Ceritasilat Novel Online

Napas Vampir 2

Goosebumps - 49 Napas Vampir Bagian 2


"Kenapa kalian ada di sini?" ia bertanya.
Aku membuka mulut hendak menjawab. Tapi suaraku seperti
tersangkut di tenggorokan.
"Tempat kalian bukan di sini," kata si vampir tua dengan suara
menggelegar. Ia mengayun-ayunkan obor di hadapannya. Apinya
meninggalkan jalur cahaya berwarna jingga. "Kalian tidak punya hak
untuk berada di sini. Ini zamanku. Dan ini kastilku."
Ia mulai melayang di atas lantai. Matanya mendadak menyorot
seterang obor di tangannya. "Tempat kalian bukan di sini!" ia
menegaskan dengan nada mengancam.
"Tapi - tapi...," aku tergagap-gagap. Perasaan ngeri dan marah
dan bingung bercampur aduk dalam diriku.
"Anda yang membawa kami kemari!" Kara memprotes dengan
geram, sambil menuding-nuding. "Bukan kami yang mengikuti
Anda!" "Dia benar!" aku akhirnya mampu berkata. "Anda sudah
berjanji untuk pergi dan tidak mengganggu kami lagi. Tapi Anda
malah membawa kami kemari."
Pangeran Nightwing melayang-layang satu meter di atas lantai.
Ia menggenggam obor dengan sebelah tangan, dan mengusap-usap
dagu dengan tangan yang satu lagi. "Hmmmm," ia bergumam.
Matanya tampak berapi-api. "Hmmmm."
"Anda harus mengantar kami pulang," ujar Kara sambil
bertolak pinggang. "Ya!" aku menimpali. "Anda harus mengantar kami pulang sekarang juga!" Pangeran Nightwing menjejakkan kaki ke lantai. Tiba-tiba ia
kelihatan sangat letih. Sorot matanya pun meredup. Ia menghela
napas. "Antar kami pulang," Kara berkeras. "Kami takkan
memberitahu siapa pun bahwa kami bertemu Anda. Kami akan
melupakan semua kejadian ini."
Si vampir tua menyibakkan jubahnya. Ia menggelengkan
kepala. "Aku tidak bisa mengantar kalian pulang," ia berbisik.
"Kenapa tidak?" tanyaku.
Ia kembali menghela napas. "Aku tidak tahu bagaimana
caranya." "Hah?" Kara dan aku sama-sama memekik tertahan.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya mengantar kalian pulang,"
Pangeran Nightwing mengulangi. "Aku vampir - bukan tukang
sulap." "Tapi - tapi - tapi...," aku mulai tergagap-gagap lagi. Seluruh
tubuhku gemetar tak terkendali.
"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?" jerit Kara.
Si vampir tua angkat bahu. "Sebenarnya tak jadi soal," sahutnya
pelan-pelan. "Sama sekali tidak jadi soal. Begitu aku menemukan gigi
taringku, aku akan mengisap darah kalian. Dan setelah itu kalian akan
berubah menjadi vampir."
Chapter 16 "TAPI kami mau pulang!" teriakku.
"Enak saja. Kami tidak mau jadi vampir!" Kara memprotes. "Ini
tidak adil! Kami sudah membantu Anda. Sekarang Anda harus
membantu kami!" Si vampir tua tidak mendengarkan protes kami. Dalam cahaya
obor yang berkerlap-kerlip, aku melihat pandangannya menerawang
jauh. "Napas Vampir," ia berbisik. "Aku membutuhkannya sekarang juga." "Antar kami pulang - sekarang juga!" Kara menghardik.
"Jangan banyak alasan. Antar kami pulang!"
Saking marahnya, tanganku sampai mengepal!
Habis, kami sudah membantu si vampir tua pulang ke kastilnya.
Tapi ternyata ia malah menipu kami.
Ia justru mau menggigit leher Kara dan aku agar kami berubah
menjadi vampir. Kami akan ditahan selama-lamanya di sini.
Aku mencoba membayangkan bagaimana rasanya tinggal di
kastil ini. Tidur sepanjang hari di dalam peti mayat. Bangun setelah
gelap, lalu berubah menjadi kelelawar. Lalu terbang malam demi
malam untuk mencari korban yang bisa digigit.
Begitu terus selama-lamanya.
Cuma membayangkannya saja sudah membuatku gemetaran.
Mulai sekarang aku takkan pernah lagi mengeluh kalau harus
menjaga Tyler, kataku dalam hati.
Tiba-tiba jantungku nyaris copot ketika aku sadar: bisa jadi aku
takkan pernah bertemu lagi dengan Tyler Brown.
Atau dengan Mom dan Dad. Atau dengan teman-temanku.
"Anda harus mengantar kami pulang!" aku berseru kepada
Pangeran Nightwing. "Harus!"
Si vampir tua berjalan mondar-mandir di hadapan kami. Obor di
tangannya berkerlap-kerlip. Ia sama sekali tidak memedulikan kami.
Tampaknya ia tidak ingat bahwa Kara dan aku ada di situ.
"Napas Vampir," ia kembali berkata. "Aku butuh Napas
Vampir." Di mana botol itu" aku bertanya-tanya. Botol itu ada di
tanganku ketika kami membukanya di ruang kecil tadi.
Aku mulai mencari-cari di lantai. Tapi botol biru itu tidak
kelihatan. "Kenapa Anda membutuhkannya?" tanya Kara.
Si vampir tua memandang Kara sambil memicingkan mata.
"Kalau lagi bangun, vampir butuh Napas Vampir setiap hari," ia
berkata lambat-lambat. "Kami tidak bisa hidup hanya dengan darah."
Kara dan aku menatapnya, menunggu penjelasan selanjutnya.
"Kami semua tinggal bersama-sama di sini, di kastilku," Pangeran
Nightwing menerangkan dengan suara parau. "Masing-masing punya
botol sendiri. Dan kami selalu menjaganya baik-baik."
Ia menghela napas. "Tapi sekarang aku ingat lagi...persediaan
kami sudah mulai menipis. Botolku tinggal satu. Aku harus
mendapatkannya. Harus!"
"Tapi apa manfaat Napas Vampir sebenarnya?" tanyaku.
"Napas Vampir adalah segala-galanya bagi vampir," sang
pangeran menjawab. "Berkat Napas Vampir, kami bisa melakukan
perjalanan waktu. Kami jadi tidak tampak oleh mata manusia. Napas
Vampir membuat kulit kami bersih dan licin. Napas Vampir memberi
kami energi. Membantu kami tidur. Mencegah tulang-tulang jadi
keropos. Dan juga mengharumkan napas!"
"Wow!" aku bergumam sambil geleng-geleng kepala.
"Tapi, apa hubungannya dengan gigi taring Anda yang hilang?"
Kara mendesak. "Napas Vampir memulihkan daya ingat," ujar si vampir. "Kami
hidup ratusan tahun, jadi ada saja hal yang terlupakan. "Napas Vampir
membantuku mengingat di mana kusimpan taringku."
Ia berbalik. Lalu menatapku. "Botolnya. Kau masih pegang
botolnya?" Aku mulai merasakan kekuatan matanya yang bersinar
keperakan. Mata itu seakan-akan membakar mataku, merasuk ke
dalam jiwaku. "T-tidak...!" aku tergagap-gagap. "Botolnya tidak ada padaku."
"Tapi percuma saja!" seru Kara. "Botol itu kan sudah kosong.
Isinya kita habiskan supaya Anda bisa pulang ke sini."
Pangeran Nightwing langsung menggelengkan kepala. "Itu
terjadi di masa depan," katanya ketus. "Lebih dari seratus tahun dari
sekarang. Ingat, ini tahun 1880. Botolnya masih penuh sekarang."
Kepalaku serasa berputar-putar. Aku bersandar ke salah satu
peti mayat dan berusaha memahami ucapan si vampir tua.
Pangeran Nightwing mulai mondar-mandir lagi sambil
mengusap-usap dagu. "Botol itu kusembunyikan di suatu tempat," ia
bergumam. "Aku menyembunyikannya supaya yang lain tidak bisa
menemukannya sementara aku tidur siang. Tapi di mana" Di mana
aku menyembunyikan botol itu" Aku harus mendapatkannya. Harus!"
Ia berpaling dari kami. Jubah ungunya yang panjang berkibarkibar di belakangnya.
Cahaya obor yang berwarna jingga tampak
menari-nari di dinding ketika ia melayang ke arah pintu. "Di mana" Di
mana?" ia bertanya pada dirinya sendiri sambil menggelengkan
kepala. Beberapa detik kemudian ia menghilang.
Tinggallah Kara dan aku berdiri di tengah deretan peti mayat.
Kara menghela napas. Ia menggerakkan dagu ke arah peti-peti itu.
"Moga-moga aku dapat tempat di dekat jendela," ia berkelakar. "Aku
suka udara segar." Aku menegakkan badan dan memukul ujung peti dengan kesal.
"Ini tidak masuk akal!" seruku.
"Umurku baru dua belas," Kara mengeluh. "Aku belum siap
mati, lalu hidup untuk selama-lamanya!"
Aku menelan ludah. "Kau tahu kan, apa yang harus kita
lakukan?" ujarku. "Kita harus menemukan Napas Vampir itu sebelum
Pangeran Nightwing. Kalau dia lebih cepat dari kita, dia akan
memperoleh gigi taringnya kembali. Dan itu berarti kita bakal celaka."
"Aku tidak setuju," balas Kara. "Aku punya rencana yang jauh
lebih baik." "Rencana yang lebih baik" Rencana apa itu?" aku langsung
mendesaknya. Chapter 17 KARA melirik ke pintu, lalu kembali menatapku. "Kita harus
lari dari sini," katanya.
"Itu rencanamu?" aku berseru. "Cuma begitu?"
Ia mengangguk dan menempelkan telunjuk ke bibir.
"Barangkali kita bisa cari pertolongan kalau kita lari dari kastil ini," ia
menjelaskan. "Kalau kita tetap di sini, kita pasti celaka. Kita akan
terus berada dalam kekuasaan Pangeran Nightwing."
"Tapi siapa yang bisa menolong kita?" ujarku. "Jangan lupa kita berada seratus tahun di masa lalu! Memangnya ada orang di luar
kastil ini yang bisa menolong kita kembali ke masa depan?"
"Entahlah," sahut Kara sambil menghela napas. "Aku cuma tahu
bahwa kita tidak punya kesempatan sama sekali kalau kita tetap
berada di kastil seram ini."
Sebenarnya aku masih ingin membantah. Tapi tak ada lagi yang
terpikir olehku. Kara benar. Kami memang harus melarikan diri.
"Ayo," ia berbisik. Ia meraih tanganku dan menarikku
menyusuri deretan peti mayat.
Aku menahannya. "Mau ke mana kita?"
Ia menunjuk. "Ke jendela. Siapa tahu kita bisa memanjat keluar
lewat jendela." Ruangan itu sama panjangnya dengan gedung olahraga sekolah
kami. Kami berjalan di antara kedua deretan peti mayat yang terbuka.
Aku tak bisa mengalihkan mata dari peti-peti mayat itu.
Itu tempat tidur vampir. Kata-kata itu terngiang-ngiang dalam benakku sementara kami
menuju ke jendela. Bisa jadi Kara dan aku juga bakal tidur di situ.
Aku merinding. Lalu aku berhenti berjalan. "Kara, lihat." Aku
menunjuk jendela di atas. "Kita cuma buang-buang waktu."
Ia mendesah. Ia langsung tahu apa maksudku. Jendela besar itu
berada jauh di atas lantai. Jauh di luar jangkauan tangan kami.
Kami takkan bisa mencapainya, bahkan dengan bantuan tangga
sekalipun. "Satu-satunya cara untuk keluar lewat jendela itu adalah
terbang," kataku. Kara mengerutkan kening dan menatap jendela itu. "Mogamoga kita tidak perlu
menghabiskan sisa hidup kita sebagai kelelawar
yang keluar-masuk lewat jendela itu."
"Pasti ada cara lain untuk keluar dari sini," aku berkata sambil
memaksakan nada riang. "Ayo. Kita cari pintu depan."
"Freddy - jangan!" Kara segera mencegahku. "Kita tidak bisa
mondar-mandir di lorong-lorong. Pangeran Nightwing akan
memergoki kita." "Kita akan berhati-hati," sahutku. "Ayo, Kara. Kita cari jalan
keluar dari sini." Kami berbalik dan berlari, kembali menyusuri deretan peti
mayat. Kami bergegas melalui pintu yang terbuka. Dan keluar ke
lorong panjang yang remang-remang.
Lorong itu seakan-akan membentang sejauh ratusan kilometer.
Di sepanjang sisinya terdapat pintu-pintu kayu berwarna gelap. Di atas
setiap pintu ada lampu gas yang memancarkan cahaya kekuningan.
Sepatuku setengah terbenam di karpet tebal berwarna biru.
Udara berbau masam. Aku menoleh ke arah ruang peti mayat. Sebuah
patung batu yang seram menatapku dari atas pintu.
Aku mengalihkan mata, lalu memandang ke kiri-kanan. "Ke
arah mana?" bisikku.
Kara angkat bahu. "Ke mana saja. Kita harus mencari pintu atau
jendela yang menghadap keluar."
Tanpa bersuara kami berjalan melintasi karpet yang tebal.
Lampu-lampu gas di atas pintu-pintu menghasilkan cahaya redup dan
suram. Kara dan aku berhenti di depan pintu pertama. Aku meraih
pegangannya yang terbuat dari kuningan, dan memutarnya. Pintu itu
berderak-derak ketika kubuka.
Kami mengintip ke sebuah ruangan besar berbentuk bujur
sangkar yang berisi berbagai perabot. Tapi semua perabot itu
diselubungi seprai berwarna putih. Sejumlah kursi tampak bagaikan
hantu di samping sofa panjang yang terbungkus kain. Di sudut
ruangan, di dekat perapian, ada sebuah jam besar.
Kara menunjuk tirai tebal berwarna hitam yang menutupi
dinding di seberang pintu. "Pasti ada jendela di situ. Ayo, kita
periksa." Kami berlari melintasi ruangan. Tapi kakiku tergelincir. Aku
menunduk, dan melihat seluruh lantai tertutup lapisan debu setebal
hampir dua senti. "Sepertinya ruangan ini sudah lama tidak dipakai,"
aku berkomentar. Kara tidak menyahut. Ia meraih tirai yang tebal dan menariknya
keras-keras. Aku mengulurkan tangan untuk membantunya. Tirai itu
bergeser. Di baliknya ternyata ada jendela yang juga penuh debu.
"Yes!" aku berseru.
"Jangan senang dulu, kata Kara mengingatkan.
Aku langsung melihat apa maksudnya. Jendela itu diamankan
dengan terali hitam yang kokoh. "Ahhh!" Kara menutup tirai kembali
sambil mengerang kesal. Kami keluar dari ruangan itu, kembali ke
lorong dan mencoba pintu di seberang. Kali ini kami masuk ke sebuah
ruangan kecil yang penuh koper dan tas. Semuanya ditumpuk-tumpuk
sampai ke langit-langit. Ruangan itu tak berjendela.
Di ruangan berikutnya kami menemukan meja kayu besar serta
rak-rak berisi buku-buku tua. Satu-satunya jendela tertutup tirai hitam
yang tebal. Aku segera menarik tirai itu - dan melihat jendela yang penuh
debu. Tapi jendela ini juga diamankan dengan terali hitam. "Aneh,"
aku bergumam. "Kastil ini seperti penjara," Kara berbisik dengan suara gemetar.
Matanya membelalak karena ngeri. "Tapi pasti ada jalan keluar dari


Goosebumps - 49 Napas Vampir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sini." Kami kembali ke lorong yang panjang. Aku berhenti ketika
mendengar kepak sayap. Sayap kelelawar" Apakah vampir-vampir itu sudah pulang"
Kara juga mendengarnya. "Cepat," ia berbisik.
Kami membuka pintu berikut. Terburu-buru kami masuk.
Pintunya langsung kututup lagi. Kemudian aku berbalik dan melihat
bahwa kami berada di ruang makan yang luas.
Sebuah meja panjang membentang dari ujung ke ujung. Tak ada
apa-apa di atasnya selain tempat lilin di tengah-tengah. Aku melihat
beberapa lilin putih yang sudah hampir terbakar habis. Semuanya
terselubung debu tebal. "Sudah lama tidak ada yang makan di sini," aku bergumam.
Kara bergegas menuju ke jendela. Ia segera membuka tirai dan lagi-lagi berhadapan dengan jendela berterali.
"Ahhhh!" Ia menjambak rambutnya sendiri karena frustrasi.
"Setiap jendela pasti ada teralinya!" ia meraung-raung. "Kita tidak
bisa terus mondar-mandir di lorong. Cepat atau lambat kita pasti
kepergok." Aku menatap meja makan yang penuh debu. Dan tiba-tiba aku
mendapat ide. "Hei - vampir kan tidak pernah makan," ujarku.
"Memangnya kenapa?" tanya Kara. Dengan kesal ia memukulmukul tirai hitam yang
tebal itu. "Jadi, kemungkinan besar mereka tak pernah masuk dapur," aku
melanjutkan. "Kita akan aman di situ. Siapa tahu ada pintunya.
Mungkin..." Kara menghela napas. "Mungkin. Mungkin. Mungkin." Ia
menggelengkan kepala dengan putus asa. "Pasti ada ribuan ruangan di
kastil seram ini. Bagaimana cara kita bisa menemukan dapur?"
Aku menyentuh bahunya dan menggiringnya ke pintu. "Ini
ruang makan, kan" Mungkin dapurnya tidak terlalu jauh dari sini."
"Mungkin mungkin mungkin," ia menggerutu dengan getir.
Aku menggiringnya ke lorong, kemudian mengajaknya ke pintu
berikut. Kami membukanya dan mengintip ke dalam.
Bukan. Ternyata bukan dapur.
Tergesa-gesa kami menyusuri lorong sambil membuka pintu
demi pintu. Sebentar-sebentar kami menoleh ke belakang karena takut
kepergok Pangeran Nightwing. Kami hanya bisa berharap ia tidak
menemukan kami. Kami membelok. Dan memasuki lorong yang lebih sempit dan
lebih gelap. Aku membuka pintu pertama.
Yaaa! Sebuah dapur kuno dengan tungku dan tumpukan kayu bakar.
Panci-panci dan pot-pot yang hitam karena jelaga tampak
bergantungan di dinding di samping tungku.
Aku memandang berkeliling. Dan melihat jendela dapur yang
lebar. Tak ada tirai. Dan tak ada terali!
"Horeee!" Kara bersorak-sorai.
Serta-merta kami berlari menghampiri jendela. Bisakah jendela
itu dibuka" Kami berusaha mengangkatnya dari bawah. Tapi tak ada
pegangan, tak ada tempat untuk memegang bingkainya.
"Pecahkan saja!" seru Kara. "Pecahkan saja jendelanya!"
Aku berlari ke dinding dan meraih kuali logam yang berat. Aku
membawanya ke jendela. Mengambil ancang-ancang. Bersiap-siap
untuk mengayunkannya. "Oh!" aku memekik ketika tiba-tiba terdengar suara batuk.
Di belakang kami. Di lorong.
"Dia datang," bisikku. "Itu pasti Pangeran Nightwing!"
"Pecahkan jendelanya!" Kara mendesak.
"Jangan. Dia akan mendengar bunyinya! Dia akan menemukan
kita!" balasku. Aku menurunkan kuali itu. Dan kembali mengamati jendela di
hadapan kami. Sekali lagi terdengar suara batuk. Kali ini lebih dekat.
"Lihat," aku berbisik kepada Kara. "Kurasa jendelanya harus
didorong." Aku mengangkat kedua tangan dan mulai mendorong kaca
jendela yang penuh debu. Aku mendorong dengan sekuat tenaga.
Perlahan-lahan kaca jendela itu bergerak keluar. Aku terus
mendorong sampai kaca itu tak bisa digerakkan lagi.
Embusan udara malam yang dingin menerpaku. Aku meraih
tangan Kara dan membantunya naik.
Sebuah bunyi dari pintu dapur membuatku tersentak kaget.
"Cepat...!" bisikku. "Dia sudah datang!"
Jantungku berdegup kencang ketika aku mendorong Kara ke
jendela. Terburu-buru kami memanjat ke ambang jendela.
Chapter 18 "APAKAH dia melihat kita" Apakah dia sempat melongok ke
dapur?" bisik Kara. "Entahlah," sahutku. "Aku tidak sempat melihatnya. Tapi yang
jelas, dia sedang berada di lorong."
"Kalau dia melihat kita...." ujar Kara. Tapi sisa kalimatnya
hilang terbawa angin yang tiba-tiba berembus kencang.
Udara malam terasa sejuk dan menyegarkan di kulitku. Bulan
terselubung awan tebal, sehingga suasananya gelap gulita.
Kami berlutut sambil merapatkan punggung ke dinding dapur.
Aku meringkuk di samping Kara, dan berusaha menjaga
keseimbangan di ambang jendela yang sempit.
"Ayo," aku mendesak.
Kami berbalik dan menghadap ke dalam ruangan. Kemudian,
sambil memegang bingkai jendela dengan kedua tangan, kami mulai
menurunkan kaki untuk mencapai tanah.
Turun. Turun.... "Hei...!" aku memekik ketika kakiku tak kunjung menginjak
tanah. Seberkas sinar bulan menembus lapisan awan. Aku memandang
ke bawah. Dan langsung menjerit karena panik.
Kakiku menggelantung di udara. Tanganku berpegangan pada
bingkai jendela di atas kami.
Jauh di bawah aku melihat batu-batu karang yang berkilau
redup dalam cahaya bulan.
Jauh di bawah! Berkilometer-kilometer di bawah!
"K-kita berada di puncak tebing!" Kara tergagap-gagap.
"Kastilnya - dibangun di atas tebing!"
"Ohhh!" Aku mengerang ketakutan.
Kastil itu ternyata dibangun di puncak tebing karang yang tegak
lurus. Dan kami bergelantungan di sisinya....
Lenganku mulai pegal. Aku merasakan tanganku mulai merosot
dari bingkai jendela di atas.
"Kara...!" aku memekik tertahan.
Chapter 19 TANGANKU mencakar-cakar tembok batu yang gelap. Aku
berjuang untuk meraih sesuatu - apa saja. Tapi tubuhku meluncur
terlalu cepat. Kakiku menendang-nendang. Tanganku berayun-ayun. Angin
menyambar seakan-akan hendak mendorongku kembali ke atas.
Siapa itu yang melolong-lolong" Aku"
Dan kemudian, sekonyong-konyong, aku berhenti. Berhenti
menjerit. Berhenti meluncur.
Sebuah bayangan hitam menyelubungiku. Sesuatu yang runcing
mencengkeram pundakku. Tengkukku terkena embusan napas panas.
Aku mendengar bunyi berkepak. Dan detak jantung yang
berdegup-degup. Tubuhku diangkat oleh bayangan gelap yang menyergapku.
Aku menoleh - dan melihat sepasang mata merah yang
menyala-nyala. Embusan napas panas tadi berasal dari mulut yang
menganga. Astaganaga! Aku mau dimakan! pikirku.
Aku terperangkap di dalam bayangan bermata merah ini. Aku
berada dalam cengkeramannya dan ia membawaku semakin tinggi.
Semakin tinggi. Dan kemudian aku dikelilingi kegelapan.
Aku mendarat, entah di mana. Mendarat dalam posisi berdiri.
Aku membuka mata dan melihat Kara. Mulutnya terbuka lebar
karena bingung. "Freddy..." ia memanggil dengan suara serak.
"Freddy...?" Aku berpaling ke jendela yang terbuka dan melihat kelelawar
raksasa yang baru saja membawaku kembali ke dapur. Sayapnya
mengepak-ngepak dan membentur-bentur lantai. Matanya yang merah
menyorot tajam dari wajahnya yang mengerikan.
Ia menyelamatkan kami! aku menyadari.
Aku jatuh berlutut. Aku berpegangan pada tepi tempat tungku
untuk menjaga keseimbangan.
Kau tidak apa-apa. Kau tidak apa-apa, aku berkata dalam hati.
Sekali lagi aku memandang ke arah kelelawar raksasa yang
telah menyelamatkanku. Makhluk itu mulai mengerut sambil membungkus tubuhnya
dengan sayapnya yang hitam.
Kedua sayap itu berubah menjadi jubah. Jubah berwarna ungu.
Dan ketika jubah itu tersibak ke belakang, Pangeran Nightwing pun
muncul. "Kau telah membuat kesalahan besar, anak muda," ujarnya
dingin. Matanya yang aneh seakan-akan hendak membakar mataku.
"Kaupikir kau bisa terbang?" ia bertanya dengan nada mengejek.
"Belum waktunya kau belajar terbang - belum!"
"A-a-a-a..." Seluruh tubuhku gemetaran, sehingga aku tidak
bisa berkata apa-apa. "Kalau kalian sudah menjadi vampir, kalian boleh terbang
setiap malam," seru Pangeran Nightwing. Ia merapatkan wajahnya ke
wajahku. Saking dekatnya, aku bisa mencium bau kulitnya yang apak.
"Jangan coba-coba melarikan diri lagi," ia menggeram. "Itu hanya
buang-buang waktu. Dan lain kali... aku takkan menyelamatkan
kalian." Aku menelan ludah. Aku menahan napas seraya berusaha
menenangkan jantungku yang berdegup kencang.
Pangeran Nightwing berpaling dariku. Ia menyibakkan jubah
ungunya ke belakang, lalu melayang melewati Kara.
Tapi kemudian ia berhenti di pintu dan berbalik. "Jangan
bengong saja," ia berkata ketus. "Bantu aku mencari Napas Vampir.
Aku tahu botol itu ada di dekat-dekat sini."
Ia memegang lehernya yang pucat. "Aku haus sekali... haus
sekali." Matanya yang keperakan menatap kami bergantian. "Aku
harus ingat di mana aku menyimpan taringku. Cepat. Bantu aku
mencari Napas Vampir. Botolnya pasti di sekitar sini."
Kara dan aku tidak punya pilihan. Ia berdiri di ambang pintu,
menunggu kami mengikutinya.
Aku bangkit dan menyusul Kara yang sudah lebih dulu keluar
ke lorong. "Barangkali botolnya kusembunyikan di ruang tamu kerajaan,"
Pangeran Nightwing berkata pada dirinya sendiri. Ia membuka sebuah
pintu dan segera masuk ke ruangan itu.
Kara dan aku menunggu. Lorong seakan-akan membentang tak
berujung di hadapan kami. Dan ada begitu banyak pintu. Dan ini baru
salah satu bagian dari kastil si vampir tua.
"Kau baik-baik saja?" Kara bertanya sambil mengamatiku.
"Kelihatannya kau masih gemetaran."
"Aku memang masih agak kaget," aku mengakui. "Siapa yang
tidak kaget kalau jatuh dari tebing"!"
Kara menggelengkan kepala. "Lari dari sini ternyata lebih sulit
dari yang kubayangkan."
"Kita tidak bisa lari," sahutku. "Kastil ini sengaja dibangun di
atas tebing supaya tak ada yang bisa lari."
Ia menyibak sejumput rambut yang jatuh ke depan matanya.
"Kita tidak boleh menyerah, Freddy. Kita harus berusaha terus. Kalau
dia sampai menemukan gigi taringnya, kita bakal diubah jadi vampir."
"Karena itulah rencanaku yang pertama lebih baik," aku
berkeras. "Kita harus menemukan botol Napas Vampir itu sebelum
dia. Siapa tahu kita beruntung. Siapa tahu kita yang lebih dulu
menemukannya." "Tapi, apa yang akan kita lakukan kalau kita sudah
menemukannya?" tanya Kara.
"Kita jaga botol itu agar jangan sampai jatuh ke tangannya!"
jawabku. Aku menarik Kara ke ruangan berikut. Kami sama-sama
memekik kaget ketika melihat deretan peti mayat.
Lusinan peti mayat. Semua ditata rapi dalam empat deretan
sepanjang ruangan. Dan semuanya terbuka.
"Lagi-lagi kamar tidur vampir!" seru Kara. Tubuhnya gemetar.
"Aku benar-benar ngeri, Freddy. Coba lihat, betapa banyak peti mayat
di sini." "Semua vampir sedang berkeliaran di luar, beterbangan kian
kemari untuk mencari darah," aku berkata. "Tapi, tidak lama lagi
mereka akan pulang. Dan kalau mereka melihat kita...."
Kara menelan ludah. "Bisa-bisa mereka menganggap kita
hidangan pencuci mulut!"
"Ehm... mungkin lebih baik kalau kita mencari botol itu di
ruangan lain saja," aku mengusulkan. "Jauh dari peti-peti mayat ini."
Tapi tiba-tiba aku melihat sesuatu. Sebuah peti mayat yang
merapat ke dinding. Sebuah peti mayat yang tertutup.
"Kara - coba lihat, tuh!" aku berbisik sambil menunjuk. "Semua
peti mayat lainnya ditinggalkan dalam keadaan terbuka. Itu satusatunya peti
mayat yang tertutup. Jangan-jangan...?"
Kara mengamati peti mayat itu dengan mata terpicing. "Aneh,"
ia bergumam. "Aneh sekali."
Bermacam-macam pikiran mulai berseliweran dalam benakku.
"Mungkin peti mayat itu kosong," ujarku penuh semangat. "Mungkin
tak ada yang tidur di situ. Berarti tempat itu sempurna sekali.
Sempurna untuk menyembunyikan sebotol Napas Vampir."
Kara menahanku. "Tapi mungkin juga ada vampir yang masih
tidur," ia mewanti-wanti. "Kalau peti mayat itu kita buka, dan ternyata
dia bangun..." Ia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.
"Kita harus memeriksanya!" aku berseru. "Kita harus berani
ambil risiko." Perlahan-lahan kami menghampiri peti mayat itu. Aku menatap
tutupnya yang terbuat dari kayu gelap yang mengilap karena dipoles.
Dengan hati-hati aku meraba permukaan kayu yang licin.
Lalu, tanpa berkata apa-apa, kami masing-masing meraih
pegangan peti. Dan dengan waswas kami mengangkat tutup peti
mayat itu. Chapter 20 TUTUP peti mayat itu ternyata cukup berat. Kara dan aku harus
mengerahkan seluruh tenaga untuk membukanya.
Aku berpaling ke pintu untuk memastikan Pangeran Nightwing
tidak datang kemari.

Goosebumps - 49 Napas Vampir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tidak kelihatan. Kemudian aku menegakkan badan dan mengintip ke peti mayat
itu. Bagian dalamnya dilapisi kain laken berwarna hijau tua. Aku jadi
teringat pada meja biliar di ruang bawah tanah rumahku.
Aku menghela napas. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah
aku bakal melihat ruang bawah tanah itu lagi.
"Kosong," Kara bergumam. "Cuma peti mayat yang kosong."
"Kita harus mencari terus," ujarku. Aku sudah hendak menjauhi
peti mayat itu ketika aku tiba-tiba melihat sebuah lipatan.
Sebuah lipatan di sisi peti mayat. Seperti lipatan di sisi koper.
Lipatan itu tampak agak menggembung.
"Hei! Tunggu dulu," kataku. Kara sudah hampir sampai di
pintu. Aku merogoh lipatan itu. Dan mengeluarkan sebuah botol kaca berwarna biru.
"Kara - lihat!" seruku. Aku sampai lupa merendahkan suara
agar tidak menarik perhatian Pangeran Nightwing. "Aku
menemukannya! Napas Vampir!"
Kara langsung tersenyum lebar. Matanya tampak bersinar-sinar.
"Bagus!" ia berseru. "Bagus sekali! Sekarang kita harus
menyembunyikan botol itu dari Pangeran Nightwing. Di suatu tempat
yang takkan pernah ia temukan."
Aku mengangkat botol itu dan mengamatinya dengan saksama.
"Bagaimana kalau botolnya kita buka saja, dan isinya kita tuangkan
semua," aku mengusulkan.
Kara bergegas menghampiriku. "Waktu kita membukanya tadi,
kita mundur seratus tahun ke masa lalu," ujarnya berapi-api.
"Mungkin kalau dibuka lagi...."
"Kita bakal melompat seratus tahun ke masa depan," aku
menyambung. "Ya! Pangeran Nightwing kan sempat bilang bahwa
Napas Vampir berguna untuk melakukan perjalanan waktu. Mungkin
kalau botolnya kita buka lagi, kita bakal kembali ke ruang bawah
tanah di rumahku." Kami sama-sama menatap botol biru itu.
Mana yang lebih baik" Menyembunyikan botol itu agar si
vampir tua tidak bisa mendapatkan gigi taringnya kembali" Atau
membukanya, sambil berharap kabut yang bergulung-gulung itu akan
membawa kami pulang ke zaman kami sendiri"
Kara menggenggam botol itu erat-erat. Tangannya yang satu
lagi meraih tutup kaca yang menyumbat leher botol.
Ia mulai menariknya - tapi lalu berhenti.
Kami bertukar pandang. Ia tampak ragu-ragu. "Lakukan saja,"
aku akhirnya berbisik. Kara mengangguk. Ia kembali menarik sumbat kaca itu.
Tapi sekali lagi ia berhenti. Dan menahan napas. Dari sudut
mata aku melihat sesuatu bergerak.
Aku juga mendengar suara langkah pelan di lantai. Dan aku
sadar kami tak lagi sendirian di ruangan ini.
Chapter 21 AKU segera berbalik. Kusangka aku akan melihat Pangeran
Nightwing berdiri di belakang kami.
"Oh!" aku berseru kaget ketika melihat seorang gadis kecil
muncul dari bayang-bayang.
Matanya yang biru pucat tampak terbelalak lebar. Sepertinya ia
sama kagetnya seperti kami!
Ketika ia menghampiri kami, aku melihat rambutnya panjang
pirang dan keriting. Ia mengenakan baju terusan abu-abu berpotongan
kuno, dengan blus putih di dalamnya.
Usianya kira-kira sebaya dengan kami, pikirku. Tapi ia berasal
dari zaman yang lain. Gadis itu berhenti beberapa peti mayat jauhnya dari kami.
"Siapa kalian?" ia bertanya sambil mengamati kami dengan curiga.
"Sedang apa kalian di sini?"
"K-kami tidak tahu," aku tergagap-gagap.
"Kami tahu siapa kami. Tapi kami tidak tahu kenapa kami bisa
ada di sini!" Kara meralat.
"Kami tidak sengaja sampai di sini," aku menambahkan.
Gadis itu tetap kelihatan bingung. Ia menyelipkan tangan ke
kantong bajunya. "Kau sendiri siapa?" tanya Kara.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia terus menjaga jarak dan
menatap kami dengan matanya yang biru pucat. "Gwendolyn," ia
akhirnya berkata. "Namaku Gwendolyn."
"Kau salah satu dari mereka?" Pertanyaan itu terlontar begitu
saja dari mulutku. Gwendolyn merinding. "Bukan," ia segera menyahut, lalu
menyeringai dengan geram. "Bukan. Aku benci mereka!" ia berseru.
"Aku benci mereka semua."
Kara bergerak-gerak gelisah. Botol berisi Napas Vampir
diserahkannya padaku. Botol itu terasa dingin dan lembap. Aku cepatcepat
menyembunyikannya agar tidak terlihat oleh Gwendolyn.
"Kau tinggal di sini?" Kara bertanya pada gadis itu. "Kau
saudara Pangeran Nightwing?"
Roman muka Gwendolyn semakin getir. "Bukan," ujarnya
dengan suara parau. Matanya berkaca-kaca. "Aku ditawan di sini.
Umurku baru dua belas. Tapi mereka memperlakukanku seperti
budak." Sebutir air mata mengalir di pipinya yang pucat. "Seperti
budak," ia mengulangi dengan suara bergetar. "Kalian tahu apa yang
harus kulakukan" Aku dipaksa membersihkan dan memoles peti
mayat mereka, siang dan malam."
"Idih," Kara bergumam.
Gwendolyn menghela napas. Ia menyibakkan rambutnya yang
pirang dan menyeka air mata dari pipinya. "Siang dan malam. Di
kastil ini ada selusin ruangan berisi peti mayat berderet-deret. Dan
semuanya harus kubersihkan dan kupoles sampai mengilap untuk para
vampir." "Bagaimana kalau kau menolak tugas itu?" aku bertanya. "Kau
kan bisa bilang pada Pangeran Nightwing bahwa kau tak mau
mengerjakannya?" Gwendolyn tertawa getir. "Kalau menolak, dia akan
mengubahku jadi vampir." Ia kembali gemetaran. "Lebih baik aku
membersihkan peti mayat daripada jadi vampir."
"Apakah kau tidak bisa melarikan diri?" aku bertanya.
Sekali lagi ia tertawa getir. "Melarikan diri" Kalau pun aku bisa
lolos dari sini, mereka pasti akan melacakku. Mereka berubah jadi
kelelawar, dan mengejarku. Dan mereka akan mengisap darahku
sampai aku jadi salah satu dari mereka."
Aku menelan ludah. Aku kasihan sekali padanya. Aku tidak
tahu harus berkata apa. "Tempat kami bukan di sini," Kara berkata sambil melirik ke
pintu. "Kami tidak sengaja dibawa Pangeran Nightwing kemari.
Apakah kau bisa menolong kami" Barangkali kau tahu bagaimana
kami bisa lari dari sini?"
Gwendolyn menundukkan kepala. Sepertinya ia sedang
berpikir. "Mungkin bisa," ia akhirnya berkata. "Tapi kita harus hatihati. Kalau
sampai kepergok...."
"Kami akan berhati-hati," aku berjanji.
Gwendolyn menoleh ke bagian depan ruangan. "Ikuti aku," ia
berbisik. "Cepat. Sudah hampir fajar. Kalau para vampir pulang dan
melihat kalian - kalian pasti celaka. Mereka akan menyergap kalian
dan mengisap darah kalian sampai kering. Kalian takkan pernah lagi
melihat sinar matahari."
Ia mengajak kami ke lorong. Kami berhenti sambil merapat ke
dinding, dan menoleh ke kiri-kanan.
Pangeran Nightwing tidak kelihatan. Tapi kami tahu ia ada di
sekitar sini. Kami tahu ia sedang mencari-cari botol berisi Napas
Vampir. Botol yang sedang kugenggam erat-erat.
"Lewat sini," bisik Gwendolyn.
Kami mengikutinya lewat pintu lain. Pintu itu menuju ke tangga
yang sempit. Lampu-lampu gas di dinding memancarkan cahaya
redup. Setelah menuruni tangga, kami memasuki terowongan panjang
yang berkelok-kelok. Saking sempitnya, kami terpaksa berbaris satusatu. Terowongan itu berkelok-kelok dan membawa kami semakin
jauh ke tengah kastil. "Kau yakin ada jalan keluar dari sini?" Kara bertanya pada
Gwendolyn. Suaranya bergema di terowongan yang sempit.
Gwendolyn mengangguk. "Ya. Pokoknya, ikuti saja aku. Di
ruang bawah tanah ada pintu rahasia."
Langkah kami berdebam-debam di lantai terowongan yang
keras. Rambut Gwendolyn yang pirang tampak bersinar di depan
kami, bagaikan obor yang menunjukkan jalan.
Jalan menuju kebebasan. Jalan ke tempat yang aman.
Aku mencondongkan badan mendekati Kara. "Kita bakal
selamat. Kita bakal keluar dari sini - dan botol Napas Vampir kita
bawa sekalian!" Kara menempelkan telunjuk ke bibir. "Ssst. Kita belum keluar,"
ia mengingatkanku. Terowongan itu berakhir di ruang bawah tanah yang besar dan
gelap. Gwendolyn mengambil obor menyala dari dinding dan
mengangkatnya tinggi-tinggi untuk menerangi jalan.
"Ikuti aku," ia berbisik. "Cepat."
Obor di tangannya memancarkan cahaya berkedap-kedip. Tapi
di luar lingkaran cahaya itu, kegelapan yang pekat merajalela.
Gwendolyn membawa kami menembus kegelapan. Udaranya
lembap dan berbau masam. Samar-samar aku mendengar suara air
menetes. Kara dan aku berjalan sambil merapat satu sama lain. Kami
berusaha untuk tetap berada di dalam lingkaran cahaya. Botol Napas
Vampir kugenggam erat-erat di tanganku.
Tiba-tiba Gwendolyn berhenti. Ia berhenti begitu mendadak
sehingga Kara dan aku hampir menabraknya.
Ia berbalik pelan-pelan. Cahaya obor memperlihatkan senyum
di wajahnya. "Sudah sampai?" tanya Kara. "Mana pintunya?"
"Ya. Kita sudah sampai," sahut Gwendolyn sambil berbisik.
"Kita sendirian di bawah sini."
"Hah?" seruku. Aku benar-benar tidak mengerti.
"Kalian jadi milikku sekarang," Gwendolyn melanjutkan.
Senyum di wajahnya bertambah lebar. "Kita tak bakal terganggu oleh
Pangeran Nightwing, atau vampir-vampir lainnya."
"Tapi - lewat mana kami bisa keluar dari sini?" aku mendesak.
Gwendolyn tidak menjawab.
"Kenapa kita berhenti di sini?" seru Kara.
"Aku haussssss sekali...," Gwendolyn mendesis. "Haussssss
sekali...." Ketika ia menurunkan obor, aku melihat sepasang taring
panjang muncul di mulutnya.
"Aku haus sekali...." Ia menghela napas. "Haus sekali...."
Serta-merta ia meraih pundakku. Dan tahu-tahu leherku sudah
tergores gigi taringnya yang runcing.
Chapter 22 "JANGAN...!" aku menjerit.
Aku menepis tangannya dan mendorongnya dengan keras.
"Jangan! Jangan ganggu aku!" aku meraung-raung.
Mata Gwendolyn tampak bersinar-sinar. Air liur menetes-netes
dari taringnya yang panjang. "Aku haussss...," ia mendesis.
"Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku!" aku memohonmohon.
"Kalian ingin bebas, kan?" Gwendolyn bertanya dengan nada
mengejek. "Nah, ini satu-satunya cara untuk bebas dari sini!"
Ia menengadah dan membuka mulut lebar-lebar. Kemudian ia
kembali menerjang ke arahku.
"Tidak bisa!" teriakku. Cepat-cepat aku mengelak. Rambutnya
yang panjang dan keriting mengenai wajahku. Aku sempat terhuyunghuyung. Tapi
berhasil menjaga keseimbangan.
Ia mengambil ancang-ancang untuk menyerang lagi.
"Freddy - Napas Vampir!" seru Kara. "Pakai Napas Vampir!
Barangkali kita bisa pulang ke masa depan!"
"Hah?" Aku sama sekali lupa bahwa aku sedang menggenggam
botol itu. "Haus sekali...," Gwendolyn bergumam sambil menjilat
bibirnya yang kering. "Haus sekali...."
Botol berisi Napas Vampir kuangkat tinggi-tinggi. Botol biru
itu memantulkan cahaya obor.
Gwendolyn memekik tertahan. Ia mundur dengan mata
terbelalak. Aku meraih sumbat botol. Dan mulai menariknya.
"Jangan - jangan!" Gwendolyn memohon. "Letakkan botol itu!
Jangan dibuka! Aku mohon - jangan dibuka!"
Aku tidak memedulikannya - memegang sumbat itu dan
mencabutnya dari leher botol.
Chapter 23 TIDAK terjadi apa-apa. Kami bertiga menatap botol biru yang terbuka di tanganku.
"Tunggu sebentar," kataku pada Kara. Suaraku melengking
tinggi. "Waktu di ruang bawah tanah rumahku kita juga harus tunggu
sebentar. Baru kemudian kabutnya menyembur ke luar."
Gwendolyn menatap botol itu dengan mata lebar.
Kami menunggu dengan tegang.
Beberapa detik berlalu. Kemudian beberapa detik lagi.
Tawa Gwendolyn akhirnya memecahkan keheningan.
"Botolnya kosong!" ia berseru sambil tertawa mengejek. "Kastil ini
penuh botol kosong. Di sebelah sana ada satu ruang yang penuh botol
kosong." Ia menunjuk ke kegelapan.
Aku memegang botol itu di depan wajahku, dan mengamati
isinya. Keadaannya terlalu gelap untuk bisa melihat. Tapi Gwendolyn
benar. Botol itu memang kosong.
Dengan kesal kubuang botol itu ke lantai.
Gwendolyn tersenyum jahat dalam cahaya obor yang berkelapkelip. Aku berusaha
menjauhinya. Tapi punggungku membentur pilar
batu. Aku terperangkap. Taring Gwendolyn tampak berkilauan. "Haus sekali...," ia
berbisik. "Freddy - jangan lari. Bantu aku. Aku haus sekali...."
"Aku juga haus!" sebuah suara menggelegar dari belakang
kami. Aku membalik dan melihat sinar jingga sebuah obor yang
menuju ke arah kami. Dan di tengah lingkaran cahaya itu, aku melihat
wajah Pangeran Nightwing yang tampak sangat geram.
Ia melayang menghampiri kami. Pandangannya tertuju pada
Gwendolyn. Mulut vampir muda itu terbuka lebar. Ia mengangkat kedua
tangan, seakan-akan hendak melindungi dirinya.
"Gwendolyn - sedang apa kau di bawah sini dengan
tawananku?" Pangeran Nightwing bertanya dengan gusar.
Ia tidak memberi Gwendolyn kesempatan menjawab. Dalam
sekejap ia sudah melayang-layang di atasnya. Jubahnya mengembang
bagaikan sayap kelelawar. Ia memelototi Gwendolyn dengan matanya
yang keperakan. Dan kemudian ia membuka mulut dan mendesisdesis.


Goosebumps - 49 Napas Vampir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gigi taring Gwendolyn tampak berkilau basah dalam cahaya
obor. Ia menyibakkan rambutnya. Tangannya tetap digunakannya
sebagai perisai ketika ia membalas desis si vampir tua.
Oh, wow! pikirku. Sepertinya mereka bakal berkelahi!
Aku mencondongkan badan ke depan. Sebenarnya aku ngeri
sekali - tapi aku juga ingin menyaksikan pertempuran yang bakal
terjadi. Kedua vampir itu melayang-layang di atas lantai. Mereka saling
mendesis, bagaikan sepasang ular yang siap menyerang.
"Freddy - ayo!" bisik Kara. Ia meraih lenganku dan
menariknya. "Ini kesempatan kita."
Kara benar. Kami harus berusaha lari sementara kedua vampir
itu sibuk saling mengancam.
Jantungku berdegup kencang ketika aku memungut obor
Gwendolyn dari lantai dan berlari menyusul Kara.
Kami bergegas menembus kegelapan.
Pasti ada jalan keluar dari sini! aku berkata dalam hati. Pasti ada
jalan untuk lolos! Akhirnya aku melihat sebuah pintu terbuka.
Tanpa pikir panjang Kara dan aku menerobos pintu itu. Aku
menoleh ke belakang. Pangeran Nightwing tampak melayang tinggi di
atas lantai. Jubahnya berkibar-kibar. Gwendolyn masih mendesisdesis.
Tak ada waktu untuk menyaksikan pertempuran mereka. Aku
segera berbalik dan mengikuti Kara. "Di mana kita?" bisikku.
Aku mengangkat obor untuk menerangi ruangan tempat kami
berada. "Wow," Kara bergumam ketika melihat rak-rak yang menempel
di dinding. Kami telah menemukan gudang botol Napas Vampir kosong
yang sempat diceritakan Gwendolyn tadi. Di setiap dinding ada rak
yang menjulang dari lantai sampai ke langit-langit. Dan setiap rak
penuh sesak dengan botol-botol biru. Ke mana pun aku memandang,
aku melihat tumpukan botol biru.
"Kelihatannya ada sejuta botol kosong di sini!" aku berbisik.
Kami memandang berkeliling. Botol-botol itu memantulkan
cahaya obor dan berkilauan bagaikan permata biru.
Kara menggelengkan kepala, seakan-akan bingung melihat
begitu banyak botol. Ia berpaling padaku. Roman mukanya serius
sekali. "Tak ada jalan untuk melarikan diri," bisiknya.
"Melarikan diri?" sebuah suara parau berkata dari ambang
pintu. Pangeran Nightwing memasuki gudang. "Percuma, kalian tidak
mungkin kabur dari sini," ia berkata. Matanya yang keperakan
menatap kami dengan tajam. "Tak ada yang bisa kabur dari kastil
Pangeran Nightwing."
Ia merentangkan jubah dan mulai melayang di atas lantai.
"A-apa yang akan Anda lakukan?" aku tergagap-gagap.
Ia mendongakkan kepalanya yang botak. Bunyi mendesis yang
keluar dari mulutnya membuatku merinding.
Aku merasakan diriku terdorong mundur ke tengah ruangan.
Pangeran Nightwing menggunakan semacam kekuatan gaib untuk
mengendalikan diriku. Ia melayang semakin tinggi, terselubung oleh jubahnya. Ia
tampak seperti serangga di dalam kepompong berwarna ungu. Tapi
aku bisa merasakan kekuatannya.
Ia mendorongku ke belakang... mencengkeramku...
mendorongku.... Dan kemudian, tiba-tiba saja, ia melepaskan diriku. Ia mendarat
di lantai. Matanya berkilat-kilat. Ia menjentikkan jarinya yang kurus.
Perlahan-lahan ia tersenyum. "Yesss!" ia mendesis.
Kara dan aku mundur sampai ke rak yang berseberangan
dengan pintu masuk. Kakiku gemetaran. Pangeran Nightwing telah
mencengkeramku dengan kekuatan gaibnya. Dan aku tidak sanggup
melawan. Napasku terengah-engah.
"Yesss!" ia kembali mendesis. "Sekarang aku ingat lagi!"
Chapter 24 KARA dan aku tidak berani bersuara. Kami menatap vampir tua
itu sambil membisu ketika ia berpaling ke rak-rak yang berisi botolbotol biru.
"Di sinilah aku menyembunyikan botol Napas Vampir yang
masih penuh," ia berkata pada kami. "Aku menyembunyikannya di
gudang botol kosong. Sebab aku tahu yang lain takkan mencarinya di
sini." Ia tersenyum, dan aku bisa melihat gusinya yang licin di balik
bibirnya yang kering. Senyumnya lenyap. Ia memicingkan mata.
"Aku haus sekali," ia berbisik sambil memandang Kara dan
aku. "Aku harus mendapatkan botol yang masih penuh itu. Aku harus
memulihkan ingatan - dan mendapatkan taringku kembali."
Ia bergegas ke rak terdekat dan mulai membongkar botol-botol
biru. "Yang mana" Yang mana?" ia bergumam-gumam. "Di sini ada
ribuan botol, dan hanya satu yang masih penuh."
Tangannya yang kecil dan kurus bergerak dengan cekatan. Ia
menyingkirkan botol-botol kosong sambil terus bergumam-gumam.
Tak sedikit botol yang jatuh ke lantai dan pecah berantakan.
"Kara - cepat!" Aku menunjuk rak yang paling jauh. "Jangan
bengong!" Ia langsung menangkap maksudku. Kami harus lebih dulu
menemukan botol penuh itu. Kami harus menemukannya sebelum
Pangeran Nightwing. Aku berlutut dan mulai memeriksa botol-botol di rak paling
bawah. Kosong... kosong... kosong... lagi-lagi kosong....
Botol-botol kosong kugeser satu per satu. Aku mencari
bagaikan kesetanan. Aku memicingkan mata dalam cahaya yang
redup, dan mencari satu-satunya botol yang masih ada isinya.
Botol-botol kosong berjatuhan dan pecah. Botol-botol kosong
menggelinding kian kemari.
Kara sibuk memeriksa di sampingku. "Bukan. Bukan. Bukan.
Bukan," ia bergumam sambil memeriksa botol satu per satu.
"Hei!" Pangeran Nightwing berseru dari seberang ruangan.
"Pergi dari situ!"
Kami tidak menggubrisnya. Kami terus saja membongkar botolbotol, semakin lama
semakin cepat. Kami harus lebih dulu
mendapatkan botol yang masih penuh.
Dan akhirnya - aku berhasil menemukannya.
Aku menarik napas dalam-dalam ketika tanganku meraih botol
yang lebih berat dari yang lainnya. Tanganku gemetaran ketika aku
mengangkat botol itu. Ya! Botolnya memang lebih berat. Ya! Sumbatnya masih
terpasang rapat. "Aku menemukannya!" aku berseru seraya bangkit berdiri.
"Kara - lihat! Aku menemukannya!"
Aku mengangkat botol itu tinggi-tinggi untuk
memperlihatkannya pada Kara - dan Pangeran Nightwing segera
menyambarnya. "Terima kasih banyak," ia berkata.
Chapter 25 SAMBIL tersenyum lebar, si vampir tua mengangkat botol itu
dan bersiap-siap membukanya.
"Tidak bisa!" aku meraung.
Tanpa pikir panjang aku menerjangnya. Dan rupanya ia tidak
menduga aku akan bertindak nekat.
Pundakku menghantam dadanya. Ia ternyata begitu ringan,
seakan-akan tak bertulang.
Sang Pangeran terbatuk-batuk.
Botol Napas Vampir itu terlepas dari genggamannya.
Aku mengulurkan tangan - dan menangkapnya di udara.
Sambil memegangnya erat-erat dengan kedua tangan, aku
mundur ke rak. Pangeran Nightwing segera pulih. Ia menatapku sambil
memicingkan mata, dan sekali lagi aku merasakan diriku dicengkeram
oleh kekuatan gaibnya. "Freddy, serahkan botol itu padaku," ia memerintah dengan
suaranya yang tenang dan lembut.
Aku tidak bergerak. Aku tidak bisa bergerak.
"Serahkan botol itu," si vampir tua mengulangi. Ia melayang ke
arahku sambil mengulurkan tangannya yang kurus kering. "Kau harus
menyerahkannya padaku, Freddy."
Aku menelan ludah. Aku tidak bisa memberikan botol Napas
Vampir itu. Aku tahu Kara dan aku bakal celaka kalau Pangeran
Nightwing sampai membukanya.
Tapi aku tidak bisa bergerak. Kekuatan gaib Pangeran
Nightwing membuatku seperti terpaku di tempat. Aku tak berdaya!
"Serahkan botol itu!" ia mendesak, lalu berusaha meraihnya.
"Monkey in the Middle!" aku mendengar Kara berteriak.
Sepertinya ia berada di tempat yang jauh sekali. Mula-mula aku
bahkan tidak mengerti maksud ucapannya.
"Monkey in the Middle!" ia berseru sekali lagi. Kali ini aku
paham. Aku menarik napas dalam-dalam. Aku harus mengerahkan
segenap tenaga untuk menggerakkan lenganku.
Pangeran Nightwing mencoba menyambar botol di tanganku.
Ujung jarinya sempat menyentuh botol itu.
Tapi aku keburu melemparkannya melewati pundak sang
Pangeran. Tangan Kara menggapai. Ia berusaha menangkap botol itu dan ia berhasil. "Tangkapan maut!" ia berseru dengan gembira.
Pangeran Nightwing menggeram-geram karena marah. Sertamerta ia berbalik.
"Berikan botol itu padaku!" ia menghardik dengan
suaranya yang serak, lalu menerjang ke arah Kara.
Kara mengambil ancang-ancang, dan melemparkan botol itu
kembali padaku. Lemparannya rendah, kira-kira setinggi lutut si
vampir tua. Aku membungkuk dan berhasil menangkap botolnya.
Pangeran Nightwing kembali berpaling padaku. Ia
memicingkan matanya yang menyeramkan. "Mana botol itu"!" ia
menggerung. Aku melemparkannya tinggi-tinggi, di atas kepalanya. Kali ini
Kara menangkap operanku dengan sebelah tangan.
Kara dan aku biasa bermain Monkey in the Middle, atau
lempar-lemparan, kalau sedang menjaga Tyler.
Anak kecil itu tak pernah berhasil merebut bola dari tangan
kami. Kara dan aku bisa membuatnya mondar-mandir selama berjamjam!
Tapi aku tahu kesabaran Pangeran Nightwing sudah hampir
habis. Kara dan aku tidak mungkin memenangkan permainan ini.
Tapi, apa lagi yang bisa kami lakukan"
Si vampir tua menerjang Kara. Tangannya terulur lurus ke
depan, jubahnya melambai-lambai.
Kara mengelak. Ia terpaksa melempar botol dalam posisi tidak
seimbang. Aku berusaha menangkapnya - tapi gagal.
Botol itu terbang ke salah satu rak.
Botol-botol berjatuhan dan pecah berantakan.
Pangeran Nightwing cepat-cepat melayang ke rak itu. Dengan
kalang-kabut ia meraih botol-botol yang bergelindingan di lantai.
Tapi aku lebih cepat. Aku berhasil menemukan botol tadi,
memungutnya, dan mengopernya kepada Kara.
"Sudah...!" teriak Pangeran Nightwing. "Cukup!" Ia bergegas
menghampiri Kara. Kara melemparkan botol itu, jauh di atas kepala si vampir.
Aku bersiap-siap untuk menangkapnya.
Tapi di luar dugaanku, Pangeran Nightwing mendadak melesat
ke atas - dan menyambar botol itu dengan kedua tangan.
Sementara ia kembali menjejakkan kaki di lantai, senyum
kemenangan menghiasi wajahnya. "Aku yang menang," ujarnya puas.
Matanya bersinar-sinar. "Aku yang menang. Makanya, belajar
terbang, dong." Ia mengangkat botol itu. "Jangan - jangan!" aku memohon.
Senyumnya bertambah lebar. Tanpa berkata apa-apa lagi,
dicabutnya sumbat botol itu.
Chapter 26 KAMI bertiga seakan-akan terpaku di tempat. Tanpa berkedip
aku menatap botol terbuka di tangan Pangeran Nightwing.
"Jangan," Kara bergumam. "Jangan...."
Beberapa detik berlalu. Kemudian beberapa detik lagi.
"Kenapa tidak terjadi apa-apa?" bisik Pangeran Nightwing.
Senyumnya meredup. Ia mengangkat botol itu dan memiringkannya
agar dapat mengintip ke dalam.
Pundaknya tergantung lemas di bawah jubah ungunya. Ia
menghela napas. "Kosong," katanya. "Botol ini kosong juga."
Kara dan aku bertukar pandang. Tiba-tiba aku tahu apa yang
terjadi. Aku panik sewaktu berusaha memungut botol tadi. Dan
rupanya aku meraih botol yang salah.
Aku berpaling ke arah rak - dan melihat botol yang masih
penuh tepat di depanku. "Hei, ini dia!" aku berseru dan segera meraihnya. "Ini dia!"
Si vampir tua menggeram dengan kesal. Serta-merta aku
diterjangnya. "Kara - tangkap!" teriakku.
Aku melemparkan botol itu pada Kara.
Tapi Pangeran Nightwing mengayunkan lengan. Tangannya
berhasil menepis botol itu.
"Oh...!" aku memekik ketika melihat botol itu menabrak
dinding. Lalu terpental. Jatuh ke lantai. Dan pecah. Seketika kabut bau
mulai memenuhi ruangan. "Kita kalah," aku bergumam. "Kita bakal
celaka." Chapter 27 AKU berusaha menahan napas, tapi percuma saja. Bau
menyengat yang menyebar dengan cepat seakan-akan mampu
menembus kulitku. Kara menutup hidung dan mulut dengan sebelah tangan.
Matanya tampak terbelalak lebar karena ngeri. Ia mengibas-ngibaskan
tangannya yang satu lagi untuk menghalau kabut yang mulai
menyelubunginya. Aku terbatuk-batuk. Mataku mulai berair. Aku segera
memejamkan kedua mataku. Tapi aku tetap merasakan air mata
mengalir di pipiku. Ketika aku membuka mata lagi, Kara sudah tidak kelihatan.
Kabutnya sudah terlalu tebal.
Aku melihat jubah ungu Pangeran Nightwing. Jubahnya tampak
gelap di tengah kabut. Dan kemudian jubah itu pun menghilang dari
pandangan. Dan aku sendirian. Sendirian di tengah awan tebal yang
bergulung-gulung. Aku jatuh berlutut. Kututupi wajah dengan kedua belah tangan
Aku berusaha menahan napas. Tapi lidahku tetap bisa mengecap kabut
menjijikkan itu! Berapa lama aku berlutut di lantai" Entahlah, aku tidak tahu.
Tapi ketika akhirnya aku membuka mataku yang terasa perih,
kabut itu sudah mulai menipis.
Jubah ungu Pangeran Nightwing kembali tampak ketika kabut
mulai turun ke lantai. Dan kemudian aku melihat Kara di seberang


Goosebumps - 49 Napas Vampir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruangan. Ia sedang melindungi wajahnya dengan sebelah tangan.
Kabut itu semakin tipis. Aku mulai bisa melihat sekelilingku.
Dan tiba-tiba aku sadar bahwa aku sedang menatap permainan
air hockey. Aku berkedip-kedip. Di tengah ruangan tampak meja biliar.
Meja biliar" Permainan hockey"
Kara bergegas menghampiriku. Matanya tampak bersinar-sinar.
"Kita sudah kembali, Freddy!" serunya gembira. "Kita sudah kembali
ke ruang bawah tanah rumahmu!"
"Horeee!" aku bersorak. Aku mengepalkan tangan dan
mengacungkan keduanya. "Asyik!"
Aku maju dengan terhuyung-huyung, lalu memeluk meja
hockey. Kemudian aku mencium dinding. Bayangkan, mencium
dinding! "Kita sudah kembali! Kita sudah kembali!" Kara memekikmekik sambil melompatlompat. "Napas Vampir itu berhasil
membawa kita pulang ke rumahmu, Freddy!"
"Ahhhhh!" Aku berbalik dan melihat Pangeran Nightwing mendongakkan
kepala sambil meraung-raung. Ia menyibakkan jubahnya, lalu
mengepalkan tangan dengan gusar.
"Aduuuh! Aduuuh! Kenapa jadi begini!?" ia berseru dengan
suara parau. Kara dan aku berdiri berdekatan ketika si vampir menghampiri
kami. "Aku tidak mau berada di sini!" teriak sang Pangeran. "Aku
harus pulang. Aku harus mengambil taringku! Tanpa taringku aku
bakal mati!" Ia melayang-layang di atas kami. Matanya tampak berapi-api
ketika ia memelototi kami. Bibirnya yang kering gemetaran. Ia
merentangkan jubahnya seakan-akan hendak menangkap kami.
"Aku harus pulang!" serunya. "Mana Napas Vampirnya" Mana
botol biru itu?" Aku segera memandang berkeliling.
Botol itu tidak kelihatan.
"Botolnya ketinggalan di masa lampau," ujar Kara. Si vampir
tua kembali meraung-raung sambil mendongakkan kepala.
Kemudian ia mengangkat jubahnya lebih tinggi lagi, lalu ia
menukik dan menyerang. Kara dan aku mundur sampai menabrak meja biliar.
Si vampir bergerak dengan cepat. Sebelum aku sempat berbuat
apa-apa, ia sudah mengurung Kara dan aku dengan jubahnya yang
ungu. Kami terperangkap. Kami tidak bisa bergerak. Kemudian, tibatiba saja, jubahnya
merosot. Pangeran Nightwing mundur selangkah.
Mulutnya sampai menganga karena kaget.
Aku ikut menoleh - dan melihat Mom dan Dad bergegas masuk
ke ruang bawah tanah. "Mom!" aku berseru. "Dad! Awas! Dia vampir!
Vampir sungguhan!" Chapter 28 PANGERAN NIGHTWING menatap kedua orangtuaku sambil
memicingkan mata. Ia masih tercengang-cengang. Pandangannya
tertuju pada Mom. "Cynthia...?" ia berseru. "Cynthia, sedang apa kau
di sini?" Mom menatapnya sambil tersenyum. "Daddy, akhirnya Daddy
bangun juga!" katanya.
"Hah?" Kini giliran Kara dan aku yang tercengang-cengang.
Mom bergegas maju dan memeluk si vampir tua. Mereka
berpelukan lama sekali. "Daddy sudah tidur paling tidak seratus tahun di sini," katanya.
"Kami tidak tahu apakah Daddy mau dibangunkan atau dibiarkan tidur
terus." Dad juga menghampiri Pangeran Nightwing. Ia tersenyum
lebar, dan menaruh tangannya di pundakku. "Sudah bertemu anak
kami, Freddy?" ia bertanya pada si vampir. "Ini Freddy - cucumu."
Cucu" Aku" Aku cucu vampir" Nightwing menatapku sambil menggelengkan kepala. Ia sama
bingungnya dengan aku! "Cynthia...?" ia berkata pada Mom. "Cynthia - taringku. Aku
kehilangan taringku."
Mom merangkul pinggang si vampir. "Daddy, taring Daddy
tidak hilang," ujarnya. "Taring Daddy ada di gelas di kamar mandi. Di
tempat Daddy menaruhnya waktu itu."
"Sini. Di sebelah sini," kata Dad. Mereka menuju ke kamar
mandi kecil di pojok yang tak pernah kami pakai.
Beberapa detik kemudian Pangeran Nightwing keluar sambil
mengatur-atur posisi taringnya dengan jarinya. "Nah, begini lebih
enak," katanya. "Dan sekarang ayo kita terbang. Aku haus sekali!
Sudah seratus tahun aku tidak minum apa-apa."
Mom dan Dad berpaling padaku. "Kami mau pergi dulu," ujar
Dad. "Kau bikin sandwich saja di atas, oke" Sekalian buatkan satu
untuk Kara." Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. "Tapi kalau Mom
dan Dad memang vampir, berarti aku juga, dong?" aku bertanya
dengan suara gemetar. "Tentu saja," sahut Mom. "Tapi kau masih kecil, Freddy.
Taringmu belum tumbuh. Kau masih harus menunggu seratus tahun
lagi!" Ada sejuta hal yang hendak kutanyakan. Tapi mereka bertiga
mulai mengepak-ngepakkan lengan. Naik-turun. Dan dalam beberapa
detik saja mereka sudah berubah menjadi kelelawar, lalu terbang
keluar melalui jendela. Aku terpaku menatap jendela itu sambil berusaha menenangkan
diri. Jantungku berdegup-degup. Setelah merasa lebih tenang, aku
berpaling pada Kara. "Wow," ia berkata sambil menggelengkan kepala. "Wow."
"Aku sendiri juga belum bisa percaya," sahutku lambat-lambat.
Kara menatapku sambil cengar-cengir. "Dari pertama aku sudah
tahu bahwa kau aneh, Freddy. Tapi aku tidak menyangka kau seaneh
ini!" Rasanya aku ingin tertawa. Namun aku masih terlalu kaget
untuk tertawa, atau menangis, atau menjerit - atau melakukan apa
pun! Siapa yang tidak kaget kalau mendengar bahwa ia sebenarnya
vampir" Seharusnya Mom dan Dad memberitahuku dengan cara yang
tidak begitu mengejutkan.
Tapi mungkin bagi mereka semua ini biasa saja....
Pintu kamar mandi masih terbuka. Aku melangkah masuk.
"Kamar mandi ini tidak pernah dipakai," aku bergumam. "Kami selalu
memakai kamar mandi di ujung seberang."
Kara mengikutiku. Pintu lemari obat tampak setengah terbuka.
Kara membukanya lebar-lebar.
Raknya dipenuhi berbagai botol dan stoples. Aku melihat segala
macam obat-obatan dan salep-salep aneh.
Di rak paling atas ada botol kaca berwarna hijau. "Apa ini?"
tanyaku. Langsung saja aku mengambil botol itu.
Tapi Kara merebutnya dari tanganku.
"Kembalikan!" aku berseru sambil mendorongnya. Ia malah
membalas mendorongku. Kemudian ia memutar botol itu dan membaca tulisan pada
labelnya: "KERINGAT MANUSIA SERIGALA."
"Kara - kembalikan botol itu ke tempatnya!" perintahku.
"Cepat! Kembalikan! Jangan macam-macam, Kara. Jangan buka botol
itu. Jangan..." Ia malah menggodaku. Sambil cengar-cengir ia pura-pura
hendak membuka botol tersebut. "Jangan...!" aku memekik.
Aku berusaha merebut botolnya - tapi meleset. Tanganku
menepis tutup botol sampai terlepas. "Hei!" Kara berseru ketika cairan
kuning menyembur ke luar dan membasahi kami berdua.
Aku geleng-geleng kepala. "Lihat, tuh!" aku menghardiknya.
"Apa yang akan terjadi sekarang?"
"Grrrrrowwwwrrrrrr!" sahut Kara.END
Suling Emas 15 Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal Cula Naga Pendekar Sakti 1

Cari Blog Ini