Ceritasilat Novel Online

Monster Telur Dari Mars 2

Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars Bagian 2


Mereka setengah menggelinding, setengah merayap. Dan mereka
meninggalkan jejak lendir berwarna kuning.
Ada jutaan pertanyaan yang ingin kuajukan pada Dr. Gray.
"Apakah mereka punya otak?" aku bertanya padanya. "Apakah
mereka cerdas" Apakah mereka bisa berkomunikasi" Apakah mereka
bisa bicara satu sama lainnya" Bagaimana mereka bisa menghirup
udara kita?" Dr. Gray ketawa pelan. "Tampaknya kau memang berbakat
menjadi ilmuwan, Dana," ujarnya. "Tapi sebaiknya satu per satu saja.
Pertanyaan mana yang harus saya jawab lebih dulu?"
"Ehm...," aku mulai berkata. Namun kemudian aku mendadak
terdiam ketika aku menyadari apa yang dilakukan makhluk-makhluk
telur itu. Sementara Dr. Gray dan aku berbicara, mereka telah
membentuk lingkaran dan mengelilingi kami. Dan sekarang kami
terkepung. Aku berbalik. Makhluk-makhluk telur itu juga telah bergerak ke belakang
kami. Mereka menghalangi jalan ke pintu. Dan sekarang mereka
mulai bergerak mendekat. Apa yang hendak mereka lakukan"
Chapter 16 AKU langsung panik. Cepat-cepat aku berpaling kepada Dr.
Gray. Di luar dugaanku, dia malah tersenyum lebar.
"K-kita dikepung!" aku tergagap-gagap.
Dr. Gray menggelengkan kepala. "Kadang-kadang mereka
memang bergerak seperti itu. Tapi jangan takut, Dana. Mereka tidak
berbahaya." "Tidak berbahaya?" seruku. Suaraku terdengar melengking
tinggi. "Ta-tapi...."
"Apa yang bisa mereka lakukan?" tanya Dr. Gray. Dia menaruh
sebelah tangan di pundakku yang gemetaran. "Mereka cuma gumpalan
telur. Mereka tidak mungkin menggigit, bukan" Lihat saja, sepertinya
mereka tidak punya mulut, Mereka tidak bisa menangkapmu. Atau
memukulmu. Atau menendangmu. Mereka tidak punya tangan
maupun kaki." Makhluk-makhluk itu terus merapat, dan aku terus
memperhatikan mereka. Leherku serasa tercekik, dan kakiku
gemetaran tak terkendali.
Aku tahu Dr. Gray benar. Tapi kenapa mereka bersikap seperti ini"
Kenapa mereka membentuk lingkaran" Kenapa mereka terus
merapat" "Kadang-kadang mereka menyusun formasi segi tiga," Dr. Gray
memberitahuku. "Kadang-kadang persegi panjang atau bujur sangkar.
Sepertinya mereka mencoba berbagai bentuk geometris yang pernah
mereka lihat. Barangkali begitulah cara mereka mencoba
berkomunikasi dengan kita."
"Bisa jadi," ujarku pelan-pelan. Dalam hati aku berharap
makhluk-makhluk telur itu mundur lagi. Sebenarnya mereka cuma
gumpalan-gumpalan yang kecil dan basah. Tapi aku tetap saja ngeri.
Aku kembali gemetaran. Kepulan-kepulan napas keluar dari
mulutku. Saking dinginnya, kacamataku sampai berembun!
Aku menatap makhluk telur yang kubawa kemari. Dia telah
bergabung dengan teman-temannya, dan ikut bergetar-getar dan
berkedut-kedut. Dr. Gray berbalik, berjalan menuju ke pintu. Aku mengikutinya.
Aku ingin segera keluar dari lemari es ini!
"Terima kasih kau mengantarkan makhluk itu ke sini," Dr. Gray
berkata. Dia menggelengkan kepala. "Tadinya saya kira saya sudah
berhasil mengumpulkan semuanya. Rupanya masih ada yang lolos."
Dia menggaruk-garuk kepalanya. "Kau bilang kau menemukannya di
pekarangan belakang rumahmu?"
Aku mengangguk. "Ya, waktu masih berupa telur. Tapi
kemudian telurnya menetas di laci lemari pakaian saya." Gigiku
bergemeletuk. Dinginnya minta ampun!
"Apakah itu berarti makhluk tersebut milik saya?" aku bertanya
pada Dr. Gray. Senyumnya meredup. "Entahlah. Saya tidak tahu bagaimana
peraturan mengenai makhluk luar angkasa." Dia mengerutkan kening.
"Barangkali tidak ada peraturan."
Aku menatap gumpalan kecil itu. Pembuluh-pembuluh hijau di
sekujur tubuhnya tampak membengkak. Seluruh badannya berdenyutdenyut dengan
kencang. Apakah dia sedih karena aku akan pergi"
Tidak mungkin. Itu tidak masuk akal, pikirku.
"Saya rasa Anda ingin menahan makhluk itu di sini untuk
sementara, supaya Anda bisa mempelajarinya," aku berkata kepada
Dr. Gray. Dia mengangguk. "Ya. Saya akan melakukan semua tes yang
terpikir oleh saya."
"Tapi apakah saya boleh kembali untuk mengunjunginya?"
tanyaku. Dr. Gray menatapku sambil memicingkan mata. "Kembali"
Dana, apa maksudmu, kembali" Kau takkan ke mana-mana."
Chapter 17 "A-APA?" aku berkata dengan susah payah. Aku yakin sekali
aku cuma salah dengar. Seluruh tubuhku menggigil tak terkendali. Aku menggosokgosok lengan untuk
menghangatkan diriku. "Anda bilang saya takkan ke mana-mana?" tanyaku.
Dr. Gray menatapku dengan matanya yang biru pucat. "Maaf,
Dana, tapi saya rasa kau tidak bisa pergi. Kau terpaksa tetap di sini."
Aku memekik kaget. Dia cuma bercanda! aku berkata dalam
hati. Dia tidak mungkin serius!
Dia tidak mungkin menahanku di sini, pikirku. Tidak mungkin.
Dia tidak boleh menahanku di sini. Itu melanggar hukum.
"Tapi... kenapa?" aku kembali bertanya. Aku tetap belum bisa
percaya. "Kenapa saya tidak boleh pulang?"
"Kau tentu bisa mengerti, bukan?" Dr. Gray menjawab dengan
tenang. "Orang lain tidak boleh tahu mengenai makhluk-makhluk
angkasa luar ini. Orang lain tidak boleh tahu bahwa kita diserbu oleh
makhluk-makhluk dari Mars."
Dia menghela napas. "Kalau rahasia ini sampai bocor, seluruh
dunia akan panik. Dan kau tidak ingin itu terjadi - ya, kan, Dana?"
"A-a-a...," aku berusaha menyahut. Tapi aku terlalu takut.
Terlalu kaget. Terlalu kedinginan.
Dengan gusar aku memelototi Dr. Gray. "Anda harus
melepaskan saya," aku berkata dengan suara gemetaran.
Roman mukanya melunak. "Tolong jangan tatap saya seperti
itu," katanya. "Saya bukan penjahat. Saya tidak bermaksud menakutnakutimu. Dan saya juga tidak bermaksud menyekapmu di sini. Tapi
saya tidak punya pilihan. Saya ilmuwan, Dana. Saya harus
melaksanakan tugas saya."
Aku menatapnya sambil menggigil. Aku tidak tahu harus
berkata apa. Pandanganku beralih ke pintu. Pintunya tertutup rapat,
tapi tidak digerendel. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah aku sanggup mencapai
pintu itu lebih dulu dari dia.
"Kau juga harus diobservasi," Dr. Gray melanjutkan. Dia
menyelipkan kedua tangan ke kantong jas labnya. "Itu sudah
kewajiban saya, Dana."
"Mengobservasi saya?" ujarku. "Untuk apa?"
Dia menunjuk makhluk telur yang kubawa. "Kau sempat
menyentuhnya, bukan" Kau sempat memegangnya" Sempat
mengangkatnya?" Aku mengangkat bahu. "Ehm, yeah. Saya mengangkatnya.
Memang kenapa?" "Nah, kita kan tidak tahu apakah kau tertular kuman
berbahaya," balas Dr. Gray. "Kita tidak tahu apakah makhlukmakhluk ini membawa
kuman atau bakteri berbahaya, atau penyakitpenyakit aneh dari Mars."
Aku menelan ludah. "Penyakit?"
Dia menggaruk-garuk kumisnya. "Saya tidak bermaksud
menakut-nakutimu. Kemungkinan besar kau memang tidak apa-apa.
Kau merasa baik-baik saja, bukan?"
Gigiku bergemeletuk. "Yeah, saya merasa sehat. Saya cuma
kedinginan." "Pokoknya, saya terpaksa menahanmu di sini dan
mengobservasimu. Saya harus mengawasimu dengan saksama. Saya
harus memastikan bahwa tidak ada perubahan pada dirimu karena kau
menyentuh makhluk itu."
Nanti dulu, aku berkata dalam hati.
Aku tidak peduli pada kuman aneh dari Mars. Aku tidak peduli
pada penyakit telur. Aku tidak peduli pada ilmu pengetahuan.
Aku cuma ingin keluar dari sini. Aku ingin keluar dari sini dan
pulang ke rumahku. Anda tidak bisa menahanku di sini, Dr. Gray. Dan Anda juga
takkan menjadikanku sebagai kelinci percobaan.
Soalnya aku akan kabur! Dr. Gray sedang mengatakan sesuatu. Mungkin dia masih
berusaha menjelaskan kenapa dia ingin menahanku di lab yang dingin
ini. Tapi aku tidak mendengarkannya. Aku justru memanfaatkan
kesempatan itu untuk melarikan diri.
Serta-merta aku berlari ke arah pintu keluar.
Makhluk-makhluk telur menghalangi jalanku. Tapi aku
melompati mereka dengan mudah. Dan terus berlari sekencang
mungkin. Terengah-engah aku sampai di pintu. Seluruh tubuhku
menggigil dengan hebat. Aku meraih gagang pintu. Lalu menoleh ke belakang.
Apakah Dr. Gray mengejarku"
Tidak. Dia belum beranjak dari tempatnya.
Bagus! pikirku. Sepertinya dia tidak menduga bahwa aku akan
kabur. Sampai ketemu! Aku menekan gagang pintu. Kemudian menarik kuat-kuat.
Pintunya tidak membuka. Aku menarik lebih keras lagi.
Pintunya tetap tidak bergerak.
Aku berusaha mendorongnya.
Sia-sia. Suara Dr. Gray terngiang-ngiang di telingaku. "Pintu itu
dikendalikan secara elektronis," katanya dengan tenang, "dan sekarang
dalam keadaan terkunci. Pintunya tidak bisa dibuka, kecuali oleh
orang yang memegang unit pengendalinya."
Aku tidak percaya. Aku kembali menarik-narik pintu.
Kemudian mendorong lagi. Ternyata dia tidak bohong. Pintu itu memang dikunci secara
elektronis. Akhirnya aku menyerah. Aku berbalik dan menatapnya.
"Berapa lama saya harus tinggal di sini?" tanyaku.
Suaranya dingin bagaikan es ketika dia menyahut,
"Kelihatannya untuk waktu yang lama sekali."
Chapter 18 "MENYINGKIRLAH dari pintu, Dana," Dr. Gray memberi
perintah. "Cobalah untuk tetap tenang."
Tetap tenang" "Kau tidak perlu kuatir," ilmuwan itu berkata lagi. "Semua
spesimen selalu saya jaga baik-baik."
Spesimen" Aku tidak mau tetap tenang. Dan aku tidak berminat jadi
spesimen. "Saya manusia. Bukan kelinci percobaan," aku membalas
dengan gusar. Tapi sepertinya dia tidak mendengarkan aku. Dia
mengangkatku dan memindahkanku ke samping. Kemudian dia
menekan remote control yang digenggamnya. Pintunya membuka
sejenak saja, dan dia cepat-cepat menyelinap ke luar.
Aku mendengar bunyi "klik" yang keras ketika pintu itu
menutup kembali. Aku terperangkap. Terperangkap di dalam ruangan dingin
bersama tiga lusin makhluk Mars.
Jantungku berdegup kencang. Sekonyong-konyong aku
mendengar suara peluit yang melengking nyaring. Telingaku sampai
nyeri karena bunyi itu. Pelipisku berdenyut-denyut. Aduh. Kepalaku
serasa mau pecah! Seumur hidup aku belum pernah semarah sekarang.
Aku berteriak dengan geram.
Semua makhluk telur mendadak berpencar. Aku berbalik dan
mengamati mereka denga heran. Mereka bersuara bagaikan
sekawanan simpanse kecil.
Rasanya seruangan penuh simpanse yang sibuk berceloteh.
Tapi makhluk-makhluk itu bukan simpanse. Mereka adalah
monster-monster dari Mars. Dan aku terperangkap bersama mereka,
seorang diri. Aku telah menjadi sebuah spesimen.
"Aduuuhhh!" Aku kembali meraung, lalu berlari menghampiri
jendela yang lebar. "Anda tidak boleh mengurung saya di sini!" aku berteriak. Kaca
jendelanya kugedor-gedor dengan kedua tangan.
Rasanya aku ingin menangis. Ingin menjerit-jerit sampai serak
belum pernah aku merasa begitu marah dan ketakutan.
"Lepaskan saya! Dr. Gray - lepaskan saya dari sini! Anda tidak
berhak mengurung saya di sini!" aku berseru-seru. Sekali lagi
kugedor-gedor kaca jendela dengan sekuat tenaga.
Jendela ini akan kugedor sampai pecah, aku berkata dalam hati.
Ya, jendela ini akan kupecahkan. Setelah itu aku akan
memanjat ke luar dan kabur dari sini.
Dengan kalang kabut aku menggedor-gedor jendela. "Lepaskan
saya! Lepaskan saya dari sini!"
Tapi kacanya tebal dan keras sekali. Aku tak mungkin
memecahkannya. "Lepaskan saya!" aku berteriak untuk terakhir kali.
Ketika akhirnya aku berpaling lagi, makhluk-makhluk telur itu
sudah berhenti berceloteh. Semuanya diam seperti patung. Seakanakan mendadak
beku. Aku bakal beku di sini, aku menyadari. Langsung saja aku
mulai menggosok-gosok lenganku. Tapi usaha itu tidak membantu.
Kedua tanganku dingin bagaikan es.
Aku bakal mati kedinginan di sini, aku berkata dalam hati. Aku
bakal berubah jadi tiang es.
Makhluk-makhluk telur itu tak bergerak sedikit pun. Pandangan
mereka tetap terarah padaku. Seakan-akan sedang mempelajariku.
Seakan-akan sedang mempertimbangkan apa yang harus mereka
lakukan terhadapku. Tiba-tiba makhluk telur yang kutemukan memecahkan
keheningan. Aku mengenalinya dari pembuluh-pembuluh berwarna


Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biru di bagian depan tubuhnya. Dia mulai berceloteh dengan ramai.
Makhluk-makhluk telur yang lainnya berpaling, seolah-olah
mendengarkannya. Apakah dia sedang berbicara dengan teman-temannya" Apakah
dia sedang berkomunikasi dengan bahasa Mars yang aneh"
"Moga-moga kau menceritakan bagaimana aku
menyelamatkanmu!" aku berseru padanya. "Moga-moga kau
memberitahu mereka bahwa aku anak baik. Jangan lupa - kau hampir
terisap ke lubang tempat cuci piring di rumah Anne."
Tapi tentu saja makhluk itu tidak mungkin mengerti apa yang
kukatakan. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku berteriak-teriak seperti itu.
Barangkali saking takutnya, aku sudah tak mampu berpikir dengan
kepala dingin. Sementara makhluk telur yang kutemukan sibuk berceloteh, aku
mengamati yang lainnya. Semua makhluk yang lain mendengarkan
sambil membisu. Aku mulai menghitung mereka. Mereka begitu
banyak - dan aku cuma sendirian.
Apakah mereka bersahabat" Apakah mereka suka orang asing"
Apakah mereka suka manusia"
Bagaimana perasaan mereka karena terkunci di ruangan yang
dingin ini" Apakah mereka punya perasaan"
Berbagai macam pertanyaan melintas dalam benakku, dan terus terang saja - aku tidak terlalu berminat mengetahui jawabannya.
Aku cuma ingin keluar dari sini.
Aku memutuskan untuk kembali menggedor-gedor jendela.
Tapi sebelum aku sempat berbalik, makhluk telur yang kutemukan
berhenti berceloteh. Dan kemudian yang lainnya mulai bergerak.
Tanpa bersuara mereka mulai berdesak-desakan dan
membentuk barisan kuning yang lebar.
Dan tiba-tiba saja mereka menyerang.
Chapter 19 "HEI...!" aku memekik kaget, langsung bergerak mundur.
Barisan kuning itu terus bergulir maju.
Aku mundur sampai punggungku membentur jendela.
Aku tidak bisa kabur. "Mau apa kalian?" aku memekik. Suaraku melengking tinggi
karena panik. "Mau apa kalian?"
Aku berbalik dan memukul-mukul jendela dengan telapak
tangan. "Dr. Gray! Dr. Gray! Tolong!"
Apakah makhluk-makhluk itu akan menerjangku" Menerjang
dan menelanku" Di luar dugaanku, makhluk-makhluk telur itu berhenti beberapa
sentimeter di hadapanku. Mereka berputar-putar dan melompatlompat, dan kembali
membentuk lingkaran. Kemudian, dengan gerakan yang cepat dan tanpa bersuara,
mereka bergeser-geser, membentuk segi tiga kuning yang besar.
Aku menatap makhluk-makhluk itu sambil menggigil
kedinginan. Gigiku bergemeletuk.
Mereka ternyata tidak bermaksud menyerang.
Tapi kalau begitu, apa maksud mereka sebenarnya" Kenapa
mereka membentuk lingkaran dan segi tiga" Apakah mereka mencoba
berbicara denganku" Aku menarik napas panjang, berusaha
menenangkan diri. Kau ilmuwan, Dana, aku berkata dalam hati. Bersikaplah
seperti ilmuwan. Jangan bersikap seperti anak kecil yang ketakutan.
Cobalah berbicara dengan mereka.
Selama beberapa detik aku memeras otak. Kemudian kuangkat
kedua tanganku, membentuk lingkaran dengan merapatkan telunjuk
dan jempol. Lingkaran itu kuangkat tinggi-tinggi, supaya terlihat oleh semua
makhluk telur. Setelah itu aku menunggu reaksi mereka.
Gumpalan-gumpalan kuning tersebut telah membentuk segi tiga
besar yang memenuhi hampir seluruh ruangan. Aku melihat mata
mereka beralih ke lingkaran yang kubentuk.
Dan kemudian aku melihat mereka menggelinding dan
bergulir - membentuk lingkaran!
Apakah mereka meniru contohku"
Aku meluruskan jari dan jempol, dan membentuk segi tiga.
Seketika makhluk-makhluk telur itu ikut membentuk segi tiga.
Ya! Kami berkomunikasi! aku menyadari.
Tiba-tiba semangatku bangkit kembali. Aku merasa seperti
seorang pelopor. Aku orang pertama di bumi yang berkomunikasi dengan
makhluk Mars! Makhluk-makhluk itu ternyata bersahabat, aku menyimpulkan.
Mereka tidak berbahaya. Sebenarnya, aku belum tahu pasti apakah mereka berbahaya
atau tidak. Tapi aku begitu gembira bahwa aku bisa berkomunikasi
dengan mereka, sehingga aku tidak mau berprasangka buruk.
Dr. Gray tidak berhak menahan mereka di sini, pikirku.
Dan dia juga tidak berhak mengurungku bersama mereka.
Aku tidak percaya pada alasan dia menyekapku di sini. Alasan
itu terlalu dibuat-buat. Masa sih aku ditahan gara-gara aku sempat menyentuh makhluk
telur itu" Gara-gara aku sempat memegangnya"
Mana mungkin aku percaya bahwa aku bisa celaka gara-gara
hal sepele seperti itu"
Memangnya apa yang bisa terjadi" Apakah kulitku tiba-tiba
akan mengelupas" Ataukah aku akan ketularan penyakit aneh, atau mendadak
berubah bentuk" Yang benar saja! Itu kan tidak masuk akal.
Aku sempat menggotong gumpalan kuning itu - dan nyatanya
sampai sekarang aku tidak apa-apa. Makhluk-makhluk itu bersahabat
denganku, aku berkata dalam hati. Aku tidak mungkin celaka hanya
karena menyentuh salah satu dari mereka.
Aku ilmuwan. Paling tidak, aku bercita-cita jadi ilmuwan.
Karena itu aku harus bersikap ilmiah.
Aku memutuskan untuk memeriksa diriku sendiri - sekadar
untuk memastikan bahwa aku tidak apa-apa.
Aku mengangkat tangan dan mengamati keduanya dengan
saksama, mula-mula yang kanan, lalu yang kiri. Keduanya tampak
biasa saja. Tak ada bintik-bintik yang mencurigakan. Tak ada kulit
yang terkelupas. Jari dan jempolku juga masih lengkap.
Aku menggosok-gosok lenganku. Keduanya masih utuh, tidak
kurang apa pun. Sebaiknya kuperiksa seluruh badan sekalian, aku berkata dalam
hati. Aku membungkuk dan menggenggam kaki kiriku. Ternyata
kakiku lembek sekali! "Aduh!" aku meratap.
Sekali lagi kuremas kakiku. Tetap lembek.
Tanpa menoleh pun, aku sudah tahu apa yang terjadi.
Aku sedang berubah. Aku sedang berubah menjadi gumpalan
telur dadar! Chapter 20 "ADUH! Oh, jangan - jangan!"
Aku meremas mata kakiku yang terasa bagaikan spons. Aku
tidak berani memandang ke bawah. Aku tidak tega melihat apa yang
sedang terjadi pada diriku.
Tapi aku tidak punya pilihan.
Perlahan-lahan aku menundukkan kepala.
Dan kemudian aku melihat bahwa yang kuremas ternyata bukan
kakiku, melainkan salah satu makhluk telur.
Seketika aku melepaskannya, aku tertawa sendiri dengan lega.
"Oh, bodohnya aku!"
Bagaimana mungkin aku menyangka bahwa gumpalan lembek
itu kakiku" Aku memperhatikan makhluk Mars mungil itu bergegas
kembali ke teman-temannya.
Aku menggelengkan kepala. Meskipun tak ada siapa-siapa di
sana, aku merasa konyol sekali.
Tenang saja, Dana, aku menegur diriku sendiri. Jangan panik
dong. Tapi bagaimana mungkin aku bisa tetap tenang.
Sepertinya udara di ruangan itu bertambah dingin. Aku tak
berhenti menggigil. Sampai kukunci rahangku pun, gigiku tetap
bergemeletuk. Aku menjepit hidung. Rasanya dingin dan nyaris beku. Aku
menggosok-gosok telinga. Telingaku juga kaku.
Aduh, ini tidak main-main, pikirku. Aku mulai panik. Dadaku
mulai terasa sesak karena ngeri. Aku benar-benar bakal beku kalau
tetap di sini. Aku berusaha memikirkan hal-hal yang hangat. Aku
membayangkan suasana pantai di tengah musim panas. Aku
membayangkan api yang menari-nari di perapian di rumahku.
Tapi usaha itu tidak membantu.
Aku tetap menggigil tak terkendali.
Aku harus melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiranku
dari hawa dingin ini, aku memutuskan.
Makhluk-makhluk telur di sekelilingku telah menyebar ke
seluruh ruangan. Aku kembali mengangkat tangan dan membentuk
segi tiga. Mereka menatap tanganku, tapi tidak bergerak sedikit pun.
Aku melengkungkan jari untuk membentuk lingkaran.
Tapi lagi-lagi mereka tidak menggubrisku.
"Sepertinya kalian sudah bosan dengan permainan ini, ya?"
ujarku. Aku mencoba membengkokkan jempol dan jari-jariku untuk
membentuk persegi panjang. Tapi tidak berhasil. Jempol dan jari
memang tidak bisa membentuk persegi panjang dengan sempurna.
Kecuali itu, makhluk-makhluk telur itu memang tidak terlalu
memperhatikan apa yang kulakukan.
Aku bakal mati beku, aku kembali berkata dalam hati. Beku.
Beku. Beku. Kata itu terngiang-ngiang di telingaku.
Aku duduk di pojok ruangan sambil menyandarkan
punggungku ke dinding. Aku menarik lutut, untuk menyimpan panas
tubuhku. Atau apa yang tersisa dari panas tubuhku.
Tiba-tiba aku mendengar bunyi dari balik jendela. Serta-merta
aku bangkit lagi. Seseorang sedang mendekat. Dr. Gray" Apakah dia akan
melepaskanku" Aku berpaling ke pintu. Aku mendengar suara langkah di
lorong di luar. Lalu ada bunyi logam berdenting.
Sebuah celah membuka di bagian kiri pintu, beberapa
sentimeter di atas lantai. Sebuah baki makanan didorong masuk, lalu
dibiarkan jatuh begitu saja.
Aku bergegas menghampiri pintu. Makaroni panggang lapis
keju dan sekotak susu. "Aku benci makaroni panggang!" aku memekik. Tak ada
jawaban. "Aku benci makaroni! Aku benci makaroni!" Aku mulai
kehilangan kendali lagi. Tapi aku tidak peduli.
Aku berlutut di depan baki dan mengulurkan tanganku ke atas
piring makaroni. Uapnya menghangatkan tanganku.
Paling tidak makanannya masih panas, pikirku.
Aku duduk di lantai dan menaruh baki itu di pangkuanku.
Kemudian aku melahap makaroni yang disediakan, sekadar agar
tubuhku terasa lebih hangat.
Rasanya tidak karuan. Dan aku benci lapisan keju yang lembap
dan kental di atasnya. Tapi sehabis makan aku memang merasa lebih
hangat. Susu kotaknya tidak kusentuh sama sekali. Soalnya terlalu
dingin. Setelah makan, kusingkirkan baki dan bangkit kembali. Aku
menghampiri jendela dan mulai menggedor-gedornya dengan tangan
terkepal. "Dr. Gray - lepaskan saya!" aku berseru. "Dr. Gray - saya tahu
Anda bisa mendengar saya. Keluarkan saya dari sini! Anda tidak
boleh mengurung saya di sini, dan memaksa saya makan makaroni
panggang lapis keju! Lepaskan saya!"
Aku berteriak-teriak sampai serak. Tapi tak ada jawaban. Tak
ada suara apa pun dari balik kaca.
Dengan kesal aku berbalik.
"Aku harus mencari jalan untuk keluar dari sini," ujarku. "Aku
harus bisa keluar!" Dan tiba-tiba aku mendapat ide.
Chapter 21 SAYANG sekali, ide itu ternyata ide yang buruk.
Ideku termasuk jenis ide yang timbul kalau kita sedang panik
karena terancam mati beku.
Mau tahu apa ideku itu" Aku bermaksud menelepon ke rumah
dan minta agar mereka menjemputku di sini.
Satu-satunya masalah adalah bahwa di tempat aku disekap tidak
terdapat pesawat telepon.
Aku mencari dengan saksama. Di dinding belakang ada rak
logam yang tingginya sampai ke langit-langit. Tapi isinya hanya bukubuku ilmiah
dan berbagai berkas. Lalu di salah satu sudut ada meja.
Tapi mejanya kosong. Selain itu tidak ada perabot apa pun.
Tidak ada apa-apa di ruangan itu selain aku dan makhlukmakhluk-telur itu.
Aku terpaksa mencari ide lain, dan ide itu tidak boleh
melibatkan pesawat telepon.
Masalahnya, aku kehabisan akal. Aku kembali mencoba
membuka pintu. Siapa tahu Dr. Gray sembrono dan membiarkannya
tidak terkunci. Sayang sekali harapanku tidak terkabul.
Aku memeriksa celah tempat baki makanan tadi dimasukkan.
Tingginya hanya beberapa sentimeter saja. Terlalu sempit untuk
menyelinap keluar. Aku terperangkap. Aku tertawan. Aku menjadi kelinci
percobaan. Dengan lesu aku duduk di lantai dan menyandarkan punggung
ke dinding. Aku menarik lutut dan merangkul keduanya dengan
tangan. Aku sengaja meringkuk begitu agar tubuhku tetap hangat.
Sampai kapan Dr. Gray akan menyekapku di sini" Untuk
selama-lamanya" Aku mendesah panjang. Tapi kemudian aku teringat sesuatu
yang sedikit menghiburku. Dan harapanku pun bangkit kembali.
Aku baru teringat bahwa aku sempat memberitahu Anne ke
mana aku akan pergi. Aku sempat memberitahu dia bahwa aku akan membawa
makhluk telur itu ke lab ilmiah. Tadi pagi di pekarangan belakang
rumahnya. Yeah, berarti aku takkan celaka! aku menyadari.
Aku melompat berdiri dan mengangkat kedua tanganku.


Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian aku bersorak-sorai dengan gembira. "Yesss!"
Aku tahu persis apa yang bakal terjadi.
Pada saat aku tidak muncul untuk makan malam, orangtuaku
akan menelepon Anne. Sebab di situlah biasanya aku berada pada saat
aku seharusnya ada di rumah untuk makan malam.
Anne akan memberitahu mereka bahwa aku pergi ke lab ilmiah
di Denver Street. Mommy akan berkata, "Wah, seharusnya Dana sudah pulang
jam segini." Daddy akan berkata, "Sebaiknya kujemput saja." Dan kemudian
dia akan menyelamatkanku.
Aku tahu ini hanya masalah waktu. Beberapa jam lagi ayahku
akan muncul dan membebaskanku dari penjara dingin ini.
Perasaanku langsung lebih enak.
Aku kembali duduk di lantai dan bersandar ke dinding. Semua
makhluk telur memandang ke arahku. Mereka menatapku sambil
membisu. Barangkali mereka pun sedang mempelajariku.
Aku tidak tahu kapan aku ketiduran. Saking capeknya, aku
tidak sadar bahwa aku akhirnya terlelap Aku juga tidak tahu berapa
lama aku tertidur. Aku terbangun karena mendengar suara-suara.
Suara-suara dari ruang di ujung lorong.
Seketika aku sadar sepenuhnya, dan langsung duduk tegak. Aku
pasang telinga. Dan mendengar suara Daddy.
Yes! Dia ada di sini. Dia datang untuk menyelamatkanku. Yes!
Aku berdiri, meregangkan otot-ototku yang terasa pegal, dan
bersiap-siap untuk menyambut ayahku.
Dan kemudian, dari ruang di ujung lorong, aku mendengar Dr.
Gray berkata, "Maaf, Mr. Johnson, putra Anda tidak mampir ke sini."
Chapter 22 "ANDA yakin?" aku mendengar Daddy bertanya.
"Tentu," sahut Dr. Gray. "Saya satu-satunya orang di sini.
Sebenarnya hari ini lab kami tutup. Dan tidak ada tamu sama sekali."
"Tinggi anak saya kira-kira segini," kata ayahku lagi.
"Rambutnya berwarna gelap, dan memakai kacamata."
"Maaf. Sayang sekali saya tidak bisa, membantu Anda," Dr.
Gray berkeras. "Tapi dia memberitahu temannya bahwa dia akan kemari.
Katanya ada sesuatu yang ingin diperlihatkannya kepada seorang
ilmuwan. Dan sepedanya juga tidak ada di garasi."
"Hmm, silakan mencari sepeda putra Anda di luar," Dr. Gray
berkata kepada Daddy. "Tapi saya rasa Anda takkan menemukannya
di sini." Dia memindahkan sepedaku! pikirku. Supaya tak ada yang bisa
menemukannya! Aku berteriak dengan geram dan berlari menghampiri jendela.
"Dad - aku di sini!" seruku. Kutempelkan tangan di sekeliling mulut
agar suaraku bertambah keras. "Dad! Daddy bisa dengar aku" Aku di
sini! Daddy?" Aku menarik napas dalam-dalam dan pasang telinga. Saking
kerasnya jantungku berdegup, suara-suara di depan nyaris tak
terdengar. Ayahku dan Dr. Gray terus berbicara dengan suara yang pelan
dan tenang. "Dad! Daddy bisa dengar aku"!" aku menjerit. "Ini aku! Dana!
Aku di sini, Dad! Di belakang! Bebaskan aku!"
Suaraku terdengar parau. Leherku terasa sakit karena terlalu
banyak berteriak. "Dad - tolong!"
Napasku terengah-engah ketika aku menempelkan telinga ke
jendela dan berusaha mendengarkan percakapan mereka.
"Hmm, ini memang aneh sekali, Mr. Johnson," Dr. Gray sedang
berbicara. "Putra Anda sama sekali tidak berkunjung kemari. Tapi
barangkali Anda ingin melihat-lihat lab kami dulu?"
Ayo, Dad! aku berkata dalam hati. Terimalah ajakannya.
Katakan padanya bahwa Dady mau lihat-lihat keadaan di sini!
Tolonglah! "Terima kasih, tapi saya rasa itu tidak perlu," aku mendengar
Daddy menjawab. "Sebaiknya saya cari dia di tempat lain. Sekali lagi
terima kasih, Dr. Gray."
Aku mendengar Daddy berpamitan.
Aku mendengar pintu depan menutup.
Dan aku tahu bahwa aku akan celaka.
Chapter 23 "ADUH, kok jadi begini?" aku mengeluh. "Padahal aku sudah
hampir selamat!" Aku kembali duduk di lantai. Benar-benar putus asa. Rasanya
aku ingin ditelan bumi saja.
Tenggorokanku sampai sakit karena terlalu banyak berteriak.
Tapi kenapa Daddy tidak mendengarku" Padahal aku bisa mendengar
dia. Dan kenapa dia percaya begitu saja pada cerita bohong yang
disuguhkan Dr. Gray" Kenapa dia tidak memeriksa sendiri keadaan
dalam lab" Kalau saja dia mau masuk, dia pasti akan melihatku melalui
jendela. Dan aku akan selamat.
Ternyata Dr. Gray benar-benar jahat. Dia bilang dia cuma
tertarik pada ilmu pengetahuan semata-mata, tapi rupanya itu hanya
dalih saja. Dia cuma pura-pura memikirkan kesehatan dan
keselamatanku. Dia berbohong bahwa dia menahanku di sini untuk
memastikan bahwa aku tidak apa-apa.
Nyatanya dia juga membohongi Daddy.
Aku meringkuk di lantai dan menggigil tak terkendali. Udara
yang dingin seperti menembus kulitku. Aku memejamkan mata dan
menundukkan kepala. Aku harus tetap tenang. Aku tahu aku harus tenang agar dapat
berpikir dengan jernih. Tapi aku tidak sanggup. Aku merinding bukan
cuma karena aku kedinginan, tapi juga karena aku ketakutan setengah
mati. Aku menegakkan kepala ketika mendengar suara-suara di
depan. Aku menahan napas dan pasang telinga.
Sepertinya suara Daddy. Atau jangan-jangan aku sudah mulai berkhayal macam-macam"
"Barangkali ada baiknya kalau saya lihat-lihat dulu." Sepertinya
itu yang dikatakan ayahku.
Mimpikah aku" Tidak. Aku mendengar Dr. Gray menyahut sambil bergumam.
Kemudian aku mendengar Daddy berkata, "Kadang-kadang Dana
menyusup ke tempat-tempat yang seharusnya tidak boleh dia datangi.
Dia sangat berminat pada ilmu pengetahuan, Dr. Gray. Mungkin saja
dia menyelinap masuk melalui pintu belakang."
"Yes!" aku bersorak dengan gembira. "Yes!" Sepertinya setiap
kali aku sudah putus asa, aku tiba-tiba mendapat kesempatan baru
lagi. Aku langsung berdiri dan menghampiri jendela. Dalam hati aku
berdoa agar Daddy berjalan sampai ke belakang dan melihatku.
Beberapa detik kemudian, aku melihat ayahku dan Dr. Gray di
ujung lorong yang panjang. Dr. Gray berjalan di depan, membukakan
pintu demi pintu. Mereka mengintip ke setiap lab, lalu kembali
melangkah. "Dad!" aku memanggil. "Daddy bisa mendengarku" Aku di
belakang sini! Meskipun wajahku sudah menempel pada daun jendela, dia
tetap tidak bisa mendengarku.
Kacanya kugedor-gedor. Tapi Daddy terus berjalan bersama Dr.
Gray. Dia sama sekali tidak menengok.
Aku menunggu sampai mereka mendekat. Jantungku berdegup
kencang sekali. Mulutku kering kerontang. Aku semakin merapat ke
jendela. Beberapa detik lagi ayahku akan menoleh ke jendela dan
melihatku. Dan setelah itu aku akan bebas - dan Dr. Gray harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Aku memperhatikan mereka melangkah maju. Tangan dan
hidungku menempel di jendela. Lampu di ujung lorong sebelah sini
tidak menyala. Tapi aku bisa melihat mereka melongok ke lab di
seberang. "Dad!" aku berseru. "Dad - aku di sebelah sini!"
Aku tahu dia tidak bisa mendengarku. Tapi aku tetap berusaha
memanggilnya. Selama beberapa detik mereka masuk ke salah satu lab.
Kemudian mereka keluar lagi dan berjalan ke arahku.
Mereka bercakap-cakap dengan suara pelan. Aku tidak
mendengar apa yang mereka bicarakan. Ayahku menatap Dr. Gray.
Tengok ke sini, Dad, aku berkata dalam hati. Tengok ke sini!
Lihatlah ke jendela! Mereka terus bercakap-cakap, lalu menghilang di balik pintu
lain. Apa sih yang mereka bicarakan" aku bertanya dalam hati.
Beberapa detik kemudian mereka kembali muncul di lorong,
dan menuju ke arahku. Tolong, Dad! Aku di sini! Aku merapatkan wajah ke kaca
jendela. Kacanya kugedor-gedor dengan tangan terkepal. Daddy
menoleh. Dia menatap ke jendela. Dia menatapku. Aku selamat! aku menyadari.
Aku akan segera terbebas dari sini.
Daddy menatapku selama beberapa detik.
Kemudian dia kembali berpaling kepada Dr. Gray. "Terima
kasih, Anda telah mengantar saya berkeliling," katanya. "Kelihatannya
Dana memang tidak ada di sini. Maaf, saya telah mengganggu Anda."
Chapter 24 "DADDY! aku di sini!" aku memekik. "Aku persis di depan
mata Daddy!" Kenapa dia tidak melihatku"
Apakah aku mendadak tembus pandang"
"Maaf, saya telah mengganggu Anda, Dr. Gray," aku
mendengar ayahku berkata sekali lagi.
"Moga-moga Anda segera menemukan Dana," Dr. Gray
menyahut. "Tapi saya rasa Anda tidak perlu kuatir. Kemungkinan
besar dia main ke rumah temannya, lalu lupa waktu. Anda tahu sendiri
bagaimana anak-anak."
"Aduuuhhhh!" aku meratap panjang. "Dad - jangan pergi!
Jangan pergi!" Dengan mata terbelalak aku memperhatikan Dad berpaling dan
menyusuri lorong yang panjang ke arah pintu depan.
Sambil berseru-seru aku kembali menggedor kaca jendela
dengan tangan terkepal. "Dad! Dad! Daddy!" aku memanggil seirama
pukulan tanganku. Daddy berbalik. "Eh, suara apa itu?" tanyanya kepada Dr. Gray.
Ilmuwan itu ikut menoleh.
Aku semakin keras menggedor jendela. Aku menggedor-gedor
sampai tanganku terasa nyeri. "Daddy! Daddy! Daddy!" aku
memanggil tanpa henti. "Kedengarannya seperti ada yang menggedor-gedor?" tanya
ayahku. "Oh, itu cuma pipa-pipa," jawab Dr. Gray. "Belakangan ini
banyak masalah dengan pipa-pipa di sini. Kami sudah memanggil
tukang, tapi dia baru bisa datang hari Senin."
Daddy mengangguk. Dia kembali melangkah ke pintu depan. Aku mendengar dia
berpamitan pada Dr. Gray. Dan kemudian aku mendengar pintu depan
menutup di belakangnya. Aku tahu kali ini dia takkan kembali.
Aku tidak beranjak dari jendela. Pandanganku tidak beralih dari
lorong panjang itu. Beberapa detik kemudian, aku melihat Dr. Gray berjalan ke
arahku. Dia tampak merengut dengan kesal.
Aku jadi tawanannya, pikirku dengan suram.
Apa yang akan dilakukannya terhadapku"
Chapter 25 DR. GRAY berhenti di depan jendela. Dia menyalakan lampu
di lorong. Dalam cahaya yang terang, aku bisa melihat butir-butir keringat
yang menempel di dahinya. Dia mengerutkan kening dan menatapku
dengan matanya yang biru.
"Usahamu boleh juga, Dana," katanya sambil tersenyum
masam. "Hah" Apa maksud Anda?" aku menyahut dengan suara parau.
Kakiku gemetaran tak terkendali. Bukan karena aku kedinginan,
melainkan karena benar-benar ketakutan sekarang.
"Kau hampir berhasil menarik perhatian ayahmu," jawab Dr.
Gray. "Dan itu tidak bagus. Sebab semua rencana saya akan hancur
berantakan." Kutempelkan kedua tanganku ke kaca jendela. Aku berusaha
keras agar tubuhku tidak gemetaran lagi.
"Kenapa ayah saya tidak bisa melihat saya?" tanyaku.
Dr. Gray mengusap sisi luar jendela dengan sebelah tangan. "Ini
kaca satu arah," dia menjelaskan. "Orang di lorong tidak bisa melihat
ke dalam - kecuali kalau lampu di lorong dinyalakan dulu."
Aku menghela napas. "Jadi...?"
"Ayahmu hanya melihat kegelapan," ilmuwan itu menyahut
sambil tersenyum puas. "Dia pikir dia sedang memandang ke ruangan
yang kosong. Sama seperti kau tadi - sebelum saya menyalakan
lampu." "Tapi kenapa dia tidak mendengar saya?" aku kembali bertanya.
"Padahal saya sudah berteriak-teriak dengan sekuat tenaga?"
Dr. Gray menggelengkan kepala. "Itu cuma buang-buang
waktu. Ruangan tempat kau berada seratus persen kedap suara. Tak
ada bunyi yang bisa keluar ke lorong."
"Tapi saya bisa mendengar Anda!" seruku. "Saya mendengar
setiap kata yang diucapkan Anda dan ayah saya tadi. Dan Anda juga
bisa mendengar saya sekarang."
"Saya memasang pengeras suara di dinding," Dr. Gray
menjelaskan. "Saya bisa menyalakan dan mematikannya dengan unit
pengendali yang mengunci pintu."
"Jadi saya bisa mendengar Anda, tapi Anda tidak bisa
mendengar saya?" gumamku.
"Sebenarnya kau ini cerdas sekali," dia menyahut. Matanya
yang biru berbinar-binar. "Dan saya tahu kau cukup cerdas untuk tidak
berbuat macam-macam lagi.
"Anda harus melepaskan saya!" aku menjerit. "Anda tidak bisa
mengurung saya di sini!"
"Oh, bisa saja," katanya pelan-pelan. "Saya bisa menyekapmu
selama saya suka." "Tapi... tapi...," aku tergagap-gagap. Saking ngerinya, aku tidak


Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa berkata apa-apa. "Saya berkewajiban untuk menahanmu di sini," Dr. Gray
meneruskan dengan tenang. Dia sama sekali tidak peduli bahwa aku
begitu ketakutan dan bingung. Dia sama sekali tidak peduli padaku.
Sepertinya dia tidak waras, pikirku.
Dia gila dan jahat. "Saya berkewajiban untuk menahanmu di sini," dia mengulangi.
"Saya harus memastikan bahwa kau tidak apa-apa setelah memegang
makhluk telur itu. Saya harus memastikan bahwa makhluk telur itu
tidak menularkan kuman, yang mungkin akan menular lagi kepada
orang-orang lain." "Lepaskan saya!" aku memekik. Aku terlalu ngeri untuk
mendebat dia. Terlalu marah untuk berpikir dengan tenang. "Lepaskan
saya! Lepaskan saya!" aku menuntut, sambil menggedor-gedor kaca
sampai tanganku terasa nyeri.
"Beristirahatlah, Dana," Dr. Gray memberi instruksi. "Jangan
sampai kau kelelahan, Nak. Besok pagi saya akan memulai
serangkaian tes. Ada banyak, banyak sekali tes yang harus saya
lakukan." "T-tapi s-saya k-kedinginan," aku tergagap-gagap. "Lepaskan
saya dari sini. Atau paling tidak, biarkan saya bermalam di tempat
yang hangat." Permohonanku tak digubrisnya. Dia mematikan lampu di lorong
dan berpaling. Aku memperhatikannya menyusuri lorong yang panjang.
Kemudian dia menghilang di balik pintu di depan. Dia melangkah
maju, dan membanting pintu di belakangnya.
Aku berdiri sambil menggigil, dengan jantung berdegup-degup.
Aku benar-benar kedinginan - dan benar-benar ketakutan.
Sama sekali tak terbayangkan olehku bahwa keadaannya bakal
lebih mengerikan lagi! Chapter 26 SAKING ngototnya aku berusaha menarik perhatian ayahku
tadi, aku nyaris melupakan makhluk-makhluk telur itu. Kini aku
berpaling dari jendela dan melihat bahwa semuanya telah menyebar
ke seluruh ruangan. Mereka semua diam seperti patung. Tak ada yang bergetar
ataupun melonjak-lonjak. Dan sepertinya mereka semua memandang
ke arahku. Dr. Gray telah memadamkan semua lampu, kecuali lampu kecil
yang redup di langit-langit. Makhluk-makhluk telur itu tampak pucat
dan kelabu dalam cahaya yang redup.
Bulu kudukku berdiri. Apakah aku aman tidur seruangan dengan mereka" Tiba-tiba
aku merasa letih sekali. Seluruh tubuhku pegal dan linu. Kepalaku
serasa berputar-putar. Aku perlu tidur. Aku tahu aku harus beristirahat kalau aku ingin fit dan siaga
besok. Dan aku tahu aku harus fit dan siaga kalau aku ingin keluar
dari sini. Tapi kalau aku tidur, apa yang akan dilakukan makhlukmakhluk telur itu"
Mungkinkah mereka tidak menggangguku" Mungkinkah
mereka ikut tidur" Ataukah mereka akan mencoba mencelakakanku" Apakah
mereka bersahabat" Atau jahat"
Apakah mereka memiliki kecerdasan"
Aku sama sekali tidak tahu.
Aku cuma tahu bahwa aku tidak bisa melek lagi. Mataku terasa
berat sekali. Aku duduk di pojok ruangan dan merangkul lutut supaya tetap
hangat. Tapi sia-sia. Udaranya terlalu dingin. Hidungku beku.
Telingaku kaku. Kacamataku melekat di wajahku.
Walaupun aku sudah meringkuk seperti itu, aku tetap saja
menggigil tak terkendali.
Aku bakal mati beku, aku menyadari.
Kalau Dr. Gray besok pagi datang, dia akan menemukanku
tergeletak kaku di lantai. Sebab besok pagi aku pasti sudah berubah
jadi balok es. Aku menatap makhluk-makhluk telur di sekelilingku.
Semuanya membalas tatapanku dalam cahaya yang remang-remang.
Sunyi. Saking heningnya, aku rasanya ingin menjerit dengan sekuat
tenaga. "Kalian tidak kedinginan?" seruku pada mereka. Suaraku
terdengar serak dan pelan karena terlalu banyak berteriak. "Kalian
tidak takut mati beku?" aku bertanya dengan suara melengking.
"Bagaimana kalian bisa tahan di udara dingin seperti ini?"
Tapi tentu saja tak ada yang menyahut.
"Dana, jangan panik!" aku memarahi diriku sendiri. "Kau tidak
boleh panik!" Aku sedang mencoba berbicara dengan segerombolan gumpalan
telur dari planet lain! Mana mungkin makhluk-makhluk itu mengerti
yang kukatakan" Mereka menatapku sambil membisu. Tak ada yang bergetar.
Tak satu pun bergerak. Mata mereka yang kecil dan gelap tampak
bersinar karena memantulkan cahaya redup lampu di langit-langit.
Barangkali mereka sedang tidur, pikirku.
Barangkali mereka tidur dengan mata terbuka. Barangkali itu
sebabnya mereka tidak bergerak. Barangkali itu sebabnya mereka
semua diam seperti patung. Soalnya mereka sedang tertidur lelap.
Pikiran itu membuatku agak terhibur.
Aku semakin erat memeluk lutut dan berusaha tidur juga. Kalau
saja aku bisa berhenti menggigil.
Aku memejamkan mata. Tidur, tidur, tidur, aku mengulangulangi dalam hati.
Tapi percuma. Ketika aku melek lagi, aku melihat makhluk-makhluk telur itu
mulai bergerak. Ternyata aku keliru. Mereka sama sekali tidak tidur.
Mereka terjaga sepenuhnya. Dan mereka semua bergerak secara
bersamaan. Serempak. Semuanya bergerak mendekatiku.
Chapter 27 " OHHH!" aku mengerang tertahan.
Dari tadi tubuhku sudah menggigil karena kedinginan. Tapi
sekarang aku gemetaran karena ngeri.
Makhluk-makhluk telur itu bergerak cepat sekali.
Mereka semua berkumpul di tengah-tengah ruangan, saling
membentur, saling mendesak.
Aku berusaha bangkit. Tapi kakiku tidak mau diajak bekerja
sama. Lututku menekuk seakan-akan terbuat dari karet, dan aku
terduduk kembali di lantai. Aku merapatkan punggung ke pojok
ruangan - dan memperhatikan makhluk-makhluk itu sambil menahan
napas. Aku mendengar bunyi plop, plop, plop ketika mereka saling
menubruk. Dan sambil saling membentur, semuanya menggelinding maju.
Menggelinding ke arahku. "Mau apa kalian?" aku menjerit dengan suara melengking
tinggi. "Aku mau diapakan?"
Mereka tidak menyahut. Bunyi plop memenuhi seluruh ruangan ketika makhlukmakhluk itu saling menubruk
dan membentur. "Jangan ganggu aku!" aku memekik. Sekali lagi aku berusaha
bangkit. Kali ini aku berhasil berlutut. Tapi aku terlalu gemetar untuk
bisa berdiri tegak. "Aku mohon - jangan ganggu aku! Kalian akan kubantu
melarikan diri juga!" aku berjanji. "Sungguh. Percayalah. Aku akan
membantu kalian - besok. Tapi kalian jangan ganggu aku malam ini."
Sepertinya mereka tidak mengerti.
Sepertinya mereka bahkan tidak mendengarkan aku!
Mau apa mereka sebenarnya" aku bertanya-tanya sambil
memperhatikan makhluk-makhluk itu bergerak maju. Kenapa mereka
saling menubruk seperti ini"
Kelihatannya mereka sengaja menunggu sampai aku hampir
ketiduran, aku menyadari. Kelihatannya mereka sengaja menunggu
saat yang tepat untuk menyergapku.
Berarti mereka hendak melakukan sesuatu yang tidak
menyenangkan terhadapku. Sesuatu yang takkan kusukai.
Aku merapatkan punggung ke dinding.
Makhluk-makhluk telur itu menggelinding dengan cepat.
Semuanya tampak kelabu dalam cahaya yang remang-remang.
Aku menatap mereka sambil memicingkan mata. Dan kemudian
aku melihat bahwa semuanya telah bergabung menjadi satu.
Mereka tak lagi merupakan gerombolan makhluk telur yang
mungil. Mereka telah bergabung dan membentuk satu makhluk telur
raksasa! Aku berhadapan dengan sebuah karpet telur yang bergetargetar. Saking besarnya,
"karpet" itu menutupi hampir seluruh lantai.
Dan "karpet" itulah yang kini bergerak menghampiriku.
"Hei! Jangan - hei!" aku berkata dengan suara parau.
Aku tahu aku seharusnya berdiri. Aku tahu aku seharusnya
berusaha kabur. Tapi kabur ke mana" Mana mungkin aku bisa meloloskan diri dari sergapan karpet
telur ini" Aku seperti lumpuh. Aku cuma tergeletak di lantai dan
menyaksikannya mendekat. "Ohhh!" aku kembali mengerang ketika karpet itu mulai
merambat lewat sepatuku. Gerakannya begitu cepat. Karpet itu mulai menelan sepatuku, celana jinsku, pinggangku.
Aku tergeletak tak berdaya, sementara aku ditelan hidup-hidup.
Aku tak bisa bergerak. Aku tak sanggup melawan, tak sanggup berbuat apa-apa.
Aku hanya bisa pasrah pada nasib.
Chapter 28 SEHARUSNYA aku berusaha bangkit.
Seharusnya aku melawan. Tapi terlambat. Kumpulan makhluk yang hangat dan lengket itu
menyelubungiku bagaikan selimut tebal.
Aku mengangkat kedua tangan. Mengangkat kedua lutut.
Berusaha berguling ke samping.
Tapi tak bisa. ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Aku berusaha merangkak keluar. Tapi selimut hidup yang berat
itu menahanku di lantai. Makhluk-makhluk itu mulai menyelubungi pinggangku. Lalu
dadaku. Apakah kepalaku juga akan tertutup" Apakah aku akan mati
lemas karena kehabisan napas"
Aku memukul-mukul dengan tangan terkepal.
Tapi segala usaha sudah terlambat.
Selimut hidup itu merayap naik. Mendekati leherku. Begitu
hangat dan berat. Aku menggerakkan kepala ke kiri-kanan. Aku berusaha
menggelinding ke samping.
Tapi sia-sia saja. Aku terperangkap di bawah selimut hidup yang menutupi
tubuhku sampai ke leher. Aku merasakannya bergetar. Berdenyut-denyut. Tubuhku
terbungkus lusinan monster telur yang saling menempel.
Aku menghirup udara dalam-dalam, lalu menahan napas ketika
selimut hangat itu naik sampai ke daguku. Tangan dan kakiku tak bisa
bergerak sedikit pun. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan.
Aku benar-benar tak berdaya.
Di luar dugaanku, selimut hidup itu berhenti tepat di bawah
daguku. Aku mengembuskan napas panjang.
Kemudian aku menunggu. Betulkah makhluk-makhluk telur itu telah berhenti" Ya!
Selimut hidup itu tidak menutupi kepalaku. Selimut itu
membungkus tubuhku sambil berdenyut-denyut dengan irama tetap.
Seakan-akan memiliki dua lusin detak jantung.
Rasanya begitu hangat. Aku merasa hangat sekali di bawah selimut hidup itu. Bahkan
hampir bisa dibilang nyaman.
Aku mendesah perlahan. Akhirnya aku bisa berhenti menggigil.
Tangan dan kakiku tak lagi terasa beku. Aku tak lagi gemetaran
karena kedinginan. Hangat. Aku merasa begitu hangat.
Tanpa sadar aku mengembangkan senyum. Rasa takutku
mereda bersamaan dengan menghangatnya tubuhku.
Makhluk-makhluk telur ini tidak bermaksud buruk, aku
menyadari. Mereka justru ingin menolongku.
Mereka bergabung untuk membentuk selimut. Selimut hidup
yang hangat dan nyaman. Mereka bekerja sama agar aku tidak beku.
Mereka menyelamatkan aku!
Aku terbaring di bawah selimut yang hangat dan berdenyutdenyut. Tiba-tiba aku
merasa tenteram sekali, dan mengantuk. Dalam
sekejap saja aku sudah tertidur pulas.
Aku tidur begitu nyenyak.
Tapi meskipun aku bisa beristirahat dengan nyaman, aku tetap
tidak siap menghadapi kengerian yang menantiku keesokan paginya.
Chapter 29 MALAM itu aku terjaga beberapa kali. Mula-mula aku kaget
sekali ketika menyadari bahwa aku tidak di tempat tidurku sendiri di
rumah. Tapi selimut hidup yang hangat dan berdenyut-denyut itu
langsung membuatku tenang kembali. Aku memejamkan mata dan
segera terlelap lagi. Keesokan paginya aku terbangun karena mendengar suara
bernada marah. Aku merasa sepasang tangan meraih pundakku
dengan kasar. Seseorang sedang mengguncang-guncang pundakku agar aku
bangun. Aku membuka mata dan melihat Dr. Gray membungkuk di
atasku dengan jas labnya yang putih. Wajahnya merengut karena
marah, sambil berseru-seru dengan kesal.
"Dana - apa yang kaulakukan"! Apa yang kaulakukan terhadap
monster-monster telur ini"!"
"Hah?" Aku masih terkantuk-kantuk. Aku berusaha
memfokuskan mata. Kepalaku bergoyang-goyang ketika pundakku
diguncang-guncang oleh ilmuwan yang sedang marah itu.
"Lepaskan saya!" aku akhirnya berkata dengan suara parau.
"Apa yang kaulakukan terhadap mereka?" tanya Dr. Gray


Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan nada menuduh. "Bagaimana caranya kau mengubah mereka
menjadi selimut?" "S-saya tidak melakukan apa-apa!" aku tergagap-gagap.
Dia meraung-raung dengan geram. "Kau menghancurkan
semuanya!" dia membentak dengan gusar.
"S-saya...," aku mulai berkata sambil berusaha mengusir rasa
kantuk. Dia melepaskan pundakku dan meraih selimut hidup itu dengan
kedua tangan. "Apa yang kaulakukan, Dana?" dia bertanya sekali lagi.
"Kenapa kaulakukan ini?"
Sambil meraung dia mengangkat selimut itu - dan
melemparnya ke dinding. Aku mendengar bunyi plop ketika makhluk-makhluk telur itu
membentur dinding lab. Aku mendengar mereka memekik-mekik
kesakitan. Kemudian semuanya terjatuh ke lantai.
"Anda tidak boleh begitu, Dr. Gray!" aku menjerit. Cepat-cepat
aku bangkit. Kulitku masih terasa hangat karena selimut hidup itu.
"Anda menyakiti mereka!" aku menuduh.
Aku menatap selimut kuning yang tergeletak di lantai.
Makhluk-makhluk itu sama sekali tak bergerak.
"Kau membiarkan mereka menyentuhmu?" Dr. Gray bertanya
sambil menyeringai karena jijik. "Kau membiarkan mereka
menyelimutimu?" "Mereka menyelamatkan nyawa saya!" seruku. "Mereka
bergabung untuk membentuk selimut yang hangat - mereka
menyelamatkan saya!"
Sekali lagi kutatap selimut hidup yang telah menyelamatkanku.
Makhluk-makhluk telur itu tetap menyatu. Tapi selimut yang mereka
bentuk tampak seperti mendidih. Berdenyut-denyut dengan keras.
Seakan-akan marah. "Kau sudah gila?" Dr. Gray menghardikku. Wajahnya merah
karena marah. "Kau sudah gila" Kau membiarkan monster-monster ini
menyelubungimu" Kau bersentuhan dengan mereka" Kau memegangmegang mereka" Kau ingin menghancurkan temuan saya" Penelitian
saya?" Justru dia yang gila, aku menyadari. Ucapan Dr. Gray sama
sekali tidak masuk akal. Segala sesuatu yang dilakukannya sama
sekali tidak masuk akal. Sekonyong-konyong dia melangkah maju - cepat sekali - dan
kembali meraih pundakku. Dia memegangku begitu erat sehingga aku
tidak bisa melepaskan diri. Kemudian dia mulai menyeretku ke pintu.
"Lepaskan saya! Lepaskan! Saya mau dibawa ke mana?" aku
bertanya. "Saya pikir kau bisa dipercaya," Dr. Gray menyahut dengan
nada yang tidak mengenakkan. "Tapi ternyata saya keliru. Saya
menyesal, Dana. Saya sungguh menyesal. Tadinya saya berharap kau
bisa dibiarkan hidup. Tapi sekarang itu tidak mungkin lagi."
Chapter 30 DR. GRAY menyeretku ke pintu. Kemudian dia berhenti dan
merogoh kantong jas labnya. Dia ingin mengambil unit pengendali
untuk membuka pintu. Inilah kesempatanku. Aku cuma dipegang dengan sebelah
tangan. Dengan mengerahkan segenap tenaga aku memberontak dan
berhasil membebaskan diri.
Dr. Gray berseru kaget. Lalu berusaha menangkapku.
Tapi aku lebih cepat. Aku berhasil menghindari sergapannya, dan berlari ke ujung
lab. Kemudian aku berbalik, menghadap ke arah ilmuwan itu.
Dia tersenyum janggal. "Dana, kau tidak bisa kabur," ujarnya
pelan-pelan. Aku memandang berkeliling. Aku sendiri tidak tahu apa yang
kucari. Aku sudah memeriksa semuanya. Dan aku tahu apa yang
dikatakannya benar. Dr. Gray menghalangi satu-satunya pintu yang ada. Sedang
kaca jendela yang lebar terlalu tebal dan kuat untuk dipecahkan.
Selain itu, tidak bisa dibuka.
Tak ada jendela lain. Tak ada pintu lain.
Tak ada jalan untuk kabur.
"Apa yang akan kaulakukan sekarang, Dana?" Dr. Gray
bertanya dengan lembut. Senyum janggal itu masih tersungging di
bibirnya. Dia menatapku dengan matanya yang biru. "Kau mau lari ke
mana, hmm?" Aku membuka mulut untuk menyahut. Tapi tak ada yang bisa
kukatakan. "Saya akan memberitahumu apa yang akan terjadi," Dr. Gray
berkata dengan tenang. "Kau akan tetap di sini. Di ruangan yang
dingin ini. Saya akan meninggalkanmu di sini, dan saya akan
memastikan bahwa pintunya terkunci rapat."
Senyumnya bertambah lebar. "Kau tahu apa yang saya lakukan
setelah itu?" "Apa?" tanyaku dengan ngeri.
"Saya akan membuat udara di sini semakin dingin. Saya akan
membuatnya lebih dingin dari freezer."
"Jangan - !" aku memprotes.
Senyumnya menghilang. "Tadinya saya percaya padamu, Dana.
Saya percaya padamu. Tapi kau mengkhianati kepercayaan saya.
Kaubiarkan mereka menyentuhmu. Kaubiarkan mereka membentuk
selimut ini! Kau merusak mereka, Dana! Kau merusak monstermonster telur saya!"
"S-saya tidak melakukan apa-apa!" aku tergagap-gagap.
Kukepalkan kedua tanganku dengan geram. Tapi aku merasa begitu
tak berdaya. Tak berdaya dan ketakutan.
"Anda tidak bisa membekukan saya di sini!" seruku. "Anda
tidak berhak berbuat begitu! Tidak boleh!"
"Oh, boleh saja," Dr. Gray menyahut dengan datar. "Ini lab
saya. Dunia saya. Saya boleh berbuat sesuka hati saya."
Dia mengeluarkan unit pengendali dari kantong jasnya.
Kemudian mengarahkannya ke pintu dan menekan sebuah tombol.
Pintunya langsung membuka.
Ilmuwan itu berpaling. "Selamat tinggal, Dana," ujarnya.
Chapter 31 "JANGAN - jangan!" aku memekik.
Dr. Gray berpaling lagi padaku.
Ketika itu, secara bersamaan, selimut makhluk telur pun
bangkit. Selimut itu berdiri tegak - lalu menyergap ilmuwan tersebut,
dan menyelubungi tubuhnya.
"Hei...!" Dr. Gray berseru dengan gusar. Tapi seruannya
teredam oleh selimut kuning yang tebal.
Seluruh tubuhnya terbungkus. Aku melihat Dr. Gray merontaronta di bawah selimut.
Aku mendengarnya berteriak-teriak.
Dia memberontak dan menggeliat-geliut, tapi tidak berhasil
membebaskan dirinya. Dia tidak berhasil menyingkirkan selimut itu.
Dia juga tidak bisa menyelinap ke luar.
Akhirnya dia terjatuh ke lantai, tertindih di bawah selimut.
Dengan mata terbelalak kulihat selimut itu bergelembunggelembung di atasnya,
seolah-olah mendidih. Aku tidak membuang-buang waktu lagi. Aku menarik napas
dalam-dalam - lalu melesat melintasi ruangan. Aku berlari melewati
Dr. Gray yang menendang-nendang dan mengayun-ayunkan kaki di
bawah selimut. Cepat-cepat aku menyelinap lewat pintu yang terbuka.
Menyusuri lorong panjang yang menuju ke bagian depan
gedung lab. Yes! Beberapa detik kemudian aku membuka pintu depan dan
menghambur ke luar. Sambil terengah-engah aku menghirup udara
pagi yang segar. Pagi yang indah. Matahari baru muncul di atas pepohonan yang
baru mulai hijau lagi sehabis musim dingin. Langit tampak biru dan
bersih dari awan. Aku memandang berkeliling. Di ujung jalan aku melihat tukang
koran sedang menggenjot sepedanya. Selain dia, tidak ada siapa-siapa.
Aku berbalik dan berlari ke sisi bangunan. Bau rumputnya
begitu wangi! Udara pagi begitu sejuk dan segar. Aku gembira sekali
karena berhasil lolos dari penjaraku!
Sekarang aku ingin pulang.
Aku punya firasat - dan firasatku ternyata benar. Aku
menemukan sepedaku tersandar di dinding belakang lab, tersembunyi
di balik kontainer sampah.
Cepat-cepat aku naik dan mulai mengayuh. Belum pernah aku
begitu senang karena bisa naik sepeda.
Aku berhasil lolos. Lolos dari cengkeraman Dr. Gray yang
sinting dan labnya yang dingin membeku.
Aku mengayuh semakin cepat, melesat tanpa berhenti satu kali
pun. Segala sesuatu di sekelilingku tampak buram.
Rasanya aku memecahkan rekor kecepatan bersepeda. Tanpa
mengurangi kecepatan aku membelok ke pekarangan depan. Batu-batu
kerikil beterbangan. Kemudian aku melompat turun dari sepeda dan membiarkannya
jatuh ke rumput. Aku berlari ke pintu dapur dan segera menyerbu
masuk. "Mom!" seruku.
Ibuku langsung berdiri dari meja makan. Roman mukanya
cemas sekali, tapi berubah seketika waktu aku muncul di hadapannya.
"Dana!" dia berseru. "Ke mana kau" Kami cemas sekali. Kau
sedang dicari polisi, dan... dan...."
"Aku tidak apa-apa," ujarku sambil memeluknya.
Ayahku masuk ke dapur. "Dana - kau tidak apa-apa" Di mana
kau semalam" Kami benar-benar...!"
"Monster telur!" aku menyela. "Monster telur dari Mars!
Cepat!" Aku meraih tangan Daddy dan menarik-nariknya. "Ayo,
cepat!" "Hah?" Ayahku mengerutkan kening. Dia menatapku sambil
memicingkan mata. "Apa kau bilang?"
"Nanti saja kujelaskan!" ujarku terburu-buru. "Mereka
menangkap Dr. Gray. Dia jahat, Dad. Dia jahat sekali!"
"Dana, ada apa sebenarnya?" tanya Mom.
"Makhluk telur! Dari Mars! Cepat! Tak ada waktu!"
Mereka tidak beranjak. Aku melihat mereka saling melirik.
Mom menghampiriku dan menempelkan tangannya ke
keningku. "Kau demam, Dana" Kau lagi sakit, ya?"
"Tidak!" aku memekik. "Dengarkan aku! Makhluk telur dari
Mars! Cepat ikut aku!"
Aku sadar bahwa penjelasanku tidak terlalu jelas. Tapi aku
terlalu bingung. "Dana - kau harus berbaring," kata Mom. "Aku akan
memanggil Dr. Martin."
"Jangan - jangan! Aku tidak butuh dokter!" aku memprotes.
"Pokoknya ikut saja! Kalian harus lihat sendiri makhluk-makhluk
telur itu. Ayo, kita harus cepat-cepat!"
Orangtuaku kembali berpandangan dengan cemas.
"Aku tidak gila!" aku menjerit. "Aku cuma minta Daddy dan
Mommy ikut ke lab!" "Oke, oke," ayahku akhirnya mengalah. "Kau ada di lab
semalam?" "Ya," kataku, sambil mendorongnya ke pintu dapur. "Aku
memanggil-manggil Daddy. Tapi Daddy tidak bisa mendengarku."
"Oh, wow," gumam ayahku. Dia geleng-geleng kepala. "Wow."
Kami bertiga segera naik mobil.
Perjalanan ke lab hanya makan waktu tiga menit. Ayahku parkir
di depan. Aku melompat turun sebelum dia benar-benar berhenti.
Pintu depan lab masih terbuka lebar, persis seperti waktu
kutinggalkan tadi. Aku bergegas masuk. Orangtuaku menyusul tepat di
belakangku. "Mereka makhluk telur," ujarku sambil terengah-engah.
"Mereka berasal dari Mars. Dan mereka menangkap Dr. Gray!"
Aku menyusuri lorong yang panjang.
Membuka pintu ke ruangan yang dingin membeku. Mommy
dan Daddy masuk di belakangku.
Aku memandang berkeliling - dan terbengong-bengong.
Chapter 32 AKU melihat orangtuaku menatapku sambil mengerutkan
kening. Keduanya tampak kuatir.
"Di mana makhluk-makhluk telur itu?" tanya ibuku dengan
lembut. Daddy meletakkan sebelah tangan di pundakku. "Di mana
mereka, Dana?" tanyanya setengah berbisik.
"Ehm... mereka lenyap," ujarku. Tenggorokanku serasa tersekat.
Lab itu kosong melompong.
Tak ada Dr. Gray. Tak ada makhluk telur. Tak ada siapa-siapa.
Aku cuma melihat dinding-dinding putih. Tak ada siapa pun
yang tergeletak di lantai.
Tak ada apa-apa. "Barangkali mereka sudah pulang ke Mars," aku bergumam
sambil mengangguk-anggukkan kepala..
"Dan Dr. Gray" Bagaimana dengan Dr. Gray?" tanya Daddy.
"Barangkali dia dibawa ke sana," sahutku.
"Ayo, kita pulang saja," kata ibuku. Dia menghela napas
panjang. "Kau harus istirahat dulu, Dana."
Daddy menggiringku keluar sambil menggenggam pundakku.
"Aku akan menelepon Dr. Martin," katanya. "Mudah-mudahan dia
bisa mampir ke rumah pagi ini."
"A-aku memang merasa agak aneh," aku terpaksa mengakui.
Mereka membawaku pulang dan menyuruhku berbaring di
tempat tidur. Dr. Martin datang tak lama kemudian. Dia memeriksaku, tapi
tidak menemukan sesuatu yang aneh. Dia hanya berpesan agar aku
tetap berbaring dan beristirahat dulu.
Aku tahu ayah dan ibuku tidak mempercayai ceritaku. Dan itu
benar-benar mengusikku. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya
meyakinkan mereka bahwa aku tidak mengada-ada.
Aku memang merasa agak aneh.
Pasti karena capek, aku berkata dalam hati.
Aku tertidur, terbangun, dan ketiduran lagi.
Setelah sore, aku terbangun dan mendengar Brandy berbicara
dengan teman-temannya di luar kamarku. "Dana sudah gila," aku
mendengar dia berkata. "Dia mengaku diculik monster telur dari
Mars." Aku mendengar teman-teman Brandy ketawa cekikikan.
Oh, bagus, pikirku dengan getir. Sekarang semua orang
menyangka aku sinting. Rasanya aku ingin memanggil Brandy dan menceritakan segala
sesuatu yang terjadi. Aku ingin membuatnya percaya. Aku ingin ada
orang yang mempercayai ceritaku.
Tapi bagaimana caranya"
Aku terlelap lagi. Aku terbangun oleh suara yang memanggil-manggil namaku.
Aku duduk tegak di tempat tidur. Suara itu masuk lewat jendelaku
yang terbuka. Aku turun dari tempat tidur dan menghampiri jendela. Anne


Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang memanggilku dari depan garasi. "Dana - kau tidak apa-apa"
Kau mau main ke rumahku" Aku baru dapat permainan Battle Chess
versi CD-ROM." "Wah, keren!" aku membalas. "Tunggu sebentar, aku segera ke
sana." Aku mengenakan T-shirt dan celana jins. Keadaanku sudah jauh
lebih baik. Aku merasa seperti sedia kala.
Aku gembira sekali semuanya sudah kembali normal.
Aku menyisir rambutku sambil bersenandung pelan. Kemudian
kuamati diriku di cermin.
Kau telah mengalami petualangan yang menakjubkan, Dana,
aku berkata pada diriku sendiri. Bayangkan saja - kau bermalam
bersama makhluk-makhluk telur dari Mars!
Tapi sekarang kau sudah aman, dan hidupmu akan kembali
normal. Saking gembiranya, aku sampai memeluk Brandy ketika
berpapasan dengannya di tangga. Dia menatapku seakan-akan aku
benar-benar gila! Sambil bersenandung, aku keluar lewat pintu dapur dan
melintasi pekarangan belakang menuju ke rumah Anne.
Semuanya tampak begitu indah. Rumput yang hijau. Pohonpohon. Bunga-bunga musim
semi. Matahari yang sedang terbenam di
balik pepohonan. Hari yang indah! Sempurna dan normal!
Dan kemudian, di tengah jalan ke rumah Anne, aku mendadak
berhenti. Aku jongkok di rumput - dan bertelur! Telur paling besar yang
pernah ada di dunia!END Misteri Pedang Naga Suci 3 Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Tembang Tantangan 4

Cari Blog Ini