-menit terakhir dia
meneleponku dan bilang ada sesuatu yang harus dikerjakannya. Aku
sudah terlambat, ditambah lagi mobil ibuku mogok."
"Menurutku akhir-akhir ini Alex bertingkah aneh. Atau itu
hanya khayalanku saja?" tanya Debra sambil menarik tangan Corky ke
lapangan es. Debra memperhatikannya juga, pikir Corky getir. "Yeah, Alex
memang bertingkah aneh," gumam Corky. Ia menengadah
memandang langit. "Bakal banyak salju yang turun tidak, ya?"
Awan-awan kelabu menyelimuti langit. Angin mengembuskan
udara dingin ke sungai yang membeku.
"Menurut yang kudengar di radio, salju akan turun tiga inci
lagi," Debra melaporkan. Ia mengibas-ngibaskan sarung tangannya ke
sungai. "Lihat. Semua orang ada di sini. Pesta yang meriah, kan?" Ia
melambai kepada Kimmy, yang balas melambai dari balik meja
tempat menaruh sari apel.
Mustahil Debra bisa begitu menikmati pesta ini, pikir Corky.
Anak itu tampak gembira dan berseri-seri. Apakah dia sudah lupa
tujuan diadakannya pesta ini" Apakah dia sudah lupa yang akan kami
kerjakan nanti" "Mana Ivy?" tanya Corky. Matanya mencari-cari sosok Ivy di
tengah para peseluncur. "Itu di sana. Bersama Lauren," jawab Debra. Senyumnya
menghilang. "Menurutmu mereka sedang membicarakan apa" Calon
korban mereka berikutnya, mungkin?"
Corky menyandang sepatu luncurnya dan mengikuti Debra
berjalan menuju meja. Kini tape player memainkan lagu Rudolph the
Red-Nosed Reindeer. Beberapa cowok menyanyi keras-keras dengan
nada sumbang. Embusan angin menerbangkan butiran-butiran salju ke lapangan
es. Corky terus memandang Ivy dan Lauren. Dengan sepatu
luncurnya, Ivy tampak menjulang tinggi seperti pemain basket.
Rambut panjangnya diikat bandana merah-putih. Ia memakai pakaian
ski merah terang yang ketat. Dari kejauhan Corky bahkan bisa melihat
bibir Ivy yang dipoles lipstik merah jambu terang bergerak cepat saat
anak itu berbicara dengan Lauren.
Lauren mengenakan jaket denim berpinggiran bulu-bulu domba
dan kerah bulu yang jarang-jarang, dipadu dengan jeans belel. Ia
mengibaskan rambutnya dan tertawa-tawa sambil mendengarkan Ivy.
"Akhirnya!" seru Kimmy ketika Corky melangkah ke depan
meja. "Sori," ujar Corky. "Alex membuatku terlambat." Ia menarik
napas dalam-dalam. "Mmm... sari apelnya harum sekali."
"Aku memasukkan banyak rum," Kimmy memberitahu sambil
mengaduk-aduk teko sari apel dengan sendok besar. "Pestanya seru,
ya?" "Yeah. Seru," balas Corky tanpa semangat. Ia mencondongkan
badan ke arah Kimmy dan berbisik, "Kau dan Debra kelihatan senang
sekali. Kalian sepertinya sudah melupakan tujuan kita ke sini."
"Kami tidak lupa kok," balas Kimmy sambil memandang Ivy
dan Lauren. "Kami hanya berusaha bersikap normal. Kami tak ingin
ada yang curiga." Ivy dan Lauren masih asyik tertawa-tawa. Tiga pemain basket
membentuk barisan dan mulai berseluncur berdampingan, sengaja
menabrak anak-anak lain hingga terjatuh. Heather Diehl yang
mengenakan mantel wol warna cokelat dan hitam yang besar
berseluncur dengan anggun dalam lingkaran besar bak pemain ice
skating profesional. Kimmy mengangkat sendok besar. "Mau secangkir sari apel?"
"Nanti saja deh," sahut Corky. Punggungnya terasa dingin.
Apakah kami benar-benar akan melakukan ini" ia bertanyatanya. Apakah kami akan membuka kedok Ivy di depan semua orang
bahwa dialah si roh jahat"
"Debra membawa bukunya?" bisik Corky kepada Kimmy.
Kimmy mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Ada di
mobilnya. Dia akan mengambilnya saat semua orang sudah
berkumpul." "Mungkin lebih enak bila aku berseluncur sebentar," cetus
Corky. Ia duduk di tanah untuk melepaskan sepatunya dan mulai
memakai sepatu luncurnya.
Sedikit olahraga akan membuatku tenang, ia berkata dalam hati.
Mungkin kalau aku berseluncur, aku takkan terlalu memikirkan apa
yang akan kami lakukan. Beberapa menit kemudian, ia melangkah ke lapangan es dan
mulai berseluncur di sungai yang membeku. Sepatu luncurnya
menggelincir di permukaan yang tertutup butiran salju dan berbunyi
srek srek. Ia baru berseluncur beberapa langkah ketika sebuah sosok
mendekatinya dengan cepat. "Hei"Corky! Kapan sampai?"
Ia mengerem terlalu kuat hingga hampir terjerembap. "Jay!
Hai!" Corky berseru sambil berpegangan pada lengan cowok itu untuk
menstabilkan tubuhnya. Jay memamerkan cengiran lebarnya. Ia memakai topi pet
Mighty Ducks seperti biasanya. Jaket Shadyside-nya yang berwarna
merah tua dan putih tidak diritsletingkan, memperlihatkan kemeja
abu-abunya. "Salju membuat berseluncur jadi agak susah," katanya.
"Kau harus menggunakan seluruh kekuatan kakimu. Perhatikan!"
Jay menari dengan gaya konyol. Lengannya diangkat tinggitinggi dan kakinya digerakkan maju-mundur. "Aduuuuuh!" Ia
berteriak ketika jatuh berdebam dan tergelincir beberapa kaki, hampir
menabrak kaki Heather. "Gerakan bagus, Landers!" seru Heather sambil berseluncur
mengelilinginya. "Kau harus membeli ban buat latihan!"
Corky tergelak-gelak sambil membantu Jay berdiri. "Kau baikbaik saja?" tanyanya, sementara Jay kembali berseluncur di
sebelahnya. "Jatuh itu memang hobiku," balas Jay sambil meluruskan topi
petnya. "Itu kegemaranku." Ia menepuk-nepuk salju dari jeans-nya.
"Alex mana?" Corky membersihkan salju di belakang jaket Jay. "Tak tahu.
Dia bilang akan datang terlambat."
Ia melihat mata Jay bersinar-sinar gembira. "Jadi kau bisa
berseluncur denganku dong," cetusnya riang.
Corky tertawa. "Tidak mau, ah! Aku tak bisa mengikuti
gayamu!" Jay terkekeh-kekeh dengan nyaring. Ia menarik lengan Corky.
"Ayolah. Aku berseluncur biasa saja deh."
"Ngomong-ngomong, Alex punya masalah apa sih?" tanya
Corky. Jay tampak terkejut. "Hah" Apa maksudmu?"
"Kenapa akhir-akhir ini dia bertingkah aneh" Maksudku, dia
jadi jarang kumpul-kumpul."
Corky mengamati pipi Jay yang memerah. "Aku tak tahu,"
jawab cowok itu. "Sungguh."
Dia berdusta, pikir Corky. Jay tahu apa yang sedang terjadi.
Tapi mentang-mentang sahabat baik Alex, dia tak mau
memberitahuku. "Hei"Gary!" Jay menangkupkan tangannya di dekat mulutnya
membentuk corong saat berteriak memanggil Gary di kejauhan. Ia
berpaling kepada Corky. "Ada yang ingin kubicarakan dengan Gary.
Kita berseluncur nanti saja, ya" Maksudku, kalau Alex tidak muncul."
Pipinya memerah lagi. Apakah Jay tahu Alex berada di mana" Corky bertanya-tanya.
Apakah Alex sedang bersenang-senang dengan gadis lain" Itukah
alasannya kenapa Jay tampak canggung"
"Yeah. Sampai nanti," ucap Corky sambil mengamati Jay yang
berseluncur menjauh. Awan menggantung rendah dan langit tampak mendung. Angin
menderu-deru di lapangan es. Dinginnya merambat sampai ke tubuh
Corky. Sambil mencondongkan badan ke depan, ia meluncur
memisahkan diri dari yang lain. Kakinya terasa berat, seolah-olah
diganduli seluruh ketakutannya.
Waktunya makin dekat, Corky menyadari. Waktu untuk
membuka kedok Ivy dan seluruh kejahatannya.
Lapangan es membentang di hadapannya. Embusan angin yang
menusuk mendorong-dorongnya.
Alunan musik sudah tidak terdengar lagi. Sambil berpaling ke
tepi sungai, Corky menyadari bahwa ia sudah jauh meluncur.
Mungkin sebaiknya aku tetap berseluncur dan tidak menoleh-noleh
lagi ke belakang, pikirnya.
Berseluncur menjauh, berseluncur selamanya.
Sekonyong-konyong ia merasa pening. Lapangan es di
depannya tampak miring. "Ohh." Ia memejamkan mata dan pelan-pelan berhenti.
Gara-gara Ivy. Memikirkan roh jahat yang berdiam di tubuh Ivy
membuat Corky pusing. Ia membungkuk sambil memegang kedua lututnya, menunggu
rasa pusing yang menderanya hilang.
Dan saat ia menunggu, ia mendengar bunyi sepatu luncur yang
mengiris-iris lapangan es, perlahan tapi mantap.
Ia menoleh untuk mencari sumber bunyi. Corky melihat sosok
gelap berseluncur dengan cepat di depannya. Ia meluruskan badan.
Berkedip. Apakah aku melihat sesuatu"
Tidak. Ia menatap Sinterklas.
Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Angin meniup-niup jenggot putihnya yang lebat. Topinya yang
panjang dan berwarna merah melambai-lambai. Matanya"matanya
bersinar dengan tatapan mengancam pada Corky.
"Hei, Sinterklas!" Corky berteriak ketika ia melihat Sinterklas
mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi. Lalu ia melihat sebilah
belati yang berkilau-kilau tergenggam erat di tangannya.
Bukan, bukan belati. Tapi sebilah es yang panjang dan tajam
seperti belati. Corky tak sempat bergerak. Tak sempat berseluncur menjauh.
Hanya sempat menjerit sejadi-jadinya saat Sinterklas
menggeram dan bersiap menghunjamkan bilah es yang panjang dan
tajam itu ke tenggorokannya.
Bab 14 SAATNYA BERPESTA CORKY tersandung. Tangannya menggapai-gapai saat ia
berusaha bangkit dengan terhuyung-huyung.
Bilah es jatuh dari tangan Sinterklas dan hancur berkepingkeping saat membentur lapangan es. Sinterklas memegang Corky
supaya gadis itu tidak jatuh.
"Sori," cetusnya. "Kau baik-baik saja?"
"Alex?" "Corky, aku benar-benar menyesal. Kau tadi tidak
mengenaliku" Kukira kau tahu!" Ia menarik janggut putihnya.
Sekarang Corky dapat melihat wajah Alex dengan jelas. Cowok itu
tampak khawatir. "Kau"kau tadi nyaris membuatku mati ketakutan!" Corky
tergagap, dadanya masih bergerak turun-naik. Ia menarik napas
dalam-dalam untuk menenangkan dirinya.
Alex memegang Corky dengan kedua tangannya. "Aku tak
bermaksud menakut-nakutimu. Sungguh. Aku hanya bercanda.
Kupikir kau mengenaliku. Aku bodoh sekali, Corky. Maaf, ya?"
"Buat apa kaukenakan kostum kumal itu?" tanya Corky.
Napasnya mulai teratur. "Kau dapat itu dari mana sih?"
"Punya ayahku di loteng," Alex memberitahu. "Makanya aku
telat. Dia membantuku mengenakannya, tapi lama sekali. Untuk luculucuan."
"Hah?" Corky melongo.
"Akhir-akhir ini kau tampak lesu," Alex melanjutkan. "Banyak
hal-hal aneh yang terjadi. Katamu ini Pesta Natal. Jadi aku ingin
menghiburmu." Senyum Corky mengembang. Alex begitu penuh perhatian,
pikirnya. Mengikuti perasaannya, ia menarik kepala Alex,
mendekatkannya ke wajahnya, dan menciumnya. Bibir Alex terasa
hangat. Ia merengkuhnya lama dan menciumnya. Ia tidak ingin
bergerak, tidak ingin membiarkan Alex pergi, berharap mereka dapat
terus berada di lapangan es selamanya.
Dari balik pundak Alex, Corky melihat Kimmy dan Debra di
tepi sungai. Mereka berdua melambai-lambai dan memanggilmanggilnya.
Sudah waktunya. Tubuh Corky menggigil karena rasa takut yang tiba-tiba
menyerangnya. "Kau kedinginan?" tanya Alex sambil tetap merangkulnya. Topi
Sinterklas merahnya meluncur turun dari kepalanya. Ia berbalik untuk
menangkapnya. "Ak"aku ingin kembali," kata Corky. "Aku harus membantu
Debra dan Kimmy." "Membantu mereka?"
"Mengurus pesta," sahut Corky. Ia berbalik arah dan
berseluncur menuju anak-anak yang lain. "Kami kan penyelenggara
pesta ini, ingat?" "Sampai ketemu lagi," Alex berseru sambil memasang kembali
janggut putihnya. "Sinterklas akan mengunjungi Jay."
"Ho-ho-ho!" balas Corky. Ia tidak yakin Alex mendengarnya.
Ia menatap lurus-lurus ke depan saat berseluncur menuju
Kimmy dan Debra. Mereka masih melambai-lambai dan memberi
isyarat untuk bergegas. Sudah waktunya, pikir Corky. Kakinya terasa berat, perutnya
tidak enak, dan rasa takut menyumbat tenggorokannya.
Waktu untuk menebus hari-hariku yang dicekam ketakutan.
Waktunya beraksi, pikir Corky getir.
***************************
Debra membawa tempat lilin dalam kotak sepatu. Ia mengepit
buku kuno di sebelah lengannya. Ketiga gadis itu berjalan melintasi
lapangan es dan menjauh dari yang lain.
Awan-awan tebal menggantung makin rendah di atas mereka.
Dari kejauhan mereka mendengar angsa-angsa mengeluarkan bunyibunyian bernada sumbang.
Bukankah angsa terbang ke utara saat musim dingin" Corky
bertanya-tanya. Tidak ada waktu untuk memikirkan angsa, ia mengomeli
dirinya sendiri. Kimmy dan Debra sudah berjalan mantap melintasi
lapangan es. Wajah mereka kaku dan mata mereka menyipit
mencerminkan kebulatan tekad.
Sambil bergegas mengikuti mereka, Corky menoleh ke tepi
sungai. Di mana Ivy" Corky melihat beberapa pasangan berseluncur
sambil bergandengan tangan. Ia melihat Jay sedang melakukan tarian
konyolnya"lengan terjulur dan melambai-lambai di atas kepala"di
depan rombongan anak-anak.
Dan ia melihat Ivy berdiri di pinggir rombongan. Pakaian ski
merahnya menyala seperti api di tengah-tengah warna-warna pucat.
Ketika Corky menoleh kembali, Debra sudah membungkuk dan
menyebar tempat-tempat lilin di lapangan es. "Di sini agak
terlindung," ujarnya. "Tak terlalu berangin seperti di sana. Tapi kalian
berdua tetap bertugas menghalangi angin agar lilin-lilinnya bisa
kunyalakan." Corky berjongkok dan membantu Debra menyusun lilin-lilin
agar membentuk lingkaran yang sempurna. Ia tidak melepaskan
pandangannya dari Ivy. Apakah Ivy dapat menduga perbuatan kami" pikir Corky.
Apakah dia tahu kami akan menyenandungkan mantra untuk
memanggil roh" Rencana ini sangat sederhana. Sederhana dan menakutkan.
Menyalakan lilin-lilin. Menyenandungkan mantra. Kalau roh
jahat itu ada dalam diri Ivy, anak itu akan tertarik mendekati mereka.
Kalau Ivy tertarik oleh senandung itu, Corky dan kedua
temannya dapat memastikan anak itulah yang dirasuki roh jahat.
"Kita akan menahan Ivy, mendudukinya kalau perlu," kata
Kimmy saat mereka membuat rencana itu di kamar Debra. "Kita akan
Mentari Senja 5 Wiro Sableng 145 Lentera Iblis Bulan Biru Di Mataram 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama