Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts Bagian 2
lagi!" Ia memberi tanda supaya pemuda itu bergegas.
Selagi Steve berjalan ke pintu depan, suara lain bergema
melalui speaker kecil di dinding. Itu suara Erica, dan ia terdengar
kesal. "Josie, kau mau pergi ya" Perawat Rachel harus pulang lebih
cepat dan aku sendirian di sini."
"Ya, aku mau pergi. Sampai jumpa!" Josie berteriak dengan
tidak sabar. "Kau kok tega sih?" protes Erica tak senang.
"Memang kenapa" Kau kan tidak punya rencana ke luar malam
ini," bentak Josie kasar. "Aku akan menemani Rachel besok. Aku
janji!" "Jahat sekali kau," seru Erica marah, suaranya membuat speaker
kecil itu bergetar. "Dengar, Josie..."
"Bye, aku pergi," potong Josie. Tergopoh-gopoh ia keluar
rumah. Steve mengikuti, wajahnya tampak bingung.
Malam itu cerah dan dingin. Sebagian besar salju sudah
mencair, meski masih ada yang membongkah di atas pekarangan
rumput, seperti gunung es mengapung di permukaan laut yang gelap.
Pepohonan gundul masih tegak berdiri, seolah membeku di
tempat. Bulan sabit pucat melayang tinggi di langit kelam. Josie
menengadah, tapi ia tak melihat sebuah bintang pun. Di kejauhan
seekor anjing melolong pilu.
Sambil bergandengan tangan keduanya menuju mobil Steve
yang diparkir di tepi jalan. Sepatu kets mereka berkecipak di tanah
yang basah. Josie melirik rumah Melissa di seberang jalan. Semua
lampunya masih menyala. Bayangan seseorang tampak di balik tirai
tertutup di kamar atas. Josie hendak masuk ke dalam mobil ketika mendadak ia
berhenti. "Lihat, Steve," katanya, memberi tanda ke belakang.
Steve menoleh, mengikuti pandangan Josie.
"Itu Luke," bisik Josie.
Mobil Luke masih ada di jalan masuk dekat rumah. Dengan
bantuan cahaya kuning lampu beranda, tampak Luke yang duduk di
balik kemudi. Ia menatap ke depan, tidak bergerak sedikit pun.
"Kenapa dia?" tanya Steve, mengawasi mobil Luke sambil
bersandar di pintu mobilnya.
"Entahlah," jawab Josie bingung. "Kenapa ia duduk terus di
situ?" "Mungkin sebaiknya aku menyapanya?" usul Steve.
Josie menggeleng. "Kurasa tidak usah. Menurutku ia baik-baik
saja, mungkin siapa tahu ia cuma sedang ingin sendiri."
"Dia memang aneh," gumam Steve sambil geleng-geleng
kepala. Lalu duduk di balik kemudi.
Ketika keduanya mulai meninggalkan Fear Street menuju pusat
kota, Josie heran merasakan ketakutannya kian memuncak.
Ia berusaha keras mengusir rasa takutnya, namun bayangan
semua kejadian mengerikan minggu itu kembali menyerang benaknya.
Mayat Muggy. Genangan darah yang menghitam. Tawa mengikik
Rachel waktu mengatakan ada yang membencinya. Kartu-kartu itu.
Kartu-kartu ancaman dalam tulisan cakar ayam.
Ia menatap kegelapan malam, barisan rumah-rumah yang
berdesing lewat di balik jendela mobil, dan merasakan gelombang
ketakutan menyelimuti sekujur tubuhnya. "Steve," panggil Josie
lembut. Disentuhnya lengan Steve seolah ingin memastikan cowok itu
betul-betul ada di sisinya, dan bukan sekadar bayangan. "Steve,
mungkin sebaiknya kita kembali lagi."
"Kau akan baik-baik saja," Steve menenangkan. "Sungguh."
"Tapi kartu-kartu itu. Semua bilang aku akan mati hari ini."
"Cuma gurauan konyol, Josie," ujar Steve tenang. "Gurauan
konyol yang keterlaluan. Jadi, tak usah cemas."
"Tapi aku takut," suara Josie bergetar. "Aku sangat takut...."
14 ERICA CEMAS ERICA menyipitkan mata, mencoba menembus kegelapan
untuk melihat jam di dinding kamar tidurnya. Pukul 2.03.
Ia bangkit, menurunkan kakinya dan kembali memandang jam.
Ia menggeliat sambil memasang telinga.
Rumah gelap dan sunyi. Cuma aku yang terjaga, pikir Erica tak senang.
Ayahnya belum kembali dari perjalanan bisnis. Ibunya tadi
pulang sekitar pukul 23,30 dari pesta di rumah tetangga dan langsung
tidur. Mom sedang tidur nyenyak, pikir Erica. Ia tidak tahu. Ia tidak
tahu sekarang sudah pukul dua pagi dan Josie belum pulang.
Hanya aku sendiri yang terjaga.
Sambil mengerang ia berdiri, merapikan piamanya, lalu
menyeberang kamar menuju meja. Papan lantai berderak-derak di
balik karpet yang tipis. Ia menyalakan lampu meja, mengejapkan matanya silau. Sambil
bersandar ke tepi meja, diraihnya buku telepon.
Dengan cepat ia membuka bagian huruf B, dan dicarinya nama
Barron. Nomor telepon Steve tampak digarisbawahi dengan tinta
merah, mungkin oleh Josie.
Erica melirik ke jam di dinding, tangannya menahan buku agar
tidak menutup. Ia menghela napas dan menekan nomor telepon Steve.
Lalu menunggu. Pada deringan ketiga, Steve menjawab. Suaranya parau karena
kantuk. "Halo?"
"Steve?" bisik Erica.
"He-eh. Siapa ini?"
Erica hendak menjawab ketika terdengar bunyi klotak nyaring.
"Sori," kata Steve beberapa saat kemudian. "Teleponnya jatuh."
"Kau lagi tidur, ya" Ini Erica."
"Huh" Erica?" Steve mengucapkan nama itu seolah baru kali ini
mendengarnya. "Yeah. Aku sedang tidur tadi. Aku...uh..."
"Steve, aku cemas sekali," kata Erica, suaranya terdengar
khawatir. "Josie belum pulang."
Lama tak terdengar suara. "Belum pulang?" Akhirnya Steve
menjawab dengan nada waswas. "Pukul berapa sekarang?"
"Sudah lewat pukul dua."
"Masa?" Steve terperanjat. "Tapi dia seharusnya sudah pulang
sejak tadi." "Aku tak mengerti," sahut Erica, terdengar bertambah kalut.
"Bukankah dia pergi bersamamu" Apa kau tidak mengantarnya
pulang?" "Kami bertengkar," jawab Steve dalam suara pelan dan tenang.
"Apa?" "Kami bertengkar sedikit," Steve mengulangi. "Betul-betul
konyol. Bahkan aku sudah lupa apa penyebabnya."
"Lalu apa yang terjadi?" Erica terduduk di kursi. Tangannya
mencengkeram gagang telepon begitu keras hingga terasa sakit.
"Yah, Josie lalu pergi," kata Steve enggan.
"Sendirian?" teriak Erica cemas.
"Tidak, eh," Steve menjawab cepat, terdengar membela diri.
"Dia pergi bersama sekelompok anak lain."
Steve berdeham keras, sebelum melanjutkan. "Kami berada ke
gelanggang es bersama beberapa anak lain. Setelah pertengkaran
konyol itu, Josie meninggalkan gelanggang bersama mereka." Ia
berdeham lagi. "Tapi... tapi seharusnya dia sudah pulang sejak tadi,
Erica." "Aku tahu," ujar Erica muram.
"Apa kau pikir..." Steve mulai bicara.
"Oh. Tunggu!" Erica tiba-tiba memotong. "Bel pintu bunyi. Itu
pasti Josie. Sudah dulu, ya. Bye."
Tanpa menunggu jawaban Steve, Erica langsung menutup
telepon. Tergopoh-gopoh ia menuruni tangga yang gelap, kakinya
yang telanjang membuat tangga berkeriat-keriut.
Tak sabar ia membuka kunci, dan dengan kedua tangan ia
menarik pintu depan. "Josie?" teriaknya.
15 MASALAH SERIUS ERICA terenyak kaget. Ia mengejapkan mata, berusaha menyesuaikan matanya dengan
lampu kuning beranda yang menyilaukan.
Ternyata bukan Josie. Dua polisi berseragam gelap dengan wajah serius berdiri di
balik pintu kaca. Erica segera mengenali keduanya: dua polisi yang datang pada
malam Muggy terbunuh. Petugas yang satu masih muda dan berambut
merah, yang lain lebih tua dengan kepala botak di bagian depan dan
wajah dihiasi sebaris kumis tipis.
Mereka menatap Erica, dengan mimik kaku, mata menyipit.
Dengan tangan gemetar Erica mendorong pintu kaca.
"Apakah... ada masalah?" tanyanya terbata-bata.
Dari raut wajah kedua polisi itu, Erica tahu ada yang tak beres.
"Apa orangtuamu ada di rumah?" polisi yang lebih tua bertanya
dengan muram. "Dad sedang pergi," jawab Erica gemetar. "Tapi akan
kupanggilkan Mom." Tubuhnya tiba-tiba dingin. Ia membuka pintu, dan kedua
petugas itu dengan cepat melangkah masuk. Mereka seakan membawa
masuk hawa dingin ke dalam rumah. Erica merasa suhu udara
menukik tajam ke bawah titik nol.
Polisi yang lebih tua menutup pintu, sementara rekannya
menanggalkan topi dan dengan gugup menggaruk-garuk rambutnya.
Erica berbalik dan terkejut ketika melihat ibunya sudah berdiri
di belakangnya. Mrs. McClain berusaha mengikat tali gaun tidurnya
dengan tangan gemetar. "Erica," suaranya masih diliputi kantuk. "Ada apa?"
"Kami membawa berita buruk," jawab polisi yang lebih tua.
Mrs. McClain tercekat. Ia meraih pegangan tangga untuk
menguatkan diri. "Tentang Josie" Di mana dia" Apa dia tak ada di
rumah?" Erica menggeleng dan memejamkan mata.
"Dengan berat hati saya terpaksa memberitahukan kabar buruk
ini," petugas itu berkata dengan suara pelan namun pasti. Ia menarik
napas panjang. "Mrs. McClain, putri Anda telah dibunuh."
Mrs. McClain menjerit. Lututnya mendadak lemas, tubuhnya
roboh ke lantai koridor. "Tidaaaak!" ia meraung, keras melengking, seperti hewan yang
terluka. Kedua polisi melompat maju untuk menolongnya. Ia berlutut
dan terus meratap. "Jangan Josie yang mati. Kumohon"-jangan
josie". "Bagaimana kejadiannya. Bagaimana Anda bisa tahu"
Bagaimana Anda tahu itu Josie?" Pertanyaan-pertanyaan itu langsung
mengalir dari mulut Erica, dalam nada mendesak yang tidak
dikenalnya. "Siapa yang melakukannya" Bagaimana Anda tahu"
Bagaimana bila..." Polisi berambut merah membantu Mrs. McClain berdiri.
"Jangan Josie. Kumohon, jangan Josie!" ia tersedu sedan, terus
meratap. Air mata membanjiri pipinya yang gemetar.
"Kami menemukan kakakmu di gang di belakang gelanggang
es," polisi yang lebih tua menjelaskan pada Erica. "Kami
mengenalinya dari dompetnya. Dia tidak dirampok. Dia sudah mati
ketika kami tiba. Punggungnya ditikam, dengan pisau sepatu skate.
Bahkan pisaunya masih menancap."
"Ohhhh," Erica mengerang. Lama matanya membeliak menatap
wajah muram si petugas. Lalu bola matanya berputar. Lututnya
lunglai, dan ia jatuh terkulai ke lantai.
Polisi yang lebih tua membungkuk untuk menolongnya.
"Tidak! Tidak! Please"jangan!" Mrs. McClain masih menjeritjerit.
"Ma'am, Anda punya dokter keluarga?" tanya si petugas
berambut merah sambil memegang bahunya. "Mungkin dokter itu bisa
datang dan..." Kata-katanya terhenti. Ia terkesiap saat sesosok tubuh meluncur
turun dari tangga, seolah mengambang. Rachel muncul dari balik
bayang-bayang, mengenakan gaun tidur putih yang panjang
melambai-lambai, rambutnya terurai melewati bahu.
"Ada yang membenci Josie," ia berdendang riang. Senyum aneh
terpampang di wajahnya. "Seseorang sangat membencimu, Josie."
Sambil masih menahan tubuh Erica yang tak sadarkan diri,
mimik polisi yang lebih tua jadi keras. "Apa" Apa katamu?" ia berseru
curiga pada Rachel. "Seseorang membenci, Josie," ulang Rachel, masih tersenyum,
mata hijaunya bersinar-sinar di bawah lampu koridor.
"Hah?" Kedua petugas polisi itu saling berpandangan bingung.
"Jangan pedulikan Rachel yang malang," kata Mrs. McClain di
tengah isak tangisnya. Ia menggeleng sedih. "Jangan pedulikan. Dia
tidak tahu apa yang dia katakan."
***************************
Keesokan harinya, Minggu pagi, Melissa tidak berniat bangun
pagi. Tapi ia terjaga mendengar suara ibunya yang memanggilmanggil dari lantai bawah.
"Melissa, telepon!"
"Hah?" gumam Melissa, dengan malas mengangkat kepala dari
bantalnya yang hangat. "Telepon untukmu, Melissa!"
Melissa memaksa bangun dan menggosok-gosok matanya.
Dengan nanar ia menoleh ke jam radionya. Baru pukul 8.30.
"Mom, kenapa membangunkan aku?" ia berteriak kesal. "Suruh
mereka telepon lagi."
"Dave yang menelepon," sahut Mrs. Davis sabar. "Aku tadinya
tidak mau membangunkanmu, tapi dia bilang ini penting."
Dave" Mau apa Dave menelepon pagi-pagi begini pada hari Minggu"
Awas kalau tidak penting. Melissa menguap.
Ia meraih extension telepon di meja samping tempat tidurnya.
"Halo" Dave?"
"Hai, Melissa. Aku... aku... eh..."
"Dave, ada apa?" tanya Melissa dengan nada khawatir.
"Kedengarannya ada yang tidak beres."
"Melissa, aku harus bertemu denganmu. Secepatnya," kata
Dave terengah-engah. "Aku... aku punya masalah serius."
16 PERBUATAN BODOH MELISSA mengenakan celana jeans dan sweter, lalu tergesagesa pergi ke The Corner, kafeteria kecil di dekat Shadyside High.
Ketika ia tiba, dilihatnya Dave sudah menanti di meja belakang.
Kerah kemeja denim biru pudarnya berdiri tegak. Ia tampak gelisah
mengetuk-ngetuk meja dengan sebuah pisau Swiss Army.
Ia mengangkat kepala ketika Melissa duduk di hadapannya, tapi
tidak tersenyum. Matanya yang kecil dan berwarna gelap tampak
merah serta letih. Rambut hitamnya yang panjang tampak berantakan.
"Hai," sapa Melissa ragu-ragu. "Tampangmu kacau sekali!
Sudah dengar tentang Josie?"
Dave melipat pisau dan meletakkannya di atas permukaan meja
yang berlapis Formica putih. Ia mengangguk. "Yeah. Aku baru
mendengarnya di radio."
"Rasanya nggak percaya!" seru Melissa. "Maksudku, baru
Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jumat lalu aku melihat Josie. Dan sekarang, tadi pagi..."
Sang pelayan, seorang gadis pendek dengan rambut oranye
keriting, menghampiri meja dan meletakkan dua gelas air. "Mau lihat
daftar menu?" Keduanya menggeleng dan memesan telur dadar serta kentang
goreng. "Ngeri sekali," lanjut Melissa setelah pelayan itu pergi. "Aku
belum sempat ke rumah mereka, tapi Mom sudah menelepon ke sana.
Mereka semua sangat terpukul."
Dave tidak berkata sepatah pun. Ia hanya menggeleng-geleng
sambil memainkan pisau, memindahkannya dari satu tangan ke tangan
lain. Sesaat keduanya berdiam diri.
"Maksudku, bayangkan, dibunuh," Melissa memecah
keheningan. Ia menggigil, dan menyesap air minumnya.
Dave tetap membisu, terus memainkan pisau" matanya menatap
meja. Melissa menarik napas. "Kudengar polisi menginterogasi
Steve," katanya. "Itulah yang ingin kubicarakan," tukas Dave, tiba-tiba tampak
terburu-buru. Ia meletakkan pisaunya di meja.
"Hah?" Melissa membelalak bingung.
"Aku tak tahu cara mengatakannya," ujar Dave bimbang,
matanya menyorot tajam. "Kau... kau tahu sesuatu tentang pembunuhan itu?" Melissa
tergagap. "Dengarkan aku," kata David bernafsu. "Dengarkan saja. Aku
telah melakukan perbuatan bodoh. Sangat bodoh."
"Dave, apa kau..." Melisa mulai bicara ragu-ragu.
"Siapa yang pakai keju?" tiba-tiba pelayan datang membawa
nampan makanan dan memotong pembicaraan mereka.
Sementara pelayan itu meletakkan pesanan mereka di meja,
Melissa menatap Dave tajam. Perasaan waswas merayap naik dari
perutnya. Apa yang hendak diceritakan Dave"
Wajahnya menampakkan rasa bersalah. Sekaligus ketakutan.
Rahasia mengerikan apa yang hendak dia ungkapkan"
Setelah menempatkan semua makanan di meja, si pelayan
mengibaskan nampan yang kini kosong lalu berjalan ke bagian depan
kafeteria. Dave menatap makanannya, tapi tampak tak berselera. Dengan
gugup matanya jelalatan ke sekeliling kafeteria, seolah memastikan
tak ada yang menguping. "Dave, apa sih yang hendak kauceritakan?" tanya Melissa.
Aroma lemak makanan mulai membuatnya mual.
Atau mungkin karena tegang"
Dave berdeham gugup. "Aku telah melakukan perbuatan yang
sangat bodoh," ia mengulangi, menghindari pandangan Melissa. "Aku
mengirimi Josie beberapa kartu Valentine."
Melissa ternganga. Cuma itu" batin Melissa, merasa agak lega.
"Kartu Valentine" Untuk Josie?" tanyanya dengan nada kaget.
"Tapi, apa anehnya?"
"Kau tidak mengerti, ya," kata Dave, cemberut. Melissa melihat
butir-butir keringat muncul di dahinya. "Yang kukirimkan itu kartu
istimewa. Pokoknya bodoh sekali, aku tak percaya telah melakukan
hal seperti itu." "Aku tahu kau masih suka padanya," sergah Melissa, agak
jengkel. "Bukan"tunggu dulu"aku menuliskan pesan pada kartu-kartu
yang kukirimkan untuknya," Dave mengaku, wajahnya memerah.
"Pesan apa?" desak Melissa, mulai mual. Ia menyingkirkan
kentang goreng dari hadapannya.
"Yah... eh..." Dave ragu-ragu. Lalu ia berkata cepat, "Aku
menuliskan sajak. Pesan yang tertera pada kartu kucoret, kemudian
kuganti dengan sajak ciptaanku sendiri. Dalam sajak itu kukatakan"
Josie akan mati pada Hari Valentine."
"Apa?" Sekali lagi mata Dave jelalatan, mengawasi sekitarnya. Kecuali
mereka berdua, hanya ada sepasang orang tua yang sedang menikmati
telur orak-arik di counter.
"Maksudku cuma main-main. Aku kesal pada Josie. Aku sangat
benci padanya," Dave mencoba menjelaskan, mencari kata-kata yang
tepat, wajahnya masih merah padam. "Sungguh aku tak tahu mengapa
berbuat begitu. Betul-betul bodoh."
Ia membuang muka, sementara jemarinya mengetuk-ngetuk
meja dengan gugup. Melissa menarik napas panjang. Kata-kata Dave berputar-putar
di benaknya, tak bisa dipahaminya. "Kau mengancam Josie?"
tanyanya. "Tidak," Dave menukas cepat. "Maksudku, ya memang. Tapi
sebetulnya bukan ancaman sungguhan. Itu cuma lelucon. Hanya mainmain, tapi..."
"Apa semua beres?" tiba-tiba si pelayan muncul di sisi meja.
"Ada lagi yang kalian inginkan?"
"Kami"eh"belum mulai makan," kata Melissa padanya,
sambil melirik makanan mereka yang belum disentuh.
"Well, bukan aku lho yang harus makan," pelayan itu bergurau.
Ia berbalik menuju dapur sambil terbahak-bahak.
"Jadi, kautulis dalam kartu itu bahwa Josie akan mati pada Hari
Valentine?" Melissa menegaskan. Ia masih berusaha memahami apa
yang telah terjadi. "Apa kau tandatangani?"
"Tentu saja tidak," bentak Dave. "Tapi, masa kau tak paham,
Melissa" Dia betul-betul mati pada Hari Valentine! Aku..."
"Oh, tidak!" Melissa memekik. "Kalau polisi melihat kartukartu itu, mereka akan mengira kaulah yang membunuh Josie."
Dave hanya bisa mengangguk.
Melissa terpaku menatap Dave. Perasaan mual, takut, dan
bingung jadi satu menyelimutinya. Juga kecurigaan.
"Dave," katanya, pandangannya tajam menusuk, suaranya
rendah berbisik. "Dave, sekarang katakan dengan jujur. Kau tidak
membunuh dia, kan?" 17 RENCANA BERBAHAYA DAVE membalas tatapan tajam Melissa. Ia tidak menjawab.
Melissa menunggu sambil mengamati matanya. Ia tahu mata
Dave akan mengungkapkan yang sebenarnya.
Apa yang dilihatnya dalam kedua mata itu"
Rasa bersalah" Marah" Takut"
"Aku tidak membunuh Josie," akhirnya Dave menjawab. Nada
suaranya datar, sekaligus jengkel. "Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Aku terpaksa," sahut Melissa, masih mencari jawaban dalam
mata Dave yang kecil dan gelap.
"Dengar, aku memang begitu benci pada Josie hingga
mengirimkan kartu-kartu ancaman itu," kata Dave, sambil
menjulurkan tubuh di atas meja dan merendahkan suaranya. "Tapi
perasaan benci itu tidak cukup besar untuk membuatku sanggup
membunuhnya." Apa kau bohong" Melissa bertanya-tanya, tetap mengamatinya.
Tidak. Tidak, kau tidak bohong"ya, kan"
Kau berkata jujur, bukan"
Melissa sangat ingin pemuda itu berkata jujur.
Dave menjelaskan, "Aku"aku mulai memikirkannya musim
dingin tahun lalu, ketika ayah Josie tiba-tiba memberitahu bahwa aku
tak bisa bekerja di tokonya selama liburan Natal. Aku tahu Josie-lah
biang keladinya. Dia membuat Hari Natalku jadi kacau. Aku sangat
marah. Aku ingin membalas dendam. Saat itulah aku punya ide untuk
mengiriminya kartu Natal yang berisi ancaman."
Melissa menggeleng. "Aku tak percaya. Kau kencan denganku
tapi kau masih suka pada Josie." Ia berusaha meredam rasa
cemburunya. Josie sudah mati, meskipun sulit dipercaya.
"Siapa bilang aku suka padanya. Aku membencinya. Sungguh."
"Jadi, kaukirimkan kartu Natal ancaman itu?"
"Tidak jadi. Aku begitu sibuk hingga lupa. Dan ketika Josie
terus bersikap memusuhiku, aku tak tahan lagi. Apalagi setelah ia
menuduhku menyontek waktu ujian matematika. Aku mengiriminya
beberapa kartu Valentine berisi ancaman. Dan kini Josie mati. Kalau
polisi menemukan ancaman-ancaman itu, mereka akan mengira..."
suara Dave menghilang. Melissa memandang makanan di meja, mungkin sudah dingin
sekarang. Benaknya berputar-putar. Ia ingin berteriak dan menjerit,
menyatakan betapa bodohnya Dave. Tapi, di samping itu, ia juga ingin
membantu dan memberi semangat.
Dave ketakutan. Ia membutuhkan bantuan.
Tapi apa yang dapat ia perbuat"
"Aku cuma ingin menakut-nakutinya sedikit. Itu saja," ucap
Dave. Tangannya mengetuk-ngetukkan garpu ke pinggir piring.
"Sekadar main- main."
"Ke mana kau pergi sepulang dari rumahku semalam?" tanya
Melissa. "Langsung pulang" Apa orangtuamu belum tidur" Mereka
bertemu denganmu?" Dave menggeleng dengan kening berkerut. "Aku meninggalkan
rumahmu pukul sepuluh lewat sedikit, kan" Kemudian aku keluyuran
selama beberapa jam. Entah kenapa, kemarin malam aku gelisah.
Pokoknya aku cuma putar-putar keliling kota. Baru pukul satu aku
pulang. Orangtuaku sudah tidur."
"Jadi, kau tak punya alibi?" tanya Melissa. Kerongkongannya
terasa kering. "Kau seperti polisi di film TV saja," hardik Dave.
"Aku hanya mencoba membantumu!" teriak Melissa.
Dave menusuk-nusuk telur dadar dengan garpu. Kejunya
meleleh keluar. Ia terus mengetuk-ngetuk piring, menghindari tatapan
Melissa. Melissa memandang ke pintu restoran. Dua siswa sekolahnya
masuk. Ia mengamati mereka, berharap kedua anak itu tidak memilih
meja yang berdekatan. Lega rasanya melihat mereka duduk di dekat
jendela depan. Dengan demikian mereka takkan bisa menguping.
"Hei, mengapa kau berpikir Josie menyimpan kartu-kartu
ancaman itu?" tanya Melissa, dengan sedikit harapan.
"Apa?" Dave menjatuhkan garpu ke meja.
"Yeah," Melissa berkata dengan lebih bersemangat. "Taruhan
dia sudah membuangnya. Untuk apa kartu-kartu macam itu disimpan"
Kalau aku, jelas langsung kubuang."
Dave berpikir sesaat. "Kurasa ia menunjukkannya pada Erica,"
ujarnya muram. Ia memegang kepalanya dengan dua tangan. "Aku
yakin Erica sudah melihat semua kartu itu, dan dia akan
melaporkannya pada polisi."
"Tapi, Dave..." .
"Malah mungkin Erica sudah memperlihatkannya pada polisi,"
gumam Dave. "Mungkin mereka sedang mencariku sekarang."
"Erica belum bicara apa pun pada polisi," Melissa menegaskan.
"Dia masih terguncang. Sudah kubilang, ibuku menelepon tadi pagi.
Dokter keluarga McClain yang menjawab"dia bilang Erica dan Mrs.
McClain harus diberi penenang, supaya bisa tidur. Rupanya Erica
pingsan. Dan ketika sadar, ia menjadi histeris."
"Kalau begitu, mungkin aku masih punya kesempatan," Dave
menegakkan kepalanya, berpikir keras.
"Apa maksudmu, kesempatan?" Melissa bertanya bingung.
Dave tidak menjawab. Ia tampak sedang berpikir keras.
"Apa yang sedang kaupikirkan?" desak Melissa tidak sabar.
"Mungkin aku bisa mendapatkan kembali kartu-kartu itu," kata
Dave. "Apa" Bagaimana caranya?"
"Aku akan menyusup ke rumah keluarga McClain dan
mengambil semua kartu itu."
Melissa menatapnya dengan pandangan tak percaya. "Kau
sudah sinting, ya" Bagaimana caramu masuk" Dan apa alasanmu
kalau mereka memergokimu" Menurutku itu tidak..."
"Tidak, tidak," sanggah Dave. "Dengar dulu. Aku akan masuk
saat mereka tak ada di rumah."
"Baru saja kubilang, Erica dan ibunya..." Melissa berkeras.
"Pemakamannya besok, kan?" sela Dave, bola matanya yang
gelap berbinar-binar gembira.
"Yeah, kudengar begitu."
Dave menjelaskan, "Nah, mereka semua akan ada di
pemakaman. Jadi, rumah itu akan kosong. Aku akan menyusup
masuk, mengambil kartu-kartu itu, lalu keluar."
Melissa menatapnya lekat-lekat. "Yakin kau akan berhasil?"
"Tentu saja," Dave meyakinkan Melissa. "Semua pasti beres."
18 "HALO" SIAPA DI SITU?"
DAVE memarkir mobilnya di sudut jalan dan duduk menatap
Fear Street. Mesin mobilnya tetap menyala.
Langit tampak kelam meski saat itu baru pukul sebelas pagi
lewat sedikit. Tetes hujan besar-besar mulai memerciki kaca depan
mobil. Awan hitam yang melayang rendah menandakan sebentar lagi
akan datang badai. Dahan-dahan pohon ek tua, maple, dan birch yang berbaris di
sepanjang jalan merunduk rendah, seolah takut menghadapi badai.
Ranting- rantingnya yang telanjang menggigil di tengah sambaran
angin. Dave mematikan mesin. Ia meraih pegangan pintu.
Sekarang atau tidak sama sekali, pikirnya.
Ia menghela napas dalam-dalam dan membuka pintu mobil.
Dedaunan kering berputar-putar beterbangan di kakinya, seakan
ingin mendorongnya masuk kembali ke dalam mobil. Tapi ia berdiri,
membanting pintu mobil, lalu bergegas menghampiri pagar tanaman
di tepi jalan. Setetes besar air hujan jatuh di dahinya, mengalir turun di
hidungnya. Sambil mengendap-endap di balik pagar tanaman, ia melangkah
menuju rumah keluarga McClain yang terletak di tengah-tengah
kompleks perumahan. Seharusnya ini pekerjaan mudah, pikirnya. Ia merunduk di balik
semak hijau tinggi ketika sebuah van merah meluncur pelan. Lampu
sorot mobil itu menembus kegelapan pagi.
Ini seharusnya pekerjaan mudah. Tapi mengapa jantungnya
berdegup kencang sekali" Dan mengapa kakinya begitu lemah hingga
ia hampir tak sanggup berjalan"
Satu lagi tetes hujan menimpa bahu jaket kulitnya. Ia
membungkuk, matanya mengawasi jalanan, dan kembali berjalan
melewati sebuah halaman. Dicobanya berlari, namun kakinya
terpeleset di atas dedaunan basah.
Ia berhenti di dekat jalan masuk rumah keluarga McClain.
Rumah itu berdiri tegak di hadapannya laksana raksasa hitam. Dua
jendela di lantai atas menatapnya seperti sepasang mata yang
memusuhi. Tak ada mobil di luar rumah. Tak ada lampu di dalam rumah.
Seluruh penghuninya sedang mengikuti upacara pemakaman.
Mungkin setengah penduduk Shadyside juga ada di sana.
Bahkan sekolah ditutup agar teman-teman Josie bisa menghadiri
upacara penguburan. Dave menoleh ke seberang jalan. Rumah Melissa juga tampak
gelap.
Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekelilingnya gelap. Ia menarik napas dalam-dalam dan menahannya, mencoba
menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Kemudian, dengan
kedua tangan dalam kantong celana jeans, ia melangkah cepat di atas
aspal yang basah oleh hujan, melawan terpaan angin dingin.
Aku akan masuk dan keluar dalam sekejap, katanya pada diri
sendiri. Akan kuambil kartu-kartu Valentine itu, dan kabur. Gampang.
Ia sadar dirinya sedang berusaha membangkitkan
keberaniannya sendiri. Namun ia tidak peduli.
Ia membutuhkan semua dorongan semangat keberanian yang
bisa diperoleh, termasuk dari dirinya sendiri.
Beberapa ratus meter lagi ia akan tiba di rumah itu, tiba di jalan
berbatu yang menuju beranda depan.
Suara benturan keras di samping rumah membuatnya menjerit
dan melonjak. Ia berpaling, siap berlari.
Lalu dilihatnya tempat sampah logam berguling-guling
melintasi jalan masuk. Rupanya digulingkan angin.
"Wow!" Ia mengembuskan napas keras, menggelengkan kepala.
Ini seharusnya pekerjaan mudah. Mudah!
Hujan tambah lebat. Melalui tirai air, ia mengamati rumah.
Sebuah jendela kecil di ruang bawah tanah tampak separo
terbuka. Jika terpaksa, pikirnya, mungkin ia bisa menyelinap masuk
melalui jendela itu. Tapi ia ingin mencoba lewat pintu dulu. Mungkin ia beruntung.
Siapa tahu salah satu pintu tidak terkunci.
Mana yang akan dicobanya, pintu depan atau belakang"
Ia bimbang, perutnya melilit. Ia belum sarapan pagi. Ia terlalu
gugup. Mungkin seharusnya ia tadi makan.
Perutnya berbunyi seakan menyuruhnya pergi.
Walaupun hujan dan angin dingin berputar-putar, ia
berkeringat. Tangannya dingin dan basah.
Pintu yang mana"depan atau belakang"
Jangan cuma berdiri di jalan masuk, nanti malah ada orang
melihat! ia memarahi diri sendiri.
Ia memutuskan untuk mencoba pintu depan. Lagi pula pintu
itulah yang paling dekat dengannya.
Ia menaiki tangga kayu. Kakinya terasa berat, seolah diganduli
beban lima ratus kilo. Eh, suara apa itu" Baru beberapa saat kemudian ia sadar itu tarikan napasnya
sendiri. Dengan tangan gemetar ia meraih kenop pintu depan yang
terbuat dari kuningan. Ia memutar kenop dan mendorong.
Pintu berayun terbuka. Aku tak percaya! pikirnya, bergegas masuk.
Ia menutup pintu di belakangnya dan bersandar, menunggu
napasnya tenang kembali. Aku sudah di dalam. Aku sudah di dalam rumah. Begitu
mudahnya. Koridor depan tampak gelap. Segelap malam.
Suasana sunyi seperti kuburan.
Aku sudah di dalam. Sekarang apa yang harus kulakukan"
Ia berusaha berpikir jernih. Ia ingin menyalakan lampu. Ia ingin
jantungnya berhenti berdegup-degup.
Aku harus ke lantai atas, katanya dalam hati. Ke kamar Josie.
Tenang. Tenang. Masih banyak waktu. Pemakaman baru saja mulai.
Pemakaman. Pemakaman. Kata itu terdengar sangat aneh.
Jangan bimbang terus, ia memarahi dirinya sendiri. Cepat naik.
Ia mendorong tubuhnya menjauh dari pintu.
Ia melangkah dalam kegelapan koridor yang sempit.
Jam bandul yang besar berdetik-detik keras.
"Hei...!" Apa yang menumbuk lututnya"
Dengan menajamkan mata dilihatnya kotak kayu untuk
penyimpan payung. "Ada-ada saja," gumamnya, suaranya terdengar kecil dan
bergaung di tengah kegelapan yang hampa.
Ia hampir tiba di ambang tangga ketika didengarnya bunyi
interkom. Dave berhenti tepat di depan kotak yang menempel di dinding.
Apakah interkom itu baru dinyalakan"
Tidak, pasti memang dibiarkan hidup.
Ia mendekatkan telinga ke speaker kecil.
Ada bunyi gemeresik. Hanya bunyi itu. Atau aku salah dengar"
Dave mendengarkan dengan penuh konsentrasi. Bukankah itu
bunyi desah napas" Apakah ada orang yang bernapas di speaker"
Tidak. Ya. "Halo" Siapa di situ?" ia memanggil, mendekatkan mulut ke
kotak. Tak ada jawaban. Ia mendengarkan lagi. Ia tak bisa memastikan apakah itu desah napas atau cuma bunyi
gemeresik. "Ada orang di situ?" tanyanya lagi.
Hening. Sambil mengembuskan napas keras-keras ia menaiki tangga.
Setiap langkahnya menimbulkan bunyi berderak. Akhirnya ia tiba di
atas. Tangannya masih berpegangan di pagar tangga.
Di sini bahkan lebih gelap lagi.
Ia tahu letak kamar Josie. Ia pernah mengunjunginya sewaktu
Josie sakit. Dulu, saat mereka masih berkencan.
Lantai mengerang keras ketika ia melangkah cepat menuju
kamar Josie. Hujan memukul-mukul jendela kamar tidur,
menimbulkan suara bising seolah ingin menerobos masuk.
Tempat tidur tertata rapi, sebuah boneka beruang usang
berbaring di bantal. Seakan menanti Josie pulang.
Pakaian yang baru dicuci tertumpuk rapi di atas kursi di
samping jendela. Dave mendesah. Sungguh mengerikan, pikirnya. Josie masih memakai kamar ini
dua hari lalu. Kini ia takkan pernah ada di sini lagi.
Ia mendekati meja kayu ek tua di sudut kamar. Sambil
membungkuk di atas kursi, ia memeriksa meja.
"Ambil kartunya dan pergi secepatnya," gumamnya dengan
suara gemetar. Embusan angin yang kuat membuat jendela yang sudah tua
berderak. Seluruh rumah seakan bergetar.
Aku benci rumah tua macam ini, pikir Dave, perasaan paniknya
memuncak, mencekiknya. Aku benci Fear Street dan aku benci rumah-rumah tua. Aku
benci hujan dan aku benci angin dan aku juga benci...
"Di mana sih kartu-kartu itu?" tanyanya keras- keras.
Ia menggeser tumpukan tugas sekolah, lalu memilah-milah
tumpukan buku catatan dan map.
Tidak, tak ada di sini. Tapi pasti ada di sini. Harus ada di sini.
Mendadak ia merasa mual. Ia berhenti mencari. Menelan
dengan susah payah. Di mana kartu-kartu itu"
Di meja tidak ada. Tentu saja tidak ada. Josie tak mungkin membiarkannya
tergeletak begitu saja. Ia pasti menyimpannya dalam laci.
Ia menyambar pegangan laci dan menariknya kuat-kuat hingga
laci itu hampir terlepas dari meja.
Tenang. Tenang. Ia terus mengulangi kata itu, namun agaknya
tidak banyak membantu. Di mana" Di mana"
Dengan kalut ia membongkar isi laci.
Tetap tak ada. Lalu di mana" Di mana" Ia mendorong laci ke dalam meja, tangannya gemetar.
Napasnya terasa sesak. Ia berlutut, dan mengintip ke bawah tempat tidur.
Tak ada apa pun kecuali debu.
Tapi bunyi apa itu" Mobil" Pintu mobil yang dibanting"
"Aku harus cepat pergi," gumamnya. Suaranya tinggi dan
bergetar. "Pergi. Harus cepat pergi."
Ia gagal. Ia tak berhasil menemukan kartu-kartu itu.
Sekarang ada orang datang. Ia harus segera pergi.
Jantungnya berdegup-degup. Ia bangkit berdiri dan bergegas ke
pintu. Dalam koridor yang gelap dan sempit, ia berbelok menuju
tangga. Ia hampir mencapai tangga ketika langkahnya terhenti.
Dan menjerit kaget sekaligus ngeri.
19 JATUH KORBAN LAGI WARNA merah berputar-putar.
Membentuk kolam dan genangan.
Merah darah. Bergulung, berputar, dan berkilauan mengelilinginya.
Dan melihat luapan warna yang bergejolak itu, Dave menjerit,
jeritan menyeramkan, seperti raungan binatang buas.
Karena takut. Karena marah. Jeritan itu terus bergaung. Tak mau hilang.
Genangan darah merah tak mau sirna.
Jeritan itu terus menggema, sampai dipecahkan oleh suara lain.
Bergemuruh pada awalnya. Gemuruh guntur" Bukan. Terlalu dekat. Dan mirip suara manusia. Itu langkah kaki, Dave menyadari.
Derap dan derak langkah-langkah kaki di tangga.
Langkah-langkah berat, kian dekat. Mendekat semakin cepat.
Dua polisi berlari di tangga dan menerjang memasuki koridor.
Salah seorang meraih sakelar. Lampu di langit-langit menyala.
Ledakan cahaya, seperti sinar putih matahari yang tiba-tiba
menyeruak kepungan awan, menerangi koridor.
"Hei, kau...!" Kedua petugas itu berlari cepat melintasi koridor. Salah seorang
meraih pistolnya. "Jatuhkan!" polisi yang lain berteriak pada Dave.
Dave menatap pisau pembuka surat berlumur darah yang
dicengkeramnya erat-erat.
Darah merah mengalir di bilah peraknya.
"Jatuhkan! Sekarang!" polisi itu menghardik.
Dave menjulurkan tubuh. Memandangi luka berdarah di
pinggang gadis itu. Memandangi genangan darah di kakinya.
Erica. Gadis itu ternyata Erica.
Ia membungkuk menatap luka tikaman itu.
Darah merah berpusar-pusar liar di mata Dave.
Membutakannya. Mencekik lehernya. Begitu banyak darah. Erica yang malang. Luka yang sangat dalam. Dan begitu banyak darah.
Membentuk kolam dan genangan.
Merah yang membanjir, bergejolak.
Kenapa Erica ada di sini"
Kenapa polisi ada di sini"
Kenapa genangan merah itu tidak mau surut"
Dave berbalik, dan mulai berdiri.
"Diam di tempat, Son," teriak si petugas, mengarahkan
pistolnya pada Dave. "Jatuhkan pisau dan jangan bergerak. Kau punya
masalah besar." BAGIAN DUA FEBRUARI, SETAHUN KEMUDIAN 20 GILIRAN MELISSA MELISSA mencondongkan tubuh untuk mencium pipi Luke,
tapi dahinya malah membentur kacamata cowok itu.
"Aww!" seru mereka berbarengan.
Dengan bercanda, Melissa mendorong Luke. "Sekali-sekali
lepaskan kacamata itu dong!" gerutunya.
Luke tertawa dan melepaskan kacamatanya. Ia menatap penuh
harap, menanti Melissa menciumnya lagi. Tapi cewek itu malah
melompat berdiri. "Hei, ada apa?" tanyanya kaget.
Melissa menghampiri jendela ruang duduk dan memandang ke
langit yang gelap. Awan kelabu menyelubungi pohon-pohon yang
gundul, mengisyaratkan datangnya badai salju. Di samping garasi, dua
gagak besar mematuk-matuk di tanah yang keras. Melissa
memperhatikan sampai kedua ekor burung itu terbang sambil berkaokkaok ribut.
"Aku dapat surat dari Dave," katanya. Matanya masih menatap
keluar jendela, kedua lengannya terlipat di depan sweter hijau
pucatnya. Lalu ia menurunkan lengan dan mulai mempermainkan
seuntai rambut yang kusut.
Luke terperanjat. "Dari Dave?"
Luke dan Melissa sudah dua bulan berpacaran. Selama ini
Melissa jarang menyebut-nyebut nama Dave, paling satu-dua kali.
Setahu Luke, Dave sekarang berada di sekolah berasrama yang
bergaya militer di daerah utara. Luke tak tahu persis di mana.
"Kasihan Dave," ujar Melissa, sambil berpaling menghadap
Luke yang sedang duduk di ambang jendela. "Dia benar-benar mata
gelap." "Yeah," Luke menyetujui dengan mimik serius, mengenakan
kembali kacamatanya. "Dia memang lekas naik darah," kata Melissa, masih
mempermainkan rambutnya. "Tapi aku tak pernah mengira ia sanggup
membunuh Josie dan menikam Erica. Aku masih tak percaya."
"Sulit dipercaya peristiwa itu terjadi setahun yang lalu," kata
Luke lirih. "Rasanya"masih begitu segar dalam ingatanku."
"Aku masih sering bermimpi buruk," Melissa mengaku. "Dan
surat dari Dave mengingatkan kembali semua kejadian itu."
Melissa bersandar di ambang jendela. Rasa dingin merayapi
Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
punggungnya. Berbagai peristiwa mengerikan yang terjadi setahun
lalu berkelebat dengan cepat dan menyakitkan di benaknya.
Dave tertangkap basah sedang jongkok di dekat Erica yang tak
sadarkan diri, tangannya menggenggam pembuka surat yang berlumur
darah. Erica segera dilarikan ke rumah sakit dan dirawat hingga
akhirnya sembuh. Sementara Dave ditangkap dan ditahan.
Tetapi polisi tidak dapat membuktikan keterlibatan Dave dalam
pembunuhan Josie. Dan Erica tidak dapat memastikan bahwa Dave
yang menikamnya; ia tidak menuntut pemuda itu. "Saat itu terlalu
gelap," katanya pada polisi. "Aku diserang dari belakang, jadi, aku tak
bisa melihat si pelaku."
Kenapa Erica ada di rumah"
Ia masih dalam keadaan terguncang, masih sangat sedih dan
terpukul hingga tak sanggup menghadiri pemakaman Josie. Karena itu
ia tinggal di rumah bersama Rachel sementara kedua orangtuanya
pergi ke pemakaman. Melalui interkom ia mendengar seseorang menyusup ke dalam
rumah. Ia segera menelepon polisi. Lalu ia memberanikan diri keluar
kamar"dan di koridor yang gelap seseorang menikamnya dari
belakang. Dave berusaha meyakinkan polisi bahwa bukan dia yang
menikam Erica. Ia mengaku tersandung tubuh Erica ketika sedang
berjalan menuju tangga. Dan saat itu Erica sudah terluka. Dave begitu
terguncang dan ketakutan, hingga tanpa sadar ia jongkok dan
memungut pembuka surat itu.
Saking paniknya ia tak sanggup bergerak.
Tepat pada saat itu polisi datang dan memergokinya.
Dave bersumpah ia tidak bersalah. Dan, setelah penyelidikan
yang lama, polisi terpaksa membebaskannya. Mereka tak dapat
menemukan bukti maupun petunjuk bahwa Dave-lah si pelaku
penikaman. Dave yang malang. Melissa masih ingat wajahnya yang
bingung, sinar matanya yang ketakutan, dagunya yang gemetar, saat
cowok itu mencoba menjelaskan peristiwa itu padanya.
Meski tak terbukti bersalah, Dave tak bisa menjalani kehidupan
normal lagi. Semua orang bersikap lain terhadapnya.
Sebagian besar penduduk Shadyside, termasuk teman-teman
sekolahnya, yakin Dave seorang pembunuh.
Pertama, ia menyontek pada Josie sewaktu ujian matematika.
Setelah itu Josie terbunuh. Kemudian ia menyusup ke rumah keluarga
McClain. Lalu Erica tertusuk.
Jadi, meski polisi tak bisa membuktikan, kebanyakan penduduk
kota percaya Dave bersalah.
Demi masa depannya, orangtua Dave mengirimnya ke sebuah
sekolah berasrama di kota lain. Dave sudah pergi, namun bisik-bisik
tentangnya masih berlanjut.
Melissa tak suka pada cara teman-teman sekolahnya
membicarakan Dave. Teganya mereka menganggap Dave bersalah.
Menganggap Dave pembunuh.
Bagi mereka masalahnya sederhana sekali. Semua orang tahu
Dave benci pada Josie. Ketika Josie mengadukan Dave karena menyontek, dan
menyebabkan Dave dikeluarkan dari tim gulat, cowok itu jadi mata
gelap dan membunuhnya. Itulah kisah yang dipercayai banyak orang.
Setelah itu ia menyusup ke rumah keluarga McClain untuk
mengambil kembali kartu-kartu ancaman miliknya. Erica
memergokinya. Maka Dave juga mencoba membunuhnya.
Itulah cerita yang dipercayai sebagian orang.
Bagaimana dengan Melissa"
Yah, Melissa sendiri tidak tahu apa yang harus dipercayainya.
Ia sangat mengenal Dave, karena mereka lama berpacaran. Selama itu
Dave percaya padanya. Memang Dave agak kasar, keras, dan gampang marah. Juga
selalu ingin membalas bila mendapat perlakuan buruk dari orang lain.
Ia telah bersikap konyol dan tak waras dengan mengirimkan kartukartu ancaman itu.
Tapi Dave bukan pembunuh. Untuk hal satu ini Melissa sangat
yakin. Dave takkan sanggup membunuh.
Iya kan" Luke menyeberangi ruang baca. Tanpa berkata-kata ia memeluk
Melissa. Sweter wolnya terasa gatal di pipi Melissa.
"Sudah setahun berlalu," Melissa merenung. "Tapi masih
banyak pertanyaan yang belum terjawab."
"Kita harus berusaha melupakannya," ujar Luke pelan.
"Bagaimana caranya?" desak Melissa.
Pemuda itu melepaskan pelukannya dan mengangkat bahu.
"Entahlah. Aku sendiri masih sering memikirkan Rachel," Luke
mengakui. Di luar langit semakin kelam. Gumpalan awan kelabu
melayang-layang rendah, menciptakan bayang-bayang yang kian
memanjang di atas karpet ruang baca. Melissa memandang Luke, tibatiba merasa seakan kegelapan berusaha menelan dirinya.
"Aku mengerti, pasti sulit bagimu," kata Melissa pelan.
"Maksudku, tak lagi mengunjunginya."
Luke mengangguk pelan. "Lebih sulit lagi bagi Rachel. Erica
bilang, setelah aku berhenti mengunjunginya, keadaan Rachel
semakin parah." Suaranya hampir tak terdengar. "Tapi apa yang bisa
kulakukan" Aku juga punya kehidupan sendiri."
Luke melewati Melissa dan mengintip ke luar, kedua tangannya
menekan ambang jendela. Cahaya memantul dari kacamatanya. Bola
matanya menerawang. "Saat itu bingung," kata Luke. "Waktu itu hampir setiap hari
aku mengunjungi Rachel. Semula kukira dengan cara begitu aku bisa
menolongnya, membantu menyembuhkannya." Ia mendesah sedih.
"Setelah beberapa lama, baru kusadari Rachel takkan pernah
membaik." Melissa tak tahu harus berkata apa. Ruang baca itu diselimuti
keheningan. Bayang-bayang di atas karpet semakin kelam, diam tak
bergerak. Di kejauhan terdengar bunyi pintu mobil ditutup dengan
keras. Dua ekor anjing menggonggong bersahutan.
"Aku semakin dekat dengan Erica," Melissa memecahkan
kesunyian. "Aku mengunjungi Rachel setiap minggu. Juga mengobrol
dengan Erica. Aku... aku kasihan padanya."
Luke berpaling. "Apa maksudmu?"
"Yah, dia membutuhkan waktu lama untuk bisa sembuh dari
luka tikaman itu. Dan... yah... dia tampak amat kesepian. Keluarga
McClain masih belum mampu menyewa tenaga perawat khusus untuk
Rachel, jadi..." "Jangan membicarakan hal itu lagi," Luke menukas.
"Ya, baiklah," Melissa dengan cepat menyetujui. "Lagi pula itu
peristiwa setahun lalu. Semua sudah berlalu. Sudah usai." Melissa
menyeberangi ruangan dan mengambil tumpukan surat di meja.
"Sudah dengar tentang pesta skate?" tanya Luke. "Yang akan
diadakan di Hari Valentine" Di Fear Lake?"
"Skate di atas es?" tanya Melissa sambil lalu. Ia tampak asyik
menyeleksi surat-surat. "Bukan. Di atas air," jawab Luke bergurau.
"Hah" Sori. Aku tidak mendengarkan tadi," Melissa meringis
sambil mengalihkan perhatian pada Luke. "Apa kau bilang" Skate di
atas air?" Luke terkekeh. "Ada pesta Valentine di Fear Lake. Pesta skate.
Kau mau ikut?" "Yeah. Boleh juga," jawab Melissa. Seringainya pudar.
"Sayangnya, aku bukan pemain skate yang baik. Pasti aku lebih sering
jatuh daripada meluncur. Mungkin kakiku lemah."
"Aku akan mengajarimu," janji Luke. Dilihatnya Melissa
kembali memusatkan perhatian pada suratnya. "Hei, apa itu?"
"Tampaknya sebuah kartu. Untukku," jawab Melissa riang. Ia
membuka amplopnya. "Taruhan, pasti kartu Valentine. Nggak terlalu
cepat, Luke?" "Bukan aku yang mengirimnya," bantah Luke. Dengan langkah
lebar ia menyeberangi ruangan, berdiri di belakang Melissa, ikut
membaca dari balik bahunya.
Kartu itu bergambar karangan bunga. Melissa membuka
lipatannya dan membaca pesan yang ditulis dengan tangan. Ia
terenyak. Merah itu mawar Putih itu melati, Pada Hari Valentine Kau juga akan mati. 21 HILANG SORE hari itu cuaca mendung. Melalui jendela kamar tidur
Rachel, Erica bisa melihat awan kelabu melayang rendah tertiup angin
dingin. Saat itu ia berdiri di depan meja rias, tengah menyikat rambut
merah Rachel. Radiator pemanas yang melekat di dinding mendesis keras,
meningkahi gesekan lembut setiap kali sikat rambut menyusuri rambut
Rachel yang panjang. Erica, memakai jeans belel dan kaus longgar, mengamati wajah
kakaknya dalam cermin. Ia begitu cantik, puji Erica dalam hati.
Apakah ia akan tetap secantik ini nanti" Apakah wajahnya akan tetap
kekanakan, seperti cara berpikirnya"
Ketika menunduk, Erica melihat lengan Rachel memeluk
sesuatu erat-erat. "Apa itu?" tanyanya, memecahkan keheningan. "Apa
yang kaupegang?" Rachel memperlihatkannya. Boneka beruang kecil berwarna
cokelat. Erica langsung ingat.
Itu boneka yang dihadiahkan Luke pada Rachel, setahun lalu.
Erica mendesah, kenangan pahit menyelimuti benaknya. Ia
melirik kalender kecil yang tergantung di dinding di samping meja
rias Rachel. Hari Valentine hampir tiba.
Ia mendesah lagi dan mulai menyikat lebih keras, dari puncak
kepala terus menyusur ke bawah, di sepanjang rambut Rachel yang
tebal lurus. "Kini hanya tinggal kita berdua, Rachel," cetus Erica tiba-tiba.
"Apa?" tanya Rachel datar. "Apa kaubilang?" kedengarannya ia
agak gusar. "Tak apa-apa," gumam Erica.
"Apakah Luke akan datang?" Rachel bertanya lagi.
Sesaat pertanyaan itu mengejutkan Erica. Sudah lama Rachel
tak bertanya tentang Luke.
"Apakah Luke akan datang?" ulang Rachel tak sabar.
"Tidak," jawab Erica pelan. "Luke tidak datang lagi, ingat" Ia
sekarang pacar Melissa."
"Aku benci Melissa!" teriak Rachel, dengan kasar menepiskan
sikat rambut di tangan Erica. Sikat itu jatuh berderak ke lantai.
"Rachel, tenanglah." kata Erica, menunduk mengambil sikat itu.
"Aku benci Melissa! Aku benci Melissa! Aku benci Melissa!"
Rachel berteriak marah, makin lama makin keras.
"Rachel, sudahlah!" pinta Erica. "Tenanglah. Aku tak
bermaksud..." "Aku benci Melissa! Aku benci Melissa!"
Erica menjerit kaget ketika Rachel mencabik-cabik boneka
beruangnya. "Aku benci Melissa!" jerit Rachel. Tangannya meraup isi
perut si beruang yang sudah koyak.
"Hentikan!" Erica menghambur ke depan dan merampas
beruang itu dari tangan Rachel. Gumpalan isi boneka berserakan di
pangkuannya. Rachel terdiam namun raut wajahnya masih tampak
marah. "Tenangkan dirimu, oke?" pinta Erica setengah berbisik.
"Biarkan aku menyikat rambutmu. Pelan-pelan dan lembut. Itu yang
kausukai, bukan?" "Aku benci Melissa, dan aku benci Luke," Rachel berkata
dengan lebih tenang. Ia menatap bayangan wajahnya yang bermimik
marah di cermin. "Tidak, Rachel. Membenci itu tidak baik," kata Erica lembut.
"Sebaiknya kau..."
Telepon berdering, memotong ucapannya.
Erica melangkah menuju pintu. "Tunggu sebentar. Aku cuma
akan mengangkat telepon," ia memberitahu kakaknya.
Rachel tidak menanggapi. Ia terus menatap cermin, seolah
terpesona pada pantulan wajahnya sendiri.
Erica bergegas melewati koridor, menuju pesawat telepon
terdekat yang ada di kamar tidurnya. Meski sudah satu tahun berlalu,
ia masih belum terbiasa dengan karpet baru dan tebal yang menutupi
lantai koridor. Karpet yang lama, penuh berlumur darah Erica, telah
disingkirkan sebelum ia pulang dari rumah sakit.
Rasa nyeri menyerang pinggangnya setiap kali ia berjalan di
koridor. Mengingatkannya pada kejadian mengerikan itu. Kejadian
yang menyakitkan. "Halo?" Erica mengangkat telepon, tersengal-sengal.
"Hai, Erica. Ini aku, Steve."
Erica terkejut. Steve Barron" Meneleponnya"
Mau apa Steve meneleponnya" Erica tak pernah lagi bicara
dengannya semenjak kematian Josie.
"Kaget, ya, dapat telepon dariku," kata Steve, seolah membaca
pikiran Erica. "Yeah. Uh"apa kabar?" ia bertanya canggung.
"Baik," kata Steve. "Aku"well"aku sering teringat padamu.
Kemarin aku melihatmu di sekolah, waktu makan siang di kantin. Dan
aku"aku..." Kenapa sih ia begitu gugup" pikir Erica heran. Setahuku ia
selalu pandai bicara bila bersama Josie.
"Akan ada pesta skate di Fear Lake pada malam Valentine,"
Steve berkata cepat-cepat. "Kupikir mungkin kau mau"uh"pergi
bersamaku." Erica terpana. Jantungnya seakan berhenti berdetak.
Aneh sekali! pikirnya. Steve Barron mengajakku ke pesta! Ia kan murid kelas tiga,
sedang aku masih kelas dua. Lagi pula waktu Josie masih hidup, ia tak
pernah peduli padaku. "Ya, aku mau," jawabnya gemetar.
"Bagus," balas Steve, terdengar lega. "Danaunya sudah hampir
beku seluruhnya, jadi..."
"Oh, tunggu," sela Erica. Ia mengerang kecewa. "Aku tak bisa,
Steve." "Hah?" "Pestanya Minggu malam, kan" Aku tak bisa pergi. Ibuku ada
acara, sedang ayahku keluar kota. Aku sudah janji tinggal di rumah
untuk menemani Rachel."
Steve terdiam cukup lama.
"Oh, wow," akhirnya Steve bisa bicara. "Aku tak bermaksud
ikut campur, tapi kau kan tak bisa tinggal di rumah terus. Kau juga
punya kehidupan, Erica. Kehidupan pribadimu sendiri," ujar Steve
dengan nada prihatin. "Aku tahu," sahut Erica getir.
"Sungguh. Kau tak bisa menghabiskan sisa hidupmu untuk..."
Suaranya hilang. "Aku sadar, tapi apa yang bisa kuperbuat?"
Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pestanya pasti meriah," bujuk Steve. "Kau suka main skate?"
"Yeah. Aku sudah lama tidak main," kata Erica sedih.
"Ya, mungkin kau bisa cari orang untuk menemani Rachel
dan..." "Kurasa tidak bisa," kata Erica, lalu menambahkan, "sori."
Erica tidak dapat memastikan apakah Steve marah atau
tersinggung. "Mungkin latin kali?" tanya Erica penuh harap.
"Yeah. Baiklah," jawab Steve singkat. "Jaga dirimu, oke?" Ia
menutup telepon sebelum Erica sempat menjawab.
Aneh sekali, pikir Erica, masih menggenggam gagang telepon.
Selama ini Steve tak pernah peduli padaku. Aku kan cuma adik
Josie, yang lebih sering dianggap pengganggu acara.
Ditutupnya telepon. Gelombang kesedihan menerpanya. Ia
mendesah keras. Selama ini ia membayangkan betapa asyiknya jadi
murid sekolah menengah. Tapi nyatanya aku lebih banyak tinggal di
rumah tua menyeramkan ini"terkurung bersama Rachel, pikir Erica.
Tak punya teman. Tak pernah berkencan. Tak bisa pergi melakukan
sesuatu. Aku harus tinggal di sini setiap malam, menyikat rambut
Rachel. Ketika ingat telah meninggalkan Rachel sendirian, ia keluar
kamar dan melangkah menuju koridor. Kembali rasa nyeri menyerang
pinggangnya. Tanpa memedulikan rasa sakit itu ia bergegas ke kamar Rachel.
"Rachel?" panggilnya.
Tak ada jawaban. Erica terhenti kaget melihat kursi di depan meja rias sudah
kosong. "Rachel?" Hening. Di balik jendela, gumpalan awan tampak semakin kelam.
Ranting-ranting pohon yang gundul menggigil kedinginan.
Erica mencari-cari ke sekeliling kamar. Tapi Rachel tak ada.
"Hei! Rachel di mana kau?" Suara Erica bergetar ketakutan.
"Rachel" Kau ada di mana" Kau seharusnya tak boleh bergerak!"
Perasaan panik mulai menyelimutinya. Ia berlari ke luar kamar,
menuju tangga. Sambil berpegangan di pagar tangga, ia memandang ke bawah,
ke arah koridor depan. "Rachel?" Tetap tak ada jawaban. Ketakutannya memuncak saat ia melihat pintu depan terbuka
lebar. 22 DAVE BERSALAH LAGI "RACHEL" Rachel?"
Sambil berpegangan pada sisi tangga, Erica berlari menuruni
dua anak tangga sekaligus.
Mau apa sih dia" pikirnya kesal sambil mendorong pintu depan
dengan kedua tangan dan menghambur ke luar.
Kan ia tahu tidak boleh keluar sendirian, tanpa ada yang
mengawasi. Kenapa sikapnya sangat aneh hari ini"
"Rachel" Rachel?"
Pusaran angin membuat daun-daun kering menari-nari di
halaman depan. Langit tampak segelap malam hari.
"Rachel" Kau ada di luar, ya?"
Di seberang jalan, Erica melihat mobil Luke diparkir di jalan
masuk rumah Melissa. Pinggangnya kembali terasa nyeri. Tubuhnya
menggigil, diterpa angin dingin yang berputar-putar.
"Rachel" Badai akan datang sebentar lagi!"
Di mana sih dia" Apa aku harus menelepon polisi"
Tidak. Rachel menjulurkan kepala dari balik batang pohon maple tua
yang besar berbonggol-bonggol. "Hai, Erica." Ia melangkah keluar,
senyum ceria menghiasi wajahnya.
"Rachel!" Erica berseru marah, jantungnya berdebar-debar
keras. "Apa yang kaulakukan di luar sini?"
Dengan langkah tetap, Rachel perlahan menghampiri Erica.
Rambut panjangnya berkibar-kibar ditiup angin seperti layar berwarna
tembaga. "Apa aku membuatmu takut, Erica?" ia bertanya, senyumnya
kian lebar. "Hah?" Erica memandang kakaknya heran.
"Apa aku membuatmu takut?" Rachel mengulangi. Bola
matanya yang hijau bersinar-sinar gembira. "Apa aku benar-benar
membuatmu takut?" Erica membalas tatapan kakaknya, rasa takut kembali merayapi
dirinya. Ia menggigil. Kedinginan" Atau karena pancaran jahat di
wajah Rachel" "Apa aku membuatmu takut, Erica?"
Apa sih yang ada dalam pikiranmu, Rachel, Erica bertanyatanya.
Dengan lembut ia merangkul bahu Rachel, membimbingnya ke
dalam rumah. Katika tiba di koridor, Rachel mulai tertawa. Tawa jahat
yang membekukan darah. Apa yang kauketahui, Rachel" pikir Erica sambil menatap
kakaknya tajam. Apakah kau sekadar pura-pura tak tahu"
*********************** "Ini, coba lihat ini," kata Melissa. "Bacalah." Dengan tangan
gemetar ia mengulurkan kartu pada Luke.
Saat itu hari Senin. Setiba di rumah, setelah sekolah usai,
Melissa langsung membuka dan membaca kartu Valentine yang
diterimanya. Begitu Luke selesai memarkir mobil di depan rumah,
Melissa segera memperlihatkan kartu itu.
Dengan masih mengenakan jaket, dan selendang wol merahputih masih melibat lehernya, Luke menatap kartu itu, membaca barisbaris sajak yang ditulis dengan tangan.
Bunga berarti pemakaman Bunga berarti kematian. Pada Hari Valentine 'Kan kauembuskan napas penghabisan.
Luke memusatkan perhatian pada sajak itu, menatap dalamdalam seolah menghayati setiap kata. Lalu dikembalikannya kartu itu
pada Melissa. Raut wajahnya prihatin. "Kau kesal?"
Melissa menjawab datar, "Aku takut."
Luke melepaskan selendangnya. "Mungkin itu cuma lelucon."
"Tidak bagi Josie," sergah Melissa.
Luke melempar jaket dan selendangnya ke pegangan tangga,
dan merapikan ujung sweternya. Melissa mengajaknya ke dapur.
"Mau cokelat panas?" tanyanya, sambil menggigit bibir bawah. Ia
meraih teko teh. Luke memberi saran, "Mungkin sebaiknya kau melapor pada
polisi." Dimasukkannya kedua tangan ke saku celana jeans hitamnya.
"Mungkin," jawab Melissa, sambil mengisi teko.
Luke menghampiri Melissa, berdiri di dekat bak cuci piring.
"Apa kauperlihatkan kartu-kartu itu pada ayah-ibumu?"
Melissa mengangguk. "Mereka juga bilang ini cuma lelucon.
Mom mengingatkan agar aku tidak lupa mengunci pintu dan
menelepon polisi kalau ada yang mencurigakan."
Ia menyalakan kompor dan meletakkan teko di atasnya. Lalu
berpaling, berjingkat, dan mencium pipi Luke. "Happy Birthday,"
bisiknya. "Hari ini bukan ulang tahunku," jawab Luke heran.
Melissa terkekeh. "Kalau tidak, memang kenapa?"
Raut wajah Luke tiba-tiba jadi serius. Ia melepaskan kacamata
dan mengusap batang hidungnya. "Hei, aku punya ide."
Saat itu teko mulai berbunyi pelan.
"Ide apa?" Hati-hati Luke mengenakan kembali kacamatanya. "Kartu
ancaman itu. Tahun lalu Dave mengirimkan kartu-kartu semacam itu
pada Josie, bukan?" "Yeah," jawab Melissa tak sabar.
"Apa menurutmu mungkin dia juga yang mengirimkannya
padamu kali ini?" "Hah?" Melissa ternganga. Dikibaskannya rambutnya. "Dave"
Mengapa?" "Entahlah," jawab Luke. "Aku hanya menduga mungkin dia
pengirimnya. Nada sajak-sajak itu kelihatannya hampir sama dengan
yang diterima Josie tahun lalu."
"Yeah, mungkin," jawab Melissa. Teko mulai mendesis. Ia
meraih gagangnya dan mengangkatnya dari kompor. "Jadi, apa
idemu?" tanya Melissa, sambil mengambil dua cangkir dari lemari.
"Katamu kau menerima surat dari Dave minggu ini. Coba
kulihat." "Sebentar." Melissa mencoba mengingat-ingat di mana ia
menyimpan surat itu. Bola matanya berkilat-kilat ketika ia
memandang Luke. "Aku paham maksudmu! Kita akan
membandingkan tulisan Dave dalam surat dengan tulisannya di kartu
itu." "Yeah, kau benar." kata Luke.
"Seingatku surat itu kusimpan di meja tulis," ujar Melissa. Ia
melemparkan dua bungkus cokelat bubuk ke atas meja dapur. "Ini, kau
yang buat. Akan kuambil surat dan kartunya."
Ia bergegas keluar dari dapur.
Tidak mungkin Dave yang mengirim, pikirnya. Tidak mungkin.
Masa Dave tega mengirim kartu-kartu yang penuh ancaman itu
padaku" Pasti bukan dia. Ia tengah mengaduk-aduk tumpukan kertas di atas mejanya,
mencari-cari surat Dave, ketika telepon berdering. Dengan kesal
diangkatnya telepon itu. "Halo?"
"Halo, Melissa?"
Suara seorang wanita. Melissa merasa sudah pernah mendengar
suara itu, tapi ia tak mengenalinya.
"Melissa, ini Marsha Kinley. Dari Portstown."
Ibu Dave" Kenapa ibu Dave meneleponku" pikirnya. Dan kenapa pula
suaranya kedengaran bingung"
"Apa kabar, Mrs. Kinley?"
"Baik, Melissa. Kau sudah bertemu Dave?" tanya Mrs. Kinley.
Napasnya terengah-engah. "Dave" Tidak." jawab Melissa, bingung. "Bukankah Dave...?"
"Dia kabur," Mrs. Kinley memotong. "Dari sekolah asramanya.
Semalam. Kau belum melihatnya?"
"Tidak. Untuk apa dia kemari?"
Sesaat tak ada jawaban. Sampai akhirnya Mrs. Kinley bicara
lagi, "Akhir-akhir ini dia sering membicarakanmu, Melissa. Aku
sangat cemas. Aku tak tahu kenapa dia kabur. Kuharap dia tidak
mencari gara-gara lagi."
Melissa tiba-tiba sadar tangannya mencengkeram gagang
telepon begitu erat hingga terasa sakit. Ia mengendurkan
pegangannya. "Dan Anda pikir dia akan datang ke Shadyside?" tanyanya.
"Entahlah," jawab Mrs. Kinley dengan suara waswas. "Tapi,
tolong telepon aku bila kau bertemu dengannya. Oke" Atau bila dia
mengabarimu. Atau apa saja. Telepon aku segera. Oke, Melissa?"
Melissa setuju dan menutup telepon.
Ia menarik dan memutar-mutar seuntai rambut dengan jarinya.
Suara Mrs. Kinley yang ketakutan terngiang-ngiang di telinganya.
"Kuharap dia tidak mencari gara-gara lagi." Suaranya begitu
cemas dan bingung. Kuharap juga begitu, pikir Melissa.
Sesaat kemudian baru ia ingat apa yang sedang dikerjakannya
tadi. Ia kembali mencari-cari di mejanya. Surat Dave ternyata
disimpannya di laci paling atas. Bergegas ia turun tangga.
"Ibu Dave baru saja menelepon," ia memberitahu Luke, yang
tampak terperangah. "Dia bilang Dave kabur dari sekolah, dan
kemungkinan dia akan datang kemari. Ibunya tidak tahu pasti.
Kedengarannya dia ketakutan sekali."
Luke menyingkirkan cangkir-cangkir cokelat panas ke samping.
Melissa meletakkan dua kartu Valentine di meja, di sebelah
surat yang terbuka. Lalu keduanya membungkuk, membandingkan
tulisan pada kartu dan surat.
"Tidak diragukan lagi," Melissa menyimpulkan. Ditatapnya
Luke, matanya membeliak ngeri. "Semua tulisan tangan ini sama.
Dave-lah yang mengirim kedua kartu Valentine ini."
Luke mengamati baris-baris sajak pada kartu. "Memang tulisan
tangan yang sama," gumamnya, sambil berpikir dalam-dalam.
"Dan kini Dave akan datang kemari," kata Melissa, suaranya
seperti tercekik ketakutan. "Dialah yang mengirim kartu-kartu ini
padaku. Dan dia akan segera datang. Untuk melaksanakan
ancamannya." 23 SEORANG PENYUSUP ERICA membuka pintu depan dan matanya melebar kaget.
"Melissa, hai!" serunya, sambil membuka pintu lebih lebar.
"Apa kabar?" tanya Melissa. Ia menggosokkan sepatunya ke
keset sebelum memasuki koridor depan. Aroma ayam panggang
mengembus dari arah dapur, membuat Melissa merasa lapar.
"Oke," jawab Erica sambil mengamati wajah Melissa, seakan
tengah mencoba menebak alasan kunjungannya. "Kalau kau
bermaksud menemui Rachel, kurasa dia sedang tidur."
"Tidak, aku datang untuk bertemu denganmu," kata Melissa,
hampir berbisik. "Kalau begitu, buka mantelmu," kata Erica, menjulurkan
tangan. Melissa menggeleng. "Tidak usah. Aku cuma sebentar. Sudah
hampir waktu makan malam." Ia melirik melalui ambang pintu di
belakangnya. Di seberang jalan, mobil ayahnya tampak memasuki
halaman rumah. "Ayahku harus langsung makan setelah tiba di
rumah," ujar Melissa, "kalau tidak, bisa-bisa dia ngomel panjangpendek."
Erica tergelak. "Jadi, ada apa?"
Melissa menepis rambut yang menutupi keningnya. "Aku cuma
ingin kasih tahu bahwa Dave menghilang dari sekolahnya."
Meski lampu di koridor tidak terlalu terang, Melissa bisa
melihat Erica menjadi pucat. Beberapa lama ia ternganga memandang
Melissa, seolah mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakannya.
"Menghilang?" akhirnya ia mampu berkata. "Maksudmu, dia
kabur?" "Yeah," Melissa mengangguk. "Ibunya meneleponku."
"Maksudmu dia akan datang kemari?" tanya Erica,
kekagetannya berubah menjadi ketakutan.
"Aku tak pasti," kata Melissa, memasukkan tangan ke dalam
saku mantel. "Mungkin juga. Hanya saja kupikir aku harus
memberitahumu..." "Tapi tidak mungkin!" jerit Erica, melengking tinggi. Wajahnya
memucat, matanya membeliak ngeri. Kedua tangannya mengepal
kuat-kuat. "Sori," ucap Melissa, tak tahu pasti kenapa ia minta maaf. Ia tak
menduga Erica akan bereaksi seperti itu.
"Aku selalu menduga Dave-lah orangnya," suara Erica gemetar.
"Orang yang membunuh Josie. Orang yang menikamku tahun lalu." Ia
melirik ke puncak tangga, tempat ia ditikam.
"Tapi kaubilang pada polisi..." Melissa mulai bicara.
Erica menyela, "Aku tak bisa bilang apa-apa pada mereka. Aku
tak melihat siapa yang menikamku. Aku tak melihat apa-apa. Tapi aku
Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selalu mengira Dave-lah pelakunya. Dia memendam amarah. Dia
menyimpan kebencian. Dia mengancam kakakku melalui kartu
Valentine. Lalu dia menyusup ke rumah kami..." Suara Erica semakin
pelan. Ia menelan dengan susah payah.
Melissa kembali melirik ke seberang jalan. "Aku harus pulang.
Hanya kupikir kau harus tahu bahwa Dave..."
"Sekarang dia akan datang untuk menuntaskan rencananya,"
gumam Erica, tenggelam dalam rasa takut. Ia bergidik. "Dia akan
melakukan perbuatan mengerikan."
"Aku juga mendapat kartu-kartu ancaman. Seperti yang didapat
Josie." Melissa tidak bermaksud mengatakannya pada Erica, namun
kata-kata itu keluar begitu saja.
"Kau mendapat ancaman yang sama?" tanya Erica, menatap
Melissa prihatin. Melissa mengangguk. "Sudah dua kartu," ujarnya berbisik
ketika Mrs. McClain menyeberangi koridor, menuju dapur.
"Tulisannya sama dengan tulisan tangan Dave."
Erica menahan napas, ketakutan. "Jadi, Dave datang kemari
untuk membunuhmu?" tanyanya terperangah.
********************** "Aku mau tidur sekarang," Rachel berkata sambil menguap.
Erica menyikat rambut panjang itu sekali lagi. Lalu
diletakkannya sikat rambut di meja rias.
Ia melirik weker di meja samping tempat tidur Rachel. Pukul
delapan tiga puluh lewat sedikit. Waktunya untuk mengerjakan PR. Ia
belum membuat resensi buku yang dibacanya minggu ini, padahal ia
harus melaporkannya di depan kelas besok.
Ia mendesah dengan perasaan getir. Akhir-akhir ini Rachel
banyak menyita waktunya. Erica menunggu sampai Rachel menarik selimutnya, lalu
mengucapkan selamat malam dan mematikan lampu. Sesudahnya ia
menuju ke lantai bawah, kalau-kalau ibunya memerlukan sesuatu
sebelum ia mulai belajar.
Mrs. McClain sudah hendak pergi. "Bibi Beth memintaku
datang untuk melihat beberapa contoh kain," ia menjelaskan sambil
mencari-cari kunci mobil di dalam tasnya. "Aku takkan lama."
"Aku akan baik-baik saja," jawab Erica. "Rachel sudah tidur."
Mrs. McClain menarik keluar kunci mobilnya. "Ada kabar baik,
Erica. Ayahmu akan pulang besok. Dan kurasa dia akan tinggal di
rumah untuk beberapa lama."
"Bagus!" seru Erica bersemangat. "Dad sudah terlalu lama
pergi. Aku bahkan hampir lupa seperti apa wajahnya."
"Aku juga," ibunya menimpali, melangkah ke pintu. "Seingatku
dia bertubuh tinggi. Tapi mungkin juga pendek. Entahlah, aku lupa."
Mereka tertawa. Mrs. McClain mengecup Erica, lalu pergi.
Satu jam kemudian Erica sudah berbaring telungkup di karpet
ruang duduk, dikelilingi berbagai buku, tergesa-gesa menulis
resensinya di sebuah bloknot.
Di luar angin berputar menderu-deru. Lampu ruang duduk
berkedip-kedip, seolah akan padam.
Bagus sekali, pikir Erica kesal. Itulah yang kubutuhkan. Listrik
padam. Aku akan harus menyelesaikan resensi ini di bawah cahaya
lilin. Ia menengadah ke langit-langit, menantikan lampu padam. Tapi
lampu itu berhenti berkedip-kedip. Angin terus menderu. Suaranya
melengking tinggi, seperti hewan yang memanggil-manggil.
ebukulawas.blogspot.com Beberapa saat kemudian Erica mendengar bunyi lain. Ia
mengangkat kepala, menjatuhkan pulpen ke karpet.
Bunyi itu datang dari ruang baca.
Sepertinya ada orang yang menabrak sesuatu.
Di sana ada orang. Erica berlutut. Diam mendengarkan.
Langkah-langkah kaki. Papan lantai yang berderak.
"Siapa itu?" ia berseru.
Hening. "Rachel, kaukah itu" Kau bangun lagi, ya?"
Tak ada jawaban. "Rachel" Jawablah."
Erica sadar itu bukan Rachel. Tapi jelas ada orang. Ada orang
di ruang baca. Sementara aku sendirian di sini.
Dicekam rasa takut, ia berusaha berdiri. Jantungnya berdegup
kencang. Di luar, deru angin bertambah keras, seakan meneriakkan
peringatan. "Siapa"siapa di situ?" seru Erica terbata-bata.
Tanpa suara ia berjingkat, melangkah menuju pintu ruang baca.
Ia berhenti tepat di depan pintu, berdiri sambil memasang telinga.
Lalu, takut-takut, ia melongokkan kepala ke dalam ruangan"dan
menjerit. 24 ADA PENYUSUP LAGI ERICA menghambur masuk ke ruang baca, berteriak marah.
"Luke, apa yang kaulakukan di sini?" ia menuntut penjelasan.
Luke terperanjat. Ia menjauh dari meja, wajahnya merona
merah. "Hai, Erica. Aku uh..."
"Apa yang kaulakukan di sini?" Erica mengulangi. Ia berdiri di
hadapan Luke, melotot, kedua tangan terkepal di pinggangnya.
Luke bergumam kikuk, "Sori. Aku cuma mau"meninggalkan
kartu Valentine untuk Rachel." Ia mengangkat tangan kanannya,
memperlihatkan amplop putih bujur sangkar.
"Hah" Kartu Valentine?" Erica memandang amplop itu. "Tapi
kenapa harus sembunyi-sembunyi?"
"Aku"aku tak ingin mengganggu siapa pun," Luke
menjelaskan. Wajahnya masih memerah, tampangnya memperlihatkan
rasa bersalah dan malu. "Maksudku, kulihat kau sedang tekun belajar,
dan kuduga Rachel sudah tidur. Jadi aku bermaksud meninggalkan
kartu ini, lalu pergi diam-diam secepatnya."
Erica mengamati wajah cowok itu, mempertimbangkan apakah
ia mengatakan yang sebenarnya. "Kau membuatku ketakutan setengah
mati," ujar Erica, menghela napas keras. "Kaupikir aku punya nyawa
cadangan, ya?" "Sori," ulang Luke pelan. "Aku tidak bermaksud begitu.
Sungguh." "Kau merasa bersalah, kan," tuduh Erica. Ia menatap Luke
tajam, sambil melipat kedua lengan di dada.
"Hah" Bersalah?"
"Yeah." Erica tetap menatap tajam, meski Luke membuang
muka. "Bersalah. Bersalah pada Rachel."
"Sudahlah, Erica," Luke memohon.
"Kau tahu apa yang terjadi pada Rachel setelah kau tidak lagi
mengunjunginya" Tidakkah terpikirkan olehmu betapa hancur
hatinya?" seru Erica.
"Aku"aku tak ingin membicarakan hal itu," Luke tergagap.
"Aku masih sayang pada Rachel, tapi sekarang aku pacar Melissa. Ini,
terimalah." Ia melemparkan kartunya ke Erica, lalu berlari keluar ruang
baca, menyusuri koridor dan meninggalkan rumah itu tanpa menoleh
sekali pun. ********************** Di rumahnya di seberang jalan, Melissa tengah memainkan
permainan Scrabble yang mungkin paling membosankan seumur
hidupnya. "Daddy, berhenti saja deh," ia memohon. "Kau lebih tinggi
empat ratus angka karena aku sepanjang malam cuma punya huruf
hidup!" Mr. Davis terkekeh. Ia membungkuk di atas meja,
memperhatikan deretan huruf. "Bukan itu sebabnya, cacing kurus.
Kau kalah karena aku pandai bertahan. Kau harus punya pertahanan
yang baik dalam permainan Scrabble. Kebanyakan orang tidak tahu
prinsip dasar ini." "Jangan panggil aku cacing kurus," omel Melissa. "Kau tahu,
aku benci dipanggil begitu." Ia menggeser hurufnya sambil merengut.
"Mau kupanggil Si Gendut?"
Mr. Davis tiba-tiba mendongak. "Coba saja kalau berani." Ia
bertubuh besar, hampir seratus kilo, dan ia mudah tersinggung kalau
ada yang menyebut-nyebut soal berat tubuhnya.
Melissa mengeluh, "Aku tak bisa membentuk kata. Aku cuma
punya huruf O dan U."
Mr. Davis melirik ke catatan nilai. "Oke, Melissa. Kita hentikan
saja. Kau memang payah," godanya.
Melissa mengerang kesal. Didorongnya papan dengan kasar
sehingga potongan-potongan huruf jatuh berantakan.
"Yang kalah harus membereskannya," kata ayahnya sambil
meringis. "Aku mau nonton siaran berita. Sudah hampir pukul
sebelas." Ia bangkit dari meja dapur dan, setelah mengambil camilan
dari kulkas, ia pergi ke ruang baca. Ibu Melissa sudah lebih dulu ada
di sana. Dengan menggerutu Melissa membereskan meja, lalu berjalan
ke kamarnya. Dua jam kemudian ia masih belum terlelap. Dipaksanya
memejamkan mata, mencoba membayangkan berbagai hal yang
menyenangkan. Dibayangkannya Luke. Senyumnya yang malu-malu.
Rambut cokelatnya yang ikal. Dan betapa tampannya ia dengan
kacamata berbingkai perak itu.
Ia mencoba menghitung biri-biri. Hewan berbulu putih halus,
mirip bola kapas berkaki empat. Dikhayalkannya mereka melompati
pagar rendah, satu demi satu, seperti dalam gambar-gambar kartun.
Siapa sih yang pertama kali menemukan metode menghitung
biri-biri supaya bisa tidur" Melissa bertanya-tanya. Benar-benar ide
bodoh. Apa pernah berhasil"
Karena tetap tak bisa tidur, kini ia menghitung anak anjing.
Tidak berhasil juga. Akhirnya ia membuang segala jenis hewan dari
benaknya, dan berusaha tidak memikirkan apa pun. Pikirannya
kosong. Kosong belaka. Hampa. Kehampaan yang putih, terang. Kehampaan yang
lembut. Ia sudah hampir tertidur ketika terdengar ketukan keras di luar
jendela. "Hah?" Ia terduduk, langsung siaga.
"Hei!" Apakah aku terlelap" Atau bermimpi" Melissa bertanya-tanya,
tak yakin. Tidak. Ada orang di luar, di jendela kamarnya.
Menggantung di dahan pohon.
Dengan napas tertahan karena takut, Melissa
melihat seseorang di luar, di samping jendela.
Sosoknya menghalangi cahaya lampu jalan sehingga wajahnya
tak terlihat. "Siapa itu" Ada apa?"
Melissa mencoba bergerak, mencoba turun
dari tempat tidur. Tapi rasa takut membuatnya lumpuh. Ia cuma bisa mengangkat
tangan, menutupi wajahnya.
Lalu jendela kamarnya ditarik terbuka.
Sambil mengerang, sesosok bayangan hitam melompat masuk
ke kamarnya, mendarat keras di atas karpet.
Melissa membuka mulut hendak menjerit, namun tak ada suara
yang keluar. Bayangan itu menghampirinya, kedua lengan tergantung kaku
di samping, bayangan yang bergerak dalam gelap.
Ketika semakin dekat, wajahnya muncul dari balik kegelapan.
Matanya bersinar dingin, roman mukanya tegang.
"Dave!" Melissa menjerit, suaranya serasa tercekik oleh rasa
takut yang memuncak. "Dave, stop! Apa yang kaulakukan?"
"Oh!" 25 PEMBUNUH SEBENARNYA DAVE berhenti di sisi tempat tidur Melissa. Napasnya berat.
Matanya yang gelap menyorot tajam. Di bawah cahaya suram dari
balik jendela, ia tampak lebih kurus, panjang rambutnya yang
berantakan kini melewati bahu.
"Melissa," bisiknya, berusaha menenangkan napas. "Kau
tampak begitu ketakutan."
"Kau"ya..." Melissa terbata-bata, akhirnya bisa bicara lagi. Ia
mencengkeram selimut dan menariknya sampai ke bahu.
"Jadi kau juga mengira aku bersalah," Dave berkata, nadanya
marah dan kecewa. "Tidak, Dave..."
"Karena itulah kau ketakutan, hah?" tanyanya, mendekatkan
wajah, hingga Melissa bisa mencium napasnya yang berbau bawang.
"Kau takut padaku sebab kaupikir aku membunuh Josie?"
"Tidak," jawab Melissa kesal. "Aku takut sebab kau mendobrak
masuk ke rumahku. Aku takut sebab kau memanjat jendela seperti"
seperti pencuri atau perampok saja!"
Dave tergelak. "Sori."
Melissa turun dari tempat tidur, menyeberangi ruangan menuju
lemari. Matanya terus tertuju pada Dave. Setelah meraba-raba dalam
lemari yang gelap, ia menemukan piama dan segera mengenakannya.
"Kenapa kau memanjat seperti itu, Dave" Apa yang hendak
kaulakukan?" desak Melissa. Dinyatakannya lampu atas.
Keduanya mengedipkan mata di bawah sinar yang tiba-tiba
menyala terang. Tampang Dave mengerikan. Matanya merah, dihiasi lingkaran
hitam di bawahnya. Rambutnya kusut berminyak, sweter dan jeansnya lusuh dan kotor.
"Katamu kau percaya padaku," Dave bergumam, tak
mengindahkan pertanyaan Melissa. "Tapi nyatanya kau tidak yakin.
Aku tahu, dalam hatimu kau bertanya-tanya apakah aku yang
membunuh Josie. Apakah aku yang menikam Erica."
"Aku sungguh-sungguh percaya padamu!" Melissa berusaha
meyakinkan Dave. Ia tetap bersandar di dinding, dengan gugup
beringsut pelan mendekati pintu. "Kau tahu aku akan selalu
mempercayaimu." "Aku tidak tahu lagi apa yang kutahu," ujar Dave pahit.
"Dave, apa sebenarnya yang kaulakukan di sini" Kau mau apa?"
"Aku kebetulan sedang berada di sekitar sini." Ia tergelak
mendengar leluconnya sendiri. Ia duduk di pinggir ranjang, kelelahan.
Disekanya kening dengan lengan sweternya yang kotor. "Tidak
gampang lho, memanjat pohon itu," keluhnya.
"Dave, kenapa kau kabur dari sekolah" Ibumu meneleponku.
Dia..." "Meneleponmu?" Ia menepuk keningnya. "Jadi, kau tak heran
lagi dong." Melissa mengerang kesal. "Dave, dia mencemaskanmu. Dia
sangat ketakutan." "Ah, kau tahu kan bagaimana ibu-ibu," jawabnya getir,
memutar bola matanya. "Tapi kenapa?" Melissa kembali mendesaknya. "Kenapa kau
kembali ke sini?"
Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oke, oke. Aku akan terus terang," raut wajahnya jadi serius.
"Aku datang kemari bukan untuk menakut-nakutimu. Aku rindu
padamu, tahu." "Aku"aku juga rindu padamu," ujar Melissa kikuk. Ia menarik
napas, menyandar ke dinding, mencoba bersikap tenang.
"Kudengar kau punya hubungan istimewa dengan Luke
sekarang." Nada suara Dave datar saja, tanpa ekspresi apa pun.
"Yah..." "Aku agak kaget," kata Dave, pipinya memerah.
"Aku juga," Melissa mengaku. "Tapi kau kemari bukan karena
Luke, kan?" Dave kembali tidak memedulikan pertanyaan Melissa. Tiba-tiba
ia berkata, "Rasanya aku tahu siapa yang sesungguhnya membunuh
Josie." Ia menengadah, menatap Melissa. Bola matanya yang gelap
bersinar-sinar hidup. "Aku punya banyak waktu untuk menduga-duga,
untuk berpikir-pikir. Aku tak bisa mengenyahkan masalah ini dari
benakku. Aku terobsesi untuk memulihkan nama baikku. Untuk itu
aku harus menemukan si pembunuh sebenarnya."
"Jadi, itu sebabnya kau kembali ke Shadyside?"
Dave mengangguk. "Aku ingin membuktikan diriku bukan
pembunuh. Aku ingin membuktikannya padamu. Pada semua orang."
"Tapi kenapa kau mengirimiku kartu-kartu Valentine jelek itu?"
bentak Melissa jengkel. "Hah?" Dave langsung berdiri, terperanjat. "Kartu
Valentine"Apa sih maksudmu?"
"Jangan pura-pura. Kau tahu tentang kartu-kartu itu. Yang ada
ancaman konyolnya. Seperti yang kaukirimkan pada Josie."
"Apa?" Ia menggaruk-garuk rambutnya yang berminyak,
matanya mengamati wajah Melissa. "Hei, kau kan tidak mengira aku
yang..." "Sudahlah, Dave," teriak Melissa. "Memang kau yang
mengirimnya. Aku mengenali tulisan tanganmu. Kaulah yang menulis
ancaman-ancaman itu."
"Yang betul saja," sahut Dave, geleng-geleng kepala. "Kau pasti
salah lihat. Aku yakin itu."
Melissa melotot marah, tapi tak berkata sepatah pun, menunggu
Dave berhenti pura-pura dan mengakui perbuatannya.
"Coba tunjukkan padaku," pinta Dave. "Aku mau lihat."
"Boleh saja." Ia membuka laci mejanya yang paling atas,
menyambar kedua kartu Valentine itu, dan melemparkannya ke arah
Dave. "Nih." Kedua kartu itu jatuh ke lantai, di sebelah sepatu kets Dave
yang berlumpur. Ia membungkuk meraihnya, lalu mengamatinya
dengan saksama, membaca berulang-ulang baris-baris sajaknya, dan
mempelajari tulisan tangannya.
Selesai mengamati, Dave meletakkan kartu-kartu itu di tempat
tidur. Dan Melissa melihat cowok itu menarik napas berat, matanya
menari-nari riang. "Sekarang aku tahu siapa pembunuhnya!" ia
berseru sambil melompat. "Siapa?" desak Melissa.
Dave seakan tidak mendengar pertanyaan itu. Tenggelam dalam
pikirannya sendiri, ia menghambur ke jendela yang terbuka. Ia
berlutut di ambang jendela, sementara tangannya menangkap cabang
pohon. "Siapa, Dave" Bilang padaku!" jerit Melissa.
Tanpa menjawab, tanpa mengucapkan selamat tinggal, ia
merosot melalui batang pohon dan menghilang dari pandangan.
"Siapa" Siapa?" seru Melissa. Suaranya lenyap ditelan malam
yang dingin membeku. Dave telah hilang dalam kegelapan malam.
26 RAMBUT MERAH PANJANG "DI MANA Erica?" tanya Rachel.
Melissa membimbing Rachel menyusuri jalan masuk di depan
rumah. "Erica di sekolah," jawabnya. "Dia pulang terlambat hari ini,
karena harus ikut latihan drama. Dia memintaku menemanimu."
Rachel tersenyum. "Aku juga bersekolah."
"Oh, alangkah indahnya hari ini," ujar Melissa. Ia menuntun
lengan Rachel selagi mereka berjalan. "Asyik rasanya jalan-jalan
sore." "Aku murid yang pintar, lho," kata Rachel bangga.
Matahari sore masih memancarkan sinarnya yang hangat di atas
pohon-pohon gundul musim dingin. Tiupan angin yang lembut
membuat suasana seperti di musim semi. Padahal sekarang awal bulan
Februari. Sekonyong-konyong Rachel merenggutkan tangannya dari
pegangan Melissa. "Aku bisa keluar sendiri," katanya jengkel.
Melissa tersenyum. Ia kaget melihat kemarahan Rachel namun
tidak memperlihatkan perasaannya. "Oh, ya" Apa kau sering pergi
sendirian?" Rachel terdiam. Mereka keluar halaman lalu belok ke kanan,
memasuki Fear Street. Jalan itu tampak lengang, yang terdengar hanya
sorak-sorai sekelompok anak yang tengah bermain di lapangan, di
ujung kompleks. "Aku bisa," kata Rachel tiba-tiba. "Aku bisa kok pergi
sendirian." "Kalau begitu bagus sekali," komentar Melissa, sementara
perasaan sedih melanda dirinya. Kasihan Rachel, pikirnya. Dulu ia
sangat hebat, amat populer. Murid yang cerdas sekaligus teman yang
menyenangkan. Memang ia masih tetap cantik, secantik gadis model. Tapi ada
yang hilang dari pancaran sinar matanya, sehingga makin lama ia
makin tampak seperti gadis linglung.
Tiba-tiba Rachel berteriak, "Oh, lihat!"
"Tunggu!" seru Melissa.
Rachel tidak memedulikannya dan cepat-cepat berlari menuju
gundukan tinggi daun kering di pinggir jalan. Sambil tertawa riang
Rachel menjatuhkan dirinya ke gundukan itu, kedua lengannya
terentang lebar, mengepak-ngepak seakan sedang berenang di
dalamnya. Mau tak mau Melissa terkekeh geli melihat tingkah Rachel.
Rasanya begitu menyedihkan, begitu tragis, sekaligus begitu
mengharukan, melihat kegembiraan Rachel di tengah-tengah
tumpukan daun-daun kering berwarna cokelat itu.
"Hei Rachel"bagi-bagi dong!" seru Melissa, tak mau
ketinggalan. Ia juga terjun ke onggokan itu. Keduanya bergulingguling; saling lempar dan saling tabur daun-daun, sambil tertawa tak
henti-hentinya. Setengah jam kemudian, ketika Erica tiba di rumah, Melissa
dan Rachel sedang asyik bermain lempar-lemparan bola karet besar di
halaman. "Hei, ada apa ini?" ia bertanya pada Melissa, terkejut
melihat keduanya berada di luar.
"Cuaca hari ini indah sekali," kata Melissa, tersenyum. "Aku
dan Rachel bersenang-senang hari ini."
"Kau harus mengawasinya dengan cermat kalau di luar," Erica
berkata gugup. Rachel menukas, "Aku bisa pergi ke luar sendirian."
"Tidak, tidak bisa," Erica memarahi. "Harus ada yang
menemanimu, kau ingat?"
Rachel merengut, tapi tidak berkata-kata. Dijatuhkannya bola
ke tanah dan ditendangnya ke arah rumah.
"Kau baik sekali mau menemaninya, aku jadi bisa pergi latihan.
Kuharap dia tidak terlalu merepotkan," ujar Erica.
"Sama sekali tidak," jawab Melissa. Lalu ia menambahkan,
"Aku bertemu Dave semalam."
Erica menjadi pucat mendengar nama itu. Ia menatap Melissa,
wajahnya tampak bingung. "Dia bilang apa" Dia mau apa?"
"Dia bilang dia tahu siapa yang membunuh Josie. Dia datang
kemari untuk membersihkan namanya, membuktikan dia tak
bersalah." "Siapa?" Erica mendesak, penasaran. "Siapa yang membunuh
Josie" Siapa" Siapa yang menikamku?"
Melisa mengernyit. "Dia tidak mau bilang. Dia cuma
menegaskan bahwa dia tahu pelakunya."
Mendadak Rachel tertawa, tawanya keras dan mengejek. Ia
berdendang, "Ada yang membenci Erica." Dan mulailah ia bernyanyi
berulang-ulang, "Ada yang membenci Erica. Ada yang membenci
Erica...." Dengan lembut Erica merangkul bahu Rachel. "Sudahlah,"
katanya. "Ayo masuk. Ucapkan selamat tinggal pada Melissa."
Melissa mengucapkan salam, lalu berbalik dan berlari kecil ke
rumahnya di seberang jalan. Matahari telah berubah menjadi bola
merah manyala, pelan-pelan turun, bersembunyi di balik pepohonan.
Udara mulai dingin. "Hei!" Ia kaget melihat Luke muncul dari samping rumah.
"Hai," kata Luke malu-malu.
"Halo," balas Melissa, menatapnya dengan heran. "Sungguh
kejutan yang manis."
"Yeah. Kejutan juga bagiku," ujarnya, senyum aneh menghiasi
wajahnya. Kacamatanya memantulkan cahaya merah matahari. "Coba
tebak, apa yang terjadi padaku?"
"Kau baru saja menang lotre?"
Luke tertawa pahit. "Coba lagi."
"Aku tak bisa. Kenapa sih kau tersipu-sipu begitu?"
Ia angkat bahu. "Aku tak bisa masuk rumah. Entah di mana aku
meninggalkan kunciku, mungkin di sekolah." Ia memutar bola
matanya. "Konyol, ya" Karena tak bisa masuk rumah, aku datang saja
kemari." Melissa nyengir. "Yeah. Sering-sering saja kau konyol! Aku
senang kok, kita jadi bisa ketemu. Aku baru saja menemani Rachel.
Dan sekarang, kaulah yang harus kutemani."
Ia memasukkan tangan ke saku jaket untuk mengambil kunci
rumahnya. Tak ada kunci di situ, jadi ia beralih ke saku yang lain.
Pindah lagi ke kantong jeans-nya, wajahnya tampak bingung.
"Ahh," Melissa mengerang. "Coba tebak! Rupanya aku juga tak
bawa kunci," ia memperlihatkan tangannya yang kosong. "Ternyata
kita berdua sama-sama konyol!"
"Kita memang pasangan konyol," komentar Luke sambil
tersenyum. "Kemarilah, cowok konyol." Melissa merangkul leher Luke dan
mencium pipinya. "Kita betul-betul pasangan serasi," katanya seraya
menatap wajah Luke. "Aku serius, lho."
Melissa merasa senang. Namun ia terkejut ketika memandang
Luke, cowok itu tampak tersipu malu sekaligus gelisah.
**************************
Sudah lewat pukul sebelas malam, namun Melissa masih sibuk
belajar di kamarnya. Lampu meja tulisnya menyala, menciptakan
bayang-bayang melingkar di atas buku pelajarannya. Ia berusaha keras
memusatkan perhatian. Ia menguap dan menggosok-gosok matanya yang lelah.
Direntangkannya kedua lengan tinggi-tinggi di atas kepala, mencoba
mengusir pegal-pegal di tubuhnya.
Lalu didengarnya suara di halaman depan rumahnya.
Suara gedebuk. Disusul langkah-langkah kaki berlari. Lalu
bunyi tong sampah yang jatuh berguling-guling di jalan masuk.
Melissa tersentak kaget. Langsung saja ia berdiri dan
menghambur ke jendela, mendorong kursinya hingga jatuh terguling.
Apakah Dave datang lagi"
Seketika dugaan itu melintas di benaknya.
Apakah ia memanjat lagi ke kamarku"
Jangan-jangan ia jatuh dari pohon.
Malam ini agak gerah, itu sebabnya Melissa membiarkan
jendelanya terbuka. Rasa takut merayapi Melissa. Dengan gemetar ia mengintip ke
luar jendela. Atap beranda menghalangi pandangannya ke jalan
masuk, namun ia masih bisa melihat sesosok tubuh berlari
meninggalkan rumahnya. Sosok tubuh cewek. Menuju ke jalanan.
"Siapa itu?" ia berteriak. Matanya mencoba menembus
kegelapan. Melissa tak dapat melihat wajah cewek yang berlari melintasi
halaman rumahnya. Yang bisa dilihatnya hanyalah rambut merah
panjang yang berkibar-kibar di punggungnya.
27 "MOGA-MOGA BUKAN LUKE"
"INI betul-betul aneh!" Melissa berusaha melihat dalam
kegelapan. Didengarnya raungan mesin mobil, disusul bunyi ban berdecitdecit.
Ya ampun, yang kulihat itu Rachel, kata Melissa dalam hati.
Udara dingin malam menerpa pipinya yang hangat. Tak salah lagi, aku
melihat Rachel melintasi halaman.
Tapi itu kan mustahil. Dan bunyi mobil siapa itu" Rachel" Tapi dia kan tak bisa nyetir.
Lagi pula mau apa Rachel mengemudi malam-malam begini"
Dia tinggal persis di seberang jalan.
Merasa bingung sekaligus kesal, Melissa menjauh dari jendela.
Jantungnya berdebar-debar. Tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa dingin.
Rachel" Lari-lari di luar" Sendirian di tengah malam buta"
Selagi mengenakan jubah tidurnya, Melissa sadar orangtuanya
terjaga. "Melissa!" Langkah kaki ayahnya yang berat berderap di
koridor. "Melissa, kau baik-baik saja?"
Pintu terbuka, dan ayah Melissa melongok ke dalam kamar.
Cahaya kuning lampu koridor menyinari piamanya, rambutnya yang
kusut, dan raut wajahnya yang waswas. "Kau tidak apa-apa?"
tanyanya, kaget melihat putrinya sedang berdiri di samping lemari.
"Kudengar suara-suara aneh, sepertinya pencuri. Aku sudah
memanggil polisi." "Aku"aku juga dengar," kata Melissa. Ia sudah hendak
bercerita tentang Rachel yang berlari di halaman, tapi ayahnya sudah
menuruni tangga. Melissa mengikat tali jubahnya dan bergegas ke tangga, hampir
bertubrukan dengan ibunya. "Ayahmu memanggil polisi," katanya
memberitahu, wajahnya tampak tegang.
Mereka cepat-cepat menuruni tangga. Lampu ruang duduk
sudah dinyalakan, begitu juga lampu koridor dan dapur. Rupanya Mr.
Davis telah menyalakan semua lampu dalam rumah.
"Semua pintu masih terkunci," Mr Davis memberitahu, nada
suaranya bingung. "Tak ada tanda-tanda telah didobrak."
"Jadi, kalau begitu ada..." Mrs. Davis mengikuti suaminya ke
dapur. Melalui jendela dapur, ayah Melissa mengintip ke garasi.
"Kelihatannya semua baik-baik saja. Pintu garasi tertutup."
Mrs. Davis memeluk dirinya sendiri. "Aneh," gumamnya
sambil menggigil. "Aku melihat Rachel McClain di luar tadi," akhirnya Melissa
mampu bicara. Ayah-ibunya berpaling, menatapnya tak percaya. "Apa
kaubilang?" tanya Mr. Davis, sambil garuk-garuk kepala.
"Aku melihat Rachel. Ia berlari melintasi halaman."
"Tapi itu tak mungkin," tukas ibunya cepat.
Mr. Davis melangkah ke belakang istrinya dan merangkul
Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahunya. "Kau pasti mimpi," ujarnya pada Melissa.
Melissa jadi kesal. "Tapi aku melihatnya!" suaranya
melengking. "Aku mendengar suara di luar, seperti ada orang yang
membentur sesuatu. Lalu aku pergi ke jendela, dan..."
Mrs. Davis menyela, "Tapi Rachel tidak diizinkan pergi
sendirian. Dia tidak bisa pergi seorang diri."
"Lagi pula mau apa Rachel berkeliaran di halaman rumah kita?"
tambah Mr. Davis. Ia menggeleng-geleng. "Yang benar saja,
Melissa..." Dengan geram Melissa memukulkan tinjunya ke meja dapur.
"Aku tidak gila!" jeritnya. "Aku betul-betul melihat Rachel tadi!"
Ketukan keras di pintu depan mengagetkan mereka,
menghentikan perdebatan yang tengah berlangsung.
Melissa tiba lebih dulu di pintu depan. "Siapa?" serunya takuttakut.
"Polisi," jawab sebuah suara berat di balik pintu.
Melissa membuka pintu, dan dua polisi berwajah serius berdiri
di depannya, di bawah sinar lampu beranda yang menyilaukan. Yang
seorang bertubuh gendut, berkepala botak, dan berhidung besar
menggumpal seperti kentang. Rekannya masih muda dan berambut
pirang. Melissa membuka pintu kaca. Kedua petugas itu melewatinya,
masuk ke koridor. Mr. Davis mendekat, berdiri di antara Melissa dan ibunya. "Aku
memanggil kalian sebab..."
Polisi yang lebih tua memotong ucapannya, "Kapan Anda
menemukan mayatnya?"
"Apa?" tanya Mr. Davis, terguncang kaget.
"Kapan tepatnya Anda menemukan mayat itu?" polisi itu
mengulangi dengan sabar, suaranya rendah dan datar.
"Mayat apa?" Mrs. Davis sama bingungnya dengan suaminya.
"Mayat pemuda di jalan masuk rumah Anda," jawab si petugas.
"Tidak!" Melissa menjerit ketakutan. "Tidak! Jangan Luke!
Tolong, jangan sampai itu Luke!"
28 DITIKAM ERICA menguap keras, tangannya menyingkap penutup tempat
tidur. Ia melirik weker di samping tempat tidurnya.
Aduh lelahnya. Dan malam sudah larut, pikirnya. Aku akan
terlambat bangun besok. Setelah merapikan piamanya, ia naik ke ranjang. Selimutnya
terasa dingin. Ia yakin akan cepat terlelap.
Ia sudah hampir pulas ketika tiba-tiba interkom di dinding
berbunyi, membangunkannya. Ia langsung duduk, siaga.
"Erica" Erica?" suara Rachel memecah kesunyian malam.
Rachel rupanya belum tidur, pikir Erica.
Apa sih yang dikerjakannya malam-malam begini"
"Erica, kemarilah. Tolong sikat rambutku."
Erica memutar matanya jengkel. Apa ia tidak tahu sudah pukul
berapa sekarang" Erica bersungut-sungut.
Tidak, tentu saja ia tidak tahu.
Tapi kenapa ia belum tidur"
"Erica, ayolah, sikat rambutku," Rachel mengulangi
panggilannya. Erica mengerang, melompat berdiri. "Tunggu sebentar, Rachel,"
katanya, mendekat ke interkom.
Sambil menguap ia menyusuri koridor menuju kamar kakaknya.
Rachel tengah duduk di tempat tidur. Lampu di samping ranjang
menyala, sinarnya yang lembut membuat rambut Rachel berkilau. Ia
tersenyum ketika Erica muncul.
"Sikat rambutku, ya?"
Erica menutup mulutnya, menguap lebar. "Rachel, ini sudah
larut malam." "Aku belum ngantuk," jawab Rachel.
"Tapi aku sudah ngantuk berat nih," protes Erica.
"Cuma sebentar kok."
Erica menguap sekali lagi sebelum meraih sikat rambut dan
naik ke ranjang, berlutut di sisi Rachel. "Kenapa kau belum tidur?"
tanyanya. Tangannya mulai menyikat pelan rambut Rachel yang
panjang terurai. "Ya, karena belum ngantuk," jawab Rachel ceria.
"Sekarang kau mungkin tidak ingin tidur, tapi kau akan merasa
letih besok," kata Erica pelan. Ia merasa sangat lelah, hingga rasanya
tak sanggup mengangkat sikat ke atas kepala.
Bel pintu depan berbunyi.
"Hah" Siapa yang datang selarut ini?" seru Erica kaget. Ia
menjatuhkan sikatnya. "Lagi," perintah Rachel. "Sikat lagi."
"Tunggu, ada orang datang. Aku akan kembali." Erica turun
dari tempat tidur. "Cepat, ya!" perintah Rachel.
Saat Erica menuruni tangga, ibunya sudah tiba di pintu depan.
Ia melapisi gaun tidurnya dengan sweter wol tebal. "Siapa yang
datang malam-malam begini?" tanyanya. Dengan ragu-ragu tangannya
memegang tombol pintu. Erica angkat bahu. "Rachel belum tidur," ia memberitahu.
"Malam ini agak aneh, ya?"
"Oh," Mrs. McClain berseru kaget ketika membuka pintu. Dua
polisi berdiri di hadapannya.
"Mrs. McClain?" tanya petugas yang lebih tua, lebih gemuk.
Matanya mencoba melihat ke dalam rumah.
"Ya?" jawab Mrs. McClain, raut wajahnya tidak lagi terkejut
melainkan ketakutan. Dirapatkannya sweter ke bahunya.
"Kami ingin bicara dengan putri Anda," kata si petugas.
Mrs. McClain menatap Erica heran. "Dia ada di sini." Ia
membuka pintu lebih lebar, membiarkan kedua polisi masuk.
Mereka menundukkan kepala ketika masuk ke koridor, padahal
langit-langit rumah tinggi. "Apakah kau Rachel McClain?" petugas
yang lebih tua bertanya. Erica terperanjat. "Oh, bukan," jawabnya. "Rachel itu kakakku."
Ia menunjuk ke atas tangga.
"Kami perlu bicara dengan kakakmu, Rachel."
"Tapi kenapa?" desak Mrs. McClain. Ia menepiskan anak
rambut yang menutupi keningnya.
"Yah..." si petugas yang lebih tua ragu-ragu sambil melirik
rekannya. Polisi yang lebih muda berdeham tapi tidak mengatakan apa
pun. "Yah," kembali si petugas yang lebih tua berkata, "kami perlu
bicara dengan Rachel sehubungan dengan kematian seorang pemuda
bernama?" ia mengecek notesnya?"Dave Kinley."
"Dave?" teriak Erica. "Mati" Bagaimana mungkin" Oh, aku tak
percaya!" Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan jatuh
terduduk ke anak tangga paling bawah.
"Kau baik-baik saja, Miss?" polisi yang lebih muda
membungkuk ke arahnya. "Dave?" teriak Erica lagi. "Dave sudah mati?"
"Maaf," kata polisi yang lebih tua. "Kami tidak bermaksud
membuatmu terguncang. Sayangnya kami tidak tahu cara lain untuk
menyampaikan kabar buruk ini," polisi yang lebih tua berkata dengan
lembut. "Menyedihkan sekali," ujar Mrs. McClain, geleng-geleng
kepala. Suaranya hanya berupa bisikan. "Menyedihkan sekali."
Erica masih duduk di anak tangga, tangannya masih menutupi
wajah. "Bagaimana?" tanyanya lemah. "Apa yang terjadi?"
"Kami menemukannya tergeletak di seberang. Di jalan masuk
rumah keluarga Davis. Di samping beranda depan," polisi itu
menjelaskan sambil sesekali melihat buku catatannya. "Dia ditikam
hingga tewas. Kami duga baru saja terjadi. Sebentar lagi para
penyelidik kami datang."
"Ditikam?" Erica berseru ketakutan. Ia menurunkan tangannya.
Wajahnya merah. "Ditikam" Seperti yang dialami kakakku, Josie"
Juga seperti aku?" Ibunya membungkuk dan meletakkan kedua tangan di bahu
Erica, mencoba menenangkan putrinya.
"Bisakah kami bicara dengan putri Anda, Rachel?" polisi yang
lebih muda bertanya pada Mrs. McClain. Ia tampak canggung.
"Rachel" Kenapa mesti Rachel?" tanya Mrs. McClain tak
mengerti. Ia memeluk Erica yang sedang gemetar dan menggelenggeleng. ebukulawas.blogspot.com
"Ada saksi mata yang melihat seorang gadis dengan ciri seperti
dirinya lari dari halaman rumah keluarga Davis."
"Mustahil!" jerit Erica.
Raut wajah Mrs. McClain mengeras. Rahangnya menegang.
"Kalian melakukan kesalahan," katanya tegas. "Tidak mungkin itu
putri saya." Si petugas membalas tatapan tajam Mrs. McClain. "Kami harus
bicara dengannya. Sebentar saja."
"Putri saya telah mengalami kecelakaan," suara Mrs. McClain
bergetar. "Otaknya mengalami" gangguan. Dia tak bisa keluar rumah
sendirian. Harus ada yang mengawasinya setiap saat."
"Maaf kalau kami memaksa," petugas yang lebih tua berkata
lembut. "Tapi kami harus bicara dengannya. Sebentar saja. Bisakah
Anda membangunkannya?"
Erica berdiri. "Dia belum tidur."
"Kalian buang-buang waktu," Mrs. McClain berkeras. "Rachel
tak mungkin keluar dari rumah ini. Dia tak mungkin menikam orang."
"Saya juga berharap ini salah paham," ujar polisi itu.
Erica menaiki tangga, diikuti ibunya dan kedua petugas. Tangga
itu berderak-derak ribut.
Rachel masih duduk di tempat tidur, selimut menutup hingga
sebatas pinggang, rambut merahnya tergerai lembut. "Hai," sapanya
gembira ketika dua polisi itu masuk ke kamarnya.
"Ini putri saya, Rachel," Mrs. McClain memberitahu. Ia
bergegas duduk di samping Rachel dan meletakkan tangan di bahunya
yang kurus. "Kakakku harus selalu diawasi," kata Erica, berjalan mengitari
tempat tidur. "Dia tak bisa keluar rumah sendirian."
"Tentu saja aku bisa!" Rachel memprotes sambil tersenyum
pada kedua petugas itu. "Aku sering keluar sendiri!"
29 ADA LAGI YANG SAKIT HATI "HAI, Erica. Bagaimana kabarmu?"
Erica menghindari gerombolan anak yang tengah asyik
bercanda ria dan melangkah ke locker Melissa. Hari itu hari Jumat,
sekolah baru saja usai, dan dengan cepat lorong menjadi lengang.
Erica membetulkan letak ransel di punggungnya. "Aku sudah
lebih baik," jawabnya. "Memang aku agak kacau dua hari lalu,"
katanya mengakui. Ditundukkannya kepalanya. "Dokter menyuruhku
istirahat di rumah. Aku mengalami shock. Kejadian yang menimpa
Dave sangat mengejutkan. Apalagi polisi lalu mencurigai Rachel.
Semua itu membuatku terpukul."
Melissa bersandar ke locker. "Apa polisi sudah punya petunjuk
siapa pelakunya" Belum sama sekali?" tanyanya.
"Entahlah," jawab Erica sambil mendesah. "Tentu saja, tidak
lama setelah mereka bicara dengan Rachel, mereka sadar tak mungkin
ia sanggup membunuh Dave. Mereka segera menyadari..." Suaranya
semakin pelan, nadanya sedih. Dikunyahnya permen karetnya keraskeras.
"Aku tak percaya mereka belum menemukan petunjuk apa
pun," Melissa mengeluh, dengan gelisah menarik-narik rambutnya.
"Kejadian itu"itu sangat mengerikan. Persis di jalan masuk rumahku.
Aku"aku sampai tidak sanggup berpikir." Ia menarik napas panjang
dan menurunkan tangannya. "Kau mau ke mana?"
"Latihan pementasan Guys and Dolls. Sebetulnya aku ingin
berperan sebagai Adelaide, tapi aku gagal dalam audisi." Erica
mendesah lagi. "Tapi setidaknya aku termasuk dalam paduan suara
drama itu. Kau akan pergi ke pesta skate di danau Minggu malam
nanti?" Melissa mengangguk. "Yeah. Sebenarnya sih aku sedang malas
pergi ke pesta. Tapi Luke memaksa. Kalau tidak, kata Luke, kita bisabisa jadi sinting diam di rumah terus."
"Sinting." Erica mengulangi kata itu, keningnya berkerut.
"Yeah. Kita memang bisa jadi sinting. Aku juga akan pergi."
"Oh ya?" jawab Melissa, segera menegakkan tubuhnya.
"Dengan siapa?"
Erica mengernyit. "Tidak dengan siapa-siapa. Aku hanya ingin
keluar rumah sekali-sekali. Kau tahu, keadaan di rumahku juga agak
sinting." Ia tertawa getir. "Wah, aku sudah telat nih. Aku harus segera
pergi." Melissa mengamati Erica tergesa-gesa menyusuri koridor.
Kasihan sekali. Hidupnya banyak gangguan, pikir Melissa.
Raut wajah Josie terlintas di benaknya. Pasti sangat
mengenaskan kehilangan seorang kakak. Dengan cara yang
mengerikan pula, Melissa merenung. Tubuhnya merinding.
Gadis yang satu terbunuh. Yang satu lagi ditikam. Yang lain
hidupnya hancur akibat kecelakaan fatal.
Sungguh malang nasib keluarga McClain.
Dan kasihan Erica. Ia berpaling ke locker-nya dan mulai memutar kunci. Satu demi
satu diputarnya angka kombinasi, lalu digenggamnya pegangan dan
ditariknya pintu hingga terbuka.
Ia menjerit kaget. "Oh, tidak!" Di bagian dalam pintu locker, tampak lukisan hati yang besar,
patah menjadi dua. Darah merah menetes-netes dari hati yang patah
itu. Di bawah gambar, dengan warna merah tebal dan huruf-huruf
cakar ayam, tertulis : KAU AKAN MATI.
30 PESTA "ADUH romantisnya," kata Melissa. Ia meraih tangan Luke dan
menyandarkan tubuh ke cowok itu saat mereka berjalan menembus
kegelapan. Luke telah memarkir mobilnya di Fear Street, dan kini
keduanya menyusuri jalan kecil berliku-liku di dalam hutan, menuju
ke danau. Sepatu skate menggantung di bahu mereka.
Obor telah dinyalakan di sepanjang tepi danau. Sinarnya yang
berwarna jingga berkerlap-kerlip di antara batang-batang pohon yang
gelap. Hutan seakan dipenuhi cahaya gaib yang lembut.
"Malam yang cerah. Cocok sekali untuk pesta!" seru Melissa.
"Dan danaunya juga cantik sekali," puji Luke ketika danau yang
membeku itu tampak di depan mata.
Melissa meremas lengan Luke. "Kau puitis sekali," godanya.
Terdengar suara musik dari sound system di tepi danau. Dan
terlihat beberapa pasangan tengah bermain skate, berputar-putar di
atas lapisan es. "Wah, kaupakai mantel kepunyaan beruang kutub, ya?" Luke
bertanya sambil tertawa. Ia menarik bagian samping mantel wol
Melissa, dan membentangkannya.
Melissa terkekeh. "Kau tak suka mantelku, ya" Sebetulnya ini
kepunyaan ayahku." Ia menundukkan kepala untuk mengira-ngira
besarnya mantel itu. "Mungkin agak kebesaran, tapi cukup tebal. Dan
kurasa aku membutuhkan ketebalan ekstra malam ini."
"Mungkin nanti kita bisa satu mantel berdua!" goda Luke. Ia
mengibaskan mantel superbesar itu dan mendahului berjalan menuju
danau.
Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika tiba di danau, beberapa anak memanggil-manggil
mereka. Sekelompok anak lain berkerumun di sekitar meja panjang
tempat makanan dan minuman. Beberapa lagi duduk di tanah, sedang
mengenakan sepatu skate mereka. Gema suara tawa dan teriakan
memenuhi hutan, meningkahi raungan musik.
"Hei, aku sudah kasih tahu lho, aku tidak pandai main skate,"
Melissa memperingatkan Luke yang membantu mengencangkan tali
sepatunya. Ia mengamati kawan-kawannya yang tengah asyik main
skate mengitari danau. Mereka tampak begitu anggun, begitu gemulai
sekaligus ceria. "Coba lihat, itu si Cory Brooks," ujar Luke, menunjuk ke depan.
Melissa mengikuti pandangan Luke ke tengah danau es dan melihat
Cory, seperti biasanya, sedang asyik pamer. Ia meluncur ke belakang
dengan satu kaki, berlawanan arah dengan para pemain lainnya,
tangannya diangkat tinggi di atas kepala.
Luke bergumam, "Dasar tukang pamer." Lalu tawanya meledak
ketika Cory bertabrakan dengan David Metcalf, keduanya roboh ke
atas permukaan es, tergelincir nyaris menabrak meja hidangan di
belakang. Luke berhenti tertawa ketika menangkap ekspresi wajah
Melissa yang serius. "Hei, kenapa" Permainanmu pasti masih lebih
bagus dibanding Cory!"
"Bukan itu yang kupikirkan," sahut Melissa muram. Ia
memegang tangan Luke, minta di bantu berdiri. "Aku memikirkan
locker-ku. Gambar hati yang mengerikan itu, juga pesannya yang
mengancam." "Hei, bukankah kita sedang berpesta sekarang?" Luke
memarahi. Melissa mendesah. "Aku tahu. Tapi mungkin kita salah.
Mungkin semestinya kita tidak datang ke pesta ini."
Luke menggenggam tangan Melissa erat-erat dan menariknya
ke danau. "Aku akan menemanimu," kata Luke lembut sambil
tersenyum, mencoba menenteramkan hati Melissa. "Sudahlah. Jangan
pikirkan hal-hal konyol macam itu. Malam ini indah sekali. Sayang
kalau disia-siakan." Ia melangkah ke arah obor yang berkelap-kelip,
menciptakan sinar lembut di sepanjang tepi danau. "Ayo kita
meluncur, dan bersenang-senang sepanjang malam."
Melissa tersenyum. "Oke," ujarnya.
Selama beberapa saat mereka meluncur berdampingan, mencari
jalan di sela-sela kerumunan para pemain. Gerakan Melissa agak
goyah, kedua lengannya terentang canggung di sampingnya.
Mirip balita yang sedang belajar jalan, pikir Melissa. Ia merasa
malu. Sementara Luke bergerak anggun, penuh percaya diri.
Dia bahkan tampak lebih nyaman berjalan di atas es daripada di
jalanan, pikir Melissa, sambil mencoba mengikuti langkah-langkah
Luke. "Jangan pergi ke sebelah sana!" seseorang tiba-tiba berseru
pada mereka sambil menunjuk ke daerah sebelah kanan yang lengang.
"Memangnya kenapa?" seru Luke.
"Lapisan esnya terlalu tipis. Sudah retak!"
Luke berputar arah. Ia meraih Melissa, tapi sepatu skate kiri
cewek itu tersandung dan ia pun tersungkur ke depan.
"Aw!" Melissa merentangkan tangan untuk menahan tubuhnya dan ia
mendarat dengan keras pada siku kanannya. Rasa nyeri segera
menjalari lengannya. "Aduh!"
"Kau tidak apa-apa?" Luke mengitarinya, membantunya berdiri.
Melissa cemberut. "Kan sudah kubilang," katanya. Pinggangnya
masih nyeri, tapi ia membiarkan Luke menariknya hingga berdiri.
"Aku ini kikuk sekali, ya" Sepatuku membentur sesuatu."
"Jatuhmu bagus kok," Luke menggoda. "Sungguh, kau jatuh
seperti pemain profesional."
"Dasar pembohong."
Mereka mulai lagi, meluncur berdampingan di tengah entakan
musik, mengitari danau yang membeku. Embusan napas keduanya
membentuk uap dingin. Nyala obor di tepi danau menciptakan
bayang-bayang panjang yang bergerak-gerak di permukaan es.
"Hei, tunggu!" seru Melissa.
Dengan ringan Luke mempercepat langkahnya dan melaju jauh
ke depan. Melissa berkonsentrasi untuk menjaga keseimbangan
tubuhnya, dan ia tidak bisa mengikuti gerakan Luke. Pemuda itu
hilang di tengah kerumunan anak, hilang dari pandangannya.
"Tunggu aku!" Kemudian ia terjatuh lagi. Sepatunya tergelincir
dan dengan keras ia jatuh duduk.
"Hei, Luke." Cowok itu muncul dari balik bayang-bayang dan meluncur
ringan menghampirinya. "Asyik ya, duduk santai seperti itu," ia
menggoda seraya mengulurkan tangan untuk membantu Melissa
bangkit. "Tubuhku bisa memar-memar nih. Kurasa ini gara-gara
pergelangan kakiku yang lemah."
Luke menjauh dari kerumunan anak. "Ikuti aku."
Melissa mulai mengikuti, meluncur pelan-pelan, langkah demi
langkah, dengan perasaan waswas. "Kita mau ke mana?" serunya.
Luke menjawab, "Aku akan mengajarimu."
Ia membawa Melissa menjauhi kerumunan, menjauhi cahaya
obor, menjauhi dentaman musik.
"Kenapa harus kemari?" Melissa berteriak, mencoba
mempercepat langkahnya. "Karena ini pelajaran privat!"
Luke meluncur ke tempat yang gelap. Melissa tak punya
pilihan, terus membuntutinya.
Tempat itu gelap, tidak terkena cahaya obor dan jauh dari para
pengunjung pesta. Jauh dari semua orang. Melissa mendengar bunyi es merekah di sebelah kiri.
Rasa takut mulai menjalari dirinya. "Luke," panggilnya, "esnya
sudah retak!" Lalu ia ingat peringatan untuk tidak mendekati daerah ini.
"Luke, kita tidak boleh ke sini!" serunya, tenggorokannya
tercekat dan jantungnya mulai berdebar keras.
Di sini gelap sekali. Dan amat sepi.
Terdengar lagi bunyi rekahan di belakangnya.
Sekonyong-konyong Luke muncul dari kegelapan, meluncur
tepat ke arahnya, wajahnya tampak tegang, matanya menatap Melissa
tajam. Kenapa ia membawaku kemari" Melissa bertanya-tanya, tibatiba merasa lemas karena ketakutan.
Kenapa ia membawaku ke daerah berbahaya ini, jauh dari
orang-orang" Melissa berputar. Hampir jatuh. Ia mulai berbalik ke tempat
pesta. Namun Luke melesat di belakangnya dan menyambar bahu
Melissa. Ia memutar tubuh Melissa hingga menghadap ke arahnya.
Di balik kacamata Luke, matanya berbinar-binar kegirangan.
"Luke, apa yang kaulakukan?" jerit Melissa.
31 SOSOK BERKERUDUNG LUKE melepaskan tangannya dari bahu Melissa dan memeluk
pinggangnya. Lalu ia menundukkan kepala dan mencium pipinya.
"Aku membawamu kemari supaya kita bisa berdua saja,"
bisiknya. "Lepaskan aku!" Melissa berteriak marah. Ia mendorong Luke.
Luke tergelincir ke belakang, nyaris jatuh, tapi dengan mudah ia
mendapatkan kembali keseimbangan tubuhnya. Senyumnya memudar.
"Melissa, ada apa?"
"Aku hampir mati ketakutan!" bentak Melissa. "Tega kau
berbuat begitu padaku!"
Luke merengut dan ia balas membentak, "Aku cuma ingin
bergurau. Lagi pula ini kan di pesta. Mestinya kan kita..."
"Jadi kau lupa kalau aku telah menerima ancaman-ancaman
mati!" "Kukira..." "Kaupikir lucu ya, membawaku kemari, ke tempat gelap yang
esnya sudah retak-retak! Kau keterlaluan!" Melissa menjerit marah,
hampir menangis. Ia mengangkat kedua tinjunya, sehingga tubuhnya
nyaris terjerembab. "Oke, oke. Aku salah," kata Luke sambil mengangkat kedua
tangannya yang bersarung, seakan ingin melindungi diri. "Tenangkan
dirimu, oke" Kita berdamai, ya."
Melissa menatap Luke tajam, tapi kemarahannya mulai
memudar. Luke kan cuma ingin bersikap romantis, pikir Melissa.
Tapi ia membuatku takut. Sangat takut.
Lagi pula, untuk apa kami ada di sini, di tempat yang esnya tipis
dan retak-retak. "Kenapa kau tidak meluncur saja sendirian?" Melissa memberi
saran, nada suaranya melunak tapi belum sepenuhnya memaafkan
Luke. "Pergilah. Berputar beberapa kali. Aku tak usah menemanimu,
toh aku hanya memperlambat gerakanmu saja. Nanti kita bertemu di
dekat meja hidangan."
"Yah, baiklah," dengan enggan Luke menyetujui. "Kau masih
marah padaku?" Melissa angkat bahu. "Mungkin."
Ia mengamati Luke meluncur pergi, mengikuti arah angin.
"Nanti aku akan mengajarimu beberapa trik," teriak Luke.
"Yeah, seperti bagaimana caranya supaya tidak gampang
jatuh!" balas Melissa. Ia tidak yakin apakah cowok itu mendengarnya.
Embusan angin mengibarkan rambutnya. Diturunkannya topi
wolnya. Ia menyesal telah mencurigai Luke, mengira cowok itu akan
berbuat jahat. Dasar si pengacau pesta, Melissa memaki dirinya sendiri.
"Apa yang kulakukan di sini?" tanyanya keras-keras.
Para pemain skate lain tampak begitu jauh. Musik bahkan tak
terdengar, kecuali dentaman drum yang tanpa henti menggema di
antara pepohonan. Menyadari kegelapan di sekelilingnya, tiba-tiba ia merasa ngeri.
Aku harus pergi dari sini.
Aku harus kembali ke tempat anak-anak itu.
Ia mulai melangkah, es di bawah sepatunya terasa seperti
lumpur. Didengarnya bunyi krak yang keras, menjalar di atas bentangan
es, mirip bunyi guntur menjelang hujan. Kedengarannya begitu dekat
dengan tempatnya berdiri.
Ia berusaha melangkah lebih cepat. Kehilangan keseimbangan.
Kakinya tersandung dan ia jatuh telungkup.
"Wow, betul-betul pesta yang hebat," gumamnya sinis.
Selagi berlutut, ia melihat seseorang yang memakai kerudung
kepala meluncur ke arahnya.
Siapa itu" pikir Melissa sambil berdiri.
Sosok berkerudung itu meluncur cepat, tubuhnya membungkuk
rendah, wajahnya gelap tersembunyi di bawah kerudung.
Melissa mencoba mengenali orang itu.
Semakin dekat. Semakin dekat. Meluncur cepat, lurus ke arah
Melissa. Dan apa itu yang ada di tangannya"
Sesuatu yang berkilau di bawah cahaya obor. Bersinar
keperakan. Tipis dan keperakan. Seperti bilah pisau. "Ohhh!" Melissa mengerang ketakutan. Pontang-panting ia
mencoba lari, namun kakinya tidak bisa diajak kompromi.
Ia terpeleset, nyaris jatuh kembali.
Es merekah di belakangnya.
Sosok berkerudung itu mendekat, kepalanya menunduk.
Melissa terpaku dengan mulut terbuka.
Tiba-tiba kerudung itu tersingkap ke belakang karena tiupan
angin. Melissa melihat rambut panjang merah berkibar-kibar di
bawahnya. Sosok itu meluncur cepat di balik bayang-bayang. Lengannya,
yang memegang pisau, terangkat.
Melissa berusaha mengelak.
"Rachel!" Dengan kepala tetap menunduk, dan rambut merah berkibar di
atas kerudung yang terkulai, tanpa memperlambat gerakannya sosok
itu menabrak Melissa. "Oh!" Melissa menjerit, tubuhnya terpelanting ke belakang.
Napasnya serasa tercekik ketika pisau itu menancap di sisinya.
32 DI ATAS ES YANG TIPIS "TOLONG!" Melissa mencoba menjerit. Tapi saking takutnya,
suaranya seperti orang tercekik.
Ia menahan sakit ketika berguling ke samping.
"Oh!" Baru ia sadar pisau itu telah merobek mantelnya yang
superbesar, meleset dari sasaran.
Penyerangnya pun menyadari kekeliruan itu. Ia mencabut pisau
dan mengambil ancang-ancang untuk menikam lagi.
"Rachel, jangan!" Melissa memekik sekuat tenaga. Di tengah
rasa panik, ia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya tersungkur ke
depan. "Rachel..." Melissa berusaha menahan tubuhnya. Tangannya
menggapai ke depan dan berpegangan pada si penyerang.
Kedua tangannya mencengkeram rambut merah panjang itu"
dan tanpa sengaja menariknya. Tiba-tiba rambut itu copot!
"Oh!" Ternyata itu rambut palsu. Sebuah wig!
Dengan terhuyung-huyung ke belakang, Melissa mendapatkan
kembali keseimbangan tubuhnya. Wig merah itu berada di tangannya.
"Erica!" pekiknya. "Ternyata kau!"
Di tengah cahaya remang-remang, sinar mata Erica berkilat
penuh amarah. Pisaunya diangkat tinggi-tinggi. "Berikan wig itu,
Melissa," perintah Erica. Napasnya terengah-engah, dan dengan
tangannya yang bebas ia mencoba merampas wig itu. "Kita tak ingin
Klub Drama kehilangan salah satu propertinya, bukan?"
"Erica, mengapa?" Melissa berteriak. "Mengapa kau
menyerangku?" Penuh amarah, Erica merampas wig itu dengan kasar. Matanya
bersinar tajam di antara bayang-bayang api obor.
"Kau kaget, Melissa?" ia bertanya dengan geram.
"Ya," Melissa mengaku.
"Hah, tentu saja. Kau kan tidak pernah mencurigai Erica. Kau
bahkan tak pernah memikirkan Erica. Tak seorang pun pernah
memikirkan aku," dengan pahit Erica mengeluh. "Lagi pula, Melissa,
siapalah aku ini" Aku bukan siapa-siapa. Aku manusia tak berarti!"
"Erica, sudahlah..." Melissa memohon ketika Erica kembali
mengangkat pisaunya. Ia mulai terisak.
Erica tidak memedulikan tangis Melissa. Ia melanjutkan,
"Rachel adalah si gadis cantik. Dan Josie si gadis populer. Sedangkan
aku" Aku hanyalah Erica yang malang, yang sangat sederhana, sangat
pemalu, terlalu biasa, hingga selalu luput dari perhatian."
Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menurunkan pisaunya dan mendekat, embusan napasnya
membentuk uap di mukanya. Melissa mencoba mundur, namun
permukaan es di belakangnya mulai retak.
Aku harus membuatnya terus mengoceh, pikir Melissa putus
asa. Cuma itu yang bisa kulakukan. "Kau... kaukah yang membunuh
Josie?" tanyanya. "Siapa lagi!" Erica berbisik, suaranya serak.
Melissa tercengang. "Kau membunuh kakakmu sendiri" Erica,
mengapa?" "Josie harus mati. Dialah yang menyebabkan Rachel celaka.
Tapi apakah dia mau bertanggung jawab" Sama sekali tidak. Dia
bersikap seakan tak ada sesuatu pun yang terjadi, seakan kecelakaan
tragis itu tak pernah ada. Sedangkan aku... aku terperangkap bersama
Rachel." Ia mendekatkan wajahnya pada Melissa, matanya menyala
penuh amarah. "Kau tahu, berapa orang yang hancur hidupnya akibat
kecelakaan itu, Melissa" Kau tahu berapa" Dua! Rachel dan aku.
Hancur selamanya. Tapi kau dan Josie baik-baik saja, bukan" Kalian
tetap hidup riang gembira."
"Itu tidak benar, Erica," kata Melissa bernafsu. "Aku dan Josie,
kami berdua juga..."
"Tutup mulutmu!" Erica menjerit histeris. "Tahukah kau betapa
aku menantikan saat masuk sekolah menengah" Kau tahu betapa
senangnya hatiku" Tapi berkat ulahmu dan Josie, aku sama sekali tak
bisa menikmatinya. Aku tak bisa ikut kegiatan apa pun karena harus
menjaga Rachel. Aku kehilangan masa remaja yang indah. Sementara
Josie tidak kehilangan apa pun. Aku tak bisa membiarkannya seperti
itu. Terus bersenang-senang, tanpa memikirkan akibat perbuatannya.
Aku tak bisa. Aku tak rela."
Melalui bahu Erica, Melissa menatap anak- nak yang tengah
main skate. Mereka tampak begitu jauh. Di mana Luke" ia bertanyatanya dengan risau. Di mana sih dia"
"Tapi aku tidak mengerti," katanya pada Erica. "Kartu-kartu
Valentine itu. Dave mengirimkan kartu-kartu ancaman itu pada Josie.
Dan kau..." "Ketika Dave mulai mengirim kartu-kartu konyol itu, aku
melihat kesempatan untuk membunuh Josie," Erica mengungkap
rahasianya. Bola matanya berkilat-kilat dalam gelap, wajahnya nyaris
menyentuh wajah Melissa, seakan memaksa gadis itu supaya mundur.
"Kartu-kartu Valentine itu memberiku ide. Begitu melihatnya, aku
tahu akan bisa membalas perbuatan Josie yang telah menghancurkan
hidupku, menghancurkan hidup Rachel. Dan aku bisa melakukannya
tanpa ketahuan." "Tapi kau kena tikam juga!" seru Melissa.
Erica berbisik parau, "Aku menikam diriku sendiri. Sakitnya
tidak seberapa dibandingkan penderitaan yang kurasakan selama ini."
Melissa geleng-geleng kepala. "Aku tak percaya," tukasnya.
Ke mana Luke" Ke mana semua orang" Tak adakah yang
melihat kami di sini"
"Aku tinggal di rumah, pura-pura tidak sanggup menghadiri
pemakaman Josie," Erica mengingat-ingat. "Aku takut ketahuan, takut
ada orang yang melihatku membunuh Josie. Lalu Dave menyusup ke
rumah kami. Sekali lagi dia menyelamatkanku. Perbuatannya
memberiku kesempatan untuk menghapus kecurigaan orang padaku.
Kutelepon polisi. Lalu langsung kutikam diriku sendiri. Aku tahu
Dave akan menyelamatkan diriku sebelum aku kehilangan banyak
darah." Ia terkekeh-kekeh. "Ah, Dave yang baik hati."
"Tapi kau membunuh Dave juga?" Melissa memekik, ngeri oleh
kata-katanya sendiri. "Kau membunuhnya minggu lalu!"
"Aku terpaksa. Dia menduga-duga, dan mengambil kesimpulan
akulah pelakunya. Dia sadar aku masih memiliki kartu Valentine yang
dikirimkannya untuk Josie. Dia tahu aku meniru tulisan tangannya
pada kartu yang kukirimkan untukmu."
Melissa meluncur mundur beberapa senti. Suara permukaan es
yang merekah terdengar nyaring.
Terdengar tawa para pemain skate di dekat tepi danau.
Aku harus melewatinya dan meluncur mendekati yang lain,
pikir Melissa. Ya, itu yang harus kulakukan!
Seakan membaca pikiran Melissa, Erica mengangkat pisaunya.
"Sudah cukup kita bicara," ujarnya dingin.
"Tapi kenapa aku?" suara Melissa melengking, dadanya sesak
oleh rasa panik yang tiba-tiba mencekiknya. "Aku temanmu, Erica."
Erica tertawa pahit. "Kau bukan temanku," sahutnya. "Kau
memiliki segalanya, Melissa. Bahkan kau memiliki Luke. Rachel yang
malang tidak punya apa-apa. Bahkan kau merampas Luke darinya.
Dan hal itu membuatku lebih terasing"sebab setelah kau merampas
Luke, cuma akulah yang dimiliki Rachel. Itu berarti tinggal aku yang
harus terus menjaganya."
Ia membiarkan wignya jatuh ke dekat kaki dan mengangkat
pisau. "Kau harus mati, Melissa. Itu baru adil. Kau telah membunuh
Rachel dan aku. Jadi, sekarang kau juga harus mati."
"Tapi kenapa kau pakai wig?" Melissa bertanya putus asa.
Diangkatnya tangan seolah hendak melindungi dirinya. "Kenapa kau
memakai wig merah itu, Erica?"
Erica melirik gumpalan rambut palsu di kakinya. "Karena ini
pembalasan dendam Rachel juga," jawabnya dengan nada dingin.
"Aku ingin Rachel ada di sini, bersamaku. Dan sesungguhnya, dengan
cara tertentu, dia mendampingiku sekarang, untuk membalaskan
dendamnya padamu." "Kau sudah gila!" Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut
Melissa. "Maafkan aku, Erica, tapi kau memang sudah gila!"
Wess, wess. Sambil mencaci maki, dengan membabi buta Erica
mengayunkan pisaunya kian kemari, mencoba melukai Melissa.
Melissa terhuyung-huyung ke belakang, sebisa mungkin
menghindari sabetan pisau itu. Pada saat kritis, ia melihat Luke
meluncur cepat mendekatinya.
"Luke! Tolong aku!" teriaknya.
Erica mengayunkan pisaunya ke tenggorokan Melissa.
Terdengar bunyi guntur menggemuruh di kejauhan, menjalar
pelan makin lama makin keras seolah sesaat lagi akan turun hujan
badai. Baru beberapa detik kemudian Melissa sadar itu bukan bunyi
guntur, melainkan permukaan es yang merekah-rekah di bawah kaki
mereka. "Tolong aku, Luke!" Melissa masih sempat berteriak sementara
permukaan es bergerak, terbelah di sana-sini. Dirasakannya kakinya
mulai goyah, kehilangan pijakan.
Ia berpaling pada Erica. Cewek itu tampak panik. Wajahnya
tidak lagi menampilkan kemarahan. Ia mengangkat kedua tangannya
dan menjerit ketakutan. Teriakan keduanya membahana ketika permukaan es
menganga, menarik tubuh mereka yang jatuh ke dalam air yang dingin
membekukan. 33 TENGGELAM AIR yang sangat dingin mengejutkan Melissa. Tubuhnya serasa
membeku seketika, membuatnya tak mampu melakukan apa-apa.
Selagi tubuhnya mulai tenggelam, sekuat tenaga ia mengangkat
tangannya ke permukaan. "Luke!"
Luke menelungkup di atas permukaan es yang masih utuh, dan
menyambar tangan Melissa. Ditariknya kedua tangan yang
menggapai-gapai itu. "Luke! Tolong!"
Sambil mengerang keras, Luke menarik Melissa keluar dari
retakan es yang menganga mirip lubang gelap. Melissa terlontar ke
atas permukaan es yang licin.
Ia berguling, berpaling, dan melihat Luke mengulurkan tangan
untuk menolong Erica. Terlambat. Air itu berpusar, Erica tenggelam seolah sesuatu mengisapnya
ke bawah. Ia tak mampu mengangkat tubuhnya.
"Kulakukan semua ini untukmu, Rachel!" Me lissa mendengar
Erica memekik. Kemudian ia lenyap, tenggelam ke dalam kegelapan yang
dingin membeku. Sambil terengah-engah, Melissa cepat berlutut.
Jantungnya berdegup keras, sekujur tubuhnya gemetar oleh rasa
takut dan hawa dingin. Dilihatnya Luke masih menelungkup di tepi
lubang. "Erica! Erica!" Luke memanggil berulang-ulang.
Permukaan es kembali merekah di sekitar mereka. Makin lama
makin panjang. Melissa bergeser ke samping Luke. "Di mana dia" Kenapa dia
belum muncul juga?" Suaranya gemetar, melengking nyaring.
"Erica!" Luke terus berteriak. "Erica!"
"Lihat!" seru Melissa sambil menunjuk.
Mulanya Melissa mengira ia melihat seekor ikan yang
terperangkap di balik lapisan tipis es.
Pertama-tama muncul sebentuk mulut, lalu pelan-pelan
menyusul bibir yang terbuka.
Kemudian membayang sebuah hidung. Hidung manusia.
Disusul dua mata yang terbuka, membelalak lebar.
Rasa takut menyergap Melissa ketika sadar ia tengah menatap
wajah Erica. Wajah Erica di bawah permukaan es, terperangkap di
dalamnya, sorot matanya menatap kosong pada Luke dan Melissa.
"Kenapa dia tidak bergerak" Kenapa dia tidak berenang keluar
dari situ?" Melissa menjerit-jerit histeris, mencengkeram lengan Luke.
"Kenapa dia menatap kita seperti itu" Dia bahkan tidak bergerak sama
sekali?" "Menurutku dia memang tidak ingin keluar," ujar Luke tenang.
Melissa menatap ngeri raut wajah kaku yang balas menatapnya
dengan mata terbeliak lebar, mengambang di bawah permukaan es.
Lebih dari setahun Erica seolah hidup dalam penjara, menatap
dunia dengan harapan hampa, tanpa mampu ambil bagian di
dalamnya. Sekarang ia menatap dunia, menatap kami, dari penjaranya
yang lain lagi, pikir Melissa dengan hati pedih.
Ketika mengalihkan pandang dari wajah yang mengambang itu,
Melissa kaget melihat gerombolan anak telah mengelilingi mereka.
Anak-anak itu berbisik, saling bertanya penuh ingin tahu.
"Ada apa?" "Apakah Melissa jatuh?"
"Ada orang tenggelam?"
"Esnya retak, ya?"
"Cepat cari bantuan!"
"Ayo... cari pertolongan!"
Luke mendesah. Ia bangkit dan menolong Melissa bangun. Ia
merangkul pinggang Melissa, memeluknya erat-erat, dan
membimbingnya meninggalkan tempat itu.
Saat melihat ke bawah, Melissa baru sadar ia menggenggam
wig merah Erica. "Ohh." Dengan isakan pelan, ia melempar wig itu ke atas es,
seakan membuang semua kengerian yang terjadi malam itu. Lalu ia
membenamkan wajahnya di balik jaket Luke. Dan keduanya meluncur
pergi. 34 DUH, ROMANTISNYAAA.... "AKU membuat ini," kata Rachel, senyumnya mengembang.
Melissa dan Luke menjulurkan tubuh dari sofa dan mengamati
lukisan yang diacungkan Rachel. "Manusia salju... betul?" tebak
Melissa. "Betul!" sahut Rachel sambil tertawa riang. "Ini manusia salju."
Mrs. McClain memperhatikan dari dekat pintu ruang baca,
sambil bersandar ke tembok. Senyum senang merekah di wajahnya.
"Wah, lukisan yang bagus," puji Luke.
Rachel meletakkan lukisan di pangkuan. "Aku banyak melukis
di sekolah," katanya. Senyumnya memudar ketika ia menggulung
kertas lukisan itu. Wajahnya tampak prihatin. "Seandainya aku bisa
memperlihatkannya pada Erica," ujarnya penuh harap.
"Ya," jawab Melissa canggung sambil melirik Luke. Cowok itu
tengah menatap arlojinya.
"Aku rindu pada adikku," sambung Rachel. "Tapi keadaanku
makin baik. Aku makin sehat, dan kini sudah bisa pergi keluar
sendiri." "Ya, kau benar," kata Mrs. McClain bersemangat. Ia
menyeberangi ruangan, menuju ke belakang sofa dan meletakkan
tangan di bahu Rachel. "Kau semakin sehat. Tapi Melissa dan Luke
sudah harus pergi sekarang."
"Ya, kami sudah terlambat," jawab Luke sambil berdiri.
Melissa membungkuk dan memeluk Rachel.
"Aku akan segera datang lagi."
"Aku akan melukis manusia salju lagi," ujar Rachel.
Melissa dan Luke berpamitan pada Mrs. McClain dan keluar
dari pintu depan. Mereka melangkah memasuki bulan Maret yang
berangin. Salju tipis menutupi tanah, awan putih melayang tinggi di
langit biru. "Aku senang kita mengunjungi Rachel," kata Melissa. Ia meraih
tangan Luke ketika keduanya menyusuri jalan masuk rumah keluarga
McClain, menuju ke rumah Melissa di seberang jalan. "Aku sudah
lama tidak bertemu Rachel" sejak Hari Valentine, kukira. Sudah tiga
minggu." "Jangan sebut-sebut Hari Valentine lagi," Luke menggerutu.
"Hhh, hari yang mengerikan."
Dengan muram Melissa menyetujui, "Yeah, kau benar."
Embusan angin mengibarkan rambutnya. Ia menyandarkan tubuh pada
Luke. "Kau tahu" Februari tahun depan, aku tak keberatan kita tak
usah, saling kirim kartu Valentine. Aku trauma. Tapi jangan lupa
bawakan aku sekotak cokelat dan selusin mawar merah...."
Luke menghentikan langkahnya di ujung jalan masuk.
Diciumnya pipi Melissa. "Cokelat dan mawar?" Ia menganggukangguk gembira dan berseru, "Duh, romantisnyaaaa...."END
Sepak Terjang Hui Sing 5 Playboy Dari Nanking Karya Batara Tiga Maha Besar 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama