Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing Bagian 1
Bab 1 PADA hari pertama Mom dan Dad tidak pulang, aku dan Mark
tidak merasa kebingungan. Kami malah berpesta.
Awalnya kami tidak bermaksud mengadakan pesta. Kami agak
kesepian, jadi Mark mengundang Gena ke rumah. Lalu aku mengajak
teman-teman sekolahku yang baru, Lisa dan Shannon. Dan mereka
mengundang beberapa orang lagi. Tanpa kami sadari, jumlah kami
sudah sekitar dua puluh orang. Kami berpesta pora di ruang duduk
luas yang masih baru"yang membuat Mark dan aku merasa tidak
nyaman. Kami baru pindah ke sini dua bulan yang lalu"awal
September"tepat pada awal tahun ajaran baru di Shadyside High.
Walaupun dua kali lebih luas daripada rumah kami di Brookline dulu,
rumah ini lebih tua dan agak bobrok.
Teman-teman di sekolah selalu terkejut ketika tahu bahwa kami
tinggal di Fear Street. Mereka selalu menceritakan kejadian-kejadian
mengerikan yang terjadi di sekitar Fear Street dan di hutan lebat di
sepanjang bagian belakang rumah"cerita tentang makhluk-makhluk
aneh, orang-orang yang menghilang secara misterius, hantu-hantu,
lolongan mengerikan, dan semacamnya.
Sepertinya Mark mempercayai cerita-cerita itu. Ia selalu
mempercayai apa yang diceritakan orang. Walaupun abangku itu
setahun lebih tua dariku, aku jauh lebih kritis.
Mark tipe orang yang selalu berterus terang. Maksudku, ia
selalu mengatakan apa adanya. Tapi ia cukup oke. Bahunya lebar,
lehernya kokoh, rambutnya pirang berombak, matanya hijau, dan
dagunya berbelah"bahan gurauan yang paling dibencinya. Tapi ia
tidak bodoh. Cuma terlalu mudah mempercayai orang lain. Ia tidak
pernah menggoda orang lain, dan kurasa ia bahkan tidak menyadari
kalau ada yang menjadikannya bahan gurauan.
Mark selalu tergesa-gesa menganggap orang lain sebagai
temannya. Anak-anak seketika menyukainya. Kurasa selera humorku
dan kesinisanku memandang dunia telah membuat anak-anak itu
menjauhiku. Jadi sebagian besar tamu pesta kami adalah teman-teman
baru Mark selama dua bulan kami berada di Shadyside.
Aku berteman cukup baik dengan Lisa dan Shannon, teman
sekelasku. Tapi kami belum bisa dikatakan sahabat baik. Dan tentu
saja aku belum menemukan cowok yang menarik"tidak seperti Mark
yang sudah menemukan Gena Rawlings.
Gena adalah alasan utama perkelahian besar di meja makan
pagi itu. Yeah, Mark bertengkar hebat dengan Mom dan Dad sebelum
berangkat ke sekolah. Mom dan Dad tidak menyetujui hubungannya
dengan Gena, dan mereka tidak mau Mark menemuinya lagi. Mark
sering sekali bertemu Gena. Maksudku, bisa dikatakan setiap hari.
Mereka sepertinya tidak terpisahkan. Romantis juga, ya. Mark
memang selalu bersemangat, tapi kurasa ia belum pernah sesemangat
ini. Jadi ketika Mom dan Dad tidak bisa mengungkapkan alasan
ketidaksenangan mereka pada Gena sewaktu Mark menanyakannya, ia
meledak. Kurasa Mark punya alasan bagus. Mom dan Dad orang-orang
pandai, dan mereka biasanya mampu mengungkapkan isi hati mereka.
Jadi apa alasannya hingga mereka tidak menyukai Gena"
"Sekolahmu akan terganggu," kata Dad. Alasan yang sangat
lemah. Nilai rata-rata Mark selalu B. Ia serius dalam belajar, jauh
lebih serius daripada aku, dan ia menganggap sekolah itu sama
seriusnya seperti hal-hal lainnya.
Jadi aku tidak bisa menyalahkan Mark karena meledak seperti
itu. Tentu saja Dad balas berteriak dan melontarkan kata-kata yang
tidak seharusnya diucapkan. Kata-kata yang menyebabkan wajah
Mark memerah, dan ia membalas. Lalu Mom ikut campur, dan
situasinya menjadi begitu ribut sampai kupikir dinding dapur yang cat
kuningnya sudah mengelupas itu akan pecah berantakan.
Aku cuma duduk merosot di kursiku, menatap Pop-Tart
sarapanku. Selai stroberinya telah lumer ke piring. Selera makanku
sudah hilang. Aku tidak begitu suka dengan Gena, tapi kurasa sikap
Mom dan Dad sudah keterlaluan"paling tidak, mereka seharusnya
tidak memarahi Mark di pagi hari sewaktu kami sedang sarapan.
Sudah cukup lama tidak ada pertengkaran sehebat itu dalam
keluarga kami. Seingatku pertengkaran seheboh ini terakhir kali ketika
kami masih di Brookline, waktu Mark dari aku meminjam mobil tanpa
bilang-bilang Mom dan Dad. Dan mereka melaporkan kalau mobilnya
dicuri. Kami berdua dihukum dua bulan karenanya. Nggak masalah.
Tapi yang satu ini merupakan masalah bagi Mark. "Aku sudah
enam belas tahun. Aku tahu apa yang kulakukan!" jeritnya.
Mom dan Dad tertawa, tindakan yang sangat keliru.
Mark benar-benar murka karenanya. Ia meraih Pop-Tartnya dan
siap melemparkannya ke seberang ruangan. Aku membayangkan kue
tar itu menghantam dinding dengan suara "plak" yang keras. Pikiranku
benar-benar usil. Tapi Mark berhasil menahan diri tepat pada waktunya dan
membanting kue tarnya kembali ke piring. Ia kemudian berbalik, lalu
menghambur keluar melalui pintu dapur. Ia membanting pintu
sekeras-kerasnya hingga jendela kaca pintu tua itu bergetar, tapi tidak
jatuh. Mom dan Dad memucat. Mereka berpandangan dan
menggeleng-gelengkan kepala, tapi tidak berkata apa-apa. "Kau nanti
terlambat ke sekolah," kata Dad padaku beberapa saat kemudian.
Suaranya terdengar gemetar. Kurasa teriakan-teriakan Mark tadi telah
membuatnya demikian kesal.
Mom dan Dad jadi gugup sejak kami pindah ke Shadyside.
Kurasa itu cuma karena pindah rumah dan segala tetek-bengeknya"
walaupun mereka seharusnya sudah terbiasa. Karena pekerjaan
mereka, kami selalu berpindah-pindah. Selama delapan tahun terakhir,
kami sudah pindah enam kali.ebukulawas.blogspot.com
Tidak mudah bagi mereka"atau bagi Mark dan aku. Aku selalu
kesulitan untuk berteman karena sadar kalau dalam setahun atau lebih
aku akan pindah dan melupakan mereka. Mom sering marah karena
aku suka menyendiri. Tapi mau apa lagi" Maksudku, kenapa harus
dekat dengan siapa pun kalau tahu hubungan itu tidak akan lama"
Sudahlah, aku mengambil bukuku dan memandang keluar
jendela dapur. Mark, dengan wajah merengut, tengah sibuk memanahi
pohon maple yang tak berdaya.
Abangku itu tergila-gila memanah. Pertama kali yang ia
lakukan waktu kami pindah ke sini"bahkan sebelum ia melihat
kamarnya" adalah mencari pohon yang tepat di halaman belakang
untuk menggantungkan papan sasaran panahnya. Ia sangat pandai
memanah. Pemanah yang hebat, tapi tentu saja sudah seharusnya
kalau mengingat seberapa lama ia berlatih.
"Cara yang oke untuk melampiaskan frustrasimu," katanya
selalu padaku. Ia tampak sangat frustrasi pagi itu. Wajahnya tampak
sangat tegang, lebih tegang daripada biasanya. Ia langsung meraih
anak panah berikutnya begitu selesai meluncurkan anak panah
pertama yang tidak dipedulikan arahnya.
"Sekali waktu ia akan mengenai matanya sendiri," Mom selalu
mengeluh begitu. Kurasa Mom sudah berusaha keras untuk bersikap
sebagai seorang ibu. Tapi ia tidak bisa dan tidak terbiasa. Ia masih
muda, dan cantik lagi. Tapi kalau sedang berada di rumah"yang
sangat jarang karena pekerjaannya"ia cukup menyenangkan sebagai
teman. Dad boleh juga, walaupun sangat serius dan tegang"seperti
Mark. Ia benar-benar susah untuk diajak bicara. Ia seperti sedang
memikirkan sesuatu. Tapi mungkin itu cuma perasaanku saja.
Pokoknya kami jarang bertengkar sehebat tadi pagi. Menurutku
selama ini hubungan kami cukup baik. Atau itu mungkin karena Mom
dan Dad sibuk bekerja sampai kami tidak sempat bertengkar.
Kusambar jaket dan tas Mark, lalu lari keluar lewat pintu
belakang, dan berhasil menyeret Mark ke halte bus. Kami bahkan
tidak berpamitan pada Mom dan Dad.
Kami tidak berpikir kalau saat itu mungkin merupakan
pertemuan kami yang terakhir.
"Memangnya Gena salah apa?" tanya Mark sementara kami
menunggu kedatangan bus South Side.
"Mungkin menurut mereka ia terlalu pendek untukmu,"
gurauku. Gena memang tiga puluh senti lebih pendek daripada Mark.
"Hah?" "Bercanda," gumamku. Kenapa ya, aku selalu harus
memberitahu Mark kalau aku cuma bercanda"
Gena pendek tapi, terus terang saja"untuk hal ini aku
jagonya"body-nya oke. Ia juga sangat cantik, dengan rambut hitam
lurus sampai ke pinggang, kulit putih mulus, dan sepasang mata hitam
yang membuat para cowok tergila-gila. Semua cowok di sekolah
menganggap Gena seksi"dan memang benar.
Dan sekarang, pada pukul sepuluh malam, tanpa Mom dan Dad
di ruang duduk tempat pesta dadakan itu dilaksanakan, si seksi Gena
tengah menempel pada kakakku di sofa.
Aku teringat pertengkaran tadi pagi, dan melirik arloji. Aku
penasaran juga di mana Mom dan Dad saat ini. Biasanya mereka
menelepon kalau akan pulang terlambat.
CD player benar-benar bekerja keras malam itu. Ada yang
memutar heavy metal keras-keras. Cory, pacar Lisa, sedang berebut
sekaleng soda dengan beberapa anak yang belum kukenal. Lalu kaleng
soda itu seakan meledak di tangan mereka, dan busa soda pun
berhamburan mengotori karpet ruang duduk.
Oh, please, jangan sampai pesta ini lepas kendali.
Mom dan Dad akan pulang sebentar lagi. Dan...
Pandanganku kembali terarah kepada Mark dan Gena di sofa.
Gena tengah memeluk Mark dan mencium Mark dengan mesra.
Aku tidak bermaksud untuk menyaksikan adegan itu"tapi kau
juga kepingin lihat, kan! Di beberapa negara bagian kita bisa
ditangkap cuma karena berciuman seperti itu! kataku sendiri.
Lalu aku merasa mendengar bel pintu berbunyi.
Tawa keras terdengar dari sudut ruangan. Gena dan Mark tidak
bergerak. Mereka sedang asyik sendiri. Rasanya tidak ada orang lain
lagi yang mendengar bel berbunyi.
Aku berlari ke jendela ruang duduk dan memandang ke luar. Di
jalur masuk ada sebuah Chevy Caprice biru yang besar. Waktu aku
mendekatkan kepalaku ke kaca jendela, aku bisa melihat seorang pria
bertubuh tinggi, mengenakan kemeja gelap dan celana katun seragam
lusuh, berdiri di bawah lampu teras. Ia melihatku mengintip lalu
mengacungkan lencana" lencana polisi.
Musik dan suasana yang ingar-bingar seketika menghilang.
Jantungku rasanya berhenti berdetak. Segalanya seakan membeku.
Aku tahu alasan kenapa polisi itu datang.
Ada sesuatu yang menimpa Mom dan Dad.
Bab 2 Polisi itu tersenyum ketika aku membuka pintu. "Selamat
malam," katanya, sambil memandangiku dari ujung rambut ke ujung
kaki. Cahaya dari lampu serambi yang menimpa pintu kasa, cukup
menyulitkanku untuk melihat wajahnya dengan jelas. Polisi itu sudah
tidak muda lagi. Uban telah menghiasi kumisnya. Sepasang mata
biru"mata paling dingin yang pernah kulihat"sedingin danau beku
di musim salju, menatapku tajam dari balik pintu kasa. "Aku Kapten
Farraday," katanya. "Ada apa?" tanyaku. "Ayah dan ibuku"apakah mereka?"
"Mereka ada?" tanyanya. Ia tersenyum, menampilkan sederetan
gigi putih yang rata. "Tidak. Mereka?"
"Mereka tidak di rumah?"
"Tidak. Kurasa mereka bekerja lembur."
Pandangannya beralih ke koridor di belakangku.
"Anda datang kemari tidak untuk membawa kabar tentang
mereka, kan?" tanyaku, merasa lega.
Tampaknya ia tidak memahami pertanyaanku.
"Tidak. Ehm... aku sedang menyelidiki pencurian di sekitar
sini." "Pencurian?" "Yeah. Sudah tiga rumah yang kena. Aku sekadar berkeliling
dari rumah ke rumah, barangkali ada yang melihat kejadian
mencurigakan. Yah, mobil asing atau semacamnya."
"Oh Well... tidak, saya tidak melihat apa-apa."
Suara tawa dari ruang duduk terdengar diikuti suara kaca pecah.
Musik heavy metal bahkan terdengar lebih keras dari tempatku
berdiri. "Kau lihat seseorang di jalan" Yah, orang yang tidak
kaukenal?" Mata birunya menghunjam ke mataku.
Kualihkan pandanganku. "Tidak. Tidak pernah. Jarang ada
orang di jalan, Pak. Kami masih baru di sini, jadi?"
"Orangtuamu pulang sebentar lagi?"
"Mungkin. Entahlah. Terkadang mereka lembur sampai larut
malam." Kami saling pandang cukup lama. Lalu ia merogoh saku kemeja
seragamnya dan mengeluarkan sehelai kartu putih kecil. "Ini.
Ambillah," Ia membuka pintu kasa dan memberikan kartu itu padaku.
"Itu nomor telepon langsung ke aku. Kalau kau melihat ada yang
mencurigakan, hubungi aku"kapan saja."
Kuterima kartu itu sambil mengucapkan terima kasih.
"Letakkan di dekat teleponmu," katanya. "Sekadar berjaga-jaga
kalau pencuri itu mau mencoba di sekitar lingkungan ini lagi." Lalu ia
berbalik dan melangkah pergi.
Aku masih berdiri di tempatku, mendengarkan suara langkah
sepatu boot-nya menginjak kerikil di jalur masuk. Kuamati ia naik ke
Chevy tuanya yang besar. Kenapa ia tidak membawa mobil polisi, ya"
"Pasti untuk menjebak tukang ngebut," kataku dalam hati.
Mobil besar itu tidak menimbulkan suara saat melaju ke jalan dan
menghilang. Kumasukkan kartu namanya ke saku celana jeans-ku dan
kembali ke ruang duduk. Aku terkejut ketika mendapati ruang duduk
telah berubah sunyi. Sekilas pandanganku mengarah ke sofa. Gena
masih menempel pada Mark, tapi ia tengah menatapku. Keduanya
tengah menatapku. Seseorang telah mengecilkan suara musik.
"Maafkan aku, Cara," kata Cory Brooks, pacar Lisa, perlahan.
Ia tampak sangat kebingungan.
"Apa?" Ada apa ini" Aku penasaran. Apa yang terjadi di sini sewaktu
aku berbicara dengan Kapten Farraday"
"Aku sedang bergurau dengan David Metcalfe di sebelah sana,
dan kurasa... well... aku agak kurang enak badan, dan mungkin agak
demam." Sekilas aku memandang Mark, tapi ia tengah membenamkan
wajahnya ke rambut Gena. Lalu aku melihatnya. Genangan muntah hijau kecokelatan yang
menjijikkan menetes dari salah satu sisi meja kopi.
"Bagus sekali, ace," gumam David, teman Cory, sambil
bersandar ke dinding. "Ooh, rasanya aku juga mulai sakit," kata salah seorang cewek
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang belum kukenal. Kemudian ia mengerang, menutupi mulut
dengan tangannya. "Akan kubantu membersihkannya," kata Cory, tampak benarbenar merasa malu.
"Tidak apa. Ambilkan sendok saja," kataku padanya. "Biar
kusantap sebelum menggumpal!"
"Ohh! Gagal total!" jerit Gena.
Aku membungkuk dan meraih muntahan palsu dari karet itu.
Dan lalu kulontarkan ke Cory.
Semuanya tertawa. Cory tampak sangat kecewa.
Aku sempat percaya kalau itu benar-benar muntah asli, tapi tak
akan kubiarkan ia mengetahuinya.
"Cory, benar-benar memalukan," kata Lisa, sambil menyodok
bahunya. Cory bertubuh kekar. Sodokan Lisa tidak membuatnya tidak
bergeming. "Itu gagasan David," katanya sambil tertawa. Ia
melontarkan muntahan palsu itu kepada temannya.
"Kurasa sebaiknya pesta kita akhiri sekarang," kataku.
Terdengar bunyi keluhan protes di sana-sini. Kakakku tengah
memeluk Gena dan mengusap-usapkan tangannya ke bahu cewek itu.
Bisa kulihat kalau ia tidak akan membantu.
"Ayolah. Besok kita harus sekolah. Lagi pula polisi sudah
datang kemari tadi."
Semuanya terkejut. Mereka begitu sibuk berpesta hingga tidak
ada yang menyadari kedatangan polisi.
"Orangtuaku akan pulang sebentar lagi," kataku. Kuharap itu
bukan tipuan. Aku mulai mengkhawatirkan mereka. Sekarang sudah
hampir pukul sebelas. Anak-anak beranjak pergi dengan enggan. Aku mengantar Lisa
dan Shannon sampai ke depan. Cuma mereka yang benar-benar
kuundang, tapi aku bahkan tidak sempat berbicara dengan mereka.
Kulihat noda basah besar pada tepi karpet. Yang ini benar-benar
asli, bukan karet. "Oh, well. Cocok juga di karpet itu," aku bergumam
sendiri. Dari teras depan, kupandangi setiap orang yang menyeberangi
halaman rumput ke mobil masing-masing sambil tertawa-tawa dan
bersenda gurau. "Sampai ketemu besok."
"Asal jangan aku yang menemuimu lebih dulu."
Kuharap para tetanggaku yang penggerutu menikmati semua
teriakan dan tawa terbahak-bahak kami.
Sambil merasa agak kedinginan, aku menutup pintu depan dan
kembali ke ruang duduk, dan menggosok-gosok lengan bajuku agar
merasa hangat. Sulit dipercaya"Mark dan Gena ternyata belum
beranjak dari sofa! Aku harus menyemprot mereka! pikirku.
"Hei, Tuan dan Nona," kataku, mengangkat pergelangan
tanganku dan memandang arloji Swatch-ku. Sindiran halus.
Dua makhluk yang tengah mabuk kepayang itu tidak
mengacuhkanku. "Bagaimana Gena pulang nanti?" tanyaku.
Mark berpaling menatapku. "Kuantarkan," katanya. Lipstik
mengotori sekitar mulutnya. Ia mirip si badut Bozo.
"Naik apa?" tanyaku. "Kan mobil kita dibawa Mom dan Dad?"
"Oh." Ia berpikir sejenak. Senyum "nakal" merekah di wajah
Mark yang biasanya tampak polos. "Kalau begitu, berarti ia harus
menginap di sini." "Dasar!" Gena tertawa, dan berusaha menghajar Mark dengan
bantal sofa. Mereka lalu berpelukan lagi seakan aku tidak berada di
sana. Mungkin pendapat Mom dan Dad tentang Gena benar, pikirku,
sambil merasa jengkel"dan cemburu. Kenapa tidak ada laki-laki
yang bisa berpelukan denganku" Ketukan keras di pintu
membuyarkan lamunanku yang memalukan.
"Mungkin Mom dan Dad," kataku, sekadar untuk menakutnakuti Mark dan Gena.
Gagal. "Untuk apa mereka mengetuk pintu?" tanya Mark.
Aku lari ke pintu. Ternyata Cory Brooks. "Muntahku
tertinggal," katanya dengan malu-malu.
Ia mengikutiku ke ruang duduk, mencari-cari sebentar, lalu
menemukan hartanya di bawah bantalan kursi. Ia melipatnya dengan
hati-hati dan memasukkannya ke saku jaket jeans-nya.
"Hei, Cory, kau bisa mengantarku pulang?" Gena akhirnya
berdiri juga. Ia merapikan sweter kashmir birunya yang berantakan.
"Boleh. Kalau kau tidak keberatan duduk di belakang dengan
Metcalfe." Gena merengut. "Lebih baik aku berjalan kaki."
"Tidak perlu. Nanti kuikat dia dengan sabuk pengaman," kata
Cory. Gena mengikutinya keluar setelah berjinjit mencium Mark.
Beberapa detik kemudian, tinggal aku dan Mark di ruang duduk
yang berantakan itu. "Sebaiknya kau bersihkan lipstik itu dari
wajahmu," kataku padanya, berusaha menahan tawa melihat betapa
konyol tampangnya. "Lalu kita bersihkan ruangan."
Mark tidak berkata apa-apa, cuma buru-buru membersihkan
warna merah di wajahnya. Beberapa menit kemudian ia kembali ke
ruang duduk, tampak agak tertegun.
Seperti kataku, ia belum pernah berpacaran dengan cewek
seperti Gena. Aku ingin berkomentar, tapi tentu saja kutahan. Antara
kakak-adik tidak seru membicarakan hal-hal seperti itu. Hal itu cuma
ada di TV. Di semua komedi situasi, antarsaudara membicarakan
masalah itu panjang-lebar. Lalu mereka berpelukan dan ke dapur
untuk ngemil. Tapi tidak begitu kenyataannya. Kalau Mark sampai
memelukku, aku akan memanggil dokter!
"Pesta yang hebat," katanya, sambil menggeleng. Kurasa ia
tampak merasa bersalah. "Bagaimana caranya membereskan semua
ini?" "Secepatnya," kataku. "Sebelum Mom dan Dad pulang dan
melihatnya." "Kurasa mereka tidak pulang malam ini," kata Mark,
memunguti kaleng-kaleng minuman penyok dari lantai.
"Hah" Tentu saja mereka pulang."
"Ini bukan pertama kalinya," katanya dingin.
"Aku mau mengambil kantong sampah besar di dapur."
Aku berdiri di tempatku, tiba-tiba merasa sangat lelah,
mendengarkan lantai papan di koridor berderik saat Mark berjalan ke
dapur. Pendapatnya tentang Mom dan Dad benar. Ini bukan untuk
pertama kalinya mereka tidak pulang, entah bekerja atau berpesta.
Seperti kataku tadi, orangtuaku masih muda dan tidak benarbenar menyukai gagasan untuk bersikap seperti orangtua. Bukannya
merendahkan. Mereka orangtua yang baik. Sering kali menyenangkan
berkumpul bersama mereka. Tapi mereka tidak menganggap serius
status sebagai orangtua. Banyak hal lain yang mereka anggap lebih penting. Misalnya,
pekerjaan mereka. Aku tidak begitu mengerti tentang pekerjaan
mereka. Mereka spesialis mainframe komputer. Artinya mereka pergi
ke perusahaan-perusahaan besar dan memasang jaringan komputer
raksasa di sana. Bisa memakan waktu berbulan-bulan, terkadang
bertahun-tahun. Lalu mereka pindah ke perusahaan besar lainnya,
sering kali di kota lain.
Itu sebabnya kami sering berpindah-pindah.
Dan ke mana pun kami pergi, Mom dan Dad selalu terlibat
dalam segala macam"maksudku, kegiatan-kegiatan sosial. Kau tahu,
klub-klub dan segala macam organisasi. Terkadang harus kuakui
kalau aku merasa sakit hati karena mereka begitu bersemangat
mencari klub-klub di mana mereka bisa menggabungkan diri.
Sepertinya mereka tidak suka berada di rumah dan menghabiskan
waktu dengan aku dan Mark.
Tapi sekarang sesudah aku bertambah dewasa, kusadari kalau
pendapat itu konyol. Dan egois. Mereka berhak memiliki kehidupan
sendiri, keinginan dan minat mereka sendiri.
Tapi paling tidak mereka bisa menelepon dan memberitahu
kami kenapa mereka pulang terlambat, kan"
Mark kembali, membawa kantong plastik hijau besar untuk
sampah. "Aku yang pegang kantongnya. Kau yang memasukkan
sampahnya," katanya, lalu menguap.
"Kok aku tak pernah dapat bagian yang memegangi
kantongnya?" kataku bercanda.
"Eh, bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Mom dan Dad,
ya?" tanyanya, terdengar khawatir.
"Hah?" "Bagaimana kalau Mom dan Dad mengalami kecelakaan atau
sesuatu?" "Kalau mereka mengalami kecelakaan, mereka pasti
menelepon," kataku. Itu gurauan biasa di antara kami. Hanya saja
malam ini rasanya tidak begitu lucu.
"Bagaimana kalau mobilnya mogok di Fear Street, di hutan
sana, dan mereka tersesat di dalam hutan" Kau tahu cerita tentang
orang-orang yang masuk ke dalam hutan dan setelah keluar tidak ingat
siapa dirinya?" "Siapa yang menceritakan itu padamu?" tanyaku, sambil
merengut. "Cory Brooks. Katanya ada di koran."
"Itu sama lucunya seperti muntah-muntahannya. Ia
menggodamu, Mark." Sejenak Mark tidak berkata apa-apa. Tapi aku tahu dari ekspresi
wajahnya. Ia khawatir. Aku sering melihatnya seperti itu. Harus ada
yang lebih mudah khawatir dalam setiap keluarga, dan di keluargaku
Mark-lah orangnya. "Jangan memasang tampang begitu," kataku padanya
"Begitu gimana?"
"Ya seperti itu. Kalau kau terus seperti itu, aku bisa merasa
khawatir juga." "Kita telepon mereka," katanya.
"Yeah. Oke." Kenapa aku tidak berpikir begitu lebih cepat"
Kuikuti Mark ke dapur. Kami punya catatan nomor telepon
mereka di notes dekat telepon. Telepon mereka tidak melalui operator,
tapi langsung ke ruangan mereka. Jadi kami bisa menelepon mereka
kapan saja. "Kau saja yang menelepon," kata Mark, sambil bersandar ke
meja formika. Ia tampak sangat khawatir.
"Baik," kataku. Kubalik-balik notes sampai kutemukan nomor
telepon mereka. Lalu kuraih gagang telepon dari dinding dan memutar
nomornya. Kemudian aku berhenti.
"Ada apa?" tanya Mark.
"Tidak ada nada panggil," kataku padanya.
Teleponnya mati total. Bab 3 KAMI berdua berdiri diam sambil memandangi pesawat
telepon, seakan benda itu akan hidup. "Aneh," kata Mark akhirnya.
"Kenapa mati" Padahal tak ada gangguan cuaca atau badai."
"Well, paling tidak itu menjelaskan kenapa Mom dan Dad tidak
menelepon," kataku. "Karena mereka memang tidak bisa."
Kuletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya. Kami berdua
tersenyum, merasa agak lega. Mark hendak mengatakan sesuatu, tapi
membatalkannya. Kami berdua mendengar suara itu. Langkah-langkah kaki di
atas kepala kami. Langit-langit rumah berderak.
Ada yang berkeliaran di lantai atas.
Kulihat Mark ketakutan saat langkah kaki itu terdengar
menuruni tangga depan. Mungkin aku sendiri terlihat ketakutan.
Kami berdiri ketika suara berdebam-debam itu bertambah keras.
Lalu seseorang masuk ke dapur.
Ternyata Roger. Aku tertawa terbahak-bahak. Mark masih terlalu terguncang
untuk bisa tertawa. Keringat sebesar biji jagung membanjirinya, dan
wajahnya seputih kapur"yang menyebabkan tawaku makin keras.
Aku merasa begitu lega. Bagaimana kami bisa melupakan Roger"
Well, ia begitu pendiam dan begitu sering menyendiri hingga
kami sering melupakannya.
Roger sepupu jauh Mom, dan ia menumpang di rumah kami. Ia
tiba beberapa hari sesudah kami pindah ke Fear Street, dan orangtuaku
mengizinkannya untuk menggunakan loteng sesuka hatinya.
Sebenarnya aneh juga, karena loteng itu begitu sempit, untuk dua
orang sama sekali tidak mungkin. Sementara Roger boleh berbuat
sesuka hatinya di sana! Bahkan untuk Roger sendiri saja tidak cukup leluasa. Ia begitu
tinggi, dan langit-langit loteng miring begitu rendah, hingga ia harus
membungkuk kalau berdiri di sana. Tapi ia mendapat tempat tidur dan
sebuah meja, dan tampaknya ia cukup senang untuk tinggal bersama
kami. Kami jarang bertemu dengannya. Aku dan Mark sudah
mencoba untuk bersahabat dengannya. Bagaimanapun juga ia masih
kerabat. Dan karena kami sering berpindah-pindah, rasanya kehadiran
seorang kerabat sangat penting.
Tapi Roger sulit untuk didekati. Ia begitu pendiam. Rasanya ia
orang paling pemalu yang pernah kukenal. Sebenarnya ia cukup
tampan. Rambutnya cokelat pasir, dengan sepasang mata hitam yang
tajam. Ia mirip model di majalah, tapi kurasa ia tidak menyadari
ketampanannya sendiri. Ia begitu pemalu. Ia sekolah di junior college
di kota lain. Jadi sebagian besar waktunya dihabiskan untuk belajar
dan menulis makalah di loteng.
Aku tidak tahu alasan Mom dan Dad menerimanya tinggal di
rumah kami. Jelas bukan untuk uang kos. Kami tidak benar-benar
membutuhkan uang. Anehnya, ia bukan anak kos pertama dalam
rumah kami. Di setiap kota di mana kami tinggal sebelumnya, selalu
ada anak muda yang tinggal di rumah kami. Kurasa Mom dan Dad
suka membantu mahasiswa, itu saja.
"Hai, Roger. Kau membuat kami ketakutan," kata Mark,
perlahan wajahnya tidak pucat lagi.
Wajah tampan Roger tampak waspada. "Maaf. Aku tidak
bermaksud begitu." Aku dan Mark kembali ke ruang duduk untuk membersihkan
ruangan lagi, dan Roger mengikuti kami. "Kapan kau masuk?"
tanyaku, sambil mulai mengumpulkan kaleng-kaleng soda dan bir
yang berserakan di ruangan.
"Baru saja. Kudengar ada keramaian, jadi?"
"Seharusnya kau ikut pesta," kata Mark, memegangi kantong
sampah agar tetap terbuka dan mengikutiku.
"Tidak, tidak apa-apa." Entah kenapa, Roger tampak kikuk.
Pasti tidak menyenangkan menjadi orang pemalu. Aku tidak bisa
membayangkan Roger menghadiri pesta. Kucoba untuk
membayangkan ia berdansa. Ia begitu kaku, mungkin malah tidak
pernah berdansa seumur hidupnya.
Ia membungkuk dan meraih segenggam keripik dari mangkuk
di sebelah sofa. "Tadinya aku mau membaca, tapi ada yang mau
kutanyakan pada orangtua kalian."
"Mereka belum pulang," kataku padanya.
Ia tampak sangat terkejut. Ia memandang arlojinya.
"Apa mereka memberitahu kalau akan pulang terlambat?"
tanyaku padanya.
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak." Ia menggeleng. Lalu menggaruk-garuk dagunya.
"Well, bukan masalah. Kurasa bisa kutanyakan nanti."
Ia melontarkan keripik ke mulutnya. "Kalian baik-baik saja?"
"Yeah, tentu saja," kataku.
Ia mengumpulkan sejumlah piring kertas dan melemparkannya
ke kantong sampah yang dibawa Mark.
"Mereka sering tidak pulang," kata Mark.
"Mereka sudah menelepon?" tanya Roger. Meraih segenggam
keripik lagi. "Tidak. Teleponnya rusak."
"Hah" Aneh. Orangtua kalian meninggalkan pesan?"
"Tidak, tapi aku yakin mereka cuma kerja lembur," kataku.
"Terkadang mereka terlalu sibuk menangani masalah komputer
sampai lupa waktu." "Terkadang mereka bekerja dua puluh empat jam nonstop,"
tambah Mark, lalu menenggak setengah kaleng soda entah milik siapa.
"Dasar rakus," kataku.
"Hei"aku haus!"
"Jadi mereka tidak meninggalkan pesan?" tanya Roger,
terdengar tidak sabar. Aku jadi ingin tahu kenapa ia begitu banyak
bertanya. Benar-benar tidak seperti biasanya. Kurasa yang ingin
ditanyakan pada orangtuaku benar-benar penting.
"Tidak. Mereka mungkin sedang mengikuti pertemuan di salah
satu klubnya," kata Mark, sambil meremukkan kaleng soda di
tangannya dan melemparkannya ke kantong sampah.
"Mereka biasanya pulang untuk makan malam, sebelum
mengikuti pertemuan," kataku.
"Kalian sudah memeriksa kamar mereka?" tanya Roger.
"Hah" Untuk apa?" Bahkan Mark pun mulai merasa curiga.
Tingkah laku Roger kali ini benar-benar di luar kebiasaan.
Wajah Roger memerah. "Kau tahu. Barangkali mereka
meninggalkan pesan atau apa."
"Mereka biasanya meninggalkan pesan di kulkas," kataku
padanya. "Kau tahu kebiasaan Mom dan Dad. Mereka bergelut di
dunia komputer. Segala sesuatu dilakukan sesuai sistem, segalanya
selalu sama setiap kali."
Memang benar. Orangtuaku selalu menganggap diri mereka
berjiwa bebas. Tapi coba saja kalau aku keliru meletakkan Frosted
Flakes di laci yang salah!
Roger menguap dan meregangkan tubuhnya. Ia tampan, bahkan
kalau sedang menguap, pikirku. "Rasanya lebih baik aku berbicara
dengan mereka besok pagi saja." Ia meraih segenggam keripik lagi,
hampir mengosongkan mangkuknya, dan berbalik ke tangga. "Selamat
malam." "Malam," kataku dan Mark, lalu bertukar pandang.
"Orang aneh," kata Mark.
"Dia sepupu Mom, jadi harus aneh," aku tertawa. "Yang jelas ia
tampak gugup malam ini."
"Yeah. Kelihatannya ia mau meminjam uang atau apa."
"Mungkin kau benar," kataku, tiba-tiba merasa sangat
kelelahan. "Sepertinya ia memang membutuhkan sesuatu. Kau mau ke
mana?" Mark tengah berjalan ke ruang baca.
"Sudah hampir pukul dua belas. Aku mau nonton Star Trek."
"Mark, kau sudah menontonnya sepuluh kali!"
"Tidak. Ini seri baru. Aku baru melihatnya dua kali."
Mark penggemar berat Star Trek. Ia selalu menonton tayangan
ulangnya, biasanya selewat tengah malam. Sekalipun bukan kutu buku
ia membaca semua novel Star Trek begitu beredar. Menurutnya lucu
kalau ia memberiku salam ala Vulcan saat tidak ada orang yang tahu.
Seperti kataku, kakakku memiliki selera humor yang rendah.
"Mungkin sebaiknya kita periksa kamar tidur Mom dan Dad,"
kataku. Pandangan Mark berubah aneh. "Kau baik-baik saja?"
"Yeah, aku tahu. Aku tidak biasanya khawatir. Cuma kali ini
rasanya aneh, kau tahu."
"Oke. Kulihat dulu episode yang ditayangkan sekarang." Ia
membuang dirinya ke sofa kulit, meraih remote control, dan
menyalakan TV. Aku duduk kelelahan di lengan sofa, terlalu lelah untuk
melanjutkan membersihkan ruangan. Beberapa menit kemudian Star
Trek muncul di layar. "Episode lama," kata Mark, "tapi cukup bagus. Kirk, Uhura,
dan Chekov tertangkap. Dan para penangkap mereka memaksa
mereka mengenakan semacam kalung anjing dan melatih mereka
bertempur." "Hebat," kataku. Aku bukan penggemar Star Trek. "Ayo, kita
periksa kamar tidur Mom dan Dad."
"Oh, baik." Mark mengarahkan remote control ke TV dan
memadamkannya. "Bantu aku berdiri." Ia mengangkat lengannya ke
atas kepala dan mengharapkan aku akan menariknya berdiri.
"Enak saja," kataku. "Kau segendut gajah."
Ia tampak tersinggung. Sambil mengerang, ia bangkit berdiri.
Kami berdua benar-benar kelelahan. Sekarang sudah hampir pukul
satu pagi dan kami harus bangun pukul enam untuk ke sekolah.
Kuikuti Mark meninggalkan ruang baca dan menaiki tangga.
Aku benci mendengar derikan tangga kayu tua saat kami naik. Mom
dan Dad akan memasang karpet, tapi mereka tidak punya waktu.
Rumah kami di Brookline dulu benar-benar baru. Sulit untuk
membiasakan diri dengan segala bunyi derit rumah lama seperti di
sini. Aku bukannya penggugup seperti Mark, tapi aku selalu merasa
ada orang lain dalam ruangan, atau ada yang tengah menuruni tangga,
atau mengintipku dari belakang"semua karena derikan dan suarasuara aneh yang ditimbulkan rumah ini.
Kurasa nanti aku akan terbiasa. Tapi harus kuakui, aku merasa
jauh lebih nyaman di rumah tua ini bila Mom dan Dad ada di rumah.
Di mana mereka sekarang" aku penasaran.
Pintu kamar tidur mereka tertutup. Bukan tidak biasa. Mereka
sering kali menutupnya kalau keluar. Rapi dan bersih. Segalanya
teratur. Sangat sempurna.
Kuputar kenop pintu dan membukanya.
Aku terkejut melihat ada lampu yang menyala di dalam. Lampu
di meja tempat tidur masih menyala.
"Oh!" Aku tidak bermaksud untuk menjerit. Ada suara yang
membuatku takut. Ternyata cuma gorden jendela menampar-nampar
ditiup angin dari jendela yang terbuka.
Lalu aku melihat tempat tidur mereka dan menjerit sekali lagi.
Jelas sekali telah terjadi peristiwa mengerikan....
Bab 4 AKU tidak yakin kenapa adik perempuanku mendadak sinting.
Ada apa dengannya" Apa ia tidak pernah melihat tempat tidur yang
belum dirapikan" Memang, Mom dan Dad sangat tergila-gila
kerapian, dan mereka jelas selalu merapikan tempat tidur sebelum
berangkat bekerja. Tapi jika satu kali saja mereka tidak merapikan
tempat tidur, bukan alasan untuk berteriak-teriak bahwa telah terjadi
peristiwa yang mengerikan!
Kutenangkan Cara dengan caraku yang biasa. Aku balas
berteriak menyuruhnya tutup mulut. Menurutku tidak ada yang perlu
dibesar-besarkan. Hei, seharusnya aku yang penggugup dalam keluarga ini. Cara
seharusnya lebih tenang, berkepala dingin, dan percaya diri. Well,
rasanya ia terlalu membayangkan hal-hal yang berlebihan.
"Maaf," katanya, menggigit bibir bawahnya seperti biasa kalau
sudah melakukan kesalahan" yang memang sering dilakukan. "Aku
tidak bermaksud menjerit-jerit seperti itu. Cuma... cuma?"
"Cuma apa?" tanyaku. Aku tidak berniat untuk membiarkan
masalah ini berlalu begitu saja.
Karena menjerit-jerit seperti itu membuatku ketakutan setengah
mati. Suaranya berubah pelan dan lembut. "Kurasa karena seprainya
separo tergerai di lantai dan selimutnya berantakan seperti itu. Se"
sepertinya bekas perkelahian."
"Jangan aneh-aneh," kataku padanya, lalu duduk di tepi tempat
tidur. "Entah apa yang membuatmu terguncang seperti itu. Tingkahmu
seakan Mom dan Dad tidak pernah pulang terlambat sebelumnya."
Cara begitu panik, jadi aku harus bersikap supertenang.
Sebenarnya aku juga agak khawatir, tapi tidak kuperlihatkan pada
Cara. Aku merasa khawatir sekaligus lega. Lega karena orangtuaku
pulang terlambat sehingga aku bisa mengundang Gena ke sini, dan
malam ini Gena benar-benar h-e-b-a-t!
Sementara duduk di tempat tidur yang berantakan, aku teringat
akan pertengkaran hebat antara diriku dengan Mom dan Dad tadi pagi.
Memangnya ada apa dengan mereka" Gena itu cerdik! Dan ia juga
benar-benar pandai, dan menyenangkan. Dan ia benar-benar
menyukaiku"sangat menyukaiku. Aku baru beberapa kali bertemu
dengan ayahnya, tapi orangnya tampak cukup baik. Kurasa ia seorang
dokter. Jadi apa alasan Mom dan Dad untuk merasa keberatan"
Kenapa mereka begitu menentang hubunganku dengan Gena"
Aneh juga mereka tidak bisa memberikan alasan.
Mom dan Dad selalu mengutamakan alasan. Mereka selalu
punya dua atau tiga alasan untuk segala tindakan mereka. Mereka
selalu memarahi aku dan Gena cuma karena kami melakukan
sesuatu"yang kami sukai"yang tak dapat kami terangkan alasannya
mengapa kami melakukan itu.
Seakan-akan segala sesuatu dalam hidup ini harus punya alasan.
Jadi sewaktu kutanyakan alasan mereka tidak menyukai
hubunganku dengan Gena, mereka cuma bisa mengatakan,
"Percayalah. Kami tahu lebih banyak daripada dirimu."
Alasan macam apa itu" Percayalah!
Kurasa tidak seharusnya aku lepas kontrol seperti tadi pagi.
Tapi mereka selalu menekanku. Lagi pula, aku punya alasan bagus.
Untuk kali ini, aku yang benar.
Saat aku duduk di atas tempat tidur mereka, aku menyadari
kalau terjadi sesuatu pada mereka aku pasti merasa tidak enak, karena
pertengkaranku tadi pagi. Tapi pikiran itu segera kusingkirkan. Tidak
baik dan tidak ada gunanya berpikir seperti itu.
"Mereka pernah pulang bekerja sampai larut malam sebelum
ini," kataku pada Cara.
"Biasanya mereka menelepon." Ia tidak terlihat lebih tenang. Ia
berdiri di depanku sambil melipat tangan di dadanya. "Aku tahu, aku
tahu. Teleponnya rusak. Tapi mereka bisa menelepon dan
meninggalkan pesan pada Mrs. Fisher di sebelah, bukan?"
"Cara, berhentilah khawatir," kataku. "Sikapmu tidak seperti
biasanya." Bukannya mendengarkan kata-kataku, ia tiba-tiba tersentak.
Mulutnya ternganga dan matanya membelalak ketakutan.
Kusadari kalau ia bukan tengah memandangku. Ia memandang
ke jendela di belakangku. "Mark?" Suaranya lebih mirip bisikan. Ia
mencondongkan tubuhnya ke depan dan mencengkeram bahuku.
Jemarinya mencengkeram erat ke dalam bahuku. "Mark... ada orang"
" "Hah?" Aku tidak bisa mendengar kata-katanya.
Ia mendorong bahuku hingga aku berputar. Mulanya, aku tidak
bisa melihat apa yang telah membuatnya ketakutan. Kulihat jendela
yang setengah terbuka. Kulihat kegelapan di balik jendela dan
sepotong bulan pucat di atas. Kulihat gorden jendela sepanjang lantai
sedikit bergoyang diterpa angin malam.
Dan lalu aku melihatnya. Sepasang sepatu menonjol keluar dari
bawah gorden di sebelah kanan jendela.
Tiba-tiba aku mengerti kenapa adikku mendadak ketakutan"
dan aku sendiri pun ketakutan. Aku melihat sepasang sepatu di bawah
gorden dan tonjolan yang membuat gordennya seakan ditiup angin.
Dan kusadari"seperti yang telah disadari Cara"kalau ada
orang lain dalam kamar tidur Mom dan Dad selain kami.
Bab 5 KALAU sempat memikirkannya, mungkin aku tidak akan
pernah bertindak. Tapi, seperti kataku tadi, aku tidak selalu punya
alasan untuk tindakanku. Terkadang aku melakukannya begitu saja.
Lalu kupikirkan alasannya nanti, sesudah terlambat.
Pokoknya, aku melompat dari tempat tidur. Dan lari ke jendela.
Bisa kudengar teriakan Cara menyuruhku berhenti. Tapi
terlambat. Aku tidak bisa membatalkan tindakanku.
Entah apa yang akan kulakukan. Aku lebih merasa marah
daripada ketakutan. Apa yang dilakukan orang itu dalam kamar tidur
orangtuaku, bersembunyi di balik gorden seperti itu"
Atau pencuri" Aku tidak sempat berpikir kalau orang itu mungkin berbahaya
atau orang itu mungkin akan menembakku begitu melihatku. Kurasa
aku tidak berpikir sama sekali.
Aku cuma lari"dan berhenti ketika Roger melangkah keluar
dari balik gorden, tampak benar-benar malu.
"Ini aku kok," katanya. Kurasa ia melihat kemurkaan di
wajahku. Ia mengangkat kedua tangannya, seakan menyerah.
"Roger! Untuk apa kau kemari?" jerit Cara.
"Ehm... cuma memandang ke luar jendela. Aku... eh... kukira
aku mendengar suara dari luar, tapi ternyata cuma anjing atau
sesuatu." "Tapi mau apa kau masuk kemari?" tanyaku, jantungku masih
berdegup kencang. "Kau membuat kami ketakutan setengah mati," kata Cara
marah, sambil melipat tangan di dadanya.
"Maaf. Aku cuma mau melihat barangkali orangtuamu
meninggalkan pesan. Lalu aku ke jendela sewaktu kudengar ada suara
di luar. Aku tidak mendengar kedatangan kalian."
Aku mempercayainya, tapi Cara tampaknya masih ragu-ragu.
Adikku tidak pernah mempercayai apa pun yang dikatakan orang.
"Tapi kenapa kau tidak mendengar kedatangan kami" Kami masuk
sambil bercakap-cakap."
"Aku... eh... gordennya terlalu tebal. Jadi aku tidak bisa
mendengar apa-apa," kata Roger. Ia menyisirkan jemarinya ke
rambutnya yang kecokelatan. Ia berkeringat. Kamar tidur orangtua
kami memang panas, tapi tidak cukup panas untuk membuatnya
berkeringat. "Aku benar-benar tidak bermaksud membuat kalian ketakutan,"
kata Roger, sambil memandang Cara di belakangku. Cara masih tetap
menyilangkan lengan di dadanya erat-erat. "Aku cuma
mengkhawatirkan orangtua kalian, dan?"
"Apa yang kaupegang itu?" sela Cara.
Roger mengacungkan sebuah kotak hitam kecil. "Ini" Ini cuma
walkmanku." Ia melangkah ke pintu.
"Tanpa headphone-nya?" tanya Cara curiga.
"Aku... eh... tertinggal di atas," kata Roger. Ia memasukkan
walkman ke saku celananya.
Gorden jendela tiba-tiba melambai ke dalam ruangan.
Kami bertiga menjerit terkejut.
Tapi gorden itu cuma tertiup angin. Dari hutan dekat Fear Street
terdengar lolongan seekor hewan. Aku tiba-tiba gemetar. Temanteman sekolahku pernah bercerita tentang serigala-serigala liar yang
berkeliaran dalam hutan di belakang rumah kami.
"Sungguh. Aku minta maaf kalau sudah membuat kalian berdua
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketakutan," ulang Roger sambil menguap. "Rasanya kita semua sudah
kelelahan." Ia telah setengah jalan dari pintu sewaktu berbalik.
"Dengar, jangan khawatir tentang orangtua kalian. Aku yakin mereka
akan sudah kembali sewaktu kalian bangun esok pagi."
"Yeah. Mungkin," kata Cara. Bahunya melorot dan ia mendesah
keras. "Maaf kalau kami sudah membuatmu ketakutan," tambahnya,
berdamai dengan Roger. "Kami tidak tahu kalau itu kau."
"Malam." "Selamat malam."
Roger menghilang keluar kamar. Kami mendengar langkahnya
menaiki tangga ke kamarnya di loteng. Lalu Cara melompat ke tempat
tidur, meluncur dengan perutnya, dan membenamkan wajahnya di
bantal Mom. Aku melangkah ke jendela dan menutupnya. Di bawah angin
berpusar menerbangkan daun-daun yang gugur di halaman depan.
Sesuatu di jalan menarik perhatianku. Sebuah van kelabu, diparkir
tepat di seberang rumah kami. Aku tidak ingat kalau pernah
melihatnya sebelum ini. Dinding sampingnya kosong tanpa tulisan. Di
luar terlalu gelap untuk melihat apakah ada orang dalam mobil atau
tidak. Untuk apa van itu ada di sana"
Kututup gorden tebal dan menjauh.
"Menurutmu apakah Roger bicara jujur?" tanya Cara, suaranya
teredam bantal karena ia masih membenamkan wajahnya di sana.
"Entah. Mungkin," kataku. "Memangnya untuk apa ia
berbohong?" "Ia kelihatan begitu kikuk."
"Kau juga kikuk," kataku. "Ia cuma merasa bodoh, itu saja."
Entah kenapa aku membela Roger. Aku tidak punya masalah
dengannya, tapi aku juga tidak begitu suka padanya. Tidak ada
kesamaan di antara kami. Itu sebagian dari masalahnya. Roger tidak
menyukai olahraga dan aku tidak suka sastra Inggris abad kesembilan
belas. Ia begitu tampan. Terlalu tampan, menurutku. Teman-teman
cewek Cara selalu cekikikan setiap kali Roger masuk. Mungkin aku
cuma sedikit iri. Tapi aku benar-benar tidak mengerti kenapa ia harus ada di
rumah ini. Ya, ia memang masih kerabat jauh. Tapi tidak berarti ia
harus tinggal bersama kami, bukan" Aku merasa tidak nyaman dengan
adanya orang lain dalam rumah. Rumah tua mengerikan ini sudah
cukup tidak nyaman, terutama kalau dibandingkan dengan rumah
indah kami dulu di Brookline. Kami tidak memerlukan mahasiswa
yang berkeliaran di sekitar kami"bersembunyi di balik gorden.
Jadi kenapa aku membela Roger, ya. Kurasa cuma karena aku
suka mendebat Cara. "Apa yang dicarinya di sini?" tanyanya, berguling sambil tetap
memegangi bantal di wajahnya.
"Kurasa sama seperti kita," kataku, melangkah ke tepi tempat
tidur dan duduk. "Tapi kalau mencari pesan, kenapa ia harus bersembunyi di
belakang gorden, dan memandang ke luar jendela?"
Aku mengerang. Cara terkadang bisa sangat melelahkan.
"Jangan aneh-aneh. Ia sudah menjelaskan, bukan" Apa yang harus
kukatakan?" "Kau benar. Aku cuma lelah." Ia memejamkan mata.
"Kau mau tidur di sini?"
Ia menguap. "Tidak." Ia merentangkan tangan dan tersenyum.
Tempat tidurnya memang nyaman.
"Sampai besok," kataku. Aku teringat Gena. Aku penasaran
apakah sekarang sudah terlalu larut untuk meneleponnya. Mungkin.
Kurasa aku akan meneleponnya.
Tiba-tiba senyum Cara lenyap. Ia tiba-tiba bangkit untuk duduk.
"Ada apa?" "Ada sesuatu di bawah selimut."
Ia membawa sebuah benda kecil. Tampaknya seperti tengkorak
putih kecil. Aku mendekat untuk bisa melihat lebih jelas. "Apa itu"
Tengkorak manusia?" "Bukan." Cara mendekatkannya ke wajahnya agar bisa
mengamatinya dalam cahaya lampu yang suram. "Ini... ini monyet."
"Apa?" Ia mengacungkannya dan memutar-mutarnya sehingga aku bisa
melihatnya dengan lebih baik. Benda itu sebuah ukiran kepala monyet
sebesar bola pingpong. Matanya dari semacam batu perhiasan,
memantulkan cahaya kehijauan di bawah siraman cahaya lampu
tempat tidur. Kuambil ukiran itu dari Cara dan memutar-mutarnya. "Aneh.
Rasanya dingin sekali."
"Aku tahu," kata Cara, dan bisa kulihat kalau ia ketakutan.
"Benda itu mengerikan."
Kuangkat benda itu dan memutarnya hingga berhadap-hadapan
denganku. Saat kupandang matanya yang kemilau, aku merasa benda
itu balas menatapku. Benda itu dari gading, kedua cuping hidungnya
dalam dan gelap, dengan mulut menyeringai selebar wajahnya hingga
tampak mengerikan. Begitu halus, begitu dingin.
Dan matanya seakan menatap tajam kepadaku"seakan
memancarkan"memancarkan kejahatan!
Aku tahu, aku tahu. Mungkin semua isapan jempol mengerikan
yang pernah aku dan Cara dengar sudah merasuki pikiran kami.
Mungkin aku cuma kelelahan. Mungkin aku jengkel karena Mom dan
Dad tidak pulang. Tapi ada sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang jahat, pada
tengkorak monyet putih itu. Pada mata kemilaunya yang aneh. Pada
seringainya yang dingin. Aku menatapnya lama sekali bagai terhipnotis. Lalu tidak tahan
lagi, kugenggam benda misterius itu, dan membenamkannya ke dalam
tanganku, dan memejamkan mata. Sekalipun aku telah
menggenggamnya erat-erat, benda itu tetap sedingin es, dinginnya
menusuk tanganku seperti es kering. Kulemparkan benda itu ke Cara,
yang memandanginya sekali lagi, lalu melemparkannya ke meja di
samping tempat tidur. Ekspresi jijik memenuhi wajahnya.
"Benda apa itu" Dari mana asalnya?" tanyanya.
Dua pertanyaan yang tidak bisa kujawab malam itu.
Bab 6 AKU kurang tidur malam itu. Tidak mengherankan. Kutatap
bayang-bayang yang malang-melintang di langit-langit kamar,
memikirkan Gena dan bagaimana hebatnya ia. Aku teringat ciuman
kami malam itu, teringat saat berdekatan dengannya di sofa. Bau
tubuhnya luar biasa. Ia begitu hangat. Rasanya seakan cuma ada kami
berdua dalam ruangan, walaupun rumah penuh sesak oleh anak-anak.
Dan tentu saja aku teringat Mom dan Dad. Aneh rasanya tahu
kalau mereka tidak ada di bawah, membaca atau menonton TV, atau
melakukan apa pun yang biasa mereka lakukan setelah Cara dan aku
tidur. Aku bukan ketakutan. Cuma rasanya aneh.
Aku merasa tidak enak dengan pertengkaran kami tadi pagi.
Tapi itu bukan salahku, kataku sendiri. Sambil berbaring di tempat
tidur, berguling ke sana kemari dalam kegelapan, kuingat kembali
seluruh kejadian, kudengar lagi seluruh argumentasi dalam benakku.
Sewaktu kulirik, jam telah menunjukkan pukul 01.42, hampir
pukul 02.00 pagi dan aku masih terjaga. Aku turun dari tempat tidur
dan pergi ke jendela kamar tidurku. Entah kenapa. Mungkin kupikir
akan melihat mobil Mom dan Dad di jalur masuk.
Aku memandang ke halaman depan di bawah. Cahaya
kekuningan lampu serambi melontarkan bayang-bayang aneh yang
bergerak-gerak di rerumputan. Kabut telah turun melingkupi malam.
Sulit bagiku untuk mengenali lampu jalan di seberang. Di baliknya,
hutan gelap membentang ke dalam kabut kelabu kebiruan.
Kutempelkan dahiku ke kaca jendela. Kacanya terasa dingin
dan menyejukkan kepalaku yang panas. Dari dalam hutan bisa
kudengar lolongan dua ekor hewan yang terpadu. Kudengarkan
dengan hati-hati, sekarang bahkan lebih sadar daripada tadi. Lolongan
itu tidak mirip lolongan seekor anjing.
Pandanganku kembali terarah ke luar. Van kelabu itu tidak juga
beralih. Masih diparkir tepat di seberang jalan.
Lolongannya terdengar semakin keras, semakin dekat. Tiba-tiba
kulihat seseorang berlari melintasi rerumputan ke jalan.
Kukedipkan mataku sekali, dua kali. Aku masih setengah sadar.
Kupikir mataku sudah menipuku.
Tidak. Itu Roger. Bisa kulihat dengan jelas di bawah cahaya
lampu serambi. Jaket safari cokelatnya berkibar di belakangnya tertiup
angin saat ia berlari. Bayangannya yang panjang dan kurus terentang
hingga ke tengah halaman rumput.
Ia berlari tergesa-gesa tanpa melihat ke kanan-kiri. Saat ia
menyeberangi jalan, pintu samping van bergeser membuka, dan ia
masuk ke dalamnya, dua tangan membantunya naik. Lalu pintu van
menutup kembali. "Apa yang terjadi?" Suaraku terdengar seperti bisikan orang
tercekik. Aku berusaha untuk menatap menembus kabut. Van itu
sekarang gelap dan sunyi. Bayang-bayang bergerak-gerak di halaman
rumput depan. Kegelapan di sekelilingnya seakan berubah semakin
kelam. Kusadari kalau aku menggigil, dan melangkah mundur dari
jendela. Apa yang terjadi" Kenapa Roger berlari ke van itu di tengah
malam buta" Siapa yang ditemuinya di sana"
Sambil masih menggigil, aku berbalik ke pintu. Kuputuskan
untuk membangunkan Cara. Tapi lalu aku melihat sesuatu di samping
ranjang. Kemilau putih yang lembut. Ada yang berkilau di meja samping
ranjangku. Aku melangkah ke sana, tersandung, dan menghantamkan
ibu jari kakiku ke kaki ranjang.
"Aw!" Aku melompat-lompat dengan satu kaki hingga sakitnya
berkurang. Dengan marah, aku mendekati meja samping tempat tidur,
menyambar benda kemilau itu, dan menghidupkan lampu.
Kepala monyet putih itu. Batu matanya berkilau semakin cemerlang di bawah siraman
cahaya. Seringainya seakan terarah padaku, menertawakanku.
Apa aku tadi sudah membawanya ke kamar tidurku" Aku tidak
ingat kalau sudah meletakkannya di meja samping ranjangku. Tapi
pasti begitu. Aku begitu lelah semalam. Jadi tidak ingat....
Kulontarkan kepala monyet itu ke tempat tidur dan lalu kembali
ke jendela. Van itu masih berada di seberang jalan, gelap dan tertutup.
Roger masih berada di dalamnya.
Ada yang sangat aneh, pikirku, sekarang sadar sepenuhnya.
Kuputuskan untuk naik ke kamar Roger sementara ia berada di luar.
Mungkin ada yang kutemukan di atas sana, petunjuk tentang apa yang
sedang dilakukan Roger. Sepanjang malam tingkahnya aneh. Tapi
berlari ke van di tengah malam jelas terlalu aneh untuk didiamkan.
Sambil mengenakan mantel flanel, aku berusaha untuk
menemukan penjelasan yang logis. Ia membeli obat bius, pikirku.
Tidak. Roger orang yang lurus dan kaku. Aku tidak pernah
melihatnya minum bir lebih dari setengah kaleng di sore hari. Ia bukan
membeli obat bius. Lalu apa" Pacar"
Ya, pasti itu. Ia menemui ceweknya.
Tapi itu juga tidak masuk akal. Kenapa ia tidak mengundang
ceweknya masuk saja" Dan aku melihat van itu sudah diparkir di sana
beberapa jam sebelumnya. Kalau Roger menemui ceweknya di sana,
kenapa ia membiarkan ceweknya menunggu begitu lama"
Jelas ia menunggu sampai aku dan Cara sudah tidur. Apa pun
yang sedang dilakukannya, Roger tidak mau kami mengetahuinya.
Tapi bagaimana mungkin"
Aku melangkah ke koridor dan berjalan menuju ke tangga ke
loteng. Lantainya berderik-derik saat aku melangkah. Di depan pintu
kamar tidur Cara aku berhenti sejenak. Apa sebaiknya aku
membangunkannya" Kuputuskan untuk tidak membangunkan adikku. Aku cuma
mau menyelinap ke kamar Roger, melihat-lihat sebentar, barangkali
ada yang bisa kutemukan, dan lalu kembali tidur secepatnya. Apa pun
yang akan kutemukan bisa menunggu sampai besok pagi. Paling tidak
salah satu dari kami sempat tidur.
Aku baru tiba di anak tangga pertama sewaktu kudengar Roger
menyapa tepat dari belakangku. "Hei, Mark, masih belum tidur?"
Bab 7 AKU berbalik. Koridor diterangi lampu kecil yang suram. Tapi,
bahkan dalam cahaya suram, aku bisa melihat kalau Roger berkeringat
dan wajahnya kemerahan. "Kau menakutkanku," bisikku.
"Maaf. Rupanya jadi kebiasaanku malam ini." Ia tidak
tersenyum. "Mau apa kau naik ke atas?"
"Aku... emh... aku cuma mau ke kamar mandi," jawabku,
berpikir dengan cepat. "Kamar mandi ada di sebelah sana," katanya, menunjuk ke arah
koridor. "Aku tahu, aku?" Aku tidak tahu mau mengatakan apa. "Hei,
kau dari mana?" tanyaku.
"Aku tidak bisa tidur," katanya, sambil menyapu dahi dengan
tangannya. "Terlalu banyak belajar, kurasa. Aku berjalan-jalan untuk
menjernihkan pikiran."
Ia berbohong. Ia berjalan-jalan langsung ke van abu-abu itu.
"Di luar hangat," ia bergegas menambahkan. "Sulit dipercaya
kalau sekarang bulan November." Lalu ia melewatiku dan menaiki
tangga ke loteng. "Well, selamat malam," bisikku. Kuputuskan untuk tidak
menuduhnya berbohong, dan aku tidak memberitahu kalau melihat ia
masuk ke van itu. Aku terlalu lelah dan kebingungan. Aku ingin
memberitahu Cara apa yang telah kulihat, lalu memutuskan tindakan
apa yang harus kami lakukan terhadap Roger.
"Malam," balasnya. Ia bergegas menaiki tangga, kurasa ingin
menghindari pertanyaanku.
Dan aku jelas punya banyak pertanyaan sekarang. Tapi
terlambat. Semua pertanyaan itu berputar-putar dalam benakku seperti
pakaian dalam mesin cuci. Pakaian yang amat sangat berat.
Tiba-tiba, aku juga merasa berat. Aku terhuyung-huyung
kembali ke kamar tidurku dan menjatuhkan diri ke tempat tidur tanpa
menanggalkan mantel. Sewaktu akhirnya tertidur, aku bermimpi
sangat aneh dan merasa tidak nyaman.
Dalam satu mimpi, aku ditinggalkan di tempat parkir yang tak
bertepi. Sejauh mataku memandang yang ada hanyalah mobil-mobil
abu-abu. Aku seorang diri di tengah-tengah tempat parkir. Aku tidak
tahu harus ke mana. Aku tidak tahu yang mana mobilku. Aku tidak
tahu di mana jalan keluar.
Seseorang meninggalkanku di sana. Aku ingat itu. Aku
ditinggalkan di sana. Tapi apa tindakanku selanjutnya"
Sewaktu wekerku berbunyi pukul tujuh, aku terbangun dengan
perasaan tidak keruan. Seluruh otot-ototku terasa sakit. Kepalaku
terasa berat. Aku tidak ingat mimpiku yang lainnya. Aku cuma ingat
kalau semuanya tidak menyenangkan.
"Berhenti!" teriakku, tidak kepada siapa pun.
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku merentang dan berbalik ke sisiku. Aku terkejut melihat
kepala monyet putih di samping jam radioku di meja samping tempat
tidur. Sekali lagi benda itu seakan menatapku, menyeringai
mengerikan. Matanya berkilau cemerlang walaupun cahaya dalam
kamar sangat suram. Kuraih benda itu dan kulempar ke seberang ruangan. Kudengar
suaranya saat menghantam dinding dan jatuh di karpet. "Itu pelajaran
agar kau tidak menatap sembarangan," kataku sekeras-kerasnya.
Lalu, teringat kalau Mom dan Dad mungkin sudah ada di
bawah, aku memaksakan diri turun dari tempat tidur. Tanpa mandi
pagi, kukenakan jeans dan t-shirt kemarin yang kurasa masih cukup
bersih, dan berlari turun.
Cara lebih dulu daripada diriku. "Pagi," kataku.
Ia tidak menjawab. "Hei, Mom! Dad!" panggilnya, kami berdua
melompati dua anak tangga sekaligus. "Di mana kalian?"
Kami bergegas ke dapur. Kosong. Piring-piring kotor dari
semalam masih bertumpuk di meja di samping wastafel. "Kita kurang
bersih," kata Cara. "Persetan. Di mana mereka?" teriakku.
"Jangan berteriak-teriak. Aku tidak tahu!"
"Aku tidak berteriak," kataku padanya. Kenapa ia mencoba
memulai pertengkaran"
"Mungkin mereka masih tidur," katanya, menerobosku. "Aku
mau ke kamar mereka."
"Kutemani." Entah kenapa aku mengikutinya.
Padahal untuk mengecek apakah orangtua kami sudah pulang
atau belum tak perlu berdua. Kurasa aku tidak berpikir dengan jernih.
Aku benar-benar khawatir, dan kalau aku merasa khawatir, jadi
berlebihan! Aku berhenti di dasar tangga dan mengamati Cara berlari ke
kamar orangtua kami. Berbagai pikiran mengerikan melintas dalam
benakku, hal-hal mengerikan yang bisa menimpa Mom dan Dad.
"Tapi kalau mereka mengalami kejadian yang mengerikan, pasti sudah
menghubungi kami sekarang." Pikiran itu membuatku merasa sedikit
lebih baik. Tapi aku tahu aku tidak akan merasa jauh lebih baik
sebelum mengetahui keberadaan mereka.
"Mereka ada?" teriakku pada Cara di atas.
Ia muncul di puncak tangga. Kusadari kalau ia belum menyisir
rambutnya, sangat tidak biasa untuk adikku. Ia menggeleng sedih.
"Tidak ada. Belum pulang."
Perutku berbunyi. Tiba-tiba kusadari kalau aku kelaparan. Apa
ada yang bisa dimakan untuk sarapan" Lalu aku merasa tidak enak
karena memikirkan makanan, padahal seharusnya aku
mengkhawatirkan Mom dan Dad.
Cara merosot turun dan kuikuti ia ke dapur. Kami berdua
merasa sangat tidak enak. Ia menemukan sekotak keripik jagung di
lemari makan, tapi tidak ada susu. Jadi kami menuangkan sebotol
Coke sebagai gantinya. "Setiap hari harus dimulai dengan sarapan
yang seimbang," gumam Cara.
Sebenarnya rasanya cukup enak.
Aku baru saja menghabiskan semangkuk ketika tiba-tiba
teringat van abu-abu itu.
"Hei! Mau apa kau?" panggil Cara sambil mengikutiku berlari
ke ruang duduk dan mengintip ke luar jendela. Di luar cuaca masih
gelap. Matahari baru saja bersinar dari balik awan. Van-nya telah
lenyap. "Apa-apaan kau, Mark?" Cara telah mengikutiku ke ruang
duduk. Dengan isyarat kuminta ia duduk di sofa. Lalu kuceritakan
semua yang terjadi semalam.
"Dan kau yakin kalau melihat Roger berlari ke van abu-abu
itu?" tanyanya. "Yakin kalau kau bukan sedang bermimpi?"
Benar-benar khas Cara. Selalu meragukan segalanya.
"Tidak, aku bukan sedang bermimpi."
"Dan kau yakin kalau ia tidak sekadar melewati van atau seakan
pintu van-nya terbuka karena bayang-bayang pohon?"
Sekarang ia membuatku ragu-ragu sendiri akan apa yang sudah
kulihat. "Tidak. Aku melihat persis seperti yang kuceritakan. Roger
masuk ke van itu, lalu pintunya menutup."
"Ia membohongimu kalau berjalan-jalan?"
"Cara, jangan memojokkanku!" kataku sambil berusaha
mengendalikan emosi. "Oke, oke." Ia mengangkat kedua tangannya. "Maafkan aku.
Cuma kalau kita mau ke atas dan menuduh Roger, kita harus yakin
dulu apa yang mau kita tuduhkan."
"Well... jalanan gelap waktu itu, dan kabutnya tebal. Tapi aku
yakin kalau melihatnya masuk ke van."
"Kalau begitu, ayo," kata Cara, melompat bangkit dan
menarikku. "Langsung saja kita tanyakan"Roger, mau apa kau
masuk ke van abu-abu itu semalam?"
"Kurasa begitu." Cara sudah mengajukan begitu banyak
pertanyaan, aku mulai meragukan apakah semalam aku bukan sekadar
bermimpi. Atau mungkin aku enggan untuk berkonfrontasi dengan
Roger. "Eh... Cara...," kataku sewaktu kami mulai menaiki tangga.
"Mungkin apa yang dilakukan Roger semalam bukan urusan kita. Ia
berhak untuk punya kehidupan sendiri."
Cara mendesah dan memutar bola matanya. "Mark, orangtua
kita hilang, bukan?"
"Well... mereka tidak pulang semalam."
"Dan sejak mereka hilang, tingkah laku Roger berubah sangat
aneh. Setuju?" "Yeah, kurasa begitu."
"Jadi kita sangat berhak untuk menanyakan kenapa tingkahnya
begitu aneh. Setuju?"
Sejenak kupertimbangkan pendapatnya. "Setuju." Aku terpaksa
menyerah. Aku tidak pernah menang kalau adu argumentasi dengan
Cara, kecuali dengan berteriak-teriak sekeras-kerasnya. Dan pagi ini,
rasanya aku tidak punya tenaga untuk berteriak.
Lagi pula, ia benar"untuk kali ini.
Kami menaiki tangga sempit ke loteng. Di atas sekitar sepuluh
derajat lebih hangat. Pintu kamar Roger tertutup.
"Apa kita bangunkan?" bisikku. "Atau kita tunggu?"
Cara menatapku jengkel. "Tentu saja kita bangunkan. Kau mau
berangkat ke sekolah pagi ini, bukan?"
Pelan-pelan kuketuk pintu, lalu lebih keras.
Tidak ada jawaban. Tiba-tiba aku menggigil, merasa perutku melilit. Ada kejadian
mengerikan di dalam, pikirku. Kugelengkan kepala seakan mengusir
pikiran itu. Aku tahu kalau sikapku konyol.
Sekali lagi kuketuk pintunya. Masih tidak ada jawaban.
Jadi kubuka pintunya dan melangkah masuk.
Cahaya abu-abu menerobos atap kaca kecil yang kotor. Ranjang
lipat Roger masih rapi, selimut hijau tipisnya terselip rapi pada
keempat sudutnya. Kamarnya kosong. Ia sudah pergi lebih awal.
"Sulit dipercaya," kata Cara, kecewa karena kami tidak
mendapatkan kesempatan untuk menanyai Roger.
"Dia masuk pagi," kataku, sambil menggeser ke dinding agar
Cara mendapat ruang yang lebih luas.
"Tidak sepagi ini," kata Cara sambil menggigit bibir bawahnya.
"Well... telanjur di sini, kita lihat-lihat saja."
"Boleh," kataku. Aku harus terus menunduk agar kepalaku tidak
terbentur langit-langit. Kupandangi tumpukan barang-barang di meja Roger, setumpuk
buku catatan dan buku pelajaran. Cara merangkak untuk melihat ke
bawah tempat tidur Roger. "Ada yang kautemukan?" tanyaku, entah
mengapa berbisik. "Debu," katanya, bergegas bangkit.
Rak buku di samping meja hampir kosong, beberapa buku dan
majalah tergeletak di bagian tengah rak. Sebuah tempat pensil meja
berisi stabilo dan pensil terletak di bawahnya.
"Tempat yang muram," kataku.
"Yeah. Seharusnya dia memasang poster kek."
Kupandangi dinding abu-abunya yang kosong. Ini lebih mirip
penjara daripada kamar mahasiswa.
Cara mulai mengaduk-aduk barang-barang di meja. "Sudah
kulihat," kataku dengan tidak sabar. Aku mulai merasa sangat gugup,
ingin keluar dari sana. Bagaimana kalau Roger kembali dan
menemukan kami sedang menggeledah kamarnya"
"Hei! Lihat ini." Cara mengacungkan sebuah buku catatan
kosong. "Buku catatan. Memangnya kenapa?" kataku.
"Benar. Buku catatan kosong." Ia meraih buku catatan yang
lain. "Lihat, Mark. Yang ini juga kosong." Kuambil buku-buku catatan
sisanya dari meja. Kosong. Tidak ada sepatah kata pun tertulis di sana.
"Jadi" Memangnya kenapa?" tanyaku. "Ia belum
menggunakannya sama sekali."
Cara tengah membalik-balik buku pelajaran Roger. "Lihat.
Tidak ada yang digarisbawahi. Tidak ada yang ditandai."
"Ia tidak suka mencoret-coret bukunya," kataku, sambil
mendesah. "Aku juga tidak suka. Kurasa ini tidak menarik, Cara."
"Tapi ia juga tidak mencatat sama sekali! Semua buku ini
tampaknya tidak pernah dibuka!"
Tiba-tiba kudengar derakan dari koridor di bawah. Kulirik Cara.
Ia juga mendengarnya. Kami berdua membeku. Dan mendengarkan.
Sunyi. Aku mengintip ke luar pintu. Tidak ada orang di sana. Dengan
berjingkat-jingkat aku berjalan ke tangga dan mengintip ke bawah.
Tidak ada orang. Rumah tua ini berderak sendiri.
Sewaktu aku kembali ke kamar Roger, Cara tengah sibuk
membuka laci-laci dan mengaduk-aduk isinya. Karena tidak memiliki
lemari pakaian, Roger menyimpan pakaiannya di laci-laci meja. Salah
satu laci penuh terisi gulungan kaus kaki berwarna biru laut!
"Ayo, Cara. Kita keluar," aku memohon padanya. "Kita tidak
akan menemukan apa-apa di sini. Di sini tidak ada apa-apa sama
sekali. Rasanya seakan Roger tidak punya kehidupan."
Ia memandangku. "Benar. Itu anehnya. Apa menurutmu itu
tidak menarik?" "Ya," kataku. Ia menarik laci paling bawah. Pakaian dalam memenuhi laci itu.
"Ayo," kataku. "Kita tidak akan menemukan apa-apa. Kosong. Nihil."
Aku melangkah ke pintu. "Mark, tunggu! Ya Tuhan!"
Aku bergegas masuk kembali. "Cara"kenapa?"
Di bawah pakaian dalam yang dikeluarkannya dari laci terdapat
sepucuk pistol hitam mengilat berlaras pendek.
Bab 8 "MARK, kau mau apa" Kembalikan!" teriakku. Ia telah
mengambil pistol itu dari laci dan memeriksanya.
"Ada pelurunya," katanya pelan.
"Well, jangan diarahkan padaku!"
"Aku tidak mengarahkannya. Akan kukembalikan, oke?"
sergahnya. "Hati-hati." Ia mengembalikan pistol itu, dengan sangat hati-hati. Lalu
pakaian dalam Roger kujejalkan kembali ke atasnya dan kututup
kembali lacinya. "Menurutmu kenapa Roger menyimpan pistol terisi di
kamarnya?" tanya Mark, memiringkan mata hijaunya, berpikir keras.
"Mungkin ia senang menembaki kecoa," kataku.
Ia memandangku. Tampaknya tidak mengerti kalau aku cuma
bergurau. "Ayo. Lebih baik kita pergi dari sini," kataku, sambil
mendorongnya keluar kamar.
Di dapur, Mark berjalan mondar-mandir. Aku duduk di meja
formika. "Sekarang apa?" tanyanya.
Sekilas kulirik jam di atas wastafel. Sekarang pukul tujuh empat
puluh. Kalau kami tidak segera berangkat, kami akan terlambat ke
sekolah. "Telepon," kataku. "Mungkin sudah diperbaiki."
Kami berlomba ke telepon di dinding. Aku berhasil
mencapainya lebih dulu dan menyambar tangkainya. Sunyi. "Masih
rusak," desahku. "Kita harus menghubungi kantor telepon," kata Mark. "Mom
dan Dad mungkin sudah berusaha menelepon sepanjang malam."
"Aku tahu. Aku mau ke Mrs. Fisher," kataku padanya. Kuambil
buku telepon kecil milik orangtuaku. "Mungkin teleponnya tidak
rusak. Akan kutelepon Mom dan Dad, lalu kantor telepon."
"Kutemani, tapi Mrs. Fisher tidak menyukaiku," kata Mark. "Ia
pernah berkunjung sewaktu aku berlatih memanah di halaman
belakang, dan sejak itu ia selalu memandangku dengan cara yang
aneh. Menurutnya aku ini aneh."
"Ia benar," kataku, dan bergegas menuju ke pintu belakang.
Aku senang bisa melontarkan kata-kataku yang terakhir tadi.
Di luar amat dingin. Matahari gagal menghangatkan udara di
bawah lapisan awan tebal. Seharusnya aku memakai sweter, tapi
rumah Mrs. Fisher cuma beberapa rumah dari rumahku.
Aku bergegas melangkah di sepanjang tepi jalan, melewati
pepohonan maple dan sycamore yang hampir gundul. Pemandangan
sudah terlihat seperti musim dingin, tapi udaranya belum sedingin itu.
Sewaktu kulihat rumah bobrok Mrs. Fisher, aku mempercepat
langkahku dan berlari-lari kecil sepanjang sisa perjalanan.
Bel pintu depan tampaknya tidak bekerja, jadi kugunakan
pengetuk kuningan di pintu. Ia muncul sesudah ketukan kedua"
seorang wanita yang cukup menarik di akhir empat puluhan atau awal
lima puluhan. Ia mengenakan celana panjang korduroi cokelat dan
kemeja pria kotak-kotak. Rambut hitam pekatnya diikat di belakang
kepala dengan karet biru.
Mulanya ia hanya menatapku. Ia tampak sangat terkejut
melihatku. "Cara?"
"Selamat pagi, Mrs. Fisher. Maaf mengganggu sepagi ini."
Ia membentangkan pintu agar aku bisa masuk. "Tidak terlalu
pagi untukku. Aku bangun pukul enam setiap hari." Rumahnya berbau
kopi dan rokok. "Ada masalah apa?"
Pandangannya teralih saat mengajukan pertanyaan itu. Ada
sesuatu dalam caranya bertanya, kekhawatiran yang begitu berlebihan,
sehingga aku merasa curiga. Tapi tentu saja sikapku itu konyol.
Kurasa pagi ini aku mencurigai setiap orang!
"Apa telepon Anda masih berfungsi" Telepon kami rusak."
"Tentu saja. Teleponku baik-baik saja. Aku baru saja bercakapcakap dengan saudariku beberapa menit yang lalu. Aneh juga
teleponmu bisa rusak."
"Ya," kataku menyetujui. "Boleh pinjam teleponnya?"
"Tentu saja." Kuikuti ia melewati ruang duduk, yang dipenuhi
perabotan antik besar, menuju ke dapur yang tidak lebih terang.
"Pertama aku mau menelepon orangtuaku," kataku, mencaricari nomor telepon mereka dalam buku telepon.
"Orangtuamu?" Aku menengadah dan menangkap ekspresi aneh di wajahnya.
Ekspresi yang lebih dari sekadar terkejut. Lebih tepat shock. Ia
melihatku memandanginya, dan ekspresi itu seketika lenyap. Ia
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meraih sekotak rokok dan mencabut sebatang. Sewaktu menyulutnya,
tangannya gemetar. "Yeah. Mereka mungkin bekerja sepanjang malam," kataku
padanya. Apakah ekspresi terkejut yang aneh di wajahnya cuma
bayanganku saja" Pasti begitu. "Mereka tidak pulang."
Dengan rokok terjuntai di mulut, Mrs. Fisher berbalik dan
melangkah ke wastafel. Ia mencuci piring-piringnya. "Mereka tidak
menelepon?" ?B?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Tidak bisa. Teleponnya rusak."
"Oh. Tentu saja. Di mana orangtuamu bekerja?" Ia tidak
berbalik. Menurutku piring-piring yang dicucinya sudah sangat bersih.
"Di Cranford Industries."
"Oh, ya. Cranford. Mereka membuat peralatan pesawat terbang
dan semacamnya. Aku pernah membaca tentang Cranford. Mereka
sering bekerja untuk pemerintah federal, bukan?"
"Entahlah," kataku padanya, sambil meraih gagang telepon.
"Orangtuaku cuma memasang sistem komputer."
"Oh. Menarik." Ia mengeringkan tangan dan berbalik. Ia
meletakkan rokoknya, kemudian mengambilnya kembali dengan
gugup. "Cranford cukup jauh. Paling tidak dua kota dari sini. Kenapa
orangtuamu membeli rumah di Shadyside sini, dan bukannya di kota
yang lebih dekat dengan tempat kerja mereka?"
"Entahlah, Mrs. Fisher. Aku tidak pernah memikirkannya.
Kurasa mungkin karena menurut mereka sekolah di sini lebih baik.
Kau tahu. Untuk Mark dan aku."
"Cara"," ia mau mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba berhenti.
"Apa?" "Tidak apa-apa," katanya tergesa-gesa. "Aku lupa mau
mengatakan apa." Ia melontarkan lap piring ke meja. "Sebaiknya aku
bergegas, biar kau bisa menelepon." Sambil terlihat gugup, ia
bergegas meninggalkan ruangan, meninggalkan rokok yang masih
menyala di asbak dekat wastafel.
Ada apa dengannya" tanyaku sendiri. Biasanya ia selalu tampak
tenang dan normal kalau mengunjungi orangtuaku. Ia satu-satunya
tetangga yang cukup ramah. Semua tetangga kami di Fear Street tidak
pernah bergaul, mereka bahkan tidak pernah melambai atau melihat
pada kami kalau kami lewat.
Kutekan nomor sambungan langsung ke orangtuaku di Cranford
Industries, dan mendengarkannya berdering. Kubiarkan telepon
berdering enam kali, tujuh, delapan... Tidak ada jawaban. Operator
juga tidak mengangkatnya Kurasa masih terlalu pagi. Belum ada yang
datang. Aku kembali merosot ke meja, tiba-tiba merasa mual. Aku
begitu kecewa. Kukira mereka benar-benar ada di sana.
Sekarang apa" Apa yang bisa kulakukan" Siapa yang bisa kuhubungi"
Kami tidak punya kerabat di Shadyside. Kami baru pindah
kemari September kemarin. Kami hampir tidak kenal siapa pun!
Apa yang harus kulakukan" Aku tidak bisa ke sekolah tanpa
tahu di mana Mom dan Dad berada sekarang, tanpa tahu apakah
mereka baik-baik saja. Aku tidak bisa duduk di kelas, mengikuti
pelajaran demi pelajaran, sambil penasaran akan apa yang sedang
terjadi. Aku merasa panik dan perutku melilit. Mungkin keripik jagung
dan Coca-Cola bukan gagasan yang bagus. Jantungku berdebar
kencang. Aku menatap teleponnya.
Dan tiba-tiba aku tahu apa yang harus aku dan Mark lakukan.
Kami harus ke Cranford Industries. Kami harus melacak orangtua
kami. Tapi bagaimana caranya" Kami bisa meminjam mobil. Atau
mungkin menyewa. Atau mungkin ada bus yang lewat Cranford
Industries. Ya. Itu yang harus kami lakukan. Kami harus membolos dan
pergi ke sana. Kalau Mom dan Dad ada di sana, kami akan tahu apa
yang telah terjadi. Dan kalau mereka tidak ada... well... Mereka harus
ada di sana! "Terima kasih, Mrs. Fisher!" kataku.
Tidak ada jawaban, jadi aku lari keluar. Aku baru setengah
berlari ketika kusadari kalau belum menelepon kantor telepon untuk
memperbaiki telepon kami. Jadi aku bergegas masuk kembali ke
rumah Mrs. Fisher dan menghubungi kantor telepon.
"Sama sekali tidak ada nadanya?" kata seorang wanita dengan
ramah dari ujung seberang, kedengaran benar-benar perhatian.
"Tidak. Sama sekali tak ada suara," kataku padanya.
"Aneh. Kami tidak mendapat keluhan lain dari sekitar tempat
tinggalmu," katanya. "Biar kuberitahu bagian perbaikan supaya ke
sana secepatnya." "Terima kasih," kataku dan menutup telepon, merasa sedikit
lebih baik. Aku berteriak mengucapkan terima kasih kepada Mrs.
Fisher, yang masih belum muncul kembali, dan bergegas pulang. Aku
ingin mengajukan ide pada Mark tentang membolos sekolah dan pergi
ke kantor Mom dan Dad. Aku lari sepanjang jalur masuk dan menuju ke halaman
belakang. Tapi ada sesuatu yang menarik perhatianku sewaktu
melewati garasi. Di pintu garasi kami ada jendela persegi panjang.
Dan melalui jendela itu kupikir aku melihat sesuatu yang aneh.
Aku berhenti berlari dan melangkah ke pintu depan garasi,
mengintip ke dalam. Ya, aku benar.
Mobil orangtuaku"Toyota biru yang biasa mereka gunakan ke
kantor setiap hari"ada di dalam garasi.
Bab 9 MARK membuka pintu garasi dan kami berdiri ternganga di
jalur masuk, menatap mobil itu seakan belum pernah melihatnya.
"Bagaimana cara Mom dan Dad berangkat ke kantor?" tanya Mark,
melangkah masuk ke dalam garasi dan mengintip melalui jendela
mobil. Tentu saja ada pertanyaan lain yang kami berdua pikirkan, tapi
tidak berani kami ungkapkan: Apa mereka memang berangkat ke
kantor" Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.
"Kita harus ke Cranford"sekarang," kataku.
Mark menendang salah satu roda belakang. "Tidak bisa, Cara.
Aku ada ujian matematika pagi ini. Dan aku mau menemui Gena
dan?" Ia berhenti dan mengernyit. Ia tahu kalau itu semua kurang
penting dibandingkan dengan menemukan Mom dan Dad.
"Oh, apa yang harus kulakukan?" jeritnya marah lalu
menghantam kap mobil. Ia tampak seperti anak kecil yang merajuk.
"Aw!" Tangannya kesakitan sendiri.
"Berhentilah menendang atau memukul apa pun," kataku. "Kau
sedang jengkel. Aku juga sedang jengkel. Satu-satunya cara agar kita
tidak jengkel adalah dengan bertindak."
"Oke, oke," geramnya. "Lupakan khotbahmu, oke" Kita ambil
kunci mobil dan mantel, lalu berangkat. Paling tidak ada mobil yang
bisa kita gunakan." Kami berdua menatap mobil itu lagi. Aku merasa lemas. Lalu
berbalik. Mobil itu seharusnya tidak berada di sana. Ada yang tidak
beres. Ada yang benar-benar tidak beres.
"Mungkin mereka menumpang," kata Mark saat kami bergegas
masuk ke dalam rumah untuk mengambil mantel. "Mungkin ada
masalah mendesak di Cranford, dan ada yang datang menjemput
mereka." "Mungkin," kataku. Tidak seorang pun di antara kami yang
percaya itu. Tapi apa yang bisa kami percayai"
Kusambar mantelku dan kunci cadangan mobil, dan peta dari
meja di ruang baca. Beberapa detik kemudian, Mark tengah
memundurkan mobil di jalur masuk. Matahari telah putus asa
mencoba menembus awan. Udara kelabu dan sangat berangin.
November mulai terasa benar-benar seperti November.
Di ujung jalan, Mark menginjak rem. "Van itu!" jeritnya.
Van tanpa tulisan di body yang diceritakan Mark tengah
diparkir di depan kami. Seorang pria berambut amat pendek pirang
duduk di kursi pengemudi.
Mark menghentikan Toyota kami tepat di sampingnya. Pria
berambut pirang itu menatap lurus ke depan, berpura-pura tidak
menyadari kehadiran kami.
Mark menurunkan kaca jendelanya dan menjulurkan kepalanya.
"Hei! Anda menunggu Roger?" teriaknya pada pria itu.
Pria dalam van itu menurunkan kaca jendelanya. "Maaf, aku
kurang jelas, radioku terlalu keras. Kenapa?" Ia melontarkan senyum
lebar. Gigi putihnya sangat rapi. Sebetulnya ia cukup tampan, tapi
dengan rambut pirangnya yang bercampur warna putih dan kulitnya
yang pucat, ia jadi seperti seorang albino!
"Anda menunggu Roger?" ulang Mark.
"Siapa?" "Roger." Pria dalam van itu menggeleng. Senyumnya tidak memudar
sedikit pun. "Maaf. Kau salah orang. Aku tidak kenal orang yang
bernama Roger." Mark balas menatapnya kecewa. "Oh. Maaf."
"Tidak apa," kata pria itu, dan menaikkan kembali kaca
jendelanya. Mark menginjak pedal gas dalam-dalam dan kami melaju
sambil meraung-raung. "Ia berbohong," kata Mark.
"Dari mana kau tahu?" tanyaku.
"Dari senyumannya."
Kami berdua tertawa. Sebenarnya hal itu tidak lucu. Kami
hanya perlu tertawa. Lalu kami berdua terdiam.
Kami telah menghidupkan pemanas mobil, tapi aku masih
merasa kedinginan. Kurasa itu salah satunya karena aku begitu gugup,
begitu mengkhawatirkan apa yang akan mereka katakan di Cranford
Industries tentang orangtua kami.
Mark mengemudi dengan satu tangan dan menatap lurus ke
depan, seperti robot. Akhirnya aku tidak tahan lagi dengan kesunyian tersebut. "Apa
kemungkinan terburuk yang bisa mereka ceritakan pada kita?"
tanyaku. Mark tidak bereaksi. Aku tidak tahu apakah ia memikirkan
jawaban atas pertanyaanku atau ia malah tidak mendengarku.
"Kemungkinan terburuk?" ulangnya pada akhirnya, sambil
membelokkan mobil ke Division Street. "Kurasa kemungkinan
terburuknya adalah mereka mengatakan, 'Orangtuamu pulang seperti
biasa Selasa kemarin. Kami juga kebingungan ke mana mereka.
Kenapa mereka tidak masuk kerja kemarin pagi"'"
Aku tidak perlu membahasnya. Mark benar. Itu kemungkinan
terburuk yang bisa mereka katakan. "Dan kemungkinan terbaik yang
bisa mereka katakan?" tanyaku, sekadar mengisi kebisuan.
"Mudah," kata mereka. "Kemungkinan terbaiknya adalah, 'Nah,
itu orangtua kalian. Kurasa mereka sibuk sekali di dalam.'"
"Well... kurasa ada kemungkinan begitu," kataku. Tapi aku
tidak betul-betul mempercayainya.
Aku tahu orangtua kami tidak akan muncul begitu saja di kantor
dan meminta maaf karena tidak menelepon ke rumah. Tapi kuharap
ada orang di sana yang bisa memberikan penjelasan logis tentang hal
ini kepada kami. Tapi penjelasan logis macam apa"
Kucoba untuk tidak memikirkannya. Kucoba untuk tidak
memikirkan hal-hal mengerikan yang bisa menimpa mereka. Tapi
tentu saja tidak ada jalan untuk menghentikan pikiran seperti itu.
Pikiran terburuk, yang paling mengerikan, yang paling menakutkan,
selalu menemukanmu, selalu menemukan jalan untuk tiba di otakmu.
Kami menemukan pintu masuk ke daerah perindustrian dan
mengikuti petunjuk jalan ke Cranford Industries. Cranford menempati
sebuah gedung tiga tingkat berwarna putih, tidak semodern yang
kubayangkan, dikelilingi rerumputan yang terawat rapi dengan
pepohonan hujan tropis. Kami tidak tahu di mana harus memarkir
mobil, dan tidak terlihat siapa pun yang bisa membantu kami.
Akhirnya, kami menemukan tempat parkir luas di belakang gedung.
Saat kami menghentikan mobil di sana, seorang petugas keamanan
bersenjata melangkah keluar dari pos kecil di samping jalur masuk
dan melambai agar kami berhenti.
"Kartu Tanda Masuk," katanya sambil mengulurkan tangan ke
Mark. "Hah?" "Kartu Tanda Masuk," ulang petugas keamanan setengah
memaksa. "Oh! Ehm... kami tidak punya Kartu Tanda Masuk. Kami
tamu." Petugas keamanan itu mengangkat sebuah buku panjang dan
membaca daftar di sana sekilas. "Nama?"
"Tidak ada di daftar Anda," kataku. "Kami tidak punya janji.
Kami datang untuk menemui orangtua kami."
"Nama mereka?" Ia membalik-balik bukunya hingga
menemukan daftar lain yang lebih panjang.
"Burroughs. Lucy dan Greg Burroughs," kata Mark.
"Tidak ada dalam daftarku," kata si petugas keamanan,
memandang kami curiga, "Mereka masih baru," kataku lemah.
Ia membungkuk dan mengintip ke dalam mobil, menatap Mark
dan aku dari kepala hingga kaki. Lalu ia memandang ke kursi
belakang. "Well... parkir di B-23 di sebelah sana. Lalu masuk lewat
pintu depan. Biar mereka yang mencarikan orangtua kalian."
"Terima kasih," kata Mark dan aku dengan perasaan lega. Aku
merasa seakan telah melewati ujian penting. Tapi kenapa mengizinkan
dua remaja untuk memarkir mobilnya agar bisa bertemu dengan
orangtua mereka begitu sulit"
Pokoknya kami memarkir mobil di B-23 dan berputar ke pintu
masuk depan, seperti yang diperintahkan petugas tadi. "Hei, tunggu
aku!" teriakku. Sementara Mark sudah berlari.
"Sorry." Ia berhenti dan menungguku. "Tempat ini sangat
mengesankan," katanya.
"Besar sekali," kataku, sambil mendorong salah satu kaca pintu
masuk bagian depan gedung. "Bagaimana caranya menemukan
seseorang di sini?" Seorang petugas keamanan lain, yang ini masih muda, dengan
mata biru dingin dan bakal kumis pirang di bawah hidungnya,
menemui kami begitu kami masuk.
"Kalian tamu itu?" tanyanya, memandangi kami dari kepala
hingga kaki seperti petugas keamanan di tempat parkir.
"Ya," kata kami berbarengan.
"Burroughs," katanya. Petugas keamanan tempat parkir telah
menghubunginya. "Jangan bergerak. Ini tidak menyakitkan."
Ia membawa detektor logam, seperti yang ada di bandara, dan
mengayunkannya ke Mark lalu padaku, memeriksa kami dari kepala
hingga kaki. Mark dan aku bertukar pandang. Kupikir kami berdua samasama berpikir, Tempat kerja apa ini!
"Oke," kata si petugas. "Ikut aku."
Ia mendului kami memasuki lobi yang luas dan terbuka, seolah
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbentang sepanjang gedung. Tampak sangat mewah. Ada sofa dan
kursi kulit di sana-sini. Ada lukisan-lukisan minyak di dindingdindingnya. Sebuah tangga berpegangan kuningan melingkar ke lantai
atas dari tengah lobi. Sepatu sneakers kami berderit-derit beradu
dengan lantai marmer saat kami mengikuti langkah petugas keamanan
yang sangat cepat. Kulirik Mark. Ia tampak sama gugupnya dengan diriku.
Akhirnya, sesudah perjalanan yang rasanya seperti bermil-mil,
kami bertemu dengan seorang wanita muda yang duduk di balik meja
kayu panjang yang diletakkan melintang dekat kaki tangga. Petugas
keamanan tadi berlalu tanpa mengatakan apa-apa dan kembali ke
tempat tugasnya dekat pintu. Kami menunggu wanita muda itu
mengalihkan pandangannya dari buku catatannya, semacam buku
tamu. Ia memiliki rambut pirang jerami yang diikat erat ke belakang,
dan mengenakan setelan berwarna merah keunguan dengan dasi yang
serasi. Akhirnya ia meletakkan bukunya dan melontarkan senyuman.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Emh... kami mau menemui orangtua kami," sembur Mark.
"Mereka bekerja di sini?"
Sebelum kami sempat menjawab, telepon di meja berdering dan
ia mengangkatnya. Ia berbicara selama tiga-empat menit, sambil terus
memandang kami. Semakin lama kami menunggu, aku semakin
gugup. Perutku terasa melilit, dan kepalaku mulai pusing.
Akhirnya, ia meletakkan teleponnya. Tapi benda itu kembali
berdering, dan sekali lagi wanita itu berbicara selama tiga-empat
menit sementara Mark dan aku berdiri di depannya, berusaha untuk
tetap tenang. Kupandangi setiap orang yang lalu-lalang. Mereka umumnya
mengenakan setelan kantor. Sepatu mereka yang disemir mengilat
mengetuk-ngetuk lantai marmer. Aku terus mengharapkan
kemunculan Mom dan Dad. Lalu aku melihat mereka. Mereka melangkah tergesa-gesa ke arah kami dari ujung
seberang lobi, berjalan sambil bergandengan tangan.
"Mom! Dad!" teriakku. "Hai!"
Mark dan aku berlari ke arah mereka. Mereka tampaknya tidak
melihat kehadiran kami. "Hei! Halo!" jeritku senang.
Tapi saat kami semakin dekat, kusadari kalau mereka bukan
orangtua kami. Mark dan aku berhenti berlari. Pria dan wanita itu mirip Mom
dan Dad, tapi tidak terlalu mirip sebenarnya. Kurasa aku terlalu
berkhayal. Mereka berjalan melewati kami berdua dan menuju ke tangga.
Mark dan aku saling menghindar beradu pandang. Kurasa ia
juga merasa sama bodohnya seperti diriku. "Maaf," kataku.
Mark tidak berkata apa-apa. Kami berjalan kembali ke
resepsionis dan menunggunya selesai menerima telepon.
"Nah, siapa yang mau kalian temui?" tanya resepsionis setelah
beberapa menit kemudian. "Orangtua kami," kataku. "Namanya Burroughs. Lucy dan Greg
Burroughs." Ia menekan sejumlah tuts pada komputer mejanya lalu menatap
layarnya. "Hmmm... Bagaimana ejaannya Burroughs?"
Kueja nama keluargaku dan ia mengetikkan beberapa kata pada
keyboard. Sederetan nama muncul di layar monitor berlayar hijau,
perlahan-lahan wanita itu menyusurinya dengan jari. Setelah beberapa
detik ia menengadah, jarinya masih menempel di layar. "Maaf. Tidak
ada yang bernama Burroughs di sini."
"Tak mungkin," kata Mark. Tiba-tiba ia tampak marah.
"Kurasa kalian salah masuk gedung," kata si resepsionis.
"Salah gedung?" Mark berpaling dan memandang ke pintu
masuk di ujung lobi. "Ini Cranford Industries," kata resepsionis.
"Ada banyak gedung di kompleks industrial ini. Mungkin kalian
mau?" "Cranford Industries," Mark bersikeras. "Benar. Orangtua kami
memang bekerja di sini."
"Mereka mulai bekerja bulan September," kataku pada
resepsionis. "Mungkin namanya belum dimasukkan ke dalam
komputer." "Well..." Ia berpikir sejenak. "Daftar komputer diperbarui setiap
minggu. Kalian tahu mereka bekerja di divisi apa?"
"Komputer," kataku. "Mereka menginstall mainframe
komputer." "Komputer?" Resepsionis itu mengerutkan kening. "Begini saja.
Biar kubicarakan dulu dengan Mr. Blumenthal. Ia direktur
personalia." "Terima kasih," kataku dan Mark bersamaan.
Aku merasa sangat bingung. Kenapa nama Mom dan Dad tidak
terdaftar" Saat kuawasi resepsionis berbicara dengan Mr. Blumenthal,
kujawab sendiri pertanyaanku. Cukup sederhana. Mom dan Dad
bukan karyawan tetap Cranford Industries. Mereka karyawan proyek
khusus. Mereka berada di sini untuk memasang mainframe komputer.
Mereka tidak terlibat dengan divisi mana pun. Jadi tentu saja nama
mereka tidak terdaftar dalam daftar perusahaan.
Pikiran itu membuat perasaanku sedikit lebih baik. Tapi aku
masih merasa sangat gugup. Suara-suara orang lalu-lalang di lobi,
detakan sepatu pada lantai marmer, dan cahaya terang benderang
menyebabkan aku merasa sangat tidak nyaman.
Resepsionis itu membelakangi kami sambil bercakap-cakap
dengan Mr. Blumenthal, jadi aku tidak bisa mendengar apa yang
dibicarakannya. Beberapa detik kemudian, ia memutuskan
pembicaraan dan, dengan ekspresi sangat prihatin, menekan sederetan
nomor lainnya. "Mr. Blumenthal menyuruhku menelepon. Apa Mr.
Marcus ada?" kudengar katanya.
Siapa Mr. Marcus" Ia kembali berbalik dan aku tidak mendengar pembicaraan
selanjutnya. Akhirnya ia meletakkan telepon dan berbalik kepada
kami. "Mr. Marcus akan menemui kalian beberapa menit lagi."
"Ia bagian personalia?" tanyaku.
"Ia CEO kami," katanya, menatapku seakan aku muntah di
mejanya. Kurasa baginya aku seharusnya mengetahui siapa Mr.
Marcus itu. "CEO?" tanya Mark.
"Chief Executive Officer," kata resepsionis, sambil
mengerutkan kening mendengar kebodohan Mark. "Silakan duduk
dulu." Ia menunjuk dua kursi kulit besar di seberang mejanya. Lalu
kembali menelepon. "Kenapa bos besarnya mau menemui kita?" bisik Mark.
Aku mengangkat bahu. Aku juga sama tidak tahunya.
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda menuruni
tangga. Ia membawa setumpuk dokumen. Ia memberitahu kami kalau
ia sekretaris Mr. Marcus dan mengajak kami menaiki tangga,
menyusuri beberapa koridor panjang penuh ruang-ruang kantor dan
kotak-kotak meja kerja, dan akhirnya memasuki kantor sudut Mr.
Marcus yang luar biasa luas.
Mr. Marcus tersenyum kepada kami dan meletakkan
teleponnya. Ia seorang pria muda dengan rambut pendek berwarna
cokelat yang disisir rapi ke belakang. Ia mengenakan kacamata
berbingkai hitam tebal. "Hai. Senang bertemu kalian. Hari ini libur?"
katanya, berbicara dengan cepat. Ia memberi isyarat agar kami duduk
di kedua kursi di depan mejanya.
"Kami membolos," kata Mark asal bicara.
Mr. Marcus tertawa. Tapi berhenti begitu menyadari keseriusan
kami. "Kami mau menemui orangtua kami. Kami ada masalah,"
tambahku. "Well. Akan kupanggilkan secepatnya," katanya. "Bisa kulihat
kalau kalian kebingungan. Ada masalah gawat di rumah?"
"Tidak. Tidak juga," kataku. "Kami cuma perlu menemui
mereka." "Akan kupanggilkan. Lebih cepat lagi," katanya, sambil
tersenyum hangat. Aku segera menyukainya. Bisa kumengerti
bagaimana ia menduduki jabatan setinggi ini di usianya yang masih
muda. Ia tampak begitu... bisa dipercaya, begitu bisa diandalkan. Ia
tampak nyata. "Siapa orangtua kalian?" tanyanya.
"Burroughs. Lucy dan Greg Burroughs," kataku padanya.
Ia menanggalkan kacamata tebalnya dan menggosok
hidungnya. Setelah bergegas mengenakannya kembali, ia menekan
sejumlah tuts komputer di samping mejanya. "Burroughs...
Burroughs..." "Mereka mulai bekerja bulan September," kataku, suaraku
gemetar. "Mereka kemari untuk meng-install mainframe komputer."
Pandangannya teralih dari layar komputer. "Komputer?"
"Ya. Mereka meng-install komputer. Mereka?"
"Kami tidak meng-install komputer apa pun," katanya, tiba-tiba
tampak sangat kebingungan. Ia menatap Mark, lalu diriku.
"Tidak?" "Tidak. Di sini tidak ada orang yang menginstall komputer."
"Tapi orangtua kami?"
Ia bangkit berdiri. Jauh lebih tinggi daripada dugaanku. "Kalian
yakin datang ke perusahaan yang benar?"
"Ya," kataku. Aku mulai muak dengan pertanyaan itu.
"Well, maaf sekali," kata Mr. Marcus. "Tapi aku tidak tahu
bagaimana bisa membantu kalian." Ia mempelajari layar komputer
sejenak. Menekan sejumlah tuts dan kembali mempelajari layar
komputer. "Tidak ada," katanya pada akhirnya. "Tidak ada karyawan yang
bernama Burroughs di sini. Tidak pernah ada."
Bab 10 "AKU merasa seperti sedang bermimpi," kataku. "Rasanya
sangat tidak nyata. Seakan segalanya cuma khayalan semata."
Cara mengangguk. "Aku tahu. Aku juga merasa begitu. Kurasa
aku tidak akan pernah melupakan ekspresi wajah Marcus. Ia begitu
merasa tidak enak." "Yeah, aku tahu. Dan apa yang dikatakannya terus terngiangngiang dalam benakku. "Tidak ada karyawan di sini yang bernama
Burroughs. Tidak pernah ada.?"
Cara dan aku tengah duduk di Shadyside Park, taman besar
yang terbentang di belakang SMU dan berakhir di Sungai Conononka
di batas kota. Taman tampak muram dan kosong. Pepohonannya
gundul. Segalanya tampak kelabu.
Aku duduk di tunggul pohon yang rendah. Cara duduk dengan
kaki terlipat di tanah keras, jaketnya terkancing rapat hingga ke
dagunya, rambut pirangnya berkibar-kibar ditiup angin.
Kami tidak berkata apa-apa sepanjang perjalanan pulang dari
Cranford Industries. Kurasa kami berdua benar-benar shock.
Rasanya agak sulit untuk menerima bahwa kedua orangtua kami
telah berbohong, kalau mereka tidak bekerja di tempat sesuai
pengakuan mereka. Dan kalau sekarang kami tidak tahu bagaimana
caranya menghubungi mereka.
Mulanya kami tidak mempercayai Mr. Marcus. Kami yakin ia
telah keliru. Tapi ia telah memeriksa komputernya tiga kali. Dan ia
menghubungi departemen personalia untuk memastikan kalau tidak
ada kesalahan dengan komputernya.
Tapi tidak. Apa yang dikatakannya memang benar. Tidak ada
karyawan di sana yang bernama Burroughs. Tidak pernah ada.
Marcus sudah menawarkan bantuan. Ia benar-benar bersimpati.
Ia mengerti betapa hancurnya perasaanku dan Cara. Tapi apa yang
bisa dilakukannya" Kami bergegas keluar dari gedung itu"bisa dikatakan berlari.
Kami cuma ingin pergi dari sana sejauh-jauhnya. Petugas keamanan di
tempat parkir berusaha menghentikan kami di pintu keluar, tapi aku
cuma melewatinya dan terus melaju pergi.
Dan sekarang kami duduk di taman yang dingin, memandangi
bagian belakang SMU, berusaha memikirkan tindakan kami
selanjutnya. Di rerumputan, dua ekor burung murai tengah mematukmatuk tanah yang keras dan dingin. Mereka tampaknya tidak berhasil
mendapatkan makan siang. "Apa tindakan kita selanjutnya?" tanyaku.
Cara menggeleng. "Kurasa menghubungi polisi."
"Kurasa begitu."
"Kenapa mereka membohongi kita?" teriak Cara, tiba-tiba
terdengar sangat emosional.
"Entahlah. Aku sama sekali tidak tahu. Aku juga tidak
mengerti, Cara." Kutatap burung-burung murai itu. Aku tidak mau
memandang Cara. Aku tidak mau menjadi sangat emosional. Aku
ingin tetap tenang, tapi bisa kurasakan kalau aku juga mulai goyah.
"Coba kita pikirkan," kata Cara, sambil meluruskan kaki. "Coba
pikirkan lagi apa yang kita ketahui."
"Untuk apa?" tanyaku tanpa semangat.
"Karena mungkin ada yang terpikirkan. Mungkin kita akan
berhasil mengetahuinya."
"Yeah." Berhasil mengetahui apa" Orangtua kami berbohong
dan sekarang mereka pergi.
Tidak. Itu tidak mungkin. Kupaksa diriku menghentikan pikiran
seperti itu. "Oke. Ayo kita ingat-ingat lagi," kataku.
"Sekarang hari apa?" tanya Cara.
"Oh. Kau dalam kondisi sadar, ya?" gumamku sinis. "Sekarang
hari Rabu." "Oke. Jadi kemarin hari Selasa. Mom dan Dad berangkat kerja
kemarin pagi." "Cuma kita tidak tahu apakah mereka benar-benar berangkat
kerja. Karena mobilnya masih di garasi," kataku mengingatkannya.
"Dan kita tidak tahu di mana mereka bekerja"atau bahkan kalau
mereka benar-benar bekerja!" jeritku, melompat bangkit dan berjalan
mondar-mandir. "Oke, oke. Tenangkan dirimu." Cara memberi isyarat agar aku
kembali duduk, tapi aku tak ingin duduk.
"Kita pusatkan perhatian pada apa yang kita tahu," kata Cara
sambil duduk di tanah ditopang kedua tangannya. "Kita tahu kalau
mereka tidak pulang semalam."
"Hm." "Jangan bersikap sinis begitu. Kau selalu beranggapan bahwa
dengan marah kau bisa menyelesaikan persoalan. Itu keliru."
Ia benar. Aku pun minta maaf.
"Kemudian kita menemukan kepala monyet putih di tempat
tidur mereka," lanjutnya. "Itu merupakan suatu petunjuk, bukan?"
"Sepertinya begitu. Dan jangan lupa, kita menangkap basah
Roger sedang menggeledah kamar Mom dan Dad."
"Ia berdiri di jendela. Untuk apa ia berdiri di sana?" tanyanya.
Kami berdua berpikir keras.
"Aku tahu. Pasti ia sedang memberi kode pada laki-laki yang
ada di van," kataku.
Cara mengangguk. "Mungkin. Bisa saja begitu. Apa yang kita
tahu tentang van itu?"
"Tidak ada," kataku.
"Cuma bahwa mobil itu parkir di depan rumah kita sepanjang
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malam, dan kau melihat Roger mengendap-endap masuk ke dalam van
itu." "Tapi pria berambut pirang-putih di van itu mengaku tidak
mengenal Roger," kataku.
"Ia pasti bohong," kata Cara. "Jangan lupa, kita menemukan
pistol di kamar Roger. Itu juga petunjuk."
"Kita punya beberapa petunjuk. Tapi apa gunanya?" tanyaku
dengan tidak sabar. "Bisakah kau berhenti mengeluh?"
"Aku tidak mengeluh. Jangan menuduh sembarangan. "
"Kita harus bicara dengan Roger," kata Cara, "sebelum
memanggil polisi. Bagaimanapun juga ia sepupu kita. Mungkin ia
dalam kesulitan." "Oke," kataku menyetujuinya. "Kita bicara dulu dengan Roger.
Setelah itu kita panggil polisi".
Kami memandang ke arah sekolah dan melihat anak-anak
berhamburan keluar. "Sekarang pasti sudah waktunya makan siang,"
kataku. "Kita bisa masuk dan menelepon Roger sekarang."
Kami berjalan sampai ke pintu dan berpapasan dengan Cory
Brooks dan David Metcalfe yang akan keluar.
"Hei"kalian ketiduran, ya?" tanya Cory sambil meringis.
"Pesta semalam hebat," kata Metcalfe. "Nanti malam pesta
lagi?" "Sepertinya mereka sudah terlalu banyak pesta," jawab Cory.
"Lihat saja tampang mereka!"
Cory dan Metcalfe tertawa. "Sampai nanti," kata Metcalfe
sambil berlalu ke tempat parkir siswa.
"Cowok aneh," gumamku.
Kami menerobos koridor yang padat dan ramai menuju ke
telepon umum dekat kantor kepala sekolah. Seorang gadis sedang
menelepon, terpaksa kami menunggu.
"Mungkin Mom dan Dad sudah pulang," kata Cara. "Mungkin
Mom yang akan menjawab telepon."
"Bisa saja fish yang menjawab," kataku. Cara mendorongku
sampai terjatuh di dekat kotak telepon. Gadis di dalam menatapku
dengan pandangan tidak suka.
Beberapa menit kemudian ia keluar dan aku masuk. Aku
memasukkan koin dan menekan nomor telepon rumah kami. Telepon
berdering sekali. Dua kali. "Nyambung," kataku pada Cara.
"Apa?" tanyanya. Suara di koridor terlalu keras baginya untuk
mendengar kata-kataku. Aku sendiri tidak tahu apakah telepon di rumah sudah
diperbaiki atau belum. Kadang-kadang telepon berdering normalnormal saja meskipun sedang rusak. Kubiarkan telepon berdering
sampai delapan kali. Aku baru saja akan menutup telepon sampai
kudengar suara "klik". Ada yang mengangkat teleponnya.
"Halo?" Aku langsung mengenali suaranya. "Roger?"
"Yeah. Mark" Kau di mana?"
"Di sekolah. Teleponnya sudah diperbaiki?"
"Yeah. Kurasa sudah. Kita bisa bicara, berarti teleponnya sudah
beres, kan." "Baguslah kalau begitu. Apakah Mom dan Dad sudah pulang?"
Suara Roger berubah. "Tidak. Belum."
"Tidak ada kabar dari mereka?"
"Tidak." "Dengar, Roger, ada yang harus kita bicarakan. Aku mau
menanyakan tentang?"
"Aku harus pergi, Mark. Aku baru saja mau keluar. Kita bicara
nanti?" "Oke, tapi?" "Kau dan Cara baik-baik saja, kan?"
"Yeah, tentu saja. Kami baik-baik. Tapi?"
"Baguslah. Nanti kita bicara lagi. Jangan khawatir." Ia menutup
telepon. "Well, paling tidak teleponnya sudah diperbaiki," kataku
kepada Cara. "Ayo makan siang," katanya. "Aku sudah lapar."
Sewaktu kami tiba di ruang makan, Cara pergi menggabungkan
diri dengan Lisa dan Shannon. Aku mencari Gena tetapi tidak
menemukannya. Ia juga tidak ada di tempat biasa kami bertemu di
seberang gimnasium. Ia juga tidak ada di kelas pemerintahan periode
kelima. Kurasa ia ada di rumah.
Kuharap ia tidak sakit. Aku benar-benar ingin bicara
dengannya. Aku melamunkan dirinya sepanjang sore harinya. Kurasa aku
cuma berusaha untuk tidak memikirkan Mom dan Dad. Aku terus saja
memikirkan Gena. Aku terus membayangkan kembali kejadian
semalam, bagaimana rasanya ia berada begitu dekat denganku. Aku
ingin tahu apakah aku tengah jatuh cinta. Gena benar-benar luar biasa!
Di sekolahku yang dulu aku juga melamunkan gadis-gadis, tapi tidak
ada yang seperti ini. Begitu tiba di rumah, aku langsung meneleponnya"well, tentu
saja segera sesudah memeriksa dan mendapati bahwa Mom dan Dad
belum pulang. Roger juga tidak ada.
Aku merasa galau. Aku akan ke belakang dan memanah
sesudah menelepon Gena nanti.
Teleponnya berdering-dering terus. Akhirnya Gena sendiri yang
mengangkat. Dari suaranya waktu mengatakan halo aku tahu kalau
ada yang tidak beres. Suaranya gemetar, seakan ia baru saja menangis.
"Hai, Gena" Ini aku. Ke mana kau saja hari ini" Kau baik-baik
saja?" Lalu ia menjawab sambil menangis. Suaranya kedengaran
sangat aneh; campuran antara jengkel dan takut. Mula-mula aku
menemui kesulitan untuk memahami kata-katanya. Kurasa, aku tidak
ingin mengerti karena apa yang dikatakannya.
"Aku tidak percaya," kataku, jantungku berdebar keras. Dan
dahiku tiba-tiba berdenyut-denyut. "Tapi, yang benar saja, Gena"
kau... tidak"kau pasti bergurau! Tapi kenapa" Maksudku"aku tidak
percaya! Mengapa kau melakukannya?"
Bab 11 AKU tiba di rumah sekitar pukul lima sore. Rumahku gelap,
tampaknya tidak ada orang di rumah.
Hari ini betul-betul membosankan. Ini hari terburuk yang
pernah kualami, dan pulang ke rumah yang gelap sama sekali tidak
membuatku lebih bersemangat.
Jika saja Mom dan Dad sudah pulang. Tapi aku mulai merasa
asing dengan mereka, karena sudah dua hari kami tidak bercakapcakap dengan mereka. Aku melenguh pelan saat terbayang
kemungkinan tidak akan pernah bertemu dengan mereka lagi.
Tapi, Mark di mana" Kuletakkan tasku di meja dapur dan memeriksa isi kulkas.
Tidak ada apa-apa. Karena jengkel, aku ke ruang tamu.
"Hei." Seseorang tengah duduk di sofa ruang tamu yang gelap.
"Ini aku," kata Mark. Ia tidak bergerak, apalagi berpaling.
"Kau membuatku takut," kataku, "kenapa duduk di sini?"
Ia tidak menjawab. "Ada apa" Kau sedang apa, Mark?"
Ia masih diam saja. Satu-satunya yang terlintas di pikiranku adalah ia mendapat
kabar buruk tentang Mom dan Dad. Kunyalakan lampu, Mark
berpaling sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya.
"Ada apa?" jeritku. "Apa Mom dan Dad..."
"Tidak," katanya tanpa berpaling.
"Apakah kau mendengar sesuatu tentang mereka?"
"Tidak." Aku merasa lega. Aku beranjak dari sofa dan berdiri di
depannya. "Menyingkirlah," katanya sambil menunduk. "Pergi!"
"Mark, ada apa denganmu?"
Ia menghela napas panjang. Lalu menatapku. Sepertinya ia baru
menangis, tapi aku tidak yakin. Sejak umur delapan atau sembilan
tahun Mark tidak pernah menangis lagi. Tapi matanya merah dan
bengkak. "Kau baik-baik saja?" Aku duduk di sebelahnya.
"Pergi," katanya kesal.
"Ada apa sih sebetulnya?"
Ia menganggukkan kepalanya. "Oke. Tapi kalau kau kuberitahu,
janji mau pergi, ya. Gena memutuskan hubungan kami."
Aku menemui kesulitan untuk mempercayai pendengaranku.
"Gena apa?" "Ia putus hubungan denganku. Kau mengerti tidak sih" Dia
tidak mau bertemu denganku lagi."
Aku langsung teringat kejadian di sofa yang sama beberapa hari
yang lalu. Gena duduk berdempetan dengan Mark, dan mereka sibuk
sendiri tanpa memedulikan puluhan orang lainnya.
Aku menatap Mark, sulit untuk mempercayainya.
Ia berpaling, dan berkata, "Jangan memandangiku seperti itu."
"Maaf, aku tidak tahu harus berkata apa."
"Ya sudah, tidak usah mengatakan apa-apa."
Kalau Mark marah, ia selalu melampiaskannya pada orang yang
ditemuinya. Kubiarkan ia menumpahkan kemarahannya padaku.
"Kapan dia mengatakannya?"
"Aku meneleponnya sewaktu pulang sekolah. Dia tidak masuk
kelas hari ini." "Apa katanya...?"
"Suaranya aneh. Kedengaran agak takut. Aku sendiri tidak tahu,
dia tidak seperti biasanya."
"Dia bilang kalau ingin putus?"
"Dia bilang dia tidak bisa menemuiku lagi."
"Tidak bisa atau tidak mau?"
Mark cemberut. "Sudahlah"
"Sebenarnya itu perbedaan yang cukup besar, apa dia memberi
alasan?" "Tidak, tidak ada alasan. Hanya saja aku tidak bisa menemuinya
ataupun meneleponnya lagi."
"Aneh. Lalu, kau bilang apa?"
"Aku pergi ke rumahnya."
"Oh ya, baru saja?"
"Ya, setelah dia memutuskan hubungan kami."
"Dia bilang apa?"
Mark bangkit dan berjalan ke arah jendela. Pandangannya
melayang jauh, dan ia memunggungiku.
"Aku tidak bertemu dengannya. Ayahnya yang menemuiku."
"Lalu?" "Dia ramah sekali. Dia bilang Gena merasa gelisah. Karena itu
tidak masuk sekolah. Kukatakan bahwa aku ingin bicara dengannya,
tetapi ayahnya bilang dia tidak mau bertemu denganku."
"Lalu apa yang kaulakukan?"
Mark berbalik dengan marah, menjawab dengan mengerutkan
keningnya, "Terus apa lagi" Tentu saja aku pulang. Lalu kau pulang
dan membuatku semakin jengkel."
"Bukan begitu. Aku cuma ingin tahu mengapa kau duduk
berdiam diri dalam kegelapan."
"Well, sekarang kau sudah tahu," katanya pahit.
Seharusnya aku berhenti, tapi aku tidak pernah tahu kapan
saatnya menutup mulut. "Tapi rasanya tidak masuk akal. Gena
sepertinya benar-benar menyukaimu. Tadi malam?"
"Persetan dengan tadi malam!"
"Sorry. Maksudku semalam kalian tidak kelihatan bertengkar."
"Tidak. Tidak ada apa-apa semalam," katanya menyetujui,
sambil mondar-mandir sepanjang ruangan. "Aku baru tiga minggu
mengenalnya. Kami tidak sempat mempertengkarkan apa pun."
"Tapi mengapa dia..."
"Sudahlah, aku sendiri tidak mengerti."
"Tapi..." "Aku tak mau membicarakannya lagi." Ia melangkah semakin
cepat. "Mark, rasanya kita harus menelepon polisi sekarang."
Ia menghentikan langkahnya, dan menatapku tajam. Suasana di
balik jendela gelap gulita. Kegelapan di bulan November datang
dengan cepat. Lampu dekat jendela kurang terang. Cahaya redupnya
menyirami perabotan tua dan menyebabkan ruangan terasa semakin
suram. Aku menggigil tanpa sadar.
"Rasanya kau benar, maaf sudah membentakmu, Cara.
Sepertinya hidupku sudah tidak ada artinya lagi."
"Ya, aku tahu," kataku pelan.
Kami menuju ke dapur untuk menelepon polisi. Kuhidupkan
setiap lampu yang kami lewati. Rumah terasa terlalu mengerikan
kalau gelap. "Biar aku saja," kata Mark, meraih tangkai telepon. "Apa
sebaiknya kita menghubungi 911 saja?"
"Eh, tunggu dulu." Tiba-tiba aku teringat pada polisi yang
memberikan kartu namanya padaku. Di mana ya kartu itu" Akhirnya
kutemukan di kantong jeans-ku.
"Apa itu?" tanya Mark.
"Polisi yang dulu ke sini"Kapten Farraday. Ada nomor telepon
langsung padanya di kartu ini."
"Bagus, kau saja yang menelepon." Mark menjauh dari telepon.
Diam-diam aku penasaran, apakah aku juga tampak segugup dan
sejengkel kakakku. "Kau baik-baik saja?" tanyaku. Dahi Mark yang lebar tertutup
keringat. "Tidak," katanya sambil mengerutkan dahi. "Dari mana aku bisa
baik-baik saja?" Kupegang kartu nama tersebut dengan satu tangan dan menekan
nomor telepon Kapten Farraday dengan tangan yang lain. Kapten
Farraday mengangkat telepon sesudah deringan pertama. "Kepolisian.
Di sini Farraday." "Oh, Kapten Farraday. Apa kabar?"
"Siapa ini?" "Ini Cara Burroughs. Masih ingat?"
"Tentu, Cara, pestanya sudah selesai, bukan?"
"Tentu saja. Begini... ehm... orangtuaku..."
Suaranya berubah serius. "Ya, ada apa dengan mereka?"
"Well..." Aku tiba-tiba merasa amat aneh, seolah ini tidak
benar-benar terjadi. Aku tidak sungguh-sungguh melaporkan
kehilangan orangtuaku, bukan"
"Orangtuaku tidak pulang tadi malam dan mereka belum pulang
sampai sekarang." Sunyi cukup lama. "Aneh," kata Kapten Farraday, suaranya
lebih tenang, simpatik. "Mereka tidak menelepon?"
"Tidak. Telepon kami rusak beberapa hari. Tapi aku dan
kakakku belum mendapat kabar apa pun dari mereka."
"Kucatat dulu, Cara," katanya. "Kurasa tidak ada yang perlu
dikhawatirkan, tapi tetap akan kucatat. Apakah mereka pernah tidak
pulang sebelum ini?"
"Dua kali. Terutama sewaktu mereka mendapat pekerjaan baru.
Tapi biasanya mereka selalu menelepon."
"Begitu, ya." Sunyi sejenak saat ia mencatat. "Apa kau sudah
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menelepon kantor mereka?"
"Well, itu masalahnya," kataku. Dengan singkat kuceritakan
kedatangan kami ke Cranford Industries dan penjelasan Mr. Marcus.
"Aneh sekali, ya?" kata Farraday. Ia pasti mencatatnya. "Tapi
kami akan segera memecahkan masalahnya dengan cepat." Suaranya
terdengar tenang dan meyakinkan. Seandainya aku meneleponnya
lebih awal. "Biar kuperiksa dulu sebentar," kata Farraday. Kudengar ia
membalik-balikkan kertas. "Tidak ada laporan tentang kecelakaan."
Terdengar suara kertas dibalik-balik lagi. "Kejahatan serius juga tidak.
Jadi kau tidak perlu memikirkan yang bukan-bukan. Mereka tidak
mengalami masalah serius."
"Lega rasanya."
Mark memegang pundakku. "Apa ia tahu di mana mereka?"
Kukibaskan tangannya dan menggeleng. "Mereka tidak
mengalami kecelakaan atau masalah buruk lainnya," bisikku pada
Mark. "Aku tahu bagaimana rasanya," kata Farraday, sambil masih
membalik-balik kertas. "Pasti kau membayangkan hal yang bukanbukan, kan?"
"Yeah, rasanya begitu," kataku. "Apa kami sebaiknya?"
"Begini saja," ia memotong perkataanku. Bisa kudengar radio
polisi dari belakangnya. "Akan kutugaskan beberapa orang sesegera
mungkin. Mungkin malah kukirim ke Cranford untuk memastikan
kalau tidak ada kekeliruan."
"Oh, terima kasih," kataku.
"Shadyside kota yang cukup kecil," kata Farraday. "Rasanya,
kita akan segera menemukan orangtuamu."
"Anda akan memberitahu kami?" tanyaku.
"Ya. Entah melalui telepon atau mungkin akan kukirim
seseorang untuk memberi kabar."
"Terima kasih, Kapten," kataku.
"Jangan khawatir. Kalau kutemukan orangtuamu, akan kuajak
mereka berbicara panjang-lebar. Tidak seharusnya mereka
meninggalkan anak-anak sebaik kalian."
"Oke, aku?" "Tapi yang penting jangan khawatir. Kalau sudah terjadi
sesuatu, aku pasti sudah menerima laporannya."
"Sekali lagi terima kasih," kataku. "Selamat sore."
Aku baru saja akan menaruh gagang telepon sewaktu kudengar
suara "klik" dengan jelas. Aku langsung sadar apa yang terjadi.
Roger ada di lantai atas, dan menguping pembicaraanku dengan
Pak Farraday melalui sambungan paralel di loteng.
Aku menggigil. Kenapa ia tidak turun saja kalau mau tahu apa
yang terjadi" Kenapa Roger mematai-matai kami"
Bab 12 "ROGER memata-matai kita," kata Cara, sambil meletakkan
gagang telepon. "Hah?" "Benar. Ia menguping pembicaraanku dari atas."
"Kau yakin?" Ia tidak menjawab. Justru berlari ke tangga depan. "Hei, Roger!
Roger!" Aku mengikutinya dan mendengar Roger melangkah turun dari
loteng. "Ya." "Mengapa kau memata-matai kami?" tanya Cara terus terang.
Roger muncul di tikungan tangga. Ia tampak kelelahan. Bagian
depan kausnya ternoda. Wajah dan rambutnya acak-acakan.
"Hai, Cara. Apa katamu tadi" Aku baru saja pulang. Aku di
atas." "Aku tahu kau di atas. Kau di atas menguping pembicaraanku,"
kata Cara dengan marah dan memelototi Roger.
Roger membelalakkan matanya terkejut. Tangannya mengusap
rambutnya. "Apa" Tidak. Aku naik untuk ganti baju. Kausku basah
karena keringat dan..."
"Aku mendengar suara 'klik'-nya, Roger." Cara tidak
membiarkannya lolos. Dan aku setuju dengan sikapnya. Sejak Mom
dan Dad menghilang, sikap Roger berubah sangat mencurigakan.
Sudah saatnya untuk menghadapinya terang-terangan.
"Suara 'klik' kan bisa karena berbagai sebab," kata Roger, tanpa
menunjukkan tanda-tanda akan turun. "Aku tidak menguping, Cara.
Aku tidak pernah menguping."
"Roger, ada yang mau kami tanyakan," kata Cara.
Tetapi Roger menyela, "Cara, tadi kau berbicara dengan
siapa"ayah dan ibumu?"
"Bukan. Dan kau tahu kalau bukan," kata Cara keras kepala.
"Aku benar-benar tidak menguping," kata Roger sambil
bersandar ke pagar tangga. "Kau tidak punya alasan untuk
mencurigaiku seperti itu."
"Tentu saja ada," selaku. "Aku melihat kau berlari keluar tadi
malam." "Maksudmu tadi malam" Memang benar. Sudah kukatakan
padamu sewaktu aku kembali, bukan. Aku tidak bisa tidur. Jadi aku
jalan-jalan ke luar."
"Tapi aku melihat van itu, Roger. Aku melihatmu masuk ke
sana." Ia tampak terkejut. "Masuk ke van" Aku" Kau yakin, Mark"
Kau yakin kalau itu aku?"
"Tentu saja. Siapa lagi?" Ia mulai membangkitkan amarahku.
"Kau yakin kalau sudah sadar sepenuhnya" Memang ada van di
depan sewaktu aku keluar. Tapi, untuk apa aku masuk ke van itu?"
"Itu yang ingin kami ketahui." Cara bertambah marah.
"Dan kenapa kau menyimpan pistol di kamarmu?" tambahku.
"Hah?" Mulutnya ternganga. "Pistol?"
"Di laci mejamu yang paling bawah."
Ia melompat turun. "Kalian menggeledah kamarku?"
"Well, ya," kataku. "Tapi kami?"
"Kalian menggeledah kamarku, dan lalu menuduhku mematamatai?" Ia terdengar sangat terluka dan jengkel.
"Roger, kami?" Cara mulai berkata.
"Apa hak kalian menggeledah kamarku?"
"Tidak ada," kataku. "Hanya saja tingkahmu akhir-akhir ini
berubah aneh, jadi kami pikir mungkin sebaiknya kami memeriksa."
"Tingkahku biasa saja. Tingkah kalian berdua yang aneh," kata
Roger, menggeleng. "Tentu saja aku mengerti alasannya. Kalian
kebingungan karena orangtua kalian. Tapi masuk kamarku, main
tuduh sembarangan, dan membayangkan orang masuk ke van tidak
akan mengembalikan orangtua kalian."
"Kami tidak berhalusinasi tentang pistolnya," kataku. "Kami
benar-benar melihatnya."
"Memang. Aku memang punya pistol," kata Roger. "Kebetulan
pistol itu sangat berarti bagiku."
"Maksudmu?" tanyaku.
"Pistol itu milik ayahku. Ia dulu seorang polisi. Pistol itu hadiah
ulang tahunku yang kedelapan belas. Ia pernah berpesan aku harus
selalu membawa pistol itu ke mana pun. Katanya ia berharap aku tidak
akan pernah menggunakannya, tapi tetap saja ia ingin aku
memilikinya. Beberapa minggu kemudian dia ditembak sewaktu
menggerebek kasus obat terlarang." Roger berpaling. "Pistol itu satusatunya kenang-kenangan dari ayahku."
"Oh, maaf kalau kami sudah mengacak-acak kamarmu," kataku.
"Aku juga," kata Cara pelan.
"Tak perlu minta maaf," kata Roger, sambil menegakkan
tubuhnya. "Hanya saja kita harus bersatu sekarang. Kita harus saling
percaya. Kalian mengerti maksudku?"
"Yeah," kataku.
"Kita tidak boleh panik lalu saling menuduh. Kita harus?"
"Aku sudah menghubungi polisi," kata Cara, menyela.
"Gagasan yang sangat bagus," kata Roger. "Seharusnya sudah
kita lakukan sejak dulu." Ia melirik arlojinya. "Oh, aku sudah
terlambat. Aku harus pergi. Kita lanjutkan pembicaraan sesudah aku
pulang nanti. Oke?" Cara diam saja. Ia hanya berbalik dan berjalan ke arah dapur.
"Yeah, sampai nanti," kataku, dan melambai kepada Roger.
Lalu aku menyusul Cara. "Ia pembohong yang payah," bisik Cara setelah mendengar
Roger naik ke atas. "Bagaimana kau tahu ia bohong?" tanyaku. "Sepertinya ia
baik," kataku. "Kau selalu menganggap semua orang baik," kata Cara. "Tapi
aku tidak mempercayai ceritanya tentang pistol itu. Jika pistol itu
hanya untuk kenang-kenangan, untuk apa diisi peluru?"
"Cara!" Cara memang selalu sinis. Aku yakin Roger sudah
bicara jujur. Ia kelihatan sedih sewaktu mengingat ayahnya.
"Hei, kita harus makan malam. Ada makanan apa?" tanya Cara.
Kami mencari-cari makanan di dapur. Aku menemukan roti
tawar yang sudah agak bau di kotak roti. Cara menemukan sebotol
selai kacang di rak teratas lemari makanan.
Cara membuka tutupnya dan melihat isinya. "Hanya cukup
untuk dua potong roti kalau kita oleskan tipis."
"Pesta yang hebat," kataku pedas. "Paling tidak, apa masih ada
selai lainnya?" Cara membuka kulkas dan menemukan selai anggur. Ia
mengatakan sesuatu, tapi aku tidak begitu mendengarnya. Pikiranku
terus melayang kepada Gena. Kudengar suaranya terus-menerus, katakatanya sewaktu memutuskan hubungan kami.
Apa yang telah terjadi" Mengapa ia melakukan itu"
"Kau tidak memperhatikan aku bicara," kata Cara
membuyarkan lamunanku. "Kau benar," kataku sedih.
"Kasihan," katanya. Aku mengangkat kepalaku dan
memandangnya, kupikir dia menyindir tetapi sepertinya tidak.
"Sepertinya aku kehilangan semua orang sekaligus," kataku.
"Jangan bilang begitu," kata Cara. "Tidak ada yang hilang
selamanya. Jangan berpikir begitu. Makan saja rotimu, nanti kau akan
merasa lebih baik." "Kau seperti Mom saja," kataku.
Kami berdua saling memandang, kemudian meraih roti masingmasing. Roti isi selai kacang bukanlah gagasan yang bagus kalau kau
sedang jengkel dan tidak kelaparan. Selainya melekat di mulut dan
gigimu, menyulitkan untuk dikunyah. Tidak satu pun dari kami yang
berselera untuk bekerja sedemikian keras"dengan hasil sebegitu
kecil. Kami duduk di dapur dengan muram, tidak berbicara, dan tidak
memandang satu sama lain.
Aku baru menggigit rotiku dua kali sewaktu kudengar Roger
turun dan lalu mendengar pintu menutup di belakangnya. Cara
meloncat. "Ayo kita ikuti Roger."
"Apa?" "Ayo kita ikuti dia. Aku ingin tahu ke mana ia pergi."
"Jangan," kataku, sambil berusaha menariknya agar kembali.
"Itu bukan gagasan yang bagus."
"Ya sudah, aku pergi sendiri," katanya sambil berlari ke ruang
depan. "Tapi harus ada yang di rumah seandainya polisi nanti
menelepon," kataku. "Bilang saja kalau kau mau menelepon Gena," katanya sambil
mengenakan jaketnya. "Well, itu juga," kataku mengakui. "Tapi aku tidak melihat
gunanya kita?" "Bye." Cara menghilang di balik pintu.
"Sia-sia," kataku keras-keras pada ruangan kosong. Roger
mungkin pergi untuk belajar di rumah temannya. Kurasa Roger bisa
mendapatkan teman di kampus. Ia tidak pernah bercerita atau
membawa salah satu temannya ke rumah. Dan ia tidak pernah
menelepon sesering itu. Tapi ia pasti punya teman, paling tidak
seseorang yang cocok untuk belajar bersama.
Kenapa Cara ingin bertindak seperti detektif" Mungkin itu lebih
baik daripada duduk diam di rumah tua yang mengerikan ini,
menunggu telepon. Ketika aku berpikir demikian, telepon berbunyi.
"Halo," kataku, berharap yang menelepon kapten polisi yang
tadi ditelepon Cara. "Mark" Ini aku. Aku?"
Aku tidak langsung mengenali suara Gena. Ia terdengar sangat
ketakutan. "Gena" Ada apa?"
"Aku tak bisa mengatakannya sekarang. Kau harus tahu...
Kau"Kau harus?"
"Gena" Gena?"
Kudengar suara orang bergulat. Dan kukira aku mendengar
Gena menjerit. Lalu terdengar suara telepon ditutup.
"Gena" Gena" Kau masih di sana?" teriakku.
Nada panggil berdenging di telingaku.
Bab 13 JALAN terdekat ke rumah Gena adalah melalui hutan Fear
Street. Tentu saja, anak-anak sudah banyak menceritakan kejadiankejadian mengerikan tentang hutan Fear Street. Tapi aku tidak peduli.
Aku harus ke sana secepatnya.
Kukenakan jaket dan mengambil lampu senter dari rak di lemari
pakaian depan. Aku tahu kalau menerobos hutan di belakang
rumahku, aku akan tiba di halaman belakang rumah Gena.
Kami sering bergurau bagaimana kalau sekali waktu aku
menyelinap di tengah malam, menerobos hutan, dan memanjat terali
bunga mawar di bagian belakang rumahnya langsung ke kamarnya.
Sekarang aku akan melakukannya. Tapi bukan untuk main-main.
Gena tadi terdengar sangat ketakutan. Ada yang ingin
dikatakannya padaku. Dan menurut pendengaranku ada orang lain
yang tidak ingin ia mengatakannya.
Apakah ia dalam bahaya" Atau hanya imajinasiku saja" Tidak
ada pilihan. Aku harus mengetahuinya.
Aku mendorong pintu dan melangkah keluar. Aku terkejut
menyadari betapa dinginnya udara di luar. Aku bisa melihat napasku
sendiri, uap kelabu di tengah gelapnya malam.
Bergegas aku mengitari rumah menuju halaman belakang.
Tanah di bawah kakiku terasa lain. Mungkin akibat embun tebal yang
membeku di sana. Angin tidak bertiup. Segalanya tidak bergerak,
sehingga terasa tidak nyata. Dan sunyi, kecuali derakan akibat
sepatuku saat menginjak tanah keras yang membeku.
Kereta Berdarah 4 Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Senopati Pamungkas I 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama