Goosebumps - 49 Napas Vampir Bagian 1
Chapter 1 "KETIKA manusia serigala mengendap-endap di belakangmu
pada tengah malam buta, dia akan melangkah begitu pelan sehingga
kau takkan mendengar suara apa pun. Kau takkan tahu bahwa si
manusia serigala sudah berdiri di belakangmu, sampai kau merasakan
embusan napasnya yang panas di tengkukmu."
Aku membungkuk dan meniup tengkuk Tyler Brown. Anak itu
membelalakkan mata. Ia ingin menjerit, tapi yang terdengar dari
mulutnya hanya erangan. Aku paling senang menjaga - menjadi baby-sitterTyler. Ia
begitu gampang ditakut-takuti.
"Embusan napas si manusia serigala membuatmu seperti
terpaku di tempat, sehingga kau tak bisa bergerak," kataku berbisik
pelan. "Kau takkan bisa lari. Kau takkan bisa menggerakkan kaki atau
mengayunkan tangan. Kau takkan bisa berbuat apa-apa ketika si
manusia serigala mencabik-cabik kulitmu."
Sekali lagi aku meniup tengkuk Tyler. Ia langsung gemetaran.
Dan merintih-rintih pelan.
"Sudahlah, Freddy. Dia benar-benar ketakutan." Kara
Simonetti, temanku, menegurku. Dengan cemberut ia menatapku dari
kursi di seberang ruangan.
Tyler dan aku duduk di sofa. Aku sengaja duduk di dekatnya
supaya bisa berbisik-bisik dan membuatnya gemetar ketakutan.
"Freddy - dia kan masih kecil. Umurnya baru enam tahun,"
Carla mengingatkanku. "Lihat, tuh! Dia sampai gemetaran."
"Dia suka, kok," jawabku. Aku kembali berpaling pada Tyler.
"Kalau kau berada di luar rumah di tengah malam buta, dan kau
merasakan embusan napas si manusia serigala di tengkukmu - jangan
berbalik," bisikku. "Jangan berbalik. Jangan sampai dia tahu bahwa
kau melihatnya. Sebab begitu dia tahu, dia akan langsung
menyerang!" Kuteriakkan kata menyerang keras-keras. Lalu aku menerjang
Tyler dan menggelitik tubuhnya.
Ia memekik. Ia menangis dan tertawa berbarengan.
Aku menggelitiknya sampai ia kehabisan napas. Lalu aku
berhenti. Aku baby-sitter yang baik. Aku selalu tahu kapan aku harus
berhenti menggodanya. Kara berdiri. Ia meraih pundakku dan menarikku menjauh dari
Tyler..."Kasihan, dong! Dia kan masih kecil, Freddy!" katanya sekali
lagi. Tapi aku balas menarik Kara sampai ia terjatuh, lalu mulai
menggelitiknya. "Si manusia serigala kembali beraksi!" seruku.
Kemudian aku tertawa terbahak-bahak sambil mendongakkan kepala,
meniru serigala yang sedang melolong di tengah malam.
Bergulat dengan Kara adalah kesalahan besar. Ia segera
memukul perutku. Saking kerasnya, mataku sampai berkunangkunang. Aku sampai
melihat bintang-bintang berwarna merah dan
kuning berputar-putar mengelilingi kepalaku. Betul, lho! Dengan
susah-payah aku berguling ke samping, megap-megap berusaha
menarik napas. Pernahkah kau ditonjok sampai tak bisa bernapas" Percayalah,
rasanya tidak enak. Kau akan menyangka kau takkan pernah bisa
bernapas lagi. Memukulku sampai pandanganku berkunang-kunang adalah
hobi Kara. Ia selalu berbuat begitu. Dan ia sanggup melakukannya
cukup dengan satu pukulan.
Kara memang jagoan. Karena itulah ia sahabatku. Kami sama-sama jagoan. Kami tak
pernah gentar menghadapi apa pun!
Coba tanya siapa saja. Freddy Martinez dan Kara Simonetti.
Dua anak jagoan. Banyak orang menyangka kami kakak-adik. Mungkin karena
tampang kami memang mirip satu sama lain. Kami berumur dua belas
tahun. Tubuh kami sama-sama jangkung. Kara dua senti lebih tinggi,
tapi aku sudah mulai mengejarnya. Kami sama-sama berambut hitam
berombak, sama-sama bermata gelap, dan sama-sama berwajah bulat.
Kami bersahabat sejak aku menghajarnya di kelas empat dulu.
Tapi Kara selalu membual bahwa ialah yang menghajarku waktu itu.
Enak saja. Mau tahu seberapa hebatnya kami"
Kara dan aku tahan mendengar bunyi kapur di tangan guru kami
berdecit-decit di papan tulis! Kami malah senang.
Coba itu. Tapi kembali ke soal Tyler. Rumahnya berseberangan dengan
rumahku. Kara biasanya ikut kalau aku menjaga Tyler. Tyler lebih
suka Kara daripada aku. Soalnya Kara selalu menenangkannya setelah
aku membuatnya ketakutan setengah mati dengan cerita-ceritaku yang
menyeramkan. "Malam ini malam bulan purnama, Tyler," kataku sambil
mencondongkan badan ke arah anak "Kau sudah melihat keluar
jendela" Kau sudah melihat bulan purnama?"
Tyler menggelengkan kepala. Ia menggaruk-garuk rambutnya
yang pirang pendek. Matanya yang biru terbelalak lebar. Dengan tegang ia
menunggu kelanjutan kisah manusia serigala.
Aku membungkuk semakin dekat dan merendahkan suara.
"Kalau manusia serigala terkena cahaya bulan purnama, di wajahnya
akan tumbuh bulu," bisikku. "Giginya...akan bertambah panjang, dan
juga bertambah runcing. Giginya baru berhenti tumbuh kalau sudah
mencapai bagian bawah dagu. Seluruh badannya tertutup bulu,
bagaikan serigala sungguhan. Dan di ujung jarinya muncul cakar."
Aku menggoreskan kuku ke bagian depan T-shirt Tyler. Ia
memekik tertahan. "Kau betul-betul membuatnya ketakutan. Nanti malam dia
takkan bisa tidur," Kara memperingatkanku.
Aku tidak menggubrisnya. "Dan kemudian si manusia serigala
mulai berjalan," aku berbisik sambil membungkuk di atas Tyler. "Dia
mondar-mandir di hutan, mencari mangsa. Mencari korban...
kelaparan... mencari... mencari..."
Aku mendengar suara langkah di ruang tamu.
Langkah-langkah berat melintasi karpet.
Mula-mu1a kupikir aku salah dengar.
Tapi ternyata Tyler juga mendengar suara itu.
"Mencari... mencari..." aku berbisik.
Tyler membelalakkan mata.
Langkah itu semakin dekat.
Kara menoleh ke pintu. Tyler menelan ludah. Suara itu semakin jelas. "Manusia serigala!" aku memekik.
Kami bertiga menjerit sejadi-jadinya.
Chapter 2 "HEI - jangan ribut, dong!" seru si manusia serigala.
Suara langkah yang kami dengar ternyata bukan suara langkah
manusia serigala, melainkan suara langkah ayah Tyler.
"Sedang apa kalian?" tanya Mr. Brown sambil membuka
mantel. Ia berambut pirang dan bermata biru, seperti Tyler.
"Freddy sedang bercerita tentang manusia serigala," jawab
Kara. Mr. Brown geleng-geleng kepala. "Apakah tidak ada cerita
yang lebih menyenangkan?"
"Tyler memang suka cerita horor," jawabku." Aku menepuknepuk punggungnya. "Ya
kan, Tyler?" "Ehm, ya," jawabnya ragu-ragu.
Ibu Tyler muncul di belakang suaminya sambil merapikan
sweternya. Kau bercerita tentang manusia serigala lagi ya, Freddy?" ia
bertanya padaku. "Terakhir kali Tyler mendengar cerita horormu, dia
bermimpi buruk sepanjang malam.".
"Enak saja!" Tyler memprotes.
Mrs. Brown cuma geleng-geleng kepala. Mr. Brown
mengeluarkan dompet. Kara dan aku masing-masing diberi selembar
uang lima dolar. "Terima kasih kalian telah menjaga Tyler. Kalian
mau diantar pulang?"
"Tidak usah," sahutku. Memangnya aku penakut" "Saya tinggal
menyeberang jalan." Kara dan aku mengucapkan selamat malam kepada keluarga
Brown. Aku belum ingin pulang. Karena itu aku mengantarkan Kara
pulang ke rumahnya. Ia tinggal di blok sebelah.
Bulan purnama bersinar terang. Bulan yang besar dan bulat itu
seakan-akan mengikuti kami ketika kami menyusuri trotoar.
Kami menertawakan kisah manusia serigala yang kuceritakan
tadi. Dan kami juga menertawakan Tyler yang begitu ketakutan ketika
mendengarnya. Kami tidak menyangka bahwa sesudahnya giliran kamilah yang
ketakutan. Sangat ketakutan. ****************************************
Sabtu sore Kara datang ke rumahku. Kami segera pergi ke
ruang bawah tanah untuk bermain air hockey.
Beberapa tahun lalu orangtuaku membongkar ruang bawah
tanah di rumah kami, dan mengubahnya menjadi ruang santai yang
mengaysikkan. Kami menempatkan meja biliar dan jukebox tua di
sana. Mom dan Dad mengisi jukebox itu dengan rekaman-rekaman
musik rock-and-roll lama.
Tahun lalu aku mendapat permainan air hockey sebagai hadiah
Natal. Kara dan aku sering terlibat pertempuran hockey yang seru.
Kami bisa main sampai berjam-jam. Kalau sudah begitu kami benarbenar lupa waktu.
Pertandingan hockey kami biasanya berakhir
dengan acara gulat. Persis seperti pertandingan hockey sungguhan di
TV! Kami mengambil tempat di kedua ujung meja dan mulai
melakukan pemanasan. Kami mendorong-dorong bola hockey tanpa
berusaha mencetak gol. "Orangtuamu ke mana?" tanya Kara.
Aku angkat bahu. "Entahlah."
Ia menatapku sambil mengerutkan kening. "Kau tidak tahu
mereka pergi ke mana" Memangnya mereka tidak meninggalkan
pesan untukmu?" Aku menyeringai. "Untuk apa" Mereka memang sering pergi."
"Pasti karena mereka tidak tahan serumah denganmu!" Kara
berseru. Ia tertawa. Aku baru pulang latihan karate. Jadi kukelilingi meja hockey
dan kulancarkan beberapa jurus karate di depan Kara. Tanpa sengaja
salah satu tendanganku mendarat di mata kakinya.
"Hei...!" ia berseru dengan gusar. "Awas kau, Freddy!"
Ketika ia membungkuk untuk mengusap mata kakinya, aku
mendorongnya hingga tubuhnya membentur dinding.
Sebenarnya aku cuma bercanda. Tapi rupanya aku mendorong
terlalu keras. Kara kehilangan keseimbangan dan menabrak lemari antik
berisi piring-piring tua. Piring-piring itu terguncang-guncang dan
bergemeretak keras. Tapi tak ada yang pecah.
Aku tertawa. Aku tahu Kara baik-baik saja.
Aku mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Tapi ia
malah berseru lantang - dan langsung menerjangku.
Pundaknya menghantam dadaku. Aku mengerang parau. Sekali
lagi pandanganku berkunang-kunang. Sekali lagi bintang-bintang
merah dan kuning mengelilingi kepalaku.
Sementara aku megap-megap, Kara memungut bola hockey dari
meja. Ia mengambil ancang-ancang untuk menimpukku.
Tapi aku cepat-cepat memegang pergelangan tangannya, lalu
berusaha merebut bola itu.
Kami tertawa. Tapi pergumulan ini cukup serius.
Jangan salah sangka. Kara dan aku sering bergulat seperti ini.
Terutama kalau orangtuaku sedang tidak di rumah.
Aku menepis tangannya - dan bola itu terbang melintasi
ruangan. Kemudian aku berteriak seperti para pendekar karate, dan
membebaskan diri dari cengkeramannya.
Kami tertawa begitu keras, sehingga kami hampir tak sanggup
bergerak. Tapi Kara tiba-tiba melesat maju dan sekali lagi
menabrakku. Kali ini aku terpental ke belakang. Aku kehilangan
keseimbangan. Tanganku mendayung-dayung ketika aku membentur
sisi lemari piring yang tinggi. "Aduuuh!"
Aku terempas keras. Punggungku menghantam sisi lemari kayu
itu. Dan lemari itu pun terbalik!
Aku mendengar bunyi piring-piring pecah berantakan.
Sedetik kemudian punggungku mendarat di atas lemari.
"Ohhh!" aku mengerang.
Bagaikan kura-kura terbalik aku tergeletak di atas lemari. Aku
mengayun-ayunkan tangan dan kaki. Seluruh tubuhku terasa nyeri.
"Oh-oh." Ha nya itu yang keluar dari mulut Kara.
Cuma " Oh-oh." Lalu ia bergegas menghampiriku. Ia membungkuk, meraih
tanganku, dan membantuku berdiri.
"Sori," gumamnya. "Aku tidak sengaja."
"Aku tahu," sahutku. Aku memijat-mijat pundakku sambil
menelan ludah. "Kelihatannya kita bakal dapat kesulitan besar."
Kami sama-sama berbalik untuk memeriksa kerusakan yang
terjadi. Dan kami sama-sama memekik kaget ketika melihat apa yang
tersembunyi di balik lemari kayu antik itu.
Chapter 3 "ADA pintu rahasia!" aku berseru penuh semangat.
Kami menatap pintu yang terbuat dari kayu licin berwarna
gelap. Gagang pintu itu tertutup lapisan debu tebal.
Aku sama sekali tidak menyangka ada pintu di balik lemari tua
itu. Dan aku yakin Mom dan Dad juga tidak tahu.
Kara dan aku melangkah maju. Aku mengusap gagang pintu
dengan sebelah tangan untuk menyingkirkan debu yang menempel.
"Pintu ke mana ini?" tanya Kara sambil menyibakkan
rambutnya yang hitam. Aku angkat bahu. "Entahlah. Mungkin ini semacam lemari.
Mom dan Dad tidak pernah bercerita bahwa ada ruangan lain di
bawah sini." Aku menggedor-gedor pintu dengan tangan terkepal. "Halo, ada
siapa di situ?" seruku.
Kara tertawa. "Kau pasti kaget setengah mati kalau sampai ada
yang menyahut!" ia berkomentar..
Aku ikut tertawa. "Kenapa pintu ini disembunyikan di balik lemari?" Kara
bertanya. "Tidak masuk akal."
"Barangkali ada harta karun perompak yang tersembunyi di
sini," kataku. "Barangkali ada satu ruangan penuh keping emas di
balik pintu ini." Kara geleng-geleng kepala. "Yang benar saja," gumamnya.
Goosebumps - 49 Napas Vampir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mana ada perompak di kota kita" Di sekitar sini kan tidak ada laut!"
Kara memutar gagang pintu dan mencoba membuka pintu itu.
Anak lain mungkin ragu-ragu. Anak lain mungkin akan berpikir
seribu kali sebelum membuka pintu rahasia yang misterius di ruang
bawah tanah. Anak lain mungkin takkan berani membukanya.
Tapi Kara dan aku tidak kenal takut.
Kami tak pernah gentar. Kami tidak pernah memikirkan soal
bahaya. Kami dua anak jagoan. Dan ternyata pintunya tidak bergerak. "Jangan-jangan dikunci?"
kataku. Ia menggelengkan kepala. "Bukan. Pintunya tertahan lemari."
Lemari piring tergeletak di depan pintu. Kami mencoba
menggesernya. Kara memegang bagian atas, aku bagian bawah.
Ternyata lemari itu lebih berat dari dugaanku. Terutama karena
piring-piring pecah yang ada di dalamnya. Tapi kami terus menarik
dan mendorong sampai kami berhasil menyingkirkannya.
"Oke," ujar Kara seraya menyeka tangan ke kaki celana jeansnya.
"Oke," aku mengulangi. "Sekarang coba kita periksa."
Gagang pintu itu terasa dingin di tanganku. Aku memutarnya
dan membuka pintu kayu itu.
Pintu itu bergerak pelan. Rasanya berat, dan engsel-engsel yang
telah dimakan karat berderit-derit ketika pintu itu membuka. "Krek...
krek... krek." Kemudian, berdiri berdampingan, Kara dan aku mengulurkan
kepala dan mengintip. Chapter 4 SEMULA aku menduga kami akan menemukan sebuah kamar.
Sebuah gudang, atau ruangan berisi peralatan pemanas. Rumah-rumah
tua - seperti rumah Bibi Harriet - kadang-kadang punya gudang untuk
menumpuk batubara. Tapi bukan itu yang kami lihat.
Aku memandang kegelapan di hadapan kami sambil
memicingkan mata, dan akhirnya menyadari kami berdiri di ujung
sebuah terowongan. Sebuah terowongan gelap. Aku mengulurkan tangan dan menyentuh dinding. Batu. Batu
yang dingin. Dingin dan lembap. "Kita butuh senter," kata Kara pelan.
Sekali lagi aku meraba-raba dinding batu yang dingin dan
lembap itu. Lalu aku berpaling kepada Kara. "Maksudmu, kita akan
masuk ke terowongan ini?" tanyaku.
Pertanyaan konyol. Tentu saja kami akan masuk ke terowongan
itu. Seandainya kau menemukan terowongan rahasia di bawah
rumahmu, apa yang akan kaulakukan"
Kan tak mungkin kau cuma berdiri bengong di mulut
terowongan. Kau pasti akan menjelajahi terowongan itu.
Kara mengikutiku ke meja yang dipakai ayahku untuk
bertukang. Aku mulai membuka laci-laci untuk mencari senter.
"Kira-kira di mana ujung terowongan ini?" tanya Kara sambil
mengerutkan kening. "Barangkali di rumah sebelah. Barangkali ini
terowongan penghubung antara dua rumah."
"Tidak ada rumah ke arah sana," aku mengingatkannya. "Di
sebelah sana cuma ada tanah kosong."
"Tapi terowongan ini pasti menuju ke suatu tempat," sahut
Kara. "Mana ada terowongan yang tidak menuju ke mana-mana?"
"Wah, kau memang pintar sekali," aku menanggapinya dengan
nada mengejek. Kara mendorongku. Aku balas mendorongnya. Kemudian aku melihat sebuah senter di laci peralatan. Kami
berebutan untuk mengambilnya. Kami kembali bergulat, tapi hanya
sebentar. Aku berhasil merebut senter dari tangan Kara.
"Apa-apaan, sih?" ia berseru.
"Aku yang menemukan senter ini," kataku. "Kalau mau senter,
silakan cari sendiri."
Beberapa detik kemudian Kara menemukan senter lain di rak di
atas meja kerja. Ia menguji senter itu dengan mengarahkan berkas
sinarnya ke mataku sampai aku membentaknya.
"Oke, aku siap," ujarnya.
Kami kembali ke pintu rahasia. Cahaya kedua senter kami
bersilangan di lantai ruang bawah tanah. Aku berhenti di ambang
pintu dan menyorotkan cahaya senterku ke dalam terowongan.
Cahaya senter Kara menerangi dinding-dinding batu. Dindingdinding itu berlapis
lumut hijau. Genangan-genangan air tampak
berkilau di lantai batu yang licin.
"Lembap sekali," aku bergumam. Aku maju selangkah. Cahaya
senterku menyapu dinding terowongan. Udara langsung terasa lebih
dingin. Aku menggigil. "Ihhh," ujar Kara. "Rasanya seperti masuk ke lemari es."
Aku mengangkat senter dan mengarahkannya lurus ke depan.
"Wow, ujungnya tidak kelihatan," kataku. "Panjang terowongan ini
mungkin bermil-mil."
"Hanya ada satu cara untuk memastikannya," sahut Kara. Ia
mengangkat senter dan kembali mengarahkannya ke mataku. "Ha-ha!
Kena kau!" "Tidak lucu!" aku memprotes. Aku membalasnya dengan cara
yang sama. Selama beberapa waktu kami perang-perangan senter. Tak
ada yang menang. Tapi akibatnya mata kami sama-sama berkunang-kunang.
Aku kembali berpaling ke arah terowongan. "Halllooooo!" aku
berseru. Suaraku bergema. "Adaaaaaa siapaaaaa diii situuuuuu?" aku
memanggil. Kara mendorongku ke dinding yang lembap. "Jangan ribut,
Freddy. Kenapa sih kau tidak bisa serius?"
"Aku serius, kok," sahutku. "Ayo, kita masuk saja." Aku
menabraknya dengan pundakku. Aku bermaksud mendorongnya agar
membentur dinding. Tapi pijakan kakinya terlalu kokoh. Ia tidak
beranjak sedikit pun. Aku mengarahkan senter ke bawah untuk menerangi lantai.
Sinar senter Kara tetap mengarah lurus ke depan.
Kami maju perlahan-lahan, sambil menghindari genangangenangan air. Semakin jauh
kami memasuki terowongan, udara terasa
semakin dingin. Langkah kami menimbulkan bunyi berkersak-kersak. Bunyi itu
memantul pada dinding batu. Setelah berjalan kira-kira satu menit,
aku berbalik dan memandang ke belakang. Pintu ke ruang bawah
tanah tampak jauh sekali.
Terowongan itu berbelok, dan dinding-dinding seolah-olah
bertambah rapat. Perasaan ngeri mulai bangkit dalam diriku, tapi aku
cepat-cepat mengusirnya. Tak ada yang perlu ditakuti, aku berkata dalam hati. Ini cuma
terowongan tua yang kosong.
"Aneh sekali," Kara bergumam. "Di mana ujung terowongan
ini?" "Mestinya kita sudah berada di bawah tanah kosong di sebelah
rumahku," aku menduga-duga. "Tapi, untuk apa orang membuat
terowongan di bawah tanah kosong?"
Kara mengarahkan senternya ke wajahku. Ia memegang bahuku
agar aku berhenti berjalan. "Kau mau kembali?"
"Tentu saja tidak," jawabku.
"Aku juga tidak," Kara cepat-cepat menambahkan. "Aku cuma
ingin tahu apakah kau ingin keluar dari sini."
Sorot senter kami kembali menyapu dinding-dinding batu yang
lembap ketika kami menyusuri terowongan yang membelok. Kami
melompati genangan air yang membentang dari dinding ke dinding.
Terowongan itu membelok sekali lagi. Dan kemudian sebuah
pintu muncul di hadapan kami.
Sebuah pintu kayu berwarna gelap.
Cahaya senter kami menyorot pintu itu ketika kami bergegas
mendekat. "Halo, ada siapa di situ?" aku memanggil. "Halooo!"
Kugedor pintu itu dengan tangan terkepal.
Tak ada jawaban. Aku meraih gagang pintu. Kara kembali menahanku. "Bagaimana kalau orangtuamu
pulang?" ia bertanya. "Mereka pasti kuatir. Mereka tidak tahu di mana
kau berada." "Hmm, mereka pasti akan melihat lemari yang terbalik kalau
mereka turun ke ruang bawah tanah," jawabku. "Dan mereka akan
menemukan pintu terowongan yang terbuka. Kemungkinan besar
mereka akan menyusul kita ke sini."
"Yeah," Kara membenarkan.
"Kita harus menyelidiki apa yang ada di balik pintu ini," aku
berkata penuh semangat. Aku memutar gagang pintu dan mendorong
pintunya sampai membuka. Pintunya ternyata cukup berat dan
berderit-derit ketika kudorong, persis seperti pintu pertama.
Kami mengarahkan senter ke depan.
"Ada ruangan!" aku berbisik. "Ada ruangan di ujung
terowongan!" Cahaya senter kami menerangi dinding-dinding gelap yang
tampak licin. Kami melangkah masuk ke sebuah ruangan kecil berbentuk
bujur sangkar. "Huh, ternyata tidak ada apa-apa," ujar Kara. "Ini cuma ruangan
kosong." "Siapa bilang," kataku pelan-pelan.
Aku mengarahkan senter ke benda besar yang tergeletak di
tengah lantai. Kami memperhatikan benda itu sambil membisu. "Apa itu?"
Kara akhirnya bertanya. "Peti mayat," sahutku.
Chapter 5 JANTUNGKU berdegup kencang.
Aku bukannya takut. Tapi seluruh badanku seperti dialiri listrik.
Mungkin karena aku terlalu bersemangat.
Kara dan aku menerangi peti mayat dari kayu berwarna gelap
yang ada di tengah ruangan itu. Berkas cahaya senter kami bergerakgerak karena
tangan kami gemetar. "Aku belum pernah melihat peti mayat," Kara bergumam.
"Aku juga belum," aku mengakui. "Kecuali di TV."
Sinar senter kami memantul dari permukaan kayu yang dipoles.
Aku melihat gagang-gagang yang terbuat dari kuningan di kedua
ujung kotak panjang itu. "Bagaimana kalau benar-benar ada mayat di dalamnya?" tanya
Kara. Suaranya pelan sekali.
Detak jantungku semakin kencang. Kulitku seperti ditusuktusuk.
"Entahlah," bisikku. "Tapi, siapa yang dikubur di ruangan
rahasia di bawah rumahku?"
Aku mengalihkan senter dan menyorotkannya berkeliling.
Empat dinding polos. Licin dan kelabu. Tanpa jendela. Tanpa perabot.
Hanya ada satu pintu, yaitu pintu yang menuju ke terowongan.
Sebuah ruangan rahasia di ujung terowongan yang berkelokkelok. Peti mayat di
ruang bawah tanah yang tersembunyi....
"Mom dan Dad pasti tidak tahu-menahu tentang ini," kataku.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri peti mayat itu.
"Hei, mau ke mana?" Kara bertanya dengan ketus. Ia sendiri
tetap berdiri di dekat pintu.
"Kita harus memeriksa peti mayat ini," ujarku, tanpa
menghiraukan jantungku yang berdegup kencang. "Coba kita lihat apa
yang ada di dalamnya."
"Wah, nanti dulu!" seru Kara. "Ku-kurasa itu bukan ide yang
baik." Aku langsung menoleh. Cahaya senterku menerangi wajahnya.
Aku melihat dagunya gemetaran. Ia menatap peti mayat itu dengan
mata terpicing. "Kenapa" Ngeri, ya?" tanyaku. Aku tak sanggup menahan
senyum. Ternyata Kara bisa takut juga. Ini harus dicatat!
"Enak saja!" ia membantah. "Aku tidak ngeri. Tapi menurutku
kita perlu memanggil orangtuamu terlebih dulu."
"Untuk apa" Kita tidak memerlukan mereka untuk membuka
peti mayat tua itu!"
Cahaya senterku terus terarah ke wajahnya. Sekali lagi aku
melihat dagunya gemetaran.
"Sebab, tidak seharusnya peti mayat dibuka begitu saja," ia
menyahut, lalu menyilangkan tangan di depan dada.
"Ya sudah... kalau kau tidak mau membantu, biar kukerjakan
sendiri," kataku. Aku berpaling ke arah peti mayat, dan mengusapusap tutupnya.
Kayu yang dipoles itu terasa licin dan dingin.
"Jangan - tunggu!" seru Kara. Ia bergegas ke sampingku. "Aku
bukannya takut. Tapi... ini mungkin kesalahan besar."
"Kau memang takut," balasku. "Kau ketakutan setengah mati."
"Aku tidak takut!" ia membantah.
"Aku melihat dagumu gemetaran tadi. Dua kali, malah," ujarku.
"Terus?" "Berarti kau takut."
"Enak saja!" Ia mendengus kesal. "Nih, biar kubuktikan."
Ia menyerahkan senternya padaku. Lalu ia meraih tutup peti
mayat dengan kedua tangan dan berusaha mengangkatnya.
"Wah. Berat benar," ia mengeluh. "Bantu aku."
Aku langsung merinding. Tapi aku memberanikan diri dan menaruh senter di lantai.
Kupegang tutup peti mayat dengan kedua tangan.
Aku mencondongkan badan ke depan. Dan mendorong penutup
itu ke atas. Kara dan aku mendorong dengan sekuat tenaga.
Mula-mula tutup peti mayat yang berat itu tidak bergerak
sedikit pun. Tapi akhirnya terdengar bunyi berderit ketika tutupnya mulai
terangkat. Perlahan-lahan kami mendorongnya ke atas. Sampai tutup peti
mayat itu berhenti dalam posisi tegak lurus.
Kami melepaskan penutup itu.
Aku memejamkan mata. Sebenarnya aku enggan mengintip ke
dalam peti mayat. Tapi aku tidak punya pilihan.
Aku memicingkan mata dan memandang ke peti mayat yang
terbuka. Ternyata terlalu gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa.
Untung saja, kataku dalam hati seraya menarik napas lega.
Kara membungkuk dan memungut kedua senter dari lantai.
Diserahkannya salah satu senter padaku.
Kami menyorotkan keduanya ke dalam peti, dan mengintip
dengan hati-hati. Chapter 6 CAHAYA senter kami menerangi bagian dalam peti yang diberi
lapisan beludru berwarna ungu. Kain itu tampak berpendar di bawah
sinar senter kami. "T-ternyata kosong!" kata Kara tergagap-gagap.
"Tunggu, di situ ada sesuatu," ujarku.
Sinar senterku menyorot sebuah benda biru di bagian kaki peti
mayat.
Goosebumps - 49 Napas Vampir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku maju sedikit agar dapat melihat lebih jelas. Rupanya
sebuah botol. Sebuah botol kaca berwarna biru tua.
"Aneh!" seru Kara. Ia juga telah melihatnya.
"Ya. Aneh sekali," kataku.
Kami pindah ke bagian kaki peti. Tanganku terasa dingin
bagaikan es. Kara mengulurkan tangan dan meraih botol itu. Ia
memegangnya di bawah berkas sinar senterku, dan kami
mengamatinya dengan saksama.
Botol itu bulat dan ukurannya tidak terlalu besar. Kara bisa
menggenggamnya dengan sebelah tangan. Kacanya licin. Lehernya
tertutup sumbat yang juga terbuat dari kaca berwarna biru.
Kara mengguncang-guncang botol itu. "Kosong," gumamnya
pelan. "Botol kosong di dalam peti mayat" Ini benar-benar aneh!" aku
berseru. "Siapa yang menaruhnya di situ?"
"Hei - ini ada labelnya." Kara menunjuk secarik kertas kecil
yang menempel di kaca. "Kau bisa membaca tulisannya?" ia bertanya
sambil mendekatkan botol itu ke wajahku.
Pada label itu terdapat huruf-huruf berkesan kuno yang ditulis
tangan. Aku memicingkan mata. Tulisannya sudah sangat kabur.
Aku mengarahkan senter, dan akhirnya berhasil membaca
tulisan itu: "NAPAS VAMPIR."
"Apa?" Kara tercengang. "Napas Vampir, katamu?"
Aku mengangguk. "Itu yang tertulis di sini."
"Tapi, apa maksudnya?" ia bertanya. "Apa itu, Napas Vampir?"
"Entahlah," jawabku sambil mengamati botol tersebut. "Aku
belum pernah melihat iklannya di TV."
Kara tidak tertawa mendengar gurauanku.
Diputar-putarnya botol itu untuk mencari keterangan tambahan.
Tapi cuma dua kata itu yang tertulis pada labelnya: "NAPAS
VAMPIR." Aku menyorotkan senterku ke dalam peti mayat untuk melihat
apakah ada yang luput dari perhatianku. Kugerakkan senter itu majumundur.
Kemudian aku membungkuk dan meraba-raba lapisan kain
beludru ungu itu. Kain itu terasa licin dan lembut.
Ketika aku menoleh ke arah Kara, ia sudah mengepit senternya
di bawah lengan. Dan ia sedang berusaha membuka sumbat botol itu.
"Hei - sedang apa kau?" aku berseru.
"Aku mau membukanya," sahutnya. "Tapi sumbatnya keras
sekali dan aku tidak bisa..."
"Jangan...!" seruku. "Stop!"
Matanya yang gelap tampak berbinar-binar ketika menatapku.
"Kenapa, Freddy" Kau takut, ya?"
"Ya. Ehm - tidak kok!" aku tergagap-gagap. "Aku - ehm - aku
setuju denganmu, Kara. Sebaiknya kita tunggu sampai orangtuaku
pulang. Mereka perlu melihat ini semua. Sebaiknya kita jangan
membuka peti mayat, atau mengambil botol, dan..."
Aku menahan napas ketika Kara, tanpa memedulikan katakataku, kembali menariknarik sumbat botol itu. Aku bukannya takut. Aku cuma tidak mau melakukan sesuatu
yang bodoh. "Sini! Berikan padaku!" aku berseru. Aku berusaha merebut
botol itu dari tangannya.
"Enak saja!" Kara segera mengelak.
Dan tahu-tahu botol itu sudah terlepas dari tangannya.
Dan jatuh ke lantai. Botol itu terempas keras. Terpental satu kali. Tidak pecah.
Tapi sumbatnya terlepas. Kara dan aku menatap botol itu tanpa berani menarik napas.
Kami menunggu dengan hati berdebar-debar. Sambil bertanyatanya apa yang bakal
terjadi. Chapter 7 Sssssssssss. Aku tercengang sesaat sebelum menyadari dari mana asal bunyi
mendesis itu. Kulihat kabut hijau keluar dari mulut botol.
Kabut tebal itu tersembur kencang. Dingin dan lembap. Aku
merasakannya menyelubungi wajahku. "Ohhhh." Aku mengerang
ketika baunya yang menyengat tercium olehku.
Dengan terhuyung-huyung, aku mundur sambil terbatuk-batuk.
Kuayun-ayunkan tangan untuk menghalau kabut itu.
"Ihhh!" seru Kara sambil meringis. Ia segera menutup hidung.
"Baunya bukan main!"
Kabut bau itu terus menyembur. Dalam beberapa detik saja
seluruh ruangan telah dipenuhi kabut.
"A-aku tidak bisa napas!" ujarku.
Aku juga tidak bisa melihat. Kabut itu menghalangi cahaya
kedua senter kami! "Ohhh!" Kara mengerang. "Baunya minta ampun!"
Mataku pedih sekali. Bahkan kabut itu menempel di lidahku.
Aku langsung mual. Perutku serasa diaduk-aduk. Leherku seperti
dicekik. Aku harus menyumbat lagi botol itu, pikirku. Kalau botol itu
sudah ditutup, kabut menjijikkan ini akan berhenti menyembur.
Aku berlutut, dan saat itu pula senterku jatuh ke lantai. Dalam
gelap, aku meraba-raba lantai sampai akhirnya berhasil menemukan
botol itu. Tanganku yang satu lagi masih mencari-cari, hingga aku
berhasil menemukan sumbatnya.
Sambil berusaha melawan rasa mual, aku memasang sumbat itu
ke leher botol. Kemudian aku berdiri dan mengangkatnya agar Kara bisa
melihat bahwa aku telah menutupnya.
Tapi ia tidak bisa melihatku. Ia sedang menutup wajahnya
dengan kedua tangan. Pundaknya bergerak naik-turun.
Perutku mulai memberontak ketika aku menaruh botol itu di
lantai. Aku menelan ludah. Berkali-kali. Tapi mulutku tetap dipenuhi
rasa yang menjijikkan. Selama beberapa detik kabut bau itu masih menyelubungi kami,
sebelum mulai menipis dan turun ke lantai.
"Kara...?" kataku dengan susah-payah. "Kara - kau baik-baik
saja?" Perlahan-lahan ia menurunkan tangan dari wajahnya. Matanya
berkedip beberapa kali, lalu berpaling padaku. "Idih," ia bergumam.
"Betul-betul menjijikkan! Kenapa kau berusaha merebut botolnya
tadi" Ini semua salahmu."
"Hah?" Aku tercengang. "Salahku" Salahku?"
Kara mengangguk. "Ya. Kalau kau tak berusaha merebut botol
itu, botolnya takkan terlepas dari tanganku. Dan..."
"Tapi kau yang nekat mau membukanya!" aku memekik. "Ya,
kan" Kau yang menarik-narik sumbatnya!"
"Oh iya, ya." Kara baru ingat.
Ia mengibaskan tangan pada sweter dan jeans-nya, untuk
menyingkirkan bau menjijikkan itu.
"Ayo, Freddy. Kita keluar saja dari sini," ajaknya.
"Yeah. Aku setuju," ujarku. Kali ini kami tidak lagi berbeda
pendapat. Aku mengikutinya ke pintu. Tapi sebelum tiba di ambangnya,
aku menoleh ke belakang. Aku menatap peti mayat itu.
Dan memekik tertahan. "Kara - lihat!" bisikku.
Sesosok tubuh tampak terbaring di dalam peti mayat....
Chapter 8 KARA menjerit. Ia meraih lenganku dan meremasnya begitu
keras sehingga aku pun berteriak kesakitan.
Kami berdiri berimpitan di ambang pintu, memandang ke
ruangan yang gelap. Menatap sosok pucat di dalam peti mayat. "Kau takut?" bisik
Kara. "Siapa - aku?" sahutku parau.
Aku harus membuktikan padanya bahwa aku bukan anak
penakut. Maka aku maju selangkah ke arah peti mayat. Lalu satu
langkah lagi. Kara terus mengikutiku. Berkas sinar kedua senter
bergoyang-goyang di depan kami.
Jantungku mulai berdegup kencang. Mulutku mendadak kering
kerontang. Tanganku gemetaran tak terkendali.
"Itu seorang laki-laki tua," aku berbisik.
"Tapi bagaimana dia bisa ada di sini?" tanya Kara, juga sambil
berbisik. "Sedetik yang lalu tidak ada siapa-siapa di situ." Ia kembali
meremas lenganku. Tapi aku tidak merasakan apa-apa. Aku terlalu tegang, terlalu
heran, terlalu bingung untuk merasakan apa pun.
Bagaimana laki-laki tua itu bisa ada di sini"
Dan siapa dia" "Apakah dia sudah mati?" tanya Kara.
Aku tidak menjawab. Perlahan-lahan aku menghampiri peti
mayat dan mengarahkan senterku.
Pria tua yang terbaring di dalamnya berkepala botak. Tak ada
selembar rambut pun di kepalanya. Kulitnya kencang sekali, dan licin
bagai bola lampu. Matanya terpejam. Bibirnya pucat, sepucat kulitnya dan
terkatup rapat-rapat. Tangannya kecil, kurus dan putih. Keduanya terlipat di depan
dada. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam. Modelnya kuno
sekali. Kerah kaku kemejanya yang berwarna putih menempel di
pipinya yang pucat. Sepatunya yang hitam dan mengilap diikat dengan
kancing, bukan dengan tali.
"Apakah dia sudah mati?" Kara bertanya sekali lagi.
"Tampaknya begitu," sahutku dengan suara parau. Seumur
hidup aku belum pernah melihat orang mati.
Sekali lagi aku merasakan tangan Kara di lenganku. "Ayo," ia
berbisik. "Kita pergi dari sini!"
"Oke." Aku juga ingin keluar dari ruangan itu. Secepat mungkin.
Tapi ada sesuatu yang menahanku. Aku seperti terpaku di
tempat. Mataku terus menatap wajah tua dan pucat di hadapanku.
Menatap laki-laki tua yang terbaring di dalam peti mayat berwarna
ungu. Sekonyong-konyong orang tua itu membuka mata.
Matanya berkedip-kedip. Ia mengangkat tubuhnya dan duduk tegak.
Chapter 9 AKU memekik kaget dan dengan terhuyung-huyung melangkah
mundur. Kalau saja aku tidak menabrak dinding, aku pasti sudah jatuh
tunggang langgang. Senter terlepas dari tanganku, jatuh menggelinding ke lantai.
Bunyi itu membuat orang tua di dalam peti mayat menoleh ke
arah kami. Ia mengedip-ngedipkan mata. Kemudian digosok-gosoknya
matanya dengan tangannya yang kecil, seakan-akan hendak mengusir
kantuk. Ia mengerang tertahan. Lalu menatap kami.
Jantungku berdegup kencang. Kupikir jantungku bakal
meledak. Pelipisku berdenyut-denyut, dan napasku terengah-engah.
"A-aku..." Kara tergagap-gagap, Ia berdiri di depanku, dan
kulihat seluruh tubuhnya gemetar ketika ia mengarahkan senternya
pada orang tua di dalam peti mayat.
"Di mana aku?" orang tua itu berkata dengan suara parau. Ia
menggeleng-gelengkan kepala. Tampaknya ia bingung. "Di mana
aku" Kenapa aku di sini?" Ia memicingkan mata karena silau.
Kepalanya yang pucat dan botak tampak mengilap di bawah
sorot senter Kara. Matanya pun pucat keperak-perakan.
Ia menjilat bibirnya yang putih. Mulutnya berdecap-decap.
"Aku haus," ia berbisik dengan suara serak. "Aku haus sekali."
Ia menegakkan badan sambil mengerang panjang. Kulihat ia
juga mengenakan jubah sutra berwarna ungu yang senada dengan
lapisan beludru di peti mayatnya.
Sekali lagi ia menjilat-jilat bibirnya yang kering. "Haus
sekali..." Lalu ia menatap Kara dan aku.
Matanya kembali berkedip. "Di mana aku?" ia bertanya.
Matanya yang keperakan menyorot tajam. "Tempat apa ini?"
"Ini rumahku," aku menyahut. Tapi suaraku nyaris tak
terdengar. "Haus sekali..." orang tua itu bergumam sekali lagi. Sambil
mengerang ia mengeluarkan sebelah kakinya dari peti, lalu yang satu
lagi. Ia merosot ke lantai. Tak ada suara sama sekali ketika kakinya
menyentuh permukaan lantai batu. Tampaknya ia begitu ringan.
Aku merinding. Aku berusaha mundur. Tapi punggungku sudah
menabrak dinding. Aku melirik ke arah pintu yang terbuka. Rasanya pintu itu
berjarak seratus kilometer dari tempat aku berdiri.
Orang tua itu menjilat-jilat bibirnya yang kering. Dengan mata
terpicing ia menghampiri Kara dan aku. Kedua tangannya sibuk
merapikan jubahnya. "S-siapa Anda?" tanya Kara, suaranya parau.
"Bagaimana Anda bisa masuk ke sini?" aku berseru. "Kenapa
Anda ada di ruang bawah tanah rumah saya" Bagaimana Anda bisa
masuk ke peti mayat ini?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut meluncur
begitu saja dari mulutku. "Siapa Anda?"
Orang tua itu berhenti dan menggaruk-garuk kepalanya yang
botak. Tampaknya ia sedang berusaha mengingat-ingat siapa ia
sebenarnya. Lalu ia menjawab, "Aku Pangeran Nightwing." Ia menganggukangguk, seakan-akan
perlu meyakinkan dirinya sendiri. "Ya. Aku
Pangeran Nightwing."
Kara dan aku memekik kaget sebelum kami kembali
melontarkan rentetan pertanyaan.
"Bagaimana Anda bisa sampai di sini?"
"Mau apa Anda di sini?"
"A-apakah Anda - vampir?"
Ia menutup telinga dengan kedua tangan dan memejamkan
mata. "Oh, bisingnya..." ia mengeluh. "Tolong, jangan bicara keraskeras. Aku
baru bangun tidur. Aku tidur begitu lama."
"Anda vampir?" aku bertanya pelan-pelan.
"Ya. Vampir. Pangeran Nightwing." Ia mengangguk. Dan
membuka mata. Ia menatap Kara, lalu aku, seakan-akan baru sekarang
ia melihat kami. "Ya," ujarnya. Ia mengangkat kedua tangan dan mulai bergerak
menghampiri kami. "Dan aku haus sekali. Haus sekali. Aku tidur begitu lama. Dan
sekarang aku haus. Aku harus minum sekarang."
Chapter 10 PANGERAN NIGHTWING merentangkan tangan dan
mengangkat jubahnya. Jubah itu mengembang bagaikan sayap, dan
sang pangeran mulai melayang-layang.
"Haus sekali..." ia bergumam sambil menjilat-jilat bibir. "Haus
sekali." Ia menatap Kara dengan matanya yang keperakan, seakanakan hendak
menghipnotisnya. Seumur hidup aku belum pernah ketakutan seperti sekarang.
Goosebumps - 49 Napas Vampir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tidak gampang takut. Begitu pula Kara.
Sudah ratusan kali kami menonton film vampir di TV. Filmfilm itu cuma membuat
kami tertawa. Habis kelihatannya konyol deh,
melihat makhluk bertaring yang terbang kian kemari untuk mengisap
darah manusia. Kami tak pernah takut sedikit pun.
Tapi itu cuma film. Yang berdiri di hadapan kami sekarang
adalah vampir sungguhan! Kami baru saja melihat laki-laki tua - yang menyebut dirinya
Pangeran Nightwing - bangkit dari peti mayat. Peti mayat yang
tersembunyi di bawah rumahku!
Dan sekarang ia merentangkan tangan dan melayang melintasi
ruangan, menghampiri kami. Mulutnya terus bergumam bahwa ia haus
sekali. Matanya yang menyeramkan menatap leher Kara!
Jadi, ya - aku memang ngeri. Tapi aku masih bisa bergerak.
"Hei...!" aku memekik sambil menyambar lengan Kara. "Ayo!"
seruku. "Kita pergi!"
Kara tidak beranjak dari tempatnya.
"Kara - ayo!" aku menjerit sambil menarik lengannya.
Tapi Kara terus menatap wajah pucat si vampir. Ia tidak
bergerak. Tidak berkedip.
Aku berusaha menyeretnya. Tapi ia tetap berdiri seperti patung,
seakan-akan terpaku di lantai.
"Haus sekali," orang tua itu berkata lagi dengan suaranya yang
parau. "Aku harus minum sekarang!"
"Sadar, Kara!" aku berseru. "Sadar! Ayo, cepat dong!"
Aku menarik Kara dengan sekuat tenaga - dan menyeretnya ke
pintu. Kara memekik kaget, menarik tangannya dari cengkeramanku
dan mulai berlari. Kami menghambur keluar dari ruangan kecil itu dan melesat
menyusuri terowongan. Sepatu kami berdebam-debam di lantai batu
yang keras. Suaranya bergema. Kedengarannya seakan-akan ada
seribu anak yang sedang melarikan diri menjauhi si vampir!
Kakiku terasa lemas dan tak bertenaga. Tapi aku memaksakan
diri untuk terus berlari.
Kami berlari di terowongan yang gelap, menelusuri dindingdinding yang
melengkung. Kara berlari sekuat tenaga. Ia masih membawa senter.
Cahayanya melompat-lompat kian kemari. Tapi kami tidak
membutuhkannya. Kami tahu ke mana kami hendak berlari.
Kara pelari yang hebat - larinya lebih cepat dari aku. Ketika
kami membelok, ia mengayunkan kaki lebih keras dan segera melesat
meninggalkanku. Aku menoleh ke belakang. Apakah si vampir mengejar"
Ya. Ia berada tak jauh di belakangku. Tubuhnya melayang-layang di
dekat langit-langit. Jubahnya berkibar-kibar.
"Kara - tunggu!" seruku dengan napas tersengal-sengal.
Cahaya terang muncul di hadapan kami.
Pintu! Itu pintu ruang bawah tanah!
Kami akan segera melewati pintu itu, kataku dalam hati.
Begitu keluar dari terowongan, pintunya akan kututup rapatrapat. Dengan demikian
Pangeran Nightwing akan terperangkap
dalam terowongan. Kami akan aman kalau sudah sampai di ruang bawah tanah.
Mom dan Dad pasti sudah pulang sekarang.
Mudah-mudahan saja! Cahaya terang di hadapan kami semakin terang.
Kara berlari kencang. Dengus napasnya terdengar jelas setiap
kali ia mengayunkan kaki. Aku tertinggal beberapa langkah di
belakangnya. Aku berlari sekuat tenaga untuk menyusulnya.
Aku tidak menoleh lagi. Tapi kepak jubah si vampir terdengar
begitu dekat di belakangku.
Kara sudah hampir mencapai pintu.
Cepat, Kara, cepat! aku berkata dalam hati. Dadaku serasa mau
meledak. Tapi aku tidak melambatkan langkah. Aku malah menambah
kecepatan. Aku ingin segera sampai di pintu. Dan melompat ke ruang
bawah tanah yang aman. "Astaga!" aku memekik ketika cahaya terang di hadapan kami
mulai mengecil. "Pintunya!" aku menjerit. "Pintunya menutup!"
"Jangaaan!" Kara dan aku meraung-raung.
Pintu itu terbanting dengan keras.
Kara tidak sempat berhenti. Ia menabrak pintu. Lalu terpental
ke belakang. Aku cepat-cepat meraih pundaknya agar ia tidak terjatuh. "Kau
tidak apa-apa?" Ia tidak menjawab. Pandangannya tertuju pada pintu yang telah
tertutup rapat. Ia mengulurkan tangan, hendak meraih pegangan pintu.
"Freddy..." ia bergumam. "Lihat!"
Ternyata tak ada pegangannya. Tak ada pegangan pada pintu
sebelah sini! Tanpa berpikir panjang aku mengambil ancang-ancang - dan
membenturkan pundakku ke pintu. Berkali-kali.
Sia-sia. Pundakku sampai nyeri berdenyut-denyut. Tapi pintu itu tidak
bergerak sedikit pun. "Tolong!" aku berseru. "Tolong! Kami mau keluar!"
Terlambat. Pangeran Nightwing telah berhasil memojokkan kami.
Ia mendarat ringan tanpa suara sambil tersenyum tipis. Matanya
yang keperakan terbuka lebar-lebar. Lidahnya menjilat-jilat bibirnya
yang kering. "Kita harus lari melewati dia," Kara berbisik ke telingaku. "Kita
harus masuk ke terowongan lagi. Barangkali kita bisa memaksanya
mengejar-ngejar kita sampai dia capek sendiri."
Tapi si vampir merentangkan jubahnya untuk menghalangi
jalan. Seolah ia bisa membaca pikiran kami.
Ia menghampiri Kara sambil mengangkat jubahnya tinggitinggi. "Haus sekali..." ia
bergumam. "Aku haus sekali."
Kemudian ia membungkuk dan merapatkan wajahnya ke leher
Kara. Chapter 11 "LEPASKAN dia! Lepaskan dia!" aku menjerit.
Aku menyambar pinggang si vampir untuk menariknya
menjauh dari Kara. Tapi yang terpegang olehku cuma jubahnya. "Lepaskan dia!
Berhenti!" aku memohon seraya menarik-narik jubah itu.
Kara tidak kelihatan. Aku cuma melihat jubah si vampir serta
pundaknya ketika ia merunduk untuk mengisap darah Kara.
"Jangan...!" aku memohon. "Akan kuambilkan minuman lain!
Jangan! Lepaskan Kara!"
Di luar dugaanku, Pangeran Nightwing mengangkat kepala. Ia
berdiri tegak dan mundur selangkah.
Kara meraba-raba lehernya. Matanya terbelalak lebar karena
ngeri, dan dagunya gemetaran.
"Ada yang tidak beres," ujar Pangeran Nightwing sambil
menggelengkan kepala. Ia mengerutkan kening. "Ada yang tidak
beres." Aku berpaling pada Kara. "Dia menggigitmu?" tanyaku dengan
suara parau. Kara mengusap-usap leher. "Tidak," ia berbisik.
"Ada yang tidak beres," si vampir berkata sekali lagi. Ia
mengangkat tangan ke mulutnya.
Kulihat ia membuka mulut dan memasukkan satu jari ke
dalamnya. Ia memejamkan mata. "Taringku!" ia akhirnya berseru.
Matanya yang keperakan terbelalak. Mulutnya menganga lebar.
"Taringku! Gigi taringku hilang!"
Ia berpaling dan kembali memeriksa mulutnya.
Inilah kesempatan yang kutunggu-tunggu. Serta-merta aku
menggedor pintu ke ruang bawah tanah. "Mom! Dad! Aku di sini!
Buka pintunya!" aku berteriak-teriak.
Pangeran Nightwing tidak menggubrisku. Aku mendengar ia
mengerang-erang di belakangku. "Gigi taringku yang indah!" ia
mengeluh. "Hilang. Hilang. Aku bakal mati kelaparan tanpa gigi
taringku!" Ia membuka mulut lebar-lebar dan berpaling pada Kara dan
aku. Gigi taringnya memang tidak ada. Malah tidak ada gigi sama
sekali di dalam mulutnya.
"Kita selamat!" aku berbisik pada Kara.
Ia terlalu tua dan lemah untuk menyakiti kami, kataku dalam
hati. Vampir tua itu tidak bisa berbuat apa-apa tanpa gigi taringnya.
"Kita selamat! Selamat!" aku bersorak-sorai.
Tapi ternyata aku keliru.
Chapter 12 Si vampir tua terus memeriksa mulutnya sambil menggelenggelengkan kepala dengan
sedih. Akhirnya ia menghela napas dan
mengeluarkan tangannya. "Celaka," ia berbisik. "Celaka. Kecuali kalau..."
"Maaf, kami tidak bisa membantu Anda," ujarku. "Sekarang
tolong bukakan pintu dan biarkan kami keluar dari sini."
Pangeran Nightwing mengusap-usap dagu. Ia memejamkan
mata. Tampaknya ia sedang berpikir.
"Ya. Biarkan kami keluar dari sini!" Kara mendesak. "Kami
tidak bisa membantu Anda. Jadi..."
Si vampir tua mendadak membuka mata. "Tapi kalian bisa
membantuku!" ia berkata. "Kalian harus membantuku!"
Aku menarik napas dalam-dalam. "No way! Tak usah ya.
Sekarang biarkan kami pergi."
Ia melayang-layang di atas kami. Menatap kami dengan tajam.
Matanya yang keperakan berkesan dingin bagaikan es. "Kalian akan
membantuku," ia berkata pelan-pelan. "Kalian berdua. Kalau kalian
masih ingin pulang ke rumah masing-masing."
Aku merinding. Udara di terowongan itu mendadak sangat
dingin, seolah-olah angin dari daerah kutub bertiup kemari.
Aku melirik pintu. Padahal sudah begitu dekat, pikirku.
Di balik pintu itu kami akan aman dari bahaya. Tapi kami tidak
berhasil mencapainya. Aku berpaling lagi pada si vampir tua.
"A-apa yang harus kami lakukan?" tanya Kara tergagap-gagap.
"Ya. Apa yang bisa kami lakukan?" aku mengulangi. Si vampir
menurunkan tubuhnya sampai kakinya menjejak di lantai. Roman
mukanya mengendur. "Botol yang berisi Napas Vampir," ia berkata.
"Kalian melihatnya?"
"Ya," sahutku. "Kami menemukannya. Di dalam peti mayat
Anda." "Mana" Mana botol itu?" ia bertanya dengan nada mendesak.
Diulurkannya tangannya. "Ada pada kalian" Cepat, serahkan padaku."
"Tidak," Kara dan aku menjawab berbarengan. "Kami tidak
mengambilnya," aku menjelaskan. "Kurasa botol itu kutinggalkan di
lantai." "Kami - kami menjatuhkannya," kata Kara tergagap-gagap.
Si vampir tua membelalakkan mata. "Apa" Apakah botolnya
pecah" Apakah Napas Vampirnya tumpah?"
"B-bukan tumpah, tapi tersembur ke luar," sahutku. "Seluruh
ruangan dipenuhi asap. Sumbat botolnya sudah kami pasang lagi.
Tapi..." "Kita harus mencarinya!" seru Pangeran Nightwing. "Aku harus
mendapatkan botol itu. Kalau ada sedikit saja Napas Vampir, aku bisa
kembali ke zamanku sendiri."
"Zaman Anda?" tanyaku.
Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Pakaian kalian.
Rambut kalian. Kalian berdua bukan dari zamanku," katanya. "Tahun
berapa ini?" Aku memberitahunya. Ia tercengang dan memekik kaget. "Rupanya aku tidur lebih
dari seratus tahun!" serunya. "Aku harus menemukan Napas Vampir.
Aku harus kembali ke zamanku. Ke zaman di mana gigi taringku
masih ada." Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. Terus terang, aku
belum mengerti maksud kata-katanya. "Maksudnya, Anda akan
pergi?" tanyaku. "Kalau masih ada sisa Napas Vampir dalam botol itu,
Anda akan kembali ke zaman seratus tahun lalu?"
Si vampir tua mengangguk. "Ya," ujarnya. "Aku akan pulang ke
zamanku sendiri." Tapi kemudian matanya kembali menyorot dingin.
"Kalau masih ada sisa Napas Vampir," ia berkata dengan getir. "Kalau
kalian tidak menumpahkan semuanya."
"Pasti masih ada yang tersisa!" seruku.
Kara dan aku mengikuti Pangeran Nightwing menyusuri
terowongan yang gelap. Ia melayang-layang tanpa suara di depan
kami. Jubahnya berkibar-kibar. "Haus sekali..." ia terus bergumam.
"Haus sekali." "Rasanya tidak masuk akal kita kembali ke ruangan
menyeramkan itu," aku berbisik pada Kara ketika kami berlari di
lantai batu yang licin. "Rasanya tidak masuk akal kita membantu
vampir!" "Apa boleh buat. Kita tidak punya pilihan," balas Kara. "Kita
ingin dia segera pergi - ya, kan?"
Aku menginjak genangan air di lantai. Kakiku basah sampai ke
mata kaki. Terowongan itu membelok, dan kami terus mengikutinya.
Masuk ke ruangan kecil berbentuk bujur sangkar itu.
Pangeran Nightwing menghampiri peti mayatnya, lalu berpaling
menghadap kami. "Mana botolnya?" ia bertanya.
Aku memungut senterku dari lantai dan mencoba
menyalakannya. Satu kali. Dua kali. Tetap tak ada cahaya yang
terpancar. Rupanya senterku rusak ketika jatuh tadi. Aku
meletakkannya kembali di lantai.
"Botolnya," si vampir tua mengulangi. "Aku harus
mendapatkan botolnya."
"Seingatku Freddy menaruhnya di dalam peti mayat tadi," ujar
Kara. Ia maju ke tengah ruangan dan menerangi peti mayat dengan
senternya. "Bukan. Bukan di situ," Pangeran Nightwing berkata tidak
sabar. "Mana botol itu" Aku harus menemukannya. Kalian tidak bisa
membayangkan betapa hausnya aku. Sudah seratus tahun aku tidak
minum!" Tidurnya nyenyak sekali, kataku dalam hati. Seperti kerbau.
"Botolnya pasti ada di lantai," ujar Kara.
"Kalau begitu, cari! Cepat cari!" si vampir memekik.
Kara dan aku mulai mencari botol itu di lantai. Aku berjalan di
samping Kara, sebab cuma dia yang memegang senter.
Cahaya senternya menyapu lantai. Tapi botol biru itu tidak
tampak. "Mana botolnya?" bisikku. "Mana botolnya?"
"Mestinya tidak sulit menemukannya di ruangan kosong seperti
ini!" seru Kara. "Jangan-jangan botol itu menggelinding ke terowongan tadi,"
aku menduga-duga.
Goosebumps - 49 Napas Vampir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kara menggigit bibir. "Rasanya tidak." Ia mengalihkan
pandangan dari lantai, lalu menatapku. "Jangan-jangan botolnya
pecah." "Tidak mungkin. Setelah kupasang sumbatnya, kutaruh botol itu
di suatu tempat," sahutku.
Aku melirik ke arah si vampir. Ia terus mengamati kami.
Matanya melotot. "Kesabaranku sudah mulai habis," ia
memperingatkan. Dijilatnya bibirnya yang kering. Pandangannya yang
menusuk bergantian menatap kami.
"Itu dia!" seru Kara. Sinar senter berhenti di kaki peti mayat.
Botol biru yang kami cari tergeletak di sana.
Aku langsung bergegas maju, membungkuk, dan memungut
Napas Vampir. Kedua mata Pangeran Nightwing tampak bersinar-sinar.
Senyum tipis mengembang di bibirnya. "Buka - cepat!" ia
memerintahkan. "Buka botolnya, dan aku akan pergi. Aku akan
pulang ke zamanku sendiri. Pulang ke kastilku yang indah. Selamat
tinggal, anak-anak. Selamat tinggal. Ayo, buka botolnya! Cepat!"
Tanganku gemetaran. Kugenggam botol biru itu erat-erat. Aku
meraih tutup kaca yang menyumbat leher botol.
Aku menariknya sampai terbuka.
Dan menunggu. ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Dan menunggu. Tapi tidak terjadi apa-apa.
Chapter 13 DAN kemudian terdengar bunyi wusssss.
Botol itu nyaris terlepas dari tanganku ketika tiba-tiba kabut
hijau menyembur. "Yesss!" aku berseru gembira. Ternyata isinya masih ada!
Bau menjijikkan langsung menusuk-nusuk hidungku. Aku
terpaksa menahan napas, tapi aku tidak peduli.
Aku menyaksikan kabut itu bertambah tebal, menghalangi
pandangan, sampai peti mayat di tengah ruangan tak kelihatan lagi.
Kara tertelan kabut. Begitu pula si vampir tua.
Kabut pekat itu berputar-putar dan bergulung-gulung.
Rasanya aku ingin melompat-lompat sambil bersorak-sorai.
Sebab aku yakin Pangeran Nightwing akan hilang terbawa kabut. Dan
kami akan aman. Kami takkan pernah melihatnya lagi.
"Kara - kau tidak apa-apa?" aku memanggil. Suaraku terdengar
janggal karena teredam oleh kabut yang tebal.
"Huh, baunya minta ampun!" ia mengerang.
"Tahan napas," ujarku. "Sebentar lagi kabutnya akan menipis."
"Menjijikkan!" Kara memaki.
Ia berdiri di dekatku. Tapi aku tidak bisa melihatnya karena
pandanganku terhalang kabut yang bergulung-gulung.
Udara terasa begitu lembap dan dingin. Tiba-tiba aku seperti
berada di dalam air. Aku seakan-akan berada di dalam lautan ketika
gelombang demi gelombang menerpaku.
Aku menahan napas selama mungkin. Tapi akhirnya aku tidak
tahan lagi. Dadaku serasa mau meledak, dan aku terpaksa
mengembuskan napas. Wussss.
Aku memejamkan mata dan berdoa. Berdoa agar kabut itu
segera hilang, agar kabut itu turun ke lantai dan lenyap seperti
sebelumnya. Cepat, cepat - pikirku. Jangan sampai Kara dan aku tenggelam
dalam kabut menjijikkan ini.
Beberapa detik kemudian aku membuka mata. Sekelilingku
gelap. Aku berkedip beberapa kali. Di kejauhan terlihat cahaya kuning
yang memancar pucat. Cahaya bulan masuk melalui sebuah jendela. Jendela" Di sini
kan tidak ada jendela! aku berkata dalam hati.
Aku berbalik dan memandang Kara. Ia tampak bingung. Ia
melihat ke sekeliling dengan mata terbelalak. "D-dia sudah pergi," ia
bergumam. "Freddy - si vampir sudah pergi."
Aku pun mengamati sekelilingku sambil memicingkan mata.
"Tapi di mana kita sekarang?" bisikku. Aku menunjuk jendela yang
terlihat di kejauhan, di ujung ruangan. "Jendela itu belum ada tadi."
Kara menggigit bibir. "Ini bukan ruangan yang tadi," ujarnya
pelan-pelan. "Ruangan ini jauh lebih besar dan..." Ia terdiam.
"Peti mayat!" aku memekik.
Ketika mataku mulai terbiasa dengan suasana remang-remang,
aku melihat benda-benda gelap yang terselubung bayang-bayang.
Baru kemudian aku menyadari bahwa aku sedang menatap dua deret
panjang peti mayat. "Di mana kita?" seru Kara dengan suara gemetar. "Ini seperti
kuburan!" "Tapi kita kan di dalam bangunan," ujarku. "Bukan di luar. Kita
berada di ruangan yang panjang sekali."
Aku memandang langit-langit yang tinggi. Dua lampu kristal
memantulkan cahaya bulan yang redup.
Dinding-dinding gelap di sekeliling kami dihiasi lukisan-lukisan
besar. Dalam suasana remang-remang aku melihat lukisan-lukisan pria
berwajah keras dan wanita-wanita dengan baju hitam berpotongan
kuno. Aku berpaling ke deretan peti mayat - dan mulai berhitung
dalam hati. "Wah, di sini ada dua lusin peti mayat!" aku berbisik pada
Kara. "Semua berderet rapi," Kara berkomentar. "Freddy, janganjangan...?"
"Dia membawa kita kemari," aku bergumam.
"Hah?" Kara menggigit bibir.
"Pangeran Nightwing. Dia yang membawa kita kemari," aku
mengulangi. "Dia kan sudah bilang bahwa dia mau pulang ke
kastilnya. Dan kita takkan pernah melihatnya lagi. Seharusnya dia
pulang sendirian. Tapi ternyata dia membawa kita kemari, Kara. Ini
pasti ulahnya." Kara. menatap kedua deret peti mayat. "Tidak bisa!" ia
memekik. "Dia tidak boleh menculik kita!"
Aku hendak menjawab. Tapi tiba-tiba terdengar sesuatu.
Bunyi berderit. Aku merinding ketika bunyi itu terdengar lagi - kali ini lebih
dekat. Kara meraih lenganku. Rupanya ia juga mendengarnya. "Aduh,
Freddy - lihat!" ia berbisik. Aku memicingkan mata. "Peti
mayatnya...!" Semua peti itu membuka pelan-pelan.
Chapter 14 TUTUP peti-peti mayat terangkat perlahan-lahan. Aku melihat
tangan-tangan pucat mendorong dari dalam.
Kara dan aku berdiri berimpitan. Kami seakan-akan terpaku di
tempat. Kami takkan sanggup mengalihkan mata dari pemandangan
yang mengerikan itu. Erangan memenuhi ruangan ketika dua lusin vampir mulai
duduk tegak. Tangan-tangan kurus kering mencengkeram pinggiran
peti mayat masing-masing. Terdengar suara batuk-batuk. Dan suara
berdeham-deham. Perlahan-lahan semua vampir menegakkan badan. Wajah
mereka tampak kekuningan dalam cahaya bulan. Mata mereka
bersinar redup. "Ohhhh." Erangan-erangan tertahan memantul dari dindingdinding yang tinggi.
Tulang-tulang mereka berderak-derak.
Mereka tampak begitu tua. Belum pernah aku melihat orang
setua itu. Kulit mereka begitu tipis dan kencang, seperti transparan,
sehingga tulang-tulang di baliknya membayang.
Tengkorak hidup, kataku dalam hati.
"Ohhhh." Sambil mengerang, satu per satu keluar dari peti
mayat. Aku melihat kaki-kaki mereka yang sekurus kaki labah-labah.
Kara dan aku akhirnya mampu bergerak. Kami mundur ke sudut
yang terlindung bayang-bayang, di dekat dinding.
Sekali lagi terdengar suara batuk. Di dekat jendela, salah satu
vampir berambut putih berusaha keluar dari peti sambil terbatukbatuk.
"Aku haus sekali..." vampir yang lain berbisik. "Haus sekali...
haus sekali..." kawan-kawannya mengulangi.
Mereka keluar dari peti mayat masing-masing, lalu
meregangkan badan sambil mengerang-erang.
"Haus sekali... haus sekali..." semuanya berbisik. Suara mereka
parau. Semuanya mengenakan setelan jas hitam. Dan kemeja putih
dengan kerah tinggi dan kaku yang mencekik leher. Ada juga yang
memakai jubah panjang mengilap. Mereka merapikan jubah masingmasing dengan jarijemari mereka yang panjang dan sangat kurus.
"Haus sekali...haus sekali..." Mata mereka yang keperakan
seakan-akan bertambah terang ketika mereka mulai sadar sepenuhnya.
Lalu mereka berdiri di antara kedua deret peti mayat, dan mulai
mengepak-ngepakkan lengan. Mula-mula pelan. Lengan mereka
berderak-derak setiap kali berayun naik-turun.
Mata mereka yang keperakan tampak bersinar-sinar.
Naik, lalu turun. Naik, lalu turun. Gerakan itu semakin cepat.
Mereka mengerang-erang dan mendengus-dengus. Suara mereka
memantul dari dinding-dinding dan langit-langit yang tinggi.
Lengan mereka bergerak semakin cepat. Semakin cepat.
Dan di depan mata Kara dan aku, orang-orang tua itu mulai
mengerut. Lengan mereka berubah menjadi sayap yang berkepakkepak. Mata mereka
menyorot merah, wajah mereka menyerupai
wajah tikus. Dalam beberapa detik saja Mereka semua telah mengerut dan
berubah bentuk. Berubah menjadi kelelawar hitam.
Dan semua berpaling ke arah Kara dan aku.
Chapter 15 APAKAH mereka melihat kami"
Apakah mereka melihat Kara dan aku, yang berdiri dalam
bayang-bayang gelap dengan merapatkan punggung ke dinding"
Kelelawar-kelelawar terbang di atas peti-peti mayat yang
terbuka. Sayap mereka berkilau keperakan dalam cahaya bulan.
Aku mendengar bunyi berderik. Tapi bunyi itu segera berubah
menjadi desisan. Kelelawar-kelelawar itu membuka mulut, memperlihatkan gigi
taring yang runcing berwarna kuning - dan semua mendesis-desis.
Suaranya membuat bulu kudukku berdiri! Semakin lama semakin
nyaring dan melengking, sampai akhirnya mengalahkan bunyi kepak
sayap mereka. Mereka mendesis, siap menyerang.
Mereka sudah benar-benar siap. Siap untuk menyambarku,
menjatuhkanku ke lantai, menggigitku dengan taring yang panjang.
Lalu mengisap darahku... mengisap...
"Freddy...!" Kara menjerit. Ia mengangkat kedua tangan untuk
melindungi wajahnya. "Freddy...!"
Aku dikepung suara mendesis yang melengking tinggi. Suara
itu seakan-akan berasal dari dalam kepalaku. Aku langsung menutup
telinga, berusaha menghalaunya. Dan menunggu serangan mereka.
Tapi di luar dugaanku, kelelawar-kelelawar itu tidak menyerang
kami. Mereka terbang ke atas. Berbalik arah. Lalu berbaris terbang
keluar melalui jendela di ujung ruangan.
Aku tercengang. Baru sekarang aku sadar bahwa sejak tadi aku
menahan napas. Aku memperhatikan kawanan kelelawar itu terbang
menyongsong sinar bulan. Sayap mereka berkepak-kepak keras.
Semakin lama desisan mereka yang melengking semakin jauh.
Aku menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya
perlahan-lahan. "Kara," aku berbisik. "Kita selamat. Mereka tidak
melihat kita di sini."
Ia mengangguk tapi tidak menyahut. Rambutnya jatuh menutupi
keningnya. Ia menyibakkannya dengan tangan gemetar.
"Wow," gumamnya sambil geleng-geleng kepala. "Wow."
"Kita selamat," aku mengulangi, lalu mulai mengamati ruangan
panjang tempat kami berada. Peti-peti mayat yang terbuka, berderetderet sampai
ke jendela. Kayunya yang gelap tampak mengilap dalam
cahaya bulan. "Kita selamat," kataku sekali lagi. "Tidak ada siapa-siapa lagi di
sini, selain kita." Tapi suara langkah di belakang kami membuat Kara dan aku
memekik kaget. Disusul suara berdeham. Serta-merta aku berbalik. Begitu cepatnya, hingga aku nyaris
terjatuh. Pangeran Nightwing memasuki ruangan sambil membawa obor
menyala. Cahaya obor yang berkerlap-kerlip, menari-nari di
wajahnya. Matanya yang keperakan terbelalak lebar karena heran.
Kisah Para Pendekar Pulau Es 7 Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka Pesanggrahan Goa Larangan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama