Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing Bagian 2
Halaman belakang kami menurun tajam sebelum menuju ke
tanah yang rata. Begitu tiba di kaki bukit, aku berlari-lari kecil hingga
tiba di hutan. Aku tahu kalau terus berjalan lurus selama beberapa
saat, aku akan melihat nyala lampu dari rumah-rumah di seberang
hutan. Dari sana, menuju halaman belakang rumah Gena jadi mudah.
Yang penting, tentu saja, harus berjalan benar-benar lurus.
Tidak mudah di hutan seperti ini. Tidak ada jalan setapak, dan
terkadang ada pohon tumbang atau akar yang melilit tebal yang
menghalangi jalan kita, dan kita harus mencari jalan lain.
Semakin jauh ke dalam hutan, udara terasa semakin dingin. Aku
harus mengurangi kecepatan langkahku. Daun-daun yang berguguran
begitu tebal hingga mencapai mata kakiku, basah dan licin. Berulangulang aku terjatuh karena batu atau tonjolan akar yang tersembunyi di
baliknya. Tiba-tiba senterku berkerlap-kerlip dan meredup. Kuguncangguncang tapi tidak membawa hasil. Cahayanya mulai meredup hingga
aku menemui kesulitan untuk melihat, bahkan melihat dari jarak
setengah meter sekalipun.
Tiba-tiba sesuatu melintasi kakiku. Jantungku melonjak. Aku
melihat dedaunan bergerak seakan-akan menyingkir.
"Aw," teriakku.
Ada apa" Binatang di hutan memang selalu berkeliaran. Bukan
kejutan. Kupaksa jantungku untuk berdetak seperti biasa,
menyingkirkan sejumlah akar-akaran dari depanku, dan melanjutkan
perjalananku. Tiba-tiba aku teringat sebuah cerita tentang hutan Fear Street.
Arnie Tobin yang menceritakannya padaku. Katanya ada lima remaja
yang berkemah di hutan ini, semacam untuk uji keberanian. Semua
orang bertaruh bahwa mereka tidak akan bisa bermalam di situ, tetapi
mereka bertaruh bisa melakukannya.
Malam itu mereka mendirikan dua tenda dan menyalakan api
untuk membuat makan malam. Tidak ada yang tahu apa yang
sebenarnya terjadi, tapi kelima remaja ini berhamburan keluar hutan,
mengetuki rumah-rumah dengan ketakutan yang amat sangat.
Menurut mereka, ada monster yang menyerang. Tidak ada yang
bisa memberi gambaran tepat tentang monster itu. Menurut mereka
monster itu seperti babi atau tikus putih"tapi seratus kali lebih besar!
Menurut mereka besarnya lebih dari rumah yang terbesar di sana.
Kelima-limanya sangat ketakutan, kata Tobin padaku. Tapi
umumnya orang tidak mempercayai mereka. Bahkan polisi yang
membawa mereka pulang pun tidak mempercayai cerita mereka.
Keesokan harinya mereka kembali ke perkemahan dengan
orangtua mereka untuk mengambil barang-barang mereka. Akhirnya
ada yang mempercayai mereka! Karena sewaktu mereka tiba di
perkemahan, semua orang bisa melihat kalau tenda mereka telah
digigiti hingga tinggal cabikan-cabikan kain. Semua makanan yang
ada telah disantap"bahkan sekaleng kacang yang belum dibuka.
Rupanya makhluk itu"apa pun adanya"mengunyah bersama
kalengnya sekaligus. Wow! Kuharap aku tidak tiba-tiba teringat pada cerita itu. Sekarang,
setiap kemersak dan setiap gerakan membuatku berpaling, menduga
akan melihat seekor tikus raksasa mendekatiku dengan gigi-gigi yang
tajam, siap mengunyahku seperti sebuah kaleng makanan.
Aku berhenti dan mendengarkan. Sunyi.
Kuangkat senter, mengguncangnya, berusaha membuatnya
lebih terang, dan menyinari semak di depanku. Tidak ada yang
bergerak. Kesunyian terasa begitu mencengkam. Seandainya ada anjing
yang menggonggong atau burung hantu yang bersiul"apa pun. Tibatiba aku merasa seakan tengah berjalan di bulan atau di sebuah planet
jauh yang tidak berpenghuni.
Lalu kusadari kalau aku telah kehilangan arah sama sekali.
Mana arah ke rumah Gena" Apa arahku masih benar" Mana
arah ke rumahku" Senter pun kupadamkan. Tidak ada gunanya sekarang, jadi
kuputuskan untuk menghemat baterainya. Kutunggu hingga mataku
telah menyesuaikan diri dengan kegelapan. Lalu aku berbalik
perlahan-lahan, memandang kejauhan, mencari cahaya, cahaya apa
pun. Yang ada hanyalah kegelapan.
Aku tersesat, pikirku. Tapi tepat pada saat aku berpikir begitu dan merasakan tulang
punggungku menggigil kedinginan, pepohonan tiba-tiba seperti
menyala. Aku menengadah dan melihat bulan telah muncul dari balik
gumpalan awan. Aku menatapnya dengan lega. Tadi aku telah
berjalan dengan bulan di sebelah kananku sewaktu memasuki hutan.
Sekarang kalau aku tetap menjaganya berada di sebelah kananku, aku
akan menjalani arah yang sama.
Perasaanku menjadi lebih baik. Well, bukan baik. Pulih sedikit.
Kucoba untuk menyalakan senternya. Tidak ada cahaya sedikit pun.
Aku melangkah maju, dipandu cahaya bulan.
Aku berjalan cukup cepat, bisa dikatakan berlari-lari kecil di
atas tumpukan dedaunan. Tak kusangka kalau penglihatan dalam
hutan di malam hari cukup baik. Aku tidak menyangka kalau mata
manusia bisa melihat sebaik ini di kegelapan.
Itu yang kupikirkan sewaktu mendengar langkah kaki di
belakangku. Seketika aku tahu kalau suara itu langkah kaki. Dan aku tahu
kalau itu bukan langkah kakiku. Hutan begitu diam, tidak berangin,
begitu sunyi hingga aku bisa mendengarkan setiap suara.
Aku berhenti dan mendengarkan, tiba-tiba merasa sangat takut.
Langkah kaki itu terdengar semakin cepat, semakin dekat. Kakiku
tiba-tiba melemas dan goyah. Aku mencoba menduga apakah langkah
itu langkah makhluk berkaki empat atau berkaki dua. Tapi sulit untuk
mendapatkan jawabannya. Aku kembali membayangkan tikus putih raksasa itu. Bagaimana
suara langkah kakinya sewaktu mengejar mangsa"
Mangsa" Entah bagaimana aku berhasil mengusir ketakutanku dan mulai
berlari. Aku berusaha menjaga agar bulan tetap berada di sebelah
kananku agar tidak berlari berputar-putar.
Sekalipun berlari secepat mungkin, sambil melindungi wajahku
dari ranting-ranting pohon dengan tangan, langkah kaki itu semakin
dekat. Siapa pun itu"atau apa pun"yang tengah mengejarku
semakin dekat. Aku sempat berpikir untuk berhenti dan berbalik, menghadapi
siapa pun itu. Tapi dengan cepat kuputuskan itu tindakan bodoh.
Aku kembali berlari lagi"dan menjerit saat telapak kakiku
tiba-tiba tidak menginjak tanah. Tiba-tiba aku meluncur turun,
kehilangan keseimbangan, lepas kendali. "Tolong!" teriakku
sementara tubuhku jatuh. Seketika kusadari kalau aku telah jatuh ke dalam semacam
lubang jebakan. Bab 14 ROGER tampaknya menuju ke kota. Ia berjalan dengan
langkah-langkah panjang dan tanpa berpaling. Aku harus bergegas
agar bisa tetap mengawasinya. Malam ini begitu gelap. Lampu-lampu
jalan sepanjang Fear Street padam, seperti biasa, dan bulan tengah
bersembunyi di balik awan.
Gumpalan kabut terasa dingin dan basah di wajahku saat aku
bergerak mengendap-endap, menempel pada semak dan pagar di
sepanjang tepi jalan. Kuharap Roger memperlambat langkahnya. Tapi
fakta bahwa ia berjalan begitu tergesa-gesas menyebabkan aku merasa
semakin curiga. Ia berbelok di Mill Road dan mempercepat langkahnya. Sebuah
mobil melaju lewat dan lampunya membutakanku untuk beberapa
saat. Aku bersembunyi di balik semak-semak hingga penglihatanku
pulih. Saat aku berjalan lagi, Roger telah lebih jauh lagi. Aku mulai
berlari, tidak ingin kehilangan jejaknya dalam gelap. Tanah terasa
keras dan basah. Sepatu sneakers-ku bergerak tanpa suara. Satusatunya suara hanyalah embusan angin dari utara dan deruman mobil
yang sesekali lewat. Roger berbelok ke Hawthorne Drive dan mengawasi
sekelilingnya. Aku menjatuhkan diri ke tanah dan merayap ke
samping kotak surat, berharap ia tidak melihatku. Sewaktu
menengadah, yang kulihat hanyalah pepohonan gelap. Roger telah
menghilang. Aku bergegas bangkit dan merangkak maju. Di Hawthorne ada
kedai kopi kecil bernama Alma's, tempat mahasiswa duduk-duduk
sambil belajar dan minum kopi hingga larut. Aku ingin tahu apakah
Roger masuk ke sana. Saat aku semakin dekat, sosoknya yang tinggi kembali terlihat.
Ya, ia memang menuju ke Alma's. Tapi untuk apa" Jelas ia bukannya
mau belajar. Ia tidak membawa sebuah buku pun.
Mungkin cuma mau menemui teman. Dan aku di luar sini
kedinginan, di malam yang basah, berkeliaran dalam gelap dan
membuang-buang waktu. Well, Mark pasti akan menertawakan kesialanku. Kubayangkan
Mark sedang duduk-duduk di rumah dan menunggu telepon dari
Kapten Farraday. Kakakku yang malang. Perasaannya sudah kacau
karena Mom dan Dad. Putusnya hubungan dengan Gena benar-benar
membuatnya terpukul. Mungkin seharusnya aku di rumah saja menemaninya. Tapi
sekarang sudah terlambat.
Setelah Roger masuk ke Alma's, aku menunggu beberapa
menit. Lalu mengintip ke dalam melalui jendela. Di dalam tidak
terlalu ramai. Hanya beberapa tempat yang terisi" seperti biasa oleh
para mahasiswa dan beberapa orang tua yang tengah menikmati kopi
beruap dalam mug putih. Aku tidak melihat Roger. Kurasa ia pasti tengah duduk di
bagian belakang atau di salah satu sisi dekat meja layan. Apa
sebaiknya aku masuk"
Kepalang basah. Kuputuskan tidak ada ruginya, mungkin ada
baiknya aku mengintip masuk dan melihat apa yang tengah dilakukan
Roger. Kukenakan kerudung jaket untuk menyembunyikan wajahku.
Di dalam sangat hangat dan aroma daging panggang memenuhi
ruangan. Aku terus menunduk sambil melangkah perlahan menyusuri
ruangan untuk mencari Roger. Sambil membungkuk di balik dinding
rendah, aku menjulurkan kepala dan mencari Roger.
Ia duduk di sudut kedai yang terjauh. Sibuk bercakap-cakap dan
menggerak-gerakkan tangannya. Aku harus maju beberapa langkah
untuk melihat lawan bicaranya.
Ternyata ia berbicara dengan pria berambut pirang pucat yang
ada di dalam van waktu itu. Mereka bercakap-cakap dengan
menggebu-gebu. Keduanya tampak jengkel. Pria di van itu berulangulang memukul meja.
Jadi Roger memang berbohong, pikirku. Penyelidikan kecilku
ini tidak sia-sia. Ia sudah berbohong tentang van itu, dan ia pasti juga
berbohong tentang pistolnya. Roger dan pria berambut putih itu pasti
bekerja sama untuk" untuk apa"
Apa pun itu, aku yakin ada hubungannya dengan Mom dan
Dad. Aku bersandar supaya bisa mendengar lebih jelas. Roger
mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan menggambar sesuatu.
Ia menggambar sambil menunjuk beberapa titik. Apa itu" Peta"
Aku bersedia melakukan apa saja untuk melihat gambarnya.
Tapi aku tahu kalau tidak bisa mendekat tanpa terlihat. Aku berpaling
dan melihat seorang pelayan gendut memelototiku dari balik meja
layan. Kurasa tingkahku cukup mencurigakan.
Kuputuskan untuk keluar dari kedai itu. Aku sudah melihat
cukup bukti kalau Roger pembohong dan kalau kami harus
memberitahu Kapten Farraday secepat mungkin.
Sambil memegangi penutup kepala mantelku, aku berbalik dan
mau keluar sewaktu seseorang mencengkeram pundakku. Kemudian
ia berkata, "Hei, Cara!"
"Aduh!" jeritku, lebih karena terkejut daripada sakit. Tapi
tangan yang mencengkeramku itu begitu kuat seakan hendak memaku
diriku di tempat. Aku berpaling untuk melihat siapa orangnya. Ternyata Roger.
"Kau memata-mataiku lagi?" tanyanya tanpa melepaskan
cengkeramannya. Pandangannya menusukku.
Ia berbahaya, pikirku. Aku tidak pernah menyadarinya. Tidak pernah
mempertimbangkannya sama sekali. Tapi ia berbahaya.
"Aduh. Roger, kau menyakitiku!" kataku. Penutup kepala
mantelku terbuka. Penyamaran yang hebat!
Ia melepaskan bahuku, tapi ekspresinya tidak berubah. "Maaf,
aku tidak bermaksud begitu."
Tentu saja. Tentu saja ia memang bermaksud menyakitiku.
Pandanganku beralih ke belakangnya, kepada temannya yang
tengah mempelajariku. Bibirnya yang tipis mengatup rapat di
wajahnya yang pucat. Tanpa kuduga, Roger tiba-tiba tersenyum, seakan ia telah
menguasai dirinya kembali. Ia melihatku menatap temannya. Ia
meraih bahuku dan menarikku ke mejanya. "Oh... eh... Cara, ini Dr.
Murdoch," kata Roger sambil kembali duduk. "Ia... dosen
pembimbingku." Yeah, tentu saja, Roger. Dan aku Ratu Inggris.
"Senang berkenalan dengan Anda," kataku, bahkan tidak
berpura-pura tulus. ebukulawas.blogspot.com
"Dr." Murdoch melontarkan senyuman palsu yang lebar.
"Kami bertemu di sini untuk membahas pelajaranku," tambah
Roger. Benar-benar pembohong kelas kakap! Ia melihatku menatap
kertas yang tadi ditulisinya, dan melipatnya menjadi dua.
Pandangannya kembali dingin. "Apa yang kaulakukan di sini?"
"Aku... ada janji dengan teman." Ceritaku tidak lebih buruk
daripada ceritanya. "Tapi ternyata dia tidak datang," kataku, tergesagesa menambahkan. "Aku pergi dulu."
"Senang berkenalan denganmu," kata lelaki yang mengaku Dr.
Murdoch itu saat aku berlari menyusuri koridor dan keluar dari kedai.
Aku tidak bisa bernapas sampai tiba di pintu dan keluar. Di sana
aku menabrak dua lelaki yang mau masuk, dan mereka
menertawakanku sementara aku terus berlari ke jalan.
Di luar terasa lebih dingin lagi. Gerimis tipis. Kukenakan
kerudungku lagi, kali ini agar hangat. Jantungku berdebar keras. Aku
merasa sfeperti orang bodoh.
Oh, well. Aku memutuskan pertama-tama yang akan kulakukan
setibanya di rumah adalah naik ke kamar Roger, mengambil pistol
dari lacinya, dan menyembunyikan di tempat lain.
Roger membuatku takut. Bahwa ia menyimpan pistol berisi
peluru di rumahku, lebih menakutkan lagi. Pokoknya, aku sudah
membuktikan kalau Roger pembohong. Begitu pula temannya
Murdoch itu.... Apalagi kalau ingat pengakuannya bahwa ia tidak
mengenal Roger! Tiba-tiba aku merasa sangat takut. Aku berlari pulang. Tapi
kusadari kalau di sana pun aku tidak aman.
Orangtuaku hilang. Sementara Mark dan aku tinggal serumah
dengan seorang pembohong bersenjata.
Karena sangat kedinginan, kupercepat lariku. Kalau saja Mark
dan aku punya kenalan di kota, atau punya kerabat, atau ada tempat ke
mana kami bisa pergi....
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perjalananku kurang dua blok lagi sewaktu kusadari ada mobil
yang mengikutiku. Bab 15 OKE, oke, Mark. Tenang, Man.
Tarik napas dalam-dalam dan jangan bingung.
Jebakan ini benar-benar tidak dibuat secara profesional. Cuma
lubang biasa yang ditutupi dedaunan. Dalamnya tidak lebih dari dua
meter dan lebarnya tiga atau empat meter.
Bisa kauatasi. Tidak perlu panik. Kau tidak akan terjebak di sini
selamanya. Kau bisa keluar. Ulurkan saja tanganmu dan angkat
tubuhmu. Kau bisa melakukannya.
Ayo. Tarik napas panjang lagi. Lalu berdiri dan berjalan lagi.
Begitulah caraku menenangkan diri. Begitulah caraku
menormalkan kembali detak jantungku yang berdebam seperti musik
Def Leppard dan bangkit berdiri.
Tapi begitu aku berhasil keluar dari lubang dan bangkit berdiri,
agak panik, aku berharap seandainya tidak keluar dari sana. Karena
makhluk yang mengejarku tengah menyerangku.
Suasana begitu gelap hingga aku tidak tahu makhluk apa itu.
Aku cuma mendengarnya berlari mendekat, merasakan kakikaki depan yang kuat menerjang dadaku, mendengar geraman berat,
dan menghirup napasnya yang panas dan bau saat aku kembali
terjatuh ke dalam lubang.
"Tolong!" Aku tidak tahu mengapa aku berteriak, tak ada seorang pun di
sekitarku. Aku jatuh telentang. Sambil menggeram lagi, makhluk itu
melompat ke atasku. Ia menggigit pergelangan tangan kiriku dan
menjepitnya. Sekalipun ketakutan, pikiranku mulai jernih. Kusadari kalau
tengah bergulat dengan seekor anjing besar, sejenis anjing gembala.
"Duduk, boy! Duduk! Pulanglah!"
Aku tidak mengenali suaraku sendiri. Suara itu lebih mirip
suara anak kecil yang ketakutan.
Walaupun demikian suaraku cukup keras untuk didengar
anjing-anjing. Tapi anjing yang satu ini memilih untuk tidak
mengacuhkannya. Kutarik tanganku dari cengkeramannya, berputar,
dan merangkak menjauhi makhluk itu ke sudut lubang.
Makhluk itu sekarang mengitariku, menunduk, sambil
menggeram-geram mengancam.
Ia anjing terbesar yang pernah kulihat, pikirku sambil
menjauhinya sementara ia terus berputar-putar. Bagaimana makhluk
ini bisa berada di sini" Apa ia anjing liar"
Apa aku makan malamnya"
Tidak. Makhluk ini bukan anjing liar. Bisa kulihat kalau anjing
itu mengenakan sebuah kalung di lehernya. Ada sesuatu yang terjuntai
dari kalung di bawah dagunya.
"Duduk, boy. Anjing yang baik. Anjing yang baik."
Anjing itu merendahkan kepalanya, membuka mulutnya, dan
memamerkan gigi-giginya. Gigi-gigi panjang yang tajam, tampak
kemilau di bawah siraman cahaya bulan. Aku tahu kalau tidak akan
pernah melupakannya. "Anjing yang baik. Anjing yang baik. Pulanglah, boy."
Aku terus-menerus menggumamkan kata-kata itu seperti orang
bodoh. Anjing ini tidak akan pulang. Ia sudah ada di rumahnya. Hutan
Fear Street adalah rumahnya. Dan ia mau menunjukkan bagaimana
baiknya ia dalam melindungi rumahnya.
Jangan pernah menunjukkan ketakutanmu pada anjing. Entah
mengapa kata-kata yang pernah diucapkan Dad itu tiba-tiba saja
melintas dalam benakku. Itu mungkin perkataan paling bodoh yang
pernah dikatakan Dad padaku!
Bagaimana caranya memberitahu seekor anjing kalau kau tidak
takut terhadapnya sementara kau berlutut membeku dalam lubang,
gemetar tidak keruan, merengek-rengek memintanya pulang seolah ia
seekor anjing yang baik"
Aku tidak sempat memikirkannya lama-lama. Anjing itu
menggeram dan melompati wajahku. Aku membungkuk. Bisa
kurasakan berat tubuhnya saat ia melambung melewatiku dan
menyalak terkejut. Ia mendarat dengan keras, tapi seketika bangkit berdiri lagi.
Sekali lagi ia menerjangku. Aku jatuh ke belakang,
menghindarinya. Aku mencoba keluar dari lubang, tapi terjatuh dan mendarat di
punggungnya. Makhluk itu meraung tidak senang dan berusaha
melepaskan diri. Tapi aku lebih dulu memeluk lehernya dan
menariknya ke belakang. Bulu-bulunya panas dan basah. Aku mencium bau anjing paling
keras yang pernah kucium. Baunya mengganjal hidungku.
Kutahan napasku. Rasanya aku mau muntah.
Anjing itu mulai menggeliat-geliat dan berbalik, berusaha untuk
membebaskan diri dari cengkeramanku. Tapi aku bertahan dengan
kedua tanganku, memeluknya semakin lama semakin erat, menekan
punggungnya sementara menarik kepalanya ke belakang.
Geramannya berubah menjadi salak kesakitan, tetapi aku tidak
bermaksud untuk melepaskannya. Tanganku menemui kesulitan
memeluknya karena bulu-bulunya yang basah. Aku mengembuskan
napas dan menarik napas panjang lagi, menghirup bau tidak enak yang
kental itu. Anjing itu menyodok dengan keras. Aku jatuh ke depan,
menancapkan lututku ke punggungnya, menarik kepalanya ke atas,
menarik dan terus menarik dengan segala kekuatanku yang tersisa.
Tiba-tiba kudengar derakan keras.
Anjing itu berhenti melolong.
Makhluk itu menatapku dalam kesunyian, keterkejutan dan
kesakitan tampak di sana. Lalu matanya terpejam, dan ia merosot ke
tanah dengan suara keras.
Aku menatapnya, terengah-engah mengumpulkan napas.
Kuhapus peluh di dahiku. Keringat dingin membasahi tubuhku. Bau
hewan itu menempel di tanganku.
Lalu aku berdiri di sana untuk waktu yang lama, bersandar ke
dinding lubang, menatap anjing yang telah mati itu. Aku mendengar
suara tulang retak mengerikan, lagi dan lagi. Dan aku melihat
keterkejutan di wajah anjing itu, ekspresi kesakitannya, kekalahan
total. Aku menunduk untuk memastikan bahwa anjing itu sudah mati.
Sambil menahan napas kuputar tubuhnya"dan melihat benda yang
terjuntai dari kalung yang dikenakannya.
Benda itu sebuah kepala monyet putih.
Aku terenyak. Ini tidak masuk akal. Kuraih kepala monyet itu dan memastikan
kalau penglihatanku tidak menipu! Mengapa benda yang kutemukan
di kamar tidur orangtuaku bisa berada di leher seekor anjing dalam
hutan Fear Street" Lalu sebuah benda lain menarik perhatianku. Potongan rantai
yang terikat ke kalung anjing itu. Kuikuti rantai itu hingga
menemukan sambungan yang patah. Anjing itu jelas telah
memutuskan rantainya. Saat naik dari lubang itu, aku melihat pasak yang tertancap
beberapa meter dari situ. Kudekati dan, tentu saja, potongan lain dari
rantai itu masih menancap di sana.
Jadi anjing itu sebenarnya diikatkan di dekat jebakan. Ia pasti
telah melepaskan diri beberapa saat sebelum aku tiba di sini. Ia
melihatku mendekat dan seketika memburuku.
Memburuku tanpa menggonggong.
Jelas ia terlatih untuk mengejar orang dengan diam-diam, untuk
menyerang. Ada yang tidak menginginkan kehadiran orang lain di tempat
ini. Mengapa" Seluruh otot-ototku terasa sakit. Aku menggigil. Rasanya aku
tidak bisa kembali normal lagi, pikirku.
Saat memandang sekelilingku dan mencoba untuk
menjernihkan pikiran, tiba-tiba kusadari kalau aku tengah berada di
tepi lapangan terbuka yang luas. Bulan sekarang berada tepat di atas
kepalaku, bersinar dengan terang, begitu terang hingga aku bisa
melihat lusinan jejak kaki di tanah lunak.
Tampaknya banyak orang telah berada di sini baru-baru ini.
Jelas jebakan dan anjing penyerang itu berada di sini untuk
menjauhkan orang-orang dari tempat ini. Tetapi mengapa"
"Aku harus pergi dari sini," kataku keras-keras, merasa
kedinginan dan ketakutan.
Aku tahu di tepi hutan ada banyak rumah. Tapi, berdiri di sini
membuatku seperti jauh dari peradaban. Masuk ke dalam hutan ini
beberapa langkah dan segalanya bisa terjadi, pikirku. Ini dunia yang
berbeda, dunia tanpa aturan.
Aku harus menghentikan pikiran tidak enak ini.
Gena. Ingat Gena. Aku mengingatkan diriku sendiri untuk
memikirkan Gena, bagaimana ia terdengar sangat jengkel di telepon.
Tiba-tiba aku teringat tujuanku berada di sini. Aku harus ke
rumah Gena. Aku harus berbicara dengannya, mencaritahu mengapa
pembicaraan telepon kami diputuskan. Aku harus membereskan
masalahku dengannya. Aku memikirkan Cara, yang tengah berkeliaran entah di mana
untuk mengikuti Roger. Gagasan sinting! Aku penasaran apakah ia
telah pulang atau belum. Aku penasaran apakah Mom dan Dad sudah
pulang, atau apakah polisi sudah mendapat kabar tentang mereka.
"Aku akan meneleponnya dari rumah Gena," kataku keraskeras.
Aku mulai berjalan lagi, mula-mula kakiku masih goyah.
Akhirnya aku merasa lebih kuat. Aku melihat cahaya menerobos selasela pepohonan, cahaya kelabu pucat, kemilau seperti seekor kunangkunang di antara dua batang pohon.
Rumah. Aku mulai berlari ke arah cahaya, tidak mengacuhkan
akar dan semak tinggi yang mencoba menghalangi langkahku.
Beberapa menit kemudian, aku sudah tiba di tepi halaman
belakang rumah Gena. Ternyata rumahnya tidak jauh dari lapangan
misterius itu. Sambil berusaha menenangkan napasku, aku menatap
cahaya lampu yang suram dari jendela kamarnya yang tertutup
gorden. Apa ia ada di sana" Aku tidak bisa memastikannya. Cahaya di
lantai bawah masih menyala, dan aku bisa melihat kilau cahaya
televisi. Seseorang melintas lewat di balik jendela. Ayah Gena. Aku
maju mendekat, berhati-hati agar tetap berada di balik bayang-bayang
di samping garasinya yang besar.
Ayah Gena tengah berdiri di dekat pesawat televisi, sambil
menghirup minuman kaleng. Kuawasi ia melangkah kembali ke sofa
dan duduk. Lalu aku kembali memandang ke kamar Gena.
Apa aku bisa melakukannya" Pandanganku menyusuri teralis
mawar dari kayu yang membentang dari bawah jendela kamar Gena
hingga ke tanah. Tentu saja mawarnya sudah tidak ada, tapi sulur
berdurinya masih ada. Aku bergegas mendekati teralis dan memegangnya. Tampaknya
cukup kokoh. Mungkin cukup kuat untuk menahan beban tubuhku.
Aku mencengkeram kedua sisinya, berhati-hati agar tidak
mengenai sulur berduri, dan menapakkan kakiku di lintangan teralis
yang pertama. Aku membungkuk dan mengintip ke jendela untuk
memastikan ayah Gena masih duduk di sofa. Ternyata masih.
Jadi aku mulai memanjat. Selangkah demi selangkah.
Teralisnya sedikit goyah, tapi ternyata lebih kokoh daripada
penampilannya. Aku baru sepertiga perjalanan sewaktu peganganku terlepas,
dan aku jatuh. Bab 16 SEWAKTU berlari pulang, kudengar suara mobil mendekat.
Cahaya lampu depannya menerangi jalan di depanku. Aku
mengurangi kecepatan lariku dan menunggu mobil itu melewatiku.
Tetapi mobil itu tidak kunjung lewat.
Mark benar. Aku seharusnya tidak keluar rumah malam ini.
Aku mempercepat lariku dan mobil itu juga bertambah cepat.
Apa yang terjadi" Aku berpaling tetapi tidak bisa melihat
karena silaunya lampu depan mobil itu.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Mengapa mobil itu
tidak lewat saja" Kalau aku mengenal orang yang mengemudikannya,
mengapa mereka tidak menyusulku" Membunyikan klakson atau apa"
Kuputuskan untuk berbalik dan berjalan ke arah lain, melewati
mobil itu. Kurasa sewaktu mobil itu berputar balik, aku bisa melarikan
diri. Jadi aku berbalik dan, sambil melindungi mataku dari sorotan
lampu depan, aku melesat lari dengan kecepatan penuh. Mobil itu
mencicit berhenti. "Cara! Hei, berhenti! Cara!"
Aku mengenali suaranya. Aku menghentikan langkahku. Seorang pria melangkah turun
dari kursi pengemudi. Aku mengenali Caprice biru besar itu. Lalu aku mengenali
Kapten Farraday. "Kapten Farraday! Hai!" kataku, merasa begitu lega.
"Aku tidak yakin kalau itu tadi dirimu," katanya, sambil
bergegas mendekatiku, sepatunya berdetak-detak di atas trotoar.
"Semoga kau tidak ketakutan. Aku baru saja akan ke rumahmu."
"Ada kabar tentang orangtuaku?"
Cahaya lampu jalan memantul dari mata birunya yang dalam. Ia
tampak kelelahan. Ia menggeleng. "Tidak. Belum. Aku tadinya ingin
tahu barangkali kau sudah mendapat kabar."
"Tidak," kataku sambil mendesah.
"Hei, jangan begitu," katanya, meletakkan tangannya yang
terbungkus sarung tangan di bahu jaketku. "Kita tidak mendapat kabar
buruk, bukan?" "Benar juga," gumamku. "Tapi kita juga tidak punya kabar
baik?" Ia menuntunku ke dalam mobil. "Kau harus tetap berpikir
positif," katanya. "Anak buahku sedang menangani kasus ini.
Orangtuamu pasti akan segera ditemukan."
Aku tidak berkata apa-apa. Sulit rasanya untuk
menyembunyikan kekecewaanku.
"Aku memerlukan foto mereka," katanya. "Akan kusebarkan
berita pencarian, dan mengirimkan duplikatnya ke setiap kantor polisi
di negara bagian. Barangkali kau punya informasi lain, apa pun yang
bisa menjadi petunjuk dan membantuku menemukan orangtuamu?" Ia
begitu jangkung, hingga harus menunduk untuk berbicara denganku.
"Well... biar kupikir dulu...," kataku.
"Bagaimana kalau kuantar kau pulang dan kau bisa
memikirkannya dalam perjalanan" Kau juga bisa memberikan foto
orangtuamu padaku. Anak buahku sedang menangani kasusnya. Aku
juga sudah memberitahu surat kabar. Terkadang orang-orang
menelepon surat kabar uhtuk memberi petunjuk."
Ia membuka pintu depan mobil, dan aku menyelinap masuk.
Aku belum pernah naik mobil polisi sebelumnya. Aku merasa sedikit
kecewa karena Caprice itu ternyata bukan mobil polisi sama sekali.
Mobil ini cuma mobil biasa. Radionya tiba-tiba berbunyi dan
memuntahkan pesan. Radio itu jenis milik kepolisian, satu-satunya
bukti kalau mobil itu memang mobil polisi.
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam perjalanan pulang, kuceritakan pada Kapten Farraday
tentang pistol Roger, Murdoch, dan van abu-abu itu. Aku berharap ia
akan mengatakan sesuatu, tapi pandangannya tetap terarah ke jalan
dan tidak bereaksi. "Apakah menurutmu Roger ada hubungannya dengan hilangnya
orangtuaku?" tanyaku pada akhirnya.
"Mungkin. Aku akan memeriksa Roger dan" siapa nama lakilaki yang satunya tadi?"
"Roger memanggilnya Dr. Murdoch."
"Aku juga akan memeriksanya. Apa ada lagi, Cara" Hal lain
lagi yang dapat membantu kita?"
Kami tiba di rumah. Rumah tampak gelap. Aku merasa jengkel
karena Mark tidak menyalakan lampu depan.
"Aku tidak bisa memikirkan hal lain lagi," kataku pada
Farraday. Kubuka pintu mobil dan melangkah keluar. "Oh, yeah.
Tunggu. Ada satu hal lagi."
Kapten Farraday berpaling dan menatapku. "Apa itu?"
"Mark dan aku menemukan benda aneh di kamar tidur
orangtuaku. Sebuah kepala monyet kecil; kepala monyet putih kecil
dengan mata batu mirah. Apa menurutmu itu sebuah petunjuk?"
Sekali lagi, ia tidak bereaksi. "Mungkin," katanya pelan.
"Rasanya aku belum pernah mendengar benda semacam itu, tapi
mungkin ada artinya. Nanti kutanyakan di kantor. Apa masih ada
padamu" Mungkin ada gunanya kalau kubawa ke laboratorium.
Mereka bisa memeriksanya."
Aku berlari masuk ke dalam rumah. Di dalam, aku tidak melihat
kehadiran Mark. Aku bergegas naik dan mengambil foto orangtuaku
dari album yang mereka simpan di meja samping tempat tidur. Lalu
aku mencari-cari kepala monyet putihnya. Tidak kutemukan. Aku
harus menanyakannya pada Mark apa yang sudah dilakukannya
dengan benda itu. Di luar, kuberikan foto itu kepada Farraday. "Terima kasih
untuk tumpangannya," kataku muram. "Dan untuk semua bantuanmu."
"Tidurlah," kata Farraday. "Aku tahu kalau tidak mudah
bagimu, tapi ada gunanya."
"Akan kucoba," kataku.
"Akan kukabari begitu aku tahu sesuatu. Dan, Cara"kau punya
nomor teleponku. Hubungi aku kapan saja, siang atau malam.
Hubungi aku untuk alasan apa saja, kau dengar?"
"Terima kasih," kataku. "Aku jadi merasa lebih baik."
"Senang mendengarnya," katanya, hampir saja senyuman
merekah di bawah kumisnya yang tebal.
Aku bergegas masuk kembali, menutup pintu di belakangku,
menguncinya, dan berteriak, "Mark! Mark, di mana kau?"
Tak ada jawaban. Kucari di ruang duduk dan di ruang baca dan lalu ke atas untuk
memeriksa barangkali ia telah tidur. Ia tidak ada di rumah.
Kembali ke ruang duduk, ketakutan mencengkamku. Pertama
Mom dan Dad menghilang. Sekarang Mark. Apa ia juga menghilang"
Mungkin ia meninggalkan pesan. Aku lari ke dapur dan
memeriksa lemari es. Kuperiksa kertas pesan di dekat telepon. Tidak
ada pesan. Sekarang Mark juga hilang, pikirku.
Tidak. Mungkin ia pergi ke rumah Gena. Ya, betul. Pasti ia ke
sana. Kuangkat pesawat telepon. Aku mau menghubungi rumah Gena
untuk berbicara dengan Mark. Tetapi kemudian aku berubah pikiran.
Mark pasti tidak suka adiknya menghubungi rumah Gena sekadar
untuk mengeceknya. Lagi pula, aku tidak punya berita tentang Mom
dan Dad, tidak ada berita sama sekali.
Kuputuskan untuk ke ruang baca dan menyaksikan acara
televisi sampai Mark pulang.
Mungkin dengan begitu aku bisa melupakan segala sesuatu
yang memenuhi benakku. Aku tengah melewati ruang tamu ketika kulihat cahaya
merayapi dinding"sepasang cahaya lampu bergerak perlahan.
Beberapa saat kemudian kusadari kalau cahaya tersebut lampu depan
mobil. Ada yang memasuki halaman depan.
Apakah itu Mark" Atau Mom dan Dad"
Bab 17 AKU sadar kalau terjatuh. Mati-matian aku berusaha meraih
teralis, tapi tanganku justru menggenggam sulur berduri. Duri-duri
yang besar itu melukai telapak tangan kiriku.
Aku tidak sempat menjerit. Aku mendarat dengan keras dengan
punggungku. Napasku pun terempas keluar dari paru-paru. Kupikir
aku telah tewas. Tidak ada rasa sakit yang lebih hebat lagi di dunia ini.
Kau tidak bisa bernapas. Kau tahu kalau tidak akan bisa bernapas lagi.
Aku pasti telah pingsan. Aku sendiri tidak yakin. Segala sesuatu
berubah menjadi merah padam dan kemudian kuning, kuning yang
terang dan menyilaukan. Aku tidak tahu berapa lama terbaring di atas tanah, mungkin
tidak selama yang kurasakan. Warna terang itu perlahan menghilang.
Lalu kusadari kalau aku bisa bernapas lagi.
Tangan kiriku berdenyut-denyut menyakitkan. Kudekatkan ke
wajah untuk memeriksanya. Duri-duri tersebut telah menorehkan dua
goresan dalam di bagian tengah telapak tanganku. Darah membanjir
keluar, membentuk dua garis lurus.
Aku menengadah dan memandang ke puncak teralis. Lampu di
kamar Gena masih menyala. Kuputuskan untuk mencoba memanjat
lagi. Nanti sesudah berhasil masuk, Gena bisa mencari sesuatu yang
bisa kugunakan untuk membalut lukaku untuk menghentikan
perdarahan. Gena begitu dekat. Aku ingin menemuinya. Aku harus bertemu
dengannya. Aku membayangkan rambutnya yang hitam panjang
terurai, senyumnya, membayangkan ia duduk menyandar di bahuku di
sofa dengan tangannya melingkar di bahu. Dan aku mulai memanjat
teralis lagi, mula-mula pelan, lalu agak lebih cepat begitu kepercayaan
diriku mulai pulih. Jendela kamar Gena sekitar satu kaki di atas teralis. Dan
tertutup. Aku tidak tahu apakah dikunci atau tidak. Kuketuk kacanya
dan menunggu kemunculannya.
Teralis yang kuinjak berderak. Tiba-tiba aku meragukan
kemampuannya menahan tubuhku.
Gena di mana" Sekali lagi kuketuk kaca jendela, kali ini lebih keras. Tidak ada
jawaban. Kucondongkan tubuhku ke depan, menjangkau daun jendela
dan mendorongnya dengan sekuat tenaga. Tapi jendelanya bergeming.
Aku terjebak. Aku tidak bisa masuk ke dalam rumah. Dan
teralisnya bisa jatuh sewaktu-waktu, membawaku bersamanya.
Setelah menarik napas panjang, aku menjangkau dan
mendorong daun jendela dengan kedua tangan. Kali ini jendelanya
bergeser sedikit. Lega rasanya! Jendelanya tidak dikunci.
Beberapa detik kemudian, aku merangkak masuk dengan kepala
lebih dulu ke dalam kamar Gena. Bukan cara masuk yang romantis,
tapi setidaknya aku berhasil"dan teralisnya masih tetap berdiri.
"Gena?" bisikku.
Aku memandang ke sekeliling ruangan, yang diterangi cahaya
lampu meja rias Gena. Ia tidak di sana. Bahkan, tampaknya ia
memang tidak berada di sana.
Tempat tidurnya tertata rapi. Koleksi binatang kering miliknya
tersusun rapi di sepanjang dinding di atas tempat tidur. Tas
punggungnya tergantung di punggung kursi belajar. Mejanya benarbenar rapi, beberapa lembar kertas dan alat-alat tulis ditumpuk di
sudut. Karpetnya tampak seperti baru dibersihkan. Kau tahu
bagaimana bulu-bulu karpet tegak berdiri sesudah dihisap dengan alat
pengisap debu. Satu-satunya jejak kaki yang bisa kulihat di karpet
hanyalah bekas tapak kakiku sendiri.
Aku merangkak ke arah pintu lemari pakaian, yang ditempeli
bermacam foto dari atas hingga bawah. Ada foto Gena bersama
ayahnya, foto ibunya yang tinggal di luar Detroit; foto orang-orang
yang tidak kukenal; dan sejumlah gambar bintang film kesukaannya
yang diambil dari majalah-majalah. Aku senang melihat bahwa foto
yang kuberikan padanya, foto kelasku dari tahun lalu, ditempelkan
tepat di atas gagang pintu, persis di antara foto Dennis Quaid dan Tom
Cruise. Kelelahan tiba-tiba menyerangku, aku duduk di bibir tempat
tidurnya, berhati-hati agar jangan sampai tanganku yang berdarah
mengenai seprai putihnya. Di mana dia" Jika dia tidak di sini,
mengapa lampunya menyala"
Malam cukup larut. Mungkin ia akan naik sebentar lagi, kataku
dalam hati. Kuputuskan untuk menunggu.
Tetapi segera kusadari kalau itu keputusan bodoh. Aku tidak
mungkin cuma duduk-duduk saja di sini. Paling tidak, aku harus
berusaha menghentikan perdarahan di tanganku.
Aku bangkit berdiri dan melangkah ke meja rias. Kubuka laci
paling atas. Pakaian dalam, kaus kaki, dan semacamnya memenuhi
laci itu. Aku mengambil sebuah kaus kaki panjang dari wol berwarna
putih dan membalutkannya di tanganku. Gena tidak akan keberatan,
pikirku. Tapi di mana ia sekarang"
Di telepon tadi ia terdengar sangat kebingungan, begitu kacau.
Tidak mungkin kalau sekarang ia ada di lantai bawah dan
menyaksikan acara televisi bersama ayahnya.
Sambil memegangi kaus kaki di tanganku seerat-eratnya, aku
kembali ke pintu lemari dan membukanya. Lemari pakaian paling rapi
yang pernah kulihat. Pakaiannya semua digantungkan. Sweter dilipat
rapi di rak teratas. Aku tidak tahu kalau Gena pencinta kerapian.
Kututup kembali pintu lemari dan melangkah ke tempat tidur
ketika terlihat sesuatu melalui sudut mataku. Ada sesuatu yang
mengilat di karpet di bawah tempat tidur.
Aku menyepaknya keluar dari kolong tempat tidur dengan
ujung sepatu sneakers-ku, kemudian membungkuk untuk
mengambilnya. Aku membawanya ke lampu di meja rias dan
memeriksanya. Sulit dipercaya. Benda itu ternyata ukiran kepala monyet putih.
Ukiran yang sama seperti yang lainnya. Mata batu mirahnya
berkilau dan seolah menatapku. Mulut monyet itu meringis
mengerikan. Benda apa ini" Dan mengapa selalu ada ke mana pun aku pergi"
Tiba-tiba pikiran yang mengerikan terlintas dalam benakku.
Apa ini kepala kera yang sama"
Apa benda ini telah mengikutiku ke mana pun aku pergi"
Aku teringat saat bangun dari tidur dan menemukannya di
samping tempat tidur sekalipun tidak ingat sedikit pun kalau telah
membawanya ke dalam kamarku. Apa kepala monyet yang kupegang
sekarang ini juga kepala monyet yang dulu, yang menatapku dengan
mata kemilau kosong"
Jangan sinting, Mark. Kau terlalu banyak menyaksikan Twilight
Zone. Aku tidak sempat berpikir lebih jauh lagi. Kudengar langkah
kaki bergema di lorong. Langkah-langkah itu mendekat dengan cepat.
Kujejalkan kepala monyet tersebut ke saku celana jeans-ku dan
mencari-cari tempat persembunyian. Tapi tidak ada.
Langkah kaki itu kini tepat di balik pintu.
"Gena?" bisikku dengan perasaan gembira.
Dan ayah Gena melangkah masuk.
Pandanganku beralih dari ekspresi terkejut di wajah ayah Gena
ke pistol kecil keperakan di tangannya.
Bab 18 "MARK!" jeritnya. Ia melemparkan pistolnya ke atas tempat
tidur. "Hampir saja aku menembakmu! A"aku kira kau perampok!"
"Maaf." Suaraku tercekat di tenggorokan.
Dr. Rawlings bertubuh besar"demikian besar hingga tubuhnya
menutupi mulut pintu. Ia memakai setelan olahraga abu-abu-putih.
Pasti ukuran terbesar dari ukuran yang ada! Seperti anaknya, Gena,
rambutnya hitam, hanya saja bagian belakangnya lebih tebal,
mempertegas dahi yang tinggi di atas alis mata hitam yang sama
tebalnya. Tubuhnya juga amat kekar. Dengan otot-otot lengan yang besar.
Tampaknya ia rajin berolahraga. Aku menatapnya saat ekspresinya
berubah dari marah menjadi kebingungan"sebelumnya aku tak
pernah memperhatikan wajahnya.
Sekarang aku dalam kesulitan, pikirku. Tapi seberapa parah"
Ia maju beberapa langkah mendekatiku. Sesaat kukira ia akan
memukulku. Terkadang, dalam keadaan panik, kita sering berpikiran
yang bukan-bukan. Lalu kusadari kalau ia tengah memandangi kaus kaki putih yang
kubalutkan di tangan kiriku yang telah dirembesi darah. Memang
tidak sedap dipandang. Jadi kuturunkan tangan kiriku yang terluka ke
samping tubuh. "Mark... perasaanku tidak enak," katanya. "Soal pistol itu. Ya
ampun! Mestinya kau memberitahuku kalau kau ada di sini."
"Dr. Rawlings, aku?" Aku tercekat. Aku tak tahu apa yang
harus kukatakan. Maksudku, apa yang bisa kukatakan" "Maafkan aku,
aku tidak bermaksud untuk menakuti Anda. Aku ingin bicara dengan
Gena, dan?" "Kenapa tanganmu?" tanyanya. Suaranya sangat dalam.
Biasanya menggema. Ia suka berbicara keras-keras dan tidak jarang
berteriak, bukan karena marah tapi sekadar menunjukkan antusiasnya.
Tapi kini ia berbicara dengan sangat lembut, hampir tak bisa
kudengar. Ia benar-benar shock karena hampir menembakku.
Dengan perasaan enggan kupegangi tanganku yang terluka.
"Aku terluka," jawabku. "Begini, aku mau menjelaskan. Aku?"
"Kau mau menemui Gena?" Dr. Rawlings menjatuhkan
tubuhnya di atas tempat tidur. Kasurnya sangat empuk, sehingga
melengkung hampir ke lantai karena beban tubuhnya. Ia mengambil
pistolnya, kemudian meletakkannya lagi.
"Well, yeah. Ia meneleponku dan..."
Ia mengubah posisi duduknya di tempat tidur. "Gena sedang
merasa tidak enak, Mark," katanya, sambil menengadah menatap
langit-langit. "Sudah kukatakan sewaktu kau kemari sebelum ini."
"Aku tahu. Aku juga merasa tidak enak," kataku. Dan
kenyataannya memang begitu.
"Ah, cinta monyet," Dr. Rawlings menarik napas panjang dan
menggeleng. Ia beranjak bangkit dengan cepat. Gerakannya begitu
lincah. "Maaf, Mark. Aku tidak bermaksud bercanda. Aku tahu kalau
ini serius bagi kalian, kau dan Gena. Tapi walaupun begitu, kau tetap
tidak boleh menyusup masuk seperti ini."
"Aku tahu. Aku benar-benar menyesal. Emh... memangnya di
mana Gena sekarang?" tanyaku, sambil mempererat lilitan kaus kaki
di tanganku yang terasa sakit.
"Ia ke rumah sepupunya. Perasaannya sedang sangat tidak enak,
mungkin ia merasa lebih baik kalau pergi dari rumah."
"Sepupunya" Yang di luar kota?"
Ia mengangguk. "Ia pergi tanpa membawa tasnya?" Benda itu kebetulan terlihat
olehku. Aku begitu bingung, kurasa aku tidak betul-betul tahu apa
yang kukatakan.
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dr. Rawlings tertawa kecil. "Sudah kukatakan, ia sedang kacau.
Jadi kurasa tas itu bukan hal pertama yang dipikirkannya." Ia
mendekatiku dan meletakkan tangannya yang besar dan gemuk di
bahuku. "Bolehkah aku memeriksa tanganmu" Tak usah khawatir, aku
seorang dokter." Aku menarik tanganku. "Tidak. Tidak perlu. Terima kasih.
Tidak parah kok. Akan kubalut sendiri begitu sampai di rumah." Tibatiba saja aku ingin secepatnya keluar dari ruangan itu, pulang dan
memikirkan semua ini. Aku melihat ke jendela yang masih terbuka lebar. Mr. Rawlings
juga memandang ke sana. Sekarang ia tahu bagaimana caraku
masuk" kalau ia belum tahu sejak tadi.
Aku merasa sangat malu. Aku menyusup masuk ke rumahnya
dan ia bersikap begitu baik.
"Ayo turun. Sebaiknya kali ini kau keluar melalui pintu,"
katanya, membimbingku ke arah pintu kamar tidur dengan tangannya
di bahuku. "Aku benar-benar minta maaf," kataku. "Tidak seharusnya?"
Ia meremas bahuku, mungkin sedikit lebih keras daripada yang
disadarinya. "Tidak perlu. Tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku juga
minta maaf, tentang kau dan Gena. Ia kadang-kadang sukar ditebak.
Mudah-mudahan aku tidak membuatmu ketakutan karena pistol itu."
"Anda tidak akan memberitahu orangtuaku, kan?"
Orangtuaku. Aku telah melupakan mereka. Juga Cara. Jam
berapa ini" Ia mungkin sudah kembali beberapa waktu yang lalu"dan
aku tidak meninggalkan pesan apa pun.
"Tidak. Kali ini tidak," katanya, berjalan lebih dulu menuruni
tangga. Lalu ia menambahkan, "Aku akan menemui orangtuamu nanti
suatu saat." Aku minta maaf sekali lagi kepada Dr. Rawlings dan
melangkah keluar. Udara dingin menyambutku. "Hati-hati, Mark,"
katanya lembut. Ia mengulurkan tangannya dan menyalamiku.
"Terima kasih," kataku. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
Aku benar-benar merasa malu.
Aku berbalik dan berjalan menyusuri jalur masuk dengan cepat.
Tanganku berdenyut-denyut nyeri. Kaus kaki putih itu telah basah
kuyup oleh darah. Kuputuskan kali ini aku akan pulang lewat pintu
depan. Bab 19 SIAPA yang memasuki halaman" Aku melesat menyeberangi
ruang tamu, menarik napas dalam-dalam, dan membuka pintu depan.
"Oh." "Terima kasih banyak, Cara. Sambutan yang hebat," kata Lisa
Blume. "Maaf," kataku cepat, masih tidak bisa menyembunyikan
kekecewaanku. "Pikirmu siapa yang datang" Tom Cruise?" tanya Lisa, sambil
melontarkan senyum sinisnya yang khas dan melangkah ke serambi.
"Bukan begitu. Cuma"well... masuklah," kataku. "Aku benarbenar senang melihatmu."
"Yeah, bisa kulihat," katanya sinis. "Dengar, kupikir mungkin
kita bisa belajar sejarah bersama. Tetapi kalau waktunya kurang
tepat..." "Waktunya memang tidak tepat," kataku, memutuskan untuk
memberitahu Lisa apa yang tengah terjadi. "Tetapi aku tetap senang
kau datang." Aku mengajaknya ke ruang baca. Ia melompat ke sofa
dan melemparkan ranselnya ke lantai.
Kami merupakan sepasang teman yang aneh, pikirku, sambil
mengawasinya membungkuk untuk membuka ranselnya dan
mengeluarkan sebuah buku catatan. Kami tampak seperti dua spesies
yang berbeda. Aku dengan rambut yang sangat pirang dan kelihatan
tidak dewasa. Lisa memiliki rambut ikal hitam lebat dan senyum yang
menyebabkan setiap orang menganggapnya serbatahu. Sangat mirip
dengan Cher, pikirku. Aku benar-benar senang karena ia mampir. Aku
sedang membutuhkan teman, dan ia selalu lucu sekaligus sinis"tepat
yang kubutuhkan untuk membebaskan pikiranku dari segala sesuatu.
"Memangnya ada apa dengan kakakmu dan Gena Rawlings?"
tanya Lisa, sambil mengerjap-ngerjapkan matanya yang besar dan
gelap. "Aku terkejut melihat mereka di ruang tamumu semalam.
Mereka bahkan tidak bernapas sama sekali!"
"Well, kau juga tidak akan percaya yang satu ini," kataku,
"Gena memutuskan hubungan dengan kakakku malam ini."
Mulut Lisa ternganga, membeku membentuk huruf O yang
menunjukkan keterkejutannya. "Hah?" katanya pada akhirnya. "Coba
ulangi sekali lagi, Cara."
"Kau dengar. Ia memutuskan kakakku."
"Tapi... Kenapa?"
Aku mengangkat bahu. "Mark sedang kacau," kataku. "Jangan
bilang kalau aku yang memberitahumu. Ia sedang ke sana. Paling
tidak, kupikir begitu."
Lisa menarik sehelai rambutnya yang ikal hitam panjang.
"Aneh. Sungguh aneh."
"Yeah, aku tahu. Mark sama sekali tidak mengerti."
"Aneh," ulang Lisa. Ia duduk diam untuk beberapa saat,
menatapku dengan ekspresi berpikir. Kemudian ia berkata, "Apa Mark
mengunyah permen karet malam itu?"
"Maksudmu di tengah pesta?"
"Yeah." "Well, entahlah. Memang apa yang mau kaukatakan?"
"Well, aku cuma teringat seorang gadis yang pernah kukenal.
Namanya Shana, dan ia berpacaran dengan cowok bernama Rick,
selama beberapa waktu. Aku tidak tahu apa yang membuatku teringat
padanya, tapi aku ingat kalau Shana pernah memberitahuku bahwa
sekali waktu ia pernah dicium Rick, Rick sedang mengulum permen
karet. Shana tidak tahu, dan entah bagaimana permen karetnya pindah
ke pipi Shana." "Menjijikkan." "Yeah. Shana juga berpikir begitu. Makanya ia lalu
memutuskan hubungan mereka dan tidak pernah menyapanya lagi."
"Cerita yang hebat, Lisa," kataku, tertular kesinisannya seperti
siapa pun setelah berkumpul dengannya.
"Well, itu sebabnya aku menanyakan apa Mark mengunyah
permen karet waktu itu," kata Lisa.
"Aku punya masalah yang lebih besar dibandingkan dengan
kisah cinta Mark," kataku sambil menarik napas.
"Yeah. Kau punya kisah cintamu sendiri!" sela Lisa sambil
tertawa. "Tidak, aku serius," kataku.
"Aku juga." "Orangtuaku hilang," semburku.
Lisa sama sekali tidak bereaksi. "Teruskan. Nanti beritahu kalau
sekarang kepalamu ada dua," katanya sambil menatapku tajam. "Aku
juga akan mempercayainya."
"Tidak. Ini benar Lisa."
Kupikir ia melihat keseriusan di wajahku. Ia menopang
dagunya dengan satu tangan dan menatapku. "Mereka hilang"
Maksudmu mereka tidak pulang malam ini?"
"Atau semalam."
"Mereka tidak menelepon?"
Aku menggeleng. Tiba-tiba semua ekspresi Lisa berubah serius. Seolah-olah ada
topeng yang ditanggalkan dari wajahnya. Untuk pertama kali wajah
aslinya yang serius muncul. "Kau sudah menghubungi polisi?"
"Ya, Kapten Farraday."
"Tapi ia belum menemukan mereka?"
Aku menggeleng. Tiba-tiba merasa tidak enak. Semula kupikir
dengan memberitahu Lisa apa yang tengah terjadi aku akan merasa
lebih baik, tetapi sebaliknya, mengatakan semuanya itu justru
membuatku merasa lebih takut lagi.
"Apakah kau mau menginap di tempatku?" tanya Lisa. Ia
tampak tidak enak juga. "Tidak, terima kasih," jawabku. "Mark sedang?"
"Ia juga boleh ikut. Kamar di rumahku banyak. Sungguh."
Ia baik juga. Apalagi aku belum lama mengenal Lisa. Kami
tidak terlalu akrab sebenarnya.
Aku berterima kasih padanya sekali lagi dan mengatakan kalau
aku dan Mark akan merasa lebih nyaman menunggu di sini.
Memangnya Mark ada di mana sebenarnya" Kuperiksa arlojiku.
Malam bertambah larut. Aku penasaran apakah ia berbaikan dengan
Gena. Kalau memang begitu, mungkin ia tidak pulang dalam waktu
cepat. Kudengar suara mobil dari luar dan bangkit berdiri. Tapi mobil
itu berlalu tanpa mengurangi kecepatan. Bodoh kau Cara, kataku
memarahi diri sendiri. Kau tidak mungkin melompat bangun setiap
kali mendengar suara mobil lewat.
Lisa tampak lebih kebingungan daripada diriku. "Mereka
pernah begitu sebelumnya," kataku padanya, mencoba untuk
menghapus kebingungan di wajahnya.
"Sungguh" Mereka pergi selama dua hari tanpa memberitahu?"
"Tidak, bukannya tanpa memberitahu." Aku bangkit berdiri.
"Kuambil catatan sejarahku. Kita coba untuk belajar saja."
Ia tampak sangat tidak nyaman. "Kau yakin?"
"Yeah. Bagus bagiku untuk sekadar mengalihkan pikiran. Agar
aku tidak terus-menerus melihat jam sepanjang malam."
Ia mengikutiku ke ruang duduk, tempat aku meninggalkan
ranselku. "Kau tahu, kurasa Gary Brandt menyukaimu," katanya.
"Hah?" "Yeah. Kudengar begitu."
"Dari siapa?" tanyaku. Kutemukan buku catatanku dan
mengeluarkannya dari dalam ransel. Kertas-kertas berhamburan ke
atas karpet, tapi kubiarkan saja.
"Ia sendiri yang mengatakan pada temanku kalau ia senang
seandainya bisa mengajakmu jalan-jalan. Ia pintar, ya?"
"Gary?" "Iya. Gary." "Menurutku biasa-biasa saja." Bagaimanapun juga aku tidak
ingin menunjukkan betapa senangnya mendengar kabar ini. Gary
cowok yang cukup hebat. "Mungkin kalau orangtuaku tidak kembali,
kita bisa mengadakan pesta lagi." Tawaku tersembur.
Lisa juga tertawa, tapi tidak sepenuh hati.
"Tidak lucu, ya?" Aku menyelinap melewatinya dan kembali ke
ruang baca. "Sekadar mencairkan suasana."
"Kalau"kalau orangtuaku tidak pulang, aku pasti sudah
sinting!" kata Lisa.
"Mungkin aku akan sinting sesudah mereka pulang nanti,"
kataku sambil menjatuhkan tubuh di sofa. Kalau mereka kembali...
tambahku sendiri. Lalu aku menggigil.
Bagaimana kalau aku jadi yatim-piatu" pikirku. Bagaimana
kalau aku sudah jadi yatim-piatu tanpa menyadarinya"
Dengan siapa nanti aku dan Mark tinggal" Bibi Dorothy" Tidak.
Ia sudah terlalu tua. Nenek Edna" Tidak. Ia juga sudah sangat tua.
Dan ia tidak tahan menghadapi kami.
Apa remaja juga dikirim ke panti asuhan" Aku penasaran.
"Kau memikirkan apa?" tanya Lisa.
"Cuma pikiran bodoh," jawabku, memaksa diri tersenyum.
Kami mencoba membahas pelajaran sejarah sebentar, tetapi
benakku terlalu kacau untuk dapat berpikir jernih. Aku masih terus
saja memandangi jam di dinding, penasaran kenapa Mark belum
pulang juga, dan terlonjak dari sofa setiap kali mendengar suara mobil
lewat. Akhirnya, kami memutuskan untuk tidak belajar. Kami
bercakap-cakap lagi sebentar tentang teman-teman di sekolah.
Kemudian Lisa berpamitan pulang, sambil mengingatkanku sekali lagi
bahwa kalau aku dan Mark mau, kami bisa menginap di rumahnya. Ia
juga memintaku untuk memberitahu kalau ada kabar baru.
Aku merasa sedikit lebih baik beberapa saat setelah
kepulangannya. Aku sekarang memiliki teman.
Aku melihat jam dinding. Sudah jam sebelas lewat. Mark ke
mana" Aku duduk di ruang tamu. Betapa suram dan menjengkelkannya
ruangan ini. Aku berdiri dan mulai mondar-mandir. Aku kembali ke
ruang baca dan mengumpulkan catatan sejarahku yang tidak keruan.
Kujejalkan semuanya ke dalam buku catatanku. Aku baru mau
melangkah ke dapur untuk mengambil soda lagi"dan langkahku
terhenti di tengah ruang duduk.
Pistol Roger. Bagaimana aku bisa melupakan rencanaku" Aku mau ke atas
dan mengambilnya dari laci Roger dan menyembunyikannya di
tempat lain. Aku ingin Roger pergi dari rumah kami. Tapi aku tahu
untuk itu membutuhkan waktu. Sementara, aku tidak ingin ia memiliki
pistol berpeluru. Aku berlari ke atas dan berhenti di tikungan tangga. "Roger"
kau di atas situ?" Ia begitu tenang, mungkin saja ia sudah masuk saat aku dan
Lisa sedang bercakap-cakap. Tidak ada jawaban. Aku memanggilnya
sekali lagi, dan lagi-lagi tidak mendapat jawaban.
Jadi aku terus saja menaiki tangga yang sempit dan masuk ke
kamarnya. Aku harus meraba-raba sebelum akhirnya menemukan tombol
lampu meja, dan menyalakannya. Kamarnya kosong. Roger
meninggalkan kemeja dan celana panjangnya tergeletak di tempat
tidur lipatnya. Selain itu semuanya tidak ada yang berubah.
Aku bergegas menarik laci mejanya yang paling bawah.
Suara berderak. Langkah kaki" Apa Roger sudah kembali"
Aku tidak berani bergerak dan memasang telinga. Derakan lain
terdengar. Cuma rumah tua bodoh ini yang bersuara.
Sambil tetap mendengarkan kalau ada suara dari luar kamar
mungil itu, kukeluarkan pakaian-pakaian dalam dari laci paling
bawah. Kemudian kumasukkan tanganku untuk mengambil pistolnya.
Tanganku tidak menemukan apa-apa, jadi aku membungkuk
dan mengintip ke dalam laci.
Aku tersentak saat menyadari bahwa pistol itu sudah hilang.
Bab 20 HARI Kamis berlalu suram. Mark dan aku terlalu lelah dan
terlalu jauh tersesat dalam pikiran untuk bicara selama sarapan. Entah
bagaimana kami berhasil memaksakan diri untuk ke sekolah. Badanku
ada di sana, tapi pikiranku berada di sejuta tempat lainnya.
Sepulang sekolah, kami naik mobil berdua. Mark dengan
muram menceritakan tentang kejadian yang dialaminya di hutan,
tentang jebakan yang dipasang di dekat lapangan terbuka dan anjing
yang terlatih untuk menyerang dengan diam-diam.
"Aku"aku membunuhnya, kurasa aku telah mematahkan
punggungnya," kata Mark. Bisa kulihat bahwa ia sangat terguncang
dengan kejadian itu. Kemudian ia bercerita tentang ayah Gena,
bagaimana ia hampir saja menembak Mark.
Dalam perjalanan pulang, kuceritakan tentang Roger dan
Murdoch di kedai kopi, dan tentang hilangnya pistol dari laci meja
Roger. "Kita harus memberitahu Farraday tentang Roger," kata Mark,
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil membelokkan mobil memasuki jalur masuk. "Sesudah
kejadian semalam, Roger tahu kalau kita mencurigainya. Ia bisa jadi
lebih berbahaya." "Aku sudah memberitahu Farraday," kataku.
Kami tiba di depan rumah. "Telepon Farraday sekali lagi," kata
Mark, terdengar agak putus asa. "Barangkali ia sudah mengambil
tindakan." Aku lari ke dalam rumah untuk menelepon Farraday. Kulihat
Mark menuju ke halaman belakang. Aku tahu apa yang akan
dilakukannya" memanah sampai lengannya kelelahan.
Kulempar bukuku dan bergegas menaiki tangga depan. Aku
berada di tikungan tangga, mendengarkan kalau ada suara yang
menandakan adanya Roger di rumah ini. Akhirnya, kuputuskan untuk
melakukan pendekatan yang lebih langsung lagi. "Roger"kau ada di
atas?" teriakku. Tidak ada jawaban. Dengan perasaan lega, aku menuju ke
telepon di dapur dan menghubungi Kapten Farraday.
Kubanting teleponnya dengan jengkel ketika kusadari bahwa
telepon itu ternyata mati lagi. "Mark, telepon bodoh ini rusak lagi!"
teriakku melalui jendela dapur.
Ia tidak mendengarku. Atau mungkin ia pura-pura tidak
mendengarku. Ia kembali menembakkan satu anak panah lagi, lalu
yang berikutnya, memusatkan perhatian pada bidikannya, tanpa
sedikit pun mengalihkan pandangan dari sasaran.
Beberapa saat kemudian, aku keluar ke halaman belakang.
Mark baru saja menembakkan anak panahnya yang terakhir. "Sudah
lebih baik?" tanyaku.
"Tidak," jawabnya, sambil mengerutkan kening.
Kami keluar ke mal dan membeli piza untuk makan malam.
Tidak ada yang ingin berbicara. Setelah itu, kami keluar memasuki
malam yang dingin. Udara terasa begitu berat dan basah. Rasa-rasanya
salju akan turun. Kami masih di tengah perjalanan pulang ketika aku teringat
sesuatu yang mengubah segalanya.
"Wally," kataku.
Mark, yang mengemudi dengan satu tangan, dengan mata tetap
berkonsentrasi ke jalan di depan terkejut. "Hah" Apa katamu?"
"Wally!" Ia tampak tidak senang. "Aku tahu kau mengatakan itu tadi.
Tapi apa maksudmu?" "Aku lupa nama belakangnya," kataku, benakku mati-matian
berusaha mengingatnya. Aku merasa sangat bergairah. Aku tahu kalau
baru saja teringat sesuatu yang sangat penting. Sekarang, kalau saja
aku bisa lebih tenang untuk berpikir dengan jernih dan mengingat...
"Wally siapa" Maksudmu pada Leave It to Beaver?" Mark
membelokkan mobil ke Fear Street, dan tiba-tiba malam serasa lebih
kelam. Lampu jalan masih padam.
"Bukan. Maksudku teman Mom dan Dad. Wally Wilburn!"
Bahkan dalam kegelapan total bisa kulihat mulut Mark
ternganga. "Dari kantor! Orang yang sering menelepon dan mengajak
mereka main boling. Kau benar, Cara! Wally Wilburn. Itu namanya."
Ia memacu mobil secepatnya dan menginjak rem hingga
mencicit di depan rumah. "Ambil buku telepon Mom dan Dad. Aku
yakin Mom dan Dad mencatat nomor teleponnya di buku telepon."
Kami berdua membanting pintu mobil dan lari ke dalam rumah.
"Wally ini"ia bisa membuktikan kalau Mom dan Dad bekerja di
Cranford Industries," kataku. "Dan begitu kita bisa membuktikannya,
kita bisa..." Aku menghentikan kata-kataku. Aku tidak tahu apa
tindakan selanjutnya. "Sebaiknya kita bicara dengan Wally dulu," kata Mark.
Kami lari ke dapur, dan Mark menyambar buku telepon kecil
itu. "Coba lihat..." Mark mendekatkan wajahnya ke buku kecil itu.
Jarinya menyusuri halamannya pada buku kecil itu. "Ini dia. Wally
Wilburn." "Di mana rumahnya?"
Ekspresi Mark berubah sedih. "Cuma nomor telepon. Tidak ada
alamat." Aku mengangkat telepon. Masih mati. "Bukan masalah,"
kataku. "Kita cari buku telepon wilayah. Alamatnya pasti ada di sana."
"Kecuali kalau nomor teleponnya tidak terdaftar," kata Mark
lesu. "Tuan Pesimis. Kau terlalu mudah menyerah," kataku, menarik
buku telepon besar dari rak dan langsung membuka halaman bagian
belakang. Aku cuma perlu beberapa detik saja untuk menemukan
nama W. Wilburn. "Ia tinggal di Plum Ridge nomor 231."
"Di mana itu" Aku belum pernah mendengarnya."
Aku hampir saja tertawa. "Mark, kau benar-benar detektif yang
payah." "Aku tidak pernah mengatakan kalau akan jadi detektif," ia
merajuk. Aku menemukan peta wilayah di bagian depan buku tersebut.
Jalan Plum Ridge terletak di Waynesbridge di kota terdekat, sekitar
pertengahan antara rumah kami dan Cranford Industries. "Ayo,
berangkat." Kutarik Mark ke pintu belakang. "Aku tahu cara
menemukannya." "Wally Wilburn," gumamnya, menggeleng-geleng. "Mungkin
Wally bisa membantu menjernihkan semua misteri ini."
Perjalanan ke Waynesbridge memakan waktu dua puluh menit.
Ketika kami tiba di batas kota, deretan proyek pembangunan
perumahan yang seperti serangkaian kotak-kotak, menyambut kami di
sepanjang kaki bukit. Aku mematikan radio mobil dan mulai
membaca tanda-tanda jalan.
"Apa yang akan kita katakan pada laki-laki itu nanti?" tanya
Mark, tiba-tiba terdengar khawatir.
"Well, kurasa tidak mungkin kita berterus terang dan
memberitahukan kalau orangtua kita sudah hilang selama tiga hari,"
kataku. "Kita harus mengusahakan ia yang lebih dulu memberitahu
kita tentang apa yang diketahuinya. Kalau kita terlalu mendesak, kita
mungkin malah membuatnya ketakutan."
"Yeah. Cerdik juga," kata Mark menyetujui.
"Biar aku yang berbicara," kataku.
Ia mengangguk. "Plum Ridge," kataku, membaca tanda di jalan. "Mudah saja.
Belok kanan." "Kau bisa melihat nomornya?" tanya Mark, sambil mengurangi
kecepatan hingga hampir berhenti.
"Yeah, nomornya tertera di atas pintu depan. Terus saja. Pasti di
blok berikutnya." Dugaanku ternyata tepat, rumah Wilburn terletak di sudut jalan
berikutnya. Sebuah Ford Mustang diparkir di jalan masuk, jadi kami
terpaksa memarkir mobil di jalur dan menapaki jalur masuk sempit
yang terbuat dari beton. Bau tanah dan pupuk segar menyengat hidung
kami. Bisa kudengar suara-suara dan musik dari televisi saat kami
menaiki tangga teras. Kuketuk pintu dengan keras, sebelum
menemukan bel dan membunyikannya. Suara televisi berhenti
seketika dan kudengar langkah kaki. Lalu pintu depan dibuka oleh
seorang pria gemuk setengah baya.
"Mau jual apa?" tanyanya. Ia memiliki suara yang
menyenangkan dan senyum yang akrab di balik kumis hitamnya yang
tebal. Kulihat ia hampir botak, hanya ada sedikit rambut tipis yang
tersisa di tepi telinga. "Mr. Wilburn?" tanyaku. Aku tiba-tiba kebingungan
memutuskan apa yang akan kukatakan.
"Kalian datang ke tempat yang tepat. Kebetulan aku orangnya.
Tapi biasanya orang-orang memanggilku Wally. Dan kalian siapa"
Aku belum pernah melihat kalian di sekitar sini."
"Tidak. Kami tinggal di Shadyside," kata Mark, terdengar
gugup. Rasanya tadi kami sudah sepakat bahwa aku yang akan
berbicara, kuharap Mark tidak mengacaukannya sekarang.
"Well, kalian datang cukup jauh hanya untuk menjual karcis
undian," Wally tergelak. Tampaknya ia merasa komentarnya sangat
lucu. "Tidak. Kami tidak menjual apa pun. Aku Cara Burroughs, dan
ini kakakku, Mark." "Burroughs?" Ia segera mengenali nama itu. Ia membuka pintu
kasa. "Kalian anak-anak Greg dan Lucy?"
Kami berdua mengangguk. "Well, bagaimana kabar orangtua kalian" Di mana mereka"
Aku tidak melihat mereka di kantor minggu ini."
"Tidak melihat?" sembur Mark.
"Tidak. Ada yang membutuhkan tenagaku di Divisi C, jadi aku
ada di bawah tanah sepanjang minggu. Belum sekali pun aku naik.
Apa mereka merindukanku?"
Aku dan Mark tidak tahu harus menjawab apa. Jadi aku nekat
saja mengganti pokok pembicaraan. "Kami sedang mengunjungi
teman di dekat sini," kataku, berusaha terdengar meyakinkan, "dan
kami mampir kemari untuk meminjam telepon, kalau boleh. Kami
lupa untuk memberitahu Mom dan Dad. Kupikir mereka masih di
kantor." "Jam segini?" Wally melihat arlojinya. "Fanatik." Ia tertawa
kecil. "Orang baik. Tapi fanatik."
Seorang wanita kurus dengan rambut pirang berombak
memasuki ruangan, terkejut melihat kehadiran kami berdua. Ia
mengenakan jeans lusuh dan kaus oblong hitam merah bertuliskan
Grateful Dead. "Hai, Yang. Ini anak-anak Greg dan Lucy," kata
Wally. "Ini belahan jiwaku, Margie."
"Senang bertemu Anda," kataku dan Mark serempak. Kami
bertukar pandang tidak enak.
"Well, hai," jawab Margie, sambil melemparkan senyum
hangat. "Apa kalian bersama orangtua kalian?"
"Tidak. Mereka mampir ke sini untuk menghubungi orangtua
mereka," kata Wally padanya.
"Apa Anda punya nomor sambungan langsung mereka?"
tanyaku pada Wally. "Mark dan aku belum menghafalnya."
"Bukan masalah." Wally berjingkat ke meja yang terletak di sisi
ruangan dan dengan cepat tangannya menjelajahi tumpukan majalah
dan kertas-kertas. "Kadang-kadang aku bekerja di rumah, jadi aku
punya buku petunjuk telepon perusahaan. Ini dia."
Ia menarik sebuah buku petunjuk bersampul kuning terang. Aku
bergegas melihat sampul depannya. Tertulis: CRANFORD
INDUSTRIES PHONE DIRECTORY.
Kuharap keluarga Wilburn tidak memperhatikan bagaimana
tanganku gemetar saat menemukan halaman untuk huruf awal B dan
kemudian mulai mencari nama orangtuaku. Ini dia, lengkap dengan
nomor extension-nya. Jadi, pria yang di Cranford, Mr. Marcus, sudah membohongi
kami. Orangtua kami benar-benar bekerja di Cranford, seperti yang
kudengar dari mereka sendiri. Buktinya ada di tanganku. Sekarang
kami bisa menemui Kapten Farraday dan memberitahunya untuk
mengorek keterangan yang benar dari Marcus.
Kuangkat buku itu dan menunjukkan daftarnya pada Mark,
yang berdiri di sebelahku dengan mulut ternganga. Aku berdebat
sendiri mengenai kemungkinan Wally bersedia mengizinkan kami
untuk meminjam buku itu. Tapi kuputuskan tindakan itu akan
menimbulkan kecurigaannya. Lagi pula, kami sudah melihatnya. Dan
buku itu akan selalu ada di sini kalau Farraday perlu melihatnya juga.
"Well, terima kasih banyak," kataku, mengembalikan buku
petunjuk itu dan menuju ke pintu keluar.
"Yeah, terima kasih," Mark mengulangi sekali lagi. Kami
berdua sangat ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu.
"Ehm... apa kalian tidak melupakan sesuatu?" tanya Wally
dengan ekspresi keheranan. Kami berdua menatapnya dengan
pandangan tidak mengerti. "Teleponnya. Katanya kalian mau
menelepon orangtua kalian?"
"O ya, betul!" Sungguh memalukan.
Maka kami pun melanjutkan permainan kami. Aku
menghubungi sambungan langsung orangtua kami. "Tidak ada
jawaban. Pasti mereka sedang dalam perjalanan pulang," kataku pada
Wally. Perlu beberapa menit lagi untuk saling berterima kasih dan
basa-basi lainnya sebelum kami mencapai pintu keluar. "Ia pasti
menganggap kita ini aneh," kata Mark sambil menyelinap ke belakang
kemudi. "Persetan," kataku. "Kita baru saja membuktikan kalau orangtua
kita tidak berbohong. Mereka benar-benar bekerja di Cranford."
"Apakah resepsionis yang di Cranford itu sudah membohongi
kita?" "Tidak," kataku. "Nama Mom dan Dad memang tidak ada di
layar komputernya. Cuma butuh beberapa detik untuk menghapus
sebuah nama dari arsip komputer. Tapi Marcus itu memang
berbohong." "Kenapa ia harus berbohong?" tanya Mark, melajukan mobil
dari tepi jalan. "Entahlah. Tapi polisi akan membantu kita menemukan
jawabannya," kataku, merasa sangat bergairah dengan pengalaman
detektif kami. "Ayo kita cari Kapten Farraday. Banyak yang bisa kita
ceritakan padanya!" Perjalanan dua puluh menit pulang ke Shadyside terasa sangat
lama sekali. Saat tiba kembali di Mill Road, Mark tiba-tiba
membelokkan mobil ke Fear Street. "Kita mampir ke rumah dulu
sebentar," katanya. "Mungkin Farraday meninggalkan pesan di mesin
penjawab telepon." "Boleh. Gagasan bagus," kataku menyetujui.
"Oh, tidak. Cara, coba lihat?"
Kuikuti arah pandangan Mark. Van kelabu itu diparkir satu blok
dari rumah kami. "Ia kembali," kata Mark, yang lalu melewatinya dengan
kecepatan tinggi. Aku tidak bisa melihat apakah Murdoch ada di
dalamnya atau tidak. Kami memasuki jalur masuk. "Aneh," kataku. "Beberapa lampu
di lantai atas menyala. Aku tadi tidak menyalakannya."
"Aku juga tidak," kata Mark waspada. "Kita lihat saja ada siapa
di sana.Mungkin Roger."
Kami menyelinap masuk melalui pintu belakang. Aku
menutupnya kembali tanpa suara. Lalu kami menuju ke tangga depan.
"Hei, Roger" Kau ada di atas?"
Kami naik ke tangga menuju ruangan atas. Lampu di ruangan
loteng menyala. "Hei, Roger! Apa kau di atas situ?"
Sepi. "Apa dia menyalakan semua lampu lalu pergi lagi?" tanya
Mark. "Ia tidak pernah berbuat seperti itu," kataku. "Ayo naik saja,
kita periksa kamarnya."
Aku berjalan di depan. Tangganya berderak-derak sewaktu
kami naik. "Roger" Roger?"
Lampu kamarnya menyala. Pintunya setengah terbuka. Di
kamar rasanya dua puluh derajat lebih hangat. Kudorong pintu agar
terbuka lebih lebar dan melangkah masuk. Karena aku yang pertama
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kali masuk ke dalam kamar, akulah yang pertama kali melihat Roger.
Aku ingin menjerit, tetapi tidak ada suara yang keluar dari
mulutku. Rasanya aku mau pingsan. Segalanya tiba-tiba berubah putih
untuk beberapa saat. Lalu warna-warna itu kembali biasa.
Roger tengah duduk di mejanya, merosot ke depan, wajahnya
tertelungkup, kedua lengannya terjuntai ke bawah, telapak tangan
menyentuh lantai. Sebatang anak panah tertancap di punggungnya,
sedikit di bawah leher. Bajunya basah kuyup oleh darah berwarna
merah kehitaman. Aku melangkah ke samping agar Mark bisa masuk ke dalam
kamar yang kecil itu. Sneakers-ku mengeluarkan bunyi aneh di karpet.
Aku menunduk untuk mencaritahu. Karpetnya telah terendam darah
Roger. Aku tengah berdiri di atasnya.
"Oh, tidak! Tidak mungkin!" jerit Mark. Ia melingkarkan
tangan di bahuku, lebih untuk menenangkan dirinya sendiri daripada
untuk menenangkanku. Kakiku gemetaran. Jantungku berdegup
kencang sekali. Anak-anak panah berserakan di atas karpet yang basah oleh
darah. "Ia"ia mati," jerit Mark. "Kenapa?"
Tiba-tiba, pintu kamar mengayun ke dalam, menghantam
tubuhku dan Mark dengan keras. Farraday melangkah masuk ke depan
kami. Ia pasti telah bersembunyi di balik pintu semenjak tadi.
"Oh!" jeritku. Farraday memegang busur milik Mark. Ia menghalangi pintu
keluar dan menatap Mark dengan pandangan menuduh. "Ini
senjatamu, Nak?" gertaknya. "Mengapa kau membunuhnya?"
Bab 21 AKU menatap Cara dan pikiranku menjadi kosong. Mulanya,
kupikir Farraday pasti bergurau.
Tapi setelah pandangannya tidak beralih, sambil memegangi
busurku seperti itu, kusadari kalau ia serius. Ia menuduhku telah
membunuh Roger! "Tunggu, tunggu dulu?" aku mulai berbicara. Lututku terasa
lemas. Kamar sempit itu bergoyang-goyang, mula-mula ke satu sisi
lalu ke sisi lainnya. Aku menunduk. Sepatuku basah oleh darah Roger.
Farraday meletakkan tangannya di bahuku. "Jangan mengatakan
apa-apa, Nak. Pertama-tama aku harus membacakan hak-hakmu."
Aku melihat bibirnya bergerak-gerak, tapi tidak bisa mendengar
sepatah kata pun. Kurasa aku sedang shock.
"Mark tidak membunuh Roger!" Suara Cara yang dipenuhi
kemarahan menerobos ke dalam pikiranku. "Itu sinting!"
"Ia benar!" jeritku pula, akhirnya aku kembali bisa berkata-kata.
"Aku tidak membunuhnya. Tidak mungkin! Untuk apa aku
membunuhnya?" Farraday tetap tidak memindahkan tangannya dari bahuku. Ia
melemparkan busur di tangannya. "Tenang. Tenanglah," katanya
lembut. Ia membimbingku keluar kamar. "Sebaiknya kita semua tetap
tenang. Di sini baru saja terjadi pembunuhan." Ia menatap Cara seakan
tengah mencari jawaban di matanya. "Ada pembunuhan yang
menggunakan senjata Mark, dan?"
"Itu bukan senjata!" jeritku. Aku bahkan tidak mengenali
suaraku sendiri. Kedengarannya begitu ketakutan, begitu tegang.
"Ayo turun. Kita duduk dulu dan membicarakan kejadian ini
dengan tenang," kata Farraday. Ia membiarkan tangannya tetap di
bahuku seakan membimbing, dan mengikuti kami menuruni tangga.
Aku tidak bisa menjelaskan pikiranku saat memasuki kamar
duduk. Pikiranku tumpang-tindih tidak keruan. Tidak ada yang masuk
akal. Apa Roger benar-benar telah tewas" Siapa yang membunuhnya"
Apa mereka mencoba menjebakku dengan menggunakan busur dan
panahku" Cara dan aku baru mau duduk di sofa sewaktu kami melihat
pintu ruang duduk terayun membuka. Murdoch menyerbu masuk,
menggenggam pistol di tangannya.
Ia menatap Farraday dengan pandangan terkejut. "Siapa kau?"
teriaknya. "Semuanya menghadap ke dinding! Cepat!" Ia melambailambaikan pistolnya.
"Itu dia!" jerit Cara. "Dia yang menemui Roger!"
Farraday mencabut pistol dan menembak tiga kali. Ketiga butir
pelurunya mengenai dada Murdoch. Bola matanya berputar, ia
menjerit tanpa suara, dan lututnya terlipat. Ia jatuh tertelungkup ke
lantai lorong. "Oh, tidak, tidak, tidak!" Cara menutupi wajah dengan
tangannya. Farraday bergegas maju dan memeluknya untuk menenangkan
Cara. "Sudah beres," katanya lembut. "Sudah beres."
Perasaanku tidak keruan. Lantai bagai berputar-putar. Dua
orang tewas. Dua. Tepat di dalam rumah kami. Dua orang tewas
terbunuh. Darahnya... begitu banyak darah.
Sebelum kusadari, Farraday juga telah memelukku. Ia
membimbing Cara dan diriku kembali ke sofa kamar duduk. "Sudah
beres," katanya terus-menerus dengan lembut.
Cara dan aku duduk di sofa. Cara masih tetap menutupi
wajahnya. Aku menengadah memandang Farraday. Ruangan masih
berputar-putar tidak keruan. Aku terus mendengar suara letusan
pistolnya, terus melihat Murdoch menjerit tanpa suara dan jatuh ke
lantai. "Kalian tetap duduk di sini dan tenangkan diri kalian," kata
Farraday lembut. Ia menggaruk pipinya, lalu menyarungkan kembali
pistolnya. Ia melangkah kembali ke Murdoch, membalikkannya,
berjongkok di samping mayat, dan menatap wajahnya. "Jadi kau
melihat pria ini bersama Roger?" tanyanya.
"Ya," kata Cara, sambil menatap ke lantai. "Aku melihat
mereka bersama-sama."
"Sekarang kita mungkin bisa menyatukan semuanya dan
mengetahui apa yang sudah mereka lakukan terhadap orangtua
kalian," kata Farraday. Ia mengerang dengan keras sambil beranjak
bangkit. Ia meraih telepon di meja. "Aku akan memanggil bantuan,"
katanya. "Anak buahku akan tiba di sini secepatnya. Mereka akan
membereskan segalanya. Jangan bergerak. Tarik napas yang dalam
dan cobalah untuk menenangkan diri. Aku tidak pernah
menganggapmu sebagai pembunuh, Nak."
Ia memutar nomor telepon. "Yeah, Schmidt. Ini aku. Aku ada di
Fear Street. Benar. Burroughs. Aku perlu bantuan. Ada dua korban.
Terlambat untuk ambulans. Yeah. Yeah. Ajak mereka sekalian. Dan
suruh mereka bergegas, oke" Benar."
Ia meletakkan gagang telepon dan kembali ke kami. Ia tampak
setinggi dua meter saat berdiri tepat di depan kami. Cara duduk
dengan tangan terlipat erat di pangkuannya. Aku masih berusaha
mengembalikan kesadaranku.
"Kalian baru saja mengalami peristiwa yang tidak
menyenangkan," kata Farraday, sambil menunduk memandang kami.
"Tapi yang paling buruk sudah berlalu. Kurasa sekarang kita akan
mulai memahami seluruhnya. Bagaimana perasaan kalian?"
"Sangat buruk," kata Cara. "Aku belum pernah melihat orang...
mati sebelumnya." Aku beranjak bangkit dengan goyah, sambil berpegangan ke
sisi sofa. "Kau mau ke mana, Mark?" tanya Farraday, sambil
membantuku berdiri. "Ke dapur. Mulutku rasanya sangat kering. Aku mau minum
dulu." "Yeah. Tolong bawakan aku sekalian," kata Cara.
"Oke, silakan," kata Farraday. "Tapi cepat kembali. Masih
banyak yang harus kutanyakan pada kalian berdua."
Saat menuju ke dapur, aku melihat Farraday melangkah ke
jendela dan memandang ke luar. "Ada apa dengan anak buahku?"
kudengar ia bertanya. Aku melangkah ke dapur ke wastafel sewaktu menyadari
sesuatu yang menyebabkan aku menggigil. Aku berhenti. Dan
menatapnya. Kukedipkan mataku, berusaha mengubah apa yang
kulihat. Tapi tak bisa. Mataku tidak menipu. Gagang pesawat telepon di dapur"
gagang itu tidak terletak pada tempatnya.
Kuraih gagang telepon itu dan mendekatkan ke telinga. Sunyi.
Kukembalikan ke tempatnya, lalu mengangkatnya lagi.
Tidak ada suara. Teleponnya mati. Masih rusak.
Farraday tadi hanya berpura-pura menelepon ke kantor polisi.
Bab 22 JADI Farraday cuma menipu, barangkali ia bahkan bukan
seorang polisi. Ia tidak memanggil bala bantuan. Ia tengah menyekap kami
berdua di sini sekarang. Ia membunuh Murdoch tepat di depan mata kami. Apa mungkin
ia juga yang telah membunuh Roger" Apa ia merencanakan untuk
membunuh kami berdua juga"
Apa yang diinginkannya" Siapa dia"
Apa yang terjadi" Kepalaku terasa pusing memikirkan semua pertanyaan ini.
Aku meletakkan kembali gagang telepon dan berdiri di sana
memandanginya. Mati, mati, mati.
Aku harus mencari cara untuk memperingatkan Cara. Aku
harus memberitahu Cara bahwa Farraday bukan seperti
pengakuannya. Ia penipu. Penipu yang sangat berbahaya.
"Hei, Mark, kau di mana?" panggil Farraday.
Aku berpikir untuk lari keluar melalui pintu belakang, mencari
pertolongan. Tapi sebelum aku sempat bergerak, Farraday telah muncul di
dapur. "Sudah minum?"
"Belum. Aku... eh..."
Aku menuangkan segelas air, meneguknya beberapa kali, lalu
membawa sisanya untuk Cara. Farraday dengan lembut
membimbingku kembali ke sofa.
Cara mengambil gelas dari tanganku dengan lega. Aku
menatapnya, memutar bola mataku ke arah Farraday. Aku harus
menemukan cara untuk memberitahunya, harus mencari cara untuk
membuatnya mengerti bahwa kami berada dalam bahaya.
"Ehm... boleh aku dan Cara bicara berdua sebentar di dapur?"
tanyaku, berusaha terdengar selugu mungkin.
Cuping hidung Farraday sedikit memerah, seolah ia mencium
bahaya. "Tidak, kurasa tidak perlu," katanya tenang, sambil tersenyum
kepada kami. Ia duduk di atas sebuah kursi pendek di hadapan kami.
"Masih banyak yang harus kita bicarakan."
Cara menatapku dengan pandangan aneh. Aku balas
menatapnya. Tapi ia tidak mengerti.
"Ada dua hal yang mau kutanyakan pada kalian," kata Farraday.
Ia melemparkan senyum meyakinkan kepada Cara. "Aku yakin kita
bisa membuktikan kalau Mark tidak ada hubungannya dengan
kematian pria di kamar atas itu. Begitu kita mengetahui siapa pria
ini?"ia berpaling kepada Murdoch?"dan yang di kamar atas, kurasa
kita bisa melacak pembunuh yang sebenarnya."
Aku mencoba menarik perhatian Cara, tapi ia tengah menatap
Farraday. "Siapa mereka?" tanyanya. "Menurutmu apa mereka tahu di
mana Mom dan Dad?" Farraday mengangkat bahu. "Itu yang kita mau tahu."
"Memang untuk apa kau kemari?" tanyaku. Aku ingin
menunjukkan kepada Cara bahwa aku mencurigai Farraday. Aku
harus memberitahu Cara kalau ia penipu. Tapi bagaimana caranya"
"Ada yang mau kubicarakan dengan kalian berdua," kata
Farraday sambil menggaruk pipinya. "Kulihat lampu di lantai atas
menyala. Tampaknya mencurigakan, jadi kuselidiki. Kutemukan anak
itu"Roger"sudah tewas terpanah. Lalu kudengar ada yang
mendekat, jadi aku sembunyi di balik pintu."
Ia tampak begitu tenang, sangat profesional, begitu ramah. Aku
mengalihkan pandanganku kepada Cara. Kukernyitkan wajahku
padanya. Ia tidak melihatku.
"Sekarang kalian berdua sudah tidak lagi shock. Bagaimana,
apa kalian siap untuk menjawab beberapa pertanyaan singkat dariku?"
"Ya, kurasa bisa," jawab Cara pelan, mengatupkan tangannya
rapat-rapat di pangkuan. Bagaimana caranya untuk menarik perhatiannya" Bagaimana
caranya memberitahu Cara apa yang telah kutemukan"
"Dari mana saja kalian sebelum pulang tadi?" tanya Farraday,
melihat ke jendela seolah penasaran akan keberadaan rekan-rekannya,
bantuan yang tidak pernah ia hubungi.
"Kami pergi menemui seseorang yang dulu kenal dengan
orangtuaku," kata Cara.
"Cara"jangan!" teriakku. "Jangan beritahukan apa pun!"
Tiba-tiba kusadari kalau tidak ada pilihan lain. Aku sudah
melangkah terlalu jauh. Aku harus bertindak. Aku menarik napas
dalam-dalam dan menerjang Farraday. Aku mendorongnya dengan
kuat hingga ia terjengkang ke belakang. "Hei!" jeritnya marah.
"Mark! Apa-apaan kau?" kudengar Cara berteriak.
Aku melompat ke arah Farraday dan berusaha merebut
senjatanya, tapi ia berkelit dari tindihanku. Ia mendorongku menjauh
dan melompat berdiri. Senjata itu kini berada dalam genggamannya. "Gerakan yang
bagus, jagoan," katanya, menodongkan pistolnya ke arahku. "Tapi
tidak cukup gesit. Kembali ke sofa."
"Mark! Apa-apaan kau?" jerit Cara, memandangku seolah aku
sudah gila. Sikap bersahabat hilang begitu saja dari wajah Farraday. Ia
menatap kami dengan pandangan dingin, menodongkan senjatanya
pada kami. "Jadi kalian memang tahu sesuatu yang belum kalian
beritahukan padaku. Kurasa sekarang saatnya kalian mulai bicara."
Mulut Cara ternganga karena terkejut. "Apa?"
"Kurasa kalian dengar apa kataku," gertak Farraday. "Kita
mulai dengan pertanyaan utama. Di mana orangtua kalian" Katakan
sekarang, jangan mempersulitku."
"Tapi kami benar-benar tidak tahu di mana mereka berada!"
Cara berteriak. Kupeluk bahunya untuk menenangkan.
"Aku sudah muak bermain-main dengan kalian berdua," kata
Farraday, lalu mendesah. "Apa kalian tidak sadar kalau aku serius"
Aku sudah membunuh dua orang di rumah kalian malam ini. Apa
menurut kalian aku tidak akan tega membunuh dua orang lagi?"
"Kau"kau bukan polisi?" Cara tergagap.
"Tentu saja aku seorang polisi," jawab Farraday dengan pahit.
Ia bangkit berdiri. "Paling tidak, dulu aku seorang polisi. Aku menjadi
polisi selama enam belas tahun. Tapi orangtua kalian?"
"Ada apa dengan orangtua kami?" tanyaku.
"Itu juga yang mau kutanyakan," katanya dengan tidak sabar.
"Aku sudah menempuh perjalanan jauh untuk menemukan orangtua
kalian. Aku sudah menunggu lama untuk mengunjungi mereka." Ia
berdiri tepat di atas kami sekarang. "Di mana mereka?"
"Kami tidak tahu," kataku.
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa kau bunuh Roger?" tanya Cara.
"Ia terlalu usil. Aku yakin telah berhasil menipu kalian, tapi aku
ragu dengannya. Jadi aku menyelinap masuk dan menghabisinya." Ia
menatap Mark. "Kau baik sekali mau meninggalkan senjata yang bisa
kugunakan. Senjata yang tidak akan bisa terlacak kembali padaku. Ia
tidak sempat berpaling, tidak pernah tahu apa yang membunuhnya."
Farraday mengangkat bahu. "Sangat mudah."
Ia mencabut pistolnya. "Sudah cukup bermain-main dengan
kalian. Siapa yang akan memberitahuku di mana orangtua kalian
berada?" "Mark sudah mengatakan yang sebenarnya. Kami tidak tahu,"
jerit Cara. "Aku tidak percaya. Maaf," Farraday mengarahkan pistolnya ke
kepala Cara. "Kau tahu" Berani taruhan kalau aku menembak salah
satu dari kalian, yang lainnya tiba-tiba akan ingat di mana orangtua
kalian. Apa perlu kita coba?"
"Tidak!" jerit Cara.
Farraday mengalihkan pistolnya ke arahku. "Salah satu dari
kalian akan memberitahuku."
"Tapi orangtua kami hilang!" jeritku. "Kami tidak tahu di mana
mereka!" "Siapa di antara kalian yang harus kutembak?" tanya Farraday.
"Sayang sekali, kalian tidak memberiku pilihan. Aku harus menembak
salah satu dari kalian."
Ia membidik kami berdua bergantian, pertama ke arah Cara lalu
kepadaku. "Kurasa Mark saja," katanya.
"Tidak!" Cara berteriak. "Kami tidak tahu! Sumpah!"
"Selamat tinggal, Mark." Ia menurunkan senjatanya lurus ke
kepalaku. Aku memejamkan mata dan menunggu.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Seberapa sakitnya" Apakah aku akan sempat merasakannya"
Apa aku akan tahu saat peluru itu mengenaiku"
Empat detik. Lima detik. Enam detik.
Ia belum menembak. Aku membuka mataku.
Farraday menurunkan pistolnya perlahan-lahan.
Aku merasa pusing. Napasku terengah-engah. Aku
menengadah, berusaha memusatkan penglihatanku.
Farraday tidak lagi memandangku. Ia menatap ke belakangku.
Ekspresinya sangat tidak senang.
"Buang pistolmu," kata seseorang dari belakang kami.
Aku berbalik untuk melihat pemiliknya.
"Gena!" Rambut hitamnya kusut masai. Kaos birunya ternoda di sanasini. Pipinya memerah dan bengkak, matanya juga, seolah ia baru saja
menangis. Ia membawa sepucuk senapan besar, popornya bertumpu pada
bahunya. Senapan itu terarah kepada Farraday.
"Siapa kau" Apa yang kaulakukan di sini?" teriak Farraday,
menurunkan pistol tapi tidak menjatuhkannya.
Gena tidak mengacuhkannya. "Ayo, Mark, Cara. Kita harus
buru-buru. Pertemuannya sudah mulai. Kita tida boleh membuangbuang waktu."
"Pertemuan?" "Tetap di tempat!" jerit Farraday. Ia mau mengangkat pistolnya.
Gena menarik picu senapannya. Sebuah lubang muncul di
tembok di belakang Farraday. Laki-laki itu menjerit dan menjatuhkan
pistolnya. Seketika wajahnya memucat.
"Aku akan menembakmu. Aku tidak peduli," kata Gena
memperingatkan. Senapan itu tampak lebih besar daripada tubuhnya
sendiri. Ia membetulkan kembali tumpuan senapan pada bahunya.
"Tidak usah kaget begitu," katanya padaku. "Sejak umur empat tahun
Ayah sudah mengajakku berburu."
"Gena! Kau dari mana saja?" tanyaku.
"Tidak ada waktu untuk bicara," kata Gena.
Ia memberi isyarat dengan senapannya. "Apa yang akan kita
lakukan padanya" Kita harus buru-buru!"
"Bagaimana kalau kita kunci saja ia di garasi?" kata Cara
mengusulkan, dan melompat bangkit. "Kunci pintu garasi kita sangat
kuat." Rasanya itu gagasan yang bagus. Gena terus menempelkan
moncong senapannya ke punggung Farraday saat kami menggiringnya
keluar lalu masuk ke garasi.
Aku terkejut menyadari bahwa di luar salju telah turun. Tanah
telah tertutup warna putih, sementara salju terus turun.
"Kalian akan menyesal," kata Farraday. Kututup pintu garasi
lalu menguncinya. "Cepat, ambil mantel kalian! Kita mungkin sudah sangat
terlambat!" jerit Gena sambil menurunkan senapannya.
Beberapa detik kemudian, kami telah melintasi halaman
belakang rumah dengan tergesa-gesa, menapaki salju. "Kita harus
menyeberangi hutan," kata Gena. Ia mulai berlari, tanpa
menghiraukan licinnya salju.
Aku dan Cara juga berlari, untuk bisa mengikutinya. "Dari
mana saja kau" Apa yang terjadi?" tanyaku.
"Dari tempat sepupuku," jawabnya, napasnya memburu, uap
kecil-kecil keluar dari mulutnya. Kami sekarang berada dalam hutan.
Angin melolong, menyebabkan pepohonan bergoyang dan berderakderak. "Ayahku ingin aku pergi. Tapi aku menumpang pulang
kembali." "Menumpang?" jerit Cara.
"Aku tidak bisa menjelaskan. Kita lari saja. Kuharap... kuharap
kita bisa membicarakannya nanti."
"Tapi... kita mau ke mana" Aku harus tahu!"
"Orangtuamu!" teriak Gena. "Kita harus ke sana, karena..." Aku
tidak bisa mendengar sisanya. Gena mempercepat langkahnya dan
kata-katanya hilang diterpa angin. Aku berpaling memandang Cara,
yang menemui kesulitan untuk mengikuti kami.
Angin begitu dingin. Wajahku terasa kasar dan membeku. Aku
ingat kalau semalam aku berlari menerobos hutan ini untuk menuju
rumah Gena. Apa benar semalam" Jebakan tempat aku terjatuh
kembali terbayang, begitu pula anjing besar yang menyerangku di
dekat lapangan terbuka, dan pertarungan itu! Aku teringat suara
patahnya leher anjing itu, pada tatapan kebingungannya saat ia
merosot ke tanah tanpa bersuara.
Sekarang, salju yang lembut ini pun tidak menyebabkan hutan
ini terasa lebih ramah. Aku tahu, bisa saja masih ada anjing penyerang
lain di sini, siap untuk menerjang. Dan setan-setan yang jahat, jauh
lebih jahat. Kejahatan macam apa yang sekarang kami tuju" Gena
mengajak kami buru-buru untuk mengikuti pertemuan apa"
Aku terus berlari sampai paru-paruku terasa seperti mau
meledak. Lalu kami berjalan dengan cepat, menyibakkan dahan-dahan
pohon yang rendah dan sulur-sulur tinggi yang tertutup salju. "A"aku
lelah!" Cara berteriak. "Rasanya aku tidak?"
"Ssssshh," bisik Gena. "Kita hampir sampai."
Di depan tiba-tiba kulihat cahaya kuning kecil, muncul dan
menghilang di sela-sela pepohonan. Mulanya kukira kunang-kunang,
tapi tentu saja tidak ada kunang-kunang di musim dingin. "Lilin!"
seruku keras-keras. Sekali lagi, Gena memberi isyarat agar aku diam. "Jangan
sampai mereka mendengar suaramu," bisiknya.
"Kita ada di mana?" tanya Cara.
Aku mengenalinya. Kami berada di dekat lapangan bundar,
lapangan tempat kulihat banyak jejak kaki. Dan sekarang lapangan itu
dipenuhi orang-orang yang membawa lilin.
"Pertemuannya belum dimulai. Kita datang tepat pada
waktunya," bisik Gena.
"Pertemuan apa?" desakku. Kembali ia tidak mengacuhkanku.
"Ikut aku. Rumahku ada di balik pepohonan itu. Aku tahu di
mana ayahku menyimpan beberapa jubah."
Jubah" Lilin dan jubah" "Hmh," kataku, sambil menarik tangannya. "Aku tidak akan
pergi sebelum kau memberitahu apa yang sebenarnya sedang terjadi."
Ia meletakkan tangannya di atas tanganku. Sekalipun udara
dingin, tangannya terasa panas. "Mark, ayolah... kau ingin orangtuamu
kembali, kan?" Bab 23 AKU bisa merasakan bahaya menghampiri, seperti gelombang
kejut di udara. Kurasa, berada begitu dekat dengan bahaya telah
memulihkan tenagaku. Sewaktu berlari di tengah hutan, basah dan
kedinginan, aku mengatakan pada Mark dan Gena kalau sudah tidak
kuat lagi. Aku terlalu lelah"dan, harus kuakui, terlalu takut.
Tapi melihat bintik-bintik kuning di sela-sela pepohonan, lalu
melihat sosok-sosok berkerudung membawa lilin menyebabkan aku
lupa akan perasaanku yang tidak keruan.
Kami berusaha agar tidak terlalu dekat. Tapi aku bisa melihat
mereka di sela-sela pepohonan dengan jelas. Mereka berkeliaran di
sekitar lapangan, kira-kira selusin orang. Mereka semua mengenakan
jubah rahib berwarna gelap, wajahnya tersembunyi di balik kerudung.
Masing-masing membawa sebatang lilin hitam panjang.
Apakah Mom dan Dad ada di antara mereka"
Gena memberi isyarat agar kami tidak bersuara.
Kami tetap merunduk, berjalan mengitari lapangan,
mengikutinya. Sepatu sneakers kami yang basah tidak menimbulkan
suara di salju yang lembut. Aku mendengar suara musik yang lembut.
Kedengarannya seperti suara seruling, mungkin rekaman.
"Kalau musiknya berhenti, pertemuan akan dimulai," bisik
Gena. Ia menuntun kami ke halaman tetangganya. Kami membungkuk
rendah di balik pagar dan bergegas melewati rumah menuju ke
halaman depan. "Jubahnya ada di ruang bawah tanah rumahku," bisik Gena,
sekalipun tidak ada orang di dekat kami. "Bodoh sekali kita.
Seharusnya kita bawa pistol orang tadi. Kita malah meninggalkannya
di ruang duduk." Gena memimpin kami ke samping rumahnya. Kami menempel
ketat ke sisi rumahnya yang gelap, lalu menyelinap masuk melalui
pintu samping dan turun ke ruang bawah tanah. Bisa kudengar tawa
dari lantai atas. Dan juga musik rekaman, walaupun jauh lebih pelan,
tapi masih terus melantun.
Ruang bawah tanah itu telah selesai dibangun sepenuhnya. Ada
sebuah ruang rekreasi besar dan beberapa ruang yang lebih kecil.
Salah satu ruang yang lebih kecil dipenuhi senapan hingga ke langitlangit. Gena memimpin kami ke sebuah sudut tertutup dan menarik
kami ke dalam sebelum menyalakan lampu. Tempat itu kosong
kecuali setumpuk jubah cokelat di dinding.
Tiba-tiba saja dia menarik tangan Mark dan menatapnya.
Wajahnya tampak kesakitan, dan ketakutan. "Aku tahu kalau ayahku
terlibat dalam Persaudaraan," katanya. "Tapi aku tidak tahu kalau
mereka membunuh." Persaudaraan" Membunuh" "Sewaktu aku tahu apa rencana Persaudaraan, ayahku
memaksaku meneleponmu dan memutuskan hubungan kita," kata
Gena pada Mark. "Lalu ia memaksaku untuk pergi ke rumah
sepupuku. Ia tidak mau aku ikut campur. Ayahku tidak percaya bahwa
orang tega membunuh. Tapi ia begitu takut untuk menghentikannya."
"Aku tidak mengerti," bisikku. "Bagaimana dengan orangtua
kami" Apa mereka?"
"Sssh." Kami mendengar langkah kaki di tangga ruang bawah
tanah. "Kita harus pergi dari sini." Gena menyambar tiga jubah dari
tumpukan. "Cepat, pakai ini."
Kami segera mengenakan jubah-jubah itu. Jubah itu lebih berat
daripada yang terlihat. Baunya seperti kapur barus bercampur
keringat. "Pakai kerudungnya," kata Gena, sambil mengenakan
kerudungnya dan mengencangkan tali pinggang. "Cobalah untuk
mengikuti semua tindakan mereka."
"Senapannya?" kataku sambil menunjuk.
"A"aku tidak tahu bagaimana caranya membawa tanpa
ketahuan," kata Gena. Ia menyembunyikannya di balik tumpukan
jubah. "Kalau mereka sampai melihatnya, tamat sudah. Kita harus
memikirkan cara lain. Ayo!"
Sekarang bagaimana" pikirku. Kenapa kami harus menyelinap
mengikuti pertemuan itu" Apa yang akan kami lakukan"
Kami bergegas keluar dari tempat persembunyian kami, tepat
pada saat dua orang melangkah masuk ke ruang bawah tanah. Aku
cukup berhati-hati agar mereka tidak melihat wajahku sewaktu kami
berpapasan. "Malam," kata salah seorang dari mereka dengan ramah.
Kami tidak menjawab. Kami bergegas melintasi halaman belakang rumah Gena, lalu
menerobos hutan ke lapangan. Salju sudah berhenti. Cuaca cerah dan
dingin. Tidak ada cahaya kecuali bintik-bintik kecil api lilin.
Aku berusaha agar tetap berada di dekat Mark. Aku tidak ingin
kehilangan jejak mereka. Mudah sekali untuk bingung karena semua
orang tampak serupa. Setiap orang tampaknya tengah berkeliaran,
bersosialisasi. Tapi aku tidak cukup dekat dengan siapa pun untuk bisa
mendengar percakapan mereka.
Aku ketakutan setengah mati. Kakiku tidak mau bekerja sama,
tapi kupaksa untuk tetap berjalan, untuk terus bergerak di sepanjang
tepi lapangan. Tiba-tiba Gena menjejalkan sebatang lilin menyala ke tanganku.
Lilin hitam kecil. Aku berusaha untuk memegangnya kuat-kuat, tapi
tanganku gemetaran. Kuharap tidak ada yang memperhatikan.
Tiba-tiba, musik berhenti. Mereka mulai masuk ke dalam hutan.
Hutan Fear Street. Sudah berapa lama Persaudaraan mengadakan pertemuan di
dalam hutan" Berapa banyak cerita seram yang didptakan anggota
Persaudaraan" Apa yang akan mereka lakukan malam ini"
Aku berusaha agar tidak bertanya-tanya seperti itu, tapi rasanya
sulit. Angin meniup kerudungku ke belakang. Aku bergegas
meraihnya dan mengenakannya kembali.
"Masuk ke barisan," bisik Gena.
Kuraih tangan Mark. Rasanya sedingin es. Aku tidak ingin
terpisah. Sosok-sosok berkerudung itu membentuk dua barisan saat
melangkah ke tepi lapangan. Setelah semuanya berada dalam barisan,
mereka berhenti bergerak. Sekarang semuanya berbalik dan
membentuk lingkaran. ebukulawas.blogspot.com
Lilin-lilinnya terayun-ayun. Sekarang mereka membentuk
lingkaran cahaya yang sempurna.
Dua sosok berkerudung melangkah ke tengah lingkaran.
Mereka memegang lilin masing-masing dekat dengan wajah, dan aku
tersentak saat menyadari kalau mereka mengenakan topeng.
Topeng monyet putih"topeng monyet putih yang tengah
menyeringai. Mereka sangat mirip dengan kepala monyet putih kecil yang
Mark dan aku temukan di tempat tidur Mom dan Dad.
Sosok ketiga, wajahnya tersembunyi dalam bayang-bayang
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kerudungnya, melangkah maju.
Semuanya diam. Angin pun berhenti bertiup. Tidak ada yang
bergumam atau mengatakan sesuatu.
Sosok ketiga melangkah mendekati dua orang yang bertopeng.
Ia meletakkan tangan pada kedua topeng. Lalu, dengan satu sentakan,
membuka topeng kedua orang itu.
Dalam cahaya lilin, seketika aku mengenali kalau itu Mom dan
Dad. Aku memandang Mark. Ia juga melihat mereka. Dan aku tahu
kalau, pada saat yang sama denganku, ia menyadari bahwa Mom dan
Dad pastilah pemimpin sekte Persaudaraan!
Bab 24 INI pasti mimpi, mimpi yang buruk. Salju. Hutan yang gelap.
Orang-orang yang mengenakan jubah cokelat berkerudung. Lilin-lilin
hitam. Lingkaran cahaya kecil-kecil. Dan lalu Mom dan Dad di
tengah-tengah lingkaran, mengenakan topeng monyet putih.
Aku menatap Cara. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi
sama sekali. Kejadian-kejadian selama ini terlalu berat baginya untuk
dipahami dalam waktu sesingkat ini. Terlalu mustahil, terlalu aneh,
tidak nyata. Apa ini penyebab Mom dan Dad meninggalkan kami" Untuk ke
hutan ini dan memimpin acara sekte aneh ini"
Sewaktu mereka mengatakan kalau ada pertemuan klub setiap
Kamis malam, apa mereka sebenarnya berada di sini mengenakan
jubah dan topengnya"untuk apa"
Apa yang sedang mereka lakukan" Apa mereka tukang sihir,
atau semacam itu" Terbayang di benakku kepindahan-kepindahan kami selama ini;
tempat baru, rumah baru setahun sekali. Orangtuaku pasti berpindahpindah untuk membuka kelompok baru. Mereka bukan ahli komputer.
Itu cuma kamuflase untuk pekerjaan mereka yang sebenarnya"
pemimpin sekte! Rasanya aku mau muntah. Kehidupan kami selama ini ternyata
bohong belaka. Orangtua kami berbohong tentang segalanya. Dan lalu
mereka meninggalkan kami tanpa pesan, meninggalkan kami demi
Persaudaraan. Pandanganku kembali ke Cara. Ia memandang lurus ke depan;
begitu takut, begitu ngeri.
Apa yang akan terjadi pada kami" Mengapa Gena membawa
kami ke sini" Apa yang seharusnya kami lakukan"
Tiba-tiba lingkaran sosok-sosok berkerudung itu bergerak
merapat. Jadi Gena, Cara, dan aku juga ikut merapat.
Kulihat ada sebuah tunggul pohon besar dan rata di dekat pusat
lingkaran. Sosok berkerudung yang telah menanggalkan topeng
orangtuaku membimbing mereka ke tunggul itu.
Embusan angin dingin menyebabkan kerudung sosok itu
terbuka. Aku melihat rambutnya yang hitam dan pendek, kacamata
hitam. Seketika aku mengenalinya. Mr. Marcus, bos di Cranford.
Jadi ini sebabnya ia membohongi kami, pikirku. Mom dan Dad
mungkin sudah menyuruhnya membohongi kami, untuk mengatakan
kalau mereka tidak ada di sana. Mom dan Dad tidak mau bertemu
dengan kami lagi. Mereka terlalu sibuk memimpin gerombolan aneh
berjubah ini! "Sekarang kita siap!" teriak Marcus, tidak peduli lagi pada
kerudungnya. "Kita Monyet Putih siap untuk mengambil kembali
Amerika yang memang milik kita! Sudah terlalu lama kita berdiam
diri sementara orang-orang lain menentukan nasib bangsa kita. Tidak
lagi! Tidak lagi! Sebentar lagi kita akan bangkit... dan mengambil
kembali dengan kekerasan apa yang menjadi milik kita."
Tangannya teracung ke atas setinggi-tingginya sambil
berbicara. "Pemerintahan negara ini telah diserahkan kepada penjahat,
tapi kita akan mengubahnya! Pembalasan kita akan berlangsung
singkat, dan keadilan akan ditegakkan. Tidak ada penjahat yang
selamat begitu tentara kita telah membuktikan kemampuan mereka.
Kita akan mengambil kembali masyarakat kita" dan negara kita dari
unsur-unsur kriminal" dengan kekuatan!"
Sosok-sosok berkerudung, kecuali orangtua kami, bersorak di
balik kerudung mereka. "Tolak pengadilan! Tolak kepolisian yang lemah! Ya, untuk
Persaudaraan!" jerit Marcus, dan yang lain bersorak mengikutinya,
menggema dalam hutan. Setelah sorakan mereda, Marcus menurunkan tangannya dan
memandang pada orangtua kami. "Dan mereka yang telah
mengkhianati kita akan menjadi yang pertama merasakan
pembalasan!" teriaknya.
Mengkhianati kita" Apa maksudnya"
Ia kembali mengangkat tangannya. Sekarang kulihat ada sebilah
pisau panjang di tangannya.
"Persaudaraan Monyet Putih tidak mengenal belas kasihan
terhadap pengkhianat!" teriak Marcus. Kerumunan pun bersorak.
"Pembalasan akan berjalan lancar!" teriak Marcus, dan setiap
orang kembali bersorak. Angin bertiup dan hampir membuka kerudungku. Aku bergegas
mencengkeramnya dan memeganginya dengan dua tangan. Kuharap
tidak ada yang sempat melihat wajahku.
Sewaktu pandanganku kembali ke tengah lingkaran, seorang
pria berkerudung telah melangkah maju dan memaksa Dad berlutut. Ia
mendorong kepala Dad ke tunggul pohon rata itu.
"Kita harus bertindak"sekarang," bisik Gena padaku.
Marcus mengangkat pisaunya di atas kepala Dad. "Pengorbanan
akan dilakukan!" teriaknya. "Beginilah cara tentara kami menerapkan
keadilan!" Ooh! Aku tersentak diam-diam. Kepalaku terasa berdenyutdenyut. Aku merasakan entakan rasa takut membanjiri tulang
punggungku. Kenapa aku memerlukan waktu begitu lama ini untuk
menyadari"orangtuaku bukanlah pemimpin Persaudaraan. Mereka
sebentar lagi akan dibunuh Persaudaraan! Dan mereka tidak bisa
melarikan diri atau melawan"karena salah seorang sosok
berkerudung itu menodongkan pistol kepada mereka.
Marcus menekankan lututnya ke punggung Dad. Ia kembali
mengangkat pisau ke atas kepalanya. "Kau mau mengaku kalau sudah
mengkhianati Monyet Putih?" katanya.
"Mengakulah!" teriak seseorang dari tengah kerumunan.
Angin kembali bertiup. Sekali lagi, kucengkeram kerudungku.
Cara meremas tanganku. "Mark," bisiknya. "Apa yang harus kita
lakukan?" "Ia tidak akan mengaku!" teriak Marcus. "Pembalasan adalah
hak kita!" Ia menurunkan pisau ke kepala Dad.
"Tidak! JANGAN! Jangan membunuhnya!" teriak Mom. Mom
mencengkeram Marcus dan berusaha menarik tangannya yang
memegang pisau. Marcus mendorong Mom, dan seorang berkerudung
mencengkeram Mom dari belakang. Lalu Marcus mengalihkan
perhatiannya kembali kepada Dad, yang kepalanya masih menempel
pada tunggul pohon. "Pembalasan tidak akan ditunda!" jerit Marcus.
Aku tahu kalau harus bertindak sekarang" kalau aku memang
ingin bertindak. Tapi apa yang bisa kulakukan tanpa senjata sama
sekali" Kalau aku lari dan mencoba menerjang Marcus, salah seorang
anggota sekte ini akan menghentikanku, atau menembakku.
"Mark...," kata Cara. Matanya berkaca-kaca.
Ia mendorongku tanpa sengaja, dan aku merasakan ada sesuatu
di saku celana jeans-ku. Aku bergegas meraih ke balik jubah, dan
mengeluarkan benda itu dari saku celana jeans-ku.
Benda itu ternyata kepala monyet putih kecil, keras dan dingin.
Kepala monyet putih yang kuambil dari lantai kamar Gena.
Aku tidak berpikir. Aku tidak punya tujuan. Aku cuma
melemparkan benda itu ke arah Marcus, sekeras-kerasnya.
Aku ingin mengenainya tepat di antara mata. Kalau aku bisa
membuatnya terkejut, mungkin orangtuaku punya kesempatan untuk
melarikan diri. Marcus berpaling ke arahku tepat pada saat aku melemparkan
kepala monyet putih itu. Kerudungnya bertumpuk di bahunya.
Wajahnya terbuka, tanpa perlindungan.
Sempurna, pikirku. Sempurna.
Kepala monyet putih itu melayang dalam kegelapan.
Benda itu melayang tepat di samping bahunya.
Meleset. Lemparanku meleset beberapa senti.
"Siapa yang melempar?" kata Marcus.
Ia menatap lurus kepadaku.
Bab 25 KULIHAT Mark melempar sesuatu. Lalu kulihat Mr. Marcus
berputar dan menghampirinya.
Kuduga lemparan Mark meleset.
"Siapa yang melempar tadi?" teriak Marcus.
Ia maju beberapa langkah mendekati Mark.
Mark melangkah mundur. Ini pengalihan perhatian yang dibutuhkan orangtuaku.
Tiba-tiba Mom menjatuhkan pistol pria berkerudung yang
menjaganya. Dad melompat bangkit dan mendorong Marcus dari
belakang sekuat-kuatnya. Marcus menjerit terkejut saat jatuh tertelungkup di salju, dan
pisaunya terlepas dari genggamannya.
Anggota sekte yang lain tampak kebingungan dan terkejut
setengah mati. Beberapa mulai melarikan diri. Tapi sebagian besar
justru diam membeku di tempatnya.
Dad menerkam pistol itu dan bergegas bangkit. Ia menendang
pisau dari tangan Marcus sementara Mom bergerak ke sisinya.
Dad menekankan pistolnya ke leher Marcus. "Jangan ada yang
bergerak, atau kuhancurkan kepalanya!" teriaknya. "Kalian semua
ditangkap. Kami FBI!"
Para pengikut Persaudaraan yang mengenakan jubah itu malah
berhamburan, tidak mengacuhkan ancaman Dad. Mom melihat kami.
"Kalian" kalian ada disini!" teriaknya, dan menghambur memeluk
kami berdua sekaligus. "Oh, sulit dipercaya! Sulit dipercaya! Kalian
ada di sini! Kalian selamat!"
"Cepat ke rumah. Panggil bantuan. Kita kalah banyak di sini,"
teriak Dad sambil tetap menekankan pistolnya ke leher Marcus.
"Dad, semua melarikan diri," jeritku.
"Aku tahu siapa mereka. Mereka tidak akan bisa lari jauh," kata
Dad. Mom menyambar pisaunya, lalu bergegas masuk ke dalam
rumah. Dad berpaling kepada Mark. "Kau belajar melempar di mana?"
"Maaf," kata Mark, tapi kemudian ia melihat Dad tersenyum.
"Kau sudah menyelamatkan nyawa kami, Mark."
"Sebenarnya, Gena yang menyelamatkan kita," kata Mark. Ia
memeluk Gena. Seorang pria tinggi besar yang juga mengenakan jubah
melangkah mendekat perlahan-lahan, tangannya terangkat tanda
menyerah. "Sudah kucoba untuk menghentikan mereka, Greg,"
katanya. Ia Dr. Rawlings, ayah Gena. "Aku sudah berusaha sebisaku.
Tapi aku takut"takut pada mereka, takut akan nasib Gena, nasibku
sendiri. Paling tidak, aku berhasil membujuk mereka untuk tidak
mengusik anak-anakmu."
"Akan kuingat itu," kata Dad padanya, ekspresinya tetap keras.
"Tetapi sekarang aku tetap harus menangkapmu. Bagaimana kau bisa
bergabung dengan sekte itu, Rawlings?"
Ayah Gena mendesah berat. "Aku mempercayai apa yang
dikatakan Marcus dan yang lainnya"mula-mula. Aku percaya kita
harus bertindak untuk mengatasi kejahatan, kalau kita harus
menjadikan negara ini aman kembali. Tapi aku tidak tahu kalau
mereka akan menumpuk senjata, main hakim sendiri... membunuh
orang-orang. Aku ingin keluar, Greg. Tapi aku takut, takut kalau
mereka mengejarku." Marcus merengut dan meludah ke salju. "Kau memang
pengecut, Rawlings. Kau akan mati karena kepengecutanmu.
Pembalasan Monyet Putih tidak terhalangi," katanya, lalu membuang
muka. Dad tidak mengacuhkannya dan berpaling kepada Gena.
"Kurasa aku harus minta maaf padamu, karena sudah berusaha
memisahkan kau dan Mark," katanya. Ia mendorong Marcus menuju
ke rumah. "Ayo. Jalan. Aku mau menanggalkan jubah ini. Lagi pula
aku memang tidak pernah suka keluar rumah dengan mengenakan
jubah mandi." Kami berjalan ke rumah. "Maaf. Aku yakin kalian berdua sudah
kebingungan setengah mati," kata Dad.
"Itu terlalu meremehkan," kataku padanya. Bisa kudengar suara
sirene di kejauhan. Mom pasti berhasil menghubungi mereka.
"Mana Roger?" tanya Dad. "Apa ia tidak ikut kemari?"
"Mmh... Roger sudah mati," jawabku
Dad menghentikan langkahnya. Matanya menyipit. Ia
menggeleng. "Oh, tidak. Sayang sekali Roger salah satu agen terbaik
kami. Sesudah Persaudaraan tahu bahwa aku dan ibumu agen FBI, aku
khawatir kalau mereka akan memburu Roger"dan kalian."
"Pria yang bernama Murdoch juga terbunuh," kataku padanya.
Keterkejutan dan kesedihan kembali melintas di wajah Dad.
"Murdoch direktur lapangan kami di sini. Apa Persaudaraan juga yang
membunuhnya?" "Bukan Persaudaraan," kataku. "Tapi orang yang bernama
Farraday." "Siapa" Farraday?" Dad tampak shock dan tidak percaya.
Pandangannya beralih ke belakangku, ia berpikir keras. "Farraday" Ia
di sini" Ia sudah keluar dari penjara" Apa yang dilakukannya di sini?"
"Siapa Farraday itu, Dad?" tanyaku.
"Ia dulu polisi, Mark. Polisi yang berlaku tidak jujur. Ibumu dan
aku bertanggung jawab untuk menyeretnya ke pengadilan atas
tuduhan pemerasan. Ia yang membunuh Roger dan Murdoch?"
"Kami mengira ia benar-benar polisi," kata Cara. "Ia punya
radio polisi dan segala perlengkapan polisi lainnya."
"Semua orang mampu membeli radio yang bisa menangkap
saluran polisi," kata Dad menjelaskan.
"Farraday mencari Dad dan Mom," kataku. "Kami
menguncinya di garasi."
Air mata menggumpal di sudut mata Dad, air mata pertama
yang pernah kulihat di matanya. "Maaf," katanya. "Aku tidak pernah
bermaksud untuk melibatkan kalian dalam hal ini."
"Semuanya sudah berakhir," kataku. Aku mati-matian berharap
kata-kataku benar. Kami mengikuti Dad masuk ke dalam rumah Mr. Rawlings,
merasa sangat lega sekalipun masih kebingungan setengah mati.
Bab 26 "KAMI menghadapi dilema besar," kata Mom pada Cara dan
aku. "Kami tidak ingin bohong kepada kalian, tapi kami juga tidak
ingin melibatkan kalian berdua. Kami merasa kalian akan selalu
Fear Street - Orang Tua Kami Hilang Missing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengkhawatirkan kami kalau kalian tahu kami agen FBI."
Kami telah berada di rumah, kami berempat lengkap. Polisi
sudah datang untuk membawa Farraday dan mayat Roger yang
malang. Jadi sekarang hanya ada kami berempat. Kami sangat
bahagia. Dad membuat cokelat panas dan kami bercakap-cakap duduk
mengitari meja dapur. "Jadi kalian bukan ahli komputer?" tanya Cara. Ia tampak
sangat kebingungan. "Tentu saja kami tahu banyak tentang komputer," kata Dad.
"Tapi kami lebih tahu banyak lagi tentang kelompok-kelompok
subversif." Mom mendesah. "Ini bukan pekerjaan yang menyenangkan.
Kurasa kalian sudah melihatnya sendiri malam ini."
"Apa karena itu kita jadi sering berpindah pindah?" tanyaku.
Mom mengangguk. "Kami mencoba untuk memberi kalian
masa kanak-kanak yang normal, senormal mungkin. Karena itu kami
sengaja tidak mengatakan yang sebenarnya."
"Sebelum ini kita beruntung tidak mendapatkan masalah," kata
Dad. "Tapi kita masih tetap beruntung," kata Mom menyela. "Kita
beruntung masih hidup."
"Tapi ini pertama kalinya penyamaran kita terbongkar," kata
Dad, sambil memutar-mutar cangkir di tangannya. "Para pengikut
Monyet Putih ini benar-benar akan membunuh kami berdua."
"Tapi mengapa, Dad?" tanyaku. "Mengapa semua orang itu
patuh pada Marcus?" "Ia seorang pemimpin yang karismatis," kata Dad. "Dan ia
mengatakan apa yang ingin mereka dengar. Ia meyakinkan mereka
kalau ia bisa memimpin mereka ke jalan hidup yang lebih baik."
"Di mana Mom dan Dad berdua selama ini?" tanyaku.
"Marcus menyekap kami di ruang bawah tanah Cranford selama
tiga hari," kata Mom. "Ia harus menunggu hingga malam pertemuan
untuk menghukum mati kami."
"Apa Mom dan Dad memang bekerja di Cranford?" tanyaku.
"Ya, memang," jawab Mom. "Begitulah cara kami menyusup ke
dalam Persaudaraan. Marcus dan anak buahnya berencana untuk
menguasai Cranford. Dengan begitu mereka bisa mengetahui banyak
senjata rahasia pemerintah."
"Kurasa mereka benar-benar akan menggunakannya," kata Dad.
"Kalau mereka punya separo saja kesempatan untuk itu."
"Tapi keluarga Burroughs datang untuk mencegahnya," kata
Mom, dan kami semua bersorak.
"Mark, kami harap kau mengerti mengapa kami berusaha
memperingatkanmu tentang Gena," kata Dad menjelaskan, sambil
memegang lenganku. "Kami sedang berusaha mengumpulkan buktibukti yang cukup kuat untuk menangkap anggota Persaudaraan, dan
kami tahu kalau ayahnya adalah salah satu dari mereka. Kami
berusaha memperingatkanmu agar menjauhinya, tapi tentu saja kami
tidak bisa mengungkapkan alasan yang sebenarnya."
"Kurasa Gena sudah membuat semua orang terkejut," kataku.
Aku ingin tahu apa yang tengah dilakukannya sekarang.
"Ia gadis yang pemberani," kata Dad.
"Bagaimana dengan Roger" Ia bukan benar-benar sepupu kami,
kan" Apa ia anak buah Dad?" tanya Cara.
"Benar. Ia salah seorang agen kami."
"Tingkahnya berubah aneh sesudah Mom dan Dad
menghilang," kata Cara. "Kami tidak tahu harus berbuat apa."
"Ia pasti mati-matian berusaha menemukan kami," kata Dad. "Ia
dan Murdoch. Mereka pasti mencari ke mana-mana." Ia memandang
ke Mom, yang berpaling dengan pandangan sedih.
Kami menyesap cokelat panas kami. Tidak banyak lagi yang
harus dibicarakan. Semua pertanyaan sudah terjawab. Well, hampir
semua. "Apa yang akan terjadi selanjutnya?" tanyaku.
"Kami menyelidiki kasus yang lain lagi," kata
Mom. "Tapi kali ini tidak akan sama. Penyamaran kita sudah
dibongkar keluarga kita sendiri."
************ Pada hari Sabtu, Mom dan Dad telah selesai mengemasi karduskardus, bersiap-siap untuk kepindahan kami yang berikutnya. Bel
pintu berdering tepat setelah sarapan. Gena. Di belakangnya, kulihat
sebuah taksi menunggu di jalur masuk.
"Hai. Ayo masuk," kataku.
"Tidak bisa. Aku dalam perjalanan ke bandara."
"Kau mau ke mana?"
"Detroit. Ibuku tinggal di sana. Aku akan tinggal dengannya...
sementara ayahku... kau tahu."
Kuraih tangannya. "Kau tidak apa-apa?"
"Yeah. Kurasa begitu. Butuh waktu yang lama sekali sebelum
orang-orang melupakan semua kejadian ini. Dan a"aku akan
merindukanmu." "Aku"maksudku, kami juga akan pindah. Entah ke mana,"
kataku, "tapi aku akan menulis surat padamu."
"Bagus, aku juga akan menulis surat padamu." Sopir taksi
membunyikan klakson. Ia akan segera berangkat. Gena berjinjit dan
menciumku. Wajahnya terasa dingin, tapi ciumannya hangat. Ciuman
yang lama dan sangat mengesankan. Aku tidak akan pernah
melupakannya. Kemudian ia menyelipkan sesuatu ke dalam tanganku, berbalik,
dan berlari ke taksi tanpa pernah berpaling.
Aku melangkah keluar ke teras depan dan mengawasi
kepergiannya. Ia melambai, lalu taksinya menghilang.
Kupandang benda pemberiannya. Sebuah kotak kecil, seperti
kotak perhiasan. Aku membukanya. Di dalamnya terdapat kepala
monyet putih kecil bermata mirah.
Kenapa ia memberiku benda ini" pikirku.
Kukeluarkan benda itu dari kotak. Ada sesuatu yang terjepit di
mulutnya. Aku memerlukan waktu beberapa saat untuk mencabutnya.
Benda itu sehelai kertas tipis panjang. Kubuka gulungannya. Kertas
itu berisikan alamat Gena di Detroit, dan sebuah pesan: Kau bisa
menyimpan rahasia" Aku mencintaimu. Gena.
Kugulung kembali kertas itu dan menjejalkannya di mulut
monyet itu. Kuletakkan kepala monyet itu di telapak tanganku. Untuk
pertama kalinya, benda itu tidak terasa dingin. Rasanya sangat hangat.
Kulontarkan benda itu ke udara, menangkapnya, dan menjejalkannya
ke saku celana jeans-ku. Aku tidak memerlukan benda itu untuk mengingat-ingat Gena
dan tempat tinggalku di Fear Street, tapi aku bermaksud
menyimpannya untuk waktu yang lama.END
Si Tangan Iblis 2 Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Delapan Sabda Dewa 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama