Goosebumps - Pembalasan Di Malam Halloween Bagian 2
bergetar. "S-siapa itu?" aku tergagap-gagap.
Pagar itu kembali bergoyang.
"Hei - siapa itu?" seru Walker.
Hening. Pagarnya terguncang-guncang dengan keras.
"Jangan bercanda!" Walker berseru dengan suara gemetaran.
Sekali lagi terdengar geraman binatang.
"Ahhh!" aku memekik ketika sepasang makhluk mengerikan menerobos pagar hidup
itu. Aku cuma sempat melihat bulu-bulu kusut. Rahang yang
ternganga lebar. Dan gigi-gigi yang berlumuran ludah.
Sebelum aku bisa berbalik, sesosok makhluk telah menerjangku
sambil menggeram keras. Aku terjatuh ke rumput. Dan kemudian
taringnya yang runcing menggigit pundakku.
Chapter 14 AKU memekik kesakitan. Aku berusaha bangkit. Tapi makhluk itu menahan tubuhku di
tanah. "Stop! Stop!" Aku meronta-ronta ketika makhluk itu mulai membelitku dengan
jubahku sendiri. "Hei...!" aku mendengar Walker berseru marah. Tapi aku tidak bisa melihat apa
yang sedang terjadi dengannya.
"Jangaaan! Lepaskan aku!" aku menjerit.
Dengan mengerahkan segenap tenaga, aku meraih ke atas - dan
mengayunkan tangan ke wajah makhluk itu.
Tapi betapa kagetnya aku ketika wajah itu tiba-tiba terlepas
dengan mudah. Sebuah topeng. Aku sedang memegang sebuah topeng karet.
Aku sempat tercengang sebelum mengenali wajah di balik
topeng itu. Todd Jeffrey. Ya. Todd Jeffrey, anak SMU yang dua tahun lalu
menakut-nakuti kami di pesta Halloween Lee.
"Todd," aku bergumam. Dengan kesal aku menarik jubah yang membelit diriku.
"Kena kau! Kena kau!" ia berbisik. Ia melepaskanku dan membiarkanku berdiri.
"Dasar brengsek!" aku mengumpat, lalu melempar topeng karet itu ke wajahnya.
Ia menangkapnya dengan sebelah tangan dan tertawa. "Hei
Drew, ini kan cuma main-main."
"Hah" Main-main" Main-main?" aku berseru kesal.
Aku bangkit dan segera menepis-nepis bajuku. Jubahku
berantakan, penuh daun-daun basah berwarna cokelat.
Walker sempat bergumul dengan makhluk yang satu lagi.
Makhluk itu melepaskan topengnya. Dan tentu saja ia adalah Joe, teman Todd yang
menyebalkan. "Moga-moga kalian tidak terlalu ngeri!" ia mengejek kami. Ia dan Todd langsung
terpingkal-pingkal. Mereka berhigh-five sambil tertawa sampai terbungkukbungkuk. Sebelum aku sempat mencaci-maki mereka, aku mendengar
tawa lain. Di luar dugaanku, Tabby dan Lee muncul dari balik pagar.
Dan beramai-ramai mereka menertawakan Walker dan aku.
"Grrrrr!" aku menggeram kesal. Saat itu aku berharap diriku benar-benar seorang
pahlawan super. Betapa inginnya aku memberi kepalan tinju super ke wajah mereka.
Atau paling tidak, merentangkan jubahku dan terbang pergi terbang ke tempat jauh supaya aku tak perlu bertemu lagi dengan mereka.
"Selamat Halloween, Drew!" seru Tabby dengan nada
mengejek. "Selamat Halloween!" Tabby dan Lee mengulangi berbarengan sambil nyengir lebar.
"Sudah berapa lama kau dan Lee bersembunyi di situ?" aku bertanya dengan kesal.
"Cukup lama!" sahut Lee sambil cekikikan. Ia dan Tabby kembali terbahak-bahak.
"Kami sudah sejak tadi berdiri di situ," ujar Tabby. "Halloween memang asyik,
ya?" Aku menggeram tertahan. Tapi aku diam saja.
Tenang saja, Drew, aku berkata dalam hati. Tabby dan Lee dan
kedua teman mereka memang mempermainkan dirimu.
Tapi bukan mereka yang akan tertawa nanti. Setelah ini, giliran Walker dan aku
yang tertawa. Kalau Shane dan Shana sudah datang, mereka akan ketakutan setengah
mati. Todd dan Joe kembali memasang topeng monster masingmasing. Mereka mendongakkan kepala dan melolong bagaikan
serigala. "Mereka tidak ikut keliling bersama kita - kan?" aku bertanya pada Tabby.
Tabby rnenggelengkan kepala. Ia membetulkan letak mahkota
di rambutnya yang pirang.
"Maaf saja," Todd menyahut dari balik topengnya yang mengerikan. "Trick-or treat
kan acara anak-anak. Acara untuk anak-anak ingusan seperti kalian."
"Kalau begitu, kenapa kalian pakai kostum monster segala?"
tanya Walker. "Untuk menakut-nakuti anak kecil," jawab Joe. Ia dan Todd kembali tertawa.
Joe meraih topengku dan melorotkannya sampai ke daguku.
Todd mengusapkan punggung tangannya ke wajah Walker sehingga
make-upnya berantakan. Lalu mereka lari untuk mencari korban baru.
Dasar brengsek. Aku bersyukur mereka pergi. Aku memperhatikan kedua
pengacau itu untuk memastikan mereka tidak berubah pikiran dan kembali lagi
kemari. "Suasana jadi meriah kalau ada mereka," kata Lee. Ia meletakkan kantong
permennya yang berwarna jingga-hitam di
rumput. Kemudian ia mengotak-atik antena lebah di kepalanya.
Aku mendengar beberapa anak tertawa di seberang jalan. Aku
menoleh dan melihat empat anak kecil - semuanya berkostum
monster atau hantu - berlari ke pintu depan sebuah rumah.
"Ayo, kita mulai saja," ujar Tabby. "Aku bisa kedinginan kalau cuma berdiri saja
di sini." "Shane dan Shana mana?" tanya Lee. "Kupikir mereka juga mau ikut."
"Yeah. Mereka akan menyusul nanti," sahutku.
Kami menyeberangi jalan dan menuju ke rumah pertama,
sebuah rumah besar yang terbuat dari batu bata. Jendelanya dihiasi labu yang
diukir membentuk seraut wajah yang menyeringai.
Aku melirik jam tangan. Dan memekik tertahan. Sudah hampir jam delapan lewat seperempat. Seharusnya Shane
dan Shana menemui kami pukul delapan tepat di pojok jalan.
Ke mana mereka" Mereka tidak pernah terlambat. Tidak pernah. Aku menelan
ludah. Jangan-jangan Halloween tahun ini bakal berantakan lagi.
Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres.
Chapter 15 KAMI berhenti di teras depan rumah itu dan mengintip melalui
pintu kaca. Seekor kucing berbulu jingga dengan mata besar berwarna biru cerah
menatap kami dari balik pintu itu.
Aku menekan bel pintu. Beberapa detik kemudian seorang wanita muda bercelana jeans
dan berkaus kerah tinggi berwarna kuning membuka pintu sambil
tersenyum. Ia membawa keranjang berisi cokelat Snickers dan Milky Ways.
"Kostum kalian bagus sekali," ia berkata sambil memasukkan sepotong cokelat ke
kantong permen kami masing-masing.
"Drew - kantongmu dibuka, dong!" kata Tabby dengan nada tinggi.
"Oh. Sori." Aku masih sibuk memikirkan Shane dan Shana.
Aku menyodorkan kantong permenku ke hadapan wanita muda itu.
Kucing tadi menatapku dengan matanya yang biru.
"Kau jadi putri raja, ya?" wanita itu bertanya pada Tabby.
"Bukan. Balerina," sahut Tabby.
"Dan kau pasti sepotong arang," kata wanita itu pada Walker.
"Yah, kira-kira begitulah," Walker bergumam. Ia tidak menampilkan atraksi "malam
gelap yang dihantam badai".
Tampaknya Walker juga kuatir karena Shane dan Shana belum
muncul. "Selamat Halloween," kata wanita itu, lalu menutup pintu.
Kami turun dari teras dan melintasi rumput yang berselubung
embun es ke pekarangan sebelah. Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat kucing
tadi masih memperhatikan kami.
Rumah yang kami datangi ternyata gelap. Karena itu kami
segera menuju ke rumah berikutnya. Sekelompok anak sudah
menggerombol di depan pintu. Mereka berseru, "Trick or treat! Trick or treat!"
"Kenapa mereka belum datang?" aku berbisik kepada Walker.
Ia angkat bahu. "Kalau mereka sampai tidak muncul..." kataku. Tapi kemudian aku sadar Tabby
sedang memperhatikanku. Karena itu aku langsung tutup mulut.
Kami menunggu sampai kelompok anak itu pergi, lalu
menggantikan mereka di depan pintu. Sepasang anak kecil - anak
laki-laki dan anak perempuan berumur sekitar tiga atau empat tahun membagi-bagikan kantong kecil berisi popcorn manis.
Mereka tertawa sewaktu melihat kostum Lee. Mereka ingin
memegang antena di kepalanya. Salah satu dari mereka bertanya
kenapa Lee tidak punya sengat.
"Soalnya sudah kupakai untuk menyengat anak nakal," sahut Lee.
Kedua anak kecil itu mengamati kostum Walker sambil
mengerutkan kening. Tampaknya mereka agak ngeri melihatnya. "Kau monster, ya?"
si anak perempuan bertanya dengan waswas.
"Bukan. Aku sepotong arang," jawab Walker. Anak perempuan itu mengangguk-angguk.
Kami segera pergi dan mendatangi tiga rumah lagi sebelum
sampai di ujung blok. Aku melihat dua anak yang kukenal. Mereka mengenakan
kostum robot yang serasi. Aku berhenti sebentar untuk menyapa mereka.
?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Setelah itu aku berlari untuk menyusul teman-temanku. Mereka
sudah melintasi jalan dan mulai mendatangi rumah-rumah di
seberang. Tiupan angin yang kencang membuat jubahku berkibar-kibar.
Aku menggigil. Dengan gelisah aku kembali melirik jam tangan.
Di mana mereka" Di mana Shane dan Shana" Padahal seluruh
rencana kami tergantung pada mereka.
"Wah! Sejauh ini hasilnya lumayan juga!" ujar Lee. Ia membuka kantong permennya
dan mengamati isinya. "Ada yang dapat Kit Kat?" tanya Tabby. "Aku mau tukar, nih."
"Ada satu orang yang memberikan apel," kata Lee sambil meringis. Ia merogoh
kantong permennya dan mengeluarkan apel itu.
Kemudian ia melemparnya sejauh mungkin melintasi pekarangan.
Apel itu membentur batang pohon, lalu menggelinding ke
depan garasi rumah sebelah.
"Aku tidak mengerti kenapa ada orang yang membagikan apel,"
Lee menggerutu. "Seharusnya mereka sudah tahu kita cuma ingin permen dan
cokelat!" "Dasar pelit!" Tabby menimpali. Ia mengambil apel dari kantongnya, dan
membuangnya ke rumput. Ditendangnya apel itu
dengan ujung sepatu baletnya.
Tabby dan Lee memang patut mendapat ganjaran, aku berkata
dalam hati. Kedua-duanya brengsek sekali.
Tapi di mana Shane dan Shana"
Kami mendatangi semua rumah sampai ke ujung blok. Malam
semakin larut, dan kini tinggal sedikit anak yang masih berkeliling.
Lampu jalanan di ujung blok ternyata rusak, sehingga suasana
di daerah itu jadi remang-remang.
Salah satu antena di kepala Lee tidak bisa berdiri tegak, merosot terus. Entah
sudah berapa kali Lee membetulkan letaknya. Mungkin sudah sepuluh kali.
Sewaktu kami mendekati pojok jalan, sebuah pohon besar
,menghalangi cahaya bulan. Suasana semakin gelap.
"Awww...!" aku memekik ketika dua sosok tubuh menerjang kami dari balik pohon.
Semula aku menyangka Todd dan Joe kembali lagi.
Tapi kemudian aku sadar sosok-sosok itu bukan mereka.
Kedua sosok itu berdiri membelakangi kami, menghalangi
jalan. Keduanya mengenakan jubah panjang yang menggantung
sampai menyentuh trotoar. Dan kepala mereka....
Kepala mereka.... Kepala mereka tertutup labu!
Labu besar bulat terpasang sempurna di pundak mereka.
"Hei...!" Walker memekik kaget. Ia mundur beberapa langkah dan menabrakku.
Tabby dan Lee memekik tertahan.
Tapi kejutan yang paling mengerikan masih menyusul.
Ketika kedua sosok itu berbalik, kami melihat wajah mereka
yang mirip Jack-o-lantern.
Kami melihat senyum lebar dan mengerikan yang diukir di
kepala labu mereka. Mata mereka berbentuk segitiga yang menyala-nyala.
Mata itu diterangi lidah api!
Lidah api berwarna jingga dan kuning tampak menari-nari di
dalam kepala mereka! Dan ketika kepala-kepala labu itu menatap kami sambil
tersenyum menyeringai, Walker dan aku menjerit sekeras-kerasnya.
Chapter 16 JERITAN kami bergema di kegelapan malam.
Api di dalam kedua kepala labu di hadapan kami tampak
berkobar-kobar. Aku berpaling kepada Tabby dan Lee. Cahaya dari kedua wajah
Jack-o-lantern menimbulkan bayangan yang menari-nari di muka
Tabby dan Lee. Tapi mereka berdiri dengan tenang, dan menatap
kedua sosok itu sambil tersenyum.
Tabby menoleh ke arahku. "Kalian mau menakut-nakuti kami, ya?" ia bertanya.
"Kami tahu itu Shane dan Shana," Lee menambahkan. Ia menarik jubah gelap panjang
yang dipakai salah satu kepala labu itu.
"Hei, Shane - ?apa kabar?"
Kedua kepala labu itu tetap membisu.
"Bagaimana cara kalian membuat api itu" Pakai lilin, ya?" tanya Tabby. "Apa
kalian masih bisa melihat?"
Kedua kepala labu itu menyeringai tanpa mengucapkan sepatah
kata pun. Lidah api menyembur dari mulut salah satu kepala labu.
Aku merinding. Kostum-kostum ini terlalu hebat. Aku bisa
mendengar api mendesis-desis di dalam kepala-kepala jingga itu.
Kenapa Tabby dan Lee tidak ngeri" aku bertanya-tanya.
Aku sudah menduga Shane dan Shana akan muncul dengan
kostum yang menyeramkan. Tapi tak kusangka kostum mereka akan
sehebat ini. Tak kusangka mereka akan memakai kepala Jack-o'lantern, lengkap dengan apinya.
Kostum mereka luar biasa. Tapi aku kecewa sekali. Sebab
Tabby dan Lee sama sekali tidak takut.
Halloween tahun ini bakal berantakan lagi - sama seperti tahuntahun lalu, pikirku. Aku menghampiri Walker. Raut mukanya tidak terbaca akibat
make-up hitam yang dipakainya.
"Bagaimana cara mereka membuat api itu?" ia berbisik padaku.
"Hebat sekali!"
Aku mengangguk. "Tapi sayangnya Tabby dan Lee tetap tidak takut," sahutku, juga
sambil berbisik. "Tenang saja," balas Walker. "Shane dan Shana kan baru mulai."
Jubahku melilit kakiku. Aku menariknya dan menyibakkannya
ke belakang. Kedua kepala labu tetap membisu.
Tabby meraih kantong permennya dan berpaling padaku.
"Kalian harus cari akal yang lebih hebat kalau mau menakut-nakuti aku dan Lee,"
katanya sambil mencibir.
Goosebumps - Pembalasan Di Malam Halloween di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami bukan penakut seperti kalian," Lee berkoar.
Lidah api menyembur dari mata di kedua kepala labu itu.
Keduanya menatap Tabby dan Lee sambil memiringkan kepala.
Bagaimana caranya" aku bertanya-tanya. Bagaimana mereka
bisa mengendalikan apinya seperti itu" Apakah mereka punya
semacam remote control"
"Hei, apa kalian mau tetap berdiri di sini sampai mati beku?"
tanya Tabby. "Katanya kalian mau keliling untuk mengumpulkan permen."
"Hmm, bagaimana kalau kita ke daerah rumah kalian
sekarang?" aku mengusulkan.
Tabby hendak menyahut - tapi desis api dari salah satu kepala
labu membuatnya terdiam. "Kita ke tempat lain saja," kata si kepala labu itu. Suaranya parau.
"Ke tempat lain," rekannya mengulangi dengan suara tak kalah paraunya. Bunyinya
mirip daun-daun kering yang diremas-remas.
"Apa?" seru Lee.
"Kami tahu tempat yang lebih baik," kata kepala labu yang pertama. Mulutnya yang
terukir di kulit labu sama sekali tidak bergerak. Suaranya berasal dari dalam
kepala itu. Lidah api kuning dan jingga tampak menari-nari, seirama ucapan
mereka. "Kami tahu tempat yang lebih baik."
"Tempat yang takkan pernah kalian lupakan."
Tabby tertawa, lalu geleng-geleng kepala. "Oh, wow. Suara kalian syereeem,"
katanya mengejek. "Iiih, aku jadi ngeri! Aku jadi ngeri!" Lee menimpali.
Ia dan Tabby tertawa bersama-sama.
"Sudahlah," ujar Tabby kepada kedua kepala labu. "Kostum kalian memang bagus.
Tapi kami tidak takut. Percuma saja kalian pakai suara seram segala."
"Yeah," kata Lee. "Mendingan kita keliling lagi. Sudah malam, nih."
"Ikuti kamiii," perintah salah satu kepala labu.
"Ikuti kami ke tempat baru. Tempat yang lebih baik."
Mereka mengajak kami menyusuri jalan. Kepala mereka yang
besar tampak berayun-ayun mengikuti langkah kaki mereka. Api di dalam kepalakepala itu memancarkan cahaya bagaikan obor.
"Apa maksudnya ini?" Walker berbisik ke telingaku. "Rencana kita kan tidak
begini. Kita mau dibawa ke mana?"
Aku sendiri juga tidak tahu.
Chapter 17 KAMI berjalan sejauh tiga blok, semakin jauh meninggalkan
daerah kami. Kami melewati sederet rumah besar di tengah halaman-halaman luas
yang dibatasi pagar hidup tinggi. Di blok berikut terdapat sebidang tanah
kosong. Sebuah rumah yang baru setengah jadi berdiri di sana.
Kedua kepala labu berjalan cepat dengan langkah-langkah
panjang. Kepala mereka berayun-ayun. Mereka terus memandang
lurus ke depan, tak sekali pun menoleh ke arah kami.
"Mau ke mana kita?" Lee bertanya sambil mengejar mereka. Ia menarik pundak salah
satu kepala labu. "Di seberang kan banyak rumah yang bisa kita datangi."
Makhluk Jack-o'-lantern itu tidak mengurangi kecepatan. "Kita akan mencoba
tempat baru," katanya.
"Yesssss," kawannya mendesis. "Tempat baru. Tempat yang lebih baik. Lihat saja
nanti." Mereka mengajak kami melewati tanah kosong. Melewati
sederetan rumah kecil yang gelap.
"Mau ke mana kita?" Walker berbisik. Ia menggerakkan dagu ke arah Shane dan
Shana. "Kenapa sih mereka" Kenapa tingkah mereka jadi aneh begini" Lama-lama
malah aku yang jadi ngeri, nih."
Aku memandang berkeliling. Tinggal sedikit anak yang masih
mondar-mandir di jalan. Sebagian besar sudah pulang, karena malam memang sudah
larut. Di pekarangan berikut kulihat dua anak bertubuh jangkung berkostum gorila dan badut gendut - sedang merogoh kantong permen masing-masing
sambil membungkuk. Mereka tidak menoleh ketika
kami lewat. "Hei - kenapa kita jalan terus?" Lee memprotes. Ia menunjuk sebuah rumah di pojok
jalan. "Kita mampir ke situ, oke" Penghuni rumah itu selalu membagikan permen
banyak-banyak. Betul, lho.
Sampai bergenggam-genggam!"
Kedua kepala labu tidak menghiraukan kata-katanya. Mereka
terus berjalan dengan cepat. "Hei - HEI! Berhenti!" Tabby berseru.
Ia dan Lee menyusul kedua kepala labu. "Berhenti dulu, dong!"
"Tempat yang lebih baik," kata salah satu kepala labu dengan suara serak.
"Kita coba tempat yang baru," kawannya menimpali. "Tempat yang lebih baik."
Aku merinding. Tingkah Shane dan Shana memang aneh sekali.
Jubahku tersangkut pada serumpun rumput liar. Aku
menariknya sampai terlepas. Udara tiba-tiba terasa lebih dingin dan lembap.
Kubungkus badanku dengan jubahku.
Lee, yang berjalan di depan, kembali mengotak-atik antena
lebahnya. Kulihat sepatu balet Tabby telah berlepotan lumpur.
Kami mengikuti kedua kepala labu menyeberang jalan. Mereka
meninggalkan trotoar, dan masuk ke hutan yang gelap.
Walker bergegas menyusulku. Biarpun wajahnya diolesi makeup tebal, bisa kulihat wajahnya tampak cemas. "Kenapa mereka mengajak kita ke
hutan?" ia berbisik.
Aku angkat bahu. "Barangkali mereka ingin menteror Tabby
dan Lee di sini." Ranting-ranting dan daun-daun mati bekersak-kersak di bawah
kaki kami ketika kami menerobos pepohonan.
Sebuah pikiran mengerikan terlintas dalam benakku. Tiba-tiba
aku teringat pada keempat orang gendut yang hilang.
Empat orang. Hilang tanpa bekas, tanpa jejak.
Aku teringat semua nasihat Mom. Aku teringat pesannya bahwa
aku harus tetap berada di tempat ramai dan terang.
Aku ingat bahwa ia sebenarnya tak setuju aku keluar malam ini.
Ada yang tidak beres, aku menyadari.
Peringatan Mom memang beralasan. Seharusnya malam-malam
begini kami tidak masuk ke dalam hutan.
Seharusnya kami tetap di jalanan, di dekat rumah-rumah yang
terang. Seharusnya kami tidak nekat masuk ke hutan yang gelap dan
menyeramkan ini. "Tempat yang baru," salah satu kepala labu kembali berkata.
"Di balik hutan ini," kawannya menyambung. "Tempat yang lebih bagus. Lihat saja
nanti." Cahaya dari dalam kepala mereka tampak berkelap-kelip,
menerangi pohon-pohon dan rerumputan.
Jantungku mulai berdegup-degup. Aku mempercepat langkah
agar tidak ketinggalan. Shane dan Shana sahabat kami, kataku dalam hati.
Mereka pasti punya rencana bagus.
Tapi ini tidak sesuai dengan rencana kami. Sama sekali bukan
rencana kami. Kenapa aku tiba-tiba dapat firasat buruk"
Chapter 18 "SHANE! Shana! Apa-apaan sih kalian?" Tabby memprotes dengan sengit. "Lihat,
nih! Lihat baju balerina-ku!"
Ia menarik bagian depan bajunya. Walaupun keadaan sekeliling
hampir gelap, aku tetap bisa melihat bercak-bercak lumpur di bagian depan
bajunya itu. "Aku mau keluar dari hutan ini!" Tabby berseru dengan gusar.
"Yeah. Di sini terlalu gelap. Dan kita terlalu banyak membuang waktu," Lee
menimpali. Kantong permennya tersangkut pada dahan pohon yang rendah.
Ia menariknya keras-keras, berupaya melepaskannya.
Shane dan Shana tidak menghiraukan protes Tabby dan
Lee.Kepala labu mereka berayun-ayun ketika mereka menerobos
hutan dengan langkah panjang dan cepat.
Beberapa menit kemudian kami tiba di sebuah jalan sempit.
Kami bersorak gembira ketika melihat lampu-lampu jalanan yang
terang serta deretan rumah-rumah kecil.
"Sekarang kita bisa mulai," kata salah satu kepala labu.
Aku memandang ke kiri-kanan, dan melihat deretan rumah
yang semua berukuran kecil. Halaman-halamannya juga sempit.
Sebagian besar lampu teras menyala. Dan kebanyakan rumah dihiasi dekorasi
Halloween. Rumah-rumah itu membentang dari ujung ke ujung, berderet di
kiri-kanan, sejauh mata memandang.
"Wow, tempat ini memang asyik untuk trick-or-treat!" ujarku.
Perasaanku langsung jauh lebih enak. Aku tak lagi ngeri seperti tadi.
"Yeah!" kata Lee. "Kita bisa mendapat sekarung permen di sini!"
"Di mana kita?" tanya Walker. "Rasanya aku belum pernah ke daerah ini."
Tak ada yang menanggapinya. Kami semua sudah tak sabar
untuk segera mulai berkeliling.
Aku membuang beberapa helai daun basah yang menempel di
jubahku, dan membetulkan letak topengku. Penampilan kami agak
berantakan gara-gara menerobos hutan. Kami menghabiskan beberapa detik untuk
merapikan kostum masing-masing.
Kemudian kami berenam bergegas menuju ke rumah pertama.
Seorang wanita muda membuka pintu. Ia sedang menggendong
bayi. Ia memasukkan batang-batang cokelat berukuran mini ke
kantong-kantong kami. Si bayi menatap kedua kepala labu dan
tersenyum. Di rumah berikut, kami harus menunggu lama sekali sebelum
sepasang suami-istri yang sudah lanjut usia muncul di pintu. "Trick or treat!"
kami berseru lantang. Mereka segera menutup telinga dengan tangan. Agaknya
mereka tidak tahan mendengar suara bising.
"Maaf, tapi kami tidak punya permen," ujar wanita tua di hadapan kami. Ia
membagi-bagikan uang logam. Masing-masing
mendapat satu keping lima sen.
Kami bergegas ke rumah berikutnya. Dua cewek berumur tujuh
atau delapan tahun menyambut kami di pintu. "Kostum kalian bagus sekali," kata
salah satu dari mereka kepada Shane dan Shana. Mereka membagi-bagikan cokelat
M&M. "Wah, ini baru asyik!" kata Lee ketika kami bergegas ke rumah sebelah.
Semua rumah di sini berdekatan," Tabby menambahkan. "Kita bisa mendatangi
seratus rumah dalam waktu singkat!"
"Seharusnya dari dulu kita sudah kemari," Walker menimpali.
"Trick or treat!" kami berseru ketika menekan bel pintu di rumah berikutnya.
Seorang cowok berambut pirang gondrong, dengan anting di
sebelah telinga, membuka pintu. Ia tertawa ketika melihat kostum kami. "Wow,
keren," ia bergumam. Kemudian ia memasukkan beberapa bungkus permen ke kantongkantong kami. Kami pindah ke rumah sebelah. Terus ke rumah-rumah
berikutnya. Kami mendatangi setiap rumah di blok berikut. Kemudian kami
menyusuri dua blok lagi. Rumah-rumah kecil itu seakan-akan tak ada habisnya.
Kantong permenku sudah hampir penuh. Kami berhenti di
pojok jalan karena tali sepatu Walker terlepas. Ia membungkuk untuk mengikatnya,
dan kami memanfaatkan kesempatan itu untuk mengatur napas.
"Cepat!" desak salah satu kepala labu. Lidah api tampak menyembur-nyembur dari
lubang matanya. "Ya, cepat," seru kepala labu yang lain. "Jangan buang-buang waktu."
"Sabar, dong," Walker bergumam. "Tali sepatuku harus diikat dulu."
Sementara ia mengotak-atik tali sepatu, kedua kepala labu
bergoyang-goyang seakan-akan sudah tak sabar untuk jalan lagi.
Akhirnya Walker kembali berdiri tegak dan meraih kantong
permennya. Kedua kepala labu sudah berjalan ke blok berikut.
"Aku sudah mulai capek," aku mendengar Lee berbisik kepada Tabby. "Jam berapa
sih sekarang?" "Kantongku sudah hampir penuh," sahut Tabby. Sambil
mengerang ia memindahkan kantong yang berat itu dari tangan kanan ke tangan
kiri. "Cepat," salah satu kepala labu kembali mendesak. "Masih banyak rumah yang harus
kita datangi." "Masih banyak rumah," rekannya mengulangi.
Kami menyusuri dua blok lagi. Kami mendatangi semua rumah
di kedua sisi jalan. Kira-kira dua puluh rumah.
Kantong permenku sudah penuh. Aku terpaksa membawanya
dengan kedua tangan. Tali sepatu Walker terlepas lagi. Ketika ia membungkuk untuk
mengikatnya, tali sepatu itu malah putus. "Aduh, brengsek,"
gerutunya. "Cepat," salah satu kepala labu kembali memaksa. "Masih banyak rumah."
"Aku mulai capek," Tabby mengeluh, kali ini cukup keras untuk didengar oleh
semuanya. "Aku juga," Lee menambahkan. "Dan kantong permenku sudah berat."
"Tali sepatu sialan," Walker memaki. Ia masih membungkuk.
"Malam memang sudah larut," kataku sambil memandang
berkeliling. "Lagi pula sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Anak-anak lain sudah
pulang semua." "Masih banyak rumah," salah satu kepala labu berbisik.
"Cepat. Masih banyak rumah," yang satu lagi menimpali. Lidah api di dalam
kepalanya tampak menari-nari.
"Tapi kami mau berhenti!" seru Lee.
"Ya, kami sudah capek," Tabby menambahkan. Suaranya
melengking. "Kalian tidak bisa berhenti!" sahut si kepala labu.
"Hah?" Lee tercengang.
"Ayo, terus! Kalian tidak bisa berhenti!" kepala labu itu berkeras.
Tiba-tiba keduanya terangkat dari tanah, lalu mengambang,
melayang-layang di atas kami. Api di balik lubang mata mereka
berkobar-kobar. "Kalian tidak bisa berhenti! Untuk SELAMA-LAMANYA!"
Chapter 19 "HA-HA. Lucu sekali," Tabby berkata dengan gayanya yang sok tahu. Ia menggelenggelengkan kepala. Tapi aku melihat Lee melangkah mundur ketakutan. Lututnya
seakan-akan mendadak kehilangan tenaga, dan kantong permennya
nyaris terlepas dari tangannya.
"Satu blok lagi," kepala labu pertama berkeras. "Satu blok. Lalu satu lagi,"
kepala labu kedua menimpali.
"Hei! Tunggu dulu!" Tabby memprotes. "Kalian jangan seenaknya mengatur kami. Aku
mau pulang." Ia berbalik dan hendak pergi. Tapi kedua kepala labu cepatcepat menghalangi jalannya.
"Jangan ganggu aku!" jerit Tabby.
Ia mengelak ke kanan. Tapi kedua makhluk labu terus
mengikutinya. Senyum mereka yang menyala-nyala tampak
bertambah lebar. Bertambah terang.
Keduanya mulai bergerak mengitari kami, semakin lama
semakin cepat - sampai kami merasa seolah dikelilingi api.
Kami seakan-akan dikepung dinding api!
"Kalian harus patuh!" suara parau itu memerintah. Kami digiring lidah api dari
belakang. Kami dipaksa maju.
Kami tak punya pilihan selain menurut. Kami telah menjadi
tawanan. Tawanan makhluk-makhluk labu yang menyemburkan api.
Seorang pria tua berdiri di pintu rumah yang kami datangi. Ia
meringis ketika kami naik ke teras. "Wah, bukankah sekarang sudah kemalaman
untuk berkeliling?" ia bertanya.
"Memang," sahutku.
Ia memasukkan beberapa bungkus Chuckle ke kantong-kantong
Goosebumps - Pembalasan Di Malam Halloween di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
permen kami. "Cepat," desak salah satu kepala labu sementara kami melintasi rumput yang basah
untuk menuju ke rumah berikutnya. "Cepat!"
Kantong permen Lee sudah begitu berat, sehingga ia terpaksa
menyeretnya. Aku membawa kantong permenku dengan kedua
tangan. Tabby terus menggerutu sambil geleng-geleng kepala.
Kami mendatangi semua rumah di blok itu. Aku tidak melihat
anak-anak lain. Tak ada mobil yang lewat. Lampu-lampu di beberapa rumah sudah
mulai dipadamkan. "Cepat!" salah satu kepala labu mendesak.
"Masih banyak rumah. Masih banyak blok."
"Aku tidak mau!" seru Lee.
"Aku tidak mau!" Tabby mengulangi. Ia pura-pura galak. Tapi suaranya terdengar
gemetar. Sekali lagi kedua kepala labu melayang di atas kami. Mereka
menatap kami dengan mata menyala-nyala.
"Cepat. Kalian tidak bisa berhenti sekarang! Tidak BISA!"
"Tapi sekarang sudah terlalu malam!" aku memprotes.
"Dan sepatuku terus-menerus copot," Walker menimpali.
"Kami sudah capek keliling tanpa henti," keluh Tabby.
"Kalian tidak bisa berhenti sekarang! Cepat jalan!"
"Masih banyak rumah. Ini daerah PALING HEBAT!"
"Enak saja!" Tabby dan Lee menyahut berbarengan. Mereka mulai berteriak-teriak.
"Pokoknya tidak bisa! Tidak bisa! Tidak bisa!"
"Kantong-kantong permen kami sudah penuh," ujarku.
"Kantongku malah sudah mulai robek," Walker mengeluh.
"Tidak bisa! Tidak bisa!" Tabby dan Lee berseru.
Kedua Jack-o'-lantern kembali mengitari kami, semakin lama
semakin cepat, sehingga kami kembali dikelilingi dinding api. "Kalian tidak bisa
berhenti!" seru salah satu dari mereka.
"Kalian harus keliling terus!"
Mereka bergerak mendekat. Saking dekatnya, aku bisa
merasakan sengatan panas yang memancar dari lidah api.
Dan sambil berputar, keduanya mulai mendesis-desis bagaikan ular yang siap memagut.
Bunyi mendesis itu bertambah keras - sampai kami seakanakan dikepung ular! Kantong permenku terlepas dari genggamanku. "Berhenti...!"
aku membentak mereka. "Berhenti! Kalian bukan Shane dan Shana!"
Lidah api menyembur-nyembur dari mata mereka. Bunyi
mendesis yang mengelilingi kami bertambah keras.
"Kalian bukan Shane dan Shana!" aku memekik. "Siapa kalian?"
Chapter 20 MEREKA berputar semakin pelan, dan akhirnya berhenti sama
sekali. Lidah api menjulur-julur dari mulut mereka yang menyeringai.
Teriakan mereka yang melengking memantul pada pohon-pohon yang gersang, dan
membelah keheningan malam.
"Siapa kalian?" aku kembali bertanya. Suaraku bergetar.
Seluruh tubuhku gemetaran. Tubuhku serasa dirasuki dinginnya
malam. "Siapa kalian" Apa yang kalian lakukan terhadap temantemanku?" Tak ada jawaban. Aku berpaling pada Walker. Cahaya api tampak menari-nari di
wajahnya. Meskipun mukanya tertutup make-up hitam, parasnya jelas tampak
ketakutan. Aku menelan ludah dan menoleh ke arah Tabby dan Lee.
Mereka tersenyum mengejek sambil geleng-geleng kepala.
"Jadi begini cara kalian membuat lelucon Halloween?" tanya Tabby sambil
mencibir. "Ya, ampun. Kalian pikir Lee dan aku bakal tertipu?"
"Ooh - aku ngeri! Aku ngeri!" Lee pura-pura ketakutan. Ia sengaja menggoyangkan
kedua lutut hingga saling membentur. "Lihat, nih - aku gemetaran."
Ia dan Tabby tertawa keras-keras.
"Kostumnya memang bagus. Dan permainan apinya juga boleh.
Tapi kami tahu ini Shane dan Shana," ujar Lee. "Kalian tidak bisa menakut-nakuti
kami, Drew." "Tentu saja tidak bisa," Tabby menimpali. "Lihat saja...!"
Ia dan Lee mengangkat tangan. Masing-masing meraih satu
kepala labu - dan menariknya keras-keras.
"Hei!" Kedua kepala labu langsung copot dari pundak makhlukmakhluk itu. Dan kemudian kami berempat menjerit sekeras-kerasnya sebab kedua sosok berkostum itu ternyata tidak berkepala!
Chapter 21 TERIAKAN kami yang melengking tinggi membelah
kesunyian malam bagaikan raungan sirene.
Kepala labu di tangan Tabby terlepas dari pegangannya dan
jatuh ke tanah. Lidah api berwarna jingga terang menyembur dari mata dan mulut
kepala labu itu. Kepala labu yang satu lagi masih dalam genggaman Lee. Tapi
Lee juga langsung melepaskannya ketika mulutnya mulai bergerak-gerak.
Kedua kepala itu menyeringai lebar, menatap kami dari
rerumputan. "Ya ampun!" aku mengerang karena ngeri. Serta-merta aku mundur selangkah.
Rasanya aku ingin minggat secepat-cepatnya dari sini.
Tapi aku tidak kuasa mengalihkan pandangan dari kedua kepala
itu. Jantungku berdegup-degup dan kakiku mulai gemetaran.
Seseorang meraih lenganku.
"Walker!" Ia berpegangan padaku. Tangannya sedingin es.Sementara
tangannya yang satu lagi menunjuk kedua sosok tanpa kepala itu.
Kedua tubuh itu berdiri seperti patung, tak bergerak sedikit pun.
Bahu tempat kepala mereka bertengger tadi tampak datar dan licin.
Seakan-akan kedua kepala labu itu hanya diletakkan di situ.
Tidak menyambung dengan tubuhnya.
Tabby dan Lee berdiri rapat di sampingku. Mahkota yang
semula menghiasi rambut Lee telah hilang entah ke mana. Rambutnya pun acakacakan, jatuh tergerai menutupi wajahnya.
Kantong permen Lee jatuh di rumput. Setumpuk permen
berserakan di samping salah satu kepala labu.
Api di dalam kedua kepala itu berkobar-kobar dan menari-nari.
Dan mulut keduanya mulai bergerak-gerak.
Seringai mereka bertambah lebar, sementara mata mereka yang
berbentuk segitiga semakin sempit. "Hee hee heeeee."
Mereka terkekeh-kekeh. Bunyinya lebih mirip suara orang
berdeham daripada tertawa.
"Hee hee heeeee."
"Ohhh!" aku mengerang. Di sampingku, Walker memekik
tertahan. Lee menelah ludah. Tabby berpegangan pada Lee. Ia
menariknya mundur hingga akhirnya mereka berdiri di belakang
Walker dan aku. "Hee hee heeeee."
Kepala-kepala terpenggal itu tertawa bersamaan.
Mata mereka memancarkan cahaya kerlap-kerlip api yang
berkobar di dalam kepala mereka.
Tiba-tiba kedua tubuh tanpa kepala itu bergerak cepat.
Keduanya mengulurkan tangan dan memungut kepala masing-masing
dari rumput. Semula aku menyangka mereka akan memasang kembali
kepala-kepala itu. Tapi rupanya aku keliru. Makhluk-makhluk itu memegang kepala
masing-masing di depan dada.
"Hee hee heeeee."
Mereka kembali tertawa. Mulut keduanya berkedut-kedut. Mata
mereka menatap kami dengan pandangan kosong.
Aku meremas-remas lengan Walker. Tapi sepertinya ia tidak
menyadarinya. Aku melepaskan lengannya. Dan menarik napas dalam-dalam.
"Siapa kalian?" aku berseru pada kedua makhluk itu. Suaraku melengking nyaring.
"Siapa kalian" Dan apa yang kalian inginkan?"
"Hee hee heeeee." Mereka hanya tertawa.
Chapter 22 "SIAPA kalian?" aku bertanya sekali lagi. Aku terpaksa berseru kuat-kuat untuk
mengalahkan tawa mereka yang parau. "Mana Shane dan Shana" Mana teman-teman
kami?" Lidah api menyembur dari mulut dan mata kedua kepala labu.
Seringai mereka semakin lebar.
"Drew - kita harus kabur," Walker berbisik. "Mungkin kalau kita mendadak lari...."
Kami segera berbalik dan berlari. Tabby dan Lee menyusul
dengan terseok-seok. Kakiku terasa lemas seolah tak bertenaga. Aku yakin aku
takkan sanggup berlari jauh. Jantungku berdegup-degup. Napasku tersengal-sengal.
"Lari!" teriak Walker sambil menarik lenganku. Napasnya juga terengah-engah.
"Cepat, Drew!" Tapi kami tidak berhasil lari jauh-jauh.
Kedua makhluk itu segera menyusul dan kembali berputar-putar
mengelilingi kami sambil mendesis-desis. Kami terperangkap. Kami menjadi tawanan
di tengah lingkaran api. Kami tidak bisa melarikan diri. Kami tidak mungkin lolos.
Dengan putus asa aku memandang berkeliling.
Tak ada siapa-siapa. Tak ada yang bergerak. Tak ada mobil.
Tak ada orang. Bahkan anjing atau kucing pun tidak kelihatan.
Kedua makhluk itu menghampiri kami. Mereka berdiri di
hadapan kami sambil mengangkat kepala tinggi-tinggi.
"Masih banyak rumah. Masih banyak rumah," mereka berkata tanpa menggerakkan
bibir. Keduanya menatap kami dengan mata
menyala-nyala. "Masih banyak rumah yang harus kita datangi. Masih banyak."
"Kalian tidak bisa berhenti. Kalian harus terus berkeliling!"
"Angkat kantong permen kalian. Ayo - cepat!" salah satu dari mereka menggeram.
Kepala yang ada di tangan mereka menatap kami sambil menyeringai jahat.
"K-kami tidak mau berkeliling lagi!" Lee meratap sambil berpegangan pada Tabby.
"Kami mau pulang!" Tabby berseru.
"Masih banyak rumah yang harus kita datangi. Masih banyak.
Masih banyak," kedua kepala labu menyahut berbarengan.
Kami didorong dan digiring maju.
Kami tak punya pilihan. Dengan letih kami memungut kantong
permen masing-masing dari rumput.
Kedua makhluk itu berjalan di belakang kami. Tanpa henti
mereka berbisik, "Masih banyak. Masih banyak."
Mereka menggiring kami ke rumah pertama di blok berikut.
Mereka menggiring kami ke teras depan. Kemudian mereka
bersembunyi di tempat gelap.
"B-berapa lama lagi kita harus berkeliling?" tanya Tabby.
Kedua kepala labu itu kembali menyeringai. "Selamalamanya!" sahut mereka.
Chapter 23 SEORANG wanita membuka pintu dan memasukkan beberapa
bungkus cokelat Hershey ke kantong-kantong kami. "Wah, malam-malam begini masih
keliling juga," ia berkata. "Kalian tinggal di sekitar sini?"
"Tidak," jawabku. "Sebenarnya kami justru tidak tahu di mana kami berada. Kami
belum pernah ke daerah sini, dan kami dipaksa berkeliling terus oleh dua makhluk
labu tanpa kepala. Mereka bilang kami harus berkeliling untuk selama-lamanya.
Tolonglah kami! Anda harus menolong kami!"
"Ha-ha! Kau lucu sekali," kata wanita itu sambil tertawa.
"Rupanya kau pintar mengarang cerita." Ia sudah keburu menutup pintu sebelum aku
sempat menjelaskan lebih lanjut.
Di rumah berikut kami tak lagi berusaha minta tolong. Kami
tahu takkan ada yang percaya.
"Kantong-kantong permen kalian sudah sangat penuh!" ujar wanita yang menemui
kami. "Kalian pasti sudah keliling berjam-jam."
"K-kami suka sekali makan permen," jawab Walker.
Aku menoleh ke arah kedua kepala labu di belakang kami.
Mereka melambai-lambaikan tangan tidak sabar. Mereka ingin kami segera pindah ke
rumah berikut. Kami mengucapkan terima kasih pada wanita itu, kemudian
berjalan melintasi pekarangan depan. Saking beratnya, kami harus menyeret
kantong-kantong permen kami di rumput.
Tabby menyusulku ketika kami menuju ke pekarangan sebelah.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" ia berbisik ke telingaku.
"Bagaimana kita bisa lolos dari... monster-monster ini?"
Aku angkat bahu. Aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya.
"Aku takut," Tabby mengakui. "Mereka tidak akan memaksa kita keliling untuk
selama-lamanya - ya, kan?"
"Aku tidak tahu," jawabku sambil menelan ludah. Tampak jelas Tabby sudah mau
menangis. Lee berjalan dengan kepala tertunduk. Kantong permennya
terseret-seret di belakangnya. Ia geleng-geleng kepala sambil
bergumam. Kami melangkah ke teras rumah berikut dan menekan pintu.
Seorang pria setengah baya dengan celana piama kuning terang
membuka pintu. "Trick-or-treat!" kami berseru tanpa semangat.
Pria itu membagikan beberapa Tootsie Rolls kepada kami.
"Sudah larut malam," ia berkomentar. "Orangtua kalian tahu kalian masih
berkeliaran di luar?"
Kami diam saja. Bahkan untuk berkata-kata pun kami tidak
punya tenaga lagi. Kami menuju ke rumah berikut. Lalu ke rumah berikutnya lagi.
Aku terus mencari-cari kesempatan untuk melarikan diri. Tapi
kedua makhluk itu mengawasi kami dengan ketat. Mereka terus
mengikuti kami, mengawasi dari tempat-tempat gelap. Mata mereka menyala merah,
sedetik pun tak pernah beralih ke arah lain.
"Masih banyak rumah," kata mereka sambil memaksa kami melintasi jalan dan
mendatangi deretan rumah di seberang.
"Masih banyak rumah."
"Aku takut," Tabby berbisik dengan suara gemetar. "Lee juga.
Kami benar-benar ngeri."
Aku hendak berkata aku pun tak kalah takutnya.
Tapi kemudian kami sama-sama menahan napas ketika melihat
seseorang melangkah menyusuri jalanan.
Seorang pria berseragam biru!
Mula-mula aku menyangka orang itu polisi. Tapi ketika ia
melintas di bawah lampu jalanan, kulihat ia mengenakan baju kerja berwarna biru.
Ia juga memakai topi baseball biru. Sebelah tangannya membawa kotak makan siang
hitam. Ia pasti baru pulang kerja, kataku dalam hati. Orang itu berjalan dengan kepala
menunduk sambil bersiul-siul. Tampaknya ia tidak melihat kami.
Tabby langsung bertindak. "Tolooong!" ia memekik. "Tolong, Pak! Tolong kami!"
Orang itu segera menoleh. Ia menatap kami sambil
memicingkan mata. Tabby berlari menghampirinya. Walker, Lee, dan aku
menyusulnya sambil menyeret kantong permen masing-masing.
"Tolong, Pak! Tolong!" Tabby memohon dengan suara
melengking. "Selamatkan kami!"
Terengah-engah kami berempat menyeberang jalan. Kami
segera mengerumuni orang itu, yang tampak heran. Ia menatap kami dengan mata
terpicing sambil menggaruk-garuk rambutnya yang
cokelat keriting.
Goosebumps - Pembalasan Di Malam Halloween di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada apa" Kalian tersesat?" ia bertanya.
"Ada monster!" Lee langsung berseru. "Monster Jack-o-lantern tanpa kepala! Kami
ditawan oleh mereka! Kami dipaksa berkeliling dari rumah ke rumah!"
Orang itu mulai tertawa. "K-kami tidak mengada-ada!" Tabby berkeras. "Kami serius.
Anda harus percaya! Anda harus menolong kami!"
"Cepat tolong kami, Pak!" Lee memekik.
Orang itu menggaruk-garuk kepala. Ia menatap kami dengan
kening berkerut. "Cepat, Pak! Cepat!" Lee mendesak.
Aku menatap pria di hadapan kami. Apakah ia akan membantu
kami" Chapter 24 "ANDA harus menolong kami!" Lee mendesak.
"Baiklah, saya akan menolong kalian," kata pria itu seraya geleng-geleng kepala.
"Mana monsternya?"
"Di sana!" aku berseru.
Kami semua menoleh ke arah pekarangan depan. Tak ada siapasiapa. Kedua kepala labu itu telah hilang.
Lenyap. Tabby memekik kaget. Lee tercengang.
"Ke mana mereka?" Walker bergumam.
"Tadi mereka masih di situ!" Tabby berkeras. "Dua-duanya.
Sambil memegang kepala masing-masing! Sungguh!"
Pria itu menghela napas. "Bercanda di malam Halloween
memang asyik," ia berkata. "Tapi saya baru pulang kerja, dan saya capek sekali."
Ia memindahkan kotak makan siang ke tangannya yang satu
lagi. Lalu ia melangkah menuju ke salah satu rumah, dan masuk ke dalamnya lewat
pintu belakang. "Ayo, kita lari!" teriak Lee.
Tapi sebelum kami sempat bergerak, kedua kepala labu sudah
muncul dari balik semak-Semak. Api tampak berkobar-kobar di dalam kedua kepala
itu. Mulut mereka yang lebar meringis geram.
"Masih banyak rumah," mereka berkata dengan suara parau.
"Masih banyak rumah. Kalian tidak boleh berhenti."
"Tapi kami sudah capek!" Tabby memprotes. Suaranya
bergetar. Kulihat matanya berkaca-kaca.
"Biarkan kami pulang!" Lee memohon.
"Masih banyak rumah! Masih banyak!"
"Kalian tidak bisa berhenti! SAMPAI KAPAN PUN!"
"Aku tidak bisa jalan!" Lee berseru. "Kantong permenku sudah penuh. Lihat, nih!"
Ia memperlihatkan kantong permennya yang sudah menggembung kepada kedua kepala
labu. Beberapa batang cokelat
jatuh ke rumput. "Kantongku juga sudah penuh," kata Walker. "Sudah tidak ada lagi yang bisa
masuk!" "Kami harus pulang!" Tabby memekik. "Kantong-kantong kami sudah penuh!"
"Itu soal gampang," ujar salah satu kepala labu.
"Soal gampang?" Tabby meratap. "Apanya yang gampang?"
"Sekarang kalian mulai makan," perintah si kepala labu.
"Hah?" Kami semua melongo mendengarnya.
"Makan," si kepala labu berkeras. "Makan!"
"Hei - enak saja!" Lee memprotes. "Kami tidak mau berdiri di sini dan..."
Makhluk-makhluk itu mulai melayang. Lidah api kuning terang
menyembur dari kedua matanya. Angin yang mengembus dari mulut
mereka yang menyeringai lebar terasa panas di wajahku.
Kami semua tahu apa yang akan terjadi kalau kami menolak
perintah mereka. Kami bakal dikepung dinding api.
Lee mengambil sebatang cokelat dari kantong permennya.
Dengan tangan gemetar ia membuka bungkusnya. Lalu digigitnya
cokelat itu. Kami semua mulai makan permen dan cokelat. Kami tidak
punya pilihan. Aku menggigit cokelat Hershey dan mulai mengunyah. Aku tak
sempat mencicipi rasanya. Segumpal cokelat melekat di gigiku. Tapi aku terus
menggigit dan mengunyah. "Lebih cepat! Lebih cepat!" si kepala labu memerintahkan.
"J-jangan..." Tabby memohon dengan mulut penuh permen.
"Kami tidak bisa..."
"Cepat! Makan! Makan!"
Aku memasukkan sekantong popcorn ke dalam mulut dan
berjuang untuk mengunyahnya. Aku melihat Walker menggeledah
kantong permennya untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan dengan cepat.
"Cepat! Makan!" kedua kepala labu mendesak sambil
melayang-layang di atas kami. "Makan! Makan!"
Lee sudah menghabiskan empat batang cokelat. Ia meraih
sebatang Milky Way dan mulai membuka kertas pembungkusnya.
"A-aku mau muntah!" ujar Tabby.
"Cepat! Cepat!"
"Aku tidak bisa. Sungguh. Perutku mual!" seru Tabby.
"Ayo, cepat!" Lee mulai terbatuk-batuk. Sepotong permen berwarna pink
melejit dari mulutnya. Tabby menepuk-nepuk punggungnya sampai
batuknya mereda. "Lagi! Tambah lagi!" kedua kepala labu kembali berteriak.
"A-aku tidak bisa!" Lee berseru parau.
Kedua makhluk itu melayang-layang di atas Lee. Mata mereka
memancarkan api. Lee meraih cokelat Crunch, membuka kertas pembungkusnya,
dan menggigitnya. Kami berempat berkerumun di trotoar sambil makan permen
dan cokelat. Kami terus mengunyah secepat mungkin, menelan, dan mulai mengunyah
lagi. Kami gemetaran. Ketakutan. Dan mual.
Tapi ternyata semua itu belum seberapa. Ternyata masih ada
kejutan yang lebih mengerikan lagi.
Chapter 25 "AKU... tidak... bisa... makan... apa-apa lagi," Tabby berkata dengan susahpayah. Sudah beberapa menit kami menggigit dan mengunyah tanpa
henti. Mulut Tabby berlepotan cokelat. Bahkan ada cokelat yang tersangkut di
rambutnya yang pirang. Lee membungkuk di rumput. Ia memegang perutnya sambil
mengerang-erang. "Oh, perutku tidak keruan rasanya," gumamnya. Ia bersendawa
keras-keras. Dan kembali mengerang.
"Habis ini aku tidak mau melihat permen lagi," bisik Walker.
Aku hendak menyahut. Tapi mulutku penuh. "Masih banyak
rumah!" ujar salah satu kepala labu. "Masih banyak rumah! Kalian tidak bisa
berhenti!" "Jangan begitu, dong!" Tabby memohon.
Lee masih membungkuk. Sekali lagi ia bersendawa keras-keras.
"Sekarang sudah hampir tengah malam!" Tabby memprotes.
"Kami harus pulang."
"Masih banyak rumah yang harus didatangi," salah satu kepala labu berkata
padanya sambil memicingkan matanya yang menyala-nyala. "Kalian harus terus
berkeliling. Untuk selama-lamanya!"
"Tapi kami sudah tidak kuat!" Lee mengerang sambil
memegang perutnya. "Kami sudah tidak sanggup lagi berkeliling!"
"Lagi pula semua orang sudah tidur," ujar Walker. "Takkan ada yang membukakan
pintu malam-malam begini."
"Daerah ini BERBEDA!" balas si kepala labu.
"Di daerah INI tak ada masalah!" makhluk yang satu lagi menimpali. "Di daerah
ini, kalian bisa keliling SELAMA-LAMANYA!"
"Tapi - tapi - tapi..." aku tergagap.
Aku tahu tak ada gunanya membantah. Kedua makhluk itu akan
memaksa kami terus berkeliling. Mereka takkan peduli pada protes kami.
Dan mereka takkan membiarkan kami pulang. "Masih banyak
rumah! Ayo, keliling lagi! Keliling selama-lamanya!"
Tabby membantu Lee berdiri. Ia memungut kantong permen
Lee dan menyerahkannya padanya. Ia menepis rambut yang menutupi wajahnya, dan
meraih kantong permennya sendiri.
Berempat kami melintasi jalan sambil menyeret kantongkantong permen yang sudah penuh sesak. Udara malam terasa dingin dan lembap.
Angin kencang menggoyang pepohonan dan membuat
daun-daun mati beterbangan di sekitar kaki kami.
"Orangtua kita pasti sangat cemas," Lee bergumam. "Sekarang sudah larut malam."
"Mereka memang harus cemas!" komentar Tabby dengan suara gemetar. "Bisa jadi
kita takkan pernah bertemu lagi dengan mereka."
Lampu teras di rumah pertama yang ada di seberang jalan masih
menyala. Kedua kepala labu memaksa kami melangkah ke teras.
"Sudah terlalu malam untuk minta permen," Lee memprotes.
Tapi kami tak punya pilihan. Aku menekan bel pintu.
Kami menunggu. Tubuh kami menggigil. Perutku terasa tidak
keruan akibat terlalu banyak dijejali permen dan cokelat.
Perlahan-lahan pintu depan membuka.
Dan kami semua memekik kaget.
Chapter 26 "HAAAH!" Walker menjerit tertahan. Lee langsung melompat dari teras.
Aku menatap makhluk yang berdiri di bawah lampu teras.
Seorang wanita. Seorang wanita dengan kepala Jack-o'-lantern yang menyeringai
lebar. "Trick or treat?" ia bertanya sambil mengembangkan senyum mengerikan. Aku
melihat lidah api berwarna jingga menari-nari di dalam kepalanya.
"Uh - uh - uh..." Walker melompat dari teras dan jatuh
menabrak Lee. Aku menatap kepala labu yang menyeringai itu. Ini benar-benar
mimpi buruk! kataku dalam hati. Mimpi buruk yang jadi kenyataan.
Wanita itu memasukkan permen ke kantong-kantong kami. Tapi
aku tidak memperhatikan permen apa. Aku tidak sanggup
mengalihkan mata dari kepala labunya.
"Apakah Anda...?" aku bertanya.
Tapi ia keburu menutup pintu sebelum aku sempat
menyelesaikan pertanyaanku.
"Ayo, masih banyak rumah!" kedua kepala labu mendesak.
"Keliling lagi!"
Kami menuju ke rumah berikut. Pintu depannya langsung
terbuka ketika kami naik ke teras.
Dan kami kembali berhadapan dengan makhluk berkepala labu.
Makhluk yang satu ini mengenakan jeans dan T-shirt lengan
panjang berwarna merah tua. Api mendesis dan meretih di balik
lubang mata dan mulutnya. Dua gigi besar dan miring terukir di mulutnya yang
lebar - satu di atas, satu di bawah - sehingga
tampangnya berkesan konyol.
Tapi aku dan teman-temanku terlalu ketakutan hingga tak bisa
tertawa. Di rumah berikutnya, kami disambut sepasang makhluk Jack-o'lantern. Kemudian kami menyeberangi jalan dan menemukan
makhluk kepala labu lain telah menunggu di rumah berikut.
Di manakah kami" aku bertanya-tanya.
Tempat ini benar-benar aneh!
Kedua kepala labu menggiring kami ke blok berikut. Semua
rumah di sana dihuni makhluk-makhluk Jack-o'-lantern.
Sampai di ujung blok, Tabby menurunkan kantong permen dan
berpaling kepada kedua kepala labu. "Kita harus berhenti!" ia memohon. "Aku
sudah tidak kuat lagi."
"Kami sudah tak sanggup lagi berkeliling dari rumah ke
rumah!" Lee berseru dengan putus asa. "A-aku capek sekali. Dan perutku mual."
"Kita berhenti saja, ya?" Walker ikut memohon.
"Aku benar-benar sudah tidak kuat," kata Tabby sambil geleng-geleng kepala. "Aku
takut sekali. Makhluk-makhluk itu... ada di setiap rumah..." Ia terisak, lalu
terdiam. Lee menyilangkan tangan di depan dada. "Aku tidak mau jalan lagi," katanya. "Aku
tidak peduli kalian mau berbuat apa. Pokoknya, aku takkan bergerak."
"Aku juga," Tabby menimpali. Ia maju selangkah dan berdiri di samping Lee.
Kedua kepala labu tidak menyahut. Tanpa berkata apa-apa,
keduanya mulai melayang-layang di udara.
Aku mundur selangkah ketika makhluk-makhluk itu
membelalakkan mata dan semakin lebar meringis. Lidah api jingga terang
menyambar-nyambar dari lubang mata mereka.
Seringai mereka bertambah lebar. Dan kemudian keduanya
memekik dengan nada melengking tinggi. Suara itu membelah
keheningan malam, naik-turun bagaikan bunyi sirene polisi.
Kedua kepala labu itu mendongak, sehingga lidah api dari mata
mereka memancar tegak lurus ke langit. Teriakan mereka semakin keras. Semakin
nyaring. Sampai aku terpaksa menutup telinga dengan tangan.
Aku melihat kilatan cahaya. Aku menoleh dan melihat sebuah
kepala labu melayang ke arah kami dari seberang jalan.
"Ohhh!" aku memekik ketika dua makhluk kepala labu lain bergegas keluar dari
rumah masing-masing. Menyusul dua lagi. Dan satu lagi. Dan satu lagi. Pintupintu rumah di sepanjang blok
membuka. Makhluk-makhluk kepala labu melayang keluar.
Melayang ke arah kami. Sambil mendesis-desis dan meraungraung. Mata dan mulut mereka menyemburkan api dan memancarkan
cahaya jingga ke langit malam. Mereka melayang-layang di jalanan, melintasi
pekarangan-pekarangan gelap, meraung-raung bagaikan
sirene, mendesis-desis bagaikan ular.
Semakin dekat. Semakin dekat:
Belasan, puluhan kepala labu.
Walker, Tabby, Lee, dan aku berdesak-desakan di tengah jalan
sementara makhluk-makhluk itu menghampiri kami.
Dalam sekejap kami sudah terkepung. Kami dikelilingi sosoksosok berjubah gelap dengan kepala Jack-o'-lantern yang menyeringai lebar.
Makhluk-makhluk itu berputar-putar di sekitar kami. Kepala
mereka berayun-ayun miring, seolah mau copot.
Perlahan-lahan mereka bergerak mengelilingi kami. Lalu
mereka berteriak dengan suara parau: "Trick-or-treat! Trick-or-treat!
Trick-or-treat!" "Mau apa mereka?" seru Tabby. "Apa yang akan mereka lakukan?"
Aku tidak sempat menyahut.
Empat makhluk melangkah ke tengah-tengah lingkaran.
Dan ketika aku melihat apa yang mereka bawa, aku langsung
menjerit. Chapter 27 "TRICK-OR-TREAT! Trick-or-treat! Trick-or-treat!" Jeritanku menenggelamkan
sorak-sorai mereka. Dan ketika keempat makhluk itu melangkah maju, yang lainnya
segera diam. Kepala mereka tampak berayun-ayun. Seringai mereka bertambah lebar.
Mereka mengangkat tangan setinggi pinggang. Dan masingmasing membawa sebuah kepala labu.
Empat kepala labu tambahan!
"Oh, ya ampun!" Lee berseru ketika melihat kepala-kepala itu.
Tabby cepat-cepat meraih tangan Lee. Ia tampak sangat
ketakutan. "Mau apa mereka dengan kepala-kepala itu?"
Lidah api kuning menyembur dari lubang mata dan mulut
keempat kepala tambahan. "Ini untuk kalian!" salah satu makhluk labu mengumumkan.
Suaranya mirip bunyi kerikil tajam bergesekan.
"Hah!" aku berseru kaget.
Aku menatap keempat kepala itu. Aku memperhatikan mata
Goosebumps - Pembalasan Di Malam Halloween di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka yang menyala-nyala dan senyum mereka yang mengerikan.
"Ini untuk kalian," ulang si kepala labu sambil melangkah mendekat. "Untuk
mengganti kepala kalian yang lama!"
"Tidak bisa! Kalian tidak boleh berbuat begitu! Tidak boleh!"
teriak Tabby. "Kalian..."
Jeritannya terputus ketika salah satu makhluk mengangkat
kepala labu ke atas Tabby. Bagian bawah kepala itu berlubang. Serta-merta
makhluk itu memasang kepala labu tersebut sehingga menutupi kepala Tabby yang
asli. Lee berusaha kabur. Tapi salah satu makhluk cepat-cepat menghalangi jalannya dan mengangkat kepala labu itu tinggi-tinggi. Dengan segera kepala labu itu
terpasang menutupi kepala Lee. Ia mengalami nasib yang sama dengan Tabby.
Sambil berusaha melepaskan kepala mereka yang baru, Tabby
dan Lee berlari menyusuri jalan. Mereka berlari tunggang-langgang seraya
menjerit-jerit dalam kegelapan malam.
Dan kemudian makhluk-makhluk itu berpaling pada Walker
dan aku. Mereka mengangkat kedua kepala labu yang masih tersisa tinggi-tinggi.
"Jangan...!" aku memohon. "Jangan!"
Chapter 28 "JANGAN...!" aku memekik. "Aku tidak mau punya kepala labu!"
"Jangan...!" Walker ikut-ikutan memekik.
Dan kemudian kami sama-sama tertawa terbahak-bahak.
Kedua makhluk itu menurunkan kepala labu yang mereka bawa.
Setelah itu kepala labu mereka sendiri mulai berubah. Api di
dalamnya padam perlahan-lahan. Dan kepala mereka mulai mengerut.
Dan berubah bentuk. Beberapa detik kemudian, kepala labu itu berubah menjadi
kepala Shane dan Shana. Dan kami berempat tertawa terbahak-bahak. Kami berpelukan
dan berputar-putar. Kami menari-nari seperti kesurupan di tengah jalan. Kami
menengadah dan tertawa ke arah bulan dan bintang-bintang. Kami tertawa sampai
perut kami terasa kaku. "Kita berhasil!" aku berseru ketika kami akhirnya berhenti tertawa. "Kita
berhasil! Kali ini kita berhasil membuat Tabby dan Lee ketakutan setengah mati!"
"Mereka bakal ketakutan seumur hidup!" Walker menimpali. Ia menepuk punggung
Shane. Kemudian ia kembali menari-nari sambil melambai-lambaikan tangan di atas
kepala. "Kita berhasil! Kita berhasil!" aku berseru-seru gembira.
"Mereka benar-benar ketakutan!"
"Wah, kejadian tadi asyik sekalil" ujar Walker. "Dan begitu gampang pula."
Aku menghampiri Shane dan Shana dan memeluk keduanya.
"Ternyata ada untungnya juga punya teman makhluk asing dari planet lain!"
Chapter 29 "Ssst! Jangan keras-keras!" Shane mewanti-wanti sambil merendahkan suara. Dengan
gugup ia memandang berkeliling.
"Jangan sampai ada orang lain tahu bahwa kami bukan
penghuni bumi," ujar Shana.
"Aku tahu, aku tahu," sahutku. "Kan justru karena itu sebelumnya kami tidak mau
menggunakan kekuatan kalian untuk
menakut-nakuti Tabby dan Lee."
"Tapi tahun ini kami sudah hampir putus asa!" kata Walker.
"Jadi, kami terpaksa meminta bantuan kalian."
"Kita harus berhati-hati," ujar Shana.
Shane bangkit dan berpaling kepada semua makhluk kepala
labu yang masih mengelilingi kami. "Terima kasih atas bantuan kalian, saudarasaudaraku!" seru Shane pada mereka. "Sebaiknya kalian cepat-cepat pulang sebelum
ada yang tahu bahwa daerah ini telah kita ambil alih!"
Kepala-kepala labu itu melambaikan tangan. Sambil tertawa
mereka semua segera kembali ke rumah masing-masing. Beberapa
detik kemudian jalanan telah kembali lengang. Yang tinggal hanya kami berempat.
Kami melangkah pulang, berjalan di tengah jalan. Walker dan
aku menyeret kantong permen kami yang penuh dan berat.
Walker menoleh ke arah Shane dan Shana, lalu
mengembangkan senyum. "Kira-kira kapan Tabby dan Lee sadar bahwa mereka bisa
mencopot kepala labu itu dengan mudah?" ia bertanya.
"Bisa jadi mereka takkan pernah tahu!" sahut Shana.
Kami semua langsung tertawa lagi.
Kami terus tertawa sampai kami tiba di pekarangan rumahku.
"Sekali lagi terima kasih," aku berkata kepada Shane dan Shana. "Kalian benarbenar hebat tadi." "Kalian superhebat! Benar-benar luar biasa!" seru Walker. "Aku sendiri sempat
ngeri tadi! Padahal aku tahu semuanya hanya
sandiwara!" "Eh, kalian tahu tidak, apa yang paling asyik kalau punya teman makhluk asing
dari planet lain?" tanyaku. "Kalian berdua tidak makan permen."
"Benar," sahut Shane dan Shana.
"Berarti semua permen ini untuk Walker dan aku!" aku berseru sambil tertawa
gembira. Tiba-tiba sesuatu terlintas dalam pikiranku. "Omong-omong, aku belum pernah
melihat kalian makan," kataku kepada kedua makhluk planet lain itu. "Apa sih
makanan kalian?" Shana mengulurkan tangan dan mencubit lenganku. "Kau masih terlalu kurus, Drew,"
sahutnya. "Kau akan tahu apa makanan kami kalau kau sudah bertambah gendut."
"Yeah," Shane menimpali. "Penghuni planet kami hanya makan orang dewasa yang
bertubuh gendut. Jadi, untuk sementara kau belum perlu kuatir."
Aku tercengang. "Hei - kalian cuma bercanda, kan?" tanyaku.
"Shane" Shana" Kalian tidak serius - ya, kan" Ini cuma lelucon. Ya, kan" Ya, kan?"
END Peristiwa Bulu Merak 4 Serigala Dari Kunlun Long Cu Ya Sim Karya Kwao La Yen Suling Emas 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama